Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 33
setiap kau mengangakan mulutmu, air akan mengalir masuk.
Sementara itu kau tidak akan dapat mengangkat kepalamu karena
seluruh tubuhmu terikat erat-erat."
Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi sudah terbersit tekad
didadanya, bahwa apabila perlu, maka ia tidak akan membiarkan
dirinya mati tanpa perlawanan, apapun yang akan terjadi atasnya.
"Marilah" ajak Linggadadi, "jangan ribut supaya jalan bagimu
terbuka. Kematianmu adalah kematian yang menyenangkan."
Kiai Dulang tetap berdiam diri.
"Apakah kau sudah tuli" bentak Linggadadi kemudian. Tidak ada
jawaban. Linggadadi menjadi marah karenanya, sehingga ia pun kemudian
melangkah mendekat sambil membentak, "Jangan menyiksa diri
sendiri." Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung Kiai
Dulang. Namun justru karena itu, maka ia masih saja berdiri
membeku. Seolah-olah ia menunggu apa saja yang akan terjadi atas
dirinya. 1987 Namun dalam pada itu, selagi Linggadadi mendekatinya dengan
wajah yang merah oleh kemarahan, terdengar suara tertawa dibalik
tikungan. Kemudian muncullah seseorang dengan langkah satu-satu
seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Linggadadi menjadi semakin tegang. Diluar sadarnya ia
bergumam, "Kakang Linggapati."
"Aku sudah menyangka, bahwa seperti yang selalu kau lakukan,
kau akan membunuh orang itu." Linggadadi tidak menjawab.
"Kau sudah terbiasa melanggar keputusanku. Tetapi kau tidak
pernah menyadari, bahwa setiap kali kau keliru."
Linggadadi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya kakaknya dan
Kiai Dulang berganti-ganti.
"Nah Ki Sanak" berkata Linggapati, "pergilah. Aku kira Linggadadi
tidak akan mengganggumu lagi."
Kiai Dulang masih tetap ragu-ragu, sehingga Linggapati lah yang
kemudian membentaknya, "Cepat, pergilah. Atau aku akan
mengambil s ikap lain?"
Seperti orang yang tersadar dari mimpinya, Kiai Dulang pun
kemudian dengan tergesa-gesa melangkah meninggalkan tempat
itu. Jauh lebih cepat dari yang sudah dilakukannya.
Sambil tersenyum Linggapati melihat orang itu berlari-lari kecil.
Setiap kali Kiai Dulang berpaling untuk meyakinkan bahwa
Linggadadi tidak menyusulnya lagi.
"Kakang terlampau memanjakan orang-orang yang memusuhi
aku" berkata Linggadadi.
"Kau memang kasar Linggadadi. Tetapi sebaiknya kau menurut
nasehatku. Orang itu sama sekali tidak berbahaya. Aku pasti, bahwa
ia bukannya petugas sandi dari Singasari. Sedangkan jika ia orang
dari lingkungan ilmu hitam, maka ia akan merupakan tusukan yang
mungkin akan berarti bagi lingkungan itu."
"Lingkungan ilmu hitam cukup ketat."
1988 "Aku tidak berkeberatan. Jika ia akan hilang, itu tidak akan
banyak berpengaruh."
Linggadadi yang kecewa itu terdiam. Tetapi ia tidak berani
berbuat sesuatu, karena peringatan yang demikian dari kakaknya
merupakan peringatan yang menentukan.
Sementara itu, Kiai Dulang telah berjalan semakin jauh. Ketika ia
melintasi gerbang kota kecil itu, maka ia pun merasa seolah-olah ia
sudah terlepas dari tangan Linggadadi meskipun kemungkinan yang
buruk masih akan dapat terjadi atasnya.
Namun agaknya Kiai Dulang benar-benar telah bebas dari
ancaman Linggadadi, sehingga ia merasa bahwa jiwanya sudah
tidak terancam lagi ketika ia sudah melintasi beberapa buah
padukuhan dan bulak. "Linggadadi tidak akan berani melanggar pesan kakaknya"
berkata Kiai Dulang didalam hatinya.
Sambil berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Mahibit, Kiai
Dulang mulai menganyam cara untuk mengatasi persoalan yang
dapat timbul kemudian dengan perguruan Empu Baladatu. Ia
mencoba untuk menilai, apakah sekiranya Empu Baladatu
mempunyai kemampuan yang seimbang dengan Linggadadi dan
Linggapati. "Seandainya Empu Baladatu memiliki ilmu yang seimbang dengan
salah seorang dari keduanya, namun bersama-sama keduanya tetap
merupakan orang yang sangat berbahaya bagi perguruan ilmu yang
disebut hitam itu." berkata Kiai Dulang.
Apalagi ketika sekilas terbayang wajah seorang anak muda yang
seolah-olah tidak terpengaruh oleh kelelahan sama sekali. Mahisa
Bungalan. Dan yang kemudian mengganggunya pula adalah
padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru.
"Rintangan-rintangan yang sangat berat" desis Kiai Dulang. Dan
yang terakhir adalah orang-orang yang ada di dalam istana
Singasari itu sendiri. 1989 Terbayang betapa orang-orang kuat seperti Mahisa Agni, Lembu
Ampal, para Senapati dan Panglima. Kemudian kedua anak muda
yang sedang berkuasa di Singasari, yang disebut Sepasang Ular
Naga disatu sarang. Bahkan kemudian muncul pula nama-nama
Witantra dan Mahendra. Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada diri
sendiri, "Memang tidak mungkin bagi Empu Baladatu untuk
mencapai maksudnya. Meskipun ia dapat memperluas daerah
pengaruhnya, tetapi perkembangan tentu sangat perlahan. Apalagi
diluar istana agaknya Linggadadi dan Linggapati mempunyai
kepentingan tersendiri dengan Singasari."
Sesaat terlintas sikap Linggadadi dan Linggapati yang berbeda.
Dan Kiai Dulang yang mempunyai nalar yang cukup tajam dapat
mengerti, apakah yang sebenarnya dimaksud oleh Linggapati.
"Linggapati ingin menggabungkan kekuatan yang berada di luar
istana" katanya kepada diri sendiri.
Namun semuanya masih harus diserahkan kepada kebijaksanaan
Empu Baladatu. Ia adalah penguasa tunggal di padepokannya,
sehingga segala sesuatu, Empu Baladatu sendirilah yang harus
mengambil keputusan. "Tetapi aku dapat memberikan pertimbangan kepadanya"
berkata Kiai Dulang kemudian.
Karena itu, maka perjalanan Kiai Dulang itu pun langsung menuju
ke padepokan Empu Baladatu, meskipun ia harus bermalam di
perjalanan. Kedatangannya telah menimbulkan harapan-harapan baru pada
Empu Baladatu. Namun kemudian nampak betapa hatinya justru
dicengkam oleh keragu-raguan ketika Kiai Dulang sudah melaporkan
semua hasil perjalanannya.
"Hatimu memang terlampau kecil menghadapi persoalan yang
besar ini" berkata Empu Baladatu.
1990 "Tidak Empu. Tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan yang
kita hadapi. Apakah yang dapat kita harapkan dengan kekuatan
yang ada pada, kita sekarang."
"Serigala Putih dan Macan kumbang harus diperhitungkan."
"Tentu Empu. Tetapi jika sepasukan prajurit segelar sepapan
datang ke kedua padepokan itu, maka padepokan itu tentu akan
segera disapu bersih."
"Kau tidak melihat kekuatan Serigala Putih dan Macan Kumbang
yang sebenarnya." "Aku berada di antara mereka, Empu. Aku tinggal di tengahtengah
mereka." Empu Baladatu menarik nafas dalam. Dengan seksama ia
mendengarkan setiap penjelasan yang diberikan oleh Kiai Dulang.
Tentang kedua bersaudara yang ditemuinya di Mahibit. Tentang
sifat-sifat mereka yang berbeda dan pendirian mereka masingmasing.
"Bagaimana menurut pertimbanganmu. Apakah agaknya mereka
dapat dipercaya?" "Menurut pendapatku Empu, mereka adalah orang-orang yang
menyatakan apa. yang tersirat dihati mereka. Jika mereka ingin
membunuh, maka keinginannya itu akan segera nampak. Tetapi
agaknya Linggapati mempunyai perhitungan yang lebih masak."
"Tetapi ingat Kiai Dulang, Linggapati adalah pembunuh orang
berilmu hitam." "Itu adalah suatu kebetulan. Tetapi aku kira jika kita dapat
memanfaatkan hubungan kita dengan Linggapati, maka akan dijalin
suatu hubungan yang lain, yang mungkin akan dapat saling
memberikan manfaat."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia merasakan beberapa
kebenaran keterangan Kiai Dulang.
1991 "Tetapi bagaimana mungkin aku dapat membicarakan hal ini
dengan Linggapati?" "Aku dapat menghubunginya. Dan Empu akan dapat
mengadakan penjajagan, karena pada hakekatnya, ikatan yang
apabila mungkin dibuat, adalah ikatan yang longgar."
"Kita belum mengetahui kekuatan orang-orang Mahibit itu,"
"Jika kekuatan mereka hanyalah terletak pada kedua orang itu,
maka kita akan dapat membinasakannya. Betapapun tinggi ilmunya,
namun jumlah orang yang adapun akan mempengaruhinya pula."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi terbayang olehnya
ceritera Kiai Dulang tentang halaman sebuah padepokan yang
dikelilingi oleh dinding batu yang agak tinggi, tetapi sama sekali
tanpa regol. "Memang aneh dan tentu menyimpan rahasia yang tidak
diketahui oleh orang lain. Bahkan penghuni padepokan itu pun
tidak, selain Linggapati dan Linggadadi." desah Empu Baladatu.
"Padepokan itu sudah kosong."
"Ya, sudah kau katakan. Tetapi kekosongan padepokan itu bukan
berarti bahwa padepokan itu sudah tidak mempunyai arti lagi."
Kiai Dulang mengangguk-angguk.
"Kiai" berkata Empu Baladatu, "baiklah aku akan memikirkan.
Tetapi memang berat untuk menghadapi sederetan nama seperti
yang kau katakan. Tetapi sudah tentu bukan maksudku untuk
menghadapi mereka bersama-sama. Tetapi seorang demi seorang
dalam kesempatan yang terpisah-pisah."
"Aku tahu Empu. Tetapi baiklah kita mencoba mencari hubungan
dengan orang-orang Mahibit. Kita mempunyai kekuatan cukup,
sehingga Linggadadi dan Linggapati tidak akan dapat memperkecil
kehadiran kita. Dan bahkan mungkin dengan demikian kebiasaan
Linggadadi membunuh orang berilmu hitam itu pun akan
ditinggalkannya." 1992 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
dapat mengambil keputusan. Banyak pertimbangan dan perhitungan
yang harus diperhatikannya tentang Linggapati dan Linggadadi.
Tetapi ia pun tidak dapat mengabaikan pendapat Kiai Dulang yang
bagi orang-orang berilmu hitam memiliki tataran yang cukup baik.
Tetapi Empu Baladatu harus bersikap hati-hati. Ia tidak akan
dapat memutuskannya sendiri. Dengan banyak pertimbangan ia
mencoba menilik setiap kemungkinan yang dapat dilakukan.
Itulah sebabnya maka Empu Baladatu pun memanggil beberapa
orang yang dianggapnya mempunyai kecakapan berpikir. Seorang
demi seorang, agar masing-masing tidak saling mempengaruhi. Ia
ingin mendengar pendapat orang-orangnya seluas-luasnya seperti
yang mereka pikirkan. Memang ada beberapa pendapat. Tetapi menurut kesimpulan
yang didapatkannya, maka orang-orangnya condong untuk tidak
bermusuhan dengan Linggadadi yang digelari pembunuh orang
berilmu hitam. "Memang ada dendam yang menyala dihati kami" berkata salah
seorang dari mereka, "tetapi dendam itu tidak harus diujudkan
dalam tindakan yang bodoh dan tidak terarah. Kita akan dapat
memanfaatkan tawaran baik dari Linggapati itu meskipun pada
suatu saat kita akan membuat perhitungan dengan mereka secara
khusus." "Maksudmu jika kita telah berhasil, maka kita akan membuat
perhitungan khusus?"
"Setelah berhasil atau separo berhasil. Tetapi sudah tentu pada
keadaan seperti sekarang, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa,
karena kita tidak tahu dimanakah orang-orang yang bernama
Linggapati dan Linggadadi itu sebenarnya tinggal."Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud
anak buahnya yang seorang ini. Tetapi perbuatan licik itu pun sama
sekali tidak menjadi pantangan bagi golongan orang-orang berilmu
hitam itu. 1993 Sementara anak buahnya yang lain dengan tegas menerima
tawaran itu. Meskipun ia berkata, "Tetapi kita tidak boleh lengah.
Kita tidak boleh menjadi korban dari kelicikan Linggapati itu. Jika
kita terpaksa menghubungi mereka, maka biarlah orang-orang yang
tidak banyak berarti bagi kita berusaha untuk membuat rintisan dari
hubungan itu, sehingga yang terjadi bukanlah sebuah jebakan."
Namun yang lain mengatakan, "Apakah kita akan membiarkan
diri kita masuk ke mulut buaya?"
"Tetapi banyak cara yang dapat ditempuh" berkata Empu
Baladatu, "memang mungkin kita masing-masing akan dapat
berbuat curang. Tetapi setidak-tidaknya kesepakatan untuk tidak
saling memusuhi, akan membantu perkembangan perguruan ini.
Kita akan dapat menyiapkan kekuatan yang cukup, sehingga jika
benar-benar kita dihadapkan pada keharusan membuat perhitungan
maka kita sudah dapat benar-benar bersiap dalam segala hal."
"Tetapi apakah Linggapati dan Linggadadi tidak berbuat apapun
juga selama ini?" bertanya salah seorang dari anak buahnya, "jika
kita berharap untuk maju, maka Linggapati pun akan berbuat
serupa seperti kita."
"Mereka akan dapat berbuat seperti yang dikehendaki, karena
selama ini pihak kita sajalah yang banyak mengalami kesulitan
akibat perbuatan Linggadadi dan Mahisa Bungalan, yang
nampaknya satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan. Kita
sudah terkelabuhi selama ini jika kita menganggap bahwa kedua
orang itu merupakan sepasang kesatria yang mencoba ingin
menjadi pahlawan." Anak buahnya pun mengangguk-angguk. Dengan penuh
kecurigaan mereka dapat mengerti, bahwa hubungan itu memang
dapat diselenggarakan. Dalam pertemuan terbatas setelah Empu Baladatu mendengar
dan berbicara dengan beberapa orang, maka akhirnya Empu
Baladatu memutuskan untuk mencoba membuat hubungan tertentu
dengan Linggapati. 1994 "Pergilah ke Mahibit" berkata Empu Baladatu kepada Kiai Dulang,
"kita akan menentukan, dimana aku dapat bertemu dengan
Linggapati. Hanya Linggapati. Jika yang datang Linggapati dan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Linggadadi, aku tidak akan berbicara. Meskipun nanti keputusan
yang diambil akan menyangkut Linggadadi, namun aku tidak
bersedia berbicara dengan orang yang kasar itu."
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa
kedatangannya ke Mahibit dapat membahayakan jiwanya. Jika
Linggadadi tidak dapat mengendalikan dirinya, maka akan dapat
terjadi benturan kekerasan. Sedangkan Linggadadi adalah orang
yang tentu tidak akan dapat dilawannya.
Karena itulah, maka Kiai Dulang minta kepada Empu Baladatu
agar perjalanannya mendapat pengawasan dari seseorang yang
dapat dipercaya untuk membantunya, jika Linggadadi kemudian
menjadi gila. Empu Baladatu tidak berkeberatan. Itulah sebabnya maka Kiai
Dulang pun kemudian pergi ke Mahibit dengan seorang kawan yang
akan dapat membantunya jika ia menemui kesulitan.
Kedatangan Kiai Dulang kembali ke Mahibit sudah di duga oleh
Linggapati. Karena itulah, maka beberapa hari kemudian, ia sudah
melihat lagi seorang pengemis yang duduk ditikungan yang
biasanya dipergunakan oleh Kiai Dulang menunggu orang-orang
yang bermurah hati memberikan sekeping uang kepadanya,
termasuk Linggapati. Yang pertama-tama datang kepada Kiai Dulang dari kedua
bersaudara itu adalah Linggapati. Seperti biasanya ia datang dan
melemparkan sekeping uang. Namun kemudian sambil tertawa ia
berkata, "Aku sudah mengira bahwa kau akan datang lagi."
"Sebenarnya aku sangat cemas" berkata Kiai Dulang.
"Kenapa?" "Linggadadi sudah siap membunuhku." Linggapati tertawa.
Katanya, "Jangan takut. Ia tidak bersungguh-sungguh."
1995 "Ia bersungguh-sungguh."
"Sekarang tidak. Aku sudah memperingatkannya., "Kiai Dulang
termangu-mangu. Tetapi ia mempunyai kepercayaan kepada
Linggapati. Agaknya Linggapati akan dapat memegang janjinya, dan
tidak akan membiarkan Linggadadi membunuhnya.
"Katakan, kenapa kau kembali meskipun kau cemas bahwa
Linggadadi akan membunuhmu?"
"Kau tentu sudah menduga."
Linggapati tertawa lagi. Katanya sambil mengangguk-angguk,
"Sudah aku kira bahwa kau bukan seorang pengemis yang dungu.
Kau tentu seorang yang memiliki kemampuan berpikir yang matang.
Sejak aku bertemu dengan kau disini, aku sudah
mempertimbangkan untuk berbicara tentang Kemungkinan seperti
yang akan kau katakan kepadaku. Bukankah begitu?".
"Ya. Dan kau sudah banyak mengetahuinya meskipun mula-mula
hanyalah sekedar dugaan."
"Katakanlah dengan tepat."
"Aku datang atas nama Empu Baladatu."
Linggapati tertawa sekali lagi meskipun ia berusaha untuk
menahannya agar tidak menarik perhatian orang-orang yang lewat,
"Tepat seperti yang aku perhitungkan. Kau tentu salah seorang dari
orang-orang berilmu hitam yang mendendam kepada Linggadadi,
karena Linggadadi digelari pembunuh orang berilmu hitam. Dan
pimpinan tertinggi orang-orang berilmu hitam adalah Empu
Baladatu. Usahanya mengalahkan gerombolan Serigala Putih dan
Macan Kumbang tidak menguntungkannya, karena setiap orang
kemudian mengetahui namanya karena orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang tidak dapat
membatasi diri seperti murid-murid Empu Baladatu yang lebih tua
dan murni." 1996 "Kau benar. Tetapi tidak semua orang mengetahui dan mengenal
ciri-ciri Empu Baladatu seperti orang-orang Mahibit yang mengenal
nama Linggadadi dan Linggapati tidak mengenal ciri-cirinya."
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar Tidak
banyak orang yang mengetahui ciri-cirinya. Bahkan orang-orang dari
gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang yang pernah
berhadapan muka sekalipun tidak akan dapat mengenalnya dalam
ujudnya yang sedikit berubah."
Kiai Dulang tidak menjawab.
"Nah, apa katamu sekarang tentang Empu Baladatu?"
"Ia bersedia bertemu denganmu."
"Bagus sekali" sahut Linggapati, "apakah aku harus datang
kepadepokannya?" "Tidak. Kau dapat menentukan tempat lain."
"Dimana, apakah di Mahibit?"
"Tidak di Mahibit, tetapi juga tidak dipadepokan Empu Baladatu.
"Katakan dimana. Aku akan bersedia datang berdua saja dengan
Linggadadi, tanpa orang lain."
Kiai Dulang menjadi heran. Agaknya Linggapati mempunyai
kepercayaan yang sangat kuat kepada dirinya sendiri sehingga ia
sama sekali tidak gentar kemanapun ia harus bertemu dengan
Empu Baladatu. "Apakah kau bersedia datang ke salah satu sarang gerombolan
Serigala Putih atau Macan Kumbang."
"Tentu. Aku akan datang. Aku sudah mengetahui letak kedua
padepokan itu." "Jika demikian baiklah. Kita tentukan harinya. Datanglah ke
padepokan Serigala Putih."
1997 "Tetapi beritahukan kepada orang-orang gerombolan Serigala
Putih agar mereka tidak mengganggu aku. Mereka tidak usah
mengetahui bahwa yang datang adalah Linggapati dan Linggadadi.
Tetapi bahwa akan datang dua orang mengunjungi padepokan
mereka, itulah yang harus mereka ketahui agar mereka tidak
berbuat dungu dan mengganggu aku. Setiap gangguan, apalagi
tindakan kekerasan, berarti padukuhan itu akan musna."
"Ternyata kau juga dapat menyombongkan diri?"
"Tentu. Aku selalu berusaha untuk menyombongkan diri agar aku
dapat menakut-nakuti orang lain. Kesombongan kadang-kadang
memang sangat berguna." ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi yang
aku katakan benar-benar kesombongan. Bukan bualan. Kau tahu
bedanya?" Kiai Dulang termangu-mangu.
"Sombong adalah mengatakan yang sebenarnya meskipun agak
berlebih-lebihan dan sekedar ingin mendapat pujian. Sedang bualan
adalah sesuatu yang sama sekali tidak benar."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan
menyampaikan kepada Empu Baladatu. Tentukan hari yang paling
baik buatmu." "Tentu bukan saat purnama naik, saat Empu Baladatu
memerlukan korban untuk perkembangan ilmunya, meskipun bukan
berarti aku menjadi ketakutan."
Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ternyata yang di ketahui
Linggapati tentang Empu Baladatu cukup banyak.
Sejenak Kiai Dulang mempertimbangkan kemungkinan
pertemuan itu. Agaknya Linggapati benar-benar seorang yang
percaya kepada diri sendiri, sehingga dimanapun pertemuan itu
diadakan, bukannya menjadi persoalan baginya.
Namun dalam pada itu, Kiai Dulang berkata, "Linggapati. Jika
persoalan menjadi semakin terang, apakah kau akan tetap
1998 merahasiakan dirimu sendiri dan kekuatanmu yang sebenarnya bagi
Empu Baladatu?" "Itu tergantung kepada keadaan." jawab Linggapati, "tetapi pada
dasarnya, kita tidak diwajibkan untuk melebur kekuatan yang ada.
Tetapi kita akan bersama-sama mempergunakan kekuatan kita
masing-masing untuk tujuan yang sama."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah Linggapati. Kita
tentukan saja, bahwa pertemuan akan dilangsungkan di hari
pertama, saat bulan mulai nampak di langit, di padepokan
gerombolan Serigala Putih."
Linggapati tertawa. Katanya, "Baiklah. Aku dan Linggadadi akan
datang. Jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan dapat
membinasakan seisi padepokan dan bahkan padepokan Macan
Kumbang dan padepokan Empu Baladatu sendiri."
Kiai Dulang tersenyum. Katanya, "Kau belum mengetahui
dimanakah letaknya padepokan dan kekuatan Empu Baladatu yang
sebenarnya." Linggapati pun tertawa. Katanya, "Memang belum. Tetapi akan
segera mengetahuinya jika aku dengan bersungguh-sungguh
mencarinya. Jika kau tidak percaya, aku akan dapat
membuktkannya." Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa
ia akan dapat menjadi sasaran pemerasan untuk mengatakan letak
padepokan Empu Baladatu yang sebenarnya. Meskipun seorang
kawannya mengawasi dari kejauhan, tetapi yang dapat dilakukan
oleh kawannya itu tentu sekedar melaporkan kepada Empu Baladatu
jika terjadi sesuatu atas dirinya.
Karena itu, maka Kiai Dulang itu pun berkata, "Baiklah. Aku
percaya. Karena itu agaknya pembicaraan kita sudah dapat
dianggap selesai, karena pembicaraan berikutnya akan dilakukan
dipadepokan itu dengan Empu Baladatu sendiri."
1999 "Katakanlah kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang.
Mudah-mudahan kita saling menyadari bahwa kita tidak boleh saling
mengganggu dan terlebih-lebih lagi, agar kita dapat bekerja
bersama untuk mencapai suatu cita-cita yang agung."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja senyum
yang mulai membayang dibibirnya segera larut ketika ia melihat
seseorang dengan langkah yang tetap perlahan-lahan
mendekatinya. "Kau masih cemas saja melihat kehadirannya" berkata
Linggapati, "ia sudah menyadari bahwa langkahnya telah salah.
Itulah sebabnya maka kau tidak usah cemas."
Kiai Dulang terdiam sejenak. Namun kemudian kepalanya pun
terangguk-angguk lemah. Katanya, "Mudah-mudahan."
Kiai Dulang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena
Linggadadi pun menjadi semakin dekat.
Sejenak Kiai Dulang menunggu dengan tegang. Namun rasarasanya
hatinya menjadi lapang ketika ia melihat wajah Linggadadi
yang cerah. Bahkan sebuah senyum mampak di bibirnya.
"Maafkan sikapku yang kasar" berkata Linggadadi sebelum ia
berhenti berjalan. Kiai Dulang pun tersenyum sambil menjawab, "Ah, tidak apa-apa.
Semuanya terjadi karena persoalan di antara kita yang belum jelas."
"Apakah sekarang sudah jelas?"
"Nampaknya akan menjadi semakin jelas." jawab Kiai Dulang.
Sekilas Linggadadi memandang wajah kakaknya. Sebuah
anggukan kecil dan senyum yang sekilas dibibir Linggapati telah
membenarkan kata-kata Kiai Dulang itu sehingga Linggadadi pun
mengangguk-angguk pula. "Kita akan datang ke padepokan gerombolan Serigala Putih pada
hari pertama, saat bulan mulai nampak dilangit. Kita akan berbicara
2000 langsung dengan Empu Baladatu, dan barangkali kita akan
mengatur langkah-langkah kita selanjutnya."
Linggadadi hanya mengangguk-angguk saja. Kemudian ia
berdesis, "Terserahlah kepada kakang. Aku akan selalu melakukan
tugasku sebaik-baiknya."
Linggapati pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Sampaikan kepada Empu Baladatu, bahwa aku akan datang pada
saatnya. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan baik, sehingga
dengan demikian akan hilanglah gelar Linggadadi sebagai
pembunuh orang berilmu hitam."
"Ah" desis Linggadadi.
Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Seleret dendam
membayang dimatanya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil
berkata, "Ya. Tetapi selain Linggadadi, masih ada orang yang
mendapat gelar serupa."
"Mahisa Bungalan, anak Mahendra" sahut Linggapati.
"Ya." "Kita akan menyelesaikannya kelak. Jika kekuatan kita
bergabung, maka Mahisa Bungalan tidak akan ada artinya lagi bagi
kita. Mahendra, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Agni, Satu-satu
akan kita lenyapkan. Kemudian sepasang ular itu tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi didalam sarangnya yang akan segera kita
bakar sampai hangus."
Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat cahaya yang berkilatkilat dimata Linggapati. Bahkan didalam hatinya Kiai Dulang berkata, "Nampaknya
Linggapati justru lebih meyakinkan dari Empu Baladatu sendiri."
Demikianlah, ketika kesepakatan telah didapat, pengemis itu pun
segera meninggalkan Mahibit. Dari kejauhan seseorang yang
memang dibawanya, mengikutinya dan mengawasinya jika ada
sesuatu yang membahayakan Kiai Dulang.
2001 Ketika mereka keluar dari gerbang kota, maka kawan Kiai Dulang
itu pun mulai mempercepat langkah menyusulnya karena menurut
pendapatnya tidak akan ada kesulitan apapun lagi jika keduanya
berjalan bersama, karena mereka sudah tidak berada di Mahibit lagi,
dan sudah tentu berada diluar pengawasan Linggapati dan
Linggadadi. Namun ketika orang itu melalui sebatang pohon yang besar ditepi
jalan, tiba-tiba saja ia memekik terkejut. Sebuah tangan yang kuat
telah menariknya dan sebelum ia dapat berbuat apa-apa, tangan itu
sudah melingkar dilehernya.
Orang itu akan meronta. Namun niatnya segera diurungkan
karena ujung pisau yang tajam melekat didadanya.
"Kau harus dibunuh" desis seseorang.
"Kenapa?" orang itu tergagap.
"Kau tentu mengikuti pengemis itu dengan maksud buruk. Ia
adalah kawanku, sehingga karena itu, kau memang harus dibunuh."
"Tidak, tidak" suaranya terputus karena lengan yang meliagkar
dilehernya menjadi semakin keras.
Kiai Dulang mendengar suara kawannya yang sudah tidak begitu
jauh daripadanya. Ketika ia berpaling, ia pun terkejut melihat
Linggadadi sudah siap menekan pisaunya yang melekat di dada
kawannya. "Tunggu" tiba-tiba saja Kiai Dulang berteriak.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Ketika Kiai Dulang kemudian
berlari-lari kembali mendekati kawannya, Linggadadi berkata, "Aku
mengamati orang ini sejak di Mahibit. Meskipun ia tidak mendekat,
tetapi aku mengetahui bahwa ia selalu mengawasinya. Tentu ia
bermaksud buruk atasmu."
Kiai Dulang tersenyum. Katanya, "Ia adalah kawanku. Kami
datang bersama-sama memasuki Mahibit. Aku merasa perlu
2002 membawa seorang kawan yang dapat mengetahui segala perbuatan
dan keselamatanku selama aku berada di Mahibit.-"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Linggadadi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan wajah
yang tegang ia bertanya, "Kenapa kau merasa perlu membawa
seorang kawan" Apakah kau tidak percaya kepada kami?"
"Bukan maksudku untuk tidak percaya. Tetapi kesalah pahaman
dapat saja terjadi dalam setiap pembicaraan."
"Lalu kau membawa seorang kawan jika terjadi perselisihan
antara kau dengan kami berdua" Kau kira kau berdua dengan orang
ini dapat melawan kami berdua?"
"Bukan, bukan maksudku" Ia hanya bertugas untuk mengetahui
apa yang terjadi dan melaporkannya kepada Empu Baladatu. Kami
sadar, bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa, jika kami
harus mati di Mahibit. Seandainya kami memiliki kemampuan
melawan kalian berdua, maka kalian pun dapat mengerahkan anak
buah kalian yang tidak dapat aku bayangkan, berapa jumlahnya."
"Jadi apakah maksudmu sebenarnya dengan membawa seorang
kawan." "Seperti yang aku katakan. Tugasnya hanya untuk melihat
keadaan tanpa berbuat apapun juga."
Linggadadi melepaskan orang itu perlahan-lahan. Kemudian ia
pun menggeram, "Benar-benar suatu penghinaan. Linggapati dan
Linggadadi bukan pengecut. Jika kami ingin membunuh, kami tentu
akan melakukannya dengan berterus terang. Tidak ada gunanya
kami menjebakmu. Mengundangmu kemudian membunuhmu. Itu
tidak ada artinya, karena jika demikian, kau tentu sudah mati diparit
dipinggir padukuhan itu."
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam.
"Kami adalah laki-laki yang menganggap semua kata-kata kami
sangat berharga. Karena itu, kami membenci setiap orang yang
tidak percaya kepada kata-kata kami."
2003 Kiai Dulang tidak menjawab. Tetapi ia melihat warna semburat
merah disorot mata Linggadadi.
"Pergilah. Tetapi jangan kalian mencoba mengulangi penghinaan
ini, agar kalian tidak mengalami nasib buruk."
"Aku minta maaf" desis Kiai Dulang.
Linggadadi pun kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua
orang yang termangu-mangu dibawah sebatang pohon yang
rimbun. Dengan ragu-ragu Kiai Dulang mencoba melihat batang
pohon yang besar itu sambil berdesis, "Memang luar biasa. Aku kira
ia sama sekali tidak mengerti bahwa kau sedang mengikutiku."
"Hem" desis kawan Kiai Dulang, "rasa-rasanya nafasku terputus
ketika tangannya menekan leherku. Ternyata ia melihat dan
mengerti bahwa aku memang mengikuti dan mengawasimu. Tetapi
agaknya ia salah paham."
"Maksudnya, ia melindungi aku karena aku membawa bahan
pembicaraan dengan Linggapati kepada Empu Baladatu."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil
melangkah ia berkata, "Marilah. Aku menjadi ngeri."
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan Mahibit kembali kepadepokannya. Rasa-rasanya
mereka tidak sabar lagi ketika mereka harus bermalam diperjalanan.
Mereka hanya berhenti beberapa saat untuk melepaskan lelah
dengan berbaring sejenak diatas rerumputan kering tanpa membuat
perapian. "Kita harus segera sampai." desis Kiai Dulang.
Dan sebelum fajar, mereka sudah, melanjutkan perjalanan agar
mereka segera sampai kepadepokan untuk menyampaikan semua
hasil pembicaraan mereka dengan Linggapati dan Linggadadi.
Tidak ada persoalan yang menghambat rencana pertemuan itu.
Kiai Dulang sudah mengatakan semua hasil pembicaraannya kepada
Empu Baladatu, dan Empu Baladatu pun tidak berkeberatan pula
2004 meskipun ia menjadi berdebar-debar mendengar laporan betapa
Linggapati dan Linggadadi memiliki kepercayaan yang kuat kepada
diri sendiri. Namun katanya kemudian, "Tentu Linggapati dan Linggadadi
tidak akan datang berdua saja. Mereka tentu membawa sepasukan
pengawal yang tersembunyi, namun siap menyerang jika keadaan
memaksa." "Mereka mengatakan bahwa mereka akan datang berdua saja
kepadepokan gerombolan Serigala Putih."
"Kau percaya begitu saja" Aku tidak. Karena itu orang-orang
Serigala Putih harus mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu. Aku
yakin, bahwa pasukan Linggapati dan Linggadadi ada disekitar
padepokan itu." Kiai Dulang mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin juga begitu. Sikap
keduanya yang sangat meyakinkan itulah barangkali yang telah
membuat aku percaya bahwa mereka benar-benar akan datang
berdua saja." "Kau memang dungu. Kembalilah kedalam lingkungan Serigala
Putih. Kau harus menyiapkan segalanya menjelang pembicaraan itu.
Bahkan kau harus menyiapkan orang-orang dari gerombolan Macan
Kumbang pula. "Mengapa?" "Apakah kau masih belum mengerti?"
Kiai Dulang mengerutkan keningnya, lalu, "Jadi maksud Empu,
orang-orang Macan Kumbang harus berada di sekitar padepokan itu
pula?" "Jangan terlalu bodoh. Jika demikian akan dapat timbul salah
paham. Sebelum Linggapati dan Linggadadi menyelesaikan
pembicaraan, dapat terjadi bentrokan antara orang-orang Macan
Kumbang yang mendekati padepokan gerombolan Serigala Putih
dengan orang-orang dari Mahibit."
2005 Kiai Dulang mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, "Jadi apa
yang harus mereka lakukan?"
"Kau harus memilih beberapa orang terkuat diantara mereka.
Bawa mereka masuk kedalam lingkungan orang-orang Serigala Putih
meskipun harus dijaga agar tidak timbul perselisihan diantara
mereka, karena permusuhan yang lama antara kedua gerombolan
itu." Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Empu
Baladatu meskipun ia pun menyadari bahwa sentuhan antara dua
lingkungan yang pernah mengalami permusuhan itu akan dapat
menimbulkan persoalan. "Tetapi kini sikap mereka tentu sudah berubah" berkata Empu
Baladatu kemudian. Kiai Dulang mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-Mudahan
mereka merasa masing-masing pihak menjadi semakin dekat
setelah mereka bersama-sama menyadap ilmu yang sama."
"Aku percaya kepada kalian yang bertugas dipadepokan itu.
Kalian harus mengatur segalanya, sehingga tidak akan
menumbuhkan penyesalan dikemudian hari." berkata Empu
Baladatu kemudian, "jika ternyata kemudian Linggapati dan
Linggadadi menyalahi persetujuan dan menyerang padepokan
Serigala Putih, maka kita semuanya sudah bersiap menghadapinya."
Kiai Dulang mengangguk-angguk.
"Aku akan datang beberapa hari sebelum saat yang di tentukan.
Aku harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi aku berharap bahwa Linggapati dan Linggadadi dapat
dipercaya." "Menilik sikap dan kata-katanya, aku percaya bahwa ada
keinginan, setidak-tidaknya dari Linggapati yang mempunyai
pengaruh yang lebih besar dari Linggadadi, bahwa kita tidak akan
memusuhinya, dan selebihnya dapat bekerja bersama untuk sesuatu
2006 yang besar. Tetapi aku masih belum dapat membayangkan apa
yang akan terjadi setelah yang besar itu dapat dicapai."
"Tentu kita masing-masing masih belum mengetahuinya apakah
yang sebaiknya kita lakukan" sahut Empu Baladatu, "tetapi tentu
ada sifat-sifat licik pada kita dan pada Linggapati untuk
mengingkari, setidak-tidaknya sebagian dari janji yang akan dibuat.
Karena itu, kita tidak boleh lengah. Tidak ada satu pihak pun yang
kelak akan dapat menjadi penengah jika terjadi perselisihan antara
kita dengan pihak Linggapati dan Linggadadi. Perselsihan itu jika
timbul, harus kita selesaikan dengan kekerasan. Kalau perlu dengan
kelicikan dan bahkan tipu muslihat."
Kiai Dulang mengangguk-angguk.
"Tetapi baiklah kita tidak terlalu berprasangka buruk sekarang ini.
Pertemuan itu aku harap dapat berlangsung dengan baik karena aku
sudah akan mengajukan sasaran yang pertama."
Kiai Dulang mengerutkan keningnya.
"Kita akan mulai dari pihak yang paling jauh dari perhatian
istana, jika kita mulai dengan Mahisa Bungalan,
maka kemungkinan untuk berbenturan dengan prajurit Singasari
akan dekat sekali. Demikian pula agaknya dengan Mahisa Agni,
Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal."
"Jadi?" "Kita singkirkan saudara kandungku yang mulai menjadi besar. Ia
tentu merupakan penghalang yang tidak boleh diabaikan."
Wajah Kiai Dulang menjadi tegang. Dengan suara datar ia,
bertanya, "Maksud Empu , Empu Sanggadaru?"
Empu Baladatu mengangguk lemah. Memang nampak keraguraguan
disorot matanya. Namun yang dikatakannya itu bukannya
belum dipikirkannya. 2007 "Aku menghormatinya sebagai seorang saudara tua" berkata
Empu Baladatu, "tetapi ia sama sekali tidak dapat mengerti
keinginanku." "Apakah Empu pernah mengatakannya apa yang Empu
kehendaki?" Empu Baladatu termenung sejenak. Kemudian kepalanya
menggeleng lemah, "Belum. Aku Belum mengatakannya."
"Jadi, darimana Empu mengetahui bahwa Empu Sanggadaru
tidak dapat mengerti kehendak Empu?"
Empu Baladatu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya,
"Jalan hidup kita sangat berlainan. Meskipun Empu Sanggadaru
belum pernah mengatakan sesuatu kepadaku tentang pilihan kita
masing-masing, namun sikap dan tingkah lakunya sudah
meyakinkan, bahwa ia bukannya seorang saudara laki-laki yang
baik." "Empu" bertanya Kiai Dulang, "tetapi kenapa justru Empu
Sanggadaru lah yang pertama?"
"Ia saudaraku. Mungkin di saat lain, hatiku sudah menjadi
semakin lemah, sehingga aku tidak berani bertindak kepada
saudaraku sendiri. Karena itu, selagi hati ini masih membara, maka
ia akan mengalami nasib buruk yang pertama." Empu Baladatu
berhenti sejenak, ilalu, "alasan yang lain adalah, karena Empu
Sanggadaru bukannya orang yang dekat dengan istana seperti yang
sudah aku katakan." Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Empu Baladatu
benar-benar seorang berilmu hitam yang tidak lagi mempunyai
pertimbangan selain dorongan nafsunya yang membara didalam
dadanya seperti yang dikatakannya.
Tetapi Kiai Dulang tidak dapat mencegahnya. Ia pun seorang
yang sudah lama menyadap ilmu hitam tanpa belas kasihan. Karena
itulah maka keheranannya atas sikap Empu Baladatu itu pun lambat
laun menjadi susut pula. 2008 "Siapapun jika mereka tergolong orang yang mungkin dapat
merintangi jalan ke singgasana Singasari, tentu akan
disingkirkannya" berkata Kiai Dulang didalam hatinya. Namun
kemudian sebuah pertanyaan, "Tetapi siapakah yang akan memiliki
kedudukan tertinggi jika kerja sama antara Linggapati dan
Linggadadi itu berhasil" Empu Baladatu atau Linggapati" Atau
mereka akan menjadi orang pertama dan kedua" Tetapi bagaimana
dengan Linggadadi?" Kiai Dulang menggelengkan kepalanya, seolah-olah ingin
mengibaskan angan-angannya tentang masa depan yang masih
sangat panjang itu. "Siapapun orang itu, bukannya persoalan yang harus dipikirkan
sekarang. Mungkin orang-orang tertinggi dikedua pihak akan saling
berbunuhan setelah mereka memenangkan perjuangan mereka."
Karena tulah maka Kiai Dulang tidak menghiraukannya lagi
apapun yang terjadi kemudian. Apakah mereka akan saling
membunuh atau akan menemukan penyelesaian bukannya
persoalannya. Seperti yang ditugaskan oleh Empu Baladatu maka Kiai Dulang
pun kemudian kembali kepadepokan Serigala Putih untuk mengatur
segala sesuatunya menghadapi pertemuan antara Empu Baladatu
dan Linggapati. Seperti yang dipesankannya pula, maka Kiai Dulang
pun telah memilih beberapa orang terbaik dari gerombolan Macan
Kumbang yang akan ditempatkan di antara gerombolan Serigala
Putih. Jika terjadi sesuatu, maka gerombolan Serigala Putih yang
sudah diperkuat itu akan dapat mengatasi persoalan.
Tetapi Kiai Dulang masih belum mengatakan kepada kedua
gerombolan itu apa yang akan terjadi, selain menyebutnya sebagai
suatu usaha untuk saling mendekatkan dalam latihan bersama.
"Kalian bersumber dari satu sumber yang sama, dan kini kalian
telah dialiri ilmu yang bersumber dari sumber yang sama pula.
Karena itu, sudah barang tentu bahwa di dalam diri kalian terdapat
2009 kesamaan-kesamaan yang akan mempersatukan kalian seperti
sumber semula." Orang-orang dari kedua belah pihak sama sekali tidak
mempertimbangkan persoalan-persoalan yang lain. Mereka
menganggap bahwa usaha itu adalah usaha yang wajar, sehingga
merekapun mengadakan usaha pendekatan dengan latihan
bersama. Orang-orang terbaik dari kedua gerombolan itu saling
mendekatkan ilmu mereka dibawah pengawasan para pemimpin
yang dikirim oleh Empu Baladatu termasuk Kiai Dulang.
Sebenarnyalah bahwa kekuatan kedua gerombolan itu sudah
jauh meningkat. Empu Baladatu mengadakan penilikan-penilikan
yang tetap dan keras lewat orang-orang kepercayaannya, sehingga
dengan demikian maka setiap orang dari kedua gerombolan itu,
terutama mereka yang masih muda, dengan sungguh-sungguh telah
memperdalam ilmunya, dipengaruhi pula oleh kesungguhan dan
himpitan perasaan saat-saat mereka menyaksikan korban yang
sangat berharga di saat purnama naik. Korban nyawa seseorang
dari lingkungan yang manapun juga.
Menjelang hari pertama, saat bulan mulai nampak di langit,
gerombolan Serigala Putih benar-benar telah mempersiapkan diri.
Meskipun mereka tidak tahu pasti, apa yang akan terjadi, namun
mereka dapat meraba, bahwa mereka harus berada di dalam
kesiagaan sepenuhnya. Apalagi ketika disaat terakhir mereka sadar, bahwa sekelompok
orang terkuat dari gerombolan Macan Kumbang berada di antara
mereka. "Apakah yang akan terjadi?" bertanya seseorang.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang lain menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Aku
tidak tahu." Pertanyaan itu ternyata telah menjalar dari mulut kemulut. Tetapi
tidak seorang diantara mereka yang dapat menjawab pertanyaan
itu. 2010 Di hari terakhir saat bulan masih nampak dilangit menjelang dini
hari, Empu Baladatu telah berada di padepokan gerombolan Serigala
Putih. Kehadirannya merupakan salah satu jawaban, kenapa orangorang
dari gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang harus
bersiap-siap. Empu Baladatu sempat melihat-lihat kemajuan dari gerombolan
yang sudah berada dibawah pengaruhnya itu. Ilmu dari
perguruannya yang berwarna hitam itu sudah mulai nampak pada
orang-orang dari gerombolan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
(Bersambung ke jilid 28) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
2011 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 28 DISAAT terakhir itulah, Empu Baladatu sendiri memanggil para pemimpin kelompok dari kedua gerombolan itu untuk memberikan penjelasan apa
yang akan terjadi. "Dua orang tamu akan
datang di padepokan ini"
berkata Empu Baladatu, "tepat
di saat bulan mulai nampak di
langit di sore hari. Itulah
sebabnya kalian harus mempersiapkan diri. Jika kedua
orang tamu itu datang kalian
harus menghormatinya sebagai
tamu di padepokan ini. Hanya
apabila terjadi sesuatu di luar
sikap dan unggah ungguh seorang tamu, maka kalian sangat kami
perlukan. Karena aku masih meragukan apakah yang datang itu
benar-benar hanya dua orang."
Penjelasan Empu Baladatu itu cukup jelas bagi setiap pemimpin
kelompok itu. Mereka di hadapkan pada suatu kemungkinan, bahwa
tamu-tamu mereka itu akan berbuat licik.
2012 "Apakah kita akan mempersiapkan pasukan di luar padepokan
Empu?" bertanya seseorang.
Empu Baladatu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak.
Kita berada di dalam padepokan dan berlaku seolah-olah tidak ada
kecurigaan apapun juga. Kalian bersikap biasa meskipun kalian
harus menyediakan senjata di tempat-tempat tertentu yang mudah
dijangkau, selain senjata-senjata kecil yang tidak ada salahnya
melekat di tubuh kalian. Karena senjata-senjata kecil itu tidak akan
menimbulkan kecurigaan apapun pada tamu-tamu kita nanti,
sebagai kebiasaan kita semuanya."
"Keris maksud Empu?"
"Ya. Kalian dapat membawa keris di punggung. Tetapi tidak
dengan pedang dan tombak. Apalagi perisai. Meskipun senjatasenjata
itu harus kalian siapkan sehingga setiap saat dapat kalian
ambil dengan cepat."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka menyadari sepenuhnya tugas yang harus mereka pikul di
saat bulan mulai nampak di langit. Dan itu akan terjadi malam
berikutnya. Pada saat yang ditentukan, padepokan Serigala Putih mengalami
perubahan suasana meskipun selalu disamarkan. Setiap orang
mencoba bersikap seperti sewajarnya. Orang-orang dari gerombolan
Macan Kumbang yang berada di padepokan gerombolan Serigala
Putih mendapat tempat tersendiri. Merekapun berusaha untuk tidak
menarik perhatian jika kedua orang tamu itu memasuki padepokan,
karena mereka memang ditempatkan di bagian belakang. Meskipun
mereka tidak membawa senjata di tangan, kecuali keris yang
terselip diikat pinggang mereka sebagaimana kelajiman seorang
laki-laki, mereka telah menyiapkan senjata mereka di dinding bagian
dalam dari bilik-bilik mereka, yang setiap saat dapat mereka
pergunakan apabila perlu.
Ketika senja mulai turun menjelang malam pertama saat bulan
mulai nampak di langit, suasana padepokan itu menjadi tegang.
2013 Para penjaga regol sudah mendapat pesan khusus, jika ada dua
orang berkuda mendatangi, mereka harus segera melaporkannya
kepada Empu Baladatu. Ketegangan menjadi semakin memuncak saat gelap malam mulai
membayang. Langit yang kelabu menjadi bertambah buram dan
angin mulai meniupkan udara yang dingin.
"Sebentar lagi malam akan turun" berkata Empu Baladatu,
"apakah mereka benar-benar akan datang?"
"Ya" jawab Kiai Dulang, "dan aku percaya bahwa mereka tidak
akan berbohong." Empu Baladatu mengangguk-angguk.
Dalam kegelisahan itu, Kiai Dulang berkata, "Biarlah aku berada
di regol, agar aku segera dapat mengenalinya jika mereka datang."
Empu Baladatu tidak berkeberatan dan membiarkan Kiai Dulang
meninggalkannya dan pergi ke Regol.
Ketika ia menengadahkan wajahnya, di langit nampak cahaya
yang semakin redup. satu-satu bintang mulai nampak dan dengan
hati yang berdebaran Kiai Dulang melihat bulan rendah sekali di
langit, seolah-olah bertengger di ujung pohon perdu.
"Sebentar lagi bulan itu akan tenggelam" katanya di dalam hati.
Tiba-tiba saja ia terkejut ketika seorang penjaga regol
menggamitnya sambil berbisik, "Siapakah kedua orang itu Kiai?"
Kiai Dulang berpaling. Dengan dada yang berdebar-debar ia
melihat dua orang yang sudah berdiri di muka pintu. Dua orang
yang hanya berjalan kaki tanpa membawa kuda tunggangan.
Namun, meskipun malam mulai gelap, Kiai Dulang segera
mengenal keduanya, karena keduanya mengenakan pakaian seperti
yang biasa mereka pergunakan saat mereka menemuinya di
Mahibit. 2014 Itulah sebabnya maka dengan tergopoh-gopoh Kiai Dulang
mendekatinya sambil mempersilahkannya, "Marilah. Marilah kami
persilahkan Ki Sanak memasuki padepokan kami yang kotor."
Linggapati dan Linggadadi tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih.
Kami mencoba datang tepat pada waktunya."
Kiai Dulang tersenyum. Diajaknya keduanya memasuki halaman
padepokan dan langsung menuju kerumah induk, untuk langsung
membawanya kepada Empu Baladatu yang sudah menunggu.
Kedatangan kedua orang itu benar-benar telah mendebarkan
jantung Empu Baladatu. Nampaknya kedua orang itu benar-benar
datang hanya berdua. Mereka tidak mempunyai prasangka buruk
sama sekali dan seperti yang dikatakan oleh Kiai Dulang, keduanya
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang sangat besar.
Setelah saling memperkenalkan diri, meskipun dengan ragu-ragu,
merekapun untuk beberapa saat masih mencoba untuk berbicara
sambil berkelakar. Mereka mencoba menunjukkan keakraban
pertemuan yang memang sudah direncanakan itu.
Beberapa saat kemudian, maka mulailah beberapa orang
menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.
Tidak seperti orang-orang yang selalu dicengkam oleh
kecurigaan, maka Linggapati dan Linggadadi sama sekali tidak
mencemaskan makanan itu. Meskipun hubungan yang masih akan
mereka jalin belum mempunyai bentuk yang jelas, bahkan dengan
sadar Linggadadi merasa berada di dalam lingkungan yang masih
sangat membencinya karena sebutannya sebagai pembunuh orangorang
berilmu hitam, namun mereka sama sekali tidak merasa
curiga, bahwa di dalam makanan itu terdapat usaha yang dapat
mencelakainya. Dengan lahapnya mereka menelan makanan itu sepotong demi
sepotong sambil berbicara tentang persoalan-persoalan yang sangat
tidak berarti. 2015 Baru ketika malam menjadi semakin larut, dan bintang Gubug
Penceng telah tegak di ujung Selatan, pertemuan itu menjadi
nampak bersungguh-sungguh.
"Ada sesuatu yang pantas kita bicarakan" berkata Empu
Baladatu. "Ya. Aku sudah mengerti. Kita masing-masing berharap bahwa
kita akan dapat bekerja bersama" sahut Linggapati.
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata Linggapati
berbicara langsung pada persoalannya.
"Empu" sambung Linggapati, "tidak banyak yang harus kita
bicarakan sekarang, karena kita masing-masing sudah mempunyai
tekad yang sama. Bukankah kita masing-masing menginginkan agar
kekuasaan Sepasang Ular di satu Sarang itu di hancurkan dan
diganti oleh kekuasaan yang lebih besar agar Singasari dapat
berkembang lebih pesat. Bukan saja hanya selingkar kepulauan ini,
tetapi Singasari seharusnya menjadi negara terbesar di seluruh
dunia." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata jangkauan
cita-cita Linggapati meliputi arena yang lebih luas, karena ia sudah
berbicara tentang dunia. Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian.,
"Bagaimanakah tanggapan Ki Sanak berdua tentang kedua anakanak
muda yang memerintah sekarang ini?"
"Baik. Mereka adalah anak-anak yang baik. Anak-anak penurut
yang asyik bermain-main dengan permainan yang sangat besar dan
luas. Singasari." "Jadi?" Empu Baladatu menjadi heran atas jawaban itu.
"Seharusnya mereka berhenti bermain-main. Sebaiknya mereka
tidur saja di dalam pelukan ibu masing-masing. Jika di esok harinya
mereka terbangun, biarlah ibu mereka masing-masing menyuapinya
dan memandikannya. Kemudian membawa mereka kembali ke
2016 pembaringan, membacakan dongeng tentang seekor burung podang
yang memiliki suara bening, bernyanyi di pelepah pisang."
Empu Baladatu merenungi jawaban itu dengan dahi yang
berkerut merut. Namun ternyata bahwa Linggapati kemudian
tertawa sambil berkata "Begitulah kira-kira Empu. Apakah Empu
berbeda pendapat?" Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku
sependapat. Keduanya memang tidak sepantasnya memegang
jabatan tertinggi di Singasari."
"Empu benar. Tetapi apakah ada persamaan dan perbedaan di
antara kita" Mungkin Empu membayangkan, bahwa setelah Empu
dapat mempengaruhi kekuatan yang besar dan mengalahkan kedua
anak-anak itu, Empu akan menjadi seorang penguasa yang kaya
raya. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang tidak
terbatas sehingga apa saja yang Empu kehendaki akan dapat
terlaksana. Begitu?" Linggapati berhenti sejenak, lalu, "Akupun
mempunyai keinginan yang sama tentang tersingkirnya kedua anakanak
itu. Tetapi bukan semata-mata karena aku menginginkan
kekuasaan dan apalagi harta benda, emas, perak dan perunggu.
Tetapi aku ingin Singasari bukan saja menguasai daerah yang luas
di antara kepulauan yang tersebar di daerah yang hijau ini, tetapi
kekuasaan Singasari harus menjangkau jauh ke ujung bumi."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa apa
yang dilakukan itu masih terlalu kecil bagi Linggapati. Namun
demikian Empu Baladatu tidak mau menunjukkan kekecilannya dan
menjawab, "Jangkauan kalian terlampau luas. Bagiku, meskipun
arahnya akan ke sana juga, tetapi yang penting sumber kekuasaan
itu harus beralih tangan."
"Ya, ya" desis Linggapati, "Empu mulai dari pemikiran yang
sempit, yang tentu akan meluas pula kelak. Tetapi aku melangkah
dengan laju setapak, setelah aku menentukan arah lebih dahulu.
Empu, aku pernah menjadi pelaut yang menjelajahi lautan yang
sangat luas. itulah sebabnya, aku mengerti betapa tersia-sianya
kekuatan yang ada di Singasari sekarang ini. Itulah sebabnya maka
2017 kedua anak-anak itu harus dipersilahkan masuk saja kedalam
peraduannya." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi dengan demikian ia
merasa dirinya menjadi semakin kecil. Ternyata bahwa orang yang
bernama Linggapati itu mempunyai pandangan yang cukup luas
tentang daratan dan lautan.
"Apakah ada orang-orang yang sekarang berada di lingkungan
istana mempunyai pengamatan seluas Linggapati?" berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya.
Sejenak Empu Baladatu membuat pertimbangan-pertimbangan.
Tetapi iapun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa pengenalan
Linggapati bukan ukuran kemampuannya yang melampaui setiap
orang. "Aku tidak yakin bahwa ia memiliki kemampuan berkelahi yang
tidak terkalahkan." berkata Empu Baladatu di dalam hatinya,
"mungkin ia pernah menjelajahi daerah yang sangat luas. Tetapi itu
bukan Suatu bukti bahwa ia memiliki ilmu kanuragan yang tidak ada
tandingnya." Itulah sebabnya maka Empu Baladatupun kemudian berusaha
untuk menjaga, agar ia tidak terperosok kedalam perasaan rendah
diri. "Apakah Empu mempunyai persoalan yang mendesak setelah kita
nampaknya mempunyai jalur yang akan dapat berjalan searah?"
bertanya Linggapati. "Aku tidak mempunyai persoalan yang khusus, tetapi aku minta
agar kelak tidak akan timbul persoalan yang rumit di dalam
lingkungan kita sendiri."
Linggapati tertawa. Katanya, "Empu cukup bijaksana. Tetapi
nampaknya sejak sekarang kita sudah dapat membayangkan,
dimanakah kita masing-masing akan berdiri. Empu condong pada
kekuatan dan kemukten. Sedang aku condong untuk mendapatkan
kekuasaan yang dapat mengemudikan pemerintahan di Singasari."
2018 "Jadi?"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita sudah berbagi sejak sekarang. Empu akan menjadi seorang
Maharaja yang memiliki seluruh tlatah Singasari dengan segala
isinya. Dan aku akan menentukan kemudi pemerintahan di
Singasari. Bukankah itu sudah berarti kita akan melalui jalur jalan
yang berbeda meskipun searah?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa
pemisahan kekuasaan itu belum menentukan bahwa tidak akan
terjadi desak mendesak di dalam jalur kekuasaan itu kelak. Namun
Empu Baladatu mengangguk-angguk sambil berkata, "Kau sudah
melihat perbedaan itu Ki Sanak. Tetapi sudah tentu bahwa itu belum
merupakan jaminan yang pantas untuk menentukan apakah tidak
ada persoalan lagi di antara kita kelak." ia berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi baiklah bahwa kita tidak mempersoalkannya sekarang,
seolah-olah kita adalah orang-orang yang sekedar didorong oleh
nafsu tanpa cita-cita sama sekali. Akupun tidak membantah
sekarang, anggapan Ki Sanak bahwa bagiku seolah-olah tidak ada
sesuatu yang lebih berarti daripada mas picis raja brana. Tetapi aku
tidak berkeberatan. Yang penting, langkah yang manakah yang
perlu kita lakukan sekarang.."
"Tentu saja kita harus mempersiapkan diri se-baik-baiknya Kita
harus mengetahui segi-segi kelemahan Singasari sekarang ini. Kita
harus melihat, apakah yang disenangi dan dibenci oleh orang-orang
Singasari. Sementara itu, kita akan mulai dengan menyusun
kekuatan senjata untuk dengan kekerasan menguasai kota raja.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ken Arok, Akuwu Tumapel,
dengan menguasai Kota Raja, maka ia menguasai seluruh
Kerajaan." "Kau salah. Ken Arok tidak saja menguasai Kota Raja Tetapi ia
menguasai Ken Dedes, seorang perempuan yang memiliki
kekuasaan yang sebenarnya."
"Atas Tumapel, yang dilimpahkan oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Hanya itu. Bukan atas seluruh Kerajaan."
2019 Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian
mengangguk-angguk. "Mungkin kau benar Ki Sanak" berkata Empu Baladatu, "tetapi
suasana waktu itu jauh berbeda dengan suasana yang kita hadapi
sekarang. Singasari sekarang sudah semakin kuat. Banyak orangorang
sakti berada di sekitar kedua orang anak muda yang sedang
memerintah itu. Dan mereka itu harus kita singkirkan."
"Tentu seorang demi seorang" berkata Linggapati,, "Kita tidak
akan dapat menghadapi mereka sekaligus betapapun kita menyusun
kekuatan." "Tepat" berkata Empu Baladatu., "Dan kitapun akan dapat segera
mulai." "Jangan tergesa-gesa Empu. Jika kita mulai sekarang, maka itu
berarti seluruh Singasari akan bersiaga."
"Tidak hanya sekarang. Kapanpun kita mulai, maka Singasari
akan segera mengerahkan prajuritnya."
"Kita akan membunuh dengan cara yang sebaik-baiknya.
Mungkin dengan menghilangkan jejak, seolah-olah yang terjadi
adalah suatu kecelakaan, atau mungkin perang tanding karena
persoalan pribadi, atau kita akan menyembunyikan mayatnya
seolah-olah orang itu hilang begitu saja ditelan hantu atau dengan
cara yang lain, yang tidak menimbulkan akibat yang dapat
menggerakkan seluruh kekuatan Singasari."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Namun Linggapati
menyambung, "Tentu tidak harus seperti yang aku katakan.
Mungkin ada cara lain yang dapat kita lakukan menurut
pertimbangan kita kemudian. Mungkin ada cara yang lebih baik,
yang akan kita temukan kemudian."
Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Lalu, "Jika demikian,
apakah yang akan kita lakukan sekarang" Menunggu, bersiap-siap.
itu saja?" 2020 Linggapati memandang Empu Baladatu dengan tajamnya. Namun
kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Kau terlalu tergesagesa
Empu. Seharusnya kita bersabar untuk menentukan saat dan
kesempatan yang sebaik-baiknya. Kapan dan apakah yang akan kita
lakukan pada suatu keadaan."
"Kita dapat melakukan sesuatu mulai dari yang paling kecil"
berkata Empu Baladatu. "Maksudmu?" "Melenyapkan orang-orang yang menentang setiap cita-cita yang
akan kita jangkau." "Ya, tentu. Itulah yang aku maksudkan dengan berhati-hati dan
tidak tergesa-gesa" Linggapati berhenti sejenak, lalu, "tetapi apakah
sudah ada niat Empu untuk mulai dengan sesuatu."
"Tentu Ki Sanak. di luar lingkungan keprajuritan Singasari kita
melihat beberapa orang yang harus disingkirkan. Nah, itulah yang
dapat kIta lakukan lebih dahulu."
Linggapati mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil
tersenyum ia berkata, "Empu akan memanfaatkan hubungan ini
untuk melakukan balas dendam."
Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Dengan sungguhsungguh.
ia menjawab, "Aku sudah menduga bahwa pada suatu
langkah yang pendek kita akan mulai dengan saling curiga. Tetapi
itu wajar" ia berhenti sejenak, lalu, "Meskipun demikian aku akan
mencoba menerangkan, bahwa sama sekali bukannya sekedar
memanfaatkan hubungan yang masih samar-samar ini. Jika yang
akan aku lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita kita
keseluruhan, maka kau dapat berkata demikian."
"O, maaf. Tetapi apakah yang dapat kita lakukan sekarang?"
"Aku tahu pasti bahwa Mahisa Bungalan akan dapat kita
singkirkan dengan cara yang kau maksud."
"Mahisa Bungalan?"
2021 "Ya. Ia sering melakukan perjalanan seorang diri. Jika kita dapat
mengikuti gerak-geriknya, maka pada waktu yang tepat kita akan
dapat menyingkirkannya tanpa diketahui oleh siapapun juga, seperti
yang kau kehendaki."
"Tetapi bukankah dengan demikian berarti kita harus menunggu
kesempatan seperti yang aku katakan?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu sambil
mengangguk-angguk ia menjawab, "Ya. Tetapi bukan berarti bahwa
kita berdiam diri sampai kesempatan itu datang kepada kita. Tetapi
kita dapat mulai dengan melakukan pengamatan yang saksama
sehingga kita dapat menentukan langkah selanjutnya yang
berhubungan dengan seluruh cita-cita kita."
Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus Empu.
Ternyata Empu memiliki ketangkasan bertindak. Dalam hal ini
barangkali aku agak terlalu lamban bagi Empu meskipun aku masih
lebih muda." Empu Baladatu tidak menjawab.
"Baiklah Empu. Beberapa hari kemudian, kita akan menemukan
langkah-langkah yang sudah dapat kita lakukan sejak sekarang.
Termasuk yang aku maksud dengan mengamati keadaan. Karena
kita masih akan menempuh jalan yang berliku-liku untuk
mendapatkan suatu suasana yang mantap."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Selain itu Ki
Sanak. Aku masih melihat kemungkinan lain yang dapat kita lakukan
segera untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dapat timbul."
"Apa?" "Sebuah perguruan yang banyak mengenal tentang padepokan
Serigala Putih dan Macan Kumbang. Tetapi itu bukan berarti apaapa.
Tetapi lebih dari itu, perguruan itu adalah pendukung kedua
anak muda yang kini memegang pemerintahan."
"Apakah aku harus mengulangi penjelasanku Empu."
2022 "Aku tahu. Tetapi jika terjadi sesuatu dengan perguruan ini,
sekarang adalah saatnya. Ada semacam dendam antara perguruan
itu dengan gerombolan Serigala Putih."
"Sehingga apabila kita bertindak sekarang atas nama gerombolan
Serigala Putih, maka yang akan terjadi dapat di artikan dendam
gerombolan Serigala Putih. Begitu?"
"Ya. Kesan itulah yang harus dibuat dengan meyakinkan
sehingga tidak akan timbul persoalan lain yang apalagi menyangkut
keseluruhan cita-cita."
Linggapati mengangguk-angguk. Lalu, "Apakah perguruan itu
sedemikian kuatnya sehingga Empu perlu memanfaatkan hubungan
ini untuk kepentingan itu?"
"Yang manakah yang akan kita sebut pemanfaatan" Hubungan
ini atau justru dendam orang-orang Serigala Putih?"
Linggapati tertawa. Katanya, "Empu memang tangkas, baiklah.
Kita dapat memandang dari segi yang manapun." Ia berhenti
sejenak, lalu, "bantuan apakah yang Empu perlukan dari kami?"
"Kita bersama-sama menghancurkan perguruan itu." Linggapati
mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Bagaimanakah yang
Empu maksud bersama-sama" Apakah aku harus mengerahkan
semua kekuatan yang ada di Mahibit berapa pun jumlahnya?"
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Lalu jawabnya,
"Tidak. Itu tidak perlu. Jika aku memerlukan sejumlah orang dari
Mahibit, terutama untuk meyakinkan, apakah kita akan dapat
bekerja bersama dalam bentuk yang kita pilih, di antaranya di arena
pertempuran." Linggapati tertawa. Dipandanginya wajah adiknya yang tegang,
yang mengikuti seluruh pembicaraan itu dengan sikap yang
nampaknya acuh tidak acuh saja.
Empu Baladatu menunggu jawaban Linggapati dengan hati yang
berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat sikap Linggadadi yang
2023 seolah-olah tidak tahu menahu tentang persoalan yang sedang
dibicarakan. Tetapi Linggapati pun kemudian berkata, "Pada dasarnya aku
tidak berkeberatan Empu"
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam.
Namun Linggapati pun kemudian memandang adiknya sambil
bertanya, "Apa pendapatmu Linggadadi?"
Linggadadi memandang wajah kakaknya dan Empu Baladatu
berganti-ganti. Lalu jawabnya, "Perang yang betapapun kecilnya
kadang-kadang mempunyai arti yang sangat besar. Orang-orang
kita yang mulai jemu dengan merenungi cita-cita akan terbangun
dan mendapatkan kegairah baru dalam langkah selanjutnya."
Suara tertawa Linggapati menjadi semakin keras. Katanya, "Aku
sudah menduga. Kau adalah orang yang paling gemar berada di
antara dentang senjata." Lalu Linggapati itupun berpaling kepada
Empu Baladatu, "Linggadadi akan mempersiapkan sepasukan laskar
dari Mahibit. Berapa orang yang Empu perlukan" Mudah-mudahan
yang kita lakukan kali ini dapat benar-benar mengurangi kekuatan
Singasari meskipun tidak secara langsung seperti yang Empu
maksudkan. Bukan sebaliknya, justru membangunkan kesiagaan
yang besar bagi Singasari."
"Aku tidak memerlukan sepasukan yang besar." jawab Empu
Baladatu. "Berapa orang yang Empu perlukan" Limapuluh atau seratus?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Agaknya pasukan
Linggapati di Mahibit cukup kuat sehingga ia menawarkan berapa
saja yang dikehendakinya "Seratus orang tidak dapat dipertimbangkan bagi cita-cita Ki
Sanak yang demikian besarnya. Tetapi pada langkah permulaan aku
kira sudah mencukupi. Aku akan mengerahkan orang yang sama
dari gerombolan Serigala Putih dan jumlah yang sama pula dari
gerombolan Macan Kumbang."
2024 "Dan dari perguruan induk Empu Baladatu sendiri", "Empu
Baladatu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata
"Seluruh pimpinan akan berada di tangan orang-orangku dari
perguruan induk." "Dan orang-orangku?"
"Tentu mereka akan mempunyai seorang pemimpin. Tetapi
penempatan mereka dalam keseluruhan akan berada di tangan
kami" "Tentu. Tentu. Kali ini Empu sendirilah yang akan memimpin
pasukan gabungan itu. Silahkan. Aku akan menyerahkan sejumlah
itu kepada Empu. Terserahlah, siapakah yang akan memegang
pucuk pimpinan dari pasukan itu dalam keseluruhan."
Empu Baladatu termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian
mengangguk-angguk, "Terima kasih."
Linggapati rnengangguk-angguk. Katanya, "Kita sudah
menemukan jalan untuk menyatukan diri. Bahkan kita sudah
merintis ujud daripada kesepakatan kita. Tetapi nampaknya masih
akan banyak hal-hal yang kita bicarakan. Cara-cara yang lebih rumit
daripada sekedar balas dendam seperti yang akan kita lakukan
sekarang bagi orang-orang tertentu yang lebih dekat dengan ujung
pimpinan prajurit Singasari."
"Aku mengerti" jawab Empu Baladatu, "kita akan segera
melakukan rencana yang pertama, selagi nafas dendam di dada
orang-orang Serigala Putih masih belum padam. Pemimpin mereka
yang sebenarnya telah dibunuh oleh pimpinan perguruan itu."
Lingapati tersenyum. Lalu, "Baiklah. Pada langkah yang pertama
ini aku semakin mengagumi Empu Baladatu, karena orang yang
Empu maksud itu adalah saudara kandung Empu sendiri."
Empu Baladatu menegang sejenak. Namun kemudian iapun
bertanya, "Apakah yang kau kagumi?"
2025 "Ketegasan sikap Empu. Empu Baladatu tidak memandang
siapapun juga, jika sekiranya berselisih jalan, Empu tidak segansegan
mengambil s ikap yang paling tuntas."
Empu Baladatu tidak menjawab. Ia tidak mengerti sepenuhnya,
apakah yang dimaksudkan oleh Linggapati. Apakah yang
dimaksudkan itu sebenarnya demikian, atau Suatu sindiran bahwa
pada suatu saat, Empu Baladatu dapat pula bersikap demikian
terhadap siapa saja, termasuk Linggapati dan Linggadadi.
Dalam pada itu, Linggapati berkata selanjutnya, "Kali ini Empu
bersikap demikian terhadap saudara kandung sendiri."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya Lalu iapun meneruskan,
"Lain kali?" Linggapati tertawa pula. Katanya, "Baiklah. Kita akan mulai
dengan saling mempercayai. Aku akan mengirimkan seratus orang
seperti yang Empu maksudkan. Aku akan menyesuaikan waktu yang
akan Empu pilih." "Sebelum purnama naik" jawab Empu Baladatu
Linggapati mengerutkan keningnya, lalu, "Apakah rencana ini
termasuk rencana Empu untuk mendapatkan korban yang cukup
berharga menjelang purnama naik?"
"Ah" "desah Empu Baladatu, "aku tidak memikirkannya. Aku tidak
pernah mengalami kesulitan untuk mendapatkan korban yang aku
perlukan." Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan
tidak mempedulikan apapun juga. Tetapi kesanggupanku tidak akan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meleset sesuai dengan rencana kita seterusnya."
"Terima kasih" jawab Empu Baladatu, "kami menunggu
kedatangan orang-orangmu, sementara aku akan mempersiapkan
orang-orangku " Pembicaraan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Nampaknya
keduanya masih membatasi pembicaraan mereka pada masalahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
2026 masalah yang pokok, selain satu usaha yang langsung untuk
menghancurkan padepokan yang dipimpin oleh Empu Sanggadaru,
saudara kandung Empu Baladatu sendiri.
Setelah mereka berbicara tentang berbagai persoalan yang
mempertegas persetujuan mereka untuk mempersiapkan pasukan
yang akan dipergunakan untuk menghancurkan padepokan yang
mereka anggap akan menghambat perkembangan rencana mereka
selanjutnya, maka Linggapati dan Linggadadi pun segera minta diri.
"Apakah Ki Sanak berdua tidak akan bermalam di sini?" bertanya
Empu Baladatu. Linggapati mengerutkan keningnya. Dan sebuah pertanyaan
meluncur dari bibirnya, "Kenapa bermalam?"
"Hari sudah jauh malam, bahkan sudah melampaui tengah
malam." "Apa salahnya aku pulang setelah tengah malam?"
"Mahibit bukannya jarak yang pendek."
"Justru karena itu aku akan pulang malam ini. Aku tidak dapat
terlalu lama meninggalkan orang-orangku."
"Hanya bertambah setengah malam."
Linggapati tertawa. Katanya Perjalanan di malam hari sangat
memberikan kesegaran. Aku senang berjalan di malam hari."
Empu Baladatu tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Agaknya
kedua tamunya benar-benar ingin segera meninggalkan padepokan
Serigala Putih itu. "Bukan karena aku curiga" berkata Linggapati kemudian, "tetapi
aku benar-benar ingin berjalan di malam hari."
"Ki Sanak berdua benar-benar tidak berkuda?"
"Aku jarang sekali berkuda. Apalagi dalam perjalanan seperti
sekarang ini." 2027 Empu Baladatu mengantarkan tamunya sampai ke regol
padepokan dan menunggunya sampai keduanya hilang dalam
kegelapan. Sambil melangkah kembali memasuki padepokan ia
bergumam, "Benar-benar anak setan keduanya."
Kiai Dulang yang berjalan di sampingnya mengangguk-angguk
sambil berdesis, "Ya. Keduanya memang anak setan."
"Kita harus benar-benar bersiap menghadapi rencana di bulan
purnama itu" berkata Empu Baladatu, "kita harus menunjukkan
bahwa orang-orang kita tidak kalah baiknya dengan orang-orang
Mahibit yang tinggi, hati itu."
"Masih ada waktu kurang lebih setengah bulan" sahut Kiai
Dulang. "Kita akan memilih orang-orang terbaik. Kita akan
mempersiapkannya untuk tugas yang berat ini."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Empu. Untuk memilih orang-orang terbaik sejumlah itu pada
padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang agaknya terlalu sulit.
Mereka yang berada di padepokan ini jumlahnya tidak lebih dari
seratus orang. Demikian juga yang tinggal di padepokan Macan
Kumbang. Jika ada lebihnya, sama sekali tidak akan berarti sama
sekali." "Tetapi menurut penilaianku lebih dari lima ratus orang yang
berada dibawah pengaruh kekuasaan Serigala Putih dan juga Macan
Kumbang." "Mungkin dengan mereka yang berada di luar padepokan- Tetapi
mereka selama ini tidak mendapat banyak perhatian. Didalam
upacara-upacara yang paling tinggi, mereka tidak disertakan.
Bahkan mereka termasuk pihak yang tidak boleh mengetahui terlalu
banyak tentang isi padepokan ini."
"Tetapi jika perlu tenaga mereka dapat dipergunakan."
2028 Kiai Dulang mengangguk-angguk- Katanya, "Dalam keadaan
yang sangat perlu. Tetapi dalam keadaan tertentu mereka justru
akan dapat mengganggu."
"Kita tidak akan memikirkan mereka sekarang. Aku hanya
memerlukan seratus orang terbaik."
Kiai Dulang tidak menjawab lagi.
"Aku sendiri akan menyiapkan mereka" berkata Empu Baladatu.,
"Dalam waktu setengah bulan aku harus mendapatkan dua ratus
orang terbaik yang akan dapat menghancurkan kakang Empu
Sanggadaru yang sampai saat ini ternyata masih menjadi penjilat
kedua anak-anak manja itu."
Kiai Dulang mengangguk-angguk lagi. Katanya, "Jika hanya untuk
kepentingan itu, aku kira tidak akan terlalu berat. Aku
memperhitungkan, bahwa di padepokan itupun tidak akan ada
orang sejumlah seratus orang. Jika ada orang-orang lain, mereka
bukanlah cantrik-cantrik yang sudah mendapatkan ilmu yang cukup.
Tetapi mereka adalah penghuni-penghuni daerah pertanian yang
luas yang dimiliki oleh Empu Sanggadaru."
Empu Baladatu meng-angguk-angguk. Katanya, "Ya Aku tahu
pasti. Cantrik di padepokan itu tidak banyak. Tetapi perlu di ketahui,
bahwa padepokan itu menyimpan banyak rahasia yang tidak dapat
aku ungkapkan. Ada hal-hal yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi
dalam keseluruhan, padepokan itu tidak terlalu kuat untuk
dicemaskan." "Kita akan dapat melakukannya tanpa kesulitan."
"Jangan diremehkan. Untuk meyakinkan, bukan saja
kemenangan atas padepokan itu, juga kepada orang-orang Mahibit
kita harus membuktikan bahwa kita benar-benar kuat. Karena itu,
para pemimpin dari pasukan itu, akan kita ambil dari perguruan
induk. Kita akan mengambil sepuluh orang terbaik untuk memimpin
pasukan yang akan kita bawa ke padepokan kakang Sanggadaru."
2029 Kiai Dulang mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa ia akan
termasuk salah seorang yang bertugas membawa pasukan
gabungan itu di samping Empu Baladatu sendiri.
"Tiga ratus orang adalah pasukan yang besar" gumam Kiai
Dulang "Pikiranmu jangan terlalu kerdil. Jika saatnya tiba, kita harus
mengerahkan sedikitnya lima ribu orang untuk menguasai Kota Raja
dan paling sedikit sepuluh ribu orang tersebar di seluruh negeri."
Kiai Dulang mengerutkan keningnya.
"Tetapi jangan cemas. Pekerjaan kita bukannya mengumpulkan
sekian banyak orang. Tetapi kita akan menghubungi beberapa
orang Senapati yang sudah mempunyai pasukan Dan aku sudah
mempunyai gambaran yang jelas untuk melakukannya. Bukan
hanya Linggapati sajalah yang sudah mempunyai garis perjuangan
yang mapan. Tetapi akupun telah membuat perhitunganperhitungan
tersendiri." "Apakah Empu Baladatu mempunyai hubungan dengan beberapa
orang Senapati itu?"
"Sekarang belum. Tetapi ada beberapa nama yang dapat aku
harapkan. Jauh lebih baik dari kakak kandungku sendiri."
Kiai Dulang mengangguk-angguk. Tetapi iapun sadar, bahwa
Empu Baladatu berusaha untuk menjadikan padepokan Empu
Sanggadaru itu seperti padepokan Serigala Putih dan Macan
Kumbang. Demikianlah sejak hari itu, Empu Baladatu sendiri telah
melakukan rencananya. Ia mendatangi kelompok-kelompok dari
gerombolan Serigala. Putih dan Macan Kumbang yang terpilih untuk
memberikan latihan-latihan khusus. Mereka harus dapat
menunjukkan bahwa para pengikut ilmu yang disebut hitam itu
mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan, bahkan
kelebihan dari prajurit Singasari.
2030 Latihan-latihan yang berat itu dilakukan oleh seratus orang dari
gerombolan Serigala Putih dan seratus orang dari gerombolan
Macan Kumbang. Mereka dikumpulkan dalam satu lingkungan yang
terpisah dari padepokan masing-masing. Mereka mempergunakan
sebuah hutan yang terasing sebagai tempat yang baik untuk
berlatih. Siang dan malam.
Mereka diajar bertempur dalam kelompok-kelompok, dalam gelar
dan perkelahian seorang melawan seorang. Mereka mendapat
latihan bertempur dengan mempergunakan bermacam-macam
senjata "Macam-macam jenis senjata dapat membingungkan lawan"
berkata Empu Baladatu, "karena itu. cobalah mempergunakan
senjata yang paling mapan dari jenis senjata yang tidak biasa
dipakai dalam perkelahian. Tongkat panjang berujung runcing duri
pandan. Bindi bergerigi atau canggah bertangkai panjang. Mungkin
juga trisula atau bola-bola besi bertali panjang."
Dengan demikian maka anak buah Empu Baladatu itu pun
mencoba untuk menemukan jenis senjata yang paling sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Mereka pada dasarnya telah
memiliki kemampuan bertempur dengan jenis-jenis senjata
sewajarnya. Kini mereka mendapat kesempatan untuk memilih jenis
senjata, yang lain yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka
masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka.
Untuk satu dua hari mereka mendapat kesempatan mencoba
jenis-jenis senjata yang masih agak asing yang ternyata telah
tersedia di dalam perguruan induk, yang telah dibawa oleh
beberapa orang pengikut Empu Baladatu yang menyusul kemudian.
Mereka adalah orang-orang yang akan mendapat tugas memimpin
pasukan gabungan yang berjumlah tiga ratus orang itu, di samping
beberapa orang yang telah berada di padepokan Serigala Putih,
selain jenis-jenis senjata yang sudah ada di padepokan itu.
Senjata yang tersedia, yang tidak banyak jumlahnya itu, telah
memberikan warna yang asing pada pasukan Empu Baladatu.
Orang-orang yang berkesempatan mendapatkan jenis-jenis senjata
2031 itu akan berada di arena yang berpencar untuk membuat kejutankejutan
pada lawannya. Beberapa orang ternyata lebih senang mempergunakan tongkattongkat
panjang. Ada yang berujung runcing seperti tombak biasa,
ada yang berujung belah, ada yang berujung berbentuk duri
pandan. Tetapi ada juga memilih bola-bola besi yang terikat pada
rantai yang panjang. Tetapi mereka yang belum yakin benar dengan senjata-senjata
yang tidak biasa mereka pergunakan itu, mereka masih juga
membawa pedang di lambung, yang setiap saat dapat
dipergunakannya. Namun di antara orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang
sendiri pada dasarnya memang ada yang mempunyai kebiasaan
mempergunakan jenis-jenis senjata yang asing.
Demikianlah dua ratus orang dari dua perguruan itu berlatih
dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mempunyai waktu cukup
panjang, menjelang purnama naik.
Namun latihan yang bersungguh-sungguh itu ternyata telah
membawa hasil yang memuaskan. Dua ratus orang itu telah
dibentuk menjadi sepasukan prajurit yang memiliki kemampuan
bertempur bersama-sama, seorang demi seorang, maupun dalam
gelar-gelar yang lengkap.
"Kita akan melihat seratus orang Mahibit itu" berkata Empu
Baladatu, "mereka tidak akan lebih dari prajurit-prajurit kecil di
antara raksasa-raksasa yang terlatih baik."
Diakhir pekan kedua, barulah orang-orang Serigala Putih dan
Matan Kumbang itu dapat kembali ke padepokan. Kembali
menjenguk keluarga masing-masing untuk beberapa lama, sebelum
mereka akan berangkat menunaikan tugas mereka yang sebenarnya
mereka anggap tidak terlampau berat meskipun setiap kali Empu
Baladatu selalu memperingatkan agar mereka tidak meremehkan
lawan. 2032 Menjelang purnama naik, maka padepokan Serigala Putih telah
mempersiapkan tempat yang akan menampung seratus orang dari
Mahibit yang akan ikut serta untuk menghancurkan saudara
kandung Empu Baladatu sendiri. Saudara kandung yang bagi Empu
Baladatu merupakan orang pertama yang akan disingkirkan.
Namun bagi Empu Baladatu, bukannya sekedar usaha
menyingkirkannya saja, tetapi juga merupakan suatu usaha untuk
mengetahui dan menjajagi kemungkinan selanjutnya bagi usahanya.
Untuk menjajagi kekuatan orang-orangnya dan sekaligus untuk
mengetahui apakah orang-orang Mahibit benar-benar dapat
diandalkan. "Jika aku dapat menguasai padepokan kakang Sanggadaru maka
aku akan dapat berbuat sesuatu yang lebih meyakinkan. Aku dapat
memaksa kakang Sanggadaru untuk mengikuti jejakku atau
membinasakannya sama sekali. Meskipun ia saudara kandungku,
tetapi di antara kami seolah-olah tidak ada ikatan apapun yang
dapat menyentuh tali persaudaraan kami." berkata Empu Baladatu
di dalam hatinya. Ia memang sudah bertekad untuk berbuat sesuatu dengan
segala akibatnya. Ia tidak merasa sayang seandainya Empu
Sanggadaru harus dimusnahkan. Tetapi lebih baik jika Empu
Sanggadaru itu dapat ditundukkannya dan meskipun lambat laun
akan ikut serta bersamanya sehingga dapat membantu .dengan
kekuatan yang cukup. "Padepokan itu harus dihancurkan sampai lumat untuk dapat
dibangun sebuah padepokan baru" berkata Empu Baladatu di dalam
hatinya. Memang agak berbeda dengan padepokan Serigala Putih
yang memang memiliki dasar ilmu hitam, atau setidak-tidaknya
orang-orang dalam padepokan itu memiliki kebiasaan yang tidak
jauh berbeda dengan orang-orang di dalam lingkungannya.
"Kebiasaan yang tidak terdapat di dalam lingkungan kakang
Sanggadaru sehingga masih harus ditumbuhkan. Jika yang lama
tidak disingkirkan sampai ke akar-akarnya, maka akan sulit sekali
untuk menanam kekuatan baru di atas padepokan itu." berkata
2033 Empu Baladatu kemudian kepada diri sendiri, "tetapi jika dapat
dipegang kepalanya, serta dapat memaksanya untuk berbuat
sesuatu, maka yang lain tentu akan mengikutinya tanpa banyak
persoalan." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Seolah-olah ia sudah mulai
melihat hasil dari usahanya itu.
Pada hari sebelum saat purnama naik, orang-orang dari
padepokan Serigala Putih telah diguncang oleh kedatangan seratus
orang dari Mahibit. Orang-orang yang dijanjikan oleh Linggapati, di
bawah pimpinan langsung Linggadadi sendiri.
"Kami datang memenuhi janji kami" berkata Linggadadi kepada
Empu Baladatu yang menyongsongnya.
Empu Baladatu memandang sepasukan orang-orang Mahibit yang
datang beriringan memasuki regol padepokan.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian berjalan beriringan seperti ini dari Mahibit sampai ke
tempat ini?" bertanya Empu Baladatu.
Linggadadi tertawa. Katanya, "Tentu tidak begitu. Jika kami
datang seratus orang dalam barisan seperti ini, maka perjalanan
kami akan memanggil sepasukan prajurit Singasari sehingga
mungkin kami sudah harus bertempur sebelum kami sampai ke
tempat ini." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandangi
seratus orang anak buah Linggadadi itu. Seolah-olah ia ingin
memandang mereka seorang demi seorang,
"Kenapa?" bertanya Linggadadi, "apakah orang-orangku kurang
baik menurut penilaian Empu?"
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orangorang
yang baru datang itu adalah sepasukan prajurit yang cukup
meyakinkan. Seorang demi seorang nampaknya mereka cukup
terlatih. Bahkan hampir setiap gerak dan langkah mereka
membayangkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan dalam olah kanuragan.
2034 "Untunglah bahwa kami sudah melakukan latihan-latihan yang
berat" berkata Empu Baladatu di dalam hatinya, sehingga ia tidak
perlu merasa malu apabila dua ratus orang pasukannya berbaris
bersama-sama dengan seratus orang Mahibit itu.
"Marilah" Empu Baladatu kemudian mempersilahkan, "kami
sudah menyediakan tempat bagi kalian meskipun sangat
sederhana." "Kami datang untuk berkelahi" jawab Linggadadi, "bukan untuk
memanjakan tubuh kami di atas pembaringan yang lunak dan
dengan makan yang enak."
"Tetapi kalian adalah tamu kami."
Demikianlah, seratus orang itu segera dipersilahkan memasuki
barak-barak yang sudah disediakan, sementara orang-orang
Serigala Putih dan Macan Kumbang yang sudah dipersiapkan itupun
mulai menilai diri mereka masing-masing"Kita tidak akan tertinggal oleh kemampuan mereka" berkata
salah seorang pemimpin mereka yang datang dari perguruan induk
Empu Baladatu. Kalian sudah dibentuk menurut jalur ilmu kita yang
agung. Karena itu, tunjukkan bahwa kalian mempunyai kelebihan
dari mereka." Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Atas petunjuk para
pemimpinnya, maka orang-orang dari Serigala Putih dan Macan
Kumbangpun sama sekali tidak merasa rendah diri di hadapan
orang-orang yang baru datang dari Mahibit yang menurut para
pemimpin mereka adalab orang-orang biasa seperti mereka.
"Kita akan melihat setelah kita berada di medan" berkata para
pemimpin. Namun dalam pada itu, Kiai Dulangpun telah memperingatkan,
bahwa orang-orang Empu Sanggadaru bukanlah orang-orang yang
dungu. Empu Baladatu mendengarkan setiap keterangan Kiai Dulang
tentang orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru. Iapun telah
2035 mendengar pula bahwa orang-orang dari padepokan Empu
Sanggadaru sanggup berjalan sehari penuh tanpa berhenti sama
sekali. Bahkan iapun pernah mendengar bahwa anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan pernah mengikuti iring iringan anak buah
Empu Sanggadaru yang sedang berlatih.
"Bukan sesuatu yang perlu dikagumi" berkata Empu Baladatu,
"sebab dalam pertempuran, selain ketahanan tubuh dan tenaga,
kemampuan menggerakkan senjata merupakan unsur yang lebih
banyak menentukan. Dan kita sudah berlatih sebaik-baiknya. Kita
tidak usah menyembunyikan ciri-ciri yang ada pada kita. Kita akan
membunuh dengan cara kita agar orang-orang dari padepokan
Empu Sanggadaru menjadi gentar.
"Kita akan membunuh di arena pertempuran dengan pisau
belati?"bertanya Kiai Dulang.
"Ya. Mayat-mayat yang terkelupas akan kita lemparkan kepada
para pemimpin mereka agar mereka menyadari, siapakah yang
mereka hadapi. Jika kakang Sanggadaru tidak mau menyerah, maka
orang-orangnya akan mengalami nasih yang menyedihkan seperti
itu. Bahkan kakang Sanggadaru sendiri."
Kiai Dulang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Empu
Baladatu benar-benar ingin membuat suatu kejutan. Beralasan
dendam orang-orang Serigala Putih, maka padepokan Empu
Sanggadaru benar-benar akan dilumatkan sebelum dibangunkan
sebuah padepokan baru. Dalam pada itu, Empu Sanggadaru sama sekali tidak menyangka
bahwa adiknya telah mempersiapkan sebuah serangan besarbesaran
atas padepokannya. Meskipun kemungkinan itu pernah
diperhitungkan oleh para prajurit Singasari, dan bahkan ada
sepasukan kecil prajurit yang berada di padepokan itu, namun ia
sendiri nampaknya kurang menganggap hal itu bersungguhsungguh.
Namun demikian, Empu Sanggadaru tidak dapat melupakan
dendam orang-orang Serigala Putih. Jika terjadi sesuatu atas
2036 padepokannya, tentu karena dorongan dendam orang-orang
Serigala Putih itu. "Aku tidak pernah menyakiti hati adikku. Betapapun hitam
hatinya, seperti hitamnya ilmu yang dianutnya, tetapi ia tidak akan
melakukannya, kecuali jika orang-orang Serigala Putih itu berada di
luar pengamatannya- Namun demikian, Empu Sanggadaru tidak kehilangan seluruh
kewaspadaannya. Kehadiran para prajurit Singasari dalam
perhitungannya tersendiri, telah mendorongnya untuk meningkatkan
ilmu para cantriknya. Apalagi setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berada di
padepokan itu pula. Dalam pada itu, percampuran beberapa unsur ilmu yang berbeda
antara perguruan Empu Sanggadaru sendiri, para prajurit Singasari
dengan jalur ilmu Mahendra yang ada pada anak-anaknya, dalam
hubungan yang dengan sengaja dicari perpaduannya, telah
menumbuhkan gairah latihan yang tinggi. Para prajurit Singasari
merasa menemukan pengalaman baru dalam pergaulannya dengan
kedua anak-anak muda itu dan para murid di perguruan Empu
Sanggadaru. Selain latihan-latihan ketrampilan bermain senjata, Empu
Sanggadaru memang sering membawa beberapa orang cantriknya
melatih ketahanan tubuh dan ketahanan kekuatan. Mereka berjalan
sehari penuh tanpa berhenti. Bahkan kadang-kadang mereka
berlatih di tempat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan untuk
waktu yang sangat lama. Namun selagi orang-orang yang berada di padepokan Empu
Sanggadaru sedang dengan tekunnya memperdalam ilmu dengan
caranya, tiba-tiba saja seorang prajurit sandi telah datang langsung
menghadap Empu Sanggadaru dan perwira prajurit Singasari yang
bertugas di padepokan itu.
"Kita harus berhati-hati" berkata prajurit sandi itu.
2037 "Kenapa, dan apakah yang kau ketahui?"
"Kami melihat persiapan yang melampaui kesiagaan sewajarnya
di padepokan Serigala Putih."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk.
"Apakah Baladatu ada di padepokan itu?" Petugas sandi itu
menggeleng, "Kami tidak mengetahuinya. Tetapi mungkin Empu
Baladatu tidak ada di padepokan itu."
Empu Sanggadaru merenung sejenak, lalu, "Ah, tentu sekadar
latihan-latihan berat setelah padepokan itu berada di bawah
pengaruh Baladatu. Aku tidak pernah menyetujui caranya dan
usahanya memperluas pengaruh parguruannya. Tetapi aku tidak
pernah memusuhinya."
"Tetapi tidak mustahil bahwa ada sesuatu yang harus kita
perhatikan dengan saksama. Seorang kawanku telah melaporkan
kegiatan ini kepada Senapati Lambu Ampal. Mungkin akan ada
penyelidikan yang lebih saksama di padepokan itu menjelang
purnama naik. Menurut keterangan terakhir, di padepokan itu telah
berlangsung upacara yang mengerikan di setiap purnama."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Disaat terakhir ia
memang mendengar berita tentang upacara-upacara aneh yang
telah diselenggarakan di padepokan Serigala Putih itu. Tetapi
keterangan yang pasti masih belum diperolehnya.
"Siapa tahu, pengaruh ilmu yang kurang sewajarnya, telah
membuat Empu Baladatu kehilangan kesadaran atas ikatan
persaudaraan." Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum, "Tentu tidak.
Ia adalah anak yang baik menurut pendapatku."
Petugas sandi itu termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti
bahwa Empu Sanggadaru tidak menaruh banyak perhatian tentang
keadaan adiknya. Namun demikian, petugas itu masih ingin
meyakinkan bahwa Empu Sanggadaru harus berhati-hati.
2038 "Hanya berhati-hati" berkata petugas itu, "apakah salahnya. Jika
sekiranya tidak ada apa-apa dengan Empu Baladatu, maka sikap
hati-hati itu akan tetap menguntungkan "
Empu Sanggadaru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Baiklah. Aku akan berhati-hati."
Empu Sanggadaru tidak banyak menanggapi keterangan petugas
sandi itu. Bahkan iapun kemudian minta diri untuk pergi ke
Sanggarnya. Tetapi, tidak demikianlah sebenarnya yang ada di dalam
pertimbangan nalar Empu Sanggadaru. Betapapun juga ia mencoba
mempercayai adiknya dengan perasaan seorang kakak, tetapi
pertimbangan nalarnya membenarkan pesan petugas sandi itu
meskipun tidak dikatakannyaDengan ragu-ragu ia memanggil beberapa orang kepercayaannya
di dalam sanggar tertutupnya.
"Katakan. Katakan kepadaku, apakah mungkin tejadi bahwa
adikku itu berbuat jahat kepadaku?" bertanya Empu Sanggadaru
kepada pembantu-pembantunya terdekat.
"Bagaimanakah pendapat para prajurit yang berada di padepokan
ini?" bertanya seorang pambantunya.
Empu Sanggadaru menarik nafas. Katanya, "Sejak semula,
sebelum ada apa-apa, prajurit-prajurit itu sudah curiga. Itulah
sebabnya ia berada di sini "
"Dan Empu sendiri?"
"Kalian, kalianlah yang harus mengatakannya kepadaku apakah
adikku itu akan mengkhianatiku?"
"Empu" desis seorang pembantunya, "menurut pendengaran
kami tentang padepokan-padepokan yang kemudian berada di
bawah pengaruh Empu Baladatu, memang mempunyai kebiasaan
baru yang aneh. Mereka adalah orang-orang yang disebut berilmu
hitam. Namun di bawah bimbingan Empu Baladatu, ilmu yang
2039 disebut hitam itu menjadi semakin jelas. Bukan saja ilmu yang
dipergunakan untuk kepentingan kejahatan, tetapi sumber dan cara
penyadapannyapun menunjukkan bahwa ilmu itu memang ilmu
hitam." "Dan karena itu maka adikku itu sampai hati berbuat jahat
kepadaku?" "Menilik sikap dan keragu-raguan Empu Sanggadaru agaknya
Empu memang sudah mempunyai pertimbangan yang demikian.
Tetapi perasaan Empu sebagai saudara tua tidak mau melihat
pertimbangan nalar itu "
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah
bahwa ia memang mencurigai s ikap adiknya. Di saat-saat menjelang
purnama naik, ia selalu digelisahkan oleh berita tentang upacara
yang gila itu. Kini, mendekati purnama naik, ia justru mendengar
persiapan yang besar pada padepokan Serigala Putih itu.
"Orang-orang Serigala Putih mempunyai naluri dendam kepada
kita" berkata salah seorang pembantunya.
Empu Sanggadaru mengangguk. Katanya, "Aku telah membunuh
pemimpinnya di saat terakhir. Aku bukan orang yang baik hati, yang
dapat melepaskan perasaan dendam dan marah. Tetapi terhadap
adikku sendiri, seharusnya aku tidak mencurigainya."
"Memang seharusnya. Tetapi bagaimanakah jika ada
pertimbangan-pertimbangan lain yang pernah kita lihat?"
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya dengan
suara yang lantang, "Apaboleh buat. Kita akan mempersiapkan diri.
Semua cantrik dan keluarganya yang berada di tanah padepokan
harus mendapat peringatan bahwa bahaya sudah siap diambang
pintu menjelang purnama naik. Pergilah, siapkan mereka seluruhnya
sesuai dengan kemampuan mereka dan di dalam kelompok masingmasing.
Biarlah mereka tersebar di padukuhan masing-masing di
luar padepokan. Tetapi tentukan isyarat apakah yang akan
memanggil mereka jika keadaan memaksa."
2040 Pembantu-pembantunya mengangguk-angguk. Tetapi salah
seorang dari mereka bertanya, "Apakah tidak sebaiknya mereka
dikumpulkan di dalam padepokan Empu. Kita akan bersama-sama
menghadapi lawan " Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, "Mungkin kita terlalu
berprasangka buruk terhadap adikku. Tetapi seperti yang kalian
sarankan, kita tidak akan meninggalkan kewaspadaan."
"Jadi, mereka harus bersiap di tempat masing-masing?"
"Ya. Pergilah kepadukuhan-padukuhan di tanah padepokan ini."
Para pembantunya, para putut dan jejanggan serta beberapa
orang cantrik yang ada di padepokan kupan segera menyebar,
mengabarkan kesiagaan yang harus mereka lakukan
"Dalam keadaan yang gawat, akan terdengar panah sendaren,
atau panah api jika malam hari. Karena itu, bersiaplah. Jangan
meninggalkan padukuhan. Jika kalian berada di sawah atau
pategalan, bersiaplah dengan senjata, karena mungkin sekali kalian
harus segera berlari dan berkumpul dalam kelompok-kelompok
masing-masing." Para cantrik itupun mengangguk-angguk.
"Siapkan badan dan jiwa kalian menghadapi segala
kemungkinan. Kalian telah memiliki ilmu kanuragan meskipun
masih-belum cukup baik, namun sudah cukup untuk melindungi diri
kalian masing-masing. Siapkan pintu-pintu pada urung-urung di
bawah tanah, karena mungkin sekali kalian harus melalui urungurung
itu jika semua pintu telah tertutup. Atau sebaliknya, kita yang
di dalam harus keluar lewat urung-urung itu."
Yang mendengar berita itu menjadi berdebar-debar. Meskipun
mereka memang pernah mempelajari olah kanuragan, tetapi
mereka mengharapkan hidup yang tenang dan damai. Mereka tidak
mempersiapkan diri mereka untuk berkelahi, kecuali sekelompok
cantrik pilihan yang memang ditempa untuk mengamankan
2041 padepokan dan tanah-tanah pertanian di sekitarnya, yang berada di
bawah pengaruh padepokan itu.
"Tetapi jika hidup kalian terancam, tanah kalian dan harta benda
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalian, terlebih-lebih hak dan milik kalian seluruhnya yang kalian
siapkan bagi masa depan anak cucu kalian akan dirampas orang,
apakah kalian akan dapat diam dan ketenangan dan kedamaian
hati?" bertanya para petugas yang menghubungi para petani yang
berada di bawah pengaruh padepokan Empu Sanggadaru. Mereka
mengangguk-angguk. "Kalian akan mempertahankan milik kalian. Sebentar lagi
purnama akan naik.Menurut perhitungan kami, saat purnama naik
adalah saat yang paling gawat menghadapi orang-orang berilmu
hitam. Pada saat-saat semacam itu mereka memerlukan korban
darah. Pertempuran adalah korban darah yang paling baik bagi
mereka, karena mereka dapat mengorbankan jauh lebih banyak dari
satu orang saja." Terasa bulu-bulu para petani itu meremang. Namun kemudian
mereka mulai disentuh oleh rasa tanggung jawab atas hak miliknya,
sehingga di samping hak itupun mereka merasa berkewajiban untuk
mempertahankannya. "Baiklah" jawab para petani, bukan saja yang muda, tetapi juga
yang sudah separo baya, "kami akan siap dengan senjata kami."
Tetapi para petugas itupun menyadari, bahwa ilmu yang mereka
miliki bukannya ilmu olah kanuragan seperti seorang prajurit. Jika
mereka dapat menggerakkan senjata, itu sekedar untuk melindungi
diri. Sehingga karena itu, perlu dipertimbangkan oleh Empu
Sanggadaru, apakah pada setiap kelompok tidak diletakkan orangorang
yang memang memiliki kemampuan untuk bertempur.
Ternyata bahwa beberapa orang petugas yang menghubungi
mereka yang berada di luar padepokan itu sependapat, bahwa
mereka memerlukan satu dua orang yang akan memberikan
petunjuk dan aba-aba bagi mereka- Tanpa satu dua orang yang
2042 dapat memberikan pengarahan dalam kekisruhan perang, maka
mereka akan menjadi bingung.
Ketika hal itu disampaikan kepada Empu Sanggadaru, maka
Empu Sanggadarupun berkata, "Seolah-olah kalian sudah
menjatuhkan hukuman pada adikku, bahwa ia benar-benar akan
melakukan kejahatan itu."
Para putut itupun menundukkan kepalanya. Mereka menyadari,
betapa pahitnya perasaan Empu Sanggadaru menanggapi sikap
adiknya itu. Namun kemudian Empu Sanggadarupun bertanya, "Apakah
demikian pertimbanganmu?"
Sejenak para putut itu masih ragu-ragu. Namun kemudian salah
seorang menjawab, "Mungkin itu hanya sekedar sikap curiga Empu.
Tetapi seandainya tidak terjadi sesuatu di saat purnama naik, maka
tidak ada salahnya jika kita berhati-hati menghadapi keadaan yang
tidak menentu itu " Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah.
Aturlah tenaga yang ada di padepokan ini. Separo dapat kau kirim
keluar, dan separo akan tetap berada di dalam. Jangan lupa,
bukalah semua pintu pada urung-urung di bawah tanah, yang
menghubungkan bagian dalam dan bagian luar padepokan ini.
Mungkin kita memerlukannya. Mungkin adikku benar-benar berbuat
jahat, tetapi mungkin kitalah yang dibayang-bayangi oleh kejahatan
di dalam hati kita sendiri "
Para putut itupun menarik nafas. Tetapi salah seorang dari
antara mereka bertanya, "Bagaimana dengan para prajurit Singasari
yang ada di padepokan ini Empu?"
"O, mereka sudah banyak berjasa. Mereka sudah menumbuhkan
kemampuan yang berlipat ganda bagi kita."
"Maksudku, menghadapi keadaan yang tidak menentu ini."
"Mereka sudah mendengar laporan para petugas sandi. Aku kira
mereka sudah mempersiapkan diri pula."
2043 "Tetapi bukankah kita berada dalam lingkungan yang sama
sehingga kita harus mengatur diri, agar kita dapat bekerja bersama
sebaik-baiknya dengan mereka?"
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
memanggil Senapatinya. Kita akan menentukan kerja sama yang
sebaik-baiknya untuk menenteramkan diri karena kecurigaan
petugas-petugas sandi itu."
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi para purut itu melihat,
bahwa sebenarnya bahwa kecurigaan itu ada pula dihati Empu
Sanggadaru, betapapun juga ia berusaha menyembunyikannya di
balik kecintaannya kepada kadang sendiri.
"Apakah salah seorang dari kami harus memanggilnya sekarang
Empu." bertanya salah seorang putut.
"Baiklah. Panggillah Senapati itu."
Sejenak kemudian, Senapati yang diserahi tanggung jawab atas
para prajurit Singasari yang ada di padepokan Empu Sanggadaru itu
telah berada di dalam lingkungan para pemimpin padepokan itu.
Dengan singkat Empu Sanggadaru menanyakan kepada mereka,
apakah yang dapat mereka lakukan jika benar-benar terjadi
serangan atas padepokan itu.
"Kami justru berpendapat, bahwa laporan petugas sandi dari
Singasari itu benar Empu, sehingga kita harus berada dalam
kewaspadaan tertinggi."
"Sudah, aku sudah bersiap-siap" jawab Empu Sanggadaru yang
kemudian menceriterakan apa saja yang sudah dilakukan oleh anak
buahnya. Senapati itu mendengarkan keterangan Empu Sanggadaru
dengan saksama. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata,
"Terima kasih Empu."
"Kenapa kau mengucapkan terima kasih kepadaku?" bertanya
Empu Sanggadaru 2044 Senapati itu menjadi heran mendengar pertanyaan Empu
Sanggadaru, sehingga karena itu, ia justru berdiam diri.
"Agaknya Empu Sanggadaru menyangka bahwa dengan sengaja
aku menyatakan ucapan itu agar ia dengan sepenuh hati berkelahi
dengan adiknya" berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Empu Sanggadarupun tidak bertanya lagi.
Bahkan iapun kemudian berkata, "Nah Senapati. Apakah rencana
kita seterusnya?" "Seperti yang sudah Empu lakukan."
"Membagi orang-orang terpercaya kepada padukuhan-padukuhan
di sekitar padepokan ini?"
"Diantaranya kita memang harus berbuat demikian. Jika Empu
tidak berkeberatan, aku setuju jika sebagian para prajurit yang ada
inipun dipencar kebeberapa padukuhan "
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baiklah.
Kita akan segera berpencar."
"Tetapi padukuhan ini harus diisi dengan pasukan terbaik dari
kita semuanya. Jika lawan sudah memberanikan diri menyerang, itu
berarti bahwa yang dibawanya adalah prajurit-prajurit terbaiknya.
Kitapun harus menyiapkan prajurit ter baik untuk menahan
serangan itu." "Jumlah kita .tidak terlalu banyak" desis Empu Sanggadaru"Cukup banyak. Apalagi dengan kekuatan yang berada di
padukuhan yang menyatakan diri berada di bawah pengaruh Empu
"Sanggadaru." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bertanya, "Berapakah kekuatan yang kira-kira akan dibawa oleh
gerombolan Serigala Putih?"
"Menurut laporan lebih dari duaratus orang Empu." Jawab
Senapati itu. 2045 "Dua ratus orang?" Empu Sanggadaru menjadi heran,
"darimanakah ia dapat mengumpulkan orang sebanyak itu" Jika kita
berhasil mengerahkan segenap laki-laki di padepokan ini ditambah
dengan setiap laki-laki di padukuhan yang menyatakan diri dibawah
pengaruhku, barulah kita dapat mengumpulkan jumlah itu. Bahkan
barangkali masih kurang."
"Tetapi dengan sepasukan prajurit yang berada di s ini, jumlah itu
akan dicapai. Bahkan lebih meskipun hanya sedikit."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Jumlah
itu sudah cukup memadai. Dari jumlah yang ada di dalam
padepokan ini, sebagian akan aku kirim kepadukuhan-padukuhan
untuk membimbing mereka dalam benturan kekuatan dalam jumlah
yang besar. Sedangkan yang lain akan tetap berada di padepokan
ini." Senapati prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun
kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan segera menyiapkan prajuritprajuritku.
Tetapi Empu harus ingat, bahwa di sini mereka satu
dengan cantrik-cantrik Empu Sanggadaru."
"Ya. Tolonglah, pilihlah di antara cantrik-cantrikku yang khusus
itu. Mereka tentu akan sangat berarti bagi padukuhan padukuhan di
luar padepokan ini."
"Kita harus bersiap sebelum purnama naik."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dengan suara yang
berat iapun memerintahkan para putut untuk menentukan para
cantrik padepokan itu yang sebenarnya, yang akan berpencar
bersama para prajurit. Sejenak kemudian maka Senapati prajurit Singasari itu telah
berbicara dengan pembantu-pembantunya yang telah meluluhkan
diri dalam kehidupan di padepokan itu. Merekapun segera membagi
diri dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi. "Jumlah kita terlalu sedikit" berkata salah seorang prajurit
2046 "Cukup memadai. Kita akan berpencar di empat padukuhan dan
akan mendekati padepokan ini dari empat jurusan. Para cantrik dan
orang-orang yang berada di bawah pengaruh padepokan ini telah
menentukan tempat-tempat untuk berkumpul apabila mereka
diperlukan. Kitapun akan berada bersama mereka."
"Baiklah. Kita harus segera pergi."
"Kita akan menyesuaikan diri dengan para cantrik yang akan
pergi pula kepadukuhan-padukuhan itu. Kita akan mengirimkan ke
setiap penjuru sebanyak lima orang di samping para cantrik. Jika
benar yang akan datang lebih dari dua ratus orang, maka
pertempuran itu akan merupakan pertempuran yang berat."
"Berapa orang selain kita berlima yang akan berada di setiap
penjuru" " Senapati itu menggeleng. Aku belum tahu, berapa orangkah yang
akan ditetapkan oleh Empu Sanggadaru karena sebagian dari kita
akan mengadakan perlawanan dari dalam."
Para prajurit itu pun mengangguk-angguk. Mereka
membayangkan bahwa padepokan ini akan mengalami kesulitan jika
jumlah lawan itu bertambah.
"Berhati-hatilah. Berilah petunjuk-petunjuk. Dan kalian harus
dapat mengambil s ikap mendahului mereka yang pengalamannya di
medan tentu belum seluas kalian. Prajurit Singasari di saat terakhir
yang berada di padepokan ini telah bertambah menjadi tigapuluh
orang, sehingga sepuluh orang di antara kita akan tetap berada di
padepokan." "Bagaimana dengan kedua anak muda itu?" bertanya salan
seorang dari prajurit-prajurit itu.
Senapati itu terdiam sejenak. Kehadiran dua orang anak muda di
padepokan itu telah menambah kesegaran suasana
Anak yang gembira itu seolah-olah telah mengisi kejemuan yang
kadang-kadang memang terasa menyentuh hati para prajurit yang
2047 merasa kehadirannya di padepokan itu bagaikan tersisih dari
pergaulan. "Anak-anak itu sangat menyenangkan" berkata Senapati itu,
"sebenarnya aku ingin mempersilahkan mereka menyingkir. Tetapi
kita tahu, bahwa mereka adalah anak-anak yang memiliki kelebihan
dari kita semuanya. Apalagi kakaknya, Mahisa Bungalan yang setiap
kali dengan tiba-tiba saja muncul menjenguk adik-adiknya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
"Biarlah ia berada di padepokan." berkata Senapati itu kemudian,
"mereka yang tinggal di padukuhan ini tentu akan menjadi paling
jemu dibandingkan dengan mereka yang sempat berada di
padukuhan." "Baiklah" berkata para prajurit itu.
Senapati prajurit Singasari itupun segera menyusun dan
membagi orang-orangnya. Lima orang di empat penjuru.
"Jika jumlah kita bertambah di saat terakhir, setelah kita
mengalami pergantian sekali, maka agaknya kecurigaan para
petugas sandi semakin bertambah. Kini kecurigaan itu telah
memuncak, sehingga mereka memberikan batas waktu yang dekat
agar kita berhati-hati."
"Agaknya kecurigaan mereka itu beralasan "
Demikianlah maka para prajurit itu membagi diri. Mereka tinggal
menunggu perintah Empu Sanggadaru.
Setelah berbicara dan mematangkan semua persiapan, maka
Sanggadaru pun segera memerintahkan semua orang yang akan
meninggalkan padepokan untuk bersiap. Jika malam tiba, mereka
harus meninggalkan regol padepokan dengan hati-hati, agar tidak
menarik perhatian orang yang mungkin dengan tidak sengaja
melihatnya. Mungkin orang yang kebetulan lewat, mungkin orangorang
yang dengan sengaja mengawasi padepokannya.
2048 Ternyata Empu Sanggadaru dan prajurit Singasari itupun cukup
berhati-hati. Sebelum mereka melepaskan kelompok-kelompok yang
akan meninggalkan padepokan, mereka telah menyebar beberapa
orang petugas untuk melihat, apakah ada orang-orang yang dengan
tersembunyi mengamat-amati padepokan itu.
"Kami tidak menjumpai seorang pun" berkata salah seorang
cantrik yang bertugas mengawasi keadaan. Ternyata yang lain pun
sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Demikianlah ketika malam mulai turun, ma!ka dalam kegelapan
malam yang diterangi oleh sinar bulan yang samar-samar menjelang
malam purnama, kelompok-kelompok kecil telah meninggalkan
padepokan. Mereka sama sekali tidak mempunyai waktu lagi untuk
menyusun barisan yang teratur dan mapan. Untunglah bahwa pada
saat-saat tertentu mereka selalu mengadakan latihan kanuragan.
Apalagi sejak para prajurit berada di padepokan itu. Meskipun
mereka tidak membayangkan bahwa pada suatu saat mereka akan
mengalami suatu pertempuran yang besar dan seru, namun mereka
dengan sungguh-sungguh telah berlatih untuk membela diri pada
setiap kemungkinan yang dapat saja terjadi.
Tetapi di antara para petani yang kurang bersungguh-sungguh
dalam latihan-latihan olah kanuragan, terdapat sekelompok cantrik
yang memang telah menempa diri dalam olah kanuragan.
Mereka adalah murid-murid Empu Sanggadaru yang sebenarnya.
Dan mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk
mempertahankan padepokan itu apabila marabahaya datang
menerkam. Dan para cantrik itulah yang kemudian disebar bersamasami
para prajurit. Tetapi seperti juga para prajurit, cantrik yang
terpercaya itupun jumlahnya tidak terlampau banyak.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap sepuluh orang di antara mereka telah dikirim keempat
penjuru bersama lima orang prajurit, sehingga di setiap arah dari
keempat penjuru, terdapat lima belas orang yang memiliki
kemampuan yang dapat dibanggakan.
2049 Lima belas orang itulah yang kemudian bertugas untuk
menghimpun orang-orang yang ada di setiap padukuhan.
"Semuanya harus bersiap sebelum purnama naik." desis Empu
Sanggadaru saat ia melepas para cantrik dan para prajurit itu.
Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja di saat-saat para
cantrik dan para prajurit membagi diri, Mahisa Bungalan telah
datang kepadepokan itu dengan tergesa-gesa. Setelah menyerahkan
Sweet Enemy 1 Roro Centil 07 Siluman Kera Putih Korban Kitab Leluhur 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama