Bukan Impian Semusim Karya Marga T Bagian 4
Meskipun dilarang ibu mertuanya, Nina tetap mengajari anak-anaknya menulis dan membaca abc. Mertuanya khawatir, anak-anak itu nanti menjadi jemu dan malas. Untunglah kekhawatirannya tidak terbukti. Mereka gemar sekali menulis dan mengeja abc. Andi amat suka menggambar. Segala kertas dijadikannya target. Pada suatu hari dia menyelinap ke dalam kamar kakeknya dan melihat ada kertas lebar yang kosong sebelah. Segera dia naik ke kursi dan mencoret-coret kertas itu. Petang harinya si kakek memperlihatkan surat penting itu yang kini sudah penuh coretan. Nina kaget sekali dan langsung memarahi Andi. Anak itu menangis ketakutan. Kakek segera mendukungnya dan membawanya ke kamar. Ketika keduanya keluar lagi beberapa waktu kemudian, Nina heran melihat keduanya tertawa-tawa dengan gembira. Andi yang lembut segera menghampiri ibunya untuk mengadakan perdamaian.
"Kau berjanji takkan melakukannya lagi"!" tegurnya dengan keras.
Andi mengangguk, tersenyum. Mengherankan betapa lembut dan manisnya anak itu. Miki terkadang khawatir jangan-jangan Andi nanti menjadi lunak seperti anak perempuan. Nina yakin, Andi akan menjadi laki-laki normal. Cuma, dia lembut hati.
"Mama," bisiknya dengan mata tengadah, "Kakek berjanji akan membelikan Andi sebuah buku gambar. Untuk Joni juga. Kakek punya karet yang bisa menghapus semua gambar Andi." "Betul""
"Betul, Mama. Kertas Kakek sekarang sudah bersih lagi. Mama enggak marah lagi, kan""
"Enggak, Didi. Mama enggak marah," bisiknya, tak dapat menahan hati lalu memeluknya.
* * * Hari masih gelap. Baru jam setengah lima. Nina sudah terjaga, takut terlambat mengantar anak-anak ke sekolah. Dia berbaring diam-diam membayangkan keduanya nanti di dalam kelas. Joni tidak suka menggambar, tapi dia suka sekali bernyanyi. Ah, pasti rumah akan makin ramai bila anak-anak sudah belajar banyak lagu. Joni gampang marah dan suka berkelahi. Nina berharap dia takkan terlalu sering menggunakan tinjunya, Andi tidak suka berkelahi, tapi dia dapat melawan kalau disakiti orang. Nina menggeleng. Ah, semoga mereka kelak menjadi manusia-manusia yang berguna dan hidup bahagia.
Pelan dan hati-hati dia turun dari ranjang untuk mengisi buku harian mereka. Dia menuliskan juga doanya bagi anak-anak pada hari sekolah mereka yang pertama.
Ketika Miki membacanya sebelum mandi, tanpa ragu ditambahkannya: Aku berjanji akan membiarkan mereka kelak memilih jalan hidup mereka sendiri! Tidak seperti diriku yang dipaksa Ayah untuk menjadi dokter atau paling sedikit punya titel. Padahal aku mimpi ingin menjadi pelukis yang bisa mengadakan pameran di seluruh dunia! Impian itu takkan perna
h terlaksana. Begitu juga keinginan Ayah. Sebab setelah punya anak-anak, aku harus bekerja mencari uang. Aku tak mau keluargaku dihidupi oleh orangtua. Semoga anak-anakku kelak bahagia dalam hidup yang mereka pilih.'
Kedua bocah itu antusias sekali dengan hari sekolah mereka yang pertama. Pagi-pagi keduanya sudah bangun, mengetuk pintu Mama dan Papa. Untuk membuat hari itu seistimewa mungkin, Nina menyediakan bagi mereka baju baru. Sepatu kebetulan juga baru, sebab yang lama sudah amat sempit.
Miki ikut mengantarkan, sebab Joni ngotot. "Enggak enak dong kalau Papa enggak ikut. Papa juga harus kenalan sama ibu guru dan teman-teman Joni dan Andi, Pa."
Setiba di halaman sekolah kedua anak itu mendadak jadi takut. Mereka melihat beberapa anak menangis dan bertanya-tanya, "Ma, kenapa mereka nangis, Ma"" "Mungkin mereka takut ditinggal sendirian oleh ibu mereka. Tapi anak-anak yang pintar -seperti yang lain-lain itu- kan enggak nangis, bukan"" Nina meyakinkan mereka sambil membimbing keduanya di kanan kiri, diikuti oleh Miki.
"Ibu gurunya galak, Ma"" bisik Andi ngeri. Miki mendengarnya dan menuntunnya. "Enggak dong, Di. Ibu guru mana ada yang galak. Dia malah baik hati mau mengajarkan semua kepandaiannya supaya murid-murid jadi pintar. Kalau murid nakal, nah baru dia akan marah. Papa dan Mama juga akap marah kalau kalian nakal. Apa Mama dan Papa galak kalau begitu"" Andi menengadah menatap ayahnya lalu menyeringai dan menggeleng.
Di muka kantor guru mereka disambut oleh Mere Kepala yang mengenali Nina. "Hei, Nina!" serunya riang. "Apa mereka ini keduanya anak-anakmu" Cakap-cakap sekali!"
"Betul, Mere. Mereka kembar. Ini Joni. Ini adiknya, Andi."
"Halo, Joni dan Andi. Selamat datang di Taman Kanak-kanak kita." Lalu Mere menyalami kedua orangtua mereka. Tidak sedetik pun diperlihatkannya rasa herannya. Nina merasa bersyukur atas sikapnya. Sebab Mere sebenarnya tahu apa cita-citanya dan beliau pasti masih ingat!
Bab 22 TEMAN-TEMAN sekelas Nina banyak sekali yang meneruskan pelajaran ke universitas, tapi hanya beberapa saja yang berhasil lulus. Ani menjadi dokter, Magdalena dokter gigi, sedangkan Lili insinyur sipil. Ana masuk FIPIA setengah jalan, Loli IKIP Inggris seperempat jalan, dan Mimi masuk ITB, tapi setahun kemudian sudah keluar lagi bersama dosen, langsung ke depan altar.
Sore itu Nina memperlihatkan sebuah kartu undangan pada suaminya. Mereka sedang duduk-duduk di beranda belakang dengan anak-anak. Ibu sedang ke dokter bersama Ayah.
"Siapa"" tanya Miki, Joni menoleh ke arah mereka, lalu bangkit dari lantai mau ikut membaca undangan itu (walaupun belum bisa).
"Siapa, Papa""
Mereka tahu undangan pernikahan. Andi ikut-ikutan nimbrung untuk membeo, "Siapa, Papa" Siapa, Ma"" "Ini teman sekolah Mama. Dia sudah jadi dokter dan mau menikah dengan dokter. Jelas" Nah, sekarang pergi sana main lagi!" Miki menjelaskan.
"Kenapa Mama enggak jadi dokter"" tanya Joni dengan mata lebar. "Iya, kenapa Papa juga enggak jadi dokter"" tanya Andi ikut-ikutan.
Joni dan Andi amat sensitif seperti ayah mereka. Dengan cepat mereka tahu bila dibohongi. Nina memanggil keduanya dan memeluk mereka. "Mama enggak jadi dokter sebab Kakek dulu enggak punya uang. Sekolah dokter itu mahal. Selain itu, diperlukan juga otak yang pintar."
"Mama enggak pintar"" tanya Andi.
"Mama enggak pintar. Enggak sepintar kalian," sahut Nina tersenyum. "Bohong, ah!" teriak Joni. "Mama pintar! Mama pintar!"
"Kenapa Papa enggak jadi dokter"" tanya Andi tidak lupa bahwa pertanyaannya belum dijawab.
"Papa dulu sekolah dokter, Di. Tapi kemudian Papa harus memilih, mau jadi dokter atau mau kalian. Papa memilih kalian. Jadi Papa batal menjadi dokter sebab harus mencari uang untuk membeli susu, baju, dan mainan bagi kalian," Nina menjelaskan.
"Oh!" seru keduanya serentak, memandang ayah mereka dengan kagum.
"Apa Joni dan Andi kepingin Papa menjadi dokter"" tanya Miki ketawa. "Nanti kalian harus dikembalikan dong ke..."
"Enggak, Pa!" sahut Joni segera.
"Enggak, Pa!" Andi membeo dengan cepat. Keduanya melepaskan diri dari Nina dan berlari memeluk ayah mere
ka. "Nah, sana, main lagi!" Miki mengusir mereka lalu melirik Nina dengan senyum bahagia. Nina membalas senyumnya.
"Kenapa Ani menunggu begini lama"" tanya Miki dengan suara pelan, supaya tidak menarik perhatian para kurcaci.
"Maksudmu""
"Kan katamu Ani sudah pacaran sejak SMP, bukan"" Daya ingat Miki luar biasa. Apa yang pernah didengarnya, diingatnya terus. Dan bakat ini rupanya menurun pada kedua anak mereka. Justru Nina malah pelupa. "Oh, ingatanku seperti gajah!" puji Nina ketawa. "Tapi Ani bukan menikah sama pacar yang dulu, Miki."
"Astaga! Masa sudah pacaran ratusan tahun lalu bubar" Gimana sih rupa laki-laki itu" Kenapa sebodoh itu melepaskan gadis yang mencintainya""
Nina tiba-tiba bergidik mengingat kisah temannya. Tanpa sadar dia jadi gemetar. "Uh, anginnya dingin!" tukasnya mencari-cari alasan untuk pindah ke kursi Miki dan memeluknya.
"Kenapa" Takut setan"" goda Miki, membalas pelukannya dengan erat.
Kalau itu terjadi padaku, pikir Nina, aku pasti takkan hidup lebih lama. Tapi untunglah laki-laki dalam hidupku tidak meninggalkan aku! Dan aku cuma mengenal seorang saja. Ah, bukan seorang, tapi tiga! pikirnya ketika matanya tertumbuk pada kedua bocah yang sedang asyik main mobil-mobilan.
"Aku selalu merinding kalau ingat Ani dan Stefanus. Setelah kami lulus SMA, mendadak Stefan kelihatan mondar-mandir dengan cewek-cewek lain. Ani sedih bukan main, sebab dia betul-betul mencintai pacarnya. Dan selama tujuh tahun Stefan selalu setia. Ani jadi heran dan sedih. Kemudian Ani mendengar bahwa Stefan betul-betul sudah menjadi enggak beres, suka minum-minum, dan pacarnya makin banyak. Karena penasaran, Ani pergi ke rumahnya bersama adik cowoknya. Stefan ada di rumah, sedang minum-minum bersama seorang gadis. Melihat Ani, dia langsung minum-minum lagi sampai mabuk, lalu memeluk dan mencium cewek itu di depan Ani. Bayangkan bagaimana perasaan Ani! Berhari-hari dia tak mau keluar kamar! Lalu pergi ke laut sendirian sampai malam, berenang sendiri. Adiknya sampai-sampai ditugaskan mengawalnya dari jauh. Ani jadi acuh sama cowok, dia jadi aneh. Selama di uniyersitas hatinya tertutup rapat. Aku rasa dia tak pernah melupakan Stefan. Tapi untunglah sesaat sebelum lulus, ada orang yang berhasil mendobrak hatinya."
"Lalu apa yang terjadi dengan bajingan itu"" tanya Miki sengit.
Nina menatapnya dan tiba-tiba matanya berlinang. Miki mempererat pelukannya. Nina menyandarkan kepalanya pada lengan suaminya. Mereka berdiam diri sejenak memperhatikan anak-anak yang kini tengah berlarian di halaman mengejar bola. Ah, Tuhan begitu baik, pikir Nina. Aku menoIakNya, tapi Dia justru memberi kebahagiaan. Ani yang selalu patuh padaNya malah mendapat kemalangan. Apa sebenarnya yang Kaukehendaki, Tuhanku"
"Mik, Stefan bukanlah bajingan," bisik Nina begitu lembut sehingga nyaris tak terdengar.
"Pengkhianat seperti itu bukan bajingan" Habis apa, pahlawan"" serunya. "Di mana dia sekarang" Rasanya sedap kalau bisa menghajarnya!"
"Stefan meninggal tiga bulan setelah peristiwa itu. Di kamar seorang pelacur!"
"Nah, apa aku bilang!" teriak Miki dengan muka merah. Urat-urat lehernya menonjol semua. Nina membelai-belai lehernya. Entah sejak kapan, Miki mendapati istrinya mempunyai kebiasaan baru, membelai-belai leher suaminya. Terkadang juga tanpa sadar. Karena Miki menyukai kebiasaan itu, maka tak pernah ditanyakannya kenapa Nina suka betul dengan lehernya. Kalau ditanyakan, pasti istrinya akan malu dan kebiasaan yang menyenangkan itu tentu akan dihentikannya.
Tuhan, kata Nina dalam hati, aku tahu aku akan selalu berterima kasih padaMu untuk Miki. Setiap wanita dapat memiliki seorang suami, tapi cuma beberapa yang sungguh-sungguh memiliki seorang laki-laki yang istimewa. Laki-laki yang tahu harga dirinya, tahu jalan hidup yang dikehendakinya dan karena itu selalu setia pada janji-janjinya. Seperti suamiku.
"Mik, kau betul-betul istimewa dan mengagumkan. Tapi jangan lekas-lekas menuduh orang. Stefan ternyata bukan bajingan. Dia orang baik seperti kau!" "Buktikan!"
Nina tersenyum. Tentu saja Miki meradang disamakan dengan pengunjung bordil
! Teman-temannya bilang, lelaki yang tak pernah bertamu ke tempat begituan, pasti bukan laki-laki. Tapi Nina tahu, itu tidak benar. Orang bilang, semua lelaki -tanpa kecuali- pasti pernah ke sana untuk membuktikan bahwa dia laki-laki, bukannya pengecut. Tapi Nina tahu, ini juga tidak benar. Miki tidak pernah ke sana dan itu malah menjadi salah satu kebanggaannya. Dia cerita, betapa tergodanya dia untuk mencoba-coba, tapi betapa bangganya dia sekarang, sebab berhasil melawan godaan itu!
"Ketika orangtua Stefan mendengar Ani akan menikah, mereka datang menyerahkan sepucuk surat yang ditulis Stefan beberapa waktu sebelum meninggal. Surat itu berusia hampir sepuluh tahun dan membeberkan semua rahasia.
"Stefan ternyata meninggal karena pembuluh darah di otaknya pecah. Dokter menemukan kelainan itu secara kebetulan. Sebuah nadi yang besar dan cabang-cabangnya membengkak. Stefan dilarang kawin, sebab itu berarti kematian. Lantaran enggak sanggup membiarkan Ani nanti menderita, dia memutuskan untuk membuatnya membenci serta melupakannya. Dia mulai mabuk-mabukan. Ketika sakit kepalanya makin menghebat, dia memutuskan untuk mati, tapi sekaligus membuat Ani betul-betul membencinya. Sayang pengorbanan itu gagal. Ani tidak membenci dan tidak melupakannya. Bahkan hampir-hampir saja maksud baik Stefan menyebabkan Ani menderita seumur hidup."
"Kenapa baru sekarang surat itu diserahkan"" "Entahlah. Itu permintaan Stefan. Mungkin dia mengira, dengan membencinya, Ani akan lekas-lekas mencari pengganti. Seandainya Ani tahu keadaan sebenarnya, mungkin untuk selamanya dia akan tenggelam dalam kenangan terhadap laki-laki yang dicintainya. Itu jalan pikiranku. Gimana menurut pikiranmu""
"Mungkin sama. Kasihan, ya. Sepuluh tahun lamanya temanmu itu mengira dia dikhianati!"
Pesta pernikahan Ani dengan Dokter Azkar lebih merupakan reuni anak-anak Ursula. Hampir semuanya hadir. Nina gembira bukan main. Untuk pertama kalinya mereka berkumpul kembali. Ketua Kelas membawa anak sulungnya yang baru berumur dua tahun. "Sudah tentu dengan maksud untuk dibanggakan," kata Ketua tanpa malu-malu di depan Bapak Aljabar. Memang anak perempuannya manis.
"Manis, ya!" tukas Ana. Dan ketika Ketua Kelas sudah mulai mekar hidungnya kesenangan, disambungnya dengan, "Tapi kok enggak mirip maminya""
"Kurang ajar, lu!" semprot Ketua melotot Kaukira ini anak angkat, apa""
Suasana yang meriah itu dirusak oleh Magda yang rupanya masih tetap sakit hati pada Miki. "Halo, Mere," serunya menyapa Nina dan semua orang terdiam, kaget.
* * * "Kenapa sih dokter gigi itu suka betul mencampuri urusan orang"" tanya Miki mengkal ketika mereka sudah pulang.
"Siapa" Oh, Magda!" Nina teringat insiden di pesta.
"Ya, dia. Kenapa bukan diurusnya saja prakeknya yang enggak laku itu"!"
"Ah, sudahlah. Buat apa pusing-pusing mikirin omongan orang! Mik, tolong buka jepit rambutku. Hati-hati ya, sanggul ini mau dipakai lagi minggu depan."
Miki membuka jepitjepit rambut dan mengangkat sanggul dengan hati-hati. Kemudian diambilnya sisir dan disisirnya rambut Nina. Setelah itu dia duduk di atas ranjang mengawasi istrinya dari cermin. Nina ingin mengikat rambutnya sebab panas.
"Ah, lebih bagus dilepas!" Untuk menyenangkan hati suami, Nina menurut.
"Sudahlah, Mik," bujuk Nina melihatnya dalam cermin. "Jangan pikirkah lagi soal itu. Magda memang punya kebiasaan untuk menyakiti orang. Mungkin itu sebabnya dia jadi dokter gigi. Supaya bisa menyakiti orang secara halal!"
Miki tiba-tiba ketawa geli. "Hus! Aku kan cuma main-main! Nanti dikira semua dokter gigi itu sadis!" tegur Nina. Untuk mengalihkan topik, diambilnya sebuah buku dongeng.
"Giliranmu kan malam ini"" tanyanya sambil memberikan buku itu.
"Oh iya!" Miki segera bangun dan pergi ke kamar sebelah untuk membacakan anak-anak dongeng sebelum tidur.
Ketika Miki sudah keluar, Nina mengambil buku harian mereka dan mengisinya. 'Sore tadi kami berdua pergi ke pesta perkawinan Ani, temanku seasrama. Ani betul-betul awet muda, walau ditimpa kemalangan begitu hebat. Suaminya amat simpatik, banyak humor. Memang cuma laki-laki sesimpatik itu
yang dapat mengusir bayangan laki-laki lain dari hati seorang wanita.Bagaimanapun, aku yakin Ani sungguh mencintai suaminya. Stefan cuma bagian dari masa lalu. Aku amat gembira melihat Ani akhirnya menikah juga, sebab aku tidak suka bila teman-temanku hidup kesepian seumur hidup. Aku sudah mendahului mereka bertahun-tahun yang lalu. Dan tak pernah mampu kunyatakan betapa besar kebahagiaan yang telah diberikan Miki padaku. Dia selalu lembut serta penuh pengertian. Bila aku marah-marah, dia mengalah. Bila aku lupa sesuatu yang diingininya, dia tidak kecil hati. Dengan sabar diulangnya kembali pesannya. Ah, Miki amat baik. Aku harap, aku juga telah membahagiakannya. Dan aku harap, Ani serta Azkar akan bahagia juga seperti kami berdua.
Tadi kami ketemu Magda. Dia sudah menjadi dokter gigi. Sudah buka praktek, tapi belum menikah. Kata Paul, dia belum dapat melupakan Miki. Tapi menurut Miki, mereka tak pernah pacaran. Cuma kawan biasa. Rupanya Magda salah tafsir. Kasihan. Anak itu sebenarnya cantik. Kalau dia mau membuka mata sedikit, pasti akan dilihatnya beberapa pengagum di sekitarnya. Pasti dia tak perlu kesepian dan sinis seperti sekarang. Tuhan, tolonglah supaya dia mau melupakan Miki. Kalau dia sakit hati, berarti kebahagiaan kami selama ini tidak sah. Aku takkan bisa tidur kalau tahu ada orang lain yang menderita karena tindakan Miki atau aku sendiri.'
"Kau enggak jujur!" tuduh Miki ketika membaca catatan Nina. "Kau tahu betul, bukan itu sebabnya aku jengkel. Aku enggak peduli apakah dokter gigi itu akan melupakan aku atau enggak! Itu sih urusannya! Aku cuma sakit hati Karena dia menyapa kau begitu! Kenapa dia sengaja mengingatkan orang akan hal-hal yang justru mau dilupakan" Kenapa dia merasa perlu mengatakan di depan orang banyak, kau dulu hampir masuk biara dan seterusnya, dan seterusnya" 'Halo, Mere! Hei, inilah Nina kita! Betapa gemuknya kau sekarang! Makmur, ya. Kalau kau masuk biara, mana bisa segemuk ini. Di sana kau pasti harus pantang dan mati-raga!' Buset! Lagaknya seperti pemain lenong saja!" Miki menirukan gaya Magda persis betul, sehingga Nina terpingkal-pingkal. Tapi disuruhnya suaminya berhenti.
'"Kalian tentunya belum lupa calon Mere kita ini, kan"" Miki meneruskan dengan bandel. '"Nina manis yang begitu ingin jadi Mere ternyata akhirnya terpikat juga! Malah sudah berbuntut dua! Hi, hi, hi!'"
"Sudahlah, Mik!" pinta Nina menahan geli, tapi Miki berlagak tuli.
'"Miki, kau sebenarnya berdosa membujuk Nina. Kita enggak boleh menghalangi orang yang masuk biara!'" Suara Miki makin melengking. Suara Nina tak kedengaran lagi. Ketika Miki memandangnya, didapatinya Nina sedang menunduk dan air matanya menetes satusatu. Dengan terkejut dihampirinya Nina dan dipeluknya.
"Betulkah aku telah menghalangi engkau, Nin"" bisiknya mengecup pipinya.
"Aku enggak tahu!" bisik Nina terisak.
"Kalau begitu, memang betul!" seru Miki tajam, lalu melepas pelukannya. "Aku menyesal sekali kalau begitu, Nyonya! Tapi apa boleh buat. Kau sudah telanjur kena bujukanku! Dan aku tetap menghendakimu sebagai istriku. Menyedihkan, bukan" Apa kau setiap malam mendoakan aku cepat mati, supaya kau dapat segera masuk ke tempat impianmu""
Miki tidak biasa sinis pada Nina. Dia langsung menyesal telah mengucapkan kata-kata sekeras itu. Tapi rasa penasaran membuatnya tidak mau minta maaf. Nina berusaha keras menghentikan isaknya. Bahunya naik turun tersendat-sendat.
"Kau enggak menghalangi aku, Mik," terdengar suaranya yang halus sambil menunduk. "Enggak, kau enggak menghalangi aku. Oh, aku sendiri enggak tahu apakah aku betul-betul memang ingin jadi Mere. Aku sekarang merasa amat bahagia dan itu belum pernah kualami. Aku rasa, bila kita betul-betul bahagia, itu berarti Tuhan memberkati kita, bukan" Berarti Tuhan enggak keberatan aku menjadi istrimu."
"Nin, pandanglah aku, katakanlah bahwa aku enggak menghalangi cita-citamu!"
Nina menatapnya dari balik air mata dan menggeleng. "Sudah kukatakan, kau enggak menghalangi aku, Mik." Miki memeluknya eraterat. "Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku."
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Mik." Miki keli
hatan senang. Namun sesaat kemudian dia kembali menatap Nina dengan ragu dan sekali lagi menegaskan, "Betul-betul aku enggak menghalangimu"" "Betul, Mik. Betul!"
Miki tersenyum lega. Di bawah catatan Nina ditambahkannya, 'Istriku begitu manis dan penuh pengertian. Aku cinta padanya,'
Bab 23 ANAK-ANAK sudah duduk di SMP kelas dua. Merekacerdas dan kuat ingatan seperti ayah mereka.
'Ah, cepatnya waktu berlalu," keluh Nina. Mereka sudah berumur empat belas tahun, dan buku kita sudah begini tebal. Sudah seribu lima ratus lebih halamannya. Berapa tahun kita sudah menikah, Mik""
"Aku cekik lehermu kalau kau enggak tahu!" seru Miki melotot. "Apa selama ini aku cuma dianggap angin, sampai kau lupa sudah berapa tahun kau melihat aku malam dan pagi, berbaring di sampingmu" Lupa bahwa kita hampir merayakan ultah perkawinan kita yang ke... kalau kau sampai enggak tahu, benarbenar keterlauan!"
"Aku rasa, kau sendiri juga enggak tahu!" Nina kalem. "Kalau enggak, tentu sudah kau sebutkan angkanya!"
"Oho, jangan memancing aku, Nyonya! Apa yang kautulis itu""
"Pertengkaran kita!"
Tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar. Terdengar suara anak-anak ingin masuk. "Huh, anak-anak!" keluh Miki. "Mama sedang pacaran sama Papa, diganggu!
"Astaga, Mik! Coba-coba bilang begitu di depan mereka!" tantang Nina mengancam sambil berjalan ke pintu dan membukanya.
Joni dan Andi masuk dengan ragu-ragu seakan punya salah. Mereka mencoba tersenyum memandang Miki yang tetap berbaring santai.
"Pa," sapa Andi, berdiri dekat pintu.
"Mmm, ada apa"" tanya Miki tanpa senyum. Nina berdiri di belakang anak-anak dan mengisyaratkan agar Miki bersikap lebih ramah. Miki tiba-tiba ketawa. Dilihatnya kedua anak itu me megang buku rapor. Diulurkannya tangannya, "Ayo, kenapa malu-malu, Bung" Rapor kebakaran" Jangan takut! Akan kita padamkan bersama! Mari Papa lihat!"
Miki duduk di ranjang. Sambil tertawa kedua anak itu menyerahkan apa yang diminta. "Wah angka-angkamu baik semuanya, Jon. Rupany kau sudah bekerja cukup keras, nih"! Tapi kenapa Agama dapat enam" Sedangkan yang lain bisa lebih bagus" Mama bisa marah kalau kau enggak tahu Budi Pekerti!"
Nina mengambil rapor itu dan membacanya sementara Joni mengawasinya dengan khawatir, "Lama betul bacanya, Ma"" ujarnya memberanikan diri. "Gimana, Ma""
Agama. Kenapa" Kau kurang tertarik" Atau terlalu membosankan""
"Tahu deh, Ma. Jawab saya selalu salah sih."
"Tentu saja! Kalau kau kurang belajar!" seru Ayahnya ketawa.
"Tapi saya belajar kok, Pa. Sungguh. Saya Sebenarnya tertarik sekali pada Agama, tapi..."
"Ah, kau pasti cuma tertarik pada cerita-ceritanya saja!" Miki memotong sambil membuka rapor Andi. "Itu enggak betul, Pa," sanggah Joni perlahan. "Saya... malah ingin jadi pastor!"
"Mmm. Rupanya kau ahli menggambar, Di"! Delapan! Bukan main. Ibumu pasti iri, sebab dia selalu ingin pandai menggambar tapi tidak berbakat! Mmm, apa katamu barusan,Jon""
"Sa... ya... ingin jadi... pastor, Pa," ulang Joni dengan suara lebih pelan.
"Mmmm, ya," komentar Miki setengah linglung seraya memperhatikan angka-angka Andi. Lalu mendadak dia menoleh dan berteriak, "Apa" Pastor" Kau ingin jadi pas... tor" Papa nggak salah dengar, nih" Berapa umurmu, Jon"" "Empat belas, Pa. Dan saya ingin jadi pastor!"
"Saya juga!" Andi membeo dengan tangkas. Tapi ketika Miki menatapnya, dia tahu Andi tidak membeo. Bibirnya yang gemetar menganga seperti orang pandir ketika dia bergantian memperhatikan dengan berdebar-debar, sementara wajahnya memucat dan keringat dingin muncul di tengkuk.
Dia lekas-lekas menghampiri Miki dan duduk bersandar padanya di tempat tidur. Anak-anak memandangi mereka dengan penuh harap. Nina menggenggam lengan suaminya erat-erat dan Miki menelan kembali kata-kata yang mau dimuntahkannya.
"Ambilkan pena Papa di atas meja!" ujarnya kembali tenang.
Andi mengambilkannya. Miki memuji rapornya lalu membubuhkan tanda tangannya. Nina membaca rapor Andi serta memujinya. Kemudian rapor Joni juga ditandatangani.
"Nah, sudah," kata Miki, mengusir mereka dengan raniah, menepuk bahu keduanya. Tapi anak-anak itu tidak mau
pergi. Nina mencubitnya dari belakang dan Miki menarik napas. Dipegangnya lengan Joni serta Andi. Ditatapnya mereka dengan serius. "Mengenai keinginan kalian tadi, Papa belum mau menjawab. Sebab Papa rasa, kalian masih terlalu muda untuk mengambil keputusan. Menjadi pastor bukanlah tugas yang ringan. Karena itu enggak semua orang mendapat panggilan. Kalian enggak bisa begitu saja mendaftarkan diri seperti kalau mau masuk sekolah. Papa mengatakan ini demi kebaikan kalian berdua, bukannya untuk melarang. Papa takkan memaksa kalian menjadi sesuatu yang tidak kalian kehendaki. Mama dan Papa cuma ingin agar kalian betul-betul menjadi orang yang berguna dan bisa hidup bahagia."
"Tidak cuma menerima dan mengambil, tapi juga memberi. Ikut terlibat dalam kehidupan. Supaya kehadiran kalian di dunia jangan dianggap sebagai kebetulan belaka.
"Nah, anak-anakku, tunggulah beberapa tahun lagi. Bila kalian masih ingin melaksanakan cita-cita ini, katakanlah nanti. Oke" Buatlah hidup kalian seberharga mungkin, sehingga dunia tidak menyesal telah kedatangan kalian!"
Joni dan adiknya mengangguk-angguk, lalu keluar setelah mengucap terima kasih. Nina memeluk keduanya dan mengantar mereka. Setelah pintu tertutup, Nina bersandar di situ menatap Miki. Laki-laki itu menghindari tatapannya. Dia berbaring kembali dan sengaja mematikan lampu supaya Nina tidak dapat membaca wajahnya. Nina berbaring di sebelahnya, memeluknya diam-diam. Dia bisa menduga apa yang dipikirkan Miki. Pasti sama dengan apa yang ada dalam otaknya. Mereka sama-sama mengerti dan menjadi takut. Takut akan dosa mereka pada Tuhan. Miki telah
merenggutkan Nina dari jangkauan Tuhan dan dan Nina membelakangiNya. Kini Dia datang menuntut lebih banyak. Dia menuntut kedua anak-anak itu! Dia ingin menunjukkan bahwa Dia tidak terbantah. Bahwa Dia menghendaki apa yang menjadi milikNya.
"Betulkah aku enggak menghalang-halangimu, Nina"" bisik Miki patah hati. "Betulkah Tuhan akan mengambil keduanya" Betulkah apa yang kudengar tadi" Ataukah itu cuma mimpi"" "Betulkah Tuhan marah padaku"" bisik Nina pedih dan takut.
"Apakah Tuhan akan datang membuat perhitungan"" sambung Miki dengan suara parau.
"Mik, marilah kita serahkan semuanya padaNya. Dia memberi, Dia juga yang mengambil. Menjadi imam adalah berkat paling istimewa yang mungkin diperoleh manusia dariNya, Itu sama sekali bukan kemalangan, Enggak setiap orang mendapat berkat dan karunia seperti itu Kita harus bersyukur...."
"Tapi kenapa kau menolak karuniaNya kalau memang itu sangat istimewa"" desis Miki menjadi sinis.
"Ya, mungkin kau betul. Aku menolakNya, walau enggak sengaja. Andaikan aku... Mik, ada benjolan di sini. Sakit""
Miki meraba leher yang ditunjuk. Ada benjolan sebesar biji jagung. "Aneh, aku sendiri enggak tahu. Enggak kok, enggak sakit Nin."
Nina menarik napas lega. Kalau tidak sakit berarti tidak berbahaya, Miki ingin meneruskan pembicaraan mereka, tapi Nina minta dengan sangat supaya topik itu dilupakan untuk sementara. "Siapa tahu itu cuma angan-angan ana kecil belaka," hiburnya entah pada siapa.
* * * Miki melihat bakat Andi. Sejak anak itu duduk di kelas tiga SD dia sudah diberi pelajaran lukis oleh ayahnya. Sekarang studio menjadi milik mereka berdua. Joni sama sekali tidak suka melukis, tapi dia gemar sekali membaca. Jadi, bila ayah dan adiknya masuk ke studio, Nina memberinya sebuah buku lalu mereka miembaca bersama. Karena bacaan anak-anak kurang sekali, Nina membelikannya buku-buku dalam bahasa Inggris. Dengan tekun diajarnya anak itu, sehingga ketika Andi mulai melukis sendiri, Joni juga sudah pandai membaca buku Inggris sederhana, sendiri.
Andi sebenarnya ingin juga bisa membaca bahasa Inggris, tapi dia segan mengurangi waktu melukisnya. Untuk menyediakan waktu lain berarti mengurangi waktu bermainnya, dia tidak mau. Selain itu Miki tidak mengizinkan mereka terlalu lama belajar. "Selama mereka masih di SD, mereka harus cukup waktu untuk bermain! Masa kanak-kanak itu tidak lama, Nin. Setelah lewat, mereka masih akan punya waktu banyak untuk belajar. Bahkan seumur hidup mereka bisa belajar! Tapi mere
ka sudah tak bisa bermain-main!"
Selain bermain, anak-anak juga dianjurkan mempunyai hobi. Andi mengumpulkan prangko sedangkan Joni suka gambar tempel.
"Orang yang punya hobi takkan pernah merasa kesepian atau ditinggalkan bila dia sudah dan sudah pensiun," kata Miki mengajari.
"Mama enggak punya hobi!" tukas Andi gesit.
"Ya, betul. Karena itu bila dia sudah berumur empat puluh, pasti dia akan merasa tidak lagi menarik, tidak lagi dicintai dan mungkin dia akan jadi cerewet!" kata Miki tersenyum meliriknya. "Betulkah itu, Ma"" tanya Joni.
"Tentu saja enggak, Jon. Gimana akan merasa kurang menarik, kalau Papa setiap hari bilang Mama cantik," sahut Nina lembut disertai senyum manis. "Apa" Maumu" Kapan aku..."
"Dan gimana Mama akan merasa tidak dicintai," lanjut Nina tanpa mengacuhkan teriak suaminya, "kalau setiap pagi Papa selalu bilang aku cinta padamu!"
Anak-anak bertepuk tangan dan berteriak hiruk-pikuk, sehingga Kakek dan Nenek muncul dari ruang tengah ke beranda belakang. Nina menatap Miki dengan senyum kemenangan.
"Pengkhianat, kau!" desis Miki, tersinggung. "Nanti aku bongkar buku itu sekalian!"
"Bongkarlah," tantang Nina ketawa. "Boleh mereka tahu berapa kali kau ber..." Nina menghentikan kata-katanya sebab kedua mertuannya muncul. Tapi juga sebab dia melihat suaminya betul-betul marah. Seakan mau dicekiknya Nina bila mungkin, Miki amat lembut dan perasa. Dia tidak senang bila perasaan-perasaan pribadinya dibeber di depan orang banyak.
Suatu ketika mereka pernah menghadiri sebuah pesta ultah seorang kawan Miki. Salah satu tamu wanita dengan penuh semangat menceritakan betapa suaminya tergila-gila padanya dan bagaimana mereka pacaran tiap malam. Kisah itu mungkin terlalu banyak dibumbui sehingga kurang masuk akal. tapi amat lucu. Semua orang terbahak-bahak, termasuk Nina. Tapi Miki cemberut saja. "Murahan!" desisnya ke kuping Nina. Ketika mereka sudah tiba kembali di rumah, barulah Nina menyadari bahwa Miki amat marah dan tersinggung.
"Apa kau juga akan menertawakan dan menceritakan suamimu seperti itu"!"
Nina seketika kelabakan sebab Miki belum pernah marah sehebat itu.
"Tentu saja enggak, Mik," katanya, membujuk dengan pelukan. "Terus terang, aku enggak menaruh hormat pada wanita itu."
Melihat Miki sekarang marah, Nina teringat kembali peristiwa di atas. Untung ayah Miki segera kedengaran buka mulut, "Ada apa sih ribut-ribut seperti kebakaran begitu"" Joni sudah mau menjawab -pasti yang sejujurnya- tapi tidak jadi ketika dilihatnya Nina menggeleng.
"Kami sedang menceritakan lelucon pada anak-anak, Pa," kata Nina cepat-cepat. Lalu mengingatkan anak-anak, "Ei, jangan lupa besok mau ulangan. Ayo, sana, belajar!"
Semuanya kembali ke ruang tengah. Ibu mertua ternyata tengah membungkusi dodol sirsak yang akan dijualnya untuk mencari dana santunan bagi rumah piatu yang terbakar. Nina terkejut melihatnya. "Oh! Kenapa saya bisa lupa Mama sedang membuat ini! Pergilah tidur, Anis. Biar saya yang menggantikanmu!"
Anis segera lari ke belakang di mana pacarnya, kemenakan Pak Kebun, sedang menunggunya.
"Wow, senangnya kau!" seru Joni. "Mau pacaran, ya!"
"Joni!" bentak Miki yang duduk di sudut membaca koran. "Jangan bicara soal pacaran segala, mengerti" Papa enggak mau dengar kau bicara seperti itu lagi!"
Joni mengangguk, lalu menunduk menekuni lagi bukunya. Nina pura-pura tidak mendengar apa-apa. Dia berlagak asyik mendengarkan ide mertuanya mengenai pencarian dana. "Pameran, Nin. Itu banyak mendatangkan duit .Pameran kerajinan tangan. Pameran batik. Pameran keramik, pendeknya segala macam, deh. Tentunya disertai penjualan barang-barang. Ah, sayang Miki jarang melukis. Kalau enggak, dia pasti bisa mengadakan pameran lukisan. Lukisannya pasti laku dengan harga tinggi!"
Andi menghampiri ayahnya minta dibuatkan surat. Kedua anak itu sudah hampir setahun mempunyai hobi baru: korespondensi ke luar negeri. Itu ide Nina ketika mereka setengah mati mencari jalan untuk membuat anak-anak melupakan cita-cita mereka yang mengejutkan itu. Karena surat-surat ditulis dalam bahasa Inggris, mereka memerlukan bantuan seluruh
keluarga. Kakek membelikan mereka buku contoh-contoh menulis surat. Nenek terkadang membawa pulang suvenir-suvenir kecil untuk hadiah bagi teman-teman pena. Ayah dan Ibu membantu menulis surat.
Masing-masing mempunyai lima teman pena. Andi mempunyai gadis manis berumur! dua belas tahun yang mengatakan bahwa dia selalu menantikan surat-suratnya. "Aku kagum sekali akan kepandaianmu menulis surat, An," tulis gadis dari Quebec itu.
"Ow, Jon, seandainya dia tahu, Papa yang menulis semuanya!" seru Andi terbahak-bahak.
"Yah! Jangan kauberitahukan, edan!" bentak Joni.
"Dia mau mengirimkan sweater, Pa," kata Andi bangga.
"Tentu kausebutkan nomor kemeja Papa, bukan"" tanya Miki penuh arti.
"Ah, kenapa"" Andi melongo.
"Itu kan buat si penulis surat, bukan" Apa kau mau menipu dirimu sendiri"" "Tapi, Pa!" Andi memohon dengan wajah kuyu.
"Terserah," kata Miki serius. "Kalau kau menghendaki sweater itu, terpaksa harus kaukatakan bahwa surat-suratmu sebenarnya dikarang oleh Papa!"
"Ow! Habis dong kebanggaanku. Pa!"
Nina mendengar perdebatan itu. Dia ingin menegur Miki, tapi tak dapat Mereka sudah berjanji, takkan pernah saling menegur atau menyalahkan di depan anak-anak. Bila Papa melarang, berarti Mama juga melarang dan sebaliknya. Itu politik pendidikan mereka dan anak-anak mengerti. Andi menggaruk-garuk kepalanya, dia tahu tak mungkin mencari bantuan pada Ibu. Ibu takkan mau menentang Ayah.
"Kalau kau enggak mau terus terang, selanjutnya kau harus mengarang surat-suratmu sendiri!"
"Baiklah, Pa," akhirnya Andi menarik napas sedih tapi tegas.
"Saya kira, saya memang tak bisa mendustai Jacqueline lebih lama lagi, sebab dia begitu baik. Kalau saya minta ukuran dewasa, dia pasti akan curiga. Lagi pula, kenapa saya harus takut" Tulisannya juga enggak begitu bagus. Sering dia salah mengeja!"
"Jadi akan kaukatakan bahwa sebenarnya surat-suratmu dikarang oleh ayahmu"" Miki menegaskan tanpa kasihan. Andi mengangguk lesu dan ayahnya mulai mengarang suratnya. Nina ingin betul memarahi Miki untuk kekejamannya. Ketika mereka sudah berduaan di kamar, Nina langsung menegur.
"Mereka harus diajar berlaku jujur!" sahut Miki ketus.
"Oh, aku tahu, kau masih mendongkol padaku, sebab aku membuka rahasia cintamu di depan anak-anak," keluh Nina sambil menyikat rambut.
"Siapa bilang"" gumam laki-laki itu di belakang istrinya, lalu tiba-tiba memeluknya. "Tentu saja aku enggak mendongkol, Nin. Sebab kau begitu manis! Soal Andi enggak ada hubungannya denganmu!"
"Kalau itu betul, sisirkan rambutku!" perintahnya merajuk. Miki merebut sikat rambut itu dan melemparnya ke atas meja. Diangkatnya Nina lalu dibantingnya ke atas ranjang sambil tertawa.
"Keterlaluan!" desis Nina, tidak sempat lagi berpikir apa yang terjadi. Mula-mula dia mau berlagak marah, tapi akhirnya tersenyum juga, sadar bahwa dia takkan sanggup melawan Miki.
"Mik, gimana kalau kau mengadakan pameran lukisan untuk mencari dana bagi anak-anak yatim piatu"" tanyanya scimbil membelai-belai leher Miki. Lama Miki tidak menjawab, sehingga pertanyaan itu harus diulang.
"Belum waktunya, Manis. Mungkin tahun depan,"
Bab 24 SECARA diam-diam Miki mengambil kursus kilat pada temannya yang mengajar Ilmu Ukur serta Aljabar di SMP, supaya dia dapat membantu anak-anak membuat pe-er. Seminggu dua kali Miki duduk di meja rias istrinya, menekuri kembali semua dalil dan axioma. Nina terkadang jengkel melihat dia menyiksa diri serupa itu. Bila dia sudah hampir terlena, tiba-tiba terasa ada gempa bumi di atas ranjang dan di terpaksa bangun kembali dengan kaget lalu menjadi sulit tidur lagi,
"Tidak dapatkah kau pelan sedikit kalau berbaring"" tegurnya dengan kepala pening, Tapi Miki menyeringai seperti Andi bila merasa bersalah, dan Nina mau tidak mau terpaksa mengampuninya. Mengherankan betapa Miki amat menyerupai anak-anak. Nina selalu terpaksa menyeringai juga, lalu memeluknya seperti yang dilakukannya terhadap mereka.
Terkadang Nina terjaga sebab mendengar rangkaian batuk yang tiada henti-hentinya, Ketika dibukanya matanya, didapatinya ayah yang jempolan itu masih membaca buku Ilmu Ukur van
den Bosch. "Astaga, Mik," serunya malam itu. "Rupanya kau lebih mencintai anak-anak daripada aku! Lebih baik pergilah ke ruang tengah, duduklah di sana semalaman, tapi biarkanlah lampu di sini padam! Aku enggak bisa tidur, nih!"
"Sebentar lagi, Nin. Lima menit lagiii," rayunya sambil menoleh dan mengedipkan sebelah matanya. "Baru jam sembilan. Masa mau tidur" Aku cinta padamu, Nin. Karena itu, kupelajari ini. Kalau enggak, tentu mereka akan lari padamu dan kau terpaksa memecahkan otak untuk membantu mereka!'
Logika Miki terkadang mustahil, bahkan menjengkelkan, tapi selalu betul. Miki ketawa melihat istrinya merengut sebab kalah angin. Miki senang dan selalu menang bersilat lidah. Sambil mendengus Nina membalikkan tubuh supaya tidak silau, lalu mencoba tidur lagi.
Dia sudah hampir terlena kembali ketika suara batuk yang mencemaskan itu terdengar lagi. Ia berbalik. Dengan mata terbuka lebar dilihatnya Miki terbungkuk-bungkuk melawan batuk. Rupanya lendir di dalam tenggoroknya susah keluar, sehingga dia terus-menerus batuk. Nina segera meloncat turun dan mengambil minyak gandapura. Diolesinya punggung dan dada Miki, lalu dipijit dan ditepuk-tepuknya. Akhirnya lendir itu keluar juga dan batuk itu berhenti. Nina pergi ke dapur mengambilkan segelas air. Miki meneguknya dengan patuh.
"Kau harus ke dokter, Mik. Ini enggak boleh dibiarkan saja! Batukmu sudah hampir dua minggu!" kata Nina sambil menutup buku Ilmu Ukur dan menyimpannya dalam laci tanpa minta izin lagi, lalu dipaksanya Miki tidur.
"Dan besok ke dokter!"
"Ala, kau seperti nenek-nenek saja!" bantah Miki kurang senang. "Kaukira, aku sakit tering (TBC), apa" Bah! Badan begini sehat!"
"Badan sehat takkan batuk-batuk bermenit-menit lamanya, hampir tiap malam!" kata Nina tak mau kalah, sambil membuka selimut dan menyelimuti suaminya. "Nah, tidurlah." "Kalau kau mengira aku penyakitan, itu terlalu!" desis Miki.
"Aku enggak mengira apa-apa, anak manis. Aku cuma ingin kau ke dokter!" Nina kini memperlunak suaranya dan membelai-belai leher suaminya. Miki menjadi tenang, membiarkan dirinya dipeluk. "Mik, betulkah benjolan ini enggak sakit""
"Benjolan apa" Oh ini!" Miki ikut meraba. "Betul, enggak sakit. Kenapa"" "Rasanya kok tambah besar, ya""
"Oho! Lagak seorang istri yang hampir empat puluh! Pura-pura menaruh perhatian berlebihan, supaya stiaminya jangan main mata lagi. Bahkan divonisnya si suami dengan tering segala! Kalau boleh, mau dipenjarakannya di Cisarua!" Miki ketawa dan terus tertawa walaupun Nina mencubitinya.
"Keterlaluan kau, Mik! Oke! Aku takkan mau tahu lagi apa sakitmu!"
"Sungguh" Biarpun aku akan mati karenanya" Ah aku tahu kau pasti akan nangis kalau aku mati!"
"Mik! Kenapa kau mendadak jadi sinting" Ngomongin yang enggak-enggak! Kau tahu, itu membuatku takut. Kau jahat!" Nina mendengus dengan suara gemetar. Miki menghentikan ketawanya. Dalam gelap dirabainya wajah Nina. Didapatinya pipinya basah. Dipeluknya Nina dengan penuh cinta. Matanya sendiri tiba-tiba menjadi basah, tanpa sebab.
"Maaf, ya, Nin. Aku memang gila tadi. Semuanya cuma main-main. Habis, aku sengit sih kalau kau terlalu cerewet memaksa aku ke dokter. Aku kan lebih tahu kalau ada yang enggak beres dengan diriku" Masa sih aku enggak mau berobat kalau perlu" Ngerti dong, Nin! Aku pantang ke dokter kecuali kalau perlu!"
"Aku ngerti, Mik. Aku sendiri juga takut dokter sebenarnya," bisik Nina.
"Nah, tuh apa!" Miki ketawa kecil sambil membelai-belai rambut Nina. "Jangan nangis, Nin. Aku selalu cinta padamu. Selalu. Apa juga yang terjadi. Umur berapa pun engkau. Eh, kau tahu, kau makin cantik saja bagiku dari tahun ke tahun. Mengherankan. Apa mataku sudah enggak beres atau kau yang menipu aku! Tahu deh. Nin, aku ingin kita saling mencintai sedemikian, sehingga andaikan salah satu mati -oh, jangan takut, ini cuma andaikan. Lagi pula, Nin, kan setiap orang memang harus mati, bukan" Juga kau dan aku"- yang lain tak perlu menyesali, Ah, seandainya aku tahu dia akan mati, tentu aku akan berlaku lebih manis padanya!'
"Kan sangat indah bila kita dapat berkata pada diri sendiri, Aku sudah
membahagiakan hidupnya di dunia. Aku cinta padanya.' Wow, jangan nangis lagi, Sayang. Sudahlah.. Aku enggak mau bicara lagi soal ini supaya hatimu senang. Tapi aku boleh menuliskannya dalam buku kita, bukan" Kita mau ngobrol soal apa lagi" Atau kau sudah ngantuk""
"Kau perlu tidur!" kata Nina menahan isaknya.
"Ah, aku belum ngantuk. O ya, apa kaupikir anak-anak sudah melupakan cita-cita mereka" Sudah setahun berlalu. Mereka sekarang amat sibuk dengan segala macam hobi. Terutama surat-menyurat. Dan aku bermaksud menyuruh Andi ambil les pada pelukis tenar, tapi aku belum tahu pelukis mana yang akan kita pilih. Kau setuju, bukan""
"Heeh. Mik, anu, apa kaupikir mereka sudah melupakannya""
Suara Nina terdengar begitu redup dan jauh,
Mild menjangkau lampu di meja, tapi Nina mencegah.
"Aku ingin melihat wajahmu."
"Jangan, Mik, Jangan dinyalakan."
Mereka terdiam beberapa saat. Jari-jari Nina dengan lembut menelusuri leher Miki dan laki-laki itu berpikir betapa besarnya dia mencintai istrinya. Pasti Tuhan yang telah mempertemukan mereka berdua. Kalau tidak, tak mungkin mereka dapat hidup bersama dengan penuh rahmat dan bahagia seperti ini. Tapi di sudut-sudut hatinya selalu mengendap sebuah keraguan yang tak pernah terjawab: betulkah dia ingin menjadi Mere" Dengan segala kelembutan dan perhatian yang diperlihatkannya, mungkinkah Nina juga mencintainya" Atau hanya kelembutan seorang wanita yang ingin menjadi istri yang baik" Bila Nina tidak mencintainya, mana mungkin dia dapat selalu merasa bahagia bila berada bersamanya"! Betapa inginnya Miki tahu apakah Nina mencintainya seperti dia mencintai Nina. Tapi dia tak berani bertanya. Takut kalau-kalau jawabannya menyimpang dari harapan. Dia takut menghadapi kenyataan.
Dalam hati ada bisikan bahwa Nina sebenarnya tidak mencintainya. Dia menikah dengannya karena itu satu-satunya jalan yang terbaik baginya untuk menolong keluarganya! Bila dia sungguh-sungguh dipanggil untuk membiara, mungkinkah baginya melupakan citacita itu" Mungkinkah Tuhan berdiam diri saja membiarkannya berlalu dariNya"
Oh, Nin, aku cinta padamu, bisiknya. Jangan katakan bahwa aku ini angin lalu belaka bagimu! Katakanlah bahwa aku mempunyai arti dalam hidupmu. Mempunyai tempat tertentu dalam hatimu. "Nin..."
"Mik, kaupikir mereka sudah melupakannya""
Mereka bicara berbareng dan Nina tidak mendengar namanya dipanggil. Miki mendekapnya lebih erat dan memejamkan mata. Dikecupnya Nina dengan lembut. Dia betul-betul tidak tahu jawabannya. Seharusnya Nina lebih tahu. Dia kan pernah punya cita-cita serupa... apakah dia sudah melupakannya"
"Aku sungguh enggak tahu, Manis. Kalau mereka memang terpanggil, mungkin mereka takkan melupakannya!"
"Oh!" "Kenapa mengeluh"" bisik Miki memberinya perlindungan hangat. "Tidurlah, Nin. Jangan dipikirkan. Kita lihat saja nanti. Mereka kan sudah asyik berkorespondensi ke seluruh dunia! Tak pernah lagi menyebut-nyebut soal itu. Mungkin itu cuma impian semusim saja yang akan bubar dengan berlalunya waktu."
Nina mengangguk dalam gelap. Dulu Miki yang khawatir dan dia yang menghibur, Sekarang terbalik. Entah kenapa, makin lama dia makin dihantui oleh cita-cita kedua anaknya untuk menjadi pastor. Apakah Tuhan mencari ganti bagi penolakannya dulu" Tapi bila dia dulu betul dipanggil kenapa dia kini dapat mencintai Miki dengan sepenuh hati" Kenapa dia bisa merasa begitu bahagia" Kenapa dia tidak merasa berdosa sedikit pun" Kenapa dia tidak merasa bahwa Tuhan mungkin marah padanya"
"Mik, aku cinta padamu," bisiknya, tapi Miki sudah lelap dan tidak mendengar.
* * * Miki rajin mengisi buku harian mereka. Tapi makin lama makin sering dia menulis melulu tentang cinta dan kematian. Sehingga Nina hampir-hampir tak dapat membacanya tanpa mencucurkan air mata. Bila ditegur, Miki cuma ketawa dan mengusulkan agar halaman itu dirobek saja lalu dibakar. Tapi tulisan-tulisannya begitu mengena ke hati, sehingga Nina merasa sayang memusnahkannya. Setelah istrinya berulang-ulang memohon agar tulisan semacam itu distop, barulah Miki menurut.
Pada suatu sore, baru saja Miki melangkah masuk ke ruma
h, Andi sudah menyerbunya sambil tertawa riang, Miki diseret dan didorongnya ke dalam kursi. Dari saku baju dikeluarkannya sepucuk surat yang diberikannya pada ayahnya. "Lihatlah, Pa, ini surat Jacqueline. Tahu enggak, Pa, dia juga mengaku, dia dibantu ibunya menulis surat-suratnya! Haa, jadi dia enggak marah sama saya!"
"Ooh!" seru Miki berlagak kaget, lalu membaca surat itu dengan penuh perhatian, seakan itu surat pemberian kredit. Nina duduk memperhatikan sambil tersenyum. Juga ibu Miki, yang kebetulan ada di rumah sedang merajut selendang untuk dijual dalam bazar amal.
"Wah, kalau gitu, Papa ingin korespondensi juga dengan ibunya, Di. Rupanya dia bisa menjadi teman pena yang mengasyikkan," kata Miki pura-pura tidak melihat Nina hadir.
"Dan Mama sama ayahnya, Di!" sambung Nina kalem. Andi mengikik geli sementara ayahnya menoleh dan mendelik pada ibunya.
"Itu enggak sopan, Nin. Wanita enggak boleh menulis surat duluan pada pria! Belum tentu dia mau menerima perkenalanmu!" sindir Miki tersenyum seraya mengembalikan surat Jacqueline. Andi melipatnya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam sampul, lalu mengecupnya. Nina melirik suaminya sambil tersenyum, lupa akan sindiran barusan. Ah, rupanya impian semusim itu memang sudah bubar berantakan! Tapi Nina tidak tahu apakah dia gembira atau tidak karenanya.
"Dia sudah mengirimkan sweater itu, lho, Pa!" kata Andi bangga.
"Mungkin ibunya juga mau mengirimi Papa sweater, ya," tukas si ayah melamun. Andi mengikik lagi lalu berlari pergi, rupanya mau laporan pada Joni.
Nina berdiri, menjewer telinga Miki lalu ke belakang mengambilkan kopi. Diletakkannya cangkir kopi itu di hadapan suaminya, lalu diambilkannya sandal.
"Kenapa enggak sekalian kaulamar dia" Pasti wanita Canada kelahiran Prancis itu mengasyikkan! Tapi tanya dulu, apa dia mau mengambilkan sandalmu tiap sore" Atau menyediakan handukmu kalau mandi"" sindir Nina meliriknya dengan garang, sementara ibu mertua berlagak tuli.
"Hei, aku enggak minta diambilkan sandal!" bantah Miki.
"Tapi kau kan selalu menunggu sampai sandal itu kuambilkan, baru kaubuka sepatumu"!"
"Aku kan berhak memutuskan kapan mau kubuka sepatuku"" tantang Miki seraya meraihnya dan berbisik, "Seperti aku juga berhak memelukmu kapan saja aku mau""
"Ih!" desis Nina melepaskan diri, teringat ibu mertua di pojok.
"Jangan merajuk," bisiknya lagi. "Aku takkan melamar wanita mana pun, sebab sudah telanjur berjanji akan mencintaimu dalam untung dan malang, Menyedihkan" Enggak. Sebenarnya aku senang dengan nasibku. Aku tak punya alasan untuk mengeluh. Aku mendapatkan cewek yang kucintai, aku punya dua kurcaci yang manis-manis, yang kini sudah menjadi pemuda-pemuda ganteng seperti ayah mereka...."
Nina memijit hidung Miki keras-keras untuk memaksanya menghentikan omong kosong yang sinting itu. Pijitan itu cukup keras sehingga Miki megap-megap ketika dia membandel mau terus bicara. Nina jadi kasihan dan melepaskan jari-jarinya. Hidung Miki merah seperti tomat. Dia terbatukbatuk makin lama makin keras. Punggungnya terbungkuk-bungkuk mencoba melemparkan keluar apa saja yang menyekat di tenggorokan. Nina memijiti bahu dan punggungnya tanpa berkat-akata. Andi yang muncul lagi dengan kertas dan pena, segera meletakkan semuanya lalu pergi mengambilkan air. Joni juga muncul mendengar suara batuk ayahnya. Nenek menyuruhnya mencarikan balsam cap Macan,
Miki menggeleng, menolak balsam yang diulurkan oleh Joni. Dia masih terbatuk-batuk, tapi tidak sekeras tadi. Tangannya yang bertumpu pada lengan Nina terasa hangat berkeringat "Sudah dong, Mik," bisik Nina, pedih melihat suaminya kecapekan.
Seakan menurut perintah, batuk berhenti. Nina mengambil saputangan dari saku celana Miki, lalu menyeka peluh yang membasahi seluruh mukanya. Miki masih terengah-engah sedikit. Andi menyorongkan gelas, dan ayahnya meneguknya tanpa membantah. Miki membiarkan dirinya disandarkan ke kursi, dan dipejamkannya matanya. Dengan mata membasah Nina menunduk, memperhatikannya, Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimanapun, dia harus ke dokter. Joni juga mengatakan hal itu, dip
erkuat oleh Nenek. Nina mengangguk. "Kita akan membawanya ke dokter kalau sudah mandi. Jagalah Papa dulu, Jon. Mama mau menyediakan air panas."
Pada saat itu ayah Miki pulang. Dia kaget melihat semua orang mengerumuni Miki. "Kenapa"" serunya melempar map surat ke atas meja, lalu mendekat. "Kenapa kau, Mik"" ulangnya khawatir.
Miki tersenyum membuka mata. "Cuma kepingin dimanja!" tukasnya, tapi tak ada yang tertawa.
"Dia batuk-batuk lagi, Pa," kata Nina yang muncul dari belakang. "Lihat mukanya sepucat itu. Ayo, Mik, mandi dulu!"
"Kau harus ke dokter!" perintah ayahnya. Ma, coba ambilkan daftar alamat dokter di kamar!" Ibu Miki mengangguk, cepat-cepat masuk ke kamar, dan kembali lebih cepat lagi. "Batuk-batuk...," gumamnya. "Spesialis paru-paru!" "Dokter Kudon!" usul ayah Miki. "Dia ahli penyakit paru!"
"Saya kan enggak TBC!" bantah Miki dengan keras, tapi tindakannya membuat batuknya timbul lagi walau tidak sehebat tadi-sehingga akhirnya dia terpaksa tutup mulut membiarkan semua orang mengatur dirinya sesuka mereka. "Ahli paru-paru bukan cuma mengurusi TBC, Mik," Nina menjelaskan. "Aku ogah ke sana!" katanya pelan tapi kepala batu.
"Kalau begitu, ke internis saja," usul ibunya sambil mencacah daftar internis dalam buku kecilnya. "Nah, ini dia! Dokter Pujo! Langganan teman-temanku!"
Anis datang memberitahukan air panas sudah siap. "Ayo, mandi dulu, Mik," ajak Nina.
"Taruhan, aku bukan TBC!" kata Miki sengit sambil berjalan ke kamar mandi.
* * * Ketika mereka keluar dari kamar dokter, Miki melirik Nina sambil mencibir. "Nah, kan kaudengar sendiri" Aku enggak TBC! Malah enggak apa-apa! Cuma bronchitis ringan. Dan kalian sudah membesar-besarkannya sedemikian, sehingga hampir-hampir aku jalan sendiri untuk pesan tempat di Joglo!"
"Aku senang, Mik, kau enggak kenapa-kenapa. Tapi sebelum kita tahu pasti, sebaiknya kita siaga, bukan" Atau kau sudah ingin ke surga dan tidak mencintai keluargamu lagi""
"Kekasihku," bisiknya memeluk Nina erat-erat "Jangan menduga yang bukan-bukan, Oh! Kau pasti tahu, betapa cintaku pada kalian! Aah, suatu ketika kita harus pergi libur berdua, Nin. Berdua saja. Tanpa anak-anak. Kita akan berjalan pelan-pelan di pantai pada malam hari. Kenapa kita tak pernah melakukannya" Lihatlah bulan di atas. Malam begini tenang dan cerah. Tidakkah kau ingin menikmatinya bersamaku" Berdua saja""
"Tentu, Mik!" sahut Nina pelan dengan terharu. "Begitu kau sehat kembali, kita akan pergi berlibur."
Bukan Impian Semusim Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kalau aku sudah sehat lagi!" gumam Miki seakan pada diri sendiri. "Aku memang merasa lesu, Nin. Dan tidak bertenaga."
Nina tibatiba merasa bulu kuduknya berdiri. Firasat jelek sekonyong-konyong melanda dirinya. Oh, jangan biarkan Miki kenapa-kenapa. Jangan biarkan dia...
Miki memeluknya dengan hangat dan mesra. Pelan-pelan mereka melangkah menuju mobil yang menunggu di luar pekarangan internis.
Bab 25 MIKI sembuh dengan cepat. Dokter menganjurkan supaya dia mengambil libur panjang dan banyak beristirahat Miki memang kurang sekali istirahat. Dia biasa bangun pagi jam enam, langsung berlari-lari bersama-sama anak-anak dan anjingnya. Jam setengah delapan sudah berangkat ke kantor dengan ayahnya. Jam lima sore baru pulang. Lebih sering lagi jam enam. Tidak segera rileks, tapi bermain bola dulu dengan anak-anak di kebun belakang. Setelah mandi dan makan, dia membaca koran sebentar lalu mengurus pe-er anak-anak, main catur dengan Joni, atau mengajar Andi melukis. Setelah anak-anak tidur jam sembilan, dia kembali membaca sampai jam dua belas.
Nina menceritakan semua itu pada dokter yang berce-ce-ce mendengar betapa sibuknya Miki. Bila dia dinas ke luar kota, kata Nina, lebih tak teratur lagi istirahatnya. Dia pasti kurang tidur. Miki memang terkadang ke luar kota sebagai pembantu utama ayahnya. Nina pernah mengusulkan agar Miki diringankan tugasnya. Tapi ayah mertua tak bisa menemukan orang lain yang mampu menggantikan Miki. "Miki punya bakat istimewa untuk selalu memenangkan perundingan menurut kehendaknya, Nin," kata ayah mertuanya. "Tidak sembarang orang bisa melakukannya."
Tapi kali ini Nina bertek
ad tak mau menyerah. Dia menagih janji untuk pergi berlibur berdua. Miki ketawa gelak, "Sudah setua ini, kau masih mau pacaran, Nin" Dengan aku lagi! Tak dapatkah kaucari laki-laki lain yang mau jadi kekasihmu""
"Kata dokter, lebih baik ke gunung, Mik. Jangan ke laut," sambung Nina tanpa mengacuhkan ocehan suaminya. 'Bah! Pak Dokter yang terhormat itu!" sembur Miki yang sengit dengan segaja macam nasihat serta larangan. "Aku takkan mau lagi mengunjungi pak dokter yang terhormat mana pun!" "Kita akan ke gunung, ya, Mik." "Aku mau ke laut!" "Ke gunung, Mik."
"Pergilah ke gunung sendirian. Atau ajak anak-anak. Atau cari pacar baru. Malu dong kalau enggak bisa mendapat pacar baru sedangkan aku begitu laris dikejar cewek-cewek!" "Miki!"
"Ya, Sayang, ada apa"" tanyanya berlagak suci, dengan mata sebening mungkin. Nina menatapnya lalu menggigit bibir. "Enggak ada apa-apa."
"Oke. Kita ke laut. Temanku punya pondok kecil di sana yang jarang dipakainya. Kita bisa tinggal selama kita mau."
Nina tidak memberi komentar. Dia sedang berpikir-pikir kenapa dokter menganjurkan gunung dan bukan laut. Miki memeluk dan mengecupnya. "Masih penasaran" Sana deh, ke gunung! Aku mau ke laut!"
"Dan akan kubiarkan kau dikejar cewek-cewek di pantai" Oho, Mik, kau adalah milik pribadi, tahu. Aku belum kekurangan uang sehingga terpaksa mesti menyewa-nyewakan engkau!"
"Apa" Kau mau memperjualbelikan diriku" Coba-cobalah. Salah-salah kau yang akan jadi barang dagangan! Tapi rasanya sudah setua ini kau takkan laku lagi! Sayang! Padahal rambutmu masih hitam, matamu masih indah, betismu masih..."
"Pokoknya aku masih cantik!" tukas Nina. "Tapi, Mik, aku sih enggak mau berkhianat!" "Aku juga enggak! Jadi kita ke laut""
Nina tertawa. Apa hubungannya berkhianat sama laut"! Oh, Mik, menatapmu saja membuat aku ingin hidup seribu tahun lagi! Hanya supaya aku dapat selalu besertamu. Tapi Nina mengucapkan itu dalam hati. Miki tidak mendengarnya. Seandainya dia mencintai aku, pikir Miki, aku rela mati sekarang. Tapi Nina cuma seorang istri yang setia. Dia tak mau memberikan hatinya padaku!
Mereka berlibur seminggu ke laut. Lebih lama lagi akan membosankan, kata Miki yang sebenarnya merasa kehilangan anak-anak.
Pagi hari mereka berenang puas-puas. Malam hari mereka menyusuri pantai atau duduk-duduk dalam pondok mendongeng tentang masa kanak-kanak mereka. Nina menceritakan tentang Ogu. Miki mengisahkan tentang Ita dan teman-teman mereka. Keduanya sudah tidak sedih lagi menyebut nama itu, tapi sebuah kenangan manis selalu menyelinap masuk bila nama itu berkumandang.
"Waktu memang menyembuhkan, Sayang," gumam Miki merebahkan kepalanya di atas pangkuan Nina. "Aku terkadang lupa-lupa ingat, bahwa aku mempunyai adik manis yang meninggal di jalanan. Terkadang aku masuk ke studio dan terpandang olehku sketsa kalian berdua. Dalam hati aku langsung bilang, Ah, itu Nina! Siapa gadis di sebelahnya"' Setelah beberapa saat baru ingatanku pulih, dan aku terkenang kembali padanya. Kenapa aku bisa pelupa begitu, Nin" Kepalaku terkadang rasanya melayang. Kau pernah juga begitu"" Miki menengadah dan Nina menunduk membalas tatapan itu.
Dibelainya rambul Miki yang terjurai ke dahi lalu dikecupnya.
"Ya," bisiknya, "aku juga pernah mengalaminya. Enggak apa-apa itu sih!" lanjutnya berdusta.
"Tentu saja enggak apa-apa," Miki terbahak-bahak. "Kausangka kepalaku sudah enggak beres" Lantas mau kauseret aku ke dokter lagi" Ah, ah, ah, masakan kau sekejam itu, Manis!"
Nina tertawa dan memeluknya tanpa berkata-kata. Tapi hatinya waswas dan gelisah. Miki tidak biasa mengeluh. Bila dia mengatakan sesuatu, itu berarti keadaan sudah tak tertahankan olehnya.
"Hei, mana buku kita"" tanya Miki ketawa lalu bangkit "Di mana, Nin""
"Di dalam kopermu. Aku taruh di situ, sebab dalam koperku sudah enggak ada tempat."
"Dasar cewek! Pergi ke tempat begini sepi pun masih perlu sekoper penuh tetek bengek. Padahal enggak ada manusia lain yang akan melihat!" cemooh Miki sambil berjalan ke kamar. "Tapi kan ada engkau, Mik! Aku kan berdandan untukmu!" "Beneran""
"Beneran!" Miki tertawa gembira dan segera muncul kembali dengan buku harian mereka. Buku itu berukuran dua puluh senti kali dua puluh lima senti. Kulit luarnya berwarna biru tua. Isinya dapat disisipkan selembar-selembar dengan membuka kulit bagian belakang. Nina memberi angka pada setiap helai kertas. Biasanya halaman itu mereka bagi empat. Terkadang kurang bila banyak yang mereka tulis. Buku itu betul-betul merupakan hobi yang menyenangkan bagi keduanya. Apa saja yang ada dalam pikiran, mereka tuliskan. Setiap kali melihat Nina menulis, Miki selalu menunggu dengan penuh harap. Begitu selesai, akan dibacanya dengan berdebar-debar, berharap akan melihat apa yang selama ini dirindukannya: 'aku cinta padamu, Mik.' Tapi harapan itu masih sia-sia terus.
'Malam ini adalah malam pertama liburan kami.' tulis Miki memakai warna biru. 'Kami berenang dari pagi sampai tengah hari. Seorang nelayan lewat dengan hasil tangkapannya. Nina mau membelinya, tapi nelayan tua itu dengan ramah memberi kami dua ekor ikan yang besarnya mirip ikan tengiri. Sambil tertawa dia menolak bayaran. "Besok-besok saja kalau saya lewat lagi," katanya lalu pergi.
'Nina kegirangan seperti anak kecil. Aku tanya, ikan apa itu. Jawabnya, itu ikan hering. Aku tahu dia cuma asal ngomong, sebab dia belum pernah melihat hering. Nina memang senang membodohi aku. Dia adalah seorang malaikat yang kesasar ke bumi dalam perjalanan pulangnya setelah meninjau Sodom dan Gomorah. Seorang malaikat yang manja, tak bisa apa-apa, gemar menghamburkan uang, suka membodohi suami, berlagak suci... dan aku cinta padanya!'
'Waktu dia di SMA, ada temannya melempar kertas roti ke kepala orang yang lewat di bawah. Orang itu mengadu pada Mere Kepala.
Semua kelas di loteng sebelah kanan diskors sampai anak yang bersalah mau mengaku, Dan malaikatku yang sok suci itu datang mengaku bahwa dialah yang telah melempar kertas itu.' Nina sejak tadi diam-diam berdiri di belakang Miki, membaca apa yang ditulisnya. Ketika sampai pada baris terakhir, dicubitnya Miki hingga laki-laki itu kaget dan memekik kesakitan.
"Dari mana kau tahu itu" Ayo bilang! Kalau enggak... aku sobek dagingmu..."
"Ancaman seorang malaikat!" Miki nyengir, sama sekali enggak takut, dan enggak kesakitan.
"Dari mana kau tahu itu""
Miki terbahak-bahak melihat Nina penasaran. Dia selalu senang melihat bidadarinya merah padam karena sengit.
"Dari mana, Mik"" Kali ini suaranya parau seakan hampir menangis, rupanya saking sengitnya. "Enggak apa deh kalau kau enggak mau bilang!" Nina melepaskan cubitannya, lalu berbalik menuju ke pintu pondok. Miki menyambarnya dengan cepat. "Hei, mau ke mana. Enggak lihat tuh, langit mendung" Dan hari sudah malam""
"Lebih baik aku kehujanan di luar daripada tinggal di sini dengan orang yang suka mempermainkan aku!"
"Eh, di luar ada culik, enggak takut""
"Biarin diculik! Lepaskan!"
"Duila, ngambek!" Miki terbahak-bahak, memeluk, dan mengecupnya dengan mesra. "Mana bisa kulepaskan! Kalau betul-betul sampai diculik, kan aku rugi besar! Coba hitung, anting-antingmu saja berapa duit! Belum arlojimu!"
Nina mencubit sejadi-jadinya sehingga Miki memekik kesakitan. "Benar-benar kau! Orang mengira kita ini baru saja menikah! Enggak tahu bahwa, anak-anak sudah duduk di SMA! Apa enggak malu diketawain orang, Nin"" "Biar amat mereka tertawa! Eh, Mik, dari mana kau tahu rahasia itu""
"Rahasia"" Miki menatap Nina lekat-lekat. "Itu dinamakan rahasia" Kalau begitu, seharusya Ita me..."
"Oh, Ita toh!" gumam Nina melepaskan diri, "Hei, setelah tahu jawabnya, kau mau pergi gitu saja" Mana bisa! Kau harus tetap di sini! Mula-mula kauisi buku kita. Isi yang bagus tentang aku, ya" Setelah itu, setelah itu... setelah ... setelah itu..." Nina mengelakkan kecupanya. Masih dalam pelukan Miki diraihnya buku yang diambil Miki dari meja, lalu dimintanya pena. Miki mengawasi -seperti biasa- dengan berdebar-debar, penuh harap, dan cemas. Apa sang dibacanya membuat matanya membelalak. Hatinya terasa nyeri, jantungnya berdebar betu kencang, rasanya dadanya bisa meledak diterobos oleh deburnya. Akhirnya! pikirnya. Setelah menunggu seribu tahun! Sekal
i lagi dia membaca seakan takut matanya salah lihat.
Tapi Nina memang cuma menulis sepotong kalimat! 'Miki, aku cinta padamu!'
"Kau serius"" tanyanya ragu-ragu, dengan harapan polos seorang anak. Matanya yang ramah dan penuh kebaikan itu berlinang-linang. Tanpa sadar dipereratnya pelukannya, seakan mau diremuknya Nina dan takkan pernah dilepasnya lagi. Nina membalas tatapan itu tanpa berkedip, tapi lambat laun matanya ikut membasah. Dengan bibir terkatup, perlahan-lahan dia mengangguk.
* * * Waktu seminggu itu berlalu dengan pesatnya. Semua detik-detik mereka yang paling bahagia dan mengesankan mereka ukir dalam buku mereka. Nina merasa sedih tanpa sebab. Setiap kali dia memandang Miki, tanpa alasan dia akan merasa sedih. Aku terlalu bahagia, pikirnya, sehingga kebahagiaanku melarut jadi kepedihan yang makin lama makin mengendap. Apakah kita tak boleh memiliki kebahagiaan yang terlalu jenuh"!
Nina mempunyai firasal bahwa masa-masa bahagia seperti ini takkan terulang kembali. Ini rupanya yang disebut para pujangga: sekali seumur hidup! pikirnya tersenyum.
Bila Miki sudah lelap, Nina akan menopang kepala dengan tangannya lalu sambil berbaring dipandanginya Miki, seakan mau dipaterinya wajahnya buat selamanya dalam hati. Dan selalu, tanpa alasan, hatinya merasa sedih. Dia menggigau. Pernah sekali, dia tersedu-sedu. Miki terjaga dengan kaget "Ada apa, Nin""
"Oh! Kau terbangun" Sori, enggak ada apa-apa, Mik. Aku mimpi."
"Hm. Cuma mimpi. Tidurlah kembali." Miki menghapus air matanya. Nina mengangguk seperti anak kecil dan terlelap dalam pelukan Miki sampai pagi.
* * * Pada hari Minggu pantai penuh orang. Teman Miki yang memiliki pondok itu datang bersama istrinya, Mereka tidak punya anak.
"Astaga! Kalian berbulan madu rupanya!" serunya ketika mendapati Miki di dapur berduaan, dengan lengan melingkari pinggang istrinya.
Nina menjadi merah seperti kepiting rebus. Miki memaki temannya dengan suara keras, 'Mentang-mentang ini tempatmu, masuk tanpa mengetuk pintu dulu! Main nerobos saja sampai ke dapur! Dasar tak tahu adat!"
"Siapa suruh pintu enggak ditutup"" sanggah temannya nyengir.
"Rasain!" sang istri mencibir. "Memang sekali-sekali dia perlu diberi kopi pahit, Mik. Tapi sejujurnya, aku sendiri hampir enggak bisa mengenali kalian berdua! Makin muda... makin mesra saja!"
Nina makin tersipu-sipu. Kini gilirannya hendak memukul Ola dengan centong kayu, tapi sang tamu mengikik dan mengelak.
"Sana keluar!" usir Miki ketawa. "Masakannya belum siap!"
Ola dan suaminya menjelajahi pondok lalu menemukan hasil karya Miki yang belum selesai. "Hei!" pekiknya sampai ke dapur. "Mik, kau mulai melukis lagi, nih"! Kalau sudah selesai dengan Nina, boleh dong giliranku""
"Huh! Aku sendiri mesti mohon-mohon setengah mati," kata Nina dari dapur. "Setelah bertahun-tahun merengek, barulah kemarin dia mulai mengabulkan permintaanku!"
"Jangan pelit dong, Mik!" tukas Ola, muncul lagi di dapur diikuti Rudi.
"Bukannya pelit!" bantah Miki malu. "Aku sih mau saja melukis siapa pun, tapi salahnya tanganku enggak mau bekerja. Kaku rasanya, enggak ada ilham, enggak ada semangat. Kalau sudah begitu, mau diapakan" Seniman kan enggak bisa dipaksa! Ehem!" Dia mendehem sendiri, lalu tertawa diikuti oleh yang lain.
"Untung kau enggak mencari nafkah dari cat-cat itu!" tukas Rudi.
"Oh, pasti si Nina kelaparan terus kalau begitu!" tambah Ola.
Setelah kenyang bercanda, mereka makan siang. Miki dan Nina betul-betul seperti pengantin baru. Keduanya tampak begitu bahagia, begitu kekanak-kanakan, dan saling mencinta.
"Mik, kenapa Ola enggak kaulukis sekarang saja"" usul Nina setelah makan. "Setuju!" seru Ola bertepuk tangan, dan langsung berpose.
Miki tidak segera menjawab. Tapi Nina meliriknya dengan senyum amat manis dan luluhlah hatinya. Dia mengangguk walau sebenarnya dia ingin berduaan dengan Nina sore itu, menyelesaikan lukisannya. "Gimana dengan lukisanmu sendiri"" tanya Ola. "Beres! Bukan begitu, Tuan besar"" tanya Nina
"Ya, asal kau manis-manis padaku! Misalnya,., tolong ambilkan alat-alatku dan..."
"Oke, tapi kau juga mesti tolong menga
mbilkan baju renangku. Kita berenang yuk, Rudi. Biarkan mereka berdua di sini!"
Miki melotot. Mulutnya kemak-kemik seakan mau melarang. Dia mengentak dan mengambil sendiri alat-alatnya. Nina ketawa, lalu mencari baju renangnya di antara jemuran di belakang. "Yuk, Rud!"
Pantai penuh orang. Mereka mencari tempat yang agak sepi, lalu masuk ke air. Nina teringat kembali masa kecilnya yang banyak dihabiskannya di tepi Sungai Musi. Dia gemar sekali berlomba renang dengan teman-temannya, dan sering menang.
Matahari agak terik menyengat kulit. Kebanyakan orang lebih suka bernaung di bawah payung-payung mereka. Tapi beberapa orang Barat malah berbaring di pasir untuk mandi matahari. Mereka menggosok tubuh dengan krem, lalu memakai kacamata hitam, kemudian berbaring telentang dalam sinar matahari sambil membaca buku.
Nina keluar dari air lalu duduk di bawah pohon kelapa. Rudi muncul sesaat kemudian. Dadanya yang telanjang tampak sudah kemerahan kena matahari. Nina memberikan krem untuk dioleskan pada tubuhnya.
"Kau tak pernah ingin punya anak, Di"" tanyanya memperhatikan sekelompok anak-anak yang tengah bermain di pantai.
"Uh, entahlah. Kenapa kautanyakan itu""
"Enggak apa-apa. Aku cuma ingin tahu apakah kalian enggak kesepian cuma berduaan saja"" "Laa, kan Ola dan aku punya anjing lima"! Kita sih enggak pernah kesepian!" "Apa Ola enggak ingin punya anak""
"Tahu, deh. Heran, aku tak pernah menanyakannya, Nin. Kita kawin tanpa rencana apa-apa, enggak pernah membicarakan soal anak. Aku rasa, aku akan senang juga kalau ada anak. Tapi ketika dari tahun ke tahun enggak ada bayi yang datang, yah! Bagi kami enggak jadi masalah. Kami kan saling memiliki dan mencintai. Ola juga tak pernah mengeluh. Bagaimana denganmu seandainya enggak ada Joni dan Andi" Yah, mungkin kau takkan tahu bagaimananya, sebab kau sudah mempunyai mereka."
"Oh, aku pasti kesepian kalau enggak ada anak-anak. Miki juga," kata Nina setengah melamun, sebab tiba-tiba teringat olehnya katakata mertuanya menyuruh Miki bercerai dan kawin lagi ketika dia tidak juga mengandung.
"Ya, aku rasa juga begitu. Kau memang ditakdirkan untuk menjadi ibu," gumam Rudi lalu telungkup di atas handuknya yang lebar.
Nina duduk bersandar pada batang kelapa memandang ke laut. Cuaca cerah sekali. Awan berarak seperti gumpalan kapas tipis, sebentar-bentar menyelimuti langit yang biru jernih. Angin cuma sepoisepoi tapi dedaunan meliuk-liuk juga disentuhnya.
Nina tersenyum membayangkan Ola dan Miki. Pasti Ola sudah pegal saat ini. Sudah sejam lebih dia duduk diam dan Miki dengan kesabaran seorang pelukis akan memandangnya berkali-kali untuk mengabadikannya ke atas canvas, garis demi garis. Miki luar biasa sabar. Kenapa dia sampai menikah dengan laki-laki sebaik itu, pikirnya. Padahal sejak kecil perkawinan tak pernah ada dalam kamusnya. Dia selalu membayangkan dirinya dalam kerudung putih, seperti gadis-gadis lain membayangkan diri mereka dalam pakaian pengantin. Kenapa Miki muncul lagi dalam hidupnya begitu mendadak dan mengacaukan semua rencananya" Seakan Tuhan sendiri yang mengirimnya padaku, pikirnya tersenyum. Tuhan pasti menghendaki aku menikah dengannya. Kalau enggak, itu takkan mungkin terjadi. Kami takkan mungkin begini bahagia, begini terberkati, dan selalu dilindungi olehNya.
Matahari sudah condong ke barat. Udara mulai sejuk. Tiupan angin sudah mulai berubah. Rudi masih tidur. Nina bangkit lalu berenang lagi. Ah, hangatnya air laut bekas terpanggang matahari. Mendadak dia kangen sama anak-anak. Sayang mereka tak ada di situ! Mereka pasti akan senang sekali berlomba renang ke tengah laut
Nina membiarkan dirinya mengapung. Dipejamkannya matanya. Dirasanya sekitarnya sepi, kecuali deru ombak yang datang dengan teratur. Alam tenang. Laut yang bersih menyelimutinya dengan hangat. Ah, seandainya dia tak usah melukis Ola, pasti dia ada di sini sekarang, berpelukan dan bercanda dalam air bersamanya. Nina tiba-tiba merasa malu sendiri memikirkan hal itu, lalu dicobanya membayangkan anak-anak. Minggu petang begini mereka biasanya main pingpong atau tenis dengan temanteman mereka.
Ah, baru seminggu berpisah, rasanya sudah lama betul. Untunglah besok mereka akan segera kembali ke rumah.
Libur berdua memang menyenangkan. Tapi mengajak anak-anak lebih mengasyikkan. "Kita akan balik lagi kemari," kata Miki tadi malam "Kita akan bawa anak-anak."
Dia melamun cukup lama, keasyikan dibuai riak. Begitu asyiknya sehingga dia menjerit kaget ketika mendadak ada sepasang lengan memeluknya erat-erat. Dibukanya matanya. Ternyata Miki sedang ketawa menatapnya. "Kaget, Nin""
'Tentu saja!" sahutnya lega. "Aku kira hantu laut!"
"Sori, ya. Aku enggak tahan sih memikirkan kau sendirian di sini, jadi aku kemari." "Dan Ola""
"Oh, dia sudah bosan disuruh mematung berjam-jam. Nin, bayanganmu manis sekali dalam air. Besok kita akan pulang. Tapi kita akan kembali lagi secepatnya, bukan" Bersama anak-anak"" "Ya, bersama anak-anak."
Miki mengecupnya. Nina cepatcepat memejamkan mata. Air matanya mengalir turun bercampur dengan air laut. Angin dingin tiba-tiba menerpanya. Dia menggigil dan memeluk Miki. Aku terlalu bahagia. Aku tidak boleh terlalu bahagia. Aku takut.
* * * Miki sudah bertugas seperti biasa lagi. Mukanya sudah merah kembali, tidak lagi pucat seperti bulan lalu. Suara ketawanya yang riang tiap hari terdengar berkumandang di dalam rumah. Dia gemar sekali menggoda Nina. Kata ibunya, dia dulu senang menggoda Ita. Kalau Nina sudah menjadi jengkel, dia mengancam akan menangis atau marah dan Miki sambil menyeringai akan berkata, "Kalau kauberi aku seorang anak perempuan, tentu dia akan kugoda, bukannya engkau!" Nina biasanya akan menggelegar, "Untung enggak ada anak perempuan! Sebab aku enggak mau dia digodain terus!"
Tapi dalam buku mereka Nina menulis, Aku juga kepingin anak perempuan, tapi kalau Tuhan enggak mengizinkan, kita enggak boleh kecewa. Tuhan tahu apa yang paling baik bagi kita.' "Barangkali aku steril sekarang!" tukas Miki pada suatu malam. "Alasanmu""
"Karena kita enggak punya anak lagi, sedangkan Andi dan Joni sudah di SMA. Kau sendiri sehat-sehat, berarti aku yang..."
"Kaujuga sehat!" potong Nina.
"Ya, aku sehat," gumamnya perlahan, lalu di sambungnya lebih pelan lagi, "tapi enggak sesehat dulu." "Maksudmu"" tanya Nina dengan hati berdebar. "Apa yang kaurasakan sebenarnya"" "Enggak ada. Ah, sudahlah, jangan pikirkan itu. Pokoknya aku sehat!" "Kau menyesal sebab enggak punya anak rempuan""
"Ah, enggak. Aku cuma ingin saja. Tapi seandainya salah satu dari anak-anak itu mau ditukar, aku pasti enggak mau. Kita enggak bisa menyayangi seseorang yang belum kita kenal bukan" Apa kau kepingin anak perempuan""
"Aku... aku... enggak tahu," sahut Nina tergagap. "Aku enggak pernah memikirkan akan punya anak!"
"Ya, aku tahu. Kau tak pernah berpikir akan menikah, bukan" Barangkali kalau aku mati, kau bisa menjadi Mere, Nin. Itu boleh, kan""
Nina tiba-tiba menampar pipi suaminya. Walaupun tidak keras, merah juga pipi itu. Melihat Miki memandangnya dengan tercengang tanpa berkata-kata, Nina tiba-tiba menangis. Miki memeluknya dengan hangat, tanpa mengucapkan sepatah pun.
"Maaf, Mik. Aku betul-betul bukan berniat menyakitimu. Aku... aku... lakukan itu karena mencintaimu. Aku enggak mau kau membayangkan kematian terus. Apa kau enggak menyadari bahwa kau mengisi buku kita dengan kematian melulu" Apa kau ingin memanggilnya datang" Apa kau ingin mati" Apa aku sudah tidak berarti apa-apa bagimu" Apa kau enggak memikirkan bagaimana perasaanku"" Nina tersedu-sedu. Miki memeluk, membujuk, mengecup, dan membelainya sementara hati mereka terjalin erat dalam ikatan cinta abadi.
"Aku cuma main-main, Nin. Boleh dong sekali-sekali aku main-main""
"Enggak! Jangan main-main dalam soal ini."
"Oke, oke. Aku takkan mempercakapkannya lagi kalau begitu." Miki menyusuti air mata yang membasahi wajah dalam pelukannya. Dipandangnya muka yang lusuh itu dengan hati pedih. Beberapa tahun lagi bila usia empat puluh sudah dilalui, akan timbul kerut-kerut di situ. Dan mungkin aku takkan berada di sampingnya untuk meyakinkannya bahwa dia masih tetap cantik dan menarik bagiku. Mungkin dia akan mencucurkan air mata merabai pipinya m
ulai kendur, dan aku takkan berada di situ untuk menyusuti matanya. Nina yang tercinta, kenapa aku tak dapat menghilangkan perasaan bahwa kita akan berpisah" Dan kelak bila kau menangis, aku tak dapat lagi membujukmu. Aku sudah akan berada jauh,
Air mata Miki menetes turun bercampur dengan air mata Nina. Miki merasa seakan tenggoroknya tersekat. Nina mengangkat tangannya merabai wajah Miki. Tanpa berkata-kata disekanya air mata itu dengan jari-jarinya. Bibirnya yang manis, yang selalu tersenyum sepanjang hari, yang selalu dipandangi dengan rindu oleh anak-anak, kini bergetar, dan tak sepotong suara pun yang mampu diucapkannya. Nina mencakup wajah kekasihnya dalam kedua telapak tangannya dan menatapnya dengan pandangan seorang anak yang tidak berdosa.
"Tersenyumlah, Nin," bisik Miki memeluknya seerat-eratnya. "Tersenyumlah bagiku, Sayang."
Bibir Nina bergetar makin keras. Namun dipaksanya dirinya menahan perasaan, dan perahan-lahan sebuah senyum terkembang. Kemudian dipejamkannya matanya, dibelai-belainya eher Miki. Teraba olehnya sebuah benjolan yang lunak, sebesar duku. "Mik, ini benjolan yang dulu""
Miki merabai tempat itu diantar oleh jari-jari otrinya. "Ya, ini yang dulu." Lalu seakan mau menenangkan hati istrinya, disambungnya, "Tapi enggak sakit, kok, Nin."
"Kenapa sekarang begitu besar"" tanyanya khawatir.
"Aku enggak tahu. Pokoknya, enggak sakit."
Tapi membesar!" "Aku enggak peduli. Yang penting, enggak sakit! Toh enggak kelihatan dari luar!"
Nina berusaha mencernakan kata-kata itu sambil membelai-belai leher suaminya tercinta, seakan ingin memastikan bahwa Miki tidak bohong. Miki selalu menganggap enteng setiap penyakit dan tak pernah mengeluh. Belum mau makan obat-misalnya kalau flu-sebelum dia jatuh terkapar di ranjang. Mungkin benjolan itu tidak menyebabkan sakit, tapi dia makin besar. Seperti ada sesuatu. Penyakit"!
"Kau harus ke dokter!" Suara yang pelan itu memecah keheningan seperti ban meletus. Miki menjentik dagu Nina, lalu tertawa,, "Perintah atau usul""
"Perintah!" "Hei, memangnya kenapa" Ini kan cuma sebuah benjolan! Takkan mencabut nyawaku. Paling-paling aku akan perlu operasi plastik untuk mengangkatnya, tapi kau pasti takkan setuju! Belum dioperasi saja, sekarang aku sudah dikerumuni cewek. Apalagi setelah dioperasi!"
"Yang akan dioperasi kan benjolan ini, bukannya hidung, atau mukamu! Dasar ge-er!" Nina mendumal.
Setelah tidak berhasil membujuknya ke dokter, Nina mengancam akan menangis. Miki terpaksa menyerah. "Baiklah, aku akan ke dokter."
Tapi dia tidak pergi. Ada-ada saja alasannya untuk menunda-nunda. Nina menjadi jengkel. Biasanya Miki tak pernah melanggar janji. Dia tidak gampang-gampang membuat janji, tapi sekali diucapkan pasti akan ditepati. Kecuali kali ini. Seperti kedua anaknya, sang ayah pun rupanya takut ke dokter.
Nina tentu saja tidak setiap hari ingat hal itu. Tapi setiap kali dia bilang, "Di mana Papa, Jon" Dia harus ke dokter!" atau, "Di, coba tanyakan Papa, kapan mau ke dokter"" Pasti yang bersangkutan sedang sibuk di studio, dan Nina tahu, Miki tak boleh diganggu kalau tengah bekerja. Ini satu-satunya peraturan yang tak bisa ditawar. Kalau sudah begini, paling-paling Nina cuma bisa menghela napas dan pelan-pelan menutup pintu studio. Dia tak sampai hati melihat wajah Miki yang tenang dan damai itu berubah jadi merah dilanda murka.
Sejak pulang dari liburan di pantai, Miki mulai lagi melukis.
Pertama-tama diselesaikannya lukisan Ola. Lalu lukisan Nina. Setelah itu berdatanganlah teman-temannya, antri menunggu giliran.
Pada suatu hari dia melihat ada kucing di dapur. Kucing itu berbulu putih dengan bercak-bercak hitam. Nina selalu memberinya susu setiap kali dia datang, biasanya pagi-pagi. Entah dari mana binatang itu, mungkin milik tetangga. Miki begitu tertarik padanya sehingga mau dilukisnya si Pus saat itu juga, di dapur. Terpaksa Nina membuat susu lebih banyak untuk menahannya, sementara Andi disuruh mengambil perabot ayahnya ke studio.
Andi dan Joni muncul membawa dua buah canvas, palet, dan kuas. Disaksikan seisi rumah, ayah dan anak melukis obyek ya
ng sama. Hasilnya menakjubkan. Terlihat perbedaan kemalangan pribadi mereka. Miki melukis kucing itu secara keseluruhan, sebagai makhluk hidup yang sempurna, lengkap dengan sifat baik maupun buruk. Tapi Andi melukisnya hanya sebagai wajah bulat dan lucu, namun dengan sirat mata curiga, sedang melahap susu dalam mangfeuk kecil. Kucing Miki bermata lembut, hampir-hampir seperti mata kelinci. Kedua lukisan itu kemudian digantung di dalam studio. Miki juga melukis keluarganya. Mula-mula ayahnya, lalu ibunya, kemudian anak-anaknya. Terakhir, Nina, Dia teliti dan tekun sekali melukis istrinya. Lukisan Nina yang dibuatnya di pantai, telah diminta oleh Paul dengan imbalan tiga ratus ribu. Tapi Miki tak mau melepasnya. Nina terharu sekali melihat suaminya mempertahankan gambar itu. Miki tidak biasa kikir, apalagi terhadap teman-teman baiknya.
"Ambil lainnya saja, Paul. Gratis. Tapi jangan minta yang itu. Kalau aku berikan gambarnya, sama saja seperti menyerahkan orangnya padamu! Enggak mungkin, dong!"
Miki melukis Nina di kebun belakang. Nina tidak tahu bahwa dia melamun, sampai dilihatnya lukisan itu. Mula-mula tidak dikenalinya wajah dalam lukisan tersebut. Seorang wanita muda yang cantik menarik, tengah melamun dengan mata menatap jauh, air mukanya penuh rahasia.
"Ah, ini terlalu cantik!" katanya tersipu-sipu.
"Tapi aku melihatmu seperti itu!" bisik Miki menggeleng seraya menatapnya dengan mesra, membuat Nina makin tersipu.
Lukisan itu digantung Miki dalam kamar mereka. Setiap kali memandangnya, Nina mempunyai perasaan bahwa Miki tahu semua pikirannya, juga yang paling rahasia. Siang itu, di kebun belakang, ketika dia sedang melamun, apakah yang telah dibaca Miki dari dalam matanya"
Bab 26 KEDUA orangtua Miki tour ke Eropa selama tiga bulan. Miki menggantikan ayahnya sepenuhnya. Tugas makin banyak dan istirahatnya makin berkurang. Nina memperhatikan dengan khawatir betapa Miki makin lesu dari hari ke hari. Dijaganya sendiri makannya. Memaksanya makan yang bergizi dan mencari seribu satu akal untuk menambah nafsu makannya. Namun Miki tidak kelihatan bertambah gemuk. Kulitnya pucat, pipinya cekung. Tapi bila ditanyakan, dia tak punya keluhan apa-apa kecuali lelah.
Sekarang dia lebih gampang kena pilek dan batuk. Ketika mengantar seorang relasi ke pelud jam sebelas malam, dia kehujanan dan keanginan. Semalaman dia batuk-batuk terus. Nina menjaganya tanpa memicingkan mata sekejap pun. Miki memarahinya. "Sudah gila barangkali kau, Nin! Masa enggak tidur semalaman" Aku kan enggak apa-apa, cuma selesma sedikit!"
Esoknya, dia demam. Nina memaksanya diam di ranjang. Dia sendiri yang menelepon ke kantor, memberitahu Pak Husen bahwa Pak Miki sakit, hari itu tak bisa ngantor. Esoknya lagi, dia masih batuk dan pilek, tapi demamnya sudah turun. Miki yang memang tidak betah di rumah pada hari-hari kerja, ngotot mau ke kantor. Nina mengalah.
Beberapa minggu kemudian Miki pulang siang-siang dari kantor. Nina melihat hidungnya disumbat dengan daun sirih dan saputangan yang dipegangnya penuh darah. Sebelum dia sempat bertanya, Miki sudah lebih dulu menyeringai, "Setan betul, nih, aku mimisan di kantor! Untung sedang enggak ada tamu!" Dia duduk lalu mencabut sirih itu. Darah segar mengalir keluar. Lekas-lekas ditutupnya kembali. "Huh! Masih juga keluar!" dia mendumal kesal.
"Sejak kapan keluarnya"" tanya Nina membawakannya air hangat dalam baskom untuk membasuh hidung dan mukanya.
"Sejak pagi tadi. Aku sampai enggak sempat makan."
"Lama juga," gumam Nina sambil membasahi handuk kecil. "Biasanya mimisan begini cuma sebentar, sudah stop." Nina membersihkan sisa-sisa darah yang mengering. Miki memejamkan mata. Wajahnya pucat. "Kau pusing, Mik"" Yang ditanya menggeleng.
Nina melihat arloji suaminya. Jam setengah empat. "Sebentar, aku sediakan makanan," katanya membawa baskom dan handuk ke belakang. Anis disuruhnya menyiapkan daharan di Meja, sementara dia ke depan mencari sopir, ketika Miki sedang makan, Nina lekas-lekas Mandi, lalu berhias asal saja. Setengah jam kemudian dia sudah kembali lagi ke meja makan, menyuruh bereskan sisa
-sisa makan, lalu selembut mungkin membujuk Miki supaya mau ke dokter. Entah karena kesal menghadapi hidung yang berdarah terus atau memang dia mulai khawatir, kali ini Miki tidak membantah. Janjinya yang sudah lama itu akhirnya dipenuhinya.
Nina merasa lega ketika Dokter Pujo bilang nggak apa-apa. Miki cuma perlu periksa darah dan dirontgen untuk mencari sebab batuknya.
"Kenapa Nyonya begitu khawatir"" tanya dokter dengan penuh simpati.
"Soalnya, Dok," kata Miki sebelum yang ditanya menyahut, "belum lama ini dia membaca tentang leukemia. Menurut dia, saya ini makin lama makin pucat seperti penderita penyakit itu. Terkadang suka timbul bintik-bintik merah. Saya bilang digigit nyamuk, dia tak mau percaya. Lalu ada demam... kalau sedang selesma, tentu saja demam. Dan sekarang, mimisan! Lengkaplah gejalanya! Menurut dia, dikhawatirkan saya ini kena kanker darah!"
Dokter cuma tertawa, tidak membela Miki ataupun Nina, seakan dia tak mau memihak siapa-siapa. Miki disuntik dan diberi dua macam obat yang harus dibeli malam itu juga.
"Kembali seminggu lagi kalau sudah ada laporan tes darah dan foto," kata dokter.
"Aku senang sekali, kau enggak kenapa-kenapa," ujar Nina ketawa.
"Karena itu lain kali jangan suka cepat-cepat khawatir, Nin. Enggak baik, tuh! Nanti kau cepat tua!"
"Mik, besok kau jangan kerja dulu. Kita tes darah, lalu bikin foto. Setelah itu baru boleh ngantor!"
"Rupanya kau masih tetap mencurigai aku TBC!" dia mendumal, tapi tidak membantah, semata-mata untuk menyenangkan hati Nina supaya kekhawatirannya lenyap. Dia sendiri tidak peduli dengan segala pemeriksaan itu. Dia yakin itu semua tak perlu. Dokter memang terlalu waspada dan suka mencar-icari kerja untuk membuang-buang tempo orang lain.
Keluar dari lab, Miki sudah langsung mau mengayunkan kaki ke kanan, ke arah jalan keluar. Tapi Nina dengan manisnya meliriknya. "Eit... kamar Rontgen letaknya di sebelah kiri Mik!" katanya mengingatkan.
Miki menggarukgaruk kepala. Sambil membungkam diputarnya langkahnya ke kiri. Mereka menunggu agak lama di situ, sehingga Miki hilang sabar dan mengusulkan untuk datang lain kali saja.
"Aku perlu ke kantor sekarang, Nin!" ujarnya melihat arloji, lalu memandang Nina. Istrinya tidak tahu apakah itu betul atau cuma alasan saja.
"Pendeknya, aku enggak mau menunggu lebih lama lagi! Aku enggak apa-apa, enggak perlu difoto. Ini kan semata-mata demi kau! Supaya kau tak usah khawatir lagi. Tapi kalau mesti menunggu seharian seperti orang yang hidup matinya tergantung dari foto ini, bah! terima kasih banyak, Pak Mantri! Tahun depan saya datang lagi kalau sudah enggak usah antri lagi!"
"Sabar, Mik," bisik Nina lalu berdiri dan menghampiri seorang laki-laki yang bertugas memanggil pasien masuk. Tanpa banyak bicara di masukkannya beberapa lembar uang ke dalam saku jaskerja orang itu, seraya berbisik, "Tolong, Suami saya belum makan sebab tadi harus periksa darah. Kalau di sini terlalu lama, saya khawatir dia akan semaput Dia sudah muntah dua kali."
Entah mana yang mujarab, uang itu atau dustanya. Pendeknya, Miki langsung dipanggil masuk dan diperlakukan dengan telaten sekali.
Motretnya cuma sedetik, nunggunya setengah hari, buset!" Miki mengomel. "Dengarlah, Nin. Jangan bawa-bawa aku ke rumah sakit lagi! Antri jam-jaman seperti orang hampir mati! Aku enggak mau, dengar""
"Sudahlah, Mik," bujuk Nina melihat suaminya benar-benar jengkel. "Ini masih mending, Swasta. Coba di rumah sakit umum! Tapi kan sekarang semuanya sudah beres. Tentu saja kau tak perlu ke sana lagi."
"Jadi kau rupanya tahu, itu semua sebenarnya enggak perlu" Hanya demi memenuhi kehendakmu" Untuk menghilangkan kekhawatiranmu yang berlebihan" Dan aku terpaksa buang waktu demi kesenanganmu!"
"Mik! Kaupikir aku senang pergi ke sana"! Kaupikir aku enggak ngeri melihat pasien-pasien yang begini-begitu penyakitnya, semua serba menakutkan" Kaupikir aku enggak lebih suka diam di rumah saja"!"
Miki masih merengut sedetik, tapi ketika diliriknya istrinya dia langsung tersenyum menawarkan perdamaian.
* * * Seminggu kemudian mereka kembali ke dokter. Foto dan hasil t
es darah sudah ada di atas meja.
"Fotonya enggak apa-apa, cuma bronchitis sedikit," kata dokter menunjukkan beberapa lapangan paru di atas foto.
"Dulu suami saya memang pernah bronchitis, Dok," ujar Nina, senang, bahwa itu bukan tering.
"Ya, ya," gumam dokter mengangguk dan memasukkan kembali foto itu ke dalam sampul coklat lalu menyerahkannya pada sang pasien.
Nina sudah tak sabar. Dianggapnya dokter itu terlalu lamban. Barangkali itu dimaksudkan untuk menambah wibawa atau menunjukkan dokternya bebas nervositas -berkat latihan bertahun-tahun-, tapi bagaimanapun, dia kelewat lamban. Nina menunggu beberapa detik. Tapi dokter tidak kelihatan berniat membuka mulut. Dengan pelan diraihnya buku besar, lalu lebih pelan lagi dibukanya, kemudian sangat pelan disusurinya nama-nama di situ, mencari nama Miki Rodan.
"Dokter, bagaimana hasil tes darah"" akhirnya Nina tak dapat menunggu lagi. Miki sendiri duduk membisu di sebelahnya.
"Hm"" Dokter mengangkat kepala dari buku, memandangnya dari sebelah atas kacamata, la seakan baru ingat, dia bergumam, "Oh, ya!"
Dia mencari-cari di tumpukan surat-surat di pojok meja, lalu menarik sebuah sampul putih. Dibukanya dengan ritme pelan-pelan, lalu tas di dalamnya dikeluarkan. Dokter membaca sepintas dan memberi lingkaran dengan spidol hitam pada sebuah angka. "Apa saudara makan obat-obat tertentu dalam bulan-bulan terakhir ini"" tanyanya pada Miki.
"Tidak, Dok." "Oh, dia sih pantang makan obat, Dok" sambung Nina melirik suaminya.
"Kalau sehat, ya buat apa makan obat atau vitamin" Itu kan omong kosong namanya. Yang penting, gizi yang baik. Vitamin, kalau kelebihan, percuma, akan dikeluarkan lagi. Atau malah bisa membahayakan." "Betul, Dok," Miki mengangguk dan kali ini Nina tidak menyambung.
"Yah, mengenai tes darah... anu, butir-butir darah pembeku agak kurang. Itu sebabnya suka timbul bintik-bintik merah dan mimisan. Saya akan berikan beberapa obat, setelah itu dua minggu lagi tes darah harus diulang."
Nina manggut-manggut dengan serius, tapi Miki kelihatan kesal mendengar bahwa dia masih juga belum terlepas dari cengkeraman vampir-labor.
"Selain itu, tak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar dokter mengakhiri pertemuan, menunggu Nina atau Miki mengeluarkan dompet Tapi Nina menggerakkan tangan bukan membuka tas melainkan menyentuh leher Miki. "Dokter, pada leher suami saya ada benjolan yang makin membesar. Dulu cuma sebesar jagung, sekarang sudah sebesar duku. Tapi katanya enggak sakit."
Dokter bangun dengan lamban, lalu melangkah mendekati Miki. Dengan hati-hati dirabanya leher yang ditunjuk. Miki diam saja seperti anak kecil ketakutan, padahal dalam hati dia mengomel pada istrinya yang dianggapnya cerewet.
"Hm. Sudah berapa lama""
"Sudah lama sekaliii, Dok!" sahut Miki mendahului Nina.
Dokter merabaraba semenit lagi. Lalu menyuruh pasien membuka baju dan berbaring. "Buka semua!"
Miki melirik Nina seakan mau bilang, sok tahu kau! Dibukanya semua pakaian, kecuali celana dalam, lalu berbaring dengan bibir tertutup rapat Nina tahu, dia marah sekali. Semoga dokter menemukan sesuatu, pikirnya, supaya Miki tidak merasa sia-sia menuruti kekhawatiran "gila" istrinya. Tapi janganlah sesuatu yang serius. Jangan yang berbahaya, Tuhan
Nina tidak melihat apa yang diperiksa dokter, tetap menunggu di depan meja tulis, membelakangi gorden putih yang menutupi meja pemeriksaan. Dipasangnya telinganya, tapi tidak menangkap apa-apa. Rupanya dokter tidak suka menggunakan mulutnya bersamaan dengan tangannya. Menurut perasaan Nina pemeriksaan itu cukup lama, tapi menurut arlojinya cuma tiga menit. Dokter muncul, lalu duduk kembali di belakang meja, membuka kacamatanya kemudian memijiti pangkal hidung serta kedua matanya. Miki muncul sudah berpakaian rapi.
"Nah," katanya setelah memakai kacamatanya sgi dan Miki sudah duduk, "apakah Saudara banyak turun berat" Saya lihat saudara kurus."
"Ya, saya memang mengurus, Dok. Baju-baju menjadi longgar semua."
"Berapa kilo turunnya" Dalam berapa waktu""
"Itu tidak saya perhatikan."
"Dia tidak mau makan, Dokter," sela Nina. "Tentu saja dia kurus!"
"Hm, ya." Dokter berdehem. "Selain batu batuk dan mimisan, adakah keluhan lain" Sakit perut misalnya""
"Ya, saya sakit perut kalau kebanyakan cabai," sahut Miki sebal, mulai hilang sabar diinterogasi begitu melit.
"Ya, ya," kata dokter dengan tetap sabar akan tidak menyadari bahwa pasiennya sudah ingin pulang. "Benjolan itu adalah kelenjar yang membesar. Mungkin bekas infeksi kronis dalam mulut atau kuping. Saya akan kasih kapsul untuk dua minggu. Nanti kita lihat lagi, apa mengecil atau tidak."
"Tak ada yang gawat, Dokter"" Nina menegaskan.
"Tidak." Dokter menggeleng, yakin. Nina rasa lega. Tapi begitu keluar dari kamar praktek, begitu suara yang sabar itu tidak didengarnya lagi, rasa khawatir kembali melanda hatinya. Nina menggandeng Miki dan berdoa supaya Tuhan
jangan menghukum suami untuk kesalahan istri. Bila Engkau marah karena saya menolakMu, hukumlah saya, tapi jangan Miki.
* * * Selama dua minggu menunggu, Nina tidak berhenti-hentinya berdoa. Miki tampak riang seperti biasa. Rupanya dia tidak ingat lagi pada dokter yang dikunjunginya itu. Dia malah sudah lupa bahwa dia harus menelan obat ini dan itu. Dengan sabar Nina menyediakan obat-obat itu dalam cangkir kecil, lalu menunggui suaminya menelan mereka satu per satu. Tanpa menimbulkann kecurigaan, setiap malam dirabainya leher Miki. Tapi kelenjar itu tidak mengecil.
Orangtua Miki masih di Eropa. Hampir tiap minggu datang kartu pos berbagai negara, untuk kedua cucu mereka. Andi dan Joni senang sekali disurati oleh Nenek dan Kakek. "Sayang enggak bisa dibalas, sebab enggak ada alamatnya," keluh Andi. Keduanya masih giat berkorespondensi. Andi bahkan menitip beberapa hadiah bagi teman-temannya di Eropa melalui kakeknya. "Poskan di Amsterdam saja, Kek."
Kakek dan Nenek melaporkan, di Oslo, mereka mengunjungi rumah Marita, teman pena Andi, atas undangan keluarganya. Di atas kartu pos dengan singkat Nenek menggambarkan suasana gembira pertemuan itu. Marita sudah menanyakan kenapa Andi tidak ikut Wah, Andi senang sekali ditanyai begitu. Dia langsung berniat melukis bunga mawar di kebun dan mengirimkannya ke Oslo. Miki tersenyum mendengarnya. Nina juga. Mungkin betul, itu cuma impian semusim dari pubertas yang segera hilang tanpa bekas.
"Pa, Joni dan saya mau mengumpulkan uang supaya kalau sudah lulus SMA nanti bisa liburan dua minggu ke Oslo dan Holland mengunjungi teman-teman pena. Boleh ya, Pa""
"Oh, bagus. Bagus." Miki mengangguk-angguk, berlagak tidak mengerti maksud anaknya.
'Tapi, Pa... uang saku kami mesti ditambah dong supaya bisa menabung banyakan," kata Andi malu-malu kucing.
"Eeeh"! Kaudengar, Nin"" tanya Miki mengerling Jenaka. "Mereka yang mau jalan-jalan, aku yang mesti keluar ongkos! Model apa itu" Sedangkan kita berdua belum pernah ke mana-mana! Ke Bali saja belum. Kata orang, kan pantang ajal sebelum melihat Bali"! Eh, anak-anak masih bau kencur ini sudah mau melanglang buana!"
"Ah, Papa!" rayu Joni menatap ayahnya penuh harap.
"Pa, kalau Papa dan Mama belum pernah ke sana, malah kebetulan! Yuk kita pergi bersama, Pa," usul Andi kegirangan.
"Dan Papa yang keluar duit!" sambung Miki. "Habis siapa"" Joni ketawa merengut.
Obrolan seperti itu direkam Nina dalam ingatan untuk menjadi kenangan manis kelak.
Dua minggu berlalu. Miki mengangguk patuh ketika Nina membawanya kembati ke dokter. Obat-obat sudah habis semua. Benjolan itu belum juga mengecil. Batuk-batuk memang aga berkurang, tapi amandel malah kelihatan sediki merah.
"Saya memang sering sakit leher sejak kecil, kata Miki menenangkan dokter ketika dia dengan amat serius memeriksa amandelnya. Dokter Pujo tidak mengacuhkan kata-katanya. Dia juga memeriksa tenggorokan Miki dengan amat serus. Miki mencoba menarik perhatian Nina supaya penyiksaan itu segera dihentikan. Tapi Nina duduk mematung menatap dokter dengan tegang. Miki mengertakkan gigi dan menghela napas. Terpaksa dibiarkannya dirinya dijadikan bahan tontonan, sebab Nina akhirnya juga ikut-ikutan mendekat seakan mau memeriksa juga. "Coba buka pakaian lagi," perintah dokter menunjuk ke belakang tirai putih. Miki melirik Nina dengan
nafsu membunuh, tapi yang dilihatnya menatapnya dengan mata lebar ketakutan. Miki menghela napas lagi dan menuruti perintah itu tanpa komentar, Apa pun yang harus dijalaninya, dia akan tabah demi menghilangkan ketakutan dalam mata istrinya. Dokter merabai seluruh tubuhnya sampai ke tempat-tempat yang paling tersembunyi. Bukan main! Orang sama sekali tak bisa punya rahasia bila berhadapan dengan dokter! Apa dia juga memeriksa pasien-pasien wanita seteliti ini, pikir Miki tersenyum geli sendiri. Tapi laki-laki tengah umur itu sama sekali tidak melihat adanya alasan untuk merasa geli. Bahkan tersenyum pun dia tidak.
Setelah waktu yang dirasakan Miki terlalu lama, pemeriksaan itu selesai. Dokter mencuci tangan lalu kembali ke belakang meja. Miki cepat-cepat berpakaian lagi, sebab dia tak ingin Nina berdiskusi dengan dokter tanpa kehadirannya. Ketika dia muncul dari balik gorden dilihatnya Nina tengah mengawasi dokter dengan penuh minat, persis seperti anak kecil minta bonbon. Yang diawasi terus asyik menulis dalam bukunya seolah tak ada orang lain di situ. Setelah Miki duduk, barulah diletakkannya bolpennya, lalu dibukanya kacamatanya. Digosok-gosoknya kedua matanya, dipakainya kembali belingnya, lalu ditatapnya mereka.
"Bagaimana, Dokter"" tanya Miki, akhirnya jadi panas dingin melihat kesantaian sang dokter.
"Nah, ya...." "Apa ada perbaikan, Dok"" tanya Nina cemas.
"Mari kita katakan, tak ada perkembangan yang mengkhawatirkan," sahutnya diplomatis "Begini, untuk sementara akan saya setop obat-obat yang dulu dan kita coba dengan penyinaran. Bagaimana" Apa Saudara bersedia disinar"" Disinar, pikir Nina terkejut. Penyakit apakah itu" "Kalau harus...." sahut Miki pasrah.
"Apa penyakitnya begitu berbahaya, sampai harus disinar, Dok""
"Ah, kenapa Nyonya bilang begitu" Penyakit eksim juga tempo-tempo perlu penyinaran. Kalau pasien keberatan, bisa juga dengan obat tapi sembuhnya lebih lama."
"Apa saja, Dokter, asal bisa cepat sembuh. Saya banyak kerjaan, tak dapat terus-terusan begini." "Menurut Dokter, mana yang paling baik"" Nina menegaskan.
"Menurut saya, penyinaran adalah yang terbaik. Benjolan di leher itu dengan cepat akan menghilang. Lalu untuk mencegah kambuh, akan saya berikan obat setelah penyinaran selesai."
"Kalau begitu lebih baik disinar saja, Mik," Nina memutuskan sambil menoleh padanya. Miki mengangguk tanpa semangat.
"Akan saya beri surat pengantar untuk dokter Radiologi," kata Dokter Pujo, langsung menulis diatas kertas resep, lalu mengambil sampul putih kecil yang sudah diberi stempel nama dan alamat prakteknya di bagian belakang.
Ditulisnya nama dan alamat Radiolog di tengah bagian depan. Ditutupnya sampul itu dan disorongkannya pada pasien. "Ini bisa dimulai secepatnya. Boleh besok pagi."
Misteri Surat Setan 2 Raja Naga 06 Patung Darah Dewa Misteri Jeritan Jam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama