Ceritasilat Novel Online

Sepasang Ular Naga 8

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 8


diam saja. Berbuatlah sesuatu. Mahisa Agni tidak boleh menentang
perintahku, siapapun dia. Jika ia masih saja mementingkan ibunda
437 Ken Dedes dari perintahku, maka ibunda Ken Dedes akan aku
singkirkan." "Ampun tuanku." tiba saja Panglima Pelayan Dalam yang baru
saja menjabat kedudukannya itu berkata, "sebaiknya tuanku tidak
berbuat demikian terhadap ibunda tuanku. Bagaimanapun juga
ibunda tuanku adalah permaisuri dimasa pemerintahan ayahanda
tuanku. Karena itu, jika tuanku marah kepada Mahisa Agni, tuanku
dapat menjatuhkan perintah apapun yang akan kami lakukan.
Tetapi menurut hamba, tuanku masih harus tetap
mempertimbangkan keadaan."
"Gila. Kau jangan mengajar aku. Aku mengerti apa yang patut
aku lakukan atas ibunda Ken Dedes. Tetapi bagaimana dengan
Mahisa Agni" Kalian harus berbuat sesuatu."
"Kami menunggu perintah tuanku." berkata Panglima Pengawal.
Namun justru dengan demikian Tohjaya menjadi bingung.
Sejenak ia termangu-mangu tanpa dapat mengucapkan sepatah
katapun. Senapati yang memanggil Mahisa Agni itupun duduk dengan
gelisahnya. Sekali-sekali ia mencoba memandang wajah Tohjaya
dengan sudut matanya. Namun tiba-tiba saja ia terkejut ketika Tohjaya itu berteriak
memerintahkan kepadanya, "Kau pergi sekali lagi kepadanya, dan
bawa Mahisa Agni itu menghadap. Ia harus menghadap sekarang."
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Jika Mahisa Agni masih
tetap tidak mau pergi bersamanya, apakah yang harus
dilakukannya. "Cepat. Kenapa kau menjadi bingung?"
"Ampun tuanku." Senapati itu memberanikan diri untuk bertanya,
"Jika tuanku Mahisa Agni tetap tidak bersedia menghadap bersama
hamba, apakah yang harus hamba lakukan."
"Aku tidak peduli. Tetapi ia harus menghadap."
438 "Apakah dengan demikian berarti bahwa hamba harus
memaksanya dengan kekerasan."
"Aku tidak peduli. Aku tidak tahu apa yang harus kau lakukan.
Tetapi Mahisa Agni harus menghadap. Ia tidak boleh menolak
perintah seorang Maharaja. Akulah orang yang paling berkuasa
sekarang di Singasari."
Senapati itu masih saja menjadi bingung. Ia tidak mengerti
maksud Tohjaya yang sebenarnya. Apakah dengan demikian ia akan
dibenarkan apabila ia mempergunakan sepasukan prajurit untuk
menangkap Mahisa Agni meskipun itu akan berarti sebuah
peperangan kecil di halaman istana, karena tentu para Pengawal
Mahisa Agni pun akan bertindak. Karena itu untuk beberapa saat ia
masih tetap berada di tempatnya.
"He, apakah kau benar-benar menjadi gila?" bentak Tohjaya,
"cepat pergi kepada Mahisa Agni dan bawa ia kemari apapun
caranya." "Hamba tuanku. Jika demikian hamba akan menyiapkan
sepasukan prajurit pilihan."
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia memandang Senapati
itu dengan penuh kebimbangan.
"Ampun tuanku. Hamba mohon diri. Mudahkan hamba berhasil.
Untuk itu hamba memerlukan sepasukan prajurit yang kuat, karena
hamba harus menghadapi para pengawal tuanku Mahisa Agni."
Tohjaya ternyata tidak dapat segera menanggapinya. Sehingga
ketika Senapati itu bergeser, Panglima Pelayan Dalamlah yang
berkata, "Tuanku, apakah tuanku sudah mengizinkannya?"
Tohjaya tidak segera menyahut.
"Hamba masih tetap pada pendirian hamba, bahwa tuanku harus
mempertimbangkan segala segi untuk melangkah ke arah
kekerasan." 439 Senapati yang memancing persoalan itu menarik nafas. Dengan
demikian sikap itu akan dibicarakan dan dipertanggung jawabkan
bersama. Namun selagi mereka sibuk berbincang tentang Mahisa Agni,
maka seorang Senapati yang bertugas di luar merayap masuk ke
dalam ruang itu. "He, kenapa kau masuk tanpa dipanggil?" bertanya Tohjaya yang
masih kebingungan. "Ampun tuanku. Tuanku Mahisa Agni mohon untuk menghadap."
"Mahisa Agni." ulang Tohjaya.
"Hamba tuanku."
"Suruh ia masuk."
Senapati itu mundur dari ruangan untuk mempersilahkan Mahisa
Agni. Sedang orang-orang yang ada di ruang itu menarik nafas
dalam-dalam. Seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, maka sejenak kemudian
Mahisa Agni pun memasuki ruangan. Meskipun iapun kemudian
duduk di antara para Panglima namun kepalanya masih tetap
tengadah dengan senyum di bibirnya.
Sebelum Tohjaya bertanya, maka yang tidak lazim telah
dilakukan pula oleh Mahisa Agni, "Apakah tuanku Tohjaya
memerlukan hamba?" Pertanyaan yang tidak diduga-duga itu telah mengejutkan bukan
saja Tohjaya, tetapi juga para Panglima dan Senapati. Namun
beberapa orang di antara mereka harus mengakui betapa besar
perbawa Mahisa Agni, sehingga pertanyaannya itu bagaikan telah
mencengkam semua perhatian orang-orang yang mendengarnya.
Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Ialah yang seharusnya
bertanya lebih dahulu, baru Mahisa Agni menjawabnya. Tetapi
karena Mahisa Agni lah yang telah bertanya lebih dahulu, maka
Tohjayapun untuk sesaat dibayangi oleh keragu-raguan.
440 Namun kemudian Tohjaya menghentakkan giginya untuk
mengatasi gejolak perasaan. Dengan suara yang lantang ia berkata,
"Akulah yang harus bertanya kepadamu, kenapa kau terlambat
menghadap?" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum
pula sambil menjawab, "Ampun tuanku. Hamba baru berada di
bangsal tuan puteri Ken Dedes ketika utusan tuanku menjumpai
hamba." "Seharusnya kau berjalan seiring dengan Senapati itu. Tetapi
kenapa kau suruh ia berjalan dahulu?"
"O, apakah ada bedanya" Bukankah hamba sudah menghadap."
"Tetapi kau harus berjalan bersamanya. Kau tidak boleh datang
kemudian." "Baiklah tuanku. Lain kali hamba akan menyuruh utusan tuanku
menunggu sampai selesai, supaya hamba dapat datang menghadap
bersama utusan tuanku."
Jawaban itu bagaikan sebuah goresan bara di telinga Tohjaya,
sehingga karena itu wajahnya menjadi merah padam. Beberapa
orang Panglima dan Senapati pun bergeser di tempat duduknya.
Namun Mahisa Agni masih tetap tenang sambil tengadah.
Ketika tatapan mata Tohjaya yang membara membentur
pandangan mata Mahisa Agni, terasa sesuatu bergetar di dalam
hatinya dan tanpa sesadarnya Tohjaya melontarkan tatapan
matanya jauh-jauh. Namun dengan demikian sekali lagi ia mencoba mengatasi
kegelisahannya sambil berteriak, "Mahisa Agni. Kau sudah
melakukan kesalahan. Kau tahu, bahwa tidak seorang pun yang
menunda perintahku, perintah Maharaja Singasari yang besar.
Kaupup tidak. Meskipun kau menjabat pangkat tertinggi dan
memangku kedudukan yang tidak ada duanya, namun kau tetap
hamba Maharaja Singasari yang besar. Dengan demikian kau tidak
boleh membantah semua perintah yang aku berikan lewat s iapapun
441 juga. Karena utusanku yang membawakan perintah atau pesan itu
tidak ubahnya seperti aku sendiri."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Hamba tuanku. Hamba tidak akan menunda lagi perintah tuanku."
Tohjaya mengerutkan keningnya, dan orang-orang yang ada di
ruangan itupun menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Mahisa Agni
tidak menjadi keras kepala.
Dan diluar dugaan maka Tohjaya kemudian menyahut, "Terima
kasih paman. Aku harap kau dapat menempatkan dirimu di dalam
suasana yang baru ini." namun kemudian segera disusul,
"maksudku, kau harus patuh menjalankan semua perintahku. Aku
tidak perlu mengucapkan terima kasih kepadamu. Itu sudah menjadi
kuwajibanmu dan kuwajiban semua orang di dalam kerajaan
Singasari ini. Semua orang harus mematuhi perintah Maharaja
Singasari yang besar."
"Hamba tuanku, Singasari yang besar memang harus mendapat
tempat tertinggi di hati rakyatnya."
Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, "Apa maksudmu?"
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan heran. Lalu, "Maksud
hamba sudah jelas. Singasari memang sebuah negara yang besar.
Dan tuanku adalah seorang Maharaja dari sebuah kerajaan yang
besar." "Kedua-duanya." teriak Tohjaya, "bukan saja Singasari yang
besar Tetapi aku adalah seorang Maharaja yang besar. Aku adalah
Maharaja yang besar dari Singasari yang besar."
Mahisa Agni mengangguk kecil, tetapi ia tidak menanggapinya.
"Paman." berkata Tohjaya kemudian, "apakah paman sudah
mengetahui perkembangan keadaan di saat terakhir di Singasari?"
"Sudah tuanku."
"Dari siapa kau tahu" Desas-desus atau kabar yang dibawa oleh
pedagang, di sepanjang jalan?"
442 "Bukan tuanku, hamba mendengar langsung dari utusan tuanku,
Panglima Pelayan dalam yang baru, yang datang ke Kediri sambil
membawa panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai lambang
limpahan kekuasaan tuanku kepadanya."
"O. jadi kau mendengar daripadanya?"
"Hamba tuanku. Bahkan tuanku Anusapati sudah tuanku
singkirkan." "He, apa katamu." Tohjaya membelalakkan matanya. Wajahnya
menjadi merah padam. "O, maksud hamba, tuanku Anusapati terbunuh dalam kerusuhan
yang terjadi di arena sabung ayam itu." lalu iapun berpaling kepada
Panglima Pelayan Dalam, "bukankah begitu?"
Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu kepalanya
terangguk kecil, "Ya. Tuanku Anusapati menjadi korban kekecewaan
rakyat Singasari yang sudah lama tependam."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
memandang Tohjaya yang duduk di atas batu beralaskan kulit
berwarna suram dilihatnya Tohjaya itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan kemudian iapun berkata, "Nah, kau dengar
bahwa kakanda Anusapati telah menjadi korban kekecewaan hati
rakyat" Dan itu adalah kekurangannya. Meskipun ia pernah
dikagumi sebagai Kesatria Putih, namun ketika ia sudah menjadi
seorang Maharaja, semua tingkah lakunya segera berubah. Rakyat
yang semula mencintainya telah membunuhnya karena kekecewaan
yang tidak tertahankan lagi."
Mahisa Agni mengangguk kecil. Katanya. "Jika demikian tuanku,
maka rakyat yang telah membunuh rajanya adalah pengkhianat.
Hamba mohon tuanku sebagai penggantinya akan memegang
pemerintahan dengan adil. Hamba mohon tuanku mengusut,
mencari dan menghukum mereka-mereka yang telah melakukan
pengkhianatan terhadap rajanya. Jika sekelompok rakyat yang tidak
puas itu dibiarkan saja, maka hukum tidak akan berlaku sebaikbaiknya
di Singasari." 443 "Apa yang harus aku lakukan terhadap rakyat yang sedang
marah itu" Tentu aku tidak dapat berbuat apa-apa sekarang, karena
mereka menganggap kakanda Anusapati tidak adil dan tidak jujur di
dalam pemerintahannya."
"Dan bagaimana anggapan tuanku" Apakah tuanku juga
termasuk orang yang menganggap bahwa tuanku Anusapati adalah
orang yang tidak tepat berada di atas Singasari" Apakah tuanku
Tohjaya juga menganggap bahwa tuanku Anusapati harus
disingkirkan?" "O, tentu tidak. Aku tidak beranggapan demikian." Dan tanpa
diduga-duga Mahisa Agni memotong, "Jika demikian tuanku harus
bertindak. Tuanku adalah seorang Maharaja. Jika tuanku
menganggap bahwa tuanku Anusapati tidak bersalah, tidak seperti
yang dituduhkan atasnya menurut keterangan tuanku sendiri, maka
tuanku harus berbuat sesuatu. Hamba menuntut orang-orang yang
telah membunuh tuanku Anusapati dicari dan ditangkap, kemudian
dihukum sesuai dengan kesalahannya."
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Sejenak ia termangumangu.
Ketika ia memandang wajah Panglima dan Senapati
merekapun agaknya menjadi bingung.
"Tuanku." berkata Mahisa Agni, "tuanku tidak usah berbuat apaapa.
Hamba bersedia menerima perintah tuanku, mengusut
persoalan ini dan menghadap tuanku dengan membawa orangorang
yang bersalah itu menghadap."
Sejenak Tohjaya tidak dapat menjawab. Gejolak perasaannya
membayang di wajahnya yang kemerah-merahan. Ia sama sekali
tidak siap menghadapi persoalan yang dilontarkan oleh Mahisa Agni
itu. Namun ternyata bukan saja Tohjaya yang menjadi gelisah
mendengar permintaan Mahisa Agni itu. Para Panglima yang terlibat
di dalam hal itu menjadi gelisah pula. Demikian juga para Senapati
yang berada di ruangan itu. Jika Mahisa Agni berhasil mendesak
444 Tohjaya untuk mendapat perintah itu, maka persoalannya akan
menjadi sulit bagi mereka.
Karena itu, maka Panglima Pengawal yang sebenarnya
bertanggung jawab atas peristiwa itu berkata, "Tuan Mahisa Agni.
Tuan adalah orang yang mendapat kekuasaan memerintah Kediri
atas nama Singasari. Tuan adalah orang yang penting bagi jalur
pemerintahan di Kediri. Karena itu mungkin tuan tidak dapat
membayangkan apa yang telah terjadi. Dalam kerusuhan serupa itu,
tidak seorang pun yang akan dapat dicari sebagai sumber
kesalahan. Yang terjadi adalah tiba-tiba. Tiba-tiba saja. Sebagai
pimpinan pemerintahan yang menghormati kehendak rakyat, maka
kita tidak akan dapat melakukan pengusutan, apabila menjatuhkan
hukuman kepada mereka yang menyatakan pendapat dengan
caranya." "O." Mahisa Agni meng-anggukkan kepalanya, "bagus sekali.
Adalah menarik sekali jawaban itu. Aku sependapat bahwa Singasari
harus menghormati pendapat rakyatnya. Tetapi jika setiap kelompok
rakyat Singasari dapat bertindak sendiri atas siapapun juga. bahkan
atas pimpinan pemerintahannya, apakah jadinya negeri ini. Pada


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu saat sekelompok rakyat bertindak sendiri atas tuanku
Anusapati. Di hari mendatang, apakah kita akan dapat menjawab
seperti jawaban itu jika sekelompok rakyat beramai-ramai
membunuh tuanku Tohjaya karena tidak puas dengan sikap dan
caranya memerintah?"
Panglima itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, "Itu
memang tidak boleh terjadi. Yang terjadi pada tuanku Anusapati
akan menjadi pengalaman yang pahit bagi Singasari sehingga hal
serupa itu tidak boleh terulang."
"Dan yang sudah terjadi biarlah terjadi tanpa pengusutan."
"Pengusutan hanya akan menambah persoalan di saat serupa ini.
Tuanku Tohjaya harus menunjukkan kebesaran jiwanya. Meskipun
kakandanya terbunuh, namun ia tidak mendendam dengan syarat,
bahwa rakyat akan menjadi tenang."
445 "Jangan menjawab seperti kanak-kanak." wajah Mahisa Agni
menegang, "jika pengusutan hanya akan menambah persoalan,
maka tidak perlu kita mencari dan menemukan orang-orang yang
telah melakukan kejahatan. Juga apabila kelak seseorang telah
melakukan kejahatan atas tuanku Tohjaya."
Panglima itu terdiam sejenak. Namun agaknya Tohjaya sendiri
tidak dapat lagi menahan kemarahannya mendengar pembicaraan
itu sehingga katanya, "Mahisa Agni. Sekarang
akulah yang berkuasa. Akulah yarig menentukan segala-galanya."
Mahisa Agni memandang Tohjaya dengan tajamnya. Namun
iapun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Tentu
tuaku. Tuankulah yang sekarang paling berkuasa di Singasari
setelah tuanku Anusapati tidak ada lagi. Nah, sekarang kita, rakyat
Singasari akan menilai, apakah Maharaja yang sekarang akan
berindak lebih baik atau tidak daripada Maharaja yang menjadi
korban kekecewaan rakyat itu. Jika yang sekarang ini lebih baik,
maka akan ada harapan, bahwa pemerintahan tuanku Tohjaya akan
langgeng. Tetapi jika tidak maka pemerintahan ini umurnya tidak
akan lebih panjang dari masa pemerintahan tuanku Anusapati yang
pendek itu." Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Namun para Panglima
dan Senapati justru menjadi semakin cemas. Mahisa Agni bukan
seorang yang dungu. Bukan pula seorang yang mudah berputus asa
dan kemudian membunuh diri. Jika ia berani menengadahkan
dadanya di hadapan tuanku Tohjaya, tentu bukannya sekedar
kebodohan, kesombongan atau suatu cara untuk membunuh diri.
Apalagi Panglima yang melihat sendiri betapa kekuatan Singasari di
Kediri sepenuhnya dikuasai oleh Mahisa Agni. Dan bahkan pasukan
keamanan yang disusun oleh keluarga istana Kediri sendiri.
"Mungkin Mahisa Agni sudah menyiapkan pasukan itu, dan kini
pasukan itu telah merayap mendekati kota Singasari dalam gelar
yang mapan." berkata Panglima itu di dalam hatinya, "selagi kita di
halaman ini terlibat dalam pertempuran dengan Mahisa Agni dan
446 pengikutnya, maka dari luar, pasukan yang datang dari Kediri
memecah gerbang dan menduduki seluruh kota Singasari."
Dan ternyata angan-angan itu telah membuatnya lebih berhatihati
lagi menghadapi Mahisa Agni.
Tetapi dalam pada itu, Tohjaya yang merasa dirinya berkuasa,
tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Ternyata jawaban
Mahisa Agni itu membuatnya sangat marah, sehingga katanya
dengan suara bergetar, "Mahisa Agni. Aku tahu bahwa kau adalah
saudara ibunda Ken Dedes. Tetapi meskipun demikian hakmu
sebagai seorang keluarga dari ibunda Ken Dedespun terbatas
sebagai juga hakmu sebagai orang yang paling berhak di Kediri.
Karena itu, jika perlu, aku dapat menjatuhkan perintah untuk
menangkapmu, atau membunuhmu sama sekali."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian diedarkannya
tatapan matanya kepada semua orang yang ada di dalam ruangan
itu. Namun para Senapati dan Panglima itupun memalingkan
wajahnya atau menundukkan kepalanya, jika tatapan mata mereka
membentur tatapan mata Mahisa Agni.
Baru sejenak kemudian Mahisa Agni berkata, "Tuanku Tohjaya.
Memang tuanku mempunyai kekuasaan tertinggi, dan bahkan
kekuasaan yang tidak terbatas. Tuanku memang dapat menangkap
hamba dan bahkan membunuhnya sama sekali. Dan jika memang
tidak ada cara yang lebih baik menurut pertimbangan tuanku,
karena hanya ada satu-satunya cara untuk menenteramkan
Singasari dengan jalan melenyapkan hamba pula, maka terserahlah
kepada kebijaksanaan tuanku."
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah. Yang dikatakan oleh
Mahisa Agni adalah suatu tantangan. Tantangan bagi seorang
Maharaja yang paling berkuasa.
Namun sebelum Tohjaya berkata dengan sepenuhnya luapan
kemarahan, seorang Senapati yang dekat dengan Tohjaya selain
para Panglima, yaitu Lembu Ampal, berkata, "Ampun tuanku.
Sebaiknya tuanku segera menjatuhkan perintah yang wajar bagi
447 tuanku Mahisa Agni. Bukankah dengan demikian segala macam
kesalah pahaman dapat dikurangi. Dan bukankah menurut
pertimbangan tuanku, tuan puteri Ken Dedes sedang menderita
sakit yang semakin lama menjadi semakin parah" Dengan demikian,
langkah baiknya jika tuanku Mahisa Agni bersedia untuk beberapa
saat lamanya, menunggui tuan puteri Ken Dedes, karena menurut
keterangan tuan Puteri sendiri, agaknya tuan puteri sudah rindu
kepada tuanku Mahisa Agni. Jika kelak keadaan tuan puteri menjadi
berangsur baik, maka akan diambil keputusan baru bagi tuanku
Mahisa Agni. Apakah tuanku Mahisa Agni akan tetap berada di
istana atau akan dikirim kembali ke Kediri."
Tohjaya mengerutkan keningnya, sedang Panglima Pelayan
Dalam menyahut, "Hamba sependapat tuanku."
Tetapi Tohjaya tetap ragu-ragu. Sejenak ia termenung. Dan
karena ia tidak segera menyahut, maka Panglima pasukan
Pengawalpun berkata, "Demikianlah tuanku. Itu adalah pemecahan
suasana yang paling baik. Mungkin tuanku Mahisa Agni memang
berniat demikian. Hanya karena kesetiaannya kepada tugasnya
sajalah yang memaksanya untuk kembali ke Kediri jika tuanku tidak
menjatuhkan perintah lain."
Tohjaya merenungi kata-kata para Panglima dan Senapatinya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa para
Panglima dan Senapatinya tentu belum siap menghadapi peristiwa
yang mungkin akan dipergunakan kekerasan. Karena itu, ia tidak
dapat mengambil jalan lain daripada menyetujuinya seperti yang
pernah mereka perbincangkan sebelumnya.
"Baiklah." berkata Tohjaya, "aku beri kau waktu untuk
menunggui ibunda Ken Dedes. Tetapi setiap saat akan jatuh
perintah yang lain atasmu. Mungkin kau harus kembali ke Kediri,
dan mungkin kau akan mendapat tugas baru."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti arti
perintah itu. Namun ia memang sudah menduga bahwa ia tidak
akan segera dapat kembali ke Kediri.
448 Tetapi Mahisa Agni tidak menjadi gelisah karenanya. Ia sudah
menunjuk seseorang yang dapat dipercaya di Kediri dan seorang
penasehat yang bernama Witantra. Untuk waktu yang dekat
pimpinan pemerintahan di Singasari tentu tidak akan dapat
mengambil tindakan apapun atas mereka. Jika Tohjaya
merencanakan untuk menarik perwira tertua yang diserahinya
memegang kekuasaannya di Kediri, maka Tohjaya masih harus
memikirkan akibatnya, karena Mahisa Agni sendiri masih belum
kembali. Untuk itu Mahisa Agni akan dapat memerintahkan seorang
pengawalnya untuk menyampaikan pesan kepada Witantra.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun hanya dapat mengiakan
saja perintah Tohjaya untuk menunggui Ken Dedes di istana. Bagi
Mahisa Agni, perintah itu merupakan perintah yang paling baik
baginya, daripada perintah-perintah dan tugas yang lain di istana.
Apalagi jauh lebih baik daripada dimasukkan ke dalam bilik yang
gelap dan tidak diperkenankan untuk keluar setiap saat.
Demikianlah maka Mahisa Agni pun kemudian diperkenankan
meninggalkan ruangan itu, sementara para Panglima dan Senapati
masih akan melanjutkan pembicaraan.
Sepeninggal Mahisa Agni, maka dengan cemas Tohjaya berkata,
"Kalian memang tidak mempunyai otak. Bukankah ibunda Ken
Dedes dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, apa yang
sebenarnya telah terjadi di istana Singasari atas kakanda
Anusapati?" "Tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "menurut dugaan
hamba, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi. Karena itu, jika tuan puteri Ken Dedes
mengatakannya juga, maka pengaruhnya tidak akan begitu besar
lagi. Menurut penilikan hamba, Mahisa Agni memang tidak ingin
melakukan tindakan kekerasan, justru karena Mahisa Agni tidak
ingin melihat Singasari terpesah belah. Untuk sementara kita dapat
memanfaatkannya. Tetapi jika keadaan memaksa, mungkin ia
mengambil s ikap lain, sehingga karena itu, maka kita harus berhatihati
menilai setiap sikapnya."
449 Tohjaya mengerutkan keningnya. Mahisa Agni baginya
merupakan persoalan yang ternyata jauh lebih gawat dari
sepasukan prajurit yang menentang kehadirannya di atas tahta di
daerah yang manapun juga dalam wilayah Singasari.
"Jika demikian." berkata Tohjaya kemudian, "kalian harus
menempatkan Senapati-senapati pilihan untuk selalu
mengawasinya. Di bangsalnya dan di bangsal ibunda Ken Dedes.
Kalian harus juga memperhitungkan Adinda Mahisa Wonga Teleng
yang nampaknya sampai saat ini tidak berani bertindak apapun
juga. Tetapi meskipun masih terlampau muda, adinda Agnibaya
harus mendapat perhatian yang khusus. Ia menyaksikan sendiri apa
yang terjadi. Usahakan agar ia tidak terlalu banyak bergaul dengan
Mahisa Agni." "Tuanku." berkata seorang Senapati, "selain tuanku Mahisa Agni,
di bangsal itu masih ada beberapa orang pengawal."
"Biarkan saja." sahut Panglima Pelayan Dalam. Namun ketika ia
sadar bahwa ia berada dihadapan Tohjaya, dengan tergesa-gesa ia
menyambung, "Ampun tuanku. Maksud hamba, bahwa hamba
berpendapat para pengawal itu tidak akan lebih berbahaya dari
tuanku Mahisa Agni sendiri. Jika untuk beberapa saat kita dapat
membendung perasaan tuanku Mahisa Agni, maka untuk beberapa
saat kita tidak akan diganggunya."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Panglima yang lain
dan para Senapati pun mempercayai kata-kata Panglima itu, karena
Panglima itulah yang mengetahui dan melihat sendiri keadaan
Mahisa Agni di Kediri dan kekuatan pasukannya. Seperti Panglima
Pelayan Dalam itu, maka para Panglima dan Senapati berkata di
dalam hati mereka, "Jika Mahisa Agni ingin mengangkat senjata,
maka ia akan mulai dari Kediri. Tidak setelah ia berada di dalam
lingkungan istana ini."
"Tetapi bagaimana jika saat ini pasukan Kediri itu sedang
merayap mendekati kota Singasari." pertanyaan itupun timbul pula
di antara mereka. Sehingga para Panglima itu, meskipun tidak
berjanji, berniat untuk mengirimkan petugas-petugas sandinya agar
450 mereka mengawasi jalur-jalur jalan yang memasuki kota Singasari
bukan saja dari arah Kediri, tetapi dari segala arah.
Karena persoalan Mahisa Agni dianggap untuk sementara sudah
di atasi, dengan menahan agar Mahisa Agni tidak meninggalkan
halaman istana, maka pembicaraan itu pun berkisar pada persoalan
yang lain. Tohjaya memutuskan agar kedudukannya sebagai
Maharaja segera diresmikan di dalam suatu upacara yang meskipun
sederhana, tetapi berwibawa.
"Aku akan mengadakan paseban agung yang pertama. Semua
pimpinan pemerintahan, para Panglima dan Senapati akan aku
perkenankan menghadap." berkata Tohjaya kemudian, "aku akan
menyatakan diri secara resmi dihadapan paseban agung, bahwa aku
adalah Maharaja yang berkuasa di atas Singasari. Para Akuwu dan
para bangsawanpun aku perkenankan hadir di dalam paseban
agung itu." Para Panglima menarik nafas dalam-dalam. Itu berarti suatu
tugas yang sangat berat bagi mereka. Mereka harus mengamankan
sidang di paseban itu, sehingga memberikan kesan kewibawaan
Maharaja yang baru itu. Namun mereka sudah bersedia untuk mendukung kedudukan
Tohjaya sehingga tugas itupun harus mereka lakukan sebaikbaiknya.
Di hari-hari berikutnya, Mahisa Agni yang merasa dirinya menjadi
seorang yang selalu diawasi itu pun sama sekali tidak menghiraukan
lagi. Ia berbuat apa saja yang ingin dilakukannya. Namun ia masih
tetap berada di dalam batas-batas yang tidak memungkinkan
timbulnya kerusuhan yang akan dapat menjalar dan membakar
Singasari. Waktunya sehari-hari selalu dipergunakannya untuk menengok
Ken Dedes yang sebenarnya memang sedang sakit. Perasaan yang
menekan membuatnya semakin parah.
Namun di saat-saat yang senggang, Mahisa Agni yang menjadi
semakin tua itupun sempat bermain-main dengan kedua cucu Ken
451 Dedes. Keduanya adalah anak Anusapati dan anak Mahisa Wonga
Teleng. Kadang-kadang Mahisa Agni merasa bahwa apa yang pernah
terjadi di istana Singasari ini terulang kembali. Pada saat Anusapati
masih terlampau muda. Pada saat itu, ia dengan sembunyisembunyi
menurunkan ilmunya kepada Anusapati, sehingga
Anusapati itu kemudian memiliki kemampuan yang cukup untuk
bekal pada saat ia naik keatas tahta. Namun ternyata kelicikan telah
terjadi, sehingga Anusapati sama sekali tidak sempat
mempergunakan ilmunya, karena dalam keadaan yang tidak didugaduga
sebilah keris yang tidak ada duanya telah mengakhiri
hidupnya. Dan kini yang dihadapinya adalah dua orang anak yang masih
sangat muda pula. Anak-anak yang memiliki jiwa yang membara
seperti orang tua mereka.
Dalam kesempatan yang ada, Mahisa Agni sering mengajak
kedua anak-anak yang masih sangat muda itu berjalan-jalan di
halaman. Kemudian berlari-lari dan kadang-kadang berkejaran.
Disaat yang lain diajaknya kedua anak-anak muda itu ke tempat
yang sepi dan diajaknya anak-anak itu melonjak-lonjak dan
meloncat-loncat menggapai cabang-cabang pepohonan. Kemudian
diajaknya kedua anak-anak itu berguling-berguling di atas
rerumputan. Ternyata yang dilakukan oleh Mahisa Agni itu telah membuat
para pengawal yang mengawasinya menjadi cemas. Tidak seperti
pada saat Anusapati mulai mempelajari ilmunya dahulu. Saat itu
Mahisa Agni berhasil melepaskan diri dari pengawasan. Tetapi kini
tidak. Setiap kali Mahisa Agni menyadari, bahwa para Senapati
terpilih sedang mengawasinya dari kejauhan, apapun yang sedang
dilakukannya.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(Bersambung jilid ke 7) Koleksi : Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema 452 Retype/convert: Ki Mahesa
Proofing/editing: Ki Mahesa
Rechecking/editing: Ki Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
453 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 07 MESKIPUN DEMIKIAN Mahisa Agni melakukannya juga.
Pada pagi-pagi hari, ketika langit
mulai menjadi merah, Mahisa
Agni sudah mengambil kedua
anak itu di bangsalnya masingmasing
tanpa menghiraukan para prajurit yang mengawasinya.
Kemudian membawa mereka ke
taman dan mengajari mereka
melakukan gerakan-gerakan yang
masih sangat sederhana, namun
akan sangat penting artinya bagi
perkembangan jasmani mereka.
Kadang-kadang seorang Senapati yang sedang mengawasi
mereka sama sekali tidak menganggap gerakan-gerakan itu akan
membahayakan kelak. Tetapi Senapati yang lain menganggap,
bahwa yang sedang mereka pelajari itu adalah dasar dari setiap ilmu
yang akan menjadi sangat dahsyat di masa mendatang, seperti ilmu
Mahisa Agnt itu sendiri. "Mereka hanya berlari, meloncat-loncat dan kadang-kadang
berguling di atas rerumputan." desis seorang prajurit.
"Itu adalah tata gerak dasar untuk membentuk jasmani kedua
anak-anak itu. Jika jasmani mereka telah terbentuk, maka barulah
454 mereka memasuki latihan-latihan yang sebenarnya." sahut seorang
kawannya yang lebih mengenal gerak-gerak itu.
"Tetapi waktu yang kau sebutkan itu masih sangat panjang.
Dengan demikian kita tidak usah tergesa-gesa mengambil tindakan
atas mereka." "Tetapi hal ini pantas diketahui oleh tuanku Tohjaya."
Mahisa Agni pun menyadari bahwa yang dilakukan itu tentu akan
sangat menarik perhatian. Tetapi ia tidak dapat mencari jalan lain.
Jika ia mencoba melakukannya sambil bersembunyi, maka para
pengawas yang ketat itu akhirnya akan mengetahuinya juga, dan
kecurigaan yang tumbuh tentu akan menjadi semakin besar.
Demikianlah, sejalan dengan perkembangan jasmani kedua anakanak
yang masih terlalu muda itu. Singasari sedang mempersiapkan
sebuah upacara untuk meresmikan Tohjaya menjadi seorang
Maharaja di hadapan paseban agung. Para pemimpin pemerintahan,
para Panglima dan Senapati, para Akuwu dan keluarga kerajaan,
akan menghadapi upacara itu.
Menjelang hari yang ditentukan, maka para Panglima menjadi
semakin sibuk. Petugas-petugas sandi dikirimkan ke segala penjuru
untuk mengetahui tanggapan rakyat Singasari. Namun agaknya
rakyat Singasari tidak banyak menaruh perhatian. Apalagi usaha
menentang peresmian itu. "Kita berjalan di atas jalan yang licin." berkata seorang Senapati
kepada kawannya. "Ya. Tidak ada kesulitan apapun. Di Kediri pun tidak ada usaha
apapun yang pantas dicurigai. Apalagi Mahisa Agni masih tetap
berada disini, sehingga yang ada di Kediri hanyalah seorang perwira
yang diberi kuasa untuk melakukan tugas sehari-hari. Dan hal itu
masih tetap dibiarkan saja oleh tuanku Tohjaya."
Dalam pada itu, maka semua persiapannya sudah selesai. Para
utusan sudah disebar ke segala penjuru untuk memanggil setiap
orang yang akan hadir di dalam paseban agung yang pertama kali
455 diselenggarakan oleh Tohjaya, yang kini menjadi Maharaja yang
memerintah atas Singasari yang besar.
Pada saat paseban agung itu dilaksanakan, maka kota Singasari
mendadak menjadi semakin ramai.
Penginapan-penginapan, barak-barak dan bangsal-bangsal yang
disediakan oleh para pemimpin pemerintahan di pusat kota
Singasari telah penuh. Semua yang dipanggil menghadap
memerlukan datang ke Singasari, agar mereka tidak dianggap telah
menentang kekuasaan Tohjaya.
Namun ada juga diantara mereka yang datang untuk melihat,
apakah sebenarnya yang dapat dilakukan oleh Tohjaya. Meskipun
secara lahiriah mereka juga memenuhi perintah untuk hadir di
dalam sidang agung untuk meresmikan kekuasaan Tohjaya, namun
sebenarnya mereka tidak lebih dari melakukan penjajagan atas
kemampuan Tohjaya memerintah.
Pada hari yang ditentukan, maka di bangsal paseban, para
pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati, para Akuwu
dan keluarga kerajaan telah hadir menghadap Tohjaya yang akan
menyatakan dirinya dengan resmi, bahwa ia telah menggantikan
kakandanya Anusapati memegang pimpinan tertinggi pemerintahan
di Kediri. Seperti yang direncanakan, maka upacara itu pun berjalan lancar.
Para pemimpin keagamaan yang bertugas dan para pemimpin
pemerintahan yang menyaksikan upacara itu mengikuti rencana
dengan sempurna. Tidak ada yang mengecewakan. Sambutan para
pemimpin pemerintahan, para Panglima dan Senapati dan keluarga
kerajaan pun sangat membesarkan hati Tohjaya.
Namun ketika upacara itu sudah hampir selesai, ketika paseban
agung itu sudah hampir dibubarkan, tiba-tiba saja terlihat oleh
Tohjaya, dua orang anak-anak yang masih sangat muda duduk di
sebelah menyebelah Mahisa Agni. Didorong oleh gejolak
perasaannya yang sedang melambung, tiba-tiba saja timbullah
keinginannya untuk menunjukkan kebesaran jiwanya. Karena itulah
456 maka katanya kepada yang ada di bangsal paseban agung itu,
"Lihatlah. Keduanya adalah kemanakanku. Yang seorang adalah
putera Kakanda Anusapati yang sudah tidak ada lagi di antara kita,
sedang yang seorang adalah putera Adinda Mahisa Wonga Teleng.
Keduanya adalah anak-anak muda yang baik. Dan aku adalah
pamannya yang berkewajiban membesarkannya, memberinya bekal
buat masa depannya sebagai anak muda yang berjiwa kesatria.
Untuk sementara aku masih membiarkannya berada di bawah
asuhan ibundanya masing-masing. Tetapi pada saatnya, aku akan
menempatkannya ke tempat yang paling layak bagi kedua kesatria
yang masih sangat muda itu."
Mereka yang mendengar kata-kata Tohjaya itu menganggukanggukkan
kepalanya. Mereka bertambah kagum melihat kebesaran
jiwa Tohjaya yang sangat memperhatikan kedua kemanakannya itu,
terutama putera Anusapati yang sudah tidak berayah lagi. Apalagi
mereka yang mengetahui dengan pasti, bahwa kedua kakak beradik
itu sejak masa hidup Anusapati bagaikan minyak dengan air.
Namun ternyata bahwa sikap Tohjaya itu telah menarik perhatian
seorang pemimpin pemerintahan yang dekat sekali dengan Tohjaya.
Dengan wajah yang tegang dipandanginya kedua kesatria yang
masih sangat muda itu. Mahisa Agni yang duduk di samping kedua kemanakannya sambil
menundukkan kepalanya itu, sempat melihat dengan sudut
matanya, pemimpin pemerintahan Singasari yg memandang kedua
kemanakannya itu dengan pandangan yang mencurigakan.
Mahisa Agni yang memiliki ketajaman indera yang luar biasa,
rasa-rasanya dapat menangkap getar di dalam dada pemimpin yang
satu itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati.
Mungkin persoalannya tidak mulai dari dirinya sendiri, tetapi justru
mulai dari kedua anak-anak yang masih sangat muda itu.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, paseban itu pun
dibubarkannya. Semua yang hadirkembali kebarak, bangsal, dan
penginapannya masing-masing. Selama itu di kota kerajaan akan
457 dilangsungkan keramaian untuk menghormati peresmian Tohjaya
yang duduk di atas tahta kerajaan.
Namun dalam pada itu, semua orang yang bergembira itu pun
tidak banyak lagi teringat akan kesulitan, keributan dan bahaya
yang dapat timbul dengan tiba-tiba, sehingga mereka pun menjadi
lengah karenanya. Mahisa Agni yang menangkap firasat yang kurang baik di
paseban karena tatapan mata seorang pemimpin yang terlalu dekat
dengan Tohjaya itu pun harus segera berbuat sesuatu.
Diperintahkannya salah seorang pengawalnya untuk
menghubungi Witantra. Dalam saat-saat tertentu ia
memerlukannya. Bahkan mungkin di rumahnya. Karena itu, untuk
beberapa hari yang dekat, sebaiknya Witantra berada di Singasari.
"Biarlah Witantra berada di rumah yang sudah sejak lama
dipakainya di dalam kota Singasari sebagai tempat berkumpul
dengan beberapa orang yang sebagian kini sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian aku akan dapat cepat menghubunginya apabila
diperlukan." pesan Mahisa Agni.
Ternyata bahwa firasat yang menyentuh perasaan Mahisa Agni
itu benar-benar terjadi. Sorelah paseban menjadi sepi, maka
Pranaraja, pemimpin yang sangat dekat dengan Tohjaya itu pun
datang menghadap untuk menyatakan perasaannya.
"Apa katamu tentang kedua kemanakanku itu" Bukankah mereka
anak-anak yang baik, tampan?" bertanya Tohjaya.
"Hamba tuanku. Keduanya adalah kesatria yang sempurna ujud
dan sikapnja. Namun keduanya dapat diumpamakan sebagai ".
(bisul di pusat perut") (pada naskah aslinya kalimatnya memang
tidak lengkap) Tohyaja menganggukkan kepalanya. Memang kedua
kemanakannya itu benar-benar anak-anak muda yang tampan dari
sikapnya dapat dilihat, bahwa mereka akan menjadi anak-anak
muda yang tangkas dan cekatan.
458 "Tetapi tuanku." berkata Pranaraja kemudian, "Kedua anak-anak
muda yang cakap dan tampan itu, bagi tuanku dapat diumpamakan
sebagai bisul di pusat perut."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya dengan
hati berdebar-debar. "Apa maksudmu?"
"Jika dibiarkan saja tuanku, anak-anak muda itu tumbuh menjadi
dewasa, maka banyak yang dapat terjadi karenanya. Mereka
memiliki pengaruh, ilmu dan darah keturunan tuan puteri, Ken
Dedes." "Apa artinya semuanya itu?"
"Mereka adalah anak-anak yang cakap dan tampan, yang segera
dapat menarik perhatian orang lain dalam sikap dan tingkah laku.
Sedangkan di saat ini pamannya Mahisa Agni, telah mulai
menyiapkan mereka secara jasmaniah untuk menerima warisan ilmu
yang tiada duanya di Singasari. Dan yang terakhir keduanya adalah
keturunan langsung dari ibunda Tuanku Anusapati."
"Apa bedanya ibunda Ken Dedes dan ibunda Ken Umang?"
"Tuanku tentu mengetahui bahwa yang mewarisi tahta dari
Akuwu Tunggul Ametung semula adalah tuan puteri Ken Dedes.
Bukan tuanku Sri Rajasa yang lahir dari antara rakyat biasa seperti
orang-orang kebanyakan."
"Persetan. Tetapi ayahanda Sri Rajasa adalah orang yang
berhasil mempersatukan Singasari. Apakah artinya Tumapel yang
kecil itu dibandingkan dengan Singasari sekarang ini."
"Namun modal kekuasaan tuanku Sri Rajasa pun dari Tumapel
pula. Apalagi setiap prajurit mengetahui bahwa di samping Sri
Rajasa masih ada Mahisa Agni. Tanpa Mahisa Agni, Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi tidak akan dapat mengalahkan Kediri saat
itu. Dengan demikian, maka setiap orang masih akan menghargai
ibunda tuanku Ken Umang di bawah penilaian mereka terhadap
tuan puteri Ken Dedes."
459 "Cukup. Kau sudah menghinakan ibuku. Apakah kau tidak
menyadari bahwa aku dapat menghukummu" Dapat
menggantungmu di alun-alun."
"Ampun tuanku. Bukan maksud hamba menghinakan ibunda
tuanku. Tetapi hamba bermaksud baik. Hamba ingin pemerintahan
tuanku akan kekal. Karena itu, jika tuanku sependapat dengan
hamba, maka sebaiknya kedua anak-anak yang masih sangat muda
itu disingkirkan saja."
"Maksudmu?" "Tuanku dapat memerintahkan seorang Senapati yang terpercaya
untuk membunuh mereka berdua dan membuang bekas-bekasnya."
Wajah Tohjaya menjadi tegang. Namun kemudian ia pun
tersenyum sambil menganguk-angukkan kepalanya. Katanya, "Kau
memang seorang kejam yang tiada duanya di Singasari Pranaraja.
Tetapi usulmu dapat aku mengerti."
"Tuanku, sebenarnyalah kita adalah orang-orang yang kejam dan
tidak mengenal perikemanusiaan. Kematian Akuwu Tunggul
Ametung, seperti desas-desus yang terakhir terdengar di Singasari
sepeninggal tuanku Sri Rajasa, kemudian kematian beberapa orang
sebagai akibatnya. Disusul oleh kematian tuanku Sri Rajasa sendiri
dan Pengalasan dari Batil, dan yang terakhir adalah kematian
tuanku Anusapati, adalah kenyataan bahwa kematian demi
kematian telah terjadi. Dengan demikian jika kedua anak-anak yang
masih sangat muda itu ditambahkan di belakang mereka yang
mendahuluinya, maka agaknya tidak akan sangat mempengaruhi
dan membebani perasaan kita."
"Baiklah Pranaraja, panggilah Lembu Ampal. Aku akan berbicara
dengan orang itu." Pranaraja pun kemudian memerintahkan seorang prajurit untuk
memanggil Lembu Ampal menghadap.
"Katakan, bahwa tuanku Tohjaya memerlukannya sekarang
juga." berkata Pranaraja kepada prajurit itu.
460 Demikianlah maka prajurit itu pun dengan tergesa-gesa mencari
Lembu Ampal dan minta kepadanya agar saat itu juga pergi
menghadap tuanku Tohjaya di istana.
"Apakah ada masalah yang penting sekali?" bertanya Lembu
Ampal kepada prajurit itu.
"Aku tidak tahu pasti."
"Siapakah yang sedang menghadap?"
"Pranaraja." Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
"Tentu ada pendapatnya yang harus aku lakukan. Orang itu


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlampau banyak akalnya. Sayang akal yang licik. Dan orang lain
yang harus melakukannyalah yang akan mengalami kesulitan."
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat menolak. Ia pun dengan segan
pergi juga menghadap Tohjaya di istana.
Ketika ia memasuki ruangan dan dilihatnya tidak ada orang lain
kecuali Pranaraja, maka Lembu Ampal pun menyadari, bahwa ada
tugas yang penting yang harus dilakukan. Dan tugas itu tentu usul
dari Pranaraja yang licik itu.
"Kemarilah." Tohjaya melambaikan tangannya memanggil Lembu
Ampal mendekatinya. Dengan kepala tunduk Lembu Ampal bergeser maju mendekati
Tohjaya dan Pranaraja. "Ada tugas yang penting yang harus kau lakukan." berkata
Tohjaya kemudian, "Tidak ada orang lain yang pantas
melakukannya kecuali kau."
Lembu Ampal yang memang sudah menduga bahwa ia akan
mendapat tugas penting, hanya mengangguk kecil tanpa
mengangkat wajahnya. Namun debar jantungnya menjadi semakin
cepat. 461 "Jika aku harus berurusan dengan Mahisa Agni, maka
riwayatkulah yang tentu akan berakhir." katanya di dalam hati.
"Lembu Ampal." berkata Tohjaya kemudian, "Di dalam tugas ini
kau dapat menunjuk kawan berapa saja kau butuhkan, dan siapa
saja yang menurut pertimbanganmu akan akan dapat
menyelesaikan persoalan."
Lembu Ampal menjadi semakin berdebar-debar.
"Lembu Ampal." Tohjaya melanjutkan, "Menurut pertimbangan
Pranaraja, maka sebaiknya aku melenyapkan bisul di pusat perutku.
Kau tentu tahu bahwa di dalam paseban Agung, ada dua orang
anak yang masih sangat muda. Keduanya adalah anak kakanda
Anusapati dan adinda Mahisa Wonga Teleng. Jika aku biarkan saja
mereka hidup di Singasari ini maka bagaikan memelihara seekor
harimau yang pada suatu saat akan dapat menerkam aku sendiri."
Lembu Ampal menahan nafasnya. Dan ia mendengar Tohjaya
berkata selanjutnya, "Karena itu Lembu Ampal. Menurut
pertimbangan Pranaraja, maka keduanya harus dilenyapkan."
Lembu Ampal tidak menyahut. Perasaannya dipenuhi oleh
berbagai macam persoalan yang bercampur baur. Ia dapat mengerti
jalan pikiran Pranaraja yang licik itu. Namun tugas yang dibebankan
kepadanya saat itu adalah tugas yang sangat berat. Membunuh
kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah pekerjaan
yang tidak begitu sulit di dalam keadaan yang ribut ini. di seluruh
kota sedang diadakan keramaian untuk menyambut peresmian
Tohjaya sebagai seorang Maharaja yang berkuasa di Singasari.
Bahkan di istana pun suasananya jauh berbeda dengan hari-hari
biasa. Karena itu di dalam keramaian ini dapat saja ia mengambil
kesempatan untuk membawa kedua anak-anak muda yang hampir
tidak pernah berpisah itu dan melenyapkannya. Meskipun keduanya
sering tampak bersama Mahisa Agni, namun tidak terlalu sulit untuk
mencari saat-saat yang dapat memberikannya peluang.
Namun yang terasa sangat berat adalah perjuangan melawan
perasaannya sendiri. Sebenarnya ia tidak akan sampai hati
462 melakukan pembunuhan itu. Kedua anak itu sama sekali tidak
bersalah. Kesalahan mereka satu-satunya adalah karena mereka
keturunan Ken Dedes. Dan itu sudah barang tentu bukan atas
kehendak kedua anak-anak itu.
"Kenapa kau diam saja?" bertanya Tohjaya, "Apakah Lembu
Ampal sekarang sudah berubah dan menjadi seorang pengecut?"
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil
membungkuk dalam-dalam ia berkata, "Ampun tuanku. Hamba
adalah seorang prajurit. Hamba tidak dapat ingkar akan tugas tugas
hamba. Karena itu, apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba
lakukan dengan baik. Namun tuanku, perkenankanlah hamba
bertanya, apakah benar bahwa kedua anak-anak muda itu sangat
berbahaya bagi tuanku?"
"Lembu Ampal, kau sudah mengatakan bahwa kau adalah
seorang prajurit. Apapun yang diperintahkan akan kau jalankan.
Karena itu tidak sewajarnya kau bertanya seperti itu." Tohjaya
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi baiklah aku kali ini memberi
penjelasan sedikit agar hatimu menjadi lapang. Aku tahu, kau
merasa segan melakukan perintahku yang satu ini karena kau
dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan. Karena itu, dengarlah
baik-baik. Kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah
keturunan ibunda Ken Dedes ang akan dapat menuntut haknya di
masa mendatang. Hak yang sebenarnya hanya sekedar semu.
Apalagi dengan dorongan Mahisa Agni, mereka melakukan
perlawanan yang berbahaya bagi kedudukanku. Karena itu, selagi
keduanya belum dapat berbuat apapun juga, bunuhlah mereka."
Lembu Ampal masih ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia tidak akan
dapat menolak. Namun ia merasa sangat berat untuk
melakukannya. "Kenapa tugas ini jatuh ke atas pundakku." keluhnya di dalam
hatinya. "Lembu Ampal." berkata Tohjaya kemudian yang melihat keraguraguan
membayang di wajah seperti itu, "Dengarlah baik-baik. Aku
463 memberimu waktu sampai purnama naik. Jika sampai saat purnama
naik kau belum berhasil membinasakan kedua anak-anak itu, maka
itu berarti bahwa kau justru melindunginya. Karena itu, maka kau
sendiri akan mendapat hukuman dari padaku, karena kau
mengingkari tugasmu. Kau akan dihukum picis di alun-alun."
Wajah Lembu Ampal menjadi merah. Namun kemudian
kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ancaman itu
bermaksud agar ia melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
"Nah, masih ada waktu kira-kira dua puluh hari lagi. Lakukanlah
tugasmu baik-baik Lembu Ampal. Kau harus selalu ingat bahwa
Mahisa Agni ada di istana ini. Jika menurut pertimbanganmu Mahisa
Agni perlu disingkirkan lebih dahulu, maka aku akan
memerintahkannya pergi ke Kediri untuk beberapa saat lamanya
dan memanggilnya kembali setelah semuanya selesai."
"Tuanku, hamba tidak akan dapat ingkar. Biarlah hamba berpikir
dua tiga hari, apakah yang sebaiknya hamba lakukan. Juga tentang
Mahisa Agni itu. Ia harus mendapat perhatian dengan saksama."
Tohjaya mengangguk-angguk. Lembu Ampal yang telah dibebani
dengan tugas yang berat itu pun diperkenankan meninggal kan
ruangan itu. Di sepanjang langkahnya Lembu Ampal selalu dibayangi oleh
tugas yang baginya sangat berat. Kedua anak-anak muda itu sendiri
tidak memiliki kekuatan apapun untuk menyelamatkan dirinya.
Tetapi di sisinya ada Mahisa Agni dan lebih daripada itu, keduanya
sama sekali tidak bersalah. Kematian yang meng hantui kedua anakanak
muda itu tentu sama sekali tidak mereka duga. Selain
perasaan iba kepada kedua anak-anak yang masih sangat muda itu,
Lembu Ampal juga membayangkan, betapa pedihnya perasaan
ibunya. Terlebih-lebih bekas Permaisuri tuanku Anusapati. Ia baru
saja kehilangan suaminya. Dan sebentar kemudian ia kehilangan
anaknya yang sangat dikasihinya. Padahal selama ini ia tidak pernah
berbuat apa-apa untuk melawan ketidak adilan yang sudah terjadi
atas suaminya. 464 Lembu Ampal benar-benar dicengkam oleh kesulitan perasaan, la
mendapat waktu dua tiga hari untuk mengemukakan cara yang
paling baik untuk melakukan tugasnya. Namun tugas itu sendiri
merupakan beban yang hampir tidak tertanggungkan.
Di malam hari Lembu Ampal tidak dapat memejamkan matanya
barang sekejap. Jika ia mencobanya, maka terbayanglah wajah
kedua anak-anak yang masih sangat muda itu. Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Kedua anak-anak yang tampan, lincah dan lucu di
masa kanak-anak. Setiap hari Lembu Ampal melihat keduanya
berlari-larian. Kadang-kadang berdua saja, kadang-kadang bersama
dengan Mahisa Agni. Di halaman belakang, sekilas Lembu Ampal
sering melihat, bagaimana Mahisa Agni mengajar mereka
berloncatan, berlari-larian dan berguling-guling.
"Memang di bawah asuhan Mahisa Agni mereka berdua akan
dapat membahayakan kedudukan tuanku Tohjaya. Tetapi itu bukan
alasan yang cukup kuat untuk mengambil keputusan yang tidak
berperikemanusiaan itu." berkata Lembu Ampal kepada diri sendiri,
namun kemudian, "Tetapi jika aku tidak melakukannya, maka
akulah yang akan dihukum gantung, atau hukum picis atau
hukuman apalagi yang paling buruk yang pernah dilakukan oleh
Singasari." Demikianlah Lembu Ampal tidak dapat menemukan jawaban atas
kegelisahan hatinya sendiri. Sehingga karena itu, maka ia pun
berniat untuk menghadap seorang pendeta yang akan dapat
memberinya petunjuk agar ia dapat berbuat sesuatu dengan hati
yang tenang. Pendeta istana yang mendengar keluhan Lembu Ampal itu
menepuk bahunya. Katanya, "Lembu Ampal. Kau benar-benar
berdiri di simpang jalan yang rumit. Kemana pun kau melangkah
kau akan melakukan kesalahan."
"Itulah yang membuat aku tidak dapat tidur semalam suntuk.
Dan tentu pada malam mendatang. Tugas itu terlampau berat
bagiku. Bukan karena aku tidak mampu, tetapi perasaankulah yang
menahan aku melakukannya."
465 "Aku mengerti perasaanmu Lembu Ampal. Tetapi kau tidak dapat
ingkar atas perintah Maharaja. Tetapi kau tidak akan mendapat
ketenteraman hati untuk selanjutnya, jika kau terpaksa
melakukannya. Apabila kau melihat tuan puteri Ken Dedes, bekas
tuanku Permaisuri Anusapati, dan tuanku Mahisa Wonga Teleng
suami isteri. Setiap kali kau akan dikejar oleh perasaan bersalah
yang tidak akan dapat kau ingkari seperti kau tidak akan dapat
mengingkari perintah tuanku Tohjaya."
"Jadi, apakah yang harus aku lakukan" Apakah aku memang
sudah diharuskan hidup dalam kegelisahan, ketidak tenangan dan
dikejar oleh perasaan bersalah seumurku?"
Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, "Jika aku harus maju
kepeprangan, aku tidak akan mengalami kesulitan perasaan seperti
ini. Atau bahkan perintah itu berbunyi, agar aku membunuh Mahisa
Agni, aku akan melakukannya dengan mantap meskipun aku tahu,
bahwa akulah yang akan terbunuh."
"Keadaan memang sulit. Tetapi jika sasaran yang harus kau
bunuh itu tidak ada, maka itu bukan salahmu."
"Aku tidak mengerti."
Pendeta itu menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang akan
dikatakannya, tetapi agaknya ia menjadi ragu-ragu.
"Tidak ada jalan untuk menghindar." berkata Lembu Ampal
selanjutnya, "Jika aku gagal apapun alasannya, akulah yang akan
dihukum picis di alun-alun."
Pendeta istana itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Heningkan hatimu untuk seharidua hari Lembu Ampal."
"Sehari dua hari lagi aku harus memberitahukan kepada tuanku
Tohjaya, apakah yang harus aku lakukan. Jalan manakah yang
harus aku pilih." "Tetapi yang satu dua hari itu mungkin akan datang terang di
hatimu. Mungkin di dalam satu hari itu, aku dapat menemukan jalan
yang dapat kau tempuh dan dapat kau setujui."
466 Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
pun mohon diri dan meninggalkan pendeta istana itu dengan kepala
tunduk. Rasa-rasanya dunianya menjadi gelap. Sekali-sekali ia sempat
mengutuk Pranaraja yang pasti telah mengusulkan kepada Tohjaya.
Tetapi ia sendiri tidak sanggup melakukannya. Dan Lembu Ampallah
yang mendapat beban yang hampir tidak terangkat olehnya itu.
"Tetapi aku tidak dapat ingkar." setiap kali kata-kata itu
terngiang di telinganya. Namun dalam pada itu, sepeninggal Lembu Ampal, pendeta
istana itu pun menjadi gelisah. Ia sudah terlanjur mendengar
rencana pembunuhan itu. Meskipun maksud kedatangan Lembu
Ampal untuk minta nasehatnya, untuk ketenteraman hatinya,
namun pendeta itu telah dijalari penyakit yang sama seperti yang
dialami oleh Lembu Ampal itu. Kegelisahan dan kecemasan.
Setiap kali ia mendengar kata-katanya sendiri yang diucapkannya
kepada Lembu Ampal, "Tetapi kau tidak akan mendapat
ketenteraman hati untuk selanjutnya."
Dan ketidak tenteraman itu akan berlaku pula atasnya. Jika pada
suatu saat ia mendengar berita bahwa kedua anak yang tidak
bersalah itu terbunuh oleh Lembu Ampal, atau orang lain yang
dipercayanya melakukan karena Lembu Ampal sendiri tidak sampai
hati, maka ia akan merasa dikejar pula oleh kesalahan karena ia
tidak berusaha untuk mengurungkannya.
Karena itu, maka pendeta itu sendiri menjadi bingung. Ia adalah
seorang pendeta istana yang wajib melindungi rahasia pimpinan
pemerintahan. Ia adalah salah seorang pendamping Maharaja
Singasari yang manapun. Tetapi ia adalah seorang pendeta yang
menyerahkan hidupnya kepada pengabdian yang tulus kepada Yang
Maha Agung. Namun kebingungan itu tidak terlampau lama menguasai hatinya.
Berbeda dengan Lembu Ampal, maka pendeta istana itu pun
467 kemudian berpegang pada nuraninya. Meskipun seandainya karena
itu, ia dapat dihukum picis sekalipun, ia tidak menghiraukannya lagi.
"Tidak ada yang pantas aku turut selain nurani kependetaanku.
Apakah arti keselamatanku, keselamatan wadagku daripada
keselamatan jiwaku." berkata pendeta itu kepada diri sendiri.
Dan ternyata kemudian bahwa pendeta itu benar-benar tidak
menghiraukan dirinya sendiri. Meskipun ia tidak pergi dengan
semata-mata tanpa usaha penyelamatan diri, maka ditemuinya
Mahisa Agni di bangsalnya.
Ketika Mahisa Agni mendengar rencana itu, maka ia pun
menggeretakkan giginya. Sebenarnya ia sudah menduga sejak ia
melihat sikap ang aneh di paseban agung. Namun bahwa Tohjaya
benar-benar telah memerintahkan untuk membunuh kedua
kemanakannya itu telah membuat dada Mahisa Agni bagaikan
terbakar. Meskipun demikian Mahisa Agni tidak berbuat dengan tergesagesa.
Ia tetap menyadari betapa pentingnya ketenangan di
Singasari pada saat-saat seperti ini. Saat-saat yang berbahaya
karena ketidak pastian dan desas-desus yang bersimpang siur
tentang perpindahan kekuasaan dari Anusapati kepada Tohjaya.
Tetapi Mahisa Agni tidak menyampaikan berita itu kepada Ken
Dedes. Mahisa Agni tidak ingin Ken Dedes menjadi semakin sedih
dan membuatnya semakin parah. Namun Mahisa Agni tidak dapat
berdiam diri kepada Mahisa Wonga Teleng.
Dengan hati-hati Mahisa Agni menyampaikan berita yang
didengarnya dari pendeta istana itu kepada Mahisa Wonga Teleng.
Namun demikian, betapa pun Mahisa Agni berusaha, namun


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Wonga Teleng hampir tidak dapat menahan diri lagi. Sambil
berdiri tegak ia menggeram, "Aku akan menantangnya berperang
tanding, meskipun aku sadar, menang atau kalah aku tentu akan
dibunuhnya di alun-alun. Tetapi biarlah aku mengenal sifat
kekesatriaannya." 468 "Sabarlah Mahisa Wonga Teleng." berkata Mahisa Agni, "Kita
tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa. Jika kau berbuat
demikian, akibatnya kematian anakmu akan menjadi semakin
cepat." "Tetapi tidak ada cara lain paman. Jika Mahisa Cempaka harus
mati, biarlah aku mati lebih dahulu."
"Mahisa Wonga Teleng. Seperti aku, kiranya kau tidak akan
berkeberatan untuk mati. Karena itu, tinggallah di sini. Jagalah
ibumu baik-baik. Jagalah isterimu dan iparmu, isteri Anusapati yang
sudah tidak ada lagi. Biarlah aku mencoba menyelamatkan anakmu
dan anak Anusapati."
"Paman. Jika rencana itu benar, maka istana ini tentu sudah
dikepung. Kedua anak-anak itu tentu mendapat pengawasan yang
ketat." "Biarlah aku berusaha. Berusaha tentu jauh lebih baik dari
berdiam diri saja. Jika anak-anak itu dapat disingkirkan, maka
biarlah, apa saja yang akan terjadi atas kita yang tua-tua ini."
Mahisa Wonga Teleng masih saja dicengkam ketegangan.
"Aku akan menyingkirkan kedua anak-anak itu. Aku akan
berusaha meyakinkan ibu Ranggawuni bahwa anaknya perlu
diselamatkan bersama anakmu Mahisa Cempaka."
Sejenak Mahisa Wonga Telenglah kepada paman. "Aku tidak
menghiraukan keselamatanku sendiri. Jika kedua anak-anak ku
dapat berhasil melepaskan diri dari maut, apapun tebusannya aku
akan menjalaninya." Mahisa Wonga Teleng termenung sejenak, lalu,
"tetapi bagaimana dengan adinda Agnibaya yang melihat sendiri
pembunuhan itu" Apakah jiwanya juga tidak terancam?"
"Tentu tidak akan dilakukan dalam waktu pendek justru karena
Agnibaya melihat peristiwa itu. Mungkin di waktu mendatang.
Namun yang harus segera disingkirkan adalah kedua anak-anak itu.
Keduanya merupakan hantu yang menakutkan bagi kedudukan
469 Tohjaya sekarang, karena ia sadar, bahwa kesetiaan terhadap
Anusapati masih cukup besar."
Mahisa Wonga Teleng menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Akhirnya ia berkata dengan suara lemah, "Paman Mahisa Agni.
Terserahlah kepada paman. Aku akan menurut perintah paman asal
anak-anak itu dapat diselamatkan. Seperti kata paman, aku tidak
menghiraukan lagi, apa yang akan terjadi atas orang-orang tua ini."
"Baiklah. Sementara ini jaga anakmu baik-baik. Jangan sampai ia
lepas dari pengawasanmu. Aku akan membantumu, tetapi ada
kalanya aku sibuk mengatur orang-orang yang akan berusaha
melepaskan keduanya."
"Baiklah paman. Biarlah kedua anak-anak itu selalu bermain di
halaman bangsal ini. Aku sendiri akan selalu mengawasi mereka."
Demikianlah maka Mahisa Agni pun mulai berpikir dan berusaha
untukmelepaskan kedua anak-anakitu dari kematian.
Jalan satu-satunya bagi Mahisa Agni adalah menyingkirkan
mereka dari halaman istana dan menyembunyikan mereka di tempat
yang jauh dan terlindung.
"Tidak ada orang lain kecuali Witantra." berkata Mahisa Agni di
dalam hatinya. Ternyata bahwa Mahisa Agni berhasil mengadakan hubungan
dengan Witantra tanpa diketahui oleh siapapun. Bahkan Witantra
sendiri sering memasuki istana Singasari seperti yang pernah
dilakukannya meskipun di sekeliling dinding batu halaman para
prajurit selalu berjaga-jaga.
"Anak-anak itu harus cepat kau bawa keluar Witantra. Agar tidak
menimbulkan kesan bahwa aku yang membantu menying kirkannya,
aku akan tetap berada di halaman istana saat-saat kau membawa
kedua anak-anak itu." berkata Mahisa Agni ketika Witantra
memasuki bangsalnya. 470 "Aku akan berusaha. Tetapi jalan agak terlalu sulit. Aku sendiri
dapat keluar masuk halaman ini. Tetapi dengan kedua anak-anak
itu, aku harus mendapat jalan yang aman."
"Aku percaya kepadamu. Kau dapat membawa beberapa orang
pengawal yang kau percaya dari antara prajurit-prajurit Singasari
yang ada di Kediri. Jika ternyata kepergian kedua anak-anak itu
diketahui oleh para penjaga, kau dapat mengamankannya dengan
kekerasan." "Baiklah Mahisa Agni, aku akan berusaha. Memang tidak
seharusnya kedua anak-anak itu mati. Bukan karena pamrih yang
melonjak-lonjak di dalam hati ini, namun keduanya memang perlu
mendapat perlindungan."
"Aku berterima kasih kepadamu Witantra. Kedua anak-anak itu
sebenarnyalah sama sekali tidak berdosa."
"Baiklah Agni. Siapkan keduanya malam nanti. Aku akan
membawanya keluar menjelang fajar. Malam ini biarlah seseorang
menyiapkan sepasukan kecil pengawal dari Kediri Tetapi selain itu.
aku merasa lebih tenang jika Mahendra ada bersamaku."
"Jika Mahendra bersedia, aku akan senang sekali .Kedua anakanak
itu akan menjadi semakin aman di tangan kalian sampai
saatnya aku menyusulmu."
Demikianlah maka Witantra pun kemudian meninggalkan bangsal
Mahisa Agni untuk memulai dengan rencananya. Betapapun
ketatnya penjagaan di istana dan pengawasan atas Mahisa Agni,
namun dengan tanda-tanda sandi yang sudah mereka buat
bersama, Witantra tidak banyak menemui kesulitan untuk memasuki
dan keluar dari bangsal Mahisa Agni, Karena perhatian para prajurit
Singasari lebih tertuju kepada pengawal-pengawal Mahisa Agni yang
kadang-kadang berkeliaran di depan bangsal daripada kepada
bayangan di gerumbul yang gelap di belakang bangsal itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni mulai mengatur persiapan sebaikbaiknya.
Bagaimanapun juga, jika keadaan memaksa, ia tidak akan
tinggal diam dan sekedar menyembunyikan kesan bahwa ia sudah
471 terlihat. Jika kedua anak itu benar-benar dalam bahaya, maka ia
tidak akan segan-segan untuk langsung melindunginya, meskipun
akibatnya akan sangat jauh karena ia sudah langsung terlibat.
Untunglah bahwa Lembu Ampal yang mendapat tugas untuk
membunuh kedua anak-anak yang masih sangat muda itu pun telah
dibayangi oleh keragu-raguan. Seandainya Lembu Ampal dengan
membabi buta melakukan perintah Tohjaya, maka kedua anak-anak
itu tentu sudah dibunuhnya dengan mudah meskipun di halaman
istana itu ada Mahisa Agni dan ayah salah seorang dari kedua anak
yang harus dibunuhnya. Dengan sedikit permainan kedua anak-anak
itu tentu dipisahkan dari Mahisa Agni. Tidak usah mengirimkan
Mahisa Agni ke Kediri. Disaat tertentu Mahisa Agni dapat dipanggil
menghadap di paseban. Dan disaat yang demikian tugas itu
bukannya tugas yang sulit.
Tetapi Lembu Ampal adalah seorang prajurit yang mempunyai
nilai berpikir yang cukup. Ia bukan sekedar alat yang bergerak
tanpa mengerti. Apalagi untuk membunuh kedua anak-anak yang
tidak bersalah itu. Keragu-raguan Lembu Ampal yang bahkan telah menghadap
pendeta istana itulah yang telah ikut menyelamatkan kedua anakanak
muda itu. Dua tiga hari yang diminta oleh Lembu Ampal
ternyata merupakan peluang bagi Mahisa Agni yang bertindak cukup
cepat. Seperti yang dipesankan oleh Witantra, maka Mahisa Agni pun
telah mempersiapkan kedua anak-anak muda itu dibantu oleh
Mahisa Wonga Teleng. Dengan susah payah keduanya berusaha
meyakinkan ibu Ranggawuni, bahwa tindakan itu semata-mata demi
keselamatan anaknya. "Apakah yang terjadi dengan Ranggawuni?" bertanya ibundanya.
Tetapi bekas Permaisuri Singasari yang telah ditinggalkan oleh
Anusapati itu selalu ragu-ragu. Terbayang di wajahnya kecemasan
yang mendalam. 472 Mahisa Agni dapat mengerti. Ranggawuni adalah satu-satunya
anaknya yang diharap dapat menyambung namanya dan terlebihlebih
lagi nama Anusapati. Sehingga dengan demikian rasa-rasanya
ia tidak akan dapat melepaskan anaknya.
"Tuan Puteri." berkata Mahisa Agni, "Tidak ada jalan lain untuk
melindungi Ranggawuni."
"Kenapa anak itu harus pergi" Apakah di dalam istana ini
Ranggawuni tidak mendapat perlindungan?"
"Tuan Puteri. Ranggawuni adalah putera tuanku Anusapati. Tuan
Puteri mengetahui perkembangan terakhir dari pemerintahan
Singasari ini. Juga mengenai tuanku Anusapati. Karena itu,
Ranggawuni tentu selalu diancam oleh bahaya justru karena ia
adalah putera tuanku Anusapati."
"Tetapi aku tidak dapat berpisah dengan anak itu. Ia adalah satusatunya
hiburan bagiku. Dan hidup matiku sangat tergantung
kepadanya." "Karena itu tuan puteri, Ranggawuni perlu diselamatkan."
Ibunya termangu-mangu sejenak. Tetapi sangat berat rasanya
untuk melepaskan Ranggawuni, karena ia tidak mau terpisah dari
anak satu-satunya itu. "Kakanda puteri." berkata Mahisa Wonga Teleng yang datang
bersama Mahisa Agni, "Sebenarnya aku juga berat melepaskan
Mahisa Cempaka. Tetapi bagi keselamatannya, apa-boleh buat. Aku
kira jalan yang paling baik adalah menyembunyikan anak-anak itu
saat ini. Nanti jika keadaan sudah berubah dan menjadi berangsur
baik, kita dapat mengambilnya kembali dan membawanya ke
istana." Ibu Ranggawuni selalu termangu-mangu. Kebimbangan yang
tajam telah melanda jantungnya. Namun ia menjadi cemas juga
membiarkan Ranggawuni berada di istana. Agaknya ancaman pada
anak itu bukan sekedar bergurau.
473 "Seandainya ancaman itu tidak sebenarnya ada." berkata Mahisa
Agni kemudian, "Kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak
menimbulkan kerugian apapun. Di daerah yang tersembunyi mereka
akan mendapat latihan-latihan kanuragan yang penting bagi hari
depan mereka kelak. Karena itu, menurut pertimbangan hamba,
biarlah Ranggawuni pergi bersama Mahisa Cempaka. Hamba akan
selalu mengawasi mereka berdua agar mereka berdua selalu
selamat. Baik dalam perjalanan maupun di persembunyian."
Akhirnya ibu Ranggawuni tidak dapat mengelak lagi. Mahisa Agni
dan Mahisa Wonga Teleng berhasil meyakinkannya, bahwa kedua
anak-anak itu harus menyingkir sejauh-jauhnya dari istana urtuk
beberapa saat lamanya. Demikianlah maka dengan diam-diam Mahisa Agni
mempersiapkan keduanya. Malam nanti Witantra akan mengambil
mereka. Karena itu, maka kedua anak-anak itu harus berada di
bangsal Mahisa Agni jauh sebelum gelap, justru untuk
menghilangkan kecurigaan karena keduanya selalu mendapat
pengawasan yang yang ketat.
Sehari itu kedua anak-anak muda itu berjalan hilir mudik berdua.
Kadang-kadang mereka berada di bangsal Ranggawuni, kemudian
ke bangsal Mahisa Cempaka, dan sebentar kemudian mereka berada
di bangsal Mahisa Agni. Dengan demikian orang-orang yang mengawasinya menjadi agak
bingung dan akhirnya keduanya seakan-akan hilang di dalam
bangsal Mahisa Agni. Tetapi para pengawas tidak begitu banyak
memperhatikannya lagi. Mereka menyangka bahwa ketiga masih
saja hilir mudik di halaman.
"Jika senja turun, kita harus tahu pasti di manakah kedua anakanak
itu berada." guman seorang prajurit yang bertugas mengawasi
anak-anak itu. "Mereka tidak akan dapat lari keluar halaman." desis yang lain.
"Jika malam ini kita tidak mengetahui dimana mereka tidur, besok
pagi-pagi kita tentu akan menemukannya bermain di halaman lagi."
474 Kawannya mengangguk-angguk. Mereka terlalu percaya bahwa
tidak akan ada jalan keluar halaman istana. Setiap regol sudah
mendapat perintah untuk menahan kedua anak-anak itu jika mereka
pergi keluar. Bahkan Mahisa Agni sekalipun, jika ia akan pergi keluar
halaman harus ada ijin tersendiri dari tuanku Tohjaya. Dan mereka
sama sekali tidak menduga bahwa Mahisa Agni sedang
mempersiapkan keduanya untuk melarikan diri lewat jalan yang
tidak pernah mereka duga pula.
Dengan tegang Mahisa Agni malam itu menyimpan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka di bangsal. Keduanya telah siap untuk
meninggalkan halaman. Meskipun demikian kedua anak-anak yang
tidak terlampau banyak memikirkan bahaya yang dapat terjadi atas
diri mereka itu, sempat tidur dengan nyenyaknya sebelum mereka
nanti akan dibangunkan oleh Mahisa Agni.
Di bangsal masing-masing, ibu kedua anak-anak itu sama sekali
tidak dapat tidur sekejappun. Bagaimanapun juga mereka selalu
dibayang-bayangi oleh kecemasan dan ketakutan bahwa sesuatu
akan terjadi atas anak-anak mereka.
Dalam pada itu di luar halaman istana, Witantra pun sudah
menyiapkan diri untuk mengambil kedua anak-anak itu. Seperti
yang dikatakannya, ia telah membawa Mahendra. Serta selain
Mahendra, beberapa orang pengawal yang tepercaya dari Kediri
telah siap pula melindungi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka jika
terjadi sesuatu atas mereka.
Demikianlah malam rasa-rasanya berjalan terlampau lambat.
Setiap saat Mahisa Agni selalu dicengkam oleh ketegangan dan
kegelisahan. Sementara itu beberapa orang pengawal Mahisa Agni yang
datang bersamanya dari Kediri selalu berjaga-jaga pula. Jika niat
kedua anak-anak itu untuk melarikan diri dapat diketahui, maka
yang akan terjadi adalah kekerasan. Dan para pengawal itu
memang sudah siap. Seperti yang selalu tampak di dalam sikap dan
bahkan pakaian mereka, para pengawal itu benar-benar telah,
pasrah diri pada pengabdian dan kesetiaannya kepada Mahisa Agni.
475 Lewat tengah malam, seisi bangsal itu menjadi semakin tegang
ketika mereka mendengar isyarat di belakang bangsal. Isyarat yang
sudah bersama-sama mereka setujui, jika Witantra datang untuk
mengambil kedua anak-anak itu dan membawanya menjelang fajar.
Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agni pun menjawab isyarat itu
dan membuka selarak pintu belakang.
Dalam pada itu, dua orang pengawalnya telah memancing
perhatian para penjaga bangsal itu. Keduanya keluar dari bangsal
dan berjalan di halaman depan hilir mudik.
Pemimpin penjaga yang melihat keduanya menjadi curiga dan
mendekatinya sambil bertanya, "Ada apa kalian berjalan hilir mudik
di halaman di tengah malam Ki Sanak?"
Keduanya tertawa. Salah seorang dari keduanya menjawab,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udara sangat panas di dalam. Kami tidak dapat tidur sama sekali.
Sebenarnya kami ingin berjalan-jalan keluar halaman ini, bahkan
keluar halaman istana. Tetapi kami menyadari kedudukan kami,
sehingga kami hanya berjalan hilir mudik saja di sini."
Pemimpin penjaga itu memandang keduanya berganti-ganti.
Menilik sikapnya yang acuh tidak acuh saja, agaknya keduanya
memang tidak mempunyai niat lain. Meskipun demikian, pemimpin
penjaga itu tidak boleh lengah, sehingga katanya, "Sebaiknya kalian
berada di dalam bangsal saja Ki Sanak. Jika kalian berada di
halaman, mungkin akan dapat menimbulkan tanggapan yang lain di
dalam keadaan seperti sekarang."
"Ah." jawab salah seorang pengawal itu, "Bukankah kami tidak
berbuat apa-apa" Jika keringat kami sudah kering, kami memang
akan masuk kembali dan mencoba untuk tidur. Di luar ternyata
udaranya terasa agak sejuk."
"Memang." jawab pemimpin penjaga itu, "Tetapi maaf Ki Sanak.
Sebaiknya Ki Sanak masuk saja."
476 "Kami akan segera masuk jika kami sudah tidak merasa
kepanasan lagi. Tentu kami tidak akan berada di halaman semalam
suntuk." Pembicaraan itu memang menarik perhatian. Beberapa orang
prajurit yang bertugas di sekitar bangsal itu memandang kedua
orang yang sedang berbincang itu dengan saksama. Perhatian
mereka benar-benar tercengkam oleh pembicaraan yang agaknya
semakin lama menjadi semakin keras itu.
"Ki Sanak." berkata pemimpin penjaga itu kemudian, "Aku adalah
orang yang malam ini bertugas memimpin penjagaan di sekitar
bangsal ini. Kami terpaksa minta agar Ki Sanak berdua mematuhi
permintaanku." Salah seorang pengawal Mahisa Agni itu kemudian bertanya, "Ki
Sanak, sebenarnya selama ini kami selalu bertanya-tanya di dalam
hati. Apakah yang sebenarnya sedang kalian jaga di s ini?"
"Kami menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni."
"Itulah yang tidak aku mengerti. Jika kalian memang bertugas untuk
menjaga keselamatan tuanku Mahisa Agni, maka kalian tidak usah
berkeberatan jika kami berdua berada di sini. Kami pun sedang
melakukan tugas yang sama seperti kalian."
"Kami tidak menyangkal. Tetapi tugas kalian adalah di dalam
bangsal. Tugas kami di luar bangsal. Ki Sanak tentu juga seorang
prajurit. Dengan demikian Ki Sanak tentu mengetahui bahwa
pembagian daerah pengawasan itu perlu, agar tidak terjadi salah
paham di antara kita yang sebenarnya mempunyai tugas yang
sama." Kedua pengawal itu termangu-mangu sejenak rasa-rasanya
mereka sudah cukup lama berbantah. Ketika mereka menebarkan
tatapan mata mereka berkeliling, dilihatnya di bawah cahaya obor di
sudut-sudut ragol dan gardu, beberapa orang prajurit sedang
memperhatikan mereka dengan saksama.
"Mudah-mudahan Pati-pati sudah berhasil memasuki bangsal."
mereka berharapan di dalam hati.
477 Karena itu, maka salah seorang dari keduanya itu pun kemudian
berkata, "Baiklah Ki Sanak. Agaknya memang tidak seharusnya kami
berbantah. Apalagi di malam hari yang akan dapat menarik banyak
perhatian para prajurit. Aku tidak akan berkeliaran di halaman.
Tetapi minta ijin untuk duduk di depan pintu sambil membuka pintu
bangsal bagian depan. Sampai saatnya kami merasa tubuh kami
segar kembali dan keringat kami sudah kering, maka kami akan
menutup pintu dan tidur dengan nyenyak."
"Terserahlah kepada kalian." berkata pemimpin penjaga itu.
Demikianlah maka kedua orang pengawal itu pun naik tangga
bangsal dan kemudian duduk di pintu yang mereka buka lebarlebar.
Tetapi mereka telah memadamkan lampu minyak di ruang
depan dari bangsal itu, sehingga ruang itu nampaknya hanya hitam
pekat dari luar. Di dalam bangsal, Witantra dan Mahisa Agni telah
mempersiapkan segala keperluan kedua anak-anak itu. Bahkan
ternyata Mahendra pun ikut memasuki bangsal itu pula.
"Kita harus mendukung anak-anak itu meloncat dinding." desis
Witantra, "Karena itu aku membawa Mahendra serta."
Setelah semua pembicaraan telah cukup, serta pesan-pesan dan
rencana-rencana di saat yang akan datang, maka kedua anak-anak
itu pun kemudian dibangunkannya.
"Apakah semuanya sudah siap?" bertanya Ranggawuni masih
setengah tidur. "Ssst, jangan berbicara apapun." desis Mahisa Agni di telinga
anak itu. "Bangunlah dan bersiaplah."
Kedua anak-anak itu pun kemudian membenahi diri. Sejenak
mereka memulihkan kesadaran mereka. Kemudian setelah minum
barang seteguk, maka Ranggawuni pun berkata, "Aku sudah siap.
Apakah kita akan pergi sekarang?"
"Kau akan pergi bersama Paman Pati-pati." berkata Mahisa Agni.
478 Ranggawuni mengerutkan keningnya. Dipandanginya Witantra
yang beridir termangu-mangu di sisinya.
"Yang seorang adalah paman Mahendra."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kalian harus percaya kepada mereka. Turutlah segala
perintahnya. Aku tidak pergi bersama kalian agar tidak menimbulkan
kecurigaan dan menimbulkan akibat yang amat jauh. Jika kalian
pergi tanpa menyangkut namaku akibatnya akan dapat dibatasi
pada Lembu Ampal saja."
Kedua anak-anak itu tidak begitu mengerti maksud Mahisa Agni,
namun keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka saat yang mereka tunggu telah datang.
Mahisa Agni pun kemudian memberikan isyarat kepada beberapa
orang pengawalnya untuk memancing perhatian pera penjaga itu
kembali kepintu depan. Demikianlah maka beberapa orang pengawal pun kemudian
berkumpul di muka pintu depan. Mereka berbicara dengan
seenaknya saja sehingga sangat mengganggu para penjaga di regol
halaman dan bahkan di sekitar bangsal itu.
Pemimpin penjaga bangsal itu menjadi kian curiga. Ternyata
yang dua orang masih belum masuk kembali, bahkan kemudian
disusul oleh beberapa orang lagi yang duduk di muka pintu yang
terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar pemimpin penjaga bangsal
mendekatinya. Kemudian ia pun bertanya, "Apakah yang kalian
bercakapkan di malam hari begini?"
"Panas sekali. Ternyata di luar udara terasa sejuk. Namun
menurut kedua kawanku ini, kami tidak boleh turun kehalaman."
"Jangan membuat ribut. Seharusnya kalian masuk dan pintu itu
pun ditutup." 479 "Bagaimana jika aku minta ijin untuk berada di halaman. Tentu
kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami tidak memakai pakaian lain
kecuali selembar lancingan. Jika kami bersenjata, senjata itu tentu
akan nampak." Pemimpin penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak Ki
Sanak. Itu tidak perlu."
"Udara panasnya bukan main."
"Kau sudah beberapa malam berada di Singasari. Dan kau tidak
pernah merasa kepanasan dan berbuat seperti ini."
Para pengawal itu terdiam sejenak. Ternyata bahwa pemimpin
penjaga itu cukup cermat mengamati keadaan, sehingga karena itu,
para pengawal itu tidak memaksanya lagi, agar dengan demikian
tidak akan menumbuhkan kecurigaan yang lebih besar dan bahkan
mungkin akan dapat mengganggu usaha Witantra untuk melarikan
kedua anak-anak dari lingkungan istana Singasari.
Namun waktu yang sedikit itu, telah dapat dipergunakan
sebaiknya oleh Witantra dan Mahendra. Selagi para prajurit yang
bertugas di sekitar bangsal itu tertarik kepada pembicaraan
pemimpinnya dengan beberapa pengawal yang berkumpul di muka
pintu, dan yang memang menumbuhkan kecurigaan sehingga diamdiam
para prajurit itu pun bersiaga. Witantra dan Mahendra telah
berhasil membawa kedua anak-anak muda dari bangsal, Witantra
menyusup gerumbul dan pohon bunga-bungaan yang memang
terdapat di sekitar bangsal Mahisa Agni itu.
Beberapa saat Mahisa Agni masih dicengkam oleh ketegangan.
Namun ia pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika
kepergian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu dapat diketahui
oleh para penjaga, maka tidak ada jalan lain daripada kekerasan
untuk melindunginya. Tetapi setelah beberapa saat tidak terdengar keributan maka
Mahisa Agni pun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa agak
480 lapang dadanya, karena menurut perhitungannya Witantra sudah
tidak berada di daerah pengawasan prajurit-prajurit di bangsalnya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih harus bersiapa. Jika
Witantra gagal meloncat dinding karena ia membawa kedua anakanak
itu, maka persoalannya masih akan sama saja. Kekerasan.
Dalam pada itu .Witantra dengan hati-hati membawa
Ranggawuni merayap di dalam gelapnya malam, sedang Mahendra
mengikuti di belakang sambil membimbing Mahisa Cempaka.
Mereka menerobos petamanan yang penuh dengan pohon-pohon
bunga di dalam sisa malam yang dingin. Menjelang fajar para
penjaga di sekitar istana sudah merasa lelah dan kantuk. Dan
biasanya menjelang fajar tidak akan terjadi apa-apa lagi, sehingga
dengan demikian mereka menjadi sedikit lengah karenanya,
dibandingkan saat-saat sebelumnya.
"Kita harus segera meloncat dinding." desis Witantra.
"Aku tidak dapat." sahut Ranggawuni.
Witantra memandang Ranggawuni sejenak. Tetapi ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku akan mendukungmu."
"Dan andinda Mahisa Cempaka?" bertanya Ranggawuni.
"Biarlah Mahendra yang mendukungnya."
Ranggawuni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya
bahwa kedua orang itu akan mampu melakukannya. Apalagi ia tidak
begitu menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya sehingga
karena itu, maka kedua anak-anak itu tidak begitu merasa
kecemasan. Berbeda dengan kedua anak-anak itu, maka baik Witantra
maupun Mahendra telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka
merasa dibebani oleh tanggung jawab yang sangat berat, karena
kedua anak-anak itu bukan sekedar anak-anak kebanyakan yang
harus diselamatkan nyawanya. Tetapi bagi Singasari kedua anakanak
itu mempunyai arti tersendiri.
481 Ketika Witantra dan Mahendra sudah sampai di tepi halaman,
maka mereka pun beristirahat sejenak. Dengan saksama mereka
mengamati kadaan di sekitarnya. Namun agaknya malam terlampau
sepi dan hening. Dalam pada itu, selagi Witantra dan Mahendra diam melekat
dinding halaman di balik bayangan gerumbul pohon-pohon bunga,
Mahisa Agni telah keluar pula di pintu depan. Dengan lantang ia
membentak-bentak pengawalnya dan menyuruh mereka masuk dan
menutup pintu. "Apakah kalian sangka, kalian berada di rumah kakekmu?" geram
Mahisa Agni, "Untunglah aku terbangun dan mengetahui bahwa
kalian telah berbuat tidak sewajarnya malam ini. Coba kesan apakah
yang terdapat pada para prajurit Singasari tentang kawan-kawannya
yang selama ini berada di Kediri" Seakan-akan kalian telah
kehilangan tata laku sebagai seorang prajurit. Duduk berdesakkan
hampir telanjang di depan pintu bangsal ini, bangsalku, seorang
yang mendapat kekuasaan Maharaja Singasari di Kediri."
Para pengawal itu pun kemudian dengan tersipu-sipu masuk ke
dalam dan menutup pintu bangsal itu kembali.
Para prajurit memperhatikan keadaan itu dengan berdebardebar.
Ternyata Mahisa Agni dapat berbuat tegas pula terhadap
para pengawalnya yang menurut para prajurit penjaga, memang
berlaku agak berlebih-lebihan.
Sementara itu Witantra sudah siap untuk meloncat. Ia telah
mendukung Ranggawuni di punggungnya dan mengikat tubuh anak
itu pada tubuhnya dengan kain panjang agar anak itu tidak terjatuh
selagi ia melayang. Demikian juga Mahendra telah mendukung Mahisa Cempaka di
punggungnya pula. "Hati-hatilah. Kita akan terbang sejenak." desis Witantra.
"Paman akan terbang?" bertanya Ranggawuni. Witantra
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
482 Sejenak ia berpaling dan memberi isyarat kepada Mahendra yang
sudah siap pula. Dan dengan isyarat pula Mahendra
memberitahukan bahwa ia akan mendahuluinya sambil melihat
keadaan. Witantra mengiakannya, sehingga dengan demikian maka
Mahendralah yang lebih dahulu bersiap untuk meloncat.
"Hati-hatilah dan berpeganglah baik-baik." pesan Mahendra
kepada Mahisa Cempaka. Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah meloncat.
Ranggawuni yang melihat Mahendra melayang sambil mendukung
Mahisa Cempaka berdesis, "Ya, paman Mahendra telah terbang
seperti seekor burung. Apakah paman Witantra juga akan terbang?"
"Ya. Tetapi tidak seperti burung."
"Seperti apa?" bertanya Ranggawuni.
"Seperti katak."
Ranggawuni tertawa. Tetapi cepat-cepat Witantra berdesis,
"Sssst, kita berada dalam bahaya?"
"O, bahaya apa paman ?"
"Diamlah." Sejenak Witantra menunggu. Mahendra yang sudah ada di atas
dinding batu yang mengelilingi istana itu pun berjongkok sambil
mengawasi keadaan. Dan ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang
mencurigakannya. Dengan isyarakat Mahendra pun kemudian memberi tahukan
bahwa keadaan cukup aman.
Dengan demikian maka Witantra pun kemudian meloncat pula
keatas dinding batu. Kemudian keduanya meloncat bersama-sama
turun. Namun agaknya penjagaan di sekitar istana benar-benar sangat
ketat. Itulah sebabnya, maka mereka tidak dapat menghindarkan
483 diri dari pengamatan para penjaga. Jika saja mereka berdua tidak
membawa beban di punggung masing-masing, maka mereka akan
dengan mudah bersembunyi meskipun hanya sekedar menelungkup
datar di atas tanah. Tetapi kini mereka masing-masing membawa
bebannya sehingga tata gerak mereka agak menjadi lambat justru


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena mereka menjaga agar kedua anak-anak itu tidak terjatuh.
Kelambatan yang hanya sekejap itulah yang telah mengganggu
mereka. Seorang penjaga yang berkeliling melihat sekelebatan
bayangan lari melintasi jalan yang mengelilingi istana di luar dinding
batu. "Kau melihat sesuatu?" desisnya kepada kawannya.
"Ya. Aku melihat sesuatu."
"Seseorang berlari melintasi jalan?"
"Ya. Tetapi aku agak kurang yakin."
Prajurit itu pun kemudian berpikir sejenak, lalu, "Kau tetap di sini.
Aku akan melaporkan kepada Ki Lurah."
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya gerumbulgerumbul
di pinggir jalan. Jika benar yang mereka lihat, seseorang
melintasi jalan, maka orang itu tentu masih ada di gerumbul itu.
karena gerumbul itu terletak di daerah yang terbuka di sekitar
dinding istana. "He, bagaimana?" desak kawannya.
"Cepat. Aku akan mengawasinya di sini."
Prajurit yang seorang itu pun dengan tergesa-gesa meninggalkan
kawannya untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada para
penjaga di regol. Dalam pada itu, baik Witantra maupun Mahendra menyadari
bahwa ada orang yang telah melihatnya. Karena itu. maka sejenak
mereka berunding, apakah yang sebaiknya dilakukan sambil
bersembunyi di balik gerumbul perdu di pinggir jalan itu.
484 "Kita harus mencapai tempat yang sudah ditentukan." berkata
Witantra. "Ya. Mereka tentu telah menyediakan dua ekor kuda buat kita
selain kuda yang mereka pergunakan sendiri."
"Dan prajurit itu?"
"Biarlah. Jika ia mengejar, apaboleh buat."
Demikianlah maka Witantra dan Mahendra pun memutuskan
untuk meninggalkan tempat itu meskipun harus melintasi daerah
terbuka. Namun dengan demikian mereka tentu akan diketahuinya
oleh prajurit itu. Tetapi apaboleh buat. Mereka harus menyingkir
dan berusaha melepaskan diri dari mereka.
Sejenak Witantra memberikan pesan kepada kedua anak-anak
yang masih saja mereka, dukung agar mereka berhati-hati dan
berpegangan baik-baik. "Kita akan berlomba lari." berkata Witantra, "Sudah lama paman
Witantra dan paman Mahendra tidak melakukannya. Dan kalian pun
akan ikut berlomba."
Kedua anak-anak itu mengangguk. Tetapi kini mereka mulai
dijalari oleh kecemasan bahwa sebenarnya mereka sedang
menempuh perjalanan yang berbahaya. Meskipun Witantra dan
Mahendra berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak
menambah kecemasan kedua anak-anak itu, namun peristiwa yang
mereka hadapi menjadi semakin jelas.
Setelah keduanya siap, maka dengan satu isyarat serentak
mereka meloncat berlari meninggal gerumbul di pinggir jalan itu
sekencang-kencangnya. Prajurit yang melihat dua orang berlari-larian mendukung anakanak
muda, maka ia pun segera berteriak sambil berusaha
mengejarnya, "Berhenti, berhenti atau aku bunuh kalian"
Tetapi Witantra, Mahendra berlari terus. Apalagi keduanya tidak
berlari sekedar dengan kecepatan gerak kakinya. Namun keduanya
485 adalah orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dari orangorang
kebanyakan. Karena itu, maka prajurit itu tidak dapat berbuat
terlampau banyak. Jarak antara kedua orang yang dikejarnya
menjadi semakin jauh dari dirinya.
Tetapi ternyata hal itu lebih baik baginya. Jika ia berhasil
mendekati Witantra atau Mahendra, maka umurnya tidak akan lebih
panjang dari malam itu. Namun demikian teriakannya sudah menggemparkan para
penjaga di luar istana. Mereka sadar, bahwa sesuatu telah terjadi,
ditambah dengan laporan prajurit yang melihat bayangan itu
melintasi jalan. Sejenak kemudian beberapa orang prajurit pilihan telah
berloncatan kepunggung kuda. Dengan sigapnya mereka pun
melarikan kuda mereka kearah suara prajurit yang berteriak
menghentikan orang yang dikejarnya.
"Kesana. Mereka berlari kesana." teriak prajurit yang nafasnya
menjadi terengah-engah tetapi tidak berhasil mendekati kedua
orang yang dikejarnya, dua orang, dan masing-masing mendukung
seorang anak atau apapun juga. Aku tidak begitu pasti di dalam
gelap. Kuda-kuda itu pun kemudian berderap kearah yang ditunjuk oleh
prajurit itu. Bahkan kemudian beberapa ekor kuda yang lain
menyusul di belakang. Ternyata hal itu segera menjalar sampai ketelinga para pemimpin
prajurit yang sedang bertugas malam itu. Beberapa orang Senapati
pun segera berloncatan kepunggung kuda dan ikut mengejar. Jika
ada orang yang meninggalkan halaman istana, tentu orang itu
mempunyai kepentingan yang mencurigakan.
Dengan demikian maka gelombang demi gelombang telah
meninggalkan regol. Dengan mengikuti jejak kuda-kuda yang lebih
dahulu maka para prajurit yang menyusul kemudian itu pun berhasil
mengikuti kawan-kawannya yang terdahulu. Di depan setiap
486 kelompok prajurit, seorang yang mengetahui tentang jejak
mendahului sambil membawa obor di tangannya.
Berita itu pun segera tersebar di halaman istana. Para prajurit
yang bertugas pun segera bersiaga menghadapi segala kemungkin
yang dapat terjadi. Dalam pada itu, keributan itu pun terdengar oleh Mahisa Agni.
Sejenak ia termangu-mangu. Jika Witantra dan Mahendra sudah
berada di luar halaman, mereka mempunyai kesempatan untuk
melepaskan diri dari para prajurit, jika tidak terjadi kesalahan
apapun. Tetapi Mahisa Agni harus memikirkan dirinya sendiri pula. Bahkan
Mahisa Wonga Teleng dan isterinya serta ibu Ranggawuni dan
bahkan Ken Dedes. Jika Tohjaya menjadi mata gelap, maka sesuatu
akan dapat terjadi atas mereka.
Karena itu, maka dengan hati yang tegang Mahisa Agni pun
kemudian membenahi dirinya dan memerintahkan semua
pengawalnya berbuat demikian pula.
Para pengawal yang sudah menyadari tugas mereka sejak
mereka meninggalkan Kediri, segera menyiapkan diri. Mereka sadar
bahwa mereka bagaikan serangga dikelilingi oleh api yang menyala.
Sayap mereka akan segera menjadi hangus dan kemudian hilang
ditelan api. Tetapi mereka sudah bertekad menghadapi segala
kemungkinan sampai desah nafas yang terakhir.
Dalam pada itu, para prajurit Singasari menjadi semakin sibuk.
Beberapa ekor kuda berlari-larian susul menyusul. Sedang di
halaman beberapa orang penghubung berlari-lari hilir mudik dari
satu gardu ke gardu yang lain.
Panglima prajurit Singasari yang selalu berada di halaman istana
di saat terakhir sehubungan dengan perintah Tohjaya kepada
Lembu Ampal, segera mendapat laporan pula. Karena itu, maka
ingatannya atas dua orang beban dalam dukungan kedua orang
yang sedang berlari setelah meloncat dari dinding istana itu adalah
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
487 Karena itu, maka ia pun segera memerintahkanseorang Senapati
dan beberapa orang prajurit untuk membuktikannya.
"Pergi kebangsal Ranggawuni. Cari anak itu di sana."
perintahnya. Senapati yang mendapat perintah itu pun segera melakukannya
dengan tergesa-gesa. Dengan tegangnya ia pun segera mengetuk
pintu bangsal Ranggawuni.
Ibu Ranggawuni yang sama sekali tidak dapat memejamkan
matanya terkejut mendengar pintu bangsalnya diketuk orang.
Dengan demikian, maka justru ia tidak dapat beranjak dari
tempatnya oleh perasaan yang bergumul di dalam hatinya.
Seorang emban yang terbangun mendengar ketukan pintu itu
dengan ragu-ragu bangkit. Tetapi ia tidak segera pergi membukakan
pintu itu. Perlahan-lahan ia berjalan menuju kebilik ibu Ranggawuni
yang menjadi sangat cemas.
"Tuan Puteri." bisik emban yang melihat ibunda Ranggawuni itu
sudah terbangun, "Pintu bangsal ini diketuk orang."
Memang tidak ada pilihan lain daripada membuka pintu itu.
Karena itu, dengan suara gemetar ia berkata, "Bukalah pintu itu."
Sebenarnya emban itu pun menjadi ketakutan. Tetapi ia terpaksa
membuka pintu dengan tangan gemetar.
"Dimana tuan puteri?" bertanya Senapati yang berdiri di muka
pintu. "Aku di sini." sahut ibunda Ranggawuni yang dengan memaksa
diri keluar dari biliknya.
"Ampun tuan puteri." berkata Senapati itu kemudian, "Hamba
sekedar menjalankan perintah untuk mencari tuanku Ranggawuni.
Apakah tuanku Ranggawuni ada di dalam biliknya?"
"O." ibundanya menyahut dengan menyembunyikan kegelisahan,
"Ranggawuni berada bersama Mahisa Cempaka di bangsalnya.
Sehari-harian mereka berdua bermain-main bersama. Sore tadi
488 Ranggawuni minta ijin untuk tidur di bangsal pamandanya, Adinda
Mahisa Wonga Teleng." jawab ibundanya seperti pesan Mahisa Agni
jika hal serupa itu terjadi.
Terasa sesuatu berdesir di dada Senapati itu. Rasa-rasanya Suatu
permulaan yang suram dari usahanya mencari Ranggawuni.
Namun demikian Senapati itu pun minta diri sambil berkata,
"Hamba akan menengoknya di bangsal tuanku Mahisa Wonga
Teleng." "Baiklah. Bahkan aku pesan jika kau menemukannya di sana, aku
minta diberi tahu. Aku menjadi berdebar-debar bahwa kalian
mencari anak itu di malam hari begini. Tentu ada sesuatu yang
penting telah terjadi."
"Tidak tuan puteri. Tidak ada apa-apa yang terjadi." Senapati itu
pun kemudian meninggalkan bangsal itu.
Demikian pintu bangsal itu tertutup maka ibunda Ranggawuni itu
pun berlari kedalam biliknya. Dijatuhkannya dirinya menelungkup
sambil menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
Dan ia tidak dapat menahan air matanya mulai menetes dari
pelupuknya. "Tuan puteri menangis." desis embannya yang kemudian duduk
di sampingnya. "Aku mencemaskan Ranggawuni."
"Tuan Puteri tidak usah cemas. Serahkanlah kepada Yang Maha
Agung agar tuanku Ranggawuni selalu mendapat perlindungannya."
Ibunda Ranggawuni itu tidak menjawab. Ia mencoba menahan
isaknya. Namun ia tidak berhasil.
Senapati yang meninggalkan pintu bangsal itu pun segera pergi
kebangsal Mahisa Wonga Teleng. Seperti yang telah dilakukan,
maka ia pun bertanya kepada Mahisa Wonga Teleng yang
membukakan pintu bangsalnya, apakah Ranggawuni ada di bangsal
itu bersama Mahisa Cempaka.
489 "O, aneh. Mahisa Cempaka minta diri untuk bermalam di bangsal
kakandanya Ranggawuni. Mereka pergi sebelum senja."
"Di bangsal itu, mereka berdua tidak ada. Bahkan tuanku
Ranggawuni pun tidak ada."
Mahisa Wonga Teleng termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Mungkin di bangsal pamanda Mahisa Agni.
Marilah kita melihatnya."
Mereka pun kemudian pergi beriringan dengan beberapa orang
pengawal ke bangsal Mahisa Agni. Senapati itu pun berniat untuk
melihat apakah Mahisa Agni ada di bangsalnya. Jika Mahisa Agni
tidak ada, maka sudah dapat dipastikan bahwa Mahisa Agnilah salah
seorang yang telah melarikan kedua anak-anak muda itu.
Namun Senapati itu menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa
Agnilah yang ternyata membuka pintu bagi mereka. Sambil
menggosok matanya Mahisa Agni bertanya, "He, apakah perlu
kalian malam-malam begini" Belum lama kami tidur karena udara
yang panas sekali." Dengan demikian Senapati itu seolah-olah tidak dapat
menemukan jalur untuk memulai pencahariannya lebih lanjut.
Semula ia menyangka bahwa Mahisa Agnilah yang telah melarikan
kedua anak-anak muda itu. Tetapi ternyata Mahisa Agni masih ada
di bangsalnya. "Tuan." berkata Senapati itu, "Kami baru mencari anak-anak itu?"
"Siapa maksudmu?" lalu Mahisa Agni pun bertanya kepada
Mahisa Wonga Teleng, "Siapa yang kalian cari" Dan kenapa kau
datang pula kemari."
"Paman, Mahisa Cempaka tidak ada. Aku kira Mahisa Cempaka
berada di bangsal Ranggawuni, ternyata Ranggawuni pun tidak ada
di bangsalnya. Aku kira keduanya ada di bangsal ini."
Mahisa Agni terkejut. Kemudian katanya, "Jadi kedua anak-anak
itu tidak ada" Di sini pun keduanya tidak ada. Memang sore tadi
490 anak-anak itu datang kemari, tetapi mereka pergi hilir mudik tidak
menentu." "Kedua anak-anak itu hilang paman."
"Kapan kalian mengetahui bahwa kedua anak itu hilang?"
"Baru saja. Justru para prajuritlah yang mencari mereka. Mereka
melihat dua orang meloncat dinding sambil membawa dua orang
anak-anak. Tentu mereka adalah Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." Pemimpin prajurit yang meronda di bangsal Mahisa Agni yang
ikut pula berkerumun di depan pintu itu mulai menghubungkan
hilangnya kedua anak-anak itu dengan sikap yang mencurigakan
dari para pengawal Mahisa Agni. Namun sebelum ia berkata
sesuatu, Mahisa Agni sudah mendahului, "Rasa-rasanya memang
ada firasat buruk. Tetapi alangkah bodohnya aku. Hampir
semalaman kami di bangsal ini tidak dapat tidur. Rasanya kami
berada di dalam tungku api. Beberapa orang di antara kami justru
pergi keluar bangsal. Tetapi kami tidak dapat mengerti, bahwa
sesuatu telah terjadi." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "Apakah
tuanku Tohjaya sudah mengetahui bahwa kedua anak-anak itu
hilang?" "Sudah tuan." jawab Senapati itu.
"Jika demikian kita dapat memohon perlindungan. Kedua anakanak
itu harus diketemukan. Jika tidak."
"Tuan." potong Senapati itu, "Apakah dengan demikian tuanku
Mahisa Agni menuduh bahwa hilangnya kedua anak-anak itu justru
karena tuanku Tohjaya?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya
dengan nada yang tinggi, "Siapa yang mengatakannya demikian?"
Senapati itu tergagap karenanya. Sebenarnyalah karena ia


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui bahwa kedua anak itu harus diawasi sebaliknya,
sehingga di dalam lubuk hatinya memang tersirat anggapan yang
491 condong pada kebencian Tohjaya terhadap kedua anak-anak muda
itu. "Bukankah aku justru mengatakan bahwa aku akan mohon
perlindungan kepada tuanku Tohjaya?"
Senapati itu masih termangu-mangu.
"Nah." berkata Mahisa Agni kemudian, "Marilah kita menghadap.
Kita mohon agar diambil tindakan segera."
"Tuanku Tohjaya sudah mengetahuinya dan memberikan
perintah kepada para prajurit untuk mencarinya."
"Aku akan mohon ijin bersama Mahisa Wonga Teleng untuk ikut
mencarinya." Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Terserahlah kepada tuanku Tohjaya."
Mahisa Agni pun bergegas meninggalkan bangsalnya. Ia sama
sekali tidak membawa seorang pengawal pun untuk menghindari
kecurigaan. Bersama Mahisa Wonga Teleng ia menghadap Tohjaya
untuk menyampaikan permohonan agar ia diijinkan untuk ikut
mencari kedua anak-anak itu.
Ternyata Tohjaya sendiri masih diliputi oleh suasana yang gelap.
Ia tidak begitu mengerti keadaan yang sedang dihadapinya. Bahkan
Tohjaya tidak pasti, apakah sebenarnya kedua anak-anak itu telah
dilarikan orang. Namun hanya di dalam hati Tohjaya berkata, "Apakah Lembu
Ampal sudah melakukan tugasnya, menyingkirkan anak itu tanpa
diketahui oleh orang lain, bahkan oleh para prajurit agar ia tidak
menjadi sasaran dendam Mahisa Agni apabila pada suatu saat
ceritera tentang hal itu sampai ketelinganya?"
Karena keragu-raguan itulah maka Tohjaya menjadi bingung.
Untuk beberapa saat ia tidak dapat menanggapi permintaan Mahisa
Agni. 492 "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Hamba mohon beberapa orang
kawan yang terpercaya. Mungkin orang-orang yang melarikan kedua
anak-anak itu bukan orang kebanyakan."
Tohjaya yang tidak ingin langsung dituduh terlibat jika ternyata
kedua anak-anak itu benar-benar terbunuh, tidak dapat berbuat
lain. Karena itu maka diperintahkannya saja langsung Senapati yang
datang bersama Mahisa Agni itu untuk bersama-sama mencari
kedua anak yang hilang itu.
Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Mahisa Wonga Teleng sudah
berderap di atas punggung kuda menyusuri jalan kota. Namun
kemudian seperti kepada diri sendiri Mahisa Agni bertanya, "Kita
akan kemana?" "Kita kelilingi seluruh kota." berkata Mahisa Wonga Teleng. "Jika
kita tidak menemukannya, kita akan mencarinya kemana saja."
"Baiklah." sahut Mahisa Agni, "Kita kelilingi semua jalan dan
padukuhan." Demikianlah maka iring-iringan itu pun menembus gelapnya sisa
malam di sepanjang jalan kota. Tetapi Mahisa Agni yang tahu pasti
kemanakah kedua anak-anak itu dibawa, sengaja mencari jalan lain.
Namun dalam pada itu, sekelompok pasukan yang lain telah
berhasil menemukan jejak Witantra dan Mahendra. Karena itu maka
mereka pun berusaha untuk dapat menyusulnya.
Witantra dan Mahendra dengan secepat dapat dilakukan nya
betusaha mencapai kawan-kawannya yang telah menunggu. Mereka
sadar, bahwa sekelompok prajurit sedang mengejarnya. Bahkan
mungkin akan disusul oleh kelompok-kelompok yang lain. Karena
itu, maka ia harus dengan segera meninggalkan kota.
Ternyata Witantra berhasil mencapai sekelompok kecil kawannya
yang sudah menunggu dengan dua ekor kuda selain kuda-kuda
yang mereka pergunakan sendiri. Ketika mereka melihat dua orang
berlari-lari sambil masing-masing mendukung seorang anak maka
mereka pun segera mempersiapkan diri.
493 Sambil meloncat kepunggung kuda yang sudah disediakan maka
Witantra pun berkata, "Kita harus segera meninggalkan tempat ini."
Peringatkan itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian maka kudakuda
itu pun segera berderap menebarkan debu yang putih.
Tetapi beberapa saat kemudian maka beberapa ekor kuda yang
lain segera menyusulnya. Mereka adalah prajurit Singasari yang
sedang mengejar orang-orang yang memang disangka melarikan
Mahisa Cempaka dan Ranggawuni.
Sejenak kemudian terjadilah perburuan yang dahsyat.
Sekelompok orang-orang berkuda berusaha mengejar kelompok
yang lain. Kelompok yang sama sekali tidak mereka ketahui, siapa
dan kemana. Namun di belakang kelompok yang sedang mengejar
itu ternyata susul menyusul kelompok-kelompok yang lain yang
menyadari bahwa halaman istana Singasari telah berhasil dijelajahi
oleh orang-orang yang tidak dikehendaki, apapun yang mereka
lakukan. Ternyata prajurit-prajurit Singasari adalah prajurit-prajurit yang
tangkas. Kuda-kuda mereka pun adalah kuda yang baik dan tegar,
sehingga perburuan itu merupakan perburuan yang menegangkan.
Witantra dan Mahendra kecuali berpegangan pada kendali
kudanya juga harus menjaga agar anak-anak di pangkuan masingmasing
tidak terjatuh. Karena itu, kadang-kadang kedua anak itu
mengganggu kelincahan tangan mereka. Namun demikian kudakuda
itu pun berlari kencang sekali.
Ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah anak-anak
yang berani. Mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan meskipun
kuda-kuda mereka berlari kencang sekali. Bahkan sekali-sekali harus
meloncati lubang-lubang kecil di tengah jalan.
Semetara itu, langit di ujung Timur menjadi semakin lama
semakin semburat merah. Fajar mulai merekah dan malam pun
perlahan-lahan terdesak oleh cahaya pagi.
494 Dengan demikian maka kuda-kuda yang sedang berpacu itu pun
menjadi semakin jelas dari jarak . yang semakin jauh. Debu yang
mengepul pun mulai tampak memutih. Sehingga dengan demikian
maka akhirnya mereka yang sedang berkejaran itu saling dapat
melihat jarak yang memisahkan mereka.
"Paman." desis Ranggawuni, "Kita telah dikejar."
"Dan kita sudah lari kencang sekali." sahut Witantra.
"Apakah mereka akan dapat menyusul kita?"
"Kita tidak tahu. Mudah-mudahan tidak. Bukankah kuda kita
terbang secepat burung srigunting?"
Ranggawuni mengerutkan keningnya. Namun anak itu justru
tertawa sambil berkata, "Lebih cepat paman. Cepat sedikit. Mereka
tidak boleh menyusul kita."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya perut kuda
nya dengan sebuah cemeti pendek sehingga kuda itu seakan-akan
terbang semakin cepat. Ranggawuni tertawa. Tiba-tiba saja ia justru berteriak ke pada
Mahisa Cempaka, "Adinda Mahisa Cempaka. Ayo, kejarlah aku."
Mahisa Cempaka yang berkuda bersama Mahendra di belakang
Witantra pun menjawab sambil berteriak, "Kami akan segera
mendahului. Minggir."
Tetapi Ranggawuni menjawab, "Cari jalan sendiri." Witantra dan
Mahendra hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Anakanak
itu kadang-kadang merasa cemas juga melihat beberapa ekor
kuda yang mengejar mereka, namun kadang-kadang mereka
merasa gembira karena mereka bagaikan terbang di atas punggung
kuda. Namun dalam pada itu, Witantra merasa bahwa ia tidak akan
dapat melepaskan diri lagi dari para prajurit yang sedang
mengejarnya. Langit yang menjadi semakin cerah, membuat ia
semakin sulit untuk melepaskan diri dari pengawasan orang-orang
495 yang mengejarnya. Karena itu, maka ia pun memberi isyarat kepada
Mahendra agar ia mendekat dan berpacu di sisinya.
"He. aku akan mendahuluimu kakanda." teriak Mahisa Cempaka.
"Cepat, cepat paman Witantra. Jangan didahului oleh Mahisa
Cempaka." Witantra pun tersenyum. Jawabnya, "Mereka tidak akan
mendahului. Aku akan berbicara sedikit dengan pamanmu
Mahendra." Ranggawuni mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan
apa-apa lagi. Sesaat kemudian Mahendra sudah berpacu di sebelah Witantra.
sehingga Mahisa Cempaka menghentak-hentakkan kakinya sambil
menepuk leher kudanya agar kudanya berlari semakin cepat.
"Cepat paman Mahendra. Cepat."
Mahendra tidak dapat menahan senyumnya. Tetapi ia tidak
menyahut. "Mahendra." berkata Witantra kemudian, "Bagaimana pun juga
kita memacu kuda kita, tetapi agaknya kita tidak akan dapat
mehindarkan diri dari orang-orang itu."
"Jadi maksud kakang Witantra?"
"Aku kira di belakang mereka, masih akan menyusul beberapa
orang lagi. Bahkan mungkin berturut-turut."
Mahendra tidak menyahut. "Mahendra. Bagaimana jika kita berhenti."
Mahendra tidak segera menjawab. Tetapi ia masih berpikir
sejenak. Sekali-sekali ia berpaling dan melihat debu putih terhambur
dari kaki-kaki kuda yang mengejar iring-iringan mereka.
"Bagaimana?" bertanya Witantra.
496 Namun sebelum Mahendra menjawab, Ranggawuni sudah
menyahut, "Jadi paman bermaksud menyerah?"
"Tidak Ranggawuni. Tentu tidak."
"Lalu?" "Kita melawan. Kita akan membinasakan mereka."
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
berkata lantang, "Kita akan bertempur paman?"
"Tetapi bukan kau. Kami, orang-orang tua inilah yang akan
bertempur. Kau dan Mahisa Cempaka menunggu di punggung
kuda." "Kami akan bertempur." teriak Mahisa Cempaka. Mahendra
menepuk punggungnya sambil berkata, "Kau masih terlampau
kecil." "Jadi kapan aku boleh bertempur?" bertanya Mahisa Cempaka
pula. "Alangkah baiknya jika kau tidak perlu mengalaminya. Bertempur
adalah cara terakhir bagi mereka yang sudah kehabisan akal."
"Jadi paman juga kehabisan akal sekarang?" bertanya
Ranggawuni. "Ya Ranggawuni." sahut Witantra, "Kami sudah kehabisan akal.
Tetapi kami menyadari bahwa kau berdua harus diselamatkan.
Karena itu kami akan mempergunakan cara orang yang sudah tidak
melihat jalan lain. Jalan yang sebenarnya harus dihindari."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak menyahut lagi. Ia tidak
mengerti arti kata Witantra yang dirasanya berputar-putar tidak
menentu. Dalam pada itu kuda-kuda itu masih berpacu terus. Di belakang
mereka, para prajurit Singasari masih saja mengejar dengan
kemarahan yang tertahan. Semakin terang cahaya pagi memancar
di atas tanah persawahan dan bulak-bulak yang panjang, semakin
497 jelas bagi para prajurit, bahwa yang dilarikan oleh orang-orang
berkuda itu adalah dua orang anak-anak yang masih sangat muda.
Dan sudah tentu mereka pun segera meyakini bahwa kedua anak itu
adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, yang justru harus mereka
awasi sebaik-baiknya meskipun sebagian dari para prajurit itu tidak
mengetahui dengan pasti, karena keduanya harus selalu mendapat
pengawasan. Setelah berpikir sejenak, maka Mahendra pun kemudian berkata,
"Kakang, aku kira, memang lebih baik kita berhenti. Kita memang
tidak akan mempunyai kesempatan untuk melenyapkan jejak ini.
Kita tidak mempunyai tempat untuk bersembunyi."
"Baiklah Mahendra. Jika demikian, kita akan segera
menghentikan kuda-kuda kita."
"Tetapi lebih baik jika kita mengambil jarak yang agak jauh dari
kota." "Bukankah kita sudah jauh?"
"Beberapa puluh patok lagi."
Witantra tidak menyahut. Kudanya masih saja berpacu di atas
jalan berbatu-batu. Ketika Mahendra kemudian berpacu di belakang
Witantra kembali, Mahisa Cempaka sudah tidak berteriak-berteriak
lagi. Agaknya ia pun merasakan ketegangan di dada Witantra dan
Mahendra. Demikianlah Witantra masih berpacu beberapa saat lagi. Seperti
laju anak panah kuda-kuda itu berlari melintasi sebuah padukuhan
kecil. Beberapa orang yang sedang membersihkan jalan, berlari-lari
dan berloncatan masuk kehalaman. Mereka menjadi ketakutan
melihat beberapa ekor kuda berpacu dan saling memburu.
Setelah padukuhan itu mereka lampaui, dan setelah mereka
berada kembali di sebuah bulak yang panjang, bahkan kemudian
sampai kesebuah lapangan rumput yang agak luas dan kering
sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah persawahan,
498 Witantra memberikan tanda-tanda kepada anak buahnya. Tandatanda
yang memang sudah disepakati lebih dahulu.
Aku Menggugat Akhwat 4 Candika Dewi Penyebar Maut V Pedang Berkarat Pena Beraksara 12

Cari Blog Ini