Ceritasilat Novel Online

Cewek 2

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 2


"Boleh." Febi mengangguk.
"Feb!" Rangga tercengang. "Kamu doyan kopi sekarang""
Febi Cuma tertawa, agak sinis. Didekatinya Fani lalu duduk di sebelahnya.
"Kopi tiga Mang," kata Langen dan ikut bergabung duduk dengan kedua temannya.
Kopi datang. Diam-diam ketiganya mengucapkan syukur. Untuuung gelasnya kecil. Masalahnya, mereka nggak doyan kopi, dan ini sebenarnya juga Cuma untuk eksyen di bawah tiga pasang mata yang menatap lurus dan tajam. Ketiga cewek itu mati-matian berusaha terlihat wjar. Seperti orang yang sudah biasa minum kopi.padahal sih. uuugh, yekh! Pengen muntah!
Apalagi mereka ltihannya salah. Pakai kopi merek ngetop, yang ada krim dan gulanya pula. Sementara yang sekarang diminum, kopi yang ampasnya segede-gede jagung, dan baunya mirip dedak makanan ayam.
"Jadi.," sambung Langen. Tangan kananya buru-buru mencomot sepotong pisang goring. Soalnya kopinya sudag naik lagi ke ulu hati dan siap mencelat keluar. " Udah lo bilangin Fan"" tanyanya.
Fani geleng kepala. Menutup bib
irnya rapat-rapat. Perutnya mual. Bima gemas sekali melihatnya.
"Elo Feb"" Langen menoleh ke Febi. Yang juga geleng-geleng kepala tanpa menjawab. Sibuk makan kerupuk sebanyak-banyaknya supaya kopi itu terdesak sampai ke usus.
"Bilang apa"" Tanya Bima.
"Itu, kami meu nantangin kalian bertiga.," lagi-lagi Langen tidak langsung meneruskan. Sengaja. Supaya suasananya jadi dramatis. "Kebut gunung!"
"HAAA!!!""
Bima terperangah. Rangga terhuyung mundur. Keduanya kaget luar biasa. Sementar Rei Cuma berdiri diam karena sampai sekarang rasa kagetnya belum hilang.
"Apa La"" Bima tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Jangan-jangan telinganya yang salah tangkap.
"Kebut gunung!" ulang Langen. Gaya bicarany masih santai, sepertinya kebut gunung itu masalah sepele baginya.
"La, ini serius" Fan" Febi"" Bima menatap ketia cewek-cewek di depannya bergantian. Tiga-tiganya mengangguk tegas.
"Udah yuk"" Febi berdiri. "Ntar keburu siang!"
Langen dan Fani ikut berdiri. Rei langsung mencekal satu tangan Langen dan menarik cewek itu ke hadapannya.
"Kapan!"" suaranya bergetar. Sepasang matanya menyorot tajam. Menembus jauh ke dua manic cokelat milik Langen. Berusaha mencari tahu barusan itu biukan sekedar gertak sambal.
"Sekarang," jawab Langen santai.
"SEKARANG"" ketiga cowok itu tersentak.
"Iya, sekarang! Ini kami udah mau berangkat. Jam..." Langen melihat pergelangan tangannya. "setengah delapan lah."
"Dari mana!"" Tanya Rei langsung. Suaranya sampai mendesis. Langen tersenyum manis.
"Sori. Kalo itu kami nggak bisa bilang. Kan kalian selama ini lebih suka jalan sendiri. Nah, sekarang kami juga begitu. Nggak pengen ditemenin. Kita jalan sendiri-sendiri. Oke"" Dia melepaskan cekalan Rein di lengannya,lalu menyusul Fani dan Febi yang sudah berjalan ke luar warung.
"Sampai ketemu di puncak!" seru Febi. Dia lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
Ketiga cowok itu berdiri kaku. Sama sekali tidak membalas lambaian itu. Masih belum bisa percaya pada tantangan yang di lempar Langen barusan. Begitu masuk mobi, Fani panik mencari-cari.
"Nih!" Febi menyodorkan benda yang dicari dan langsung disambar. Begitu permen rasa jeruk itu sudah melewati tenggorokan, Fani langsung tertawa keras-keras.
"Lo berdua ngeliat mukanya Bima nggak" Shock abis dia! Dia piker karena dia beruk, siamang, orangutan, jadi udah pasti nggak mungkin terkalahkan. Mampus dia sekarang!"
"Gue juga puas!" seru Langen riang, " Lo tadi kenapa diem aja sih Feb" aturannya lo sikat aja si Rangga. Abisin sekalian!"
"Males ah. Dia juga udah kaget banget kok tadi. Cukuplah," kilah Febi.
Di tempat mereka akan start untuk naik, Iwan cs langsung berdiri begitu ketiga cewek itu muncul.
"Berhasil nggak"" sambut Iwan. "Pada kaget tadi""
"Waaah, bukan kaget lagi! Muka mereka udah kyak napi mau dieksekusi!" Fani terkekeh riang.
"Masa segitunya"" Yudhi jadi ikut tertawa.
"Pokoknyaseru banget deh!" Langen menjentikkan jari,
"Oke..." Iwan menarik nafas panjang-panjang. "Waktu kita nggak banyak. Siap berjuang""
"Siap dong!" Langen cs langsung menjawab kompak. "bagus ! Kita berangkat sekarang!"
Mereka bergerak. Untuk menjejakkan kaki di tempat tertinggi. Kejutan pertama Langen cs untuk Rei cs!
Jalur yang pernah mereka buka dulu berawal dari tepi hutan yang terbuka, jadi sekarang Iwan cs terpaksa memotongnya dari tempat lain. Satu tempat tersembunyi dan jauh dari jalur-jalur yang biasa digunakan penduduk desa untuk mencari kayu di hutan.
Dan karena mereka cuma menebas semak seperlunya, Rabu kemarin Evan dan Rizal telah mengikatkan pita merah diranting-ranting pohon dalam jarak tertentu, untuk menandai jalur itu. Selanjutnya pita-pita itu akan langsung dilepas lagi, karena mereka tidak berencana untuk turun lewat jalan itu lagi. Alhasil, begitu semua pita-pita itu dilepas semua nanti, jalur itu akan langsung hilang dan tidak akan ada yang menyangka bahwa belum lama berselang sekelompok pendaki lewat situ menuju puncak.
Iwan juga telah memperhitungkan bahw waktu mereka benar-benar mepet. Karena itu
mereka membawa makanan matang yang siap santap. Jadi tidak perlu membuang waktu untuk masak. Untuk urusan yang satu ini, mereka berterima kasih sekali pada Teh Neneg karena sudah bersedia bangun pagi-pagi buta untuk membuatkan mereka bacang. Juga menyiapkan susu cokelat panas dan air jahe di dalam termos-termos kecil. Sebelum memulai pendakian, sekali lagi Iwan memerikda ransel Langen cs. Takut terlalu berat. Sementara Theo meminta ketiganya untuk memakai sweter agar tidak tergores ranting atau semak di sepanjang perjalanan nanti.
Semua sudah diatur sedemikian rupa agar tidak ada waktu yang terbuang percuma. Selagi menunggu giliran untuk ditarik naik, atau menunggu yang lain ditarik naik, yang berarti perjalanan sementara jadi terhenti, dimanfaatkan benar-benar untuk istirahat, makan, atau minum obat kalau ada yang merasa nggak enak badan.
Memang, jarak terdekat untuk mencapai puncak adalah melewati lereng-lereng bertebing. Tapi ya itu, berisiko tinggi. Perlu kekuatan fisik yang benar-benar prima dan peralatan yang bisa menjamin keselamatan. Dan jalur yang dibuka Iwan cs memang didominasi tebing. Beberapa malah nggak lurus dan overhang. Tapi justru di situ letak kunci kemenangannya. Jangan membayangkan cewek-cewek itu merayapi tebing dalam arti yang sebenarnya. Jauh deh! Mereka merayap hanya untuk memudahkan proses penarikan.
Di tebing-tebing yang overhang malah lebih asyik lagi. Ketiganya tinggal duduk manis di seat-belt sambil menikmati pemandangan. Sambil minum juga boleh. Atau sambil makan sekalian kalau memang tidak punya perasaan. Lalu ditarik sampai ke atas. Asyik, kan"
Makanya Rabu kemarin waktu jalur ini akan dibuka kembali, Iwan cs membawa bergulung-gulung tali karmantel. Untuk menghemat waktu, di setiap tebing mereka terpaksa meninggalkan tali dalam keadaan terpasang. Ini pendakian Langen cs yang pertama. Tapi mereka justru menempuhnya dengan cara yang tidak biasa, kalau tidak ingibn dibilang gila, untuk pendaki pemula.
Bukan saja karena banyaknya tebing yang harus dilintasi, tapi juga jarangnya permukaan yang datar. Dari awal semua serbamiring, serba harus merayap. Kadang berbatu-batu, kadang di antara gerumbulan semak, kadang di tempat kering, tapi tak kurang juga tempat-tempat basah dan lembab.
Di beberapa tempat, kelebatan hutan yang harus mereka tembus begitu rapat. Langit tertutup ribuan daun hingga Evam, yang berjalan paling depan, harus menggunakan senter untuk mencari di mana pita merah berikutnya pernah dia ikatkan.
Jangan ditanya lagi berapa kali Langen cs jatuh karena tersandung atau terpeleset. Tidak terhitung! Beruntung pengawal-pengawal mereka sigap. Jadi tidak sampai seperti pepaya matang jatuh dari pohon.
Tapi tekad dan semangat ketiga cewek itu, untuk menunjukkan bahwa mereka juga patut diperhitungkan, mengalahkan semua kesulitan. Seluruh ketakutan. Segala keletihan.
Namun ternyata tekad dan semangat tidak bisa seterusnya dijadikan sumber kekuatan. Memasuki jam keempat, sudah tidak bisa dicegah lagi. Cewek-cewek itu akhirnya berguguran!
Tiba-tiba Febi pingsan. Rizal yang sudah mulai waspada dari menit-menit sebelumnya, dengan sigap langsung menangkap sebelum tubuh Febi mencium tanah. "Theo, bantuin gue, Yo! Lepasin ransel sama balaclavanya!"
Kalau urusan menolong cewek cakep, Theo selalu sigap dan siaga. Repotnya, mereka sedang berada di lereng gunung yang punya kemiringan lumayan tajam. Meskipun pertolongan pertama untuk orang yang sedang pingsan adalah dibaringkan dengan posisi kepala lebih rendah, tapi karena terlalu miring mereka takut Febi malah akan menggelinding ke bawah.
Terpaksa metode itu diabaikan. Rizal ditibani rezeki. Dia dijadikan sandaran untuk menopang badan Febi yang lunglai. Theo kontan protes keras. Dia menganggap dirinya lebih tepat. Alasannya, badannya lebih gede jadi otomatis dadanya juga lebih luas, jadi lebih tepat untuk dijadikan sandaran. Rizal langsung menolak mentah-mentah. Alasannya, takut kalau mendadak Febi siuman, tuh cewek bakalan langsung pingsan lagi begitu tahu siapa yang memeluknya.
"Emang gue kenapa"" sergah Theo. "
Bukan gitu, Yo." Rizal menyeringai. "Dari awal kan udah sepakat dia tanggung jawab gue. Kalo tiba-tiba jadi elo, nanti dikira kita suka ngoper-ngoper cewek, lagi!" "Udah! Udah! Ribut aja!" potong Evan tak sabar. "Cepet kasih minyak kayu putih atau balsem. Ntar kalo lo berdua masih rebutan juga, gue yang pingsan nih!" "Heh!" Rizal dan Theo menoleh bersamaan. "Silakan geletak di tanah sana. Ntar gue panggil macan!"
Meskipun cemas, semua jadi geli juga mendengar keributan itu. Perjalanan terpaksa dihentikan. Kesempatan itu dipakai Langen dan Fani untuk istirahat dan melepaskan sweter yang sudah membuat mereka mansi keringat. "Gimana"" Iwan berjongkok di depan keduanya. "Apa terasa pusing" Mual""
Dua-duanya geleng kepala, sibuk mengipas-ngipas. Tapi cuma sebentar. Tak lama keringat malah membuat mereka jadi kedinginan. Belum ada jam dua belas, tapi dinginnya sudah ampun-ampunan. Dan baru bisa hilang kalau mereka banyak bergerak. "Lo berdua ganti baju." Iwan menarik carrier-nya, mengeluarkan baju Langen dan Fani yang terbungkus plastik hitam.
Tak berapa lama Febi siuman. Segelas air jahe hangat langsung disodorkan Theo untuknya. Karena waktunya benar-benar mepet, perjalanan mereka terpaksa dilanjutkan meskipun kondisi Febi sebenarnya mencemaskan. Belum ada setengah jam, ganti Fani yang roboh. Luruh ke tanah begitu saja. Lagi-lagi di saat mereka sedang merambati satu lereng yang punya kemiringan tajam. Dan botak pula. Nyaris tanpa pepohonan besar.
Yudhi langsung curiga saat jari-jari yang digenggamnya, yang tengah dibantunya menapaki tanah miring berbatu itu, tiba-tiba saja lemas. Saat dia menoleh, kedua mata Fani sudah setengah tertutup.
"WAN!!!" teriaknya seketika. Kaget, Iwan langsung waspada. Tubuh Fani merosot jatuh. Iwan menangkapnya dan mati-matian berusaha menahan dengan tangan kanannya yang bebas, sementara tangan kirinya menggandeng Langen.
Akhirnya Iwan kehilangan keseimbangan. Badannya limbung, hampir ikut terjatuh. Genggamannya ke Langen terlepas dan tangan kirinya kemudiam bergerak-gerak panik mencari pegangan. Langen kontan jadi limbung. Tumpuannya yang terbesar memang ke Iwan. Karenanya begitu tangannya dilepas, cewek itu langsung kehilangan keseimbangan. "LANGEN! CARI PEGANGAN, LAAAA!!!"" teriak Iwan menggelegar.
Tidak usah dibilang. Langen sudah refleks mencari-cari pegangan, tapi butiran-butiran batu dan tanah lepas menggagalkan usahanya. Tak ayal, badannya berguling-guling menuruni lereng. Evan dan Theo segera melepas carrier di punggung masing-masing dan langsung melesat tanpa berpikir lagi. Mereka berusaha meraih tubuh Langen yang meluncur turun dengan cepat.
"DI POHON ITU, YO!!!" teriak Evan. Theo langsung melesat seperti terbang. Melewati Langen dan memasang badannya di antara dua batang pohon kecil. Harap-harap cemas, semoga batang-batang pohon yang langsing itu sanggup menahan.
Hampir saja gagal. Batang-batang itu sempat melenggang ketika sesaat kemudian Langen menabrak Theo dengan keras. Mati-matian Theo menjejakkan kakinya kuat-kuat ke tanah agar tidak semua beban bertumpu di dua batang pohon itu.
Evan yang tiba beberapa detik kemudian, langsung mengambil alih. Ditariknya tubuh Langen yang menimpa Theo. Cewe ktiu benar-benar lemas, antara sadar dan tidak. Di bawah mereka jurang menganga. Terjatuh ke dalamnya, nyawa dipastikan akan langsung melayang tanpa sempat lagi menghitung dosa. Apalagi minta ampun!
Iwan tiba beberapa detik kemudian. "La, lo nggak apa-apa, kan"" tanyanya. Suaranya tercekik di tenggorokan. Tanpa sadar, melihat wajah Langen yang sudah seputih kapas, dipeluknya cewek itu kuat-kuat.
Langen menangis tanpa sadar. Dia benar-benar ketakutan. Yang teringat cuma jurang berbatu yang siap menyambutnya di bawah.
Jurang! Jurang! Dan.....tewas! Iwan tertegun begitu sadar dadanya basah. "Udah, La. Udah lewat," hibur Evan. "Theo pernah ditolak mati. Takut di sana nanti jadi bosnya jurik. Jadi selama dia masih hidup, kita kayaknya bakalan aman."
Theo memang pernah mati suri. Dan pengalaman spiritualnya selama hampir setengah hari jadi almarhum itu benar-b
enar bikin merinding. Yang sudah pernah mendengar kebanyakan ogah mendengar dua kali.
"HEEEI! TOLONGIN DOOOOONG!!!" teriak Yudhi dari atas. Fani ternyata masih pingsan. Febi juga sangat pucat. "Tinggal aja. Nggak apa-apa." Iwan mengangguk . Evan dan Theo buru-buru naik. "Evan bener, La," ucap Iwan pelan. Tidak dia lepaskan pelukannya karena tubuh Langen masih gemetar. "Kadang susah dipercaya. Tapi kami udah berkali-kali ngalamin peristiwa yang hampir 'nyaris' begini. Dan puji Tuhan, selalu lewat. Mungkin Theo bener-bener penolak bala." Diusap-usapnya punggung Langen. Lalu perlahan dia lepaskan pelukannya. Mata basah dan merah Langen membuatnya tertegun sesaat lalu tersenyum geli. "Bisa nangis juga lo, ya""
Langen tersenyum malu dan buru-buru mengusap air matanya.
Kali ini mau tidak mau mereka harus mberistirahat agak lama. Baru setelah wajah-wajah pucat ketiga cewek itu sudah berkurang dan ketiganya juga sudah mulai tenang, perjalanan diteruskan.
Selanjutnya, barisan pita merah berliku yang mereka ikuti membawa mereka ke satu tempat yang cukup unik. Tegak di depan mereka, sebuah dinding cadas tinggi. Hampir sepanjang sepuluh meter. Seluruh permukaannya basah dialiri air. Sebuah langkan atau teras, selebar hampir satu meter yang sepertinya terbentuk karena aliran air, membentang di hadapan. Langkan itu juga basah dialiri air, berliku mengikuti dinding tebing. Menitinya sudah pasti akan sangat menyenangkan, seandainya jurang tidak menganga di sebelah kiri. Jurang yang kedalamannya tidak bisa siketahui karena dasarnya tak terlihat, tertutup pepohonan rapat.
Mereka berhenti. Iwan menatap Langen, Fani, dan Febi yang sedang termangu menatap pemandangan di depannya. Cowok itu menunggu beberapa saat, baru bicara.
"Siap"" tanyanya. pelan, tapi efeknya seakan-akan dia baru saja berteriak. ketiga cewek di depannya serentak menoleh kaget. "Jangan pelan-pelan. nggak usah buru-buru pengen sampe seberang. Ayo. Waktu kita nggak banyak.
Mereka mulai meniti langkan yang basah dialiri air itu. Merapatkan diri ke dinding tebing dalam jarak aman yang tidak tersentuh air. Untuk pengaman, Iwan cs telah menancapkan beberapa piton yang merentangkan seutas tali, di sepanjang permukaan tebing.
Dari seluruh perjalanan, ini satu-satunya bagian di mana mereka tidak berani mengejar waktu. mau tidak mau harus melangkah perlahan dan satu-satu. segalanya seperti akan berjalan baik, sampai kemudian Febi tiba-tiba tergelincir. tubuhnya terhuyung ke sisi jurang menganga. Refleks tangannya berusaha meraih tali pengaman, tapi tidak berhasil. Rizal, yang berada dibelakangnya, seketika mengulurkan tangan kirinya. Tak duga, dia mengalami hal yang sama. kaki kirinya kepeleset. beban berat dipunggung membuat tubuhnya kemudian terbanting. kelima jarinya yang tidak menggenggam sepenuhnya, membuat tali pengaman terlepas dari genggaman.
Dan semuanya terjadi dalam hitungan detik. permukaan langkan yang licin menyeret tubuh Rizal yang terbanting, langsung ke mulut jurang. tangan kiri cowok itu yang sudah sempat meraih tubuh Febi, seketika menyentakkan tubuh itu ke dinding tebing. Febi terhuyung membentur dinding, dan aliran air seketika membuatnya basah kuyup.
Theo, yang sempat terpana selama beberapa detik, langsung bertindak. disambarnya tubuh Rizal yang sudah sampai di bibir langkan. sayangnya.....terlambat!
Disaksikan semua mata yang hanya bisa terkesima, Rizal terjatuh ke dalam jurang. menghantam sebuah dahan pohon. terdengar bunyi "krak" keras. dahan itu nyaris patah jadi dua. sedikit sisa kayunya yang masih menyambung membuat dahan rapuh itu mengayun-ayunkan Rizal di atas ketinggian yang tidak diketahui jaraknya.
Febi yang pertama tersadar. dia berlutut di tepi langkan dan menyeritkan nama Rizal dengan lengkingan panjang. seketika yang lain tersadar seperti ditampar.
"Yo! keluarin tali!" seru Iwan dengan suara tercekat. sambil menurunkan carrier, dipandangnya Evan dan Yudhi sekilas. "Tolong lo bawa nih cewek-cewek!"
Yudhi segera membimbing Langen dan Fani meneruskan meniti langkan. sementara Evan terpaksa menarik Febi yan
g terus menatapnya ke bawah sambil terisak-isak dan memaksanya pergi dari situ.
Theo mengeluarkan segulung tali dari dalam carrier-nya, sementara Iwan mengeluarkan seat belt dan beberapa peralatan lain.
"Elo belayer!" kata Iwan sambil mengenakan seat belt. sementara itu di bawah, Rizal benar-benar bersyukur dia tidak terluka, karena carrier-nyalah yang menghantam dahan pohon sampai nyaris jadi dua. masalah besar yang dihadapinya sekarang, dia hanya punya waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri sebelum dahan ini benar-benar jadi dua, dan patahannya melemparnya ke kedalaman yang tidak terlihat.
Semuanya menyaksikan dalam ketegangan yang menikam, saat Rizal berusaha menggapai sebuah tonjolan tebing, sementara Iwan dan Theo menyiapkan usaha penyelamatan. dan semuanya langsung menarik napas lega saat akhirnya Rizal berhasil.
Sepertinya melekat di dinding cadas yang dibasahi aliran air jauh lebih aman daripada terayun-ayun di dahan rapuh. Sepertinya! Tapi air akan mengikis cadas sekeras apa pun, dan membuat permukaan-permukaan tajamnya jadi tumpul. Rizal berjuang mati-matian untuk bertahan. Kesepuluh jarinya mencengkeram tonjolan tebing yang tumpul kuat-kuat. kedua kakinya menjejak juga di tonjolan tebing tumpul kuat-kuat.
Tapi tonjolan permukaan tebinh yang hanya beberapa sentimeter dan tumpul pula, tidak mampu mengalahkan beban berat di punggung yang beratnya puluhan kilogram, apalagi masih ditambah dengan tarikan gravitasi. Perlahan badan Rizal mulai melengkung. Dan itu membuat kedua tangannya bergerak liar mencari pegangan lain yang lebih kuat.
Setelah beberapa saat mati-matian mencoba bertahan, akhirnya Rizal menyerah. diiringi jeritqn Langen, Fani, terlebih lagi Febi, dan teriakan keempat temannya, Rizal terjatuh. tubuhnya melayang turun, lali hilant ditelan kelebatan pohon dibawah!
Semuanya terkesima, tak bisa percaya atas hilangnya salah satu teman mereka. Iwan yang sebenarnya sudah separuh jalan, seketika menggantung diam ditengah tebing. "RIZAAAAAAL!!!!!"
Jeritan Febi melengking panjang. Membelah keheningan. Seketika semuanya tersadar. Iwan berusaha menuruni tebing dengan cepat. semua menahan napas ketika kemudian dia menghilang di antara lebatnya pepohonan di bawah. Detik-detik kemudian berlalu dalam tegang dan cemas yang benar-benar mencekik saraf.
Tiba-tiba lebatnya daun-daun di bawah terkuak. Iwan muncul bersama Rizal. Iwan bertelanjang dada karena kausnya disobek untuk membebat luka di kepala dan lengan kanan Rizal. Ada noda darah di kedua tempat itu.
Lagi-lagi Febi menjeritkan nama Rizal, lalu ribut bertanya di mana kantong P3K. Sementara Evan berjalan hati-hati meniti langkan tebing untuk menjemput Rizal.
Semuanya lalu mengikuti dengan diam, sepotong adegan ala film-film perang, saat seorang tentara ganteng yang terluka dirawat seorang gadis relawan Palang Merah yang cantik. Yang membersihkan lukanya bukan hanya dengan tangan-tangannya yang halus, tapi juga ekspresi cemas plus ait mata. Ditambah permohonan berjuta maaf yang begitu mengundang iba dan mengharumkan hati siapa saja.
"Wih, enaknya!" komentar Theo sambil geleng-geleng kepala. "Gue juga mau, kepala gue bocor kiri-kanan-depan-samping!" Semua tertawa. "Emang kepala lo bisa bocor"" tanya Evan. "Orang kejedot jendela aja, kacanya yang pecah!" "Jendela lo aja yang kacanya murahan!" balas Theo langsung. semuanya tertawa lagi.
Kembali mereka terpaksa mengambil istirahat agak lama. soalnya, walaupun luka Rizal tidak serius, ketegangan yang ditimbulkan telah menguras cukup banyak energi. Setelah dirasa semuanya sudah cukup istirahat, Iwan berdiri. diraihnya carrier Rizal. "Sementara lo nggak usah bawa apa-apa dulu." "Nggak! Nggak usah! Nggak usah!" Rizal buru-buru menolak. meskipun tubuhnya serasa benar-benar remuk, luka dipelipisnya juga, terasa sangat sakit, berhubung di depan ada cewek-cewek apalagi ada yang sudah menangisinya sampai keduanya matanya bengkak begitu, dia mesti kelihatan strong bak Hercules! Perkara nanti sampai rumah kolaps, itu urusan belakang! "Serius, nih"" Iwan menatap Rizal, tak yakin. "Iya.
Lagian juga udah deket."
Mestipun khawatir dan sebenarnya tidak percaya, keempat temannya akhirnya membiarkan Rizal tetap menyandang beban berat di pungguh.
*** Lima belas menit terakhir, Langen, Fani, dan Febi merasakan apa yang dirasakan setiap pendaki gunung di saat menapaki menit-menit terakhir perjalanan mereka. Perasaan yang sulit digambarkan.
Padang-padang edelweis dengan bunga-bunga- bunga putihnya mengapit di kiri-kanan. Kabut datang dan pergi bergantian. Kesunyian yang begitu dominan. dingin yang menggigit tulang. Dan langit yang sepertinya tergapai tangan.
Ini pendakian mereka yang pertama. Bukan bersama orang-orang yang mereka sayangi, tapi justru bersama orang-orang yang baru mereka kenal kecuali Iwan tentu saja. Tanpa sadar, semua terdiam. Sampai mereka tiba di satu tempat terbuka. Tidak begitu luas dan penuh rumpun edelweis. Tiba-tiba Iwan dan keempat temannya memisahkan diri. Membentuk jarak dengan Langen, Fani, dan Febi. Cewek-cewek yang selama lima jam lebih mereka bimbing untuk sampai ke tempat ini, melewati begitu banyak kesulitan. Ketiganya menatap heran, tak mengerti. Iwan melangkah maju. Mendekati Langen lalu mengulurkan tangan.
"Selamat, La....." Diguncang-guncang tangan Langen. "Lo udah berhasil sampe puncak. Hebat!"
Langen tergugu. Keharuan itu begitu saja datang. tiba-tiba dia terisak. "Makasih, Wan....." Suaranya hampir tak terdengar. Iwan melepaskan genggamannya kemudian beralih ke cewek di sebelah Langen. Fani, yang juga sudah menggigit bibir. "Selamat ya, Fan," ucap Iwan lembut. "Elo udah berhasil sampe puncak. Top!"
Suasana langsung berubah seperti acara perpisahan. Meskipun sudah ditahan mati-matian, suara isak tangis itu tetap terdengar. Pelan, tapi malah membuat suasana jadi semakin mengharumkan. Apalagi sewaktu Rizal mengucapkan selamat untuk Febi. Part two adegan di pinggir jurang tadi. "Ya ampun, Feb! Udah dong nangisin Rizal-nya. Orang dia nggak kenapa-napa!" kata Theo dongkol. "Nggak kenapa-napa gimana" Dia luka dalam, kan" Harus sering-sering diperhatiin!" jawab Yudhi cepat. Iwan dan Evan menyeringai, tertawa tanpa suara.
"Apanya yang luka dalam" Mana sini, gue ketok sekalian!" dengus Theo sambil balik badan. "Siapa yang mau sosis panggaaang!!!"" dia berteriak nyaring. berhasil. teriakannya langsung merusak suasana penuh haru itu. "Oke, deh. met pesta. Biar gue jaga....."
Iwan berjalan ke mulut salah satu jalan setapak dengan membawa segelas kopi dan seplastik roti. "Yud! Jangan lupa tuh urusannya cewek-cewek!" "Sip!" Yudhi mengangguk. "Mau liat-liat, nggak"" ajak Riza. "Kita sekarang ada di tempat tertinggi ketiga di Jawa Barat!" "Mau! Mau!"
Langen dan Febi langsung berdiri, sementara Fani kayu, kemudian bertiga dengan Theo membakar sosis. Membakar sambil mengunyah, membuat Theo sebentar-bentar berteriak, dan akhirnya sosis-sosis itu ditumpuk di piring yang diletakkan di depannya persis. "Bagi dong, Yoooo," rayu Fani sambil mengedipkan mata. "Nggak!" tolak Theo langsung. "Dari tadi lo udah makanin melulu, tau!" "Atuuu aja. Yang keciiil....." "Nggak!"
Fani mengambil sebatang kayu bekas memanggang sosis. Diacung-acungkanya kayu yang ujungnya telah menjadi bara itu ke arah Theo. "Bagi nggaaak.... atau mau gue bikinin tato baru di tangan lo" tapi gue nggak jamin jadinya bisa keren kaya tato lo yang laen!" "Eh" Eh" Tolong! Iya! Iya nih!" Theo buru-buru memberikan apa yang diminta oleh rampok cewek di depanya. "Van! Panggilin yang laen gih, buruan! keburu abis nih sosis!"
Evan pergi sambil cengengesan. tak lama dia kembali bersama Yudhi, Rizal., Lagen, dan Febi. Mereka langsung menyerbu tumpukn sosis di piring di depan Fani. berebut mengambil paling banyak. tarik-tarikan. dorong-dorongan. saling berusaha menyikat sosis milik yang lain, tapi berjibaku mempertahankan milik sendiri. makan sambil tertawa cekakakan dan berteriak-teriak riuh. pesta metiah itu langsung terhenti begitu Iwan muncul dengan muka tegang.
"Mereka datang!" serunya tertahan.
ketiga cewek itu tersentak. lansung berdiri dan lari ke tempat yang telah disiapkan Yudhi untuk
mereka, lalu buru-buru duduk diatas bentangan ponco. sosis di mulut buru-buru ditelan tanpa sempat dikunyah sampai lembut. setelah itu mulut dan tangan dilap smpai benar-benar bersih. pakai cologne sedikit biar bau daging panggangnya hilang. setelah itu mereka men arik napas panjang-panjang. menenangka diri. tiba-tiba Iwan datang menghampiri.
"ingat ya!" desisnya tegang. "jangan sekali-sekali mau diajak turun bareng. ngrti"" ketiga cewek itu menganguk. "dan jangan dikasih kalo mereka maugelar ponco deket lo bertiga. usir jauh-jauh! terus., ransel-ransel itu nggak memadai untuk naek gunung. jadi jangan sampe mereka ngeliatin terlalu lama. bisa curiga. tutupi badan atau jaket. ngerti"" ketiga cewek itu mengangguk lagi. mereka jadi srmaki tegang melihat Iwan seperi itu. "ingat itu! dsn jangan jangsn keliatan nervous semua serahin ke gue good lock!" Iwan melejit dari hadapan Langen cs bergabung kembali dengan teman-temannyanya. "Gue mau pura-pura tidur deh. Febi masuk ke satu-satunya sleeping bag yang ada. "Iya.... " Langen mengangguk. "sekarang lo pura-pura tidur aja. yang gampangan. tapi ntar malem rencana kita kudu sukses ya Feb!"
Shock yang dialami Rei, Bima, dan Rangga terlalu lama. Begitu yang dikendarai Langen menghilang di tikungan, mereka baru sadar. Rei langsung berlari ke Jeep-nya dan melompat ke belakang setir, diikuti Bima.
"Cek di base camp, Ga! sekalian mintain izin Bang Imenk, kita nggak ikut latihan!" seru Rei sambil memutar kunci. Rangga langsung balik badan, lari ke atas.
Dengan kecepatan tinggi, Jeep itu lalu menyusuri jalan aspal sempit yang berkelok turun. tapi saat mereka tiba di pertigaan jalan besar, Escudo itu tidak terkejar. setelah Rei dan Bima mengawasi kiri-kanan, juga menanyai orang-orang yang ada di sekitar situ, Jeep itu kembali ke atas. sekali lagi melaju dengan kecepatan tinggi. untuk kedua kalinya mereka melewati Teh Neneng yang sedang menampi beras di depan warungnya. dan untuk kedua kalinya pula mereka tidak melihat di jalan tanah samping warung itu tercetak dua jalur jejaj ban!
Rangga sedang berdiri gelisah saat Rei menginjak rem mendadak di depannya. melihat ekspresi wajah teman-temannyar dia sudah tahu percuma bertanya bagaimana hasilnya.
"Kang Ucup bilang mereka nggak lewat sana.semua yang nongkrong di base camp juga nggak ngeliat. tapi gue udah wanti-wanti dia untuk ngawasin."
Mereka bertiga saling pandang. sama-sama bingung. Bima melompat turun. "Kita naek sekarang!' Dia berjalan masuk ke warung dan keluar dengan sebuah carrier besar di punggung Kedua sahabatnya langsung mengikuti.
Cara membuktikan tantangab itu benar atau tidak, memang hanya satu. secepatnya sampai puncak.dan ketiga cowok itu asli kuaaaget setengah mati amat sangat. saat berhasil mencapai puncak dengan rekor tercepat lima jam! ketiga cewek itu sudah ada di sana!!!
Saking tidak percayanya, Rei cs lalu berdiri persis di hadapan Langen cs. meyakinkan diri kalau sosok-sosok tubuh itu asli dan bukan fatamorgana. "Udah lama elo di sini"" tanya Rei. "Heh!" cibir Langen dengan ekspresi malas. "Kasih tau, Fan!" "Satu jam!" sambil mengunyah biskuit, Fani menjawab seolah sambil lalu.
Lagi-lagi ketiga cowok itu terperangah. satu jam!!!" Tidak mungkin! Impossoble! Mustahil! Bohong! Nonsens! Tapi kenyataannys ketiga cewek itu ada di sini. di tempat tertinggi. "Jangan di sini!" sentak Langen saat Rei akan menurunkan carrier. "Kita lagi berkompetisi. jadi mesti jaga jarak sampe selesai. lagian kita juga udah bosen deket-deket lo bertiga. sana yang jauh!'
Fani meringis geli. merasa kalah, ketiga cowok itu menjauh. Bima lalu menghampiri iwan cs, yang nge-camp agak jauh dan berlagak tidak peduli. Yudhi dan Theo sedang memfoto pemandangan dengan kamera bertripod. Evan dan Rizal tdur-tiduran. sementara Iwan membaca buku. setelah perkenalan singkat dengan masing-masing menyebutkan nama, Bima langsung ke tujuan. "Cewek-cewek itu udah lama di sini""
Iwan mengangkat kepala. menjawab dengan suara datar seolah tidak tertarik. "Nggak tau. kami sampe sini, mereka udah ada." "Lo udah lama sampe"" "Sejamlah k
ira-kira." Bima terpana. shock mendengar kesaksian itu. juga kedua sahabatnya saat dia laporkan perkataan Iwan itu.
Langen dan Fani yang mengawasi diam-diam, tertawa pelan. kaget kan lo bertiga!" makanya jangan suka ngeremehin cewek! ledek mereka dalam hati.
Sementara itu tanpa kentara Iwan cs berunding. mencari cara untuk membawa Langen cs turun tanpa Rei cs curiga. tak lama Theo berdiri lalu berlari terbirit-birit sambil memegangi perut dan menghilang di semak-semak. Langen, Fani, juga Febi yang baru keluar dari sleeping bag, menunduk menahan taea. kebanyakan makan sih!
Langen yang bingung bagaimana kelanjutsn aksinya, menoleh dan jadi tertegun. Iwan tengah menatapnya dari balik punggung Rizal. cewek itu menyipitkan mata. berusaha keras membaca isyarat yang dilempar Iwan secara sembunyi-sembunyi itu. mereka harus turun" sekarang" lewat jalan yang tadi diambil Rei cs"
Langen meminta ketegasan. tapi Iwan sudah tidak menoleh lagi. Langen lalu memberitahu kedua temannya.
"Gimana caranya turun bareng Iwan di depan mereka" Masa kita turun sendiri"" tanya Fani. "Kayaknya gitu." "Sendiri!"" Fani terperangah.
juga Febi. "Kalo kesasar gimana""
"Nggak tau. yuk, buruan beresin."
Dengan perasaaan campur aduk, antara tegang, cemas, dan takut, ketiga cewek itu membereskan semua perlengkapan. Fani terus-menerus melirik Iwan cs. beruntung di detik-detik terakhir Iwan menoleh. sekali lagi cowok itu memberi isyarat.
Turun! Sekarang! Setelah semua beres, dan setelah setengah mati memaksa sleeping bag masuk ke ransel sampai terdengar bunyi "breeeet" dan dengan pasrah ransel itu dibiarkan mangap ketiganya berdiri dan dengan gamang berjalan menuju jalan setapak.
Lima menit sebelumnya Iwan mengirim Evan, Theo, dan Yudhi ke tempat Rei cs, dengan misi untuk mengalihkan perhatian. supaya Langen cs tidak terhambat. begitu ketiga cewek itu lewat, Rei cs memang refleks akan menahan. ketiga cowok itu malah nyaring saja melompat, siap mencekal cewek masing-masing. tapi suara Theo yang seperti petasan sekardus disundut bersamaan, membuat ketiganya seketika menahan diri. Apalagi si Botak itu juga dengan santai, tanpa minta izin dulu sama yang punya, menjadikan carrier Rei untuk bantal dan carrier Bima untuk guling. gimana orangnya bisa cabut kalau propertinya dipakai untuk tiduran begitu" apalagi ketiga cewek itu juga berlagak tidak peduli pada cowok masing-masing. satu pun tidak ada yang menoleh. lewat begitu saja.
"Cewek-cewek hebat!" puji Theo dengan ekspresi kagum banget. "jarang gue liat ada cewek berani naek gunung tanpa cowok. belum pernah malah!" "Udah kenalan"" tanya Bima. suaranya terdengar ringan, tapi di otaknya langsung muncul satu daftar perkakas pembunuhan.
Yudhi, yang sebodo teuing cowoknya siapa kera berbulu di depannya itu, menjawab santai, "Oh, jelas dong! barang bagus begitu!"
Kalimatnya membuat tiga pasang mata di depannya seketika berkilat tajam. "Kalo elo milih yang mana""Evan memperkisruh keadaan. "Gue suka sama si Langen. udah lucu, kece, lagi!" "Fani!" jawab Yudhi cepat. "Manis banget tuh cewek! Gila! ck ck ck!" Yudhi geleng-geleng kepala. Bima sudah bergerak akan menghajar tapi langsung ditahan Rei.
"Kalo gue tiga-tiganya!" seru Theo nyaring. "cakep-cakep sih. milihnya jadi susah."
"Kalo elo sih memang maruk!" Evan menepuk bahu Theo. "Dia emang playboy nih!" katanya, memberitahu Rei cs. "Mantan-mantannya berjibun! siapa aja Yo" yang gue inget cuma, Yuli, Aulia, Dian, sama Tia. yang laennya gue udah lupa."
Theo menggangguk-angguk. mengiyakan dengan roman bangga. padahal nama-nama yang disebutkan Evan tadi memang akrab denga Theo.mereka sering pergi bersama.peluk-pelukan sambil jalan. kadang Theo suka memeluk keempatnya sekaligus. dua di kiri: si yuli atau Yulianto, dan Aulia atau Aulia Taufano. Dan dua si kanan: si Dian atau Dian Nugraha, dan Tia, yang nama lengkapnya Tiandri Baron. kepalanya botak juga, kayak Theo.
Yudhi setengah mati menahan tawa menyaksikan ekspresi-ekspresi dendam di depannya. Mana Rei cs tahu bahwa empat nama yang disebutkan tadi......asli cowok!
Se mentara itu Langen cs berjalan seperti anak ayam kehilangan induk. mereka ketakutan. apalagi saat jalan setapak itu mulai memasuki daerah berhutan. dengan pohon-pohon yang tinggi dan rapat, dan bukan lagi rumpun-rumpun edelweis dan semak-semak rendah.
"Bener ini jalannya, Ls"" tanya Febi. suaranya juga bergetar.
Radius kira-kira dua ratus meter, tiba-tiba mereka menemukan seutas pita merah terikat di ranting pohon. ada secarik kertad diselipkan di ikatannya.
IKUTI PITA MERAH! LEPAS LAGI DAN JANGAN SAMPAI ADA YANG TERCECET! (THEO)
Takut-takut ketiga cewek itu mengikuti barisan pita merah yang diikatkan tiap jarak satu meter itu. berliku-liku menembus pepohonan rapat. kira-kira dua puluh meter, mereka berhenti di depan pita terakhir, yang diikat di satu ranting pohon yang berdiri dekat batu besar. ada selembar kertas juga di ikatannya.
Bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, Langen cs melintas di depan base camp yang saat itu sedang ramai. "Hei!" panggil Ronni. "Abis dari atas"" "Kelihatannya gimana"" Langen balik bertanya. "Masa sih!"" kedua mata Ronni membelalak. langsung dihadangnya ketiga cewek itu. "Kok Rei nggak pernah cerita" Bima juga. Rangga apalagi!" "Emangnya mesti diceritain-ceritain"" "Ck ck ck! hebat!" sepasang mata hitam yang suka jelajatan itu sontak berbinar. cewek-cewek begini nih idaman hatinya! "Gimana kalo kapan-kapan kita naik bareng"" "Liat gimana nanti aja deh," jawab Langen malas. didorongnya cowok itu ke pinggir. "Minggir kenapa sih" kami mau lewat, tau!" "Heeeiiiii! Mampir dulu dong!" teriak Andreas. "Buru-buru nih!" balas Fani, juga teriak. terima kasih deh! Andreas itu pengen kayak Yang Mulia Sri Paduka Maharaja, kali kiri-kanannya sudah diapit "Selir Kurang Gizi" dan "Selir Kebanyakan Silikon", masih mrnyuruh yang lain mampir.
Ketiga cewek itu buru-buru pergi. Takut Rei cs mendadak muncul. yang penting tujuan mereka tercapai. banyak yang melihat mereka lewat. tak berapa lama kemudian Rei cs memang sampai di base camp, terengah-rengah dan mandi keringat karena habis berlari jauh.
"Oi, barusan aja lewat!" lapor Andreas langsung. "Sama siapa aja"" tanya Bima. "Bertiga aja."
Ketiga cowok itu langsung cabut. Andreas bilang, Langen cs barusan saja lewat. tapi biar sudah diubek ke sana kemari, ketiga cewek itu sudah tidak terlihat sama sekali.
"Cepet banget sih mereka ilangnya"" Rangga geleng-geleng kepala. Bingung tapi juga takjub. sementara kedua sobatnya menatap ke segala penjuru tanpa bisa bicara.
Sebenarnya Langen cs hanya bersikap tenang saat melintas di depan base camp. tapi begitu melewati tempat itu, ketiga langsung lari terbirit-birit. dan sekarang mereka sudah berada di rumah Mang Asep. berkumpul lagi dengan Iwan cs.
Langen sedang dikerumuni Iwan cs. saat melihat cewek itu mengeluarkan botol minuman keras dari Escudo Evan, Iwan jadi antusias ingin tau rencana selanjutnya.
"Isinya gue buang. tapi yang dua botol gue sisain dikit, buat bau-bauan. terus botol yang satu gue cuci bersih-bersih.ntar diisii teh manis. makanya gue pilih botol yang gelap, biar nggak kelihatan...... terus, biar tambah meyakinkan, kita kudu meraih mata kita. caranya, pelototin deh kompornya Teh Neneng. mata kita kan kena asap tuh, terus kita ucek-ucek!"
Senyum-senyum geli mulai muncul saat Langen mengstone-kan kedua matanya, meraih salah satu di depannya, lalu mendekatkannya ke mulut sambil menengadahkan kepala. berakting sedang menenggak minuman keras. setelah itu dia goyang-goyangkan tubuhnya, pura-pura sempoyongan. dan akhirnya......bruk! cewek itu mengaparkan diri di atas dipan!
Kontan semuanya tertawa riuh. "Lo sarap, La!" kata Rizal, tapi nadanya salut. "Gila banget si lo!" Evan geleng-geleng kepala. "Oke banget, La! Canggih!" seru Theo. sementara itu Yudhi mengacungkan kedua ibu jarinya tanpa bicara, karena mulutnya sedang mengunyah pisang goreng. cuma Iwan yang tidak takjub. dia sudah hafal dengan semua kelakuan Langen. ini termasuk masih mending dibandingkan masa-masa SMA dulu.
Iwan cs kemudian pamit. mereka sebenarnya ingin menyaksikan akting mabuknya Langen cs. i
ngin tahu bagaimana ending-nya, Rei cs tertipu atau tidak. tapi karena menurut rencana yang telah disusun kelimanya cuma eksis sampai di sini saja, cuma membantu untuk urusan kebut gunung dan turunnya lagi, di samping sifatnya yang agak-agak pribadi, terpaksa kelima cowok itu hanya bisa mengucapkan "Selamat berjuang dan semoga sukses". mereka kemudian cabut, pulang duluan.
"Berani nggak!"" tantang Fani. "Aah, nggak berani! Masukin lagi, La! nggak pada berani mereka!"
"Payah!" Langen mengantongi lipstiknya. "Baru begini aja nggak berani!"
Jari-jari Rei dan Bima mulai mengepal. "Badan doang gede, nyalinya seupil!" ejek Fani nyaring. "Apalagi kalo kita tantangin ini, La!" Fani mengeluarkan buku agendanya dari dala. ransel. sampul depan agenda u itu bergambar kartun cewek berbikini. "Kalian berani nggak pake baju kayak gini!"" serunya ke Rei cs yang berdiri diambang pintu, sambil menunjuk-nunjuk gambar itu.
"Kalo nggak berani, bareng kami deh!" sambung Langen. "Kalo nggak punya, ntar kami pinjemin!" dia dan Fani saling pandang lalu tertawa cekikikan. "Kita pinjemin yang gambarnya Snoopy, La. yang seksi banget tuh. kayak punya Pamela Anderson!"
"Pamela telanjang, lagi. gimana sih lo!"
"Jorooook!" jerit Febi, yang sejak tadi terus menunduk, berlagak sibuk dengan kartu-kartunya. dua cewek di dekatnya kontan terkekeh-kekeh geli. "Satu.....dua.....tiga..... empat..... lima.....Ah, lewat!" tandas Langen. "mereka nggak berani lagi, Fan!"
"Ya udah. kita kasih tantangan yang paling ringan aja kalo begitu."
"Apa ya"" Langen pura-pura berpikir. "untuk cowok-cowok tempe.... "
"Tahu!" potong Fani "Tempe mah masih kekerasan. Tahu aja. sekali colek aja udah ancur. kan cocok tuh buat mereka!"
Bima menggeram. kesepuluh jarinya mengepal keras, sementara otot-otot di kedua lengannya tertarik tegang. "kurang ajar!" desisnya dan bergerak maju.
"sabar, Bim!" dengan paksa Rangga menyentak badan besar Bima ke belakang. Lo nggak denger!"" bentak Bima. jelas saja cowok itu sangat marah. soalnya selama ini dia kan sudah terkenal macho. jantan. masa sekarang dibilang cowok tempe" Tahu, malah! gimana nggak emosi"
"Sabar!" Rei menepuk bahu Bima lalu berdiri persis di depannya.
"Jangan tahu, ah. itu terlalu menghina. ini aja.... " sekali lagi Langen pura-pura berpikir serius.
"Oncom!" serunya kemudian.
"Nah, betul! itu baru cocok!"
Berdua Fani, kembali cewek itu tertawa-tawa geli. Bima menggeram lagi. dengus napasnya mulai terdengar seperti lokomotif tua yang masih dipaksa menarik gerbong. Rangga langsung mencekal salah satu bahunya.
"Setuju nggak, Feb"" tanya Fani.
"Oh, setuju dong!' jawab Febi langsung. "Dioseng, kan" Tapi yang pedes ya. terus dicampur tahu. Nah.....cocok banget deh buat orang yang nggak punya nyali.....eh, nggak punya gigi! sampe salah!"
"AAAAAAA.......HAHAHA!"
Jawaban Febi membuat tawa terbahak Langen dan Fani makin menjadi-jadi. keduanya sampai gedubrakan memukuli meja.
"Sekarang gini aja deh," kata Langen setelah tawanya reda. "Ini tantangan terakhir nih. coba sekarang lo bertiga bergaya kayak yang di Taman Lawang. itu lho, yang suka berkeliaran malem-malem. Ayo, cepet!"
Ketiga cowok yang berdiri di ambang pintu tetap tidak memberikan reaksi.
"Aaah, udah deh! buang-buang waktu aja ngurusin ayam!" Fani mengibaskan satu tangannya dan memasang ekspresi malas. "Udah deh. pergi! pergi! mendingan pada nelor aja gih sana! tapi ingeet.....kalo kotek-kotek jangan kenceng-kenceng, ya" soalnya
ini udah malem, you know"" dia menoleh ke Langen. "Elo tau sendiri ayam betina kan, La" mau nelor aja berisiknya minta ampun!"
"Iya! iya!" Langen kembali terpingkal-pingkal. dipukuli mejanya keras-keras. asli, geli betulan! Febi juga tertawa, tapi dia tutup mulutnya dengan tangan. yang paling kasihan Mang Asep dan Teh Neneng. pengen cekakakan tapi tidak bisa. takut ketahuan kalau mereka terlibat dalam konspirasi.
"Makanya inget ya!" Fani menunjuk Rei cs satu persatu, yang tengah menatapnya dengan sorot setajam mata serigala. "Jangan berisik! kalo nggak nurut, ntar gue opor. bar
u tau rasa!" Habis kesabaran Bima. disingkirkannya Rei dari depannya. tadinya Rei memang sengaja menghalangi kalau-kalau Bima lepas kontrol, tapi dia sendiri sekarang malah jadi ikut emosi. baru saja kedua cowok itu bergerak satu langkah, Mang Asep langsung buru-buru menghalagi.
"Sabar, atuh! sabar! sabaaar!" katanya. "orang lagi mabok teh memang begitu. bicaranya suka kurang ajar. sudah, jangan didengarkan. Ayo, sudah. sudah." Mang Asep memaksa keduanya mundur kembali.
Karena tidak enak dengan pemilik warung, Rei dan Bima terpaksa menahan diri. sementara itu, Rangga menatap Febi masih dengan ekspresi tidak percaya. Febi-nya sendiri masih memerhatikan kartu-kartu di tangannya dengan sangat serius. ini asli, bukan sandiwara. cewek itu lupa bagaimana cara menghitung angkanya.
"HEH! NGAPAIN LO JATOH DI SINI!!!"" Langen berteriak gila-gilaan. Semua terlonjak kaget. Teko di tangan Teh Neneng terlepas, jatuh dengan suara berisik di lantai semen. Mang Asep kejedot tiang kayu. Sementara Fani terjungkal dari bangku. Dia bangun, siap mau ngomel. Tapi satu isyarat samar dari sepasang mata Langen dengan cepat membuatnya mengerti situasi.
Buru-buru ditutupinya Febi yang masih menatap sang kecoak lurus-lurus. Di rumah Febi yang megah dan punya satu batalion abdi dalem, kecoak memang seperti makhluk dari dimensi lain. Febi cuma mendengar kata kecoak dari cerita orang lain, dan cuma ada di rumah orang lain.
Tepat di saat Rei cs tersadar dari kaget, satu-satunya bukti bahwa apa yang sedang terjadi di depan mereka cuma sandiwara, telah terhapus!
Langen melompat bangun sambil melakukan gerakan kungfu ala Jet Li. Dibentak-bentaknya kecoak itu. "Diem aja, lagi! Lo nantang!" Mau ngajak ribut" Ayo, dilapangan mana!""
Meskipun sempat ternganga dengan improvisasi Langen itu, Fani langsung membantu. Dia berteriak keras-keras, memberikan support. "hajar, La! Sikat! Gebuk! Kasih pelajaran!" tapi tetap akan dia beritahu Langen nanti. Ini sih bukan kelakuannya orang mabok, tapi orang gila!
Langen meneruskan aksinya. Dia bungkukkan badan lalu ditunjuk-tunjuknya kecoak itu. "Lagian kenapa sih lo jatohnya di sini" Tempat lain banyak! Lo pasti sengaja! Iya, kan" Lo pasti mata-mata! Ayo, ngaku! Pasti mata-mata!" "Udah abisin! Bunuh! Pake diinterogasi segala!" seru Fani.
Langen mencengkeram kecoak itu dengan satu tangan, meskipun sebenarnya jijik banget, lalu melemparnya keluar jauh-jauh.
Tetap sambil silat. Biar keren! "Baru gitu aja! Keciil!" Langen menepuk-nepuk dada, lalu memamerkan kedua lengannya yang langsing dan sama sekali tidak ada otot yang menonjol.
Begitu binatang menjijikkan itu lenyap dari depannya, Febi langsung normal lagi. "Langen hebat, euy!" dia bertepuk tangan keras-keras. "Betul! Jagoan! Suit! Suiiiit!" timpal Fani. Suit-suitnya nyaring banget. Mirip kondektur bus.
Rei cs semakin shock melihat pemandangan itu. Rangga tak mampu bicara. Rei menunduk, menutupi mukanya dengan satu tangan. Bima menatap Fani dengan mata setengah menyipit dan bibir setengah terbuka. Sementara Mang Asep dan Teh Neneng sudah sejak tadi menghilang. Mereka masuk gara-gara tidak sanggup menahan tawa. "Ayo, jagoan! Kita minum, jagoan!"Fani mengangkat botol di depannya tinggi-tinggi. "Oooooke!" Langen mengacungkan kedua jempolnya. "Eh, jangan diabisin! Sisain gue!" seru Febi. "Tenang aja, Feb. Tapi ranger kita duluan. Silakan, Ranger!" Fani menyerahkan botol pada Langen dengan sikap hormat. Langen menerima lalu meneguknya dengan lagak penting.
Rei cs saling pandang. Mereka menganggap sudah saatnya cewek ini disadarkan, karena sudah benar-benar keterlaluan!
"Cukup, La!" Rei merebut botol itu. Langen dan Fani tersentak dan bergerak bersamaan, merebut kembali botol itu dari tangan Rei dan segera menutupinya sebelum Rei tahu apa isinya, lalu menyentakkan tubuh cowok itu ke belakang keras-keras. "Jangan macem-macem lo, ya!" bentak Langen. "Mundur!"
Rei di dorong sampai membentur Rangga. Bima menggeram marah. Cowok itu bergerak maju dan berusaha merebut botol itu dari tangan Fani. Terjadi ada kekuatan. Saling tarik, saling
dorong. Tahu tidak mungkin akan menang, Fani melancarkan jurus barbar. Cara menyerang paling primitif yang akan dilakukan sebagian besar spesies makhluk hidup yang diberi gigi. Digigitnya tangan Bima keras-keras.
"AAKH!!!" seketika Bima berteriak keras. Badannya terhuyung mundur dan cekalannya terlepas. Fani buru-buru memasukkan botol itu ke balik baju.
Bima jadi semakin marah. Sambil mengusap bekas gigitan Fani yang tercetak jelas ditangannya, dia menerjang maju. Di luar dugaan, karena kejadian ini diluar skenario, ketiga cewek itu menunjukkan satu koordinasi yang sangat bagus.
Dengan tangan mencengkeram kuat-kuat botol di balik bajunya, Fani mundur ke belakang. Febi langsung bergerak maju, merapatkan diri di sebelah Langen. Berdua mereka membentuk barikade untuk melindungi Fani. Mengumpulkan tenaga dan bersiap-siap. Bima sama sekali tidak menduga ketika empat kepalan tinju kemudian serentak menyambutnya dan menghantam tubuhnya di empat tempat yang berbeda. Dan meskipun baginya itu sama sekali tidak ada artinya, tak urung tubuhnya sempat terdorong mundur beberapa langkah. Membentur meja di dekat pintu dan hampir saja menjatuhkan botol-botol softdrink di atasnya.
Febi yang baru pertama kali ini memukul orang, terbelalak takjub dan langsung bersorak girang. Tak percaya tangan-tangan penarinya ternyata mampu melakukan itu.
"Ayo, kita hajar lagi dia, La!" serunya penuh semangat. Medan pertempuran memanas. Rei dan Bima maju bersamaan, dengan rahang mengatup keras karena kemarahan yang ditekan mati-matian. Cuma Rangga yang bergeming. Terpaku beku di
tempatnya berdiri. Ini benar-benar mimpi paling buruk yang tidak pernah dia bayangkan.
Febi-nya yang lembut, Febi-nya yang manis, Febi-nya yang begitu sempurna......sekarang jadi rusak parah begini"
Mang Asep yang tahu keadaan telah berubah genting, langsung turun tangan. Dia berdiri menghadang dengan kedua tangan terentang lebar-lebar.
"Jangan! Jangan atuh, Den! Sabar, ya" Sabaaar!" "Tapi mereka udah kelewatan, Mang! Nggak bisa lagi dibiarin!" Bima berusaha keras menahan diri untuk tidak menghardik Mang Asep agar enyah dari depannya. "Iyah. Saya teh sudah tau. Tapi kalo ribut-ribut begini, nanti semua orang kampung teh pada datang. Terus saya dikira jualan minuman keras. Terus warung saya teh ditutup. Terus kumaha (gimana) saya dapat uang untuk makan" Ini saja belum balik modal." "Saya janji nggak akan ada keributan, Mang. Biar kami bawa mereka pulang!"
Sebelum Mang Asep sempat membuka mulut, Rei sudah menyingkirkannya dari hadapan. Dia berjalan cepat ke arah Langen yang sedang bersenandung sambil mengocok kartu. Judi akan dilanjutkan. Rei mencabut kartu-kartu itu dari tangan Langen, lalu dengan marah membantingnya hingga jatuh bertebaran di lantai. Diraihnya satu tangan Langen, dicengkeramnya kuat-kuat. Rei berusaha menyeret cewek itu dari situ.
Seketika Langen memberontak. "Apa-apaan lo!" Lepasin tangan gue! Lepas!" Tak tak peduli. Febi rupanya jadi ketagihan nonjok orang. Tadi Bima dan sekarang giliran Rei dapat bagian. Tinju kecilnya menghantam dada kanan Rei diikuti bentakan. "Lepasin tangan dia, maniak! Sebelom lo gue hajar!"
Rei berdecak. Dicengkeramnya tinju Febi dengan tangannya yang bebas. Dia menoleh ke Rangga. Tapi karena cowok itu masih terpaku seperti tidak sadar diri di tempatnya, terpaksa Febi diper ke Bima. "Bim!" seru Rei. Bima segera mengambil alih Febi. "Eh! Eh! Lepas! Lepas! Tolong!" Febi berontak mati-matian. Dipegangnya tepian meja kuat-kuat. Kedua kakinya menjejak lantai, juga kuat-kuat. Fani jadi panik karena tameng terakhirnya tinggal Febi. Dan beberapa detik kemudian tameng itu terenggut dari depannya. "Ga! Cewek lo nih!" seru Bima. Rangga tersadar. Buru-buru ditangkapnya badan Febi yang didorong Bima ke arahnya.
"Elo berani maju selangkah aja, gue lempar pake ini!" ancam Fani. Dia bergerak mundur ke sudut. Satu tangannya memegangi botol di balik baju, sementara tangan yang lain meraih botol bir kosong dari atas meja. Diacungkannya botol bir itu dengan sikap mengancam. "Lempar aja, mumpung kamu masih punya kesempat
an, sayang!" desis Bima geram. Disingkirkannya meja, penghalang terakhir mereka berdua, dari depannya. Dan sekarang gorila itu berdiri menjulang di hadapan Fani. "Cepet!" selagi itu tangan masih bebas!"
Fani menelan ludah. Beberapa detik kesempatan yang diberikan Bima, lewat tanpa berani dia gunakan. Dan beberapa saat kemudian dua lengan meraih tubuhnya lalu meleburnya dalam pelukan. Gemas, marah, geram, salut, seribu perasaan membuat Bima memeluk ceweknya itu kuat-kuat. Sampai Fani merasa tulang-tulangnya mau patah. Kemudian Bima menguraikan pelukannya dan bicara dengan nada mengancam. "Keluarin botolnya, cepet! Kalo kamu nggak mau baju kamu robek!"
Mang Asep dan Teh Neneng sesaat saling pandang lalu berimprovisasi seperti tuntunan skenario. Improvisasi berbahaya karena sikonnya sudah sangat genting. Diam-diam, sehelai kain basah minyak tanah dilemparkan Teh Neneng ke kolong salah satu meja. Mang Asep segera menggulingkan lampu minyak tanah di atasnya, dan seketika.....BLUG! api berkobar!
Mang Asep lalu berteriak dengan histeria yang sangat berlebihan.
"KEBAKARAN! KEBAKARAN!!!"
Semua mata seketika menoleh ke arahnya. Rei cs langsung meninggalkan tawanan masing-masing, menghampiri Mang Asep yang masih panik berteriak-teriak sambil menginjak-injak lidah apa yang kecil.
Di ambang pintu antara ruangan tempat pengunjung makan dan ruangan dalam, Teh Neneng berdiri dengan sikap seolah-olah dia amat ketakutan. Air dari ember di kolong meja membasahi mukanya. Di dekat kakinya berserakan sebuah panci berikut tutupnya, satu set rantang kaleng, dan beberapa tutup gelas, yang sengaja dia jatuhkan untuk mengalihkan perhatian Rei cs. Dan beberapa detik setelah bunyi krompyang tadi, Asep buru-buru menambahkan minyak tanah ke dalam kobaran api.
"Di mana sumur, Mang"" tanya Bima, dan langsung berlari ke arah yang ditunjuk. Rei dan Rangga memindahkan semua benda-benda yang mudah terbakar.
Selagi ketiga cowok itu sibuk memadamkan api, Teh Neneng memberikan isyarat diam-diam. Langen cs segera berlari menuju dipan di ruangan dalam, dengan membawa ransel masing-masing.
Agak lama baru api itu bisa dijinakkan. Soalnya setiap kali ada kesempatan, Mang Asep selalu menambahkan minyak atau menyulutkan api di tempat-tempat yang sudah dipadamkan. Setelah api berhasil padam, dia terduduk lunglai di salah satu bangku panjang. Mengusap peluh fiktif di dahi. "Aduuuuh,"
keluhnya panjang. "saya teh sudah bilang, biarkan saja. Orang mabok itu memang begitu. Kalau kitanya keras, mereka juga akan begitu. Untung warung saya teh tidak kebakaran." "Maaf, Mang. Kami benar-benar minta maaf." Bima mendekat lalu duduk di sebelahnya. Dua sobatnya mengikuti jejaknya. "Yah, sudahlah. Sekarang teh biar saja eta awewe-awewe sampai sadar sendiri. Yah""
Rei cs tidak bisa berbuat lain kecuali terpaksa mengangguk lalu menyaksikan pertunjukan di atas dipan dengan hati remuk, tapi sekaligus juga salut. "Api unggunnya udah selesai, La. Coba tadi kita ikutan," kata Fani. Diangkatnya wajahnya, tapi lalu cepat-cepat menunduk lagi, karena sepasang mata Bima sedang terarah tajam-tajam padanya. Cewek itu membuka ranselnya lalu mengeluarkan satu set kartu baru. "Ah, nggak seru. Nggak ada gitar sama jogetnya!" kata Langen.
Judi dilanjutkan dan sekarang taruhannya bukan cuma uang. Mi instan, kornet, cokelat, topi, kaus, dompet, bahkan sepatu Langen ikut numpuk di tengah-tengah arena. Sebentar-sebentar ketiga cewek itu menenggak isi botol lalu bersendawa keras-keras. Membuat hati cowok-cowok mereka jadi trenyuh dan nelangsa.
Febi kalah. Sekarang dia sedang mengaduk-aduk isi tasnya. Mencari-cari apa lagi yang bisa dipakai untuk taruhan. Akhirnya apa boleh buat, dikeluarkannya KTP. Tapi Langen dan Fani langsung menolak mentah-mentah. "Nggak bisa. Taruhan kok KTP. Mana fotonya jelek, lagi!"
"Ntar gue ganti pake duit, Fan. Kalo udah sampe Jakarta. Takut amat sih lo" Gue kan orang kaya!"
"Nggak bisa!" jawab Langen dan Fani bersamaan. Febi menatap seisi ruangan dan matanya berhenti di lemari perabot. Sebuah piring kaleng bergambar Cepot, salah satu
tokoh dalam wayang golek, diletakkan dalam posisi berdiri dengan penyangga kayu buatan sendiri. "Aha!" seru Febi riang. Dia cepat-cepat berdiri dan mengambil piring kaleng itu. "ini taruhan gue. Piring antik dari Dinasti Ming!"
"Dari mana lo tau itu piring antik zaman Dinasti Ming"" tanya Langen.
"Ini kan gambar kaisarnya!" jawab Febi. Rangga langsung menutup muka dengan sebelah tangan!
SEBENARNYA Rei cs sudah memutuskan untuk tidak mempersoalkan masalah kebut gunung yang diikuti peristiwa mabuk yang benar-benar mengagetkan itu. Mereka sadar, kesalahan ada pada mereka. Tapi akhirnya ketiga cowok itu jadi penasaran setelah melihat bagaimana Langen cs jadi happy berat. Merasa menang. Merasa di atas angin. Sikap ketiga cewek itu malah seperti sudah tidak butuh lagi. Malam Minggu ketiganya kini sering menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Kayaknya ada yang salah nih!" desis Rei, yang sedang mengamati Langen cs dari balik deretan pohon asoka. Ketiga cewek itu duduk saling merapat di bangku semen di taman utama kampus. Entah apa yang sedang dibicarakan, yang jelas topik itu membuat ketiganya tertawa-tawa terus sejak tadi.
"Gue bilang dari awal juga apa"" sergah Bima agak jengkel. Dia memang sangat bernafsu untuk menyelidiki keanehan di balik peristiwa unjuk gigi Langen cs, tapi terpaksa mengalah karena kedua sobatnya menolak keras. "Udah jelas ada yang salah lah! Karena itu emang jelas-jelas nggak mungkin!"
"Kalo kebut gunung, gue juga yakin emang ada rekayasa. Tapi mabok itu mungkin bener. Soalnya gue inget Langen cs pernah cerita, dia sering minum Mansion waktu SMA."
Bima ketawa geli. "Lo tau kayak apa yang dia sebut es Mansion, heh"" Bima mengangkat alis. "Dawet, tau!"
"Dawet"" Rei tidak mengerti.
"Cendol!"Rei ternganga.


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bercanda lo!"
"Ck, elo! Makanya kalo punya cewek itu, biar cinta kayak apa pun, jangan ditelen aja semua omongannya. Tampang-tampangnya kayak begitu udah jelas nggak mungkinlah sanggup nenggak alkohol!"
"Gimana lo bisa tau""
"Investigasi." Rei menjauhkan badannya dari daun-daun asoka. Masih tidak percaya. "Jadi gimana sekarang""
"Dari awal gue udah bilang, selidikin sampe tuntas, karena udah pasti banyak rekayasanya! Lo berdua yang nggak setuju, kan" Pada takut bener ditinggal cewek. Heran!"
"Bukan mabok beneran, begitu maksud lo"" Rangga juga menyudahi pengamatannya. "Berarti mereka sadar waktu itu""
"Itu yang harus kita pastikan!" Bima menjentikkan jari. "Waktu itu lo sempet nyicipin kan, Rei" Lo bilang asli"" Rangga menatap Rei.
"Waktu kita dateng, yang dua botol udah kosong. Dan kita nggak pernah tau isi botol yang ketiga," Bima yang menjawab pertanyaan itu.
"Terus, itu bau alkohol"" tanya Rangga.
"Untuk bau kambing, lo nggak perlu harus makan sate kambing atau tidur sama kambing. Cukup nggak mandi dua hari!" jawab Bima kalem.
*** Sesampainya di rumah, Rei termenung memikirkan ucapan Bima. Cowok itu terbakar omongan temannya."Nggak ada kebut gunung tanpa latihan fisik sebelumnya. Dan untuk yang nggak pernah nginjek gunung sama sekali, mungkin perlu dua atau tiga bulan untuk persiapan fisik. Jadi udah selama ini pula ada mysterious guys di sekitar mereka!"
Rei cs tersentak dengan kata-kata Bima itu, sehingga rencananya untuk ke rumah Langen sontak batal. Dan sekarang, di teras belakang rumahnya yang lampunya sengaja dipadamkan, otaknya sedang menelaah kebenaran omongan Bima setengah jam barusan.
Bukan lewat jalur pendakian biasa!Memang bukan. Karena tidak ada yang melihat, juga nama ketiga cewek itu tidak terdaftar. Nama Langen cs juga tidak ditemukan di base camp jalur-jalur pendakian lain, yang diselidiki Rei cs pascaperistiwa kebut gunung tersebut.
"Poin pertama....," Rei bergumam, meneguk Cola-Cola di tangannya dengan tegukan besar, "ada jalur pendakian lain!"
Dan kenal gunung dari SMP membuat Rei juga tahu, tidak mungkin cewek-cewek itu menempuhnya tanpa bantuan. Apalagi kalau ingat, bagaimana ketiganya masih terlihat fit saat bertemu si puncak. Masih kuat turun dengan cara berlari pula. Dan masih dilanjutkan
dengan mabuk-mabukan sambil berjudi pula!
Karena terlalu shock atas dua kejutan yang diberikan Langen, Rei tidak cepat menyadari kejanggalan-kejanggalan itu. Dia baru benar-benar tersadar setelah mendengar ucapan Bima setengah jam barusan.
"Jadi poin kedua...," sisa Cola-Cola diteguknya sampai tandas, "ada mysterious guys!" kaleng itu dilemparnya dengan perhitungan yang benar-benar tepat. Jatuh tepat di pinggir kolam, nyaris mengenai lampu taman.
Dan kenapa ketiga cewek itu mempunyai stamina yang begitu hebat" Karena sudah pasti para mysterious guys itu tidak akan membiarkan ketiga cewek itu kecapekan!
"SIALAN!!!" Rei berteriak menggelegar. Satu kaleng Cola-Cola lagi melayang. Masih utuh. Dan lampu taman yang tadi sudah bernapas lega karena cuma benjol-benjol, sekarang tewas!
Digandeng" Itu sudah pasti! Dirangkul" Itu juga sudah pasti kalo cewek-cewek itu mulai nggak sanggup jalan! Tapi kalo sampai ada yang pingsan.... " Kedua rahang Rei mengatup berang.
Dipeluk" Cowok itu mengangguk-angguk tanpa sadar. Jadi begitu ya" Digandeng, dirangkul, dipeluk! Hebat! Hebat!
"Mas Rei""
"APA!"" bentak Rei seketika.
Pembantunya kontan mengkeret ketakutan. "Itu.... Ada telepon.... Dari Mbak Langen," jawabnya terbata.
Rei balik badan, berjalan masuk menuju meja telepon. "Halo"" suaranya mendadak lembut, membuat pembantunya jadi bengong.
"Halo. Nanti ke sini, nggak"" tanya Langen.
"Kenapa""'
"Kan malem Minggu"" Langen jadi merasa aneh mendengar pertanyaan Rei itu.
Rei tertawa dengan nada aneh. "Trus kenapa""Kok kenapa" Dateng apa nggak""
"Nggak bisa, La! Aku ada urusan. Penting!"
Kening Langen berkerut. Duilah, galak amat ngomongnya!"Urusan apa""
"Aku nggak bisa bilang!"
"Ng....ya udah kalo gitu."
"Kamu nonton tivi aja. Malem Minggu biasanya kan banyak acara bagus. Oke" Bye!"
Rei langsung menutup telepon, agak dibanting. Kening Langen mengerut lagi. Langen langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Karena Rei berubahnya terlalu drastis.
"Wah! Jangan-jangan Rei tau sesuatu, lagi"" cewek itu tersentak.
Soalnya ini mendadak banget, Rei jadi ketus begitu. Padahal kemarin-kemarin tuh cowok sudah seperti yang akan segera bunuh diri kalau sampai hubungan mereka terakhir. Sampai mengumbar janji-janji rayuan kampungan yang bikin kupin gatal. Jadi kalau sekarang jadi begitu sombongnya, jangan-jangan dia tau sesuatu!
Buru-buru Langen menelepon Fani. "Fan, kayaknya ketauan deh!"
"Ah, masa!"" pekik Fani seketika. "Yang bener, La" Lo tau dari mana""
"Gue barusan nelepon Rei. Tau nggak! Dia ngomongnya ketus banget. Ntar malem nggak bisa dateng. Ada urusan gitu!"
"Yah kali aja dia emang lagi ada urusan."
"Tapi kan biasanya ngasih tau. Ini nggak. Lagian juga ngomongnya kasar banget."
"Yah, tapi belom tentu juga dia tau, La. Elo, ah, nakut-nakutin gue aja."
"Tapi kayaknya iya, Fan!"
"Lo liat aja dulu deh. Kali aja dia emang lagi ada urusan, atau lagi ada masalah terus lo kena imbasnya."
"Gitu ya" Yaaa, iya deh." Langen menutup telepon lalu duduk tercenung. Firasatnya tetap mengatakan, Rei memang tau sesuatu!
*** Tapi mendadak saja Rei ingin semuanya jelas. Malam ini juga!
Langen yang sedang ngobrol dengan Febi di telepon, kaget saat tiba-tiba saja Rei muncul. Langsung di ambang pintu. Cowok itu sengaja memarkir Jeep-nya agak jauh. Dan samar, dia tersenyum puas saat kejutan pertamanya itu membuahkan kekagetan yang tidak wajar. Langen buru-buru memutuskan obrolannya dengan Febi.
"Katanya nggak dateeeng"" sambutnya manis tapi dalam hati merasa cemas.
"Aku ganggu, ya"" tanya Rei tajam.
"Ah, nggak. Bentar ya, aku ganti baju dulu." Langen menghilang ke kamar.
Cewek itu sekarang yakin, Rei memang tau sesuatu. Paling tidak mencurigai sesuatu. Rei sendiri juga sudah tahu persis tipikal ceweknya itu. Model cewek yang tidak bisa diancam. Tidak mempan dirayu. Menghadapi Langen itu perlu taktik. Tapi saat ini Rei sedang persetan dengan segala macam taktik. Cukup sudah selama ini dia korbankan egonya atas nama cinta!
"Dan sekarang, Langen sayang....
," desis Rei dalam hati,"....sekarang saatnya lo tau siapa gue!"
Sayangnya ada yang belum diketahui Rei. Kalau pada umumnya para cewek mengidolakan Justin Timberlake, Leonardo Dicaprio, Brad Pitt, atau cowok-cowok lain yang tetap dalam kategori "tajir
dan ngetop", Langen lain. Dari kecil sampai sekarang, cewek itu tetap menjadi fans berat.....Ibu Kartini!!!
Dahsyat kan tuh cewek"Karena itu, demi memperjuangkan harkat dan martabat wanita, Langen mempersetankan apa pun yang katanya "harus dikorbankan atas nama cinta"!Hidup Perempuan!Itu yang Rei belum tahu. Dengan siapa dia akan berhadapan!
Langen keluar dari kamar sudah dalam keadaan ready to war! Dilihatnya Rei sedang duduk dengan tatapan lurus dan kaku ke luar jendela.
Kata buku strategi perang yang pernah dibacanya, taktik untuk melemahkan kekuatan lawan adalah dengan cara membuatnya jadi emosi. Emosi yang terbakar akan menguras energi. Tapi juga harus lebih hati-hati, harus lebih diwaspadai, karena biasanya lawan akan jadi brutal. Brutal tak terarah, yang lalu akan membuatnya jadi kalah!
Kalau urusan bikin Rei emosi sih.....kecil!Langen meringis.
Berjingkat-jingkat mendekati cowoknya yang sedang melamun itu."DORRR!!!" jeritnya kencang. Berhasil. Rei melejit dari sofa!
"LANGEN!" bentak Rei marah.
Ini bukti nyata bahwa cowok ini memang sedang menahan perasaan. Soalnya, sejak mereka jadian, mungkin Langen sudah membuat kaget seperti tadi ratusan kali. Dan ini pertama kalinya cewek itu mendapatkan sambutan yang berbeda. Biasanya Rei akan langsung membalasnya dengan memberikan satu pelukan, bahkan ciuman. Manis, kan"
"Lagian kamu ngelamunnya serius banget sih. Ngelamunin siapa, hayooo""
"Udah" Kita berangkat sekarang!" Rei tidak menjawab pertanyan itu. Dia langsung berjalan keluar. Langen membuntuti di belakangnya sambil meringis.
Cukup jauh juga Rei memarkir Jeep-nya. Hampir dua ratus meter dari rumah Langen. Ini keanehan yang kedua!
"Mau ke mana nih kita"" tanya Langen sambil menutup pintu di sebelahnya. Rei memutar kunci lalu menginjak pedal gas. Tidak menjawab pertanyaan itu. Langen ketawa centil. "Kenapa diem sih" Aaa, aku tau. Pasti suprise! Iya, kan"" dia tertawa lagi. "I love it! Kamu tau aja kalo aku seneng surprise. Terus, kenapa sih mobil kamu diparkirnya jauh banget gini" Nggak biasanya. Pasti belom dicuci deh. Jadinya dekil! Malu diliat ortuku, ya""
Rei mengertakkan gerahamnya kuat-kuat. Mati-matian menahan sabar.
Berlagak tidak ngeh kalau orang di sebelahnya sedang benar-benar emosi, Langen memutar-mutar tuning radio."Aha!" serunya riang. "Asyiiik! Destiny's Child!" Dibesarkannya volume. Dan Lose My Breath mengalun keras. Tapi cuma beberapa detik, karena tak lama kemudian tangan Rei terulur dan ketiga cewek Destiny's Child itu pun tewas. "Yaaah, kok dimatiin""
"Aku lagi nggak kepengen dengerin musik!"
"Sepi mana enak, lagi"" tangan Langen terulur ke radio.
"Aku bilang jangan ya jangan!" bentak Rei. Langen langsung pura-pura cemberut berat.
"Huh, sepi!" gerutunya. Dan detik berikutnya, dia sendiri yang bernyanyi!
Cewek itu melengkingkan nada-nada tinggi Whitney Houston di Will Always Love You. Bedanya, kalau Whitney enak didengar. Merdu. Sementara ini... Ck! Jangankan orang yang perasaannya lagi dongkol, lagi normal saja tensi darah bisa naik!
"LANGEN!" bentuk Rei menggelegar. Cowok itu sampai menggebrak dasbor saking kepalanya sekarang sudah benar-benar mendidih. "BISA NGGAK KAMU DIEM""
"Ya nggak bisalah. Orang dikasih mulut," jawab Langen santai. "Lagian kamu kenapa sih marah-marah melulu dari tadi" Ntar cepet mati, tau nggak""
"Dan kamu seneng kan kalo aku cepet mati!""
"Ya nggak dong. Kamu kok ngomongnya kejem gitu sih. Kalo kamu mati, aku ntar malah bisa bunuh diri lho."
Rei menoleh dan sesaat menatap wajah yang terlihat begitu sedih itu. Dia tidak yakin apakah ekspresi itu murni dan sungguh-sungguh. Tiba-tiba diinjaknya pedal gas kuat-kuat. Jeep-nya melompat mendadak. Langen buru-buru berpegangan, pura-pura ketakutan.
"Kita mau ke mana sih!"" serunya.
"Tunggu aja! Nanti kamu
akan tau!" geram Rei tanpa menoleh. "Tapi jangan cepet-cepet gini dong!"
Tapi itu ternyata malah membuat pedal gas diinjak semakin kuat lagi. Langen meringkuk di jok, berpegangan pada sandarannya kuat-kuat. Sebenarnya sih dia nggak ngeri-ngeri amat. Tapi masih menurut buku stategi perang yang pernah dia baca itu, untuk mengelabui lawan, kita mesti berpura-pura sepertinya kita itu bukan lawan yang seimbang. Bukan lawan yang tanggung. Bukan lawan yang patut diperhitungkan. Bahasa simpelnya....kecil! Bukan apa-apa!
Berhasil juga cewek itu dengan taktiknya. Menyaksikan pacarnya meringkuk ketakutan begitu, Rei malah tambah gila-gilaan. Kalau perasaannya sedang normal, jelas dia tidak akan tega. Tapi berhubung dadanya sedang panas dan kepalanya sedang mendidih, jadi ya....sori aja!
Dia ingin malam ini semuanya jelas! Clear! Tuntas! Karena itu, supaya persoalan ini bisa menjadi jelas, tentu saja harus dibuatnya Langen "bernyanyi". Mau nadanya sumbang atau fals, bukan masalah. Yang penting kata-katanya jelas!
Dan inilah salah satu cara untuk membuat cewek ini "bernyanyi" nanti!
Jarum spidometer bergerak naik dan naik. Jeep meliuk kiri-kanan dengan gerakan tajam. Menyelinap di antara puluhan kendaraan yang memadati jalan.
Langen, yang tadinya cuma meringkuk ketakutan, kemudian memutuskan untuk menjerit-jerit, biar tambah seru dan biar Rei tambah ketipu. Jeritannya malah seperti yang benar-benar ketakutan, saat Jeep itu "terbang" sejauh sepuluh meter, setelah membabat gundukan tanah bekas galian kabel. Cewek itu sudah membuka mulut, siap dengan adegan muntah-muntah segala, biar lebih dramatis dan mencekam. Tapi kemudian dibatalkan. Takut nanti disuruh membersihkan. Itu yang dia ogah!
Di mulut menjerit, tapi dalam hati Langen ketawa geli. Biar dilambungkannya ego Rei tinggi-tinggi. Biar kepala cowok itu semakin besar. Tapi lihat saja nanti. Bisa menyamakan skor satu sama.....tidak akan dia bisa!
Setelah dua puluh menit membuktikan dirinya adalah off-roader yang patut diperhitungkan, dan dilihatnya ceweknya yang bengal itu sudah meringkuk di sebelahnya, Rei membelokkan Jeep ke satu jalan yang lengang. Jalan yang memasuki kawasan perumahan mewah. Lalu berhenti di sebuah taman.Pelan-pelan Langen mengangkat muka. Diperhatikannya taman lengang di depannya, medan pertempuran yang telah dipilih Rei. Ditariknya napas panjang-panjang, pura-pura merasa legaaa sekali.
"Kepalaku pusing nih," keluhnya dengan nada lemas tapi manja. "Kita mau ngapain sih ke sini""
"Turun! Dan kamu akan tau!"
Rei membuka pintu di sebelahnya lalu melompat turun. Ditutupnya pintu itu dengan bantingan yang suaranya mungkin lebih keras dari bel pertandingan tinju.
Akhirnya.....Ronde pertama dimulai!Detik itu juga sikap pura-pura Langen menghilang. Sekali lagi dipastikannya, fisik, mental juga hatinya telah benar-benar siap untuk peperangan ini. Dibukanya pintu di sebelahnya lalu turun.
Rei jadi terkejut melihat medan berubah begitu cepat. Sampai satu menit yang lalu dia masih mengira kendali ada di tangannya. Tapi sekarang dia mulai tak yakin, karena cewek di depannya yang selama di mobil tampak begitu ketakutan, duduk meringkuk dalam-dalam dengan muka ditutup rapat, menjerit-jerit ngeri, malah sempat menangis segala sekarang berdiri tegak di depannya dengan sepasang mata yang menatapnya dengan sinar menantang. Begitu yakin dan begitu siap!
"Cuma kayak begitu aja sih...," Langen tersenyum, sambil menjentikkan ibu jari dan kelingkingnya di depan muka Rei,
"kecil! Cariin gue pinjeman Jeep, dan semua tropi di rumah yang udah kayak benda keramat itu mendingan dibuang!"Rei tercengang.
"Apa maksud kamu""
"Nggak enak hati aja tadi. Kamu kan lagi nunjukin kalo kamu itu pembalap oke. Jadi aku harus.... Yaaah.... Kayak tadi, gitu.
Gimana" Mengesankan banget, kan"" Langen tersenyum centil. "Untuk mengetahui seorang racer itu oke apa nggak, ya diliat dari kepanikan penumpangnya. Tadi aku kan udah panik buanget tuh, berarti kamu itu emang off-roader yang oke sekali. Off-roader sejati!" sebiji jempol tiba-tiba tegak persis di d
epan hidung Rei. Lagi-lagi cowok itu jadi tercengang.
Kurang ajar! Geram Rei dalam hati. Gue ketipu mentah-mentah!"Jadi tadi kamu pura-pura!"" bentaknya.
"Oh, bukaaan. Itu namanya pengertian...," jawab Langen ringan. Lalu dia mengusap-usap perut. "Aku laper banget nih. Apa menu makan malem kita""
Rei tidak langsung menjawab. Sepasang matanya tajam menguliti cewek di depannya. Kalau Langen sudah mempelajari medan sejak tadi, cowok itu baru sekarang. Payah juga dia!"Kamu ternyata udah bener-bener siap, ya" Oke! Bagus!" Rei mengangguk-angguk. "Karena kamu udah siap, kita langsung aja. Menu makan malem kita.... PENJELASAN!"
"Ck ck ck! Kayaknya itu makanan berat," komentar Langen. Masih dengan gaya santai dan sekarang ditambah gelengan kepala. Kesepuluh jari Rei mengepal. "Oke deh. Silakan kamu mulai menjelaskan."
"BUKAN AKU YANG HARUS MENJELASKAN!" bentak Rei menggelegar. "KAMU!"
"Aaaaku"" Langen menunjuk dadanya. "Lho" Kok aku sih"" "Siapa kamu pikir!""
"Berarti kamu anggap masalahnya ada di aku, begitu"" "Di mana kamu pikir!""
"Oke, nggak apa-apa. Apa yang harus aku jelasin" Soal kebut gunung itu pasti...."
"Tepat!" tandas Rei.
Langen mengangguk-angguk. "Apanya yang harus aku jelasin" Gimana caranya kami bisa sampai puncak. Begitu""
"Iya!" "Ya pakai kaki! Soalnya kalo aku bilang terbang, kamu udah pasti nggak percaya, lagi pula itu emang nggak mungkin banget sih."
Rei ternganga. Benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu.
"Langen!" desisnya. "Tolong jangan sampai kesabaranku abis!"
"Aduh!" Langen pura-pura bingung. "Terus aku harus bilang apa dong" Emang begitu caranya. Pakai kaki. Jalan, you know" Walking! Eits, salan. Climbing, maksudku!"
Rei memalingkan muka. Mati-matian menahan emosinya yang sudah menggelegak. Setelah menarik napas panjang-panjang, baru dia menoleh lagi.
"Bukan itu yang aku tanya. Bukan gimana cara kalian bisa sampe puncak. Pake kaki atau tangan. Bukan itu. Yang aku mau tau....sama siapa"" tanyanya dengan suara yang dipaksa datar.
Langen baru akan membuka mulut, tapi Rei langsung memotong, "Bukan dengan Fani atau Febi!"
Bibir Langen langsung terkatup lagi. Cuma sesaat. Kemudian dijawabnya pertanyaan itu dengan tegas, "Cuma kami bertiga!"
"Nggak mungkin!" bantah Rei seketika.
"Kenapa"" "Karena itu jelas-jelas nggak mungkin!"
"Kenapa nggak mungkin" Buktinya kalian mungkin. Kamu malah pernah naik gunung sendirian, kan" Bima apalagi!"
"TAPI KAMI COWOK, LA! AKU COWOK!" teriakan Rei benar-benar menggelegar. Langen sampai refleks menutup kuping.
Nah, ini! Langen bersiul dalam hati. It's the time to talk about gender! Dia turunkan kedua tangannya lalu dilipatnya di depan dada."Trus kenapa kalo kamu cowok"" tanyanya, dengan nada yang masih tetap tenang! Canggih kan tuh cewek" Meskipun sudah dibentak-bentak, nyalinya tetap tidak menciut.
"Kalo kamu cowok, aku percaya kamu bisa naik tanpa dibantu. Tapi kamu cewek, La!"
"Itulah! Kalian ini terlalu bangga sih sama kaum sendiri. Selalu beranggapan cewek itu cuma nyusahin, ngerepotin, cengeng, manja, nggak logis, nalarnya susah diterima. Boleh aja kamu bilang cewek itu lemah. Makhluk halus! Tai aku kasih tau ya, buat kami otot tuh nggak terlalu penting kok. Ini lho yang penting...."
Langen mengetuk-ngetuk keningnya. "Otak, you know! Kalo itu dipake, segalanya akan jadi mungkin! Otot yang kalian bangga-banggakan itu bisa diganti robot. Dan kali udah begituuu...," dikembangkannya senyum, manis tapi mengejek, "apa sih yang mau dibanggain dari Maranon""
Rei menggeram. Benar-benar merasa terhina. Kata-kata Langen saja dengan mengatakan cowok itu makhluk cetek. Gedong atau gede tapi dongo. Kuat tapi bego!
"Sekarang coba tolong jelasin, gimana cara otak kamu itu bisa bikin kamu hiking sampe puncak!"
Langen memunculkan senyum manisnya lagi.
"Itu bagian dari strategi. Karena itu aku nggak bisa bilang!"
"Pasti ada orang lain, kan" Dan pasti cowok!"
"Itulah sebagian kerja otak!"
"LANGEN!" sekali lagi Rei berteriak keras. Kesepuluh jarinya yang mengepal
sempat terangkat, tapi lalu berhenti di udara. "Siapa!" Bilang siapa""
Ekspresi muka Langen berubah kaku. Ditatapnya tajam-tajam."Bilang dulu....aku atau kamu yang kalah!""
Mereka saling tatap. Sama-sama dengan manik mata memancarkan bara meletup, dan sama-sama bertahan tidak akan lebih dulu berkedip.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat dan tak terduga, Rei menyambar kedua tangan Langen, memutarnya ke belakang punggung cewek itu, lalu menguncinya dengan satu tangan tepat di pergelangan. Tangan kanan cowok itu yang bebas lalu menekan bahu Langen kiri-kanan. Didorongnya cewek itu sampai punggung Langen menyentuh badan Jeep.
"Siapa, La!"" desis Rei tajam.
"Jadi gini caranya" Mau pake kekerasan" Silakan" Aku nggak akan menjerit atau ngelawan, tapi juga nggak akan ngomong apa pun!"
"Tolong.....jangan.....paksa.....gue! Tolong....."
"Kamu ngancem nih" Kupingku bakalan hilang satu, mataku jadi buta, atau nanti aku jalan pake kruk" Aku kasih tau kamu ya! Apa pun yang nanti menimpaku.....akan dibales ke kamu....sama persis! Liat aja!"
"Jadi kamu tetep nggak mau ngomong!""
"Aku.....nggak akan ngomong apa pun!!!" tandas Langen. Harga mati!
Rei terpaksa mengeluarkan senjata pamungkas yang dia perkirakan pasti ampuh.
"Kalo begitu.....kita putus!!!"
Sejak pertengkaran mereka memanas, Langen telah mempersiapkn hatinya untuk kemungkinan yang paling sakit ini. Karena itu dia sama sekali tidak terkejut. Ditatapnya wajah Rei dengan tenang.
"Kalo begitu....dadah.... ! Dan thanks for everything.... "
Rei terkesima. Benar-benar tidak menyangka. Cekalannya terlepas dan dia bergerak mundur tanpa sadar. Nanar ditatapnya Langen. Sesaat cowok itu sampai tak mampu bicara.
"Aku nggak percaya kamu bisa begini....," desisnya beberapa detik kemudian.
"Oh, kamu harus percaya sekarang! Apa harus ada kebut gunung ulang""Rei menggelengkan kepala dengan kedua mata menyipit menatap Langen.
"Kamu bales dendam!"
Langen cuma tersenyum tipis. Beberapa saat Rei hanya bisa seperti itu: menatap Langen dengan ketidakpercayaan. Kemudian dia bicara dengan suara melunak.
"Aku nggak mau ngajak kamu, Bima juga nggak mau ngajak Fani, karena kami nggak mau kalian kenapa-kenapa nanti. Nggak ada maksud lain, La.""Bukan! Itu alasan diplomatis, tapi udah basi! Yang bener, karena kalian mau kami tetep begitu. Jadi cewek rumahan. Karena dengan begitu kalian kan jadi kayak cowok hebat! Strong, gitu. Cowok super! Kayak Hercules, Superman, Batman, Rambo, Arnold, James Bond, dan lain-lainnya yang bullshit itu! Sementara kami, cewek-cewek, makin keliatan kayak Nia Daniati.... Ralat! Maksud aku.....Kayak gelas-gelas kaca! Dipajang yang manis di dalam lemari, dibersihin sekali-sekali, dan baru diliat kalo lagi kepengen!"
"Bukan begitu, Langen. Tolong ngerti," tanpa sadar Rei memohon.
"Nggak usah dibahas!" tolak Langen tegas. "Nggak ada gunanya. Karena kita....udah selesai!"
Rei mati langkah. Tapi masih tersisa satu cara untuk membongkar sebagian kebohongan Langen. Cuma sebagian memang. Tapi itu masih lebih bagus daripada kalah total begini.
KALAH TOTAL!!!Rei berteriak dalam hati. Tapi gema itu tidak bisa keluar. Menyentak kuat di dalam, menekan, melumat, menggilas habis semua kebanggaan diri!Dia.... Rei! Satu dari tiga motor Maranon. Kenal gunung sejak umur dua belas tahun! Empat hari tersesat di Salak.....sendirian.....dan survive!
Jatuh di satu jurang di Semeru dan juga still alive!Leader pendakian Semeru-Agung-Rinjani! Juga leader untuk proyek gilanya Andreas yang ditunda sementara. Maraton sebelas gunung. Pangrango to Raung!
Tapi lihat sekarang.....Rei bahkan tidak bisa mengatasi gadisnya sendiri! Meninggalkan Langen puluhan kali di setiap malam Minggu, ternyata telah mengubah gadis itu menjadi "bola salju". Menggelinding dari puncak kemarahan dan meratakan apa pun yang dilalui tanpa peduli. Akhirnya, menggilas Rei tanpa ampun dengan satu pertanyaan yang mematikan, dan mengakhiri hubungan mereka dengan satu cara yang tidak pernah dia bayangkan!"Kamu atau aku yang kalah!"
"Aku yang kalah! Aku, Rei! Tapi ego Rei
melarang keras untuk mengucapkan itu. "Terima kasih untuk hari-hari kemarin."
dipaksanya untuk tersenyum."Sama-sama..... " Langen membalas senyum itu. Diliriknya jam di pergelangan tangan. "Udah malem. Aku boleh numpang" Paling nggak sampai ketemu taksi di..... "
"Nggak usah kuatir," Rei memotong ucapan itu. "Meskipun kita udah bubar, aku tetep nggak ninggalin kamu begitu aja di jalan. Aku anter pulang. Seperti biasa, sampai di teras rumah. Baru nanti aku pamit ke nyokap kamu, atau bokap, atau siapa aja yang lagi ada di rumah."
"Makasih." Langen tersenyum manis.
"Sama-sama." Rei membalas senyum itu.
Mereka memang TOP banget deh. Berlagak no problem, padahal dalam hati masing-masing segala macam perasaan menggelegak dan sikap meledak!
"Hmm, tapi gimana kalo bubarnya kita ini, kita rayakan" Kamu tunggu di sana." sambil berjalan ke Jeep-nya, Rei menunjuk dua bangku semen yang mengapit sebuah meja. Langen berjalan ke sana, tapi tidak ingin duduk. Entah kenapa, perasaannya tidak enak. Tak lama Rei kembali. Cowok itu meletakkan sebuah botol tepat di tengah meja.
"Apa itu"" tanya Langen.
"Bir," jawab Rei kalem.
"Bir!"" Langen tersentak kaget.
"Iya. Kenapa"" Rei pura-pura bego. "Kurang keras" Kamu mau apa" Putaw""
"Apa sih maksud kamu""
"Merayakan perpisahan kita, kan""
"Kenapa harus bir"" Rei pura-pura berpikir.
"Nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma kagum aja. Kamu ternyata nggak sama kayak cewek-cewek lain yang pernah aku kenal....." diacungkannya kedua ibu jarinya. "Kamu hebat! Bener-bener hebat!"
"Syukur deh. Tau juga kamu akhirnya!" kata Langen sambil mengangkat dagu.Rei tersenyum lebar. "Jadi kamu mau kan minum berdua aku""
"Aku bukan cewek kamu lagi. Harusnya kamu nggak ngajak aku begini."
"Justru itu, aku jadi nggak perlu merasa bersalah. Karena kamu bukan cewekku lagi, jadi nggak perlu lagi kujaga."
Langen ternganga. Sialan! Desisnya dalam hati. "Terus gimana sama Stella" Josephine, Nuke" Dan yang laen" Mereka bukan cewek kamu, tapi aku rasa kamu nggak akan ngebiarin mereka lecet biarpun cuma sedikit!"
Rei tersenyum lunak. "Kamu harus tau, La. Ada cewek yang harus dijaga, meskipun bukan pacar. Karena emang begitulah seharusnya. Tapi ada juga cewek yang nggak perlu dijaga. Bukan karena dia kuat atau hebat. Sama sekali bukan itu. Jangan salah! Dia nggak perlu dijaga....," Rei tersenyum lagi," karena emang itu yang dia mau!"
Langen kontan nelangsa! Gue bukannya nggak mau dijaga, gue justru mau ditinggal! Jeritnya dalam hati.
Dasar bego!!!Yah, tapi sudahlah. Percuma saja dari tadi tarik urat sampai teriak-teriak, kalau pada akhirnya dia harus ngomong begitu.
"Langen," panggil Rei lembut. "Jangan ditolak, ya" Please" Mungkin ini terakhir kalinya kita bisa begini. Duduk sama-sama. Cuma berdua."
Langen menatap botol yang tegak di tengah meja. Gawat! Desisnya dalam hati. Kalo sampe fly, ntar gue bisa "nyanyi" tanpa sadar. Dan semuanya bakalan kebongkar!Mendadak matanya menangkap satu sosok di kejauhan. Berdiri di bawah kegelapan bayang sebatang pohon yang tegak di pinggir jalan. Sosok gelap
itu lalu melompat-lompat sambil mengibaskan tangan kiri-kanan.Langen menajamkan matanya dan seketika terpana.Fani!"
"Ada apa, La"" tanya Rei.
Langen tergeragap. "Nggak. Nggak ada apa-apa!"Cewek itu buru-buru duduk. "Aku cuma sedih aja."
"Sama. Aku juga sedih ending-nya harusbegini...." Rei tersenyum lunak. "Makanya kita minum. Biar sedihnya ilangmeskipun cuma sebentar."
Sebuah gelas diletakkan Rei di hadapan Langen.Cewek itu langsung panik. Buru-buru Langen menghilangkan perasaan itu, karenaketika ia mengangkat kepala, Rei tersenyum tipis menatapnya. Kepanikan Langentelah tertangkap kedua mata cowok itu.
Diam-diam Langen menarik napas panjang.Mempersiapkan diri. Terima kasih banget untuk Adys yang pernah mengajaknyamenenggak berbagai macam minuman beralkohol, dulu sekali. Jadi dia sudah bisamengira-ngira, seperti apa rasanya cairan di dalam botol itu. Dan karena Fanitelah datang, perjuangannya tinggal bagaimana caranya supaya tetap sadar. Rei meraih boto
l yang tegak di antara merekaberdua. Membuka tutupnya, dan perlahan cairan dalam botol berpindah tempat.Sepasang mata Langen mengerjap saat aroma yang kuat menyengat.
"Untuk awal, setengah gelas dulu," ucap Rei.Cowok itu mengira kemenangan akhirnya akan berpindah juga ke tangannya, palingtidak menyamakan kedudukan jadi satu sama, karena itu kemarahannya menghilang.Sekarang dia bersiap-siap menyaksikan kejatuhan lawan. Diangkatnya gelasnya,mengajak toast cewek di depannya.
"Kesedihan kadang perlu dirayakan," kata Reilunak. Perlahan, Langen mengangkat gelasnya. Beberapa saat sebelum gelas itumenyentuh bibir, Rei menyentuh tangannya. "Satu lagi yang aku mau kamu tau,la. Dan harus kamu ingat ini baik-baik. Aku nggak bisa ngelarang Stella,Josephine, Dian, Nuke, Lia, dan semua cewek yang pernah ikut kegiatan Maranon,agar jangan ikut. Tau kenapa"" dalam keremangan suasana taman, ditatapnyaLangen tepat di manik mata. "Karena mereka bukan cewekku!"
Langen tertegun. Gelasnya terhenti di udara.Seketika muncul harapan masalah ini bisa diselesaikan. Tapi harapan itu hilangsaat Rei bicara dengan nada yang begitu wajar. "Toast untuk perpisahan kita."
Dan sedetik kemudian, cowok itu menelan seluruhisi gelasnya tanpa sisa!
Langen terpaksa mengikuti. Dipejamkannya matarapat-rapat. Dengan cepat dipindahkannya seluruh isi gelas ke dalam lambungnya.Seketika tangan kanannya mencengkeram gelas kuat-kuat. Sepasang matanyamengerjapnya kaget. Badannya sempat tersentak ke belakang saat cairan itumelewati tenggorokan.
Satu menit. Langen berjuang keras melawan biryang terpaksa harus ditegaknya. Beruntung remangnya cahaya lampu taman, jugarambut ikal panjangnya yang dibiarkan terurai, menyelamatkannya dari sepasangmanik hitam Rei yang menyorot tajam.
Tanpa belas kasihan, Rei mengawasi seekor singa keambang kematian.
Tapi akhirnya cewek itu berhasil mengatasi pemberontakan badannya. Diangkatnya kepalanya perlahan, dan diletakkannya gelas itu ke meja. Kedua alis Rei terangkat sesaat. Tangannya meraih botol yang tegakdi tengah meja, kemudian lagi-lagi menuangkan isinya. Setengah gelas yangkedua!
Fani, yang diam-diam mengikuti peristiwa itudari parit tempatnya bersembunyi, terperangah. Tidak percaya!
Kontak batin antara Langen dan Fani memangpantas diacungi jempol. Selepas Langen menelepon, mendadak Fani mendapatkanfirasat tidak enak dan ingin sekali pergi ke tempat Langen. Dan di ruas jalan yangmenuju rumah sahabatnya itu, ia menemukan Jeep Rei diparkir dalam kegelapan.Hampir dua ratus meter jauhnya. Ini aneh, soalnya Rei itu amat sangat bangga dengan mobilnya. Dan hal yang paling exciting buat cowok itu, melebihi apa pun,adalah memamerkan Jeep penuh spotlight yang telah dimodifikasi habis itu, dimana saja. Jadi kalau di malam yang sudah gelap begini itu mobil masih diparkir di kegelapan bayang pepohonan pula, sudah pasti ada apa-apa. Fani batal lanjut. Dia putar arah, menunggu dimulut kompleks, dan langsung dikuntitnya diam-diam begitu Jeep Rei muncul takberapa lama kemudian. Firasatnya semakin memberikan peringatan bahwa sesuatuyang buruk akan terjadi, soalnya kecepatan Jeep Rei yang semula normal mendadak jadi tinggi. Membuat usaha penguntitannya jadi setengah mati. Meskipun dengan nekat cewek itu menerabas lampumerah sampai hampir dicium bus, kena maki banyak orang karena memaksa memintajalan padahal jelas-jelas jalanan sedang padat merayap, tetap saja akhirnya diakehilangan jejak. Tidak sanggup mengikuti Jeep Rei yang tetap saja bisamenemukan celah. Cowok itu memang offroader sejati. Kondisi apa pun kalau masihon-road, buat dia sepertinya kecil.
Karena sempat kehilangan jejak, Fani hanya bisamenyaksikan babak terakhir. Buru-buru digantinya arah begitu mengenali siluetJeep Rei yang diparkir di pinggir taman yang lengang. Cewek itu menghentikanmobilnya di tikungan yang tak terlihat dari taman, lalu melompat turun. Daribalik sebatang pohon, kemudian diamatinya dua orang yang sedang berdiriberhadapan itu.
Dia harus mendekati kancah peperangan. Bukannyamau nguping, tapi dia harus tahu seberapa gawat masalahnya. Kalau
tidakterlalu, berarti dia bisa menunggu di mobil. Barangkali saja Langen kemudian tidak mau diantar Rei pulang. Sementara kalau masalahnya ternyata gawat, ituartinya dia harus siap-siap, mungkin Langen butuh bantuin. Mereka berdua bisamengeroyok Rei, atau paling tidak mengetok kepala cowok itu dari belakang.Soalnya, selain bertubuh besar, Rei juga memegang sabuk hitam karate. Jadikalau ingin mengalahkannya mau tidak mau harus keroyokan atau curang. Fani mulai mengendap-endap di kegelapan. Dari balik sebatangpohon buru-buru dia berlari ke samping tempat sampah. Diam di situ sebentar,mengintip dulu, baru berlari ke arah semak-semak, lalu merunduk di situdiam-diam. Mengintip lagi ke arah taman, lalu berlari ke portal dan meringkukdi balik pondasi tiangnya. Terus begitu sampai hampir mendekati medanperang. Setelah jaraknya dinilai cukup aman, Fanimemberi tanda pada Langen dengan lambaian tangan dan melompat-lompat. Bahwa diasiap membantu kalau terjadi sesuatu. Setelah itu kembali cewek itumengendap-endap. Dan sampailah dia di benda terakhir yang masih bisa dijadikantempat bersembunyi, sebatang pohon, sementara taman masih beberapa puluh meterdi depan. Terpaksa Fani melompat masuk selokan. Beruntung saat ini sedangkemarau, jadi selokan itu kering kerontang. Sambil membungkukkan badan, diamenelusurinya sampai ke depan taman.
Kepalanya lalu muncul sedikit demi sedikit.Sampai kedua matanya sejajar dengan trotoar. Diperhatikannya dua orang yang duduk berhadapan itu,juga sesuatu yang tegak di tengah meja. Kedua matanya langsung menajam begitu akhirnya mengenali benda itu.
Botol!" Ya Tuhan! Fani terperangah. Nggak mungkin! MasaRei tega ngajak ceweknya nge-drink" Kejam banget tuh orang! Tapi dari cara kedua orang itu menenggak isigelas masing-masing, sudah tidak diragukan lagi. Itu minuman keras! Fani terduduk di dasar selokan. Benar-benarterkejut. Gawat!
Berarti dia harus siaga karena Langen dipastikan akan butuh pertolongan.
Dengan badan membungkuk, buru-buru Fani berlarimenelusuri selokan kembali ke arah semula, dan langsung melompat keluar setelahselokan itu menikung. Sekarang dia berdiri bingung di sebelah mobilnya. Tetapdiparkir di sini sebenarnya tidak apa-apa. Tidak kelihatan dari taman. Tapiyang dia takutkan adalah kalau dia dan Langen tidak bisa langsung pergi. Orangyang sedang mabuk biasanya tidak kooperatif. Malah suka bikin ulah. Mudah-mudahansaja Langen tidak sampai mabuk. Tapi kalaupun tidak, sudah pasti dia tidak akansadar seratus persen. Lagi pula, kalau Langen raib dan Rei melihat adasedan diparkir di pinggir jalan, sudah pasti cowok itu bisa menebak. Dankalaupun mereka sempat melarikan diri, dengan gampang Rei bisa mencari tahu.Cowok itu tahu di rumah Fani ada dua sedan dan di rumah Langen ada satu. Cumadua alternatif itu. Rei tidak akan mencari ke rumah Febi, karena sedan-sedanyang terparkir di sanaadalah produk Eropa yang format bodinya jelas berbeda dengan sedan keluaran Jepang.
Fani makin kebingungan. Kelamaan berpikir bisakeburu kacau. Tiba-tiba matanya tertancap ke sebuah rumah tidak jauh dari situ.Rumah itu sepertinya sedang kedatangan banyak tamu, sebab pintu gerbangnyaterbuka lebar dan ada kira-kira tujuh atau delapan mobil terparkir dihalamannya yang luas. Di sarangnya, sang satpam sedang bersantai sambilmerokok. Buru-buru Fani masuk mobil lalu menghidupkan mesin. "Selamat malam, Oom satpan," disapanya satpamitu dengan ramah.
"Selamat malam juga." satpam setengah baya itutersenyum ramah. "Jemput Papa""
"Iya. Oom satpam tau aja!" Fani tertawa, gelisungguhan. Soalnya dia masih bingung. Mau menjawab apa kalau nanti ditanya.
Eh,ternyata malah dikasih jawaban!
"Ya tau dong. Barusan ada juga yang datang, mau jemput papanya juga. Silakan...."
"Terima kasiiiih...." Fani mengangguk sopan.Untung aja dia nggak nanyain bbe gue yang mana, desahnya lega. Setelah memarkirmobil di tempat yang gampang keluar, buru-buru dia turun dan berjalan keluar."Jalan-jalan dulu, Oom satpam." Bapak satpam itu tidak memberikan jawaban,karena Fani sudah keburu menghilang. Dari balik sebatang pohon, cewe
k itu laluberdiri menunggu. Meskipun tidak bisa melihat jelas, sepasang matanya mengawasidua orang di taman itu tajam-tajam.
Sementara itu, pertarungan hampir usai. Botol ditenggah meja telah kosong dan bir terakhir baru saja melewati tenggorokan.Langen meletakkan gelasnya di meja dengan entakan. Ditatapnya Rei dengan sepasangalis terangkat tinggi. "Udah" Cuma satu botol ini aja" Gue kirain satukraf!" cewek itu masih bisa sesumbar meskipun perutnya berontak hebat. Rei terkesima. Benar-benar tidak menyangka!Tadinya dia pikir dia akan terpaksa memulangkan Langen dalam keadaan fly,bahkan bisa jadi tidak sadar. Karena itu dia telah menyiapkan sederet alasanuntuk menghadapi orangtua juga empat kakak Langen yang cowok semua.
Tapi ternyata.....! Langen masih tegak dihadapannya dan tidak ada tanda-tanda akan tumbang!
"Masih ada, nggak" Kalo nggak, gue mau pulang!Minum kayak beginian, cuma bikin gue cepet ngantuk aja, tau!" Langen bangkitberdiri. Dia harus secepatnya pergi. Kepalanya mulai sakit dan matanya mulaisusah melihat terfokus. Rei ikut berdiri. Tapi Langen langsung memberikanpenolakan tegas. "Elo nggak usah nganter. Gue bisa pulang sendiri!"
"La...." "Nggak! Gue udah bosen sama lo, tau! B-O-S-E-N! Gue mau pulang sendiri! Sendiri!"
Kembali Rei terkesima. Cowok itu berdiri diammenatap Langen yang kemudian berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Fani langsung bersiap-siap. "Kuat nggak ya tuhanak"" desisnya khawatir. Tapi kalau dilihat dari cara jalannya yang masihlumayan gagah meskipun agak meliuk-liuk, kayaknya sih masih kuat. Dan begituLangen melewati tikungan, Fani bergegas menyambut. "Lo jauh banget sih jemputnya"" keluh Langenbegitu mendapati sahabatnya.
"Deket-deket ntar ketauan, lagi." Fani meraihtubuh Langen yang oleng ke sanakemari lalu memapahnya. Tapi suara orang berlari membuatnya terpaksamenggeletakkan Langen di tengah jalan. "Sori, La. Bentar!" bergegas Faniberlari ke tikungan lalu mengintip ke arah taman. Rei sedang berlari menujumereka! Gawat! Desis Fani panik dan buru-buru kembali ketempat Langen.
"La, bangun cepet! Rei lagi ke sini!"ditariknya Langen sampai berdiri. "Jalan dong, La! Buruaaaan!" desisnya,gemas melihat kedua kaki Langen tidak bergerak.
"Kepala gue pusing banget, Faaan. Rasanya maucopooot!"
Yah, gawat! Mabok nih anak!
"Tapi tadi lo bisa jalan""
Tiba-tiba Langen terkekeh-kekeh geli.
"Dikiranya gue bakalan pingsan! No way! Nggak bakalan! Gue kan Xena! Superwoman! Belom taaau dia!"
Aduh! Fani tambah panik. Terpaksa ditariknya Langen ke pinggir selokan.
"Lompat cepet! Rei udah deket!" Langen melompat masuk selokan, itu juga karenaFani mendorongnya. Yang pasti sih gayamelompatnya orang teler, jadi mendaratnya dengan bunyi "gedebuk". Fani yangterus memegangi satu tangan Langen, tak ayal ikut tertarik dan mendarat didasar selokan dengan bunyi yang sama. Dapat bonus malah. Benjol!
Sambil meringis menahan sakit, ditariknya Langensampai terduduk.
"Sst! Rei ada di sini!" bisiknya. Dibekapnyamulut Langen, takut dia mengeluarkan suara. Suara langkah berlari Rei akhirnyatiba, tepat di atas mereka. Cowok itu berjalan mondar-mandir, kemudian lari kearah taman beberapa meter, lalu kembali lagi. Fani semakin memeluk Langenkuat-kuat dan meringkuk dalam-dalam.
Untungnya tidak lama Rei mondar-mandir. Begitusuara langkah kakinya yang berlari kembali ke arah taman telah hilangm Faniburu-buru melompat ke atas. Langen terpaksa dia tinggal, karena tidak mungkindia membawa masuk orang teler ke halaman rumah orang, lewat di depan satpampula. Baru saja Fani akan berbasa-basi pada Oom satpamyang rupanya cinta banget dengan gardu kecilnya itu, deru mesin sebuah mobilyang dipacu kencang terdengar di tikungan. Rei! Seketika Fani bereaksi seperti jagoan-jagoan ditivi. Melompat ke rumput lalu tiarap di situ. Diam tak bergerak. Di posnya,satpam itu menatap bingung. Fani baru berdiri setelah suara Jeep Rei sudahbenar-benar hilang.
"Kesandung, Oom. Licin sih," jelasnya sambilmeringis. "Saya jalan-jalan dulu ya, Ooh" Abis Papa lama banget sih." "Oh, iya. Silakan."
Bergegas Fan i berlari ke mobilnya. Dia benar-benarkhawatir pada Langen yang terpaksa ditinggalnya di dalam selokan. Selain itu,dia ingin secepatnya pergi dari sini. Tapi Langen ternyata sudah tidak ada ditempatnya. Fani kontan panik. Dia melompat turun ke selokan dan dilihatnyaLangen sudah jauh di depan. Berjalan sempoyongan menelusuri selokan ke arahtaman. Astaga! Serentak ditutupnya mulut. Benar-benarajaib Rei bisa tidak melihatnya!
Buru-buru Fani melompat naik, masuk mobil dantancap gas.
"LANGEN!!!" teriaknya sambil menginjak rem danbergegas turun. "Lo kenapa jalan-jalan sih" Gue bilang tunggu, gue!" "Dingin, tauu!"
"Cuma sebentar doang! Gue cuma ngambil mobil!" "Emangnya gue buah-buahan, ditaro di tempatdingin biar tetep fresh""
"Ah, udah! Udah! Buruan naik!" Fanimengulurkan kedua tangannya. "Naik cepetan! Itu kaki kanan lo nginjek tembokselokan dong! Gimana sih""


Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, ini udah, tauuu!" jawab Langen. Susahpayah Fani menarik Langen keluar dari selokan, lalu memapahnya ke mobil. Begitumasuk mobil, Langen langsung menggeletak di jok belakang. Tapi baru saja Faniakan memutar kunci, satu sinar benderang muncul di tikungan belakang. Cewek ituterkesiap. Rei! Buru-buru diputarnya kunci kontak dan langsung tancap gas.Melesat meninggalkan tempat itu tanpa ada satu pun lampu mobil yang dinyalakan.
"Aduuuh.....pusiiing," keluh Langen.
"Ck!" Fani menoleh sekilas. "Lo nginep dirumah gue aja deh. Daripada pulang, ntar lo abis dicincang bokap-nyokap samakakak-kakak lo. Dan pasti gue bakalan kebagian juga!"
Fani melesat dengan mobil dalam keadaan gelaptotal. Semua lampu mobil padam dan baru dia nyalakan setelah yakin Rei tidakmembuntuti di belakang. Sekarang cewek itu sedang berdiri kira-kira dua ratusmeter dari pagar rumahnya. Dia harus melihat situasi dulu. Aman atau tidak. Bahayakalau orangtuanya sampai melihat Langen fly. Pucuk dicinta ulam tiba. Ijah paslewat. Baru pulang dari warung. "Ngapain parkir di sini, Non""
Fani terlonjak kaget, karena Ijah muncul dariarah belakang. "Eh, elo, Jah! Ngagetin gue aja!" desisnyasambil menepuk-nepuk dada. "Adasiapa di rumah""
"Kosong" Kenapa""
"Aman kalo gitu. Ntar elo tau deh. Ayo naik."
"Aah, ngapain" Cuma dari sini ke situ aja,"jawab Ijah malas, dan langsung ngeloyor pergi.
"Bukain pagernya!" teriak Fani, dan dicelanyaIjah saat mobil lewat di depannya. "Dasar orang kampung! Diajakin naik mobil,malah milih jalan kaki!"
"Jalan kaki itu sehat, Non!" jawab Ijah sambilmenutup pagar. "Eh! Eh! Jangan masuk dulu, Jah. Bantuin guegotong mayat di jok belakang!"
Dengan kening mengkerut, Ijah membuka pintubelakang mobil dan dia langsung memekik.
"Hah! Mbak Langen kenapa, Non" Sakit" Kok malahdibawa ke sini" Anterin ke rumahnya dong!"
"Mabok!" "Hah!" Ijah memekik lagi, lalumenggeleng-gelengkan kepala dengan takjub. "Ck ck ck! Hebat banget ya, MbakLangen itu! Udah pembalap, pemabok juga! Tau nggak Non" Waktu Ijah buru-burumau pulang kampung kemaren itu, kansama Mbak Langen dianterin sampe Rawamangun. Waktu itu Ijah bilang busnyasebentar lagi berangkat, eh Mbak Langen langsung ngebut, Non! Sampengetril-ngetril! Ngepot-ngepot kayak yang di pilem-pilem, gitu. Hebat dehpokoknya! Trus, sekarang Mbak Langen mabok kenapa"" "Ya kebanyakan minum bir."
"Waaah!"" Ijah terbelalak. "Ck ck ck! Canggihbanget dia!" "Aah, udah! Udah!" potong Fani agak-agaksirik. "Bantuin gue gotong dia sampe kamar!"
Dengan susah payah, Fani dan Ijah menggotongLangen yang masih meracau. Tapi baru saja beberapa langkah mereka memasukirumah, telepon berdering. "Itu pasti Rei!" desis Fani. "Angkat, Jah.Tapi jangan bilang Langen ada di sini!"
"Tadi Mas Rei juga udah nelepon nanyain MbakLangen, Non. Sampe bolak-balik neleponnya. Terus nanyain Non Fani ke mana."
"Lo bilang gue ke mana""
"Beli martabak. Non pamitnya sama Nyonya gitu kantadi" Sekarang mana martabaknya""
"Lupa. Angkat tuh telepon buruan. Tapi bilangLangen nggak ada.
Ijah ragu saat akan melepaskan pegangannya.
"Kuat nggak, Non" Ntar Mbak Langen jatoh keubin, malah gegar otak, lagi!"
"Ambilin kursi deh. Iya nih.
Makin lama makinberat."
Hati-hati Ijah melepaskan satu tangannya laluburu-buru menarik sebuah kursi ke belakang punggung Langen. Baru setelah itu diangkatnya pesawat telepon yang terus berdering.
"Halo! Jah, Langen ada di situ"" tanya Rei begitutelepon diangkat Ijah.
"Mbak Langen Ranger" Kantadi Ijah udah bilang" Nggak ada!" "Apa maksud lo, Mbak Langen Ranger"" tanya Reidengan nada bingung.
"Ya, dia itu kanhebat banget! Pahlawan Penegak Keadilan Wanita....! Eh, Pahlawan Wanita PenegakKeadilan....! Eh"" Ijah bingung. "Pokoknya gitu deh!"
"Terus kenapa""
"Ya, saya kanpenggemarnya!"
Rei tercengang. Ya ampun, satu orang lagiterkontaminasi Langen! "Fani udah pulang""
"Udah. Tapi lagi makan." Ijah melirik Fani. "Saya mau ngomong sama dia sebentar aja, Jah.Tolong." "Lagi makan. Tangannya belepotan saos, Mas.Jadi nggak bisa megang telepon."
"Ntar aja telepon lagi. Tanggung!" teriak Fanisambil memberikan isyarat pada Ijah agar cepat menutup telepon. Soalnya Langen,yang mulutnya terpaksa dibekapnya kuat-kuat gara-gara ngoceh melulu, mulaiberontak. Langen malah mencubiti tangan Fani kuat-kuat!
"Tuh denger, kan"Tanggung, katanya. Udah ya, Mas"" Ijah menutup telepon dan Fani langsungmenjerit saat itu juga. "Adaow! Kok lo nyubit sih, La""
"Tau nggak" Rei emosi banget tadi. Guedipaksa-paksa ngaku, dibantuin sama siapa!" Langen tertawa cekikikan."Emangnya gue gampang dipaksa, apa" Belom taau dia!" "Buruan, Jah!" desis Fani. "Ini orang kuduburu-buru kita masukin ke kamar. Ntar Mama keburu pulang. Bisa gaswat kalo dia sampe tau!"
"Iya! Iya!" Ijah bergegas menghampiri.
"Trus kami berantem!" Langen meneruskan ocehannya, sementara Fani dan Ijah menariknya sampai berdiri. "Terus, lo tau nggak terusannya"" Telunjuk Langen yang gemetar menunjuk muka Ijah pas dihidung.
"Nggak!" jawab Ijah pendek.
"Kalo elooo"" Telunjuk itu pindah ke depanmuka Fani.
"Nggak!" jawab Fani. Sebenarnya dia ogah merespons, tapi takut Langen ngotot.
"Elo-elo pasti nggak nyangka!" Langen tertawadengan nada aneh. "Demi memperjuangkan harkat dan martabat wanita,terusannya.....hahaha.....GUE PUTUSIN DIA!!!"
BRUK!!! Pegangan Fani dan Ijah terlepasbersamaan. "ADAOW!!!" Langen menjerit keras begitubadannya mendarat di lantai yang keras.
"Sori! Sori! Sori, La! Elo ngagetin gue!" Faniburu-buru menarik tubuh Langen yang terkapar. Dipeluknya sahabatnya itu, lalu diusap-usapnya kepala Langen yang sempat beradu dengan lantai. Ijah mengikuti.
"Iya. Ijah juga kaget banget!"
"Beneran, La""
"Bener doooong! Biar tau rasa dia!" Langentertawa-tawa lagi.
Fani dan Ijah tertegun saling pandang. Kata-kataorang yang sedang mabuk adalah kata-kata yang jujur. Berarti hubungan Langendengan Rei memang sudah berakhir. Gila! Benar-benar tidak disangka!
Jam berdentang sebelas kali. Fani dan Ijahtersentak. Bergegas mereka berdirikan Langen lalu memapahnya menuju kamar. Ininih, bagian yang paling berat. Naik tangga. Mati-matian Fani dan Ijah menyeretLangen menyusuri anak tangga demi anak tangga. Sampai di depan tempat tidur,sambil mengerang, keduanya ikut menjatuhkan diri ke tempat tidur bersamaLangen. Tapi suara mobil di kejauhan membuat keduanya seketika melompat bangun.
"Gawat, Jah! Jangan-jangan itu Papa samaMama!" Fani memandang berkeliling dengan panik. "Kita masukin aja Langen kelemari. Ayo, buruan!"
"Dimasukin ke lemari!"" Ijah terbelalak."Jangan, Non! Rapet begitu lemarinya. Ntar Mbak Langen bisa mati. Trus kitaberdua dimasukin penjara, jadi penjahat!"
"Ya jangan lama-lama. Yang penting Papa samaMama nggak tau!"
"Yaa...." sejenak Ijah terdiam ragu. "Ya udahdeh kalo gitu. Yuk!" Langen ditarik dari tempat tidur. Tapi diamemberontak, menolak bangun dari tempat tidur. Malah ganti ditariknya Fanisampai terjatuh di sebelahnya.
"Eh, lo tau lagu itu nggak, yang sukadinyanyiin cowok lo itu" Wanita dijajah pria sejak duluu.... Yang gitu tuh!Siapa sih yang ngarang" Pasti cowok! Nggak mungkin cewek! Ntar kalo gue temuintuh orang, gue kasih tau deh dia! Pasti dia nggak pernah kenal cewek kayak gue!"
"Iya! Ntar kalo ket emu, lo omelin aja dia!"jawab Fani buru-buru. "Tapi sekarang lo kudu bangun dari tempat tidur gue,La!" "Siapa yang mau diomelin!"" tanya Ijah kaget. "Aaa, udah iyain aja! Udah tau lagi mabok!" tukasFani. Dengan paksa Langen ditarik sampai berdiri, lalu dipapah menuju lemari.Tapi tiba-tiba Langen berteriak keras.
"UDAH GUE PUTUSIN DIA! HORE! MERDEKA!MERDEKA!!!"
"SST! SST!" dua orang yang memapahnya kontanberbisik panik.
"Jangan teriak-teriak, Mbak! Ini udah malem,ntar tetangga pada denger!" desis Ijah.
"Udah kita seret aja, Jah! Terpaksa!"
Langen di seret ke lemari. Tapi mendadaktubuhnya membungkuk dan dia muntah habis-habisan!
Fani dan Ijah memekik bersamaan. Keduanya lalu mematung memandangi genangan air di lantai yang menyebarkan aroma
tidak sedap dan tajam menusuk. Mengalahkan pengharum ruangan yang digantungkan Fani dikotak AC.
"Yeekh!" Ijah meleletkan lidah sambilmengibas-ngibaskan tangannya yang bebas ke depan hidung.
"Gawat!" desis Fani dengan suara tercekat."Kacau nih! Taro dulu nih orang, Jah! Bersihin dulu muntahannya. Ntar baunya keburu ke mana-mana."
Langen, yang tubuhnya jadi semakin lemas,diseret mundur kembali ke arah tempat tidur.
"Jangan! Jangan! Jangan di kasur!" cegah Fanisaat Ijah akan menarik Langen ke atas tempat tidur. "Susahntar bersihinnya. Geletakin aja di bawah!"
Langen didudukkan di lantai, bersandar di tempattidur. Cewek itu masih sibuk mengoceh sendiri sambil tertawa-tawa geli,sementara Fani dan Ijah membersihkam muntahannya. Tiba-tiba terdengar jeritanklakson. Tepat di depan rumah. Kedua terlonjak dan saling pandang dengan panik. "Cepet! Cepet!" desis Fani. "Itu Papa samaMama!" Dengan gerakan seperti kesetanan, keduanyamelanjutkan membersihkan lantai. Fani langsung lupa dengan rasa jijiknya.Bergantian dengan Ijah, dia berlari bolak-balik ke kamar mandi. Mencuci kausyang terpaksa dikorbankan jadi kain pel.
Pekerjaan menjijikkan itu selesaibeberapa detik kemudian, bersamaan dengan jeritan klakson yang kedua kali. Ijahmelemparkan kaus-kaus yang berubah fungsi jadi kain pel itu begitu saja kedalam kamar mansi lalu menutup pintunya. Kemudian cepat-cepat dibantunya Faniyang sedang menarik Langen sampai berdiri. Berdua, mereka seret Langen yangmasih saja mengoceh, ke lemari.
"Gue adalah pejuang emansipasi! Jadi ati-atiaja sama gue! Emangnya kalo elo jago karate trus lo kira gue jadi takut" No!No! Sori aja! Nggak gampang.... Eh" Lho, kok gelap" Mati lampu, ya""
Fani tidak menghiraukan. Buru-buru dikuncinyapintu lemari. Bersamaan dengan itu, kembali terdengar bunyi klakson. Tiga kaliberturut-turut. Dua kali pendek,dan yang ketiga melengking panjang. Pertanda kedua orangtua Fani mulai taksabar. "Tadi Ijah kunci gerbangnya. Biar aman," kataIjah sambil balik badan dan terbirit-birit berlari keluar. Tapi tiba-tiba Ijahberseru lagi dari tangga, "Non...itu...pura-puranya Non Fani lagi Ijah pijitinya!"
"Oh, iya! Iya! Ide bagus! Sip! Oke!"
Fani langsung menyambar botol minyak kayu putihdari atas meja. Dia cipratkan beberapa tetes isinya ke lantai tempat Langenmuntah tadi. Lalu dengan menggunakan kedua telapak kaki, digosok-gosoknyalantai dengan cepat. Setelah itu dia melompat ke atas tempat tidur, membukakausnya dan menggosokkan beberapa tetes minyak kayu putih di tubuhnya. Sambilmenarik napas panjang-panjang untukmengurangi ketegangan, cewek itu kemudian berbaring tengkurap, beradegan sedangdipijat. Tapi tiba-tiba terdengar suara Langen, yang meskipun jadi agak-agakngebas karena ngomongnya dari dalam lemari, tapi terdengar lumayan jelas. "Fan" Kok gelap sih" Mati lampu, yaaa" Nyalainlilin dooong!" "Aduh, gawat!" Fani melompat bangun. Langennih, nggak kompak banget!
Bergegas dia berlari ke sudut ruangan, tempatseperangkat elektronik bertengger. Dihidupkannya radio. Tapi ternyata suarasang penyiar tidak mampu meredam suara dari dalam lemari.
"CD! CD!" desisnya dan buru-buru diaduknyakoleksi CD-nya. Mesti yang genjreng-genjreng. Nah, ini kayaknya pas. Tip-X! Fani meringis saat Sakit Hati memekik keras.Sip! Musiknya rame, beriraman ska. Cocok banget buat
orang yang sekarang lagidisimpan di lemari. Tapi ternyata lagu itu malah membuat Langen naik darah.
"HEH! SIAPA ITU YANG NYETEL" MATIIN! MATIIN!EMANGNYA SIAPA YANG SAKIT HATI" ORANG GUE NGGAK SAKIT HATI JUGA! AYO, MATIINBURUAN! MENGHINA GUE LO, YA" SIAPA ITU YANG NYETEL" ELO, FAN" APA ELO, JAH" AWAS YA, NTAR! TUNGGU PEMBALASAN GUE!"
Ya, ampuun! Langen ini! Fani berlari ke lemaridan memutar kunci. Begitu pintu terbuka, Langen langsung terjatuh keluar. "Elo diem kenapa sih, La" Nyokap gue udahpulang tuh!" "Eh" Apa"" Langen mengerjap-ngerjapkan matatelernya yang silau terkena sinar lampu.
"Bokap-nyokap gue udah pulang. Jadi elo janganberisik. Lo mau kita diomelin" Ntar kalo nyokap gue tau, pasti dia bakalanlangsung lapor ke nyokap lo. Buntutnya kita jadi kena dimarahin dua kali,tau!"
Kelembutan Dalam Baja 3 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Memanah Burung Rajawali 28

Cari Blog Ini