Dijemput Malaikat Karya Palris Jaya Bagian 2
"Orang!" jawab Bas pendek Dia menghempaskan ranselnya yang berat ke tanah Sementara beberapa buah ransel lain sudah tumpang-tindih di tanah sebelumnya. Mereka memang berencana berkemah di bukit kecil itu. Kampung nenek Bas. Bekas reruntuhan rumah tua itu memang lumayan bagus untuk mendirikan tenda. Dan mereka memang agak kemalaman tiba di tempat itu. dan langsung melihat sosok tubuh itu di atas atapnya.
"Mana ada orang di tengah rimba begini, dan tiba-tiba lenyap begitu saja." sangkal Tuan cepat.
"Kalau begitu, apa" Hantu" Di tempat seperti ini memang banyak hal yang aneh. Tapi. yang jelas dia tidak mengganggu kita. selama kita tidak mengganggu mereka. Demikian hukum di tempat asing!"
"O. begitu" Untung aku membawa senapan ber-buruku buat jaga-jaga." kata Tuan meski dengan nada tidak puas. Tetapi, dia tidak menyadari perubahan di wajah Bas.
"Seharusnya kamu tidak membawa benda itu. Biar tidak ada yang celaka." ujar Bas kemudian.
"Sudah terlanjur aku bawa. Tapi ini nanti ada gunanya!"
Kemudian terdengar suara langkah di atas daun-daun kering mendekati Bas dan Tuan.
Tidak ada apa-apa lagi." lapor Agung.
"Setidaknya kita aman untuk sementara." timpal Tias.
Sambil memeriksa tadi. mereka mengumpulkan ranting-ranting kering untuk kayu bakar. Mereka menghempaskannya ke tanah. Giliran Tuan mendirikan tenda dan Bas mengambil air. Sumur rumah itu berair bersih dan dapat digunakan karena penduduk kampung yang sesekali melewati reruntuhan rumah itu. memberinya penutup.
Tenda telah dirakit, dua buah. Satu tenda khusus untuk Tias. Tetapi, malam itu lebih nyaman berada di alam terbuka. Api unggun tinggal nyala baranya saja. yang sesekali terdengar gemeretaknya. Tias mendentingkan gitar dengan fasih. Tak Bisa Ke Lain Hati. mengalun indah. ~Bulan merah jambu...."
Tuan sibuk dengan senapan berburunya yang entah dari jenis apa. Kelihatannya dia sayang betul dengan benda maut itu. Berkali-kali dibersihkannya, berkali-kali dikokangnya dengan bunyi. ctek! Tetapi. Bas dan Agung asyik tiduran di tikar sambil menikmati cokelat hangat. Mata mereka memandang langit yang indah dengan pendaran cahaya bulan yang terang, laksana emas bercampur perak di sekelilingnya.
"Besok aku ingin berburu rusa." kata Tuan pelan, namun tegas.
"Aku ingin mencoba kenikmatan berburu seperti yang sering diceritakan Papa. Untung, kamu mengajakku ke tempat seperti ini. Bas."
Bas menarik napas pendek. Sebenarnya dia tidak suka dengan keinginan Tuan itu. tetapi Bas diam saja. Dia sudah telanjur mengajak sahabatnya itu ke kampung neneknya yang butuh setengah hari perjalanan dari Pariaman. Mereka liburan pendek selama renovasi sekolah.
"Kamu harus berhati-hati dengan senapan itu. Hewan-hewan di hutan ini tidak ada yang memburunya dengan senjata. Penduduk kampung biasanya menggunakan jebakan." timpal Bas.
"Aku pernah baca bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan keutuhannya." ujar Agung, bermaksud menyindir Tuan.
"Ungkapan kuno yang belum jelas kebenarannya. Toh. kecelakaan bisa terjadi di mana saja." balas Tuan. Jemarinya lincah memasukkan dua selongsong peluru. Senapan siap ditembakkan. Kemudian mereka mulai mengantuk, sisa lelah dari perjalanan. Tetapi. Tias
masih menembang hingga kantuk benar-benar menyerangnya.
Bulan masih cerah di langit gelap. Angin bertiup nyaman. Semak-semak dan pepohonan bergerak pelan. Ada suara burung malam di kejauhan, teriakan Siamang di tengah rimba, kelepak kelelawar terdengar nyata di keheningan hutan. Satu malam beranjak pelan dengan damai.
Keesokan harinya. Mak memarahinya habis-habisan. Dia diam saja sambil meringis-ringis kesakitan Tangan Mak yang kasar mengurut kakinya yang terkilir dengan ramuan minyak kelapa yang dicampur irisan pandan wangi. Setelah itu. Mak pergi ke perkampungan kembali. Untunglah dia tidak dipasung. Mungkin. Mak pikir dia tidak bisa pergi karena masih terkilir.
Naluri keingintahuannya yang membuat dia meninggalkan gubuknya lagi meski dengan langkah ter-pincang-pincang. Dari balik semak-semak yang rapat, dia mengi
ntip kegiatan orang asing di sekitar reruntuhan rumah tua itu. Terkadang mereka bernyanyi diiringi bunyi gitar yang membuat hatinya senang. Dia tidak pernah mendengar bunyi berdenting itu sepanjang hidupnya. Hanya suara desir daun. jeritan Siamang dan dengungan lebah di bunga semak.
Lama-lama. dia pun mulai mempunyai kebiasaan baru. memperhatikan sekelompok pemuda itu. mengintipi mereka dengan keingintahuan yang menyenangkan. Mereka tidak seperti orang kampung yang pernah dijumpainya waktu itu. Dia akan me nyimpan rahasia kegiatannya ini dari Mak rapat-rapat. Mak tidak boleh tahu'.
Pagi di hari keempat sejak mereka berkemah. Tias berniat memetik bunga anggrek liar yang banyak tumbuh di sekitar hutan kecil itu. Bunga-bunga yang beraneka warna itu membuat Tias gemas. Dia masih penasaran dengan rumpun anggrek yang berwarna ungu. yang tumbuh di dekat pohon tua. Entah dari jenis apa.
Tias tidak menyadari seekor ular sebesar lengan menjadi pemilik rumpun anggrek itu. Tias mendekat dengan tangan terjulur. Sang ular dengan corak indah Itu siap menyambut dengan menegakkan kepala. Tias sama sekali tidak menyadari, ada sepasang mata tajam terkesiap dari rimbun semak-semak.
Anggrek ungu tinggal sejangkauan Tias. Ular siap menyerang. Tiba-tiba. sebuah dahan pohon memutus jarak tangan Tias dengan mulut ular itu. Kepalanya remuk. Tias menjerit, "Aaa ...!"
Sesosok tubuh putih dengan tinggi seratus centimeter berdiri di hadapannya. Lehernya bergelambir menjijikkan. Mulutnya seperti penuh dengan geligi berbibir merah, dan ketika menyeringai, gigi-gigi itu berwarna kuning kehitaman. Berkelebat di benakT as sosok putih di atas atap tempo hari. Tangannya menggenggam sebilah dahan kayu. peremuk kepala ular.
Lincah tangan kecil berbulu kasar itu meraih tangkai-tangkai anggrek ungu itu. Serangkum bunga itu ia serahkan kepada Tias. Tangan Tias gemetar ketika menerima pemberian itu. Makhluk itu tidak ganas.
"Umrk ... grk.... ckccck ... kaaa!" Suara itu aneh seperti datang dari dasar leher yang sangat sesak. Tias diam saja sambil mengangguk. Dia mulai tenang. Lantas, sosok kerdil itu beranjak masuk kembali ke dalam hutan.
"Dor'. Dor!" terdengar dua kali letusan.
Sosok putih itu terjerembap di atas tanah yang penuh dengan daun-daun membusuk.
"Tias. kamu baik-baik saja"!" teriak Tuan disusul Agung dan Bas. Wajah mereka berkeringat dan khawatir sekali. Tias tidak menghiraukan teriakan itu. Dia panik, dan segera berlari mendekati sosok aneh itu. Dia diam tak bergerak. Genangan darah teresap oleh tanah hutan yang gembur.
"Kamu membunuhnya. Tuan!" Tias terisak. Air matanya berlarian cepat di pipinya
"Dia akan mencelakakan kamu!" bela Tuan.
"Kamu dan senapan itu yang membuatnya celaka! Dia baru saja menyelamatkan aku dari patukan ular itu!" jerit Tias marah.
Agung tengah membalik-balikkan bangkai ular itu. Bas diam saja sambil berjongkok di sisi mayat kecil itu. Tuan serba salah ketika tatapan ketiga temannya menyudutkan dirinya. Dia telah menjadi seorang pembunuh. Keringat membanjiri tubuhnya.
"Kamu harus bertanggung jawab!" desis Bas dingin.
Kini dia bermain terlalu jauh. Tetapi, tempat itu sangat damai melebihi kedamaian hutan dan merdunya nyanyian burung-burung. Kalau Mak mencarinya, mungkin dia tidak akan pernah ditemukan lagi....
Tangannya gemetar ketika memutar keran. Serta-merta air mengucur dari shower. Dibiarkannya air itu mengguyur rambutnya yang legam panjang. Dia memejamkan mata. berusaha menikmati kucuran air pada wajahnya. Tulangnya terasa cekung. Seragamnya telah kuyup.
Perlahan, dia menggelusur di lantai. Punggungnya menyandar ke dinding kamar mandi. Kedua lututnya menempel ke dada. Kini dia meringkuk, tubuhnya yang ringkih itu bergetar. Akhirnya, dia pun menangis, tetapi dia tidak mengisak. Setidaknya dia masih berusaha menjaga keangkuhannya bahwa dia gadis yang tegar.
Kemudian bibirnya bergetar. Gumamannya pun sangat halus, seakan dia tidak rela untuk didengar oleh telinganya sendiri.
"Tuhan, aku lelah ...."
Tidak ada yang bisa diharapkannya lagi. Nini. sahabatnya, kini tidak begitu perhatian lagi kepadanya. Bahkan dia mulai menyang
sikan Nini. Benarkah dia pernah menjadi sahabatnya" Mungkin selama ini hanya sebagai teman main Nongkrong di kafe rame-rame. cari buku di toko buku. berbagi contek ketika ulangan. Ya. hanya begitu.
Tidak banyak yang Nini ketahui tentang dia. Tetapi. Nini sering mengeluhkan masalahnya. Dia sering diomeli Papanya karena pacaran dengan Dudi. lalu
diomeli lagi ketika dia tidak pacaran lagi dengan Dudi. tetapi berganti dengan Dimas. Intinya. Papa tidak suka kalau Nini pacaran.
Akan tetapi. Nini bandel. Dia tetap pacaran dengan cowok yang mau jadi pacarnya, dan perang selalu terjadi dengan papanya. Malah pernah dia melihat Nini ditampar. Tetapi. Nini tidak menangis, malah tubuhnya yang bergetar.
"Nggak pa-pa. Sayu!"
"Kenapa sih. kamu selalu menentang Papa kamu""
"Aku nggak suka dikekang dan diatur-atur."
"Tapi semua demi kebaikan kamu juga. kan""
"Kamu nggak tahu. Sayu. sebab kamu belum pernah pacaran."
"Aku nggak akan pacaran hanya karena ingin melawan Papaku."
"Sudahlah. Sayu. aku nggak mau berdebat. Kamu memang anak yang manis."
"Tapi pipi kamu memar. Pasti pusing rasanya."
"Nggak. Aku nggak merasakan apa-apa!"
Tetapi, dia tahu Nini berkata begitu karena dia sedang sakit hati. Harusnya Nini tidak perlu sakit hati sebab Papanya menyayangi dia. memperhatikan dia. Namun. Sayu tidak berani mengucapkannya kepada Nini karena Nini sedang sakit hati.
Nini tetaplah Nini. Tiba-tiba dia tidak masuk sekolah berhari-hari. Dia gelisah. Kemudian Nini tidak juga masuk sekolah Dia curiga. Sesuatu sedang terjadi
pada Nini Lalu dia memutuskan untuk datang ke rumah Nini.
"Nini sudah tidak di sini lagi!" papa Nini berkata dengan suara dingin. Padahal dia ingin menanyakan di mana Nini sekarang. Tidak jadi. wajah papa Nini begitu kaku seperti patung perunggu, berarti Nini berada entah di mana
Nini. kamu menjadi beban pikiranku, keluhnya dalam hati. Entah kenapa dia begitu mengkhawatirkan Nini. sementara dia sendiri juga mempunyai masalah. Dia perlu seseorang untuk bercerita. Tetapi, bukan Nini sebab Nini malah orang yang perlu diperhatikan. Demikian keputusannya semenjak tiga hari yang lalu.
"Gue ngeliat Nini di Baturata. Lo datang aja ke sana." ucap Agam Sebenarnya dia langsung gemetar mendengar tempat itu. Sering, dia mendengar anak-anak junkies di sekolah membicarakan tempat itu. Se-kali dua kali dia pernah baca di koran, tempat itu rawan obat bius. dan Nini berada di tempat itu.
"Gam. gue mau ketemu Nini. Antarin gue. ya""
Dia sudah tahu alasan apa yang membuat Agam sering datang ke Baturata. juga beberapa temannya yang lain. Dan dia hanya ingin bertemu Nini.
Tuh Nini. yang lagi nongkrong sama anak-anak itu." kata Agam sambil menghentikan mobilnya di depan mulut gang. Dia melompat keluar mobil. Wajah-wajah itu menoleh kepadanya. Hampir pangling ketika dia melihat Nini. Kalau saja bukan Nini yang memanggil namanya.
"Sayu ...!" "Nini. kamu Dia memeluk Nini meski sedikit menahan napas. Nini berantakan sekali. Bajunya mulai lusuh meski mengikuti model terbaru. Wajahnya berminyak dan sangat tirus. Bibirnya yang kering tidak henti-henti mengepulkan asap rokok. Rambutnya sangat kotor. Entah sudah berapa hari Nini tidak mandi.
"Papa ngusir aku."
"Kamu ketahuan "make', ya" Kamu harusnya bisa menghargai perhatian papa kamu. Jangan ikut-ikutan brengsek begini."
"Sudahlah. Sayu. kamu nggak perlu nasihatin aku."
"Lihat diri kamu. Nini. Kamu benar-benar kacau!" "Aku tahu apa yang aku lakukan. Sayu." "Nggak! Kamu nggak tahu. Kamu terlalu egois, kamu terlalu menuruti perasaanmu sendiri." "Sayu. apa yang kamu harapkan dariku"" "Pulang bareng aku."
"Nggak! Kamu jangan memikirkan aku lagi. Sayu." ujar Nini tenang, tanpa emosi. Tetapi, malah dia menangis.
"Kamu memang sudah kacau. Nini!" Akhirnya dia berlari ke mobil Agam. Cowok itu sudah mendapatkan "paket" yang dibutuhkannya.
"Gam. jangan lo apa-apain Sayu!" teriak Nini begitu mobil Agam bergerak.
"Lo nggak usah mikirin Nini lagi. Orang kalo udah kena pe re udah nggak bisa dibilangin." komentar Agam ringan.
"Tapi dia diusir dari rumah."
"Dia udah biasa jadi gembel sekarang. Kadang dia jadi perantara be de ke
pe es, atau dia bisa tidur sama orang yang mau bayar buat beli pe te."
"Cam. sudah, aku nggak mau dengar lagi!" desisnya menggigil. Meski dia pernah tahu kejadian buruk para pemakai itu. tetapi dia masih tidak rela itu menimpa Nini.
Sampai di rumah, dia langsung berlari ke kamar mandi, menangis sesenggukan. Dia tergesa-gesa memutar keran, lalu air mengucur dari shower, membasahi kepalanya dan seluruh tubuhnya. Dia meringkuk di lantai, berusaha meredam pedih di dadanya Tetapi, tubuhnya tetap bergetar meski tidak mengisak.
"Mama. ini Sayu." katanya nyaris tercekat Jeruji membatasinya dengan sosok yang dipanggil Mama. Wanita itu memandang entah ke mana. Tubuhnya terkurung di balik jeruji, sedangkan tubuhnya telah mengurung jiwanya Mungkin hanya pikirannya yang bebas berada entah di mana.
"Mama sudah tidak mengingat Sayu lagi. anak Mama"" dia mengigit bibirnya kuat-kuat. Dia sudah mengingatkan dirinya bahwa dia harus kuat. Harus!
Apa yang dapat diingat Mama tentang dia" Sepanjang ingatannya, tidak ada kenangan yang mampu mengikat batin mereka.
Bagaimana Mama bisa mengingat dia dalam keadaan begini" Mama lebih ingat jadwal meeting nya yang terlambat, atau makan siang dengan rekanan bisnisnya. Sementara keberadaan dirinya, hanyalah sosok yang pernah lahir dari rahim wanita itu.
"Mama. sebenarnya Sayu ingin dekat dengan Mama. Sayu mencintai Mama. Sayu rindu sama Mama. Tapi. Sayu tidak punya kesempatan untuk mengucapkannya. Entah Mama dengar atau tidak, tapi Sayu sudah lama ingin mengungkapkannya."
Wanita itu masih berada entah di mana. meski sosoknya seperti beku di ujung dipan kayu. Dia ada. tapi seperti tidak ada Sementara Sayu tetap menganggap sosok itu ada. Meski sosoknya ada. entah di mana jiwanya, entah di mana pikirannya.
Beberapa bulan yang lalu. Mama ditipu sehingga perusahaan Mama rugi puluhan miliar. Rahasia perselingkuhan Papa yang selama ini disimpannya erat-erat terbongkar juga. Mama tidak kuat lagi menjaga ketabahannya. Dia merasa sudah pergi meski tubuhnya tidak ke mana-mana.
"Mama. Sayu pergi dulu. Sayu baik-baik saja." ucapnya kemudian. Dia kembali menggigit bibirnya kuat-kuat. Dengan perasaan gamang, dia meninggalkan panti rehabilitasi itu. Sementara dadanya terasa penuh. Dia perlu tempat untuk berbicara, tetapi
dia merasa sangat kuat. tidak ada yang perlu tahu mengenai dirinya.
Seberapa kuatkah dia mampu bertahan" Sampai saat ini. dia memang mampu merahasiakan keberadaan Mama. Tidak ada yang boleh tahu. Mama berada di rumah sakit jiwa dan Papa entah di mana. Hanya melalui telepon, dia mendengar suara Papa.
"Nanti Papa akan pulang. Kamu baik-baik saja kan. Sayu""
"Entahlah. Papa. Sayu sendiri tidak tahu perasaan Sayu."
"Kamu tabah, ya" Papa percaya kamu gadis yang kuat."
Tetapi, sekuat apakah dia" Papa tak juga pulang. Sementara ada sesuatu yang pelan-pelan mengikis ketahanan hatinya. Sesuatu yang perlu untuk dikatakan. Tetapi kepada siapakah" Hari-hari. kemudian dijalankannya dengan limbung. Berkali-kali. dia meraba dadanya. Masih mampukah dia bertahan" Tidak ada siapa-siapa dalam hidupnya kini. Nini. Mama. Papa, hanya mereka yang pernah dia miliki.
"Kamu mimisan." ujar sebuah suara. Tetapi, suara itu terdengar dari jauh. Dia berusaha menangkap suara itu lagi. tetapi hanya gema. Dan sekelilingnya terasa lengang yang sangat senyap. Dia merasa tempatnya sekarang begitu damai. Dadanya terasa sangat
lapang. Kesedihan lenyap Ketakutannya hilang. Dia merasa bahagia. Dia tidak ingin pergi ke mana-mana lagi.
"Masya Allah. kamu pingsan!"
Ketika dia terjaga, sungguh dia merasa sangat kecewa. Dia tidak lagi berada di alamnya yang damai. Tetapi, wajah teduh yang tersenyum lembut itu sedikit mampu membuat dia nyaman. Jilbab putihnya yang lebar membuat wajahnya bercahaya.
"Kamu ditemukan Arsika pingsan di kebun sekolah. Hidung kamu mengeluarkan darah. Kata Dokter Margono kamu dalam keadaan tertekan. Itu yang membuat kamu demam tinggi." ujar Bu Nuri lembut.
Dia hanya diam. Lehernya terasa kering. Ketika dia berusaha menelan ludah, dia tercekat. Buru-buru. Bu Nuri menyodorkan segelas air dingin.
"Jika kamu mempercayai I
bu. kamu boleh berbicara apa saja." kata Bu Nuri lagi.
Dia hanya mengangguk. Kemudian guru muda itu beranjak meninggalkan klinik. Dia melepasnya dengan tatapan. Bisakah dia mempercayai guru itu"
Beberapa hari kemudian, dia masih termangu-mangu. Dia masih memikirkan ucapan Bu Nuri. tetapi keangkuhannya masih membuat hatinya gamang.
"Assalamualaikum!"
"Eh ... wa"alaikum salam ..."
"Sayu. kamu suka menyendiri juga"" tanya sosok itu mendekatinya dengan tertatih-tatih. Sebelah kakinya lebih kecil ditutupi rok lebar dan panjang. Wajahnya hitam dan berminyak dibalut jilbab putih yang lebar. Matanya bercahaya dengan senyumnya yang manis serta barisan gigi yang rapi.
"Kalau lagi ingin saja." jawabnya.
Dia belum begitu kenal gadis itu. Dia memang jarang kenal dengan anak-anak yang suka berkerudung di sekolahnya, tetapi gadis itu demikian ramah.
"Oh. aku Arsika yang menemukan kamu pas pingsan waktu itu." tanggapnya kemudian sambil mengulurkan tangan. Tampak kepercayaan diri yang kuat dalam setiap gerak tubuhnya, seakan dia sama normal dengan Sayu.
"Terima kasih. Aku tiba-tiba merasa limbung. Kemudian aku seperti berada di sebuah tempat yang damai." timpalnya.
"Maaf. sebelumnya kamu seperti sedang bersedih. Sebaiknya kamu berbagi dengan seseorang yang dapat kamu percayai."
"Ya. nanti akan aku coba." balasnya sambil menghela napas.
"Nanti kalau kamu mau kamu bisa bergabung dengan kami di musala sekolah usai jam pelajaran. Ada semacam kelompok untuk mempererat persaudaraan. Kamu bebas menjadi diri kamu dan bercerita apa saja. Nanti permasalahan akan kita pecahkan bersama."
"ya. ya." jawabnya. Sungguh jauh di pikirannya untuk bergabung dengan kelompok mereka. Sebab, sungguh jauh dengan lingkungan pergaulannya selama ini.
Akan tetapi, demi melihat Arsika. dia menjadi mulai bersimpati. Gadis itu demikian yakin dengan segala kekurangannya. Kakinya yang kecil sebelah, kulitnya yang hitam, seakan bukan menjadi halangan baginya untuk tampil biasa. Dia merasa nyaman dengan kehidupannya, dan mulai membandingkan dirinya dengan Arsika.
"Aku pamit dulu. ya. Sayu. Aku ingin bertemu Bu Nuri dulu." kata Arsika berdiri dari duduknya. Tubuhnya limbung nyaris jatuh. Sayu cepat menahan tubuh Arsika.
"Terima kasih. Sayu. kami akan menerima kamu kapan pun kamu datang. Kita bebas bercerita layaknya sahabat karib." ucap Arsika sambil merapikan kerudung. Sayu hanya diam. Kemudian dengan tertatih-tatih. Arsika meninggalkan sudut taman sekolah itu. jam istirahat selesai, masih beberapa menit lagi. Dia habiskan dengan merenungi segalanya.
Dia mendengar suara-suara itu dari dalam musala sekolah. Penuh kekerabatan dan santun Benarkah dia akan membicarakan kelelahan hatinya kepada mereka" Tetapi seberapa kuat dia dengan dirinya sendiri" Kata-kata Arsika terngiang-ngiang.
Dia masih belum melangkah ke dalam musala, masih termangu-mangu di ujung tangga. Lalu. suara-suara dari dalam musala itu terus membelai pendengarannya. Tetapi, dia masih diam saja.
Ketika menengadah, apakah yang diharapkan pada langit malam yang lengang" Aku selalu mengharapkan bintang berpendaran ketika berada di mana saja: di Pariaman, di Sukabumi, bahkan pada langit Jakarta sekalipun! Aku kerap menatap langit yang berpendar bintang ditemani Papa. Papa yang pertama kali mengingatkan aku akan keindahan pendar bintang di langit malam.
Pendar bintang seperti harapan Terkadang redup, sesekali menghilang, kemudian kembali lagi dengan cahayanya yang berkilauan. Tetapi, yang pasti pendar-pendar bintang itu akan selalu muncul untuk kembali memberikan harapan. Dan pendar-pendar bintang itu selalu menyemangati harapanku. Meski terkadang, aku pernah bersedih juga saat melihatnya redup di cakrawala.
Papa tiba-tiba tidak pernah lagi menemaniku memandang langit berbintang. Papa pergi meninggalkan keindahan malam. Papa telah meninggal dunia. Layaknya hidup seperti bunga jambu, ada yang gugur ketika menjadi bunga, pada saat menjadi putik, atau ketika benar-benar menjadi buah yang ranum. Kita pun akan demikian, gugur bagai bunga. Demikian Papa pernah berkata
Tentu, aku tidak konyol menganggap Papa berada di b
intang. Orang yang sudah meninggal berada di sebuah alam. Alam Barzah namanya Tidak di surga ataupun di neraka karena saat ini. kedua wilayah penempatan itu sedang kosong Akan ditempati setelah
hari kiamat, begitu amal baik dan amal buruk selesai dipertanggungjawabkan.
Banyak hal yang pernah dikatakan Papa kepadaku. Semakin membuat aku kagum kepadanya. Sekarang, aku rindu untuk bersama Papa lagi.
Pendar-pendar bintang itu tetap memberikan kebahagiaan kepadaku meski Mama tidak pernah menemaniku sejak kepergian Papa.
Mama seorang pengusaha wanita yang sibuk, sangat sedikit waktu yang dapat aku pergunakan bersama Mama. Bahkan. Mama tidak bereaksi sama sekali ketika aku memutuskan memakai jilbab.
Pernah, aku merasa demikian kecewa setelah Papa pergi. Tetapi, beberapa waktu kemudian, aku dapat berdamai dengan perasaanku. Aku merasa cukup dewasa untuk meredam perasaan manjaku itu. ya. aku menganggap perasaan itu terlalu kekanakan.
Hingga beberapa waktu kemudian, ketika suatu hari Mama mengatakan rencananya memperkenalkan aku kepada seorang lelaki yang akan melamarnya, bakal calon papaku.
"Kamu nggak keberatan kan. Haniva"" tanya Mama datar. Aku hanya menggeleng. Mama memang tidak butuh persetujuanku. Dia adalah seorang wanita mandiri yang dapat mengambil keputusan sendiri. Apalagi pertimbanganku untuk jalan hidupnya.
"Kamu nggak ingin mengutarakan pendapat kamu tentang rencana Mama untuk menikah lagi""
"Nggak ada yang dapat Iva katakan. Ma. Mama telah memutuskan yang terbaik." hanya itu yang aku katakan. Tampaknya Mama telah puas dan cukup yakin dengan rencananya itu.
"Mama akan memperkenalkan kamu dengan calon papa kamu dan anak laki-lakinya pada jamuan makan malam nanti. Mama harap, kamu akan menyukai mereka."
"Iya. Ma." Tetapi, aku menganggap jamuan makan malam itu demikian pucat. Aku lebih banyak menjadi pendengar dan duduk manis tanpa suara, ketika Mama dan laki-laki calon papaku itu berbincang-bincang. Demikian juga dengan anak laki-lakinya itu. Berkali-kali. kami hanya saling lirik, kemudian terpengkur pada piring masing-masing dengan wajah pucat.
Sementara, kedua orang dewasa itu tengah asyik dengan percakapan mereka yang sangat akrab sebab mereka ternyata teman lama. Mereka mungkin menyangka kami. aku dan anak laki-laki itu. belum saling mengenal. Jadi. pertemuan itu terasa demikian kaku. Padahal sesungguhnya tidak begitu.
Pada akhirnya, mereka pamit ketika malam telah larut. Aku merasa begitu lega. Calon papaku menatap wajahku dengan lembut. Senyumnya demikian hangat. Sesuatu yang aku senangi semenjak pertemuan tadi. Tetapi dengan anaknya, aku hanya melemparkan senyum kecut, tidak bersalaman. Dan kedua orang dewasa itu tidak memperhatikannya. Untunglah.
Mama mengantar mereka hingga ke mobil. Aku bersandar saja di pilar teras. Aku membalas lambaian calon papaku itu. Aku menyukai dia. Kata Mama. dia seorang pelukis. Tetapi penampilannya begitu rapi dan bersih Meski wajahnya agak pucat dan berkacamata, tubuh jangkungnya yang agak berisi lebih membuat dia cocok sebagai rekanan bisnis Mama.
Tetapi, anak laki lakinya itu ....
"Kalis beberapa kali menanyakan kamu." ujar Mama pagi itu. Aku mengerutkan kening menatap Mama.
ya kami beberapa kali bertemu, dan dia merasa heran, kamu nggak pernah bergabung dengan kita."
Kita" Mama tidak pernah memberi tahu tentang itu. atau Mama memang ingin mengenal secara dekat tanpa kehadiranku!
"Memang, pertemuan itu sering nggak sengaja. Ketika Papa Kalis pameran, atau kadang Mama mengajak mereka ke kantor Mama. Kalis memang sangat dekat dengan papanya." jelas Mama lagi.
Ya. tidak seperti kita. Mama. keluhku dalam hati.
"Mama pasti menjawab tva sibuk dengan kegiatan di sekolah." kataku datar.
Tiba-tiba saja aku merasa cemburu dan diabaikan. Bagaimana tidak" Mama sesibuk itu! Dan Kalis, mungkin dia hanya basa-basi menanyakanku Mendadak, perasaanku merasa gelisah.
"Rencana pernikahan kami tinggal beberapa hari lagi. Nggak ada pesta, mungkin selamatan saja untuk orang-orang terdekat." ujar Mama sebelum mengakhiri sarapannya.
"Mama rasa agak terlambat ke kantor!"
Begitulah Mama. hanya bicara b
eberapa menit untukku, beliau merasa telah membuang demikian banyak waktu. Aku segera menyambar tasku. Perasaanku benar-benar tidak menentu. Tinggal beberapa hari lagi. Kenapa aku masih belum bisa menata pe-rasaaanku" Keluhku gundah
Heibal menjajari langkahku ke luar aula. Berkali-kali aku mengusap wajahku yang berkeringat. Omelan Pak Winarko tadi benar-benar membuatku gugup.
"Kamu terlihat kacau sekali." ujar Heibal.
Aku kembali mengusap sudut mataku, basah. Padahal, aku berusaha tidak terlihat lemah. Benarkah air mata menandakan kelemahan"
"Haniva. ada apa""
"Aku nggak tahu."
"Kamu berusaha menyembunyikan sesuatu da riku. Iva." serangnya. Perhatian Heibal telah membuatku salah tingkah
"ya." "Harusnya kamu memberi penjelasan. Iva."
Mungkin jawabanku itu membuat dia gemas. Dia memang ketua tim sekolahku untuk lomba debat tingkat SMU se-Jakarta Aku sering kehilangan konsentrasi secara tiba-tiba Aku terkadang terlihat gugup dan argumenku sering lemah.
Aku terhenyak di bangku kantin. Sepi. Jam belajar tengah berlangsung. He bal datang dengan dua botol teh dingin.
"Terima kasih."
"Kamu nggak mau bicara denganku"" tanya Heibal lagi. Aku segera menghindari tatapannya yang berharap, Ya. aku tahu. banyak yang dia harapkan dari-ku. Menjadikannya teman dekat, tempat berbagi cerita, dan mungkin juga cinta. Aku dapat menangkap tanda-tanda itu.
"Heibal. maaf. aku nggak bisa." ucapku pelan.
Tatapan itu terlihat kecewa, tetapi dia segera menyembunyikannya. Senyum itu sangat lembut sebenarnya. Aku juga tidak begitu yakin dengan perasaanku sendiri terhadap dia. Kemudian, sering aku merasa bersalah bila membuatnya kecewa Dengan berbagai cara halus, dia berusaha memikat perasaanku. Namun, sepertinya dia sudah siap kecewa begitu aku mengelak secara halus. Allah kuatkanlah aku ....
Demikian juga kini. Apalagi bayang-bayang Kalis demikian kuat. tinggal beberapa hari lagi. Sudah siapkah aku"
"Mungkin suatu saat nanti. Heibal."
"Ya. mungkin nanti." ulang Heibal. tersenyum. Mudah-mudahan tidak terluka.
Ketika menengadah, apakah yang kita harapkan pada langit malam yang lengang" Aku mengharapkan pendar bintang. Ribuan pendar bintang. Tetapi, malam ini pada langit Jakarta yang berkabut, tidak ada ribuan bintang yang berpendar. Sedikit saja yang bercahaya. Pendarnya terlihat lemah dan susah payah.
Pendar yang lemah itu bagiku seperti harapan. Keinginan untuk memberikan keindahan malam. Dan aku tetap menyukai memandang langit yang berpendar bintang itu meski terlihat redup, sambil aku berusaha untuk mulai dapat menerima keadaanku nanti. ya. ketika Mama mulai sibuk menyiapkan pernikahannya. Hari-harinya mulai diisi dengan omongan "calon papa kamu", dan mereka sering terlihat berdua.
"Haniva...!" Panggilan terasa dari jauh. Bergetar, entah oleh ragu. Tetapi, aku segera membalik tubuh. Kalis tersenyum kecil dan terlihat ragu untuk mendekat.
"Sorry, kalau kamu suka sendiri, aku nggak mau ganggu." ujarnya kemudian.
"Nggak pa-pa. Pasti Mama yang bilang aku ada di sini." balasku, berusaha terlihat bersahabat. Setidaknya aku ingin memulai.
"ya. Beberapa kali aku ingin bertemu kamu. tapi sekarang baru bisa." "Ada apa""
"Ah. aku sendiri nggak begitu yakin, apa yang ingin aku bicarakan. Kenapa aku ingin bertemu denganmu sebelum pernikahan itu. Aku merasa ada yang perlu diselesaikan sebelumnya."
Tiba-tiba, aku merasa tegang. Rupanya dia merasakan hal yang sama. Mungkin perasaan bersalah. Tetapi, aku merasa terluka sebab dia yang meninggalkan aku.
"Tentang kita. Bagaimana sebaiknya kita setelah ini""
Tubuhku menegang. Kelebatan bayangan menyakitkan itu memang belum hilang dari ingatanku. Selalu terasa perih di hati. Lalu. tiba-tiba kami dipertemukan oleh keinginan kedua orangtua kami.
"Aku pun memikirkan hal yang sama. Kal. Aku masih mengingat kepahitan itu. Bagaimana aku sebaiknya bersikap kepadamu setelahnya. Padahal hatiku masih belum sembuh betul."
"Aku minta maaf." Oh. dia tidak berkata itu dulu. Pergi begitu saja. Aku tercenung, menghela napas panjang, lantas mengeluarkannya perlahan-lahan. Aku menengadah memandang bintang yang tidak banyak di langit.
"Ji ka kamu nggak memaafkan aku. aku akan selalu merasa berdosa karena kita akan terikat sebagai keluarga. Dan setiap saat kamu bertemu aku. kamu akan merasa tersiksa."
"Bagaimana dengan Dima"" Entah kenapa aku sangat ingin menanyakan hal itu. Aku tidak menjawab pertanyaannya.
Kalis menghela napas berat meski aku membelakanginya. Aku tahu. dia susah payah menguasai perasaannya. Kali ini. aku berada di atas angin.
"Kamu benar. Dima nggak bisa disembuhkan, dia nggak mau. Keluarganya telah membuang dia. Mereka telah melupakan pernah mempunyai keluarga pecan-du obat bius. Aku pernah menemui Dima. keadaannya sudah seperti orang gila. tidak terawat, dan sedang hamil. Kata teman-temannya, dia biasa tidur dengan siapa saja asal dapat obat. Aku merasa nggak dihargai, padahal untuk dia. aku sampai melukai perasaan kamu. Haniva."
Ya. Dima sahabatku. Untuk dia. Kalis meninggalkan aku.
"Kamu nggak mau memaafkan aku. Haniva"" Aku bergeming. Pendar bintang itu semakin buram. Air mataku menetes.
"Jika tidak, aku akan meminta Papa untuk membatalkan pernikahan itu. setelah aku ceritakan semuanya."
"Jangan bodoh. Kalis. Kamu ingin semuanya menjadi runyam"" gumamku tertahan. Tentu, aku tidak mau melukai perasaan Mama gara-gara masa laluku dengan Kalis.
"Kalis, aku nggak bisa menjawabnya sekarang Tapi, aku akan mencoba sebab perasaan tidak gampang diubah." Kali ini. aku membalas tatapan Kalis yang berbinar.
Ya cobalah sekarang sebab kamu berhadapan dengan calon abang kamu."
"Insya Allah. aku akan berusaha."
Di langit, bintang tidak banyak berpendar Namun di hatiku berjumlah ribuan, berpendar pendar memenuhi ruang-ruang kosong.
Kafe Teduh selepas senja tidak terlalu ramai. Di luar sedikit mendung. Mungkin sebentar lagi langit akan menumpahkan jarum airnya Angin yang sedikit kencang menggoyang-goyangkan pucuk pohon sawo raksasa yang tumbuh di halaman kafe.
Kebisuan masih tersisa dari meja sejak beberapa saat pertemuan mereka. Minuman yang dipesan pun belum disentuh sama sekali. Begitu kaku. sangat menggelisahkan. Pal sendiri sudah tidak tahan lagi.
"Makasih. kamu mau datang." ujarnya sedikit tercekik. Dirasakannya bibirnya kering setelah itu. Lantas ia menyeruput Capuccino di cangkirnya dengan gugup. Sungguh tolol sekali, padahal ia telah mengucapkan kalimat yang sama ketika baru bertemu tadi.
"Ada wawancara dengan sebuah majalah remaja tadi. Jadi agak terlambat. Maaf." balas gadis itu kemudian setelah beberapa jenak. Sepertinya ia mesti berpikir dulu untuk menjawab kata-kata Pal.
Kemudian, kembali ia sibuk dengan dirinya lagi. dengan pikirannya lagi. Entah apa itu. Pal sangat bingung menghadapi gadis yang menurutnya aneh itu. Apakah memang begitu"
"Maaf tentang kejadian tadi siang di hotel." ucapnya lagi meski dia ragu akan mendapat tanggapan dari gadis itu.
Benar saja. ia hanya sedikit mengalihkan perhatiannya kepada Pal. lantas kembali memandang ke luar
"Sungguh waktu itu aku panik sekali. Aku melakukannya demi Papa."
Meski sangat samar. Pal dapat menangkap perubahan pada wajah halus itu. Bibirnya yang mungil merapat membentuk sudut kaku. Rahangnya mengeras dengan wajah memerah. Lantas terdengar tarikan napas tertahan. Meski cuma sesaat, tak urung mampu membuatnya terkesiap juga.
Demikian marahkah dia kepada Papa" Begitu kecewakah dia pada Papa" Kenapa Papa tega menyakiti gadis secantik ini" Lihatlah, kekakuan yang diperlihatkannya sama sekali tidak bisa menyembunyikan kelembutannya. AH. gadis malang ini....
"Entah kenapa Papa sangat menginginkan lukisan itu. Tapi. yang pasti Papa merasa sangat bersalah sekali kepadamu
Mendadak, gadis itu mengangkat wajah dengan mata indahnya yang menatap Pal dengan pandangan yang sulit diartikan. Pal terkesima. Lalu. meski gadis itu masih enggan bersuara Pal memutuskan, biar dia saja yang bercerita, terutama tentang Papa.
"Pulang cepat. Pa"" sapa Pal sambil asyik dengan komputernya. Baru saja ia mendapatkan informasi terbaru tentang sebuah situs sastra yang berani
dengan pemikiran-pemikiran kritisnya. Terutama sastrawan muda yang bebas menuangkan karyanya, tanpa perlu meniru-niru seniornya yang terkesan kak
u dan membingungkan. "Mh ... hm! Ada pameran lukisan pelukis muda dari Prancis. Papa nggak mau melewatkannya begitu saja." ujar Papa sambil melongok ke layar komputer Pal. Cowok itu tetap asyik berselancar dengan kening berkerut, lalu mencatat sesuatu untuk referensi.
"Temani Papa. Pal." ujar Papa kemudian, membuat Pal merengut.
"Ah. Papa. Pal lagi asyik, nih!" rajuknya.
"Cuma sebentar ini. Siapa tahu kamu dapat ide untuk menulis cerita lagi." alasan Papa sambil beranjak.
"Tapi Pal nggak suka lukisan!" desah Pal dibalas guyuran air dari kamar mandi.
Meski dengan sedikit merengut. Pal tetap konsentrasi pada kemudinya. Sementara Papa terus bercerita tentang lukisan dan makna seninya, termasuk nilai rupiahnya yang bisa gila-gilaan jika mempunyai kadar serta makna tertentu bagi penikmatnya.
"Banyak orang kaya yang mengoleksi lukisan sekadar ikut-ikutan saja karena gengsi." ujar Papa sedikit sinis suatu ketika.
Pal tidak peduli. Papa termasuk kelompok yang mana. Karena baginya, lukisan yang pernah dilihatnya sama saja. membentuk sesuatu yang penuh warna: suram. aneh. dan lebih banyak acak-acak yang membuat bingung!
Demikian juga dengan pameran yang didatanginya ini bersama Papa. Di ruang pameran yang terdapat pada salah satu bagian hotel mewah berbintang lima ini. dipenuhi oleh orang-orang dewasa yang berkesan serius.
Pada bagian-bagian dindingnya, terpajang lukisan-lukisan pelukis muda dari Prancis itu. Sepertinya ruang pameran ini memang ditata sedemikian rupa mewahnya untuk mengesankan kelas si pelukis. Mungkin juga nanti si pembelinya. Dan pencahayaan pada setiap lukisan dimaksudkan untuk lebih menonjolkan nuansa yang ada pada setiap lukisan.
Berada dalam ruangan itu. lama-lama membuat Pal jemu. Papa entah sudah berada di mana. Pal mencari-cari dengan matanya. Orang-orang serius itu terlihat begitu asyik dengan pikirannya. Termangu ma ngu sendiri di depan sebuah lukisan. Kalaupun berbicara, berbisik-bisik sambil manggut manggut Pfuuuh!
Syukurlah, pada salah satu sudut ruangan, dilihatnya sosok Papa berdiri mematung di depan sebuah lukisan. Bergegas Pal menghampirinya.
"Pa. pulang." ujar Pal yang sudah jenuh sedari tadi.
Tetapi. Papa diam saja seperti tidak mendengar teguran Pal Sepertinya Papa telah terbawa ke dalam lukisan yang tengah diperhatikannya lekat-lekat itu. Seorang wanita cantik tengah membungkuk, mencium serumpun mawar merah, sementara seekor kupu-kupu kuning terbang di dekatnya. Ah. biasa saja. Sama dengan yang lainnya!.
"Ayo dong. Pa. Lapar, nih!" ulang Pal sambil menarik lengan Papa. membuat laki-laki terkasih itu ter-geragap. Kaget. Ketika Papa menoleh. Pal terkesiap menemukan Papa terlihat sangat murung. Matanya berkabut dan sedikit sembap. Wajah Papa tampak kelabu. Berkali-kali ia menarik napas berat. Pal mendadak sangat khawatir.
Papa pernah terlihat begitu dulu. ketika Mama meninggal. Tiga tahun yang lalu. Dan sekarang, entah ada apa dengan lukisan itu. yang mampu membuat Papa sangat murung dan susah hati.
"Pa panggil Pal pelan dan hati-hati ia berusaha mencari penyebabnya di mata Papa. Hanya riak sedih serta balutan kabut yang murung. Pal memutuskan untuk tidak mengusik Papa dulu. Tetapi, yang bisa dilakukannya hanya memegang lengan Papa
"Ah. maaf. Pal. Papa nggak apa-apa ...." sentak Papa kemudian, berusaha tersenyum meredam kecemasan Pal Tangannya menepuk pipi Pal sekilas, lantas menariknya pergi. Dan sepanjang perjalanan itu mereka larut dengan pikiran masing-masing. Pal masih dengan keheranannya.
Akhirnya, malam itu mereka memutuskan untuk tidak langsung pulang. Papa ingin sedikit menenangkan diri. Di kafe kecil dekat dermaga itu. Papa hanya sedikit menyentuh makanannya. Selebihnya ia hanya memperhatikan Pal makan. Pal tahu Papa mau bicara.
"Papa mau ngomong"" tanyaku kemudian.
"Habisin dulu makanan kamu." balas Papa.
"Nih. sudah habis!"
"Kalau begitu, habisin juga makanan Papa!" Pal tergelak. AH. begitulah Papa.
"Kamu tahu. Pal. setiap orang pasti memiliki kesalahan dalam hidupnya." kata Papa sedikit tertahan, menerawang jauh ke jajaran pulau kecil yang mengelam di kejauhan sana.
"Itu pasti." Pal menunggu kelanjutan ucapan Papa.
"Termasuk juga Papa. Pal. Papa telah memendam rasa bersalah ini selama bertahun-tahun sendiri. Kepada almarhumah Mama. kepada kamu. juga kepada dua hati yang terluka karena Papa." Suara Papa terdengar parau dan getir. Pal masih diam dan membiarkan Papa menuntaskan kalimatnya. Agaknya akan ada sebuah rahasia besar dari Papa.
"Papa pernah ditugaskan mengawasi pembangunan jembatan dan jalan di Pariaman karena Papa adalah kepala divisi bagian Pembangunan dan Pengembangan. Waktu itu kamu baru berusia satu tahun, dan Papa terpaksa meninggalkan kamu dan Mama.
Kesibukan Papa waktu itu membuat Papa tidak bisa terlalu sering bolak-balik Jakarta Pariaman Malah sangat jarang, dan belakangan tidak pulang hingga proyek itu benar-benar selesai dua tahun kemudian.
Kesalahan Papa yangjuga merupakan penyesalan Papa adalah ketika bertemu dengan Norma, teman kecil Papa dulu. Norma merupakan cinta Papa. dan ternyata dia masih menunggu Papa. Kemudian kami menikah "di bawah tangan" di depan Ungku Kali sebagai wali nikahnya
Norma tidak pernah tahu bahwa Papa telah mempunyai Mama dan kamu. Demikian juga dengan Mama kamu. Papa berhasil menyimpan rahasia itu sendiri selama bertahun-tahun.
Setelah Papa ditarik kembali ke Jakarta, pekerjaan Papa sangat menyita perhatian dan waktu Papa sehingga Norma bagai terlupakan. Ketika Papa sempat datang lagi ke Pariaman, ternyata Norma telah pergi ke Prancis karena terluka oleh sikap Papa yang meninggalkannya sekian lama.
Di Prancis. Norma ingin memperdalam bakat melukisnya. Tetapi, yang membuat Papa sangat sedih. Papa tidak sempat melihat buah hati Papa yang dikandung Norma. Mereka bagai hilang begitu saja."
Papa mengakhiri ceritanya sambil mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat. Pal hanya bisa meng-gigit-gigit bibirnya dengan perasaan bingung. Dia tidak tahu harus memaki-maki Papa atau marah karena merasa dikhianati selama bertahun-tahun. Tapi untuk
apa" Toh. semuanya telah terjadi. Ternyata, lukisan itu telah membuat Papa membuka rahasianya.
"Lantas, ada apa dengan lukisan itu"" tanya Pal kemudian dengan suara mengambang. Hah. ia masih belum bisa memahami sepenuhnya.
"Itu lukisan Norma."
"Tapi Papa tahu kan. lukisan di pameran itu milik seorang pelukis muda dari Prancis""
Dijemput Malaikat Karya Palris Jaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entahlah. Pal. Kupu-kupu kuning itu Papa sendiri yang melukisnya, ketika masih di Pariaman dulu."
"Kenapa Papa mau menceritakannya kepada Pal""
"Papa nggak tahu. Tapi sekarang, perasaan Papa sudah sedikit lega setelah mengatakannya kepada kamu. Papa minta maaf. Pal."
"Sudahlah. Pa. Toh. semuanya sudah terjadi. Papa nggak perlu lagi menyesali diri terus-menerus." Setidaknya memang hanya itu yang bisa diucapkan Pal. Dengan merangkul Papa. mereka melangkah meninggalkan dermaga kecil yang sudah sepi itu.
Semula. Pal mengira semuanya akan baik-baik saja setelah itu. Tetapi, dia salah ketika menjelang tengah malam terdengar erangan dari kamar Papa. Papa juga mengigau menyebut-nyebut Norma, lukisan, dan permintaan maaf kepada Mama! Pal langsung memburu ke kamar Papa dengan cemas.
Papa terus mengigau sementara butir-butir air mata meleleh dari sudut matanya Tubuh Papa telah basah oleh keringat. Papa demam hebat. Pal memu tuskan untuk menghubungi Dokter Herman, dokter keluarga mereka. Benar saja. apa yang dicemaskan Pal keluar dari bibir Dokter Herman.
"Ada sesuatu yang mengguncang perasaan Papa hingga jantungnya shock Jadi. Papa terpaksa dirawat di rumah sakit." ujar Dokter Herman tegas. Pal hanya bisa mengangguk lemah Sementara pikirannya melayang ke lukisan itu serta rahasia Papa.
Namun hingga dua hari kemudian, kondisi Papa sama sekali tidak menunjukkan perubahan. Tubuh Papa sudah dibaluti selang-selang kecil dengan cairan infus yang terus menetes. Pal memutuskan untuk melakukan sesuatu demi Papa meski ia sendiri tidak yakin akan berhasil.
Suara ribut-ribut terdengar di ruang pameran hotel itu. membuat manajer hotel yang bertanggung jawab pada pameran lukisan itu benar-benar kewalahan.
"Dua belas juta ...! Kalau perlu, tiga puluh juta pun akan aku bayar!" Pal meradang sambil menunjuk-nunjuk sebuah lu
kisan seorang wanita yang tengah mencium serumpun mawar merah.
"Maaf. Dik. lukisan itu memang tidak dijual sesuai dengan permintaan si pemiliknya. Bagaimana kalau dengan lukisan lainnya"" ujar sang Manajer lembut dan sopan kepada pemuda tanggung yang meradang itu.
"Nggak! Aku hanya mau lukisan itu. Papa menginginkannya!" sentaknya tegas
"Sayang sekali, kami tidak bisa berbuat apa-apa Lukisan itu sengaja turut dipamerkan sebagai tanda cinta sang Pelukis kepada mamanya yang melukis lukisan itu." jelas manajer itu masih dengan sabar.
"Kalau begitu, biarkan saya memohon kepada pemiliknya serak Pal mulai putus asa.
"Aku pemiliknya." ujar seorang gadis berbalut gamis anggun yang diam-diam memperhatikan ulah Pal yang keras kepala. Semua kepala menoleh ke pemilik suara itu. Pal terkesima menatap sosok cantik itu. Lebih-lebih karena dia bagai berhadapan dengan dirinya sendiri. Hatinya mendadak bergetar aneh. Untuk beberapa saat. mereka hanya saling pandang.
"Temui aku di kafe hotel usai magrib nanti." ujar gadis itu pendek. Kemudian, ia melangkah meninggalkan ruang pameran itu dengan tergesa.
"Meski aku nggak begitu yakin, tapi lukisan itu. apalagi bisa bertemu dengan pelukisnya serta minta maaf. akan bisa membuat Papa benar-benar merasa
tenang. Mudah-mudahan membawa kesembuhan untuk dirinya." tukas Pal mengakhiri ceritanya. Lalu kembali meneguk minumannya.
Gadis itu juga menyeruput Capuccinonya. setelah sejak tadi diam saja mendengarkan Pal bicara tanpa sedikit pun bersuara. Matanya yang indah menatap Pal lekat-lekat. Pal balas menatap. Setidaknya. Pal bisa merasa sedikit lega karena sinar mata itu mulai berubah agak ramah.
Sungguh ketika siang tadi bersitatap. Pal langsung merasa yakin bahwa ia sedang berhadapan dengan belahan dirinya sendiri. Begitu kuat garis wajah Papa membingkai paras cantiknya.
Dialah anak Norma, si Pemilik lukisan itu. yang juga pelukis muda yang sedang mengadakan pameran lukisannya. Dialah anak Papa, yang berarti kini ia sedang berhadapan dengan adik perempuannya sendiri!
"Sayang, pelukisnya sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu." suara gadis itu terdengar giris Kemudian, tiba-tiba wajahnya berubah kaku dan sorot matanya berubah tajam menghunjam Pal. membuat cowok itu terkesiap.
"Kamu tahu apa yang aku pikirkan saat itu" Sungguh, aku sangat membenci laki-laki yang berani mencintai Mama. lantas meninggalkannya begitu saja. Apalagi dia telah membohongi Mama sebelumnya bahwa dia sebenarnya telah mempunyai istri serta seorang anak." desisnya tajam, seperti sengaja mengiris perasaan Pal dengan rasa bersalah Meski Pal tahu dalam hal ini. dia tidak tahu apa-apa.
"Bukankah kemudian Papa mencari Mama kamu. tapi kalian telah pergi ke Prancis"" Pal mencoba membela papanya. Tetapi, rupanya gadis itu sengaja memburu Pal seakan dia berhak menanggung kesalahan Papa.
"Buat apa"" sentak gadis itu setengah berseru. "Toh. Mama sudah telanjur disakiti dan malu di hadapan orang kampung dan keluarganya. Di Prancis. Mama mati-matian membiayai hidup kami sambil terus melukis dan bekerja serabutan. Satu hal yang membuat aku tak mengerti. Mama tetap mencintai laki-laki yang telah membuatnya menderita hingga akhir hayatnya, yang membuat aku semakin membenci laki-laki yang sama sekali tidak pernah aku kenal, kecuali lewat foto-fotonya yang selalu disimpan Mama dengan baik. termasuk lukisan itu." urai gadis itu mulai terisak.
"Sekarang, laki-laki itu terkapar di rumah sakit oleh rasa bersalahnya kepada kalian. Hanya maaf dari kamu yang bisa membuat dia tenang. Sungguh, sebenarnya Papa sangat ingin mencintai kalian, yang terpaksa dipendamnya selama bertahun-tahun."
Gadis itu masih tergugu sambil menyusut air matanya.
"Bila kamu sudah memaafkan Papa. temui dia. Papa kamu
Dengan lembut. Pal mengusap air mata itu. Lantas, melangkah ke luar Kafe Teduh, membiarkan gadis gamang itu dengan pemikirannya sendiri.
Pagi-pagi sekali, telepon di samping tempat tidur Pal berdering. Cowok itu tersentak bangun dengan perasaan khawatir. Dari rumah sakit mengabarkan Papa" Pikirnya waswas.
"Halo"" ujarnya dengan suara serak Setelah beberapa saa
t menunggu, barulah terdengar suara dari seberang
"Assalamu"alaikum ... Pal" Ini aku... Mianka" balas suara itu ragu-ragu.
Pal menjawab salam itu dengan gugup, sekaligus menghela napas lega. Lega bukan dari rumah sakit, juga lega karena gadis itu menghubunginya.
"Semalaman aku nggak bisa tidur karena terus memikirkan ucapan kamu. juga Papa ...." jeda suara itu. tetapi Pal memutuskan diam saja menunggu kelanjutan suara Mianka.
"Selama bertahun-tahun aku memelihara keben-cianku kepada Papa. namun aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa sebenarnya aku sangat merindukannya Aku sering memimpikan sosok Papa dan selalu berharap, suatu saat aku benar-benar bertemu dengannya meski konyol sekali. Sebetum memutuskan untuk berpameran di Jakarta, aku pemah berdoa semoga bertemu dengan Papa. Entah bagaimana caranya, dan doaku dikabulkan Mah meski aku sempat nggak percaya.
Setelah aku renungkan, buat apa memendam kebencian bila kita mempunyai kesempatan untuk mencintai" Pal. jemput aku sekarang juga. Mu ingin bertemu Papa. juga bertemu kamu meski aku sama sekali nggak pernah memimpikan akan mempunyai seorang kakak sejelek kamu
Terdengar tawa geli dari seberang sana. Pal hanya bisa ngakak dengan perasaan teramat lega. Ada bahagia yang tiba-tiba meletup di dadanya.
"Oke. kalau begitu ... aku nggak perlu mandi dulu karena aku sudah nggak sabar ingin memeluk bidadariku yang dari Prancis itu. Hahaha..."
Hmmm. selamat datang, bidadariku!
Surat itu datang bersama dua surat lainnya yang diselipkan di bawah pintu kamarku. Setelah kubuka isinya, selembar kertas fotocopy-an yang sudah agak kabur karena sudah sering di fotocopy ulang.
Tidak seperti surat-surat yang pernah kuterima selama ini. surat aneh itu mampu membuatku menggigil ketakutan meski aku berusaha berpikiran jernih. Surat yang datang dari "dewi" itu benar-benar telah mampu menyita pikiranku dan mengusik hatiku dengan ancaman terselubung di dalamnya, jika kita tidak mengikuti suruhan halusnya.
Berbahagialah orang yang menerima surat ini dan memperluasnya/meneruskannya pada sahabat, saudara, famili, maka keberuntungan akan menyertai Anda. Dan Anda akan selamat dunia-akhirat.
Surat ini dikirim dari RRC dalam bahasa Kanji. Mengingat tidak semua penduduk Indonesia yang tahu bahasa Kanji, maka seorang Rabda menerjemahkannya dengan sempurna demi kepentingan manusia di dunia.
Janganlah menyimpan surat ini lebih dari delapan hari. Surat ini dibuat oleh seorang Biksu Cina. Oleh karena itu. harus berkeliling dunia. Buatlah salinan surat ini atau fotocopy-nya sebanyak 41 lembar, maka dalam waktu sepuluh hari Anda akan mendapatkan berkah dari "sang dewi".
Pada bagian inilah yang menggugah nyaliku.
Seorang pemuda Banjarmasin menerima surat ini tahun 1970. lapi ia membuangnya ke Sungai Mahakam. Beberapa hari kemudian, ia ditemukan tewas dimakan buaya di sungai itu. Seorang wanita lainnya menerima surat ini tahun 1979. tapi ia membuangnya. Beberapa waktu kemudian, ia diperkosa beberapa lelaki, kini ia menjadi gila. Lalu bintang film cantik Hongkong menerima surat ini. tapi ia membuangnya ke tong sampah, kemudian ia tewas dalam kecelakaan mobil.
Seorang Miss Taiwan menerima surat ini tahun 1990. selelah menyebarkannya sebanyak 41 lembar, ia mendapatkan lotere bernilai jutaan. Demikian juga dengan seorang selebritis Indonesia yang memenangkan undian setelah memperbanyak surat ini dan menyebarkannya.
Dan tidak ada salahnya jika Anda berbuat kebaikan dengan surat ini. Surat ini untuk kebaikan kita semua, kecuali kalau tidak dilaksanakan, maka kesialan, apes. musibah akan datang kepada Anda. Silakan buktikan sendiri.
Aku langsung melipat surat itu dengan pikiran berkecamuk. Mungkin, lebih tepatnya ketakutan dengan membayangkan musibah apa yang akan aku dapati jika melalaikan surat itu. Apakah hal-hal buruk yang diceritakan surat itu benar adanya" Ataukah keberuntungan bakal datang jika aku memenuhi suruhan surat itu"
Aku membolak-balik amplop surat itu. berharap mengetahui si pengirim surat itu. Namun sama sekali tidak ada apa-apa. selain prangko serta cap pos yang kabur. Kembali aku mengu
tuki si pengirim surat itu yang telah membuatku cemas dan merasa terusik sekali.
Apakah sebaiknya aku memenuhi saja semua anjuran surat itu agar perasaanku tenang dari ancaman musibahnya" Atau siapa tahu. malah benar-benar membawa keberuntungan" Tetapi, buru-buru sisi hatiku yang lain membuatku ragu. Apakah benar surat itu mampu membawa keberuntungan" Atau malah membuat sial si penerimanya" Bukankah hal-hal yang demikian sudah ada yang mengaturnya"
Namun, kembali bayangan-bayangan buruk, musibah, kesialan, di surat itu membuyarkan kesimpulan jernihku sendiri. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi" Segala kemalangan akan menimpaku jika aku melalaikannya. Tetapi, apakah sepucuk surat mampu membawa keberuntungan" Sudut hatiku selalu melarang aku untuk melakukan suruhan surat itu. Tetapi, jika mengingat ancamannya kembali, hatiku diliputi perasan waswas. Pertentangan hati itu benar-benar membuatku pusing. Aku juga sangat marah kepada si pengirim brengsek itu.
Masih dengan pikiran mengambang, aku langsung melesat ke kamar Jim. teman kosku. Semoga dia mampu menolongku.
"Gimana. Jim"" serbuku begitu melihat Jim menghela napas setelah selesai membaca surat aneh itu. Jim meringis sambil menggaruk hidung.
"Kamu percaya surat ini"" Jim malah balik bertanya. Sejenak aku merasa bingung harus menjawab apa. Tetapi, mata Jim terus memperhatikan aku. dan aku rasa ia tahu bahwa sebenarnya aku sudah terpengaruh isi surat itu. Tetapi. Jim ingin meminta ketegasan.
"Ng... sebenarnya sih nggak ...." balasku kemudian dengan suara takut-takut, berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.
"Kamu bohong. Kalau kamu nggak percaya surat ini. ngapain kamu bawa surat ini padaku"" ucapan Jim benar-benar menohok ketololanku sendiri!
Ya. surat itu pelan-pelan telah membuat aku mempercayai kesialan, apes. dan musibah lain yang akan menimpaku jika aku tidak melaksanakan permintaannya atau melanggar pantangannya.
"Tapi. bagaimana kalau musibah benar-benar datang menimpaku" Atau tiba-tiba aku mendapat keberuntungan jika melaksanakan permintaan surat ini"" ujarku membela diri. Jim malah meringis seperti mengejekku
"Eh. kamu tahu surat ini dibuat oleh orang-orang yang ingin menggoyahkan keyakinan kita kepada Tuhan. Entah apa maksud mereka dengan menyebarkan surat-surat seperti ini. Segala musibah ataupun keberuntungan sudah diatur oleh Nya bukan melaksanakan permintaan surat ini. Aku nggak percaya musibah akan datang setelah aku menerima surat ini dan langsung membuangnya!" Usai berkata begitu. Jim langsung melemparkan surat itu ke keranjang sampah dekat meja belajarnya. Aku memungutnya lagi.
"Jika musibah benar-benar datang menimpamu, mungkin itu suatu takdir belaka, setelah kamu menerima surat itu. Kalau memang sudah takdir kamu untuk sial meski kamu menyebarkan seribu lembar pun. sial tetap saja datang kepada kamu." kata Jim seperti orang bijak. Aku masih menimang-nimang surat itu.
"Aku rasa. kamu tentu tidak mau membuat orang lain yang nggak tahu apa-apa menjadi gelisah dan ketakutan setelah menerima copy-an surat dari kamu." urai Jim panjang lebar. Dalam hati. aku membenarkan kata-kata Jim barusan.
Meski ragu-ragu. aku memutuskan untuk tidak melaksanakan permintaan surat itu meski aku tidak berani membuang surat itu begitu saja. Aku memutuskan menunggu, musibah apa yang akan menimpaku jika menyimpan surat itu lebih dari delapan hari!
Tiga hari berlalu tanpa kejadian apa-apa. Maksudku, tanpa musibah yang menimpaku. Demikian
juga dengan hari-hari selanjutnya. Meski aku tidak dapat melupakan surat itu begitu saja. Tetapi, mendekati hari kesembilan aku mulai waswas. Benarkah musibah akan datang kepadaku. Namun, tidak terjadi apa-apa sama sekali.
Hari kesepuluh, sebelas, dua belas, aku tetap melaksanakan kegiatan rutinku seperti biasa: kuliah, kursus, atau sekadar nongkrong dengan teman-temanku di depan perpustakaan kota. Tampaknya Jim sudah melupakan surat itu. Ternyata Jim benar. Surat itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Namun, aku salah. Keesokan harinya ketika aku memasuki halaman kampus. Minto telah mencegatku dengan napas memburu. Tampaknya dia sen
gaja berlari begitu melihatku dari kejauhan Dengan wajah tegang, dia berkata, "Jim di rumah sakit. Pencopet brengsek itu mengeroyoknya ketika Jim berangkat kuliah tadi!"
Tiba-tiba aku merasa ada yang menarik dompetku ketika aku memberi jalan kepada penumpang yang turun. Langsung saja aku menyambar tangan seorang pria yang persis berada di belakangku. Jaket parasutnya yang dekil aku ubek-ubek. tapi dompetku tidak ada. Dia marah karena telah menuduhnya. Aku bersikeras bahwa dia yang merogoh kantongku. Aku memang tidak dapat membuktikannya. Pria itu menggertakku dengan kepalan tangannya sebelum melompat turun." cerita Jim meski bibirnya pecah dan wajahnya babak belur.
"Dari belakang, dua orang pria lainnya juga meloncat turun dan salah seorang dari mereka terlihat memindahkan sesuatu dari dalam bajunya. Aku langsung melompat turun dan menyambar dompetku. Mereka marah dan langsung menyerangku dengan beringas, jelas saja, aku kalah melawan tiga orang sekaligus.
Untung, orang-orang yang berada di sekitar situ langsung menolongku, dan para pencopet itu kabur setelah aku nyaris babak belur. Tapi. sebelumnya aku sempat menghantam salah seorang dari mereka dengan batu trotoar." jim mengakhiri ceritanya.
"Mereka benar-benar membuat kamu nyaris hancur." gumamku, membuat Jim meringis. Kemudian sesuatu yang mendesak di hatiku terpaksa aku keluarkan.
"Jim. kamu terkena musibah mungkin karena surat itu Bukankah kamu telah mengetahui isinya dan membuangnya ke tempat sampah"" ujarku akhirnya. Jim sempat terdiam. Kemudian menggeleng tegas.
"Bukan. Surat konyol itu sama sekali tidak ada hubungannya. Musibah yang menimpaku, mungkin kebetulan saja." balas jim mantap. Tetapi, yang jelas aku kembali ketakutan dibuatnya, dan kembali memikirkan surat sial itu.
Hari-hari selanjutnya, aku benar-benar dibuat seperti orang gila. Surat itu seperti menghantuiku. Aku merasa yakin, setelah Jim. tentu musibah itu akan datang menimpaku. Meski. Jim telah berkali-kali mengingatkan bahwa musibah yang menimpanya itu hanya sebuah kebetulan belaka.
Tetapi, aku tetap pada ketakutanku Aku selalu merasa waswas dan berhati-hati sekali bila naik bus. Aku yakin, salah seorang penumpang yang paling dekat denganku adalah pencopet Aku selalu merasa kalau ada yang menyenggol saku celanaku sedikit saja. pasti pencopet. Dan lebih baik. mengira semua penumpang di bus itu adalah pencopet!
Di kampus, aku berubah menjadi orang yang sangat perasa. Sebelum duduk di ruang kuliah, aku memeriksa kursiku terlebih dahulu kalau-kalau seorang temanku yang jahil melonggarkan bautnya. Aku akan mewanti-wanti temanku yang meminjam diktat, takut mereka lupa mengembalikannya atau malah mencurinya
Demikian juga bila ada kuis. Aku selalu kelar paling belakangan. Aku harus hati-hati mempertimbangkan setiap jawabanku meski sebelumnya aku telah belajar mati-matian.
Teman-temanku mulai sering meledekku jika bertemu di lift karena aku tak henti-hentinya komat-kamit berdoa. Semoga saja lift tidak mati mendadak dan kami semua terkurung di dalamnya. Lantas mati kehabisan napas, atau malah amblas ke bawah dengan kecepatan tinggi dan hancur di bawah tanah.
Siang itu. setelah yakin tidak ada mobil yang lewat, aku segera menyeberangi jalan depan kampus. Panas terik membakar kerongkonganku hingga terasa kering. Aku langsung memasuki sebuah kafe kecil dan memesan minuman. Setelah yakin tidak ada yang membubuhi racun ke dalamnya, aku menenggaknya hingga tandas.
Aku merogoh kantong hendak membayar. Dompetku tidak ada. Hah. lenyap"! Aku panik, meraba perutku. Amplop uang yang baru aku ambil dari kantor pos pun hilang. Ya. Allah... uang itu untuk membayar kuliah, untuk keperluan hidup sebulan dan beli buku!
Aku pening seketika. Teringat surat itu!
Prop... phop... phop ... phop Kembali suara yang sangat jelek itu memecah keheningan subuh seperti subuh-subuh se belumnya
Bremmm! Prophop.., prophop...!!! Eh malah pake digas segala sehingga suara jelek itu melengking ke mana-mana. Demikian terus hingga beberapa menit Bisa setengah jam-an. dan itu meng ganggu tidur Egi semenjak dua bulan yang lalu.
"Whuaaa...!!!" j
erit gadis itu dalam hatinya yang sangat gondok pingin dilampiaskan. Dia menutup kupingnya rapat rapat pake bantal guling. Tetapi, suara itu tetap terdengar. Jelek dan sember.
Berisiiik...! Woiii... berisik!!! teriak Egi memaki maki. tetapi tetap dalam hati. Tidak ingin membuat perang di pagi hari yang buta itu kalau diteriakin be ner-bener.
Breeem ! Breeemmm...! Akhirnya suara jelek itu pelan-pelan mulai menjauh. Pasti mengepulkan asap yang bisa bikin orang megap-megap, batin Egi. Suasana kembali sepi. tetapi pasti cuma sebentar. Karena tak lama lagi. tentu akan disusul dengan "suara-suara pagi" yang tidak kalah "merdunya". Suara tukang roti. teriakan tukang sayur, suara ibu-ibu yang mulai ke pasar, jeritan tukang susu, dan lalu lintas bajaj yang suaranya bisa bikin gondok. Minta disambit!
Seperti pagi yang telah lalu. Egi tidak berniat melanjutkan tidurnya meski badannya terasa lemes.
Habis begadang semalaman untuk ulangan Biologi. Terseok-seok gadis itu melangkah ke kamar mandi. Di dapur. Mama sibuk menyiapkan sarapan. Denis, kakak cowoknya, ngebantuin Papa menyiapkan barang dagangan berupa baju-baju kodian yang akan dibawa ke toko di pasar grosir Tanah Abang. Papa memang mempunyai toko di situ semenjak usaha Papa yang lama bangkrut. Papa memulai usaha lagi di pasar grosir terbesar itu. Dan penderitaan Egi memang berawal dari situ.
Papa membeli rumah di dekat lokasi Pasar Tanah Abang, biar dekat dengan toko. Rumah yang lama dijual untuk menambah modal dagang Papa. Egi sekeluarga terpaksa hidup sederhana, ya. terpaksa kalau dibandingkan gaya hidup Egi sebelum usaha Papa bangkrut.
Sebenarnya memang tidak menjadi masalah buat Egi. kalau harus mengurangi porsi belanja bajunya, tidak lagi suka nongkrong di kafe bareng genk nya. atau sesekali saja nonton di bioskop 21. Tetapi, yang menjadi gangguan justru lingkungan sekitar rumahnya. Rumah yang dibeli Papa persis berada di pinggir jalan kampung. Kalau dibandingkan rumah-rumah yang lain. rumah Egi termasuk lumayan bagus.
Tetapi namanya daerah kampung, tetap saja rumah-rumah sederhana berdempetan satu sama lain. Dan berisiknya minta ampun oleh lalu lalang bajaj sepanjang hari. teriakan tukang jualan, juga celoteh anak-anak kecil yang main bergerombol. Dan yang
benar-benar membuat Egi shock, dia bertetangga dengan tukang bajaj!
"Ma. lama-lama Egi bisa gila ..." rengek si Gadis membatalkan niatnya ke kamar mandi. Egi terduduk di lantai dengan tampang memelas. Si Mama melirik Egi tak mengerti.
"Gila kenapa" Mau gila kok. ngerasa sendiri." canda Mama sambil sibuk dengan penggorengan.
"ya. lama-lama Egi bisa gila kalo terus-terusan tinggal di sini!" sentak Egi mulai ngambek. Orang serius, kok Mama malah bercanda. Sebel'.
"Eh. ada apa ini. anak Mama.... pagi-pagi sudah uring-uringan"" Akhirnya. Mama mulai ngeh kalau Egi nggak enak perasaan.
"Egi nggak suka tinggal di daerah sini!"
"Nggak suka kenapa" Untuk saat ini. memang di sinilah tempat terbaik buat kita. Selain dekat dengan Pasar Tanah Abang, tempat toko Papa. juga dekat dengan Jalan Thamrin. ke mana-mana jadi gampang." jelas Mama.
"Tapi Egi nggak suka lingkungan di sini. Ma. Berisik, rame. ribut. Sumpek!"
"Mama harap, kamu bisa menyesuaikan diri. Egi. Kalo dibandingkan rumah kita yang di Kemang dulu. memang lain. Kamu harus bisa menerima keadaan kita sekarang ini."
"Iya. pelan-pelan Egi sudah berusaha. Ma. Tapi yang bikin kesal setiap hari. tetangga kita yang tukang bajaj itu!"
"Pak Miun maksud kamu""
"Masak parkir bajaj di depan rumah kita. subuh-subuh manasin mesin bikin telinga pekak. Nggak sadar apa kalo orang lagi tidur"!" gerundel Egi mengeluarkan unek-uneknya. Mama hanya bisa tersenyum. Tidak tahu harus berbuat apa kalo udah menyangkut urusan tetangga. Mau menegur Pak Miun dan menyuruh parkir bajajnya di tempat lain" Bagaimana kalau dia tersinggung" Padahal mereka orang baru di kampung itu.
"ya. Egi sabar saja. Dan mau menerima keadaan ini dulu." ujar Mama kemudian.
"Uh. sabar-sabar! Disabarin malah bikin gondok setiap pagi. Egi lama-lama nggak betah. Ma."
Mama terpaksa tersenyum saja sambil mengelus rambut Egi. "Uda
h. mandi sana! Shalat biar adem!" suruh Mama. Sarapan bikinan Mama sudah siap. Egi beranjak, segera menunaikan shalat Subuh.
Meski bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. tetapi Egi masih belum beranjak dari bangkunya. Sementara, anak-anak lain dengan girang berlarian keluar kelas. Tampang Egi masih lesu. Dia asyik mencoreti kertas dengan krayon warna-warni. Maksudnya biar jadi lukisan abstrak.
Tetapi, seraut wajah Vina sudah meringis di pinggir jendela.
"Eh. merengut aje kayak marmut nahan kentut, tapi kok jadi mirip cecurut! Hahaha ...!" ujar Vina riang dengan pantunnya. Egi yang lagi asyik, tersentak sedikit bingung. Vina kok. mirip lukisan abstraknya. Nggak tau yang mana hidung, yang mana mulut. Egi meringis geli sendiri.
"Heh. kamu tuh ditunggu n sejak tadi malah bengong-bengong di sini. Ke kantin, yuk"" ajak Vina kemudian, masih dari jendela kelas.
Vina memang lain kelas, tetapi sobat Egi semenjak SMP. Ke mana-mana suka bareng. Dan satu bulan ini. Vina sudah memakai jilbab lebar, sementara Egi belum. Tetapi yang bikin Vina heran, kenapa juga Egi murung begitu"
"Egiii... aku lagi ngomong sama kamuuu.... Kok. diliatin kayak orang aneh begitu"" ujar Vina lagi sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Ah. nggak. Vina, kalau nongol ucapin salam jangan nyerocos, Jilbabnya diingat terus, dong." balas Egi pelan.
"Hihihi... maaf. masih suka lupa. Kamu kenapa sih. Gi" Kusut bener tampangnya."
"Ngh ... aku lagi mikir kenapa kamu masih mau temenan sama aku""
"Kamu kok ngomongnya begitu. Gi""
"Iya. belakangan ini sering kepik ran begitu. Na."
"Kayaknya ini serius. Gi. Kamu tetap temanku, dan aku selalu jadi teman kamu. Ada apa sih. Gi" Kamu jadi begini, heran." Saking nggak sabarnya Vina.
dia lantas menarik tangan Egi keluar kelas, ia beli es krim dua mangkok di kantin. Lalu pergi ke sudut taman sekolah sambil menyeret-nyeret Egi.
Setelah itu mereka duduk di bawah pohon sukun, sambil memperhatikan anak-anak TK asyik bermain. Vina ingin segera tahu masalah Egi yang mendadak jadi aneh.
"Gi. ngomong!" perintah Vina. Kalo Egi nolak. dia udah siap nyiramin muka Egi pake es krim.
"Kamu tau kan. Na. usaha properti Papa bangkrut Semua barang dijual buat usaha Papa yang baru Rumah, mobil, semuanya dijual. Sekarang. Papa cuma punya mobil box buat ngangkutin barang-barang dagangannya. Papa dagang di Pasar Tanah Abang. Na. Rumahku pun deket-deket situ."
"Iya. yang itu aku tahu. Tapi masalahnya apa" Sampe kamu nyinggung-nyinggung masalah persahabatan kita segala""
Aku takut kalo kamu nggak mau temenan lagi sama aku. Na. Lebih baik aku yang misah duluan. biar nggak sakit-sakit amat."
"ya, ampuuun .. Egi. kamu kok naif banget jadi orang. Gue marah, nih""
"Siapa tahu kan, Na."
"Percaya, deh. Gi. Aku bukan tipe kayak gitu. Kan udah aku bilang, kita tetap sobatan apa pun yang terjadi, cieee... kok. jadi kayak di film-film silat"" Vina dan Egi ngikik berbarengan. Suasana mulai mencair
lagi. Mereka mulai menyeruput es krim yang udah meleleh sejak tadi.
"Ngomong-ngomong aku belon main ke rumah kamu lho. Gi,"
"Uhuk! Egi tersedak.
"Kenapa" Kan. kita bisa belajar bareng kayak dulu. Bentar lagi mau ujian, kan""
"Justru itu masalahnya. Na. Semenjak tinggal di situ. aku jadi uring-uringan terus. Tempat tinggalku kampung banget, benar-benar nggak nyaman. Rame dan berisik. Malah aku minta kos saja sama Mama. Takutnya, kamu malah nggak suka lagi."
"Pokoknya, aku tetap mau datang ke rumah kamu. Gi. Mau berisik, mau rame. urusan belakangan!" tegas Vina. Heran, si Egi maunya dikerasin terus, batin Vina.
Egi tidak berani ngomong apa-apa lagi. Bel tanda istirahat habis, membuat mereka segera kabur ke kelasnya masing-masing.
Prop ... phop ... phop ... phop... !!!
Suara itu lagi! Egi tersentak dari tidurnya yang pulas. Lantas seperti orang ketakutan melirik ke sebelahnya. Sebentar lagi. Vina terbangun karena suara buruk itu masih ngejeger. Berisik! Bikin gondok.
"Suara apaan. sih itu"" ujar Vina yang terbangun juga akhirnya. Semalaman dia memang ngotot pingin nginap di rumah Egi.
"Itu. vijai tetangga gue. Begitu itu yang nge-gangguin gue setiap har
i. Apa gak bikin kesel"" rutuk Egi pagi-pagi itu. Mereka udah kehilangan minat buat tidur lagi. Suara vijai itu masih terus menjerit manasin mesin.
"Gue udah niat banget minta kos. Gue rasa. lama-lama lo juga nggak betah tetanggaan dengan tukang vijai yang nggak tahu diri. Bisa bikin kuping budek!" omel Egi lagi. Vina cuma bisa menghela napas melihat Egi misuh-misuh.
"Gi. kenapa nggak coba sabar aja. sih" Lama-lama kan. bisa terbiasa. Yok. subuhan dulu!" Vina menarik tangan Egi sambil senyum.
Kesiangan lagi! Mama juga. Papa sama Denis sibuk menyiapkan barang dagangan yang mau dibawa ke toko. Egi misuh-misuh karena jam pertama bakal ada ulangan Fisika.
"Mama gimana. sih. biasanya bangun duluan." sungut Egi sambil memasang sepatunya. Mulutnya mengunyah roti sarapan.
"Iya. semenjak nggak ada Pak Miun. Mama jadi susah bangun pagi. Biasanya suara bajajnya itu yang ngebangun n Mama." jawab Mama. "Tapi. besok-besok kita pasang weker aja."
Nyes! Ada perasaan tidak enak di hati Egi. Selama ini. dia selalu meributkan suara bajaj itu. Sekarang, suara itu tidak akan mengusik tidurnya lagi. Dua hari yang lalu. bajaj itu tabrakan. Pak Miun meninggal. Hingga berangkat sekolah, perasaan itu masih mengusik hati Egi. Suara bajaj itu jadi kepikiran terus.
Egi merasa kehilangan sesuatu ....
Catatan: Vijai: bajaj! Palris Jaya lahir di Jakarta. 9 Oktober 1976. ia mulai menulis sejak masih duduk di bangku kelas tiga SMP Tulisan kreatif pertamanya pernah dimuat di koran lokal daerah Padang. Setelah lulus SMA Negeri 1 Pariaman. Palris pindah ke tempat kelahirannya, Jakarta, dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan swasta.
Karya-karya pemilik nama panggilan Ipal Ini. beberapa kali dimuat di majalah; Anita, Aneka, Hai, Kawanku, Gadis, Fiksi Planet, Cinta, Annida, dan Bobo. Tak heran, dengan sering dimuat di media, karya-karyanya semakin layak diperhitungkan.
Beberapa kali Ipal mendapatkan predikat juara di berbagai lomba kepenulisan yang diikutinya, di antaranya; Juara Harapan Lomba Mengarang Cerpen Misteri Majalah Donal Bebek 2000. Juara II Lomba Mengarang Cerita Misteri Majalah Bobo 2001, dan pada 2002 menjadi Juara Harapan Mengarang Dongeng Majalah Bobo 2002. serta meraih Juara II Lomba Mengarang Cerpen Islami Forum Lingkar Pena 2002, untuk kategori Sastra.
Salah satu cerpennya dibukukan dalam antologi bersama milad FLP 2002. Luka Telah Menyapa Cinta (FBA Press. 2002). Dan antologi cerpen pemenang Lomba Mengarang Cerpen Islami FLP 2002, kategori Sastra, dengan judul Dari Negeri Asing (Asy-Syaamil. 2002).
Sedangkan Kumpulan Cerita Islami Dijemput Malaikat (DARI Mizan 2003) Ini adalah buku remaja pertamanya yang diterbitkan DAR! Mizan di bawah Lini Sahabat Remaja Muslim. Buku-buku kreatif lainnya, tunggu saja tanggal terbitnya karena Ipal mengaku masih banyak lagi yang Ingin dituliskannya.
Saat Ini, penulis potensial yang merasa masih belum apa-apa Ini. tercatat aktif di FLP-DKI Jakarta. Salah satu komitmennya yang layak kita kagumi, adalah Ipal lebih suka membaca karya sastra pengarang negeri sendiri, sebagal bentuk kompensasi bahwa kita harus bangga dan percaya diri dengan apa yang kita miliki.
Ebook by syauqy_arr Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Ilusi Scorpio 10 Sherlock Holmes - Petualangan Tiga Pelajar My Lovely Gangster 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama