Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 1
YangTerasing Karya : SH Mintarja Jilid 01 1 KETIKA senja yang kemerah-merahan mulai menjamah Hutan Sambirata, maka pedukuhan2 disekitarnya menjadi semakin sepi. Burung2 liar yang berterbangan diatas hutan sempit itu se-akan2 saling berebutan mencari tempat untuk hinggap. Namun akhirnya hutan itu masih juga mampu menampung segala jenis burung yang kemalaman. Per-lahan2 bulan yang bening tumbuh diatas punggung bukit melemparkan sinarnya yang ke-kuning2an. Selembar awan yang putih terbang menyapu wajahnya yang cerah. Beberapa orang laki2 tampak berjalan ter-gesa2 dipematang. Setelah mereka bekerja seharian di sawah, maka mereka ingin segera pulang kembali diantara keluarganya, menghirup minuman panas dengan gula kelapa yang manis. Hari ini mereka pulang agak 1ambat, karena mereka menungggui air parit yang hanya mengalir sepercik karena musim kering yang panjang. Ketika mereka menyeberangi Kali Kuning, mereka berhenti sejenak untuk mencuci cangkul mereka yang kotor, membersihkan lumpur yang melekat ditangan dan kaki. Kemudian bergegas kembali pulang kerumah masing-masing. Seorang yang berambut putih, yang berjalan dipaling belakang tertegun sejenak Ketika ia melihat. seorang gadis yang berdiri didalam bayangan dadaunan diujung sederet pering ori yang tumbuh dipinggir sungai itu. "Siapa disitu ?" bertanya laki2 berambut putih itu. "Aku Kek" jawab gadis itu. "Kau Wiyatsih ?" "Ya kek." "Kenapa kau disitu " Sebentar lagi malam akan menjadi gelap."
2 "Tidak. Sebentar lagi bulan akan naik kelangit" Laki-laki berambut putih itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya "Tidak pantas kau berada disini seorang diri. Marilah pulang. Nanti orang tuamu mencarimu." Wiyatsih tidak menjawab. la masih saja .berdiri dbawah dedaunan. "Apakah yang kau tunggu disini ?" "Bulan itu kek. Sinarnya yang kuning akan memantul di wajah air kali yang bening." "Ah. Apakah kau sedang bermimpi?" tetapi orang tua itu menengadahkan wajahnya juga. Dilihatnya bulan merayap semakin tinggi. Dan cahaya fajar yang kemerah-merahanpun menjadi semakin kabur. "Pulanglah " berkata laki-laki itu. "Silahkan kakek dahulu. Aku akan segera menyusul." Laki-laki tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memaksa. Ditinggalkannya gadis itu ditepian yang menjadi semakin samar. Sepeninggal laki-laki tua itu, Wiyatsih melangkahkan kakinya turun ke dalam air. Kali Kuning memang tidak begitu besar. Tetapi airnya tidak menjadi kering meskipun hujan tidak turun sampai berbulan-bulan. "Kakang Pikatan pernah menekuni Kali Kuning ini" gumam Wiyatsih kepada diri sendiri. Sejenak ia berdiri merendam. kakinya. Dipandanginya air yang mengalir disela-sela batu yang berserakan. Memereik seakan-akan berkejar-kejaran. Wiyatsih menarik nafas dalam2. Katanya kemudian "Kalau kakang Pikatan berhasil membuat bendungan itu, maka sawah di padukuhan ini tidak akan mengalami kekurangan air,
3 betapapun musim yang kering membakar daerah ini. Tetapi kakang Pikatan pergi sebelum ia mulai. Pergi untuk waktu yang tidak tertbatas" Wiyatsih mengangkat wajahnya, memandang jalur jalan sempit yang melintasi sungai itu Ia melihat kakaknya pergi lewat jalah sempit itu. Semakin lama semakin jauh. Akhirnya hilang seperti ditelan bumi, Sampai saat ini kakaknya itu belum kembali. Gadis itu terkejut ketika tiba2 saja, tanpa diketahui kapan ia datang, seorang anak muda telah berdiri dibelakangnya. Dengan lembut anak muda itu menyapanya "Wiyatsih. Kenapa kau masih berada disini?" "O" Wiyatsih berpaling. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab "Tidak apa-apa" "Ketika aku lewat dimuka rumahmu, ibumu berpesan kepadaku supaya aku mencarimu dan membawamu pulang. Kakek tua itu mengatakan bahwa kau berada disini." Wiyatsih tidak segera menjawab. Sekali lagi ia memandang jalan sempit itu. Seakan-akan ia ingin melihat, kakaknya datang dari arah itu pula. "Apakah kau menunggu seseorang ?" bertanya anak muda itu. "Tidak. Tidak." gadis itu. terdiam sejenak, namun kemudian "Tanjung, apakah kau masih ingat kepada kakang Pikatan?". "Tentu. Pikatan adalah kawanku bermain " jawab anak muda yang bernama Tanjung itu. "Ketika ia pergi, aku sedang berada ditepi Kali Kuning ini. Ia pergi jauh sekali. Sampai sekarang ia tidak kembali. Ibu kadang2 menjadi sedih. Dan aku tidak mempunyai saudara lagi selain kakang Pikatan."
4 "Sudahlah. Marilah kita pulang. Pada saatnya Pikatan akan kembali." Wiyatsih tidak menyahut. Disapunya keringat yang membasahi keningnya dengan ujung bajunya "Pulanglah dahulu Tanjung." "Nanti ibumu marah kepadaku. Aku disuruhnya membawamu pulang." "Pulanglah dahulu." "Tentu aku tidak akan berani pulang tanpa kau. Dikiranya aku. tidak mau menolongnya, memanggil kau pulang." Tanjung berhenu sebentar, lalu "Kau harus menurut kata-kata ibumu. Kakakmu sudah pergi untuk waktu yang tidak diketahui. Sekarang kau tidak mau mendengar kata2nya. Ibumu akan menjadi semakin bersedih." Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sejenak ia menjadi ragu2. Namun kemudian ia tidak dapat membantah lagi. "Ibumu menunggu." Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia mengangguk sambil berkata "Baiklah kalau kau memaksaku." "Aku tidak memaksamu Wiyatsih. Tetapi kasihan ibumu yang akan menjadi semakin kesepian." Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. Kemudian iapun melangkah naik dari dalam air dan berjalan diatas tepian berpasir. Namun sekali2 Wiyatsih masih juga berpaling, seakan2 ada sesuatu yang ditinggalkannva ditepian sungai itu. Tetapi Kali Kuning itu tidak terusik lagi. Tidak ada seorangpun yang masih tertinggal ditepian. Wiyatsih dan Tanjungpun kemudian berjalan menyelusuri jalan pedukuhan. Kemudian keduanya memasuki regol dimulut lorong dan hilang didalam bayangan kegelapan. Namun
5 sekali2 sinar bulan yang ke-kuning2an menerobos dedaunan dan menyentuh wajah gadis yang muram itu. Sepeninggal kedua anak2 muda dan tepian Kali Kuning itu, sesosok tubuh yang ramping muncul dan balik tanggul diseberang. Sejenak. ia berdiri bertolak pinggang. la masih sempat melihat Wiyatsih dan Tanjung berbelok masuk keregol padukuhannya. Sejenak ia berdiam diri. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam "Aku tidak dapat menemuinya lagi." Per-lahan2 tubuh yang ramping itupun kemudian duduk diatas tanggul berumput. Sekali2 ditengadahkannya pula wajahnya memandarig langit yang bersih, kemudian air yang mengalir di Kali Kuning. Sekali lagi ia berdesah Namun kemudian ia diam merenungi ujung malam yang buram. Dibiarkannya angin yang lembut mengusap wajahnya dan bermain dengan rambutnya yang panjang. Dalam pada itu, Tanjung telah sampai ke pintu regol halaman rumah Wiyatsih yang luas. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu yang masih belum diselarak itu. "Terima kasih" desis Wiyatsih kemudian "aku sudah berani sekarang." Tanjung menjadi heran. Gadis itu berada di Kali Kuning seorang diri. Sekarang tiba2 seperti gadis yang ketakutan, ia berkata bahwa ia sudah berani sendiri. Karena Tanjung se-akan2 menjadi bingung, Wiyatsih tersenyum sambil berkata "Maksudku, biarlah aku pulang sendri. Terima kasih atas pertolonganmu, menyampaikan pesan ibu."
6 "Tidak Wiyatsih. Aku harus membawamu pulang. Aku mendapat pesan dari ibumu. Karena itu, biarlah, marilah aku serahkan kau kepada ibumu." "Kenapa aku harus diserahkan" Aku pergi sendiri, bukan karena aku pergi bersamamu dari rumah ini. Karena itu, biarlah aku pulang sendiri. Kau sudah menolong ibuku. menyampaikan pesan itu agar aku pulang." Tanjung menjadi ragu2 sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Memang jarak pintu regol itu sampai kependapa rumahmu sudah tidak begitu jauh lagi." "Terima kasih Tanjung." Tanjungpun kemudian meninggalkan Wiyatsih diregol halaman rumahnya. Langkahnya tampak.ter-gesa2, se-akan2 ia takut kemalaman sampai kerumah. Sejenak kemudian, anak muda itu sudah hilang dikelokan jalan sempit disebelah halaman tetangga. Wiyatsih berdiri ter-mangu.2 sejenak. Dilihatnya pendapa rumahnya yang besar dan terang. Tetapi ia tidak melihat seorangpun. Meskipun pintu pringgitan masih terbuka sedikit, namun agaknya tidak seorangpun yang melihat kehadirannya. Karena itu, maka dengan hati-hati ia beringsut, justru keluar regol halaman rumahnya. Perlahan-lahan ia menutup pintu regol itu. Tetapi gadis itu terlonjak, ketika tiba2 saja terasa pundaknya digamit seseorang. Hampir saja ia menjerit. Namun ketika ia berpaling, dilihatnya didalam kesuraman cahaya bulan, Tanjung sudah berdiri dibelakangnya. "He, kenapa kau masih berada disini?" Tanjung tertawa pendek. Katanya "Aku meloncati dinding halaman sebelah. Aku memang menaruh curiga terhadap
7 sikapmu.. Kau agaknya sedang disaput oleh gangguan perasaan." Wiyatsih mengerutkan keningnya. tetapi sebelum ia menjawab, Tanjung sudah mendahuluinya "jangan terlampau memikirkannya. Pada saatnya kakakmu itu akan kembali. Bukankah rumah ini rumah Pikatan. Betapapun Juga terbang seekor burung bangau, namun akhirnya ia akan hinggap digenangan air sawah. Sebab disanalah ia dapat menemukan makanannya." "Tetapi bukan disini kakang Pikatan mendapat sumber penghidupannya." "Dimana lagi" Bukankah ia akan mewarisi sawah ibumu yang sangat luas itu bersamamu Peninggalan ibumu, banyak. tanah yang paling subur didaerah ini. Rumah yang besar dan mungkin juga barang2 perhiasan dalam peti2 kayu didalam rumah itu." "Ah." "Kemana lagi kakakmu nanti akan kembali?" "Mudah-mudahan ia masih sempat kembali." "Tentu. Ia tentu akan kembali." Tanjung berhenti sejenak, lalu "Marilah. Aku terpaksa mengantarmu kepada ibumu. Aku tidak ingin bermain sembunyi2an lagi. Agaknya sudah terlampau besar bagi kita, meskipun dimalam terang bulan. Hanya anak-anak sajalah yang pantas bermain kejar2an dan sembunyi2an diterang bulan begini." Wiyatsih menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. "Marilah" berkata Tanjung. Wiyatsih tidak dapat mengelak lagi. Sekali lagi ia membuka pintu regol halaman rumahnya dan berjalan melintasi halaman
8 itu, naik kependapa. per-lahan2 mereka mengetuk pintu pringgitan, seperti seorang tamu yang asing dirumah itu. Wiyatsih tidak menunggu seseorang menyapanya. Bahkan sambil membuka pintu, ia sendirilah yang mempersilahkan Tanjung masuk. "Marilah Tanjung, agaknya ibu berada dibelakang." Tanjungpun kemudian masuk ter-bungkuk2, lalu duduk diatas sehelai tikar pandan yang putih. "O, kau Wiyatsih" terdengar suara perempuan iantang dari dalam. "Ya ibu." "Dari mana kau" Apakah kau tidak tahu bahwa hari sudah menjadi gelap?" "Tidak ibu. Malam tidak menjadi gelap. Bahkan menjadi semakin terang." "Ah, kau anak bengal, Dimana kau sembunyi" Untunglah kakek tua itu melihatmu, dan tanjung lewat dimuka regol. Aku minta ia mencarimu." "Sekarang aku sudah disini." Perempuan yang gemuk, ibu Wiyatsih itupun kemudian pergi juga ke pringgitan menemui Tanjung. Sambil tersenyum2 ia berkata "Terima kasih Tanjung. Anak ini memang nakal." "Ya bibi" jawab Tanjung sambil membungkukkan kepalanya nampir menyentuh tikar pandan "aku menemukannya di pinggir Kali Kuning." "Apa yang dikerjakan disana?" "Aku tidak tahu bibi. Tetapi ia berendam didalam air."
9 "Apakah kau sedang mandi?" bertanya ibunya kepada Wiyatsih. Gadis itu menggelengkan kepalanya "Tidak ibu" Ibunya meng-angguk2kan kepalanya Kemudian katanya "Ambillah minuman buat Tanjung." "Sudah bibi. Tidak usahlah." "Biarlah. Biarlah Wiyatsih belajar menerima seorang tamu." Wiyatsih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berdiri dan pergi kebelakang. "Apa yang dilakukan sebenarnya?" bertanya ibu Wiyatsih itu. "Tidak apa2 bibi. tetapi menilik dari kata2nya, ia merindukan kakaknya, Pikatan. Ia mengantar Pikatan sampai kepinggir sungai itu ketika kakaknya pergi. Sekarang seakanakan. ia mengharap kakaknya itu datang dari arah itu juga." Ibunya menarik nafas dalam2. Tetapi ia tidak bertanya lagi karena Wiyatsih sudah datang membawa semangkuk air panas. Setelah minum beberapa teguk, maka Tanjungpun kemudian mohon diri. Sambil membungkuk dalam2 ia berkata "Sudah terlampau malam bibi. Aku akan pergi kegardu. Mungkin kawan2 sudah ada disana." "Terima kasih Tanjung. Sering2 datang kemari." "Ya bibi. Aku akan sering datang kemari." Tanjungpun kemudian meninggalkan rumah Wiyatsih. Diregol ia berpaling. Dilihatnya Wiyatsih dan ibunya masih berdiri dipendapa. Ketika Tanjung menutup pintu regol, tanpa disadarinya dipandanginya wajah Wiyatsih sekali lagi. Tidak begitu jelas dibawah cahaya lampu minyak. Namun terasa dadanya berdesir.
10 "Gadis itu memang cantik" desisnya. Wiyatsih dan ibunyapun kemudian kembali masuk kepringgitan. Sambil menepuk bahu anaknya, perempuan yang gemuk itu berkata "Kau jangan terpukau oleh kerinduanmu kepada kakakmu. Ia seorang anak laki2. Sudah sepantasnya ia pergi mencari pengalaman." Wiyatsih menundukkan kepalanya. "Pada saatnya ia akan kembali kerumah ini." "Tetapi" jawab Wiyatsih "kenapa tidak ada anak muda yang lain yang pergi seperti kakang Pikatan. Tanjung yang sebaya dengan kakang Pikatan sama sekali tidak. pergi kemanapun. Buntal dan Ganong juga tidak. Sampun, Wrekta dan Lumajang bahkan telah kawin dan menjadi petani pula seperti ayahnya." "Ya, mereka tidak pergi kemanupun karena mereka tidak ber-cita2. Kakakmu tidak puas melihat cara hidup kita disini. Ia mencari pengalaman yang kelak akan bermanfaat bagi hidup kita disini." "Ya. Ia menghadap Sultan Demak, Ia ingin menjadi seorang prajurit." "Apakah kakang Pikatan tidak berminat untuk hidup sebagai petani di padukuhan ini?" Ibunya tidak segera menjawab. Pertanyaan itu sebenarnya menggelitik pula didalam hatmya. Ia juga tidak dapat mengerti, kenapa anaknya itu tidak berminat sama sekali untuk melanjutkan tata cara kehidupan yang sudah ditempuhnya sejak berpuluh tahun. Karena ibunya tidak segera menjawab, maka Wiyatsih bertanya puta "Begitukah ibu" Kakang Pikatan ingin merubah cara hidup kita, atau ia tidak ingin hidup seperti cara kita?" "Aku tidak begitu jelas Wiyatsih. Tetapi kepergiannya pasti akan berguna baginya. Setidak-tidaknya ia akan mendapat
11 banyak pengalaman. Pengalaman yang akan berguna bagi kita, dan bagi padukuhan kita." Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. Kemudian ia bergumam "Dahulu kakang Pikatan pernah merencanakan membuat sebuah bendungan di Kali Kuning, agar sawah yang kering akan dapat air dimusim kemarau. Dengan demikian penghasilan petani2 didaerah ini akan segera meningkat." Ibunya merenung sejenak. Namun jawabannya kemudian mengejutkan Wiyatsih "Tidak perlu, Aku kira bendungan itu tidak perlu sama sekali." "Kenapa ibu?" "Bukankah sawah kita sudah terletak didaerah yang tidak pernah kering meskipun dimusim kemarau sekalipun?" "Bukan sekedar sawah kita bu. Tetapi sawah tetangga2 kita." Ibunya menarik nafas dalam2. Kemudian katanya "Sudahlah Wiyatsih. Agaknya hari sudah menjadi semakin malam. Tidurlah". Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. "Tidurlah. Aku juga akan tidur " ulang ibunya. Wiyatsihpun kemudian meninggalkan pringgitan setelah menyelarak pintu depan. Setelah mengecilkan lampu, iapun segera pergi kebiliknya. Namun Wiyatsih tidak segera dapat memejamkan matanya. Terbayang dirongga matanya, kakaknya Pikatan yang pergi beberapa tahun yang lampau. Kemudian terbayang seseorang yang tidak dikenalnya menjumpainya di pinggir Kali Kuning Tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu ia berkata "Aku membawa berita tentang kakakmu, Pikatan. Tetapi ia ingin mendengar serba sedikit lentang keadaan keluarganya
12 yang ditinggalkannya. Apakah kau bersedia datang senja nanti ke Kali Kuning ini" Aku ingin menemuimu tanpa orang lain" Wiyatsih menarik nafas da1am2. In tidak berhasil menemui orang itu. Beberapa kali ia berusaha. Tetapi setiap kali, ada saja orang yang membawanya pulang. Dan orang itu masih juga menemuinya di Kali Kuning dan berbisik sambil berjalan "Senja nanti. aku tunggu kau dipinggir Kali Kuning." Tetapi senja inipun ia telah gagal lagi. Kini ia mencoba membayangkan orang yang berbisik itu selagi ia mencuci pakaian. Justru pada saat ia berjalan beriringan. Orang itu sealu memotong jalan tepat dihadaannya, karena ia kadang2 berjalan beriringan dengan kawan2nya. demikian orang itu melintas, ia berbisik "Datanglah senja nanti" Menurut tanggapannya yang hanya sepintas itu, orang itu adalah seorang perempuan muda. Berpakaian seperti seorang petani biasa, seperti kebanyakan petani dipadukuhan ini. "Tetapi wajahnya kelihatan cantik" desisnya. Wiyatsih mencoba membayangkan kembali wajah itu. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata kepada dirinya sendiri "Ya, wajah itu terlampau cantik. Kulitnya tidak sekasar kulitku, dan tidak pula terbakar sinar matahari" Namun kemudian ia bertanya kepada diri sendiri "Tetapi kenapa ia harus bersembunyi" Kenapa ia tidak datang saja kerumah ini dan berbicara dengan ibu tentang kakang Pikatan dan keluarga dirumah ini?" Dengan demikian maka Wiyatsih tidak segera dapat memejamkan matanya. Angan2nya se-akan2 terbang mengambang dilanglt yang tidak berbatas.
13 *** Seorang perempuan muda yang bertubuh ramping sedang menunggu dibalik tanggul Kali Kuning. Betapa ia menjadi kecewa, karena senja itu ia tidak juga dapat bertemu dengan Wiyatsih. Padahal waktunya sangat terbatas. Ia harus segera meninggalkan padukuhan dipinggir Alas Sambirata itu. "Sebaiknya aku mencoba menemuinya dirumahnya" katanya "tetapi tidak boleh dilihat oleh orang lain. Pesan Pikatan jelas sekali. Hanya Wiyatsih yang boleh aku temui." Tiba-tiba tubuh yang masih terduduk diatas tanggul itu melenting. Seperti tidak menyentuh tanah orang itu berlari menyeberangi sungai. Kemudian dengan hati2 ia memasuki padukuhan Sambirata. Dihindarinya jalan2 yang melewati gardu2 peronda, supaya tidak ada seorangpun yang melihatnya. apalagi menyapa dan mencurigainya. Ketika ia sudah berada di halaman rumah Wiyatsih, ia menjadi bingung sejenak. Apakah yang akan dilakukannya" Ia sama sekali belum tahu, dimanakah bilik Wiyatsih. Kalau ia mengetuk dinding, maka mungkin sekali ia justru mengetuk dinding bilik ibunya. Sejenak perempuan itu merenung. Namun kemudian iapun mengendap mendekati dinding. Dicobanya untuk mendergarkan, apakah orang2 didalam rumah itu sudah tertidur. Perempuan itu mengetahui dari Pikatan, bahwa isi rumah itu hanyalah Wiyatsih, ibunya dan beberapa orang pelayan yang tidur dibagian belakang. Seorang kemanakan digandok kiri dan seorang paman yang sudah tua digandok kanan. "Hanya Wiyatsih dan ibunya" desis perempuan itu. Sejenak kemudian perempuan itupun semakin jauh menyelusuri dinding. Ia tertegun sejenak ketika ia mendengar desah nafas
14 di balik dinding itu. Tetapi ia tidak dapat membedakan, apakah desah itu desah nafas Wiyatsih atau justru ibunya. Sejenak perempuan itu mencoba untuk mendengarkannya dengan saksama. Terasa dari desah nafas itu. bahwa yang berada di dalam bilik itu sedang gelisah. Perempuan itu menggeleng2kan kepalanya. Iapun kemudian melangkah maju beberapa depa. Sekali lagi ia mendengar tarikan nafas di bilik yang lain. Tetapi ia menduga bahwa orang yang berada didalam bilik itu pasti sudah tidur. "Aku kira, Wiyatsihlah yang sedang diganggu oleh kegelisahan itu" berkata perempuan itu didalam hatinya. Karena itu, maka sekali lagi ia mendekati suara desah yang gelisah itu. "Aku harus berani berbuat untung2an" katanya didalam hati "kalau tidak, pekerjaanku tidak akan selesai. Aku akan mengetuk dinding dan memanggilnya. Kalau aku keliru, aku harus segera lari meninggalkan halaman ini" Demikianlah, meskipun dengan ragu2, perempuan itu mulai mengetuk dinding, perlahan-lahan sekali. Wiyatsih, yang ada didalam bilik itu, segera mendengar ketukan yang lirih itu. Sejenak ta mencoba meyakinkan, apakah ia memang benar2 mendengar suara. Ketukan di dinding biliknya masih juga terdengar. Perlahan sekali. Wiyatsih bangkit daii pembaringanuva. Terasa bulu-buluuya meremang. Suara yang per-lahan2 itu membuatnya ketakutan. "Wiyatsih" tiba2 terdengar suara seorang perempuan "apakah aku mengetuk bilik Wiyatsih." Wiyatsih masih belum menjawab... Tetapi selangkah ia maju mendekat.
15 "Apakah kau ada didalam bilik ini Wiyatsih?" sekali lagi ia mendengar suara itu. Dengan ragu2 Wiyatsihpun kemudian bertanya "Siapa" Aku berbicara dengan siapa ?" "O, jadi aku benar2 telah mengetuk bilikmu. Aku adalah perempuan yang kau temui dipinggir Kali Kuning. Aku menunggumu. Tetapi kau tidak datang." "Kaukah itu" Aku sudah mencoba menunggumu dipinggir Kali Kuning. Tetapi seseorang telah memaksaku untuk meninggalkan tepian." "Waktuku sudah habis Wiyatsih Sudah hampir lima hari aku berada disekitar Alas Sambirata ini. Aku akan segera kembali. tetapi aku belum sempat menyampaikan pesan Pikatan kepadamu." "Jadi" desis Wiyatsih sambil melekatkan mulutnya di diding "apakah yang harus aku kerjakan?" "Keluarlah sebentar. Sebentar saja." Wiyatsih menjadi raguragu. "Aku memang perlu menemuimu." terdengar suara itu. "Baiklah. Aku akan keluar." Wiyatsihpun kemudian berjingkat per-lahan2 keluar dari biliknya. Dengan hati2 ia melangkah kepintu butulan, dan dengan sangat hati2 pula ia mengangkat selarak pintu dan membukanya. Sejenak Wiyatsih menjadi ragu-ragu. Cahaya bulan yang kekuning2an memancar di halaman samping rumahnya, dilongkangan gandog "Dimanakah perempuan itu?" desisnya kepada diri sendiri. Wiyatsih terperanjat ketika ia mendengar suara. Di sudut rumahnya "Aku disini Wiyatsih."
16 "O" per-lahan2 Wiyatsih menuruni tangga pintu butulan Dengan ragu2 ia berjalan mendekati sudut rumahnya. Sebab bayangan yang ke-hitam2an tampak berdiri tegak berpegangan tiang. "Kau?" semakin dekat Wiyatsih menjadi semakin berdebardebar. Perempuan yang berdiri itu tampaknya lain sekali dengan perempuan yang pernah menjumpainya dan berbisik ditelinganya "Senja nanti aku menunggumu dipinggir Kali Kuning." "Siapakah kau?" suara Wiyatsih mengandung kecemasan. "Jangan takut" bisik bayangan itu. Suaranya pasti suara seorang perempuan "aku adalah perempuan yang pernah menjumpaimu beberapa kali itu." Wiyatsih kemudian berdiri termangu-mangu beberapa langkah dihadapan bayangan yang berdiri disudut itu. "Kemarilah. Jangan berdiri disinar bulan. Kalau ada orang yang melihatmu, ia akan segera menjadi curiga. Dimalam hari begini kau berdiri dihalaman ini." Wiyatsihpun kemudian maju beberapa langkah. Tanpa sesadarnya iapun kini berlindung dari sinar bulan yang terang. Namun dengan demikian ia dapat melihat perempuan itu semakin jelas. "Kemarilah " desis perempuan itu. Wiyatsih se-olah2 menjadi bingung. Apalagi ketika ia melihat pakaian perempuan itu. Pakaiannya sama sekali tidak seperti yang dipakainya ketika ia menjumpainya di Kali Kuning. Pakaian yang dipakainya kini adalah pakaian seorang laki2. Bahkan perempuan itu memakai ikat kepala pula. "Aku akan berbicara sedikit Wiyatsih" berkata perempuan itu.
17 Wiyatsih menjadi semakin heran ketika ia melihat, dilambung perempuan itu tergantung sehelai pedang. "Apakah kau heran melihat pakaianku ?" bertanya perempuan itu. Wiyatsih menganggukkan kepalanya "Memang aku berpakaian aneh. Bukan lajimnya pakaian seorang perempuan. Tetapi aku perlu memakainya karena aku harus menyesuaikan dengan tugasku kali ini." "Tetapi siapakah kau sebenarnya" Kau belum pernah mengatakan. Siapa namamu dan apakah hubunganmu dengan kakang Pikatan?" Perempuan itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab "Namaku Puranti." "Puranti " Wiyatsih mengulang. "Ya, lengkapnya terlampau panjang. Kakek memberiku nama Tri Asuji. Aku lahir pada hari ketiga dibulan Asuji" "Jadi?" "Tri Asuji Puranti. Tetapi aku mempergunakannya hanya yang terakhir." Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. Kemudian ia masih juga bertanya "Apakah hubunganmu dengan kakang Pikatan?" Sejenak Puranti terdiam. Ditatapnya wajah Wiyatsih Lalu jawabnya "Jangan kau tanyakan hal itu. Tetapi baiklah aku menyampaikan pesannya. Khusus kepadamu." Wiyatsih menjadi berdebar2. Dan iapun bertanya "Apakah kau tidak menyampaikannya juga kepada ibu?" Puranti menggelengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak mendapat pesan demikian. Aku hanya akan menyampaikannya kepadamu saja."
18 Wiyatsih mengangguk2kan kepalanya "Kalau begitu, katakanlah." Puranti mengangguk2kan kepalanya pula. Katanya kemudian "Kakakmu sudah sampai ke Demak beberapa hari yang lampau. "He" Baru beberapa hari yang lampau" Sedangkan ia sudah sudah berangkat beberapa tahun yang lampau." Puranti tersenyum. Katanya "Terlampau panjang untuk menceriterakannya. Yang penting, kakakmu sudah menghadap Panglima Tamtama." "O. Dan kakang Pikatan akan menjadi seorang piajurit?" "Ya. Tetapi sekarang belum. Kakakmu masih harus menghadapi beberapa macam pendadaran." "O" "Ia telah berhasil rnelampaui pendadaran dilingkungan keprajuritan Demak. Tetapi itu masih belum cukup." "Apakah yang sudah dilakukan oleh kakang Pikatan?" "Ber-macam2. Kakakmu sudah berhasil rnelampaui segala macam ujian. Memanjat, meloncat, berkelahi dan bermainmain dengan senjata. Bahkan ia sudah berhasil mengalahkan seorang prajurit yang memang ditugaskan untuk menguji kemampuan calon prajurit2 baru." "Lalu apa lagi ?" "Masih ada satu pendadaran. Kakakmu masih harus melakukan tugas yang sangat berat sebelum ia diterima menjadi seorang prajurit." "Pendadaran apa lagi?" "Karena itulah aku diminta untuk datang menemuimu. Sudah terlampau lama ia rindu kepadamu. Justru kau sering nakal dimasa kecilmu. Benar begitu?"
19 "Ah. Bukan aku yang nakal, tetapi kakang Pikatan." "Barangkali begitu. Tetapi kau tidak dilupakannya." "Kenapa hanya aku dan bukan ibu?" "Aku tidak tahu. Aku belum mengenalmu dan juga belum mengenal ibumu. Tetapi menurut kakakmu, ia agak berbeda pendirian dengan ibumu menghadapi kampung halamannya. ia bercita-cita untuk merubah cara dan tata kehidupan dipadukuhan ini dan sekitarnya. Tetapi ibumu tidak sependapat." "Dan karena itu kakang Pikatan meninggalkan padukuhan ini untuk waktu yang tidak terbatas?" "Sebagian. Tetapi sebagian karena ia mempunyai cita2 yang lain pula, yang seimbang dengan cita2nya dipadukuhan ini" "Menjadi seorang prajurit ?" "Ya. Menjadi seorang prajurit." Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. Katanya kemudian "Mudah2an kakang dapat berhasil. Ia akan bangga. Aku dan seluruh keluargaku akan bangga juga. Seorang diantara kami menjadi seorang prajurit. Bukankah prajurit itu pelindung dan pengawas seisi negeri ini." Puranti tersenyum sambil meng-angguk2kan kepalanya "Ya. Begitulah. Dan agaknya karena itu pula Pikatan ingin menjadi seorang prjurit. Prajurit yang baik." "Apakah ada prajurit yang tidak baik." "Tidak ada. Tetapi orang2 yang menjadi prajurit itu ada yang tidak baik. Tetapi mereka pasti akan dihukum oleh Panglimanya." Wiyatsih masih meng-angguk2kan kepalanya. "Aku membawa pesan kakakmu itu."
20 "O, kau belum mengatakan pesan itu." Puranti terdiam. Dipandanginya wajah Wiyatsih sejenak. Wajah yang memancarkan beribu-ribu macam pertanyaan yang tersimpan didalam hatinya. "Wiyatsih" berkata Puranti kemudian "kakakmu ingin minta doamu, agar didalam pendadaran yang terakhir ia berhasil." "Apakah pendadaran itu terlampau berat?" "Apakah yang harus dikerjakan?" Puranti tidak segera menjawab. Sejenak ia ragu2, apakah ia harus berterus-terang. "Apa?" desak Wiyatsih. "Pikatan harus pergi." "Pergi" Kemana?" "Wiyatsih" suara Puranti merendah "Demak yang sedang sibuk menenteramkan daerah bergolak dipesisir Utara sebelah Timur, merasa terganggu oleh segerombolan penjahat yang bersembunyi di Goa Pabelan. Sementara para prajurit masih harus menghadapi huru-hara itu, maka adalah kebetulan sekali, bahwa ada beberapa orang yang akan menyatakan dirinya untuk menjadi calon prajurit. Kepada mereka itulah diserahkan tugas yang tidak begitu berat dibanding dengan tugas para prajurit itu sendiri." "Menangkap penjahat yang ada di Goa Pabelan itu?" Puranti menganggukkan kepalanya. "Jadi kakang Pikatan harus pergi berperang melawan penjahat-penjahat itu?" "Ya." "Dan penjahat itu demikian ganasnya sehingga Demak merasa terganggu karenanya?"
21 "Ya." "Apakah padukuhan disekitar goa itu tidak ada laki2 yang mampu mengalahkannya" Kalau tidak seorang diri, maka mereka dapat datang beramai-ramai. Sepuluh atau duapuluh orang." "Penjahat itu bukan penjahat-penjahat kecil Wiyatsih. Ada tiga orang yang memegang pimpinan. Dua diantaranya benarbenar sepasang kakak beradik yang luar biasa." "O, apakah kakang Pikatan akan dapat melakukannya" Kakang Pikatan tidak pernah berkelahi sepanjang hidupnya. Ia adalah seorang anak muda pendiam, dan bahkan selalu menghindar pertengkaran." "Tetapi Pikatan sudah membawa bekal yang cukup, Wiyatsih. ltulah sebabnya ia baru beberapa hari berada di Demak." "Apakah selama ini ia berguru kepada seseorang?" Puranti mengangguk. "Siapa" Siapakah gurunya ?" "Ayahku." "O, jadi kau puteri dari guru kakang Pikatan?" "Ya, dan ia minta tolong kepadaku untuk menyampaikan pesannya. Ia minta diri dan doamu." "Kenapa ia tidak datang sendiri?" "Pikatan ingin sekali datang sendiri menemui kau. Tetapi ia tidak mempunyai waktu. Ia harus tetap berada di Demak. Setiap waktu ia harus berangkat." "Tetapi darimana kau tahu hal itu, dan kapan kakang Pikatan memberikan pesan itu?"
22 "Aku dapat menjumpainya selagi ia mendapat waktu beristirahat sejenak dan berjalan2 di dalam kota. Selebihnya ia harus tinggal dibaraknya." Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya "Apakah ibu boleh mendengar?" "Tidak seluruhnya. Mungkin ibumu tidak sependapat. Tetapi kau sampaikan saja sembah baktinya dan permohonannya agar ibumu juga berdoa untuk keselamatannya." "Ibu juga selalu menunggunya. Mungkin ibu sering marah kepada kakang Pikatan, Tetapi ia mengharap kakang Pikatan segera pulang meskipun ibu tidak ingin melihat kakang membuat bendungan itu." "Aku akan menyampaikannya." "Kalau ada waktu, katakanlah kepadanya, aku dan ibu rindu kepadanya." Puranti menganggukkan kepalanya. Lalu "Aku kira, aku sudah cukup. Sekian lama aku menunggu. Baru sekarang aku dapat menyampaikannya. Besok aku harus kembali. Kakang Pikatan dapat berangkat setiap saat." "Dimana kau bermalam?" bertanya Wiyatsih "apakah kau tidak bermalam disini saja?" Puranti menggeleiigkan kepalanya. "Jadi dimana?" "Aku bermalam di hutan Sambirata." "Di hutan Sambirata" " Wiyatsih terkejut. "Ya." "Di hutan yang wingit itu" Tidak seorangpun yang berani memasukinya tanpa kepentingan yang sangat mendesak. Kau bermalam disana seorang diri?"
23 "Ya. Aku bermalam di hutan itu seorang diri. Niatku baik dan aku tidak mengganggu siapapun. Kecuali itu, aku serahkan diriku sepenuhnya kepada Allah SWT. Seandainya ada mahluk halus di hutan itu yang menggangguku, maka kekuasaan Allah tidak akan dapat diingkari lagi, Kekuasaan Allah rnelampaui segala galanya yang kasat mata ataupun yang tidak." "O" Wiyatsih meng-angguk2kan kepalanya. "Aku bermalam beberapa malam di hutan itu menunggu kesempatan menemuimu tanpa dicurigai seseorang. Tetapi aku hampir gagal. Akhirnya aku paksa juga memasuki halaman rumah ini Adalah kebetulan sekali aku mengetuk dinding pada bilik yang benar." Wiyatsih masih meng-angguk2kan kepalanya. Ia menjadi heran dan kagum kepada perempuan yang bernama, Puranti itu. tampaknya ia seorang yang tangkas, berani, dan sudah tentu pandai mempergunakan pedang yang dibawanya itu. Tidak ada seorang perempuanpun, disekitar Alas Sambirata yang berpakaian serupa itu dan apalagi membawa pedang dilambung. Tetapi seperti yang dikatakannya, Puranti adalah anak perempuan dari guru kakaknya. Ia tentu mendapat warisan dari ayahnya. Bukan berupa harta benda. Tetapi ia pasti mempunyai kemampuan seperti ayahnya, atau setidak-tidaknya sebagian dari kepandaian ayahnya itu. "Wiyatsih" berkata Puranti itu selanjutnya "aku akan segera minta diri. Besok pagi2 benar aku sudah meninggalkan hutan Sambirata. Aku akan kembali kepadepokanku dahulu, sebelum aku pergi ke Demak." "Dimanakah padepokanmu ?" "Dikaki pegunungan Gajah Mungkur." "Dimanakah letaknya ?"
24 "Dilereng Utara Gunung Merbabu. Gunung yang tampak dari padukuhanmu ini." "Gunung Merapi maksudmu ?" "Disebelahnya. Bukankah kau melihat puncak yang satu lagi " ltulah Gunung Merbabu." "Dan rumahmu berada diseberang Gunung itu?" Puranti menganggukkan kepalanya. "Jauh sekali." Puranti menggeleng "Tidak begitu jauh." "Dan kau pergi kesana sendiri melalui hutan, lembah dan gunung ?" "Ya." Wiyatsih menarik nafas dalam2. Tidak terbayangkan olehnya, bagaimana sulitnya perjalanan Puranti. Tetapi agaknya perempuan dengan pedang dilambung itu tidak akan mengalami kesulitan di perjalanannya. "Kau baik sekali" berkata Wiyatsih kemudian "kau telah sudi menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk menyampaikah pesan kakakku. Seharusnya kau tidak perlu bersusah payah. berbuat demikian. Kau adalah anak gurunya. Seharusnya kakang Pikatan menghormatimu. Bukan sebaliknya, malahan ia menyuruhmu menempuh perjalanan sejauh itu. Apalagi kau seorang perempuan." Puranti tersenyum, Katanya "Bukan ia yang menyuruhku. Akulah yang menawarkan diriku untuk menolongnya. Selain dari itu, aku memang ingin melihat adik Pikatan yang cantik ini meskipun nakal sekali." "Ah" wajah Wiyatsih menjadi kemerah-merahan.
25 "Sudahlah. Masuklah kedalam bilikmu. Hari telah jauh malam. Bukankah kau tidak biasa berada diluar dimalam hari?" "Tidak apa2. Aku tidak apa2." "Tetapi masuklah. Aku akan sering datang kemari." "Sering datang kemari?" Wiyatsih menjadi heran "bagaimana mungkin. Rumahmu jauh sekali." Puranti tersenyum. Katanya kemudian "Tidak terlalu sering,. Tetapi sekali2 kelak aku akan kembali kemari." "Terima kasih. Kau terlalu baik." "Sekarang masuklah. Aku tunggu kau sampai didalam."Wiyatsih ragu-ragu sejenak. Tetapi Puranti mendesaknya" "Masuklah. Kau dengar suara kotekan itu" Mereka pasti para peronda yang berkeliling." Wiyatsih mengangguk. Per-lahan2 ia bergeser dari tempatnya. Sejenak kemudian ia berjalan melintasi longkangan naik ketangga pintu butulan. Dimuka pintu ia masih berpaling, tetapi ia hanya melihat bayangan hitam disudut rumahnya. Bayangan Puranti yang masih saja berlindung didalam kegelapan. Namun demikian Wiyatsih masih melihat Puranti melambaikan tangannya. Wiyatsihpun melambaikan tangannya pula. Sejenak ia masih berdiri ter-mangu2. Namun sejenak kemudian iapun segera masuk kedalam. Perlahan2 sekali ia menutup pintu rumahnya dan menyelaraknya dari dalam. Sambil berjingkat ia berjalan dengan hati2, kembali kedalam biliknya. Per-lahan2 dibaringkannya tubuhnya menelentang. Tetapi ia sama sekali tidak segera memejamkan matanya. Dicobanya membayangkan kembali perempuan yang
26 bernama Puranti itu, selagi ia berpakaian sebagai seorang gadis pedesan yang sederhana, melintasi jalan ketika ia kembali dari mencuci pakaian bersama kawan-kawannya. Dan baru saja ia bertemu dengan gadis itu juga, tetapi dengan pakaian yang jauh berbeda. " Ia baik sekali. Ia baik terhadap kami, mungkin juga baik sekali terhadap kakang Pikatan. Atau barangkali" Wiyatsih menarik nafas dalam2. Per-lahan2 ia bergumam "Kalau saja ia kelak dapat menjadi kakak iparku. Ia pasti sangat baik, dan barangkali ia mau mengajarku olah kanuragan. Sekedar untuk menjaga diri." Wiyatsih tidak segera dapat tertidur. Tetapi ia beranganangan hampir semalam penuh. Ketika ayam jantan berkokok dipagi buta, Wiyatsih masih belum juga tidur. Bahkan ia bargumam "Mungkin Puranti sudah meninggalkan Alas Sambirata." Tiba2 bulu diseluruh tubuhnya meremang. Hutan itu meskipun tidak begitu besar, tetapi wingit. Hanya mereka yang mempunyaj keperluan yang sangat msndesak sajalah yang berani memasukinya. Itupun dengan segala macam syarat untuk keselamatannya. Dalam pada itu, seperti yang diduga oleh Wiyatsih, Purantipun telah berkemas pada saat ayam jantan berkokok. Tetapi berbeda dengan Wiyatsih, ia justru telah dapat tidur nyenyak begitu ia datang dari rumah Wiyatsih. Setelah membenahi pakaiannya, maka iapun segera meninggalkan Alas Sambirata. Puranti singgah sebentar di Kali Kuning untuk mencuci mukanya dan sedikit membasahi tubuhnya. Kemudian dengan pakaian seorang perempuan petani ia mulai perjalanannya kembali kepadepokannya dilereng pegunungan Gajah Mungkur. Meskipun kadang2 Puranti menjumpai persoalan2 kecil diper-jalanan, namun persoalan2 itu sama sekali tidak
27 menghambatnya. apalagi menghalangi perjalanannya. Ia datang, kepadepokannya seperti yang direncanakan, setelah Puranti bermalam diperjalanannya satu malam. *** "Apakah kau dapat bertemu dengan adik Pikatan?" bertanya ayahnya, penghuni padepokan dikaki pegunungan Gajah Mungkur itu. Padepokan kecil yang tidak banyak diketahui orang. "Ya ayah. Aku sudah berhasil menemuinya. Aku sudah menyampaikan pesan kakang Pikatan kepadanya. Anak itu memang anak yang manis. Agaknya ia sangat rindu kepada kakaknya." Ayah Puranti, yang disebut oleh orang-orang disekitaruya Kiai Pucang Tunggal, meng-angguk2kan kepalanya. Jawabnya."Tentu. Gadis itu pasti sudah merindukannya. Pikatan adalah satu-satunya saudaranya. Ia tidak mengenal ayahnya sejak kanak2. Baginya Pikatan adalah kakaknya sekaligus ayahnya." Puranti meng-angguk2kan kepalanya. Lalu diceriterakannya pertemuannya dengan gadis disebelah hutan Sambirata itu. Kiai Pucang Tunggal meng-angguk2 pula. Ia dapat membayangkan, perpisahan yang sudah beberapa tahun itu pasti menumbuhkan perasaan rindu yang luat biasa. "Seharusnya Pikatan menengok adiknya terlebih dahulu sebelum ia pergi ke Demak. Ternyata ia tidak dapat meninggalkan kota sebelum ia selesai dengan pendadaran terakhir." berkata Puranti. Kiai Pucang Tunggal masih saja meng-angguk2. Katanya "Tetapi ia akan segera menyelesaikan tugasnya." "Tetapi tugas yang dibebankan kepadanya terlampau berat ayah. Penjahat di Goa Pabelan itu adalah penjahat yang
28 hampir tidak terlawan. Sepasang harimau dari Pabelan itu benar2 sepasang harimau yang buas." "Tetapi ia tidak pergi seorang diri. Setiap kelompok pendadaran terdiri dari sepuiuh orang. Demikian juga kelompok kakang Pikatan. Mereka bersepuluh pergi ke Goa Pabelan itu." "Sepuluh orang ?" ayahnya mengerutkan keningnya. "Ya. Demikianlah rencana yang dikatakannya kepadaku.". "Sepuluh orang. Hanya sepuluh orang " ayahnya bergumam "Kenapa, ayah. Apakah ayah mempunyai pertimbangan lain?" "Tidak, tidak Puranti. Aku tidak mempunyai pertimbangan apupun." "Tetapi agaknya ayah sedikit bimbang?" Kiai Pucang Tunggal tidak segera menyahut. Namun kemudian ia meng-angguk2kan kepalanya "Apakah tidak ada seorangpun prajurit yang ikut serta?" "Mereka dipimpin oleh seorang prajurit. Tidak lebih dari seorang prajurit, karena sebagian terbesar dari prajurit Demak sedang melawat ke Timur." Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam2. Namun tatapan matanya se-akan2 jauh membenam kedunia angan-angannya. "Apakah yang ayah cemaskan?" bertanya Puranti. "Apakah Pikatan termasuk seorang calon yang baik?" "Maksud ayah dibandkigkan dengan kawan-kawannya ?" "Ya." "Ya ayah. kakang Pikatan termasuk calon yang baik. Meskipun kakang Pikatan tidak menunjukkan seluruh
29 kemampuannya, namun sudah nampak kelebihannya dari calon2 yang lain. Usahanya mengumpulkan bekal dipadepokan ini tidak sia-sia." Kiai Pucang Tunggal mengangguk kecil. Sejenak ia merenung. Namun sejenak kemudian ia berkata "Apakah kau akan menemuinya?" "Ya ayah. Aku akan menyampaikan hasil perjalananku.. Aku sudah menyampaikan pesannya." "Baiklah. Pergilah ke Demak. Katakan bahwa kau telah berjumpa dengan adiknya," ayahnya berhenti sejenak, lalu "tetapi kau tidak usah tergesa-gesa kembali." "Maksud ayah ?" "Bukankah Pikatan akan pergi ke Goa Pabelan?" "Ya" Puranti mengaugguk. "Awasilah anak itu." "Ayah. Bukankah ia pergi bersama beberapa orang calon prajurit dan dipimpin oleh seorang prajurit" Bagaimana mungkin aku dapat pergi bersama mereka?" "Kau tidak pergi bersama mereka. Tetapi kau dapat mengawasi mereka. Aku merasa cemas, bahwa sesuatu akan terjadi. Penjahat yang bersembunyi di Goa Pabelan menurut pendengaranku adalah penjahat2 yang bertangan api. Dari tangannya seakan-akan dapat menyala api yang membakar setiap orang yang disentuhnya. "Benar begitu?" "Tidak seperti arti katanya bahwa tangannya dapat menyala. Tetapi sepasang kakak beradik yang memimpin penjahat-penjahat itu mempunyai keeepatan tangan yang luar biasa. Tusukan jari2nya dapat melubangi perut seperti ujung pedang. Kau mengerti?"
30 Puranti meng-angguk2kan kepalanya. "Aku sudah memberi bekal olah kanuragan secukupnya kepada Pikatan. Tetapi aku tidak tahu, bagaimanakah kawan2nya yang lain. Seandainya pada suatu saat Pikatan harus menghadapi dua kakak beradik itu, maka aku kira ia tidak akan mampu." Puranti menganguk pula. "Apakah kau mengerti maksudku?" "Aku mengerti ayah." "Apalagi kalau guru mereka ada di goa itu pula. Jangankan sepuluh orang, dua kali lipat dari itu tidak akan dapat mengalahkan kelompok penjahat di Goa Pabelan itu." "Apakah ayah tahu, berapa orang yang bersembuuyi di Goa itu seluruhnya?" "Aku tidak tahu Puranti. Tetapi kira-kira juga sekitar sepuluh orang." Puranti menggigit bibirnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya "Apakah tandanya kalau guru mereka sedang berada ditempat itu pula ayah?" "Tidak ada tanda2 khusus Puranti. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi. Menurut pendengaranku, gurunya berasal dari tempat yang jauh. Jauh sekali." Puranti meng-angguk2, setiap kali. Ia mencoba mengerti semua yang dikatakan oleh ayahnya itu, Sejenak terbayang di wajahnya, laki2 yang tinggi besar, bertubuh kasar, berjambang dan berjanggut kusut duduk dimuka mulut Goa Pabelan, se-akan2 mereka sengaja menunggu kedatangan calon2 prajurit yang masih hijau. Memasukkan mereka kedalam perangkap dan langsung membinasakannya seorang demi seorang. Puranti menarik nafas dalam-dalam.
31 "Baiklah ayah" berkata Puranti kemudian "aku akan mengikuti kelompok calon2 prajurit yang sedang mengalami pendadaran. Mereka diterima apabila mereka dapat mengalahkan penjahat-penjahat itu." "Ya, pergilah. Aku kira perwira yang mengirimkan sepuluh orang itu agak salah hitung. Benar2 suatu pendadaran yang berbahaya. Mereka harus mengirim sedikitnya lima belas orang. Tetapi aku tidak berhak mengubah keputusan itu. Semuanya tergantung kepada para Pendega di Demak." Puranti tidak menyahut. Namun hatinya menjadi berdebar2. "Kapan kau akan berangkat ke Demak?" bertanya ayahnya kemudian. "Besok ayah. Besok aku akan pergi. Aku tidak tahu, kapan kakang Pikatan akan dikirim ke Goa Pabelan. Aku kira keberangkatan mereka akan begitu tiba-tiba. Beberapa calon yang lain akan mengalami pendadaran yang lain pula. Sekelompok dari mereka akan dikirim untuk membantu para penduduk di Bergota. Sawah dan ladang mereka tidak dapat digarap dengan tenang. Apalagi ternak mereka selalu hilang. Disana berkeliaran beberapa ekor harimau yang sangat garang." "Itu lebih baik dari pada pergi ke Goa Pabelan" sahut ayahnya. "Tetapi jangan membuat hatinya kecil. Kau tidak usah mengatakan bahwa kau akan melihat kelompok itu berjuang menangkap penjahat2 itu." "Ya ayah." "Nah, masih ada waktu semalam bagimu. Apakah kau sudah memahami ungkapan tenaga cadangan seperti yang aku berikan itu " Mungkin kau berhasil membangunkannya dalam waktu yang singkat. Tetapi hubungan antara tenaga cadangan dengan senjata ditanganmu, apabila kau bersenjata,
32 masih kurang serasi. Kau belum dapat memperhitungkan dengan tepat kemampuan senjatamu dan kekuatan yang tersaiur padanya, sehingga kadang2 justru senjatamulah yang kau rusakkan sendiri." Puranti mengangguk sambil menjawab "Aku sudah mencoba ayah. Hampir setiap malam, meskipun diperjalanan aku selalu mencoba mematangkannya. Aku kira aku sudah mandapat banyak kemajuan." Ayahnya memandang puteri satu-satunya itu dengan tajamnya. Kemudian katanya "Bagus Puranti. Namun, biarlah aku nanti malam melihat, apakah kau sudah berhasil." Demikianlah, setiap kali ayahnya, Kiai Pucang Tunggal, selalu menilik kemajuan anaknya dengan tekun. Kadang2 bahkan terlampau berat bagi anaknya, seorang gadis. Namun demikian, Puranti tumbuh menjadi seorang gadis yang luar biasa. Sejak kecil ia sudah mengenal tata gerak di dalam olah kanuragan. Apalagi sejak ibunya meninggal. Karena ayahnya tidak mau kawin lagi, maka Puranti adalah satu2nya kawannya. Ia tidak mempunyai keluarga yang lain selain gadis itu. Ia tidak mempunyai anak laki2, tidak mempunyai sanak keluarga yang dekat. Karena itu, maka agar ilmunya tidak punah, dididiknya satu2nya keluarganya itu meskipun ia seorang perempuan. Baru heberapa tahun kemudian. Datang secara kebetulan seorang anak muda yang kurus dan letih. Namun dari matanya memancar hatinya yang membara. Pikatan. Semula hanya terdorong oleh belas kasihan, maka Pikatan di peliharanya. Anak yang merantau tanpa bekal apapun itu, banyak mengalami kepahitan hidup diperjalanan. Namun lambat laun, ternyata bahwa Pikatan memiliki kemampuan untuk menerima ilmu olah kanuragan. Dan Pikatanlah satusatunya murid Kiai Pucang Tunggal selain anaknya sendiri.
33 Pikatan ternyata mempelajari ilmunya dengan tekun. Bukan saja olah kanuragan, tetapi banyak pula nasehat dan pandangan tentang kehidupan ini yang diberikannya kepada murid satu2nya itu, seperti ia mendidik anaknya sendiri. Sehingga pada suatu ketika, setelah Pikatan mempelajari ilmu kanuragan beberapa tahun, barulah ia dilepaskan untuk melanjutkan niatnya, menjadi seorang prajurit. "Tidak mudah untuk menjadi seorang prajurit" berkata Kiai Pucang Tunggal pada saat Pikatan berangkat ke Demak."kau harus melewati beberapa macam pendadaran. Seorang Pamingit pernah gagal didalam pendadaran. Tetapi karena kesombongannya, maka ia justru harus menebus dengan nyawanya." Pikatan hanya menundukkan kepalanya saja. "Nah, sekarang kau sudah memiliki bekal itu. Pergilah. Mudah-mudahan kau tidak gagal." Dan Pikatanpun kemudian pergi ke Demak, menyatakan diri Untuk menjadi seorang calon prajurit. Beberapa macam peudadaran sudah dapat dilaluinya dengan mudah, tanpa memeras segenap kemampuannya. Tinggal pendadaran yang terakhir. Menangkap penjahat yang bersembunyi di Goa Pabelan. Penjahat yang selalu mengganggu ketenteraman rakyat disekitarnya. Bahkan sampai tempat yang agak jauh. Mereka datang seperti hantu ditengah malam, dan pergi seperti awan dihembus angin. Begitu tiba-tiba. Namun bekas yang ditinggalkan kadang2 sangat mengerikan. Korban jiwa dan harta benda. Balikan kadang2 lebih dari itu. Rumah yang menjadi abu dan perempuan yang hilang. Namun agaknya orang2 Demak menganggap gerombolan itu terlampau kecil, sehingga mereka menganggap bahwa sepuluh orang calon prajurit dibawah pimpinan seorang prajurit sudah cukup untuk menangkap mereka.
34 Demikianlah, maka ketika matahari pecah di Timur, Puranti berangkat seorang diri ke Demak untuk menemui Pikatan. Menyampaikan kabar keselamatan keluarganya dan kerinduan adik serta ibunya. Perjalanan ke Demak sudah terlampau sering ditempuh oleh Puranti, sehingga ia dapat memilih jalan yang paling dekat dan paling aman baginya, bagi seorang gadis petani. Dipunggungnya Puranti menjinjing sebuah bakul berisi bekal dan pakaian. Namun juga sebilah pedang pendek. Tangkainya yang mencuat telah dikaburkannya dengan berbagai macam barang. Bahkan bahan2 mentah. Seperti biasanya Puranti sama sekali tidak menghiraukan dimana ia akan bermalam. Latihan jasmaniah yang dilakukannya sejak kanak2, memberinya kemampuan yang besar, rnelampaui kekuatan jasmaniah orang kebanyakan. Ia dapat tidur dipepohonan dipinggir hutan, atau bahkan dikuburan sekalipun. Yang diperlukan di saat2 tertentu diperjalanan hanyalah air. Tanpa kesukaran apapun, Puranti segera dapat menemui Pikatan demikian ia sampai ke Demak. Dengan mengaku sebagai adiknya, ia diperkenankan menemui Pikatan dibaraknya. "Kau sudah menemui Wiyatsih?" bertanya Pikatan Puranti mengangguk "Ya, Aku berhasil menemukanuya dan berbicara dengan adikmu." Pikatan mengerutkan keningnya ketika ia mendengarkan Puranti berceritera. "Jadi kau berada di Sambirata beberapa malam?" "Ya." "Dimana kau bermalam?" "Di hutan Sambirata."
35 "Di hutan itu" Ya, aku lupa mengatakan kepadamu bahwa hutan itu terlampau wingit." "Tetapi tidak terjadi apapun atasku. Aku tidak bermaksud jelek dan aku tidak berbuat apa2 disana kecuali tidur." "Di hutan kecil itu ada binatang buas dan terlebih-lebih lagi ular." "Aku tidur di cabang pepohonan." "Hem" Pikatan menarik nafas dalam2 "kau tidak pantas disebut seorang perempuan. Kau melampaui laki2." "He, apakah aku bukan seorang perempuan, seorang gadis?" "Ya, ya. Kau tetap seorang gadis. Tetapi sifat2mu. Mungkin karena ayahmu merindukan seorang anak laki-laki, maka kau telah dibentuknya menjadi seorang laki-laki." "Kau salah Pikatan. Aku tetap seorang perempuan. Apakah kau tidak percaya." "Tentu, tentu aku percaya kepadamu" Pikatan berhenti sejenak sambil tersenyum, lalu "Dan dimana kau bermalam di sini " Dimana?" Puranti tersenyum."Di bawah randu Alas dipinggir kota itu." Pikatan menarik nafas dalam-2. Desisnya "Apakah aku dapat menjumpai tiga orang perempuan seperti kau ini diseluruh Demak" Puranti masih tersenyum. Dan senyuman itu benar2 senyum seorang gadis. Sejenak mereka saling berdiam diri. Pada senyum Puranti, terbayang wajah Wiyatsih yang suram. Pikatan tidak dapat mengatakan apakah yang mirip pada kedua gadis itu. Tetapi sepintas ia melihat beberapa persamaan.
36 "Bibirnya" berkata Pikatan didalam hatinya. Tetapi ia menggeleng "Bibir Puranti sangat tipis. ltulah sebabnya ia. suka berbicara tanpa henti2nya apabiia mendapat kesempatan. Matanyapun tidak. Mata Wiyatsih agak redup, seperti sedang bermimpi. Tetapi mata Puranti tajam penuh gairah memandang kehidupan. Pikatan menggelengkan kepalanya. Ia tidak dapat menemukan kesamaan itu. Dan tidak ada orang lain yang dapat menolongnya, mengatakan, bahwa kesamaan itu tidak tersangkut pada kedua wajah gadis2 itu. Tetapi tersangkut didalam hatinya sendiri. Kedua gadis itu telah melekat dihatinya meskipun mendapat tempat yang berbeda. Namun kedua wajah yang berbeda itu, sama2 telah membayanginya. Selalu membayanginya. ltulah kesamaan didalam kelainannya. Tetapi Pikatan tidak dapat menyebutnya baliwa ia mencintai keduanya. Wiyatsih adalah satu2nya. saudaranya, sedang Puranti adalah seorang gadis yang sangat menarik baginya. Pikatan yang sedang termenung itu terkejut ketika ia mendengar Puranti bertanya "Apakah kakang Pikatan benarbenar akan melaksanakan pendadaran seperti yang kakang katakan?" "Ya. Aku akan segera berangkat. Kami menunggu perintah. Setiap saat. kami akan pergi. Menurut penyelidikan, saat2 terakhir pemimpin penjahat yang bersarang di Goa Pabelan itu tidak sedang berada di sarangnya. ltulah sebabnya kami sedang menunggu. Apabila kami mendapat keterangan bahwa mereka sudah kembali, kami akan segera menangkap mereka." Puranti meng-angguk2kan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia bertanya Apakah kau pernah mendengar serba sedikit tentang penjahat yang bersarang di Goa Pabelan?" "Kami mendapat beberapa keterangan tentang mereka" jawab Pikatan "prajurit yang akan memimpin kami telah memberikan beberapa petunjuk tentang letak goa tersebut
37 dan beberapa orang penghuninya. Jumlah mereka sekitar dua belas orang, Tetapi sebagian dari mereka adalah penjahat2 kecil yang hanya tunduk kepada perintah tiga orang, diantara mereka termasuk orang terkuat dan dua diantaranya, kakak beradik, adalah orang2 yang luar biasa." Puranti menarik nafas dalam2. Ternyata pimpinan prajurit di Demak tidak merahasiakannya. Bahkan mereka telah mendapat gambaran yang jelas tenlang Goa Pabelan, sehingga dugaan ayahnya, bahwa mereka telah salah menilai, agaknya tidak tepat. "Kami akan berangkat kesana segera. Tetapi menurut perintah terakhir kami tidak lagi bersepuluh seperti mereka yang melakukan pendadaran yang lain." Puranti mengerutkan keningnya."Jadi, berapa orang yang akan berangkat?" "Lima belas orang." "O" Puranti berdesah "jadi lima belas orang" Dan ia berkata pula didalam hatinya "Jadi ayah memang benar. Bukan salah menilai, tetapi jumlah itu yang ditambah." "Kapankah kira2 kalian akan berangkat?" "Kami tidak tahu. tetapi segera kami mendapat penjelasan itu, bahwa mereka telah kembali, kami akan segera berangkat." Puranti meng-angguk2kan kepalanya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Bagaimanakah kiranya kalau ia berkata berterus terang, bahwa ia ingin juga pergi ke Goa Pabelan. Pikatan yang melihat keragu-raguan membayang diwajah Puranti, mencoba untuk menenangkannya, meskipun ia salah tebak "Jangan cemas. Perwira prajurit yang memimpin kami adalah orang yang cukup berpengalaman menghadapi penjahat2 yang licik sekalipun."
38 Puranti mengangguk. Tetapi ia menjawab "Aku tidak meragukan kalian. Tetapi aku ragu2 untuk menyatakan isi hatiku." Apakah yang akan kau katakan?" "Kakang Pikatan" nada suara Puranti menurun "apakah aku boleh ikut bersama kalian?" "He!" mata Pikatan terbelalak. Namun kemudian ia tertawa Kau memang gadis aneh. Kami tidak sekedar bertamasya ke Goa Pabelan. Kami akan menangkap penjahat2 besar yang berbahaya. Kakak beradik yang memimpin gerombolan penjahat itu adalah orang-orang yang luar biasa. Menurut gambaran yang kami terima, mereka memiliki ilmu yang dahsyat. Karena latihan yang matang, maka jari2 tangannya merupakan senjata yang paling dipercayainya, disamping senjata2nya yang lain. Apakah kau pernah mendengar, bagaimana orang2 di sekitarnya, atau orang2 yang berilmu yang pernah mencoba membinasakan mereka tetapi gagal". Mereka menyebut kakak beradik itu bertangan baja. Sepasang hantu bertangan baja." "Bertangan baja atau bertangan api ?" bertanya Puranti. "Eh, ya. Sepasang hantu bertangan api, Derimana kau dengar nama itu?" "Ayah pernah menyebutnya." "Ya. Guru benar, Orang menamakannya sepasang hantu bertangan api, Meskipun tangannya sama sekali tidak dapat menyala atau membara, tetapi tangannya benar2 serupa api. Sentuhan jari2nya dapat menghanguskan kulit. Apalagi pukulannya." Puranti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata "Aku hanya akan melihat dari kejauhan." "Puranti" berkata Pikatan "aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang cukup, karena ayahmu telah memberimu beberapa petunjuk dan tuntunan tentang tata bela diri. Tetapi untuk
39 pergi ke Goa Pabelan adalah pekerjaan yang sangat berbahaya." Puranti tidak menyahut. "Hanya laki-laki yang mengemban tugas sajalah yang akan pergi kesana. Tanpa tugas dan cita-cita, setiap orang akan segan masuk kedalam liang ular naga yang sangat berbisa. Karena itu, sebaiknya kau menunggui pohon randu alas dipinggir kota itu saja. "Ah" Puranti memotong "aku tidak akan mendekat. Aku hanya akan melihat dari kejauhan." "Tetapi itu sangat berbahaya. Kau kira, satu dua diantara mereka tidak akan tertarik akan kehadiranmu, kehadiran seorang gadis didekat sebuah goa sarang penjahat" Kalau aku tertangkap, aku adalah seorang laki2. Mungkin aku akan disiksa dan kemudian dibunuh. Tetapi persoalanku segera akan selesai. Berbeda dengan kau Puranti. Kau adalah seorang gadis. Dan penjahat2 itu adalah laki-laki liar dan kasar, Kau dapat membayangkan apa yang dapat terjadi atasmu." Memang terasa bulu-bulu kuduk Puranti berdiri. Seandainya Pikatan menyebutkan beberapa macam kelebihan penjahat itu, bahkan ilmu yang mengerikan sekalipun, agaknya Puranti tidak akan takut. Tetapi justru karena Pikatan menunjuk tentang kegadisannyalah, maka terasa seluruh tubuhnya meremang. Hal 37 sd 44 Hilang *** "He, apakah kau anak seorang pertapa atau seorang petugas kerajaan barangkali?"
40 "Apakah hanya para pertapa dan petugas kerajaan saja yang boleh berkata begitu. Apakah hanya para pemimpin agama saja yang harus berbuat baik sedang orang lain dapat berbuat sekehendak hati?" Anak2 muda itu tertawa semakin keras, sehingga Puranti mengerutkan keningnya. "Heh, jangan mencoba mempengaruhi kami dengan ceritera". khayal yang menjemukan itu." seorang diantara mereka berkata sambil melangkah mendekat "kau terlalu cantik untuk berbicara tentang masalah2 rohaniah. justru kau dalam bentuk badaniah itulah yang membuat kami kehilangan akal. Kami tertarik kepadamu bukan karena masalah2 yang pelik dan tidak kami mengerti itu Tetapi kami tertarik karena wadagmu. Karena kau yang tampak dimata kami ini, " "ltulah sebabnya, maka hidup kalian terbatas pada hidup badani. Hidup jasmaniah yang sangat pendek ini. Kalian sama sekali tidak memandang masa yang panjang sesudah kehidupan wadag, kita ini. Dengan demikian maka hidup diliputi oleh segala macam nafsu badani se-mata2" "Sudahlah. Terima kasih alas nasehatmu. Kau memang berbakat untuk menjadi seorang pemimpin agama yang baik. Tetapi sayang, kita sekarang tidak berada di tempat ibadah. Kita sekarang berada di-tengah2 hutan meskipun bukan hutan yang lebat. Yang ada hanyalah kau, seorang gadis, eh, apakah kau masih gadis" Selebihnya kami adalah laki2." Puranti menarik nafas dalam2. Agaknya anak2 muda itu tidak dapat diajaknya berbicara. Bahkan ke empatnya semakin lama menjadi semakin dekat. Salah seorang dari mereka berkata "Jangan dipikirkan masalah yang tidak kita mengerti sepenuhnya itu. Yang kita mengerti adalah keadaan kita masing2. Tubuh wadag kita ini. Karena itu, marilah kita berbicara tentang wadag yang tampak ini" anak muda itu tersenyum, lalu "Kau ,memang cantik sekali."
41 Terasa seluruh tubuh Puranti meremang. Memang agak lain menghadapi perampok atau penjahat dengan menghadapi anak2 muda yang gila semacam ini. "Lepaskan pedangmu. Kau akan menjadi semakin cantik. Berpakaianlah seperti seorang perempuan biasa. He, apakah kau orang banci?" "Sudahlah" berkata Puranti "aku berterima kasih, bahwa aku sudah kau perbolehkan mengambil airmu. Sekarang aku akan meneruskan perjalanan." "He, kau kira aku dapat memberikan air itu begitu saja. Di tempat yang kering ini, air pasti sangat berharga. Sama harganya dengan diri kita masing2. Nah, kau harus membayar air yang telah kau minum." "Sudahlah" berkata Puranti "jangan berbicara tentang air, tentang kita masing2, dan me-ingkar2 begitu. Aku, tahu apa yang kalian maksudkan. Kalian menginginkan aku. Bukankah begitu?" Pertanyaan yang berterus terang itu benar2 tidak disangka.oleh anak2 muda itu, sehingga dengan demikian mereka justru terdiam sejenak, Mereka berdiri ter-mangu2 dan saling berpandangan sesaat. Dalam pada itu Puranti berkata seterusnya dengan tenang "Maaf, Ki Sanak. Aku masih mempunyai tugas yang banyak sekali. Dan ketahuilah bahwa perbuatan kalian itu telah menyingguug perasaanku. Perasaanku Sebagai seorang gadis, tetapi juga sebagai seorang yang menganggap bahwa anak2 muda seharusnya menjadi pelindung yang baik bagi gadis2. Bukan seperti yang sedang kalian la kukan ini" Anak2 muda itu masih termenung membeku. "Selamat tinggal" Tetapi ketika Puranti bangkit berdiri dan akan melangkahkan kakinya, salah seorang dari mereka
42 mencegahnya "Tunggu. Jangan pergi begitu saja. Kau memang orang aneh bagi kami. Kau datang kemari atas kemauanmu sendiri tanpa kami ikat dan kami sumbat mulutmu seperti biasanya kami lakukan. Dan sekarang kau menghadapi kami begitu tenangnya seperti menghadapi sekelompok anak2 yang baru pandai berjalan. Siapakah sebenarnya kau dan apakah maksudmu ?" "Kau tidak perlu mengenal aku. Tetapi aku sekarang sudah mengenal kalian. Aku dapat datang kemari setiap saat. Aku dapat menemui ayah ibumu kapan aku mau. Aku dapat membuka rahasia ini kepada orang2 sepadukuhan, dan barangkali pada suatu saat aku dapat menemui seorang perempuan yang pernah menjadi korbanmu." "Cukup" anak muda yang tinggi besar berteriak "kau tidak usah menakut-nakuti kami. Sem-la kami memang menganggap kau aneh. Tetapi akhirnya kami: berkesimpulan, bahwa kau adalah seorang gadis yang cantik. Dan itu sudah cukup buat kami, siapapun kau sebenarnya." Tetapi jawaban Puranti membuat mereka semakin heran "Terima kasih atas segala pujian. Setiap gadis akan menjadi bangga kalau anak2 muda memujinya sebagai gadis yang cantik. Tetapi selain gadis tentu tidak akan senang diperlakukan dengan kasar dan liar. Kalian mengerti ?" "Persetan" geram yang bertubuh kecil "tunduklah kepada kemauan kami." "Maaf, aku mempunyai banyak kepentingan. Ingat, kalau kalian tidak mempertimbangkan sikap dan perbuatan, aku dapat berbuat banyak" "Tetapi kau tidak akan dapat keluar dari halaman ini" bentak yang gemuk "Kenapa?" bertanya Puranti "aku bebas untuk keluar dari halaman rumah mi. Meskipun aku seharusnya minta ijin untuk memasukinya."
43 "Tidak, kau tidak dapat pergi" berkata yang lain lagi. Puranti memandangi mereka sejenak ber-ganti2. Namun kamudian se-olah ia tidak menghiraukannya lagi. Ia berjalan saja dengan tenang menuju ke regol halaman yang terbuat dari bambu wulung yang ungu. "Tunggu..." anak2 muda itupun kemudian ber-lari2an mengepungnya. Yang tinggi berdiri dihadapan Puranti sambil berkata "Jangan pergi." Tetapi Puranti tidak mengacuhkannya, la melangkah terus, meskipun anak muda yang tinggi itu mencoba menghalangnya. Agaknya ketenangan dan kepercayaan Puranti pada diri sendiri membuat mereka menjadi bingung. Karena Puranti tidak juga berhenti, maka merekalah yang kemudian menyibak. Meskipun demikian, ketika Puranti sudah membelakangi mereka, sekali lagi mereka berlari2an keregol sambil berkata "Tidak ada jalan keluar bagi gadis secantik kau." Puranti sama sekali tidak menghiraukannya. Ia berjalan saja dengan tenang dan sama sekali tidak mengacuhkan anak2 muda itu. Sekali lagi perbawa Puranti telah menyibakkan mereka Mereka tidak berbuat apapun juga ketika Puranti lewat diantara mereka. Anak2 muda itu se-olah2 telah terpesona oleh kekuatan gaib yang terpancar dari ketenangan wajah dan ketajaman tatapan mata Puranti gadis yang cantik itu. Dengan mulut ternganga mereka memandang Puranti berjalan dijalan setapak didepan regol halaman mereka yang kotor. Mereka melihat sarung pedang yang berjuntai dilambung gadis yang baru saja singgah untuk mengambil air minum. Gadis yang datang sendiri tanpa dicarinya. "He" tiba2 yang tinggi kekar berkata "kenapa kita lepaskan gadis itu?"
44 Kawannya tidak segera menyahut."Kenapa?" ia mendesak. "Gadis itu akan memberitahukan kepada orang tua kita, kepada orang2 sepadukuhan dan kepada anak2 muda yang lain." "Ya. orang tua kita akan malu. Kita akan menanggung akibat kemarahan orang2 tua kita dan tetangga2 kita." "Omong kosong. Kita dapat membungkamnya untuk selama2nya. Kalau kita tidak memerlukannya lagi, kita dapat membunuhnya." "Apakah kau yakin ?" Anak muda yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. "Aku mengerti apa yang dikatakannya." berkata yang gemuk. "Apakah kalian takut melawan gadis yang hanya seorang diri itu meskipun ia membawa pedang?" Tidak ada yang menjawab. Memang sulit.untuk mengakui didalam hati sekalipun, bahwa mereka segan menghadapi gadis yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri yang begitu tinggi. "Baiklah" berkata anak yang tinggi kekar itu "kalau kalian takut, aku sendirilah yang akan menangkapnya. Tetapi ia akan menjadi milikku sendiri pula. Kalian tidak boleh menuntut apapun nanti." Kawan2nya masih tetap berdiam diri, "Lihatlah, aku akan menangkapnya." berkata anak muda yang tinggi itu. Sejenak kemudian iapun berlari-lari menyusul Puranti yang masih tampak dari depan-regol halaman meskipun sudah agak jauh.
45 "He, gadis manis" teriak anak muda yang tinggi "tunggu sebentar. Aku ingin berbicara" Puranti yang mendengar teriakan itu berhenti sejenak. Ketika ia berpaling dilihatnya seorang di antara, anak2 muda itu menyusulnya dengan ter-gesa2. "Tunggu" berkata anak muda itu. "Apa lagi yang akan kita bicarakan?" bertanya Purani ketika anak muda itu menjadi semakin dekat "apakah kau memerlukan sesuatu?" "Aku ingin berbicara sedikit" sahut anak muda itu. Puranti menunggu anak muda itu semakin dekat. Tetapi ia tetap waspada karena sorot mata anak muda yang membara itu. Ternyata dugaan Puranti tidak. salah. Tanpa berkata apapun juga anak muda itu langsung menerkam Puranti. Puranti tidak menghindar. Dibiarkannya anak muda itu berusaha mencengkam lengannya. Namun sebelum jari2 anak muda itu berhasil menangkap lengan Puranti, tangan Purantilah yang mendahului menangkap tangan anak muda itu. Kemudian memilinnya kebelakang dan menekan punggungnya. "O, oh" anak muda yang tidak menyangka sama sekali itu berteriak kesakitan. "Aku dapat mematahkan tanganmu." "Jangan, jangan." "Kau tidak dapat melarangku, karena kau sudah menyerang aku lebih dahulu. Aku dapat membuat wajahmu yang tampan ini menjadi cacat sebagai pertanda bahwa kau telah sering melakukan kejahatan tanpa diketahui oleh orang tuamu."
46 "Jangan, jangan." "Aku tidak peduli." "Tunggu, tunggu. Aku berjanji untuk tidak melakukannya lagi" "Cukup begitu?" "Dan, dan, aku akan menurut apa perintahmu. Tetapi jangan kau patahkan tanganku dan jangan kau buat aku cacat." "Berjanjilah, bahwa kau tidak akan ingkar lagi." "Aku berjanji, aku bersumpah." "Baik. Aku akan melepaskan kau. Tetapi kau harus bersedia menghentikan segaia perbuatanmu yang terkutuk. Mengembalikan semua benda yang kau timbun, hasil kerjamu yang tidak sesuai dengan peradaban dan tata kehidupan manusia. Kalau kau tidak dapat mengingat lagi, siapakah yang memilikinya, maka kau dapat menyerahkannya kepada para bebahu padukuhan atau Kademanganmu. Harta itu akan bermanfaat bagi masyarakatmu, dan yang masih mungkin akan dikembalikan kepada pemiliknya." "Ya, ya." "Kau berjanji ?" "Aku bersumpah. "Baiklah. Lakukanlah. Ingat, aku akan datang ketempat ini bahkan kepadukuhan kalian. Ketahuilah, aku adalah seorang Senapati dari pasukan khusus dari Kerajaan Demak." "He" mata anak muda itu terbelalak. Meskipun ia belum pernah mendengar bahwa di Demak ada pasukan prajurit yang khusus terdiri dari perempuan2, namun melihat kenyataan itu, ia tidak dapat membantah. Ia benar2 tidak berdaya menghadapi satu saja diantaranya.
47 "Perempuan ini seorang Senapati" desisnya didalam hati. "Pergilah" berkata Puranti sambil melepaskan tangan anak muda itu sambil mendorongnya."Ingat, aku akan datang bersama beberapa orang anak buahku. Tergantung kepadamu selama ini. Kalau kau masih melakukannya, dalam bentuk apapun juga, aku tidak akan segan2 membunuh kalian." Anak muda yang terdorong itu, ter-huyung2. Kemudian setelah sekali berpaling, iapun segera berjalan ter-gesa2 meninggalkan Puranti. Puranti masih memandang anak muda itu sejenak. Kemudian kawan2nya yang berdiri di kejauhan. Per-lahan2 ia bergumam "Mudah2an mereka menyadari kesalahan mereka. Pada suatu kesempatan, aku harus memberitahukan kesalahan ini kepada keluarganya, supaya kesesatan mereka tidak menjadi semakin jauh." Purantipun kemudian meninggalkan mereka dengan pertanyaan yang tidak terjawab. Kenapa didalam pergaulan manusia beradab,. masih juga ada anak2 muda yang berbuat demikian" Namun Puranti tetap berpengharapan, bahwa pada saatnya anak2 itu, akan menyasali perbuatannya dan menghentikannya. Meskipun demikian Puranti merasa terganggu juga. Ia harus menebus keterlambatannya. Karena itu, maka ia mempercepat langkahnya. Ia tidak menghiraukan lagi panas yang menyengat tubuhnya. Matahari semakin lama menjadi semakin rendah. Apabila Puranti menemukan padukuhan, iapun selalu ber-tanya2, manakah jalan yang menuju kesebelah Timur Gunung Merapi. Tetapi Puranti tidak dapat mencapai tujuannya pada hari itu juga. Ia masih diperjalanan ketika matahari kemudian lenyap dibalik punggung pegunungan.
48 Meskipun demikian Puranti tidak segara berhenti. Ia masih berjalan beberapa lama, karena ia ingin mendahului kedatangan Pikatan dan kawan2nya. Tetapi Puranti tidak dapat berjalan terus. Ketika malam menjadi semakin gelap, maka iapun berhenti untuk beristirahat. Seperti kebiasaannya, Puranti memanjat sebatang pohon dam duduk diatas sebatang dahan yang besar. Sebelum fajar, ia sudah melanjutkan perjalanannya. Ketika ia menjumpai sebuah mata air dipinggir hutan, maka iapun mencuci mukanya dan membasuh tangannya. "Aku harus mendahului mereka" desisnya. Karena itu, maka iapun mempercepat langkahnya. Ia tidak tahu pasti, kapan ia sampai ditempat yang ditujunya, karena ia belum mengetahui letaknya dengan pasti. Tetapi ia dapat menghitung bahwa sedikit lewat tengah hari, ia akan sampai. Ketika Puranti melewati sebah padukuhan kecil, maka iapun bertanya kembali, apakah jalan yang dilaluinya adalah benar jalan yang menuju ke Randu Putung. "Apakah kau akan pergi ke Randu Putung ngger?" bertanya seorang tua berambut putih. "Ya paman. Aku akan menengok keluargaku yang bertempat tinggal di Randu Putung " "Seorang diri ?" Puranti mengangguk. "Meskipun aku heran melihat kau dengan pakaianmu yang aneh ini ngger, tetapi aku ingin memberimu sedikit peringatan. Jalan ke Randu Putung dari arah ini adalah jalan yang berbahaya. Memang benar, jalan yang kau lalui ini adalah jalan yang menuju ke Randu Putung. Tetapi sebelum kau sampai ke Randu Putung, kau harus rnelampaui daerah sekitar Goa Pabelan."
49 Puranti mengerutkan keningnya. Memang jawaban inilah yang, ditunggunya. "Apakah goa itu berbahaya" Apakah ada binatang buas yang bersarang disana?" "Jauh lebih berbahaya dari binatang buas ngger." "Apa yang ada di dalam goa itu paman ?" Orang tua itu tar-mangu2 sejenak. Namun, sambil menelan ludahnya ia menggelengkan kepalanya "Tetapi sebaiknya kau mengambil jalan lain. Kembalilah beberapa ratus langkah, kau akan sampai pada sebuah simpang tiga. berbeloklah kekanan. Jalan itu akan sampai juga ke Randu Putung meskipun agak jauh. Barangkali dua kali lipat dari jalan yang kau tempuh sekarang. Tetapi jalan itu jauh lebih aman dari jalan yang kau lalui ini." Puranti meng-angguk2kan kepalanya. Tetapi ia menjawab "Bibiku sedang sakit. Aku harus segera sampai ke Randu Putung." "Tempuhlah jalan yang paling aman itu." "Tetapi aku akan terlambat." "Lebih baik terlambat. Kalau kau ambil jalan ini, kemungkinan terbesar, kau tidak akan pernah sampai ka Randu Putung." "Aku mengharap, bahwa kemungkinan yang sangat kecil itulah yang akan aku jumpai. Aku akan sangat ber-hati2 dan bersembunyi sampai aku rnelampaui goa yang paman sebutkan itu." Tetapi orang tua itu menggelangkan kepalanya "Kalau aku tidak salah lihat, meskipun kau berpakaian seperti itu, tetapi kau adalah seorang perempuan. Apakah yang dapat kau lakukan, kalau kau bertemu dengan salah seorang dari penghuni goa itu" Aku kira, kau akan mengalami bencana
50 yang tidak ada taranya. Pedang dilambungmu itu tidak akan berarti apa-apa bagi mereka." "Siapakah mereka itu paman ?" Orang tua itu menggelangkan kepalanya "Aku harap kau mendengarkan nasehatku. Aku sudah tinggal disini sejak aku kanak-kanak. Aku tahu benar apa yang sudah terjadi disini. Sebelum :goa itu berpenghuni, aku memang sering pergi ke daerah disekitarnya. Tetapi sekarang tidak." "Terima kasih atas petunjuk paman." "Kembalilah. Kalau kau berjalan terus, aku tidak akan dapat tidur untuk beberapa malam, karena aku akan selalu dibayangi oleh nasibmu yang mengerikan." Puranti ter-mangu2 sejanak. Tetapi ia tidak sampai hati menyakiti hati laki2 tua itu. Karena itu maka katanya "Baiklah paman, aku akan kembali. Aku akan mengambil jalan yang paling aman." "Bagus. Bagus ngger. Tetapi apakah aku boleh bertanya, siapakah kau sebenarnya, dan kenapa kau berjalan seorang diri dengan pakaian yang aneh?" "Rumahku jauh sekali paman. Aku berpakaian laki2, supaya perjalananku aman. Kalau aku berpakaian seperti seorang gadis, maka bahaya diparjalanan akan menjadi semakin banyak. Mungkin seorang laki2 yang berpapasan akan menaruh perhatian meskipun aku seorang gadis yang jelek." Laki2 itu meng-angguk2kan kepalanya. Siapakah namamu?" ia bartanya. Puranti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab "Sumi. Namaku Sumi paman." Laki2 itu meng-angguk2 dan meng-angguk2. Lalu katanya "Meskipun kau berpakaian seperti seorang laki2, tetapi aku
51 tahu bahwa kau seorang perempuan. Begitu juga agaknya setiap orang yang kau jumpai diparjalanan." "Belum tentu paman. Kalau aku tidak berbicara, mungkin paman tidak mengenal aku sebagai seorang perempuan." Laki2 itu tidak menyahut. Tetapi keheranan, yang dalam terbayang dimatanya yang cekung. "Sudahlah paman, aku akan meneruskan perjalanan. Aku akan menempuh jalan yang paman tunjukkan." "Hati2 ngger. Hati2lah." Purantipun kamudian melangkah kembali. Tetapi ketika ia sampai disebuah tikungan, iapun segera meloncat masuk kedalam semak-semak. Sambil meng-endap2 ia berjalan melintasi orang tua yang masih berdiri dipinggir jalan, dan sama sekali tidak menyangka bahwa Puranti telah melampauinya. Demikianlah, maka Puranti meneruskan perjalanannya menuju ke Goa Pabelan. Kini diketahuinya, bahwa goa yang dicarinya itu sudah tidak begitu jauh lagi, sehingga dengau demikian, ia memang harus bar-hati-hati. Dari ayahnya ia mendapat gambaran tentang Goa Pabelan. Goa yang tersembunyi di sebuah jurang sungai yang curam. Meskipun sungai itu sendiri bukan sungai yang besar, karena aliran airnya yang gemereik diatas bebatuan tidak lebih sedalam mata kaki, tetapi tebing disebelah manyebelah, dan daerah yang jarang dikunjungi orang. Gerumbul2 perdu yang liar bertebaran disepanjang tanggul yang dibuat oleh alam. Batu2 besar berserakan didasar sungai, maupun diatas tebing. Batu2 yang dilemparkan dari mulut Gunung Merapi di-saat2 gunung itu marah.
52 Ketika Puranti sampai kedaerah yang mulai berpasir, ia menjadi semakin ber-hati2. Ia harus mencari sebuah gumuk kecil yang berbatu putih ke-hitam2an. Diatas gumuk itu tumbuh pepohonan liar dan batang2 kayu berduri. Diantara pohon2 liar itu terdapat sepotong pohon benda yang sudah tua. "Kalau pohon benda itu masih ada." pesan ayahnya waktu itu "kau dapat mempergunakannya. Daerah disekitar goa itu tampak dari atas pohon benda itu." "Apakah ayah pernah memanjat ?" "Ya" ayahnya meng-angguk2kan kepalanya "tidak aku sengaja. Sebelum goa itu dihuni oleh perampok2 itu, maka goa itu menjadi tempat untuk manyepi. Goa itu adalah goa yang dalam. Beberapa puluh langkah terdapat ruangan yang agak luas. Seperti telah direncanakan, sebuah lubang menembus sampai keatas permukaan tanah di-sela2 dua buah bukit kecil diatas tebing sungai Sedang lubang yang masuk kedalam, kemudian menukik seperti sumur. Disebuah ruangan sempit dibawah sumur itulah orang-orang yang mempercayainya rnenyepi, mohon berkah dan ber-macam2 kainginan. Selanjutnya tidak seorangpun yang tahu, lubang goa itu akan sampai kemana. Ada yang mengatakan, bahwa Goa Pabelan berhubungan dengan laut Salatan." Puranti meng-angguk2kan kepalanya. Ia harus menemukan bukit kecil itu. Dari bukit kecil itu, ia akan dapat melihat, apa yang terjadi disekitar Goa Pabelan yang terletak ditebing yang curam dari sebatang sungai kecil. Demikianlah, maka semakin dekat, Puranti menjadi semakin ber-hati2. Ia sadar, bahwa yang dihadapi adalah segerombolan orang2 yang sangat berbahaya. Apalagi ketiga pemimpinnya. Dua dari mereka adalah kakak beradik yang mendapat sebutan sepasang hantu bertangan api.
53 Akhirnya Puranti menemukan tanda2 seperti yang dikatakan ayahnya, bahwa ia sudah berada didekat daerah yang berbahaya, disekitar Goa Pabelan. Beberapa tanda sudah diketemukan. Dan seperti kata ayahnya, daerah itu tidak berpenghuni. Padukuhan yang terakhir ternyata telah dilampauinya. Kini ia Derada didaerah yang tandus, yang tidak lagi dapat dijadikan tanah persawahan. Namun demikian, batang2 perdu dapat tumbuh dengan liarnya diantara batu2 besar, sebasar kerbau. Batang Malang tumbuh tersebar didaerah yang luas. Puranti berhenti sejenak. Panas matahari telah membakar tubuhnya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Bahkan ia tidak memperhatikan lagi, bahwa tengah hari telah lewat beberapa lamanya. Diatas sebuah bukit kecil, dilindungan dedaunan Puranti mengamati daerah sekitarnya. Memang seperti kata ayahnya, bukit2 kecil berserakan disana-sini. Dada gadis itu menjadi ber-debar2 ketika ia melihat sebatang pohon benda yang besar, diatas sebuah bukit padas yang putih ke-hitam-hitaman. "Itulah gumuk kecil yang disebut ayah " berkata Puranti didalam hatinya. Namun demikian, ia semakin sadar, bahwa ia sudah berada di daerah yang berbahaya. Daerah sepasang hantu bertangan api beserta anak buahnya. "Mudah2an aku mendahului kakang Pikatan bersama kawan2nya desisnya. Dengan hati2 Puranti merayap maju. Pepohonan yang rimbun dihadapannya pastilah pepohonan liar yang tumbuh diatas tebing sungai kecil yang curam itu. Sedang goa yang dicarinya berada di tebing itu pula.
54 Dengan penuh kewaspadaan Puranti berusaha mencapai bukit padas yang ditunjukkan oleh ayahnya. Setiap kali ia berhenti di balik dedaunan. Bukan saja karena ia berlindung dari sengatan terik matahari, tetapi juga berusaha untuk tidak segera diketahui oleh orang lain apabila seseorang berada disekitar tempat itu pula.. Selangkah demi selangkah Puranti maju. Namun lapangan perdu yang kering itu terlampau sepi. Agaknya memang tidak ada seorangpun yang sering datang ketempat itu, sehingga kayu yang berserakan tidak seorangpun yang memungutnya. Tetapi Puranti ternyata keliru. Setiap kali ada saja tangan2 yang memungut kayu2 kering yang berserakan, meskipun tidak begitu banyak. Mereka bukan pemungut kayu yang menjualnya kepadukuhan untuk memanasi perapian, kadang2 untuk membakar barang pecah belah, tetapi mereka mengambil kayu bakar sekedar untuk keperluan mereka sendiri. Orang2 yang mengambil kayu itu ada lahorang2 yang tinggal di Goa Pabelan. Namun demikian, langkah Puranti tertegun. Tanpa disengajanya, ketika ia menundukkan kepalanya, dilihatnya bekas telapak kaki seseorang. Meskipun sudah tidak begitu jelas, namun Puranti segera dapat mengenalnya, bahwa daerah ini pernah dikunjungi orang. Tetapi lebih dari itu. Bekas telapak kaki itu telah memberinya peringatan, agar ia sendiri harus ber-hati2 dengan jejaknya. "Ada juga orang yang sampai ketempat ini" gumam Puryanti. Tetapi iapun segera menyadari, bahwa agaknya orang2 dari Goa Pabelan itulah yang kadang2 mencari kayu bakar sampai ke tempat ini. "Mustahil kalau ada orang lain" ia mencoba meyakinkan pendapatnya. Purantipun kemudian mengambil sebatang ranting dan berdaun lebat. Dengan ranting itu ia berusaha menghapus
55 jejaknya. Meskipun ia maju semakin lambat, namun ia telah berhasil memutuskan arah perjalanannya seandainya ada orang yang mengikuti jejaknya. Meskipun lambat, akhirnya Puranti berhasil juga mendekati bukit padas putih yang kehitam-hitaman. Dengan hati. yang ber-debar2 iapun kemudian berhenti sejenak, dibawah lindungan bayang2 perdu liar. Matahari rasa2nya menjadi semakin panas. Sedang leher Puranti benar2 terasa kering. "Haus sekali" desisnya. Tetapi ia tidak berani pergi ke sungai yang tidak begitu jauh untuk mengambil air, betapapun ia dicengkam oleh perasaan haus. Sejenak Puranti beristirahat. Kemudian dengan hati2 dan penuh kewaspadaan ia mendaki lereng bukit kecil yang tidak seberapa tinggi. 1 Keinginannya untuk mengetahui, apakah Pikatan dan kawan2-nya sudah datang, tidak dapat di cegahnya lagi, sehingga dengan hati2 ia berusaha untuk berdiri di bagian tertinggi dari bukit kecil itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat mulut Goa Pabelan. "Aku harus memanjat." Namun memanjatpun Puranti. tidak berani. Ia tidak tahu, apakah orang2 dimulut goa itu berada di dalam atau di luar goa. Kalau mereka berada diluar, maka mereka akan melihat di kejauhan seseorang yang bukan dari lingkungannya telah memanjat sebatang pohon benda. "Nanti malam aku akan memanjat" katanya didalam hati, tetapi segera dijawabnya sendiri "apakah yang dapat aku lihat dimalam hari dari jarak yang sejauh ini?" Puranti mengerutkan keningnya. Kemudian ia hanya dapat duduk bersandar pohon benda tua itu. Angin yang sejuk telah menvapu rambutnya. yang kusut. Sehelai2 bergetar menyentuh keningnya. Betapa terik
56 matahari membakar pasir dan batu yang berserakan, namun di bawah bayangan pohon yang rimbun itu, rasa2-nya Puranti seperti dibelai oleh tangan2 yang lembut di masa kanak2. Tetapi betapapun perasaan kantuk mencengkamnya, namun Puranti tidak ingin tertidur karenanya. Ada dua golongan yang harus diawasinya. Orang2 yang tinggal di Goa Pabelan dan Pikatan bersama kawan2nya. Ia tidak ingin mengganggu atau diganggu oleh kedua pihak itu sebelum ia sendiri memutuskan bahwa waktunya telah tiba. Kalau tidak perlu, maka iapun tidak akan berbuat apa2, selain menjadi seorang penonton. Tetapi betapa menjemukan sekali. Puranti tidak tahan duduk bersandar sebatang pohon tua tanpa berbuat apa2 sambil menunggu. Bahkan kemudian ia bertanya didalam hatinya "Apakah aku tidak terlambat" Sementara aku menunggu disini, kakang Pikatan dan kawan2nya telah kembali ke kota, atau ..." Puranti mengerutkan keningnya. Tiba2 saja dadanya berdesir. Ia sadar, bahwa orang2 yang tinggal di Goa itu bukan orang kebanyakan. Bukan perampok2 kecil yang terdiri dari anak2 muda yang nakal seperti yang baru saja ditemuinya di perjalanannya. Tetapi perampok2 itu adalah perampok2 yang telah menyerahkan hidup matinya pada pekerjaan terkutuk itu. "Tidak. Siapapun yang kalah atau menang, tetapi tidak akan dapat selesai dalam waktu yang begitu pendek. Seandainya Pikatan mendahului aku, dan mereka telah terlibat dalam pertempuran dengan orang2 di Goa Pabelan, maka pertempuran itu pasti belum selesai, karena kedua belah pihak mempunyai kelebihannya masing-masing" Puranti mencoba menenangkan hatinya sendiri. Meskipun demikian ia masih saja tetap gelisah Per-lahan2 ia berdiri dan melangkah maju menyusup kedalam gerumbul liar yang tumbuh dibukit itu. Dari sela2 dedaunan ia memandang kegerumbul diatas tebing sungai.
57 Tiba2 dadanya berdesir. la melihat dedaunan yang bergerak2. Kemudian ia melihat dua orang tersembul dari balik dedaunan yang ber-gerak2 itu. Puranti rasa2nya telah membeku di tempatnya. Tanpa sengaja ia telah melihat orang2 yang dicarinya. Menilik sikap dan pakaian mereka, orang2 itu pasti penghuni Goa Pabelan. "Kemungkinan yang manakah yang telah terjadi?" ia bertanya kepada diri sendiri "apakah Pikatan belum datang, apakah ia dan kawan2nya telah dihancurkan." Sekali lagi ia membantah "Seandainya demikian, pasti tidak akan secepat itu." Dengan tajamnya Puranti mengamati kedua orang itu. Mereka melangkah dengan segannya diatas pasir yang panas. Sekali2 mereka ineloncat keatas rerumputan yang kering. Puranti menarik nafas dalam2. Dan akhirnya yakinlah ia bahwa telapak kaki yaag dilihatnya itupun pasti telapak kaki orang2 dari Goa Pabelan yaug sedang mencari kayu bakar. Karena kedua orang itupun kemudian memunguti beberapa batang ranting yang kering. Dari atas bukit kecil itu Puranti melihat kedua orang itu semakin lama menjadi semakin kecil Kadang2 hilang dibalik gerumbul perdu, namun kemudian dilihatnya lagi berjalan diterik matahari yang menjadi semakin condong ke Barat. Dada Puranti berdesir ketika ia melihat orang2 itu terbungkuk2. Meskipun kedua orang itu tampaknya tidak lebih dari sejengkal, tetapi Puranti dapat melihat bahwa keduanya sedang mengamati sesuatu. "Jejak kakiku" desis Puranti. Namun merka berjalan semakin lama semakin jauh sehingga tampaknya mereka menjadi semakin kecil diantara pebukitan dan alam yang luas di sekitar mereka.
58 Tetapi ternyata Puranti tidak mengetahui bahwa orang itu sebenarnya sedang menelusuri jejak kakinya. Mereka ingin melihat darimana arah kaki itu datang. Sebenarnya bahwa kedua orang itu melihat bekas kaki Puranti. Tetapi bekas kaki itu seolah-olah menghilang dibalik sebuah gerumbil. "Bekas kaki anak2 kita yang mencari kayu. Semalam mereka menyalakan perapian" desis salah seorang dari mereka. Yang lain merenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng "Bukan anak-anak kita" "Marilah kita libat, kemana jejak. kaki ini pergi" "Jejak ini mengliilang. Sekarang, marilah kita lihat, dari mana jejak ini datang. Kita akan dapat menentukan, apakahi jejak ini jejak kawan kita." Keduanyapun kemudian berjalan menyelusur jejak kaki itu. Semakin lama semakin jauh dari bukit padas putih, tempal Puranti memandang keduanya itu. "Jejak ini datang dari luar" desis salah seorang dari keduanya. "Apakah ada seseorang yang ingin melihat Goa Pabelan?" "Atau sengaja menyelidiki kita?" Kawannya merenung sejenak. Tetapi kemudian ia berkata "Tidak. Tidak ada orang yang menaruh perhatian atas kita disini. Atau katakan tidak ada orang yang berani mendekati kita, apalagi dengan niat yang tidak baik. Seandainya orang ini sengaja datang ketempat ini karena kita disini, ia pasti tidak akan datang seorang diri. Jejak kaki ini adalah jejak kaki seseorang saja." "Jadi ?"
59 "Kalau ada orang yang lewat daerah ini. ia pasti seseorang yang tersesat. Atau seseorang yang dengan terpaksa sekali mencari kayu; bakar yang banyak terdapat disini." "Dihutan rindang disebelah sungai itupun banyak terdapat kayu bakar." "Tetapi potongan2 kayu yang besar. Kalau yang datang anak2 atau perempuan. mereka memerlukan kayu yang kecil dan ringan." Kawannya terdiam sejenak. Tetapi terasa sesuatu masih tersangkut dihatinya. Katanya kemudian "Siapapun yang datang. marilah, kita coba menyelidikinya. Mungkin seorang yang tersesat seperti yang kau sangka, dan padanya terdapat sesuatu yang berharga. Bekas ini pasti bekas yang belum terlampau lama." "Kita kehilangan jejak kalau kita akan menyusulnya." "Kita belum menyelidiki lebih saksama. Mungkin kita belum menemukannya saja, karena jejak itu sudah terturup oleh pasir karena angin yang agak kencang." Yang seorang agaknya segan memenuhi ajakan kawannya itu. Karena itu maka katanya "Sudah terlampau jauh. Kita akan kehilangan banyak waktu yang sia-sia." Akhirnya yang lainpun mengurungkan niatnya pula "Baiklah. Kita segera kembali membawa kayu bakar. Namun demikian jejak itu merupakan sesuatu yang menarik bagi kita. Mungkin Ki Lurah berpendapat lain dengan jejak itu." "Kita akan menyampaikannya." Puranti masih memandangi kedua orang itu, .yang kemudian memungut beberapa potong kayu yang berserakan. Kemudian sambil menjinjing kayu kering itu, mereka kembali kearah mereka muncul dari balik gerumbul.
60 Puranti .menarik nafas dalam2. Ia mengira bahwa persoalan jejak kakinya sudah selesai, sehingga karena itu, maka iapun segera duduk kembali dibawah pohon benda yang rimbun itu. "Nanti malam aku akan memanjat" tiba2 ia berdesis "dan aku tidak.akan turun sampai besok pagi. Mereka tidak akan melihat aku dirimbunnya daun benda ini dari jarak yang jauh, tetapi aku akan.dapat melihat lubang Goa Pabelan itu." Tanpa sesadarnya Puranti berdiri lagi. Dirabanya batang benda tua yang besar itu. Katanya "Sulit untuk memanjat pohon sebesar ini. Untunglah batangnya yang kasar pasti akan dapat membantu." Sambil meraba2 batang benda itu Puranti bergeser mengitarinya. Namun ia terkejut ketika tanpa dikehendaki ia memandang kekejauhan. Tiba2 saja ia melihat beberapa orang tersembul dari balik gerumbul, tepat ditempat kedua orang yang pertama muncul. "Lima orang" desis Putanti yang segera berlindung dibalik dedaunan. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi Puranti segera mengenal salah seorang dari mereka. Seperti yang dikatakan ayahnya, salah seorang dari ketiga pemimpin ke lompok perampok itu adalah seorang laki2 jangkung, yang agak ke-kurus2an. Berkumis tebal dan sedikit agak timpang meskipun tidak mengganggu. Puranti meng-angguk2kan kepalanya."Pasti orang itulah yang dimaksud ayah. Dari mana ayah mengetahuinya". Apakah ayah pernah berhubungan dengan mereka?" Dengan dahi yang berkerut Puranti memandang orang2 yang kemudian berjalan dengan ter-gesa2 itu. Barulah kemudian Puranti menyadari, bahwa ternyata jejak kakinya telah menjadi persoalan bagi orang2 yang menghuni Goa Pabelan itu.
61 "Hem" Puranti menarik nafas "mereka menyelediki jejak kaki itu. Untunglah aku cepat menyadari. Tetapi bahwa seseorang telah hadir disekitar Goa Pabelan, pasti akan menarik perhatian mereka. Mungkin mereka akan menyebar orang2nya untuk mecari. Satu atau dua orang dari mereka pasti akan segera datang kemari." Tanpa sesadarnya Puranti mengadahkan wajahnya kelangit Matahari yang menjadi semakin rendah melontarkan sinarnya yang mulai ke-merah2an. "Mudah2an hari segera menjadi gelap" desisnya. Dengan dada yang ber-debar2 Puranti memadang orang2 yang terbungkuk2 mengamati jejaknya. Di kejauhan. Agaknya mereka sedang berbincang. Kemudian merekapun berdiri dan berjalan kearah yang berlawanan Yang dua orang berjalan kearah yang berlawanan dari arah jeak kaki itu, sedang yang tiga orang agaknya berusaha menemukan kelanjutan dari jejak itu. "Kalau ketiga orang itu sampai disini, apaboleh buat" berkata Puranti kepada diri sendiri. Meskipun ia sadar, bahwa orang2 yang menghuni Goa Pabelan bukanlah orang2 kebanyakan, sehingga untuk melawan dua atau tiga orang sekaligus, pasti harus diperhitungkannya masak2. "Apa aku harus lari?" ia bergumam. Tetapi Puranti menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku akan tetap disini. Mereka tidak akan sampai. kemari." Namun dalam pada itu, tiga orang yang menyelusuri jejaknya, menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka. Mereka melihat sentuhan dedaunan diatas pasir. "Ha" berkata orang jangkung berkumis lebat "orang yang bodoh itu berusaha menghapus jejaknya. Lihat, bekas dedaunan yang menyapu pasir ini menuju kearah yang sama dengan bekas telapak kaki yang tiba2 hilang."
62 Kedua kawannya meng-angguk2kan kepalanya. "Cepat, sebelum matahari terbenam." Ketiganya berusaha untuk menyelusuri jejak itu lebih cepat. Mereka berjalan beriringan sambil menundukkan kepala. Kini Puranti benar2 menjadi gelisah. Ternyata orang jangkung itu dapat mengenal, meskipun ia sudah berusaha menghapus jejaknya dengan dedaunan. Namun kemudian orang yang jangkung dan kedua kawannya berhenti. Langkah yang diikutinya kini sampai keatas batu2 padas yang keras, sehingga terlampau sulit baginya Untuk mengetahui kemanakah perginya jejak yang sedang diselusurinya. "Tetapi orang itu pergi ke arah ini. Ia pasti berada disekitar pebukitan ini." Kedua kawan2nya masih meng-angguk2kan kepalanya. Tetapi hampir berbareng ketiganya memandang matahari yang sudah bertengger dipunggung gunung, sehingga orang jangkung itu berkata "Sebentar lagi hari akan menjadi gelap. Sediakan obor kita akan mencari terus." Kedua orang kawannya itupun kemudian mencari ranting2 kecil. Segenggam ranting2 kecil itu pun kemudian diikatnya dengan lulur kayu yang dipatahkannya dari sebatang perdu. Melihat hal itu Puranti sadar bahwa mereka akan mencari terus, meskipun sebentar lagi malam akan turun. "Tetapi mereka tidak akan dapat menemukan aku disini. Jejak itu akan benar2 tidak dapat dicari lagi diatas padas yang keras. Apalagi malam hari" Namun dalam pada itu, orang yang jangkung Itu berkata " Kita cari sampai kita menemukan nya. Kita daki semua bukit2 kecil disekitar tempat ini. Hanya orang yang mempunyai niat sesuatu sa-jalah yang dengan sadar mendekati daerah Goa
63 Pabelan. Ternyata orang yang kita cari adalah orang yang mengerti, bahwa kita ada disekitar tempat ini. Ternyata orang itu sudah berusaha untuk meng hapus jejaknya." Demikianlah, maka peneaha rian' itupun segera dimulai. Mereka sudah tidak mempunyai pegan gan arah lagi. karena mereka tidak dapat menemukan jejak kaki Ketiga orang itupun kemudian hilang dari pandangan mata Puranti karena ketiganya kemudian menyusup gerumbul2 dan berjalan dibalik pebukitan. Selagi Puranti mencoba menilai keadaan, ia melihat dua orang yang lain telah kembali pula. Ag aknya mereka mendapat perintah yang sama pula. Mencari sampai ketemu. Puranti yang menjadi semakin ber-debar2 hanya dapat menunggu apa yang akan terjadi. Namun ia kini menjadi semakin was-pada. Orang yang jangkung dan agak timpang itu dapat saja, tiba2 muneul dihadapan atau dibelakang nya, karena ia tidak dapat menga-wasinya. Demikian juga kedua or ang yang lainpun segera hilang pula dibalik gerumbul dan pebukitan yang semakin dekat. Dengan sepenuh kewaspadaan Puranti terpaksa bersembunyi didalam semak2 diatas^bukit padas putih yang ke-hitam2an. Dalam pada itu ia berdoa, agar matahari segera terbenam sebelum orang yang mencarinya sampai ketempat itu. Per-lahan2 matahari turun kebalik bukit. Sinarnya yang kemerah2an masih menyangkut diujung pepohonan yang tinggi. Namun kemudian se-olah2 terbang hinggap dibibir awan putih yang mengalir dilangit oleh angin senja yang lembut. Hati Puranti semakin lama menjadi semakin dingin. Bukan saja kerena udara menjadi bertambah sejuk tetapi per-lahan2 pula malam yang hitam mulai turun diatas pebukitan kecil disekitar Goa Pabelan.
64 Tetapi hatinya yang dingin itu mulai tergetar lagi ketika ia kemudian melihat warna merah tersembul diantara lekuk pebukitan kecil itu. Segera Puranti mengetahui, bahwa warna itu adalah warna api. obor orang2 yang sedang mencarinya. Dua orang dan orang yang jangkung itu. Namun demikian, Puranti justru mengetahui dimana mereka kini berada. Kecemasannya kembali merayapi hatinya, karena Puranti melihat cahaya obor itu berjalan kcarahnya. Apalagi sejenak kemudian obor yang lainpun telah menyala pula. Obor dari dua orang kawan mereka yang memisahkan diri. Ternyata kedua obor yang jaraknya tidak begitu jauh itu, sama2 menuju ke ternpatnya bersembunyi. "Mereka menuju kemari " desis Puranti. Ada niatnya untuk poigi bersembunyi menjauhi obor2 itu. Tetapi niatnya diurungkannya. Bahkan kemudian ia rneraba2 pehon benda itu sambil berdesis "Aku akan bersembunyi dibalik daunmu yang rindang. Kau harus menolong aku. Bukankah kau tidak berkeberatan." Puranti menepuk batang tua itu, kemudian setelah membenahi pakaiannya dan melekatkan pedangnya ditubuhnya, ia mulai memanjat. Seandainya ada orang yang melihatnya, maka tidak akan menduganya bahwa yang sedang memanjat itu adalah seorang gadis. Ternyata Puranti benar2 cekatan. Obor itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi agak nya mereka tidak mau memanjat bukit2 kecil. Mereka berjalan di-sela2 bukit dan gerumbul. Sejenak kemudian Puranti telah duduk diatas sebatang dahan yang besar. la kini merasa telah terlindung dari cahaya obor itu seandainya orang2 itu mencarinya sampai ke bukit kecil ini. "Aku tidak mengira bahwa penghuni Goa Pabelan adalah orang2 yang bodoh. Dengan obor itu, maka orang yang
65 dicarinya akan dapat menyembunyikan dirinya sebelum ia mendekat Tetapi alangkah terkejut gadis itu, ketika ia mendengar bunyi gemerisik dibawah pohon benda itu. Karena itu, maka Purantipun segera menelungkup, melekatkan diri pada dahan yang besar itu. Dada gadis itu menjadi berdebar2 ketika ia melihat sebatang pohon benda yang besar, diatas sebuah bukit yang putih kehitam-hitaman. Dengan matanya yang tajam, Puranti berhasil melihat dua orang yang kini berdiri dibawah pohon benda itu. Dua orang yang bersenjata telanjang. "Disinipun tidak ada" desis salah seorang dari mereka. "Ya, kita sudah mengelilingi daerah ini. Agaknya orang itu sudah jauh. Orang itu hanyalah sekedar lewat. Ketika ia sadar bahwa daerah ini daerah yaug mereka anggap berbahaya, maka iapun baru mencoba menghapus jejaknya" "Memang mungkin demikian." "Kalau begitu, marilah kita kembali." Sejenak tidak ada jawaban. "Apakah kita masih akan mencari terus ?" "Aku kira tidak. Tetapi pengawasan didaerah ini harus diperkuat. Mungkin jejak itu jejak orang lewat, tetapi mungkin pula bukan sekedar orang yang tersesat" "Ya. Kita akan mengirim pengawas." "Kenapa kita ?" "Maksudku, kita akan menganjurkan kepada Ki Lurah." Tidak terdengar jawaban. "Marilah." Keduanyapun kemudian meninggalkan bukit padas itu.
66 Setelah Puranti tidak mendengar apapun lagi, barulah ia menarik nafas dalam2. Katanya didalam hati "Ternyata bukan mereka yang bodoh, teiapi aku. Agaknya sengaja mereka memasang obor itu, agar orang yang mereka cari menyangka, bahwa orang yang mencarinya "berada bersama obor itu. Tetapi ternyata orang yang lain telah, memisahkan diri, dan mencari dengan teliti di dalam kegelapan Tetapi Puranti tidak berani segera turun. Meskipun malam semakin gelap, tetapi masih ada kemungkinan, orang2 yang mencarinya datang kembali. Karena itu, maka ia memutuskan, untuk tetap berada diatas pohon itu. Biarlah aku tetap disini. Besok seharian aku juga harus tetap berada disini. Puranti menelan ludahuya. Perasaan haus mulai mengganggunya lagi. "Tidak ada kesempatan me ncari air." katanya didalam hati Namun lehernya benar2 terasa kering. Ia tidak terpengaruh sekali oleh perasaan lapar. Ia telah membiasakan diri untuk tidak makan dua hari dua malam. Bahkan lebih. Tetapi ia tidak dapat menahan haus selama itu. Tetapi kali ini Puranti tetap bertengger diatas dahan. Dicoba-nya melupakan perasaan hausuya dengan membuat gambaran2 tentang isi Goa Pabelan dan tentang kedatangan Pikatan. Puranti menarik nafas dalam2. Perasaan haus itu memang sangat mengganggu. "Malam masih panjang. Aku masih mempunyai kesempatan untuk turun kesungai itu" desisnya. Tetapi ia menyesal bahwa ia telah lengah. sehingga penghuni Goa Pabelan itu melihat jejaknya. Dengan demikian mereka menjadi semakin ber-hati2 dan seperti yang sudah didengarnya, pengawasan di daerah ini akan diperketat.
67 "Tetapi daerah ini cukup luas untuk menyisipkan tubuh ini." Puranti mengerutkan keningnya. Akhirnya ia berkata kepada diri sendiri " Aku tidak mau mati kehausan disini." Dengan hati2 Puranti terpaksa turun. Sejenak ia berjongkok dibawah pohon benda itu. Dicobanya untuk menangkap setiap getaran di sekitarnya, kalau2 ia mendengar desah nafas. Tetapi malam terlampau sepi, yang didengarnya hanyalah derik bilalang di rerumputan liar. Namun hatinya berdesir ketika ia mendengar dikejauhan, seekor harimau mengaum menyobek sepinya malam. Kemudian malam menjadi serasa bertambah sepi. Per-lahan2 Puranti bergeser. Ia harus sangat ber-hati2. Tangannya bahkan selalu melekat dihulu pedangnya. Bahaya setiap saat dapat menerkamnya di daerah yang tidak begitu dikenalnya ini. Mungkin bahaya itu datang dari orang2 yang tinggal di Goa Pabelan. Tetapi mungkin juga binatang buas yang kini tengah mengintainya. "Tetapi aku haus sekali." desisnya. Maka dengan penuh kewaspadaan, ia merayap dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain. Ia berusaha menjauhi Goa Pabelan, Sebelum ia turun ditebing yang curam untuk mencari air. Perasaan haus yang tajam serasa telah melukai kerongkongannya. Meskipun Puranti bergeser per-lahan2 sekali, tetapi lambat laun ia berhasil sampai kepinggir jurang yang curam. Dimalm yang gelap, ia tidak segera dapat melihat dasar dari jurang itu. Tetapi tebing sungai itu banyak ber-batu2. Batu2 hitam dan batu2 padas, juga gerumbul2 perdu, sehingga bagi Puranti, batu2 Itu bagaikan anak tangga yang dapat membantunya turun kedasar.
68 Akhirnya Puranti berhasil juga menjejakkan kakinya diatas pasir. Sejenak ia berdiri ter-mangu2. Ia masih harus waspada. Di sekitarnya berserakan batu2 sebesar gubug. Meskipun dalam ke-adaannya se-hari2 sungai ini tidak begitu basar, tetapi pernah pada suatu saat lahar yang tumpah dari Gunung Merapi menyelusuri jurang ini menghanyutkan batu2 raksasa itu dan ditinggalkannya berserakan disepanjang tubuh sungai ini. Namun dengan demikian, sungai ini memberikan kemungkinan yang baik sekali bagi Puranti untuk mendekati Goa Pabelan apabila dikahendaki. Ia dapat bersembunyi dibalik batu2 sebesar gubug itu. Tetapi Puranti menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau mengganggu rencana sepasukan calon prajurit. Kalau penghuni goa Pabelan itu mengetahui kehadirannya, maka mereka pasti akan menyiapkan diri untuk menyongsong kemungkinan2 yang lain yang mereka perkirakan akan datang pula. Karena itu, Puranti sama sekali tidak barhasrat untuk mendahului mengusik serigala2 yang bersembunyi disarangnya itu. Seperti niatnya semula, ia ingin mencari belik dipinggir sungai itu, karena ia tidak dapat menahan haus. Akhirnya, Puranti menemukan juga. Setelah membersihkan mata air itu dari rerumputan kering yang mengambang, maka ia mulai membuat sebuah lubang di-batu2 kerikil yang bertebaran Dengan kedua telapak tangannya ia mengambil air dari sela2 batu kerikil itu. Sedikit demi sedikit. Puranti menarik nafas dalam2. Meskipun ia sadar, bahwa air itu tidak terlampau bersih, tetapi apaboleh buat ia sudah berusaha menyaringnya dengan karikil2 yang berserakan ditepian, bercampur baur dengan pasir yang basah.
69 Selagi Puranti masih berjongkok diatas pasir, tiba2 ia mendengar sesuatu. Ia mendengar desir kaki diatas pasir tepian. Dengan tangkasnya Puranti meloncat surut. Kemudian berjongkok dibalik sebuah batu yang besar, yang berada bebera jengkal saja dari tebing, sehingga ia seakan-akan ia menyisip antaranya. Suara desis kaki itu semakin lama menjadi semakin dekat. Bukan desir kaki seorang saja. Tetapi beberapa orang. Sehingga karena itu, Puranti telah menahan nafasnya. Dadanya menjadi ber-debar2 ketika ia mendengar salah seorang dari orang2 yang lewat ditepian itu berkata perlahanlahan " Kita sudah dekat dengan Goa Pabelan." "Ya, kita harus ber-hati2 " sahut yang lain. "Apakah kita masih akan maju lagi ?" "Kita akan maju beberapa langkah." Sejenak mereka berdiam diri. Tetapi langkah kaki mereka masih terdengar. "Apbila kita mendengar isyarat itu, kita akan segera menyerang." Tidak ada jawaban. Sementara itu Puranti mencoba menjengukkan kepalanya. Di dalam keremangan malam ia melihat tiga sosok bayangan yang berjalan menyelusur sungai. Sekali2 mereka berhenti dibalik bebatuan. Kemudian dengan hati2 mereka maju lagi. Sifat ingin tahu Puranti telah menyala pula dihatinya. Ia tidak membiarkan mereka lewat. Sambil me-runduk2 ia berjalan berjingkat mengikuti ketiga orang itu. "Kita akan datang dari empat arah " berkata salah seorang dari mereka.
Iblis Lembah Tengkorak 3 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Setan Alam Kubur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama