Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Bagian 1
Bintang Dini Hari Sardjono, Maria A. Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Jam antik setinggi manusia itu bernyanyi lagi. Meskipun jam itu sudah lebih dari
seminggu berdiri di sudut ruang tengah rumahku, masih saja aku terpesona mendengar suaranya. Padahal jam itu bukan benda asing bagiku. Jam itu milik almarhum eyang buyutku yang ia warisi dari orangtuanya. Ketika eyang buyutku mening-gal dunia, jam itu menjadi milik nenekku. Pada generasi berikutnya, kakak ibukulah yang me-milikinya. Dan pada generasiku, jam itu menjadi milik Mbak Dini, kakak sepupuku. Tetapi ketika dia melihat betapa inginnya aku memiliki benda kenangan keluarga kami itu, ia mengalah.
"Kalau kau memang sangat menginginkannya, ambillah. Aku bisa menyuruh orang untuk mem-buat tiruannya yang lebih bagus!" Begitu kata Mbak Dini kepadaku beberapa minggu lalu ketika aku berkunjung ke rumahnya.
Aku mempercayai Mbak Dini bukan hanya karena ketulusan hatinya saja. Tetapi juga karena hal-hal lainnya. Suaminya orang kaya, dan dia
sendiri pun sukses bekerja di suatu perusahaan asing. Mau membeli jam antik yang asli atau membuat tiruannya dengan mempergunakan bahan-bahan berkualitas dan dengan model yang lebih indah sekalipun, tak jadi masalah buatnya. Ketika dengan girang hati aku menyuruh orang untuk mengangkut jam itu dari rumahnya, Mbak Dini mengingatkanku untuk tidak menyianyia-kannya.
"Jangan asal senang memilikinya saja lho, Siska. Rawatlah jam itu sebaikbaiknya," kata-nya. "Itu barang warisan yang memiliki ke-nangan indah keluarga kita. Suatu saat barang itu akan menjadi milik salah seorang dari anak ! perempuanmu atau anak perempuanku. Bukan karena bagus atau mahalnya tetapi karena nilai sejarahnya."
Aku mengiyakan. Maka beberapa hari yang lalu Mas Tok, suamiku, menyuruh seorang ahli pelitur untuk memeliturnya kembali dengan cara tradisional. Yaitu dengan bahan-bahan pelitur yang dimasak sendiri, dan mempergunakan penggosok dari kain kaos sampai badan jam antik itu menjadi berkilauan. Kini barang itu tampak begitu indah menghiasi ruang keluarga di rumahku. Dan jam cantik itu pulalah yang mengingatkanku sekarang bahwa hari sudah semakin larut malam dengan bunyi dentangnya sebanyak sebelas kali.
Aneh, Mas Totok belum juga pulang. Biasa-nya paling lambat jam setengah delapan Dia sudah berada di rumah kembali. Kalaupun mau pergi lagi, dia pasti menelepon ke rumah lebih dulu.
Seperti ada kontak batin di antara kami berdua, telepon tiba-tiba saja berdering. Telepon itu dari Mas Totok.
"Maaf, Siska, aku lupa memberitahu kepadamu bahwa malam ini aku harus mendampingi Pak Budiman, menjamu relasi dagangnya!" Begitu ia menjelaskan kepergiannya.
Pak Budiman adalah atasan Mas Totok. Setelah krisis ekonomi melanda negara kita, baru sekarang inilah ada tanda-tanda perbaikan di kantor Mas Totok. Bahkan ada keuntungan dari usaha sampingan yang dulu tidak begitu menjanjikan masa depan. Jadi aku memahami kesibukan Mas Totok akhir-akhir ini. Kemarin dulu pun dia baru sampai di rumah jam sembilan lewat. Tetapi sekarang sampai jam sebelas malam dia belum juga pulang; Memang baru sekali.mi terjadi, dan tanpa memberitahu sebelumnya pula.
"Sampai jam berapa, Mas"" Aku bertanya ingin tahu. Tidak enak menonton televisi sen-dirian saja. Bik Dedeh sudah masuk ke kamarnya sejak jam sembilan tadi. "Tunggu dulu, nanti akan kutanyakan...."
Aku mendengar suara bisikan yang tak jelas. Kemudian juga suara tawa tertahan
seorang perempuan. Baru kemudian kudengar lagi suara Mas Totok. "Kira-kira satu jam lagi aku sudah akan sampai di rumah."
Berarti jam dua belas malam nanti baru Mas Totok kembali ke rumah. Ini pun tidak biasanya terjadi, pikirku sambil meletakkan gagang telepon kembali. Perasaanku mulai ikut banyak bicara. Biasanya, aku tak pernah mempunyai firasat atau apalah namanya tentang segala hal yang dilakukan oleh Mas Totok di luar rumah. Tetapi sekarang secara tiba-tiba saja aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi pada diri lelaki itu lewat firasatku.
Mula-mula aku menyangka firasat tak enak itu timbul karena pengaruh suara tawa per
empuan tadi. Siapakah perempuan yang tertawa itu" Kata Mas Totok tadi, saat ini dia sedang bersama-sama dengan atasannya. Tetapi kenapa ada suara perempuan" Siapakah dia" Apakah perempuan itu sekretaris Pak Budiman" Aku bukan perempuan yang mudah cemburu. Apalagi kalau kecemburuan itu sudah melewati takaran. Menurutku, rasa cemburu yang melebihi takaran dekat sekali dengan kurangnya peng-hargaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini, rasioku lebih kuat daripada emosiku. Karenanya selama empat tahun usia pernikahanku dengan Mas Totok, belum pernah satu kali pun aku merasa cemburu. Bahkan meskipun dia mence-ritakan tentang Astari, bekas kekasihnya dulu, aku dak menaruh rasa cemburu. Tetapi aneh sekali,
malam ini aku mempunyai perasaan yang berbeda. Perasaan yang asing bagiku. Aku tidak suka mendengar tawa perempuan itu. Aku juga tidak suka membayangkan Mas Totok berada bersama perempuan lain pada jam sebelas malam begini. Harus kuakui, aku menikah dengan Mas Totok tidak dengan cinta. Jelasnya, aku tidak mencintai Mas Totok. Dan Mas Totok juga tidak mencintai aku. Kedua belah pihak keluarga kamilah yang mengatur perkawinan kami.
Memang itu bukan pengaturan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan para orangtua di zaman Siti Nurbaya. Tetapi toh campur tangan orangtua kami masingmasing cukup banyak mempengaruhi terwujudnya perkawinanku dengan Mas Totok. Waktu itu, aku baru saja putus-cinta dengan Victor. Sejak awal mula, kedua orangtuaku dan pihak keluarga lelaki itu sudah menunjukkan gejala-gejala keberatan hati mereka atas hubungan kami berdua. Masalahnya bukan hanya karena
kami berbeda agama saja tetapi juga karena beda suku dan beda latar belakang sosial keluarga. Aku lahir dalam keluarga Jawa yang masih begitu feodal dengan ikatan keluarga yang teramat kuat. Di mana-mana ada paguyubannya yang secara berkala mengadakan pertemuan, arisan keluarga besar, dan semacamnya. Persoalan salah seorang anggotanya dengan cepat akan menjadi persoalan keluarga bersama. Sedangkan Victor adalah seorang pemuda ke-turunan Cina yang masih kuat beragama Budha. Dia da tang dari keluarga pedagang yang bagi keluarga kami dianggap bukan golongan priyayi, tak peduli betapapun kayanya orangtua pemuda itu. Singkat kata, dalam suasana sembunyi-sembunyilah aku dan Victor berkasih-kasihan sampai akhirnya aku merasa lelah. Ketika mengetahui Victor akan dijodohkan dengan sanak keluarga-nya, aku memilih mundur, meskipun Victor menjadi marah karenanya. "Mana perjuanganmu, Siska"" tanyanya waktu itu dengan jengkel. "Kenapa kau tidak mem-bantuku tetapi malahan menambah beban pikiran-ku saja" Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun kecuali dengan dirimu!"
"Aku capek, Victor. Capek terus-menerus sem-bunyi-sembunyi. Capek mencari dalih.
Capek mencari kesempatan. Dan capek menahan rasa kesal kepada kedua belah pihak
orangtua kita yang picik itu!" Begitu ketika itu aku menanggapi kemarahannya.
"Jadi sebaiknya kita berdua menyadari kenyataan yang kita sama-sama hadapi ini
dan mencoba untuk bersikap realistis. Kita berdua ini sama-sama lahir dalam
budaya yang mementingkan perasaan keluarga besar dan kekerabatan di antara mereka.
Per-kawinan sepasang insan menjadi perkawinan keluarga besar kedua belah
pihak. Dan itu sesuatu yang tak mungkin terjadi bagi kita Lalu apa
jadinya kalau kita berdua nekat melanggar aturan main mereka" Sanggupkah kita
menghadapi omongan, sindiran, dan sikap yang tak bersahabat di sepanjang
kehidupan kita nantinya" Pikirkanlah, Victor!"
"Siska, ada banyak perkawinan yang pahit di muka tetapi toh akhirnya berubah menjadi manis sekali dengan berlalunya sang waktu. Apalagi kalau ada anak-anak yang lahir dan menjadi pengikat batin kedua belah pihak keluarga!" Victor tidak salah. Ada salah seorang se-pupuku yang mengalami nasib hampir serupa. Selama beberapa tahun-mereka dikucilkan oleh kedua belah pihak keluarga. Tetapi ketika akhirnya mereka mempunyai beberapa orang anak dan tahun-tahun
terus berjalan, keadaan pun mulai berubah. Terbuktilah, hubungan da-rah yang kental tak mungkin terabaikan begitu saja.
Tetapi masalahku den gan Victor memang lebih berat. Beda suku, beda agama, beda status sosial. Mereka keluarga kaya raya dengan sekian banyaknya pabrik, sesudah dua generasi sebelum-nya merintis usaha mereka dari bawah. Tapi kakek Victor, di usianya yang sembilan puluh tahun dan masih sehat itu, tak pernah mengubah gay a hidup lamanya ketika masih menjadi pedagang keliling. Ia masih tetap memakai celana komprang, masih mengisap tembakau dengan
11 bumbung bambu, dan masih tidak sempurna berbicara dalam bahasa Indonesia. Aku masih ingat, ketika pertama kalinya Victor mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkanku kepada sang kakek. Lelaki tua itu hanya mem-balas salamku, tersenyum sedikit, dan kemudian tidak mengacuhkanku. Sibuk dengan urusannya sendiri. Seolah, aku adalah makhluk dari luar angkasa yang salah masuk ke rumah orang.
Tetapi rupanya sikap orangtua itu menjadi panutan bagi yang lain. Terhadapku, tak seorang pun keluarga Victor yang memperlihatkan sikap manis dengan tulus hati. Terutama sikap ibu Victor yang nyata-nyata memperlihatkan wajah masamnya. Sikap keluargaku juga demikian. Bagi ke-banyakan orang Jawa berdarah ningrat, kaum pedagang adalah kaum yang dianggap lebih rendah "kastanya". Darah mereka tidak biru, kata mereka. Apalagi kalau mereka datang dari tanah seberang yang jauh, yang tak jelas asal-usulnya. Dan yang tidak ketahuan pula apa bibit, bobot, dan bebetnya.
Aku sungguh membenci cara berpikir yang bukan saja arogan tetapi juga sudah sangat ke-tinggalan zaman semacam itu. Aku juga membenci sikap segolongan orang yang karena men-dapat angin dari pihak penguasa dulu, begitu mementingkan segala sesuatu yang berbau ke-atan. Sampai-sampai kalau mengawinkan anak, seluruh adat-istiadat dan tata cara perkawinan keraton diambil alih begitu saja tanpa memahami inti maknanya yang paling dalam; Yang lebih mereka pentingkan hanyalah usaha untuk menaikkan gengsi, mengangkat pamor, menjunjung derajat dan martabat.
Huh, tidak sadarkah mereka bahwa derajat dan martabat luhur manusia bukan terletak pada apanya atau bagaimananya melainkan pada inti kemanusiaannya, pada hakekatnya sebagai seorang makhluk luhur bernama manusia. Bahwa kehormatan manusia terletak pada kesadaran moralnya melalui hats, sikap, tingkah laku, perbuatan, dan tutur sapanya.
Demikianlah akhirnya, terus-menerus menahan marah, terus-terusan bersedih, dan sering kali pula harus menelan rasa kecewa, menyebabkan aku menyerah sebelum berjuang. Maka pelan-pelan sebelum mengalami kepahitan yang lebih berat, kujauhi Victor sedikit demi sedikit meski-pun dengan hati yang tercabik-cabik. Apalagi aku tahu, pemuda itu menganggapku pengecut. Bahkan meragukan cintaku kepadanya. Dan karenanya, dia marah besar kepadaku.
"Kau pikir hanya kau sendiri saja yang merasa lelah mengikuti cara berpikir mereka"" Begitu Victor menyemburkan kemarahannya kepadaku. "Kita berdua kan bisa bersatu-padu mengatasi kelelahan batin ini bersama-sama. Kita juga bisa saling mendukung dan saling menguatkah hati
untuk menghadapi sikap mereka, Siska. Batu yang keras pun bisa lekuk kalau ditetesi air terus-menerus. Apalagi perasaan manusia. Kalau kita memperlihatkan keteguhan tekad kita, aku yakin lama-lama mereka akan menaruh respek kepada kita. Siapa tahu pula pintu yang tertutup itu akan mereka buka sedikit demi sedikit!"
Bicara memang mudah. Namun pada ke-nyataannya, segala usaha kami berdua, sekeras apa pun, tetap saja terbentur-bentur secara sia-sia. Mereka, kedua belah pihak keluarga kami, malah mulai membawa-bawa pemuka agama masing-masing. Hasilnya, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa ada jurang di antara kami yang tak mungkin terseberangi. Kata mereka, memaksakan kehendak hanya akan menyebabkan perkawinan kami dinilai tidak sah. Itu artinya, hubungan percintaan kami akan dianggap sebagai perzinahan.
"Menghadapi persoalan-persoalan semacam itu, acap kali aku jadi bertanya-tanya sendiri tentang apa makna orang beragama!" gerutu Victor ketika kami sedang berduaan di salah satu tempat per-sembunyian kami. "Maksudmu"" 'Tentang keberadaan Tuhan. Sesungguhnya ada berapa Tuhan-kah"" Victor menggerutu
lag i. "Hanya ada satu, kan" Kenapa dipertentangkan dengan aturan main untuk menyudutkan pihak lain, bahkan menganggap aturan mainnya sebagai yang paling benar sendiri. Padahal kebenaran sejati hanya ada pada Tuhan. Padahal pula aku yakin sekali, pertentangan-pertentangan semacam pasti tidak dikehendaki oleh-Nya. Tuhan men-ciptakan manusia karena Dia mencintai kita se-mua tanpa kecuali. Dan karenanya aku sangat yakin, Dia menginginkan kita sesama manusia untuk juga saling mencintai. Bukan untuk saling bertentangan. Apalagi saling membunuh."
"Manusia memang suka menginterpretasikan segala sesuatu dengan kekuatan otaknya sendiri. Sok tahu. Sok pintar, menghakimi sesama manusia dengan rumusan-rumusan hasil interpretasi otaknya sendiri. Lupa bahwa memasukkan rahasia atau misteri Ilahi ke dalam otaknya, sama seperti seorang anak kecil yang berusaha memasukkan air laut ke dalam tempurungnya."
"Kau benar, Sis. Kalau cara berpikir manusia masih seperti itu, maka kita akan
mudah sekali terpancing provokator dengan segala kepentingan mereka, menunggangi
agama dan umatnya. Lalu dengan mengatasnamakan agama, melakukan per-buatan yang
aku yakin tidak disukai Allah. Sebab aku yakin sekali tidak satu agama pun
mempunyai ajaran untuk memusuhi dan merugikan sesamanya."
"Ya. Tetapi kita sudah telanjur berada dalam dunia yang begini...." Aku mengeluh
sedih. 'Tetapi aku yakin, masih ada jalan kehiar bagi kita.... "
"Sudahlah, Victor, jangan seperti pungguk me-rindukan bulan. Bersikap realistislah." Kuhentikan pembicaraan dengan meletakkan kepalaku ke atas bahunya.
Victor langsung memeluk dan menciumiku. Kami bercumbu, berkasih-kasihan dan
saling membisikkan nama dengan penuh rasa kasih. Tetapi Victor yang baik itu tak
mau melanggar satu hal yang tak boleh ia ambil. Yaitu ke-perawananku. Padahal,
aku sudah bertekad untuk memberikan keperawananku untuknya, lelaki yang kucintai
itu. Lelaki yang kuinginkan menjadi suamiku itu.
"Aku ingin cinta kita tetap suci tanpa noda, Siska...." Tetapi seperti itulah
yang ia katakan sambil menciumi wajahku dan mengelusi rambut-[ ku. "Sebab apa
pun yang namanya noda meski itu dilakukan dengan seluruh keikhlasan yang ada, tetap merupakan noda. Suatu saat dalam perjalanan hidup kita, akan timbul juga suatu penyesalan kenapa noda itu sampai terjadi. Per-cayalah padaku, Siska." Victor benar. Usianya masih muda. Hanya dua tahun lebih tua dari umurku. Tetapi ia sudah mempunyai kebijaksanaan yang belum tentu dimiliki oleh pemuda-pemuda seumurnya. Dan begitulah, ketika akhirnya kami berpisah karena keadaan, ia masih sempat memberiku sebuah cincin berlian yang indah sebagai simbol tanda cintanya. "Simpanlah, Siska," katanya di sela-sela ke-cupan bibirnya dan di antara wajahku yang basah air mata. "Itulah cintaku. Kalau di suatu ketika nanti kita menemukan cinta yang lain, ingatlah bahwa di suatu saat sebelumnya pernah ada suatu jalinan cinta suci yang tak mungkin bersatu..."
Beberapa bulan sesudah itu, aku berkenalan dengan Mas Totok. Lepas dari pengaturan orangtua yang sengaja mengarahkan kami pada per-temuan itu, harus kuakui bahwa lelaki itu memang memiliki cukup banyak nilai yang pantas untuk menempati kekosongan yang ditinggalkan Victor. Hatiku memang sudah dibawa Victor. Hatiku memang sudah tidak lagi punya cinta. Tetapi justru karena itulah masuknya Mas Totok ke dalam kehidupanku kuterima begitu saja tanpa banyak pertimbangan.
Harus kuakui, seandainya lelaki itu bukan Mas Totok, barangkali aku tidak akan secepat itu membiarkan diriku memasuki pernikahan. Bagiku yang sudah tidak mempunyai cinta, tak lagi memikirkan perasaan satu itu untuk menikah entah dengan siapa pun kelak di suatu ketika nanti. Tetapi masalahnya, siapakah lelaki yang mampu memahami diriku selain Mas Totok" Siapa pula yang bisa menerima keterusteranganku bahwa aku tak mencintai suamiku kecuali Mas Totok" Jadi itulah mengapa ketika kedua belah pihak keluarga kami berusaha menjodohkan kami, segala sesuatunya berjalan lancar-lancar saja.
Sebenarnya Mas Totok sendiri pun menikah denganku bukan tanpa persoalan. Sebelum berkenalan denganku, dia baru
saja putus hubungan dengan kekasihnya. Orangtua Mas Totok tidak menyukai Astari dengan berbagai macam alasan, baik yang masuk akal maupun yang tidak. Waktu itu Astari marah sekali dilecehkan seperti its. Dalam kemarahannya, ia memilih mencari jalan lain. Yaitu menikah dengan
lelaki yang segala-galanya melebihi Mas Totok. Ketika Mas Totok mendengar hal itu, ia langsung menyerahkan nasib perkawinannya kepada kedua orangtuanya. Maka begitulah akhirnya, Mas Totok pun menjadi suamiku setelah berterus-terang kepadaku mengenai apa yang dialaminya itu dan aku mau menerima dia apa adanya. "Siska, aku sungguh bersyukur sekali kau mau berteras-terang perihal perasaanmu padaku," begitu dia berkata padaku sebelum keputusan untuk menikah itu kami katakan kepada orangtua masing-masing. "Kejujuranmu sangat menyentuh perasaanku. Katamu pula kalau aku tak bisa menerima seorang istri tanpa cinta, lebih baik rencana perkawinan itu dibatalkan saja. Tetapi, Siska, aku tidak akan mempersoalkannya kok. Aku sangat memahamimu. Aku bisa menerimamu sebagai istri meskipun kau tidak mencintaiku. Ada banyak kelebihan lain darimu yang kuhargai dan kusukai."
"Kau sungguh baik hati, Mas," pujiku ketika itu. Tetapi dia menolak pujianku. "Pemahamanku itu bukan karena kebaikanku. Tetapi karena aku juga mengalami hal sama. Cintaku sudah dibawa gadis lain." Begitulah dia bercerita tentang Astari dan perkawinannya dengan lelaki lain itu. "Jadi, Siska, berdasarkan persamaan nasib kita inilah maka kau tak perlu merasa bersalah karenanya. Perkawinan tanpa cinta tetapi diwarnai dengan saling pengertian dan saling menerima, kurasa itu sudah cukup. Persahabatan dan keakraban yang ada di antara kita akan membuat kita berdua sama-sama ber-usaha membangun rumah tangga yang harmonis." "Ya, Mas. Apa yang kaukatakan itu tidak salah. Aku sering melihat perkawinan yang di-landasi cinta luar biasa pada awalnya, berantakan dalam waktu singkat hanya karena tidak ada saling pengertian, tidak ada kejujuran, dan tidak mau menerima kekurangan masing-masing."
Kini lima tahun sudah lamanya aku menjadi istri Mas Totok dan mengarungi kehidupan yang tenang, damai, tetapi memang nyaris gersang itu. Namun malam itu untuk pertama kalinya muncul sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada padaku. Aku tak bisa tidur karena Mas Totok belum juga pulang. Padahal biasanya aku tidak terlalu memedulikan kapan dia pergi dan kapan dia pulang.
Beberapa menit sesudah jam antikku men-dentangkan bunymya sebanyak dua belas kali, barulah Mas Totok pulang. Dan begitu masuk ke kamar, dia sengaja duduk di
depanku. Waktu itu aku sedang membersihkan wajah, bersiap-siap untuk tidur. Tetapi melihat keseriusannya, ketenangan hatiku buyar. "Siska, aku ingin bersikap jujur kepadamu," katanya kepadaku. "Malam-malam begini apakah aku boleh mengatakan sesuatu kepadamu""
"Kenapa tidak"" Aku menjawab dengan perasaan yang mulai tak enak. "Katakanlah saja."
"Siska, satu minggu yang lalu aku bertemu kembali dengan Astari di sebuah rumah makan ketika aku sedang makan siang.... "
Jadi benarlah firasatku itu. Ketika aku mendengar suara tawa tertahan seorang perempuan melatarbelakangi suara Mas Totok melalui telepon tadi, aku sudah merasa ada yang aneh. Dan ternyata inilah jawabannya.
Setelah menahan napas untuk menenangkan perasaanku yang semakin terasa tak enak, aku mulai menanggapi sikap jujurnya itu.
"Bagaimana keadaannya" Sehat"" tanyaku kemudian sambil mencoba memahami apa
yang terjadi. Memahami pihak lain adalah salah satu keharusan yang kujunjung.
"Bagaimana pula ke-adaan keluarganya" Baik-baik saja, kan""
Sudah menjadi aturan tak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama tanpa kata
namun diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak adalah pentingnya memegang kejujuran dan pemahaman atau pengertian di antara kami berdua, Baik diriku maupun Mas Totok sadar bahwa kami menikah tanpa cinta. Kalau di dalam perkawinan tanpa cinta itu kami tidak berhasil mempertahankan kejujuran dan pengertian di antara kami berdua, lalu apa lagi yang masih tertinggal, bukan" "Dia sehat. Dan juga dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi, dua b
ulan yang lalu perkawinannya berantakan. Mereka bercerai." Mas Totok menjawab pertanyaanku. Mendengar itu napasku nyaris tersangkut lagi. Tetapi seperti tadi, aku berusaha untuk tetap tenang dan mampu menguasai diri. "Kasihan," kataku. "Mereka mempunyai anak"" "Ya. Dua orang."
"Kasihan...." Aku bergumam pelan.
"Ya. Dalam keadaan masih harus menata diri, Astari mengalami banyak persoalan
yang harus ia hadapi sendirian. Antara lain kesulitan menghadapi pertanyaan-pertanyaan kedua anaknya yang sedang haus kasih sayang seorang ayah. Itulah, Siska, mengapa aku mencoba menghibur mereka."
"Menghibur dengan cara apa"" Aduh, kenapa hal itu kutanyakan" Ingin sekali aku menampar mulutku sendiri karena ketololan itu. "Kemarin dulu, aku mengajak Astari dan kedua
anaknya jalan-jalan dan makan malam bersama. Hari ini sesudah menemani Pak Budiman, aku mengajaknya nonton, lalu makan-makan di kafe tenda seorang artis." "Hra begitu..." "Kau tidak keberatan, kan"" "Tentu saja tidak. Perkawinan bukanlah tali yang membelenggu suami atau istri untuk melakukan apa yang diinginkannya. Sejauh itu tidak melewati keharusan dan sejauh itu masih ada dalam batas norma-norma moral, tak ada yang perlu dipermasalahkan." Aku mencoba untuk tersenyum.
Kulihat Mas Totok terdiam. Tetapi entah apa yang ada di baiik sikap diamnya itu. Sudah lebih dari satu bulan ini setiap malam Minggu Mas Totok baru pulang ke rumah setelah lebih dari jam dua belas malam. Begitupun pada hari Minggunya hampir-hampir dia tidak berada di rumah. Selalu saja ada acara demi acara yang dijalinnya bersama Astari dan kedua anaknya. Tetapi seperti apa, bagaimana dan di mana saja rangkaian acara itu dijalankan, aku tak ingin menanyakannya. Mas Totok juga tidak bercerita apa pun mengenai kegiatan-kegiatan barunya itu. Entah karena peringatanku padanya untuk tidak berbuat sesuatu yang melewati keharusan atau entah karena masih merasa sungkan kepadaku, pada hari-hari biasa dia justru jarang pulang sampai larut malam. Paling lambat jam setengah delapan dia sudah tiba kembali di rumah. Hanya sekali-sekali saja dia pulang malam. Pendek kata sebagai seorang suami, dia masih tetap terlihat sebagaimana mestinya.
Namun meskipun demikian, aku merasa telah ada yang berubah pada dirinya. Ia mulai bersikap
mengambil jarak denganku. Lebih sopan, manis, lemah-lembut, dan baik. Tetapi aku merasa sudah tidak ada lagi keakraban dan kehangatan di antara kami yang semula sudah mulai terjalin manis. Tak bisa diungkiri, meskipun tanpa cinta, lima tahun
hidup bersama sebagai suami-istri dan tinggal di bawah atap yang sama bahkan juga berbagi kamar dan berbagi tempat tidur bersama-sama pula, telah merentangkan suatu hubungan persahabatan yang akrab di antara kami berdua. Dan sekarang, benang yang teren-tang itu mulai memperlihatkan gejala-gejala meretas. Maka kalau itu diumpamakan sebagai pokok bunga yang mulai bersemi, kuncupnya telah layu sebelum sempat berkembang.
Menghadapi perubahan sikapnya dan menghadapi segala kegiatannya di luar rumah, aku tidak memperlihatkan reaksi apa pun yang ber-sifat keberatan. Sebab kami berdua pernah ber-ucap untuk saling memberi kebebasan menemu-kan diri masingmasing. Kami juga telah merintis pengertian untuk menerima keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak dan menghormatinya. Dan menjunjung privacy masing-masing pula. Namun meskipun demikian, demi menjaga dan menenggang perasaan pihak lain, selama ini banyak juga hal yang kami bicarakan bersama-sama sebelum masing-masing mengambil suatu keputusan yang kami anggap penting. ketika aku bingung memilih bekerja di
mana tiga tahun yang lalu. Waktu itu ada dua surat lamaran kerjaku yang mendapat balasan. Yang satu menjadi guru bahasa Inggris di suatu tempat kursus bonafide yang mempunyai cabang di mana-mana, termasuk di luar kota. Gajinya, lumayan besar. Yang kedua, bekeja di sebuah kantor penerbitan sebagai editor. Keduaduanya, aku sukai. Tetapi pendapat Mas Totok-lah yang kuturuti. "Ambil yang paling menguntungkan dari ber-bagai segi. Jumlah gajinya, letak tempat kerjanya, jam kerjanya, prospeknya ke masa depan, fasi-lit
asnya, jaminan sosialnya, dan lain sebagainya." Begitu waktu itu Mas Totok memberiku saran. Maka kupilih menjadi pengajar di tempat kursus itu. Gajinya memang sedikit lebih kecil dibanding satunya. Tetapi jam kerjanya lebih ringan, letak tempatnya lebih dekat, juga lebih mudah ditempuh. Demikian pun ada jaminan sosialnya. Pengobatan dan uang transpor dijamin. Dan masih ada prospek ke masa depan, karena ada jenjang jabatan.
Itu baru soal pekerjaan. Belum yang lain-lainnya. Seperti yang belum lama ini terjadi, misalnya. Meskipun aku mempunyai uang dari hasil keringatku sendiri, ketika aku bermaksud mencicil mobil untuk kupakai sendiri, aku juga
minta saran dari Mas Totok. Dan berkat dia pulalah aku mendapatkan mobil yang sesuai dengan kemampuanku. Baik kemampuan di bidang
keuangan maupun dalam cara mengemudikannya. Mobil yang kubeli itu mobil yang mungil dan tidak boros bdnsin. Singkat kata masalah apa pun yang kuanggap baik untuk dibicarakan bersama, meskipun itu persoalan pribadi, aku tak pernah sungkan mengajak Mas Totok bicara, Demikian juga sebaliknya. Tetapi selama hampir dua bulan ini aku tak mau lagi terlalu banyak meminta perhatiannya. Sebaliknya, Mas Totok juga tidak lagi terlalu banyak meminta bantuanku seperti biasanya. Se-ring kali kulirik dia ketika mencoba-coba memantas pakaiannya dengan dasi yang akan di-kenakannya. Biasanya entah dengan cara sambil lalu, ia sering minta pendapatku.
"Baju ini cocok tidak kalau dipadu dengan dasi itu...." Begitu biasanya ia berkata. Atau, "Pakaian ini pantas atau tidak kalau kupakai untuk mendampingi atasan ke hotel anu untuk makan malam""
Memang harus kuakui, retaknya keakraban semacam itu terasa tidak menyenangkan bagiku. Sebab bagaimanapun kuatnya alasan yang lainnya itu, sampai saat ini kami berdua masih tetap hidup di bawah atap yang sania dan di atas tempat tidur yang sama pula,
Memang benar, selama lima tahun hidup bersama belum ada seorang anak pun yang me-warnai kehidupan perkawinan kami. Namun jus-tru karena itulah sengaja atau tidak telah terbuhul
keakraban yang terjalin setahap demi setahap. Sebab tidaklah mungkin kami tidak menjadi akrab dalam kondisi sering berduaan seperti itu. Apalagi kami toh tidak menikah dengan cara apa yang disebat sebagai kawin paksa. Sebab meskipun kedua belah pihak keluarga mengarah-kan pada tajuan itu tetapi kalau kami tidak mau, kami masih memiliki kemerdekaan untuk menolaknya mentah-mentah apa pun risiksnya. Jadi meski bagaimanapun juga yang terjadi sekarang, kehidupan ini harus tetap berjalan sebagai-mana mestinya. Entah apa pun yang mungkin bisa terjadi pada perkawinanku dengan Mas Totok nantinya. Hari ini hari Minggu pagi. Setelah selesai bersenam sendirian di belakang aku menyelinap ke kamar mandi di kamarku. Saat itu Mas Totok sedang tenis, tak jauh
dari rumah. Kompleks perumahan kami memang mempunyai dua lapangan tenis yang sebelah-sebelahan. Di tempat itu Mas Totok ikut main dalam dua kelompok. Yang pertama, hari Minggu pagi. Dan yang kedua, ikut kelompok yang main pada hari Rabu malam. Kesibukannya bersama Astari belakangan ini tidak mengurangi jadwal olahraganya. Ia menyadari pentingnya berolahraga terutama karena usianya sudah tiga puluh tiga tahun lebih sekarang ini.
Seperempat jam kemudian dengan hanya me-ngenakan kimono pendek tanpa sepotong pun
pakaian di dalamnya, aku keluar dari kamar mandi. Rambutku yang baru saja kukeramas, kulilit dengan handuk dan kutenggerkan di atas kepalaku. Melihat Mas Totok sudah ada di dalam kamar padahal aku menyangka ia masih beberapa lama lagi berada di lapangan tenis, perasaanku jadi tak enak. Pakaianku berantakan, nyaris tak mampu menyembunyikan ketelanjanganku.
"Kok sudah pulang"" tanyaku sambil sibuk merapatkan bagian depan kimonoku yang tidak tertutup itu dengan tergesa-gesa. Karena mengira hanya sendirian saja di dalam kamar, tadi begitu selesai mandi aku meraih kimono pendekku dan langsung kupakai begitu saja secara sembarangan. Tali pinggangku pun kuikat asal-asalan saja.
Mas Totok tidak segera menjawab pertanyaan-ku. Matanya memperhatikan tanganku yang sibuk menutupi bagian
tubuhku yang semula terbuka itu. Dia pasti merasa perbuatanku itu agak aneh. Selama lima tahun pernikahan kami, telanjang di depannya ketika sedang ganti pakaian bukan baru sekali itu terjadi. Bukankah kami ini suami-istri" "Tumben, cepat pulang," aku berkata lagi. Masih dengan salah tingkahku.
"Aku sudah berjanji kepada kedua anak Astari untuk membawa mereka jalan-jalan ke Taman Ria di Senayan...." Begitu ia menjawab per-tanyaanku. Tetapi matanya masih memperhatikan sikapku yang salah tingkah itu. Untuk menanggapi perkataannva. kuanggukkan
kepalaku sambil mencengkeram erat-erat kedua tepi bagian depan kimonoku. Tetapi anggukan kepalaku itu menyebabkan handuk yang ber-tengger di atas kepalaku tiba-tiba meluncur jatuh. Padahal saat itu aku sedang dalam keadaan tidak siap. Oleh
karenanya secara refleks tanganku lepas dari tepi kimonoku. Apa yang langsung menyerbu ke dalam otakku waktu itu hanyalah bagaimana caranya menyelamatkan handuk di atas kepalaku agar jangan sampai terjatuh ke lantai. Tetapi sebagai akibatnya, bagian depan tubuhku terutama kedua belah payudaraku, men-cuat keluar. Aku jadi tersipu-sipu karenanya. Dan kedua belah tanganku lalu sibuk tak menentu. Yang satu repot merapatkan bagian depan kimonoku dan yang lain membetulkan letak handuk dan rambut basahku yang tergerai ke mana-mana. "Kenapa kok jadi bingung begitu..."" Mas Totok melangkah mendekatiku. Ia bermaksud membantuku mengatasi kecanggunganku. "Aku...aku tidak bingung." Aku mengelak.
"Tetapi...."" Mata Mas Totok memandangku dengan tatapan tajam, penuh selidik.
"Tetapi merasa tak enak saja." "Kok tak enak. Memangnya kenapa""
Aku menarik napas panjang sambil mencengkeram kembali bagian depan kimonoku. Masih dengan salah tingkahku itu. "Pokoknya tak enaklah' sahutku kemudian. Bagaimana aku "bisa menjelaskan perasaanku
dan menjawab pertanyaan Mas Totok itu secara jelas" Masalah perasaan, sering kali tidak bisa dirumuskan ke dalam kata-kata* yang bisa dimengerti oleh pihak pendengarnya. Jadi hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa dikatakan. Mas Totok masih menatap mataku, kemudian pandang matanya turun dan beralih ke arah dadaku. Dari balik kimono yang kucengkeram itu dadaku semakin tampak menggunung. Sebagian kulitnya yang kuning bersih masih mengintip dari sela*sela kimono. Aku yakin, dia pasti melihatnya.
"Kenapa tidak enak, Siska" Jawablah dengan jujur!" Matanya kembali menatap wajahku. Bahkan lurus tepat ke bola mataku. Aku tahu, dia menantangku agar berani berkata terus-terang dan bersiap jujur padanya.
"Baiklah," akhirnya kuanggukkan kepalaku. Tantangannya menyentuh telak batinku. "Sejak Astari memasuki kehidupanmu kembali, aku merasa diriku sudah mulai berada di tepian. Bahkan menjadi outsider. Oleh karena itu aku mempunyai pendapat untuk secara bertahap mulai mengambil jarak dengan dirimu." "Kenapa mesti begitu""
"Bukankah kau sedang mulai merintis kehidupanmu sendiri yang tak ada kaitannya dengan diriku lagi"" Aku mencoba tersenyum untuk menetralisir suasana akibat perasaan tak enak yang semakin menyebar dalam diriku.
Bagaimana tidak demikian" Bola mata Mas Totok mulai tampak sayu dan kelam ketika me-nelusuri wajah dan lekuk tubuhku dengan pandang matanya itu. Aku cukup mengenal dirinya sehingga juga segera dapat menangkap gejolak apa yang saat itu sedang terjadi padanya. Lima tahun hidup bersamanya secara intim, menangkap sinyal yang kukenal itu tidaklah terlalu sulit bagiku.
"Itukah sebabnya selama hampir dua bulan ini kau menghindari... keintiman di antara kita berdua""
Aku tidak menjawab. Sudah hampir dua bulan ini aku dan Mas Totok memang tidak pernah melakukan hubungan intim suami-istri. Kuakui, hal itu akulah yang memulainya lebih dulu. Aku tak pernah mau naik ke atas tempat tidur lebih dulu sebelum Mas Totok lelap tertidur. Kalaupun terpaksa harus masuk kamar lebih dulu, aku selalu pura-pura sudah tidur nyenyak ketika Mas Totok menyusul tidur. Dengan posisi mem-belakanginya pula. Pokoknya, aku tak pernah meluangkan kesempatan sekecil apa pun untuk terjadinya hubungan intim di antara kami. "Jawablah, Siska!" Kudengar Mas Totok berkata
lagi. Sekali lagi kudengar nada tantangan darinya agar aku mau bersikap jujur padanya. "Yah, mungkin begitu... " Aku terpaksa menjawab pertanyaan yang dilontarkan dengan nada mendesak itu. "Beri aku alasannya."
Lama aku berkutat dengan diriku sendiri. Perlukah apa yang ada di dalam pikiranku itu kukatakan secara terus-terang kepada Mas Totok. Bagaimana kalau dia marah karena aku telah mencampuri urusan pribadinya" "Katakanlah padaku, Siska. Jangan ragu!" Mas Totok berkata lagi. Rupanya. dia telah melihat kebimbanganku.
"Kupikir... kau bisa mendapatkan itu dari Astari...." Akhirnya aku menjawab juga pertanyaan yang didesakkan kepadaku tadi. Mas Totok tertawa. "Sejujurnya kuakui, pikiran dan keinginan seperti itu pernah melintasi diriku," sahutnya kemudian, masih dengan tertawa. "Sebab ada sikap dan pandang mata
Astari yang bersifat mengundang ke arah itu dan aku jadi tergoda karenanya Tetapi aku teringat pada pesanmu waktu itu sehingga lintasan pikiran itu segera terbang jauh" "Pesan yang mana"" tanyaku heran. "Lho, kau kan mengatakan bahwa aku boleh-boleh saja menjalin hubungan baik dengan Astari kembali, asalkan tidak melewati kelayakan. Asalkan pula tetap memiliki kesadaran moral. Apakah kau tidak ingat pernah mengatakan begitu"" "Ya, aku ingat." "Mungkin aku lebih mengingatnya dibanding dengan dirimu, Siska. Nyatanya, kata-kata itu begitu ampuh mengontrol diriku."
"Sebenarnya ketika kata-kata itu kuucapkan, ada tersirat di dalamnya suatu harapan pada diriku agar kau tidak melakukan sesuatu yang keliru. Agar pula kau tidak salah langkah. Sebab pikirku, kau harus menghormati perkawinan kita apa pun keadaannya. Kau juga harus menghormati hubunganmu dengan Astari agar jangan sampai ternoda hanya karena nafsu-nafsu biologis atau yang semacam itu. Kalau toh tak sabar untuk itu, lakukanlah dengan semestinya. Yaitu di dalam perkawinan." Mas Totok menatapku lagi. Pandang matanya masih saja tampak sayu. Kemudian salah satu tangannya terulur ke arah leherku dan mengelus-nya beberapa saat. Napasnya mulai terdengar berat.
"Aku belum berpikir sejauh itu, Siska. Meskipun aku merasa perasaan cintaku kepadanya mungkin sedang mulai bersemi kembali, berpisah denganmu belum masuk ke dalam rencana hidup-ku. Masih terlalu pagi untuk bicara tentang hari esok. Jadi kujalani saja hari ini sebagaimana yang harus terjadi." "Jangan mengingkari kenyataan, Mas Tok...."
Mas Totok tidak menjawab. Tangannya yang mengelusi leherku mulai bergerak, menggeser turun untuk menyibak bagian depan kimonoku dengan menyingkirkan tanganku yang masih
mencengkeram di bagian itu. Suara napasnya terdengar semakin berat dan matanya yang menatap mataku tampak semakin sayu.
"Jangan, Mas...." Aku mulai menolaknya. "Kenapa, Siska" Kau masih istriku, bukan"" Sambil berkata seperti itu, tangannya mulai menyusup di sela-sela kimonoku.
"Jangan, Mas!" Aku mengulangi permintaanku tadi. "Kenapa"" Suara Mas Totok mulai serak, ter-bawa hasratnya. "Sebab apa yang kita sebut sebagai perkawinan kita ini, sekarang hanya ada di atas kertas belaka. Cuma berwujud hi tarn di atas putih." Aku menjawab dengan terus-terang, "Dan aku tidak ingin hubungan intim yang sifatnya didasari oleh kebutuhan biologis itu terjadi hanya karena menganggap itu sesuatu yang sah, yang diperbolehkan baik oleh agama, negara, dan masyarakat. Padahal hati dan pikiranmu sudah berada di tempat lain."
Mendengar jawabanku, tangan Mas Totok meluncur turun. Dia mundur. "Maa"..," katanya dengan suara pelan. Kulirik, pipinya merona merah. "ak apa. Itu sangat manusiawi...." Aku merasa tak enak telah menolak kedekatannya. Sebab bagaimanapun juga, dia masih suamiku dan aku istrinya. "Yang penting, asal kau memahami jalan pikiranku." "Aku mengerti."
"Syukurlah. Sebab aku hanya ingin meng-hormati perkawinan kita, apa pun keadaannya. Itu yang pertama. Yang kedua, aku ingin agar kita semua tetap meniti jalan yang semestinya dengan segala aturan-aturannya yang ada. Ku-harap kau memahami itu, Mas Tok." "Aku memahami itu.... "
"Terima kasih." Aku berkata dengan perasaan sedikit lega. "Dan jangan jadi kecil hati karenanya. Ak
u tidak bermaksud menolakmu karena alasan-alasan yang lain." "Tidak, aku tidak akan kecil hati karenanya. Aku mengerti kok" "Terima kasih."
"Kau tak perlu mengucapkan kata itu berulang-ulang, Siska!"
Mendengar suaranya, aku menoleh kepadanya. Sebab, aku mendengar nada amarah di dalam suara itu. Sepanjang pengenalanku padanya selama ini, hampir-hampir aku tak pernah men-dengarnya marah. Mas Totok termasuk orang yang sabar. Dia tidak suka marah-marah. Apalagi kalau itu karena masalah-masalah yang sepele. Jadi kenapa hanya karena ucapan terima kasihku itu dia merasa tak senang" "Kenapa"" tanyaku ingin tahu.
"Kau pikir aku merasa senang, ya, setiap saat mendengar ucapan terima kasihmu.
Setiap saat pula menghadapi sikap sopan-santunmu dan
segala macam embel-embel pergaulan yang bela-kangan ini ada di antara kita
berdua. Seperti bukan suami-istri saja kita ini."
"Maafkan... " "Mulai, lagi!" "Ma... " Kukatupkan mulutku, tak jadi me-lontarkan kata-kata maaf yang sudah di
ujung lidah. Mas Totok tidak menyukai basa-basa demikian.
"Kau tahu, Siska, aku tidak menyukai kepura-puraan dan kemunafikan!"
"Aku tidak bermaksud pura-pura, Mas. Apalagi munafik." Kubela diriku sendiri.
"Segala sesuatu yang kulakukan dan yang terjadi di antara kita berdua belakangan
ini, datang dengan sendirinya. Aku toh tak bisa mengingkari kenyataan bahwa saat
ini kau sedang melangkah keluar pagar rumah kita. Lagi pula, kau sendiri pun
bersikap lain. Sopan, manis, tetapi mengambil jarak. Mungkin kau tidak
menyadarinya, tetapi aku jelas merasakannya."
"Aku tidak bermaksud demikian, Siska. Tetapi seperti katamu tadi, semua itu datang dengan sendirinya tanpa kusengaja, seperti yang kaualami juga...." "Aku mengerti."
"Mudah-mudahan kau juga mengerti bahwa... apa yang kuinginkan darimu tadi, bukan cuma sekadar kebutuhan biologis semata." Pipi Mas Totok mulai merona merah lagi. "Sebab kalau
hanya itu yang kuinginkan, aku bisa mendapat-kannya dari tempat lain, bukan" Dari Astari, misalnya. Tetapi hal itu tak akan kulakukan."
Aku terdiam. Mas Totok melirikku beberapa saat lamanya. Kemudian ia melepaskan sepatunya dan langsung masuk ke kamar mandi dengan tidak berkata apa pun lagi. Dan juga tanpa melepaskan pakaian olahraganya di kamar, se-bagaimana yang ia biasa lakukan selama ber-tahun-tahun di sepanjang umur perkawinan kami. Aku menarik napas panjang. Semakin kusadari, saat ini perubahan memang sedang terjadi di dalam rumah tanggaku. Sadar ataupun tidak. Mau ataupun tidak. Dan ada hal-hal yang biasanya kami lakukan dengan perasaan biasa-biasa saja dan juga dengan sendirinya, kini mulai menjadi persoalan baru yang mengganjal perasaan kami masing-masing.
Tiba-tiba saja aku jadi sedih. Hatiku belum siap bahkan sama sekali tidak siap menghadapi perubahan yang sedang terjadi ini. Jurang yang tiba-tiba terbentang di antara diriku dan Mas Totok membuat perasaanku menjadi gamang. Hatiku kehilangan rasa aman. Aku kehilangan rasa man tap yang biasanya ada di dunia batinku.
Tetapi, bukankah hari ini aku telah ikut ambil bagian di dalam pergeseran yang semakin terasa-kan" Seharusnya, kedekatan yang disebarkan Mas Totok dengan membelai leherku tadi tidak ku-tolak. Dia tidak menempatkan diriku sebagai obyek pemuas nafsu biologisnya. Aku adalah istrinya, orang yang selama lima tahun ini telah saling berbagi bersamanya dalam kehidupan kami dari hari ke hari. Merasai kesenangan dan ke-sulitan bersama-sama pula. Dan harus kuakui pada diriku sendiri ketika jemarinya yang lembut itu menyentuh leher dan bahuku tadi, darahku mulai bergerak liar. Kudambakan pelukan hangatnya dan... Aku menarik napas panjang lagi. Termangu-mangu aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu. Mas Totok sedang mencuci mukanya yang berkeringat sesudah berolahraga tadi. Ketika beberapa saat kemudian dia melangkah keluar dari sana dan harum sabun mukanya menyentuh hidungku, sementara di bawah handuknya aku melihat dadanya yang bidang, hatiku mulai di-rambati kehangatan.
"Mas Tok.... " Aku memanggilnya.
"Hm..."" Ia menoleh ke arahku. "Kemarilah...," kataku kepadanya. Dengan wajah keheranan, dia mendekati
ku. "Kenapa"" tanyanya kemudian. "Peluklah aku.... "
Pandang mata Mas Totok menatap wajahku dengan keheranan dan ketidakpercayaan yang begitu kentara. "Apa maksudmu, Siska"" "Peluklah aku."
Mas Totok membuang handuk dari bahunya
ke atas tempat tidur. Melihat itu, tali kimonoku yang cuma terikat sekenanya itu kulepas. Mas Totok memandangiku. Dadanya mulai berombak-ombak. Aku tak mau
membuang kesempatan lagi. Kulemparkan tubuhku ke dalam pelukannya. "Siska.... " Mas Totok mengeluh.
Aku tak menjawab. Tetapi sebagai gantinya, kuangkat wajahku dan kukecup bibirnya sementara tanganku melingkari lehernya yang telanjang. Tubuh Mas Totok bergetar. Diangkatnya aku dan diletakkannya ke atas tempat tidur. Kemudian sambil menatapi tubuhku, dia menyusulku dan membaringkan tubuhnya di sisiku. Tangannya mulai membelai pipiku, leherku, dan meluncur turun ke dadaku. Maka kami berdua pun lupa segala-galanya. Mungkin juga Mas Totok lupa kepada Astari. Aku tak tahu. Tetapi sesudah badai di kamar kami berlalu, Mas Totok meloncat turun dari tempat tidur. Kulihat pipinya merona merah lagi. Cepat-cepat aku meraih kimonoku untuk me-nutupi tubuhku. Entah apa yang menyebabkannya merasa malu, aku tak tahu. Tetapi hatiku mulai lagi merasa tak enak.
"Kenapa"" tanyaku.
"Seharusnya aku tidak menerima tawaran-mu...," sahutnya dengan suara serak. "Hatimu terlalu baik. Kau merasa kasihan kepadaku karena telah menolakku tadi...."
Aku terteeun. tak mampu menjawab. Untuk
pertama kalinya aku tak lagi bersikap tegas padanya.
3 Hari ini hari ulang tahunku. Ketika jam antik di tengah ruang berbunyi empat kali dengan suara-nya yang anggun itu, aku tersenyum sendiri. Dua puluh sembilan tahun yang lalu pada jam empat sore seperti ini, aku lahir. Dua puluh sembilan tahun yang lalu pada jam empat sore begini, untuk pertama kalinya aku menghirup udara dunia.
Belum selesai gema dentang jam antikku menghilang, dering telepon ganti berbunyi. Telepon dari Bapak dan Ibu, mengucapkan selamat ulang tahun. Mereka sering menunggu jam yang tepat untuk mengucapkan selamat kepada anak-anaknya yang sedang berulang tahun. "Apa acaramu kali ini, Siska"" tanya Ibu.
"Bapak dan Ibu makan malam di sini, ya, nanti kusuruh Bik Dedeh memesan makanan di rumah makan langganan kami. Atau kita makan di luar"" usulku. "Kedengarannya belum ada rencana apa pun, ya""
"Memang belum. Aku dan Mas Tok tidak sempat membicarakannya. Kami sama-sama sedang sibuk."
Apa yang kukatakan, bukan pura-pura. Beberapa hari terakhir ini aku sibuk dengan pe-kerjaanku. Dan Mas Totok sibuk mengurus salah seorang anak Astari. Kemarin dulu ketika aku dan Mas Totok sedang menyaksikan berita di televisi, Astari menelepon dari rumah sakit. Anaknya yang berumur lima tahun ditabrak motor. Dia membutuhkan Mas Totok untuk men-dampinginya di rumah sakit. "Kalau memang tidak ada acara apa-apa, Bapak dan Ibu tidak akan datang ke rumahmu, Siska. Kami tak mau merepotkan kalian." Begitu melanjutkan pembicaraan lewat telepon itu. "Kadonya biar diantar adikmu, besok pagi." "Jangan jadi beban, Bu. Kapan-kapan sajalah. Tetapi kalau malam ini Ibu dan Bapak ingin datang ke sini, datang sajalah. Tidak ada yang merasa direpotkan
kok!" "Tidak, Nduk. Bapakmu harus diet. Bela-kangan ini maunya makan enak terus!"
Aku tertawa, menertawakan Bapak yang sering bandel. Meskipun dokter berulang
kali memper-ingatkan agar Bapak mengurangi makanan ber-lemak atau yang manis-manis
dan harus patuh karena Ibu sangat keras dalam hal itu, masih saja beliau
bisa mengambil kesempatan makan lagi kalau ada undangan makan.
Aku tahu betul, kalau ada undangan semacam itu Ibu-lah yang paling cemas. Bapak
tak pernah disiplin dalam hal berpantang makanan. Tidak jarang pula, dia membeli
makanan dengan diam-diam dan menyembunyikannya di ruang kerjanya. Tetapi toh
selalu saja itu diketahui oleh Ibu. Radar di kepala ibuku teramat canggih untuk
dibohongi Bapak. Setelah pembicaraanku dengan Ibu selesai, aku duduk termenung sendirian di sudut sofa. Sebab tiba-tiba saja aku merasa kesepian. Dan tiba-tiba pula untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun berlalu aku mulai seriu
s mempertanyakan masa depanku. Sekarang hari ulang tahunku. Aku harus mulai memikirkan masa depan. Aku ingin sebelum umurku mencapai tiga puluh, sudah me-miliki rencana untuk hidupku
sendiri. Padahal sekarang umurku sudah dua puluh sembilan tahun, dan sampai hari ini aku masih belum tahu apa yang akan kutempuh di hari esok atau lusa. Dan apa pula yang nanti yang akan terjadi dengan perkawinanku ini, aku juga tidak tahu. Semua masih serba gelap bagiku. Terutama karena saat ini Mas Totok berada di luar jangkauan pemikiranku. Belum kuketahui apakah masa depanku nanti masih berkaitan dengan Mas Totok ataukah sama sekali tak ada kaitannya. Memang, beberapa, kali aku pernah terlintas di pikiranku keinginan untuk bercerai dengan Mas Totok, selangkah lebih dulu untuk hal sama yang mungkin akan ditempuhnya. Sebelum dia meminta pengertianku untuk membebaskannya dari ikatan perkawinan kami, aku akan mendahuluinya. Sebab kulihat, pengaruh Astari terhadap Mas Totok sudah semakin jauh. Bahkan menembus sampai ke kehidupan perkawinan kami berdua.
Perempuan itu terlalu banyak meminta dan bahkan menuntut perhatian dan waktu Mas
Totok. Ada saja alasan yang dikemukakannya supaya lelaki itu meninggalkan rumah
dan menjumpainya. Dan kulihat Mas Totok selalu menuruti apa pun kemauan
perempuan itu tanpa sedikit pun keinginan untuk menolaknya. Aku benar-benar tak
tahan menghadapi semua itu. Keberadaanku sebagai istri seperti angin saja
rasanya. Mereka sama sekali tak memedulikan perasaanku. Kurasa kalau aku pergi
dari kehidupan Mas Totok, segalanya mungkin akan menjadi lebih baik.
Tetapi mengingat betapa kerasnya keluargaku mengecam perceraian, dengan alasan
bahwa me-nempuh penyelesaian dengan bercerai adalah tanda kepengecutan,
kelemahan, kurang rasa tanggung jawab, dan tipisnya daya juang, aku terpaksa
menunggu perkembangan lebih lanjut. Dan inilah sebetulnya yang membuatku berada
dalam situasi yang sangat tak menentu. Sejujurnya, aku mulai merasa sebal sekali
terhadap Astari dan sebal pula menghadapi keadaan
seperti ini. Terutama karena hari ini adalah hari ulang tahunku. Mas Totok
telah melupakannya. Padahal biasanya pagi-pagi sekali di hari ulang tahunku, ia
sudah mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku begitu kami bangun. Dan kadonya,
yang semula disembunyikannya entah di mana, menyusul. Tetapi hari ini"
Namun harus kuakui bahwa keretakan yang terjadi pada perkawinan kami belakangan
ini, aku juga ikut andil di dalamnya. Lebih dari lima tahun yang lalu di hari
pertama perkawinan kami, dia kuajak berbicara dari hati ke hati sebelum kami
memasuki dunia kehidupan perkawinan yang sesungguhnya.
"Kita sudah sama-sama tahu kan, Mas, perkawinan ini terjadinya karena campur
tangan orangtua kita masing-masing," begitu aku me-mulai pembicaraan dengan Mas
Totok bertahun-tahun yang lalu, beberapa jam setelah resepsi pernikahan yang
sukses. "Ya...." "Bahwa kita berdua sama-sama menyadari, perkawinan kita ini tidak diwamai cinta. Ya, kan""
"Ya." "Bukankah itu artinya, cinta kita masih ada pada orang lain. Begitu"" "Ya." "Aku senang sekali selama ini kita berdua selalu bersikap jujur satu sama lain dan menjaga
perasaan masing-masing. Sekarang kita sudah menjadi suami-istri, karenanya aku ingin mengetahui apakah iklim seperti itu masih bisa kita harapkan"" Aku bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Ya, tentu saja. Sampai kapan pun kita harus tetap menggarisbawahi kejujuran dan
pemahaman sebagaimana yang selama ini kita jalani," jawab Mas Totok.
"Aku senang mendengar perkataanmu, Mas. Maka kalau sampai hari ini aku masih
tetap mencintai bekas kekasihku, mudah-mudahan kau tidak merasa keberatan.
Sebaliknya kalau kau masih mencintai kekasihmu yang katamu sudah menikah itu,
aku juga tidak boleh merasa keberatan. Setuju, Mas"" "Setuju."
"Janji.lho, ya""
"Ya." "Itu perjanjian kita yang pertama dan yang kedua. Yaitu, kejujuran dan kesediaan menerima kenyataan tentang perasaan kita masing-masing." Aku ingat sekali selama pembicaraan kami waktu itu, Mas Totok menatap mataku dengan keheranan dan rasa kagum. Pasti dia tidak menyangka aku akan berbicara seperti itu tepat
di malam pengantin kami. Pasti pula dia mengagumi kemampuanku dalam hal bersikap dan berpikir rasional kendati suasana hari itu tak menunjang ke arah sana. Suasana pesta dan rasa puas keluarga atas suksesnya seluruh
rangkaian upacara perkawinan kami, masih bermegah-megah di udara sekitar kami. Dan toh aku masih mampu bersikap kritis dan realistis.
"Apakah ada perjanjian yang ketiga, keempat, dan seterusnya, Siska"" Begitu dia bertanya sesudah menatapku berlama-lama.
"Ya, memang ada. Yaitu ketiga, kita harus berjanji untuk tidak boleh terlalu dalam men-campuri urusan pribadi masing-masing, kecuali kalau diminta. Yang keempat, kita tidak boleh menghalangi atau menjadi penghambat bagi masing-masing pihak untuk mencari kedamaian dan kebahagiaannya sendiri. Apakah itu juga bisa kau setujui, Mas""
"Yang ketiga, aku setuju. Yang keempat, aku minta penjelasan atau contoh konkretnya lebih dulu sebelum aku menyatakan setuju atau tidak-nya!" "Oke. Begini, kalau aku ingin kuliah lagi mengambil cS-2 misalnya, kau tidak boleh meng-hambat. Kalau kau ingin nonton film sendirian atau dengan teman perempuanmu misalnya, aku juga tidak boleh menjadi penghalang. Bahkan kalau kau ingin bertemu dengan bekas kekasihmu pun, aku tidak boleh melarangmu." "Apakah itu tidak terlalu ekstrem"" "Tidak. Asalkan tetap berada pada aturan main-nya!" "Aturan main bagaimana"" Mas Totok menge-rutkan dahinya. "Yah, perkawinan itu kan suatu lembaga dengan sekian deret aturan dan keharusan yang harus dihormati dan dipatuhi bersama. Misalnya, hubungan seksual di luar perkawinan adalah zinah namanya. Itu tidak boleh terjadi. Jadi, kalau kau atau aku melakukan hubungan seksual dengan orang Jain meski dengan alasan cinta setinggi gunung sekali pun, itu namanya kita telah melanggar aturan main. Jelas"JeHas." Usai berkata seperti itu, Mas Totok tertawa. Keheranan yang tadi meronai wajahnya, lenyap.
Waktu itu aku tersinggung ditertawakan oleh-nya. Kusadari, nada agak kekanakan
memang masih mewarnai bicaraku saat itu. Tetapi aku sungguh-sungguh sangat
serius ketika membicara-kan perjanjian di malam pengantin itu.
"Kok tertawa"" Begitu aku menyemburkan rasa tersinggungku.
"Aku tidak menertawakanmu!" Meski berkata demikian, Mas Totok tetap saja tertawa
sehingga rasa tersinggungku berubah menjadi kemarahan.
"Belum sepuluh menit kita bicara, kau sudah melanggar perjanjian kita!" gerutuku waktu itu. "Perjanjian yang mana"" "Perjanjian yang pertama, tentang kejujuran!" aku menyembur lagi. "Apa arti tawamu itu""
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maksudmu, aku harus bersikap jujur mengatakan alasanku tertawa tadi"" Mas Totok
bertanya sambil menyipitkan matanya.
a"Ya." Aku menganggukkan kepalaku dengan tegas.
"Kalau itu kukatakan dengan terus terang, memang itu berarti aku telah memenuhi
perjanjian pertama kita mengenai prinsip kejujuran Tetapi itu artinya, kau telah
melanggar aturan atau perjanjian yang keempat!"
"Aku melanggar aturan yang keempat"" tanya-ku heran. "Kok begitu""
"Ya, karena kau telah melanggar keinginanku untuk merasakan kedamaian dan
kebahagiaanku. Bahkan menjadi penghalang."
"Alasannya"" Kukerutkan dahiku dalam-dalam, sebab aku melihat rasa geli bergelimang dalam
bola matanya yang sedang menatapku itu. "Karena kau mengusik kebebasanku untuk tertawa."
Aku tertegun. Kemudian dengan. tersipu-sipu aku menjawab, "Tertawa sih boleh boleh
saja. Aku tak melarangmu. Tetapi karena yang kau tertawakan itu aku, maka
aku boleh dong menge-tahui alasannya. Melarang atau menghambat, itu berbeda lho
dengan keinginan untuk mengetahui apa yang kautertawakan itu. Yang kuminta darimu
adalah kejujuranmu. Bukan tidak bolehnya kau menertawakanku. Jadi kalau aku
memang lucu, katakan di mana letak lucunya sehingga aku bisa mengubahnya kalau
itu memang ku-anggap perlu."
Kulihat Mas Totok tersenyum lagi. Kemudian
baru dia berkata lagi, "Baiklah, aku akan bersikap jujur. Tetapi kau harus berjanji lebih dulu untuk tidak berpikir yang negatif tentang diriku Iho!"
"Oke." "Ketika kau tadi mengatakan bahwa di dalam perjanjian itu harus ada aturan main yang tidak boleh dilanggar, seperti misalnya kita berdua tidak boleh m
elakukan hubungan seksual dengan orang lain di luar perkawinan, timbul pengertian lain
dalam pikiranku di balik perkataanmu itu. Ada sesuatu yang tersirat dalam katakatamu tadi, bahwa kita boleh melakukan hubungan seksual di dalam perkawinan ini. Betulkah tafsiranku ini" Kalau salah, katakanlah."
Usai berkata seperti itu, aku melihat rona merah melintasi wajah Mas Totok. Dan itu menulariku. Sebab wajahku tiba-tiba saja terasa panas. Tetapi sesudah itu kami berdua sama-sama tertawa. Maka suasana di kamar pengantin itu terasa lebih santai.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Siska. Betul, kan, pikiranku itu"" tanya Mas Totok kemudian, setelah tawa kami berhenti. Kulihat rona merah pada wajahnya semakin melebar.
"Ya. Kau benar." Rasa panas pada wajahku juga semakin meluas. Pada saat itulah meskipun kami menikah tanpa cinta, ada ikatan pengertian dan penerimaan timbal-balik di antara kami berdua yang mulai buhul. Maka ketika malam berikutnya tanpa
sengaja aku menyentuh dadanya waktu kami baru saja tertidur sesudah mengobrol berlama-lama di atas tempat tidur, Mas Totok menangkap tanganku dan menggenggamnya. Kantukku lenyap. Tetapi aku membiarkan perbuatannya itu karena memang sudah seharusnya demikian. Begitu pun ketika kemudian ia memeluk dan menciumku, aku diam saja. Maka keperawananku pun kuserahkan kepadanya dengan pasrah. Meskipun tanpa cinta di antara kami berdua, hati kami memiliki saling pengertian dan niat untuk memupuk persahabatan yang bisa menimbuni kekurangan itu. Maka sejak itulah kami berdua hidup sebagai suami-istri yang sesungguhnya dalam kerukunan, keakraban, dan kedamaian. Dan begitulah, hari, minggu, bulan, dan tahun pun datang silih-berganti sampai hari ini.
Bahwa kenyataan di hari ulang tahunku ini aku duduk sendirian, sementara Mas Totok sedang bersama perempuan lain, itu adalah suatu bukti bahwa ada yang telah berubah dalam kehidupan kami berdua. Kedamaian itu telah tercuil. Keakraban dan persahabatan itu telah terkikis. Namun aku tak boleh menghalanginya. Merasa keberatan di dalam hati pun, jangan. Sebab empat butir perjanjian yang tak pernah tertulis hitam di atas putih, tetapi yang selalu harus kami junjung tinggi itu, masih tetap berlaku dan berkibar-kibar di atas kami!
Namun demikian, belum pernah di sepanjang
sejarah kehidupanku, aku mengalami hari ulang tahun yang kelabu seperti hari ini Duduk sendirian tanpa siapa-siapa kecuali ucapan selamat ulang tahun dari kedua orangtuaku dan dari saudara-saudaraku dengan janji kado mereka akan menyusul esok lusa. Mereka telah menguntai rencana, hari Minggu nanti akan datang ke rumah untuk merayakan ulang tahunku bersama-sama. "Akan kubawakan sate sebanyak seratus tusuk, Sis!" kata Mbak Wati kakak sulungku. "Cukup, kan, untuk kita-kita""
"Tar ulang tahun akan kubuat khusus untukmu, Siska," Mbak Nanik, iparku, tak mau kalah.
"Kami akan membawa gule ayam dan perkedel!" adikku berjanji. "Pokoknya, sediakan saja nasi, air putih, dan buah. Lainnya akan datang dengan sendirinya!" Aku berterima kasih kepada saudara-saudaraku atas rencana itu. Mereka tahu, aku tak suka masuk dapur. Tetapi meskipun demikian, sedikit pun aku tidak merasa gembira. Tak ada gairahku menanggapi rencana mereka untuk hari Minggu nanti. Sebab sesungguhnya pada hari inilah aku membutuhkan kehadiran mereka walau tanpa sate, tanpa kue tar, tanpa gule. Aku benar-benar sedang sendirian saat ini. Sendirian dalam arti yang sebenarnya dan sendirian di dalam hatiku. Dalam kesendirian itu pulalah akhirnya aku berbaring di atas tempat tidurku sambil menonton televisi, Film kesayanganku yang diputar malam itu, kuharap bisa sedikit menghibur hatiku. Namun sayang sekali belum sampai film-nya selesai, aku sudah tertidur.
Tak kuketahui berapa lamanya aku terlelap sejak pertengahan film seri yang kutonton tadi. Aku terbangun karena remote control teve yang ada dalam genggaman tanganku ditarik seseorang. Kubuka mataku. Mas Totok sudah pulang, ter-senyum kepadaku sambil mematikan televisi yang sudah tidak ada tontonannya. Keterlaluan, pikir-ku. Suaranya yang berisik seperti suara hujan lebat itu tidak memban
gunkanku sama sekali. Juga masuknya Mas Totok ke dalam kamar, tak kudengar.
"Aku tertidur...," gumamku sambil membetul-kan letak selimutku. Alat pendingin ruangan kusetel pada ukuran terdingin. "Padahal film yang kutonton tadi
bagus.... " "Kau pasti kecapekan. Jadwal mengajarmu hari ini penuh, ya""
"Tidak." "Kalau begitu, kau mengantuk karena tidak ada yang diajak mengobrol." Mas Totok berkata lagi. "Maafkan aku, ya" Soalnya menjelang sore tadi anak yang tertabrak motor itu dioperasi lagi."
"Lho, kenapa lagi" Kemarin dulu pahanya kan yang dioperasi!"
"Ya. Tetapi ternyata juga ada sedikit gumpalan darah di bagian dalam kepalanya
yang harus diambil. Baru ketahuan hari ini tadi."
"Di rongga otaknya""
"Aku tidak begitu mengetahuinya dengan jelas, Sis. Mengenai masalah penyakit dan istilah medisnya, sama sekali aku buta. Bagiku yang penting, operasinya sudah selesai dan berhasil baik. Bayangkanlah, Sis, anak berumur lima tahun dalam tiga hari harus dioperasi sampai dua kali."
"Kasihan. Tetapi Mbak Astari tabah," "Kelihatannya begitu. Tadi bekas suaminya juga ikut menunggu di sana."
"Kasihan kau, Mas!" "Kok kasihan kepadaku"" Mas Totok men-jinjitkan alis matanya.
"Dengan keberadaan bekas suami Mbak Astari di rumah sakit, suasananya kan jadi tidak enak."
"Ah, itu bukan masalah. Suami Astari sudah kukenal sejak lama. Kami semua dulu
kuliah di tempat yang sama. Jadi sudah biasa!" Sambil menjawab, Mas
Totok melepaskan pa-kaiannya dan langsung menempatkannya ke dalam keranjang
pakaian kotor. "Lagi pula istrinya yang baru, ikut mendampinginya."
"Tetapi dalam bayanganku, suasananya pasti tak enak!"
"Ya jangan dibayangkan!" Mas Totok ter-senyum sambil masuk ke kamar mandi. "Aku
mau mandi dulu. Bau rumah sakit",
"Pakai air panas lho. Ini sudah menjelang dini hari!"
Kira-kira sepuluh menit kemudian lelaki itu sudah keluar dari kamar mandi. Dan tak sampai lima menit sesudah itu dia menyusulku naik ke atas tempat tidur.-Tetapi tidak untuk mem-baringkan tubuhnya. Melainkan untuk mengecup pipiku.
"Meskipun sudah sangat terlambat karena saat ini sudah hampir pukul dua, selamat ulang tahun, ya, Siska!" katanya kemudian. "Maafkan, tadi pagi aku benar-benar lupa. Tetapi di kantor, aku ingat bahwa hari ini hari ulang tahunmu." "Terima kasih...," aku benar-benar tidak me-nyangka ia masih ingat pada hari ulang tahunku. Gembirakah aku karenanya, entahlah. Tetapi sebelum pertanyaan hati itu kujawab sendiri, tiba-tiba lelaki itu mengulurkan sebuah kotak perhiasan kepadaku.
"Mudah-mudahan kau menyukai kadoku ini," katanya kemudian Aku tahu, kotak itu pasti berisi perhiasan. Tetapi aku tidak menyangka bahwa begitu indah. Pasti mahal harganya. Yaitu sepasang giwang emas berhiaskan berlian yang dileng-kapi dengan seuntai kalung dengan liontin yang juga dihiasi berlian. Di sepanjang usia perkawinan kami, baru kali inilah Mas Totok memberiku hadiah yang sedemikian indah dan mahal-nya. Karenanya aku nyaris meragukan keaslian"ini berlian, Mas"" tanyaku. "Asli""
"Rasa-rasanya kau hanya pantas memakai perhiasan dengan berlian asli!" Mas Totok tertawa.
Aku tidak tertawa. Kotak perhiasan itu kuletakkan di atas tempat tidur. "Ini terlalu mahal dan terlalu bagus untukku, Mas!" kataku. "Kau telah menguras uangmu hanya untuk memberiku kado. Aku tak berani menerimanya." Tawa Mas Totok menghilang. "Biasanya kau tidak begini, Siska. Kau tahu kan, aku tak pernah mempersoalkan seberapa pun besarnya uang yang kukeluarkan untuk mem-berimu hadiah," katanya.
"Ya, aku tahu. Tetapi jumlahnya kan tidak sampai jutaan seperti ini!"
"Karena memang baru kali inilah aku sanggup memberimu hadiah semahal itu, Sis.
Kalau tak salah, aku pernah mengatakan kepadamu bahwa bonus tahunanku kali ini
lipat tiga kali. Ke-untungan sedang berpihak pada perusahaan tempatku
bekerja.'' "Kalaupun memang begitu, kau tak perlu membelanjakannya sampai sebesar ini jumlahnya!" Aku berkata dengan sedih. Entah kenapa air mataku ikut bicara, menitik ke atas pipiku.
"Aku tak menyangka akan begini reaksimu, Siska, Kenapa sih""
Aku memahami perkataannya. Apalagi Mas Totok hampir-hampir tak oernah melihat
ku meneteskan air. mata. Karenanya aku ingin bersikap jujur kepadanya.
"Karena hatiku sedih menyadari keadaanmu," sahutku kemudian. "Seharusnya kau tak perlu mengada-ada. Sebab percayalah, Mas, kau sedikit pirn tak berutang apa-apa kepadaku. Juga tak bersalah apa pun kepadaku. Jadi jangan hujani aku dengan hadiah yang mahal hanya karena ingin mengobati rasa bersalahmu!" Mendengar perkataanku, air muka Mas Totok berubah. Dan mulutnya terkatup rapat. Belum pernah aku melihatnya seperti itu sebelumnya.
Dalam dua bulan terakhir ini, ada banyak hal baru yang sebelumnya tak pernah kualami di sepanjang hidup perkawinanku bersama Mas Totok. Yang pertama, retaknya keakraban dan rasa persahabatan yang pernah terjalin di antara kami berdua. Yang kedua, rasa canggung yang sering kurasakan dan pasti juga dirasakan oleh Mas Totok kalau kebetulan kami saling ber-sentuhan tanpa sengaja. Yang ketiga, aku sering merasa sebal kepadanya, sesuatu yang sebelumnya tak pernah kurasakan terhadapnya. Yang keempat, munculnya lintasan-lintasan keinginan untuk menempuh perceraian dan mengakhiri perkawinan kami. Yang kelima, timbulnya suasana tegang di antara diriku dengan Mas Totok, sesuatu yang juga sebelumnya nyaris tak pernah terjadi. Ketegangan yang sebetulnya berawal di hari ulang tahunku ketika hadiah dari lelaki itu kukembalikan. Waktu itu kulihat air mukanya tampak tegang dan matanya berkilat-kilat. Kotak perhiasan itu langsung diambilnya dan dimasukkannya
kedalam lemari pakaiannya, ter-suruk jauh di bagian bawah tumpukan pakaiannya.
Jadi begitulah, sudah ada lima jenis masalah yang mengganjal di antara kami
berdua. Sesudah hidup dalam damai dan tenang bersama Mas Totok hampir enam tahun
lamanya, lima jenis ganjalan itu sudah terlalu banyak bagiku. Aku tidak ingin
ada yang keenam dan selanjutnya. Belum tentu aku akan sanggup menghadapinya.
Sekarang saja pun aku merasa sudah lelah. Lahir maupun batin.
Tetapi ternyata, harapanku sia-sia saja. Hal-hal baru yang tak menyenangkan itu
masih terus berlanjut. Di suatu hari ketika Mas Totok sedang tugas keluar kota, aku kedatangan tamu yang tak kusangka sama sekali. Tamu itu adalah Astari. Perempuan itu datang ke rumah waktu aku baru saja pulang dari mengajar. "Bolehkah aku bertemu dengan Mas Totok"" tanyanya begitu ia kusilakan duduk di ruang tamu rumahku.
Aku belum pernah berkenalan dengan Astari secara langsung kecuali lewat telepon. Mempunyai masalah dengan dia pun, aku tak pernah. Tetapi kulihat, sikapnya terhadapku tidak ber-sahabat. Air mukanya tampak masam dan pandang matanya penuh selidik ke arahku.
"Kenapa tidak boleh" Tetapi sayangnya Mbak, Mas Totok sedang tidak ada di rumah." Aku tetap mencoba bersikap ramah meskipun tamuku bersikap sebaliknya. Tetapi diam-diam di dalam hatiku aku merasa heran. Sebab ternyata perempuan yang dicintai oleh Mas Totok ini tidaklah seanggun dan se-cantik yang sering diceritakannya kepadaku. Tetapi, yah, bukankah cinta itu buta" Atau mungkin juga aku terlalu cepat menilai. Sebab bukankah aku belum mengenal lebih jauh bagaimana se-sungguhnya perempuan itu.
"Pergi ke mana dia" Kulihat mobilnya ada di garasi." Kudengar tanggapan Astari atas per-kataanku tadi. Nada suaranya mengandung ke-tidakpercayaan yang kental. Wah gawat, pikirku. Rupanya, Astari meragu-kan keteranganku. Memangnya aku bisa me-nyembunyikan Mas Totok di balik gaunku"
"Dia memang tidak pergi dengan mobil sendiri, Mbak. Tetapi dengan diantar mobil
kantor sampai ke bandara. Dia mendapat tugas pergi ke Batam."
"Ke Batam" Kenapa dia tidak mengatakan kepadaku mengeaai hal itu""
Aku juga tidak tahu kenapa, pikirku. Tetapi tentu saja aku tak boleh menjawab
seperti itu. Apalagi, aku sebagai istrinya saja pun baru tahu beberapa jam
sebelum kepergiannya. Itu pun karena Mas Totok memerlukan bantuanku untuk
menyiapkan pakaian yang harus dibawanya. yang diberikan kepadanya memang termasuk
mendadak. Dia harus menggantikan tugas orang lain yang seharusnya pergi
tetapi mendadak berhalangan. Jadi kujawab saja pertanyaan Astari itu sesuai
dengan kenyataan yang kuketahui.
"Mungkin Mas Tok lupa atau tak sempat men
gatakannya kepadamu, Mbak. Dia
berangkat dengan tergesa-gesa." "Sudah sering dia begitu""
"Yah, cukup sering juga. Maklum, sebagai seorang bawahan yang kebetulan dipercaya atasan, ya begitu itulah yang sering terjadi. Mendadak ditugaskan keluar kota, mendadak diharus-kan menemani atasan menjamu relasi, dan lain sebagainya." Begitu aku menjawab pertanyaan Astari. Juga sesuai dengan kenyataan yang kuketahui.
"Pernahkah kau ikut pergi bersamanya""
"Ya, pernah. Dengan biaya kami sendiri tentu saja. Ketika itu kebetulan aku sedang bebas tugas."
Astari terdiam beberapa saat lamanya sehingga suasana menjadi kaku dengan tibatiba.
Barang-kali apa yang kukatakan itu tidak disukainya. Tetapi sebagai nyonya
rumah yang ingin bersikap baik, aku mencoba mencairkan perasaannya.
"Apakah ada sesuatu yang perlu kusampaikan kepada Mas Tok, Mbak"" tanyaku.
"Ya, kalau Dik Siska tidak merasa keberatan tentunya."
"Tidak, aku tidak keberatan kok. Nah, pesan
dari Mbak Astari apa yang harus kusampaikan kepadanya""
"Begitu pulang nanti, tolong suruhlah dia pergi ke rumahku. Anakku yang baru
sembuh dari sakit itu sering menanyakan kehadirannya. Dia sangat memuja Mas
Totok lho, Dik. Lelaki itu benar-benar sangat kebapakan menghadapi kedua anakku.
Tampaknya dia merindukan hadirnya seorang anak di sampingnya."
"Baik, nanti akan kusampaikan," kuputus per-kataannya.
Sejujurnya, aku mulai merasa sebal mendengar ocehannya itu. Sudah kukatakan, aku bukan perempuan yang mudah merasa cemburu. Apalagi kalau itu berkaitan dengan Mas Totok. Kami toh menikah tanpa cinta. Tetapi meskipun demikian, perkataanperkataan Astari yang sejak tadi sudah tidak enak didengar membuatku benar-benar merasa sebal kepadanya. Pertama karena dia tidak menghargaiku sebagai istri Mas Totok yang masih sah terikat di dalam tali pernikahan kami. Kedua, dia tidak menenggang perasaanku. Terutama ketika menyinggung masalah anak. Aku menangkap, perempuan itu sedang berusaha me-lecehkanku karena belum mampu memberikan anak kepada Mas Totok.
Menghadapi sikap Astari yang menyebalkan itu akhirnya merembet kepada Mas Totok. Aku mulai merasa kesal juga kepadanya. Sebab aku akin sekali, lelaki itu sudah mengatakan kepada
Astari bahwa ia menikah denganku tanpa cinta. Kalau tidak, mana mungkin Astari bisa bersikap menyebalkan seperti itu kepadaku. Meremehkan keberadaanku sebagai istri Mas Totok. Bahkan merasa dirinya lebih berhak atas diri lelaki itu. Meskipun itu memang merupakan suatu kenyataan, seharusnya Mas Totok tidak perlu me-ngatakannya kepada orang lain apa pun alasannya. Sebab bukankah itu masalah intern kami berdua" Tetapi yah, mungkin saja Mas Totok memakai kenyataan seperti itu untuk mengipasi kembali bara api cinta mereka. Dan bahwa keberadaanku sebagai istrinya tidak perlu diper-hitungkan. Bahwa, aku tidak akan menjadi peng-halang bagi hubungan mereka. Sehingga dengan demikian, pertautan kembali hubungan kasih di antara mereka berdua itu merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Aku memaklumi cara berpikir semacam itu. Tetapi bahwa itu membuat Astari lalu bersikap seperti orang yang lebih berhak atas diri Mas Totok dibanding istrinya yang sah ini, aku benar-benar merasa tersinggung. Apa pun buruknya hubungan yang ada di antara diriku dan Mas Totok, Astari adalah orang luar. Dia berada di luar pagar kehidupan perkawinan kami..Dia tidak boleh ikut campur di dalamnya. Apalagi me-ngacaukannya. Seharusnya Mas Totok juga mengatakan kepada Astari tentang kesepakatan kami berdua bahwa aku tidak akan mempertahankan statusku sebagai istrinya kalau memang dia menghendaki perempuan lain untuk menggantikan diriku di sampingnya. Jadi Astari tak perlu bersikap arogan seperti itu terhadapku.
Aku sangat yakin, Mas Totok tahu betul me-ngenai pendirianku itu. Sebab sesuai dengan janji kami berdua waktu itu, masing-masing pihak tidak boleh menjadi penghalang bagi pihak lain-nya untuk meraih kebahagiaannya. Kecuali tentu saja kalau ada pertimbangan lain yang lebih patut diperhitungkan. Jadi sekali lagi, tak perlu Astari harus memanas-manasi hatiku untuk me-nunjukkan kelebihan dirinya di hati Mas Totok.
Ke tika Mas Totok pulang dari tugasnya dua hari kemudian, kukatakan mengenai kedatangan Astari dengan perasaan sebal yang tidak ku-sembunyikan.
"Dia meminta bantuanku untuk menyampaikan pesannya kepadamu," kataku setelah mengatakan tentang kedatangan perempuan itu. "Apa pesannya"" "la mengharapkan kedatanganmu ke rumahnya begitu kau kembali ke Jakarta. Sebab anaknya yang baru sembuh dari sakit itu sangat me-rindukan kehadiranmu. Berulang kali anak itu menanyakanmu." Di dalam hatiku aku berpikir yang lebih merasa rindu pastilah Astari sendiri.
Mendengar perkataanku, Mas Totok mengiya-kan tanpa mengomentarinya lebih lanjut
Tetapi aku tak mau menyembunyikan apa yang kudengar
dari Astari kemarin dulu itu. Karenanya kulanjutkan bicaraku dengan
terus-terang. "Dia juga mengatakan bahwa sikap kebapakan-mu sangat disukai oleh kedua anaknya.
Dan katanya pula, barangkali sudah waktunya bagimu untuk memikirkan keturunanmu
sendiri. Entah dengan siapa yang ia maksudkan, aku tak tahu."
Mas Totok menoleh ke arahku. Dahinya agak berkerut. Aku mengerti, baru sekali
itulah aku berkata sinis.
"Dia mengatakan begitu"" tanyanya kemudian.
"Ya. Kau pikir aku mengarang"" Aku berkata sinis lagi. "Kalau kau kurang percaya, tanyakan saja langsung kepadanya mengapa dia berkata seperti itu. Biar lebih jelas!"
"Bukan begitu, Siska." Mas Totok menatap mataku. "Aku hanya merasa heran saja.
Kalau ada sesuatu yang ingin ia katakan kepadaku, kenapa dia harus datang kemari
mencari bantuan melalui dirimu" Dia toh bisa menghubungiku lewat HP. Bagiku, itu
agak aneh. Apalagi kok sempat-sempatnya dia menyinggung masalah anak."
"Mana aku tahu apa alasannya dia datang kemari. Kecuali, kalau itu ada kaitannya
dengan perasaan cintanya kepadamu!"
"Apa itu"" Mas Totok bertanya sambil menatap mataku.
"Bukankah orang kalau sedang dimabuk cinta biasanya sering kehilangan akal
sehat. Kelakuannya suka aneh-aneh. Maklum, seperti yang sering dikatakan orang, cinta itu buta, kan""
"Sebetulnya apa sih yang ada di balik pen-dapatmu" Mas Totok bertanya
lagi. Kini dengan nada kurang sabar. "Terus-terang, aku tidak mengerti."
"Begini lho. Dari sikap dan bicaranya, aku merasa Astari ingin menunjukkan kepadaku bahwa dirinya lebih penting bagimu daripada diriku. Mungkin, dia ingin membuatku merasa cemburu. Namun entah benar entah tidak firasatku itu, aku tak ingin mempersoalkannya. Tetapi, kalau dia bermaksud membuatku merasa cemburu, katakan padanya bahwa ia telah salah alamat. Sebab kalian mau membuat anak sampai seratus orang sekali pun, itu bukan urusanku. Asalkan, pada jalur yang semestinya." Yang kumaksud dengan jalur semestinya adalah ikatan perkawinan. Mas Totok pasti mengerti apa yang kumaksudkan. Mendengar perkataanku itu Mas Totok terdiam lagi. Tetapi air mukanya tampak begitu murung. Melihat itu tiba-tiba saja aku merasa menyesal telah bicara seenaknya saja tanpa disaring lebih dulu. Kesebalanku kepada Astari telah kulampias-kan kepadanya. ltu tidak adil. Apalagi dia baru saja datang dari Batam. Dan terlebih lagi, tak pernah sebelum ini aku berkata sinis dan tajam seperti itu di hadapannya. Aku yakin, lelaki itu pasti merasa sangat tak enak mendengar perkataanku tadi. "Maafkan aku," kataku kemudian, didesak oleh rasa sesal tadi. "Aku tidak bermaksud mengkritik kekasihmu."
"Aku tahu," jawab lelaki itu, semakin membuatku merasa bersalah. "Kau tak usah merasa bersalah karenanya."
"Syukurlah kalau kau tahu itu," kataku lekas-lekas. "Aku memang agak sensitif belakangan ini. Barangkali saja karena aku terlalu banyak memegang kelas yang harus kuajar. Salah seorang rekanku, masuk rumah sakit. Aku diminta oleh pimpinan untuk menggantikan tugas-tugasnya."
"itu juga kumaklumi. Apalagi belakangan ini jalan-jalan di Jakarta semakin
sering mengalami kemacetan lalu-lintas. Mengarungi jalan-jalan yang padat dan
semrawut seperti itu memang sering membuat orang jadi stres."
Selama lelaki itu berbicara, aku meliriknya. Sejak ketegangan terbentang di
antara kami berdua beberapa minggu lalu, percakapan yang ada di antara kami
lebih banyak bersifat umum dan pendek-pendek. Tetapi kali ini suda
h ada kalimatkalimat panjang meluncur dari mulut masing-masing. Kupikir, ini suatu tanda ke
arah yang lebih sehat. Atau setidaknya, lebih baik. Karenanya aku memakai kesempatan itu untuk mencoba mengurangi suhu ketegangan yang sudah telanjur menghalang di antara kami berdua sejak hari ulang tahunku waktu itu. "Mas, aku ingin minta maaf kepadamu mengenai
kadomu waktu itu," kataku kemudian. Kuatur kata-kataku dengan lebih hatihati. "Perhiasan itu sungguh indah dan anggun. Kau benar-benar sangat pandai memilihnya. Percayalah, dalam hal ini aku bukan cuma bicara basa-basi. Pujianku itu sungguh tulus karena sesuai dengan apa yang ada di hatiku. Dan kurasa pula, itu pun logis mengingat lima tahun lamanya kita hidup bersama sehingga sedikit atau banyak kau mengetahui seleraku. Tetapi meskipun demikian, aku merasa tak berhak untuk menerimanya. Terlalu bagus dan terlalu mahal buatku, terutama dalam situasi seperti sekarang ini." "Situasi yang bagaimana"" "Situasi tentang keberadaan orang ketiga di antara kita. Entah, yang disebut orang ketiga itu aku atau Mbak Astari. Tetapi yang jelas dalam situasi yang tidak menentu seperti ini tidak tepat kalau aku menerima hadiah semewah itu darimu. Kuharap kau mau memahami perasaanku."
"Aku memahami perasaanmu, Siska!" Mas Totok menjawab kata-kataku dengan suara lem-but. "Lupakanlah perhiasan itu. Aku bisa men-jualnya kembali, nanti."
"Atau bisa kau hadiahkan untuk Mbak Astari.... " Aku menyambung.
"Apa pun yang ada di antara diriku dengan Astari, dia bukan istriku. Sedangkan menurut pendapatku, hadiah seperti itu hanya pantas di-berikan oleh seorang suami kepada istrinya."
"Maaf.. " Rasa bersalahku semakin meluas. Tetapi apa boleh buat. Aku tidak ingin menerima benda apa pun dari lelaki yang sekarang ini mungkin mempunyai rencana hidup lain yang tak ada kaitannya dengan diriku lagi. "Sudahlah, lupakan itu semua."
"Aku juga minta maaf atas perkataanku yang kasar waktu itu. Kau pasti mengerti kan, Mas, situasi seperti saat ini yaitu dengan adanya orang ketiga di antara kita, suasana di sekitar kita menjadi tidak sehat lagi. Apa saja bisa menjadi ajang perdebatan dan pertikaian. Apa saja yang pernah didengar dan dirasa terutama yang bersifat negatif, dengan mudah bisa mempengaruhi pikiran kita."
kataku lagi. "Maka begitu melihat perhiasan mewah yang baru kali itu kau
hadiahkan kepadaku waktu itu, langsung saja aku berpikir bahwa benda itu kau
berikan kepadaku demi untuk mengurangi rasa bersalahmu. Maafkan kalau itu tidak
benar. Tetapi lepas dari soal itu, aku memang tidak berani menerima hadiah
sebagus itu. Jadi sekali lagi, maafkanlah aku."
"Kataku tadi, lupakanlah itu. Aku tak ingin membicarakannya lagi."
Sekarang aku terdiam. Baru sesudah membantunya mengeluarkan pakaian-pakaian
kotor dari tas pakaiannya, aku mencoba membuka pembicaraan lagi.
"Jangan lupa menghubungi Mbak Astari lho,
Mas. Kau ditunggu olehnya!" aku mengingat-kannya.
"Ya," jawab Mas Totok pendek. Satu jam kemudian, lelaki itu sudah pergi lagi. Entah, aku tidak tahu Apakah pergi ke kantor karena masih dua jam kantor bubar, atau pergi ke rumah Astari. Dia cuma pamit mau pergi, begitu saja. Tetapi ah, untuk apa aku memikirkannya. Aku sendiri mempunyai banyak urusan yang lebih penting. Apalagi sore ini aku juga masih mempunyai tugas mengajar. Demikianlah, kehidupan rutin pun mulai ber-jalan kembali. Tetapi dua hari berikutnya, ada sesuatu yang kelihatannya berbeda daripada biasa. Selesai mengajar hari itu, aku dipanggil direktur-ku ke ruang kerjanya. lni memang tidak biasa terjadi padaku maupun pada rekan-rekan sesama pengajar di tempat itu, Apalagi karena sikap Pak Santosa tampak begitu serius ketika mengatakan hal itu kepadaku. Dia sengaja menemuiku sendiri, jauh dari jangkauan telinga siapa pun. " "Setelah mengajar nanti, saya ingin berbicara dengan Bu Siska di kantor saya," begitu dia berkata pagi tadi.
Sekarang setelah aku selesai menunaikan selu-ruh tugasku hari itu, aku langsung menuju ke ruang kerjanya. .
"Duduklah, Bu Siska!" Begitu lelaki setengah baya itu berkata kepadaku ketika melihatku ma-m2 kantomya.
"Terima k asih...." Aku memilih duduk di ha-dapannya. Sebuah meja tulis besar memisahkan tempat duduk kami.
"Setelah beberapa tahun bekerja sebagai pengajar di lembaga ini, apakah lbu Siska mengalami kesulitan"" tanyanya begitu aku duduk.
"Kesulitan yang berarti tak ada. Semuanya baik-baik saja." "ibu senang bekerja di tempat ini"" Aku tersenyum
"Kalau tak senang, saya pasti tidak akan duduk di sini, Pak Santosa!" sahutku kemudian.
Pak Santosa membalas senyumku.
"Saya gembira mendengarnya," sahutnya kemudian. "Apalagi karena menurut penilaian kami, dan juga dari hasil angket yang disebarkan kepada para peserta kursus yang jumlahnya men-capai hampir seribu orang itu, Bu Siska menem-pati urutan yang sangat tinggi sebagai pengajar terbaik menurut pilihan mereka. Selamat, ya, Bu!"
"Terima kasih," kataku. Mengenai hal itu, aku sudah mendengar selentingannya. "Tetapi, Pak, penilaian semacam itu kan kurang akurat. Kelas-kelas tingkat dasar banyak yang belum mengenai saya."
"Kami memang tidak menyebarkan angket pada kelas-kelas pemula kok, Bu. Jadi meskipun tidak seratus persen akurat, setidaknya delapan puluh lima persen hasil angket itu bisa dipercaya.
Bagaimanapun juga, mereka yang duduk di kelas-kelas terakhir itu kan sudah cukup lama mengenai Bu Siska."
'Tetapi tentunya Pak Santosa tidak memanggil saya duduk di sini untuk
membicarakan hasil angket itu, kan"" Aku tersenyum lagi.
"Betul, Bu Siska." Pak Santosa juga tersenyum lagi. "Begini, Bu, para pimpinan
di sini meminta saya untuk menyampaikan suatu tawaran kepada Ibu. Cabang kita di
Bandung mulai menunjukkan perkembangan yang bagus. Bu Siska pasti sudah
mendengar itu. Peserta kursus di sana juga semakin banyak seperti halnya di
Jakarta ini. Rupanya, krisis ekonomi negara kita menyebab-kan banyak lulusan SMU
yang menunda masuk ke perguruan tinggi dan mengisi waktu luang mereka dengan
memperdalam bahasa Inggris. Nah, atas dasar itulah, ketika wakil direktur cabang
Bandung minta berhenti karena urusan keluarganya, kami semua mempunyai pendapat
sama. Lowongan itu pertama-tama kami tawarkan kepada Ibu!"
"Maksud Pak Santosa, saya diharapkan untuk menjadi wakil direktur cabang
Bandung"" tanya-ku, nyaris tak percaya.
"Ya." Pak Santosa menganggukkan kepalanya. 'Tetapi tentu saja Ibu bisa menolaknya seandai-nya merasa keberatan harus pindah ke sana. Kami tabu, Ibu mempunyai keluarga yang harus menjadi bahan pertimbangan." "Yah, memang demikian." "Jadi""
"Saya harus membicarakannya dengan suami. Dan juga saya harus memikirkannya secara masak-masak lebih dulu."
"Oh ya, memang seharusnyalah demikian." Bagaimana kalau untuk itu kami memberi waktu sekitar satu minggu kepada Bu Siska untuk memikirkan tawaran tersebut"" "Baiklah, Pak. Tetapi sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Ini betul-betul penghargaan luar biasa kalau meng-ingat umur saya yang masih muda begini. Sebab rasanya, pasti ada banyak para senior yang lebih pantas menempati jabatan itu daripada saya."
"Kami justru menyukai tenaga-tenaga muda berbakat seperti Bu Siska. Karena masa depan lembaga ini berada di tangan para kaum muda-nya. Bukan di tangan kami lagi, sebab kami-kami yang sudah tua ini sebentar lagi kan sudah hams pensiun!" Pak Santosa berkata dengan bersungguh-sungguh. "Jadi, Bu Siska, tolong tawaran kami ini dipikirkan dengan sungguh-sungguh." "Baiklah, Pak Santosa." Meskipun aku menginginkan jabatan itu, tetapi aku masih memiliki keraguan besar untuk menerimanya.
Sebab menerima tawaran itu berarti aku harus meninggalkan kota Jakarta. Lalu bagaimanakah
dengan tugas dan kewajibanku sebagai seorang istri" Sebab bagaimanapun suasana rumah tangga kami, sampai saat ini aku masih tetap istri Mas Totok. Sepatah kata pun soal _ perceraian tak pernah terucapkan. Baik oleh Mas Ibtok maupun olehku sendiri, meskipun beberapa kali keinginan seperti itu singgah dalam pikiranku. Lebih-lebih kalau Mas Totok sedang berlama-lama di tempat Astari. Aku merasa diriku seperti penghalang saja.
Sungguh, walaupun waktu satu minggu yang diberikan oleh Pak Santosa hampir berlal
u, masih juga aku belum bisa menjawab tawaran itu dengan suatu kepastian.
Ya atau tidak. Tidak atau ya. Kedua kata itu masih terus naik dan turun di kepalaku.
Padahal waktu terus berlalu. Jam antik di rumahku sering mengingatkan diriku bahwa hari terus berjalan. Bahwa umur dunia beserta seluruh isinya terus bertambah dan bertambah. Ada saat-saat di sepanjang perjalanan atau ziarah manusia menuju ke akhir hayatnya dia dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang harus ditentukannya.
Begitu pun diriku. Di hadapanku, ada sesuatu yang harus kupilih. Bedanya, keputusan memilih itu harus segera kulakukan secepatnya. Tetapi, masih saja aku belum mampu memutuskannya!
Hari ini hari yang kelima sesudah pembicaraanku dengan Pak Santosa. Dua atau tiga hari mendatang dia pasti memanggilku lagi untuk menge-tahui apa jawabanku. Bandung sudah berteriak-teriak minta bantuan segera. Mereka membutuh-kan tenaga untuk membantu Pak Satriya. Direktur cabang Bandung itu masih berada dalam kondisi kurang fit setelah menjalani operasi jantung.
Namun meskipun hari-hari terus berlalu dan waktu untuk memutuskan pilihan sudah semakin pendek, sampai saat ini aku masih belum juga mengambil keputusan yang pasti mengenai tawaran itu. Tetapi dari apa yang terjadi pada pagi hari itu, ada sesuatu yang mulai masuk ke dalam bahan pertimbanganku. Waktu itu Mas Totok sedang bersiap-siap berangkat ke kantor.
"Sudah lama kita tidak keluar bersama ya, Sis," tiba-tiba dia berkata kepadaku sambil me-raih kunci mobilnya. "Bagaimana kalau malam nanti kita makan di luar"" "Aku sih oke-oke saja."
"Bagus. Mudah-mudahan cuacanya bagus. Tidak hujan seperti kemarin." Manis sekali suara Mas Totok yang lembut dan bersahabat itu. Sudah lama sekali aku tidak mendengar sikap manis seperti itu. "Ya."
Menjelang sore Mas Totok meneleponku dari kantor dan membicarakan rencana makan malam itu sekali lagi. Seperti baru kencan pertama saja. "Kau tidak ada acara lain, kan"" tanyanya menegaskan.
"Tidak." "Sungguh""
"Sungguh. Kenapa sih kau bertanya seperti itu"" tanyaku heran. "Aku tidak ingin kau merasa terpaksa. Sebab barangkali saja kau lebih suka tinggal di rumah dan menonton film." Melalui kabel telepon itu aku mendengar perkataannya yang begitu hati-hati.
Lelucon yang tak lucu, pikirku. Kenapa dia jadi sungkan seperti itu"
"Kau kenal diriku kan, Mas," sahutku kemudian.
"Ya. Kau tidak akan mengatakan ya kalau hatimu mengatakan tidak."
"Nah, kau tahu itu. Jadi kenapa sih kau jadi sungkan begitu. Kalau aku tidak mau
makan di luar bersamamu pasti aku akan menolak ajakan"Tetapi, yah, siapa tahu jawaban setujumu itu disebabkan karena kau merasa tak
enak kalau menolak ajakanku!"
"Aku senang kauajak makan di luar kok, Mas. Sebab jujur saja, aku sering merasa bosan makan di rumah. Apalagi cuma sendirian. Sebagai manusia biasa, sekalisekali aku ingin me-rasakan suasana yang lain."
"Ya, kau benar. Tetapi sayangnya belakangan ini aku sering menelantarkanmu, sibuk dengan urusanku sendiri. Maafkan aku, ya, Sis."
"Kau tidak harus menemaniku terus-menerus. Ada orang lain yang lebih membutuhkan
ke-hadiranmu." "Maafkan aku, Sis."
"Kau tak perlu minta maaf kepadaku. Aku memahami situasinya kok. Suatu saat, bisa saja keadaannya jadi terbalik. Aku yang ganti menelantarkanmu karena urusan pribadiku. Jadi ayo-lah, hal seperti itu tak usah dipermasalahkan. Bukankah kita sudah sepakat mengenai hal itu jauh-jauh hari yang lalu, di malam pertama kita menjadi suami-istri""
"Ya." Suara Mas Totok masih saja lembut dan hangat. "Tetapi mudah-mudahan aku mampu membatasi diri dan bisa mengatur waktu sehingga tidak terlalu mengabaikan keberadaanmu."
"Sudahlah, kan sudah kukatakan tadi janganlah hal itu terlalu dipermasalahkan." "Tetapi aku sudah mempunyai rencana untuk
kita berdua, Siska. Kalau nanti aku mendapat tugas ke Batam lagi, aku akan mengajakmu. Dari sana kita bisa langsung ke Singapura sebelum kembali ke
Jakarta." "Memangnya kau mau ditugaskan ke sana lagi""
"Kalau tidak ada perubahan, tiga minggu lagi." Bukan karena aku ingin jalan-jalan ke Batam dan Singapura-lah maka malam itu aku sudah mampu menen
tukan suatu keputusan untuk menolak tawaran Pak Santosa. Juga bukan disebab-kan karena kami melakukan hubungan intim lagi semalam, setelah tiga bulan "berpuasa". Tetapi keputusan itu kuambil karena aku me-mikirkan dan menghormati perkawinan kami. Menilik sikap Mas Totok selama ini dan melihat usahanya untuk meraih kembali kedekatan kami berdua, aku tahu bahwa lelaki itu tidak ingin rumah tangga kami hancur. Dia masih menempat-kan kehormatan perkawinan kami di atas perasaan pribadinya pada Astari.
Memang harus kuakui, apa yang terjadi di sepanjang malam tadi ikut ambil bagian di dalamnya. Setelah makan malam di tempat yang romantis, kami berjalan-jalan di tepi laut sambil bergandengan. Sikap Mas Totok sangat manis kepadaku. Dan suasananya menyenangkan sehingga tak mengherankan kalau akhirnya hubungan intim suami-istri sesudah itu, tak terelakkan lagi. Kupahami pula kebutuhannya. Sebab bagaimanapun juga kami berdua masih hidup sebagai suami-istri. Singkat kata, keputusanku untuk menolak tawaran Pak Santosa itu memang lebih disebabkan karena rasa tanggung jawabku. Aku harus men-dahulukan rumah tanggaku. Kalau Mas Totok sedang berusaha merintis ke arah perbaikan, tak semestinya kalau aku malah berbuat yang se-baliknya. Jarak kota Jakarta ke Bandung sangat-lah jauh dibanding jarak dari rumahku ke tempat aku mengajar yang sekarang. Jadi begitulah. Dua hari kemudian ketika batas waktu yang diberikan kepadaku sudah habis, tekadku telah bulat untuk menyampaikan keputusan itu secepatnya. Besok, sebelum mulai mengajar, aku akan menemui Pak Santosa di ruang kerjanya lebih dulu. Mudah-mudahan dia tidak menjadi kecewa karenanya. Toh ada banyak nama lain yang jauh lebih baik daripada aku.
Setelah keputusan itu kuambil, perasaanku menjadi ringan. Sepanjang petang itu hatiku terasa lebih damai. Namun sayang sekali, kenyataan yang terjadi sejam kemudian mulai lagi merusak suasana hatiku. Bahkan menggoncangkan batinku. Betapa tidak" Mas Totok mengajukan suatu masalah baru yang tidak kusangka akan
ia kemukakan justru di saat suasana di antara kami berdua mulai membaik. "Siska, aku akan pergi keluar kota bersama Astari dan kedua anaknya," begitu ia berkata
kepadaku. "Apakah kau keberatan" Kalau ya, katakanlah dengan terus-terang. Maka aku akan mempertimbangkannya."
Ketika itu kami sedang menonton televisi. Ada film bagus dengan bintang-bintang ke-sayanganku. Mendengar pertanyaan Mas Totok, seluruh perhatianku yang semula tercurah ke layar kaca, hancur lebur. Tetapi tentu saja aku tak mau memperlihatkannya. Kucoba untuk memperlihatkan air muka yang tetap teduh. "Tentu saja tidak. Ke mana, Mas"" Duh, ter-nyata aku ini pandai bermain sandiwara. Padahal aku merasa sebal sekali kepada Astari. Bisa-bisanya menyuruh suami orang untuk menjadi pengawalnya
ke Semarang. Jumat sore berangkat dan Senin pagi sudah tiba kembali di Jakarta. Bagaimana"''
Berarti besok malam dia bersama Astari dan kedua anaknya akan berada dalam perjalanan ke Semarang seperti layaknya satu keluarga saja. "Pergi sajalah, Mas. Aku tidak apa-apa kok." Masih saja aku mengagumi betapa pandainya aku bermain sandiwara. "Pergi ke Semarang dalam rangka apa sih Mas" Anaknya yang sakit itu kan masih belum pulih sama sekali. Apa tidak berbahaya kalau dia melakukan perjalanan yang cukup jauh""
"Memang, Rudi masih belum sehat betul. Tetapi kami akan naik kereta api Argo Anggrek
sehingga perjalanan untuknya tidak terlalu me-lelahkan. Kereta api dengan tujuan ke Surabaya itu berhenti di Semarang selama tiga menit."
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Dalam rangka apakah kalian pergi ke Semarang itu""
"Adik Astari yang bungsu akan menikah. Dan itu adalah pesta terakhir dalam keluarga mereka. Jadi kehadiran Astari sangat ditunggu."
14m, begitu...." Kuanggukkan kepalaku untuk menunjukkan kepada Mas Totok bahwa aku memperhatikan kata-katanya.
"Kau benar-benar tidak merasa keberatan, Siska"" Mas Totok menatapku dengan
pandangan menyelidik.
Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Asalkan seperti peringatanku yang sudah-sudah, jangan melakukan sesuatu
yang melanggar aturan main."
"Itu pasti. Aku tidak akan lupa itu."
"Kalau begi tu, berangkatlah dengan tenang."
"Terima kasih atas pengertianmu, Siska!"
Kuanggukkan kepalaku lagi dan kualihkan kembali pandang mataku ke layar kaca. Tetapi pikiranku sudah tidak ada di tempat. Perasaan-kulah yang lebih banyak bicara. Apa yang di-sampaikan oleh Mas Totok tadi telah menggeser kebulatan tekadku untuk menolak tawaran Pak Santosa. Aku mulai memikirkannya lagi. Besok* keputusan itu harus kukatakan kepada Pak Santosa. Lelaki itu menunggu jawabanku. Tetapi saat itu aku benar-benar merasa jengkel
sekali. Kesabaranku sudah mulai menipis menghadapi pasangan kekasih lama itu. Astari sedikit pun tidak menghargai keberadaanku sebagai istri Mas Totok. Sungguh, tak bisa kupahami ada di manakah pikiran warasnya. Entah ke mana pula sikap sopan-santun dan tenggang rasanya. Kalau saja dia meneleponku untuk meminta persetujuan-ku, meskipun hanya basa-basi sekalipun, barang-kali rasa sebalku tidak sebesar ini. Dan celakanya lagi, aku yakin sekali kejadian semacam ini pasti bukan untuk yang terakhir kalinya. Esok atau lusa pasti Astari akan menyita waktu dan perhatian Mas Totok lagi. Dan seperti kerbau dicucuk hidungnya, lelaki itu akan menurutinya begitu saja tanpa mempertimbangkan hal-hal lain-nya. Sesungguhnyalah, cinta memang benar-benar buta. Beberapa jam kemudian ketika aku sudah ter-baring di atas tempat tidur, kulihat Mas Totok mengambil tas pakaiannya. Aku tahu apa sebab-nya. Karena seharian besok dia akan bekerja, kesempatan untuk menyiapkan apa yang akan dibawanya ke Semarang memang hanya pada malam ini saja. Kereta api yang akan ditumpangi-nya itu berangkat sekitar jam setengah sepuluh malam, kalau tak salah. Kalau besok dia tidak bisa pulang cepat, pasti akan terburu-buru jadinya. Melihat kesibukan Mas Totok malam itu, perasaan sebalku terhadap Astari semakin menjadi-jadi dan semakin menggunung. Bahkan kemudian terhadap Mas Totok pun pikiranku mulai dibauri suatu dugaan yang negatif.
Jangan-jangan, alasan Mas Totok mengajakku makan di luar dan juga sikapnya yang manis dalam dua hari terakhir ini adalah salah satu dari upayanya untuk menebus kesalahannya. Dengan kata lain, Mas Totok merasa bersalah karena telah mengambil keputusan untuk mendampingi perempuan yang bukan istrinya itu ke Semarang. Benar atau salah dugaan negatifku itu, yang jelas Mas Totok sudah menyediakan dirinya untuk menjadi pendamping Astari di tengah keluarga besarnya. Artinya, sadar atau tidak, sengaja atau tidak, keberadaan mereka berdua dalam pesta keluarga itu telah menjadi ajang pengu-muman hubungan mereka berdua. Berpikir seperti itu tiba-tiba saja aku merasa terasing. Ini sungguh merupakan suatu kenyataan yang pahit. Sebab rasanya, aku seperti berada di dunia yang sedang terbalik. Ya, dunia yang terbalik. Semestinya, Astari-lah yang merasa terasing karena dia yang berada di luar pagar. Tetapi, yah, bukan seperti itulah kenyataan yang terjadi. Sebab pada kenyataannya, akulah yang merasa terasing. Akulah yang merasa berada di luar wadah percintaan mereka berdua. Akulah yang berdiri di luar pagar.
Demikianlah, pada pagi hari berikutnya, ketika Mas Totok pamit ke kantor dan aku sedang memanasi mobilku, tekadku untuk sesegera
mungkin menemui Pak Santosa semakin membuncah. Hanya saja, ada perbedaan besar yang akan kusampaikan kepadanya. Kalau niatku se-mula akan menyampaikan penolakan atas tawarannya itu, kini aku bermaksud untuk menerimanya. Dengan disertai pemikiran, mungkin inilah jalan ke arah penyelesaian masalah yang ada di antara diriku dengan Mas Totok. Sebab kalau aku tidak berada di sisi Mas Totok, barang-kali saja bisul yang menyakitkan ini akan pecan. Sebab keberadaanku di antara mereka berdua jelas merupakan tembok pemisah di antara lelaki itu dengan Astari. Sedikitnya, merupakan batu sandungan bagi mereka berdua. Dan aku tidak suka itu, Sebab dengan ikhlas aku akan memberikan kebebasan buat mereka kalau itu sungguh dikehendaki.
Bahwa sekarang aku merasa sebal kepada keduanya, Posisiku sebagai seorang istri, dan lembaga perkawinan yang menempatkan diriku pada status pendamping Mas Totok dalam mengarungi kehidupan kami berdua i
tu, telah tercabik-cabik. Dan itulah sebenarnya yang aku tidak bisa
terima. Keduanya telah melccehkan diriku mau-pun Jembaga perkawinan itu sendiri. Seperti yang sudah kuduga, Pak Santosa merasa senang begitu mendengar keputusanku untuk menerima tawarannya itu. Matanya berseri-seri "Tetapi apakah suami Bu Siska tidak merasa keberatan"" tanyanya kemudian setelah rasa senang itu mulai menipis. Ada nada khawatir dalam suaranya. 1$P& "Suami mana yang merasa senang ditinggal istrinya sih, Pak"" Aku tersenyum munafik. 'Tetapi suami saya memahaminya. Selagi kami belum punya anak, mengejar karier sah-sah saja buat Saya. Begitu yang dikatakannya. Apalagi, jarak kota Jakarta dan Bandung tidaklah jauh. Seminggu sekali kami bisa bertemu." "Syukurlah kalau begitu." "Bolehkah saya tahu, Pak, kapan saya harus meninggalkan Jakarta"" "Secepat mungkin, Bu Siska." Aku menahan napas. Kusadari betul saat ini betapa sesungguhnya manusia tak memiliki daya apa pun terhadap dirinya sendiri kalau itu di-kaitkan dengan nasib atau takdir. Sulit ditebak. Sukar diperkirakan. Sebab, rencana apa pun kalau bukan nasib kita, itu tak akan terjadi. Buktinya, siapa yang akan menyangka bahwa dalam waktu dekat ini aku akan meninggalkan kota Jakarta. Buktinya pula tak pernah terpikirkan olehku sampai datangnya malam tadi, bahwa aku akan meniti karierku di kota Bandung. Kota, yang sudah beberapa kali kukunjungi tetapi yang masih juga belum kuakrabi itu. Di sanalah nantinya aku akan berjuang sendirian. Karena berita itu tak mungkin kusimpan sendiri,
pada hari Senin malam ketika Mas Totok sudah cukup beristirahat sepulangnya dari Semarang, hal itu kusampaikan kepadanya.
"Mas, aku akan ke Bandung!" Begitu kataku kepadanya. Aku belum mengatakan tujuan pokoknya"Ke Bandung" Dalam rangka apa kepergianmu itu""
"Aku mendapat tugas di sana." Masih juga aku belum mengatakan hal sebenarnya. 'Tugas siapa yang kaugantikan dan berapa lama kau akan bertugas di sana"" Aku menatap mata Mas Totok. "Aku tidak menggantikan tugas pengajar di sana, Mas. Tugas yang dipercayakan kepadaku adalah menempati posisi wakil direktur cabang Bandung yang saat ini kosong...." Akhirnya berita pokok itu kuucapkan.
"Lho, bukannya menggantikan tugas sesama pengajar sampai selesai semester ini""
Mas Totok mengerutkan dahinya. Kugelengkan kepalaku.
"Jadi maksudmu, tugas ini bukan tugas sementara"" Mas Totok bertanya lagi.
"Bukan." "Apakah itu artinya kau akan menetap di Bandung untuk waktu yang tidak diketahui sampai kapan berakhirnya"" "Ya, benar." "dan kau merasa gembira karenanva"" Mas
Totok menatapku dengan penuh selidik lagi. "Maksudku... kau tidak merasa keberatan meninggalkan rumah dan kota Jakarta ini""
"Rasa berat itu pasti ada, Mas. Kota Bandung masih asing bagiku. Hidup sendirian di sana pasti akan membuatku merasa terasing dan sedikit gamang. Apalagi seluruh keluargaku tinggal di Jakarta. Kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku ada
di sini semua. Begitupun dengan teman-temanku.... "
"Diriku tidak menjadi bahan pertimbangan rupanya," Mas Totok memotong perkataanku.
"Bukan begitu, Mas. Tetapi ada pertimbangan lain yang memasuki pikiranku tatkala tawaran Pak Santosa itu kupikirkan. Dia memberiku waktu selama satu minggu untuk berpikir."
"Pertimbangan lain apa itu, Siska"" Penuh rasa ingin tahu, Mas Totok menatapku. Air mukanya tampak sangat serius.
Aku ganti menatapnya. Dengan kesungguhan yang sama, kujawab pertanyaannya tadi. Aku harus memberikan argumentasi yang bisa di-mengerti dan diterima secara baik. "Begini, Mas, selama satu minggu lamanya aku berpikir dan berpikir mengenai tawaran Pak Santosa itu. Apa positifnya dan apa negatifnya bagi kita semua kalau tawaran itu kuterima. Aku juga telah mempertimbangkannya dari segala sudut pemikiran dan kepentingan. Setelah itu..." "Katakan secara jelas dan jangan berputar-putar, Siska!" Mas Totok memotong lagi perkataanku dengan tidak sabar.
Aku menarik napas panjang. Kupejamkan mataku sesaat lamanya.
"Mas, aku cuma mau mengatakan padamu bahwa keputusanku untuk menerima lamaran
bukan kuambil tanpa pemikiran yang mendalam lebih dulu. Apalagi s
ecara terburu-buru. Tidak sama sekali," sahutku kemudian. "Tetapi keputusan itu kuambil karena aku merasa ini ke-sempatan bagi kita semua untuk melakukan mawas diri atas segala sesuatu yang ada di seputar kehidupan kita ini. Dengan perginya aku nanti, keberadaanku di sisimu tak lagi terlalu menyela di antara dirimu dan Mbak Astari. Dalam hal ini aku yakin sekali, kau pasti kenal siapa diriku dan bagaimana aku berpikir. Menjadi ganjalan bagi orang lain apalagi bagimu, betapapun kecil-nya itu, sama sekali tidak kusukai."
Mas Totok terdiam, tak mampu berkata apa-apa lagi. Maka pembicaraan pun tak lagi
ber-lanjut. 6 Malam itu, malam terakhir aku menetap di Jakarta. Untuk waktu yang tak kuketahui lamanya nanti, aku akan menjadi penghuni kota Bandung. Di bawah tempat tidur, satu kopor besar berisi pakaianku, sudah kukunci. Siap untuk diangkat. Di sampingnya, terletak satu kopor kecil berisi buku-buku dan barang pribadiku yang lain. Kopor itu belum kututup mati. Masih ada beberapa barang seperti alat-alat kecantikan yang akan menyusul masuk ke dalam.
Besok hari Sabtu jam sepuluh pagi aku akan berangkat ke Bandung dengan kereta api Argo Gede. Sendirian saja. Mas Totok yang semula mau mengantarkanku sampai ke Bandung dengan mobilnya, membatalkannya. Lagi-lagi Astari yang menggagalkannya.
Perempuan itu minta ditemani oleh Mas Totok. Rumah di sebelahnya baru saja dirampok. Dia merasa takut sendirian hanya dengan dua anak yang masih balita dan seorang pembantu rumah tangga yang masih remaja. Jadi malam ini Mas Totok diminta menginap di rumahnya. Juga malam berikutnya. Sampai besok lusa kalau keponakan Astari sudah pindah ke sana.
Sekarang di malam terakhir ini, aku tidur sendirian. Aku belum merencanakan apakah aku akan pulang setiap seminggu sekali, dua minggu, atau satu bulan. Menurut teman-teman sesama pengajar di tempat kursus, kereta api dari dan ke Bandung selalu penuh di setiap hari Jumat sore sampai dengan Minggu malam. Jadi entahlah apakah aku akan mau bersusah-payah mencari tiket kereta api atau tidak. Naik mobil sendiri pun belum tentu juga aku senang. Kata teman-temanku itu pula,
jalan raya dari dan ke Bandung, macet. Baik yang melalui Puncak mau-pun yang melalui Purwakarta.
Entah mengapa, hatiku sedih sekali. Selama beberapa hari ini telepon di rumah terus ber-dering. Kedua orangtuaku, saudara-saudaraku, dan kakak Mas Totok yang ada di Jakarta menyuruh-ku berpikir sekali lagi. "Tidak baik kalau suami-istri berpisah tempat!" Begitu Ibu menyesali keputusanku. "Apalagi untuk waktu yang tak diketahui. Cobalah Siska, pikirkan sekali lagi keputusanmu itu!" "Sudah telanjur, Bu."
'Tidak ada istilah telanjur kalau itu berkaitan dengan masalah penting yang menyangkut per-kawinanmu, Siska." Ibu mulai marah. "Begitu sampai di Bandung sana, usahakanlah agar kau
bisa membatalkan keputusanmu itu. Kalau tidak bisa secara mendadak, ya pelan-pelan. Yang pen-ting, kau harus kembali ke Jakarta secepat mungkin yang bisa kau lakukan."
Entahlah, apakah Ibu akan berkata seperti itu seandainya beliau mengetahui macam apa perkawinan yang ingin kupertahankan ini. Kakak Mas Totok yang seorang pengusaha kaya malah menawariku pekerjaan.
"Kalau cuma untuk meniti karier saja, Sis, nanti kucarikan tempat yang bisa menuangkan gagasan dan potensimu!" begitu dia berkata. "Tetapi batalkan rencanamu pindah ke Bandung. Kasihan Totok. Dia pasti merasa amat kehilangan dirimu. Mendengar cerita-ceritanya tentang dirimu, aku tahu bahwa dia sangat mencintaimu."
Mendengar perkataan Mas Bambang, aku ingin tertawa. Pertama, karena dia tidak tahu bahwa aku pindah ke Bandung bukan karena karier atau semacam itu. Aku memang termasuk wanita yang menyukai berkarier di luar rumah. Aku juga selalu menyukai kemajuan dan tantangan. Tetapi hal-hal semacam itu bukan segala-galanya bagiku. Apalagi kalau sampai harus meninggalkan rumah tanggaku. Dan ini bukan masalah pendapat bahwa karier perempuan yang paling tepat adalah di dalam rumah tangganya. Bukan begitu. Melain-kan masalah pilihan yang kuambil menurut keinginanku yang paling murni. Pilihan yang ku-ambil menurut pendap
atku pribadi. Menurut hakku
sebagai seorang individu yang mandiri. Bukan menurut kata ibuku. Bukan
menurut kata siapa pun. Bahkan juga bukan menurut ajaran-ajaran dan budaya yang
terinternalisasi dalam diriku.
Mungkin justru karena hal itulah maka aku merasa sedih. Sebab sejujurnya aku tidak ingin meninggalkan kota Jakarta, sebenarnya. Pindah ke Bandung dan menjadi wakil direktur di sana, memang merupakan suatu tantangan tersendiri bagiku. Tetapi untuk saat ini, aku belum siap menghadapinya. Daya pikat tantangan itu tak terlalu kuat dibanding keinginanku yang masih ingin tetap bekerja di Jakarta. Tetapi yah, inilah pilihan yang saat ini harus kutempuh demi Mas Totok. Itu hal pertama yang menyebabkan aku ingin tertawa ketika mendengar perkataan Mas Bambang di telepon kemarin dulu. Hal kedua yang menyebabkan aku tertawa di dalam hati adalah perkataannya yang mengatakan bahwa Mas Totok mencintaiku. Apalagi mengatakan bahwa Mas Totok pasti merasa kehilangan diriku. 'Entah dari mana kesimpulan itu diambilnya. Aku yakin, dia pasti akan terheran-heran kalau tahu Mas Totok saat ini sedang tidur di rumah perempuan lain. Apalagi malam ini adalah malam terakhir aku berada di Jakarta. Entahlah, apakah kehidupan perkawinanku juga akan segersang ini seandainya aku menikah dengan Victor.
Pedang Sakti Tongkat Mustika 20 Makam Bunga Mawar Karya Opa Cinta Berlumur Darah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama