Let Go Karya Windhy Puspitadewi Bagian 1
LET GO Windhy Puspitadewi Kau tahu apa artinya kehilangan" Yakinlah, kau tak akan pernah benar-benar tahu sampai kau sendiri mengalaminya.
Raka tidak pernah peduli pendapat orang lain, selama ia merasa benar, dia akan melakukannya. Hingga, suatu hari, mau tidak mau, ia harus berteman dengan Nathan, Nadya, dan Sarah. Tiga orang dengan sifat yang berbeda, yang terpaksa bersama untuk mengurus mading sekolah.
Nathan, si pintar yang selalu bersikap sinis. Nadya, ketua kelas yang tak pernah meminta bantuan orang lain, dan Sarah, cewek pemalu yang membuat Raka selalu ingin membantunya.
Lagi-lagi, Raka terjebak dalam urusan orang lain, yang membuatnya belajar banyak tentang sesuatu yang selama ini ia takuti. Kehilangan.
- Prolog - "Raka..." Bu Ratna menghela napas. "Kali ini, kenapa lagi""
"Mereka duluan yang ganggu saya," jawab Raka tegas.
"Bukan alasan!" kata Bu Ratna tak kalah tegas. "Apa kamu lupa kalau kamu ini baru kelas X" Artinya, kamu baru empat bulan di sekolah ini, empat bulan Raka! Dan, kamu sudah berkelahi sebanyak dua kali!"
"Jadi, maksud Ibu, kalau ada yang ganggu saya, saya harus diam saja"" protes Raka. Rahangnya mengeras dan tangannya tergenggam erat.
"Bukan!" sergah Bu Ratna. "Tapi, Ibu ingin kamu membalasnya bukan dengan otot, tapi otak!"
Raka mengernyitkan dahi. "Ah, sudahlah." Bu Ratna menggeleng. "Setelah ini, saya mau menghadap Kepala Sekolah untuk mendiskusikan hukuman yang cocok untukmu, sepertinya skorsing saja tidak cukup. Aku harus memberi tahumu, Pak Kepala Sekolah tidak begitu suka ada biang kerok di sekolahnya. Motonya: mumpung masih berupa larva, harus secepatnya dibasmi sebelum menjadi nyamuk dan menyebarkan penyakit. Kamu tahu maksud Ibu, kan""
Raka mengangguk pasrah. "Kamu boleh pergi," kata Bu Ratna kemudian. Namun, ketika Raka sudah hendak keluar dari ruangannya, Bu Ratna menghentikannya kembali.
"Sebagai wali kelas, Ibu sungguh-sungguh tidak ingin kamu dikeluarkan," ujar Bu Ratna. "Kamu percaya pada Ibu""
Raka terdiam sejenak, lalu memasang tampang pura-pura bingung. "Itu pertanyaan retoris""
Bu Ratna tersenyum. Sejak tadi, Raka sudah cukup lama merasa tegang akibat menahan emosi, apalagi setelah dipakai berkelahi. Begitu berada di luar, dia langsung meregangkan otot-otot tangannya yang kaku. Dia mengerang pelan karena beberapa bagian tubuhnya terasa sangat sakit. Wajahnya memar di beberapa bagian. Mengingat dia baru saja merobohkan lima orang sekaligus, luka yang didapatnya tergolong ringan.
Setibanya di lapangan parkir, tiba-tiba dia mendengar teriakan.
"JANGAN BELAGU!!!!"
Raka menghentikan langkahnya, mencari-cari sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari belakang gedung yang letaknya tidak jauh dari tempat dia berdiri sekarang. Dia melihat segerombol orang yang sepertinya hendak mengeroyok seseorang.
Nathan" tanya Raka dalam hati melihat orang yang akan dikeroyok.
Setelah sadar kalau cowok yang akan dikeroyok adalah teman sekelasnya, dia cepat-cepat mengendap-endap mendekati mereka.
"Sebenarnya, apa masalah kalian"" tanya Nathan tanpa rasa takut sedikit pun tersirat di wajahnya.
"Jangan kamu pikir karena tampangmu lumayan, kamu bisa seenaknya sendiri tebar pesona ke sana kemari!" bentak salah satu dari empat orang yang ada di depannya itu.
"Terima kasih atas pujiannya," jawab Nathan kalem.
Mulut Raka menganga mendengar kata-kata Nathan. Dia itu terlalu bodoh atau terlalu berani"!
Wajah keempat orang itu langsung merah padam. Tangan mereka mengepal erat dan rahang mereka terkatup. "KAMU...!!!!" Salah seorang di antara mereka mulai mengeluarkan tinjunya.
Nathan berhasil menghindari pukulan pertama, tetapi ternyata pukulan kedua sudah menunggunya tidak lama kemudian. Tepat saat itu, Raka keluar dari tempat persembunyiannya dan berhasil menangkisnya.
"Siapa kamu"!!" tanya mereka. "Jangan ikut campur!"
"Pengecut!" ejek Raka kesal. "Atau, emang sudah budaya sekolah ini selalu main keroyokan""
"SIALLL!!!!" Salah satu dari gerombolan itu maju siap menerjang Raka dan cowok ini pun sudah bers
iap hendak menghadapinya.
"TUNGGU!!!" teriak salah seorang dari gerombolan itu.
"KENAPA"" tanya cowok yang akan menerjang Raka itu dengan marah.
"Dia itu Caraka," jawab temannya. "Dia anak kelas X yang baru aja bikin babak belur lima anak basket itu."
Sekarang, Raka memandang orang-orang itu dengan heran. Tidak menyangka hanya karena sebuah rumor, reaksi mereka langsung berubah 180 derajat.
Keempat orang itu membeku. Bahkan dua di antara mereka menelan ludah dengan suara yang cukup keras, membuat Raka tertawa dalam hati.
"Hei, dengar, ya," kata cowok yang dari tadi terlihat paling marah. "Kami nggak punya masalah denganmu. Lagian, ini nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi, jangan ikut campur."
Raka mengangkat bahu. "Dia teman sekelasku. Bisa dibilang, kami punya hubungan. Kalau kalian emang mau mengeroyoknya, lakukan di tempat yang nggak bisa aku lihat atau aku dengar."
Cowok itu tersenyum sinis, lalu mengalihkan tatapannya pada Nathan. "Kali ini, kau beruntung, tapi kau dengar sendiri apa kata temanmu barusan, nggak selamanya kau akan seberuntung sekarang."
"Wah, aku nggak sabar menunggunya," jawab Nathan tenang.
"Kurang ajar! Lihat saja nanti!"
Lalu, mereka pergi dengan sedikit gerutuan.
Raka menoleh menatap Nathan dengan tatapan kau-bodoh-atau-apa" "Kau itu bodoh atau idiot" Cari mati, ya! Kata-katamu tadi malah bikin mereka tambah marah."
"Bukan urusanmu," kata Nathan sambil membetulkan letak kacamatanya. "Itu kulakukan dengan sengaja."
Raka langsung melongo. "Hah" Buat apa""
Nathan mengabaikan pertanyaan Raka, lalu berjalan pergi.
"Sopan sekali," sindir Raka sambil berjalan mengikutinya.
"Kau ingin aku berterima kasih" Aku nggak memintamu membantuku."
"Oh, ya" Tapi, tadi kau kelihatan seperti itu." Raka tersenyum mengejek.
"Kalau begitu, kau perlu kacamata."
Raka langsung membatu. Dia mengutuki dirinya sendiri karena telah menolong orang sialan seperti yang satu ini.
"Sekarang, kau menyesal sudah menolongku"" tanya Nathan seolah-olah bisa membaca pikiran Raka.
"Hah"" Raka berpura-pura tak mengerti apa yang dikatakan cowok itu.
"Terima kasih," kata Nathan kemudian.
"Hah"" Raka melongo. "Aku nggak salah dengar, kan""
"Puas"" tanya Nathan.
Raka memutar bola matanya. "Iya, iya."
"Oh, ya." Nathan menatapnya tajam. "Setelah ini, jangan harap lantas hubungan kita jadi lebih dekat."
"Hah"" Kali ini Raka benar-benar tidak mengerti maksud ucapan Nathan.
Nathan tidak memedulikan kebingungan di wajah Raka. "Sampai kapan pun, kita cuma teman sekelas. Nggak kurang, nggak lebih. Camkan itu!"
Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Raka yang hanya bisa terbengong-bengong melihatnya.
"MAKSUDNYA APAAAAAAAAAAA"!!!" teriak Raka begitu Nathan hilang dari pandangannya.
* * * - 1 - "Raka." "APA"" jawab Raka dengan suara bass-nya yang berat dan keras (tuing -,-).
Sarah tampak kaget dan spontan mundur selangkah. Wajahnya memucat dan matanya mulai berkaca-kaca. "Nggak perlu membentakku, aku cuma..."
"Aku nggak membentakmu," jelas Raka sambil menunjukkan wajah capek. "Berapa kali aku harus bilang kalau suaraku..." Cowok itu menghentikan kalimatnya, merasa percuma karena sudah melakukannya berkali-kali tanpa hasil.
"Ah! Sudahlah! Ada perlu apa""
"Aku cuma mau minta tolong..." Sarah terhenti sejenak untuk menelan ludah. "Mintakan persetujuan artikel ini sama Bu Ratna." Dia menyodorkan beberapa lembar artikel kepada Raka dan langsung buru-buru kembali ke depan komputer tanpa berani menatap mata cowok itu.
Raka langsung mengernyit. "Cewek aneh."
"Bukan dia yang aneh, tapi kau!" komentar Nathan yang berada di sebelahnya. "Kau yang aneh karena nggak juga sadar, suaramu itu menakutkan."
"Suaraku" Tapi, dari dulu, suaraku emang begini." Raka melirik Nathan tajam dengan tatapan aku-akan-membunuhmu-kalau-kau-ngomong-lagi.
Nathan malah balas meliriknya. "Uuuu... takuuut..."
"KAU!!!" Raka mulai kehilangan kesabaran. Tepat saat tangannya akan berbicara, Nadya yang duduk di depan mereka menggebrak meja.
"DIAM!" katanya. "Bis
a nggak, sih, kalian meneruskan pertengkaran anak SD kalian itu di luar" Aku jadi nggak bisa konsentrasi baca."
"Kamu bisa baca di perpustakaan," balas Nathan.
"Maunya sih begitu, tapi jam segini perpustakaan sudah tutup dan baru buka besok pukul 8." Nadya tersenyum, merasa menang.
"Kalau begitu, lakukan besok pagi," balas Nathan dingin. Kali ini, sepertinya dia yang menang.
Nadya menatap marah ke arah Nathan yang tampak tak peduli. Suasana berubah menjadi panas di antara mereka berdua dan percikan api terasa lebih banyak dari Nadya.
Raka menelan ludah, merasa sudah waktunya dia pergi dari tempat itu.
"Aku... mau ke tempat Bu Ratna dulu, ya," katanya kemudian sambil mengacungkan lembaran artikel yang tadi diberikan Sarah. Tak ada seorang pun yang menjawab. Nadya dan Nathan mungkin tidak mendengarnya. Sementara, Sarah, dia terlalu takut untuk mengeluarkan suara sedikit pun.
*** "Bu Ratna! Saya protes!" teriak Raka begitu sampai di meja kerjanya. "Saya lebih baik di-skorsing dua tahun daripada dihukum kerja paksa kayak gini."
"Skorsing dua tahun"" Bu Ratna tersenyum geli. "Enak di kamu kalau begitu."
"Tapi, sungguh! Saya sudah nggak tahan lagi," desah Raka sambil menjatuhkan diri di kursi depan mejanya.
"Ya ampun, Raka, kamu baru sebulan di situ."
"Tapi, rasanya sudah seperti seabad, Bu!" protesnya. "Satu ruangan dengan Zombie berlidah tajam, Ratu Salju, dan si cengeng penakut itu, entah kenapa bikin jarum jam terasa nggak bergerak ke mana pun."
Bu Ratna malah tertawa. "Hebat, bahkan, kamu sudah punya julukan buat mereka, Ibu nggak menyangka kalian sudah sedekat itu."
"Berapa lama lagi saya harus membantu, ah... maksud saya, kerja rodi di redaksi majalah sekolah"" Raka memasang tampang memelas.
"Mmmm..." Bu Ratna pura-pura berpikir. "Nggak lama kok, Raka, paling-paling sampai kenaikan kelas."
"HAH"!!" teriak Raka spontan. Untung saja, saat itu, ruang guru sudah sepi.
"Raka," kali ini Bu Ratna memasang muka serius, "kamu masih kelas X, tapi dalam waktu sebulan kamu sudah berkelahi dua kali. Jadi, saran Ibu, supaya kamu tidak di-DO, jalani hukumanmu sekarang, oke""
Raka mengangguk lemas. Tak ada pilihan lain.
Bu Ratna menghela napas. "Jadi, kamu datang ke tempat saya hanya untuk mengatakan hal itu""
"Ah!" Raka langsung teringat artikel yang diberikan Sarah. "Tadi, Sarah menitipkan ini buat minta approve dari Ibu."
"Oh..." ujar Bu Ratna sambil memperhatikan lembaran-lembaran artikel yang baru saja disodorkan padanya.
"Bu, kalau saya boleh tanya," kata Raka kemudian.
"Apa"" "Sebenarnya, ke mana anggota redaksi yang lain"" tanyanya penasaran. "Setahu saya, Nathan dan Nadya, kan, bukan anggota redaksi. Tapi, kenapa mereka yang mengerjakan majalah sekolah""
Ekspresi Bu Ratna tiba-tiba berubah, lalu ia mengangkat wajahnya dan menatap Raka. "Karena saya sebagai pembina majalah sekolah membutuhkan bantuan mereka." Bu Ratna memandang matanya lekat-lekat. "Dan, bantuanmu."
Raka terlihat bingung. "Sarah pun sebenarnya bukan pemimpin redaksi," lanjut Bu Ratna. "Dia cuma ketiban sial sebagai satu-satunya murid kelas X di redaksi majalah sekolah. Senior-seniornya memanfaatkan dia dan membebankan semua pekerjaan kepada anak itu. Sementara, mereka menghilang dengan alasan sibuk menghadapi ujian. Suatu hari, Sarah datang kepada saya sambil menangis. Dia tak sanggup lagi mengerjakan semuanya sendirian. Itulah sebabnya saya langsung minta bantuan Nathan dan Nadya sebagai yang terpintar di kelas."
"Kenapa Sarah nggak protes saja sama senior-seniornya"" tanya Raka tak habis pikir.
"Jangan samakan semua orang dengan dirimu."
"Tapi, Ibu membuat sebuah kombinasi tim yang aneh," protes cowok itu. "Si Penakut, si Sinis, dan si Keras Kepala sampai kapan pun nggak akan bisa jadi tim yang kompak."
Mendengar kritikan Raka, anehnya Bu Ratna malah tersenyum. "Itulah sebabnya saya memasukkanmu."
Raka mengerutkan dahi. "Memasukkan" Bukannya saya dihukum" Oleh Kepala Sekolah pula."
Bu Ratna menghela napas. "Bukan," sahut Bu Ratna. "Maafkan Ibu tidak jujur pad
amu. Sebenarnya, Ibu yang memaksa Pak Kepala Sekolah memasukkanmu di redaksi majalah sekolah."
Kepala Raka terasa dipukul palu mendengar pengakuan Bu Ratna. "Kenapa""
Bu Ratna terdiam sejenak sambil menatap mata murid di hadapannya itu.
"Kenapa"" Bu Ratna mengulangi pertanyaan Raka. "Karena, Ibu pikir, kamu pasti bisa membuat keajaiban."
Hah" Raka langsung melongo.
*** "Malam ini kita makan apa"" tanya mama Raka sesampainya perempuan itu di rumah.
"Nasi goreng," jawab Raka sambil menyiapkan piring.
"Lagi"" Mama pura-pura terkejut.
"Sudahlah, Ma, hanya ini masakan yang bisa kubikin," sahut Raka tidak ingin meladeni mamanya.
"Tapi, Raka, ini nggak sehat," timpal Mama. "Kamu masih dalam taraf pertumbuhan, harus banyak makan makanan yang bergizi."
Raka memutar bola matanya. "Ma, tinggiku sudah 180 sentimeter ("!#$@#$%). Sudah cukup. Kalau tumbuh lagi, bisa-bisa, aku dikira mengidap gigantisme."
"Lho, bukannya masih ada satu lagi yang perlu tumbuh dari kamu""
"Apa"" "Otak! Hahahaha." Mama tertawa terbahak-bahak.
Raka menyipitkan mata, tidak senang, tapi melihat reaksi Raka, Mama malah mengusap-usap rambut anaknya itu.
"Tampang merajukmu itu nggak berubah dari kecil," kata Mama sambil tersenyum. "Ah, kalau begitu, Mama mandi dulu ya, baru kita makan sama-sama," katanya, lalu menghilang ke dalam kamar.
Sejak kepergian papanya dua tahun lalu, Raka hanya hidup berdua dengan mamanya. Untuk memenuhi kebutuhan mereka-terutama, pendidikan Raka-Mama bekerja lagi sebagai konsultan di Kantor Akuntan Publik. Jadi, dia sering pulang sampai larut saking sibuknya. Sebelumnya, Mama memang sudah pernah bekerja, tapi setelah Raka lahir, dia memutuskan untuk berhenti dan memilih menjadi ibu rumah tangga agar bisa mengurus keluarganya. Hal itu membuat Raka tidak pernah kekurangan kasih sayang.
Mama menikah ketika berumur 23 tahun, lalu setahun kemudian, Raka lahir. Hebatnya, selama menjadi ibu rumah tangga, sang Mama masih terus berusaha meng-update pengetahuannya dan memutuskan mengambil S2 saat Raka masuk SD. Kini, keputusan-keputusannya itu terlihat sangat tepat, terutama saat dia harus bekerja lagi.
Di usianya yang ke-40, Mama masih terlihat cantik. Dia juga energik, memiliki selera humor yang tinggi, pengetahuan dan wawasannya luas. Dan, yang paling membuat Raka merasa beruntung memiliki mama seperti dia adalah karena wanita itu punya pemikiran yang terbuka dan maju. Itulah sebabnya, Raka sangat membenci papanya yang sudah sangat tega meninggalkan Mama seorang diri.
"Lain kali, makan duluan saja, kamu nggak perlu nunggu Mama," kata Mama begitu selesai mandi. "Kalau Mama pulang larut gimana""
"Tadi, aku belum lapar, Ma," jawab Raka singkat.
Mama tersenyum mendengar jawaban Raka, dia tahu anaknya itu berbohong. Raka memang sengaja menunggu dan akan selalu menunggunya.
"Yah sudahlah, apa katamu saja," desah Mama. "Tapi, jangan nasi goreng terus, dong!" rajuknya.
"Jadi Mama maunya apa"" tanya Raka.
"Mmm... Mama mau sop buntut, capcay, soto ayam..." jawab Mama, "eh, emangnya beneran kamu mau bikinin kalau Mama mau itu""
"Mau, aku mau beliin, bukan bikinin."
"Dasar!" Mama tertawa. "Mana piringnya, Mama sudah lapar. Kamu nggak bikin masalah lagi di sekolah, kan"" tanya sang Mama sambil menyendok nasi goreng ke piringnya.
Raka menggeleng. "Nggak."
"Belum," ralat Mama sambil tersenyum.
"Tapi, kalau iya, emangnya kenapa""
Mama mengangkat bahu. "Nggak apa-apa, soalnya yang penting bagi Mama kamu masih hidup."
Raka terdiam. "Jangan ge-er dulu, soalnya kalau kamu mati, Mama mesti ngeluarin duit menggaji pembantu buat masakin Mama dan bersih-bersih rumah," kata Mama sambil tertawa terbahak-bahak.
DASAAAR! umpat Raka dalam hati.
* * * - 2 - Sin2x + 2sinx-1 - cos2x. "Caraka Pamungkas , kamu mau berdiri di situ sampai kapan"" tanya Pak Anung tajam.
Raka tidak menjawab. Kepalanya sudah pusing dan keringat dingin mulai bercucuran. Perutnya mual, sepertinya tinggal menghitung mundur sampai dia benar-benar muntah di depan papan tulis.
"Sudah! Kembali ke tempat dudukmu," gerutu Pak Anung tidak sabar. "Nathan, coba kamu yang jawab."
Akhirnya... Raka menghela napas lega. Dia memang payah kalau sudah berurusan dengan angka.
"Bagaimana"" tanya Dhihan, teman sebangku Raka begitu cowok ini menyandarkan diri di kursi.
"Parah," jawab Raka sambil memelorotkan bahu. "Aku hampir mati berdiri di depan tadi."
Dhihan terkikik pelan. "Masa depanmu kayaknya bakal suram."
"Berisik!" dengus Raka. "Nggak usah kamu bilang juga, aku sudah tahu!"
"Bagus sekali Nathan, seperti biasanya," kata Pak Anung sambil bertepuk tangan.
"Gila! Cuma lima menit," decak Dhihan kagum. "Bukan manusia."
Raka menatap Nathan yang sedang berjalan ke tempat duduknya. Dia balik menatap Raka sekilas tanpa ekspresi, lalu mengalihkan tatapannya lagi. Raka mengerutkan kening lalu mencoba menerka apa yang dipikirkan cowok itu saat ini.
"Emang, batas antara genius dan gila cuma setipis kertas," kata Raka kemudian.
Dhihan meringis. "Ah, kamu cuma sirik aja."
Raka menghela napas sambil menggaruk-garuk kepala. "Apa katamu aja, deh."
Bagi Raka, selama pelajaran sains, entah kenapa waktu berjalan begitu lambat. Dua setengah jam terasa seperti dua setengah abad. Akhirnya, bel penyelamat itu berbunyi juga.
"Baik," kata Pak Anung sambil membereskan bukunya. "Kita sudahi sampai di sini saja. Selamat siang."
Raka menghela napas lega. Terima kasih, Tuhan.
Sebelum siswa kelas X itu sempat keluar, Nadya-sang ketua kelas-maju ke depan dan memukul-mukulkan penghapus papan tulis ke meja.
"Teman-teman, aku minta waktu sebentar!" katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku mendengarkannya.
"Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang tahun sekolah kita," lanjut cewek itu. "Setiap kelas diminta menampilkan suatu pertunjukan dan wajib mengikuti bazar. Nggak ada ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan dijual, semua terserah kelas masing-masing. Jadi, ada yang punya usul tentang apa yang akan kita tampilkan""
Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Baik," kata Nadya lagi. "Kalau nggak ada, aku sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong diisi dengan benar karena kalian jugalah yang akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita harus terlebih dahulu memilih koordinator pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi koordinator mengacungkan tangan. Jangan menunjuk orang lain!"
Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani mengajukan diri.
Nadya mendesah kesal. "Karena nggak ada yang berani, untuk sementara aku yang menjadi koordinator pelaksana," lanjutnya. "Ada yang keberatan"" tanyanya sambil menyapukan pandangan ke seluruh kelas. Semua serempak menggeleng dengan keras.
"Baik," Nadya membagikan lembar kuisioner yang dibuatnya, "kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan langsung padaku. Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru kita diskusikan bagaimana konsepnya."
Dhihan bersiul saat Nadya sudah keluar kelas. "Well, di kelas kita ini, she is the man," ujarnya.
Raka mengangguk setuju. Kemudian, matanya beralih pada Sarah dan tanpa sengaja mendengarkan obrolan cewek itu dengan teman sebangkunya.
"Sori, aku lupa makalah sejarah kita," kata Nita, teman sebangku Sarah, dengan nada menyesal.
"Nggak apa-apa," jawab Sarah, ia kelihatan sungguh-sungguh. "Aku udah bikin tugas itu, kok."
"Atas nama kita berdua"" tanya Nita tak percaya.
Sarah mengangguk. "Aduuuh... Sarah, kamu baik banget," pekik Nita sambil memeluk Sarah yang tampak tersenyum.
"Eh, buat tugas bahasa Inggris, kita satu kelompok, kan" Sama Angel juga, kan"" tanya Nita setelah melepaskan pelukannya.
"Iya." "Kamu udah bikin""
Sarah menggeleng. "Belum, kupikir kita..."
"Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget, nih," pinta Nita. "Kalau harus kerja bareng, kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi, Angel juga bilang gitu, dia sibuk banget sama cheerleader-nya. Bisa nggak kamu buatin buat kelompok kita" Ayolah Sar, kamu kan, yang paling pintar..."
Sarah tampak bimbang. "Ta-tapi..."
"Ayolah, Sar... Ya" Ya" Ya"" desak Nita.
"I -iya, deh," jawab Sarah, akhirnya.
"Aduuuuuh... makasiiihhh...!" seru Nita. "Aku mau kasih tahu Angel dulu."
Dasar bodoh! umpat Raka dalam hati. Kemudian, perhatiannya beralih pada suara yang tiba-tiba meninggi dari dua meja di depannya.
"Ayolah, Than!"
Doni sedang membujuk Nathan untuk melakukan sesuatu, tapi Nathan tampak tidak menggubrisnya.
"Aku nggak mau," jawab Nathan dingin.
"Kita ini satu kelompok!" ujar Doni yang tampak kehilangan kesabaran. "Seharusnya, kita kerjakan tugas ini bareng-bareng!"
Nathan meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu mendongak dan menatap Doni tajam. "Aku nggak mau," katanya. "Kalau kita mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi: aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal menyalinnya."
Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau Doni tertohok. Namun, sepertinya, memang itulah yang akan terjadi.
"Jadi, sebaiknya, masing-masing kita mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan dikompilasi," tandas Nathan.
Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak setuju dengan usul Nathan.
"Kalau kamu nggak setuju dengan usulku, terserah," ujar Nathan seakan-akan bisa membaca pikiran Doni. "Kita bisa mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu Husna nggak akan keberatan, soalnya tugas ini dijadikan tugas kelompok cuma biar beban kita ringan aja. Dan, mengerjakannya seorang diri bukan masalah besar buatku."
Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa membalas, merasa kalah.
"Terserah kamu aja, aku kasih tahu yang lain," katanya dengan lunglai.
Mengerikan... batin Raka membayangkan harus menghabiskan satu tahun pertamanya di SMA dengan orang-orang seperti Nathan, Nadya, dan Sarah.
Bu Ratna pasti bercanda! *** "Di mana Sarah"" tanya Nadya saat anggota majalah sekolah berkumpul di ruang redaksi.
"Mana aku tahu, emangnya aku baby sitter-nya"" jawab Raka asal.
"Seharusnya, dia sudah di sini buat rapat," gerutu Nadya. "Payah! Dia kan, ketuanya!"
"Sabar dan tunggu aja," ujar Nathan yang sedang sibuk di depan komputer main football manager.
Walaupun masih tampak jengkel, Nadya menurut pada Nathan. dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca. Raka seperti biasa, mengandalkan iPod untuk menemaninya.
Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari "kebenaran". Seharusnya, redaksi Veritas digawangi anak-anak kelas XI. Namun, entah apa yang terjadi, sekarang, tinggal Sarah-yang jelas-jelas duduk di kelas X-yang masih tersisa. Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa murid-muridnya untuk jadi anggota tambahan.
Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai dengan kapasitas kemampuannya masing-masing. Nathan yang paling pintar di kelas bertanggung jawab atas artikel pengetahuan, baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua kelas yang jaringan pertemanannya luas, bertanggung jawab atas artikel tentang sekolah: events, serba-serbi, sejarah, dan lain-lain. Sementara itu, Raka, yang sudah jelas tidak bisa apa-apa, membantu dalam hal-hal seperti fotocopy, membeli alat-alat, mengangkat ini, mengangkat itu-segala hal yang kalau saja ini bukan hukuman, bisa dipastikan cowok ini sudah lari.
Raka melirik jam tangannya. Pukul dua lewat, Sarah lama sekali.
"Aku mau cari Sarah," kata Raka kemudian, sambil bangkit dari duduknya. "Ini udah pukul dua lewat."
Nathan dan Nadya hanya menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Ternyata, Sarah sedang berada di kelas.
"Hoi!" Sarah mendongak. "Lagi ngapain"" tanya Raka. "Yang lain udah nunggu dari tadi buat rapat."
"Ya, Tuhan!" pekik Sarah. "Aku lupa! Bagaimana, dong""
"Ngerjain apa, sih"" tanya Raka lagi sambil duduk di meja depan mejanya.
"Tugas kimia," jawab Sarah panik sambil memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas.
"Tugas kimia"" Raka mengernyitkan dahi. "Bukannya itu tugas kelompok""
"Iya, tapi anggota kelompokku yang lain lagi sibuk. Jadi, mereka minta tolong aku buat menge
rjakannya," ujar Sarah, seakan-akan apa yang dilakukannya adalah hal wajar.
"Dan, kamu mau"" tanya Raka tak percaya.
"Emangnya kenapa"" Sarah balik bertanya dengan agak takut-takut.
"Kamu itu... bukannya sedang dimanfaatin""
Sarah terdiam. Tampaknya, kata-kata Raka tepat kena sasaran.
"Maaf, aku akan cepat-cepat selesaikan," katanya kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Raka menghela napas. "Sudahlah, nggak perlu buru-buru. Lagian, cuacanya lagi enak."
"Eh"" Sarah memandang Raka dengan tatapan aneh.
"Harus benar-benar dinikmatin," ujar Raka. "Soalnya, begitu kamu masuk ruang Veritas, kamu akan langsung membeku gara-gara dua orang itu. Mereka, kan, paling jago bikin suasana berasa kayak Benua Antartika."
Sarah terkikik mendengar ucapan Raka. "Kupikir, cuma aku yang berpikiran gitu."
Raka meringis. "Aku justru heran kalo ada yang nggak berpikiran gitu."
Kedua orang itu tertawa. "Selesai!" kata Sarah nggak lama kemudian sambil merapikan kertas-kertas di mejanya.
"Kalo gitu, aku tunggu di luar, ya," kata Raka.
"Eh, Ka!" cegah Sarah.
"Hm"" Sarah tampak bingung seperti sedang menimbang-nimbang hendak mengatakan sesuatu.
"Aku ini..." katanya tanpa berani menatap mata Raka.
"Apa""
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ini bodoh, ya"" tanya Sarah, sambil menunduk. "Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku nggak bisa nolak."
Raka mendesah, lalu menggaruk-garuk kepala, bingung harus mengatakan apa.
"Nggak," jawabnya akhirnya. "Kamu nggak bodoh. Kamu cuma terlalu baik."
Sarah menatapnya tak percaya, kemudian tersenyum. Wajahnya bersemu.
"Udahlah! Ayo cepat!" kata Raka. "Aku nggak tahu lagi apa yang bakal terjadi kalau meninggalkan mereka berdua lebih lama."
Sarah mengangguk. "He-eh."
*** "YOOOOO...!!!" Raka menoleh, Dhihan langsung menendang bola ke arahnya. Sebuah umpan yang bagus.
Raka menerjang maju dengan bola di kaki. Satu-dua lawan berhasil dia kecoh dan tinggal selangkah lagi...
"GOOOOOOOLLLLL...!!"
"Nice," kata Dhihan sambil terengah-engah menghampirinya.
Napas Raka juga naik-turun. "Thanks, itu berkat umpanmu juga."
Dhihan meringis. "Capeknyaaaaa..." Toni merebahkan diri di pinggir lapangan setelah permainan selesai.
"Gimana kalo lain kali kita main sepak bola aja," usul Virgo. "Bosan main futsal mulu."
"Aku penginnya juga gitu," ujar Raka. "Tapi, orangnya kurang."
"Kita ajak temen-temen sekelas aja." Dhihan yang dari tadi hanya diam dan mengompres mukanya dengan botol air mineral akhirnya buka suara.
"Ah... nggak! Nggak!" Leo menolak. "Orang, aku ajak nonton Ligina aja mereka nggak mau! Lagian, apa kamu nggak lihat, anak-anak yang demen olahraga di kelas kita tuh bisa diitung pake jari! Jari tangan pula! sepuluh orang, ya, kita-kita ini!"
"Eh, tapi siapa tahu, lho," kali ini Pupung angkat bicara. "Kali aja mereka nggak suka nonton, tapi main. Emangnya, kamu udah nanya mereka satu-satu""
Doni mengangguk. "Bener! Bener! Coba aja kita ajak temen-temen. Eh, si Nathan tuh jago olahraga juga, kan""
Raka dan Dhihan serempak menyahut. "YANG BENER"!"
"Iya!" kata Doni. "Dia kan, tadinya di Surabaya, baru pindah ke sini waktu lulus SMP. Nah, di Surabaya itu, dia udah menang beberapa kejuaraan olahraga dari basket, sepak bola, atletik, voli, sampai pencak silat."
"Hebaaaaat..." seru Raka kagum.
"Dia emang hebat!" Doni mengamini.
"Bukan dia," ujar Raka, "maksud aku, KAMU-nya. Kok, bisa tahu sampe sedetail itu tentang Nathan. Jangan-jangan, kamu nge-fans sama dia, ya""
Dhihan dan Virgo langsung menyeringai.
"Bu-bukan!" sergah Doni salah tingkah. "Aku cuma lihat di internet!"
"Nah! Itu dia!" seru Raka. "Kenapa kamu mesti ngebela-belain cari di internet segala kalo bukan nge-fans namanya""
"Bukaaaaan!! Itu..." Doni benar-benar salah tingkah hingga kehabisan kata-kata. Semua tertawa melihatnya.
"Eh, tapi info itu kayaknya emang bener, lho," kata Pupung. "Inget nggak dulu, waktu Raka ngehabisin anak-anak basket" Nah, sebelum itu, si Nathan udah ngehabisin mereka duluan."
"Oh, ya"" tanya Raka tak percaya.
"Oh, iya! Bener! Be ner!" timpal Dayat. "Aku juga denger!"
"Mereka juga digebukin sama Nathan"" tanya Dhihan. "Kok, nggak kapok, sih" Udah digebukin, masih juga pake acara nantang Raka segala."
"Nathan nggak ngegebukin. Itu bedanya yang berotak dan yang nggak," jawab Dayat sambil melirik Raka.
Sialan, umpat Raka dalam hati.
"Nathan berhasil 'ngehabisin' mereka waktu dia ditantang tanding basket 5 lawan 1," lanjut Dayat. "Dia tiga kali three point dan masuk semua."
"Hah! Gila! Bukan manusia tuh!" sembur Virgo.
"Tapi, kalo apa yang KAMU bilang itu bener," kali ini Alfi yang angkat bicara, "kenapa aku nggak pernah lihat dia waktu jam olahraga, ya""
"Dia punya dispensasi khusus kali," Leo angkat bahu, "aku denger-denger sih, dia kena anemia. Lagian, ayahnya kan, orang kaya. Jadi, mungkin di situ juga 'pendorong' dispensasinya."
"Hayah! Banci banget!" dengus Raka. Dia paling tidak suka dengan anak yang memanfaatkan kekayaan orangtuanya.
"Eh, tapi aku penasaran sama anak-anak basket itu," kata Dhihan. "Mereka ngapain, sih, pake acara nantang-nantang gitu""
"Alaaaah... kayak nggak tahu aja," cibir Leo. "Dari zaman penjajahan Belanda sampe sekarang, yang namanya klub basket SMA tuh pasti jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Jadi, begitu dirasa ada 'ancaman' terhadap kepopuleran mereka, mereka pasti langsung bertindak buat meredam atau, kalau perlu, mencabut sampai ke akar-akarnya."
"Kalo Nathan, sih, aku ngerti kenapa dianggap ancaman. Dia kan, punya tampang, duit, dan otak," timpal Septian. "Nah, kalo Raka" Ancaman dari Hong Kong!"
"Sialan!" umpat Raka sambil pura-pura hendak memelintir leher Septian.
"Wah, jangan salah," ujar Toni. "Cewek-cewek tuh justru seneng sama muka-muka badak, tapi hati merpati kayak Raka gini."
Kontan mereka semua tertawa.
"Ntar malem, jadi ke tempatku, Ka"" tanya Dhihan sambil berjalan menuju lapangan parkir, saat mereka beranjak pulang.
Raka mengedikkan bahu. "Lihat-lihat entar, Han. Kalo males, ya, aku nonton Liga Champion-nya di rumah aja."
"Yang pasti, aku pegang Liverpool!" seru Toni.
"Sori ya, Ton, kami bertiga Milanisti. Jadi, jauh-jauh deh, kalo ngomongin Liverpool." Virgo ikut menimpali.
"Sial!" gerutu Toni sambil mengeluarkan bungkusan rokok dari sakunya, lalu menawari teman-temannya satu per satu.
Dhihan dan Virgo mengambil sebatang. Ketika cowok itu menyodorkannya ke Raka, dia menampiknya. "Sori, aku nggak ngerokok."
"Hah"" Virgo dan Toni langsung memandang Raka dengan aneh, seakan-akan dia sedang melihat singa yang tiba-tiba memutuskan jadi vegetarian.
"Iya, Raka nggak ngerokok," kata Dhihan kemudian. "Masalah pribadi."
Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Toni mengangguk, begitu juga Virgo. Mereka bisa memaklumi dan berniat nggak akan mempermasalahkannya. Raka bersyukur dia nggak salah memilih teman.
Raka menoleh ke arah Dhihan lalu, mengucapkan, "Thanks" tanpa suara. Dhihan hanya mendelik sambil tersenyum. Raka dan Dhihan berteman sejak SMP. Jadi, cowok itu tahu benar alasan Raka tidak merokok adalah karena ayahnya seorang perokok berat.
* * * - 3 - Gara-gara percakapan kemarin, tanpa disadari, hari ini, mata Raka tidak bisa beralih dari Nathan. Raka-mungkin juga orang lain-tidak akan menyangka kalau di balik kulit putih pucat dan tubuh kurus tinggi Nathan itu terdapat bakat olahraga yang demikian besar.
Kalau nggak dibuktiin sendiri, aku nggak akan percaya, kata Raka dalam hati.
"Berhenti menatapku seperti itu!" kata Nathan dingin.
Raka terkejut seakan-akan disadarkan dari lamunan. "Ma-maksudmu"" tanyanya pura-pura tidak mengerti.
Nathan menutup bukunya. "Nggak perlu mengelak, soalnya aku bisa merasakannya. Tatapanmu itu membuat bahu kananku kesemutan."
Raka kehilangan kata-kata. Berbohong juga sepertinya percuma.
Nathan menoleh. "Kalau kamu diam-diam menyukaiku, bilang saja."
"Hah"" "Jangan takut, aku ini orang yang berpikiran terbuka," lanjut cowok berkulit putih itu kalem. "Aku tahu rasa suka itu nggak bisa dilawan. Tapi, maaf, aku masih normal. Jadi, tolong kamu cari cowok lain saja."
Raka lang sung mendelik. APA" jeritnya dalam hati. Dapat pikiran sinting dari mana dia!
Raka bangkit. "Hei! Aku..." Belum sempat cowok itu meneruskan ucapannya, Nadya berteriak sambil memukul papan tulis dengan penggaris kayu. Nathan pun membalikkan badannya lagi, tak memedulikan Raka.
"Teman-teman! Pak Guru lagi ada keperluan. Beliau memberi tugas yang harus dikumpulkan sepulang sekolah!" kata sang ketua kelas itu. "Kerjakan soal halaman 41 Task 4-17 dan 4-18 di kertas folio."
Seisi kelas langsung mengerang, tetapi Nadya tidak menggubrisnya.
"Terus, setelah ini, saat jam olahraga, kita diminta langsung berkumpul di lapangan voli," lanjutnya. "Hari ini, ada penilaian melalui pertandingan."
Kali ini, yang terdengar paling banyak mengerang adalah para cewek. Tentu saja, tidak banyak cewek yang benar-benar suka olahraga.
"Itu saja!" kata Nadya, lalu kembali ke tempat duduknya.
"Fuuuh..." Dhihan mengeluh.
"Huah! Males!" kata Raka sambil meregangkan otot.
"Sama! Tapi, kalo itu jadi alasanmu nggak ngerjain tugas, bisa-bisa, kamu di-smack down sama Nadya nanti," ujar Dhihan sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
Raka menatap Dhihan dengan tatapan tidak percaya.
"Serius!" lanjut Dhihan, seperti mengerti maksud tatapan teman sebangkunya itu. "Dia itu kan, juara judo. Nah, kamu pikir, kenapa dia yang dipilih jadi ketua kelas" Soalnya, cewek maupun cowok nggak akan ada yang berani ngelawan dia."
Raka manggut-manggut. "Tapi, kayaknya, emang dia yang paling cocok."
"Iyalah... masa kamu!" Dhihan memutar bola matanya. "Bu Ratna mesti mikir seribu kali kalo mau memilihmu. Eh, jangan-jangan, dalam pikiran Bu Ratna, malah nggak pernah ada namamu."
"Kalau kamu ngomong lagi, gantian kamu yang aku smack down!" geram Raka jengkel.
Dhihan hanya meringis. "Sekali-sekali, kata-kata bales pake kata-kata dong, jangan pake otot mulu!"
"Aku juga penginnya begitu, tolol!" gerutu Raka.
Dhihan tertawa. *** "Tuh! Tuh lihat! Nathan nggak ikut olahraga lagi," kata Doni sambil menunjuk Nathan yang sedang duduk di pinggir lapangan dengan pandangan matanya.
"Lagi datang bulan kali," komentar Alfi asal.
"Mungkin amnesianya kumat," kata Leo.
"Anemia, bukan amnesia dodol!" ralat Dhihan.
"Terserah apalah itu namanya!" kilah Leo.
Raka melihat Nathan beberapa kali mencuri pandang ke arah mereka.
"Wah! Lihat tuh!" Tiba-tiba, ada yang berseru. Raka menoleh dan melihat teman-temannya sedang menatap kagum ke arah para cewek yang sedang melakukan pertandingan voli. Sekali melihat, dia langsung tahu siapa yang membuat mereka kagum. Nadya.
"Gila! Lihat nggak tadi smash-nya"" Dhihan sampai bersiul. "Tajam banget!"
"Nadya emang cewek favoritku di kelas," timpal Doni yang langsung dijawab anggukan oleh yang lain.
"Udah cantik, pinter, serbabisa pula." Virgo ikut menambahi.
Raka hanya diam, tetapi dalam hati, dia setuju dengan pendapat teman-temannya. Nadya memang termasuk salah satu murid paling cantik di kelas satu, atau, bahkan, di antara cewek-cewek seangkatannya. Kulitnya putih, rambutnya hitam panjang, dan tubuhnya tinggi langsing. Dia paling pintar di kelas-setelah Nathan-dan salah satu murid kepercayaan guru-guru di sekolah ini. Selain andalan klub judo, dia juga pengurus OSIS dan aktif berbagai perkumpulan lain. Begitu melihatnya, siapa pun akan langsung tahu Nadya bukan cewek sembarangan.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, ada nggak dari kalian yang pernah nyoba nembak dia"" celetuk Leo tiba-tiba. Semua langsung terdiam.
"Ngg-, iya sih, dia cewek favoritku, tapi kalo buat jadi pacar kayaknya nggak, deh," kata Doni. "Lagian, dia agak menakutkan."
Alfi mengangguk. "Iya, kalo buat pacar, aku akan lebih milih yang biasa-biasa aja. Kalo bisa, malah yang agak rapuh dan manja gitu biar aku dibutuhin. Kalo sama cewek yang serbabisa kayak Nadya, kapan aku dibutuhinnya""
"Bener! Bener!" timpal Dhihan. "Kita emang seneng lihat cewek mandiri, tapi kalo semua bisa dia lakuin sendiri, kayaknya nggak, deh. Kesannya kita nggak dibutuhin banget!"
"Setuju!" Septian ikut angkat bicara. "Kalo a
ku, mendingan yang kayak Sarah gitu, deh! Manis banget! Hehehe."
Beberapa orang mengangguk.
"Jadi, intinya, belum pernah ada yang nembak Nadya"" tanya Raka akhirnya. Teman-temannya menggeleng.
"HOI! KALIAN YANG DI SANA! JANGAN BICARA SENDIRI! SEKARANG, GILIRAN KALIAN!" bentak Pak Tono, guru olahraga.
Raka menoleh sekali lagi ke arah Nadya sebelum siap-siap bertanding. Cewek itu sedang duduk melemaskan otot, pertandingan grup cewek sudah selesai. Ketika Raka sedang menatapnya seperti itu, tiba-tiba Nadya menoleh tepat ke arahnya hingga tatapan mereka bertemu. Anehnya, Raka tidak berniat mengalihkan pandangan secepatnya layaknya orang yang sudah tertangkap basah. Malah Nadya yang memalingkan wajahnya.
"Raka!!!" panggilan Dhihan-lah yang mengharuskan Raka berpaling.
*** Begitu jam olahraga selesai, hampir semua anak menghambur kembali ke dalam kelas. Namun, Raka masih terduduk di pinggir lapangan melepas lelah. Ternyata, bukan hanya cowok ini yang ada di lapangan. Di lapangan, Nadya tampak sedang memunguti bola-bola voli yang berserakan. Dia kelihatan kesulitan membawa bola-bola itu kembali ke gudang.
"Mau aku bantu"" tanya Raka menawarkan diri.
"Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Nadya tegas walaupun ucapannya itu berbeda dengan keadaan yang terlihat. Tanpa bicara lebih lanjut, Raka langsung mengambil bola-bola yang ada di tangan Nadya dan hanya menyisakan dua buah untuk cewek itu.
"HEEEEIII!!!!" protes Nadya.
Raka tidak menggubrisnya dan berjalan cepat menuju gudang. Nadya hanya mengikutinya sambil menggerutu.
"Bukannya udah kubilang aku nggak butuh bantuan"!"
Raka hanya diam sambil memasukkan bola-bola itu ke dalam keranjang.
"Kamu pikir, aku nggak bisa melakukannya sendiri"" Nadya masih melancarkan protesnya. "Kamu tipe cowok yang merendahkan kemampuan cewek ya" Kamu itu... bla... bla... nya... nyaa... myu... myu..."
Entah kenapa, suara Nadya jadi terdengar seperti itu di telinga Raka.
Cewek ini benar-benar berisik! gerutu Raka.
Raka tetap diam dan justru mengambil bola di tangan Nadya, lalu memasukkannya ke dalam keranjang.
"Hei! Kamu belum menjawab pertanyaanku!" sahut Nadya.
Raka membersihkan tangannya, lalu menatap cewek di depannya dengan dingin. Nadya tampak terkejut dan langsung terdiam.
"Terima kasih kembali," kata Raka, kemudian pergi. Nadya melongo.
Tidak jauh dari tempatnya berjalan, Raka melihat Nathan keluar dari kamar mandi dekat lapangan. Mukanya pucat dan tampak kepayahan. Raka langsung berlari menghampiri cowok itu.
"Hei! Hei!" Raka mencengkeram bahunya. "Kamu nggak apa-apa""
Nathan menatapnya setengah sadar. "Kamu siapa""
Waduh! Berarti, bener nih anak kena amnesia bukan anemia, pikir Raka.
"Aku Raka, Caraka," kata Raka panik.
"Oh... kamu, Ka..." kata Nathan lirih, dan tampaknya sudah bicara sekuat tenaganya.
"Kamu kenapa""
"Nggak apa-apa," jawab cowok itu, tetapi kemudian dia melorot dan jatuh terduduk. "Aku cuma lapar."
"Hah!!" Raka langsung mendelik. "Lapar sampai kayak gini" Emang kamu berapa tahun nggak makan"" Raka bercanda. "Eh, sudah minum obat""
"Kamu pikir aku kayak gini gara-gara apa"" Nathan balik bertanya dengan napas tersengal-sengal.
"Hah" Gara-gara minum obat"" Raka mengerutkan kening. "Obatmu kedaluwarsa pasti! Aku anter ke UKS, Than!"
"BERISIK!" Nathan tiba-tiba berteriak.
Raka terdiam beberapa saat. Tak lama, ia segera bangkit. "Terserah apa maumu!"
"Tunggu!" cegah Nathan sambil mencengkeram kaki Raka tepat saat dia hendak melangkah. "Temani aku di sini sebentar."
Raka menatap temannya itu dingin.
Nathan balas menatapnya. "Aku mohon."
Raka masih bergeming, mencari tahu apakah cowok itu sungguh-sungguh mengatakan permohonan itu. Dan, setelah sadar bahwa Nathan tidak sedang berbohong, Raka menyerah, lalu duduk di sampingnya.
"Oke, apa kata kamu aja." Raka menghela napas. Nathan hanya diam sambil memejamkan mata, berusaha mengumpulkan tenaganya lagi.
* * * - 4 - Kegiatan favorit Raka setiap pulang sekolah adalah meluncur ke rental VCD dekat rumahnya. Sejak kecil,
dia selalu ingin menjadi sutradara film. Baginya, film adalah sebuah dunia baru, dunia tempat semua imajinasi terjelajahi, tidak ada sudut yang tak terkunjungi, dan tidak ada pikiran yang tak terungkapkan.
"Flags of Our Father... Flags of Our Father..." gumam Raka sambil menjelajahi deretan VCD, mencari-cari film Clint Eastwood yang tidak sempat dia tonton di bioskop. Film itu dibuat berdasarkan foto tentang peristiwa penegakan bendera di Gunung Suribachi, Iwo Jima-hasil bidikan Joe Rosenthal-yang kemudian memenangi Pulitzer pada 1945.
Ah ini dia! Tepat saat Raka hendak mengambil VCD yang tinggal satu-satunya itu, ada satu tangan lagi yang secara bersamaan memegangnya.
Sungguh! Di saat seperti ini, adegan ala sinetron seperti ini adalah hal terakhir yang kuinginkan, desah Raka dalam hati. Dia menoleh untuk melihat pemilik tangan yang akan merampas VCD incarannya itu.
"Nadya!" Raka terpekik kecil.
"Kamu nggak perlu bereaksi seakan-akan aku ini hantu," komentar Nadya dingin tanpa melepaskan tangannya dari VCD yang dia pegang.
"Kenapa di sini"" tanya Raka heran.
Nadya memutar bola matanya. "Apa yang biasanya kamu lakukan di rental VCD" Beli baju""
"Bukan itu! Maksudku-"
"Kenapa di rental VCD ini"" potong Nadya sebelum Raka sempat melanjutkan omongannya. "Tentu saja karena tempat ini yang paling dekat sama rumahku."
Raka melongo. "Emangnya, rumah-"
"Rumahku di Jalan Yogya, rumahmu di Jalan Surabaya, kan"" potong Nadya seakan-akan tahu apa yang ingin ditanyakan teman sekelasnya itu.
"Gimana-" "Bagaimana aku tahu alamatmu" Aku ini ketua kelas, remember""
"Kenapa-" "Kenapa kita nggak pernah ketemu"" Lagi-lagi Nadya memotong ucapan Raka. "Mana aku tahu, kamu pikir kompleks kita selebar daun kelor""
"Tunggu!" sergah Raka jengkel. "Kok, kamu bisa membaca pikiranku"!"
Nadya menghela napas, lalu memandang cowok di hadapannya itu dengan tatapan malas. "Apa kamu nggak sadar kalau kepalamu itu transparan""
Raka mengernyitkan dahi. Maksudnya" "Tapi, kenyataannya, dunia ternyata memang selebar daun kelor," gumamnya. "Buktinya, kita sampai bisa ketemu di sini."
"Ah, sudahlah. Sekarang, bisakah kamu biarkan aku yang terlebih dulu minjam VCD ini""
"Nggak!" jawab Raka tegas.
"Bukannya cowok itu seharusnya mengalah sama cewek"" desah Nadya.
"Sori," balas Raka, "di zaman sekarang, yang berlaku adalah kesetaraan gender." Dia menepis tangan Nadya dari VCD-nya.
"Sir!" seru Nadya jengkel. "You are no gentlement!"
Raka langsung terpaku. "And you, Miss," balasnya, mencoba menguji, "are no lady. Don't think that I hold that against you."
Sejurus kemudian, Nadya langsung membatu. Di matanya, terlihat keheranan dan kekaguman bercampur menjadi satu. Tebakan Raka benar, barusan, Nadya memang mengutip kata-kata dari film Gone with the Wind.
"Kamu... tahu juga..." katanya terbata-bata seakan-akan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Raka mengangkat bahu, lalu meringis. "My favourite."
"Terus" Terus, apa lagi"" tanya Nadya. Kali ini, dia terlihat sangat antusias. Bahkan, tanpa sadar, dia mencengkeram tangan Raka.
"Casablanca," jawab Raka sambil melepaskan tangannya pelan-pelan.
Lagi-lagi, Nadya membatu. Entah kenapa.
"Sutradara favorit"" tanyanya lagi.
"Clint Eastwood. Kamu pikir, ngapain aku ngotot pinjam VCD ini"" Raka bertanya balik sambil mengacung-acungkan VCD Flags of Our Father.
Cukup lama Nadya menatap Raka tanpa berkata-kata. Kemudian, dia menggeleng. "Oke, kamu mulai membuatku takut," katanya. "Jujur aja, Ka, kamu diam-diam mencari tahu tentang aku, ya""
"Hah"" gantian Raka yang membatu. Melongo.
"Casablanca dan Gone with the Wind bukan film yang umum disukai anak-anak seumuran kita," jelas Nadya. "Apalagi, kamu."
Raka menyipitkan mata. "Apa maksudmu dengan 'apalagi, kamu'""
"Lagian, biasanya, Steven Spielberg lebih disukai daripada Clint Eastwood," tambah Nadya. "Sudahlah Ka, ngaku aja, semua persamaan ini terlalu aneh."
Otak sejempol Raka membutuhkan waktu agak lama untuk mencerna kata-kata cewek itu sampai akhi
rnya dia melotot. "Hah! Jadi kamu juga suka Casablanca, Gone with the Wind, dan Clint Eastwood"!!"
"Dan, kamu kira aku pura-pura suka gara-gara tahu kamu juga suka"" lanjut Raka, padahal dia sendiri hampir tidak bisa memercayai apa yang baru saja dikatakannya.
Nadya menghela napas. "Berhentilah pura-pura nggak tahu."
"Tapi, aku emang nggak tahu!" Raka membela diri. "Dua film itu emang favoritku!"
Nadya memandang cowok itu tak percaya.
"Round up the usual suspect," Raka mencoba mengutip salah satu line terkenal dari Casablanca.
"Nice try, Ka," cibir Nadya. "Kamu, kan, bisa nyari di internet."
Busyet! Jadi, dia pikir aku mati-matian mencari tahu tentang Casablanca dan Gone with the Wind gara-gara dia" Gila! Sinting! Nggak waras! Kepedean! gerutu Raka.
Lama berpikir demi membersihkan nama baik supaya tidak dikira stalker alias penguntit, akhirnya Raka menemukan salah satu kata-kata khas Casablanca.
"I stick my neck out for nobody."
Nadya terdiam, tetapi tidak lama kemudian, dia mengangkat bahu. "Nggak kusangka kamu bahkan rela nonton film itu demi aku."
Raka langsung mendelik. W-H-A-T"!
Malas berdebat lebih lanjut, cowok ini memutar bola matanya sambil membalikkan badan. "Apa katamu aja, deh."
Tiba-tiba, Nadya menarik kaus Raka. "Maaf... maaf... aku bercanda, aku tahu kamu nggak pura-pura."
Raka menoleh. "Permintaan maaf diterima, sekarang bisa nggak kamu lepasin tanganmu, melar nih."
Nadya melepaskan pegangannya. "Sori..."
"Aku duluan," kata Raka sambil berjalan menuju meja penjaga rental.
Ketika dia keluar, ternyata Nadya berada di belakangnya.
"Jadi, kamu pinjem apa"" tanya Raka.
Nadya mengangkat bahu. "Nggak ada, orang aku ke sini cuma mau pinjem yang sekarang di tanganmu itu," katanya sambil menuju sepedanya yang diparkir di depan toko.
Raka terdiam sejenak, berpikir, hingga akhirnya menghela napas. "Oke, kamu duluan yang nonton kalo emang segitu penginnya nonton film ini."
"Hah"" Nadya yang sudah bersiap-siap pergi dengan sepedanya langsung melongo.
"Kamu tonton dulu saja, terus balikin ke aku lagi," jelas Raka sambil mengacungkan VCD yang baru dia pinjam. "Tapi, secepatnya, ya."
"Serius"" tanya Nadya, masih tak percaya, lalu turun dari sepedanya.
"Sekarang iya, tapi nggak tahu lima detik lagi."
Nadya cepat-cepat mengambil VCD yang diacungkan Raka. "Kenapa kamu melakukan ini"" tanyanya curiga.
Raka mendesah. Manusia itu memang aneh, kalau ada yang berbuat jahat mereka marah, tapi kalau ada yang berbuat baik, mereka curiga.
"Kalau nggak mau, ya, udah," kata cowok ini sambil mengambil lagi VCD yang ada di tangan Nadya.
"Ah!" Nadya terpekik kecil. "Aku mau!" Dia merebutnya kembali. "Thanks," ucapnya sambil tersenyum.
"Manis," kata Raka tanpa sadar.
"Hah"" Nadya memandangnya heran. "Manis apanya""'
"Senyum," jawab Raka. "Kalau kamu senyum, manis juga."
Nadya langsung terdiam dan menatap cowok itu sinis.
"Lho, emangnya kata-kataku salah, ya"" tanya Raka tak mengerti kenapa Nadya langsung bereaksi seperti itu. "Kamu nggak tahu kalau senyummu manis" Jangan-jangan, selama ini, belum pernah ada yang memberi tahu tentang itu, ya""
Nadya hanya diam, menunduk, seakan-akan mengiyakan kata-kata teman sekelasnya ini.
Raka mendesah. "Wah! Teman-temanmu selama ini payah."
"Bukan," kata Nadya akhirnya. "Karena, selama ini, teman-temanku adalah tipe orang yang berpikir sebelum bertindak."
Raka langsung mengernyit. "Hah! Jadi, maksudmu, aku ini tipe orang yang bertindak sebelum berpikir""
"Lho, kamu nggak tahu"" Nadya pura-pura terkejut. "Jangan-jangan, selama ini, belum pernah ada yang memberi tahu tentang itu, ya""
"Kembalikan VCD-nya!" teriak Raka. "Aku nggak jadi minjemin ke kamu!" kata Raka sambil mencoba merebutnya dari tangan Nadya. Sayangnya, kali ini, cewek itu lebih gesit.
"Maaf, tapi kamu udah minjamin ke aku dan laki-laki nggak boleh menarik ucapannya lagi," kata Nadya penuh kemenangan sambil berjalan menuju sepedanya.
Raka mengembuskan napas, lalu tersenyum.
* * * - 5 - "Dhihan." "Mampus..." de sis Dhihan. "Coba kamu ceritakan isi kitab Nagarakertagama," perintah Bu Hestu.
Dhihan langsung garuk-garuk kepala. Keringat sedikit demi sedikit mulai mengucur dari dahinya.
"Ini pelajaran Sejarah SMP, lho, Dhihan," Bu Hestu mulai nggak sabar. "Lagi pula, minggu lalu, kan, sudah Ibu suruh mempelajarinya."
"Iya, Bu," kata Dhihan pasrah.
"Di SMP dulu, kamu belajar apa"" tanya Bu Hestu setelah beberapa menit menunggu dan tak satu pun kata terucap dari mulut Dhihan. "Jangan-jangan, anggota Tiga Serangkai saja kamu tidak ingat!"
Dhihan menelan ludah, dia memang tidak ingat siapa saja tokoh-tokoh itu.
"Kamu tidak ingat"" Bu Hestu mendelik.
Dhihan melirik Raka meminta pertolongan. Raka berusaha memberi tahunya sebisa mungkin tanpa ketahuan Bu Hestu. Pertama-tama, dia menggerak-gerakkan mulut untuk membentuk kata-kata, tetapi karena Dhihan tidak bisa menangkap gerakan itu, akhirnya, Raka memutuskan memberi tahu teman sebangkunya itu dengan volume sepelan mungkin-dalam rentang yang mungkin masih dapat didengar cowok itu.
"Ki Hajar Dewantoro..."
Dhihan mengangguk-angguk mengerti.
"Raka!" bentak Bu Hestu. "Jangan bantu Dhihan!"
"Iya, Bu," kata Raka, lalu memandang Dhihan, mengedikkan bahu sambil berkata, "Sori" tanpa suara.
Dhihan menghela napas panjang.
"Sekarang, Dhihan, apa jawabannya"" tanya Bu Hestu.
"Ki Hajar Dewantoro, Bu," jawab Dhihan.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu Hestu mengangguk. "Dua lagi siapa""
Dhihan mengangkat bahu. "Ki Hajar Dewantoro dan... dua orang temannya."
Kontan seisi kelas langsung tertawa.
"Nilaimu Ibu kurangi," kata Bu Hestu sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Raka, jawab."
"Ki Hajar Dewantoro, Douwes Dekker, dan Dr. Cipto Mangunkusumo," jawab Raka. Sejarah memang satu-satunya mata pelajaran yang membuat cowok ini menonjol.
"Bagus," kata Bu Hestu. "Tapi, karena tadi kamu mencoba membantu Dhihan, sekarang, jawab pertanyaan awal Ibu, ceritakan isi kitab Nagarakertagama."
"Baik," jawab Raka. "Nagarakertagama bercerita tentang Ken Arok atau Angrok, cikal bakal raja-raja Majapahit."
"Tunggu," potong Bu Hestu. "Kamu tahu siapa yang membuatnya, kan""
Raka mengangguk pasti. "Mpu Prapanca."
Bu Hestu memberi tanda untuk melanjutkan penjelasannya.
"Ken Arok adalah keturunan Bhatara Brahma lewat hubungannya dengan Ken Endok, seorang perempuan biasa," lanjut Raka. "Ia memperistri Ken Dedes, seorang paroperempuan dari satu kesatuan Siwa-Durga. Siapa pun yang berhasil memperistri Ardhanariswari, dipercaya akan menjadi penakluk dunia. Ken Arok berhasil memperistri Ken Dedes setelah ia membunuh suami Ken Dedes, Tunggul Ametung, seorang bupati.
"Ken Arok membunuh bupati itu dengan keris yang belum selesai ditempa oleh Mpu Gandring. Ken Arok minta dibuatkan keris lagi kepada Mpu itu. Saat Ken Arok menagihnya, keris itu belum selesai ditempa. Karena Mpu Gandring menolak menyelesaikannya, Ken Arok memaksa dengan menusukkan keris itu padanya. Mpu Gandring sempat mengutuk, Ken Arok akan mati dengan keris itu. Juga anak-anak dan keturunannya. Tujuh Raja akan tewas dengan keris yang sama."
Bu Hestu mengangguk-angguk.
Raka berhenti sejenak untuk mengambil napas sebelum melanjutkan lagi.
"Ken Arok yang rupanya merasa bersalah, berjanji kalau nanti berhasil mencapai yang dicita-citakan, akan membuktikan terima kasihnya turun-temurun kepada keturunan Mpu Gandring," dia meneruskan. "Ken Arok berhasil membujuk temannya, Kebo Ijo untuk meminjam keris yang telah dia gunakan untuk membunuh Tunggul Ametung hingga akhirnya Kebo Ijo-lah yang menjadi tertuduh. Ken Arok terbebas dari tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan Mpu Gandring."
"Sudah selesai"" tanya Bu Hestu.
"Lanjutan kisahnya dijelaskan di kitab Pararaton," jawab Raka. "Setelah membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes, Ken Arok berhasil menjadi raja dan menaklukkan Daha-sekarang ini Kediri. Ia memerintah Singasari. Tapi, ternyata, ramalan Mpu Gandring terbukti, Ken Arok mati dibunuh dengan keris tempaan Mpu Gandring oleh suruhan Anusapati, putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.
"Namun, seoran g putra Ken Arok dengan Ken Dedes yang bernama Raden Wijaya, akhirnya menjadi pendiri Majapahit. Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Nah, pada masa kejayaan Hayam Wuruk itulah Mpu Prapanca mengubah Desawarnana, yang sekarang lebih dikenal dengan Nagarakertagama." Raka mengakhiri penjelasannya.
Seluruh kelas terdiam sejenak sampai akhirnya Bu Hestu bertepuk tangan diikuti oleh yang lain.
"Canggih, Ka!" seru Toni.
Virgo bersiul. "Keren!"
"You Rock, Man!" seru Alfi tak mau kalah. Dan, teman-teman yang lain yang tadi terdiam mendengar penjelasan Raka bersorak-sorai.
Raka hanya tersenyum. Puas.
"Geniuuuus," puji Dhihan sambil menatap teman sebangkunya dengan kagum.
"Thanks," balas Raka. "Tapi, genius itu buat orang yang bisa semua mata pelajaran. Kalau aku, cuma mata pelajaran ini aja yang aku bisa."
Tiba-tiba, Raka tersadar ada yang sedang memperhatikannya. Bukan cuma seorang, melainkan dua, Nadya dan Nathan.
Nadya langsung memalingkan wajahnya begitu Raka melihatnya. Sementara itu, Nathan, ketika Raka menatapnya, dia hanya menatap balik tanpa reaksi apa pun.
*** "RAKA! TANGKAP!"
Ketika Raka hendak menuju ruang Veritas, sebuah suara keras memanggilnya-atau lebih tepatnya memerintahnya.
Raka menoleh dan mendapati sebuah barang dilempar ke arahnya. Barang itu hampir mengenai wajahnya kalau saja dia nggak punya refleks yang bagus. "HEIIII!" bentak Raka.
"Sori... sori!" seru Nadya. "Aku nggak maksud nggak sopan, tapi aku mau buru-buru ke ruang OSIS buat rapat."
Kemudian, cewek itu langsung menghilang di balik dinding. Tapi, tak lama kemudian dia muncul kembali.
"Ah, aku lupa bilang," katanya. "Bilang ke Sarah, hari ini, aku nggak bisa datang ke Veritas."
"Iya." "Terus..." "Apa lagi"" tanya Raka.
"Thanks VCD-nya," kata cewek itu, lalu dia kembali menghilang, bahkan sebelum Raka sempat mengucapkan apa pun.
"Sama-sama," gumamnya.
*** "Raka!" Kali ini, suara itu berasal dari lapangan parkir, nggak jauh dari ruang Veritas.
Sekarang apa lagi" batin Raka.
Dia mencari-cari sumber suara yang ternyata berasal dari Dea, salah satu teman sekelasnya. Cewek itu sedang berdiri di dekat motornya.
"Ada apa"" tanya Raka sambil berjalan menghampiri cewek itu.
"Ini, motorku nggak bisa nyala," kata Dea.
"Bakar aja." "Sekarang, bukan waktunya becanda, Ka!" gerutu Dea.
"Iya... iya..." Raka mengalah. "Coba aku lihat dulu."
Sekali lihat, cowok ini langsung tahu apa masalahnya.
"Akinya habis tuh."
"Terus"" tanya Dea bingung.
"Terus, ya, disetrum atau beli aki lagi," jawab Raka enteng.
"Di mana"" Dea panik, tidak tahu apa-apa.
"Di toko buku."
Dea langsung memasang tatapan membunuh.
"Ya, di semua tempat yang jual aki!" kata Raka kemudian. "Bengkel juga ada."
Dea langsung menghela napas. "Berarti, sepeda motor ini harus kutuntun sampai bengkel""
Tanpa berkata apa-apa, Raka membuka kunci kontak sepeda motor dan mulai menuntunnya.
"Ka, mau ke mana"" tanya Dea.
"Bengkel," jawabnya santai.
Dea tersenyum. "Thanks ya, Ka, kamu emang baik banget."
"Thanks are nice but money is better."
"MATRE!" *** "Sori, aku telat," kata Raka buru-buru sambil melepas sepatu.
"Nggak apa-apa," sahut Sarah.
"Lho," Raka celingak-celinguk, "Nathan mana""
"Dia bilang ada urusan sebentar, jadi agak telat," jawab Sarah sambil mengetik sesuatu. "Tapi, kalau Nadya, aku nggak tahu."
"Oh, Nadya, dia tadi bilang, hari ini, dia nggak bisa datang." Raka melempar tasnya. "Ada rapat OSIS."
Sarah tersenyum. "Nadya emang hebat. Dia ikut banyak kegiatan, tapi aku nggak pernah lihat dia kewalahan, semua bisa beres. Kayaknya, dia nggak punya kelemahan."
"Begitu, ya"" sahut Raka. "Menurutku, itu justru bikin dia kelihatan menakutkan."
Sarah tertawa pelan. Setelah itu, nggak ada lagi obrolan di antara mereka. Sarah tenggelam dalam tulisan yang sedang diketiknya.
"Ah!" tiba-tiba Sarah terpekik. "Aku lupa ngasih rancangan perubahan logo Veritas ke Bu Ratna." Cewek itu langsung mengambil beberapa lembar
kertas dari dalam tasnya, lalu bangkit berdiri. "Aku ke ruang guru dulu," katanya sebelum pergi.
"Mau aku aja yang nganter"" Raka menawarkan diri.
"Nggak usah," tolak Sarah. "Lagian, ada yang mau kuomongin sama Bu Ratna."
Lalu, cewek itu menghilang di balik pintu.
Raka menghela napas. Tanpa sadar, matanya langsung tertuju pada layar tempat Sarah tadi mengetik. Dia bukan orang yang usil, tetapi rasa ingin tahu yang kuat memaksanya untuk melihat ke sana.
Di meja komputer itu, tergeletak selebaran bertuliskan "Lomba Menulis Esai Lingkungan Hidup". Sepertinya, Sarah berniat mengikuti lomba itu.
Raka menggerakkan scroll-nya ke atas dan mulai membaca apa yang telah ditulis Sarah.
"Mengusulkan modifikasi penanaman sejuta pohon... takakura... membuat taman kota seperti central park." Raka bergumam sambil terus membaca hingga selesai.
Dia menghela napas begitu mendekati akhir paragraf tulisan itu. Sangat inspiratif, bagus, dan terencana. Sarah bisa membuat hal yang tadinya tampak tidak masuk akal menjadi sangat masuk akal.
Ditambah lagi kalimat terakhir yang Sarah kutip dari kata-kata George Bernard Shaw.
Genius, puji Raka sambil tersenyum.
Tepat ketika hendak mengembalikan kursor ke atas, ke tempatnya semula, Raka mendengar seseorang datang.
Gawat! Raka buru-buru kembali ke tempatnya, semula dengan tergopoh-gopoh dan langsung memasang earphone berpura-pura mendengarkan iPod.
"Oh, ternyata kamu..." Raka menghela napas lega sekaligus kecewa setelah mengetahui ternyata Nathan-lah yang datang. Seharusnya, dia nggak perlu jumpalitan seperti tadi.
"Percayalah, aku juga sekecewa kamu saat melihat cuma kamu yang ada di ruangan ini," kata Nathan datar sambil menaruh tasnya.
"Dari mana"" tanya Raka.
"Bukan urusanmu," jawab Nathan sambil mulai menyalakan komputernya. "Mana Sarah dan Nadya""
"Sarah ke tempat Bu Ratna," jawab Raka. "Nadya ada rapat OSIS."
Nathan tidak mengatakan apa pun, terlihat sibuk mengetik. Raka merasa udara perlahan-lahan mampat dan hawa dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Untunglah, sebelum dia sempat membeku karena aura yang dipancarkan Nathan, Sarah datang tepat pada waktunya.
"Maaf aku lama," ujar Sarah, "eh! Nathan udah datang, ya."
Terima kasih, Tuhan, desah Raka.
* * * - 6 - Veritas edisi minggu ini sudah terbit. Saat melihatnya, Raka langsung terpana membaca apa yang ditulis oleh Sarah hingga dia nggak memedulikan artikel-artikel lainnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya,
melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya,
melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura-pura kuat.
"Hoi!" Dhihan memukul bahu Raka.
"Hah"" Raka tergagap.
"Kamu baca apa, sih" Kok, serius banget"" tanya Dhihan.
Raka menggeleng. "Nggak, nggak lagi baca apa-apa. Cuma lagi mikir aja."
Dhihan memandang temannya itu dengan tatapan aneh. "Caraka" Mikir"" Dia terdiam sejenak, lalu memutar bola matanya. "Yeah... right!"
"Hei, serius! Aku lagi mikir!" sembur Raka kesal karena merasa diremehkan.
"Iya, iya, aku percaya, Einstein!" kata Dhihan asal sambil mengambil iPod dari tasnya.
"Kamu nggak mau tahu aku lagi mikir apa"" tanya Raka.
"Nanti aja, pas kamu menang Nobel karena berhasil menjelaskan bagaimana seorang manusia tanpa otak bisa mikir kayak yang terjadi sekarang," jawab cowok itu enteng sambil memasang earphone.
Raka mengernyit. "Maksudmu""
Dhihan sudah tidak bisa mendengar, tenggelam dalam musik yang sedang didengarnya. Raka menghela napas. Tanpa sadar, matanya langsung tertuju pada Sarah yang duduk tak jauh dari mejanya. Rambut ikal sebahu cewek itu dibiarkan terurai. Dia sedang berbicara dengan Nita, teman sebangkunya. Tiba-tiba, dia menoleh. Ketika sadar Raka sedang memperhatikannya, wajah cewek itu memerah.
*** "Heran," gum am Raka. "Apanya"" tanya Nadya sambil membolak-balik ensiklopedia.
"Sadar nggak sih, ini kali pertama cuma ada kita berdua di ruang Veritas""
Nadya berhenti membalik ensiklopedia yang dipegangnya, melirik Raka. "Kamu nyoba merayu, ya""
"Hah"" Raka langsung melongo. "Ya Tuhan! Aku nggak percaya kamu masih mikir aku ngejar kamu!" ujarnya. "Dengar, ya, Nad," tambahnya jengkel. "Aku nggak pernah ngerayu cewek. Dan, kalaupun tiba-tiba aku berniat melakukannya, orang itu sudah pasti bukan kamu."
Nadya terdiam sejenak dengan ekspresi datar. Hal itu sempat membuat Raka agak panik, takut kalau kata-katanya terdengar terlalu kejam.
"Thank God for that," kata Nadya kemudian sambil meneruskan membolak-balik halaman ensiklopedia. Raka sampai mendelik mendengar kata-kata cewek itu.
"VCD-nya udah kamu tonton"" tanya Nadya ketika Raka bersiap-siap memasang earphone.
"Yang mana""
"Flags of our Fathers."
"Jangan tanya."
"Kenapa kamu suka Clint Eastwood"" tanya Nadya tanpa mengalihkan pandangannya dari ensiklopedia yang ada di depannya.
"Apa, nih"" tanya Raka. "Wawancara kerja buat uji kelayakan atau tes kebohongan""
"Kalau kamu lebih suka menghabiskan waktu nunggu Sarah dan Nathan dalam diam, yang sudah pasti membuat waktu terasa berjalan sangat lambat dan efek relativitas Einstein, kamu nggak perlu menjawabnya," jawab Nadya tenang.
Raka menghela napas. "Karena dia sutradara yang hebat, tentu aja." Raka terdiam sejenak, pandangannya menerawang.
Nadya menghentikan kegiatannya dan memandang cowok itu. "Itu aja""
"Emangnya, kamu mengharapkan aku bilang apa""
Nadya mengdikkan bahu. "Kamu sendiri"" Raka balik bertanya. "Kenapa suka Clint Eastwood""
"Karena aku penyuka film bagus," jawab Nadya.
"Itu aja"" Raka mengerutkan kening.
"Aku mengimbangi jawabanmu," kata Nadya enteng.
"Cih." "Tapi... rasa sukaku beda sama rasa sukamu," lanjut cewek itu.
"Eh"" "Kamu mengaguminya sebagai seseorang yang dijadikan panutan, kan"" Nadya menoleh ke arah Raka. "Kamu mau belajar darinya sebagai sutradara, kan""
"Kamu mind reader, ya"" tanya Raka penuh selidik.
Nadya hanya tersenyum. Raka mengangkat bahu, menyerah. "Kayak yang kamu bilang-"
Belum selesai Raka meneruskan kalimatnya, Nathan dan Sarah muncul.
"Wah, kami ketinggalan obrolan yang menyenangkan, ya"" sindir Nathan.
"Sangat," jawab Nadya dingin.
"Eh, Nad, perayaan ulang tahun sekolah kita jadi, kan"" Sarah mencoba mencairkan keadaan.
"Iya," jawab Nadya sambil menaruh kembali ensiklopedia yang tadi dia baca ke rak buku. "Rencananya, acaranya bakal sampai malam."
"Bukan pasar malam, kan"" tanya Sarah.
Raka terkikik, tanpa sadar. "Bagaimana kalau Bumi Manusia aja atau Calon Arang"" celetuknya. Raka jadi ingat buku Bukan Pasar Malam yang pernah dibacanya, salah satu judul buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia dan Calon Arang juga merupakan karya penulis tersebut.
Tiba-tiba, ketiga orang itu langsung terdiam dan menatap Raka dengan pandangan aneh.
"Kamu baca bukunya Pramoedya Ananta Toer juga"" tanya Sarah.
"Iya," jawab Raka kelihatan bingung, "emangnya kenapa" Apanya yang aneh""
"Eng... bukan apa-apa-" kata Sarah agak takut-takut.
"Pertama," potong Nathan. "Orang dengan penampilan kayak kamu bukan tipe orang yang suka baca. Kedua, kalau emang ternyata kamu suka baca, kemungkinan besar, kamu nggak akan menyentuh bukunya Pram. Ketiga, kalau emang kamu baca bukunya Pram, kemungkinan lebih besar lagi kamu bakal berkoar-koar sudah membacanya kayak yang dilakukan orang-orang." Nathan tampak berapi-api. "Dan, ternyata, kamu menepis asumsi pertama, kedua, dan ketiga. Itu yang aneh," tandasnya.
Raka terdiam sejenak, cukup tersinggung dengan ucapan Nathan. "Pertama," katanya kemudian. "Aku emang suka baca dan ini nggak ada hubungannya sama penampilanku. Kedua, walaupun aku bukan penggemar Pram, aku baca hampir semua buku-buku dia. Ketiga, aku baca buku karena aku suka, bukan karena aku mengharap suatu penilaian dari orang-orang di sekitar aku. Bukan karena aku ingin dianggap hebat ata
u pintar atau berpendidikan atau beradab cuma karena udah baca sebuah karya sastra. Puas""
Mereka terdiam selama beberapa saat.
"Kamu suka"" Nadya memecah keheningan.
"Hah"" "Bukan Pasar Malam," lanjutnya. "Kamu suka""
Raka diam sebentar, berpikir. "Aku nggak tahu. Aku nggak bisa bilang aku suka, tapi aku cukup menikmatinya. Mungkin juga, karena kisah yang ada dalam buku ini sebenarnya cerminan hubungan Pram sama ayahnya sendiri. Si pengarang pulang ke Blora buat pemakaman ayah yang nggak pernah membahagiakannya. Aku juga tersentuh sama sikap si Ayah, seorang nasionalis yang kecewa dengan keadaan pergerakan," kata Raka. "Khas Pram, penuh dengan sindiran," tambahnya sambil mencoba merenungi kembali kisah dari buku itu. "Karena itu aku bilang aku menikmatinya-meski aku nggak bisa bilang aku suka."
Tak disangka, Nadya tersenyum.
"Wow!" Nathan mendesah. "Kamu benar-benar di luar bayanganku."
Raka langsung menatap cowok itu tajam. "Maksudmu"!"
"Sudah... sudah..." Sarah berusaha mencegah pertikaian lebih lanjut. "Kita mulai aja rapatnya."
Mereka semua langsung diam dan mendengarkan Sarah.
"Tadi pagi, Bu Ratna memberi tahu tentang tema buat minggu depan." Sarah memulai rapat. "Beliau ingin di edisi berikutnya, Veritas mengusung tema Bahasa Indonesia."
"Bahasa Indonesia"" seru Raka dan Nadya serempak. Nadya mengernyit.
"Aku nggak sengaja, oke"" kata Raka. "Aku bukan mau niru kata-katamu."
Nadya memutar bola matanya.
"Lalu, apa yang mau kita buat"" tanya Nathan.
Sarah menggeleng pasrah. "Aku sendiri juga nggak tahu. Aku mengharapkan usul dari kalian."
"Aku ingin kita menampilkan asal-usul kata dalam bahasa Indonesia yang lahir karena kesalahan persepsi," jawab Nathan mantap.
Kesalahan persepsi itu apa" Raka mengerutkan kening.
"Kesalahan persepsi itu apa"" tanya Nadya lagi.
Raka langsung melotot. Nadya menoleh ke arahnya. "Apa""
"Ng... nggak. Nggak ada apa-apa." Raka menggeleng. Sekarang, dia yakin kalau ternyata Nadya nggak punya indra keenam, mungkin kepalanya memang sangat transparan.
"Kesalahan persepsi... bagaimana menjelaskannya, ya"" Nathan berpikir sejenak. "Ah! Kayak ungkapan setali tiga uang. Dulu, Belanda bikin uang dengan nilai setali atau 25 seri buat meringkas dua keping nilai ketip atau 10 sen dan satu keping nilai kelip atau lima sen. Jadi, setali tiga uang yang jadi satu, maksudnya sama saja nilainya. Makin lama, istilah setali menjadi ungkapan pengganti sama saja."
Nadya, Sarah, dan Raka langsung mengangguk-angguk.
"Benar juga," kata Nadya antusias. "Yang kayak gitu lebih menarik."
Sarah mengangguk. "Pernah dengar Holopis Kuntul Baris"" Nathan melanjutkan.
"Pernah," jawab Sarah. "Emangnya kenapa""
"Tahu asal mula kata-kata itu"" tanyanya lagi.
Mereka bertiga berpandangan, lalu serempak menggeleng.
Nathan berusaha keras menahan seringainya. Sepertinya, dia senang sekali kalau teman-temannya tidak tahu apa-apa.
"Istilah itu digali oleh Bung Karno buat salah satu pidatonya, kemudian dibikin lagu," jelas Nathan. "Pada zaman Daendels, pekerja rodi dicambuk supaya mereka giat bekerja. Ada seorang mandor yang sangat kuat, asalnya dari Spanyol, tapi datang ke Indonesia lewat Prancis. Orang menyebutnya Don Lopez comte du Paris. Untuk mendapat semacam kekuatan, pekerja-pekerja rodi itu menyebut namanya. Begitulah asal mulanya."
"Kamu tahu apa lagi"" tanya Nadya penasaran.
"Banyak," jawab Nathan dengan sedikit nada bangga. "Ada lagi dan menurutku ini lucu. Tapi, ini kata dalam bahasa Jawa, bukan bahasa Indonesia."
"Apa"" tanya Nadya dan Sarah antusias.
"Kalian tahu bahasa Jawa-nya pisang"" tanya Nathan.
"Gedang," jawab Raka. "Kakek-nenekku orang Jawa asli."
"Bahasa Jawa ini berasal dari ucapan syukur tentara Belanda yang berasal dari Indonesia Timur dalam Perang Diponegoro." Nathan mulai menjelaskan. "Sebuah peleton yang berhari-hari nggak makan lantas menemukan kebun pisang. Saking girangnya dapat makan, mereka berseru dalam bahasa Belanda, 'God Dank', artinya, 'Terima kasih Tuhan'."
Nadya tertawa. "Dan, di
telinga orang Jawa, itu kedengaran jadi gedang""
"Valid nggak tuh"" tanya Raka tak percaya.
"Ngggg..." Nathan mengerutkan kening, "kalau yang ini, aku nggak punya data pendukungnya, sih."
"Wah, kalau begitu jangan dimasukkan ke Veritas, bisa bahaya," kata Sarah sambil tersenyum.
"Terus" Terus, apa lagi"" tanya Sarah lagi. Rapat kali ini emang lain daripada biasanya. Di rapat ini, untuk kali pertama, Nathan tersenyum, Nadya bersemangat, Sarah tertawa, dan Raka sangat antusias. Sepertinya, saat menyodorkan tema ini, Bu Ratna tahu keadaan akan menjadi menyenangkan.
Tanggung jawab pembuatan artikel tentang bahasa itu diserahkan kepada Nathan. Dialah yang paling menguasai dan punya banyak referensi yang berhubungan dengan hal itu. Begitu rapat selesai, Nadya langsung cabut ke pertemuan PMR dan Nathan langsung pulang hingga tinggal Raka dan Sarah di Veritas. Ini sudah entah keberapa kalinya hanya mereka berdua di ruangan itu.
"Tulisanmu bagus," kata Raka mencoba memulai pembicaraan sambil membereskan meja.
"Eh"" Sarah tampak kaget.
"Itu, yang di Veritas kemarin."
Sarah langsung tersipu. "Masih belum sebanding sama tulisan Nathan dan Nadya."
"Nggak, tulisanmu lebih bagus, kok," kata Raka lagi. "Dalem dan bikin aku merenung."
"Ah nggak... kamu terlalu memuji," kata Sarah sambil menggeleng, tetapi dia tampak cukup tersanjung.
"Serius, nih." Raka menoleh ke arahnya. "Kenapa kamu nggak percaya sama bakatmu sendiri""
Sarah menatap cowok itu bingung.
"Aku kemarin lihat esaimu tentang lingkungan hidup." Raka mengaku. "Dan, itu tulisan paling bagus yang pernah kubaca."
Sarah langsung melotot. "Kamu baca"" tanyanya agak histeris.
"Sori." Raka mengangkat bahu. "Yah... kamu kan, nggak bilang nggak boleh dibaca, lagian kamu juga nggak nutup file itu sebelum kamu pergi. Udah gitu, itu komputer kan, milik umum."
"Ya, Tuhaan... aku malu banget," kata Sarah gugup sampai-sampai dia terduduk. "Seharusnya, nggak ada yang boleh baca tulisan itu."
"Sampai kamu kirim ke lomba esai"" tanya Raka.
Sarah tertawa getir. "Siapa yang mau kirim ke lomba" Juri-juri itu pasti langsung membuangnya ke tempat sampah. Aku nggak mau ada yang baca itu, aku nggak mau ditertawakan." Dia semakin menunduk. "Oh, Tuhan, rasanya, aku mau muntah," kata Sarah sambil cepat-cepat menutup mulutnya. Wajahnya pucat. Cukup lama nggak ada satu pun dari mereka yang bicara.
"Tunggu!" Sarah tiba-tiba berdiri dan menghampiri Raka. "Kamu harus janji nggak akan cerita ke mana-mana. Kamu boleh ketawain isinya, tapi tolong jangan bilang sama siapa pun," katanya penuh harap.
Raka menghela napas. bingung.
Sarah menatap kedua mata Raka lekat-lekat.
"Percaya, deh," kata Raka lagi dengan yakin. "Kalau kamu cowok, sudah aku bikin babak belur agar sadar. Kamu punya bakat besar yang nggak dipunya sembarang orang dan kamu menyia-nyiakan bakat itu. Apa kamu nggak kasian sama orang yang sama sekali nggak punya bakat kayak aku""
"Tapi, aku..." Sarah masih ragu. "Bagaimana kalau menurut juri tulisanku jelek" Bagaimana kalau aku mempermalukan sekolah kita" Bagaimana kalau-"
"Yaelaaaah," potong Raka, "tulisanmu itu, bahkan, belum kamu kirim dan kamu sudah mikir 'bagaimana kalau... bagaimana kalau...'. Bagaimana kamu tahu kalau juri bakal bilang tulisanmu jelek atau bagus kalau kamu belum kirim""
Sarah tampak tertegun. Dia menggigit-gigit kuku jarinya dan mengedarkan pandangan ke lantai, tampak berpikir. Raka berbalik untuk mengambil tasnya.
"Menurutmu..." kata Sarah begitu cowok itu hendak keluar dari ruangan. Raka menghentikan langkahnya.
"Apa tulisanku betul-betul bagus"" tanyanya penuh harap. "Jujur."
Raka tersenyum. "Begini aja, kita tanya pendapat Nathan tentang tulisanmu. Dia bakal kasih jawaban yang sama denganku. Tapi, kayaknya, dilihat dari muka, kamu lebih percaya dia daripada aku."
Sarah tersenyum. Begitu keluar dari Veritas, Raka mendengar suara cowok samar-samar. Nathan. Dia berada di balik dinding koridor dan ternyata, dia nggak sendiri. Ada suara cewek juga.
"Kenapa"" tanya si cewek. "Ada cewe
k lain yang kamu suka""
"Nggak," jawab Nathan mantap.
"Ada sesuatu yang nggak kamu sukai dari aku""
"Nggak." "Kamu membenciku"" Si cewek sepertinya benar-benar pantang menyerah.
"Nggak," jawab Nathan lagi.
"Terus, kenapa kamu bahkan nggak mau mikir dulu"" protes cewek itu.
"Aku udah tahu jawabannya," tegas Nathan. "Aku nggak punya perasaan yang sama denganmu!"
Sejenak mereak terdiam, kemudian terdengar suara langkah cepat menjauh.
"Bener-bener sadis," komentar Raka, keluar dari balik dinding.
Nathan menoleh. "Sejak kapan kamu di situ""
"Cukup lama buat mendengar kesadisanmu," jawab Raka dingin. "Bagaimanapun, dia itu cewek. Cewek punya hati yang lebih peka daripada kita. Kamu kan, bisa minta waktu buat mikir, terus baru nolak dia baik-baik."
Nathan tersenyum sinis. "Kamu tahu apa" Emangnya kamu pernah nolak cewek""
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Emang nggak pernah, tapi aku tahu cara memperlakukan cewek," balas Raka.
Nathan menatap Raka dengan sorot mata yang lebih dingin daripada biasanya.
"Kamu itu," katanya kemudian sambil membetulkan letak kacamatanya, "emang orang yang suka ikut campur."
"Hah"" "Dan, suatu saat," tambahnya, "karena sifatmu itu, kamu bakal melakukan sesuatu yang lebih sadis daripada apa yang kulakukan."
Nathan berbalik, lalu berjalan meninggalkan Raka yang hanya bisa melongo.
"Apa maksudmu""
Nathan tidak menjawab dan hanya melambaikan tangan kanannya tanpa menoleh sedikit pun.
* * * - 7 - "Raka." Raka menoleh. "Ada apa, Bu""
Bu Ratna berjalan agak cepat menghampiri Raka.
"Begini, Raka," kata guru itu sambil menyuruh agak menepi karena koridor dipenuhi dengan murid-murid yang sedang bergegas ke kelas masing-masing.
Setelah menghela napas agak panjang, Bu Ratna meneruskan kalimatnya, "Ibu mau minta tolong sesuatu."
Raka mengangkat bahu. "Boleh, tapi lima menit lagi pelajaran fisika dimulai. Kalau karena membantu Ibu saya terlambat datang, Ibu yang harus tanggung jawab atas upacara pemakaman saya."
Bu Ratna tersenyum geli. "Jangan khawatir, Bu Nunuz akan sedikit terlambat. Anaknya tiba-tiba sakit, jadi dia harus mengantar anaknya itu ke dokter dulu."
"Wow!" seru Raka. "Semoga Tuhan mengampuni saya karena saya merasa senang mendengarnya."
Bu Ratna tertawa. "Kamu ini keterlaluan, Raka."
"Ibu belum pernah jadi muridnya Bu Nunuz, kan""
"Ah, sudahlah, bukan itu yang mau Ibu bicarakan," kata Bu Ratna. "Begini, sebentar lagi, akan ada perayaan ulang tahun sekolah kita. Selain bazar dan perlombaan, rencananya akan ada pentas seni dan masing-masing kelas wajib menampilkan sesuatu di panggung."
"Lalu, apa hubungannya dengan saya"" Raka bingung.
Setelah berdehem beberapa kali, Bu Ratna baru menjawab. "Kelas kita akan menyuguhkan pertunjukan musik. Band, tepatnya. Dan, kamu Ibu minta jadi vokalisnya."
Raka terdiam sejenak. "Engg... maaf, Bu," katanya kemudian. "Tapi, sepertinya, tadi saya mendengar Ibu minta saya jadi vokalis""
Bu Ratna mengangguk. "Saya tidak salah dengar, ya""
Bu Ratna menggeleng. Dia langsung melotot. "IBU PASTI BECANDA!!!"
Bu Ratna menggeleng dengan seringai lebar di wajahnya.
"Lagian, ini semua ide Dhihan cs.," lanjut Bu Ratna. "Jadi, nanti, soal latihan, Ibu rasa tidak akan menjadi masalah."
Dhihan cs." Sialan! umpat Raka dalam hati.
"Tapi... kalau toh emang saya terpaksa ikut band ini, saya kan, bisa jadi gitaris saja." Raka mulai memohon-mohon.
"Ayolah, Ka. Alfi dan Dhihan lebih jago main gitar dari pada kamu," jelas Bu Ratna. "Terimalah kenyataan."
Raka berpikir sekeras mungkin mencari jalan keluar dari masalah ini. Dia yakin suaranya akan mempermalukan dirinya, bahkan setelah dia keluar dari sekolah ini ("""").
"Kenapa kelas kita nggak menampilkan drama saja, Bu"" usulnya kemudian.
"Dan, kamu mau jadi Cinderella"" tanya Bu Ratna sambil menggeleng, lalu melihat ke arah jam tangannya. "Ibu harus mengajar di kelas lain," katanya sambil bersiap pergi. "Oh, ya," kata Bu Ratna lagi sebelum berbalik. "Karena pentas seni ini ide dari Pak Kepala Sekolah, you have to take it serio
usly. Bagaimanapun, dalam band, seorang vokalis pasti dapat porsi perhatian yang besar."
Pikiran Raka langsung kosong mendengar kata-kata Bu Ratna.
"Hidup tidak pernah adil, Raka," kata Bu Ratna, lalu tertawa.
*** Begitu sampai di mejanya, Raka langsung menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia mencoba menenangkan diri sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Di meja agak depan, dia melihat Sarah sedang berbicara dengan Nathan. Sepertinya, cewek itu sedang menunggu tanggapan atas tulisannya.
Raka tersenyum. Sarah benar-benar mempertimbangkan usulnya.
Setelah membaca, Nathan mengangguk-angguk, lalu mengatakan suatu hal yang membuat Sarah tersenyum senang. Saat hendak kembali ke tempat duduknya, Sarah menoleh sejenak ke arah Raka dan tersenyum lebar. Raka membalas senyum cewek itu.
"Dia suka kamu, tuh," kata Dhihan sambil memukul bahu Raka pelan.
"Hah"" "Sarah suka sama kamu," ulang Dhihan, kali ini dengan seringai.
Mata Raka menyipit. "Jangan ngasih seseorang harapan cuma buat menghempaskannya."
"Serius," kata Dhihan yakin. "Aku tahu ciri-ciri cewek yang lagi jatuh cinta. Dan, dari apa yang kulihat hari ini dari Sarah, dia memenuhi semua ciri-ciri itu."
"Tadinya, aku nggak tahu siapa cowok yang beruntung itu. Tapi, begitu aku lihat gimana Sarah memandangmu dengan senyuman itu..." Dhihan menggeleng, "well... I have to say... you are a lucky man. Damn! You broke my heart." Lalu dia meringis.
"Plisss... dia itu terlalu cantik buat aku." Raka masih mencoba mengelak.
"Nah! Itu dia yang namanya saling melengkapi," kata Dhihan masih mencoba mempertahankan pendapatnya. "Dia CANTIK, kamu JELEK, cocok kan" You two are made for each other."
"Jangan ngasih harapan sekaligus menghina dalam waktu bersamaan," gerutu Raka. "Denger, ya, Nyet," tambahnya nggak sabar. "Aku cuma bantu kasih saran buat dia. Jadi, senyuman yang itu cuma ungkapan terima kasih."
Dhihan mengernyit. "Kasih saran" Saran apa""
"Off the record."
"Dia minta pendapatmu, gitu""
Raka terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat. "Nggak sih, aku kasih saran atas inisiatifku sendiri."
"Sifatmu emang nggak bisa diubah," kata Dhihan sambil geleng-geleng.
"Sifat yang mana""
"Sifat suka ikut campur urusan orang lain," jawab Dhihan.
Raka tertegun. "Orang itu kemarin juga bilang hal yang sama, lho," katanya tiba-tiba.
"Orang itu""
Raka mengedikkan kepalanya ke arah Nathan. "Dia bilang begitu setelah aku protes tentang cara amoral dia nolak cewek."
"Busyet, Ka, itu kan, urusan dia!" sembur Dhihan tak habis pikir.
"Aku tahu, tapi aku nggak bisa nahan diri."
"Untung kamu masih bisa nahan diri buat nggak mukul dia!" kata Dhihan. "Bisa dihukum masuk klub balet kamu!"
"Oh, iya. Bener juga." Raka langsung merasa lega. "Setelah ini, aku nggak mau deket-deket sama dia, ah."
Dhihan mengangkat alis. "Terus, Veritas""
"Ya, kecuali, saat itu."
"Tapi, gosip kalau dia itu kejam dalam hal nolak cewek ternyata bener juga, ya"" kata Dhihan lagi.
"Maksudmu""
"Selama ini, aku cuma denger-denger aja," katanya. "Tapi, setelah kamu yang ngomong, aku jadi percaya. Aku tambah sebel sama tuh orang."
"Karena"" "Karena, selama ini, nggak pernah ada cewek yang nembak aku!!!" jawab Dhihan dengan tatapan merana. "Nah, ini orang, udah banyak yang nembak, ditolak semua pakai cara kejam pula. Dan, yang lebih parah dari semua itu, cewek-cewek kayaknya nggak ada yang kapok buat nembak dia."
"Masalahnya, dalam berbagai hal, dia jauh lebih unggul, sih, dibanding kamu. Hidup itu nggak adil, pren." Raka terkekeh.
Dhihan mendesah. "Aku jadi pengin tahu cewek yang bakal dia terima tuh yang kayak gimana, kok sampai semua cewek dia tolak."
"Only God knows."
Tidak lama kemudian, Bu Nunuz masuk dengan tergopoh-gopoh setelah semua murid berharap pelajaran fisika hari ini ditiadakan.
"Maaf anak-anak, hari ini, Ibu nggak bisa lama-lama," kata Bu Nunuz. "Anak Ibu mendadak sakit."
Hampir seisi kelas menahan untuk tidak berteriak kegirangan.
"Tapi, Ibu akan memberi tugas secara berkelompok," lanjutnya.
"Kelompok terdiri atas dua orang yang akan Ibu tentukan sendiri secara acak dari absen kalian."
Lalu, Bu Nunuz mulai menyebut nama anak-anak di kelas secara berpasang-pasangan.
"Dhihan Kawekas Nuraga dan Virgo Simbolon."
"Busyet," dengus Dhihan. "Jeruk sama Jeruk. Kenapa aku nggak dipasangin sama cewek aja, sih."
Raka menyeringai. "Hidup itu nggak adil, teman."
"Caraka dan..."
Raka menahan napas. "Nathan Jonathan."
WHAAAAAAAAAAAAAAAAAAT"""!!!!!!
Dhihan kontan terkekeh. "Hidup itu emang nggak pernah adil, Ka, terutama sama kamu, huekekekekekek."
*** "Teman-teman, maafkan aku," kata Nadya tanpa diduga begitu bel pulang sekolah berbunyi. Saat Bu Hestu meninggalkan kelas, cewek itu langsung maju ke depan dengan wajah panik.
"Seminggu yang lalu, saat Pak Anung sakit, beliau memberi tugas," jelasnya. "Dan, tugas itu harus dikumpulkan seminggu kemudian yang artinya... dua hari lagi."
"APAA"!!" Kontan, seisi kelas serempak berteriak.
"Emangnya, apa tugasnya"" tanya Alfi.
"Mengerjakan 50 soal latihan di akhir bab," jawab Nadya. "Dan, ini tugas perorangan."
"APA"!" teriak anak-anak sekelas lagi dengan suara yang lebih keras dan intonasi yang lebih tinggi. Nggak butuh waktu lama membuat kelas itu menjadi gempar.
Menjawab 50 soal dalam dua hari" jerit Raka dalam hati. Matematika pula! Kayaknya, lebih baik aku bunuh diri malam ini.
"Aku benar-benar minta maaf," pinta Nadya dengan wajah tampak sangat bersalah. "Aku lupa karena aku sibuk banget akhir-akhir ini. Aku harus bantu menyiapkan acara buat ultah sekolah, bikin proposal OSIS, bikin agenda regenerasi buat tim basket."
"Ini salahmu!" kata Nathan tajam. "Kamu nggak usah membela diri kayak gitu. Kalau kamu sibuk, itu urusanmu kenapa kami yang harus nanggung""
Nadya terdiam dan tak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan suara.
"Jangan sok penting," tambah Nathan. "Kalau mengurusi hal sepele kayak gini aja kamu nggak becus, lebih baik berhenti aja jadi ketua kelas, atau hentikan semua kegiatanmu itu. Aku yakin nggak akan ada yang merasa kehilangan."
Nadya yang berdiri di depan terdiam, menatap tajam pada Nathan.
"Tapi, sebelum berhenti, selesaikan dulu masalah ini," tandas Nathan.
Semua anak terpana dengan kata-kata cowok itu. Tidak ada yang menyangka dia bisa mengatakan hal sesadis itu.
Cukup lama mata Nadya dan Nathan saling menatap tajam. Semua yang ada di kelas itu menahan napas, takut sebentar lagi akan ada yang meledak dan terjadi pertumpahan darah. Setelah cukup tegang beberapa saat, akhirnya Nadya mengangguk.
"Kamu benar," katanya. "Ini salahku, aku akan mencoba berbicara pada Pak Anung dan minta perpanjangan waktu."
Setelah mengatakan itu, Nadya pergi dan seisi kelas serentak menghela napas lega. Bukan karena ada kemungkinan perpanjangan waktu yang akan diberikan Pak Anung, melainkan karena bersyukur tidak ada yang terluka.
"Orang itu benar-benar kejam," kata Dhihan pelan sambil memandang Nathan yang sedang merapikan buku-bukunya.
"Stay alive, man," lanjut Dhihan prihatin sambil menepuk-nepuk pundak Raka.
Raka menelan ludah. Semoga saja.
* * * - 8 - "Jadi, kapan kita mulai latihan"" tanya Raka dengan masih terengah-engah setelah bermain bola.
Dhihan yang merebahkan diri di lapangan hanya menggeleng.
"Minggu depan," jawab Alfi sambil meneguk habis botol air mineral di tangannya.
"Di mana""
Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Gimana kalau kita pinjam ruang seni musik"" usul Virgo.
"Good idea," kata Dhihan. "Tapi, entar kamu yang ngomong sama Pak Tyo, soalnya aku mending latihan di tengah Tol Jagorawi daripada ngadepin bapak itu."
Raka tertawa. "Benar-benar butuh orang yang punya nyali gede tuh."
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, semua orang tiba-tiba langsung memandangnya.
"Hei, kalian ngelihatin apa"" tanya Raka curiga dengan perasaan tidak enak. Mereka terdiam sejenak sebelum Doni angkat bicara.
"Ka, karena kamu vokalis," katanya.
"Dan, vokalis biasanya berperan ganda sebagai pemimpin," timpal Virgo.
"Kamu yang mesti ngomong sama
Pak Tyo," tandas Leo.
Raka hanya bisa berkata: "HAH"" Dia menggeleng, lalu bangkit sambil menyambar tasnya dan segera pergi meninggalkan mereka tanpa memedulikan jeritan-jeritan minta tolong yang juga diiringi tawa.
Hari itu, Raka baru akan beranjak pulang setelah bermain bola bersama teman-temannya.
Ketika menyusuri koridor menuju lapangan parkir, Raka mendengar ada seseorang sedang mengerjakan sesuatu di ruang Veritas.
Pukul setengah tujuh malam, dia melirik jam tangannya. Siapa yang masih beraktivitas pukul segini di sekolah"
Raka membuka pintu Veritas perlahan-lahan. Sepasang sepatu cewek tergeletak di atas keset. Di ruangan, Nadya sedang sibuk mengetik sesuatu di depan komputer.
"Nadya"" Nadya tampak sangat terkejut.
"Ngapain pukul segini masih di Veritas"" tanya Raka heran.
"Ng-nggak ngapa-ngapain," jawabnya. "Kamu sendiri""
Raka mengangkat bahu. "Aku habis main bola, baru mau pulang."
"Oh..." kata Nadya, lalu kembali sibuk dengan apa yang sedang dia kerjakan.
Raka menaruh tasnya di lantai, lalu duduk sambil memperhatikan sekeliling yang tiba-tiba penuh dengan tumpukan kertas. "Ini semua apaan"" tanyanya.
"Data siswa kelas XII," jawab Nadya tanpa menoleh sedikit pun.
"Kenapa ada di sini""
"Aku harus merekap semuanya hari ini. Pak Johan minta hasilnya besok pagi," jawab Nadya, tapi kali ini nada suaranya mulai terdengar panik.
Raka bersiul. "Woh, aku nggak tahu kalau Bapak itu sadis banget. Dia kasih kerjaan segini banyak hari ini, tapi mesti selesai besok. Bukan OSIS tuh namanya, tapi romusha."
"Bukan, ini bukan salah Pak Johan," kata Nadya. "Sebagai Pembina OSIS, dia udah sangat baik, tapi aku yang mengecewakannya. Dia udah ngasih tugas ini sejak sebulan yang lalu."
"Kenapa baru kamu bikin sekarang""
"Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku sering lupa," kata cewek itu panik. "Aku terlalu sibuk sama kegiatan yang lain. Manajemen waktuku jelek banget."
"Yah, walaupun begitu," Raka menghela napas, "yang kayak gini nggak bisa dikerjain cuma dalam waktu 2-3 jam. Kenapa nggak ngerjain di rumah aja, sih" Daripada di sini sampai malem""
"Aku takut kelupaan besok paginya."
Raka berpikir sebentar, lalu menyalakan komputer satunya lagi dan mengambil beberapa tumpukan kertas di meja.
"Ini belum direkap, kan"" tanyanya.
"Kamu mau apa""
"Bantu," jawab Raka enteng.
"Nggak usah," tolak Nadya. "Aku nggak perlu bantuan! Kamu pulang aja!"
Tiba-tiba, Raka membanting tumpukan kertas itu ke meja. Dia kesal dengan sikap Nadya.
Pemburu Dosa Leluhur 1 Candika Dewi Penyebar Maut I V Si Kangkung Pendekar Lugu 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama