Ceritasilat Novel Online

Cinta Tak Semudah Kata 1

Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi Bagian 1


Cinta, Tak Semudah Kata C.I.N.T.A AZIZAH ATTAMIMI Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
1 Saat aku tak mengenali bagaimana aku diizinkan untuk benar -benar
menyimpan perasaan itu di hati hingga mati... Hingga semuanya terjadi, dan itulah yang tak semudah diucapkan
TAKDIR... Situbondo, 4 Agustus 2011
Satu,,, Aku heran kenapa kata CINTA selalu dijadikan prioritas utama dalam kisah hidup setiap manusia. Seperti tidak ada hal lain saja yang lebih penting dari sekedar kisah romantis antara sepasang manusia laki -laki dan perempuan. Bukanlah karier, cita-cita masa depan yang diperjuangkan, melainkan restu CINTA yang diperjuangkan hingga mencapai bingkai pelaminan. Setelah semua itu, barulah kembali mengingat karier tujuan semula. Aku hanya bisa tersenyum saja, apalagi saat aku merasakannya. Aku benar -benar mengerti kenapa kata CINTA selalu jadi menu utama dalam daftar cobaan hidup. Sedih, susah, senang, itu sudah biasa, bahkan wajib untuk dirasakan hidup dalam mengiringi kisah cinta.
Secuil kisah cintaku dimasa lalu...
Awalnya aku memang 'masa bodoh' dengan urusan cinta. Tapi, ketika hati kecilku ini telah memandang seseorang yang biasa dengan sebuah ketulusan dan kasih sayang, rasanya aku tidak mau memperdulikan lainnya lagi. Hanya dia yang terpandang dalam hidupku.
Ya, aku jatuh cinta padanya...
Kata orang anak SMP itu baru belajar apa yang namanya cinta tapi masih tahap monyet, alias cinta monyet. Dan mengenali Cinta yang sesungguhnya saat SMA. Begitu juga denganku. Semua berawal sejak dia selalu mencuri pandanganku. Saat itu sedang kegiatan classmeeting pertandingan final antara kelasku, 1a dan kakak kelas 3b. Pertandingan voli yang sangat seru dan cukup menegangkan, karena kedua tim sama -sama kuat. Saking serunya, tak ada satu orang guru maupun murid yang beranjak dari
2 tempat penonton. Semua bagian luar lapangan terpenuhi oleh orang -orang itu. Jika kamu terlambat maka kamu tidak akan mendapatkan satu tempat untuk berdiri sekalipun.
"Ami! Semangat!!" Teriak kawan -kawan menyemangati aku. Satu sekolahpun tahu kalau aku pentolan pemain voli nomor satu di sekolah.
Sekejap memejamkan mata, mengingat akan Tuhan sang pencipta. Aku lempar bola ke atas dan SmaaSh! Permainan di mulai. Ribuan pasang mata tak henti -hentinya mengikuti lari bola kesana -kemari. Aku sangat menikmati permainan ini, dibawah terik matahari yang mulai meninggi hampir tepat keatas kepala. Lompat sana, pukul sini, dan Goal! Tim ku unggul tellak dalam dua babak. Dan sekarang babak terakhir. Babak penentuan siapa pemenang yang sesungguhnya.
Pertandingan semakin sengit, mereka mengatur kembali strategi baru yang cukup membuatku lebih lelah lagi. Kini mataku mulai terasa panas, sejenak aku alihkan pandangan pada kerumunan penonton. Satu hal menarik di pandangan mataku, di jauh sana di tengah -tengah gerombolan manusia ada satu orang lelaki yang tidak rapih, bajunya keluar, dasinya miring, dan penampilannya agak acak -acakan. Dia melontarkan senyum padaku. O'oww, sontak jantungku berdebar kencang sekali. Aku takut ini akan membuyarkan konsentrasiku. Lekas aku tarik nafas dan menghembuskannya lagi dan kembali focus pada bola kuning biru itu. Aku kembali bermain, tapi perasaanku masih gugup. Aku rasa aku mulai merasa Ge-er dengan satu pasang mata yang sejak tadi mengintai setiap gerak tubuhku. Kembali aku menolehi arah kerumunan penonton itu, lelaki itu tetap tersenyum padaku. Ya Tuhan! Aku mulai hilang kendali, konsentrasiku mengoyah, aku tak bisa bermain seperti ini.
Ting! Oh no! Sebuah kedipan sebelah mata yang aku dapatkan darinya cukup membuat aku terhenyak dan tercekat ditengah -tengah lalu lalang bola.
"BhaaaaKK!!!" Akhirnya bola kuning biru itu menghantam mukaku. Aku terjatuh dan rasanya sakit sekali.
"Goaaalll!!!!!" Semua orang berteriak, teamku kebobolan bola dan mereka menang. Sorakan itu berbarengan dengan bunyi peluit wasit yang menandakan permainan telah berakhir.
Sial! Aku kalah karena kecurangan mereka. Sementara aku sendiri segera dilarikan ke unit kesehatan sekolah karena hidungku mengucur darah.
"Ini gak adil!" Teriakku sam
bil meronta -ronta ingin lekas kabur menemui kakak kelas yang jail itu.
Petugas kesehatan dan guruku tetap menahan. Mereka memegangi aku dengan kuat, sampai aku seperti orang gila yang sedang mengamuk.
3 "Sudah, kalau memang kalah ya mau diapakan lagi sekarang" Jangan panas hati begitu, obati dulu hidungmu, untung saja kamu belum kehilangan hidungmu yang mancung itu." Sahut pak guru sembari menggodaku.
"Tapi ini tidak bisa dibiarkan pak!" Teriakku kesal.
"Sudah lah, semua orang tahu koq kalau kamu itu dicurangi."
"Tapi caranya konyol pak. Kan jadinya saya yang malu Pak.. "
Pak guru hanya tertawa cekikikan sendiri. Abaikan itu.
Panas hati, aku tidak bisa begitu saja membiarkan kecurangan mereka yang sangat memalukan aku. Kejadian tadi benar -benar merusak reputasiku sebagai pemain voli nomor satu hanya karena sebuah kedipan mata. Ah, aku tak bisa terima itu, mereka harus dapat pembalasanku dulu.
"Ami, Ami. jangan. Percuma yang ada kamu sendiri yang malu." Dessy, teman terbaikku sejak SD dulu, terus menahan agar aku tak menemui lelaki tadi.
"Tidak bisa! Dia harus terima pembalasan dariku!!" Sahutku geram. Aku tak perdulikan semua murid tertawa melihat langkah kakiku yang gerasa grusu penuh amarah. Aku sungguh -sungguh harus menghentikan tawa orang -orang itu.
"Ami..." Cemas Dessy terus mengekoriku.
Aku sampai di depan kelas mereka. Aku melongo kedalam kelas, mencari sesuatu.
"Cari siapa lo"" Tanya seorang laki -laki menghampiriku. Tapi bukan lelaki yang aku cari. Ia berdiri dihadapanku menopangkan kedua tangannya di pinggang.
"Aku cari temen lo yang keganjennan ngedip -ngedipin matanya sama aku!" Tiba -tiba tersirat rasa takut membuat aku kacau melontarkan kalimatku. Aku masuk kandang macan, kanan kirinya hanya Dessy satu -satunya temanku.
"Huahahahaa." Lelaki itu tertawa keras. "Dasar bollywood, ngomong aja gak benner lo! Lagian, ngapain juga loe cari temen gue" Gak terima kalau kalah"!"
"Aku bukan Bollywood!" Teriakku tepat di depan mukanya. Sunguh aku semakin kesal dibuatnya.
Mereka semua selalu menyebutku bollywood padahal aku bukan orang india. Aku hanya seorang gadis berketurunan Pakistan saja!
"Katanya pentolan nomor satu" Tapi mana"" Mulailah satu ledekan dari seorang lagi yang menghampiri kami. Wajah -wajah usil menyinyir membuat semakin panas hatiku. Arrgghh! Rasanya aku ingin menghajar mereka satu persatu. Sayang sekali aku tak berkuasa apapun, jika aku menghajarnya bisa -bisa aku masuk bp. Akupun bingung harus melakukan apa saat itu.
"Udah Ami..." Dessy-pun menyeret aku kembali meninggalkan kelas mereka.
Beralih dari ketegangan, aku bersantai di kantin sambil mengepal -ngepal hidungku yang semakin terasa sakit.
"Kalau kamu marah -marah di depan dia, pastinya semua orang akan dengar dan fatal kalau mereka tahu kamu geer cuman gara -gara tuh orang.. "
4 "Agrh! Anak siapa sih dia"! Beraninya dia bikin ge-er aku." Dessy menggeleng.
"Hai..." Sapa seorang lelaki yang tak lain lelaki yang tengah dibahas kami
berdua. Pandanganku kembali sengit menatapnya. "Kau"!" "Gak patah kan hidungnya""
"Dasar kau lelaki sinting! Kau itu curang! Harusnya aku yang menang!" Ocehku
kesal. Dia tetap tersenyum mengabaikan ocehanku. "Owh, okay. sorry." "Just it"! Kamu sadar kamu telah buat kesalahan fatal"!" "Enggak..." "Dasar sinting!"
"Sepertinya aku sukses mengecohmu ya""
"Hey! Let see siapa yang bakalan lebih ge-er dari pada ini okay."
"Okay." Aku berbalik meninggalkan dia.
"Tunggu!" Aku hanya menghentikan langkahku tanpa menolehi panggilannya. "Namaku Ibrahim." Katanya.
Aku menoleh dan menyunggingkan senyum hanya di ujung bibirku.
Sejak hari itu, aku semakin sering bertemu dengan dia di sekolah. Dia selalu menyambutku saat pagi datang sekolah, dan mengantarku hingga gerbang saat pulang. Tanpa bicara apapun, kami berdua hanya bertukar senyum penuh arti. Bagaimana tidak, aku masih terus menginginkan dia rasakan apa yang aku rasakan waktu itu. Ge-er, dia harus lebih ge-er daripada aku waktu itu.
Sayangnya bertukar senyum itu hanya berlangsung selama sebulan sampai ia
dinyatakan resmi lulus dari sekolah, dan melanjutkan ke SMA yang tidak
popular. *** Pagi yang cerah. Aku duduk mengotak atik handphoneku sembari menunggu bel berbunyi pertanda pelajaran dimulai. Kali ini aku bukan lagi murid kelas satu, aku sudah naik satu tingkat jadi kelas dua.
Sebuah amplop berwarna merah jambu diberikan padaku. "Ini surat buatmu..."
Aku mengeryitkan dahiku. "Surat dari siapa""
"Surat dari cowok yang dah bikin team kita kalah dulu."
Aku tersenyum. "Ibrahim maksudmu""
Dessy hanya mengangguk. Senyumku semakin lebar saja. Surat merah jambuku yang pertama, aku tak menyangka dia akan mengirimkan aku sebuah surat cinta. Kali ini aku yang bertambah semakin ge-er saja.
5 Berbalas surat merah jambu, mengantikan berbalas senyum selama sebulan yang sempat menghilang karena kepergiannya. Hal pertama yang merwarnai hari -hariku dengan warna merah jambu, itulah surat darinya. Dia Ibrahim Imran, dan aku panggil dia Aim.
Hingga. "Ini, surat cinta lagi....!!!" Dessy menjulurkan amplop merah hati itu padaku. Mukanya terlihat kesal karena lelah jadi tukang pos tanpa bayaran.
Aku tersenyum, aku rangkul sahabat baikku itu. "Makasih sayang.. "
Perlahan aku buka amplop berlem dengan rupa dan hati agak -ge-er.
"Heran, hari gini masih jaman ya pake surat cinta"!!" Tangannya melipat kesal.
Aku tersenyum geli. "Maaf Dessyku sayang... makanya kamu bilang sama dia, yang gentle dong. Aku gak masalah koq kalau dia mau ketemu langsung sama aku. Justru aku malah tambah senneng.. hehe."
"Yee iya deh. Tapi dia tetep gak mau, malu katanya..."
"Hmmm.. cowok koq pemalu ya" Dulu aja waktu ngecoh dia gak tau malu."
"Tau ah pangeranmu." Dessy mencabut suratku yang masih ada dalam amplopnya. "Eh apa lagi ini isinya"""
Aku hanya menggeleng sambil menaik turunkan bahuku.
Surat merah jambu. Aku tak segan untuk membacakan isinya pada dessy. Isi surat itu konyol, hanya bertaburan kegombalan ala penyair cinta muda. Haha! Begok ah! Dear Ami... Hai...
Apa kabar" Aku tidak akan berhenti bertanya kabarmu. Walau aku hanya bisa melihat kamu dari jauh tapi aku ingin mendengar kabarmu langsung darimu sendiri.
Aku sangat senang saat kemarin mendengar kabar tetang keberhasilan kamu mengikuti lomba memasak.
Aku tercengang sejenak. "Dari mana dia tahu kalau aku ikut lomba masak""
Dessy mengangkat dua tangannya seraya menggeleng. Memamerkan wajah tak paham juga kenapa Aimku bisa tahu
"Yakin bukan kamu yang bilang"" Tatapku selidik.
"Sumpah deh, kan aku dah janji sama kamu."
Lanjut kembali pada surat.
Aku ucapkan selamat, walau runner up tapi aku sangat bangga sama kamu. Kamu itu sangat berbeda dengan perempuan manapun yang pernah aku temui. Menarik dan unik, pandai dan sangat menawan hati. Sampai -sampai aku tak bisa berhenti memikirkan kamu..
Aku dan Dessy saling memandang sambil menahan tawa geli.
"Akh. sintting nih anak." Aku lekas melipat surat itu sebelum aku tandaskan kegombalannya. Tulisan itu terlihat biasa dan tak romantis untukku dan kalian juga
6 tentunya. Aku lebih berharap untuk mendapatkan puisi ala penyair cinta sungguhan. Yang romantic dan membuat aku melayang tinggi di udara. Di dalam semua suratnya, selalu saja hanya puji -pujian yang baik ia tuliskan. Sampai -sampai aku jadi risih sendiri membacanya. Aku tak suka jika ia terus memujiku seperti itu.
"Udah ah Dess, bilang sama dia aku gak akan bales surat dia lagi kalau dia gak mau memberanikan diri buat ketemu langsung sama aku."
"Wokeh deh boss.. " Tangannya bergeran dan kemudian berposisi seperti sedang hormat.
"Bilang juga, kalau dia gak mau ya udah, gak usah kirim -kirim surat ke aku
lagi." "Iya iya deh..."
Selama lebih dari tiga tahun, aku selalu mendapatkan surat beramplop merah jambu dari dia. Tapi selalu saja tak punya keberanian bertemu denganku, padahal kami berdua sudah sama saling tahu. Aku Ami dan dia Aim, hehe beda dikit ya namanya. Jodoh kale.
Ngarep deh...!!! *** Pagi yang cerah... Greeeekkk....
Gordyn putih di gerek, jendelapun di buka agar udara dan sinar matahari pagi yang sehat bisa masuk dalam kamar. Ya maksudnya biar Ami bisa lekas bangun tidur, jam saja sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima.
"Ami! Ayo bangun! Gak mau sekolah kamu""!!" K
ak Hani sedikit berteriak membangunkan adiknya yang masih molor.
"Hem." Sahut Ami mendesah tak membuka matanya sedikitpun.
"Jam tujuh sekarang! Gak sekolah"!"
"Aku mau bolos hari ini, aku dah janjian sama Dessy. Hari ini gak ada pelajaran. Kan tinggal tunggu pembagian rapor terus liburan panjang. Hari ini cuma lomba -lomba sama pentas music."
Kak Hani membulatkan mulutnya tak bersuara. Iapun pergi meninggalkan Ami sendiri di kamar yang masih kemulan.
Bulan depan, kenaikan kelas, itu artinya minggu depan libur panjang. Hari ini saatnya sibuk disekolah, menghabiskan minggu terakhir di sekolah dengan kegiatan classmeeting, adu music yang diselenggarakan sekolah dengan mengundang para peserta dari sekolah lain. .
Krang! Kring! Krung! Itu suara handphone Ami terus berdering membuat berisik tetangga. Tapi Ami malah semakin menarik guling untuk nyumbat telinganya. "Aduhh!!!!" Kesalnya.
"Ami telponnya diangkat dulu lah." Kak Hani melongo dari luar pintu kamar.
7 Krang! Kring! Krung! Hape itu tak berhenti berdering, akhirnya terpaksa juga Ami menjulurkan tangannya meraih handphone touch screen warna hitam miliknya di atas nacase tempat tidur.
"Hallo"" Jawabnya berat.
"Hallo! Ami!!" Terdengar suara yang sangat kacau dan tergesa -gesa dari kejauhan sana.
Akhirnya mata Ami melebar, ia terkejut siapa yang menelponnya dengan nada yang sangat emergency. Hape itu di lepasnya dan di pandang ulang dengan mata yang lebih jelas.
"Dessy"" Katanya heran. Hape itu ditempellkan lagi ketelinganya. "Ada apa
Dess"" "Eh sumpah deh! Kamu harus masuk sekolah sekarang!" "Ha"! Sekolah"!" Ami terduduk. "Emang ada apa"" "Aim!! Aim!!! Aim!!!"
"Kenapa Aim""
"Pokoknya kamu harus masuk sekolah sekarang! Ini aku aja dah mandi mau siap -siap berangkat bentar lagi!"
Tit!!! "Ha"!" Ami terheran, hubungan telpon mati seketika dari seberang sana.
Penasaran apa yang tejadi, segera Ami melompat dari tempat tidurnya. Bergegas mandi dan pakai seragam.
"Ami mau kemana"" Tanya Mama yang heran saat melihat Ami tergesa -gesa menyambar roti di meja makan.
"Kamu telat sekolah"" Tambah kak Hani.
Mulutnya tersumpal roti, ia duduk memasang tali sepatunya. "Aku ada emergency Ma..." Katanya tak jelas. "Hallah... telat juga...."
"Ah udah, aku jalan dulu Ma." Secepat kilat Ami menyambar tangan Mama dan berlari keluar rumah. "Assalamualaikum!!!"
"Waalaikum salam..." Sahut Mama dan kak Hani bersamaan. "Baru aja dibangunin katanya libur gak mau masuk." "Ada pengumuman mendadak mungkin." Timpal Mama. Sementara...
Resah dan gelisah, Dessy mondar mandir bagai setrika baju menantikan kedatangan Ami penuh harap cemas di depan pos satpam sekolah sambil mengepal -ngepal tangannya dan sesekali menggigit jarinya.
"Ada apa sih Des"" Sapa Ami.
Kemunculan Ami cukup mengejutkan dan melegakan Dessy. "Akh akhirnya dateng juga kamu Mi."
8 "Ada apa sih Dess""
Tanpa menjelaskan apapun, Dessy langsung menggandeng tangan Ami dan mengajaknya menuju halaman belakang.
Halaman yang sangat luas dan lebar saat sepi kini sangat sulit untuk dilewati. Semua siswa -siswi dari berbagai sekolah datang untuk menyaksikan kompetisi music yang memang rutin diadakan setiap tahun. Keramaian itu tak menyisahkan satu tempatpun untuk Ami dan Dessy menyeberanginya.
"Duh gimana nih"" Dessy semakin gelisah sendiri.
"Apanya yang gimana sih Dess"" Ami mulai kesal. Gandengan tangan Dessy dilepasnya begitu saja.
Dessy meraba -raba dalam tasnya, muncullah satu handphone flip berwarna biru. Dibuka kemudian ditekan beberapa tombol nomernya dan ditempelkan tepat ditelinganya.
"Hallo" Iya ada dimana"! Ya Ayo cepettan kalau memang mau kesini! Iya ini aku
ada di depan kelas 10, 9. Iya iya gak ada Ami koq disini____Iya awas ceppetan! Jangan
aneh -aneh lo!" Telpon Dessy berakhir juga.
"Siapa yang kamu telpon""
Dessy lebih tenang sekarang. "Barusan aku telpon Aim."
"Aim"" "Iya, rencananya kan kita mau bolos hari ini. Eh pagi -pagi Aim telpon katanya mau nonton di sini, sekalian mau ketemu kamu." "Tapi kamu tadi koq bilang aku gak ada""
"Itu cuma akal -akalanku aja biar dia bisa ketemu sama kamu. Coba deh, kemarin pas aku nyampein pesen kamu
yang ada dia malah marah -marah sama aku. Yang katanya dia gak siaplah, inilah, itu lah. Males! Sekarang juga dia masih gak mau ketemu kamu, maunya mau nyiapin diri dulu. Tapi aku dah males nunggu dia kelamaan."
Ami tersenyum gelli. "Kamu itu."
"Ya sekarang ide aku buat jebak dia, seakan -akan kalian emang gak sengaja ketemu gitu."
"Oke lah aku setuju! Aku perlu sembunyi""
"Sip.!!" Rencana dadakanpun dilaksanakan sebaik mungkin. Ami bersembunyi entah kemana. Sedang Aim, seperti terancam mengendap -endap berjalan lirik kanan lihat kiri. Mungkin ia takut Ami akan menemukannya.
"Woy!" Sapa Aim pada Dessy yang sudah menunggunya.
"Heh, napa lagi sih" Cuma mau ketemu aja ribet amat lo."
"Hah gue gak siap O'on..."
"Enak aja ngatain aku O'on!"
Aim masih saja menoleh kanan kirinya. "Mana dia""
9 "Dia siapa""
"Argh. jangan sok begok deh. Ya Ami lah." "Ngapain lagi cari dia" Mu ketemu sekarang""
"Ya gak lah!" "Ah lo, suruh ketemuin gak mau. Giliran gak ada dicariin aja."
"Justru gua takut ketemu sama dia.. "
"Kenapa harus takut" Lu pikir sohib gue monster apa"!"
"Ah ello." "Emang kenapa coba kalau ketemu" Kan enak urusan kalian bisa cepet selesai.
Napa sih lo"!" "Akh. udah deh lo."
Diam sejenak. Dari kejauhan Ami memperlihatkan dirinya, ia terus berjalan mendekat pada Dessy lagi.
Takut, Aim berusaha melarikan diri, tapiterlambat karena tangannya sudah lebih dulu di tahan Dessy. "Heh mau kemana loe""!!"
"Sialan lo! Ini rencana lo kan nyuruh dia datang kemari ha"!"
"Jieh! Ge -er lo, dia itu baru datang. Mana gue tahu dia mau ketemu ama gue atao enggak!" Dessy terus menahan tangan Aim.
Aim yang malu and nerveous dengan kehadiran Ami hanya bisa menunduk saja.
"Hey." Sapa Ami dengan senyuman manisnya.
"Ah Ami. katanya hari ini gak mau masuk"" Basa -basi Dessy.
Ami tersenyum. "Males di rumah gak ada kerjaan." Matanya beralih pada Aim yang terus memalingkan muka. "Aim. wah gak nyangka kita ketemu langsung sekarang ya."
Senyuman Aim menahan sejuta rasa malunya. "Iya..."
"Hmm. Makan bakso yuk." Ajak Ami.
"Wah boleh itu."
"Kalau gitu aku pergi dulu ya.. "
"Kenapa"" "Kan gak enak kalau aku ikut kalian.. "
Ami tersenyum. "Udah ikut gabung sama kita berdua aja. Itung -itung jamuan makan kecil nih. Kan mumpung di sekolahku."
"Tapi." "Udah ah lo jangan sok malu -malu kodok deh." "Sembarangan loe."
"Udah -udah, yuk..." Ami tersenyum. Iapun berbalik meninggalkan Dessy dan Aim yang masih malu sendiri di belakang.
"Eh sialan lo rencanain ini kan"!" Aim berbisik tapi itu masih jelas terdengar di telinga Ami.
10 "Jieh! Ge -er lo bos! Udah ngomong terus. Ikut deh..." Dessy dengan kasar
menyeret Aim untuk segera mengejar Ami yang sudah cukup jauh juga.
*** Dua,,, Tiga porsi bakso mendarat juga di meja.
Saus, sambal, kecap or tambahan garam. Dessy sibuk dengan ramuan kuah baksonya. Ami" Dia hanya menambahkan bubuk garam dan sesekali meliriki Aim yang hanya membisu dan memainkan bakso di mangkuknya.
"Kenapa" Gak suka baksonya" Atau gak enak"" Tanya Ami.
Mukanya terangkat. "Ah enggak, enggak, enggak koq. aku suka.enak."
"Kalau suka ya ceppet makan dong!" Sambung Dessy.
"Hirh." Desahnya kesal.
Ami tersenyum. "Abang gak usah malu, aku gak akan ngetawain abang ada disini koq. Lagian gak ada yang tahu siapa abang."
"Cheile. Abang."
"Emang apa salahnya"" "So cweeet gitu loh."
Ami tersenyum santai. "Umurnya diatas aku, apa salahnya aku panggil abang" Aku menghormati dia koq.. " "Makasih ya, Mi." "Sama -sama." "Iya deh, abang sayang..."
Ami dan Aim sama -sama tersenyum, bahkan mereka saling berpandangan walau sebentar saja. Perlahan rasa malunya berlarut dalam suasana gaduh di kantin dan gurauan -gurauan konyol yang terlontar dari mulut Dessy.
"Ami, bisa ngomong bentar gak"" Sapa seorang teman lelaki menghampiri meja mereka.
"Owh oke" Ami melepas sendok dan garpu ditangannya dan beranjak dari kursi. "Aku permisi dulu ya." Pamitnya
"Iyaa.." Jawab Aim dan Dessy bersama.
Matanya membuntuti jalannya Ami bersama seorang teman lelaki tadi. "Woy!" Dessy melayangkan sendok di depan mata Aim.
"Sapa dia""
"Napa cemburu"""
Senyumnya santai tanpa menjawab apapun.
"Eh by the w ay ni. Napa sih lo susah banget kalau gue suruh ketemuan sama Ami"" Tatapan Dessy serius kali ini. "Gak penting loe tahu."
11 "Penting dong! Sekarang kalau Ami terus -terusan tanyain gimana" Kan gua gak bisa jawab"!"
"Lo mau tahu""
Dessy menangguk yakin. "Benneran""
"Iya." "Sungguh""
"YA ALLAH! Capek deh ni anak! Serius ni!"
"Okay tahan, tapi lo harus janji sama gue jangan kasih tahu hal ini sama Ami."
"Hmmmm.. " "Serius, gue gak segan -segan nyemplungin lo ke sumur kalau Ami sampai tahu dari mulut lo." Ancaman Aim itu terdengar sangat mengerikan dan sunguh -sungguh. Dessy merasa aneh dan cukup takut. "Segitunya lo"" "Ini serius."
"Okay, ada apa sih sebennernya""
"Sebennernya..." Aim menarik nafasnya berat. Masalah ini tak mudah ia akan ceritakan pada siapapun. "Gue ini abang tirinya."
Mata Dessy nyaris melompat saja. "Whaat"!" Katanya terbelak sungguh tak percaya.
"Gue gak mau Ami tahu, karena pasti Ami akan menjauh dari gue."
"Tunggu! Tapi kenapa Ami gak pernah cerita kalau ibu tirinya itu punya anak
dua"" "Ya dia kan gak tahu. Dia gak pernah lihat gue. Dari dulu gue tinggal sama babe. Baru beberapa tahun terakhir gue balik ke Emmak. Dan sengaja selama ini gue emang ngindarin kalau Ami dateng jengukin Emmak, sama Adek gue."
"Lo serius Im""
"Lo kira ini main -main apa"!"


Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya tapi gimana kalau Ami tahu sendiri""
"Itu bencana besar buat gue..."
"Apanya yang bencana"" Rupanya kalimat terakhir Aim terdengar oleh Ami yang tiba -tiba datang kembali.
Keduanya tercekat, gelagatnya sedikit kebingungan mencari alasan. "Tahun lalu dulu pernah tsunami..." Elak Dessy konyol.
"Hmmm." Well, Ami rupanya tak terlalu penasaran juga dengan kalimat itu. Acara makanpun kembali dilanjutkan dengan santai dan suasana jadi lebih nyaman sekarang.
Aim tak terlalu canggung lagi dengan keberadaan Ami dihadapannya langsung.
*** "Udah siap"" Tanya Kak Hani yang mencantolkan tasnya.
12 Mengintip dari cermin dihadapannya, aku yang menggigit karet rambut menjawab tak jelas. "Bentar."
"Aku tunggu di luar. Cepet yang lain sudah siap."
Takut akan ditinggal, aku lekas mempercepat kunciran rambutku yang tinggal sedikit lagi di kepang. Karet di mulut kuambil. "Iya iya." Krang kring Krung!!!
Aku tolehi handphone yang nyaris saja tertinggal di nakas. Selesai mengikat aku ambil dan aku lihat. Cukup mengherankan, hanya nomor yang tak ku kenal. Siapa yang telpon aku"
"Hallo"" "Assalamualaikum." Terdengar suara lelaki dari seberang sana. "Waalaikum salam." Jawabku sedikit heran. Sambil berjalan keluar kamar.
"Aku Ibrahim." Kakiku berhenti. "Abang""
"Iya." "Ada apa""
"Aku mau ketemu kamu sekarang. Bisa""
"Aduh, maaf tapi aku mau ke rumah auntyku sama kakak - kakaku. Lain kali aja
ya." "Kalau besok pagi""
"Inysa'ALLAH ada waktu. Tapi entar aja ya aku pastiin lagi"" "Kamu buru -buru ya"" "Maaf bang, iya nih..."
"Okay kalau gitu aku minta maaf, lain kali aku telpon kamu lagi. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Tiit! Hubungan telpon berakhir.. "Ami ayo cepat!"
Mendengar panggilan itu Aku langsung berlari keluar menghampiri semua orang yang telah menungguku sejak tadi.
Hari ini hari libur, semua orang di rumah libur, dan saatnya liburan. Semua naik ke mobil, Mama, Ayah, kakak, abang Ipar dan ponakanku yang kecil -kecil. Walau agak berdesakan tapi ini akan jadi perjalanan yang panjang dan sangat seru!!
Bosan dengan kehidupan kota, sejenak aku dan semua penghuni rumah mengirup udara pedesaan yang sejuk dan indah. Pedesaan yang sangat jauh dari kota tempat tinggal kami. Desa tempat tinggal Auntyku, kakak dari Ibu. Walau pedesaan kali ini sudah banyak bangunan -bangunan rumah berfondasi berbatu, tapi suasananya tak sedikitpun menyesakkan seperti di kota.
13 Cukup melelahkan menghabiskan waku yang lama, tiga jam perjalanan kemudian akhirnya kami semua sampai dengan selamat. Sebuah rumah yang luas dengan halaman, tak bertingat, tapi rumah itu cukup besar untuk daerah pedesaan seperti ini.
Angin semilir sangat sejuk meniup rambutku yang baru saja turun dari mobil. Wah sepertinya rambutku mulai acak -acakan. Hum. tarik nafas, buang perlahan. udaranya dingin, cukup membuat air
kran seperti air es. Brrr.!!! Walau disana hanya ada empat orang, Uncle, Aunty, dan Abang sepupu serta istrinya, tapi cukup seru koq. Disambut cukup meriah dan menyenangkan. Hmm. jadi teringat masa kecil dulu waktu liburan sering aku main ke sini. Di halaman belakang aku ingat ada sungai, lalu di pinggirnya ada pohon belimbing, sawo, mangga dan apa ya""" Tapi sekarang sudah tidak ada, sayang sekali..
Lagi asyik -asyiknya nih bergurau mengenang masa dulu bersama kakak Ipar dan Mama, tiba -tiba ada saja yang membuatku menyingkir dari keseruan.
Krang ! Kring! Krung! Hapeku bunyi lagi, ku comot dari kantong dan menjauh. Dessy rupanya.
"Hallo Dess"" "Hallo Mi."
"Ada apa ni" Tumben""
"Eh aku tanya, apa Aim telpon kamu""
"Iya. Emang kenapa"" Sedikit pertanyaan itu memunculkan rasa penasaranku. "Ah enggak sih. Cuma tadi pas subhuh dia paksa -paksa aku buat kasih nomermu. Tapi dia gak bilang aneh -aneh kan sama kamu"" "Kalau aneh sih enggak, tapi."
"Apa"" "Dia tanyain aku sibuk atau enggak tadi pagi. Dia mau ketemu aku katanya."
"What"!Huahah...." Terdengar sangat keras Dessy tertawa terbahak -bahak disana. Aku lekas jauhkan telpon dari telingaku, bisa -bisa telingaku jebbol gara -gara tawanya yang keras.
"Sinnting! Sampe segitunya ngakak"!"
"Sori -sori say." Dessy menahan tawanya.
"Emang napa kalau dia ngajakin ketemuan"" Aku kembali ke topik awal.
"Akh, lucu aja. Akhirnya dia punya nyali juga buat ketemu langsung sama kamu. Kamu lupa, udah seminggu kamu bilang Aim gak pernah muncul or ngabarin sama kamu sejak jamuan makan bakso di sekolah waktu itu. Eh sekarang tiba -tiba muncul langsung ngajakin ketemuan."
Akupun tersenyum. Aku lupa kapan terakhir kali aku dapat kabar tentang dia. Dessy benar, Aim sudah cukup lama sekali menghilang, itu juga karena aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sampai tak ingat tentang dia.
"Hati -hati say."
14 "Napa"" "Aim itu tipe cowok instan."
"Kopi kale instan! Ada -ada aja kau itu."
"Tapi bennerkan" Lama gak ada kabar, eh tahu -tahu langsung minta ketemuan."
"Iya juga sih."
"Eh kayanya dia dah masuk perangkap dan gak bakalan lepas lagi deh."
"Serius lo""
"Percaya deh. Lihat aja, entar abis ketemuan dia pasti langsung minta kamu jadi pacarnya. Terus, abis jadi pacar langsung dilamar deh.." Lanjut Dessy sambil cekikikan.
"Jieh! Sembarangan, pacaran sih mending, kalau nikah" Yang ada dia masih sekolah juga kale."
"Tapi dia kan dah lulus" Lupa nih""
"Ah emang dia gak mau kuliah""
"Lho" Emang aku belum cerita ya""
"Apa"" "Aim gak mau kuliah, jusrtu dia mau langsung kerja katanya. Buat memantapkan diri biar cepet -cepet bisa ngelamar kamu."
"Jiah Chuih! Lama -lama kumat juga penyakit lo Dess."
"Hahaa." "Ami"! Sok penting kamu terima telpon lama amat!" Tegur kak Sita mendekat.
Aku hanya menoleh sambil menutup bagian mic hape. "Iya benntar lagi." Kemudian aku kembali pada Dessy di telpon. "Dess sorry ya aku putus, gak enak aku dah di rumah Auntyku ni. Sambung besok ya."
"Wokeh deh say.. bye."
"Bye." Tit! Telpon berakhir, dan aku kembali pada kumpulan cerita masa lalu bersama
yang lain. *** Hmm. Perjalanan seharian kemarin cukup membuat tubuhku terasa remuk seperti habis berkelahi saja. Matahari sudah hampir pas di atas kepala, tapi mataku masih saja tak kuat untuk dilebarkan. Aku tetap berkelut dengan bantal dan gulingku.
"Udah mandi kak"" Tanyaku pada kak Hani yang juga sedang tiduran di sebelahku.
"Udah dong, dari tadi. Ayo kamu gak mau bangun""
"Males, ngantuk."
"Hari ini gak ada rencana mau jalan""
"Kayaknya sih enggak, emang napa"" Sambil aku meraih handphone di nacase.
15 "Ya kan boring di rumah." Diam aku tak jawab kakak lagi.
Aku raba handphoneku di nacase seperti biasa. Satu tombol terus kedap kedip pertanda notifikasi. Aku lihat ternyata ada missed call, "Astaughfirullahal adim!!!" Aku terbelak melihat panggilan tak terjawab itu ternyata sudah lima kali. Aku baru ingat aku telah melupakan sesuatu.
"Apa Mi"" "Aku punya janji kak!!!" Segera aku melompat dari tempat tidurku. Berlari ke kamar mandi.
Astaga! Oh MY GOD! Kenapa aku bisa sampai lupa kalau pagi ini harusnya aku bertemu dengan Aim. A
duh!!! Dia pasti sangat marah padaku, atau bahkan dia bisa illfill sama aku. Duh Aim tolong tunggu aku, aku pasti datang koq.
Tergesa -gesa aku berpakaian dan keluar kamar.
"Aku ikut Mi""
"Ah gak bisa, ini urusanku bukan urusan orang tua kaya kau!!" Sahutku sembari bergurau menggoda kakak.
Sebelas nol nol. Harusnya janjiku sejak tadi jam delapan. Kira -kira Aim masih ada gak ya di sana" Tujuh puluh kilo meter per jam, aku menunggangi motor matic pemberian Ayah setahun yang lalu. Aku benar -benar berharap Aim masih mau menungguku yang sudah terlambat berjam -jam.
Dalam empat menit aku bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Sebuah tempat yang indah dan segar dipandang mata. Sungai panjang dan lebar, terdengar gemuruh airnya yang sangat deras, dan kanan kiri terdapat sawah hijau membentang. Sungguh tempat yang sangat sejuk walau di tengah siang yang menyengat. Karena aku berdiri diatas rumput yang hijau dan dinaungi pohon berdaun lebat yang rindang. Dia pandai sekali memilih tempat untuk bertemu, karena aku suka tempat ini. Ini pertamakalinya aku datang ketempat seperti ini.
Sesaat kagum pada suasana, aku kembali ingat janjiku dengan Aim. Aku tolehi semua kanan dan kiriku, aku harap dia masih bersedia menungguku. Tapi tidak, dia tak ada di tempat ini. Tentu dia telah pulang Karena janji kami sudah batal akibat ketidakhadiranku.
"Ami...!!!" Sesaat kemudian terdengar suara panggilan untukku.
Aku menolehi suara itu. Dari balik pohon besar muncullah Aim tersenyum padaku.
Sungguh senang melihat dia ternyata masih bersedia menunggu kedatanganku. Segera aku berlari kecil menghampirinya.
"Aku minta maaf bang, aku bener -benner minta maaf. Aku lupa. Aku ketiduran. Kemarin seharian aku jalan -jalan sama semua keluargaku, jadi aku capek terus bangun aja aku kesiangan." Ujarku cepat.
16 Aim tersenyum. "Gak papa, kamu udah mau dateng sekarang aja aku sudah sennang."
"Jangan marah ya"" Kataku lagi masih merasa tidak enak hati.
"Ngapain aku marah sama kamu" Aku gak bisa marah sama kamu." Katanya lembut, sambil tersenyum lagi.
Giliran aku yang tersenyum, tapi tersipu sangat malu dengan gombalannya.
Kami berduapun duduk berdampingan dengan beralas karpet hijau alami. Saling diam tak langsung berbicara apa yang ingin dibicarakan. Sebenarnya aku sedikit lebih gugup dari biasanya, perlahan jantungku terasa berdebar lebih kencang, semakin kencang, hingga getaran -getaran kecil mulai merambat hingga ujung -ujung jariku. Aku harap ini bukanlah triknya untuk membuat aku ge-er seperti beberapa tahun lalu.
"Sebenarnya." Kataku dan dia bersamaan tanpa sengaja.
Kata itu tak terlanjutkan, hanya tertawa lucu dan malu sendiri.
"Silahkan kamu duluan.. " Katanya.
"Gak abang duluan aja."
"Ladys first..."
Aku tersenyum. "Sebenarnya abang ngapain minta aku ketemu disini"" "Ah itu, sebenernya aku."
Cukup susah mungkin untuk dia menuntaskan kalimatnya segera. "Aku harap kamu mau menjawab pertanyaanku dengan jujur ya""" "Waw, pertanyaan apa itu""
"Aku cuma ingin memastikan aja. Apa bener yang Dessy bilang sama aku"" "Apa"" Aku mulai takut, jangan -jangan Dessy bilang macam -macam padanya. "Apa benar kamu juga suka aku"" Pertanyaan itu terdengar malu -malu. Aku terhenyak, tersenyum menahan malu. Oh God! Dessy bilang kalau aku suka sama dia"! Oh no.
"Ah itu, a, e, m." Jantungku semakin berdebar sangat kencang, lidahku juga kelu membuat aku benar -benar kehilangan kata -kata.
"Kamu jangan merasa malu gitu ya. Ini cuma aku, aku sangat mengharap kalau apa yang Dessy bilang itu benar. Setidaknya aku gak sedih karena cintaku bertepuk sebelah tangan."
Aku mengangguk memalingkan pandanganku.
"Benner"" "Iya..." Jawabku malu.
Raut wajahnya nampak jelas kalau dia sangat bahagia dengan anggukanku sebagai jawaban.
"Sungguh""
"Iya, aku memang benner suka sama abang. Bahkan mungkin sebelum abang suka sama aku."
"Apa sejak kedipanku dulu""
17 Aku tersenyum semakin malu. Mengingat hal terbodoh yang pernah aku alami dalam hidupku. Itu pertamakalinya kesalahan fatalku akibat tercekat pada sebuah kerlingan mata.
"Kau curang..!" Jawabku tertawa kecil.
"Maaf, itu demi reputasi kelasku.
Kami semua tahu koq kalau kelasmu itu pentolan tim voli sekolah..."
"Hmm, terus kenapa harus kau yang menjalankan tugas""
Aim tak menjawab, ia hanya tersenyum malu.
Sunyi sejenak saling tersenyum di benak masing -masing.
"Aku minta kamu jadi pacar aku ya""
Kilat aku menoleh menghadapnya. "Ha"!"
"Ya aku minta kamu jadi pacar aku. Aku sama kamu, kita, jadian."
Aku tersenyum semakin lebar, jantungku berdetak semakin kencang. Aku gugup, apa ini mimpi" Tidak ini bukan mimpi, karena rumput yang aku raba sangat terasa kasar dan tajam. Hey! Kanpa aku jadi seperti ini""
"Aku gak salah denger bang""
Aim hanya menggeleng. Aku teringat akan perkataan Dessy kemarin di telpon. Aim benar -benar instan! Sesuai dugaannya hari ini dia langsung meminta aku untuk jadi pacarnya. Apa perangkap tepat mengenai dia, atau aku yang masuk perangkapnya" Yang pasti aku senang dan merasa ge-er dengan pernyataan cintanya.
"Iya aku mau." Jawabku perlahan malu.
Tak tahan aku memendam masalahku sendirian, karena aku biasa untuk membaginya dengan Dessy kawan terbaikku sejak SD dulu.
"Hahahaa!!!" Aku dan Dessy di sebrang sana langsung tertawa terbahak -bahak. Setelah mendengar aku menceritakan semua yang sudah terjadi tadi siang.
"Sumpah deh, gak nyangka banget kalau Aim bakalan seperti yang dah kamu bilang kemarin. Wah gak nyangka benneran say..."
"Dah entar lagi kamu tinggal tunggu dia bilang "Marry me...!!"" Lanjut Dessy semakin terbahak.
"Wah gile lo, jangan dong, jangan sekarang kan aku masih sekolah."
"Duh, gak percuma aku tempa sehari semalaman waktu itu."
"Ditempa gimana"" Tanyaku tiba -tiba penasaran dengan pernyataanya barusan.
"Ya aku katain dia begini begitu. Aku bilang sama dia. Kalau dia gak cepet -cepet Ayahmu dah ada calon buat kamu..." Dia menjawab cepat lalu kembali terbahak.
"Akhr. sialan lo."
"Ya sialan dikit gak papa dong, yang penting sekarang dah dapet benneran
kan.""" 18 "Hem iya sih... eh by the way, kira -kira dia itu serius gak ya" Atau itu cuma trik dia bikin aku tambah ge-er""
"Udah say tenang aja. Aku yakin koq Aim itu emang beneran serius. Justru dia yang masuk sama perangkap mu."
"I hope so." Sejak siang itu, hidupku lebih berwarna lagi dari biasanya. Sekarang Aim bukan lagi mengirimkan surat merah jambu, tapi sudah jadi pengingatku. Pengingat untuk makan, tidur, istirahat, ibadah, dan lain -lain.
Gombal! Itu dulu saat aku belum tahu bagaimana jadi seorang yang sangat diperhatikan oleh pasangannnya. Dulu aku bilang. "Ikh, Norak!" pada teman -teman yang selalu berdialog mesra di telpon bersama kekasihnya. Tapi sekarang, norak sih
tapi. biarin aja deh yang penting aku sennang.
*** Tiga,,, "Chieh chieh, yang baru jadian nih." Goda Dessy yang tiba -tiba muncul dan menepuk pundakku yang sedang menikmati semangkuk bakso di ujung jalan bersama pangeranku Aim.
"Wey! Kemana aja kau"! Lama gak muncul." Sahutku bersalaman dan cipika
cipiki. "Iya kemana aja"" Tanya Aim Juga.
Dessy duduk disampingku. "Aku baru balik dari Jakarta."
"Koq gak kasih tahu" Kapan berangkatnya""
"Oma aku meninggal, so dadakan lah pastinya berangkat tiga hari yang lalu." "Innalillahi wainna ilaihi roji'un." Sahutku dan Aim bersama. "Turut duka cita ya." Tambahnya.
"Makasih." Intro 'Its my life, by bon jovi'
Sepenggalan music barat muncul makin keras memecah keasyikan kami. Ternyata hape Aim yang berbunyi. "Bentar ya ada Teflon."
"Teflon"! Telfon kale...!!!" Seruku dan Dessy serempak dengan tawa. Diangkat telfon itu dan pergi menceri ketenangan suara.
"Aduh telpon dari siapa ya sampai menjauh gitu"""" Dessy masih terus menggodaku.
Aku tersenyum. "Ken Dedes, Ken Dedes! Koq kamu yang repot tuh telpon dari siapa" Biarin aja terserah siapa yang mau telpon lah." "Lah bukannya curiga malah senyum -senyum." "Truzz"" Gimana lagi dong" Ya udah biarin aja lah..." "Yeh! Koq gitu sih" Gak takut lepas dari jebakan ne""
19 "Terserahlah." "Lho" Waktu itu katamu pengen serius deh. Koq terserah" Kalau di rampok orang gimana""
"Perhiasan kale di rampok"!!!" "Ah gimana sih."
"Masih banyak koq yang lebih kerren dan bagus dari dia. Ya kalau memang dia selingkuh dan gak serius sama a
ku. yaa good bye." "Masya'ALLAH. Aku baru nemuin nih yang begini nih."
"Hahay! Aku gak buta ken, kalau memang dia jelek ya jellek aja. Bahkan kalau temen -temen dia ngatain dia 'jelangkung' emang iya kalli yaa""""
"Jelangkung"!"
"He'em." Aku menggangguk. Aim kembali. "Sorry lama."
"Gak masalah sih kalau aku, gak tau kalau dia ya..." Dessy menyikutku. Aku dan dia hanya tersenyum malu. "Koq bisa ya"" Heran Dessy.
"Apa"" "Kalian berdua jadi."
Senyumku semakin lebar saja. Aku kembali teringat masa SMP dulu, saat pertama aku punya masalah dengan dia, saat kerlingan matanya menggoyahkan konsentrasiku. Sungguh aku tak menyangga semuanya bisa berlanjut sampai sejauh ini.
Aku tengok jam tanganku. Sudah tepat pukul lima. "Aku pulang ya"" pamitku dengan nada lembut padanya.
"E'hm! E'hm...!" Dessy terbatuk batuk. "Aduh, kalau sama dia lembutnya..."
"Ah iya deh, aku pulang dulu ya Ken Dedes." Aku mengelus -ngelus punggungnya.
"Hahay! Im! Kog gak diantar pulang sih""
"Backstreet buk," Sahutku kilat. "Udah aku duluan ya." Pamitku kembali pada mereka berdua.
Aim yang aneh, backstreet bukanlah pilihanku untuk menjalani hubungan dengan dia, tapi itu adalah permohonan darinya. Aku ingin hubungan yang serius dengannya. Awalnya aku memang sekedar main -main. Tapi, aku selalu merasa senang dan tenang di dekatnya. Akupun tidak mau kehilangan seseorang yang sudah memberikan ketenangan dalam hidupku. Lalu kufikir hubungan seperti ini bukanlah untuk main -main. Walau aku tahu banyak pemuda -pemudi jaman sekarang hanya menjalani hubungan sekedar suka -suka dan trend saja. Sementara, dia selalu menghindar dengan jurus seribu satu alasan hingga aku bosan untuk membahasnya lagi.
Aku sempat dibuatnya menangis karena aku menolak untuk backstreet. "Apa salahnya sih bang" Aku ingin hubungan kita serius."
20 Sementara Aim masih bersikeras dengan kemauannya sendiri. "Kalau kamu gak mau ya udah sampai disini aja."
Aku sangat kaget dengan ancamanya itu. "Kau tega bilang gitu."" Setetes air mataku mulai jatuh. Ya, sejak itu aku mulai berasa menjadi seorang yang cengeng.
"Abang sadar" Baru kemarin rasanya abang kirim aku surat merah jambu, lalu sejam kemudian Abang minta aku jadi pacar abang, dan sekarang" Abang ngancam untuk putus cuma karena aku gak mau untuk kita backstreet"!"
"Maafin aku Ami. Tapi kita harus lakukan ini setidaknya sampai waktu yang tepat." Lututnya ditekuk. "Aku mohon sama kamu Mi, aku janji sampai saatnya tepat aku pasti mau untuk datang dan menunjukkan siapa aku pada orang tuamu dan siapa kamu pada orang tua aku."
"Iya tapi kenapa"!"
"Tolong Ami, jangan tanyakan itu. Aku gak bisa mengatakan alasannya sama
kamu." Aku pegang tangannya agar ia tak terus -menerus berlutut dihadapanku. Aku peluk dia dengan erat, aku tak mau kehilangan dia yang aku rasa aku mulai menyayanginya lebih dari apapun.
Aku tidak tahu kenapa dia minta untuk menyembunyikan hubungan ini dari
semuanya, terutama dari keluargaku. Hanya aku, Dessy dan dia sendiri yang tahu, satu
lagi, tuhan pasti tahu hubungan kita ini. Entah kenapa, menyatakan cinta hanya duduk
santai, tapi memohon untuk backstreet sampai berlutut. ***
Aku genggam gagang kulkas dan bergerak menarik untuk membuka. Ku comot sepiring coklat cake dengan lapisan coklat leleh yang lezaat sekali. Humm! Aku suka ini.
"Adin mau pesta kecil, nanti abis isya' Ayah mau antar kita." Kabar kakakku Emma sambil kesana kemari dengan piring suapan anaknya.
"Harus ya"" Sahutku lesu.
Mama mencetokkan sendok ke dahiku. "Yang benar saja kamu, itu adik kamu ya harus lah."
Aku menggosok dahiku. "Ah Mama, Ami kan cuma bercanda." Aku rampas sendok di tangan Mama.
"Kamu bercanda terus kapan seriusnya"!"
"Kalau bercanda sudah dilarang, pasti Ami akan serius Mami." Jawabku sambil berjalan meninggalkan Mama menuju kamar.
"Ah Ami! Kamu diajakin ngomong bener malah aneh -aneh jawabnya!" Sambung kakakku yang lainnya lagi, Sita namanya.
Aku tak perdulikan omongan Kak Sita atau yang lainnya. Aku terus berjalan sambil menikmati lezatnya cake coklat buatan aku, Mama dan ketiga kakakku tadi pagi. Haha! Lezat! Kemudian aku bergegas masuk kamar.
21 Aku menarik gagang pintu untuk dirapatkan sedikit. "Adin ulang tahun mau ikut kak"" Tanyaku pada Kak Hani yang bersantai dengan I pad Apple-nya di atas tempat tidur.
"Ya iyalah. Adik sendiri, apa kata Ayah nanti"" Jawabnya tak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Aku duduk di bibir kasur, menatapi lesu cake coklat yang mulai terasa hambar.
Itu benar, Ayah pasti marah jika tahu anak -anak dan sang Ibu tiri tercinta tak akur. Padahal terkadang sering juga mereka itu membuat kesalahan pada kami tapi itu tidak mendapat penanganan yang serius dari Ayah. Aku mengerti betapa sulitnya menjadi seorang yang harus adil pada dua keluarga. Tapi kata Mama kami semua harus mengalah demi Ayah, dan aku juga pikirkan Ayah yang akan sangat tersiksa dengan perang antara dua kubu dibawah pimpinannya.
Hem... Adin, dia anak Ayah dengan ibu tiriku. Umurnya sekarang sepuluh tahun. Ah! Aku malas mau pergi malam ini, tapi aku gak punya alasan buat menghindar dan melarikan diri.
"Malas ah kak..."
"Sudah tahan sendiri."
"Kakak bawa hadiah""
"Enggak, aku gak punya duit." "Kalau gitu aku juga enggak ah." Diam sesaat,
"Mau"" Aku tawarkan cake pada kak Hani.
Mukanya berlaih. "Ngemil terus! Gimana mau langsing badanmu" Dikit lagi pasti dah kaya balon terbang!" Ejeknya.
"Hey! badanku hanya kelebihan bobot sedikit! Dari pada kau kaya tengkorak idup!" Sahutku kesal.
"Hirh!" Lekas aku habiskan cake milikku, sementara Kak Hani melepas I padnya. "Ayo, udah setengah tujuh. Entar kamu dimarahin sama Ayah." "Bentar lagi."
Pikiranku tiba -tiba teringat pada Aim. Kalau saja orang tua aku tahu siapa
kamu, mungkin aku bisa ajak kau sekalian buat kumpul sama keluargaku. Sapa tahu itu
akan lebih seru. *** "Ma, Nanti kakak jadi kan makan malam disini"" Tanya Adin meletakkan tasnya di kursi.
"Bhurrr!!!" Segelas air yang diteguk seketika menyembur. Mama dan Adin menolehi Aim sangat kaget. "Kamu apa -apaan"!"
22 Dengan cepat kepalanya menggeleng. Ia sangat shock kalau ternyata acara makan malam sebentar lagi akan mendatangkan Ami. "Anaknya Om, Ma"" "Iya, Adin yang minta bang."
"Sial! Gimana kalau Ami sampai tahu kalau aku ini abangnya Adin"" Gusarnya
sendiri. Kaki itu terus berjalan bolak balik di depan tempat tidur. Jantungnya berdeguk cepat, bintik -bintik air membasahi seluruh dahi dan lehernya sebesar biji jagung. Nafasnya tersengal -sengal seperti habis lari marathon saja. Setelah bertahun -tahun menghindar menyembunyikan diri dari pandangan Ami, kali ini dia tak bisa kabur kemana -mana. Kabar kedatangan Ami dan saudaranya terlambat sampai ditelinga Aim. Sekarang sudah tak punya alasan yang tepat untuk kabur menghilang lagi, karana Mami juga pasti akan marah.
"Udah siap, kak"" Tanya Ami yang kali ini malah terlihat ingin cepat -cepat sampai di rumah Adin.
"Bentar napa. Tadi aja males sekarang suruh ceppet."
"Iya iya.." Ami keluar dari kamar.
"Udah siap"" Tanya Mama.
Ami tersenyum berat pada Mama. Setiap kali kerumah Adin, berarti Mama sendirian saja dirumah. Tak mungkin Mama ikut dengan mereka kerumah Adin bukan" "Iya Ma... tenang aja Ma, kita gak bakal pulang terlalu malam koq..."
"Iya iya." Tujuh nol nol, jam dinding sudah tepat. Semua sudah siap untuk berangkat, by mobil jazz hitam milik Ayah, Ami dan yang lain langsung melaju sampai di rumah besar yang ditinggali sang ibu tiri.
Tujuh menit perjalanan tak memakan waktu lama, sampai juga akhirnya. Rupanya ini pesta yang lumayan besar. Yaa walau hanya syukuran makan. Setidaknya bukan hanya Ami dan kakak -kakak tapi juga Aunty dari Ayah serta sepupu yang lain. Untung saja kedatangan mereka tak terlalu terlambat.
Deretan aneka hidangan sedap menggugah selera telah tertata sangat rapih berkat bantuan helper, Ami dan kakak yang lain. Saatnya makan! Mereka semua sudah bekumpul di ruang makan. Dan Atun! Maaf, namanya Fajrin, hanya kesal dengan tingkahnya dulu jadi Ami dan kakaknya memanggil lelaki itu dengan sebutan Atun. Dia anak sulung Mami dengan suaminya yang terdahulu.
Mami terlihat sedikit kesal. "Ada"" Tanya Mami pada si Atun, eh! Fajrin maksudnya.


Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebentar lagi Ma, masih sibuk katanya." Jawab si lelaki yang ta
k terlalu tampan itu. "Aduh, aneh -aneh saja si Bram itu!" Kesal Mami. "Ini mau mulai tapi dia malah terlambat. Sana panggil dia lagi!"
23 Sesuai perintah sang Ibu, Fajrin kembali menaiki tangga memanggil Adiknya yang masih bersemedi di kamar penuh kegelisahan.
Ami mendekat pada kak Hani yang duduk tepat disampingnya. "Bram" Siapa"" Bisiknya pelan.
"Masa gak tahu" Namanya Ibrahim anak kedua Mama."
"Ibrahim""
Kak Hani hanya menggangguk dan kembali bicara dengan Mami dan yang
lainnya. Ibrahim" Sungguh persis dengan nama Aim, apa mungkin yang dimaksud benar Aim" Mukanya Atun rada mirip sama Aim. Ah! Mungkin hanya pikirku saja. Bisik Ami dalam hati.
Hatinya tak berhenti gusar penuh rasa penasaran dan curiga. Selama bertahun -tahun belum pernah Ami mendengar dan melihat anak Mami yang bernama Ibrahim atau Bram itu. Yang ia tahu Mami hanya memiliki seorang anak bernama Fajrin, dari suaminya yang pertama, dan Adin anak Mami dengan Ayah. Hanya dua tak ada yang lain.
TOILET! Akh! Ami mulai gelisah dengan sikap duduknya. Segera ia menemui Mami dan permisi untuk ke kamar mandi.
"Yang deket dapur sedang gak ada airnya, kamu kedalam saja. Di kamar anak -anak saja." Kata Mami.
"Ah iya Ma." Sahut Ami, terburu -buru. Ah masa mau bucil alias buang air kecil aja harus naik tangga panjang sih"! Keburu bocor nih! Aneh -aneh aja.
Ini jadi pertamakalinya Ami untuk naik ke lantai dua, mana ia tahu letak kamar mandi mereka. Ami jarang sekali berkunjung kesini selain untuk mengantarkan sesuatu untuk Mami, atau sekedar bersilaturrahim yang duduk di sofa tamu.
Iapun melihat Fajrin yang sedang mengetuk pintu kamar.
"Bram! Ayo cepet ditunggu Mama!" Katanya sesekali menekan nadanya.
"Misi Bang, kamar mandi yang bisa aku pake dimana"" Ami menyela.
"Disinia aja Mi, Bentar lagi orangnya keluar koq." Jawabnya.
Tak lama pintu kamar itu terbuka. Tiba -tiba saja tubuhnya terasa seperti hendak membeku seketika. Tanpa sadar tangannya perlahan melayang menunjuk pada seorang lelaki yang tak lain adalah Aim, Ibrahim Imran kekasihnya.
"Aim"" Panggil Ami kaget dengan raut yang tak jelas.
Disana Aim malah tertunduk. "Iya Ami." Itu benar pangeran Ami yang menyahut.
Ami sungguh terbelak melihatnya. Selama bertahun -tahun bolak -balik kemari belum pernah Ami melihat seorang Aim ada disini. Ternyata dia adalah saudara tiri Ami seperti Fajrin"! Ya TUHAN! Kenapa jadi seperti ini"
24 Geraknya sedikit kikuk sekarang, tapi Ami terus berusaha mencairkan shocknya. "Gak ngumpul" Dari tadi udah ditungguin, Mama sama atun. Eh! Fajrin maksudnya." Basa -basi Ami menghindari gugup karena shock berat.
"Iya sebentar lagi aku kesana." Katanya dengan rupa berat. "Kamu mau kemana""
"Aku mau ke kamar mandi dulu." Jawab Ami. "Udah Mi, pake aja disitu." Suruh Fajrin.
"Ada tempat lain"" Ami tak berkenan masuk ke kamar Aim, jadi ia menghidar. "Kalau kamu gak mau ya udah, kamu pakai kamar mandi yang di ujung jalan, belok kanan."
Ami manggut saja dan meninggalkan mereka.
Aim"! Apa dia sudah tahu kalau aku ini memang anak dari Ayah tirinya sekarang" Apa mungkin alasan untuk backstreet adalah ini"
Dan sekarang"! Tentu hatinya sangat perih dirasa, mengetahui sebuah kenyataan yang tak sanggub untuk diketahuinya. Ya Tuhan, aku tak mungkin terus berhubungan dengan dia. Itu sama saja aku pacaran dengan abangku sendiri, Aim, saudara tiriku. Argh! Sial! Dunia ini terlalu sempit buatku. Tidak adakah pilihan lelaki lain yang jauh lebih berharga di hati ku, yang halal untuk aku cintai"!
Deretan makanan yang dikira sangat sedap tadi, kini tak sedikitpun bisa menembus selera makan Ami yang sudah mati kecewa. Di sana, tepat dihadapannya, Aim hanya diam tertunduk tak sedikitpun memandang Ami. Mama! Hatiku sakit, aku ingin segera berlari dari tempat ini. Aku ingin pergi jauh Ma! Teriaknya dalam hati.
Air matanya jatuh juga. Bantal, guling, kasur tidur, semua terasa keras!
"Belum tidur Mi"" Tanya Kak Hani di tengah sadarnya.
"Belum kak." "Ayo tidur, besok mau sekolah." Lanjutnya kemudian tak berisik lagi. Apa yang harus aku lakukan"
Bip, bip, bip! Hapenya berbunyi, ia raih ponselnya di nakas, ternyata ada sMs d
ari Aim. "Met bobo, jangan lupa baca do'a. besok aku tunggu di tempat biasa ya""" Katanya dalam sMs itu.
Balas" Gak" Balas" Gak" Argh! Pusing, tidur aja lah.
*** Empat,,, Kringggg!!! Aku tarik bantal, ku sumbatkan ke telingaku yang tak tahan lagi dengan suara bising yang terus berdering tanpa henti.
"Ami! Ayo bangun Mi! udah jam enam seperempat Dek!" Kak Hani menarik selimutku.
25 Aku tarik kembali selimutku. "Aduh dingin kakak."
"Heh"! Kamu mau sekolah apa enggak sih"! Ayo bangun."
"Lima menit lagi aku bangun, kak." Jawabku tapi semakin menarik selimut menutupi seluruh badanku yang mulai terasa dingin.
"Sudah lima menit lewat! Ayo bangun!!!" Kak Hani menggelitikku.
Aku kalah! Aku benci digelitik. Berjalan dengan mata terpejam menuju kamar mandi. Ah Howay! Ngantuk! Perlahan aku buka mataku. Lho"! Koq buminya kebalik" Dan Gelap!
"Biar nanti Ayah yang antarkan surat izin sakitnya Ami." Perlahan aku buka mata melihat Mama sedang duduk di meja belajarku dengan pulpen yang menari ditangannya.
"Ma pusing." Keluhku.
"Iya kamu tidur saja, jangan sekolah dulu."
"Iya Ma." Hem! Aku akan berbaring sepanjang hari diatas tempat tidur ini. Kenapa aku" Semalam aku masih sehat -sehat saja, ada yang salah dengan diriku.
Krang! Kring! Kruung! Hehe, hapeku ada telpon ternyata. Astaga! Aim yang telpon. Bimbang aku harus angkat atau biarkan saja ya" Sudahlah kasihan juga dia..
"Halo"" Aku jawab telponnya.
"Halo. Kamu kenapa"!" Katanya dengan suara yang cukup cemas. "Waalaikum salam." Sahutku santai. "Ah Maaf, Assalamualaikum."
"Waalaikum salam, memangnya anjingnya berapa ekor"" Godaku.
"Anjing"" Heran Aim di seberang sana.
"Aku kira kamu di kejar anjing, sampai tak kasih salam."
"Ah Ami, aku khawatir sama kamu. Dessy bilang kamu gak masuk sekolah. Kamu kenapa"" Tanyanya memelan.
"Aku gak papa, aku cuma pusing biasa. Demam, yaa penyakit anak kecillah."
"Udah ke dokter" Yang namanya demam itu harus diwaspadai Ami."
"Udah, kamu gak usah khawatir gitu, masih ada Mama dan Ayahku yang lebih mencemaskan anaknya." Aku memotong kegelisahannya.
Oh God, berucap manis, lembut, dan pelan penuh rasa sayang dilarang antara aku dan dia. Seharusnya sudah tak boleh aku lontarkan pada dia, Aim itu abang ku! Apa yang harus aku lakukan" Apa aku langsung minta putus saja" Tapi gak enak kalau lewat telpon, dan ini juga terlalu cepat aku rasa.
"Udah ya, aku mau tidur dulu. Mau istirahat kepalaku mulai pusing lagi nih."
"Iya, kamu banyak istirahat ya. Cepet sembuh ya sayang." Pesan Aim dengan nada khas rayuan manisnya.
"Makasih." Tit! Telpon mati dan aku letakkan kembali di nakasku.
26 Aku menghela nafas berat. Apa yang harus aku lakukan" Kenapa hatiku sakit saat aku mengetahui ini semua" Kenapa aku mulai merasa berat untuk kehilangan dia" Tak seperti niatku awal hanya ingin membuat dia merasakan Ge-er seperti yang pernah aku rasakan, yang akan mencari seseorang lagi sebagai pengganti dirinya suatu saat nanti. Rasanya itu tidak akan berlaku lagi sekarang.
"Cepat sembuh ya sayang, aku harap kamu mengerti aku tak mungkin datang untuk menjenguk kamu. Dan aku tahu kamu mengerti alasan kenapa aku ingnkan untuk merahasiakan semua ini..."
Itulah yang selalu di lontarkan dalam sMs maupun bicara di telpon selama dua hari ini padaku.
"Kamu kenapa, Mi" Tumben kamu sakit gak ada sebab"" Tanya Kak Hani yang sedang mengerjakan tugas di laptopnya.
Aku menggeleng. "Emang sakit gak ada sebab" Aku gak tau kenapa aku sakit, yaa kalau Tuhan mau hambanya sakit ya sakit, kakak..."
"Pasti kamu sedang memikirkan sesuatu, kan" Kakak tahu benar jenis sakit kamu dan penyebabnya."
"Hallah! Kakak kaya doketer aja, SOTO!"
"Yeh enakan RAWON lah!" Satu kata itu ditekannya dalam -dalam. "Ya tau lah, aku ini kan kakak mu sejak tujuh belas tahun yang lalu kamu lahir kedunia ini." Aku menghela nafas panjang.
"Kamu itu kenapa sih, Dek" Seperti orang tua yang sedang memikirkan masalah rumah tangganya aja. Ruwet!"
"Emang wajahku ruwet gitu""
"Sangat!" Sahutnya kesal. "Ami, Ami. Kamu itu setiap ada masalah langsung jatuh sakit, sekarang kamu cerita biar kamu cepat sembuh kembali. Ingat udah dua hari kamu g
ak sekolah, besok gak mau sekolah lagi""
Aku memang ada masalah kak, dan maaf aku gak bisa curhatin masalah yang satu ini sama kakak. "Aku cuma capek sama tugas sekolahku kakak, memangnya aku sakit harus punya masalah ya""
"Ya gak sih..."
"Ya udah jangan korek aku lagi." Aku berbalik membelakanginya dan memejamkan mataku.
Mataku memang terpejam, tapi pikiranku masih tak terhenti yang terus berjalan tanpa arah. Aim! Aku harus gimana" Aku sudah tak tahu harus berkata apalagi sekarang, kenapa aku mulai menyesali semua yang telah ditakdirkan seperti ini. Ah! Kenapa sih dulu Mami kegenitan minta nikah sama Ayahku dulu"! Jadinya kan kita
yang jadi korban! *** Badanku masih tak terlalu sehat untuk masuk, tapi mau bagaimana lagi aku tidak mungkin sakit sampai berhari -hari hanya karena masalah tak penting seperti ini.
27 "Ami!" Dessy memanggilku yang baru melangkah masuk gerbang sekolah.
"Hey! Apa Des""
"Udah sembuh""
"Iya..." Aku tersenyum.
"Mi, Aim telpon aku panjang lebar kemarin."
"Terus"" "Katanya kamu gak balesin sms dia ya" Kalau di telpon juga jarang di jawab katanya."
"Owh, terus""
"Aduh koq terus aja sih"!"
Aku menaik turunkan bahuku.
"Dia minta aku tanya kamu, kenapa kamu begitu""
Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan menuju kelas dengannya sambil menceritakan semua kekecewaanku. Sakitnya mengetahui siapakah Aim sebenarnya. Nampaknya Dessy tak terkejut dengan itu, justru aku lah yang terkejut ternyata Aim sudah menceritakan semua padanya dan meminta untuk tidak membocorkan padaku hingga akhirnya aku telah tahu sendiri.
"Aku minta maaf Ami..." Sesalnya. Dengan tatapan bersalah memandangku.
Aku melepas tas dan meletakkannya di atas mejaku. "Gak papa Des, kamu menjaga rahasia yaqg diamanatkan Aim. Dan aku hargai itu."
"Makasih ya. By the way, kalau kamu seperti itu namanya melarikan diri dari masalah dong... "
"Aku gak tahu harus gimana Des, aku takut..."
"Ayolah Ami, apa yang harus kamu takutkan" Jangan jadi seperti seorang pengecut yang lari dari tanggung jawabnya. Ya emang bukan berarti kamu pengecut sih, tapi ini kenyataan yang harus kamu hadapi sekarang. Kalau aku yang selesaikan masalahmu ini adalah salah. Aku gak boleh ikut campur kan" Ini masalahmu dan dia. Kamu harus segera selesaikan semuanya..."
Aku terdiam menundukkan kepalaku yang terasa semakin berat saja.
"Jangan bilang kamu udah jatuh cinta sama dia, Ami"" Tatapnya curiga.
Aku terhenyak. Benarkah aku telah jatuh cinta" Inikah cinta"
"Kamu takut kehilangan Aim ya" Rasanya kemarin aku mendengar kamu gak perduli kalau dia pergi, benar bukan""
Aku tersenyum. "Masih ingat saja kamu."
"Ami, Ami, jangankan nanti, sekarang saja kamu sudah kehilangan Aim. Yaa walau semua itu terjadi karena aku yang terlalu aman menyimpan rahasia."
"Sudah lah Dess, mungkin ini dah jalan yang Kuasa buat kisah hidup aku."
"Iya sih, kamu yang sabar ya" Yang kuat, walau takdir menyatakan Ibrahim Imran itu adalah abang tirikamu, kamu harus bisa menghadapi semuanya, selesaikan, dan jangan terus menghindar dari dia. Selesaikan segera dan ya selesai."
28 Dessy benar, percuma aku terus bersikap seperti ini. Aku harus segera temui dia dan menyelesaikan semua yang memang perlu diselesaikan. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bertemu dengannya. Tapi aku takut Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk berhadapan dengan dia terakhir kalinya.
Suara gemuruh langit yang semakin meggelap, membuat jantungku semakin mengerut rasanya. Sudah lebih dari seperempat jam aku menunggu kedatangannya. Ibrahim Imran, seorang lelaki yang ada dihatiku saat ini tak kunjung muncul. Aim"! Kemana kamu" Jangan buat aku menunggu lama.
Bip bip bip! "Ayo pulang, bentar lagi hujan. Jangan lama -lama..." Itu sms dari Mama.
Mungkin aku memang sebaiknya segera pulang. Lalu Aim" Itu urusan gampang, dia pasti mengerti dari pada Mama dan tiga kakaku yang akan mengoceh sepanjang hari tujuh kali seminggu.
Walau cuaca mendung, tapi hari ini hari yang sangat melelahkan. Sejak pagi aku beraktifitas penuh di sekolah. Hingga badanku rasanya lengket sekali dengan keringat.
Aku menyambar handuk yang menggantung di luar pintu kamar mandik
u, dan lalu masuk untuk mandi menyegarkan diri.
"Ami! Hapemu bunyi!!" Teriak Kak Hani padaku yang sedang mandi.
"Iya biarkan saja!!" Sahutku berbalas teriakan.
Segar! Beberapa menit kemudian aku keluar. Alisku mengernyit, heran melihat kak Hani yang duduk di bibir kasur dengan handphoneku lekat ditelinganya. Raut mukanya juga tak sabar, dia seperti mendapati sebuah kabar buruk. Siapa yang telpon" Apa yang terjadi" Biasanya ia tak pernah perdulikan aku dapat telpon maupun sms dari siapapun.
Aku mendekat padanya. "Kak Hani" Koq hapeku dipakai" Siapa yang telpon"" Tanyaku heran melihat kak Hani duduk dengan alis bersatu.
Ia membuang hapeku ke kasur dan berdiri tepat dihadapanku. "Kenapa kak"" Aku semakin heran saja. PlaaAST! Sebuah tamparan aku terima darinya.
"Kak" Kenapa kakak nampar aku"" Tanyaku tak tahu sambil menyentuh bekas tamparan yang sangat terasa perih dam sakit.
"Kamu pacaran sama Ibrahim"! Iya"" Bentaknya.
Ya Tuhan, jangan -jangan barusan yang telpon itu Aim. Memangnya apa yang mereka bicarakan" Apa yang harus aku katakan padanya" "Jawab!" Bentaknya membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk pertanda ya.
"Sungguh keterlaluan kamu! Kau tahu sendiri bagaimana kerasnya ayah, tapi kamu masih saja berani main api! Parahnya lagi sama Ibrahim! Kamu sadar apa yang udah kamu lakukan Ami""
29 "Maaf kak..." "Kamu tahu siapa Ibrahim itu"!"
Aku mengangguk. Setetes air mata mulai jatuh di pipiku.
"Keterlaluan! Dimana kamu taruh otak kamu untuk mikir ha"! Sudah tahu dia itu abangmu sendiri masih kamu pacari. Apa kata orang yang tahu nanti ha" Kamu gak mikir itu"!"
"Ami gak tahu kalau Aim itu anaknya Mama kak..."
"Ya sekarang kamu sudah tahu kan"! Masih mau lanjut" Mau terus" Mau nerobos semuanya ikuti nafsu pikiran kamu"!"
"Maaf kak..." "Ya pastilah kata itu yang akan kamu lontarkan. Tapi maaf itu bukan buat kakak, tapi buat orang tuamu. Sadar" Pernahkah kamu berfikir bagaimana perasaan Mama jika mengetahui hal ini"!"
"Jangan kak. Aku mohon jangan sampai yang lain tahu tentang ini. Aku tahu aku salah, dan aku akan selesaikan ini semua secepatnya. Aku sadar aku tak boleh seperti ini kak..." Tangisku semakin menjadi menyesali semuanya.
"Ibrahim Imran itu abang kamu sendiri Ami! Seperti Kak Hani kakak kamu ini!" Tekannya.
"Iya kak..." Jawabku tak kuasa menahan isak tangis.
"Takdir sudah begini, jangan kamu mencoba sekalipun untuk mengelak dari takdir yang sudah ada. Apalagi masih ada hukum yang harus kamu patuhi Ami." Lanjutnya dan kemudian pergi keluar kamar.
Hatiku sakit, aku berlutut dengan derai air mata penyesalan atas apa yang sudah menimpaku saat ini. Aku tak kuasa apapun, perasaan ini sungguh sulit aku kendalikan. Aku sadari aku telah salah, harusnya dari awal aku berfikir dan curiga atas apa yang sudah dia lakukan padaku. Sekarang sungguh sial nasib percintaan aku, giliran cinta pertama harus pada seorang yang salah.
Aku menarik nafas dan membuangnya dengan pasti, sepasti langkah kakiku menuju rumah Dessy. Aku butuh petunjuk dari dia, sebagai guru cinta dan sebagai penanggung jawab telah mencomblangkan aku dengan Aimku.
Langkahku melambat, saat terdengar suara deru deram motor besar tepat dibelakangku memelan.
"Ami!" Panggil seseorang dari arah belakangku yang sedang berjalan.
Aku hanya menghentikan langkah tanpa menoleh. Aku tahu suara itu adalah suara Ibrahim Imran.
"Ami tunggu!!" Katanya lagi sesegera mungkin mematikan motor dan turun dari situ. "Kamu itu kemana Mi" aku pikir kamu sudah sampai, ternyata kamu malah gak datang..." Lanjutnya berdiri di hadapanku.
"Aku datang tapi kamu yang gak datang." Aku memalingkan wajahku. Aku tak mau melihat rupanya yang pasti membuat hati ini semakin sakit.
30 "Sorry kalau aku harus terlambat. Tapi kamu kenapa""
"Kamu telpon aku kan""
"Iya, tapi yang angkat Hani, bukan""
"Dia sudah bicara apa saja sama kamu""
"Dia tidak membicarakan apapun. Aku hanya menanyakanmu dan dia menjawabnya."
"Lalu kenapa dia ta..." Aku terhenti. Aku baru ingat kalau nomornya di hapeku aku beri nama 'Sayangku Aim' pantas saja kak Hani berani angkat telpon itu. Aduh sungguh bodohnya aku!
"Kenapa"" "Ah sudah! A ku mau kita putus!" Tegasku kemudian berbalik hendak meninggalkan dia.
"Ami gak!" Sahutnya lekas menarik tanganku menghadapnya lagi. "Gampang banget kamu bilang putus. Kenapa kamu mita putus, ha"" Wajahnya seperti disambar petir. Aku tahu dia sangat terkejut dengan kataku barusan.
"Jangan bodoh, tanpa kata putus saja memang seharusnya kita gak ada hubungan apa -apa."
"Jadi kamu mikir gitu" Sudah aku duga kamu pasti mikir begini. Dalam tubuh kita gak ada darah yang sama mengalir, Ami! Jangan perdulikan mereka, biar mereka dengan pikirannya sendiri. Aku tahu, pasti kakak -kakakmu sudah ngomong macam -macam kan"!"
"Yang mereka katakan hanya satu dan itu benar! Ibrahim Imran adalah abang
tiri Amita, dan tidak boleh ada hubungan selain persaudaraan diantara keduanya!
Mereka benar, hanya aku saja yang bodoh sudah kemakan semua alasan dan
gombalan kamu!" "Kamu jangan ngomong gitu Ami! Aku sayang sama kamu..."
"Percuma! Kalau kau memang sayang sama aku harusnya dari awal kau katakan
statusmu yang sebenarnya! Bukan merahasiakan sampai terjadi semuanya seperti ini.
Cukup aku minta ini terakhir kalinya kita ketemu seperti ini. Jangan pernah temui aku
lagi!" "Aku tetap gak perduli sama omongan kamu itu! Aku sayang sama kamu dan aku yakin betul kamu juga sayang sama aku!"
"Aim cukup! Jangan ingkari takdir yang sudah ada. Kamu dan aku harus terima
itu!" "Takdir apa"!"
"Takdir kalau kita ini saudara..."
"T.I.R.I Mamaku, bukan Mamamu, Ayahmu, bukan Ayahku. Dengar" Kau dan aku, kita bukan saudara!"
"Pernahkah kamu mikir kalau Agama itu tidak menghalalkan cara kita""
31 "Agama yang mana"! Aku tak pernah mendengar agama kita melarang hukum seperti itu."
Aku terdiam, aku memang tidak tahu apapun tentang hukum yang aku bicarakan sekarang.
"Hukum yang mana melarang hubungan kita ha"! Bilang sama aku, aku sendiri yang akan hancurin hukum itu!"
"Aku bilang cukup!" Kataku tak kuat lagi, air mata yang sejak tadi aku bendung akhirnya jebol juga. Aku tatap dua matanya lekat -lekat. "Jangan desak aku seperti ini. Aku memang gak tahu tentang hukum. Tapi aku tahu hubungan kita memang dilarang..."
"Kamu sangat ingin kita akhiri semua""
Aku hanya menggangguk. "Okay, kalau kamu kita akhiri ini semua, kamu harus penuhi satu syaratku."
"Apalagi""
"Kamu harus temukan satu hukum yang memang pasti melarang hubungan kita ini. Kalau kamu bisa temukan dalam waktu tiga ratus enam puluh lima hari, okay aku akan terima itu. Tapi kalau kamu gak bisa temukan dengan pasti tanggal dua tujuh juli dua ribu sepuluh tahun depan, aku akan langsung membawa kamu menghadap orang tua kita." Pintanya dengan penuh keyakinan.
Aku tak lekas menjawabnya, aku terdiam dan berfikir. Mampukah aku menerima dan melakukan syarat itu" Bagaimana kalau aku mampu" Dan bagaimana juga bila tidak" Ya Tuhan apa aku harus menerima syarat ini"
"Selama tiga ratus enam puluh lima hari, jangan panggil aku dengan sebutan sayang. Jadilah seorang abang tiriku sesungguhnya..."
"Itu gampang, aku akan lakukan syaratmu juga... " Katanya sambil menjulurkan tangannya. "Deal""
"Deal..." Aku menyalaminya.
Bagaimana ini apa aku mampu" Dari mana aku harus memulai mencari
jawaban ini semua" Sulit bagiku untuk menemukan satu hukum agama yang pasti. Di
dunia ini terlalu banyak ulama yang berpendapat dengan pendapatnya masing masing. Tentu saja itu tidak akan menghilangkan kebingunganku nantinya. ***
Lima,,, Soreku yang kelabu. Walau sinar matahari yang semakin kebarat masuk kaca rumah tapi tak bisa masuk hati dan pikiranku yang gelap ini. Huh! Aku mulai bosan dirundung tugas yang aneh ini. Mungkin ini soal mudah, tapi sangat jauh untuk mencari jawaban. Hanya soal matematika yang bisa menemukan jawaban pasti, bukan agama yang hanya diperdebatkan oleh ulama -ulama. Ya Tuhan kuatkan aku...
Aim, Ibrahim Imran... 32 Dear Aimku sayang.... Sejujurnya aku merasa sangat kecewa sekali sama kamu. Atas apa yang udah kamu lakukan dari awal tak sebanding dengan kenyataan menyedihkan yang aku temui sekarang. Apa yang bisa aku lakukan" Selain mencari jawaban selama setahun agar aku bisa memastikan diri ini apa kita pantas untuk be
rsama atau bahkan tidak sama sekali.
Sampai saat ini aku hanya dapat tuliskan surat kekecewaanku yang tak perlu disampaikan pada Aim diatas selembar kertas dalam dairy ku. Ah Ya Tuhan, kenapa setengah perjalanan hidupku seperti ini sekarang. Adakah hal lain selain cinta yang lebih pantas untuk aku fikirkan"
Aku rentangkan tubuhku hampir memenuhi tempat tidur. Sejenak memejamkan mata berusaha untuk menenangkan emosiku yang semakin tidak menentu. Sampai akhirnya aku merasa perutku mulai memainkan not -not fals. Aku lapar, akupun beralih menuju dapur mencari sesuatu yang mungkin dapat menyumpal bunyi perutku sampai waktu makan malam nanti.
"Tadinya Ayah berniat jodohkan Hani sama Fajrin..." Kata Ayah dengan secangkir kopinya di meja makan.
Aku menghentikan gerakku seketika. "Memang boleh"" Tanyaku pelan. Aku lanjutkan kembali memasang tomat dan selada diatas roti burger bikinanku.
"Itu dia masalahnya, Ayah juga bingung, setau Ayah boleh tapi orang bilang gak boleh. Ah kebetulan besok ada pengajian biar besok Ayah tanyakan sama pak Ustadz."
Aku tersenyum. Ide yang bagus Ayah. Nanti kasih tahu aku juga Yah jawban yang Ustadz katakan.
Setidaknya untuk sebuah awalan aku dapatkan satu sumber. Sekarang tinggal tunggu jawaban besok saja. Masih kurang aku harus cari lagi sumber yang lainnya. Aku harus cari lebih banyak, agar aku tahu siapa yang benar dan membuat hatiku semakin yakin akan kebenaran itu. Tapi, perasaanku ragu, seperti ada hal lain yang membebani hatiku. Rasanya sungguh takut kalau aku justru menemukan bahwa diantara aku dan dia boleh -boleh saja bersama, tak ada larangan..
Kali ini aku tak punya kerjaan lain selain duduk sendiri di kamar, menulis, merenungi semua yang terjadi pada diriku. Tak ada Kak Hani yang bisa aku ganggu, tak ada Aim juga yang biasanya mengganggu aku dengan semua kegombalannya. Telpon, sms, dan surat merah jambu. Abang... Hati ini bilang aku mulai merindukanmu. Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan cinta" Perasaan senang yang sangat indah, tapi sedih, perih dan sakit untuk kehilangan"
Ibrahim... Aku gapai handphoneku yang bersantai di dekat bantal. Aku buka sebuah foto dari gallery memoriku. Itu foto pertamaku dengan dia saat kencan ketiga di pinggiran sungai yang sama seperti awal pernyataan cintanya padaku. Mungkin itu sekitar dua bulan yang lalu.
33 Setetes air bening jatuh dari sebelah mataku. Hatiku sekarang seperti ditusuk sejuta jarum, seperti di cabik -cabik, seperti disiram air keras. Sungguh aku tak kuat menahan semuanya sendirian. Ku sentuh tanda close agar aku tak lihat gambarnya lagi, karena itu akan membuat pikiranku menggoyah tak karuan. Tapi... aku sangat merindukan dia. Aku tak kuasa, yang bisa ku lakukan hanya menangis sendiri meratapi kenyataan kekecewaanku.
Bib Bib Bub Bab! Sms aku terima. "Sudah tidur"" Rupanya di jauh sana Aim juga tengah memikirkan aku. Balas atau tidak ya" Tapi aku ingin menanyakan kabarnya. "Belum..." Balasku. Ya Tuhan, aku ingin sekali mendengar suaranya. Aku ingin dia memanggilku dengan kata sayang lagi.
Krang! Kring! Krung! Astaga! Apa aku sedang bermimpi" Baru saja aku ingin dengar suaranya sekarang dia sudah langsung menelponku. Jantung ini rasanya mau copot, debarnya terlalu kencang.
"Ha, ha, hallo..."" Jawabku gugub.
"Assalamualaikum Ami..."
"Waalaikum salam..."
Sunyi sesaat. "Ada apa"" Tanyaku memulai.
"Apa kabar""
"Aku baik, kau sendiri""
"Aku baik juga, terimakasih kamu menanyakan kabarku." "Sama aku juga..."
"Udah malam kenapa masih belum tidur"" "Belum terlalu ngantuk."
"Owh..." Perbincangan itu terlalu basi, durasi hanya terbuang oleh diam dan pertanyaan -pertanyaan yang tak penting. Tapi aku senang karena aku bisa mendengar suaranya lagi.
"Besok sepulang sekolah aku jemput ya""
"Ah jangan, jangan jemput aku..."
"Kenapa" Jangan bilang kamu menghidari aku."
"Tidak, tapi aku sudah punya janji dengan Dessy, besok ada belajar bersama." "Owh ok, aku percaya." Kembali sunyi...
"Ami..." "Iya""
"Apa kamu memikirkan yang apa yang aku pikirkan""
34 "Memangnya kau mikirin apa""
"Aku sedang memikirkan hukum kita. Aku harap tidak ada hukum yang melarang hu
bungan kita." Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Aku tak ingin berharap lebih atas apa yang tidak jelas saat ini. Aku tak mau kalau nantinya aku juga harus sakit hati, bakhkan lebih sakit lagi.
"Sudahlah jangan bahas itu. Ini sudah malam. Aku harus tidur..."


Cinta Tak Semudah Kata C.i.n.t.a Karya Azizah Attamimi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Okay... met tidur, have a nice dream..."
"Makasih, you too..." ***
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarohkaatuh." Salam seorang guru yang baru akan memulai pelajaran siang ini.
Serempak semua murid menjawabnya. "Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh..."
"Hari ini kita akan memasuki bab baru dalam pelajaran Agama islam." Aku membuka lembar demi lembar halaman buku pelajaran agamaku. "Bab enam, Munakahat...."
Sangat kebetulan sekali, bab ini mempelajari tentang pernikahan. Salah satu materi yang dibahas hari ini tentang Mahram yang halal dinikahi. Panjang lebar Pak Amin menjelaskan semua yang wajib diperhatikan dalam menuju pernikahan. Mulai dari pemilihan calon pasangan pengantin, hingga sikap yang dilarang saat menempuh bahtera rumah tangga.
Satuhal yang sangat menarik dipikiranku. Itu tentang Mahram yang halal dan yang dilarang untuk dinikahi. Semua itu tertuang dalam Al-Qur'an Surah An-nisa Ayat 23:
"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,"
Aku coba resapi dan mencerna semua pengertian yang tersirat dalam ayat itu. Hingga sebuah pertanyaan muncul di benakku.
Aku acungkan tanganku segera.
"Ya Ami"" 35 "Saya mau tanya pak..."
"Silahkan. Sapa tahu mungkin setelah ini Ami akan menikah." Sahut pak Guru sembari melontarkan lelucon yang membuat aku sangat malu. Teman -teman sekelaspun menertawai aku.
Santai saja lah. "Bagaimana pak jika menikahi saudara tiri kita sendiri" Anak dari Ibu tiri atau Ayah tiri dengan suami atau Istrinya yang terdahulu"" Tanyaku sungguh -sungguh.
Pak guru tersenyum tapi senyumnya seperti memberatkan sesuatu. "Yaa kalau itu, pertanyaan yang cukup menarik Ami. Apa kamu menyukai saudara tirimu""
Aw! Kenapa mata -mata mereka semua tertuju padaku karena pertanyaan itu. Aku tersenyum sedikit tegang. "Ya bukan begitu pak, yang saya tahu di luar sana ada sebagian masyarakat yang berfikir kalau menikah dengan saudara tiri itu boleh dan ada yang menganggab itu tabu. Sedikit butuh pencerahan Pak..."
"Ah yayaya... baik, seperti yang tertuang dalam surah annisa ayat dua puluh tiga. Disana sudah dijelaskan siapa -siapa yang dilarang untuk di dikahi. Yang dimaksudkan adalah Mahramnya. Menikahi saudara tiri, anak dari Ayah tiri atau Ibu tiri dengan suami atau istrinya yang terdahulu. Itu tidak termasuk dalam mahram yang disebutkan. Berarti, boleh dinikahi..."
Aku mengangguk -angguk mengerti.
"Dalam ilmu biologi, diantara dua anak itu memiliki Ayah dan Ibu yang berbeda asalnya, berbeda darahnya. Maka tidak akan menimbulkan penyakit pada keturunan yang dihasilkan nantinya..."
"Jadi halal begitu pak""
"Iya, halal. Hanya sajaaa... Masyarakat yang tidak mengerti biasanya menganggap hal seperti itu adalah tabu. Dan ada juga yang berfikir kalau 'anaknya minta cerai, orang tuanya gimana"' itu namanya saling tarik -menarik antara masalah anak dan orang tua, jadi sebagian mereka berfikir, 'yaa janganlah begitu...'"
Aku manggut -manggut. Kali ini aku benar benar mengerti penjelasan pak Amin. Dan pemikiran orang seperti itu benar, kalau anaknya yang bermasalah orang tuanya yang sudah harus berbuat s
ebijaksana mungkin. "Kalau masalah seperti ini menimpa saya, saya lebih memilih tidak saja."
"Kenapa pak"" Tanya seorang kawan.
"Ya, karena saya sudah menganggab mereka adalah saudara saya. Apalagi itu merupakan hubungan yang terlalu dekat buat saya."
Hubungan segitu terlalu dekat" Lalu antara aku dan Aim, kami berdua sudah terlalu jauh. Kalau saja aku tahu dari awal kalau kenyataan yang sebenarnya seperti ini mungkin aku lebih memilih menghindarinya.
Oh GOD, kenapa jadi serumit ini"
Oh ya, aku teringat pada Ayah yang akan menanyakan hal ini pada Ustadz di pengajian. Yaa, walau sebenarnya tidak perlu bertanya pada Ayahpun aku sudah tahu
36 yang seharusnya. Aku temui Mama di dapur yang sedang menyipakan makan siang untuk kami semua.
"Gimana Ma, Ayah tanya sama pak Ustad tentang kak Hani sama Fajrin"" Tanyaku sok perduli dengan keduanya.
"Ustadznya sedang sakit katanya, jadi pengajian kemarin ditunda. Memangnya kenapa""
"Ya gak papa sih Ma, kan Ami pengen tahu saja apa Kak Hani sama si Atun itu bisa jodoh gitu..."
Mama terhenti. "Atun"" Tanyanya heran. "Ah maksudnya Fajrin Ma," Aku tersenyum.
"Owh, tapi Mama fikir -fikir Mama tidak setuju kalau harus besanan sama perempuan itu. Apalagi kalau orang mikir tambah macam -macam saja omongannya nanti. Ah seperti tidak ada orang lain saja..."
Ah pupus sudah restuku dari Mama. "Iya juga sih Ma..."
Wajar saja Mama menolak punya besan seorang perempuan yang sudah merebut suaminya belasan tahun silam. Kejam juga aku kalau egois tak perdulikan itu hanya untuk kisah percintaanku yang tak penting ini. Tapi bagaimanapun juga aku masih harus mencari hukum yang bisa memastikanku untuk memperkuat alasan pada
Aim nanti. *** Musim panas akhirnya mulai beralih menjadi tetesan air yang turun semakin deras. Terkunci oleh derasnya air di luar sana, aku tak bisa kemana -mana sekarang. Aim, gimana kabarmu disana" Lama sudah kita gak ketemu, aku merindukanmu lagi sekarang.
"Jendelanya tutup, angin bawa airnya masuk..." Perintah Kak Hani padaku. Tak perlu menjawab aku segera laksanakan tugas perintahnya menutup jendela.
"Kamu kenapa lagi"" Tanyanya yang tiba tiba mengalihkan pandangannya padaku penuh tanya.
"Apanya kak""
"Mukamu tak secerah biasanya..."
"Memangnya aku langit yang cerah matahari"" Aku tersenyum sedikit. "Aku gak papa koq kak." Aku seret gordin menutup jendela kaca. "Kakak tahu rencana Ayah mau jodohkan Atun sama kakak""
"Hah"! Serius kamu"!" Katanya dengan mata nyaris melompat.
"Biasa aja lah kak, jangan kaget seperti itu."
"Tahu dari mana kamu""
"Ayah bilang sendiri waktu itu."
Kak Hani terdiam. Ia tampak tak senang sekali dengan kabar ini.
37 "Tenang aja kak, kakak gak harap itu Mama juga gak mau punya besan orang itu koq..."
"Benar"" "Iya. Tadi siang aku tanya Mama, Mama gak mau sekali kalau sampai orang itu jadi besannya, lagi pula katanya seperti yang tidak ada lelaki lain saja..." Aku duduk di pinggiran kasur dan meraih handphoneku di nacase. "Ya walau jodoh itu siapa yang
tahu..." "Heh, koq gitu kamu" Sudah tahu sendiri Fajrin itu seperti apa. Atau kamu yang lebih mengharap Ayah berniat menjodohkan kamu dengan Ibrahim"" Katanya marah.
"Hah!" Desahku pasrah. "Percuma juga aku pungkiri ya kak""
"Kamu itu, masih kecil saja pikirannya sudah sejauh itu." Tangannya mengibas seakan tak habis pikir dengan jalan pikiranku. "Kakak kasih tahu ya, cari pasangan itu gak sembarangan. Sebelum kamu mengalami yang namanya jatuh cinta, kamu itu harus lihat bibit, bebet, bobotnya. Iman, keturunan dan latar belakang keluarganya yang jelas. Kita harus mengetahuhi jelas tentang itu. Bukan seperti kamu yang langsung jatuh cinta pada seorang yang tidak jelas asal usulnya."
"Cinta tak serumit itu, kak..."
"Tahu apa kamu soal cinta, ha"!"
Aku menunduk, aku memang tak tahu apapun tentang cinta. Yang aku tahu aku hanya merasa sedih dan kecewa atas semua yang terjadi saat ini.
"Pernah kamu pikir, kamu sedang menyukai seorang pemabuk" Penjudi" Pemain free sex" Atau bahkan pembunuh""
Aku hanya menggeleng. "Pikir Ami, cinta itu mahal harganya. Tak mudah kamu katakan ya dan tidak untuk itu. Cinta yang bisa men
gangkat derajat orang dan bahkan juga sebaliknya. Seseorang bisa terjerumus karena telah jatuh cinta pada seorang yang salah..."
Aku masih terdiam tanpa kata. Kak Hani benar, dan apakah aku telah jatuh cinta pada seorang yang salah" Apa dia bisa menjerumuskanku"
"Satu hal yang menjadi pedomanku kak. Seorang yang baik hanya akan mendapatkan seorang yang baik pula. Sebaliknya, seorang yang tak baik tentu juga mendapat seorang yang tak baik. Dan selama ini aku merasa diriku telah cukup menjadi seorang yang baik. Siapapun jodohku nanti, aku hanya bisa berharap dia adalah jodoh terbaikku, kak..."
"Semua orang tahu itu. Bahkan setiap kekurangan akan tertutup oleh setiap kelebihan dari masing -masing pasangannya."
"Apa kakak pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang""
"Emangnya kamu merasa gimana""
"Aku merasa, aku tak bisa melihat rupa yang baik selain hanya seorang saja." "Apa kamu sungguh -sungguh dengan Ibrahim, Mi"" Aku mengangguk pelan.
38 "Kau tahu, sudah kakak bilang kamu gak boleh..."
"Iya aku tahu kak..." Aku memotong omongannya. "Aku tahu, bahkan aku tahu kalau sebenarnya hubungan kami itu gak salah. Halal, untuk berlanjut hingga pernikahan. Hanya saja aku tidak boleh lupa atas perasaan Mama..."
"Kamu tahu apa yang kamu bicarakan sendiri, Ami""
"Ya aku tahu dan aku mengerti, kak..."
"Kita tidak tahu dengan siapa kita berjodoh nanti. Sebagai manusia kita hanya bermimpi dan berharap, tak lupa juga berdoa." Aku diam hanya tersenyum kecil.
"Kakak sarankan, sebaiknya hentikan urusanmu itu. Kamu masih muda, perjalanmu masih panjang jangan dirumitkan dengan masalah percintaan yang tentunya masih lama untuk kamu jalani."
"Iya kak..." "Cinta itu buat entar kalau mau menikah. Atau kamu mau nikah sekarang"" Aku melempar hapeku ke dekat bantal. "Sinting ah!" Sahutku tersenyum.
Kurasa nafas semakin berat disetiap hari -hariku. Tetesan air semakin menjatuhi bumi. Aku terus menatapi derasnya aliran air yang menumbuk bebetuan besar itu. Sungai yang bergemuruh seperti hatiku yang juga semakin menggemuruh disetiap hari. Sungguh besar kuasa Ilahi, untuk semua yang terjadi di kehidupan ini. Seperti halnya hatiku yang selalu bimbang dengan kebimbangan atas dua pilihan yang sangat sulit. Ya Tuhan jadikan aku bisa mengendalikan perasaan ini, Mama dan Ibrahim Imran adalah dua orang yang tidak ingin aku sakiti hatinya. Sementara aku belum mendapat kepastian untuk hubunganku dengan dirinya.
"Kembali kesini"" Tanya Aim yang tiba -tiba muncul mengejutkan aku yang sedang melayangkan lamunan. Ia duduk dan tersenyum padaku.
Aku menoleh kearahnya dan membalas senyumannya. Aku tak tahu harus menyahutinya apa. Jantung ku kembali berdebar kencang seperti awal perjumpaan ku dengannya dulu.
"Iya..." "Apa kamu merindukan aku""
Aku hanya menunduk dan tersenyum. Datang kemari pastilah hanya karena aku sangat merindukan dia, begitu juga dengannya.
"Kau tahu" Aku sangat senang bisa bertemu kamu disini sekarang. Aku fikir perlahan kamu akan melupakan aku."
"Sejauh ini aku tak punya niat untuk melupakan kau. Hanya saja..."
"Hanya saja kamu merasa sangat bimbang dengan ketidak pastian""
"Kau juga""
"Tidak. Aku tidak. Aku tidak merasa bimbang karena aku sangat yakin yang aku lakukan tidak salah." Kemudian ia menatapku dengan senyuman yang sangat indah.
39 Senyuman itu rasanya tak ingin membuat aku berpaling pada apapun. Aku benar telah jatuh cinta pada dia. Seorang yang harusnya bukan dia.
"Ayo pulang, sebentar lagi gerimisnya pasti jadi hujan deras. Awannya saja sudah mendung makin gelap tuh."
"Aku ingin tinggal lebih lama."
"Kalau hujan""
"Tak apa. Aku ingin hujan -hujanan."
"Jangan, nanti kamu masuk angin. Besok masih masuk sekolah." "Cuma sekali saja..."
Aim tersenyum. Dipegannya tanganku yang menyentuh rerumputan di tanah. Kepalan tangannya begitu hangatkan tanganku yang tertusuk dinginnya hawa.
"Tanganmu dingin sekali. Sudah lama disini ya"" Ia menggosok -gosok tanganku.
"Baru setengah jam yang lalu..."
"Baru"! Itu sudah lama sekali Ami! Lihat hidung kamu saja sudah merah jambu begitu."
Aku pencet -pencet hidungku. "Gak dingin -dingin amat koq..." Aim
tersenyum. "Ami..." Panggilnya tiba -tiba serius.
"Iya"" "Satu hal yang menjadi do'a ku saat ini..."
"Apa"" "Semoga tidak ada satu hukumpun yang melarang hubungan kita..." Aku menarik tanganku seketika. "Jangan berdo'a seperti itu." "Kenapa" Kamu gak mau kita sama -sama""
Aku terbangun dari dudukku. "Dua puluh tujuh juli tinggal beberapa bulan lagi, sampai jumpa..." Tandasku dan melangkah pergi.
Aim, kenapa kamu harus berkata seperti itu" Apa yang akan membuat kamu sadar kalau hubungan kita tidak akan mendapat restu dari sapapun" Ini hanya akan membuang -buang waktu. Tanggal dua puluh tujuh bulan juli dua ribu sepuluh hanyalah tinggal empat bulan lagi. Bisakah aku menemukan kejelasan di jalan lain" Delapan bulan saja lekas berlalunya, apa lagi sisa waktu yang hanya empat bulan ini.
Dimana lagi aku akan mendapatkan jawaban pasti tentang hubungan kita ini dilarang"
*** Kriiiiinnngg!!!!!! Akhirnya! Bel istirahat berkumadang juga. Sejak tadi perutku sudah keroncongan mendengar ceramah aneh pak Shodiqin selama empat jam full. Gara -gara bu Ari gak masuk nih, jadi diganti deh.
"Baksonya dua Buk..." Order Dessy.
40 Sementara menunggu Dessy yang masih membeli bakso, aku cari tempat yang pas buat menikmatinya. Tak lama menunggu, Dessy datang dengan dua mangkuk bakso.
"Nih..." Katanya.
"Eh iya. Katanya anak Ips lagi dapet tugas rumit ya"" Tanyaku memulai topic. "Enggak koq. Kata siapa"" Sambil lalu, Dessy meramu kuah baksonya. Aku melihat sekitar kanan kiri dan bagian belakang. "Itu anak Ips pada pegang kertas semua."
"Kalau itu sih, kalau gak salah nih yaa. Mereka cuma disuruh survey koq..." "Survey apa""
"Ya survey bikin pertanyaan trus dibagiin ma anak -anak. Terus ya pertanyaan dijawab dan dilihat hasilnya."
"Owh.. cuma survey gitu toh, kirain tugas rumit kaya apa tuh.." "Biasalah anak Ips suka berlebihan." Aku hanya tersenyum. Tapi...
Survey"! Apa mungkin aku perlu melakukan sistem yang sama seperti mereka" Melakukan survey terhadap seratus orang dari berbagai kalangan mereka" Cara pandang mereka terhadap hal yang tidak biasa seperti ini. Akh... seperti kuis saja. Tapi kalau itu bisa berguna, kenapa tidak" Tapi... Apakah bisa aku lakukan itu dalam jangka waktu yang semakin singkat ini" Well semoga aku bisa...
Dari mana aku harus memulai" Pastinya aku harus memulai dari menulis pertanyaan dan options pilihan jawabannya. Lalu aku mengetik dengan rapi dan mencetaknya. Setelah dicetak aku tinggal copy rangkap seratus deh. Tapi kemana aku harus menebarkan seratus lembar angket ini ya"
"Dor!" Lagi, Dessy mengagetkan aku yang sedang berdiri dan berfikir.
"Wey! Ngagetin aja ah..."
"Napa kamu" Kamu akhir -akhir ini aneh tau..."
"Aneh" Yang ada kamu yang aneh." Gurauku.
"Apa nih"" Dessy mengambil plastic berisi lembaran angket yang baru saya aku fotocopy.
"Angket." "Angket" Buat apa" Ngikut anak ips nih ceritanya"" Ditarik selembar dari dalamnya. "Bagaimana bila anda menghadapi posisi yang seperti ini..." Suaranya melenyap, dahinya semakin mengernyit membaca tulisan di kertas itu. "Nih koq ceritanya ngaco" Inikan cerita kamu."
"Itu gak ngaco, emang itu ceritaku. Aku bikin itu karena tugas."
"Tugas" Tugas apa" Kapan" Guru sapa yang kasih tugas ngaco gini" Aneh ah!"
"Itu tugas dari pak Ibrahim Imran..."
"Aim" Ngapain"" Katanya semakin heran saja.
41 "Dia minta aku cari jawaban dari pertanyaan itu." "Aneh -aneh aja tuh anak."
"Aku belum cerita emangnya soal keputusan aku sama dia"" "Keputusan yang mana""
"Keputusan aku buat mengakhiri semuanya sama Aim..."
"Lho" Koq bisa""
"Bisa lah... sebenernya aku gak mau harus begini Dess, cuma dah mau gimana
lagi..." "Emang gimana si koq bisa jadi gini""
Aku putuskan untuk menceritakan semua yang terjadi diantara aku dan Aim. Dia cukup terkejut mendengar perjanjian aneh antara kami berdua. Well dia juga merasa bersalah atas masa lalu itu. Ya kerena dia juga awal dari pertemuan aku dan Aim yang sampai sejauh ini.
"Aku gak tahu harus apa lagi sekarang. Yang aku butuhkan hanya menyebar angket ini dan kumpulkan semua jawaban."
"Disebar di sini aja cepet kan""
"Heh! Mau disebar di sekolah"! Yang ada mere
ka semua bakalan ketawain aku. Pastinya mereka tahu kalau ini bukan tugas."
"Ya udah sini separuh kasih aku. Nanti pulang sekolah aku coba kasih tetanggaku. Sehari dua hari aku balikin plus jawaban mereka deh..."
"Serius kamu""
"Iya kamu tenang aja, aku ikhlas koq bantuin kamu..." "Thanks ya sob..."
Lumayan lega sekarang, tinggal lima puluh lembar lagi dan aku akan menebarkan semuanya sendiri. Pasar, mall, kantoran, permukiman umum, dan sepuluh lembar khusus untuk pesantrenan.
"Mau kemana kamu"!" Tanya kak Hani ketus melihat aku sudah bersiap dengan pakaian yang rapi.
"Aku mau kerumah Dessy..."
"Ngapain lagi"!" "Tugas."
"Jangan bohong kamu! Hamper setiap hari kamu pergi kerumah Dessy, kalau memang ada tugas, sekali -sekali kerja disini kenapa"! Atau jangan -jangan kamu masih berhubungan sama Ibrahim ya"!" Tatapnya penuh curiga.
"Kakak, jangan sepicik begitu sama aku. Aku sadar siapa Aim, dan aku gak mungkin nyolong ketemu sama dia. Kakak boleh curiga kalau Aim itu memang orang lain, tapi enggak dengan sekarang. Aku hanya ingin jalan -jalan dengan Dessy itu saja. Aku mau ke perpus umum!" Tegasku kemudian lekas meninggalkan kamar.
Separah itukah pemikiran kakakku" Aku gak mungkin bohong buat ketemu khusus dengan Aim. Ya walau memang aku masih sering ketemu dengan dia. Tapi itu
42 hanya sebentar saja, dan itu sungguh kebetulan. Aku sudah menghindari untuk bertemu dan berhubungan dengan dia. Ah memang kecurigaan itu beralasan, tapi Whatever! Aku gak perduli, yang harus aku lakukan sekarang hanyalah mengumpulkan suara atas pertanyaan diatas kertas seratus lembar ini.
"Nih udah selesai semuanya." Dessy mengembalikan lembaran kertas itu padaku.
Aku ternganga. "Semua""
Dessy mengangguk. "Cepet banget" Kamu kasih kemana aja" Perasaan aku baru tadi pagi kasih sama kamu."
"Haha, tadi pas pulang sekolah Andra ngajakin aku kerumah dia. Nih aja aku baru sampai. Terus kan naik bus tuh, ya udah kebetulan busnya penuh ya aku kasih mereka nih kertas. Dan well done semua kan."
"Wew, hebat loh."
"Dessy gitu loh..." Dessy menaik turunkan bahunya. "Sini sisanya kasih aku lagi. Tetanggaku belum dapet bagian. Nanti malam mau ada rapat desa buat agustusan. Aku mau bagiin disana."
"Serius kamu""
"Ya iyalah, kapan sih aku gak serius""
"Tapi aku gak punya duit mau ganti capek mu..."
"Ami"! Koq gitu sih" Udah nih juga sebagai penebus dosa aku udah comblangin kamu sama Aim dulu..."
Ah dia sungguh teman terbaikku. Semua bisa lekas aku urus kembali berkat
bantuannya. Sekarang tinggallah aku menghitung perolehan suara dan membaca
semua alasan yang mereka kemukakan. ***
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan sangat -sangat tak terasa waktu berputar sangat cepat sekali, setahun telah berlalu. Tibalah sekarang tanggal dua puluh tujuh juli, tanggal yang telah dinanti -nantikan olehku dan dia. Aku telah siap dengan semua bahan yang akan aku utarakan padanya. Dengan langkah kaki yang aku pastikan tanpa keraguan lagi akhirnya aku sampai ditempat yang sudah kami berdua janjikan.
Lapangan hijau, sungai panjang nan deras, tetesan gerimis turut menemani kedatangannku. Di sana, di jauh sana, sudah tampak seorang Ibrahim Imran dengan jas hitam dan kemeja biru berdasi rapih telah menanti kedatanganku.
Ludah ku telan bulat -bulat, walau nyaliku mulai menciut, dan jantungku berdebar sangat kencang aku terus pastikan langkahku mendekat tanpa lemah sedikitpun.
Rupanya, raut mukanya sangat senang melihat kehadiran aku. Tapi aku" Aku sangat sedih karena semua tidak akan seperti yang diinginkan.
43 "Sungguh sulit menemukan jawaban yang pasti..." Aku langsung memulai pembicaraan kami.
"Lalu"" "Aku rasa do'a mu terkabul. Tidak ada ayat yang menegaskan bahwa hubungan kita salah."
"Sungguh"" Pikirnya senang.
"Agar lebih meyakinkan aku, aku hanya bisa lakukan survey pada seratus orang..."
"Lalu"" "Dua puluh lima persen mereka menjawab dilarang, dua lima persen lagi tidak tahu, dan lima puluh lainnya membolehkan itu..."
"Bagaimana sekarang"" Katanya tersenyum dengan harapannya.
"Jangan senang dulu, masih ada alasan yang mereka kemukakan untuk jadi pertimbangan
kita..." "Apa lagi""
Aku ambil sebuah map dari tasku, aku berikan padanya. "Tujuh puluh lima persen mereka menganggab kurang baik dimata masyarakat. Dua puluh persen lagi mengatakan kita ini saudara, lima persen, lainnya..."
Dibuka map itu, ia terdiam memandangi lembaran angket dihadapannya dengan penuh kekecewaan.
"Sekarang masih ingin bersama""
Tanpa menjawab, map yang terbuat dari kertas dan seisinya di robek begitu saja tanpa ampun.
"Kenapa"!"
Ia masih tak menjawab, robek -robekan kertas semua ia biarkan meluncur ke bawah sungai, tertiup angin hingga tenggelam dalam derasnya aliran air.
"Ami"! Aku belum puas dengan ini semua. Ini belum membuatku pasti! Sudah aku bilang, tidak akan ada hukum yang bisa melarang hubungan kita. Ayah Ibu, terserah aku tak perduli."
"Hubungan seperti kita ini memang hanya akan menjadi bahan omongan orang. Pikirlah seumur hidup, anak cucu kita akan jadi bahan omongan orang."
Memperebutkan Bunga Wijaya 2 Sherlock Holmes - Petualangan Biarawan Tak Berkepala Bidadari Dari Thian San 2

Cari Blog Ini