Padang Bulan Karya Andrea Hirata Bagian 3
"Pemerintah menganjurkan begitu. Hidup ini usahlah banyak tingkah," ujarnya sambil tersenyum ringan, seakan tak mengerti mengapa manusia sering menyusahkan diri sendiri.
"Segala rupa urusan, dengarkan saja bicara pemerintah, beres."
Bagi Bibi, pemerintah adalah orang yang baik. Sekarang, kian hari, Bibi kian tak tertarik dengan urusan duniawi. Ia adalah tipe orang yang telah menemukan penghiburan di dalam ibadah. Pembicaraan yang menarik baginya hanya soal niatnya ke tanah suci lagi, sebuah tempat yang ia rindukan lebih dari tempat mana pun. Bibi telah mapan secara spiritual. Segala nafkah, segala urusan materi, sama sekali bukan lagi soal yang ia ambil pusing. Ia yakin benar akan rezekinya. Grow old gracefully, itulah istilah orang-orang pintar zaman sekarang bagi orang seperti bibiku.
Bibi jarang bicara, dan jika bicara ia selalu berhati-hati. Ia sering mengajarkan padaku.
"Waspada, Bujang. Lidah membuat dosa, semudah parang menampas pisang."
Sesekali bibi datang ke warung kopi dan tersenyum-senyum saja melihat suaminya petantang-petenteng. Jika ia datang, kami tahu apa yang akan dilakukannya. Ia akan memeriksa cara berpakaian pelayan perempuan dan kadang kala membawakan jilbab baru. Lalu, terdorong oleh naluri kewanitaannya, yang tak senang jika melihat sesuatu tidak duduk di tempatnya, ia merapikan ini-itu. Setelah itu, ia duduk dan minta diseduhkan teh.
Aku selalu mengagumi baju Muslimah Bibi. Sederhana, namun menimbulkan perasaan segan. D engan menikahi pamanku, wanita itu adalah saudara bagiku. Sejak kecil ak u dekat dengannya, namun selembar pun aku tak pernah melihat rambutnya. Baju itu, jilbab itu, selalu mengembuskan semacam kelu ke dalam hatiku, betapa aku ini masih seorang Islam yang berantakan.
Karena sudah dekat, sering kutanyakan pada Bibi bagaimana ia dulu bertemu dengan Paman, lalu mau dinikahi. Bibi tak pernah mau bercerita. Ia selalu berkelit.
"Menikahi lelaki Melayu, seperti membeli kucing di dalam karung, Boi."
Paman tersenyum-senyum simpul, berpura-pura tak hirau. Ia membuang pandang ke Sungai Linggang lewat jendela sebelah sana. Tapi, sebenarnya kupingnya terpasang setinggi tiang televisi. Siap menangkap satu-dua pujian untuknya.
"Kalau yang kauinginkan memang kucing, dapatlah kau kucing. Bagaimanapun bunyinya mengeong, syukuri. Tapi, kalau yang kauharapkan pelanduk, kecewalah engkau."
Pamanku menunduk sambil menggerung-gerung senang, persis kucing.
Maka, Bibi sebenarnya tak terlalu mengenal Paman ketika mereka menikah. Bibi pasti berketetapan hati menerima pinangan hanya berpedoman pada selebaran dari pemerintah tentang kriteria lelaki berakhlak mulia. Semacam manual untuk memilih suami yang baik. Telah lama kucari -cari selebaran itu, belum juga kutemukan. Aku yakin selebaran itu pernah diterbitkan pemerintah. Selebaran itu perlu direvisi!
"Cinta, perlu perjuangan, Boi," kata Bibi padaku. " J angan kau sangka mudah."
Petuah Bibi itu menginspirasiku. Cinta, perlu perjuangan. Cinta, tak pernah mudah, dan satu ide yang sinting kembali menerkamku.
Aku menghadap Bibi. Kuceritakan persoalan yang kuhadapi menyangkut Zinar.
"Buktikan bahwa kau bukan seorang lelaki gombal! Lawan ia secara laki-laki, selama masih bisa melawan."
Bibiku, memang perempuan yang istimewa.
M aka, segera kuevaluasi situasiku secara sistematis. Kesimpul
annya: aku telah kalah main catur melawan Zinar, tapi belum tentu aku kalah dalam hal lain. Catur hanyalah semacam pemanasan dari pertempuran-pertempuran di arena yang sesungguhnya. Wahai, Lelaki Ganteng Pemilik Toko Gula dan Tembakau, bersiap-siaplah kau.
Kudengar kabar, ternyata Zinar adalah olahragawan serbabisa. Ia pemain voli, pingpong, dan sepak bola. Semuanya dipertandingkan pada kejuaraan 17 Agustus. Aku ingin mengikuti semua pertandingan yang diikutinya karena aku ingin melawannya lagi, apa pun permainannya, apa pun yang akan terjadi. Aku takkan menyerah semudah itu.
Namun, aku belum pasti soal tiga cabang olahraga itu, apakah benar diikuti Zinar atau tidak. Untuk itu kuperlukan informasi dari Detektif M. Nur. Ia bersedia menyelidiki dan akan memberi kabar melalui Jose Rizal. Merpati Delbar itu hinggap di jendela rumahku, kubuka gulungan pesan kecil di kakinya.
Benar, Boi, sebenar sembilan kali tujuh, lima puluh empat. Kutulis balasan: Enam puluh tiga, Boi.
Jose Rizal terbang ke juragannya, lalu datang lagi. Apa maksudmu, enam puluh tiga" Kujawab: Kau keliru.
Jose Rizal terbang lagi, lalu hinggap lagi di jendela.
Keliru apanya" Dasar pemalas, jelaskan maksudmu! Jangan kauhabiskan waktuku sekehendak hatimu!
Aku tak terima. Periksa ini orang udik: sembilan kali tujuh adalah enam puluh tiga! Bukan lima puluh empat! Wajar saja merah rapormu sampai lima!
Kutangkap Jose Rizal dan Kulontarkan ke udara, biar cepat sampai ke juragannya. Sebenarnya aku kasihan padanya, yang sudah megap-megap. Dalam waktu singkat Jose Rizal kembali. Burung itu pun tampak jengkel.
Jangan mentang-mentang kau pernah ke Jakarta, aku tidak, lalu kau tuduh aku orang udik! Pendek!
Kubalas: Apa katamu" Tadi kaukatai aku pemalas, sekarang kaukatai aku pendek. Pemalas" Camkan ini, aku kerja dari pukul6 pagi sampai pukul 6 magrib. Tengoklah kau sendiri itu, masih makan beras ibumu. Pendek" Tak usah ya ... aku lebih tinggi darimu!
Jose Rizal terbang lagi, lalu hinggap lagi.
Mengapa kau marah-marah" Kalau aku makan beras ibumu aku boleh marah, kacung warung kopi!
Kubalas: Bujang Lapuk! Jose Rizal terbang lagi, lalu hinggap lagi, ia kesal.
Sama! Kubalas: Liliput! Jose Rizal terbang lagi, lalu hinggap lagi. Ia tampak makin kesal.
Kontet! Kubalas: Tiga kali tak naik kelas!
Kuterima balasan, Jose Rizal tak tahan lagi.
Tak tahu adat! Kubalas: Nges, nges! Kuterima balasan: Awas! Kubalas: Awas! Jose Rizal terbang, tapi tak ke arah rumah Detektif M. Nur. Ia melesat menuju pasar. Mungkin ia tak mau lagi melayani pertengkaran kusir itu.
Sesuai rencana, aku menghadapi Zinar pada tiga cabang permainan: voli, pingpong, dan sepak bola karena ia ikut semuanya.
Pagi-pagi sekali esoknya setelah pertengkaran itu, aku dan Detektif M. Nur menghadap Bang Sulai, ketua tim voli kampung. Ia mengamati tubuhku dari ujung kaki ke ujung rambut, lalu menyuruhku berdiri di bawah net voli. Katanya ia mau menerimaku jika aku bis a meloncat dan tanganku dapat menggapai ujung atas net. Sampai muntah-muntah aku berusaha, tak berhasil. Voli kami coret dari daftar.
Pingpong adalah harapan keduaku. Apa susahnya main pingpong" Siapa pun yang bisa menggaplok nyamuk di dunia ini, pasti bisa main pingpong. Permainan itu hanya memerlukan 4 macam keterampilan yaitu: gaplok, tangkis, melirik dengan cepat, dan menoleh dengan cepat.
Sering kusaksikan di televisi, kebanyakan pemain pingpong hanya menguasai cara menggaplok dan menangkis. Mereka melupakan dua hal penting lainnya, yaitu melirik dengan cepat dan menoleh dengan cepat tadi. Karena itu, mereka sering kelabakan.
Saranku, jika memilih pemain pingpong, sebaiknya mereka dibariskan dan dilihat kemampuan melirik dan menolehnya. Pedomannya adalah matematika murahan saja.
Begini, bola pingpong yang dismes pemain RRC meluncur rata-rata dengan kecepatan 150 km/jam. Jangan kejar aku dari mana kudapatkan angka itu. Oleh karena itu, melalui matematika tingkat carik kantor desa, satu manggis, dua manggis, congklak sana, congklak sini, bola itu akan melesat dalam waktu kurang lebih 1/15 detik dari satu pemain ke pemain lainnya di atas meja pingpong y
ang panjangnya kurang dari 3 meter.
Pelajaran moral dari semua itu adalah: barang siapa yang tak punya kecepatan lirik dan kecepatan toleh kurang dari 1/15 detik, mohon tahu diri dan segera mengurungkan niat menjadi pemain pingpong, karena tak ada harapan untuk mengalahkan pemain RRC. Lebih baik berganti profesi menjadi guru azan di masjid, tukang sembelih hewan kurban, penerbit buku, ajudan bupati, atau penerjemah novel dalam bahasa Inggris.
Formulaku itu kunamakan teori lirikan mata. Seorang mahasiswa jurusan matematika mengatakan bahwa ia sangat tertarik untuk menulis skripsi tentang teoriku itu.
Aku bertanya kepada ia, mengapa ia mau menulis skripsi tentang itu" Ia menjawab dengan nada suara dan pandangan yang datar:
"Karena pacar saya hobi nonton liga Inggris, Bang."
Kurasa mahasiswa itu kampungan sekali.
Disisi lain, lantaran aku paham teorinya dan telah kulatihkan, aku sendiri punya kemampuan lirik dan kecepatan toleh yang sangat mengagumkan. Selain itu, Tuhan telah memberiku satu kemampuan lain, yakni aku bisa menoleh sampai 250 derajat. Umat manusia yang normal hanya mampu rata-rata 190 derajat. Di dunia ini hanya dua orang yang dapat melakukan itu, yaitu aku dan burung hantu. Itulah sebabnya, di kalangan remaja masjid-dalam hal pingpong-aku sangat disegani, baik kawan maupun lawan.
D engan kemenangan yang sepertinya telah berada di dalam kantongku, aku mendaftar pada kejuaraan pingpong. Detektif M. Nur pernah melatih merpati balap ketua panitianya sehingga melalui kongkalikong, aku langsung berhadapan dengan Zinar. Kali ini ia akan menerima balasan atas cinta dan kebanggaan yang secara kurang ajar telah dicurinya dariku.
Kukumpulkan sebanyak mungkin kongsi-kongsiku untuk menjadi suporter. Mulai dari kawan-kawan SD, mantan anggota remaja masjid yang dulu sering kupermalukan di meja pingpong, dan para tetangga. Tujuannya agar sebanyak mungkin orang menyaksikan kemenanganku yang gilang-gemilang. Pada orang-orang di pasar selalu kukatakan agar datang melihat pertandingan itu.
Akhirnya aku dan Zinar bertanding. Inilah pertarungan penuh kesumat yang telah lama Kutunggu-tunggu. Aku melakukan pemanasan dengan gaya yang sangat mengesankan. Untuk menjatuhkan mental Zinar, aku berlari kecil mengelilingi meja pingpong sambil mengayun -ayunkan bet. Para suporter yang dimotori Detektif M. Nur, bersuit-suit. Zinar hanya diam memperhatikan tingkahku.
Peluit disemprit. Pertandingan dimulai, namun ternyata Zinar adalah pemain pingpong yang hebat. Ia pintar melakukan spin seperti pemain dari RRC. Jika bola darinya kupukul, tidak kena, karena bola itu bisa mengelak seperti manusia akibat dipelintir oleh lelaki ganteng itu. Maka, aku yang seharusnya memukul bola pingpong jadi memukul angin.
Sebaliknya, bola pingpong berdesingan di dekat telingaku sampai kerap aku harus mengendap di bawah meja untuk menyelamatkan diri. Para suporter yang semestinya mendukungku, malah menertawakanku.
Dan pingpong adalah permainan yang paling jahat di dunia ini karena pemain tak boleh sedikitpun membuat kesalahan. Salah sekali saja, lawan mendapat angka. Pencipta atu ran pingpong memang tak punya perasaan sama sekali.
Aku kalah telah dan megap-megap kehabisan napas. Segala teori matematika lirikan mata telah dihempaskan berkeping-keping oleh Zinar. Selain kemampuan melirik dan menoleh dengan cepat, kemampuan mengendap untuk menyelamatkan diri, tampaknya harus pula disarankan pada pelatih tim nasional pingpong.
Mahasiswa yang mau membuat skripsi itu menatapku. Ia tidak menunjukkan wajah sedih atau gembira. Ia biasa-biasa saja. Pandangannya datar. Di sampingnya, tampak pacarnya tengah membaca sebuah tabloid gosip, tak peduli pada apa pun. Mereka adalah mahasiswa berdarah dingin.
Detektif M. Nur bertanya:
"Aduh, Boi, mengapa permainanmu memalukan begitu" Nges, nges."
Demikian memalukannya sehingga ketika seseorang bertanya siapakah aku, Detektif M. Nur menjawab tak kenal dengan lelaki kontet yang mengendap di bawah meja pingpong itu. Kuberikan alasan pada D etektif M. Nur bahwa sebelum main pingpong aku minum kopi sehingga perutku kembung.
"Nges, nges. " Tinggallah sepak bola harapanku. Karena pelatih sepak bola itu uwakku, melalui jaringan nepotisme, aku masuk tim.
Namun, aku hanya duduk di bangku cadangan. Sampai seluruh pertandingan sepak bola 17 Agustus selesai, aku tak pernah dimainkan. Padahal, kostumku sudah mentereng.
Yang kulihat hanya Zinar mengambil tendangan bebas dari jarak tiga puluh meter sekuat sepakan center back Belanda asal Groningen: Ronald Koeman. Bola berdentum, penjaga gawang kalang kabut. Para penonton gegap gempita melihat tembakan kanon dari lelaki gagah bertangkai panjang itu. Sementara itu, nun di situ, di bangku cadangan, dalam kostum yang meriah seperti tim Honduras, tubuhku meriang. Bulu-bulu seakan tumbuh di telingaku, karena cemburu yang meluap-luap.
Mozaik 30 Bulan di Atas Kota Kecilku yang Ditinggalkan
DEMAM, dua hari aku menderita demam panas yang misterius karena kekalahan -kekalahan itu. Tak mempan diobati dengan apa pun. Tidak juga dengan obat malaria pil kina. Semua jerih payah dan harapan telah gagal, dan gagal secara sangat menyedihkan. Sore hari, kesepian kembali memangsaku. Malam, aku mimpi dikejar-kejar raksasa. Raksasa yang kulihat waktu bertanding catur melawan Zinar itu.
Tengah malam, aku terbangun karena mimpi yang amat buruk. Kubuka jendela kamar. Kulihat bulan mengambang pucat. Aku berbalik dan melihat diriku sendiri di depan kaca. Aku tak kenal siapa yang berdiri di dalam kaca itu. Seseorang yang suram, itulah yang kulihat. Cinta, rupanya telah menyita segala-galanya dariku.
Setelah hari tergeletak, aku bangkit. Kutarik napas dalam-dalam dan Kuambil secarik kertas. Kutulis di atas kertas itu: Rencana E. Nomor pertama dari rencana E adalah kembali mengirim surat-surat lamaran kerja ke Jakarta.
Ketika mengirim surat itu di kantor pos, tuan menyerahkan sepucuk surat yang membuatku makin tertekan. Surat itu dari Margareth Grace Tumewu. Satu halaman penuh ia marah-marah karena aku tak datang ke Jakarta untuk memenuhi panggilan wawancara itu. Ia mengakhiri suratnya dengan satu kalimat yang anggun: Pe bodo' ngana!
Lalu, datanglah Enong. Rupanya ia tahu bahwa aku telah dilipat Zinar. Ia adalah sahabat yang baik. Ia berusaha membesarkan hatiku. Pembicaraan kami merambat ke soal kursusnya. Matanya bersinar menceritakan senangnya ia belajar dan lingkaran baru perkawanannya.
"Kami mendapat tugas membuat puisi dalam bahasa Inggris, Boi, maukah kau membantuku""
Cukup adil. Enong mengeluarkan pulpen dan buku catatannya, siap mencatat. Kemudian, kata demi kata mengalir begitu saja dari mulutku, tak tahu dari mana asalnya.
Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman
Enong cepat-cepat menulis judul itu dan aku teringat waktu membuka jendela tengah malam lalu dan kulihat bulan yang pucat.
Orang asing Orang asing Seseorang yang asing
Kutatap diriku sendiri di muka cermin.
Berdiri di dalam cermin Tak percaya aku pada pandanganku
Begitu banyak cinta telah diambil dariku
Kulihat sekeliling, ramai orang di kantor pos, tapi aku merasa sendiri. Aku kesepian
Aku kesepian di keramaian Mengeluarkanmu dari ingatan Bak menceraikan angin dari awan
Lalu, aku merasa takut. Takut Takut Aku sangat takut Kehilangan seseorang yang tak pernah kumiliki.
Dan aku lelah, lelah karena cemburu.
Gila, gila rasanya Gila karena cemburu buta Dan aku merana, merana karena ditinggalkan.
Yang tersisa hanya kenangan Saat kau meninggalkanku sendirian
Di bawah rembulan yang menyinari kota kecilku yang ditinggalkan zaman
akhirnya aku meratap, meratap karena cinta yang hilang.
Sejauh yang dapat kukenang Cinta tak pernah lagi datang
Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman
Enong menulis semuanya dengan cepat. Ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa, kecuali gembira. Kutaksir, ia tak mengerti puisi. Ia mengatakan mungkin ia perlu kamus bahasa Inggris yang lebih besar untuk menerjemahkan puisi itu ke dalam bahasa Inggris. Ia mengeluarkan dari tasnya segepok katalog, dan minta pendapatku soal kamus baru yang ingin dipesannya.
Begitu banyak katalog yang telah diserahkan Tuan Pos pada Enong. Tampak katalog yang men
awarkan produk kasur: kasur kapuk, kasur yang berisi air, dan kasur pegas. Jika membeli, akan mendapat gratis dua bantal. Jika pembelinya masih bujang, diberi bonus bantal-guling.
Ada kompor yang dapat dihidupkan lewat tepuk tangan dan kompor untuk para pelupa. Kompor ini bisa mengeluarkan air setiap 30 menit untuk memadamkan sumbunya. Ada pengisap debu temuan terbaru. Dilarang dipakai di dekat anak-anak berusia di bawah dua tahun. Daya isapnya yang luar biasa akan mengakibatkan anak-anak yang akar rambutnya belum kuat tercabut sehingga gundul.
Ada pula sekolah yang beriklan sedemikian rupa, bersilat kata begitu lincahnya, dengan maksud terselubung, agar pembaca iklan secara tersamar akan mengartikan bahwa peserta didik tidak perlu datang dan masuk kelas. Tidak perlu belajar, tidak perlu membaca buku, da tidak ada ujian. Asal mau membayar dan dapat menunjukkan keterangan sehat secara rohani, tidak gila, maka ijazah dapat diantar ke rumah.
Ada pula berupa-rupa alat kesehatan. Ada alat untuk mengukur tekanan darah dengan jaminan uang kembali jika tekanan darah selalu tinggi. Ada alat untuk mencabut gigi secara mandiri.
Katalog buku, menawarkan mulai novel-novel Agatha Christie sampai buku-buku mujarobat tentang bagaimana beristri banyak, tapi tetap masuk surga, tentang cara cepat kaya, tentang memelihara bebek agar tak berhenti bertelur. Ada pula roman-roman picisan tentang kehidupan bebas bergelimang dosa di ibu kota dan buku risalah salat lengkap.
Aku terpana melihat katalog-katalog itu dan seakan terjerumus ke dalam dunia baru yang tak pernah kukenal sebelumnya. Betapa hebat kreativitas dan inovasi yang dapat ditemukan dalam katalog. Aku mulai berpikir, Enong pasti mengumpulkan katalog bukan hanya karena menyukai kata-kata Inggris di dalamnya, melainkan karena energi dan optimisme yang diembuskan oleh katalog. Seluruh energi katalog adalah positif karena semuanya menawarkan jalan keluar, semuanya menganjurkan kebaikan, kemudahan, dan inovasi yang cerdas untuk mengatasi suatu masalah. Baru kusadari, banyak masalah hidup ini sebenarnya dapat diselesaikan lewat katalog. Mereka yang bermuram durja, patah hati, dan selalu ingin bunuh diri, seharusnya melihat katalog!
Dan sebuah katalog membuat hatiku berdesir.
Anda merasa rendah diri dalam pergaulan karena tinggi badan Anda"
Anda ditolak melamar menjadi pilot dan pramugari/pramugara karena kurang tinggi"
Anda susah mendapat pasangan karena tubuh Anda pendek"
Jangan cemas, jangan khawatir! Derita batin Anda segera berakhir!
Kami Ortoceria! Hadir untuk anda. Serahkan masalah tinggi badan Anda pada ahli-ahli ortopedi yang berpengalaman di Ortoceria.
Tanpa diketahui Enong, Kuambil katalog itu dan kumasukkan ke dalam tasku. Kubatalkan mengirim surat lamaran kerja.
Enong membereskan katalognya. Ia seperti kehilangan sesuatu.
"Boi, tadi kautengokkah katalog alat peninggi badan itu""
Aku menggeleng. "Mungkin ketinggalan di rumah."
Kualihkan perhatiannya dengan berbicara soal musim dengan Tuan Pos. diam -diam, aku menyelinap pulang.
Mozaik 31 Impian Empat Sentimeter AKU berjalan pulang, setengah berlari. Sampai di rumah, tak sabar, kubuka lagi katalog Ortoceria!. Sungguh meyakinkan. Dipropagandakan di sana:
Akhirnya, tiba juga di Indonesia! Teknologi baru dari negeri sakura, yang akan membantu Anda meninggikan badan minimal 8 sentimeter dalam waktu kurang dari sebulan! Ya, benar! Mata Anda tidak salah! Sebulan! Sukar dipercaya, tapi nyata! Inilah penemuan revolusioner dari ahli ortopedi yang berpengalaman 30 tahun mengatasi masalah tinggi badan di seluruh dunia! Bahkan, Jimmy Carter pernah berobat padanya! Bintang-bintang film Hollywood juga. Semuanya sukses! Tidak pernah ada yang gagal. Jika tinggi badan Anda tak bertambah, uang kembali! Dan akan kami tambah 10% uang kecewa.
Bagian katalog yang kubaca berulang-ulang adalah testimoni dari mereka yang telah sukses.
Drs. Iwan Setiawan (28), karyawan swasta, Jakarta: Karena Ortoceria! saya bertambah tinggi badan dua puluh senti. Karena itu, saya mendapat promosi.
Lisa Amelia (26), sekretaris, Surabaya: Ortoceria! membuat tubuh saya
langsing dan tinggi. Suami saya yang telah tujuh bulan meninggalkan saya, kembali ke pelukan saya lagi. Oh, betapa bahagianya. Terima kasih Ortoceria!
Putri Anggita (15), pelajar SMA: Ortoceria! I Love You, cup3x muah.
Lalu, ada foto seorang lelaki yang berwajah kusut masai dan seperti hendak membenturkan kepalanya ke tembok. Ia mengalami depresi berat. Itulah yang dialami Agus Hermawan, S.H. (34), seorang notaris di Palembang. Foto itu diambil sebelum ia menggunakan alat Ortoceria!. Namun, kemudian disebelahnya, sebulan setelah wajahnya seperti habis diacak-acak Mak Lampir itu, Agus Hermawan, S.H., berseri-seri sambil memeluk pundak seorang perempuan yang maaf-bahenol. Perubahan nasib yang drastis dialami saudara Agus Hermawan, tak lain karena ia telah menggunakan alat peninggi badan Ortoceria!.
Katalog itu dilengkapi dengan foto pria tampan yang jangkung, sedang tertawa-tawa bersama wanita-wanita muda yang cantik memakai rok mini. Mereka memandang penuh ejekan pada seorang pria bertubuh pendek di pojok sana. Ia tampak rendah diri dan kesepian. Rambutnya belah samping. Ikal pula. Kasihan sekali pria pendek itu. Aku segera teringat akan diriku sendiri.
Lalu, ada kalimat: Pesanlah segera, persediaan terbatas. Hati-hati barang palsu. Jika terjadi salah urat karena barang palsu, kami tidak bertanggung jawab. Pemesanan sebelum 30 September akan mendapat bonus sebuah tempat air minum yang mewah.
Katalog itu diakhiri dengan moto Ortoceria!: Badan panjang, pikiran panjang! Sekarang aku paham mengapa orang-orang pendek suka nekat.
Dulu, guru mengajiku pernah mengajarkan bahwa pertemuan dengan seseorang mengandung rahasia Tuhan. Maka, pertemuan sesungguhnya adalah nasib. Orang tak hanya bertemu begitu saja, pasti ada sesuatu di balik itu.
Begitu banyak hidup orang berubah lantaran sebuah pertemuan. Disebabkan hal itu, umat Islam disarankan untuk melihat banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang agar nasibnya berubah.
Namun sayang, tak semua dapat mengungkap rahasia itu dan beruntunglah sedikit orang yang memahami maksud dari sebuah pertemuan. Yang kupahami adalah, aku bertemu dengan Enong, menjadi sahabatnya, membantunya membuat puisi, namun maksud sesungguhnya tak lain Tuhan ingin menunjukkan katalog peninggi badan itu padaku. Maka, termasuklah aku dalam golongan sedikit orang yang beruntung itu.
Aku telah digulung Zinar di papan catur. Aku telah di makzulkannya di meja pingpong. Aku telah dicadangkan secara abadi di lapangan sepak bola. Sekarang, kebenaran yang hakikat telah datang. Y aitu, Taruhlah, tidak ada hal-hal lain yang mempengaruhi, dan seorang perempuan yang dihadapkan pada pilihan antar pria yang pendek dan pria yang tinggi, andai kata ia memilih pria yang pendek, maka ijazah perempuan itu harus diterawang di bawah sinar matahari.
Sesederhana itulah logika-kalaupun itu bisa disebut logika-dari seluruh kejadian konyol yang telah kualami. Fokusku seharusnya tidak pada catur, pingpong, atau sepak bola, tapi pada katalog Ortoceria! Itu. Katalog itulah ratu adil hidupku yang sesungguhnya.
Harapanku terbit lagi. Zinar pasti dapat kuatasi kali ini. Sakit demam panas aneh yang telah merundungku selama empat hari, tiba-tiba menguap. Aku sehat walafiat secara mendadak. Lebih sehat dari orang yang sehat.
Tinggi badan adalah persoalan laten bagiku. Waktu masih di Sekolah Dasar dan lomba baris-berbaris, aku selalu di pasang di banjar paling belakang. Akibatnya, kalau difoto tak pernah tampak.
Jika main voli, aku dan M. Nur tak pernah diajak. Kami berdua adalah tukang bongkar-pasang net, tukang pompa bola, dan tukang mengambil bola yang terpelencat ke bawah rumah panggung. Mengambilnya harus bertengkar dengan ayam beranak. Sementara mereka yang tinggi-Mahar, Trapani, dan Kucai-sentosa benar dipuja-puji penonton setelah men-smes bola yang kami perebutkan dengan ayam beranak tadi. Sungguh tak adil dunia ini. Mereka-Mahar, Trapani, dan Kucai-juga tak mengajak kami main lompat tinggi. Mereka main basket, aku dan M. Nur main kasti. Mereka ikut paduan suara, aku dan M. nur ikut samroh.
Jika menghapus papan tulis, aku harus naik b
angku dan ditertawakan seisi kelas. Pada lomba azan, tiang mikrofon harus diturunkan. Karena tak bisa diturunkan lebih rendah lagi, mikrofon harus dipegangi panitia sehingga menimbulkan pemandangan yang menggelikan. Karena panitianya capek dan kesal, mikrofon kadangkala dijauhkannya dari mulutku sehingga suaraku timbul tenggelam. Itulah
sebabnya mengapa aku selalu dapat juara harapan tiga! Padahal, azanku jauh lebih merdu dari azan Mahar, Trapani, dan Kucai.
Aku dan M. Nur tak pernah sukses berebut uang koin yang dihamburkan tuan rumah dalam kenduri menyelamati bayi. Uang-uang koin yang dimasukkan ke dalam stoples dicampur beras dan irisan kembang sepatu itu, dihamburkan dari beranda rumah panggung ke pekarangan.
Anak-anak yang jangkung macam Mahar, Trapani, dan Kucai menengadahkan tangan untuk menangguk koin sebanyak mungkin. Aku dan M. Nur meliuk-liuk di antara kaki mereka. Yang kami dapat hanya beras dan kembang sepatu.
Jika tiba masa memangkas rambut, aku dan M. Nur terlalu rendah di bangku sehingga kami harus dipangkas sambil berdiri. Orang-orang yang melihatnya tertawa terpingkal-pingkal melihat manusia dipangkas sepert biri-biri dikuliti.
Beranjak remaja, jika menonton film di Markas Pertemuan Buruh, aku harus duduk paling depan. Layar dan pengeras suara TOA terlalu dekat membuat pandangan berpendar, telinga berdengung, dan kepala pening. Keluar dari gedung, aku berjalan limbung seperti orang yang habis diputar-putarkan.
Kalau ada pemilihan pengibar bendera dan bujang Melayu, pasti Mahar, Trapani, dan Kucai terpilih. Aku dan Detektif M. Nur, jangankan terpilih, mendaftar saja tak boleh.
Setelah dewasa, semuanya kurang satu jinjit. Jika aku berjinjit, segala urusan beres.
Di atas meja kupasang bangku, naiklah aku ke atas bangku itu untuk mengganti bohlam yang putus, dan betapa menyedihkan, tanganku masih tak dapat menggapai bohlam. Aku masih harus berjinjit agar dapat memutarnya.
Kopiah di kapstok Ayah, bisa kujangkau hanya dengan berjinjit. Obat-obatan Ibu, di atas lemarinya, jika ia minta bantuanku, hanya dapat kuraih jika aku berjinjit. Mengambil kunci di atas kusen pintu, jika harus berjinjit, pun mengambil barang dari rak-rak di toko.
Duduk di atas sadel sepeda yang diam, kaki harus berjinjit agar tak terjungkal. Suatu ketika sepedaku berhenti di lampu merah, di sebuah perempatan jalan di sebuah tempat di Groningen. Serombongan anak Belanda, yang kutaksir anak-anak SD saja, juga berhenti, namun tak seorang pun turun dari sepeda. Dengan mantap setiap orang tetap duduk di sadel dengan kaki teguh menahan sepeda. Hanya aku yang turun, lalu berdiri di samping sepeda seperti gembala ngangon sapi. Padahal, sepedaku adalah sepeda anak-anak. M ereka berbisik-bisik geli melihatku. Penderitaan sepeda ini sifatnya diam-diam. Derita ini hanya dipahami dan merupakan rahasia pahit orang-orang pendek. Mereka yang jangkung tak pernah tahu soal itu.
Menonton pertandingan bulu tangkis di barisan belakang, harus berjinjit. Menyembunyikan sandal guru ngaji di dalam beduk, juga harus berjinjit. Jika ketahuan, disuruh mengambilnya, kembali harus berjinjit.
Nyolong jeruk di pekarangan rumah uwak haji, harus pula berjinjit. Mengambil tas dari kompartemen di dalam pesawat terbang, harus berjinjit. Adakalanya mesti dibantu pramugari, yang melakukan itu sambi tersenyum simpul, betapa memalukan.
Menggapai palang besi pegangan di dalam bus kota atau gerbong kereta, harus berjinjit. Menaikkan tombol sekering pada meteran listrik, harus pula berjinjit. Padahal, listrik di rumah kami sering sekali mati karena hanya 2 ampere. Jika di toko melihat sepatu perempuan berhak tinggi. Tubuh rasanya merinding, dan hati dipenuhi doa agar dunia segera kiamat.
Begitu baknya soal dapat kupecahkan dalam hidupku dalam satu jinjit. Singkat kata ringkas cerita, satu jinjit adalah resolusi abadi hidupku. Tahun demi tahun aku mendambakannya. Ini bukan melulu soal teknis menyangkut bohlam, nyolong jeruk, sepeda, atau meteran listrik tadi, namun seandainya aku bertambah satu jinjit saja-yang secara matematika ternyata seperti onak dan duri dengan 4 sentimeter,
maka terbebaslah aku dari batas psikologis orang pendek yang menyiksa pria -pria kurang percaya diri di republik ini. Aku pun telah punya konsep yang jelas untuk mendefinisikan batas itu, yaitu 160 sentimeter. Jika terlaksana, aku akan terlempar ke dalam lingkaran pergaulan yang lebih luas dan profesi-profesi yang hebat.
Maskapai penerbangan, bank, militer, jawatan kereta api, umumnya memicingkan mata untuk mereka yang bertubuh di bawah 160 centimeter. Kantor pajak pun mulai ikut-ikutan. Biar saja, kalau nanti mereka kongkalikong dengan penegak hukum untuk menggelapkan pajak, bui akan dipenuhi orang-orang tinggi, dan orang-orang pendek selamat. Aturan yang kurang adil itu makin membuat angka 4 semakin keramat bagiku. Belum menghitung soal A Ling yang telah membuatku senewen. Ia menjadi setengah hati padaku, bukanlah soal lain, bukan, melainkan soal satu jinjit itu. Hanya selama ini ia tak tega mengatakannya padaku.
Kudekap katalog Ortoceria!. Dadaku dipenuhi perasaan haru sekaligus melambung. Kuambil sepucuk kertas dan kutulis: Rencana F: Menambah tinggi badan 4 sentimeter. Kuanggap rencana ini sebagai gagasan linier dari catur, pingpong, dan sepak bola dengan tujuan sederhana dan jelas: mengalahkan Zinar. Kubayangkan A Ling kembali dari Tanjung Pinang, lalu terbelalak melihat penampilan baru yang mendebarkan.
Mozaik 32 Puisi TAPI, rupanya alat peninggi badan Ortoceria! Itu sangat mahal. Tak mengapa, dengan senang hati aku kerja lembur di warung kopi sampai jauh malam. Apa yang susah untuk sebuah resolusi seumur hidup" Tidak ada. Apakah saya mengeluh karena bekerja 16 jam sehari demi mengumpulkan uang receh rupiah demi rupiah demi alat peninggi badan itu" Tidak. Apakah saya merasa malu berkata kepada paman saya, Pamanda, sudikah kiranya Pamanda meminjami uang" Tidak.
Paman bertanya, untuk apa aku secara mendadak perlu uang" Adakah berhubungan dengan hal-hal yang melanggar hukum" Selidiknya. Aku diam seribu bahasa. Ia menatapku dengan tajam, dan ia tahu, meskipun akan dicampakkan ke api neraka yang berkobar-kobar, aku tak mau menjawab. Ia berhenti bertanya. Ia merogoh kantongnya dan meminjamiku uang, melalui satu kebijakan tata buku seperti ini.
Upah Ikal dibayar di muka pada Rpl50.000,00 (debet)
Utang ikal kepada Paman Rpl50.000,00 (kredit)
Itu artinya, bulan depan aku tidak akan diupah Paman karena ia memberiku utangan. Kucium tangan Paman dan tanpa ambil tempo kusambar sepeda, pontang-panting ke kantor pos dan mengirim wesel pada Ortoceria!. Pada kolom berita wesel, kumohon agar alat itu cepat dikirim. Maksudku, sebelum semuanya terlambat dan A Ling benar-benar digondol Zinar. Cinta, kali ini membuatku berkelahi dengan waktu.
Mulai malam setelah mengirim wesel itu, tak semalam pun lewat tanpa aku memanjatkan pinta pada Tuhan yang Maha Pemurah agar menambah tinggi badanku 4 sentimeter saja, tak lebih dari itu. Sambil sedikit menggerutu, apakah 4 senti itu terlalu banyak untuk diminta"
Setelah itu, aku berdebar-debar menunggu pesananku datang. Hampir setiap hari aku ke kantor pos menanyakannya. Di sana, aku selalu berjumpa dengan Enong, dan perempuan yang memang berpembawaan jenaka itu, tampak makin gembira saja.
Enong tetap teguh dengan pendiriannya untuk menguasai bahasa Inggris meski semua orang mengatakan sudah sangat terlambat untuk belajar dan tak ada gunanya pintar berbahasa Inggris. Ingin bicara dengan siapa"
Orang-orang itu telah melupakan bahwa belajar tidaklah melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan pada diri sendiri. Pastilah hal itu yang dialami Enong.
Adapun aku, adalah orang yang bersedia melakukan upaya apa pun meskipun konyol dan tak masuk akal, untuk merebut lagi cinta yang telah diambil orang lain. Kombinasi dua harapan yang ganjil itu membuatku dan Enong dekat dengan cara yang unik.
Enong mengeluarkan buku catatannya dan memperlihatkan puisi yang dulu pernah kubuatkan untuknya.
Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman
Orang asing Orang asing Seseorang yang asing Berdiri di dalam cermin Tak kupercaya aku pada pandanganku
Begi tu banyak cinta telah diambil dariku
Aku kesepian Aku kesepian di keramaian Mengeluarkanmu dari ingatan Bak menceraikan angin dari awan
Takut Takut Aku sangat takut Kehilangan seseorang yang tak pernah kumiliki
Gila, gila rasanya Gila karena cemburu buta Yang tersisa hanya kenangan
Saat kau meninggalkanku sendirian
Di bawah rembulan yang menyinari kota kecilku yang ditinggalkan zaman Sejauh yang dapat kukenang Cinta tak pernah lagi datang
Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman Bulan di atas kota kecilku yang ditinggalkan zaman
Enong mengeluarkan lagi selembar kertas dari dalam tasnya. Di bagian atas kertas itu terdapat tulisan excellent dan sebuah paraf.
"Diparaf Ibu Indri sendiri. Nilai terbaik, Boi!" di bawah tulisan excellent kubaca terjemahan puisi
itu. Moon Over My Obscure Little Town
Stranger Stranger Someone stranger Standing in a mirror I can't believe what I see
How much love has been taken away from me
My heart cries out loud Everytime I feel lonely in the crowd
Getting you out of my mind
Like separating the wind from the cloud
Afraid Afraid I'm so afraid Of losing someone I never have
Crazy, oh, crazy Finding reasons for my jealousy
All I can remember When you left me alone Under the moon over my obscure little town
As long as I can remember
Love has turned to be as cold as December
The moon over my obscure little town The moon over my obscure little town
Aku terpesona. Kubaca puisi itu berulang-ulang. Kupandangi Enong, puisiku telah digubah dengan sangat bagus, jauh lebih bagus dari puisi asli yang kutulis.
"Ada surat dari Bu Indri untukmu,"
Kubaca: Kak Enong yang menerjemahkan puisi itu ke dalam bahasa Inggris dan saya membantunya. Maaf, saya telah mengganti beberapa bagian, bahkan menambahi nya, agar berima dalam kalimat Inggris. Ini semacam terjemahan bebas saja. Saya adalah pecinta puisi. Saya juga senang menulis puisi. Saya punya buku puisi koleksi pribadi. Saya harap suatu hari kita bisa berjumpa untuk membaca dan ngobrol tentang puisi.
Kurasa, aku dapat menerima penerjemahan secara bebas yang dilakukan Bu Indri atas puisiku dan kurasa hal itu indah dan pintar. Aku pun dapat merasakan bahwa ketika menulis surat itu, Bu Indri dilanda perasaan senang.
Mozaik 33 Resolusi AKU menerima lagi beberapa pucuk surat dari Bu Indri yang ia titipkan melalui Enong. Pada surat ketiga, ajakan ngobrol tentang puisi, berubah menjadi ajakan membaca bersama koleksi puisinya. Pada surat keempat, guru bahasa Inggris itu mulai mengirimkan puisi-puisinya. Ia sangat berbakat.
Setelah surat kelima, aku dapat mengendus ke mana arah surat-surat itu. Jika menyerahkan surat dari Bu Indri, Enong mengerling dan tersenyum penuh rahasia. Satu perasaan suka memukul hatiku.
Namun, setiap kali membaca surat itu, aku teringat pada A Ling. Satu perasaan duka memukul hatiku pula. Akankah Ia kembali lagi ke kampung" Akankah aku dapat menemuinya lagi" Lalu, aku terpelencat ke sebuah lamunan. Dunia ini rupanya penuh dengan orang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam. Jika kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, seseorang akan naik ke puncak bukit, lalu meniup sangkakala, dunia kiamat.
Dalam pada itu, berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, barangkali akan membuat Tuhan memperlambat kiamat. Untuk menghindari Bu Indri dari harapan yang kosong, setelah tiga kali, kuputuskan berhenti membalas suratnya. Bukan, bukan karena ia kurang hebat bagiku, atau aku terlalu bagus untuknya, sama sekali bukan. Tapi, lantaran sebuah senyum, satu kerlingan mata yang lain telah mengokupasi seluruh hidupku. Maka, kufokuskan kembali perhatianku pada impian 4 sentimeterku dan upaya merebut A Ling dari tangan Zinar. Tujuan yang sederhana dan sangat jelas.
Bagian yang paling menentukan dari tujuan itu, yang telah Kutunggu-tunggu hampir 2 minggu, hampir selama hidupku, akhirnya datang. Paket Ortoceria! tiba dari Jakarta! Paket itu sangat besar. Tuan Pos kesusahan membawanya dengan sepeda.
Seluruh sisa sore, aku hampir tak mengerjakan apa pun selain memandanginy
a dan menduga-duga alat macam apa yang ada di dalam bungkusan itu, yang mampu membuat seseorang, tiga minggu dari sekarang menjadi seorang yang tinggi menawan, tak perlu berjinjit-jinjit. Gugup hati ini dibuatnya.
Kuputuskan menunggu malam untuk membuka paket itu. Alasannya macam -macam, antara lain, keseluruhan proyek 4 sentimeter ini, haruslah rahasia. Tak seorang pun, bahkan Ibu, Ayah, Enong, Paman, dan Detektif M. Nur-orang-orang terdekatku sekarang-tak boleh tahu. Karena, dari sisi mana pun melihatnya, sesungguhnya proyek peninggian badan ini adalah hal yang agak memalukan. Biarlah nanti mereka terkagum-kagum melihat hasilnya. Hal lain, benda yang amat berfaedah semacam itu haruslah diperlakukan dengan rasa hormat. Maka, kuputuskan membuka paket itu pada malam nan syahdu, dengan penuh perenungan spiritual.
Setelah Ayah dan Ibu tidur, ayam-ayam, bebek, kucing, dan cecak-cecak juga sudah tidur, aku berjingkat-jingkat ke sudut kamar. Aku bersimpuh di dekatnya, lalu membukanya pelan-pelan.
Kuungkap lembar demi lembar penutupnya. Tak lama kemudian kutemukan sebuah tas plastik hitam seperti tas kasur lipat dengan ritsleting yang panjang. Tas itu menggelembung karena menampung benda besar yang dimasukkan dengan cara dijejal-jejalkan.
Jantungku berdegup-degup karena dari kemasannya saja tampak Ortoceria! memang tidak main-main. Rasanya tak sanggup kubuka tas itu untuk melihat benda ajaib macam apa yang akan mengubah jalan hidupku. Jika seseorang telah dirundung suatu masalah seumur hidupnya, dan tahu-tahu jaraknya dengan penyelesaian masalah itu hanya dengan sekali tarik ritsleting, maka wajarlah orang itu menjadi gegap gempita dadanya.
Aku bangkit lalu hilir mudik di dalam kamar. Mataku lekat memandangi tas itu. Tapi, kusadarkan diriku sendiri bahwa musuh terbesarku adalah waktu. Maka, tak ada tempo untuk berkhayal -khayal. Kukuatkan hati, Kudekati tas itu, lalu kubuka ritsletingnya. Baru setengah kubuka, ritsleting itu bingkas dengan sendirinya sebab seonggok benda bertali-tali di dalamnya memberontak ingin keluar. Ia pun rupanya sudah tak sabar ingin menemuiku, ingin menyelesaikan masalahku. Aku terjajar ke belakang dan terduduk di lantai, kulihat benda itu menyeruak serupa anak gurita raksasa yang baru lahir. Aku terpana. Alat peninggi badan itu rupanya semacam kostum tali-temali yang bentuknya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Menatapnya, aku teringat akan banyak hal, misalnya pakaian algojo untuk meregang orang yang mau dihukum mati di kursi listrik, atau baju perangkap dari kulit yang dipasangkan pada kuda agar dapat mengendalikannya saat dikebiri. Aku kian takjub melihat sebuah benda tertinggal di dalam tas: tabung oksigen!
Kudekati kostum itu dan Kuangkat seperti mengangkat bayi. Tampaknya ia terbagi menjadi tiga bagian. Bagian bawah adalah cawat dari bahan kulit, persis celana dalam-tepatnya celana luar- Superman. Bagian tengah, adalah korset dengan satu slang kecil yang membingungkan. Bagian atas, sarung kulit selebar telapak tangan yang agaknya harus dililitkan di leher. Ketiga bagian itu ditautkan satu sama lain melalui cincin klem aluminium mirip perkakas para pendaki gunung. Begitu banyak tali dan ban kulit yang susah dipahami maksudnya.
Padang Bulan Karya Andrea Hirata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, aku tak cemas sebab ada buku manualnya, tebal, meski hanya dalam bahasa Indonesia saja. Kubaca dengan saksama dan terang benderanglah semuanya bahwa hukum alam adalah kunci kesuksesan alat peninggi badan itu.
Idenya sangat genius meskipun juga, amat sederhana. Yaitu, tubuh manusia dianggap seperti karet dan dapat ditinggikan dengan membetot tulang belakang. Caranya dilakukan dengan menggantungkan tubuh dengan menopangkan seluruhnya berat badan pada sarung leher kulit itu. Dalam keadaan tergantung-gantung seperti buah nangka, tubuh akan ditahan oleh korset dan celana dalam Superman tadi, selebihnya biarlah gravitasi yang bekerja.
Kostum itu jelas merupakan sebuah sistem, sebab jika satu ujung tali ditarik akan berakibat pada seluruh kostum, termasuk mengecilkan sarung leher itu. Dengan demikian, jika salah tarik, pasti pemakaianya akan tersengal-sengal. Pada korset ta
mpak cap tengkorak dengan silang merah dan tulisan Danger.
Dalam keadaan darurat, misalnya mekanisme tali-temali yang semrawut itu kemudian mencekik leher sehingga mengundang malaikat maut, slang yang terhubung dengan tabung oksigen-dengan cepat mesti bisa disambar dengan dibekapkan ke mulut, supaya nyawa tidak melayang. Aku kagum pada perancang kostum itu. J ika bukan seorang yang cerdas luar biasa, ia pasti seorang psikopat-yang punya bakat menjadi pembunuh berantai.
Kubaca manual itu berulang-ulang dan kukerahkan seluruh kemampuanku berpikir. Soal ini lebih runyam dari matematika ekuilibrium, hal tersulit yang pernah kutemui. Akhirnya, aku mencapai dua kesimpulan, bahwa secara teoritis, di atas kertas, secara buku manual, ide yang dibangun atas alat itu amat masuk akal. M aka, ia harusnya memberi hasil andai kata digunakan secara santun sesuai dengan buku petunjuknya, dan semua itu tak lain membuatku senang tak kepalang.
Kesimpulan kedua, jika alat pengekang kuda itu berhasil meninggikan badan, yang patut dikalungi medali emas adalah hukum gravitasi, yang merupakan ciptaan Tuhan.
Jika gagal, yang harus disalahkan juga Tuhan yang sedang duduk di langit. Karena pendek dibuat-Nya menjadi nasib manusia, karena jika menciptakan wanita cantik, pasti selalu tinggi -tinggi.
Maka, berhasil atau gagal, Tuhan tetap dapat bagian. Namun dalam seluruh kejadian ini, selain Tuhan, harus ada yang kita persalahkan. Orang itu adalah pemerintah Republik Indonesia, yang membuat rakyat tak cukup gizi sehingga menjadi pendek.
Kucoba mengenakannya. Sungguh hebat rasanya. Dibungkus kostum itu, aku seakan memakai baju ajaib untuk diterbangkan ke bulan. Empat sentimeter. Bukalah lagi masalah yang harus dirisaukan. Tiba-tiba, sangat jarang terjadi, aku merasa mengantuk. Lalu, aku tertidur.
Inilah tidurku yang paling pulas sejak kudengar berita A Ling diboncengan Zinar. Lalu, aku bermimpi naik sepeda juga membonceng A Ling. Di lampu merah, aku berhenti. K edua telapak kakiku rapat menginjak jalan. Tak perlu berjinjit. A Ling duduk di belakang, anggun, tak bergerak sedikit pun. Ia tak perlu menjulurkan kakinya ke jalan untuk turut menjaga keseimbangan sepeda, seperti yang selalu ia lakukan jika kubonceng. Aku menoleh padanya, ia tak acuh, karena ia sedang sibuk menguteksi kukunya. Ah! Hidup memang terlalu pendek untuk dilalui sebagai orang pendek!
Mozaik 34 Piala SELURUH pertandingan untuk memperingati hari Kemerdekaan 17 Agustus usai. Zinar tak berjaya d i papan catur, namun ia menggondol tempat pertama pada kejuaraan pingpong. H al itu membuat perasaanku lapang sebab aku memang dikalahkan oleh seorang juara. Pemikiranku adalah: orang-orang lain juga kalah darinya. Persoalan apakah mereka mengendap atau tidak di bawah meja pingpong untuk menyelamatkan diri dari smes Zinar, Kuanggap soal teknis semata. Orang yang kalah memang punya seribu alasan.
Dalam hal sepak bola, tim Zinar juga berjaya. Ia naik ke undakan paling tinggi dari tiga undakan untuk menerima piala karena ia adalah sang kapten tampan bertungkai panjang dengan tembakan bebas sejauh 30 meter, menggelegar bak peluru meriam. Ia juga menerima piala untuk pertandingan voli karena ia juga sang kapten.
Berminggu-minggu sebelumnya, pernah Kubayangkan bahwa tubuhku akan meriang melihat Zinar menerima piala-piala itu. Karena piala-piala itu adalah pengejawantahanku sebagai seorang lelaki pecundang yang pacarnya direbut oleh orang lain, dan orang lain itu tak perlu bersusah-susah untuk merebutnya. Saat itu aku menganggap: tak rela mengakui keunggulan orang lain adalah salah satu sifat paling misterius dari cemburu. Bahwa cemburu, juga seperti iri, dan seperti dengki, yaitu seekor omnivor--binatang pemangsa segala-yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui darah, lalu bercokol di dalam perut dan membunuh orang yang memeliharanya dengan memakan hatinya, sedikit demi sedikit.
Orang yang cemburu sepertiku, jika bercermin, akan membelah cermin. Jika Pemilu-menjual suara. Jika tak punya uang-jadi penipu. Jika punya uang-jadi rentenir. Jika menjadi supporter-menyalah-nyalahkan wasit. Jika mencintai-m
enyakiti. Jika menjadi politisi-korupsi.
Namun, adakah aku menggelapkan uang kas masjid di mana kedudukanku sebagai sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid" Tidak. Adakah aku benci melihat wajahku sendiri di cermin" Tidak. Adakah tubuhku meriang waktu melihat Zinar menerima berupa-rupa piala" Tidak. Aku bahkan, seperti orang lain, bertepuk tangan salut padanya. Wahai Zinar, tak apa-apa, terimalah seluruh piala yang ada di dunia ini sebab aku sudah punya senjata rahasia yang akan membalasnya secara setimpal: Ortoceria!, ini juga sifat paling misterius dari cemburu.
Sementara itu, selain jiwaku yang bergelora, semuanya kembali berjalan sebagaimana biasa. Warung kopi tetap ramai, papan catur digelar lagi, dan Agustus masih meniup-niupkan ujung angin selatan. Enong, tetap mendulang timah, dan Detektif M. Nur makin tergila-gila pada burung dara. Sore hari, ia melatih burung-burung daranya di halaman luas gudang-gudang instalasi pertambangan timah yang telah diabaikan di pinggir Sungai Linggang.
Mozaik 35 Lihai PERSOALAN baru muncul, yaitu menemukan tempat untuk mempraktikkan alat peninggi badan itu. Aku tak mungkin melakukannya di rumah karena rumah kami hanyalah rumah panggung kuno Melayu. Seluruhnya dari kayu dan telah berumur hampir 150 tahun. Jika angin kencang, penghuninya gugup. Sedangkan alat itu, harus digantungkan pada palang yang teguh, dan meski pendek-kurang satu jinjit- tubuhku tidaklah ringan. Seumpama kupraktikkan di rumah, bisa-bisa rumah kami ambruk. Selain itu, pasti ketahuan Ibu karena ia adalah ibu rumah tangga full time, tak pernah ke mana-mana selain belanja sayur ke pasar atau ke masjid.
Di masjid, takut ketahuan guru ngaji, lagi pula tidak etis. Di belakang rumah ada pohon Kamboja tua yang dahannya cukup kuat dan letaknya tersembunyi. Namun, seorang pria tergantung di dahan pohon Kamboja kuburan, tak elok nian tampaknya.
Pening aku mencari tempat untuk alat itu. Sampai berkeliling-keliling kampung. Namun, beruntung ketika melewati jembatan Linggang, kutemukan tempat yang sangat pas.
Tempat itu adalah gudang-gudang tua bekas instalasi pencucian timah, persis di pinggir Sungai Linggang. Sejak maskapai timah gulung tikar, bangunan itu diabaikan. Dindingnya seng tebal dan rangkanya besi. Di belakangnya ada halaman luas yang dulu merupakan tempat parkir. Tempat itu sangat sepi, jarang didatangi orang. Hanya M. Nur yang sesekali melatih burung merpati di lapangan tadi atau pendulang timah mencari timah di pinggir sungai.
Minggu sore, waktu yang telah kupilih dengan teliti, dengan semangat menggebu, dan ribuan harapan yang manis, kudatangi gudang-gudang kosong itu. Mulanya aku berpura-pura duduk di sebuah bangku di depan sebuah gudang dengan sikap seolah tak sedang ingin melakukan apa pun. Hanya duduk malas saja di situ untuk menghabiskan waktu.
Aku mengecek kiri-kanan. Yang ada hanya riak halus Sungai Linggang, teriakan burung-burung camar yang berputar-putar di atas dermaga, dan anjing-anjing pasar yang menguap dan sesekali bertengkar. Agar lebih meyakinkan, seperti anjing-anjing pasar itu, aku juga menguap-uap. Sebenarnya dadaku bergemuruh.
Setelah yakin, aku berlari mengendap-endap menuju pintu gudang sambil membopong tas besar berisi kostum Ortoceria! itu. Pelan-pelan kubuka pintunya yang tinggi, berderit-derit.
Gudang itu besar. Di sudutnya bertumpuk-tumpuk benda usang, tong, meja, dan bangku-bangku yang berdebu. Di Dindingnya masih ada papan tulis jadwal shift kerja kuli tambang. Langit-langitnya
dipenuhi sarang burung layang-layang. Di tengah gudang, melintang palang besi penyangga plafon. Kutarik sebuah meja ke bawah palang itu dan kuletakkan bangku di atasnya.
Dengan perasaan meluap-luap, tegang bercampur gembira, kuletakkan buku manual di atas meja. Kukeluarkan kostum dari tasnya dan mulai kuikuti 12 langkah cara menggunakannya.
Bagian mula cukup sulit, yaitu menyambungkan tabung oksigen dengan slang melalui sebuah derat yang dikuatkan dengan mur. Tapi, aku sukses. Tak lama kemudian, tali-temali yang runyam dan centang perenang telah mengikat sekujur tubuhku mulai dari mata kaki sampai ke leher. Ko
rset dan cawat Superman pun telah terpasang dengan ketat dan mantap. Mendebarkan.
Aku naik ke atas meja, lalu ke atas bangku. Tindakan berikutnya adalah melemparkan dua ujung tali ke palang besi, untuk mengaitkan dua klem aluminium yang menjadi kepala tali itu. Pada dua tali itulah aku akan bergelantungan.
Kulemparkan dua tali tadi seperti koboi menibar leher sapi. Sukses. Tahap final, meletakkan dagu di atas semacam penampang dari kulit yang merupakan bagian dari sarung leher. Sayangnya, bangku itu masih kurang tinggi untuk menggapai penampang tadi. Sekali lagi, kurang satu jinjit! Kurang ajar dan ironis sekali. Dalam hatiku kesal dan berjanji bersungguh-sungguh, bahwa itulah satu jinjit terakhir dalam hidupku!
Maka, aku berjinjit, namun sial, masih kurang beberapa milimeter saja. Aku berjinjit lagi sampai sakit ujung-ujung jari kakiku. M asih kurang sedikit lagi, sangat sedikit. Setelah mencoba beberapa kali dan gagal terus, akhirnya aku marah. Kukerahkan seluruh tenagaku, aku berjinjit lagi dan gagal lagi. Sekarang aku benar-benar marah. Kutahan napasku, kutumpukan semua kekuatan pada di ujung jempol kakiku seperti penari balet dan terjadilah petaka itu. Sentakan tubuhku yang memaksa berjinjit membuat penampang leher yang seharusnya menopang daguku meleset ke belakang dan langsung menjerat leherku. Lebih sial lagi, sentakan itu juga membuat bangku yang kupijak jatuh. Maka, seluruh tubuhku langsung bergantung serupa buah nangka.
Aku meronta-ronta mencoba melepaskan cekikan di leherku, tapi jeratan itu sangat kuat karena ditarik oleh berat badanku sendiri. Ini hukum alam yang sederhana, namun kejam tiada ampun, yaitu gravitasi yang seharusnya menjadi pahlawan dalam seluruh rencana agung meninggikan badan ini, malah berubah menjadi senjata yang mematikan karena gravitasi menyebabkan leherku akan semakin tercekik semakin aku meronta.
Dalam waktu singkat megap-megap, lalu tersedak-sedak. Kemudian, lidahku menjadi pendek dan bola mataku mau meloncat. Aku terus meronta untuk membebaskan diri dari m aut, lalu kepalaku mulai tak terasa. Aku seperti tak berkepala. Oksigen yang terhambat menuju otak membuatku mulai tak sadar. Napasku tinggal satu-satu. Begini rupanya rasanya orang gantung diri. Sungguh mengerikan.
Lalu kakiku mulai tak terasa. Baal itu naik ke atas sehingga aku merasa tak punya pantat. Pergi entah ke mana. Selangkang, jangan dibilang. Karena aku terus berontak, gudang tua itu bergoyang-goyang. Aku tak dapat bernapas. Keadaanku kritis. Lorong-lorong gelap berkelebat, kadang-kadang tampak kilatan warna putih. Aku tahu, semua itu bayangan menuju ajal. Aku panik. Dengan sisa tenaga aku terus meronta. Kuharap bangunan itu roboh dan aku selamat, namun tali semakin likat menjerat leherku. Nyawa telah sampai di tenggorokanku. Inilah saatnya aku mati. Tiba-tiba di luar gudang kudengar suara sepeda, lalu terdengar lagi sepeda itu seperti dibanting. Sekonyong-konyong pintu
gudang terbuka. Seseorang tertegun di ambang pintu: Enong! Ia membanting dulang timahnya dan menjerit sejadi-jadinya.
"Astaghfirullah! Innalillahi! Boi! Boi!!"
Lalu, berlari menyongsongku.
"Innalillahi! Apa yang kau kerjakan itu"!"
Ia menangkap kedua kakiku dan mengangkat tubuhku. Aku tersedak-sedak. Enong pucat dan merepet tak henti-henti mengucapkan asma Allah.
"Pa ... pa ... r ...!" kataku sambil tersengal. Ia berusaha memahami bicaraku, tapi bingung karena leherku tercekik suaraku menjadi lucu seperti suara dakocan. Aku menunjuk parang di
pinggangnya. "Apa katamu! Tak tahu diuntung! Tak bisa mati menggantung diri kini kau mau pakai parang"!"
"Pa ... pa ... rang!" bentakku lagi dengan suara kecil yang aneh sambil memberi isyarat bahwa aku ingin memotong tali yang menggantungku. Enong menghunus parang dari pinggangnya. Kupotong tali itu, kami terjerembap seperti dua karung beras. Enong bangkit.
"Apa yang kaukerjakan, Boi"! Masya Allah!"
Pandanganku gelap. Seluruh persendianku rasanya remuk. Aku baru saja meregang nyawa. Enong tahu aku harus segera ditolong. Ia berlari keluar, lalu berteriak.
"Detektif! Kemari kau!"
Oh, betapa sialnya, Detektif M. Nur
pasti sedang melatih merpati di halaman gudang. Karma apa yang harus kutanggung" Segala hal seperti telah disusun rapi untuk menyempurnakan aibku. Detektif masuk dan terkejut melihatku.
"Kawanmu, sudah gelap mata! Kalau tadi tak kulihat, almarhum, Boi! Almarhum!"
Detektif M. Nur melihat tali-temali yang terkulai di tanah dan sisa tali gantungan di besi alangan plafon yang tadi kutebas dengan parang. Mulutnya menganga, matanya terbelalak.
"Gantung diri""
Enong mengangguk tegas. "Gantung diri, Boi!"
Detektif M. Nur menatapku dengan pandangan yang ganjil. Sementara itu, aku berusaha mengumpul-ngumpulkan lembar demi lebar nyawaku. Enong menepuk bahu Detektif. Ia sadar. Dari saku lutut sebelah kanan bahu terusannya ia mengeluarkan minyak kayu putih dan mengipas-ngipaskannya dihidungku. Ia terus memandangku dengan wajah yang aneh, takut, dan tegang, namun aku tak dapat dibohongi, dalam hatinya ia pasti girang tak kepalang.
Aku tersandar lemas dikaki meja. Lidahku yang tadi memendek perlahan-lahan melar lagi seperti semula. Kedua bola mataku kembali ke cangkangnya, dan mengerjap -ngerjap. Aku berusaha bicara karena aku perlu minum. Tiba-tiba aku merasa sangat haus. Namun, Enong dan Detektif M. Nur tak memahami kalimatku sebab suaraku lucu, nyaring, dan terjepit, serupa suara dakocan.
Enong memotong tali yang masih mengikat tubuhku dan membuka korset serta cawat Superman itu. Lalu, ia dan Detektif M. Nur membopong tubuhku keluar gudang. Kami berjalan menuju sepeda. Sebelum sampai ke sepeda, Enong mengayun-ayunkan kostum Ortoceria! itu.
"Benda durjana ini harus dibuang ke sungai!" katanya. Kulihat benda itu melayang dilemparkan Enong, lalu berdentum di permukaan Sungai Linggang. Kostum itu timbul tenggelam, terombang-ambing dibawa arus ke muara, menuju Jakarta, kembali ke tempat asal-muasalnya.
Detektif M. Nur mengambil sepedanya. Katanya aku harus segera dibawa ke puskesmas. Aku tak mampu lagi berpendapat. Mereka mengangkatku dan memasukkanku ke dalam keranjang pempang di boncengan sepeda itu. Aku tak berdaya seperti seonggok daging kurban saja. Detektif M. Nur menuntun sepeda. Enong memegangiku sambil mendorong sepeda. Puji-pujiannya pada Allah berderet-deret. Detektif M. Nur tampak prihatin. Sebuah sikap prihatin yang canggung karena sambil menahan senyum.
Kami melintasi pasar. Para penjaga toko, para pengujung warung kopi, orang-orang yang tengah berjalan atau bersepeda, anak-anak yang sedang bermain, bahkan kucing-kucing di jendela loteng toko-toko, menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan karena memperhatikan kami. Memang sebuah pemandangan yang tak biasa sekaligus lucu tak terkira: seorang lelaki dewasa berada di dalam kerajang pempang di atas boncengan sepeda. Orang yang dibawa bersepeda dengan cara seperti itu hanyalah anak kecil berumur lima tahun agar kakinya tak dilibas jari-jari ban. Tambah aneh lagi, orang itu dipegangi seorang perempuan setengah baya, dan sepeda dituntun seorang le laki kontet yang susah payah menahan diri agar tidak tertawa. Sepeda kadang-kadang bergetar sebab lelaki kontet itu menggigil-gigil tubuhnya. Kami tak ubahnya orang yang terlepas dari rombongan pawai.
Karena melihat banyak orang melihat sesuatu, mereka yang tengah berbelanja ikut-ikutan ingin tahu, ini adalah sifat massa. Mereka keluar dari toko dan seperti berbaris menonton kami. Mereka mulanya memandang heran, lalu berbisik-bisik, lalu tertawa, lalu terpingkal-pingkal. Sungguh sial nasibku hari itu karena kami harus melawati toko Zinar. Kulihat ia dan beberapa pelangganya ikut menonton kami dan tertawa dari balik jendela tokonya yang indah. Lelaki ganteng itu sama sekali tak menyadari bahwa dialah sesungguhnya biang keladi sehingga aku berada di dalam keranjang pempang, digiring oleh Enong dan Detektif M. Nur seperti sapi ingin dijual ke pasar.
Beberapa orang sempat bertanya apa yang terjadi. Mereka cemas melihat wajahku yang pucat dan tampak seperti orang sakit parah. Detektif M. Nur dan Enong mengambil sikap bijaksana untuk tidak membuka aibku. Dengan kompak mereka mengatakan bahwa penyakit ayanku kambuh waktu aku sedang melamun
di dermaga. Orang-orang itu memandangku dengan sedih dan memberiku nasihat yang sangat simpati padaku bahwa kalau punya penyakit ayan, jangan sering melamun. M ereka berharap aku cepat sembuh. Seorang ibu mengatakan bahwa ia telah kenal denganku sejak aku bayu. Katanya ia dulu suka menimang-nimangku. Katanya, rambutku telah ikal sejak aku kecil, namun ia tak pernah menduga setelah dewasa aku kena penyakit seperti itu. Disarankannya berbagai ramuan tradisional untukku. Seorang ibu yang lain membelai-belai rambutku. Kupandangi mereka dengan mata yang kuyu.
Di puskesmas, aku dibaringkan di atas brankar. Perawat datang dan kukatakan dengan bersungguh-sungguh pada Detektif M. Nur dan Enong agar jangan bercerita pada siapa pun soal kejadian di gudang itu. Perawat menusuk lenganku untuk memasukkan infus. Mengapa aku diinfus" Aku tak tahu. Lalu, ia memberiku obat yang membuatku tertidur. Pukul tujuh malam aku terbangun. Kulihat Enong duduk dengan wajah kesal di sudut ruangan.
"Aku kecewa padamu, Boi! Kecewa betul! Tak kusangka pikiranmu sependek itu. Sungguh memalukan tabiatmu itu! Kau orang Islam, apa bukan"
Tak pernah sebelumnya Enong berkata keras padaku. Sebenarnya aku bermaksud menjelaskan semuanya. Tapi, situasiku runyam. Siapa pun yang melihatku waktu itu, cecak sekalipun, pasti menduga aku mau gantung diri. Bahwa alat itu sebenarnya untuk meninggikan badan, adalah hal yang sungkan Kuungkap. Pilihanku antara disangka mau bunuh diri atau menanggung malu karena mau meninggikan badan dengan cara yang konyol. Aku tahu betul kaumku yang sangat gemar mengejek orang. Jika kejadian di gudang itu terbongkar, aku akan menjadi bulan-bulanan seumur hidupku. Aih, tak sanggup aku. Maka, kupilih diam saja.
"Kau tahu" Sampai pendek napasku karena terkejut melihat kelakuanmu itu!"
Gusti Allah Yang Mahatahu, mengapa ironi tak kunjung luntur dari hidupku. Aku hampir tewas karena bosan menjadi orang pendek, dan dalam waktu kurang dari semenit Enong telah dua kali menyebut kata pendek.
"Panjang-pendeknya hidup manusia, berada di tangan Allah, Boi! Kau tak boleh seenaknya saja mengambil alih tugas dan wewenang malaikat maut!"
Tiga kali. "Tugas dan wewenangmu adalah hidup! Terus hidup, berjuang untuk hidup! Masya Allah, Boi! Hanya karena cinta kau sampai gelap mata! Perempuan di dunia ini tak hanya A Ling!"
Enong makin bersemangat memarahiku, tapi tertunda karena seorang perawat masuk. P erawat itu mengatakan mau mengganti infusku karena slangnya terlalu pendek sehingga aku susah bergerak.
Empat kali. Perawat keluar, Enong kembali melotot.
"Masuk banyak perempuan lain, Boi! Kalau kau kesulitan mencari jodoh, mengapa tak bicara padaku" Masih banyak Keponakanku perawan tua di udik sana!"
Ia menarik napas panjang.
"Apa sukamu hanya anak Tionghoa" Usah kau cemas. Kenalanku banyak perempuan Tionghoa yang tak laku-laku! Mau Hokian, Khek, Ho Pho, Tongsan, lengkap!"
Aku memandangi langit-langit puskesmas. Cecak-cecak yang tadi bergerak-gerak, diam menyimak Enong.
"Janganlah berputus asa. Lihatlah Kakak, ni, dari kecil Kakak susah. Cobaan datang bertubi-tubi, tapi mana pernah Kakak patah harapan. Tak pernah! Hidup ini harus tabah. Memang be nar badanmu pendek, tapi mukamu tak jelek-jelek betul. Paling tidak, kau lihai berbahasa Inggris!"
Mozaik 36 Akrobat BEBERAPA hari setelah kejadian di gudang pencucian timah itu, Enong mengundang Bu Indri ke rumahnya dan mengatur perjumpaan kami di sebuah warung kopi.
Diamati dari dekat, guru bahasa Inggris itu memiliki mata anak kecil yang besar, tapi bagus. Bulu matanya lentik seperti palsu, tapi asli. Ia memiliki bentuk wajah yang mungkin tak banyak berubah sejak ia remaja. Agak susah digambarkan, tembam tapi tidak, tidak tembam tapi iya. Namun, senyumnya menawan. Ia cantik secara moderat. Ia menunjukkan sebuah buku. Itulah buku puisi koleksi pribadinya yang pernah diceritakannya padaku. Ia memintaku membaca salah satu puisinya, ada bait macam ini:
Love walks on two feet just like a human being It stands up on tiptoes of insanity dan misery
Puisi yang hebat. Kubaca sampai tiga kali dan aku terpengaruh. Ternya
ta jika bersedia memasukkan sedikit saja puisi ke dalam diri kita, perasaan bisa menjadi luar biasa. Namun, puisi itu bergema di dalam hatiku sebagai sebuah ironi.
Aku mengerti maksud Enong mengatur pertemuan itu, dan ketika Ibu Indri mengatakan bahwa ia mempersembahkan puisi itu untukku, caranya mengatakan hal itu, tekanan di dalam ayunan napasnya, dan sinar matanya ketika mengatakannya, membuatku mengerti apa yang sedang terjadi.
Tapi, mari kubuat jelas sesuatu, walaupun selama belasan tahun aku hanya mengenal satu perempuan saja, namun orang itu telah membuat perasaanku melakukan semacam gerakan-gerakan akrobat. Gerakan akrobat terakhir yang kulakukan adalah serupa burung berekek hama padi kena jerat petani di tiang alangan di gudang tua pencucian timah itu.
Oleh karena itu, wahai Ibu Indri yang cantik dan budiman, di dalam kalbuku berkata, saat kau gubah puisimu itu, kutaksir kau tak benar-benar paham makna insanity-kegilaan-dan misery- kesengsaraan. Kau patut menggali lebih dalam dengan mewawancaraiku perihal dua perkara itu.
Besar kemungkinan, dirimu membuat puisi itu terdorong oleh perasaan melankolis setelah menonton sebuah sinetron atau memang kemampuan sastrawimu telah membuat kata-kata itu bernapas, lalu hidup untuk menemukan ujung nan berima-rima. Namun, tak tahukah dirimu" Cinta, akan membawa pelakunya pada kegilaan dan kesengsaraan yang tak terbayangkan. Cinta, adalah sebuah tempat di mana orang dapat menyakiti dirinya sendiri. Cinta, dapat pada seseorang, atau pada cinta itu sendiri, dan keduanya mengandung bahaya yang tidak kecil.
Pertemuan yang menyenangkan itu terasa cepat dan tiba-tiba Ibu Indri harus pamit. Ia berpesan padaku agar menulis puisi lagi karena ia ingin membacanya. Kujawab di dalam h ati, bahwa aku tak menginginkan perempuan ini, tapi aku senang berada di dekatnya.
Beberapa hari kemudian kuterima surat lagi dari Ibu Indri yang dititipkan melalui Enong. Aku tak membalasnya, namun kupesankan pada Enong untuk menceritakan bahwa aku sudah bersama A Ling, ta bisa berpindah ke orang lain. Kukatakan semua itu dalam keadaan A Ling telah disita oleh Zinar. Namun, Kawan, bukankah baru saja kukatakan padamu soal insanity tadi"
Kurasa, Enong menyampaikannya dengan cara yang dramatis pada guru bahasa Inggris itu, mungkin pula ditambahinya dengan kejadian di gudang pencucian timah tempo hari sebab jawaban Bu Indri kuterima dengan cepat.
Kupikir, Bu Indri akan mempermaklumkan keadaanku dan akan memadamkan api asmara yang meletup-letup di dalam dadanya. Namun, yang terjadi sebaliknya. Ditulisnya beruntai-untai puisi dalam dua bahasa sekaligus tentang bagaimana ia semakin kagum padaku. Bahwa ia tertarik padaku bukan karena penampilan fisikku-terima kasih-melainkan bagaimana kesetiaanku selama belasan tahun pada seorang perempuan telah menginspirasinya.
Menurut pandangannya, apa yang kulakukan demi cintaku adalah sebuah tindakan yang heroik, dan lelaki semacam aku sudah langka di dunia ini dan akan punah mirip nasib burung Dodo. Sedikit catatan untukmu, Kawan, konon burung tak bisa terbang itu terakhir terlihat dalam keadaan bernapas, dan tinggal seekor, pada 1921, di Madagaskar. Kata perempuan lulusan fakultas sastra Inggris itu, lelaki macam akulah yang telah ia cari seumur hidupnya, insane! Insane!
Pernah kubaca tanya-jawab kejiwaan di sebuah koran tentang seseorang yang tak mudah jatuh cinta, namun ketika jatuh cinta ia menjadi senewen. Mungkin Bu Indri termasuk tipe semacam itu.
Bagiku, situasi dengan Bu Indri menjadi dilematis. Ia menarik. Daya tarik terbesarnya terletak pada keberaniannya untuk jujur. Di sisi yang lain, aku melihat diriku seperti seekor kucing yang malu-malu didekati ikan goreng. Kucing itu naik mimbar, lalu menyampaikan pidato penolakan. Andai kata Bu Indri datang dalam situasi yang berbeda, dan di dalam hidupku tidak pernah ada perempuan bernama A Ling, aku takkan ambil tempo untuk mengakuisisinya.
Namun, sekali lagi, A Ling, bersamaku atau tidak, tak mampu membuatku berpaling pada siapa pun. Sebaliknya, Bu Indri memperlihatkan tabiat wanita cantik umumnya, yaitu jika kita mendeka
ti mereka, mereka selalu telah menjadi milik orang lain, dan jika mereka mendekati kita, situasinya pasti selalu tidak mungkin. Sedangkan perempuan yang tidak kita inginkan, selalu berada di sana, bak patung selamat datang, tak seorang pun mau mengambilnya.
Mozaik 37 Koper MAKA, disinilah aku sekarang. Duduk di atas sepedaku yang tersandar pada tiang jembatan Sungai Linggang. Kubayangkan alat peninggi badan itu hanyut menuju samudra membawa impian 4 sentimeterku.
Sempat kukirimkan surat kepada Ortoceria! bahwa alat mereka bisa membuat orang celaka. Suratku mendapat balasan dengan cepat dari direktur perusahaan itu. Nama orang itu seperti nama latin tulang belulang. Katanya, ia telah mendapat surat serupa dari banyak pelanggan dan betapa ia berterima kasih atas masukkan yang sangat berharga.
Jangan cemas, kami telah melakukan peningkatan mutu keselamatan pada alat peninggi badan itu dan telah sukses melalui percobaan pada monyet. Terbukti monyet-monyet itu bertambah jangkung dan tak seekor pun tercekik.
Demikian jawaban dari kami. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian Saudara pada perusahaan kami.
Ortoceria! Tinggi dan ceria!
Dari tempatku melamun, tampak halaman gudang pencucian timah. Sepi dan kosong. Hanya Detektif M. Nur bersuit-suit dengan peluit kayunya, melatih beberapa ekor burung merpati. Sesekali terdengar letusan mercon cabe rawit. Dengan cara itu, ia memacu deras terbang merpati. Selain itu, sepi, hanya sepi.
Nun di ujung sana, di bantaran Sungai Linggang sebelah utara, Enong dan beberapa penambang lainnya mendulang timah. Mereka sesungguhnya tidak menambang, tapi mengais timah yang dulu tercecer dari alat berat dan karung timah yang bocor ketika timah itu dimuat ke kapal tongkang untuk dibawa ke PT Peleburan Timah di Mentok, Bangka.
Kukayuh sepeda, untuk melarikan hati yang sedih, ke satu -satunya tempat yang selalu menjadi penghiburanku sejak kecil dulu: kapal keruk tua di pinggir sungai. Namun, sampai di sana, kapal keruk yang sangat besar itu tak tampak lagi. Aku sempat heran, bagaimana sebuah bangunan besi raksasa seukuran lebih dari setengah lapangan sepak bola dan begitu hebat engineering-nya bisa lenyap" Padahal, aku tahu mesinnya sudah rusak dan tongkangnya sudah lumpuh. Ke mana raibnya ratusan mangkuk besi untuk mengeruk timah dengan berat berton-ton setiap mangkuknya itu" Apakah ia telah disihir oleh seorang ilusionis" Ataukah mataku sudah tak beres lantaran jiwaku terguncang karena cinta dan cemburu"
Rupanya tidak, mataku baik-baik saja. Seorang pemancing memberi tahuku bahwa kapal keruk itu, kapal keruk satu-satunya peninggalan kejayaan maskapai timah yang menguasai pulau kami selama ratusan tahun itu, telah dipotong-potong dan dijadikan besi kiloan. Aku terhenyak dan merasa makin merana. Kapal keruk adalah tempat ayahku dan ayah-ayah kami-anak-anak Melayu-dulu bekerja. Memotong-motongnya, sama dengan memotong-motong kebudayaan kami. Tsunami telah melanda sejarah budaya dan industrial archeology di kampung kami. Perasaan seni dan estetika telah menemui jalan yang gelap dan sempit di kantor-kantor birokrasi. Semakin lama semakin sempit, lalu buntu.
Dari bantaran sungai yang menyedihkan itu, kukayuh lagi sepeda ke rumah Mualim Syahbana untuk mengatakan bahwa aku akan ikut dengannya berlayar ke Jakarta minggu depan. L alu, kutemui pamanku untuk pamit.
Paman pun menasihatiku, panjang dan lebar.
"Rasulullah sendiri hijrah dari Mekkah ke Madinah demi kemaslahatan. L alu, dikatakan pula oleh junjungan, Kejarlah ilmu sampai ke negeri China, kau tentu paham maksudnya, Boi""
Aku diam saja karena kalau kujawab aku paham, nanti aku pasti dikatainya sok tahu, lalu aku disemprotnya.
"Itu bukan berati kau harus mendaftar sekolah ke Tiongkok sana, tapi jangan pernah sungkan bepergian untuk menimba ilmu. Ingat, orang berilmu, ditinggikan derajatnya di muka Allah."
Terpesona aku. Baru kusadari, jika berada di dekat Paman dalam keadaan ia tenang, sesungguhnya banyak mutiara yang dapat digali darinya. Kata-katanya lembut, penuh empati, dan pengertian. Percakapan antara paman dan keponakan itu berlanjut
ke soal nasib malangku dalam hal hubungan pria-wanita.
"Oh, untuk persoalan itu, kita harus kembali kepada hal-hal mendasar, Boi."
Na! Hal mendasar, ini pasti menarik.
"Maksud Pamanda ""
Ia mengamatiku. "Maksudku, kalau melihat pen ampilanmu yang mirip guru honorer enam belas tahun tak diangkat itu, tinggi badanmu, dan baumu yang selalu macam bau ban sepeda, kurasa agak berat masa depanmu di bidang percintaan, Boi."
Begitulah akhir wejangan dari Paman. Ia mengambil buku panjang catatan utang pelanggan kopi. Di buku itu pula ia mencatat utangku demi membeli alat Ortoceria! itu.
"Sebelum pergi, aku tak mau ada sangkut paut utang piutang denganmu. Oleh karena kau sangat miskin, kuputihkan utangmu sekarang juga."
Kuucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Akhirnya, aku pamit.
"Tunggu sebentar, Boi, aku punya kenang-kenangan untukmu."
Aku terkejut sekaligus senang. Setahuku, Paman tak pernah memberi kenang-kenangan pada siapa pun. Ia masuk ke rumah, lalu kembali membawa sebuah koper kecil seperti koper direktur bank. Aku terbelalak melihat koper itu karena banyak tempelan stiker uang kertas berbagai pecahan bergambar presiden-presiden Republik Indonesia.
"Kalau ingin bertahan di Jakarta, kau harus berjiwa dagang, Boi."
Ia mengelus-elus koper itu.
"Koper ini sengaja kubelikan untukmu di Tanjong Pandan dan kutempeli gambar-gambar uang ini, demi membentuk mental bisnismu." Paman menepuk-nepuk punggungku.
"Kejarlah cita-citamu. Boi. Kau bisa menjadi apa saja. Pedagang, guru, seniman, tak soal. N amun, pesanku, jangan sekali-kali kau mau menjadi politisi, Boi. Nanti semua benda milikmu disangka orang dari duit rakyat. Selamat merantau ke Jawa, semoga sukses!"
Lalu, hampir aku tak percaya, Paman memelukku!
Semua kebijakan Paman kugenggam erat-erat, termasuk hal mendasar tadi. Pulang dari rumahnya, kulihat langit di sebelah barat gelap dan berarak-arak menuju timur. Segera aku tersadar bahwa bulan telah masuk Oktober. Akankah tahun ini hujan pertama jatuh pada 23 Oktober" Aku tak lagi peduli. Cemburu dan patah hati telah menghancurkan setiap sendi diriku, juga keindahan menunggu hujan pertama itu.
Mozaik 38 Kepada Yth. SEJAK kejadian bunuh diri yang gagal itu, Enong menunjukkan sikap sayang secara agak berlebihan padaku. Jika kami berjumpa di masjid, ia menatapku lama dengan mulut komat-kamit. Pasti ia meminta pada Ilahi Rabbi agar aku ditunjuki jalan yang benar, dan agar sanak familinya tidak ada yang berbuat seperti kulakukan di gudang itu. Jika melihatku di pasar, ia serta-merta menyongsongku dan bertanya apa yang kuperlukan. Jangan khawatir, katanya sambil mengeluarkan dompetnya yang gendut, ia baru menjual timah.
"Kopi" Tiket bioskop" Film Hongkong" Film Barat" Film Jakarta" India" Orkes" Kuaci berhadiah" Karet gelang" Hmm, tak ada masalah, Boi! Cincai! Bilang saja sama kakakmu ini."
Uangnya seperti hendak melakukan pemberontakan atas dompet plastik murahan itu. Ia buka ritsleting dompetnya, dan terlompatlah segepok uang receh seratus perak, merah, layu, dan lusuh. Uang-uang itu tampak lega setelah kesulitan bernapas karena berdesak-desakan di dalam dompet. Kutolak uang pemberian Enong. Uang-uang kertas lusuh itu tak senang harus masuk ke dalam dompetnya lagi. Dompet itu pun tak senang menerima mereka kembali. Dan mereka-dompet dan uang itu-juga tak senang pada Enong.
Kemudian, Enong berceloteh soal keponakan-keponakannya di udik. Ternyata ia punya banyak saudara dan kenalan dayang lapuk.
"Perempuan kampung baik-baik, Boi. Tidur pukul 7 malam, bangun pukul 3 pagi. Jarang keluar rumah, maka kulitnya putih. Keluar rumah hanya untuk berburu kijang. Mereka tak takut pada binatang buas. Mereka pemberani!"
Aku diam saja. "Aku tahu, kau pasti malu mau bertanya macam mana rupa mereka, kan "" Aku diam saja.
"Di sana tak ada listrik, Boi, gelap, jadi buat apa kau pentingkan rupa"' Aku diam saja.
"Atau amoi kebun" Tidur pukul 5 sore, bangun pukul 2 pagi. Kasih makan babi, siram tanaman sawi. Tak banyak bicara, tapi kuat tenaganya!"
Aku diam saja. "Atau dayang suku bersarung. Ahli mengumpulkan teripang. Mereka macam ikan. Bisa men
yelam selama lima belas menit! Lima belas menit, Boi, bayangkan itu! Nyawanya panjang, tak gampang habis napas!"
Aku diam saja. "Macam mana, Boi" Cincai"" Aku diam saja.
Jika kami berjumpa di kantor pos, Enong membawakanku pisang rebus atau buah kembili di dalam daun telinsong. Adakalanya ia mengusap-usap pundakku seperti menenangkan pasien rumah sakit jiwa yang buas, sembari berulang kali mengatakan betapa aku beruntung karena paling tidak aku bisa bahasa Inggris. Semua itu membuatku benci.
Adapun Detektif M. Nur, secara natural memang sesosok malaikat bertanduk. Di satu sisi ia prihatin akan peristiwa di gudang itu, di sisi lain ia memanfaatkannya sepanjang waktu. Jika sedang kesal padaku atau sedang menuntutku untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak hatinya dan aku menolak, ia menunjukkan sikap seakan-akan mau membongkar kejadian memalukan itu pada orang-orang. Ia mencekik lehernya sendiri dan menjulur-julurkan lidahnya. Sungguh menyebalkan. Maka, menghambalah aku padanya dan ia terkekeh-kekeh. Namun, jika sedang baik hati, ia pun sering menasihatiku.
Pagi ini, kami-kami itu adalah aku, Enong, dan Detektif M. Nur-bertemu di kantor pos. usai terpekur mendengarkan ceramah Enong soal dosa besar bunuh diri, tibalah giliran Detektif.
Aku selalu senang menerima wejangan dari Detektif sebab wejangannya tak sekadar teori. Ia menyarikan kebijakan hidup benar-benar dari pengalaman pribadinya yang pahit sebab keluarganya, seperti keluargaku, sama-sama melarat.
Dengan demikian, nasihatnya selalu kudengar. Dan ada alasan lain mengapa aku lebih nyaman dinasihatinya yaitu, maaf-maaf kata, banyak kelebihanku dibanding dia. Lihatlah, aku lebih tinggi sepuluh sentimeter darinya. Namun, sekali pun, tak barang sekali pun, pernah kudengar ia mengeluh soal itu. Ia adalah seseorang yang penuh dengan kekurangan dan aku iri padanya karena ia selalu gembira.
"Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan, Boi. Bagaimana keadaan kita sekarang, itulah yang diinginkan-Nya," katanya dengan khidmat sambil menatap langit-langit kantor pos.
"Meskipun rupa kita buruk dan kekasih kit a meninggalkan kita demi lelaki lain yang lebih tampan, semua itu adalah cobaan yang harus kita terima dengan jiwa yang lapang. J angan gampang putus asa."
Pandangan Detektif beralih, dari langit-langit kantor pos ke jendela. Aku tersentuh mendengar nasihatnya karena aku tahu persis, bukan s ekali dua, tapi sampai tak cukup jumlah jari tangan dan kaki, ia ditinggalkan atau belum apa-apa, sudah ditolak perempuan. Bahkan, baru mengirim salam saja ditolak.
Sungguh menggiriskan nasib lelaki itu. Warna kulitnya tidak ideal berdasarkan versi orang marketing produk-produk kecantikan yang tak tahu adat itu.
Semuanya karena satu alasan, yaitu penampilan D etektif memang kurang meyakinkan. Ia adalah lelaki kontet dengan rambut ikal kusut seperti telah diaduk anak-anak tawon.
"Pasrah, hanya itu yang bisa kita lakukan. Pasrah sumerah. Terima saja kekurangan kita. Anggaplah itu sebagai berkah dari yang mahatinggi, dan bersyukurlah atas apa yang ada pada kita."
Sekarang aku paham mengapa D etektif selalu gembira meskipun hidupnya susah. Kata kuncinya adalah bersyukur. Aku membenam-benamkan nasihatnya ke dalam kalbuku agar selalu ingat.
Ketika mau pergi dari kantor pos, Detektif memintaku menunggu sebentar karena ia mau mengirim surat. Dikeluarkannya surat itu dari dalam tasnya dengan hati-hati. Ia tersenyum penuh makna. Wajahnya memancarkan cahaya harapan. Ia menjentikkan jari dan berbalik dengan satu gerakan yang mengesankan, lalu melenggang menuju loket. Sempat kubaca alamat penerima surat itu: Kepada Yth. Ortoceria! ..
Mozaik 39 Rukun Islam BERMALAM -M ALAM aku sulit tidur dan berusaha menguat-nguatkan diri karena harapanku akan A Ling telah punah. Jika tak tertanggungkan, aku keluar rumah, ke dermaga naik sepeda dengan hati yang lebam, remuk.
Dari dermaga kupandangi muara. Kuharap, nun di sana muncul layar perahu. D i dermaga itulah terakhir aku bertemu dengannya. Sejak itu, jika merapat kapal dari Tanjong Pinang, kuamati penumpang turun satu per satu. A Ling tak pernah
datang. Riak-riak halus sungai seakan tak peduli.
Kepadaku, anak-anak buaya muara, kecipak Sungai Linggang, dan daun -daun ketapang mengatakan bahwa A Ling takkan pulang karena seseorang telah menawan hatinya. Aku tenggelam dalam kesedihan. Aku telah melakukan segala cara, mulai dari rencana yang sangat hebat, kekalahan-kekalahan yang sangat memalukan, sampai pada kekonyolan yang membahayakan jiwa demi mencegah agar perempuan itu tak dibawa pergi oleh Zinar, semuanya sia-sia.
Mengalahkan Zinar telah menjadi utopia bagiku. Satu-satunya hal yang dapat kubanggakan dari kenyataan ini adalah bahwa aku telah melawan Zinar secara laki-laki dan menerima kekalahan secara laki-laki pula. Cinta itu terlalu kuat untuk kulawan. Harapan kosong, itulah yang selama in kugantang.
Sering aku disiksa oleh pertanyaan: mengapa A Ling bisa begitu" Apa salahku sehingga ia begitu" Apa yang ada di dalam kepala seorang perempuan" Apakah pertimbangan yang bijak" Kecemasan" Atau sekadar dengungan" Sungguh aku tak mengerti. Namun, perlukan aku mengerti" Kurasa tidak. Yang kuperlukan hanyalah menghormati keputusannya, dan karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan hati dan pikiran yang boleh punya jalan masing-masing, penghormatan seharusnya tidak memerlukan pengertian.
Akhirnya, akhir dari semua hal yang menyakitkan itu adalah keputusan yang pahit harus Kuambil, yaitu meninggalkan kampung dan takkan pernah kembali. Aku tak dapat tinggal di sini. Aku tak dapat melihat A Ling tanpa merasa patah hati. Aku tak dapat melihat ibuku tanpa merasa malu, dan aku tak dapat melihat ayahku tanpa merasa bersalah.
Aku berusaha bertindak positif, antara lain dengan membuat daftar kegiatan yang akan kulakukan di Jakarta nanti untuk melupakan A Ling. Misalnya, kursus yoga, menjadi filatelis, menghindarkan diri sedapat mungkin dari melihat sepeda. Tidak akan pernah lagi melihat burung punai meski hanya gambarnya. Berhenti mendengarkan lagi dangdut-terutama yang berjudul Hidup di Antara Dua Cinta, dan menjadi vegetarian.
Namun, setiap melihat daftar itu, dadaku penuh dan aku disergap sepi. Meski cinta itu telah karam dan tekadku untuk berangkat sudah bulat seperti pelampung pukat, tak dapat kubujuk diri sendiri
agar berhenti memikirkan perempuan Tionghoa itu. Memisahkan diri darinya, bak menceraikan melati dari harumnya.
Berat rasanya berkemas-kemas lagi untuk ke Jakarta. Sebenarnya, sejak kudengar kabar Zinar akan melamar A Ling, aku telah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Namun, ternyata, jika seseorang hanya memikirkan seseorang, bertahun-tahun, dan waktu ke waktu mengisi hatinya sendiri dengan cinta hanya untuk orang itu saja, maka saat orang itu pergi, kehilangan menjelma menjadi sakit yang tak tertanggungkan, menggeletar sepanjang waktu.
Saat berkemas, kutemukan buku puisiku waktu SD dulu. Aku takjub melihat banyak puisi yang pernah kutulis, tapi tak berani kuberikan pada A Ling. Puisi-puisi tentang komidi putar tempat kami sering berjumpa, tentang naik sepeda ke danau-danau, tentang bunga trompet, tentang musim hujan. Aku terlena, di dalam kata yang saling bertaut, di dalam ungkapan rindu yang sambut-menyambut, di dalam ujung kalimat nan berima-rima, tersembunyi dahsyatnya tenaga cinta pertama.
Kemudian, pikiranku terlempar ke masa lalu, saat kulihat paras -paras kuku A Ling untuk pertama kalinya di toko kelontong itu, dan aku jatuh cinta. Andai kata kebahagiaan dapat dilipat, kuingin perasaan yang kualami di toko kelontong itu kulipat saja, lalu kumasukkan ke dalam saku. Kan kubawa, ke mana pun aku pergi. Dan andai kata kesedihan karena putus cinta dapat dibasuh air hujan, aku mau berdiri di bawah hujan dan halilintar, sepuluh musim sekalipun.
Makin dalam kubongkar kertas-kertas lama, kian memesona penemuanku. Kubuka ikatan setumpuk kertas dan terkejut melihat berlembar-lembar kertas berisi tulisan tanganku ketika masih kelas empat SD.
A Ling, hari ini aku belajar menyanyikan lagi "Rukun Islam". Apakah kau bisa menyanyikan lagu "Rukun Islam""
Tampak coretan di sana sini, seakan berkali-kali salah dan susah payah diperbaiki. Lalu, ada pula tulisan
tangan orang lain. Tulisan itu isinya sama, namun sangat susah dibaca karena buruk sekali. Lebih buruk dari tulisan tanganku yang hanya selalu dapat nilai enam untuk mata pelajaran menulis rangkai indah. Pada kertas-kertas itu tampak, tulisan tangan yang buruk itu selalu diikuti tulisan tanganku.
Nyata benar aku telah mencontoh tulisan orang lain itu. Apa yang terjadi antara aku dan A Ling waktu itu" Aku berpikir keras. Kulihat catatan bulan di salah satu kertas: Agustus. Aku terhenyak k arena sadar bahwa berpuluh tulisan itu adalah aku berlatih membuka pembicaraan jika bertemu dengan A Ling pada acara sembahyang rebut, bulan Agustus itu. Tulisan yang buruk satunya itu tak lain tulisan M. Nur. Karena aku gugup akan bertemu A Ling, M. Nur menyarankan agar aku bercerita soal lagu "Rukun Islam" dan dilatih dengan cara menulisnya berpuluh-puluh kali.
Sesungguhnya kalimat itu amat konyol, mana mungkin A Ling, orang Tionghoa tulen dan beragama Konghucu akan belajar menyanyikan lagu "Rukun Islam". Aku pasti sangat gugup waktu itu.
Dalam ikatan kertas yang lain, kutemukan surat ini:
Kalau rindu, ucapkan namaku lima puluh kali. Nanti tak rindu lagi.
Kupejamkan mata. Kuucapkan nama A Ling lima puluh kali. Kubuka mata, kulihat sekeliling.
Lampu padam. Malam diam. Aku masih rindu.
So close, I can smell the sound.
Mozaik 40 Tupai HARI-HARI menjelang keberangkatan ke Jakarta, aku lebih banyak melewatkan waktu dengan Ayah dan Ibu. Jika sore menjelang, dari jendela rumah sering kupandangi bangunan pasar yang indah dan simetris, gabungan dua gay arsitektur. Lisplang berenda-renda itu jelas gaya Melayu, tapi ventilasi dengan cara melubangi dinding papan hanya dilakukan orang Khek. Mengecat rumah dengan ter hitam juga bukan kebiasaan orang Melayu. Bangunan-bangunan antik itu tak pernah berubah sejak 1900-an.
Namun, segera kupahami, pasar itu indah bukan hanya karena arsitekturnya, atau karena ia berada di pinggir Sungai Linggang yang melegenda, sungai yang pandai pasang surut karena tersambung dengan laut. Bukan pula karena barusan perahu bertiang layar ramping dan ditenggeri burung-burung camar, melainkan karena sebuah irama.
Asap dupa dari topekong kecil yang mengalir melalui ventilasi papan tadi mengalun seirama dengan gerak lauk orang pasar yang kelelahan. Seirama dengan langkah para pedagang kue yang melenggang menjunjung baskom. Seirama dengan kepak burung dara yang pulang ke rumah kotak mereka. Seirama pula dengan pukulan halus ombak sungai ke dermaga. Mengapa terlewatkan olehku detail keindahan itu selama ini"
Lamunan itu berakhir dengan pandanganku ke dermaga. Melihat-lihat kalau ada kapal sandar dari Tanjong Pinang. Dalam lamunan aku berdoa. Kalaupun aku harus pergi, biarlah kulihat A Ling meski sekali saja. Ibu membuyarkan lamunanku. Katanya di pekarangan ada seseorang ingin berjumpa denganku.
Aku melangkah menuju pintu, membukanya, dan aku terperanjat tak kepalang melihat seorang perempuan berdiri di tengah pekarangan: A Ling!
Sungguh aku tak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Apakah aku tengah bermimpi" Kuentakkan kakiku berkali-kali ke lantai papan. Terdengar bunyi gemeretak. Tidak, aku masih menginjak bumi dan tak sedang bermimpi!
A Ling berdiri terpaku di tengah pekarangan sambil memegangi sepedanya. Aku tak mampu berkata-kata. Kudekati ia, dan aku merasa seperti menyongsong lautan yang biru. Aku melangkah, tapi seakan tak sampai-sampai padanya. Tahu-tahu, aku telah berdiri di depannya. Jika ia menjentikku sedikit saja dengan ujung jarinya, aku pasti roboh. Ia tampak jengkel. Dengan ketus mengatakan kesal padaku karena mau berlayar dengan M ualim Syahbana ke J akarta tanpa memberi tahunya.
Na, aku siap menghamburkan seribu alasan mengapa aku sampai mau minggat begitu: bagaimana dengan tak mau berjumpa denganku lagi tempo hari" Bagaimana dengan ia sendiri ke
Tanjung Pinang tanpa memberi tahuku" Bagaimana dengan pemilik toko gula dan tembakau yang ganteng dan tinggi itu"
Belum sempat Kuambil ancang-ancang, dua bilah alis pedang tertarik ke atas. Perempuan Ho Pho itu merepet dalam bahasa Khek campur Melayu. Katanya i
a tak bisa menemuiku lantaran sibuk membantu sahabat pamannya membuka toko dan menyiapkan perkawinannya. Di sela-sela omelan dengan kecepatan gigi empat itu kudengar beberapa kali ia menyebut moi nyin, khet fun. Aku paham kebiasaan lama orang Ho Pho menggunakan jasa moi nyin, semacam comblang untuk memasang-masangkan calon mempelai.
"Ngai ini moi nyin!"
Matanya merah karena menahan tangis.
Drama berlangsung dengan sangat cepat. Tak perlu ia bilang, orang yang dibicarakannya itu pasti Zinar. Katanya lagi, ia tak bisa ribut-ribut berangkat ke Tanjong Pinang karena urusan moi nyin itu berdasarkan tradisi mereka haruslah rahasia sebab menyangkut kehormatan dua keluarga.
Kutatap matanya, di lapisan yang terdalam, tampak olehku padang rumput yang terhampar. Aku menyesal. Bagaimana hal konyol bisa terjadi" Ini tak lain ulah detektif swasta tengik itu: M. Nur! Ah, hampir saja kubuat kesalahan terbesar dalam hidupku gara-gara informasi yang menyesatkan dari intel Melayu kontet itu.
A Ling menyerahkan undangan untukku dan ayahku agar hadir acara perkawinan Zinar esok sore. Ia melengos, lalu berderak-derak pergi naik sepeda. Jengkelnya tak reda.
Aku tertegun di tengah pekarangan macam orang kena tenung. Sekonyong-konyong aku disergap perasaan senang yang tak terperikan. Sesosok makhluk seperti bangkit di dalam diriku, menghidupkan lagi sendi-sendi jemariku. Cinta jenis apakah ini" Kupandangi A Ling yang terseok-seok naik sepeda. Kulihat ia mengusap air mata dengan lengannya. Sejak kecil aku tak pernah mampu berpaling pada perempuan lain. Aku menggenggam jemariku sendiri yang gemetar. Betapa aku sayang pada orang itu.
Malam itu, aku tak bisa tidur. Kegembiraan sore tadi masih terasa-rasa. Jika aku memejamkan mata, rasanya aku seperti diangkat ke langit. Tak sabar aku ingin berjumpa dengan A Ling esok di perkawinan Zinar.
Dini hari aku tertidur dan aku bermimpi berjumpa lagi dengan James Bond 007 di pasar ikan. Sebuah pertemuan yang sangat dirahasiakan. Topsecret. Tak boleh diketahui, bahkan oleh M16-dinas rahasia Inggris-sekalipun, yang merupakan majikan spion itu.
Tak seperti biasanya, James Bond tampak gundah gulana dan penuh penyesalan. Ia mengeluarkan magasin dari pistolnya dan membuang peluru-pelurunya ke Sungai Linggang. Ia juga membuka arlojinya yang dapat dipakai untuk membunuh orang tanpa kentara itu. Dari saku -saku tersembunyi di bagian dalam jasnya, ia mengeluarkan pulpen yang mengandung bahan peledak tinggi, permen narkoba, dan korek kuping yang rupanya sebuah transmiter sekaligus alat perekam yang
canggih. Ternyata ia punya banyak sekali senjata rahasia. Ada yang berbentuk seperti klip kertas, seperti rokok, dan seperti kue kroket. Ia adalah lelaki yang penuh rahasia. Lalu, ia membuka dasinya.
"Lihatlah ini, Boi," katanya. Dasi itu dicelupkannya ke dalam botol minuman ringan, lalu dijatuhkannya ke air. Tak lama kemudian, kulihat sekawan ikan kecil kemuring yang tadi bersuka ria berputar-putar, bertimbulan dengan mata melotot dan perut kembang, tewas. James Bond 007 mendesah dan berbalik menatapku, wajahnya sembap.
"Aku sudah muak dengan benda-benda durjana ini, Bujang, muak!" dibuangnya ke Sungai Linggang, pistol dan semua senjata rahasianya tadi. Setelah mencampakkan semua itu, kulihat matanya berkaca-kaca. Tak sampai hati aku melihatnya. James Bond 007 menunduk. Sambil terbata-bata ia mengatakan padaku bahwa ia ingin bertobat karena telah terlalu banyak membunuh orang dan ia mau masuk Islam.
Aku terbangun. Sisa malam itu, tak dapat lagi aku terpejam. Kulewatkan waktu dengan membaca sebuah puisi yang pernah kutulis untuk A Ling k etika aku masih kecil dulu, namun tak berani ku berikan padanya. Sejurus kemudian, aku merasa seakan sedang duduk di sebuah bangku komidi putar bersama seorang perempuan kecil yang tersipu-sipu, dan aku jatuh cinta. Sungguh jatuh cinta padanya.
Aku baru saja melihat A Ling tadi sore, tapi rindu padanya tak tertahankan. Aku sering menjumpainya, beratus-ratus kali, namun pertemuan esok membuatku berdebar-debar seperti aku akan menemuinya untuk pertama kali. Rasa rindu itu lalu menjelma menjad
i tupai yang berputar-putar menggigit ekornya sendiri, tak berkesudahan.
Mozaik 41 Hujan Pertama PAGI itu, Jose Rizal bertengger di kawat jemuran. Kubuka kertas pesan yang dibawanya. Ke hadapan kawanku, Ikal.
Melalui Jose Rizal, kusampaikan permohonan maaf karena telah keliru memberi informasi soal A Ling dan Zinar tempo hari. Lapanglah dadamu untuk mengampuni sahabatmu yang malang dan penuh kesilapan ini. Sebagai tebusan kesalahanku, marilah kita ke bioskop A Nyam menonton pelem Drakula Mantu. Karcis" Usahlah kauresahkan, serahkan urusan itu padaku.
M. Nur, detektif, yang penuh penyesalan.
Langsung kujawab: M. Nur sahabatku.... Bereslah itu, jangankan engkau, CIA pun sering keliru sehingga banyak presiden kena bedil. Ikal, yang berbahagia.
Jose Rizal tampak sangat gembira menunaikan tugasnya. Kubelai sedikit, aduh, ia berputar-putar tak karuan, lalu ia terbang. Tak lama kemudian, ia kembali.
Jadi, apakah kau memaafkanku dan kita nonton pelem Drakula Mantu"
Kujawab: Tak masalah semua itu, Boi, cincai. Jose Rizal terbang lagi, lalu kembali lagi.
Maksudmu dengan tak masalah itu, yaitu kau memaafkanku dan kita nonton pelem Drakula Mantu"
Kujawab: Baiklah. Jose Rizal terbang lagi, lalu kembali lagi.
Baiklah macam mana maksudmu" Maaf atau pelem Drakula Mantu"
Kujawab: Sekali lagi Jose Rizal datang ke sini, masuklah ia ke penggorengan. Jose Rizal terbang lagi, tak kembali-kembali.
Sorenya, aku naik sepeda dengan perasaan senang ke rumah Detektif M. Nur. Ia juga telah diundang ke acara perkawinan Zinar dan kami akan bersepeda bersama ke sana. Ketika tiba di kantor detektifnya, kulihat map berwarna pink yang berjudul A Ling vs Ikal telah berada di dalam kotak dokumen selesai. Sungguh mengesankan.
Acara perkawinan Zinar sore berlangsung amat menarik karena bergaya tradisional Tionghoa. Zinar yang menyenangkan telah bersahabat dengan begitu banyak orang. Perkawinan itu seperti pertemuan beragam suku dalam masyarakat kami. Banyak sekali orang dari suku bersarung, orang Melayu, orang Tionghoa sendiri, dan orang Sawang hadir di sana. Ayahku pun datang dengan baju terbaiknya sepanjang masa: safari empat saku.
Keluarga mempelai lelaki hadir dari Tanjung Pinang. Di antara barisan lelaki dan perempuan Tionghoa itu tampak beberapa orang tua berwajah Pakistan. Kutaksir, dari sanalah sang mempelai pria itu mendapat nama Zinar, sepasang bahu yang teguh, dan sepasang mata yang teduh.
Di tengah keramaian kulihat A Ling berdiri sendiri di ujung beranda. Aku menghampirinya. Di dekatnya, hatiku tak keruan. Aku gugup, persis seperti pertama kali aku berjumpa dengannya belasan tahun lalu. Kuberikan padanya puisiku. Kukatakan, dulu waktu masih SD aku pernah menulis puisi untuknya, tapi terlalu malu untuk memberikan padanya. Ia membuka lipatan kertas puisi itu dan membacanya. Sesekali ia menarik napas dan terhenti. Ia terpana dan menunduk. Lalu, ia menatapku. Kemudian, ia membaca lagi puisi itu pelan-pelan. Ia membacanya sambil tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.
Ada komidi putar di padang bulan
Kutunggu Ayahku Akan kurayu agar mengajakku nanti petang
Nanti petang, Kawan, ada komidi putar di Padang Bulan
Ada kereta kuda Ada selendang berenda-renda
Padang Bulan Karya Andrea Hirata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada boneka dari India Komidi berputar pelan Lampu-lampunya dinyalakan Komidi melingkar tenang Hatiku terang
Terang benderang menandingi bulan
Ayah, pulanglah saja sendirian Tinggalkan aku
Tinggalkan aku di Padang Bulan
Biarkan aku kasmaran Perkawinan Zinar bak ritual yang penuh perlambang itu, usai. Pembawa cara mempersilahkan Bang Zaitun naik ke atas pentas yang rendah. Disampaikan oleh pembawa acara bahwa, diam-diam, sejak berminggu-minggu lalu, Zinar telah memesan pada Bang Zaitun untuk membawakan sebuah lagu dengan akordion. Lagu itu adalah lagi kesayangan Zinar sejak ia remaja di Tanjung Pinang dulu. Lagu itu akan dipersembahkannya untuk istrinya.
Bang Zaitun naik ke atas pentas. Seluruh hadirin berdiri rapat mengelilingi pentas kecil itu. Lalu, Bang Zaitun memainkan akordionnya dan mengalirlah irama yang sendu. Lagu itu lagu lama "Morning Has Broken". Zinar terpaku. Ia berdiri di situ, tampak
betul seperti seorang berjiwa seni yang halus perasaannya. Ia menggenggam tangan istrinya. Hadirin yang mengelilingi pentas terpesona mendengar alunan akordion Bang Zaitun. Indah sekali. Bang Zaitun membuat sore itu takkan mudah dilupakan.
Di sudut sana kulihat ayahku. Ia memperhatikanku dan A Ling, dan ia tersenyum. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada hari-hari mendatang. Masa depan milik Tuhan. Tapi, saat itu aku tahu bahwa pertikaian antara aku dan Ayah telah berakhir dengan damai.
Usai lagu "Morning Has Broken", hadirin berhamburan ke halaman, menari dan berdendang meningkahi dentum gendang dalam lagu Melayu nan rancak: "Selayang Pandang". Orang Melayu, Sawang, Tionghoa, dan suku bersarung yang hadir di sana larut menjadi satu. Sejenak lupa akan rumah yang tak laku dan masa depan yang tak tentu.
Sejurus kemudian, di antara ingar-bingar itu, kudengar suara gemeretak di atas atap seng. Kulihat awan hitam yang dari pagi tadi tak mau beranjak dari barat, berarak-arak menuju timur. Kini mereka merajai angkasa di atas kampungku. Titik hujan turun berinai-rinai. Hatiku girang tak kepalang. Aku melompat dan bergabung dengan orang-orang yang berdendang di pekarangan meski hujan mulai turun.
Seperti impian diam-diamku selalu, hujan pertama jatuh tepat pada 23 Oktober sore, pada hari kudapatkan lagi A Ling dan ayahku. Hujan membasahiku. Kurentangkan kedua tangan lebar-lebar. Aku menengadah dan kepada langit kukatakan: Ini aku! Putra ayahku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin karena aku belum menyerah! Takkan pernah menyerah. Takkan pernah!
TAMAT tamat Pedang Golok Yang Menggetarkan 2 Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama