Ceritasilat Novel Online

Jingga Dalam Elegi 2

Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih Bagian 2


ng aman untuk ngomong tanpa kekuatiran bakalan dicuri dengar. Fio membuka kotak bekalnya.
"Dari Ata kemaren. Kompensasi karena gue kudu pergi, selain ongkos taksi."
Tari mengambil sepotong. "Gila! Enak banget!" deisisnya.
"Iyalah. Bikinan dapur hotel bintang lima nih. Gue baca di kotaknya kemaren. Kotaknya aja cakep banget."
Sambil menikmati potongan-potongan cake kehu itu dengan sepenuh penghayatan-soalnya itu cake keju pualing uenak yang pernah mereka makan-keduanya mulai membahas rumah Ari.
Kali ini mereka saling melempar hipotesis penyebab Ari merahasiakan tempat tinggalnya yang mewah banget itu. Dan sesaat sebelum bel tanda waktu istirahat berakhir berbunyi, keduanya mencapai kesepakatan resmi.
Penyebab Ari merahasiakan rumahnyajelas karena tu rumah mewah banget. Dan rumah sekeren itu jelas fasilitasnya juga lengkap. Bisa jadi stok makanan juga melimpah ruah.
Alhasil, sekali orang masuk ke dalamnya, kayaknya dia nggak bakalan bisa disuruh keluar lagi. Jadi mendingan Ari cari aman, nggak usah ngundang orang untuk datang.
**** Hampir setengah jam duduk di depan meja belajarnya, Tari mendapati dirinya tidak bisa konsen sama sekali. Buku di depannya terbuka tanpa terbaca. Sejak dilihatnya rumah Ari dua hari yang lalu, bangunan megah itu jadi mengisi sebagian besar ruang di dalam kepalanya.
Dengan kesal akhirnya cewek itu meletakkan bolpoin yang sedari tadi hanya dipegangnya, tanpa digunakan sama sekali. Disambarnya ponselnya. Dengan gerakan terlatih, karena terlalu seringnya satu nama itu muncul di layar ponselnya, Tari menekan nama Ata. Dan seperti biasanya, dia tak perlu menunggu terlalu lama.
"Ya, Tar""
"Liat rumah Kak Ari lagi, yuk""
"Liat lagi""
"Iya." "Kapan"" "Sabtu ini."
Hening di seberang. Tari berusaha sabar. Dia sadar sudah merepotkan Ata. Bogor-Jakarta bukanlah jarak yang dekat.
"Ke sana Sabtu emang nggak bahaya" Takutnya tu anak ada di rumah."
"Ya nanti kita lewatnya cepet lagi. Kayak waktu itu. Gue Cuma mau mau merhatiin detail yang terlewat aja kok. Kan kalo taman udah. Gerbang Helios juga udah. Dindingnya yang cakep banget juga udah. Gue mau merhatiin yang terlewat. Misalnya pintu, jendela, terus balkon di lantai dua. Terus lampu taman. Kayaknya waktu itu sekilas gue liat bentuk lampu tamannya unik jufa deh. Makanya jadi penasaran. Terus kalo nggak salah di taman itu juga ada pancuran," Tari menjelaskan panjang lebar. Berharap dengan begitu Ata jadi bisa memahami permohonannya.
"Elo tuh sengaja nyerempet bahaya, ya"" Ata tetap terdengar keberatan.
"Abis gue penasaran banget. Jadi kepikiran terus nih. Ya, Ta" Ayo doooooong. Pleaseeee.... " pinta
Tari, setengah merajuk. "Terus, lo mau bilang apa ke ortu lo" Pergi hari Sabtu gitu. Pacaran" Emang udah boleh"" goda Ata. Seketika Tari merasa mukanya memanas.
"Bokap-nyokap gue pergi. Tapi gue udah bilang kok, mau pergi sebentar." "Pantes lo ngajaknya Sabtu."
"Jadi gimana" Mau, ya"" bujuk Tari lagi. Kembali hening di seberang. Kembali Tari berusaha menunggu dengan sabar.
"Oke deh," ucap Ata akhirnya, membuat Tari nyaris bersorak. "Apa pun lah, kalo elo yang minta. Daripada ngambek lagi kayak kemaren. Susah banget dibujuknya."
"Hehehe." Tari tertawa geli dan mewujudkannya dalam satu kata.
"Tapi gue bisanya sore ya, Tar. Siang ada bimbel. Jadi sampe tempat lo paling cepet jam empatan. Berarti ada kemungkinan kita pulang malem. Jam malem lo sampe jam berapa""
"Ya asal jangan malem-malem aja."
"Jangan malem-malem aja tuh jam berapa"" "Jam delapan setengah sembilanan gitu deh." "Oke, cukup."
Sabtu sore, jam empat lewat sepuluh, Everest hitam Ata berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Tari. Tari yang sudah siap sejak setengah jam lalu langsung berdiri dan menghampiri dengan langkah-langkah cepat.
"Gue muter dulu deh. Kayaknya bakalan ribet nih. Ada puteran gak di sini"" tanya Ata.
"Numpang aja di halaman rumah orang yang pagernya lagi kebuka. Di sini udah biasa gitu kok. Jadi nyantai aja."
"Oke deh. Lo tunggu bentar ya."
Ngomongnya sih bakalan ribet, tapi Tari melihat
Ata sama sekali tidak kesulitan memutar mobilnya yang berbadan besar itu.
"Ayo!" Cowok itu mengangguk sambil membuka pintu penumpang. Tari buru-buru naik. "Nggak susah-susah amat, kan"" ucap cewek itu.
"Ada tetangga lo yang lagi ngablakin pager lebar-lebar, jadi ya nggak susah. Kalo semua pager pas lagi ketutup, terpaksa gue mundur." Kemudian cowok itu menarik napas panjang. "Siap, ya" Risikonya gede nih. Soalnya hari libur."
"Siap. Siap." Tari langsung mengangguk kuat-kuat.
"Dasar. Emang udah niat banget sih ya." Ata geleng-geleng kepala.
Ata segera membawa mobilnya meluncur menuju rumah Ari. Tiga puluh menit kemudian kembali Tari melihat jalan masuk yang tertata rapi itu. Disusul gapura megah bertuliskan SISTINE di kejauhan.
Tak bisa dicegah, jantungnya langsung berdegup kencang. Tak dia sadari punggungnya yang tadi bersandar dengan nyaman sekarang berdiri tegak.
"Siap! Siap!" jawaban Tari nyaris tak terdengar.
Mobil berbelok ke kanan. Tari nyaris tak bernapas saat pagar hitam rumah Ari tampak di kejauhan dan kedua patung Helios itu membentuk siluet yang berimpitan.
Tapi ternyata rencananya gagal total.
Ari ada di rumah! Motor hitamnya terparkir di carport samping taman. Pintu depan rumah mewahnya terbuka sedikit. Menampakkan sekilas isi ruang tamunya.
Ata langsung menginjak pedal gas kuat-kuat. Everest hitam yang dikemudikannya melesat seperti anak panah terlepas dari busur. Pemandangan yang jelas sangat ganjil mengingat begitu lengangnya jalan-jalan di kompleks perumahan mewah itu.
Setiap orang yang sedang berada di halaman depan rumah mereka atau di mana pun, di tempat kelebat Everest hitam Ata yang melesat cepat itu secara tak sengaja tertangkap mata, pasti segera berlari keluar ke tepi jalan. Semuanya menatap dengan bingung dan tak mengerti, karena mereka tidak menemukan penyebab Everest hitam itu melaju seperti desingan peluru begitu.
Di dalam mobil Tari mengikuti setiap gerakan nyaris dengan seluruh kesadaran yang lumpuh dicengkeram kepanikan. Sementara di belakang setir, sebagian konsentrasi Ata terpusat pada jalanan di depannya. Berusaha mencari jalan keluaar secepatnya. Sementara sebagian lagi dicurahkannya untuk cewek yang duduk di sebelahnya. Yang karena manver mobil yang dibuatnya, tubuh Tari jadi tersentak ke sana kemari.
Sesuai dengan fungsi dan tujuan benda ini menjadi bagian dari desain mobil, seatbelt sebenarnya sudah cukup mengamankan. Tapi tetap saja Ata kuatir. Sebentar-sebentar tangan kirinya terulur. Memegang bahu Tari atau mencekal lengan kanannya. Atau menahan bagian belakang kepalanya saat gerakan mobil menyebabkan cewek itu terempas ke belakang. Meskipun sandaran jok tidak akan menyebabkan benturan yang berakibat fatal, tetap saja Ata terlihat sangat cemas.
Akhirnya mereka temukan jalan keluar. Sebuah gapura megah bertuliskan SISTINE. Jelas bukan gapura yang mereka masuki jika dilihat dari komposisi tanaman hias yang mengapit jalan itu di kiri-kanan.
Ata tetap melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Baru setelah merasa mereka sudah benar-benar aman, cowok itu menepikan mobil. Keheningan langsung menyita setiap ruang kosong yang ada.hanya suara desah napas Ata yang memburu. Perlahan kemudian dia mulai menenang. Ketika telah benar-benar tenang, cowok itu menarik napas panjang.
"Hampir saja!" desisnya.
Beberapa saat kemudian Tari mendesiskan kata yang sama. "Hampir! Hampir!" Dia menepuk-nepuk dada. Ditariknya napas panjang, lalu diembuskannya kuat-kuat.
Ata menoleh. "Ada yang sakit nggak"" tanyanya cemas. Tangan kirinya terulur. Disibaknya poni Tari yang menutupi sebagian mukanya. Cewek itu menggeleng tanpa suara. Mukanya yang benar-benar pucat membuat Ata menatapnya dengan sorot ganjil yang luput tertangkap.
Tiba-tiba cowok itu mengulurkan kedua tangannya dan memeluk Tari.
"Sori tadi ya," bisiknya. "Sori banget."
Tari terkesiap. Seketika tubuhnya menegang. Baru saja akan dilepasnya pelukan itu dengan paksa, Ata telah lebih dulu menguraikan kedua lengannya.
"Udah ya, nggak usah ke sana lagi. Risikonya gawat. Bukan gue y
ang gue pikirin. Elo. Karena elo yang satu sekolah sama dia. Elo yang ketemu dia setiap hari. Lain ceritanya kalo gue juga satu sekolah. Urusan dia sama gue. Lo tinggal nonton aja."
"Iya, ngerti." Tari mengangguk, mengiyakan dengan suara lirih. Mukanya tidak lagi sepucat tadi. Pelukan Ata telah menyingkirkannya dengan memberikan semburat merah yang halus. "Kira-kira tadi dia ngeliat kita lewat nggak ya"" tanyanya kemudian. Cemas, tapi pelukan Ata tadi membuatnya jadi tidak berani menoleh untuk menatap cowok itu secara langsung.
"Nggak tau deh." Ata menggeleng. "Mau nggak mau lo harus nunggu sampe Senin pagi. Liat gimana reaksinya."
Tari terdiam. "Baru jam lima lewat dikit." Ata melihat jam tangannya. "Jalan yuk""
"Ke mana""
Cowok itu tersenyum. "Lo pasti suka," jawabnya pendek dan langsung injak pedal gas.
Ata mengarahkan mobilnya ke pusat Jakarta. Di sebuah pusat perniagaak besar, cowok itu membelokkan mobilke area parkir yang bertingkat. Di lantai ketiga, dicarinya tempat kosong yang dekat dengan pintu masuk.
"Lo tunggu sini bentar ya," ucapnya sambil membuka pintu di sebelahnya. "Emang kita mau ke mana sih"" Tari menatapnya dengan bingung.
Ata Cuma tersenyum. "Lo tunggu sini sebentar. Gue nggak lama." Dia menolak menjawabnya.
Ternyata cowok itu memang pergi tak lama. Lima belas menit kemudian dia kembali. Sebuah tas plastik putih bertuliskan nama sebuah gerai donat ditentengnya di tangan kiri. Ata meletakkan tas plastik itu di pangkuan Tari kemudian menghidupkan mesin.
"Apaan nih panas-panas"" Tari mengangkat tas plastik itu lalu mengusap-usap pahanya. "Kopi ya" Apa cappuccino""
"Cokelat panas."
"Emang kita mau ke mana sih, pake bawa bekal gini"" "Ke momen favorit," jawab Ata pendek.
Cowok itu kemudian memundurkan mobil. Tari mengira mereka ajan pergi dari situ, tapi ternyata Ata mengarahkan mobilnya ke area parkir paling atas. Sebuah tempat terbuka yang langsung beratap langit. Ata memilih tempat yang menghadap ke langit.
Tari langsung menyadari apa momen istimewa itu, karena baginya itu juga selalu menjadi momen yang istimewa.
Sang matahari, yang dalam banyak peradaban kuno dianggap sebagai perwujudan dewa utama, sedang beranjak menuju peraduannya. Semberat warna jingga yang megah memenuhi seluruh langit barat, mengiringi kepergiannya, namun tetap tak mampu menandingi kemegahan sang raja langit itu.
Tari terpukau. Selalu, meskipun pemandangan itu sudah ribuan kali disaksikannya. Dia terpesona karena matahari tenggelam tetap terlihat indah di langit Jakarta yang mempunyai tingkat polusi sangat tinggi.
"Bagus banget ya," desahnya. "Padahal langit Jakarta tuh polusinya parah banget."
Cewek itu lalu menceritakan sebuah foto yang pernah dilihatnya di majalah, National Geographic. Awab hitam tebal-karena polusi, bukan mendung-menggantung di langit Jakarta.
"Tapi tetep indah banget."
"Lo belom pernah ngeliat matahari tenggelam di langit yang masih perawan, ya"" tanya Ata dengan suara pelan.
"Maksudnya kayak di Puncak, gitu""
"Tempat yang jauh dari peradaban maju. Gue pernah ngeliat matahari terbenam di pedalaman Papua."
"Belom." Tari menggeleng.
"Pantes." "Pasti bagus banget, ya""
"Bukan bagus lagi," desah Ata. "Matahari tenggelam yang ini sih kayak kita ngeliat dari balik kelambu yang udah sepuluh tahun nggak dicuci."
Dengan kedua mata tertancap ke langit barat, menyaksikan pergerakan sangat lambar yang nyaris tidak disadari, keduanya mengantar kepergian sang raja langit untuk menerangi belahan dunia yang lain. Yang semakin jadi menarik karena Ata menceritakan pengalamannya menyaksikan matahari tenggelam di banyak tempat.
Tari terpesona sekaligus iri mendengar semua cerita Ata itu. Matahari tenggelaam di Kuta, matahari tenggelam di Senggigi, di Ujung Kulon, di puncak Merapi, bahkan matahari yang tenggelam di balik Piramida, negeri pada firaun sana.
Yah, Ata tajir sih. Jadi mau ngeliat matahari tenggelam di mana aja ya bisa, ucap Tari dalam hati.
Sang raja langit telah benar-benar pergi. Memberikan kegelapan pekat pada langit ya
ng ditinggalkannya. Dengan demikian para bintang bisa muncul untuk memperlihatkan diri mereka. Ata melihat jam tangannya.
"Setengah tujuh kurang. Mau balik atau jalan""
"Balik aja deh," jawab Tari langsung. Pelukan tadi masih membayang dan dia jadi tidak ingin berlama-lama berdua Ata. Malu.
"Nggak makan dulu""
"Nggak usah. Takut ortu gue balik duluan. Ntar mereka ngira gue suka manfaatin kesempatan."
"Oke." Ata mengangguk mengerti. Diputarnya kunci, Everest hitam itu pun meninggalkan tempat itu, kemudian berhenti di mulut jalan kecil yang menuju rumah Tari.
"Udah ya, jangan ke sana lagi," Ata mengulangi permintaannya sebelum Tari turun.
"He-eh." Tari mengangguk.
"Sori tadi. Sori banget." Cowok itu mengulurkan tangan kirinya, mengusap-usap puncak kepala Tari. Membuat pelukan tadi seketika kembali membayang. Tari buru-buru membuka pintu di sebelahnya lalu melompat turun.
"Makasih ya. Ati-ati di jalan." Cewek itu tersenyum jengah. Beruntung malam menyembunyikan roma merah di wajahnya hingga tak tertangkap mata Ata.
"Oke." Ata membalas senyum itu. "Kalo mau kemana-mana, telepon aja. Gue siap nganter, tapi bukan ke sarang Ari."
"Oke. Daaah!" Tari tersenyum lagi, balik badan, dan langsung berjalan cepat menuju rumahnya. Rasa malu dan jengah membuatnya tak sanggup menunggu sampai Ata membalas salam perpisahannya, seperti biasa.
Senin pagi. Tari memasuki halaman sekolah dengan perasaan waswas. Jantungnya langsung berdegup kencang. Sepasang matanya memindai seluruh area depan sekolah sampai ke setiap sudut, dengan ketajaman mata seekor elang.
Mukanya sontak memucat saat mendapati motor hitam Ari terpakir di tempat biasa. Kedua mata Tari semakin nyalang memindai setiap sudut. Cewek itu menarik napas lega ketika sosok yang paling ditakutinya saat ini ternyata tidak terlihat sama sekali. Kemungkinan Ari berada di area kelas dua belas atau di kelasnya sendiri.
Sebenarnya Tari merasa harus melihat Ari untuk memastikan apakah kehadirannya dan Ata di rumah Ari Sabtu sore kemarin diketahui, dan apakah cowok itu tahu bahwa lokasi rumahnya sekarang sudah tidak lagi menjadi satu misteri, namun Tari lebih memilih untuk tidak melihat cowok itu.
Tari langsung mempercepat langkah. Menjelang sampai di kelasnya, kembali cewek itu dicekam ketakutan. Kembali jantungnya berdegub kencang. Berbagai macam dugaan muncul di kepala. Apakah Ari sedang bercokol di bangkunya, duduk menunggunya" Atau cowok itu tidak terlihat, tapi salah seorang teman sekelasnya langsung menyambutnya dengan informasi bahwa Ari mencarinya"
Tapi ternyata tidak terlihat tanda-tanda kehadiran Ari, juga tidak ada info apa pun. Kembali Tari menarik napas lega. Setelah meletakkan tasnya di bangku, buru-buru dia berlari keluar kelas menuju koridor depan kantin. Dia harus tahu secepatnya, Ari tahu atau tidak dirinya dan Ata lewat di depan rumah cowok itu kemarin sore. Dengan begitu jadi bisa diketahui dengan jelas situasinya. Jadi bisa disiapkan antisipasinya pula.
Fio, yang sampai di kelas tak berapa lama kemudian segera menyusul begitu melihatnya Tari sedang berdiri di koridor depan kantin dengan tubuh menghadap ke area depan sekolah. Fio sudah tahu apa yang sedang dicari teman semejanya itu, karena Sabtu malam Tari meneleponnya dan dengan kalut menceritakan apa yang sudah terjadi. Dan dirinya sependapat dengan Ata. Tidak ada yang bisa dilakukan sampai Senin pagi.
"Motornya ada, tapi gue nggak ngeliat orangnya," ucapan Fio membuat Tari menoleh kaget.
"Eh, elo! Ngagetin gue aja." Kembali pandangan Tari terarah ke area depan sekolah. "Gue juga nggak ngeliat."
Keduanya terpaksa menunggu dengan sabar. Fio bahkan kemudian pindah ke koridor di depan kelas, mengawasi koridor utama di bawah.
Lima belas menit sebelum bel, dari arah koridor yang menuju tangga ke area kelas dua belas, muncul sekelompok siswa kelas dua belas. Segera Fio menangkap sosok Ari di tengah gerombolan siswa itu. Bukan hanya karena cowok itu memang selalu mencolok mata di mana pun dia berada, tapi juga karena hari ini dia mengenakan celana jins biru. Dan jind
biru yang dipakainya menjadi satu-satunya warna berbeda di tengah dominasi abu-abu, membuat cowok itu semakin mencolok lagi.
Fio ternganga dengan napas tersentak. Seketika dia berlari pontang-panting ke tempat Tari berdiri.
"Dia ada! Gue barusan ngeliat di koridor bawah!" lapornya dengan napas terengah.
Baru saja kalimat Fio selesai, gerombolan cowok itu muncul di mulut koridor utama. Mereka kemudian pecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok segera mengisi lapangan futsal, sementara kelompok yang lain langsung merajai lapangan basket. Ari ada di lapangan basket.
Tari dan Fio langsung mengamati Ari lekat-lekat. Meskipun jarak yang terbentang lumayan jauh dan mustahil bisa melihat ekspresi muka Ari, Tari berharap bisa mendapatkan petunjuk lewat bahasa tubuh cowok itu.
Ketegangan Tari mulai menurun saat dilihatnya Ari begitu menikmati permainan basketnya. Cowok itu bahkan terlihat rileks.
"Kayaknya dia nggak tau kalo rumahnya udah ketauan, Tar," bisik Fio.
"Kayaknya," Tari balas berbisik. Kepalanya mengangguk-angguk tanpa sadar. "Syukur deh. Syukur..." Tari mendesah lega sambil menepuk-nepuk dada.
Tiba-tiba Ari mendongak dan menatap ke arah mereka. Serentak Tari dan Fio melompat mundur, menjauh dari tepi koridor.
"Dia ngeliat nggak!"" desis Tari. Langsung panik.
"Kayaknya ngeliat!" Fio mengangguk, ikut deg-degan.
"Kabur! Kabur! Buruan!" Tari balik badan dan langsung berlari menuju kelas. Fio buru-buru mengikuti.
"Emang aman"" tanyanya tak yakin. Karena memang sekolah tidak ada tempat yang aman dari Ari, kecuali kantor kepsek dan ruang guru. Sayangnya kedua ruangan itu berada nun jauh di bawah sana.
"Bentar lagi bel dan kita kan mau ulangan matematika."
Sama sekali bukan keyakinan, tapi Tari Cuma berharap ulangan matematika akan membuat Pak Yakob mengambil tindakan tegas terhadap Ari. Itu pun kalau Ari memang muncul.
Satu meter menjelang sampai pintu kelas, satu sosok berkelebat melewati Tari. Seketika ambang pintu kelas bukan lagi sebuah ruang kosong yang hanya terisi oleh udara dan gampang untuk dilalui. Sesosok tubuh telah menempatkan diri menjadi barikade di sana.
Tari langsung mengerem laju kedua kakinya kuat-kuat. Nyaris saja ditabraknya Ari. Cewek itu mundur selangkah. Raut mukanya yang menatap Ari lurus-lurus tertarik tegang.
"Ada apa lo ngeliatin gue tadi"" tanya Ari langsung.
"Siapa juga yang ngeliatin elo" Nggak usah segitu sok ngetopnya deh. Tadi di lapangan kan banyak banget orang," Tari langsung membantah keras.
Ari menyeringai. Dia mengangkat kedua alisnya, tapi tidak bicara apa-apa. Bikin Tari jadi sewot.
"Gue nggak ngeliatin elo, tau!" bantah Tari lagi. Kedua matanya melotot bulat-bulat. "Di bawah tadi banyak orang, bukan Cuma elo. Lagi pula eko segitu jauh, gimana juga bisa keliatan""
"Kalo lo emang nggak lagi ngeliatin gue, gimana lo bisa tau gue segitu jauh" Nggak ngeliatin tapi lo bisa ngitung jaraknya ya" Hebat!" balas Ari telak. Seketika Tari merasa mukanya memanas. Ari tersenyum geli.
"Udah, ngaku ajalah. Gue emang selalu diliatin cewek kok. Jadi gue bisa mastiin, lo tadi emang lagi ngeliatin gue."
"Iya. Ngaku aja lo. Bos gue ganteng banget gini, jelas aja diliatin cewek melulu," sambung satu suara di belakang Tari. Oji. No wonder. Dia emang jongos Ari yang paling setia. "Lo nggak perlu pura-pura nggak tertarik deh, Tar. Basi, tau! Nggak bakalan ada yang ketipu."
Sontak Tari menatap Oji dengan mata membara, sementara senyum geli Ari pecah jadi tawa. Para penonton yang bisa mendengar ucapan Oji itu ikut tertawa. Bela masuk yang sebentar lagi akan berbunyi memang membuat setiap siswa berada di dalam atau di sekitar kelas masing-masing. Menciptakan, secara otomatis, jumlah penonton yang melimpah ruah.
Mereka segera memenuhi koridor dari ujung ke ujung begitu melihat kemunculan Ari tadi. Apalagi setelah melihat cowok itu memotong langkah-langkah cepat Tari dan menghadangnya di pintu kelas, jumlah penonton yang memenuhi koridor jadi semakin padat lagi. Panggilan dari teman yang berada di luar atau bahasa tubuh mereka membuat siswasiswa yang berada di dalam kelas jadi tertarik dan bergegas keluar. Hanya di sekitar Ari dan Tari, serta dua pemain pembantu, Oji dan Fiom tercipta sedikit ruang kosong.
Beruntung, Pak Yakob muncul. Satu tangannya mengapit lembaran kertas. Disusul bel masuk kemudian berbunyi. Tatapan guru itu langsung tertuju pada Ari. Cowok itu menyingkir sekitar satu meter dari ambang pintu.
"Pagi, Pak." Ari mengangguk memberi hormat. Pak Yakob tidak menjawab. Tatapannya berubah dingin.
"Sudah bel," katanya mengingatkan.
"Bapak mau ngadain ulangan, ya"" Ari menunjuk lembaran kertas di satu tangan Pak Yakob. "Saya ikut ya, Pak" Buat pedalaman materi. Soalnya saya kan udah kelas dua belas."
Tatapan Pak Yakob semakin dingin. Sementara Oji terlihat mulai menahan-nahan senyum. "Dilarang memakai jins di sekolah!" tegur Pak Yakob dengan nada tajam.
"Wah, saya nggak akan pake cara kayak gitu, Pak," jawab Ari seketika. "Kalo nggak bisa jawab, saya lebih baik nyontek. Tanya temen kiri-kanan-depan-belakang. Atau buka buku catetan kecil di laci. Atau saya nyontek Oji, meskipun jawabannya lebih banyak yang ngaco daripada yang bener. Nggak bakalan saya tanya-tanya sama jin. Itu kan dosa, Pak. Apalagi belom tentu juga jin bisa matematika."
Ari menjelaskan dengan sikap serius. Panjang lebar pula. Seketika Oji menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan cengiran yang benar-benar nggak bisa dia tahan. Secepat mungkin kemudian dia berusaha melenyapkan cengiran itu dari mukanya.
Bukan apa-apa, Pak Yakob ada pas di depan mukanya. Nyengir di depan muka guru, gara-gara temen bikin ulah pula, sumpah, itu kurang ajar banget. Sama sekali nggak hormat sama guru!
Sementara itu senyum lebar dan tawa tertahan seketika juga bermunculan di wajah penonton yang bisa mendengar ucapan Ari itu. Mereka menatap dengan ekspresi semakin tertarik. Sama sekali tak peduli bel masuk yang sudah berbunyi.
"Ehem," Oji berdehem pelan. "Maksudnya celana jins, Bos. Bukan jin yang cs-annya dukun atau jin yang suka nongkrongin pohon," Oji menjelaskan dengan sikap serius juga.
"Ooooh." Ari berlagak baru ngeh. Kemudian dia menundukkan kepala, memandangi celana jins birunya. Ketika cowok itu mengangkat kembali kepalanya, senyum lebar menghiasi bibirnya. Kontras dengan bibir kaku dan pandangan kedua mata Pak Yakob yang semakin dingin.
Sementara itu Bu Sam, yang mendapat laporan bahwa Ari melakukan pelanggaran lagi-memakai celana jins ke sekolah, berwarna biru pula-sudah sejak tadi mencari-cari salah satu anak didiknya itu. Sebuah penggaris kayu yang siap dia pukulkan tergenggam di tangan kanan. Begitu dilihatnya koridor kelas sepuluh begitu penuh dengan para siswa padahal bel masuk sudah berbunyi, Bu Sam langsung tahu di mana dia bisa menemukan murid paling bermasalah itu.
Guru penegak peraturan itu bergegas melangkah menuju tangga. Dinaikinya anak tangga dua-dua sekaligus. Sesampainya di koridor kelas sepuluh, dengan ujung penggaris kayu diketuk-ketuknya punggung siswa yang berdiri paling belakang, meminta jalan dengan paksa.
Dengan segera tercipta jalan untuk Bu Sam, karena siswa yang punggungnya diketuk ujung penggaris tadi segera memberitahu teman-teman sekitarnya. Memunculkan pesan berantai yang bergerak cepat.
Mata para penonton yang mengetahui kedatangan Bu Sam mengikuti guru itu dengan ekspresi semakin tertarik. Tanpa satu sama lain tahu, dalam hati mereka sama-sama berharap kejadian kayak begini bisa terjadi setiap pagi. Lumayan banget buat seger-segeran sebelum jam pelajaran panjang yang sering bikin frustasi.
Begitu tercipta akses, dengan geram Bu Sam menghampiri Ari. Penggaris kayu di tangan kanannya dalam keadaan siap untuk dihantamkan ke murid paling bandel itu, yang langsung dilakukannya begitu sang murid sudah berada tepat di depan mata.
"ADUH!!!" Ari memekik begitu penggaris kayu itu mendarat dengan keras di salah satu lengannya. Seketika dia menjauh dua langkah begitu tahu pukulan yang datang tiba-tiba itu berasal dari penggaris kayu tebal di tangan wali kelasnya.
"Ibu nanti saya laporinke Komnas Anak ya. Saya bila
ngin ke Kak Seto kalo Ibu udah melakukan penganiayaan terhadap anak-anak."
"Anak-anak yang mana"" tanya Bu Sam dengan kedua mata melotot galak. "Saya kan bisa dibilang masih anak-anak."
"Bangkotat begini bilang masih anak-anak"!" Saking kesalnya, Bu Sam sampai lupa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Tawa Ari kontan meledak. "Ibu kasar ih. Nggak memberikan teladan yang baik. Di depan anak-anak kelas sepuluh nih, Bu."
"Kamu kira apa yang kamu lakukan sekarang ini memberikan teladan yang baik untuk adik-adik kelas"" Penggaris kayu di tangan Bu Sam menunjuk celana jins biru yang dipakai Ari.
"Sekarang salah siapa coba dong, Bu" Pihak sekolah kan Cuma ngasih celana seragam dua potong. Saya tadi udah bilang ke Pak Yakob, celana seragam saya kotor dua-duanya. Belum dicuci. Masa saya mesti pakai celana kotor ke sekolah" Kan bisa kena penyakit kulit. Kalau Cuma panuan di kaki atau tangan sih nggak pa-pa. Nah, kalo aset saya yang kena, gimana" Kan bisa menghancurkan masa depan."
Tari ternganga. Emang bener-bener gila ni cowok! ucapnya dalam hati. Nggak hormat banget sama guru!
Sama seperti Tari, melihat sikap Ari itu tak urung para penonton yang seluruhnnya siswa kelas sepuluh itu terpukau dengan cara mereka masing-masing. Ada yang berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ada yang diam tapi kedua matanya menyorotkan kekaguman yang tak tersembunyikan. Ada yang tersenyum-senyum geli. Tapi ada juga yang menatap Ari dengan sorot tidak suka, karena menganggap tindak-tanduk cowok itu sudah kelewatan. Tapi yang terakhir ini jumlahnya hanya segelintir.
Sejak awal Bu Sam sadar, percuma berdebat dengan Ari. Hanya akan membuat proses belajar-mengajar di semua kelas sepuluh terhambat. Dibantu Pak Yakob dan semua guru kelas sepuluh yang mengajar pada jam pertama, Bu Sam memerintahkan semua siswa kelas sepuluh yang memenuhi koridor itu untuk masuk ke kelas masing-masing.
Sambil memandang Ari dengan ekspresi puas, Tari melangkah menuju pintu kelas yang tadi musykil bisa dilewatinya karena dibarikade cowok ini. Ari tersenyum lebar. Terlihat tawa geli melihat ekspresi kemenangan Tari itu. Masih dengan senyum geli, kemudian ditinggalkannya tempat itu, karena Bu Sam mulai mengetuk-ngetukkan ujung penggaris kayu ke punggungnya.
*** Bel pergantian pelajaran berbunyi. Begitu Pak Yakob keluar ruangan, Tarilangsung merapatkan tubuhnya ke Fio dan bertanya dengan suara berbisik.
"Gimana" Menurut lo Kak Ari tau nggak kalo rumahnya udah ketauan" Feeling gue sih nggak."
"Kayaknya nggak," Fio mengangguk. Menjawab juga dengan bisikan. "Karena kalo dia tau, lo udah dia cekek tadi. Sampe mati, kali."
"Iya sih. Bukan nggak mungkin."
"Iyalah. Gue rasa itu rahasianya yang terbesar setelah fakta kalo dia punya kembaran. Makanya nggak ada yang berani coba-coba cari tau, kan" Jadi kalo ada orang yang berhasil tau, apalagi berhasil taunya karena usaha bukan karena nggak sengaja, gue rasa bakal langsung dia matiin tu orang."
"Mending kalo Cuma dimatiin. Gue rasa abis itu bakalan dimutilasi."
Praduga yang sangat berlebihan itu membuat kedua mata cewek itu berpandangan lalu bergidik bersamaan.
"Aduh, untung gue masih selamet," desah Tari lega sambil mengelus-elus dada.
"Makanya, Tar... Udah deh, nggak usah ke sana lagi. Jangan cari gara-gara."
"Iya. Gue juga nggak segitu nekatnya, lagi. Tapi jujur, gue masih penasaran sih. Sayang banget. Padahal satu kali lagi aja cukup."
"Udaaaah!" Fio melotot. "jangan gila deh lo!"
"Iyaaa. Iyaaa." Tari meringis.
Setelah memperoleh paling tidak persamaan dugaan bahwa situasi masih aman, Tari jadi tenang. Begitu bel istirahat berbunyi, dia bergegas keluar kelas menuju koridor depan gudang.
"Aman, Ta. Kayaknta Kak Ari nggak tau kalo rumahnya udah ketauan," lapornya langsung begitu
telepon di seberang di angkat. "Yakin lo"" tanya Ata ragu.
"He-eh. Soalnya tadi pagi gue liat dia biasa-biasa aja. Nggak kayak orang yang salah satu rahasianya udah kebongkar. Terus pas gue ketangkep basah lagi ngeliatin dia, dia juga Cuma gangguin gue gitu aja. Masih lebi
h parah gangguan dia yang kemaren-kemaren."
Di seberang, Ata sesaat terdiam.
"Lo pastiin lagi deh," ucapnya kemudian. "Gue masih belom tenang kalo indikatornya Cuma itu. Cuma keran cara dia ngegangguin lo biasa-biasa aja."
"Gue juga niatnya gitu. Mau mastiin lagi. Ntar siang gue telepon lagi deh. Pulang sekolah."
"Oke. Ati-ati ya." "Pastilah."
Tari memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu berjalan cepat ke arah kantin. Setelah membeli sepotong tahu isi dia segera berjalan keluar lagi, ke arah koridor. Fio yang duduk bergabung bersama beberapa teman cewek sekelas langsung bangkit berdiri. Dengan membawa serta piring gado-gadonya, disusulnya Tari.
Karena tadi pagi sudah kepergok, kali ini keduanya berdiri agak jauh dari pagar koridor. Dengan hati-hati mereka memindai area depan sekolah. Berganti-ganti posisi agar kejadian tadi pagi tidak terulang. Nihil. Ari tidak ada di sana.
Jam istirahat kedua, investigasi keduanya berlanjut. Tetap tidak membuahkan hasil. Ari tidak terlihat sama sekali. Kemungkinan besar cowok itu Cuma bercokol di area kelas dua belas, di gedung selatan sana dan nggak berkeliaran ke mana-mana.
Sebenarnya hal itu sudah menguatkan keyakinan Tari bahwa Ari tidak mengetahui tempat tinggalnya sudah ketahuan. Tapi cewek itu ingin kepastian yang benar-benar valid.
Sepuluh menit setelah jam pelajaran berikutnya berjalan, pada guru yang sedang mengajar Tari meminta izin keluar kelas sebentar. Dengan alasan bolpoinnya habis, dia minta izin ke koperasi. Dia tahu, dua jam terakhir jadwal kelas Ari adalah olahraga.
Begitu sang guru mengangguk, Tari langsung berlari keluar kelas. Gara-gara itu, bukan Cuma sang bapak guru yang mengerutkan kening, tapi juga semua teman sekelas Tari kecuali Fio. Soalnya, kalau hanya untuk ke koperasi membeli bolpoin, reaksi Tari tadi agak berlebihan. Seperti pelajar yang takut ketinggalan pelajaran. Dan itu nggak Tari banget.
Tari berlari di sepanjang koridor dan tangga turun. Di depan salah satu pilar yang mengapit mulut
koridor utama, baru langkah-langkahnya terhenti. Sejenak cewek itu berdiri diam untuk menormalkan nappasnya yang terengah. Kemudian dengan hati-hati dia mengintip ke arah lapangan.
Ari ada di salah satu lapangan futsal. Bersama Ridho, Oji, dan tiga cowok yang namanya tidak diketahui Tari. Cewek itu langsung memaksimalkan kedua indra penglihatannya. Berusaha menangkap setiap detail ekspresi Ari dan bahasa tubuhnya.
Seperti tadi pagi, Ari terlihat rileks. Dia bahkan begitu menikmati permainan futsal itu. Berkali-kali Tari melihatnya tertawa. Sekali bahkan dilihatnya Ari, sambil berangkulan dengan Ridho, tertawa terbahak-bahak. Tari jadi yakin, Ari memang tidak mengetahui tempatnya bersarang yang keramat banget itu sudah ketahuan.
"Ck, fiuuuuuuuuh." Tari menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Dia berbalik dan menyandarkan punggung ke pilar. "Aman gue," desahnya lega. Koridor panjang di hadapannya yang benar-benar lengang segera menyadarkannya akan sesuatu. Dengan cepat dilihatnya jam di pergelangan tangan.
"Haaaaaahhh"!" Tari nyaris tersedak napasnya sendiri saat melihat jarum-jarum mungil itu dan ternyata lima belas menit telah berlalu. "Mampus deh gue!" desisnya dan langsung berlari pontang-panting menuju tangga. Sama sekali lupa mampir ke koperasi.
**** "Fi, udah dulu ya. Ata nelepon. Pokoknya besok gue jalan jam sepuluh teng. Daaah!" Tari mengakhiri pembicaraan dengan Fio dan langsung diangkatnya panggilan Ata. "Online sama siapa"" tanya Ata langsung. "Fio. Negesin lagi besok jadi apa gak." "Besok mau pergi"" "He-eh. Cari film korea."
"Cewek-cewek kenapa pada maniak banget sama film korea sih"" "Ganteng-ganteng, tau!" "Menurut gue cantik-cantik." "Cowoknya, bukan ceweknya."
"Iya. Yang gue maksud juga cowoknya. Cantik-cantik." "Banyak yang bilang gitu sih." Tari tertawa.
"Ada apa""
"Gak ada apa-apa. Pingin nelepon aja." Kedua alis Tari menyatu mendengar itu. "Besok perginya jam berapa"" tanya Ata.
"Sepuluh." "Terus kalian mau nyari di mana tu film-film korea""
"Di mal yang itu lah. Lantai y
ang paling atas kan tempat penjualan DVD dan MP3. Lengkao banget. Kenapa lo nanya-nanya" Mau gabung"" "Pinginnya sih gitu. Sayang gue gak bisa."
"Bimbel lagi nih" Bimbel kok hampir tiap hari. Kebanyakan belajar malah jadi bego lho." Ata tertawa pelan.
"Ya udah. Met berburu film kore deh. Salam buat Fio ya." Ata menutup pembicaraan. Tari meletakkan ponselnya dengan kening berkerut.
"Tumbet banget tuh orang. Nelepon cuman ngomong gitu doang," gumamnya sambil meletakkan ponsel di meja. Ketika dilihatnya jam dinding, cewek itu mengerang pelan. Jam setengah lima sore. Waktunya menyapu lalu mengepel lantai. Dari Senin sampai Jum'at kewajiban Tari adalah sekolah. Tapi pada hari libur seperti Sabtu ini, kewajibannya adalah jadi Si Inem, alias membantu mamanya menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga. Nyebelin!
*** Keesokan paginya jam sepuluh kurang lima, Tari menutup pintu kamarnya. Setelah berpamitan pada kedua orangtuanya, cewek itu bergegas keluar. Dengan riang ditelusurinya jalan depan rumahnya menuju halte di pinggir jalan besar. Film korea, dengan cowok-cowoknya yang sering bikin hati meleleh, memang selalu sukses membuatnya ceria. Halte kosong. Situasi yang wajar karena sekarang hari Minggu dan pada jam tanggung pula.
Tak sabar Tari menoleh ke ujung jalan. Dibenaknya muncuk deretan judul film seri korea. Kedua bibirnya kemudian mengeluatkan desah kecewa dengan suara pelan, karena uang yang ada di dompetnya hanya cukup untuk membeli dua judul. Demikian juga dengan Fio, hanya bisa membeli dua judul. Nanti mereka akan saling tukar. Cuma empat judul. Padahal judul-judul seri kore tuh bejibun. Dan semua ceritanya keren-keren. Jadi dia pingin banget bisa beli semuanya. Tari berdecak pelan. Mukanya langsung mendung berat. Untuk penggila film-film korea yang agak di luar nalar seperti Tari, kenyataan itu jelas bikin patah hati.
"Kenapa mendadak jadi sedih gitu"" Suara itu membuat Tari menoleh kaget. Serentak wajahnya memucat. Ari berdiri tidak jauh di belakangnya. Tapi sedetik kemudian cewek itu menarik napas lega, kemudian wajahnya kembali merona. Di mulut jalan yang menuju rumahnya, sedikit moncong Everest hitam yang sudah sangat dikenalnya menyembul.
"Tuh, kan"" Ata geleng-geleng kepala. "Kenapa sih lo selalu ngira gue Ari" Kenapa gak langsung ngenalin gue pada detik pertama"" Cowok itu memandang Tari dengan tatapan seolah-olah terluka. "Sengaja tu mobil gue parkir ngumpet. Gue pingin tau, siapa yang nongol pertama di kepala lo. Ternyata dugaan gue bener. Ari."
"Maaf, Ta. Maaf. Maaf!" Tari buru-buru menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Kalo lo punya dendam kesumat, lo juga pasti bakalan kayak gue," ucapannya membuat Ata tertawa pelan. Tari tersadar.
"Kok lo ada di sini" Katanya bimbel""
"Gurunya minta break satu kali pertemuan. Ada urusan, katanya." "Gue rasa dia capek tuh. Atau dia bosan."
"Kayaknya sih begitu." Ata mengangguk, tersenyum geli. "Ya udah, lo ikut gue sama Fio aja, hunting film korea!" Tari langsung berseru bersemangat.
"Sori, Tar. Bener-bener dengan segala hormat nih, sama sekali bukan bermaksud menghina, gue geli ngeliat cowok-cowoknya. Mending lo temenin gue aja, jalan-jalan keliling Jakarta. Gimana"" "Gak bisalah. Gue kan udah janjian sama Fio."
"Paling tuh anak sekarang baru bangun. Malah bisa jadi dia masih tidur," ucap Ata kalem. Kening Tari langsung berkerut.
"Kami udah janjian dari kapan tau. Fio juga maniak film korea. Jadi gak mungkin dia lupa. Malah bisa jadi dia udah siap dari subuh." Ata tertawa pelan.
"Ya lo telepon aja dia sekarang. Tanya, masih pingin pergi gak"" sarannya, tetap dengan nada kalem.
Dengan kening yang kerutannya makin rapat, Tari mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong luar tasnya. Cukup lama dia menunggu sebelum panggilannya diangkat. Suara Fio terdengar serak,
pertanda dia belum lama bangun. Tepat seperti dugaan Ata.
"Fi, kita jadi pergi, kan"" tanyanya langsung.
"Gak lah, Tar," Fio menjawab dengan nada heran. Tari tercengang.
"Kok gak sih!"" serunya, langsung pingin marah-marah.
"Ya emang gak ada lagi yang bisa kita beli."
"Maksud lo"" Sesaat hening di seberang, sebelum suara serak Fio menjawab pertanyaan itu dengan nyaris histeris.
"Kemaren sore Ata datang ke rumah gue. Bawa film korea banyak banget. Katanya karena hari ini dia pingin ngajak lo jalan, jadi kita terpaksa batal, Tar. Gantinya dia bawa fil korea banyak banget. Malah ada yang dari zaman dulu juga, Tar!" Tari ternganga. Seketika kedua matanya menatap Ata. Cowok itu cuma mengangkat kedua alisnya.
"Kok lo gak langsung ceriya sih, Fi" Curang lo. Mau lo tonton semuanya duluan, ya""
"Gak! Kata Ata, jangan kasih tau lo. Ntar biar dia aja yang ngomong. Ya udah gue nurut aja. Secara dia yang ngasih gitu lho. Emang Ata belum cerita""
"Orangnya ada di depan gue sekarang nih. Dan dia gak ngomong apa-apa. Gue cuma disuruh nelepon lo, tanya masih mau pergi tau gak." "Oh... " Suara Fio terdengar bingung. "Yah, pokoknya gitu deh."
"Emang dia ngasih berapa banyak sih"" Saking suprisenya, Tari bertanya dengan intnasi seolah-olah dia yang dibicarakannya itu bukan Ata. Membuat orang yang dimaksud jadi menahan tawa. "SATU KARUNG!!!" seru Fio dengan suara yang melengking gila-gilan. Tari sampai refleks menjauhkan ponselnya satu rentangan tangan.
"Gak deh. Gak. Belebihan. Tapi pokoknya banyak deh, Tar. Wah, lo kalo ngeliat pasti bakalan syok. Gue aja sampe sekarang masih belom percaya nih. Dab dari semalem, pas shalat, gue terus berdoa mati-matian semoga nyokap ngebolehin gue bolos sekolah pakibg gak semingguan. Soalnya gue pasti gak bakalan konsen belajar nih kalo ingat di rumah numpuk film-film korea sampe bejibun banget gini." Tari terdiam. Speechless. Dia tidak bisa membayangkan seberapa banyak film korea yang dibelikan Ata, tapi dari nada suara Fio dan dari ketajiran Ata, jangan-jangan film korea satu konter diborong semua.
"Jadi...," lanjut Fio, "lo baik-baik sama Ata ya, Tar. Soalnya dia udah ngasih upeti. Gak kira-kira pula upetinya nih. Lo harus nemenin kemana pun dia pingin pergi. Terus lo juga harus nurut apa kata dia.
Oke" Paham kan lo""
"Lo kok ngomongnya kayak germo gitu"" Fio terkekeh.
"Udah ya, Tar. Hari ini gue sibuk banget nih. Kudu nonton. Pokoknya lo inget pesan gue tadi. Lo mesti, kudu, harus, wajib baik-baik sama Ata!" langsung ditutupnya telepon. Tari ternganga.


Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gak sopan banget tuh anak!" gerutu Tari. Perhatiannya langsung tertuju ke Ata.
"Ini ada apa sih" Gue gak ngerti." Kedua mata Tari menatap Ata dengan sorot menuntut penjelasan.
Tapi sepertinya Ata malas bercerita panjang lebar. Sambil meraih satu tangan Tari lalu menggandengnya menuju mobilnya diparkir, Ata meceritakan hanya garis besarnya.
"Karena hari ini gue free, gak ada bimbel, gue pingin jalan. Makanya kemaren sore gue telepon lo.
Ternyata lo udah punya planning. Yah terpaksa tuh planning gue gagalkan. Dengan cara yang gak merugikan. Itu aja."
*** Benar-benar nyarus keliling Jakarta! Monumen Nasional, Museum Nasional, Gedung Arsip Nasional, Museum Fatahillah, dan beberapa masjid tua. Meskipun hanya sebentar berada di tempat-tempat yang meretas dari era prakolonial sampai kemerdekaan itu, Ata selalu tenggelam dalam keseriusan yang setara dengan turis-turis asing yng hanya punya kesempatan sekali untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pelesiran yang mengusung salah satu tema pidato kenegaraan Bung Karno-"Jas Merah" atau "Jangan Melupakan Sejarah"- benar-benar membuat Tari takjub. Pada masa kini, saat anak-ank menyambut dengan histeria segala sesuatu yang datang dari luar atau ngejogrok seharian di warnet, pelesiran di jagat maya, kecenderungan Ata ke arah sejarah negerinya sendiri ini termasuk unik. Gak biasa. Tari, yang sama seperti sebagian anak-anak muda negeri ini, tidak merasa punya ikatan emosi dengan bangunan-bangunan saksi perjalanan bangsanya itu, untuk pertama kalinya memandang bangunan-bangunan tua itu dan segala isinya dengan mata yang berbeda. Lewat penuturan Ata, Tari diajak muai menyadari bahwa semua bangunan itu miliknya juga. Dan milik semua orang yang merasa diriny orang Indonesia. Menjelang pukul lima sore, Ata mengak
hiri acara pelesiran itu dengan membawa Tari ke taman kota yang cantik. Tidak terlalu besar, tapi danau kecil yang dikelilingi rerumputan hijau dan beberapa batang pohon yang menjulang tinggi dengan dahan-dahan yang rimbun itu terasa seperti oasis di tengah Jakartq yang mulai gersang. Keduanya lalu turun dan berdiri dengan punggung bersandar di badan mobil. Memperhatikan orang-orang yang ada di taman itu. Karena hari libur, suasananya begitu ramai. "Makan yuk"" ajak Ata. "Lagi"" Taru terbelalak.
"Kita kan baru makan di depan Museum Fatahillah tadi. Masa sih sekarang lo udah laper lagi"" "Cuma mau nyobain. Gue baru pertama kali ke sinu. Jadi sekalian wisata kuliner." "Oh gitu" Oke deh," Tari mengangguk, jadi setuju. "Tapi jangan yang berat-berat ya."
"Kalo yang berat bisa sepiring berdua, kan"" Ata mengedipkan satu matanya. Tari menatapnya dengan pandang ngeri.
"Please deh. Dangdut banget, tau!" Ata ketawa geli. Diraihnya satu tangan Tari dan digandengnya menuju ke arah penjual gado-gado. "Itu makanan berat, lagi, Ta."
"Rame banget, Tar. Pasti enak gado-gadonya tuh. Jangan-jangan itu yang bumbunya pake kacang mede, bukan kacang tanah. Tadi kan gue udah bilang, kalo berat kita sepiring berdua." Tari mengira Ata bercanda. Ternyata cowok itu serius. Ata benar-benar memesan sepiring gado-gado. Setelah meninggalkan Tari sekitar dua meter dari gerobak penjual gado-gado, dia menyeruak kerumunan pemesan yang mengelilingi gerobak dan menenggelamkan si penjual berikut asistennya dari pandangan. Tak lama Ata kembali ke sebelah Tari. Sementara menunggu pesanan datang, kembali keduany mengobrol ringan sambil memperhatikan orang-orang yang memenuhi seluruh area taman. Ketika pesanan gado-gadonya datang, Ata menerima dengan antusias dan segera mencoba sesuap. "Iya, bener. Bumbunya pake kacamg mede. Coba deh, Tar. Enak." Cowok itu menyodorkan sendok yang baru saja dipakainya menyendokkan gado-gado itu ke mulut. Tari menggeleng. Mukanya langsung pucat. "Gak ah. Lo aja deh. Abisin."
"Kenapa sih" Gue gak rabies kok. Apalagi AIDS. Jauh. Aman. Tenang aja. Atau mau gue suapin"" Tari terperangah. Tapi tidak dilihatnya senyum di bibir Ata. Sepertinya itu tawaran yang benar-benar serius. Hanya kedua bola mata hitam Ata menatap Tari dengan senyum geli yang samar-samar.
Berbaur dengan sorot hangat yang juga samar. Tak pelak, muka Tari sekarang jadi benar-benar merah. Buru-buru dia berpaling ke arah lain. Ketika wajah merah padam itu berpaling ke arah lain,
menolak untuk menatapnya lebih lama, baru tawa Ata pecah. Tawa pelan yang disertai tangan kiri yang terulur, meraih kepala Tari dan sesaat membawanya ke dada.
"Sori, bercanda," bisik Ata. Bercanda kok kayak gini! Tari mengerang dalam hati.
"Gue udah lama denger ada gado-gado yang enak, soalnya bumbunya pake kacang mede. Cumm gue lupa di mana lokasinya," Ata berbicara dengan suara kembali normal. Kembali disuapnya sesendok gado-gado ke mulut. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan tangan kirinya yang bebas, Ata mengeluarkan alat komunikasi itu dari saku depan celana panjangnya. Seketika mukanya menegang.
Kedua matanya menatap lurus-lurus ke arah layar ponselnya. Mulutnya sampai berhenti mengunyah tanpa sadar.
"Ada apa"" tanya Tari.
"Ari!" desis Ata.
"Kenapa" Dia telepon" Atau SMS"" Tari langsung cemas.
"Coba liat." Tapi Ata menolak memperlihatkan layar ponselnya. Dia bergegas menghampiri gerobak penjual gado-gado, meletakkan piring yang isiny baru berkurang dua sendok itu, lalu menanyakan harga. Diserahkanny selembar uang dan langsung balik badan tanpa meminta kembalian. Cowok itu menghampiri Tari dengan langkah cepat. Tapi belum lagi sampai, Tari menjeritkan ringtone tanda ada SMS masuk. Dikeluarkannya benda itu dari kantong luar tasnya. Sontak dia ternganga. Layar ponselnya memperlihatkan sebuah SMS, pendek namun sanggup memberikan efek yang sama seperti yang terjadi pada Ata. Wajah Tari menegang seketika itu juga. Pcrn di dpn gw. Ga sopan bgt lo b2.
Sederet angka di bawah SMS itu membuat Tari kemudian mendingin. Ari!
"Ada apa"" Ata, yang telah bera
da di sebelah Tari, bertanya dengan suara cemas. Saat itu juga geram amarah keluar dari mulutnya saat SMS saudara kembarnya itu terbaca kedua matanya. "Berarti dia gak jauh dari sini," bisiknya.
"Dia bisa ngeliat gue gak mau ngasih liat SMS dia ke lo tadi. Makanya dia forward. Ini SMS yang tadi lo terima"" tanya Tari, tanpa sadar juga jadi berbisik. Ata mengangguk. Kembali ponsel Ata menjeritkan ringtone. Membuat sang pemilik, juga Tari, tersentak. Kembali SMS dari Ari. Makan sepiring b2 pula ya. Ckckck. Emang mesra. Tp dangdut! Cari yang kerenan dong. Bikin orang mo muntah aja!
Kembali suara ringtone membuat keduanya tersentak. Kali ini berasal dari ponsel Tari. Bisa ditebak. SMS dengan isi yang sama.
"Bener dia gak jauh. Dia bisa ngeliat kita dngan jelas," ucap Ata pelan. Kali ini suarana diliputi ketegangan. Tari langsung panik.
"Dimana!" Dimana dia!"" serentak tubuhnya berputar, menatap berkeliling. Ponselnya yang kembali menjeritkan ringtone nyaris membuat Tari menjerit. Kembali masuk SMS dari Ari. Knp cr2 gw" Di skul lo suka blagak ga liat! Tak lama kemudian masuk satu SMS.
Suruh Ata prgi. Drpd kami rbut. Gw males liat lo nangis di tmpt rame bgni. Melihat serangan Ari sekarang ditujukan langsung ke Tari, Ata segera mengambil tindakan. Dikontaknya saudara kembarnya itu. Beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, ketika panggilan Ata itu-pada usaha nonstop yang kelima-akhirnya direspon.
"Di mana lo"" tanya Ata langsung. Kedua matanya menatap berkeliling dengan gerakan cepat dan tajam, berusaha secepatnya menemukan keberadaa saudara kembarnya.
"Di dekat sini di mana!"" Ata nyaris membentak. Dengan kedua bola mata yang menatap Ata lekat-lekat, sarat dengan kecemasan dan ketakutan serta kedua bibir yang tergigit tanpa sadar, Tari mengikuti percakapan itu, tapi hanya bisa diikutinya secara terarah. Kata-kata Ari tidak bisa didengarnya dengan jelas. Meskipun begitu, bisa didengarnya suara tajam yang khas itu. Melihat ekspresi muka Ata, Tari sudah bisa menduga, pembicaraan itu pasti berlangsung dalam cara Ari. Kecuali Pak Rahardi sang kepala sekolah dan beberapa guru-itu pun lebih sering insidentil, tak terduga datang pertolongan entah dari mana-nyaris tidak ada seorang pun yang sanggup menekan pentolan sekolah itu. Beberapa menit kemudian, komunikasi yang nyaris hanya searah itu berakhir dengan tiba-tiba, karena Ata langsung berseru memanggil nama saudara kembarnya itu dengan geram.
"Dia putusin tiba-tiba. Kurang ajar tuh anak!" Dijauhkannya ponsel itu dari telinga dan langsung ditekannya salah satu tombol sebanyak dua kali berturut-turut. Didekatkannya kembali ponsel itu ke telinga. Panggilannya tidak direspons, karena Tari melihat sekali lagi Ata menjauhkan ponselnya dari telinga lalu menekan tombol yang sama dua kali berturut-turut. Sekali lagi panggilannya tidak ditanggapi. Bertubi-tubi percobaan tanpa hasil itu membuat Ata jadi semakin berang. Dengan kedua rahang terkatup rapat, kini dipindainya seluruh area taman dengan tatapan setajam mata pisau. Tari memutar tubuh, ikut memperhatikan seluruh sudut taman. "Dia bilang dia di mana""
Tari bertanya dengan kecemasan yang makin memuncak. "Di tempat dia bisa ngeliat kita," jawab Ata pelan.
"Dengan jelas!" Pemindaian itu tanpa hasil. Mulut Ata mengeluarkan geraman pelan. Meskipun taman itu tidak terlalu luas, ada terlalu banyak tempat Ari untuk menyembunyikan diri. Ditambah lagi karena hari ini hari libur, taman itu lumayan ramai dengan pengunjung. Yang artinya ada banyak pergerakan yang terjadi. Tiba-tiba ponsel Tari menjeritkan ringtone. Keduanya terlonjak.
"Kak Ari!" Tari memekik tertahan. Ditatapnya ponsel dengan kedua mata terbelalak.
"Jangan diangkat!" desis Ata seketika. Serentak satu tangannya terulur, mencengkeram pergelangan Tari yang menggenggam ponsel.
"Mending gue aja yang angkat. Kali aja kalo gue yang ngomong, dia jadi agak cooling down," usul Tari. "Dari kemaren lo udah sering ngomong sama dia, kan" Ada hasilnya"" Ata menatapnya lurus-lurus. "Barangkali aja sekarang beda," Tari berusaha mebujuk. Sebenarnya dia nger
i dengan usulnya sendiri ini. Tapi perkembangan masalah ini ke depan yang lebih dia takutkan, karena dirinya tidak mungkin tidak berangkat ke sekolah.
"Gak akan!" tandas Ata. Melihat sepasang mata itu menatapnya begitu tajam, ditambah cemgkeram kelima jari Ata di pergelangan tangannya yang mengetat, ditambah lagi ini tempat umum yang sangat terbuka, Tari terpaksa mengalah.
"Oke deh." Dia mengangguk. Panggilan itu berakhir. Tapi segera dilanjutkan dengan panggilan berikut. Masih dari nomor yang sama.
"Diemin aja," ucap Ata dengan kedua mata yang kembali memindai seluruh area taman. Kelima jarinya masih menggenggam pergelangan tangan Tari, tapi tidak sekuat saat cewek itu menyatakan usulannya tadi. Panggilan kedua itu berakhir, tapi panggilan ketiga segera menyusul. Batas waktu habis dan panggilan itu berakhir. Panggilan keempat langsung terdengar. "Sini ponsel lo!" Sebelum sempat Tari menyadari, posel dalam genggamannya telah berpindah tangan. "Ya!"" sentak Ata langsung. "Tadi gue belum selesai ngomong... Gue yang ngerebut ponselnya. Lo gak liat" Dan gue juga yang ngelarang dia ngangkat telepon lo. Kenapa" Mau protes"" Dengan perhatian terpecah antar ponsel di telinga dan sepasang mata yang terus memindai setiap sudut taman dengn waspada, Ata meraih satu tangan Tari. Ditariknya cewek itu rapat ke sebelahnya. Pembicaraan itu singkat. Kali ini Ata yang mengakhiri. Dengan nada suara menurun, dia meminta saudara kembarnya agar bersedia menyelesaikan masalah ini hanya berdua, tanpa melibatkan Tari. Sambil menghela napas Ata mengembalikan ponsel itu ke Tari.
"Kita balik aja, Tar," ucapnya. Tari langsung mengangguk. Keduanya bergegas menuju Everest hitam Ata diparkir. Cowok itu menggandeng Tari erat-erat. Sambil terus memindai seluruh area taman dengan waspada, dibukana pintu kiri depan. Dengan tangan kanan yang terentang mengikuti ayunan pintu mobil, Ata kemudian mengambil posisi berdiri yang membuat Tari terlindung dengan baik di balik punggungnya. Dia benar-benar mengantipasi kemungkinan saudara kembarnya muncul pada detik-detik terakhir dan nekat menyulut keributan terbuka. Begitu Tari sudah masuk ke mobil, Ata langsung menutup pintu setelah sebelumnya menekan tombol kunci. Dengan langkah-langkah cepat diputarinya mobil, membuka pinti di sebelah kemudi, dan segera melompat naik. Tak lama taman itu telah menghilang dengan cepat di belakang. Tapi dua menit kemudian Ata menepikan mobil lalu menoleh ke tepi jalan di sebelah kanan.
"Ada apa"" tanya Tari cemas. Dia mencondongan tubuh untuk mengetahui apa yang sedang dipandang Ata dengan sorot waspada itu. Seketika tubuhnya menegang. Di seberang, di mulut sebuah jalan kecil yang rindang oleh sebatang pohon besar, Ari duduk di atas motor hitam pekatnya. Kedua tangannya, yang terbungkus jaket hitam yang biasa, terlipat di depan dada. Kepalanya yang tertutup helm terarah lurus-lurus ke arah Tari yang duduk bersebelahan dengan Ata. Kepala terselubung helm yang juga berwarna hitam pekat itu kemudian menggeleng-geleng. Gerak gelengan itu pendek-pendek dan perlahan, ditambah rentang jarak dalam kisaran dua puluh lima sampai tiga puluh meter. Namun Tari bisa merasakan, bahkan dengan setiap pori-pori yang ada di tubuhnya, atmosfer bahaya kini tengah menghampiri dirinya dan Ata. "Dia ngejar kita dari taman," desis Ata pelan. Dikeluarknnya ponsel dari saku depan celana panjangnya, kemudian dengan cepat dipilihnya satu nama. Tanpa kedua matanya teralihkan, Ari mengeluarkan ponselnya dari saku depan celana jins birunya. Dia mematikan panggilan itu bahkam tanpa melihat ke arah ponselnya sama sekali. Dering nada tunggu yang keluar dari ponsel Ata seketika berhenti.
"Sialan!" maki Ata pelan. Diletakannya ponselnya di dasbor. Tidak berusaha mencoba lagi karena sadar itu cuma usaha yang buang-buang tenaga. Dengan kedua lengan yang kini melintang di atas setir dan tubuh condong ke depan, dibalasnya tatapan yang tertutup kaca helm itu, dengan sorot mata yang sama tajamnya. Memanfaatkannya ruas jalan yang sesaat lengang, mendadak Ari menggas motorny dan melesat menyeberangi ruas koson
g itu. Tangan kiri Ata langsung terulur untuk melindungi Tari, seakan dia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Semua yang kemudian terjadi sungguh-sungguh dalam hitungan kejap. Sang pentolan sekolah itu berkelebat dengan cepat di sisi kanan mobil, melawan arus. Sebuah hantaman yang keras menggetarkan badan mobil saat dia berada tepat di sebelah pintu pengemudi. Tari dan Ata terlonjak. Refleks Ata menggerakkan tubuhnya, menutupi Tari sepenuhnya. Belum lagi mereka sempat tersadar, terdengar bunyi berderak keras disusul denting pecahan kaca yang berjatuhan ke aspal jalan. Spion kanan mobil Ata hancur total, dihantamkan Ari ke badan mobil. Rangka spion itu kini melekat nyaris rapat di badan mobil dengan tiang yang patah dan kotak tempat kaca spion yang kini kosong dan retak parah. Tari pucat pasi. Membeku di joknya. Sementara Ata segera tersadar. "Tu anak gila ya!"" Ata terperangah. Tidak memercayai tindakan saudara kembarnya. Tubuhnya sampai berputar seratus delapan puluh derajat, mengikui lesatan motor hitam itu sampai benar-benar lenyap dari pandangan. Cepat-cepat Ata melepas seatbelt, membuka pintu dan melompat turun untuk mengetahui seberapa parah kerusakan yang terjadi. Dengan mulut ternganga, Ata geleng-geleng kepala. "Bener-bener dia cari ribut!" desisnya ketika kembali masuk mobil.
"Gue anter lo pulang dulu, Tar." Dengan geram dipasangnya seatbelt, meraih persneling, lalu menginjak gas. Sepanjang perjalanan keduanya nyaris tak berbicara. Sebagian perhatian Ata tercurah ke jalan raya yang digilasnya dengan kecepatan tinggi, sementara sebagian lagi jelas tersangkut pada peristiwa tadi. Setengah kesadaran Tari juga masih terkunci dalam peristiwa kekerasan yang dilakukan Ari tadi. Dia benar-benar cemas, akan separah apa lagi peristiwa tadi berimbas terhadap hubungan mereka bertiga. Lima belas kemudian Ata menghentikan mobilnya di muluy jalan kecil yang menuju rumah Tari. Dia menoleh dan.melihat muka Tari masih pucat. "Mending lo ajak Kak Ari ngomong baik-baik aja deh, Ta," ucap Tari pelan, tapi suaranya benar-benar kasat kekuatiran.
"Ini gue mau nyamperin dia karena gue mau ngomong baik-baik." Ata tersenyum menenangkan. Kedua mata Tari menyipit.
"Gue gak yakin." Cewek itu menggeleng. Senyum Ata pecah jadi tawa tertahan. "Banyak hal di dunia cowok yang sulit dipahami oleh cewek," ucapnya lunak. Dilepaskannya seatbelt dari tubuhnya, disusulnya kemudian dilepasnya seatbelt yang melintang di tubuh Tari. Cowok itu kemudian membuka pintu pengemudi dan turun, lalu memutari mobil dan membuka pintu di sebelah Tari.
"Yuk, gue antar lo pulang. Tapi sori, gak bisa sampe depan rumah." Dengan tarikan yang lembut tapi tak bis dilawan, Ata menurunkan Tari dari mobilnya. Dengan langkah cepat kemudian menggandeng Tari sampai di separuh jalan menuju rumahnya, untuk memastikan Tari benar-benar aman dan untuk meyakinkan diri sisa jarak yang tidak sampai seratus meter itu tidak akan mengancam keselamatan Tari. "Sampe sini aja ya, Tar." Ata melepaskan genggamannya. "Jangan sampe ribut sama Kak Ari ya, Ta. Dia emang gitu. Suka kasar." Tari menatapnya dengan cemas. Ata cuma tersenyum tipis, mengangkat kedua alisnya, balik badan lalu bergegas ke mobilnya yang pintu kiri depannya masih dalam keadaan terbuka. Tatapan Tari mengikuti Ata sampai masuk mobil. Everest hitam itu kemudian melesat, hilang dari pandangan. Cewek itu menghela napas lalu balik badan dan berjalan menuju rumahnya dengan pikiran yang kontan jadi stres. Hari ini benar-benar hari yang aneh. Dibuka dengan suprise Ata yang bikin histeris, tapi ditutup dengan suprise Ari yang bikin miris.
*** Jam delapan malam. Setelah berkali-kali Tari mencoba menelepon dan Ata tak pernah mengangkat, akhirnya cowok itu menelepon balik. Tari langsung melenting dari atas tempat tidur, tempatnya selama ini mengerjakan tugas biologi dengan posisi tengkurap dan dengan konsentrasi cuma setengah. Disambarnya ponselnya dari atas meja.
"Halo, Ta. Gimana" Kak Ari ngamuk ya" Kalian berantem" Lo dipukul"" langsung diberondongnya Ata dengan pertanyaan bahkan sebelum cowok itu sempat bilang
halo. "Ketemu juga gak, Tar," ucap Ata berat.
"Telepon gue gak ada yang dia angkatn SMS-SMS gue juga gak ada yang dia bales. Ini gue masih di deket gapura kompleks rumahnya. Gue gaj tau ke mana harus nyari dia, jadi gue tungguin aja dia di sini. Ntar kalo dia nongol, tinggal gue.kuntit sampe mana gitu, terus gue samperin." Ata menghentikan sejenak kalimatnya. Dia menghela napas.
"Gak mungkin gue terang-terangan ngasih tau gue nunggu di deket gapura, karena dia masih ngira gak ada satu pun orang yang tau di mana dia bersarang. Termasuk lo dan gue."
"Jadi gimana sekarang"" Tari jadi ingin menangis. Terbayang masalah gawat yang menantinya di sekolah besok. Ata menghela napas lagi."Gue udah bilang di SMS, gue yang maksa lo nemenin gue jalan tadi. Jadi kalo dia gak suka, silahkan marah ke gue." "Itu gak guna, lagi... " Tari jadi ingin benar-benar menangis sekarang.
"Daripada gue datengin rumahnya, malah tambah gawat nanti. Lagi pul gue males ketemu Bokap, Tar. Tolong ngertiin gue untuk yang soal yang satu ini." Tari terdiam. Kalimat terakhir Ata menohoknya. Pada awalnya Ata memang pihak ketiga yang menerjukan diri ke dalam kancah pertempurannya dengan Ari. Tapi kini Ata punya medan pertempurannya sendiri. Dengan lawan yang juga Ari.
"Iya deh. Kita liat aja besok perkembangannya gimana," ucap Tari akhirnya. "Mudah-mudahan aja tadi ekspresi muka gue emang keliatan kayak muka orang yang dipaksa." "Gue akan terua coba untuk ngontak dia. Doain aja dia mau ngangkat. Atau gak, dia mau bales satu aja SMS-SMS gue."
"Mudah-mudahan," Tari menjawab dengn suara lirih dan muram. Suprise bahagia dan suprise bencana. Pada akhirnya lagi-lagi Ari yang sepertinya akan jadi pembawa trofinya.
**** Ari berdiri di ujung koridor lantai dua gedung selatan, tempat kelas dua berlokasi. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celana, sementar matanya tertancap lurus pada gerbang besi hitam di depan sekolah. Tak lama orang yang ingin dilihatnya muncul di sana, berjalan melewati ambang gerbang. Sambil berjalan kepala Tari menoleh ke segala arah. Mencari-cari dengan waspada. Ari tersenyum tipis menyaksikan itu. Lo nyari gue" ucapnya dalam hati.
"Belom waktunya... " Kali ini bisikan lirih itu keluar melewati kedua bibirnya. Namun, bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri itu lalu membuat kedua matanya meredul. Seiring penyesalan tipis yang perlahan mulai menyentuh hatinya. Dia tahu, suatu saat nanti penyesalan ini akan menebal dan terus menebal. Sampai mencapai taraf yang tak akan pernah ada cara menembusnya. Bahkan mungkin dirinya tak akan pernah bisa dimaafkan. Namun tak ditemukannya cara lain. Hanya ini. Kalaupun ada, sudah terlambat. Sudah tidak ada lagi jalan untuk mundur, menganggap ini tidak pernah terjadi lalu mulai dengan cara yang baru. Jika siapa ditanya yang akan menderita, semua yang terkait dalam masalah ini akan menderita. Tetapi dirinya sudah mulai merasakan itu sejak berminggu-minggu lalu. Tari memasuki kelasnya dengan perasaan heran. Kok aman ya" desisnya dalam hati. Sambil meletakkan tasnya di lantai, di sebelah bangku yang kemudian didudukinya, dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja. Dikontaknya Ata. "Kak Ari udah nelepon""
"Nihil," Ata menjawab dengan suara berat. "Ini gue msih terus nyoba mgontak dia, SMS juga. Gak ada respons sama sekai. Lo ketemu dia" Lo udah di sekolah kan sekarang""
"Udah. Baru aja sampe. Gue juga gak ngeliat dia sama sekali. Tapi motornya sih ada."
"Dia gak telepon lo atai ngirim SMS""
"Gak sama sekali." Keduanya terdiam.
"Jadi gimana nih"" tanya Tari kemudian dengan cemas.
"Gue malah ngeri kalo gak kebaca gini." Ata menarik napas panjang.
"Nunggu. Gak ada cara lain. Selama dia gak mau ngangkat telepon gue, gue juga gak bisa apa-apa. Gak mungkin kan, gue nyamperin ke rumahnya apalagi nongol di sekolah kalian" Bisa kenapa-kenap lo nanti."
"Jangan!" seru Tari serta-merta.
"Makanya. Gue juga malas ketemu Bokap gue. Jadi ya kita cuma bisa nunggu Ari yang memulai konfrontasi. Gak ada lagi. Gue gak mau ngambil tindakan karena gue kuatir akibatnya ke lo. Ini
pun Ari udah tau gue worry banget soal lo kalo situasinya kayak gini. Pasti tu anak sekarang lagi ketawa-ketawa. Gue yakin. Tapi masih mending begini daripada gue ngambil tindakan." Ganti Tari menarik napas panjang.
"Ya udah kalo gitu." Tari terpaksa setuju. Lebih karena tidak bisa memikirkan alternatif lain yang bisa diambil. Empat hari berlalu dalam suasana tenang yang aneh. Ketenangan yang justru memicu munculnya banyak kekuatiran dan prasangka di dalam kepala Tari. Ketenangan yang membuat kedua matanya selalu mencari-cari keberadaan Ari. Ketenangan yang membuat seluruh indranya selalu dalam kondisi siaga. Ketenangan yang membuat intensitas komunikasinya dengan Ata jadi melonjak tinggi. Dan.ketenangan yang semu karena pasti mempunyai jangka waktu. Dan ternyata hari inilah ujung jangka waktu itu. Langkah Tari terhenti di depan undakan tangga menuju lantai dua. Ari berdiri di hadapannya. Di anak tangga terbawah. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tambahan dua puluh senti meter dari anak tangga yang dipijaknya membuat tubuh tinggi cowok itu semakin menjulang. Ada ruas kosong di tangan kirinya, tapi Tari tidk berniat menerobos. Dia tahu, kedua ruang kosong itu adalah dinding yang tidak kasat mata. Yang bahkan lebih susah ditembus daripada baja. Kedua manik hitam mata Ari langsung tertancap pada cewek yang memang sedang ditunggunya itu.
"Harus gue sebut apa tindakan lo nih" Makar" Kudeta"" tanyanya tajam. "Pacaran sama sodara kembar gue sendiri." Ari geleng-geleng kepala.
"Gue gak pacaran sama dia. Kami cuma temenan."
"Cuma beda cara nyebutnya. Lagian mata gue gak gitu nangkapnya."
"Cuma temen!" Tari menegaskan dengan sentakan dalam suaranya.
"Teman tapi mesra, ya""
"Terserah apa kata lo deh," ucap Tari malas. Tapi dia langsung melanjutkan kalimatnya saat menyadari bahwa dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk sedikit mengangkat dagu di hadapan cowok yang sok berkuasa ini.
"Mendingan akrab sama dia daripada lo, tau!" Ekspresi kaku di muka Ari menghilang. Tersapu sebuah senyuman lebar.
"Lo tuh senang banget ya kalo bisa ngelawan gue." Senyum itu kemudian melembut. "Gue suka mulut lo. Gak manis, tapi apa adanya." Ari lalu berdeham. Sesaat kedua tangannya yang terlipat di depan dada mengetat. Membuat kedua bahunya sesaat terangkat.
"Mendingan akrab sam Ata daripada sama gue," dia menggumamkan kalimat terakhir Tari, dengan kedua mata terarah pada dinding kosong di sebelah kanannya.
"Gue boleh tau alasannya"" Pandangannya kembali ke Tari. Pijar kemenangan seketika muncul di kedua mata Tari. Tanpa kentara, hitam kedua bola mata Ari merekam pijar itu dan menyimpannya dalam memori.
"Gue sebutin satu-satu. Lo pasang kuping baik-baik ya." "Oke. " Ari mengangguk kecil, menahan senyumnya.
"Dia baik... " "Gue gak""
"Itu lo bisa jawab sendiri."
"Gak, kayaknya." Diikutinya permainan itu.
"Dia gak kasar kayak lo."
"Gak kasar kayak gue," Ari mengulang kalimat Tari. Kedua matanya menyipit menatap langit-langit.
"Oke. Itu emang harus gue akuin," Ari mengangguk. "Apa lagi"" "Dia juga gak suka maksa-maksa apalagi ngancem kayak lo."
"Jelas aja dia gak perlu maksa apalagi ngancem. Lo akan lari ke dia dengan sukarela." Tari tidak mengacuhkan kalimat Ari itu. Dia teruskan deretan perbandingannya.
"Dia juga gak merokok." Tawa Ari hampir menyembur.
"Dia ngerokok," ucapnya dengan nada kalem yang menyimpan kemenangan.
"Ya gak di depan lo lah. Kan untuk menciptakan perbedaan dengan gue." Tari tertegun.
"Lo bohong. Ata gak ngerokok!" bantahnya kemudian dengan suara keras.
"Mau taruhan" Hmm" Dia ngerokok. Parah juga, kayak gue," Ari menegaskan. Dengan intonasi suara seakan-akan seperti mengatakan "turut berbelasungkawa". Keseriusan Ari saat itu kembali membuat Tari tertegun. Tapi tak lama cewek itu tersadar. Dia gelengkan sedikit kepalanya. Seperti sedang mengusir sebuah prasangka dari dalam kepala.
"Gak masalah itu sih. Hari gini semua cowok pada ngerokok. Paling gak, dia gak kayak lo. Udah perokok parah, tukang tawuran, lagi." Kali ini tawa Ari hampir menyembur. "Ck, fuu
uh!" Ari menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Lo sukses dikibulin sama dia." Cowok itu geleng-geleng kepala.
"Sekarang gue buka ke lo semua tentang sodara kembar gue itu ya. Terserah lo mau bilang apa." Ari terdiam. Seperti sedang mempersiapkan Tari untuk menerima semua info yang mengejutkan tentang Ata. Semua kebenaran yang menyangkut saudara kembarnya itu.
"Ata ngerokok. Perokok berat, sama kayak gue. Dia juga tukang berantem. Kalo ini, terserah lo mau percaya atau gak, dia lebih parah dibandingi gue. Dia juga raja trek-trekan. Kalo ini kami cuma beda tipis. Kalo lagi malas belajar, ya dia cabut. Dia gak masalah soal itu." Tari ternganga.
"Bohong lo! Fitnah!" serunya penuh emosi.
"Dia tuh bimbelnya aja rajin banget, tau! Apalagi sekolah."
"Itu kan katanya. Emang lo pernah ngeliat sendiri" Gak, kan"" Ari mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
"Ada yang... " Ucapannya mendadak terhenti. Tari menoleh ke belakang, mengikuti pandangan Ari. Seorang cowok berdiri tak jauh di belakang Tari. Memandang Ari takut-takut tapi tida beranjak dari tempatnya. Kemudian dari arah koridor berbelok satu orang lagi. Lalu satu orang lagi. Dan satu orang lagi. Tak lama di depan tangga sudah bekumpul sekelompok siswa kelas sepuluh. Ari berdecak. Dilihatnya jam di pergelangan tangan kirinya. Setengah tujuh kurang lima belas meniy. Pantas. Sudah masuk jam sibuk.
"Kalian lewat tanga di kelas sebelas aja!" perintahnya. Anak-anak kelas sepuluh itu saling pandang. Dulu Ari juga pernah memblokir tangga. Akibatnya mereka harus menggunakan tangga lain yang berada di jantung area kelas sebelas itu. Akibatnya banyak dari mereka yang harus merogoh kantong, karena anak-anak tangga itu kemudian berubah jadi kayak jalan tol. Mau lewat" Bayar! Karenana sekarang siswa-siswa kelas sepuluh itu bergeming, tetap berdiri di tempat masing-masing. Apalagi setelah mereka melihat separuh anak-anak tangga itu dipenuhi cowok-cowok kelas sebelas. Sebagian sedang asyik ngobrol, sebagian tenggelam dalam buku, sementara sebagian lagi sekedar membunuh waktu. Pemandangan itu jelas-jelas semakin membuat anak-anak kelas sepuluh yang menyemut di depan tangga memilih untuk tetap berada di dekat sang pentan sekolah. Karena justru lebih aman. Satu lagi yang menarik dari Ari. Diasama sekali gak.hobi menggecet para juniornya. Kecuali kalau tu junior nyolot. Kalau kasusnua begitu, apa boleh buat. Terpaksa Ari membuat MOS susulan yang sedikit ala STPDN. Biar tu junior bisa mencamkan dengan jelas di dalam tengkorak kepalanya, siapa yang berkuasa. Ari berdecak lagi.
"Sst, lo!" Tanpa bergeser dari tempatnya berdiri, Ari mengulurkan tangan kananya lalu menjentikkan jari ke arah seorang siswa yang sedang melintas di koridor.
"Sini lo." Dia gerakkan jari telunjuknya. Cowok itu mendekat dengan tampang bingung dan agak takut. "Iya, Kak""
"Lo kelas berapa""
"Sebelas, Kak."
"Gue udah tau kalo itu. Kalo lo kelas sepuluh sekarang lo pasti udah ikutan ngantre disini. Sebelas berapa""
"Sebelas IPA dua, Kak." Ari mengangguk sedikit. "Suruh temen-temen lo ngosongin tangga. Anak kelas sepuluh mau lewat. Tangga yang ini udah gue booking," perintahnya dengan nada tegas.
"Iya, Kak." Cowok kelas sebelah itu mengangguk pelan.
"Jangan sampe gue denger ada yang bikin ulah ya." Suara Ari berubah tajam.
"Iya." Cowok kelas sebelah itu mengangguk lagi lalu balik badan.
"Kalian ikutin dia!" perintah Ari ke arah kerumunan siswa kelas sepuluh yang menyemut di depannya. Tapi keremunan itu tetap diam di tempat. "Cepet, ikutin!" Suara Ari meninggi, agak membentak.
"Gue liatin dari sini!" Baru keremunan itu bergerak. Mengekor di belakang siswa kelas sebelas tersebut. Dengan kedua tangan yang kini berkacak pinggang, kedua mata Ari mengikuti dengan sorot tajam. Memastikan tidak ada seorang pun anak kelas sebelas yang berani coba-coba menggoyangkan otoritasnya. Tari ikut balik badan dan nalah mengikuti yang lain. "Lo gak termasuk." Dengan kedua mata tetap mengikuti barisan anak-anak kelas sepuluh itu, Ari meraih satu tangan Tari. Ditariknya kembali cewek itu k
e hadapannya. "Masih ada yang harus lo denger." "Fitnah lo lagi"" tanya Tari sengit.
"Lo boleh pake kata apa pun." Seorang siswa melintas di koridor sambil menikmati sarapannya. Sepotong roti yang dipegangnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya memeluk tas tenteng yang tampaknya sarat dengan buku. Tas ransel yang digendongnya di punggung juga kayaknya sama beratnya dengan tas tentengnya.
"Lo yang lagi makan!" panggil Ari sambil menjentikkan dua jari tangan kanannya yang bebas. Cowok itu menoleh. Langsung berhenti melangkah dan mulutnya juga berhenti mengunyah.
"Lo berdiri disitu. Kosongin koridor. Suruh semuanya turun lewat taman. Bilang anak-anak kelas sepuluh lewat tangga di kelas sebelas. Dan kalo ada yang berhenti buat nonton, lo gampar aja. Paham"" Paham gak paham, cowok yang sepertinya kelas sebelas itu mengangguk dalam kebingungan yang terlihat sangat jelas di kedua mata dan ekspresi mukanya.
"Dan lo jangan coba-coba nguping."
"Gak, Kak." Cowok itu langsung menggeleng. Dengan seorang "Polantas" yang siap mengamankan arus di dekitar TKP, sekarang Ari nisa mencurahlan seluruh perhatiannya pada cewek yang masih dicekalnya dengan satu tangan ini.
"Bossy banget sih lo," ucap Tari dengan nada muak. Disentaknya tangan Ari dengan kasar saat kelima jari itu akhirnya melepaskan lengannya. "Emang," jawab Ari tenang.
"Di sekolah ini yang gak sadar posisi kan emang cuma lo." "Apa lagi yang harus gue denger""
"Tinggal yang lo belom tau aja. Gak banyak. Gue ambil yang penting. Gak tega mau ngasih tau semuanya. Sekarang aja tampang lo udah tampang cewek broken hearted gitu. Kalo gue diizinin meluk sih gak papa." Kalimat Ari itu membuat kedua bibir Tari mengatup kaku. Ari menarik napas lalu mengembuskannya dengan cara seperti sedang berusaha melegakan dirinya sendiri. "Ata...," ucap Ari sambil berjalan mundur ke arah dinding lalu menyandarkan punggungnya di sana. Kedua matanya menatap Tari lekat-lekat. Satu poin sebenarnya teramat sulit untuk diucapkan. Karenanya beberapa detik terlewat dalam keheningan sebelum akhirnya Ari kembali buka mulut. Dan suara yang keluar adalah suara terberat yang pernah di dengar Tari yang keluar dari mulut cowok itu. "Ata juga jago minum. Lo pasti tau apa yang gue maksyd di sini. Alkohol. Seberapa parah, lebih baik lo tanya sendiri ke orangnya. Tapi kalo cuma sebotol dua botol sih gak bakalan bisa bikin dia tepar." Bibir kaku dan terkatup rapat di depan Ari seketika ternganga lebar. Bersamaan dengan sepasang mata Tari yang juga terbelalak maksimal. "Lo kelewatan!" desisnya dengan gigi gemeretak.
"Gue ngomong apa adanya," ucap Ari tenang. Semangat dan keyakinan yang menyalakan kedua pijar di kedua mata Tari saat membicarakan Ata pada awal tadi seketika hilang. Ari menyaksikan itu dengan nada sakit. Info terakhir yang baru saja dia berikan akhirnya jadi info yang tidak bisa ditoleransi. Kedua mata Tari merebak.
"Lo keterlaluan. Jahat banget sama sod... " Mulut Tari langsung dibekap telapak tangan. "Gue ngomong apa adanya," Ari menegaskan. Kali ini dengan bisikan. Tari mengenyahkan tangan yang menutupi mulutnya itu dengan kasar lalu bergerak menjauh. Dihapusnya air matanya dengan punggung tangannya.
"Kalopun semua omongan lo itu bener, gue yakin itu pasti gak bener. Dia tetep lebih baik daripada lo kemana-mana. Kalopun bener, dia pasti punya alasan kenapa begitu." Tari menghapus habis air matanya.
"Dia gak jahat kayak lo!" Pembelaan itu menyalakan kembali pijar di kedua bola mata cokelat tua itu, meskipun tak secermelang kelip awalnya. Ketika pijar itu kembali, Ari mendapati keseluruhan tubuhnya nyaris luruh dalam kelegaan yang sarat. Sebuah senyum lembut kemudian muncul di bibirnya.
"Gue akan menganggap bahwa dalam alam bawah sadar lo, sebenernya itu buat gue." Pandangan Ari beralih ke anak kelas sebelas yang diperintahkannya berjaga di depan koridor depan tangga. Anak itu masih melaksanakan tugasnya. Ari melirik jam tangan. Setengah tujuh kurang lima menit. "Udah mau bel," ujarnya. Tari bergeming. Ditatapnya cowok itu dengan pandang marahnya yang seperti
mampu membakar apa pun yang berada di dekatnya.
"Pelototan lo gak bakal ngerubah fakta," ucap Ari dengan suara rendah. Dia mundur ke arah dinding lalu lagi-lagi menyandarkan punggungnya di sana. Setelah beberapa saat terlewat dan Ari tetap bergeming, tetap berdiri di tempatnya dengan punggung bersandar di dinding dan kedua tangan yang kemudian dilipatnya di depan dada, baru Tari bergerak. Tari sadar, semua gelagak marahnya untuk cowok ini cuma nyala obor kecil di depan sebongkah gunung es, yang kekokohannya bahkan akan bertahan dalam perjalanan dari Antartika sampai Khatulistiwa. Dengan kedua mata yang sesaat tetap menatap Ari, didakinya anak-anak tangga. Muncul kilatan di kedua bola mata hitam Ari saat Tari akhirnya memalingkan muka. Begitu tubuh cewek itu berbalik arah mengikuti bagian keua undakan anak tangga yang berubaj arah seratus delapan puluh derajat, Ari langsung bergerak. Dengan kecepatan yang nyaris seperti kelebat petir saat menciptakan ruang hampa. Di anak tangga keempat, kaki kanan Tari hanya menjejak dalam waktu yang bahkan satuan waktu terkecil tak mampu mencatatnya. Sebuah tangan tiba-tiba saja meraihnya dari arah belakang. Bahkan tidak tersedia cukup waktu baginya untuk menyadari apa yang tengah terjadi. Tubuhnya sudah terjatuh ke belakang. Ari hanya meraih pinggang itu dengan gerakan ringan, lalu mendorongnya ke belakang juga dengan gerakan ringan. Tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menjatuhkan tubuh Tari ke arahnya. Ketidakwaspadaan cewek itu yang akan bekerja untuknya. Yang harus dilakukannya hanya menangkap tubuh itu, menyelaraskan diri dengan hukum gravitasi, lalu mendudukkan Tari dengan hati-hati di anak tangga terbawah. Sengaja di anak tangga terbawah, bukan di lantai datar di dekatnya, karena Ari merasa saat ini dirinya tak punya cukup kekuatan untuk mempertahankan Tari agar tidak pergi. Bertolak belakang dengan ketenangan yang terlihat, jauh di dalam, pembicaraan tad sesungguhnya teramat melelahkannya. Karena itu dimintanya bantuan bumi untuk menahan kepergian Tari. Karena dirinya tk sanggup untuk saat ini. Ketika sedetik kemudian kesadarannya kembali, Tari mendapati dirinya duduk tak berdaya. Sudut empat puluh lima derajat yang dibentuk oleh undakan-undakan anak tangga itu menenggelamkannya dalam kekuatan penuh gravitasi. Bagaimanapun ingin, bagaimanapun dia berusaha, dirinya tak bisa lari. Bumi mencengkeramnya. Bumi yang hangat. Bumi yang berdetak. Bumi yang mengulurkan kedua lengan dan kini mengurungnya dalam lingkaran. Pada seseorang yang kejatuhannya telah ditangkapnya dengan kedua lengan dan kini tengah disanggahnya dengan seluruh keberadaannya, Ari menundukkan kepala. Dan dibunuhnya satu-satunya jarak yang tersisa. Lingkaran itu kemudian menghilang. "Gue pingin banget meluk lo. Udah gak inget lagi sejak kapan gue harus mati-matian menahan diri." Tari membeku dalam bumi yang merengkuhnya. Bumi yang menenggelamkannya. Bumi yang membunuh jarak di antara mereka. Bumi yang memberina bisikan itu. Sedetik jeda diberikan Ari agar cewek yang sangat ini tengah dipeluknya mampu mencerna apa yang diucapkannya. Lembut kemudian ditariknya Tari sampai berdiri. Hati-hati dia uraikan kedua lengannya..hati-hati pula disandarkannya tubuh Tari pada dinding kokoh di belakangnya. Kemudian cowok itu berbalik dan pergi. Meninggalkan Tari dalam kebekuan yang membuatnya hanya bisa menatap punggung yang menjauh itu. Bagi Tari, yang barusan terjadi itu antara ada dan tiada. Bisikan itu hanya menelan sekejap waktu. Segala yang terjadi bersamanya juga hanya sekejap waktu. Namun, sekejap itu seperti menghentikan laju sang waktu. Sekejap itu menyingkap yang tersembunyi. Sekejap itu tak terpahami. Sekejap yang seperti abadi.
**** Jam istirahat pertama. Ari menunggu sampai ruang kelasnya nyaris kosong lalu berjalan menuju meja guru. Di sana, setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana, diangkatnya tubuhnya ke atas meja. Dengan punggung menghadap ke salah satu sudut kelas untuk memastikan tak seorang pun mendengarkan pembicaraannya, dikontaknya cowok kelas sebelas yang tadi pagi diberinya tugas untuk
jadi polantas. Di sebuah ruang kelas di area kelas sebelah, cowok yang dihubungi Ari langsung mengubah sikap begitu tahu siapa pemilik nomor itu.
"Lo ke kelas sepuluh sembilan. Awasin cewek yang tadi pagi gue tahan di tangga," perintah Ari. Tanpa prolog. Tanpa basa basi.
Cowok kelas sebelas itu sempat tertegun, sebelum kemudian dia sempat mengiyakan dengan nada patuh seorang junior terhadap senior yang paling berkuasa. Selembar uang kertas warna biru yang tadi pagi diselipkan Ari tanpa kentara di saku kemejanya membuat makin tidak bisa menolak tugas baru itu. Apalagi dia juga jenis yang lebih suka menghindari masalah.
Ari langsung memutuskan kontak. Tak sampai dua menit, ponselnya berbunyi. Ari memutuskan panggilan itu lalu langsung mengontak balik. Dia tidak ibgin kepentingan pribadinya menyulitkan orang lain. Setidaknya bukan dalam soal. Uang.
Cowok kelas sebelas yang berganti tugas dari Polantas menjadi agen rahasia itu langsung menyampaikan laporannya. Dia berdiri di koridor depan kelas Tari dengan salah satu sisi tubuh bersandar di dinding pembatas koridor. Sepasang matanya menatap lurus-lurus ke ujung koridor, kantin kelas sepuluh ramai. Tapi fokus sesungguhnya ada di ruang kelas di sebelah kanannya. Di luar kelas, dia ceritakan apa yang dilihatnya. Tari tidak keluar kelas. Tetap duduk di bangkunya. Kondidi Tari itu sempat membuat cowok kelas sebelas itu kesulitan untuk memberikan gambaran yang tepat pada sang bos di ujung telepon.
"Mmm... Gimana ya" Dia tuh kayak orang lagi bengong gitu, Kak. Diem aja. Ditanyain sama temen-temennya dia juga diem aja, gak jawab sama sekali. Ekspresi mukanya tuh antara sedih, kesel, pengin marah juga," jelasnya dengan suara pelan.
"Dia sendirian"" Ari harus melawan cengkeraman sakit di dadanya untuk mengatakan itu. "Gak. Ditemenin sama temen semejanya. Cewek juga."
Sang agen rahasia dadakan itu lalu meneruskan laporannya. Dia tak pernah tahu, di ujung telepon sana, senior yang paling berkuas dan paling ditakuti itu harus mati-matian melawan dirinya sendiri. Laporan itu mengirisnya dengan cara yang bahkan bisa dia rasakan setiap sayatan yang terjadi. Teman semeja Tari sempat keluar sebentar untuk membeli makanan ringan dan air mineral gelas di kantin. Yang baru dilakukan setelah keadaan kelas benar-benar sepi.
Sebelum kelas benar-benar sepi, sang mata-mata menyaksikan hampir setiap isi kelas menghampiri Tari lebih dulu sebelum keluar kelas. Semuanya melontarkan pertanyaan dengan ekspresi penuh ketertarikan.
"Kenapa lo", "Ada apa sih, Tar"", dan bentuk-bentuk pertanyaan lain yang intinya sama. Tak satu pun yang dijawab. Seperti patung, Tari membeku tanpa ekspresi. Fio lah yang merespons setiap pertanyaan itu. Dengan ancaman galak dan serius.
"Gue itung sampe tiga lo gak pergi juga, gue gebuk pake kamus nih! Beneran!" ucap Tari ketus. "Lo pasti dijahatin Kak Ari lagi deh. Iya, kan""
Kalimat terakhir, yang menurut laporan sang agen rahasia diucapkan oleh seorang cewek, membuat Ari tersenyum lebar.
Begitu ditinggal sendirian, Tari langsung menelungkupkan muakanya ke atas meja, beralaskan kedua lengan. Sang mata-mata berani menjamin, cewek itu menangis, karena kedua bahu Tari berguncang pelan dan segelintir teman sekelasnya yang masi tersisa, semuanya cowok, lalu mengerumuninya dengan bingung.
Laporan itu membuat Ari memejamkan kedua matanya. Dia harus mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat untuk menahan kedua kakinya agar tidak berlari ke sana. "Sekarang... " "Oke,cukup."
Ari memotong laporan sang mata-mata itu dan langsung menutup telepon. Tangannya yang menggenggam ponsel perlahan terjatuh lunglai. Sesaat kemudian helaan napasnya yang benar-benar berat merobek hening ruang kelasnya yang saat itu kosong.
Rasa bersalah mencengkeramnya dalam belitan kuat, melontarkan sebuah teriakan menggila yang susah payah diredamnya. Namun teriakan teredam itu lalu menyiksa nurani tanpa ampun. Memunculkan, pada saat itu juga, permohonan maaf yang benar-benar dengan seluruh kesungguhan dan kerendahan hatinya. Untuk seseorang yang saat ini tengah menangis k
arena apa yang telah dilakukannya.
"Maaf, Tar. Lo boleh bunuh gue nanti," bisik Ari dengan kepala tertunduk.
Jam istirahat kedua, kembali Ari mengontak cowok kelas sebelas itu dan perintah yang sama turun lagi.
"Ng..." cowok kelas sebelas itu terdengar ragu. Bukan apa-apa. Perutnya melilit kelaparan. Sisa jam istirahat pertama tadi tidak cukup untuk melahap sepiring nasi atau mi ayam atau makanan-makanan lain yang bisa menghentikan jeritan perut. Ari lanhsung paham.
"Makan sambil jalan sama makan sambil berdiri plus ngawasin orang gak beda jauh lho. Lo pasti bisa."
Kalimat itu jelas. Saran sekaligus perintah. Cowok kelas sebelas itu menyadari dengan cepat. "Iya, Kak." Dia langsung patuh. Laporannya masuk beberapa saat kemudian. Tidak ada perubahan. Kondisi Tari masih sama.
"Oke, cukup. Thanks," ucap Ari begitu laporan singkat itu selesai. Cowok kelas sebelas itu menarik napas lega saat kemudian Ari menutup telepon. Tidak seperti dugaannya, tugas kali ini selesai dalam waktu kurang dari lima menit. Jadi dia bisa makan!
Keesokan paginya Ari berdiri di ujung koridor yang menghadap ke area depan sekolah. Dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celana, ditatapnya pintu gerbang sekolah lurus-lurus. Ketika orang yang ditunggunya muncul di sana, kedua matanya segera mengunci sosok itu dalam fokusnya. Tidak ada yang terlewat. Jarak sependek itu bukan tandingan untuk ketajaman kedua manik hitam itu. Jarak itu takkan mampu menyamarkan, apalagi mengelabui. Ari bisa melihat raut murung itu dengan jelas. Bahkan jika disipitkannya mata hingga apa yang terlihat tinggal segaris tipis cahaya, kemurungan wajah itu tetap tinggal sebagai citra yang teramat jelas dan nyata.
Dengan gerakan sangat perlahan, Ari menarik napas panjang. Mengisi paru-parunya yang seperti tak sanggup lagi bekerja karena sesaknya rasa bersalah. Pemandangan itu makin melukainya. Apa yang dikatakannya kemarin pagi adalah fakta yang sebenarnya. Jauh di dalam hati dia amat sangat berharap Tari bisa menerima. Karena menerima semua fakta tentang Ata berarti Tari akan bisa menerimanya juga.
*** Duduk bersila di lantai depan gudang, Tari menunduk dengan raut muka masih sehampa kemarin. Ponsel yang diletakkannya dalam lekukan rok kembali mendengarkan tanda ringtone Ata menelepon. Bel istirahat pertama baru berbunyi lima menit yang lalu dan sekarang di layar ponsel Tari telah berderet sepuluh miscall dari Ata. Dua panggilan dalam rentang waktu setiap satu menit. Hebat!
Sepertinya Ata telah menyadari, sesuatu telah menyebebkan Tari tak mau mengangkat penggilan-panggilannya itu. Kalau kemarin panggilan-panggilannya akan berhenti pada percobaan ketiga, hari ini, di luar jam belajar pastinya, ponsel Tari nyaris berdering tanpa jeda. Kesebelas kali!
"Angkat aja deh, Tar." Fio yang juga duduk bersila di lantai tepat di depan Tari, menyarankan dengan suara pelan. Tari menggeleng lemah.
"Gue masih kaget. Gue gak tau mesti bersikap gimana ke dia sekarang. Gak tau mesti ngomong apa. Kalo dipaksain, omongan gue pasti garing banget deh ntar." "Terus tuh telepon mau didiemin sampe kapan""
Tari makin menunduk. Memandangi ponselnya yang entah sudah berapa kali berganti posisi akibat getaran dari sebelas panggilan Ata yang tidak diangkatnya.
"Ngerokok, gue masih bisa terima deh. Cabut juga. Tawuran juga bukan masalah. Tapi mabok"" Tari menggeleng-geleng, bicara dengan suara lirih. "Kak Ari malah bilang, Ata tuh jago banget minum. Sebotol-dua botol sih gak bakalan bisa bikin dia ngegeletak hilang kesadaran." "Lo percaya"" Sepasang mata Fio menyipit. Bertanya dengan nada suara yang sama lirihnya.
Tari mengangguk. "Dari cara Kak Ari ngomong kemaren, gue tau dia gak bohong." "Tersus, lo mau diemin Ata sampe kapan""
"Sampe gue bisa ngira-ngira alasan dia gak mau ngomong kalo sebenernya dia gak beda sama sodara kembarnya."
*** Bel pulang berbunyi. Tari segera mengambil tasnya yang dia letakkan di lantai dekat kursi sebelah dalam.
"Buruan balik yuk. Gue mau tidur. Pusing," ucapnya sambil memasukkan semua buku dan alat tulisnya yang masih b
erantakan begitu saja ke dalam tas, tidak merapikannya lebih dulu seperti kebiasaannya selama ini. Terpaksa Fio ikut beres-beres kilat. Keduanya lalu berjalan keluar kelas, meleburkan diri dalam jubelan tubuh-tubuh lelah yang berhamburan keluar dari pintu-pintu kelas. Seepuluh meter dari pintu gerbang sekolah... "Lebih baik yang terang-terangan daripada yang terselubung, kan""
Bisikan itu benar-benar tepat di sebelah cuping telinganya. Tari terlonjak kaget dan menoleh seketika. Ari menegakkan punggungnya dan menyambut kekagetan itu dengan senyum tipis. "Gue pasti udah menghancurkan angan-angan indah lo ya"" ucap cowok itu pelan. "Kalo gitu maaf deh." Raut mukanya diliputi penyesalan. Tapi Tari yakin itu jelas penyesalan musang berbulu ayam. "Senang kan lo!" Puas,kan!"" desis Tari sengit.
"Gak sama sekali. Gue sedih ngeliat lo begini." Ada kejujuran dalam suara Ari yang rendah. Tapi Tari memilih tidak mempercayainya.
Itu percakapan sensitif. Tingkat satu pula. Dan terjadi opada saat semua ruang kelas baru saja memuntahkan isinya. Karenanya setelah membisikkan kalimat pertamanya tadi, yang membuat Tari terlonjak kaget, Ari langsung berdiri pada posisi yang mampu membuatnya mengawasi tiga arah sekaligus.
Tepat dibelakangnya adalah pos sekuriti. Jadi dirinya tidak perlu khawatir. Tidak ada satu orang pun yang bisa berjalan sampai ke belakang punggungnya tanpa terlihat dari sisi kanan atau pun kiri. si tengah padatnya arus siswa-siswi SMA Airlangga yang menuju pintu gerbang sekolah, posisi berdiri Ari itu lalu menciptakan sebuah lingkaran ruang kosong yang menempel pada pos sekuriti. Kondisi yang membuat isi pembicaraan itu jadi terjamin kerahasiaannya.
Semua orang hanya akan menemukan sepasang mata Ari yang menatap Tari dengan penuh senyum dan goda. Tak lebih dari itu. Hanya Tari, yang tahu dengan sangat pasti, sepasang manik hitam pekat itu telah menghancurkannya kemarin pagi.
Setelah beberapa saat terlewat dan Tari hanya menatapnya dengan sepasang mata yang kilatannya begitu menusuk, sementara kedua bibirnya rapat terkatup, Ari memutuskan sudah waktunya mengakhiri pertunjukkan itu.
Didekatkannya Tari lalu dia bungkukkan punggungnya di salah satu sisi. Pada satu telinga itu lalu diberi bisikan yang bahkan apabila Ada seseorang yang berdiri bersama mereka saat ini, hanya dirinya dan cewek ini yang bisa mendengar.
"Gak da kembar yang benar-benar beda. Harusnya lo sadar itu dari awal."
Usai membisikkan dua kalimat itu Ari menegakkan kembali punggungnya. Setelah beberapa detik membalas tatapan menusuk itu tepat di sumber bara, dia balik badan dan pergi. Menentang arus manusia yang spontan memberinya jalan, menuju motornya diparkir.
Dari tempatnya berdiri di sisi jalan, padatnya arus manusia yang menuju gerbang telah mendesak Fio
sampai ke tempat Tari. Fio bergegas menghampiri sobatnya itu lalu merangkul bahunya. "Udah gak diliatin terus. Yuk pulang."
Dengan lembut diputarnya tubuh Tari yang tadi tanpa sadar berbalik arah mengikuti kepergian Ari. Tanpa mengacuhkan tatapan-tatapan ingin tahu dari begitu banyak mata yang menyaksikan peristiwa itu, keduanya berjalan menuju pintu gerbang lalu melangkah lambat menyusuri trotoar menuju halte.
**** Halte sudah lama sepi. Tapi Tari dan Fio masi duduk diam di salah satu bangku besinya. "Kurang ajar banget tuh orang!" desisan Tari yang penuh emosi memecah kebisuan. "Dia tahu, omongannya kemaren pasti udah bikin gue syok. Dia tadi pasti mau mastiin, hari ini gue masih syok atau gak. Dan ternyata masih... " Sesaat kedua rahang Tari mengatup keras. "Pasti bahagia banget tuh orang!"
Fio langsung menepuk-nepuk dengan lembut satu lengan Tari, menenangkan.
"Pulang aja yuk! Daripada lo mikirin Kak Ari, mending lo pikirin sampe kapan lo mau diemin sodara kembarnya."
Ucapan Fio langsung mengendurkan emosi Tari. Cewek itu menghela napas lalu mengangguk lemah. Bus yang biasa ditumpangi Tari muncul lebih dulu.
"Dateng tuh. Duluan gih sana." Fio meletakkan satu tangannya di punggung Tari lalu mendorong sobatnya itu agar berdiri. Tari berdiri dengan
enggan. "Ya udah. Gue duluan ya," pamitnya.
"He-eh." Jam pulang sekolah yang sudah lama berlalu membuat bus itu hanya terisi kurang dari separuh. Tari memilih duduk dekat salah satu jendela. Segera cewek itu tercabut dari realitas, tenggelam sepenuhnya dalam kekusutan hati dan isi kepalanya.
Seperti umumnya angkutan umum, sebentar-sebentar bus itu berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Untuk kesekian kali, bus itu berhenti. Tiga orang penumpang melompat naik. Salah seorang memilih tempat kosong di depan Tari sementara seorang lagi mengempaskan diri di sebelahnya. Entakan itu memutuskan lamunan Tari dan membuatnya kesal. Cewek itu menoleh dan seketika ternganga.
"Bus kesembilan," ucap Ata pelan. Sepasang mata hitamnya menatap mata Tari lurus dan tajam. "Turun yuk"" ajaknya kemudian. Ada nada memohon dalam suaranya yang lirih. Tari diserang kebimbangan. Sebenarnya cuma info cowok ini ternyata mampu menenggak alkohol yang membuatnya syok. Sisanya-ngerokok, bolos, dan tawuran-bisa dia terima. Meskipun baginya itu juga udah parah banget.
"Yuk"" ajak Ata lagi. Sorot memohon di kedua matanya membuat Tari jadi tak tega. Lagi pula, keruwetan ini memang harus secepatnya diselesaikan. Dia mengangguk.
Ata terlihat lega. Dia bangkit berdiri. Pada kondektur dimintanya untuk memberhentikan bus. Begitu bus berhenti, cowok itu langsung melompat turun. Dia ulurkan tangan kirinya untuk membantu Tari turun.
Bersisian, kini mereka berdiri di tepi sebuah jalan kecil yang lenggang. Ata melapaskan genggaman tangannya. Diam-diam Tari melirik lewat ekor matanya. Cowok itu tengah menatap jalanan kosong di depan mereka. Sepasang mata hangatnya kini tersaput selapis tipis kabut. Jikalau dihalaunya segala prasangka, Tari tetap merasa bersama Ata terasa menenangkan. Seperti kemarin-kemarin. Kembali Tari disergap kebimbangan. Jangan-jangan dirinya bereaksi terlalu berlebihan. Jangan-jangan info itu gak sepenuhnya benar.
Terjebak berdua di tepi sebuah jalan kecil yang lengang, dengan taksi kosong yang mungkin baru akan lewat besok pagi bahkan bisa jadi minggu depan, tanpa sadar Tari mengeluarkan pengakuan awal.
"Gue... " "Kita omongin nanti aja," Ata langsung memotong ucapannya dengan nada lunak. "Kita ambil mobil dulu.
Tari tersadar. "Oh , iya. Di mana mobil lo"" tanyanya, tanpa sadar menoleh dan menatap Ata. "Terpaksa gue tinggal gitu aja. Di pinggir jalan entah di mana tadi. Demi ngejar bus lo. Mudah-mudahan aja tu mobil masih ada," Ata menjawab tanpa menoleh. Sepasang mata Tari kontan terbelalak. "Gila lo! Ngacok banget! Kalo ilang gimana!"" serunya. Baru Ata menoleh. Ditatapnya Tari lurus-lurus.
"Makanya lain kali angkat telepon gue ya. Jangan bener-bener dicuekin kayak sekarang. Supaya gue gak ngaco banget kayak gini, ninggalin mobil sembaranganm" Tari tersentak. Seketika mukanya memerah.
"Tadi juga gue hampir dipukul kondektur. Gara-gara naik terus langsung turun lagi. Bikin sopir jadi ngerem mendadak. Lupa di bus keberapa," lanjut Ata.
Tari menggigit bibir. Mulutnya sudah terbuka akan menceritakan semuanya, tapi seruan pelan Ata membatalkannya.
"Akhirnya!" Cowok itu menarik napas lega dan mengulurkan tangan. Sebuah taksi kosong munculk di kejauhan.
Ata ternyata benar-benar tidak tahu nama jalan tempat dia tinggalkan mobilnya begitu saja. Gantinya, kepada sopir taksi dia memberikan sederet intruksi. Belok kiri lalu ke kanan, kemudian ke kiri lagi, lurus lalu ke kanan, dan seterusnya sampai akhirnya mereka temukan lokasinya. Cowok itu menarik napas lega saat dikejauhan dilihatnya Everest hitamnya masih terparkir di tempat yang sama.
Taksi berhenti di depan Everest hitam itu. Paralel dengan sebuah kios rokok yang berdiri tidak jauh di depan mobil. Setelah menyerahkan uang sebesar biaya argo ditambah tips, Ata membuka pintu di sebelahnya lalu turun. Ditutuonya pintu setelah Tari turun.
"Tau kenapa gue tinggalin mobil di sini"" tanyanya pelan.
"Ngejar bus gue kan lo bilang tadi"" Tari menjawab dengan nada heran.
Ata tersenyum tipis. "Gak sepenuhnya karena itu."
Sedetik jeda lalu ter cipta, dan Tari merasaka sesuatu yang aneh dan tak kasat mata seperti menyelinap dan berdiri di antara mereka berdua.
"Tadi gue ngutang rokok. Jadi sebagai jaminan gue pasti bayar, gak kabur, mobil gue tinggal." Suara Ata menurun drastis. Nyaris selirih bisikan. Nyaris sehalus hembusan angin yang tak teraba tangan, namun sanggup membekukan Tari di tempatnya berdiri.
"Ngutang rokok", satu info kecil dan sederhana. Sepenggal kalimat yang teramat pendek dan biasa-biasa aja. Tetapi dia adalah sebilah mata pedang yang selama ini tersembunyi dari oandangan dan kini tiba-tiba saja sedikit kilau tajamnya tertangkap mata.
Tak menunggu kebekuan Tari berakhir, Ata balik badan. Dia melangkah menuju kios rokok. "Bayar rokok yang tadi, Mas" ucapnya ke sang pemilik kios. Dia ulurkan selembar uang. Laki-laki pemilik kios itu langsung mengakhiri keasyikannya membaca sebuah koran kuning terbitan ibukota.
"Dua bungkus lagi deh, Mas. Buat stok," lanjut Ata. Si pemilik kios mengulurkan dua bungkus rokok yang diterima Ata dengan tenang.
Sementara menunggu uang kembalian, dengan kepal yang dia tolehkan sedikit, Ata menatap Tari lurus dan intens. Tari sendiri sepenuhnya tak menyadari tatapan Ata. Dengan pandangan nanar, Tari mengikuti setiap adegan yang terjadi tidak jauh di depannya itu. Memunculkan kesulitan yang teramat tinggi untuk memisahkan sosok Ata dari Ari. Hingga ketika Ata telah selesai dengan urusannya lalu perlahan menghampiri, Tari bahkan belum mencapai seperempat jalan dalam usahanya untuk menerima.
Dengan suara lendah dan lembut namun dengan penyesalan dan permintaan maaf yang sungguh-sungguh dalam sepasang mata hitamnya, Ata membantu menerima fakta baru itu. "Semua yang dibilang Ari... bener."
Suara dari alam lain. Terdengar tapi tidak bisa dimengerti. "Sekarang gue keliatan jadi kayak Ari,ya""
Kembali Ata mengeluarkan bantuan. Kali ini menarik paksa informasi yang masih berada di dunia yang seperti dunia mimpi itu, tempat segala sesuatu yang tidak diinginkan bisa disangkal atau dianggap tidak pernah terjadi, ke dimensi realitas tempat sanggahan tidak lagi punya kesanggupan untuk bicara.
Usaha cowok itu berhasil. Dengan kedua mata yang masih menatap nanar, Tari menjawab pertanyaannya dengan suara lirih dan terbata. "Gue...kaget... Kaget banget."
"Gue tau," ucap Ata halus. Kemudian dia menghela napas. Panjang dan berat. "Kita cari tempat yang enak untuk ngomong," bisiknya. Diraihnya satu tangan Tari dan dituntunnya cewek itu ke pintu kiri depan mobil hitamnya.
Ketila kemudian Everest hitam itu bergerak menyusuri jalan raya, untuk pertama kalinya jendela di sebelah Ata terbuka. Untuk pertama kalinya asap rokok hadir bersamanya. Membentuk kabut tipis. Sesaat membumbung mengisi ruang kosong di dalam mobil, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan.
Di tempatnya duduk, Tari menatap sosok Ata yang betul-betul berbeda itu dalam ketidakmampuan total untuk mengekang diri. Dipandanginya cowok itu benar-benar dalam ketertegunan yang mengaburkan seluruh latar.
Tapi Ata tetap tenang. Dia mengisap rokoknya dalam ritme teratur. Diembuskannya asap dengan cara yang memperlihatkan bahwa dia menikmati setiap isapan, tak terganggu dengan adanya seorang penonton yang memandanginya benar-benar lekat dan intens. Info Ari yang ditegaskan Ata dengan visual itu benar-benar menenggelamkan Tari dalam ketercengangan. Hingga ketika Ata menghentikan mobil dengan sedikit sentakan, cewek itu tetap tal terlontar ke kesadaran.
Sambil meletakkan kedua lengannya di atas setir, Ata menarik napas. Dia lalu menoleh dan menatap Tari dengan senyum pengertian.
"Kalo sekarang gue jadi keliatan kayak Ari, gue gak bisa apa-apa," ucapnya lunak.
Teri tersadar. Dia tergeragap dan seketika wajahnya bersemu merah.
"Sori, Ta, sori. Abis gue kaget banget." Teri tersenyum dengan rasa bersalah dan buru-buru memalingkan muka ke luar jendela. Ternyata mobil itu telah terparkir di sebuah taman kota. Tidak terlalu luas, tapi terasa sejuk karena rimbunnya pepohonan. Sepertinya Ata menyukai taman dan kehijauan.
Ata tersenyum lagi. Tapi k
ali ini nuansa sedih, yang luput tertangkap mata Tari, mewarnai senyum itu.
"Mesti gimana gue minta maaf sama lo"" bisiknya. Tari menoleh. "Lo ngomong apa""
Ata tak menjawab. Dibukanya pintu di sebelahnya dan turun. Kedua mata Tari bergerak mengikuti saat Ata berjalan memutari bagian depan mobil lalu membuka pintu pintu di sebelahnya. "Kenapa lo gak pernah cerita"" tanya Tari pelan. "Kenapa lo gak pernah ngerokok di depan gue"" Ata masih tak menjawab. Dia mengulurkan satu tangannya lalu dengan lembut menarik Tari keluar dari mobil. Kemudian ditutupnya pintu. "Yuk," ajaknya pelan.
Bersisian mereka menapaki batu-batu pipih yang disusun membentuk jalan setapak yang membelah hijaunya rerumputan. Ata menenggelamkan kedua tangannya di saku celana.
"Waktu gue maksa lo jalan-jalan minggu kemaren...," dia memulai, "gue udah niat mau cerita.
Semuanya. Tentang gue. Tentang Ari juga, tapi sebatas yang gue tau. Cuma keburu Ari bikin gara-gara. Gue jadi lupa. Sedangkan alasan kenapa gue gak pernah ngerokok depan lo..."
Ata terdiam. Cukup lama. Dia menunduk memandangi langkah-langkahnya sendiri. Seperti ada ketentuan harus diciptakannya sekian langkah kaki sebelum diizinkan untuk memulai kelimatnya kembali.
Tari menunggu dengan sabar. Sejak detik pertama pertemuan mengejutkan di bus tadi, dia sudah merasakan suasana yang berbeda.
Mereka sampai di tepi kolam kecil yang merupakan titik pusat taman itu. Tepat di tengah kolam berdiri patung seorang wanita memakai kebaya. Kedua tangannya memegang kendi air dalam posisi miring. Dari mulut kendi terseebut air tercurah. Menimbulkan suara gemercik yang terasa menenangkan.
Ata masih belum membuka mulutnya. Tari memilih untuk juga tetap diam. Memilih untuk sabar menunggu kapan pun Ata siap untuk mengatakan.
Cukup lama keduanya berdiri bersisian dalam diam. Di tepi kolam yang genercik airnya terdengar seperti senandung yang menenangkan. Penghalau untuk pekatnya galau yang kini ikut berdiri bersama kedua orang yang bersisian di tepi kolam itu.
Sesaat kemudian Ata memulai ceritanya. Dengan helaan napas yang benar-benar berat dan panjang. Dengan tatap kedua mata yang tertuju lurus-lurus ke patung wanita berkebaya di tengah kolam. Seakan-akan cowok itu bercerita untuknya, dan bukan untuk cewek yang berdiri dekat di sebelah kirinya.
"Alasan kenapa gue gak pernah ngerokok di depan lo adalah karena gue selalu menghargai saat-saat gue bisa bahagia. Karena saat-saat begitu jarang ada. Sangat jarang malah... " Kembali Ata terdiam. Kembali ditarinya napas panjang.
"Kadang ada hal-hal yang pingin banget kita lupain tapi gak bisa. Tar. Dalam kasus gue, bukan kadang lagi. Ada banyak banget hal yang pingin banget bisa gue lupain. Kadanh juga, ada kenyataan-kenyataan yang pingin banget kita ingkarin. Tapi gak bisa juga. Dalam kasus gue, lagi-lagi ada banyak banget kenyataan yang kalo aja bisa, pingin banget gue ingkarin."
Sekali lagi Ata terdiam. Kedua matanya yang masih tertuju pada wanita batu berkebaya itu perlahan meredup. Balutan pertamanya untuk seluruh luka-lukanya mulai terbuka.
"Yang bisa dilakukan cuma lari menjauh sebentar. Atau berusaha ngelupain untuk sementara. Pergi sebentar ke negeri utopia. Jalan-jalan sebentar ke Shangri-LA. Ada banyak jalan untuk sampe ke sana, Tar. Gue pilih yang cepet aja." Ata menelan ludah.


Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan berarti gue selalu mencoba untuk lupa atau selalu mencoba untuk lari. Kalo lagi kecapekan ja. Sayangnya, gue lebih sering kecapekan daripada gak. Sering gue berharap jadi orang yang apatis. Gak peduli. Gak punya emosi. Tapi yang gue punya tinggal hidup gue. Cuma ini. Gak ada lagi. Nyia-nyiain berati mati. Jadi, yaaah...gue terpaksa bertahan. Dengan segala cara yang gue tau dan gue bisa."
Ata tersenyum. Masih ditujukan pada wanita batu berkebaya di tengah kolam. "Waktu kecil, setiap kali gak sengaja ngeliat bintang jatuh, gue selalu berdoa supaya keluarga gue bisa utuh lagi. Kumpul berempat kayak dulu. Begitu udah agak gede, gue sadar itu kayaknya gak mungkin. Dan doa gue berubah. Gue cuma minta bisa bahagia. Terserah Tuhan mau gim
ana bentuknya. Mau tanpa alasan juga gak apa-apa."
Kembali Ata terdiam. Kalimat terakhirnya itu nyaris menyentuh titik pusat seluruh luka-lukanya. Nyaris saja meruntuhkan pertahanannya. Dia butuh diam agar retakan itu tidak menjadi patahan yang tidak bisa lagi ditegakkan.
Lara, Tari menatap cowok itu tanpa bisa melakukan apa-apa. Ketika kemudian Ata menoleh dan menatapnya, Tari melihat kedua manik hitam itu hampir-hampir tanpa sinar di dalamnya. Hampa. "Pernah gak lo bahagia"" cowok itu bertanya lirih.
Pembicaraan itu terlalu berat untuk Tari. Dia tak sepenuhnya mengerti. Sebagian besar nahkan tak mampu dipahami. Yang sanggup dipahaminya hanyalah pembicaraan ini benar-benar menyedihkan. Pembicaraan ini menghancurkan. Pembicaraan ini berdarah!
Menyadari tidak akan ada jawab untuk pertanyaannya itu, kembali Ata mengarahkan pandangannya ke wanita batu berkebaya di tengah kolam.
"Hidup itu...cuma bisa nyanyi satu macem lagu saja. Elegi." Kembali dia menoleh. "Tau elegi itu apa""
Dengan perasaan amat sangat bersalah, Tari terpaksa geleng kepala. Ata tersenyum lalu menghadapkan mukanya ke tengah kolam.
"Lagu sedih. Hidup cuma bisa nyanyi lagu itu aja. Dia gak bisa nyanyi lagu lain untuk kami, Tar. Kadang kami punya kekuatan untuk ngedengerin. Kadang gak. Masalah muncul kalo kami lagi gak kuat. Gak ada cara lain kecuali lari. Gue lari sendirian. Ari lari sendirian. Seneng juga rasanya kalo bisa lari sama-sama. Paling gak ada tangan yang bisa dipegang. Gak terasa sendirian. Sayangnya gak begitu."
Ata terdiam. Hening yang terasa mengiris tercipta setelah itu.
"Itu kondisi kami, Tar. Gue dan Ari. Kami bertahan ngejalani hidup dengan senjata yang ternyata sama. Rokok. Alkohol, bikin huru hara, dan bikin bonyok orang kalo kebetulan tu samsak lagi tersedia."
Untuk kali yang tak terbilang lagi, Ata kembali terdiam.
"Dan kalo lo harus berangkat perang setiap hari, satu kai dua puluh empat jam, tanpa jeda, lo cuma bukan akan babak belur di satu sisi. Semuanya. Fisik, hati, pikiran, emosi, akal sehat, semangat. Lo akan jadi orang yang mencari-cari fatamorgana dan delusi." Sepasang mata Tari sedikit menyipit mendengar kata terakhir Ata itu.
"Gue ngeliatnya lo gak kayak gitu deh, Ta," bantahnya. "Lo baik-baik aja. Lo kuat. Kalo Kak Ari emang bermasalah. Tapi itu juga gak separah orang lain. Yang sampe kena narkoba atau tukang bikin rusuh gitu. Dia cuma trouble maker yang sering ngeselin aja. Tapi sebenarnya dia baik kok." Ata tersenyum tipis.
"Gue gak baik-baik aja, Tar. Karena lo gak pergi, lo ngeliatnya gue baik-baik ja. Kalo lo pergi, kalo posisi gue jadi kayak Ari...," Ata menoleh, "lo akan kaget, karena gue akan mempertahankan lo dengan cara yang lebih keras daripada Ari." Tari tertegun. "Lo ngancem"" tanyanya pelan.
"Lo delusi" Lo gak nyata"" Ata bertanya sama pelannya. Dijawab pertanyaannya sendiri itu karena sepasang mata Tari menatap tak mengerti. "Sama kayak Ari, gue kaget banget. Ternyata ada orang yang punya nama bener-bener sama dengan kami berdua. Nama awal lo adalah nama Ari dan nama lo sekarang adalah nama gue. Rasanya kayak udah lama tersesat di kabirin dan tiba-tiba aja ada petunjuk di mana pintu keluar. Entah pintu itu menuju ke mana. Mudah-mudahan ke tempat yang lebih menyenangkan."
Pendekar Riang 13 Pendekar Mabuk 113 Tabib Sesat Berakhir Di Ujung Fajar 1

Cari Blog Ini