Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 3
"Oh, iya. Iya." Langen mengangguk-angguk.Entah benar-benar paham atau tidak.
"Makanya diem, ya" Sst!" Fani menempelantelunjuknya di bibir. "Gue tutup lagi pintunya, ya""
Pas! Baru saja pintu lemari dikunci, Fani balikbadan dengan kaget karena ibunya berteriak di pintu.
"APA-APAAN SIH INI!" MALEM-MALEM BEGINI NYETEL MUSIK KENCENG-KENCENG BEGITU!!!"
Fani buru-buru berlari ke sudut ruangan danmematikan CD player-nya sambil harap-harap cemas, semoga Langen benar-benarbisa diajak kerja sama.
"Maaf, Ma! Maaf! Maaf! Abis kepala Fani lagipusing banget nih." "Masa kepala pusing malah nyetel musikkenceng-kenceng begitu" Trus inikamar baunya kok begini"" Mama Fani melangkah masuk sambil mengerutkan keningdan mengendus-endus.
"Eh....itu, Nyah. Non Fani tadi lagi Ijahpijitin," jelas Ijah buru-buru.
"Masa sampai begini baunya""
"Oh, itu. Tadi minyak kayu putihnya Ijahcampurin minyak goreng, Nyah. Biar mijitnya gampang. Kankalo tukang pijet juga begitu. Suka dicampurin minyak goreng."
"Iya. Tapi minyak yang bersih, Jah. Ini minyakapa yang kamu pake" Jangan-jangan bekas ngegoreng ayam." Wanita itu menoleh keanak tunggalnya dengan pandang khawatir. "Kenapa kamu, Fan" Masuk angin""
"He-eh!" Fani mengangguk cepat-cepat.
"Makanya jangan suka nahan-nahan makan. Itu Mama bawain empek-empek."
"EMPEK-EMPEK!"" jerit Fani seketika. "Jah,empek-empek, Jah! Empek-empek!" diguncang-guncangnya tangan Ijah. "Yuk! Makanempek-empek yuk!"
Cewek itu berlari ke luar kamar. Mamanya jadumengerutkan kening melihat reaksi anaknya yang menurutnya agak berlebihan itu.
"Kamu nggak mau, Jah" Masih anget lho," tanyamama Fani ke pembantunya yang tidak beranjak itu. Ijah langsung geleng kepala.
"Ntar aja, Nyah. Saya mau beresin kamar NonFani dulu." Sang nyonya rumah keluar kamar sambil menganggukpuas, mengira pembantunya itu rajin sekali. Setelah menunggu selama beberapamenit sambil bertiarap di lantai, mengintip dari anak tangga teratas dan yakinsuasananya sudah benar-benar aman, Ijah buru-buru membuka pintu lemari. Langenlangsung terjatuh keluar dan menggeletak di lantai.
"Mbak Langen. Mbak," panggil Ijah pelan.Diguncan-guncangnya badan Langen. Tapi tidak ada reaksi. "Yeee, tidur sih!" Terpaksa Ijah membiarkan Langen menggeletak dilantai, karena tidak kuat mengangkatnya ke tempat tidur. Sementara itu Fani sedang asyik menyantapempek-empek. Dari luar sih dia kelihatannya asyik-asyik aja, padahal dalam hatiasli deg-degan! Tiba-tiba telepon berdering. Langsung cewek itu melompatbangun. Pasti Rei!
"Halo"" "Halo! Fan, Langen ada di situ"" bener, kan"
"Nggak. Kenapa"" jawab Fani datar. Rei merasa napasnya nyaris putus mendengar jawaban itu.
"Nggak. Nggak apa-apa. Dia nggak nelepon""
"Nggak tuh. Kenapa sih""
"Nggak. Nggak apa-apa. Tadi kenapa sih HP longgak aktif"" "Yee, suka-suka gue dong. HP HP gue. Lo teleponaja ke HP Langen."
"Tadi dia pergi nggak bawa HP," ucap Reipelan. Fani tersenyum tipis. Dia tahu itu, karena dia yang kasih saran begitu."Ya udah. Thanks. Sori, gue udah ganggu elo!" "Nggak apa-apa."
Di seberang, Rei menutup telepon. Seketikatubuhnya melunglai. "Siapa sih malem-malem begini nelepon" Udahhampir jam dua belas begini," mama Fani bertanya dengan ekspresi wajah tidaksuka.
"Langen, Ma. Dia ka nemang suka gitu. Kalo nelepon ke sini mana mau peduli waktu. Kalo dia masihmelek, dianggapnya Fani pasti masih melek juga."
Sang mama tidak jadi curiga gara-gara keteranganitu. "Coba tadi kamu suruh dia ke sini. Besok, gitu.Soalnya Mama
juga beli empek-empek yang masih mentah." "Oh, gampang itu, Ma. Besok Fani telepon dia!"Fani menjawab sambil meringis. Tidak usah besok siang, sekarang saja tuh anaksudah ada di sini!
Alhasil malam itu kedua orangtua Fani tidak tahuada cewek teler menginap di kamar anak mereka.
Kecemasan Rei sungguh-sungguh telah berubah menjadi kepanikan!
Beberapa saat yang lalu, kemarahan membuatnyamembiarkan Langen pergi. Tapi saat tubuh gadis itu hilang di tikungan,kemarahan itu seketika berubah menjadi kecemasan. Seketika dia berlarimengejar, tapi Langen sudah menghilang. Jalan itu kosong. Buru-buru dia kembalike taman. Menghampiri Jeep-nya dan melompat ke belakang setir. Ditelusurinyalagi jalan itu. Tapi sekali lagi....kosong!
Rei panik. Satu pikiran buruk berkelebat.Jangan-jangan Langen pingsan. Ambruk entah dimana. Cowok itu sampai menginjakrem tanpa sadar. Dan sedetik kemudian seluruh spotlight Jeep-nya menyalabersamaan. Kemudian ditelusurinya semua jalan. Cahaya spotlight-nya menyapusetiap jengkal tanah, rumput, aspal jalanan, bata trotoar, bahkan sebagianhalaman rumah-rumah yang dilewatinya. Lagi-lagi nihil. Langen tidak ada di manapun. Cewek itu lenyap!
Untuk yang keempat kalinya Rei melewati kembalijalan itu. Jalan tempat dilihatnya Langen untuk yang terakhir kali. Danperhatiannya tertarik ke sebuah rumah. Pintu pagar tingginya terbukalebar-lebar dan ada banyak mobil terparkir di halamannya yang luas. Tidakmungkin Langen hilang begitu saja. Satu-satunya kemungkinan, cewek itu masuk kerumah ini. Satpam itu tidak ada. Dia meninggalkan posnyauntuk mengatur mobil. Rei menajamkan mata saat mobil-mobil itu keluar satu persatu, sampai mobil terakhir keluar dan rumah itu kembali lengang. Secepat kilatdia melompat turun dan berlari ke arah gerbang yang hampir menutup.
"Maaf, Pak. Apa tadi ada cewek ke sini"Ma...." Kalimatnya terpenggal, batal akan mengatakan "mabuk". Maksud saya,rambutnya ikal panjang." Satpam itu mengerut kening sejenak, lalu gelengkepala. "Nggak ada. Si Lisa, ya" Papanya juga nungguintadi. Bilang mau jemput tapi ditunggu nggak dateng-dateng. Kamu gantiin Lisajemput Papa, ya" Belum jauh kok. Susul aja. Papanya cuma numpang mobil PakHaryono sampai perempatan. Terus nyambung taksi."
Kening Rei mengerut mendapatkan jawaban anehitu. Tapi dia tidak peduli, karena telah dia dapatkan informasi yang dia cari. Langen tidak di sini!
Setelah mengucapkan terima kasih, cowok itukembali ke mobil dengan langkah gamang. Semua spotlight Jeep-nya lalu padam bersamaan. Kemudian mendadak dia tersentak. Goblok! Desisnya. Tidak ada penjelasan lainuntuk raib-nya Langen ini kecuali, dia mendapatkan taksi dan langsung pulang.Ke rumahnya sendiri, atau ke rumah Fani kalau dia takut dimarahi.
Bergegas Rei menginjak pedal gas. Ngebut,mencari wartel. Tapi ternyata dua nomor yang dihubungi, sama-sama mengatakan "Langen nggak ada!"
Dicobanya menghubungi ponsel Fani, tidak aktif. Sementara menghubungi ponsel Langen tidak ada gunanya karena cewek itumeninggalkannya di rumah.
Sepuluh menit kemudian, dia hubungi lagi nomor rumah Langen dan Fani. Masih juga dijawab "Langen tidak ada." sepuluh menit berikutnya, kembali dia hubungi. Lagi-lagi masih juga jawaban yang sama. Detik-detik berikutnya terasa amat menyiksa. Mati-matian Rei menahan diri untuk tidak mengangkat gagang telepon di depannya lalu menekan tuts-tuts angkanya. Soalnya orang-orang yang mengangkat di seberang sana pasti mulai bertanya-tanya ada apa. Dan Rei tidak ingin mengatakannya. Setengah jam kemudian baru dia hubungi lagi.Tapi masih juga, Langen tidak ada. Setengah jam berikutnya, tepat di pergantianhari, kembali dia hubungi dan lagi-lagi masih juga mendapatkan jawaban yangsama!
Dengan konsentrasi yang benar-benar sudah pecahtotal, panik, cemas, marah pada diri sendiri, menyesal, merasa sangat bersalah,Rei mene
lusuri jalan demi jalan. Dan berakhir menjelang dini hari di warungkopi pinggir jalan. Segelas kopi lalu dihadirkan untuk tubuhnya yangletih dan kedinginan. Seorang pengamen, yang shift-nya mungkin memang darimalam sampai pagi atau mungkin sedang mengejar setoran, berjalan mendekat danlangsung beraksi. Dipetiknya gitar dan sedetik kemudian mengalunkan nada-nadagetir yang begitu menyayat.
"Kau tlah pergi, tinggalkan maaf yang takterucap. Dan takkan kembaliiii....."
Rei menggeram. Ditatapnya pengamen itu dengangarang. Tapi karena terlalu menghayati lagu yang sedang dinyanyikan, tatapanRei itu luput. Pengamen itu tetap bernyanyi. "DIAM!!!" bentak Rei keras. "Nyanyi lagu yanglain! Bikin orang emosi aja!"
Baru pengamen itu berhenti bernyanyi. DitatapnyaRei dengan kening terlipat. Tak lama dipetiknya lagi gitarnya dan mengalunkannada-nada yang lebih menyayat dari nyanyian pertamanya tadi.
"Tlah tiba waktuku, tak berpisah denganmu.Menangislah untukku. Sampai akhir kau di sampingku, di hatikuuu...."
"DIAM! DIAM! DIAM! DIAM!" Rei berteriak kalap."PERGI SANA!PERGI CEPET!!!"
Pengamen itu berhenti bernyanyi lagi.Didekatinya Rei, lalu dengan nada prihatin dia ngomong, "Mas, lagi patah hati,ya" Mau saya kasih resep manjur" Dijamin pasti sakit hatinya hilang. Temen sayasudah ada yang mempraktekkan. Dan hasilnya....," pengamen itu mengacungkan satujempolnya, "jooosss! Mau""
Rei mengangkat kepala. Menatap tapi tanpa minat.
"Apa"" "Terjun aja dari Monas!"
Rei ternganga. Dan pengamen itu langsungngeloyor pergi setelah memberikan satu saran yang sangat sesat itu. Tapi sambilberjalan pergi dia bernyanyi lagi.
"Pejamkan kedua matamu, saatkepergiankuuu...."
"AAAAA!!!" Rei berteriak gila-gilaan.Tangannya meraih satu dari sebarisan botol sofdrink yang ditata di tengah meja,lalu melemparnya kuat-kuat. Botol itu jatuh membentur aspal dengan suara kerasdan langsung menjadi kepingan berserakan. Cuma beberapa senti dari pengamenitu, yang refleks melompat menjauh lalu mempercepat langkah. Tapi masih tetapdia teruskan nyanyiannya.
"Kenanglah diriku, yang juga mencintaimuKenanglah cinta kita, yang tak mungkin bersama. Selaaamanyaaa!" Rei menutup kedua telinganya rapat-rapat.Memejamkan kedua matanya, juga rapat-rapat. Dia baru membuka mata setelahkeadaan di sekitarnya telah kembali sunyi. Diletakkannya selembar sepuluhribuan di samping gelas, lalu pergi. Jeep-nya berhenti lagi satu kilometer dari situ.Di depan wartel yang buka 24 jam. Ini memang masih terlalu pagi untuk meneleponorang. Tapi dia benar-benar butuh pertolongan.
*** "Halo"" suara di seberang terdengar jelassedang ngantuk berat.
"Mereka bener-bener mabok!"
"Apa" Ini siapa" Oh, elo, Rei. Adaapa""
"Mereka bener-bener mabok, Bim!" ulang Rei.Lebih keras. "Mereka siapa"" tanya Bima tanpa minat.
"Cewek tiga itu!"
"Oh, gitu. Bisa diomongin ntar siang aja" Guebaru tidur tadi jam empat. Sekarang baru....," Bima menoleh ke dinding. "ya ampun. Baru sejam."
"Nggak bisa. Ini gawat! Bener-bener gawat!"
"Oke deh. Oke. Oke," Bima mengalah. Terpaksa ditahannya kantuknya karena suara Rei yang sangat mendesak itu. "Tau dari mana lo""
"Semalem gue nantangin Langen minum."
"Apa!"" sepasang mata Bima jadi agak melebar."Trus""
"Tiga gelas!" Bima terperangah. Kedua matanya jadi benar-benatlebar sekarang.
"Tiga gelas" Trus dia...."
"Trus kami putus! Bubar! Selesai! Pisah!Finish!"
Bima terperangah lagi. Sekarang gilirankantuknya yang benar-benar hilang.
"Di mana lo sekarang""
"Di...." Rei menatap keluar, ke arah papannama wartel. Di situ tertera nama jalan. "....Jalan Latumenten."
"Di mana tuh""
"Mana gue tau!" bentak Rei, mendadak jadiemosi. "Lo kira gue kontraktor yang bangun ini jalan""
Bima menarik napas. "Lo ke sini, cepet! Guetunggu!" ditutupnya telepon tanpa menunggu jawaban. Menghadapi orang yangsedang stres memang sebaiknya tidak usah banyak bicara. Dan Bima sungguh kaget begitu melihat kondisiRei. Benar-benar berantakan! Kusut, letih, pucat, dan kelihatan sangat putusasa. Dipanggilnya salah seorang pembantun
ya, memintanya untuk membuat secangkirkopi dan segera menyiapkan makanan untuk tamu yang datang pagi-pagi buta itu.
"Ini bener-bener gawat!" desis Rei.
Bima menatapnya lurus. Karena belum tahu apayang sebenarnya terjadi, dia jadi terkejut melihat keadaan Rei sampai sepertiitu. Seakut apa sih, akibat ditinggal cewek" Biarpun katanya cinta sejati, tohmereka masih punya banyak pilihan lain.....
"Lo bisa sujud di bawah kakinya. Tapi usahainjangan sampe ada ngeliat."
"Bukan itu! Dia ilang. Dari semalem nggak pulang!"
Bima mengerutkan kening. "Lo mau cerita""tanyanya pelan. "Biar gue ngerti masalahnya."
Mau tidak mau Rei memang harus menceritakanperistiwa itu. Bertelekan paha, Bima menangkupkan kedua tangannya di depanbibir, sibuk berpikir setelah mendengar cerita itu. Parah memang kalau kejadiannyasampai seperti itu. Tapi Langen memang bukan tipe cewek yang bisa ditundukkantanpa kekerasan.
"Di rumahnya nggal ada. Di rumah Fani juganggak ada. Ke rumah Febi udah jelas nggak mungkin. Nggak mabok aja Langrn nggakpeduli tata krama, apalagi mabok!" Bima menggumam sendiri. "Udah lo cej lagipagi ini"" Dipandangnya Rei. Gelengan kepala itu benar-benar membuat trenyuh.Ditepuk-tepuknya bahu sobatnya itu. "Okelah. Biar gue yang nyari. Lo tunggu disini. Mandi trus sarapan. Seperti biasa, lo bisa pake baju gue. Trus usahaintidur sebentar. Oke""
Rei cuma bisa mengangguk. Bima menatapnya denganrasa bersalah.
"Gue minta maaf. Mungkin emang sebaiknya nggak lo ikutin saran gue."
"Nggak. Lo bener. Dengan begini gue jadisemakin tau, siapa itu Langen!"
Di mulut Rei ngomong begitu. Tapi dalamhati....perih terajam tak terperikan! Cuma dia tidak ingin mengaku saja. Salah satu kakak Langen, Erlangga, sedang berdiridi pinggir jalan saat Bima datang.
"Rei ada di sini, Er""
"Nggak. Langen-nya aja nggak di rumah."
"Oh, ya"" Bima pura-pura kaget. "Ke mana""
"Paling di tempat Fani. Kalo nggak pulang, dimana lagi tuh anak kalo nggak di sana."
"Emangnya Langen nelepon kalo sekarang dia ditempat Fani"" "Nggak sih. Kenapa" Lo perlu sama Rei apa samaadek gue""
"Rei. Tapi gue lagi males muter-muter nih.Pasti di tempat Fani, ya""
"Pasti!" Bima mengangguk-angguk, heran kenapa Rei bisa"kelewatan" padahal jawabannya gampang sekali dicari. Diucapkannya terimakasih, lalu pergi. Di tikungan menuju rumah Fani, cowok itu menghentikan mobilsejenak. Dia mengucir rambut panjangnya, lalu menyembunyikan ekor kuda itu dibawah topi. Tidak perlu penyamaran yang njelimet karena Baleno ayahnya yangterpaksa dia bajak semua kacanya sudah cukup gelap. Saat menjelang tiba di tujuan, diturunkannyaujung topinya. Di balik dua lensa gelap, sepasang matanya lalu melirik tajam.Mengamati setiap sudut rumah Fani dengan saksama. Kedua orangtua Fanisepertinya akan pergi, karena mereka sudah berdiri di teras dengan dandananrapi.
"Fani! Jangan lupa itu, telepon Langen. Suruhke sini. Sayang itu empek-empeknya!" kata mama Fani sambil berjalan ke mobil. "Oke deh, Maaa!" jawab anaknya dari dalam. Dantak lama, Bima mendengar suara Fani meneriaki Ijah, "JAAAH! TELEPON LANGENGIH! SURUH KE SINI! CEPET GITU! JANGAN LAMA-LAMA KALO NGGAK MAU EMPEK-EMPEKNYA GUE ABISIN!"
Cewek itu tidak sadar bahwa teriakan yangsebenarnya untuk mengelabui orangtuanya itu berhasil membuat detektif dadakanyang barusan saja lewat ikut tertipu. Bima tersentak. Baleno-nya berhentimendadak. Ternyata masalahnya memang gawat!
Segera diinjaknya pedal gas, buru-buru pulang.Rei sedang berjalan mondar-mandir di teras. Penampilannya tidak lebih baik.Begitu mobil Bima muncul, dia langsung melesat ke pintu gerbang. Dibelakangnya, Rangga mengikuti dengan langkah lambat.
"Ketemu!""
Bima geleng kepala. Harapan di mata Rei pupusseketika.
"Ini serius, Rei. Orang-orang di rumah Langennyangka tuh anak di rumah Fani. Sementara dia nggak ada di sana."
"Jadi gimana"" tanya Rei putus asa.
"Mau nggak mau lo harus ngasih tau keluarganya."
Rei tambah lunglai. "Mendingan kita cari dulu."
"Kemana lo mau cari""
"Temennya bukan cuma Fani."
"Dan gimana caranya lo cari
tau siapa-siapa ajatemennya"" tanya Bima. Rei tidak bisa menjawab. Bima menarik napas.
Lembut,ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu. "Ayo, gue temenin. Sebelom semuanya jadisemakin parah."
"Gue setuju." Rangga mengangguk.
Dengan diapit kedua sahabatnya, Rei berjalan lambatke arah Baleno yang masih diparkir di pinggir jalan.
Begitu tiba di depan rumah Langen, yang pertamaterbayang di mata Rei adalah dua sosok tua: orangtua Langen. Gimana bisa dia memberitahu mereka bahwa anak perempuan mereka satu-satunya.....hilang"Soalnya, meskipun nakal, Langen itu anak kesayangan. Salah satu kakaknya,Bagas, malah senpat membuat Rei cemburu karena kelewat menyayangi adik ceweknyaitu. "Balik, Bim." Rangga menepuk pelan bahu Bima. Bima langsung setuju dan Baleno itu kemudian meninggalkanruas jalan tempat dia sejenak diam.
*** Senin pagi, Fani berangkat ke kampus sendiri.Langen cabut kuliah. Sementara itu Rei datang ke kampus dengan penampilan yangbenar-benar berantakan. Cowok itu memang cuma tidur kurang dari tiga jam selamahampir 48 jam terakhir, karena sebagian besar waktu dihabiskannya untukberkeliaran ke mana-mana. Mencari sang kekasih yang hilang! Start sejak pertengkaran hebat yang berujungperpisahan itu, dan finish menjelang fajar. Dengan melibatkan kedua sahabatnya,pencarian diteruskan Minggu siang sampai Senin dini hari. Dengan hasil kembalinihil. Sang missing person tetap missing!
Dan yang tersisa pagi ini tinggal khawatir,cemas, dan kalut yang semakin menjadi. Tadi pagi dia telepon lagi ke rumahLangen, dan pembantunya bilang Langen belum pulang. Satu jam kemudianditeleponnya kembali. Dan sekali lagi pula mendapatkan jawaban yang sama.
"Paling ditempatnya Fani," kata Bagas. Reitidak berani mengatakan bahwa si bungsu itu tidak ada di sana. Lunglai, Rei berjalan ke kelas sang kekasih yanghilang itu. Berharap ada kabar dari Fani.
"Kenapa lo"" Fani berlagak bego meskipunsebenarnya terkejut melihat kondisi Rei yang berantakan. Sama sekali takdisangkanya. Dia pikir cuma Langen yang parah. "Ke kampus acak-acakan gitu.Nggak mandi pula, ya"" "Langen mana, Fan"" Rei bertanya dengan nadamemohon. "Belom dateng."
"Lo bukannya kalo pagi dijemput Langen""
"Biasanya emang gitu. Tapi tadi gue tungguinsampe jam tujuh lewat, tuh anak belom dateng juga. Gue teleponin berkali-kali ke HP-nya, eh dicuekin. Ya udah. Gue cabut duluan."
"Kenapa nggak lo tungguin" Kali aja dia dateng terlambat"" Rei sepertinya menyalahkan.
"Oh, lo harus tau kalo gue ini mahasiswi yangsangat rajin!" jawab Fani diplomatis. "Gue nggak mau telat masuk kuliah cumagara-gara nunggu jemputan."
Mulut Rei sudah terbuka, ingin mengatakan bahwaLangen menghilang sejak Sabtu malam, tapi urung. Cowok itu lalu terduduklunglai di sebelah Fani.
"Heh! Ini kursinya Langen. Maen duduk aja. Sana! Sana!Cari tempat laen kenapa""
"Numpang sebentar, Fan. Gue nunggu Langen,"ucap Rei lemah. Duh, kasihan banget deh denger suaranya. "Sebentar bener, ya" Ntar kalo orangnya datengpindah, ya"" Rei mengangguk tanpa suara. Kemudian cowok itubenar-benar tidak mengeluarkan suara. Blas! Duduk diam dengan kepala menundukdalam-dalam, dan baru berdiri begitu dosen datang. "Pergi dulu, Fan," pamitnya lirih, laluberjalan keluar. Fani mengikuti dengan pandangan. "Gantung diri sana!"dengusnya mangkel. Rei melangkah lunglai menuju tempat parkir. Diaharus ke rumah Langen untuk memberitahu keluarganya bahwa gadis itu hilang.Tidak bisa mundur lagi, karena telah lewat 36 jam sejak dilihatnya Langenterakhir kali.
Rasanya benar-benar seperti sedang pergi kepemakaman. Bukan cuma untuk menyaksikan orang yang dicintai dikuburkan. Tapisekaligus juga untuk menguburkan diri sendiri. Tidak dalam keadaan jasad utuh,tapi serpihan daging dan tulang! "Wah, kebeneran kamu dateng, Rei!" sambut mamaLangen. Tapi kemudian dia menatap Rei dengan kening terlipat. "Kamu kenapa"Kok berantakan begini" Pucat, lagi. Kenapa" Kamu sakit""
Perhatian tulus dari mama Langen itu malahmembuat Rei semakin ditekan rasa bersalah.
"Nggak, Tante. Cuma....kuliah lagi banyak tugas."
"Oh, begitu. Tapi tetep kesehatan itu harus dijaga."
"Iya, Tante. Terima kasih." "Tante mau minta tolong sama kamu." "Minta tolong"" kening Rei berkerut. "Iya. Tante mau titip obatnya Langen."
"O-obat, Tante""
"Iya. Itu anak radang tenggorokannya lagikambuh. Biasanya dia suka rewel. Kemarin sore waktu Fani ke sini, ngambil bajusama diktat-diktat kuliahnya, Tante lupa nitip." Sontak sepasang mata Rei melebar. Benar-benarkaget! "Tetrus juga, tolong bilang sama mamanya Fani,kalo Langen minta dimasaki ini-itu, jangan dituruti. Kalo di sanadia berisik, dimarahi saja. Soalnya anak satu itu nakal sekali. Tolong ya,Rei"" tidak ada sahutan. "Rei"" ulang mamanya Langen. Tetap tidak adasahutan. Wanita itu menoleh dan jadi heran melihat Rei terpaku diam. Ditepuknyabahu cowok itu yang lalu jadi terlonjak kaget. "Kenapa kamu" Kok bengong"" "Oh" Eh, maaf.... Tadi Tante bilang apa...."" "Nah, kan.Nggak denger, kan"Kenapa kamu"" "Nggak. Nggak apa-apa, Tante." Reimenggelengkan kepala. Benar-benar lega. Tubuhnya sampai sempit limbung sakingbeban berat itu terangkat tiba-tiba. Mama Langen mengulangi pesannya.
"Terus, nanti suruh Langen nelepon Tante. Anakitu memang nakal! Nginap sudah dua hari, bukannya ngasih tau. Memang sih rumahFani sudah seperti rumah sendiri. Tapi mbok ya kasih tau, gitu lho."
"Langen nggak bilang sama Tante""
"Fani sih udah ngasih tau. Malem Minggu kemarinMalam-malam, jam sebelah dia nelepon ke sini. Cuma Langen-nya itu lho. Kok yanggak nelepon sama sekali. Baju sama buku-bukunya malah Fani juga yang ngambilke sini. Ngapain aja tuh anak di sana"" Malam Minggu Fani nelepon ngasih tau!" Kesepuluh jari Rei mengepal. Bener-bener kurangajar tuh cewek!
Desisnya marah. *** Fani langsung sadar Rei sudah mengetahuikeberadaan Langen begitu dilihatnya cowok itu sudah ada lagi di luar kelas. Reiberdiri bersandar di sebuah pilar dengan kedua tangan terlipat di depan dada.Wajah Rei kaku dan sepasang matanya menatap tajam ke satu titik. Dirinya! Dansedetik setelah dosen keluar dari pintu depan, Rei langsung menerobos masuklewat pintu belakang. "KENAPA LO NGGAK BILANG KALO LANGEN ADA DIRUMAH LO!!!"" cowok itu berteriak. Benar-benar keras saking emosinya.Teman-teman sekelas Fani yang tadinya sudah bersiap akan pergi, sontak batal. "Kenapa gue mesti ngasih tau elo!"" bentakFani. "Gue hampir gila, tau! Gue muter-muter sampepagi! Gue cari dia ke mana-mana!"
"Bagus! Emang harus gitu! Baru juga hampir. Guedoain semoga lo gila beneran!"
"FANI!!!" bentak Rei menggelegar. "APA!!!"" Fani balas membentak keras.
Rei menggeram marah. "Awas lo, Fan! Liat ajalo!" ancamnya, lalu balik badan dan keluar.
"Eh, tunggu! Tunggu!" seru Fani. Tapi Reisudah keburu hilang. Cewek itu bergegas menekan tuts-tuts ponselnya."IJAH!!!" teriaknya begitu telepon di seberang diangkat. "IYA!" Ijah jadi ikut teriak gara-gara kaget. "Langen lagi ngapain""
"Mandi." "Jah, denger, Jah! Tutup semua pintu samajendela! Kunci! Rei lagi ke situ! Jangan kasih dia masuk! Paham!""
"Paham! Paham!"
Ijah langsung menjalankan perintah. Ditutupnyasemua pintu juga
jendela rapat-rapat, lalu dikuncinya. Menguncinya juga sampaiterdengar bunyi "ceklek", supaya dia yakin benar-benar sudah terkunci. Langenkeluar dari kamar mandi dan jadi heran melihat tingkah Ijah.
"Kenapa lo tutupin jendela sama pintu, Jah" Maupergi" Biar gue yang jaga rumah deh."
"Bukan! Kata Non Fani, Mas Rei lagi mau kesini. Jangan dikasih masuk, katanya!" Langen terbelalak.
"Iya! Iya! Jangan!"
*** Rei bingung mendapati rumah Fani benar-benattertutup rapat.
Dia memanjat pagar, lalu melompat masuk halaman.
"Langen!" panggilnya sambil mengetuk pintukeras-keras.
"Langen, buka pintu, La! Aku tau kamu di dalam!" tidak ada sahutan. "Langen! Buka pintu! Langen!" tetap tidak ada sahutan. Diperiksanyahendel pintu. Terkunci.
"LANGEEEN!" Rei berteriak keras-keras. Pintudipukulnya sampai getarannya terasa di jendela-jendela. Di ruang kerja Papa Fani yang sama sekali tak berjendela, Langen dan Ijah duduk meringkuk diam-diam.
"Kayaknya dia kalap, Mbak," bisik Ijah.
"Bi arin aja, Jah!" Suasana berubah hening, Rei berdiri diam didepan pintu. Memasang telinga tajam-tajam. Berusaha menangkap bunyi sekecil apapun, yang bisa memberinya tanda bahwa memang ada seseorang di dalam sana. Tapiternyata suasana benar-benar hening. Sunyi senyap. Sesaat kemudian ditariknyanapas panjang-panjang sambilmemejamkan mata. "Langen," panggilnya kemudian dengan lembut."La, tolong keluar. Please" Kita omongin masalah ini baik-baik. Jadi tolong keluar. Sebentaaar aja."
Tetap tidak ada sahutan. Rei menarik napaspanjang-panjang lagi. Kalau tidakingat akibatnya akan runyam, sudah didobraknya pintu ini. Atau kalau tidak, diapecahkan jendelanya. Minimal satu. Atau dua, atau semuanya sekalian kalau itutetap tidak bisa membuat Langen keluar!
Cowok itu lalu menempelkan mukanya di salah satukaca jendela. Berusaha melihat ke dalam. Ruangan itu kosong. Dan tidak adatanda-tanda ada orang bersembunyi di kolong kursi atau meja, atau menyempil disamping bufet panjang. Benar-benar tidak ada makhluk hidup di dalam sana! Rei pindah ke ruang makan. Mengintip lagi kedalam lewat kaca-kaca jendelanya. Ruangan itu kosong. Juga tidak adatanda-tanda adanya makhluk hidup. Tapi dia tetap yakin Langen ada. Somewhere inthere. Diketuk-ketuknya kaca jendela. "Langen. Tolong keluar, La. Jangan kayak anakkecil begini. Keluar. Kita selesaikan baik-baik."
Tapi dua orang di dalam ruangan tak berjendelaitu tetap duduk dalam diam. Langen membutakan hati meskipun panggilan itusebenarnya sangat menyayat. Sementara Ijah jadi merasa sedih.
"Keluar aja, Mbak," bisiknya.
"Nggak!" tolak Langen serta-merta.
"Mas Rei kayaknya mau minta maaf tuh."
"Biarin aja! Denger ya, Jah. Lo gue kasih tau. Sekarang udah nggak zamannya lagi cewek ditinggalin cowok! Cewek bunuh diri gara-gara cowok! Cewek patah hati karena cowok! Cewek trauma cause of cowok!Sekarang.....zamannya cowok-cowok jadi gila karena cewek! Setuju""
"Waaah, setuju buanget, Mbak! Hebat! Itubener-bener keren!" sambut Ijah seketika.
"Sip! Jadi biarin aja dia gedor-gedor. Ntarkalo pintunya rusak, atau kaca jendela ada yang pecah, tinggal kita kirimin aja tagihan ke rumahnya. Gampang!"
Malang benar nasib Rei. Sudah diketuknya setiappintu juga kaca jendela, diteriakkannya nama Langen dengan sangat memilukan,berputar-putar mengelilingi rumah, tapi sang mantan pacar malah memeluk bantalkursi dan mengambil ancang-ancang untuk tidur. Ijah jadi ikut-ikutan. Bukankarena tidak ada kerjaan, tapi tidak mungkin dia meneruskan pekerjaannya kalauRei masih ada. Dan tak lama Ijah benar-benar ketiduran. Suara-suara ketukan di kaca itu berakhir. Suarapanggilan berulang itu juga akhirnya hilang, diikuti suara langkah kaki di atasrumput yang berjalan menjauh. Suara pagar besi dipanjat, suara mesin mobildihidupkan, suara ban-ban bergerak. Dan akhirnya lengang.
Satu menit, dua menit. Langen terpekur dalamlengang yang semakin membuatnya merasa kosong. Kalau dia tidak sedih, itubohong. Kalau tadi dia tertawa-tawa di depan Ijah karena merasa menang, itujuga tidak sepenuhnya benar. Sama sekali tidak begitu. Sama sekali bukan.
Dia sedih! Tidak menyangka akan begini akhircinta pertamanya. Berawal mirip film-film roman, setangkai bunga. Meskipunliar, bunga ungu yang dipetik Rei di tepi jalan itu tetaplah bunga, yangdiulurkan padanya tanpa peduli ada begitu banyak mata di sekitar mereka.Disertai kalimat pendek yang dipahami semua manusia, pun mereka yang IQ-nya dibawah rata-rata: wo ai ni, I love you, ich liebe dich. Tapi Rei mengatakannyadalam bentuk lain meskipun sama noraknya.
"Jadi cewek gue, ya" Jangan bilang nggak, kalolo nggak mau gue loncat ke tengah jalan sekarang juga!"
Meskipun ancaman itu tak mungkin direalisasi,toh Langen mengiyakannya juga, dengan sebentuk senyum malu dan
anggukan kepala.Dan akan tetap diingatnya hari itu. Hari di saat ada seseorang berjalanbersamanya. Manis. Indah.
Tapi, setelah diawali sederet tuduhan yangditeriakkan dengan nada tinggi, kenyataan bahwa mereka ternyata tak saling memahami, cinta itu berakhir....dengan satu botol! Tragis!!!
Bima baru saja membukakan pintu Jeep LC. HardtopCanvas-nya untuk Fani, saat tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh satu teriakankeras.
"FANI!!!" Rei berlari menghampiri merekadengan muka marah.
"LO NGASIH PERINGATAN, KAN!" IYA, KAN!""bentak Rei begitu sampai di depan Fani.
"Iya! Trus kenapa!" tantang Fani.
"Ada dimana dia sekarang!""
"Jangan bego lo! Kalo emang gue mau ngasih tau,udah dari kemaren-kemaren, tau!"
"Elo....!" geram Rei. Kalau saja tidak adaBima, entah sudah diapakan cewek ini.
"Adaapa sih ini"" tanya Bima, setelah beberapa saat hanya menatap bingung. "Elotadi kenapa nggak masuk, Rei" Gue udah bilang, ada kuis. Tau sendiri tuh dosen,mood-nya...."
"Aaaah!" Rei mengibaskan tangan. Persetan soalitu! Ditatapnya sahabatnya itu tajam.
"Tolong ya, Bim.... ! Lo suruh cewek loini.....ngasih tau.....dimana Langen sekarang!"
"Kenapa" Dia belom pulang, kan""
"JELAS AJA NGGAK PULANG!" teriak Rei. "ADA DIRUMAH DIA!"
tunjuknya lurus-lurus ke muka Fani. Hampir saja tuh jari digigit sama yang yang kena tunjuk.
"Bener Langen ada di rumah kamu, Fan"" Bima menoleh ke ceweknya, yang langsung melengos ke tempat lain. "Kenapa nggak bilang" Adadua hari Rei ikut nggak pulang. Nyari Langen ke mana-mana, takut dia kenapa-kenapa."
"Biarin aja!" jawab Fani ketus. "Biar diajadi gila!"
"Elo ya!" kesepuluh jari Rei mengepal. Bimaikut melotot.
"Biarpun kamu sohibnya, aku nggak ngedoain kamugila juga kok," sahut Fani enteng.
"Bukan begitu. Aku sama Rangga jadi ikut repot.Bantuin Rei pontang-panting nyariLangen ke mana-mana. Dari jam dua siang sampe jam tiga pagi! Kalo hasil kuiskutadi jelek, itu berarti gara-gara kamu!"
"Ih!" Fani mendelik. "Lagian mau aja. Yangngilangin Langen kandia. Ya biar aja dia yang cari sendiri!" "Nggak bisa begitu. Kamu sendiri gimana" Yangberantem sama Rei kanLangen. Kenapa kamu ikut-ikutan""
"Langen nggak salah! Emang dia aja nih...." Fani menunjuk Rei lurus-lurus. "Dia jahat! Nggak tau diri! Egois!"
Bima menarik napas, geleng-geleng kepala.Ditepuknya bahu Rei sekilas.
"Lo ikut gue. Jemput cewek lo."
"NGGAK!!!" seru Fani seketika. DipelototinyaRei tajam-tajam. "Gue kasih peringatan, jangan coba-coba lo ke sana!" "Fan, mereka ada masalah. Biar Rei ketemuLangen." "Nggak!" Fani tetap ngotot. Yang ngomong Bima,tapi tetap yang dia pelototi Rei. Soalnya Fani memang tidak berani memelototiBima. Cari mati itu namanya! Fani lalu maju selangkah, dan ditentangnyasepasang mata hitam Rei. "Lo mau deketin dia.....langkahin dulu mayat gue!"
Sepasang mata Bima kontan melebar. Cowok itu memalingkan muka ke tempat lain, menyembunyikan senyum gelinya.
"Udah, Rei," kata Bima pelan. "Jangan dipaksakalo emang Langen nggak mau ketemu." Tapi sementara bicara, sepasang matanya memberikan isyarat. Rei langsung paham.
"Oke," Rei mengangguk. "Awas ntar lo, Fan!"katanya, lalu balik badan dan pergi.
"Eh!" Lo ngancem!"" seru Fani
"SINI KALO BERANI! NGANCEM-NGANCEM SEGALA! LO KIRA GUE TAKUT, APA!" HEH!JANGAN PERGI LO! KE SINI KALO BERANI! SATU LAWAN SATU!!!"
Meskipun sudah mati-matian ditahan, tawa Bimaakhirnya meledak juga.
"Kenapa ketawa"" Fani meliriknya dongkol.
"Nggak. Nggak apa-apa." Bima geleng kepala."Makan yuk" Laper banget nih."
Sengaja Bima mengulur waktu untuk membuat jarakdengan Rei, soalnya diam-diam Rei sedang meluncur ke rumah Fani. "Nggak," tolak Fani langsung. "Aku maupulang!" "Kenapa sih" Nggak bosen terus-terusan deketLangen"" "Maksud kamu apa ngomong begitu""
"Heran aja. Aku aja kadang bosen terus-menerusdeket Rei sama Rangga. Meskipun bisa dibilang jarang, dibanding kamu samaLangen yang hampir setiap saat."
"Makanya. Kalo sampe Rei berani nekat, akubikin dia jadi mayat!" Bima kontan ketawa geli. "Emangnya bisa""godanya. "Bikin kaki atau tangannya bengkak sedikit aja, belom tentu kamubisa." "Eeh, nantang ya" Mau nyoba"" Fani jadiberang. "Kamu jangan kaget ya, kalo tiba-tiba aja sohib kamu itu udah tergeletakdi jalan gara-gara kena peluru sniper!"
"Oh, jangan! Jangan!" jawab Bima buru-buru."Oke, aku salah. Aku minta maaf. Tolong jangan
bikin Rei jadi mayat.Pleaseee"" sambungnya dengan ekspresi seolah-olah sangat ketakutan denganancaman itu.
"Huh!" Fani membuang muka dengan sombong. Bima terpaksa menahan tawa gelinya.
"Oke deh. Yuk, aku anter pulang."
Tapi saat Jeep Canvas Bima berbelok ke jalanyang melewati depan rumah Fani, cewek itu kontan terbelalak. Jeep CJ7 milik Reisudah ada di sana!
"Yeee, nekat nih!" Fani mendesis marah. "Mauapa lagi dia" Udah dibilang Langen nggak mau ketemu!" dengan berang dibukanyapintu. Siap melompat keluar.
"Eh! Eh!" Bima buru-buru meraih pinggang Fani."Ini mobilnya masih jalan, Say! Nanti kamu jatuh. Kalo kenapa-napa, aku yangrepot!" "Makanya berhenti!"
"Ya sabar dong. Tanggung, tinggal di depan.Tutup pintunya." Begitu mobil berhenti, Fani langsung melompatturun. Buru-buru dia berlari ke pintu pagar laluberdiri rapat-rapat di depannya.
"Udah gue bilang jangan ke sini, juga!"dibentaknya Rei. "Fan, tolong. Gue cuma mau ngomong sebentarsama Langen." "Ngomong aja sama gue. Ntar gue sampein kedia!" "Ini pribadi, Fan."
"Oh! Udah nggak ada lagi pribadi-pribadianantara lo sama dia. Orang kalian udah putus!"
Bima tak sabar lagi. Ditariknya Fani dari depanpintu pagar.
"Lo masuk, Rei! Cepet! Tarik Langen keluar!"
Tanpa buang waktu, Rei membuka pagar yang takterkunci, lalu langsung melesat masuk halaman.
Fani terperangah. "Hei!" Hei!" Awas ajalo....!"
"Awas apa"" ulang Bima. Dikurungnya Fani dalam rentangan kedua tangannya. Cewek itu langsung menempelkan tubuhnya rapat-rapat di pagar.
"Ini kan rumah gue!"
"Trus kenapa kalo aku izinin Rei masuk" Mauprotes" Boleh. Tapi aku nggak tanggung akibatnya!"
"Mak....sudnya""
"Maksudnyaaaa..... " Bima mendekatkantubuhnya, membuat Fani semakin melekatkan diri serapat mungkin di besi-besipagar.
Pelan-pelan wajahnya mulai memerah.
Gila, ini pinggir jalan! Dari tadi mobil-motortidak berhenti lalu-lalang. Apalagi orang jalan. Beberapa mulai memerhatikan mereka sambil senyum-senyum. Malah ada yang bersuit-suit segala. Bima tersenyum tipis.
"Aku nggak keberatan sekali-sekali kissing ditempat umum." "HAAA!!!"" Fani terkesiap dan seketika menutupmulutnya dengan kedua tangan.
Sementara itu dua orang yang sedang bersembunyidi balik gorden ruang makan, langsung panik begitu Rei berlari masuk halaman.Mereka nggak nyangka Rei akan kembali lagi. Dan parahnya, Ijah sudah membukakunci pagar dan pintu ruang tamu begitu Rei pergi tadi.
Keduanya nyaris terlompat saat pintu ruang tamuterbuka dengan empasan keras diikuti teriakan.
"LANGEN! KELUAR, LA!!!"
"Aduh, gawat!" desis Langen. "Jah, gue kuduburu-buru kabur nih."
"Gimana" Pintu belakang lagi rusak. Nggak bisadibuka." "Makanya gimana dong""
Ijah terdiam. Berdecak bingung dengan suarapelan. Sementara itu Rei sedang menggeledah ruang tamu, lalu lanjut ke ruangkeluarga, perpustakaan, dan semua ruangan di area depan. Langen dan Ijah tidakberani bergerak. Tetap meringkuk dalam-dalam di samping lemari makan, menutupibadan mereka rapat-rapat dengan gorden, dan baru berani bergerak begitu Reiberlari ke lantai dua sambil berteriak.
"LANGEN! KELUAR!!!"
"Cepet, Mbak! Cepet! Cepet! Ijah ada ide!"bisik Ijah. Tanpa suara, dia berlari menyeberangi ruang makan. Langen langsungmengikuti tanpa berpikir lagi. Keduanya berlari masuk ke dapur lalu keluar kehalaman belakang. Mereka langsung menghentikan lari mereka dan menggantinyadengan langkah pelan. Keduanya menempelkan badan rapat-rapat di tembok, dia ditempat sambil menahan napas, begitu Rei muncul di teras atas dan men-sweepinghalaman belakang lewat sepasang tatap tajam. Begitu Rei masuk lagi, kedua orangitu langsung berlari secepat-cepatnya menuju tempat sampah di sudut halaman. Hati-hati, takut mengeluarkan suara, Ijah membuka tutupnya.
"Cepet masuk, Mbak!" bisiknya.
"Masuk sini!"" Langen terbelalak. "Ogah,gila! Bau, tau!"
"Tempat sampah di mana-mana juga bau. Masuk sini trus keluar ke jalanan samping. Gitu, Mbak. Cepetan! Ntar Mas Rei keburu turun!"
Terpaksa, sambil menutup hidung dan menahanjijik, Langen masuk ke tempat sampah it
u. Tutupnya langsung dirapatkan dan Ijahsegera ngibrit ke dapur. Ijah langsung membuka kulkas, mengeluarkan sayuran,mengambil pisau dan talenan, dan terakhir memakai walkman! Barulah dengantenang Ijah berakting sedang sibuk memasak.
Satu menit kemudian..... "HAH!" Bahunya ditepuk dari belakang dan Ijahmelepit betulan. Padahal itu sudah diduganya dan dia sudah berencana akanberlagak sangat terkejut kalau nanti Rei muncul. Tidak disangka, malah terkejutbetulan. Dimatikannya walkman dan dicopotnya earphone. "Mana Langen"" "Nggak ada, Mas."
Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan bohong! Gue tau dia di sini. Ibunyayang bilang!" "Itu kemaren, Mas. Dua hari emang MbakLangen nginep di sini. Tapi tadi dia pergi, abis Non Fani berangkatkuliah." "Jangan bohong!"
"Iiih, buat apaan, lagi"" Ijahmengelak dengan tenang. Sama sekali tidak takut. Wong bukan Rei yang bayargajinya!
"Dia bilang mau ke mana""
"Paling juga pulang. Orang udah dua hari disini."
Rei tidak bertanya lagi. Beberapa saatditatapnya Ijah dengan sorot tajam, lalu balik badan dan berlari ke depan. Ijah meleletkan lidah panjang-panjang.
"Weee! Emangnya Ijah takut""
Tapi berikutnya dia tersentak. Sadar, sekarangganti majikannya yang berada dalam bahaya. Buru-buru Ijah berlari ke depan.Benar saja. Di bawah cengkeraman Bima, Fani sedang dicecar Rei dengan bertubipertanyaan. Beberapa detik Ijah terdiam panik. Dengan keras memutar otakdan.... Plops!
Muncullah sebuah ide yang sangat brilian. Ijah langsung berdiri di ambang pintu teras dan berteriak gila-gilaan.
"NON FANIII! ADA TELEPON DARI NYONYA! CEPETAN! KATANYA PENTIIING!"
Rei dan Bima saling pandang sesaat. Terpaksamereka melepaskan tawanan. Fani langsung lari terbirit-birit masuk halaman.Begitu dia sudah masuk ruang tamu, Ijah langsung menutup pintu dengan bantingankeras. Anak kuncinya langsung diputar dua kali dan kedua gerendelnya langsungdikaitkan. Dia lalu berteriak lewat jendela yang berteralis. "BO'ONG DENG! NGGAK ADA TELEPON! KENA TIPU LOBERDUA! EMANG ENAK""
Fani bengong sesaat. Lalu dia tertawakeras-keras sambil melompat-lompat danbertepuk tangan. "Canggih lo, Jah! Cool! Top abis!"
Ijah meringis. Setelah beberapa, saat memandangikedua orang yang terus meledek dari balik kaca, Rei dan Bima pergi denganmarah.
"Eh, Langen mana"" tanya Fani. "Keluar. Ke jalanan samping." "Lewat mana""
"Tempat sampah," jawab Ijah kalem.
"Hah!"" Fani ternganga dan langsung berlarikeluar.
Di jalanan samping rumahnya, meringkuk di antara tempat sampah dan sebatang pohon, Langen sedang setengah mati menahan mual.Lidahnya sudah melelet keluar panjang-panjang.
Huek-huek tanpa suara. "Kasian amat sih lo"" meskipun jijik, sebabbau Langen betul-betul seperti tempat sampah di sebelahnya, Fani menariksahabatnya itu sampai berdiri. "Mereka udah pergi. Lo jangan langsung masuk,ya" Mandi di luar dulu. Ntar gue siapin slang." "Kejem amat sih lo!"" jerit Langen. "Emangnyague kambing, mandi di luar""
"Elo bau, tau! Malah bauan elo daripadakambing!"
"Pasti Rei udah nunggu di depan pintu kelas deh, La."
"Itu bagian elo. Pokoknya untuk saat ini gue nggak mau ngomong sama dia! Nggak mau dia ada di deket-deket gue! Kalo bisa malah gue nggak ngeliat dia! Understand"" Langen menatap Fani, yang langsung mengangguk sigap.
"Oke, laksanakan!"
Benar saja. Di dekat pintu kelas mereka, Rei sudah berdiri menunggu. Dia langsung bergegas menyambut begitu kedua cewek itu muncul. "La...."
"Apa!"" bentak Fani. Ditariknya Langen ke belakang punggungnya. "Ngapain lo di sini!""
"Fan, gue mau ngomong sama Langen."
"Udah nggak ada lagi yang harus lo omongin sama dia! Udah bubaran, juga!"
"Fan....tolong!"
"Elo budek, ya" Dia udah nggak mau lagi sama elo, tau! Nih gue perjelas...." Fani berkacak pinggang dan menatap Rei tajam-tajam. "Langen udah nggak mau ngomong lagi sama elo! Titik! Pahan!" Buang-buang waktu aja! Sekarang minggir!"
"Tolong jangan paksa gue, Fan!" Kesepuluh jari Rei mengepal.
"Oh! Lo mau maen kasaaar"" Fani ikut mengepalkan tinju. "Ayo! Gue nggak takut! Pukul gue, berarti lo.....banci!!!"
Di be lakang punggung Fani, Langen kontan memalingkan muka, menahan senyum. Kesabaran Rei akhirnya habis. Masa bodo mau dibilang apa. Banci kek. Wadam. Waria. Persetan! Cowok itu mengulurkan kedua tangannya lalu mencekal bahu Fani kiri-kanan. Tapi baru saja akan disingkirkannya cewek itu dari depan Langen, dosen datang. Langsung dia lepaskan lagi cekalannya. "Pagi, Pak...." Ketiganya mengangguk bersamaan.
"Pagi. Kenapa masih di luar" Ayo, cepat masuk."
Dosen itu melangkah menuju pintu kelas. Langen buru-buru mengekor di belakangnya. Di sampingnya, persis bodyguard, Fani merentangkan kedua tangan lebar-lebar untuk mematahkan usaha Rei mendekati Langen di detik-detik terakhir selagi kesempatan masih ada. Di pintu kelas Fani berhenti. Tetap dengan kedua tangan terentang lebar-lebar.
"Jangan maksa ikutan masuk lo! Berani nekat, ntar gue kasih tau dosen kalo elo anak fakultas laen!"
"Fan....!" Rei menggeram marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Oh ya. Satu lagi!" Fani membuka lagi pintu yang sudah ditutupnya setengah. Ditatapnya Rei tajam-tajam. "Tiada maaf bagimu!"
*** Waktu telah lewat jauh dari jam dua belas malam. Fani masih duduk terdiam sambil memeluk guling. Sementara di sebelahnya, Langen sudah dari tadi tergolek tak sadarkan diri. Tidur. Yang jadi pikirannya sekarang bukan lagi soal berakhirnya hubungan sahabatnya itu dengan Rei. Justru dirinya sendiri. Berarti hubungannya dengan Bima juga harus selesai.
Masalahnya, tidak lucu dong kalau dia tetap ada di antara Rei cs dan Febi, tanpa Langen. Soalnya yang membuat mereka berdua masuk ke kehidupan keempat orang itu dulu adalah karena Langen jadian dengan Rei. Lalu dirinya ketiban pulung. Terpaksa jadi ceweknya Bima, daripada tidak panjang umur. Jadi kalau sekarang Langen keluar, itu artinya dirinya juga harus hengkang, karena tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal.
"Lo kayak nggak tau Bima aja. Dia kan pembuat keputusan tunggal! Dia bilang nggak, lo bisa apa"" itu ucapan Langen tadi, saat Fani mengutarakan rencananya untuk minta putus dari Bima.
"Ya harus bisa! Pokoknya harus bisa! Harus bisa! Harus bisa!"
"Ya dicoba aja." Fani menarik napas panjang-panjang tanpa sadar. Iya juga sih. Minta putus sama Bima itu benar-benar asli nekat. Tapi biar gimana.....Dipukulnya guling keras-keras. Harus bisa! HARUS!!!
*** Fani ternyata nekat melaksanakan niatnya itu. Cewek itu benar-benar cari mati. Setelah menunggu sampai keadaan sekitar benar-benar sepi, siang-siang dicegatnya Bima di luar pintu ruang senat fakultasnya. "Lho, tumben"" Bima berseru kaget. Benar-benar surprise. Ini pertama kalinya Fani lebih dulu mencarinya. Biasanya juga kabur melulu.
"Ada perlu!" jawab Fani ketus. Belum-belum sudah ketakutan.
"Oh, ya" Apa, sayang"" Bima menatapnya lembut. Fani tidak langsung menjawab. Dalam hati dia menghitung dulu seperti atlet yang akan start balap lari. Satu....dua....tiga!
"Aku mau ngomong! Mulai sekarang...." Fani terdiam lagi.
"Mulai sekarang kenapa"" Fani tidak langsung menjawab lagi. Menghitung lagi dalam hati. Satu....dua....tiga! "Kita putus!!!"
Fani balik badan dan langsung terbirit-birit melarikan diri. Bima terperangah sesaat, lalu tertawa geli. Cowok itu bergerak mundur ke ambang pintu. "Yas!" teriaknya sambil melempar ransel. Andreas berbali kaget dan buru-buru menangkap tas yang dilempar Bima tepat ke arahnya itu. "Titip!" kemudian Bima langsung mengejar ceweknya yang melarikan diri setelah minta cerai mendadak itu. Dan buat cowok yang hobi banget joging itu, jelas saja itu seperti mengejar kura-kura. Lagian Fani juga bego sih. Bukannya pemanasan dulu. Lari keliling Senayan sepuluh kali selama satu minggu gitu, baru nekat!
Makanya Fani kaget banget, ternyata dengan gampangnya dia bisa terkejar. Padahal dirinya sudah terbirit-birit dengan mengerahkan seluruh cadangan tenaga dalam. Tapi satu tangan tiba-tiba saja meraih pinggangnya dari arah belakang. Tubuhnya kemudian dibalik lalu didorong ke tembok. Dan sekarang......dia terkurung rapat dalam rentangan dua tangan!
"Tolong kalo ngomong jangan sambil lari, ya
"" Bima menepuk pipi di depannya pelan. "Bilang apa tadi""
"Yang mana...."" Fani langsung jadi gugup. "Yang di depan ruang senat tadi." "Aku nggak ngomong apa-apa kok."
Bima tersenyum lembut. "Yang kamu ucapin tadi emang kata-kata yang butuh keberanian. Dan aku salut sama kamu udah berani ngomong." sepasang mata Bima kini ikut menyorot lembut. Dia melepaskan rentangan kedua tangannya yang mengurung Fani, lalu memeluk tubuh sang kekasih erat-erat. Tidak peduli dengan suasana kampus yang penuh mahasiswa yang berlalu-lalang.
Fani malu abis. Dia menunduk dalam-dalam, tapi Bima langsung menengadahkan mukanya. "Tadi itu emang pembicaraan yang sangat sensitif. Dan seperti yang udah aku bilang, butuh keberanian. Makanya aku maklum kalo kamu nggak berani ngomong dua kali. Tapi aku sempet denger kok."
Diam-diam Fani menarik napas lega. Nggak apa-apa deh, bermesra-mesraan di depan umum. Asalkan ini hari terakhir dia pacaran sama ini babon. Dan kalau melihat reaksinya, sepertinya Bima setuju mereka bubaran. Tidak disangka. Kalau tahu begini respons cowok ini, sudah dari dulu-dulu dia minta putus.
"Jadi kapan"" tanya Bima. Masih dengan senyum dan tatapan lembutnya. "jujur aja. Ini sebenernya di luar rencanaku. Tapi nggak apa-apa. Nggak ada masalah. Toh nggak ada bedanya sekarang sama nanti. Asal pinter-pinter bagi waktu, kuliah pasti nggak akan telantar."
Apa sih" Fani jadi bingung mendengar kalimat itu. "Kamu berani ngomong begitu tadi, jangan-jangan udah bikin persiapan. Iya""
"Iy.....iya sih."
"Kamu bikin aku jadi terharu. Terima kasih ya, Sayang."
"Hah"" kening Fani sudah bukan keriting lagi. Langsung kribo! Bima tersenyum lagi. Menatap wajah sang kekasih semakin lekat.
"Jadi.....kapan kita kawin"" Kedua mata Fani sontak terbelalak lebar-lebar.
"KAAAWIIIN!!!"" jeritnya. Cewek itu tercengang dan shock berat banget gila asli!
Bima buru-buru membekap mulutnya. "Sst! Jangan keras-keras. Nanti ada yang denger. Bukan apa-apa. Masalahnya, kita kan belom bikin undangan. Atau jangan-jangan udah kamu siapin juga, ya""
Fani mengenyahkan tangan yang menutup mulutnya. "Emangnya siapa yang bilang kita mau kawin!""
"Lho" Tadi itu kamu ngomong begitu, kan" Makanya jadi malu trus lari kenceng bener."
"Bukaaaan!" Fani jadi kepengen nangis.
"Bukan"" dua alis Bima terangkat. "Jadi apa""
"Ng....." "Apa"" "Ng.....puuu....tus....."
"APA!"" kedua alis Bima turun seketika dan menyatu di tengah. Tepat di atas sepasang mata yang sekarang menatap Fani tajam dan garang. "Apa!" Coba diulang!!" desis Bima. Jelas saja Fani tidak punya nyali. Bima mendesis lagi. "Kalo ini bener-bener perlu diperjelas!" Tanpa melepaskan pelukannya, Bima membawa Fani ke Jeep Canvas-nya. Kemudian Jeep itu segera melesat mencari sudut area kampus yang tersembunyi.
*** Di dalam Jeep Canvas, mereka duduk berhadapan. Fani meringkuk dalam-dalam, tubuhnya melekat di pintu rapat-rapat. Dia tidak bisa melarikan diri karena Bima sengaja memarkir Jeep-nya sedemikian rupa, sehingga di luar pintu di sebelah Fani berdiri kokh sebatang pohon! "Tau syaratnya orang bisa minta putus"" Bima memecahkan kesunyian mencekam itu.
"Ng.....nggak." Fani geleng kepala.
"Nggak tau"" Bima manggut-manggut. "Aku kasih tau kalo begitu. Denger baik-baik ya, sayang." dia berdeham sejenak.
"Untuk bisa putus, bubaran, selesai, adios, goodbye..... , orang harus bilang cinta dulu! Bilang bersedia jadi pacar. Bersedia jalan sama-sama. Baruuuu.....bisa minta putus! Itu step-step-nya. Paham""
"Ya kalo nggak pernah bilang cinta, apalagi nggak pernah bilang setuju jadi pacar, berarti nggak ada apa-apa dong! Gimana sih""
Bima melipat kedua tangannya di depan dada. Menunjukkan kewibawaan sebagai penguasa yang punya otoritas tunggal. "Aku nggak perlu jawaban!" tandasnya dengan nada final.
"Kok gitu" Itu penindasan, tau!" Fani mulai kesal. Tiba-tiba Bima mendekatkan tubuhnya. Fani terkesiap, tapi tidak bisa merentang jarak, karena saat ini tubuhnya sudah melekat erat di pintu. Dan dari jarak sebegini dekat, meskipun bukan untuk yang pertama kali
, selalu saja membuatnya merinding.
Tubuh Bima yang tinggi besar, berbulu pula, kedua lengannya yang kokoh, dadanya yang bidang, satu pipinya yang codetan, rambutnya yang panjang, dua matanya yang benar-benar tajam, suara baritonnya yang bisa merontokkan kaca, selalu membuat Fani tak pernah yakin bahwa cowok ini makan nasi. Nggak mungkin! Pasti dia kanibal! "Berapa lama kita udah jalan bareng, Fan"" bisik Bima. Bisikan tajam, bukan bisikan lembut apalagi
mesra. "Empat bulan" Lima" Dan....satu kali pun....kamu nggak pernah bilang sayang, apalagi cinta! Padahal aku udah bilang sayang sama kamu, cinta sama kamu.....jutaan kali! Coba sekarang bilang, kamu sayang aku, cinta sama aku. Aku pengen denger meskipun cuma untuk satu kali!"
"Hah"" Fani terperangah.
"Cepet bilang!" perintah Bima. Dua matanya melotot tajam. Aneh juga tuh cowok. Minta orang ngomong cinta, tapi galak banget gitu sih nyuruhnya.
Fani kontan panik. Inilah yang paling ditakutinya. Disuruh menjawab! Soalnya dia memang tidak sayang, apalagi cinta. Sama sekali! Tapi tidak mungkin ngomong terus terang. Bisa-bisa tubuhnya mengambang di kali tanpa identitas!
Menit demi menit lewat. Keduanya bertahan. Bima penasaran dan bertekad harus mendengar! Sementara Fani juga sudah bertekad, tidak akan membuka mulut! Sekali tidak cinta, tetap tidak cinta! Tidak cinta atau mati!!!
Tapi kali ini Bima terpaksa menyerah, begitu diliriknya jam di pergelangan tangan dan sisa waktu tinggal sepuluh menit. Kalau saja dosen mata kuliah berikut tidak gemar mengansen langsung mahasiswa-mahasiswanya, sudah pasti akan ditunggunya cewek ini. Sampai mulutnya terbuka dan bilang "cinta"!
"Oke...." Desahnya sambil menarik napas. "Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau ngomong. Tapi inget....." Ditenggelamkannya kedua pipi Fani dalam kedua telapak tangannya. Puas, setelah merasakan kulit lembut itu terasa dingin. Berarti pacar tersayangnya ini sedang ketakutan. Ini akan membuat Fani berpikir dua kali untuk melakukan hal ini lagi. Bagus!
Kemudian Bima menundukkan wajahnya rendah-rendah. Seperti ingin mengecup sepasang bibir gemetar di bawahnya. "Kamu inget ini baik-baik ya, Sayang. Selama kamu nggak mau ngomong sayang, nggak mau bilang cinta, nggak mau bilang bersedia jadi cewekku....selama itu juga kamu nggak bisa minta putus!"
Selagi Fani berunjuk rasa, Langen duduk sendirian di tempat persembunyian. Menunggu. Tapi telah lewat satu jam, lalu dua jam, sahabatnya itu tidak juga kembali. "Aduh!" desahnya pelan. Melongokkan kepala sedikit mengintip. "Jangan-jangan udah mati dia! Dibilangin jangan, juga! Nekat sih tuh anak!"
Karena Fani tidak ada, otomatis Langen tak terlindung. Dan Rei, yang sejak kemarin-kemarin sudah mirip musang sedang mengincar ayam, terus mengawasi. Begitu dipergokinya Langen sendirian, di tempat yang tersembunyi pula, dia langsung memanfaatkan kesempatan itu tanpa membuang waktu. Langen tersentak saat tiba-tiba Rei muncul di depannya. Menatapnya dengan sinar yang yang susah diartikan.
"Apa kabar"" Suara Rei halus dan tenang. Padahal isi dadanya sudah bergolak seperti lahar. Dia kangen ceweknya yang pemberontak ini. Bukan mantan. Karena dia berharap kejadian beberapa hari lalu itu cuma emosi sesaat. Tapi meskipun begitu, tetap dia ingin kejujuran. Akan dibuatnya memaafkan itu jadi perkara gampang. Asal Langen mau berterus terang.
"Baik." Langen menjawab juga dengan nada yang dipaksa tenang. "Kenapa ada di sini""
"Kenapa emangnya" Nggak boleh""
Rei tersenyum. Ditariknya sebuah kursi tepat di hadapan Langen. Sesaat kemudian ditariknya napas panjang-panjang lalu berbicara dengan nada yang begitu lembut. "La, kalo kamu mau ngomong jujur, terus terang, aku akan menganggap semua nggak pernah terjadi. Selesai sampai di sini."
Nah, ini! Langen berdecak dalam hati. Mister No Guilty ini ternyata masih belum sadar juga bahwa dialah sumber persoalan. Masih menyuruh orang lain mengaku salah sementara dia tetap menganggap dirinya bersih. "Cukup satu. Lewat mana. Itu aja," desak Rei. Soalnya, satu pertanyaan itu saja memang sudah cukup. Dengan melih
at medan yang ditempuh ketiga cewek itu, sudah bida dikira-kira ada berapa orang yang mem-backup aksi kebut gunung itu, juga berapa lama latihan fisik mereka sebelum itu. Jadi bisa dikira-kira pula sudah berapa lama para mysterious guys itu eksis secara diam-diam.
Rapi Langen bukan cewek tolol. Dia tahu, jawaban untuk satu pertanyaan itu akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut tanpa Rei harus bertanya lebih lanjut. "Gue nggak akan ngasih jawaban apa-apa!"
"La, tolong. Jangan dijadiin parah kalo sebenernya bisa kita selesaikan."
Langen menatap mantan cowoknya itu lurus-lurus. Dia juga mau ini diselesaikan. Tapi ada yang ditunggunya. Rei harus minta maaf untuk tiga gelas bir yang terpaksa harus ditenggaknya malam itu. Tapi jawaban untuk permintaan Langen itu ternyata malah bertolak belakang. Dengan tenang Rei malah mengatakan itu bukan soal.
"Soal kita minum malem itu, La....," Rei menarik napas, "aku sebenernya keberatan. Tapi kalo kamu emang udah biasa minum, kebiasaan itu bisa diilangin pelan-pelan. Nggak bagus cewek minum-minum...."
Langen kontan terpana. Wah, emang bener-bener kurang ajar nih orang! "Nanti aku bantu," bisik Rei lembut. "Dan rahasia ini nggak akan bocor. Aku jamin!"
"Kita putus!" tegas Langen tiba-tiba. Rei terperangah.
"Langen! Kenapa sih kamu! Aku udah dateng baik-baik, kamu malah...."
"Kita putus! Bubar! Selesai!" tandas Langen dengan suara fatal. "Gue perjelas sekali lagi kalo lo masih belom ngerti!"
Rei jadi emosi. Harga dirinya serasa benar-benar terbanting. Cewek bukan cuma Langen! Cowok itu berdiri. Ditatapnya mantan ceweknya dengan pandangan dingin. "Gur juga nggak mau punya cewek peminum. Alkoholik! Bikin malu dan cuma cari penyakit!" Ganti Langen terperangah!
*** Ternyata hanya emosi sesaat. Malamnya Rei drop total! Dia tidak bisa lagi berkelit begitu tinggal sendirian dan foto Langen di meja sudut kamar memperparah keasaan. Dikeluarkannya foto itu dan digantinya dengan gambar Britney Spears yang dirobeknya dari sampul majalah milik adiknya. Tapi kecantikan sang diva dunia itu ternyata tidak sanggup menggeser dominasi sang mantan.
Langen tetap ada di sana. Di dalam kepala dam terproyeksi abstrak di fokus mata. Dan yang menyaksikan kejatuhan Rei itu sudah pasti sobatnya sejak masih sama-sama balita. Yang terpaksa membawanya ke gunung di tengah malam buta. Membiarkan Rei berteriak sekeras dia bisa. Membiarkan tubuhnya menggigil dipeluk dingin. Membiarkannya hampir membeku karena berjalan menyusuri tepian sungai. "Nggak akan gue lepas dia, Bim!" "Dia udah lepas!" jawab Bima. Tenang tapi tandas, menyebabkan Rei sesaat membeku di tempat tapi kemudian berteriak dengan volume suara gila-gilaan. "DIA NGGAK AKAN GUE LEPAS!!!"
Di kamar Fani ada pemandangan yang hampir sama. Langen broken akut. Cinta pertama! Awalnya so sweet banget. Indah, romantis. Tapi ending-nya bikin kepala dan dada mendidih!
Dan yang menyaksikan kejatuhan Langen itu sudah pasti sahabatnya yang hampir setiap hari selalu bersama. Fani jadu bingung memberikan reaksi, karena Langen tertawa, menangis, pasrah, lega, sedih juga emosi, di detik yang hampir sama. "Elo balik aja kalo gitu," saran Fani akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Langen mengatakan bahwa dia sebenarnya masih cinta Rei. Tapi berikutnya Langen langsung melotot dan bicara dengan suara keras, nyaris teriak, "NGGAK AKAN! GUE SAKIT HATI!"
*** Rei, yang ingin mantan ceweknya kembali, kemudian memaksa kedua sahabatnya untuk memeti-eskan keinginan mereka menemukan rekayasa di balik tindakan unjuk rasa Langen cs. Sebagai gantinya, mereka justru melibatkan ketiga cewek itu dalam kegiatan-kegiatan mereka di Maranon.
Bima langsung menolak mentah-mentah usul Rei itu. Soalnya menurut Bima, apa yang telah dilakukan Langen cs sudah merupakan penghinaan terhadap penciptaan Adam!
Sementara Rangga memilih tidak ikut campur. Dia melihat ini lebih menjurus kepada pertengkaran dua sahabat lama. Rei dan Bima memang sudah bersama-sama sejak mereka masih belum bisa pakai celana. Sementara Rangga baru mengenal keduanya sewaktu satu
jurusan di SMA, dan baru benar-benar akrab setelah satu kampus dan sefakultas pula.
Di depan mata Rangga perdebatan itu lalu berlangsung alot dan panas. Rei sedang patah hati parah, sampai berteriak-teriak dan memukuli meja. Tapi akhirnya cowok itu berhasil mengendalikan emosinya. Ditariknya napas panjang-panjang. Agak malu juga sebenarnya, kalap gara-gara cewek. "Apa sih yang lo takutin"" Rei bertanya dengan suara yang telah berubah tenang. "Fani nggak bakalan peduli sama elo! Lo mau meluk Stella kek, Nuke, Lia, atau Siska. Siapa pun! Lo peluk semua sekaligus juga, gue rasa Fani tetep masa bodo!"
Ganti ketenangan Bima yang hilang. "Sialan!" desisnya. "Ini masalah pribadi, Rei. Kenapa jadi ngelibatin organisasi""
"Jawab aja pertanyaan gue. Apa yang lo takutin" Kenyataan ada cewek yang menganggap lo bukan siapa-siapa" Iya" Lo takut itu, kan""
Untuk pertama kalinya Rei tersenyum. Ditatapnya Bima dengan kedua alis terangkat tinggi. Keduanya saling pandang dengan tatap tajam. Dan persetujuan itu keluar bukan karena Bima memang setuju, tapi karena cowok itu benar-benar tersinggung. Nyaris naik darah!
*** Tanpa buang waktu, besoknya Rei langsung memberitahu Fani kegiatan-kegiatan Maranon yang bisa diikuti simpatisan. "Simpatisan"" ralat Fani dengan roman galak. "Emang siapa yang bersimpati" Gue" Enak aja!" "Maksud gue....," jelas Rei dengan suara yang dipaksa untuk lembut, "orang luar. Sori. Jadi, Fan, tolong lo kasih tau Langen. Ini daftarnya."
Fani menerima kertas yang diulurkan Rei dengan tampang tidak tertarik. Membuat Rei jadi menahan diri untuk tidak menjitak kepala di depannya itu. "Ngasih tau doang, kan" Dia mau ikut atau nggak, itu di luar kuasa gue." "Iya. Cuma ngasih tau aja." Rei mengangguk karena sadar takkan bisa menekan Fani.
Malamnya Fani memberikan daftar kegiatan-kegiatan Maranon yang diberikan Rei itu kepada Langen sambil nyengir. "Elo diminta dengan amat sangat sekali, dengan segala hormat dan dengan segala kerendahan hati, untuk ikut."
Tapi kertas itu tidak diacuhkan oleh Langen. Dia masih ingat benar ekspresi wajah Rei. Yang seperti baru saja menemukannya di pusat rehabilitasi ketergantungan alkohol. "Dia nggak ngerti gue! Percuma diterusin. Ntar kalo gue bawa-bawa putaw, pasti dia langsung ngira gue suka nge-drug. Gue pegang rokok, pasti dia bakalan langsung nuduh gue nikotin mania!"
Besoknya Fani mengembalikan kertas itu kepada Rei. "Langen nggak tertarik! Katanya kalo pergi ke tempat-tempat kayak gitu aja sih, nggak usah sama Maranon. Pergi sendiri juga bisa!" Rei tercengang. "Dia bilang begitu""
"Iya!" Fani mengangkat dagu tinggi-tinggi. "Tadinya dia kira acara-acara Maranon tuh yang spektakuler-spektakuler! Misalnya ke puncak Aconcagua, kayak si itu Norman Edwin. Atau ke Kilimanjaro, ke McKinley, kr Himalaya, atau ekspedisi ke kutub.
Eh, nggak taunya cuma ke mana itu....," diliriknya kertas di tangan Rei, "Pondok Halimun" Situgunung" Itu namanya kemping, tau! Piknik! Bukan climbing!"
"Langen bilang begitu"" desis Rei tak percaya.
"Iya!" Bohong si Fani. Dia sengaja memperkisruh keadaan. Rei terenyak. Benar-benar tidak menyangka kibaran bendera putihnya tidak disambut! "Tapi lo ikut, kan"" Rei langsung pindah sasaran.
"Ngapain"" jawab Fani kejam. "Gue lebih nggak tertarik lagi!" lalu dengan dagu terangkat pongah, ditinggalkannya Rei yang masih tercengang-cengang, begitu saja. Sepertinya dominasi cowok mulai runtuh. Turut berdukacita!
Febi menganggap usaha unjuk gigi mereka telah berhasil dengan sangat sukses. Soalnya, sekarang Rangga jadi agak-agak tunduk padanya. Hebat, kan"
Turun-temurun, para perempuan dalam keluarga besar Febi harus selalu tunduk, menurut, dan selalu jadi "yang di belakang". Betul kata Langen. Ini milenium baru, Mbak, Ibu, Eyang. Dobrak itu tradisi! Tendang itu falsafah kanca wingking jauh-jauh! Berdiri diam di tengah kamar tidurnya yang luas, Febi tersenyum lebar tanpa sadar dan mengangguk-angguk bangga. Dirinya adalah pionir gerakan itu. Canggih sekali, kan" Hidup perempuan! Hidup emansipasi! Hidup Ibu Kita Kartini yang top! h
idup Corry Aquaino! Hidup Megawati! Dan satu lagi.....Hidup Langen!
Soalnya setelah berhari-hari diamatinya Langen secara diam-diam (menurut Febi lho. Tapi Langen juga sadar kalau diperhatikan), dilihatnya Langen tetap tetap gagah perkasa. Tetap tegar dan tetap always be happy. Sementara Rei cuma kelihatannya saja tegar. Karena Rangga sudah sempat cerita, bahwa sebenarnya Rei patah hati akut. Alias hampir sarap! "Febi kenapa sih" Ngeliatinnya kayak gue kena AIDS aja!" ucap Langen pelan. Ketika untuk yang kesekian kali dipergokinya tatapan aneh Febi.
Fani tertawa pelan, memutar kunci kontak lalu menginjak gas pelan-pelan. Sekarang menyetir mobil jadi tugasnya. Berangkat dan pulang. Soalnya energi Langen sudah terkuras habis di kampus. Berjam-jam berlagak hidupnya tidak berubah. Dan hari semakin terasa berat kalau dia berpapasan dengan sang mantan dan kelompok yang baru saja dia tinggalkan.
"Si Febi nggak percaya kalo lo nggak kenapa-napa...."
Langen merosot di joknya. Menyandarkan kepala di sandaran kursi, lalu menarik napas panjang-panjang.
"Capek banget gue," keluhnya.
"Jelas aja. Tiap hari lo bohongin orang sekampus."
"Trus apa tadi" Febi kenapa""
"Dia nggak percaya kalo lo nggak kenapa-napa. Masalahnya, waktu ngerencanain unjuk rasa itu lo kan heboh banget tuh. Ngotot. Nekat ngadepin bahaya. Dan kita berhasil. Kita kalahin mereka! Tapi kok nggak ada luapan seneng yang heboh, gitu lho. Nggak ada pesta atau seremoni buat ngerayain. Makanya dia heran trus jadi ragu kalo lo nggak kenapa-napa." Mendengar itu, Langen langsung menarik napas panjang lagi. "Jadi gimana dong"" tanyanya lesu. "Nggak sanggup gue. Ini aja kalo bisa gue pengen banget ninggalin kampus. Dua minggu atau sebulan. Atau satu semester sekalian!" "Ya udah kalo gitu. Kita rayain bertiga aja. Yang ini nggak bisa dihindarin. Nanti biar gue yang bikin ekspresi kalo bubarnya elo sama Rei nggak jadi masalah buat elo. Oke"" "Iya deh." Langen mengangguk lemah.
*** Pesta merayakan keberhasilan mereka mengalahkan Rei cs diadakan di restoran Italia. Langen menumpuk lima potong pizza di piringnya. Makanan bisa mengalihkan pikiran. Itu yang di harapkannya saat ini. Jadi bukan karena rakus apalagi aji mumpung karena Febi yang bayar.
"Gila lo!" Febi terbelalak menatap piring Langen. "Segitu banyak emang abis""
Sepasang mata Fani mengawasi dari belakang punggung Febi dan segera tahu, Langen butuh pertolongan. "Abis nggak abis, nggak penting, Feb!" serunya dengan nada riang yang dibuat-buat, yang tidak tertangkap telinga Febi. "Yang penting kita udah berhasil!" dijentikkannya jari keras-keras. "Lo inget, nggak"" Fani lalu tertawa cekikikan yang lagi-lagi juga dipaksa. "Waktu kita lagi di puncak" Wah, waktu itu lo pura-pura tidur sih, Feb. Rugi banget lo nggak ngeliat tampang shock-nya!"
Langen tertawa geli. Kesedihannya lenyap mendadak dan dia langsung memeriahkan pembicaraan. Diam-diam Fani menarik napas lega.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga cewek itu tenggelam dalam obrolan seru dan cekikikan ramau, sama sekali tak peduli sekeliling.
"Toast! Toast!" Langen mengangkat gelas softdrink-nya tinggi-tinggi. Fani dan Febi langsung mengikuti. "Superman bener-bener is dead now!"
*** Tapi sesuatu yang tidak terduga dan akan jadi mimpi buruk Langen cs, terjadi hari ini. Tanpa sengaja, Rangga yang sedang berjalan sendirian di sebuah pusat pertokoan, survei harga beberapa peralatan untuk keperluan Maranon, berpapasan dengan Salsha!
Rangga kontan tersentak. Ditatapnya Salsha yang sedang berjalan santai ke arahnya, tajam-taam. Berusaha meyakinkan diri itu memang cewek yang waktu itu pernah datang ke kampus dan membuat semua belangnya terbongkar habis!
"Bener! Desisnya. Dengan langkah cepat, segera dihampirinya Salsha. "Ketemu lagi kita!" Dicekalnya satu lengan Salsha dan ditariknya ke sudut. Cewek itu langsung kaget.
"Eh!" Apa-apaan nih"" seru cewek itu sambil berusaha melepaskan diri. Jelas Rangga tidak membiarkan.
Nah, di sinilah letak masalahnya! Kalau untuk urusan mengenali muka orang, Salsha itu botol asli. Parah! T
uh cewek nggak bakalan ingat kalau belum ketemu minimal tiga kali. Makanya meskipun di depannya Rangga sudah melotot ganas, Salsha masih belum ngeh juga. Malah kemudian dibentaknya Rangga dengan galak.
"Heh! Lo jangan pegang-pegang sembarangan ya" Lepasin tangan gue! Lagian siapa sih lo" Sok kenal gue! Dasar kurang ajar!"
Rangga terperangah. "Lo masih berani ngebentak gue!" Nyali lo boleh juga ya!" dengan berang diketatkannya cengkeraman tangannya sampai Salsha memekik kesakitan. "Kapok sekarang"" Rangga menggeram puas. Diambilnya ponsel dari kantong baju. Dia berdecak saat HP Rei ternyata tidak aktif. Dicobanya menelepon cowok itu ke rumah, tapi pembantunya bilang sedang pergi. Tapi untungnya Bima ada. "Bim, lo ke sini, cepet! Ada yang mau gue tunjukin!"
"Apa"" "Udah ke sini, cepet! Ini bener-bener penting!" "Iya. Iya. Ini lo di mana""
Rangga menyebutkan lokasi sebuah mal. Dengan kening terlipat karena heran, Bima meraih kunci dan langsung cabut. Baru setelah melihat Bima, Salsha tahu berencana apa yang saat ini sedang menimpanya. Saking terlalu jungle look, jarang orang bisa lupa tampangnya Bima.
Yaikh! Kayaknya itu lutungnya Fani! Desis Salsha dalam hati begitu Jeep LC Hardtop Canvas datang dan Bima keluar dari sana.
"Lo kenal nih cewek"" tanya Rangga langsung.
Dua alis tebal Bima menyatu. Ditatapnya cewek mungil dalam cengkeraman Rangga. "Ini bukannya yang waktu itu....."
"Tepat!" tandas Rangga. "Emang dia!" "Ketemu di mana lo""
"Di sini!" Bima bersiul. "Akhirnya ketemu juga biang kerok misterius itu. Bagus! Bagus!" Dia manggut-manggut. "Coba oper ke gue!" "Nih!" Salsha didorong Rangga ke depan Bima. Cowok itu lalu menarik Salsha semakin dekat ke depannya. "Karena udah berhasil ditangkep, teroris ini jelas harus kita interogasi!"
"Udah pasti!" tandas Ranga.
Salsha semakin ketakutan begitu Bima membungkukkan badan lalu menatapnya lurus-lurus dengan sepasang mata hitamnya yang tajam. Apalagi mata itu dinaungi sepasang alis tebal dengan warna sepekat kedua bola mata hitamnya.
"Siapa nama lo, sayang" Nama asli ya. Jangan coba-coba bohong!"
"Ng...."Salsha langsung panas-dingin. Waduh, gawat! "Cepet! Jangan lama-lama!"
"Ng.... Sal.... Sal...."
"Sal siapa" Salmon" Saldo" Salep"" "Mmm.... Sal...."
Aduh, gawat banget nih! Desis Salsha dalam hati. Kesepuluh jarinya saling meremas dengan panik. "Cepet!" bentak Rangga, yang berdiri tepat di belakangnya. "Iya, sebentar dooong," jawab Salsha dengan suara memelas. Lalu dia menunduk, pura-pura mau menangis. Tapi tiba-tiba saja dia melancarkan serangan khas cewek. Nyubit! Salsha sampai meringis saking mencubitnya dengan mengerahkan semua cadangan tenaga.
Seketika Bima dan Rangga berteriak keas. Sakitnya gila-gilaan! Cekalan Bima terlepas dan kesempatan itu langsung dimanfaatkan Salsha untuk meloloskan diri. Kedua cowok itu sempat terperangah sesaa. Sedetik kemudian langsung mereka kejar sang tawanan yang behasil melarikan diri itu. Salsha berlari terbirit-birit. Lintang-pukang. Pontang-panting. Masuk ke satu department store lewat pintu depan berkelit di antara rak-rak baju, dan bablas lewat pintu belakangnya. Lanjut masuk ke department store di sebelahnya lagi. Berzig-zag di antara barisan rak lagi. Tapi klai ini kurang sukses, sebab dia menabrak pramuniaganya yang sedang membawa setumpuk baju. Pria itu kontan jatuh terkapar setelah sempat tersandung dua kali.
"HEEHHH!!!" bentak pria itu berang.
Tanpa menghentikan larinya, Salsha menoleh lalu mengangkat tangan kanannya.
"Aduh! Sori, Mas! Sori banget! Saya nggak sengaja! Beneran! Sumpah samber geledek!" jeritnya. Pramuniagaa itu cuma bisa mendesis marah. Lalu sambil ngedumel sendiri, dikumpulkannya baju-baju yang terserak berantakan di lantai. Tapi baru saja pekerjaan itu selesai dan dia bersiap-siap akan berjalan menuju rak tujuan, tiba-tiba sekali lagi dia dia ditabrak keras-keras. Ini malah lebih parah. Sampai terjengkang!
"Sori, Mas! Sori!" seru Rangga seketika. "Saya nggak sengaja! Bener!"
"HEH! HEEEHHH!!!!!" teriak si mas pramuniaga. Dia sampai loncat-lo
ncat saking marahnya. Jangan-jangan hari ini hari sialnya. Soalnya belum pernah dia ditabrak sampai dua kali berturut-turut seperti ini.
Bima, yang berlari paling belakang, buru-buru mengganti arah saat silihatnya si pramuniaga meraih gantungan baju gara-gara mengira akan ditabrak untuk yang ketiga kali. "Sori, Mas!" teriak Bima sambil menyeringai. Mirip film action buatan Hollywood, sekarang ketiga orang itu berlarian di sepanjang trotoar yang penuh pedagang, juga mobil-motor yang diparkir berderet. Karena bertubuh mungil dan langsing pula, dengan mudah Salsha berkelit di antara deretan mobil-motor itu, yang karena benda mati, jadi tidak peduli peristiwa itu. Tapi tidak demikian saat cewek itu berkelit di antara pedagang. Langsung ibu-ibu dan mbak-mbak menjerit-jerit ribut. Yang bapak-bapak dan mas-mas berteriak-teriak marah. "Kalo main lari-larian itu dilapangan sana! Jangan di sini!" bentak ibu tukang rujak, begitu Salsha melintas cepat di sebelahnya. "Kalo joging itu mbok ya di Senayan!" hardik bapak tukang minuman.
Sementara itu kejauhan, seorang cowok sedang bersiap-siap menstarter motornya. Salsha langsung mempercepat larinya. Menghampiri motor cowok itu dan segera melompat ke boncengannya.
"Mas! Mas! Numpang, Mas!"
Cowok itu tersentak kaget.
"Nggak! Nggak! Ayo turun!" usirnya seketika. Pikirnya, cewek ini pasti cewek nggak benar. Soalnya dikejar-kejar orang di tengah hari bolong begini.
"Nanti saya bayar ongkosnya. Bener!"
"Nggak! Ayo turun! Emangnya kamu kira ini ojek, apa!""
"Tolong, Mas. Nggak usah jauh-jauh. Sampe ini aja.... "
"Nggaaak! Ayo turun! Cepet!" cowok itu ngotot tidak mau memberikan tumpangan.
Salsha melompat turun sambil mendesis marah. "Gue doain kecelakaan lo!" kutuknya, lalu langsung lari meninggalkan tempat itu. Cowok di atas motor itu hanya bisa menatapnya tercengang. Karena sudah berlari sekencang-kencangnya dan nyaris tanpa henti selama lima belas menit, Salsha merasa tenggorokannya kering kerontang. Dia belok arah, masuk ke sebuah restoran. Salah seorang pramusaji segera menyambutnya dan dengan
sopan bertanya, "Mbak, mau pesen ap...."" tapi dia bengong karena Salsha tetap melesat.
Barulah di salah satu sudut yang terhalang tanaman hias, di depan seorang bapak setengah baya yang sedang duduk
sendirian, Salsha mampir sebentar.
"Pak! Minta minumnya sedikit, ya" Soalnya saya buru-buru banget. Nggak bisa brenti buat pesen."
Bapak itu menatapnya bingung. Dan tambah bingung lagi begitu tanpa permisi apalagi tunggu jawaban, es kopinya diminum Salsha sampai ludes, meskipun tadi cewek itu ngomongnya minta sedikit.
"Makasih ya, Pak. Semoga Bapak panjang umur dan murah rezeki. Permisi!" setelah memberikan doa singkat itu, Salsha langsung melesat kembali. Bapak itu geleng-geleng kepala. "Dasar anak-anak sekarang. Tidak tau sopan santun," gerutunya sambil memanggil pramuasaji.
Salsha berlari cepat menuju toko buku. Hampir diterjangnya dua orang yang sedang berdiri di pintu masuk, tapi dia tetap tidak berhenti. Di dalam, dia berzig-zag di antara rak-rak buku, panggung-panggung kecil tempat bertumpuk-tumpuk buku disusun seperti gedung-gedung pencakar langit, dan orang-orang yang berdiri sambil membaca. Seperti orang-orang di luar, mereka kontan menatap Salsha dengan bingung. Mendadak seorang cowok keluar dari sebuah ruangan. Salsha kaget dan seketika berusaha mengerem larinya. Tapi ia tidak bisa karena jaraknya sudah terlalu dekat. Tanpa ampun, cowok itu ditabraknya telak-telak. Dua-duanya terpelanting. Jatuh menimpa membuat buku-buku di atasnya berjatuhan dengan formasi acak lalu berserakan di lantai.
"KAMU!!!"" cowok yang ternyata manajer toko buku itu melotot marah.
"Maaf, Mas! Maaf! Saya nggak sengala! Beneran! Sumpah samber geledek!" jawab Salsha buru-buru sambil berdiri. Dengan napas terengah, cepat-cepat dia menjelaskan menurut ide yang baru saja muncul di kepala. "Abisnya....itu....saya dikejar.....sama mereka....!" tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Bima dan Rangga, yang berlari mendekat lalu berhenti di depan mereka. "Kenapa"" tanya sang ma
najer. "Saya mau diperkosa!"
Semua orang yang berada di ruangan dan bisa mendengar kalimat terakhir Salsha, kontan terperangah. Seketika mereka menatap Bima dan Rangga dengan pandang marah! "Sebentar! Sebentar!" Bima mengangkat kedua tangannya. "Biar saya jelaskan!"
Sementara itu Salsha bergerak mundur pelan-pelan. Balik badan lalu lari sekencang-kencangnya.
"Kejar dia, Ga! Biar gue yang ngurus di sini!" perintah Bima. Rangga langsung bergerak, melesat mengejar Salsha. Kerumunan orang yang berkumpul di situ mengikuti adegan itu tanpa bisa bicara, saking bingungnya. Salsha lari pontang-panting. Karena dipintu masuk ada begitu banyak orang yang sedang berdiri sambil mengobrol, membaca atau berbicara di ponsel, cewek itu berlari ke atas lewat eskalator. Di sana, sekali lagi diputarinya rak-rak buku. Kali ini sambil membungkukkan tubuh untuk menghindari adanya saksi mata. Tiba-tiba di sudut ruangan dilihatnya sebuah gang sempit yang hampir-hampir tidak terlihat karena tertutup gorden panjang. Buru-buru Salsha berlari masuk ke sana. Tidak peduli dengan tulisan "Hanya untuk karyawan" di dinding atasnya. Tanpa suara dia lalu meringkuk di balik gorden. Beberapa saat kemudian perlahan disibaknya gorden itu untuk mengintip keluar.
Rangga sedang berjalan mondar-mandir sambil melihat ke segala arah. Cowoj itu lalu bertanya pada orang-orang yang ada di ruangan itu, tapi semuanya menggelengkan kepala. Akhirnya setelah lima belas menit memutari ruangan, Rangga pergi dengan wajah kesal.
Salsha menarik napas lega sambil mengusap-usap dada. Akhirnya selamat juga. Setelah meyakinkan diri bahwa Rangga sudah benar-benar tidak ada, pelan-pelan dia keluar. Celingukan ke segala arah dulu untuk memastikan keadaan aman, lalu cepat-cepat berlari turun saking nafsunya ingin secepatnya sampai di rumah, tempat yang menurutnya sudah pasti aman, Salsha melesat melewati pintu utama dan menabrak tukang buah yang kebetulan sedang melintas dengan gerobaknya.
"E....e....e....," tukang buah itu langsung panik. Soalnya buah-buahannya yang sudah disusun membenruk piramida-piramida kecil, bergetar dan siap menggelinding ramai-ramai. "Sori, Mas! Sori banget!" teriak Salsha tanpa menghentikan larinya. "Beneran nggak sengaja!"
Memasuki sebuah department store yang di teras belakangnya terdapat sebuah halte, Salsha melambatkan larinya. Dia capek banget. Untung sudah berhasil lolos. Tetapi....mendadak saja Rangga muncul di depannya! Salsha terpekik. Secepat kilat dia balik badan. Tapi sial, ternyata Bima sudah menunggu, berdiri cuma tiga meter di belakangnya. Cowok itu sudah mengira Salsha pasti akan berusaha meloloskan diri lagi. Dan dengan jarak yang cuma sebegitu dekat, meskipun Salsha sudah setengah mati mengerem kaki, tapi karena start-nya benar-benar powerful, tanpa ampun Bima tertabrak telak. Dengan gampang cowok itu langsung meringkus sang buronan!
"Kenapa sih" Ada apa"" tanya orang-orang yang datang berkerumun. Otak Bima berputar cepat. Sesaat kemudian dijawabnya pertanyaan itu sambil tersenyum. "Nggak ada apa-apa. Cuma masalah keluarga. Cewek ini sudah dicalonkan orangtuanya untuk jadi istri temen saya ini...."
ditepuk-tepuknya bahu Rangga, yang sesaat sempat ternganga. "Nggak sekarang sih nikahnya. Nanti, kalau kuliah sudah selesai. Orangtua mereka bilang, penjajakan dulu. Yah....temen saya sekarang ini ceritanya mau penjajakan, tapi cewek ini sudah ketakutan duluan. Dia pikir temen saya pasti mau memanfaatkan kesempatan karena sudah mendapatkan restu orangtua. Makanya dia sampai kabur-kabur begini."
"Ooooh." seketika orang-orang yang berkerumun itu tertawa geli. Seorang bapak dengan sok tahunya lalu memberikan nasihat, "Jangan begitu, Nak. Bapak liat calon suami kamu itu orangnya baik kok."
"Ibu juga dulu dijodohkan," seorang ibu ikut nimbrung. "Pertama-tama memang jengkel, marah. Tapi lama-lama akhirnya jadi cinta kok. Lebih baik dicoba dulu.
Akhirnya semua orang yang berkerumun itu ikut mendukung. "Iya, betul. Mendingan dicoba dulu."
"Iya. Jangan langsung punya pikiran yang macem-macem. Nanti kalo dia ternyata mem
ang laki-laki yang baik, kamu nyesel lho." "Orangtua cari calon menantu itu kan nggak asal comot." Bima dan Rangga mati-matian menahan tawa melihat Salsha mendapatkan setumpuk khotbah. Akhirnya seorang ibu dengan penuh sikap keibuan, menggamit tangan kanan Salsha dan menariknya ke arah Rangga.
"Ayo, minta maaf. Sama calon suami nggak boleh sembrono." Rangga memalingkan muka ke arah tembok, memaksa tawa yang ditahannya agar secepatnya hilang. "Terima kasih, Bu," ucapnya dengan nada sangat santun. Diterimanya tangan Salsha yang disodorkan kepadanya. Ibu itu seketika kesemsem.
"Liat" Dia baik, kan"" katanya ke Salsha yang cemberut berat. Kemudian agar semakin mendapatkan simpati dari para penonton, Rangga bicara dengan nada yang sangat lembut, "Ayo pulang. Aku sebenarnya cuma ingin ngajak kamu ngobrol kok. Nggak ada maksud lain. Apalagi maksud yang bukan-bukan. Aku kan tau dosa."
Bima ketawa keras dalam hati mendengar kalimat itu. Tapi orang-orang di sekitarnya, yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, kontan menganggap Rangga cowok baik yang sudah jarang lagi ditemukan di abad ini.
Rangga kemudian merangkul Salsha dengan mesra dan penuh sayang. Para penonton yang berkerumun itu, yang jumlahnya jadi dua kali lebih banyak, bertepuk tangan dengan sangat meriah menyaksikan adegan yang di mata mereka bagaikan ending telenovela. Sangat romantis, menyentuh, indah, dan mengharukan. Dengan Bima berjalan di belakang., ketiganya berpasang-pasang mata.
Jeep LC Hardtop Canvas Bima terpaksa ditinggal, karena dia harus jadi sopir Jeep Wrangler Rangga. Rangga duduk di belakang, menjaga tawanan. Salsha langsung dibawa ke rumah Rangga....untuk diinterogasi!
"Kita mulai dengan nama lo!" kata Rangga. Cowok itu duduk persis di depan Salsha, yang meringkuk ketakutan di kursi.
Sementara Bima dengan santai berleha-leha di sofa panjang di ruang tamu rumah Rangga. Mereka tak perlu takut sang tawanan mencoba kabur lagi. Karena pintu sudah dikunci.
"Boleh minta minum, nggak" Gue aus banget nih," pinta Salsha lirih.
"Minta minum" Jelas boleh dong!" jawab Rangga. "Mau apa" HIT" Tiga roda" Baygon""
Bima ketawa. Dia bangun sambil meraih botol dan sebuah gelas kosong dari meja di depannya. Dituangkannya air dingin dalam botol sampai gelas terisi tiga perempatnya. "Jangan, Ga. Kasian." Diulurkannya gelas itu ke Salsha. "Ini, sayang. Minum deh. Capek ya. Tadi lari-larian""
Takut-takut Salsha menerima gelas yang disodorkan Bima. "Boleh, nggak"" tanyanya pada Rangga, yang sepertinya tidak ikhlas biarpun cuma air putih.
"Jangan banyak tanya! Boleh nggak boleh nggak! Ntar gue ambil lagi tuh gelas!" bentak Rangga. "Cepet minum!"
Salsha mendekatkan gelas ke bibir. Meskipun tenggorokannya kering kerontang, dia tidak berani menghabiskan apalagi minta tambah. Soalnya Rangga terus menatapnya dengan mata melotot.
"Udah"" tanya Rangga. Salsha mengangguk dan gelas di tangannya langsung diambil. "Oke! Sekarang sebutin nama lo! Jangan sal-sal lagi! Langsung sebutin!" "Ng.....Sal....sha...."
Aduh. Pasrah deh! Keluh Salsha dalam hati. Apa boleh buat, nggak bisa kabur.
"Salsha" Betul Salsha"" Rangga menatapnya tajam. "Iya."
"Nggak bohong"" "Nggak."
"Oke. Liat KTP lo!"
"Ha!"" Salsha ternganga. "KTP" Bener kok, nama gue Salsha! Nggak percaya amat sih""
"Setelah lari-lari kayak tadi, lo mau gue percaya"" kedua alis Rangga terangkat. "Jangan goblok!" "Tapi bener Salsha! Gue nggak bohong!" "KTP lo! Cepet!" bentak Rangga.
Sambil cemberut, Salsha mengeluarkan dompetnya. Tapi baru saja akan ditariknya keluar KTP-nya, Ranga lebih dulu bergerak. "Apa ini"" serunya. Dan sesuatu dari dompet Salsha tercabut keluar. Kartu Pelajar SMA PALAGAN! Rangga bersiul keras dengan nada penuh kemenangan. "Coba lo liat ini, Bim!" Dilemparnya benda itu ke Bima, yang menangkapnya dengan sigap. Cowok itu memerhatikan sejenak dan langsung bangun dari posisi tidur. Di tangannya, kartu pelajar milik Salsha. Kartu yang sama pernah dia lihat sebelumnya di dompet Langen dan Fani!
Seteklah mengamati kartu itu selama beberapa saat, Bima
berdiri lalu menarik kursi. Dan sekarang di depan Salsha ada dua algojo! "Oke, sayang! Sekarang lo jawab pertanyaan gue. Yang jujur! Oke"" Bima menatap Salsha tepat di manik mata. Sambil menggigit bibir karena ngeri, Salsha mengangguk.
"Elo....cuma kebeneran satu SMA sama Langen dan Fani, atau kenal juga sama mereka berdua""
Aduh, ini dia! Salsha menjerit dalam hati. Aduh, gawat banget nih!
"Ng....mungkin kalo.....kalo ngeliat orangnya.... Ya kenal.... Soalnya murid di SMA gue kan banyak."
"Keluarin fotonya Fani, Bim!" perintah Rangga. Bima langsung mencabut dompet dari kantong belakang celana jins buluknya. Dikeluarkannya selembar foto lalu diperlihatkannya pada Salsha, foto Langen dan Fani yang sedang berpelukan erat. Terpaksa Bima membiarkannya begitu, karena kalau memaksa digunting untuk menghilangkan foto Langen, maka Fani cuma akan punya satu pipi.
"Ini. Liat yang bener!"
Aduuuh! Untuk kedua kalinya Salsha menjerit dalam hati. "Kenal, nggak"" desak Rangga.
"Ng.....kayaknya sih.....gue emang pernah....ngeliat mereka."
"Kayaknya, ya"" Rangga manggut-manggut. Salsha langsung merasakan nada berbahaya di satu kata itu. "Dan gimana caranya lo bisa kenal Ratih" Soalnya dia sama sekali nggak kenal elo!" Ratih" Salsha mengerut kening. Siapa itu Ratih" Oh, iya! Dia langsung tercekat begitu teringat lagi. Cewek tukang nari itu, ya" Yaikh, lupa gue! Sial! "Ng....gue nggak kenal sama Ratih."
Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalo nggak kenal, gimana bisa lo dateng ke kampus, nyari gue, dan bilang kalo Ratih udah lama nyari-nyari gue"" "Dia emang nyari-nyari elo kok," jawab Salsha. Terpaksa nekat. Asal itu bisa menyelamatkan Langen dan Fani.
Rangga mengertakkan gerahamnya. "Yang gue tanyaaa...." desis Rangga, mati-matian menahan emosi, "gimana caranya lo bisa kenal Ratih!""
"Oh, ituuu. Yang kenal sama Ratih tuh sodara gue, Saskia. Dia pernah cerita sama gue, cerita sambil lalu sih, katanya Ratih lagi kebingungan nyari-nyari mantan cowoknya. Begitu."
"Dan gimana lo bisa tau di mana gue kuliah""
"Ya dari Ratih. Ratih ngomong ke Saskia, kali. Sodara gue itu lho.
Terus Saskia ngomong ke gue. Gitu lho."
"Dan ngapain juga sodara lo itu, si Saskia itu, cerita-cerita soal Ratih ke elo" Sodara lo itu nggak ada kerjaannya, ya""
"Yaaa.....mungkin Ratih nyariin elonya sampe histeris, kali"
Namanya juga baru putus. Sampe bikin semua orang jadi trenyuh terus ikhlas ngebantuin nyariin juga."
Bima ketawa pelan. Salut juga dia dengan nyali Salsha. Cewek itu masih berani mengajak berputar meskipun posisinya sudah terdesak. Tapi Rangga sebaliknya. Dia jadi naik darah! "CUKUP!!!" bentaknya sambil menggebrak keja keras-keras. "Sekarang jawab yang jelas! Apa hubungan lo sama Langen juga Fani""
"Kok jadi balik ke mereka lagi""
Rangga menggeram keras. Sekarang kepalanya benar-benar mendidih.
"Oke, Salsha! Kalo lo nggak mau ngomong terus terang, tetep nekat muter-muter, lo akan tetep di sini, di rumah gue....sampe besok pagi! Dan...." Rangga memajukan tubuhnya, membuat Salsha seketika melekatkan punggungnya ke sandaran kursi, "nanti malem lo akan tidur kamar gue!" Sepasang mata Rangga berkilat.
HAAA!!!" Salsha terperangah amat sangat. Dan seketika menyerah!
"Gimana, Salsha" Hm""
"Ng.... I-ya...."
"Iya apa""
"Iya. Gue kenal sama Langen. Fani juga." Bima dan Rangga seketika saling pandang. "Seberapa kenal"" tanya Bima.
"Kamu pernah sekelas," jawab Salsha lemah, benar-benar pasrah karena ancaman Rangga barusan. Dua cowok di depannya kontan bersiul keras.
"Gitu, ya" Biar gue tebak." Bima mengangguk-angguk sambil mengetuk-ngetukkan kuku jemari tangannya ke lengan kursi. "Lo pasti bukan cuma kenal karena sekelas.....tapi akrab! Betul!"
"Eee.....iya." Salsha semakin pasrah lagi.
"Langen yang nyuruh lo dateng ke kampus gue, trus ngomong yang nggak-nggak soal Ratih"" tanya Rangga geram.
"Kalo yang nyuruh, emang Langen. Tapi kalo soal Ratih, itu ide gue. Langen sama Fani nggak tau apa-apa soal Ratih."
Kedua alis Rangga kontan menyatu. Surprise dengan jawaban itu.
"Dan dari mana lo tau soal Ratih""
"Dari foto-foto perpisahan sekolah lo yang gue pinjem dari Saskia. Sama foto-foto Ratih waktu pentas di Taman Mini, terus di GKJ, terus di mana lagi gitu. Gue lupa. Dia situ kan banyak foto-foto lo sama Ratih. Lo lagi gandeng Ratih, terus lo lagi meluk Ratih, trus...."
"Cukup!" bentak Rangga, agak salah tingkah. "Bego juga lo!" bisik Bima.
"Mana gue tau bisa jadi begini!" Rangga balas berbisik dengan dongkol. Kemudian tatapannya kembali ke Salsha. "Kenapa Langen nyuruh lo begitu""
"Yaaa, katanya biar siapa itu, cewek yang satu lagi iti, mau cs-an sama mereka berdua."
"Langen! Lagi-lagi Langen!" desis Rangga berang. "Cs untuk apa"" tanya Bima. "Kalo itu gue nggak tau."
"Yang bener""
"Bener! Sumpah sam...." Salsha menghentikan sumpahnya mendadak. Ingat kalau dia sudah dua kali ngomong "Sumpah samber geledek". Jangan sampai tiga kali. Pemali, kata orang. Ntar bisa kesamber geledek betulan! "Sumpah apa""
"Nggak. Maksud gue, gue bener-bener nggak tau rencana Langen sama Bima membungkukkan tubuhnya tepat di atas Salsha. Cewek itu kontan menciutkan tubuhnya seciut-ciutnya. "Lo pernah naik gunung"" "Belom.....eh, nggak, Bang!"
"Bang"" Bima melotot. "Emangnya gue tukang becak" Tadi-tadi nggak manggil bang!" dengusnya. Rangga ketawa pelan. "Siapa temen SMA lo yang suka naik gunung""
"Ng....gue....ngak tau." Salsha geleng kepala.
"Jangan bohong!" bentak Bima. Tubuh Salsha bergetar, bahkan organ-organ di dalamnya.
"Bener! Sumpah! Gue nggak tau!" jawab Salsha buru-buru. Dia menggelengkan kepala kuat-kuat. "Gue nggak ngerti soal naek gunung....."
"Elo nggak perlu ngerti!" bentak Bima lagi, membuat cewek di bawahnya semakin mengerut. "Yang gue mau tau, siapa temen-temen SMA lo yang suka naik gunung! Lo ngerti apa nggak, nggak ada urusan!"
"Yaaa....tapi karena gue nggak ngerti, jadinya gue ya nggak tau. Lagian gue sekelas sama Langen dan Febi cuma waktu kelas satu doang kok. Kelas dua sama tiga kami misah. Jadinya gue ya nggak tau temen-temen mereka. Kalo temen-temen gue sih, eh, temen-temen kami waktu kelas satu, kayaknya nggak ada."
Bima terdiam sesat mendengar keterangan itu, lalu kembali ditatapnya Salsha tajam.
"Lo punya omongan, bisa dipercaya nggak""
"Bisa! Bisa! Gue nggak tau! Sumpah, gue bener-bener nggak tau!
Kalo bohong, biar ntar gue nggak selamet. Ditabrak bus atau kereta!"
Tapi dalam hati Salsha langsung memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh. Tuhan, sumpah saya itu palsu lho. Abisnya saya terpaksa. Daripada nggak selamet. Baru sikap garang Bima melunak mendengar sumpah fatal itu. "Oke, kalo lo emang bener-bener nggak tau. Tapi inget ya, Salsha. Kalo lo bohong...," diusapnya kepala cewek mungil yang ketakutan itu dengan lembut, "lo bukannya nggak selamet karena ditabrak bus atau kereta. Jangan. Itu terlalu tragis. Gue nggak tega. Gue kasih alternatif lain."
"Iy....ya"" takut-takut, Salsha menatap cowok yang dekat banget di depannya itu.
Bima tersenyum tipis. "Banyak yang bilang gue vampir....juga kanibal! Lo boleh pilih!" Salsha kontan ternganga.
Aduh, Tuhan. Saya mendingan ketabrak kereta aja deh. Bener! Bima lalu berdiri, pergi dari depan Salsha. Diam-diam, cewek itu langsung menarik napas panjang. Lega sudah terlepas dari maut, meskipun mungkin cuma untuk sementara. Paling tidak dia sudah berhasil membohongi Bima.
Ada banyak teman SMA-nya dulu yang doyan naik gunung atau masuk hutan. Tapi dia tidak akan buka mulut lagi. Sudah dikhianatinya dua teman. Dan itu tidak akan termaafkan! "Oke." Rangga berdiri. Tersenyum puas. "Interogas selesai. Sekarang kita anter lo pulang!"
"Nggak usah!" tolak Salsha mentah-mentah. "Gue bisa pulang sendiri!"
"Oho, tidak bisa! Lo saksi kunci, jadi mesti dijaga ketat!" Bima ketawa, lalu ikut berdiri. Lagi-lagi dengan pengawalan ketat, Salsha kemudian digiring ke mobil. Bima kembali bertugas jadi sopir.
"Di mana rumah lo"" cowok itu bertanya lewat kaca spion. Salsha menyebutkan satu alamat dan Jeep Wrangler Rangga segera meluncur ke tempat itu. Dua puluh menit kemudian, Jeep itu berhenti di depan sebuah rumah berpag
ar tinggi yang terlihat sepi.
"Terima kasih!" jawab Salsha ketus. Tangannya meraih hendel pintu, tapi langsung dicekal Rangga. "Kita turun sama-sama!" tegas Rangga. Salsha terbelalak. "Kenapa sih" Nggak usah repot-repot deh. Ini juga udah cukup!" "Kita turun sama-sama!" tegas Rangga sekali lagi. Kali ini dengan nada final. "Soalnya kamu harus menyerahkan elo langsung ke nyokap atau bokap lo, atau siapa aja yang lagi ada di rumah. Tau kenapa"" diangkatnya dagu Salsha. "Pertama, karena kami cowok-cowok yang bertanggung jawab. Dan kedua....karena belom tentu ini rumah lo! So, kami perlu kejelasan, supaya kalo ini sampe bocor, kami tau ke mana harus nguber elo!"
"Tapi ini rumah gue kok!" Salsha bersekeras. "Ya, ayo kita turun kalo gitu!"
Salsha bergeming. Semenit, dua menit. Dia tetap duduk di tempatnya. Bima dan Rangga saling pandang.
"Bukan rumah lo kan, sayang"" desis Bima, menatap Salsha tajam. Di sebelah Salsha, Rangga berdecak dengan ekspresi mengerikan.
"Rumah gue! Rumah gue!" jawab Salsha buru-buru. "Cepet turun kalo gitu! Ngapain juga dari tadi lo bengong"" Rangga membuka pintu di sebelahnya lalu melangkah turun. Salsha mengikuti dengan gerakan lambat. Kemudian, dengan tangan kanan Salsha berada dalam cekalan Rangga, ketiga orang itu melangkah menuju pintu pagar. Tapi baru saja Bima akan menekan bel, tiba-tiba saja Salsha memperagakan adegan seperti yang sering dilihatnya dalam film-film Jet Li atau Jackie Chan. Dicengkeramnya tangan Rangga yang mencekalnya, kemudian dipelintirnya!
Tidak tanggung-tanggung. Rangga sampai berteriak keras karena tangannya diputar sampai sembilan puluh derajat lebih. Dan itu, membuat cekalannya seketika terlepa. Tanpa buang waktu, Salsha langsung mengambil jurus langkah seribu. Tapi sayang sekali, dia lupa memperhitungkan orangutannya Fani. Jadi jangankan bisa melangkah sampai seribu, baru juga tiba, Bima sudah langsung gerak cepat. Menangkap cewek mungil itu dengan dua tangan lalu mengurungnya dalam dekapan. Usaha terakhir Salsha, akan menjerit keras-keras, juga gagal. Mulutnya keburu dibekap. Matilah si Salsha! "Jangan menjerit, Sayang!" bisik Bima tepat di satu telinga Salsha.
Sementara itu Rangga menghampiri sambil memijit-mijit tangannya yang kena pelintir.
"Elo ya!"" desisnya berang. Dua tangannya akan terulur tapi dicegah Bima.
"Udah! Udah! Buka pintu mobil, cepet! Lo yang bawa sekarang!" Kacau! Benar-benar adegan penculikan dengan kekerasan! Lagian Salsha bego juga sih. Milih rumah palsu di daerah sepi begitu. Jadi tidak ada yang melihat apalagi datang untuk menolong, meskipun apa yang sedang terjadi benar-benar bisa dikategorikan tindak kriminal.
Rangga bergegas membuka pintu kiri depan Jeep Wrangler-nya, sementara Bima terpaksa menggendong Salsha karena cewek itu berontak hebat dan kedua kakinya menolak bergerak. Dan itu semua justru memperparah keadaannya. Kalau tadinya Salsha duduk di jok belakang, dalam pengawalan ketat Rangga, sekarang cewek itu duduk di jok depan. Di pangkuan dan pelukan erat Bima!
Dan seakan itu masih kurang teraniaya dan terzalimi, sebelum memutar kunci, Rangga mengusap-usap kedua belah pipi tawanannya lalu mendekatkan wajah seperti ingin mengecup. Seketika Salsha memalingkan muka. Tapi ternyata itu seribu kali lebih sial. Gerakan menghindar yang dilakukan dengan cepat itu membuatnya tanpa sengaja malah....mencium Bima! Tepat di bibir!
Sontak Salsha mematung. Bima juga sempat terperangah sesaat, tapi kemudian cowok itu kembali normal. "Temen gue nggak dapet"" tanyanya kurang ajar. "Dia nggak mau nyium cewek selain bokinnya. Tapi kalo dicium nggak apa-apa. Bukan begitu, Ga""
"Betul. Hadapin mukanya ke gue, Bim. Lo dicium di mana"" Tapi ternyata sedikit bagian dari hati Bima, masih ada yang berfungsi. Cowok itu menghentikan godaannya saat dilihatnya wajah Salsha sudah merah padam, seperti menahan tangis. Dilepaskannya pelukannya dan digesernya tubuh sampai merapat di pintu, memberikan tempat untuk Salsha.
"Balik ke persoalan, Ga!" kata Bima dengan nada wajar, seolah-olah ciuman tadi tidak pernah terjadi.
"Oke, Salsha...." Rangga menatap lurus cewek yang meringkuk di dekat tongkat persnelling dan dengan wajah merah padam itu. "Ini kesempatan terakhir! Tunjukin rumah lo! Jangan macem-macem lagi! Sekali lagi kami berenti di depan rumah yang salah," Rangga mengusap lembut kepala Salsha, tapi sepasang matanya menyorotkan ancaman serius, "lo akan balik ke rumah gue untuk seterusnya! Nggak peduli besok di koran ada pengumuman orang
ilang!" "Dan inget, Salsha," ganti Bima mengusap lembut kepala gadis yang berbagi jok dengannya itu. "Jangan berani-berani buka mulut! Jangan coba-coba ngasih tau Langen sama Fani.
Karenaaa....," Bima menyentuh dagu Salsha dan menengadahkan wajah cewek itu, "detik ini lo ngomong, detik ini juga lo kamu ciduk! Paham"" Salsha menyerah. Total!
Rangga menghidupkan mesin kemudian Jeep Wrangler itu benar-benar berhenti tepat di depan rumah Salsha!
Di dalam kamarnya, sudah sejak berjam-jam yang lalu Salsha duduk termenung sambil memeluk bantal. Dia bingung, sebab harus memberitahu Langen dan Fani bahwa mereka sekarang berada dalam bahaya. Tapi kalau kedua cewek itu diberitahu, itu artinya dirinya juga berada dalam bahaya. Dia sih nggak begitu takut sama Rangga. Yang dia ngeri itu cowoknya Fani. Dari posturnya yang tinggi gede dan berbulu pula, menandakan bahwa cowok itu telah gagal berevolusi. Juga berarti kekerabatannya dengan saudara tua manusia, yaitu monyet, masih dekat. Tapi kalau dilihat sekali lagi, sepertinya kekerabatannya Bima lebih dekat ke gorila daripada monyet. Dan gorila itu termasuk binatang buas!
Salsha lalu mendesah panjang. Menunduk bertopang telapak tangan. Bingung gimana caranya memberitahu kedua temannya itu tapi nyawanya juga tidak melayang. Pintu kamarnya diketuk. Pembantunya muncul dan memberitahu bahwa seorang laki-laki berambut panjang mencarinya. "Hah!"" begitu pembantunya bilang rambutnya panjang, Salsha langsung ketakutan. Gila! Desisnya dengan napas tercekat. Sakti banget tuh orang. Gue baru niat ngasih tau Langen sama Fani aja, dia udah langsung tau!
Sekian detik perjalanan dari kamar ke ruang tamu, Salsha mati-matian berusaha mengenyahkan niatnya tadi dan menggantinya dengan "Gue nggak akan ngasih tau Langen sama Fani! Sumpah!!!"
Tapi di ambang pintu ruang tamu dia tertegun. Cowok itu ternyata sama sekali bukan Bima.
"I....wan...."" tegurnya hati-hati. Iwan mengangkat kepala dari majalan yang dibacanya.
"Halo, Sha" Apa kabar""
Salsha masih tertegun selama beberapa detik, sebelum kemudian berlari menghampiri Iwan sambil menjerit keras. "Aduh! Elo, Wan! Apa kabar" Kok rambut lo jadi panjang gini sih" Elo nakutin gue aja! Bilang-bilang kek kalo manjangin rambut. Aduh, untung! Gue kirain gue bakalan mati sekarang!" Iwan menatap Salsha bingung. Hampir semua temannya saat SMA dulu surprise melihat penampilannya sekarang. Rambut cepaknya selama tiga tahun di SMA telah lenyap, dan digantikan rambut panjang yang hampir menutupi punggung. Tapi baru Salsha ini yang histeris.
"Lo kenapa sih, Sha""
"Aduh, Wan. Ternyata gue nggak jadi mati! Syukur! Syukur!" Salsha menjatuhkan diri di samping Iwan, lalu menepuk-nepuk dada dengan ekspresi lega yang amat sangat. "Hah"" Iwan mengerut kening.
"Ah, udah nggak usah dibahas!" Salsha mengibaskan tangan.
"Eh, gimana kabar lo" Kapan nih kita reunian" Kok elo jadi jungle look gini" Kayak monyetnya Fani!"
"Apa lo bilang!"" Iwan melotot. "Ati-ati, Sha. Bener-bener penghinaan serius. Gue ganteng, lagi. Mau di mana aja, di hutan atau di kota. Beda sama babonnya Fani. Nggak usah di hutan, taro di Ragunan sana juga udah mirip. Nggak bakal ada yang sadar kalo tuh orang manusia!"
Salsha terkikik geli. Tapi mendadak dia tersentak kaget.
"Dari mana lo tau cowoknya Fani!""
"Pernah ketemu."
"Dimana"" "Di gunung. Kenapa""
"Maksud lo" Lo lagi hiking trus ketemu dia, gitu""
"Bukan. Gue bantuin Langen, Fani, sama si Febi...." Iwan langsung teringat tujuannya ke rumah Salsha. "Oh, iya. Gue ke sini sebenernya pengen tau gimana ceritanya di Febi sampe...."
"Aduh.....!" Salsha berdecak tak sabar. "Bantuin
apaan" Ceritanya yang bener dong!" diguncang-guncangnya lengan Iwan. "Elo kenapa sih" Dari tadi histeris nggak jelas begini"" Iwan menatap Salsha dengan kening terlipat dan kedua alis menyatu rapat.
"Iya, lo bantuin mereka ngapaiiin!"" Salsha nyaris menjerit saking tidak sabarnya.
"Kebut gunung ngelawan cowok-cowok mereka. Emangnya kenapa""
Salsha kontan terperangah.
"Jadi elo yang ngebantuin cewek tiga itu!"" Salsha menjerit dan tubuhnya melenting dari sofa. "Aduh, elo, Waaan...." dipukulnya bahu Iwan. Gemas, marah, dongkol. "Gue yang kena cecer, tau! Gue yang dilibas! Mereka nyangka gue ikutan juga! Ah, elo!" Iwan semakin kebingungan melihat tingkah Salsha. "Ikutan apa" Lo kenapa sih, Sha" Gue nggak ngerti nih. Ada apa""
"Aduh, Iwaaan. Kemaren gue ketangkep!"
"Ketangkep siapa" Polisi" Emangnya lo kenapa" Kepergok lagi jual ganja" Ati-ati dong, kalo jadi drug dealer!"
"Ah, elo!" Salsha melotot jengkel. "Gue ditangkep cowoknya Fani!"
"Apa!"" sekarang mata Iwan kontan melebar. "Maksudnya"'"Ya gue ketangkep!" Salsha kembali menjatuhkan diri di samping Iwan. "Serem banget deh, Wan! Gue diculik kemaren! Trus dibawa ke rumahnya cowoknya cewek yang satu lagi itu! Terus gue dilecehkan, Wan! Terus...." Salsha mengadu pada Iwan dengan berapi-api dan terisak-isak tapi tanpa air mata, kronologi hari dia ketiban sial itu. Tentu saha minus dia mencium Bima tanpa sengaja.
Meskipun cerita yang didengarnya benar-benar berantakan, Iwan tahu, sesuatu yang buruk dan paling tidak diharapkan, telah terjadi. Sesaat tubuhnya terpaku tegang.
"Lo telepon tuh anak dua. Suruh ke sini. Cepet!"
Salsha langsung panik. Tanpa sadar, dicengkeramnya tangan Iwan kuat-kuat. "Jangan, Wan! Jangan! Jangan! Please! Gue bisa nggak selamet! Kalo tuh anak dua sampe tau, lo bakalan nggak ngeliat gue lagi!"
"Kenapa"" "Gue udah diancem, wan! Katanya, kalo Langen sama Fani sampe tau, gue mau diciduk!" "Ya jangan sampe tuh cowok tau!"
"Maksudnya""
"Telepon Langen sama Fani dulu. Suruh mereka ke sini. Sekarang!"
"Nanti kalo gue diciduk, gimana""
"Nggak akan!" tegas Iwan. "Gue yang tanggung jawab!"
"Ng...." Salsha masih ragu. "Bener nih" Gue pasti aman, ya""
Iwan membungkukkan tubuh, menghadapkan wajahnya persis di depan wajah Salsha.
"Gue yang dicari itu babon! Jadi ciduk gue dulu, baru dia bisa ciduk temen gue!"
Semangat Salsha langsung melejit mendengar itu.
"Oke, kalo gitu! Sip!" serunya sambil berdiri. "Gue telepon Langen sama Fani!"
*** "Lo kenapa bisa nggak ngenalin Rangga sih, Sha"" Langen berdecak.
"Yah, elo!" ganti Salsha berdecak. "Emang dia itu siapa sih" Indra Brugman juga belom tentu gue langsung ngeh kalo papasan. Apalagi dia!"
"Trus, abis ditangkep lo dibawa ke mana""
"Ke rumah cowoknya temen lo yang itu....yang kalo ngomong suaranya nggak kedengeran. Yang waktu itu belangnya gue bongkar."
"ADUH!" Langen dan Fani langsung melejit dari sofa masing-masing.
"Trus lo ngaku pula, Sha!"" Langen nyaris menjerit. Salsha melotot, agak marah.
"Lo mau gue ilang tanpa jejak" Vateran jadi manusia" Mereka udah ngancem, gue nggak bakalan bisa ditemuin biarpun udah dilaporin ke Kontras!"
Dua orang di depan Salsha langsung saling pandang dengan panik.
"Gawat, La!" desis Fani. "Abis deh kita!" "Trus cowok lo, Fan, maksa gue ngasih tau siapa-siapa aja yang udah ngebantuin lo bertiga naek gunung. Untung aja gue nggak tau kalo itu Iwan."
"Aduh, untung! Untung!" desah Langen. "Kalo itu ketauan juga, bener-bener kiamat!"
"Jangan merasa aman dulu," Iwan buka suara untuk pertama kalinya. "Sekarang justru itu yang lagi mereka cari tau."
"Iya, emang...."Salsha mengangguk. "Ati-ati aja lo dari sekarang, Fan!"
"Kenapa emang"" tanya Fani.
"Yah....pokoknya dari sekarang lo kudu siap-siap." Salsha menepuk-nepuk kedua bahu Fani dengan gaya menenangkan. "Ntar semua gue yang ngurus deh. Gratis sama temen yang merit ketiban sial!"
"Apa sih maksud lo!"" Fani hampir menjerit. "Maksudnya dia nanti menginterogasinya....," dibuatnya tanpa kutip dengan jari-jari tangan, "begitu! Git
u"" "Naaah, tau juga lo akhirnya!" Salsha bertepuk tangan keras-keras. Iwan ketawa geli.
"NGGAK AKAN!" Fani menggebrak meja. "Gue nggak akan kawinan muda. Apalagi sama cowok kayak gitu. Cita-cita gue jadi wanita eksekutif muda, tau! Gaji tiga puluh juta sebulan!"
"Kalo gitu, lo lawan dia!" tandas Salsha. Fani kontan meringis ngeri sambil garuk-garuk kepala.
"Jadi gimana dong, Wan"" Langen menatap Iwan.
"Ini udah urusan intern lo bertiga. Gue nggak bisa ikut campur lagi. Gue cuma ngasih tau kalo ada perkembangan baru."
"Kok jahat sih lo""
"Trus gue harus gimana" Bantuin lo langsung di depan mereka, gitu" Nongol di kampus lo" Itu sama aja membenarkan dugaan mereka, La."
"Hm.....kalo lo jadi mereka, kira-kira lo mau ambil tindakan apa""
Iwan menatap Langen lurus. "Mau jawaban jujur""
"Ng...." Langen terdiam sesaat. "Iya."
"Ya jelas gue harus tau yang sebenarnya!" ucap Iwan tandas. "Gie press sampe ngaku, gimanapun caranya. Kalo emang terpaksa harus....," diangkatnya kedua alisnya, menahan tawa,
"dengan cara yang agak...." Dia gantung lgi kalimatnya, membuat dua cewek di depannya jadi menahan napas saking cemasnya. "Apalagi kalo hubungan gue sama keluarganya udah deket, kayak cowok lo gitu, La. Tinggal minta izin. Bilang kek mau ke mana. Dua atau tiga hari. Risikonya paling pulang-pulang dikawinin!" "HAAA"" Langen kontan ternganga. "Lo kok nggak kompak banget gitu sih!"" jeritnya. Iwan ketawa geli. "Tuh, kan" Apa gue bilang!" seru Salsha, dan dia terbahak keras begitu menyaksikan ekspresi muka Fani. "You've no choice. Kill or be killed!"
Rangga duduk dengan gelisah. Tidak seperti hari-hari kemarin, dia jadi canggung saat tadi dipersilakan untuk masuk dan duduk. Dari sambutan kakak Febi yang tidak ramah, juga tidak seperti hari-hari kemarin, dia bisa menduga sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan dugaannya ternyata tepat. Saat Mas Pram pergi ke kamar untuk berganti baju, Jumenem, salah satu andi dalem yang khusus mengurus Febi, buru-buru menghampirinya. Dengan suara pelan, nyaris berbisik, dan dengan sepasang mata yang sebentar-sebentar melirik ke dalam, Jimunem lalu menceritakan dengan cepat.
Ternyata Febi telah membuat seluruh anggita keluarganya gusar. Gadis itu dinilai mulai nakal. Mulai tidak peduli tata krama. Dan itu bisa membuat malu keluarga. Bisa membuat nama keluarga jadi tercemar.
Dan kalau sudah ditegur Mas Pram, berarti persoalannya sudahh termasuk serius. Karena sebagai anak tertua, Mas Pam berada dalam urutan ketiga dalam tatanan birokrasi internal. Benar saja. Dalam pembicaraan selama hampir satu jam, dengan wajah kaku dan tanpa senyum, Mas Pram memberikan satu peringatan keras untuk Rangga.
"Dimas Rangga sejak awal sudah tau toh kalau kami ini bukan dari kalangan biasa" Jadi tidak bisa seenaknya. Ada norma dan adat yang harus kamu juga. Bukannya sombong, tapi itulah kenyataannya. Jadi tidak bisa sembarangan, tidak bisa semaunya, seenaknya. Siapa pun yang ingin masuk ke keluarga ini harus menyesuaikan diri. Dan bukannya keluarga ini yang harus menyesuaikan dengan anggota baru tersebut. Paham maksud saya""
"Iya..., Kangmas," jawab Rangga patah-patah. Bukan gugup, tapi dia geli dengan sebutan-sebutan yang berlaku dalam keluarga Febi.
"Jadi kalau Dimas Rangga merasa kesulitan untuk mengikuti tata cara keluarga ini, lebih baik dari sekarang dipikirkan. Jangan Diajeng Febi yang harus menyesuaikan dengan Dimas Rangga. Ndak bisa seperti itu, karena Dimas Rangga-lah yang masuk ke keluarga ini. Sekarang ini tingkah Diajeng Febi mulai tidak benar. Mulai ndak patut. Ketawa keras-keras. Nyanyi sambil lonjak-lonjak. Makan sambil ngomong. Ini bagaimana" Kok bisa sampai begitu""
Rangga tidak bisa menjawab! Dalam hati langsung dia maki-maki Langen dan Fani. Dua oknum yang paling bertanggung jawab membuat Febi jadi rusak. Apalagi Mas Pram kemudian menutup pembicaraan itu dengan satu kalimat yang cukup nyelekit. "Jadi kalau Dimas Rangga merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri, lebih baik mundur saja dari sekarang. Jangan dipaksakan, karena ini bukan masalah sederhana." W
alaupun kata-kata itu diucapkan dengan santun, Rangga tahu peringatan itu bukan main-main. Apalagi saat pamit, "Kanjeng Ibu"-nya Febi yang meskipun selalu bersikap angkuh dan menjaga wibawa, selama ini masih mau bagi-bagi senyum untuknya. Tapi tadi wanita itu sama sekali tak acuh. Sinis malah! Di perjalanan pulang, Rangga kemudian mengambil satu keputusan. Dia harus menjauhkan Febi dari Langen dan Fani. Sejauh-jauhnya!
*** Sejak diberitahu Iwan tentang perkembangan terakhir, Langen dan Fani langsung stres. Benar-benar tidak menyangka. Belum lama mereka merayakan kemenangan, sekarang sudah harus berangkat perang lagi. Saat ini situasinya malah lebih parah. Tanpa bantuan.
"Febi lawan Rangga, dan Bima jadi urusan kita berdua!" kata Langen.
"Rei"" tanya Fani.
"Gue sama dia kan udah bubaran. Kalopun dia suka nanya-nanya, gue nggak kudu jawab. Dia udah nggak ada hak untuk maksa gue ngomong."
"Tapi dia bakalan ke Bima larinya, La." "Makanya kingkong lo itu kita hadapin berdua." Fani mengangguk-angguk.
"Tapi Febi belom tau nih, kalo ada perkembangan parah gini." "Ya kita kasih tau. Tapi lewat telepon aja. Males gue ke rumahnya kalo nggak kepepet banget."
"Sama!" Tapi ternyata Febi tidak dapat dihubungi. Ponselnya dimatikan dan setiap kali Langen menelepon ke rumahnya, yang mengangkat selalu "Kanjeng Ibu"-nya atau kakak laki-lakinya yang paling tua. Dan kalau sudah mendengar suara ibu Febi yang kaku dan nadanya yang selalu datar teratur itu, otomatis otak Langen langsung menvisualkan sosok wanita anggun tapi mengerikan itu, di mana pun matanya sedang menatap. Tembok, kaca mobil, pohon, apalagi papan reklame. "Ada apa"" tanya Fani. Setelah untuk yang ketiga kalinya dengan selang waktu setengah jam, Langen menutup telepon dengan kening mengerut.
"Aneh deh. Yang ngangkat selalu kalo nggak nyokapnya, ya Mas Pram."
"Lo bilang aja mau ngomong sama Febi."
"Ditanyain dulu, tau nggak" Pertanyaannya detail-detail banget, lagi! Ini siapa" Teman kuliahnya atau bagaimana" Keperluannya apa" Dengan Febi hubungannya bagaimana" Akrab atau biasa-biasa saja" Aneh banget, kan""
"Coba ntar gantian gue yang nelepon."
Ternyata sama. Fani sampai a-a-u-u bingung mau menjawab ketika suara dingin itu Febi melontarkan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang diajukan pada Langen.
"Kenapa sih mereka"" desis Fani, meletakkan gagang telepon dengan kening berkerut. "Waktu terakhir kali kita ke sana, lo nyolong ya, La""
"Enak aja. Orang gue cuma ngutil doang kok."
"Apaan"" "Tivi!"
Keduanya mengikik geli. Setelah berkali-kali bergantian menelepon dengan suara yang diubah-ubah, dan yang mengangkat di seberang sana masih juga kedua orang itu, akhirnya Langen dan Febi menyerah.
"Temuin di kampus aja deh!" putus Langen jengkel Tapi ternyata mereka tidak bisa menemukan Febi. Cewek itu tidak muncul di kampus. Kursi yang biasa Febi duduki, kosong.
Besoknya kosong lagi. Besoknya masih kosong juga.
Keduanya terus bolak-balik ke kelas Febi. Satu hari bisa empat sampai lima kali. Tergantung banyaknya pergantian mata kuliah di kelas Febi. Dari hari Senin sampai hari Jumat. Lima hari! Tapi cewek itu tetap tidak pernah terlihat. Tak satu pun teman-teman sekelasnya tahu, kenapa dia tidak pernah muncul lagi. Febi mendadak raib!!! Rencana awal terpaksa diubah. Berakhirnya hubungan Langen dan Rei membuat Langen tak bisa lagi memasuki lingkaran. Jadi, dengan lenyapnya Febi dan terdepaknya Langen, maka Fani jadi satu-satunya yang akan maju ke kancah pertempuran.
Anak Naga 13 Wiro Sableng 162 Badai Laut Utara Sakit Hati Seorang Wanita 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama