Ceritasilat Novel Online

Yang Terasing 9

Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 9


703 "Ah, ada-ada saja kalian ini" sahut Wiyatsih sambil melangkah naik kependapa dan masuk kedalam. Namun ia masih bergumam "Hati-hati. Jangan kau sangka bahwa dimalam yang hujan berkepanjangan itu tidak ada penjahat yang berkeliaran" Kedua penjaga itu tidak menjawab. Mereka memandang langkah Wiyatsih yang ringan masuk kedalam pringgitan. "Gadis yang aneh" berkata salah seorang dari keduanya "sama sekali tidak menyangka, bahwa gadis itu mampu berkelahi melawan penjahat yang paling garang" "Mungkin dunia ini sudah hampir terbalik. Kita, laki-laki yang merantau sejak muda sama sekali tidak mampu menandingi seorang gadis yang baru kemarin belajar ilmu kanuragan" "Apa kau tahu pasti, kapan ia mulai?" Kawannya menggeleng. "Nah, siapa tahu, sejak bayi ia sudah belajar diluar pengetahuan kita" Yang lain menarik nafas. Tetapi ia kembali bersandar tiang sambil terkantuk-kantuk. Ketika ia memandang kelangit, dilihatnya awan yang hitam tebal bergayutan menutupi bintang-bintang. "Hujan akan turun" desis yang tinggi kekurus-kurusan. "Ya. Anginnya sudah terasa mengandung air. Dinginnya bukan main" "Tetapi hati kita tidak sedingin saat-saat yang menegangkan itu. Justru ketika anak-anak muda memberitahukan kepada kita, bahwa para penjahat akan datang kerumah ini" Kawannya tidak menyahut Bahkan matanya sudah terpejam, Katanya "Aku akan tidur dahulu"
704 "Jangan disitu. Agak ketengah. Jika hujan lebat, apalagi ada angin, kau akan basah kuyup" Keduanyapun kemudian bergeser ketengah. Halaman rumah itu tampaknya menjadi semakin gelap meskipun obor diregol halaman masih tetap menyala dan lampu minyak diserambi pendapa itupun masih memancar. Sambil berkerudung kain panjangnya, maka seorang dari para penjaga itupun mencoba untuk tidur. Senjatanya terletak dekat diujung tangannya. Sedang penjaga yang lain duduk bersila sambil menimang-nimang senjatanya. Dari mulutnya terdengar suaranya lambat sekali, melagukan tembang Durma yang garang. Ketika petir meledak dilangit, Wiyatsih yang masih duduk diruang dalam menjadi berdebar-debar. Jika hujan turun, maka Kiai Pucang Tunggal yang ada di kebun belakang pasti akan kehujanan. Tetapi ia tidak dapal berbuat apa-apa, karena Kiai Pucang Tunggal sendiri tidak bersedia untuk diketahui oleh oralng lain. "Ia akan berteduh diteritisan" Wiyatsih mencoba menenteramkan hatinya sendiri. Tetapi ternyata hujan tidak segera turun. Bahkan sampai pada saatnya Wiyatsih berbaring dipambaringan, masih belum terdengar titik air diatas atap dan dedaunan. Namun Wiyatsih tidak juga dapat tidur. Dengan demikian ia masih dapat mendengar desir langkah kaki kakaknya. Meskipun setiap kali suara guruh menggelegar, namun Pikatan keluar juga dari rumhanya untuk pergi ketempat latihannya. Kali ini Pikatan tidak pergi seorang diri. Beberapa langkah dibelakangnya, Kiai Pucang Tunggal mengikutinya dengan hati-hati. Bukan saja karena ia tidak mau diketahui oleh Pikatan, tetapi mungkin juga Puranti mengikuti anak muda itu pula.
705 Namun ternyata bahwa Puranti tidak ada disekitar tempat itu sehingga Kiai Pucang Tunggalpun kemudian mengikutinya seorang diri dengan tenang. Hujan yang lebat seperti dicurahkan dari langit ketika Pikatan sampai ditempat latihannya, Tetapi agaknya hujan itu sama sekali tidak mengganggunya. Bahkan ia acuh tidak acuh saja terhadap air yang menimpa seluruh tubuhnya sehingga menjadi basah kuyup "Tekadnya memang besar sekali" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hatinya. Sejenak kemudian Kiai Pucang Tunggal sudah menyaksikan bagaimana Pikatan melatih diri. Dengan segenap kemauan dan kekuatan ia mencoba meningkatkan bukan saja kecepatan bergerak, tetapi juga kekuatannya. Bahkan kemudian sesuatu yang selama ini belum dilakukannya dengan sebaik-baiknya, adalah kecepatan bergerak sambil menggenggam senjata Saat itu Pikatan ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tangan kirinya masih juga mampu bergerak secepat tangan kanannya sehingga cacat ditangan kanannya itu tidak akan mengurangi kemampuannya bertempur dengan senjata. Demikianlah, didalam hujan yang lebat, Pikatan berloncatloncatan sambil mengayun-ayunkan sebilah pedang yang panjang. Kecepatannya menggerakkan pedang dan kekuatan yang terungkap pada tata geraknya ternyata telah mendebarkan dada kiai Pucang Tunggal. Katanya didalam hati "Pikatanpun mengalami kemajuan pesat sekali. Ilmunya menjadi semakin mantap. Meskipun kini ia hanya bertangan kiri, tetapi tangan kirinya benar-benar tidak kalah cekatan dengan tangan kanannya didalam olah senjata dan bahkan kekuatan yang tersimpan pada tangan kiri itu, meskipun pada dasarnya Pikatan tidak kidal.
706 Namun dalam pada itu, Kiai Pucang Tunggal Sadar, bahwa ia tidak sedang mencari Pikatan. Yang penting baginya adalah menemukan Puranti. Karena itu, maka dilepaskannya Pikatan sejenak. Setapak demi setapak Kiai Pucang Tunggal bergeser. Namum sampai hampir berkeliling tempat latihan itu, Kiai Pucang Tunggal tidak menemukan seorangpun. Juga tidak menemukan Puranti Dimalam kedua Kiai Pucang Tunggal tidak perlu lagi pergi kerumah Pikatan. Ia sudah tahu dimana anak muda itu berlatih. Karena itu, iapun langsung saja pergi ketempat latihan itu dan mencoba menemukan Puranti. Tetapi dimalam kedua itupun ia tidak menemukan Puranti. Namun Kiai Pucang Tunggal adalah seseorang yang sabar dan tidak segera menjadi putus asa. Ia masih menunggu dengan tekunnya. Tiba-tiba didalam kilatan cahaya langit, Kiai Pucang Tunggal melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibalik sebuah batu yang besar. Dengan hati yang berdebar-debar ia mengikuti bayangan itu dengan saksama. Dengan kemampuannya menahan nafas dan menghindari desir kaki didedaunan, maka akhirnya Kiai Pucang Tunggal dapat mendekatinya. Ternyata bayangan itu adalah orang yang dicarinya. Puranti. Namun demikian Kiai Pucang Tunggal tidak segera menegurnya. Ia ingin melihat, apa saja yang akan dilakukan oleh Puranti selanjutnya, jika ia sudah melihat kemajuan yang dapat dicapai oleh Pikatan. Sejenak kemudian, seperti biasanya Pikatanpun mulai berlatih. Dengan saksama Puranti mengikuti setiap gerak tangan dan kaki Pikatan, bahkan kemudian senjata yang ada ditangan kirinya. Sebilah pedang yang panjang.
707 Dengan garangnya Pikatan berloncat-loncatan sambil mengayun-ayunkan pedangnya yang berat dengan tangan kirinya. Namun agaknya tangan kiri Pikatan itu sama sekali tidak canggung lagi. Pedangnya berputar cepat sekali, kemudian mematuk dan menyambar mendatar cepat sekali. Terdengar Puranti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba gadis itu menggeram. la tidak menunggu Pikatan selesai. Sambil mengendap ia meninggalkan tempat itu dan dengan tergesa-gesa seakan-akan sedang diikuti oleh seseorang ia pergi ketempat yang tersembunyi. Namun tanpa diketahuinya, ayahnya memang sedang mengikutinya. Dengan hati yang berdebar-debar Kiai Pucang Tunggal melihat sesuatu yang berkembalng dihati anak gadisnya, sesuatu yang tidak diingininya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Pucang Tunggalpun menyaksikan Puranti turun kedalam sebuah tebing yang agak curam, hampir seperti tempat yang dipergunakan oleh Pikatan. Dengan gerak yang menghentak-hentak Puranti menarik pedangnya. Tetapi pedang ini berbeda dengan pedang Pikatan yang besar dan panjang" Untuk sesaat lamanya Puranti memandangi pedangnya. Kemudian dipandanginya beberapa batang perdu yang tumbuh dilereng tebing itu. Dengan tergesa-gesa ia menyentuh ujung-ujung perdu itu seperti diburu oleh waktu, dengan ujung pedangnya. Puranti telah menentukan sendiri sasaran pedangnya didalam latihan yang akan dilakukan. "Tentu Puranti pulalah yang mengajar Wiyatsih membuat sasaran tertentu didalam latihannya" berkata Ki Pucang Tunggal, tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena didalam latihan-latihan yang diberikannya kepada Puranti yang mengutamakan kecepatan dan kelincahan bergerak ia kadangkadang memberikan pula sasaran diam. Dan dikesempatan
708 lain, Kiai Pucang Tunggal memberikan sasaran bergerak dengan mengikat benda-benda lunak pada ujung sebuah tali yang digerakannya. Hanya dalam waktu tertentu saja Puranti dibawanya berlatih dalam perkelahian yang seperti sebenarnya, meskipun tidak mempergunakan pedang yang benar-benar tajam. Dan sejenak kemudian, Kiai Pucang Tunggalpun segera melihat Puranti berlatih mengayun-ayunkan pedangnya. Sambil berloncatan, maka ujung pedang Puranti yang menyambar-nyambar itu telah menebas ujung-ujung perdu yang telah ditentukannya dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga dalam sekejap, pohon-pohon perdu yang dikehendakinya itu telah terpotong sesuai dengan keinginannya. "Tetapi Puranti tidak segera berhenti. Ia masih berloncatan sambil mengayun-ayunkan pedangnya. Ternyata ia masih melakukan latihan serupa. Pohon-pohon perdu itu dipotongnya selapis demi selapis dalam gerak yang tertampau cepat. Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Ternyata, anaknya telah mencapai puncak kemampuan menggerakkan senjata seperti yang diajarkannya. Bahkan didalam keasyikannya, Puranti telah menunjukkan beberapa unsur gerak yang tumbuh didalam perkembangan ilmunya. "Pikiran anak itu benar-benar hidup" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati "ia bukan sekedar menirukan gerak, tetapi ia telah menghayatinya sehingga unsur gerak yang ada padanya telah berkembang pesat" Dalam penilikannya itu, ia masih tetap melihat jarak antara Pikatan dan anak gadisnya. Meskipun Pikatan maju pesat, namun Purantipun bergerak maju pula, sehingga Pikatan masih belum sempat menyusulnya.
709 Untuk beberapa saat lamanya. Kiai Pucang Tunggal masih tetap menunggui Puranti yang sedang sibuk berlatih. Bahkan sejenak kemudian, setelah ia merasa cukup mempergunakan pedangnya, maka pedang itupun segera disarungkannya. Namun ia tidak segera berhenti. la melanjutkan latihannya untuk menempa kemampuan tangan dan kakinya. Bahkan, setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, maka latihannyapun menjadi semakin keras, sehingga akhirnya, Puranti tidak saja mempergunakan tenaga wajarnya, tetapi kemudian dilepaskannya tenaga cadangannya. Dihantamnya batu-batu karang ditebing yang curam itu sehingga berguguran. Kiai Pucang Tunggal menarik nafas sekali lagi, seakan-akan ia ingin menghirup seluruh udara malam yang dingin itu. Kini ia yakin apa yang diduganya semula. Puranti yang menyaksikan perkembangan ilmu Pikatan yang maju pesat, ternyata justru telah tersinggung dan dengan gairah yang membara dihatinya, ia telah menyempurnakan ilmunya sendiri. "Ada untungnya" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hatinya "tetapi ada juga ruginya. Jika Puranti masih tetap pada pendiriannya bahwa ia harus melampaui Pikatan, maka aku rasa keduanya tidak akan bertemu. Masing-masing akan tetap mempertahankan harga dirinya tanpa ada yang mau mengalah. Puranti yang lebih tua dalam perguruan Pucang Tunggal merasa, bahwa seharusnya ia lebih baik dari Pikatan. Tetapi Pikatan yang merasa dirinya seorang laki-laki, tidak akan mau mengaku kelebihan Puranti didalam olah kanuragan" Sejenak Kiai Pucang Tunggal merenung. Namun ia tidak segera menemukan jawabnya, sehingga karena itu, ia berkata kepada dirinya sendiri "Aku tidak akan segera menemui Puranti. Biarlah ia menempa dirinya. Mudah-mudahan pada suatu saat aku menemukan jalan untuk mempertemukan
710 keduanya. Jika tidak maka keadaannya akan justru menjadi semakin gawat. Apabila mereka sampai kepuncak gejolak perasaan masing-masing, maka akan mungkin sekali keduanya berhadapan sebagai lawan tanpa sebab, justru hanya karena masing-masing mempertahankan harga dirinya" Dengan demikian, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Pucang Tunggal untuk sementara hanyalah sekedar mengawasi agar kedua anak-anak muda yang dibakar oleh perasaan masing-masing itu tidak bertemu dalam benturan ilmu yang berbahaya, Puranti memiliki kelebihan didalam ilmu kanuragan, hampir dalam segala seginya. Tetapi Pikatan adalah laki-laki yang akan menebus setiap kekalahan dan harga dirinya dengan nilai yang paling berharga pada dirinya dan bahkan apabila perlu tentu dengan jiwanya. Dan itulah yang harus dihindarinya. Maka dalam pada itu, untuk mengisi waktunya disetiap malam turun melewati senja, Kiai Pucang Tunggal justru menjumpai Wiyatsih dikebun belakang. Kemudian sekali-kali dibawanya Wiyatsih ketempat lain yang sepi untuk melepaskan ketegangan yang hampir setiap saat mencengkam, maka dibawanya Wiyatsih berlatih. Ditunjukkannya beberapa unsur gerak yang baru bagi Wiyatsih, tetapi yang gerak dasarnya telah dimiliknya sehingga dengan mudah ia dapat mengikutinya. "Kau memang memiliki kemampuan yang baik, sebaik Pikatan" berkata kiai Pucang Tunggal. "Ah. Kiai selalu memuji" sahut Wiyatsih. "Sadarilah. Tetapi jangan membuat kau menjadi sombong. Kesadaran itu harus kau salurkan dalam ungkapan yang baik, yang dapat mendorongmu semakin maju" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Seleret warna merah membayang dipipinya.
711 "Kau ternyata memiliki kemampuan lahir dan batin. Kemampuan yang dapat saling mengisi. Didalam olah kanuragan kau maju pesat, tetapi disamping itu, kaulah yang sanggup berdiri dimuka dari anak-anak muda Sambi Sari. Tanpa kemampuan dan ketahanan batin, kau tidak akan sanggup melakukannya" Wiyatsih masih tetap menundukkan kepalanya. "Nah, lanjutkanlah semua itu. Mungkin akan berguna bagimu kelak" Wiyatsih mengangguk kecil. Tetapi seakan-akan ia berjanji bahwa ia akan melakukan sejauh dapat dijangkaunya. Demikianlah, dalam keadaan masing-masing dan kesempatan yang berbeda, ketiga anak-anak muda itu berlatih terus. Dibawah bimbingan Kiai Pucang Tuinggal, Wiyatsih menjadi semakin cepat maju. Berdasarkan atas gerak-gerak dasar yang sudah dikuasainya, Kiai Pucang Tunggal membuka banyak kemungkinan yang memberikan kesempatan kepada Wiyatsih untuk mengembangkan ilmunya. Seperti Puranti, maka ternyata hati Wiyatsihpun terbuka, ia mampu melahirkan beberapa unsur gerak yang penting sesuai dengan perkembangan ilmunya. Seperti juga Pikatan yang melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru disesuaikan dengan kemampuan jasmaniahnya, sehingga yang berperan kemudian adalah tangan kirinya. Sebenarnya Kiai Pucang Tunggal dapat puas melihat keadaan murid-muridnya ditinjau dari segi kanuragan itu sendiri. Tetapi dari segi lain, Kiai Pucang Tunggal masih tetap berprihatin. Ia melihat kemajuan yang pesat pada Pikatan dan Puranti, disamping Wiyatsih. Tetapi ia juga melihat sesuatu yang menyala dihati kedua murid-muridnya itu. Keduanya seakan-akan sedang berpacu untuk memperebutkan kemenangan dan mempertahankan harga diri diarena perkelahian yang dahsyat.
712 Dalam pada itu, selagi mereka berpacu dengan ilmu, Wiyatsih masih tetap bekerja bersama-sama dengan anakanak muda Sambi Sari mempersiapkan brunjung-brunjung bagi bendungan yang akan mereka kerjakan dimusim kemarau mendatang. Ternyata bahwa setiap hari semakin bertambahlah kegiatan anak-anak muda Sambi Sari. Justru dengan demikian, semakin banyak tangan yang ikut bergerak, terasa pekerjaan itu menjadi semakin ringan, Bahkah tempat pembuatan brunjungbrunjung itu kemudian telah berubah menjadi ajang pertemuan bagi anak-anak muda Sambi Sari. Mereka tidak lagi merasa bekerja ditempat itu. Bahkan mereka merasa bahwa datang ketempat itu menjadi suatu kebutuhan sehari-hari. Jika salah seorang dari mereka berhalangan datang sehari, rasarasanya sudah sepekan ia tidak bertemu dengan kawannya. Tempat itu menjadi tempat yang baik untuk berkelakar, bergurau dan berbincang sambil menganyam brunjung bambu yang besar dan memintal tali ijuk. Memang kadang-kadang ada juga diantara mereka yang berbantah dan bahkan kadang-kadang marah, tetapi kawan-kawan mereka selalu berusaha menenangkan setiap kemungkinan yang dapat memanaskan suasana. Ternyata tempat itu bukan saja tempat untuk bertemu dan bekerja, tetapi kadang-kadang juga merlambatkan dua buah hati dari antara anak-anak muda dan gadis-gadis yang bekerja ditempat itu didalam cita-cita yang sama. Anak-anak muda yang sebelumnya hanya berkeliaran disepanjang jalan, berteriak-teriak dan melempari buahbuahan tetangga-tetangganya, tertarik juga melihat kegairahan kerja kawan-kawannya. Seorang demi seorang mereka datang dan manyatakan keinginan mereka untuk ikut serta. "Tetapi dunia kami lain dari duniamu" berkata Kesambi kepada salah seorang dari mereka.
713 "Kami sadari" jawab anak muda itu "kami sudah mengetahui apa yang kalian kerjakan. Selama ini kami hanya ingin mendapatkan, kepuasan-kepuasan lahiriah dan kesenangan-kesenangan sesaat. Tetapi ternyata bahwa kalian disinipun mendapatkan kegembiraan dan bahkan kepuasan yang lebih mendalam. Bukan hanya sekedar seperti angin yang lewat, yang kemudian memaksa kami untuk mencari dan menemukan sumber kepuasan baru. Tetapi disini kalian mendapatkan yang bukan sekedar sesaat itu" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Jika demikian, marilah. Kami tidak pernah menutup pintu. Bekerjalah bersama kami. Kami mendapatkan kegembiraan, kepuasan dan manfaat sekaligus tanpa mengganggu orang lain" Demikian pula anak-anak muda yang hanya dapat mengeluh, meratap dan bergeremang, seolah-olah orangorang tua mereka sama sekali tidak mampu menghidupi mereka yang sebelumnya tidak pernah minta dilahirkan. Mereka hanya melihat kelemahan-kelemahan orang-orang tua yang tidak mampu berbuat apa-apa, juga mereka yang berkesempatan menimbun harta benda dengan memeras keringat sesama. "Kerja" salah seorang dari mereka berbisik "kerja. Tidak sekedar berbicara dan meratap dengan tembang yang paling sedih" Dan kerja anak-anak muda Sambi Sari itu menumbuhkan banyak sekali akibat bagi Kademangan itu. Orang-orang tua yang hanya dapat memarahi anak-anaknya, melihat bahwa anak-anak merekapun mampu berbuat sesuatu. Dengan brunjung-brunjung yang ditimbun oleh anak-anak muda itu, maka gambaran tentang bendungan itupun menjadi semaki nyata. Ketika brunjung-brunjung itu telah menjadi semakin banyak, maka sebagian dari anak-anak muda itu telah
714 mengalihkan pekerjaan mereka. Jika langit bersih, maka merekapun pergi beramai-ramai kesawah disela-sela pekerjaan mereka masing-masing. Mereka mulai memperbaiki parit-parit yang sudah ada. Tetapi mereka juga membuat parit baru yang akan mengalirkan air dari bendungan yang bakal mereka buat. Dalam pada itu, Nyai Sudati sendiri menjadi semakin berdebar-debar melihat kerja yang semakin nyata itu. Seakanakan ia melihat sebuah pintu gerbang yang sudah hampir tertutup rapat. Seakan-akan ia melihat matahari yang semakin rendah diujung Barat, sehingga sebentar kemudian akan datang masa suram baginya. Masa suram yang dikembangkan oleh anak gadisnya sendiri, Wiyatsih. Tetapi selain kecemasan yang mencengkam, ada juga semacam perasaan malu yang mulai tumbuh didasar hatinya. Bukan saja pada Nyai Sudati. Tetapi juga pada orang-orang tua yang selama ini lebih mementingkan harta kekayaan daripada hubungan antara mereka, sesama orang Sambi Sari. Anak-anak muda itu lebih dalam mengenal kasih sayang diantara sesama mereka. Anak-anak muda itu mewujudkan kasih sayang mereka kepada sesama dengan perbuatan, bukan sekedar kata-kata dan ungkapan-ungkapan sebagai suatu pameran. Apabila salah seorang dari orang-orang kaya itu lewat dan melihat anak-anak muda mandi keringat menggali selokan meskipun sambil tertawa, terasa sesuatu menggelitik hati. Kenapa justru anak-anak muda, sedang dirinya sendiri sibuk mengumpulkan kekayaan yang berlimpah-limpah. Tetapi anak-anak muda itu tidak peduli. Mereka bekerja dengan jiwa pengabdian. Mereka bekerja untuk mewujudkan kasih sayang mereka kepada orang-orang disekitarnya yang hampir setiap saat menahan lapar. Kepada anak-anak yang setiap saat merengek minta makan dan kepada bayi yang menangis karena kekeringan air susu ibunya.
715 Dan mereka sadar, salah satu cara adalah dengan menaikkan air Kali Kuning. Dan cara itulah yang akan mereka tempuh. Bukan cara lain. Dalam pada itu, setiap saat Tanjung merenungi anak-anak muda yang bekerja itu dengan hati yang berdebar-debar, ia tidak dapat memiliih, yang manakah yang paling baik dilakukan. Ia sudah terlanjur menikmati hasil karjanya bersama Nyai Sudati, seakan-akan kerja itu memang memberikan jaminan dihari tuanya. Sedang kerja yang dilakukan oleh anak-anak muda itu tidak akan langsung memberikan sesuatu kepada diri mereka masing-masing. "Kenapa mereka bersedia membuang waktu untuk membuat selokan, brunjung-brunjung dan kemudian bendungan?" bertanya Tanjung didalam hati "mereka tidak akan mendapatkart apa-apa secara langsung. Aku lain dari mereka. Aku bekerja dan langsung dapat menikmati hasilnya. Tetapi yang mereka lakukan adalah sebagian terbesar untuk tetangga mereka dan orang lain" Dan untuk beberapa saat lamanya. Tanjung masih belum berhasil mengikuti jalan pikiran kawan-kawannya itu. Ia masih saja melakukan pekerjaannya yang diterimanya dari Nyai Sudati, sementara Wiyatsih sendiri sibuk membantu pekerjaan anak-anak muda Sambi Sari. Demikianlah musim hujan semakin lama menjadi semakin dalam. Hampir setiap hari langit menjadi gelap dan hujan turun terus menerus. Kadang-kadang kecil tetapi kadangkadang lebat sekali, sehingga air Kali Kuningpun mulai menjadi keruh. Hampir setiap hari air naik beberapa jengkal, sehingga anak-anak gadis semakin jarang pergi kesungai. Meskipun demikian, namun kerja anak-anak muda Sambi Sari tidak terhenti, meskipun kadang-kadang mereka harus berlari-lari berteduh digardu-gardu jika hujan turun dengan tiba-tiba.
716 Bukan saja anak-anak muda Sambi Sari yang tidak juga berhenti bekerja, tetapi juga Pikatan, Puranti dan Wiyatsih tidak berhenti berlatih. Hujan bagi mereka bukan lagi menjadi persoalan. Hampir setiap hari hujan turun dengan lebatnya, dan hampir setiap hari mereka berlatih dibawah hujan yang lebat itu. Tetapi ketahanan jasmaniah mereka ternyata justru menjadi semakin kuat. Hujan yang lebat itupun seakan-akan menjadi alat untuk menempa diri. Dan musim hujan itu berjalan dari hari kehari, dari pekan kepekan dan dari bulan kebulan berikutnya. Timbunan brunjung bambu itupun menjadi semakin tinggi dan selokanselokan yang digali oleh anak-anak muda Sambi Saripun menjadi semakin panjang. Bahkan beberapa orang anak muda yang lain telah mulai menaikkan batu-batu dari dasar sungai apabila Kali Kuning sedang tidak banjir. Batu-batu itulah yang kelak akan dimasukkan kedalam brunjung-brunjung yang akan diletakkan didasar Kali Kuning, melintang untuk menaikkan airnya. Namun dalam pada itu, sejalan dengan persiapan yang semakin lengkap, Pikatan, Puranti dan Wiyatsihpun ternyata menjadi semakin matang didalam olah kanuragan. Mereka sudah menguasai pokok-pokok dari ilmunya. Bahkan Puranti sudah mencapai puncak tertinggi dari kematangan ilmu itu. Jika ia berhasil melengkapinya dengan beberapa macam ilmu penggunaan tenaga cadangan dengan hubungan dengan tenaga alam disekitarnya, maka ia tidak akan berselisih banyak lagi dengan gurunya. Tetapi ia memerlukan waktu untuk mendapatkannya. Dalam pada itu, Kiai Pucang Tunggal yang menyaksikan kemajuan ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar, ia merasa gembira dan bangga atas kemampuan anak-anak muda yang akan mewarisi ilmunya. Tetapi ia merasa cemas atas parkembangan sikap mereka yang seorang dengan yang
717 lain. Rasa-rasanya Puranti dan Pikatan menjadi semakin jauh. Bahkan Puranti hampir tidak sempat lagi menengok Wiyatsih. Seandainya saat itu Kiai Pucang Tunggal tidak hadir diantara mereka tanpa diketahui oleh Pikatan dan Puranti, maka perkembangan Wiyatsih pasti tidak akan sepesat itu, karena justru disaat-saat ia memerlukan bimbingan, Puranti sibuk dengan dirinya sendiri. Tetapi untunglah bagi Wiyatsih, bahwa kehadiran Kiai Pucang Tunggal justru telah memacunya lebih cepat. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dari Puranti, telah memberikan kemungkinan bagi Kiai Pucang Tunggal untuk mengambil jalan memintas bagi peningkatan ilmu Wiyatsih, karena Kiai Pucang Tunggal telah melimpahkan kepercayaannya kepada gadis itu, bahwa ia akan menjadi orang yang besar dan kuat bagi Kademangannya. Harapannya kepada Pikatan agaknya telah meragukannya, karena Pikatan telah mengasingkan dirinya dan hampir kehilangan segenap gairah hidupnya. Jika ia kini berjuang mati-matian untuk mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi, bukan karena ia merasa bertanggung jawab atas keadaan disekitarnya, tetapi ia sekedar ingin bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak mau kalah dari seorang gadis didalam olah kanuragan. Bukan karena sebuah cita-cita yang akan berkembang, tetapi sekedar didorong oleh kekerdilan jiwanya. Tetapi begitu saja sebagai orang tua, ia tidak akan dapat membiarkan sesuatu terjadi atas anak-anak muda itu, sehingga dengah demikian Kiai Pucang Tunggal telah melakukan pengawasan semakin rapat. Hampir setiap-malam ia ada ditempat-tempat latihah itu. Jika tidak menunggui Pikatan, ia menunggui Puranti, setelah lebih dahulu menuntun Wiyatsih yang ternyata tidak mengecewakannya. Sementara itu, batu yang tertimbun dipinggir sungai menjadi semakin lama semakih banyak. Beberapa puluh
718 puntuk telah berserakan disepanjang tepian. Sedang brunjung-brunjung bambupun menjadi semakin menggunung disisi onggokan tali-tali yang telah dipintal. Sejalan dengan itu parit-paritpun menjadi semakin panjang, dan dalam Seperti akar pepohonan, parit-parit itu bertebaran menusuk daerahdaerah yang kering dimusim kemarau. Dengan berdebar-debar anak-anak Sambi Sari mengikuti waktu yang berjalan terus. Persiapan mereka sudah hampir sempurna menjelang musim kemarau yang semakin lama menjadi semakin dekat. Perjalanan hari menjelang hari, pekan menjelang pekan dan bulan yang satu meloncat kebulan yang Iain, mendekatkan mereka pada kerja yang sudah mereka tunggu-tunggu selama satu musim. Ketika anak-anak muda itu mendengar suara garengpun yang merengek-rengek dipepohonan, maka merekapun berseru "Musim kemarau sudah hampir datang" "Ya, aku sudah mendengar suara garengpung" Tetapi wajah-wajah yang cerah itupun menjadi suram, mereka kemudian menyadari, bahwa musim kering bagi Sambi Sari akan berarti musim paceklik. "Tidak" berkata salah seorang dari mereka "sebentar lagi air akan naik" "Tetapi diakhir musim. Sementara itu, tanah di Kademangan ini telah menjadi pecah-pecah oleh terik matahari" "Apaboleh buat. Tetapi kita sudah mulai. Dimusim kering yang mendatang, kemudian kita berharap keadaan padukuhan didaerah ini sudah berubah" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita dapat mempersiapkan diri untuk mengurangi paceklik yang panjang itu" berkata Wiyatsih yang ada diantara mereka.
719 "Bagaimania dapat kita lakukan. Panenan musim hujan yang segera akan dopetik ini tidak banyak menunjukkan kenaikkan, Bahkan ada beberapa bagian yang diserang hama meskipun tidak parah. "Kalian tidak mau membuat pertimbangan" jawab Wiyatsih "disetiap musim panen kita terlalu banyak menghamburhamburkan hasil panen yang tidak banyak ini" "Siapa yang menghambur-hamburkan hasil panen" "Kita, kita semua" "Kenapa?" hampir berbareng beberapa anak-anak muda bertanya kepada gadis itu. "Kita selalu mengadakan keramaian dimusim panen pertunjukan yang hampir ada disetiap padukuhan. Makanmakan dan kadang-kadang kita saling menunjukkan kelebihan kita saling menunjukkan kelebihan kita masing-masing dalam selamatan yang diselenggarakan" "Merti-desa maksudmu?" "Ya" "Ah, mana mungkin kita dapat menghindanrinya, kita harus menunjukkan bahwa kita berterima kasih terhadap para leluhur dan danyang-danyang penunggu sawah dan air. Kita menaburi sesaji dan selamatan diseluruh padukuhan. Apalagi sekarang Kita akan mulai dengan bendungan. Kita harus membuat selamatan khusus" Itulah yang aku anggap pemborosan. Kita dapat menyatakan syukur kepada Tuhan bahwa kita sudah berhasil memetik hasil panenan. Tetapi tidak usah dengan pemborosan. Berapa bakul beras yang habis dalam parayaan merti-desa itu, tanpa memperhitungkan musim paceklik dimana kita hampir tidak mempunyai persediaan beras sama sekali"
720 "Tetapi itu sudah menjadi kebiasaan kita, Kita tidak akan dapat menghindarinya" "Kenapa tidak" Kita bersukur kepada ALLAh swt dengan tulus didalam hati kita. Kita dapat menyatakan terima kasih kita kepada ALLAH swt dengan perbuatan. Kita dapat mengucapkan syukur atas RahmatNya dengan menyatakan kasih sayang kepada tetangga kita. Tidak dengan perayaan dan pemborosan. Tetapi kita dapat menyisihkan hasil panenan yang berlebihan bagi mereka yang gagal, atau mereka yang memang tidak memiliki sesobek tanahpun. Kita harus berperhitungkan, bahwa hasil panenan ini bukan hanya akan kita makan sehari dua hari, dan sebagian untuk membayar hutang. Tetapi hasil panenan kita ini akan kita makan sepanjang musim" Kawan-kawannya memandang Wiyatsih dengan wajah yang berkerut-merut. Agaknya mereka merenungkan kata-kata itu. Namun kemudian salah seorang berkata "Tetapi, apakah kita tidak dapat dianggap menyalahi naluri" Merti-desa sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Setiap orang merayakan kegembiraan yang memperoleh dari panenan yang berhasil?" "Tetapi setiap orang akan meratap dan menangis, jika tanah mereka menjadi kering dan dedaunan menjadi kuning" "Jika kita tidak melakukan merti-desa maka paceklik akan bertambah dahsyat" "Itu adalah pikiran yang salah. Seandainya kita harus melakukan, kita lakukan pernyataan terima kasih itu. Tetapi tidak dengan pemborosan. Apakah artinya bagi ucapan terima kasih itu sendiri, jika kita membawa jodang ke banjar dan makan jauh melampaui kebiasaan kita" Beberapa ekor ayam dan kadang-kadang kambing harus disembelih. Nasi yang melimpah ruah dan yang sebagian akan dihambur-hamburkan dihalaman oleh anak-anak yang sudah kenyang. Sebagian lagi akan tersisa digledeg-gledeg bambu dan dibuang besok pagi sebagai makanan ayam. Sementara dua tiga bulan lagi kita
721 akan kehabisan nafas karena kita tidak mempunyai sebutir beraspun lagi?" "Tetapi apakah kita tidak akan dikutuk oleh danyangdanyang?" "Apakah kita masih harus juga berbicara tentang lampor" Tentang hantu-hantu dari Sambirata?" bertanya Wiyatsih "tidak. Kita tidak akan dikutuk. Merekapun tahu, bahwa kita mencoba untuk menghindarkan diri dari penderitaan dimusim kemarau. Mereka tentu akan memuji kita bahwa kita sudah mempergunakan nalar. Leluhur kitapun akan menganggukanggukkan kepala mereka jika mereka melihat apa yang kita kerjakan, karena mereka sendiri tidak pernah melakukannya dahulu" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "tetapi lebih daripada itu, kita yang mempercayai ALLAH Yang Maha Esa tentu akan memusatkan segala pernyataan hati kita kepadaNya. Dan ALLAh swt tidak memerlukan pemborosan itu. ALLAH swt melihat bahwa dimusim kering kita akan meratap setiap saat karena perut kita yang lapar. Anak-anak menangis sepanjang pagi dan orang-orang tua mengusap dadanya yang pedih" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian nada suaranya menurun "kecuali jika kita sudah berkecukupan. Panenan kita berlebihan sampai musim panen mendatang" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berdesis "Kau benar Wiyatsih. Aku akan mengatakan kepada ayah dan ibu. Biarlah ayam kami tetap bertelur. Kami tidak akan memotongnya dihari itu" "Ya, aku tahu, jika setiap orang diantara kita tidak melakukannya berlebih-lebihan, maka akhirnya pemborosan itu akan hiang dengan sendirinya" Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka yang membenarkan kata-kata Wiyatsih berniat untuk menyampaikannya kepada ayah dan ibunya, agar hasil panenan mereka yang sedikit itu, apalagi setelah
722 dikurangi sebagian untuk membayar hutang, tidak habis pada hari-hari merti-desa itu. Kesadaran baru itu tidak menjalar begitu saja tanpa hambatan. Masih banyak diantara orang-orang Sambi Sari yang menganggap bahwa hal itu tidak dapat dilalukan saja. Berpuluh-puluh tahun mereka sudah melakukannya. Dan tentu saja mereka tidak akan dapat memutus yang sudah berlaku berpuluh-puluh tahun itu begitu saja. Namun bagaimanapun juga, apa yang dikatakan oleh Wiyatsih itu dapat juga mereka renungkan, seorang demi seorang. Demikianlah, maka hujanpun semakin semakin lama menjadi semakin jarang. Disawah tanaman padi sudah mulai menguning. Gadis-gadis-pergi kasawah disetiap pagi menunggui burung yang kadang-kadang datang berbondongbondong mencuri padi disawah. Dengan berbagai cara mereka mengusir burung-burung pipit dan gelatik. Anak-anak membuat sumpitan bambu yang beruas panjang untuk menyumpit burung. "Kita harus mulai menempatkan brunjung-brunjung itu kepinggir kali" berkata Kesambi kepada kawan-kawannya "setiap hari kita akan memindahkan beberapa brunjung dan jika ada waktu, kita sudah dapat mulai mengisinya pula" "Ya. Kita mulai besok" Demikianlah dipagi berikutnya, anak-anak muda Sambi Sari yang akan pergi kesawah, singgah sejenak untuk mengusung brunjung-brunjung bambu kepinggir sungai. Setiap dua orang mengusung sebuah brunjung yang panjang. Meskipun brunjung-brunjung bambu itu tidak begitu berat, tetapi karena panjangnya, mereka harus berhati-hati membawanya. Demikianlah yang mereka lakukan setiap hari. Setiap dua orang anak muda yang membawa sebuah brunjung, sudah cukup-untuk sehari.
723 Dan brunjung-brunjung yang tertimbun dipinggir kali itupun setiap hari menjadi semakin banyak tertimbun diantara batubatu yang beronggok-onggok ditepian. "Kita akan segera memasukkan batu-batu kedalam brunjung. Jika musim hujan telah selesai, kita akan menurunkannya sebuah demi sebuah" berkata Kesambi. "Ya, tali-tali sudah siap, Kita akan segera dapat melakukannya" "Kita akan segera mulai. Kita masih menunggu panen, kita masih sempat menanam palawija genjah sebelum tanah kita menjadi kering. Sesudah itu, barulah kita akan memusatkan kerja kita untuk bendungan ini." Kawan-kawan Kesambi mengangguk-angguk. Sebentar lagi tenaga mereka akan diperas habis oleh sawah-sawah mereka disaat panen dan sesudahnya. Tetapi setelah itu, mereka tidak mempunyai kerja apapun dimusim kering. Namun selagi anak-anak itu mempersiapkan bendungan, maka beberapa orang kaya di Sambi Sari mulai membuat perhitungan lain. Meskipun kadang-kadang mereka malu juga melihat anak-anak muda yang bekerja hampir tidak mengenal waktu, namun ada juga diantara mereka yang mulai membuat perhitungan yang masak menjelang masa mendatang. Mereka yakin bahwa akan timbul perubahan dalam tata kehidupan di Sambi Sari. Itulah sebabnya mereka harus merubah cara hidup mereka. Kerja mereka tidak akan dapat langsung dengan cara yang mereka lakukan sekarang, Itulah sebabnya. maka dengan hati yang berdebar-debar Wiyatsih melihat suatu perkembangan baru. Adalah kebetulan saja bahwa ia mendengar ibunya berbisik kepada Tanjung "Tanjung, mulailah. Tanah didaerah ini akan menjadi makmur setelah bendungan itu jadi. Aku dan kau tidak akan dapat melakukan kerja semacam ini terus-menerus. Karena itu, usahakan agar petani-petani miskin itu mau menjual tanahnya
724 kepada kita. Dihari-hari ini harga tanah itu pasti masih terlalu rendah. Tetapi jika air sudah mengalir, maka harganya pasti akan berlipat" Pembicaraan itu benar-benar telah mengguncangkan dada Wiyatsih. Tetapi ia tidak dapat langsung menegur ibunya, Bagaimanapun juga ia adalah ibunya. Tetapi bagi Wiyatsih, pendirian itu pasti bukan sekedar pendirian ibunya. Mungkin ada beberapa orang kaya yang lain yang akan berbuat serupa. Itulah sebabnya, maka dihari berikutnya, hal itu sudah menjadi pembicaraan dikalangan anak-anak muda. "Apa gunanya kita membuat bendungan, jika akhirnya tanah Itu akan jatuh ketangan orang-orang kaya?" berkata Kesambi. "O" desah yang lain "tidak ada gunanya kita bekerja keras selama ini" "Bukan begitu, kita masih mempunyai jalan. Kita harus mencegah tanah-tanah itu jatuh ketangan orang kaya yang tidak tahu diri" "Apakah hak kita untuk mencegahnya?" "Setiap orang diantara kita akan mencegah tanah milik orang tua kita masing-masing. Kemudian kita akan pergi kepada Ki Demang. Hanya Ki Demang sajalah yang akan dapat memecahkan persoalan ini" berkata Kesambi. "Ya, kita pergi kepada Ki Demang" Anak-anak muda itupun akhirnya mengambil keputusan menghadap Ki Demang di Sambi Sari untuk melaporkan kemungkinan yang sangat pahit itu. Diantara bebera orang anak-anak muda yang pergi kepada Ki Demang itu terdapat Wiyatsih.
725 Mendengar laporan itu, Ki Demang menganggukanggukkan kepalanya. Katanya "Memang memalukan sekali. Baiklah, Aku akan mengambil sikap. Aku akan berbuat sedikit diluar wawenangku, karena tanah adalah milik seseorang, sehingga sebenarnya setiap orang berhak melakukannya, menjual dan membeli, sadar atau tidak sadar. Tetapi aku dapat berbuat lain dengan sedikit melanggar hak atas mereka. Setiap penjualan tanah setelah ini, harus ada persetujuanku. Aku tidak akan mengakui perpindahan hak atas tanah diluar persetujuanku" "Terima kasih Ki Demang" berkata Wiyatsih "mudahmudahan usaha Ki Demang berhasil, setidak-tidaknya mengurangi kemungkiuan buruk itu. Jika usaha ini tidak berhasil, maka kami akan mengurungkan niat kami membuat bendungan atau kami akan memindahkan parit-parit yang sudah kami gali dan menghindari tanah milik mereka yang serakah itu" "Aku dapat memberi penjelasan kepada setiap orang yang datang kepadaku untuk menjual tanahnya" sahut Ki Demang. Dengan demikian maka anak-anak muda itu meninggalkan Kademangan dengan harapan yang cerah. Mereka percaya bahwa Ki Demang akan bertindak. Ia tidak akan sekedar bergurau menanggapi masalah hari depan Kademangannya. Sehingga dengan demikian anak-anak muda Sambi Sari itupun dapat melanjutkan kerja mereka dengan tenang. Namun dalam pada itu, diluar pengetahuan anak-anak muda Sambi Sari, seseorang selalu mengikuti perkembangan mereka dengan cermat. Meskipun orang itu tidak dapat mendekat. namun ia mencoba menangkap setiap peristiwa di Sambi Sari dengan tajam. "Pikatan ada dipadukuhannya kembali" ia berdesis aku harus dapat melepaskan dendamku kepadanya setelah sekian lamanya aku menempa diri"
726 txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
Orang yang selalu mengikuti hampir setiap gerak dari orang-orang Sambi Sari itu mencoba untuk mendengar sebanyak banyaknya tentang Pikatan. Dengan mengenakan pakaian dan sikap seorang petani biasa ia mencoba menghubungi orang-orang Sambi Sari. Tetapi hampir tidak seorangpun yang dapat mengatakan sesuatu tentang Pikatan. "Anak muda itu jarang-jarang keluar dari rumahnya " berkata seseorang kepada orang yang mencari keterangan tentang Pikatan itu. "Kenapa?" ia bertanya. "Tidak seorangpun yang mengetahuinya. Mungkin karena tagannya menjadi cacat, sehingga ia malu atas cacatnya itu" "Apakah ia sama sekali tidak pernah keluar rumah?" Orang itu menggeleng " Tidak. Kecuali dalam keadaan yang memaksa sekali" "Maksudmu?" "Memang kadang-kadang ia disebut-sebut telah membunuh beberapa orang penjahat yang berkeliaran didaerah Sambi Sari" "He" Kau bilang tangannya sudah cacat. Apakah ia masih mampu berkelahi?" "Beberapa orang penjahat yang datang kerumahnya dibunuhnya. Memang dirumahnya ada dua orang penjaga. Tetapi menurut pendengaranku, Pikatanlah yang melakukan itu" Orang yang bertanya tentang Pikatan itu menganggukanggukkan kepalanya. Lalu "Apakah orang-orang Sambi Sari akan membuat bendungan" Aku melihat brunjung-brunjung dan timbunan batu-batu dipinggir Kali Kuning" "Ya"
727 "Bagus. Bendungan itu akan sangat bermanfaat" ia berhanti sejenak "apakah Pikatan tidak ikut serta?" "Tidak, Meskipun cita-cita ini dahulu pernah disebut-sebut oleh Pikatan, namun setelah tangannya menjadi cacat, ia sama sekali tidak mau ikut campur" "Terima kasih" "Tetapi siapakah kau dan apakah maksudmu?" "Aku adalah sahabat Pikatan. Aku hanya sekedar ingin tahu dan membuktikan apakah benar-benar telah mengasingkan dirinya" "Ya. Pikatan memang mengasingkan dirinya. Ia hampir tidak kenal lagi kepada kami. kepada anak-anak muda Sambi Sari dan bahkan kepada keluarganya sendiri" Orang yang bertanya tentang Pikatakan itu menganggukanggukkan kepalanya, lalu katanya "Baiklah. Jika ada saat yang baik aku akan berkunjung kepadanya. Mudah-mudahan ia tidak menolak kedatanganku" "Tetapi siapakah kau?" Orang itu tersenyum. Jawabnya "Aku adalah kawan Pikatan yang paling akrab" "Namamu?" Orang itu tidak menjawab. Sambil melangkah pargi ia melambaikan tangannya. Orang Sambi Sari yang belum mengenalnya menjadi bertanya didalam hati. Kenapa orang itu tidak mau menyebut namanya" Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi. Jika orang itu tidak mau memperkenalkan diri, iapun tidak berkepentingan sama sekali, dan iapun tidak mempunyai kewajiban untuk
728 menyampaikannya kepadaPikatan. Apalagi Pikatan hampir tidak pernah dijumpainya. Tetapi ketika orang Sambi Sari itu bertamu dengan Wiyatsih, maka tiba-tiba saja ia teringat kepada orang yang tidak dikenalnya itu, sehingga hampir diluar sadarnya la berkata "Wiyatsih, ada seseorang yang bertanya tentang kakakmu?" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta saja ia bertanya "Seorang laki-laki atau seorang perempuan?" "Seorang laki-laki" "Siapa?" "Ia tidak mau menyebutkan namanya" "Kenapa tidak?" "Aku tidak tahu. Aku juga sudah bertanya kepadanya. Tetapi ia tidak mau menjawab. Ia hanya tertawa sambil melambaikan tangannya." "Ia sama sekali tidak menyebut tentang dirinya?""Ia hanya mengatakan bahwa ia adalah sahabat Pikatan. Tidak lebih dari itu" Wiyatsih menjadi termangu-mangu. Jika orang itu benarbenar sahabat Pikatan, kenapa ia harus merahasiakan dirinya" Kenapa ia tidak langsung mencari Pikatan dirumahnya" Sejenak teringat olehnya, saat-saat Puranti datang kepadukuhan ini. Iapun merahasiakan dirinya agar namanya tidak didengar oleh Pikatan" "Apakah mungkin orang itu sudah mengetahui bahwa kakang Pikatan sama sekali tidak mau berhubungani dengan siapapun, sehingga ia tidak mau langsung menemuinya dan merahasiakan dirinya agar tidak mengganggu perasaan kakang Pikatan?" bertanya Wiyatsih kepada diri sendiri.
729 "Nah Wiyatsih" berkata orang itu "barangkali kau dapat menyampaikannya kepada Pikatan, bahwa seseorang sedang mencarinya" "Baiklah. Aku akan mengatakan jika ada kasempatan" Orang itu menjadi heran. Tetapi iapun tidak bertanya lagi, la tahu, bahwa Pikatan benar-bentar telah mengasingkan dirinya didalam biliknya. Hampir tidak seorangpun yang pernah diajaknya berbincang, sehingga dunianyapun semakin lama menjadi semakin sempit karena ia tidak mengetahui apapun yang berkembang diluar biliknya. Mula-mula Wiyatsihpun tidak begitu banyak menaruh perhatian. Tetapi hampir setiap saat ia berpikir, apakah ia akan mengatakannya kepada Pikatan atau tidak. Jika, ia mengatakan, maka tentu ada saja alasan Pikatan untuk marah, karena ia tidak mempunyai bahan lengkap tentang orang itu, Pikatan tentu akan marah karena ia tidak tahu nama orang itu, tidak tahu pula kaperluannya. "Ya, kenapa ia mencari kakang Pikatan?" tiba-tiba iapun bertanya kepada diri sendiri" Jika ia benar-benar kawan apalagi sahabatnya, kenapa ia tidak berbuat lebih banyak dari sekedar bertanya kepada orang yang tidak dikenalnya?" Semakin lama Wiyatsih merenungkan, semakin ingin ia mengetahui orang itu. Karena itu, maka ketika Wiyatsih bertemu dengan orang yang memberitahukan kepadanya tentang orang yang mencari Pikatan itu ia berpesan "Katakan kepada orang itu jika kau bertemu sekali lagi, bahwa ia dapat menemui adik Pikatan" "Baiklah" jawab orang itu "tetapi apakah aku akan dapat bertemu lagi, aku tidak dapat mengatakannya" Tetapi Wiyatsih tidak hanya berpesan kepada seorang itu saja. Ia berceritera tentang orang itu kepada kawankawannya, sambil berpasan agar jika salah seorang bertemu
730 dengan orang yang mencari Pikatan itu, segera memanggilnya dan mempertemukannya. Namun agaknya orang itu tidak datang lagi kedaerah Sambi Sari karena tidak ada seorangpun yang parnah bertemu sekali lagi. Tetapi sebenarnya orang itu bukan tidak pernah datang lagi, Ia masih selalu mengawasi Sambi Sari dari kejauhah. Hanya karena ia masih belum menganggap perlu untuk mendekat dan mengetahui keadaan Pikatan lebih jauh lagi, maka ia tidak bertanya kepaeda siapapun juga tentang Pikatan. Dalam pada itu, Wiyatsih yang tidak sabar lagi menunggu, pada saat ia bertemu dengan Kiai Pucang Tunggal, maka diceriterakannya tantang orang yang mencari Pikatan itu. "Aku sudah berpesan kepada siapapun, jika ada seseorang yang mencari kakang Pikatan, supaya dipertemukan dengan aku, tetapi orang itu tidak kembali lagi" berkata Wiyatsih kemudian. "Kau tahu ciri-ciri orang itu?" bertanya Kiai Pucang Tunggal. Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku hanya mendengar dari seseorang. Agaknya orang itu tidak begitu memperhatikannya, sehingga ia tidak menyebut tentang ciricirinya. Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi seperti Wiyatsih, ternyata orang itu telah menarik perhatiannya. "Aku akan berusaha mencarinya" berkata Kiai Pucang Tunggal "tetapi jika ia benar-benar telah pergi, maka sudah ba rang tentu aku tidak akan dapat menjumpainya" Demikianlah, maka Kiai Pucang Tunggalpun berusaha membuat dirinya sendiri tidak dikenal. Jika orang yang mencari Pikatan itu pernah mengenalnya, maka usahanya
731 pasti akan sia-sia. Apalagi jika orang yang dicarinya itu justru telan melihatnya lebih dahulu. Kecuali jika orang itu benarbenar mencari Pikatan, sehingga mungkin sekali kehadirannya akan sangat menyenangkan bagi orang itu. Meskipun demikian, Kiai Pucang Tunggal lebih senang berhati-hati. Bukan saja karena orang yang belum dikatahui itu, tetapi iapun masih tetap menyembunyikan diri bagi Pikatan dan anaknya sendiri, Puranti. Dimalam hari Kiai Pucang Tunggalpun berkeliaran disekitar Sambi Sari. Mungkin orang yang mencari Pikatan itu mempunyai maksud tertentu sehingga iapun berkeliaran pula dikelamnya malam. Namun Kiai Pucang Tunggal tidak segera dapat menemukannya. Tetapi selagi Kiai Pucang Tunggal mencarinya, tiba-tiba seorang anak muda dengan tergesa-gesa mencari Wiyatsih. "Orang itu datang lagi Wiyatsih" berkata anak muda itu. "Siapa?" "Yang kau katakan mencari Pikatan" "Apa katanya?" "Ia juga bertanya kapadaku tentang Pikatan. Tetapi aku berkata kepadanya, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui sesuatu tentang Pikatan. Ia telah mengasingkan diri didalam rumahnya" "Kau tidak berkata tentang aku?" "Ya. Aku berkata kepadanya jika ia ingin bertemu dengan adiknya, ia akan dapat memberikan beberapa keterangan mengenai Pikatan" "Lalu?" "Ia bersedia menemui kau" "Dimana ia sekarang?" .
732 "Tidak sekarang. Tetapi besok malam" "Kenapa malam?" "Aku tidak tahu. Tetapi ia mengharap kau datang besok malam. Ia lebih senang kalau kau datang bersama Pikatan. Ia sudah rindu kepadanya. Ia menunggu di timbunan brunjungbrunjung itu" SH Mintardja Yang Terasing Jilid 09-Bab 03 Wiyatsih mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin curiga. Tetapi ia benar-benar ingin bertemu dengan orang itu meskipun ia harus sangat berhati-hati. "Baiklah" katanya kemudian "aku akan menemuinya. Aku ingin mendengar sendiri dari mulutnya, siapakah ia sebenarnya" "Ia tidak mau menyebut namanya" "Ya, ia merahasiakan dirinya. Itulah sebabnya aku menjadi sangat tertarik untuk menemuinya" "Tetapi hati hatilah Wiyatsih" "Kenapa?" "Wajah orang itu tidak jelek. Mungkin cukup tampan Tetapi kesannya sangat menakutkan. Senyumnya membuat hatiku berdebar debar. Apalagi suara tertawanya yang lirih. Terasa bulu-bulu ditubuhku meremang" "Baiklah, aku akan berhati-hati" Demikianlah ketika kemudian malam turun perlahan-lahan dipadukuhan Sambi Sari, Wiyatsihpun sudah siap menugggu kedatangan Kiai Pucang Tunggal dihalaman belakang. Biasanya ia datang lebih lambat dari orang tua itu, tetapi
733 karena sesuatu mendesak didadanya, maka ia telah mendahuluinya. "Aku terlambat sekarang" berkata Kiai Pucang Tunggal ketika ia datang kelempat itu. "Tidak Kiai, akulah yang datang terlampau awal. Ada sesuatu yang mendesak yang ingin aku katakan" "Tentang apa?" "Orang itu, orang yang ingin mencari Pikatan" "O, apakah ia datang kembali " Wiyatsihpun kemudian menceriterakan tentang rencanannya untuk menemuinya dan tentang orang itu sendiri melengkapi keterangannya yang lebih dahulu pernah diberikannya kepada Kiai Pucang Tunggal. Kiai Pucang Tunggalpun menjadi berdebar-debar. Ada semacam naluri padanya, bahwa Wiyatsih benar benar harus berhati-hati. "Dimana kau akan menemuinya?" "Ditempat kami akan membut bendungan, diantara brunjung brunjung yang kami timbun disana. "Jadi kau akan pergi kesana?" "Ya. Aku ingin menemuinya. Aku ingin tahu siapakah sebenarnya orang itu" "Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam dalam. Lalu katanya "Baiklah Wiyatsih. Aku akan mengawasimu dari kejauhan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. sehingga aku tidak usah turut campur dalam hal ini. Apalagi kita belum jelas, siapakah sebenarnya orang itu" "Apakah aku tidak usah memberitahukan kepada Puranti?"
734 "Tidak usah. Kau tidak akan menjumpainya dalam sepekan dua pekan ini. Ia sedang tekun dengan ilmunya" "O, tentu Puranti sudah jauh sekali meninggalkan aku. Apakah ia sudah sampai kepada puncak dari ilmunya" "Demikianlah dalam bentuk wantahnya. Tetapi ia masih harus banyak belajar tentang ikatan alam disekitarnya sebagai bahan yang disediakan bagi manusia" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan demikian ia dapat membayangkan bahwa Puranti kini telah memiliki ilmu yang utuh meskipun menurut Kiai Pucang Tunggal ia masih harus menemukan kesempurnaannya dalam hubungan dengan kekuatan yang tersembunyi didalam alam disekitarnya. "Jika Puranti dapat luluh" berkata Kiai Pucang Tunggal "maka ia akan menguasai suatu ilmu yang cukup matang" "Sempurna" potong Wiyatsih. Tetapi Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya Katanya "Tidak ada yang sempurna dibumi ini. Hanya Yang Sempurna sajalah yang sepenuhnya sempurna" "O" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya "ya Kiai" Ketika Wiyatsih kemudian merenung, maka Kiai Pucang Tunggal berkata "Besok pergilah ke tempat yang sudah ditentukan. Akupun ingin melihat, Siapakah orang itu sebenarnya" "Baiklah Kiai" Wiyatsih menjadi ragu "tetapi apakah aku harus mengenakan pakaianku sendiri atau aku harus berpakaian laki-laki dan siap untuk menghadapi setiap kemungkinan" "Rangkapilah dengan pakaianmu sendiri. Aku ada didekatmu. Jika terjadi sesuatu, aku akan membantumu" "Terima kasih Kiai"
735 "Nah, sekarang masih ada waktu. Berlatihlah, barangkali kau besok dipaksa harus menghindarkan dirimu dari suatu mala petaka" Wiyatsih merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk "Baiklah Kiai. Aku akan segera mulai" Seperti biasanya Wiyatsihpun segera berlatih. Namun hanya sekedar berlatih kecepatan bergerak seperti yang selalu dilakukan. Disentuhnya ujung-ujung dedaunan yang sudah ditentukannya sendiri dengan pedangnya. Kemudian disambarnya beberapa batang tangkai sehingga daunnya berguguran ditanah. Gerakan Wiyatsih semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga akhirnya batang pedangnya tidak lagi dapat dilihat dengan mata telanjang. "Bagus" desis Kiai Pucang Tunggal. Kecepatan bergerak Wiyatsih memang mengagumkan. Apalagi ia mempunyai nafas yang cukup panjang. sehingga ia dapat melakukan latihan serupa itu untuk waktu yang cukup lama. Ketika Wiyatsih kemudian berhenti, maka Kiai Pucang Tunggalpun berkata "Wiyatsih, kau benar-benar luar biasa Kau akan segera menguasai semua tata gerak dasar dari ilmu yang kau tuntut. Dengan demikian jalan telah terbuka bagimu untuk mencari kesempurnaan sendiri seperti Puranti dan Pikatan. Namun ingat, jangan terlepas dari sendi-sendi tata gerak dasar yang sudah aku berikan supaya kemampuanmu tidak menjadi senjata yang menusuk lambungmu sendiri" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi untuk segera menguasai kematangan ilmu yang telah diterimanya. Tetapi iapun tidak melupakan pesan Kiai Pucang Tunggal, bahwa ia tidak boleh terlepas dari sendisendi tata gerak dasar yang sudah diberikan, baik oleh Puranti maupun oieh Kiai Pucang Tunggal sendiri.
736 "Sudablah Wiyatsih" berkata Kia Pucang Tunggal kemudian "beristirahatlah. Besok kau akan menghadapi suatu keadaan yang mungkin berbahaya bagimu" "Tetapi apakah aku akan menemuinya tanpa senjata?" "Ya. Akulah yang akan membawa senjata buatmu besok jika kau perlukan" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam, Ia percaya kepada Kiai Pucang Tunggal. Orang tua itu tentu mempunyai perhitungan yang cukup cermat sehingga ia tidak akan mungkin gagal. Jika terjadi sesuatu atasnya maka ia hanya akan sekedar menghindarkan dirinya. selanjutnya, terserah kepada Kiai Pucang Tunggal untuk menyelamatkannya. Namun dengan demikian, malam itu Wiyatsih tidak segera dapat tidur. Angan-angannya berterbangan kian kemari. Sekali-sekali hinggap pada bendungan yang sudah dipersiapkan, kemudian pada parit-parit yang semakin lama menjadi semakin panjang. Kemudian kepada orang yang menunggunya disela-sela brunjung-brunjung bambu itu. "Siapakah sebenarnya orang itu?" desisnya. Wiyatsih masih mendengar langkah Pikatan keluar dari biliknya. Bunyi selarak pintu butulan dan kemudian gerit pintu itu perlahan-lahan sekali. "Kakang Pikatan harus mengetahuinya. Jika niat orang itu buruk, kakang Pikatan harus bersiap menghadapinya. Tetapi tidak mudah untuk memberi tahukan hal ini kepadanya" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam "Aku harus bersiap untuk dimarahinya tanpa menjawab sepatah katapun supaya tidak terjadi perselisihan" Namun akhirnya, Wiyatsihpun terlena. Ia jatuh didalam mimpi yang gelisah, sehingga tidurnyapun tidak begitu nyenyak meskipun cukup lama. Kadang-kadang ia menggeliat
737 dan kadang-kadang berdesah. Namun ia terkejut ketika ia mendengar suara berdesir dimuka pintu biliknya. Sekilas ia melihat Pikatan berdiri dimuka pintu yang telah terbuka sedikit. Namun iapun segera menutup matanya kembali. Ia hanya mempergunakan pendengarannya untuk mengetahui apakah maksud kakaknya berdiri dimuka pintu biliknya. Tetapi ternyata Pikatan tidak berbuat apa-apa. Sejenak kemudian terdengar desir langkahnya menjauh dan menghilang kedalam biliknya sendiri. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah sebenarnya maksud kakaknya. Tetapi terasa sesuatu bergetar didalam hatinya. Bagaimanapun juga Pikatan adalah saudara laki-laki yang lebih tua daripadanya. Seterusnya, Wiyatsih tidak dapat memejamkan matanya lagi sampai terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kali-nya dimalam itu. Wiyatsih bangkit dari pembaringannya sambil menggeliat. Ia harus segera bangun dan melakukan pekerjaannya seharihari sebagai seorang gadis. Membersihkan rumah dan membantu orang-orang yang sedang sibuk didapur. Hari itu telah dilaluinya dengan kegelisahan yang selalu membayanginya. Ketika ia bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya berdiri diantara timbunan brunjungbrunjung setelah menyelesaikan pekerjaanya disawah, maka debar dijantung Wiyatsih serasa menjadi semakin keras. Malam nanti ia harus pergi ketempat itu untuk menemui seseorang yang tidak dikenalnya. Namun bersamanya akan datang pula Kiai Pucang Tunggal yang selama ini seolah-olah telah menjadi gurunya. "Aku adalah seorang murid yang aneh berkata Wiyatsih didalam hatinya "guruku yang dua orang itu adalah ayah dan anak. Guru dan murid pula"
738 Tetapi karena tidak ada perbedaan dasar pada keduanya, maka semuanya itu dapat berjalan dengan baik dan saling melengkapi. Demikianlah hari itu rasa-rasanya berjalan lambat sekali. Wiyatsih menjadi hampir tidak sabar lagi menunggu senja turun. Ketika ia sudah berada dirumahnyapun rasa-rasanya ia tidak tenang duduk dan berbaring dipembaringan. Dengan gelisah ia selalu saja mengisi waktunya agar waktu tidak terlalu menyiksanya. Demikianlah menjelang gelap, Wiyatsih sudah mempersiapkan dirinya. Dipandanginya pedangnya yang diletakkannya dibawah tikar dipinggir pembaringamya. Tetapi seperti pesan Kiai Pucang Tunggal, senjata itu tidak dibawanya serta. Ketika malam datang, maka seperti biasanya Wiyatsihpun pergi keluar. Kepada ibunya ia berkata, bahwa ia hanya akan ada dikebun belakang. Tetapi setelah berada dibelakang rumahnya, maka Wiyatsihpun segera menyingsingkan kain panjangnya. Meskipun agak kurang bebas, namun ia dapat juga meloncati dinding bata dibelakang, karena dibawah kain panjangnya, ia mempergunakan pakaian laki-lakinya. Bagaimanapun juga ada rasa cemas menggelitik hatinya, sehingga meskipun hanya sekedar pakaian, rasa-rasanya ia menjadi bertambah tenang. Dengan pakaian itu ia akan dapat bergerak lebih bebas. Dan dengan pakaian itu ia dapat menyingsingkan kain panjangnya tanpa ragu-ragu. Dengan hati yang berdebar-debar, maka Wiyatsihpun memenuhi perjanjiannya dengan orang yang tidak dikenal itu. Dengan hati-hati ia berjalan ketepian, ketempat brunjungbrunjung bambu dan batu ditimbun dalam persiapan mereka membuat bendungan. Namun semakin dekat dengan tempat itu, hati Wiyatsh terasa menjadi semakin bergetar. Dan tiba-tiba saja ia sadar,
739 bahwa yang dilakukan itu adalah suatu tindakan yang berbahaya sekali. Ketika Wiyatsih berdiri diatas sebuah tanggul, dilihatnya dalam keremangan malam yang sepi, bayangan brunjungbrunjung bambu yang kehitam-hitaman seperti beberapa onggok bukit kecil yang berserakkan. Tetapi ia tidak melihat seseorang diantara bayangan yang hitam itu. "Apakah orang itu benar-benar akan datang?" bertanya Wiyatsih didalam hatinya. Dan tiba-tiba saja timbullah berbagai macam pertimbangan. Dengan demikian ia tidak mau lagi memasuki sela-sela brunjung yang bertimbun-timbun itu. Dengan demikian ia sudah mengantarkan dirinya sendiri kedalam bahaya yang sukar dihindarinya, karena jika orang itu datang lebih dahulu, maka ia akan dapat menunggunya sambil bersembunyi. Jika ia berniat buruk, baik terhadap dirinya maupun terhadap Pikatan, maka dengan mudah hal itu dilakukan. Ia dapat menyergapnya dan mempergunakannya sebagai barang tanggungan untuk memeras Pikatan. Mungkin untuk memaksanya membunuh diri atau perbuatan-perbuatan lainnya. Apalagi jika orang itu ingin berbuat jahat langsung kepadanya. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan itu, Wiyatsih masih belum bergerak maju. la masih berdiri termangu-mangu diatas tanggul. Namun tiba-tiba hampir saja Wiyatsih terloncat, ketika ia mendengar desis perlahan dibelakangnya "Jangan terkejut Wiyatsih, aku Kiai Pucang Tunggal. Berdirilah ditempatmu, jangan bergerak, supaya tidak menimbulkan kecurigaan" Wiyatsih bergeser sedikit. Tetapi ia tidak berpaling. Ia mengenal betul suara itu. Suara itu memang suara Kiai Pucang Tunggal. Dan suara itu berkata lagi "Aku mendahuluimu Wiyatsih. Dan aku sudah melihat orang itu. Berhati-hatilah. Orang itu
740 adalah orang yang sangat berbahaya. Baik bagimu maupun bagi Pikatan. Ia memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, sehingga kau harus memperhitungkan setiap langkahnya. Apalagi ia tidak datang seorang diri. Aku lihat ada dua orang yang ada diantara brunjung-brunjung itu. Tetapi yang seorang aku belum mengenalnya. Mungkin seorang kawannya atau orang lain yang sama-sama mendendam kepada Pikatan. Dada Wiyatsih serasa bergetaran. Tetapi ia tidak bergerak. "Mendekatlah. Tetapi jangan berdiri diantara brunjungbrunjung itu. Jika terjadi malapetaka, kau mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Jangan dibebani perasaan malu, jika kau terpaksa melakukan suatu tindakan untuk menyelamatkan diri, karena kau memakai kain panjang yang barangkali akan mengganggu. Aku tidak menyangka bahwa orang itulah yang akan datang kemari. Aku kira orang itu adalah kawan dari para pejahat Yang telah dibunuh oleh Pikatan atau disangka terbunuh olehnya" Tanpa berpaling. Wiyatsih bertanya perlahan-lahan "Siapakah orang itu Kiai?" Kiai Pucang Tunggal tidak sempat menjawab. Dari antara brunjung-brunjung bambu itu tampak sebuah bayangan yang lamat-lamat. "Kaukah itu" bertanya suara itu agak keras. Wiyatsih ragu ragu sejenak. Dan ia mendengar Kiai Pucang Tunggal yang bersembunyi dibalik tanggul berbisik "Jawablah. Tetapi ingat, mereka datang berdua. Jangan! memasuki selasela timbunan brunjung-brunjung itu" Wiyatsih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. "Mendekatlah, Jagalah agar aku dapat mengawasimu dari tempat ini"
741 "He, siapakah kau?" bertanya bayangan yang remanramang itu. Wiyatsih sadar, bahwa suara itu tidak akan terdengar oleh siapapun. Bahkan seandainya ia menjerit sekalipun, tidak akan ada orang yang akan mendengarnya. Jika ada satu dua orang yang berada disawah mendengar suaranya, mereka pasti akan lari sipat kuping, karena daerah ini dikenal sebagai daerah yang wingit. Perlahan-Jahan Wiyatsih maju mendekat. Dan iapun medengar suara itu lagi "Kaukah adik Pikatan itu?" "Ya" jawab Wiyatsih "aku adalah adik Pikatan" "O" orang itu kemudian berkata pula "kemarilah. Aku sudah menuggumu" "Aku tidak dapat mendekat" berkata Wiyatsih "Aku tidak dapat meloncati batu itu. Jalanan itu sangat terjal" "He, bukankah setiap hari kau datang kemari?" "Aku akan mencoba. Tetapi sebiknya kau datang kemari" "Kemarilah. Senang sekali berbicara diantara brunjungbrunjung bambu yang kau siapkan untuk membuat bendungan ini. Aku berbangga melihat seorang gadis yang berpikir tangkas seperti kau. Kau tentu dapat juga bergerak setangkas pikiranmu itu" "Aku tidak dapat berjalan lebih jauh lagi dalam gelapnya malam. Disiang hari aku dapat melihat batu batu padas yang berserakkan. Tetapi dimalam hari kakiku terasa sakit sekali" "Jangan berbohong. Kau dapat berlari-lari diatas batu batu padas" "Disiang hari. Tetapi tidak malam hari" "Jangan merajuk. Kemarilah. Ada sesuatu yang akan aku katakan"
742 Wiyatsih maju beberapa langkah lagi. Nalurinya membawanya ketempat yang agak datar. Jika terjadi sesutu tempat itu cukup mapan untuk menjadi arena. "Nah, kau sudah turun. Kemarilah" "Kakiku sakit sekali" Wiyatsih menyahut. "Kau tinggal berjalan beberapa langkah lagi" "Aku disini saja" berkata Wiyatsih. Dan tiba tiba saja ia menjatuhkan diri, duduk diatas pasir. "He, kenapa?" bertanya orang yang hanya dilihatnya samar-samar "kenapa kau?" "Kakiku sakit sekali" sahut Wiyatsih. Namun Wiyatsih telah mengendorkan kain panjangnya, sehingga setiap saat ia akan dapat menyingsingannya jika perlu. "Apakah kau tidak dapat kemari?" bertanya orang itu. Wiyatsih menggeleng. Tetapi agaknya orang itu tidak melihatnya. Terdengar ia bertanya lagi "Bagaimana" Apakah kau tidak dapat datang kemari?" "Aku disini" "Baiklah berkata orang itu "aku akan datang kepada-mu" Sejenak orang itu termangu-mangu, Namun kemudian dari balik brunjung-brunjung itu muncul seorang lagi. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Pucang Tunggal, ternyata mereka memang berdua. Ketika keduanya menjadi semakin dekat, maka Wiyatsihpun segera berdiri, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tanpa disadarinya ia memandang ketempatnya berdiri semula. Dan iapun menjadi agak tenang, dibelakang tanggul itu bersembunyi Kiai Pucang Tunggal
743 Setelah kedua orang itu menjadi semakin dekat, maka salah seorang dari keduanya bertanya "Apakah benar kau adik Pikatan?" "Ya" jawab Wiyatsih "aku adalah adik Pikatan" "Dimana Pikatan?" Aku telah berpesan agar kau datang bersamanya. Aku sudah sangat rindu kepadanya" Wiyatsih menarik nafas dalam dalam. Jawabnya "Sayang sekali. Kakang Pikatan tidak mau datang. Aku sudah mengatakan kepadanya. bahwa sahabatnya ingin bertemu. Tetapi ia marah kepadaku" "Kenapa ia marah?" "Ketika ia bertanya siapakah nama sahabatnya itu, aku tidak dapat mengatakannya. Disangkanya aku berbohong dan bahkan mempermainkannya" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "ia pemarah sekarang. Setiap kali ia marah. Bahkan memukulku" "Memukulmu" Jadi Pikatan memukul seorang gadis?" "Ya. Pikatan sekarang mengasingkan dirinya dan menjadi seorang pemarah" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "karena itu, meskipun aku sebenarnya takut datang kedaerah ini dimalam hari, apalagi seorang diri, aku pedukan juga datang. Aku ingin mengajakmu kerumahku. Mungkin kau akan dapat menyembuhkan penyakitnya itu" Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, namun kemudian salah seorang berkata "Apakah kau menduga bahwa kedatangan kami dapat menyembuhkan sakit Pikatan itu" "Bukan sakitnya. Tidak seorangpun yang dapat menyembuhkan cacatnya. Tetapi kau akan mempengaruhi perasaannya. Alangkah senangnya kami sekeluarga, jika kakang Pikatan menjadi sembuh dan dapat bergaul kembali
744 dengan kami, dengan keluarganya dan dengan kawankawannya" Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Sejenak mereka merenung, namun salah seorang menjawab "Sayang anak manis. Aku tidak dapat datang kerumahmu. Aku mengharap Pikatan datang kemari. Aku ingin bertemu dan berbicara sepuas-puasnya" "Siapakah kalian berdua" Jika aku dapat menyebut namamu, mungkin kakang Pikatan akan berubah pendirian. Aku akan mengantarkannya menemuimu. Tetapi aku kira tidak disini. Ia benci pada bendungan ini" "Kenapa?" "Ia tidak mau orang lain yang membuat bendungan ini selain dirinya" Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Lalu salah seorang daripadanya berkata "Aku menunggu disini. Tetapi siapakah namamu" Aku sudah mendengar dari anak muda yang aku temui itu. Tetapi aku lupa" "Wiyatsih" "O, ya Wiyatsih" orang itu tersenyum "kau cantik sekali. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari suatu dugaan bahwa adik Pikatan inipun berbahaya seperti Pikatan" "Kenapa berbahaya?" Orang itu tertawa. "Apakah Pikatan berbahaya bagimu" Bukankah kau sahabat-sahabatnya" "Ya. Kami adalah sahabat-sahabatnya. Karena itu, bawalah Pikatan kemari. Aku akan menunggu disini. Besok malam kau datang lagi dan memberitahukan kepadaku, hasil pembicaraanmu dengan Pikatan"
745 "Tetapi, siapakah kalian. Dan kenapa kalian tidak mau datang kerumahku?" "Tidak, kau terlalu cantik. Kau dapat membahayakan kami dari beberapa segi. Mungkin kau memiliki ilmu kanuragan seperti Pikatan, tetapi mungkin juga senyummu itu berbahaya bagi kami" "Aku tidak mengerti, dan aku sama sekali tidak tersenyum" Keduanya tertawa. Tetapi yang seorang berkata "Aku tunggu besok kau disini. Katakan kepada Pikatan bahwa aku ingin menemuinya" "Sebutkan namamu supaya aku dapat meyakinkan kakang Pikatan meskipun aku sendiri menjadi bingung tentang sikap dan kata katamu" "Kau tidak usah memikirkan kami. Bujuklah agar Pikatan datang. Itu saja. Tidak ada persoalan apa-apa diantara kita. Kau dan aku, meskipun kau terlalu cantik" Wajah Wiyatsih menjadi merah. Pujian-pujian tentang dirinya yang diucapkan beberapa kali oleh orang itu membuat hatinya berdebar-debar. Sekilas teringat kata-kata kawannya yang mendapat pesan dari orang itu, bahwa orang yang mencari Pikatan itu cukup tampan, tetapi suara tertawanya mendirikan bulu roma. Sejenak kemudian, setelah gejolak hatinya mereda, Wiyatsih menjawab "Aku tidak berani. Jika sekali lagi aku mengatakan kepada kakang Pikatan tentang orang yang tidak dapat aku sebut namanya, aku pasti akan dipukulnya. Dan aku tidak mau dipukulnya" "Kau tentu kurang pandai menjaga hati kakakmu yang cacat itu. Agaknya ia bukan saja menjadi cacat tubuhnya tetapi juga cacat jiwanya. Katakan, aku adalah sahabat lamanya. Dan aku adalah orang yang langsung berhubungan dengan cacatnya itu"
746 "He?" "Aku tahu benar, kenapa Pikatan menjadi cacat. Karena itu, aku sudah menemukan seorang dukun yang paling, pandai yang barangkali dapat menyembuhkan cacatnya. la akan mengenal aku, tanpa kau menyebut namaku" Wiyatsih merenung sejenak. Ia masih belum puas karena ia masih belum mendengar nama orang itu. Tetapi agaknya orang itupun berkeberatan menyebut namanya. Tetapi Wiyatsih tidak memaksanya dengan kasar. Orang itu adalah orang yang sangat berbahaya bagi dirinya dan bagi Pikatan, menurut Kiai Pucang Tunggal. Karena itu iapun harus sangat berhati-hati menghadapinya. "Sudahlah Wiyatsih" berkata salah seorang dari mereka "kembalilah kerumahmu, katakan kepada Pikatan bahwa aku menuggunya. Besok ajaklah ia kemari. Selain Pikatan aku masih berurusan dengan seorang yang lain, karena aku mempunyai janji pula. Seorang perempuan dari tempat yang jauh. Aku akan menemui Pikatan lebih dahulu untuk mendengarkan apakah ia akan berpesan sesutu kepadanya" "Siapakah perempuan itu?" "Kau tentu belum mengenalnya" "Jika orang itu kawan kakang Pikatan, mungkin aku sudah mengenalnya" Orang itu tertawa. Katanya "Pergilah sebelum aku berbuat lebih banyak lagi. Kecantikanmu memang berbahaya bagiku. Jika aku kehilangan nalar, ada dua kemungkinan dapat terjadi atasmu. Kau aku bunuh agar aku tidak tenggelam dalam dunia mimpi yang gila, atau kau akan aku bawa sama sekali" Terasa bulu bulu Wiyatsih meremang. Tetapi ia masih berkata "Kenapa tiba tiba saja kau menjadi kasar" Apakah demikian ke biasaan kawan-kawan kakang Pikatan?"
747 "Sudahlah, pergilah. Bawa Pikatan kemari" Tetapi Wiyatsih tetap menggelengkam kepalanya. Katanya "Aku belum tahu namamu. Aku tidak akan mengatakannya kepada kakang Pikatan" "Jangan membuat aku menjadi jengkel. Kenapa kau bersikeras untuk menolak permintaanku yang tidak berarti ini" "Aku takut. Aku takut sekali kepada kakang Pikatan" "Tetapi kau tidak takut kepadaku" Pikatan hanya sekedar memukulmu, aku akan membunuhmu atau berbuat yang lain yang sama artinya dengan membunuhmu" Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Ia tahu arti dari kata kata itu. Namun ia merasa dirinya dilindungi oleh Kiai Pucang Tunggal sehingga ia tidak menjadi gentar karenanya. Maka katanya "Kau adalah sahabat kakang Pikatan. Kau tidak akan berbuat kasar terhadap adiknya" "Aku akan berbuat kasar, supaya Pikatan marah dan datang kemari menuntut balas" "Jika demikian kalian sama sekali bukan sahabat kakang Pikatan" Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian yang seorang dari mereka tertawa. Katanya "Kau pandai juga menebak. Baiklah, aku berterus terang. Katakan kepada Pikatan, bahwa aku menunggu ditempat ini besok. Jika ia tidak datang, aku akan berbuat lain. Tetapi kau harus berusaha agar ia datang. Aku menunggunya besok, disini. Jika kau tidak berhasil, maka aku akan merusak bendunganmu ini. Sekarang atau kelak setelah bendungan itu jadi" "Kenapa bendungan" Kakang Pikatan tidak ada sangkut pautnya dengan bendungan ini" "Tetapi kau ada sangkut pautnya. Karena, itu jika kau gagal membawa Pikatan maka kau akan menyesal. Brunjung748 brunjung ini akan terbakar atau bendunganmu kelak akan hancur sebelum kau sempat menikmati airnya dimusim kering yang mendatang sesudah musim kering mendekat ini" "Kau gila. Bendungan ini adalah jantung dari rakyat Sambi Sari. Jika kau mempunyai persoalan dengan kakang Pikatan, selesaikan persoalanmu dengannya. Jangan mengorbankan orang sekademangan" "Terserahlah kepadamu. Jika kau tidak rela, kerahkan anak-anak muda Sambi Sari sebanyak dapat kau kumpulkan untuk menjaga bendungan ini. Tetapi ingat, jika mereka menolak dan melawan keinginanku, korban itu akan langsung berjatuhan. Tidak ada seorangpun yang dapat melawan kehendakku disini. Apalagi aku tidak hanya sendiri atau berdua. Aku dapat memanggil lebih dari sepuluh orang. Nah, apakah anak-anak muda Sambi Sari dapat melawan kami yang sepuluh orang itu, berapapun banyak jumlah mereka" Kami adalah orang yang terbiasa berkelahi seperti juga Pikatan. Kami adalah orang-orang yang dapat membunuh sambil tersenyum seperti juga Pikatan" "Tidak" potong Wiyatsih "kakang. Pikatan tidak melakukannya" "O, kau sangka Pikatan bukan pembunuh?" "Ia membunuh untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan" Orang itu tertawa. Katanya "Apa arti keadilan dan kemanusiaan jika akhirnya ia membunuh juga. Tidak ada bedanya. Setiap orang yang menghilangkan nyawa orang lain adalah pembunuh" "Tetapi ia berdiri dipihak yang benar" "Menurut penilaian Pikatan dan barangkali penilaianmu, karena kau adiknya. Tetapi bagiku, diseluruh muka bumi ini tidak ada kebenaran selain yang aku lakukan. Adalah salah
749 sama sekali jika seseorang mencampuri urusan orang lain seperti yang dilakukan oleh Pikatan" "Jika orang-orang yang terbunuh itu merampok rumah kami?" "Berilah ia kesempatan. Ia akan mengambil isi rumahmu yang sudah terlalu lama kau miliki" orang itu tertawa "kenapa kita penghuni tanah ini berkeberatan untuk saling tukar menukar milik masing-masing. Suruhlah sekali-sekali Pikatan untuk merampok" Wajah Wiyatsih menjadi merah pula. Bukan karena pujian yang berulang kali, tetapi karena kemarahan yang mulai merayapi hatinya. Namun ia masih selalu ingat pesan Kiai Pucang Tunggal, sehingga karena itu ia masih selalu menahan diri. "Sudahlah" berkata orang itu "pergilah. Besok aku menunggumu diantara brunjung-brunjung itu. Bawa Pikatan serta. Jika tidak ada kesempatan bagiku untuk menemui Pikatan, maka brunjung-brunjung ini akan terbakar. Dan sepanjang musim kering mendatang, kau tidak akan sempat membuat bendungan karena aku akan mengganggumu terus menerus sebelum kau bawa Pikatan kepadaku". "Gila, itu pikiran gila" "Kita sama-sama sudah gila" sahut yang seorang, lalu katanya kepada kawannya "Marilah, kita tinggalkan anak manis ini supaya aku tidak berbuat lebih banyak lagi" "Tunggu, siapa namamu?" Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka berjalan perlahan-lahan meninggalkan Wiyatsih yang berdiri termangumangu. Tetapi Wiyatsih tidak berbuat lebih banyak lagi. Ia masih tetap sadar, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Sehingga karena itu ia tetap berdiri saja
750 ditempatnya sehingga orang-orang itu hilang diantara brunjung-brunjung bambu. Wiyatsihpun kemudian segera berjalan kembali keatas tanggul menemui Kiai Pucang Tunggal yang masih bersembunyi dibalik tanggul itu. Namun demikian ia berdiri diatas tanggul, maka langsung didengarnya suara Kiai Pucang Tunggal yang berbisik halus "Cepat pulanglah. Aku akan mencoba megikutinya, kemana mereka pergi" Wiyatsih tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu kembali kerumahnya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, Wiyatsihpun kemudian masuk lewat pintu butulan yang belum diselarak karena ibunya menyangka bahwa Wiyatsih masih berada dihalaman belakang. Tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Wiyatsih telah pergi keluar, karena ia meloncat dinding belakang ketika ia pergi dan kembali. Dengan hati yang berdebar-debar Wiyatsih memandangi pintu bilik Pikatan yang masih tertutup. Menurut pertimbangannya Pikatan harus tahu, bahwa didaerah Sambi Sari telah berkeliaran orang yang berbahaya baginya. "Aku tidak sempat bertanya siapakah nama orang itu kepada Kiai Pucang Tunggal" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Karena itu, maka Wiyatsihpun tidak segera mengatakannya kepada Pikatan. Ia tentu akan marah dan kadang-kadang Wiyatsihpun tidak berhasil menahan perasaannya jika Pikatan memaki-makinya. "Besok aku akan bertanya kepada Kiai Pucang Tunggal" desis Wiyatsih kepada diri sendiri "siapakah nama orang itu dan apakah aku harus memberitahukan kepada Pikatan"
751 Demikianlah maka Wiyatsihpun kemudian masuk kedalam biliknya setelah menyelarak pintu dan berbaring dipembaringannya. Tetapi ia tidak segera dapat memejamkan matanya. Beberapa lamanya ia masih mengenangkan orangorang yang tidak dikenalnya itu dan membayangkan apa saja yang dapat dilakukannya. Tetapi lambat laun, semuanya menjadi semakin kabur, ketika beberapa saat kemudian iapun jatuh tertidur. Dini hari, ia bangun seperti biasanya. Ia menjadi berdebardebar ketika ia melihat pintu bilik Pikatan tidak tertutup rapat. Tetapi ia tidak melihat Pikatan berada didalam biliknya. Sejenak ia termangu-mangu. Kemudian ia pergi kebelakang, untuk mencari apakah kakaknya benar benar belum pulang "Apakah kakang Pikatan semalam bertemu dengan orang orang itu ketika kakang Pikatan melatih diri?" pertanyaan itu mulai mengganggunya" sebentar lagi matahari akan segera terbit dan padukuhan ini akan menjadi cerah. Biasanya kakang Pikatan telah kembali sebelum terang" Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Pikatan berjalan dengan tergesa-gesa langsung menuju kepakiwan, Setelah membersihkan dirinya, tanpa berkata sepatah katapun ia langsung pula masuk kedalam biliknya. Kembali Wiyatsih dicengkam oleh keraguan-raguan. Apakah ia harus mengatakannya dan membawanya kepinggir Kali Kuning itu, atau ia harus menemui Kiai Pucang Tunggal dahulu. "Aku akan menunggu Kiai Pucang Tunggal, agar aku tidak berbuat kesalahan. Kiai Pucang Tunggal tahu benar, siapakah yang sedang kita hadapi. Dengan demikian kakang Pikatanpun tidak akan salah hitung"
752 Dihari itu, seperti biasa Wiyatsih melakukan pekerjaannya sehari-hari. Seperti biasanya ia pergi kesawah. Kemudian pergi Kali Kali Kuning. Bukan saja melihat brunjung-brunjung yang semakin banyak, tetapi iapun singgah pula mencuci pakaian karena sungai sedang tidak banjir. "Hujan sudah menjadi semakin jarang" gumannya kepada diri sendiri. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan kepada siapapun bahwa semalam ia berada didekat timbunan brunjung-brunjung itu. Ia tidak mengatakan kepada siapapun bahwa seorang telah mengancam akan membakar brunjungbrunjung itu atau kelak merusak bendungan apabila ia belum sempat bertemu dengan Pikatan. "Tentu pembalasan dendam" berkata Wiyatsih kepada diri sendiri. Disore hari, Wiyatsih mulai menjadi gelisalh. Keraguraguannya serasa selalu melonjak-lonjak didalam hatinya. Jika ia tidak segera memberitahukan kepada Pikatan, maka jika kebetulan saja Pikatan bertemu dengan mereka dimalam hari sebelum mempersiapkan diri, mungkin hal itu akan sangat berbahaya baginya. Tetapi jika ia mengatakannya dan justru menimbulkan salah duga pada Pikatan, akibatnya akan sama saja baginya. Tetapi sekali lagi ia menentukan sikap "Aku akan menunggu Kiai Pucang Tunggal. Mudah mudahan ia datang malam nanti" Ketika hari menjadi gelap, maka Wiyatsihpun segera mempersiapkan diri. Ia masih belum tahu, apakah ia harus pergi ke sela-sela brunjung itu lagi seperti yang diminta oleh orang orang itu, justru bersama Pikatan. la menunggu nasehat dari Kiai Pucang Tunggal, apakah yang sebaiknya dilakukan. Namun dengan mengenakan pakaian seperti yang dikenakan malam sebelumnya, iapun kemudian pergi ke kebun
753 belakang. Sejenak ia duduk menunggu kedatangan Kiai Pucang Tunggal. Wiyatsih terlonjak ketika ia melihat seseorang meloncat dinding tepat dihadapannya. Bukan Kiai Pucang Tunggal, tetapi orang itu adalah Puranti. "Puranti, kau" Wiyatsihpun berlari-lari mendapatkannya. Sesaat keduanya berpelukan setelah beberapa lama mereka tidak bertemu justru dalam saat-saat yang menegangkan. Kau terlalu lama meninggalkan aku" berkata Wiyatsih. "Ya, tetapi bukankah ayah ada disini?" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya "Jadi kau tahu bahwa Kiai Pucang Tunggal ada disini?" Puranti tersenyum. "Dari siapa kau mengetahuinya?" Wiyatsih terkejut ketika ia mendengar jawaban dari belakangnya "Aku sudah menemuinya Wiyatsih" "O" ketika Wiyatsih berpaling. Dilihatnya Kiai Pucang Tunggal berdiri dibelakangnya sambil tersenyum pula. "Jadi Kiai sudah menemuinya?" "Orang itu sangat bergahaya baginya Wiyatsih. Itulah sebabnya aku segera menemuinya dan memberitahukan kepadanya tentang kehadiran orang itu" "O" Wiyatsih mengerutkan keningnya apakah orang itu mengenal Puranti seperti ia mengenal Pikatan?" Kiai Pucang Tunggal mengangguk. Dengan wajah yang tegang Wiyatsih memandang Puranti sejenak. lalu katanya "jika demikian, maka perempuan yang dimaksud orang itu adalah Puranti"
754 Puranti mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya "Apakah ia menyebut orang lain selain Pikatan?" "Ya. la menyebut seorang perempuan. Setelah menemui kakang Pikatan, ia akan menemui perempuan itu. barangkali kakang, Pikatan akan mengirmkan pesan" Puranti tersenyum. Katanya "Akulah yang dimaksud" "Bukankah aku sudah mengatakan bahwa orang itu berbahaya bagi Pikatan dan Puranti, tetapi juga bagimu, Wiyatsih "berkata Kiai Pucang Tunggal. Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya, Katanya kemudian "Tetapi aku belum sempat mengatakan kepada kakang Pikatan. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Aku memang menunggu Kiai malam ini" "Pikatan harus mengetahui Wiyatsih. Tetapi aku tahu, bahwa kau mendapatkan kesulitan untuk mengatakannya." "Ya. Aku tidak dapat mengatakan kepadanya" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk. Sejenak ia berpikir, namun ia tidak segera mengatakan sesuatu. "Kiai" barkata Wiyatsih kemudian "jika aku mengetahui namanya, maka aku akan mencoba mengatakannya. Mungkin ia marah, tetapi ia akan lebih marah jika aku mengatakan kepadanya tanpa mengenal namanya" "Apakah begitu?" bertanya Kiai Pucang Tunggal. "Ya Kiai. Tetapi aku tidak tahu akibat yang lebih jauh lagi." Kiai Pucang Tunggal terdiam sejenak. Namun iapun kemudian bertanya "Apakah Pikatan ada dirumah sekarang?" Wiyatsih menganggukan kepalanya. Jawabnya "Ya Kiai, Pikatan masih ada dirumah. Tetapi hampir setiap malam ia pergi berlatih."
755 Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk pula "Aku tahu" jawabnya "aku sering menunggui ia berlatih diluar sadarnya. Purantipun sering mengamatinya." "Ah" Puranti berdesah. "Tetapi Wiyatsih, bukankah kau berjanji akan bertemu lagi dengan orang itu malam ini?" "Ya. Mereka mengharap aku datang bersama kakang Pikatan" "Jika demikian orang itu tentu berada diantara brunjungbrunjung itu sekarang" "Ya. Mereka menunggu kedatanganku" "Jika demikian, maka setidak-tidaknya untuk malam ini mereka tidak akan menemui Pikatan. Mereka justru akan menunggumu" "Jadi" bertanya Wiyatsih "apakah aku harus datang" Kiai, mereka akan menunggu aku tidak sampai tengah malam. Sedang biasanya Pikatan keluar rumah sesudah tengah malam" "Aku akan mengawasinya" berkata Kiai Pucang Tusggal. lalu "sekarang kau berdua tinggallah disini. Aku akan melihat apakah orang itu masih berada disana dan benar-benar menunggu kedatanganmu" Wiyatsih memandang Puranti sejenak, lalu "Apakah mereka tidak akan marah dan benar-benar merusak bahan bendungan-bendungan yang sudah kami persiapkan itu?" "Tentu tidak sekarang, mereka hanya mengancam, bahkan mereka mengatakan, jika bukan bahan-bahannya, mereka akan merusa bendungan itu sudah jadi dan mereka belum sempat menemui Pikatan. Dengan demikian maka mereka bukannya berada disini untuk untuk dua tiga hari saja. Mereka akan berkeliaran didaerah ini untuk waktu yang lama. Dan
756 hal ini tentu akan sangat berbahaya, bukan saja bagi kalian yang langsung berkepentingan, tetapi juga bagi rakyat Sambi Sari, karena mereka tentu memerlukan bekal untuk hidup di daerah ini" "Merampok?" bertanya Wiyatsih. Kiai Pucang Tunggal mengangguk "Ya, itulah sebenarnya kenyataan mereka, sama sekali bukan seorang yang lembah manah, apalagi sahabat Pikatan" "Aku sudah menduga" berkata Wiyatsih. "Jika demikian, tinggallah disini bersama Puranti. Aku akan melihat mereka, apa yang akan mereka lakukan jika kau tidak datang membawa Pikatan malam ini " Wiyatsih menganggukan kepalanya, jawabnya "Baiklah Kiai. Aku akan selalu menunggu petunjuk Kiai" Demikianlah Kiai Pucang Tunggal itupun segera meninggalkan kedua gadis itu dihalaman belakang rumah, untuk mengetahui apakah yang sudah dikerjakan oleh orangorang yang dianggapnya sangat berbahaya itu. Sepeninggal Kiai Pucang Tunggal, maka Purantipun kemudian berkata "Wiyatsih, apakah yang sudah kau capai selama aku tidak datang mengunjungimu?" "Tidak ada" jawab Wiyatsih. "Apakah kau tidak pernah berlatih" Bukankah kau sudah menguasai pokok-pokok tata gerak yang aku ajarkan, sehingga kau dapat mengembangkan sendiri?" "Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Apakah Kiai Pucang Tunggal tidak mengatakan kepadamu bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa?" "Ayah tidak mengatakan apa-apa. Ayah hanya mengatakan bahwa ayah sudah mencari aku beberapa lama, karena aku tidak lagi sering datang kemari. Tetapi aku sudah menjelaskan
757 kepada ayah, bahwa aku sudah melengkapi pokok-pokok tata gerak yang cukup bagimu agar kau dapat mengembangkannya sendiri" "Tetapi aku terlalu bodoh, dan aku tidak dapat berbuat apa-apa" "Kau tidak mencoba?" "Setiap malam aku mencoba" Puranti tersenyum. Katanya "Baiklah. Marilah kita lihat sampai dimana kau berhasil maju" "Tetapi aku tidak bersiap untuk berlatih malam ini" "Kau tidak memakai pakaian rangkap?" Wiyatsih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. "Bersikaplah. Aku akan mulai" "Tunggu" "Aku tidak menunggu. Jika kau bertemu dengan lawan, merekapun tidak akan menunggu" "Tetapi ....................." Sebelum Wiyatsih selesai, Puranti telah barsiap. Tiba-tiba saja ia mendorong Wiyatsih. sehingga Wiyatsih melangkah surut sambil berdesis "Puranti" "Aku akan mulai" "Tetapi .............." sekali lagi kata-katanya terputus ketika Puranti meloncat menyerangnya. Sebuah sentuhan telah mengenai pipi Wiyatsih, sehingga kepalanya terdorong kesamping. "Jika tanganku tangan laki-laki yang menunggu dibrunjung itu, maka aku tidak akan sekedar menyentuh, tetapi pasti mencubitnya"
758 "Ah" Wiyatsih. berdesah. Namun ia tidak dapat berdiri saja termangu-mangu ketika Puranti menyerangnya lagi. Dengan demikian maka Wiyatsihpun segera menyingsingkan kain panjangnya, dan menyelipkan ujungnya pada ikat pinggangnya. Ia tidak peduli lagi apakah ia pantas berpakaian serupa itu. Namun ia harus melayani seranganserangan Puranti meskipun dengan agak canggung. Demikianlah keduanyapun segera terlibat dalam latihan yang semakjn lama semakin cepat. Puranti tidak memberi kesempatan Wiyatsih untuk berpikir. Karena itu, hampir seluruh gerakanya adalah naluriah yang mengalirkan kemampuannya yang sebenarnya Semakin cepat seranganserangan Puranti datang, semakin cepat pula Wiyatsih berloncatan mengerak, bahkan sekali-kali sempat juga ia menyerang. Latihan yang hampir menyerupai perkelahian yang sebenarnya itu semakin lama menjadi semakin seru. Purantipun mendesak Wiyatsih bersungguh-sungguh. Bahkan sentuhan tangannya kadang-kadang terasa sakit pada tubuh Wiyatsih, sehingga karena itu maka Wiyatsihpun berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk menghindari setiap santuhan tangan Puranti. Namun agaknya kemampuan Wiyatsih telah mengejutkan Puranti. Sambil tersenyum didalam hati ia memuji betapa pesat kemajuan yang sudah dicapainya. Bahkan iapun kemudian berkata didalam hati "Tentu ayahlah yang sudah menempanya. Dengan keadaannya ini, selisih antara Pikatan dan Wiyatsih sudah tidak begitu besar lagi. Pikatan yang berlatih seorang diri itu memang mengalami kemajuan yang pesat pula. Namun agaknya ayah telah menemukan suatu cara menuntun Wiyalsih sehingga anak ini seakan-akan telah mencapai suatu loncatan yang panjang tanpa membahayakan dirinya. Apakah Wiyatsih benar-benar telah membulatkan
759 tekadnya untuk memiliki ilmu ini, sedang Pikatan untuk beberapa lamanya seakan- akan menjadi patah dan berhenti." Namun demikian Puranti yang sering melihat dengan diamdiam bagaimana Pikatan melatih diri, tidak juga dapat ingkar, bahwa Pikatan memang mempunyai kemajuan yang jauh pula terdorong oleh gejolak didalam hatinya sendiri. "Tetapi Pikatan tidak akan mampu menyusul aku" tiba-tiba harga dirinya telah melonjak mengatasi segala macam perasaannya terhadap anak muda yang cacat tangan kanannya itu. Dalam pada itu, Puranti masih juga berusaha memancing segenap kemampuan yang ada pada Wiyatsih, sehingga akhirnya Puranti dapat melihat kemampuan yang sebenarnya yang dimiliki oleh Wiyatsih. Karena itu, ketika keringatnya mulai membasahi tubuhnya, iapun segera meloncat surut sambil berkata "Sudahlah Wiyatsih. Kau sudah lelah" "Belum" Wiyatsihlah yang kemudian memburunya terus "Aku tidak lelah. Semalaman kita bertempur, aku tidak akan lelah. Marilah, jika kau berhenti, aku akan menyerang terus" "Sudahlah Wiyatsih, sudah cukup. Aku sudah mengetahui sampai dimana kemampuanmu yang sebenarnya" "Aku belum cukup. Aku belum mengetahui kemampuanmu yang sebenarnya " "He, kau marah?" "Tidak, aku tidak marah" "Wiyatsih. Kau tentu marah" Wiyatsih tidak menyahut, tetapi ia menyerang terus. Sedang Purantilah yang kemudian hanya berkisar dan mengelak. Namun tangan Wiyatsih sama sekali tidak berhasil menyentuh Puranti, Sehingga iapun justru menjadi semakin bernafsu untuk mencubit. Mencubit lengan, paha atau pipi. Tetapi Wiyatsih tidak pernah herhasil.
760 "Sudahlah" berkata Puranti. Wiyatsih tidak menyahut, tetapi geraknya menjadi semakin cepat. Namun tiba-tiba Wiyatsih terpekik kecil. Dengan sendirinya ia berhenti. Tetapi iapun kemudian menggerutu " Kau yang menyebabkan" Puranti melangkah mendekatinya sambal bertanya "Kenapa aku?" "Bajuku sobek. Lihat" Wiyatsihpun kemudian berputar unjuk menunjukkan bajunya yang sobek dipunggung. "O" Puranti tertawa. "Bajumu juga harus sobek sejengkal" Puranti masih juga tertawa. Katanya "Tetapi kau dapat membeli baju lima lembar sekaligus. Tetapi aku tidak" Wiyatsih yang bersungut-sungut itu tiba-tiba saja membuka bajunya sehingga Puranti berkata "He, apakah yang kau lakukan?" "Pakaianku sudah terlanjur tidak keruan. Lihat, kainku aku singsingkan setinggi lutut. Dan sekarang bajuku sobek" Sejenak Wiyatsih mengamat-amati bajunya. Namun kemudian katanya "Biarlah, masih mungkin dipakai" "Kenapa kau tidak memakai bajumu yang baru" Yang kau simpan didalam geledeg itu?" Wiyatsih meaggeleng "Itupun masih juga dapat dipakai Kenapa?" Purantilah yang menggeleng "Tidak apa-apa" "Sekarang, apakah kita akan mulai lagi" " bertanya Wiyatsih
761 "Tidak. Jika kau belum lelah, tetapi akulah yang sudah lelah" "Kau nakal sekali, kau tidak percaya kepadaku, dan karena itu kau ingin membuktikan. Kau begitu tiba-tiba dan begitu cepat menyerang, sehingga aku tidak sempat berpura-pura. Sekarang kau sudah mengetahuinya. Apa katamu?" "Benar yang dikatakan ayah." "He. jadi Kiai Pucang Tunggal sudah mengatakan kepadamu teniang aku?" Sambil tersenyum Puranti mengangguk. "Kiai memang nakal sekali " geram Wiyatsih sambil mencubit lengan Puranti. "O, sakit Wiyatsih," "Kau sudah mampu menyalurkan tenaga cadanganmu, bahkan kau sedang berusaha untuk meluluhkan dirimu dalam gerak kekuatan yang tersedia didalam alam ini. Kenapa kau masih merasa sakit hanya karena aku mencubitmu?" "Ternyata kekuatanmu melampaui kekuatan yang ada didalam diriku meskipup aku sudah mengerahkan segenap tenaga cadangan untuk membuat daya tahan tubuhku melampaui daya tahanku dalam keadaan biasa" "Bohong, bohong" tiba-tiba kedua tangan Wiyatsih yang siap mencubit lengan dan paha Puranti. "He, jangan, jangan." "Cepat salurkan seluruh tenaga cadanganmu, dan kau coba menyerap kekuatan alam disekitarmu." "Tidak, tidak" Puranti melonjak sehingga tangan Wiyatsih terlepas.
762 "Kau nakal sekali" berkata Wiyatsih sambil mendekat. Tetapi Puranti melangkah surut sambil berkata "Aku sudah jera Wiyatsih, jangan mencubit lagi" "Kenapa kau pura-pura tidak tahu tentang aku?" "Sudahlah. Duduklah. Pakailah bajumu meskipun sobek, nanti kau akan kedinginan" "Aku sudah biasa kehujanan dimalam hari kepanasan disiang hari" "Dan lapar sebelum makan" "Ah" "Sudahlah. Tetapi pakailah bajumu, dan benahilah kainmu" "Tidak ada orang yang melihat" "Bagaimana jika orang-orang yang kau temui di sela-sela bahan bendungan itu sekarang mengintai kau dari balik dinding batu" "He" tiba-tiba Wiyatsih menjadi gelisah. Bagaimanapun juga ia memiliki kemampuan namun ia adalah seorang gadis. Karena itu tiba-tiba saja iapun mengenakan bajunya dan membenahi kain panjangnya yang disingsingkannya. Baru kemudian ia sadar dan berkata "Jika ada orang disekitar kita, aku akan mendengar desah nafasnya." "Jika ia mampu manyerap suara pernafasanku?" "Kau akan mandengar karena kau mempunyai kemarapuan panca indera yang melebihi orang lain. Jika kau tidak mendengar, orang itu pasti orang yang sakti. Berbahagialah kita jika ada orang sakti yang datang kemari" "Dan melihat kau dalam pakaianmu yang seperti itu"
763 "Ah" Wiyatsihpun semakin sibuk membenahi pakaiannya. Ketika ia sudah selesai, maka iapun segera duduk disamping Puranti yang telah lebih dahulu duduk diatas sebuah batu. "Nah. sekarang kau sudah menjadi seorang gadis lagi" berkata Puranti. "Kaulah yang masih belum" "Dan aku sudah membuktikan kata-kata ayah, bahwa kau maju pesat sekali. Jauh lebih pesat dari kemajuan yang dapat dicapai oleh Pikatan. Namun karena ia lebih dahulu daripadamu, agaknya kau masih juga belum dapat menyamainya" "Bukankah itu wajar?" bertanya Wiyatsih. Puranti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum "Ya, wajar sekali. Kau adalah adiknya" "Dan aku seorang perempuan. Kakang Pikatan seorang laki-laki" Sekali lagi kening Puranti berkerut. Namun demikian hatinya bergejolak dan ia berkata kepada diri sendiri "Meskipun seorang peperempuan, aku tidak mau kalah dari Pikatan" "Bukainkah begitu?" Wiyatsih mendesak. "Ya" jawab Puranti terbala-bata. "Kau mempunyai kelebihan dari kakang Pikatan karena kau berguru lebih dahulu pada ayahmu. Dan sudah barang tentu ayahmu memberikan kepadamu lebih banyak dari kepada kakang Pikatan" "Ah, tentu tidak bagi seorang guru" bantah Puranti "bahwa aku belajar lebih dahulu, itulah yang benar" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika kakaknya datang kepadepokan Pucang Tunggal. Puranti pasti
764 sudah jauh menyadap ilmu ayahnya, meskipun dengan rahasia, karena hampir tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. "Tetapi ternyata ayah kini menemukan cara yang lebih baik bagi muridnya. Kaulah yang pertama-tama menerima latihan itu secara langsung dengan cara itu, sehingga kau maju jauh lebih cepat dari pada aku dahulu. Namun bukan sekedar cara yang ayah pergunakan itu, tetapi kau sendiri banyak membantunya. "Ah, kau selalu memuji aku. Kenapa kau tidak memuji dirimu sendiri?" "Tidak pantas. Kaulah yang harus memuji aku" "Baiklah" "Tetapi tidak usah sekarang. Pada suatu kali jika aku sudah lupa bahwa aku telah menyuruhmu" "Ah" tetapi Wiyatsih tertawa. Sekarang, beristirahatlah. Aku berjanji untuk menjumpai ditikungan sungai. Aku dan ayah akan bersama-sama mengamati Pikatan. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak berkeliaran ketempat kakang Pikatan berlatih" "Aku ikut bersama kalian" "Jangan kali ini. Siapa tahu orang itu justru mencari kerumahmu, kau harus melindungi isi rumahmu" "Dirumah ada kakang Pikatan" "Tetapi jika ia tidak mau berbuat apa-apa dan membiarkan lehernya dipenggal?" "Jika itu yang dikenendaki?" "Tetapi bagaimana dengan ibumu?"
765 Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Dan Puranti berkata :Bukankah hampir setiap malam Pikatan pergi?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Nah, jika demikian jagalah rumahmu baik-baik. Aku akan pergi menjumpai ayah" Wiyatsih tidak menyahut, tetapi kepalanya terangguk kecil. "Baik-baiklah dirumah. Kemampuanmu hampir menyamai Pikatan. Karena itu, kau merupakan pelindung rumahmu. Jika perlu kedua orang penjaga regolmu itu akan dapat kau minta bantuan. Merekapun merupakan orang yang harus diperhitungkan didalam pertempuran yang seru". Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. "Besok malam aku akan kembali kemari. Tunggulah disini lepas senja sesudah gelap" Demikianlah maka Purantipun kemudian pergi meninggalkan Wiyatsih seorang diri, yang masih berada ditempatnya untuk beberapa lamanya. Dipandanginya kegelapan yang menyelubungi. Namun ia masih dapat melihat dedaunan disekitarnya. --ooo0dw0oooJilid 10 "AKU dahulu tidak pernah dapat melihat lembaran dedaunan didalam gelap begini" katanya didalam hati. Sebenarnyalah bahwa bermacam-macam latihan yang diberikan oleh Kiai Pucang Tunggal langsung dapat mempengaruhi panca indera, Wiyatsih merasa bahwa penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan pengenyamnya menjadi bertambah tajam.
766 Sejenak kemudian setelah beberapa kali ia menarik nafas menghirup sejuknya udara malam, maka iapun segera meninggalkan tempat itu. Namum seperti tidak disadarinya, ia tidak masuk pintu butulan, tetapi ia langsung pergi kependapa. "Kau belam tidur?" salah seorang penjaga regolnya bertanya dengan heran. Wiyatsih menggelengkan kepalanya. "Apakah kau baru selesai berlatih?" Wiyatsih tidak menjawab sama sekali. Kedua penjaga itu mengamat-amati pakaiannya sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata "Pakaianmu bukan pakaian yang biasa kau pakai berlatih. Darimana kau sebenarnya?" "Sebenarnya aku memang ingin beriatih" berkata Wiyatsih. "Kenapa sebenarnya?" "Aku tidak mengenakan pakaian latihanku" "Ambillah. Mari kita berlatih" ajak kedua penjaga itu "bukankah masih belum terlampau malam. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. lalu katanya "Besok saja. Aku sedang malas. Sehari penuh aku berada dipingir Kali Kuning menimbun berunjung-berunjung itu" Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah, jika demikian tidurlah. Kami akan berjagajaga dipendapa" "Jangan lengah" "Sebenarnya kami tidak berarti apa-apa disini. Dirumah ini ada kau dan ada Pikatan. Apakah artinya kami berdua?"
767 "Jangan terlampau merendahkan diri. Kalian yang jaga disini. Kalianlah yang bertanggung jawab" Keduanya memgangguk-angguk. Tetapi salah seorang berkata "Meskipun demikian bukan kamilah yang menyelesaikan persoalan yang dapat timbul dirumah ini" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Sudahlah. Aku akan tidur" Wiyatsihpun meninggalkan pendapa rumahnnya. Tetapi ia terpaksa melingkar lagi dan masuk kerumahnya lewat pintu butulan. Ternyata bahwa seisi rumahnya agaknya sudar tidur. Pintu bilik ibunya sudah tertutup dan pintu bilik Pikatanpun sudah tertutup pula. Pikatan memang selalu tidur saat malam menjadi gelap. Tetapi kemudian ia terbangun menjelang tengah malam dan berlatih sampai pagi. Dalam pada itu, Kial Pucang Tunggal yang berada dibalik tanggul, berhasil melihat kedua orang yang menunggu Wiyatsih. Tetapi karena Wiyatsih tidak juga datang, maka salah seorang dari mereka berkata "Marilah. kita kembali. Ia belum berhasil membujuk kakaknya datang kemari" "Setan alas, ia membohongi kita" "Bukan maksudnya, tetapi Pikatan memang sudah terpisah dari setiap orang itu pasti sulit dibujuknya. Biarlah aku tidak tergesa-gesa" "Tetapi apakah setiap malam kita harus menuuggunya disini?" Kawannya tertawa. Katanya "Bukankah kita dapat menjumpai Wiyatsih besok" Disawah, disungai, diperjalanan atau disini, bahkan dimana saja. Kita akan dapat selalu menghubunginya. Aku tidak peduli apakah orang-orang dipadukuhan ini akan mengenal kita. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Bahkan kedatangan kita yang banyak
768 diketahui orang itu pasti akan berhasil memancing Pikatan disamping usaha Wiyatsih itu sendiri" Kawannya tidak menyahut. "Atau memancing sikap lain dari orang-orang Sambi Sari. Mereka tentu tidak mau melepaskan apapun juga jika kita memerlukannya sebelum kita menemukan Pikatan. Mereka tentu berkeberatan untuk menyerahkan barang-barang yang kita butuhkan. Dengan demikian maka akan timbul kekacauan didaerah ini. Adalah gila bahwa Pikatan tidak akan tergerak hatinya untuk melindungi tetangga-tetangganya. Seperti yang perniah kita dengar, banyak penjahat yang terbunuh olehnya. Dan bukankah kita juga penjahat-penjahat?" Kawannya tertawa sambil menganggukan-angguk. Jawabnya "Baik juga rencana itu. Tetapi kenapa kita tidak langsung saja pergi kerumahnya?" "Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga. Dirumahnya ada dua orang penjaga yang kita belum tahu kemampuannya. Menurut beberapa keterangan yang aku dengar, merekapun mempunyai kemampuan yang cukup, sehingga akan dapat mengganggu suasana. Aku ingin bertempur seorang melawan seorang, karena aku ingin membuktikan kepada Pikatan bahwa ia bukan manusia yang lebih baik dari orang lain" "Apalagi ia sudah cacat sekarang" "Tidak. Bukan karena ia sudah cacat, jangan memperkecil arti tantanganku. Seandainya ia tidak cacatpun aku akan menantangnya bertempur seorang lawan seorang. Pada saat aku bertempur melawannya aku tidak banyak terpaut daripadanya. Apalagi sekarang, setelah aku berhasil memecahkan beberapa jenis ilmu yang waktu itu masih merupakan teka-teki bagiku" Kawannya tidak segera menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
Pendekar Jembel 10 Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis Misteri Gunung Monster 1

Cari Blog Ini