Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata Bagian 3
Paman menaikkan lagi suaranya dan tampak menahan sakit. Tapi seseorang masih mengeluh:
"Macam mana kita mau sembahyang ini, kalau bunyi Pak Cik macam kumbang saja begitu." Itu suara Hasanah. Diprovokasi begitu, jemaah lain ikut-ikutan. Paman tersinggung karena disuruh-suruh. Lalu ia marah, Digenggamnya selangkangnya kuat-kuat dan berteriak-teriaklah dia. Jemaah senang. Demikian rakaat demi rakaat, Paman yang tak sudi dikomplain berteriak sejadi-jadinya. Keringat bertimbulan di dahinya, wajahnya meringis-ringis. Hal itu berlangsung selama 21 rakaat.
Tanpa ambil tempo, pada kesempatan pertama esoknya, kutemui Yamuna dan kukisahkan kejadian di masjid semalam.
"Telah kubalaskan sakit hatimu, Yamuna. Jangan lagi kaurisaukan orang itu. Hidup harus berlanjut. Lupakan kesedihan."
Ia terharu karena merasa telah mendapat keadilan. Kami kembali bahagia. Kulirik kiri-kanan, tak ada siapa-siapa, kupeluk dia. Lalu aku pamit. Di ambang pintu aku berbalik. Yamuna tersenyum, dan memberiku sebuah kiss bye.
Aku dan detektif M. Nur ke rumah Ustaz Topik dan menurunkan sepedanya dari pohon gayam. Ustaz Topik jauh lebih muda dari kami, tapi wawasannya sangat luas. Di pondok pesantren di Jawa Timur itu, ia telah diajar oleh ulama-ulama hebat lulusan dari Universitas Al-Azhar. Kami menunduk takzim waktu menerima nasihat darinya, bahwasannya menyangkutkan sepeda orang di atas pohon tanpa memberi tahu pemiliknya adalah sebuah perbuatan berdosa.
Mozaik 34 Paling Tidak Aku Telah Melihatnya
AJAIBNYA kopi, ia rupanya tak hanya dapat berubah rasa berdasarkan tempat, seperti dialami Mustahaq Davison dengan istrinya dulu, namun dapat pula berubah rasa berdasarkan suasana hati. Sejak Maksum digulung oleh Maryamah dalam pertandingan yang berdarah-darah itu, dia selalu merasa kopinya pahit. Meski tak sedikit pun kukurangi gula dari takaran biasa untuknya. Dua sendok teh. Waktu ia bertanding dan menang lagi, mulutnya berkicau.
"Nah, ini baru pas, Boi!"
Padahal, takaran gulanya tetap dua sendok teh.
Partai demi partai berlangsung. Para pecatur bergelimpangan. Lawan keenam Maryamah adalah seorang lelaki dari suku orang bersarung yang bernama Tarub. Berkata Detektif M. Nur,
"Hidupnya di perahu. Pekerjaannya membawa kopra dari Tanjong Kelumpang ke Bagan Siapi-api. Tak ada informasi lebih jauh. Ia hanya buang sauh sekali-sekali."
Kami tak mendapatkan diagram permainan Tarub. Tapi kami tak cemas sebab orang bersarung tak suka catur dan tak ada yang pintar main catur. Bahkan , sebagian dari mereka menganggap catur adalah permainan iblis.
Seperti biasa, Selamot mendampingi Maryamah menuju arena. Wajahnya semringah. Ia tersenyum pada siapa saja dan sibuk meladeni wawancara Mahmud. Tiba-tiba, di tengah wawancara, wajahnya mendadak pias, tubuhnya gemetar. Ia bergegas meninggalkan warung sambil berpesan padaku agar Maryamah memberi kekalahan yang tidak kejam pada lawannya itu. Kami heran melihat tingkahnya.
Usai pertandingan kami mengunjungi Selamot. Perempuan yang lugu itu sedang duduk melamun. Ia bersandar pada tiang stanplat pasar ikan sambil memandangi aliran Sungai Linggang. Kami tanyakan apa yang telah terjadi. Ia enggan menjawab. Giok Nio membujuk-bujuknya. Akhirnya, Selamot berkata dengan lirih bahwa lawan Maryamah tadi, Tarub, adalah suami yang meninggalkannya di Bitun bertahun-tahun yang silam. Kejadian itu
kemudian menyebabkan ia lari ke kampung kami. Selamot menunduk dan tak bisa membedung air matanya. Itulah untuk kali pertama kulihat Selamot menangis. Tampak jelas ia masih sangat menyayangi Tarub meski telah diperlakukan dengan sangat buruk oleh lelaki itu.
"Janganlah risau, Kawan," buj
uk Maryamah. "Tadi Tarub kalah dengan terhormat."
Selamot berusaha tersenyum. Ia mengatakan bahwa ia selalu menerima keadaan dirinya apa adanya, namun sekarang ia menyesali tak bisa membaca. Jika dilihat dari nomor peserta yang masih belasan, Tarub termasuk pendaftar awal. Maka, sebenarnya namanya telah berbulan-bulan tertera di papan tulis pendaftaran di warung kopi. Hal itu tak sedikit pun disadari Selamot karena ia tak pandai membaca. Ia bahkan pernah berdiri tak lebih dari dua langkah dekat papan nama itu ketika kami mendaftakan Maryamah dulu.
"Kalau aku tahu," katanya sambil tersenyum getir.
"Setidaknya kau akan berbaju lebih baik."
Giok Nio menarik napas panjang mendengarnya.
"Tapi biarlah, paling tidak aku telah melihatnya."
Sore itu Selamot memutuskan pulang ke Bitun yang telah berpuluh tahun ia tinggalkan. Ia sering mengatakan bahwa ia selalu berdoa agar dapat melihat suaminya, meski hanya sekali, sebelum ia mati. Doanya terkabul dan ia berdamai dengan masa lalu.
Selamot berjanji akan kembali untuk menyaksikan pertandingan Maryamah berikutnya.
"Aku ini manajermu, Kak, takkan kutinggalkan kau, apa pun yang terjadi!"
Kami tak dapat menahan perasaan sedih melihat perempuan lugu setengah baya itu beringsut-ingsut di atas sadel sepeda, terseok-seok pulang ke kampungnya. Giok Nio berulang kali mengusap air matanya.
Qui Genus Humanum Ingenio Superavit. Dia yang genius, tiada tara.
Mozaik 35 Probabilitas TIBA-TIBA, pertandingan menjadi aneh. Beberapa pecatur yang kuat, kalah secara mudah. Aziz Tarmizi sang pembuat tahu misalnya, dikalahkan secara mengenaskan-sehingga akhirnya gugur-oleh Maksum juru taksir. Padahal di atas kertas, Aziz jauh lebih bagus dari Maksum.
Kejanggalan kian kentara. Ini pasti akibat gelas keempat Jumadi dan Mitoha tempo hari. Kubu kami mencium gelagat yang tak beres, namun sulit menarik benang merah persekongkolan sebab jumlah peserta masih sangat banyak. Seorang yang cerdas diperlukan untuk mengurai soal ini, dan aku tahu siapa orang itu. Kutemui ia di dermaga.
"Apa kabarmu, Lintang""
Ia menyalamiku. Genggaman tangannya kuat, sama seperti ia menyalamiku di hari pertama kami masuk ke SD Laskar Pelangi dulu. Ia menatapku. Secepat apa engkau berlari, Kawan" Begitulah makna tatapannya, masih sama seperti dulu.
Kuterangkan situasi yang kami hadapi. Inilah momentum yang selalu kurindukan, yaitu saat ia tercenung memikirkan suatu soal. Kecerdasannya tergambar di dalam soal matanya, serupa permadani yang hijau. Si genius yang rendah hati itu berkata.
"Aku coba membuat hitungan kecil-kecilan, ya. Tapi, berhasilnya hitunganku tergantung dari lengkapnya data."
Lalu Detektif M. Nur sibuk mengumpulkan data pecatur yang tersisa dan kemungkinan kalah dan menang di antara mereka. Data itu kuserahkan pada Lintang. Pertemuan berikutnya, Lintang membuat kami terkejut.
"Sebenarnya Mitoha sedang menggiring Maryamah menuju Patriot Trikora."
Na! siapa pula itu Patriot Trikora" Di daftar peserta, Patriot Trikora-yang dinamai aneh begitu oleh bapaknya demi mengenang peristiwa Trikora-berada di nomor urut pendaftaran 7, sedangkan Maryamah di nomor urut 75, begitu jauh jaraknya, bagaimana Lintang bisa sampai pada kesimpulan seperti itu"
Lintang membeberkan sebuah hitungan yang panjang dan runyam. Di ujung hitungan itu tampaklah Maryamah vs Patriot Trikora = 25%. Aku pernah dapat sedikit ilmu probabilitas. Angka itu jika dibunyikan macam ini: jika Patriot berjibaku melawan Maryamah, kemungkinan Patriot menang adalah 25% lebih besar. Mengerikan, bukan"
Namun, mengapa Patriot Trikora"
"Karena kekalahan Maryamah atas Syamsuri Abidin."
Oh, tak perlu lagi Lintang berpanjang lebar, kami paham maksudnya. Mitoha memilih Patriot karena pola permainannya agresif. Begitu berbahaya efek dari kopi gelas keempat. Mitoha makin gampang memelihara persekongkolannya. Namun, ia tak tahu bahwa Maryamah kalah waktu itu lantaran Detektif M. Nur dan Preman Cebol salah memberi informasi pada Nochka.
Kupandangi Lintang dengan pandangan kagum yang tak pernah lindap dalam hatiku sejak hari pertama kami sebangku di sekolah. Ialah Isaac Newtown-ku
, qui genius humanum ingenio superavit.
Maka akan kami biarkan saja konspirasi itu berlangsung. Sebab kesilapan yang fatal pada asumsinya-kekalahan Maryamah atas Syamsuri Abidin-akan meruntuhkan teori konspirasi itu sendiri. Sungguh tak sabar ingin kusaksikan pertarungan Maryamah vs Patriot Trikora. Sementara itu, Paman menanyakan padaku, adalah kemungkinan ia bergabung dengan klub Kemenangan Rakyat. Dengan serius ia bertanya soal prosedur mendapatkan kartu anggota dari klub kami.
Mozaik 36 Supergroove KAWAN, masukkan kaset band Supergroove ke dalam tape recorder-mu. Rewind. Paskan pada lagu Can't Get Enough. Tempelkan ujung jari telunjukmu pada tombol play. Nanti aku akan memberimu aba-aba untuk memencet tombol itu.
Perhitungan si pintar Lintang tak meleset. Satu rombongan besar sekondan klub Di Timoer Matahari datang ke warung kopi seperti gerombolan mafia. Jumadi dan Mitoha tampak bahagia karena konspirasi mereka sukses. Anak itik telah masuk ke kandang singa.
Patriot Trikora dikenal sangat temperamental. Jika kalah, sering ia marah-marah bahkan melemparkan papan catur keluar jendela. Wataknya itu tercermin pada permainan caturnya yang cepat, tegas, dan ganas. Ia duduk dengan sikap menantang. Paman duduk di belakangnya.
Kami sedikit bersandiwara dengan menunjukkan wajah khawatir. Demi melihatku cemas, Paman senang.
Kurasa cara menghayati pertarungan antara Maryamah vs Patriot Trikora ini adalah dengan membacanya secara cepat, secepat tempo lagi Can't Get Enough. Kedua pecatur berhadap-hadapan, tak sabar ingin saling menerkam.
Kawan, persiapkan dirimu. Pencet tombol play, ikuti dentaman drum, dan mulailah membaca:
Maryamah melangkah dua kotak-Patriot membalas tiga kotak-Maryamah melangkahkan pion--Patriot mengeluarkan menteri-Maryamah mengeluarkan kuda-Patriot membalas dengan benteng---langkah cepat balas-membalas---kedua pecatur saling menggeretak---patriot pun berteriak sekak!-Paman terlonjak dari tempat duduk, digenggamnya selangkang dan bersorak, sikat, Yot!-Mitoha dan Jumadi terkekeh-kekeh-pendukung Patriot girang-raja Maryamah berkelit---Patriot mendesak---Maryamah terjepit---rasakan itu, Mah! ejek paman---Patriot menusuk dengan luncus---Maryamah menyerang balik---Patriot berkeringat---pendukung kami
bersorak---raja Patriot terbirit-birit---Paman pindah tempat duduk ke belakang Maryamah---Maryamah menyekak-Paman bersorak, sikat, Mah!-karena terlalu bersemangat, ia lupa menggenggam selangkang, ia meringis---raja Patriot terjepit---Maryamah menyerbu---Patriot menjadi kalut---permainannya kacau---Maryamah mengangkat luncus, sekali sengat, raja Patriot tamat---Patriot menggigil---matanya melotot melihat rajanya tertungging---pendukung Maryamah gegap gempita---Mitoha dan Jumadi ternganga mulutnya---Patriot mengambil sikap seperti mau membanting papan catur---Modin membentaknya---Patriot kesal---ia menenggak habis kopi pahitnya-ia kabur-ia tersinggung telah dikalahkan perempuan-rasakan itu, Yot!teriak Paman.
Mozaik 37 Ex-Player MINGGU pagi yang menyenangkan. Perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus semarak. Perahu-perahu nelayan di dermaga berwarna-warni karena di haluannya di pancang tiang kecil dan di tiang itu berkibar bendera merah putih, yang juga kecil, dari kertas kajang. Sesama mereka-bendera-bendera kecil itu-seakan saling melambai dan bercakap-cakap. Toko A Fung, pas di depan warung kopi Paman. Punya tiang bendera yang tinggi. Meskipun kepala kampung Ketua Karmun menyarankan agar bendera dipasang mulai 10 Agustus, A Fung sudah menaikkan bendera sejak 1 Agustus. Paman, tak mau kalah. Tahun ini ia memasang tiang bendera bambu betong yang lebih tinggi dari tiang bendera A Fung. Benderanya juga ia kerek sejak tanggal 1, tapi bulan Juli. Setiap tahun, Paman dan A Fung selalu bersaing tinggi-tinggian tiang bendera dan dulu-duluan mengerek merak putih.
Warung kopi baru saja buka. Paman duduk di kursi malasnya sambil membaca buku Neraka Jahanam. Jika Paman membaca buku itu, satu firasat selalu menusukku, ia pasti akan marah. Meskipun pandangan itu tak selalu benar.
Faktanya, Paman dapat marah sembarang waktu tanpa a
lasan apa pun. Jika matahari menerpa wajahnya lalu ia bersin dan lupa memegang selangkangnya, hal itu lebih dari cukup baginya untuk mendamprat kami sepanjang hari.
Angin pagi bertiup semilir. Burung-burung dara menggerung-gerung mesra. Warga Tionghoa membuka deretan papan penutup tokonya sambil menyapa orang-orang yang lewat. Pasar masih sepi dan lambat, lalu pecahlah kedamaian itu. Paman bangkit dari tempat duduknya, langsung marah dengan tingkat apokaliptik, persis buku yang tadi di bacanya.
"Siapa yang berhak dimarahi""
Kami, jongosnya, serentak menunjukkan tangan tinggi-tinggi. "Siapa yang berhak memarahi""
Kami menunjuknya dan ia langsung ke pokok omelan.
"Kita ini sudah menjadi warga negara yang baik! Kita tak pernah protes-protes! Kita sudah tunduk patuh pada hukum. Kita sudah membayar pajak. Tapi tengoklah! Tengoklah! Balasan pemerintah pada kita! Harga-harga dinaikkannya sekehendak hatinya!"
Sebenarnya ini marah kemarin yang tertunda. Dan jika Paman marah, kami otomatis harus menghentikan apa pun yang sedang kami kerjakan, untuk menyimaknya, dan jangan coba-coba tak acuh, perkara bisa runyam.
"Politisi, anggota DPRD, menteri pendidikan, sama saja! Mereka selalu bicara atas nama rakyat. Tahukah kalian" Kalau mereka bicara atas nama rakyat, maka mereka bicara atas nama saya! Karena saya ini adalah rakyat! Sekarang, harga bahan pokok mahal! Biaya sekolah melambung! Mereka telah melupakan nilai-nilai kepanduan! Trabel! Trabel!"
Kemarin Paman berjalan-jalan dengan cucunya keliling pasar, warga Khek mengeluhkan harga-harga yang naik. Mereka malah kasihan pada pembeli, bukannya melihat hal itu sebagai peluang untuk mengeruk keuntungan.
"Pejabat mencuri, korupsi, tertawa-tawa di televisi, kita diam saja! Tak pernah kita macam-macam. Pemerintah benar-benar tak punya perasaan! Politisi tak tahu adat!"
"Pamanda, Pamanda Seorang lelaki muda memanggil Paman. Lelaki itu berdiri di belakang Paman bersama istrinya dan seorang anak perempuan kecil yang mungkin berumur tiga tahun. Anak itu menggemaskan sekali, tembam, dan berkuncir kuda. Mereka adalah keluarga adik ipar Paman yang melewatkan libur dengan menginap di rumah Paman. Mereka mau pamit untuk pulang ke kampungnya.
Paman berbalik, dan serta-merta, kedua tanduknya terisap ke dalam kepalanya. Wajahnya berubah 180 derajat, dari yang tadinya jahat, menjadi lembut.
"Amboi, aih, aiihhh, Putri Kecilku
Dirayu-rayu begitu, anak kecil itu tersipu-sipu. Ia memeluk kaki ayahnya. Paman menggodanya dengan melompat-lompat seperti kelinci. Anak itu cekikikan mendengar suara Paman yang dibuat-buat sehingga berbunyi aneh dan lucu. Sesekali Paman menjentik kuncirnya. Anak itu menjerit-jerit manja dan minta tolong pada ayahnya.
Paman mendesak mereka agar memperpanjang waktu menginap, dan hal itu bukanlah basa-basi. Selain terkenal sangat galak, Paman juga terkenal sangat sayang pada keluarga. Ia adalah paradoks yang membingungkan, sekaligus memesona. Lalu, dengan nada penuh simpati, Paman menanyakan pada sang ayah tentang perjalanannya yang jauh. Bagaimana ditempuhnya dengan sepeda sambil membonceng anak-istrinya. Adakah kesulitan"
"Tak ada soal, Pamanda. Sekarang jalan sudah sangat bagus. Aspal terus sampai ke rumah. Walaupun hujan, jalan tidak lagi banjir."
Paman mengangguk-angguk senang sebab keluarga itu tidak akan menemukan hambatan.
"Baguslah, pemerintah dan politisi sekarang memang lebih memperhatikan rakyat
kecil." Paman juga bertanya tentang sekolah anak-anak adik iparnya, kaka dan abang dari si kecil yang menggemaskan itu, mereka di Sekolah Dasar.
"Oh, sekolah juga sudah baik, Pamanda. Tak ada masalah. Guru-guru sudah lengkap. Fasilitas sekolah sudah bagus. Anak-anak sekolah dengan baik."
Wajah paman seperti ingin menangis, suaranya sendu.
"Prestasi menteri pendidikan memang sangat mengesankan belakangan ini. Sangat berbeda dengan ketika Paman masih muda dulu. Sekarang zaman sudah berubah. Menteri pendidikan dewasa ini adalah orang yang taat beragama. Ia juga seorang sarjana yang lumayan di sekolahnya. Kurasa hanya satu kata untuk menggambarkan apa yang telah diperbuatnya untuk
rakyat." "Apa itu, Pamanda""
"Mengagumkan." Si adik ipar mengangguk-angguk.
"Anggota DPRP pun tak kalah hebat. Mereka adalah orang-orang muda dan terpelajar. Tak seorang pun yang tak sarjana, dari berbagai jurusan. Mereka sangat peduli pada rakyat. Satu kata pula untuk menggambarkan dedikasi mereka."
"Apa itu, Pamanda""
"Mengharukan." Si adik ipar mengangguk-angguk lagi. Suara Paman sendu lagi.
"Konon, anggota-anggota DPRD itu tak mau makan, sebelum rakyatnya makan."
Si adik ipar kembali mengangguk takzim.
"Terus terang," ujar Paman dengan serius.
"Aku tak habis mengerti, mengapa orang-orang gampang sekali mengata-ngatai pemerintah. Kalau bicara, sekehendak hatinya saja. Apa mereka kira gampang mengelola negara" Mengurusi ratusan juga manusia" Yang semuanya tak bisa diatur. Kalau mereka sendiri yang disuruh mengurusi negara, tak becus juga!"
Paman menepuk-nepuk bahu adik iparnya, seakan banyak sekali hal di dalam pikirannya yang ingin ia tumpahkan, tapi ia tahu bahwa keluarga adik iparnya itu ingin pamit. Keluarga kecil dari kampung yang bersahaja itu mengucapkan salam. Mereka beranjak. Paman memandangi mereka sampai jauh sambil melambai-lambaikan tangannya. Lalau ia berbalik.
"Boi! Sampai di mana aku tadi""
Tanduknya tumbuh lagi. "Sampai ... politisi tak tahu adat, Pamanda!" "Yakinkah kau"" "Yakin, Pamanda."
"Mendengarkah kau apa yang kubicarakan tadi!""
"Mendengar, Pamanda, mendengar."
"Kurasa aku tadi sampai pemerintah kurang ajar!"
"Tidak, Paman, Pamanda tidak pernah mengatakan pemerintah kurang ajar." "Apa katamu" Tidak pernah" Melihat situasi sekarang, sepatutnya hal itulah yang kukatakan!"
Aku agak ragu, tapi perasaanku tadi omelan Paman sampai pada politisi tak tahu adat. Lagi pula kata kurang ajar adalah kata yang kasar. Setahuku, Paman tak pernah menghunus kata itu. Melihatku sangsi, Paman muntab.
"Berarti kau tak mendengar bicaraku tadi! Kau , politisi, pemerintah, menteri pendidikan, anggota DPRD, sama saja! Kalian setali tiga uang! Rakyat setengah mati, mereka membeli mobil dinas mewah-mewah pakai uang rakyat. Tak punya perasaan."
Kucoba mengingat-ingat, sampai mana semprotan Paman tadi. Aku yakin pada pendapatku. Aku perlu pembela. Aku menoleh pada Rustam. Rustam takut, tapi caraku memandang, mendesaknya.
"Benar, Pamanda, tadi Pamanda sampai politisi tak tahu adat .. "
Paman terlanjur murka. "Kau dan Ikal, bujang lapuk karatan! Telinga wajan! Baiklah, kuulangi lagi!" Seandainya tak muncul Aziz Tarmizi, gerutuan itu belum akan berhenti.
Tak macam biasanya, Aziz datang dengan wajah sembap. Semangat "Rambate rata hayo singsingkan lengan baju kalau kita mau maju" tak tampak pagi ini. Lalu, dengan pedih ia berkisah padaku bahwa ia merasa telah dizalimi klub Di Timoer Matahari. Katanya ia
ditumbalkan dalam persekongkolan untuk menggiring Maryamah menuju Patriot Trikora tempo hari. Muslihatnya adalah ia disuruh Mitoha mengalah pada Maksum. Persekutuan setan itu menjadi berantakan karena ternyata Maryamah berhasil menggulung Patriot. Sekarang, Aziz ingin membalas sakit hatinya dengan cara membelot ke klub kami.
Niat Aziz kusampaikan pada Selamot, Giok Nio, dan Detektif M. Nur. Selamot menjawab dengan gaya politisi.
"Nama klub kita, Kemenangan Rakyat Adalah Kebahagiaan Kita Semua. Semua itu berarti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka kita harus bersedia menerima siapa saja."
Mozaik 38 Pembunuh Berdarah Dingin MEMANG tak pernah ada bukti bahwa pada masa junjungan Nabi Muhammad sudah ada permainan catur karena catur konon ditemukan di India-atau Arab"-pada abad ke-14. Nama aslinya chaturangga. Dari nama itu, Indialah yang paling mungkin asal muasalnya. Pernah ada sekelompok orang yang mengklaim catur berasa dari Arab. Namun, jika dari Arab, kurasa namanya akan jadi caturrahmat.
Dari mana pun asalnya, jika catur merupakan metafora pertempuran, Junjungan telah memberi contoh yang terang soal kelakuan yang harus ditunjukkan prajurit di medan tempur. Semacam code of conducts tentara. Seganas apa pun pertempuran itu, perempuan, anak-anak, dan orang tua haruslah dikecualikan. Pampasan perang ala kadarnya,
dan sejahat apa pun musuh, respek tetap harus ditaruh atas mereka. Menghinakan musuh seharusnya bukanlah tabiat para pejuang muslim.
Namun, tengoklah perbuatan Matarom. Ia semakin beringas saja, terutama sejak kehadiran Master Nasional Abu Syafaat. Master itu tak lain kerabat Mitoha dan pernah menjadi pelatih catur provinsi. Mitoha mendatangkannya demi ambisinya menjadikan Matarom juara tiga kali berturut-turut, sehingga menjadi juara sejati. Master nasional akan melatih Matarom secara khusus.
Di tangan master nasional, Matarom memang makin hebat. Ia merajalela pada setiap pertandingan. Ia melaju tanpa halangan dengan melibas setiap lawannya dua kosong tak berbalas. Ia tak pernah menemui lawan yang berarti. Karena tekniknya makin tinggi, naluri juaranya makin tajam, strategi Rezim Matarom-nya makin kejam, maka congkaknya makin bengkak.
Firman Murtado, yang merupakan sekondan Patriot Trikora, membalaskan sakit hati kongsinya itu atas konspirasi-yang bagus di atas kertas, tapi carut-marut di lapangan-tempo hari. Ia membantai salah satu pecatur klub Di Timoer Matahari.
Matarom, yang dongkol melihat kemajuan Maryamah sekaligus terpancing emosi melihat pembantaian yang dilakukan Firman itu, minta izin pada panitia untuk memakai papan catur peraknya ketika menghadapi Firman. Panitia membicarakan papan catur perak
yang mengembuskan napas maut. Ia tahu bahwa Matarom tak pernah sekali pun dapat dikalahkan, oleh siapa pun, di atas papan catur perak berhantu itu. Namun, Firman adalah lelaki rasional yang berkali-kali mendaftarkan diri untuk pendidikan sekolah calon Tamtama, dan selalu gagal di ujian tertulis. Ia lelaki lembut tapi ada tentara di dalam dadanya, semua itu membuatnya sama sekali tak sudi jika disebut pengecut, apalagi harus menolak papan catur perak yang hanya desas-desus saja bahwa banyak hantu dari zaman lawas gentayangan di atasnya. Maka mendongaklah Firman.
"Mau pakai hantu, mau pakai dukun, silahkan!"
Katanya dengan gengsi yang meluap-luap.
"Mau pakai papan perak, mau papan perunggu, aku tak takut!"
Kurasa Firman Murtado sedikit bingung soal nilai logam mulia dan di tak paham konsep intensitas. Dalam marah yang benar seharusnya kalimat kedua itu nilainya lebih tinggi dari perak, bukan" Tak heran ia selalu gagal ujian tertulis. Ini tak lain tanggung jawab menteri pendidikan.
Maka, bertandinglah mereka dengan papan catur perak. Para penonton yang menggemari catur dan para penggila klinik datang berbondong-bondong dan napas mereka tertahan karena dalam pengundian Matarom mendapat buah hitam. Duduklah lelaki bercambang gagang pistol itu di belakang barisan hantu sebagai raja iblis.
Tak perlu waktu lama, papan catur menjelma menjadi Laut China Selatan yang bergelora. Raja berekor berdiri di haluan bahtera kaum lanun dengan mulut masih berdarah habis memangsa anak kecil. Menteri, yang telah diisi sang empu sesat dari Melidang, dengan nyawa tak diterima bumi karena bahkan neraka tak menyukai kekejamannya, yakni nyawa Panglima Ho Pho: Kwan Peng, menghunus pedang di buritan. Ia tak sabar ingin menetak leher musuh. Delapan pion hitam adalah bajak laut yang menyerbu dengan belati berkilat. Salah satu dari mereka kemudian menusuk jantung raja Firman Murtado.
Secara pertempuran, raja Firman telah mangkat dengan gagah berani di tangan musuh, namun secara catur, raja itu telah dimakzulkan oleh sebutir pion, sekali lagi, sebutir pion, dan hal itu sama sekali bukan hal lain selain sebuah penghinaan. Kelakuan semacam itu memperlakukan musuh model begitu, yang tak disetujui oleh junjungan Muhammad.
Pertandingan tak dapat dilanjutkan pada papan kedua sebab pelecehan yang dilakukan Matarom dengan memperalat prajurit balok satu umpan peluru alias pion itu menimbulkan huru-hara. Jika tak dilerai Sersan Kepala dan tak digertak Paman, pasti berakhir dengan tinju bebas tanpa ronde antar sekondan klub Di Timoer Matahari dan sekondan Firman Murtado.
Para penggemar catur berdecak kagum atas sepak terjang Matarom sebab mereka tahu, Firman bukanlah pecatur kelas emprit. Tahun lalu ia berada di tempat ketiga, itu pun
setelah Overste Djemalam berkeringat dingin mengepungnya. Matarom malah mampu menyepaknya dengan sebutir pion secara berdarah dingin. Bagi mereka, hal itu tak lain akibat dari kemajuan teknik serangan Rezim Matarom yang makin matang saja dikuasainya. Namun, bagi para penggemar, Matarom makin ganas karena ia telah direstui ratu adil yang memerintah alam gaib di Laut China Selatan. Kata mereka, mulai sekarang, presiden sekalipun takkan mampu mengalahkan Matarom main catur.
Kemenangan Matarom atas Firman Murtado melejitkannya ke final, dan bertenggerlah dia di sana, macam burung pemakan bangkai menunggu korban.
Biarlah Matarom menggila, kami tak peduli karena kami sedang gembira sebab Selamot datang lagi. Ia kembali dengan semangat yang berlipat-lipat lebih besar dari sebelumnya. Ia mengatakan, hal pertama yang ingin dilakukannya adalah belajar membaca. Sang manajer itu akan belajar membaca dari artisnya: Maryamah.
Sementara itu, tak seorang pun pernah menduga Maryamah dapat melaju sejauh ini. Di telah melunturkan 8 pecatur, namun ,masyarakat memperkirakan riwayatnya akan segera khatam. Dari 75 pecatur, hanya tertinggal 5. Empat dari mereka, selain Maryamah, adalah pecatur kelas kakap. Maryamah diramalakan akan menjadi juru kunci 5 besar itu, dan takkan mampu mendekati manta suaminya, Matarom. Seperti telah terjadi dua tahun berturut-turut, proyeksi khalayak untuk final nanti tetap Matarom vs Djemalam.
Pertandingan berikutnya, Maryamah menghadapi seorang guru biologi senior yang telah main catur sejak ilmu itu masih bernama ilmu hayat.
Kasat mata, semua orang menduga, bahkan cecak-cecak di warung kopi menduga, jika memang lebih unggul, Maryamah akan membuat guru biologi itu paling tidak mendapat satu poin, dengan skor 2:1 misalnya. Hal itu sah-sah saja. Dengan skor begitu, Maryamah dapat menghindari dulu pecatur kuat Overste Djemalam, dan mekanisme pertandingan akan membuat para pecatur hebat lain saling bunuh sesama mereka sendiri. Secara logika, memberi poin pada guru biologi itu akan membuat Maryamah melaju lebih mudah ke partai berikutnya.
Namun, celaka. Maryamah membabat guru biologi itu dua kosong telak. Kami terbelalak. Seluruh penonton terpaku tak dapat berkata-kata melihat tindakan nekad Maryamah. Mengapa di begitu bodoh" Hal itu akan berakibat dia berhadapan langsung dengan Overste Djemalam yang disegani pecatur mana pun. Hanya Paman yang tertawa terkekeh-kekeh yang tampak setuju benar dengan tindakan edan Maryamah, dan hal itu menimbulkan tanda tanya besar bagiku. Adakah rahasia tersembunyi antara Maryamah, Overste Djemalam, dan Paman, yang aku tak tahu" Ataukah Paman bersikap aneh seperti itu lantaran situasi selangkangnya"
Aku dihantui ribuan pertanyaan yang merisaukan. Mengapa Maryamah mau bunuh diri begitu rupa" Mengapa dia menentang kebijakan Klub Kemenangan Rakyat Kebahagiaan kita semua" Para penonton tak dapat melihat ekspresi Maryamah atas kemenangan itu karena wajahnya tertutup burkak. Tapi aku tahu ia tersenyum. Ia memang terang-terang menantang Overste Djemalam. Motifnya, misterius.
Mozaik 39 Tak Terlupakan BERBAJU kemeja lengan panjang, pantolan abu-abu, dan terompah dari kulit berwarna cokelat, Paman tak tampak seperti seorang juragan warung kopi. Ia lebih seperti seorang eksekutif setengah baya dari sebuah BUMN, yang mengambil pensiun dini persis pada posisi puncak, karena telah menemukan jati diri dan ingin menghabiskan sisa usia-dan uang kaget yang banyak-untuk hal-hal yang lebih bersifat hakikat.
Kuamati, sesungguhnya pamanku adalah lelaki yang tampan. Ia mirip aktor kawakan Alfred Molina, paling tidak 20 atau 25 tahun yang lalu. Tubuhnya tinggi dan ramping. Sedikit melengkung, mungkin karena gangguan kesehatan yang akut belakangan ini. Meski sekarang tak banyak lagi alasan untuk tetap menyebutnya tampan, namun wajahnya yang panjang masih menawan dan merupakan satu wajah yang senang tertawa. Dalam keadaan kesehatan selangkang stabil dan saat-saat pemerintah-terutama menteri pendidikan-tidak menjengkelkan hatinya, wajah Paman selalu tampak seperti orang ingin membaca deklamasi. Dipadukan dengan bentuk dagunya, tak sat
u hal pun menyatakan ia seorang pemarah. Secara singkat, Paman bisa disebut berwajah sastrawi.
Namun, yang mentransformasikan Paman dari-siapa pun kepribadian yang tengah menguasainya-tidak hanya pakaiannya itu, melainkan seorang perempuan yang menyampirkan tangan di pundaknya, tak lain bibiku yang anggun. Ketika Bibi menyampirkan tangannya tadi, Paman melemparkan satu kesan pada kami bahwa: Bibi kalian ini, akan beres semua urusannya, jika bepergian bersamaku! Sebab aku adalah lelaki yang becus! Atau, Midah, Hasanah, Rustam, Ikal! Kalau kalian mau melihat lelaki yang sukses dalam asmara, di depan mata kalian inilah contohnya! Sementara kalian! Tak lebih dari kacung!
Aku dan Rustam, serta-merta merebut tas-tas besar. Aku, merebut tas dari pegangan Paman, dan Rustam dari pegangan Bibi. Sebab, dari pengalaman kami telah belajar, yaitu Paman sering muntah jika ingin bepergian. Ia sangat rewel soal apa yang harus dikerjakan selama ia tak ada. Namun, kali ini jiwanya sedang lapang. Ia tersenyum-senyum simpul dan kami berjalan terseok-seok di belakangnya dibebani tas-tas yang besar. Kami menuju dermaga. Paman dan Bibi akan naik perahu ke Pulau Sekunyit. Berlayar selama dua sampai tiga jam
untuk mengunjungi perhelatan pernikahan anak dari salah seorang sahabat Bibi. Mereka akan menginap selama 3 hari di pulau itu. Hal itu kami sambut dengan penuh sukacita.
Bayangkan, 3 hari tanpa Paman! Saat-saat semacam ini biasanya kami namakan liburan dari surga sebab selama ada Paman, jangankan salah, sesuatu yang benar dikerjakan sekalipun, bisa saja dimarahinya. Marah bukan lagi soal salah dan benar bagi Paman, tapi gaya hidupnya.
Maka, kami, kaum jongos, sekarang meraja di warung kopi. Tak ambil tempo, pulang dari dermaga Rustam langsung menguasai kursi malas Paman. Lalu ia meniru-nirukan gaya Paman kalau sedang menghinanya.
"Jika kutengok dari bentuk hidungmu, Tam, kecil harapan aku bakal dapat istri. Aku saja melihatnya, tertekan batinku. Pohon aren mati merana sendirian, itulah nasib di depanmu, Tam."
Rustam adalah peniru yang hebat. Mungkin karena ia telah ditindas Paman selama bertahun-tahun sehingga kadang kala ia tampak seperti orang idiot. Maka, ia pandai benar menyaru menjadi Paman. Nada suara, gaya mencak-mencaknya, dan pilihan kata-katanya, semuanya persis Paman. Midah menimpali.
"Dot! Apa perlu kau kumasukkan ke SD lagi agar becus bekerja""
Tawa kami berderai-derai. Hasanah menyambung.
"Macam mana suamimu takkan kabur semua. Not! Baru kutahu ada perempuan yang baunya macam bau terasi sepertimu itu! Kubilang apa, kalau mandi, pakai sabun!"
Aku terpingkal-pingkal melihat tingkah ketiga kolegaku itu. Saking keras aku tertawa sekaligus saking keras aku menahannya, ngilu rasanya punggungku. Aku bukan hanya menertawakan kepiawaian mereka meniru Paman, namun aku telah melihat, jika mereka dimarahi Paman jangankan membantah, melihat wajah Paman saja mereka tak berani. Mereka ketakutan seperti kucing dikepung anjing. Ternyata ketika Paman tak ada, mereka sangat binal.
Ah, indahnya tanpa paman. Kami bekerja seharian dengan tenang dan senang. Sampai-sampai Midah berharap agar angin kencang di laut sehingga Paman makin lama di Pulau Sekunyit.
Esoknya kami kembali bekerja dengan tenang dan senang. Kepada para pelanggan, jika mereka tak melihat Paman dan bertanya, dengan hati gembira kami sampaikan bahwa Paman kondangan ke Pulau Sekunyit, takkan kembali sampai paling tidak dua hari lagi. Meski mereka tak bertanya, kami bercerita saja soal itu. Oh, nikmatnya bisa mengatakan semua itu.
Pagi itu pun berlalu dengan tenteram. Tak ada lengkingan orang ngomel-ngomel sambil memegangi selangkangnya itu. Tak ada yang menghina-dina kami. Tak ada lagu Badai Bulan Desember. Lagu kesayangan Paman yang saking kami bosan mendengarnya, sering kami berdoa agar kasetnya kusut, bahkan agar tape recorder itu meledak. Sekarang kami bebas mencari gelombang radio untuk mendengar lagu sesuka hati, atau mendengar celoteh Bang Mahmud di Radio Suara Pengejawantahan.
Siangnya usai salat zuhur, masa-masa sepi warung kopi. Rustam termangu-mangu di kursi malas Paman. M
idah hilir mudik di pekarangan warung kopi, lalu duduk melamun di bawah pohon kersen. Tak jelas apa yang sedang merundungnya. Hasanah mengetuk-ngetuk gelas dengan ujung sendok, sehingga menimbulkan suara bising yang merisaukan dan karena itu ia dimarahi Midah. Dua perempuan itu bertengkar karena Hasanah tak mau menghentikan keisengannya.
Aku menyingkir ke dapur karena jiwaku tertekan mendengar mereka beradu mulut. Kutatap dengan sedih Yamuna yang sekarang disimpan di atas lemari. Kulap debu yang melekatinya dengan perasaan penuh kasih sayang, lalu aku kembali ke ruang tengah warung dan duduk. Midah juga kembali ke warung lalu duduk di pojok. Pandangannya jauh ke arah dermaga. Sunyi senyap. Rustam meletakkan kakinya di lantai untuk menghentikan goyangan kursi. Ia menatap Hasanah. Hasanah menatap Midah. Midah menatapku. Aku menatap blender. Blender menatap Rustam. Kami saling menatap untuk mengucapkan satu hal yang sama, tapi tak mampu terucapkan. Kami terlalu gengsi untuk mengakuinya. Kami terlalu benci untuk berterus terang. Benci, benci. Tapi, akhirnya Midah tak tahan.
"Aku rindu pada Paman .," katanya dengan sedih.
Mozaik 40 Orang Melayu Tulen SETELAH Midah mengungkapkan isi hatinya, sisa hari kembali berlangsung dengan tenteram, baik-baik saja, dan membosankan. Esoknya waktu mau berangkat kerja, aku malas sekali karena aku tahu Paman masih belum akan kembali. Sampai di warung, Midah, Hasanah, Rustam tampak seperti orang kurang darah. Kami mengharapkan Paman cepat pulang.
Kami merindukan omelan paginya yang meledak-ledak soal kebersihan, cara kami berpakaian, dan harga-harga yang melambung tinggi. Hal itu kami anggap breakfast yang penuh daya pikat.
Kami merindukan hinaan menjelang siangnya. Soal betapa kami adalah makhluk-makhluk gagal yang menyedihkan. Bagi kami semacam brunch-yakni makan-makan kecil karena lapar-lapar sedikit sekitar pukul sembilan sampai pukul sepuluh pagi.
Sore hari, kami rindu pada omelannya pada pemerintah dan kebanggaannya yang berlebih-lebihan atas status pensiunnya selaku operator telepon sampai maskapai timah putus nyawanya.
"Paling tidak tujuh ratus sambungan telepon saban hari," katanya sambil mengangguk-angguk dan tersenyum sedikit.
"Adakalanya kepala produksi minta disambungkan ke Jakarta. Jakarta! Kalian dengarlah itu" Jakarta, Boi!" hardiknya; "Untuk bicara dengan menteri agama."
Aku tak tahu apakah Paman hanya membual dalam hal ini karena sulit kulihat hubungan antara produksi timah dan menteri agama. Omelan sore ini sering ditutup dengan hidangan penjelasan panjang-dan telah ratusan kali-tentang kehebatan teknologi telepon analog made in Germany.
Menjelang malam kami rindu pada bermacam-macam cerita Paman tentang hikayat Nabi Muhammad, lalu kami merasa sangat sayang pada kejujuran dan kelembutannya kalau ia
sedang tidak marah. Semua itu adalah protokol hariannya yang lambat-laun berubah menjadi seni bekerja dengannya.
Kami telah bekerja pada Paman sekian lama-yang kami dapatkan adalah training yang militan, disiplin, dan kecintaan pada profesi. Kami telah datang padanya untuk mengadu- yang kami dapatkan adalah orang yang siap membela kebenaran dengan risiko apa pun. Kami telah mendengar pendapatnya tentang pemerintah-yang kami dapatkan adalah kejujuran yang brutal. Kami telah datang padanya untuk berkawan-yang kami dapatkan adalah emasnya persahabatan.
Terbongkar sudah misteri yang telah lama kucari kuncinya, tentang mengapa Midah, Hasanah, dan Rustam betah bekerja dengan Paman. Mereka tak pernah mau bekerja di warung kopi mana pun walau diimingi apa pun. Daya pikat warung kopi Paman ternyata terletak pada diri Paman sendiri. Hati lelaki itu, jauh lebih besar dari pensiunnya.
Paman adalah orang Melayu lama jenis asli. Ia prototype orang Melayu tulen. Di dunia yang ingar bingar penuh huru-hara, Paman adalah sebuah kemurnian. Ia seperti Bang Zaitun pimpinan orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri. Sudah susah mencari orang Melayu seperti mereka. Orang Melayu dewasa ini tak lagi berpantun. Mereka terobsesi pada gengsi, politik, kekuasaan, citra terpelajar yang palsu dan penuh basa-basi ya
ng melelahkan. Basa-basi yang mereka tiru dari televisi.
Hari ketiga itu berlalu dengan hampa. Kami bekerja malas-malasan. Suasana tenteram dan damai ini sungguh tak menyenangkan. Ini palsu, ini bukan kami, ini bukan warung kami. Kami yang dulu ingin agar Paman tak segera kembali, kini malah berharap angin selatan teduh, sehingga Paman cepat pulang.
Midah mengambil sikap sedikit dramatis. Ia menitipkan pesan pada seorang nelayan yang sore itu tambat di dermaga membawa kopra, dan akan kembali ke Pulau Sekunyit, bahwa Paman harus cepat pulang sebab warung kopi kisruh, banyak pelanggan marah-marah.
Menjelang siang esoknya, brunch time, kami terkejut mendengar teriakan dari pekarangan warung.
"Midooot!" Kami menghambur ke beranda, dan berdirilah di sana lelaki fenomenal itu memegangi selangkangnya. Kami takut, tapi senang.
"Baru kuberi amanah sepele saja, keadaan sudah trabel! Kacau balau!"
Pernah kukatakan padamu, Kawan, Midah adalah deputy. Jika Paman tak ada, dialah PJS (Pejabat Sementara).
"Apa susahnya mengurus soal remeh begini" Monyet saja diajari sedikit, bisa menjadi pelayan warung kopi!"
Paman yang selama 3 hari mendengar debur ombak makin keras suaranya. Midot gemetar, namun tampak berusaha keras menyembunyikan senyumnya. Kami semburat kembali ke pekerjaan yang sempak kami tinggalkan tadi, dan tiba-tiba kami merasa sangat bergairah.
Mozaik 41 Pertarungan Kesumat PUNGGUNGKU ditepuk seseorang. Aku berbalik dan terkejut, di sampingku berdiri Mitoha. "Boi, mengapa Overste Djemalam"" Pertanyaan itu sangat langsung.
"Jika kalian ingin maju ke final, itu cara yang tidak praktis. Overste sangat kuat, Maryamah pasti kalah."
Pendapat itu tidak salah. Namun, kalau Maryamah menang melawan Overste, ia akan langsung meluncur ke final untuk menghadapi mantan suaminya: Matarom. Begitu kataku dalam hati.
Masalahnya bukan itu. Menantang Matarom memang tujuan Maryamah sejak awal, tapi mengapa ia mau menyikat dulu Overste" Padahal sangat mungkin ia sendiri kena sikat Overste.
"Ini rupanya tak sekadar soal catur, Pak Cik"" Mitoha tampak tak mengerti. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya, Boi"" Aku tak menjawab.
Seperti Mitoha, kami pun sempat heran melihat kelakuan Maryamah. Usai pertarungan melawan guru biologi kemarin. Maryamah kami tanyai. Mulanya ia enggan menjawab. Setelah didesak, ia berkisah tentang pengalaman mengerikan yang ia alami waktu kecil dulu. Ia hampir celaka karena diburu di hutan oleh sejumlah laki-laki karena mendulang timah. Kami miris mendengarnya ketakutan diperkosa dan dibunuh, lalu terjun ke hulu Sungai Linggang. Ia selamat karena tersangkut di akar bakau nun di muara. Maryamah mengatakan, sejak itu ia ketakutan setiap kali mendengar salak anjing. Sekarang kami paham mengapa ia meminta wasit agar mengusir anjing-anjing menyalak di dekat warung kopi, waktu
ia bertanding melawan Syamsuri Abidin dulu. Beberapa hari setelah kejadian ia diburu itu, Maryamah melihat orang-orang yang memburunya sedang minum kopi di Warung Kopi Bunga Serodja bersama seorang pria yang menyuruh mereka. Pria itu adalah Overste Djemalam.
Djemalam adalah mantan pejabat tinggi maskapai timah bagian ukur. Dulu Belanda memberinya pangkat Overste. Jadilah ia Overste Djemalam. Ia menguasai lahan tambang yang luas dan menyewa orang untuk menjaga lahannya. Ia telah menjadi semacam tuan tanah sekaligus rentenir. Ia menyewakan lahan dengan harga tinggi kepada para pendulang miskin.
Paman rupanya telah tahu sepak terjang Overste, karena itu ia mendukung rencana Maryamah melibas Overste.
Overste senang. Dari lawan-lawan yang ia hadapi, Maryamah adalah yang terlemah. Ia merasa jalannya akan makin mulus menuju final.
"Kali ini Maryamah akan khatam, keberuntungannya habis, tamat kalimat!" ejeknya.
Persiapan melawan Overste menjadi sangat emosional bagi Maryamah karena persoalan pribadi terlibat di dalamnya. Ia lebih tekun dari biasanya. Detektif M. Nur dan Preman Cebol tak kesulitan mendapatkan diagram permainan Overste sebab lelaki itu amat gemar pamer kebolehan di warung-warung kopi. Detektif dan Preman bekerja sangat telaten karena mereka ingin
melihat Maryamah membekuk Overste Djemalam yang kurang ajar itu. Pertandingan itu dianggap kubu kami sebagai sesuatu yang pribadi.
Overste Djemalam telah membuat kami marah. Sekuat apa pun ia, ia harus diberi pelajaran. Kalaupun Maryamah harus kalah, ia akan kalah setelah bertempur habis-habisan. Kami melihat keputusan Maryamah untuk menghadang Overste adalah sebuah keputusan yang benar. Ini tak lagi soal catur, tapi martabat.
Diagram-diagram Overste kukirimkan pada Nochka. Berkatalah Grand Master,
"Pecatur ini sudah berpengalaman. Langkah- langkah menterinya sangat berbahaya."
Menurut Detektif M. Nur, selain sebagai tuan tanah, Overste juga fungsionaris sebuah partai, maka ia berkarakter politisi: oportunistis, terobsesi pada kekuasaan, provokatif, intimidatif, kompromistis, dan cepat menaksir situasi untuk menimbang aliansi.
Pendapat Nochka: "Ia membangun sistem serangan yang bagus, dan pandai mengintai kelemahan lawan untuk menyerang."
Dalam bahasa Detektif M. Nur: oportunistis.
"Serangannya adalah kombinasi perwira-perwira utamanya."
Detektif M. Nur mengistilahinya: terobsesi pada kekuasaan.
"Kebiasaannya mengumbar menteri dan benteng itu jangan dicemaskan. Itu hanya untuk gertak-gertak saja."
Kapan hari Detektif M. Nur menyebutnya: provokatif dan intimidatif.
"Maryamah harus menyusun pertahanan khasnya. Menyerang dengan kombinasi kuda dan luncus. Jika terancam dengan serius, lawan ini tak punya mentalitas untuk menyerang balik. Ia pasti menawarkan remis."
Berdasarkan istilah Detektif M. Nur: kompromistis.
Grand Master Ninochka Stronovsky dan Detektif M. Nur: klop.
Saat pertandingan tiba, sekondan Overste mendominasi gedung pertandingan. Hiruk pikuk menjagokan mantan petinggi maskapai itu. Selamot, Detektif M. Nur, dan Preman tampak tegang. Giok Nio tak tenang. Solidaritasnya untuk Maryamah menempatkannya pada posisi dongkol pada Overste. Maryamah melangkah dan menunjukkan sikap yang dingin. Ia tak menunduk pada lawannya seperti selalu ia lakukan. Pertempuran penuh kesumat ini pasti akan berdarah-darah.
Maryamah membuka dengan gambit menteri. Aku tahu, jika ia membuka dengan gambit menteri, perasaannya sedang tak enak. Overste bersikap menantang dengan pembukaan Inggris.
Penonton yang tidak mengetahui hikayat kedua pecatur dan bagaimana nasib telah menggiring seorang pemburu dan buruannya ke atas papan catur mengharapkan sebuah pertandingan dengan menggunakan otak tingkat tinggi, damai, dan imbang. Namun, mereka seta-merta terkejut melihat pendobrakan yang dilakukan Maryamah pada langkah-langkah mula.
Overste mulai celingak-celinguk, mengintip-intip untuk melihat celah menusuk raja Maryamah. Maryamah sama sekali tak terpengaruh akan sikap oportunistis murahan itu. Ia menekuri papan catur. Aku tahu hatinya membara. Overste mulai berada di atas angin. Ia mengangkat luncus dan mengentakkannya dengan keras sembari memekik,
"STIR!" Provokatif. "Tak perlu kau hentakan buah catur itu dan tak perlu kau berteriak. Ini kejuaraan resmi, Pak Cik! Bukan main catur di pinggir jalan!" bentak juri. Penilai pertandingan mencatat pelanggaran itu. Sekali lagi begitu, Overste bisa kena kurangi poinnya.
Menteri Maryamah menghindar. Kuda Overste melenggang ke belakang. Kasat mata tujuannya, yaitu atret untuk mendapat momentum untuk menyerbu. Ia memasang kombinasi serangan dua ekor kuda dan kuda-kuda itu menjelma menjadi belasan ekor anjing pemburu babi hutan yang dilepaskannya untuk memburu seorang gadis kecil.
Perwira Maryamah kocar-kacir dan rajanya menjelma menjadi dirinya sendiri yang berlari pontang-panting menyelamatkan diri. Pendukung Overste bersorak melihat Overste melakukan sekak dan stir bertubi-tubi. Maryamah ketakutan karena telinganya dipenuhi suara salak anjing. Sekak stir dari Overste bak anak-anak panah yang berdesing di dekatnya. Pasangan bentengnya bersatu dengan batalion penyerbu lalu berubah menjadi lelaki-lelaki kejam yang ingin memerkosa dan membunuhnya. Pion-pion Overste menjadi gulma tajam yang menyayatnya saat ia terabas untuk melarikan diri.
Overste menunjukkan kualitas sebagai pecatur kelas atas, finalis dua
tahun berturut-turut. Pendukungnya gegap gempita melihatnya mulai memainkan menteri, senjata mautnya. Pendukung Maryamah membisu. Paman bersedih. Ia ingin membela Maryamah, tapi tak ada yang dapat ia lakukan. Maryamah terpojok di tepi papan dan tak bisa lagi melarikan diri kecuali menerjunkan diri ke hulu Sungai Linggang.
Menteri Overste yang memimpin lelaki-lelaki yang ganas dan anjing pemburu babi hutan kian dekat padanya. Maryamah telah berada di pinggir tebing yang curam. Namun, pada detik itu ia memutuskan untuk melawan. Tak seperti ketika ia masih kecil dulu, kali ini ia takkan melompat ke sungai, kali ini ia menolak untuk ditakut-takuti. Ia berbalik dan menghunus parang di pinggangnya. Diangkatnya benteng selatan untuk menyusun pertahanan.
Menteri Overste tinggal selangkah untuk menghabisi raja Maryamah. Perempuan itu menggabungkan benteng utara dengan saudara kembarnya di selatan demi membarikade rajanya. Menteri Overste sampai pada titik tembaknya dan langsung menyekak. Benteng utara serta-merta memblok sekak itu. Ajaib, posisi baru benteng utara, bukan hanya siap menyambar kuda Overste-andaikata kuda itu berani hijrah ke posisi yang diniatkan sang tuan tanah sebagai rencana B atas sekak yang gagal barusan-namun nyata di depan mata, benteng utara telah pula membuka jalan bebas hambatan bagi benteng selatan untuk menghantam secara diagonal keempat penjuru angin. Dan, nun di arah pukul tiga lebih lima menit timur laut sana, berdiri raja Overste, hanya dilindungi sebutir pion. Gemetar.
Pendukung Maryamah melonjak melihat teknik benteng bersusun tingkat adiluhung yang diperlihatkan perempuan pendulang timah itu. Sebaliknya, pendukung Overste terbelalak. Orang-orang yang selama ini selalu menganggap Maryamah melaju karena berjumpa dengan pecatur kelas tiga, seperti kena siram dengan kopi panas mukanya.
Di situ, ya, di situ tuan tanah jahat yang selalu sesumbar masuk final itu, yang berasal dari partai politik yang juga bergelimang kejahatan itu, jelas sedang terancam.
Overste panik. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, momentum meluncur dari pundaknya ke pundak Maryamah, dan perempuan itu mengamuk sejadi-jadinya. Berulang kali ia mengangkat wajah. Jika tak dihalangi selendang penjaga syariat, tatapannya pasti menghunjam sebuah wajah yang telah terbenam di dalam benaknya sejak ia berusia 14 tahun, sejak pertama kali dilihatnya di Warung Kopi Bunga Serodja.
Overste terpojok. Maryamah tak mengurangi intensitas serangan. Perwiranya dapat dikatakan berperilaku membabi buta. Menterinya menjelma menjadi pedang menetak lelaki-lelaki ganas yang tadi menyerangnya. Anjing-anjing pemburu babi hutan semburat ketakutan. Pertandingan berubah menjadi dramatis karena buah catur Overste hampir habis.
Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Overste dan tak paham teknik apa yang diterapkan Maryamah. Namun, tampak di situ papan catur telah berubah serupa pembantaian di Padang Karbala. Dari seorang perempuan pendulang timah tak berijazah, Maryamah berubah menjadi seorang pecatur adiluhung. Dari pemangsa, Overste berubah menjadi dimangsa.
Akhirnya raja Overste berdiri sendiri karena semua pengawalnya telah berpulang kepada Tuhan. Wajah Overste sulit dijelaskan. Satu wajah yang malu, ego yang terluka parah, wibawa yang rontok, gamang, dan terkejut, bercampur dengan harapan yang patah mangkas tak dapat disambung lagi. Semua itu tak dapat ditopenginya, gagal. Dari seorang lelaki garang yang serakah, ia berubah menjadi lelaki yang sangat canggung. Maryamah menjentikkan kudanya. Seekor kuda sembrani bernapas api. Sekali terjang, raja Overste terjengkang.
Pada papan kedua, tak berlangsung lama, Overste Djemalam langsung berada di bawah angin. Semua anggapan dirinya tentang dirinya sendiri, yang ternyata dibuktikan salah oleh seorang perempuan, telah melumpuhkan mental tarungnya. Disertai satu senyum yang getir, dengan konyol dan putus asa, ia menawarkan remis.
Sikap Overste itu telah diduga Grand Master Ninochka Stronovsky. Sebagai bagian dari analisis spionasenya, yang menemukan bahwa Overste bermental politis, Detektif swasta M. Nur pun te
lah mengantisipasi sikap kompromistis itu. Kubu kami tentu saja menampik tawaran tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan itu. Maryamah mengangkat menterinya, agak sedikit tinggi, lalu mengentakkan di depan raja Overste. Raja itu tewas di tempat.
Sekondan Maryamah bersorak girang. Maryamah bangkit dan berlalu meninggalkan Overste yang terpaku dengan wajah kaku. Lunas sudah kesumat itu.
Mozaik 42 Ia lebih Pintar dari Presiden
ADA satu cabang ilmu, aku lupa namanya, yang dapat menjelaskan sampai batas usia berapa kita dapat mengingat sesuatu. Maksudku seperti ini, ketika kita masih kecil, kita tak ingat apa yang telah terjadi. Kecuali kejadian itu sangat luar biasa, sehingga kita ingat terus. Sampai mati takkan lupa.
Barangkali seharusnya akut aku ingat apa yang telah terjadi ketika aku masih berumur empat tahun. Namun, sampai sekarang aku masih bisa menggambarkan dengan terang warna baju dan celana orang itu, bentuk sisiran rambutnya, bau badannya, dan minyak rambutnya. Oran gitu adalah Pamanku, pemilik warung kopi tempatku bekerja kini, dan kejadian luar biasa yang ia lakukan adalah bercerita padaku dan adikku, dalam bahasa Inggris.
Waktu Paman belum menikah, masih berbentuk bujang tanggung, dan tengah jaya-jayanya, ia tinggal bersama keluarga kami. Bukan dari sekolah, karena aku belum sekolah, atau dari televisi, yang memang belum masuk ke kampung kami ketika umurku empat tahun, bukan pula dari radio atau film yang diputar di bioskop Kim Nyam atau di Markas Pertemuan Buruh, tapi dari Pamanlah pertama kali kudengar bahasa asing itu: Inggris.
Waktu itu Paman telah bekerja sebagai tenaga langkong---semacam capeg alias calon pegawai. Ia magang pada jabatan juru muda telepon alias operator maskapai timah. Tugasnya menyambungkan telepon melalui sebuah papan vessel. Operator vessel bekerja dengan kabel yang centang prenang ke sana ke mari, melingkar-melingkar di lantai, sampai disampir-sampirkan di bahu mereka. Mereka menusukkan ujung kabel itu ke dalam beratus -ratus lubang kecil untuk menyambung hubungan telepon. Teknologinya masih analog. Pekerjaan itu berurusan dengan kemerosok suara telepon sepanjang waktu. Operator selalu berteriak untuk menyambungkan telepon. Jika cuaca buruk, mereka bekerja seperti komandan menertibkan barisan.
Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paman bekerja sebagai operator selama puluhan tahun sampai maskapai timah gulung tikar baru-baru ini. Pekerjaan itu menjelaskan mengapa ia tak pernah bisa bicara dengan pelan. Jika bicara biasa, ia seperti marah. Jika marah, ia seperti murka. Volume suaranya telah
ter-set secara otomatis pada skala di atas lima. Tak bisa dikecilkan lagi. Hal ini sudah menjadi semacam default baginya. Semacam bawaan dari pabrik.
Nah, kejadian luar biasa itu adalah jika Paman pulang dari Tanjong Pandan untuk sebuah perjalanan dinas, ia selalu membawakanku dan adikku mainan. Suatu ketika ia pulang membawa sebuah buku yang sampulnya sangat bagus. Ia mengatakan bahwa buku itu buku cerita rakyat dari Barat yang diberikan oleh sahabatnya di Pelabuhan Tanjong Pandan. Sahabatnya itu seorang anak buah kapal minyak sawit yang baru pulang berlayar dari Amerika.
Cerita Paman tentang pelayaran sahabatnya naik kapal minyak sawit itu adalah satu hal, namun ceritanya dari buku berbahasa Inggris itu adalah hal lain. Aku ingat betul, bagaimana aku dan adik lelakiku---adikku itu masih bodoh benar waktu itu---terpesona, ternganga-nganga sampai mau kencing menjadi lupa, mendengar Paman dengan sangat fasih bercakap dalam bahasa Inggris: swang-sweng, sien-sion, ngoas-ngoes, wezwen-wezwin, grrh-grrh, mendesis-desis.
belum masuk ke maksud cerita, cara Paman berkata-kata di dalam bahasa yang asing itu adalah aksi tersendiri yang amat menakjubkan bagi kami. Kularang Paman yang mau menerjemahkan kisahnya ke dalam bahasa yang kupahami---bahasa melayu---karena aku belum puas melihatnya bercakap-cakap dengan cara yang aneh itu. Sebaliknya Paman senang tak kepalang karena mendapatkan seorang pengagum yaitu keponakannya yang berumur 4 tahun. Dua orang pengagum sebenarnya, yaitu adikku yang berumur 3 tahun. Tapi, ia masih bodoh benar wakt
u itu, jadi ia tidak perlu dihitung.
Paman berjalan hilir mudik mengelilingiku dan adikku yang terpana melihatnya memegang buku dan membacanya dengan keras dalam bahasa was-wes yang sehuruf pun tak kami pahami. Sesekali Paman melihat kami dan tersenyum riang. Betapa aku kau kagum dengan kecerdasan pamanku. Melihat gaya Paman, aku ingin cepat pandai membaca dan aku ingin berbahasa aneh seperti itu. Dalam hatiku waktu itu, pamanku adalah orang paling pintar di dunia ini. Ia menguasai empat belas bahasa asing dan ia lebih pintar dari presiden di Jakarta.
Selelah puas mendengar bunyi ajaib dari mulut Paman, barulah ia kubolehkan menerjemahkan ceritanya. Kekagumanku padanya kian berlipat-lipat sebab ia membaca dalam bahasa Inggris kalimat demi kalimat, lalu kalimat demi kalimat itu ia terjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Aku senang bukan buatan mendengar kisah itu. Dan, Paman senang melihat mataku berbinar-binar. Kisah itu sangat bagus, yaitu tentang seorang lelaki yang dikejar-kejar oleh kawanan tikus.
"Lihat ini, Boi! Ada gambarnya!"
Aku dan adikku melihat gambar kecil itu. Adikku masih bodoh jadi hanya senang melihat gambarnya. Tapi, kami agak takut melihat gambar itu, yaitu seorang lelaki berbaju aneh, berpola kotak-kotak, memakai topi yang lucu. Ia terbirit-birit dikejar kawanan tikus. Kawanan tikus itu sangat panjang seperti sungai.
"Orang ini adalah pegawai pemerintah," kata Paman pada kami sambil memandang benci pada lelaki berbaju aneh itu.
"Dia menggelapkan uang di kantor desa sehingga dia mendapat hukum karma. Dia dikejar tikus sampai akhir hayatnya."
Aku takut sekali. Di situlah untuk pertama kalinya kau mendapat pelajaran tentang hukum karma.
"Hukum karma pasti berlaku, Boi," kata Paman dengan serius.
"Maka, aku jangan nakal dan jahat, ya. Nanti kau kena hukuman karma." Aku mengangguk-angguk dengan takzim. Kusimpan benar pelajaran itu.
Kisah kedua, juga tak kalah hebatnya. Dari gambarnya tampak seorang lelaki gendut tengah memanjat sebatang pohon. Pohon itu macam pohon kacang rambat tapi tinggi sekali. Di kiri-kanan orang gendut itu ada gumpalan-gumpalan awan. Dengan penuh semangat dan bahasa Inggris yang sangat fasih swang-sweng, sien-sion, ngoas-ngoes, wezwen-wezwin, grrh-grrh, Paman kembali menerjemahkan kalimat-kalimat Inggris itu ke dalam bahasa Melayu. Amboi, kagum benar aku. Paman bisa menerjemahkannya dengan sangat cepat seperti ia tak perlu berpikir untuk melakukannya. Baginya itu hanya soal sepele.
Paman menunjuk gambar lelaki gendut yang tampak ketakutan di puncak pohon kacang di atas langit itu.
"Dia juga pegawai pemerintah, Boi."
Kasihan sekali aku melihat dua orang pegawai pemerintah telah menderita di dalam buku itu.
"Dia juga kena hukum karma karena suka ke warung kopi selama jam dinas. Dia tengah menyirami pohon kacangnya, tahu-tahu pohon kacang itu melilitnya dan pohon itu langsung tumbuh tinggi sekali sampai ke langit, membawa pegawai pemerintah itu ke alam baka.
Aku ternganga. Lalat pun kalau masuk ke dalam mulutku, aku pasti tak sadar. Adikku, yang masih bodoh itu, hanya suka melihat gambarnya. Sayang sekali ia tidak paham ceritanya, sayang sekali!
Kutanyakan pada Paman, bahasa apakah yang ia ucapkan itu" Orang manakah yang berbicara seperti itu" Paman mengatakan bahwa itu bahasa orang Barat. Kutanyakan lagi, mengapa mereka berbicara was-wes begitu"
"Karena mereka tidak makan nasi seperti kita, Boi. Itu sajalah dulu yang perlu kau tahu. Jangan kau bertanya terlalu banyak, nanti pening aku."
Hari-hari berikutnya, bahkan sampai tahun-tahun setelah itu aku dan adikku sering merengek-rengek agar Paman mengulangi kedua cerita yang hebat itu. Paman bercerita lagi dengan penuh semangat dan ia tidak kami izinkan menerjemahkan dulu kisahnya sebelum kami puas mendengarnya berbahasa asing.
Paman hilir mudik lagi, sambil memegang buku itu dan membacanya dengan penuh gaya. Kadang kala ia berdiri tertegun, maksudnya menunggu pujian dan tepuk tangan dariku dan adikku. Ayah dan ibuku tertawa melihat gaya paman. Sungguh sebuah acara keluarga yang menarik hati.
Tak kulupa, aku dan adikku menangis keras sekali
waktu Paman beristri dan harus meninggalkan rumah kami. Karena kami takkan lagi mendengarnya bercerita dalam bahasa yang aneh itu. Saat itu, kami benci pada bibi kami.
Ketika aku masuk SPM, di perpustakaan sekolah secara tak sengaja kutemukan buku yang serupa dengan buku cerita Paman dulu. Di situ baru kutahu bahwa cerita Paman tentang lelaki berbaju kotak-kotak itu, yang dikejar tikus itu, sesungguhnya adalah kisah rakyat Jerman yang sangat terkenal dengan judul asli Der Rattenfanger von Hameln. Lelaki itu membawa pergi kawanan tikus yang mengganggu sebuah desa dengan tiupan seruling ajaibnya. Ia bukanlah pegawai pemerintah yang kena karma karena menggelapkan uang di kantor desa. Adapun lelaki gendut yang berada di puncak pohon kacang di langit itu adalah raksasa yang dikelabui oleh Jack, dari kisah rakyat Inggris Jack and the Beanstalk, bukan pegawai pemerintah yang kena karma dikirim ke alam baka karena suka ke warung kopi selama jam dinas.
Aku pulang dan bertanya pada Ibu. Ibu mengatakan bahwa ketika Paman beraksi swang-sweng, sien-sion, ngoas-ngoes, wezwen-wezwin, grrh-grrh berbahasa Inggris itu sesungguhnya Paman tak memahami sehuruf pun bahasa Inggris. Bahkan sampai tua sekarang Paman tak bisa berbahasa Inggris. Waktu itu ia hanya mengucapkan saja apa yang terbaca olehnya, apa adanya.
Namun, apa pun yang telah terjadi, tak berkurang rasa sayang dan kagumku pada Paman. Ia telah memberiku masa-masa yang sangat mengesankan. Ia bagaikan ayahku sendiri, bagaikan guru ngaji, guru SD, dan tukang sunatku dulu. Orang-orang itu berhak mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan tentang aku. Karena itu, aku tak pernah ambil pusing
omelan Paman padaku di warung kopi. Selain itu, bagiku, Paman tetaplah orang yang paling pintar di dunia ini. Ia menguasai empat belas bahasa asing dan dia lebih pintar dari presiden di Jakarta.
Waktu aku berkemas-kemas untuk berangkat ke Jakarta dengan kapal Mualim Syahbana tempo hari, kutemukan buku cerita Paman itu. Kubuka lembar demi lebar lalu terbayang wan baju dan celana Paman, bentuk sisiran rambutnya, bau badannya, bau minyak rambutnya, dan gayanya hilir mudik membaca dalam bahasa Barat yang aneh. Kuingat benar semuanya. Padahal umurku baru empat tahun waktu itu. Membayangkan semua itu, mataku berkaca-kaca. Sementara itu, adikku sekarang sudah tidak bodoh lagi, tapi ia tetap tak tahu tentang kedua kisah pegawai pemerintah itu, sayang sekali!
Mozaik 43 Mimpi Ninochka Stronovsky
BERITA yang sangat menyenangkan tiba dari Helsinki. Grand Master Ninochka Stronovsky berhasil menggulung Grand Master Nikky Wohmann. Maka, mimpi gadis Georgia itu untuk masuk kelompok elite 20 pecatur perempuan terbaik dunia telah tergapai. Dengan bersemangat ia menceritakan targetnya tahun depan, yaitu menantang Bellinda Hess-Hay untuk mengincar juara dunia catur perempuan. Kami mengucapkan selamat atas prestasinya. Ia pun mengucapkan selamat atas keberhasilan Maryamah menjadi finalis, dan katanya ia ingin memberi Maryamah sebuah kejutan.
Maryamah tekun mempersiapkan laga pamungkas yang telah lama ia impi-impikan untuk menghadapi mantan suaminya, Matarom. Ia telah mengalahkan banyak pecatur dan telah menyaksikan berpuluh pecatur pria, berderet-deret di papan pendaftaran pertandingan, namun sejak awal Mataromlah sesungguhnya yang ia sasar. Keinginan itu bahkan sebelum ia pandai menggerakkan sebiji pun buah catur. Maryamah semakin mantap, paling tidak katanya-sejak ia berhasil menggulung Overste Djemalam-ia tak ketakutan lagi kalau mendengar salak anjing.
Sementara itu, mereka yang selama ini meremehkan Maryamah, bahkan dulu menolaknya ikut bertanding, kesulitan memulang-mulangkan kalimatnya di warung-warung kopi. Mitoha sering mengaduk-aduk rambutnya karena pening memikirkan bagaimana Maryamah, dari seorang perempuan pendulang timah yang bahkan tak pernah memegang papan catur, tiba-tiba secara ajaib menjelma menjadi seorang pecatur hebat.
Mitoha tak tahu bahwa seorang grand master internasional perempuan adalah arsitek kemenangan itu. Dia tak mengerti bahwa kami bekerja dengan sains: teknologi informasi- intern
et, sosiologi, referensi Buku Besar Peminum Kopi, dan ilmu statistik Lintang. Tak paham, bahwa kegiatan spionase tingkat tinggi yang didukung oleh Detektif M. Nur, Preman Cebol, seekor burung merpati yang cerdik, dan seorang lelaki norak yang mampu bersepeda 70 kilometer per jam, berada di balik semua itu. Sehingga, kami paham betul kemampuan setiap lawan bahkan kami tahu berapa jumlah istrinya. Ia juga tak mengerti apa yang dapat dilakukan seorang perempuan yang teraniaya dan memutuskan untuk membalas. Dari semua itu dapatlah kukatakan bahwa Maryamah takkan semudah itu dikalahkan.
Dalam pada itu, Matarom semakin getol memamerkan kemampuannya di warung-warung kopi dengan tujuan menekan mental Maryamah. Hal itu justru menguntungkan kubu kami. Detektif M .Nur berhasil mengumpulkan berlembar-lembar diagram permainannya.
Tiga hari sebelum laga final, aku, Detektif M. Nur, Preman Cebol, dan Aziz mengunjungi pasar malam untuk melihat pertunjukan orkes Melayu Pasar Ikan Belok Kiri pimpinan Bang Zaitun. Masyarakat berbondong-bondong datang karena konser itu adalah konser come back orkes Melayu yang sempat beku karena Bang Zaitun beralih profesi menjadi supir bus. Rupanya darah seniman Bang Zaitun tak pernah berhenti bergolak. Orang-orang bersarung dari pulau-pulau kecil rela berperahu berjam-jam demi menyaksikan Bang Zaitun beraksi.
Panitia kehabisan tiket yang harganya hanya lima ratus perak. Pengunjung yang masuk tanpa tiket tangannya di cap huruf Z oleh penjaga pintu. Z pastilah maksudnya Zaitun. Aziz dan beberapa pria yang tak kami kenal terlambat masuk. Mereka kena cap Z itu.
Orkes itu ternyata belum kehilangan daya magnetnya. Penonton bergoyang-goyang dimabuk musik, para personel orkes, tua-tua keladi! Bang Zaitun memakai jubah yang ditempeli pernak-pernik berkilau-kilau. Sepatunya berhak tinggi. Ikatan tali sepatunya sampai ke lutut. Hebat bukan buatan. Senyumnya terlempar-lempar menyapa penggemarnya. Permainan gitarnya meliuk-liuk. Eric Clapton pun bisa berkecil hati dibuatnya.
Subuh-subuh esoknya aku naik bus ke Tanjong Pandan untuk membicarakan diagram Matarom dengan Nochka. Alunan gitar Bang Zaitun masih terngiang-ngiang di telingaku. Masih gelap waktu itu. Satu per satu penumpang naik. Aku hafal penumpang Senin subuh. Mereka adalah para pegawai pemerintah di kantor kabupaten yang pulang kampung untuk libur sejak Jumat lalu. Senin pagi mereka kembali ke kantornya. Lalu naik tiga orang lelaki yang tak kukenal. Mereka duduk di bangku paling belakang.
Sepanjang perjalanan aku merasa diawasi ketiga orang itu. Jika aku menoleh ke belakang, mereka berpaling. Aku sadar bahwa ada yang tak beres. Bus sampai di Tanjong Pandan, aku minta sopir berhenti sebelum masuk terminal. Aku turun dan berlari menjauhi bus. Ketiga lelaki itu berloncatan dari dalam bus.
Aku menyeberangi jalan, mereka menyusulku. Aku cemas, apa yang dinginkan orang-orang yang tak dikenal itu" Aku berbelok ke samping kantor pos. mereka berlari ke arah yang sama. Dua orang dari mereka mengambil jalur memutar. Jelas mereka ingin mengepungku. Aku masuk ke gang yang dipenuhi pedagang kaki lima. Mereka tengah bersiap menggelar dagangan. Mereka terkejut melihatku berlari pontang-panting. Tiba-tiba dua orang yang berlari memutar tadi muncul dan langsung menghadangku. Aku terjebak. Mereka berusaha merampas tasku. Kurengkuh tasku kuat-kuat. Lelaki yang lain mendorongku. Tindakan itu membuat tali tas terlepas dari tarikan kawannya, lengan jaketnya tersingkap. Tampak huruf Z
di tangannya. Aku terkesiap. Aku tak mengenal mereka, tapi pasti Aziz Tarmizi terlibat dalam kejahatan ini, dan yang mereka incar adalah diagram permainan catur Matarom. Tak mungkin kulepas tas itu. Nasib Maryamah tergantung pada diagram-diagram itu.
Aku berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju Jalan Safa lalu berbelok ke Gang Marwa. Kuterabas sekelompok burung merpati yang sedang mengerubuti ceceran dedak di jalan. Pengejarku semakin dekat. Situasiku menjadi genting. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Di sebuah kios kuraih segenggam beras dari dalam karung dan kulemparkan ke udara sambil
bersuit-siut seperti Detektif M .Nur memanggil Jose Rizal. Hanya beberapa detik setelah itu kudengar bunyi siutan lain yang sangat nyaring dan tak tahu dari mana, menukiklah dari angkasa seekor burung puih yang sangat besar. Burung itu berputar-putar dengan kecepatan yang mengagumkan seperti pesawat tempur. Aku kenal ia: Ratna Mutu Manikam! Lalu serombongan besar burung merpati berkelebatan mengikuti Ratna. Mereka bermanuver menyumbar bulir-bulir beras yang kuhamburkan ke udara. Kepakan dan peluit-peluit kecil di kaki mereka menimbulkan suara yang sangat gaduh. Mereka datang seperti kupanggil. Namun, yang kupanggil sesungguhnya bukan burung-burung dara itu, tapi penguasa pasar itu. Dari jauh kulihat orang-orang yang mengejarku, lalu mereka ngerem mendadak karena di depan mereka muncul tiga sosok yang aneh: seorang bertubuh seperti petinju, seorang lainnya kurus dan sangat tinggi, dan seorang lagi cebol.
Suitan memanggil Ratna Mutu Manikam telah menarik perhatian Preman Cebol, dan naluri kepremanannya membuatnya mengerti bahwa aku dalam bahaya. Anak buahnya, mantan petinju itu, melakukan pukulan jab kiri dan kanan meninju-ninju udara. Ia bertubuh kaku dan besar, tapi kakinya lincah menari-nari. Aku terengah-engah dan berbalik, orang-orang yang mengejarku tadi tak tampak lagi.
Mozaik 44 Maryamah Tak Suka Kejutan
AKU tak memberi tahu siapa pun soal kejadian di Pasar Pagi. Pengkhianatan Aziz ia nyatakan sendiri dengan tak lagi muncul di kantor Detektif M. Nur. Ia raib tak tahu rimbanya. Aku makin yakin ketika berjumpa lagi dengan Mitoha. Tanpa tedeng aling-aling ia mendesak.
"Kaubawa ke mana diagram-diagram itu, Boi" Apa itu operasi belalang sembah""
Aku kaget dan tentu saja tak menjawab. Mitoha kesal tapi maklum, bahwa apa yang kami lakukan tidaklah menelikung aturan. Menyelidiki kemampuan lawan merupakan suatu tindakan profesional dan keniscayaan yang mestinya dilakukan setiap pecatur.
Terang benderang semuanya, Mitoha-lah yang telah mengirim orang untuk membuntuti dan merampas tasku. Aku tak berniat memprotesnya aku hanya gamang, tapi juga kagum akan skenario persekongkolannya. Sesungguhnya tempo hari Aziz sengaja dibuatnya kalah secara pahit dan seolah diperlakukan secara tidak adil oleh klub Di Timoer Matahari, dengan tujuan sebenarnya agar dapat disusupkan ke klub kami. Sebuah intrik kelas tinggi yang licik. Mengerikan sekali akibat yang bisa ditimbulkan oleh lima gelas kopi. Aziz berhasil membongkar operasi belalang sembah. Mata-mata yang dimata-matai. Itulah yang telah terjadi pada Detektif M. Nur. Dalam situasi perang dingin ia mengalami suatu keadaan yang disebut sebagai kontraspionase. Lelaki kontet itu gemas bukan buatan.
Aku tengah melamun di ambang jendela waktu Jose Rizal hinggap di kawat jemuran. Kudekati ia dan aku heran melihat gulungan kertas di kedua kakinya, biasanya hanya di kaki kanannya. Kubuka gulungan kertas di kaki kanannya.
Mendapatkan Ikal, kawanku.
Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.
Ttd, M. Nur, yang menyesal. Lalu, pesan apakah di kaki kiri Jose Rizal itu" Aku berdebar-debar. Kubuka gulungan pesan itu.
Mendapatkan Ikal, kawan majikanku.
Sudilah kiranya memaafkan kesalahanku atas kejadian Aziz Tarmizi. Memang tak tahu adat sekali orang itu.
Ttd, Jose Rizal, yang menyesal.
Oh, rupanya Detektif M. Nur telah membuat permintaan maaf pula atas nama Jose Rizal. Kedua surat kubalas lewat suatu pesan untuk dua permintaan.
Mendapatkan M. Nur dan Jose Rizal. Usahlah dirisaukan soal itu.
Ttd, Ikal, yang pemaaf. "Dari seluruh diagram yang pernah kau kirim kepadaku, lawan ini yang terbaik," kata Nochka mengomentari diagram Matarom.
"Terus terang, Kawan, harap jangan tersinggung, terkejut juga aku mendapat diagram semacam ini dari kampungmu. Ternyata ada pecatur hebat di sana." Ia sisipkan emotion- wajah tersenyum dengan lidah melet.
"Orang ini menyerang dan bertahan sama bagusnya. Teknik pembelaannya lengkap. Teknik pembebasannya efektif. Sejujurnya, secara teknis ia jauh di atas Maryamah."
Tubuhku meriang "Biasanya, ada celah lemah pa
ling 3 langkah jika seorang pecatur mengubah strateginya. Ini disebut kelemahan momentum. Orang ini sudah profesional, ia mampu mengatasi masalah akibat perubahan momentum strategi itu. Gayanya mirip Grand Master Ludek Pachman."
Mulutku rasanya pahit. Dengan lemas kutanyakan apa yang harus dilakukan Maryamah.
"Harapan terletak pada kekuatan sistem bertahan benteng bersusun yang telah ia kembangkan sendiri itu."
Belum pernah sebelumnya Grand Master memberi ulasan sepanjang itu.
"Sulit bagiku memberi nasihat teknis untuk menghadapi lawan sekuat finalis ini. Semuanya tergantung pada naluri Maryamah."
Dalam perjalanan pulang dari Tanjong Pandan, di dalam bus yang sepi aku melamun. Aku menengok ke belakang dan teringat akan perjalananku dulu, ketika pertama kali menghubungi Nochka untuk menanyakan apakah ia bersedia mengajari Maryamah main catur. Aneh sekali semuanya telah berlangsung. Beberapa bulan yang lalu, Maryamah masih tak tahu apa-apa, sekarang bakatnya diakui oleh seorang grand master, bahwa ia bermain seperti Anatoly Karpov. Betapa ajaib perempuan itu. Betapa kuat tekadnya. Terpampang di depanku kini, akibat yang dahsyat dari orang yang tak pernah gamang untuk belajar dari orang yang berani menantang ketidakmungkinan.
Lalu, aku terpana mendapati dunia yang baru kukenal: catur. Telah kulihat bagaimana pecatur menjadi jenderal, menjadi ahli strategi, raja-diraja, budak, atau terpaksa mengambil keputusan tanpa pilihan. Tak ada permainan lain seperti catur, di mana kemenangan dan kekalahan dapat di tawar. Tak ada permainan lain yang dengan secangkir kopi tampak seperti bertunangan. Spirit catur melanda kaum ningrat hingga jelata, hitam dan putih sama saja.
Bagiku catur kadang kala mirip persamaan matematika. Ada semacam konstanta a, yakni nilai tak bergerak, semacam gradien yang mempengaruhi arah pertandingan. Konstanta itu adalah pengetahuan tentang kemampuan lawan. Catur tak sekedar permainan raja palsu dan tentara-tentara yang terbuat dari kayu, namun mengandung perlambang kekuasaan dan alat untuk menghina. Adapula yang hal yang unik semacam Guioco Piano.
Sebuah cerita yang samar sumbernya mengatakan bahwa teknik pembukaan yang dapat dikembangkan menjadi serangan maut itu ditemukan oleh pecatur Sicillia pada awal abad ke-15. Guioco Piano berarti permainan yang tenang. Namun, akibatnya tak seteduh namanya. Penemunya konon terinspirasi pembunuhan yang dilakukan sebuah geng keluarga di Sicillia. Seperti kata Nochka, referensi yang kutemukan menyebut teknik Guioco Piano sangat sulit dikuasai. Jika tak pandai menerapkannya ia akan menjadi semacam senjata back fire. Ditembakkan namun peluru melesat ke belakang, makan tuan.
"Guioco Piano sangat berbahaya," pesan Nochka dulu pada Maryamah.
Barangkali ibarat ilmu silat, Guioco Piano adalah jurus pamungkas sakti mandraguna yang memerlukan tumbal yang besar untuk menguasainya.
Lalu adakalanya kulihat buah catur sebagai orang yang tersandera, politisi, seniman, komedian, dan spekulan. Di atas papan persegi empat itu telah kusaksikan orang mempertaruhkan martabat dan membakar kesumat. Bagi orang-orang tertentu, Maryamah dan Selamot misalnya, yang selama hidupnya selalu kalah, papan catur bak pusat putaran nasib. Di papan catur Selamot berjumpa lagi dengan Tarub dan Maryamah bertemu lagi
dengan Maksum, Go Kim Pho, Overste Djemalam, dan Matarom, orang-orang yang dengan kebaikan dan keburukannya telah membentuk ia seperti adanya. Di papan catur, Selamot dan Maryamah mendapati kerinduan menemukan penawarnya, utang budi menemukan terima kasihnya, ketidakadilan menemukan timbangannya. Di papan catur, kedua perempuan yang kalah itu menemukan kemenangan demi kemenangan.
Lamunan yang panjang membuatku tak sadar bahwa bus reyot yang kutumpangi telah memasuki gerbang kampung. Di sebuah jalanan yang sepi aku minta berhenti. Aku berjalan melalui padang yang terhampar di sebelah kanan dan gulma yang lebat di sebelah kiri. Di ujung jalan setapak yang panjang itu tampak olehku sebuah rumah berdinding kulit kayu lelak dan beratap daun nanga.
Sunyi senyap. Maryamah yang hidup sendiri setelah i
bunya meninggal sedang menyapu pekarangan waktu aku tiba. Kami duduk di beranda. Kusampaikan padanya diagram-diagram catur instruksi dari Nochka untuk menghadapi Matarom, dan kusampaikan pula ucapan selamat dari sang Grand Master atas keberhasilannya masuk final. Juga kukatakan bahwa akan ada kejutan, seorang sahabat yang jauh akan datang untuk menyaksikan pertandingan final itu.
Maryamah senang, namun ia mendesakku untuk memberi tahu siapa orang itu. Katanya, ia tak suka kejutan. Ia mendadak diam dan memandangi sebuah sepeda yang tersandar di sudut ruang tengah rumah. Lalu ia berkisah padaku tentang hadiah kejutan ayahnya untuk ibunya dulu, pada hari ayahnya meninggal. Ia menatapku.
"Aku ingin memenangkan pertandingan final itu, Boi," suaranya berat. Ia tampak tak sabar ingin mengakhiri perjalanan epiknya dari seorang pecatur yang dipandang sebelah mata ke puncak kejuaraan.
"Aku harus menang."
Aku pulang dari rumah Maryamah dengan lamunan yang makin panjang. Orang yang tak mengenal Maryamah secara mendalam takkan dapat memahami alasan dan langkah yang ia ambil untuk menegakkan harga dirinya. Melalui Maryamah, aku belajar menaruh hormat pada orang yang menegakkan martabatnya dengan cara membuktikan dirinya sendiri, bukan dengan membangun pikiran negatif tentang orang lain. Lalu aku berpikir, seumpama catur, hidup sedikit banyak bak reaksi atas pilihan sulit yang silih berganti mem-fait accompli manusia, dan alasan selalu lebih mudah dilupakan ketimbang akibat.
Selanjutnya, kulalui hari demi hari dengan dada bergemuruh menunggu pertandingan final. Kadang kala terasa cepat, dan kadang kala rasanya amat lambat. Keduanya bermuara pada siksaan. Malam sebelum pertandingan sama sekali tak dapat tidur. Jose Rizal hinggap di beranda rumahku.
Boi, apa pun yang akan terjadi besok, bagiku Maryamah sudah menang. Membayangkan Maryamah menjadi juara membuatku ingin menangis. Terima kasih telah mengajakku dan Jose Rizal dalam petualangan yang luar biasa ini.
Sahabatmu selalu M. Nur dan Jose Rizal Mozaik 45 Indonesia Raya UMBUL-UMBUL telah dipasang di kiri-kanan jalan menuju Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi. Masyarakat berduyun-duyun ingin menyaksikan pertandingan final catur yang istimewa, bukan hanya karena perempuan melawan lelaki, dan lelaki itu adalah kampiun catur tiada tara sekaligus mantan suaminya, tapi juga sejak memakzulkan Overste Djemalam, reputasi Maryamah meroket. Sekarang ia dianggap pecatur kelas atas yang karismatik. Berminggu-minggu ia telah diremehkan di warung-warung kopi, sekarang tak sesuku kata pun lelaki Melayu yang banyak omong itu berani menafikannya.
Di arena catur tahun ini perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus benar-benar terasa. Kaum perempuan pedagang kecil yang berunjuk rasa untuk mendukung pendaftaran Maryamah tempo hari tiba dalam satu rombongan besar yang meriah. Juragan-juragan toko Tionghoa bergabung dengan orang-orang Sawang, Melayu, dan orang-orang bersarung serta juragan-juragan perahu mereka. Semuanya ingin menyaksikan seorang perempuan yang digembar-gemborkan sangat lihai main catur. Para penonton penggemar klenik juga sangat banyak. Mereka tak paham catur, tapi ingin melihat papan catur perak yang magis itu. Mereka hadir dari pelosok pulau dalam pakaian serbahitam.
Mitoha secara resmi telah meminta pada Modin untuk memakai papan catur perak Matarom pada laga final. Tentu saja karena ia ingin menjatuhkan mental Maryamah dengan segala kabar ilmu hitam dan fakta bahwa Matarom tak pernah terkalahkan jika berlaga dengan papan itu. Modin menyarankan agar kami menerima permintaan Mitoha, sebab ia dan golongan Islam garis kerasnya ingin sekali membasmi praktik klenik di kampung. Jika Maryamah menang, segala teori pendukunan otomatis akan patah. Kami sepaham Modin.
Penonton kian berjubel. Yang tak dapat menyisipkan diri di antara kerumunan duduk berdempet-dempet di pagar serambi. Untuk mengantisipasi kericuhan, Sersan Kepala minta bantuan petugas penertiban pamong praja. Sehelai selendang merah dibentangkan di atas meja tanding untuk menghalangi pandangan kedua pecatur yang tadinya suami-istri, tapi s
ekarang bukan muhrim itu.
Matarom, pemegang sabuk juara bertahan, datang bersama Mitoha dan Master Nasional Abu Syafaat. Ia langsung duduk di tempatnya. Dinyalakannya cangklong diisapnya, dan didiamkannya asap berkelana sebentar di dalam mulutnya, lalu disertai tepuk tangan pendukungnya, diembuskannya asap cangklong itu. Semua itu-sikap duduknya, embusan asap cangklongnya, dan seringainya-merupakan pernyataan bahwa pertandingan itu tak lebih dari soal remeh-temeh saja, dan bahwa jarak antara dirinya dan dengan juara abadi hanya tinggal dua game yang akan ia akhiri secara tragis bagi Maryamah. Namun, ia kaget karena mendengar tepuk tangan yang ramai. Melalui mikrofon, Modin bersusah payah menenangkan penonton. Maryamah tiba.
Maryamah dikawal oleh lapis pertama sekondannya: Giok Nio, Alvin and the Chipmunks, Lintang, Detektif M. Nur dan Preman Cebol. Semuanya pakai baju baru. Alvin sibuk memamah biak permen telur cecak. Maryamah sendiri berbaju sari macam wanita India. Burkaknya jingga. Ketika ia berjalan, selendangnya berkibar-kibar. Aura penantang yang tak kenal takut terpancar kuat darinya, bahwa ia bukan lagi Maryamah sang pendulang timah, ia adalah pecatur perempuan yang menggetarkan lawan. Namun, tak seperti biasanya, Maryamah sendirian. Orang-orang bertanya, di manakah gerangan manajernya, Selamot" Kami pura-pura tak tahu.
Maryamah duduk. Kemudian terdengar lagi tepuk tangan, tapi agak ragu. Rupanya hadirin menyambut yang datang bersama seseorang yang asing. Orang itu berjalan dengan tenang dan mengangguk pada setiap orang. Ia berperawakan sedang, tapi di antara orang Melayu ia kelihatan paling tinggi. Ia memakai kaus, celana jins, dan scarf berwarna biru. Cantik sekali. Kulitnya putih, rambutnya pirang. Rupanya yang sangat berbeda menarik perhatian setiap orang. Bisik-bisik merebak. Melihat orang itu, Mitoha, Overste Djemalam, dan Master Nasional Abu Syafaat tertegun seperti melihat hantu. Modin mengucek-ngucek matanya karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulutnya ternganga, kacamatanya merosot. Mikrofon di dekatnya menangkap suara yang tak sadar ia ucapkan.
"Ni ... Ni ... Ninochka Stronovsky ...."
Mereka yang mengikuti perkembangan dunia catur seperti Mitoha, Overste Djemalam, Master Nasional Abu Syafaat, Modin, dan beberapa orang lainnya, tentu kenal Ninochka Stronovsky. Mereka yang familier dengan nama itu, namun tak pernah melihat wajahnya, terperangah. Mereka yang tak mengenalnya sama sekali ikut-ikutan seperti kenal agar tak dianggap orang udik, biasa orang Melayu.
Mendengar namanya disebut, Nochka berhenti dan menoleh pada Modin. Ia tersenyum dan menunduk. Modin gugup dan agaknya ingin mengucapkan pidato penyambutan dalam bahasa Inggris, tapi kosakatanya terbatas. Ia melanjutkan dalam bahasa Indonesia
"Saudara-saudara, suatu kehormatan bagi kita. Grand Master Ninochka Stronovsky, salah satu pecatur perempuan terbaik dunia, akan menyaksikan pertandingan final ini."
Tepuk tangan yang tadi ragu kini menjadi pasti. Mereka yang tak kenal bertepuk tangan paling keras. Nochka membekapkan tangannya di dada dan mengangguk-angguk ke semua arah. Tepuk tangan untuknya sangat meriah dan panjang. Banyak orang berdiri tanda salut pada Grand Master. Sejenak kedua kubu sekondan melupakan pertikaian. Mitoha menoleh padaku. Pandangannya sulit kulukiskan dengan kata-kata. Terbongkarlah misteri besar tentang kemampuan Maryamah. Ia sekarang tahu ke mana diagram-diagram catur itu kubawa.
Nochka duduk di sampingku dan memintaku menerjemahkan setiap ucapan Modin. Ia tertawa mengetahui nama klub-klub catur yang unik dan ia tampak amat tertarik. Katanya, di mana pun ia tak pernah melihat orang menonton catur seperti menonton sepak bola, ribut.
Modin mengumumkan bahwa sesuai tradisi pada pertandingan final, akan diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tanpa diminta, hadirin yang duduk serentak berdiri. Orang-orang suku bersarung, membetulkan sarungnya. Orang-orang Sawang yang gagah, berdiri tegak. Orang-orang Tionghoa merapatkan barisan. Orang-orang Melayu yang tadi hiruk pikuk, mendadak diam. Ninochka Stronovsky ber
diri dengan khidmat. Lalu, melalui tape recorder, mengalirlah lagi kebangsaan itu. Semua menyimak dan hanyut terbawa kemegahan lagu Indonesia Raya.
Mereka yang bertopi menghormat pada bendera merah putih besar yang berkibar-kibar di puncak tiang di pekarangan warung. Maryamah membekapkan tangannya di dada. Selamot berkaca-kaca matanya, mungkin ia teringat pada calon presiden perempuan itu. Paman meskipun tak bertopi, juga menghormat. Dengan lantang ia ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu. Lagu itu usai, tepuk tangan gegap gempita. Pertarungan dahsyat dimulai.
Maryamah dan Matarom berhadap-hadapan. Sungguh mendebarkan. Maryamah mendapat buah putih. Yang diharapkan para penganut pendukunan terkabul, yakni pada tarung papan pertama, Matarom akan memimpin tentara-tentara iblisnya. Matarom tersenyum. Dapat kurasakan Maryamah sedikit banyak terkorupsi oleh sugesti. Ia berusaha menguatkan diri untuk menghadapi lawan multidimensi. Ia bukan hanya akan melawan pecatur brilian di depannya, namun juga berkelahi melawan apa yang dipercayai oleh lelaki-lelaki berpakaian serbahitam yang nanar menatapnya.
Maryamah membuka dengan pembukaan Spanyol yang konservatif. Beberapa langkah berikutnya kedua pecatur mulai terlibat perselisihan tingkat mahir. Matarom memasang formasi untuk memancing serangan luncus Maryamah. Maryamah mencium gelagat itu, ia tak terayu dan berkonsentrasi pada kudanya. Tanpa sebersit pun ia menduga bahwa Matarom sengaja memancing luncusnya karena ia sudah tahu bahwa siasatnya akan terendus dan Maryamah akan terfokus pada kudanya. Ini semacam tipuan dalam tipuan dalam tipuan.
Berarti muslihat berpangkat banyak, pecatur tingkat sinuhun seperti Matarom mampu memperkirakan kemungkinan sampai 5 langkah ke depan.
Maryamah terperosok ke dalam perangkap. Tak lama kemudian perwira-perwira Matarom siap mengokang senapan untuk memuntahkan peluru. Pendukungnya riuh melihat jagoannya mau menyerbu.
Nochka diam dan tampak sangat tenang. Ia mengangguk-angguk seakan mengakui kemampuan Matarom. Matarom mencoba menyerang beberapa kali, tapi tidak efektif. Dicobanya lagi, gagal lagi. Setelah berulang kali gagal, ia sadar bahwa ia bisa masuk ke dalam situasi yang dialami Overste Djemalam waktu dilibas Maryamah. Serangan terus-menerus hanya akan membuatnya melakukan pelemahan sendiri. Disertai gerutuan pendukungnya, Matarom menawarkan remis. Maryamah menerima. Nochka mengangguk-angguk.
"Hmm, interesting," katanya.
Para pria berpakaian serbahitam terpaku. Wajah mereka yang tadi gembira dan benci berubah menjadi ragu. Master Nasional Abu Syafaat geram. Ia memanggil Matarom dan mencak-mencak memberi arahan. Baginya, seharusnya Matarom menang papan pertama tadi.
Nochka berbisik padaku. Kudekati Maryamah.
"Kak, kata Nochka, pakai pertahanan kombinasi benteng dan blok raja secepat mungkin."
Papan kedua berlangsung mirip papan pertama. Pertandingan berlangsung penuh intaian marabahaya. Keringat membasahi burkak Maryamah. Matarom berusaha sekuat pikiran menundukkan lawan, tapi tetap tak bisa menembus pertahanan. Master Nasional Abu Syafaat menatapku dan Nochka dengan tajam. Ia tahu bahwa Nochka telah membaca siasatnya. Pertarungan ini rupanya tidak hanya Maryamah melawan Matarom, ilmu putih melawan ilmu hitam, atau keberanian melawan kesombongan, tapi juga antara Grand Master Ninochka Stronovsky melawan Master Nasional Abu Syafaat.
Serangan Matarom tak berarti, dan tak ada pilihan lain kecuali remis lagi. Dua papan berlalu, skor masih seri. Para penggemar ilmu hitam kembali bergairah. Sekarang dari ragu wajah mereka berubah menjadi bengis. Adapun Master Nasional Abu Syafaat makin geram. Tangannya menunjuk-nunjuk. Aku tak tahu strategi apa yang diajarkannya pada Matarom, tapi dari dua pertandingan tadi Nochka pasti dapat mengantisipasi tindakan Master Nasional Abu Syafaat selanjutnya. Dia membisikiku.
"Grunfeld Hindia, left wing, attackl" "Oke, Grand Master."
Kuhampiri Maryamah. "Kak, pakai teknik Grunfeld Hindia. Sayap kiri raja, serang!" Maryamah mengangguk
takzim. Pertandingan papan ketiga yang menentukan dimulai. Maryamah maupun Matarom sepe
rti tak sabar ingin segera bunuh-bunuhan. Penonton semakin tegang. Paman berulang kali berbisik pada Maryamah.
"Sikat! Mah, sikat! Jangan cemas. Pak Cik di belakangmu!"
Master Nasional Abu Syafaat ketar-ketir. Mitoha pucat di sampingnya.
Matarom meraup satu momentum ketika berhasil menyambar satu pion. Sungguh ketat dan berisiko tinggi pertarungan itu, bahkan kehilangan satu pion langsung membuat sistem Maryamah timpang. Dua langkah berikutnya, raja Maryamah terapung-apung seperti capung yang tak sadar akan disambar prenjak.
Maryamah tampak kusut. Ia sadar telah melakukan kesalahan fatal. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Matarom menggempur. Maryamah berusaha menyusun formasi Grunfeld Hindia, namun kesulitan karena kerusakan sistemnya cukup parah. Matarom menyungging senyum remeh. Dalam kepungan yang mencekam Matarom menggeser sebutir pion. Aku ngeri melihat tindakan itu karena Matarom merencanakan sebuah kematian yang menghinakan. Ia ingin membunuh raja Maryamah dengan sebutir pion, seperti ia telah menghancurkan Firman Murtado waktu itu, sekaligus ia ingin membunuh karakter perempuan yang telah berani-berani menghalanginya merebut piala abadi 17 Agustus. Sungguh kejam. Lelaki itu memang memelihara Fir'aun di dalam dadanya.
Berikutnya, ibarat papan catur itu kuda, tali kekangnya digenggam Matarom. Maryamah gemetar saat rajanya dihadang menteri Matarom untuk dipaksa tergusur ke satu kotak agar raja itu sampai pada sepakan pion eksekutor. Pendukung Matarom, yang dimotori Jumadi sang pesekongkol, bersorak dan mengejek pendukung kami dengan menunjukkan tiga jari. Artinya raja Maryamah berumur paling lama tiga langkah lagi. Aku gugup, rasanya dapat kudengar jantungku berdetak.
Keadaan Maryamah kritis. Kekalahan menari-nari di mata kami. Alvin tampak tak tega melihat Mak Cik-nya kena bantai. Detektif M. Nur memalingkan muka. Paman berulang kali menarik napas panjang. Ia seperti ingin sekali membela Maryamah, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Preman Cebol menunduk. Ia pasti sedang berdoa. Baru kali ini kulihat Preman Cebol berdoa. Sambil menyeringai penuh kemenangan, Matarom menghempaskan menterinya sambil berteriak,
"SEKAK!" Sekonyong-konyong, dengan gerakan secepat patukan ular, hanya setengah sedetik setelah teriakan itu, bahkan kaki sang menteri belum benar-benar mendarat pada posisi
tembak, Maryamah melentingkan benteng untuk melindungi rajanya, crak! Mendadak, raja yang tadi terekspos pada belasan kemungkinan pembunuhan tahu-tahu tersembunyi. Matarom terperanjat. Pendukung Maryamah bersorak.
Langkah demi langkah salak-menyalak seperti dua ekor anjing galak. Maryamah mulai menyusun pertahanan khasnya. Matarom tak mau kehilangan momentum. Ia menyerang berulang kali dan terpental karena formasi perwira-perwira Maryamah melindungi rajanya seperti fortress geometris pentagon. Dengan lentur konstruksi itu bisa berubah secara cepat menjadi heksagonal, lalu bujur sangkar berlapis-lapis. Pasangan benteng kait-mengait tanpa celah sedikit pun untuk diterobos. Grand Master Ninochka Stronovsky tersenyum.
"Benteng bersusun Anatoly Karpov," katanya pelan.
Aku teringat cerita Nochka tentang sistem pertahanan dobel benteng ciptaan juara dunia Anatoly Karpov ketika melawan Calvo di Montila 1976.
Beberapa langkah kemudian, wajah Matarom menjadi pias melihat Maryamah mulai membentuk satu formasi yang asing. Ia terperangah menyaksikan buah catur Maryamah terkonfigurasi secara aneh, dan ia ketakutan menunggu serangan dari balik kegelapan. Maryamah bertindak semakin membingungkan. Para penonton yang mengerti catur takjub melihat sebuah teknik virtuoso yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Mitoha dan Overste Djemalam terheran-heran. Aku sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi. Alvin menutup mulutnya dengan tangan. Master Abu Syafaat menatap papan catur dengan cemas sekaligus terpana. Ia tahu yang dilakukan Maryamah pasti akan berakibat fatal, tapi ia tak mampu memahami teknik Maryamah yang sangat ganjil itu, Nochka menoleh padaku tersenyum.
"Guioco Piano," desahnya dengan nada kagum.
Selanjutnya, Matarom seperti terjebak dalam permainan ta
li-temali yang membinasakan. Semakin ia bergerak, semakin ia tercekik. Gerakan buah catur Maryamah likat dan trengginas mencerminkan masa lalu yang menggiriskan dengan lelaki di depannya. Setiap strategi yang ia ambil adalah pembalasan atas kesemena-menaan lelaki itu. Setiap langkah buah caturnya adalah sederajat martabat yang ia kumpul-kumpulkan kembali.
Matarom membalas dengan tekniknya yang terkenal: Rezim Matarom. Pendukungnya gegap gempita menyemangatinya. Matarom kalap karena nafsu membunuh telah menguasainya. Papan catur perak menjelma menjadi Laut Cinta Selatan. Bahtera perompak menyeruak di antara gempuran ombak. Raja berekor berdiri dengan garang di haluan. Pedang Panglima Kwan Peng menebas leher prajurit-prajurit Maryamah. Darah mengenang di geladak.
Maryamah memutar haluan. Kedua bahtera terlibat dalam pertempuran maritim yang dahsyat. Perwira-perwira Maryamah berlompatan ke bahtera perompak. Menterinya menjadi admiral, menusuk pinggang kiri raja berekor, persis seperti saran Nochka.
Raja kanibal itu limbung. Rezim Matarom pun terburai. Rezim itu bukanlah tandingan Guioco Piano. Sebuah strategi Italia kuno yang memiliki daya bunuh yang kuat. Grand Master Ninochka Stronovsky bukan pula lawan seimbang bagi Master Nasional Abu Syafaat
Matarom menyerbu lagi dengan putus asa, namun Guioco Piano telah mencapai titik bunuhnya. Maryamah mengangkat kudanya. Ia bangkit dan menarik selendang pembatas sehingga bertatapan langsung dengan Matarom. Wajahnya bersimbah air mata. Dientakkannya kembali sang kuda sambil menjerit: sekakmat!
Meledaklah sorakan pendukung pecatur perempuan yang gagah berani itu. Paman berteriak-teriak memuji Maryamah. Saking gembiranya sampai ia tak peduli selangkangnya. Bahtera perompak telah karam, lalu perlahan-lahan tenggelam bersama keyakinan yang gelap dari pria-pria berpakaian serbahitam di seputar meja tarung. Menyeret pula ke dasar laut sebuah gunung kebanggaan dari seorang pecatur hebat bernama Matarom. Dari bengis, wajah kaum pria sahabat iblis itu berubah menjadi hambar, lalu tak peduli, lalu mencari-cari pembenaran. Dari congkak, wajah Matarom berubah gamang, lalu malu, lalau terpencil.
Maryamah berdiri dan menatap ke atas. Jiwanya seakan terangkat ke langit. Para pendukung Matarom berbalik mendukungnya. Bersama dengan pendukung Maryamah sendiri, tepuk tangan dan siutan-siutan kagum menjadi gegap gempita. Pasar seakan bergoyang dibuatnya. Sungguh sebuah sore yang takkan pernah dilupakan siapa pun yang berada di situ. Alvin mengangkat tangannya dengan jari berbentuk victory. Maryamah menoleh pada Selamot, Giok Nio, dan Grand Master Ninochka Stronovsky. Mereka tak berkata-kata, tapi hanya saling tersenyum. Selamot dan Giok Nio berulang kali mengusap air matanya. Perempuan yang sepakat untuk bahu-membahu takkan pernah terkalahkan.
Matarom tersandar lemas di kursinya dengan mata nanar. Sabuk emas yang melilit pinggangnya selama dua tahun terlepas sudah. Karmanya telah terhempas di atas papan catur perak yang selalu diagung-agungkannya. Mitoha dan Master Nasional Abu Syafaat terpaku. Mereka seperti habis ditabrak angin puyuh. Matarom mengambil cangklong dari sakunya, berusaha menyalakannya tapi gagal karena tangannya gemetar. Ia tak dapat memegang korek api dengan benar. Ia membanting cangklongnya. Cangklong itu berguling-guling menyedihkan di bawah meja tarung.
Di tengah kerumunan ratusan orang dengan cekatan Mahmud berhasil menerobos dan langsung mewawancarai Selamot. Suaranya timbul tenggelam di antara sorakan.
"Kakak! Amboi! Pertarungan yang hebat bukan buatan! Maryamah pantas menjadi juara! Tapi, tentu kami ingin dapat kabar, teknik apa gerangan yang tadi dipakai Maryamah""
Selamot terpana mendengar pertanyaan mendadak itu. Otaknya memang tak didesain untuk sebuah reaksi cepat. Tapi, ia tak hilang akal. Sambil terengah-engah ia menjawab.
"Wahai sidang pendengar yang mulia ... mengenai teknik catur Maryamah tadi ... itulah yang disebut teknik ... siapa yang mengisap cangklong, dialah yang akan pusing!"
-Maryamah Pada tahun berikutnya, Maryamah kembali menggulung Matarom di final. Pere
mpuan lain mulai ikut bertanding pada kejuaraan catur peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Tak ada penentang dari siapa pun, namun mereka wajib memakai burkak dan papan pertandingan mereka tetap dibatasi selendang. Paman adalah orang yang paling keras memperjuangkan mereka.
"Jangan tunggu anggota DPRD! Mereka hanya sibuk kalau dekat pemilu! Kita sendiri yang harus bertindak! Main catur adalah hak perempuan yang harus kita hormati! Anggota DPRD tak berguna! Tak punya perasaan!" teriaknya sambil menggenggam selangkangnya.
Maryamah tetap menunggu penerbitan jilid selanjutnya dari Kamus Bahasa Inggris 1 Miliar Kata peninggalan ayahnya. Cita-citanya untuk mengajar bahasa Inggris tercapai dengan membuat pertemuan untuk siapa saja penggemar bahasa Inggris di kios ayam Giok Nio setiap Sabtu.
Melalui bimbingan Grand Master Ninochka Stronovsky, Maryamah semakin menguasai teknik pertahanan benteng bersusun ala Grand Master Anatoly Karpov. Tahun selanjutnya Maryamah beradu lagi melawan Matarom di final. Matarom kalah lagi. Maryamah adalah pecatur pertama yang berhasil menjadi juara 3 tahun berturut-turut. Ia meraih piala abadi dan setelah itu tak pernah lagi bertanding. Ia terkenal dengan sebutan Maryamah Karpov.
-Ninochka Stronovsky Tahun ini akan menantang juara dunia catur perempuan Grand Master Bellinda Hess-Hay dari Amerika. Satu langkah lagi ia bisa menjadi juara dunia catur perempuan.
-Matarom Setelah kalah 3 kali berturut-turut pada pertandingan final dari Maryamah Karpov, tak tampak lagi batang hidungnya. Terakhir orang melihatnya di kantor Pegadaian Tanjong Pandan membawa catur peraknya.
-Sersan Kepala Zainuddin Pensiun dari kepolisian dan membuka warung kopi yang berjudul Tiga Tuntunan Rakyat. Selama bertugas, ia tak pernah menembakkan sebutir pun peluru. Pistol yang sudah karatan itu ia kembalikan pada negara.
-Ajudan pemegang bantal Ambeien
Menduduki jabatan yang ditinggalkan Sersan Kepala
-A Ngong Masih kena wajib lapor setiap Senin pagi bersama A Kong, Munawir, dan Muhlasin.
-Giok Nio Sedang memperjuangkan agar perempuan bisa ikut lomba panjat pinang. Ia adalah aktivis perempuan pertama di kampung kami.
-Selamot Kembali ke Bitun dan menikah dengan seorang juragan kopra.
-Hasanah Menikah untuk kelima kalinya.
-Ikal Membentuk organisasi persatuan bujang lapuk. Rustam bertindak selaku ketua dewan penasihat.
-Mustahaq Davidson Dipecat oleh Ketua Dewan Kemakmuran Masjid dari jabatan tukang sound system.
-Paman Mencalonkan diri menjadi anggota DPRD.
-Yamuna Memasuki masa menopause. -Ortoceria! Muncul dengan produk baru: memendekkan badan bagi orang yang terlalu tinggi: telah berhasil dicobakan pada monyet.
-Detektif M. Nur Berlayar ke Jakarta untuk kursus teknisi antena parabola
-Jose Rizal Selama Detektif M. Nur kurus, ia dititipkan pada Preman Cebol. Namun, beredar gosip yang tak sedap di pasar pagi soal hubungannya dengan Ratna Mutu Manikam.
TAMAT Sumber Pdf: Ampuniaku Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Petualangan Manusia Harimau 8 Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Iblis Pemburu Perawan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama