Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 32
"Dalam pengejaran kami akan terpencar."
Keduanya tidak bertanya lebih banyak lagi. Salah seorang dari
keduanya berkata, "Aku akan mencoba menangkap mereka jika aku
masih sempat menemukan."
"Mereka belum terlalu jauh. Dan mereka tidak mempergunakan
kuda." "Justru karena itu. Mereka akan sempat menyusup ke jalan
setapak. Dan barangkali sepanjang pematang."
Namun keduanya masih juga ingin mencoba. Mereka memacu
kuda mereka di tengah-tengah bulak berikutnya, menyelusur jalan
kecil yang menuju ke hutan.
"Mudah-mudahan kita dapat menemukan mereka" desis salah
seorang dari keduanya. Baru kemudian setelah kedua orang itu hilang dalam gelapnya
malam, salah seorang dari mereka yang berkerumun itu bertanya,
"Siapakah kedua orang berkuda itu?"
Tiba-tiba saja pertanyaan itu telah mengejutkan setiap orang
yang sedang berkumpul itu. Bahkan salah seorang dari mereka
berkata, "Apakah kedua orang itulah yang telah merampok di rumah
saudagar ternak itu?"
"Ya, mereka juga berdua. Jika demikian, kita sudah
dikelabuinya." Tetapi salah seorang dari mereka menyahut, "Aku yakin, bukan
mereka. Aku melihat kedua orang perampok itu dengan tenang
keluar dari rumah saudagar itu. Dan keduanya bukannya
1923 penunggang-penunggang kuda yang baru saja lewat itu. Bukan
menurut bentuk tubuhnya dan bukan pula menurut pakaiannya."
Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu salah seorang dari
mereka berkata, "Ya, agaknya memang bukan. Menilik sikapnya
keduanya tidak sedang membohongi kita. Keduanya benar sedang
berusaha mencari perampok-perampok itu."
Meskipun orang-orang yang berkerumun itu masih tetap raguragu,
namun mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu
perkembangan keadaan selanjutnya.
Dalam pada itu, kedua orang berkuda itu berpacu terus
mengikuti jalan ke hutan. Mereka masih tetap berharap untuk
menemukan kedua perampok itu sebelum mereka hilang di dalam
lebatnya dedaunan hutan di waktu malam.
Ternyata bahwa kedua orang yang telah melakukan perampokan
itu, berjalan seenaknya menuju ke hutan seperti yang diduga.
Keduanya sama sekali tidak merasa cemas, bahwa orang-orang
padukuhan akan mengejarnya. Keduanya yakin bahwa orang-orang
di sekitar padukuhan itu, telah pernah mendengar bahwa kedua
orang perampok itu mampu membunuh sepuluh orang sekaligus
dalam satu arena perkelahian.
Tetapi keduanya mengerutkan kening ketika mereka mendengar
derap kaki kuda menyusul mereka. Sejenak mereka termangumangu.
Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata,
"Apakah kita akan bersembunyi?"
Yang lain termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian dalam
keragu-raguan, "Siapakah yang telah berani menyusul kita?"
"Mungkin bebahu padukuhan, atau orang yang mereka undang
khusus untuk menghadapi kita."
"Biarlah mereka sadar, dengan siapa mereka berhadapan."
"Jadi kita tidak menghindar?"
1924 "Kita akan membunuh orang-orang berkuda itu, agar tidak lagi
ada orang yang berani menghalang-halangi kita di hari berikutnya."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka berpaling
maka mereka melihat bayangan dua ekor kuda yang beriringan
mendekati mereka. "Mereka telah dekat" desis salah seorang dari kedua rang yang
sedang berjalan itu. Tiba-tiba saja orang berkuda itu menarik kekang kudanya, yang
seorang dari keduanya yang berada di depan bahkan segera
meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Ki Sanak. Apakah
Ki Sanak menyadari, kenapa kami berdua menyusul sampai ke
tempat ini?" Salah seorang dari kedua orang perampok itu langsung
menjawab sambil menengadahkan dadanya, "Kami mengerti,
bukankah kalian ingin menangkap dua orang perampok?"
"Ya. Kami memang ingin menangkap kalian berdua jika kalian
berdua memang perampok-perampok itu."
Hampir berbareng keduanya tertawa. Salah seorang dari
keduanya menjawab, "Apakah kalian terlampau yakin bahwa kalian
akan dapat melakukannya?"
"Kami akan mencoba. Daerah ini biasanya tidak pernah dijamah
oleh kejahatan. Kini Tiba-tiba saja kalian telah membuat daerah ini
menjadi gelisah dan ketakutan."
Keduanya tertawa. Katanya, "Sudahlah. Itu sudah menjadi nasib
daerah ini. He, siapakah kalian berdua?"
Kedua orang yang sudah turun dari kuda mereka itu saling
berpandangan sejenak. Baru kemudian salah seorang menarik nafas
sambil berkata, "Apakah kalian berdua ingin mengenal kami"
Baiklah. Kami datang dari ujung bukit, di kaki bintang s ilang dibawa
ujung bintang waluku."
1925 Tiba-tiba saja kedua orang perampok itu terkejut bukan buatan.
Bahkan salah seorang dari mereka bergeser surut.
"Nah, apakah kalian berdua mengenal kami?"Keduanya tidak
segera dapat menjawab. Tetapi nampak kegelisahan yang
mencengkam. "Menilik gelagat, kalian mengenal kami setelah kami
memperkenalkan diri. Karena itu, maka kami pun telah mengenal
kalian. Kalian tentu akan menyebut diri kalian seperti aku menyebut
diriku." Keduanya masih terdiam. Tetapi keringat dingin mulai
membasahi punggung mereka.
"Sudahlah. Sebut sajalah, apakah kalian datang dari gerombolan
Serigala Putih atau Macan Kumbang."
Keduanya tidak segera menjawab.
"Kami tahu, bahwa kedua gerombolan yang sudah berada di
bawah pimpinan Empu Baladatu itu mendapat tugas seperti yang
harus aku jalankan. Tetapi tidak untuk merampok dan menimbulkan
kekacauan yang lain. Sebab dengan demikian berarti akan
mengundang persoalan dengan prajurit- prajurit Singasari. Itulah
sebabnya kami segera menghubungi kalian sebelum terlambat."
Kedua orang yang telah merampok itu termangu-mangu. Bahkan
perasaan cemas mulai merayapi jantung. Mereka sadar bahwa
mereka berhadapan dengan pemimpin yang tidak dapat
membiarkan mereka merajuk, dan kemudian memanjakan yang
mereka hadapi adalah orang yang mendapat tugas dari Empu
Baladatu untuk menjalankan tugas yang keras dan sama sekali
tanpa pertimbangan kebijaksanaan.
"Cepatlah. Sebutlah, apakah kalian berasal dari gerombolan
Serigala Putih atau Macan Kumbang."
"Kami tidak akan mengambil sikap apapun juga. Kami hanya
akan mengantar kalian kembali ke padepokan, karena kami tidak
mendapat tugas untuk mengambil tindakan apapun terhadap kalian.
1926 Tetapi karena yang kalian lakukan itu membahayakan kedudukan
kita semuanya, maka kami merasa perlu untuk mengambil langkahlangkah
pengamanan." Kedua orang yang telah merampok itu masih termangu-mangu
sehingga keduanya masih belum mengambil s ikap apapun juga.
"Cepatlah. Kenapa kalian ragu-ragu" Aku kira tidak ada jalan
yang lebih baik bagi kalian daripada berterus terang. Dengan
demikian, pimpinan kalian akan dapat mempertimbangkan
pengampunan. Tetapi jika kalian berkeras kepala, maka mungkin
sekali kalian akan mendapat hukuman. Hukuman yang paling berat
sekalipun, karena menurut kepercayaan kita semuanya, tidak ada
larangan untuk mengorbankan seseorang pada saat upacara
penyerapan ilmu itu, meskipun dari kalangan sendiri."
Terasa bulu tengkuk kedua perampok itu bagaikan berdiri.
Ancaman itu membuat dada keduanya benar-benar tergetar.
"Jawablah pertanyaanku" desak salah seorang dari kedua orang
yang menyusul itu. Namun Tiba-tiba saja salah seorang dari kedua perampok itu
melangkah maju sambil mengangkat wajahnya. Dengan suara yang
gemetar ia berkata, "Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.
Tetapi aku kira, kami tidak akan dapat melakukannya. Jika kami
menyerah, maka leher kami tentu akan menjadi taruhan. Mungkin
benar yang kau katakan, bahwa purnama mendatang, salah seorang
dari kami berdua akan menjadi korban, sedangkan yang lain di
bulan berikutnya." "Jadi apakah yang kau kehendaki sebenarnya?"
"Kami menghendaki kebebasan dari tuntutan semacam itu."
"Karena itu, ikutlah kami. Kami akan menyerahkan kalian dan
barangkali kami dapat memberikan beberapa keterangan yang
dapat meringankan kesalahanmu. Aku tahu, bahwa kalian
memerlukan bekal di perjalanan kalian yang tidak terbatas
1927 waktunya. Mudah-mudahan hal itu dapat dimengerti, sehingga
kalian tidak akan mendapatkan hukuman yang terlampau berat."
Sejenak kedua orang yang telah merampok itu termangu-mangu.
Namun Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Aku tidak
mau mengalami nasib yang paling buruk."
"Jadi apakah yang akan kalian lakukan" Bukankah kau katakan
bahwa kalian tidak mempunyai pilihan lain?"
"Jika kami menghadap pimpinan kami yang memerintah
padepokan kami atas nama Empu Baladatu, bersama dengan
kalian." "Jadi?" "Tidak ada orang lain yang mengetahui perbuatan kami kecuali
kalian berdua." Kata-kata itu telah mengejutkan kedua orang yang menyusul
kedua perampok itu. Dengan ragu-ragu salah seorang dari mereka
bertanya, "Apa maksudmu?"
"Ki Sanak" berkata salah seorang dari kedua perampok itu, "aku
tahu bahwa kau bukannya dari gerombolan Serigala Putih dan
bukan pula dari gerombolan Macan Kumbang. Kami berdua sama
sekali belum pernah melihat kalian. Tetapi pengenalan sandi itu
menunjukkan kepada kami bahwa kalian pun tentu anak buah Empu
Baladatu." "Kau benar. Tetapi aku tidak tahu maksudmu sebenarnya."
"Maaf Ki Sanak. Seperti yang aku katakan, bahwa tidak ada
orang lain dari lingkungan Empu Baladatu yang mengetahui, apa
yang sudah kami lakukan berdua. Alasan kami memang seperti yang
kau katakan. Kami tidak mempunyai bekal sama sekali untuk
melakukan tugas kami. Nah, itulah sebabnya maka kami terpaksa
mencarinya." "Sudah aku katakan, bahwa aku mengerti."
1928 "Tidak cukup untuk sekedar mengerti."
"Aku berjanji bahwa aku akan berusaha meringankan tuduhan
apapun bagi kalian."
"Itu juga tidak cukup."
"Jadi apa yang harus kami lakukan?"
"Kalian tidak harus melakukan apa-apa. Itulah yang sebenarnya
kami kehendaki. Kalian jangan melakukan apa-apa. Tetapi
peringatan itu pun tidak cukup. Terus terang, kami bermaksud
meyakinkan diri kami, bahwa kalian tidak akan dapat lagi
menyampaikan hal ini kepada siapapun juga."
"Gila" geram salah seorang dari kedua orang yang menyusul
mereka, "aku jelas sekarang. Kalian berdua ingin membunuh kami"
Bukankah begitu?" "Terpaksa harus kami lakukan."
"Jangan menjadi gila Ki Sanak. Seandainya kalian berhasil,
namun kalian tidak akan dapat ingkar dari kekuasaan di belakang
setiap upacara penyerapan ilmu. Setiap orang yang melanggar
ketentuannya, akan binasa dengan cara apapun juga."
Kata-kata itu ternyata dapat mempengaruhi pikiran kedua orang
yang telah merampok itu. Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun kemudian mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat
melangkah surut lagi sehingga salah seorang dari keduanya berkata,
"Menyesal sekali. Upacara penyerapan ilmu itu, tentu sekedar
berlaku dalam penyerapan ilmu itu sendiri. Jika salah seorang dari
kami tidak percaya kuasa dari pada kekuasaan di belakang upacara
itu, maka siapa yang tidak percaya itu akan binasa seperti yang
pernah terjadi. Tetapi aku percaya sepenuhnya, dan karena itu,
maka ilmuku pun menjadi semakin meningkat. Karena itu, maka
tidak ada lagi hubungannya dengan perampokan yang kami
lakukan, karena kami sama sekali tidak menolak kepercayaan itu."
"Kau memang picik" jawab salah seorang dari kedua orang yang
menyusul, "tetapi baiklah. Jika memang demikian yang kau
1929 kehendaki, apa boleh buat. Tetapi kalian harus sadar, bahwa aku
akan melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupku. Dan
kalian pun harus menyadari, siapakah yang kalian hadapi sekarang."
"Kami sadar, yang kami hadapi sekarang adalah orang-orang
yang ingin mendapat pujian dengan mengorbankan orang lain tanpa
pertimbangan lagi." Kedua orang pengikut Empu Baladatu yang menyusul kedua
orang perampok itu benar-benar sudah kehilangan kesabaran.
Karena itu, maka mereka pun kemudian mengikat kuda mereka
pada batang-batang perdu sambil berkata, "Jika kau berhasil
membunuh kami berdua, maka kalian akan mendapatkan kuda kami
dengan semua perlengkapannya."
"Terima kasih" jawab salah seorang dari kedua orang yang
merampok itu. Sejenak kemudian, setelah kedua ekor kuda itu terikat, maka
keempat orang itu pun mulai mempersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kedua pengikut Empu
Baladatu yang menyusul kemudian itu merasa bahwa mereka adalah
murid-murid Empu Baladatu yang memiliki masa penyadapan ilmu
yang lebih lama. Sedangkan kedua orang yang telah merampok itu
merasa, bahwa mereka sudah memiliki bekal yang cukup, dan yang
kemudian diperkaya dengan ilmu yang diterimanya dari orang-orang
yang ditugaskan oleh Empu Baladatu.
Dengan demikian maka keempat orang itu merasa bahwa
masing-masing memiliki bekal yang cukup untuk mempertahankan
diri dan bahkan membinasakan lawannya.
Para pengikut Empu Baladatu yang menyusul kedua perampok
itu mulai memencar. Tetapi mereka sudah mendapatkan pesan,
agar mereka tidak meninggalkan bekas-bekas ilmu yang disebut
ilmu hitam, seperti juga kedua orang yang karena memerlukan
bekal perjalanan, telah melakukan perampokan itu.
Kedua belah pihak pun kemudian telah memilih lawan. .Satu-satu
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berdiri berhadapan.
1930 "Jadi, tidak ada cara lain kecuali cara ini?" bertanya pengikut Empu
Baladatu yang menyusul kedua perampok itu.
Salah seorang dari keduanya menjawab, "Sayang. Bagi kami,
jalan yang paling baik adalah membunuh kalian, karena jika kami
tidak melakukannya, kamilah yang akan menjadi korban karena
perbuatan kami. Meskipun yang kami lakukan sebenarnya juga
untuk kepentingan padepokan kami."
"Sebutlah, barangkali kami tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mendengar, dari padepokan manakah kalian berdua."
Salah seorang dari kedua perampok itu tertawa. Jawabnya, "Kau
sudah berputus asa. Baiklah, kami berdua datang dari Padepokan
Macan Kumbang. Kami akan meneruskan tugas kami setelah kami
membunuh kalian dan menguburkan di pinggir jalan ini sehingga
tidak seorang pun yang mengetahui apa yang telah terjadi. Kami
sebenarnya tidak memerlukan kedua ekor kuda kalian, tetapi kami
pun tidak mau mengalami akibat buruk karenanya. Jika ada orang
yang mengenal kuda itu sebagai milik kalian, maka akan datang
persoalan yang sama sekali tidak kami kehendaki. Karena itu, yang
paling baik bagi kami adalah membawa kuda kalian dan
mengikatnya di tengah-tengah hutan. Jika ada seekor harimau
membunuhnya, itu adalah hal yang paling baik.
Kedua pengikut Empu Baladatu itu mengerutkan keningnya.
Kemarahan yang melonjak di dadanya, hampir-hampir tidak dapat
dikendalikannya lagi. Namun mereka masih tetap berusaha untuk
tenang dan tidak kehilangan akal.
Namun demikian keduanya sudah bersiap untuk berbuat sesuatu
melawan kedua orang dari gerombolan Macan Kumbang itu.
"Nah, bersiaplah. Sudah tiba waktunya bagi kami untuk
melenyapkan semua bekas kejahatan yang kali ini kami lakukan,
karena Empu Baladatu tidak menghendakinya, karena
sebenarnyalah merampok adalah pekerjaan kami sehari-hari
sebelum Macan Kumbang dipersatukan dengan ilmu hitam yang
bersumber pada cabang perguruan Empu Baladatu."
1931 "Sayang" jawab salah seorang pengikut Empu Baladatu, "tetapi
baiklah kita saling menjajagi, apakah kalian benar-benar sudah
memiliki ilmu dari cabang perguruan Empu Baladatu itu."
Orang-orang Macan Kumbang itu tidak menjawab. Tetapi mereka
sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak mereka masih berdiri termangu-mangu. Namun salah
seorang pengikut Empu Baladatu itu pun agaknya sudah tidak sabar
lagi. Dengan hati-hati ia mulai melangkah maju, melontarkan
serangan meskipun tidak terlampau keras.
Tetapi gerak yang hati-hati itu telah menjadi isyarat bahwa
keempat orang itu segera terlibat dalam perkelahian yang semakin
lama semakin seru. Ternyata bahwa orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
itu bukannya orang-orang kebanyakan. Mereka telah memiliki bekal
yang cukup selama mereka mengembara di dalam lingkungan yang
gelap berdasarkan ilmu hitam meskipun dalam perkembangannya
menjadi berbeda dengan ilmu hitam cabang perguruan Empu
Baladatu. Sejenak mereka bertempur dengan sengitnya. Masing-masing
mencoba menjajagi kelemahan lawannya.
Namun demikian, para pengikut Empu Baladatu masih mencoba
untuk menyembunyikan ilmu mereka yang sebenarnya seperti yang
dipesankan kepadanya. Tetapi justru karena ada sesuatu yang harus
disimpan, maka para pengikut Empu Baladatu itu tidak dapat
melepaskah kemampuannya sekuat-kuat tingkat ilmunya. Meskipun
demikian, tetapi pertempuran digelapnya malam itu semakin lama
menjadi semakin dahsyat. Masing-masing mulai menunjukkan sikap
dan sifat mereka masing-masing. Semakin lama menjadi semakin
kasar. Satu-satu teriakan telah terlontar dari mulut keempat orang itu.
Mereka berloncatan diantara tanggul dan pematang ketika arena
perkelahian mereka menjadi semakin luas. Jalan di tengah bulak itu
1932 rasa-rasanya menjadi terlampau sempit dan sangat membatasi tata
gerak mereka. Para pengikut Empu Baladatu ternyata telah terbentur pada
kekuatan yang tidak terduga. Gabungan antara ilmu hitam yang
memang pada dasarnya dianut oleh orang-orang dari gerombolan
Macan Kumbang dan dasar-dasar ilmu Empu Baladatu, nampaknya
membuat orang-orang Macan Kumbang memiliki sesuatu yang
dapat mereka banggakan. "Sulit untuk mengalahkan orang-orang ini" berkata salah seorang
dari pengikut Empu Baladatu di dalam hatinya.
Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa mereka mulai
mengalami kesulitan. Orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikan apapun
juga yang ada pada mereka dalam tata gerak dan ilmunya.
"Tidak ada yang perlu disembunyikan" berkata mereka itu
kepada diri sendiri, "mereka sudah tahu siapakah kita, dan karena
itu, cara apapun juga dapat ditempuh."
Berbeda dengan mereka, para pengikut Empu Baladatu masih
saja terikat pesan, bahwa mereka tidak dibenarkan untuk
menunjukkan ciri-ciri tentang perguruannya.
Namun akhirnya, seperti juga orang-orang Macan Kumbang,
akhirnya mereka pun sampai pula pada suatu kesimpulan, bahwa
diantara mereka tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan pada
lawannya, karena lawannya itu pun sudah mengetahui sepenuhnya
tentang diri mereka berdua.
"Apakah artinya kami merahasiakan kemampuan kami terhadap
kedua orang dari gerombolan Macan Kumbang ini, "Tiba-tiba salah
seorang dari kedua orang itu berteriak.
"Ya. Dengan demikian kita akan terdesak terus, karena ada
sesuatu yang tidak kita pergunakan untuk melawan ilmu iblis yang
disadap dari tingkah laku harimau kumbang yang buas dan liar."
1933 "Kami adalah murid-murid Empu Baladatu" tiba-tiba salah
seorang dari kedua orang gerombolan Macan Kumbang itu
menyahut. "Ya. Murid yang sama sekali tidak patuh kepada gurunya. Dan itu
merupakan pantangan yang tidak terampuni."
"Hanya jika masih ada orang yang merendahkan dirinya, menjilat
kaki sekedar untuk mendapatkan pujian."
"Gila" teriak salah seorang pengikut Empu Baladatu
"Jadi itukah sikapmu dalam perguruan Empu Baladatu" Baiklah.
Sikap itu sudah cukup menjadi alasan, bahwa murid yang demikian
harus dimusnahkan." Salah seorang pengikut Empu Baladatu itu pun Tiba-tiba saja
menggeram. Ketika terdengar sebuah hentakkan gigi, maka tata
geraknya perlahan-lahan mulai berubah.
Kedua orang pengikut Empu Baladatu itu ternyata tidak lagi
berkeinginan untuk menyimpan ilmunya yang dapat menjadi ciri
perguruannya. Salah seorang dari mereka berkata
"Hanya kepada orang lain kami harus menyembunyikan diri, agar
jika terjadi sesuatu, mereka tidak langsung melemparkan kesalahan
kepada orang-orang yang mereka anggap berilmu hitam. Tetapi
terhadap murid-murid yang gila seperti ini, maka tidak ada pilihan
lain, justru dengan menunjukkan kebesaran ilmu dari perguruan
Empu Baladatu itu sendiri."
Kata-kata itu telah menyentuh perasaan kedua orang dari
gerombolan Macan Kumbang itu. Tetapi mereka tidak mempunyai
pilihan lain. Bahkan mereka pun kemudian mencoba membesarkan
hati masing-masing, "Ilmu yang mereka miliki bukannya ilmu iblis
yang tidak terkalahkan. Ilmu itu sudah kami kenal pula pada
beberapa bagiannya dengan penyadapan yang dilandasi korbankorban
darah. Tetapi kami masih memiliki kelebihan dari ilmu itu,
karena kami sudah mempelajari dasar ilmu kanuragan sebelumnya."
1934 Sejenak kemudian masing-masing pihak mulai dipengaruhi oleh
pengerahan ilmu masing-masing. Diantara mereka memang
terdapat beberapa persamaan ditingkat yang lebih tinggi.
Namun dengan demikian, perkelahian itu pun menjadi semakin
keras dan kasar. Masing-masing pihak mulai menampakkan
kemampuan mereka yang sebenarnya berdasarkan ilmu yang
mereka miliki. Kedua belah pihak telah mempelajari dasar-dasar ilmu Empu
Baladatu meskipun dalam ramuan yang berbeda, karena orangorang
Macan Kumbang memiliki dasar yang berbeda. Tetapi
perkembangan seterusnya, keduanya mempunyai banyak
persamaan. Kedua belah pihak mulai mengarah kepada gerak-gerak
putaran dengan ujung-ujung pisau belati yang dapat menyayat kulit
bagaikan terkelupas. "Tidak ada yang akan mengetahui akhir dari perkelahian ini
kecuali yang akan tetap hidup" mereka telah mendapatkan
kepastian di dalam diri, "yang mati akan mati dan akan dikuburkan
tanpa diketahui oleh orang lain."
Itulah sebabnya mereka bertempur dengan mempertaruhkan
segalanya yang ada, pada mereka.
Namun ternyata bahwa orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang akhirnya mengalami kesulitan. Ternyata para pengikut
Empu Baladatu mempunyai dasar pengalaman yang lebih luas di
dalam penggunaan ilmu hitam itu.
Ketika tubuh mereka mulai berkeringat, maka putaran-putaran
yang semakin cepat pun telah terjadi. Semua pihak mencoba
melibat lawannya dalam putaran angin pusaran. Tetapi orang-orang
yang menyusul para perampok dari padepokan Macan Kumbang itu
berhasil menguasai lawannya dan ujung pisaunya mulai menyentuh
lawannya. Orang-orang dari padepokan Macan Kumbang merasa bahwa
mereka akan kehilangan kesempatan untuk bertahan dalam putaran
1935 yang demikian. Itulah sebabnya ,mereka mulai mencari
kemungkinan lain dalam pertempuran yang semakin sengit itu.
Dengan serta merta salah seorang dari kedua orang gerombolan
Macan Kumbang itu meloncat sejauh-jauhnya menghindari putaran
lawannya yang semakin cepat. Sambil berteriak nyaring ia
mempersiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang bakal datang. Lawannya terkejut melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu.
Namun, ia pun segera mulai dengan ungkapan ilmunya, Dengan
serta merta ia pun mulai mencoba melingkari lawannya dengan
pisau belati teracung. Tetapi lawannya menyadarinya. Dengan cepatnya ia meloncat
memotong setiap usaha untuk mengitarinya. Bahkan dengan
serangan yang Tiba-tiba. Pengikut Empu Baladatu menjadi semakin marah. Ketika ia
mencoba melihat kawannya, ia masih tetap berhasil menguasai
lawannya dalam putaran yang semakin lama menjadi semakin
sempit. "Lawanku mulai menjadi gila dan liar" geramnya. Karena itulah
maka ia pun harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya. Tetapi lawannya pun tidak membiarkan dirinya terkurung lagi.
Itulah sebabnya maka ia pun selalu berusaha memecahkan ilmu
lawannya yang juga diketahuinya dengan pasti, karena ia sendiri
pun pernah mempelajarinya. Bahkan seperti juga lawannya, ia
mempelajari ilmu dari cabang perguruan Empu Baladatu dalam
upacaranya yang lengkap dan bersungguh-sungguh,
(Bersambung ke jilid 27) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
1936 Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1937 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 27 NAMUN DEMIKIAN, ternyata bahwa pertempuran itu tidak
berlangsung lebih lama lagi.
Meskipun salah seorang dari
padepokan Macan Kumbang itu berhasil selalu memotong
gerak lawannya dalam ilmu
puncak perguruan Empu Baladatu, namun pada suatu
saat, ia mendengar kawannya
menjerit ngeri. Yang terjadi kemudian bagaikan angin pusaran dalam
gelapnya malam. Namun ketika tiba-tiba saja pusaran
itu mengendor, tampak sesosok tubuh yang terjatuh
ditanah. Sesosok tubuh yang
sudah kehilangan bentuknya.
Kengerian yang sangat telah mencengkam jantung kawannya. Ia
sadar, bahwa ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk
menghindarkan diri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain yang
dapat dilakukan kecuali mati dengan dada tengadah.
Kepastiannya untuk mati itu ternyata telah memberikan justru
ketenangan kepadanya. Ia sempat melihat perhatian lawannya yang
1938 sebagian tertuju kepada kawannya .yang bagaikan batang yang
tumbang ditanah. Kesempatan itu pun dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan
serta-merta ia meloncat menerkam dengan ujung senjatanya. ,
Lawannya sempat melihat loncotan itu. T etapi ia terlambat untuk
membebaskan dirinya sama sekali, karena terasa sebuah goresan
dipunggungnya ketika ia meloncat ke samping sambil merendahkan
dirinya. Sebuah luka yang panjang membujur di punggung. Darah yang
merah mulai meleleh dari ujung luka. Semakin lama semakin
banyak. Lawannya tidak melepaskannya. Serangan berikutnya telah
menyambarnya. Tetapi sayang, lawannya itu agak tergesa-gesa,
sehingga serangannya kurang mengarah.
Tetapi, luka itu agaknya cukup parah. Dalam waktu yang singkat,
terasa tenaganya mulai surut, sehingga untuk menghindari
serangan-serangan berikutnya, terasa kakinya menjadi semakin
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berat. Namun dalam pada itu, kawannya yang telah menyelesaikan
pekerjaannya itu pun dengan buas telah meloncat ke dalam arena
perkelahiannya. Sambil menggeram ia bertanya, "Apakah masih
sanggup bertempur?" "Ya" jawab kawannya yang terluka itu.
Terdengar lawannya yang tinggal seorang itu menggeram. Mirip
seekor harimau yang kelaparan melihat seekor kancil melintas di
hadapannya. Sejenak kemudian, orang yang telah terluka dipunggungnya itu
mulai bertempur berpasangan. Meskipun lukanya mulai terasa
mengganggu, tetapi karena ia tidak seorang diri maka ia pun tidak
banyak mengalami kesulitan. Meskipun tidak terlampau cepat, maka
keduanya mulai bergerak dalam putaran yang mengelilingi lawannya
yang tinggal seorang diri.
1939 Tetapi lawannya masih sempat berpikir. Ia mempunyai
perhitungan yang baik atas kedua lawannya. Setiap kali ia berhasil
memotong putaran itu justru pada lawannya yang sudah terluka.
"Gila" geram lawannya yang masih mampu bertempur dengan
kekuatan seutuhnya, "aku akan membunuhnya. Berilah aku
kesempatan pertama. Dan kau harus berusaha menyesuaikan diri
sesuai dengan keadaanmu yang sudah terluka itu."
"Baiklah" jawab kawannya, "lakukanlah yang baik bagi kita.
Ternyata orang ini nampaknya ingin mengalami nasib yang lebih
buruk dari kawannya."
Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu menggeram pula.
Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk mati.
Ketika perkelahian telah berkobar semakin seru, maka orang dari
gerombolan Macan Kumbang itu merasa semakin terdesak.
Lawannya yang seorang selalu berusaha mengitarinya, sedang yang
lain menyerang dengan tiba-tiba, justru pada saat-saat ia berusaha
memotong putaran yang serasa menjadi semakin cepat.
Tetapi tidak ada jalan lagi baginya. Meskipun ia mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya, namun akhirnya ia merasa
bahwa maut seolah-olah telah menari-nari disekelilingnya bersama
dengan serangan-serangan lawannya yang semakin dahsyat.
Namun dalam keadaan yang paling parah, ia mendengar
lawannya berkata, "Jangan bunuh dengan cara yang baru saja kita
lakukan." "Kenapa?" bertanya yang terluka.
"Dengan demikian maka ia harus kita kuburkan tanpa diketahui
oleh siapapun juga."
"Jadi?" "Kita bunuh dengan cara lain. Mayatnya akan kita biarkan saja
terkapar sehingga ada orang yang mengetahui, bahwa seorang dari
gerombolan Macan Kumbang telah mati,"
1940 "Persetan" teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu
sendiri dengan kemarahan yang meledak-ledak.
"Sebaiknya kita bawa mayatnya kedekat sarangnya Dengan
demikian maka mayatnya akan jatuh ketangan orangi Macan
Kumbang sendiri tanpa mengetahui siapakah yang telah
membunuhnya. Jika mereka melihat barang hasil rampokannya,
maka kawan-kawannya akan menyadari, apakah yang sebenarnya
telah terjadi." "Gila" teriak orang dari gerombolan Macan Kumbang itu, "akulah
yang akan membunuh kalian."
Tetapi pertempuran itu semakin lama semakin meyakinkan.
Meskipun kedua orang pengikut langsung Empu Baladatu itu tidak
mempergunakan ilmu puncak dari ilmu hitam, namun keduanya
masih mampu membuat lawannya yang lelah itu kebingungan dan
semakin lama menjadi semakin kehilangan daya perlawanannya.
"Hati-hati, jangan timbulkan kesan bahwa kitalah yang telah
membunuh. Lukanya harus mempunyai ciri yang lain."
"Jadi?" "Biarlah ia lelah dan kemudian pingsan. Kita akan menentukan,
bentuk luka yang bagaimanakah yang sebaiknya kali ini kita pasang
pada tubuhnya." Pembicaraan itu benar-benar suatu penghinaan yang tidak ada
tatanya. Tetapi ia tidak kuasa untuk berbuat apapun juga, selain
berusaha untuk bertempur terus.
Sekali-kali ia juga mencari kemungkinan lain. Tetapi untuk
melarikan diri, nampaknya terlampau sulit baginya, karena kedua
lawannya tentu akan mengejarnya dan membunuhnya Seperti yang
direncanakannya. Itulah sebabnya maka ia, masih bertempur terus. Lawanlawannya
yang akan dibunuhnya itu tentu bukannya dua orang
pengampun yang melupakan ancaman yang pernah terlontar dari
mulutnya. 1941 Dan akhir itu pun kemudian benar-benar datang. Orang dari
gerombolan Macan Kumbang itu semakin lama menjadi semakin
lemah. Betapapun juga, ia tidak akan mampu melawan dua orang
lawan meskipun yang seorang sudah terluka.
Dalam keadaan yang paling pahit ia kemudian kehilangan: semua
kesempatan. Ternyata lawannya sama sekali tidak mempergunakan
senjatanya. Serangan mereka datang dari beberapa arah justru
dengan genggaman atau sisi telapak tangan.
"Gila" orang itu berteriak.
Tetapi kedua lawannya sama sekali tidak menghiraukannya.
Mereka benar-benar ingin menyelesaikan pekerjaan mereka dengan
sebaik-baiknya. Membunuh lawannya tanpa meninggalkan luka
senjata. Ketika kemudian, tenaganya tidak lagi mampu mendukung
kemauannya, maka orang itu pun bagaikan telah kehilangan tulang
belulangnya. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya tanpa
hentakkan lawannya. Meskipun ia masih selalu mencoba bangkit,
namun seakan-akan keseimbangannya telah kabur sama sekali.
"Kau sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa" desis lawannya
yang terluka. Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu benar-benar tidak
mampu berbuat apa-apa. Betapapun tinggi daya ketahanan
Lubuhnya, tetapi tangan-tangan yang menghantam tubuhnya itu
pun didorong oleh kekuatan yang luar biasa pula.
Itulah sebabnya orang itu sama sekali tidak dapat lagi melawan
ketika ia harus mati karena pernafasannya yang tersumbat.
"Apa yang akan kita lakukan atas orang ini," bertanya yang telah
terluka. "Kita letakkan di dekat sarang mereka, agar kematiannya
menjadi masalah. Kita letakkan barang-barang hasil rampokannya."
jawab yang lain. 1942 "Tetapi bagaimanakah jika justru jatuh ketangan orang lain yang
menjumpainya lebih dahulu dari orang-orang Macan Kumbang
sendiri." "Kita akan mengawasinya dan meyakini bahwa mayat dan
barang-barang itu akan jatuh ketangan orang-orang Macan
Kumbang sendiri." "Itu berarti tugas kita sendiri akan tertunda."
"Tidak banyak artinya. Mungkin tertunda satu dua hari. Tetapi
tugas kita tidak terbatas waktu."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil
memandang mayat yang sesosok dengan bekas-bekas tangan ilmu
hitam ia berkata, "Dan orang ini?"
"Kita kuburkan saja disini. Tidak seorang pun boleh mengetahui,
bahwa kekuatan yang disebut kekuatan hitam itu kini sedang
berkeliaran." Dengan alat yang ada, maka kedua orang itu pun mulai menggali
lubang dan memasukkan mayat yang sudah tidak berbentuk itu
kedalamnya, dibalik semak-semak yang rimbun.
"Bagaimanakah jika besok ada orang yang mencurigai tanah
yang nampak baru ini?"
"Kita akan melenyapkan semua bekas. Semak-semak itu akan
melindunginya." Demikianlah keduanya pun kemudian berusaha untuk
memulihkan semak-semak itu sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan lagi, sementara mayat yang lain telah mereka
sangkutkan pada punggung kuda dan membawanya mendekati
sarang gerombolan Macan Kumbang.
Seperti yang mereka perhitungkan, maka menjelang pagi mereka
baru mendekati tempat yang mereka tuju. Sejenak mereka
membiarkan kuda-kuda mereka melepaskan lelah setelah
menempuh perjalanan yaang cukup jauh.
1943 "Kita tidak dapat maju lagi. Disiang hari, jika kita berpapasan
dengan seseorang, maka mayat itu akan dapat menimbulkan
kecurigaan." Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jaraknya tidak
begitu jauh lagi." Sejenak keduanya termangu-mangu. Tetapi mereka tidak berani
lagi memaksa kuda mereka berpacu. Kuda mereka cukup lelah, dan
hari pun sudah menjadi semakin terang.
"Kita akan menunggu sehari di sini."
"Dengan sesosok mayat"
Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada datar,
"Apaboleh buat."
Dengan keluhan panjang, maka kawannya pun kemudian
mengangkat mayat itu dari punggung kudanya dan
membaringkannya di atas rerumputan di dalam sebuah hutan kecil.
Kemudian diikatnya kudanya dengan tali yang panjang, agar kuda
itu sempat makan rerumputan sepuas-puasnya.
"Aku akan membuat api" berkata orang yang terluka.
"Nanti, jika matahari sudah naik."
"Aku lapar sekali, dan tubuhku terasa dingin sekali."
"Aku akan mengobati lukamu. Mungkin luka itu berpengaruh
meskipun sudah tidak berdarah lagi."
Dengan serbuk yang berwarna kehitam-hitaman maka luka itu
pun diobatinya, sehingga perasaan pedih menjadi jauh berkurang.
Baru ketika matahari menjadi semakin tinggi, kedua orang itu
mencoba membuat api. Mereka berusaha untuk langsung
menyalakan dedaunan dan ranting-ranting yang kering agar tidak
banyak melemparkan asap keudara sehingga dapat menumbuhkan
kecurigaan orang-orang yang melihat dari kejauhan.
1944 "Aku masih mempunyai beberapa potong jadah dan jenang alot"
desis yang seorang. "Aku sama sekali tidak. Tetapi dihutan ini tentu tersimpan
makanan yang dapat kita pergunakan untuk mengisi perut kita
sehari ini." Yang lain mengangguk-angguk. Dan dibiarkannya kawannya itu
melangkah beberapa langkah sambil menjinjing sumpitnya.
Ternyata kawannya adalah seorang yang pandai membidik.
Dalam waktu yang s ingkat, ia telah datang lagi membawa beberapa
ekor burung yang berhasil disumpitnya.
"Jika kau masih juga lapar, aku akan berburu dengan panah"
katanya. Kawannya tersenyum. Tetapi diluar sadarnya ia berpaling kepada
sesosok mayat yang terbaring.
"Kita akan menangkap seekor harimau atau justru seekor
harimau akan mencuri harta kita itu."
"Tidak kedua-duanya" jawab yang lain, lalu, "tetapi berapa ekor
burung ini aku rasa sudah cukup."
Demikianlah mereka terpaksa menunggu sehari sambil
beristirahat, sebelum pada malam berikutnya mereka mendekat
lebih rapat lagi dengan sarang gerombolan Macan Kumbang.
"Jalan ini adalah jalan tunggal menuju kepadepokan itu" desis
salah seorang dari keduanya.
"Kita, berhenti disini" jawab yang lain.
Keduanya pun kemudian berhenti sejenak. Mereka menunggu
kesempatan yang sebaik-baiknya untuk dapat mendekati padepokan
dan meletakkan mayat itu dimulut padepokan.
"Tidak mungkin terlalu dekat" berkata yang seorang
"Di dalam regol itu tentu ada, beberapa orang penjaga."
1945 Tetapi yang lain masih akan mencoba mendekat, katanya
"Kita dapat menyusur gerumbul-gerumbul di tepi jalan sebelum
kita meletakkannya di regol itu."
Demikianlah dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha
mendekat dan kemudian meletakkan mayat itu di depan regol tanpa
diketahui oleh orang-orang yang memang sedang berjaga-jaga.
tetapi di dalam regol yang tertutup.
Seperti yang diharapkan, maka di pagi-pagi benar, seorang yang
mula-mula sekali membuka regol dinding padepokan untuk pergi ke
sungai diluar regol telah menemukan mayat itu.
Suasana Padepokan Macan Kumbang itu pun segera menjadi
gempar. Orang-orang yang tidak sedang bertugas keluar, dengan
penuh ketegangan, mengangkat mayat itu dan membawanya
kerumah induk di padepokan itu.
"Ya" desis salah seorang dari mereka, "orang ini adalah kawan
kita." "Ya," sudah tentu. Kawan sebilikku. Ia memang sedang bertugas
untuk mencari beberapa keterangan tentang beberapa nama yang
diperlukan oleh Empu Baladatu."
Orang yang ditugaskan oleh Empu Baladatu di padepokan Macan
Kumbang itu pun mulai melihat-lihat mayat itu. Ia tidak melihat
tanda-tanda yang menunjukkan kepadanya, siapakah yang telah
membunuh orang dari gerombolan Macan Kumbang itu. Namun di
dekat mayat itu ia menemukan beberapa jenis barang yang sudah
pasti bukan milik orang yang terbunuh itu.
"Tidak ada bekas luka" desis seseorang. Yang lain menganggukangguk.
"Tentu ada sesuatu yang telah terjadi dengan orang ini" berkata
pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang ditugaskan oleh Empu
Baladatu dipadepokan itu, "barang-barang ini agaknya bukan
barang-barang yang didapatnya dengan wajar. Agaknya orang ini
sudah melanggar pesan, agar tidak melakukan tindakan yang dapat
1946 memanggil kecurigaan orang lain, terutama para petugas dari
Singasari." "Apakah orang ini telah dibunuh oleh prajurit-prajurit Singasari?"
bertanya salah seorang dari kawan-kawannya.
Pemimpin itu menggeleng. Jawabnya, "Tentu tidak. Tetapi
menilik keadaannya, agaknya ia mati karena tingkah lakunya
sendiri." "Maksudnya?" Beberapa orang ter-mangu-mangu.
"Apakah orang ini kena kutuk seperti beberapa orang yang
pernah meninggal sebelumnya?"
Pemimpin padepokan yang mewakili Empu Baladatu itu raguragu
sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil.
Katanya, "Mungkin sekali. Agaknya ia sudah melanggar pesan yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku berikan ketika ia berangkat."
"Pesan apakah yang telah dilanggarnya?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik barang-barang yang ada
didekat mayat itu, tentu ia sudah mendapatkan barang-barang itu
dengan cara yang tidak pantas."
"Merampok?" bertanya yang lain. Pemimpin padepokan itu
mengangguk. Namun dalam pada itu terdengar salah seorang yang lain
berkata,, "Tetapi pekerjaan semacam itu sudah kita lakukan untuk
waktu yang lama." "Jagalah dirimu dari bencana yang serupa" desis pemimpin
padepokan itu, "aku tahu bahwa kalian adalah segerombolan
perampok. Bahkan aku tahu bahwa gerombolan Macan Kumbang
telah bersaing untuk waktu yang lama dengan gerombolan Serigala
Putih. Setiap benturan kekerasan telah merenggut banyak korban.
Tetapi korban-korban itu adalah korban yang jatuh dengan wajar."
Orang-orang yang mendengarnya termangu-mangu.
1947 "Tetapi pada suatu saat kalian menjumpai korban yang jatuh
dengan cara yang lain. Termasuk orang yang mati di depan regol
itu, karena ia sudah melanggar pesan bahwa di saat ini kita harus
berbuat sangat hati-hati."
Orang-orang yang mendengarkannya dengan cemas memaksa
diri untuk mempercayai setiap keterangan itu, sebab mereka tidak
mau menjadi korban pula seperti orang-orang yang pernah mati
sebelumnya tanpa sebab dan bekas-bekas luka yang menunjukkan
sebab-sebab kematian mereka.
"Sudahlah" berkata pemimpin itu, "selenggarakan mayat itu
sebaik-baiknya. Kita harus menyadap pengalaman pahit ini."
Demikianlah orang-orang Macan Kumbang yang ada dipadepokan
itu pun menyelenggarakan mayat kawan mereka yang terbunuh.
Namun sudah barang tentu bahwa berita tentang kematian itu
segera menjalar keluar padepokan. Kabar itu segera sampai
ketelinga orang-orang yang dalam hubungan sehari-hari sering
bergaul dengan orang-orang Macan Kumbang. Sehingga dengan
demikian, maka berita tentang kematian itu pun segera tersebar di
antara mereka. "Setiap penyimpangan dari pesan-pesan Empu Baladatu,
akibatnya adalah maut."
Peringatan itulah yang kemudian sampai kesetiap telinga orangorang
yang menjalankan tugas dari Empu Baladatu dan orang-orang
yang mendapat kuasanya. Namun dengan demikian, maka tugas mereka pun sama sekali
tidak menarik perhatian pihak lain karena dapat mereka lakukan
dengan diam-diam. Meskipun memerlukan waktu, namun akhirnya usaha Empu
Baladatu itu pun berhasil meskipun belum seluruhnya. Seorang
petugas yang berasal dari gerombolan Serigala Putih, yang
melakukan perjalanan sebagai seorang pengemis, mendapatkan
beberapa keterangan tentang orang yang bernama Linggadadi.
1948 "Keterangan itu perlu dilengkapi" berkata orang itu kepada Kiai
Dulang. "Ya. Tetapi keteranganmu penting artinya bagi kami. Dengan
demikian, kami sudah mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang
bernama Linggadadi itu."
"Sebagian daripadanya."
"Kita akan menyebarkan beberapa orang untuk menyelidiki
keadaannya lebih lanjut."
Tetapi karena penyelidikan berikutnya menjadi lebih sulit, Kiai
Dulang tidak berani berbuat tergesa-gesa. Ia pun kemudian
memerlukan pergi sendiri menemui Empu Baladatu.
"Agaknya Empu dapat membatasi daerah penyelidikan."
"Tentang Linggadadi" berkata Empu Baladatu, "sementara
tentang Mahisa Bungalan pun telah aku dengar beritanya."
"O" desis Kiai Dulang yang datang keperguruan Empu Baladatu.
"Mahisa Bungalan telah berada di Kota Raja. Tetapi ia berada
dalam lingkungan yang sulit karena ia berada di bangsal Mahisa
Agni di dalam istana."
Kiai Dulang mengangguk-angguk.
"Tetapi dengan demikian, justru keadaan Linggadadi lah yang
harus mendapat banyak perhatian. Nampaknya ada perbedaan cara
dan sikap antara Mahisa Bungalan dan Linggadadi meskipun keduaduanya
disebut pembunuh orang berilmu hitam."
Kiai Dulang mengangguk-angguk.
"Nah. Jika demikian, nampaknya kau sendirilah yang wajib pergi
ke Mahibit untuk mengetahui lebih jelas tentang Linggadadi. Tetapi
yang jelas ia bukan seorang yang dapat kita selesaikan dengan
mudah." Kiai Dulang mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah Empu ,
Aku akan pergi ke Mahibit dengan cara yang sama seperti yang
1949 pernah dilakukan oleh orang yang dapat mengenali Linggadadi
meskipun hanya dari ciri-cirinya, dan barangkali dari namanya yang
disebut oleh beberapa orang disekitarnya."
"Hati-hatilah. Linggadadi adalah orang yang sangat licik."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, "Tetapi aku mohon Empu
meletakkan seorang penghubung di padepokan Serigala Putih,
sehingga aku akan dapat menemuinya setiap saat aku perlukan."
Serahkan padepokan itu untuk sementara kepada Kiai Ungkih
dipadepokan Macan Kumbang. Ia akan mewakilimu sehingga
sekaligus ia akan berada dikedua padepokan itu."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya,
"Sukurlah jika ia dapat melakukannya dengan baik. Tetapi
sebenarnyalah bahwa sulit untuk menguasai kedua padepokan itu
sekaligus." "Apakah keduanya masih tetap bermusuhan?"
"Tidak. Tetapi akibat permusuhan yang lama itu masih terasa.
Namun yang sulit adalah, bahwa mereka tidak terpisah sepenuhnya
dari masarakat di sekitarnya. Dengan demikian kadang-kadang
masih ada sesuatu yang merembes memasuki padepokanpadepokan
itu, tetapi juga sebaliknya ada sesuatu yang kadangkadang
merembes keluar." "Kau tidak mencegahnya selama ini?"
"Aku sudah berusaha. Kiai Ungkih pun sudah berusaha pula
Namun kami belum yakin, bahwa usaha kami berhasil sepenuhnya.
Itulah sebabnya, maka di kedua padepokan itu perlu pengawaspengawas
khusus yang dapat menekuni keadaan mereka setiap
hari." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Selama
kau tidak ada dipadepokan Serigala Putih, aku akan mengirimkan
seorang yang akan bertugas menggantikan kedudukan selama kau
pergi." 1950 "Orang itu harus ada disana sebelum aku berangkat."
Demikianlah ketika Kiai Dulang kembali ke padepokannya, ia
pergi bersama seseorang yang akan bertugas menggantikannya di
padepokan Serigala Putih. Seorang yang masih lebih muda dan
menilik sorot mata di wajahnya, orang itu memiliki ketajaman
pikiran dan terlebih-lebih, nampaknya ia tidak pernah ragu-ragu
untuk melakukan sesuatu tindakan.
Kepada orang-orang dari padepokan Serigala Putih, kawan Kiai
Dulang itu diperkenalkan dengan nama Wangking, yang diterima
dengan penuh keragu-raguan.
"Nampaknya orang itu mempunyai perbedaan sikap dan cara dari
Kiai Dulang" berkata seorang yang bertubuh tinggi.
"Apapun yang akan dilakukan selama ia masih berusaha
memperbaiki keadaan kita, maka kita akan menerimanya dengan
senang hati. Tetapi jika yang dilakukan kemudian menyimpang,
maka sudah tentu kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan
baru." "Kau tidak takut kepada kemurkaan sumber ilmu yang; kau
sadap sekarang jika kau mempunyai sikap yang lain dari s ikap Empu
Baladatu?" "Aku mempercayai perkembangan ilmu dengan cara yang aku
tempuh sekarang. Dengan demikian justru semua tindakanku akan
direstuinya jika aku yakin bahwa aku berdiri dipihak yang benar.
Hanya orang-orang yang meragukan limpahan kekuasaan ilmu
itulah yang akan mengalami bencana. Kematian tanpa sebab. Tetapi
yang akan persoalkan sekarang bukannya mengenai sumber ilmu
dan tata cara pelimpahannya. Tetapi cara manusia wadag
memerintah kami." Seandainya demikian, apakah orang-orang dari gerombolan
Serigala Putih itu mampu melakukan sesuatu untuk memaksakan
perubahan masih harus dipertimbangkan pula, sehingga orang yang
ragu-ragu itu pun semakin menjadi ragu-ragu. Katanya, "Manusia
wadag yang memerintah kami memiliki kekuasaan seperti yang
1951 berada didalam sumber ilmu itu sendiri. Kekuasaan yang tidak dapat
kami tentang dengan kekuatan apapun. Seandainya orang yang kau
sebut wadag itu tidak sesuai dengan keinginanmu, apakah yang
akan kau lakukan" Membunuh diri?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku masih
mengharapkan bahwa ilmu kita semuanya akan berkembang terus.
Dengan penuh kepercayaan aku akan menyadap ilmu itu sampai
tuntas, sehingga dalam lingkungan ini aku tidak akan sekedar
menjadi orang yang berdiri dideret yang paling belakang."
Yang lain tidak menjawab lagi, meskipun kepalanya teranggukangguk
lemah. Dalam pada itu, maka Kiai Dulang pun segera menyampaikan
keputusan Empu Baladatu, bahwa ia harus menyerahkan pimpinan
padepokan itu kepada Wangking
"Hanya untuk sementara" berkata Kiai Dulang, "pada saatnya aku
akan kembali dan berada di antara kalian lagi, terutama pada saatsaat
bulan purnama, di mana kita bersama-sama bersujud untuk
menyadap ilmu kanuragan yang tiada duanya di muka bumi."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih pun menganggukangguk
perlahan-lahan. Tetapi nampak disorot mata mereka, bahwa
sebenarnya mereka mengharap, lebih Kiai Dulang itu tetap berada
di antara mereka daripada orang baru yang belum dikenal itu, tetapi
yang menurut ujud lahiriahnya, sudah memberikan kesan yang
mencemaskan. "Mudah-mudahan semua tugas selesai, dan kita semuanya, tanpa
kecuali sempat berkumpul lagi. Kawan-kawan yang berkeliaran
dalam tugas itu akan berkumpul dan bersama-sama melagukan
kidung pujian bagi kekuasaan di belakang kekuatan ilmu kita.
Meskipun orang lain menyebutnya dengan ilmu hitam, namun
ternyata bahwa pada suatu saat ilmu ini akan menguasai seluruh
permukaan bumi, justru karena ilmu ini adalah ilmu hitam. Ilmu
yang memiliki kemampuan melampaui segala macam ilmu
1952 kanuragan yang lain, yang sekedar didukung oleh kemampuan
jasmaniah wantah belaka."
Orang-orang Serigala Putih itu mengangguk-angguk.
"Nah, kalian harus tetap bertekun dalam menyadap ilmu. Pada
saatnya kalian akan berterima kasih kepada Empu Baladatu bahwa
kalian adalah murid-muridnya yang terpercaya. Yang pada saatnya
akan menyebarkan ilmu yang kalian dapatkan kepada orang-orang
lain. Kepada murid-murid kalian."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu masih
mengangguk-angguk. "Nah" berkata Kiai Dulang, "sejak sekarang, kalian berada dalam
pimpinan Wangking dipadepokan ini."
Semua orang memandang kepada orang yang disebut Wangking
itu. Orang yang memiliki ciri-ciri yang berbeda dari Kiai Dulang.
Wangking yang berdiri di samping Kilai Dulang termangu-mangu
sejenak. Kemudian ia berkata dengan nada yang berat datar, "Aku
terima tugas ini. Siapa yang membantu akan mendapatkan
kesempatan yang baik untuk seterusnya. Tetapi siapa yang
mencoba menghambat kewajibanku, maka aku akan
menyingkirkannya menurut caraku. Apakah kalian mendengar katakataku?"
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menahan nafas
sejenak. Tetapi orang yang bernama Wangking itu tidak berkata
lebih panjang lagi. Demikianlah maka Kiai Dulang pun segera menyiapkan diri untuk
meninggalkan padepokannya. Ia sengaja tidak membawa seorang
pengawal pun agar ia dapat menjadikan dirinya seorang pemintaminta
yang berkeliaran sesuai dengan petunjuk laporan yang telah
diterimanya tentang Linggadadi.
Tetapi sementara Kiai Dulang masih belum beranjak dari
padepokan itu, maka seorang petugas yang lain telah datang
1953 membawa laporan tentang orang lain yang disebut pula oleh Empu
Baladatu. "Siapa?" bertanya Kiai Dulang.
"Kakak kandung Empu Baladatu."
"Empu Sanggadaru maksudmu?"
"Ya Kiai." Tetapi Kiai Dulang menggelengkan kepalanya sambil berkata,
"Biar sajalah dahulu. Padepokan itu tidak akan bergerak. Empu
Sanggadaru tidak lagi memiliki gairah kehidupan yang menyala
seperti Empu Baladatu. Seandainya ada api didalam dadanya, api itu
agaknya sudah padam."
"Kiai salah" sahut petugas itu, "Empu Baladatu melihat
padepokan itu hanya sekilas. Sekarang ternyata bahwa padepokan
itu adalah padepokan yang hidup dan berkembang"
"Kenapa kau dapat berkata begitu?"
"Nampaknya latihan-latihan olah kanuragan gelombangnya
diperpendek. Jumlah murid-murid yang disebutnya cantrik itu pun
semakin bertambah pula. Bahkan Empu Sanggadaru kadang-kadang
melakukan latihan bersama murid-muridnya di luar padepokan."
"Apa yang dilakukan di luar padepokan?"
"Meskipun nampaknya seperti permainan kanak-kanak, tetapi aku
kira merupakan latihan yang penting."
"Ya, apa?" "Berjalan-jalan.. "He, kau mengingau" Kenapa mereka harus melatih diri berjalanjalan."
"Semula aku tidak menghiraukan cara yang dilakukannya itu.
Tetapi setelah aku melihatnya beberapa kali, aku mulai tertarik
kepada cara yang dipergunakannya itu."
1954 "Apakah anehnya orang berjalan-jalan didalam hubungannya
dengan rencana Empu Baladatu?"
"Empu Sanggadaru tidak hanya sekedar berjalan-jalan di sinar
matahari pagi. Tetapi Empu Sanggadaru berjalan semalam tanpa
berhenti." "He?" Kiai Dulang menjadi heran, sehingga matanya terbelalak.
Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Sehari Semalam?"
"Ya. Tanpa berhenti. Menjelang fajar Empu Sanggadaru dengan
beberapa orang cantriknya keluar dari padepokan. Mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempuh jalan pegunungan yang turun naik, menyusuri jalanjalan
sempit di lereng dan lembah."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, "Jika mereka
berjalan-jalan sehari semalam tanpa berhenti, maka perguruan itu
memang perlu mendapat perhatian. Aku kira berjalan tidak lebih
sampai matahari sepenggalah."
"Lalu, apakah Kiai Dulang akan melihat pula" Mereka berlatih
tidak setiap hari. Tetapi setiap sepekan sekali."
"Hari-hari lain tentu dipergunakan untuk latihan kecepatan,
sedang berjalan sehari semalam itu merupakan latihan mereka
untuk menjaga ketahanan tubuh dan pernafasan."
"Apakah rencana Kiai kemudian."
"Baiklah. Aku akan ke Mahibit sekaligus melihat perkembangan
padepokan Empu Sanggadaru yang menarik itu. Mungkin karena ia
merasa cemas, bahwa adiknya telah berhasil menguasai gerombolan
Serigala Putih yang pernah bermusuhan dengan padepokannya.
Apalagi bersama-sama dengan gerombolan Macan kumbang
sehingga padepokan itu merasa dirinya terancam."
"Tetapi jumlah para cantrik itu begitu banyak."
"Ya Bagaimanapun juga padepokan itu masih belum sampai pada
tingkat yang berbahaya, seperti juga Mahisa Bungalan yang tidak
mempunyai kekuatan tertentu diluar dirinya sendiri. Mungkin ia
1955 dapat menggerakkan beberapa orang dibantu oleh beberapa orang
prajurit. Tetapi untuk membawa sepasukan prajurit tentu diperlukan
alasan yang cukup kuat."
"Apakah dengan demikian menurut pertimbangan Kiai,
Linggadadi tetap merupakan orang yang paling berbahaya?"
"Ya. Jika kita ingin mulai, maka kita akan mulai dengan daerah
Mahibit yang tentu merupakan kelompok yang cukup kuat."
"Terserahlah kepada Kiai. Kami menjalankan semua tugas."
"Wangking akan mengatur segala sesuatu bagi kalian."
Demikianlah, maka Kiai Dulang pun segera meninggalkan
padepokan. Ternyata bahwa padepokan Empu Sanggadaru pun
telah menarik perhatiannya sehingga dalam perjalanannya menuju
ke Mahibit, untuk melihat kekuatan yang sebenarnya dari orang
yang bernama Linggadadi, pembunuh orang berilmu hitam, ia pun
ingin melihat perkembangan sikap padepokan Empu Sanggadaru.
"Tetapi kekuatan di padepokan itu tidak berarti apa-apa bagi
Empu Baladatu, apalagi bersama denean kekuatan Serigala Putih
dan Macan Kumbang." berkata Kiai Dulang di dalam hati. Namun
demikian ada juga keinginannya untuk melihat cara Empu
Sanggadaru melatih para cantriknya di luar dan apabila mungkin di
dalam padepokannya. Mendekati padepokan Empu Sanggadaru, Kiai Dulang menjadi
semakin berhati-hati. Ia menunggu agak jauh dari padepokan.
Sesuai dengan keterangan yang didapatnya, maka ia berada dijalur
jalan yang selalu dilalui Empu Sanggadaru dan para cantriknya
apabila mereka pergi berjalan-jalan.
"Aku pun mampu berjalan sehari semalam" desis Kiai Dulang,
"aku ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan sepanjang
perjalanan sehari semalam itu."
Ternyata bahwa Kiai Dulang terpaksa menunggu dua malam
berturut-turut. Baru di hari ketiga ia melihat Empu Sanggadaru
dalam pakaiannya sebagai seorang pemburu, keluar dari regol
1956 padepokannya diiringi oleh sepuluh orang cantriknya. Di antara
mereka terdapat dua orang anak yang lincah dan cekatan.
"Hanya sepuluh orang" desis Kiai Dulang, "kenapa pengawas itu
merasa cemas dengan hanya sepuluh orang ini"
Namun dari pengawasnya itu, Kiai Dulang mendapat laporan
bahwa yang pernah dilihat oleh pengawasnya itu, jumlah orang
yang ikut dalam latihan yang khusus tidak tetap. Bahkan pernah
orang itu melihat dua puluh lima orang cantrik pergi bersama-sama.
Dalam pada itu, dari jarak yang agak jauh, Kiai Dulang mencoba
mengikuti. Jika iring-iringan itu tidak lagi nampak, maka Kiai Dulang
hanya mengikuti jejaknya saja. Tetapi beberapa saat kemudian, jika
iring-iringan itu menuruni lembah, maka Kiai Dulang dapat melihat
mereka dan berusaha untuk mendekatinya, tetapi tanpa diketahui
oleh orang-orang yang diikutinya itu.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh pengawasnya. Iring-iringan
itu benar-benar tidak pernah berhenti sama sekali. Mereka menuruni
lembah dan memanjat tebing yang betapapun juga curamnya.
Tanpa berhenti, seperti perjalanan matahari.
"Gila" geram Kiai Dulang, "aku tahan berjalan sehari semalam,
tetapi tidak melalui jalan seperti ini.
Meskipun demikian Kiai Dulang tidak juga berhenti. Ia masih
ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh para cantrik dari
padepokan Empu Sanggadaru itu.
"Tentu pengawas yang pernah melaporkan bahwa iring iringan
itu tidak pernah berhenti hanyalah dugaannya saja. Tentu ia tidak
akan sanggup mengikuti iring-iringan itu sampai mereka kembali
kepadepokan." berkata Kiai Dulang kepada diri sendiri ketika ia
sudah hampir tidak kuat lagi untuk maju.
Tetapi iring-iringan itu berjalan terus. Dan Kiai Dulang masih
ingin mengerahkan sisa tenaganya.
1957 Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat
iring-iringan itu mulai mendaki lereng perbukitan setelah mereka
berjalan di sepanjang lembah berbatu-batu padas.
"Apakah aku masih akan dapat mengikuti mereka" bertanya Kiai
Dulang kepada diri sendiri. Ketika ia menengadahkan kepalanya
dilihatnya matahari masih cukup tinggi.
"Mereka masih akan berjalan di s isa hari ini dan semalam suntuk"
desis Kiai Dulang. Namun yang kemudian dibantahnya sendiri,
"tentu tidak mungkin. Mereka tidak akan berjalan dimalam hari.
Pengawas itu tidak menyaksikannya, sehingga ia hanya mengatakan
saja menurut angan-angannya."
Namun Kiai Dulang pun kemudian terkejut ketika ia melihat
dikejauhan, dilereng batu-batu padas yang menjorok. Mereka
berloncat-loncatan seperti kanak-kanak yang dilepas di taman yang
berbunga-bunga di atas rerumputan yang hijau segar.
"Gila" geram Kiai Dulang, "anak itu masih mampu berlari,
berloncatan dari batu besar kebatu yang lain, menelusuri jalan-jalan
mendaki dan kemudian berlari turun kembali menyongsong
kawananya yang lain."
Sebenarnyalah, bahwa dari balik rimbunnya dedaunan di lembah,
Kiai Dulang melihat dua orang anak muda yang agak lain dari
cantrik-cantrik yang ikut serta dalam perjalanan itu. Keduanya
nampak bebas dan gembira. Seolah-olalh ia tidak sedang berada
didalam suatu lingkungan para cantrik yang sedang mengadakan
latihan olah kanuragan. "Apakah cantrik-cantrik yang lain juga mampu berbuat seperti
kedua anak-anak itu" pertanyaan itu mengganggu Kiai Dulang, "jika
demikian, maka yang sepuluh orang itu benar-benar merupakan
orang yang sangat berbahaya."
Dengan mata yang hampir tidak berkedip Kiai Dulang
menyaksikan latihan yang menarik itu. Tetapi seperti yang
diduganya, ia sudah tidak mampu lagi mengikuti iring-iringan yang
1958 mendaki semakin tinggi dan kemudian hilang dibalik sebuah
tikungan yang tajam dipunggung pegunungan.
Nafas Kiai Dulang menjadi terengah-engah. Dengan serta merta
ia pun menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu, di bawah
sebatang pohon yang rimbun.
Sekali-kali ia mengusap keringatnya dengan lengannya. Terasa
kakinya menjadi gemetar. Bahkan kemudian perasaan pedih mulai
terasa. Agaknya kakinya telah menjadi luka-luka oleh batu padas
yang tajam di sepanjang perjalanan yang sangat berat baginya.
"Kedua anak muda itu tentu anak setan" geramnya.
Kiai Dulang kemudian menyandarkan dirinya pada sebatang
pohon yang cukup besar. Ia adalah orang yang telah terlatih. Tetapi
ternyata bahwa ia sama sekali tidak berhasil mengikuti latihan para
cantrik dari padepokan Empu Sanggadaru.
"Latihan itu nampaknya sederhana sekali. Tetapi ternyata
terlampau berat bagiku, dan apalagi bagi orang-orang gerombolan
Serigala Putih dan Macan Kumbang "desisnya.
Kiai Dulang mulai membayangkan, apa saja yang dapat dilakukan
jika benar-benar terjadi perselisihan antara kedua kakak beradik itu.
Nampaknya Empu Baladatu mempunyai pengikut yang jauh lebih
banyak. Tetapi Empu Sanggadaru mempunyai cantrik yang memiliki
kemampuan tanpa tanding. Kiai Dulang sama sekali tidak mengerti, bahwa dipadepokan
Empu Sanggadaru tinggal beberapa orang prajurit dan kedua anak
muda yang ingin menambah pengalaman dalam olah kanuragan
dengan ilmu yang berbeda sumbernya dari ilmu ayahnya. Meskipun
ayah mereka sudah berpesan, agar keduanya sangat berhati-hati
memilih tata gerak yang mempunyai sifat dan watak yang tidak
bertentangan dengan dasar ilmunya sendiri.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa para cantrik dari
padepokan Empu Sanggadaru sendiri, benar-benar telah
meningkatkan ilmu mereka pula. Bersama para prajurit mereka
1959 telah saling menyadap ilmu masing-masing, sehingga dengan
demikian para cantrik dipadepokan itu telah memiliki ilmu yang
dapat dipakai sebagai bekal untuk mengamankan padepokan
mereka jika para prajurit itu kelak akan meninggalkan mereka.
Dibawah tuntunan Empu Sanggadaru sendiri, para cantrik itu
telah menyempurnakan ilmunya dengan berbagai macam tata gerak
yang dimiliki oleh para prajurit pilihan itu, sementara para prajurit
pun telah menyadap langsung ilmu yang dimiliki oleh Empu
Sanggadaru. Sementara Kiai Dulang sedang melepaskan lelah yang bagaikan
mencengkam seluruh tubuhnya, ia terkejut melihat seorang anak
muda yang lain berjalan tergesa-gesa mengikuti jejak iring-iringan
itu. Hati Kiai Dulang menjadi ber-debar-debar. Namun wajahnya
yang pucat, keringatnya yang bagaikan membasahi tubuhnya dan
nafas yang hampir putus, agaknya membuat ujudnya semakin
meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengemis.
Meskipun demikian, hati Kiai Dulang merasa kecut juga melihat
langkah anak muda yang mendekatinya itu. Nampaknya ia pun
sama sekali tidak terganggu oleh kelelahan dan desah nafas,
meskipun agaknya anak muda itu dengan tergesa-gesa pula
berusaha menyusul iring-iringan yang telah menjadi semakin jauh.
"Tentu anak muda yang seorang ini berjalan lebih cepat dan
tergesa-gesa. Tetapi agaknya kemampuan jasmaniahnya sangat
mengagumkan seperti kedua anak muda yang terdahulu. Bahkan
barangkali agak melampaui karena anak muda ini berusaha
menyusul iring-iringan yang sudah terdahulu." berkata Kiai Dulang
didalam hati. Kiai Dulang termangu-mangu memandang kesigapan anak muda
yang berjalan dengan cepatnya mengikuti jejak iring-iringan yang
diikuti oleh sepuluh orang pengikut Empu Sanggadaru.
1960 Ketika anak muda itu melihatnya, nampaknya ia tertegun. Tetapi
kemudian perlahan-lahan dan dengan hati-hati anak muda itu
mendekatinya. Kiai Dulang tergagap. Pada suara anak muda itu sama sekali
.tidak terasa desah nafas yang semakin cepat.
"Luar biasa" desis Kiai Dulang didalam hatinya.
Namun Kiai Dulang harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu
maka ia pun kemudian berkata pe-lahan-lahan dibuat-buat, "Aku
seorang perantau anak muda. Aku berjalan dari padukuhan yang
satu kepadukuhan yang lain mencari sesuap nasi."
"Tetapi kenapa kau berada disini?"
"O, aku sama sekali juga tidak mengerti, kenapa aku telah
berada disini." "Tersesat?" Orang itu menggeleng. Katanya, "Aku melihat sebuah iringiringan.
Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja aku ingin
mengikutinya. Tetapi iring-iringan itu berjalan tanpa berhenti,
sehingga aku akhirnya terkapar disini."
"Iring-iringan?"
"Ya. Aku telah berpapasan dengan iring-iringan yang di pimpin
oleh seorang yang memakai pakaian kulit binatang hutan.
Menyeramkan sekali. Itulah yang menarik perhatianku. Sehingga
diluar sadarku, aku telah mengikutinya beberapa lama."
Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Ki Sanak kelelahan."
"Ya." "Tetapi dimanakah iring-iringan itu sekarang" Apakah iringiringan
itu benar melalui jalan ini?"
"Ya. Belum lama. Jejaknya tentu masih nampak." ia berhenti
sejenak, lalu, "apakah anak muda akan menyusulnya?"
1961 "Ya. Aku ingin menyusul iring-iringan yang dipimpin oleh Empu
Sanggadaru itu." Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan anak muda.
Tetapi apakah anak muda juga salah seorang dari mereka?"
Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, "Bukan Ki Sanak. Aku
bukan salah seorang dari para cantrik itu."
"Jadi apakah maksud Ki Sanak mengikuti iring-iringan itu?"
Anak muda itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak apa-apa. Aku tidak
bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat, apakah mereka sudah
mencapai suatu tingkatan yang memadai."
"O" desis Kiai Dulang, "aku tidak mengerti tingkatan yang kau
maksud anak muda, tetapi ternyata mereka berjalan tanpa berhenti.
Sejak aku berpapasan, kemudian mengikuti beberapa saat saja,
kakiku rasa-rasanya sudah berpatahan."
Anak muda itu tersenyum. Katanya, "Beristirahatlah. Aku akan
melanjutkan perjalanan."
"Tetapi siapakah kau anak muda?" bertanya Kiai Dulang.
Dengan tanpa prasangka apapun anak muda itu menjawab
"Namaku Mahisa Bungalan."
Kiai Dulang terkejut bukan buatan.
"Inilah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu" geramnya
di dalam hati, "ternyata laporan tentang anak muda itu benar,
bahwa ia sudah kembali dan berada di Kota Raja.
Tetapi tiba-tiba saja kini ia bertemu seorang dengan seorang.
Sejenak Kiai Dulang termangu-mangu. Sepercik niat untuk
melakukan sesuatu telah terbersit diliatinya. Anak muda itu adalah
anak muda yang telah dengan sepenuh hati memusuhi orang-orang
dari lingkungan ilmu hitam.
1962 "Jika aku berhasil menangkapnya hidup atau mati, maka aku
akan menjadi orang terpenting didalam lingkungan orang-orang
berilmu hitam." katanya didalam hati.
Tetapi ketika kemudian Kiai Dulang menyadari keadaannya dan
keadaan anak muda itu, maka niatnya pun diurungkannya. Ia tidak
akan dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang bernama
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan itu. Setelah mengikuti jejak iring-iringan yang
dipimpin oleh Empu Sanggadaru itu, ia nampaknya masih tetap
segar. Sedang dirinya sendiri, telah dicengkam oleh perasaan lelah
yang tidak terhingga, seolah-olah tulang belulangnya telah terlepas
dari, tubuhnya. Karena itu, maka Kiai Dulang pun tidak berbuat apa-apa selain
hanya menarik nafas. Tetapi dengan demikian ia akan dapat
melaporkan, bahwa Mahisa Bungalan yang telah berada kembali di
Kota Raja itu, sering berkeliaran seorang diri tanpa pengawal
seorangpun. "Jika pada suatu saat kami dapat mengikutinya dan sempat
memanggil beberapa orang kawan, alangkah baiknya jika anak
muda itu dapat ditangkap hidup-hidup dan dapat menjadi salah
seorang yang diumpankan pada upacara korban di saat purnama
bulat" gumam Kiai Dulang didalam hatinya.
Mahisa Bungalan yang melihat Kiai Dulang termenung, kemudian
berkata, "Aku akan meneruskan perjalananku."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun agaknya perasaannya
benar-benar sudah diganggu oleh suatu keinginan untuk
menangkap Mahisa Bungalan, meskipun nalarnya ternyata masih
sempat memperingatkannya bahwa usaha itu adalah usaha yang
sangat berbahaya. "Kenapa kau termenung?" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan
bertanya. "O, tidak apa-apa. Tidak apa-apa anak muda. Aku hanya bertekateki
didalam hati." 1963 "Apa yang ingin kau tebak?"
"Apakah anak muda ini sama sekali tidak merasa lelah mengikuti
iring-iringan itu" Apakah anak muda juga datang dari arah dan
tempat yang sama?" Mahisa Bungalan tertawa. "Aku baru mengikuti beberapa langkah, nafasku rasa rasanya
sudah akan putus." "Kau sudah terlalu tua Ki Sanak" berkata Mahisa Bungalan,
"tetapi aku masih muda."
"Orang yang berpakaian seperti orang yang tinggal di tengahtengah
hutan yang terpencil itu pun sudah tua."
Mahisa Bungalan tidak menyahut. Tetapi ia melangkah maju
sambil menepuk bahu Kiai Dulang, "Sudahlah. Beristirahatlah.
Biarlah yang muda-muda melakukan latihan-latihan yang berat bagi
hari depannya." Terasa jantung Kiai Dulang bergejolak. Hampir saja ia menarik
pisau belati yang tersembunyi dibalik kainnya selagi Mahisa
Bungalan lengah. Namun selagi ia masih ragu-ragu Mahisa Bungalan
sudah melangkah menjauhinya sambil bertata, "Aku akan berjalan
menyusul mereka." "Silahkan anak muda" jawab Kiai Dulang. Namun nafasnya tibatiba
saja terasa sesak. Mahisa Bungalan pun kemudian melangkah meninggalkan Kiai
Dulang yang termangu-mangu. Sejenak kemudian anak muda itu
pun berloncatan di antara batu-batu padas mengikuti jejak iring
iringan yang agaknya sudah semakin jauh.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan berada di punggung sebuah
gumuk, maka dilihatnya dikejauhan seperti titik-titik yang bergerak,
merayapi tebing pegunungan.
"Tentu mereka" berkata Mahisa Bungalan didalam hatinya.
1964 Mahisa Bungalan pun mempercepat langkahnya menuruni lereng
yang rendah. Kemudian langkah menyelusur lembah dan sekalisekali
ia harus meloncati parit-parit yang telah digali oleh arus air
hujan dilereng pegunungan.
Ketika Mahisa Bungalan kemudian turun dengan tergesa-gesa,
dari balik gerumbul dipunggung bukit, Kiai Dulang mengikutinya
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan main. Anak ini benar-benar tidak kalah dengan anak-anak
muda yang berada didalam iring-iringan itu."
Untuk beberapa saat lamanya Kiai Dulang mengikuti langkah
Mahisa Bungalan. Namun kemudian ia pun segera duduk dibawah
sebatang pohon perdu yang rimbun.
Sekali ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian melepaskannya
sepuas-puasnya. "Aku memang lelah sekali" desisnya sambil menyandarkan dirinya
pada batang perdu yang rimbun itu.
Sementara itu Mahisa Bungalan telah berloncatan semakin jauh.
Tetapi ia masih belum berhasil menyusul iring-iringan yang
nampaknya seperti beberapa ekor semut yang merayap ditebing
yang tingginya menyentuh langit.
Sambil menganyam angan-angannya Kiai Dulang memikirkan
kemungkinan yang dapat dilakukannya. Terutama menghadapi
kemungkinan yang sama atas Mahisa Bungalan.
"Jika ia terbiasa berjalan mengikuti iring-iringan itu seorang diri,
maka kemungkinan untuk menangkapnya nampaknya bukannya
suatu hal yang mustahil."
Kiai Dulang menjadi bimbang. Apakah ia akan melanjutkan
perjalanan ke Mahibit atau menyelesaikan kemungkinan yang
dijumpainya itu. 1965 Namun tiba-tiba saja telah tumbuh keinginannya untuk melihat
barang satu dua kali lagi, apakah setiap kali Mahisa Bungalan setiap
kali selalu mengikuti iring-iringan itu.
Itulah sebabnya maka Kiai Dulang tidak segera mencari
Linggadadi. Baginya Mahisa Bungalan dan Linggadadi hampir tidak
ada bedanya. Jika ia memilih mencari keterangan tentang
Linggadadi lebih dahulu, karena menurut keterangan yang
didengarnya, Mahisa Bungalan berada didalam lingkungan istana
sehingga sulit baginya untuk mencari kemungkinan
penangkapannya. "Tetapi ternyata ia berkeliaran disini" katanya didalam hati, "jika
ia berhasil ditangkap, maka ia merupakan korban yang paling
berharga. Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih tentu
menganggap bahwa korban itu juga merupakan korban untuk
meredakan kemarahan kekuasaan di belakang sumber kekuatan
yang disebut ilmu hitam itu."
Sejenak Kiai Dulang masih merenung. Namun akhirnya ia
berkata, "Apa salahnya aku tinggal di daerah ini barang satu dua
pekan lagi. Mungkin aku menemukan sesuatu yang akan sangat
berharga bagi ilmu hitam yang diajarkan menurut cara dan adat
Empu Baladatu." Itulah sebabnya maka Kiai Dulang itu pun kemudian mencari
tempat yang baik untuk dapat mengintip setiap iring-iringan kecil itu
melakukan latihan yang aneh itu.
Dengan demikian maka Kiai Dulang dengan tekun berusaha
selalu mengawasi regol padepokan Empu Sanggadaru. Dari hari
kehari ia dengan sungguh-sungguh melakukan tugasnya.
Dihari-hari berikutnya, ia melihat beberapa orang cantrik dari
padepokan Empu Sanggadaru yang berada di luar regol meskipun
tidak sedang melakukan latihan yang aneh itu. Tetapi yang sering
terlihat olehnya hanyalah kedua orang anak muda yang ikut didalam
iring-iringan para cantrik dalam latihan berjalan yang melelahkan
itu. 1966 "Ternyata Mahisa Bungalan tidak ada dipadepokan itu" desis Kiai
Dulang, "jika demikian apakah artinya, bahwa Mahisa Bungalan
telah mengikuti latihan berjalan jauh itu.
Kiai Dulang menjadi semakin yakin ketika ia sempat menunggu
dua saat latihan berjalan jauh itu. Dan dikedua latihan itu, memang
tidak melihat Mahisa Bungalan, dan ia tidak melihat anak muda itu
mengikuti dari kejauhan atau menyusul kemudian.
"Mahisa Bungalan mempunyai kepentingan tersendiri" berkata
Kiai Dulang didalam hatinya.
Agaknya Kiai Dulang merasa kecewa. Dengan demikian ia tidak
mempunyai kesempatan untuk menjebak Mahisa Bungalan bersama
beberapa orang dari gerombolan Serigala Putih atau Macan
Kumbang, atau kedua orang pemimpin yang ditempatkan oleh
Empu Baladatu dikedua padepokan itu.
"Bertiga, tentu aku dapat menangkap Mahisa Bungalan" berkata
Kiai Dulang didalam hatinya. Namun kemungkinan itu agaknya
masih belum dapat dilakukan.
Yang kemudian menjadi sasaran Kiai Dulang, selain Linggadadi
adalah padepokan Empu Sanggadaru itu sendiri. Jika padepokan itu
semakin lama menjadi semakin besar, maka Empu Baladatu tidak
akan sempat melenyapkannya. Dengan demikian maka hambatan
yang akan dihadapi oleh Empu Baladatu pun tidak akan berkurang,
justru sebaliknya. "Aku tidak tahu. Yang manakah yang lebih baik dilakukan."
Tetapi Kiai Dulang pun kemudian melanjutkan perjalanannya
seperti yang direncanakannya. Sebagai seorang pengemis ia pergi
ke Mahibit. Ia ingin mendapatkan, beberapa keterangan, tentang
Linggadadi yang juga disebut pembunuh orang-orang berimu hitam.
Ternyata bahwa Mahibit adalah suatu daerah seperti yang
diduganya. Tidak ada tanda-tanda yang nampak pada kota itu.
Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian.
1967 Namun dengan keadaannya, Kiai Dulang dapat tinggal di tempat
itu tanpa dicurigai pula. Setiap hari ia berada di jalan-jalan kota.
Setiap hari ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Dan
setiap hari pula mendengar setiap pembicaraan.
Kiai Dulang berhasil mendapat keterangan tentang Linggadadi.
Bahkan dengan dada yang berdebar-debar, ia, mengetahui bahwa
Linggadadi adalah adik seorang yang bernama Linggapati.
Kiai Dulang adalah seorang yang cukup cerdik. Dengan tidak
menimbulkan kecurigaan ia sempat bertanya tentang beberapa hal
yang diperlukan. Tentang keadaan dan kebiasaan Linggadadi dan
Linggapati. "Tidak banyak orang yang mengetahui" jawab seseorang yang
kebetulan sempat ditanya oleh Kiai Dulang.
Kiai Dulang tidak bertanya lebih banyak lagi. Namun dengan
telatennya ia datang mengacukan batoknya ia minta dengan
memelas belas kasihan. Namun kemudian ia sempat berbicara
beberapa patah kata tentang keadaan kota itu.
Demikianlah berlaku bagi Kiai Dulang setiap hari, sehingga
akhirnya ia mengenal beberapa orang di antara mereka yang
dengan belas memberikan sekedar makanan kepadanya hampir
setiap hari. "Apakah rumah orang yang bernama Linggadadi itu juga di
dalam kota ini," pada suatu saat ia bertanya kepada seorang yang
hampir setiap hari lewat ditikungan tempat ia sering duduk
merenung dengan batok kelapa di tangan. Orang itu tertawa.
"Kau juga mengenal Linggadadi?" bertanya, orang itu.
"Aku pernah mendengar namanya. Ia adalah orang yang
mendapat gelar pembunuh orang berilmu hitam."
"Rumahnya ada di sudut jalan itu. Jika kau berjalan lurus, maka
kau akan sampai ke tikungan. Kau akan mendapatkan sebuah
halaman yang luas dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi. Penuh
dengan pohon buah-buahan yang beraneka."
1968 Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Dengan suara yang
tersendat-sendat ia bertanya, "Aku sudah mengelilingi kota ini dari
ujung sampai keujung. Tetapi aku tidak melihat rumah berhalaman
luas berdinding batu tinggi dan penuh dengan pohon buah-buahan
yang terdapat ditikungan."
"Apakah kau pernah berjalan lurus ke arah ini?"
"Sudah." "Kau temui tikungan?"
Kiai Dulang termangu-mangu.
Orang itu tertawa. Katanya, "Jalan ini panjang sekali. Baru
setelah beberapa ratus tonggak kau akan sampai ke tikungan itu."
"O" pengemis itu menarik nafas dalam, "baru aku tahu. Jalan ini
memang sangat panjang. Ya, aku pernah berjalan sampai
ketikungan. Jauh sekali. Dan aku memang menemukan rumah
seperti yang tuan katakan."
"Kau masuk kehalamannya dan minta sesuatu kepada penghuni
rumah itu?" Pengemis itu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak menemukan
regolnya." Orang itu tertawa lagi. Katanya, "Itulah anehnya rumah
ditikungan itu. Kiai Dulang termangu-mangu. Ia menganggap bahwa orang itu
sedang berkelakar. Karena itu, maka ia pun ikut ter tawa pula.
"Tuan lucu sekali" berkata Kiai Dulang.
Tetapi orang itu menjawab" Aku tidak sedang bergurau. Aku
berkata sebenarnya. Halaman rumah itu sama sekali tidak
mempunyai jalan keluar. Dinding batunya melingkar sepenuhnya."
"Jadi bagaimanakah jika penghuni rumah itu akan keluar dan
memasuki halaman?" 1969 Di dalam lingkungan dinding batu itu adalah sebuah padepokan.
Karena itu, halamannya sangat luas dan mempunyai bermacammacam
pohon buah-buahan. Dibagian belakang padepokan itu
terdapat kebun bunga."
"Menarik sekali. Tetapi sekali lagi aku ingin tahu, bagaimana
seseorang akan masuk?"
"Meloncat dinding. Mereka memang orang-orang yang kikir
sehingga tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang
malas seperti kau untuk memasuki halamannya."
Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
tertawa. Katanya, "Tuan benar. Seharusnya orang-orang malas
seperti aku ini tidak diberi kesempatan memasuki halaman rumah
siapapun juga." Ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi dengan demikian
aku akan semakin banyak mengganggu orang dipinggir jalan seperti
sekarang ini." Orang yang lewat itu pun tertawa. Lalu katanya, "Ah, aku tidak
akan memperkatakan rumah diujung jalan itu lagi. Itu bukan
urusanku.." Kiai Dulang termangu-mangu.
"He, kenapa kau ikut mengurusi rumah itu?"
"Bukan. Bukan rumah itu tuan. Tetapi selama, pengembaraanku,
aku sering mendengar nama Linggadadi dari Mahibit."
"Ya. Itulah rumahnya. Hanya rumahnya."
"Kenapa hanya rumahnya?"
Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu apaapa.
Sudahlah. Kau memang sudah mengganggu aku."
Pengemis itu tertawa. Dengan nada yang rendah datar ia
berkata, "Aku minta maaf. Tetapi lebih baik, aku minta uang."
"Uh" desis orang yang lewat itu sambil melemparkan uang
sekeping., "Bekerjalah. Jangan menjadi pemalas seperti itu."
1970 Tetapi pengemis itu hanya tersenyum saja. Senyum itu masih
berkepanjangan ketika orang yang lewat Itu sudah melanjutkan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalanannya meninggalkan tikungan. Sekali-kali pengemis itu
memandang langkahnya yang kemudian hilang dibalik tikungan.
"Orang yang dungu" desis Kiai Dulang, "tetapi keterangan yang
aku peroleh cukup banyak. Mudah-mudahan aku dapat
melengkapinya. Jika benar halaman rumah itu tidak mempunyai
regol pada dindingnya, tentu ada sebabnya dan temu ada
rahasianya." Kiai Dulang pun kemudian memerlukan untuk melihat-lihat
halaman rumah itu lagi. Sebagai seorang pengemis, maka tidak
seorang pun yang akan mencurigainya jika ia mengelilingi dinding
halaman itu dengan batok kelapa ditangan.
Ternyata bahwa tempurungnya merupakan senjata yang baik.
Ketika ia mengelilingi dinding batu itu, ia kebetulan bertemu dengan
seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkulit kuning dan berdagu
panjang. Orang itu seolah-olah mempunyai ciri yang asing baginya.
Tatapan matanya yang redup, bibirnya yang bagaikan terkatup
meskipun kemudian bergerak juga ketika ia bertanya kepadanya,
"He, apa yang kau cari?"
Dan Kiai Dulang pun menjawab dengan serta merta "Pintu tuan.
Pintu regol." "Gila" orang itu menggeram. Tetapi ia tidak memberikan
keterangan apapun juga tentang regol itu. Akhirnya Kiai Dulang
yakin, bahwa dinding halaman itu memang tidak mempunyai regol.
"Tentu setiap orang yang memasuki atau keluar regol itu harus
meloncat." katanya didalam hati.
Tetapi Kiai Dulang tidak dapat melakukannya karena dengan
demikian akan dapat mendatangkan bahaya baginya. Ia sama sekali
tidak dapat melihat apakah yang ada dibalik dinding batu itu. Jika
demikian ia meloncat dan jatuh keujung tombak penjaganya, maka
kematian itu adalah kematian yang sia-sia.
1971 Ketika dihari berikutnya ia bertemu lagi dengan orang yang selalu
lewat dan berhenti bercakap-cakap barang sejenak sebelum
melemparkan sekeping uang, maka Kiai Dulang pun berceritera
tentang halaman rumah yang aneh itu.
"Agaknya kau sangat menaruh perhatian terhadap rumah itu."
"Justru karena aneh. Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginanku
melihat sekali dua kali orang yang meloncat naik atau keluar dari
halaman itu." "Apa gunanya." "Tidak apa-apa. Sekedar dongeng buat anak cucu, bahwa aku
pernah melihat halaman rumah yang sangat luas, berdinding batu
cukup tinggi, tetapi tidak mempunyai regol sama sekali."
Orang itu pun tertawa. Sambil melemparkan sekeping uang ia
berkata, "Sekali-kali kau dapat mencoba melihat bagian dalam
halaman rumah itu." "Aku tidak berani."
"Kenapa?" Kiai Dulang justru menjadi heran mendengar pertanyaan orang
itu. Dengan dahi yang berkerut merut ia ganti bertanya, "Kenapa
kau bertanya begitu" Bukankah wajar sekali jika aku takut melihat
bagian dalamnya?" Orang yang lewat itu menggeleng. Katanya, "Kau tidak usah
takut. Halaman itu adalah halaman yang kosong.
"Tetapi aku melihat justru beberapa buah rumah didalam
lingkaran dinding batu yang tidak beregol itu."
"Memang ada beberapa buah rumah. Tetapi rumah itu kosong
sama sekali. Aku sudah melihat semua rumah di halaman itu."
"He" Kosong?"
"Ya." 1972 "Jadi dimanakah Linggadadi?"
Orang itu tertawa. Jawabnya, "Kau aneh. Tentu tidak seorang
pun yang mengetahui. Tetapi bahwa rumah itu adalah rumahnya
memang benar. Sebelum ia meninggalkan kota ini, ia adalah
penghuni rumah itu."
"Meninggalkan Mahibit?"
"Ya." "Kemana?" "Tentu tidak seorang pun yang mengetahuinya." Kiai Dulang
mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar telah
mengejutkannya. Dalam beberapa saat terakhir, orang-orang yang
mudah dihubungi karena belas kasihannya itu dapat di peras
keterangannya tentang berbagai segi kehidupan Linggadadi. Bahkan
keterangan yang diperolehnya semakin lama semakin memberikan
harapan kepadanya. Namun tiba-tiba ia mendengar berita bahwa
Linggadadi sudah tidak berada di kota lagi.
"Rumah itu kosong" desis orang ditikungan itu. Pengemis itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jadi
Linggadadi telah meninggalkan padepokannya ke tujuan yang tidak
diketahui?" "Ya." Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Jika rumah di dalam
halaman itu benar-benar telah dikosongkan, maka padepokan itu
akan dapat diperbaiki dan dihuni.
"Kapan kau akan datang kerumah itu?"
"Ah" jawab pengemis" tidak perlu."
"Datanglah. Mungkin ada satu atau dua buah nangka yang jatuh
setelah masak dipohon."
Orang yang selama itu menyamar menjadi pengemis itu
termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia pun ingin melihat apakah
1973 yang ada didalam lingkaran dinding batu itu, sehingga karena itu
maka ia pun ingin menerima undangan itu, meskipun ia sadar
bahwa undangan itu bukannya undangan dari penghuni padepokan
yang telah meninggalkannya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Dulang ingin melihat apakah yang ada
dibalik dinding yang selalu tertutup itu.
Meskipun demikian ia tidak mengatakannya kepada orang yang
selalu lewat itu, bahwa ia memang ingin datang ke halaman rumah
yang tanpa regol dan sudah kosong sama sekali itu.
Tetapi Kiai Dulang menjadi ragu-ragu, ketika pada kesempatan
lain ia bertanya kepada orang lain tentang halaman itu.
"Jangan bertanya tentang hal yang aneh-aneh" jawab orang itu,
"sebaiknya kau memperhatikan tempurungmu daripada
memperhatikan dinding halaman yang tidak berpintu itu."
Kiai Dulang termangu-mangu. Namun ada dua atau tiga orang
yang selalu menghindar jika dalam suatu saat ia ber kesempatan
bertanya tentang halaman rumah itu.
Tetapi Kiai Dulang tidak pernah berputus asa, meskipun ia tetap
tidak berhasil mengetahui keadaan halaman itu. Juga tentang
penghuninya. "Satu-satunya orang yang berani menceriterakan tentang
halaman rumah itu adalah orang yang menyuruh aku datang untuk
melihat bahwa halaman itu benar-benar sudah kosong" berkata Kiai
Dulang didalam hatinya. Namun dalam pada itu, selagi ia masih tetap berusaha
mengumpulkan keterangan tentang Linggadadi, Linggapati dan
halaman rumah yang disebut rumahnya itu, ia mengalami kejutan
yang telah membuatnya kehilangan pegangan.
Ketika ia berada di tempat yang biasa dipergunakannya untuk
menengadahkan tempurungnya di sebelah kelokan jalan, maka
datanglah seorang yang belum pernah dikenalnya. Orang yang
1974 belum pernah dilihatnya lewat dan apalagi memberikan sesuatu
kepadanya. Dengan serta merta orang itu langsung duduk di sisinya dan
bertanya, "Apakah benar kau mencari Linggadadi?"
Pertanyaan itu benar-benar telah mengejutkannya. Karena itu
dengan serta merta pula ia menjawab, "Tidak. Aku tidak
mencarinya." "Kau selalu bertanya tentang orang itu. Hampir kepada setiap
orang yang kau kenal disini."
Sekali lagi ia menjawab, "Tidak. Itu keliru. Aku memang pernah
menyebut namanya. Tetapi hanya sekali."
Orang yang duduk di sampingnya itu tertawa. Lalu ia pun
bertanya, "Seandainya hanya sekali, apakah alasanmu menyebut
namanya?" "Sama sekali tidak ada alasannya, selain aku memang pernah
mendengar nama itu. Linggadadi dari Mahibit yang bergelar
pembunuh orang berilmu hitam."
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Aku kira
kau mempunyai keperluan tertentu. Setiap orang yang menyebut
namanya tentu mempunyai keperluan tertentu."
"Aku tidak." "Baiklah. Tetapi jangan ingkar bahwa sebenarnya kau datang
memang untuk mencari Linggadadi."
Orang yang menyamar dirinya sebagai pengemis itu menjadi
bingung. Namun demikian ia tetap menggeleng sambil menjawab,
"Aku sama sekali tidak berkepentingan secara pribadi. Aku hanya
pernah mendengar namanya. Sesudah itu, tidak ada hubungan
apapun juga." Orang itu tertawa. Lalu, "Bagaimana dengan padepokan yang
dikelilingi oleh dinding batu tanpa regol sama sekali itu?"
1975 "O" Kiai Dulang tiba-tiba saja ikut tertawa, "aku memang pernah
mendapat kesulitan. Dua kali aku mengitari dinding batu itu."
"Untuk apa?" "Menilik halaman yang luas, maka aku mengira bahwa
penghuninya tentu seorang yang kaya, baik hati dan pemurah.
Itulah sebabnya aku ingin menemukan regol untuk memasuki
halaman itu." Orang yang tidak dikenal oleh Kiai Dulang itu tertawa. Katanya,
"Jawabmu memang masuk akal. Tetapi kau tidak dapat mengelabui
aku." Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Lalu dengan suara bergetar
ia bertanya, "Siapakah kau sebenarnya?"
"Akulah orang yang selalu kau tanyakan kepada setiap orang."
"Linggadadi?" suara Kiai Dulang terasa tersendat.
Orang itu tertawa. Katanya, "Meskipun aku orang Mahibit, tetapi
tidak semua orang mengenal aku. Jika aku duduk di sampingmu,
maka tidak ada orang yang akan mengenalku lagi, karena aku
kadang-kadang mengelilingi kota ini dengan seekor kuda yang
tegar, diiringi oleh beberapa orang pengawal."
Kiai Dulang termangu-mangu. Keringatnya mulai mengalir di
punggungnya. Berturutan ia bertemu dengan orang-orang yang di
sebut pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi ketika ia bertemu
dengan Mahisa Bungalan, nampaknya Mahisa Bungalan tidak
menghiraukannya. Tetapi kali ini agaknya Linggadadi menaruh
perhatian yang besar kepadanya.
"He" desak Linggadadi, "apakah kau masih ingkar bahwa kau
sedang ingin mengetahui beberapa keterangan tentang
Linggadadi?" "Tidak. Aku memang tidak sedang melakukannya."
"Kau kenal orang yang setiap hari kau tegur dan hampir setiap
hari pula memberikan sekeping uang kedalam tempurungmu."
1976 Kiai Dulang ragu-ragu. Namun kemudian ia mengangguk sambil
menjawab, "Ya. Aku mengenalnya justru karena ia seorang
pemurah yang selalu memberi aku sekeping uang. Tetapi
selebihnya, aku tidak mempunyai sangkut paut."
"Kau tidak bohong?"
"Tidak, tentu tidak. Aku adalah orang yang paling tidak berharga
dikota ini. Setiap orang hanyalah didorong oleh belas kasihan
semata-mata jika sekali-kali mereka sudi berbicara dengan aku."
"Aku tidak" sahut Linggadadi, "aku berbicara dengan kau
sekarang sama sekali bukan karena belas kasihan. Tetapi justru
sebaliknya." "Apa maksudmu?"
Linggadadi tertawa. Katanya, "Orang yang mendapat tugas untuk
mengenali Linggadadi dan Linggapati tentu orang yang memiliki
ilmu setinggi bintang yang bergayutan di langit."
"Ah " "Apakah kau sudah berhasil mengenali orang yang bernama
Linggapati?" "Aku tidak mengenal seorang, dan aku memang tidak ingin
mengenali siapa pun disini, selain mereka yang dengan belas
kasihan memberikan sekeping uang atau sesuap nasi."
"Kau memang pandai berbohong. Tetapi baiklah. Jika kau benarbenar
belum mengenal, biarlah aku beritahukan, bahwa orang yang
sering lewat dan melemparkan sekeping uang, dan yang
mengundang kau untuk melihat-lihat halaman didalam dinding batu
yang buntu dan mencari buah nangka yang rontok karena tua,
itulah kakak kandungku. Namanya Linggapati."
"O" Kiai Dulang benar-benar terkejut. Tubuhnya terasa menjadi
panas dan keringatnya semakin banyak mengalir di seluruh
tubuhnya. 1977 "Nah, pengenalanmu sudah lengkap. Tetapi seperti yang kau
ketahui, padepokanku memang sudah kosong. Aku dan para
pengikutku telah meninggalkan padepokan itu untuk sementara.
Pada saatnya kami akan kembali, dan memperluas padepokan ke
seluruh kota ini dan keseluruh Singasari."
Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar. Sebelum ia
menjawab Linggadadi berkata selanjutnya, "Nah, kau sudah banyak
mendengar tentang aku. Padahal tidak ada orang yang boleh
mengetahuinya sebanyak yang kau ketahui sekarang."
Wajah Kiai Dulang menjadi semakin tegang. Terbersit di dalam
hatinya, kesediaan untuk menghadapi setiap kemungkinan karena ia
pun merasa mempunyai bekal ilmu meskipun dengain sadar ia
mengetahui bahwa ilmunya tidak setinggi ilmu Linggadadi dan
Linggapati. Tetapi jika terpaksa ia harus mati, maka ia memilih mati
sebagai seorang laki-laki jantan daripada sebagai seorang pengemis
yang ketakutan. Dada Kiai Dulang menjadi semakin berdentangan ketika dari
kejauhan ia melihat seseorang mendekatinya. Orang yang sering
memberinya sekeping uang kedalam tempurungnya. Orang yang
telah minta kepadanya untuk memasuki halaman yang sudah
kosong, dan yang menurut orang yang duduk disampingnya, orang
itu bernama Linggapati. Untuk sesaat Kiai Dulang justru duduk membeku. Seolah-olah ia
berada diantara dua mulut raksasa yang telah menganga. Ia sadar
akan kemampuan Linggadadi dan tentu juga Linggapati, kakaknya.
Jika Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam, maka
Linggapati tentu mempunyai kemampuan juga untuk melakukannya.
Teringat olehnya, seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan
yang dijumpainya diperjalanan tanpa batas. Anak muda yang
seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh perasaan lelah,
karena kemampuannya menguasai diri sendiri, kemampuan
mengatur segenap jalur kekuatan yang ada didalam dirinya dan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuannya menyerap kekuatan cadangan yang berada didalam
dirinya dan didalam alam sekitarnya.
1978 Ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk melakukan
sesuatu terhadap anak muda itu. Namun kini ia berada diantara dua
kekuatan raksasa yang tidak terbatas.
Tetapi Kiai Dulang berusaha untuk menenangkan hatinya.
Seolah-olah ia tidak mengetahui apa yang dapat terjadi atasnya.
Karena itu ketika orang yang disebut bernama Linggapati itu
mendekatinya, maka sambil tersenyum ia berkata, "He, apakah
benar bahwa tuan adalah kakak orang yang menyebut dirinya
bernama Linggadadi ini" Dan benarkah bahwa tuan yang bernama
Linggapati?" "Sst" orang yang duduk di sampingnya itu menggamitnya,
"suaramu dapat menarik perhatian orang yang lewat."
"Apa salahnya?"
"Jangan pura-pura dungu. Kau harus menyadari bahwa sebentar
lagi aku akan membunuhmu."
"Membunuh?" Kiai Dulang benar-benar menjadi cemas, "apakah
salahku.." Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, "Kau benar. Aku adalah
Linggapati. Tetapi seperti yang dikatakan adikku, jangan berteriak
begitu supaya tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat.
Meskipun aku orang Mahibit, tetapi dalam keadaan seperti ini, tidak
banyak orang yang mengenal kami berdua."
"Aku sudah mengatakannya" potong Linggadadi.
"Nah, anggaplah bahwa kau tidak mengetahui bahwa kami
adalah dua orang bersaudara yang disebut Linggapati dan
Linggadadi." "He" Kiai Dulang menjadi bingung.
"Itu tidak mungkin kakang" sahut Linggadadi, "ia sudah
mengetahui tentang kita. Kita harus membunuhnya."
1979 Tetapi Linggapati tersenyum. Katanya, "Orang ini sangat
menarik. Agaknya ia termasuk salah seorang yang sedang
menyelidiki sesuatu tentang Linggapati dan Linggadadi di Mahibit.
Tetapi aku tidak berkeberatan bahwa ia mengetahui serba sedikit
tentang kita seperti orang-orang lain mengetahuinya. Bukankah
hampir setiap orang mengetahui bahwa padepokan yang tertutup
tanpa regol itu adalah padapokan Linggapati dan Linggadadi" Tetapi
mereka tidak akan dapat mengatakan kemanakah Linggapati dan
Linggadadi sekarang berada. Orang ini pun tidak akan dapat
mengatakannya, sehingga apa yang diketahuinya tidak lebih dari
yang dapat diketahui oleh orang-orang lain."
"Tetapi ia dengan sengaja mencari aku."
"Tidak. Aku hanya pernah mendengar namamu." Linggapati
tertawa. Katanya, "Itu pun wajar bahwa seseorang akan tertarik
mendengar nama, Linggadadi si pembunuh orang berilmu hitam.
Apalagi orang itu memang berilmu hitam. Tetapi aku yakin menilik
sikap dan pembicaraan yang setiap kali aku lakukan dengan orang
itu, ia bukannya prajurit Singasari."
"Tetapi ia tentu datang dari salah satu kelompok yang akan
dapat mengganggu kita. Jika ia bukan prajurit Singasari atau
petugas sandi, tentu ia orang yang memiliki ilmu hitam."
"Aku berharap, bahwa ia adalah orang yang memiliki ilmu hitam
seperti Empu Baladatu yang sudah menaklukkan gerombolan
Serigala Putih dan Macan Kumbang."
"Tetapi itu adalah suatu kebodohan Empu Baladatu. Sebelumnya
tidak ada orang yang pernah menyebut namanya. Tetapi dengan
penaklukan kedua gerombolan yang cukup besar itu, maka setiap
orang mempercakapkan namanya."
Kiai Dulang sama sekali tidak menyahut.
"Kakang" berkata Linggadadi yang agaknya memang lebih kasar
dari kakaknya, "kenapa kita membiarkannya hidup?"
1980 "Biarlah ia memperkenalkan kita kepada gerombolannya.
Sebenarnyalah bahwa kita tidak berkeberatan untuk menerima
setiap uluran tangan. Kita ingin bekerja bersama siapa saja yang
memang mempunyai cita-cita yang tinggi Tidak berhenti pada
kepuasan sesat tanpa jangkauan masa depan sama sekali."
"Tetapi orang ini berbahaya."
Linggapati tertawa. Katanya, "Kita pernah mencurigai orangorang
tertentu yang sekarang justru merupakan orang-orang terbaik
didalam lingkungan kita. Mungkin orang ini pun demikian."
Linggadadi menjadi termangu-mangu. Sementara Linggapati
berkata selanjutnya, "Biarlah ia berbuat apa saja. Biarlah ia kembali
kedalam kelompoknya. Jika ia menyadari keadaannya, tentu ia akan
kembali ke Mahibit dan akan berada di tempat ini pula. Tetapi jika ia
tidak bersedia bekerja bersama kita, biarlah ia menjadi musuh yang
paling berbahaya." Linggadadi memandang kakaknya dan Kiai Dulang berganti-ganti.
Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar mampu melakukan
peranannya sehingga seolah-olah ia benar-benar bukan orang yang
berbahaya bagi Linggapati dan Linggadadi.
Bahkan dengan wajah yang terheran-heran ia bertanya, "Apakah
yang sebenarnya tuan bicarakan" Aku menjadi gemetar mendengar
ancaman tuan yang menyebut dirinya bernama Linggadadi. Aku
memang pernah mendengar nama itu sebagai seorang yang digelari
Pembunuh orang berilmu hitam. Tetapi apakah karena itu tuan akan
membunuh setiap orang yang tidak tuan senangi."
Linggapati tertawa. Katanya, "Sudahlah. Diam sajalah.. Semakin
banyak kau bicara, maka kau akan membuat kesalahan semakin
banyak, sehingga adikku tentu semakin bernafsu untuk
membunuhmu. Tetapi aku telah menempuh sesuatu kemungkinan
yang mungkin memang membahayakan diriku. Tetapi apaboleh
buat. Pergilah. Jika kau salah seorang yang tidak bergabung dalam
induk kelompok yang manapun juga, kembalilah kepadaku. Kau
akan mendapat tempat yang baik. Tetapi jika kau memang salah
1981 seorang dari kelompok yang dipimpin oleh Empu Baladatu dalam
genggaman ilmu hitam, katakanlah kepadanya, bahwa Linggapati
dan Linggadadi memang berada di Mahibit. Tetapi padepokannya
yang tidak mempunyai regol ternyata telah kosong. Dan tidak
seorang pun yang akan dapat mengenalnya, karena ia dapat
merubah dirinya dalam seribu ujud."
Kiai Dulang menjadi semakin berdebar-debar.
"Sudah tentu aku tidak dapat merubah wajahku. Demikian juga
Linggadadi. Tetapi kami dapat mengenakan pakaian, kelengkapan
dan mungkin sedikit gangguan diwajahku, sehingga orang Mahibit
sendiri tidak dapat mengetahui dengan pasti, yang manakah
sebenarnya Linggadadi dan Linggapati yang mereka kenal
sebelumnya. Hanya jika ada sebuah pedati yang ditarik oleh empat
ekor kuda yang tegar, itulah salah seorang dari dua orang
bersaudara yang sangat ditakuti oleh setiap orang, atau bahkan
kedua-duanya. Tetapi sudah tentu tidak seperti yang kau lihat
sekarang ini." "Kakang telah membuka semua rahasia tentang diri kita" potong
Linggadadi, "mungkin ia benar-benar seorang musuh yang sangat
berbahaya." Linggapati tertawa. Katanya, "Pergilah. Dan aku menunggu kau
disini. Kau pasti akan kembali. Tetapi aku tidak tahu, apakah kau
kembali sebagai kawan, atau sebagai lawan yang harus aku cincang
sampai lumat, sebab aku mendengar bahwa cara yang
dipergunakan orang berilmu hitam untuk membinasakan lawannya
adalah sangat mengerikan. Tetapi kami mempunyai cara yang
serupa meskipun kami bukan orang berilmu hitam dan
menyadapnya dengan mengorbankan nyawa orang lain."
Dada Kiai Dulang berdegup semakin keras. Tetapi ia masih tetap
berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu sejauh dapat
dilakukan. "Nah, cepat pergilah" desak Linggapati, "kau masih mendapat
kesempatan." 1982 "Baiklah" jawab Kiai Dulang, "aku akan pergi. Tetapi aku tidak
tahu kemana aku akan pergi, karena aku memang tidak mempunyai
tujuan tertentu. Mungkin aku akan pergi ke kota yang terdekat, atau
kota yang jauh sama sekali. Jika aku tidak kembali, artinya bahwa
aku mendapat tempat yang lebih baik untuk mencari nafkah. Jika
tidak, aku akan kembali ke kota ini apapun yang akan kalian
tuduhkan kepadaku, karena sebenarnya aku sama sekali tidak
mengerti yang kalian maksud."
"Sudahlah, diamlah agar kau tidak keliru" potong Linggapati,
"pergilah." Kiai Dulang pun kemudian bergeser surut. Perlahan-lahan ia
berdiri dan dengan ragu-ragu melangkah pergi.
"He" panggil Linggapati.
Kiai Dulang berpaling dengan hati yang berdebaran. Tetapi
dilihatnya Linggapati tertawa sambil melemparkan sekeping uang,
"Kau memerlukannya bukan."
"O" desis Kiai Dulang. Namun sekali lagi ia membuktikan bahwa
ia dapat berperan dengan baik. Dengan tergesa-gesa uang itu
dipungutnya sambil berkata, "Terima kasih."
Lalu ditatapnya Linggadadi seolah-olah mengharapkan bahwa ia
pun akan melemparkan sekeping uang seperti Linggapati. Tetapi
Linggadadi justru membentak" Cepat pergi."
"O "dengan tergesa-gesa Kiai Dulang pun melanjutkan
langkahnya menjauhi kedua orang kakak beradik yang masih berdiri
ditempatnya. "Aku tidak terlalu yakin bahwa orang itu berbahaya" berkata
Linggapati, "nampaknya ia benar-benar seorang pengemis."
"Ia mencari aku" desis Linggadadi.
"Ya. Ia memang bertanya tentang Linggadadi. Memang mungkin
ia termasuk salah seorang dari mereka yang berilmu hitam. Namun
agaknya ia akan dapat melihat sesuatu yang mungkin akan dapat
1983 menariknya bersama beberapa orang kawannya. Jika tidak, maka
yang diketahuinya sama sekali tidak berarti. Ia tidak akan dapat
menemukan tempat kita yang sebenarnya. Biar sajalah jika orang
itu datang dan merampok buah-buahan di padepokan tertutup itu."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Apakah
aku diperbolehkan mengikutinya."
"Itu tidak perlu. Aku kira jika ia mengetahui bahwa kau
mengikutinya, ia pun akan dapat berbuat sesuatu untuk
mengelabuimu." Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya seolah-olah kepada diri sendiri, "Ia tidak akan mampu
berbuat apa-apa. Jika aku ingin membunuhnya, ia akan mati
terkapar di pinggir jalan."
"Dan itu sama sekali tidak perlu" sahut Linggapati, "berapa kali
aku mencegah kau melakukan pembunuhan. Dan meskipun tidak
seluruhnya, tetapi beberapa di antara mereka kini berada didalam
lingkungan kami." Linggadadi tidak menjawab.
"Biarlah orang itu menemui Empu Baladatu seandainya ia
memang orang dari lingkungannya. Biarlah ia mengatakan apa yang
diketahuinya tentang kita."
Linggadadi tidak menjawab.Tetapi ia tidak lagi memperhatikan
langkah pengemis yang sudah semakin jauh dan kemudian hilang
ditikungan. Ketika Kiai Dulang sadar, bahwa ia sudah tidak terlihat lagi oleh
kedua orang yang menyebut diri mereka Linggapati dan Linggadadi,
maka ia pun segera mempercepat langkahnya. Sekali-sekali ia
berpaling karena kegelisahan dihati sendiri. Ketika ia sampai pada
sebuah tikungan, maka ia pun segera berbelok lagi untuk
menghindarkan diri dari pengawasan seandainya Linggadadi dan
Linggapati mengawasinya dari kejauhan.
1984 Di dalam sebuah lorong yang sempit Kiai Dulang menarik nafas
dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah terlepas dari intaian kedua orang
yang telah mendebarkan jantungnya itu.
Meskipun demikian Kiai Dulang tidak memperlambat langkahnya,
seolah-olah ia ingin cepat-cepat keluar dari daerah Mahibit yang
bagaikan menjadi sepanas bara.
Dengan cepat Kiai Dulang melangkah keujung lorong di
kejauhan. Ia yang pernah menjelajahi kota itu sebagai seorang
pengemis tahu benar, bahwa lorong itu akan sampai ke ujung
padukuhan, kemudian sampai kebulak pendek. Ia akan melintasi
bulak itu, dan akan sampai ke jalan yang lurus melintasi gerbang
kota. "Aku akan segera sampai keluar kota" desisnya.
Tetapi, ketika ia muncul dimulut lorong, terasa jantungnya
bagaikan meledak. Seolah-olah tiba-tiba saja ia telah berdiri di
hadapan seseorang yang duduk diatas sebuah batu di pinggir lorong
tepat di simpang tiga. "O" terloncat sebuah desah dibibir Kiai Dulang.
"Aku sudah memperhitungkan bahwa kau akan mengambil jalan
ini untuk menghindarkan diri dari pengawasanku." desis orang itu.
Kiai Dulang menjadi bingung, apakah yang harus dikatakannya.
Karena itu, untuk beberapa saat ia berdiri bagaikan patung.
"Bagiku kau tetap berbahaya" desis orang itu, "kakang Linggapati
memang terlampau percaya kepada diri sendiri. Tetapi sikapnya itu
kadang-kadang sangat merugikan kami semuanya."
"Tetapi, tetapi aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan
pergi seperti yang kalian perintahkan."
"Pergi dari kota ini memang mengurangi beban kami. Tetapi akan
lebih lapang lagi dada kami, jika orang-orang seperti kau ini dibunuh
saja sama sekali." "Tetapi aku tidak bersalah."
1985 "Kakang Linggapati tidak berkepentingan dengan kau. Tetapi aku
mempunyai kepentingan langsung karena kau tentu salah seorang
dari orang-orang berilmu hitam yang sedang menyelidiki tentang
Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu hitam. Dan seperti gelar
itu, maka kau pun harus dibunuh."
Kiai Dulang menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa Linggadadi
adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia pun sadar,
bahwa ia bukannya tidak berilmu sama sekali.
Meskipun demikian Kiai Dulang masih juga berusaha menghindari
benturan. Katanya, "Tuan. Apakah yang sebenarnya tuan kehendaki
daripadaku. Aku sudah memenuhi segala perintah tuan dan saudara
tua tuan yang bernama Linggapati itu. Apakah masih ada yang
salah?" "Kau orang yang berbahaya bagiku. Tetapi tidak bagi kakang
Linggapati. Karena itu, maka aku telah berusaha dengan diam-diam
mencegatmu di sini, karena kakang Linggapati tidak
mengijinkannya." "Aku benar-benar tidak merasa bersalah."
Linggadadi mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Marilah. Kita
berjalan bersama-sama sampai keluar pintu gerbang. Aku akan
membunuhmu di luar kota. Aku akan berusaha bahwa kau tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan mengalami siksaan disaat matimu."
"Tuan." "Jika kau melawan atau melakukan sesuatu yang dapat
mengganggu usahaku membunuhmu tanpa kecemasan dan rasa
sakit, maka akibatnya tentu kau sendirilah yang akan mengalami."
"Tetapi" sahut Kiai Dulang, "bukankah aku tidak akan berbuat
apa-apa?" "Jangan berbohong lagi. Tidak ada gunanya." desis Linggadadi,
"sekarang marilah. Kau harus sadar, bahwa ilmuku masih berada
diatas ilmu Empu Baladatu, sehingga murid-muridnya seperti kau
dan yang lain-lain itu sama sekali tidak berarti bagiku."
1986 Wajah Kiai Dulang menjadi merah. Tetapi kecemasan kini benarbenar
telah mencengkam jantungnya.
"Marilah. Tetapi jika kau melawan, maka aku akan mengambil
sikap yang barangkali sangat menjemukan bagimu menjelang saat
kematian. He, kau lihat parit kecil itu" Aku dapat mengikatmu dan
meletakkan tubuhmu tertelungkup di parit yang hanya mengalir
setinggi mata kaki. Tetapi dalam waktu sehari kau tentu akan mati."
Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Kecemasan yang sangat telah
mencengkam hatinya. Dalam pada itu Linggadadi berkata selanjutnya, "Terserah
kepadamu. Segala sesuatunya kau sendirilah yang menentukan.
Lihat. Parit itu hanya mengalirkan air tidak terlalu banyak. Tetapi
jika kau menelungkup sehari, maka akan cukup banyak air yang
masuk kedalam perutmu. Kau tidak akan dapat berteriak, karena
Seruling Gading 7 Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi Di Pulau Seram 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama