Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 4
Dengan kata lain, bagi Aristoteles, keberadaan negara didasarkan pada hubungan timbal-balik atau keuntungan bersama di antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda (Weissleder dalam Cohen dan Service, 1978). Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa bagi pemikir besar dari Yunani ini, keuntungan bersama merupakan daya integratif dalam proses pembentukan negara.
Dari para pemikir "pra-modern" ini, kita tela
h melihat beberapa poin penting yang membedakan teori -teori konflik dan integratif. Bagi teori-teori konflik, penaklukan, persaingan, perang, pemaksaan, bahkan kejahatan dan perampokan, adalah kata-kata kunci dalam menjelaskan bagaimana negara berkembang. Teori-teori ini selalu bermula dengan asumsi bahwa dalam masyarakat terdapat ketidaksetaraan akses ke sumberdaya-sumber-daya penting yang mendorong satu kelompok untuk menekan, atau berkonflik dengan, kelompok lain. Karena itu, Morton H. Fried, seorang teoretisi konflik non-Marxis, misalnya menulis bahwa negara adalah sebuah sistem pemerintahan yang tersentralisasi, yang muncul dari suatu sistem ketidaksetaraan yang terinstitusionalisasikan di mana para pemimpin, atau kelompok yang memerintah, memiliki akses khusus ke berbagai sumberdaya yang menopang atau memperkuatnya" (Cohen dan Service, 1978: 3). Poin ini dikemukakan secara lebih jelas dan sangat kuat oleh para teoretisi Marxis. Engels, misalnya, dalam Origin of the Family, Private Property, and the State, menyatakan bahwa negara hanyalah suatu organ dari kelas yang berkuasa untuk menghisap mereka yang dikuasai, mereka yang tidak memiliki akses ke sumberdaya-sumberdaya ekonomi (Chang, 1931: 4648). Bagi Engels, pembentukan negara dengan demikian merupakan suatu dampak yang niscaya dari konflik kelas. Munculnya negara hanyalah suatu tahap dari perkembangan ekonomi (Chang, 1931: 46-47). Demikianlah Engels menulis:
Negara... tidak hadir dari keabadian. Terdapat masyarakat-masyarakat yang tidak memilikinya, yang tidak memiliki gagasan tentang suatu negara atau kekuasaan publik. Pada tingkat tertentu dari perkembangan ekonomi, yang dapat dipastikan disertai dengan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, negara menjadi akibat yang tak terelakkan dari pembagian ini.
Negara, dengan demikian, ...sekadar merupakan produk dari masyarakat pada suatu tahap tertentu dalam evolusinya... (Chang, 1931: 46).
Salah satu contoh lain dari teori konflik dapat kita lihat pada penjelasan Prof. Oppenheimer. Genesis negara, menurut Oppenheimer (1926), bermula dengan penaklukan para petani oleh para penggembala, para pengelana, atau suku-suku pengembara. Demi kepentingannya, sang penakluk tersebut tidak sepenuhnya menghancurkan para petani itu. Ia hanya mengambil surplus, dan "membiarkan rumah dan perlengkapan para petani itu... hingga panen berikutnya" (Oppenheimer, 1926: 65). Dan ketika ada suku-suku pengembara atau pengelana yang lain, para petani itu akan meminta perlindungan dari sang penakluk tersebut. Kemudian, sang penakluk itu menjadi sang penyelamat. Para petani tersebut memberi penghargaan; karena itulah sistem perpajakan, dan hubungan hukum antara si perampok dan yang dirampok, benih pertama hukum publik, muncul. Untuk memelihara keuntungan-keuntungan dari penghisapan ini dan untuk menengahi perselisihan-perselisihan antara berbagai klan atau keluarga di kalangan para petani, sang penakluk/penyelamat tersebut kemudian menganggap memiliki hak untuk mengadili dan memerintah. Proses ini dalam jangka panjang membiakkan benih-benih organisasi politik di mana negara primitif muncul.
Bagi teori-teori integratif, keuntungan-keuntungan bersama sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles di atas merupakan salah satu kata kunci. Kata-kata kunci yang lain adalah koordinasi, integrasi, pembagian kerja, fungsionalitas, bagian-bagian yang terstrukturkan, kompleksitas, dan nilai-nilai. Teori-teori ini mulai dengan asumsi bahwa masyarakat terdiri atas unit-unit yang terintegrasikan, masing-masing unit memiliki fungsinya sendiri untuk melayani tujuan masyarakat sebagai sebuah keseluruhan, yakni memelihara ketertiban, atau menjaga keberadaannya. Jika satu unit berubah, unit-unit yang lain juga akan terdorong untuk berubah; dan karena itulah masyarakat berkembang. Lahirnya negara hanyalah hasil dari berbagai perubahan terus-menerus dalam masyarakat. Teori-teori integratif tersebut pada dasarnya menempatkan konflik, persaingan, pemaksaan, dan perang dalam posisi yang jauh kurang penting. Bagi teori-teori konflik, perkembangan negara mengan
daikan penindasan yang semakin kuat dari satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain. Sebaliknya, bagi teori-teori integratif, perkembangan progresif negara menghasilkan emansipasi masyarakat dari subordinasi.
Poin-poin tersebut (kompleksitas, pembagian kerja, emansipasi) sangat jelas diyakini oleh para teoretisi integratif dalam membentuk argumen-argumen mereka. Durkheim, misalnya. Sosiolog Prancis ini menyatakan bahwa terdapat dua jenis masyarakat: mekanis dan organis.
Yang pertama berkaitan dengan komunitas berskala-kecil dan padu, yang memiliki tingkat diferensiasi sosial dan pekerjaan yang rendah. Di sini individu-individu didominasi oleh tirani kesadaran kolektif-rangkaian keyakinan dan nilai kolektif yang menjadi dasar keberlangsungan kehidupan sosial, misalnya mitos, etika, norma, takhayul, legenda. Individu-individu dipaksa untuk berfungsi, meminjam ungkapan Aristoteles di atas, demi "kebaikan kehidupan komunitas".
Yang kedua merujuk terutama pada bentuk masyarakat berskala besar yang telah terindustrialisasikan (Giddens, 1986: 2). Di sini individu-individu bekerjasama, bekerja sesuka mereka, tanpa tirani hati nurani kolektif untuk membentuk masyarakat mereka. Bagi Durkheim, negara hanya muncul ketika terjadi pergeseran progresif masyarakat mekanis menjadi masyarakat organis. Begitu hubungan-hubungan antarindividu menjadi lebih kompleks, dan hubungan antarpekerjaan menjadi semakin terbedakan, muncul dorongan untuk jenis masyarakat mekanis menjadi jenis masyarakat organis. Begitu transformasi ini selesai, negara menjadi lembaga utama yang terkait dengan persoalan koordinasi, ketertiban, dan penerapan serta peningkatan hak-hak individu (Giddens, 1986: 3). Dengan demikian, kompleksitas yang semakin meningkat dalam masyarakat dan emansipasi individu merupakan aspek-aspek yang inheren dalam proses pembentukan negara.
*** Kita telah melihat bahwa dalam menjelaskan fenomena yang sama (yakni munculnya negara), kedua teori itu mengajukan jawaban-jawaban yang berbeda. Kita bisa katakan bahwa apa yang implisit dalam penjelasan-penjelasan tersebut adalah bahwa para teoretisi konflik memiliki sensitivitas yang sangat kuat terhadap "politik"; mereka menganggap bahwa pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan adalah aspek utama masyarakat. Bagi mereka, lembaga yang paling dominan dan kuat dalam masyarakat (negara) hadir bukan karena tindak konsensual atau sukarela dari warganya untuk mencapai kebaikan bersama. Negara adalah hasil dari pertarungan kekuasaan. Sebaliknya, para teoretisi integratif melihat eksistensi negara sebagai "netral", dalam pengertian bahwa fungsi utamanya hanyalah untuk melayani dan mengkoordinasi keseluruhan masyarakat.
Kedua teori itu tampaknya saling eksklusif. Namun pada titik ini penting untuk melihat bahwa terdapat beberapa penulis yang berpandangan bahwa meninggalkan satu teori untuk meyakini teori yang lain merupakan suatu pilihan yang tidak diinginkan. Cohen, misalnya, mengatakan bahwa untuk menjelaskan kasus-kasus empiris yang berbeda, baik teori konflik maupun teori-teori integratif sama-sama diperlukan. Dalam penyelidikan empirisnya, ia mencoba membandingkan pembentukan tiga sistem negara di Chad Basin (Kanem-Borno, Fombina-Yola, Pabir-Biu). Ia menemukan bahwa terdapat dua jalan yang berbeda menuju ke-negara-an (statehood) dalam ketiga negara ini (Cohen dan Service, 1978: 141-159). Yang pertama dicirikan oleh hubungan yang sarat konflik antara orang -orang nomad dan para petani. Karena kelangkaan air, orang-orang nomad tersebut bermigrasi ke desa-desa pertanian yang relatif otonom. Para petani lokal tersebut menuntut bayaran, upeti, dan bentuk-bentuk permintaan lain dari orang-orang nomad itu sebagai pendatang baru. Hal ini mendorong pihak yang terakhir ini untuk mengorganisasi diri mereka dan membangun perasaan kebersamaan yang kuat. Dan ketika akhirnya konflik terjadi, kaum nomad tersebut menang dan membentuk sebuah lembaga yang tersentralisasi untuk mendominasi wilayah tersebut.
Yang kedua adalah jalan di mana para petani tersebut menyatukan diri bersama dalam kota-ko
ta bertembok tinggi untuk mempertahankan diri mereka dari serangan yang dilakukan oleh sistem-sistem negara yang berdekatan.
Mereka bersatu dalam kota-kota besar yang dikelilingi tembok. Pertanian dalam kota-kota tersebut, menurut Cohen, menjadi semakin intensif saat populasi meningkat. Dan akibatnya:
Para ketua dan para penasihat mereka, keturunan dari para pendiri permukiman tersebut, harus menghabiskan waktu yang lebih banyak lagi untuk menengahi perselisihan dan mengkoordinasi berbagai aktivitas yang berskala lebih besar. Nantinya, kelompok ini membentuk kelas atas para penguasa dan birokrat yang melakukan pernikahan dalam kelas mereka dan membentuk faksi-faksi politik dasar dari negara. (Cohen dan Service, 1978: 156).
Dengan kata lain, untuk kepentingan semua petanilah beberapa bentuk birokrasi primitif dikembangkan dalam kota-kota tersebut. Bagi Cohen, kasus pertama di atas memperlihatkan bahwa konflik dan dominasi satu kelompok atas kelompok yang lain merupakan dasar pembentukan negara di Borno dan Fombina-Yola; sementara kasus kedua, yang terjadi di Pabir-Biu, memperlihatkan bahwa keuntungan bersama merupakan alasan utama adanya negara.
Apa yang ingin ditunjukkan Cohen di sini adalah bahwa dalam memahami proses pembentukan negara, baik pendekatan konflik maupun integratif diperlukan. Terdapat lebih dari satu jalan menuju pembentukan negara; karena itu, akan kurang meyakinkan jika kita hanya percaya pada satu teori untuk menjelaskan munculnya negara.
Satu contoh lagi bisa dikemukakan tentang betapa pentingnya untuk tidak mengabaikan satu teori dan hanya secara kaku berpegang pada teori yang lain, seseorang bisa melihat bagaimana Wittfogel ditentang oleh Eva dan Robert Hunt. Wittfogel (1957), dengan menggunakan gagasan Marx tentang Masyarakat Asia, menulis bahwa munculnya Negara Timur dan wataknya yang despotik di Timur Dekat dan Asia disebabkan oleh suatu sistem "hidrolik" yang ekstensif. Kebutuhan dasar untuk mengontrol air, mengelola bangunan dan memelihara pusat-pusat air yang besar memungkinkan para pengelola air memiliki kekuasaan untuk mendominasi keseluruhan kehidupan sosial, termasuk militer. Ketika sistem tersebut menjadi semakin luas, para pengelola tersebut berubah menjadi para elite berkuasa yang despotik, yang kemudian membentuk birokrasi yang despotik untuk memelihara keuntungan dan dominasi mereka (Cohen dan Service, 1978: 70).
Saat melakukan penelitian empiris tentang masyarakat irigasi di Cuicatec, Meksiko, Eva dan Robert Hunt menemukan bahwa birokrasi yang tersentralisasi muncul untuk mengatur kompleksitas dalam mendistribusikan air.
Di sini argumen Wittfogel tersebut benar. Namun bagi Eva dan Robert Hunt, Wittfogel gagal melihat bahwa birokrasi air tersebut juga berguna untuk meningkatkan produktivitas warga. Mereka menyatakan bahwa dalam masyarakat irigasi, "tanpa pembuatan keputusan yang padu, guncangan dan konflik sosial yang besar akan cenderung melumpuhkan sistem sosio-ekonomi". Karena itu, "sentralisasi sistem politik mempermudah tingkat produktivitas yang lebih tinggi dengan menekan konflik sosial...". (Cohen dan Service, 1978: 118).
Dengan kata lain, birokrasi air (aspek penting dari negara) muncul bukan hanya untuk melayani kepentingan para pengelola air, melainkan juga untuk melayani kepentingan sistem tersebut, yakni kepentingan seluruh warga.
Dengan demikian, kita bisa berkata bahwa di sini Eva dan Robert Hunt memperlihatkan bahwa baik teori konflik maupun integratif diperlukan untuk memahami realitas yang sama.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya kira relevan jika kita mendengarkan Dahrendorf:
Terdapat problem-problem sosiologis yang penjelasannya bisa didapatkan dari asumsi-asumsi teori integrasi masyarakat; terdapat problem-problem lain yang bisa dijelaskan hanya dengan berdasarkan teori koersi masyarakat; terakhir, terdapat problem-problem yang mana kedua teori tersebut tampak memuaskan. Untuk analisis sosiologis, masyarakat bermuka ganda, dan kedua wajahnya merupakan aspek-aspek dari realitas yang sama (Dahrendorf, 1959: 159).
Masyarakat itu be rmuka ganda. Demikian juga negara. Konflik dan integrasi merupakan aspek yang berbeda dari realitas yang sama. Negara merupakan fenomena terlalu kaya, terlalu kompleks untuk dipahami hanya dengan satu penjelasan tunggal. Tentu saja teori-teori konflik dan integratif telah memberi kita banyak pemahaman yang berguna. Namun, mereka terbatasi oleh asumsi-asumsi mereka sendiri. Karena itu, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Cohen, Eva dan Robert Hunt di atas, untuk memahami secara lebih baik bagaimana dan mengapa negara berkembang, apa yang kita butuhkan mungkin adalah pendekatan-pendekatan yang bisa secara terbuka dan jelas mencakup aspek-aspek seperti persaingan dan integrasi, koersi dan keuntungan, penaklukan dan konsensus, ketidaksetaraan dan kompleksitas.
Pendekatan Otonomi Negara:
Bagaimana Mengkritiknya"
dalam bagian III buku Przeworski, The State and The Economy Under Capitalism (1990), pendekatan yang menekankan pentingnya negara dalam analisis ekonomi politik pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian: pendekatan otonomi relatif dan pendekatan negara sentris. Esai pendek ini hanya akan membahas pendekatan yang pertama.
Sebagaimana yang kita tahu, pendekatan otonomi negara, serta pendekatan negara sentris cukup berhasil dalam "memasukkan kembali negara" ke dalam wacana ilmu sosial, setidaknya sejak akhir 1960-an. Keduanya mampu memberikan dasar-dasar yang lebih konseptual bagi mereka yang ingin menyerang fondasi liberal dari apa yang kadang disebut sebagai teori-teori sosial utama (teori-teori sosial behavioral, fungsionalisme struktural, teori-teori modernisasi). Dengan memperlihatkan bahwa peran negara terutama ada dalam proses-proses sosial, politik, dan ekonomi, kalangan "statist" tersebut secara langsung menentang asumsi-asumsi-yang dirumuskan oleh para pelopor pemikiran liberal (Hobbes, Locke, Mill, Hume)-bahwa masing-masing warganegaralah yang menciptakan negara, dan bahwa yang terakhir ini hanya merupakan pelayan yang mengemban amanat yang pertama.[Pengaruh langsung dari asumsi-asumsi ini pada ilmu politik pasca-Perang bisa dilihat, misalnya, dalam rumusan sistem politik David Easton. Di sini pemerintah atau negara dilihat hanya sebagai sebuah kotak kosong, yang menunggu untuk diisi oleh berbagai kepentingan dari para partisipan politik yang saling bersaing. Penting untuk melihat bahwa Marx, meskipun ia mencurahkan sebagian besar karyanya untuk mengkritik para pemikir liberal, tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari asumsi-asumsi ini. Negara, bagi Marx, juga sekadar merupakan pelayan, sebuah kotak kosong. Perbedaannya, dari perspektif ini, adalah bahwa kaum liberal klasik tersebut menekankan unit analisis pada tiap-tiap warganegara, sementara Marx dan kaum Marxis pada kelas-kelas sosial.]
Seberapa jauh kita bisa mengatakan bahwa pendekatan otonomi negara tersebut merupakan suatu pendekatan yang baik dalam menjelaskan hubungan antara proses-proses politik dan ekonomi di masa kapitalisme modern sekarang ini, dalam pengertian bahwa pendekatan tersebut meyakinkan, bisa diterima secara logis dan empiris"
Pada dasarnya inilah pertanyaan yang ingin dijawab oleh Przeworski ketika ia mengemukakan argumen-argumen inti kalangan statist. Dalam melakukan hal tersebut, Przeworski melancarkan banyak kritik yang menarik terhadap mereka. Esai pendek ini ingin ikut serta dalam kritik Przeworski tersebut. Esai ini juga bermaksud bergerak sedikit lebih jauh dengan memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang luput dalam kritik-kritik Przeworski itu, dan bahwa kita bisa mengembangkan kritiknya untuk memberi pukulan telak pada para teoretisi otonomi negara.
*** Menyangkut definisi otonomi negara, Przeworski setuju dengan rumusan Skocpol bahwa negara otonom ketika para pengelolanya "bisa membentuk dan mengejar tujuan-tujuan yang tidak sekadar mencerminkan tuntutan-tuntutan atau kepentingan-kepentingan berbagai kelompok dan kelas sosial atau masyarakat". Negara otonom ketika ia bertindak atas nama kepentingannya sendiri.[Przeworski memberikan penjelasan konseptual lebih lanjut ketika ia menyatakan bahwa kit
a harus bisa membedakan dua hal: kemampuan negara untuk merumuskan tujuan-tujuannya sendiri, dan kemampuannya untuk mengejawantahkan tujuan-tujuan ini. Jika negara hanya mampu melakukan yang pertama, dan gagal melakukan yang kedua, maka gagasan tentang otonomi bagi negara seperti itu tidak bermakna. Hanya jika negara bisa melakukan keduanya maka ia bisa disebut otonom.]
Sebagaimana yang umum diketahui, teori-teori tentang otonomi negara sebagian besar bersandar pada analisis kelas. Marx-lah yang mulai merumuskan persoalan tentang sebuah negara yang otonom. Bagi Marx, sebagaimana yang dijelaskan dengan baik oleh Przeworski, otonomi negara itu "eksepsional"- ia adalah sejenis teka-teki yang tidak cukup cocok untuk dimasukkan ke dalam teori besar Marx. Karena politik tidak lain merupakan suatu cerminan dari hubungan-hubungan ekonomi, negara dapat dipastikan sekadar merupakan alat dari kelas yang paling berkuasa, yakni kaum borjuis. Namun, sebagaimana yang diakui Marx sendiri dalam the Eighteen Brumaire of Louis Bonaparte, negara Bonapartis bukan merupakan suatu alat: ia bergerak menghancurkan kepentingan-kepentingan kelas yang dianggap sebagai tuannya.
Dari persoalan yang tak-terpecahkan dalam analisis Marx inilah teori-teori tentang otonomi negara bermula. Bagi Przeworski, dalam perkembangannya sekarang ini, teori-teori tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga kubu: teori abdikasi (abdication theory), teori borjuasi lemah, dan teori keseimbangan kelas.
Teori Abdikasi Teori ini, bagi Przeworski, mengandaikan bahwa kaum borjuis "mampu untuk memerintah secara langsung, namun menganggap bahwa demi kepentingannya sendiri ia tidak melakukannya". Teori ini menyatakan bahwa biaya untuk merebut, dan menjalankan, kekuasaan terlalu tinggi bagi masing-masing kapitalis, yang hanya ingin menikmati keuntungan eksploitasi, hak milik pribadi yang aman, dan kehidupan keluarga. Kaum kapitalis menyerahkan kekuasaan mereka demi untuk menikmati perlindungan dari negara (otoriter). Karena itulah muncul otonomi negara.
Teori Borjuasi Lemah Teori ini (yang umumnya digunakan dalam menjelaskan negara-negara Dunia Ketiga) menganggap bahwa negara otonom karena kaum kapitalis lemah. Kaum kapitalis Dunia Ketiga berbeda dari kaum kapitalis Eropa Barat: yang pertama sangat bergantung pada modal luar negeri; kurang memiliki sumberdaya ideologis dan organisasi; dan terpecah menurut garis sektoral.
Teori Keseimbangan Kelas Bagi teori ini, kemampuan kaum kapitalis untuk memperoleh kekuasaan bergantung pada kekuatan lawan-lawannya. "Jika lawan-lawannya juga kuat secara politik, ada ruang bagi negara untuk menjadi otonom." Di sini, menurut Przeworski, otonomi negara merupakan "ekuilibrium teoretis permainan tersebut: tak satu pun kelas ingin merebut kekuasaan karena melihat kemungkinan pembalasan dari lawannya, dan akibatnya adalah negara mendominasi kedua kelas".
Bagaimana kita mengkritik teori-teori ini" Jika kita mengikuti Przeworski, jawabannya cukup jelas: merumuskan kembali asumsi-asumsi dasar mereka dan-dengan logika deduktif yang ketat dan rujukan-rujukan empiris yang tepat-melihat apakah asumsi-asumsi ini bisa dipertahankan. Metode ini, menurut saya, memungkinkan Przeworski untuk memberikan kritik yang sangat singkat, padat, dan kuat di seluruh bukunya.
Tentang teori abdikasi, Przeworski mengatakan bahwa kita hendaknya tidak meyakini begitu saja asumsi bahwa memang karena kepentingan kaum kapitalis sendirilah kenapa mereka menyerahkan kekuasaan. "Akankah kepentingan mereka [kaum kapitalis] benar-benar terlayani secara lebih baik jika mereka menarik diri dari usaha merebut kekuasaan politik"" Teori tersebut tidak pernah menjelaskan mengapa negara yang kuat dan otonom akan terus melindungi kaum borjuis setelah ia mendapatkan kekuasaan.
Di sisi lain, Przeworski juga menyatakan bahwa-dengan mengikuti argumen teori dependesi struktural-kaum kapitalis pada dasarnya terlindungi terlepas dari siapa yang berkuasa dalam wilayah politik. Pendeknya, kaum borjuis tidak perlu menyerahkan kekuasaannya untuk menjadi terlindungi. Sa
ngat sedikit contoh dalam sejarah di mana kita bisa melihat negara yang kuat berbalik menentang kaum borjuis.
Tentang teori borjuasi lemah, Przeworski menjelaskan bahwa asumsi dasar bahwa kaum borjuis Eropa Barat itu kuat di masa awal perkembangan kapitalisme adalah salah. "Negara otonom dalam sebagian besar kasus 'klasik' sebagaimana di beberapa negara yang kurang maju dan penekanan pada borjuasi yang lemah tersebut tidak memiliki dasar eksplanatoris." Apa yang bisa dijelaskan oleh kelemahan kaum kapitalis tersebut adalah bahwa "ada ruang kekuasaan untuk diisi, namun bukan bahwa ia terisi dan bagaimana [mengisinya]".
Tentang teori keseimbangan kelas, Przeworski menyatakan bahwa hubungan antara dinamika kelas dan bentuk-bentuk negara meragukan. Teori ini bersandar pada "lompatan fungsio-nalis", yang sangat bisa dipertanyakan. "Apa yang menjamin bahwa ketika borjuasi yang kuat dilawan oleh proletariat revolusioner yang kuat, negara fasis atau negara yang secara fungsional sama akan muncul... " Dan apa yang mencegah kemunculan sebuah negara yang sangat mirip dengan negara fasis sekalipun semua kelas lemah""
Berbagai kritik Przeworski ini memperlihatkan banyak persoalan besar yang terdapat dalam teori-teori tentang otonomi negara. Misalnya saja tentang teori borjuasi lemah. Penjelasannya tentang otonomi negara-negara Dunia Ketiga, dan tentang kegagalan munculnya sistem demokratis, bersandar pada suatu kesalahpahaman besar atas sebuah fakta sederhana tentang perkembangan kapitalisme di Eropa Barat. Para teo-retisinya cukup mendalam dalam menjelaskan detail-detail kapitalisme di Dunia Ketiga; namun mereka terlihat hampir sepenuhnya tidak memahami apa yang terjadi dengan kapitalisme di Eropa Barat. Przeworski, dengan hanya memperlihatkan sebuah fakta sederhana (bahwa kaum borjuis tidak pernah memerintah secara langsung, kecuali untuk beberapa tahun di Prancis setelah Revolusi), menentang gagasan bahwa kelemahan kaum kapitalis Dunia Ketiga memiliki kaitan dengan kuatnya negara-negara Dunia Ketiga.
Pada dasarnya, jenis kritik seperti ini juga bisa dilancarkan pada isu lain yang dikemukakan oleh teori borjuasi lemah tersebut. Dalam menjelaskan mengapa demokrasi gagal menyertai perkembangan ekonomi kapitalis di Dunia Ketiga, teori tersebut menjelaskan bahwa karena kaum kapitalis lemah, mereka tidak bisa mencapai tujuan mereka dalam membangun sistem politik yang sesuai dengan kepentingan mereka (demokrasi). Sekali lagi, teori tersebut mengandaikan bahwa demokrasi muncul di Eropa Barat karena kaum kapitalis kuat, mampu memaksa rezim lama untuk membangun pemerintahan baru. Jika kita bisa memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak benar (sebagaimana yang dilakukan Przeworski), maka penjelasan tentang otoritarianisme yang terus-menerus muncul di sebagian besar negara Dunia Ketiga menjadi sangat kurang meyakinkan. Kaum kapitalis Dunia Ketiga memang lemah, namun demikian juga kaum kapitalis Eropa di abad terakhir-di Eropa Barat demokrasi berkembang, sementara di Dunia Ketiga tidak, sehingga penjelasan kita seharusnya melampaui kuat/lemahnya kaum borjuis.
Kritik yang paling keras terhadap teori ini, yang tidak disebutkan oleh Przeworski, bisa dikemukakan ketika kita melihat berbagai fakta yang belakangan ini berkembang di beberapa negara Dunia Ketiga. Lihat misalnya apa yang terjadi pada Korea Selatan. Hingga pertengahan 1980-an, negara ini merupakan contoh yang sangat jelas dari sebuah negara dengan kaum kapitalis yang sangat lemah (yakni bergantung); untuk akses ekonominya mereka bergantung pada negara militer-otoritarian, dan pada modal asing untuk pembentukan modal (selain Meksiko, Korea Selatan pada pertengahan 1980-an merupakan negara Dunia Ketiga dengan utang paling banyak). Namun, pada 1986/87 perlahan terjadi perubahan: demokratisasi berkembang.
Apa yang tercakup dalam proses ini adalah suatu transformasi negara dari negara yang sangat otonom (negara militer-otoritarian) menjadi sesuatu yang kurang mampu bertindak atas namanya sendiri terlepas dari apapun kepentingan rak-yat-dan transformasi ini terjadi ketika kondis
i dasar kaum borjuis tetap tidak berubah: ia "lemah" pada akhir 1980-an, sebagaimana pada akhir 1970-an, dan awal 1980-an.
Fakta ini merupakan suatu pukulan yang telak terhadap teori borjuis lemah tersebut: jika kita meyakini argumen-argumennya, kita jelas akan gagal untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Korea Selatan, dan di banyak negara, bukan hanya di Dunia Ketiga, yang sekarang ini mengalami proses perubahan rezim.
Teori keseimbangan kelas juga akan mengalami kesulitan untuk menjawab berbagai pertanyaan Przeworskian. Mengapa, misalnya, sebuah negara yang demokratis gagal dibangun jika baik kaum kapitalis maupun kaum pekerja kuat" Berbagai fakta perkembangan negara kesejahteraan pasca-Perang Dunia II di Skandinavia, Jerman (Barat), dan Britania memperlihatkan bahwa kompromi (Keynesian) antara kedua pihak yang kuat dan saling bersaing ini mungkin terjadi, tanpa menyeret sistem politik ke dalam fasisme. Teori tersebut gagal di hadapan fenomena politik dan ekonomi yang paling penting dalam kehidupan Eropa modern (yakni: pembentukan negara kesejahteraan melalui mekanisme-mekanisme demokratis).
Dengan demikian, Przeworski secara tidak langsung membuat kita melihat persoalan teoretis utama dari teori keseimbangan kelas ini. Persoalan ini bisa dilihat secara langsung dari kesalahan Marx ketika ia merumuskan hubungan kepentingan kelas dan kepentingan politik. Marx salah ketika ia mengatakan bahwa kepentingan kaum kapitalis di wilayah politik adalah pembentukan demokrasi, sementara kepentingan kaum pekerja adalah pembentukan kediktatoran proletariat.[Ketika Marx mendukung gagasan tentang partisipasi kaum pekerja dalam parlemen Inggris, dukungannya tersebut bersyarat. Ia berkata bahwa partisipasi tersebut hendaknya merupakan partisipasi sementara, sampai kaum pekerja menjadi cukup kuat untuk menggantikan "parlemen borjuis" dan demokrasi tersebut dengan kediktatoran proletariat (lihat McLellan, ed., Karl Marx: Collected Writings, 1987, Oxford University Press).] Di sini Marx samasekali tidak memberi ruang bagi kaum kapitalis dan kaum pekerja untuk berkompromi-hubungan mereka didefinisikan sebagai suatu hubungan zero-sum. Di sini Marx disangkal oleh bukti-bukti sejarah; namun para teoretisi keseimbangan kelas tersebut menolak untuk mengakui bukti-bukti ini. Secara tak sadar, mereka mengulangi kesalahan Marx, dan memperluasnya untuk menjelaskan bahwa dalam keadaan di mana kedua kelas tersebut kuat, fasisme niscaya akan diteguhkan sebagai suatu jenis kompromi, suatu jenis keseimbangan antara hubungan kuat-kuat. Saya akan menjabarkan secara lebih luas persoalan analisis kelas ini nanti, saat saya mencoba memperlihatkan bahwa kritik Przeworski terhadap pendekatan otonomi negara pada dasarnya bisa dikembangkan lebih jauh untuk mempertanyakan argumen teoretis utama yang mendasari pendekatan itu.
Teori abdikasi mungkin merupakan teori yang paling kurang bisa dipertahankan. Jika kita meyakini argumen-argumen teori dependensi struktural yang disebutkan Przeworski, persoalan tentang penyerahan (abdication) menjadi hampir tidak relevan dalam pembahasan isu otonomi negara. Negara, karena ia membutuhkan modal yang diberikan oleh kaum borjuis, tidak akan pernah mampu menghancurkan kepentingan utama pihak yang terakhir ini-yakni, untuk mengakumulasi modal. Juga merupakan kepentingan negara untuk tidak menghancurkannya.
Jadi, apakah kaum kapitalis mengundurkan diri atau tidak, kepentingan utama mereka akan tetap terlindungi.
Penyerahan dan otonomi negara dengan demikian merupakan dua hal yang tidak saling terkait. Tidak ada argumen yang mungkin bisa diberikan oleh teori ini untuk menjelaskan suatu fenomena yang sangat mungkin terjadi: kaum borjuis berpartisipasi dalam permainan kekuasaan, yang menjadikan negara kurang otonom, dan, pada saat yang sama, tidak men-ciptakan sebuah keadaan di mana proses akumulasi modal pribadi menjadi sangat terancam.
*** Sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya, Przeworski sangat sadar bahwa fondasi teoretis pendekatan otonomi negara didasarkan pada analisis kelas Marxian. Ketig
a kubu dalam pendekatan itu percaya pada asumsi-asumsi Marxian yang sama tentang kelas dan kepentingan kelas; mereka berbeda hanya dalam menjelaskan tindakan nyata sebuah kelas tertentu dan akibat-akibat dari suatu hubungan tertentu di antara kelas-kelas sosial.
Setelah menyadari hal ini, sangat aneh mengapa Przeworski, dalam usahanya untuk mengkritik teori-teori tentang otonomi negara, tidak secara langsung menyerang fondasi teori-teori tersebut. Memang, ketika ia mengkritik teori keseimbangan kelas, sebagaimana yang telah kita lihat di atas, ia membawa kita menentang teori tersebut dan metode analisis kelas dalam memahami otonomi negara, atau dalam memahami negara sebagai sebuah entitas politik secara umum. Namun kritiknya tidak memberi kita dasar yang lebih kuat yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan langsung pada struktur konseptual yang paling dalam dari teori-teori tersebut.
Apa yang perlu kita lakukan adalah mempertanyakan analisis kelas itu sendiri sebagai serangkaian asumsi dan suatu penjelasan tentang hubungan-hubungan manusia dalam sebuah sistem ekonomi tertentu. Kita harus bertanya apakah analisis kelas tersebut menjadikan kita mengajukan pertanyaan yang salah dan membuat kita salah memahami berbagai persoalan dari proses-proses politik dalam kapitalisme kontemporer. Bagaimanapun, Marx merumuskan analisis kelasnya ketika kapitalisme masih ada di masa awalnya.
Jika kita dapat menyangkal analisis kelas ini, konsep otonomi negara itu sendiri mungkin akan menjadi tidak bermakna. Di sini saya cenderung mengatakan bahwa kita bisa melakukannya.
Kapitalisme telah banyak berubah sejak Marx merumuskan gagasan-gagasannya. Kepemilikan sarana-sarana produksi sekarang ini menjadi jauh lebih rumit. Sekarang ini sangat umum bahwa, karena berbagai inovasi finansial seperti obligasi dan saham, ribuan pekerja dan pensiunan menjadi pemilik sebuah perusahaan pribadi. Meskipun sekarang ini hampir tidak ada sebuah perusahaan swasta besar yang dimiliki oleh dua atau tiga "kapitalis", makna kepemilikan itu sendiri telah berubah. Mereka yang memiliki perusahaan tersebut tidak lagi penting: yang paling penting adalah siapa yang menjalankannya (para manajer, para MBA, para pekerja ahli).
Gagasan tentang pekerja sekarang ini juga menjadi lebih rumit. Kita harus membedakan antara pekerja terampil dan tak-terampil. Juga akan menyesatkan jika kita tidak membedakan antara mereka yang bekerja di sektor manufaktur dan di sektor jasa, dan mereka yang bekerja di sektor swasta dan publik.
Dengan demikian, melihat berbagai perubahan ini,[Sebenarnya ada lebih banyak hal yang bisa kita katakan tentang hal ini, misalnya, globalisasi perusahaan-perusahaan swasta, internasionalisasi perekonomian nasional.] akan menyesatkan jika kita terus meyakini gagasan-gagasan lama Karl Marx. Sekarang ini, sangat sulit untuk mendefinisikan posisi kelas dan hubungannya dengan "kepentingan obyektif". Ambil contoh kaum borjuis. Siapa mereka" Mengapa kita tidak bisa mengatakan bahwa jutaan pekerja yang memiliki saham adalah kaum kapitalis" Mengapa seorang Rockefeller dalam kapitalisme 1990-an dianggap seorang borjuis jika ia hanya memiliki sebagian saham dari beberapa perusahaan besar namun tidak mengelola bisnis harian mereka"
Sekarang tentang "kepentingan obyektif". Sekarang ini menjadi semakin umum di banyak negara maju fenomena bahwa kaum "kapitalis" dan kaum pekerja tak-terampil mereka memiliki kepentingan yang sama: keduanya hanya bisa bersandar pada proses-proses politik di parlemen (demokrasi) untuk mendapatkan perlindungan terhadap persaingan internasional.
Karena berbagai perubahan ini, analisis kelas Marxian hanya akan menyesatkan kita dalam memahami hubungan antara proses-proses politik dan ekonomi. Ambil contoh persoalan tentang penyerahan kekuasaan (abdication), misalnya. Dalam kapitalisme modern sekarang ini, sangat sulit dipahami kaum kapitalis sebagai sebuah kelas (untuk sementara lupakan bahwa "kelas" di sini merupakan istilah yang sangat problematis) menyerahkan kekuasaan: karena diversifikasi aktivitas ekonomi, selalu akan
ada orang-orang yang perlu berpartisipasi dalam
proses-proses politik demi untuk memajukan kepentingan-kepentingan perusahaan mereka, dan selalu akan ada orang-orang yang, karena mereka bisa lebih bersandar pada kreativitas ekonomi mereka, melihat proses politik semata-mata sebagai gangguan.
Atau cermati masalah keseimbangan kelas. Apakah memang yang terjadi adalah bahwa hanya kaum kapitalis yang tertarik pada demokrasi, sementara kaum pekerja pada sesuatu yang lain" (sekali lagi, untuk sementara mari kita lupakan bahwa "kaum kapitalis" dan "kaum pekerja" sekarang ini tidak lagi mudah didefinisikan). Dalam banyak kasus, sekarang ini, sebagaimana yang telah kita lihat di atas, kaum kapitalis dan kaum pekerja tak-terampil memiliki kepentingan besar dalam demokrasi. Perkembangan negara-negara kesejahteraan juga memberikan suatu bukti yang meyakinkan bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang menyatukan kaum borjuis dan kaum pekerja dalam kepentingan bersama, yakni: menjaga kedamaian sosial.
Karena itu, sekarang ini cukup memadai untuk memperlihatkan bagaimana analisis kelas tidak lagi bisa dipertahankan tanpa mempertaruhkan akal sehat kita dalam memahami hubungan antara proses politik dan ekonomi dalam kapitalisme modern. Dan, sebagaimana yang diandaikan Przeworski, tanpa analisis kelas pendekatan otonomi negara menjadi rumah kartu tanpa fondasi (teoretis). Ia menjadi tak meyakinkan dan karena itu harus ditinggalkan.
Pertimbangkan Kembali Masyarakat
negara itu otonom-ini adalah argumen teoretis yang paling penting dari para teoretisi yang menegaskan pentingnya negara. Bagi mereka, kaum Marxis dan Liberal-Pluralis salah: negara bukanlah alat kelas yang berkuasa, dan juga bukan suatu mesin yang netral. Negara merupakan suatu lembaga organik, dan pada dirinya sendiri merupakan aktor. Dengan demikian, menurut Stephen Krasner, negara "tidak bisa dipahami sebagai suatu cerminan dari karakteristik atau preferensi sosial".[Stephen Krasner, 1984, "Approaches to the State: Alternative Conceptions and Historical Dynamics", Comparative Politics 16, hlm. 225.]
Argumen ini tidak begitu meyakinkan, karena tiga alasan. Pertama, seringkali mustahil untuk menentukan apa itu kepentingan negara.
Untuk memahami poin ini, mari kita cermati contoh sederhana berikut ini. Di indonesia, pertarungan politik paling penting sekarang ini terjadi "di dalam" negara, yakni antara kaum teknokrat dan kalangan nasionalis-ekonomi. Yang pertama ingin menjadikan perekonomian negeri itu lebih liberal, sementara yang kedua ingin menjadikannya lebih protektif dan populis. Orang-orang dari kedua kelompok tersebut menempati jabatan-jabatan penting dalam berbagai lembaga pemerintahan (bank sentral, menteri perekonomian, komisi perencanaan industri, militer, sekretariat negara, parlemen, dan sebagainya).
Dalam keadaan seperti ini, mustahil bagi kita untuk mengatakan secara a priori apa itu kepentingan negara Orde Baru. Arah kebijakan-kebijakan pemerintah diperselisihkan oleh kelompok-kelompok yang saling bersaing tersebut (dan karena itulah mengapa kebijakan-kebijakan itu seringkali tidak koheren).
Sebagian teoretisi yang menegaskan pentingnya negara, dalam menganalisis negara Orde Baru, menyatakan bahwa terlepas dari konflik antara kalangan teknokrat dan nasionalis tersebut, kepentingan utama negara masih bisa dilihat dengan jelas, yakni mengakumulasi modal demi untuk menjaga legi-timasinya.[Lihat, misalnya, Arief Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Monash University, Australia, 1990; dan Richard Robinson, Indonesia, The Rise of Capital, Allen & Unwin, 1986.] Namun pandangan ini agak bodoh dan abstrak karena ia tidak memahami berbagai perbedaan besar antara kebijakan-kebijakan pasar bebas dan kebijakan-kebijakan na-sionalistik.[Tentu saja, keduanya bisa dilihat sebagai kebijakan-kebijakan untuk akumulasi modal. Namun konsekuensi mereka sangat berbeda: yang pertama, dalam jangka panjang, akan memperlemah negara; sementara yang terakhir akan memperkuatnya. Mengatakan bahwa kedua kebijakan ini pada dasarnya sama (s
eperti yang dilakukan oleh para teoretisi negara tersebut) sama dengan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kapitalisme dan etatisme ekonomi.]
Konsep "otonomi negara" hanya bisa dipahami jika ia terkait dengan tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu negara. Dengan demikian, karena mendefinisikan kepen -tingan negara merupakan suatu hal yang mustahil, argumen inti dari para teoretisi yang mengagungkan negara tersebut jadi membingungkan.
Alasan kedua secara langsung terkait dengan alasan pertama: Konsep tentang "otonomi" tersebut melihat negara sebagai "aktor yang padu, yang mempunyai suatu rasionalitas yang unik dan universalistik, serta mempunyai fungsi-fungsi yang jelas".[Adam Przeworski, 1990, The State and the Economy under Capitalism, Harwood Publisher, hlm. 65.] Pandangan tentang negara ini sebagian dipengaruhi oleh Hegel (yang melihat negara sebagai suatu badan organik, suatu kekuatan utuh-padu yang universal), dan sebagian dipengaruhi oleh Weber (yang menganggap bahwa birokrasi rasio-nal-legal merupakan inti dari negara modern). Pandangan tentang negara yang utuh-padu inilah yang menjadikan mengapa para teoretisi yang mengagungkan negara-seperti yang dikatakan Almond [Lihat Gabriel Almond, 1998, "The Return to the State", APSR 82.]-jarang menegaskan apa yang mereka maksudkan dengan "negara" dalam definisi yang ketat.
200 tahun yang lalu, ketika Louis XIV bisa mengatakan "l'Etat c'est Moi", atau ketika Frederick II bisa menganggap dirinya sebagai "der erste Diener des Staates", mungkin tidak mustahil untuk melihat negara sebagai entitas yang mempunyai inti, suatu organisme utuh yang dipimpin satu orang. Sekarang ini negara telah berkembang menjadi sangat kompleks. Negara modern, seperti yang dikemukakan Schmitter, "merupakan kumpulan agensi yang tak berbentuk, dengan batas-batas yang sangat tidak jelas, serta menjalankan berbagai macam fungsi yang sangat kabur".[Philippe C. Schmitter, 1986, "Neo-Corporatism and the State", dalam Wyn Grant (ed.), Political Economy of Corporatism, McMillan, hlm. 3.] Kekuasaannya tidak lagi bergantung hanya pada satu orang atau lembaga, dan tindakan-tindakannya seringkali tidak sistematis (yang mencerminkan kenyataan bahwa bermacam aktor politik bersaing untuk memengaruhi arah-tujuannya).
Alasan ketiga: Argumen para teoretisi yang menegaskan pentingnya negara tersebut gagal memahami perubahan politik. Drama besar transformasi politik terjadi di wilayah "masyarakat". Negara Soviet runtuh bukan karena "preferensi-preferensi"-nya berubah. Korea Selatan menjadi demokratis bukan karena negara Korea tiba-tiba menganggap ada "kepentingan" baru yang lebih baik dan lebih sesuai dengan masyarakat kelas menengah yang sedang muncul. Untuk memahami transformasi politik kita perlu melihat lebih mendalam pada faktor-faktor seperti perubahan teknologi, pertumbuhan atau kemerosotan ekonomi, munculnya gagasan-gagasan politik baru (atau kembali bangkitnya gagasan-gagasan politik lama), serta berubahnya struktur kelas.
Argumen tentang "otonomi negara" tersebut dikemukakan karena para teoretisi negara itu menganggap bahwa baik Marx-isme maupun pluralisme-liberal bersifat reduksionistik. Namun ternyata pandangan mereka juga demikian halnya. Konsep tentang "otonomi" tersebut menyebabkan kita mengabaikan berbagai faktor yang perlu kita ketahui jika kita ingin memahami perubahan politik.
Ketiga kelemahan argumen inti para teoretisi yang mengagungkan negara ini cukup memadai untuk menyangkal fokus penyelidikan yang mereka lakukan. Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah mempertimbangkan kembali masyarakat. Semakin banyak buku yang membahas pokok persoalan ini. Dalam memahami perubahan politik di negara-negara bekas komunis, misalnya, konsep tentang "masyarakat sipil" sekarang sangat umum diterima. Dalam menjelaskan mengapa sebagian negara Asia Timur bergerak ke arah demokrasi, sedangkan sebagian yang lain tidak, konsep tentang "kelas menengah" dan "perpecahan sosial" sekarang ini kembali dilirik. Saya menganggap pergeseran orientasi penyelidikan ini merupakan
suatu hal yang lebih baik.
Struktur dan Aktor: Mengapa Politik Orde Baru Bertahan"
presiden Soeharto telah berkuasa selama lebih dari 28 tahun. Rezim Orde Baru (Orba) yang ia pimpin tidak mengalami perubahan apapun yang signifikan sejak konsolidasi awalnya pada akhir 1960-an.[Para pelajar politik Indonesia sejak akhir 1970-an mencirikan Orba sebagai sebuah rezim militer-birokratis, rezim pembangunan-otoriter, atau rezim neo-patrimonial (lihat King 1982; McVey 1982). Pada dasarnya konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang rezim Orba ini menjelaskan hal yang sama: a) Pusat kekuasaan ada di tangan Soeharto yang, dengan dibantu para teknokrat dan militer, memberlakukan suatu sistem yang sangat mencekik masyarakat Indonesia untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan caraya sendiri; b) Soeharto memerintah secara personal, dan dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran klien yang diangkat berdasarkan hubungan patrimonial; c) Partai-partai politik diciptakan bukan untuk melayani kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan rezim itu sendiri.] Stabilitas politik ini sangat mengejutkan karena, di wilayah sosial dan ekonomi, Indonesia mengalami suatu perubahan yang sangat besar sebagai dampak pertumbuhan ekonomi dan reformasi sosial yang cepat.[Selama lebih dari 20 tahun, pertumbuhan GDP negara ini tidak kurang dari 7%.
Akibatnya, GDP Indonesia naik setidaknya lima kali lipat. Di wilayah reformasi sosial, kisah sukses bisa dilihat dalam kenyataan bahwa sebagian besar populasi kaum muda telah mengenyam pendidikan dasar universal; program keluarga berencana yang berjalan baik berhasil mengurangi angka kesuburan di Indonesia; swasembada dalam produksi beras tercapai pada 1989 (pada awal 1970-an negara ini adalah pengekspor beras terbesar di dunia). (Untuk ulasan terbaik tentang kisah sukses Indonesia dalam masalah-masalah ini, lihat Booth 1992).] Tidak seperti Thailand dan Korea Selatan, dan sampai tingkat tertentu Taiwan, yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi politik yang berhasil, Orba Soeharto tampak sangat kuat dalam menahan tekanan apapun ke arah perubahan politik.
Memang, sebagian pihak akan menyatakan bahwa, bersamaan dengan keberhasilan ekonomi, terdapat beberapa perubahan politik dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Soeharto kini memanfaatkan peran para elite sipilnya, dan bukannya para elite militer, dalam memobilisasi dukungan bagi pemerintah. Para pemimpin Islam, yang pernah dianggap sebagai salah satu musuh utama rezim tersebut, kini diberi kesempatan yang lebih luas di panggung politik nasional. Pers diizinkan untuk memiliki kebebasan yang lebih besar untuk mengkritik para elite kekuasaan, termasuk anak-anak Soeharto yang sangat kuat. Para aktivis buruh dan mahasiswa diizinkan untuk menggelar berbagai demonstrasi politik asal tidak menyerukan konfrontasi langsung dengan pemerintah.
Namun semua hal baru dalam politik Orba ini tidak meyakinkan kita bahwa prinsip-prinsip dasar otoritarianisme telah ditinggalkan: prinsip-prinsip dasar politik, yang diteguhkan pada akhir 1960-an, tetap tidak berubah; hubungan-hubungan kekuasaan antara Soeharto, para perwira militernya, para teknokratnya, dan "para wakil" rakyat kurang lebih tetap sama. Seorang intelektual terkemuka Indonesia menyebut berbagai gelombang baru dalam politik Orba ini sebagai "demokratisasi pinjaman" (Budiman, 1992). Hal ini berarti bahwa berbagai gelombang baru tersebut hanya dibolehkan berkembang oleh para penguasa sejauh kepentingan utama mereka tidak tersentuh.
Namun begitu mereka melihat bahwa kepentingan-kepentingan mereka terancam, mereka bisa dengan mudah menumpas berbagai gelombang ini, membungkam semua suara yang menyimpang, memberangus pers, dan menahan para mahasiswa.
Pendeknya, tidak ada yang benar-benar berubah kecuali bahwa sekarang ini rezim otoriter tersebut sedang tersenyum.
Bagaimana kita menjelaskan terus bertahannya otoritarianisme Orba ini" Mengapa Orba berhasil melawan berbagai reformasi yang mendasar, seperti penghapusan berbagai larangan bagi orang-orang untuk mengadakan diskusi dan organi
sasi politik, perubahan dalam aturan-aturan pemilu, restrukturasi politik kepartaian, dan sebagainya" Di kalangan mereka yang mempelajari politik Indonesia, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua kelompok. Di satu sisi, orang-orang yang memberikan penjelasan-penjelasan struktural. Mereka menekankan berbagai variabel struktural (ekonomi, sosial, budaya), baik dalam negeri maupun internasional, sebagai faktor-faktor yang menghalangi berkembangnya demokratisasi dalam rezim Orba tersebut. Bagi mereka, pilihan-pilihan para aktor politik dan tindakan-tindakan mereka yang diniatkan atau tidak diniatkan merupakan sesuatu yang tidak relevan (Mackie 1990; Young 1990; Robinson 1990; Budiman 1991). Di sisi lain, ada orang-orang yang menekankan peran para aktor (preferensi, pilihan, dan tindakan mereka) dalam membentuk arena politik Orba. Terus bertahannya politik Orba dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan sadar para pemimpin strategisnya (Liddle 1991 dan 1992).[Pembagian kelompok teori menjadi teori struktural dan teori yang berorientasi-aktor ini langsung didasarkan pada pembedaan dalam teori-teori transisi demokratis yang bisa ditemukan dalam kepustakaan perbadingan politik belakangan ini (lihat Perez-Diaz 1993, hlm. 26-29). Sampai tingkat tertentu Kitschelt (1992) juga menjelaskan pembedaan yang sama ketika dia menulis tentang teori-teori perubahan rezim. Penjelasan process-driven-nya harus dipahami sebagai penjelasan yang berorientasi-aktor. Kita bisa melihat ungkapannya ketika ia mengulas Di Palma: "Bukan kondisi-kondisi struktural, melainkan tindakan-tindakan manusia yang mencapai konsolidasi demokrasi... (hlm. 1032). Di sini faktor struktural dan tindakan manusia ditempatka dalam posisi teoretis yang berbeda.]
Saya di sini ingin menyatakan bahwa hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara teoretis eklektik, dalam pengertian sebagaimana dikatakan Kitschel (1992) bahwa kita hendaknya memadukan pendekatan struktur dan pendekatan process-driven dalam menjelaskan perubahan rezim. Namun sebelum saya masuk ke dalam detail-detail penjelasan teoretis eklektik ini, kita harus mengakui bahwa baik teori struktural maupun teori yang berorientasi aktor telah memberi kita berbagai wawasan yang menarik tentang terus bertahannya rezim Orba. Mari kita lihat contoh-contoh gagasan mereka.
Variabel-variabel yang paling sering ditekankan oleh kalangan struktural adalah lemahnya kelas menengah, atau kebergantungan kaum borjuis domestik pada negara dalam mengakumulasi modal. Bagi mereka, 25 tahun pembangunan kapitalis di bawah Orba telah menciptakan suatu keadaan di mana kelas menengah tidak mampu menyatukan diri mereka dalam sebuah kekuatan politik yang kuat untuk menuntut perubahan (Tanter & Young, ed., 1990; Heryanto 1990). Kelas menengah tersebut sangat terpecah-pecah sebagai akibat dari cara pemerintah mengorganisasi perekonomian: orang-orang Cina minoritas mengontrol sebagian besar sektor-sektor ekonomi penting, dan kelas menengah pribumi terpecah-pecah menurut garis regional, keagamaan, dan patrimonial.
Variabel yang paling sering ditekankan oleh para teoretisi yang berorientasi aktor adalah kemampuan Soeharto sebagai politisi dalam memecah-belah para calon lawannya dan memberi imbalan untuk menjaga kesetiaan para pendukungnya. Di sini tindakan-tindakan sadar Soeharto pada beberapa tahun terakhir, misalnya dalam menjaga keseimbangan antara militer, kekuatan politik Islam, dan para pemimpin sipil dalam pemerintahannya, dianggap sebagai ketrampilan seorang politisi ulung dalam menjaga pusat kekuasaan di tangannya. Stabilitas politik yang dinikmati rezim tersebut dilihat sebagai dampak langsung dari langkah-langkah strategis yang dijalankan oleh Soeharto dan orang-orangnya.[Contoh terbaik dari teoretisi berorientasi-aktor ini adalah Liddle (1991). Dalam sebagian besar karya-karya terbarunya tentang politik Orba setelah krisis minyak, peran kepemimpinan, kecerdikan Soeharto, dan langkah para pemimpin Islam serta langkah-tandingan dari para
elite militer dianggap sebagai faktor-faktor yang paling penting yang perlu kita pelajari untuk memahami politik Orba di tahun-tahun belakangan ini.]
Kebutuhan untuk menjadi eklektik muncul karena masing-masing orientasi teoretis ini tidak memadai untuk menjelaskan persoalan persistensi (atau perubahan, jika ada) dalam politik Orba. Kelemahan utama kalangan strukturalis adalah bahwa mereka sangat deterministik dalam melihat hubungan antara struktur dan tindakan politik. Bagi mereka tindakan-tindakan politik hanya merupakan akibat dari variabel-variabel struktural (posisi ekonomi kelas menengah, atau konfigurasi kekuatan-kekuatan sosio-ekonomi, atau tingkat otonomi negara vis a vis masyarakat, dll.). Sejarah, bagi kalangan strukturalis, tidak dibuat oleh manusia, melainkan oleh kekuatan-kekuatan impersonal.
Meskipun benar bahwa faktor-faktor struktural penting (dan mungkin sangat penting), namun akan salah jika kita tidak memberi ruang bagi tindakan, bagi variabel-variabel kontingen yang dihamparkan oleh pilihan-pilihan yang dibuat oleh para aktor strategis, bagi langkah-langkah politik yang diniatkan maupun tidak diniatkan. Sebagai contoh, tidak ada hambatan struktural bagi Soeharto untuk memilih Jenderal Try Sutrisno dan Prof. Habibie sebagai bawahan terdekatnya dalam jajaran kekuasaan tertinggi (ia dapat memilih beberapa jenderal atau profesor lain). Pilihan ini dibuat sepenuhnya berdasarkan pertimbangannya sendiri (dampak dari pilihan ini sangat penting dalam menjaga stabilitas rezim tersebut karena hal ini memuaskan tuntutan kalangan militer maupun elemen-elemen penting dalam komunitas politik Islam).
Selain itu, dalam beberapa contoh sejarah kita tahu bahwa faktor-faktor struktural bisa diubah oleh tindakan-tindakan sadar para aktor politik. Proses demokratisasi di Korea Selatan dan Thailand pada akhir 1980-an dan awal 1990-an memperlihatkan bagaimana "kelas menengah yang lemah" mampu disatukan sebagai sebuah kekuatan yang kuat, dipimpin oleh para politisi yang cerdas dan para mahasiswa yang berani, untuk melengserkan rezim militer otoriter yang secara ekonomi berhasil. Karena itu, di Indonesia, kenyataan bahwa kelas menengah "lemah" dan terpecah, misalnya, tidak bisa diambil begitu saja sebagai satu-satunya faktor penting yang menjelaskan kegagalan untuk mengubah rezim politik yang ada. Terdapat para pemimpin (sipil dan militer) yang mungkin bisa dianggap sebagai para pembaharu (misalnya, Petisi 50, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman), namun kegagalan mereka sejauh ini dalam menggalang dukungan luas di kalangan kelas menengah untuk mereformasi sistem mungkin harus dicari sebabnya dalam cara mereka berkomunikasi dengan audiens yang lebih luas, atau dalam cara mereka mendefinisikan kepentingan rakyat, atau dalam pilihan yang mereka buat dalam memilih sekutu.
Di sisi lain, para teoretisi yang berorientasi-aktor gagal melihat bahwa, sebagaimana dikemukakan Marx, "Manusia membuat sejarah mereka, namun mereka tidak membuatnya persis sebagaimana mereka inginkan."[Kata-kata Marx ini ada dalam The 18th Brumaire (dalam McLellan, ed., Karl Marx: Selected Writings, 1977, hlm. 300).] Preferensi dan kepentingan para aktor politik dibentuk oleh lingkungan sosio-ekonomi di mana mereka berinteraksi satu sama lain. Tindakan-tindakan mereka terbatasi oleh lingkungan-lingkungan ini. Tentu saja mereka mereka memiliki suatu tingkat kebebasan untuk bertindak, atau mengubah lingkungan. Namun melihat tindakan-tindakan ini tanpa memahami lingkungannya (misalnya, struktur sosio-ekonomi, hubungan ekonomi internasional, lembaga politik) berarti hanya mengulangi kesalahan para sejarawan "klasik", yang berpandangan bahwa sejarah hanya hasil tindakan orang-orang besar.
Soeharto mungkin dinilai sejarah sebagai salah satu dari orang-orang besar tersebut (karena alasan yang baik, atau buruk, atau keduanya). Tindakan-tindakannya untuk memelihara sistem tersebut sangat diperkuat oleh kenyataan bahwa perekonomian telah berhasil dijalankan oleh para teknokratnya (karena itu ia memiliki lebih banyak uang untuk membeli kesetiaan). Selain itu,
UUD 1945 memberinya berbagai kemungkinan kelembagaan yang bisa ia manfaatkan untuk menciptakan berbagai rintangan yang sangat kompleks bagi kaum oposisi. Ini hanya dua contoh (kita bisa mengemukakan lebih banyak) yang mungkin meyakinkan kita bahwa untuk memahami tindakan-tindakan para aktor politik penting (dalam kasus ini, Presiden Soeharto), kita juga perlu melihat pada faktor-faktor struktural atau kelembagaan-suatu hal yang tampaknya gagal dilakukan oleh para teoretisi yang berorientasi aktor.
Pada titik ini, kita sekarang bisa masuk ke dalam masalah eklektisisme teoretis untuk memahami secara lebih baik politik Orba. Argumen utama kami, yang diambil dari Huntington (1991), adalah bahwa stabilisasi politik maupun demokratisasi politik merupakan fenomena yang kompleks. Mereka disebabkan oleh banyak kekuatan.
Sebagian dari sebab ini dihasilkan oleh faktor-faktor struktural, sebagian yang lain tidak. Karena kompleksitas ini, kerangka teoretis kita pada dasarnya bersifat "eksplanatoris", dan tujuan kita adalah mencapai suatu deskripsi yang menyeluruh, jika perlu dengan mengorbankan sofistikasi analitis (Huntington, idem, hlm. xiii-xiv).[Pilihan antara kekomprehensifan dan sofistikasi analitis ini dilihat Huntington sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Ia menyatakan bahwa kompleksitas realitas-lah yang mendorong para teoretisi politik pada pertukaran ini. Kitschelt juga menyinggung persoalan ini (1992, hlm. 1034). Ia mengkritik Huntington karena dianggap tidak bisa ke luar dari pilihan ini. Namun ia tidak menjelaskan bagaimana ini terjadi pada Huntington.]
Karena itu, dalam memahami persistensi politik Orba, kita tidak harus memilih apakah hanya menggunakan variabel-variabel struktural atau non-struktural saja. Kita harus menggunakan keduanya. Kita menganalisis lembaga-lembaga politik Orba, jenis rezimnya, pembangunan ekonominya, struktur kelasnya, dan sebagainya, serta bagaimana mereka terkait satu sama lain, untuk memberi penjelasan-penjelasan struktural bagi persoalan yang sedang kita pelajari.
Dalam menjelaskan bagaimana para aktor membentuk bentuk politik yang sedang kita kaji, kita menganalisis bagaimana kepentingan-kepentingan dan tindakan-tindakan para aktor tersebut dibentuk dan ditentukan oleh faktor-faktor struktural (jenis rezim, struktur kelas, logika pembangunan ekonomi, dll.). Determinisme harus dihindari di sini: struktur ekonomi, misalnya, mungkin tidak memberi pilihan lain bagi para politisi kecuali mengikuti arahnya; namun para politisi yang mumpuni bisa melepaskan diri dari berbagai rintangan struktural dan menciptakan sejarah.
Revolusi Cina revolusi cina merupakan salah satu peristiwa besar di abad ke-20. Baik atau buruk, Revolusi Cina, serta Revolusi Oktober di Rusia, menandai sebuah periode dalam sejarah modern kita, saat perpaduan komunisme dan nasionalisme menjadi kekuatan pendorong terbesar bagi perubahan sosial.
Dalam esai pendek ini saya akan membahas mengapa Revolusi cina terjadi. Saya juga akan mencoba untuk melihat mengapa kaum Komunis muncul sebagai pemenang dalam revolusi tersebut.
Menurut Lucien Bianco, sebab utama revolusi tersebut tertanam dalam realitas sosial cina pra-1949: masalah kaum petani. Karena hubungan-hubungan struktural di pedesaan (yakni penghisapan oleh kelas atas, pajak yang terlalu besar oleh negara feodal, dll.) kaum petani dipaksa untuk memikul bagian terberat dari pembagian kerja dan pembagian sosial. Karena itu, dalam sebagian besar sejarah cina modern, kaum petani menderita.
Pemerintahan nasionalis/militer yang berkuasa setelah negara feodal tersebut runtuh pada 1912 gagal memecahkan persoalan ini. Persoalan sosial yang mendasar tersebut tetap tak terpecahkan: karena itu, revolusi sosial merupakan satu-satunya pilihan bagi kaum petani untuk memecahkan persoalan mereka.
Bagi Bianco, imperialisme dan strategi Tentara Merah juga memainkan peran penting. Imperialisme Jepang membangkitkan nasionalisme Cina, suatu perasaan solidaritas kuat yang didasarkan pada kecintaan pada tanahair, yang dimanfaatkan oleh kaum Komunis dengan sangat bai
k untuk mendukung perjuangan revolusioner mereka.
Strategi Tentara Merah dalam perang gerilya terbukti merupakan suatu faktor yang menentukan baik dalam memobilisasi rakyat, terutama di pedesaan, untuk melawan invasi tersebut, maupun dalam menaklukkan pasukan militer Guomindang dalam Perang Saudara setelah Jepang kalah.
Ringkasnya, kita dapat mengatakan bahwa bagi Bianco, sebab utama revolusi tersebut adalah struktur sosial yang tertanam di wilayah-wilayah pedesaan. Namun juga diperlukan faktor-faktor lain untuk mendorong, membentuk, dan mentransformasikan sebab sosial ini menjadi perjuangan revolusioner dan kemenangan kaum Komunis-dan faktor-faktor ini adalah imperialisme dan strategi Tentara Merah.
Seperti halnya setiap peristiwa besar dalam sejarah modern kita, Revolusi Cina merupakan sebuah peristiwa yang kompleks. Tidak ada satu sebab tunggal yang bisa dianggap sepenuhnya bertanggungjawab terhadap terjadinya Revolusi tersebut. Namun, untuk tujuan analisis kita, kita perlu menyederhanakan peristiwa besar dan rumit tersebut dan mencari dua atau tiga faktor untuk diberi penekanan. Dalam hal ini, saya cenderung menyetujui sebagian besar dari argumen utama Bianco. Namun, sebagaimana yang akan saya jabarkan di bawah, saya akan melihat sebab revolusi tersebut dan dampak-dampaknya dari sudut pandang yang sedikit berbeda (yakni kegagalan Guomindang), dan akan memberi penekanan pada peran imperialisme dan kepemimpinan. Dengan kata lain, bukan hanya struktur sosial, melainkan juga gagasan dan pilihan, yang dianggap penting dalam memahami Revolusi tersebut dan dampak-dampaknya.
Jika kita membaca buku Bianco itu secara cermat, khususnya pada bab empat dan lima, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Guomindang sejak awal telah ditakdirkan gagal dalam memecahkan persoalan sosial yang mendasar tersebut karena tujuan utamanya adalah revolusi nasional (kesatuan dan kemerdekaan) dan reformasi sosial.
Baginya, kontradiksi di sektor rural-agrikultural terlalu besar: hanya revolusi sosial yang dapat membebaskan kaum petani dari penderitaan mereka yang semakin besar. "Jalan tengah" tidak akan berhasil. Karena itu, alasan mengapa persoalan sosial yang mendasar tersebut tetap tak terjawab, dan kemudian melapangkan jalan bagi revolusi, bersifat struktural.
Terdapat beberapa kebenaran dalam penjelasan struktural ini. Namun, menurut saya, terlalu menekankan penjelasan struktural ini cenderung mengabaikan beberapa faktor yang juga sangat penting. Faktor-faktor ini adalah faktor-faktor politik dan kepemimpinan.
Pertama, faktor-faktor politik. chiang Kai-shek, dalam obsesinya untuk menyatukan negeri tersebut dalam waktu singkat setelah Ekspedisi Utara, harus banyak berkompromi dengan para pemimpin militer (Hsu, 1990: 572). Ia kemudian harus bergantung pada kekuatan para pemimpin militer ini sebagai basis kekuasaan Guomindang. Hal ini menjadikan dia tawanan kepentingan para pemimpin militer tersebut. Selain para pemimpin militer ini, chiang juga mendasarkan rezimnya pada dukungan para saudagar dan bisnis-bisnis besar.
Aliansi politik ini menghalangi Guomindang untuk secara efektif memecahkan persoalan petani tersebut. Para pemimpin militer tersebut enggan melihat reformasi radikal di pedesaan yang pada akhirnya hanya akan membahayakan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Akibatnya: Guomindang tidak bisa menjalankan reformasi tanah (redistribusi tanah), yang mungkin bisa merupakan suatu pemecahan yang baik bagi persoalan sosial di pedesaan ini. Dalam hal ini, novelis Pearl S. Buck, yang lahir di Cina dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana hingga 1933, berkata:
Pemerintahan nasionalis tersebut tampak tidak dapat melakukan suatu reformasi nyata dalam hal distribusi tanah dan semua usaha lain karena itu hanya bersifat memperbaiki. Pada pertengahan 1935, jelas bahwa bahaya terbesar bagi keberlanjutannya adalah pengabaiannya akan reformasi tanah. Ia telah menjadi sebuah pemerintahan dari dan bagi kelas pemilik tanah dan melawan kaum petani. (Buck, 1970: 292)
Benar bahwa Guomindang membuat beberapa kemajuan. Hs
u (1990: 565-570) melihat bahwa terjadi beberapa perbaikan khususnya dalam bidang finansial, pendidikan, pembangunan industri, dan transportasi. Di bidang transportasi, misalnya, pada 1936 jaringan jalan raya menghampar sepanjang 115.703 km, dibanding hanya 1.000 km pada 1921; dan dalam periode 1929-32, sistem jalan kereta api hampir berlipat dua. Namun hampir semua kemajuan ini segera tertelan oleh, dan menguap karena, luasnya wilayah Cina dan besarnya persoalannya. Untuk memberi contoh betapa sulitnya bagi suatu pemerintahan untuk memodernisasi Cina, Profesor R.H. Tawney pada 1932 berkata bahwa meskipun 10.000 mil jalan kereta api dibangun setiap tahun di Cina, negeri itu sedemikian luas sehingga memerlukan 180 tahun sebelum Cina memiliki sebuah jaringan jalan kereta api yang memadai sebagaimana Britania (Buck, 1970: 300).
Keluasan wilayah-wilayah Cina dan besarnya masalah-masalahnya mungkin merupakan petunjuk terbaik bahwa Chiang, alih- alih berkonsentrasi pada reformasi finansial dan pembangunan militer, pertama-tama harus berkonsentrasi pada pemecahan persoalan-persoalan utama di wilayah pedesaan (di mana lebih dari 80% orang hidup di sana).
Sebagaimana dike-mukakan oleh Buck di atas, tanpa perbaikan dalam kehidupan kaum petani (melalui reformasi tanah, misalnya), setiap langkah untuk memodernisasi negeri itu hanya bersifat perbaikan. Namun, karena berbagai rintangan politiknya, Chiang tidak melakukan apa yang harus ia lakukan: tepat sebelum Jepang datang, menjadi jelas bahwa cepat atau lambat para petani dapat dipastikan akan menerima perjuangan Komunis untuk melakukan revolusi melawan Guomindang.
Kedua, kepemimpinan. Jika kita membebaskan diri dari determinisme politik, sangat mungkin untuk berspekulasi bahwa bahkan di bawah rintangan politik yang besar, sebuah kepemimpinan yang cerdas, berani, dan berpandangan luas bisa melindungi Guomindang dan memimpinnya untuk menghadapi para penantangnya. Namun, sayangnya, Chiang Khaisek tidak dapat menyediakan kepemimpinan seperti itu. Ia adalah seorang prajurit dan hanya memiliki pendidikan seorang prajurit. "Hingga tahun-tahun terakhir rezimnya," tulis Pearl S. Buck, "di hatinya ia tetap seorang prajurit dan belanja kebutuhan militer selalu merupakan sesuatu yang utama. Dan tidak seperti Mao Zedong, Chiang bukan seorang intelektual, juga bukan seorang teoretisi" (1970: 286).
Mungkin Chiang memiliki kualitas untuk menjadi seorang komandan militer yang bagus: keberanian, ketulusan, asketisme. Namun kualitas-kualitas ini tidak memadai untuk menjadi seorang pemimpin yang tantangannya bukan hanya tantangan militer, melainkan juga tantangan politik dan sosial. Menjadi seorang pemimpin yang baik di tahun 1928-1937 yang begitu pelik berarti menjadi seperti Pemimpin Mao di masa Yanan: seorang komandan militer yang hebat, dan pada saat yang sama juga seorang intelektual yang berpandangan jauh, seorang politisi yang lentur, kawan yang bisa dipercaya, dan seorang ahli strategi yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Selain itu, chiang tampak tertekan karena wataknya yang penuh kecurigaan. Ia tidak mempercayai siapapun kecuali keluarganya sendiri dan beberapa koleganya, dan karena itu banyak menyingkirkan dari kepemimpinannya orang-orang yang cakap dan baik-antara lain Hu Hanmin, Wang Jingwei, Li Zongren, dan K.C. Wu; (Pearl S. Buck mencatat bahwa pada 1951 chiang menjadi orang yang terasing tanpa sahabat).
Pendeknya, kepemimpinan Chiang tidak sesuai dengan masanya dan tantangan-tantangannya. Faktor ini, dan rintangan-rintangan politik yang telah disebutkan di atas, memiliki andil dalam kegagalan Guomindang dalam memecahkan persoalan sosial yang mendasar tersebut. Dan karena itu, sebelum krisis yang dihamparkan oleh invasi Jepang, benih-benih revolusi telah tertanam.
*** Dengan datangnya Jepang, dan dengan segala kekejaman dan kekejiannya, benih-benih revolusi tersebut bersemai dan mendapatkan bentuk. Di sisi lain, dampak langsung dari imperialisme Jepang ini, menurut Maurice Meisner, tentu saja adalah penghancuran fondasi Guomindang:
Invasi Jepang tersebut meruntuhkan fondasi rezim Guomin-dang, karena kaum Nasionalis tersingkir dari kota-kota besar yang menjadi sumber dukungan finansial dan politik utama mereka. Bagi Guomindang, dampak peperangan tersebut adalah kekacauan ekonomi dan korupsi birokratis yang begitu besar-dan, akhirnya, demoralisasi total (Meisner, 1986: 37).
Di sisi lain, perang tersebut membuka jalan bagi kaum Komunis untuk memperkuat posisinya. Sekali lagi, kesalahan Chiang merupakan bagian dari alasannya. Setelah kalah dalam peperangan di Wuhan, Chiang pada Oktober 1938 memutuskan untuk menarik diri ke pedalaman selatan, Chongqing. Namun, seperti yang dikemukakan Bianco, dalam melakukan hal itu Chiang gagal melakukan satu hal yang sangat penting "yang akan menjadikan strategi perang lokalnya sangat efektif-yakni melakukan perang gerilya di belakang garis-garis pertahanan
Jepang" (1971: 149).
Kesalahan ini menjadikan wilayah-wilayah luas di timur dan utara berada dalam kekuasaan pasukan gerilya Tentara Merah: mereka adalah satu-satunya pihak yang tersisa yang mencoba memerangi Jepang. Hal ini juga menjadikan kaum Komunis satu-satunya sahabat bagi rakyat yang bisa dimintai perlindungan ketika mereka disiksa oleh orang-orang Jepang atau para bandit lokal. Pendeknya, kesalahan Chiang untuk tidak melancarkan perang gerilya yang terkoordinasi memungkinkan kaum Komunis untuk menjadi sahabat-pelindung di hati rakyat. Dengan kata lain, invasi tersebut menjadikan kaum Komunis sebagai pahlawan nasional. Merekalah para patriot, dan karena itu dengan mudah merebut hati rakyat (setelah Jepang pergi, kesalahan ini secara militer sangat penting bagi Tentara Merah: pada 1945 wilayah-wilayah luas di utara dan timur berada dalam kontrol kaum Komunis).
Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa sebagaimana dike-mukakan oleh Chalmer Johnson, invasi tersebut membangkitkan nasionalisme kaum petani, "suatu nasionalisme massa yang sangat berbeda dari nasionalisme kaum intelektual". Nasionalisme kaum intelektual pada dasarnya bersifat borjuis; sebaliknya, nasionalisme kaum petani lebih primitif dan kuat, yakni "nasionalisme keputus-asaan" (Bianco, 1971: 154). Sebagai satu-satunya sahabat yang tersisa di wilayah-wilayah pedalaman di belakang garis-garis pertahanan Jepang, kaum Komunis memiliki kesempatan untuk mengubah "keputusasaan" ini menjadi sebuah gerakan revolusioner. Hasilnya: semakin banyak orang yang bergabung dengan gerakan perlawanan di bawah bendera komunisme tersebut (Tentara Merah). Pada 1937, menurut Bianco, terdapat 80.000 orang dalam Tentara Merah; namun pada 1945 terdapat 900.000 orang ditambah pasukan milisi yang terdiri atas 2,2 juta orang (1971: 150).
Terlepas dari kesalahan Chiang tersebut, perbaikan besar posisi kaum Komunis selama invasi tersebut hendaknya juga dilihat sebagai akibat dari strategi Mao dan Tentara Merah. Di sini kita dapat berkata bahwa sebagian besar fondasi faktor ini dibentuk selama periode Yenan. Setelah mempelajari kesalahan-kesalahan di Jianxi, Mao merangkul siapa saja yang bersedia untuk ikut dalam "kesadaran proletariat", terlepas dari apapun kelas sosialnya (lihat Meisner 1986: 46-46).
Hal ini berarti bahwa Mao mencoba-dan berhasil-me-rangkul para petani yang terampil dan juga kaum borjuis dalam perjuangan revolusionernya; dan dengan demikian secara substansial menambah kekuatan strategisnya. Dalam periode ini Mao juga memperkenalkan metode-metode ekonomi seperti swasembada, swakarya, dan inisiatif lokal; dan mendorong gaya hidup yang didasarkan pada nilai-nilai seperti egalitarianisme, asketisme, kerja keras, dan disiplin diri.
Pendeknya, "warisan-warisan Yanan" membuat kaum Komunis lebih dekat dengan rakyat, dan pada saat yang bersamaan memberi inspirasi pada rakyat untuk berpikir bahwa satu-satunya harapan bagi masa depan Cina terletak pada apa yang sedang dibangun Mao.
Sulit dikatakan apakah kesalahan Chiang atau kreativitas Mao yang pada akhirnya paling punya andil bagi kemajuan pesat posisi kaum Komunis selama periode imperialisme Jepang. Menekankan yang pertama mengandaikan bahwa kita hanya
melihat sejarah dari kegagalan mereka yang kalah; dan sebaliknya, menggaris-bawahi yang kedua cenderung menjadikan kita membesar-besarkan superioritas para pemenang dalam proses sejarah yang tidak pasti dan kompleks. Namun mungkin ada satu hal yang jelas bisa dikemukakan: karena kedua faktor ini, pada bulan-bulan pertama setelah Jepang dikalahkan kemenangan kaum Komunis telah di depan mata.
18 Januari 1993 Memperkuat Negara Francis Fukuyama telah mengukir namanya sebagai seorang pemikir ilmu sosial yang berpengaruh. Bukunya yang terkenal, The End of History and the Last Man (1992), adalah sebuah sintesis kreatif untuk menjelaskan arah perputaran sejarah pasca-komunisme. Dari segi substansi pemikiran, apa yang dikatakan oleh Fukuyama memang bukan suatu hal yang orisinal, sebab pendapat tentang "sejarah yang berakhir" telah diawali oleh Hegel, sebagaimana ditafsirkan oleh Alexandre Kojeve. Kekuatan Fukuyama lebih terletak pada kemampuannya menjelaskan dan menghubungkan tokoh-tokoh besar yang ada dalam sejarah, seperti Plato, Hobbes, Locke, Hegel, dan Marx dalam satu kesinambungan pemikiran dan mengaitkannya dengan pergolakan sejarah di pengujung abad ke-20.
Di tengah kecenderungan fragmentasi pengetahuan dan spesialisasi ilmu, kemampuan sintesis semacam itu memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi memang, dengan runtuhnya komunisme, orang tergerak untuk kembali melihat sejarah sebagai sebuah proses perubahan besar yang menyeret nasib manusia. Fukuyama mencoba memenuhi hasrat semacam itu dan mengantarkan kita kembali ke persoalan-persoalan dasar dalam sejarah serta jawaban-jawaban yang telah diberikan oleh pemikir-pemikir besar di masa lalu. Singkatnya, lewat The End of History, ia telah memberi sumbangan penting dalam membantu kita memetakan masa depan, dengan mengacu pada elemen-elemen dasar manusia, seperti kehendak untuk bebas, sebagai motor penggerak perubahan.
Setelah The End of History, Fukuyama terus menulis. Dalam Trust (1995), ia mencoba menggunakan konsep modal sosial, social capital, untuk memahami lebih jauh persoalan dan keberhasilan pembangunan ekonomi di berbagai negara. Sementara itu, lewat The Great Disruption (1999) dan Our Post Human Future (2002), ia mengajak kita memahami bagaimana proses perubahan sosial dan perkembangan teknologi memengaruhi nasib dan masa depan manusia. Karya-karya ini membuktikan minat Fukuyama yang luas dan kemampuannya yang mengagumkan untuk menyerap hasil-hasil mutakhir perkembangan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu.
Buku Memperkuat Negara agak berbeda dari karya-karya Fukuyama sebelumnya. Buku ini lebih merupakan eksplorasi awal penulisnya mengenai sebuah tema klasik, yang telah menjadi bahan tulisan dari berbagai filsuf dan ilmuwan politik di masa lalu. Tidak seperti dalam The End of History, dalam buku ini Fukuyama tidak memasuki wilayah filosofis tentang negara. la bahkan tidak membahas secara khusus berbagai teori tentang negara yang menjadi perdebatan ramai di kalangan ilmuwan sosial pada 1970-an dan 1980-an.
Sumbangan Fukuyama lewat Memperkuat Negara terletak pada kejernihan berpikirnya dalam melakukan konseptualisasi peran negara, di tengah berbagai kebingungan dalam memahami pergolakan peristiwa pada awal abad ke-21, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat serta terus berlanjutnya berbagai peristiwa menyedihkan, seperti perang sipil, bencana kelaparan, dan merebaknya penyakit AIDS di berbagai belahan dunia. Dalam melakukan semua ini, ciri khas tulisan Fukuyama bisa langsung terbaca: jelas, mutakhir, dan mampu merangkum substansi persoalan secara sederhana dari berbagai isu dan peristiwa yang kompleks.
*** Bagi Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal-ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa-peristiwa itu merupakan gejala politik di mana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat gagal menjalankan perannya. Menurutnya, gejala kegagalan semacam itulah yang menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke-2
1. Sebagai jawaban terhadap kegagalan ini, Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita memperkuat peran negara, dengan terlebih dahulu memahami perannya dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, ia berkata bahwa pandangan kaum pro-pasar pada 1980-an mungkin agak simplistis. Waktu itu, sebagai reaksi atas merebaknya berbagai bentuk statisme, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang, kaum liberal menyodorkan alternatif deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, dan semacamnya. Alternatif semacam ini menjadi penggerak perubahan okonomi, yaitu dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal. Dalam beberapa hal, alternatif ini membawa hasil-hasil yang menggembirakan: pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan integrasi pasar.
Namun dalam beberapa hal lain, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya kapasitas negara untuk melakukan fungsinya yang memang perlu. Hal terakhir ini dapat menyebabkan gejala yang telah saya singgung di atas tadi, yaitu gejala kegagalan negara, dengan akibat yang menyedihkan.
Sepintas lalu, pendapat seperti ini, yang dilontarkan oleh penulis The End of History, terkesan aneh dan menentang tesisnya sendiri di masa sebelumnya. Semula Fukuyama berkata bahwa setelah rontoknya sistem komunis, paham liberalisme tidak lagi memiliki pesaing yang serius-dan ia mengatakan hal ini tidak dengan kesedihan dan penyesalan. Sekarang, dengan menyatakan bahwa negara harus diperkuat, kita mungkin bertanya: adakah Fukuyama sudah melupakan samasekali bukunya yang terdahulu" Apakah dia sekarang sudah menjadi pendukung statisme, bahkan sosialisme"
Bagi sebagian orang, semua itu mungkin sudah cukup untuk sampai pada kesimpulan bahwa pendulum sejarah kini telah bergerak, dari deregulasi ke rebirokratisasi, dari liberalisme pada 1980-an ke statisme baru pada awal abad ke-21.
Tapi betulkah" Sebelum terburu-buru sampai pada kesimpulan sebesar itu, kita harus menyimak apa yang sesungguhnya dikatakan Fukuyama tentang peran negara. Sumbangan terpenting buku ini justru terletak pada konseptualisasinya yang jelas, singkat, dan sederhana menyangkut masalah besar ini. Dalam banyak hal, masalah inilah yang sering menjadi inti perdebatan seru di berbagai kalangan, namun yang anehnya jarang diuraikan secara jelas dan akurat.
Bagi Fukuyama, sebagaimana diuraikan dalam Memperkuat Negara, peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atau kapasitas (strength). Kedua hal ini merupakan alat analisis buat kita untuk membedah apa yang sesungguhnya dimaksud dengan peran negara, serta peran seperti apa yang kita anggap ideal untuk dilakukannya.
Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan alat-alat pemaksa yang secara sah dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta-jika bersifat intervensionis-mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu menjaga otoritas semacam ini, ia disebut sebagai negara lemah.
Baik negara yang kuat maupun yang lemah memiliki cakupan peranan yang berbeda, dan tidak otomatis berhubungan. Cakupan itu ditentukan dari seberapa jauh negara tersebut melakukan atau tidak melakukan kegiatan publik tertentu, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, memungut pajak, melakukan intervensi dan regulasi ekonomi, membangun infrastruktur, dan semacamnya.
Negara minimal adalah negara yang hanya membatasi cakupan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat elementer, seperti pembentukan sistem pertahanan dan peradilan, penyediaan sarana infrastruktur dan pencetakan matauang. Sebaliknya, negara yang dirigis atau intervensi
onis ditandai oleh cakupan kegiatan yang ekspansif dan ambisius, seperti pemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung sumber-sumber ekonomi, penjaminan asuransi sosial, pencip-taan regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat, dan sebagainya.
Dimensi kedua peranan negara itulah yang sering menjadi sumber perdebatan antara kaum liberal dan kaum statis. Yang satu ingin agar negara hanya membatasi pada kegiatan-kegiatan publik yang bersifat elementer, yang satu lagi ingin agar negara melakukan ekspansi kegiatan sejauh mungkin-walaupun mungkin tidak lagi bersifat total, sebagaimana yang ada pada sistem komunis.
Dalam Memperkuat Negara, Fukuyama tidak membahas terlalu jauh substansi dan kekuatan masing-masing pilihan ini. Ia mengajak kita untuk lebih banyak memperhatikan masalah penguatan kapasitas dan otoritas negara dalam melakukan perannya. Ia mengingatkan kita bahwa pada abad ke-20 banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melakukan ekspansi kegiatan ekonomi besar-besaran, tanpa daya dukung kelembagaan yang memadai. Mereka sangat ambisius ingin mengatur begitu banyak aspek kehidupan, tetapi kemampuan pemerintahan mereka begitu lemah, baik karena ketidakmampuan administratif maupun karena perilaku korupsi dan semacamnya. Akibatnya adalah kegagalan dan bencana kemanusiaan yang menyedihkan.
Buat saya, justru dengan cara ini Fukuyama sebenamya memberikan landasan konseptual yang lebih luas terhadap aspirasi kaum liberal. Kebijakan ekonomi pro-pasar harus terus dilakukan bersamaan dengan penguatan negara, bukan pada cakupan kegiatannya, tetapi lebih pada kemampuannya dalam memainkan peran sebagai lembaga pengatur dan satu-satunya pemegang kekuasaan pemaksa dalam masyarakat.
Dengan cara pandang semacam ini, kalau kita tarik pada tingkat grand theory, Fukuyama sebenarnya ingin mempertautkan dua tradisi besar: Machiavelli, Hobbes, dan Hegel di satu pihak, serta Adam Smith, Locke, dan Kant di pihak lain. Yang pertama mewakili tradisi pemikiran tentang negara, kekuasaan, dan otoritas, dan yang kedua adalah tokoh-tokoh terdepan dalam gagasan tentang kebebasan, otonomi individu, dan moralitas. Kedua tradisi ini, walaupun bisa dibahas secara terpisah, sebenarnya terkait dan saling memperkuat. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya, negara yang kuat tanpa menjamin kebebasan dan kesejahteraan warganya tidak akan mampu bertahan lama.
Memperkuat Negara tentu tidak bermaksud bicara terlalu jauh mengenai ide-ide besar demikian. Tetapi sebagai sebuah upaya untuk mengerti dengan lebih jelas masalah negara, perannya, serta berbagai persoalan yang ada di awal abad ke-21, buku tersebut dapat menjadi bahan pengantar yang bermanfaat.
Jakarta, 1 Oktober 2005 BAB III Pedang Saleh Afiff: Tentang Isu-isu Ekonomi-Politik
Teori Konspirasi dan Krisis Moneter
(Bersama M. Chatib Basri)
saat kerusuhan sosial merebak tahun lalu, kita mendengar munculnya banyak spekulasi yang mencoba menggambarkan adanya tangan-tangan tersembunyi yang ingin memojokkan kelompok tertentu atau ingin menjatuhkan pemerintah. Spekulasi ini bersumber pada sebuah teori yang sederhananya dapat disebut sebagai teori konspirasi.
Kini, dalam menjelaskan gejala terpuruknya rupiah secara fantastis, teori semacam itu muncul lagi, mungkin dengan popularitas yang makin meningkat. Peristiwa yang ingin dijelaskan berlainan, tetapi karakteristik penjelasannya sama saja. Dalam hal ini gejala yang obvious, yaitu kerusuhan sosial dan krisis moneter, dianggap bersumber dari sesuatu yang samasekali berbeda, remang-remang, dan bersifat politik. Adanya unsur politik ini diyakini sebagai indikasi yang menunjukkan keterkaitan antara gejala yang ingin dijelaskan, explanandum, dan pergesekan kekuasaan di tingkat elite.
Salah satu contoh teori konspirasi demikian bisa dilihat pada tulisan Kwik Kian Gie di harian Kompas edisi 26 Januari yang berjudul "Utang Swasta atau Politik"" Di sini Kwik menyanggah penjelasan konve
nsional yang menyatakan bahwa merosotnya nilai rupiah disebabkan oleh pemburuan dollar untuk membayar utang swasta yang sudah atau akan jatuh tempo dalam waktu dekat ini. Buat dia, dengan nilai dollar yang melonjak drastis, kaum swasta kita sudah tidak mampu dan tidak mau membayar utang mereka. Jadi, tidak benar kalau mereka sekarang memburu dollar. Dan karena itu tidak benar pula jika dikatakan bahwa besarnya jumlah utang swasta yang bermasalah berkorelasi langsung dengan proporsi jatuhnya rupiah.
Lalu, faktor apa yang menjatuhkan rupiah" Bagi Kwik, faktor ini harus dicari pada political invisible hands. "...Saya mulai curiga," tulisnya, "bahwa ada tangan jahil yang memang mau merusak ekonomi Indonesia dengan tujuan politik... Hanya apa sasarannya, dan siapa pelakunya, itulah yang samasekali gelap buat saya."
Selain pada Kwik, contoh lain dari teori konspirasi dapat pula dilihat pada penjelasan Anggito Abimanyu. Doktor ilmu ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini, dalam sebuah wawancara di harian Republika edisi 24 Januari ("Soal Permainan Politik di Balik Krisis Rupiah, Mereka Penghianat"), berbicara sedikit lebih teperinci ketimbang Kwik. Ia berpendapat bahwa aktor-aktor di balik krisis rupiah adalah "sekelompok konglomerat yang "sengaja mempermainkan rupiah untuk tujuan politik".
Siapa mereka itu" "Mereka... berasal dari para pengusaha domestik yang selama ini mendapat kemudahan dan perlindungan pemerintah." Mereka, menurut Abimanyu, tidak bekerja sendiri, tetapi sudah menjalin semacam jaringan kerjasama dengan para fund managers di luar negeri.
Tujuan para konspirator itu, bagi Abimanyu, sudah terang-benderang. Mereka "sedang memaksakan kehendaknya untuk mencalonkan seseorang untuk menjadi wakil presiden, bahkan kalau bisa calonnya bisa masuk menjadi presiden". Buktinya"
Kalau teori konspirasi seperti itu benar, dalam banyak hal krisis moneter yang kini kita alami tidak lagi membingungkan, setidaknya secara konseptual. Masalahnya sudah jelas, dan untuk menyelesaikannya kita tinggal mencari para konspirator tersebut, cekal mereka, adili mereka. Selesai. Dan untuk itu pemerintah tentu tidak perlu minta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan tidak perlu pula repot-repot melakukan reformasi ekonomi.
Tapi tentu saja akal sehat mengharuskan kita untuk bertanya: betulkah teori konspirasi itu" Sampai seberapa jauh "proposisi" yang dikandungnya memang bisa dianggap sebagai kebenaran"
Dalam soal pembuktian, kalau kita telusuri lebih jauh tulisan Kwik dan pendapat Abimanyu dalam wawancara itu, akan terlihat celah yang menganga lebar. Penjelasan mereka memang "maut", tapi sayangnya ia disertai oleh pembuktian yang nyaris nihil dan sangat bersifat sporadis.
Abimanyu, misalnya, begitu saja mengatakan bahwa ada "sekelompok konglomerat" yang bermain di belakang kemelut rupiah. Tapi, siapa mereka sebenarnya, kapan mereka melakukan semua itu, dengan apa, bagaimana, di mana" Darimana ia tahu bahwa saat ini ada megaproyek politik dari sejumlah pengusaha domestik yang berkerjasama dengan para fund managers global" Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Abimanyu tidak memberi jawaban sedikit pun.
Pada Kwik kita tahu bahwa di salah satu bagian tulisannya ia telah terlebih dahulu mengakui bahwa ia sebenarnya masih tidak mengerti siapa dan apa tujuan para konspirator itu. Dia, dalam kata-katanya sendiri, masih berada dalam "gelap". Dan, dengan cara ini Kwik sesungguhnya sudah menutup kemungkinan bagi kita untuk bertanya lebih jauh tentang bukti-bukti yang dia miliki.
Jadi, ibarat seorang penulis novel detektif, Kwik meminta para pembacanya mereka-reka sendiri berbagai fakta yang bisa dimasukkan ke dalam konstruksi teori konspirasi dia.
Ditinjau dari segi asumsi dasar, kualitas serta status penjelasan Kwik dan Abimanyu juga tidak jauh berbeda. Dalam hal ini yang paling menarik untuk kita perhatikan adalah teori Kwik.
Seperti yang terbaca dalam tulisannya, Kwik menjelaskan bahwa dalam melakukan aksinya, cara yang digunakan oleh sang Konspirator adalah dengan menjadi price leader bagi dollar di pasar val
as di Jakarta dan Singapura.
Dengan dana hipotetis sekitar 100 juta dollar, si "penggoyang politik" ini merontokkan nilai rupiah dengan mengontak agennya di sebuah bank Singapura untuk membeli dollar dengan nilai lebih tinggi daripada harga pasar.
Katakanlah harga di pasar Rp13.000 per satu dollar. Dengan berani sang Konspirator memberi sinyal bahwa ia akan membeli dollar seharga Rp14.000. "Harga ini," tulis Kwik, "kemudian diteruskan ke Reuters. Reuters meneruskannya ke seluruh dunia, sehingga semua pedagang valas di dunia melihat di monitornya bahwa kurs dollar sudah melonjak dari Rp13.000 menjadi Rp14.000." Jika sudah begini, sang Konspirator telah berhasil menciptakan kondisi keseimbangan pasar yang baru, dan orang pun ramai-ramai akan mengikutinya. Hal semacam itu, menurut Kwik, bisa dilakukan berkali-kali dalam jangka waktu yang cukup lama sebelum jumlah dollar yang hipotetis tadi terkuras habis.
Dengan model penjelasan begini, memang terlihat kejelian Kwik dalam memahami bagaimana mekanisme pasar uang dan aktor-aktor di dalamnya bekerja. Namun, kita harus ingat bahwa model demikian hanya bisa masuk akal jika dua asumsi terpenuhi.
Yang pertama: volume pasar uang relatif kecil. Jika volume pasar uang relatif kecil, sang Konspirator memang bisa memengaruhi pasar dengan basis modal yang tak terlalu besar. Kalau volume pasar relatif besar, modal yang dibutuhkan berjumlah terlalu fantastis sehingga akan sulit dibayangkan bahwa ada pengusaha domestik kita yang mampu melakukannya dalam kondisi seperti sekarang.
Yang kedua: ketidaknormalan kondisi pasar. Dalam hal ini para pelaku pasar bersedia membeli dollar-bukan hanya menjual-pada harga lebih tinggi sebagaimana yang "diminta" oleh sang Konspirator karena adanya kondisi ketidakpastian yang relatif besar. Dalam kondisi ketidakpastian, bila para pelaku pasar mengambil sikap risk averse, mereka memang akan cenderung mengikuti begitu saja tindakan para pelaku lainnya. Dan ini tidak mungkin terjadi terus-menerus, terbukti dengan swap rate yang menjadi negatif ketika kurs dollar mencapai Rp16.000.
Katakanlah kedua asumsi demikian memang terpenuhi, pertanyaan yang harus segera dijawab adalah apakah kita serta-merta bisa mengambil kesimpulan bahwa motif di balik semua itu adalah motif politik"
Dalam kondisi pasar uang yang volumenya relatif kecil, seperti yang juga ditekankan oleh Kwik, sang Konspirator tidak perlu meletakkan seluruh asetnya untuk memengaruhi pasar. Jika harga telah mencapai titik keseimbangan baru yang dia inginkan, misalnya Rp14.000, nilai aset dia akan meningkat karena menguatnya dollar. Jadi, bukan tidak mungkin bahwa kerugian yang diderita oleh sang Konspirator justru akan berjumlah lebih kecil ketimbang keuntungan yang diperolehnya. Artinya, ia, dengan berbuat sedemikian rupa untuk menurunkan rupiah, akan memperoleh keuntungan ekonomi yang riil.
Jika memang demikian, motif para pelaku yang ingin merusak nilai rupiah menjadi sangat jelas, yaitu sekadar mencari keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, dalam model penjelasan Kwik, sang Konspirator-kalau ia betul-betul ada-sesungguhnya tidak harus bermotif politik. Jika ia bermotif politik, penjelasan yang diberikan haruslah spesifik Indonesia, lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah mengapa pola yang sama-walaupun relatif sedikit lebih ringan-terjadi juga di Korea, Thailand, Malaysia bahkan sempat menyentuh Hong Kong dan Amerika Serikat sendiri.
Karena itu pula kita harus kembali lagi pada persoalan pembuktian. Model penjelasan Kwik tidak dengan sendirinya menggambarkan bahwa sang Konspirator memang bertujuan politik dan ingin menjatuhkan pemerintah. Tanpa bukti-bukti yang meyakinkan, dibutuhkan semacam leap of faith yang cukup dahsyat untuk mengambil kesimpulan seperti itu.
Di samping berbagai kelemahannya, teori konspirasi seperti yang terdapat pada tulisan Kwik dan wawancara Abimanyu memang memiliki daya tarik tersendiri. Dalam situasi krisis yang membingungkan, teori ini menawarkan sebuah kepastian dan kesederhanaan berpikir.
Apalagi, sejak tahun-tahun terakhir ini, kita ag
aknya tidak lagi mampu dan mau melihat bahwa masih banyak persoalan yang tidak harus bersangkut-paut dengan politik dan motif kekuasaan. Kita, dengan kata lain, sedang terjebak dalam sebuah situasi yang digambarkan dengan baik oleh sebuah film yang pernah populer beberapa tahun lalu.
Dalam Forrest Gump, film itu, Forrest si Lugu memutuskan untuk berlari selama tiga tahun. Para wartawan pun bertanya kepada Forrest, "Apakah Anda berlari untuk perdamaian" Apakah Anda sedang mengejar suatu rekor"" Segala macam pertanyaan dilontarkan kepada Forrest: tak seorang pun percaya bahwa ia berlari sekadar karena ia ingin berlari.
Seperti para wartawan itu, kita saat ini terlalu mudah untuk berwasangka terhadap berbagai macam hal. Akibatnya: segala macam gejala yang muncul dalam masyarakat dengan cepat kita masukkan dalam format skenario teori konspirasi, termasuk gejala krisis moneter yang saat ini kita hadapi.
14 Februari 1998 Blok Cepu, Mission Accomplished
kesepakatan blok cepu adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakannya, kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.
Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Mereka memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana 1950-an dan 1960-an. Tokoh seperti Kwik Kian Gie bahkan pernah berkata: kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapapun ongkosnya. Kita seolah-olah berada dalam dunia hitam-putih. Yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat, sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.
Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen semacam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tapi pikiran sebagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz mungkin harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.
Saya ingin mengingatkan, salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada 1970-an dan pertengahan 1980-an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain, adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan guru.
Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor pada akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.
Mengapa" Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto, produksi minyak kita jauh di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1,6 juta barel per hari, sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0,25 juta setiap hari. Selisih itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi pada zaman Orde Baru, terutama dari awal 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurunan. Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati.
Kondisi seperti itu yang mendorong pemerintah segera menghidupkan kembali proses perundingan Blok Cepu yang telah terbengkalai selama lebih dari lima tahun. Jika dikelola dengan baik, blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita ak
an bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.
Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp200-300 triliun, atau sekitar Rp25 triliun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun"
Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggungjawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012. Itu pun jika kita menang dalam perkara ini di pengadilan arbitrase internasional.
Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, tim negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tapi dari semuanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil (PH), dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Pertamina.
Perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen head of agreement (HoA) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50 persen, dan dengan pembagian hasil 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai, pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50 persen x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).
Tanggungjawab yang dibebankan kepada tim negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya yang dituangkan dalam HOA. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gertak-menggertak.
Setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola pembagian hasil: sistem adjusted split diperkenalkan.
Dengan sistem itu, pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, yaitu 93,25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ke tingkat sangat rendah, katakanlah US$30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86,5 persen. Artinya, perolehan Exxon dapat kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6,7-13,5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata, kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.
Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan PH), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat.
Minggat 3 She Karya Windhy Puspitadewi Pendekar Seribu Diri 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama