Ceritasilat Novel Online

Layar Terkembang 3

Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana Bagian 3


Beberapa lamanya orang berdua itu melihat kanak-kanak mandi dan bermain-main. Maria gemar benar akan kanak-kanak. Melihat kegirangan mereka mandi dan bermain-main itu, teringatlah ia akan muridnya dan dibawanya percakapan kepada sekolahnya.
Setelah puas melihat-lihat dekat pondok itu, dan setelah membeli penganan pengisi-isi mulut teruslah pula mereka berjalan di antara pohon-pohon, bertambah lama bertambahlah jauh. Di belakang mereka menyepi suara manusia; pohon-pohon bertambah rapat dan bertambah rindang. Di sana-sini matahari tiada sampai ke tanah, dan membubunglah bau daun-daun busuk. Sekali-sekali mereka bersua dengan pemuda laki-laki perempuan yang ber-kawan-kawan berjalan di rimba di tepi pantai itu.
Pada suatu tempat jalan rimba yang mereka turut itu menembus ketepi laut. Berkuak pohon-pohon yang rapat disambut oleh perdu-perdu yang lebih tinggi sedikit dari manusia sampai ke tepi air yang lumpur. Di antara perdu yang kuning dan penuh sarap, tiada putus-putusnya ombak menepuk pantai.
Tiada berapa lamanya mereka berdiri, maka berkatalah Yusuf, lah kita mencari tempat duduk di sini." Lalu berjalanlah mereka di perdu-perdu dan pada suatu tempat yang berumput, tempat sebatang pohon menjorok ke tengah, mereka meletakkan setangan akan duduk makan-makan dan bercakap-cakap. Bermacam-macam mereka perkatakan, tetapi bagaimana sekalipun jauh-jauh, pokok pembicaraan akhir-akhirnya kembali juga mereka kepada cita-cita dan harapan mereka bersama di kemudian hari.
"Di mana engkau nanti bekerja, Yusuf, kalau sudah habis pelajaranmu"" tanya Maria sambil melihat kepada Yusuf dan merapatkan simpuhnya; dengan lena ditanggalkannya timah coklat yang dipegangnya dan dimasukkannya coklat itu ke dalam mulutnya.
"Telah sampai ke sanalah pikiranmu"" jawab Yusuf mengganggu kekasihnya itu. "Entahlah, sekarang belum dapat ditetapkan. Orang tua saya menghendaki, supaya s
aya pulang ke rumah. Saya mengerti akan kehendak mereka itu sebab saya anak mereka yang tunggal. Tetapi, kalau saya katakan hati saya benar-benar, berat saya akan pulang. Gelanggang di Sumatera sekarang ini umumnya terlampau kecil, orang yang telah biasa banyak bergaul di pulau Jawa, merasa sempit di negerinya itu. Tetapi, engkau sendiri, maukah engkau pergi ke Sumatera""
"Tentu, telah sering saya memikirkannya itu. Ada hati saya tertarik pergi ke sana. Tetapi agaknya tertarik itu terutama disebabkan keinginan hendak tahu akan sesuatu yang belum diketahui. Kalau sudah tahu... takut saya kalau-kalau saya ingin pulang kembali ke pulau Jawa ini. Tetapi itu janganlah engkau susahkan benar, di mana engkau merasa senang, saya akan merasa senang pula di sisimu."
"Katamu sekarang," ujar Yusuf pura-pura tidak percaya akan kata Maria itu. "Jauh dari Tuti dan Bapak, engkau akan merasa dirimu terpencil dan saya takut engkau akan berontak hendak pulang kembali..."
Sebentar ditahannya perkataannya itu dan dilihatnya Maria hendak mempersaksikan pengaruh katanya itu kepada kekasihnya.
O, dalam masa cinta berahi, tiap-tiap kesempatan hendak dipakai untuk mencukil hati yang dikasihi meskipun telah diketahui, bahwa yang akan didengar itu telah beberapa kali didengar.
"Berontak pulang kembali"" kata Maria sungguh-sungguh. "Demikian engkau menganggap cinta saya kepadamu" Ah, Yusuf, engkau tiada tahu hati saya. Engkau tiada percaya kalau saya katakan, sering sakit rasa jantung saya karena mencintai engkau. Kalau engkau tiada datang saja suatu petang, rusaklah segala pikiran saya. Tidak dapat saya melakukan suatu apa jua pun. Tuti sering mengatakan saya gila, cinta saya kepadamu berlebih-lebihan, terlampau diperlihatkan."
Dan seraya memiringkan kepalanya kepada kekasihnya yang di sisinya itu, katanya pula, "Kalau cinta saya sesungguhnya demikian kepadamu, mestikah saya malu akan dia, mestikah saya menyembunyikan cinta saya itu""
Terhadap kepada pernyataan cinta yang berlimpahan serupa itu Yusuf tiada dapat menjawab, ia tahu, bahwa perkataan itu ke luar setulus-tulus-nya. Maria tiada tinggi melambung cita-citanya, ia bukan orang yang memimpin dan melindungi. Tetapi hatinya yang suci bersih itu ialah hati remaja, yang melenyapkan dirinya dalam yang dipujanya. Yusuf yang mengikat hatinya dan siang malam seluruh hatinya hanya disediakan bagi Yusuf yang dicintai.
Termesra oleh ucapan yang tulus memancar dari kalbu pemuja itu, Yusuf menarik kekasihnya lebih dekat kepadanya dan bibirnya mencari bibir, pipi, mata kekasihnya itu mencurahkan kemesraan hatinya. Beberapa lamanya mereka tiada berkata kata. Tangan kanan Yusuf tiada berhenti membelai-belai rambut kekasihnya yang bergelung di dalam tangannya dalam penyerahan cinta berahi yang setulus-tulusnya.
Melepaskan dirinya dari pelukan kekasihnya itu Maria berkata, selaku tiba-tiba ingatannya berkisar, "Tetapi, Yusuf, tidakkah engkau lihat, bahwa Tuti waktu yang akhir ini amat berubah""
"Berubah bagaimana maksudmu" Mengapa pikiranmu tiba-tiba sampai ke sana""
"Tiadakah kelihatan kepadamu itu" Lihatlah malam Minggu yang sudah, dia duduk melamun. Dahulu mana pernah ia serupa itu. Sekarang telah sering benar ia demikian. Bapak juga mengatakan, bahwa Tuti sekarang agak lain dari Tuti dulu. Sekalian orang melihat perubahannya. Embik di Jatinegara heran melihat Tuti sekarang amat gemar bermain-main dengan kanak-kanak. Dahulu tidak demikian."
"Perubahan itu maksudmu" Ya, itu ada juga kelihatan kepada saya. Pakaiannya misalnya lebih terpelihara dan berwarna-warna dari biasa. Barangkali ia sedang di dalam krisis sekarang... Sesungguhnya berat tanggungannya sebagai perempuan yang menyerahkan seluruh hatinya kepada pergerakan. Bagaimana sekalipun pekerjaannya dapat memenuhi hatinya, akhir-akhirnya tentu akan bangun pula keinginannya sebagai manusia biasa yang hendak berumah tangga dan hidup berbahagia... Telah berapakah umurnya sekarang""
"Sudah dua puluh tujuh tahun."
"Bagi perempuan bangsa kita usia yang demikian telah tinggi benar. Hal itu lambat laun tentu terasa juga kepadany
a, meski bagaimana sekalipun pekerjaannya memenuhi hatinya... Tetapi Tuti tiada akan mudah kawin dengan sembarang orang; orang yang seperti dia itu tiada akan memudahkan perkawinan."
"Tetapi hanya saya takut kalau-kalau ia menjadi korban kecakapannya," sambung Maria tiada menanti Yusuf menghabiskan katanya lagi. "Dahulu engkau tahu ia sudah bertunangan dengan Hambali, tetapi pertunangan itu putus, sebab ia tiada acuh akan Hambali. ia lebih cinta kepada perkumpulannya dan buku-bukunya dari kepada tunangannya."
"Tuti hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang yang luar biasa seperti ia pula. Orang yang biasa tiada akan mengerti akan sikap hidupnya yang terang dan nyata itu."
"Tahukah engkau, Yusuf, beberapa hari yang lalu saya melihat dia membaca Courths-Mahler. Malu ia rupanya ketika hal itu saya ketahui. Dahulu saya selalu dinistanya, sebab membaca buku yang demikian ..."
"Ah, sekali-sekali apa salahnya dia membaca Courths-Mahler. Segala orang pun ada masanya membaca sesuatu yang tiada sesuai dengan pendiriannya. Kadang-kadang sekedar hendak tahu, kadang-kadang ... ya, untuk membaca yang lain saja dari yang dibacanya setiap hari..."
"Ya, kalau engkau hendak mempertahankannya seperti itu tentulah dapat, tetapi sebaliknya perbuatannya itu sesuai benar dengan perubahan pekertinya yang lain dalam waktu yang akhir ini."
"Boleh jadi juga seperti katamu itu... Dan sesungguhnya rupa-rupanya Tuti sedang dalam krisis batin yang besar. Tetapi hal itu baik juga baginya. Tak boleh tidak hal itu akan menyempurnakan sikap hidupnya."
"Saya tidak mengerti engkau, Yusuf. Selalu saja ada perkataanmu untuk mempertahankannya. Segala celaan orang terhadap Tuti, baik datangnya dari Bapak atau dari saya, maupun dari orang lain, ada-ada saja jawabmu untuk mempertahankannya," kata Maria agak mengumpat Dalam perkataannya itu terbayang kepada Yusuf perasaan kecewa seseorang yang merasa dirinya dikebelakangkan. Sebentar terpandang kepadanya dasar cinta Maria seperti orang melihat dasar sungai yang bening. Cinta dan pujaan yang sebulat dan semarak itu menghendaki cinta dan pujaan kembali dan amatlah mudah ia menjelma menjadi perasaan iba atau cemburu. Tetapi arus aliran darah remajanya segera melanda pikiran yang timbul dalam hatinya ketika itu dan bijaksana sebagai orang yang tiada hendak mengecewakan hati orang yang dikasihinya, tetapi sebaliknya tiada pula hendak mengurangkan martabat dan derajat seseorang semata-mata oleh karena cintanya, berkatalah ia seraya melingkarkan tangannya kembali di bahu kekasihnya itu, "Maria, pikiran yang bukan-bukan tiada boleh engkau timbulkan dalam hatimu. Bagi saya hanya engkau seorang saja di dunia yang lebar ini. Tetapi... engkau mesti memperkenankan saya menghormati siapa yang patut dihormati. Tuti, saudaramu itu orang yang luar biasa. Di seluruh negeri kita payah kita mencari orang yang serupa itu... Saya lihat engkau menyukarkan perjuangan batin yang sekarang sedang dialaminya. Lautan yang dalam, apabila ia bergelombang, besar pula gelombangnya."
Maria tiada berkata-kata. Sebagai orang yang kena pesona ia mengamat-amati bibir kekasihnya itu berbicara. Dalam pelukan orang yang dicintainya dengan seluruh jiwanya itu terlenyap segala pikiran mengabur di dalam kalbunya.
Melihat kekasihnya terdiam tiada berkata suatu apa, teruslah Yusuf, "Nanti engkau lihat sendiri, bahwa perjuangan batinnya itu akan menyempurnakan dirinya. Engkau lihat nanti, bahwa ia akan lebih-lebih menghargaimu. Dan engkau akan lebih mudah dan senang bergaul dengan dia."
Termesra melihat Maria selaku bergantung pada bibirnya itu, Yusuf merapatkan muka Maria kepada mukanya dan dalam hasrat curahan cinta berahi muda remaja lenyap mengawanlah segala soal.
Baru insyaf akan dirinya kedua asyik dan masyuk itu ketika dari sebelah Tanjung Periok datang sebuah sampan kecil menyisir pantai mengumpulkan kayu dan ranting yang dihanyutkan arus. Yusuf melepaskan Maria dari pelukan tangannya dan tegaklah mereka melihat sampan orang pengumpul kayu api itu. Ketika sampan itu dekat benar, tiba-tiba timbullah dalam hati Yusuf suatu pikiran, l
alu katanya, "Maria, pernahkah engkau naik sampan di laut""
Maria menggelengkan kepalanya, "Tidak!"
"Kalau begitu, marilah kita pulang ke Pasar Ikan dengan sampan orang ini saja. Tentu ia mau membawa kita asal kita memberikan ia persen."
Maka Yusuf pun menggamit tukang sampan itu dan tiada berapa lama antaranya telah duduklah mereka berdua terbuai oleh gelombang di tengah laut.
Indah nampaknya pandangan ke pantai, kepada pohon-pohon yang rapat berserak-serak tumbuhnya, kepada manusia yang ramai bersuka-sukaan di hadapan pondok.
Di hadapan kuala takjub mereka melihat sebuah mayang nelayan yang pulang dari tengah dengan layar terkembang, indah berukir berwarna-warna buritan dan haluannya. Menghitam rupa jaring menghampar di tengah-tengah dan di antaranya bergelimpangan anak nelayan tidur tiada berbaju. Dekat kemudi di buritan duduk beberapa orang membunyikan gamelan.
Bagi Maria dan Yusuf yang tiada berkata-kata merasa bahagia dirinya, bunyi gamelan yang merdu ditayang angin laut pulang ke darat waktu masuk kuala itu, adalah seperti lagu yang merayakan bahagia mereka berdua.
5. MARIA terbaring di tempat tidur dalam kamarnya, letih hampir tiada bergerak-gerak. Demam malaria sepuluh hari amat mengurus dan memucat mukanya. Sekarang pun ia masih belum sembuh, tetapi oleh karena panasnya sedang turun dapatlah ia terlelap sebentar.
Di hadapan tempat tidur itu bersandar Tuti di atas kursi panjang. Sejak ia pulang dari sekolah tengah hari tadi. ia duduk di sana menjaga adiknya yang sakit itu. Ketika dilihatnya Maria tertidur, diambilnya buku dan dicobanya hendak membacanya. Tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Pikirannya tiada hendak terikat pada buku, tetapi selalu berbalik-balik saja kepada Supomo. Pukul satu tadi ia diantarkannya pulang ke rumah dari sekolah dan di jalan dikeluarkannya yang menurut katanya lama terkandung dalam hatinya.
Tuti sudah lama menyangka, bahwa lekas atau lambat hal itu akan tiba. Terutama dalam waktu yang kemudian ini ia tiada sangsi sedikit jua pun lagi; menilik kepada sikap, gerak-gerak dan kata-kata Supomo terhadap kepadanya pasti ia akan memintanya, menjadi istrinya.
Dan ia sendiri pun. selalu jika Supomo datang bercakap-cakap dengan dia dengan sendirinya terasa kepadanya hatinya girang.
Oleh kelemahan dirinya berhubung dengan perjuangan hatinya tiada insyaf hanyutlah ia menurutkan himbauan suara kalbunya; suatu tenaga gaib yang nikmat menunda melandanya menyambut bahagia yang membayang di hadapannya.
Tetapi meskipun demikian, ketika perkataan yang penting itu keluar dari mulut Supomo tadi, ia terkejut tiada dapat berkata Rata. Perkataan itu tiada dijawabnya, tiada terjawab olehnya, meskipun berulang-ulang Supomo menyatakannya dan meminta jawaban daripadanya.
Sejak dari ditinggalkan Supomo tiada lainlah yang dipikirkannya. Nasi tiada hendak lulus di kerongkongannya, malahan pakaiannya sampai lupa ia menukarnya. Dan dalam ia melayani adiknya itu, tiada berhenti-henti terkilat-kilat kepadanya perkataan Supomo menyatakan cintanya kepadanya.
Waktu adiknya tertidur itu agak tenanglah hatinya berpikir, "Bagaimana, akan diterimanyakah atau tiada permintaan Supomo itu ... " Kalau Supomo tiada diterimanya, apabila lagikah ia akan bersuami" Usianya sekarang sudah dua puluh tujuh tahun. Siapa tahu, kesempatan ini ialah kesempatan yang terakhir baginya. Kalau dilepaskan pula, akan terlepaslah untuk selama-lamanya"
Kalau pikirannya sedang demikian maka lemahlah seluruh sendi badannya. Perasaan kehampaan yang telah berbulan-bulan memberatkan hatinya datanglah mengepul dan memaksanya mengatakan, "Ya" kepada Supomo. Sebab Supomo seorang yang baik hati, penuh kasih sayang. Cintanya yang dikatakannya itu tiada boleh tidak lahir dari kalbunya benar. Sudah lebih enam bulan ia berkenalan dengan dia.
Tetapi apabila seolah-olah telah putuslah maksudnya demikian oleh kemenangan perasaan hatinya, maka timbullah timbangan yang menyelidiki dan menyiasati keputusan yang diambilnya itu. "Baiklah ia kawin dengan Supomo" Dapatkah ia mencintai dan menghormatinya" Dapatkah ia member
i bahagia kepadanya sebagai suaminya" Dapatkah ia sendiri merasa berbahagia dengan Supomo, laki-laki yang lemah-lembut, baik hati, tetapi biasa dalam segala-galanya dan tiada sedikit turut hidup dengan pergerakan kebangunan bangsanya""
Bertalu-talu datang pertanyaan membanjiri pikirannya: sekejap terkilat kepadanya, bahwa kenikmatan pergaulannya dengan Supomo waktu yang akhir ini ialah usaha jiwanya melarikan dirinya dari perasaan kengerian akan usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun.
Bengis dan kejam dikoyakkannya tenda kekaburan tempat perasaannya bersembunyi, dan bengis dan kejam dihadapinya soalnya yang sebenar-benarnya: Kawin untuk melepaskan perasaan kecemasan! Sebabnya cinta sebenar-benarnya tiada akan dapat ia terhadap kepada Supomo yang dalam segala hal menurut pandangan matanya tiada lebih daripadanya, meskipun ia mendapat ijazahnya di negeri Belanda...
Dalam ia dengan kejam dan bengis membelah isi kalbunya sendiri itu, kedengaran kepadanya bunyi orang mengetuk pintu. Dipasangnya telinganya terang-terang dan terdengar kepadanya bunyi ketuk itu berulang-ulang. Perlahan-lahan berdirilah ia dari tempat duduknya dan berjingkat-jingkat, supaya jangan mengusik adiknya yang lagi tidur, berjalanlah ia ke luar.
Kelihatan kepadanya seorang anak kira-kira umur empat belas tahun.
Melihat rupanya tahu sekali ia, bahwa anak itu adik Supomo, sebab pada mukanya ada cahaya kelembutan yang terbayang pada air muka kakaknya. Berdebar-debar hatinya menerima surat yang bersampul dari anak itu. Ketika ia bergesa-gesa hendak masuk, sebab ingin hendak mengetahui isinya, dari jalan kedengaran kepadanya bel bunyi sepeda dan nampaklah kepadanya Yusuf. Belum lagi ia turun dari sepedanya, sudah kedengaran ia bertanya; betapa keadaan Maria.
"Masih seperti biasa saja, tetapi sekarang ia tertidur... marilah engkau naik !" jawab Tuti.
Yusuf menyandarkan sepedanya dan naiklah ia ke rumah, mengikuti Tuti masuk ke kamar Maria. Meskipun hati-hati benar orang berdua itu masuk, tetapi Maria terbangun juga. Mukanya yang pucat itu tersenyum antara kelihatan dengan tiada memandang kekasihnya yang datang melihatnya itu.
Sebentar Tuti menemani Yusuf bercakap-cakap dengan Maria, tetapi sebab tiada dapat ia menahan hatinya hendak membaca surat yang baru diterimanya itu, berkatalah ia, "Yusuf, duduklah engkau sebentar. Saya dari pulang sekolah tadi belum bertukar pakaian lagi. Sekarang hari sudah setengah lima. Biarlah saya membersihkan badan sebentar."
Lalu ke luarlah ia dari kamar Maria masuk ke kamarnya. Pekerjaannya yang pertama sekali ialah membuka sampul surat dari Supomo. Bersinar-sinar matanya menelan segala yang tertulis di dalamnya.
Supomo menceritakan, bahwa telah lama ia mencintainya, tetapi selama itu cintanya disimpannya saja di dalam hatinya, hingga akhirnya ia tiada dapat menyimpannya lagi. Dilukiskannya betapa ia berharap Tuti membalas cintanya itu.
Minta maaf ia mendesak Tuti tadi selekas-lekasnya memberi jawab. Pikirkanlah segala masak-masak, supaya jangan ia menyesal di kemudian hari. Tetapi sementara itu dimintanya juga supaya besok pagi ia mendapat jawab yang baik dari Tuti. Sebab terlampau berat terasa kepadanya menanti seperti sekarang terombang-ambing di laut tidak di darat tidak.
Sangat bersahaja bunyi surat itu dan di sana-sini terasa kepada Tuti pujaan yang tulus terhadap kepada dirinya. Dan di dalam hatinya yakin ia seyakin-yakinnya, bahwa Supomo sesungguh-sesungguhnya mencintainya. Beberapa lamanya lemahlah rasa hatinya sesudah membaca surat itu: Cinta yang semesra itu tidak akan mungkin tersua lagi rasanya seumur hidup!
Lena diletakkannya surat itu di atas tempat tidurnya dan dibukanya pakaiannya. Di dalam cermin lemari yang besar itu nampak kepadanya bayangan badannya. Dengan tiada diketahuinya terhenti tangannya membuka pakaiannya dan melihatlah kepada gambarnya dalam cermin: Tidak, tidak muda lagi rupanya. Masa muda remaja sudah mulai lenyap. Cahaya wajah perawan yang baru naik tiada lagi bersinar pada mukanya. Malahan oleh pekerjaan yang berat bersungguh-sungguh sejak dari umurnya delapa
n belas tahun, di mukanya terbayang kesuraman yang biasa terdapat pada orang yang terlampau berat memikirkan soal hidup.
Lurus ia berdiri di hadapan cermin yang besar itu dengan pakaiannya setengah terbuka. Lebih nyata diamat-amatinya dirinya di dalam cermin itu dari mukanya, ke lehernya, ke dadanya, sampai ke kakinya. Dan keras datang tiba-tiba mendorong pikiran dalam hatinya melihat badannya yang kukuh dan berisi itu: Sekaliannya ini akan lisut sendirinya, sia-sia seperti kembang yang tiada jadi gugur ke bumi. Tiada akan pernah ia melekapkan anaknya sendiri ke dadanya, tiada akan pernah ia mendengar suara yang mesra memanggil "bunda" mencari perlindungan di pangkuannya. Sedih menyayat ke dalam hatinya dan terlemah terhadap perasaan kehampaan yang tiada terderita rasanya, katanya dalam hatinya, "Kalau tidak saya terima sekali ini, pabilakah datang kesempatan yang lain""
Terlelah oleh kekusutan pikirannya sendiri undurlah ia beberapa langkah ke tempat tidurnya dan dengan pakaian yang setengah terbuka itu direbah-kannya dirinya di tempat tidurnya, tersedu-sedu.
O, sejak perjuangan batinnya beberapa bulan ini, telah berapa kalikah tempat tidurnya melihat ia putus asa demikian... "
Tiada tahu ia berapa lamanya ia terlentang di tempat tidurnya, terombang-ambing di tengah perjuangan perasaan dan pikirannya. Sebentar serasa tidak mungkin tidak ia harus menerima permintaan Supomo itu, sebab kesempatan yang serupa itu tiada akan datang lagi. Tetapi sebentar ditangkapnya dirinya, alah oleh perasaan kelemahan. Ia tiada dapat cinta akan Supomo dengan sepenuh-penuh hatinya, sebab Supomo tergambar kepadanya hanya sebagai orang yang baik hati, yang tiada mempunyai sesuatu kecakapan yang akan dapat dipujanya. Kalau ia menjadi istrinya, maka perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk melarikan dirinya dari perasaan kehampaan dan kesepian.
Dan dapatkah demikian ia merendahkan derajat perkawinan, ia yang senantiasa berteriak perkawinan atas cinta, atas harga-menghargai kedua belah pihaknya"
Bolehkah sedemikian ia mendurhaka kepada asasnya sendiri, ia yang mengemukakan dirinya sebagai penunjuk jalan yang baru bagi perempuan bangsanya"
Sebentar tiada kuasa, sebagai orang yang putus asa merasa kekalahannya, sebentar sebagai seorang yang menang, yang dengan insyaf tahu apa yang akan harus dibuatnya dan telah mengambil keputusan tiada akan berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pikirannya... demikianlah keadaan perempuan yang malang itu beberapa lamanya.
Di luar matahari telah turun di balik pohon-pohon di seberang sungai dan di alam di tepi kali Cideng itu perlahan-lahan terjalin sinar kekabur-kaburan sebagai utusan malam yang segera akan turun.
Tiba-tiba Tuti terkejut mendengar Maria batuk dan Yusuf seperti orang kecemasan memanggil Juhro minta ambilkan tempolong, Cepat ia berdiri dari tempat tidurnya dan segera dipakainya pula pakaiannya yang baru seperdua dibukanya itu. Tiba di kamar Maria nampak kepadanya adiknya itu muntah mengeluarkan darah dari mulutnya ke dalam tempolong yang dipegang oleh Yusuf.
Sebelum diketahui ia sudah berteriak, "Darah, Yusuf, darah! Mana Bapak" Mengapa adikku demikian"" Dan ia berlari-lari ke luar pula memanggil bapaknya yang baru berdiri-diri di depan melihat ke jalan besar mengambil angin. Bergesa-gesa orang berdua beranak itu masuk ke kamar Maria, yang belum juga berhenti meludahkan darah dari mulutnya. Tuti segera mengambil tempolong dari tangan Yusuf, sedangkan Wiriaatmaja tiada berhenti membelai-belai rambut anaknya yang letih menjulurkan kepalanya meludah ke dalam tempolong.
Yusuf bertanya kepada Tuti, adakah Maria sebelum itu batuk-batuk. Tuti menganggukkan kepalanya. Sejak beberapa hari sesungguhnya ia batuk-batuk kecil, tetapi sangka mereka tiada mengapa.
Diam Yusuf mendengarkan cerita Tuti dan setelah ditanyakannya beberapa hal yang berhubungan dengan itu, lalu katanya kepada Wiriaatmaja, "Bapak, baiklah kita menyuruh dokter datang sekarang ini, supaya Maria dapat diperiksanya benar-benar. Kalau ditunggu-tunggu, siapa tahu nanti berba
haya, sebab kita belum tahu benar apa penyakitnya itu."
Wiriaatmaja dan Tuti pun demikian juga pikirannya dan demikianlah Yusuf ke luar akan pergi menelepon dokter menyuruh datang. Sementara itu Maria telah berhenti" meludah dan ia telah bersandar pula pada bantal kepalanya. Pucat benar rupa mukanya dan seluruh badannya letih oleh mengeluarkan darah banyak itu.
Tiada berapa lamanya datanglah dokter yang dipanggil Yusuf. Maria diperiksanya sangat teliti dan akhirnya ia tiada sangsi lagi, bahwa Maria mendapat penyakit batuk darah. Sakit malaria yang sangat melemahkan badannya rupanya memberi kesempatan kepada penyakit tbc yang sudah lama dikandungnya dalam badannya untuk memecah ke luar. Kepada Yusuf diberi dokter itu nasehat selekas-lekasnya membawa Maria ke rumah sakit, supaya di sana dapat diperiksa dan diobat selanjutnya.
Sampai jauh malam barulah Yusuf pulang ke rumahnya. Ketika itu Maria agak terlelap sedikit. Wiriaatmaja masuk ke kamarnya dan tinggalah Tuti sendiri di kamar adiknya. Maksudnya akan tidur di kursi panjang di hadapan tempat tidur Maria menjaganya. Tetapi baru ia terbaring, pikirannya telah terpaut terbelit pula pada permintaan Supomo yang besok harus dijawabnya. Terhambung dan terhempas pulalah ia antara perasaannya yang kuat menarik menghanyutkan dengan pikirannya yang nyata dan terang.
Semalam-malaman itu matanya tiada dapat dipicingkannya dan pagi-pagi ketika kedengaran bunyi kokok ayam pertama bangunlah ia dan pergi ke kamarnya. Dipasangnya lampu dan dipaksanya dirinya duduk menghadapi meja tulisnya. Dalam perjuangan yang serasa menghancurkan kalbunya dan memecahkan otaknya itu, akhir-akhirnya dikeraskannya hatinya mengambil keputusan. Ia tiada boleh lemah, ia tiada boleh mendurhaka kepada asasnya sendiri. Maka diambilnya kertas dan menulislah ia kepada Supomo menjawab permintaannya:
Supomo, Percayalah kepada saya, bahwa keputusan ini saya ambil sesudah menderita perjuangan batin yang serasa hendak menghancurkan seluruh jiwa saya. Dari sejak engkau mengantarkan saya pulang ke rumah kemarin sampai petang, sampai malam dan sampai parak siang waktu saya menulis surat ini, saya lemas terkatung-katung antara terbenam dan merapung.
Supomo, telah lama saya merasa, bahwa saat ini lambat laun akan datang. Lemah oleh kesepian hati saya, terbayangkan oleh saya kepadamu, bahwa cintamu akan saya sambut. Sekarang, sekarang setelah saya dapat melihat sekaliannya itu dari tempat yang lantang pemandangan ke segala penjuru, sekarang terasalah kepada saya, bahwa saya berdosa kepadamu. Berdosa, sebab saya membangkitkan harapan dalam hatimu, harapan yang kemudian tiada dapat saya penuhi. Maafkanlah saya, Supomo, maafkanlah saya, Supomo, maafkanlah. Saya pun hanya manusia juga, manusia yang lemah, yang tiada selalu dapat menguasai dirinya.
Sekarang saya sudah menyelidiki hati saya, kejam dan bengis, tiada pandang-memandang. Segala sudut dan relung yang gelap tersembunyi sudah rasa senteri dengan lampu yang seterang-terangnya dan saya sudah tahu hati saya sejelas-jelasnya. Engkau Supomo boleh, tidak, harus tahu, apa sebabnya maka saya mengambil keputusan serupa ini, agar jangan salah pikiranmu terhadap kepada diri saya.
O, Supomo, engkau tiada tahu, betapa besar gelora perasaan saya yang mendesak saya mengatakan "ya" terhadap kepada permintaanmu itu. Dalam kelemahan hidup saya sebagai perempuan yang ngeri melihat umurnya amat cepat bertambah jumlahnya, berkali-kali saya terempas dipukulkan gelombang ke pantai tiada berdaya. Berkali-kali saya serasa kalah mendengar desakan hati saya yang berkata, "Biarlah, terimalah, apa tujuan hidupmu""
Tetapi sekarang, sekarang setelah saya bengis dan kejam menyelidiki segala lekuk dan relung hati saya, sekarang insyaf saya seinsyaf-insyafnya, bahwa apabila saya menerima permintaan itu, perbuatan saya itu semata-mata perbuatan putus asa: melarikan diri dari kengerian perasaan kesepian seseorang perempuan yang merasa umurnya amat cepat bertambah tinggi.
Terhadap kepada cintamu yang mulia dan suci itu, yang lahir dari hatimu yang lembut dan penuh kasih s
ayang, saya tiada dapat memberikan sesuatu yang setara dengan itu. Hati saya kosong, kosong, dan jika semisalnya saya menerima permintaanmu itu, maka penerimaan itu hanyalah berarti mencari pengisi kekosongan itu.
Dan bolehkah perkawinan saya rendahkan menjadi demikian" Saya yang berpuluh-puluh kali di hadapan orang banyak menyerang dan menghancur remukkan perkawinan cara lama di kalangan bangsa kita, oleh karena ia tiada diikat oleh kemesraan cinta dua jiwa yang berjanji bersama-sama menjalani hidup" Saya yang telah bertahun-tahun mempertahankan kemuliaan perkawinan yang kedua belah pihaknya dengan insyaf sepenuh-penuhnya menyerahkan dirinya dalam perjanjian yang suci"
Tidak, tidak, saya tiada boleh mendurhaka demikian terhadap kepada asas dan pendirian saya sendiri Malu saya melihat teman saya seperjuangan, malu saya melihat diri saya sendiri.
Apa boleh buat, jalan yang sulit ini sudah saya pilih dari semula dan saya tiada boleh menyimpang lagi, meski ke mana sekalipun saya dibawanya.
Dan lagi pula Supomo, saya tiada layak mempermain-mainkan cintamu yang sesuci dan semulia itu. Saya tiada boleh menipumu, sebab engkau dengan cintamu yang seindah dan semulia itu berhak akan bahagia yang sepenuh-penuhnya, tetapi yang tiada dapat saya berikan. Bagimu teruntuk orang lain yang sudah membalas kelapangan hatimu yang pengasih dan penyayang itu.
Sedih saya memikirkan saya mesti menolak cinta yang semulia dan sesuci cintamu, tetapi saya tiada dapat, tiada boleh menipu dirimu dan diri saya sendiri.
Supomo, kepadamu saya ucapkan bahagia yang sebesar-besarnya. Lambat laun pasti engkau akan bersua dengan orang yang akan dapat membalas cintamu dengan cinta yang setara pula.
Dan tentang diri saya sendiri, ah ... gelap dan sepi kini sekeliling saya. Apabila dan di manakah malam ini akan berhenti" Saya tiada membuat cita-cita dan angan-angan...
Tetapi meski bagaimana sekalipun ngeri dan sedihnya bunyi jiwa saya meratap dalam kegelapan dan kesepian ini, satu pasal tetap dan pasti bagi saya: biarlah sepi dan gelap tidak berharapan serupa ini selama-lamanya daripada menipu diri saya, mendurhaka kepada asas saya dan mempermainkan engkau.
Supomo, berbahagialah engkau dan terhadap kepadamu saya senantiasa akan menjadi saudaramu yang sanggup membantumu dengan hati yang tulus dan rela.
Salam Tuti 6. MARIA sudah dua hari tinggal di C. B. Z. (Kependekan dari Centraal Burgerlijk Ziekenhuis (bahasa Belanda), sama dengan Rumah Sakit Umum Pusat.) Penyakit malarianya terang ditambah oleh penyakit batuk darah yang tiba-tiba memecah ke luar. Dalam dua hari itu dokter yang merawatnya mendapat keyakinan, bahwa yang sebaik-baiknya bagi Maria ialah pergi ke Pacet, ke rumah sakit tbc bagi perempuan, yang terletak di tengah-tengah pegunungan yang sejuk hawanya.
Meskipun Wiriaatmaja dan Tuti agak berat hatinya melepaskan Maria meninggalkan mereka tiada tentu berapa lamanya itu, tetapi oleh karena tak ada jalan yang lain untuk menyembuhkannya, terpaksalah mereka menurut nasehat dokter. Demikianlah dua hari sesudah itu mereka bertiga dengan Yusuf pergi mengantarkan Maria ke Pacet. Waktu hendak pulang Wiriatma-ja tiada mengikut; ia tinggal di rumah Saleh di Sindanglaya dan setiap hari ia pergi ke Pacet mengulang-ulangi Maria, supaya jangan tiba-tiba benar terasa kepadanya kesepiannya terpencil dari segala orang yang dikasihi.
Sekembalinya Tuti dari Pacet amat sunyi terasa kepadanya di rumah hanya berdua dengan Juhro. Kehilangan ayahnya dan teristimewa perginya Maria sangat mencanggungkannya, sebab sehari-harian Marialah tempat ia berbicara dan berunding. Sepanjang hari pula suara Marialah yang terdengar di rumah; kalau ia tiada bernyanyi, ia memainkan mesin nyanyi dan ke-gelisahannya berjalan dengan pakaiannya yang senantiasa bertukar membawa gerak dan kegirangan. Sekarang sejak Maria tiada di rumah, insyaf ia betapa besar pengaruh adiknya dalam keadaan dan perasaan di rumah selama ini.
Tetapi sebaliknya pula oleh karena tak ada temannya bercakap-cakap itu, lebih-lebih dari biasa ia dapat memikirkan keadaan dirinya
sendiri dan dengan jalan demikian menetapkan kesetimbangan pendirian dan sikapnya kembali. Dan sesungguhnya waktu itulah menenang pula gelora hatinya dan dapatlah ia dengan girang dan senang melihat kepada perjuangan dan percobaan yang baru ditempuhnya. Sekarang ia sudah tahu akan seluk-beluk hatinya dan meringanlah perasaan yang berat dahulu.
Tidak sekali-kali ia menyesal menolak pinangan Supomo itu, malahan kadang-kadang ia mengucapkan syukur tiada teralahkan oleh perasaan kehampaan dan kesunyian yang menyelinap ke dalam hatinya dengan tiada setahunya itu. Sekarang sesudah dapat ia mengaji dirinya sesungguh-sungguhnya, setelah tahu di mana terletak kelemahan dirinya, lebih lapanglah rasanya menghadapi dunia. Maupun soal-soal dirinya ataupun pekerjaannya sebagai perempuan pergerakan dapatlah dilihatnya sekarang dengan perasaan yang aman dan sentosa. Dan dalam pikiran dan pemandangannya yang hebat yang baru ditempuhnya itu, nyatalah keyakinannya, bahwa keduanya tiada usah bertentangan, malahan harus seimbang isi-mengisi. Pekerjaannya sebagai perempuan pergerakan tiada usah berlawanan dengan sifat keperempuan yang hendak mencurahkan dan menerima cinta. Tetapi sebaliknya untuk mengecap nikmat bahagia sebagai manusia biasa tiada usah pula ia melepaskan pekerjaan yang dari sejak di bangku sekolah memenuhi seluruh jiwanya ataupun melombar sikap dan pendiriannya. Ia akan terus berjuang dan bekerja bagi segala yang terasa dan terpikir kepadanya mulia dan luhur dan dalam pekerjaan itu akan diberikannya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang kepada segala sifatnya sebagai manusia dan sebagai perempuan.
Tetapi betapakah harapannya di masa yang akan datang" Kadang-kadang timbul juga perasaan sayu yang kabur dalam hatinya, tetapi bedanya sekarang perasaan itu telah agak mudah ditindisnya. Ia akan bekerja seberapa tenaganya bagi cita-citanya dan selanjutnya untungnyalah yang akan menyudahinya.
Meskipun Maria tidak ada, Yusuf masih sering juga berulang-ulang ke rumah di pertemuan Gang Hauber dengan Cidengweg itu. Katanya untuk mendengar-dengar kabar dan untuk menemani Tuti supaya jangan kesepian. Tetapi terang pula, bahwa sebahagian yang besar seringnya berulang ke rumah yang sepi ditinggalkan kedua penghuninya itu untuk melepaskan kesedihan hatinya sendiri. Pada Tuti dapat ia menghiburkan duka citanya bercerai dengan kekasihnya yang sakit itu. Dan dalam kesedihan mereka bersama berhubung dengan kemalangan yang menimpa Maria itu dapatlah mereka sama-sama meringankan penderitaan masing-masing. Seringlah mereka berjam-jam bercakap-cakap tentang Maria, tentang penyakitnya dan tentang harapannya akan sembuh. Mereka mencurahkan perasaan masing-masing, kesepian yang sama-sama diderita, harap dan cemas yang sama-sama dirasa.
Kira-kira seminggu sesudah itu kembali pula Wiriaatmaja ke Jakarta. Meskipun sangat berat hatinya meninggalkan Maria seorang diri di negeri asing itu, tetapi kewajibannya pula terasa kepadanya mengulangi Tuti, yang tinggal seorang diri di rumah. Dapat dilihat pada wajah orang tua itu, bahwa sakit Maria itu amat mengusutkan pikirannya. Sebab Maria ialah anaknya yang bungsu yang sejak dari kecil dimanjakannya. Dalam seminggu ia setiap hari berulang ke rumah sakit itu keadaan Maria tiada nampak berubah, ia sekali-sekali masih juga memuntahkan darah.
Maksudnya ialah akan berulang-ulang juga ke Pacet. Seminggu di Jakarta dan seminggu pula di Pacet. Berat penghidupan yang demikian bagi orang tua selama itu sentosa dipelihara oleh kedua anaknya, bertahun-tahun tiada meninggal-ninggalkan rumahnya.
Sementara itu Tuti dan Yusuf telah sekali pergi ke Pacet pada hari Minggu mengunjungi Maria. Amat ingin hati mereka agak lama tinggal di sana meng-girang-girangkan hati orang yang dikasihinya itu. Libur bulan Desember masih kira-kira lima minggu lagi dan meskipun dalam libur Desember itu biasanya amat banyak diadakan orang kongres, tetapi kedua-duanya berjanji akan memakai sebahagian besar daripada waktunya tinggal di Pacet untuk mengulangi Maria setiap hari. Bagi Yusuf hal itu tiada berapa berat, oleh karena kebetulan
sebahagian besar dari pekerjaannya untuk perkumpulannya sudah diserahkannya kepada orang lain, berhubung dengan segera akan selesainya pelajarannya. Tetapi Tuti sudah lebih dahulu memberitahukan kepada pengurus Putri Sedar, bahwa sekali ini liburnya tiada dapat diserahkannya sekaliannya kepada perkumpulannya. Sesudah ia mengadakan pidatonya pada kongres di Bandung nanti, ia akan mengundurkan dirinya pergi mengunjungi adiknya yang sakit. Sekalian pekerjaannya diserahkannya kepada teman separtainya yang lain.
7. SUNYI sepi hari berganti hari. Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit di Pacet. Ada waktunya tiap hari ia bertemu dengan ayahnya yang sedang ada di Sindanglaya, tetapi ada pula kalanya sampai seminggu tiada dikunjungi orang. Sekali-sekali datang orang yang tiada disangka-sangka, kenalan yang hendak mengunjungi salah seorang kerabatnya yang dirawat di rumah sakit itu. Hal itu membawa kegirangan yang tiada disangka-sangka baginya.
Sejak dari semula Maria tahu, bahwa di antara orang sakit yang banyak itu ia masuk orang yang berat sakitnya. Kadang-kadang berhari-hari panas badannya, ia batuk -batuk memuntahkan darah. Waktu yang demikian tiadalah ia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Dan apabila segala orang sedang ke luar berjalan-jalan sekitar rumah sakit itu, melayanglah pikirannya kepada sekalian orang yang dikasihinya: kekasihnya, ayali, dan saudaranya. Kadang-kadang teringat ia akan bundanya yang telah beberapa tahun berpulang. Dalam waktu yang demikian amat terasalah kepadanya kemalangan dirinya di rumah sakit yang sepi di lereng gunung itu. Jika ia masih dapat mengangkatkan dirinya, maka seringlah ia melihat dari jendela kaca ke luar ke tamasya pegunungan yang indah di sekitar rumah sakit itu, menghibur-hiburkan hatinya. Sering tiada dapat ia menahan iba hatinya dan menangislah ia tersedu-sedu.
Tetapi apabila badannya agak sehat dan ia boleh ke luar berjalan-jalan sebagai orang sakit yang lain, maka dirinya selaku hidup kembali. Puaslah ia mengecap nikmat kepermaian daerah di keliling rumah sakit yang payah dicari tandingannya itu. Tiada terasa kepadanya waktu habis, apabila ia berjalan-jalan di antara pergurauan kembang-kembang aneka warna yang amat suburnya naik di tanah pegunungan itu. Laksana hidup di surgalah baginya yang suka akan warna dan kepermaian, melancong-lancong di sekitar rumah sakit itu.
Segala tempat dekat di situ dikunjunginya, selaku kakinya yang lemah itu tiada tahu penat-penat. Nikmat terasa olehnya pemandangan dari bangku-bangku tempat duduk ke dataran rendah, nikmat terasa kepadanya menengadah ke atas melihat ke puncak gunung yang bersembunyi di balik awan. Dan ke mana sekalipun ia memandang, di segala penjuru nampak kepadanya kegirangan hidup yang mesra di atas tanah yang mewah membagikan kekayaannya kepada dunia.
Tetapi biasanya apabila ia kembali ke tempat tidurnya sesudah ia berjalan-jalan demikian, maka tiada terkata-katalah letih badannya. Bukan sekali dua sesudah itu naik panas badannya dan ia batuk-batuk pula, sebab ia terlampau banyak memakai tenaganya yang tiada seberapa. Maka berhari-hari pula ia tiada diperkenankan berjalan-jalan.
Pada suatu pagi amat permainya matahari pagi bersinar di lereng Gunung Gede. Sekalian orang sakit telah ke luar, hanya tinggal beberapa orang saja lagi yang tiada boleh berjalan. Maria dari kemarin berharap-harap akan boleh pergi melancong pula, sebab telah beberapa hari badannya tiada panas lagi. Tetapi kebetulan ketika panasnya pagi-pagi tadi diukur, ternyata tujuh delapan setrip lebih dari biasa. Oleh karena telah sering terjadi, penyakitnya bang-kit kembali sesudah ia berjalan-jalan, maka pagi-pagi itu ia dilarang meninggalkan rumah sakit pergi melancong. Larangan itu amatlah mengecewakan hati Maria.
Demikianlah setelah orang ke luar sekaliannya, tegaklah ia dari tempat tidurnya dan dibawanya kursinya ke dekat jendela. Dari balik kaca yang jernih melayanglah pemandangannya ke luar: Matahari pagi menyinari lereng gunung yang hijau. Di antara pohon-pohon yang seperti kekuning-kuningan daun-daunnya, berjalan orang-oran
g sakit, berkawan-kawan, girang gembira rupanya bersenda gurau; sampai-sampai jauh dari rumah sakit itu mereka melancong. Alangkah nikmatnya dapat berjalan-jalan seperti itu!
Maria memandangkan matanya ke kebun bunga di hadapan jendela. Permai benar rupanya naik kembang dahlia pagi-pagi ini. merah, putih, ungu, dan kuning, besar-besar bersorak-sorak di dalam cahaya matahari. Kembang mawar merah dan putih yang tebal bersusun-susun angkuh memandang kepadanya, jarang ia nampak kembang yang sesubur itu tumbuhnya di dalam kebun. Dan alangkah mesranya memancar kemerahan kembang gerbera yang indah tersusun dalam petak-petak yang amat baik jagaannya. Selaku berebut-rebut puspa pelbagai warna itu mengojahnya, mengajak ke luar, bersenda gurau di dunia yang riang.
Dalam gemas melihat kesukaan alam sekelilingnya itu, bertambah mendalam terasa kepada Maria kemalangan dirinya terkurung tiada dapat melepaskan keinginannya bermain-main ke luar. Maka tiada dapatlah ia menahan hatinya mencurahkan perasaannya kepada kekasihnya, lalu diambilnya kertas dan duduklah ia di hadapan meja menulis surat kepada Yusuf.
Yusufku, Meskipun surat saya yang dahulu belum lagi engkau balas, tetapi hari ini saya tiada dapat menahan hati saya mencurahkan perasaan saya kepadamu.
Orang sekarang sudah berjalan semuanya. Hari amat indahnya. Matahari terang bersinar di langit yang hampir tiada berawan dan sejauh-jauh mata memandang ke puncak gunung dan ke bawah, sinar kuning yang permai terserak amat girang dan gembira rupanya.
Alangkah sepinya dalam ruang tempat saya sekarang. Tempat tidur yang putih bersih itu berbaris-baris kosong sekaliannya. Cahaya matahari masuk dari jendela ke dalam menyinari tempat tidur saya menjadi putih menyilaukan mata, seolah-olah hendak menghalau saya pergi ke luar bersama-sama dengan orang-orang lain, yang berpencar sekitar rumah sakit ini, jauh-jauh sampai ke desa-desa. Dari luar jendela bunga dahlia yang jemawa. kembang mawar yang mulia halus dan gerbera yang merah angkuh, tersenyum-senyum kepada saya seolah-olah sekaliannya menter-tawakan saya orang kurungan yang tiada tahu menghargai keindahan alam.
Aduhai kekasihku, semuanya keindahan ke mana sekalipun kita memandangkan mata. Permai permainan awan di lereng dan di puncak gunung yang meninjau ke langit, permai pemandangan ke sawah yang menghijau bertingkat-tingkat di bawah; tiap-tiap hari lain, selalu berubah, tetapi tiap-tiap kali indah. Apabila saya boleh berjalan-jalan, tiada puas-puasnya saya melihat kembang-kembang yang subur yang jauh lebih permai dari yang biasa saya lihat di Jakarta. Di sini segala serba luar biasa seolah-olah ada kekuatan yang luar biasa tersembunyi di tanah tempat tumbuh-tumbuhan yang permai itu membenamkan akarnya. Juru rawat tahu, bahwa saya gemar akan kembang, dan perempuan yang baik hati itu setiap liari membawakan saya kembang-kembang gerbera, dahlia, dan kadang-kadang mawar yang indah-indah dan harum baunya.
Alangkah nikmatnya orang yang hidup di sini dan maulah saya rasanya selama-lamanya tinggal dijanat dunia ini.
O, Yusuf, mengapakah dalam waktu yang akhir ini amat sering saya memikirkan mati. Mungkinkah saya ini sembuh lagi" Dalam beberapa hari yang kemudian ini saya acap memimpikan mendiang bunda. Ngeri saya mengenangkan, bahwa penyakit serupa saya inilah yang membawa mautnya dahulu. Ada saya mendengar kata orang, bahwa seseorang yang sering memimpikan orang yang sudah mati, dipanggil oleh orang yang telah meninggal itu. Dan kalau tiada boleh tidak saya akan mati oleh penyakit ini, Yusuf, kekasihku, relalah saya menutup mata di tengah kepermaian alam ini. Kehendak saya dapat saya bercerai dengan dunia ini pada kesepian senja, apabila puncak gunung Gede sebagai bara di sinar senja, apabila
mega di langit berlagukan warna, dihadapi oleh kembang-kembang pegunungan yang maha permai.
Tetapi, tidak, tidak, Yusuf, mengapa maka pikiran saya sampai ke sana" Sekaliannya tahyul, saya tiada hendak percaya akan kata orang!
Yusuf, Yusufku, tiada dapatkah engkau merasakan betapa berat perjuangan kadang-kadang di dalam h
atiku: Masih semuda ini lagi adikmu ini dan penyakit yang serupa ini menimpanya. Masih jauh lagi jalan yang harus ditempuh dan masih banyak harapan dan cita-cita melambai di hadapan.
Wahai, alangkah permainya dan nikmatnya hidup di dunia ini!
Yusuf engkau harus menolong saya melepaskan diri dari penyakit ini. Sebab saya masih hendak hidup. Belumlah sampai hati saya bercerai dengan segala kepermaian hidup di dunia ini. Belumlah sampai hati saya hendak meninggalkan engkau, kekasihku. Engkau tiada tahu berapa besar cinta saya kepadamu!
Engkau harus menolong adikmu yang malang ini. Engkau tiada boleh membiarkan saya serupa ini.
Wahai nasib, kadang-kadang terasa kepada saya, laksana diri saya sebagai orang yang lemah berkayuh melawan arus yang kuat. Tetapi saya akan berkayuh, akan berkayuh sampai habis tenaga saya dan engkau harus membantu, harus membantu.
Masih dapatkah kita mengecap penghidupan yang seperti kita cita-citakan" Pabilakah" Ngeri kadang-kadang hatiku memikirkan sekaliannya.
Dalam menulis, menurutkan pikirannya yang tiada berketentuan itu, Maria tiada dapat menahan hatinya lagi. Dengan tiada diketahuinya air matanya jatuh mengalir pada pipinya dan menitik ke atas kertas. Pandangannya mengabur dan lemahlah rasa seluruh badannya, tersedu-sedu di atas tempat tidurnya.
Tiada tahu berapa lamanya ia terhenti berpikir dihanyutkannya keibaan hatinya yang tiada terkata-kata, tiba-tiba bahunya dipegang oleh dua buah tangan yang halus. Diangkatnya matanya dan nampak kepadanya juru rawat yang rupanya datang diam-diam.
"Maria, mengapa engkau menangis" Mengapa... " Ah. jangan engkau turutkan hatimu. Engkau mesti girang, selalu girang, supaya lekas sembuh. Ayo, duduk, mari kita bermain dam berdua... Badanmu cuma sedikit benar lebih panas dari biasa. Engkau disuruh tinggal, sebab kami takut engkau kelak akan panas lagi. Besok, engkau tentu akan boleh berjalan."
Amat girang bunyi perkataan juru rawat itu, membangkitkan kegembiraan.
Malu Maria tertangkap sedang menangis demikian. Segera dihapusnya air matanya dan dicobanya tersenyum melihat juru rawat yang sangat baik hati dan peramah terhadap kepadanya itu. Sejak ia di rumah sakit juru rawat itulah yang selalu menghiburkan hatinya, boleh dikatakan tiap-tiap hari ia datang bercakap-cakap dengan Maria dan ada-ada saja akalnya untuk menggirangkan hatinya. Sebab Maria sejak dari semula tibanya di rumah sakit itu sangat menarik hatinya, lain dari orang sakit yang lain. Maria amat terbuka hatinya dan segala sesuatu diceritakannya kepada juru rawat itu sebagai kanak-kanak yang menceritakan tentang hal dirinya.
Ajakan main dam itu tiada tertolak oleh Maria dan seraya menganggukkan kepalanya bangunlah ia dari tempat tidurnya. Juru rawat segera mengambil papan dam, sedang Maria lekas-lekas menyimpan kertas dan tinta dari atas meja. Melihat Maria menyimpan kertas yang sudah bertulis itu, berkatalah perempuan yang baik hati itu mengganggu gadis itu, "Tentu surat kepada dia""
Maria tersenyum tiada menjawab seraya duduk pada meja menghadapi papan dam. Tetapi sebelum mulai juru rawat itu berkata juga lagi, "Kalau menulis surat kepada dia, mengapa pulakah menangis" Engkau mesti girang, selalu girang. Dua minggu lagi akan mulai libur Desember, tentu dia akan datang kemari. Benar atau tidak""
Maka mulailah mereka main dam sambil tiada berhenti bersenda gurau. Oleh pandainya juru rawat itu melayaninya, terlupalah Maria akan segala yang menyedihkan hatinya dan tiadalah terasa kepadanya waktu berjalan, hingga segala orang kembali pula dari melancong dan di dalam ruang tempat Maria itu ramai kembali.
8. PADA petang Sabtu Tuti duduk di sudut wagon kelas tiga kereta api pukul dua dari Bandung menuju ke Cianjur. Tiada banyak orang yang bersama-sama dengan dia ketika itu: dua orang suami-istri yang membawa empat orang anak. yang tua sekali perempuan sepuluh tahun, tiada berhenti-henti bergurau dan bermain-main melengahkan adik-adiknya. Di tengah-tengah tempat duduk yang panjang itu duduk dua orang Tionghoa, sibuk bercakap-cakap tentang hal padi dan penggilinga
n, rupa-rupanya orang yang bersangkut-paut dengan perdagangan padi. Di sudut di hadapan Tuti. diam bersandar seorang gadis muda berpakaian pandu, delapan sembilan tahun usianya.
Ketika kereta api berangkat, Tuti tiadalah berapa mengacuhkan orang-orang yang sama-sama duduk dengan dia. Hatinya masih penuh oleh Kongres Putri Sedar yang baru ditinggalkannya. Selalu, tiap-tiap tahun, kongres tahunan perkumpulannya itu ialah puncak kegirangan hidup Tuti. Nikmat terasa kepadanya jiwanya terkembang sepenuh-penuhnya. Bertemu kembali dengan teman-teman dari segala pojok kepulauan ini, bercakap-cakap dan bertukar pikiran dengan mereka menyegarkan hati dan pikirannya. Percakapan serta perdebatan dalam rapat tertutup dan terbuka senantiasa membangkitkan kegembiraannya dan menambah gelisahnya bekerja dan berjuang. Hidup semangatnya waktu mengadu pikiran dan alasan mencari kesetimbangan, di tengah-tengah pertempuran berbagai-bagai aliran. Dalam segala pertukaran pikiran dan perdebatan ia selalu menjadi tukang cambuk segala kekolotan yang bersembunyi di balik tirai modern. Tiada dapat ia menahan hatinya, pabila terbukti kepadanya, bahwa di antara teman sejawatnya yang sedekat-dekatnya, kemoderenan itu hanyalah kulit belaka. Tempat bersembunyi berbagai-bagai pikiran dan perasaan yang lama yang tiada sesuai lagi dengan semangat baru. Sekali-sekali ada juga kecewa hatinya menginsyafkan betapa lambatnya berubah pekerti kaum perempuan yang dipimpinnya dan betapa kuatnya berurat-berakar berbagai-bagai adat dan kebiasaan yang turun-menurun. Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani menanggung jawab akan segala perbuatannya.
Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.
Baru benar ia tadi berpidato tentang pekerjaan perempuan baru dalam masyarakat. Diakuinya bahwa ada bedanya antara sifat-sifat rohani dan jasmani laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi itu terutama sekali ditunjukkannya, bahwa lain daripada perbedaan itu amat banyak persamaan. Hingga sekarang orang terlampau banyak mengingat perbedaan sifat itu dan berdasarkan itu kepada perempuan diberikan orang pekerjaan yang sangat kecil lingkungannya, yaitu pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak. Dalam lingkungan pekerjaan yang demikian perempuan mesti, tiada boleh tidak menjadi bergantung kepada laki-laki. Kepada jiwanya tiada diberi kesempatan untuk tumbuh dengan sempurna, puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai oleh perempuan telah diwatasi. Oleh itulah maka berabad-abad perempuan takluk kepada laki-laki, dalam segala hal ia bergantung. Dan kecakapan perempuan yang tiada pernah diasah, tiada pernah diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya. Itulah sebabnya maka Putri Sedar berjuang merebut kesempatan yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk mengembangkan segala sifat dan segala kecakapan yang dikaruniakan oleh alam kepadanya, yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya, pekerjaan laki-laki, yang dapat dilakukan oleh perempuan. Dalam dunia pengetahuan, teknik, perdagangan, perempuan harus mengembangkan segala kecakapannya dan kesanggupannya. Kepada perempuan baru harus diberi gelanggang yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan kerabatnya saja. Cap kurang harga, cap mempunyai kecakapan yang terwatas, lebih terwatas dari laki-laki harus dilenyapkan daripadanya. Hal ini bukan sekali-kali berarti, bahwa perempuan akan melepaskan segala pekerjaan yang sudah ditunjukkan oleh alam kepadanya. Jauh sekali-kali; hal itu hanya akan berarti, bahwa lain daripada pekerjaan yang telah selaras dengan koderatnya, kepadanya akan diberikan pula kemungkinan mengembangkan rohani-jasmaninya sesempurna-sempurnanya.
Sedang kereta api berjalan Tuti terus melamun tentang cita-citanya, tentang perkumpulannya, tentang kongres tahunan yang baru ditinggalkannya. Sebenarnya belum puas la
gi ia bersua dengan teman-temanya dan bukan main ingin hatinya menanti kongres itu sampai habis. Tetapi tidak, liburnya tinggal hanya seminggu lagi dan yang seminggu itu hendak dipakainya untuk menggirangkan hati Maria. Demikianlah setelah habis pidatonya, pada rapat terbuka tadi terus ia pulang ke rumah Rukamah tempat ia menumpang, akan mengambil pakaian dan dari sana terus sekali ia pergi ke setasiun.
Beberapa lamanya dibuai oleh kenang-kenangan akan kongres, maka teringat pula ia akan Maria. Betapakah keadaan adiknya itu sekarang" Telah hampir sebulan ia tiada bersua dengan dia sejak ia dengan Yusuf terakhir pada hari Minggu pergi ke Pacet. Sesungguhnya terasa benar kepadanya kesepian sejak ditinggalkan adiknya itu. Ayahnya selalu kelihatan kepadanya berdiam diri, rupanya benar-benar kesedihan orang tua itu memikirkan Maria.
"Salah Maria pula," katanya dalam hatinya. "Surat-surat Maria selalu bersedih, selalu mengeluh kesepian dan rindu hendak pulang. Bagaimanakah orang tua itu tiada terharu hatinya""
Tetapi sesudah itu bertanya pula ia kepada dirinya sendiri, "Mungkinkah penyakit Maria bertambah larat"" Bapaknya yang pulang dari Pacet sebelum ia berangkat mengunjungi kongres di Bandung, mengatakan, bahwa sakit Maria masih seperti biasa juga, belum kelihatan berangsur-angsur, ia masih sering panas, batuknya belum berhenti. Badannya tiada sekali-kali nampak berubah di rumah sakit itu.
Kasihan kepada Maria! Alangkah ingin hatinya hendak bersua dengan adiknya yang hanya seorang itu. Tidak, ia tidak menyesal meninggalkan kongres, meskipun masih sebanyak itu soal yang penting-penting akan dipercakapkan.
Beberapa lamanya Tuti duduk tiada bergerak-gerak di sudut di tempatnya. Penumpang-penumpang lain dalam wagon itu hampir tiada kelihatan kepadanya. Dan tiada diketahuinya, bahwa kereta api itu telah berhenti di Cimahi dan Padalarang dan dalam wagon itu telah bertambah beberapa orang penumpang lagi.
Terus, terus kereta api itu melalui tanah pegunungan Periangan, sungai Citarum yang deras mengalir jauh di dalam jurang sudah dilampaui dan kereta api bertambah lama bertambah dekat menuju ke Cianjur. Di segala penjuru luas menghijau sawah-sawah yang baru ditanam, disilih oleh desa yang tersembunyi di antara pohon-pohonan.
Terbangun dari pelamunannya Tuti mengangkat jendela dekatnya dan diluaskannya matanya ke arah sawah-sawah yang jauh di Utara dan Barat disambut oleh pegunungan yang tinggi-tinggi, yang diselimuti oleh awan yang gelap. Teringat ia, bahwa dari Cianjur kelak ia harus naik auto pergi ke Sindanglaya ke rumah Saleh. Besok baru ia akan pergi ke Pacet melihat adiknya itu bersama-sama dengan Yusuf yang telah seminggu di sana. Jangan-jangan di jalan antara Cianjur dan Sindanglaya sekarang hujan lebat, akan basahlah ia kelak.
Beberapa lamanya ia melihat ke luar, maka turunlah hujan rintik-rintik. Tuti menutupkan jendela kaca dekat tempat duduknya dan dipandangkan-nya matanya ke dalam wagon kepada penumpang yang sama-sama dengan dia. Diamat-amatinya gadis kecil yang dari tadi bermain-main dengan adiknya, lalu dilihatnya pula gadis yang berpakaian pandu di hadapannya. Sigap dan ringkas rupanya ia berpakaian demikian, tiada berhias sedikit jua pun.
Sementara itu di luar hujan bertambah lama bertambah besar, kereta api terus jua, halte penghabisan telah tertinggal pula. Bunyi peluit kereta api beberapa kali dan tiada beberapa lama antaranya menderulah ia masuk ke setasiun. Tuti pun menjinjing tas pakaiannya turun ke peron. Sejurus ia melihat ke kiri ke kanan, nampak kepadanya Yusuf dengan Saleh dan Ratna yang datang menjemputnya, sebab telah diberitakannya, bahwa ia akan sampai hari itu.
Dalam hujan sama-samalah mereka naik taxi pergi ke rumah Saleh di ujung Sindanglaya.
9. SEJAK dari pagi-pagi tiada berhenti-henti hujan turun, bersama-sama dengan angin kuat yang menyentak-nyentak. Pohon-pohon sekitar rumah sakit itu terbuai tertunduk-tunduk seraya gemuruh menderu-deru dan ber-ciut-ciut. Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat cepat tiada habis-habis lakunya. Langit yang
putih kelabu berat turun ke bawah sampai menyatu dengan pelarian kabut di lereng gunung.
Pada pagi-pagi seolah-olah seluruh alam amarah mengamuk itu, terbaring Maria, tiada bergerak-gerak di tempat tidurnya; matanya memandang jauh ke hadapan, tetapi tiada suatu apa jua pun yang kelihatan kepadanya. Kecil dan jauh terpencil, ditinggalkan segala orang terasa kepadanya dirinya pada pagi-pagi yang gemuruh itu. Dan iba dan pilu melayanglah pikirannya, tiada tertahan-tahan. Sebentar ia ingat kepada kekasihnya Yusuf yang sudah seminggu lamanya di Sindanglaya dan sudah dua kali datang mengunjunginya, yaitu hari Minggu dan hari Rabu yang lalu. Pukul sembilan kelak tentu ia akan datang lagi. Dan pada hari Rabu di hadapan akan datang Tuti dari Bandung.
Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter, supaya Tuti dan Yusuf dapat tiap-tiap hari mengunjunginya selama libur mereka ini. Ah, rasa-rasanya permintaannya itu akan diperkenankan. Sebab hari Senin seminggu lagi telah habis pula libur orang berdua itu dan lama pula ia akan dapat bersua dengan mereka.
Maria mengubah letak bantalnya sedikit, sebab ia hendak menghadapi jendela kaca yang tertutup, yang lantang memberi pemandangan ke sebelah barat. Nampak kepadanya sebentar kabut terkuak dan kelihatanlah puncak gunung Gede biru kehitam-hitaman bersandar pada langit yang rata putih kekelabu-kelabuhan. Di lerengnya masih berkejar-kejaran kabut menutup pemandangan; tetapi agak ke bawah banyak kelihatan hijau-hijauan hutan dan kebun, mengabur dalam hujan yang turun tiada berhenti-hentinya.
Pemandangan yang suram ke gunung yang dibaluti awan dan kabut, bertambah mendalamkan perasaan sayu dalam hati Maria. Terasa benar-benar kepadanya kemalangan nasibnya. Telah hampir dua bulan ia terbaring dalam rumah sakit itu. Usahkan penyakitnya berkurang, dua hari yang lalu ia dipindahkan ke kamar ini seorang diri. Tahu ia, bahwa ia diasingkan itu oleh karena penyakitnya bertambah. Telah berapa banyaklah orang yang diasingkan kemari tiada hidup lagi ke luar. Sering ia bertanya kepada dirinya sendiri, "Akan demikian pulakah nasibnya""
Dan pagi-pagi ini pertanyaan itu lebih-lebih datang menyenak ke dalam hatinya, "Kalau begini rasa-rasanya saya hanya menunggu waktunya saja lagi. Betapakah akan rasanya mati, tidak lagi melihat dan mendengar, meninggalkan segala yang dikasihi dan disayangi untuk selama-lamanya..."
Beberapa lamanya pikirannya berhenti menginsyafkan makna sekaliannya itu.
Nampak lagi kepadanya masa bahagianya, ketika ia mulai bertunangan dengan Yusuf. Perjalanan mereka ke Dago, ketika mereka mencurahkan kasih mesra yang telah lama terkandung di dalam hati. Sayup-sayup terasa kepadanya kenikmatan duduk bersama di atas batu, ketika hilang rasa tempat dan waktu. Dan sesudah itu, seluruh dunia girang semata, melihat muka kekasihnya dan mendengar suaranya ialah kenikmatan yang tiada berbanding. Alangkah permainya hidup di dunia ini!
Kaburlah nampak sekaliannya itu, amat jauh, seolah-olah dari mimpi yang tiada nyata.
Tidak, ia tidak akan dapat merasakannya lagi!
Maria tiada dapat menahan hatinya. Pandangannya mengabur dan panas rasanya air mata mengalir pada pipinya. Terlonjak-lonjak badannya yang kurus kering itu dan seraya membalik membenamkan mukanya pada bantal guling, mengeluhlah ia, "Wahai, Yusuf, tolonglah adikmu ini. Semuda ini lagi, mestikah sekalian harapan itu terbuang saja" O, Yusuf, manakah engkau, manakah engkau""
Bergelung dan meregang badan kurus itu di tempat tidur seperti cacing yang lata dan tiada kuasa digigit semut.
Beberapa lamanya, perlahan-lahan, badan itu mereda, meletih sendiri. Mata yang terlampau besar nampaknya pada muka yang kurus itu, tiada bergerak-gerak, jauh memandang ke hadapan.
Tetapi tiba-tiba. seolah-olah didorong oleh kilat perasaan yang amat cepatnya, Maria melengkungkan tangan kaitannya, yang tulang berjabirkan kulit, meraba ke bawah bantal. Meliuk-liuk badannya dan dikeluarkannya dari bawahnya sehelai surat, telah berkerumuk-kerumuk. Telah berapa kali ia membaca surat dari kekasihnya yang diter
imanya sehari sebelum Yusuf datang mengunjunginya libur Desember ini. Tiap-tiap hari terasa baru lagi harapan yang digambarkannya itu:
Maria, engkau harus baik, lekas baik. Tiga bulan lagi akan selesai sekolah saya. Saya sendiri akan menjaga kekasihku. Sejak dari sekarang saya akan mempelajari penyakit tbc sedalam-dalamnya. Sebab kekasihku harus saya sembuhkan sendiri.
Tetapi Mariaku, engkau harus kuat, harus teguh imanmu. Jangan putus harapan. Ingatlah akan bahagia kita di kemudian hari. Hendaklah itu, menjadi pedomanmu.
"Tidak, tidak," kata Maria dalam hatinya. "Yusuf tiada berubah hatinya kepada saya." Dalam seminggu ini hal itu nyata benar terasa kepadanya. Dicobanya mengingatkan rupanya, apabila ia menghadapinya. Dalam kenangannya itu puas rasa hatinya yang hasratkan kasih sayang. Yusuf masih seperti biasa. Yusuf pun terang kelihatan mengidap dan menderita oleh sakitnya. O. ia boleh percaya kepada Yusuf. Dan seraya melihat kepada surat itu pula, katanya perlahan-lahan menginsyafkan hiburan kekasihnya itu ke dalam hatinya, "Tiga bulan lagi ia menjadi dokter, tiga bulan lagi."
Sebentar sesungguhnya dapat hatinya turut bergirang membaca perkataan yang nikmat yang dituliskan orang yang dicintainya dengan seluruh jiwanya itu. Dalam perasaan bahagia sekejap itu cepat gembira naik-turun dadanya. Tetapi segera datang sendiri bantahan dari dalam hatinya, "Tiga bulan lagi... masih dapatkah ia menanti selama itu" Tidak mungkinkah sebelum itu ia telah ..."
Datang pula menyenak perasaan pilu di dalam hatinya dan segala harapan akan bahagia itu lenyap melayang pula.
Demikianlah beberapa lamanya gadis yang malang itu timbul-tenggelam dilamuri gelombang perasaannya.
Pukul setengah sembilan tiba-tiba datang juru rawat mendapatkan Maria. Duduk ia di hadapan gadis itu menemaninya. Terutama sejak ia diasingkan seorang diri itu lebih sering ia datang bercakap-cakap untuk menghiburkan hatinya.
Masih terhambung-hambung di tengah gelombang perasaannya itu, perkataan yang pertama sekali diucapkan Maria kepada juru rawat dengan suaranya yang pecah-pecah sebagai roda berputar di atas kerikil ialah, "Suster, saya mesti sembuh, mesti sumbuh. Apabilakah mungkin saya ini sembuh""
Sekejap tertegun juru rawat itu mendengar ucapan yang tiada disangka-sangkanya. Tetapi biasa menghadapi berbagai-bagai perangai orang sakit, segera ia menjawab, "Maria, mengapa engkau berkata begitu" Tentu engkau akan sembuh! Tak usah engkau cemas sedikit jua pun."
Tetapi perkataannya itu disambut oleh Maria sebagai orang mengumpat, "Ya, tetapi mengapa suster mengasingkan saya seorang diri di sini" Benarkah penyakit saya bertambah, Suster""
"Ah, Maria, engkau tidak usah takut apa-apa! Sebabnya maka engkau dipindahkan ke sini tidak lain, supaya engkau dapat tidur lebih tenang, tiada diusik oleh orang sakit yang lain-lain."
Tenang dan lemah-lembut bunyi suara juru rawat menjawab pertanyaan Maria. Telah perkerjaannya benar menyenangkan hati segala orang sakit yang terserah kepadanya. Tetapi meskipun demikian ada getar yang halus berbunyi dalam suaranya yang lemah-lembut menghadapi perawan muda, yang dalam hampir dua bulan sejak ia terserah kepadanya sangat menarik hatinya. Hendak membawa percakapan kepada pasal yang lain, berkatalah ia melihat kertas yang dipegang oleh Maria, "Pabila engkau mendapat surat, Maria""
"Surat ini sudah lama saya terima, dari tunangan saya..."
"O, ya, hari ini hari Minggu, tentu datang sebentar lagi!"
Maria menganggukkan kepalanya. "Kakak saya yang perempuan datang pula hari Rabu yang akan datang. Ia sekarang sedang menghadiri kongres perkumpulannya di Bandung. Alangkah senangnya nanti... Bolehkah mereka mengulangi saya setiap hari, Suster" Ah, Suster, biarkanlah Suster!" Suara Maria sebagai suara anak-anak yang membujuk mencumbu orang tuanya meminta sesuatu.
Mengelak, juru rawat yang manis budi itu menjawab, "Nantilah kita lihat, janganlah engkau cemas... Tetapi Maria, pabilakah habis pelajaran tunanganmu itu. Katamu dahulu ia sudah tahun yang penghabisan!"
Mata yang lesu itu agak bersinar-sinar dan senyu
m yang halus membayang pada mukanya. "Katanya tiga bulan lagi ia akan menjadi dokter, habis pelajarannya."
"Tidak lama lagi."
Maria mengangguk, tetapi ingat akan janji tunangannya itu akan mengobatinya sendiri, berkatalah ia, "Suster, mungkinkah penyakit saya ini sembuh diobati di rumah saja""
"Mengapa engkau bertanya begitu"" kata juru rawat yang tiada tahu jalan pikiran gadis itu.
"Oh, tidak Suster, saya hanya bertanya saja. Sebab dia ada berjanji kepada saya akan mengobat saya sendiri, kalau ia sudah menjadi dokter. Katanya ia akan mendalami khusus tentang hal tbc."
"Begitu katanya" Alangkah baiknya!" kata juru rawat yang peramah itu dengan muka yang girang, selaku ia pun turut bergirang atas harapan si sakit itu. "Tetapi lihat sajalah nanti tiga bulan lagi, ia sendiri tentu lebih tahu dari saya."
Tetapi ketika itu kedengaran bunyi langkah orang datang menuju ke tempat itu. Tiada berapa lama antaranya kelihatan seorang laki-laki muda dengan seorang perempuan muda berdiri di hadapan pintu kamar tempat Maria itu, tak lain daripada Yusuf dengan Tuti.
Melihat Tuti yang tiada disangka-sangkanya itu berdiri di hadapannya itu terlompat dari mulut Maria, "Hai, Tuti, engkau datang pula." Dan seraya melihat kepada juru rawat, yang dekatnya itu, berkatalah ia, "Suster, inilah saudara saya itu."
Setelah ia berkenalan dengan juru rawat itu, maka Tuti menceritakan bagaimana maka ia datang hari itu. Sudah habis rapat di Bandung pukul satu kemarin ia bergesa-gesa mengejar kereta api ke Cianjur. Kongres baru mulai, tetapi pidatonya sudah diucapkannya dan segala pekerjaan yang lain sudah diserahkannya kepada temannya utusan yang lain dari Jakarta.
"Kami sedang berbicara tentang nona benar tadi," kata juru rawat. "Menurut kata Maria nona akan datang hari Rabu nanti."
"Sebenarnya itu maksud saya mula-mula, tetapi di Bandung nyata kepada saya, bahwa saya telah boleh meninggalkan kongres itu."
Tetapi dalam ia berbicara itu Tuti tiada berhenti-henti mengamat-amati rupa adiknya itu. Jika dibandingkan dengan dua bulan yang lalu, jangankan ia agak sembuh, badannya bertambah kurus dan mukanya bertambah pucat. Dan teristimewa bunyi suara Maria yang tiada padu dan penuh lagi itu, sangat mencemaskannya. Demikianlah agak khawatir segera ia bertanya kepada Maria, betapa rasa badannya sekarang.
"Lihat sajalah sendiri," kata Maria dengan suara yang berdesus-desus. Dan dalam ucapannya itu terbayang kesebalan hatinya memikirkan keadaannya.
Ketika itu juru rawat yang merasa, bahwa tentulah banyak yang hendak dipercakapkan orang berdua bersaudara yang baru bersua itu, minta mengundurkan dirinya.
Maka tinggallah mereka bertiga saja dalam kamar rumah sakit itu. Yusuf sejak dari tibanya berdiri sebelah kepala tempat tidur Maria itu, tiada banyak katanya. Dilihatnya saja, bagaimana Maria bercakap-cakap dengan Tuti, tetapi sementara itu pikirannya tiada berhenti-henti dijalankannya. Dalam seminggu yang akhir ini, sejak ia dua kali dapat mengunjungi rumah sakit itu, keadaan Maria tiada berubah sedikit jua nampak kepadanya. Malahan pasti penyakitnya bertambah, kalau tidak tiadalah ia diasingkan dari orang sakit yang lain ke dalam kamar ini. Berbagai-bagai pikiran dan dugaan yang tiada baik datang mendesak di kepalanya, mengharu birukan pikirannya. Dan keinsyafan, betapa tiada kuasa membantu orang yang dikasihinya, sangatlah memilukan hatinya.
Berbagai-bagai pertanyaan Maria kepada Tuti tentang hal rumah, tentang hal kenal-kenalannya di Jakarta. Segala yang kecil-kecil penting baginya. Bagaimana keadaan tanam-tanamannya, siapa yang menggantikannya pada sekolah Muhammadiyah.
O, alangkah inginnya ia pulang ke Jakarta, akan melihat rumahnya, akan bertemu dengan teman-temannya.
"Ah, pabilakah saya akan dapat pulang ke Jakarta"" keluhnya di tengah berbagai-bagai pertanyaannya kepada kakaknya.
"Engkau mesti sabar," kata Yusuf kepada Maria, payah membiasakan bunyi suaranya, supaya khawatirnya jangan kelihatan kepada kekasihnya itu. "Engkau mesti pandai menggirangkan hatimu dan jangan menurutkan perasaan yang bukan-bukan. Hanya dengan jala
n demikian engkau dapat sembuh. Penyakit serupa ini memakan waktu amat lama."
"Ah, segala orang mengatakan serupa katamu. Tetapi, coba orang merasakan sendiri seperti keadaanku ini," kata Maria dengan suara seperti orang yang hendak menangis.
Tetapi Tuti segera mengalihkan percakapan, ia bercerita tentang kongresnya.
10. PERMINTAAN Maria, supaya tunangan dan saudaranya boleh mengunjunginya tiap-tiap hari selama libur itu, diperkenankan oleh dokter pemimpin rumah sakit. Demikianlah tiap-tiap hari Tuti dan Yusuf berulang ke Pacet dari Sindanglaya, pagi-pagi antara pukul sembilan dengan pukul dua belas dan petang hari antara pukul lima dengan pukul enam. Kalau hari baik biasanya mereka jalan kaki saja jarak yang kira-kira empat lima kilometer. Di tanah pegunungan yang sejuk itu tiada terasa perjalanan yang demikian, teristimewa pula disebabkan oleh tamasya yang indah-indah yang jarang mereka lihat. Kadang-kadang mengikut pula bersama-sama mereka Ratna atau Saleh atau kedua suami istri itu, tetapi biasanya mereka berdua sajalah yang pergi ke Pacet, sebab waktu ini orang berdua itu sedang banyak pekerjaan di kebun dan sawahnya.
Girang hati Tuti dan Yusuf melihat betapa kunjungan mereka selalu dihargai oleh Maria. Apabila mereka masuk ke tempat ia terbaring, maka agak berserilah nampak mukanya yang pucat dan kurus, dan matanya bercahaya membayangkan kegirangan hatinya.
Sementara itu penyakit Maria tiada berangsur-angsur sembuh. Dokter yang merawatinya menceritakan kepada Yusuf, bahwa yang terutama membahayakan baginya ialah oleh karena penyakit malarianya belum lenyap. Panasnya yang timbul sekali-sekali sangat melemahkan badannya yang tiada berapa kuatnya.
Ucapan dokter itu serta penglihatannya sendiri pada Maria sangatlah mengkhawatirkan hati Yusuf. Dalam keadaan serupa ini sesungguhnya amat sedikit harapan kekasihnya itu akan sembuh lagi. Tetapi dugaan dalam hatinya itu selalu dilawannya dan tiadalah pernah terkeluarkan olehnya kepada Tuti.
Jika mereka sedang dalam kamar Maria itu, biasanya Yusuf tiada banyak katanya, selaku tiada tergerakkan mulutnya olehnya. Berat mengimpit terasa kepadanya keinsyafan di dalam kalbunya, bahwa ia tiada bertenaga menolong kekasihnya itu melepaskannya dari genggaman musuh yang tiada kelihatan perlahan-lahan menarikkannya dari tangannya.
Pada suatu petang, ketika Tuti dan Yusuf pulang dari Pacet, sedang hati mereka penuh sesak memikirkan hal Maria yang hari itu panas badannya dan batuk-batuk, tiadalah dapat Tuti menahan hatinya lagi dan berkatalah ia kepada Yusuf, "Yusuf, bagaimanakah pikiranmu, masih adakah harapan Maria akan sembuh" Rupanya sangat mencemaskan. Saya sesungguhnya takut..."
Sejurus lamanya Yusuf diam seolah-olah amat berat baginya mengatakan pikirannya, perlahan-lahan terhenti-henti keluarlah dari mulutnya, "Entahlah, saya pun sebenarnya sangat khawatir... Pada adatnya telah agak payahlah ia akan sembuh... Tetapi marilah kita berharap yang baik saja."
Sesudah itu kedua-duanya diam pula seolah tiada berani meneruskan percakapan itu. Masing-masing menurutkan perjalanan pikirannya yang pilu dan ngeri.
Kediaman mereka di negeri di tengah pegunungan itu dan pergaulan mereka setiap hari dengan Saleh dan Ratna, amat besar pengaruhnya atas batin mereka berdua. Pagi-pagi apabila dua suami-istri bangun, bangkit pula mereka berdua dari tempat tidur masing-masing, meskipun hari amat dingin. Telah dua kali mereka sesudah menyarap pagi-pagi menurut Saleh dan Ratna sebentar pergi ke sawah dan kebun mereka di belakang rumah. Mula-mula agak janggal nampak kepada mereka kedua orang itu bekerja sesungguh-sungguhnya sebagai orang tani. Tuti yang kenal akan Saleh dan Ratna sejak dari mereka bertunangan dahulu hampir-hampir tiada dapat percaya akan matanya melihat suami-istri itu. Saleh memakai celana pendek dan kemaja kuning dan bertudung bambu yang lebar. Ratna yang dahulu pada matanya seorang gadis kota yang genit berselop tinggi tumit, memakai kain berwiron dan kebaya sutera berwarna-warna, menjelma menjadi perempuan desa yang memakai sarung kasar, kebaya ka
in tebal yang biru, berlengan hanya sampai ke siku. Dan yang menggelikan hati Tuti benar ialah tudung bambu lebar yang menutupi kepalanya.
Tetapi setelah lenyap keheranan pandangan pertama, perlahan-lahan tumbuh dalam hatinya perasaan takjub. Kagum ia melihat betapa jelasnya Ratna memberi perintah kepada orang-orang yang menolong mereka bekerja mengurus tanaman kembang yang baru ditanam, betapa sigap dan ringkasnya ia sendiri menjaga ternak dan itiknya, memberi makannya, memeriksa anak dan telurnya di dalam kandang yang sangat rapi dan bersih. Dan yang melampaui segala yang disangka-sangkanya. Ratna sendiri pergi merencah lumpur sawah bersama-sama dengan suaminya menanam bibit padi.
Segala yang dilihatnya itu di luar reka-rekaan dan perhitungannya. Dalam angan-angannya yang tinggi melambung diberikannya kepada perempuan baru kedudukan yang selama ini hanya milik laki-laki. sebagai pemimpin di kantor-kantor, sebagai hakim dan jurnalis, sebagai ahli ilmu pengetahuan, malahan sebagai juru terbang. Oleh karena ia selalu menajamkan pertentangan antara perempuan dan laki-laki, tiada pernah teringat kepadanya penghidupan setiap hari di desa-desa, pekerjaan perempuan dalam kerabat biasa, yang harus bekerja mencari nafkah.
Tetapi ada juga kalanya Tuti dan Yusuf pagi-pagi telah meninggalkan rumah, melancong-lancong di sekitar Sindanglaya atau terus sekali jalan perlahan-lahan menuju ke Pacet. Dijalan seringlah mereka berhenti melihat-lihat pemandangan yang permai-permai ke gunung-gunung dan bukit-bukit, atau ke bawah ke lembah dan ngarai, tempat rumah-rumah orang desa tersembunyi di balik pohon-pohon dan sawah hijau membentang bertingkat-tingkat, disilih oleh kolam ikan yang jernih bercahaya-cahaya. Tamasya lembah dan gunung yang lebat, pemandangan yang indah kepada rimba, sawah dan kebun, ditambah pula dengan mengisap udara yang sejuk dan segar, amatlah melapangkan hati dan pikiran mereka. Sebagai orang yang datang dari kota yang biasa melihat rumah dan toko bersesak-sesak, yang pemandangannya biasanya dekat terwatas oleh gedung yang rapat, amatlah menakjubkan hati mereka kebebasan, kebesaran dan keluasan tamasya pegunungan dan kekayaannya akan tumbuh-tumbuhan yang menghijau dari lembah jauh di bawah sampai ke puncak gunung yang menantang langit.
Gemar pula mereka berjalan-jalan melihat kebun sayur-sayuran; girang dan gembira mereka melihat kesuburan daerah pegunungan itu, di mana-mana tanah yang penerima dan pelahir memperagakan kekayaannya Berjajar-jajar kubis yang besar-besar mengembang di atas tanah dan berebut-rebut daun bawang yang hijau meruncing ke udara. Terutama benar tiada terkata-kata suka cita mereka berjalan-jalan dalam kebun tempat orang menanam bunga. Alangkah banyaknya jenis dan warnanya tumbuh-tumbuhan kepermaian itu di daerah pegunungan yang sejuk ini!
Biasanya sebelum pergi ke rumah sakit, dipilih merekalah dahulu kembang-kembang yang disukai Maria untuk menggirang-girangkan hatinya.
Sekalian penglihatan dan pengalaman dalam beberapa hari itu terutama sekali amat dalam meresap ke dalam kalbu Tuti yang sejak dari waktu ia masih sekolah di Sekolah Guru boleh dikatakan tiada berhenti-henti menyerahkan tenaganya kepada pergerakan, sampai-sampai dalam liburnya. Setiap hari meninggalkan rumah, setiap hari bebas berjalan dalam alam yang luas dan besar melihat kepermaian tamasya dan rona, seolah-olah membuka mata dan hatinya seperti belum pernah terasa kepadanya seumur hidupnya. Perlahan-lahan, hampir tiada diketahuinya tumbuhlah keinsyafan dalam hatinya, bahwa lain daripada lingkungan pekerjaannya sehari-hari, lain daripada partai dan teman sejawatnya dan lain daripada cita-citanya yang menjadi deburan jantungnya yang gembira, ada lagi dunia yang lain, yang selama ini dijauhinya, karena tiada diketahuinya akan hakekatnya yang sebenarnya.
Pada senja hari, apabila mereka meninggalkan rumah sakit dalam cahaya yang kabur dan melihat ke arah gunung yang hitam padu, di sana-sini ditutup oleh selubung awan yang putih kekelabu-kelabuan, maka di dasar jiwanya yang sedang terkembang laksana bunga mengorak
kelopak menyambut sinar, terasalah kepadanya semesra-mesranya, betapa banyaknya kekurangan penghidupannya yang taat belajar dan gelisah berjuang sebagai perempuan pergerakan selama ini.
Setiap hari berdamping dengan alam yang seindah dan sedahsyat itu bentuk dan rupanya, selaku mengalirlah sukma alam yang akbar dan suci itu ke dalam kalbunya. Tuti merasa dirinya menjadi manusia yang baru yang lebih lapang hati dan pikirannya. Sebagai gunung-gunung yang tinggi menghadap langit itu lantang meninjau ke sekelilingnya, demikian pulalah mengerti hatinya meninjau kepada penghidupannya sendiri, nampak kepadanya dirinya bergerak dan berjuang bagi yang terasa kepadanya dan selayaknya, tiada melihat ke kiri dan ke kanan, tiada insyaf akan tenaga-tenaga yang melindungi dan mengatasi tenaga manusia.
Dalam keinsyafan yang baru ini segala yang lemah dan halus yang selama ini tersembunyi dan terdesak di dasar kalbunya oleh kekerasan kemauannya mengejar cita-citanya, oleh ketajaman otaknya yang ganas dan kejam menghitung dan menimbang, mendapat kesempatan yang sebaik-baiknya untuk tumbuh dan berkembang. Lain daripada tempat pertarungan yang sengit dan tiada pandang-memandang perlahan-lahan terbentang di hadapan matanya hidup di dunia ini sebagai persatuan keindahan. Dalam persatuan keindahan itu bukanlah lenyap perjuangan, tetapi perjuangan itu tersuci menjadi lebih mulia, sebab ia terlangsung bukan semata-mata karena berebut pengaruh atau kekuasaan, tetapi seperti koderat alam yang selalu mencari kesetimbangan yang lebih tinggi derajatnya dalam susunan keindahan persatuannya.
Dalam pemandangan hidupnya yang melapang itu terasa kepada Tuti betapa besarnya pengaruh Yusuf atas dirinya dalam beberapa hari itu. Sebab dalam perjalanan mereka setiap hari antara Sindanglaya dengan Pacet, waktu mereka melancong-lancong ke desa-desa dan ke kebun-kebun, tiadalah putus-putus mereka bercakap-cakap. Tentang berbagai-bagai soal dan masalah mereka bertukar pikiran, tentang perhubungan alam dengan manusia, tentang Tuhan dengan dunia, tentang pergerakan perempuan, tentang seni dan uang. Kadang-kadang pertukaran pikiran itu menjelma menjadi perdebatan dan pertengkaran yang sengit. Tetapi meski bagaimana sekalipun seringnya Tuti tiada seia dengan Yusuf dan tiada dapat menerima pikiran dan pemandangannya, lambat laun tiada dapat dicegahnya tumbuh perasaan penghargaan dalam hatinya terhadap tunangan adiknya itu: betapa setimbang pendirian hidupnya betapa lapang perasaan dan pikirannya untuk menghargai keindahan dan kebenaran dalam berbagai penjelmaan. Dialah yang memperlihatkan kepadanya segala keadaan dan kejadian di dunia dalam perhubungannya yang lebih besar dan mulia. Kepada dialah ia belajar merasakan kenikmatan alam waktu sama-sama berjalan-jalan di tengah-tengah sawah, di kebun-kebun, waktu sama-sama melihat tamasya yang indah-indah di tanah pegunungan yang dahsyat itu.
Sebaliknya oleh pergaulan setiap hari itu Yusuf pun lebih dalam dapat mengajuk hati Tuti. Terasa kepadanya, betapa dalam jiwa perjuangan yang gembira dan tulus itu terluang tempat yang kosong dan sunyi, yang sendu meratap minta diisi. Perasaan hormat yang tiada terhingga kepada otak setajam itu, kemauan sekeras itu dan kegembiraan senyala itu, disepuhi oleh perasaan emas turut merasa dan menderita.
Demikianlah dalam kepermaian alam yang dahsyat, dibuaikan oleh alun cemas dan harapan berhubung dengan nasib orang yang sama-sama dikasihi dengan tiada setahu dan seinsyaf mereka mendekatlah jiwa mereka berdua dalam pengertian dan penghargaan yang mulia dan suci, dan terjalinlah antara mereka suatu tali perkariban yang halus dan indah.
11.

Layar Terkembang Karya St. Takdir Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BERAT Tuti dan Yusuf mengangkat badannya dari meja makan sesudah makan malam. Sebab meskipun dengan bersahaja Ratna selalu berkata, bahwa makanan yang dapat disajikannya kepada mereka hanyalah makanan orang tani di desa, sesungguhnya mereka berdua dimanjakannya. Tiap-tiap hari di atas meja ramai teratur berbagai-bagai makanan: beras baru dari sawah sendiri, ikan yang gemuk baru ditangkap di empang, berjenis-jenis sayur-sayuran yang
segar dari kebun di belakang rumah dan ayam piaraan sendiri. Makanan yang senikmat itu ditambah pula hawa dingin negeri pegunungan, sangatlah membangkitkan nafsu makan mereka, sehingga jauh lebih banyak mereka makan dari biasanya di Jakarta.
Bersama-sama dengan Saleh mereka pergi duduk ke beranda dalam; Ratna tinggal bersimpan di belakang. Sedang di luar hawa amat dinginnya, nyaman rasanya duduk di tempat yang kecil apik itu. Segar nampaknya pigura lukisan alam yang berwarna-warna bergantungan di dinding disinari oleh cahaya lampu minyak tanah yang terang; di atas lemari buku terletak sebuah pigura sulaman kucing besar yang menangkap tikus, amat hidup rupa warna dan lukisannya. Di atas meja marmar bersahaja yang dilingkungi oleh empat kursi terletak sebuah jambangan kaca biru yang besar berisikan kembang mawar indah merah, dipetik dari kebun kembang di belakang rumah.
Sedang Yusuf dan Tuti duduk menghadap meja marmar di bawah lampu. Saleh pergi ke luar melihat apa yang dibawa pos. Kembali ke beranda dalam dibawanya Java Post dan Bintang Timur yang terbit hari itu, serta sebuah majalah yang terbungkus. Kedua koran itu diletakkannya di atas meja di hadapan Tuti dan Yusuf, sedangkan majalah itu dibukanya sendiri. Beberapa lama ia membalik-balik, maka mukanya agak berseri dan berkatalah ia, "Ratna akan girang benar nanti."
Mendengar kata Saleh itu Tuti yang baru hendak membuka Java Post, melihat kepadanya seraya bertanya, "Mengapa""
"Tidak," jawab Saleh. "Ini majalah Dunia Istri. Ada termuat karangannya!"
"Karangan Ratna"" ujar Tuti penuh minat. Dan tiada dapat menahan hatinya lagi katanya, "Coba beri lihat kepada saya."
Saleh mengulurkan majalah itu ke tangan Tuti, yang segera membalik-baliknya, mencari nama Ratna. Tetapi sampai kepada halaman yang terakhir, tiada ia bersua dengan yang dicarinya itu dan berkatalah ia kepada Saleh, "Mana dia, saya tiada bertemu nama Ratna""
"Carilah sendiri, saya tiada hendak mengatakannya," kata Saleh dan dalam suaranya menggetar perasaan kebanggaan akan istrinya yang dicintainya itu.
Yusuf mendekatkan kepalanya kepada Tuti yang sedang membalik-balik halaman majalah itu dan tiba pada suatu halaman, ujarnya, "Tentulah ini, siapa lagi akan menulis: Menungan Perempuan Desa Kalau padi mulai berkembang."
Tuti memandang kepada Saleh dan bertanya, "Benarkah Saleh"" Tetapi Saleh tiada menjawab, hanya tersenyum saja.
Segera Tuti mulai membaca ingin hendak mengetahui, apa yang dibeberkan oleh Ratna dalam karangan itu.
Sementara itu Yusuf mengambil Java Post dan Saleh mengambil Bintang Timur. Ketiga-tiga orang itupun asyiklah membaca...
Saleh mengangkat mukanya dari koran, diambilnya sebatang sigaret dari meja, lalu berkatalah ia dengan suara yang tiada turun naik, 'Tiada berhenti-henti pemindahan orang Jawa ke Lampung, sekarang sudah 2000 orang pula lagi. Lampung nanti menjadi negeri orang Jawa."
Yusuf mengangkat mukanya pula dan seraya tersenyum ujarnya, "Kalau mereka sudah di Sumatera tentulah mereka menjadi orang Sumatera!"
Saleh turut tersenyum pula, tetapi tiada mengacuhkan kata Yusuf itu, sambungnya, "Tetapi baik juga begitu. Daripada mereka tinggal di sini, miskin tiada berharapan suatu apa, lebih baik mereka mengadu untung di negeri baru. Di sana segalanya hanya bergantung kepada mereka sendiri. Sebab tanah cukup. Asal mereka kuat berusaha, tentu mereka tidak usah kelaparan, malahan mereka boleh menjadi berada."
Kedua-duanya menunduk pula terus membaca. Tetapi tiada berapa lama antaranya Yusuf telah mengangkat kepalanya pula, seolah-olah ia teringat akan sesuatu. Kedengaranlah ia berkata, "Tahukah Tuan, bahwa di Jakarta sekarang ini orang berdaya-upaya akan memindahkan kaum terpelajar yang menganggur ke tanah Seberang""
Saleh memandang kepada Yusuf, dijentiknya abu sigaretnya, dan seraya menganggukkan kepalanya, katanya, "Ya, ada saya baca. Tetapi belum terang benar kepada saya bagaimana caranya. Banyakkah sudah orang yang mau""
"Entahlah," kata Yusuf. "Saya pun hanya baru mendengar saja. Tetapi menurut dugaan saya usaha itu untuk sekarang payahlah akan
berhasil. Kaum terpelajar kita belum pandai menghargakan pertanian. Seorang yang menamatkan sekolah Mulo, masih jauh lebih suka ia menjadi magang yang bergaji lima belas rupiah sebulan, dengan tiada mempunyai harapan yang nyata, daripada pergi mengerjakan tanah atau beternak di desa... Jangan lagi disebut pergi ke tanah Seberang membuka rimba yang lebat. Masakan termakan oleh akal" Seorang yang tiada pernah memegang pacul atau parang! Atau ia harus banyak mempunyai uang untuk mengupah kuli merambah hutan dan mengerjakan pekerjaan yang berat-berat."
"Ya," kata Saleh dan diisapnya sigaretnya. Sambil mengepul-ngepulkan asap keluar dari mulutnya, ulasnya pula, "Kalau mereka ada uang, lebih baik mereka tinggal di pulau Jawa ini saja. Dengan uang itu di sini mereka dapat membeli tanah, yang tak usah mereka rambah lagi, seperti di tanah Seberang... Lagi pula kaum terpelajar bangsa kita belum sebanyak itu jumlahnya, sehingga tidak ada lagi tempat bagi mereka di pulau Jawa ini, malahan pada pikiran saya lebih-lebih dari tanah seberang pulau Jawa ini perlu akan kaum terpelajar. Sebab kaum tani di desa-desa tiada mempunyai harapan lagi, mereka tiada bertenaga lahir dan batin. Itu pengalaman saya dalam tengah dua tahun ini, dan di daerah ini kaum taninya boleh dikatakan agak lebih maju dari kaum tani di tempat-tampat yang lain. Lahir mereka tiada bertenaga, oleh sebab keadaan mereka sangat susah. Tanah mereka sangat kecil-kecil dan mereka terlilit oleh bermacam-macam utang, sehingga mereka tiada dapat bergerak lagi. Batin mereka tiada bertenaga, sebab jiwa mereka mati. Mereka tiada mempunyai inisiatif, mereka tiada pandai berpikir dan mereka tiada mempunyai kegembiraan dan keberanian untuk mulai mencoba sesuatu. Sebab itu keadaan mereka bertambah lama
bertambah sukar. Perlu benar tenaga kaum tani di sini dikuatkan oleh darah baru yang segar, yaitu kaum terpelajar."
Tuti yang sudah tamat membaca karangan Ratna, meletakkan majalah Dunia Istri di pangkuannya, dan telinganya dipasangnya memperhatikan uraian Saleh. Mendengar kelokan ucapannya yang terakhir, tiada dapat ia menahan hatinya lagi, lalu katanya, "Menurut pikiran saya benar juga katamu itu, Saleh. Tetapi bagaimana pikiranmu tentang kaum terpelajar membawa darah baru ke dalam desa itu dan apa yang engkau kerjakan sendiri di sini""
"Engkau rupanya mencungkil dan mendesak saya. Ini bukan rapat di Gang Kenari," kata Saleh mengganggu Tuti seraya tersenyum.
"Tetapi saya hendak juga mendengarnya," kata Yusuf, tiada mengindahkan gangguan Saleh kepada Tuti itu.
Dan dengan muka yang agak tersenyum sedikit, berkatalah Saleh, "Bukankah itu sudah terang" Keadaan orang desa bangsa kita morat-marit. Mereka sendiri tiada dapat menolong diri mereka, sebab mereka tiada mempunyai pengetahuan dan pemandangan serta kegembiraan untuk berusaha menempuh jalan baru. Kalau kaum terpelajar masuk ke desa-desa dan bekerja pula sebagai tani, maka pekerjaannya tentu akan lebih teratur. Ambil saja contoh memelihara ayam. Sedang di negeri-negeri lain pemeliharaan ayam menjadi perusahaan yang kaya dan besar-besar, yang dilakukan bangsa kita sekarang tiada lebih daripada menantikan belas kasihan alam saja. Hanya orang tani terpelajar yang hidup hati dan pikirannya, yang akan dapat membawa perubahan dalam hal itu. Dan perbuatannya itu dapat menjadi teladan kepada orang tani biasa. Tetapi yang penting ialah, kaum terpelajar itu dapat memimpin kaum tani, supaya mereka maju. Dapat ia mengajak kaum tani bekerja bersama-sama untuk menjaga keselamatan bersama-sama. Dengan koperasi atas pimpinan seorang terpelajar yang jujur, pada pikiran saya banyak benar yang dapat dicapai. Seperti sekarang ini kaum tani selalu dalam genggaman orang peminjamkan uang, kaum yang kaya mempunyai penumbuk padi atau kaum saudagar padi. Belum lagi padi atau hasil tanaman yang lain itu masak, sekaliannya sudah dijual, sebab mereka tiada beruang. Hal yang serupa itu hanya dapat dilenyapkan perlahan-lahan dengan jalan mengadakan perkumpulan koperasi yang mengatur dan memimpin penghidupan dan pekerjaan. Pimpinan dalam sekaliannya
itu dapat dilakukan kaum terpelajar yang mempunyai kepentingan sendiri dalam perkumpulan itu, pendeknya yang tani pula."
"Dan apakah yang sudah engkau lakukan di sini"" sela Tuti.
"Saya sebenarnya belum mulai benar-benar. Dalam tengah dua tahun ini saya masih terlampau repot dengan pekerjaan untuk ternak, sawah, dan kebun saya sendiri. Lagi pula saya harus tahu dahulu akan keadaan orang-orang desa di daerah ini... Yang telah mulai terbayang-bayang kepada saya sekarang ialah mengadakan organisasi penjualan kembang, supaya kami dapat harga yang baik bagi kembang kami. Supaya kami jangan dipermain-mainkan tengkulak atau toko-toko kembang di Jakarta. Organisasi yang demikian tentu harus melingkungi segala penanam kembang di sini. Saya tahu pekerjaan itu tiada akan mudah melaksanakannya. Bangsa kita umumnya belum insyaf akan arti pekerjaan bersama-sama. Tetapi kalau tidak sekarang, apabila lagi kita harus mulai mengatur ekonomi kita""
Ketika itu datang Ratna dari belakang duduk bersama-sama mereka. Melihat majalah yang dikenalnya itu di pangkuan Tuti. perkataannya yang pertama sekali, di tengah percakapan orang itu, ialah, "O. Dunia Istri, coba saya lihat sebentar, Tuti."
Melihat Ratna itu, kembali lagi pikiran Tuti kepada karangan yang baru dibacanya dan berkatalah, "Ya. ada karanganmu di dalamnya."
"Mana engkau tahu" Tentu suami saya mengatakan!"
Tiada memerdulikan kata Ratna itu, sambung Tuti, "Pandai benar engkau melukiskan kegirangan orang tani melihat padinya mulai berkembang, membangkitkan harapannya akan hasil tenaganya. Baik serupa itu, kalau sering engkau menulis, lambat laun tentu ada juga orang kota yang tertarik menjadi tani!"
"Ya, maksud kami hendak membuat sekitar Sindanglaya ini menjadi pusat pertanian kaum terpelajar, supaya kami jangan terpencil," kata Saleh dan sambil tersenyum bergurau sambungnya, "Kalau engkau mau, boleh engkau tinggal di sini, sekali-sekali kami pun hendak juga mendengar engkau berpidato."
Ratna tertawa mendengar kata suaminya itu, seraya melihat kepada Tuti. Tetapi pikiran Tuti belum sekali kali terlepas dari karangan Ratna yang menarik hatinya itu, sebab itu katanya pula, 'Tidak saya sangka engkau sepandai itu mengarang, Ratna. telah banyakkah engkau menulis yang serupa itu""
"Banyak tidak," jawab Ratna. 'Dalam majalah Dunia Istri ini baru yang pertama kali. Dahulu ada juga saya menulis dalam Widuri dalam bahasa Belanda dengan nama samaran 'Perempuan Desa' juga."
"0, saya tidak membaca Widuri... Tetapi Ratna, sungguh, saya tidak menyangka serupa ini, dahulu saya tidak pernah melihat engkau menulis-nulis."
Dalam perkataan Tuti itu terang terdengar, betapa tinggi naik derajat Ratna dalam pandangan matanya. Dan sesungguhnya dalam beberapa hari ini, sejak ia pertama kali melihat Ratna bekerja bersama-sama suaminya di kebun dan di sawah, minatnya makin lama makin tertarik kepadanya.
Suatu pemandangan terbuka bagi Tuti. Alangkah banyaknya Ratna berubah nampak kepadanya dalam setahun sejak ia bersuami!
Alangkah besar beda Ratna dengan perempuan-perempuan yang banyak ditemuinya selama ia menjadi seorang pemimpin pergerakan perempuan!
Sejak dari dahulu Ratna agak jarang mengunjungi rapat. Perhatiannya kepada pergerakan perempuan tiadalah segembira kenal-kenalan Tuti yang lain, yang lebih dirapatinya. Tuti dahulu hanya kenal akan Ratna. sebab ia di Sekolah Guru tiga kelas lebih rendah dari dia dan oleh karena ia acap bersua dengan dia bersama-sama dengan Saleh selagi mereka bertunangan.
Tetapi sekarang nyata kepadanya, bahwa apa yang pada sebahagian besar dari teman-teman sepergerakannya hanya tinggal di mulut, di pikiran dan di perasaan, oleh Ratna dilakukannya sesungguh-sungguhnya. Dengan bersungguh-sungguh ia berdiri di samping suaminya mengerjakan pekerjaan yang telah mereka pikul bersama-sama, dengan bersungguh-sungguh pula ia sebagai suaminya berdaya-upaya merapatkan dirinya dan berjasa bagi tempat kediamannya. Tuti telah pernah menghadiri ia mengajar anak-anak perempuan desa membaca dan menulis dan telah pernah pula ia mengikuti bertetamu ke sebuah
rumah orang desa, tempat ia mengajar beberapa gadis yang agak besar menjahit dan merenda dan pengetahuan umum serba sedikit.
Dan di sisi itu, meskipun tinggal jauh di pegunungan, terpencil dari segala pergerakan modern, tiada ia mengunci dirinya dan menutup hatinya. Bacaannya majalah dan surat kabar cukup. Buku-buku tentang berbagai-bagai soal, dari ternak ayam sampai kepada ilmu Jiwa dan ilmu Masyarakat, dari karangan kesusasteraan sampai kepada karangan tentang pergerakan perempuan di negeri Jerman di bawah pimpinan Nazi. terdapat dalam lemari buku suami-istri itu.
Dalam angan-angannya yang tinggi melambung, oleh Tuti telah digambarkannya sekali Ratna sebagai salah satu tipos perempuan baru yang pergi dengan suaminya yang dicintainya ke tempat-tempat yang jauh terpencil mencari nafkah dan bersama-sama dengan itu bergerak membawa sinar zaman baru kepada mereka yang berabad-abad terselimut dalam gelap-gulita yang tebal.
12. MATAHARI telah hampir terbenam di balik gunung tanah Pasundan. Bernyala-nyala rupa mega diwarnainya, kuning, merah, dan ungu. Di lembah-lembah dan di lereng gunung telah turun kekaburan senja, tetapi puncak-puncak yang menengadah ke langit merah membara turut bernyanyi laguan warna.
Di seluruh rumah sakit yang putih jernih di kaki pegunungan itu, sunyi senyap seolah-olah ia pun tiada hendak mengusik kepermaian alam pada senja raya itu.
Dalam kamar tempat Maria masih ada Tuti dan Yusuf duduk tiada bercakap-cakap di atas bangku-bangku masing-masing. Kesunyian alam di luar masuk ke dalam kamar kecil bersih itu, berat mengeri menyelap ke dalam kalbu orang bertiga itu.
Hari ini ialah hari yang penghabisan Yusuf dan Tuti mengunjungi Maria; pagi-pagi besok keduanya akan bertolak ke Jakarta, sebab libur mereka sudah habis. Sangat berat terasa kepada mereka akan meninggalkan Maria, apalagi oleh karena penyakitnya rupa-rupanya makin bertambah jua. Dokter sudah berbisik kepada Yusuf, bahwa penyakit Maria telah agak payah mengobatinya. Dinyatakannya khawatirnya usahanya akan sia-sia.
Bagi Maria perceraian dengan kedua orang yang dicintainya itu lebih berat lagi. Meskipun penyakitnya tiada menjadi ringan sedikit jua pun. tetapi dalam seminggu ini tiada terkata-kata berbahagia rasa dirinya setiap hari dapat bersua dengan tunangannya dan kakaknya itu. Dan sekarang waktu ia hendak ditinggalkan oleh Yusuf dan Tuti itu, amatlah pilu rasa hatinya dan berbagai-bagai pikiran berjuang mengharu kepalanya.
Dari tempat tidurnya Maria memandangkan matanya keluar jendela. Keindahan permainan warna di langit datang mendorong kalbunya tiada tertahan-tahan. Dan sedang dilamun kesedihan perceraian dengan kedua orang yang dicintainya itu, lebih-lebih terasa kepadanya perbedaan keadaan dirinya dengan kepermaian tamasya alam sekelilingnya. Tetapi meskipun demikian sekejap tertarik terhanyut juga hatinya yang pemuja keindahan itu oleh kepermaian pemandangan ketika itu, sehingga sebelum dapat diinsyafkan-nya telah terkeluarlah dari mulutnya antara kedengaran dengan tiada, "Alangkah indahnya tamasya senja ini!"
Mendengar ucapan Maria itu Yusuf dan Tuti sejurus memalingkan matanya ke luar jendela dan keindahan alam pada pertukaran siang dan malam itu masuk ke dalam kalbu mereka mendalamkan perasaan sayu dan pilu akan perceraian yang amat lekas, tiada tertahan-tahan datang mendekat.
Yusuf mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya ke luar seperti bunyi riak air yang tiada berarti dan bermakna, "Lima belas menit lagi pukul enam."
Ditundukkannya kepalanya melihat ujung sepatunya. Sekejap lamanya diangkatnya pula mukanya dan ia pun melihat kepada kekasihnya yang terbaring di tempat tidur. Pada saat itu bertemu matanya dengan mata Maria yang kebetulan sedang mengamat-amati perangai tunangannya itu. Senyum yang dipaksa membayang pada muka yang berjorokkan tulang itu menyerupai seringai dan berat mengeluh selaku sesudah perjuangan batin yang hebat berkatalah Maria, "O. Suf, nikmat benar hidup di dunia ini"
Suara yang berdesis-desis, tiada penuh bulat itu amat ngeri dan ganjil bunyinya, seolah-olah datang da
ri dunia yang lain. Sekejap tiada dapat Yusuf berkata-kata hendak menjawab ucapan tunangannya yang tiada disangka-sangkanya itu. Apakah maksudnya dan mengapakah maka ia berkata demikian"
Tetapi segera datang mendorong perasaan sama-sama menderita dan berkatalah ia memujuk, "Maria, engkau mesti kuat. Engkau mesti girang selalu. Jangan diturutkan hati iba. Lawan rasa kesepian. Engkau mesti lekas baik lagi."
Habis perkataannya itu Yusuf terdiam pula. Alangkah payahnya ia menyusun pikirannya untuk membesarkan hati kekasihnya itu!
Di luar matahari telah turun ke balik gunung. Warna di langit dan di gunung yang mula-mula tadi banyak kuning dan merahnya menjadi ungu lembayung dan penuh bayang-bayang yang kelam.
Tuti melihat kepada Yusuf seraya ia berdiri dari bangku-bangku tempat duduknya mendekat tempat baringan Maria, berkatalah ia, "Rasanya sekarang kita sudah mesti pulang."
Yusuf berdiri pula sambil mengeluarkan arlojinya dan dari mulutnya ke luar menyambung kata Tuti, "Tinggal dua menit lagi pukul enam."
Kedua-duanya tegak dekat kepala Maria akan mengucapkan selamat tinggal. Sama-sama mereka bersungguh-sungguh memberi nasehat kepada Maria supaya jangan menurutkan hatinya supaya ia jangan sekali-kali berputus asa. ia pasti akan sembuh, apabila ia pandai menjaga dirinya. Setiba mereka di Jakarta selekas-lekasnya akan mereka suruh ayali datang melihat dia.
Tetapi segala ucapan kakak dan kekasihnya itu amat tenang diterima Maria. Tiada bergerak matanya dan tiada berubah mukanya barang sedikit, seolah-olah sekalian nasehat dan pujuk orang yang dikasihinya itu tiada terdengar kepadanya, menurutkan aliran pikirannya yang amat jauhnya.
Yusuf mengulurkan tangannya memegang tangan kekasihnya yang lisut dan dingin. Erat dipegang oleh Maria tangan tunangannya itu. laksana tiada hendak dilepaskannya lagi dan matanya yang lengah jauh memandang tadi. kasih mesra bersinar-sinar melihat kepada Yusuf.
Tuti menundukkan mukanya dan diciumnya beberapa kali kening adiknya itu. Tetapi ketika ia mengangkat mukanya kembali tangannya dipegang oleh tangan kiri Maria.
Dan berganti-gantilah ia melihat dari Yusuf kepada Tuti dan dari Tuti kepada Yusuf.
Sekejap lamanya perawan yang sakit itu tiada berkata-kata, pilu dan penuh kasih sayang melihat kepada kedua orang yang dicintainya itu. Tetapi kepada air mukanya nyata kelihatan, bahwa ia sedang menderita perjuangan batin yang amat hebatnya.
Dan sesudah itu mata yang terlampau besar nampaknya pada muka yang kurus pucat itu bersinar gemerlapan, hampir-hampir menakutkan rupanya, dan selaku tiada dapat menahan hatinya, didorong gelora perasaannya yang dahsyat, disentakkannya kedua tangan itu ke mukanya dan diciumnya beberapa kali dengan gembira.
Dan sesudah ia mencium tangan tunangannya dan kakaknya itu, ganjil meneranglah rupa mukanya yang pucat, seolah-olah mendapat kemenangan atas dirinya sendiri. Hampir putus-putus berkatalah ia dengan suaranya yang berdesis-desis, "Badan saya tiada kuat lagi, entah apa sebabnya ..."
Sejurus berhenti ia bercakap memandang berganti-ganti kepada Tuti dan Yusuf. Di kerongkongannya ada sesuatu yang menyumbat, beberapa kali ia menelan. Tetapi segera katanya pula, tenang dan menerima, "Tak lama lagi saya hidup di dunia ini. Lain rasa-rasanya..."
Kepalanya digolongkannya di atas bantal, ada sesuatu dalam hatinya yang masih menghambatnya mengeluarkan pengakuan yang telah beberapa hari menjadi buah pikirannya. Sekejap berkerut mukanya, nampak ia mengeraskan memaksa hatinya dan teruslah ia berkata, agak jelas dari tadi, "Alangkah berbahagia saya rasanya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini..."
Sejurus terhenti pula ia dan ketika itu mengalir dari pipinya air mata ke bantal, tiada putus-putus.
Tuti dan Yusuf terkejut mendengar perkataan yang penghabisan itu. Pada mata mereka nyata kelihatan, bahwa mereka hendak membantah, tetapi sebelum mereka dapat mengucapkan perkataannya, Maria telah menyambung pula, "Inilah permintaan s
aya yang penghabisan dan saya, saya tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain."
Tetapi ketika Maria hendak mempertemukan tangan orang berdua yang masih belum juga dilepas-lepaskannya itu, Tuti dan Yusuf membantah menarik tangan mereka masing-masing. Dan Tuti yang telah lama tiada dapat menahan hatinya mendengar kata adiknya itu, berkata, "Maria, Maria, sampai ke mana-mana pikiranmu" Engkau membinasakan dirimu sendiri... Engkau harus girang, engkau harus percaya, bahwa engkau mesti sembuh. Jangan diturutkan pikiran yang bukan-bukan. Engkau mesti sembuh, mesti sembuh."
Ketika itu berbunyi pintu dan masuk juru rawat dengan tersenyum mengingatkan, bahwa waktu mengunjungi orang sakit sudah habis. Kepada Maria juru rawat yang baik budi itu berkata membesarkan hati, "Sekarang tinggal kita saja lagi. Kita akan dapat main dam lagi seperti dahulu. Benar tidak, Maria""
Sekali lagi Tuti dan Yusuf memberi nasehat kepada Maria, sekali lagi mereka mengatakan, bahwa ia mesti sembuh, maka diucapkan merekalah selamat tinggal kepada juru rawat dan Maria.
Dalam senja raya yang sejuk itu berjalanlah orang berdua itu dengan tiada bercakap-cakap barang sepatah jua pun. Di seluruh tanah pegunungan itu malam telah mulai menyiratkan gelapnya. Mega hanya tinggal kekelabu-ke-labuan dan di sana-sini masih tampak kekabur-kaburan warna ungu lembayung, laksana jejak cahaya matahari yang telah turun di balik gunung padu perkasa yang biru-hitam rupanya. Di langit bertambah lama bertambah banyak kelihatan bintang kemilau mengedip memandang ke dunia.
Yusuf dan Tuti terus berjalan menurun ke bawah menuju auto yang akan membawa mereka kembali ke Sindanglaya.
Berbagai-bagai pikiran dan perasaan mengacau jiwa mereka.
PENUTUP Waktu terus, terus berjalan.
Kerisik gugur, gugur ke bumi dan pucuk muda memecah, memecah pula di ujung dahan.
Hhuhh, alangkah lekasnya waktu berjalan!
Hari masih pagi-pagi dan di pekuburan dekat Pacet, tiada berapa jauh dari rumah sakit, sunyi senyap. Tempat manusia melepaskan lelahnya sesudah perjuangan hidupnya itu, ketika itu sebenarnya tempat beristirahat yang sunyi dan aman. Tak ada suatu bunyi ataupun suara yang ganjil yang mengusik ketenangan yang mulia dan kudus itu.
Dari celah-celah kembang flamboyant yang merah marak turun melandai ke tanah, cahaya matahari, halus-halus dan panjang-panjang, laksana hujan yang jatuh ditiup angin, menyirami tanah kuning kelabu dengan air emas.
Dari arah Cianjur datang menuju ke tempat peristirahatan itu sebuah taxi yang membawa seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kedua-duanya masih muda dan menilik kepada air mukanya orang berdua itu tiada berapa banyak selisih usianya.
Tiba di muka pekuburan berhenti taxi itu dan ke luarlah mereka. Yang perempuan membawa di tangan kanannya karangan bunga mawar putih yang indah besar-besar.
Masuklah mereka ke pekarangan pekuburan menuju ke sebuah makam batu pualam yang jauh lebih indah dari makam-makam yang lain. Kiri-kanannya berteralikan besi yang bercat hijau dan di atasnya melonjong atap seng, dijunjung oleh kasau-kasau besi yang ujungnya melengkung seperti berukir-ukir. Amat permai rupa sekaliannya, seakan-akan bukanlah sisa badan manusia yang ditutupnya, tetapi sesuatu yang tak ternilai harganya.
Pada batu nisan pualam putih yang berukir tepinya, terlukis dengan air emas yang berkilat-kilat.
Maria berpulang... Januari 1993... usia 22 tahun.
Dan kepermaian kuburan di tempat yang sunyi sepi itu selaku digembirakan oleh sorak warna hijau dan kuning daun puding, disela oleh kemerahan kembang dahlia yang marak mesra.
Perempuan yang membawa karangan bunga mawar yang putih suci itu perlahan-lahan meletakkan karangan bunga itu di sebelah kepala makam yang permai itu. Maka selaku terpekurlah berdiri kedua-duanya memandang ke. makam itu, tiada menggerak-gerakkan dirinya.
Lima hari lagi akan berlangsung perkawinan mereka di Jakarta. Sebelum perkawinan mereka berlangsung, pergi dahulu mereka ziarah ke kuburan orang yang sama-sama dicintainya.
Matahar i pagi terus menjatuhkan cahayanya di tempat peristirahatan manusia itu. Dari sebelah "timur datang sejurus angin bertiup dan kelopak kembang flamboyant yang kuning dan merah gugur menghujan ke tanah laksana beras dan kunyit yang diserakkan ke atas kepala pengantin memohon restu.
Orang berdua itu tiada bercakap-cakap. Sunyi di sekeliling mereka, sunyi segala kuburan dengan sekitarnya dan kesunyian sekaliannya itu meresap masuk ke kalbu membangkitkan kenang-kenangan akan perjalanan hidup yang ganjil, yang terbentang di belakang mereka:
Yusuf bertunangan dengan Maria, kukuh dan dalam cinta muda remaja.
Sampai dua kali Tuti menolak jodohnya oleh karena tiada sesuai dengan pekertinya sebagai perempuan yang telah menyerahkan dirinya kepada pergerakan. Remuk dan hancur rasa hatinya terbuai dalam gelora perjuangan jiwanya. Tetapi akhirnya terang dan jelas pendiriannya sebagai karang yang perkasa menganjur di atas gemuruh gelombang. Tiada ia akan kawin apabila perkawinan itu hanya sekadar untuk lari dari kesunyian diri!
Yang Mahakuasa menetapkan sesuatu yang tiada dapat dielakkan: Maria sakit, sehingga terpaksa dirawat di rumah sakit di Pacet.
Dalam kedukaan bersama yang dibangkitkan oleh kasih sayang pada orang yang sama-sama dicintai, dengan tiada diketahui terjalin antara mereka tali pengertian dan penghargaaan batin yang halus.
Dan senja raya yang takkan terlupakan seumur hidup di rumah sakit yang sunyi, di lereng gunung yang ungu lembayung.
Perhubungan sutera yang dianyam dalam keindahan alam pada pertukaran siang dan malam oleh seseorang yang dicintai, yang waktu itu berdiri di hadapan gerbang akhirat!
Beberapa lamanya Tuti dan Yusuf berdiri tiada bergerak-gerak, laksana terpaku pada tanah yang pemurah itu, yang senantiasa tulus dan ikhlas menerima manusia yang letih lesu dalam pangkuannya yang sejuk.
Maka perawan itu memandang kepada tunangannya memberi isyarat meninggalkan tempat itu. Dalam kesunyian yang kudus dan mulia itu terasa kepadanya, bahwa suara manusia sesuatu yang tiada layak, seolah-olah benda yang haram di tempat yang suci dan keramat.
Dengan tiada bercakap-cakap berputarlah kimianya seraya berjalan ke arah jalan besar tempat taxi menanti.
Bunyi auto menderu dan bertolaklah mereka menuju ke Cianjur,
Sekali lagi mereka melihat ke belakang ke pekuburan yang sunyi sepi tinggi di atas dipayungi oleh kembang flamboyant yang merah marak. Masing-masing mengejap-ngejapkan matanya menahan air mata yang mendesak hendak ke luar.
Payah berjuang melawan berbagai-bagai perasaan yang mengharukan kalbunya. Tuti mendekatkan dirinya kepada Yusuf dan laksana tunangannya itu sudah tahu akan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, katanya mesra berbisik sebagai menyambung. "Tetapi Yusuf, hidup kita ialah kerja."
Dan pada waktu pagi-pagi, sedang matahari mencurahkan sinarnya yang girang ke bumi, sedang pohon dan tanaman tertawa melambai ke langit sarat memikul daun, kembang dan buah, sedang hewan di dahan dan di padangan gembira melakukan suruhan hidupnya, sedang di sawah dan di kebun keluarga tani sibuk memacul dan menanam, kata Tuti yang bersahaja antara terdengar dengan tiada itu selaku suara alam yang sedalam-dalamnya.
Terus, terus auto mereka melancar, berbelok-belok menurun ke bawah ke tempat kerja manusia di tengah-tengah perjuangan dengan sedih dan senangnya.
TAMAT Manusia Beracun 2 Goosebumps - 2 Jauhi Ruang Bawah Tanah Pemberontakan Di Kertaloka 2

Cari Blog Ini