Ceritasilat Novel Online

Perempuan Kedua 2

Perempuan Kedua Karya Mira W Bagian 2


Astaga. Yanuar benar-benar sedang sial. Baru sekali ini dia mampir di sebuah kelab malam. Masuk saja belum, sudah ada yang mengenalinya! Dan orang ini... minta ampun! Karyawan rumah sakit tempat dia bertugas...!
"Begitu melihat mobil Dokter tadi, saya sudah kenali kok." Hasyim tersenyum riang seakan-akan dia lulus ujian saringan menjadi pegawai negeri. "Saya perhatikan... eh, betul... ada lambang IDI-nya. Buru-buru saya bukakan pintu... betul juga... Dokter Yanuar!""Saya tidak lama, Syim" kata Yanuar setelaj, memutar otak. "Saya cuma mencari teman...."
"Wah, di daJam banyak, Dok!" sambut Hasyim bersemangat. Senyumnya demikian bijaksana, seolah-olah dia ingin mengatakan: Saya maklum, Dok. Kita kan sama-sama lelaki! Dalam hal yang satu ini tidak ada bedanya dokter dengan satpam! Di dalam juga banyak kok orang-orang penting yang sudah beristri! Sudah beranak. Bahkan ber-cucui.
"Bukan! Bukan begitu!" protes Yanuar resah. "Saya mencari teman saya... bukan teman wanita!"
"Oh, Dokter Prana kan, Dok"" potong Hasyim, bangga karena pengetahuannya.
Prana..." Yanuar menatap Hasyim dengan tatapan tidak percaya. Kepala Bagian... Astaga! Jadi... dia
jaga-- M j "Dokter Prana sekarang sudah tidak di sini, Dok." Hasyim mendekatkan mulutaya dan membisikkan nama sebuah tempat yang membuat Yanuar tersentak lagi. Dia terbengong-bengong mengawasi Hasyim. "Katanya di sana lebih hebat-hebat, Dok."
"Aku bukan mencari yang begituan, Syim. Aku ke sini mencari Dokter Rasid. Pasiennya gawat."
"Wah, Dokter Rasid sih nggak pernah kemari, Dok! Kok dicari di sini" Mungkin di rumah sakit!"
Sialan, pikir Yanuar ketika dia sedang terburu* J bum memasukkan gigi mundur. Mobilnya meluncur cepat ke jalan, Dan menubruk sebuah jip yang sedang membelok masuk. Pengemudi dan penumpangnya, empat orang
anak muda berkualitas super, sudah langsung ber-hamburan turun dan menyerbu minibus Yanuar.' Salah seorang dari mereka malah sudah membuka pintu dan hendak menyeret Yanuar turun bila tidak dihalangi oleh Hasyim.
"Maaf," kata Yanuar cepat-tfepat. "Saya sedang terburu-buru. Mencari seorang pasien gila yang melarikan diri."
Sesaat keempat anak muda itu tertegun men-dengar alasan yang tidak disangka-sangka itu. Dan Hasyim menggunakan saat yang baik itu untuk lebih meyakinkan mereka.
"Benar, Mas. Bapak ini seorang dokter. Sedang mencari pasien. Tadi juga polisi ke sini."
"Tapi kami tidak peduli!" mereka mulai meledak lagi. "Mobil kami rusak...."
"Damai saja, Dik." Yanuar merogoh saku celana-nya. "Berapa saya harus bayar""
"Kita harus ke bengkel dulu. Biar dinilai ke-rusakannya."
"Saya tidak ada waktu. Bagaimana kalau begini saja. Ini kartu nama saya. Tagih saja nanti kalau sudah tahu berapa yang harus saya ganti."
Dasar sial, geram Yanuar ketika sedang mengen-darai mobilnya pulang. Mau belajar menyeleweng malah harus mengganti kerugian mobil orang! Untung di sana ada Hasyim. Kalau tidak, barangkali dia sudah babak-belur dipukuli pemuda-pemuda masa kini yang penampilannya meyakinkan itu. Yang selalu garang kalau tampil berkelompok.Astaga. Tiba-tiba saja Yanuar ingat Hasyim Apa katanya esok kalau Yanuar tidak ke-rumah sakit" Bukankah dia sedang mencari Rasid" Meng. apa tidak ke rumah sakit" Banyak saksi di sana yang dapat membuktikan bahwa dia benar-benar datang ke rumah sakit untuk mencari Rasid. Kalau Hasyim membuka rahasia....
"Dokter Rasid tidak tugas malam ini, Dok," sa-hut Suster Rornlah yang masih tetap sibuk di PPGD. "Malam ini tukar tempat dengan Dokter Anjar. Tuh, di ranjang yang paling ujung. Ada tentomen suicidum."
Bunuh diri. Pantas gaduh sekali. Anj
ar pasti sedang sibuk. Lebih baik tidak usah didekati. Nanti dia pasti minta bantuan.
"Di rumahnya juga tidak ada." Yanuar pura-pura menarik napas kesal. "Entah sembunyi di mana."
Padahal Yanuar tahu benar, malam ini Rasid ada di Cipayung. Katanya dia sedang mengikuti seminar dua hari di sana. Tapi siapa tahu" Siapa yang peduli"
Belum sempat Yanuar menikmati senyum ke-puasannya karena berhasil memberi alibi kalau Hasyim membuat ulah nanti, Anjar muncul dari balik tirai penyekat.
"Yanuar" Kau kan itu""
"Bukan!" sahut Yanuar sambil buru-buru bergerak ke pintu.
"Astaga! Jangan bergurau kau!" Anjar mengejar rekannya dan menarik bajunya. "Aku serius nih! Pasienmu mencoba bunuh diri!"
"Pasienku"" Tawa lenyap dari bibir Yanuar. Wa-jah Patricia tiba-tiba saja melompat ke hadapannya.
Patricia... "Lihatlah dulu! Tega kau meninggalkan pasienmn padahal dia cuma mau diperiksa olehmu!" "'^1
Yanuar sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan oleh rekannya. Dia langsung menuju ke tempat tidur yang paling "ujung. Dan menyibak tirai penyekat....
"Dokter Yanuar!" jerit pasien itu di tengah-tengah tangisnya. Lega seperti seorang ibu yang menemukan anaknya yang telah tiga hari tiga malam hilang.
"Lia." Yanuar hampir terpuruk lemas. Seluruh otot-otot tubuhnya yang telah menegang siap tem-pur mendadak terkulai kembali.
"Dia menolak diperiksa kecuali olehmu," ko-mentar Anjar meskipun sebenarnya tak perlu lagi ulasan itu. Dengan kesal Yanuar mendengar nada lega dalam suara rekannya. "Untung kau tiba-tiba muncul seperti dikirim dari langit. Kami sudah hampir kewalahan membujuknya. Dia menoreh perutnya sendiri dengan pisau silet."
"Apa-apaan kamu ini, Lia"" geram Yanuar marah. "Mengapa kamu senekat ini""
Bukannya menjawab, Lia malah menubruk Yanuar sambil menangis, seakan-akan mereka dua orang kekasih yang telah lima belas tahun berpisah. Perawat-perawat yang tadi sedang memeganginya dan Iengah sesaat karena dbanya Yanuar, sama-sama terperanjat melihat ulah gadis itu.
Yanuar yang juga tidak menyangka. hanya dapat menerima Lia dalam rangkulannya. Dan parasnya langsung memerah. Uniting tidak ada yang lihat karena sedang sama-sama sibuk menenangkan Lia, Tenanglah, Lia." Dengan susah payah Yanuar membaringkan kembali gadis itu di tempat tidur. "Kalau bergerak, darahmu makin banyak keluar."
"Suruh mereka semua keluar. Dokter!" teriak Lia histeris. "'Suruh mereka pergi.'"
Sebelum diperintahkan oleh Yanuar, Anjar telah buru-buru menyingkir. Dia hanya menyentuh bahu rekannya sambil berbisik, "Good Iuck.r
Sialan, maki Yanuar dalam hati.
Satu per satu perawat-perawat yang memegangi Lia menyingkir. Saat itulah baru Yanuar melihat perempuan itu. Masih muda. Baru seumur Rani. Sederhana. Lusuh, Tanpa makeup sedikit pun. Dengan mata merah berair.
"Orangtua Lia"" tanya Yanuar kepada perempuan its.
"Ibunya, Dok." "Bisa tunggu di luar sebentar" Nanti saya ingin bicara.**
"Terima kasih, Dokter. Untung Dokter datang. Kami sudah bingung sekali. Mengapa Lia senekat itu, Dokter""
Sayalah yang seharusnya bertanya, gerutu Yanuar dalam hati.
Setelah semuanya menyingkir, barulah Yanuar berpaling kepada Lia.
"Boleh kulihat lukamu, Lia""
"Dokter janji tidak akan menceritakannya pada ibu Lia"" sergah Lia ketakutan. "Tolonglah, Dokter! jangan sia-siakan kepercayaan saya! Saya begitu bahagia ketika melihat Dokter tadi!"
Tidak perlu komentar itu, keluh Yanuar gemas. Aku memang sedang sial! Kalau tahu kamu ada di sini....
"Apa yang ingin kamu lakukan, Lia"" gerutu Yanuar setelah memeriksa luka di perut Lia. Sekali lihat saja Yanuar sudah dapat menyimpulkan luka di perut gadis itu tidak berbahaya. Tidak dalam meskipun darah cukup banyak keluar. "Mengoperasi dirimu sendiri"" Sambil menjahit luka itu, dibisik-kannya dengan suara lebih perlahan, "Menggugur-kan kandunganmu" Tahukah kamu kuret dilakukan melalui vagina, bukan membuka perut""
"Saya ingin mati!"
"Kamu tidak akan mati kalau cuma menyayat perutmu dengan silet! Kamu cuma membuat or-ang-orang di sekelilingmu susah dan bingung!"
Lia mulai terisak lagi. Membuat kulit perutnya bergerak naik-turun lebih cepat sehingga menyulit-k
an kerja Yanuar. "Diam-diamlah, Lia," pinta Yanuar jengkel. "Kalau kamu masih menangis juga, terpaksa saya minta seorang perawat untuk membantu. Kalau tidak, jahitan ini tidak selesai-selesai sampai besok. Atau kamu mau kulit perutmu berenda""
"Tolonglah saya, Dok!" desah Lia sambil menangis."Sekarang pun saya sedang menolongmu, u Diam-diamJah."
"Dokter tahu apa yang saya maksudl Bukan pertoloDgan macam ini.'"
"Sudah beberapa kali saya katakan, saya tidak dapat melakukan yang satu itu."
"Tolonglah saya, Dok!" ratap Lia mengiba-iba, "Cuma Dokter yang dapat saya percayai!"
"Karena itu kamu menolak diperiksa oleh dokter Iain""
"Saya takut! Dokter yang jenggotan itu langsung menekan-nekan perut saya." Yanuar tersenyum.
"Dia hanya ingin tahu berapa dalam lukamu. Dan dia berusaha untuk menghentr'kan perdarahan secepat mungkin."
"Saya tidak mau dirawat, Dok," pinta Lia me- I nahan tangis. "Takut" "Sesudah jahitan ini selesai, kamu boleh pulang." "Saya tidak mau pulang!" "Jadi kamu mau ke mana"" "Ke mana saja asal tidak pulang ke rumah.' Saya takut!" Yanuar mengangkat bahu. "Terserah kamulah."
"Bawalah saya ke mana saja, Dokter" pinta Lia sungguh-sungguh. Matanya menatap Yanuar dengan penuh permohonan. "Ke rumah Dokter pun saya j mau. Disuruh apa pun di sana saya tak akan menolak."
Saat itu Yanuar mengangkat mukanya dengan. j
terkejut. Matanya bertemu dengan mata gadis itu. Dan dia teriambat menyadari kesalahannya. Per-hatian yang diberikannya kepada pasien ini telah disalahartikan. Lia menjadi sangat bergantung kepadanya. jpan perasaan seperti itu sangat berbahaya! "Dengar, Lia," Yanuar mencoba menyabarkan
diri. "Saya hanyalah doktermu. Bukan ayahmu.
Bukan pula suamimu. Karena itu saya tidak dapat
membawamu ke rumah saya. Apa kata orangorang nanti"" "Saya tidak peduli!"
"Tapi saya peduli, Lia! Saya punya istri. Saya tak dapat membawamu ke rumah." "Istri Dokter baik kok. Saya pernah bertemu.", "Tetapi kalau kamu menumpang tinggal di rumahnya, belum tentu dia masih tetap sebaik itu!" "Kalau begitu bawalah saya ke mana saja, Dok!" "Kamu tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari kenyataan, Lia. Hadapilah kenyataan itu, be-tapapun pahitnya."
"Pantas saja Lia cuma mau diperiksa oleh Dokter Yanuar," ejek Dokter Anjar sambil menyibakkan tirai yang memisahkan mereka.
Yanuar curiga Anjar telah lama mendengarkan percakapan mereka dari balik tirai. Dia sedang memeriksa seorang kakek yang sesak napas di ruang sebelah. Dan mereka cuma dipisahkan oleh secarik tirai tipis.
"Remaja perlu pendekatan," kata Yanuar kepada sejawatnya. "Senjata itu yang tidak kaumiliki." " "Rasanya bukan cuma itu." Anjar mengulumsenyum penuh arti ke arah Yanuar. LaJu & menoleb kepada Lia. "Dokter Yanuar pm2
berpuisi sih.' Pantas dia digandrungi pasien-pasien
remaja.' Iya kan, Lia"" Dokter Anjar member!
seuntai senyum simpatik. Tetapi Lia maJah
membuang muka. . * * * Malam itu Yanuar sampai di rumah pukul sebelas lewat Cuma Bi Umi yang menunggui pintu. Rani sudah tidur. Dan malam ini, dia tidak tidur di kamarnya sendiri. Dia pindah ke kamar anak-anak.
Demikian juga malam-malam berikutnya. Meski-pun Yanuar pulang lebih sore, Rani tetap tidak mau pindah ke kamarnya sendiri. Dan yang merasa jengkel atas tingkah Rani itu bukan hanya Yanuar. Anak-anaknya juga. Yanto sudah dua kali bertanya kepada ibunya. Tentu saja di depan ayahnya.
"Kenapa sih Mama nggak mau tidur sama Papa""
Soalnya dia merasa terganggu dengan kehadiran ibunya di kamarnya. Dia tidak bisa bermain dengan robot-robotnya sebelum tidur. Tidak bisa berkhayal menjadi Superman. Terbang dari atas tempat tidur ke lantai. Semuanya terhambat karena Mama ikut tidur di kamar mereka.
Dan yang merasa gerah bukan cuma Yanto. ' Yanti juga. Dia tidak dapat lagi mencuri-curi dengar
siaran radio pukul dua belas malam. Padahal itu yang paling asyik.
"Kapan pindahnya sih. Ma"" gerutu Yanti ketika melihat ibunya ikut masuk ke kamarnya. "Panas kan tidur bertiga!"
"Kalau kamu juga tidak mau Mama tidur di rumah, besok Mama tidur di hotel!" geram Rani sengit.
Sejak itu kedua anaknya tidak berani bertanya lagi. Lebih-lebih mengu
ngkit-ungkit kehadiran Mama di kamar mereka. Hanya tatapan Yanto yang membuat Yanuar resah. Walaupun dia tidak bertanya lagi, tatapannya selalu membuat Yanuar merasa anak itu sedang menggugat dirinya.
Mengapa Mama tidak mau lagi tidur di kamar Papa"
Akhirnya ambang kesabaran Yanuar pun ter-lampaui. Dia merasa sudah saatnya menegur Rani. Sudah lama mereka tidak tidur bersama. Dan makin lama, Rani terasa semakin menjauh. Padahal apa sebenarnya kesal ahan Yanuar"
"Sampai kapan kamu tidak mau tidur bersama-ku"" tanya Yanuar dingin.
Saat itu anak-anak sudah masuk ke kamar. Rani pun sudah bersiap mengikuti mereka. Sementara Yanuar masih duduk menonton televisi di ruang tengah.
Acara televisi malam itu bukan main buruknya. Tetapi Yanuar betah duduk di depannya, melihat meskipun tidak menikmati. Dia memang sedang menunggu saat yang tepat. Saat untuk bicara.
"Sampai kamu tahu jam berapa sebaiknya pulang " ke rumah supaya tidak mengganggu orang tidur balas Rani sama dinginnya. "Kamu kan tahu mengapa aku pulang teriambat"' "Karena itu kuberikan kamu kebebasan. Pulang. lah semaumu."
, Tanpa menunggu reaksi Yanuar, Rani masuk ke kamar. Dan membanting pintu.
Belum pemah Yanuar merasa demikian sakit hati. Dia tidak menyeleweng, bukan" Nah, mengapa Rani bersikap begitu kepadanya" Sungguh tidak adil!
Tentu saja Yanuar tidak tahu apa yang didengar Rani. Bukan cuma kebetulan kalau di pertemuan arisan ibu-ibu dokter sore itu, Hasmanah tidak mau jauh dari sisi Rani.
"Sudah dengar, Jeng"" bisiknya seperti me-ngabarkan esok ada devaluasi lagi.
"Soal apa Mbak"" tanya Rani heran, ikut me-lirik ke sana kernari seperti maling. Dia toh tidak punya salah.' "Suaminya Jeng SwarrriJ" Pasti gosip lagi, keluh Rani dalam hati. Biasa. Perempuan yang satu ini memang tidak dapat sembuh juga dari penyakitnya biarpun sudah men-jadi istri dokter. Sekahgus tokoh masyarakaf yang dihormati. Pantas saja wajahnya jauh lebih tua daripada umuraya yang sebenarnya.
"Belum," sahut Rani separo terpaksa. Dia ingin bum-bum menyingkir dari jerat labah-labah ini. Tetapi bagaimana caranya meloloskan diri" Ditinggal pergi begitu saja, tidak enak. Bagaimanapun dia tokoh yang dihormati. Bukan karena dia patut dihormati. Tetapi karena kedudukan suaminya,
"Punya simpanan di Pondok Indah lho!"
"Oh!" Rani pura-pura kaget. Cuma itu. Habis, dia mesti bereaksi bagaimana lagi"
'Tahu-tahu anaknya sudah dua lho!"
"Oh." "Tidak sangka ya, suaminya Jeng Swarni kan alim. Hhh, punya suami zaman sekarang memang mesti waspada, Jeng! Kita tidak boleh lengah! Ke-banyakan perempuan sih! Daripada tidak dapat lelaki, suami orang direbut juga! Ah, kasihan Jeng Swami...."
Tapi baik nada suaranya maupun tatapan matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa iba. Terns terang Rani tidak percaya Hasmanah menaruh belas kasihan pada Swami. Dia malah kelihatan menikmati sekali obrolannya.
"Makanya Jeng Rani juga mesti hati-hati lho!"
'Saya"" Rani tersenyum dengan perasaan serba-salah.
"Iya, suami Jeng Rani juga sudah menginjak umur empat puluh, kan" Itu umur yang berbahaya
lho!" "Tapi tidak semua laki-laki umur empat puluh tahun menyeleweng kan, Mbak""
Rani melirik ke sana kemari dengan jemu. Ke mana mereka semua" Mengapa tak ada yang kemari" Kalau ada yang datang menemani biang gosip ini, Rani dapat menyelinap pergi...."Sebenarnya saya tidak mau mengusik ketenang. an rumah tangga Jeng Rani....M Hasmanah pura-pura menghela napas panjang beruJang-ulang sebelum melanjutkan kata-katanya. Seolah-olah sulit sekali baginya untuk mengucapkan kata-kata itu. Padahal Rani berani bertaruh, dia sudah tidak sabar menunggu pertemuan ini untuk menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. 'Tapi kalau tidak saya sampaikan, saya kasihan lho sama Jeng Rani.'"
"Maksud Mbak, suami saya juga punya simpan-an"" geram Rani sengit. Meskipun di rumah dia masih menaruh curiga pada suaminya, di luar dia pantang mendengar suaminya dijelek-jelekkan orang lain.
"Oh, belum.' Belum sampai sejauh itu!" Mata Hasmanah bersinar seperti harimau yang mencium bau mangsanya "Justru karena itu lho, Jeng, saya ingin menceritakan apa yang saya dengar. Supay
a Jeng Rani waspada! Kata orang, anu lho, Jeng, suami Jeng Rani.." Hasmanah mengedip-ngedipkan matanya untuk mendramatisir suasana. Nada suaranya direndahkan, hampir sampai ke frekuensi berbisik. Seakan-akan takut didengar orang Iain. Padahal Rani yakin, dia sudah menceritakannya pada tiap orang yang ditemuinya. "Sering pergi ke nite clubr
Tentu saja Rani mula-mula tidak percaya. Apa- I lagi kalau Hasmanah menceritakannya beberapa bulan yang lalu, ketika kepercayaan Rani terhadap j kesetiaan suaminya masih seteguh batu karang. Tetapi ketika datang dua orang pemuda naik Jip
yang menagih ganti rugi karena mobilnya pernah ditubruk Yanuar di depan kelab malam, Rani mulai curiga, suaminya yang setia itu sudah belajar menyeleweng. Dan ia merasa sakit hati. Sakit sekali. Rasanya seperti diiris-iris dengan pisau silet. Nyeri. Tetapi di depan Hasmanah, yang sedang menunggu reaksinya dengan hati berdebar-debar, Rani masih dapat tersenyum pahit.
"Dia sudah permisi kok sama saya," katanya sesantai mungkin. "Pergi minum dengan temannya."
"Jangan percaya begitu saja mulut lelaki, Jeng!" sambar Hasmanah bernafsu. Penasaran karena petasan yang disulutnya tidak meledak. "Tahu tidak, saya dapat info, suami Jeng Rani ada main dengan pasiennya!"
Sekilas bayangan surat kaleng itu kembali me-lintas di depan mata Rani. Sekarang dia mulai ragu, benarkah apa yang ditulis oleh penulis surat gelap itu" Yanuar punya simpanan" Ada main dengan pasiennya" Sering ke <$ite club" Kalau tidak benar, mengapa begitu banyak suara sumbang yang menjelek-jelekkannya"
Dulu, Yanuar memang pemah minta izin padanya untuk pergi bersama temannya ke nite club. Waktu itu, Rani tidak curiga. Kalau hanya untuk minum-minum menghibur diri menghindarkan kejenuhan karena terus-menerus melihat orang sakit setiap hari, mengapa tidak"
Rani tahu, menjadi dokter itu tidak enak. Stresnya hebat. Tiap hari bergaul dengan penyakit. Kuman. Orang sakit. Apa enaknya"Nah, apa salahnya dia menghilangkan keboSan dengan melihat wanita-wanita cantik yang seta dan segar di kelab malam" Cuma melihat kok.
Rani percaya, Yanuar cuma pergi minum. Tick lebih. Dia paling takut kena penyakit kelami Dan dia tahu apa yang diperolehnya kalau bergauj dengan mereka.
"Penyakit kelamin itu hukuman Tuhan untuk para pendosa," katanya dulu. "Dunia kedokteran semakin maju, obat-obat andbiotika semakin hebat Tetapi penyakit itu tetap tidak dapat diberanfas! Dan vaksinnya tak pernah ditemukan orang!" - Mengapa Yanuar sekarang justru pergi ke sana sampai mobilnya menubruk mobil orang lain" Kalau dia ke sana cuma untuk minum dan me-ngobrol santai bersama teman-temannya, Rani masih dapat memaafkan.
Tetapi firasatnya mengatakan, sudah ada perempuan lam yang masuk ke dalam kehidupan mereka Memang belum ada buktf. Tapi nalurinya... dan sekarang naluri itu ditunjang oleh info yang di sampaikan oleh Hasmanah!
"Makanya jadi istri itu mesti pandai-pandai meng-ambil hati suami, Jeng! Supaya betah di rumah!" sambung Hasmanah seperti tidak mengerti perasaan orang. "Laki-laki its biasanya pern bosan. Cepat bosan dengan yang itu-itu juga. Bukan cuma santapan saja yang mesti diganti-ganti tiap hari. Yang Jainnya juga perlu variasi lho, Jeng!" Hasmanah menepuk . bahu Rani sambil tersenyum penuh arti. Lalu dengan -gaya meyakinkan, seolah-olah dialah yang pali
ahli dalam soal perkawinan, dilanjutkannya dengan mantap, "Saya dan suami saya sudah tiga puluh tahun menikah. Tapi dia masih menyebut saya 'Darling', 'Dear', 'Sweetheart'. Iya lho, Jeng. Sungguh! Biar di depan umum sekalipun. Di depan anak-anak juga! Ah, kadang-kadang saya merasa malu. Lha wong sudah tua begini! Tapi dia bilang, baginya saya tak pernah menjadi ma. Dia tidak pemah bosan pada saya...." Hasmanah membisikkan beberapa patah kata di telinga Rani yang membuat pipi Hasmanah maupun pipi Rani sama-sama me-merah. Bedanya, yang satu memerah antara malu dan bangga, yang lain memerah karena jengah dan jijik. "...makanya rajin-rajinlah senam seks, Jeng. Dan jangan lupa, minum jamu!"
Begitukah nasib yang hams kuterima sebagai wanita" pikir Rani tersinggung. Kukorbankan ka-r
ierku. Kudampingi suamiku. Kuberikan anak-anak kepadanya. Kulayani dia setiap hari. Selama belas-an tahun! Dan kini, apa yang kuperoleh darinya setelah belasaan tahun berlalu"
Aku harus berjuang keras memoles tubuh yang mulai menua ini supaya masih tetap terpakai dan tidak membosankan suami! Supaya suami tidak menoleh kepada perempuan lain dan mencari yang lebih muda! Oh, alanglah menyakitkan menjadi seorang istri! Inikah bentuk pengabdian yang di-tuntut seorang suami dari istrinya" Benar-benar harus menjadi seorang abdi luar dan dalam"
Satu-satunya tempat pelampiasan cuma Dora. Bekas teman kuliahnya. Dora sudah kebum menikahsebelum lulus. Tetapi persahabatan mereka tetap berlanjut sampai sekarang. Meskipun Dora sudah menjadi seorang wanita karier yang hebat. Pengusaha garmen yang sukses.
"Apa lagi yang kurang dalam diriku"" keluh Ram dengan air mata meleleh, bukan karena sedih melainkan karena kesal. "Apa lagi yang belum ku-lakukan sebagai istri, sebagai ibu" Aku bahkan tidak sempat mengembangkan karier, keburu hamil sebelum SIP-ku keluar. Padahal ayahku sudah menyediakan unit gigi untukku praktek. Aku sudah mengorbankan karierku demi keluarga.' Tapi apa yang kini kuperoleh""
"Kamu memperoleh suami dan anak!" Dora menyeringai lueu. Makin kocak kelihatannya karena kalau sedang menyeringai begitu, kedua belah matanya hampir hilang ditelan pipinya yang meng-gelembung. Sejak bercerai dengan suaminya, Dora memang makin gemar makan. Akibatnya dia makin gemuk. Dan pipinya makin membulat seperti bola.
"Aku sudah menyerahkan seluruh hidupku untuk j keluarga. Aku hampir tidak punya waktu untuk diriku sendiri.' Tidak pemah praktek, tidak pernah Scot seminar. Lebih-lebih yang di daerah, di Juar negeri, di 'Jakarta saja tidak pemah! Akibatnya aku kehilangan semua temankn!"
"Kecuali aku." Dora menyeringai lagi. "Itu juga karena aku tetap rajin datang ke rumahmu biarpun I cuma disuguhi kerupuk."
"Aku tidak punya kegiatan apa-apa kecuali sebagai ibu rumah tangga. Mengurus anak, suami, J
rumah. Kapan aku pemah pergi tanpa mereka" Berapa kali dalam sebulan aku bebas pergi ber-samamu untuk bersenang-senang""
"Itulah kesalahanmu," sahut Dora santai. "Kamu pelit terhadap kesenanganmu sendiri. Yang ada dalam hidupmu cuma anak dan suami!"
"Habis aku harus bagaimana" Menelantarkan mereka""
"Tentu saja tidak! Tapi menyenangkan diri sendiri bukan berarti menelantarkan keluarga, kan""
"Aku sudah begini setia terhadap keluarga saja dia masih menyeleweng!"
"Laki-laki mana ada sih yang tidak menyeleweng, Ran"" Sekarang seringai Dora mengambang. Matanya memancarkan sorot berbahaya. Sinar yang lahir dari lubuk dendam yang masih membara. Meskipun sudah empat tahun terkubur di bawah puing-puing perceraiannya. "Mereka memang sudah rusak dari sananya kok! Diberi makan di rumah sampai kenyang pun tetap juga jajan di luar!"
"Habis aku mesti bagaimana""
"Gampang. Cuma ada dua pilihan. Cerai. Atau cuek."
Cerai" Rani tertegun bingung. Memang sudah hampir sebulan dia mencurigai suaminya. Jengkel terhadap suaminya. Menjauhi suaminya. Tetapi ce- . rai" Astaga. Belum pernah terpikir sekalipun!
"Masa sampai bercerai sih"" desah Rani terbata- | bata.
"Nah, itulah kelemahan perempuan bangsa kita!" tiba-tiba saja Dora bersemangat seperti orator diatas podium. Tidak percuma dia rajin ikut serair^ perkawinan yang sekarang sedang menjamur di mana-mana. "Takut bercerai.' Malu. Kasihan anak Resah memikirkan masa depan. Macam-macamlah. Akhiraya" Laki-laki jadi merajalela! Toh dikhianati bagaimana pun istrinya tetap tidak berani minta cerai. Rela saja dihina! Yah, daripada anak-anak kehilangan bapak. Daripada malu sama tetangga. Daripada mesti mencari makan sendiri. Daripada mesti kesepian kalau malam.... Bah.' Nih, contoh aku! Begitu aku tahu dia menyeleweng, cerai! Habis perkara! Tanpa dia pun aku masih dapat
mencari makan. Usahaku malah tambah maju pesat
setelah aku jadi jandal" "Masa tin semudah itu orang berumah tangga""
gumam Rani ragu. "Salah sedikit langsung cerai"" "Salah sedikit" Salah sedikit katamu"" Sekarang
mata Dora bersinar nyalang seperti binatang buas
yang terluka. "Dia menghamili pembantuku!" "Ya, suamimu memang keterlaluan. Pantas kamu
minta cerai. Tetapi Yanuar"" "Katamu tadi dia menyeleweng!" "Belum segawat itu. Cuma perasaanku. Nalurita...."
"Mau kamu tunggu sampai gawat" Sampai ada anak yang datang mengaku anak suamimu" Atau ada perempuan hamil yang datang minta per* tanggungjawaban Yanuar""
"Rasanya, Yanuar tidak seperti itu...." Rani menebah hatinya. Dan memijat-mijat kepalanya . yang pening. Ah, rasanya seperti ada sejuta semut
yang memberati kepalanya. Menggerayangi setiap
lekuk otaknya. "Dia bukan seperti laki-laki lain, yang bisa tidur nyenyak biarpun simpanannya telah hamil. Yang masih bisa merayu istri meskipun dia
telah mengkhianatinya. Yanuar bukan seperti itu. Walaupun bukan penganut agama yang saleh, dia seorang laki-laki yang jujur...."
"Dan laki-laki yang jujur tidak bisa menyeleweng"" Dora tersenyum sinis. "Berbahagialah lelaki yang punya istri seperti kamu, Ran! Tetapi sebagai bahan pembanding, mari kuperkenalkan bekas suamiku, tiap minggu ke gereja, rajin menyumbang, gemar berbuat amal, aktif dalam organisasi-organisasi sosial! Ternyata dia juga royal me-nyumbangkan spermanya!"
Suamimu barangkali memang begitu, pikir Rani resah. Tapi Yanuar" Ah, Rani tidak percaya dia seburuk itu. Dia kenal Yanuar. Kenal sekali. Justru karena itu dia sadar, akhir-akhir ini Yanuar berubah.
Barangkali Yanuar telah berbuat salah. Ada main. Menyeleweng. Tapi... tidak dapatkah dia dimaaf-kan" Kalau dapat, sampai kapan" Kalau tidak, apa yang harus dilakukannya"
117BAB IX Sejak Rani raelancarkan perang dingin, Yan memang diiiinggapi perasaan enggan pulang. Su sana di rumah terasa beku seperti di Kutub Utara Semua seperti memusuhinya.
SeJama ini, rumah baginya bukan cuma tempat istirahat. Tetapi sekaJigus. tempat melepaskan ke-tegangan setelah bekerja seharian penuh. Tempat berkumpul dan berbagi kasih dengan anak-istrinya Meskipun beberapa tahun terakhir ini kasih sa-yang itu tidak lagi dinyatakan dengan kemesraan yang menggebu-gebu, kasih itu tetap terasa walaupun tak terlihat. Yanuar dapat merasakan ke-hangatannya biarpun dia tidak lagi melihat nyala apinya. Dan batinnya merasa tenang.
Tetapi akhir-akhir ini, semua berubah. Rani seperti menjauhinya, Sikapnya sangat dingin. fiicara seperlunya saja. Dan dia tidak mau disentuh.
Anak-anak lain lagi. Seperti dapat merasakan ketegangan yang menyelimuti orangtuanya, mereka juga seolah-olah menyingkir. Mengurung diri dalam dunianya masing-masing.
Yanti menjadi semakin pendiam. Lebih banyak
mengu ng diri di dalam kamar. Sebaliknya, Yanto malah bertambah nakal. Seakan-akan dengan begitu
dia ingin mencuri perhatian orangtuanya.
Jika Rani memarahinya, Yanto kabur dari rumah. Dan tidak kembali sampai malam. Seperti menemukan tempat pelampiasan, Rani memukulinya. Tapi percuma. Yanto seperti tak pemah jera. Malah Yanuar yang berang.
"Jangan gunakan dia sebagai tempat pelampiasan kejengkelanmu!" protes Yanuar setelah tak tahan lagi melihat putranya dipukuli seperti itu. "Kalau kamu marah padaku, jangan anak-anak yang jadi korban!"
"Jadi harus kudiamkan saja Yanto pulang sampai malam begini" Biar dia jadi anak gelandangan sekalian"!"
"Kan bisa diberitahu baik-baik. Dimarahi kalau perlu. Jangan dipukuli begitu."
"Nah, cobalah beritahu dia baik-baik," cibir Rani sinis. Ditinggalkannya suaminya dengan sengit. Di-bantingnya pintu kamar sampai term tup. Yanto menggunakan kesempatan yang baik itu untuk me-loloskan diri. Dia kabur ke pelukan Bi Umi yang menerimanya dengan air mata berlinang.
Yanuar menyusul ke kamar. Dan melihat Rani sedang melemparkan sebuah kopor kecil ke atas tempat tidur.
"Mau ke mana"" geram Yanuar kesal. "Pulang ke rumah orangtuamu" Jangan seperti pengantin baru,"Memberi kesempatan padanui untuk mengajar anak-anak.'" sahut Rani dingin. Dibukanya lemari. Diambilnya beberapa potong pakaian. Dijejalkannya
begitu saja ke dalam kopor. "Selama ini cuma aku yang sempat mendidik mereka. Kamu terlalu si. buk.r
"Itu memang tugasmu sebagai ibu!" "Tugasmu juga sebagai ayah!" "Aku harus bekerja. Mencari uang!" "Aku tidak percaya pekerja
anmu cuma mencari uang!" "Apa maksudmu""
'pikir saja sendiri! PR untukmu kalau aku tidak ada!"
* * * Sejak malam itu. Rani bukan saja hanya pindah kamar. Dia pindah rumah. Mengungsi ke tempat orangtuanya. Mula-mula anak-anak memang tidak dibawa. Meskipun mereka merengek ingin ikut. Segalak-galaknya Mama, mereka masih lebih dekat kepadanya daripada kepada Papa.
Tetapi dua hari kemudian, ketika Yanuar pulang praktek, didapatinya rumah kosong melompong. Anak-anaknya ikut menghiiang. Cuma Bi Umi yang muncul. Lusuh dan Iesu seperti kalah main judi. "Mana anak-anak"" tanya Yanuar kesal. "Dibawa Ibu," sahut Bi Umi takut-takut. Disodorkannya sepucuk surat sambil membungkukkan
badannya. "Katanya malam ini tidak pulang...
Yanuar membuka surat itu dengan* marah. Isinya cuma dua baris. Persis telegram. Tanpa nama pe-ngirim. Tanpa nama orang yang dituju. Benar-benar kurang ajar.
"Anak-anak kubawa. Mereka yang mau ikut. Karena sudah dua hari kamu telantarkan."
Yanuar mengepal tinjunya dengan sengit Rani benar-benar keterlaluan! Sudah dua hari dia meninggalkan rumah. Meninggalkan suami dan anak-anaknya begitu saja. Sekarang, dia malah membawa mereka pergi. Kurang ajar!
"Mau makan, Pak"" tanya Bi Umi dengan paras kecut di samping meja makan.
"Saya makan di luar!" sahut Yanuar sambil me-nyambar tasnya dan melangkah ke luar.
Dikemudikannya mobilnya dengan marah ke rumah mertuanya. Kalau Rani mengajak bertengkar, oke! Mari bertengkar! Persetan di depan mertuanya sekalipun!
Selama ini Yanuar memang pantang bertengkar di depan orang lain. Lebih-lebih di depan mertuanya. Tetapi sekarang dia tidak peduli!
Bagaimanapun, dia harus membawa istri dan anak-anaknya pulang. Menyeretnya kalau perlu. Mereka harus pulang. Malam ini juga!
Rani tidak berhak meninggalkan suaminya, Rumahnya. Dan dia tidak berhak membawa anak-anak Yanuar!
"Aku salah apa"" Yanuar sudah membayangkanapa yang disemprotkannya di sana nanti. depan Rani. Di depan orangtuanya. Di depan siapa pan. Persetan" "Mengapa kamu tinggalkan begin, saja" Mengapa kamu pergi dari rumah" Mengapa anak-anak kamu bawa" Kalau kamu tuduh aku menyeleweng. buktikan" Aku menyeJeweng dengan siapa" Aku baru dua kali pulang teriambat. Yang pertama, aku dipanggil pasien gawat. Suster Diah bersamaku! Dia bisa menjadi saksi. Yang kedua, aku ke rumah sakit. Ada pasien bunuh diri. Anjar dan sebatalion perawat melihatku di sana.' Apa sebenar- r nya yang kamu cemburui" Mengapa kamu jadi sakit begini" Dulu kamu percaya sekali pada suamimu. f Tidak pemah cemburu sampai aku ingin sekali men-cicipi bagaimana rasanya dicemburui istri...."
Dan Yanuar hampir teriambat menginjak rem. j Lampu lalu lintas telah berubah menjadi kuning. I Dm itu tanda dia haras menginjak rem. Bukan gas. Yanuar selalu mematuhinya. Tetapi belum sempat dia mengangkat kakinya dari pedal rem, I terdengar benturan keras di belakang mobilnya.
Yanuar menoleh ke belakang dengan gusar. Ke-jengkelannya seperti menemukan tempat pelampias-an. Dia jarang mengutuk. Apalagi di depan umum. j Ingat kedudukannya sebagai seorang dokter.
Tetapi malam ini, dia bukan cuma mengutuk. Dia rjienyjmrpah-rryumpah. Mengapa dokter tidak boleh marah-marah" Dewa saja boleh! Nah, bayangkan saja. Bagian belakang mobilnya ini belum lama di-ketok di bengkel. Sekarang pasti sudah penyok lagi! Geram seperti harimau hendak menerkam
mangsanya, dihampirinya pengemudi mobil yang menubruknya itu.
"Bisa nyetir tidak sih"" damprat Yanuar sengit. Sebenarnya dia hendak memaki dengan kata-kata lebih kasar lagi. Tetapi kata-kata kasar memang tidak terdapat dalam kamus Yanuar. "Tidak lihat lampu sudah kuning""
"Maaf, Pak Dokter...." Pengemudi yang ketakutan itu membungkuk-bungkuk di samping pintu mobilnya. "Saya sedang buru-buru bawa Ibu.... Saya kira Pak Dokter tidak berhenti begitu mendadak karena lampu baru kuning...."
Tiga perempat kemarahan Yanuar langsung me-rosot ke perut. Bagaimana pengemudi sialan ini tahu dia seorang dokter" Dari lambang JDI di kaca mobilnya" Sialan. Besok lambang itu akan dilepaskannya. Daripada semua orang tahu....
Dan perempuan itu muncul begitu saja dari pintu b
elakang. Membuat kedua kaki Yanuar langsung terasa lemas.
Saat itu, sudah hampir tidak ada mobil yang le-wat di sana. Tidak ada lampu mobil yang mene- . rangi sosok di hadapannya. Tetapi di bawah lampu jalanan yang samar-samar pun mata Yanuar masih mampu mengenali Patricia....
Dia tegak di sana... di samping mobilnya yang berwarna gelap... cantik dan anggun bagai dewi... gaun malamnya yang indah, make-up-nya yang cemerlang, kilauan perhiasan yang melekat di teli-nga dan lehemya... menyilaukan mata Yanuar, tetapi tidak membuatnya ingin berkedip. Ya Allah, ber-mimpikah dia" Di sini, di hadapannya, berdiri seorang wanita yang hampir tiap malam diimpikan. nyaf Mungkinkab cuma haiusinasi"
"Selamat malam, Dok," suaranya terdengar Jem-but dan merdu di sela-seJa desir angin malam. Tidak ada nada membujuk dalam suara itu. Tidak ada. Apalagi nada merayu.
Tetapi tak urung Yanuar merasa hatinya langsung mencair. Kebekuan yang ditimbulkan oleh per-tengkaran-pertengkarannya di rumah meleleh dengan sendirinya
Kepalanya terasa sejuk. Tetapi dadanya hangat bergelora. Seolah-olah ada api unggun yang tiba-tiba berkobar di sana. Nyala apinya menebarkan kehangatan yang nyaman sampai ke relung-relung hatinya yang paling dalam. Menerangi tempat-tempat gelap yang paling tersembDnyi sekalipun....
O, Tuhan! Perasaan apakah ini" Sudah berapa lama perasaan seperti ini tak pernah lagi mampir . di hatinya"
"Maaf telah menubruk mobil Dokter," sambung Patricia, rikuh didesak perasaan bersalah. "Kalau Dokter tidak keberatan, besok akan saya suruh Pak Umar mengambil mobil Dokter dan membawa-nya ke bengkel. Biar semua biayanya saya yang tanggung."
"Oh, soal kecil!" Yanuar ingin tersenyum. Tapi bibimya tidak mau merekah.
Dia ingin bersikap santai. Tetapi yang ditampil-kannya malah sikap gugup anak sekolah yang di-tegur gurunya karena teriambat masuk. Dia ingin
membuka tangannya dengan gagah untuk menyata-kan sikap yang sama dengan apa yang diucapkan-nya. Tetapi yang diperbuatnya cuma menggerak-gerakkan tangan itu di udara dengan gelagapan.
Ah, mengapa semuanya jadi terasa serbasalah begini" Mengapa semua bagian tubuhnya seolah-olah tidak mau lagi mengikuti koordinasi otaknya"
"Bagaimana kepalanya"" tanya Yanuar secepat lidahnya sudah dapat diajak bekerja sama lagi. "Masih pusing" Ah, maaf, sehamsnya saya tidak menanyakannya di sini. Bagaimana kalau kita minum sebentar" Sekadar menghilangkan rasa terkejut karena tubrukan ini."
Aduh! Yang heran bukan cuma Patricia. Yanuar juga. Lho, dari mana dia mendapat keberanian se-hebat itu" Masya Allah!
Mengundang wanita ini minum] Bukan main! Kalau mendapat kesempatan sekali lagi, belum tentu dia dapat mengulang prestasi ini!
Sebenarnya dia hanya tidak ingin cepat-cepat berpisah. Entah mengapa, belum puas rasanya menikmati keindahan yang terpampang di depan matanya.... Dan keindahan itu tambah memikat di bawah sorot lampu coffee shop yang mereka masuki....
Yanuar merasa hatinya berbunga-bunga. Bangga. Sekaligus minder. Bangga karena dapat mendam-pingi wanita secantik ini. Dibandingkan dengan Patricia, semua wanita di tempat itu jadi seperti penari kabuki.
Tetapi dia juga merasa minder, karena merasa tak pantas melangkah di sisi perempuan yangseanggun dia. Kemeja putihnya tampak Justin dan sederhana di samping gaun malam Patricia yan* dernikian mentereng. Ah, lebih baik kalau dja
tidak meiepaskan baju doktemya tadi. Setidak. tidaknya mereka tahu, dia dokter. Bukan soph.
Tetapi Patricia sungguh pandai menjaga perasaan Yanuar. Dia melangkah anggun tapi santai di sisi-nya. Membalas sapaan sopan pelayan dengan anggukan yang membuat mereka yang menyapanya tahu dari kalangan mana dia berasal.
Cara duduknya pun benar-benar terlatih. Mula-mula dia memang menunggu Yanuar menarikkan j kursi untuknya Tetapi ketika dilihatnya Yanuar langsung duduk, dibiarkannya pelayan melakukan hal itu untuknya, dengan sikap seolah-olah memang demikianlah seharusnya.
Justru Yanuar-Iah yang menjadi salah tingkah. j Setelah duduk, dia baru sadar, Patricia menunggu-nya. Tetapi ketika dia terburu-buru bangun, pelayan sudah keburu menarikkan kursi unt
uk Patricia, j Terpaksa dia duduk kembali dengan wajah merah padam.
Namun sekali lagi Patricia menolongnya. Dia berpaling pada pelayan, memamerkan seulas senyum tipis di bibirnya dan mengucapkan terima kasih, sehingga untuk sesaat perhatian pelayan itu I tertumpah padanya. Bukan pada Yanuar.
Sambil agak membungkuk, pelayan berdasi kupu-kupu itu menyodorkan buku menu. Sikapnya sangat hormat.
"Ingin pesan apa, Bu"" tanyanya sopan.
Sikap dan kata-kata Patricia memang menunjukkan kelasnya. Tetapi di atas semua itu, dia mem-perlakukan Yanuar sedemikian rupa, sehingga mau tak mau pelayan menaruh respek pula pada pria di sampingnya. Dan itu membuat Yanuar merasa sangat berterima kasih.
Kekagumannya makin bertambah. Rasanya dia tidak menyesal kalau seluruh uang hasil prakteknya malam ini habis hanya untuk membeli minuman sekalipun.
"Saya dengar tadi Anda sedang tergesa-gesa." Yanuar seperti teringat sesuatu ketika gelas pertama mereka telah habis. "Saya harap undangan minum ini tidak mengganggu rencana Anda."
"Oh, sama sekali tidak," sahut Patricia tegas. 'Tidak penting kok."
Tetapi kamu pasti berdusta, pikir Yanuar tanpa rasa sesal. Pakaianmu tidak mendukung kata-kata-mu. Kamu pasti sedang menuju ke suatu tempat. Dan tempat itu pasti cukup penting. Kalau tidak, tidak seperti ini dandananmu.... "Masih sering sakit kepala"" "Akhir-akhir ini mulai sering kambuh lagi." "Sudah foto""
Wajah Patricia langsung berubah. Ada guratan sesal yang membuat Yanuar semakin ketagihan memandangnya.
"Maafkan saya, Dok. Akhir-akhir ini..."
"Tidak apa- Saya tahu Anda sibuk. Tapi kesehat-an sebaiknya jangan diabaikan. Demi kepentingan Anda sendiri.""Terima kasih, Dok." Patricia menatapnya de-ngan tatapan yang membuat-Yanuar menjadi panas dingin. Tetapi malam ini maukah dokter tidak membicarakan penyakit" Malam ini saya tidak merasa sakit sama sekali."
'Tentu." Yanuar tersenyum dengan senyum paling baik yang pemah dipamerkannya.
Melihat senyum kebocahan yang dilatarbelakangi oleh seraut wajah yang bersih dan polos itu, tiba-tiba saja Patricia mengerti mengapa dia merasa betah di dekat laki-laki ini. Laki-laki pertama yang dapat memberikannya perasaan aman.
'Tetapi sebaliknya, malam ini saya minta Anda tidak memanggil saya Dokter. Nama saya Yanuar." j "Saya tidak berani memanggil nama kecil Anda. 1 Takut kelepasan sampai di kamar praktek!"
Mereka saling bertukar senyum. Dan menikmati j senyum Patricia, Yanuar sampai lupa pada niatnya J menjemput anak dan istrinya. Dia malah lupa be- I htm makan. Terpaksa dia membangunkan Bi Umi.
'Tidak jadi makan di luar, Pak"" desah Bi Umi heran sambil menyembunyikan kantuknya.
"Sudah tutup semua, Bi," sahut Yanuar asal J saja.
Tentu saja Bi Umi tidak percaya. Cecak pun | dapat melihat betapa berpendar-pendarnya mata Yanuar. Mustahil matanya dapat demikian bersinar I bila perutnya lapar.'
Semenjak hari itu Yanuar tidak pernah makan
malam di rumah. Dia selalu terburu-buru pulang dari tempat praktek. Tergesa-gesa mandi dan berganti pakaian. Lalu bergegas meninggalkan rumah.


Perempuan Kedua Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi Umi mencatat perubahan-perubahan itu di dalam benaknya yang sederhana. Majikannya sekarang jauh lebih perlente. Kemeja harus disetrika sampai licin. Lipatan celana harus rapi. Dan harum-nya dia kalau lewat.... Wah, Bi Umi hampir bersin mencium aroma seharum itu!
Bukan itu saja. Parasnya yang selama ini selalu mendung, lebih-lebih setelah ditinggal istrinya, kini cerah seperti langit sehabis hujan. Dan matanya!
Mata itu benar-benar tidak dapat berdusta. Mata yang menyimpan binar-binar kebahagiaan dalam seberkas sorot penuh gairah.... Ah, Bi Umi tahu sekali sedang apa laki-iaki kalau tampak seperti ini....
Tiap malam Yanuar duduk minum di coffee shop itu. Dan hampir setiap malam pula, Patricia berkunjung ke tempat yang sama. Seorang diri.
Memang mula-mula tampaknya cuma seperti suatu kebetulan. Kebetulan saja mereka bertemu di sana. Dan karena kebetulan bertemu, apa salahnya Yanuar pindah duduk, sekadar menemani minum"Semakin yanuar mengagumi patricia,semakin dia menvadari kekurangan-kekurangan Rani. Matanya yang terlalu besar. Hidungnya yang
kurang mancung. Mulutnya yang terlampau lebar. Pipinya yang mulai menggelembung. Bibimya yang selalu tersenyum sinis. Kata-katanya yang pedas dan cend"Terima kasih, Dok." Patricia menatapnya de-ngan tatapan yang membuat-Yanuar menjadi panas dingin. Tetapi malam ini maukah dokter titia^ membicarakan penyakit" Malam ini saya tidak merasa sakit sama sekali."
'Tentu." Yanuar tersenyum dengan senyum paling baik yang pemah dipamerkannya.
Melihat senyum kebocahan yang dilatarbelakangi oleh seraut wajah yang bersih dan polos itu, tiba-tiba saja Patricia mengerti mengapa dia merasa betah di dekat laki-laki ini. Laki-laki pertama yang dapat memberikannya perasaan aman.
'Tetapi sebaliknya, malam ini saya minta Anda tidak memanggil saya Dokter. Nama saya Yanuar." j "Saya tidak berani memanggil nama kecil Anda. 1 Takut kelepasan sampai di kamar praktek!"
Mereka saling bertukar senyum. Dan menikmati j senyum Patricia, Yanuar sampai lupa pada niatnya J menjemput anak dan istrinya. Dia malah lupa be- I htm makan. Terpaksa dia membangunkan Bi Umi.
'Tidak jadi makan di luar, Pak"" desah Bi Umi heran sambil menyembunyikan kantuknya.
"Sudah tutup semua, Bi," sahut Yanuar asal J saja.
Tentu saja Bi Umi tidak percaya. Cecak pun | dapat melihat betapa berpendar-pendarnya mata Yanuar. Mustahil matanya dapat demikian bersinar I bila perutnya lapar.'
Semenjak hari itu Yanuar tidak pernah makan
malam di rumah. Dia selalu terburu-buru pulang dari tempat praktek. Tergesa-gesa mandi dan berganti pakaian. Lalu bergegas meninggalkan rumah.
Bi Umi mencatat perubahan-perubahan itu di dalam benaknya yang sederhana. Majikannya sekarang jauh lebih perlente. Kemeja harus disetrika sampai licin. Lipatan celana harus rapi. Dan harum-nya dia kalau lewat.... Wah, Bi Umi hampir bersin mencium aroma seharum itu!
Bukan itu saja. Parasnya yang selama ini selalu mendung, lebih-lebih setelah ditinggal istrinya, kini cerah seperti langit sehabis hujan. Dan matanya!
Mata itu benar-benar tidak dapat berdusta. Mata yang menyimpan binar-binar kebahagiaan dalam seberkas sorot penuh gairah.... Ah, Bi Umi tahu sekali sedang apa laki-iaki kalau tampak seperti ini....
Tiap malam Yanuar duduk minum di coffee shop itu. Dan hampir setiap malam pula, Patricia berkunjung ke tempat yang sama. Seorang diri.
Memang mula-mula tampaknya cuma seperti suatu kebetulan. Kebetulan saja mereka bertemu di sana. Dan karena kebetulan bertemu, apa salahnya Yanuar pindah duduk, sekadar menemani minum"erung menyakitkan. Tubuhnya yang mulai sarat diganduli iemak. Betisnya... ah. mengapa tak ada lagi keistimewaan Rani yang dapat dilihatnya" Dan mengapa ada perempuan yang begini istimewa, nvaris sempurna"
"Masih sakit kepala"" tanya Yanuar, sekadar mengisi kekosongan. "Sudah dua minggu ini tidak ada serangan." "Pasti karena tidak ada yang dipikirkan." "Ya saya memang merasa tenang." "Kalau begitu benar diagnosis saya. Stres." "Itu berarti, saya tidak perlu diperiksa lagi, kan"" Senyum menggeliat di bibrr yang basah menantang itu. Membuat darah Yanuar menggelegak sampai ke J titik didih.
"Suamimu belum pulang dari luar negeri"" -"Belum ada kabar apa-apa. fetrimu"" "Sama"
Yanuar tersenyum tipis. Patricia membalasnya. j Seakan-akan dalam senyum itu mereka sama-sama j menyadari kesalahm Tetapi tidak peduli. "Tidak rindu pada anak-anak"" "Kadang-kadang."
"Sungguh menyenangkan punya anak." "Mengapa tidak memilikinya senrfw""
"Mas Darsc "Saya belum pernah dengar ada laki-laki yang tidak mau punya anak. Apalagi kalau dia punya
istri secantik kamu."
Segumpal awan menudungi kecemerlangan sorot mata Patricia.
"Mas Darso sudah punya delapan anak. Dia tidak ingin punya anak lagi."
"Dari istri pertamanya""
"Dia punya dua istri."
"Kamu yang ketiga""
"Saya cuma perempuan simpanan. Bukan istri."
Keterusterangan Patricia membuat Yanuar ter-sentak. Terlintas sesal karena merusak suasana dengan menanyakan soal yang sedemikian peka. Tetapi sekaligus dia merasa lega.
Secercah harapan mengintai dari balik dinding keraguan. Jika Patricia belum menikah... masih adakah harapan" Masih mungkinkah...
Ah, tiba-tiba saja paras Yanuar meme
rah. Bagaimana dia dapat mempunyai pikiran seperti itu" Bagaimana dengan Rani" Bagaimana dengan anak-anak"
Tentu saja Yanuar ingin memiliki wanita seperti Patricia. Tetapi menceraikan Rani" Ya Tuhan! Belum pernah terpikirkan! Sungguh. Belum pernah!
Inikah egoisme laki-laki" Selalu ingin memiliki lebih" Ingin memiliki semuanya" Yang bam di-ambil. Yang lama disimpan.... Atau... justru yang baru disimpan, yang lama tidak dibuang" "Saya tidak ingin menjadi perempuan simpananterus." Sesudab ranggul boboJ, air pun menerjang deras seperti banjir. Tidak tertahankan lagi. "Saya selalu mendesak Mas Darso untuk meresmikan saya Mengambil saya sebagai istri. Saya tidak serakah. Tidak ingin menjadi istri pertama. Dia boleh memiliki terus kedua istrinya. Itu haknya. Tetapi saya juga berhak menuntut hak saya, bukan" Saya ingin menjadi istri, bukan sekadar simpanan. Saya ingin punya anak. Punya sesuatu yang dapat saya miliki...." "Sudah lama menjadi... ah, menjadi seperti ini"" "Hampir empat tahun." "Di mana bertemu dia""
"Di London. Di department store. Saya kira hanya turis Jepang dan Arab yang royal jika shopping. Ternyata ada juga orang Indonesia yang membelanjakan uangnya seperti itu. Seolah-olah tidak ada toko di sini." "Karena itu kamu tertarik"" "Saya tertarik karena dia orang Indonesia. Ayah . saya lama bertugas di sini. Ibu saya orang Indone sia ash. Walaupun saya lahir dan dibesarkan di London. Minat saya untuk mengetahui dan me ngenal tanah air ibu saya tergugah begitu saja se telah berkenalan dengan dia Bahasa Inggris-nya begitu baik. Padahal sekolah lanjutan saja dia tidak lulus. Gayanya dalam memperkenalkan diri dan memperlakukan wanita tidak kalah dengan eksekutif dunia dari kalangan atas. Dia mengundang saya makan malam di restoran-restoran yang eksklusif. Belakangan setelah kami saling jatuh cinta,
dia malah berani menghadiahkan perhiasan-perhias-an yang sangat mahal dari toko permata paling
eksklusif di London. Saya jadi semakin tertarik ingin melihat seperti apa sebenarnya negeri ibu saya itu. Sebuah negara berkembang yang konon kabarnya indah jelita tetapi sarat dibebani utang. Dan Mas Darso seperti mengerti keinginan saya. Dia mengundang saya datang ke Indonesia Setelah sampai di sini, saya benar-benar jatuh cinta. Pada negeri ini. Dan padanya...."
"Karena itu kamu memutuskan untuk tinggal di sini""
"Orang yang sedang jatuh cinta memang tidak dapat menggunakan otaknya. Mau saja dijejali janji-janji. Dia mengajak saya tinggal di sini. Ber-janji akan menikahi saya...."
"Kamu tidak tahu dia sudah menikah""
"Tentu saja saya tidak mengharapkan laki-laki kaya raya seumur dia belum beristri. Tetapi saya tidak peduli. Saya lahir dan dibesarkan di negeri , yang sangat individualistis dan egoistis. Yang tak pernah saya sangka, dia sudah punya dua istri dan delapan anak. Dan tak pernah sungguh-sungguh berniat mengawini saya. Padahal cuma dengan menikahlah mungkin saya dapat hidup tenang di sini...."
"Dia tidak dapat menikahimu tanpa seizin istrinya!"
"Lelaki seperti dia tahu sekali bagaimana caranya mendapat izin istri! Dia hanya tidak mau!" . "Di Inggris kamu belum pernah menikah"""Dua kali saya hidup bersama dengan laki-laki yang saya cintai. Mungkin saya memang ditakdir-kan tidak pernah menikah.**
"Kamu bisa menikah dengan orang Indonesia yang Jain. Tidak perlu cuma dengan Mas Darso-mu"
"Bagaimana mungkin" Dia yang membiayai hi-dup saya di sini. Dia yang mengurus surat-surat saya. Dan saya sangat mengaguminya." "Umurnya pasti jauh lterus." Sesudab tanggul bobol, air pun menerjang deras seperti banjir. Tidak tertahankan lagi. "Saya selalu mendesak Mas Darso untuk meresmikan saya Mengambil saya sebagai istri. Saya tidak serakah. Tidak ingin menjadi istri pertama. Dia boleh memiliki terus kedua istrinya. Itu haknya. Tetapi saya juga berhak menuntut hak saya, bukan" Saya ingin menjadi istri, bukan sekadar simpanan. Saya ingin punya anak. Punya sesuatu yang dapat saya miliki...." "Sudah lama menjadi... ah, menjadi seperti ini"" "Hampir empat tahun." "Di mana bertemu dia""
"Di London. Di department store. Saya kira hanya turis J
epang dan Arab yang royal jika shopping. Ternyata ada juga orang Indonesia yang membelanjakan uangnya seperti itu. Seolah-olah tidak ada toko di sini." "Karena itu kamu tertarik"" "Saya tertarik karena dia orang Indonesia. Ayah . saya lama bertugas di sini. Ibu saya orang Indone sia ash. Walaupun saya lahir dan dibesarkan di London. Minat saya untuk mengetahui dan me ngenal tanah air ibu saya tergugah begitu saja se telah berkenalan dengan dia Bahasa Inggris-nya begitu baik. Padahal sekolah lanjutan saja dia tidak lulus. Gayanya dalam memperkenalkan diri dan memperlakukan wanita tidak kalah dengan eksekutif dunia dari kalangan atas. Dia mengundang saya makan malam di restoran-restoran yang eksklusif. Belakangan setelah kami saling jatuh cinta,
dia malah berani menghadiahkan perhiasan-perhias-an yang sangat mahal dari toko permata paling
eksklusif di London. Saya jadi semakin tertarik ingin melihat seperti apa sebenarnya negeri ibu saya itu. Sebuah negara berkembang yang konon kabarnya indah jelita tetapi sarat dibebani utang. Dan Mas Darso seperti mengerti keinginan saya. Dia mengundang saya datang ke Indonesia Setelah sampai di sini, saya benar-benar jatuh cinta. Pada negeri ini. Dan padanya...."
"Karena itu kamu memutuskan untuk tinggal di sini""
"Orang yang sedang jatuh cinta memang tidak dapat menggunakan otaknya. Mau saja dijejali janji-janji. Dia mengajak saya tinggal di sini. Ber-janji akan menikahi saya...."
"Kamu tidak tahu dia sudah menikah""
"Tentu saja saya tidak mengharapkan laki-laki kaya raya seumur dia belum beristri. Tetapi saya tidak peduli. Saya lahir dan dibesarkan di negeri , yang sangat individualistis dan egoistis. Yang tak pernah saya sangka, dia sudah punya dua istri dan delapan anak. Dan tak pernah sungguh-sungguh berniat mengawini saya. Padahal cuma dengan menikahlah mungkin saya dapat hidup tenang di sini...."
"Dia tidak dapat menikahimu tanpa seizin istrinya!"
"Lelaki seperti dia tahu sekali bagaimana caranya mendapat izin istri! Dia hanya tidak mau!" . "Di Inggris kamu belum pernah menikah""ebih tua." "Hampir enam puluh tahun." "Dia pantas jadi ayahmu," geram Yanuar dengan kemarahan yang tiba-tiba memburu.
"Dia masih gagah. Masih tampan. Sama sekali tidak tampak seperti laki-laki yang telah berumur I enam puluh tahun."
"Dan dia kaya" Yanuar mengembuskan kegeram-an itu bersama embusan napasnya. l/daranya terasa panas melewati bulu-bulu hidungnya, seolah-olah di dalam paru-parunya ada tungku panas yang I sedang berpijar.
"Bukan itu yang membuat saya tertarik pada-fflyaT sergah Patricia tersinggung.
"Tapi Itu menjadi salah satu senjatanya juga 1 untuk memikat hati wanita, bukan" Biasanya wanita I senang dimanjakan dengan perhiasan-perhiasan yang mahal dan kata-kata yang manis,..." "Saya mendengar nada iri dalam suaramu.'" "Salahkah saya"" dengus Yanuar jengkel. Belum .1 pemah dia merasa demikian penasaran. Belum pemah dia merasa demikian bernafsu hendak j
menyemburkan seluruh isi hatinya. Belum pemah dia menaruh kebencian yang begini hebat, bahkan pada orang yang belum pernah dilihatnya! "Seorang laki-laki berumur enam puluh tahun, SMA pun mungkin dia tidak lulus! Tapi punya kekayaan yang luar biasa, entah dari mana datangnya. Punya dua istri dengan delapan anak. Dan dia masih memiliki wanita seperti kamu... cantik, muda, inte-lek, dan begitu mendambakan untuk dinikahi!"
"Saya tidak suka mendengar nada suaramu. Kamu iri." "Saya memang iri."
'Tidak pantas kamu iri! Kamu punya segalanya. Istri yang cantik, setia, terpelajar. Anak-anak yang
manis...." Sampai di rumahnya sekalipun, kata-kata Patricia itu terus-menerus mendengung di telinganya Dia benar. Yanuar memang telah memiliki segalanya. Walaupun tidak berlebihan. Istri, anak, rumah, mobil, pekerjaan, dan status sosial... mau apa lagi"
Labi mengapa dia masih mengunjungi coffee shop itu" Untuk menemui wanita yang bukan miliknya. Bukan disediakan Tuhan untuknya....
Tetapi... mengapa besar sekali keinginannya untuk kembali dan kembali lagi ke sana"
Semalam saja tidak bertemu, waktu dia hams bcrdinas malam di rumah sakit, Yanuar merasa resah sep
erti mengidap demam tinggi. Makan tak enak. Minum tak sedap. Tidur pun tak lelap.
Esoknya pukul enam sore saja dia sudah meng-instruksikari Suster Hayati untuk menutup prakteknya"Saya harus buru-buru pulang, Sus," kataoya sambil membenahi tasnya. Walaupun sebenarnya tidak perlu lagi penjeJasan itu. Toh Suster Hayati I sudah tahu.
Perawat itu sudah tidak heran lagi. Akhir-akhir ini Dokter Yanuar memang selalu tarn pak aneh. Terburu-buru terus. Entah apa yang dikejamya. Padahal istrinya juga tidak ada di rumah.
Tetapi biarpun selalu tergesa-gesa, dia tidak pernah uring-uringan lagi seperti dulu. Tidak pemah marah-raarah lagi. Semua yang dikerjakannya tam-pak menyenangkan. Sikapnya menjadi lembut. Ke- I pada siapa pun.
Dia menjadi murah senyum. Wajahnya selalu berseri-seri sehingga parasnya yang kebocahan itu jadi semakin tampak polos. Bersih. Bercahaya. Seperti dicuci dengan deterjen.
Di dalam mobil pun dia tidak pernah marah- I marah lagi. Jalanan yang macet tidak membuatnya j berhenti bersiui-siul mendendangkan lagu-lagu ro- I mantis. Dan siulnya terdengar sampai ke kamar I mandi.
"Apakah Pak Dokter sudah punya istri muda"" j gumam Bi Umi seorang diri ketika dia sedang mendengarkan siulan-siulan gembira majikannya j dari kamar mandi. "Mengapa dia seriang itu padahal isiri dan anak-anaknya hampir sebulan tidak I pulang""
"Saya tidak makan di rumah, Bi," katanya sambil j lalu ketika melewati tempat Bi Umi tegak lefmangu- I mangu.
Lalu sambil melanjutkan siulannya, dia masuk ke kamar. MemiHh kemejanya yang terbaik. Ke-meja hadiah perkawinan mereka yang kedua belas. Dari Rani. Dari siapa lagi.
Kemeja baru dari bahan silk. Halus. Lembut. Dengan warna pastel yang paling tidak disukainya.
Baru sekali dia memakai kemeja ini. Hanya untuk menyenangkan Rani. Dia sendiri sebenarnya enggan memakainya. Soalnya sudah warnanya lembut begitu, bahannya pun sutra. Lengannya panjang lagi. Wah, serba tidak enak dipakai. LengkeL Panas. Mobilnya kan belum pakai AC. Tetapi Rani sangat menyukainya. Barangkali Patricia juga. Mereka sama-sama perempuan, kan"
Dan tatapan Patricia ketika mereka bertemu, membuat Yanuar tidak menyesal telah memakai kemeja itu. Rasanya dia malah ingin menyuruh Rani memilihkan beberapa helai kemeja lagi....
"Kemejamu bagus," puji Patricia seperti tahu perasaan Yanuar.
"Kamu suka"" tanya Yanuar seperti pemuda belasan tahun lagi. Malu tapi bangga.' Ah, sudah berapa lama perasaan seperti ini tak pemah singgah lagi di hatinya" "Pasti istrimu yang memilihnya." "Hadiah perkawinan kami yang kedua belas." j "Istrimu punya selera yang baik." "Kadang-kadang." _M
"Dia punya selera yang baik pula dalam memilih j
suami." "Terima kasih. Ini pujian""Saya harus buru-buru pulang, Sus," kataoya sambil membenahi tasnya. Walaupun sebenarnya tidak perlu lagi penjeJasan itu. Toh Suster Hayati I sudah tahu.
Perawat itu sudah tidak heran lagi. Akhir-akhir ini Dokter Yanuar memang selalu tarn pak aneh. Terburu-buru terus. Entah apa yang dikejamya. Padahal istrinya juga tidak ada di rumah.
Tetapi biarpun selalu tergesa-gesa, dia tidak pernah uring-uringan lagi seperti dulu. Tidak pemah marah-raarah lagi. Semua yang dikerjakannya tam-pak menyenangkan. Sikapnya menjadi lembut. Ke- I pada siapa pun.
Dia menjadi murah senyum. Wajahnya selalu berseri-seri sehingga parasnya yang kebocahan itu jadi semakin tampak polos. Bersih. Bercahaya. Seperti dicuci dengan deterjen.
Di dalam mobil pun dia tidak pernah marah- I marah lagi. Jalanan yang macet tidak membuatnya j berhenti bersiui-siul mendendangkan lagu-lagu ro- I mantis. Dan siulnya terdengar sampai ke kamar I mandi.
"Apakah Pak Dokter sudah punya istri muda"" j gumam Bi Umi seorang diri ketika dia sedang mendengarkan siulan-siulan gembira majikannya j dari kamar mandi. "Mengapa dia seriang itu padahal isiri dan anak-anaknya hampir sebulan tidak I pulang""
"Saya tidak makan di rumah, Bi," katanya sambil j lalu ketika melewati tempat Bi Umi tegak lefmangu- I mangu.
Lalu sambil melanjutkan siulannya, dia masuk ke kamar. MemiHh kemejanya yang terbaik. Ke-meja hadiah perkawinan mereka yang kedua belas. Da
ri Rani. Dari siapa lagi.
Kemeja baru dari bahan silk. Halus. Lembut. Dengan warna pastel yang paling tidak disukainya.
Baru sekali dia memakai kemeja ini. Hanya untuk menyenangkan Rani. Dia sendiri sebenarnya enggan memakainya. Soalnya sudah warnanya lembut begitu, bahannya pun sutra. Lengannya panjang lagi. Wah, serba tidak enak dipakai. LengkeL Panas. Mobilnya kan belum pakai AC. Tetapi Rani sangat menyukainya. Barangkali Patricia juga. Mereka sama-sama perempuan, kan"
Dan tatapan Patricia ketika mereka bertemu, membuat Yanuar tidak menyesal telah memakai kemeja itu. Rasanya dia malah ingin menyuruh Rani memilihkan beberapa helai kemeja lagi....
"Kemejamu bagus," puji Patricia seperti tahu perasaan Yanuar.
"Kamu suka"" tanya Yanuar seperti pemuda belasan tahun lagi. Malu tapi bangga.' Ah, sudah berapa lama perasaan seperti ini tak pemah singgah lagi di hatinya" "Pasti istrimu yang memilihnya." "Hadiah perkawinan kami yang kedua belas." j "Istrimu punya selera yang baik." "Kadang-kadang." _M
"Dia punya selera yang baik pula dalam memilih j
suami." "Terima kasih. Ini pujian"'Kalau kepaiamu tidak menjadi terlalu bes* karenanya." Yanuar tertawa cerah.
"Sekali kamu pup lagi, kepalaku tidak muat melewati pintu itu.'" "Itu berarti kita akan tetap di sini." Tawa Yanuar langsung mengambang. Ditatapnya Patricia dengan dada berdebar-debar. "Kamu senang di sini""
"Tempat ini seperti sanatorium bagiku. Aku merasa tenang. Dan semua keluhanku hilang."
"Tetapi malam ini aku ingin mengajakmu ke tempat lain. Kalau kamu tidak keberatan naiJc mobil butut."
"Sebut saja tempamya Naik kuda pun aku tidak peduli."
* * * Minibus memang bukan mobil yang diciptakan untuk pacaran. Guncangannya pun terlalu keras. Kaca dan karet-karetnya tidak mampu meredam suara angin dan deru mesin.
Satu hal lagi, mereka duduk persis di balik kaca di front terdepan. Begitu disorot oleh lampu yang datang dari depan, mereka seperti langsung terpampang di layar perak. Terang dan jelas. Dari segenap penjuro. Tetapi bagi Yanuar, semua itu bukan halangan
untuk menclptakan malam paling romantis dalam
sepuluh tahun terakhir Ini. Apalagi Patricia seolah-I olah memang diciptakan untuk menggugah roman-(isme seorang laki-laki. Dia begitu pandai mengajuk hati Yanuar. Begitu terlatih menghadapi suasana J seperti ini. Dia mampu mengusir rasa canggung yang mula-mula menghalangi keintiman mereka.
'Tahu ke mana akan kubawa kamu"" tanya Yanuar setelah lama keheningan memenjarakan mereka dalam mobil yang berguncang-guncang meniti jalan yang beraspal buruk.
"Aku tidak peduli. Bawalah ke mana kamu suka."
"Juga kalau kubawa kamu ke rumahku"" "Kamu yakin istrimu tidak ada di rumah"" "Berani kamu menemuinya"" "Kalau kamu berani, mengapa tidak" Katamu, dia cantik bukan" Aku ingin sekali melihatnya."
Yanuar tersenyum lunak. Disentuhnya tangan yang terkulai pasrah di atas pangkuannya~itu. Di-genggamnya dengan lembut ketika dirasanya Patricia tidak menolak.
Dan Patricia ternyata bukan hanya tidak menolak. Dia membalas menggenggam tangan Yanuar. Dengan genggaman yang entah mengapa membuat Yanuar sekilas teringat pada Rani. I
Kapan dia dan Rani bergenggaman tangan semesra ini terakhir kali" Berapa tahun yang lalu" Mengapa kemesraan seperti ini tak pernah men-jamah .mereka lagi beberapa tahun terakhir ini" "Kamu pasti berpikir aku ini laki-laki brengsek,"
desah Yanuar dengan perasaan tidak enak yang tiba-tiba saja menyuruk ke sudut hatinya.
'Tidak. Aku tahu kamu JeJaki yang sangat baik."
"Baikkah namanya laki-laki yang pergi dengan perempuan lain padahal dia sudah menikah""
"Aku yakin ini yang pertama untukmu."
"Karena itu bisa dimaafkan""
"Mengapa istrimu meninggalkanmu" Apakah tindakannya itu juga dapat dimaafkan"" "Dia cemburu."
"Cemburu" Pada siapa" Perawatmu yang manis itu"" "Padamu."
"Padakur Tangan Patricia mengejang dalam genggaman Yanuar. "Dia tahu tentang aku""
"Mungkin dia punya firasat. Naluri."
Tidak mungkin! Jangan mencari kambing hitam. Dia sudah menyingkir sebelum aku datang!"
"Aku-meniikirkanmu sejak pertama kali kita bertemu."
"Dan dia cemburu"" ;3
"Dia curiga" "Lalu rneningga lkanmu begitu saja" Sungguh tidak bijaksanaJ Seharusnya dia berjuang untuk mem-pertahankanmu.*.
"Aku senang mendengar semangatmu."
"Aku akan mempertahankanmu sampai titik darah terakhir kalau kamu jadi milikku."
"Mungkinkah aku jadi milikmu"" * "Kalau istrimu tidak keberatan membagi dirimu.''
"Kamu serius" Walaupun aku tidak sekaya Mas
Darso-mu"" "Sudah kukatakan, bukan kekayaannya yang menarik hatiku. Aku membutuhkan seorang laki-laki yang dapat memberikan rasa aman di hatiku."
"Dan cuma Mas Darso yang dapat memberikannya padamu" Jangan senaif itu, Pat. Wanita se-cantik kau dapat memilih seratus laki-laki yang lebih baik daripada seorang laki-laki ma bangka yang telah beristri dua!"
"Kamu punya usul siapa laki-laki itu""
"Yang pasti bukan aku. Bukan pula Mas Darso-mu!"
"Sayang sekali. Cuma kamu berdua yang masuk nominasi."
"Pat." Yanuar meremas tangan dalam genggamannya itu dengan hangat. "Kamu sanggup meninggalkan Mas Darso-mu""
"Aku telah mengejarnya sampai ke tapal batas yang tidak dapat kukejar lagi. Dia tetap menolak menikahiku apa pun ancamanku padanya."
"Dan kamu bersedia menjadi kekasihku walaupun kamu tahu aku sudah beristri""
"Terus terang, tadinya kukira istrimu telah meninggalkanmu. Dan bukan karena aku."
"Sekarang""
"Aku rela menjadi istrimu yang kedua. Tentu saja dengan izin istrimu."
"Mengapa kamu begitu percaya padaku" Aku tidak punya apa-apa.""Kamu punya segalanya untuk membahagiakan seorang wanita."
Yanuar. menepikan mobilnya. Dan merengkuli wanita itu ke dalam pelukannya. Patricia membalas dengan sama hangatnya. BahJcan ketika Yanuar mengecup bibirnya, Patricia balas memagut dengan1 ciuman yang membuat Yanuar merasa menjadi I remaja kembali. Ciuman yang membuatnya ketagih-an.
"Bagaimana mungkin," desah Yanuar terengah- jengah ketika bibir mereka telah saling melepaskan. j "Beberapa minggu yang lalu, kamu masih merupa-kan bidadari dalam mimpiku! Sekarang... kamu sudah berada dalam. pelukanku.'"
Tidak ada yang tidak mungkin," bisik Patricia sambil tersenyum mesra. "Siapa tahu beberapa bu- I Ian lagi aku sudah menjadi istrimu!"
"Mengapa kamu begitu ingin menjadi istriku""
"Aku ingin punya anak darimu."
"Begitu pentingkah anak bagimu""
"Aku ingin punya sesuatu."
"Cuma itu""
"Aku ingin punya sesuatu yang merupakan milik i kita berdua." "Tidak terbatas pada anak, bukan"" "Apa lagi yang lebih mengikat hubungan kita selain hadirnya seorang anak""
Tapi aku ingin kamu mencintaiku bukan hanya karena mendambakan anak."
"Aku mencintaimu, mencintai semua milikmu, semua yang berasal darimu...," bisik Patricia lembut.
Dipagutnya bibir Yanuar. Diraihnya Hdahnya. Di-kulumnya begitu rupa sampai Yanuar merasa ke-tagihan dan ingin mencicipinya sekali lagi. Sekali lagi....
Ketika sorot lampu mobil dari depan menerangi wajah mereka, Yanuar memejamkan matanya untuk mengusir sinar yang menyilaukan itu. Dia memaki, mengutuk, menyumpah dalam hati. Dan berharap agar mobil sialan itu lekas-lekas berlalu.... Tetapi yang didengarnya justru ketukan di jendela mobilnya....
Patricia lebih dulu melepaskan diri dari pelukannya dan beringsut ke tepi. Seperti dibangunkan dari pesona busa alkohol yang nikmat tapi memabukkan, Yanuar membuka matanya. Dan melihat seraut wajah menyeramkan di kaca mobilnya....
"Ada apa"" geramnya sambil membuka kaca jendela mobilnya. "Mengapa mengganggu kami""
Bapak yang mengganggu ketertiban di sini, Pak." Suara laki-laki itu terdengar diseram-seram-kan biarpun mukanya memang seram seperti setan kuburan. "Menghentikan mobil sembarangan dan melanggar susila. Mari ikut kami ke pos."
Yanuar bam mengenali seragam hansip laki-laki itu. Dan sebuah kesadaran melecut otaknya. Hansip! Celaka dua belas! Bisa masuk koran dia besok pagi kalau tidak bum-bum dibereskan!
"Maaf, Pak." Yanuar cepat-cepar. turun dari mobil. "Bisa kita bicara sebentar" Dan tolong singkirkan senter ini. Silau." "Mari bicara di pos saja, Pak.""Ah, jangan begitu, Pak. Saya seorang dokter, Dan perempuan ini bukan istri saya. Bapak me. ngerti, kan" Ini nrusan laki-laki. Bapak pasti pa. ham. Saya tidak mau soal sepele ini dipublikasifon sampai masuk k
oran. Kami sudah sama-sama de-wasa. Dan semua atas dasar suka sama suka. Tidak ada tangan-tangan hukum yang dapat meng-hukum dua orang dewasa yang hanya berciuman!"
"Jadi bagaimana mau Bapak"" Sekarang laki-laki itu memperlihatkan gaya seorang pedagang, bukan hansip. "Bapak punya isMT "Buat apa tanya-tanya begitu"" "Bapak pasti tidak ingin istri Bapak tahu Bapak mencium perempuan Iain, kan"" Tapi saya cuma menjalankan tugas!" "Menangkap dua orang dewasa yang berciuman di dalam mobil"'
Tapi ini tempat umum, Pak! Kalau dilihat anak-anak..."
"Pada pukul sebelas malam" Nah, sekarang begun saja, Pak. Lupakan saja anak-anak/ Saya akan pergi sekarang juga Dan ini buat Bapak." Yanuar menyelipkan segumpal kertas yang dikejar orang dari pagi sampai malam ke dalam saku laki-laki itu dan menepuk bahunya dengan ramah. "Anggap saja peristiwa ini tidak ada, Pak. Oh, ya... kalau Bapak atau anak-anak sakit, silakan cari saya. Pasti saya tolong. OkeV
"Dokter tugas di mana"" sergah laki-laki itu dengan suara yang berubah lunak.
Tetapi Yanuar sudah naik ke dalam mobilnya dan tidak member! kesempatan lagi pada laki-laki itu untuk meminta lebih banyak. Sialan. Mengganggu kesenangan orang saja. Bbrrr! Hampir saja dia ditangkap hansip!
Benar-benar sial. Mengapa. selalu ada-ada saja halangannya kalau dia mencoba menyeleweng" Entah dari kuburan mana mendadak muncul hansip celaka itu!
"Kamu sogok dia"" tanya Patricia lembut. "Apa pikirmu yang membuat semua perkara menjadi cepat selesai""
"Tidak pernahkah kamu berpikir sebaliknya" Hal seperti itu juga yang membuat perkara yang se-harusnya cepat selesai malah tidak selesai-selesai""
"Masa bodoh!" cetusnya santai. "Lebih baik keluar uang daripada masuk ke pos hansip dan be-sok pagi berita dan fotoku ada di koran!"
"Kamu persis Mas Darso. Semua diselesaikan dengan jalan pintas."
"Tapi aku bukan Mas Darso dan tidak mau di-bandingkan dengan dia!" "Tentu saja tidak. Kamu bukan bandingannya." "Karena dia tidak ada bandingannya" Terlalu hebat dalam segala-galanya""
"Sekarang malah kudengar nada cemburu dalam suaramu!" "Aku memang cemburu I" Patricia tertawa lembut.
Mengapa, pikir Yanuar dengan kekaguman yangterdengar
mengherankan. Bahkan suara tawanya begim merdu seperti alunan lagu"
"Istrimu pasti repot. Punya suami yang pencem-buru."
'Tapi dia senang dicemburui." "Kamu tidak"'
"SebeJum bertemu dengan Icamu, aku malah I dak tabu bagaimana rasanya dicemburui. Rani tidai pemah cemburu. Dia terlalu percaya padaku."
"Dan sekarang kamu mengkhianati kepercayaan-aya""
Tiba-tiba saja keriangan hilang dari suara Patricia. Dan lenyap puJa dari dalam hati Yanuar.
"Ya," desahnya seperti keluhan. "Kadang-kadang aku merasa bersalah." "Tapi kamu uJangi kesalahanmu." "Pat." Yanuar memegang wanita itu dengan lembut. Tolong katakan apa yang harus kuperbuat. Aku memang merasa bersalah. Tapi aku tidak dapat melupakanmu! Aku ingin menyingkir dari hadapan-mu. Tapi aku tidak mampu.' Tahukah kamu bagaimana perasaanku akhir-akhir ini" Aku bingung. Aku takut. Aku merasa bersalah. Tapi aku bahagia.'"
"Kamu pikir aku iidak" Mas Darso bukan pria I yang mudah dikhianati. Tapi aku toh pergi juga j mencarimu! Tahukah kamu ke mana aku pergi i ketika mobilko. menubruk mobilmu"" 'Menyusui Mas Darso-mu"" "Aku sudah nekat ingin mengikutinya ke mana I pun dia pergi. Malam itu dia pergi dengan istri I pertamanya menghadiri malam amal di sebuah ho- I
tej berbintang lima. Tetapi aku bertemu dengan jcamu. Dan semua btrubah dalam semalam saja. Aku begitu kecanduan hendak kembali dan kembali lagi ke coffee shop itu. Cuma dengan harapan dapat melihatmu di sana! Tahu bagaimana perasaanku ketika melihatmu duduk di situ""
"Pasti sama dengan perasaanku ketika melihat kamu datang!" sorak Yanuar lega. Penyelewengan, pikirnya tak habis mengerti. Mengapa begitu manis-nya"
Yanuar pulang dengan bersiul-siul. Tubuhnya terasa sangat ringan. Hatinya hangat dibakar gairah yang meluap-Iuap. Wajahnya sumringah dibalut kebahagiaan.
Dia tidak peduli Bi Umi yang masih separo tidur bersungut-sungut membukakan pintu. Semuanya terlihat sangat cerah. Cemerlang. Gemerlapan
. Ter-masuk wajah Bi Umi yang asam seperti makanan
basi. Hampir melompat-lompat dia melangkah menuju ke kamar tidurnya. Kemejanya sudah dilepaskannya di depan pintu kamar. Dilambai-lambaikannya kemeja itu sambil berputar-putar mengayunkan Jangkah.
Aroma part'um Patricia yang masih lengket pada kemeja itu menebar ke udara. Memercikkan ke-haruman yang merangsang gairah.
47Sambil bersenandung Yanuar menari-nari mema. sulci kamarnya. Melemparkan" kemejanya ke udara. Melompat ke atas tempat tidumya. Menerkam guling-nya. Dan merangkulnya sambil menghujaninya dengan ciuman.
Saat itu lampu kamar tiba-tiba menyala. Yanuar memoeku. Masih memeluk gulingnya. Dan merasakan kehadiran seseorang di dekatnya....
Yanuar menggelinjang bangun. Kaget seperti di-paruk ular. Matanya bertemu dengan mata istrinya yang sedingin es.
Tanpa berkata apa-apa. Rani bangkit dari atas tempat tidur. Parasnya merah padam. Bibirnya ter-katup rapat.
"Rani!" panggil Yanuar ketika Rani telah hampir mencapai ambang pintu. "Kamu kembali""
"Kukira kamu tidak pulang," sahut Rani dingin. J "Jadi aku tidur di sini." Tangannya meraih pintu 1 dan membukanya.
"Mau ke mana"" sergah Yanuar serbasalah. Dia duduk dengan lesu di sisi tempat tidur. Hampir tidak berani menatap mata istrinya. Malu. Sungguh bukan waktu yang tepat.... "Pindah ke kamar anak-anak." "Mereka sudah pulang"" sambar Yanuar berse- I mangat. Bergegas dia bangkit. Melempar gulingnya ke samping. Dan bergerak untuk mengikuti Rani I ke kamar sebelah. Rasa maJunya hilang seketika. j Berganti dengan kerinduan yang menggebu-gebu. "Mereka sudah tidur."
"Bukan berarti aku tidak boleh melihatnya. Aku ayah mereka. Ingat""
"Jangan berlagak rindu." Rani mendengus sinis. "Sebulan berpisah, kamu tidak merasa kehilangan,
kan"" "Siapa bilang"" desis Yanuar kesal. "Mereka masih anakku juga!" 'Tapi kamu tidak pernah menengok mereka!" "Kenapa aku harus menengok mereka" Mereka yang meninggalkan aku! Termasuk kamu!"
"Supaya kamu bebas pulang jam berapa kamu suka! Bebas menari-nari dan menciumi gulingmul" Dengan sengit Rani membanting pintu kamar.
Yanuar menerjang ke luar dengan gemas. Me-nyambar tangan Rani sebelum dia berhasil membuka pintu kamar anak-anak. Dan menyeretnya kembali ke kamar tidur mereka.
"Ke sini sebentar." Yanuar menggenggam tangan Rani erat-erat meskipun istrinya meronta-ronta hendak melepaskan diri. "Kita harus bicara!" "Lepaskan tanganku!"
Rani mengempaskan tangan Yanuar dengan marah. Tetapi sekali lagi Yanuar menahannya. Dan mencengkeram tangan istrinya lebih erat.
"Duduklah di sini. Aku masih suamimu, kan" Nah. biarkan aku bicara!"
"Tapi tidak perlu dalam jarak sedekat ini!" Sekali lagi Rani meronta. Kali ini dia berhasil meloloskan tangannya. "Aku muak mencium bau parfum gundikmu! ,
Begitu lepas dari cengkeraman Yanuar, bergegasRani menyingkir ice sudui. Seolah-olah saja Yanuar mender/fa penyakit menuiar.
Yariuar menjatuhkan dirinya di tempat tidur ^ bil menghela napas panjang. "Kita tidak bisa terus-terusan begini, Rani!" "Kamu yang memulainya!" "Karena itu aku ingin mengakhirinya!" "Aku minta cerai." "Cerai"" Yanuar tersentak kagef. "Supaya kamu bebas mengawini gundikmu! Anak-anak kubawa. Aku tidak rela mereka jJcut ibu tin'.'"
Tapi Patricia tidak menginginkan kita bercerai.'" Sesudah mengucapkan kata-kata itu Yanuar rneng-gigit bibimya dengan terperanjat. TeJanjur sudah. Dia telah kelepasan bicara.' Dilihatnya betapa pucat- j nya paras Rani. Bibimya gemetar menahan ke-marahan yang bercampur tangis.
Jadi semua kecurigaannya benar! Perempuan itu I bernama Patricia Yanuar benar-benar telah menye- I ieweng. Sudah ada seorang perempuan lain. Pe- I rempuan kedua! Padahal ketika memutuskan untuk J pulang siang tadi, Rani telah separo yakin, Yanuar | tidak bersalah.
Kebetulan saja dia bertemu dengan Ardi di depan rumah sakit. Ah, sebenarnya bukan kebetulan. Rant memang sengaja ke sana. Dia pura-pun membeli obat di apotek. Padahal untuk membeli obat, dia tidak perm jauh-jauh ke apotek. Mengapa harus mencari yang jauh kalau ada yang dekat" Dia memang ingin bertemu dengan Yanuar, ,
Tetapi tidak tahu caranya. A
gar seperti kebetulan. Dan dia tidak kehilangan muka. Malu kan kalau dia ketahuan mencari suaminya"
Ibu telah beberapa kali menytinihnya pulang. Tidak baik meninggalkan suami selama itu. Toh dia belum tentu menyeleweng!
"Jangan dengarkan ocehan Hasmanah!" kata Ardi siang tadi. "Dia kan selalu menjelek-jelekkan suami orang sebagai kompensasi. Kami, para dokter, me-nyebutnya virus perkawinan! Soalnya dia selalu menghasut para istri untuk mencurigai suaminya Padahal perkawinannya sendiri juga sudah hampir tamat. Kamu tidak tahu Ran, tadi malam, suaminya Dokter Prana, dibawa dengan ambulans ke sini. \ Ditemukan pingsan dalam keadaan bugil di hotel f kelas.satu! Serangan jantung!"
Sejak siang Rani sudah memutuskan untuk kembali ke rumah. Ibunya benar. Yanuar belum tentu menyeleweng. Tidak ada bukti. I
"Yanuar ingin sekali merasakan bagaimana rasanya dicemburui istri." Terngiang lagi kata-kata Ardi siang tadi. "Jadi jangan buru-buru kautuduh dulu! Mungkin dia sengaja membuatmu cemburu. Aku tidak percaya Yanuar terpikat pada perempuan lain. Dia begitu lugu. Begitu jujur. Begitu bersih. Ingat surat kaleng yang mampir ke alamatmu" Aku yang membuatnya atas permintaan Yanuar. Dia cuma ingin mempermainkanmu. Dan ingin merasakan bagaimana rasanya dicemburui olehmu!"
Aku juga mulanya tidak percaya, pikir Rani ge-mas Tetapi sekarang" Semua kecurigaanku ter"bukti! Memang ada perempuan lain. Perempuan kedua. Perempuan yang bernama Patricia! Yanuar telah rnenjungkirbaiikkan kepercayaan istrinya. Bah-kan kepercayaan sahabat karibnya sendiri!
"Maaflcan aku. Ran," desah Yanuar sambil me* nunduk. Tidak sampai had memandang istrinya Dia merasa hatinya ikut sakit melihat kesakitan yang merayap di mata Rani.
Istrinya demikian terpukul. Istrinya yang setia. Kekasihnya yang pertama Ibu anak-anaknya Mengapa dia sampai hati menyakitinya" Padahal Rani begitu mempercayainya"
Tetapi dia harus jujur, bukan" Dia tak dapat berdusta terus. Dia mencintai Rani. Tetapi dia mencintai Patricia pula
Dia tidak ingin mempermainkan perempuan itu. Memperlakukannya seperti laki-laki yang kini me-nyimpannya sebagai gundik. Kalau demikian, apa bedanya dia dengan Primodarso"
'Tatricia rela menjadi istri kedua. Dia tidak ingin memisahkan kita Merampas kedudukanmu. I Katanya kalau kamu rela membagi milikmu..."
"Tidak!" jerit Rani separo histerif, "Cera/kan saja I aku! Aku tidak sudi dimadu!"
"Ran, jangan begitu!" Buru-buru Yanuar bangkit dan merengkuh bahu istrinya.
Tetapi Rani meronta menjauhkan diri. "Jangan sentub aku! Aku jijik padamu!"
"Kamu jijik pada suami sendiri"" desis Yanuar tersinggung.
"Reaksi yang normal," komentar Patricia sedih, tapi tanpa kehilangan kontrol dirinya Dia tetap setenang biasa. Murung. Namun dewasa. Me-nambah kekaguman Yanuar padanya.
Seperti inilah seharusnya wanita. Tenang. Sabar. Pintar menguasai diri. Tidak mengumbar emosi. Jangan seperti Rani. Meledak-ledak seperti petasan. Membuat bingung suami. Tentu saja Yanuar lupa, dialah yang menyebabkan istrinya jadi begitu.
"Tidak ada perempuan yang mau membagi suaminya dengan perempuan lain." "Tapi aku tidak dapat menceraikan Rani, Pat." 'Tentu saja. Tidak ada laki-laki yang mau menceraikan istrinya untuk menikah dengan kekasihnya. Aku mengerti sekali."
"Jangan berkata begitu, Pat, Aku merasa dinku jahat sekali. Seperti lelaki gombal yang sermg mempermainkan wanita. Padahal aku senus Aku hmany tidak mampu meninggalkan keluargaku....'Tentu saja. Kamu sudah punya anak. Janga. ada yang jadi korban cinta kita." ."Aku benar-benar bingung." "Barangkali memang sudah nasibku. TakdidcQ tidak dapat menjadi istri seorang laki-laki. Ibu dari anak-anaknya."
"Aku tidak ingin memperlakukanmu seperti Mas Darso-mu.'" desah Yanuar risau. "Aku tidak mau menjadikanmu sekadar simpanan!"
"Kalau begitu. mariiah kita kembali ke reJ kita masing-masing. Biarkan air sungai mengalir ke laut mana yang dia sukaL"
"Tidak semudah itu! Aku tidak dapat lagi toe* iupakanmu. Di mana pun aku berada, apa pun yang sedang kulakukan, aku selalu ingat padamu!" "Jangan menjadi remaja kembali." "Coma remajakah yang boleh jatuh cinta"" J "
Onta yang berbeda. Cinta di a wal empat puluh lebih banyak membutohkan pengorbanan." J
"Tidak adil untukmu. Mengapa kamu terus yang hams jadi korban"" Yanuar mengatupkan rahangnya menahan perasaannya yang galau. "Jangan katakan itu kodrat wanita. Karena dari dulu mereka memang selalu dikorbankan.'"
"Kamu tidak mengorbankanku. Kamu belum me-nodaiku. Dan aku tidak merasa jadi korban. Aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesali apa yang telah kita lakukan selama ini."
"Tapi aku menyesal karena sebagai pria, aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan 1 Aku
membuat dua orang wanita yang sama-sama ku-cintai menderita!"
"Kembalilah pada istrimti. Kurasa belum teriambat. Tidak ada istri yang menolak suami kembali ke tengah-tengah keluarganya walaupun dia tahu suaminya itu pemah menyeleweng. Perempuan memang makhluk yang pemaaf."


Perempuan Kedua Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin belum teriambat untuk kembali kepada istriku," keluh Yanuar murung. "Tapi sudah teriambat untuk meninggalkanmu!"
Yanuar meraih Patricia ke dalam pelukannya. Dengan pasrah Patricia menyandarkan kepalanya ke dada laki-laki itu. Sekejap keheningan menyeli-muti mereka. Hanya dengung suara AC yang meng-isi kesunyian di ruang duduk itu.
"Aku ingin membawamu keluar dari sangkar emasmu ini," bisik Yanuar sambil menebarkan pandangannya ke selumh ruangan yang mewah itu. Ruangan yang selalu membuat dia merasa kecil dan tak berdaya. Didekapnya wanita itu erat-erat. Diletak-kannya dagunya di atas rambut yang harum semerbak itu. "Aku ingin pergi ke suatu tempat bersamamu. Pat. Cuma kita berdua yang berada di sana."
"Suatu saat kamu akan merindukan anak-istrimu," desah Patricia lirih. "Saat itu, sudah teriambat untuk kembali. Dan kamu akan menyesal."
"Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Tapi aku pun tidak mau berpisah denganmu.' Salahkah aku" Salahkah mencintai dua orang wanita sekali8UTak ada cinta yang salah." Patricia menengadahdan mengecup bibir Yanuar dengan lembut. "y^ salah hanyalah waktu. Mengapa kita baru air*, temukan sekarang. Seandainya aku yang datang lebih dulu...." "Kamu relakan aku beristri lagi"" "Jika kamu benar-benar mencintai perempuan itu, mengapa tidak" Aku telah pemah merasakan penderitaan seorang perempuan simpanan."
"Jika kamu menjadi istriku, kamu tidak akan pemah merasakan menjadi perempuan simpanan!"
"Dan takkan kuberikan kesempatan padamu untuk jatuh cinta pada perempuan Iain!" Patricia menatap Yanuar dengan penuh kasih sayang. 'Tidak akan kutinggalkan kamu seorang diri di rumah...."
"Pat." Yanuar memegang kedua belah pipi wanita itu dan menatap dengan sungguh-sungguh ke dalam matanya "Kamu benar-benar berani keluar dari rumah ini meskipun dia melarangmu""
"Kalau kamu bersedia menerimaku, mengapa tidak" Aku hanya takut menjadi perusak rumah tanggamu""
Yanuar menghela napas panjang. Dia benar-benar bingung. Patricia begitu cantik. Lembut. Penuh pengertian. E&,
Ah, kalau saja Rani seperti dia... penuh pengerti- j an! Cuma itu yang dibutuhkannya sekarang. Pengertian! Tetapi... adakah wanita yang mau me- I ngerti kalau hams membagi cintanya"
"Sudahlah." Patricia membelai pipi Yanuar de- I ngan mesra. "Jangan rusakkan malam yang indah I
ini. Jangan pikirkan apa-apa lagi. Que sera sera. Peluklah aku erat-erat...."
Tetapi sesaat sebelum Yanuar merengkuh Patricia ke dalam pelukannya, dering bel yang tidak terlalu keras terdengar dari bawah.
Patricia hampir melompat dari kursinya. Otot-otot wajahnya menegang. Matanya membeliak bingung. Yanuar jadi ikut-ikutan tegang. Untuk pertama kalinya dia melihat wanita yang selalu dapat menguasai diri itu kehilangan ketenangannya.
"Mas Darso!" desisnya gugup. "Dia sudah kembali! Mengapa dia kemari malam-malam begini"" Tentu saja Yanuar juga tidak tahu. Tetapi apa ! bedanya" Refleks Yanuar bangkit hendak keluar. Cuma itu yang ada di otaknya saat ini. Menyingkir. Lari. Bersembunyi. Bergegas dia menghambur ke jendela. Hendak membuka daunnya dan melompat ke luar. Lupa mereka berada di tingkat dua. Tetapi Patricia keburu mencegahnya. "Jangan!" desisnya gugup. "Kakimu bisa patah!" Ditariknya Yanuar* cepat-cepat ke dekat sebuah lemari antik, Dibukanya pint
unya lebar-lebar. Di-dorongnya Yanuar ke dalam. Yanuar sudah me-nerjartg masuk. Tetapi kepalanya terbentur kayu. Terpaksa dia mundur kembali.
"Hati-hati." Patricia mengusap kepala Yanuar dengan iba. "Kamu hams membungkuk sedikit...."
Terpaksa Yanuar menjejalkan badannya ke dalam lemari. Dan pintu lemari itu belum tertutup rapat ketika dia bersin berkali-kali. "Percuma," keluh Patricia sambil melebarkanpintu lemari itu kembali. "Dia telah melihat mobil. mu di depan. Kalau kamu tidak ada, dia malah curiga."
Yanuar memandang Patricia dengan bingung. Tetapi perempuan itu juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sama bingungnya. Sama tegang-nya. Belum pemah Yanuar melihatnya dalam ke-adaan seperti itu. Belum pernah.' Biasanya dia selalu tenang.
"Duduk saja di sana," kata Patricia akhjmya, sambil merapikan gaunnya. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia berlari ke depan cermin antik yang tergantung di dekat pintu. Dirapikannya ram-butnya. Diperbaiki make-up-nya.
Kemudian setelah merapikan gaunnya sekali lagi, dia bergegas keluar. Meninggalkan Yanuar yang gelisah seperti dijerang di atas api.
Sebentar-sebentar Yanuar menyeka keringatnya. Dan menghapus bibimya. Kuatir ada bekas-bekas lipstick di sana.
Tenang, katanya kepada dirinya sendiri. Tenang, Apa yang harus kutakuti" Aku mesti tenang... Laki-laki keparat itu bukan apa-apa! Dia bukan suami Patricia. Aku harus berani menghadapi-nya....
Suara langkah-langkah sepatu terdengar menaiki tangga. Berat. Mantap. Meyakinkan. Suara iangkah sepatu seorang'penguasa. Langkah-langkah itu semakin mendekati ruangan tempat Yanuar duduk menunggu dengan resah.
mudian terdengar suara seorang laki-laki bercampur dengan suara tawa seorang wanita. Renyah. Manja. Menggoda. Membuat Yanuar merasa tidak
enak sendiri. Hatinya terasa sakit dibakar cemburu. Selama ini dikiranya cuma kepadanya saja Patricia bersikap demikian manis. Demikian lembut. Demikian manja.
Ternyata terhadap laki-laki lain pun demikian! Tetapi... laki-laki lainkah orang itu" Laki-laki
itu pemiliknya! Dia lebih berhak atas Patricia.... Hati Yanuar bertambah menggelegak mendengar
suara laki-laki itu. Besar. Dalam. Berwibawa. Suara
seorang penguasa. Seorang penakluk. Seorang pemilik. Mendengar suaranya saja Yanuar sudah merasa tersisih. Dan pintu terbuka.
Yanuar mengangkat wajahnya. Berusaha men-jernihkan air mukanya. Mengosongkan tatapannya. Dan menampilkan sikap yang seformal mungkin.
Tetapi melihat laki-laki yang masuk sambil me-rangkul pinggang Patricia itu, Yanuar tidak dapat menyalahkan matanya kalau saat itu juga matanya berkhianat. Tidak mungkin mengosongkan tatapannya. Tidak mungkin I
Laki-laki itu bertubuh tinggi besar. Tfcgap dan gagah seperti seorang perwira tinggi. Rahangnya yang besar dan kokoh menambah ketampanan wajahnya.
Bahunya lebar. Dadanya bidang. Sama sekali tidak melukiskan seorang laki-laki tua berumur enam puluh tahun. Kecuali rambutnya yang mulai berwarna dua, penampilannya lebih muda dari usia-nya yang sebenarnya.Matanya, yang seperti mata burung hantu j( menatap Yanuar dengan tatapan yang suiit diartifca/ Sudah tahukah dia"
"Kenalkan. Mas." Suara Patricia begitu lembut, Begitu manja. Begitu menggelitik. "Dokter Yanuar Prase tyo. Dokter yang merawatku."
Patricia yang separo bergelayut di tubuh laki-laki itu melepaskan diri dan menghampiri Yanuar dengan sikap yang sangat resmi. Seresmi suaranya ketika bibimya merekah terbuka. "Kenalkan, Dok... suami saya...." Kaku seperti robot, patuh seperti anak seko/ah, , Yanuar bangkit dari kursinya untuk menerima j uluran tangan laki-laki itu.
"Primodarso," katanya tanpa menyebut nama | marganya. Seperti matanya, suaranya sukar dianalisis. Misterius.
"Yanuar," sahut Yanuar seresmi mungkin. Di-kumpulkannya segenap keberaniannya. Digebahnya kegugupan yang menyelimuti sikapnya. "Silakan duduk, Dokter." "Terima kasih." Terpaksa Yanuar duduk kembali meskipun sebenamya dia ingin pulang saja.
"Minum apa, Mas"" sela Patricia, begitu penuh perhatian. Membuat leher Yanuar serasa tercekik dijerat cemburu. 'Tidak usah. Belnm haus." Primodarso mengeluarkan tempat rokoknya. Dan menawa
rkan rokok kepada Yanuar. 'Terima kasih. Tidak merokojk," 1
"Benar-benar seorang dokter yang baik," I
' I primodarso menyeringai lebar. "Menyesuaikan prak-I tek dengan teori!"
j Dengan santai dia menjatuhkan dirinya ke sofa. I Mengambil sebatang rokok. Menyulutnya. Dan I mengisapnya dengan nikmat seolah-olah tidak ada I orang lain di sana.
Dia benar-benar seorang tokoh. pikir Yanuar j dengan perasaan iri. Dia begitu mampu menguasai I medan!
"Saya tidak tahu penyakit istri saya segawat itu," ungkapnya dengan nada yang tidak jelas, serius atau f sinis. "Sampai perlu memanggil dokter ke rumah!" Patricia duduk di samping laki-laki itu. Mengambil sebatang rokok. Dan menunggu sampai Primodarso menyulut rokoknya. Dengan gaya pro-fesional, laki-laki itu menyalakan rokok Patricia * Semua gerakannya enak dilihat. Menambah sakit hati Yanuar.
"Kalau tidak ada Dokter Yanuar, barangkali saya sudah dirawat di rumah sakit," kata Patricia tanpa berani memandang Yanuar. "Dan Mas tidak tahu apa-apa. Enak-enakan main golf di luar negeri!"
"Lho, aku ke luar negeri kan bukan cuma untuk main golf! Aku bekerja keras, Mencari dana untuk usaha amalku di sini. Kau tahu berapa banyak yayasan di Indonesia yang mengangkatku sebagai pelindung" Sebagai ketua" Sebagai anggota ke-hormatan""
"Ah, mereka cuma membutuhkan uang Mas ^"Karena itu aku harus bekerja keras untuk men-can dana bagi mereka! Oh, ya" Primodarso me. natap Yanuar dengan tatapan yang membuat Yanuar
merasa sedang diincar musuh, "sebenarnya apa penyakit istri saya, Dokter" Apa perlu check up di luar negeri""
"Hanya stres," sahut Yanuar seformai mungkin. 'Tapi cukup berat"
"Stres"" Primodarso berpaling pada istrinya sambil tersenyum. Lagi-Jagi Yanuar tidak dapat meraba arti senyum itu. "Saya rasa kau juga perlu ke Juar negeri, Pat Tetirah. Bagaimana""
"Saya cuma mau pergi kalau bersamamu," sahut Patricia dengan suara yang membuat Yanuar tiba-tiba merasa muias.
"Ah, itu bisa diatur!" Primodarso tertawa lebar. Bahkan suara tawanya mencerminkan kekuatan. Kekuasaanf "Kapan kau mau berangkat"" .
"Lebih baik saya permisi pulang dulu," kata Yanuar sambil bangkit dari duduknya. "Sudah malam."
"Sebentar, Dokter!" Primodarso berdiri dan me-megang bahu Yanuar. "Karena Dokter kebetulan berada di sini, saya ingin minta tolong." , "Mengenai apa"" tanya Yanuar kaku. Dia merasa musuh mulai mengepungnya. Tak terasa jari-jarinya mengepal membentuk tinju.
"Saya punya penyakit tekanan darah tinggi. Sudah agak lama tidak dicek. Tolong diukur tensi saya, Dok."
Yang memucat bukan hanya paras Yanuar. Patricia juga. Tak sengaja matanya bertemu pandang dengan
flata wanita itu ketika tidak sadar dia menoleh.
Musuh telah mengokang senjata. Siap menembak....
"Maaf," desah Yanuar gugup. Rahangnya terasa Icaku. Lehernya mengejang. Lidahnya kelu. "Malam ini saya tidak membawa tensimeter."
"Oh, sayang sekali!" Paras laki-laki itu tidak menunjukkan perasaannya. "Kebetulan ada dokter, tapi tidak ada alatnya! Padahal saya paling malas pergi ke dokter, Dok! Nah. selamat malam. Maaf saya tidak mengantarkan ke bawah."
"Tidak apa. Saya tahu jalan keluar. Selamat malam."
Bergegas Yanuar melangkah ke luar. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dan mengembuskannya kembali dengan perasaan lega. Untung musuh tidak menembak. Padahal dia sudah dalam posisi yang sangat berbahaya....
"Sebentar. Saya antar Dokter Yanuar ke bawah," kata Patricia sambil bangkit dari kursinya. Tetapi sebelum dia dapat melewati tubuh Primodarso, laki-laki itu telah merenggut tangannya.
"Biarkan saja." Suaranya berubah dingin. "Dia tahu jalan keluar. Sudah hapal."
"Mas"" Patricia menoleh ke arah Primodarso dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu""
"Jangan pura-pura." Primodarso memadamkan puntung rokoknya di dasar asbak dengan geram. "Aku tahu untuk apa dia kemari." 'Tentu saja untuk mengobatiku. Untuk apa lagi"" "Kau tidak cukup sakit untuk tidak dapat datang ke tempat prakteknya. Lagi pula dengan apa dokteruda itu memeriksamu" Dia tidak punya aJat afaf.'"
"PcnyakifJcu bukan penyakit fisik. Mas.' Stres tidak dapat diperiksa dengan stetoskop dan tensi-raeterf
"Lalu dengan apa"" sambar Primodarso sinis. Matanya menatap Patricia dengan tajam. "Jangan kaukira aku sedungu itu, Pat.' Di luar negeri pun aku selalu mendapat laporan lengkap tentang tindak-tandukmu dengan dokter itu.'"
Tiba-tiba saja Patricia merasa saatnya telah tiba. Percuma bersandiwara lagi. Sekarang atau tidak.
"Svukur kalau Mas sudah tahu," sahutnya dengan suara yang tiba-tiba berubah dingin. "Saya harap Mas juga masih ingat bagaimana saya mengejar; ngejar Mas Darso agar diajak ke luar negeri."
"Jadi ini kaulakukan sebagai tindakan balas den dam"" geram Primodarso gusar.
"Kalau Mas boleh bergauJ dengan semua perempuan yang Mas inginkan, mengapa saya tidak""
"Pantaskah kau mengucapkan kata-kata sepem' itu""
Tidak ada hubungan apa-apa yang mengikat kita, Mas. Saya bukan istrimu. Mas Darso sendiri yang selalu menolak menikahi saya, bukan""
"Kalau kaumaksudkan hubunganmu dengan laki-laki itu sebagai senjata untuk mendesakku me-ngawinimu... kau keiiru! Aku tidak bisa didesak! Tidak bisa diancam! Tidak bisa dipaksat" Tidak seorang pun dapat memaksa Mas Darso"
jaliut Patricia tawar. "Karena itu saya rela mengundurkan diri." 'Apa maksudmu"" desak Primodarso tajam. "Saya ingin berpisah."
"Dan menikah dengan laki-laki itu"" Primodarso
menyeringai bengis. 'Tidak tanpa izinkor*-**!
"Dengan seizin Mas Darso tentu saja," sahut Patricia sabar.
"Kau sudah 'berkhianat di belakang kepalaku, mencoreng arang di keningku di depan bawahan-bawahanku, sekarang kau minta izin menikah dengan laki-laki itu"! Siapa pikirmu dirimu, hah"!"
"Saya hanya jngin berpisah. Tidak tahari lagi hi-dup seperti ini. Serba tidak pasti. Stres yang menekan saya terlalu berat. Lama-lama saya bisa sinting!"
"Jangan berlagak alim! Aku kenal sekali pelaeur macam kau! Dapat satu lepas yang lain!"
"Lebih baik daripada dapat satu tidak melepas yang dua!" "Kurang ajar!"
Primodarso sudah mengangkat tangannya. Tetapi diturunkannya kembali demi melihat sikap Patricia. Perempuan itu tidak melawan. Tidak bergerak menghindar. Apalagi menyingkir. Dia hanya diam. Menunggu dengan pasrah. Tetapi dalam diamnya itu Primodarso membaca kekerasan hatinya.
"Empat tahun saya telah menunggu realisasi janji-janjimu, Mas. Saya pikir itu sudah cukup lama. Saya tidak dapat menunggu lagi."
"Sudah kubilang, aku tidak dapat didesak! Tak seorang pun bisa mengaturku.""Karena itu saya mengalah. Saya berpisah secara baik-baik." "Dan menikah dengan dokter dungu itu"!" "Dia sudah beristri."
"Jadi apa bedanya bagimu" Kodratmu memang perempuan simpanan!"
"Jika dia tidak mau menikahi saya, saya pun tidak memaksa. Saya ingin hidup sendiri. Sampai ada pria yang cukup murah hati yang mau mengawini saya. Saya tidak percaya Tuhan sekejam itu. Kalau Dia menyediakan seorang laki-laki untuk setiap wanita, mustahfl tidak ada pria yang disediakan-Nya untuk saya"
"Jangan bawa-bawa nama Tuhan! Kamu tidak cukup bersih untuk menyebut nama-Nya!
"Tapi Maria Magdalena pun cuma seorang pelacur!" Dl& " "
"Jangan mimpi pelacur seperti kamu dapat menjadi istri dokter! Lagi pula aku tidak akan melepas-kanmu! Tidak ada seorang pun yang dapat me-rampas milikku!"
'Tidak ada yang merampas, Mas. Dia hanya memungut sampah yang telah kaubuang. Sisa-sisa yang sudah tidak terpakai lagi."
"Aku belum membuangmu, pelacur! Tapi kau telah main gila dengan lelaki lain. Tidak seorang pun kubiarkan mengkhianati diriku. Tidak juga fcw- Akan kubuat kau dan doktermu itu menyemen^r budak' Mas tidak dapat me-menjarakan saya temperas di bawah kekuasaanjvlas tidak mau mengawini saya. Berarti tidak "J ikatan apa-apa di antara kita. Saya bukan 8strimu. Mas tidak berhak melarang saya memink
^.laki lain!" "Oh, sekarang kau bicara soal hak"" Primodarso KItam menyeramkan. Matanya bersinar buas. Se-ringainya bengis. "Tahukah kau sekarang tidak punya hak apa-apa lagi" Kehadiranmu di negeri ini tidak sah! Paspormu sudah tidak berlaku. KTP-mu pun palsu. Kamu imigran gelap yang masuk seem ilegal dengan visa turis. Sepatah kata saja dm mulutku, kau akan ditendang keluar dari negeri ini! Dideportasikan kembali ke negaramu!"BAB X
Belum pemah Dora melihat Rani oe
rhias sehebat hari ini. Dia sampai mengerjap-ngerjapkan matanya berulang-ulang. Tidak percaya pada penglihatannya sendiri.
"Salahkah mataku"" gumamnya jenaka. "Kamu yang datang ini. Ran, atau cuma ilusiku saja""
"Tidak Iucu ah," gerutu Ram jengah. ' Tidak lucu atau kamu yang sedang tidak ingin . tertawa"" "Dua-duanya."
"Wah, sense of humor-mo. memang sedang sakit!" , j "Aku memang sakit. Kalau tidak, raasa kuturuti
ajakan gilamu ini"" "Ajakan gilakah namanya menyuruhmu berdandan" Supaya kamu tettihat cantik lagi seperti
dulu"" "Buat apa" Anakku sudah dua."
"Karena anak ma sudah dua kamu merasa tidak 11 membutuhkan lagi kecantikanmu" Pantas saja suamimu terpikat pada pasiennya!"
"Aku berdandan begini bukan untuk dia!" geram I Rani jengkej. I
I -Tentu saja." Dora tersenyum tipis. "Sudah terf lambat." . .
"Kapan kita pergir potong Ram jemu. SekaI rang" Atau besok pagi""
I "Tentu saja sekarang, Manis!" Dora menyeringai gembira. "Aku hanya ingin mengatakan betapa ' cantiknya kamu hari ini! Dan heran mengapa tidak [ dari dulu-dulu kamu mendandani dirimu seperti
ini!" Rani sendiri sebenarnya menyesal. Ketika melihat betapa cantiknya wajahnya di cermin salon kecantikan itu, dia sudah menyesal. Sekarang dia tambah menyesal lagi mendengar sambutan Dora.
Ya, mengapa tidak sejak dulu dia berhias seperti ini" Dia pernah cantik. Dan sebenarnya masih cantik. Kalau saja dia mau memperhatikan pe-nampilannya. Meluangkan sedikit waktu untuk me-rawat kecantikannya.
Mengapa cuma urusan mmah tangga, suami, dan anak saja yang menyita waktunya" Mengapa tidak ada waktu untuk dirinya sendiri" Padahal Yanuar sudah beberapa kali menyuruhnya ke salon!
Sekarang dia telah kehilangan Yanuar. Sudah teriambat, kata Dora tadi, Benarkah sudah tidak ada jalan untuk rujuk kembali" Untuk memperoleh kembali suaminya yang baik itu"
"Buat apa"" potong Dora sinis, seperti dapat membaca pikiran Rani. "Buat apa memikirkan dia lagi" Lupakan saja! Kalau suamimu dapat memiliki perempuan lain, mengapa kamu tidak" Kamu masih cantik. Ran! Masih menarik!""Apa maksudmu"" gerutu Rani tersinggung. "Kamu ton tidak menyuruhku menjadi perempuan brengsek" Alcu masih punya harga diri, Dora. Keliru kalau kamu mengira aku berdandan begini "memikat suami orang!"
"Nah, siapa yang punya pikiran seperti itu"' Dora tertawa lebar. Lagaknya begitu sok tahu, seolah-olah dia yang paling arif kalau bicara soaJ perceraian. "Aku hanya ingin mengajarimu, jangan bodoh! Jangan mau saja ditindas suami.' Kalau dia menyeleweng, masa kamu harus diam saja" Dia sudah terang-terangan ingin mengawini perempuan fat! Kamu sudi dimadu"" 'Tentu saja tidak.'" geram Rani pedas. "Nah, tunggu apa lagi" Cerai! Dan kamu jadi wanita bebas kembali! Mumpung masih muda! Jangan kuatirkan masa depanmu.' Jangan pikirkan apa-apa lagi. Cerai!"
Semudah itu" Rani mengehela napas dengan gundah. Bagaimana dengan anak-anak" Bagi Dora, semuanya memang kehhatan mudah. Dia malah cenderung berpikir Dora sengaja mendorong-dorongnya agar bercerai. Supaya dia mempunyai teman senasib"
Tetapi Dora belum mempunyai anak ketika bercerai! Dan suaminya memang laki-laki yang tidak patut untuk dipertimbangkan lagi sebagai suami.
Lain dengan Yanuar. Dia sendiri merasa tersiksa. Rani dapat memahami perasaannya. Dan Rani harus mengakui, dia masih mencintai Yanuar. Kalau saja Yanuar mau meninggalkan perempuan
itu... Rani pasti mau memaafkannya dan melupakan yang sudah lewat. Mereka masih saling mencintai. pan mereka sudah punya anak. Rani sangat mencintai anak-anaknya. Dan ia tidak mau mereka menderita karena perceraian orangtuanya.
Minggu-minggu pertama Rani memang masih dapat bersandiwara. Seolah-olah dia dapat menikmati hiduphya yang baru. Setiap hari pergi dengan Dora. Ke pertemuan arisan. Fimess. Ceramah. Seminar. Berenang di hotel-hotel internasional. Ke salon kecantikan. Massage. Shopping. Lunch dan dinner di tempat-tempat eksklusif. Tentu saja se-bagian besar atas biaya Dora. Belakangan dia malah berani mengajak Rani ke Pub. Diskotek. Bahkan ke Singapura. Hongkong. Tokyo.
"Shopping." Dora tersenyum manis ketika Rani menanyakan maksud merek
a ke sana. "Buat apa shopping sampai ke luar negeri" Di sini baju model apa juga ada!"
"Menjaga penampilan, Ran! Tahun lalu kan aku terpilih sebagai salah satu dari sepuluh wanita berbusana terbaik! Gengsi dong kalau gaunku beli di sini. Nanti salah-salah ada pembantu yang baju-nya sama dengan gaunku, bagaimana coba""
"Ah, mustahil! Baju-bajumu kan semuanya ber-harga di atas seratus ribu! Masa ada pembantu yang mampu membeli baju semahal itu""
"Wah, kamu benar-benar masih plonco, Ran! Pengetahuanmu masih di tahun enam puluhan! Tahu nggak, ibu-ibu sekarang, sudah pandai menjaga penampilan! Beli baju raiusan ribu tiap bulanini human! Beberapa JcaJi pakai, bosan, langsu-, turun ke pembantu.'"
"Buat apa menyaingi mereka membuang-buang uang begitu, Dora" Kita kan masih warasf Utang luar negeri sudah bertumpuk-tumpuk. Buat apa membuang-buang devisa hanya untuk membeli baJB"T
"Ah, jangan jadi polilikus. Ran! Kalau tidak di-buang oiehku, pasti dibuang oleh orang lain.' Apa bedanya" Lagi pula. aku periu baju yang membuatku tampak eJegan. Aku kan sekarang termasuk kelas eksekutif. Aku periu penampilan yang prima. Tanpa pakaian yang menunjang, aku kehiJangan kepercayaan diri. Kamu tahu nggak, bulan depan, ada seminar tentang wanita karier dan perkawinan. Aku harus menyiapkan makalah...."
"Kamu"" desis Rani heran. tidak mengerti mengapa seorang pengusaha garmen diminta membuat makalah tentang perkaawnan. Lha. perkawinannya sendiri kandas kokt
"Aku akan tampii sebagai salah satu pembicara." Dora tersenyum bangga seoJah-olah ia akan menyaji- J kan makalah tentang suatu haJ yang telah bertahun- J tahun diseJidikinya. "Bayangkan, Ran. aku harus I naik ke atas podium, menyajikan makalah yang akan j disimak oleh lima ratus ibu di sebuah hotel berbintang I lima! Banyak di antaranya wanita karier yang hebat. I para eksekutif dan istri-istri pejabat! Nah, apa tidak I pantas kalau aku membeli beberapa potong gaun di Tokyo" Yah. tidak usah yang mahaJ. Yang kira-kira I seharga lima ratus ribu saja cukupiah. Supaya tidak
f dikira panitia asal cornot, tukang jamu disuruh membawakan makalah!"
Rani tidak mengajukan argumentasi lagi. Malas. Percuma saja. Masa bodoh amatlah. Dora toh mema-kai uangnya sendiri. Dia cuma minta ditemani. " Titik.
Situasinya memang sudah begini. Seminar men-jamur di mana-mana. Lagi mode. Dan pembicara-nya tidak perlu punya latar belakang ilmiah. Cukup orang yang punya nama. Tahu sedikit tentang masalah yang akan diseminarkan. Semacam urun rembuk pengalaman. Dan eksekutif kaget macam Dora inilah yang biasanya paling sering tampii.
Sekadar kompensasi, akhirnya Rani ikut juga ke Tokyo. Meskipun untuk membeli tiket pesawat dan membayar fiskal yang dua rams lima puluh ribu itu dia terpaksa menggadaikan dua buah gelangnya yang terakhir. Kepada Dora. Kepada siapa lagi. Sponsornya yang paling bersemangat untuk meninggalkan rumah.
Tentu saja mula-mula Yanto protes. Sampai se-besar ini dia belum pemah ditinggalkan ibunya. Tetapi setelah Rani berjanji akan membawa mainan, dia malah yang paling bersemangat menganjurkan Mama supaya cepat-cepat pergi dan cepat-cepat pulang.
Yanti tidak minta apa-apa. Dia malah menatap ibunya dengan murung. "Mama pergi sendirian"" tanyanya gundah. "Sama siapa lagi""
Sengaja Rani meninggikan suaranya. Soalnya disudut sana, Yanuar sedang duduk membaca Jcoran, Tetapi Rani tahu, tidak ada satu huruf pun dalam surat kabar itu yang melekat di otak Yanuar.
Hatinya sedang risau. Esok istrinya berangkat ke Tokyo. Tanpa izinnya. Seolah-olah dia memang sudah benar-benar berhenti menjadi suami, Tidak punya hak apa-apa. Hatinya sakit sekali.
Tetapi siapa yang hendak disalahkan" Siapa yang salah" Siapa yang lebih dulu menyakitkan hati"
Yanuar tahu, Ram melakukan semua ini untuk membalas dendam. Yanuar rela menerima hukuman itu kalau cuma dia yang menderira. Tetapi mengapa anak-anaknya yang tidak bersalah ikut menanggung hakumannya"
Malam itu Yanuar tidak pergi ke mana-mana, meskipun dia rindu sekali ingin menemui Patricia. Dia memutuskan untuk menanggung penderitaan bersama anak-anaknya. Dipeluknya Yanti yang sedang
menangis diam-diam sambil menyikat giginya di kamar mandi.
"Semua salah Papa, Yanti," bisiknya dengan air mata berlinang. "Jangan saJahkan Mama."
Yanti tidak menyahut. Dia hanya menyelusupkan kepalanya di pinggang ayahnya. Dan menangis.
Semakin lama Dora semakin jauh membawa Rani melangkah. Dulu, kalau pergi, mereka hanya rdua. Kalaupun ada teman, semuanya wanita.
Tetapi lama-kelamaan. Dora tidak canggung lagi mengajak teman prianya. Dan Rani semakin tersilcsa didera oleh hati nuraninya sendiri.
Perempuan apa aku ini, pikirnya ketika sedang minum di sebuah pub bersama seorang pria, teman Dora. Aku seorang istri. Seorang ibu. Anak-anakku menunggu di rumah. Tapi aku enak-enakan duduk minum di sini. Bersama seorang pria yang bukan suamiku.
Inikah kebebasan" Inikah manifestasi balas dendam yang kuterapkan untuk menghukum suamiku" Benarkah cuma Yanuar yang jadi korban" Benarkah anak-anaknya tidak ikut terhukum"
Rani masih ingat bagaimana cara Yanti me-natapnya ketika dia membukakan pintu, dan melihat seorang laki-laki yang tidak dikenalnya mengantar-kan ibunya pulang.
Rani tidak dapat melupakan bagaimana sikap Yanti ketika diperkenalkan pada laki-laki itu. Tanpa berkata apa-apa, Yanti masuk ke kamarnya. Dan tidak keluar-keluar lagi dari sana.
Rani begitu tersiksa melihat kesedihan yang melumuri paras anak perempuannya. Yanti sudah cukup besar untuk mencium bau hantu perceraian yang telah semakin mendekati mmah mereka.
Lain dengan Yanto. Dia memang masih terlalu kecil untuk mengerti. Tetapi dia merasa kehilangan ibunya.
"Mengapa Mama tidak pemah mengantar dan menjemput Yanto lagi"" gugatnya hampir setiap malam dia dapat bertemu dengan ibunya. "MengapaMama pulang malam terus" Mama sudah nggak sayang lag! sama Yanto, ya" Mama seJau nggaJ; ada di rumah.' Sampai Yanto tidur pun Mama belum pulang juga.' Mama ke mana sih".'"
"Aku sudah capek, Dora," keluh Rani suatu hari, ketika Dora mengajaknya pergi seperti biasa. "Aku sudah bosan. Aku tidak dapat lagi terus-terusan membohongi diriku sendiri. Mula-muJa semua ini memang tampak menyenangkan. Sesuatu yang baru untukku. Intermeso yang menyegarkan di tengah-tengah kerutinan hidupku. Tetapi lama-Jama aku merasa jemu. Letih. Muak. Aku jijik pada diriku sendiri. Tidak ada kenikmatan yang j dapat kurasakan. Aku lebih suka tinggal di rumah. Memasak untuk anak-anakku. Duduk menunggui mereka membuat PR. Selama ini, merekalah yang paling tersiksa Bukan Yanuar. Aku tidak pemah iagi mengurusi mereka. Bahkan mengantar dan menjemput mereka sekolah pun kuserahkan kepada Bi Umi. Kalau aku pulang, mereka sudah tidur. Kalau aku pergi, mereka sudah berangkat sekolah."
"Itulah perempuan.'" cetus Dora separo mengejek. "Makanya laki-laki selalu menang. Dan selalu punya peluang untuk membodohi mereka.'"
"Terserah apa pun katamu." Rani menghela napas berat. "Biarlah aku jadi perempuan bodoh saja asal tenang. Tidak meJawan hati nuraniku sendiri."
"Padahal Hans sangat menyukaimu. Dia bukan laki-laki brengsek. Ran. Duda ditinggal mati istri, Belum punya anak. Pengusaha bonafid puia. Kurang J apa lagi""
"Mengapa tidak kamu ambil saja sendM"" potong Rani sinis. "Mengapa kamu sorongkan padaku" Ambillah sendiri kalau memang tidak ada kekurangahnya!"
"Dia menyukaimu. Dan aku ingin kamu punya harga diri. Tidak cuma jadi perempuan bodoh yang mau saja dihina suami!"
"Punya harga dirikah namanya bergaul intirn dengan laki-laki lain sementara aku masih punya suami, Dora""
"Suamimu sudah hampir menikahi wanita lain, Rani!"
'Tapi kami belum bercerai! Aku masih tetap
istrinya!" "Karena itu kamu tidak boleh bergaul dengan laki-laki Iain meskipun suamimu sudah berkhianat dan ingin mengawini perempuan itu""
"Apa pun yang diperbuat suamiku. tidak dapat memaafkan penyelewenganku, Dora! Dan aku tidak ingin membalas penyelewengan dengan penyele-wengan!"
* * * Rani pulang ke rumah dengan letih. Malam ini, Dora tidak mau mengantarkannya. Dia marah. Kecewa. Kesal. Rani kehilangan safu-sa.tunya temannya yang terakhir. Apa boleh buat, keluhnya pasrah. Sahabat tidakselalu harus mempunyai prinsip yang sama. Dan Rani tetap akan memperta
hankan prinsipnya, biar pun untuk itu dia terpaksa harus kehilangan sa-habataya yang terbaik.
Malam ini, terpaksa Rani membiarkan Hans mengantarkannya pulang ke rumah. Hari sudah larut malam. Dan dia tidak punya kendaraan. Rumahnya jauh. Daripada naik taksi, bukankah lebih aman diantarkan Hans"
Lagi pula. Rani perlu waktu untuk bicara. Dia tidak mau memberikan harapan palsu di hati laki-laki itu. Hans terlalu baik. Dan tampaknya, dia serius. Rani tidak ingin mempermainkannya. Malam mi dia ingin berterus terang. Selama ini, Hans hanyalah tempat pelarian.
"Kuharap ini pertemuan kita yang terakhir, Hans," cetus Rani setelah lama berdiam diri me-milih kata-kata. "Apa maksudmu"'*
"Aku ingin kembali kepada anak-anakku. Sudah terlalu lama mereka kutinggalkan."
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 14 Pendekar Hina Kelana 7 Majikan Gagak Hitam Kisah Sepasang Rajawali 30

Cari Blog Ini