Ceritasilat Novel Online

Pertemuan Di Sebuah Motel 2

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Bagian 2


* * * Maya berada di belakang kursi goyang. Ia tak melihat sosok Ratna. Tapi kursi yang bergoyang itu menandakan ada yang mendudukinya. Jelas yang duduk di situ adalah pemiliknya. Tidak ada orang lain yang berani duduk di situ. Maya tidak tahu apakah Ratna sedang tidur atau menonton teve. Ipah sudah pergi ke belakang.
Maya bermaksud pergi ke belakang. Untuk itu ia harus melewati kursi goyang Ratna. Ia tak ingin dipanggil Ratna yang nantinya minta ditemani lalu dijadikan tempat curhat. Ia tahu apa yang akan dijadikan topik pembicaraan. Pasti soal Delia yang belum ketahuan ke mana perginya. Padahal ia benci sekali mendengarkannya. Ia tidak pernah menanggapi
82 karena tahu tanggapannya memang tidak diperlukan. Ia cuma mengangguk-angguk membenarkan.
Sama seperti yang lain, Maya membenci Ratna. Ia juga takut kepada
nya. Ia takut dikutuk. Ia tak mau kehilangan suami dan anak-anaknya, seperti Delia kehilangan Agus dan Adam Awalnya mereka tidak percaya bahwa kutukan Ratna bisa ampuh. Ratna cuma bermulut tajam. Tapi lama-kelamaan mereka merasakan berbagai kejanggalan yang tampaknya membenarkan keampuhan kutukan Ratna. Jadi sebaiknya tidak mengambil risiko.
Ada satu hal yang membuat Maya mampu bertahan. Sebagai orang yang sudah tua tentunya Ratna tidak akan hidup lama-lama. Pasti tidak selamanya. Biarpun fisiknya sehat, tetap saja dia sudah tua.
Berulang-ulang dalam setiap kesempatan Ratna berkata, "Aku bisa hidup sampai seratus tahun! Bisa juga lebih!"
"Kalau begitu, mungkin aku mati duluan," keluh Rama diam-diam.
Maya tidak memercayainya. Pasti Ratna akan mati duluan. Ia yakin akan hal itu. Dan bila itu terjadi, pastilah perhiasan Ratna akan jatuh kepadanya! Bukankah dia tinggal serumah, paling tertekan dibanding yang lain" Dan karena tinggal serumah ia juga punya akses yang lebih gampang ke lemari Ratna! Jadi ia bisa bersabar dan bertahan meskipun khawatir tidak bisa terlalu lama.
Dengan memberanikan diri Maya pindah ke sisi yang lain, di mana ia bisa melihat Ratna dari pinggir. Jelas kelihatan mata Ratna terpejam. Maka Maya pindah lebih ke depan supaya bisa melihat lebih jelas. Biasanya ia tidak berani melakukan hal itu. Ia melihat kelopak mata Ratna berdenyut-denyut. Lidahnya men83 julur sedikit dari mulutnya yang terkatup. Cuping hidungnya bergerak-gerak seperti tengah mencium bau. Wajahnya tampak aneh, tapi menggelikan.
Ayo segera pergi! begitu kata hati Maya. Tapi ia tetap saja di situ. Entah apa daya tariknya.
Tiba-tiba Ratna berteriak keras dengan nada penuh amarah dan benci. Maya terkejut bukan main. Kakinya tak mau disuruh berlari, malah gemetaran. Kedua lututnya lemah sekali sampai kemudian tak lagi sanggup menanggung beban tubuhnya. Ia terjerembap seperti karung kehilangan isi!
Ratna melihatnya, tapi tak peduli. Ia malah berseru, "Sial kamu, Del! Siii...aaal!" Kedua tinjunya dikepalkan. Sumpah serapahnya berhamburan ditujukan kepada Delia. Baru sesudah itu ia mengarahkan tatapannya kepada Maya yang masih terduduk lemas di lantai.
"Ngapain kamu di situ"" bentaknya.
Bi Ipah berlari dari belakang, tapi tak berani mendekat. Jauh-jauh saja. Asal bisa melihat.
Maya berdiri dengan susah payah. Semangat dan tenaganya anjlok. Tapi ia masih bisa mencari alasan.
"A-a... aku ke...kebetulan lewat. Tiba-tiba Mama menjerit. Aku jadi kaget, Ma."
Sesaat Ratna mengamati Maya penuh selidik. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh, geli sekali.
"Aku lagi mikirin si Del," kata Ratna.
"Oh." "Kayaknya dia ada di Jakarta." "Oh!" Maya kaget.
"Apaan sih kamu" Dongo amat! Ah-oh melulu!" bentak Ratna.
Rama datang tergopoh-gopoh dari bengkelnya di bagian depan rumah. Walaupun rumah itu cukup
84 besar dan sudah diberi sekat tebal berbatasan dengan ruang yang dijadikan bengkel, lengking jeritan Ratna sampai juga ke situ. Ia merasa malu terhadap para karyawan, montir-montir di situ.
"Ada apa, Ma"" tanyanya kepada Ratna dan Maya bergantian.
"Katanya... katanya..." Maya tak meneruskan ucapannya karena segera disela oleh Ratna.
"Delia ada di Jakarta! Cari ke sana!"
"Mama tahu dari mana"" tanya Rama.
"Dari iblis!" seru Rama sambil tertawa.
Kedengarannya ucapan itu seperti guyon belaka, tapi Rama merasa bulu romanya berdiri. Maya mendekatinya lalu memegangi lengannya. Tangan Maya terasa dingin.
"Jakarta-nya di mana, Ma"" tanya Rama.
"Pokoknya Jakarta. Cari aja. Susah-susah amat! Minta bantuan saudara-saudaramu! Suruh mereka kumpul di sini nanti malam!"
Rama termangu. Gampang amat kesan dari ucapan Ratna itu. Mencari satu orang di Jakarta itu sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Kalau Rama memang tahu, kenapa tidak dikatakannya dengan pasti di mana alamat Delia di Jakarta"
Setelah pergi sejauh mungkin dari Ratna, baru Rama membicarakannya dengan Maya. Itu pun dengan berbisik-bisik.
"Heran, kenapa Mama semakin aneh saja"" kata Maya.
"Bagaimana dia bisa tahu Del ada di Jakarta"" "Mana aku tahu. Dari i...iblis, katanya. Apa itu betul, Pa""
"Ah, jangan biki n aku takut, Ma. Biar gimanapun dia kan ibuku."
85 Bagi mereka, antara percaya dan tidak tampaknya lebih aman percaya!
* * * Belum sampai tengah hari Delia sudah selesai menyalurkan sebagian sumbangan yang sudah dijadwalkannya. Satu-satunya penghalang hanya kemacetan lalu lintas. Setelah mendapatkan alamat yang dituju, maka semuanya lancar. Ia tinggal menyerahkan amplop tanpa perlu memberikan identitasnya. Yang diberi tentunya sangat senang. Mustahil penderma ditanyai macam-macam.
Ia makan siang dulu sebelum kembali ke motel. Ia juga membawa bekal beberapa potong roti untuk makan malam. Dengan demikian ia bisa menghindari Kosmas yang kemungkinan akan menawarinya makanan. Dugaannya benar. Setelah memarkir mobilnya, ia melihat Kosmas mendekat.
"Sudah makan siang, Bu"" tanya Kosmas.
"Sudah, Pak. Tadi ada yang traktir," Delia berbohong.
Kosmas tampak kecewa sejenak, lalu tersenyum. "Jadi sudah kenyang dong."
Delia menepuk perutnya. "Iya. Sudah penuh. Buku petanya boleh pinjam lagi, Pak" Besok perlu pakai lagi."
"Oh, pakai saja, Bu."
Kosmas tampak ragu-ragu seperti memikirkan sesuatu.
"Ada apa, Pak"" tanya Delia. Jangan-jangan sebenarnya Kosmas membutuhkan petanya tapi malu mengatakan.
86 "Begini, Bu. Saya dan Erwin ingin mengundang Ibu makan malam."
Delia keheranan sejenak. "Tapi bukan di luar, Bu. Di sini. Di ruang makan kami. Makanannya pesan dari luar. Apa Ibu bersedia"" tanya Kosmas dengan pandang memohon.
"Wah, saya sudah beli roti, Pak."
"Masa makan malamnya roti" Itu sih buat sarapan, Bu. Mana kenyang" Oke ya. Bu" Pukul enam saya jemput."
Delia jadi serbasalah. "Begini saja, Pak. Nanti saya kasih tahu kalau jadi, ya" Jangan pesan makanan dulu."
Kosmas tak bisa memaksa. Tapi merasa tidak patut kecewa.
"Baiklah. Silakan Ibu istirahat. Pasti capek, bukan""
Kosmas berlalu diiringi tatapan sesal Delia. Ada kesan tambahan di hatinya. Meskipun berwajah sangar, tatapan Kosmas tampak tulus. Bukan tatapan lelaki yang melulu tertarik secara fisik. Masih ada lainnya. Tatapannya seperti menyelidik dan mempelajari. Apakah Kosmas punya insting atau firasat akan apa yang mau dilakukannya"
Delia masuk ke kamarnya dengan pikiran yang lain lagi. Ia merasa iba kepada Kosmas bukan karena tak bisa menerima perhatiannya, tapi karena apa yang akan dilakukannya nanti. Baru sekitar dua minggu lalu ada orang bunuh diri di motelnya, masa kejadian lagi" Motel itu akan mendapat citra buruk. Pelanggan semakin berkurang. Baru sekarang terpikir. Tadinya ia tak peduli. Seharusnya ia tidak menyusahkan orang lain. Tapi membatalkannya juga tidak mungkin. Mau ke mana lagi"
Setelah berpikir lama, ia mulai menulis surat yang
87 ditujukan kepada Kosmas. Dalam surat itu ia memohon maaf karena telah menyusahkan. Ia juga mohon supaya Kosmas sudi mengurus jenazahnya karena ia tidak punya keluarga atau kerabat lagi. Untuk keperluan itu ia menyertakan sejumlah uang untuk biayanya. Sebagai penutup, ia mengucapkan terima kasih dan mendoakan semoga Kosmas mendapat pahala sebagai imbalan atas budi baiknya. Surat beserta uang ia masukkan ke dalam amplop yang sudah ditulisi nama Kosmas dengan alamat Motel Marlin. Lalu amplop itu ia masukkan ke dalam laci.
Delia menangis. Pengakuan bahwa ia tidak punya keluarga atau kerabat sesungguhnya tidak benar. Tapi dalam situasi sekarang ia memang sendirian. Biarlah para kerabat itu tidak tahu.. Dan kalaupun nanti tahu juga, ia tak lagi ada untuk mengetahui reaksi mereka. Kemungkinan mereka tak mau mengakuinya dan lebih suka membiarkan ia dikubur sebagai orang sebatang kara. Tapi masih ada kemungkinan lain. Kalau Ratna masih mengincar hartanya dan mengira ia menyimpannya di bank, pastilah Ratna mengakui dirinya kerabat supaya bisa menuntut warisannya.
Sebenarnya masih ada hartanya yang tertinggal yaitu mobilnya. Tapi besok, setelah selesai dengan urusannya membagikan uang, ia akan menjual mobilnya. Bila dijual murah pasti cepat laku. Setelah itu ia akan pulang ke motel dengan taksi. Uang hasil penjualan mobil bisa untuk menambah biaya pengurusan jenazahnya. Kalau misalnya tidak laku, ia akan menyerahkannya kepada Kosmas. Tentang ha
l itu bisa ia tambahkan di bawah surat yang telah ditulisnya.
88 "Sikapnya itu justru menaikkan martabatnya, Bang," kata Erwin mengomentari sikap Delia. "Kok gitu""
"Iya. Itu menandakan dia bukan orang yang gampang diajak."
"Oh begitu. Ya, benar juga. Tapi kalau dia nggak mau, berarti aku nggak mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih baik."
"Jangan pesimis begitu, Bang. Kita kan sudah punya alamatnya di Bandung. Teleponnya juga ada. Dia tidak akan menghilang begitu saja kalau sudah keluar dari sini."
"Betul sih. Tapi kan jadi susah lagi."
"Susah gimana" Kau bertingkah aneh, Bang."
"Aku" Dialah yang aneh, Win! Dia sering sekali terlihat kontradiktif. Sekali terlihat ceria dan optimis, tapi lain kali dia murung.
"Kurasa setiap orang begitu. Ada saat sedih, ada saat senang."
"Tapi tidak dalam waktu berdekatan, kan""
"Kau terlalu intens memerhatikannya, Bang!"
Kosmas tidak puas. Apakah Erwin merasa prihatin atau menyesali"
89 BAB 9 Yasmin sudah berketetapan hati. Sebenarnya, sebelum memutuskan, ia ingin sekali bisa curhat dengan seseorang, berkonsultasi, dan minta saran. Tapi ia tidak punya siapa-siapa. Paling ada beberapa teman arisan, bekas teman kuliah. Tapi mereka pasti tidak cocok dijadikan teman curhat. Harus orang yang dekat. Padahal menjalin kedekatan itu butuh waktu dan kecocokan. Bukan itu saja. Permasalahannya adalah sesuatu yang sensitif. Memalukan. Jangan-jangan bukan simpati yang didapat, malah cemoohan.
Kalau saja ibunya masih ada, pasti kepadanyalah ia berlari, minta dukungan dan perlindungan. Ibunya memang tidak sempat tahu bagaimana kehidupan perkawinannya karena keburu meninggal sebelum ia menikah. Tapi ibunya menyukai Hendri dan menganggapnya sebagai calon suami ideal bagi putrinya. Pasti ibunya akan terheran-heran bagaimana pemuda ideal itu ternyata bisa begitu sadis. Tapi pasti ibunya tidak akan mencemoohnya atau menyalahkannya. Meskipun mungkin tidak bisa memberi jalan keluar, setidaknya ibunya bisa diajak berbagi.
Sebenarnya Yasmin masih punya ayah. Tapi sudah bertahun-tahun ia dan ibunya menjauh dari ayahnya setelah si ayah kawin lagi. Kemudian kedua orangtua-nya itu bercerai dan Yasmin memilih bersama ibunya.
90 Mereka berdua sama-sama mendendam kepada si ayah karena merasa dikhianati. Mungkin saja ayahnya itu masih menyayanginya. Tapi untuk masalahnya ini Yasmin tak mungkin mengajaknya berbagi. Sebagai lelaki hampir pasti ayahnya memihak Hendri. Masa begitu saja kesakitan sih" Bukan saja tak ada gunanya, ia juga tak ingin mendekati ayahnya lagi.
Ia masih merasa nyeri. Jalannya masih tertatih-tatih. Kalau dipaksakan berjalan normal, maka nyerinya bertambah. Mestinya ia menunggu dulu barang beberapa hari untuk pemulihan. Tapi bagaimana kalau Hendri memerkosanya lagi nanti malam" Atau besok"
Ia mengemasi barang-barangnya. Hanya yang perlu saja. Yang penting adalah gaun tidurnya yang terbagus, sikat gigi, odol, sabun, handuk, dan satu setel pakaian dalam. Ia tidak memerlukan baju ganti untuk besok karena besok ia sudah tiada. Semua uang yang dimilikinya dan perhiasannya ia bawa. Siapa tahu diperlukan sebelum saat itu tiba. Masih ada satu benda lagi yang tidak boleh ketinggalan. Kartu nama Motel Marlin!
Bila nanti sore Hendri pulang dan tak menemukannya, pasti Hendri tak segera menyangka jelek karena pakaiannya masih ada. Bila Yasmin bermaksud pergi untuk waktu yang lama atau tak punya niat kembali, pastilah ia akan membawa semua pakaiannya. Tanpa prasangka, maka Hendri tidak tergerak untuk segera mencarinya. Andaikata bermaksud mencari pun ia tidak akan punya ide ke mana tujuannya. Paling-paling bertanya pada ayahnya yang pasti akan mengatakan tidak tahu.
Hendri pun tidak akan mencemburuinya. Jadi ia tidak perlu merasa risau. Dengan sedih ia menyadari
91 bahwa hal itu pasti karena sekarang ia sudah menjadi tua prematur, seperti yang dikatakan Hendri.
Yasmin menunggu saat terbaik, yaitu ketika Inem masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Itulah kebiasaan Inem setiap hari. Pada saat itulah Yasmin segera berdandan serapi mungkin. Ia tahu, penampilan yang berantakan bisa membuat orang menaruh curiga. Apa
lagi kalau jalannya tertatih-tatih begitu.
Setelah berusaha dengan saksama, ia cukup puas dengan penampilannya. Ia masih harus memperbaiki ekspresinya yang murung supaya tidak kelihatan seperti orang sedang stres. Lalu ia berupaya bisa berjalan dengan wajar tanpa meringis. Itulah yang sulit. Tapi ia yakin bisa. Ia hanya perlu melakukannya di depan pemilik motel. Itu tidak memerlukan waktu lama. Kalau sudah berada di dalam kamar, ia bisa melepaskan semua kepura-puraan.
Ada juga rasa ibanya kepada pemilik motel. Bisa jadi motel itu akan terkenal sebagai tempat orang bunuh diri. Kalau mengikuti perasaan itu mungkin lebih baik ia melakukannya di rumah saja. Biarlah Hendri dan Inem kerepotan. Tapi ia takut tidak berhasil kalau mereka cepat menolongnya. Bila itu sampai terjadi, ia akan semakin sengsara. Hendri makin tak senang kepadanya dan Inem akan mengejeknya. Akan jadi apa dirinya nanti" Hidup tak ingin, mati tak bisa"
Pilihannya kepada Motel Marlin juga sebagai balas dendam karena bisa dipastikan Hendri kerap berkencan di situ. Kalau nanti Hendri dibuat terkejut karena mayat istrinya ditemukan di situ, ada kemungkinan pria itu akan kapok melakukannya lagi. Memang Yasmin bisa saja memilih tempat lain, tapi ia masih berharap makna hidup bagi Hendri bukan melulu seputar seks belaka.
92 Barangkali kematiannya yang menggegerkan bisa memberi pelajaran berharga bagi Hendri.
Siapa yang memilih mati selama kehidupan menyenangkan untuknya" Mereka yang mengatakan bahwa cuma orang picik yang melakukan bunuh diri pasti adalah orang-orang yang takut mati!
Di depan kamar Inem, Yasmin mendengarkan sejenak. Terdengar dengkur perempuan itu. Dalam hati Yasmin merasa nelangsa ketika berpikir nanti malam pastilah Hendri bisa bebas tidur bersama Inem. Barangkali di ranjangnya sendiri. Membayangkan hal itu ia merasa mual. Cepat-cepat ia ke luar rumah. Ia mengunci pintu dari luar lalu melemparkannya ke dalam lewat lubang angin. Dengan demikian Inem akan tahu bahwa ia pergi.
Erwin sedang berjaga di kantornya. Kosmas baru saja keluar dari kamarnya yang terletak di belakang kantor. Ada pintu yang membatasi. Jadi gampang keluar-masuk kantor. Sedang satu pintu lagi keluar ke ruang makan. Kamar itu digunakan mereka berdua. Keakraban membuat mereka merasa tidak perlu memiliki kamar sendiri untuk privasi.
Kosmas mengerjakan pembukuan sedang Erwin di belakang meja penerimaan tamu. Pada saat itulah sebuah taksi dengan Yasmin sebagai penumpangnya memasuki halaman lalu berhenti di depan kantor. Erwin dan Kosmas mengarahkan pandangan ke sana. Tamu baru.
Yasmin turun, lalu mengamati sekitarnya, kemudian beralih ke kantor. Sikap yang memperlihatkan bahwa kedatangannya ke situ adalah untuk pertama kalinya.
93 Wanita itu berjalan dengan langkah pelan. Seperti takut tersandung atau kakinya baru keseleo.
"Selamat siang, Bu," Erwin menyapa.
Kosmas mengikuti sapaan Erwin sambil mengangguk, tapi ia tetap di tempatnya dan meneruskan pekerjaannya. Cukup Erwin seorang yang menerima tamu. Pekerjaannya yang menghitung-hitung sungguh menjemukan.
"Selamat siang," Yasmin membalas. "Ada yang kosong" Saya mau nginap semalam. Besok keluar jam sembilan."
"Baik, Bu. Bisa saya catat KTP-nya""
Yasmin menyerahkan yang diminta. Pada saat menandatangani buku tamu, Erwin melihat jari-jari Yasmin tidak memakai cincin.
"Kamar nomor 15, Bu" Oke" Masih ada pilihan nomor lain."
"Lima belas juga boleh."
"Mari saya antarkan," Erwin menawarkan diri sambil menyerahkan kunci.
"Ah, nggak usah. Ke kiri atau ke kanan"" "Ke kiri, Bu."
Mulanya Yasmin melangkah cepat karena ingin segera menghilang ke dalam kamarnya, tapi terpaksa memperlambatnya karena rasa nyeri yang menyerang. Ia bisa merasakan tatapan Erwin di punggungnya.
"Kelihatannya kakinya sakit," kata Erwin kepada Kosmas.
"Pincang""
"Jalannya pelan-pelan. Seperti diseret."
"Jangan-jangan sakit, ya"" Kosmas khawatir.
"Wajahnya sih nggak kelihatan seperti orang sakit. Kalau sakit pasti pergi ke rumah sakit. Bukan ke motel."
94 "Kok lagi-lagi dapat tamu cewek sendirian ya, Win""
"Curiga lagi, Bang" Sudahlah. Buktinya, Ibu Delia baik-baik saja."
"Wanita tadi orang Jakarta, Win. Alamatnya nggak jauh-jauh amat." Kosmas mengamati buku tamu.
"Emang kenapa""
"Dia orang Jakarta dan datang sendiri. Sama kayak si Yuli."
"Sudahlah, Bang. Biarpun dia orang Jakarta, pasti ada alasannya kenapa nginap di motel dan bukan di rumah sendiri. Barangkali rumahnya lagi direnovasi. Atau gimana, gitu. Kita nggak tahu alasannya. Bukan urusan kita, Bang."
"Iya. Habis trauma sih. Takut kejadian lagi. Kita juga termasuk orang kolot. Lihat cewek sendirian pikirannya jadi macam-macam. Oh ya, tadi kauberi dia nomor 15. Apa kau sengaja supaya dia bertetangga dengan Delia""
"Ya. Supaya masing-masing punya teman. Siapa tahu keduanya berkenalan."
"Bagus juga ide itu."
"Gimana ajakan makan malam itu, Bang" Perlu ditanyain lagi atau dia akan memberitahu""
"Katanya dia yang akan memberitahu. Kita jangan pesan makanan dulu."
"Biarpun belum pasti, aku akan menyuruh Tono membersihkan ruang makan. Jadi nggak terburu-buru nanti. Kalau dia mau, akan kupasang taplak meja kesayangan Mama. Tolong jaga sebentar ya. Bang. Aku pergi dulu."
Kosmas terharu atas perhatian yang diberikan Erwin. Pikirannya sendiri tidak sampai ke situ. Ia
95 sama sekali tidak ingat akan taplak meja kesayangan ibunya itu.
* * * Delia menarik gorden tebal yang menutup jendela hingga tinggal gorden vitrage yang tembus pandang. Lalu ia duduk di depan jendela memandang ke luar. Ia bukan sedang menikmati pemandangan karena di luar tak ada yang menarik untuk diamati. Ia sedang memikirkan rencana hari esok. Apa saja yang belum dikerjakan dan terlupakan. Rasanya ingin sekali waktu cepat berlalu supaya ia bisa mengakhiri semuanya dengan tuntas.
Tiba-tiba ia tersentak oleh perasaan menyengat di perutnya. Sakit itu datang lagi setelah beberapa hari sempat hilang. Ia merasa tidak pasti juga. Memang sakitnya hilang atau tidak terasa karena kesibukannya" Sekarang muncul lagi. Tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa menanggungnya. Lusa tak akan ada rasa apa-apa lagi. Ia merasa bersyukur bisa mati dengan tubuh lengkap. Rahimnya masih ada. Dia komplet sebagai perempuan.
Perhatiannya beralih. Ia melihat seorang perempuan muda berjalan pelan-pelan dengan menjinjing sebuah tas yang tak terlalu besar dan tidak kelihatan penuh. Tampaknya ringan. Yang menarik perhatiannya adalah ekspresi perempuan itu seperti menahan sakit. Lalu ia berhenti di depan jendelanya dan bersandar. Terdengar keluhan panjang keluar dari mulutnya.
Delia tidak mengamati lama-lama. Ia segera berlari ke luar kemudian merangkul perempuan itu.
Yasmin juga kaget. Ia tidak menyangka ada orang yang mengamati gerak-geriknya.
96 "Kenapa, Dik" Sakit"" tanya Delia.
"Nggak apa-apa, Kak. Cuma pusing sedikit."
"Mau ke mana" Kamarnya di mana" Ayo kuantar."
Yasmin menatap nomor di pintu. "Nomor lima belas, Kak. Tuh di sebelah."
Delia menggandeng lengan Yasmin. Ia juga mengulurkan tangan satunya untuk mengambil alih tas Yasmin. Tapi Yasmin mempertahankan. "Nggak berat kok. Terima kasih."
Meskipun tidak memaksa, Delia tetap menggandeng lengan Yasmin dan membimbingnya ke kamar sebelah. Langkah Yasmin tetap pelan. Delia memandang ke belakang. Ia masih berpikir Yasmin tidak sendirian. Tapi memang tidak ada siapa-siapa di belakang Yasmin.
Setelah pintu terbuka, Delia tak segera pergi.
"Terima kasih, Kak," kata Yasmin, sebagai isyarat bahwa ia ingin ditinggalkan.
"Namaku Delia. Kamarku di sebelah. Kalau perlu bantuan, panggil saja."
"Oh ya. Namaku Yasmin, Kak."
Yasmin menyambut uluran tangan Delia.
"Itu ada interkom. Kau juga bisa menghubungi kantor kalau mau memesan makanan atau butuh apa-apa."
"Ya, Kak." Delia belum mau pergi. "Berapa lama nginepnya, Yas""
"Cuma satu malam. Besok pulang." "Asal mana""
"Jakarta," sahut Yasmin. Tak merasa perlu berbohong.
"Sendirian""
"Ya. Kak Del sendiri""
97 "Sendirian juga.. Sama dong, ya""
Yasmin mengangguk. Ternyata ada juga perempuan yang menginap sendirian di motel. Jadi dia tidak perlu khawatir akan dicurigai. Ia baru merasa lega setelah Delia pergi. Ia khawatir Delia akan bertanya macam-macam. Bisa saja ia keseleo lidah atau salah bicara. Bila hal itu terjadi, ora
ng pertama yang akan mencurigainya adalah Delia.
Belum sempat Yasmin melakukan sesuatu, pintunya diketuk. Semula ia berpikir Delia kembali lagi dan menjadi kesal. Tapi ia melihat Erwin di depan pintu, tersenyum dengan amat sopan. Tampak ganteng dengan tubuhnya yang tinggi semampai, bercelana jins dan berkemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung.
"Maaf mengganggu, Bu. Tadi saya lupa memberitahu. Kalau Ibu perlu apa-apa..."
"Pakai interkom," Yasmin menunjuk. "Saya sudah tahu."
"Oh begitu. Jangan ragu menggunakannya, Bu. Mau pesan makanan juga bisa. Tak usah turun sendiri ke jalan."
"Ya. Terima kasih."
Yasmin merasa senang dengan keramahan itu tapi juga bosan. Siapa yang bernafsu makan bila hidupnya akan berakhir beberapa jam lagi"
"Silakan beristirahat, Bu."
Erwin menyadari sikap kurang ramah yang diperlihatkan Yasmin. Ia cepat pamitan. Sebenarnya ia masih ingin menanyakan apakah Yasmin sakit dan memerlukan dokter. Tadi ia sempat melihat Delia membimbing Yasmin. Tapi kelihatannya Yasmin tidak suka ditanyai.
Setelah Erwin pergi, Yasmin menyesali sikap
98 dinginnya. Seharusnya ia menggunakan saat-saat akhirnya dengan perilaku yang baik. Apalagi ia akan berbuat buruk pada motel ini. Perbuatannya akan membuat motel ini menanggung kesulitan. Polisi akan datang menyelidiki. Media akan menyebarkannya. Bagaimana kalau orang-orang di motel ini dicurigai" Ia sendiri tidak tahu apa-apa lagi. Yang menanggung adalah yang masih hidup. Ternyata sudah mati pun ia masih menyusahkan orang lain. Sama sekali tidak mudah untuk mati. Seharusnya ia pergi ke tengah hutan lalu membiarkan dirinya dimakan binatang buas. Setidaknya ia memberi kebaikan bagi binatang itu. Sayang di sini tidak ada hutan dan binatang buas. Di sini hanya ada manusia yang terkadang juga buas. Mereka tidak memangsa daging, tapi perasaan.
Ia tahu, untuk memberi kepastian kepada polisi ia harus meninggalkan surat. Dengan demikian ia bisa menghindarkan kecurigaan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Dalam setiap kasus dugaan bunuh diri, surat yang ditulis sendiri selalu dicari lebih dulu. Bila itu berhasil ditemukan dan diyakini memang ditulis oleh pelaku, kasusnya tidak akan berpanjang-panjang.
Kertas sudah ia siapkan, berikut bolpoin beberapa buah kalau-kalau ada yang macet. Ia menujukan suratnya kepada Hendri. Tulisannya dibuat sebagus mungkin agar jelas terbaca. Ia mengucapkan selamat tinggal dan permohonan maaf karena tidak bisa terus mendampinginya sebagai istri. Ia menyesal tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri yang baik, dan berharap Hendri bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik daripada dirinya. Ia tidak mau menyinggung masalah seks atau persoalan sebenarnya karena ingin menjaga nama baik Hendri. Biarlah soal itu tidak pernah diketahui orang lain.
99 Usai menulis, ia melipatnya lalu memasukkannya ke dalam laci. Nanti malam, sebelum menjalankan aksinya, barulah surat itu ia taruh di atas meja supaya gampang terlihat.
Sesudah itu ia merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa dikehendaki, pikirannya mengembara lagi. Padahal ia merasa sudah mantap. Pelan-pelan ia mulai merasa takut. Bagaimana rasanya mati" Sakitkah" Apakah lebih sakit daripada yang dirasakannya sekarang" Tapi bagaimanapun, sakit itu cuma sekali. Sesudah itu selesai. Beda dengan sekarang yang berulang dan berulang terus.
Seharusnya ia bisa berkata "tidak" kepada Hendri. Tapi mustahil juga. Ia seorang istri, jadi berkewajiban melayani suami. Mana ada suami yang mau ditolak terus" Atau ditentukan frekuensi kegiatan seksnya" Bukankah biasanya hal itu tergantung kapan gairah suami muncul" Kalau dia ingin sekarang, sekarang pulalah istri harus melayaninya. Demikian pula kalau dia menginginkannya tiap hari, atau lebih dari sekali dalam sehari!
Ia juga tidak bisa mengatur cara dan gayanya. Sekali lagi itu terserah kepada suami. Ia sudah memberi saran pada Hendri agar berlaku lebih lembut dan melakukannya pelan-pelan. Tapi Hendri mengatakan hal itu terjadi secara otomatis dan spontan. Jadi tidak bisa. Benarkah" Ia tidak tahu karena tidak merasakan jadi lelaki. Tapi terpikir, apakah seks yang
mengatur orang dan bukan sebaliknya" Pertanyaan yang tidak terjawab. Hendri tak mau mendiskusikan soal itu karena merasa dirinya benar. Bagi Hendri, Yasmin-lah yang salah dalam segala hal. Buktinya adalah perempuan lain.
Ia tahu, masih ada satu solusi yang tersedia di
100 samping mati. Yaitu cerai! Tapi ia tak mau memilihnya atau memikirkan kemungkinannya. Kata itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Ia sudah mengucapkan sumpah yang sakral ketika pernikahannya dengan Hendri diresmikan. Setia sampai mati dan menerima lelaki yang jadi suaminya dengan segala kebaikan dan keburukannya sebagai risiko kehidupan!
Jadi ada satu hal yang terasa sebagai penghiburan, yaitu ia akan mati sebagai Nyonya Hendri!
101 BAB 10 Empat lelaki bersaudara berkumpul dalam suasana mencekam. Mereka adalah Rama, Ramli, Ridwan, dan Marta, para putra Ratna. Dua anak yang lain, keduanya perempuan, tinggal di luar Jawa. Suatu keuntungan bagi mereka karena tak perlu diikutkan dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti itu. Satu-satunya menantu yang ikut hadir hanya Maya, karena rumahnya di situ. Lainnya menolak ikut dengan berbagai alasan. Tapi buat Rama mereka tidak penting.
"Si Del harus secepatnya ditemukan sebelum dia meludeskan hartanya!" kata Rama dengan nada tinggi.
Topik pembicaraan memang tentang Delia. Topik yang sama sekali tidak mengandung logika kebenaran bagi anak-anak Rama. Tapi mereka memilih sikap yang aman meskipun jadi merasa bodoh. Manggut-manggut saja dan mengiyakan apa pun yang dikatakan Ratna.
"Kami akan suruh orang mencarinya," sahut Ramli, yang sudah ditunjuk sebagai juru bicara. "Siapa" Polisi"" "Bukan, Ma. Detektif amatir." "Apa dia bisa"" Rama ragu-ragu. "Sudah profesinya mencari orang hilang. Kalau
102 kita yang cari sendiri, bisa bingung atuh, Ma. Jakarta itu kan luas. Penduduknya padat."
"Emangnya aku nggak tahu" Aku belum pikun! Tentu aja Jakarta lebih gede daripada Bandung!"
"Iya, Ma." "Apa detektif itu harus dibayar"" "Tentu saja, Ma."
"Kalau begitu kalian patungan, ya"" "Iya, Ma."
"Apa sudah dapat detektifnya"" "Belum, Ma. Cari dulu."
"Ya ampun," keluh Rama. "Gimana bisa cepat" Waktu sudah mendesak, tahu""
"Sekarang juga kami cari, Ma. Kan kita harus mendapatkan yang pintar."
"Pendeknya, aku mau cepat!"
"Apa maksud Mama dengan waktu sudah mendesak"" tanya Ramli memberanikan diri.
"Nanti duitnya keburu habis!"
"Habis buat apa, Ma"" Ramli keterusan bertanya. Ia merasa tergelitik ingin tahu karena cara Rama berbicara itu seakan sudah yakin.
"Ya dipake dong!" seru Rama kesal. Ia menatap keempat putranya bergantian seolah mereka anak kecil yang bodoh.
Ramli manggut-manggut saja.
"Mau nyari orang kan perlu fotonya. Kalian udah punya fotonya"" tanya Ratna.
Ramli terperangah. Belum terpikir ke situ. "Rasanya sih ada, Ma. Nanti cari dulu," sahutnya, kemudian menyadari kesalahan setelah terlambat.
"Cari dulu"" teriak Rama. "Semuanya cari dulu! Sudah! Pergi sana! Cari!"
Tanpa disuruh untuk kedua kali semuanya pergi.
103 Ramli, Ridwan, dan Marta melanjutkan pertemuan di rumah Ramli. Rama tidak ikut karena khawatir dicurigai ibunya.
"Aku pikir, kalau Mama dibohongin juga nggak bakal tahu," kata Marta. "Kita bilang aja sudah berusaha tapi nggak ketemu."
"Apa dia bisa dibohongin"" Ramli ragu-ragu. "Nyatanya dia bisa tahu Del ada di Jakarta. Padahal dia nggak ke mana-mana."
"Kalau dia sudah tahu Del di Jakarta, kenapa nggak tanya sekalian sama informannya yang jelas di mana alamat Del," kata Ridwan sinis. "Kalau alamat sudah, ada, kan kita bisa mengunjunginya. Nggak perlu detektif segala."
"Jangan-jangan dia sebenarnya sudah tahu, tapi mau menguji kita saja. Sampai mana keseriusan kita," kata Ramli.
"Bukankah dia bilang waktu sudah mendesak" Buat apa pakai menguji segala" Itu kan buang waktu," komentar Marta.
"Ah, aku bingung nih. Kenapa ya Mama jadi begini" Kok dia nggak mau mikirin kesulitan kita"" keluh Ridwan. "Sewa detektif itu kan mahal. Padahal iuran lima ratus ribu saban bulan udah berat buatku."
"Iya. Berat tuh," Marta membenarkan.
"Tapi masih lebih baik keluar uang daripada hidup bersamanya, kan"" kata Ramli.
"Betul. Aku per hatikan Maya, makin lama makin stres saja," Mila membenarkan suaminya.
"Kita harus ingat akan keselamatan anak istri. Jangan sampai kena kutuk Mama," Ramli mengingatkan. "Ingat nasib Agus dan Adam."
104 "Hi..." Mila bergidik.
"Apakah kita harus percaya akan kutukan Mama" Aku pikir, apa yang dialami Agus dan Adam sudah menjadi takdir mereka," kata Marta.
"Percaya nggak percaya..." Ramli tidak meneruskan. Ia tahu saudara-saudaranya sudah bosan dengan ucapannya itu. Sudah sering diucapkan. Lalu ia melanjutkan, "Ingat nggak, Mama bilang Del sakit. Kok dia bisa tahu""
Donna muncul. Malu-malu. "Boleh ikut ngomong nggak" Ada berita baru."
"Tentu saja! Ayo sini," panggil Ramli.
Donna duduk di sebelah ibunya. "Tadi pulang sekolah aku mampir lagi ke tokonya Tante Del. Eh, bukan. Sekarang bukan tokonya lagi..." Donna diam sejenak. Tersipu.
"Ayo teruskan," desak Ramli.
"Aku ketemu Sri, karyawan toko yang dekat sama aku. Sri bilang, Tante pernah nanya perihal tabib yang katanya bisa menyembuhkan kanker. Sri bilang tabib itu pernah menyembuhkan ibunya dari sakit kanker yang sudah parah. Tante minta alamatnya. Sri nanya siapa yang sakit. Tante bilang saudaranya. Padahal Tante kan nggak punya saudara. Jadi kayaknya yang sakit itu Tante."
Semua terkejut. "Del sakit kanker" Aduh...," keluh Mila iba. Ia merangkul putrinya. Tentu ia masih ingat dan terkesan akan kedermawanan Delia yang tanpa berat hati menyumbang sepuluh juta untuknya yang dikatakan sakit. Sedang Delia sendiri sakit tanpa ada yang membantu dan sendirian pula. Masih pula dikejar Ratna.
"Jadi benar dong ucapan Mama. Coba, tahu dari mana dia"" kata Ramli.
105 "Pantas dia bilang waktu sudah mendesak. Takut harta Delia keburu habis. Jelas dong, Del butuh uang untuk biaya pengobatannya. Mungkin untuk itulah dia ke Jakarta," Marta menyimpulkan. "Duh, Mama sih kelewatan amat. Udah ah, aku nggak mau ikutan dalam soal ini. Biarin dikutuk juga. Lebih baik dikutuk daripada ikut-ikutan berdosa."
Marta berdiri lalu pergi. Saudara-saudaranya memandangi kepergiannya dengan resah. Seharusnya mereka juga memiliki keberanian itu. Tapi apakah keberanian jadi berarti bila nanti diikuti dengan kehilangan"
* * * Sore itu Hendri pulang disambut Inem. Bukan Yasmin seperti biasanya.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu pergi, Pak. Nggak tahu ke mana. Nggak bilang-bilang. Tahu-tahu ilang," Inem melaporkan.
"liang gimana"" Hendri mengerutkan kening karena menganggap sikap Inem genit dan tidak hormat. Tapi itu tentu salahnya sendiri karena sudah menidurinya. Inem sudah menganggapnya sebagai kekasih.
"Tadi saya tidur siang. Bangun-bangun Ibu udah nggak ada. Pintu dikunci dari luar. Saya nemu kuncinya di lantai."
"Ya sudah. Orang pergi aja diributin. Mungkin tadi dia mau bilang sama kamu, tapi kamu molor!"
"Biasanya sih Ibu nggak suka ke mana-mana."
"Sudah. Jangan bawel."
Inem pergi dengan kecewa. Bila Yasmin tidak ada di rumah, mestinya mereka berdua bisa lebih leluasa. Ia sudah berdandan rapi untuk menyambut kepulangan
106 Hendri. Mumpung Yasmin belum pulang. Tapi Hendri sama sekali tidak menyentuhnya.
Hendri bergegas ke kamarnya. Barangkali Yasmin meninggalkan pesan di sana. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Perasaannya kurang enak. Buru-buru ia membuka lemari pakaian lalu memeriksa. Ia menyimpulkan isinya masih lengkap. Koper juga ada. Jadi tak mungkin Yasmin minggat. Entah kenapa ia berpikir begitu. Padahal orang pergi itu wajar saja karena hari belum berganti. Mungkin perginya baru beberapa jam saja.
Yang membuat perasaannya kurang enak adalah kondisi Yasmin. Ia tahu betul Yasmin sedang sakit karena hubungan seksual semalam. Apakah Yasmin marah" Tapi ia menganggap kepergian Yasmin itu juga menandakan bahwa sakitnya mungkin tidak terlalu serius. Kalau benar-benar sakit seperti yang biasanya dipertontonkannya di rumah, mustahil Yasmin bisa turun ke jalan. Apakah ia tidak malu atau khawatir kenapa-kenapa"
Untuk pertama kalinya Hendri menyadari bahwa Yasmin memang jarang ke luar rumah seperti yang dikatakan Inem. Ia sendiri jarang mengajak, sedang Yasmin tidak punya kegiatan di luar. Pernah Yasmin mengatakan ingin bekerja. Ia sarjana
ekonomi. Tapi kemudian ia merasa terhalang oleh sakitnya itu. Bagaimana bisa bergiat di luar rumah kalau di dalam rumah saja jalannya sudah seperti itu" Memang ada saatnya Yasmin pulih, tapi setelah itu berulang lagi setelah berhubungan seks. Tak ada habisnya bagaikan lingkaran.
Meskipun menyadari kondisi Yasmin itu sebagai akibat perbuatannya, Hendri tidak merasa bersalah. Ia tetap beranggapan bahwa Yasmin lembek dan
107 cengeng. Lama-kelamaan Yasmin pasti bisa menerima bahkan menikmati. Hendri yakin, otot-otot vagina Yasmin masih kaku. Tak bisa mulur dan mengerut seperti karet elastis. Jadi ia membutuhkan waktu. Karena itu menurut pendapatnya, selama menunggu kemampuan adaptasi otot-otot itu, kegiatan harus berjalan terus. Bila dihentikan bisa menjadi kaku lagi. Maka Yasmin harus dipaksa untuk menerima.
Sesungguhnya ia bangga akan kejantanannya. Perempuan lain memuji, kenapa Yasmin malah sebaliknya" Baginya, reaksi Yasmin itu bukannya membangkitkan iba tapi perasaan terhina! Sebenarnya ada juga rasa heran. Kenapa situasi sekarang jadi berbeda sekali dibanding saat berpacaran dulu" Ke mana cinta yang menggebu dan perhatian besar yang dulu dirasakan dan dicurahkannya kepada Yasmin" Mestinya kalau ia masih cinta ia akan merasa khawatir. Sudah pudarkah cintanya" Singkat sekali umurnya. Ternyata cinta begitu sementara sifatnya. Mungkin itu tidak terjadi kalau saja Yasmin bisa mengimbanginya dalam masalah seks. Siapa sangka bisa terjadi hal seperti ini" Ia tak menyangka ada perempuan yang menganggap seks sebagai penderitaan.
Akhirnya ia memutuskan untuk tidak merisaukan kepergian Yasmin atau mencarinya. Nanti juga pulang sendiri. Memangnya mau ke mana" Ia yakin Yasmin tidak pergi ke rumah ayahnya yang bernama Winata. Ia sudah tahu perbuatan Winata dari cerita Yasmin. Sebenarnya ia menyayangkan retaknya hubungan Yasmin dengan Winata. Kata orang, Winata itu kaya. Tapi Yasmin sendiri tidak pernah mau bercerita mengenai apa dan siapa ayahnya itu. Padahal ia punya feeling bahwa Winata sebenarnya ingin berbaikan dengan Yasmin. Hal itu diindikasikan oleh
108 kedatangan Winata ke pesta pernikahan mereka. Yasmin sendiri tidak berniat mengundang ayahnya, tapi, Hendri membujuk dengan mengatakan bahwa apa pun yang telah terjadi Winata tetaplah ayahnya. Ternyata memang tidak sia-sia. Winata menunjukkan perhatiannya dengan datang sendirian ke pesta mereka. Winata tentu tak mau mengajak istri keduanya karena tak mau menyinggung perasaan Yasmin. Tapi bukan itu saja hasilnya. Winata memberi angpau gede!
Meskipun sudah memutuskan untuk tidak peduli, ingatan kepada Winata membangkitkan keingintahuan Hendri. Siapa tahu Yasmin memang ke sana. Hidup ini terkadang memberikan berbagai kejutan.
Ia mencari nomor telepon Winata lalu menghubungi rumahnya. Suara lelaki menyambutnya.
"Selamat sore! Bisa bicara dengan Pak Winata"" kata Hendri sopan.
"Dari mana, Pak""
"Saya Hendri, suami Yasmin."
"Tunggu sebentar, Pak."
Tak lama kemudian suara lelaki yang lain lagi terdengar, "Saya Winata. Ini suami Yasmin, ya"" "Betul, Pak." "Tumben."
"Bapak baik-baik saja""
"Seharusnya kau memanggilku Papa."
"Ya, Pa. Begini. Saya cuma mau nanya apakah Yasmin ada di situ, di rumah Papa" Tadi dia pergi tanpa pesan. Saya tidak tahu dia ke mana."
"Ah, bayangannya aja nggak ada tuh."
"Kalau begitu, mungkin dia ke tempat lain. Maaf sudah mengganggu, Pa. Selamat sore!"
"Tunggu dulu. Kebetulan kau nelepon. Aku mau
109 bicara. Mestinya sih sama Yasmin. Tapi karena dia nggak ada, biarlah sama kau saja. Siapa ya namamu"" "Hendri, Pa."
"Oh ya, Hendri. Jangankan namamu, wajahmu pun aku tak ingat lagi. Habis baru lihat sekali. Bagaimana keadaan Yasmin" Apa dia baik-baik saja""
"Baik, Pa. Dia sehat," sahut Hendri, lalu menjulurkan lidahnya.
"Kalian sudah punya anak""
"Belum, Pa." "Memang direncanakan""
"Nggak, Pa. Belum dikasih aja."
"Begini, Hen. Ngomong di telepon itu nggak leluasa. Bisakah kau datang sekarang" Masalahnya penting."
Hendri ragu-ragu sejenak. "Nggak bisa besok, Pa""
"Besok"" suara Winata meninggi. "Siapa tahu besok aku mati! Apa kau nggak tahu kalau keturunanku cuma Ya
smin seorang"" "Oh ya, baiklah, Pa," sahut Hendri buru-buru. "Sekitar satu jam lagi saya datang."
"Sudah tahu alamatku""
"Belum, Pa." "Ayo catat." Hendri jadi lebih bersemangat. Mungkin yang mau dibicarakan itu masalah warisan"
110 BAB 11 Di kamarnya, Delia sedang tiduran tanpa tertidur. Ia sedang merenungi hidupnya yang tinggal sebentar lagi. Biarpun tak menginginkan, ia berpikir lagi tentang penglihatannya di cermin tadi pagi. Bisa juga halusinasi. Tapi yang dipikirkannya sekarang bukanlah masalah kebenaran pengalaman itu. Ia tidak mau mempertentangkannya. Rasanya akan terlalu melelahkan. Lebih baik menerima saja sebagai suatu realitas. Tapi yang mengganggu pikirannya adalah perasaan bahwa sesungguhnya ia belum pasrah benar. Rama masih membayanginya walaupun Delia sudah meyakinkan diri bahwa sekarang ia sudah bebas dari wanita itu.
Mau tak mau Delia berpikir tentang kemungkinan Ratna punya kemampuan untuk menghambat upayanya. Ia bergidik membayangkannya. Adakah manusia yang memiliki kemampuan seperti itu" Apalagi bila orang itu adalah orang yang sudah ma. Dulu ia mengenal Rama sebagai orangtua yang otoriter. Agus sering bercerita tentang ibunya itu. Tapi sikap otoriter masih manusiawi. Belakangan Rama tidak lagi tampak manusiawi. Itu yang membuatnya jadi mengerikan.
Tiba-tiba Delia tersentak kaget. Tangannya yang disandarkan ke dinding bergetar nyeri seperti dialiri listrik. Ia menarik tangannya. Mungkinkah ada arus
111 pendek hingga dinding dialiri listrik" Meskipun ada pemikiran begitu, ia tidak mau mencoba lagi. Mungkin sebaiknya ia memanggil pemilik motel untuk memberitahu. Kalau sampai terjadi kebakaran bisa celaka.
Saat ia masih memikirkannya, ia mendengar suara tangisan yang memilukan. Sedih sekali bunyinya. Hatinya jadi serasa tersayat-sayat. Ia konsentrasi mendengarkan. Sepertinya suara itu datang dari kamar di sebelahnya, kamar 15 yang dihuni Yasmin!
Tanpa pikir panjang ia berlari ke luar.
Di lorong depan kantor, Erwin sedang wira-wiri untuk menghilangkan pegal-pegalnya karena duduk lama. Sambil melakukan hal itu, ia sekalian memikirkan apa yang mau dilakukannya bila Delia belum juga memberitahu keputusannya terhadap undangan makan malam yang disampaikan Kosmas. Hari sudah sore. Makanan harus dipesan dulu. Apakah sebaiknya menunggu atau bertanya dulu" Ia khawatir Delia ketiduran. Tiba-tiba saja ia melihat Delia melesat keluar dari kamarnya. Ia tertegun heran, tak segera bersikap. Barulah ketika ia melihat Delia mengetuk pintu kamar sebelahnya, dengan wajah cemas Erwin bergegas ke sana.
"Ada apa, Bu"" tanya Erwin.
"Aku dengar dia menangis," sahut Delia, lalu melanjutkan mengetuk sambil memanggil, "Yas! Yaaas! Kenapa""
Erwin ikut mengetuk pintu. Tak terdengar sahutan dari dalam.
"Aku khawatir dia sakit," Delia menjelaskan. Delia menempelkan telinganya ke pintu. Tapi ia tak lagi mendengar suara tangisan itu.
Erwin mempertimbangkan untuk membuka pintu
112 dengan kunci cadangan. Delia kembali mengetuk dan memanggil-manggil.
Mendadak pintu terbuka dan wajah Yasmin yang tampak kesal muncul di kerenggangan pintu yang dibuka sedikit.
"Ada apa"" tanyanya dengan tatap bergantian kepada Delia dan Erwin.
Delia mengamati wajah Yasmin. Ia tidak melihat bekas tangisan. Matanya tidak merah atau sembap. Ia yakin, orang yang menangis seperti yang tadi didengarnya pastilah sulit menghilangkan bekas-bekasnya dalam waktu singkat.
Tanpa rias wajah, Yasmin tampak seperti apa adanya. Berbeda dibanding awal kedatangannya. Ditambah dengan ekspresi bingung, ia kelihatan lugu tapi cantik.
Erwin terpesona sejenak, tapi kemudian buru-buru beringsut ke belakang Delia, berusaha tidak begitu kentara. Yang berinisiatif mengetuk pintu dan memanggil adalah Delia. Bukan dirinya. Ia cuma mau membantu.
Delia jadi malu. "Maaf, Yas. Tadi aku mendengar suara orang menangis. Kupikir kau sedang kesakitan. Jadi..."
"Aku nggak nangis kok. Mungkin di kamar sebelah satunya lagi," sahut Yasmin, menunjuk kamar 12.
"Yang itu kosong, Bu," Erwin yang menyahut. Delia perlu dibela.
"Lalu siapa yang nangis"" Delia jadi bingung.
Yasmin mengangkat bahu. Ia mengangg
ap tetangganya ini orang yang cepat tanggap. Mungkin terlalu cepat.
"Maaf ya. Aku sudah mengganggu. Apa kau sedang tidur""
113 "Nggak sih. Terima kasih atas perhatiannya, Kak," kata Yasmin ramah, menyadari kecanggungan Delia. Lalu ia mengangguk kepada Erwin kemudian merapatkan pintu dan menguncinya kembali. Kalau lupa dikunci bisa-bisa ada yang lancang masuk hanya karena merasa mendengar suara.
Setelah itu Yasmin menjatuhkan diri di tempat tidur. Baru sekarang ia memperlihatkan ekspresi yang sesungguhnya. Ia berkata pelan, "Aku memang sedang menangis. Sedih sekali. Tapi di dalam hati! Bagaimana dia bisa mendengar""
* * * "Aduh, aku jadi malu banget," kata Delia kepada Erwin.
Erwin menatap simpati. "Nggak usah malu, Bu. Itu berarti Ibu bermaksud baik. Mau menolong. Masa dengar orang menangis dibiarkan" Padahal tadi Ibu sempat membimbingnya, kan" Nggak heran kalau Ibu berpikir dia sakit."
"Tadi aku benar-benar mendengar tangisan, Pak."
"Panggil aku Erwin aja, Bu."
"Aku Delia," sahut Delia, terbawa oleh sikap Erwin.
"Boleh aku memanggil Kak Del""
"Tentu saja boleh," kata Delia senang. Mendapat teman itu menyenangkan.
"Aku percaya Kak Del memang mendengar tangisan. Mungkin dia malu mengakui." Erwin ingin" mengambil hati.
"Entahlah. Tapi kalau dia memang nggak sakit, itu lebih baik. Oh ya, aku mau kasih tahu, Pak, eh, Win. Barusan tanganku seperti tersengat arus listrik
114 waktu bersandar ke dinding. Jangan-jangan ada arusnya."
Erwin terkejut. Ia mengikuti Delia masuk ke kamarnya, lalu menempelkan tangannya ke dinding yang ditunjuk. Dari satu tempat ke tempat lain, berpindah-pindah. Ia menggelengkan kepala. "Nggak terasa apa-apa, Kak."
"Ah, masa"" Delia menghambur ke dinding lalu menempelkan tangannya juga. Kali ini ia tidak merasakan apa-apa. Seperti yang dikatakan Erwin. Ia surut dengan bingung. Ada apa dengan dirinya"
Erwin merasa iba. Sebenarnya ia juga heran akan kelakuan Delia. Tapi ia tidak memperlihatkan perasaannya.
"Sudahlah, Kak. Apa yang dilakukan Kakak itu bagus sekali. Segera bertindak bila merasakan kejanggalan. Daripada mendiamkan saja," ia menyemangati dan menghibur.
"Tapi nggak ada apa-apa. Aku cuma bikin heboh saja," keluh Delia.
"Jangan ngomong begitu, Kak. Jangan menyesali."
Pada saat Delia mengalihkan pandang darinya, Erwin memandang berkeliling ruangan. Dahinya berkerut. Tatapannya mengandung keprihatinan. Mendadak Delia memandangnya. Buru-buru Erwin mengubah sikap. Tapi Delia keburu melihat.
"Kenapa"" tanya Delia heran.
"Nggak apa-apa. Tadi mendadak sakit perut. Sekarang sudah hilang."
"Ah, masa sakit perut matanya ke mana-mana." Delia tidak percaya.
"Memang begitu kebiasaanku."
"Aneh." "Ya. Memang aneh."
115 Setelah pamit dan melangkah ke luar, Erwin- menahan langkahnya seakan ada yang kelupaan.
"Oh ya, Kak. Bang Kosmas nitip pertanyaan, bagaimana makan malamnya" Jadi dong, ya""
Delia baru teringat. "Kau ikut juga, Win""
"Iya dong. Masa nggak diajak""
Delia tertawa. "Tapi jumlahnya janggal dong. Masa bertiga. Itu angka yang nggak bagus."
Erwin terperangah. Sepertinya Delia setuju. Hanya masalah angka. Lalu siapa yang mau diajaknya lagi supaya menjadi empat orang"
"Apa sudah biasa pemilik motel mengundang tamunya makan bersama"" Delia bertanya lagi sebelum Erwin sempat berbicara.
"Nggak biasa sih, Kak. Cuma Kakak kami anggap tamu yang luar biasa."
"Luar biasa gimana""
"Terus terang, jarang ada tamu perempuan yang nginap sendiri. Memang ada yang datang sendiri tapi untuk menunggu pasangannya yang datang kemudian. Terus Kakak bawa kendaraan sendiri dari jauh. Biasanya perempuan kan ada pengawalnya," celoteh Erwin. Padahal tentu saja alasannya bukan itu.
"Kalau begitu mah bukan luar biasa. Yasmin itu juga nginap sendirian."
"Dia orang Jakarta."
Delia mendapat ide. Sebenarnya ia belum memutuskan untuk menerima atau tidak undangan makan malam itu. Sudah terpikir bahwa seharusnya ia menjaga jarak dari orang yang menaruh perhatian. Jangan beri harapan. Tapi ada keraguan. Bila ia masih bisa menyenangkan orang lain untuk hari ini, kenapa tidak" Ia takkan bisa melakukannya lagi di hari-hari berikutnya. Pasti ad
a yang sedih, tapi 116 setidaknya ia sudah disenangkan hari ini. Itu masih lebih baik dibanding sedih terus, baik hari ini apalagi besok.
"Aku punya ide, Win. Bagaimana kalau Yasmin diajak" Dia bisa menggenapkan jumlah."
Erwin setuju sekali. "Baik. Tapi kau yang ngajak, ya" Dan bila dia nggak mau, kau tetap mau, kan""
"Iya deh." Dengan gembira Erwin membawa kabar baik itu kepada Kosmas. Meskipun merasa senang, Kosmas agak kecewa karena ada tambahan orang baru. Apalagi itu adalah Yasmin yang diperkirakan sakit. Tapi bukan cuma itu yang dilaporkan Erwin.
"Aku merasa kamar empat belas itu ada isinya, Bang!"
Kosmas terkejut. "Apa maksudmu" Tentu saja kamar itu ada isinya. Delia, kan""
"Bukan itu. Kau tahu apa yang kumaksud." "Yang dulu""
"Entahlah. Aku tidak bisa membedakan."
"Apakah Delia merasakan sesuatu""
"Dia cuma heran kenapa kelakuannya aneh. Merasa mendengar tapi tidak ada. Merasakan sengatan tapi sebetulnya tidak ada juga."
"Apa dia ketakutan""
"Kelihatannya sih nggak."
"Win, aku khawatir dia akan mengalami gangguan lagi. Apa sebaiknya diberitahu saja supaya dia pindah ke kamar lain""
"Ah, jangan. Nanti dia marah sama kita kenapa diberi kamar yang itu."
"Oh iya. Wah, nggak enak rasanya ya, Win."
"Sudahlah, Bang. Tenang saja. Orang seperti Kak Del itu pasti bisa mengatasi."
117 "Kak Del""
"Oh iya. Aku sudah berteman dengannya, Bang," Erwin berkata bangga.
"Aku pengen juga, Win!" seru Kosmas iri.
Erwin tertawa. "Sabar, Bang. Giliranmu akan tiba. Sekarang aku pesan makanan dulu."
Kosmas mengamati adiknya yang berjalan menuju pintu gerbang dengan perasaan bangga. Tanpa adiknya itu, hidupnya pasti akan lain. Ia bersyukur ibunya menghadiahinya seorang adik pada saat semua orang menyangka dia akan menjadi anak tunggal.
* * * Usai mandi, Delia kembali mengetuk pintu tetangganya. Ia mengatasi perasaan tak enak mengingat peristiwa tadi. Tapi kali ini ia punya alasan yang lebih kuat. Sebenarnya ia juga punya alasan sendiri kenapa berniat mengajak Yasmin. Bukan karena baik hati, tapi karena penasaran dengan peristiwa tadi.
Ia yakin telinganya tidak salah. Jadi ia kesal karena Yasmin tidak mengaku hingga ia tampak bodoh. Apa salahnya mengaku saja" Ia tidak akan ikut campur urusan orang lain. Mungkin Yasmin malu karena kehadiran Erwin, sebagai pemilik motel. Karena itu bila berdua saja mungkin Yasmin mau berkata benar. Yang penting baginya hanya kepastian. Benarkah Yasmin menangis" Yasmin hanya perlu menjawab ya atau tidak. Itu saja.
Pintu kamar 15 terbuka. Yasmin pun baru selesai mandi. Masih tercium harum sabun mandi. Rambutnya agak basah. Belum disisir. Ia tidak kelihatan surprise melihat Delia. Mungkin sudah mengintip dari jendela.
118 "Ada apa, Kak"" tanya Yasmin. Kali ini lebih ramah.
"Begini, Yas. Kita diundang makan sebentar lagi oleh pemilik motel. Pak Kosmas dan Erwin. Mau, ya""
"Ada apa memangnya" Apa tamu lain diundang juga"" Yasmin heran.
"Aku nggak tahu ada apa. Tamu lain sih nggak diundang. Cuma kita."
"Cuma kita" Apa mereka bermaksud baik, Kak" Masa yang diundang justru perempuan sendirian""
"Makannya nggak di luar, Yas. Tapi di ruang makan motel ini."
"Kau nggak curiga, Kak""
"Cuma makan, apa salahnya""
"Makan aja sih nggak salah. Tapi gimana kalau makanannya atau minumannya dicampuri obat bius, lalu kita diapa-apain setelah nggak berdaya""
Delia tertegun sejenak. Tak menyangka pikiran Yasmin sejauh itu.
"Mereka kan punya usaha baik-baik. Mustahil mempertaruhkan reputasi untuk berbuat seperti itu. Kalau mau gituan, di sini kan banyak. Bisa melakukannya mau sama mau. Tak perlu paksaan."
"Siapa tahu. Ada film yang seperti itu."
"Film kan bohong-bohongan. Eh, jadi kau mau atau nggak""
Yasmin berpikir dulu. Andaikata ia bersedia, itu bisa jadi makan malam terakhir dengan orang-orang lain di luar suaminya. Kenapa tidak menikmatinya-saja" Tapi ia agak paranoid. Bukan mengada-ada dengan persangkaannya tadi. Ia takut jadi korban perkosaan. Mau mati tak bisa, malah diperkosa orang. Melarikan diri dari perkosaan, malah diperkosa lagi. Padahal sakitnya itu masih terasa.
119 Delia mengamati wajah Yasmin. Ia berusaha tidak pe
duli akan apa yang mungkin terpikir atau dirisaukan Yasmin.
"Bagaimana" Jangan-jangan kau mencurigai aku juga, ya"" tanyanya bergurau.
"Nggak sih, Kak. Baiklah, aku mau. Tapi... kita pakai baju yang ada saja, ya."
"Tentu saja. Kita kan nggak diundang makan di hotel bintang lima!"
Mereka tertawa. Kekakuan sudah mencair.
Dia simpatik, pikir Yasmin. Sepertinya enak dijadikan teman. Tapi apa gunanya punya teman sekarang" Sudah terlambat.
Mestinya aku tidak perlu berbuat seperti ini, pikir Delia. Jangan akrab dengan orang lain bila hidup tinggal sebentar. Tapi hidup ini memang aneh. Justru pada saat seperti ini, ketika ia bertekad tak mau hidup lebih lama lagi, muncul pengalaman yang menarik. Apakah itu bisa dianggap sebagai godaan agar ia membatalkan niatnya" Tapi mustahil membatalkan pada saat ia tak punya apa-apa lagi. Melanjutkan kehidupan itu memerlukan modal. Bayangkan saja wajah Ratna, maka tekadnya akan mantap kembali.
"Nanti kujemput kau," kata Delia kemudian. "Kita sama-sama ke ruang makan." "Baik."
Terpikir oleh Yasmin, pasti makanan itu belum sempat dicerna oleh tubuhnya nanti karena saat itu hidupnya keburu berakhir. Kasihan yang mentraktir karena niat baiknya jadi sia-sia.
"Eh, boleh nanya, Yas""
"Oh, boleh saja," Yasmin heran.
"Tadi siang itu apa kau betul-betul nggak nangis
120 waktu aku mengetuk pintu" Jangan salah paham, Yas. Aku cuma perlu jawaban ya atau tidak. Aku ingin kepastian, apakah pendengaranku nggak salah. Juga soal kewarasanku."
Yasmin tak segera menjawab. Ia merasa sulit berterus terang. Mustahil ia mengatakan bahwa ia memang menangis tapi di dalam hati. Kedengarannya tidak logis. Apalagi jawaban seperti itu bisa memancing pertanyaan berikutnya. Kok menangis dalam hati" Kenapa dan kenapa" Mencurahkan isi hati di saat sekarang ini tak ada gunanya.
"Bener, Kak. Aku nggak nangis waktu itu," katanya.
"Ah, kalau begitu aku yang nggak beres," keluh Delia.
"Mungkin saat itu ada yang pasang teve, Kak. Kan sekarang banyak sinetron yang suka nangis-nangis."
"Oh ya. Mungkin juga. Baiklah, sampai nanti."
Delia tidak puas, tapi tak bisa lain. Mungkin kejadiannya sama seperti halnya dinding yang dikiranya dialiri listrik tapi ternyata tidak. Ia harus menerima adanya keanehan dalam hidup sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Lagi pula, apa pedulinya"
Di kamarnya ia menghubungi kantor dengan interkom. Suara Kosmas menyambutnya. Delia memberitahu soal kesanggupan Yasmin untuk ikut serta makan malam nanti. Kosmas kedengaran senang.
"Tadi lupa ditanyakan, Bu. Apakah Ibu berpantang sesuatu" Udang misalnya" Atau Ibu vegetarian""
Delia tertawa. "Kalau memang begitu pasti aku sudah memberitahu."
"Syukurlah, Bu. Jadi sampai nanti."
121 Kemudian Delia mempersiapkan diri. Ia berdandan dengan rapi dan mengenakan pakaiannya yang terbaik. Ia tidak boleh mengecewakan para pengundangnya.
Sama dengan Delia, Yasmin pun melakukan hal yang sama. Semangatnya muncul. Tanpa sadar sakitnya hilang sebagian besar! Bahkan ia sempat menyesal karena tidak membawa pakaian lain. Terpaksa ia mengenakan pakaian yang tadi dipakainya saat datang. Mudah-mudahan tidak berbau. Untung saja ia membawa alat-alat riasnya dengan lengkap. Ia akan sekalian berdandan mempersiapkan diri menghadapi kematian, supaya tampak cantik biarpun sudah mati!
122 BAB 12 Hendri tertegun melihat rumah Winata. Rumah yang terletak di kawasan permukiman kelas menengah ke atas itu tampak megah dan mewah. Dengan melihat rumah seperti itu bisalah menyimpulkan bahwa pemiliknya pasti orang kaya.
Mendadak muncul penyesalan di hati Hendri kenapa mertua sekaya itu sampai dimusuhi. Ia juga tidak pernah berbuat sesuatu untuk membujuk Yasmin agar mau berbaikan dengan ayahnya. Bukankah Yasmin merupakan anak satu-satunya Winata, seperti yang dikatakan sendiri oleh lelaki itu" Bila demikian, itu berarti dengan istri keduanya Winata tidak memiliki keturunan. Kesempatan yang bagus sekali buat Yasmin. Hendri sempat berangan-angan.
Ia disilakan masuk rumah. Kembali ia tertegun dan terpesona. Ruang tamu tampak berkilap dan berkilau. Dalam hati ia kembali menyesali kenapa tidak da
ri dulu membina hubungan dengan orang sekaya ini. Ia memang pernah mendengar bahwa ayah Yasmin itu kaya, tapi saat itu ia kurang peduli. Ia berpikir, biarpun kaya tapi bila sudah putus hubungan dan punya keluarga lagi pastilah Yasmin terlupakan. Tak ada harapan untuk Yasmin. Siapa sangka sekarang keadaan berubah atau memang tidak ia perhitungkan.
123 "Sebentar lagi Bapak keluar, Pak," kata seorang perempuan setengah tua yang diperkirakan pembantu. "Ya. Terima kasih,"
Sekitar lima menit ia menunggu. Lalu terdengar suara berdesir. Ia melihat sebuah kursi roda meluncur dari dalam, mendekat ke arahnya. Seorang lelaki tua dengan wajah keras, tegas, dan berwibawa, duduk tegak. Rambutnya sudah menipis dan putih semua. Ia menjalankan sendiri kursi rodanya dengan menekan tombol di sandaran tangan.
Hendri segera berdiri. Ia mengulurkan tangan yang disambut dengan jabatan erat. Tangan Winata terasa lembap dan dingin.
"Duduklah," kata Winata.
"Bagaimana keadaan Papa"" tanya Hendri penuh perhatian.
"Kurang baik. Yas gimana" Apa dia sudah pulang"" "Belum, Pa."
"Jadi dia nggak tahu kau ke sini""
"Nggak, Pa. Saya sudah ninggalin pesan kalau dia pulang nanti."
"Apa kau nggak tahu dia pergi ke mana sampai bertanya kepadaku""
Wajah Hendri terasa memanas. Pertanyaan itu terasa tajam bagai interogasi.
"Soalnya dia pergi saat saya masih di kantor. Nggak meninggalkan pesan atau telepon."
"Tahukah kau bahwa rumahku merupakan tempat yang paling tipis kemungkinannya untuk dia datangi""
"Tahu, Pak. Saya sudah menelepon ke tempat lain yang kira-kira dia datangi, tapi nggak ada," Hendri berbohong.
"Mungkin saja dia pergi berbelanja. Belum lewat sehari, kan""
"Ya. Mungkin saja, Pak. Saya mencarinya karena ingin tahu saja."
"Nyarinya sampai ke sini. Itu berarti kau cukup risau, ya" Atau perhatianmu memang sangat besar hingga ditinggal sebentar saja sudah bingung."
"Saya nggak bingung, Pak."
Hendri merasa tidak nyaman karena tatapan Winata yang tajam menyelidik. Ia datang ke situ bukan untuk didera pertanyaan bertubi-tubi.
"Bajunya ada" Kopernya""
"Semua ada, Pa."
"Nah, kenapa perlu dirisaukan" Apa kalian habis bertengkar""
"Nggak juga, Pa."
"Bertengkar sih jamak. Tergantung sebabnya. Tapi... yah, sudahlah. Bukan hakku menanyaimu. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada Yasmin. Lagi pula memang kebetulan kau menelepon aku. Ada hikmahnya. Kalau tidak begitu, kau pasti tidak akan menelepon, kan""
"Betul, Pa." "Baiklah. Langsung ke tujuan saja. Begini. Aku ini sudah tua. Sakit-sakitan, lagi. Mungkin liang kubur sudah di depan mata. Tapi kalau masalahku dengan Yas belum selesai, bagaimana aku bisa mati dengan tenang" Aku perlu ketemu dan berbaikan dengannya. Tapi dia itu keras kepala. Ya, sama kayak aku. Dia juga pendendam. Mana pernah dia menelepon atau datang ke sini" Aku mau menelepon juga nggak tahu nomornya atau di mana alamat kalian."
Hendri buru-buru mengeluarkan kartu namanya dari saku. Ada alamat rumah, kantor, dan nomor telepon keduanya. Setelah menuliskan nomor HP Yasmin, ia menyodorkan kartu nama itu kepada Winata. Lelaki tua
125 124 itu mengamati sebentar, kemudian menekan sebuah tombol di dinding. Seorang lelaki bertubuh pendek, gempal, dan berwajah bulat cepat-cepat keluar.
"Ini, Yo. Simpan baik-baik," kata Winata sambil menyodorkan kartu nama yang diberikan Hendri.
Sesudah menerima kartu itu, lelaki gempal itu menghilang ke dalam. Kemudian pembantu perempuan yang tadi keluar membawa gelas berisi minuman. "Silakan, Pak," katanya setelah meletakkan gelas di meja.
"Terima kasih, Bu."
"Ayo minum dulu," Winata menyilakan.
Setelah Hendri selesai minum, Winata melanjutkan, "Apa dia pernah bercerita tentang aku kepadamu""
"Pernah. Tapi tidak banyak, Pak. Dia tidak mau cerita banyak. Hanya sepintas."
"Sepintas gimana"" Winata tidak puas.
"Katanya, Papa mengkhianati dia dan ibunya. Jadi dia sudah putus hubungan dengan Papa. Hanya itu. Saya nggak berani nanya banyak-banyak. Kelihatannya dia nggak suka."
Winata menghela napas. "Ya, dia memang begitu. Tapi mana mungkin ayah dan anak putus hubungan" Itu cuma berlaku buat suami-istri. Sekarang kita bicara te
ntang posisimu. Sebagai menantu, kau tak ubah anakku. Kuharap kau tidak ikut-ikutan membenciku."
"Nggak, Pa." "Bagus kalau begitu. Kau bisa jadi penengah yang baik. Kuharap kau bisa membujuknya agar mau memaafkan aku dan hubungan kami bisa jadi baik lagi."
126 "Ya, Pa. Akan saya usahakan." Hendri menyanggupi dengan ringan. Ia yakin tidak akan sulit membujuk Yasmin.
"Masalah yang paling penting adalah hartaku. Keturunanku satu-satunya adalah Yas. Cuma dia yang berhak mewarisi."
"Bagaimana dengan istri Papa""
"Oh, kami sudah bercerai. Tepatnya dia kuceraikan. Sekarang dia sudah kawin lagi dengan selingkuhannya. Hukum karma buat aku. Dengan dia aku tak punya anak. Jadi yang tinggal cuma Yas seorang. Tapi bagaimana kalau hubungan kami seperti ini" Dia tidak mau mengakui aku sebagai ayahnya. Tidak bisa begitu, kan" Tentu dia memang anak kandungku, tapi kalau dia tidak mau mengakui, bagaimana aku bisa mewariskan hartaku kepadanya" Aku punya harga diri juga dong. Aku tahu, kalau aku mati, dengan sendirinya hartaku jatuh pada Yasmin sebagai keturunanku satu-satunya. Orang mati tak bisa apa-apa lagi. Tapi sekarang, selagi masih hidup aku bisa berbuat sesuatu. Misalnya aku bisa menghibahkan sebagian besar hartaku pada badan amal dan kusisa-kan sebagian kecil sebagai biaya hidupku menjelang ajal. Bila itu terjadi, Yas hanya akan mendapat sedikit atau tidak sama sekali kalau keburu habis. Jadi terserah dia, mau dapat seutuhnya atau sedikit. Kalau mau yang utuh, dia harus baikan dulu denganku. Jadi bujuklah dia, Hendri. Gimana caranya terserah kau."
Hendri termangu sejenak. Ia tidak menyangka masalahnya seperti itu.
Winata melanjutkan, "Sekarang ini, kondisi kesehatanku sudah tidak memungkinkan aku aktif lagi di perusahaanku. Pernah dengar tentang PT Wahana"
127

Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu perusahaan pemegang lisensi pembuatan suku cadang mobil merek Jepang. Sekarang aku cuma jadi pemegang saham terbesar di situ. Nilainya besar. Tambah rumah ini dan beberapa harta tak bergerak lain. Sayang kalau dikasih ke orang lain, kan""
Hendri mengangguk-angguk dengan takjub. Winata senang melihat ekspresi Hendri yang tampak tertarik. Mana ada orang yang tak tertarik dengan iming-iming harta" Tapi ia menjadi murung kalau teringat bahwa Yasmin belum tentu tertarik. Mungkin dendam Yasmin lebih besar daripada ketertarikannya. Jadi peran si suami ini sangat penting.
"Tentu saja sayang sekali, Pa," Hendri membenarkan. "Saya akan berbicara dan membujuk Yasmin."
"Pakai strategi, Hen. Jangan cuma bicara. Kau suaminya, jadi pasti tahu di mana kepekaan dan kelemahannya."
Hendri tersenyum. Tentu saja ia tahu.
"Baik, Pa. Saya akan segera memberi kabar."
"Jangan lama-lama lho. Jangan lebih dari sebulan. Kalau lebih dari sebulan, aku menganggap Yas tidak mau."
"Baik, Pa." Pulang dari rumah Winata, jantung Hendri berdegup lebih kencang. Ia bersemangat sekali. Tentu ia pernah mendengar perihal PT Wahana. Itu perusahaan besar. Angan-angannya kembali melambung tinggi. Tapi semua itu tergantung pada Yasmin. Ia harus bisa membujuknya. Tiba-tiba ia teringat bahwa perlakuannya kepada Yasmin selama ini jauh dari baik. Ia menyesal. Bahkan sekarang ia tidak tahu di mana Yasmin berada!
Dengan ponselnya ia menelepon ke rumah. Inem yang menyahut mengatakan bahwa Yasmin belum
128 pulang dan belum pula ada kabarnya. Tapi Hendri tidak merasa khawatir. Orang lemah dan cengeng seperti Yasmin tidak akan ke mana-mana. Ia juga tidak khawatir akan kemungkinan Yasmin bersehngkuh dengan orang lain. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya dengan orang lain kalau dengan suami sendiri saja sudah ketakutan dan kesakitan"
Ada kesimpulan yang menenangkan. Mungkin Yasmin ke dokter dan harus menunggu lama. Sedikit pun tak terpikir kenapa Yasmin harus pergi ke dokter bila ia memang pergi ke sana. Padahal orang yang pergi ke dokter itu pasti karena sakit. Bagi Hendri, sakit yang dialami Yasmin itu bukan jenis sakit yang perlu dikhawatirkan. Tak perlu berobat pun akan sembuh sendiri.
* * * "Apa kaupikir menantuku itu bisa membujuk putriku, Yo"" tanya Winata kepada Aryo, perawat pribadinya.
Lelaki bertubuh pendek gempal
dan berwajah bulat itu tersenyum. Wajahnya tampak semakin lebar.
"Mudah-mudahan saja bisa, Pak. Teleponnya itu saja sudah pertanda baik."
"Baik memang. Aku tak perlu lagi memasang iklan. Cuma aku masih merasa aneh, kenapa dia sampai nelepon ke sini. Pasti bukan kebetulan belaka atau karena tiba-tiba ingat sama aku, padahal dia nggak kenal aku. Dia nelepon pasti karena putus asa nggak bisa menemukan Yas. Masa orang pergi belum lewat sehari saja sudah dicemaskan. Cuma kepengen tahu, katanya. Aku nggak percaya."
"Barangkali dia sangat mencintai Bu Yas. Jadi selalu khawatir."
129 "Ah, aku kok nggak percaya, Yo. Selalu mengkhawatirkan itu kan nggak baik. Memangnya Yas itu anak kecil yang bisa kesasar atau nggak bisa pulang sendiri""
"Mungkin nanti malam perlu ditelepon, Pak. Untuk mencari tahu apakah Bu Yas sudah pulang atau belum."
"Maunya sih begitu, Yo. Tapi kalau Yas memang sudah di rumah lalu menerima telepon, dia bisa mengenali suaraku. Sebaiknya dia dibujuk suaminya dulu. Sudahlah. Kalau ada apa-apa tentunya Hendri akan memberitahu."
Winata termenung. Aryo menemani tanpa berbicara. Ia tahu kapan perlu bicara dan kapan tidak. Dalam hati cuma bisa berharap yang terbaik bagi majikannya dan Yasmin.
130 BAB 13 Ruang makan motel itu tampak sederhana tapi bersih. Dindingnya putih seperti semua dinding yang lain. Sebuah lukisan bunga krisan putih dan kuning tergantung di dinding satu-satunya hiasan yang melekat di dinding. Meja makan berbentuk oval ditutup taplak katun warna gading berukuran oval juga dengan bordiran sepanjang tepinya. Taplak itu tampak antik tapi cantik. Bekas lipatannya yang dalam dan kelihatan tak bisa licin walaupun disetrika menandakan sudah lama disimpan dan jarang dipakai.
Mereka berempat duduk mengelilingi meja. Tidak ada yang duduk di ujung meja bagian lonjongnya. Posisinya dianggap kejauhan supaya bisa mengobrol. Delia dan Yasmin duduk berdampingan di satu sisi sedang Kosmas dan Erwin duduk berdampingan, di seberang mereka.
Tak lama setelah duduk Erwin terkejut ketika matanya menatap tangan kiri Yasmin. Di jari manisnya melekat sebuah cincin polos. Padahal sewaktu baru datang ia tidak melihat adanya cincin di jari itu. Jadi Yasmin sudah kawin" Erwin merasa agak kecewa, tapi berusaha menyembunyikannya. Hari itu ia ingin menggembirakan Kosmas.
"Jadi motel ini memang sudah tua seperti kelihatannya," kata Delia.
131 "Oh ya. Tapi belum bisa dibilang antik. Baru satu generasi tuanya. Orangtua kami yang membangun. Tadinya tanah kebun. Tanah ini punya kemujuran sendiri. Selalu selamat dari gusuran. Perluasan jalan, bikin jembatan, bikin jalan tol, bikin apa kek. Nggak pernah kena," cerita Kosmas.
"Kalau begitu, ini namanya motel yang pintar berkelit," komentar Delia.
"Setelah Papa nggak ada, Mama yang melanjutkan. Waktu itu kami masih SD. Setelah jadi sarjana kami nggak mencoba pekerjaan lain, tapi membantu Mama sepenuhnya. Pendidikan memang disesuaikan untuk itu. Bang Kos sarjana perhotelan. Aku sarjana ekonomi," tutur Erwin.
"Kompak sekali," kata Yasmin.
"Apa kalian nggak pernah berantem"" tanya Delia.
"Tentu saja pernah," sahut Erwin. "Tapi akhirnya selalu baikan lagi. Punya usaha bersama kan harus rukun."
"Nggak pernah mikir usaha yang lain"" tanya Delia.
"Belum," jawab Kosmas. "Kami merasa mantap di sini. Tapi bukan berarti usaha ini selalu sukses. Ada pasang-surutnya. Hasilnya cukup untuk hidup sederhana bagi kami dan para karyawan."
"Padahal tempat ini strategis," kata Delia.
"Betul sekali, Bu. Kami sudah mendapat banyak tawaran menggiurkan kalau dilihat dari uangnya. Tapi buat apa uang banyak itu bagi kami dibanding tempat yang bersejarah ini""
"Mungkin kalian memang nggak ingin berpisah. Inginnya sama-sama terus. Pasti berkat jasa ibu kalian," kata Delia.
"Oh iya. Dia ibu yang hebat," Kosmas bangga.
132 "Kenapa kalian belum punya nyonya"" tanya Yasmin. Tadinya ia cuma mau mendengarkan, tapi lama-lama ingin juga ikut serta dalam pembicaraan. Tak enak diam saja. Nanti disangka sakit atau apa.
"Mungkin belum lahir," gurau Erwin.
"Ah masa" Disembunyiin, kali," balas Delia.
"Sungguh, nggak ada. Tepatn
ya, belum ada. Kami ini cowok berat jodoh," kata Kosmas sambil tersenyum, ingin memperlihatkan bahwa soal itu bukan masalah besar.
"Mungkin syaratnya berat," kata Delia.
"Kami nggak pakai syarat segala. Tapi kalaupun dibilang syarat, nggak berat juga," kata Erwin.
"Nggak berat gimana"" Yasmin ingin tahu.
"Syaratnya, mau menerima kami apa adanya. Kalau menerimaku berarti menerima Bang Kosmas juga sebagai saudaraku," jelas Erwin.
"Maksudmu satu cewek untuk berdua"" tanya Yasmin heran.
Mereka tertawa. Termasuk Yasmin. Pertanyaannya memang konyol.
"Begini," Kosmas ganti meneruskan. "Selama ini cewek-cewek yang kami pacari selalu berniat memecah kami. Mereka bilang, jangan bisnis sama-sama kayak gini. Nanti dicurangi lho. Jual saja. Hasilnya bagi dua, lalu masing-masing jalan sendiri-sendiri. Pendeknya, belum apa-apa sudah mau mengatur. Tapi, mungkin lebih baik begitu daripada telanjur kemudian."
"Kayaknya aku ngerti juga perasaan mereka, Bang. Mungkin mereka juga cemburu akan keakraban kalian."
"Ya. Mungkin. Ini nafkah kami bersama sejak lama. Jatuh-bangun bersama. Kalau mau cemburu,
133 mestinya juga pada tempat ini. Oh ya, Bu Del sudah memanggilku Bang. Boleh aku juga bersikap sama"" tanya Kosmas.
"Aku nggak mau dipanggil Bang."
"Tentu saja. Bukan itu." Kosmas tersipu.
"Ya. Panggillah namaku saja."
"Terima kasih. Dan..." Kosmas mengarahkan pandang pada Yasmin.
"Ya. Sama-samalah. Yasmin atau Yas saja," kata Yasmin tak acuh. Apa pedulinya dipanggil apa saja"
Erwin menatap Yasmin. "Maaf, Yas. Tadi kukira kau masih lajang. Rupanya nggak, ya""
"Aku sudah bersuami."
Tiga orang menatap Yasmin hingga ia tersipu. Tadi ia sengaja mengenakan cincin kawinnya yang semula dilepasnya. Maksudnya supaya tidak ada yang macam-macam.
"Kalau aku janda. Suami sudah lama meninggal. Demikian pula anak tunggal kami yang sudah meninggal duluan. Kegiatanku sekarang pengusaha garmen di Bandung," tutur Delia.
Delia mendapat tatapan simpati. Terutama dari Kosmas. Pikirnya, benarlah dugaannya bahwa Delia perempuan mandiri yang kuat. Ia terdorong sekali untuk memberi penghiburan. Memang Delia tidak terlihat membutuhkan itu, tapi siapa tahu hatinya" Oh, aku ingin sekali memeluknya lalu membelai kepalanya dan membisikkan kata-kata lembut.
Delia menatap sekelilingnya lalu tertawa. "Itu sudah lama berlalu. Orang tak bisa sedih terus-terusan. Hidup terus berjalan. Mau tak mau kita mesti menjalaninya."
Tapi di dalam hati ia berkata, "Maaf, aku bohong!" Yasmin buru-buru berkata, "Aku sih cuma ibu
134 rumah tangga. Itu saja. Nggak ada yang istimewa." Nadanya mengisyaratkan, "Jangan tanya lebih banyak!"
Erwin tidak menangkap isyarat itu. "Ada berapa anakmu""
"Belum punya!" sahut Yasmin agak ketus.
Erwin terkejut. Ia menutup mulutnya.
Delia cepat menyela, "Wah, nggak terasa waktu berlalu ya! Sudah malam nih. Kami harus pamit. Terima kasih banyak. Makannya enak sekali."
"Ya. Terima kasih," Yasmin menambahkan.
"Kami juga berterima kasih karena kalian mau memenuhi undangan kami. Padahal makanannya sederhana," kata Erwin.
Mereka berjalan beriringan di lorong menuju kamar. Kosmas dan Delia di depan, Erwin dan Yasmin di belakang.
"Kalau pertanyaanku tadi lancang, maafkan, Yas," kata Erwin pelan.
"Aku juga minta maaf," sahut Yasmin.
"Sama-samalah kalau begitu."
"Sudahlah," kata Delia. "Nggak usah diantar. Kami tahu jalan pulang."
Mereka berpisah. Kedua lelaki berbalik dan kedua perempuan berjalan terus.
Begitu masuk ke kamarnya, Delia duduk di tepi tempat tidur lalu menarik laci mejanya. Ia meraih amplop cokelat yang sudah ditulisi nama "Kosmas Motel Marlin". Tutupnya sengaja dibiarkan terbuka. Kalau besok mobilnya laku dijual, hasil penjualannya akan ia masukkan ke dalam amplop itu sebagai tambahan. Dengan membiarkan terbuka ia juga memudahkan orang yang mau membacanya.
Kalau mengenang acara makan malam tadi, ia
135 kembali merasa bersalah. Kasihan orang-orang itu. Kelihatannya Kosmas menyukainya. Tapi kalau ia melaksanakan niatnya besok malam, masihkah Kosmas menyukainya" Mungkin rasa suka itu berubah jadi benci. Di dalam suratnya ia memohon kepada Kosmas agar mau men
doakan arwahnya. Maukah Kosmas melakukannya"
Dulu ketika Adam pergi, dia dan Agus mendoakannya. Lalu ketika Agus pergi, dia yang mendoakannya. Nanti kalau tiba gilirannya, adakah yang mendoakannya" Pikiran yang membuat sedih. Jangan sentimental. Itu pasti cuma godaan agar ia membatalkan niatnya.
* * * Yasmin berjongkok depan tempat tidur. Ia merogoh ke kolong lalu menarik sebuah benda dari situ. Sebuah kaleng kecil sudah dibuka.
Tapi ia masih ragu-ragu apakah akan melaksanakannya sekarang atau tidak. Pukul sembilan malam belum terlalu larut. Orang-orang masih ada yang terjaga. Mungkin Delia juga. Justru Delia-lah yang harus diwaspadainya. Siapa tahu ia mengetuk pintu pada saat yang tidak diharapkan. Ada saja yang diperlukannya.
Ia menyukai Delia. Tapi sekarang ia tidak punya waktu lagi untuk menyukai seseorang. Sayang memang kenapa tidak dari dulu ia bertemu dengan orang seperti Delia. Atau Kosmas dan Erwin. Kelihatannya mereka orang baik.
Ia memutuskan untuk melaksanakan niatnya selepas tengah malam. Pada saat itu pasti Delia sudah tidur. Akan halnya Kosmas atau Erwin tak perlu dirisaukan.
136 Mereka tidak akan sembarangan mengetuk pintu kamar tamu. Tapi masih ada waktu beberapa jam sebelum saatnya tiba. Bagaimana mengisinya" Ia bisa tidur dulu. Tapi bagaimana kalau terus ketiduran sampai pagi"
Ia memilih duduk di lantai samping tempat tidur supaya tidak tergoda untuk merebahkan diri. Kedua lututnya ditekuk lalu dipeluk kedua tangannya. Kepalanya diletakkan di atas lutut. Bila tertidur ia akan mudah terbangun.
Apa yang tengah dilakukan Hendri di rumah" Apakah Hendri mencemaskan dirinya" Ke mana Hendri akan mencarinya" Ataukah Hendri memanfaatkan ketiadaan dirinya untuk bercinta dengan Inem"Lalu tiba-tiba ia teringat kepada ayahnya. Ia terkejut. Bukankah seharusnya ia berbaikan dulu dengan ayahnya sebelum "pergi"" Ada banyak peristiwa di mana orang dipaksa berpisah oleh maut yang datang mendadak hingga tak punya kesempatan untuk ber-maaf-maafan. Maut memang suka datang tanpa pemberitahuan. Itu wajar dimaklumi. Tapi dirinya tentu berbeda. Ia merencanakan sendiri kematiannya. Jadi seharusnya bisa melakukan persiapan. Harta memang tak bisa dibawa mati. Bagaimana dengan dendam dan kebencian" Apakah itu tidak menjadi beban"
"Papa! Aku minta maaf! Aku maafkan Papa!" serunya sambil mendongakkan kepala. Jadi ia akan pergi dengan tenang.
* * * Winata masih duduk di kursi rodanya menghadap televisi. Ada acara menarik kegemarannya. Ia di137 dampingi Aryo, yang menjadi teman diskusi dan curhat.
Saat itu tidak biasanya Winata menonton dengan diam. Aryo pun diam tak mau mengganggu. Kapan ia diajak bicara, baru ia menyahut. Ia memaklumi, pasti Winata masih memikirkan percakapannya dengan Hendri tadi sore. Atau Winata sedang risau karena Yasmin belum pulang ke rumah. Tadi ia menelepon ke rumah Hendri untuk menanyakan hal itu. Hendri yang menerima teleponnya, menyatakan bahwa Yasmin belum pulang. Menurut Hendri sebentar lagi ia akan berkeliling ke berbagai rumah sakit yang ada di Jakarta untuk mengecek korban kecelakaan. Dari jawaban itu sudah jelas bahwa kepergian Yasmin seperti itu tidak biasanya terjadi.
Aryo melirik. Jelas perhatian Winata tidak tertuju pada televisi. Sesekali kepalanya terangguk-angguk. Mungkin juga mengantuk. Tapi Aryo tidak berani menganjurkan untuk tidur saja. Winata tak mau diatur seperti anak kecil atau orang ma jompo. Ia akan tidur kapan saja ia mau.
Tiba-tiba Winata menegakkan kepala, lalu berseru, "Yaaas...! Yaaas...!"
Aryo terkejut. "Ada apa, Pak""
"Yasmin, Yo. Yasmiiin..."
"Kenapa Bu Yasmin, Pak"" tanya Aryo cemas.
Winata tidak menjawab. Ia bengong saja. Lalu ia menangis tersedu-sedu!
138 BAB 14 Delia tak kunjung bisa tidur meskipun bekernya sudah menunjukkan jam sebelas malam. Berbeda dengan malam kemarin. Padahal kalau dibandingkan dengan sekarang, situasi hatinya sama saja. Lama-lama jadi terasa menjengkelkan.
Akhirnya ia turun dari ranjang, menuju jendela, lalu menguak gorden. Sunyi sepi di luar. Pasti orang-orang sudah pada tidur. Suara gaduh masih terdengar jauh di jalan. Sebagai kota metropoli
tan, Jakarta tak pernah tidur. Sebagian orang masih bekerja, sebagian lagi masih membutuhkan hiburan.
Ia tahu, di motel ini masih ada yang belum tidur. Atau tidak tidur. Dia adalah orang yang bertugas di kantor. Barangkali ia bisa berbincang sejenak. Sekadar untuk mengisi waktu daripada bengong menunggu tidur yang tak kunjung datang. Mungkin ia sudah ditakdirkan agar memanfaatkan saat-saat akhirnya untuk berinteraksi dengan orang lain.
Delia membuka gaun tidurnya dan mengenakan kembali celana panjang dan blus yang barusan dipakainya, lalu ke luar kamar. Tapi ia masih ingat untuk mengunci pintu. Masih banyak uang tersimpan di kamarnya. Saat melewati kamar Yasmin ia menatap jendela, tapi tentu saja tak kelihatan apa-apa. Gorden menutup rapat dan lampunya sudah mati.
139 Delia terus melangkah ke kantor sambil menebak-nebak siapa yang akan ditemuinya nanti. Kosmas, Erwin, ataukah Adi. Ia tidak mengharapkan siapa-siapa. Ia hanya ingin berbincang. Barangkali mendengar cerita tentang sejarah motel, peristiwa menarik yang pernah terjadi, atau apa saja asal jangan ditanya tentang dirinya.
Ia melihat Kosmas sedang menonton televisi. Tampaknya asyik sekali. Delia berdeham di ambang pintu yang terbuka separuh.
Kosmas terkejut bagai kena sengatan listrik. Melihat Delia ia melompat bangun.
"Oh, Del! Ada masalah"" tanyanya cemas. "Inter-komnya nggak jalan""
"Nggak ada masalah. Aku tak bisa tidur, jadi lebih baik jalan-jalan."
Kosmas membuka pintu lebih lebar. "Ayo silakan masuk, Del."
Tanpa ragu-ragu Delia duduk di kursi yang ditempatkan Kosmas berhadapan dengan televisi.
"Nonton yuk" Filmnya seru nih," ajak Kosmas bersemangat. Kelihatan gembira sekali. Kedatangan Delia memang seperti mimpi untuknya.
Delia ikut menonton. Ia tak mau mengganggu keasyikan Kosmas dengan mengajaknya berbicara. Ia ikut menonton meskipun tidak menyukai filmnya. Baru setelah jeda iklan ia melayaninya berbicara.
"Sayang di kamar nggak ada teve ya" Kami nggak sanggup menyediakan. Nanti harga sewanya pun jadi mahal," kata Kosmas.
"Aku mengerti."
"Kenapa kau jadi nggak bisa tidur, Del" Kemarin kan nggak begini," Kosmas merasa waswas teringat
140 informasi Erwin bahwa kamar yang ditempati Delia. itu ada "isinya".
"Entahlah. Mungkin karena kekenyangan " Kosmas tertawa. "Jadi bukan karena kamarnya nggak nyaman""
"Bukan, Bang. Kamarnya kan sama seperti kemarin."
Kosmas mengangguk. Tentunya ia tak bisa menceritakan.
"Erwin sudah tidur"" tanya Delia. - "Sudah." Kosmas menunjuk pintu di dinding belakang kantor.
Delia terkejut. "Kamarnya di situ" Wah, apa nggak mengganggu nanti""
"Nggak, Del. Dia sih tidurnya lelap. Jangan khawatir."
Kebetulan film yang ditonton itu ceritanya mengenai kisah supranatural yang dibuat seilmiah mungkin. Di saat jeda iklan Kosmas menceritakan bagian depan film yang terlewatkan oleh Delia. Dengan demikian ia bisa memahami jalan ceritanya.
"Kau percaya pada kutukan"" tanya Delia, usai film.
Kosmas menggaruk-garuk kepalanya. "Wah, susah jawabnya, Del. Aku nggak punya pengalaman sih. Jadi percaya nggak percaya."
"Jadi belum pernah dikutuk orang""
Kosmas menatap heran. "Belum tuh. Tapi jangan ah. Takut."
"Kalau takut artinya percaya."
"Kan aku bilang, percaya nggak percaya. Siapa tahu. Tapi kalau aku dikutuk jadi kodok sih pasti nggak percaya." Kosmas tertawa. "Kenapa jadi nanya begitu, Del""
141 "Film tadi seolah membenarkan, bukan" Mungkin juga tergantung pada siapa yang mengutuk dan seberapa intensnya."
"Ah, namanya juga film, Del. Cerita itu kan karangan orang. Supaya menarik dibikin macam-macam. Jangan mikirin hal semacam itu, Del!"
"Memang nggak dipikirin. Tapi ada yang mirip dengan..." Delia tidak melanjutkan ucapannya. Kele-pasan. Begitu enaknya berbincang hingga rasanya dia ingin sekali curhat. Padahal kalau dipikir panjang sedikit memang tak ada gunanya lagi, baik bagi dirinya maupun bagi pendengarnya. Bahkan bisa jadi beban bagi orang yang mendengar kalau ia sudah tidak ada. Kasihan Kosmas.
"Mirip dengan apa, Del"" Kosmas penasaran.
Delia menoleh, mengamati wajah Kosmas. Di wajah yang kasar itu ia melihat sesuatu yang sudah lama tak diju
mpainya, yaitu perhatian tanpa pamrih. Bukan sekadar basa-basi bagi seorang tamu. Kesan itu menimbulkan dorongan. Kenapa tidak" Apalagi dengan mencurahkan isi hati bukan berarti ia akan mengubah keputusannya. Ia hanya mendapatkan kelegaan batin, bukan penyelesaian masalah. Mungkin ia lebih baik mati dengan batin yang lega, jiwa yang lapang. Bisakah itu"
"Mirip dengan kehidupanku, Bang."
Kosmas terkejut. Ia menatap Delia seolah baru pernah dilihatnya.
"Siapa yang mengutukmu""
"Ibu mertuaku."
Kosmas lebih terkejut lagi. Delia bicara serius. Demikian pula orangnya. Jadi pastilah tidak mengada-ada.
"Kenapa bisa begitu, Del" Apa dia mencelakakan-mu" Ada buktinya""
142 "Oh, tentu ada. Suamiku, anakku, dan hidupku."
Setelah mengatakan itu, Delia merasa lega. Selama ini ia tak pernah mengatakannya kepada siapa pun, meskipun orang-orang sekitarnya, saudara-saudara Agus, merasakan hal yang sama. Jadi karena sudah tahu sama tahu, tak perlu lagi dikatakan. Ternyata menyuarakannya dengan kata-kata, justru kepada orang yang baru dikenal, bisa teramat melegakan. Seperti mengeluarkan sumbatan di kerongkongan.
"Del, kematian itu di tangan Tuhan. Bukan pada kutukan. Atau lidah berbisa seseorang."
"Ya. Mestinya begitu," sahut Delia datar.
"Mestinya"" seru Kosmas. Ia menggelengkan kepala lalu meraih tangan Delia yang dipegangnya dengan erat. "Bukan mestinya, Del! Tapi memang begitu! Percayakah kau kepada Yang Mahakuasa""
"Percaya." "Nah, karena Dia mahakuasa, maka Dia-lah yang menentukan kematian."
Delia tersenyum pahit. Ia tak ingin berdebat soal itu. Tunggu saja. Lihat nanti. Aku bisa menentukan kematianku sendiri. Semua orang bisa kalau mau dan berani!
"Kenapa kau tidak melawannya"" tanya Kosmas, masih penasaran.
"Tidak ada gunanya. Selama ini aku sudah melawan, Bang."
"Kalau kau di pihak yang benar, jangan takut, Del."
"Aku tidak takut. Tapi dia itu... oh, kau tidak tahu seperti apa dia itu." "Seperti apa"" "Seperti bukan manusia."
143 "Ah..." Kosmas terperangah. "Bukankah dia sudah ma""
"Tentu saja. Umurnya tujuh puluh. Dia nenek sihir!" Kosmas terkejut. Kali ini mulutnya sempat ternganga.
"Apakah dia dukun, tukang santet, atau apa""
"Kayaknya bukan. Mulutnya jahat. Bertuah."
"Kalau dia mengurukmu, tentu karena dia membencimu. Dan itu pasti karena kau tidak memberi apa yang diinginkannya."
"Betul sekali, Bang. Kau menduga tepat! Yang diinginkannya adalah harta! Ah, sudah larut malam. Sebaiknya aku kembali ke kamar. Terima kasih mau menemani ngobrol, Bang."
"Kalau belum ngantuk, ngobrol lagi saja, Del."
"Oh, aku sudah ngantuk, Bang!"
Kosmas mengantar Delia ke luar kantor.
"Del, bolehkah aku memberi saran"" tanya Kosmas, menahan langkah Delia.
Delia menatap Kosmas dengan pandang bertanya.
"Berdoalah! Minta bantuan kepada-Nya!"
Delia tersenyum, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Kosmas kembali ke kantornya dengan perasaan iba. Siapa sangka Delia yang tenang dan mandiri itu punya persoalan ruwet. Di kantor ia melihat Erwin keluar dari kamar.
"Kau pasti sudah mendengarnya," kata Kosmas.
"Ya. Cerita kutukan. Menarik."
"Ceritanya baru sedikit."
"Besok ajak dia ngobrol lagi."
"Sekadar ingin tahu atau apa""
"Ingin membantu dong, Bang! Apa kau tidak ingin juga""
144 "Tentu saja. Tapi dalam soal itu aku tidak tahu bagaimana membantunya. Aku cuma memberi saran kepadanya agar dia berdoa dan rninta bantuan-Nya."
"Kupikir, itu bagus!"
* * * Sebenarnya Delia belum mengantuk. Ia masih ingin mengobrol. Ajakan Kosmas itu terasa sangat menggoda. Tapi ada kekhawatiran kalau-kalau ia akan kelepasan bicara.
Saat melewati kamar Yasmin ia berhenti mendadak. Bulu romanya serentak berdiri. Kedua telinganya bergetar. Ia mendengar raungan kesakitan seperti orang tersiksa. Luar biasa mengerikan. Ia menoleh ke kiri-kanan. Tapi sekitarnya sepi-sepi saja. Akhirnya tatapannya mengarah ke jendela kamar Yasmin. Ia lari ke sana, lalu menempelkan telinganya ke kaca nako. Dari situ ia berlari ke pintu, menempelkan telinganya ke daun pintu.
Ia terkejut karena bunyi itu kedengaran lebih jelas. Salah dengar lagikah" Ia tidak peduli. Tangannya menjangkau hendel pint
u dan mencoba membukanya. Tapi terkunci dari dalam. Sadar harus melakukan sesuatu secepatnya ia berlari seperti angin menuju kantor.
Kosmas dan Erwin terperanjat melihat wajah Delia yang pucat dan rambutnya kusut.
"Cepat! Tolong Yasmin!" seru Delia dengan tangan menggapai-gapai dan menunjuk-nunjuk.
"Kenapa dia""
"Dia meraung kesakitan. Pintunya dikunci!" Sementara Kosmas dan Delia berlari menuju kamar Yasmin, Erwin mengambil kunci cadangan berikut
145 sebatang kawat yang selalu tersedia. Lalu ia berlari menyusul.
Kosmas menempelkan telinganya ke daun pintu. Ia mengangguk. Delia merasa lega karena kali ini ia tidak salah.
Kosmas mengetuk pintu. "Yaaas!" panggilnya.
"Yas! Bisa buka pintu"" seru Delia.
"Sudahlah," kata Erwin. "Nanti pada bangun semua. Biar kubuka pintunya."
Erwin memasukkan kawat ke dalam lubang kunci lalu memutar-mutarnya untuk menjatuhkan kunci yang menempel di sebelah dalam. Sesudah berhasil, ia memasukkan kunci cadangan.
Pintu terbuka. Mereka menghambur masuk. Segera tampak kekacauan di dalam. Yasmin sedang berguling-guling di lantai. Ia menyepak-nyepak dan menggeliat-geliat Raungannya sungguh menyayat hati. Bau racun serangga memenuhi kamar. Muntahan berserakan di berbagai tempat. Yasmin sendiri sangat kotor dengan muntahannya yang melekat di wajah dan rambut.
"Dia minum racun itu!" seru Delia.
"Cepat bawa ke rumah sakit!" seru Erwin.
"Waduh! Mobil di bengkel!" seru Kosmas.
"Pakai mobilku saja! Ayo gotong!" seru Delia. Ia berlari ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil dan tasnya. Pintu kamarnya terkunci, lalu ia menyadari kuncinya ada di sakunya. Sesudah mendapatkan apa yang diperlukan, ia berlari lagi ke luar untuk membantu membawa Yasmin.
Erwin mengemudi sedang Delia memangku Yasmin di kursi belakang. Erwin tentu lebih tahu di mana rumah sakit terdekat.
"Tahan, Yas! Tahan ya, Sayang"" ucap Delia.
Kosmas terpaksa tidak bisa ikut karena harus
146 menjaga motelnya. Membangunkan Adi perlu waktu. Ia tidak ingin membangunkan seluruh penghuni motel.
"Tahan, Yas! Kau dengar aku" Jangan menyerah! Kau tidak boleh mati! Mengerti, Yas" Dengar aku""
Delia terus mengoceh, berupaya menjaga kesadaran Yasmin. Sebungkus tisu sudah habis digunakan untuk membersihkan Yasmin dari bekas muntahan. Tak terlalu bersih tapi tak lagi sekotor tadi. Dirinya sendiri juga ikut kotor tapi itu tidak ia pedulikan. Yasmin sudah tidak meraung seperti tadi lagi. Hanya rintihan keluar dari mulutnya. Tangannya mencengkeram lengan Delia hingga Delia merasa sakit.
Perasaan Delia sangat aneh.
147 BAB 15 Kosmas sudah pernah mengalami peristiwa seperti itu. Tapi ia masih saja bingung. Kali ini berbeda dengan kejadian yang sudah-sudah. Dulu korban selalu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Waktu menemukannya memang sudah terlambat karena tak ada prediksi akan apa yang mau dilakukan korban. Sekarang korban masih hidup dan mudah-mudahan bisa tertolong. Sebab perbedaannya tentu karena dulu tak pernah ada tamu yang peduli seperti Delia.
Kenapa Delia tak bisa tidur" Padahal kemarin bisa. Tapi kalau Delia tidur nyenyak bisakah ia mendengar raungan Yasmin" Dan kalau ia tak peduli maukah ia bersusah payah menolong padahal sebelumnya kebenaran pendengarannya diragukan" Delia adalah orang yang spontan dan sangat peduli, pikirnya.
Tapi kekaguman itu harus disingkirkan dulu. Ia mencari alamat Yasmin di buku tamu. Nomor telepon yang ditulis Yasmin ia hubungi. Agak lama ia menunggu. Tak mengherankan. Pasti penghuninya sudah tidur. Tapi ia terus berusaha. Akhirnya usahanya berhasil. Suara lelaki yang mengantuk menyambutnya.
"Apakah ini kediaman Yasmin, Jalan Bola nomor 9""
"Bukan. Salah sambung, kali."
148 Kosmas mengulang lagi nomor seperti yang tertera di buku tamu.
"Nomornya benar, tapi alamatnya salah." "Maaf, Pak."
"Salahnya jangan diulang lagi, ya"" "Iya, Pak. Maaf."
Kosmas menyadari, Yasmin sengaja menulis nomor yang salah. Mustahil wanita itu tidak ingat atau keliru menuliskan nomor telepon rumahnya sendiri. Akhirnya Kosmas menghubungi polisi. Biarlah petugas yang selanjurnya menghubungi keluarga Yasmin di rumahnya. Polisi yang sudah berpengalaman
dengan peristiwa sebelumnya berjanji akan segera datang.
Sekarang Kosmas sudah pasrah dengan pengalaman berulang seperti ini. Biarlah motelnya kembali menjadi berita heboh. Yang penting ia bertindak benar. Lalu ia teringat bahwa tadi Delia lupa mengunci kembali pintu kamarnya. Ia harus menguncinya untuk menjaga jangan sampai ada maling memanfaatkan kesempatan.
Ia menghubungi kamar Adi untuk membangunkannya. Setelah menceritakan apa yang terjadi, ia memintanya segera ke kantor. Adi datang cepat. Masih mengantuk.
"Jaga sebentar ya, Di. Ada yang mau kuurus di kamar 14. Kalau polisi datang, hubungi aku di sana. Tapi aku nggak lama kok."
"Baik, Pak." Kosmas melihat kunci kamar 14 menggantung di sebelah luar. Tadi Delia membuka pintu dulu lalu masuk ke dalam. Setelah keluar ia cuma merapatkan pintu dan lupa menguncinya kembali. Semula Kosmas bermaksud mengunci pintu lalu menyimpan kuncinya untuk diserahkan pada Delia bila sudah kembali. Tapi muncul pikiran lain yang didorong oleh keinginta149 huan. Barangkali ia bisa mengenal Delia lebih dalam bila melihat suasana kamarnya.
Ia membuka pintu lalu masuk. Lampu kamar masih menyala. Perhatiannya tertarik pada meja kecil di samping tempat tidur. Ada peles obat di samping botol Aqua. Ia masuk, merapatkan pintu, lalu meraih peles obat itu untuk diamati. Isinya berupa. kapsul yang memenuhi seluruh peles. Apakah Delia sakit sampai harus minum obat atau cuma vitamin" Kalau vitamin tentunya ada labelnya. Ia meletakkan kembali peles itu di tempat semula.


Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iseng-iseng ia menarik laci. Tampak amplop cokelat di situ. Karena merasa tak enak, ia mengalihkan pandang tapi matanya kembali mengarah ke amplop itu. Sepertinya ia melihat namanya di situ. Setelah memelototkan mata, ia yakin memang namanya. Kepada Yth. Pak Kosmas Motel Marlin.
Jadi itu untuknya. Berarti ia berhak melihatnya. Ia meraihnya. Amplop itu lumayan tebal. Karena tak dilem, ia bisa membukanya dengan gampang. Di dalamnya ada sejumlah uang dan selembar kertas surat. Tulisan tangan dan singkat. Setelah selesai membaca ia memekik kaget. Jantungnya berdebar keras. Apa-apaan kau, Del"
Interkom berbunyi. Suara Adi.
"Pak! Polisi sudah datang."
"Ya. Aku segera ke sana."
Ia memasukkan kembali kertas surat ke dalam amplop, lalu memasukkan amplop ke dalam laci seperti semula. Sesudah itu ia bergegas ke luar, mengunci pintu, lalu memasukkan kuncinya ke dalam saku. Badannya terasa gemetar.
* * * 150 Yasmin mendapat pertolongan di ruang UGD Delia dan Erwin menunggu di luar.
"Tadi begitu buru-buru sampai lupa bawa HP," kata Erwin.
"Mau nelepon siapa"" tanya Delia.
"Bang Kos. Dia belum tahu kita ke rumah sakit mana dan bagaimana perkembangan Yasmin."
"Pakai saja telepon umum."
"Ya. Nantilah kita tunggu dulu apa kata dokter."
Lalu mereka sama-sama diam dengan pikiran masing-masing yang dipengaruhi peristiwa itu.
Bagaimana mungkin Yasmin juga berniat sama seperti aku" pikir Delia. Apakah itu merupakan pertanda agar ia membatalkan niatnya untuk saat ini atau mencari tempat lain" Kasihan betul Kosmas dan Erwin kalau peristiwa satu belum tuntas muncul lagi peristiwa sama dalam hitungan hari. Mungkin kedua orang itu mendapat perlindungan dari Yang Kuasa. Dia ingat, tadi Kosmas sempat menganjurkannya agar rajin berdoa. Mungkin Kosmas seperti itu juga. Apakah dia sendiri tidak seperti itu"
Sementara Erwin berpikir, betapa malang nasib motelnya. Kejadian buruk silih berganti. Ia berdoa semoga Yasmin selamat. Bukan semata-mata demi reputasi motel, tapi juga bagi Yasmin sendiri. Ia menyesal kenapa tidak bisa melihat lebih jeli kondisi Yasmin waktu datang. Sudah ada kecurigaan tapi diredam. Tapi memang serbasulit. Kalau sudah mencurigai, apakah sebaiknya menolak Yasmin" Wanita itu bisa saja melakukannya di tempat lain.
Delia mengamati wajah Erwin.
"Mudah-mudahan dia selamat," kata Delia. "Kayaknya dia nggak banyak minumnya. Pasti nggak
151 semua. Yang tumpah banyak. Dia juga muntah banyak sekali."
"Ya. Kelihatannya begitu. Untunglah kau mendengarnya."
"Untung memang. Coba kalau tadi aku nggak ngobrol dulu dengan Bang Kos. Atau tidur nyenyak. Atau justru
ngobrolnya kelamaan..."
"Aku tahu. Aku dengar dari kamar."
"Apa obrolan kami membangunkan kau""
"Nggak juga. Tapi materi obrolan itu menarik. Kalau nggak sih aku tidur lagi."
"Kenapa nggak keluar dan ikut mengobrol""
"Enakan jadi pendengar."
"Oh ya"" Erwin tidak mau mengatakan yang sebenarnya bahwa ia tidak ingin ikut hadir sebagai orang ketiga.
Percakapan mereka terhenti ketika seorang perawat mendekati. Mereka segera berdiri.
"Apa Bapak dan Ibu keluarga Bu Yasmin""
"Bukan. Kami temannya," sahut Delia cepat. "Bagaimana keadaannya""
"Oh, soal itu nanti dokter yang akan memberitahu. Bu Yasmin masih ditolong."
"Apa ada harapan, Sus""
"Kelihatannya begitu. Tapi jelasnya nanti dokter yang beritahu. Yang mau saya tanyakan adalah urusan administrasi."
"Jangan khawatir, Sus. Keluarganya sedang dibe-ritahu. Tapi untuk saat ini saya bersedia menalangi biayanya."
"Baiklah. Terima kasih, Bu. Tapi ini kasus percobaan bunuh diri. Jadi polisi harus diberitahu. Apakah sudah""
152 "Ya. Sudah, Sus. Saya dari pihak motel sudah tahu apa yang harus dilakukan," sahut Erwin.
"Baik. Terima kasih."
Perawat menghilang ke dalam ruangan.
"Kak Del, punya uang receh" Aku mau nelepon dulu," kata Erwin.
Delia membuka tasnya, memberikan Erwin se-genggam uang logam.
Belum lama Erwin pergi, seorang dokter pria keluar. "Ibu Delia""
Delia melompat berdiri. "Betul, Dok."
"Dia ingin bertemu Ibu."
* * * "Bagaimana di sana, Bang" Polisi sudah datang"" tanya Erwin di telepon.
"Sudah. Mereka masih memeriksa. Jadi kalian ke rumah sakit mana" Gimana Yasmin""
"Masih ditolong, Bang. Belum ada berita," sahut Erwin sambil memberitahu nama rumah sakit.
"Suami Yasmin akan dihubungi polisi. Gimana Delia, Win" Dia baik-baik saja""
Erwin tersenyum. "Tentu saja dia baik, Bang. Yang mesti dirisaukan itu Yasmin."
"Eh, awasi Delia, Win. Hati-hati. Dengar baik-baik. Dia juga bermaksud bunuh diri di motel kita!"
Erwin melotot. "Apa" Bagaimana kau bisa tahu""
"Tadi aku bermaksud mengunci kamarnya. Tapi aku iseng. Aku masuk dan melihat-lihat. Di dalam lacinya kutemukan amplop surat yang ditujukan buatku. Ada namaku di luar amplop. Jadi aku merasa berhak membacanya. Wah, mengejutkan, Win. Ternyata itu surat pernyataan bunuh diri. Dia juga
153 minta maaf karena telah menyusahkan kita. Lalu mohon agar kita mau mengurus jenazahnya dan mendoakannya. Di situ juga ada sejumlah uang. Katanya buat biaya mengurus jenazahnya. Aduh, Win. Kita kok apes amat ya""
"Kok bisa begitu ya, Bang" Nggak sangka Kak Del," keluh Erwin.
"Nanti kita bicara lagi. Yang penting kita sudah tahu niatnya. Jangan tunjukkan bahwa kita sudah tahu."
Erwin merasa tubuhnya lemas saat berjalan kembali ke ruang gawat darurat. Lututnya menekuk-nekuk. Ia serasa melihat awan gelap menyelubungi motelnya.
Delia memeluk Yasmin yang menangis tersedu-sedu. Delia membiarkan saja sambil membelai-belai kepalanya. Biar mereda dulu. Sesudah sedu sedan Yasmin berhenti, ia mengambil tisu lalu mengeringkan mukanya.
"Sudah, Yas. Sudah. Jangan nangis lagi ya. Masih sakit""
Yasmin mengangguk. Ia menunjuk lehernya. "Ya. Pasti sakit. Panas, ya"" "Ya, Kak."
"Sudah. Jangan ngomong, Yas. Istirahat dulu. Kalau sudah enakan baru ngomong. Atau mau nulis aja" Aku bawa kertas dan bolpoin." Delia meraih tasnya.
Yasmin menggeleng. Ia menarik tangan Delia dan-memeganginya.
"Jangan pergi, Kak."
154 "Nggak. Aku nggak akan pergi. Aku tetap mendampingimu, Yas. Jangan khawatir." "Aku takut dia datang." "Dia siapa"" "Suamiku."
Delia terkejut. "Jadi... kau melakukannya karena dia"" "Ya."
"Apa dia menyiksamu"" tanya Delia gusar.
Yasmin tidak menyahut. Wajahnya sedih. Bagi Delia itu sudah cukup sebagai jawaban.
"Jangan mau mati karena dia, Yas. Kau harus melawannya."
"Aku ingin mati, Kak. Tapi... hek-hek-hek..." Yasmin meraba lehernya.
"Sakit" Sudah, jangan ngomong lagi. Nanti saja ceritanya kalau sudah enakan."
"Minum dulu." Setelah minum pelan-pelan dengan wajah mengernyit pertanda sakit, Yasmin berkata pelan, "Aku masih bisa ngomong, Kak. Sakit sedikit nggak apa-apa. Aku mesti ngomong sekarang. Mumpung dia belum datang. Pasti dia datang, kan""
"Tentu. Im kal au dia bertanggung jawab."
"Aku pengen mati, Kak. Tapi nggak bisa. Aku malu. Aku mau cerita tapi jangan sampaikan ke orang lain, ya" Lebih-lebih pada suamiku. Pasti dia akan mencemooh."
"Aku janji, Yas. Percayalah. Tapi pelan-pelan saja ngomongnya. Jangan cepat-cepat."
"Kak, tadi aku takut sekali. Saat aku mulai minum racun itu, aku sudah mantap. Tiba-tiba aku melihat sosok hitam besar bersayap. Ada tanduknya. Ada buntutnya. Dia duduk di pojok mengamati. Dia
155 tertawa-tawa. Kulempar kaleng racun itu. Aku baru minum sedikit. Aku merasa sakit bukan main. Aku berusaha memuntahkannya. Lalu kalian datang..."
Delia terkejut. Cerita itu mengerikan sekali baginya. Tiba-tiba terpikir apakah ia pun akan mengalami hal yang sama seperti Yasmin.
"Kak, jangan cerita sama orang lain, ya""
"Tentu saja nggak. Aku sudah berjanji. Sekarang tentang suamimu. Eh, apa kau masih bisa meneruskan""
Delia merasa keingintahuannya bisa menyakitkan bagi Yasmin.
"Bisa, Kak. Sakit sedikit kok. Dia... dia, ah, malu ceritanya."
"Kalau begitu nanti saja, Yas. Biarpun suamimu datang, di sini dia nggak akan bisa macam-macam. Aku akan membantumu," kata Delia bersemangat. Rasanya ingin sekali memberi tonjokan pada si suami.
Yasmin memutuskan untuk bercerita. Setelah usaha bunuh dirinya gagal, ia sadar tak bisa lagi menyimpan masalahnya sendiri. Ia yakin, Delia orang yang cocok untuk berbagi. Walaupun ia tak bisa lepas, ada orang lain yang tahu. Maka ia bercerita. Tersendat pada mulanya. Lalu lancar kemudian.
Bagi Delia, cerita itu sungguh menggetarkan perasaannya. Ia belum pernah mendengar yang seperti itu selama hidupnya.
* * * Ruang UGD itu terbagi dalam sekat-sekat berupa tirai putih yang panjangnya nyaris mencapai lantai. satu tempat tidur dikelilingi tirai bila ada pasien yang sedang ditangani di situ. Tempat tidur Yasmin
156 pun dikelilingi tirai. Di sebelahnya ada tempat tidur yang kosong. Di situ Erwin duduk, asyik mendengarkan!
Kitab Ajian Dewa 1 Pendekar Hina Kelana 36 Misteri Patung Kematian Ramuan Ajaib 2

Cari Blog Ini