Ceritasilat Novel Online

Dari Langit 5

Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 5


Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam praktiknya, Exxon yang akan bertindak sebagai manajer umum, namun dalam melakukan aktivitasnya ia harus menyertakan Pertamina.
Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berpelat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar (perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina). Perus
ahaan ini juga mendapat rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapapun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.
Sebagai seorang yang pernah terlibat dalam tim negosiasi, saya merasa bangga bahwa perundingan yang melelahkan itu berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidakpastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian dari masa lalu. Pada akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.
Terus terang, saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir orang-orang yang mengkritik hasil perundingan itu. Sebagian dari mereka hanya melihat pada satu isu, yaitu ope-ratorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya. Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputarbalikkan, yaitu cost recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis.
Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu. Dalam operasi, Pertamina akan terlibat aktif. Pengawasan biaya pun akan dilakukan berlapis-lapis.
Adanya suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring mengingatkan saya pada sebuah ungkapan dari Dr Samuel Johnson: nationalism is the last refuge of scoundrels. Saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, memanfaatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.
Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau kepercayaan terhadap satu atau beberapa perusahaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih. Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.
27 Maret 2006 Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institue
(Tanggapan atas Tanggapan)
tak terduga, iklan yang dipasang Freedom Instutite (Kompas, 26/2/2005) ditanggapi berbagai pihak dengan antusias, setuju maupun tidak. Bahkan berbagai komentar yang ada, baik di Kompas maupun dalam talkshow televisi dan milis internet, mungkin sama serunya dengan diskusi tentang penghapusan subsidi BBM itu sendiri.
Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah breakthrough ("Maaf, Tak Mampu Beriklan", Kompas, 2/3/2005).
Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi sejumlah intelektual, pengusaha, profesional, dan aktivis bersatu mendukung sebuah kebijakan dan mengiklankannya sehalaman penuh. Sesuatu yang baru, apalagi dengan isu yang hangat dan aktual, tentu mengundang pro dan kontra. Hal ini dapat dipahami dan harus disambut dengan tangan terbuka.
Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga hal: substansi argumen penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), bentuk, dan tokoh yang menyampaikan (iklan dan peran intelektual).
Saya akan menanggapinya satu per satu, namun sebelumnya saya ingin mengatakan satu hal.
Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah. Selain membujuk masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang tepat demi masa depan bersama yang lebih baik.
Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang dilematis. Kebijakan yang harus dilakukan perlu dan baik, namun tidak populer. Dalam situasi semacam ini kami memilih peran sebagai push factor, betapapun terbatasnya, demi meyakinkan dan secara tidak langsung membesarkan hati pemerintah untuk segera mengambil keputusan dan menghadapi konsekuensin
ya. To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini pemerintah sudah mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas keberanian semacam ini.
Argumen Moral-Ekonomi Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada dasarnya bersifat konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek moralnya telah ditulis dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno ("Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM", Kompas, 14/1/2005) dan penjelasan teknis-ekonomisnya dibahas berkali-kali oleh M. Chatib Basri dan Anggito Abimanyu di harian ini.
Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta: sebagai konsekuensi dari harga minyak dunia yang terus melambung, subsidi terus membengkak, jauh melebihi rencana semula yang "hanya" Rp19 triliun. Tanpa pengurangan, subsidi bisa melewati angka Rp70 triliun tahun ini (atau hampir setara dengan Rp200 miliar per hari). Dengan pengurangan rata-rata 29 persen sekalipun, sebagaimana sudah diputuskan pemerintah, negara masih mengeluarkan Rp100 miliar lebih per hari, atau Rp39,8 triliun setahun, untuk menyangga harga BBM.
Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu, terutama terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun, apakah dana subsidi BBM yang demikian besar benar-benar tepat dan perlu" Apakah negara sanggup terus menanggungnya" Apakah subsidi mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan rasional"
Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang mengkritik angka dan hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan itu. Ini masalah serius. Salah satu argumen kami bersandar pada hasil penelitian empiris yang menunjukkan, subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif lebih mampu dan kaum yang paling miskin justru kurang menikmatinya.
Jika para pengkritik tersebut bisa memperlihatkan kekeliruan penelitian ini, sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai tanggapan yang ada hanya berkisar pada tingkat abstraksi dan dugaan bahwa penelitian itu menyesatkan. Jika memang keliru, mana buktinya" Apakah ada penelitian alternatif yang menunjukkan bahwa faktanya justru berbeda dan berlawanan"
Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan, persoalan di negeri ini begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi, inkompetensi, dan pemborosan lainnya. Bahkan dana kompensasi yang diusulkan pemerintah sebesar Rp17,8 triliun mungkin tidak akan luput dari penyalahgunaan dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Menurut mereka, kami seharusnya juga peduli dan memerhatikan hal-hal seperti itu.
Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian. Namun, Prof. Widjojo Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun lalu bahwa di Indonesia hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one step at a time. Semua persoalan negeri kita harus dihadapi dan diselesaikan. Namun, yang kini bisa dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu, kita dorong lagi pemerintah untuk melakukan hal-hal baik lainnya.
Kaum Intelektual Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini memang menjadi tema klasik yang kadang membingungkan di kalangan intelektual.
Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua tergantung substansi pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk pengungkapan. Gagasan atau kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah. Demikian pula gagasan seorang ilmuwan, aktivis, atau mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang kaum tertindas. Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa merekalah pemegang kebenaran terakhir. Hal inilah yang harus diperhatikan Abd Rohim Ghazali (Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah", 2/3/2005) dan Agus Surono ("BBM dan Iklan Freedom Institute", 1/3/2005).
Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi ekonomi Indonesia, mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran kaum intelektual" Mengapa untuk menjadi intelektual harus dalam posisi yang senantiasa berseberangan dengan pihak yang memegang kekuasaan"
Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian dari kaum intelektual dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa, bahkan menyatu dengan kekuasaan sendiri. Ki
ta tentu boleh menentang ide atau kebijakan mereka. Namun, agak aneh jika kita mempersoalkan bahwa mereka adalah cendekiawan yang berselingkuh. Mereka yakin pada ide-ide tertentu, dan berusaha menggunakan apa yang ada di sekitarnya, termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.
Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan hal yang sama. Bahkan Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang "berselingkuh" dengan kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka percaya pada ide-ide tertentu tentang sebuah negeri yang ideal dan mengabdikan hidup mereka untuk mewujudkannya, jika perlu dengan menjadi presiden dan perdana menteri.
Iklan Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut dia, iklan Freedom Institute adalah "bentuk komunikasi politik yang tidak strategis bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya". Selain itu, "iklan itu juga menunjukkan 'compang-camping'-nya ruang publik kita".
Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak memiliki kapasitas profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika begitu banyak yang menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya menggunakan judul yang cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at all. Bukankah tujuan iklan, salah satunya, memang untuk mencari, dan mencuri perhatian"
Namun, adakah pemaksaan di sana" Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus membaca dan memercayai iklan itu" Apakah pada dirinya format penyampaian pendapat dalam bentuk iklan mengandung unsur ketidakadilan dan pemaksaan, dan karena itu membuat ruang publik kita compang-camping" Kalau betul, apa argumennya"
Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan redaksi yang hanya memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun pendukung kebijakan subsidi BBM mendapat tempat sama. Yang penting, prinsip bahwa semua mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa isu publik.
Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum penentang pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar-benar meyakini kebenaran gagasan mereka, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun.
Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian lazim terjadi. The Washington Post dan The New York Times, dua koran paling berpengaruh di AS, sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam bentuk iklan yang dipasang oleh tokoh maupun organisasi dari segala kalangan, seperti pengusaha, pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.
Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan tidak dalam warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik. Namun, seperti iklan sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri perhatian, dan mengajak orang untuk percaya pada pesan yang disampaikan.
Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka harus berpikir sendiri dan menimbang-nimbang. Take it or leave it. Dalam hal inilah, iklan yang mengandung isu kebijakan dan gagasan yang kuat dapat menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik yang sehat.
3 Maret 2005 Pedang Saleh Afiff AKHIRNYA YANG DITUNGGU datang juga: Prof. Saleh Afiff menyerukan perlunya penghapusan monopoli, termasuk monopoli yang mengatur tata niaga sejumlah komoditas. "Seharusnya memang deregulasi dilakukan," kata Afiff. "Demikian pula monopoli Bulog sebaiknya dibebaskan," tegasnya (Kompas, 21/8/1997).
Kalau kita simak baik-baik implikasi pernyataan Prof. Saleh Afiff itu, maka sasaran deregulasi ini bisa mencakup sa -ngat banyak tata niaga dan praktik favoritisme, yang selama ini telah melahirkan tingkah laku pengejaran rente ekonomi, menjadi sumber kolusi, serta merugikan rakyat banyak. Salah satu sasaran yang disebut langsung oleh Menko Ekku Wasbang ini adalah monopoli Bulog.
Kalau tokoh yang mengatakan pernyataan demikian adalah Dr Sjahrir, atau Dr Mari Pangestu, atau Kwik Kian Gie, tentu saja kita semua tidak perlu heran. Tapi berbeda halnya jika yang mengatakannya adalah Saleh Afiff. Ia adalah seorang tokoh senior di dalam pemerintahan, seorang perumus kebijakan dengan posisi sebagai m
enteri koordinator. Belum lagi kalau kita ingat bahwa ia adalah the last direct link dari "Kelompok Prof. Widjojo Nitisastro" yang masih berada dalam pemerintahan sekarang ini. Selain itu, selama berkecimpung dalam dunia perumusan kebijakan ekonomi, ia dikenal sebagai seorang pendiam yang sangat jarang memberi pernyataan, apalagi pernyataan yang tegas dan blak-blakan.
Karena itulah, jika dunia kebijakan ekonomi bisa diibaratkan sebagai dunia persilatan ala Kho Ping Hoo, maka seruan "deregulation for (almost) all!" dari Saleh Afiff itu bisa saja ditafsirkan sebagai pernyataan "perang". Ia sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya. Pedangnya memang belum ia sabetkan ke kiri dan ke kanan (seruannya masih sebatas retorika, belum aksi). Tapi kita tahu bahwa paling tidak tokoh kita ini sudah menyiapkan kuda-kuda.
Jawaban Mengapa Saleh Afiff mengeluarkan pernyataan demikian sekarang" Jawaban terhadap pertanyaan ini barangkali sudah terlalu jelas. Akibat merosotnya nilai rupiah belakangan ini, dunia perekonomian kita mengalami pukulan berat. Nasib kita memang masih cukup jauh dari nasib buruk sebagaimana yang dialami Meksiko pada akhir 1994 silam. Tapi dalam jangka panjang kemungkinan ke arah sana masih tetap terbuka, jika langkah-langkah penting dan besar untuk menyehatkan kinerja ekonomi kita secara keseluruhan tidak dilakukan.
Saleh Afiff tentu sangat mengerti bahwa tekanan drastis terhadap rupiah tidak dapat dilihat sebagai gejala yang berdiri sendiri, apalagi sebagai gejala yang diakibatkan hanya oleh segelintir spekulan. Buat kaum ekonom seperti dia, tingkah-laku penjual dan pembeli (barang, jasa, atau uang) sebenarnya dapat dianggap sebagai rambu-rambu pasar, market signals. Tingkah-laku demikian adalah reaksi rasional terhadap berbagai parameter ekonomi yang kompleks. Dan hingga sekarang, jika himpunan reaksi rasional ini pada suatu waktu mendadak menghasilkan peristiwa "irasional" dalam bentuk krisis matauang misalnya, maka teori-teori ekonomi yang ada belum memiliki perangkat memadai untuk menjelaskannya secara sangat meyakinkan, apalagi memberi jalan ke luar yang pasti dan mendasar.
Tentang hal yang terakhir ini, bisa dikatakan bahwa semua jalan ke luar yang ada pada dasarnya bersifat temporer, ad hoc. Katakanlah jika yang dilakukan adalah metode pengetatan rupiah melalui operasi moneter pemerintah. Dalam jangka pendek, metode ini memang bisa terbukti keampuhannya. Tapi kalau digunakan tanpa pembatasan waktu yang jelas, maka ia pasti akan melahirkan apa yang oleh Prof. Paul Krugman, ekonom MIT yang andal dan berlidah tajam itu, disebut sebagai lingkaran setan Meksiko. Dengan kata lain, metode ini memang bisa menyembuhkan sebuah penyakit (rupiah menjadi langka, nilainya menguat), tapi pada gilirannya ia juga akan melahirkan penyakit lain lagi yang tidak kurang berbahayanya (kelesuan investasi berkepanjangan).
Karena itu, dalam berhadapan dengan bayang-bayang sebuah krisis, langkah-langkah paling arif yang dapat kita ambil adalah melakukan peninjauan ulang terhadap "tubuh" sistem ekonomi kita secara menyeluruh. Tubuh inilah yang kita perkuat, kita buat lebih efisien, lebih kompetitif. Dalam jangka panjang, jika hal ini berhasil dilakukan, maka berbagai penyakit ekonomi yang seketika dapat menyerang kita tidak akan gampang membuat kita sempoyongan. Atau kalau toh krisis terjadi, dampaknya sangat minimal dan berjangka pendek.
Dari sudut pandang seperti inilah kita dapat memahami lebih jauh seruan Saleh Afiff itu. Ia ingin agar tubuh ekonomi kita diperkukuh. Dan untuk itu, dalam situasi kita sekarang, hanya tersisa hampir satu-satunya cara, yaitu deregulasi lebih jauh dan lebih tuntas, tanpa pandang bulu.
Mungkinkah" Bisakah seruan Saleh Afiff menjadi tindakan konkret" Mung -kinkah pedang dia bukan cuma dihunus, tapi juga digunakan untuk membabat semak-semak kepentingan yang sudah terlalu jalin-menjalin dalam sistem ekonomi kita" Inilah pertanyaan terbesar yang jawabannya masih menggantung di langit.
Di depan Saleh Afiff dan kawan-kawannya, kaum teknokrat yang sealiran, terbentang banyak rint
angan, dari bawah, dan terutama dari atas. Belum lagi kalau kita ingat bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini dorongan reformasi ekonomi sepertinya memang sedang mati angin, digantikan oleh langkah-langkah serta ilusi-ilusi "dirigisme lama dengan wajah baru". Dalam soal pengentasan kemiskinan, misalnya, pendapat yang kini dominan dalam pusat-pusat kekuasaan adalah pandangan yang pada dasarnya justru sejak lama merupakan bagian dari persoalan ekonomi kita. Pandangan ini bersumber pada asumsi bahwa hanya negaralah, dan bukan sistem pasar bebas, yang dapat menolong rakyat kecil ke luar dari kemiskinannya.
Kita masih bisa memberi banyak contoh lagi dari maraknya dirigisme seperti itu, walau dalam bentuk yang agak berbeda, dalam dunia industri, perburuhan, pertanian. Yang jelas, semua ini adalah persoalan mendasar yang harus dihadapi jika program deregulasi memang ingin dijalankan sungguh-sungguh.
Walau memang banyak rintangannya, kita sebenarnya masih tetap bisa berharap. Prof. Sadli pernah berkata bahwa bagi kaum teknokrat di republik kita, krisis ekonomi adalah semacam berkah tersembunyi, blessing in disguise. Kalau ekonomi sedang stabil dan kemakmuran meningkat, kaum penguasa politik biasanya tidak begitu peduli dengan masalah efisiensi dan kaidah-kaidah ekonomi. Tapi jika dunia ekonomi mengalami krisis, maka mereka menjadi lebih sadar, berubah, dan kaum teknokrat mulai mendapat angin untuk melakukan reformasi.
"Hukum Sadli" ini pernah terbukti kebenarannya sewaktu kita mengalami turunnya harga minyak pada awal dan pertengahan 1980-an. Akibat krisis ekonomi pada saat itu, kaum teknokrat, dipimpin oleh Prof. Widjojo, mendapat peluang cukup besar untuk menjadi motor reformasi-deregulasi, dan selama beberapa tahun mereka menjalankan peran ini dengan cukup baik.
Harapan kita semua adalah: mudah-mudahan "hukum Sadli" itu berlaku pula dalam waktu dekat ini, yaitu pada saat dampak buruk krisis rupiah semakin kita rasakan.
28 Agustus 1997 Profesor Widjojo profesor widjojo nitisastro turun gunung sekali lagi. Baru-baru ini tak kurang dari Presiden Soeharto yang memberikan mandat khusus buatnya untuk "mengambil langkah-langkah yang diperlukan" agar krisis matauang kita dapat diakhiri. Sambil bergurau, Bill Liddle, guru besar ilmu politik dari ohio, berkata bahwa pemberian mandat dari Pak Harto kepada arsitek ekonomi orde Baru itu bisa diandaikan sebagai sebuah "supersemar ekonomi".
Sebenarnya turun gunungnya Profesor Widjojo saat ini bukan hal yang terlalu mengejutkan. Sejak awal, dinamika kebijakan ekonomi orde Baru memang mengikuti sebuah dalil yang ingin saya sebut sebagai Sadlfs Law: setiap kali krisis besar tejadi, peran kaum teknokrat diperkuat. Pemerintah membutuhkan keahlian dan pengaruh mereka untuk menyelesaikan krisis. Dan hingga saat ini di kalangan kaum teknokrat, Profesor Widjojolah yang dipandang sebagai "kepala suku". jadi, logis saja jika dia kemudian mendapat mandat kepemimpinan untuk menanggulangi krisis rupiah yang terjadi tiga bulan belakangan ini.
Pertanyaan kita sekarang tentu saja adalah: bisakah sejarah terus berulang" Kalau dulu Profesor Widjojo berhasil mengatasi krisis setiap kali diminta, apakah saat ini akan demikian pula"
Setelah menghentikan laju hiperinflasi pada akhir i960 -an, me -nyelesaikan kemelut Pertamina pada pertengahan 1970-an, serta mengatasi dampak buruk krisis minyak dan resesi ekonomi pada pertengahan 1980-an, mampukah dia sukses lagi pada pengujung 1990-an ini"
Lebih jauh lagi, bisa ditebak bahwa IMF dan Bank Dunia, selain memberikan bantuan langsung untuk mengangkat nilai rupiah, kemungkinan besar juga akan mengusulkan agar kebijakan deregulasi sungguh-sungguh diterapkan, seperti yang sudah terjadi berkah-kali. Apakah Profesor Widjojo memang sanggup memenuhi permintaan seperti ini"
Saat ini tentu terlalu cepat untuk bisa menjawab dengan pasti pertanyaan demikian. Dalam satu hal kita harus ingat bahwa kelompok inti Profesor Widjojo-seperti Ali Wardhana, Sumarlin, Emil Salim, Sadli, dan Radius Prawiro-sudah cukup lama tergeser dari panggung keku
asaan. Dulu kelompok ini bisa membentuk tim kerja yang sangat solid dan kompak. Tanpa tim semacam ini, apakah Profesor Widjojo masih bisa berbuat banyak seperti dulu" Lagi pula, dalam situasi kabinet yang sangat tak terkoordinasi seperti sekarang, apakah dia akan mendapat dukungan internal yang memadai untuk melahirkan kebijakan yang konsisten"
Selain semua itu, persoalan lain yang dihadapi Profesor Widjojo adalah masalah politik. Pada 1990-an ini, tingkat militansi masyarakat dan tingkat pergesekan di kalangan elite cenderung meninggi. Segala hal sekarang dapat ditafsirkan sebagai langkah-langkah politicking, baik di kalangan masyarakat luas maupun di kalangan para elite.
Dengan kata lain, berbeda dari saat yang lalu, kebijakan ekonomi yang drastis agak lebih sulit dilahirkan dalam kondisi politik kita saat ini. Setiap kebijakan pasti mengandung ongkos politik dan melahirkan biaya sosial. Artinya, setiap kebijakan dalam jangka panjang yang akan mendorong efisiensi dan meningkatkan ekspor, misalnya, akan ditentang secara luas jika dalam jangka pendek dianggap dapat menyusahkan sebagian kelompok masyarakat. Dalam hal terakhir ini bukan tak mungkin Profesor Widjojo dituding sebagai kaki tangan IMF dan Bank Dunia, yang hanya membebek, mengikuti perintah Amerika dan merugikan kepentingan nasional.
Karena itu, buat saya, untuk bisa sepenuhnya berhasil, Profesor Widjojo harus menangani dimensi politik ini dengan ekstra hati-hati. Saya berharap, pendekatan kaum teknokrat saat menelurkan kebijakan deregulasi pada 1980-an dapat ditinggalkan. Seperti kita ketahui, rangkaian kebijakan deregulasi saat itu memang merupakan inovasi yang sangat baik dan berdampak sangat positif bagi dunia perekonomian kita secara umum. Tapi sayang, pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan deregulasi sangat bersifat tertutup. Kaum teknokrat sepertinya lebih senang bekerja di belakang layar dan tak begitu peduli mencari dukungan publik.
Akibatnya, kebijakan mereka bukan saja tak terlalu menyentuh hati masyarakat, melainkan juga peran mereka banyak disalahpahami. Karena akibat seperti inilah, antara lain, dorongan terhadap deregulasi cenderung melemah pada awal hingga pertengahan 1990-an. Bahkan bukan itu saja: sebagian dari mereka pun, termasuk Profesor Widjojo, tergeser dari panggung kebijakan publik.
Dengan demikian, bagi saya, jika langkah-langkah Profesor Widjojo saat ini memang ingin ditujukan untuk menciptakan dampak yang jauh dan mendalam, pendekatan kebijakan yang digunakan haruslah pendekatan terbuka. Dengan pendekatan seperti ini masyarakat akan merasa dihargai, sebab kebijakan-kebijakan penting yang melibatkan hidup mereka terlebih dulu dibicarakan dan didiskusikan secara luas. jika sudah begini, dukungan bagi kaum teknokrat pun tak lagi semata-mata dari "atas", juga dari masyarakat umum.
Sebagai ekonom, Profesor Widjojo memang memiliki kemampuan dan intuisi yang tak perlu diragukan. Namun karena perjalanan waktu dan perubahan masyarakat, tantangan dia sekarang bukan lagi terutama bersifat ekonomi, melainkan politik. Artinya, untuk mengulangi sejarah keberhasilannya, Profesor Widjojo harus berperan lebih sebagai teknopol (teknokrat-politikus).
Memang peran ini agak lebih rumit ketimbang peranan teknokrat sebagaimana biasanya. Dan karena itu pula kita bisa berkata bahwa justru sekarang inilah Profesor Widjojo mungkin bertemu dengan salah satu tantangan terbesar dalam kariernya.
18 Oktober 1997 Soedradjad, Bravo profesor ross h. mcleod baru-baru ini melancarkan kritik tajam dan mendasar terhadap Bank Indonesia (BI), sebagai pengelola tertinggi sistem moneter kita. Seperti yang dapat kita baca secara luas di berbagai media massa, ekonom Australia yang mengaku pengikut Milton Friedman ini berpendapat bahwa tindakan BI selama beberapa tahun ini, dalam mencegah tingginya tingkat inflasi, tak relevan dan salah arah.
McLeod, antara lain, menganggap bahwa Bl tak perlu terlalu pusing memikirkan dan membatasi ekspansi jenis uang (Mi dan M2) yang tak langsung memengaruhi inflasi, misalnya ek
spansi kredit perbankan, seperti yang selama ini BI lakukan. Faktor yang berdampak kuat terhadap inflasi, menurutnya, adalah peredaran uang primer (M0, yaitu lembaran bergambar Pak Harto yang ada di dompet Anda). Faktor iniah yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh BI.
Selain itu, berbeda dengan pandangan umum yang dianut masyarakat selama ini, termasuk oleh para perumus di BI, McLeod berpendapat bahwa dunia perbankan kita (seluruh bank minus BI) tak bertanggungjawab terhadap tingkat inflasi. Alasannya sederhana: pencetak uang primer bukan mereka, melainkan BI. Dunia perbankan kita, dengan kata lain, tak berpengaruh apapun terhadap jumlah uang beredar. Bank hanya menjalankan fungsi intermediasi dan relokasi uang, dari satu pihak ke pihak lain, dari penabung ke peminjam. Implikasi semua ini: biarkan dunia perbankan bertindak sendiri dan lanjutkan liberalisasi perbankan yang selama ini terseok-seok.
Terhadap kritik tajam dan terbuka semacam ini, apa yang BI lakukan" Apakah Prof. Soedradjad Djiwandono, Gubernur BI yang juga ekonom, kemudian tersinggung dan merasa dipermalukan" Apakah McLeod lalu dianggap orang asing yang hanya ingin menyebarkan paham liberalisme gontok-gontokan di negeri kita" Apakah McLeod dituding tak mengerti SMP (Sistem Moneter Pancasila)"
Ternyata, seperti yang diuraikan secara rinci di Kompas, 22 januari lalu, Soedradjad meninjau kritik dan argumen McLeod dengan dingin, sistematis, penuh percaya diri. Dalam satu hal, dia berkata bahwa sebenarnya pendapat McLeod agar BI memperhatikan perkembangan uang primer "memang beralasan". Dia dan McLeod, dalam soal ini, tak banyak berbeda.
Dalam hal lain, menurutnya, McLeod terlalu sederhana dalam melihat hubungan uang primer dan jenis uang lainnya. Karena deregulasi dan globalisasi di sektor keuangan, maka hubungan ini sudah menjadi lebih rumit. Kini telah terjadi decoupling antara M2, M1, dan MO. Karena itu, pengendalian inflasi tak dapat dilakukan dengan mengatur uang primer saja. Faktor lain, seperti pinjaman bank, juga harus diperhatikan. Artinya, apa yang BI lakukan selama ini sebenarnya tak terlalu keliru.
Soedradjad tentu tak membahas sesingkat dan sesederhana sebagaimana yang dapat saya sampaikan di sini. Tapi yang penting bagi saya, terlepas dari benar-salahnya atau kuat-lemahnya argumen yang disampaikan, Gubernur BI ini telah memberi contoh langsung tentang praktik pemerintahan by persuasion yang terbuka, besar hati, dan berlandaskan argumen yang masuk akal. Buat dunia pemerintahan sekarang, contoh langsung seperti yang diberikan Soedradjad agaknya sudah makin langka, dan karena itu makin "mahal".
Kelangkaan demikian, misalnya, dapat dilihat dalam kontroversi pengelolaan sumber alam kita akhir-akhir ini. Seperti yang kita tahu, tokoh seperti Kwik Kian Gie dan Amien Rais saat ini sibuk mempertanyakan kecilnya keuntungan (10%-20%) yang kita peroleh dari hasil penambangan sumber alam kita, baik di Irian maupun di Kalimantan. Sebaliknya, pihak asing yang mengelola sumber tersebut, seperti perusahaan Freeport, mengeruk untung luarbiasa (sekitar 80%). Antara lain karena hal inilah maka Amien Rais berkata bahwa kini terjadi "kezaliman ekonomi" di negeri kita.
Bagi pejabat-pejabat tertinggi yang terkait dengan urusan pertambangan, seperti Menteri Pertambangan dan Energi (Pak Sudjana sekarang, dan Pak Ginandjar sebelumnya), persoalannya tentu tak sesederhana tudingan Kwik-Amien. Mereka pasti mengerti persoalan sebenarnya. Tapi di manakah suara mereka sekarang" Di manakah penjelasan mereka tentang soal yang melibatkan duit triliunan rupiah ini" Kenapa mereka diam" Kalau tudingan Kwik-Amien keliru, di mana letak kekeliruannya" Kenapa "cuma" Fachry Ali, Bondan Winarno, dan Dr Sjahrir, yang notabene tak memiliki kaitan tanggungjawab apapun terhadap kebijakan dunia pertambangan kita, yang bicara menanggapi tudingan tadi"
Kita masih bisa menambah lebih banyak lagi contoh semacam ini. Misalnya, dalam konteks yang agak berbeda, kita bisa melihat diamnya pimpinan Golkar terhadap kritik bahwa pemilihan calon legislatif (caleg) mereka s
angat berbau nepotisme. Yang jelas, saat ini sudah sangat jarang kita saksikan para pemimpin dari kalangan pemerintahan yang menyambut kritikan dan kontroversi secara head on, seperti yang dilakukan Soedradjad.
Entah kenapa, banyak pimpinan pemerintah rupanya berpikir bahwa "diam" adalah manifestasi kebijakan terbaik. A silent government is the best government. Malah anehnya, kalau toh mereka bicara, yang biasanya mereka sampaikan justru hal-hal trivial yang paling tak ingin kita dengar.
Dan karena itu pula, terhadap tokoh seperti Soedradjad kita harus katakan: "Jalan terus, Bung! Penuhilah dahaga masyarakat akan pemimpin yang terbuka, bersedia beradu argumen, dan penuh percaya diri..."
15 Februari 1997 Friedman BARU-BARU INI kolomnis ternama Harian The New York Times, Thomas L. Friedman menulis seri artikel tentang Indonesia (10, 14, 17, 21, dan 25 Juli lalu). Selama lima tahun bermukim di Amerika Serikat, baru kali ini saya membaca berturut-turut artikel tentang Indonesia di media populer yang isinya cukup mendalam dan jernih itu.
Apa yang dikatakan Friedman dalam seri tulisan itu" Pada dasarnya, Friedman menjelaskan bahwa pandangan sebagian politisi Amerika Serikat di Konggres, yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negeri paria-sejajar dengan Myanmar atau Irak-adalah pandangan yang 'keliru' dan 'bodoh'.
Indonesia, menurut Friedman, adalah sebuah negeri besar dan kompleks yang selama ini telah memainkan peranan politik luar negerinya dengan konstruktif. Ia mengutip Menteri Luar Negeri Ali Alatas, bintang seri artikel ini, untuk menjelaskan: jika Amerika Serikat salah langkah dengan terus-menerus mendesak Indonesia karena satu persoalan saja, misalnya kasus Timor Timur, akibatnya bisa sangat buruk, sebab bukan tak mungkin akan terjadi semacam nationalist backlash. Hal ini, kalau terjadi, akan merugikan bukan saja kepentingan pembangunan Indonesia, melainkan juga menghambat pelaksanaan strategi diplomasi Amerika Serikat di Asia.
Di Asia, gejala politik yang paling besar dampak globalnya adalah bangkitnya Cina secara ekonomi dan militer. Untuk mengimbangi potensi dominasi Cina dalam tahun-tahun mendatang, Amerika Serikat tak mungkin hanya bersandar pada Jepang. Negeri Matahari Terbit ini mungkin akan menjadi persoalan tersendiri bagi strategi diplomasi Amerika Serikat. Karena itu, buat Friedman, posisi Indonesia menjadi sangat penting untuk mengimbangi bangkitnya kekuatan Cina.
Selain itu, Indonesia sudah memainkan peranan big brother dengan sangat positif di kawasan Asia Tenggara sejak akhir 1960-an. Karena peranan semacam inilah stabilitas politik ASEAN dapat terjamin, dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dapat berlangsung di kawasan ini.
Jadi, singkatnya, kesimpulan Friedman dapat dengan mudah kita tebak: ia menganjurkan Amerika Serikat dapat lebih luas serta realistis dalam memandang hubungannya dengan Indonesia. "Indonesia," demikian Friedman mengutip Ali Alatas, "adalah sahabat Amerika, bukan musuh."
Selain topik politik luar negeri, kondisi domestik Indonesia tak luput dari perhatian Friedman. Ia memuji keberhasilan ekonomi Indonesia sebagai salah satu negeri yang muncul sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Namun tak lupa ia menyinggung persoalan dasar yang ada, seperti masalah lingkungan hidup dan tingkat korupsi yang sudah sangat kronis.
Buat Indonesia, makna apa yang bisa ditarik dari hadirnya tulisan seperti yang disajikan Friedman" Walaupun di sana-sini menyentil dengan tajam (seperti dalam soal korupsi), secara keseluruhan tulisan Friedman bermakna positif bagi kita. Indonesia yang ditampilkannya bukanlah negeri yang hanya dapat dipandang dari satu segi. Ia menghadirkan Indonesia dalam kompleksitasnya, betapapun tempat yang digunakannya-dalam bentuk kolom-sangat terbatas.
Bobot seri artikel ini tak dapat dianggap ringan karena adanya dua hal. Pertama, artikel itu dimuat di harian paling besar dan berpengaruh di panggung opini Amerika Serikat. Koran ini menjadi santapan pagi kaum politisi di Washington, D.C, dan elite bisnis di New York. Ia adalah sebua
h institusi yang menjadi salah satu jendela bagi publik Amerika Serikat untuk mengenal dunia luar.
Kedua, penulisnya adalah seorang kolumnis pemenang Hadiah Pulitzer, yang selama ini dikenal sebagai penulis masalah politik luar negeri yang berimbang, tajam, dan cerdas. William Safire adalah seorang kolomnis partisan par excellence, sedangkan Friedman adalah tipe penulis yang selalu menegedepankan akal sehat dan mencoba menimbang-nimbang berbagai sudut pandang secara obyektif.
Karena itu, dalam konteks hubungan Indonesia-Amerika Serikat yang belakangan ini cenderung agak menghangat, seri artikel ini mungkin bisa dianggap sebagai angin segar. Di samping itu, tulisan tersebut dapat dilihat sebagai pengimbang berita-berita miring di seputar kasus Lippogate yang selama ini sudah cenderung "overdosis" di Washington, D.C.
Selain semua itu, pelajaran yang perlu kita renungkan: publik dan media massa Amerika Serikat sangat terbuka pada argumen-argumen dingin dan masuk akal. Seringkali realitas politik Indonesia mendapat kecaman pedas dari berbagai jurusan, misalnya dari para aktivis lingkungan, pejuang hak asasi, dan pembela kaum buruh. Terhadap kecaman semacam ini, biasanya reaksi kita sangat emosional dan berbau "jingoisme" (right or wrong it's my country). Reaksi semacam ini, dalam percaturan opini publik di Amerika Serikat atau Eropa justru sangat tak efektif dan merugikan diri.
Hal yang perlu kita lakukan terhadap berbagai kritik atas realitas negeri kita adalah memberi tanggapan dengan argumen rasional, tanpa emosi yang berlebihan. Friedman, melalui seri artikelnya, telah memberi contoh yang baik. Melalui tanggapan semacam ini, kita menyentuh hal yang paling berharga dan paling penting dalam masyarakat Amerika Serikat, yaitu akal sehat mereka.
2 Agustus 1997 George Soros setelah komunisme, kini persoalan terbesar bagi umat manusia adalah kapitalisme. Doktrin laissez-faire (liberalisme) kini merajalela: manusia makin menjadi individualis-egois, mengejar kepentingan diri sendiri tanpa mampu bersimpati pada, dan bekerjasama dengan, manusia lainnya. Peradaban pun berada dalam situasi lampu merah.
Di Amerika, ancaman dan ramalan semacam ini mungkin hanya dipandang sebelah mata jika disampaikan tokoh seperti Ralph Nader, aktivis gerakan konsumen, atau Pendeta jesse jackson. Tapi bagaimina jika disampaikan George Soros"
Tokoh kelahiran Hungaria ini pada awalnya hanya seorang imigran yang terusir dari negerinya karena ekspansi Naziisme Hitler. Di New York, ia kemudian bertaruh nasib di bursa uang, dan sukses. Bahkan ia menjadi semacam legenda: dalam sehari ia kabarnya pernah mengeruk untung hingga Rp2 triliun lebih. Setelah menjadi superkaya-karena dorongan ide besar yang pernah dipelajarinya, antara lain, dari filsuf Karl Popper-ia kemudian menggunakan sebagian hartanya untuk membantu gerakan demokratisasi di Eropa Timur.
Soros, singkatnya, adalah ikon kapitalisme itu sendiri, sebuah simbol tentang kemungkinan baik yang dapat ditumbuhkan oleh persamaan kesempatan dan kebebasan ekonomi. Karena itu pula pandangan menakutkan tentang liberalisme yang disampaikannya mungkin akan mengundang perhatian cukup serius, bahkan lebih dari semestinya.
Tapi sejauh mana sebenarnya kebenaran pandangan kelabu seperti itu" Argumen Soros, sebagaimana yang ditulisnya di Atlantic Monthly baru-baru ini, kalau disingkat, berbunyi seperti ini. ldeologi totalitarian, yaitu fasisme dan komunisme, dulunya adalah musuh terbesar masyarakat terbuka. Kapitalisme, yang kini dominan, bertumpu pada doktrin liberal yang pada dasarnya memiliki persamaan dengan ideologi totalitarian. Mirip dengan para pendukung fasisme dan komunisme, kaum liberal menganggap merekalah pembawa kebenaran terakhir, dan klaim seperti ini didasarkan pada otoritas keilmuan, khususnya ilmu ekonomi.
Klaim terhadap kebenaran terakhir semacam ini akan menyumbat saluran perkembangan masyarakat terbuka. Lebih jauh lagi, ilmu ekonomi yang mendasarinya adalah ilmu yang secara inheren lemah karena bersandar pada asumsi yang sangat simplistis tentang perilak
u manusia. Misalnya, manusia adalah makhluk rasional: harga adalah ukuran tertinggi dari nilai suatu barang, jasa, bahkan manusia. Bagi Soros, jika sebuah doktrin yang didasarkan pada ilmu simplistis ini menjadi dominan, ia akan mendorong munculnya peradaban yang keropos, yaitu sebuah peradaban yang ditandai oleh individualisme berlebihan, pendewaan terhadap kompetisi dan efisiensi, serta pada akhirnya instabilitas dan kehancuran.
Buat saya, argumen semacam ini mengaburkan beberapa hal penting tentang liberalisme dan perkembangan kapitalisme. Dalam satu hal, kecemasan bahwa praktik laissez-faire telah merajalela hanyalah bersumber pada ilusi dari orang-orang seperti Soros. Selain Hong Kong, negeri yang paling liberal dalam soal ekonomi saat ini adalah Amerika. Dan di negeri ini sepertiga dari total pendapatan nasional jatuh ke tangan pemerintah.
Artinya, 30% dari seluruh pendapatan rakyat dialokasikan oleh tangan-tangan politik dan birokrasi, bukan oleh invisible hands-nya Adam Smith. Para pemimpin Amerika, dari Reagan hingga Clinton, memang telah berusaha mengubah kenyataan ini. Tapi hingga kini perubahan mendasar belum juga terjadi. jika di negeri paling liberal saja faktanya seperti ini, bagaimana pula di negeri lain"
Dalam hal lain, yang bagi saya lebih fundamental adalah kekeliruan Soros dalam memandang paham liberal. Liberalisme adalah lawan dari ideologi totalitarian. Sejak awal klaim paham ini didasarkan pada skeptisisme dan argumen tentang kebebasan, bukan pada otoritas ilmu dan pendewaan efisiensi.
Bagi kaum liberal, problem politik terbesar adalah tirani kekuasaan, sebuah kondisi di mana penguasa (pemerintah) memaksakan kehendaknya terhadap rakyat. Karena itu, menurut mereka, kekuasaan pemerintah harus terbatas. Pembatasan ini, selain dalam politik, harus dilakukan sejauh mungkin dalam bidang ekonomi: penguasa politik yang manguasai terlalu banyak sumber ekonomi akan mudah berubah sosok menjadi tiran. Dengan demikian, buat kaum liberal, pembatasan peran ekonomi pemerintah (artinya: perluasan mekanisme pasar) harus dilakukan agar kebebasan rakyat dapat terjamin.
Sebagai orang yang skeptis, kaum liberal tak gampang percaya pada slogan kaum penguasa yang menganggap dirinya sebagai pembela kaum lemah. Kekuasaan punya kepentingan sendiri, yang tak selalu seiring dengan kepentingan rakyat. Lebih jauh lagi, tak seorang pun, termasuk kaum teknokrat yang bekerja bagi pemerintah, yang memiliki pengetahuan lengkap terhadap kompleksitas dunia ekonomi. Karena itu, seperti kata Friedrich Hayek, alternatif terbaik yang dapat dilakukan adalah membiarkan tiap individu untuk melakukan hal yang dianggapnya baik. Artinya, mekanisme pasar bebas, walau bukan pilihan ideal, adalah pilihan the lesser evil dalam keterbatasan pengetahuan manusia.
Apakah paham ini mendorong individualisme" Memang buat kaum liberal, manusia ideal adalah manusia individualis, dalam pengertian manusia independen, yang mau dan mampu bertanggungjawab bagi diri serta tindakannya. Kalau ia berbuat baik, hal ini terjadi bukan karena ia dipaksa oleh otoritas di luar dirinya, melainkan karena didorong nuraninya sendiri. Singkatnya, ia, dalam bentuknya yang ideal, adalah manusia seperti George Soros, yang membantu gerakan demokratisasi dari kesadaran dirinya sendiri.
22 Maret 1997 Alan Greenspan, Sang Maestro di Balik Dollar
selama hampir 20 tahun menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral AS (The Fed), Alan Greenspan kerap disebut sebagai "a rock-star central-banker". Oleh kaum investor dan para pelaku pasar, kadang dia dianggap sebagai manusia setengah dewa. Bob Woodward, jurnalis kawakan itu, menyebutnya sebagai Sang Maestro.
Munculnya Greenspan sebagai ikon ekonomi AS bukan tanpa sebab. Dalam situasi yang ideal sekalipun, mengatur kondisi moneter sebuah negeri yang besar dan kompleks seperti AS bukanlah sesuatu yang mudah.
The Fed harus selalu membaca dengan tepat kapan peredaran uang harus dikucurkan, kapan harus diketatkan, lewat instrumen yang mereka miliki. Karena uang adalah darahnya sistem ekonomi modern, kekeliruan l
angkah The Fed akan berakibat fatal. Depresi Besar di AS pada 1930-an, seperti kata Milton Friedman, adalah akibat dari kesalahan semacam itu.
Karena itu, siapapun yang memimpin bank sentral AS mengemban tugas dan tanggungjawab yang tidak ringan. Apalagi dalam tiga dekade terakhir ini, di mana inovasi, perkembangan teknologi, dan pertumbuhan instrumen finansial telah membuat roda perekonomian dan perputaran uang bergerak semakin cepat dan mengubah banyak asumsi-asumsi ekonomi yang baku.
Tantangan dan perubahan seperti itulah yang harus dihadapi oleh Greenspan saat diangkat oleh Presiden Reagan untuk memimpin The Fed. Hanya beberapa minggu setelah pengangkatannya pada akhir 1987, ia harus berhadapan dengan peristiwa Black Monday, yang merontokkan saham di bursa New York sebesar 20 persen dalam sehari. Setelah itu berbagai peristiwa terjadi susul-menyusul: krisis asuransi dan perbankan, membengkaknya defisit, ancaman inflasi, ancaman resesi, run -tuhnya sistem komunisme, krisis Meksiko, krisis moneter di Asia, default di Rusia, dan sebagainya. Tetapi, semua peristiwa dan gejala ekonomi itu ternyata tidak membawa gejolak besar yang merontokkan ekonomi AS.
Malah sebaliknya, pertumbuhan ekonomi pada pertengahan awal 1990-an hingga 2003 mencapai rekor yang hanya tertandingi oleh angka pertumbuhan pada awal 1960-an. Alan Greenspan dianggap berhasil menciptakan sebuah kondisi moneter yang stabil dan predictable, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi setinggi itu. Sebagian pengagumnya bahkan memberinya julukan sebagai the greatest central banker of all time.
Para pengkritiknya, seperti Paul Krugman, mungkin benar dalam beberapa hal mengenai ketidakmampuan Greenspan dalam mencegah Presiden George W. Bush menggelembungkan defisit anggaran, atau dalam meramalkan terjadinya bubble di sektor perumahan sekian tahun lalu, yang menyebabkan terjadinya krisis di AS sekarang ini. Namun, kalau toh hal-hal ini adalah sebuah kesalahan yang layak ditimpakan kepadanya, ia tak mengaburkan begitu banyak langkah-langkah Greenspan yang dianggap tepat dan konstruktif selama 18 tahun kepemimpinannya.
Kini, setelah mundur awal tahun lalu, Alan Greenspan menceritakan semua pengalamannya dalam buku setebal 531 halaman, The Age of Turbulence. Sekarang Greenspan mampu berbicara dengan lancar, menarik, tanpa kalimat yang kabur dan elusif sebagaimana yang menjadi ciri khasnya selama ini.
Salah satu bagian yang paling menarik adalah pengalamannya dalam berhubungan dengan presiden (Reagan, Bush, Clinton, Bush Jr) serta kaum politisi lainnya di kabinet atau di Kongres. Kaum politisi ingin terus membengkakkan anggaran dan sering kurang sabar menerima langkah pengetatan uang. Di sini kita bisa melihat bagaimana Greenspan harus mampu "berpolitik", membujuk, dan memengaruhi kaum politisi untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip sound money demi kepentingan jangka pendek.
Barangkali di situlah terletak salah satu kunci suksesnya. Ia bukan hanya seorang analis yang tekun, tetapi juga seorang aktor yang mampu meraba suhu politik dan mengenal dengan baik lekak-lekuk politik yang harus dilaluinya.
Mozart dan Matematika Pada bagian awal The Age of Turbulence Greenspan menulis semacam memoar. Bagian itu enak dan menarik dibaca, sebab ia memperlihatkan dimensi manusia di balik peristiwa-peristiwa besar ekonomi dan interaksi politik, the human face behind history.
Ia lahir di Manhattan, New York, pada 1926 dari keluarga Yahudi sekular dengan ekonomi pas-pasan. Cinta pertamanya adalah musik. Ia fanatik pada Mozart. Pada usia remaja, keahliannya bermain saksofon membawanya dalam dunia pertunjukan profesional. Ia kemudian sadar, bakat musiknya tidak akan mampu membawanya ke tingkat maestro. Ia lalu banting setir, belajar ekonomi dan bisnis di New York University (NYU) dan kemudian melanjutkan ke tingkat doktoral di Columbia University.
Kebetulan sejak kecil, sebagai anak yang introvert, Alan Greenspan memang senang pada angka-angka dan merasa begitu gampang menelusuri dalil-dalil matematika (hingga masa tuanya, kebiasaan Green
span untuk mengisi waktu luang dan mengendurkan saraf adalah dengan mengerjakan soal-soal kalkulus). Bakat seperti ini kemudian terbukti sangat membantunya dalam melakukan studi ekonomi yang saat itu, karena pengaruh Keynes, memang sedang mengadopsi matematika sebagai alat analisis yang semakin penting.
Di universitas, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam formasi pemikirannya adalah Arthur Burns, pengkritik Keynes yang kemudian menjadi gubernur bank sentral pada 1970-an. Lewat Burns, Greenspan, yang memang sudah tertarik dengan pemikiran kaum liberal klasik (Adam Smith, John Locke, dan David Hume) dan karya Schumpeter tentang inovasi dan ke-wirausahaan, menemukan tokoh yang memberinya dasar-dasar untuk memahami dengan lebih baik bekerjanya sistem ekonomi pasar modern. Di luar dunia universitas, Greenspan bergaul dalam komunitas Ayn Rand, novelis dan filsuf Rusia yang me -larikan diri dari sistem komunisme. Ia adalah pemimpin kaum libertarian garis keras. Greenspan tidak belajar ekonomi dari Rand, tetapi dari pemikir wanita inilah Greenspan tumbuh secara intelektual dan kemudian mengerti bahwa sistem ekonomi pasar atau kapitalisme dapat pula dibela secara moral, bukan hanya dari sudut bisnis atau efisiensi semata.
Dengan pengaruh semacam itu, tidak heran jika sampai sekarang pun Alan Greenspan dengan bangga berkata bahwa dirinya adalah a life-long libertarian republican.
Dengan keyakinan yang kental pada gagasan libertarian, sangat mudah bagi Greenspan untuk terjebak menjadi a fighting banker yang terobsesi oleh ideologi dan ide-ide besar. Namun, salah satu kelebihan Greenspan adalah kemampuannya untuk lebih mengedepankan akal sehat, mempelajari fakta-fakta yang ada, dan lebih mengutamakan moderasi dan sikap yang prudensial. Ide memberi potret besar, namun realitas yang terus berubah seringkali menuntut langkah-langkah kecil yang dilakukan dengan penuh kompromi.
Selain menulis pengalaman hidup dan perjalanan kariernya, di paruh kedua buku ini Greenspan juga menulis esai-esai dengan beragam topik, dari perubahan ekonomi di Cina, India, Rusia, hingga masalah umum, seperti globalisasi, krisis energi, dan pemerataan ekonomi. Ia melihat berbagai masalah dan kecenderungan ekonomi dari sebuah posisi unik di puncak hierarki kekuasaan moneter. Dalam hal ini ia memainkan peran sebagai pelaku dan saksi sejarah sekaligus.
Bagi pembacanya, hal itu mendatangkan keasyikan tersendiri. Kita seperti masuk dalam dunia Greenspan, dan dari sana mengamati bagaimana seseorang yang memegang kekuasaan begitu besar mempelajari dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan orang banyak.
Dalam salah satu bagian buku ini, Alan Greenspan juga menjelaskan bahwa pada akhirnya dinamika perekonomian dan perputaran uang hanyalah satu sisi dari interaksi manusia, dan karena itu ia mencerminkan karakter dan sifat manusia itu sendiri yang bertindak atas dasar harapan dan kecemasannya, rasionalitas, maupun irasionalitasnya.
Karena itu, orang yang berada di posisinya selain harus menguasai berbagai permasalahan teknis ekonomi dan finansial, juga harus memahami dengan baik sifat dan karakter manusia. Terutama dalam situasi kritis di mana pasar terguncang dan fluktuasi ekonomi bergerak secara tak terduga, justru pemahaman seperti itulah yang sangat bermanfaat dalam membimbingnya mengambil keputusan-keputusan penting.
Dengan semua itu kita menjadi cukup mafhum mengapa ia begitu disegani oleh kawan dan lawan. Barangkali, kalau
konsep Platonic Guardian memang tidak berlebihan, pada Alan Greenspan-lah kita menemukan perwujudannya yang hampir sempurna.
11 November 2007 Norman Borlaug, Pemberi Makan Dunia
siapa manusia yang paling berjasa di abad ke-20" Kita bisa menjawabnya dengan menyebut sederetan pemimpin besar seperti Roosevelt dan Churchill, atau ilmuwan besar seperti Einstein dan industrialis raksasa seperti Henry Ford. Selain nama-nama besar ini, Norman Borlaug patut menjadi favorit.
Akan tetapi, siapa yang kini masih mengenal Norman Borlaug" Siapa yang tahu bahwa pada 1970 ia mendapat Hadiah Nob
el untuk Perdamaian atas jasanya memberi makan kepada jutaan manusia, mencegah kelaparan massal, dan karena itu memungkinkan perdamaian yang lebih abadi" Siapa yang masih ingat bahwa di tahun 1960-an ia mengawali Revolusi Hijau, sebuah peningkatan produktivitas pertanian yang dahsyat dan memengaruhi perkembangan banyak negara, termasuk negara kita"
Leon Hasser baru-baru ini menerbitkan buku yang bertutur tentang Norman Borlaug, The Man Who Fed the World. Hasser mengenal Borlaug di Pakistan pada awal 1960-an saat ia masih bertugas sebagai staf Kedubes AS yang membidangi bantuan dan peningkatan pertanian.
Dalam buku ini digambarkan bagaimana Norman Borlaug yang lahir pada 1914 dari keluarga petani miskin di Cresco, Iowa, melewati masa kecilnya dengan pendidikan yang sederhana tetapi penuh dengan keakraban yang khas kaum petani migran di frontier Amerika. Setelah selesai sekolah dasar dan menengah di daerah kecil itu, Borlaug meneruskan pendidikannya ke University of Minnesota. Ia adalah generasi pertama dari keluarga Bor-laug yang dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat setinggi itu.
Di University of Minnesota inilah ia secara kebetulan sempat menghadiri ceramah Prof. E.C. Stakman, Ketua Jurusan Patologi Tanaman, yang memiliki reputasi dunia di bidangnya. Ceramah itu mengubah hidup Norman Borlaug-dan sebagian sejarah abad ke-20 ikut pula berubah bersamanya. Setelah ceramah ini, Borlaug bertekad untuk menjadi ahli pertanian dan belajar di bawah bimbingan Prof. Stakman.
Revolusi Hijau Setelah merampungkan studi doktoralnya, Borlaug menerima tawaran Prof. Stakman untuk membantu pengembangan pertanian di Meksiko yang saat itu sedang mengalami krisis pangan. Program ini dibiayai sepenuhnya oleh The Rockefeller Foundation. Selama 20 tahun Norman Borlaug tinggal di Meksiko, melakukan riset dan pengembangan tanaman gandum. Dari hari ke hari, dengan ketekunan yang luarbiasa, ia dan tim yang dipimpinnya menyilang dan mempelajari pertumbuhan ribuan varietas gandum untuk mencari bibit-bibit baru dengan sifat yang lebih tahan hama dan lebih produktif.
Pada intinya, terobosan Norman Borlaug terletak pada beberapa hal. Ia menemukan metode yang lebih efektif untuk melakukan persilangan varietas dalam jumlah yang massal serta menyempurnakan metode shuttle-breeding.
Namun yang tidak kurang pentingnya juga adalah temuan bibit gandum dengan batang yang jauh lebih pendek, yang merupakan penyilangan yang berhasil dari bibit yang berasal dari Jepang, Norin-10. Dengan batang yang lebih pendek, varietas ini menghasilkan butir gandum lebih banyak serta lebih tahan terhadap terpaan angin dan lebih responsif terhadap aplikasi pupuk.
Dengan metode baru dan varietas unggulan itulah ia memulai Revolusi Hijau. Pada akhir 1950-an Meksiko sudah terlepas dari ancaman kelaparan dan mencapai tahap swasembada pangan. Sukses itu mulai mengharumkan nama Norman Borlaug. Kebetulan pada periode itu beberapa negara lainnya, seperti India dan Pakistan, juga mengalami krisis pangan. Suasana dunia pada 1960-an memang agak kelabu. The Population Bomb, buku populer yang ditulis Paul Ehrlich pada periode itu, memaparkan, krisis pangan di India hanyalah bagian proses sejarah yang lebih besar. Dunia tidak mampu lagi menanggung jumlah penduduk yang terus membengkak, sehingga secara alamiah puluhan bahkan mungkin ratusan juta jiwa akan terkena seleksi alam (artinya, mati kelaparan). Borlaug tidak larut dalam pesimisme semacam itu.
Kebetulan pada 1961, ia diundang ke India oleh M.S. Swaminathan, penasihat Menteri Pertanian India. Waktu itu, nasib India masih tertolong oleh kiriman jutaan ton gandum dari AS. Namun, bantuan ini tidak mungkin berlangsung selama-lamanya.
Borlaug dan Swaminathan menyadari hal itu, tetapi pada tahun-tahun pertama birokrasi India tidak memberi mereka ruang gerak yang memadai. Barulah pada 1965, setelah meletusnya perang India-Pakistan, upaya yang sungguh-sungguh untuk mengawali Revolusi Hijau di India dapat dimulai. Ribuan ton bibit baru dari Meksiko disebarkan dengan luas. Selain itu, Borlaug juga berhasil membujuk peme
rintahan India agar mengubah kebijakan pertanian dengan menyesuaikan harga gandum petani, menyebarkan pupur dengan lebih agresif serta memperluas jaringan kredit petani.
Dengan semua itu, India akhirnya dapat melepaskan diri dari jepitan nasib buruk. Pada awal 1970-an negeri kedua terpadat di dunia ini berhasil mencapai swasembada pangan. Setelah itu, India tidak lagi pernah mengalami ancaman kelaparan massal sebagaimana yang sering terjadi sebelumnya, walaupun penduduknya telah meningkat lebih dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk pada periode itu, yaitu dari 450 juta jiwa menjadi hampir satu miliar jiwa. Keberhasilan berswasembada malah tercapai dua tahun sebelumnya oleh Pakistan
(1968). Setelah India dan Pakistan, Revolusi Hijau kemudian merambah ke berbagai negeri lainnya-dan tidak hanya dengan tanaman gandum. Dengan contoh keberhasilan di Meksiko, The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation mengambil inisiatif mendirikan IRRI (International Rice Research Institute) di Los Banos, Filipina. Lembaga riset ini kemudian menghasilkan varietas-varietas padi baru yang juga lebih pendek, lebih tahan hama, serta dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dari varietas yang sebelumnya telah ada.
Lembaga inilah yang menjadi ujung tombak swasembada pangan di Asia, termasuk di Indonesia pada awal dan pertengahan tahun 1980-an. Di negeri kita, katalis Revolusi Hijau adalah para insinyur pertanian lulusan berbagai universitas, terutama Institut Pertanian Bogor, yang tumbuh berkembang karena dimungkinkan oleh sukses ekonomi pemerintahan orde Baru.
Nobel Perdamaian Karena Revolusi Hijau, dunia tidak lagi terancam oleh bahaya kelaparan permanen, kecuali oleh penyebab-penyebab yang bersifat ad hoc dan temporer, seperti terjadinya konflik bersenjata, musim yang ekstrem dan semacamnya. Belum pernah dalam sejarah manusia ketahanan pangan yang demikian dapat dicapai.
Untuk upayanya ini, Borlaug memperoleh Hadial Nobel pada 1970. Itulah pertama kalinya seorang ahli pertanian memperoleh hadiah dalam kategori perdamaian (biasanya hadiah ini diberikan kepada para politisi, aktivis lembaga perdamaian, pahlawan perang, dan pemimpin dunia). Panitia hadiah paling bergengsi ini beranggapan bahwa dengan mengatasi ancaman kelaparan, Borlaug telah membantu meletakkan dasar-dasar perdamaian dunia yang lebih langgeng.
Namun, bagaimana di masa depan" Saat ini penduduk dunia sudah mencapai lebih 6,4 miliar jiwa. Diramalkan jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai angka yang stabil pada jumlah sekitar 10 miliar jiwa pada tahun 2050. Bagaimana kita memenuhi kebutuhan kalori manusia sebanyak itu" Revolusi Hijau telah sukses di tahun 1960-1980, tetapi bagaimana selanjutnya" Bagaimana mematahkan ramalan Malthus, sekali dan selama-lamanya"
Buat Borlaug, semua itu mengharuskan kita untuk terus mengembangkan penelitian dan mengawasi kemungkinan merebaknya wabah baru pada beberapa tanaman yang merupakan sumber pangan utama, yaitu gandum, padi, jagung.
Baginya, kunci semua harapan umat manusia tergantung pada ilmu pengetahuan (khususnya bioteknologi) dan sikap yang terus-menerus aktif dalam dunia penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Musuh terbesar umat manusia adalah bencana kelaparan.
Kita harus terus waspada dan mencari cara untuk mengalahkannya. Norman Borlaug dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, khususnya bagi mereka yang berada di garis terdepan penelitian dan pengembangan pertanian.
22 otober 2006 Indonesia 1995: Pertarungan Kekuasaan dan Kebijakan
(Bersama R. William Liddle)
Ekonomi Ekonomi Indonesia pada 1995 memperlihatkan beragam tanda. Pada sisi yang positif, pertumbuhan ekonomi yang cepat terus berlanjut, dengan pertumbuhan GDP 7,4%, melampaui perkiraan awal pemerintah, yakni 7,1%. Pada 1994, ketika angka GDP itu 6,9%, ada peringatan bahwa perekonomian terlalu cepat tumbuh, namun pada akhir tahun tersebut indikator-indikator harga memperlihatkan bahwa angka inflasi bisa dibendung di bawah level dua digit. Dalam hal investasi asing pada 1995, dari Januari hi
ngga Juli saja jumlah investasi yang disepakati mencapai $27,2 miliar, dibandingkan $23,7 miliar selama 1994.[Ketika ke-823 proyek investasi yang disepakati pada 1994 diwujudkan sepenuhnya (yang mungkin memerlukan waktu satu atau dua tahun), hal itu akan memberikan pekerjaan bagi 623.000 orang. Far Eastern Economic Review, 18 Mei, 1995, hlm. 56.] Hal ini sangat mengesankan jika kita melihat bahwa krisis peso Meksiko menyebabkan para investor asing lebih berhati-hati dalam menghadapi perekonomian-perekonomian negara berkembang.
Tanda lain yang bagus adalah bahwa proses reformasi ekonomi, yang dimulai pada 1983, terus berlanjut. Paket reformasi terakhir, yang diumumkan pada Juni 1994, bertujuan untuk merombak aturan-aturan investasi "anti-asing" yang telah usang. Beberapa waktu kemudian, beberapa ekonom negeri ini yang pro-pasar mulai memperingatkan tentang meluasnya "keletihan deregulasi" di kalangan pada pembuat kebijakan, namun pada Mei 1995, langkah-langkah baru yang substansial dijalankan dengan memotong cukai 6.030 item (64% dari jumlah total di mana cukai dikumpulkan) dan merancang rencana untuk mencapai tingkat yang lebih rendah pada tahun 2000.
Pada November, PT Telkom (perusahaan telekomunikasi negara) sebagian diprivatisasi, mengikuti langkah yang sama yang sebelumnya diambil oleh PT Timah (tambang timah) dan PT Indosat (satelit komunikasi). Tujuannya adalah untuk mengubah struktur insentif perusahaan-perusahaan besar negara dan memberikan uang tunai pemerintah untuk mengurangi hutang-hutangnya yang semakin besar.
Pada sisi yang negatif, terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan ancaman yang semakin besar terhadap catatan keberhasilan ekonomi negara ini. Angka defisit sekarang ini melonjak dari $3,4 miliar pada 1994 menjadi $6,5 miliar pada akhir 1995. Lonjakan yang hampir berlipat dua ini sebagian disebabkan oleh impor barang-barang modal yang melambung (karena peningkatan pesat investasi asing), dari $39,5 miliar pada 1994 menjadi $45,2 miliar. Sebab yang lain adalah bahwa ekspor negeri ini, khususnya ekspor non-minyak, tidak seber-hasil sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Pada Januari-Agustus 1993, ekspor meningkat 23,84%, sementara selama periode yang sama pada 1995, pertumbuhan hanya 14,06%.
Faktor pertumbuhan ekspor yang melambat inilah yang harus paling diperhatikan negeri ini. Hingga awal 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong terutama oleh ekspor minyak, namun dengan merosotnya harga minyak dan penyesuaian kembali matauang dunia, pemerintah pada 1983 mulai melakukan deregulasi. Dalam 10 tahun berikutnya, perekonomian tumbuh terus-menerus dengan angka yang mengesankan, di mana ekspor non-minyak berada di depan. Hal ini tidak hanya menyediakan cadangan dana untuk membayar impor barang-barang modal yang diperlukan untuk membangun industri-industri modern, namun apa yang lebih penting: hal itu mengubah struktur ekonomi negara itu dari perekonomian yang bergantung pada minyak menjadi perekonomian yang lebih beragam dan berorientasi ke luar, sebagaimana perekonomian macan-macan Asia. Jadi, jika angka pertumbuhan 1995 yang melambat terus terjadi, hal itu jelas membahayakan keberhasilan negeri itu yang cukup mengesankan. Profesor Sumitro Djojohadikusumo, ekonom Indonesia paling terkemuka, baru-baru ini memperingatkan bahwa jika tindakan perbaikan tidak diambil, Indonesia bisa seperti Meksiko.
Selain pertumbuhan ekspor yang melambat, tanda negatif lain adalah terus berlanjutnya apa yang seringkali disebut oleh para ekonom Indonesia sebagai ekonomi biaya tinggi. Benar bahwa paket deregulasi ekonomi tersebut cukup berjangkauan luas, namun jika dikaji lebih cermat, tampak jelas bahwa paket ini sejauh ini sebagian besar hanya menyentuh bagian "termudah" dari perekonomian, yakni sektor moneter. Sektor-sektor "riil" yang secara langsung terkait dengan persaingan, produksi, dan biaya tetap berada dalam cengkeraman regulasi, kartel, monopoli, restriksi, dan favoritisme pemerintah. Pada Juni, Bank Dunia menerbitkan sebuah laporan yang dengan keras memperingatkan berbagai dampak buruk dari be
rbagai penyimpangan ini pada daya saing ekonomi negeri ini. Namun, selama 1995 tidak ada tanda yang meyakinkan bahwa pemerintah bersiap untuk melucuti lembaga-lembaga dan praktik-praktik di jantung perekonomian berbiaya tinggi tersebut.
Terus bertahannya ekonomi riil yang sangat menyimpang ini, di satu sisi, dan di sisi lain: 10 tahun rangkaian paket deregulasi-serta dijalankannya manajemen makro-ekonomi yang baik di era Soeharto tersebut-tampak mencerminkan ambivalensi Soeharto sendiri dalam hal perlunya meliberalkan perekonomian lebih jauh dan pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan atas pembuatan kebijakan ekonomi di dalam pemerintahannya. Soeharto tampak menyadari bahwa liberalisasi merupakan kecenderungan global, dan bahwa tidak ada jalan masa depan lain bagi negeri itu kecuali mengikuti kecenderungan ini. Hal ini tercermin dalam pertemuan APEC di Bogor pada November 1994, di mana Soeharto mengejutkan banyak orang dengan sepenuhnya mendukung pembentukan suatu wilayah perdagangan bebas Pasifik pada 2015 dan menyatakan bahwa Indonesia segera akan mengarah ke tujuan ini. Tak diragukan, setelah pertemuan Bogor tersebut, Soeharto dengan segera menjadi pelopor perdagangan bebas dunia.
Pada saat yang sama, bukan menjadi rahasia bahwa banyak dari penyimpangan-penyimpangan tersebut-dalam bentuk monopoli, kartel, dan lisensi atau izin khusus-sebenarnya disebabkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh anak-anaknya dan sanak keluarganya atau oleh konglomerat-konglomerat bisnis yang pemiliknya telah lama memiliki hubungan dekat dengannya. Pada awal tahun itu, Soeharto membuat suatu keputusan yang secara ekonomi bagus dengan menolak permintaan perlindungan bea 40% dari konsorsium Chandra Asri, suatu proyek olefin $1,2 miliar yang sebagian dimiliki oleh salah seorang anaknya dan Prajogo Pangestu, seorang pengusaha Cina-Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengannya. Namun, keseluruhan struktur proteksi tersebut tetap utuh.
Sebagian karena alasan ini, pertarungan untuk memperebutkan pembuatan kebijakan ekonomi di dalam pemerintahannya terus berlanjut-sebuah pertarungan yang sejak 1993 menunjukkan suatu indikasi bahwa keseimbangan kekuasaan semakin mengarah kepada kubu nasionalis dan pro-dirigis. Selama 10 tahun setelah deregulasi pertama pada 1983, para teknokrat pro-pasar berada dalam posisi dominan dalam proses pembuatan kebijakan aktual. Kekalahan simbolis mereka terjadi ketika Soeharto, saat membentuk kabinet keenamnya pada 1993, menjadikan Ginandjar Kartasasmita--seorang insinyur yang sangat kritis terhadap para teknokrat tersebut-kepala Dewan Perencanaan Nasional, sebuah jabatan yang selama lebih dari satu dekade berada dalam kendali Widjojo Nitisastro, ketua para teknokrat tersebut. Selain itu, Soeharto juga menyerahi dua kolega dekat B. J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi dan seorang nasionalis ekonomi terkemuka, dengan jabatan menteri Perdagangan dan Transportasi. Habibie juga merupakan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang kontroversial itu.
Namun, pada akhir 1995, terdapat indikasi, meskipun sangat tentatif, bahwa pendulum tersebut berbalik arah. Pada Desember, Soeharto menggabungkan Kementerian Industri dan Perdagangan, dan mengangkat mantan Menteri Industri Tungky Ariwibowo, seorang pendukung deregulasi, untuk mengetuai kementerian super tersebut. Hal ini berarti bahwa S. B. Joedono, seorang kolega dekat Habibie, pada dasarnya dipecat dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan. Hal ini sangat mengejutkan, karena ini adalah kali pertama dalam 30 tahun kekuasaan Soeharto seorang menteri dipecat di tengah-tengah masa jabatannya. Apakah Soeharto, di pengujung tahun itu, menyimpulkan bahwa pembuatan keputusan ekonomi yang penting tidak boleh berada dalam tangan mereka yang tidak mendukung liberalisasi"
Terlalu dini untuk berkata bahwa dominasi para teknokrat pro-pasar akan dipulihkan pada 1996. Kelemahan utama mereka adalah ketidakmampuan mereka untuk menggunakan forum-forum publik dan media massa untuk meyakinkan orang tentang kebaikan liberalisasi. Sejarah mungkin b
erada di pihak mereka dalam bentuk suatu kecenderungan liberalisasi global, yang juga memiliki para pendukungnya di Indonesia, namun mereka tampak puas untuk bergerak di belakang layar, dan sangat bergantung pada Soeharto yang ambivalensinya seringkali mengejutkan mereka. Mereka adalah para ekonom yang mumpuni, namun mereka politisi amatir. Sebaliknya, musuh-musuh mereka sangat baik dalam seni persuasi politik. Pandangan-pandangan Habibie terus-menerus dipromosikan dan dipertahankan di koran nasional ICMI, Republika. Selain itu, melalui ICMI, Habibie terus memperluas basis kekuasaan yang dengannya dukungan publik bagi program-program diri-gisnya memuncak.
Sekarang ini tampak bahwa satu-satunya kepastian adalah berlanjutnya pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan itu sendiri; hasilnya masih belum pasti. Harapan terbesar bagi para teknokrat, ironisnya, mungkin adalah semakin merosotnya angka pertumbuhan ekspor. Jika hal ini terjadi, Soeharto mungkin memutuskan bahwa ia tidak memiliki pilihan lain kecuali memberi mereka pengaruh yang lebih besar dalam pembuatan keputusan. Masa yang sulit memunculkan kebijakan yang bagus, sebuah aforisme yang terbukti benar pada 1983, mungkin juga memandu pilihan pada 1996.
Politik Presiden Soeharto, sebagaimana biasa, merupakan pusat dari sebagian besar peristiwa politik pada 1995. Apa yang mungkin paling mengejutkan adalah tentangan di pengadilan terhadap larangan presiden pada 1994 atas mingguan berita terkemuka, Tempo, yang dibredel karena laporan kritisnya tentang kontroversi di seputar pembelian pemerintah atas beberapa kapal perang usang Jerman Timur. Goenawan Mohamad, ketua editor Tempo dan intelektual liberal terkemuka, mendatangi pengadilan untuk menentang hak pemerintah untuk melarang majalahnya. Ia adalah yang pertama melakukan hal tersebut, meskipun Soeharto telah menutup banyak publikasi sebelumnya.
Goenawan tidak berpikir bahwa dia mungkin menang; ia bergerak untuk membuat suatu langkah simbolik dan membuktikan bahwa penindasan bisa ditentang. Yang mengejutkan, pengadilan tinggi pada Mei dan pengadilan banding pada November menetapkan bahwa pelarangan tersebut ilegal dan memerintahkan Menteri Informasi untuk memulihkan izin penerbitan Tempo. Namun masih ada dua rintangan besar: Tempo harus menang dalam pengadilan di Mahkamah Agung dan keputusan tersebut harus diterapkan oleh pemerintah. Namun, kemenangan Goenawan tersebut, yang diberitakan secara luas di media nasional, memperlihatkan kemauan pengadilan Indonesia untuk menjadi lebih independen vis-a-vis eksekutif yang dominan serta ketidaksetujuan publik yang semakin meningkat atas tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.
Perkembangan lain yang tidak lazim, pada paruh kedua tahun tersebut, adalah munculnya beberapa organisasi baru kuasi-politik yang dicirikan oleh ambisi yang besar dan retorika nasionalis yang tajam. Salah satu organisasi ini, Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP), sangat menarik perhatian media. PCPP dipimpin oleh para mantan pejabat penting, pensiunan jenderal, dan tokoh publik terkemuka, seperti Kharis Suhud (mantan jubir Parlemen), R. Suprapto (mantan gubernur Jakarta), dan Bambang Triantoro (mantan ketua staf sosial dan politik tentara). Pada saat kelahirannya, PCPP mendapatkan dukungan dari beberapa pejabat tinggi di dalam pemerintahan, termasuk Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal Edi Sudradjat, dan Menteri Lingkungan, Sarwono Kusumaatmadja, yang juga mantan sekretaris jenderal Golkar, partai yang sedang berkuasa. Menurut para pendirinya, PCPP dibentuk untuk menyegarkan kembali semangat persatuan nasional di hadapan munculnya kecenderungan yang semakin besar ke arah sektarianisme (yakni, Islam) dalam kehidupan politik nasional. Tentu saja, target kebenciannya adalah ICMI pimpinan Habibie.
Terlepas dari kedudukan para pendirinya dan dukungan dari beberapa pejabat birokrasi dan militer, tampak mustahil bahwa PCPP dan organisasi-organisasi yang serupa akan memiliki dampak yang penting dalam beberapa tahun ke depan. Sebagian besar pendirinya mendapatkan pengalaman po
litik mereka dalam birokrasi, bukan masyarakat, dan mereka tidak banyak memiliki kemampuan untuk membentuk organisasi di luar kerangka negara. Selain itu, para pejabat pemerintah yang mendukung mereka telah kehilangan pengaruh di dalam pemerintahan. Menteri Pertahanan, Sudradjat, misalnya, tidak memiliki kekuasaan yang pernah ia miliki saat menjabat sebagai ketua staf tentara. Seorang pengamat yang mengamati perubahan lanskap politik baru akan sangat terbantu dengan melihat pada hubungan yang berubah antara Soeharto dan militer, dan tumbuhnya gerakan Islam yang dipelopori oleh ICMI.
Di dalam militer, berbagai peristiwa penting terjadi baik di awal dan akhir tahun tersebut. Jenderal Wismoyo digantikan oleh Jenderal Hartono sebagai kepala staf tentara pada Februari. Sebagai kerabat dekat Soeharto karena pernikahan dan perwira yang mumpuni, Wismoyo telah lama berada di posisi yang strategis di angkatan bersenjata dan jelas dipersiapkan untuk mengganti Jenderal Feisal Tanjung sebagai komandan angkatan bersenjata sebelum masa Pemilu 1997-98 yang sensitif. Wismoyo merupakan figur utama dalam strategi Soeharto untuk mengurangi pengaruh orang kuat yang telah lama berkuasa di militer, Jenderal L. B. Moerdani, komandan angkatan bersenjata dari 1983-88 dan Menteri Pertahanan dari 1988-93. Telah diperkirakan bahwa setelah dua tahun menjabat sebagai kepala staf tentara, Wismoyo akan diangkat sebagai komandan angkatan bersenjata, jabatan paling berpengaruh kedua di negara ini. Penggantiannya yang terjadi tiba-tiba, karena alasan-alasan yang dikabarkan bersifat personal dan politis, sangat mengejutkan sebagian besar pengamat.
Jenderal Hartono, kepala staf tentara tersebut, merupakan seorang perwira karier dengan latar belakang santri. Ia dikenal memiliki hubungan dekat dengan banyak kiai berpengaruh, dan berhasil meyakinkan mereka untuk secara terbuka mendukung Soeharto untuk masa jabatan presiden 1998-2003. Jenderal Hartono-bersama dengan Jenderal Tanjung, komandan angkatan bersenjata yang santun-dianggap oleh banyak pengamat memimpin faksi para perwira "hijau" (warna yang dihubungkan dengan Islam) yang mendukung, atau tidak memusuhi, kebangkitan kembali Islam belakangan ini. Pengangkatan Hartono tersebut dengan demikian tampak mengukuhkan hubungan antara basis politik Soeharto yang paling kuat dan la-ma-yakni angkatan bersenjata-dengan para pendukung terbarunya, yakni para birokrat, politisi, dan Intelektual Islam yang terkait dengan ICMI Habibie.
Pada Desember, Soeharto mempromosikan menantunya, Brigjen Prabowo Subianto, menjadi komandan Kopassus, Komando Pasukan Khusus, yang memainkan peran kunci dalam pendirian pemerintahan Orde Baru Soeharto pada akhir 1960-an. Prabowo adalah anak seorang ekonom, Sumitro, dan menikah dengan Siti Hediyati (Titiek) Soeharto, yang akhir-akhir ini sering diberitakan sebagai pengusaha perempuan yang sangat menjanjikan. Secara umum, promosi Prabowo tersebut diberitakan secara baik oleh media besar, yang menggambarkan dia sebagai komandan pasukan yang sangat cerdas dan perhatian dengan kepribadian yang rendah hati. Ia diberitakan sebagai seorang polyglot, yang fasih berbahasa Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis, yang menghabiskan waktu luangnya untuk membaca berbagai macam buku.[Republika, 21 November 1995, hlm. 1, dan M. Amien Rais, "Prabowo", Republika, 30 November 1995, hlm. 1; Kompas, 4 Desember 1995, hlm. 1, dan 5 Desember 1995, hlm. 1; Gatra, 25 November 1995, hlm. 22-24, 30; Forum Keadilan, 18 Desember 1995, hlm. 94-98.] Reputasi awalnya yang penuh kekerasan selama bertugas di Timor Timur tidak disebutkan.
Sebagai komandan Kopassus, Prabowo telah menjadi pemain utama dalam politik militer, meskipun dia masih beberapa tingkat di bawah para pemimpin puncak angkatan bersenjata. Banyak pengamat di Jakarta melihat ia naik relatif cepat ke posisi komandan angkatan bersenjata. Ia bahkan dilihat sebagai penyelamat Soeharto, seorang perwira yang dapat dengan kuat memegang kendali generasi para perwira pasca-Moerdani dan memberikan dukungannya kepada presiden setelah 1998. Penilaian ini sebag
ian tentu saja didasarkan pada hubungan keluarganya dengan Soeharto. Namun hal ini juga didasarkan pada reputasi kepemimpinannya yang semakin meningkat di dalam angkatan bersenjata, terutama di kalangan para perwira muda, dan juga karena ketrampilan politiknya yang luas. Di kalangan-kalangan Islam yang terkait dengan ICMI, misalnya, Prabowo dianggap sebagai sekutu. Meskipun penilaian ini mungkin benar, harus diingat bahwa pujian seperti ini akhir-akhir ini juga dilimpahkan kepada Wismoyo dan para perwira lain sebelumnya.
Dengan keberadaan Hartono dan Prabowo dalam posisi yang kuat, tidak diragukan bahwa Soeharto kini sepenuhnya memegang kendali lembaga yang paling penting di negeri ini. Ia sangat mungkin akan menggunakan kendali ini untuk menjamin pemilihan kembali dirinya dan memilih wakil presiden yang sepadan pada 1998. Tekanan yang kuat dari berbagai kekuatan politik dalam masyarakat dapat mengubah keadaan ini, namun pada 1995 tidak banyak terdapat tanda-tanda tekanan dari bawah. Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) telah terpecah-belah sejak kerusuhan Medan pada 1994. Abdurrahman Wahid dari NU dan Megawati Soekarnoputri dari PDI, dua penentang Soeharto yang kuat, terus-menerus dihantam keras oleh pemerintah sepanjang tahun. Kekuatan politik yang paling kuat pada 1995 pada dasarnya adalah justru kekuatan yang sangat mendukung Soeharto: orang-orang Islam di ICMI.
Dalam kongres kedua ICMI pada Desember, Menteri Habibie terpilih kembali sebagai ketua untuk masa jabatan lima tahun kedua. Ketika ia terpilih pertama kali pada 1990 untuk memimpin organisasi intelektual muslim tersebut, Habibie-se-orang insinyur lulusan Jerman yang hidup di luar negeri selama bertahun-tahun-adalah seorang politisi naif yang modal politiknya hanya kepercayaan Soeharto kepadanya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ia telah membangun ketrampilan politik yang sangat bagus. Kemenangan mutakhirnya, misalnya, adalah penerbangan pertama Gatotfoco-sebuah pesawat berkapasitas 70 orang yang dibuat oleh perusahaan pesawat terbang milik negara yang ia pimpin-yang disiarkan secara nasional.[Hari penerbangan tersebut, yakni 10 Agustus, diberi nama Hari Teknologi dan dijadikan hari libur nasional.] Dukungan ICMI paling kuat adalah di dalam birokrasi negara dan di kalangan kelas menengah, kaum profesional, dan para pengusaha Muslim yang ingin memiliki akses ke negara. Dalam beberapa tahun terakhir, ICMI memperluas basisnya dengan merangkul banyak kelompok, dan organisasi ini mengalami banyak kemajuan pada 1995. Indikator penting bagi perkembangan masa depan ICMI adalah pemilihan Adi Sasono sebagai sekretaris jenderalnya. Sasono adalah aktivis LSM yang telah lama malang-melintang dan seseorang yang meyakini teori dependensia-pernah menerjemahkan Development of Underdevelopment karya Andre Gunder Frank ke dalam bahasa Indonesia-yang ingin memperluas basis dukungan massa ICMI secara besar-besaran selama lima tahun berikutnya. Isu yang ia angkat adalah ekonomi kerakyatan yang sangat populis-sebuah frase yang memiliki gaung sejarah yang sangat kuat dari masa Indonesia pra-Soeharto. Hal ini juga mencerminkan kebencian umum yang semakin besar dan tersebar luas terhadap apa yang dianggap sebagai ketidakadilan ekonomi dan dominasi ekonomi oleh sejumlah kecil perusahaan besar, yakni apa yang disebut "konglomerat", yang sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Cina-Indonesia.
Hubungan Internasional Menteri Luar Negeri Ali Alatas pernah menganggap persoalan Timor Timur sebagai "sebuah kerikil dalam sepatu Indonesia". Pada 1995, tahun ketika Presiden Soeharto melanjutkan usahanya untuk mengangkat profil internasional negaranya, kerikil tersebut dapat dipastikan terasa seperti sebuah batu besar. Pada September, sebuah insiden kecil di sebuah kota di sebelah barat Dili, ibukota Timor Timur, memicu kerusuhan selama seminggu antara orang-orang Katolik Timor Timur dan orang-orang Muslim non-Timor dan, dalam skala yang lebih kecil, orang-orang Protestan. Insiden tersebut membuat banyak orang Islam Indonesia marah. Para mahasiswa melakukan protes di jalan-j
alan Jakarta, para pemimpin keagamaan membuat petisi ke Parlemen, dan para intelektual menulis kolom yang menyerukan perlunya tindakan keras terhadap gerakan kemerdekaan Timor Timur.
Bagi banyak orang Islam, isu Timor Timur tersebut dalam waktu singkat diubah dari masalah hubungan internasional dengan prioritas rendah, suatu masalah yang harus diselesaikan Menteri Luar Negeri, menjadi suatu ancaman yang signifikan terhadap umat.
Kaum muda Timor Timur pro-kemerdekaan juga menggunakan sebuah strategi baru. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka umumnya mengorganisasi berbagai demonstrasi di Timor Timur sendiri, yang salah satu akibatnya adalah pembantaian Santa Cruz pada November 1991. Namun, pada paruh kedua 1995, mereka memindahkan tempat utama mereka ke Jakarta. Lagi dan lagi, 5 sampai 15 anak muda Timor Timur meminta suaka di kedutaan-kedutaan asing.
Sasaran mereka jelas: untuk menjaga perhatian internasional tetap terfokus pada perjuangan mereka sambil meminimalkan risiko konfrontasi dengan militer Indonesia. Insiden terbesar terjadi pada November ketika sekitar seratus orang Timor Timur, bersama dengan beberapa mahasiswa Indonesia, mendatangi kedutaan Belanda dan Rusia, meminta dukungan bagi referendum kemerdekaan. Sebagai tanggapan, pemerintah memobilisasi orang-orang Timor Timur yang pro-Indonesia untuk menggelar demonstrasi tandingan. Bentrokan terjadi antara kedua pihak, dan duta besar Belanda sedikit terluka dalam huru-hara itu. Presiden Soeharto, mungkin karena memikirkan ambisi internasionalnya yang lebih tinggi, mengirimkan permintaan maaf pribadinya kepada duta besar tersebut.
Ketegangan yang meningkat yang disebabkan oleh perpaduan antara agitasi yang semakin besar di Jakarta dan reaksi kemarahan banyak orang Islam Indonesia ini memperlihatkan bahwa Indonesia mungkin merasakan tekanan yang semakin besar untuk mencari pemecahan yang paling tepat atas masalah Timor Timur tersebut. Selama tahun ini tidak ada tanda bahwa pemerintah akan bergeser dari sikap kerasnya, namun Soeharto mungkin mulai merasa bahwa otonomi, jika bukan referendum kemerdekaan, merupakan jalan terbaik untuk mengeluarkan kerikil yang sangat mengganggu tersebut dari dalam sepatunya.
Dampak sampingan penting dari intensifikasi persoalan Timor Timur ini adalah penolakan Australia terhadap calon duta besar Indonesia, Jenderal H. B. L. Mantiri, yang secara terbuka membela penanganan pemerintahnya atas pembantaian Santa Cruz. Sebaliknya, hubungan Indonesia-Amerika semakin membaik dengan diterimanya Presiden Soeharto di Gedung Putih pada Oktober. Kebutuhan Soeharto akan pengakuan yang semakin besar sebagai seorang pemimpin Asia dan dunia berkembang sesuai dengan hasrat Clinton akan hubungan perdagangan yang lebih terbuka. Sebagaimana yang dituliskan New York Times dalam kepala-beritanya yang provokatif: "Politik Riil: Mengapa Soeharto Diterima dan Castro Ditolak".[New York Times, 31 Oktober 1995, hlm. A3.]
Februari 1996 Indonesia 1996: Tekanan dari Atas dan Bawah
(Bersama William R. Liddle)
Politik Domestik Selama masa 1996, inisiatif politik dalam negeri berada di tangan Presiden Soeharto, yang memerintah Indonesia selama tiga dekade lebih. Namun, dalam bulan-bulan terakhir inisiatif politik tersebut berubah dengan cepat.
Inisiatif tersebut tidak bergeser ke tangan lawan-lawan politiknya, melainkan bergeser ke kekuatan-kekuatan sosial yang memiliki akar yang kuat, yang kurang bisa dikontrol olehnya maupun oleh para elite politik yang lain. Pada 29 Mei 1997, pemerintah Orde Baru akan menyelenggarakan pemilu parlementer lima tahunan yang keenam. Pemilu pertama, pada 1971, partai negara, Golkar (Golongan Karya) memperoleh mayoritas suara, yakni 63%.[Tabel hasil-hasil kelima pemilu Orde Baru tersebut bisa dilihat dalam R. William Liddle, "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation," Journal of Asian Studies, 55:3 (Agustus 1996), hlm. 626.] Dalam dua pemilu terakhir, pada 1987 dan 1992, Golkar berturut-turut mendapatkan 73% dan 68% suara. Pada Maret 1998, kurang dari 10 bulan setelah Pemilu 1997, MPR akan
mengadakan pertemuan untuk mengangkat presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 1998-2003. MPR terdiri atas 1.000 anggota: 425 anggota Parlemen yang dipilih dan 75 anggota Parlemen yang diangkat, ditambah 500 anggota tambahan yang diangkat melalui berbagai proses yang dikontrol oleh Soeharto.
Dalam persiapan untuk Pemilu 1997, obsesi Soeharto-yang seringkali diungkapkan oleh para pembantu politiknya-adalah mendapatkan kembali 5% suara yang hilang dari suara Golkar selama 1987 hingga 1992. Apa yang menjadi persoalan bagi Soeharto bukanlah terus memerintah atau memegang kontrol yang efektif atas Parlemen dan MPR-suatu hal yang sudah dapat dipastikan akan terjadi, meskipun suara Golkar merosot di bawah 50%, mengingat besarnya jumlah anggota MPR yang diangkat. Apa yang menjadi persoalan adalah memelihara ke-yakinan-baik di kalangan rakyat Indonesia maupun pihak-pihak asing yang berkepentingan seperti para investor dan negara-negara pemberi bantuan-bahwa rezim Orde Baru dan Soeharto yang berusia 75 tahun masih memegang kendali atas negeri itu. Meninggalnya istrinya yang berusia 48 tahun dan usianya sendiri yang semakin lanjut-ia dibawa ke rumah sakit di Jerman untuk menjalani tes jantung dan ginjal pada bulan Juli[Ia diberi surat keterangan bebas dari segala penyakit. Lihat Gatra 2:36 (20 Juli 1996), hlm. 21-28.]-se-makin membulatkan tekad Soeharto untuk terus memerintah dan membuktikan bahwa dia-lah yang memegang kendali.
Ancaman utama yang muncul pada tahun-tahun belakangan ini berasal dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia), salah satu dari dua partai politik yang diizinkan untuk bersaing dengan Golkar. PDI adalah hasil penggabungan-yang dipaksakan oleh pemerintah pada 1974-dari 3 partai nasionalis dan 2 partai Kristen yang bisa terus bertahan selama perseteruan politik pada 1950-an dan 1960-an, sebelum Orde Baru berkuasa pada 1966. Yang terbesar dan terpenting dari partai-partai yang kemudian bergabung menjadi PDI itu adalah PNI (Partai Nasional Indonesia), yang pernah sangat menonjol karena hubungannya yang dekat dengan Soekarno, pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia pra- PD II yang kharismatik dan flamboyan, serta presiden pertama Indonesia dari 1945 hingga 1967.
Para pemimpin PNI yang beraliran kiri dan pro-Soekarno disingkirkan pada akhir 1960-an, dan hanya menyisakan sekelompok kecil kaum konservatif dan oportunis yang bersedia menerima syarat-syarat partisipasi yang sangat merendahkan yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam Pemilu 1977 dan 1982, partai non-pemerintah yang lain, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), suatu gabungan karena paksaan dari 4 partai Islam pra-Orde Baru, dilihat sebagai ancaman terbesar terhadap dominasi Golkar. Namun pada 1984, PPP tiba-tiba menjadi macan kertas ketika konstituen terbesarnya, NU (Nahdlatul Ulama), tidak lagi terlibat dalam politik partisan demi untuk menjalankan strategi politik yang lebih fleksibel di belakang layar. Antara 1982 dan 1987, suara PPP merosot dari 28% menjadi 16%.
Dipimpin oleh elemen PNI, PDI pada 1987 dan terutama pada 1992 muncul sebagai oposisi utama terhadap Golkar dan pemerintah. Di bawah kepemimpinan Soerjadi, yang ironisnya dipilih sebagai pemimpin partai oleh pemerintah, PDI mulai menampilkan dirinya sebagai partai populis yang mengecam otoritarianisme, peran politik tentara, kesenjangan yang semakin besar antara si kaya dan si miskin, dan bahkan pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Pada 1987 PDI memperoleh 11% suara, dan pada 1992 meningkat menjadi 15%, hampir melebihi PPP sebagai partai kedua terbesar. Pada 1993, Megawati Soekarnoputri, anak perempuan Presiden Soekarno dan anggota Parlemen, terpilih menjadi ketua PDI yang baru-bertentangan dengan kemauan Presiden Soeharto, yang mengerahkan kekuatan politik dan bersenjatanya untuk menggagalkan pemilihan tersebut. Pada awal 1996, menjadi jelas bahwa suatu (gerakan) oposisi anti-Soeharto mulai terbentuk, dengan PDI Megawati sebagai unsur utamanya. Tokoh-tokoh oposisi utama antara lain Abdurrahman Wahid, ketua organisasi Islam tradisional (NU) yang memiliki anggota 30 ju
ta; Muchtar Pakpahan, ketua SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia); dan Goenawan Mohamad, ketua KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), sebuah organisasi yang dibentuk pada 1995 berdasarkan NAMFREL dari Filipina, yang memainkan suatu peran yang sangat penting dalam menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986.
Strategi (tidak ada bukti tentang koordinasi yang ketat) para pemimpin oposisi tersebut adalah mengambil keuntungan dari potensi suara yang didapatkan Megawati sebagai anak perempuan bapaknya. Meskipun Soekarno yang kharismatik wafat lebih dari seperempat abad yang lalu, kenangan akan dirinya masih umum didengungkan. Para pemuda Indonesia, yang tidak memiliki kenangan nyata tentang tahun-tahun Soekarno dan kini merupakan mayoritas pemilih, membayangkan dirinya sebagai sosok yang lebih berprinsip dan lebih berkomitmen terhadap kepentingan rakyat dan nasional ketimbang Soeharto dan para pemimpin Orde Baru lainnya. Bahkan orang-orang yang lebih tua cenderung mengagung-agungkan kontribusi positif Soekarno bagi bangsa Indonesia dan melupakan kemerosotan ekonomi, kekacauan politik, dan kegagalan-kegagalan kebijakan luar negeri di awal 1960-an.
Para pemimpin oposisi tersebut berharap bahwa kenangan-kenangan positif tersebut akan berubah menjadi jumlah suara yang substansial bagi PDI Megawati. Partai ini telah meneguhkan dirinya dalam dua pemilu sebelumnya sebagai partai protes, dan partai ini kini untuk pertama kali dalam sejarah Orde Baru memiliki seorang pemimpin yang sangat mungkin menarik suara para pemilih awam, terutama di Jawa Timur dan Tengah yang berpenduduk padat. Dukungan Abdurrahman Wahid, pemimpin NU-sebagai partai politik yang independen, NU memenangkan 18% suara pada 1955 (satu-satunya masa di mana ada pemilu yang bebas di Indonesia) dan 1971-mungkin akan menghisap jutaan pemilih dari PPP dan Golkar. Muchtar Pakpahan yang dekat dengan PDI, yang memakai peci seperti Soekarno, dan para aktivis buruh yang lain bisa memobilisasi puluhan ribu buruh yang kecewa, khususnya di wilayah-wilayah industri baru di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan. Terakhir, KIPP Goenawan Mohamad secara independen akan me-mantau-dengan publisitas internasional seluas mungkin-kam-panye-kampanye dan penghitungan suara partai itu, dan dengan demikian mengurangi kemungkinan pemerintah menggunakan trik-trik kotor.
Presiden Soeharto tampak sangat sadar akan strategi itu. Selama 1995 dan 1996, ia menolak untuk bertemu dengan Abdurrahman Wahid dan secara diam-diam menyokong oposisi terhadap kepemimpinan Abdurrahman dalam NU. SBSI Muchtar Pakpahan tidak pernah diberi status legal oleh pemerintah, dan Muchtar sendiri dipenjara pada 1994 karena diduga menggerakkan kerusuhan buruh di Medan, meskipun ia pada 1995 kemudian dibebaskan oleh seorang hakim Mahkamah Agung yang bersimpati padanya. Sebaliknya, para pemimpin KIPP diabaikan sebagai para pemain yang tidak penting dan diancam akan ditangkap jika mereka mencampuri proses pemilu. Namun Megawati, karena peran pentingnya dalam strategi oposisi tersebut, menjadi sasaran utama kebencian pemerintah. Pada Juni 1996, faksi Soerjadi, yang sebelumnya diremehkan oleh Soeharto, kembali berkuasa di PDI. Sebuah konggres luarbiasa PDI digelar di Medan, kali ini di bawah kontrol ketat para perwira tentara, dan Megawati disingkirkan, diganti oleh Soerjadi. Megawati dan para pendukungnya menolak menerima keputusan ini, dan mempertahankan kendali mereka atas kantor pusat partai di Jakarta serta mengajukan sebuah gugatan terhadap pemerintah karena melakukan campur-tangan ilegal dalam persoalan-persoalan internal partai.
Selama berminggu-minggu para pengikut Megawati di PDI dan tokoh-tokoh oposisi yang lain mengecam pemerintah melalui berbagai mimbar bebas yang digelar di halaman kantor pusat partai itu. Pada 27 Juli, pemerintah sudah tidak dapat menahan diri lagi.[Ringkasan yang akurat tentang peristiwa 27 Juli diberikan oleh Sidney Jones, "Human Rights in Indonesia," kesaksian di depan Senate Foreign Relations Committee, Subcommittee on East Asia and Pacific Affairs, September 18, 1996.]
Di saat fajar, sebuah pasukan yang mungkin terdiri atas para tentara berpakaian preman, para anggota sebuah organisasi kepemudaan kuasi-kriminal, dan para anggota faksi Soerjadi dengan paksa mengambil-alih kantor pusat partai itu. Hal ini memunculkan reaksi dari para pengikut Megawati, para aktivis oposisi yang berkumpul untuk melakukan mimbar bebas, dan warga miskin serta kelas buruh Jakarta yang berada di sekitar tempat itu yang mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan kemarahan mereka terhadap pemerintah. Banyak mobil dan bangunan di sekitar tempat itu yang dijarah dan dibakar dalam suatu kerusuhan besar yang belum pernah terjadi di Jakarta sejak kerusuhan Malari pada Januari 1974. Selama beberapa jam keadaan kacau-balau, dan menurut angka-angka yang dikeluarkan pada Agustus 1996 oleh Komnas HAM, ada 5 orang yang tewas, 74 hilang, dan 149 terluka.[Jumlah orang yang hilang kemudian berkurang menjadi 30, setelah adanya tekanan dari Sekretariat Negara. Gatra 2: 48 (12 Oktober 1996), hlm. 38.]
Tanggung-jawab utama atas penjarahan dan pembakaran pada 27 Juli tersebut, yang kemudian disebut sebagai Sabtu Kelabu, mungkin ada pada para penduduk anonim yang tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh di sekitar kantor PDI. Namun, para pejabat pemerintah dengan segera menuduh sebuah kelompok oposisi kecil berhaluan kiri, PRD (Partai Rakyat Demokratik), sebagai pihak yang melakukan kerusuhan dan para perancang kerusuhan itu. Gaya dan retorika organisasi para pemimpin PRD selama minggu-minggu mimbar bebas dianggap sangat mirip dengan gaya dan retorika Partai Komunis yang lama dilarang, sehingga menjadikan mereka kambing hitam dan sasaran represi.
Beberapa pemimpin PRD ditangkap dan dituduh melakukan subversi, sebagaimana Muchtar Pakpahan. Dalam pemeriksaan para pemimpin PRD tersebut, menjadi jelas bahwa perhatian utama pemerintah bukan pada apa yang terjadi pada 27 Juli, melainkan pada berbagai keberhasilan yang dicapai oleh afiliasi- afiliasi kecil organisasi buruh dan pemuda tersebut dalam memobilisasi para buruh untuk melakukan pemogokan dan demonstrasi di beberapa kota.[Forum Keadilan 5:9 (12 Agustus 1996), hlm. 12-20, untuk mobilisasi para buruh yang dilakukan PRD; Forum Keadilan 5:19 (30 Desember 1996), untuk pengadilan tersebut.] Kerusuhan buruh kini dilihat-dan mungkin benar- sebagai suatu titik yang secara politik sangat rawan, baik di dalam negeri karena semakin banyaknya jumlah buruh yang marah dan secara politik bisa dimobilisasi, maupun di kancah internasional karena perhatian yang semakin besar yang kini dicurahkan di Amerika Serikat dan di negara-negara lain terhadap upah yang rendah dan kondisi kerja yang memprihatinkan, terutama di pabrik-pabrik yang berorientasi ekspor.
Penyingkiran Megawati tersebut, dilihat dalam konteks pemilu parlementer 1997 dan sidang MPR 1998, jelas merupakan suatu kemenangan bagi Soeharto. Abdurrahman Wahid secara implisit juga mengakui hal itu ketika ia mendesak Megawati beberapa hari setelah Sabtu Kelabu itu untuk menghentikan gugatan hukumnya terhadap pemerintah. Abdurrahman juga melakukan perdamaian pribadi dengan bertemu dengan Soeharto pada November di sebuah pesantren di Jawa Timur, yang hampir pasti berarti bahwa dia sekarang tidak akan menghalangi para anggota NU untuk memilih Golkar tahun depan.
Namun meskipun Soeharto jelas masih tetap merupakan penguasa politik Indonesia, cengkeraman kekuasaannya semakin lemah karena usianya. Dan selama tahun itu muncul banyak tanda bahwa perlawanan dan tuntutan yang sangat kuat semakin mengakar dalam masyarakat, dan hanya menunggu kesempatan longgarnya represi otoriter untuk meledak ke permukaan. Tanda-tanda ini antara lain berbagai demonstrasi, kerusuhan, dan penculikan di Ujung Pandang, Irian Jaya, Timor Timor, dan di tempat lain, dan tentu saja kekerasan massa setelah pengambilalihan kantor pusat PDI di Jakarta.
Mungkin kerusuhan yang paling banyak menimbulkan masalah terjadi di Situbondo, Jawa Timur, pada Oktober, dan di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Desember. Dalam kedua kasus tersebut, orang-orang Islam yang marah karen
a perilaku oto-ritas-keputusan pengadilan di Situbondo, kekejaman polisi di Tasikmalaya-mengamuk dengan melakukan penjarahan dan pembakaran. Lima orang tewas di Situbondo dan empat orang di Tasikmalaya. Dalam kedua kasus tersebut, target-target utama kemarahan itu-gereja-gereja Kristen di Situbondo, dan gereja-gereja serta bangunan-bangunan orang-orang Cina di Tasikmalaya-tidak ada hubungannya dengan berbagai insiden yang awalnya memicu protes massa itu, yakni perselisihan-per-selisihan yang hanya melibatkan orang-orang Islam di kedua belah pihak. Para pengamat Indonesia dan asing memberikan banyak penjelasan terhadap persitiwa ini, termasuk rangkaian teori konspirasi yang lazim yang terkait dengan para pejabat tinggi pemerintah. Orang-orang Kristen melihat hubungan peristiwa itu dengan semakin besarnya kesalehan dan militansi Islam selama dekade terakhir.
Namun, sebagian besar pemimpin dan intelektual Islam, dan juga banyak pengamat lain, mengklaim bahwa persoalan utama atau yang mendasari peristiwa-peristiwa itu bukanlah kebencian keagamaan melainkan kesenjangan ekonomi yang semakin besar. Kaum kaya sebagian besar adalah warga Cina-Indonesia dan Kristen, dan dengan demikian menjadi sasaran kebencian kaum miskin, yang sebagian besar orang Islam. Meskipun populer, penjelasan ini kurang meyakinkan. Sebagaimana yang ditulis orang seorang pemikir skeptis: "Kesenjangan terbesar ada di Jakarta dan Surabaya, bukan Tasikmalaya dan Situbondo.... Selain itu, dalam kenyataan tidak
ada peningkatan kesenjangan, paling tidak sebagaimana diukur melalui Indeks Gini, dalam 20 tahun terakhir."[Rizal Mallarangeng, "Teori dan Kerusuhan di Dua Kota," Gatra 3:8 (11 Januari 1997), hlm. 29.]
Ekonomi Pada 1996, perekonomian tumbuh kira-kira sekitar 7,5%, lebih rendah dibanding angka pertumbuhan pada 1995, yakni 8,07%, namun masih sangat bagus, bahkan jika dilihat dari standar Asia Timur. Pertumbuhan tersebut didorong oleh investasi dalam negeri dan asing yang tinggi, dan hal ini adalah hasil dari serangkaian kebijakan liberalisasi perbankan dan perdagangan yang dijalankan oleh pemerintah sejak akhir 1980- an. Inflasi menurun dari 7,9% menjadi sekitar 7,4%.[Semua angka berasal dari Kompas, 30 Desember 1996, hlm. 17.]
Kebijakan ekonomi pemerintah yang paling penting adalah mendukung pembuatan "mobil nasional". Sebuah keputusan presiden yang dikeluarkan pada Maret menjadikan Kia-Timor Motors-yang dimiliki bersama oleh anak Soeharto, Hutomo Mandala Putera (Tommy), dan Kia Motors Korea Selatan-be-bas bea impor dan pajak selama tiga tahun, asalkan perusahaan tersebut sesuai dengan persyaratan-persyaratan muatan lokal. Tujuan pembebasan tersebut adalah untuk memungkinkan perusahaan tersebut memproduksi mobil sedan berkualitas tinggi dengan harga yang relatif rendah. Namun, segera menjadi jelas bahwa Kia-Timor Motors tidak dapat memenuhi persyaratan-persyaratan muatan lokal tersebut, dan pada bulan Juni keluar keputusan presiden yang memberi keleluasaan bagi perusahaan tersebut untuk mengimpor 45.000 mobil bebas pajak. Hal ini menunjukkan dominasi keluarga Soeharto yang semakin besar, bukan saja dalam memenangkan kontrak-kontrak besar, melainkan juga dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan, yang seringkali dengan akibat memperlemah peran menteri-menteri Soeharto sendiri. Tommy hanya salah satu dari 6 anak Soeharto, yang semuanya sangat sibuk membangun berbagai kerajaan bisnis. Beberapa menteri dikenal sangat kritis terhadap penetrasi bisnis yang semakin besar dari keluarga tersebut, namun tampak tidak banyak memiliki kekuasaan untuk menentukan proses kebijakan. Sebagai contoh, Menteri Perdagangan dan Industri Tungki Ariwibowo selama bertahun-tahun disanjung sebagai pendukung kebijakan-kebijakan pro-pasar, namun karena pembelaan publiknya terhadap proyek mobil tersebut, ia kini umum dikenal sebagai boneka Tommy.


Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perguruan Sejati 7 Iklan Pembunuhan A Murder Is Announced Karya Agatha Christie Wasiat Dewa Geledek 2

Cari Blog Ini