Ceritasilat Novel Online

Bidadari Tajir 2

Bidadari Tajir Karya Benny Rhamdani Bagian 2


"Insya Allah," timpal Bu Alin meskipun agak ragu.
Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Om Andre datang. Tiwi mendahului Bu Alin menyambut tamunya. Bibir Tiwi tersenyum melihat penampilan Om Andre dengan pakaian kasualnya. Jauh lebih keren ketimbang mengenakan baju kantoran.
Betapa girangnya Tiwi ketika Om Andre kemudian memberikan buku Da Vinci Code karya Dan Brown versi bahasa Inggris yang memang sejak lama diinginkannya. Om Andre juga membawakan kado bola basket bertanda tangan Michael Jordan untuk Hendri.
Wajah Hendri tamp ak masam saat menerimanya. "Ayo, Hendri, ucapkan terima kasih, dong!" desak Tiwi.
"Makasih," ujar Hendri datar. Tiwi jadi tak enak hati.
"Nggak apa-apa. Semua bisa diatasi nanti," bisik Om Andre.
Namun, ketika acara makan malam dimulai suasana malah makin kacau. Hendri membuat keriuhan dengan mengaduk-aduk nasinya. Dia juga dengan santai membuat kegaduhan dengan menyenggol gelasnya hingga pecah.
Bu Alin berusaha menahan rasa kesalnya. Tiwi
beberapa kali melotot ke arah adiknya agar bersikap sopan. Tapi usaha itu sia-sia. Hendri malah ngamuk dan meninggalkan meja makan.
"Maaf ya, Om Andre ...!" Tiwi jadi merasa bersalah.
Om Andre berusaha menenangkan suasana.
Setelah Om Andre pergi, Tiwi mendahului mamanya ke kamar Hendri. Dilihatnya, Hendri lagi asyik main PS-2, seolah tak pernah membuat kesalahan di meja makan tadi.
Tiwi mengatur napasnya agar tak menghakimi Hendri.
"Hen, sikapmu malam ini di depan tamu sama sekali nggak bagus, tau"!" ujar Tiwi seraya mendekat.
Hendri tak menanggapi. "Om Andre kan, nggak punya salah apa-apa sama kita," lanjut Tiwi. "Punya." "Oya" Apa""
"Pokoknya, Hendri nggak suka sama Om Andre." "Kenapa" Apa Hendri nggak ingin punya papa lagi""
"Pengin. Hendri pengin punya papa lagi, tapi bukan Om Andre!" "Kenapa""
"Habisnya, Om Andre ngasih bola basket yang bertanda tangan Jordan. Hendri nggak suka. Berarti, Om Andre pendukung Jordan. Padahal, Jordan itu pemain kesayangan Lukas di kelas. Hendri musuhan sama Lukas
Tiwi hampir tergelak mendengar alasan itu. Pikirannya terlalu jauh tadi. "Oooh itu karena Om Andre nggak tahu. Soalnya, Minggu lalu kamu yang bilang suka Jordan. Jadi, Mama yang kasih tau kalo Hendri suka Jordan."
"Nggak. Mulai kemarin, Hendri suka Shaq O'Neal."
"Ya, udah nanti dibilangin deh, sama Om Andre. Tapi janji ya, kalo Om Andre ke sini jangan kayak tadi lagi!"
Hendri menyimpan joystick ke karpet. Matanya berbinar. "Jadi, Om Andre mau ke sini lagi bawain bola basket yang ada tanda tangan Shaq O'Neal" Asyiiik ...! Kalo bisa jangan lama-lama, ya. Besok aja suruh datang lagi. Biar Hendri bisa pamerin langsung bolanya ke Lukas!" Hendri melompat girang.
Tiwi menarik napas lagi. Lega.
Semilir INE mendapat jatah bulanannya. Rekeningnya juga bertambah lantaran dia berhasil membujuk beberapa pamannya dengan alasan butuh beli buku. Melihat kondisi keuangannya itu, Ine memberanikan diri mengajak Kikan jalan.
"Gue yang traktir, deh. Sekalian pengin bayar utang, nih," ajak Ine lewat HP-nya. Dia mulai terbiasa mengucapkan "gue-elo".
Setengah jam kemudian, Kikan ngejemput Ine. Di mobilnya juga ikut dua teman Kikan dari sekolah lain, Levi dan Cindy.
"Tadi, gue juga udah nelepon Danu dan temen temennya. Nanti, kita ketemuan aja di PS," jelas Kikan sambil menyetir mobil.
Ine tambah bersemangat mendengar nama Danu. Di benaknya, ia langsung memikirkan hal-hal yang akan dilakukannya nanti. Pertama, Ine ingin tau alasannya kenapa Danu nggak pernah nelepon dia, bahkan mengirim SMS. Kalo Danu benar-benar tertarik padanya, seperti kata Kikan, seenggaknya
kirim SMS, dong. Kedua, Ine akan lebih agresif lagi seperti Kikan dan teman-temannya.
Saat bertemu Danu di lobi Cineplex, jantung Ine berdegup keras. Ternyata, Danu datang juga dengan tiga temannya yang baru Ine kenal. Seseorang berambut jabrik langsung dideketin Kikan, seorang indo Jerman langsung dideketin Levi, dan seorang lagi ....
"Namanya Aryo. Dia juga dari Yogya. Kayaknya cocok dengan kamu. Jadi bisa kangen-kangenan," kata Danu saat mengenalkan Ine pada Aryo.
Ine terbelalak. Kok gitu, sih" Ngapain gue di-jodohin sama cowok berambut keriting ini" Ine protes dalam hati. Dia paling alergi sama cowok keriting. Dia keluarganya, nyaris semua cowok berambut keriting. Makanya, Ine berharap punya cowok berambut lurus kayak Danu. Syukur-syukur yang model Jerry Yan.
Ine ingin protes sama Danu dan Kikan. Apalagi, kemudian Ine melihat Danu langsung ngedeketin Cindy dan menatapnya mesra. Tapi, Ine tak kuasa melakukan apa pun. Apalagi, Kikan langsung melotot ketika Ine menunjukkan rasa tidak suka terhadap Aryo. Inilah ketotolanku, Ine pasrah.
"Ayo, Ne, beli tiketnya
langsung delapan orang," Kikan malah mendesak Ine ke loket.
Dengan memendam kesal, Ine membelikan tiket, termasuk orang-orang yang baru dikenalnya. Dan, sepanjang film diputar, Ine merasa ingin cepat pulang. Gimana, nggak" Aryo terus nyerocos dalam bahasa Jawa yang sebenarnya ingin dia hindari.
Namun, Ine tak bisa meninggalkan siksaannya itu Kikan membuat acara dadakan, minta ditraktir di foodcourt bersama teman-temannya.
"Pama/i kalo abis nonton nggak makan-makan dulu. Lagian, nonton itu butuh energi buat ketawa dan nangis," cerocos Kikan, seolah sedang mengeluarkan fatwa.
Alhasil, begitu pulang, di rumah Ine meratapi dompetnya yang tak menyisakan uang lagi. Jatah bulanannya langsung habis lantaran Kikan juga menagih utangnya tadi.
"HALO! Assalamu 'alaikum." "Wa 'alaikum salam."
"Maaf, baru nelepon lagi. Baru beres dinas luar kota. Kamu dan Tante Ester baik-baik aja, kan""
"Alhamdulillah, sehat semua."
"Cuma mau minta maaf atas ucapanku beberapa hari lalu. Maaf udah tancang melamarmu di depan Tante Ester."
"Ya, aku tahu. Pasti itu bercanda, kan""
"Siapa bilang" Aku serius, kok! Pokoknya begitu kamu lulus SM A nanti, aku akan melamarmu. Ya, kecuali kamu sudah punya calon lain ..."
"la ... tapi "Kamu nggak menentang pernikahan dini, kan"
Ya, aku mengerti kamu pasti punya cita-cita ingin kuliah dulu. Tenang saja, aku nggak keberatan punya istri sambil kuliah."
"Kita ngobrol yang lain aja, ya!" Aduh, Risma jadi nggak nyaman banget ngobrol sama Ridhan.
"Soal Tante Ester" Minggu depan, aku dan ayahku akan datang melamar Tante Ester. Baru aja aku ngomong sama Tante Ester. Dia agaknya mau mengasihani aku yang terus mengemis padanya agar mau jadi ibuku."
"Aku belum tau kabar itu. Tante Ester nggak menyinggung soal ini siang tadi."
"Kalo kamu setuju, pernikahan Tante Ester dengan ayahku, berarti lamaranku juga diterima nanti, ya""
"PERNIKAHAN dini" Aku sih, nggak masalah. Kalo udah ada jodoh, mau ngapain lagi" Cuma masalahnya, sampai sekarang nggak ada yang mau deket sama aku," komentar Dodo saat Risma ngomongin pernikahan dini.
Mereka berada di pojok kantin Bu Roso, tanpa Ine lagi.
Tiwi berprinsip sama. "Aku juga nggak mau lama lama menunda pernikahan. Apalagi kalo jodohku seperti Om Andre," katanya.
"Ya ampun, Tiwi. Seharian ini, kamu ratusan kali
menyebut nama calon papamu. Jangan-jangan, kamu yang jatuh cinta sama Om Andre," sergah Voni.
"Nggaklah! Aku tau menempatkan diri. Aku memang kesengsem sama Om Andre. Bukan apa-apa
aku memang mendambakan suami yang perfect buat ibuku. Dan kurasa, wajar kalo aku berulang kali menyebut namanya pada kalian. Heh, kalian masih sahabatku, kan""
"Ya, syukur deh, kalo masih nyadar," timpal Dodo.
"Kurasa yang sedang jatuh cinta,sebenarnya Risma. Tuh, ujug-ujug ngomongin pernikahan dini. Dengan siapa" Orang Bandung, ya"" tuding Tiwi.
Risma merona. Ia kemudian menceritakan masalah yang tengah dihadapinya. Perasaannya sedikit lega setelah berbagi kegundahan.
"Aku sih, setuju aja kamu nikah buru-buru. Dua tahun lagi berarti. Wah, kita bisa cepat punya keponakan dong, nih," seru Tiwi.
"Idih, siapa yang mau buru-buru punya anak"! Pernikahan dini bukan berarti buru-buru punya anak, kan""
"Aku juga dukung kamu sama Bang Ridhan. Dia baik banget kelihatannya. Dewasa, lagi," sahut Voni.
Cuma Dodo yang tak berkomentar karena belum mengenal Bang Ridhan. "Pokoknya, nanti kalo resepsi pernikahannya, aku yang nentuin menu hidangannya," celetuknya. Seperti biasa, tak jauh dari urusan perut.
"Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku udah dapat undangan dari Bang Dimas. Kita semua
diundang datang. Termasuk, Ine
"Tapi, Ine ...." Dodo yang memotong tak melanjutkan kalimatnya.
Ya, mereka sudah tak sekadar nebak-nebak lagi. Faktanya udah mereka dapatkan, Ine memilih bergabung dengan Kikan sekarang. Bahkan, tadi pagi Ine memutuskan pindah duduk semeja dengan Kikan.
Debur Ombak RISMA tak bisa memendam sendiri masalah yang tengah dihadapinya. Akhirnya, ia mengutarakan isi hatinya kepada ibunya.
"Kamu juga tau ibu dulu menikah begitu lulus SMA. Alasan ibu cukup kuat. Ibu tak mampu kuliah dan keadaan kakekmu sangat miskin.
Satu-satunya cara yang Ibu pikirkan saat itu adalah menikah. Dengan begitu, Ibu bisa lepas jadi tanggungan keluarga. Mulanya, Ibu gelap soal pernikahan, tapi alhamdulillah Ibu mendapat jodoh seseorang yang amat bertanggung jawab
Risma mengangguk. Posisinya kini tak jauh dengan ibunya.
"Jadi, kalo memang ada yang akan melamarmu begitu lulus nanti, dia harus mengenal betul keadaan keluarga kita
"Ya, Bu. Bang Ridhan janji akan ke sini secepatnya."
"Syukurlah. Satu lagi yang penting, kamu harus
bisa menerima calon suamimu dan mencintainya sepenuh hati."
"Risma belum tau soal cinta sepenuhnya.Tapi hati Risma bilang, Bang Ridhan itu serius dan bertanggung jawab. Masih ada waktu untuk saling mengenal. Kalopun nanti nggak jodoh, ya ... Risma juga rela, kok."
"Ya, Ibu percaya, kamu cukup dewasa untuk memutuskan hal ini."
Risma memeluk ibunya. Ia merasakan kehangatan yang meredam kegelisahannya. Dia tak akan lagi ragu menjawab pertanyaan Ridhan kelak. Ia sudah punya keputusan sekarang.
TANPA janji, Ine menyambangi rumah Kikan untuk pertama kalinya. Dia udah nyoba ngasih kabar lewat HP, tapi SMS yang dikirimnya terus pending, sedangkan saat dihubungi langsung malah mailbox.
Rumah Kikan sangat modern. Berbeda banget dengan rumah Ine yang serba berbau tradisional mulai bangunan sampai perabotnya serba berukir.
Seorang wanita setengah baya dengan rambut sasak menjulang. Ine sempat mengira-ngira zodiak wanita itu. Pasti Leo. Soalnya, rambutnya mirip surai singa, sih!
"Assalamu 'alaikum, Tante. Kikan ada""
"Kikan udah pergi dari tadi. Duduk dulu. Siapa,
ya"" "Saya Ine, Tante," kata Ine sambil duduk di kursi teras.
"Ine teman sekelas Kikan""
"Iya, Tante." Ine bersyukur, Kikan udah ngasih tau tentangnya sama mamanya, jadi dia nggak perlu repot mengenalkan diri.
"O, iya ...gimana kabar ibumu yang baru operasi jantung" Kasihan, ya! Pasti kebanyakan kolesterol tuh, makanya stroke."
"Stroke"" "Uang yang tiga juta itu biar nanti aja bayarnya. Nggak enak kan, kalo Tante tagih utang kamu buru-buru. Yang penting, ibu kamu sehat dulu. Kikan sampai nangis-nangis waktu bilang sama Tante."
"Utang"" "Iya. Kamu kan, pinjem uang buat biaya operasi ibu kamu ke Kikan minggu lalu. Nah, terus Kikan bilang sama Tante. Karena kamu sahabat Kikan, ya ... Tante pinjami."
Ine langsung berdiri. "Maaf, Tante. Saya nggak pernah ngutang sama siapa pun! Ibu saya juga nggak dioperasi jantung atau stroke segala."
"Tapi, kamu Ine teman sekelas Kikan, kan" Yang dari Yogyakarta, kan" Ngomongmu aja masih medok gitu. Masa Kikan bohong""
"Terserah Tante mau percaya siapa. Tapi, saya nggak pernah ngutang sebanyak itu sama Kikan. Saya memang pernah ngutang tiga ratus ribu, tapi sudah saya lunasi. Maaf, saya permisi, Tante!"
Ine langsung ngacir meninggalkan rumah Kikan dengan perasaan dongkol. Ia benar-benar kecewa sama Kikan yang seenaknya memakai nama Ine buat morotin duit ibunya sendiri.
Ine langsung menghapus nama Kikan dan teman-teman Kikan dari HP. Tapi sejam kemudian, Kikan meneleponnya. Bukan minta maaf, malah nyerocos menghardik Ine.
"Lagian, eh ngapain ke rumah gue segala tanpa janji" Uh, dasar kampungan! Nggak tau ya, kah mau ke temuan kudu janjian dulu. Norak! Pokoknya, aku nggak mau nyomblangin kamu lagi sama Danu atau Aryo. Titik!"
Ine malah bersyukur. Dia juga nggak mau lagi mendengar atau mengingat nama Danu dan yang lainnya. Ine udah patah hati sebelum dipacari Danu! Apalagi temannya yang keriting dan selalu ngomong bahasa Jawa itu! Itu benar-benar kencan terburuk yang ogah diingat Ine. Wueks!
Tiba-tiba aja, Ine merasa kangen sama Risma, Voni, dan Tiwi. Marahkah mereka" Ine membatin.
Buru-buru, Ine mengirim SMS yang isinya sama kepada tiga sahabatnya, ditambah Dodo.
Aku msh jd shbt kalian, kan"
"UDAH deh, Ne. Ini sepenuhnya bukan kesalahanmu. Kita-kita juga salah. Belakangan, kita
emang lagi sibuk ama urusan masing-masing, jadi kamu terabaikan," kata Tiwi bijak.
Pinggir kolam rumah Dodo jadi saksi berkumpulnya kembali Ine dan Tiwi, Risma, dan Voni. Seperti biasa, kalo ada Dodo, makanan pasti berlimpah.
"Untungnya, sekarang semua masalah kami udah terselesaikan s
edikit demi sedikit. Cuma yang namanya masalah kan, nggak mungkin ilang terus," lanjut Tiwi yang memang bertindak sebagai ibu asuh di antara mereka.
"Persoalanku dengan Bang Dimas udah selesai. Jadwal syutingku juga udah mulai dikurangi ibuku. Bentar lagi kita ujian semester, terus tahun depan kita lulus, kan"" sambung Voni.
"Masalah Tante Ester mulai berkurang. Setelah menikah bulan depan, Tante Ester akan pindah ke Bandung. Nanti bantu aku ya, pindahan menempati rumah Tante Ester. Jadi, kalian nanti juga bisa kumpul-kumpul di tempatku.
"Horeee ...! Makan-makannya harus banyak, lho!" timpal Dodo.
"Iya. Terus, soal Bang Ridhan"" tanya Tiwi.
"Soal Bang Ridhan, sudah kudiskusikan sama ibuku. Pada prinsipnya, ibuku tak keberatan jika aku menikah selepas SMA nanti. Aku sendiri nggak mau muluk-muluk dulu, biar hubunganku dengan Bang Ridhan berjalan apa adanya. Kalo memang jodoh tak akan ke mana."
"Aku juga udah nggak punya masalah berat lagi di rumah. Ibuku mungkin menikah dua bulan lagi. Hendri mulai akrab sama Om Andre ... eh, calon
papaku. Berarti, aku udah punya banyak waktu lagi sama kalian. Dan soal Kikan, ... kalo emang kamu masih kesel ama dia, biar aku dan Voni yang akan menghajarnya
"Jangan! Nggak usah. Biar yang kemarin itu jadi pelajaran buatku. Ndak usah menyalahkan orang lain atas ketololan yang kuperbuat."
"Iiih kalian curang!" protes Dodo. "Sementara kalian bebas dari masalah ... aku masih pusing mikirin berat badanku yang nambah tiap hari. HUUUAAA ...!!!"
Empat bidadari itu langsung tertawa kompak.Lalu, mereka bersamaan mendorong Dodo nyebur ke kolam.
BYURRR ...! Sambil menyelamatkan diri, mulut Dodo melontarkan sumpah serapah.
HP Risma berbunyi. Buru-buru Risma mengangkatnya. Lima detik kemudian, Risma terjatuh lemas. HP di tangannya pun terbanting ke lantai!
"RISMA ...!!!" Cuma Seratus Jeti RISMA masih berdiri dengan pundak terus berguncang. Matanya menatap gundukan tanah merah di depannya. Ia setengah tidak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya.
Tante Ester meninggal karena stroke. Ajalnya tiba setelah semalaman koma di rumah sakit.
"Ris, yang lain udah pada pulang. Kita nggak bisa terus di sini. Mana mau ujan lagi
Risma melirik Tiwi di sampingnya. Ia lalu merebahkan kepalanya di bahu. Sambil berjalan ke pintu gerbang kompleks pemakaman, Risma masih terisak.
Di tempat parkir, Om Surya dan Ridhan menunggu mereka.
"Risma, mau bareng kami"" ajak Om Surya sambil mendekat.
"Nggak, Om. Risma mau bareng teman." "O, iya, Pak Lubis udah nemuin kamu" "Iya, tadi. Sebelum pemakaman."
"Oh, bagus kalo begitu. Om pamit, ya! Selama seminggu ini, Om masih di Jakarta. Kalo ada apa-apa, kasih kabar lewat Ridhan ya!"
"Baik, Om ...."
Om Surya dan Ridhan masuk ke mobil mereka.
Risma mengikuti Tiwi masuk ke mobil Voni. Sebentar Risma celingukan. Ia barus sadar telah kehilangan jejak ibu dan adik-adiknya.
"Keluargamu udah diantar pulang sama Dodo tadi," jelas Ine buru-buru, seolah tau kegelisahan Risma. Mobil yang ditumpangi empat sahabat itu pun melaju.
"Ngomong-ngomong, Pak Lubis itu siapa"" tanya Tiwi penasaran. "Pengacara Tante Risma." "Oh ..."
Dari kejauhan, sepasang mata milik cewek cantik mengikuti langkah Risma.
BELUM hilang keterkejutan Risma dengan kenyataan kehilangan Tante Ester pekan lalu, hari ini Risma dikejutkan kenyataan lainnya.
Siang sepulang sekolah, Risma dijemput orang suruhan Pak Lubis. Meskipun sedikit heran, Risma akhirnya menurut pergi ke kantor Pak Lubis. Risma hanya menganga ketika melihat interior kantor Pak Lubis yang mewah.
"Silakan masuk," sambut Pak Lubis sambil tersenyum. Kumisnya bergerak sedikit.
Risma masuk lagi ke sebuah ruangan. Dia kaget lagi melihat isi ruangan itu. Ada sebuah meja besar yang lonjong. Di keliling meja itu, Risma melihat Om Surya, Ridhan, seorang pria, dan dua wanita.
"Nak Risma, tentunya sudah kenal dengan Pak Surya dan Ridhan. Lalu, itu Pak Nasution, dari konsultan keuangan yang selama ini dipercaya mengurus finance milik Bu Ester. Di sampingnya, Mbak Rita sekretaris Pak Nasution, lalu ada Mbak wanti, sekretaris saya
Risma menebar senyum ke seisi ruangan. Dia agak lam
a menatap Ridhan, berharap mendapat penjelasan situasi ini. Tapi Ridhan hanya mengangguk kecil, seolah-olah berkata, "kamu tenang aja."
Risma kemudian duduk di sebelah Pak Lubis. Ada satu bangku kosong di sampingnya. Risma mendapat jawaban penghuni bangku itu semenit kemudian, ketika ibunya datang.
Tanpa banyak basa-basi, Pak Lubis menjelaskan maksud pertemuan itu. Singkatnya, ia diberi tanggung jawab membuka catatan wasiat dari Tante Ester dalam hal pembagian harta warisan. Nama-nama yang diundang terkait erat dengan catatan wasiat itu.
"Seluruh harta milik Nyonya Ester menurut catatan Pak Nasution, keseluruhannya mencapai tiga ratus miliar enam ratus tujuh puluh lima juta
Risma menganga mendengar angka-angka itu.
"Tanah, rumah, dan isinya, dan kendaraan
diberikan kepada Bu Lastri
Risma melirik ibunya yang sempat terlonjak kaget dari duduknya.
"Seratus juta rupiah kontan diberikan untuk Risma, berlibur, berbelanja apa pun yang dia mau
Beberapa orang mengernyit aneh mendengar isi wasiat itu.
"Harta yang ada kupercayakan sepenuhnya dikelola orang-orang kepercayaanku seperti biasanya. Dengan catatan, mereka memberi biaya rutin untuk hidup, pendidikan, dan semua kebutuhan keluarga Bu Lastri. Hingga saatnya Risma menikah, semua kekayaanku jatuh padanya Kejutan!
Ya, apalagi Om Surya tak disebut-sebut sedikit pun dalam surat wasiat itu. Padahal menurut catatan, surat wasiat itu dibuat sehari sebelum Tante Ester meninggal. Ya, saat-saat persiapan menuju pernikahannya dengan Om Surya.
ADA seribu satu perasaan bergejolak di hati Risma. Mulai rasa bingung, galau, cemas, sedih ... tentu aja, bahagia masuk di dalamnya. Risma nggak mau munafik, bahkan kini ia merasa terpental ke atas langit.
Seratus juta kontan itu langsung berada di tangannya, sehari setelah pembacaan surat wasiat itu. Juga semenit setelah keluarganya menempati rumah Tante Ester. Untuk sementara, Bu Lastri juga belum tau mau diapakan rumah peninggalan suaminya. Yang jelas, tidak akan dijual.
Risma berniat menabungkan uang itu. Tapi Pak Lubis melarang.
"Sebisa mungkin, uang itu dihabiskan untuk bersenang-senang dalam seminggu. Belanjakan untuk segala kebutuhanmu saja. Urusan ibu dan adik-adikmu sudah kami tangani."
Risma melongo. Akhirnya, ia memutuskan menghubungi teman-temannya lewat HP. Terpaksa, Risma menjelaskan hal yang ingin dirahasiakannya.
"Apa" Seratus juta"!" tanya Ine mengulang.
"Asli, kan"" tanya Voni.
"Hah"! April mop masih lama, Non!" gitu reaksi Tiwi.
Ketiganya memang rada sangsi. Tapi Risma bukan jenis teman pembohong. Jadi, dalam tempo lima belas menit, mereka langsung tiba di tempat kediaman baru Risma.
"Ayo, ceritain sejelasnya apa yang sedang terjadi!"" Tiwi langsung menyeret Risma ke taman di belakang rumah.
Dengan cepat, Risma menceritakan soal wasiat yang dibuat Tante Ester tentang harta waris. Ketiga temannya langsung menggeleng takjub.
"Tugas kalian adalah membuat daftar yang bisa kita kerjakan bareng hari ini untuk menghabiskan uang seratus juta," ujar Risma kemudian. Ia
membagikan notes untuk tiga temannya. Dalam tiga menit, mereka langsung mengembalikan.
Usulan Tiwi: 1. Ke toko buku. Borong sepuluh buku best seller bulan ini, plus aneka ensiklopedia, beli semua teenlit dari Penerbit CINTA.
2. Ganti tas sekolah dengan model baru. Jangan lupa tiga cadangan dengan warna yang berbeda.
3. Beli notebook sama PC, plus aneka gadget lainnya. Jangan ketinggalan i-pod dan PDA.
4. Order jaringan Internet broadband. Langganan seumur hidup.
5. Pasang parabola sama teve kabel. Discovery Channel penting.
6. Ke salon, perawatan lengkap.
Usulan Voni: 1. Spa, manicure, pedicure, pokoknya beautycare, deh! Salon kelas satu!
2. Music store. Beli keyboard, belajar nyanyi juga perlu, siapa tau elo jadi juara Indonesia Idol pertama yang pake jilbab. I-pod jangan lupa.
3. Ganti HP. Beli video camera digital biar ke mana-mana ada dokumentasi.
4. Fashionistaf Belanja-belinji baju sepuas puasnya.
5. Leather things. Dompet, tas, sabuk ... asal jangan cambuk kulit aja. Ngeri be-ge-te!
6. Gimana kalo buat bayar DP beli mobil cabrio
(merek apa aja, deh). Biar nggak usah
pake AC. Warna wajib pink.
Usulan Ine: 1. Tiket terusan dugem. Ada nggak, seeeh"
2. Lengkapi koleksi parfummu. Botolnya yang lucu-lucu, ya. Eits, bukan berarti bau badan, lho!
3. High heels. Kalahin tuh koleksi sepatu Madam Imelda Marcos. Bisa, nggak"
4. Belanja baju. WAJIB! 5. Udah tau eyeliner baru yang antiair dan keringat" Warnanya sampe 12 rupa dan bisa berubah sesuai mood.
6. Spa! Risma cekikikan membacanya. Akhirnya, ia merangkum sendiri jadwal bepergian untuk hari ini. Tujuan pertama adalah perawatan spa. Dia sendiri baru sekali merasakan ketika Voni dapat voucher gratis dari sponsor. Tapi namanya gratisan, perawatan yang didapat nggak full.
Voni merujuk satu spa tradisional kelas satu di Jakarta. Dari lobinya saja, mereka langsung mendapat pelayanan yang menyenangkan. Ada pelayanan mandi lumpur, mandi susu, dan jenis mandi lainnya yang membingungkan Risma. Untungnya, Voni paling jago urusan begini.
"Mau sedot lemak juga bisa. Sayang, Dodo lagi ada acara sama eyangnya bisik Tiwi.
Mereka akhirnya mengambil perawatan tubuh
dan wajah lengkap untuk paket tiga jam. Tentu aja, mereka melewati semua tahap berbarengan jadi masih bisa ngerumpi sambil ketawa-ketiwi bareng.
Kriiikkk Risma melihat screen HP-nya. Ridhan yang menelepon.
"Lagi ngapain dan di mana ""
"Sama teman-teman, di tempat khusus perempuan."
"Oh, iagi shooping ya"" "Nggak juga. Belum, kok."
"Oke , selamat bersenang-senang. Salam buat yang lain! Assalamu 'alaikum"
"Wa 'alaikum salam."
"Cieee ... dari calon, ya"" ledek Ine.
"Aduh, nggak usah merah gitu, dong pipinya.Kan, belum pake blush on," lanjut Voni.
"Iiih, norak, ah!"
Beres melewati proses body and face treatment, mereka langsung ngacir ke Plasa Senayan. Risma mengizinkan teman-temannya memilihkan satu stel pakaian yang cocok untuknya, kemudian masing masing mendapat satu stel. Tapi rencana itu berubah. Entah berapa potong baju yang kemudian dibeli. Bosan ngacak-ngacak baju, mereka memborong tas tangan, tas sekolah, aksesori, peranti make-up, sampai gadget yang disaranin Tiwi.
Entahlah, Risma merasa bersemangat ketika Tiwi menemaninya memilih-milih notebook.
"Aku ngerasa benda ini suatu hari akan berguna dalam hidupku," ujar Risma.
"Ya, pastilah. Aku tau banget, diam-diam kamu punya bakat menulis. Nah, dengan benda canggih ini, bakatmu bisa lebih tersalurkan. Ya, kali aja kamu mau bikin novel tentang kita-kita," sahut Tiwi.
"Iya juga, sih."
Yang sedikit membuat Risma rada melotot, sewaktu Voni menyuruhnya membeli handbag kulit yang berharga jutaan.
"Cuma tas kulit sekecil ini, harganya segitu"!" Risma mengernyitkan meringis.
"Jangan pernah bilang ini tas kulit di depan cewek cewek shopahollic, ya! Sebut PRADA! P-R-A-D-A!" timpal Voni gemas. "Model satu ini, konon, cuma dipunyai satu selebritis, yakni KD. Kalo kamu beli ini, berarti kamu bisa dianggap selevel sama dia!"
Risma tak memilih barang itu. Ia memilih yang lebih murah, yang bisa dibeli untuk empat orang.
Menjelang magrib, mereka baru pulang. Mobil pun terasa berat, baik oleh perut mereka yang kekenyangan, maupun barang belanjaan yang menumpuk di bagasi. Sebelum sampai rumah, Risma menyempatkan diri mampir di sebuah panti asuhan. Dia menyerahkan sejumlah uang untuk para penghuni panti itu.
Berubah" ENTAH dari mana sumbernya, cerita tentang Risma ketiban rezeki menyebar di sekolah. Risma tak mau menuding tiga sahabatnya sebagai sumber berita. Pastinya, Risma merasa gerak-geriknya diperhatikan banyak orang.
"Duuuh risih banget jadinya. Begini salah begitu salah. Kenapa, ya"" gumam Risma di bangkunya.
"Udah, nggak usah dipikirin. Kalo kamu kelihatan lain, malah nantinya keluar gosip aneh-aneh," sahut Tiwi.
"Aku memang nggak pengin kelihatan lain, kok. Nanti, malah disebut OKB alias Orang Kaya Baru. Mendingan kalo dapat undian atau kuis. Ini ... warisan dari seseorang yang meninggal. Uh, kesannya aku lagi bersenang-senang dengan kepergian Tante Ester."
"Kita-kita sih, nggak pernah kepikiran gitu, ya"" Tiwi menoleh ke arah Voni dan Ine.
"Tapi aku yakin, nanti ada yang berubah pada sikap teman-teman kita yang lain desis Ine.
"Maksudmu"" Risma bingung.
"Nggak tau juga, sih. Aku cuma ngerasa, ada beberapa pasang mata yang mulai memandang dengan tatapan penuh makna ke arah kamu, Ris. Mata yang sebelumnya nggak pernah ngelirik kamu. Ya, tentu aja cowok
"Aduh ... kok, aku jadi merinding gini""
"Ris, yang ngelirik kamu tuh cowok, bukan kuntilanak. Nggak usah merinding, dong!" Voni dan Tiwi ngakak.
Buat Risma hal itu sama sekali nggak lucu. Ia bertambah waswas. Setidaknya, ia sempat merasa aneh banget ketika pulang sekolah.
Kebetulan, jadwal menstruasi Tiwi, Voni, dan Ine nyaris berbarengan, jadi mereka nggak ke musala untuk shalat Zuhur. Risma sendirian ke musala, sementara yang lain nunggu di kantin.
Setelah beres shalat dan duduk pengin memakai sepatunya di selasar mesjid sekolah, tau-tau ...
"Assalamu 'alaikum, kok sendirian""
"Wa 'alaikum salam. Ka ..... mu"" Risma setengah
tak percaya melihat Faisal berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Mendadak, semua anggota tubuh Risma seakan berteriak menyerukan alarm bahaya. Waspada, ini cowok buaya bangkot!
"Yang lain nggak pernah shalat, ya"" Risma berdiri, lalu memandang Faisal tajam. "Gimana kamu bisa tau, mereka shalat atau nggak, kalo kamunya aja jarang ke masjid" Lagian, pasti kamu tau kalo yang namanya cewek ada waktunya nggak boleh shalat," tukas Risma.
"Aduh, kok jadi marah gini, Ris""
"Abis, nanyanya nuduh gitu."
"Sori. Mau pulang, ya" Boleh aku antar"!"
"Nggak, trims, Sal. Teman-temanku nunggu di-kantin." Risma langsung ngeloyor meninggalkan Faisal yang kebingungan ditinggal begitu saja.
Tapi begitu melewati ruang OSIS, lagi-lagi Risma terkejut karena tiba-tiba aja sang ketua OSIS, Ikbal, memanggilnya. Halooow, ini perlu dicatat dalam diary Risma. Lantaran, sejak pertama masuk sekolah, baru kali ini cowok keren n cool itu memanggilnya.
"Ris, teman-teman OSIS lagi mau bikin panitia prompt nite buat anak kelas tiga. Atas saran teman-teman, aku minta kamu gabung di kepanitiaan," kata Ikbal dengan suaranya yang bariton.
"Jadi panitia" Bagian apa" Aku nggak punya pengalaman organisasi."
"Kamu jadi koordinator dana usaha. Kayaknya kamu sanggup. Kita butuh dana sekitar seratus lima puluh jutaan gitu, deh."
"Hm ... nanti, aku minta saran teman-temanku dulu, deh."


Bidadari Tajir Karya Benny Rhamdani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, boleh. Ajak aja sekalian mereka di kepanitiaan."
Risma mengangguk dan melanjutkan perjalanannya ke kantin. Ketiga temannya tengah asyik mengaduk-aduk cendol.
"Mukamu aneh gitu, Ris. Kenapa"" selidik Tiwi ketika Risma duduk.
Risma langsung menceritakan dua kejadian yang dialaminya tadi.
"Huh, dasar playboy nggak modal! Dia nggak tau apa sih, kalo udah kita blacklist dari daftar cowok baik-baik di sekolah ini"!" rutuk Voni kemudian.
"Lebih geli lagi, ya ... anak-anak OSIS itu. Selama ini, kita cuma dianggap angin lalu, eh ... begitu tau Risma lagi tajir, mendadak diajak kepanitiaan. Iiih ketauan banget maunya!" Tiwi bergidik.
"Bener yang aku bilang, kan" Bakal makin banyak cowok yang nyamperin kamu, Ris," celetuk Ine.
"Kalo nyamperinnya karena embel-embel sekarang kamu tajir sih, jangan dianggap, Ris!" cetus Voni.
"Tapi belum tentu semuanya gitu. Eh, tuh si Dodo. Tumben, belum pulang!" Tiwi menunjuk Dodo yang datang.
"Sumpah, elo-elo pada jahat! Ke mana kemarin" Kok, gue nggak diajak"" teriak Dodo sok ngambek.
"Tenang, Do. Acara shooping-nya masih berlanjut. Selama belum ada perang dunia, elo sabar aja nunggu jadwal dipanggil," ujar Voni.
"Ngomong-ngomong, hari ini gue banyak ketitipan salam buat elo, Ris. Dari Yusri, Lardi, Opik, termasuk Danu ... anak kelas tiga."
Ine hampir tersedak mendengar nama Danu disebut. Dia paranoid dengan nama satu itu. Dan Ine siap mati kalo Danu berusaha mendekati Risma, apalagi kalo ketahuan punya niat morotin Risma.
BRUK! Risma yang tengah mengerjakan pe-er matematikanya terkejut mendengar suara bantingan pintu itu. Dia segera meninggalkan kamarnya menuju ruang tengah. Dilihatnya Bu Lastri dalam wajah mendung.
"Ada apa, Bu""
"Adikmu ...." "Irfan" Kenapa dengan dia""
"Minta motor. Ibu bilang, dia belum punya SIM, belum waktunya. Eh, malah ngambek."
Risma menarik napas. "Sekarang di mana dia"" "Di kamarnya."
Risma bergegas masuk k e kamar adiknya di belakang rumah. Adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP itu tampak keruh. Tak ada sedikit pun rasa takut melihat wajah marah Risma.
"Kamu ini apa-apan, sih" Pake pengin punya motor segala. Kita udah punya mobil sama sopir buat nganter ke mana aja kita mau! Bikin malu aja."
"Anak cowok ke mana-mana diantar sopir bukan zamannya lagi! Ada juga bawa motor sendiri. Lagian apa susahnya sih, beliin adiknya motor" Dirinya aja belanja sampe puluhan juta untuk hal-hal yang nggak penting. Kalo motor itu penting, buat transportasi."
"Irfan, jaga mulut kamu!"
"Kenapa emangnya" Mentang-mentang semua harta di rumah ini punya Kakak" Jadi, Kakak bisa ngatur Irfan semaunya""
"IRFAN!" Risma tak kuasa menahan kesalnya.
Berulang kali dia menasihati adik-adiknya agar jangan sampai kena penyakit OKB alias Orang Kaya Baru-yang segala kekayaan ingin dipamerkan atau dibeli. Risma bukan ingin berkuasa, tapi membimbing adik-adiknya.
"Apa"! Mau mukul"! Silakan aja...," Irfan menantang. "Daripada tinggal di sini, tapi nggak diperhatiin, mendingan Irfan kembali aja ke rumah lama. Biar tinggal sendiri juga nggak apa-apa!"
"Silakan aja! Nggak ada yang ngelarang!"
"Nggak ada yang boleh pergi dari rumah ini ...!"
Irfan dan Risma menoleh pintu. Bu Latsri berdiri di lawang pintu.
"Jika satu meninggalkan rumah ini, semua harus keluar. Ayah kalian selalu menekankan kebersamaan kita, dalam situasi senang ataupun susah
Bu Lastri mendekati Irfan.
"Sebenarnya, Ibu malu kalo kamu benar-benar ingin meninggalkan rumah ini cuma gara-gara motor. Bukannya Ibu nggak mau beliin. Tanpa dibelikan kakakmu pun, nanti akan Ibu beliin untuk kamu kalo sudah waktunya
Irfan tertunduk. "Kita jangan sia-siakan rezeki anugerah Allah ini, hanya demi gengsi semata. Gengsi karena nggak punya motor
Risma merangkul Irfan. "Maafkan Irfan, Bu ... Kak ...!"
Risma merasa lega. Ia masih belum yakin Irfan akan selamanya menyadari kesalahannya. Mungkin, dalam waktu dekat ini, bisa jadi Irfan kembali
berulah. Perubahan mendadak status ekonominya, membawa dampak psikologis. Ah ....
Risma berjalan ke kamarnya sambil mengira-ngira cobaan apalagi yang bakal dihadapinya. Tanda SMS masuk berbunyi di HP Risma.
Mungkin Nggak, Sih" CEWEK di depan Risma itu jelas bukan anak SMA atau kuliahan. Walaupun wajahnya tampak masih muda, cara berdandannya menyiratkan umurnya sekitar dua puluh lima tahunan. Namanya Sandra.
"J ... jadi kita ketemu soal Bang Ridhan"" tanya Risma.
Mereka bertemu di sebuah kafe. Sambil menyeruput kelapa muda di meja membran, mereka berusaha memecahkan kekakuan.
"Iya, seperti yang saya bilang di HP kemarin," kata Sandra mulai lancar. Ia menatap lekat sosok Risma, seolah ingin menilainya untuk suatu kontes Miss Congeniality.
"Memangnya kenapa dengan Bang Ridhan""
"Dia ... tidak pernah mencintaimu
Risma tersentak. "M ... mak ... sudnya""
"Sudah jelas, kan" Ridhan nggak mencintaimu. Ya, aku tau, saat ini dia sedang berusaha
menjadikanmu istrinya. Begitu, kan"" Risma mendelik curiga.
"Tapi dia nggak mencintaimu. Dia mengincar sesuatu darimu." "Sesu ... atu""
"Kekayaan ... warisan Tante Ester."
"Maaf, aku nggak suka menuduh orang,apalagi main fitnah nggak pake bukti."
"Terserah kamu mau percaya atau nggak. Aku hanya bersimpati denganmu. Sebaiknya, dengarkan dulu ceritaku
"Oke. Aku mau mendengar, tapi belum tentu mau percaya."
Sandra mengerjapkan mata sesaat, lalu mulai menyampaikan kalimat yang telah disusun sebelumnya.
"Aku mengenal Ridhan sejak awal kuliah. Setahun kemudian, kami pacaran sampai lulus. Saat kami bekerja, kami memutuskan tunangan sebelum menikah di umur yang kami sepakati. Tapi ... tiba-tiba, Om Surya berubah sikap padaku. Kupikir ada yang salah denganku, sampai aku kebingungan. Ketika kutanyakan pada Ridhan, bukan penjelasan yang kudapat, tapi dia malah memutuskan tali pertunangan kami dengan alasan yang tidak kumengerti
Risma tak menyela. Dia menunggu kalimat Sandra berikutnya.
"Ini cincin tunangan kami." Sandra menunjukkan cincin di jari manisnya. "Aku masih memakainya karena belum menerima pemutusan sepihak oleh
Ridhan yang tak jelas."
Risma tak bisa membedakan itu cincin tunangan atau bukan. Jadi, dia belum bisa memutuskan, percaya ataupun nggak.
"Dan ini, foto-foto saat pertunangan kami setahun silam Sandra menyodorkan sebuah album foto dari tasnya.
Risma tersentak melihat isi album foto itu. Diperhatikannya dengan saksama wajah-wajah di foto itu. Tampak kebahagiaan tersirat dari wajah Sandra dan Ridhan. Mungkinkah ia mengusik kebahagiaan itu"
"JADI, kamu percaya sama omongan cewek itu""
"Tadinya sih,nggak. Tapi begitu ngeliat foto-foto tunangan mereka, ya percaya."
Seperti biasa, para bidadari itu ngumpul di pojok kantin. Voni absen karena pelajaran ketiga tadi izin meninggalkan pelajaran. Ada syuting mendadak. Kursi Voni kini diduduki Dodo.
"Trus, kalo emang dia udah putus, ngapain ceritain hubungannya sama kamu"" tanya Tiwi lagi.
"SEBENARNYA, aku ingin melupakannya. Cowok nggak cuma dia, kan" Tapi perasaan luka di hati, nggak bisa sembuh dengan melupakannya begitu aja. Perbuatannya sungguh keterlaluan
Risma menatap Sandra. Air mata yang sejak tadi tertahan di pelupuk mata, akhirnya mengalir juga di wajah Sandra. Risma langsung menaruh iba.
"Aku juga nggak pengin ngebiarin dia melakukan hal semena-mena terhadap cewek lain. Memberikan cinta palsunya ... demi harta
"Jadi, mau Kak Sandra ... aku mesti ngapain""
"Berhati-hati aja dengan mulut manisnya.Dan jangan biarkan dia mengambil hartamu
"Bukankah bisnis keluarga mereka juga besar""
"Kata siapa" Bisnis mereka ambruk. Mereka malah terjerat utang. Inilah salah satu penyebab meninggalnya Tante Sarah. Dia stroke ketika tau bisnisnya ambruk. Kehidupan keluarga mereka yang senang foya-foya adalah penyebabnya. Kamu tentu tau, Om Surya punya lima anak, semuanya kuliah di luar negeri, termasuk Ridhan. Dan semuanya tak ada yang menamatkan sekolahnya
"TRUS, apa untung cewek itu kalo kamu nurutin kemauan dia"" tanya Dodo.
"Udah jelas banget.Dia pengin balas dendam karena cintanya dikhianati, hatinya disakiti ...I" Tiwi
yang menjawab. "Dasar cowok! Untung, gue nggak suka cowok!" gumam Dodo setengah mati.
Ine melempar Dodo dengan bungkus lemper. Untung aja Dodo nggak masukin bungkus itu ke mulutnya.
"Kita nggak bisa percaya begitu aja tanpa cek dan ricek. Jadi, mendingan kita selidiki dulu kebenarannya," putus Tiwi akhirnya. "Nanti, kita omongin lagi pulang sekolah. Dua detik lagi, bel bakal bunyi."
Risma tersenyum mengikuti Tiwi. Ia bersikap seolah kejadian yang dihadapinya bukan masalah besar. Tapi, hatinya tidak bisa berdusta. Sepanjang pelajaran berikutnya, ia tampak gelisah.
Di awal pertemuannya, Risma tak sempat menemukan secuil pun pesona pada sosok cowok itu. Tapi entah kenapa, lambat laun dia merasa senang setiap kali cowok itu menelepon atau mengirimnya SMS. Saat obrolan soal pernikahan, Risma sempat kalut, tapi akhirnya dia mau menerima jika Ridhan memang jodohnya. Tapi dengan hadirnya Sandra beserta cerita cintanya yang kandas, Risma kembali gamang.
Duh, pusing banget, cetus Risma dalam hati. Apalagi, jika ia ingat ibunya udah tau banyak tentang hubungannya dengan Ridhan.
Risma belum bisa memastikan hingga kini, perasaannya terhadap Ridhan itu cinta atau bukan. Ia terlalu khawatir menyelami sendiri isi hatinya.
"KURASA jalannya cuma satu
Tiwi bersemangat melontarkan ide. Risma, Ine, dan Dodo yang berjalan di sampingnya langsung memasang kuping.
"Kita ke Bandung lagi. Trus, kita paksa Bang Ridhan ngomong sejujurnya," lanjut Tiwi.
"Ke Bandung" Gue ikut! Tempo hari gue nggak diajak, kan"!" Dodo paling semangat.
"Tapi Voni lagi sibuk syuting. Dia bisa ikut nggak"" tanya Ine.
"Nggak ikut juga nggak pa-pa.Dia cuma bikin ribet acara kita jalan ke mal," celetuk Dodo.
"Veee kita ke Bandung buat nyelesein masalah Risma. Bukan snooping, Dodol!" maki Tiwi sambil melirik Risma. Gimana, Risma""
Risma mengangguk walaupun hatinya sedikit ragu. Beranikah aku bertanya pada Bang Ridhan"
Ternyata RISMA pernah merasa jenuh nonton sinetron lokal. Pasalnya, tema cerita sinetron itu nyaris sama-soal perebutan harta warisan. Jadi, Risma baru nonton sinetron kalo yang main Voni. Ternyata, ada rasa menyesal juga nggak sempat ngikuti
n cerita tentang rebutan harta warisan itu. Ya, paling nggak, dia jadi punya bayangan cara mecahin masalah kalo dalam sistuasi seperti sekarang ini. "Abis shalat, kok ngelamun""
Risma tercekat sambil menoleh ke pintu kamar. Ibunya tengah berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Jadi, Sabtu ke Bandung""
"Iya. Ibu mau ikut"" Risma mulai melipat mukenanya.
"Jahitan Ibu lagi banyak."
"Lho, Ibu masih nerima jahitan."
"Yang Ibu bisa dan hobi Ibu cuma itu."
"Hrn... gimana kalo kita bikin butik"" Risma tersenyum.
"Wah, kalo Ibu bikin butik, nanti yang biasa ngejahit di Ibu pada kabur. Nanti dikiranya ibu naekin harga."
"Bikin butiknya dua. Satu buat pelanggan yang harus bayar mahal tenaga ibu. Satu lagi buat nerima pelanggan lama."
"Hahaha iya, nanti ibu pikirin. Trus, kamu berangkat bareng siapa aja ke Bandung""
"Seperti biasa. Tapi, Voni lagi sibuk syuting jadi nggak bisa ikut. Paling diganti Dodo."
"Naik mobil siapa""
"Nyewa mobil sama sopirnya sekalian.Patungan kok, Bu. Lagian, kalo naik mobil sendiri lebih enak. Lewat tol Cipularang cepet banget. Trus, di Bandung kita juga bisa bebas jalan-jalani, apalagi ada sopir."
"Ibu titip salam aja kalo ketemu Om Surya dan ... Ridhan. Kamu nanti ketemu sama dia, kan""
"Ng ...iya, Bu." Hampir aja Risma ngejawab, "Jelas. Risma ke Bandung memang mau nyelesein satu masalah dengan dia."
"INI gue udah siapin daftar acara makan-makan selama di Bandung. Batagor, cimol, mi ceker, segala pepes, brownies kukus
"Dodo, bisa nggak sih, dalam sehari aja nggak mikirin makanan"!"
Mendengar hardikan Tiwi, kontan seisi mobil tertawa. Dodo yang duduk di depan bareng sopir sewaan, bukannya menutup mulut, malah melahap keripik kentang. Bunyi "krauk-krauk"-nya seolah berarti, "hidup buat makan. Asyik!". Padahal, lima belas menit lalu, mereka baru aja makan siang.
HP Risma berbunyi. SMS masuk.
Risma yang duduk di bangku belakang bareng Tiwi dan Ine langsung membukanya. "Dari Sandra," gumam Risma.
"Kamu ngasih tau dia, kita mau ke Bandung"" tanya Tiwi.
"Nggak sama sekali."
"Lantas, siapa"" Tiwi mengerutkan dahi.
"Mungkin dia menelepon ke rumah, lalu ibuku yang ngasih tau. Aku kan, nggak bilang ibuku agar kepergianku ke Bandung ini jangan dibilangin ke siapa pun," jelas Risma.
"Bukannya bagus, dia ngirim SMS agar kita hati
hati sama Bang Ridhan," sela Ine.
"Kita belum tau siapa yang benar dalam hal ini. Bang Ridhan ataukah Sandra" Posisi keduanya bisa aja benar, tapi bisa juga salah. Namanya juga kita lagi nyelidikin," ujar Tiwi.
"Beda deh, yang kebanyakan baca novel detektif
ledek Dodo. "Masih mending ketimbang baca buku resep masakan melulu!"
"Eh, Ris, nanti kamu ketemu Bang Ridhan diantar apa sendirian"" Ine menyela perang mulut Tiwi dan Dodo.
"Sendiri juga aku berani."
"Jangan!" seru Dodo. "Nanti, kalo diapa-apain gimana""
"Ngawur! Ya, ketemuannya di tempat umum , dong. Masa Bang Ridhan mau macam-macam di tempat umum"" Tiwi kembali mendebat Dodo.
"Ya, aku udah janjian ketemuan di kafe di daerah Dago nanti sore. Kalo kalian khawatir, bisa belanja di dekat kafe, tanpa perlu menunggui aku. Nggak enak kalo harus nungguin aku, nanti acara jalan-jalannya jadi terganggu."
"Emangnya, kamu tau Dago di mana"" tanya Ine. Risma nyengir. Ke Bandung aja baru sekali!
DADA Risma bergemuruh. Dia jadi menyesal membiarkan teman-temannya pergi. Meninggalkan dia berdua dengan Ridhan.
"Duduk di sana aja. Dekat jendela," ajak Bang Ridhan.
Risma menurut walaupun rikuh. Dia bingung harus bersikap gimana dan harus ngomong apa. Jadi, Risma benar-benar menunggu Ridhan. Bahkan, urusan memesan menu pun diserahkan ama Ridhan.
"Aku samain aja," ujar Risma.
Ridhan tersenyum. "Aku senang nggak ada yang berubah dengan sikapmu meskipun kamu sekarang ...jadi gadis miliuner."
"Hm ... sebetulnya, aku nggak suka dengan sebutan itu."
"Ow, maaf." Gimana harus memulai" Risma mulai gelisah. Dia jadi ingin menyewa otak Tiwi. Biasanya, Tiwi paling andal mengatasi situasi apa pun.
"Kamu terburu-buru"" tanya Ridhan.
Aduh,pasti kegelisahan Risma kentara jelas. Sampai Ridhan menduga demikian.
"Sebenarnya, iya. Makanya, aku pengin langsung ngomong sesu
atu secepatnya," kata Risma secepatnya.
"Soal apa""
"Sandra ...." Wajah Ridhan memerah seketika, lalu keruh. "Sandra ... mana, ya"" "Sandra Kartika." "Oooh ... kamu kenal dia"" "Ya. Dia menemuiku sekitar lima hari lalu."
Ridhan menarik napas. "Apa saja yang dia katakan""
"Sebaiknya, Bang Ridhan dulu yang bercerita tentang dia, tentang pertunangan itu
Ridhan mengerutkan alisnya. "Dia juga cerita ... ah ...."
Risma mengangguk.Dia bersiap mendengar pembelaan diri Ridhan.
"Kami memang pernah bertunangan, lalu putus. Aku juga tak menyangka akan sampai putus. Yang tak kuduga adalah cintanya. Dia benar-benar seperti yang mencintaiku, tapi nyatanya ... dia hanya cewek matre! Begitu tau perusahaan keluargaku ambruk, dia meninggalkanku
"Jadi, dia yang memutuskan tunangan itu""
"Ya. Memangnya apa yang Sandra bilang""
Risma menyandarkan tubuhnya. Bingung. Siapa yang benar"
"Lagi pula, itu masa lalu. Aku telah menutupnya. Lebih baik, sekarang bekerja keras membangun kembali reruntuhan perusahaan keluargaku. Biar nanti, saat melamar dan menikahimu, aku punya suatu kebanggaan."
"Maaf .... soal pernikahan itu, kita omongin lain kali aja."
"Kenapa" Setahun lagi, kamu lulus, kan"" "Tapi ... aku ingin kuliah dulu "Nggak masalah."
"Maksudku, kuliah ke luar negeri. Aku dan Tiwi rencananya bakal nerusin kuliah di Australia."
"Great idea! Nggak masalah. Aku akan menunggu
Kecuali ... kamu memang punya pilihan lain. Aku nggak akan maksa. Lagi pula, aku hanya ingin menjaga amanat Tante Ester
Risma tersenyum. Bingung juga. Dia ingat percakapan dengan Tante Ester. Ya, Tante Ester memang pernah berharap Risma menikah dengan Ridhan. Tapi itu bukan paksaan, kan"
"Kamu belum bilang apa aja yang diceritain Sandra."
"Hrn ... kurang lebih sama. Dia hanya bilang Bang Ridhan yang memutuskan pertunangan itu ... karena ... tak mencintainya lagi."
"Jelas dia bohong." Tangan Ridhan meremas remas tisu di dekatnya.
"JADI, yang bener siapa"" Ine bingung. Risma mengangkat bahu, lalu menoleh ke Tiwi. "Belum jelas. Kita bisa nyelidikin lebih jauh kalo mau. Asal tujuannya jelas." "Maksudmu"" Risma bingung.
Mereka tengah duduk nyantai di kamar hotel. Tidak ada Dodo, lantaran masih asyik nyari jajanan di luar. Lagi pula, dia nginap di kamar sebelah, bareng sopir.
"Kalo kamu memang masih tertarik menjalin hubungan dengan Bang Ridhan, kita bisa selidiki terus. Hitung-hitung, nyeleksi calon suami, gitu.
Kalo ternyata kamu nggak berminat sama sekali, ya ngapain kita selidiki terus" Udah jelas ada yang nggak beres, jadi hindari aja."
HP Risma berbunyi. Di layar terpampang nama Sandra.
"Lagi di mana, nih ""
"Di hotel." "Udah ke temuan sama Ridhan"" "Udah, tadi."
"Pasti dia nyangkai soal pertunangan itu." "Nggak, kok. Bang Ridhan mengakui." "Oya" Luar biasa
"Tapi, dia bilang yang mutusin tunangan itu bukan dia."
"Hm, kalo kamu ada waktu buat ke temuan. Datang ke rumahku, dong! Di Jalan Berlian delapan. Deket kok, dari hotel kamu. Ada hal penting yang harus kamu lihat. Sebenarnya aku pengin ke hotel kamu, tapi kakiku tadi keseleo."
"Mau sih ... tapi "Nanti diterusin lagi, ya. Kayaknya ada tamu deh, di luar ...."
Pembicaraan di telepon terputus.
"Sandra ngajak kita main ke rumahnya. Katanya sih, deket dari sini. Ada yang mau dia tunjukin, begitu katanya," jelas Risma menyampaikan percakapannya.
"Aku sih, pengin banget. Penasaran pengin lihat tampangnya," Ine menimpali.
"Tapi mobilnya dipake Dodo. Mau pake taksi"" Risma ngasih pilihan.
HP Risma berbunyi. Di layar tertera nama Sandra. "Risma, dia ... datang. Dia ... AAA ...!"
Risma tercekat mendengar suara jeritan di ujung sana. Lalu, suara Sandra menghilang. Risma jadi panik.
"Kenapa, Ris" Kok, pucat"" tanya Tiwi.
"Sesuatu ...terjadi pada Sandra. Kita harus ke sana. Yuk!" Risma berdiri.
Tanpa banyak tanya, Tiwi dan Ine mengikuti jejak Risma. Mereka keluar kamar.
"Apa yang terjadi"" Tiwi bertanya begitu di elevator.
"Sandra menjerit. Lalu suaranya hilang. Sepertinya ada seseorang datang."
"Aduh .... apaan ini"" Ine masih bingung.
"Nanti, biar kutanya satpam letak jalan berlian. Nanti, kalian duluan aja nyegat taksi."
Pintu elevato r terbuka, mereka pun menapaki lobi. Tiwi bertanya sebentar letak jalan Berlian. Ternyata, hanya dua kilometer dari hotel.
Di depan hotel, mereka mencegat taksi. Sang sopir taksi sempat bingung ketika mereka menyebut alamat tujuan yang dekat. Baginya, rugi berat kalo hanya mengangkut penumpang berjarak dekat.
"Udah, Pak. Nggak usah mikir. Kami bayar lima puluh ribu, kok! Tapi jangan pake diputer-puter dulu, ya!" bentak Tiwi sambil membuka pintu depan.
Risma dan Ine masuk ke pintu belakang.
Sopir taksi itu manggut-manggut sambil menjalankan mobil. Lantaran takut dibentak Tiwi, sopir muda itu menjalankan mobilnya dengan ngebut.
Alhasil, mereka bisa sampai di depan rumah Sandra dalam tempo lima menit. Tapi ....
"Kok, ada mobil polisi dan ambulans, ya"" gumam Ine.
Mereka membayar ongkos taksi dan turun.
Dari jarak dua puluh meter, mereka melihat sesosok yang dikenal tengah digiring polisi. Dia adalah ....
"Om Surya ..."! Apa yang terjadi"" bisik Tiwi.
Risma juga mencari tahu. Lantas, dia melihat pengacara Tante Ester, Pak Lubis. Apa yang dia lakukan di sini"
"Om Lubis!" Risma memanggil seraya mendekati pria perlente itu.
"Risma ....... baik-baik semua, kan"" sahut Pak
Lubis. Risma mengangguk. Sepertinya, Pak Lubis sama sekali tak heran melihat kehadiran risma di tempat ini. Aneh!
"Syukurlah. Mulai sekarang, semoga semuanya makin membaik."
"Apa yang terjadi, Pak Lubis"" "Pembunuh Tante Ester tertangkap." Risma menganga. Pembunuhan"
Tajir Gitu, Lho! RISMA, Tiwi, dan Ine mendengar penjelasan Pak Lubis dengan saksama. Isinya panjang lebar, tapi ringkasnya begini ....
Om Surya stres ketika tau perusahaannya bangkrut. Jalan satu-satunya yang dia temukan adalah minta bantuan Tante Ester. Tapi, dia tau ada kendala di masa lalu. Maka diaturlah agar Om Surya bisa kembali menjalin hubungan dengan Tante Ester. Om Surya tega membunuh isterinya sendiri. Kemudian, Om Surya juga yang menghalangi cinta Sandra dan Ridhan.
Secara cerdik, Om Surya memperalat Ridhan Digunakan untuk mengambil hati Tante Ester dan Risma. Kala itu, Om Surya juga mulai mengendus, Tante Ester masih menyimpan cinta padanya. Parahnya, Om Surya juga tau, Tante Ester telah membuat surat wasiat yang menunjuk Risma menjadi ahli waris Tante Ester.
Om Surya melakukan berbagai cara untuk merayu
Tante Ester. Dan di saat kalap itulah, Om Surya berucap tak pernah mencintai Tante Ester. Sejak dulu, dia hanya mengincar kekayaan keluarga Tante Ester.
Mengetahui hal itu, Tante Ester terguncang ... hingga akhirnya koma dan meninggal. Sebelum koma, Tante Ester sempat mengungkapkan pada Pak Lubis agar menyelidiki kematian sahabatnya, Sarah. Juga melindungi Risma. Sebagai orang yang dipercaya, Pak Lubis menyewa orang-orang untuk menyelidiki kasus ini.
Akhirnya, diketahui bahwa Om Surya memang orang jahat. Bahkan, Ridhan telah termakan hasutan ayahnya itu.
"Mungkin bakat jahat dari ayahnya menurun," jelas Pak Lubis menutup keterangan.
Tadi, saat Sandra menelepon, Om Surya bermaksud membunuhnya. Pasalnya, Ridhan melaporkan ulah Sandra yang membeberkan hubungannya kepada Risma. Om Surya khawatir, Risma bakal menjauhi Ridhan, hingga tertutup sudah harapannya menggaet harta Tante Ester lewat Ridhan dan Risma.
"Trus, gimana dengan Bang Ridhan"" tanya Ine.
"Untuk saat ini tetap ditahan karena ikut terlibat.Setidaknya, dia tau rencana jahat ayahnya, tapi tidak melapor ke polisi," jelas Pak Lubis.
"Satu alasan kuat untuk menolak lamaran pernikahannya bisik tiwi.
Risma tersenyum. Dia yakin, Tante Ester malah mendukung keputusannya untuk menolak kehadiran
Ridhan sebagai suaminya BYUR! Ini memang kedengerannya gila. Pukul dua di-nihari mereka berenang. Tapi sebenarnya sih, nggak gila-gila banget. Mereka berenang di kolam air hangat Ciater.
"Mudah-mudahan, dengan berenang ini, kita bisa melupakan semua keruwetan yang kita hadapi," cetus Tiwi sambil berkecipak di kolam.
"Betul," timpal Dodo dari sisi kolam. Dia rada alergi dengan air, jadi memilih tak berenang. Di dekatnya ada setangkup roti bakar.
"Dan kehidupanku kembali normal. Sungguh, bukan aku nggak suka jadi tajir kayak sekarang ini. Cuma kok,
masalah yang nggak pernah kuduga muncul satu per satu. Tapi, untungnya aku punya sahabat baik seperti kalian
"Terus kalo disuruh milih, kamu mendingan nggak tajir dan nggak punya masalah, atau tajir punya banyak masalah"" tanya Ine.
"Aku lebih suka jadi cewek tajir dan nggak punya masalah," jawab Risma tegas.
"DASAR!" BYUR! t j Dear Diary, Aku bersyukur banget dengan keadaan sekarang ini. Iya. Siapa yang nyangka kalo akhirnya aku bisa setajir ini. Jujur aja, setajir sekarang ini rasanya semua jadi gampang. Mau ini-itu, tinggal bilang.
Aku jadi ingat, dulu suka banget berharap dapat uang dari acaranya Helmy Yahya itu. Kebayang gitu, ngabisin uang sepuluh jeti dalam waktu setengah jam. Hihihi sampai aku udah
bayangain bakalan beli emas aja semuanya. Nyatanya, pas aku dapat seratus jeti malah bingung. Dulu, aku juga suka ngebayangin ikut acara Petir biar dapat rumah mewah. Alhamdulillah, aku nggak perlu serepot mereka. Yang harus disiksa aneh-aneh di depan kamera. Ataupun pegang-pegangan yang bukan sesama muhrim. Kadang nggak mungkin banget buat diikutin jilbaber seperti aku. Ih, kok, jadi ngebahas acara teve, sih,'
Diary, aku harus membiasakan diri dengan keadaan sekarang ini. Mulai didekati orang-orang yang semula nggak deket, mulai dimintai ini-itu, hmmm ... seperti kata pepatah, ada gula, ada semut. Dan satu hal yang akan selalu kuingat; nggak jadi lupa diri.
Udah dulu, ya. Mau bobo, nih. Besok aku mau ke makam Tante Ester.
Risma menutup notebook-nya sambil tersenyum lega. ^
Telaga Tautan Hati "KENAPA sih, telaga ini dinamakan Telaga Tiga
Annu memandang sejenak ke tengah telaga yang memantulkan cahaya perak matahari senja.
"Saya cuma tahu ringkasannya. Konon, di kawasan ini dulu ada dua keluarga bangsawan yang sangat bersahabat. Bangsawan yang satu punya seorang putra sangat tampan, sementara bangsawan lainnya punya dua putri yang sangat cantik. Kedua putri itu mencintai putra bangsawan secara diam-diam. Tapi, sebenarnya putra bangsawan itu cuma mencintai putri bungsunya.
Ternyata, kedua orangtua mereka telah mengatur rencana pernikahan antara putra bangsawan dengan putri sulung. Putra bangsawan menentang rencana itu. Akhirnya, putri sulung menyadari bahwa cintanya salah. Ia menulis sepucuk surat agar adiknya mau menikah dengan putra bangsawan itu, dan putri sulung itu menceburkan
Hati" dirinya ke telaga ini "Lalu, putra bangsawan itu menikahi putri bungsu"" tanya Lewin penasaran.


Bidadari Tajir Karya Benny Rhamdani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Putri bungsu merasa bersalah dan menceburkan diri pula beberapa waktu kemudian. Hebatnya lagi, putra bangsawan yang sangat mencintai putri bungsu itu juga ikut menceburkan diri ke telaga ini," Annu menutup ceritanya.
"Tragis banget dongengnya."
"Orang sini menganggap itu bukan dongeng. Para orangtua di sini malah hafal isi surat yang ditulis putri sulung karena isinya hampir menyerupai sajak."
"Kamu bisa menyalinkan sajak itu" Tapi jangan pake bahasa Sunda! Percuma, aku nggak akan ngerti," pinta Lewin.
Annu mengangguk. Nanti, Abah bisa dimintai tolong. Annu sendiri cuma hafal beberapa bait pembuka.
Lewin terus melangkah menyusuri sisi telaga. Tapi, kemudian ia menyadari Annu sudah terlalu lama menemaninya. Jangan-jangan, ia kelelahan tapi sungkan mengatakannya. Lewin segera saja menghabiskan rol film di kamera Nikonnya.
"Kita pulang sekarang. Aku khawatir Bu Sati gelisah nunggu kamu pulang," ajak Lewin beberapa menit kemudian. "Seharusnya, kita ke sini agak pagian tadi."
"Saya masih mau menemani Bang Lewin kalau kepengin ke sini lagi."
Lewin tersenyum. Baginya, Annu memang pemandu wisata yang baik hari ini. Ia segera
mengajak Annu naik ke atas Jeep-nya. Mereka meninggalkan Telaga Tiga Hati dengan perasaan senang.
"Oh iya, tolong sampaikan sama bapak nanti, besok siapkan kelapa muda. Irwan mau nyusul ke sini mungkin dengan beberapa teman sekolahnya. Dia juga sedang liburan sama seperti kamu, kan""
"Nanti akan saya sampaikan pada Abah, " Annu memastikan.
Tak jauh dari pintu gerbang vila milik keluarga Lewin, Annu diturunkan. Rumahnya memang berada dekat dengan vila itu dibangun setahun lalu. Bagi Annu hal itu amat menyenangkan karena Ab
ah jadi punya nafkah untuk membiayai sekloahnya. Selain itu, Annu jadi bisa mengenal Lewin, seorang cowok yang paling ganteng dan baik hati yang pernah dilihatnya. Bahkan dibandingkan dengan bintang-bintang sinetron yang dilihatnya di teve.
Tidak heran, Annu siap mengorbankan waktunya kapan pun untuk melayani Lewin saat cowok itu meluangkan waktunya ke vila milik keluarganya. Sayangnya, Lewin mengunjungi vila itu paling banter tiga bulan sekali. Itu pun biasanya cuma satu atau dua hari. Tidak sesering Irwan .... Ah! Annu buru-buru menepis nama itu dari ingatan kepalanya.
Annu nggak tahu besok harus bersikap gimana kalo ketemu Irwan. Cowok itu pernah kurang ajar sama Annu. Ia berusaha mengecup Annu. Untung aja, Annu bisa meloloskan diri. Dan Annu yakin, ia harus lebih waspada sama Irwan karena cowok itu
bisa saja mengulangi perbuatannya.
Mentang-mentang saya cuma orang gunung, pikir Annu bersungut.
"Euleuh-euleuh ... kirain Emak, kamu teh udah mandi. Baru pulang"" tanya Bu Sati di teras rumah.
"Iya, Mak. Oh iya, besok Bang Irwan mau datang sama teman-temannya. Abah diminta Bang Lewin nyiapin kelapa muda."
"Kamu bilang sendiri sama Abah. Emak suka lupa."
"Asal jangan lupa sama Annu saja, Mak!"
Seharian, Annu diam di rumah. Ia memutuskan untuk menghindari pertemuan dengan Irwan. Tapi, malamnya ia kaget melihat Lewin datang menemuinya saat ia duduk di teras samping rumah sambil mengamati bintang-bintang.
"Kenapa seharian ini kamu nggak ke tempat kami"" tanya Lewin sambil duduk di samping Annu.
Annu menjauh sedikit. Ia masih belum percaya malam ini Lewin berada di dekatnya. "Saya malu sama teman-teman Bang Irwan."
"Ah, mereka cuma dua orang, kok! Tadi sore mereka udah pulang lagi ke Jakarta. Tapi, Irwan nggak ikut. Ia tertarik melihat Telaga Tiga Hati setelah kuceritakan tadi siang. Kamu bisa menemaninya, kan" Besok aku mau ke kota kecamatan dulu, mau nyetak film sekalian beli film baru," pinta Lewin.
"Besok saya mau pergi ke balai desa.Ada pemeriksaan balita, dan saya diminta membantu seperti biasa," kilah Annu. Baru kali ini, ia berani menolak permintaan Lewin.
"Alasan sesungguhnya bukan itu, kan" Kamu takut ketemu Irwan karena ia pernah jahil sama kamu. Irwan pernah cerita. Bukankah dia sudah minta maaf""
"I ... iya. Tapi, saya masih takut."
"Kalau dia berani mengulanginya lagi,aku akan tenggelamkan dia di telaga."
Annu tersenyum mendengar cara bicara Lewin yang seperti sunguh-sungguh sedang menyeburkan Irwan ke dalam telaga. Tapi, Annu merinding juga kalau hal itu benar-benar terjadi. "Baiklah, saya mau," kata Annu kemudian.
"Ya, udah kalau begitu. Aku harus nemanin Irwan. Soalnya, dia itu paling takut kalau ditinggal sendiri di vila," Lewin melangkah meninggalkan Annu.
Sepeninggal Lewin, Annu kembali memandangi bintang di langit. Sepertinya, sinar bintang itu lebih terang dari sebelum kedatangan Lewin.
"Annu ... sudah malam. Kenapa masih di luar"" suara Bu Sati mengejutkan Annu.
"Annu lagi seneng ngelihat bintang, Mak."
"Seneng ngelihat bintang atau seneng habis ditengok sama Bang Lewin""
"Ah, Emak kok, ke sana ngomongnya""
"Bukan apa-apa. Emak hanya perlu mengingatkan kamu sebelum perasaan hatimu terlalu jauh. Kamu harus tahu diri, siapa kita dan siapa mereka. Itu yang penting!"
"Iya. Annu juga mengerti atuh, Mak. Annu seneng sama Bang Lewin karena Annu nggak punya kakak lelaki," kilah Annu.
"Syukur kalau cuma itu perasaan Annu. Kayaknya, Bang Lewin juga nggak akan keberatan. Dia kan, nggak punya adik perempuan. Sudah, masuk, yuk! Emangnya, kamu nggak ngerasa gatal digigitin nyamuk di luar""
Annu menggelayut manja di bahu Bu Sati. Nanti, ia akan meneruskan lamunannya di dalam kamar.
ANNU tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak duduk di sisi Irwan. Untungnya, cowok itu tak mengusiknya. Irwan sibuk mengemudi sambil bersiul. Tiba di sisi telaga, Irwan langsung turun sendiri tanpa mengajak Annu.
Annu ikut turun. Ia mengambil tempat duduk di batang kayu angsana. Diperhatikannya Irwan tengah melempar-lempar kerikil ke tengah telaga. Antara Irwan dan Lewin nyaris tak ada perbedaan. Malah tiga tahun lagi, bisa saja Irwan menj
adi cowok yang jauh lebih gagah dari Lewin. Tapi buat Annu, Lewin tetap sosok yang menarik hatinya.
Irwan berhenti dengan keasyikannya melempar kerikil. Ia membalikkan badan dan berjalan mendekati Annu.
"Kamu masih nggak mau bicara denganku"" tanya Irwan ketika berdiri di hadapan Annu.
"Saya ... saya nggak pernah bilang begitu," jawab Annu.
"Tapi dari tadi, kamu cuma dia."
Annu tak menjawab. Dadanya bergetar ketika Irwan duduk di sisinya.
"Baiklah kalau kamu nggak mau bicara. Aku yang akan bicara panjang lebar," Irwan berhenti sebentar, "Terus terang saja, aku jadi merasa amat bersalah dengan kelakuanku yang dulu. Jarak kita jadi semakin jauh. Padahal kalau kamu mau tahu, aku sering datang ke sini semata-mata hanya untuk menemui kamu, Annu. Seharusnya waktu itu, aku bisa mengendalikan diri karena kamu memang berbeda dengan teman-teman cewekku di kota. Aku minta maaf sekali lagi padamu, Annu!"
"Saya udah memaafkan Bang Irwan dari dulu," timpal Annu buru-buru.
"Kalau benar begitu, kamu mau kan, menemaniku naik perahu" Jangan khawatir, aku pendayung yang hebat." Irwan menunggu reaksi Annu sebentar. Ternyata, gadis itu juga memenuhi permintaannya.
Mereka menyewa perahu sampan. Irwan memegang dayung, sementara Annu duduk di depan menghadapnya. Angin telaga menyibak rambut panjang Annu. Irwan udah nggak bisa lagi nahan matanya untuk lepas dari kecantikan Annu.
"Kemarin, kamu menceritakan dongeng tentang telaga ini pada Bang Lewin. Sekarang, kamu mau mengulanginya lagi untukku, kan""
"Tidak bisa. Pantangan untuk menceritakannya di atas telaga ini."
"Apa akibatnya" Kita berdua akan tenggelam" Jelek-jelek begini, aku jago renang!"
"Bukan itu. Tapi "Kenapa""
"Nanti akan terjadi cinta tiga hati pada orang yang mendengar dan menceritakannya."
"Oh, ya" Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Selama ini untuk urusan pacar, selera aku dan Bang Lewin berbeda. Kalau Bang Lewin menyukai si A, aku tidak suka. Dan kalaupun aku saat ini sedang
menyukaimu, Annu, belum tentu dengan Bang Lewin ii
"Jadi ...." "Ya, aku menyukaimu, Annu. Masa kamu nggak juga ngerti. Bahkan, aku mencintai kamu lebih dari cinta yang pernah kuberikan pada orang lain sebelumnya," Irwan berusaha mengutarakan isi hatinya dengan tegas.
Annu bingung membalasnya. Ia pandangi percikan air yang menempel di dayung. Tiba-tiba, ia ingat apa yang dikatakan Bu Sati semalam. "Maafkan saya, Bang Irwan. Saya cukup tahu diri tentang siapa saya dan juga siapa Bang Irwan," ucap Annu kemudian.
"Kamu mempermasalahkan status sosial kita, Annu" Aduh, itu kan, udah nggak zaman lagi. Kamu bisa kan, menganggapku seperti teman-teman di sekolahmu""
Annu menggeleng. "Baiklah, saat ini mungkin kamu belum mau mengerti. Tapi, aku akan terus menunggu cintamu. Sekarang, kita pulang aja!" Irwan memutar haluan. Ternyata ia memang pendayung yang hebat.
Dalam perjalanan pulang, Annu kembali menutup rapat mulutnya. Ia langsung masuk ke kamarnya begitu sampai. Hatinya kisruh. Annu tak pernah menduga perasaan hati Irwan sejauh itu. Selama ini, kalau Irwan sering tertangkap basah sedang mengamatinya, cuma karena ingin menggoda Annu. Tiba-tiba, Annu merasa takut sekali. Takut bila tiba-tiba ....
"Annu, ada Bang Lewin di depan. Katanya mau ngeliatin foto, tuh!" suara Bu Sati terdengar dari luar kamar.
Annu buru-buru bangkit dan menatap wajahnya di cermin sebentar. Dijumpainya Lewin di beranda rumah.
"Kok, nggak masuk, Bang Lewin"" sapa Annu. "Di luar saja.Irwan nggak mengganggumu kan, tadi""
Annu menggeleng. "Boleh lihat foto-fotonya"!" pinta Annu.
"Ini, lihatlah! Dan tanpa sepengetahuanmu,beberapa kali aku mencuri wajahmu untuk kufoto." Lewin memberikan segepok foto pada Annu.
Annu merasa kaget ketika melihat hasil foto dirinya yang dibidik Lewin. Ia merasa gambar di foto jauh lebih cantik dari dirinya.
"Di foto jelas sekali bahwa kecantikan kamu sangat alami. Tidak ada sedikit riasan di wajahmu. Ambillah kalau kamu suka foto-foto itu! Aku masih punya klisenya."
"Terima kasih, Bang Lewin. Saya akan menyimpannya."
"Ya, besok aku dan Irwan akan pulang ke Jakarta. Tapi, aku ingin bisa datang lagi ke sini secepatnya. Bu
kan cuma untuk mengambil foto-foto dirimu lagi, tapi aku juga ingin kita bisa saling mengenal lebih dekat. Aku ... aku menyukaimu, Annu."
Jantung Annu seperti tertimpa benda keras.
"Jangan kamu jawab sekarang kalo memang sulit. Biarkan kita bina dulu hubungan ini agar semakin dekat."
Annu masih belum sanggup berkata ketika Lewin pamitan dan meninggalkannya. Annu buru-buru kembali ke kamar.
Mestinya, saya senang mendengar ungkapan hati Bang Lewin, Annu membatin. Bukankah itu yang memang diharapkannya" Ya, tapi tidak saat ini. Setelah Annu mengetahui isi hati Irwan sebelumnya. Inilah yang tiba-tiba amat ia takuti. Annu harus melenyapkan perasaan cintanya pada Lewin karena tidak ingin hubungan saudara mereka kelak terganggu. Tapi, sanggupkah saya" Sedangkan, baru kali ini saya merasakan cinta, batin Annu.
Annu merasa dirinya tenggelam dalam Telaga Tiga Hati. Dadanya sesak. Dan tiba-tiba, ia teringat salah satu bait isi surat dalam cerita Telaga Tiga Hati.
Menjadi kekasih di antara tiga hati.
Ibarat bumi, bulan, dan mentari
Ketika ketiganya bertemu dalam gerhana
Hanya kegelapan yang ada.
IRWAN kebingungan mencari rapidonya. Pasti Lewin yang meminjamnya diam-diam. Buru-buru Irwan berjalan ke kamar kakaknya. Lewin tidak ada di tempat, meskipun kamarnya tak dikunci. Dan betapa terkejutnya Irwan ketika melihat foto besar wajah Annu menempel di dinding kamar Lewin. Di bawahnya tertulis; Segala cintaku hanya untukmu, Annu.
Irwan terduduk lemas. Ia teringat percakapan beberapa hari lalu dengan Annu di atas perahu sampan. Satu hal yang tidak pernah ia percayai sebelumnya jadi mengganggunya. Dirinya dan Lewin mencintai seorang gadis yang sama.
"Heh, aku yang salah masuk kamar atau memang kamar ini udah berubah jadi kamarmu"!" suara Lewin mengagetkan Irwan. "Apa yang kamu lakukan di sini""
"Ngelihat foto Annu. Ternyata dia cantik juga."
"Ah, dia kan, bukan tipe kamu. Selama ini, kita beda selera kan, untuk urusan cewek""
Irwan mengangguk. Tapi tidak untuk kali ini, batin Irwan.
"Aku sedang berusaha mendekatinya. Bantu aku, ya!"
"Oke! Asal kembalikan dulu rapido yang diambil dari kamarku."
Lewin tersenyum. Dikembalikannya rapido Irwan yang dipinjamnya diam-diam. Begitu Irwan menghilang dari kamarnya, Lewin terpaku Menatap Foto Annu. Ia kembali menikmati kerinduan hatinya.
Tunggu aku, Annu! Akhir pekan ini, aku akan kembali menemuimu. Kita akan kembali menyusuri sisi Telaga Tiga Hati atau mungkin juga berdayung sampan. Lantas, kita bisa saling tukar cerita. Tapi, jangan lagi kamu ceritakan dongeng Telaga Tiga Hati! Aku khawatir akan menimpa hubungan kita. karena aku tahu Irwan juga mengagumi kecantikanmu, Lewin membatin.
Pinky JANGAN aneh kalau melihat Fe berdandan. Mulai dari pita rambut sampai sepatunya didominasi warna pink. Dia tidak peduli komentar orang kalau dandanannya dinilai norak. Seperti sore ketika Fe hendak pergi ke Plasa Senayan.
"Aduh, Fe. Jangan pake blus babydoll nge-pink gitu, dong! Kamu tuh, jadi kelihatan gendut kayak jambu air," komentar abangnya, Jo.
"Jambu air bukannya enak, Bang""
"Apanya yang enak" Jambu air yang pink itu asem,tau!"
"Alaaa bilang aja Bang Jo sirik nggak bisa pake baju pink. Warna pink kan, cuma milik cewek," timpal Fe sambil ngeloyor pergi.
Dengan santainya, Fe berjalan ke teras rumah. Handphone yang digenggamnya langsung dimainkan. Dia menghubungi Sui, lantaran sobatnya itu sudah terlambat dua menit dari waktu yang dijanjikan.
"Kalo nggak bisa jemput on time, nggak usah janji segala, dong!" komentar Fe.
"Yeee..., mestinya yang dijemput dong, harus sabar. Udah nebeng, pake protes lagi!" sahut Sui.
Fe tertawa. Tiga menit kemudian, Sui baru nongol bareng Vios-nya. Mereka langsung menuju Plasa Senayan. Kebetulan, hari ini adalah hari terakhir pekan sale di sana. Beberapa hari lalu, Fe melihat katalog. Ada beberapa koleksi pakaian pink yang langsung menarik hatinya.
Tidak aneh begitu mereka keluar dari mobil, langsung berjalan mencari pakaian yang udah mereka incar. Sui nggak seperti Fe. Dia lebih suka warna biru.
"Yang suka warna biru tuh banyak, Sui. Bisa-bisa, kalo pake baju model itu di suatu p
esta, bakal ketemu tiga orang dengan baju yang sama," kata Fe saat Sui mengamati sebuah blus biru.
"Jadi, aku harus gimana, dong" Dari tadi, setiap baju yang kutaksir selalu kamu bilang pasaran."
"Ikuti aku aja belinya!"
"Nggak, ah! Semua orang taunya yang gila warna pink itu adalah Fe. Kalo tiba-tiba aku pake baju warna pink, nanti dikira minjem sama kamu lagi!" tolak Sui.
Akhirnya, Sui tetap pada pendiriannya. Fe agak kecewa karena tak berhasil memengaruhi Sui. Toh, keduanya tetap asyik mengitari beberapa butik yang sedang sale. Setelah hampir dua jam mereka pilih-pilih dan berbelanja, akhirnya mereka terdampar di foodcourt. Perut mereka mulai berontak minta diisi.
Fe dan Sui tengah menunggu pesanan ketika tiba-tiba seorang cowok setinggi 180 senti meter mendekati mereka. Kulitnya tampak bersih, dengan postur tubuh tegap. Fe bisa menduga cowok di depannya berusia sekitar dua puluh tahunan.
"Boleh gabung di sini" Tempat yang lain penuh," ucap cowok itu.
Fe melirik sekitarnya. Ya, pengunjung foodcourt memang membludak. Kebetulan, Fe menempati meja dengan empat kursi.
"Silakan," Sui mendahului Fe.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa pesanan. Keruan muka Fe dan Sui pucat karena jadi ketahuan mereka memesan makanan dalam porsi banyak. Apalagi cowok itu sempat terbelalak.
"Rupanya, kalian laper berat ya, sehabis ngebo-rong pakaian serbapink dan serbabiru"" komentar si cowok.
Fe dan Sui giliran terbelalak.
"Maaf, tadi aku sempat mengikuti kalian berdua. Habis, tingkah kalian aneh sih, saat milih baju-baju yang kalian beli. Oh iya, namaku KK." Cowok itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
Fe dan Sui membalas perkenalan itu.
"Sebenarnya, kami nggak suka dikuntit orang," sindir Fe kemudian.
"Aku nggak nguntit, kok! Hanya kebetulan," kilah KK. Pesanan KK tiba. Segelas jus wortel. Fe dan Sui sampai kaget melihat cowok itu hanya memesan jus
wortel. Ah, tapi lupakan soal itu. Dalam beberapa menit, mereka udah terlibat obrolan akrab. Fe dan Sui memberi tahu kalau mereka masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sedangkan KK masih kuliah semester 6 di Trisakti. Hobi mereka pun nyaris sama, nonton film dan mendengarkan musik. Tidak aneh jika suasana pun cepat mencair. Saat berpisah, mereka saling tukar menukar nomor HP.
"Rasanya, aku jatuh cinta sama KK, Fe,"cetus Sui saat menjalankan Vios-nya.
"Selamat. Berarti, kamu harus bersaing denganku. Aku juga naksir dia."
"Aku berani taruhan."
"Deal!" "Tapi, gimana kalo dia udah punya cewek"" "Berarti, kita berdua kalah."
Keduanya tertawa sambil mengencangkan suara Josh Groban dari tape mobil.
Sejak hari itu, keduanya mulai melancarkan serangan menggaet KK. Mulai dari kirim SMS sampe kirim-kirim lagu di beberapa stasiun radio. Sampai seminggu kemudian, KK yang biasanya hanya mengirim SMS, tiba-tiba menelepon Fe.
"Hi, Fe! Kamu ada waktu nggak" Kita jalan-jalan, yuk!" ajak KK.
"Boleh tuh. Nanti kutanya Sui dulu, ya! Dia bisa ikut nggak, ya""
"Nggak usah, Fe. Aku cuma pengin jalan bareng kamu."
"Begitu, ya""
"Iya. Keberatan""
"Nggak. Mau jemput aku jam berapa"" "Jam empat. Kita ke Gading. Di sana lagi ada sale."
"Deal!" seru Fe dengan jantung berdebar.
Ya, siapa yang tidak berdebar diajak jalan bareng cowok seganteng KK. Dia memenuhi kriteria pria idaman Fe selain Josh Groban. Fe memutuskan berdandan dengan maksimal. Lagi-lagi, Jo kebingungan melihat cara dandan Fe.
Pukul empat, KK menepati janji ngejemput Fe.
"Wah, kamu cantik banget serbapink gini," puji KK saat bertemu.
"Terima kasih." Fe tersipu. Ternyata, mata Jo memang mesti diperiksa, pikirnya. KK yang ganteng aja muji cara aku dandan.
Lantas, mereka menuju kompleks Kelapa Gading Mali. Fe agak menyesal karena menemukan beberapa pakaian pink, tapi tabungannya menipis sesudah memborong minggu lalu.
"Dari tadi, kamu mengantar aku melulu. Sekarang, giliran aku yang ngantar kamu dong," ujar Fe setelah hanya sanggup membeli slayer pink dan bandana pink.
Ya, giliran Fe yang mengantar KK belanja. Ternyata, banyak juga yang dibeli KK. Dari dasi, setelan piyama, sampai handuk. Cuma, semua yang dibeli KK berwarna pink.
"Kamu pasti m enyindirku, ya"!" cetus Fe saat KK membayar belanjaannya di kasir.
"Maksudmu""
"Itu, yang kamu beli kok, warna pink semua. Kenapa nggak warna biru atau hitam. Biasanya, cowok lebih suka warna gelap."
KK tidak menyahut. "Aku punya kejutan untukmu Sepulang dari sini, mampir dulu ke rumahku, ya!" KK malah mengalihkan pembicaraan.
Fe kaget. Secepat itu KK mengajaknya mampir. "Tapi ...."
"Tenang aja. Jangan takut! Di rumah cuma ada ibuku. Empat abangku semua sudah menikah, dan pindah."
"Bolehlah kalau begitu," jawab Fe masih dengan perasaan heran.
Mendengar jawaban itu, KK terlihat senang. Mereka langsung naik mobil dan menuju rumah KK. Ternyata rumah KK di kawasan Pondok Indah sangat luas. Tak bisa disangkal lagi kalau perasaan Fe makin melambung. Dari sikap KK itu, Fe menilai KK menyukainya. Tentu saja tak akan menolak kalau KK menyatakan cinta padanya.
Hanya orang bodoh yang menolak cinta cowok seganteng dan sekaya KK! pikir Fe.
Begitu masuk rumah, Fe melihat seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun. Dia ternyata mama KK. Orangnya sangat ramah. Sayang, karena pendengarannya yang kurang baik, Fe nggak bisa berlama-lama bicara dengannya.
"Aku mau kasih kejutan untukmu. Ayo ke kamarku. Ups, jangan pikir aku akan macam-macam sama kamu ya, Fe!"
Fe tersenyum. Dia berjalan mengikuti ke bagian
kanan rumah. Begitu sampai di depan sebuah pintu kamar yang tetutup, KK terdiam sebentar.
"Fe, waktu pertama melihat kamu ... aku langsung ingin kenalan sama kamu lho," ucap KK kemudian.
Fe tersipu. "Apalagi kamu seorang penggemar warna pink," sambung KK.
"Lho, apa hubungannya"" tanya fe.
"Ada ...."KK membuka pintu kamarnya."Karena kita mempunyai kegemaran yang sama. Lihat isi kamarku!"
Fe terbelalak ketika melihat isi kamar KK yang luas. Di sana-sini terlihat benda warna pink. Mulai dari tempat diur, kap lampu meja, telepon, tirai ....
"Aku juga mengoleksi dasi pink, piyama pink, pokoknya semua yang pink. Kecuali pakaian cewek, karena aku tidak bisa memakainya," pamer KK bangga.
"Tapi ...." "Kamu pasti heran ya, kok, cowok suka pink. Ya, itulah yang suka dikatakan orang. Abis, semua berawal dari ibuku. Dulu, kami berlima tinggal di rumah ini. Masing-masing oleh ibu diberi warna khusus. Abangku yang pertama dikasih biru, lantas hitam, terus cokelat, dan yang ke empat abu-abu. Entah kenapa, ibu malah memberi aku serbapink, sampai akhirnya aku benar-benar maniak pink," papar KK.
"O, begitu, ya""
"Walaupun aku suka pink, sebaiknya kamu nggak berpikir aku ini cowok feminin."
"Ngngng ... tentu aja nggak. Aku nggak pernah berpikir begitu."
"Syukurlah. Soalnya, aku ngerasa normal. Aku masih bisa mencintai cewek. Dan satu cewek yang kini tengah kucintai adalah ... kamu, Fe."
"Aku ..."! Ah ... maaf, aku udah punya cowok!"
"Tapi kata Sui, kamu belum punya pacar."
"Sui nggak tau aku punya pacar. Justru sebenarnya ... Sui yang mencintaimu. Percayalah, KK. Aku nggak bisa nerima kamu, juga karena takut mengecewakan Sui. Dia sahabatku."
Raut wajah KK tampak mendung. Dia terduduk di atas ranjangnya yang ditutup seprai pink. Benar-benar pemandangan yang sangat kontras di mata Fe.
"Maaf, KK. Ini udah malam. Aku mau pulang," kata Fe pamit.
KK mengantar Fe. Tapi sepanjang perjalanan, keduanya tak saling bicara. Bahkan ketika Fe turun dari mobil, tak sepatah kata pun terucap dari mulut KK. Rupanya, dia kecewa berat dengan penolakan Fe.
Dan Fe" Fe juga kecewa berat dengan hal yang diketahuinya tadi. Meskipun Fe penggemar berat warna pink, tapi dia paling nggak bisa nerima kalo ada cowok yang menyukai warna pink. Pink itu milik cewek! Artinya, cowok yang suka warna pink tak ubahnya seorang cewek.
Biar seganteng dan sekaya apa pun KK, tetep aja Fe nggak mau nerima dia.
Fe langsung nelepon Sui. "Hai Sui, taruhan mendapatkan KK berakhir. Aku menyerah kalah!" kata Fe di telepon.
Benny Rhamdani, lahir 15 November di Jakarta (ditunggu ya, kadonya!). Ia mulai menulis di majalah Bobo sejak kelas 3 SMP sampai sekarang. Selain itu juga, ia biasa menulis di Suara Pembaharuan, Mutiara, Republika, Ananda, Tom ton, Kawan-ku, Siswa, Bocii (sekarang MOMBI), Anita Cemerlang
, Gadis, Hai, Aneka, Matra, dan sebagainya. Benny juga pernah menjadi koresponden majalah Hai, reporter H U Suara Karya, penyiar radio KRS, copywriter iklan, sampai penari klasik Kathak di Indian Culture Centre Jawaharlal Nehru.
Prestasi yang pernah diraih E dalam bidang kepenulisan adalah sebagai Pemenang 111 (1991), 1 (1993), dan 11 (1994) Lomba Cipta Cerpen Remaja Majalah Anita Cemerlang. Lalu, Pemenang 1 Lomba Cerpen Majalah Matra (1996), Pemenang 111 (1998), 11 (1999), 11 (2001), dan beberapa kali harapan untuk lomba cerpen, cerpen futuristik, dongeng, sampai cerita misteri majalah Bobo.
Beberapa karya Benny yang lain, di antaranya; Inilah Kelas Paling Ajaibi (DAR! Mizan, 2DD3), Makin Seru di Kelas Ajaib! (DAR! Mizan, 2DD4), Saatnya Menjerit! (DAR! Mizan, 2DD5), Awas, Ini Rahasia! (DAR! Mizan, 2DD3), Temani Aku Terbang (DAR!
Mizan, 2003), Dari Hati (DAR! Mizan, 2003), Sepasang Mata Bundar (DAR! Mizan, 2003), Gara-gara Nama (DAR! Mizan, 2004), Catatan Lagu Misterius (DAR! Mizan, 2004), Cowok Khayalan (PENERBIT CINTA, 2005), Peramal Istana (DAR! Mizan, 2005), Rambut Tito dan Bel Ajaib (DAR! Mizan, 2005), Prita dan Pohon Kenari (DAR! Mizan, 2005), Timun Mas: Cepat Lariii! (C Publishing, 2005), Biarkan Kami Bernyanyi (Indotim, 2002), dan beberapa seri Kompilasi Cerpen Bobo serta Kompilasi Dongeng Bobo.
Kamu-kamu yang ingin berbagi cerita ama Benny, bisa mengirimkan suratnya lewat redaksi Penerbit Cinta, atau lewat e-mail bennyraul@ yahoo.com.
tamat Perjanjian Hati 1 Wiro Sableng 163 Cinta Tiga Ratu The Order Of Phoenix 10

Cari Blog Ini