Ceritasilat Novel Online

Layar Terkembang 1

Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana Bagian 1


LAYAR TERKEMBANG oleh ST. TAKDIR ALISYAHBANA BALAI PUSTAKA Jakarta, 1995
Created Ebook by syauqy_arr@yahoo.co.id
(Koleksi "Roman Indonesia")
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert to Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
KATA PENGANTAR Buku 'Layar Terkembang' ini merupakan sebuah cerita roman tulisan St. Takdir Ah Syahbana. Ceritanya melukiskan perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya. Dua orang bersaudara yang mendapat pendidikan menengah memiliki perangai yang berbeda. Maria, adalah seorang dara yang lincah dan periang, sedang Tuti, kakaknya, selalu serius dan aktif dalam berbagai kegiatan wanita.
Di tengah-tengah dua dara jelita ini muncul Yusuf, seorang mahasiswa Kedokteran, yang pada masa itu lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi.
Sejak pertemuannya yang pertama di Aquarium Pasar Ikan, antara Maria dan Yusuf timbul kontak batin. Setelah melalui tahap-tahap perkenalan, pertemuan dengan keluarga, dan kunjungan oleh Yusuf, maka diadakanlah ikatan pertunangan. Tetapi sayang, ketika menjelang hari pernikahan, Maria jatuh sakit. Penyakitnya parah, malaria, dan TBC sehingga harus dirawat di Sanatorium Pacet. Tidak lama kemudian Maria meninggal.
Sebelum ajal datang, Maria berpesan agar supaya Tuti, kakaknya, bersedia menerima Yusuf. Tuti tidak menolak dan cerita roman 'Layar Terkembang' ini disudahi dengan pertunangan antara Tuti dan Yusuf.
Buku 'Layar Terkembang' terbitan pertama kalinya pada tahun 1936, dan sekarang tetap tercatat sebagai buku wajib untuk bacaan sastra di Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah Pertama dan Atas. Karena itu, kami pandang perlu untuk mencetaknya ulang dan kali ini adalah yang kedua puluh tiga kalinya.
Balai Pustaka BAGIAN PERTAMA 1. PINTU yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara Barat; yang tua dahulu sekali masuk memakai jurk (Dari bahasa Belanda: pakaian wanita Eropa.) tobralko putih bersahaja yang berbunga biru kecil-kecil. Rambutnya bersanggul model Sala, berat bergantung pada kuduknya. Yang muda, yang lena mengiring dari belakang, memakai rok pual sutra yang coklat warnanya serta belus pual sutra yang kekuning-kuningan. Tangan belus itu yang panjang terbuat dari georgette yang halus berkerut-kerut, mengembang di pergelangan tangan, sangat manis rupanya. Rambutnya yang lebat dan amat terjaga, teranyam berbelit-belit bergulung merupakan dua sanggul yang permai.
Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. Meskipun muka, yang tua, yang tegap perawakannya, agak bulat sedikit dan muka yang muda agak kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya, garis mulut, hidung dan teristimewa mata keduanya nyata membayangkan persamaan yang hanya terdapat pada orang berdua bersaudara.
Tuti yang tertua antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya, sedang adiknya Maria baru dua puluh tahun. Mereka ialah anak Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta bersama-sama kedua anaknya itu. Maria masih Murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan dan Tuti menjadi guru pada sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.
Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat akuarium di Pasar Ikan. Pukul tujuh mereka telah bertolak dari rumah dan meskipun sepanjang jalan tadi mereka amat perlahan-lahan memutar sepedanya, merekalah tamu yang mula-mula sekali tiba di akuarium pagi-pagi itu.
"Lekas benar kita sampai ini," kata Maria agak kecewa, "lihatlah belum seorang juga lagi."
"Bukankah lebih baik serupa itu"" sahut kakaknya dengan suara yang tidak peduli, dan agak tetap dan tepat sedikit disambungnya, "Sekarang kita dapat melihat segalanya sekehendak hati kita, tak diusik-usik orang."
Maria tidak menyahut lagi, sebab matanya sudah tertarik oleh ikan kecil-kecil, berwarna-warna merah, kuning dan hitam, yang bermain-main di antara karang yang tersusun dalam kaca. Dan meskipun telah beberapa kali ia mengunjungi a
kuarium itu selama ia di Jakarta, tiada jemu-jemunya ia melihat ikan-ikan yang permai itu. sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, "Aduh, indah benar." Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya, "Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannya itu" Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang." Sekalian perkataan itu melancar dari mulutnya, sebagai air memancar dari celah gunung. Tuti mendekat dan melihat menurut arah telunjuk Maria, ia pun berkata. "Ya, bagus." Tetapi suaranya amat berlainan dari adiknya, tertahan, berat.
Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu, bahwa ia pandai dan cakap dan banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, sebab itu ia jarang memuji. Tentang apa saja ia mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang tetap itu berdasarkan pertimbangan yang disokong oleh keyakinan yang pasti. Jarang benar ia hendak lombar-melombar, turut menurut dengan orang lain, apabila sesuatu tiada sesuai dengan kata hatinya.
Sebaliknya Maria seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Sebelum selesai benar ia berpikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik waktu kegirangan maupun waktu kedukaan. Air mata dan gelak berselisih di mukanya sebagai siang dan malam. Sebentar ia iba semesra-mesranya dan sebentar berderau gelaknya yang segar oleh kegirangan hatinya yang remaja.
Yang seorang tegap dan kukuh pendirian, tak suka beri-memberi, gelisah bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur. Yang lain perempuan dalam arti penjelmaan pancaran perasaan yang tiada terhambat-hambat, berlimpah-limpah menggenangi segala sesuatu di sekitarnya dengan kepenuhan kalbunya.
Tetapi perbedaan sifat dan pekerti yang sebagai siang dan malam itu, tiadalah berapa merenggangkan tali Ilahi yang telah memperhubungkan orang berdua beradik itu. Teristimewa sesudah bunda mereka berpulang dua tahun yang lalu, sehingga tinggallah mereka bertiga saja dengan ayah
mereka, kedua belah pihaknya berdaya-upaya memaklumi dan menghargai masing-masing. Tuti berusaha sedapat-dapatnya menggantikan kedudukan dan pekerjaan bundanya. Sekalian pekerti dan kelakuan adiknya itu dicobanya menerimanya dan menyesuaikannya dengan hatinya dan meskipun hal itu tidak dapat dalam segala hal, dalam hidup bersama-sama. Usahanya itu jelas membawa ketenangan dan kerja sama. Bagi Maria sendiri yang masih sebagai anak burung mengepak-ngepakkan sayap, belum mendapat tempat bertengger, pimpinan Tuti yang tiada dinyatakan benar kepadanya itu terasa sebagai keamanan.
Reeeet, berbunyi pula pintu akuarium dibuka orang dan ketika itu masuk seorang laki-laki muda, tinggi badannya dan bersih kulitnya, berpakaian putih berdasi kupu-kupu dan berkopiah beledu hitam. Sesaat yang tiada terkira pendeknya, tertegun ia di tengah pintu. Sejurus rupanya hilang pikirannya, tak tahu apa yang hendak dikerjakannya melihat kedua perawan itu. Tetapi segera ia terus melangkah ke dalam dan sepatunya yang berkilat-kilat itu berbunyi berderit-derit di lantai.
Gadis berdua itu berpaling sebentar memandang tamu yang baru itu. Mereka mendekat, merapat digerakkan oleh suatu gerak yang tiada terkaji, seperti anak ayam berkumpul pada induknya digerakkan oleh sesuatu tenaga yang tiada dapat diketahui.
Berbunyi pula pintu beberapa kali berturut-turut. Masuk seperindukan, tujuh orang anak-beranak. Ayah berkain panjang. memakai jas buka putih dan dasi panjang yang ungu, sedangkan kepalanya ditutup oleh ketu udeng Yogya. Ibu, yang di tangan kirinya menggendong anaknya yang bungsu yang kira-kira dua tahun usianya, memakai kebaya pual yang biru berkembang keputih-putihan.
Di dalam gedung akuarium itu mulailah ramai suara manusia; kanak-kanak berempat itu bersenda-gurau lari dari hadapan kaca yang sa
tu ke hadapan kaca yang lain mengamat-amati ikan berbagai jenis dan bentuknya.
"Lihat, lihat ikan itu sangat besar, To," kata seorang anak laki-laki, yang kira-kira lima tahun umurnya, kepada saudaranya yang tiada berapa jauh berdiri daripadanya, menghadap kaca tempat ikan yang besar-besar.
Segala orang melihat kepadanya dan melihat sebanyak itu orang memandangnya, dibuangnya mukanya, seolah-olah tiba-tiba malu ia mendengar suaranya sendiri dan melihat mata manusia sebanyak itu menoleh kepadanya.
"O. ya, besar," jawab kanak-kanak yang lebih besar daripadanya dan yang dipanggilnya To tadi, "tetapi ikan yang dibawa orang di sana tadi jauh lebih besar."
"Lebih besar""
"Ya, barangkali lebih dari dua kali," kata Suparto menekan kata adiknya itu.
Dari sudut gedung akuarium itu berteriaklah seorang gadis kecil, rupanya yang tertua di antara lima beradik itu, memanggil adik-adiknya. Ikan yang ganjil dan lucu benar ada dilihatnya di sana. Ketiga anak laki-laki itu pun berlari melompat-lompat datang mendapatkannya.
Melihat kegirangan saudara-saudaranya yang tiada pernah diam barang sekejap juga pun itu, anak yang bungsu yang di tangan ibu tidak dapat ditahan-tahan lagi: ia menggelompar hendak turun, hendak serta berlari-lari. Baru saja dicecahkan ibu kakinya di ubin, ia telah berteriak-teriak dan kakinya yang belum kukuh tegaknya itu dilangkahkannya secepat-cepatnya menuju kepada saudara-saudaranya. Ibu tersenyum melihat anaknya yang bungsu itu oleng berlari-lari dan takut biji matanya itu jatuh, diiringkannyalah dari belakang.
Tetapi waktu ia melalui Tuti dan Maria yang sedang asyik melihat ikan, sekonyong-konyong rupanya minatnya bertukar dan dengan tiada disangka-sangka sedikit juga pun ia berhenti dan pergi" mendekati gadis berdua itu. Ditepuknya Tuti dari belakang seraya berkata dengan suara yang halus, "Tante."
Terkejut berbaliklah Tuti dan seraya tersenyum dipegangnya tangan yang kecil yang menepuknya itu. Maria bangkit sekali perhatiannya kepada anak yang Jenaka dan berani itu. Berseri-serilah mukanya dan dengan suaranya yang lemah-lembut katanya, "Adik mau ke mana"" Ia mendekat dan seraya dibelai-belainya rambut yang halus kepirang-pirangan itu disambungnya pula, "Adik manis betul! Siapa nama adik""
Anak kecil yang jenaka itu tercengang, rupanya baru ia insyaf, bahwa ia tersesat ke lingkungan orang yang tidak dikenalnya.
Maria tersenyum melihat ibu yang berdiri di belakang anaknya itu, seolah-olah daripadanya diharapkannya jawab pertanyaannya itu.
"Suparno." "Suparno manis betul, bukan" Nanti tante beri coklat." Maria membuka tas yang dijinjingnya dan dikeluarkannya sebuah coklat bundar sebesar empu jari terbungkus timah.
Bersinar-sinar muka anak yang kecil itu menyambut makanan yang lezat itu dan ia hendak terus berlari-lari sekali kepada saudara-saudaranya memperagakan coklat yang diperolehnya itu, ketika matanya tertarik kepada anak muda yang waktu itu lalu tiada berapa jauh daripadanya. Seraya menunjuk kepadanya, lahir dari kalbunya yang jernih itu ucapan yang tiada dibuat-buat, "Oom No!"
Anak muda itu tersenyum mendekat seraya melihat ayah dan bundanya yang tiada berapa jauh berdiri daripadanya. Dipegangnya tangan kanan kanak-kanak itu selaku bersalam dan seraya melihat kepada tangan kiri Suparno berkatalah ia, "Beri Oom saja coklatnya."
Tetapi mendengar itu Suparno menarik melepaskan tangan kanannya dan tangan kirinya bertambah dijauhkannya ke belakangnya. Sambil melihat kepada Maria keluar dari mulutnya yang kecil itu, "Tante, kasi No."
Seketika anak muda itu memandang kepada Maria yang mengamat-amati perbuatannya dengan anak kecil itu: ia tersenyum tak tentu artinya.
Dengan tiada terduga-duga Suparno telah berlari-lari menuju saudara-saudaranya. Sebentar laki-laki muda itu mengiringkannya dengan matanya; dengan tiada sengaja ia memandang kepada Maria, mata mereka bersua dan kedua-duanya tersenyum membuang muka tak tentu arahnya.
Laki-laki muda itu terus melangkah seraya meluruskan kopiahnya yang sudah lurus, dengan tiada berpikir sedikit jua pun.
Beberapa lamanya masing-masing asy
ik pula melihat-lihat ikan dalam kaca-kaca itu. Setelah habis mengelilingi sekaliannya keluarlah Tuti dan Maria.
Ketika daun pintu yang besar itu berbunyi dibuka mereka, laki-laki muda itu mengangkat kepalanya melihat sejurus. Beberapa lamanya gadis dua beradik itu berjalan-jalan di beranda akuarium mengamat-amati ikan-ikan yang ganjil yang tersimpan dalam kaca dan botol di situ. Setelah selesai pula perlahan-lahan mereka melihat-lihat sekeliling gedung itu dan akhirnya menuju mendekati sepeda mereka masing-masing. Ketika itu ke luar pula pemuda itu dari dalam dan ia pun menghampiri kedua gadis itu, sebab sepedanya terletak dekat sepeda mereka.
Sambil memandang ke arah pasar, berkatalah ia setengah kepada dirinya sendiri dan setengah kepada perawan berdua itu, "O, itu banyak orang datang."
Kedua-duanya memandang ke arah pemuda-pemuda yang datang itu. Ketika itu juga terhambur dengan girangnya dari mulut Maria, "Lihat, lihat, itu Loesje, Corry..."
"Ya, alangkah banyak temannya," ujar Tuti.
"Ah, lekas amat kita ke luar tadi," kata Maria dengan suara yang agak menyesal. "Marilah kita masuk lagi bersama-sama mereka!"
"Apalah gunanya, baiklah kita pulang. Kita tadi berjanji akan pergi ke Jatinegara dengan bapak."
"Kenalkah zus berdua akan orang banyak itu"" tanya pemuda itu, yang sejak dari tadi tiada juga melepas-lepaskan pandangannya dari pemuda-pemuda Eropa yang menuju ke akuarium itu.
"Tentu," jawab Maria dengan lancar dan gembira, seolah-olah menyatakan kegirangannya yang tiada tertahan-tahan melihat teman-temannya itu. "Loesje, Klara, Corry, sekaliannya itu temanku di sekolah."
Baru saja habis perkataannya itu segera ditundukkannya kepalanya, sebab ketika itu terasa kepadanya, bahwa mulutnya terlampau lepas kepada pemuda yang belum dikenalnya itu. Mukanya yang halus kekuning-kuningan itu menjadi merah oleh malunya.
Tetapi mendengar perkataannya berjawab itu pemuda itu lebih berani; maka ujarnya pula selaku menekan saja, "Kalau demikian rupanya zus sekolah H.B.S. Carpentier Alting Stichting."
"Sesungguhnya demikian," jawab Maria, setelah menggelengkan kepalanya untuk menjauhkan rambut yang halus, yang menutupi mukanya. "Jadi kenal juga tuan dengan mereka"" tanyanya pula, sebab sesungguhnya yang datang itu sahabat karibnya benar di sekolah.
"Kenal benar tidak!" jawab anak muda itu, "tetapi saya tahu dari kenalan saya yang sama-sama dengan mereka itu sekarang, bahwa mereka itu sekolah' H.B.S. Carpentier Alting Stichting."
"Anak muda, setuden Tabib Tinggi itu""
"Ya, sama-sama belajar dengan saya."
Sejurus Maria memandang kepada kakaknya yang ketika itu sedang memutar-mutar pijak-pijak sepedanya yang agak sendat rupanya. Waktu itu tiba-tiba terkilat di kepalanya apa yang dikatakan pemuda itu. "Jadi ia seorang setuden," demikian pikirnya dalam hatinya. Dan lekas berkatalah ia kepada kakaknya, "Banyak benar kawan mereka itu!"
Sementara itu kumpulan pemuda Belanda, lima orang gadis dan empat orang laki-laki itu telah dekat kepada mereka. Gadis-gadis yang lain itu pun rupanya teman Maria sesekolah. Amatlah riuhnya Maria bersenda-gurau dengan teman-temannya itu. Maria dan Tuti diajak mereka melihat ke dalam sekali lagi. Dan sebenarnya Maria telah melangkah akan mengikutkan teman-temannya yang riang itu, tetapi segera Tuti mengingatkan sekali lagi, bahwa ayahnya menanti di rumah untuk pergi bersama-sama ke Jatinegara mengunjungi bibiknya yang baru bersalin.
Dalam pada itu pemuda itu telah asyik bercakap-cakap pula dengan temannya. Dalam percakapan itulah dengan tiada sengaja terdengar kepada Maria, bahwa nama pemuda itu Yusuf.
Tak berapa lama antaranya masuklah anak-anak muda Belanda itu ke dalam gedung akuarium dengan gelak dan gurau mereka yang riuh. Dan tiada berapa jauh dari akuarium itu berjalanlah Yusuf dengan Tuti dan Maria ke luar pekarangan menuju ke pasar, Yusuf sebelah kiri dan di sebelah kanannya berturut-turut Maria dan Tuti.
Tuti tak banyak katanya, seolah-olah ada sesuatu yang sulit yang sedang dipikirkannya. Sesungguhnya dalam beberapa hari yang akhir ini ia asyik memikirkan ber
macam-macam soal, kepalanya dipenuhi oleh Kongres Putri Sedar yang dua minggu lagi akan diadakan di Jakarta. Sebagai salah seorang pemimpin perkumpulan itu yang terkemuka, lain daripada pengurus kongres itu kepadanya terserah pula mengadakan sebuah pidato. Telah berhari-hari ia tiada pernah diam. Kalau tiada berjalan untuk mengunjungi orang-orang yang lain yang harus mengurus kongres itu, ia asyik membaca dan menulis di rumah untuk menyiapkan pidatonya. Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebahagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal mah-luk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.
"Ke mana orang banyak itu"" tanya Maria, tiada tentu kepada siapa di-hadapkannya pertanyaannya itu, sambil menunjuk kepada beberapa orang yang baru turun dari auto menuju jalan sebelah kanan.
Tuti mengangkat kepalanya seraya melihat ke arah yang ditunjukkan adiknya itu. Maka digelengkannya kepalanya.
"Itu jalan ke Luar Batang," jawab Yusuf. "Tiap-tiap hari amat banyak orang pergi ke sana."
"Saya sebenarnya ingin melihat ke situ," kata Tuti sekonyong-konyong. Rupa-rupanya perkataan Luar Batang itu menarik hatinya. "Sering benar saya dengar orang menyebut Luar Batang. Apakah sebenarnya yang dikunjungi orang ke sana""
"Ah, tidak apa-apa, kuburan biasa... orang Arab."
"Kata orang keramat..."
"Ah, tahyul," kata Yusuf.
"Ya, saya pun tiada percaya akan yang serupa itu. Kalau sesungguhnya dapat kita sesuatu oleh bernazar, maka dunia ini tentu telah lama menjadi surga. Tak ada lagi orang yang berkekurangan, tak ada lagi orang yang sakit dan mati."
"Jangan terlampau lekas berkata serupa itu," kata Maria dengan bersungguh-sungguh. "Kalau tak ada keganjilannya, tentulah tak selama itu ia diminati orang."
Tuti mengangkat bahunya seraya berkata dengan mengejek, "Tahyul amat dalam membusuk di daging manusia."
Maria dan Yusuf diam tiada menjawab perkataan yang diucapkan dengan tegas itu.
Sementara itu ketiga orang itu telah sampai di jalan besar. Mereka pun naiklah ke atas sepedanya masing-masing dan seperti telah demikian mestinya, Yusuf terus menemani kedua gadis itu.
Sepanjang jalan percakapan mereka bertiga itu tiada tentu, berpindah-pindah dari pasal yang satu ke pasal yang lain.
Di tengah-tengah percakapan itu tiba-tiba Yusuf berkata kepada Tuti, "Rasanya saya ada bersua dengan zus, tetapi entah pabila saya tak ingat lagi."
"Saya pun rasanya telah kenal akan muka Tuan," jawab Tuti, "rasa-rasanya saya ada melihat Tuan dahulu pada rapat umum Pemuda Baru dalam bulan Desember yang lalu."
"O, boleh jadi," kata Yusuf, "sebab saya salah seorang daripada anggota pedoman besarnya."
"Saya menghadiri kongres itu dahulu sebagai wakil pedoman besar Putri Sedar dari Bandung."
"Dari Bandung" Jadi Zus datang dari Bandung""
"Tidak, saya mewakili pedoman Besar Putri Sedar Bandung, sebab mereka tiada dapat datang sendiri, saya orang Jakarta ini." "O, begitu, Zus orang Jakarta!"
"Orang Jakarta benar tidak pula. Kami orang Banten, tetapi sejak kecil kami tinggal di Jakarta ini. Saya dahulu Sekolah Kweekschool Gunung Sahari yang kemudian dipindahkan ke Lembang."
Sementara itu mereka bertiga telah sampai dekat Gang Ketapang. Maria berkata, bahwa mereka berdua akan berbelok ke kanan. Mendengar itu Yusuf berpikir sebentar dan segera berkatalah ia, "Bolehkah saya menemani Zus berdua sampai ke rumah""
"Apa salahnya, asal Tuan sudi," jawab Maria.
Maka berbeloklah mereka bertiga ke kanan, melalui pabrik gas, setal kuda dan sesudah itu berbelok pula ke kiri ke Cidengweg. Di jalan itulah di ujung Gang Hauber terletak rumah kedua gadis itu. Yusuf membaca nama yang tertulis pada sepotong marmer tergantung pada dinding rumah itu: R. Wiria-atmaja. Ketika Maria mengajak ia singgah, dikatakannya, bahwa ia ada janji dengan seorang temannya; ia masih segan, sebab mereka belum dikenalnya
benar. Di beranda rumah Maria dan Tuti disapa oleh ayah mereka yang duduk siap b
erpakaian setelan, membaca menghadapi meja yang penuh tumpukan koran, "Siapakah anak muda yang mengantarkan engkau berdua itu, mengapa tidak diajak naik""
"Entah, kami tiada tahu benar," jawab Maria, "tetapi rupanya seorang setuden Sekolah Tabib Tinggi. Kami bertemu dengan dia tadi di akuarium dan dari sana kami pulang bersama-sama."
R. Wiriaatmaja menundukkan kepalanya pula membaca korannya. Perkataan anaknya itu tiada sedikit jua pun janggal terdengar kepadanya. Ia biasa memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada anaknya. Sebagai seorang yang besar dalam didikan cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada perubahan yang berlangsung setiap hari dalam pergaulan, kabur-kabur terasa kepadanya, bahwa telah demikianlah kehendak zaman.
Dan ia tiada hendak melawan kehendak zaman, meskipun ia tiada dapat mengerti sepenuh-penuhnya akan kehendak zaman itu. Antara dirinya dengan anaknya ada terentang suatu tabir yang halus dan tiada nyata kelihatan kepadanya. Terutama sekali payah ia hendak mengaji sikap dan pendirian Tuti yang lain benar nampak kepadanya dari Maria. Apakah gunanya ia sebagai perempuan siang-malam membuang tenaga dan waktu untuk perkumpulan, rapat di sini, rapat di sana, berpidato di sini berpidato di sana" Apakah gunanya buku yang sebanyak itu bersusun dalam lemarinya, seperdua dari gajinya menjadi kertas saja" Dan sampai sekarang belum dapat ia menduga, mengapa Tuti dahulu memutuskan pertunangannya dengan Hambali, Putra Bupati Serang, yang pasti akan menggantikan ayahnya di kemudian hari. Tidak sepaham, tidak sepekerti... mungkinkah itu saja telah cukup menjadi alasan untuk membuang segala harapan akan berbahagia yang sebesar itu" Dan sekarang telah pula dua puluh lima tahun usianya, anaknya itu rupa-rupanya tiada sedikit jua pun mengingatkan penghidupannya di kemudian hari.
Sering ia mencoba berbicara dengan Tuti untuk mengetahui kata hatinya, tetapi hal itu sedikit tak menjadi terang baginya: ia tiada mengerti apa tujuan ucapan Tuti yang mengatakan, bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya.
Memaksa anaknya itu menurut kehendaknya tiada sampai hatinya, sebab sayangnya kepada Tuti dan Maria tiada terkata-kata, apalagi sejak berpulang istrinya dua tahun yang lalu. Dengan tiada insyafnya, dalam dua tahun yang akhir ini sejak Tuti mengurus rumah dan dirinya, perlahan-lahan tumbuh dalam hatinya sesuatu perasaan hormat kepada kekerasan hati dan ketetapan pendirian anaknya yang tua itu.
Meskipun banyak ia tiada mengerti perbuatan dan kegemarannya, tetapi suatu pasal harus diakuinya: segala isi rumahnya beres sejak diselenggarakan oleh Tuti, jauh lebih beres dan rapi dari ketika mendiang istrinya masih hidup. Dan hal itu mendamaikan hatinya sebagai ayah terhadap kepada berbagai-bagai pekerti dan perbuatan anaknya itu yang tiada sesuai dengan pikirannya. Dalam hati kecilnya timbul suatu perasaan percaya, yang lahir oleh perasaan tiada kuasa untuk menunjukkan yang lebih baik, "Ah, Tuti tentu tahu sendiri, apa yang baik bagi dirinya!"
Wiriaatmaja berdiri dari membaca koran dan ia masuk ke dalam menyuruh anaknya agak lekas bertukar pakaian, supaya dapat lekas pergi ke Jatinegara. Juhro, bujang rumah itu, disuruhnya pergi mencari taxi, tak berapa lama antaranya kelihatanlah Wiriaatmaja dengan kedua anaknya, yang memakai kebaya, naik taxi menuju ke Pasar Baru untuk membeli kado bagi saudara perempuannya yang baru bersalin di Jatinegara.
2. YUSUF ialah putra Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan. Telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi. Pada bulan Mei nanti ia akan menempuh ujian doktoral yang pertama dan kedua. Tempat tinggalnya sejak dari Sekolah Mulo, A.M.S. sampai ke Sekolah Tinggi ini ialah di rumah seorang kerabat Jawa yang diam di Sawah Besar.
Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik saja kepada mereka berdua. Perkenalan yang sebentar itu meninggalkan jejak yang dalam di kalb
unya. Yang seorang agak pendiam dan tertutup rupanya, tetapi segala ucapannya teliti. Yang seorang lagi suka berbicara, lekas tertawa gelisah, penggerak. Alangkah besar beda pekerti mereka berdua beradik itu. Tetapi tidak, yang terutama sekali menarik hatinya ialah Maria. Mukanya lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan hidup dan bibirnya senantiasa tersenyum menyingkapkan giginya yang putih.
Keesokan harinya pagi-pagi sebelum setengah tujuh ia telah siap makan dan berpakaian akan pergi ke sekolah. Diambilnya sepedanya dan sebab tiada usah tergesa-gesa ia menuju ke arah Molenvliet, Berendrechtslaan. Dalam hatinya ia berharap-harap akan bersua dengan Maria hendak pergi ke sekolah. Di Molenvliet West ia berbelok ke kiri menuju ke Harmonie. Sementara itu dari mulutnya tiada berhenti-henti berkepul-kepul asap sigaretnya. Tiba di hadapan Hotel Des Indes sebenarnya telah dilenyapkan harapan akan bertemu dengan gadis itu. Tetapi baru ia hendak mencepatkan memutar sepedanya, supaya dapat bertemu dengan kawan-kawannya sebelum pengajaran mulai, tiba-tiba kedengaran di belakangnya suara yang halus mengatakan, "Selamat pagi."
Sekejap terperanjat ia mendengar suara itu, lalu berpalinglah ia ke belakang dan nampak kepadanya Maria. Ketika ia membalas tabik itu sekejap hatinya berdebar-debar dan ia agak keragu-raguan.
"Tak saya sangka akan bertemu pula dengan Zus pagi-pagi ini," katanya mencahari perkataan akan berbicara menyambung tabiknya. Sementara itu ia memutar sepedanya ke sebelah kiri gadis itu, sedangkan matanya amat tajam mengamat-amatinya, sebab pada pagi itu Maria kelihatan kepadanya lebih cantik, jauh lebih cantik dari di akuarium kemarin. Gaunnya yang putih bersih amat rapat memalut badannya sampai melampaui lututnya sedikit. Kakinya yang agak panjang dan langkai ditutupi kaus sutra yang kuning kemerah-merahan warna sawo, sehingga dari jauh rupanya ia seolah-olah tiada berkaus. Rambutnya yang lebat itu terjalin menjadi dua anyaman yang terbuai-buai di belakangnya, sedangkan di sebelah mukanya mengeriting beberapa helai anak rambut.
"Saya tiap-tiap pagi lalu jalan ini pergi ke sekolah!" jawab Maria seraya tersenyum.
"Sekolah mulai setengah delapan, alangkah lekasnya Zus pergi ke sekolah."
"Tidak, sekolah kami mulai pukul tujuh lewat seperempat. Lagi pula apa kerja saya di rumah, kalau segalanya sudah selesai" Bukankah lebih senang bergurau-gurau dengan teman-teman di sekolah" Sekarang ini pun tidak pula boleh dikatakan pagi benar. Sudah kurang sepuluh menit pukul tujuh."
Yang akhir ini dikatakannya sambil ia melihat kepada arloji emas yang amat indah membelit tangannya yang halus dan langkai, yang hanya ditutup tangan bajunya lebih sedikit dari bahunya.
Dengan tiada sengaja Yusuf memandang pula kepada arloji itu, seolah-olah dapat juga ia melihat jarumnya yang halus. Malahan setelah Maria meletakkan tangannya kembali ke atas setang sepeda dan memandang ke tempat lain, ke muka, mata bujang remaja itu masih seolah-olah takjub terpaut pada lengan yang indah halus itu. Dan dengan tiada diketahuinya berkata hatinya, "Sesungguhnya cantik."
Sebenarnya Maria pagi-pagi itu amat cantik rupanya. Mukanya yang berbedak tipis, hampir-hampir tidak kelihatan itu, bersinar-sinar rupanya oleh" karena kegirangan hatinya. Pergi ke sekolah sejak kecilnya amat disukainya. Apa lagi dalam lima tahun sekolah H.B.S. itu bertambah-tambah saja gemarnya. Meskipun di antara murid-murid itu amat sedikit gadis-gadis bangsanya, tetapi dalam pergaulan dengan gadis-gadis Belanda yang sebaya dengan dia itu tak pernah terasanya, bahwa ia terpencil di tengah-tengah bangsa asing. Ia pandai membawa dirinya, kepada segala orang ia baik, tiada ditahan-tahan puji dan cumbunya.
Demikianlah meskipun H.B.S. Carpentier Alting Stichting itu boleh dikatakan hanya dikunjungi oleh gadis-gadis golongan yang terkemuka dalam pergaulan bangsa Belanda, pada hari Minggu sering Maria dikunjungi oleh sahabat-sahabat sekolahnya itu di Gang Hauber yang bersahaja itu.
"Sedikit hari lagi Putri Sedar akan Kongres," kata Yusuf mencahari-cahari pasal un
tuk dipercakapkan. "Ya, hari Minggu empat belas hari lagi akan berlangsung rapat umumnya."
"Tentu ramai kongres sekali ini, Putri Sedar telah mempunyai cabang di mana-mana," ujar Yusuf pula. "Zus masuk Putri Sedar jugakah""
"Ah tidak," jawab Maria. "Lain daripada perkumpulan sekolah kami, saya tidak masuk suatu perkumpulan jua pun. Tetapi saudara saya yang kemarin itu sudah lama menjadi anggota Putri Sedar. Ia menjabat ketua cabang Jakarta sekarang ini. Hari Minggu nanti ia akan berbicara, kabarnya tentang sikap perempuan baru."
"Mengapakah Zus tidak masuk salah satu perkumpulan perempuan bangsa kita" Keputrian Pemuda Baru misalnya baik benar bagi gadis-gadis yang masih sekolah."
"Dahulu ada orang mengajak saya menjadi anggotanya, tetapi entah apa sebabnya sampai sekarang maksud itu tiada sampai."
"Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak. Masakah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi penonton saja" Apabila kita dari sekarang tiada mulai serta, sampai kemudian hari kita akan canggung, bagaimana akan menyertai kemajuan bangsa kita itu. Perkumpulan pemuda itu ialah sekolah bagi kita, tempat kita belajar bekerja bersama-sama untuk kepentingan orang banyak."
Perkataannya itu diucapkan oleh Yusuf dengan tetap dan pasti, sehingga selaku desakan kepada gadis itu. Maria tiada merasa hal itu, malahan tiada ia berkuasa untuk menolak, sehingga terlompatlah dari mulutnya agak kekanak-kanakan, "Ya... saya hendak menjadi anggotanya... tetapi bagaimanakah aturannya""
Sekejap memerah muka perawan itu merasa kekurangan pada dirinya yang ditunjukkan oleh Yusuf itu.
"Itu perkara mudah," kata Yusuf dengan suara seseorang yang harus melindungi. "Nanti Zus saya tolong suruh catatkan sebagai anggotanya. Kalau diadakan rapat tentu Zus mendapat undangan. Cobalah pula berkenal-kenalan dengan gadis-gadis bangsa kita."
Beberapa lamanya orang berdua itu tiada bercakap-cakap,seolah-olah masing-masing sedang menyelesaikan pikirannya. Dalam pada itu mereka telah dekat Frambergpark menuju ke stasion Gambir.
"Dalam waktu akhir ini perkumpulan kami Pemuda Baru sangat maju," kata Yusuf menyambung percakapan pula, seolah-olah belum tercurah segala yang terasa di hatinya. "Di tiap-tiap kota yang ada sekolah menengah kami mempunyai cabang. Pada kongres kami yang baru lalu tak kurang hadir utusan seratus buah cabang. Girang hati melihat kegembiraan pemuda-pemuda menjunjung perkumpulan serupa itu. Dan... orang muda sekarang, kelak akan menjadi orang tua. Bangsa kita sudah masuk zaman baru."
Sekalian itu diucapkan anak muda itu dengan gembira laksana seseorang yang girang berbicara tentang berhasilnya perbuatannya sendiri.
Sebenarnya Yusuf juru surat pedoman besar perkumpulan pemuda itu dan sebagai juru surat yang selalu berhubungan dengan cabang dan ranting perkumpulannya tahu ia semangat yang hidup dalam perkumpulannya. Dan meskipun Maria bukan seseorang pergerakan, sejurus tergembira juga ia mendengar perkataan gembira yang keluar dari mulut Yusuf. Sekejap tertarik, terhanyut ia dalam arus gembira yang mengalir dari dada pemuda yang sejak semula menarik hatinya itu, sehingga sebelum diketahuinya ia telah berkata, "Sungguh sayang benar selama ini saya tiada menjadi anggotanya..."
Dekat penyeberangan jalan kereta api sesudah melampaui Frambergpark keduanya menoleh ke belakang, sebab dari belakang mereka datang mendudu sebuah autobus amat lancarnya. Ketika autobus itu lalu, kebetulan tukang menjaga jalan kereta api menolakkan pintu menutup jalan. Mula-mula Yusuf seolah-olah hendak melepaskan sepedanya supaya masih dapat menyeberang jalan sebelum pintu itu tertutup benar. Dan ia pun berkata kepada Maria, "Marilah kita agak lekas sedikit, supaya kita tak usah lama menunggu."
Maria memandang ke muka. Tak terkejar lagi terasa kepadanya, ia pun berkatalah, "Apa gunanya tergesa-gesa, nanti terjepit di antara pintu itu. Hari pun belum tinggi benar."
Yusuf tiada menjawab. Malahan ia pun sendiri agak heran, apa sebabnya maka
ia tergesa-gesa benar. Dan sebagai hendak memperbaiki perkataannya sendiri berkatalah ia, "Benar juga kata Zus itu. Bergesa-gesa menyeberang itu ada juga bahayanya. Tetapi sebaliknya kadang-kadang kesal hati kita harus menunggu lama-lama, sebabnya tukang menjaga jalan itu sering terlampau lekas menutup pintu."
Perlahan-lahan turunlah keduanya dari sepedanya dan menepi dekat pohon asam yang rindang daunnya sebelah kiri jalan. Mereka memandang kepada auto, delman dan sepeda yang dalam sekejap saja telah bersusun di hadapan pintu yang tertutup itu.
Tiada berapa lama antaranya kereta api listrik dari Tanjung Periuk datang menderu-deru di atas rel besinya. Di penyeberangan itu bedetar-detar rodanya. Maka segala kendaraan yang terhenti tiada bergerak-gerak menanti itu sibuk kembali.
Beberapa lamanya Yusuf dan Maria memandang kepada kesibukan kendaraan yang banyak itu. Setelah lalu sekaliannya, maka mereka pun naik ke atas sepedanya masing-masing menuju ke sebelah kanan ke arah stasion.
"Sedikit hari lagi tiba libur..." kata Yusuf tiba-tiba tak tentu asal mulanya, hanya sekedar hendak membuka percakapan pula.
Mendengar itu memandanglah Maria kepadanya, sebab sangkanya tentulah ada alasannya yang akan datang. Tetapi setelah sejurus dinantinya tak ada sambungannya, maka katanya. "Ya, kami sekarang sedang asyik bersedia untuk ujian lima belas hari lagi."
Maka terbuka pulalah pangkal percakapan yang baru.
"Jadi Zus sekarang ini menghadapi ujian penghabisan""
"Ya," Maria mengangguk.
"Apakah maksud Zus, kalau pertanyaan saya ini tidak terlampau lancang, jika sudah ujian itu nanti ""
"Sekarang tentu belum dapat saya mengatakannya. Pertama sekali saya harus maju dahulu. Dan sudah itu barulah saya akan mengambil putusan. Tetapi rasanya saya akan meneruskan pelajaran saya menjadi guru."
"Menjadi guru" Baik benar pekerjaan itu mendidik kanak-kanak bangsa kita. Bangsa kita kekurangan guru dan teristimewa guru yang dengan insyaf merasa menanggung jawab atas anak yang terserah kepadanya. Saya mengucapkan selamat kepada Zus memilih pekerjaan itu. Bangsa kita haus akan pengajaran dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu mempersembahkan air kepada orang berjuta-juta yang kehausan itu..."
"Jadi lima belas hari lagi Zus akan menempuh ujian tulisan" Apabilakah akan terlangsung ujian lisannya""
"Akhir bulan Mei sekaliannya akan selesai. Sesudah itu barangkali saya akan pergi ke Bandung mengunjungi saudara mendiang ibu di sana serta akan melepaskan lelah."
Maka diam pulalah keduanya selaku meresapkan kata masing-masing ke dalam kalbu.
"Libur saya mulai pertengahan bulan Mei." keluar dari mulut Yusuf, tenang, bahkan hampir lesu, laksana sungai yang mengalir di dataran rendah.
Sejurus agak heran Maria mendengar suara yang seolah-olah menjelmakan perasaan kecewa itu. Tetapi pikirannya tiada diberinya kesempatan untuk mendalam, sebab segera katanya pula, "Tuan tentu tinggal di sini."
"Tinggal di sini, bagaimanakah Zus dapat menerkanya itu" Tidak, saya akan pergi mengunjungi orang tua saya di Martapura "
"Di Martapura, di Sumatra Selatan"" tanya Maria selaku orang yang heran.
"Ya, di Martapura! Herankah Zus mendengar nama Martapura itu" Negeri Martapura itu sama saja dengan negeri yang lain di tempat kita ini!" ujar Yusuf dengan agak jenaka.
"Tidak, bukan begitu," kata Maria seolah-olah kemalu-maluan. "Sangkaku tadi Tuan orang Jakarta inilah, rupanya orang Sumatra..."
"Bukankah orang Sumatra itu tidak kurang dari orang Jakarta"" kata Yusuf dengan segera, meskipun perkataan gadis itu belum selesai lagi.
"Tentu tidak. Segala bangsa kita sama sekaliannya. Tuan jangan salah sangka."
Muka kedua anak muda itu berseri-seri kemerah-merahan oleh karena percakapan mereka telah menjadi sehebat itu, seolah-olah mereka bukan baru berkenalan kemarin, tetapi sekurang-kurangnya sudah berbulan-bulan. Masing-masing pun memandang ke muka menahan senyumnya memikirkan kelok percakapan yang terakhir itu.
Dengan tiada terasa sedikit jua pun mereka telah melalui stasiun dan telah sampai di hadapan Carpentier Alting Sticht
ing. "Saya sudah sampai," kata Maria dan sesudah ia memberi tabik dan mengucapkan sampai bertemu lagi, maka menyimpanglah ia masuk ke pekarangan Carpentier Alting Stichting yang sudah penuh oleh murid-murid sekolah.
Sebentar Yusuf mengikuti Maria dengan matanya dan dari hatinya timbul lagi pengakuan akan kecantikan gadis itu.
Maka dipercepatnya memutar sepedanya menuju ke sekolahnya. Sepanjang jalan bahkan sepagi-pagi itu perawan jelita yang baru dikenalnya itu tiada meninggal-ninggalkan pikirannya lagi. Sekali-sekali nikmat ganjil rasa perasaannya, seolah-olah seluruh dirinya dilanggar gelora perasaan yang belum pernah dirasanya seumur hidupnya.
Maria menuju kepada tempat meletakkan sepeda. Disandarkannya sepedanya dan diambilnya tasnya, maka pergilah ia ke arah beberapa orang temannya yang sedang duduk bersenda-gurau di atas sebuah bangku-bangku.
"Hm," kata seorang dari mereka, sambil melihat kepada Maria dengan senyum yang Jenaka. Dan seraya melihat kepada teman-temannya yang lain katanya, "Maria sekarang tiada datang sendiri lagi ke sekolah."
"Benar," kata yang lain itu serempak.
"Lihatlah ke jalan besar itu, siapa yang bersepeda itu, Maria""
Sekaliannya memandang ke jalan besar. Meskipun tiada tentu apa yang dilihat mereka itu, ramailah terdengar mereka tertawa dan bersorak-sorak, mengganggu Maria. Dan gadis yang ramping itu merah mukanya, tak tentu apa yang hendak dikatakannya.
"Kasihan," kata seorang pula yang berdiri seraya menepuk-nepuk bahu Maria. "Mengapa engkau sekalian mengganggu Maria serupa itu benar" Lihatlah merah mukanya dan ia menjadi bingung."
Perkataan yang pura-pura melindungi bunyinya itu bertambah menga-lutkan pikiran gadis itu, sehingga sesungguhnya tak sepatah jua pun yang dapat dikeluarkannya sekedar untuk menjawab. Tetapi mujurlah pada ketika itu berbunyi lonceng alamat sekolah mulai. Dengan tiada diketahuinya keluar dari dadanya keluh yang berat, seolah-olah orang yang terlepas dari bahaya.
Dan sesungguhnya lapang dada Maria mendengar bunyi lonceng itu.
3. TUTI duduk membaca buku di atas kursi kayu yang lebar di bawah pohon mangga di hadapan rumah sebelah Cidengweg. Tiap-tiap petang apabila ia sudah menyelesaikan rumah dan sudah pula mandi dan berdandan, biasanya benar duduk di tempat itu menanti hari senja. Dan sesungguhnya nikmat duduk berangin-angin di hadapan rumah memandang ke Cidengweg yang sepi itu. Ke hadapan lantang mata melihat ke seberang kali, kepada rumah-rumah batu yang indah. Di langit jauh di belakang rumah bersusun awan senja berbagai-bagai warnanya, mengantarkan matahari yang akan terbenam.
Kedua kursi di kiri-kanan meja yang dihadapi Tuti masih kosong, sebab Maria lagi asyik memeriksa tanaman kembang-kembangnya. Dari pot ke pot, dari perdu ke perdu ia berjalan membawa gunting, lama-lama ia berhenti pada tiap-tiap tanaman. Segala kembang yang amat indah tumbuh di halaman yang kecil itu ialah hasil pekerjaannya: Ia amat gemar akan bunga-bungaan. Di mana ia masih dapat bertanam, tak ada halaman rumah itu yang dibiarkannya terluang. Tiada berapa jauh dari pintu masuk bermegah dua rumpun bunga mawar yang sarat berbunga, putih kemerah-merahan. Di samping rumah, di sudut dekat pagar kelihatan batang-batang mawar yang tak kurang saratnya berbunga, berbagai-bagai warnanya. Di bawah jendela kamar hadapan, yaitu kamar Tuti, amat indah naiknya rumpun bunga melati, daunnya hijau lebar-lebar dan di sana-sini memutih kuncupnya yang besar-besar. Di tengah-tengah halaman, jauh sedikit dari pohon mangga, sebuah petak semata-mata ditanaminya dengan kembang gerbera yang merah. Di hadapan tangga hendak masuk ke rumah melengkung anjungan bougainville yang lebat berbunga merah lembayung. Di sisi sebelah kiri kanannya tumbuh amat suburnya beberapa batang begonia. Dan kesukaan Maria akan kembang dan tumbuh-tumbuhan itu sampai berpengaruh ke dalam rumah. Dalam pot kuningan di beranda senantiasa segar tumbuh chevelure, tak pernah kelihatan ranting yang mati. Di atas meja, di atas lemari dan bupet tiap hari bertukar kembang dalam jambangan: sedap malam yang putih jernih
, gerbera yang merah marak dan sekali-kali bunga mawar yang bulat besar.
Sesungguhnya di dalam penyelenggaraan rumah itulah yang kentara benar perbedaan pekerti dan sifat gadis dua bersaudara itu. Tetapi, sebaliknya daripada menimbulkan kekacauan, perbedaan pekerti dan sifat itu membawa keseimbangan di rumah Wiriaatmaja di pertemuan Gang Hauber dengan Cidengweg itu.
Dengan kemauannya yang tetap dan keras dapat Tuti mengatur rumah, jauh lebih rapi dari ketika bundanya masih hidup dahulu. Tiap-tiap perabot mempunyai tempat yang tentu menurut susunan yang nyata. Segala sesuatu terlangsung pada waktu yang tetap, sebab Tuti ialah orang yang teliti akan waktu.
Tetapi meskipun demikian kerapian itu akan menjadi kerapian yang mati dan suram belaka, apabila tiada ada Maria. Ialah yang memberi warna, yang membawa kegirangan kepada rumah itu, oleh kegemarannya akan kembang, akan warna yang indah-indah. Dan karena kesukaannya akan musik, sebentar-sebentar bernyanyi atau memutar mesin nyanyi, tiadalah mati sepi rumah itu sepanjang hari.
Di jalan Gang Hauber turun seorang anak muda dari sepeda, ialah Yusuf. Dalam sepuluh hari ini telah kelima kalinya ia datang ke rumah R. Wiriaatmaja itu. Tiap-tiap pagi ia menantikan Maria di hadapan Alaidruslaan dan dari sana sama-sama pergi ke sekolah. Tuti dan ayahnya telah merasa, bahwa antara anak muda berdua itu sedang tumbuh tali perhubungan yang halus. Apabila Yusuf datang, selalulah diterima mereka dengan lemah-lembut dan" hormat. Biasanya mereka pun turut duduk sama-sama bercakap-cakap. Tetapi ada kalanya ditinggalkan mereka orang berdua itu di serambi hadapan atau di kursi halaman rumah.
Yusuf menolak sepeda masuk pintu pagar seraya memberi tabik kepada Tuti yang mengangkat kepalanya dari buku melihat kepadanya. Dan kepada Maria, yang oleh asyiknya tiada mengetahui ia datang itu, serunya, "Rajin benar tukang kebun bekerja petang ini!"
Sambil tersenyum Maria melihat kepadanya dan dipersilakannya Yusuf duduk di kursi dengan perjanjian, bahwa ia segera akan sudah dan datang duduk bersama-sama.
Setelah meletakkan sepedanya pergilah Yusuf duduk bersama-sama Tuti di kursi sebelah kiri meja. Belum berapa lama mereka berbicara datang pula Maria duduk di sisi kakaknya. Maka teruslah Tuti membaca bukunya dan hanya sekali-sekali ia menyertai percakapan anak muda berdua itu.
Dari rumah turun Juhro membawa baki dengan tiga buah cangkir teh dan dua buah setoples dengan kasstengel(Dari bahasa Belanda: nama kue panjang-panjang dari keju.) dan kattetong(Dari bahasa Belanda: nama kue berbentuk lidah kucing.). Tuti menyambut cangkir teh dan setoples itu dan sekaliannya diletakkannya di atas meja.
Baru ia membuka setoples dan mengaturkan Yusuf mengambil isinya, kedengaran delman datang dari Cidengweg sebelah selatan. Di hadapan rumah delman itu berhenti. Melihat laki-laki yang duduk di dalamnya serempak Maria dan Tuti berteriak, "O. mang Parta dari Jatinegara."
Dari jalan telah kedengaran suara yang girang, "Senang benar engkau duduk berangin di sini. Saya hendak serta juga."
Seorang laki-laki yang kira-kira tiga puluh lima tahun usianya turun dari delman masuk pekarangan menuju ke meja tempat ketiga anak muda itu.
"Kebetulan benar masih ada sebuah kursi," kata Tuti, "duduklah Emang di sini, boleh saya suruh ambilkan teh secangkir lagi."
"Apa kabar Embik dan adik yang baru lahir. Mengapa Emang tidak membawa Embik dan adik-adik ke mari" Ah, tidak enak benar Emang datang sendiri saja." kata Maria seperti orang yang mengumpat.
"Nanti kami datang benar sehari ke mari," jawab Parta. "Saya datang ini kebetulan saja. Pergi bertemu kenalan di Petojo Sabangan, bangkit ingin hati saya hendak melihat-lihat ke mari... Engkau Maria, apabila ujianmu. Sudah mulaikah""
"Belum," kata Maria, "Ujian tulisannya hari Senin."
Belum habis katanya, dari belakang kedengaran suara Wiriaatmaja, "Ha, engkau Parta, dari mana engkau tadi maka datang tiba-tiba serupa ini""
Parta melihat ke atas kepada Wiriaatmaja yang baru keluar dari pintu dan ia pun berdiri pergi mendapatkannya dengan khidmatnya.
Wiriaatmaja girang melihat iparnya itu, disuruhnya ia duduk dahulu sebentar, "Tunggulah engkau di sana. Sebentar lagi saya datang. Enak duduk dekat anak-anak mengambil angin." Lalu ia pun masuk ke dalam. Tiada berapa lama antaranya keluar Juhro membawa sebuah kursi diiringkan oleh Wiriaatmaja.
Setelah ia pun duduk pula bersama-sama, disuruh Tuti Juhro menjemput dua cangkir teh lagi. Maka ramailah percakapan orang berlima itu. Partadi-harja teristimewa sekali mengeluh tentang adiknya yang bekerja di kantor Justisi sebagai ajun komis. Sebaik itu gajinya dan sebesar itu pengharapannya sebagai orang yang tamat sekolah A.M.S., tetapi entah apa sebabnya ia telah minta lepas dari pekerjaannya.
"Saya tidak mengerti sekali-kali bagaimana pikiran Saleh, maka ia minta berhenti dengan tiada berbicara lagi dengan famili. Anak-anak muda sekarang sangat memudahkan segala sesuatu. Seratus dua puluh rupiah sebulan. Coba pikirkan bagaimana senangnya penghidupan anak muda yang baru dua puluh dua tahun dengan pendapatan sebesar itu. Tetapi itu dibuangnya saja dengan ucapan yang bukan-bukan: hendak bekerja sebagai manusia bebas, hendak mencari pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya; pekerjaan kantor yang tenang itu dikatakannya pekerjaan mesin yang mematikan semangat..."
"Sudah berapa lama ia minta ke luar, Emang"" tanya Tuti menyela kata Parta. "Saya kenal akan pekerti Saleh, ia seorang yang gembira, seorang yang tajam pikirannya dan hidup hatinya. Percaya saya, bahwa ia tidak senang akan pekerjaan tenang dalam kantor, mengisi daftar ini, menyalin surat anu, mengantuk-ngantuk menanti pukul dua."
"Apa katamu"" ujar Parta dengan suara yang agak keras sedikit mendengar ucapan keponakannya yang menyangkal katanya itu Mengantuk-ngantuk "menanti pukul dua" Apa yang dikantuk-kantukkan" Adakah pekerjaan yang lebih baik dari bekerja di kantor" Habis bulan terang kita mendapat sekian." Kalau berhati-hati bekerja orang yang secakap dia dan sebaik itu^diplomanya, tentu lekas naik pangkat menjadi komis. Sekarang hanya menanti ada lowongan terbuka. Dan sekalian harapan yang baik itu disia-siakannya, dibuangnya. Kegembiraan apakah yang ada padanya, itukah tandanya, bahwa semangatnya hidup" Ia melepaskan pekerjaan yang sebaik itu saja menandakan, bahwa pikirannya tiada beres, tiada dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk... Tiada dapat berbahagia dengan pekerjaan mesin, apakah itu lain daripada omong kosong" Tidak ada satu juga pekerjaan mesin apabiia pekerjaan itu dilakukan bersungguh-sungguh. Kalau sudah beberapa lama tidak mempunyai pekerjaan, kalau sudah sengsara hidupnya, baru tahu ia akan arti berbahagia, akan arti pekerjaan mesin... Betul Engkang, anak-anak muda sekarang suka benar menyebut perkataan berbahagia. Pada hal yang dinamakan berbahagia itu tiada diketahuinya. Tiada berbahagiakah kita dengan pekerjaan kita selama ini""
Wiriaatmaja menggelengkan kepalanya, "Anak-anak sekarang payah kita hendak mengertinya, pendapatnya selalu berlainan dengan kita; apa yang kita katakan baik, katanya tidak baik."
"Bukan begitu, Bapak!" kata Tuti pula menyambung kata ayahnya. "Bukan mereka sengaja selalu hendak bertentangan dengan orang-orang tua. Yang bertentangan itu hanyalah pendapat tentang bahagia, tentang arti hidup kita sebagai manusia. Emang berkata, bahwa bahagia itu ialah pekerjaan yang mudah, pendapatan yang besar, harapan yang baik di kemudian hari, pendeknya hidup yang senang. Saleh menganggap bahagia itu lain artinya. Bahagia itu baginya tidak sama dengan hidup yang senang. Baginya yang dinamakannya bahagia itu ialah dapat menurutkan desakan hatinya, dapat mengembangkan tenaga dan kecakapannya sepenuh-penuhnya dan menyerahkannya kepada yang terasa kepadanya yang terbesar dan termulia dalam hidup ini."
"Ah, engkau Tuti, saya tahu engkau sudah sebangsa pula dengan Saleh. Tetapi engkau jangan marah, kalau saya katakan, bahwa bahagia yang engkau sebut itu omong kosong. Berbahagia ialah berbahagia, senang ialah senang, dan yang lain dari itu bukan berbahagia dan bukan senang namanya. Coba lihat bapamu sendiri, tiadakah s
enang hidupnya. Tiadakah Engkang berbahagia bertahun-tahun bekerja dari menteri polisi kesudahannya sampai kepada wedana" Tiadakah senang Engkang sekarang sudah bekerja selama itu mendapat pensiun yang tetap, sehingga sesentosa-sentosanya dapat menyerahkan dirinya untuk mempelajari agama dan menurut suruhan agama" Dalam segala pekerjaan orang yang hendak bersungguh-sungguh dapat mengembangkan dan menyerahkan segala tenaga dan kecakapannya... Tidak Tuti, jangan lah engkau hendak mempermain-mainkan saya."
Muka Tuti nyata berubah mendengar perkataan pamannya itu. Matanya bercahaya-cahaya, pipinya agak kemerah-merahan. Bibirnya bergerak-gerak, selaku orang yang hendak berkata, tetapi dengan segala daya upaya menahan dirinya. Tidak, ia tidak hendak meneruskan pertentangan itu. Ia sudah tahu, bahwa percakapan serupa itu tiada akan mendatangkan hasil. Pamannya dan ayahnya akan menjadi marah saja kepadanya kelak. Tetapi sementara itu ia tiada hendak diam sebelum dinyatakannya, bahwa pertentangan pendirian itu telah selayaknya timbul; lalu ujarnya pula, "Kalau pendapat Saleh itu Paman anggap omong kosong semata-mata, kalau Paman tidak dapat merasakan perasaan dan perjuangan di dalam hatinya, tentulah Paman tidak dapat mengerti akan perbuatannya..."
Belum habis lagi perkataan Tuti itu Parta sudah menimpa, "Ya, engkau mudah berkata saja, tetapi engkau tiada tahu, berapa kesalnya hati saya. Dari sekolah rendah payah-payah kita menyekolahkannya. Ia masuk ke Mulo, ia meneruskan pelajarannya ke A.M.S. Sudah selama itu kita mengongkosinya dengan menyempitkan hidup sendiri, kita carikan pula baginya dengan susah payah pekerjaan yang layak. Bukan sekali-kali saya minta kepadanya mengembalikan ongkos yang sudah saya keluarkan. Saya sudah senang melihat hidupnya senang. Tetapi sekarang segala uang dan susah payah kita itu tiada pula dihargainya. Pekerjaan yang senang dan layak baginya itu di-buangkannya dengan tiada semena-mena. Apa gantinya yang diperolehnya" Kalau hidupnya susah kelak, kalau ia menderita sengsara, balik-baliknya kepada kita juga datangnya. Bukan saya takut memikul beban pula, tetapi kesal hati kita anak ayam hendak lebih tahu pula dari induknya."
"Tetapi sekarang, apa hendak dikata lagi. Bukankah ia sudah minta ke luar. Sejak pabila ia tiada bekerja lagi di kantor Justisi," kata Wiriaatmaja yang selama itu tiada banyak berkata mendengarkan iparnya itu mengeluh.
"Ia sudah dua hari lepas dari pekerjaannya. Kemarin ia sudah berangkat ke rumah temannya di Sindanglaya. Rupa-rupanya temannya itulah yang merusakkan hatinya. Menurut katanya mereka berdua hendak berkebun dan bersawah dekat Sindanglaya. Saya tahu, bahwa Saleh dalam dua tahun bekerja itu ada menyimpan barang enam tujuh ratus rupiah. Tetapi kalau itu saja yang menjadi pokok, apakah yang dapat dicapainya. Mereka tiada biasa mengerjakan pekerjaan serupa itu."
Selama percakapan tentang Saleh itu Yusuf tiada mengeluarkan sepatah jua pun, terutama sekali sebab orang yang dipercakapkannya itu tiada dikenalnya dan kedua segan ia mengeluarkan pikirannya kepada Partadiharja yang baru dikenalnya pada petang itulah. Tetapi sementara itu telinganya dipasangnya seterang-terangnya, hal yang dipercakapkan itu sangat menarik hatinya. Telah sering ia mendengar keluh serupa itu dari orang tua yang kecewa akan anaknya yang tiada menurut kehendak hatinya. Di mana-mana sama saja: Orang tua membanting tulang mengumpulkan uang untuk menyekolahkan anaknya. Segala keperluan di rumah dihematkan. Penghidupan dikecil-kecilkan. Belanja seorang anak lebih besar dari suatu keluarga. Sekalian korban itu dipikul oleh orang tua dengan sabar, sebab di dalam hatinya ia berharap melihat anaknya di kemudian hari menjadi orang yang berpangkat tinggi, yang akan mengharumkan namanya. Tetapi apabila lelah tiba waktunya anak itu tamat pelajarannya, waktu itulah orang tua yang selama itu berharap-harap dan berkorban untuk cita-citanya itu menjadi kecewa. Ada anak yang tiada hendak kawin dengan gadis yang sudah disediakan oleh orang tuanya baginya. Ada orang tua yang merasa dirinya tiada diacuhkan
oleh anaknya yang telah berpangkat tinggi dan ada pula anak yang tiada menghargai segala sesuatu yang selama itu menjadi cita-cita dan angan-angan orang tuanya.
Senantiasa di mana-mana pertentangan yang serupa itu. Dalam hatinya dibenarkannya ucapan Tuti dan dapat ia mengerti apa sebabnya Saleh meninggalkan jabatannya itu akan mencari pekerjaan yang lain, lebih sesuai dengan kecakapan dan pekertinya, yang lebih menghidupkan semangatnya.
Sebab itu mendengar perkataan Partadiharja yang terakhir itu dengan tiada sengaja terlompat dari mulutnya ucapan, "Kalau hatinya telah keras benar kepada pekerjaan itu, menurut biasanya tentulah berhasil pula usahanya."
Tetapi Partadiharja yang masih kesal hatinya, segera menjawab, "Menurut kebiasaannya, saya sering melihat orang yang tiada menurut nasehat orang tua itulah yang akhirnya terjerumus. Dan kemudian hari ia akan menyesal. Coba kita lihat nanti."
"Ah, jangan kita berharap seburuk itu," kata Maria yang selama itu duduk antara mendengar dengan tiada akan percakapan orang itu. Dan sambil ia mengambil cangkir tehnya ia berkata, "Marilah kita minum dahulu, air teh sudah dingin." Diambilnya setoples kaastengel dan disilakannya berganti-ganti mengambil isinya
"Ya, payah benar kita dengan anak-anak muda sekarang." kata Wiriaatmaja sebagai orang yang menerima saja akan nasibnya. "Mereka hendak menurut kehendak hatinya saja, sering tambah dikerasi tambah payah. Kita orang tua-tua tiada diacuhkannya lagi."
"Tetapi kalau kita terlampau lemah, terlampau senang mereka berbuat sekehendak hatinya, sebab itu baik juga kita menyatakan pendirian kita yang tegas. Kepada Saleh sudah saya katakan, "Engkau sudah minta ke luar dengan sekehendak hatimu, itu tahu engkau sendirilah. Tetapi kalau ada sesuatu terjadi di kemudian hari, jangan engkau datang menyusahkan saya. Saya sudah cukup berupaya hendak menjadikan engkau orang baik, orang yang senang hidupnya. Engkau sendiri rupanya tiada hendak menghargainya, apa boleh buat..."
"Tetapi bagaimanakah kata tunangannya Ratna," ujar Maria setelah beberapa lamanya Parta diam.
"Entahlah," jawab Parta, "kita lihatlah nanti berapa lama ia tahan tinggal di desa, ia yang dari kecil hidup di kota."
"Tetapi kalau ia benar cinta kepada Saleh, ia mesti mengikut," kata Maria pula dengan pasti.
"Saya ingin melihat engkau diam di desa, hanya berteman dengan ayam dan sapi," sahut Parta agak mengejek, "tanggung setengah bulan engkau sudah tergila-gila hendak pulang kemari. Engkau pula lagi ..."
Dalam pada itu hari perlahan-lahan bertambah gelap. Matahari telah terbenam di balik rumah-rumah di seberang sungai. Awan yang merah dan kuning bersusun-susun seperti hamparan yang halus-halus.
Sejurus lagi mereka bercakap-cakap dalam senja, Partadiharja pun hendak pulanglah. Dan ketika berbunyi beduk magrib sayup-sayup dibawa angin dari kampung jauh di sebelah Timur, Wiriaatmaja masuk pula meninggalkan anak-anak muda bertiga itu di halaman, akan pergi sembahyang.
Baru Wiriaatmaja masuk ke rumah, Maria bertanya kepada Yusuf, "Sembahyang jugakah Tuan""
"Saya" Ah, bukankah tadi kata Tuan Parta, bahwa agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun. Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang ..."
Ucapannya itu keluar dari mulutnya dengan senyum. Tetapi Tuti yang dari tadi rupanya menahan perasaannya, segera menyambung dengan mence-bil, menyatakan rendah pandangannya, "Ya, itulah hakekat yang sebenarnya pada kebanyakan kaum priyayi atau kaum terpelajar. Agama itu dikerjakan, apabila tak ada suatu apa lagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika sudah berputus asa akan hidup, barulah mencari agama. Pada agama diredakannya perasaan takutnya akan mati, yang datang mendekat tiada terelakkan lagi. Tidak perduli ia tiada tahu, apa yang disebut dan diucapkannya, tapi dalam perbuatan yang tiada diketahuinya, yang oleh karena itu baginya mengandung rahasia itu, diredakannya perasaan takutnya akan rahasia mati yang nyata kelihatan kepadanya mengancamnya. Agama yang serupa itu, masakah ia akan dapat menarik pemuda-pemuda yang belum merasa kecemasan akan mati,
yang masih penuh harapan menghadapi hidup"" "Ya, Bapak sekarang rajin benar mempelajari agama," kata Maria. "Setiap petang Senin dan petang Kamis datang kemari haji guru agamanya. Kami disuruhnya juga belajar agama. Kalau bagi saya apa salahnya kita menurut kata orang tua, menyenangkan hatinya."
"Bagi engkau, segala apa salahnya," ujar Tuti. "Bagi saya mengerjakan sesuatu yang tiada berguna, terang salah. Apa yang saya kerjakan hendaknya termakan oleh akal saya. Saya tidak mengerti apa gunanya agama yang dipakai golongan terpelajar, golongan priyayi bangsa kita sekarang. Lihat sendiri di rumah Paman Parta ketika ia selamatan di Jatinegara baru ini. Di luar berkumpul priyayi yang jempol-jempol dan perlente-perlente duduk di kursi menghadapi hidangan yang rapi dan nikmat. Dari sudut rumah masuk ke belakang beberapa orang haji dari kampung untuk membaca doa di atas tikar. Patut benar Paman Parta berkata, bahwa agama itu untuk dipelajari kalau sudah pensiun, kalau tidak ada yang penting lagi yang dapat dikerjakan di dunia ini. Kalau mata sudah kabur, kalau tenaga sudah habis, kalau hati sudah tertutup. Jika tidak demikian tidak serupa itu ia menghinakan agama yang pura-pura dipujinya itu. Dalam hal serupa ini saya lebih hormat lagi kepada orang kampung yang terus terang memegang upacara yang dianggapnya bersangkutan dengan agama. Di rumah orang kampung mereka yang mendoa itu tidak usah masuk dari belakang rumah. Mereka diterima masuk dari depan, malahan mereka diberi duduk di tempat yang terpandang sekali antara segala tetamu yang hadir. Sedikit banyaknya dalam perbuatan yang serupa itu ada juga perasaan penghormatan terhadap kepada agama."
"Tetapi," kata Yusuf tiba-tiba menyela perkataan Tuti yang diucapkan dengan amarah dan benci, "Oleh hormatnya orang kampung kepada mereka yang dianggapnya ahli agama itu, maka mereka tiba di bawah pengaruhnya dan oleh itu sering mereka menjadi permainannya."
"Bagi saya sendiri, saya pun sebenarnya tiada tertarik kepada agama serupa dipakai orang di kampung-kampung. Kehormatan orang kampung itu kehormatan membabi buta, oleh sebab mereka sendiri tiada dapat dan tiada sanggup mendalami hakekat agama yang sebenarnya. Sekaliannya diserahkan mereka saja kepada kiai yang mereka junjung itu. Tetapi jika dibandingkan cara kedua golongan itu memandang dan menjunjung agama yang disebut mereka suci itu, maka saya akan memilih cara orang kampung. Pada kaum priyayi agama serta upacara yang dianggap bersangkutan dengan agama itu seolah-olah dipandang sesuatu yang memalukan, yang tiada berani dibawa di tengah khalayak yang terhormat. Tetapi untuk melepaskannya sama sekali mereka tiada berani pula, sebab pada waktu kematian, pada waktu manusia itu perlu perhubungan akan kekuasaan yang gaib yang mengatasi kekuasaannya, ia merasa dirinya terpencil, tiada kuasa. Oleh karena kesangsian pendirian itu. dipakai malu, dibuang tiada berani, maka agama mendapat kedudukan di belakang, dekat tempat bujang dalam rumah mereka yang menganggap dirinya terpelajar."
Mendengar pikiran yang setegas dan sejelas itu susunannya, Yusuf terdiam kekaguman sejurus.
Tetapi Tuti segera menyambung pula, "Selama kedua pihaknya, orang di kampung atau pun kaum terpelajar masih menganggap agama demikian, selama itu agama itu tiada akan menarik golongan pemuda..."
"Ya," kata Yusuf perlahan-lahan melepaskan dirinya dari pesona kekaguman mendengar ucapan Tuti, "tetapi engkau lihat sendiri, bahwa baik di kalangan orang kampung maupun di kalangan kaum terpelajar dalam waktu yang akhir ini sikap orang mulai berubah. Adakah engkau perhatikan berapa banyaknya terbit terjemahan Quran dalam dua tiga tahun ini" Di mana-mana orang tiada senang lagi menyebut dengan tidak mengerti. Orang berdaya upaya hendak menyelami hakekat agama yang sebenarnya..."
Tetapi belum habis lagi kata Yusuf itu, Maria yang rupanya belum mengerti benar akan sikap kakaknya itu, bertanya agak kekanak-kanakan,
"Jadi agama yang bagaimana yang Tuti mau""
"Kalau saya akan memegang agama, maka agama itu ialah yang sesuai dengan akal saya, yang terasa oleh hati saya. A
gama yang lain dari itu saya anggap seperti bedak tipis saja, yang luntur kena keringat."
"Jadi sekarang bagaimana agamamu"" tanya Maria lagi.
"Sekarang saya belum berpegangan suatu apa, sampai dapat yang saya kehendaki," suara itu tetap dan penuh keyakinan bunyinya.
"Jadi tidak beragama"" sambung Maria. "Tetapi kalau kita menanti-nanti, kita mencari-cari, sampai dunia kiamat kita belum mendapat suatu agama juga."
"Ah, engkau telah kena tular, alasan Bapak itu telah menjadi alasanmu pula. Tanya kepada Bapak, pabila ia baru mulai memegang agama seperti yang dimaksudnya itu. Saya tahu, bahwa sejak dari lahirnya Bapak menamakan dirinya orang Islam, tetapi nama itu baginya hanya nama pusaka. Sebagai pusaka boleh juga ia menempel kepada saya, tetapi saya tiada akan menyebut-nyebutnya sebelum ia berdebur sebenar-benarnya dalam hati saya. Sebab bagi saya rupa yang lahir itu harus sesuai dengan isinya di dalam."
Dari rumah kedengaran bunyi langkah. Tuti melihat ke belakangnya dan ketika nampak kepadanya, bahwa bapaknya yang datang itu, berkatalah ia perlahan-lahan, "Sudahlah, baiklah kita bercakap tentang pasal yang lain saja. Nanti bertengkar pula dengan Bapak, tak ada gunanya, Ia akan marah saja kepada kita."
Adalah sejam lamanya orang berempat itu bercakap-cakap tentang kongres Putri Sedar, tentang ujian Maria dan libur yang akan datang. Kira-kira pukul setengah delapan Yusuf mengatakan, bahwa ia hendak pulang, dengan alasan, bahwa ia tiada hendak mengusik gadis berdua itu lagi, "Zus Tuti tentu masih repot pekerjaannya berhubung dengan kongres Putri Sedar dan Zus Maria tentu masih hendak belajar juga berhubung dengan ujiannya hari Senin de-pan.
4. PALU berbunyi berdegar beberapa kali di atas meja. Orang banyak yang kusut kacau berserak dalam Gedung Permupakatan selaku tiba-tiba dikuasai oleh suatu tenaga yang gaib. Suara orang bercakap yang tiada tentu tiba-tiba berhenti. Masing-masing mencahari tempat duduknya. Sebentar masih kedengaran kursi terseret di lantai, tetapi bertambah lama bertambah sunyi. Mata orang yang beribu-ribu menuju ke hadapan ke arah Sukamti, perempuan kecil ramping, yang memegang palu dalam tangan kanannya. Tiap-tiap orang selaku terkuasa oleh sikap badan kecil yang lurus dan tetap itu, oleh mata yang tajam yang menyinarkan tenaga dan kepercayaan yang tiada berhingga akan tenaga itu.


Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa lamanya ia melihat kepada rapat seolah-olah hendak mempersaksikan kesaktian bunyi palu dalam tangannya yang kecil dan halus itu. Maka berbunyilah suaranya, halus sebagai badannya, tetapi nyaring dan nyata, sehingga terdengar sampai ke leretan yang penghabisan sekali dalam gedung kongres yang besar itu. Tiap-tiap perkataan diucapkannya seterang-terangnya, lambat satu persatu, tetapi nyata membawa keyakinan yang pasti dan dalam, yang berdebur di dalam badannya yang ramping, bahwa istirahat sudah habis dan rapat kongres sudah dibuka lagi, bahwa sekarang tiba kepada pasal yang penghabisan, yaitu pidato saudara Tuti tentang sikap perempuan baru. Bahwa pidato itu sangat penting, sebab akan menggambarkan dengan nyata, bagaimana cita-cita Putri Sedar tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat, bagaimana harusnya perempuan di masa yang akan datang seperti dicita-citakan Putri Sedar. Kepada rapat dimintanya, supaya memperhatikan pidato itu baik-baik, supaya jangan ragu-ragu tentang tujuan dan cita-cita yang dikejar oleh Putri Sedar.
Maka dipersilakannya pembicara tampil ke muka. Baru habis ucapan ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesunyian itu tepuk orang amat riuhnya, sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar. Di antara tepuk yang hebat itu kedengaran pula teriak orang. "Hidup Tuti, hidup Tuti," tiada berhenti-henti.
Dalam ribut gemuruh gembira itu, kelihatan berdiri seorang perempuan dari sebuah kursi di belakang meja pengurus. Pakaiannya kebaya putih bersih, amat bersahaja, sehingga agak mengerikan rupanya berhadapan dengan kebaya pelbagai warna yang dipakai perempuan yang lain, yang mengelilingi meja pengurus serta yang hadir di rapat itu.
Perlahan-lahan ia menuju ke mimbar temp
at berpidato, membawa kumpulan kertas dalam tangan kanannya.
Ketika ia berdiri di atas mimbar dan membalik-balik kertas yang diletakkannya di hadapannya dan sesudah itu memandang kepada rapat, maka tepuk yang telah berhenti itu mulai pula dari semula, tiada kurang riuh dan gembiranya.
Sukamti berdiri dan dua ketokan yang kuat memecahkan bunyi tepukan itu, sehingga dalam sekejap gedung yang gemuruh itu sepi mati.
Dalam sepi yang sesepi-sepinya itulah kedengaran suara Tuti membelah. "Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru sebahagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-kali disangka, bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunan yang tiada mempunyai guna yang praktis sedikit jua pun.
Saudara-saudara, dalam tiap-tiap usaha hanyalah kita mungkin mendapat hasil yang baik, apabila terang kepada kita, apa yang hendak kita kerjakan, apa yang hendak kita kejar dan kita capai. Atau dengan perkataan yang lain: dalam segala hal hendaklah kita mempunyai gambaran yang senyata-nyatanya tentang apa yang kita cita-citakan. Demikianlah menetapkan bagaimana harus sikap perempuan baru dalam masyarakat yang akan datang berarti juga menetapkan pedoman yang harus diturut waktu mendidik kanak-kanak perempuan waktu sekarang. Untuk sejelas-jelasnya melukiskan perempuan baru seperti dicita-citakan Putri Sedar, bagaimana sikapnya dan bagaimana kedudukannya dalam segala cabang masyarakat haruslah kita lebih dahulu menggambarkan seterang-terangnya sikap dan kedudukan perempuan bangsa kita di masa yang silam."
Tiap-tiap perkataan yang diucapkan dengan penuh kegembiraan, penuh semangat itu, meresap kepada segala yang hadir. Tuti telah terkenal seorang pendekar yang pandai memilih kata, yang dapat mengucapkan katanya dengan kegembiraan seluruh hatinya, sehingga tertarik dan terhanyut segala orang yang mendengarkan. Kegembiraannya, meluap-luap perasaannya itulah bedanya yang terbesar dengan Sukamti. ketua rapat, yang mengucapkan perkataannya satu persatu, perlahan-lahan. Apa yang pada seorang berupa ketenangan orang yang percaya akan tenaga dirinya dan berhasilnya buah pekerjaannya, pada yang lain menjelma sebagai kegemuruhan aliran anak air di pegunungan, gemuruh gembira menuju lautan.
"Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar, apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya. Kemauan sendiri"
Adakah sesuatu yang bernama serupa itu pada perempuan" Tidak, saudara-saudara! Perempuan bangsa kita tidak boleh mempunyai kemauan sendiri. Perempuan yang sebaik-baiknya, yang semulia-mulianya ialah perempuan yang paling sedikit mempunyai kemauan sendiri, perempuan yang dalam segala hal menurut saja. Maksud hidup perempuan ialah untuk mengabdi, untuk menjadi sahaya. Dan telah selayaknya budak atau sahaya tidak mempunyai kemauan sendiri, tetapi semata-mata menurut kemauan orang yang diabdinya. Mangkunegara IV, raja dan penyair yang sudah termashur itu memberi nasehat kepada perempuan untuk mengikat hati suaminya sebagai berikut, "Bukanlah guna-guna, bukanlah mantera, bukanlah yang gaib-gaib, yang dapat dipakai untuk melayani laki-laki. Tetapi perempuan yang menurut selalu akan dicintai oleh suaminya. Sifat penurut pada perempuan membangkitkan kasihan laki-laki. Sifat penurut itu ialah jalan menuju cinta, kesungguhan hati menuju kasih sayang dan setia membangkitkan kepercayaan. Bukan keturunan, bukan kekayaan dan kecantikan yang menjadi tiang perkawinan. Hanyalah semata-mata si
fat penurut, menyesuaikan diri akan kemauan suami, kepandaian menjaga dan merahasiakan segala yang tak usah diketahui orang lain, hanya itulah yang harus engkau pelajari.
Sifat penurut berarti teliti menurut perintah suami. Kerjakanlah segala pekerjaan dengan tiada berkata suatu apa, dengan tiada menceritakannya kepada orang lain dan dengan hati yang riang. Kerjakan segala sesuatu secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Teliti menjaga berarti, bahwa engkau harus tahu segala harta dan milik suamimu, berapa harganya, berapa jumlahnya dan mana yang harus engkau pelihara. Usahakanlah mengetahui dari mana asalnya barang-barang itu. Jagalah sekaliannya itu dengan teliti dan hati-hati. Hendaklah engkau membelanjakan pendapatan suamimu Sebaik-baik mungkin."
Dalam syair Melayu Siti Zawiyah kedudukan perempuan bangsa kita dalam perkawinan tergambar dalam nasehat seorang nenek kepada seorang perawan yang hendak bersuami. Baik juga nasehat itu saya bacakan kepada saudara-saudara sekalian:
Adat bersuami supaya nyata,
Dengarlah tuan nenek berkata.
Pertama-tama bersua jangan dilawan,
Dibuat seperti laksana tuan,
Dan kedua napsu jangan ditahan,
Barang kehendaknya ia turutkan.
Ketiga yang patut tuan kerjakan,
Keempat jangan tuan menduakan,
Itulah sempurna nama perempuan,
Minta izin barang pekerjaan.
Hendak tuan berbuat bakti,
Kepada suami bersungguh hati,
Jangan tuan berdua hati, Kasih sayang sampaikan mati.
Barang kerjanya jangan dilarang,
Itulah tandanya yang kita sayang,
Pada suami bersama timbang,
Serta jangan lupakan sembahyang.
Melainkan ini Ilmunya nenek,
Jikalau boleh tuan memakai,
Akal yang panjang janganlah pendek,
Mahkota jangan tiada baik.
Inilah ilmu nenek yang nyata,
Dengar baik-baik pengajar beta,
Kendati bersuami orang yang buta,
Jangan sekali tuan membuat kata.
Meskipun jahat laku suaminya,
Terima baik pada hatinya,
Puji jua barang lakunya, Yakni tiada syak pada hatinya.
Kendati jahat kita punya laki,
Jangan dikata jangan dimaki,
Hati jua kita baiki, Jangan disebut dikata lagi.
Meskipun suami tiada peduli,
Tiada mendapat sekali-kali,
Atau lain ia beristri, Jahat baik jangan peduli.
Jikalau suami tiada pulang,
Jangan dikhabarkan kepada orang,
Apa lakunya jangan dilarang,
kita jalankan akal yang terang.
Demikian kias orang bestari,
Tanda berkasih laki dan istri,
kendati jahat laki sendiri,
kepada orang jangan dikhabari.
Saudara-saudara, agaknya telah sangat jemu saudara-saudara mendengarkan saya membaca nasehat-nasehat yang sangat manis untuk kaum perempuan ini. Tetapi, saudara-saudara, sekali-sekali baik kita menginsyafkan yang serupa itu. Ia menyatakan dengan seterang-terangnya kepada kita anggapan bangsa kita terhadap kepada perempuan. Dan mentalitas demikian jangan sekali-kali kita sangkakan sudah lenyap. Dari Sabang sampai ke Merauke, dari pulau Tembelan sampai ke lautan Kidul, setiap hari masih diucapkan nasehat serupa itu. Sampai sekarang, sampai saat ini dalam anggapan bangsa kita perempuan itu bukanlah manusia yang mempunyai hidup sendiri. Hidupnya ialah sebahagian daripada hidup laki-laki.
Kegirangannya ialah menjaga kegirangan laki-laki.
Kepentingannya ialah menjaga kepentingan laki-laki.
Dalam segala hal ialah harus menyesuaikan dirinya kepada suaminya. Kepentingan dirinya sendiri, sedih dan senangnya, keinginan dan kebenciannya sendiri sebagai manusia, itu tiada diindahkan, itu tiada pernah dipikirkan. Dan sesungguhnyalah bagi perempuan dalam lingkungan bangsa kita tujuan hidup tidak lain daripada menjadi istri, menjadi hamba laki-laki. Di sisi itu tidak mungkin ada tujuan hidup yang lain. Segala sifat, segala kecakapan diarahkan menuju perkawinan, menuju pekerjaan mengabdi pada laki-laki.
Dan untuk menjaga supaya perempuan itu jangan insyaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah ia dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, bermacam-macam kebiasaan, bermacam-macam nasehat. Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, perempuan tiada boleh berjalan ke mana kehendaknya. Segala
nya itu namanya melindungi perempuan dari kejahatan dan aib, tetapi pada ha-kekatnya segalanya itu melemahkan perempuan. Ia terpencil dari dunia, pengalamannya kurang dan seluk-beluk dunia tiada diketahuinya.
Di manakah pula dahulu orang tua berdaya-upaya hendak mengajar anaknya pengetahuan yang lain daripada yang perlu untuk perkawinan seperti memasak dan menjahit" Sampai sekarang masih sering kita mendengar orang tua berkata, "Apa gunanya anak masuk sekolah ini atau sekolah anu"
Sekaliannya itu akan percuma saja, sebab kesudahannya ia masuk ke dapur juga. Demikian perempuan tinggal bodoh dan oleh bodohnya lebih bergantunglah ia kepada kaum laki-laki, makin mudahlah laki-laki menjadikannya hambanya dan permainannya."
Pendidikan budi pekerti perempuan semata-mata ditujukan untuk keperluan laki-laki. Segala sifat lemah itulah dijadikan sifat perempuan yang termulia: Perempuan mesti sabar, perempuan mesti lemah lembut, perempuan mesti pendiam. Berjalan perempuan tiada boleh lekas-lekas, berbicara dan tertawa tiada boleh keras-keras. Dalam segala hal ia harus halus.
Dengan jalan demikianlah, maka perempuan kita sekarang tidak berharga sedikit jua pun. Segala sifat-sifatnya sebagai manusia menjadi layuh, oleh-didikan masyarakat dan orang tua yang semata-mata menuju ke arah perkawinan."
Di sini Tuti berhenti sebentar, sebab suaranya hampir keparau-parauan mengucapkan pidato yang berapi-api itu. Sekejap ia minum air yang tersedia dalam gelas di hadapannya. Maka dengan suara yang nyaring ke luar dari mulutnya selaku perotes, "Dan dari perempuan yang telah dimatikan semangatnya serupa itu orang masih berani berharap lahirnya suatu keturunan yang kuat. Adakah, saudara-saudara, permintaan yang lebih gila daripada itu""
Panjang lebar Tuti menerangkan pengaruh seorang ibu dalam didikan anak yang di kemudian hari akan menjadi orang besar. Bahwa perempuanlah yang pertama kali memimpin anak dan menetapkan sifat-sifat yang mulia yang seumur hidup tidak berubah lagi dalam jiwa anak. Bahwa ibu yang sekarang tidak bedanya dengan mesin pengeram, tiada mungkin dapat menyerahkan keturunan yang berharga kepada dunia. Bahwa segala usaha untuk memperbaiki keadaan bangsa yang tiada melingkungi perbaikan keadaan perempuan tiada akan berhasil, selaku hanya menyirami daun dan dahan tanam-tanaman, sedangkan uratnya dibiarkan kekurangan air.
"Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu
Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan sendiri insyaf akan dirinya dan berjuang untuk mendapat penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia tiada boleh menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain. apalagi golongan laki-laki yang merasa akan kerugian, apabila ia harus melepaskan kekuasaannya yang telah berabad-abad dipertahankannya. Kita harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai manusia. Kita harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat kepada siapa jua pun. Yang percaya akan tenaga dirinya dan dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir sendiri. Yang berani menanggung jawab atas segala perbuatan dan buah pikirannya. Malahan yang hanya akan melangsungkan sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya. Yang berterus terang mengatakan apa yang terasa dan terpikir kepadanya dengan suara yang tegas dan keyakinan yang pasti.
Pendeknya manusia yang sesungguhnya manusia. Yang hidup semangat dan hatinya dan ke segala penjuru mengembangkan kecakapan dan kesanggupannya untuk keselamatan dirinya dan untuk keselamatan pergaulan.
Tiadalah mungkin lagi ia terkurung dalam lingkungan rumah, seluruh dunia yang lebar menjadi gelanggangnya. Bukanlah semata-mata perkawinan yang menjadi tujuan hidupnya. Dalam
bermacam-macam pekerjaan, jiwanya yang gelisah dan pencari akan mendapat kepuasan. Ia akan menyerbukan dirinya dalam dunia pengetahuan, ia akan turut menyusun dan mengemudikan negeri, ia akan menjelmakan jiwanya dalam seni, ia akan turut bekerja dan memimpin dalam bermacam-macam pekerjaan dan perusahaan. Demikianlah perempuan yang dicita-citakan-oleh Putri Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata hatinya, malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu baginya berarti melepaskan hak-haknya sebagai manusia yang mempunyai hidup sendiri dan berupa mencari perlindungan dan meminta kasihan. Ya, pendeknya seratus persen manusia bebas dalam segala hal."
Dan ketika kalimat yang penghabisan, yang dikatakan dengan tekanan yang keras dan tegas itu, lenyap mengalun, sekejap yang pendek sepi mati dalam gedung yang penuh sesak dan amat panasnya itu. Berat kedengaran kesepian dalam sesaat itu, selaku manusia yang banyak itu masih takjub, tiada tergerakkan dirinya kena pesona perkataan yang indah tersusun dan diucapkan dengan sepenuh jiwa. Tetapi baru saja Tuti bergerak meninggalkan mimbar menuju ke tempat duduknya, meletuslah sebagai petir yang telah lama terkurung dalam mega yang hitam berat, bunyi tepuk beribu manusia yang hadir, sehingga gedung yang besar itu selaku gegar rupanya. Tetapi ketua segera berdiri dan dengan palunya yang sakti itu tiada berapa lamanya reda pulalah orang banyak itu. Diulangnya ucapan yang menggambarkan perempuan yang bebas, yang mempunyai pribadi sendiri, yang dikehendaki oleh Putri Sedar, dimintanya supaya sekalian perkataan Tuti itu dipikirkan dan dianjurkannya sekalian perempuan yang hadir untuk berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Akhirnya ditutupnya kongres itu dengan ucapan, mudah-mudahan bertambah kuatlah barisan Putri Sedar, sehingga usahanya lebih cepat berhasil.
Dan setelah jatuh bunyi palu ketua yang akhir, maka orang banyak itu bergeraklah, bersesak-sesak, amat kacau-balau menuju ke pintu.
5. TELAH sepuluh hari Yusuf pada orang tuanya di Martapura. Dalam sepuluh hari ini sesungguhnya ia melepaskan lelah, sesudah ujiannya untuk doktoral pertama dan kedua berturut-turut. Tiap-tiap pagi pukul sembilan baru ia bangun. Buku tak pernah disinggungnya.
Petang-petang hari biasanya ia berjalan-jalan dengan Dahlan, kandidat amtenar(Dari bahasa Belanda ambtenaar, artinya pegawai.) pembantu ayahnya, masuk dusun ke luar dusun. Adakalanya mereka bertandang pada gadis-gadis. Yusuf telah biasa akan yang demikian. Meskipun., telah lebih dari lima belas tahun ia tiada tinggal pada orang tuanya, selain daripada waktu libur, tetapi sekalian adat-istiadat bangsanya diketahuinya, oleh karena ia suka bertanya dan mempelajari.
Sering pula Yusuf pergi dengan Dahlan berburu burung atau napuh di luar kota. Sekali-sekali ia menurut ayahnya turne ke dusun-dusun dalam daerahnya dengan auto. Telah sekali pula ia pergi ke Palembang sekedar melihat-lihat. Esok paginya maksudnya akan pergi ke Liwa mengunjungi Sukarto, temannya sejak dari Jakarta dahulu, yang sekarang menjadi Indisch arts(Dari bahasa Belanda: dokter yang dihasilkan sekolah doktor Stovia di Zaman Belanda.) di sana.
Meskipun sebanyak itu pelipur hatinya selama ia tinggal pada orang tuanya, tetapi tak juga ia dapat melenyapkan perasaan sunyi dalam hatinya. Senantiasa ia gelisah, pikirannya berbalik-balik ke Jakarta juga, seakan-akan ada sesuatu yang menariknya di sana. Tetapi sekarang tentulah ia belum dapat kembali ke Jakarta, sebab ibunya yang amat sayang kepadanya karena ia anak tunggal, pasti tiada akan melepaskannya selekas itu meninggalkannya pula. Dan Yusuf sendiri pun belum sampai hati hendak bercerai dengan perempuan tua itu.
Pada suatu petang ketika ia sedang membalik-balik koran ayahnya di serambi depan, datanglah opas pos membawa setumpukan surat dan koran. Yusuf tidak sekali-kali menantikan surat atau apa jua pun. Tetapi melih
at tumpukan surat dan koran yang banyak itu, ingin juga ia hendak memeriksanya dan dengan lena dibalik-baliknyalah satu per satu. Dalam membalik-balik itu sekonyong-konyong terbaca kepadanya namanya pada sebuah kartupos. Segera diambilnya kartupos itu dan dilihatnya si pengirimnya; Maria, Groote Lengkongweg 22, Bandung.
"Hai, telah di Bandung ia"" keluar dari mulutnya dengan tiada diketahuinya. Dan ia pun segeralah membaca dengan seluruh minatnya, sebab sesungguhnya dalam tengah dua bulan yang akhir ini nama itu baginya tiadalah seperti nama biasa lagi. Dalam kartupos itu diberitahukan Maria kepadanya,
bahwa kartupos gambar sungai Musi yang dikirimkannya dari Palembang telah diterimanya. Bahwa girang hatinya tiada berkata-kata. bahwa ia ingin benar hendak melihat kota Palembang yang terletak di sungai yang lebar itu. Bahwa ia telah maju dalam ujiannya dan pergi bersama-sama dengan kakaknya ke Bandung untuk mengambil udara yang segar.
Pendek dan jelas, hampir tak ada yang penting sedikit jua pun isinya tetapi bagi Yusuf tiap-tiap perkataan itu mempunyai arti yang lain. Sedap dan nikmat perkataan itu menari-nari di dalam kalbunya.
Setelah beberapa kali diulangnya membaca surat itu, maka diletakkan-nyalah perlahan-lahan di atas meja. Tumpukan surat dan koran yang banyak yang dibalik-baliknya tadi terlupalah. Angan-angannya mulailah melayang-layang melenyapkan perasaan gelisah yang senantiasa terasa kepadanya selama ia pada orang tuanya.
Dan ia baru insaf akan dirinya kembali, ketika di hadapannya berdiri ayahnya, pulang dari berjalan. Seolah-olah terkejutlah ia ketika orang tua itu bertanya kepadanya," Mengapa engkau termenung""
"Tidak, Ayah." katanya agak tertahan-tahan, sebab belum terkumpul pikirannya. Ketika itu ia menyapu mukanya yang kemerah-merahan dengan tangan kanannya. Dan kartu pos yang terletak di atas meja di depannya dimasukkannya ke dalam sakunya.
"Banyak benar surat yang datang. Ayah," katanya sambil menunjukkan kepada tumpukan surat di sisinya itu. seakan-akan mencari jalan mengelakkan syak dan sangka.
"Hampir tiap hari sebanyak itu," jawab Demang Munaf dan sementara itu tak luput dari matanya perubahan muka anaknya dalam sekejap itu. Tetapi di hatinya tiada timbul maksud menyelidikinya "Kebanyakan surat dinas," katanya pula. "Tadi kudengar dari ibumu, bahwa engkau besok hendak pergi ke Liwa, akan bertemu dengan dokter di sana."
Yusuf menganggukkan kepalanya.
"Kalau demikian, berangkatlah tengah hari besok, sebab pagi-pagi auto hendak saya pakai dahulu... Tetapi berapa hari pula hendak tinggal di Liwa"" "Paling lama tiga hari. Yah."
Ayahnya pun masuklah dan Yusuf berdiri akan berpakaian, karena ia hendak berjalan-jalan dengan Dahlan di tepi sungai Komering.
Keesokan harinya, kira-kira pukul sebelas tengah hari bertolaklah Yusuf dengan auto Fiat ayahnya menuju ke arah Ranau. Ia duduk di muka menjalankan auto, sedang sopir ayahnya duduk di sisinya sebelah kiri.
Selama perjalanan yang jauh melalui hutan, mendaki menurun di daerah yang berbukit-bukit dan bergunung itu, amat lapanglah hatinya. Ia sesungguhnya orang yang besar bebas di tengah alam. Waktu kecilnya ayah-bundanya tiada seperti ayah-bunda amtenar yang lain, yang mengikat anaknya di rumah, oleh karena sayang berlebih-lebihan kepada anaknya: takut benar melepaskan anak, kalau-kalau mendapat celaka, tersapa atau dihinggapi penyakit, seolah-olah lain daripada di rumah di hadapan mata mereka, seluruh dunia ini penuh bahaya dan bahala belaka.
Waktu ia masih kanak-kanak dan mengunjungi sekolah kelas dua. sungai Komering itu tempat ia berenang-renang dan bermain-main sepanjang hari. Dan di negeri-negeri yang lain pun, tempat ayahnya dipindahkan ia senantiasa bebas pergi ke mana hatinya tertarik. Dan sebagai anak yang sehat yang berlimpah-limpahan merasa tumbuh tenaga dalam badannya, apa yang dikerjakan kanak-kanak yang lain disertainya, sampai-sampai kepada perbuatan yang sesungguh-sungguhnya berbahaya sekali pun. Di Palembang semasa ia sekolah Schakelschool, bebas ia bermain sekehendak hatinya dan selama ia sekolah di Mulo di kota it
u kebebasannya itu usah berkurang, malahan bertambah.
Tetapi sekarang telah ada empat lima tahun ia tiada melihat-lihat danau Ranau. Tahun yang sudah dan beberapa tahun sebelum itu ia pulang ke Pagar Alam. sebab ayahnya menjadi Demang di sana. Maka sekali ini ia seolah-olah hendak melepaskan rindunya melihat sekalian yang selama itu tiada dilihat-lihatnya. Dahulu boleh dikatakan tiap-tiap libur besar ia pergi bertamasya ke Tasik yang permai itu. Baginya tak banyak daerah yang telah dilihatnya yang dapat menyamai keindahan sekitar danau di tengah pegunungan itu.
Sore sampailah ia dekat danau Ranau. Beberapa kali ia berhenti di tempat yang indah meninjau ke arah danau yang luas itu dan gunung Seminung yang perkasa menjabal di seberangnya. Kenangan yang lama-lama yang dirasainya bertahun-tahun yang lalu membaru kembali dalam hatinya, menimbulkan perasaan yang dalam dan mesra. Senja hari, ketika matahari telah terbenam penuh keindahan di balik gunung-gunung di sekeliling tasik itu, barulah ia berangkat menuju ke Liwa. Malam sampailah ia di sana.
Sukarto yang telah lama tiada bertemu dengan temannya itu amat gembira melihat Yusuf datang mengunjunginya. Sampai tengah malam masih terang nyala lampu gasolin di rumah doktor di negeri yang dingin itu. Sebentar-sebentar kedengaran gelak mereka berdua menembusi kesunyian malam, karena geli mengingatkan perbuatan bersama-sama di Jakarta dua tiga tahun yang lalu. Ada pula kalanya mereka bertengkar bertukar pikiran dengan mata yang bercahaya-cahaya, suara yang tetap, penuh kegembiraan dan kepercayaan. Sebab kedua-duanya idealis, orang yang penuh cita-cita terhadap bangsa dan Tanah Air.
Keesokan harinya Yusuf pergi mengikut Sukarto pergi ke Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berbelok-belok menurun menuju ke bawah, hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang, diceraikan dari tanah daratan oleh pecahan ombak putih-putih disinari matahari, sekaliannya meninggalkan gurisan perasaan keindahan yang tiada akan mungkin terhapus lagi dari jiwanya.
Dari kecilnya Yusuf orang yang gemar akan alam. Tiap-tiap tahun, apabila tiba libur dan dapat pula ia kesempatan melepaskan matanya kepada rimba dan pemandangan, bukit dan gunung dan lurah dan ngarai, perasaan gemar yang kabur-kabur itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan cinta yang nyata. Dan dalam perjalanan sejak dari Martapura kemarin, perasaan cinta kepada alam itu bertambah kuat dan mendalam. Tiap-tiap pemandangan yang indah itu lebih meresap terasa kepadanya, seolah-olah sekali ini seluruh hati dan jiwanya sedang terbuka seluas-luasnya untuk menerima segala yang mulia dan tinggi-tinggi. Dan di tengah-tengah keindahan yang dilaluinya itu timbul dalam kalbunya perasaan kesentosaan yang hanya terdapat pada seseorang yang percaya dan yakin akan kekuatan dirinya dan rahmat tenaga sekelilingnya pada dirinya.
Tiba di Keroi Sukarto pergi ke Poliklinik tempat ia mengobat orang sakit. Yusuf mengikutinya melihat-lihat sebentar di poliklinik yang sangat bersahaja itu. Sudah itu pergi berjalan-jalan ke tepi pantai.
Bau air yang rangsang, gemuruh bunyi ombak memecah dan pemandangan kepada air yang putih-putih yang tiada berhenti-henti berkejar-kejaran dari tengah, seolah-olah memenuhkan, melimpahkan perasaan dalam kalbunya, sehingga geli-geli rasa kaki dan tangannya. Dengan tiada diketahuinya ia telah mengejar ambai-ambai yang amat cepat berlari-lari di pasir yang lembab lembut. Di tempat karang-karang menjorok ke tengah, ia pun meninggalkan pasir dan berlari perlahan-lahan melompat-lompat dari karang ke karang di antara lopak-lopak yang tenang dan jernih airnya. Di tempat ombak memecah, berderai-derai menjadi buih yang putih kapas, ia berdiri memandang kepada ombak yang gelisah belia itu.
Maka dibukanya sepatunya, disingsingkannya pantalonnya berkerumuk naik ke atas lututnya. Ia pun melangkah beberapa langkah ke muka, sehingga dapat ia membasahkan kakinya pada pecahan ombak yang sejuk rasanya itu.
Geli rasa air asin itu melimb
uri kakinya, masuk ke sela-sela jarinya dan pada seluruh badannya terasa kepadanya perasaan nikmat gembira, oleh karena dalam udara laut yang segar itu lebih lekas darah remajanya mengalir di seluruh badannya.
Ia pun memandang ke tengah laut tempat ombak menggulung tinggi akan memecah, terus jauh ke tengah tempat alun berkejar-kejaran menuju ke daratan dan akhirnya sampai ke pertemuan langit dan air, tempat kedua-duanya menjadi biru kabur.
Dan dari atas karang tempat ia dapat meninjau sejauh-jauh mata memandang itu timbullah dengan mesra dalam hatinya perasaan dan keinsafan, bahwa ia sebahagian dari alam yang besar dan tidak berwatas. Maka terasalah kepadanya, apa yang tak ada pada jiwanya yang hasrat dan pencari itu, selama ia di kota yang besar di tengah-tengah perbuatan manusia yang cantik dan indah, yang besar dan mahal. Perasaan kekecilan dan kelemahan diri, tetapi dalam kekecilan dan kelemahan itu menyertai kebesaran dan kedahsyatan Khalikulalam seperti terjelma dalam segala perbuatannya. Segar rasa dirinya lahir dan batin di tengah alam yang bersih dan tak terusik oleh perbuatan manusia itu.
Dan dalam kemesraan perasaan yang demikian itu dalamlah terinsyaf kepadanya, bahwa manusia itu tiada dapat dilepaskan dari pengaruh alam. Bahwa alam itulah pangkal segala tenaga, asal segala perasaan dan pikiran yang menyebabkan manusia dapat berbuat segala yang luhur dan besar. Bahwa dalam kesibukan perjuangan hidup setiap hari, tak boleh tidak ada kalanya manusia itu perlu menarik dirinya merapati alam, agar pekerjaan dan usahanya mempunyai tujuan yang nyata, agar jangan ia terkandas dan tersekat pada terusan dan aluran dangkal yang digalinya sendiri baginya. Agar dalam keinsyafan akan besar tenaganya dan banyak yang dapat dikerjakan, ia terpelihara dari perasaan kesombongan yang bukan-bukan. Sebabnya pada hakekatnya dalam segala perbuatannya yang kecil atau besar, ia tak lain daripada sebahagian daripada alam, ia tak lain daripada menyudahkan bahagiannya dalam susunan alam yang tak terduga awal dan akhirnya.
Beberapa lama Yusuf tafakur berdiri di tengah-tengah ketenangan dan kesentosaan alam. Sebab baginya waktu itu, bunyi ombak memecah tiada putus-putusnya, berlagu turun-naik itu, lambang ketenangan dan kesentosaan alam yang gemuruh di tengah-tengah ketenangan dan kesentosaannya dan tenang dan sentosa di tengah-tengah kegelisahan gemuruhnya.
Maka perlahan-lahan Yusuf berbalik menuju ke tepi pula menjinjing sepatunya. Berjalanlah ia selangkah-selangkah di atas karang, sekali-sekali direncahnya lopak-lopak yang dangkal sehingga lutut, dan di sana-sini berhentilah ia melihat ikan dan binatang laut yang lain berenang dan berkejar-kejaran dalamair lopak-lopak yang bening-bening di antara tumbuh-tumbuhan laut yang kuning kelabu. Menjalarlah di seluruh badannya perasaan berbahagia melihat binatang-binatang yang kecil, yang riang-gemirang bermain-main di sela karang, tak diusik dan tak mengusik, tak dijaga dan tak berpenjagaan.
"Mahluk yang berbahagia..." keluar perlahan-lahan dari mulutnya dan perkataan itu seolah-olah tafsir perasaannya sendiri. Sebab pada saat itu juga perasaan berbahagia yang memenuhi kalbunya di tengah kesucian alam pada pagi-pagi itu membayang ke mukanya, melengkungkan bibirnya menjadi senyum antara nampak dan tiada.
Terus ia berjalan menuju ke tepi dengan tak berpikir; tiba di pasir ia berbelok menyusur pantai, menurutkan langkahnya yang ringan pada pasir yang berat menarik. Perlahan-lahan keluar siul dari mulutnya, menjelmakan perasaan yang terkandung dalam hatinya, ringan dan riang, tak tentu lagunya menurut turun-naik irama ombak memecah.
Pada suatu tempat di tepi tebing yang rendah, tumbuh menjorok ke pasir sepohon embacang laut yang rindang daunnya dan penuh bergayutan buah yang hijau muda. Melihat buah yang indah bergantungan itu, bangkitlah hasratnya menggugurkannya ke tanah, seolah-olah dari dalam badannya yang muda-remaja itu mendesak-desak tenaga hendak ke luar mencari jalan. Dibukanya bajunya dan diletakkannya dekat sepatunya di pokok pohon itu. Dicarinya kayu dan batu dan
beberapa lamanya tak berhenti-henti ia melempar ke pohon yang berdiri dengan kebesarannya di tepi kebesaran alam. Di atas pasir yang kelabu itu pun bergulinglah buah yang hijau permai. Tetapi Yusuf tidak mengindahkannya.
Setelah banyaklah buah itu gugur ke bawah, maka pergilah ia melihatnya; dibalik-baliknya bundaran hijau yang berlumuran getah jernih itu satu persatu.
"Alangkah indah-indahnya!" katanya kepada dirinya sendiri. Tetapi pada saat itu seakan-akan insyaf ia akan keganasannya menjatuhkan buah-buahan itu dari tempat gantungannya, menghalanginya dalam perjalanannya yang tertentu dalam susunan dan perjalanan alam. Kasihanlah ia melihat kepada buah-buahan yang tersia-sia penjelmaannya itu.
Hilanglah keinginannya hendak melempar lagi dan pergilah ia duduk di bawah pohon dekat pakaiannya, seraya melepaskan mata sejauh-jauhnya memandang ke muka pasir dan air yang membentang di hadapannya.
Dari jauh kelihatan menuju seorang laki-laki menjinjing jala dan menyandang kerutung. Seperti laki-laki itu berjalan di pasir ketika itu, tak berbaju hanya memakai celana pendek dan tudung yang lebar, alangkah selarasnya dengan warna pasir kelabu, dengan ombak yang berkejar-kejaran dari tengah dan dengan pohon-pohon yang melambai-lambai di darat. Ia pun sebahagian dari alam yang indah oleh kesederhanaannya.
Pada suatu tempat ia merencah air, menuju ke tengah melawan ombak yang bertalu-talu datang memukulnya, seakan-akan hendak mengusir dia pulang ke darat kembali. Pada suatu tempat ia berhenti di tengah air yang tak kunjung diam itu; dibungkukkannya sedikit badannya, dinaikkannya jala ke atas lengannya, siap akan menghamburkannya. Sekonyong-konyong amat tangkasnya jala yang merah kehitam-hitaman itu berkembang di muka air dan... lenyap ke dalam.
Yusuf pun berdiri dari tempat duduknya dan seraya menggulung kaki pantalonnya sampai naik ke pahanya ia berlari-lari masuk air menuju ke tukang penangkap ikan itu, didorong oleh keinginan melihat yang tak ter-tahan-tahan. Tiba dekatnya berhentilah ia, takjub melihat ikan yang putih jernih sebagai perak baru disepuh meleting-leting di antara benang jala dan satu persatu dipindahkan oleh tangan hitam kisut kedinginan ke dalam kerutung.
Beberapa lamanya diturutkannya tukang jala itu dengan tak ingat sekejap jua pun akan waktu dan akan panas matahari. Dan ketika penangkap ikan itu hendak pulang ke rumahnya membawa kerutungnya yang penuh itu, barulah Yusuf insyaf bahwa hari telah tengah hari dan bahwa sepagi-pagi itu ia berjemur di panas yang tajam. Pergi ia kembali ke pokok kayu tempat sepatu dan bajunya diregangkannya pantalonnya sedapat-dapatnya dan dengan lengah berjalanlah ia perlahan-lahan menuju ke kota. Kebetulan Sukarto sudah selesai pekerjaannya, sehingga ketika itu juga dapatlah mereka bertolak kembali ke Liwa.
Meskipun ia bukan masuk golongan orang yang menghabiskan waktunya di lapangan olahraga, tetapi petang itu ia turut bermain tennis dengan Sukarto bersama-sama dengan opsiter dan assisten demang Liwa. Hari Minggu keesokan harinya pagi-pagi benar pergilah mereka dengan auto ke Kota Batu di tepi danau Ranau, lengkap membawa makanan dan minuman serta kail dan senapang. Di sana mereka menyewa sebuah sampan dan sehari-harian itu mereka pesiar di muka tasik dengan dua orang tukang dayung. Berjam-jam mereka menjatuhkan pancingnya dan banyaklah ikan yang dapat ditangkap mereka. Letih menangkap ikan disuruh mereka rapatkan perahu ke tepi dan dari air berganti-ganti mereka menembak burung pada dahan-dahan kayu yang menjorok ke tengah. Pada tempat yang baik kadang-kadang mereka naik ke darat mencari buah-buahan yang boleh dimakan sambil berburu. Ada pula kalanya mereka berhanyut-hanyut tak tentu arahnya, sambil bercakap-cakap melompat dari suatu pasal ke pasal yang lain dengan tak berpedoman. Kedua tukang pengayuh itu disuruh mereka meriwayatkan cerita tua-tua tentang penghuni dan keajaiban danau yang lebar itu, tentang ikan yang bersisik emas. tentang naga dan ular yang sakti-sakti dan sebagainya.
Yusuf meresapkan sekaliannya ke dalam hatinya. Oleh karena mengert
i, giranglah ia mendengar betapa rakyat bersahaja, yang tinggal di tengah-tengah kekayaan dan keindahan alam itu, menjalinkan negeri dan kelilingnya yang terpilih karunia Allah itu dalam cerita dan dongeng yang indah-indah, laksana ahli gubah menggubahkan puspa juita pelbagai ragam dan rona dalam karangan yang permai. Dan terasa-rasa kepadanya seakan-akan seluruh tasik yang menyerupai cermin yang jernih, yang berbingkaikan hijau indah itu, sesungguhnya ketika itu penuh oleh ikan yang bersisik emas, permainan peri dan mambang yang halus molek.
Setelah puas pula mendengar cerita itu berganti-ganti mereka mencoba mendayung. Alangkah beratnya rasa perahu yang besar itu, alangkah payah mengemudikannya, seolah-olah dalam segala hal ia sengaja melawan kehendak juru mudinya yang baru itu.
Dan kalau telah pedih tangan mereka mengayuh, maka mereka serahkan dayung itu kembali kepada kedua tukang kayuh yang bersahaja itu yang melihat pekerjaan mereka dengan minat dan perhatian, tetapi tak dapat mengerti seperti orang tua payah mengerti melihat perbuatan kanak-kanak.
Takjublah Yusuf dan Sukarto melihat mereka mengayuhkan sampan itu. Hampir-hampir tak tercegah dayung ke air, tetapi alangkah lancar perahu itu maju, seakan-akan ia sebuah seludang yang ringan, yang ditolak oleh tangan kanak-kanak dengan senyum dan gelak. Lemas dan tangkas ia berbelok di muka air itu, meninggalkan jejak yang panjang yang berpendar beralur-alur.
Tengah hari mereka turun ke darat di tempat yang rendah berpasir-pasir menyerupai pantai. Di sana mereka mengeluarkan makanan dan menghidupkan api akan membakar ikan dan burung yang diperolehnya. Di bawah pohon yang rindang di tepi rimba yang lebat dan di dekat air tasik yang jernih itu mereka makan sepuas-puas hatinya.
Habis makan beberapa lama pula mereka berdua berguling-gulingan di bawah pohon, melepaskan lelah dinyanyikan oleh angin rimba yang lemah-lembut. Dan ketika matahari telah mulai rembang dan bayang-bayang batang kayu mulai memanjang ke sebelah timur barulah mereka bersiap akan kembali. Di Kota Batu mereka naik auto pula kembali ke Liwa. Malam itu penghabisan Yusuf bermalam di rumah temannya di daerah yang indah permai itu. Pagi-pagi keesokan harinya sama-sama mereka meninggalkan Liwa, Sukarto menuju ke Keroi dan Yusuf ke Martapura.
Maka tertutuplah bagi Yusuf sebahagian dari hidupnya yang tak mudah dilupakannya. Dalam tiga hari itu telah tumbuh perasaan keindahannya mendekati kesempurnaan. Kalbunya yang penerima itu telah terbuka seindah-indahnya, laksana kembang yang baru mekar di waktu fajar telah terkembang sepermai-permainya, menantikan sinar matahari yang pertama.
6. KETIKA Yusuf tiba di rumah ayah-bundanya di Martapura kembali, didapatinya sebuah surat pula dari Maria. Dalam surat itu diceritakannya pekerjaannya dan perjalanannya setiap hari dengan Rukamah, saudara sepupunya. Seluruh surat itu berseri-seri penuh kegirangan membayangkan pekerti penulisnya yang senantiasa riang dan suka cita. Pada akhirnya dikatakannya, bahwa Tuti sudah bertolak ke Sala untuk menghadiri kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan, "Sekarang ia sudah berangkat pula! Selalu, selalu saja rapat dan kongres!"
Selaku keluh yang kesal dan sebal bunyinya sebaris itu. Dan pada perkataan yang lain-lain dapat Yusuf merasakan, bahwa ia kesepian ditinggalkan saudaranya itu. Setelah habis surat itu dibacanya, termenunglah ia beberapa lamanya menurutkan arus pikiran dan kenang-kenangannya yang tak tentu arahnya. Tetapi makin lama ia termenung makin berupa dan berbentuklah sesuatu keyakinan di dalam hatinya, mula-mula kabur, tetapi makin lama makin nyata.
Sesungguhnya sejak ia sampai di rumah orang tuanya mula libur, hatinya senantiasa gelisah selaku senantiasa ada sesuatu relung yang kosong dalam kalbunya yang tiada dapat diisinya. Telah sering ia memikirkan apakah sebabnya maka libur sekali ini lain rasanya dari sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermaian dan kebesaran alam yang dilihatnya dalam b
eberapa hari itu, relung itu bertambah dalam dan mesra terasa.
Dan kini setelah membaca surat Maria yang mengeluhkan kesepian dirinya, itu laksana terbayang-bayanglah kepada Yusuf jalan yang harus ditempuhnya untuk melepaskan dirinya dari perasaan gelisah yang tak tentu itu. Di dasar jiwanya terdengar kepadanya Bandung memanggil. Di sana kalbunya yang telah terbuka seluas-luasnya oleh keindahan gunung dan jurang, oleh gemuruh ombak dan ketenangan tasik, oleh hijau daun-daunan dan biru langit yang jernih, akan menjadi sempurna mengecap kenikmatan bahagia yang teruntuk bagi segala manusia.
Ketika tiba-tiba arus pikirannya tertahan mendengar bundanya mengetuk pintu kamarnya mengatakan, bahwa Dahlan menantinya di luar akan mengajaknya berjalan-jalan, ketika itu telah tetaplah keputusannya: ia akan pergi ke Bandung selekas-lekasnya.
Sambil mengeluh dimasukkannya kertas surat yang kemerah-merahan itu dalam sampulnya dan disimpannya dalam saku dalamnya. Ia pun pergilah mendapatkan Dahlan. Tak berapa lama antara kedua bersahabat itu telah berjalan-jalan di sekitar Martapura.
Waktu makan malam Yusuf mengatakan kepada orang tuanya, bahwa ia lima hari lagi akan berangkat ke Jakarta, karena ada keperluan berhubung dengan sekolahnya. Mendengar itu bundanya yang belum puas bercampur dengan anaknya yang tunggal itu, membantah dan mencoba menahan Yusuf. Melihat bundanya bersungguh-sungguh benar menaburnya, lemahlah hati Yusuf sehingga diturutkannya kehendak bundanya menunda berangkatnya beberapa hari.
Ayahnya yang tenang dan biasa menurutkan segala kehendak Yusuf tak banyak berbicara, sebab ia tahu, bahwa ia boleh percaya kepada anaknya itu. Yusuf bukan kanak-kanak lagi dan ia tahu apa yang harus dikerjakannya.
Sepuluh hari sesudah itu Yusuf meninggalkan Martapura menuju ke Panjang. Malam itu juga ia menyeberang Selat Sunda dengan kapal K.P.M. Ketika ia terbangun pagi-pagi melihat daratan perlahan-lahan keluar dari kabut, bertambah lama bertambah terang, sehingga kelihatan pohon nyiur yang ramping berbaris-baris dan pantai yang berkarang berbatu putih kelabu, lapanglah rasa hatinya dan penuh kepercayaan ia melangkah ke darat menuju kereta api yang hari itu juga membawanya terus ke Bandung.
Pukul tujuh pagi-pagi keesokan harinya Yusuf meninggalkan hotel Pasundan, naik sado menuju ke Groote Lengkongweg. Tiba di hadapan sebuah rumah yang kecil indah, disuruhnya sado berhenti dan ia pun turunlah.
Dari tanah naik menjalar batang bougainville yang rimbun sedang berbunga, lembayung merah yang mesra yang amat permai rupanya terbayang pada cat rumah yang putih bersih itu. Di halaman rumah yang tiada berapa besarnya itu amat banyak tumbuh palm dan bunga, bersesak-sesak, oleh karena rupanya penghuni rumah yang rajin itu hendak memakai tiap-tiap telempap tanah untuk memuaskan kesukaannya akan bunga dan tumbuh-tumbuhan. Oleh sekaliannya itu pemandangan dari jalan ke beranda rumah itu terpecah-pecah, tiada nyata.
Perlahan-lahan Yusuf masuk ke pekarangan melalui jalan kecil yang berbatu-batu, kiri kanan diapit oleh batang kecil-kecil berdaun merah dan hijau. Sampai di tangga ia berhenti sejurus melihat-lihat. Dari dalam tak kedengaran suatu suara jua pun, seolah-olah rumah itu tidak didiami orang. Maka berserulah ia agak kuat, "Sepada!"
Suaranya hilang lenyap masuk ke dalam, tiada berjawab beberapa lamanya. Lalu ia berseru sekali lagi, lebih kuat dan tegas. Dari dalam suara halus menyahut, "Ya," dan tak berapa lama antaranya keluar dari pintu yang terbuka itu seorang perawan memakai kebaya pual kuning muda berbunga coklat, rupanya telah siap hendak berjalan.
Setelah ia menganggukkan kepalanya sambil menggumam beberapa perkataan yang tak nyata kedengaran, tetapi yang terang maksudnya hendak memberi tabik, bertanyalah Yusuf, "Zus, bolehkah saya bertanya, di sinikah tinggal Zus Maria""
"Ya, betul di sini," jawab perawan itu, "tunggulah sebentar." Dan belum habis perkataannya ia telah lenyap pula masuk ke dalam meninggalkan Yusuf seorang diri di luar.
Yusuf mengedarkan matanya mengamat-amati beranda itu. Sebuah meja ja
ti yang berdaun marmer dan berkaki lengkung berdiri di tengah-tengah. Di atasnya melintang menjuntai kain alas meja putih bersih yang bersulam tepinya: di atasnya terletak jambangan tanah liat yang berkilat berbunga-bunga dan berisikan sedap malam yang masih segar seperti baru dipetik. Di empat penjuru beranda itu terdapat pot kuningan yang berisi kembang begonia merah jambu di atas setandar yang tinggi dan ramping. Di antara gambar di dinding tergantung dua buah pot porselin yang berbunga-bunga, melekap ke dinding seperti bambu dibelah. Dari dalamnya tergantung ke bawah tumbuhan yang hijau muda, tebal kecil-kecil daunnya.
Tak berapa lama antaranya perawan tadi keluar pula dari dalam, sambil berkata dengan senyum yang ditahan-tahan.
"Ia baru bangun dari tidur. Tetapi duduklah Tuan sebentar."
Belum habis perkataannya itu dari balik pintu tersembul kepala perempuan, takut berani melihat ke luar. Tetapi tiba-tiba perempuan itu melangkah ke luar dan sambil tersenyum kemalu-maluan Maria menuju kepada Yusuf mengulurkan tangannya, "Halo, engkau Yusuf! Dari manakah datangmu sekonyong-konyong ini" Apabila engkau sampai ke mari""
Perkataan yang diucapkannya dengan keheranan itu seakan-akan terlompat dari mulutnya, tak sengaja, tak tertahan-tahan. Mukanya yang lusuh bangun dari tidur itu bercahaya-cahaya mendengar Yusuf menceritakan kedatangan yang tak disangka-sangkanya itu. Sejurus lupa ia, bahwa ia belum mandi dan berpakaian dengan sepertinya. Tetapi ketika ia teringat kembali akan itu, merahlah mukanya dan berkatalah ia sambil tersenyum, sehingga kelihatanlah susunan giginya yang putih, "Ah, saya belum mandi lagi. Seperti ini pergi ke luar." Yang akhir ini diucapkannya seraya memandang kepada kimono biru berbunga putih besar-besar, yang berjabir-jabir melilit badannya yang ramping. Sudah itu katanya pula, "Duduklah dahulu, boleh saya pergi mandi sebentar."
Tetapi ketika ia hendak masuk, ingatlah ia, bahwa ia belum memperkenalkan Yusuf dengan saudara sepupunya yang selama itu berdiri tak berapa jauh dari meja. Ia pun berbalik dan berkata pula, "Engkau berdua tentu belum berkenalan. Ia saudara sepupu saya, Rukamah." Dan sambil melihat kepada Rukamah katanya, "Kenalan kami dari Jakarta, Yusuf, setuden pada Sekolah Tabib Tinggi."
Yusuf dan Rukamah sama-sama menganggukkan kepala memberi hormat kepada masing-masing.
Ketika itu ke luar pula Tuti. Setelah ia bersalam dengan Yusuf, melihatlah ia kepada Maria, seraya berkata dengan bencinya, "Setinggi ini hari belum mandi lagi. Dan ia berani pula ke luar. Cis!"
Muka Maria merah mendengar kata saudaranya itu dan sambil tersenyum kemalu-maluan. katanya, "Temanilah Yusuf, saya pergi mandi dulu," dan ia pun lenyaplah ke dalam.
Rukamah minta maaf kepada Yusuf, karena ia harus pergi ke kantor.
Setelah Rukamah turun duduklah Tuti di atas kursi berhadapan dengan anak muda itu. Hatinya masih kesal memikirkan Maria, dan sebagai melepaskan kesal hatinya itu berkatalah ia membuka bicara dengan Yusuf, "Saya benci benar kepada perempuan yang bangun tinggi hari."
"Ah, dalam libur, apa salahnya," kata Yusuf.
"Apa salahnya" Salah benar tidak, tetapi siapa saja akan mengatakan, bahwa bangun dan menyelesaikan diri pagi-pagi lebih baik."
"Tentu, tetapi sekali-sekali, apa salahnya jika kita melanggar kebiasaan itu."
"Saya juga sebenarnya tiada menyalahkan orang yang sekali-sekali bangun tinggi hari. Tetapi yang sebenarnya menggusarkan saya melihat orang bangun tinggi hari itu, ialah oleh karena hal itu menunjukkan sesuatu yang tidak baik. Bangsa kita yang bersahaja di desa-desa, yang tidak pernah masuk sekolah boleh dikatakan tidak pernah bangun tinggi hari, apalagi perawan-perawannya. Bangun tinggi hari itu kelihatan kepada saya sebagai sesuatu penyakit kaum yang sudah sekolah, jadi kaum yang sudah insyaf namanya. Daripada didikan dan pergaulan dengan Barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja-senja minum teh di hadapan rumah dan melancong-lancong mengambil udara. Mereka yang demikian menyebutkan dirinya modern. Tetapi semangat modern, yang seb
enarnya, semangat yang menyebabkan orang Barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasan hati, ketajaman otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat, sekaliannya itu tiada sedikit jua pun diambilnya. Kelebihan orang Barat bagi mereka serupa itu ialah keindahan pakaian, rapi dan mahalnya perabot rumah, bibir dan kuku yang bercat dan sepanjang hari berkeliaran naik auto."
Yusuf tersenyum melihat kepada Tuti yang terus sekali gembira berbicara seperti di rapat-rapat. Ketika Tuti berhenti sebentar berkatalah ia, "Kalau itu maksudmu saya setuju, tetapi tentulah contoh bangun tinggi hari itu terlampau tiada berarti. Di bahagian yang besar-besar, saya pun merasa seperti yang engkau ucapkan itu. Orapg lebih mudah meniru dan meneladan yang mudah dan senang dari yang sukar dan meminta tenaga. Lebih mudah mempunyai auto dan radio di rumah daripada membanting tulang mempelajari sesuatu pasal dengan teliti atau mengerjakan sesuatu pekerjaan yang besar seperti dilangsungkan orang Barat. Kaum terpelajar kita sama sekolahnya, sama gelarnya, sama rupa rumah dan merek autonya, dengan kaum terpelajar Barat, ilmu, kesungguh-sungguhannya mengejar cita-cita. Keluh orang mengatakan, kaum terpelajar bangsa kita tidak produktif, kurang banyak menghasilkan, sesungguhnya mengandung kebenaran."
Pendekar Pedang Sakti 3 Cinta Dalam Diam Karya Ucu Supriadi Kisah Pedang Bersatu Padu 4

Cari Blog Ini