Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas Bagian 2
g lain... " Terngiang benar ucapan itu di telinga Pulung. Hebatnya, Ibu tidak mengadu pada Bapak. Kalau Bapak sampai tahu peristiwa itu, bisa disekap seminggu lamanya di kamar! Bapak suka nyetrap begitu. Seperti Pak Damsik saja. Tukang setrap.
Dan sekarang, Bapak diam saja di kursinya! Pasti sedang marah besar. Sedang merencanakan hukuman apa untuk Pulung. Benar saja. Begitu Pulung selesai makan, Bapak memanggilnya. Ibu meminta daun pembungkus nasi dan menyodorkan segelas air putih. Pulung meminumnya, lalu menghampiri Bapak. Ia duduk di kursi berseberangan meja dengan Bapak.
"Sudah makan"" suara Bapak berat sekali.
Nadanya rendah. Seperti suara Shazzan! Dulu, dulu sekali, ketika Pulung kecil dan baru ada televisi di halaman balai desa, ada film Shazzan. Jin yang baik hati, sahabatnya Chuck dan Nancy. Seperti suara jin baik hati itulah
suara Bapak. Orangnya pun tinggi besar. Heran, anaknya kok pendek begini"
"Sudah, Pak," gemetar suara Pulung. Selalu gemetar kalau Bapak berbicara dengan sungguh-sungguh begitu.
"Tahu kesalahanmu""
"Kesalahan... apa, Pak""
"Tidak merasa bersalah""
"Anu... eh..." "Buka bajumu!" Pulung kaget sampai berjingkat di kursinya. Ia melirik ke arah Ibu yang berdiri dekat meja makan. Wajah Ibu tegang. Cemas dia pada nasib anaknya. Tapi Ibu selalu diam. Tak pernah mengganggu Bapak. Apalagi kalau Bapak yang tinggi besar itu sedang marah. Paling Ibu akan menangis tanpa isakan.
Karena disuruh membuka baju, Pulung pun membuka bajunya. Bapak bangkit dan berjalan ke belakang rumah. Ia menyambar seutas tali rafia yang terselip di dinding. Bekas tali belanjaan. Pulung rnengikutinya tanpa disuruh. Ia bertelanjang dada. Telah mengganti celana sekolah dengan celana kolor hitam pakaian sehari-hari.
Bapak berdiri di dekat sumur. Banyak pohon pisang di situ. Pulung mendekat. Tangan Bapak menangkap tangan Pulung. Dipelukkannya tangan Pulung ke batang pohon pisang batu. Lalu diikatnya pergelanan tangan itu kuat-kuat dengan tali rafia. Ibu berdiri di pintu tanpa berkata-kata. Polan berdiri di sisi Ibu. Pucat wajahnya. Tapi dia pun tak berani berkata-kata.
"Ini yang paling pantas untuk maling!" geram Bapak. Ia berpaling pada Ibu dan katanya, "Kalau dia kehausan, guyur seember
air!" "Ya, Pak...," lirih suara Ibu.
Tiba-tiba ada suara ribut dari selatan. Itu suara Kakek Sakeh. Ia berteriak-teriak pada Bapak, "He Yan! Bayan! Apa-apaan kamu itu" He, Yan! Apa yang kamu bikin terhadap anakmu" Lepaskan! Lepaskan anak itu! Awas kamu, kalau tidak mau lepaskan!"
Bapak diam saja. Kakek Sakeh menaiki pagar bata pekarangan dari kayu-kayu petai cina. Celana komprangnya tercantol dahan pokok pagar. Ia jatuh terguling. Ibu menjerit dan berlari ke arahnya. Kakek Sakeh merayap bangun. Pulung melihat kejadian yang mengharukan itu. Tubuh renta terguling dan
merayap bangun, aduh! Seolah Pulung ikut merasakan sakitnya. Padahal dia sendiri tak kurang sakit. Diikat tangannya dengan memeluk pohon pisang, apa tidak sakit" Hati pun sakit rasanya. Lebih sakit lagi karena dia tidak bersalah.
"Polan!" Polan terkejut. "Ya... ya, Pak..."
"Pergi panggil semua anak yang kenal Pulung! Suruh mereka kemari! Nonton maling ditangkep!"
"Ta... tapi..."
"Pergi!" Bapak menghardik.
Polan lari secepat angin. Lari tak menoleh lagi. Sejauh-jauhnya. Ke selatan, tanpa dipikirkan lagi. Ke selatan saja.
Kakek Sakeh sampai di dekat Bapak. Ia marah sekali kelihatannya. Mata yang sipit karena keriput kelopaknya, menatap Bapak bagaikan menyala. Giginya gemerutuk.
"Apa-apaan kamu ini, Yan" He! pantaskah kamu berbuat begitu terhadap anakmu sendiri""
Bapak diam saja. Rasa hormatnya pada Kakek Sakeh membuat dia diam dikata-katai orang tua itu. Padahal Bapak seorang kebayan desa. Yang biasanya dihormati oleh warga desanya.
"Ayo lepaskan dia! Kalau tidak, awas, kau!" Kakek Sakeh mengancam lagi seraya mengepalkan tinjunya.
Pulung berdiri memeluk batang pisang itu dengan membelakangi mereka. Pergelangan
tangannya sakit karena tali rafia itu kencang sekali.
"Kamu ini kebayan desa, lho Yan! Pantas begitu kelakuanmu" Pantas" He! Jawab! Pantas apa tidak! Kalau diam saja, awas!"
Gogor ik ut melompati pagar. Ia berdiri saja di dekat pagar sana. Takut mendekat.
"Biar tahu rasa dia, Kek," suara Bapak tenang. Masih penuh rasa hormat dan penghargaan pada Kakek Sakeh yang kalap itu. "Itu hukuman paling pantas untuk pencuri!"
"He, seenaknya kamu nuduh, ya" Kamu punya bukti dia mencuri" Punya" Kalau ada maling ketangkep di desa ini, kamu ribut. Kamu larang semua orang memukul pencuri! Kamu larang semua orang main hakim sendiri. Pencuri harus diserahkan polisi! Tidak boleh dihukum sendiri. Kita bukan orang yang berhak menghukum pencuri! Kamu ingat semua itu" Dulu aku dukung kamu jadi kebayan desa, karena kamu orang baik. Kenapa sekarang jadi jahat, Yan" Kenapa kamu jadi orang kejem sekarang" Mentang-mentang sudah kuasa, Iya" Yan, Yan! Kamu itu belum apa-apa! Pak Lurah saja tidak kejem kayak kamu! Pak Lurah saja tidak sewenang-wenang kayak kamu! Di desa ini apa ada yang lebih tinggi pangkatnya dari Pak Lurah" Kamu itu siapa, Yan" Kamu itu jauh dibanding dengan Pak Lurah!"
Di pohon pisang itu Pulung memejamkan matanya. Ia menahan diri agar tidak menangis. Bukan karena rasa sakit. Tidak. Dalam latihan keras untuk jurus silatnya, dia sering menderita kesakitan lebih hebat dari sekarang. Bila saat
ini dia hampir menangis, adalah karena perasaan terharu belaka. Kakek Sakeh itu orang galak. Tapi sebenarnya dia lembut hati. Bila dia tidak lembut hati, mana bisa dia marah-marah pada Bapak begitu" Kakek Sakeh sampai lupa diri. Lupa bahwa Bapak lebih berhak atas anaknya sendiri. Lupa Kakek Sakeh itu bukan siapa-siapanya Pulung. Hanya tetangga saja. Dia seenaknya mengata-ngatai Bapak. Ah, Kakek Sakeh! Selembut itu hatinya. Dia garang karena dia membela Pulung yang tidak bersalah. Biasanya begitu sopan dia pada Bapak. Meskipun Bapak jauh lebih muda dari dirinya, Bapak dihormati, sebagai kebayan desa. Tetapi rasa hormat Kakek Sakeh musnah sudah dalam kalapnya.
"Kamu munafik!" jerit Kakek Sakeh dalam kalapnya. "Kamu suruh orang tidak sewenang-wenang, kamu sendiri berbuat sewenang-wenang begitu! Sama anak sendiri kejem! Apalagi sama maling sungguhan" Kamu hanya pura-pura baik saja. Pura-pura melarang orang nggebuki maling. Supaya orang senang sama kamu! Supaya orang menganggap kamu orang baik. Supaya kamu tetap jadi kebayan desa! Ooo... Bayan! Bayan! Aku kenal kamu dari masih bayi, Yan! Aku kenal bapakmu dari dia kecil. Dari kami sama-sama kecil. Bapakmu itu tidak konyol kayak kamu. Dulu kamu juga tidak konyol begini. Baru jadi kebayan desa, sudah lupa diri kamu ya! Kalau kamu jadi bupati, apa tidak makin brengsek saja""
Bapak tidak melayani kemarahan Kakek Sakeh. Ia membalik dan pergi memasuki
rumah. Ibu menyusulnya. Mereka berjalan ke depan. Bapak pasti akan kembali ke kantor.
Kakek Sakeh mengambil pisau di dapur Ibu. Ia berusaha mengiris tali pengikat tangan Pulung. Tapi Pulung mengelak. Ia memegangi pergelangan tangannya sendiri. Saling berkutat. Kakek Sakeh tidak bisa mengiris tali itu. Takut menyayat tangan Pulung.
"Biar saja, Kek. Biar begini sampai Bapak pulang!"
"Apa lagi kau ini, ha!"
"Ini hukuman pantas bagi pencuri."
"Kamu bukan pencuri!"
"Saya pernah nyolong telur bebek Kakek."
"Hah" Jadi... he! Kau pernah nyolong" Kau pencuri benar" Kau maling sungguhan" Iya" Lung" Iya, kau maling""
"Ya!" "Masya Allah!" Kakek Sakeh menggelengkan kepalanya. Sedih dia, kalau Pulung benar-benar jadi pencuri.
Gogor yang sejak tadi berdiri dekat pagar menghampiri Pulung.
"Tidak! Dia tidak mencuri! Dia menemukan telur itu di sini!" Gogor menunjuk ke dekat pagar. "Aku lihat! Aku yang menyuruhnya membakar telur itu! Dia tidak mencuri! Kalau dia mencuri, dia lompat pagar dan mengambil telur itu di kandang bebek!"
Kakek Sakeh bingung. Dia duduk di bibir sumur. Duduk saja sambil melihat Pulung yang masih terikat di batang pisang. Sedih sekali hati Kakek Sakeh. Kalau benar Pulung pencuri, alangkah sayangnya! Telah lama dia
mengagumi anak Pak Bayan itu. Disangkanya Pulung tidak cacat sama sekali. Disangkanya Pulung anak paling baik di dunia. Ternyata dia pun pernah mencuri!
"Kek," Gogor menghampiri kakeknya. "Kakek harus percaya bahwa Pulung ti
dak pernah mencuri! Dia menemukan telur di pekarangan rumahnya sendiri."
"Tapi itu telur bebekku. Dia mengambilnya tanpa seijinku. Mencuri juga namanya. Aku sedih, kalau Pulung juga tega mencuri telur bebekku."
"Ya! Aku mencurinya! Biarkan aku di sinil" seru Pulung tandas-tandas. Dia telah rela dihukum begitu. Jangankan sampai sore. Sampai pagi besok pun ikhlas hatinya. Kejahatan harus dihukum. Mencuri adalah kejahatan juga!
"Baiklah, Lung," Kakek Sakeh mendesah. Masih duduk di bibir sumur sambil memegang sebilah pisau. "Kalau kau memang mencuri, aku merelakannya. Gor, lepaskan pengikatnya."
Gogor menerima pisau itu. Tetapi ia pun tidak berhasil mengiris tali rafia karena tangan-tangan Pulung saling berpegangan.
Di depan rumah, Bapak berhenti melangkah. Ibu berdiri di pintu. Menatap Bapak sesaat.
"Tega pada anakmu sendiri, Pak"" tanya Ibu lirih. Bapak tersenyum pada Ibu!
"Aku hanya ingin dia tahu mencuri itu jahat sekali."
"Tapi dia tidak mencuri jambu!"
"Aku tahu." "Kenapa Bapak menghukumnya sekejam
itu"" "Biar dia hati-hati. Dituduh mencuri, atau mencuri sungguhan, sama saja. Orang mana percaya anak Pak Bayan tidak mencuri" Tidak pantas benar, kan" Tidak pantas juga murid terbaik Wak Solikun jadi pencuri"
"Bapak bilang dia tidak mencuri."
"Orang tahunya dia benar-benar pencuri. Itu soalnya, Bu."
"Jadi dia dibiarkan saja begitu, Pak""
"Kalau aku sudah pergi, lepaskan talinya."
"Bapak tidak marah""
"Ah, kau ini, Bu! Belum kenal Bapak, ya""
Bapak melangkah pergi. Ibu diam sesaat di ambang pintu. Setitik air matanya mengalir untuk Bapak. Ia terharu sekali. Bapak sebenarnya tidak sungguh-sungguh kejam dan biadab begitu. Bapak hanya bersandiwara saja agar anaknya tahu dia benci sekali pada perbuatan tercela. Sebab Bapak itu orang jujur. Dia ingin juga anak-anaknya jujur seperti dirinya. Jujur di mata orang lain. Juga di mata Tuhan. Jujur di mata orang lain, belum tentu jujur juga di mata Tuhan, jujur dimata orang lain, belum tentu jujur sungguh-sungguh. Orang lain bisa dibohongi. Sedang Tuhan mana bisa ditipu" Tuhan tahu apa saja perbuatan umat-Nya. Orang yang kelihatan jujur di mata orang lain, yang hanya berpura-pura jujur, diketahui persis oleh Yang Mahatahu. Tuhan
itu! Ibu kembali ke belakang. Polan berseru dari halaman. Ibu berhenti. Polan menghampiri Ibu
dengan natas memburu. "Nansy datang, Bu!" serunya. "Kak Nansy! Dia tanya Mas Pulung!"
"Nansy siapa""
"Cucu Oma Angklik!"
"Oh... ya, ya. Ibu ingat. Apa kabar dia""
"Baik, Bu. Papinya pesan Mas Pulung disuruh ke sana."
"Biar Ibu yang memberi tahu masmu."
Ibu menghampiri Pulung. Kakek Sakeh bangkit dari bibir sumur dan memberikan pisau kepada Ibu.
"Maaf, Bu Pulung," kata Kakek Sakeh
sungguh-sungguh. "Aku sudah kurang ajar pada bapaknya Pulung."
"Tak apa, Kek," Ibu tersenyum seraya menerima pisau itu. "Pulung memang nakal, kok. Bapaknya jadi kesal."
Kakek Sakeh kembali ke pekarangan rumahnya. Ia melompati pagar. Tidak jatuh lagi. Gogor menyusulnya. Ibu meraba pundak Pulung yang masih berdiri memeluk batang pohon pisang dengan tangan terikat rafia.
"Lung, kau masih mau di sini"" tanya Ibu.
"Ya." "Sampai kapan""
"Sampai Bapak melepaskan tali ini. Bapak yang mengikat. Harus Bapak juga yang melepaskan."
"Kalau Ibu" Tidak mau"" "Tidak."
"Nansy menunggumu."
"Oh!" Pulung kaget. "Nansy", Nansy Bu""
"Ya. Mandi dulu lalu pergi ke sana!"
Pulung diam sesaat. Nansy! Dia datang dari Medan. Ah, Nansy! Kini pasti lebih manis lagi. Umurnya kini tiga belas tahun. Gadis cilik berwajah mungil. Dulu dia lincah sekali. Agak malu-malu. Hanya pada Pulung, dia tidak malu. Pulung sayang padanya. Memang Pulung selalu sayang pada anak perempuan. Karena rindunya pada adik perempuan. Tetapi Nansy itu sebaya dengannya. Lucu bila teman sebaya dianggap adik.
Tetapi memang tak ada yang akrab dengannya kecuali Pulung. Anak desa lainnya sering menggangu dan mengejek Nansy. Kadang Nansy menangis bila diejek. Dulu Nansy suka menangis. Dulu sekali. Tiga tahun yang lalu, ya, tepat tiga tahun yang lalu. Ketika itu Nansy duduk sebangku dengan Pulung kelas tiga.
"Tidak ingin menemui Nansy""
Pulung tak menjawab. Ibu mengiris tali rafia itu. Sekali ini Pulung tidak berontak.
Nansy, selamat datang, adikku!
4 CUCU OMA ANGKLIK RUMAH itu sangat bagus. Pintu dan jendelanya banyak sekali. Orang menyebutnya 'gedong lawang satus'. Atau 'gedung pintu seratus'. Padahal pintunya tidak benar-benar seratus buah. Hanya Pulung dan para pembantu Oma Angklik yang tahu, kecuali keluarganya, berapa jumlah pintu dan jendela itu.
Terbuat dari kaca-kaca dalam bentuk kepingan kecil berbingkai kayu. Ada dua puluh tujuh pintu dan empat puluh delapan jendela dengan enam ratus dua belas keping kaca. Pasti itu. Taruhan pun berani!
Taruhan! Pernah Pulung taruhan dengan Nansy. Di kolam renang kecil di bagian belakang rumah Oma Angklik, mereka berlomba renang. Nansy pintar berenang. Gaya dada yang sempurna. Tapi Pulung tidak. Dia pakai gaya tarzan. Kakinya seperti gaya crawl, tangannya gaya katak. Jadi lucu. Nansy tidak mau berenang gaya begitu. Gaya tarzan saja Pulung kalah. Apalagi gaya dada yang benar. Pulung kalah taruhan. Harus menggendong Nansy mengelilingi kolam renang sepuluh kali. Oma Angklik yang ketika itu belum rabun sekali, melihat mereka. Oma marah. Tidak baik anak laki-laki bergendongan dengan anak perempuan, kata Oma.
Lalu Pulung mengajak berlomba di kali saja. Biar gaya dada meniru gaya Nansy, Pulung mau asal di kali. Mereka pergi ke sungai di sebelah timur desa. Nansy memakai pakaian renang. Aneh di desa itu kalau berenang pakai pakaian renang. Nansy jadi tontonan. Dia ditertawakan ketika tubuhnya terseret arus ke utara, padahal berenangnya menghadap ke selatan. Pulung menang. Dia lihai berenang melawan arus ke selatan. Itu memang kerjanya. Sejak dia kenal air, begitu dia berenang. Kalau berenang ke utara mengikuti arus, itu tabu bagi anak desanya. Dibilang renang gaya batang pisang.
Pulung tidak minta digendong meskipun dia menang. Dan dia menyesal sekali sesudah itu. Nansy sakit selama seminggu karena dia berenang di kali. Tubuhnya panas. Kulitnya gatal-gatal. Kalau ingat peristiwa itu, iba dia pada Nansy. Pernah diceritakannya di tempat mengaji ketika Nansy sudah pindah ke Medan. Wak Solikun tidak senang anak muridnya suka taruhan. Kalau biasa taruhan, lama-lama biasa berjudi, kata Wak Solikun. Agama apa saja di dunia melarang berjudi. Agama Pulung maupun agama Nansy.
Nansy! Dia mengenakan rok merah muda sebatas lututnya. Tangan roknya tak ada. Hanya dua lembar kain seperti cantelan di pundak kanan dan pundal kirinya. Itu model you can see, kata orang kota. Kata orang desa Pulung 'Lek ton. Kepanjangannya 'kelek katon'. Ketiaknya kelihatan!
Ha! Ketiak Nansy itu indah sekali. Ketiak indah aneh kedengarannya. Ketiak kok indah.
Tapi apa namanya, ketiak begitu" Putih kulitnya. Sampai mirip meja marmar di gedong lawang satus itu.
Nansy tidak begitu persis dengan tiga tahun lalu. Wajahnya makin manis. Matanya, oh, mata itu dulu agak kebiru-biruan. Sekarang tidak. Mata hitam. Bentuknya memang sama. Hidungnya hampir sama juga. Heran, hidung Nansy tambah mancung saja. Bibirnya merah delima dan tipis bergetar. Itu bibir yang dulu juga. Tapi rambutnya, ah. Rambut itu lebih merah dari dulu. Merah agak jelek. Padahal dulu merah muda yang lembut. Sekarang merahnya terlalu tua. Coklat. Ya, rambut itu coklat tua. Lebih aneh lagi, Nansy tidak ramah menyambut Pulung!
"Nansy!" Pulung memanggilnya.
Nenek tua di kursi roda itu menelengkan wajahnya.
Walaupun kaca mata putihnya hampir satu senti tebalnya, dia tetap saja rabun. Telinganya juga kurang dengar. Ia memakai alat pembantu pendengaran. Bentuknya seperti kancing logam baju tebal. Terselip di liang telinganya. Berantai panjang yang digantungkan di cuping telinga itu. Kuning warnanya. Mungkin itu emas. Oma Angklik memang kaya raya. Punya ladang tembakau jauh di lereng tanah berbukit sana, di selatan agak ke tenggara. Dia selalu pakai rok panjang. Bila di desa itu ada nenek tua pakai rok, hanya Oma Angklik orangnya.
Muncul dari pintu dalam seorang pria muda yang tampan. Itu dia Oom Yan. Papinya Nansy. Oom Yan memandang Pulung dan
tertawa lebar. "Na! Kamu pasti Pulung, ya"" sambutnya. "Tadi adikmu ada di sini.
Kusangka dia yang kamu!" Oom Yan melangkah lebar-lebar menghampiri Nansy.
"Nansy! Ini Pulung! Masa lupa"" serunya.
Nansy agak gugup. Matanya berputar-putar lucu. Mata yang hitam. Aneh, mengapa kini Nansy bermata hitam" Tidak kebiru-biruan seperti dulu lagi. Mungkin udara Medan yang panas menghanguskan mata itu.
Ah, tidak. Nansy tinggal di daerah perkebunan di pelosok Medan. Di sana hawanya dingin. Begitu kata Tante Yan dulu, maminya Nansy. Tante Yan! Dia kok tidak ada"
Nansy mengulurkan tangan pada Pulung. Pulung menjabatnya. Terasa hangat. Seperti tangan Nansy dulu. Halus sekali. Tangan anak orang kaya.
"Hampir lupa...," kata Nansy sambil tertawa "Kamu... kamu tambah... "
"Tambah hitam! Anak desa, Nan! Kau tambah tambah... putih."
"Ayo masuk! Masuk," ajak Oom Yan. "Oma, ini Pulung. Tadi Oma tanya Pulung."
Oma Angklik mengangkat wajahnya. Dengan mata rabunnya dia mencari-cari Pulung. Kasihan dia. Hampir buta sama sekali.
"Pulung...," suaranya serak.
Pulung mendekat. Tangan Oma Angklik melambai. Sampai di kepala Pulung. Dia menyosoh rambut Pulung dengan gemas.
"Kau jarang kemari, ya!" kata Oma Angklik. "Kalau tidak ada Nansy, kau tak ingat Oma... "
"E, sebulan yang lalu aku juga ke sini,
Oma!" "Ya, ya... waktu durian di belakang itu masak. Kau jahat, ya! Tidak musim durian, tidak mau ke sini."
Oma tertawa dengan kekeh yang panjang. Nansy menonton keakraban Oma dan Pulung. Oom Yan tersenyum.
"Tante tidak ikut, Oom"" tanya Pulung.
"Wah! Tantemu sibuk."
"Tante sibuk apa lagi" Nansy punya adik,
ya"" "Oho! Pulung, Pulung! Kamu ini kecil-kecil bisa ngomong, ya""
"Kecil-kecil anak orang, Oom! Biar besar tuh,." Pulung menunjuk ke sudut serambi depan tempat mereka berada. Ada patung batu hampir sebesar manusia di sana. "Dia nggak bisa ngomong, Oom!"
Oom Yan tertawa. Tangan Oma melambai. Maksudnya hendak memukul kepala Pulung tanda gemasnya. Tapi karena Pulung berdiri agak menjauh dari kursi roda Oma, tangan nenek tua itu hanya menyentuh angin. Pulung mendekatkan kepalanya dan menangkap tangan Oma. Dipukulkannya tangan itu ke kepalanya sendiri.
"Nih, Oma! Mukul itu begini!" serunya.
"Kau tidak ingin lihat tantemu, Lung""
"Bagaimana lihatnya, Oom" Medan jauh
banget!" "Ke sana, dong! Kalau sekolahmu libur, pergi ke sana!"
"Naik apa""
"Pesawat terbang! Nanti Oom jemput di
Polonia." "Wah! Mimpi juga nggak pernah naik pesawat terbang!"
"Nggak pernah mimpi naik pesawat terbang""
"Nggak pernah mimpi sambil naik pesawat terbang!"
Sekarang Oom Yan yang gemas. Ia menyepak kaki Pulung. Pulung mengangkat kakinya dengan gerak refleks. Lalu menyepakkan kaki itu ke lutut Oom Yan.
"Jangan main-main, Oom! Makin jago, nih!"
"Wah! Wah! Hebat benar kau, ya! Sudah
bisa lawan Oom kamu""
"Sama Oom Yan sih belum," Pulung tertawa. Ingat dulu pernah dibanting oleh Oom Yan ketika dia sok jago dengan memamerkan silatnya. Padahal ketika itu dia hanya bisa gerakan-gerakan dasar seperti menari saja. Bukan gerak silat sungguhan. Sedang Oom Yan itu jago judo. Latihannya di kota sejak Oom Yan masih sekolah. Sejak Pulung belum lahir. Oom Yan itu teman Oom Wi, yang dulu bernama si Man.
"Kalau sama Oom yang jadi kopral itu sih, sudah berani lawan."
"Oh, ya" Apa kabarnya dia" Sudah punya putra belum""
"Belum!" "Wah! Oom juga kangen sama dia! Besok-besok Oom mau ketemu dia." "Oom masih lama di sini"" "Lima hari, Lung. Nansy juga harus
sekolah. Oma kangen sama dia. Terpaksa Nancy nggak sekolah. Bayangkan, Lung. Lima kali Oma kirim telegram ke sana!"
"Lung," suara Oma menyusup. "Mau minum apa""
"Oma kayak baru kenal saja! Biasanya minum apa, Oma""
"Kau tidak mau dikasih teh manis." "Teh manis sih di rumah ada." "Apa"" Pulung berpaling ke Nansy. "Apa biasanya, Nan"" tanyanya. Nansy gugup. Ah! Nansy selalu gugup saja sejak tadi. Gaya bicaranya juga tidak seperti Nansy dulu. Logat Medan. Tidak ada logat dari kampung lagi.
"Hm... biasanya...,"
Oom Yan yang menyahut "Kopi susu, ya""
"Ngawur!" "Habis apa""
"Sirop mocca!" "Hei, itu saja! Markisa, mau" Sirop markisa! minuman khas Medan!"
"Tidak. Kalau tidak mocca, tidak minum
saja!" Pulung berdiri di belakang kursi roda Oma. Ia
mendorongnya. Seperti dulu dan seperti sebulan yang lalu. Bila lewat di depan rumah Oma dan tercium durian yang wangi, Pulung akan singgah di rumah itu dan tahu-tahu mendorong kursi roda Oma. Pasti Oma akan berteriak terkejut. Tangan Oma meraba ke belakang. Pulung akan menarik kepalanya ke belakang agar tangan Oma tidak menyentuh kepalanya. Bila tangan Oma bisa menjamah
rambut Pulung, pasti Oma tahu siapa yang mendorong kursi rodanya.
"Ke mana, Oma""
"Ke belakang saja, yuk! Ke kolam."
Pulung mendorong kursi itu lewat pintu kaca di ruang dalam. Meninggalkan serambi yang tak berpintu. Hanya tiga dinding dan bagian depan dibiarkan terbuka. Rumah Oma ini seperti istana bila dilihat dari jalan. Bentuknya, pintu-pintu kacanya, sangat indah dan mencerminkan sebuah istana kecil saja.
Sambil mendorong kursi roda itu, Pulung terus berpikir keras. Ia melihat keganjilan perangai Nansy. Tiga tahun lamanya berpisah. Dulu masih sama-sama kecil (dan sekarang memang masih kecil juga). Dulu Nansy tidak malu padanya. Akrab sekali. Sering kurang ajar. Kalau Pulung berjalan di tepi kolam, sering didorongnya sampai tercebur. Lalu Pulung akan mengejar Nansy. Biarpun Nansy lari bersembunyi di ruangan istana kecil Oma yang berbelit-belit, Pulung akan bisa menangkapnya. Diseretnya Nansy dan diceburkannya pula ke kolam. Oma akan berteriak-teriak memanggil Pulung. Kalau Pulung mendekat, Oma akan menjambak rambutnya dengan gemas. Tapi Tante Yan hanya akan tertawa-tawa saja.
Di tepi kolam, ada teras memanjang di depan deretan kamar. Kata Bapak, dulu Oma Angklik ini punya keluarga banyak sekali. Kemenakan-kemenakannya tinggal bersama Oma. Sekarang mereka telah berkeluarga dan tinggal jauh dariOma. Hanya ada seorang putera Oma, Oom Yan itu. Oom Yan pun hanya
punya Nansy. Kata Ibu, ketika Nansy lahir dulu, Pulung masih menyusu. Nansy lahir di rumah sakit dengan operasi besar. Operasi caesar namanya. Nansy tidak punya adik. Oma sangat sayang pada cucu tunggalnya. Itu sebabnya ketika Oom Yan bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di daerah Medan, Oma keberatan melepaskan cucu tunggalnya. Sebulan lamanya Oma menangis meratapi kepergian cucunya itu. Pulung sering menemani Oma. Juga anak-anak desa lainnya. Untuk menghibur nenek tua yang rindu cucunya. Tetapi setiap berada di rumah itu, Pulung sangat sedih. Tanpa Nansy, rumah itu rasanya sepi sekali. Bayangan Nansy seolah ada di mana-mana. Di kolam renang dan di ruangan-ruangan berliku dalam istana kecil.
Sekarang semuanya berubah. Nansy jadi penggugup. Ia juga agak pendiam. Tidak lincah seperti dulu lagi. Bahkan malu-malu. Rambutnya pun kini coklat. Pirangnya rambut itu tak seindah dulu lagi. Bukan merah muda yang lembut dan semakin lembut disirami sinar matahari pagi.
Oma pasti tidak tahu apa yang dipikirkan Pulung. Dia senang sekali menerima kunjungan cucu tunggal yang dirindukannya itu.
"Sering main sini, ya Lung," kata Oma, tetap dengan suaranya yang serak. "Biar Nansy tidak kesepian."
"Ya, Oma," Pulung melirik Nansy. Dia jauh di sudut kolam. Kakinya yang ramping bertumpu di bibir kolam berair kebiru-biruan. Matahari sore menyinari rambutnya. Ah, coklat tua yang jelek! Sedih Pulung melihat Nansy
sekarang. "Kok tidak mengundang anak-anak, Oma" Kita bikin pesta, dong. Anak-anak yang lain kan ingin juga ketemu Nansy."
"Oh ya! Ya, kita bikin pesta nanti malam, ya"" Oma menyambut gembira.
Tetapi Oom Yan yang berdiri dekat pintu ruang dalam, segera berseru, "Tidak. Jangan! Hm... begini, Lung. Nansy tidak lama di sini. Tidak usah kasih tahu anak-anak bahwa Nansy pulang. Maksudku... biar seluruh waktu Nansy di sini cuma buat Oma. Biar Oma tidak terganggu. Nansy tidak lama di sini, Lung. Ya,
Oma"" Oma terkekeh. Ia membetulkan letak kaca matanya yang tebal. Dengan kaca mata setebal itu pun dia masih rabun. Umurnya memang sudah sangat tua. Kakek Sakeh pun kalah tua dengan Oma. Kaki-kakinya telah lemah. Seperti lumpuh. Hingga dia selalu berada di kursi rodanya. Jika Oma ini bukan orang kaya, seperti apa penderitaannya dalam umur setua itu" Jika Oma ini misalnya Ibu, seperti apa" Tanpa kursi roda, karena tidak mam
pu membeli. Tanpa kaca mata tebal yang mahal dengan bingkai kuning berkilat itu, seperti apa" Sedang Oma dengan kekayaannya saja telah menderita dalam usianya yang renta. Padahal Oma masih punya Nansy. Punya Oom Yan. Punya rumah besar dan banyak pembantu. Ladang tembakau yang luas di lereng bukit. Jika semua itu tak ada, seperti apa penderitaannya" Jika Oma semiskin Kakek Sakeh yang hanya punya Gogor dan itik tak
seberapa jumlahnya, seperti apa"
Ucapan Oom Yan tadi aneh! Pulung tahu, anak desa sering mengganggu Nansy. Sebab di desa itu Nansy paling lain. Putih kulitnya, manis wajahnya, biru matanya, pirang rambutnya, semuanya lain dengan anak desa. Bahkan juga panggilan terhadap orang tua yang Papi, Mami, dan Oma, itu pun lain. Karena yang serba lain, maka dia nampak aneh. Bahkan namanya juga, bukan nama yang biasa di desa itu. Nansy Evangeline! Papinya juga agak pirang. Tapi matanya hitam. Maminya bermata dan berambut nitam pula. Kata Oma, Nansy mirip opanya. Opa itu kakek bagi Pulung atau Gogor. Matanya pun mirip mata Opa. Dan Pulung tak pernah melihat Opa. Telah lama berpulang. Entah kapan, sejak Pulung dan Nansy belum lahir. Serba aneh sekarang. Oom Yan tidak mau mengundang teman-teman Nansy, bukankah aneh" Padahal dulu Oom Yan senang mengundang anak-anak. Agar mereka tidak selalu mengganggu Nansy.
Lebih aneh lagi, ketika Pulung tidak melihat sebuah tahi lalat di bahu kiri Nansy. Dekat tengkuknya, dulu tahi lalat itu ada. Agak kecoklatan, sebesar biji kacang hijau. Pulung menghampiri Nansy. Gadis cilik itu gelisah.
"Kacang coklatmu ke mana, Nan"" tanya Pulung. Nansy membalik. Ia membelakangi kolam. Pulung mundur selangkah, agar Nansy maju. Kalau dia maju dia tidak akan terlalu dekat dengan kolam. Siapa tahu dia terjatuh ke sana. Tetapi Nansy tidak maju. Itu juga aneh. Kalau Nansy tidak berubah, jangankan
selangkah, maju tiga langkah sampai berdekat dengan Pulung pun dilakukannya. Bahkan tak jarang Nansy memegangi kedua tangan Pulung dan menggoyang-goyangkannya ke kanan ke kiri seperti ayunan bila dia berbicara panjang-panjang dengan Pulung. Ya, Nansy dulu ceriwis sekali. Mulut yang bibirnya tipis itu banyak omong. Kadang bicaranya kacau. Bercerita tentang kapal ruang angkasa yang ditontonnya di bioskop, bisa langsung meloncat ke durian busuk di kebun belakang. Bicara tentang anak nakal, bisa langsung berpindah ke kelinci lucu yang disukainya. Dia memelihara kelinci dulu. Tapi bila di kandang kelinci, dia akan bercerita tentang pendeta yang menghadiahkan seuntai kalung salib padanya. Kalung berleontin sebentuk salib kecil putih berkilap itu, di manakah kini" Di dada Nansy tak ada lagi salib kecil yang dulu. Ah! Semuanya berubah!
"Nan! Tahi lalatmu yang macam kacang coklat itu mana"" tanya Pulung dengan keheranan yang makin berkembang di kepalanya.
Nansy makin gugup saja. Lagi-lagi Oom Yan yang menyahut, "Itu... , itu sudah dioperasi,
Lung!" "Kenapa dioperasi, Nan"" Pulung bertanya tetap kepada Nansy. "Kau tidak jadi Nansy Kacang Coklat lagi tanpa tahi lalat yang lucu
itu!" "Eh... aku...aku..."
Pulung sudah senang Nansy mau menjawab. Tetapi dia kecewa, ketika jawaban Nansy hanya itu saja. Tidak sempurna.
"Tahi lalat itu menurut dokter, sejenis kanker, Lung," Oom Yan lagi yang berbicara. "Harus dibuang, agar tidak membesar,dan berbahaya."
"Coba lihat!" Pulung menangkap kedua pundak Nansy dan membalikkan badan gadis cilik itu dengan memutarnya. Nansy kembali menghadap ke kolam. Pulung melihat bahu kiri Nansy. Tak ada bekas operasi sedikit pun. Nansy berontak.
"Genit, kau!" serunya. Dia marah. Matanya yang hitam melotot.
Oh, Nansy! Kau bisa marah hanya karena diputar badanmu begitu"
"Lung," Oom Yan memanggil. "Itu sirop kesukaanmu!"
Pelayan datang membawa sirop. Manis dan enak, biasanya begitu. Tapi sekarang apa enaknya" Sedang pertemuan dengan Nansy ini serba aneh baginya. Aneh dan membuatnya penasaran sekali.
Begitu seterusnya sampai senja tiba. Matahari condong di antara daun-daun turi. Pulung berpamitan. Dia ingin Nansy mencegahnya. Dulu Nansy selalu kesepian di rumah besar itu. Ingin selalu ditemani. Dia menjanjikan
akan memberikan sebuah majalah atau komik cerita yang bagus sekali kalau Pulung mau pulang malam. Tapi Pulung selalu tak mau. Dia harus bersembahyang dan mengaji di langgar Wak Solikun. Nansy tertawa dengan kecewa, begitu dulu. Bila Pulung bilang akan bersembahyang, Nansy tak mau mengganggu. Pulung pun tak pernah
mengganggu bila Nansy menjalankan ibadah agamanya. Pernah Pulung marah ketika di pagi hari Minggu dia tidak mendapatkan Nansy di rumah. Padahal Nansy sudah janji akan berkemah di halaman belakang rumahnya dengan tenda kecil. Pulung mengajak teman lainnya. Tugi ikut juga. Pada siang hari Nansy pulang dari kota bersama Oom dan Tante Yan. Pulung marah karena Nansy tidak menepati janji. Nansy bilang dia baru dari gereja. Pulung menyesal telah marah-marah tak menentu. Ah, ah! Kenangan tiga tahun lalu! Kini telah berubah semuanya! Bahkan ketika Pulung berpamitan, Nansy hanya mengangguk saja. Malah kelihatannya dia lega Pulung lekas pulang!
Oom Yan mengantar sampai ke batas halaman. Di gerbang itu Oom Yan berhenti dan menatap Pulung. Pulung risi ditatap begitu. Ia menengadah. Menatap wajah Oom Yan.
"Kenapa, Oom"" tanyanya.
"Lung... ah... kau... kau tidak kemari lagi,
kan"" "Oh... kenapa, Oom" Aku tidak boleh kemari lagi""
"Maksud Oom begini... Nansy hanya beberapa hari saja di sini. Biarkan omanya puas bersama Nansy. Dia kangen sekali. Jangan marah, ya""
"Ya!" Pulung menyentak. Nadanya penuh kemarahan.
Oom Yan tersenyum. Berusaha mengambil hati Pulung. Ia merogohkan tangannya ke saku bajunya. Lalu mengeluarkan uang lima ribuan!
"Lung... terima ini untuk... "
"Tidak!" Pulung menyentak lagi.
"Kau berubah sekali, Lung"
"Oom Yan juga tidak baik seperti dulu"
"Lung... " Pulung melangkah bergegas ke utara. Kecewa sekali hatinya.
"Salam untuk ayah ibumu, Lung... "
Pulung tak menghiraukan Oom Yan lagi. Sedih dan pilu menyertai langkahnya ke utara. Pohon-pohon turi meliuk oleh angin senja. Matahari merah di barat. Merah. Debu jalan pun merah. Pulung sedang marah!
Lewat di depan rumah Mak Mansyur, dia makin marah. Perempuan itu mencibirkan bibir ke arahnya!
Lewat di depan rumah Tugi, dia marah melihat Polan di sana. Marah, karena kelihatannya Polan sedang memperbincangkan hukuman Bapak. Banyak anak di sana. Tugi pemimpinnya. Dan Tugi itu lari menyongsong Pulung.
"Lung! Tu, anak-anak sudah kumpul" Pulung diam. Menatap Tugi dengan sepasang matanya yang lebar sebelah. Ah! Nansy pun tidak bertanya mengapa sekarang mata kiri Pulung lebih sipit karena kelopaknya sobek. Dulu mata itu sama lebarnya. Nansy pasti tahu. Seharusnya dia juga, bertanya gugup, mengapa mata Pulung tidak sebagus dulu.
"Lung! Kau kenapa, sih" Tu, anak-anak sudah kumpul semua!"
"Mau apa""
"Kita serbu rumah Mak Mansyur!" "Hah" Apa-apaan mau nyerbu rumah orang""
"Dia sudah bikin malu kita!"
"Kita" Yang malu aku, bukan kau!"
"Aku ikut malu juga! Tadi aku dikatakatai!"
"Kalau begitu, pergi sendiri ke sana. Jangan bawa-bawa aku. Anak-anak itu jangan kauikutkan! Mereka tidak tahu apa-apa!"
"Mereka ikut malu. Namamu buruk karena dituduh nyolong! Mereka marah juga ketika dengar kau dihukum Pak Bayan!"
"Siapa yang cerita""
"Gogor!" Gogor ada di sana, di antara anak-anak yang berkumpul di halaman rumah Tugi. Mereka menghampiri Pulung di jalan dengan pohon turi berjajar. Polan ikut juga. Di tangannya terbawa buah jambu bekas gigitan yang tadi dibuang Pulung di halaman rumahnya.
Pulung menatap Gogor dengan marah.
"Mau apa kau""
Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku... ak..." "Kau seperti anak perempuan saja, Gor! Mulut nyinyir! Apa bedanya kau dengan Mak Mansyur itu""
Gogor gelisah. Ia menoleh ke arah Tugi. Menoleh lagi ke arah Gono. Basri juga di sana. Tumbing juga di sana. Yang lain lagi, Nandi, Kamen, Loding, semuanya ada. Lengkap. Pasti Polan juga ikut mengumpulkan anak-anak ini. Pulung menatap adiknya. Polan tahu arti
tatapan itu. Ia mendekat.
"Tadinya aku hanya akan mengadakan pemeriksaan gigi, Mas," katanya.
"Apa lagi itu" Kayak dokter gigi saja kamu!"
"Ini," Polan memperlihatkan buah jambu bekas gigitan di tangannya. "Gigi mereka sudah kuperiksa semua. Tidak ada yang cocok dengan bekas gigitan ini."
"Dia tidak berani mengumpulkan anak-anak dan memeriksa gigi mereka. Aku- tolong dia," sela Tugi bangga.
"Aku yang rugi, Lung!" -Tumbing menyela pula. "Sesisir pisangku habis buat pemeriksaan! Satu orang dapat sebuah dan disuruh menggigit. Bekasnya dicocokkan! Brengsek, ya"
Diakali, aku!" Pulung diam. Tumbing menyesal, dia menyangka diamnya Pulung karena ucapannya. Tumbing berkata segera, "Eh, bukan aku sayang sama pisang, Lung. Yang brengsek itu Mak Mansyur! Kita sudah payah-payah begini, pencurinya belum tertangkap juga!"
"Makanya kita serbu saja!" Tugi menyahut cepat.
Ini berbahaya, pikir Pulung. Anak-anak kalau sudah berkumpul dan Tugi memimpin mereka, sudah tidak bisa dikendalikan. Kalau mereka menyerbu rumah Pak Mansyur, akibatnya bisa lebih besar lagi. Tindakan itu juga tidak tepat. Melakukan pembalasan yang ngawur saja. Tidak ada gunanya. Bahkan merugikan orang lain. Pak Mansyur pasti tidak ikut bersalah. Dia harus menanggung akibatnya kalau rumahnya diserbu anak-anak. Tindakan
merusak begitu juga merupakan kejahatan yang tercela sekali. Selagi mereka masih kanak-kanak, sudah bisa melakukan perusakan. Kalau sudah dewasa, apa tidak lebih jahat lagi"
"Tidak!" seru Pulung segera. "Jangan bikin apa-apa!"
"Jadi kita diam""
"Aku bisa mengurusnya!"
"Apa yang akan kaubikin, Lung""
"Menangkap pencuri itu!"
"Bisa"" "Aku akan berusaha."
"Na," Tugi tertawa. "Itu baru polisi ulung! Kalau kau tidak bisa tangkap pencurinya, namamu jadi Polon! Tahu Polon""
Nandi berseru, "Polisi blo'on!"
Anak-anak tertawa. Pulung tidak. Dia terlanjur mengatakan akan menangkap pencuri buah jambu. Bagaimana caranya" Ah, dia tidak memikirkannya ketika mengucapkan itu. Selalu begitu. Dia sering bicara enak, tanpa dipikirkan lebih dulu. Seperti ketika mengantar Gogor mencari Pak Sabu ke kota. Itu juga tanpa dipikirkan dulu. Untung dia melihat baju Pak Sersan menjadi hijau di dekat penjual rokok. Bila tidak, dia pun tidak akan bisa menemukan Pak Sabu yang belum pernah dikenalnya. Gegabah. Ya, kata Oom Wi, tindakan tanpa dipikirkan lebih dulu itu gegabah namanya. Seperti anak-anak pimpinan Tugi ini, gegabah semuanya! Padahal Pulung pernah bisa bertindak dengan pemikiran lebih dulu. Pada malam bulan purnama di atas tikar pandan itu, bukankah dia melakukan tindakan dengan
dipikirkan lebih dulu" Dia curiga pada Gono, begitu mula-mula. Sebab Gono sering mengatakan merasa terganggu oleh ayam Tugi yang penyakitan dan suka berkokok pada pukul delapan malam. Karena kecurigaan itu, dia mengatur siasat untuk menjebak Gono. Dia berhasil dengan baik. Oom Wi pasti akan senang kalau mendengar cerita itu. Oom Wi selalu bertindak dengan dipikirkan lebih dulu. Begitu katanya. Begitu juga harusnya pribadi seorang polisi. Kata Oom Wi!
Pulung mengagumi Oom Wi, bekas si Man dulu. Dia juga pernah mengatakan pada Oom Wi, mungkin dia ingin jadi polisi. Soalnya dia merasa selalu ingin, seperti Oom Wi. Ingin bisa memancing seperti Oom Wi. Ingin bisa main layang-layang seperti Oom Wi. Ingin jadi polisi juga, seperti Oom Wi. Tapi memancing dan main layang-Iayang, keduanya Pulung tidak bisa. Apa dia juga tidak bisa jadi polisi"Peduli amat. Pokoknya dia harus berbuat. Supaya anak-anak tidak bertindak sendiri-sendiri. Bisa berbahaya. Tindakan itu harus dicegah. Kalau Pulung tidak berhasil bertindak, pasti mereka tidak puas. Bisa benar-benar menyerbu rumah Pak Mansyur. Jika itu terjadi, mungkin seminggu lamanya Pulung harus memeluk pohon pisang dekat sumur!
Lalu, diam-diam pun Pulung kagum pada adiknya. Polan telah melakukan tindakan yang bagus sekali. Dia memeriksa gigi semua anak! Itu tindakan hebat. Hebat, karena dilakukan oleh Polan yang biasanya hanya bikin kesal
saja. Senja makin turun. Pulung merasa kepalanya menjadi sangat berat. Penuh persoalan. Nansy tak kurang membingungkan. Gerakan anak-anak di bawah pimpinan Tugi juga memusingkan.
Dia melangkah ke utara di jalan penuh pohon turi berjajar. Dalam hati berjanji akan melakukan apa saja untuk memecahkan kesulitan-kesulitan itu. Ia sudah terjebak dalam kesulitan. Tidak bisa mundur lagi. Pencuri buah jambu dan Nansy yang aneh, i
tu persoalannya sekarang.
5 BUKAN JAGOAN SUASANA mulai panas. Di sekolah Tugi menghasut anak-anak untuk ikut menyerbu rumah Mak Mansyur. Ceritanya dibesar-besarkan. Ditambah-tambahi. Ucapan Mak Mansyur yang kasar jadi lebih kasar lagi. Kotor dan busuk. Pulung tak berdaya. Semua anak setuju pada tindakan Tugi untuk melakukan pembalasan. Tugi memang punya pengaruh besar di kalangan teman-temannya. Dia ditakuti. Karena perasaan takut itu, banyak anak selalu mengekornya. Ikut saja apa yang dikatakan Tugi.
Pada jam istirahat, Pulung menghampiri Tugi di kerumunan anak. Ia menarik tangan Tugi dan berbisik, "Kita ngomong sebentar, Gi."
Tugi membusungkan dadanya. Merasa jadi pemimpin yang sangat penting. Dia menggerakkan kepala tanda larangan bagi anak-anak yang mau ikut.
Di bawah pohon nangka belakang sekolah, keduanya berdiri. Pulung menyandarkan punggung ke pokok nangka.
"Kapan kau akan menyerbu rumah Mak
Mansyur, Gi"" "Nanti!"
"Jam berapa"" "Sesudah isya."
"Sudah kaupikirkan akibatnya""
"Itu soal nanti. Pokoknya biar tahu rasa itu perempuan yang mulutnya brengsek!"
Pulung diam. Menyepak-nyepakkan ujung sepatu karetnya ke tanah berpasir yang merah di bawah pohon nangka. Debu berhamburan.
"Aku bisa mencegahnya, kalau aku mau," kata Pulung kemudian.
"Ah! Kenapa begitu""
"Aku tidak suka tindakanmu yang brengsek
begitu!" "Tapi... ah, Lung. Aku membelamu. Kenapa kau memusuhiku" Kalau kau mencegah, kita bisa musuhan, dong" Pikir saja, Lung. Kau sendirian, Kami banyak. Biar kau jago, apa kau bisa melawan kami""
"Aku tidak sendirian... Aku bisa minta tolong Bapak untuk mengerahkan hansip. Rumah Mak Mansyur bisa dijaga. Kalau kau masih nekat juga, aku bisa menghubungi polisi. Kaupikir bagaimana, sih" Ini tidak main-main, Gi! Aku tidak menggertakmu. Kau pasti tahu juga, si Man jadi polisi sekarang. Masa kalau kuberi tahu ada kenakalan anak-anak begitu dia tidak mau turun tangan" Dia punya anak buah,Gi. Kau bisa ditangkap dan disel!"
"Oh... masa kau sampai ngadu ke polisi segala" Lung""
"Ya! Mencegah huru-hara itu tugas polisi! Apalagi yang jadi polisi pamanku."
"Terserah kalau kau mau lapor polisi!"
Pulung heran mendengar jawaban itu. Nekat sekali Tugi. Rupanya dia memang dendam berat pada Mak Mansyur. Tugi tidak hanya akan membela Pulung. Dia licik.
Memanfaatkan keadaan untuk membalaskan dendamnya sendiri. Digertak mau dilaporkan polisi masih nekat juga. Pasti Tugi tidak main-main lagi.
"Gi," Pulung memanggil dengan suara lunak. "Berapa jumlah kawanmu yang akan menyerang rumah itu""
"Dua puluh orang!"
"Termasuk kau""
"Dua puluh satu orang dengan aku!" "Termasuk Polan, Gogor, Gono, Tumbing"" "Ya!"
"Kupukul kepalamu kalau kau ajak
adikku!" "Tapi... eh, Lung! Dia mau sendiri. Aku tidak mengajak Polan. Dia ikut karena ingin juga membelamu!"
"Aku minta Polan, Gogor, Gono, dan Tumbing! Yang lain boleh ikut kau!"
"Mereka mau ikut aku, Lung! Aku. tidak maksa. Kalau Polan, boleh ikut kau. Tapi yang lainnya se-esku!"
"Aku mau bicara dengan mereka," Pulung beranjak.
Tapi Tugi mencegah. "Jangan, Lung!"
"Kau curang!" "Soalnya... " "Atau kita duel dulu" Yang menang boleh pilih kawan""
Tugi mundur selangkah. Dia gelisah berdiri dengan kaki-kakinya yang kukuh. Sepatunya besar sekali. Hampir sebesar sepatu Pak Damsik. Pulung berpura-pura siap tempur.
Kaki kanan melangkah setengah tindak ke depan, agak ditekuk. Kaki kiri lurus ke belakang. Tangannya masih di sisi bahu. Tetapi lengan itu menekuk jari-jarinya, seperti cakar burung.
"Gi! Pikir sekali lagi sebelum kubikin kau malu di depan teman-temanmu! Kau tidak percaya, Gi" Kalau dengan sekali gerak aku tidak bisa menjatuhkan aku bersedia mencium lututmu!"
Itu sombong. Bila Wak Solikun mengengar ucapan itu, Pulung pasti kena tonjok. Tapi terpaksa. Kalau tidak digertak sungguh-sungguh, Tugi ini pasti ngawur sekali. Kalau digertak tidak mempan juga, apa boleh buat. Disetrap Pak Damsik pun jadi. Asal benar-benar bisa dijungkirbalikkan. Biar dia tahu bukan dia yang jago di desa ini. Biar dia tahu, dihajar itu
tidak enak. Selama ini Tugi hanya pernah menghajar. Belum pernah sekali pun dihantam. Boleh, kalau
mau coba. "Lung! Kok jadi begini!" seru Tugi seraya melangkah mundur lagi.
Anak-anak melihat ke bawah pohon nangka. Mereka beranjak. Polan mencegah.
"Jangan! Nanti Mas Pulung marah! Jangan! Disini saja! Aduh, bisa celaka aku kalau dia menyangka yang suruh kalian ke sana!" seru Polan sibuk.
"Aku mau lihat saja!"
"Aku mau bela Tugi!"
"Aku tidak ikut! Mau nonton!"
"Taruhan, siapa yang menang!"
"Aduh!" Polan memegangi anak yang berjalan terdepan. "Kasihani aku, dong! Kalau aku dihajar Pulung, bagaimana""
Gogor tampil ke depan. Ia ikut mencegah.
"Iya, deh. Kita jangan ikut-ikutan. Nanti kita juga kena setrap Pak Damsik. Di sini saja. Lihat dari kejauhan. Pura-pura tidak tahu. Kita kan jadi selamat""
"Ya, betul itu!" seru Tumbing.
"Kalau kita dekat, kita juga bisa kena tonjok!" seru Gono yang berdiri paling belakang. Anak penakut. Suaranya merdu seperti anak perempuan. Gerakannya pun halus seperti gerakan anak perempuan. Hanya ikut-ikutan saja, karena takut ancaman Tugi.
Ucapan Gono berpengaruh juga. Mereka membenarkan pendapat itu. Lebih baik melihat dari kejauhan. Tidak ikut-ikutan. Anggap saja nonton film kung fu! Yang main Ti Lung sama
David Chiang! Siapa menang" Kalau di film biasanya Ti Lung. Kan dia selalu jadi jagoan.
Tapi Ti Lung diam saja. David Chiang mundur lagi selangkah. Ha, pasang kuda-kuda dia. Ah, tidak. Mundurnya karena takut, kok. Payah David Chiang. Perannya kalah melulu. Honornya pasti kecil, tuh! Bukan peran utama.
Sekarang Ti Lung di dekat pokok nangka, tidak pasang kuda-kuda lagi. Dia bersandar kembali pokok pohon yang akar-akarnya mencuat itu. Persis Ti Lung di film sungguhan. Di desa itu sebulan sekali ada pemutaran film semalam suntuk di lapangan sepak bola. Bayarnya seratus perak, duduk di rumput. Bisa nonton di depan atau di belakang layar. Pernah juga ada adegan Ti Lung bersandar di pohon besar begitu. Tangannya juga berlipat di dada.
Ti Lung-nya ngomong, "Nggak berani, Gi""
David Chiang-nya menjawab, "Buat apa sih kita berantem" Kita kan se-es""
Ya, sayang amat! Sekalinya nonton film gratis David Chiang tidak mau berantem!
Bukan, ah. Tugi bukan David Chiang. Di film itu David Chiang bisa duel beneran. Biar kalah, jurusnya hebat. Tapi Tugi itu, mana punya jurus dia" Paling top pakai kayu buat pentungan dan nakut-nakutin anak yang lebih kecil.
"Kauberikan Polan, Gogor, Gono, dan Tumbing""
"Ya. Tapi yang lain tidak."
"Kalau aku bisa ngomong sama mereka, tak seorang pun mau jadi se-esmu."
"Jangan!" "Aku minta waktu, Gi. Jangan nanti malam nyerangnya. Kalau kau mau damai, tunda dulu. Kita sama-sama kerja. Biar aku berusaha dulu. Kalau seminggu lagi aku gagal, kau boleh berbuat apa saja."
"Seminggu" Lama amat""
"Aku perlu waktu."
"Besok saja! Sampai besok!"
"Jam berapa""
"Habis isya!" "Kalau besok aku gagal""
"Serbu!" Pulung tak berdaya. Tugi pasti tidak bisa mundur lagi. Kalau minta bantuan Bapak, sebenarnya Pulung juga bisa celaka sendiri. Bapak pasti ngamuk dan mengikatnya di pohon pisang. Bapak mudah saja menyuruh beberapa orang hansip berjaga di rumah itu. Dia juga mudah saja menyuruh Ibu jangan melepaskan tali ikatan Pulung. Atau tidak membukakan pintu kamar sekapan kalau Bapak memilih menghukum dengan memenjara Pulung di kamarnya.
Jadi minta bantuan Bapak memang tidak bisa.
Apalagi Oom Wi. Si Man mana mau mengurus urusan anak-anak" Susah. Semuanya harus diselesaikannya sendiri. Hanya sendiri. Itu sebenarnya juga persoalan sendiri. Campur tangan Tugi malah menambah beban saja. Tidak menguntungkan. Tugi, brengseknya anak itu. Pulung ingin sekali-sekali memberi pelajaran. Tapi itu soal nanti
saja. Yang penting sekarang, cari dan tangkap pencuri itu! Siapa dia" Harus diselidiki dulu. Harus bekerja sebagai polisi ulung. Bukan polon, polisi bloon!
Itu yang sulit. POLAN berlari-lari menyusul Pulung yang mengayuh sepeda di jalan penuh pohon turi. Ia melompat dan naik ke boncengan sepeda itu.
"Mau ke mana"" seru Pulung sambil mengayuh sepeda. Ia bisa duduk di sadel, meskipun kakinya tidak sampai juga ke pedal bila pedal itu giliran di bawah.
"Ikut Mas Pulung!"
"Pikirmu aku mau ke mana"" "Cari maling jam
bu!" "Aku mau berantem!"
"Ha" Masa""
"Menangkap maling kan tidak mudah, malingnya marah, kita bisa dihantam!"
"Biar!" "Tidak takut""
"Sama Mas Pulung aku tidak takut!" "Kalau harus berantem lawan sepuluh
anak"" "Sama Mas Pulung!"
"Kalau aku sendiri sibuk berantem, aku tidak bisa melindungimu!"
"Biar!" "Kau bisa mati! Kau tidak bisa jurus, kan""
"Biar!" "Kau kayak Tugi! Suka ngawur!"
"Aku ingin jadi anak pemberani!" "Berani tanpa keahlian begitu, tolol namanya!"
"Biar!" "Jadi anak tolol, biar""
"Tidak. Aku mau jadi anak berani."
Pulung mengayuh semakin cepat. Pukul dua siang. Terik sekali. Bayangan pohon-pohon turi tidak panjang pada siang hari. Tak mampu menaungi bagian jalan itu. Hanya sampai di sisinya dekat selokan air. Dan sepeda tak mungkin lewat di sana.
Pulung senang juga Polan berani ikut. Sekarang Polan tidak penakut lagi. Tapi sebenarnya itu merepotkan. Kalau benar-benar harus berantem, bisa gawat. Biarlah, biar Polan tahu berantem itu seperti apa. Asal berantem dengan tangan kosong, tidak soal. Paling benjol. Tapi kalau kawanan pencuri pakai pentungan atau pisau" Wah! Polan bisa celaka nanti.
Pulung berhenti di bawah pohon turi. Sudah agak jauh dari desanya. Persis di tengah jalan antara desanya dan desa seberang selatan. Ia duduk di rerumputan.
"Pencurinya siapa, sih"" tanya Polan seraya ikut duduk di rerumputan bawah pohon turi.
"Aku sendiri belum tahu. Baru mau menyelidiki."
"Lho, kok ke selatan sana" Memang menyelidikinya bagaimana""
Pulung diam sesaat. Ia memungut rumput jarum. Digigit-gigitnya batang rumput itu.
"Kita harus bertindak dengan dipikirkan lebih dulu. Ingat nasihat si Man""
"Ya. Mari kita pikirkan!"
"Kau sudah memulainya kemarin. Jalan pikiranmu persis dengan jalan pikiranku."
"Soal apa"" Polan bangga, dibilang jalan pikirannya persis dengan jalan pikiran Pulung. Kalau begitu, dia cerdik juga dong seperti abangnya!
"Semalam kau marah karena aku tidak bisa tidur dan gelisah saja."
"Tidurku terganggu karena kau ribut semalaman"
"Saat itu aku sedang mikir."
"Mikir apa""
"Soal jambu bekas gigitan itu. Kata kau, yang menggigitnya pasti anak yang giginya jarang, kan""
"Ya! Aku tidak lihat gigi jarang begitu di desa kita. Kemarin dalam pemeriksaan gigi, tidak ada yang bisa dicurigai!"
"Bagus! Itu tindakan bagus!"
"Bagus, ya"" Polan tersenyum senang. "Boleh dong aku ikut menyelidiki" Kan aku tidak bego kaya Tugi! Aku punya otak! Iya,
kan"" "Kadang-kadang kaupakai otak." "Kok kadang-kadang""
"Iya! lebih banyak ngawurnya. Sekarang buktikan kalau kau benar-benar bisa menggunakan otakmu. Ayo kita mikir bersama-sama!"
"Bagaimana mulainya""
Pulung mengambil rumput jarum yang
digigitnya. "Lihat rumput ini!" katanya. "Batangnya
hancur kugigit-gigit. Karena gigiku tidak jarang. Ingat siapa anak yang bisa menggigit-gigit rumput begini tapi batang rumputnya tidak hancur atau putus" Malah dia bisa berbicara dengan sebatang rumput jarum di mulutnya! Rumput jarum itu bergerak naik-turun kalau dia berbicara. Ingat siapa""
"Anak yang giginya jarang! Rumput itu menyelip di antara gigi-giginya!"
"Iya, siapa""
Berat juga. Padahal tadi Polan sudah senang bukan main. Disangkanya pemecahan soal itu sudah sampai pada titik akhir. Tidak tahunya masih begitu-begitu juga. Masih soal gigi jarang. Siapa pemilik gigi jarang itu, tetap saja belum diketahui.
"Ingat-ingat saja siapa teman yang kaukenal dulu. Di mana pun. Di desa kita atau di desa mana saja. Lalu ingat susunan gigi mereka. Nanti bisa ketemu."
Polan mengingat-ingat. Wajah-wajah berkelebat di benaknya. Barisan gigi berderet di angan-angannya. Tapi semuanya rapi. Tak ada si gigi jarang itu.
"Nyerah"" Polan berkeringat. Karena panas matahari dan karena panas otaknya yang berpikir keras. Mau menyerah, malu sekali. Bisa dikatain tidak pakai otak kayak Tugi!
"Tidak usah malu kalau tidak bisa. Semalam aku juga sampai- tidak bisa, tidur," kata Pulung. "Coba kubantu. Ingat siapa saja yang kau kenal di desa itu," Pulung menunjuk ke selatan. "Sebutkan seorang demi seorang."
"Hm... Darto... Tarmudi... Tarmin... Cundik... Gruno..."
"Gruno! Ingat Gruno""
"Ah, ya! Giginya jarang! Y
a! Dia, jago main sepak bola itu!"
"Betul." "Aku ingat! Kalau dia main sepak bola, di mulutnya selalu terselip sebatang rumput jarum! Itu, aksi dia, kan""
"Ya. Kita ke sana, yuk!" "Kita tangkap!"
"Jangan dulu! Kita jebak dulu biar dia mengaku."
"Kalau tidak""
"Cari lagi pencurinya." "Dipaksa ngaku saja!"
"Enak ya, dipaksa ngaku! Kau pernah mengalaminya, kan""
Polan malu. Ia berjalan ke sepeda. Dituntunnya sepeda itu.
"Ayo, kau di depan! Gantian!" seru Pulung.
Polan terpaksa mengayuh sepeda. Pulung di belakang sambil memikir-mikir bagaimana mengakali Gruno, kalau benar anak itu yang mencuri. Kalau tidak, terpaksa harus mencari lagi anak yang dicurigai. Lebih sulit lagi pekerjaan itu. Nantilah.
Kalau di desa Pulung ada Tugi, maka di desa sebelah selatan itu Gruno anaknya. Dia paling besar juga seperti Tugi. Tukang berantem juga. Temannya banyak. Tapi Gruno masih lebih bagus dari Tugi. Sebab Gruno tidak licik, tidak suka menyakiti anak yang lemah. Dia nakal, tapi tidak suka menghasut anak lain
untuk ikut nakal. Ada suara anak-anak ribut. di ujung desa itu. Sesiang ini main sepak bola. Di tengah jalan, lagi. Enak saja mereka menyepak bola ke sana kemari. Dari kejauhan seru benar kelihatannya.
"Hati-hati, Pol. Bunyikan bel. Jangan lupa siap tarik rem!" Pulung mengingatkan.
Takut juga Polan. Ia mengayuh sepeda itu dengan dada berdebur. Lebih-lebih ketika rnulai mendekati jalan yang ramai itu. Bel dibunyikan terus-menerus. Tapi anak-anak kampung yang brengsek itu memang keterlaluan. Mereka tak peduli. Seorang anak melintas. Kakinya menggiring bola. Matanya jelalatan. Dia tidak melihat ada sepeda. Telinganya seperti budek saja. Dia menabrak roda depan sepeda. Anak itu jatuh, sepeda pun menimpa tubuhnya. Polan terlempar. Pipinya sakit kena ujung stang. Pulung melompat bangun. Dia hanya jatuh dengan kedua kakinya.
"Sialan!" seru anak yang menggiring bola itu. "Naik sepeda tidak lihat!"
"Apa" Mata kamu yang tidak lihat!" seru Polan marah seraya memegangi pipi kanannya. Bahaya itu. Kalau diserang, dia tidak siap dengan tangan memegangi pipi begitu.
"Pol! Jangan melawan!" bisik Pulung.
"Tapi dia brengsek!"
"Tenang! Kita di kampung orang!"
Si Pol mana bisa tenang" Di samping Pulung dia merasa berani saja. Dia melangkah maju. Tangannya mengepal.
Anak-anak yang main sepak bola riuh.
Mereka berdatangan "Hantam saja, Mo! Bikin habis!" seru salah seorangnya.
"Tuh! Anak desa, situ memang sombong!"
"Jangan kasih ampun!"
"Iya! Naik sepeda nggak mau turun!"
Polan tidak tahan diteriaki macam-macam begitu. Dia berteriak pula, "Kalian yang brengsek! Main sepak bola di lapangan, tuh!"
"Di sini tidak ada lapangan!"
"Ya! Itu lapangan punya desa kamu! Anak desa kamu sombong! Kalau kami main di sana diteriaki!"
Anak-anak itu mulai mengurung Polan dan Pulung.
Dengan berdiri di dekat sepeda yang tumbang, kedudukan menjadi lemah. Kalau diserang, tidak bisa mengelak dengan lincah. Pulung bergeser ke tengah jalan. Gerakannya tidak menyentak. Seperti melangkah biasa. Jadi tidak mencurigakan. Di tengah jalan itu ia berseru nyaring, "He! Kalau kalian mau coba, boleh maju sini!"
Polan terkejut mendengar teriakan itu. Mas Pulung ini bagaimana" Tadi melarang Polan melawan. Sekarang dia sendiri menantang. Tadi Polan hanya sok saja, karena kesal. Sekarang ketika Pulung menantang, dia takut juga. Pulung mungkin bisa menghadapi lawan-lawannya. Tapi Polan" Bisa gawat dia.
"Panggil jago kalian ke sini! Mana Gruno" Panggil ke sini! Dia lawanku!" teriak Pulung
lagi. "He! Dia nantang Gruno! Bisa habis dia!"
"Ayo, panggil Gruno! Mana Dia" Biar kubikin jadi cacing!" seru Pulung lagi.
"Gruno! Gruno! Kamu ditantang!"
Dari tepi jalan muncul seorang anak tinggi besar. Kulitnya hitam sekali. Pantas namanya Gruno. Nama dan orangnya sama-sama seram.
"Apa" Siapa berani nantang Gruno di kandang sendiri"" seru Gruno seraya melangkah mendekati kerumunan anak-anak.
Beberapa orang dewasa melihat mereka. Tapi tak ada yang berkutik. Mereka juga takut pada Gruno. Soalnya ayah Gruno sering ikut campur. Kalau marah suka bawa sabit segala. Menantang siapa saja yang berani ribut dengan anakny
a. Pulung lega melihat Gruno. Kalau dia tidak
menantang anak singa di kandang sendiri itu, bisa repot dia berhadapan dengan anak-anak pemain sepak bola. Lebih baik langsung bertemu Gruno.
"Tuh! Dia nantang kamu, Gruno!"
Gruno menghampiri Pulung. Ia berdiri tegak. Kakinya lecet di betis kanannya. Mulai mengorengl Ada obat merah berbalur di sana.
"Wah! Yang ini sih jagoan dari Hongkong!" seru Gruno. "Namanya Chen Lung!"
Anak-anak tertawa. Polan gemetar. Tapi dia kesal juga, kenapa Pulung tidak segera menyerang diejek begitu.
"Mau ke mana, Lung"" tanya Gruno.
"Kamu brengsek, ya!" Pulung malah menyumpah.
"Dari tadi lihat anak-anak konyol ini bikin ribut, kenapa diam saja""
"lngin tahu, apa kamu bisa jago di sini"
"Sialan kau, ya!" "Mau ke mana, sih"" "Cari kau!"
"He! Aku juga mau ke sana cari kau!"
Anak-anak saling berpandangan. Kenapa Gruno tidak segera berantem dengan Pulung" Kenapa pakai tanya itu-ini segala" Ah, Gruno brengsek. Biasanya kan langsung hantam saja. Apa Gruno takut"
"Ayo, No! Kamu ditantang, tadi! Genjot saja!" seru salah seorang anak sambil membetulkan celana kolornya. Gruno menoleh ke arah anak itu. Ia melompat. Ditangkapnya leher belakang anak itu. Lalu didorongnya ke depan Pulung.
"Ayo lawan dia! Lawan!" serunya.
Anak itu mundur. Gruno mendorong
punggungnya. Tubuh anak itu terdorong maju. Kalau Pulung mau, dia bisa mengangkat lututnya sedikit. Anak itu bisa celaka. Tapi Pulung bukan penjahat. Dia menggeser kaki kanannya ke belakang. Badannya berputar seperempat lingkaran. Tubuh anak itu lewat deras di depannya. Jatuh terjerembab!
"Lho! Gruno tak begitu" Jangan suruh anak lain! Lawan sendiri!" teriak yang lain.
Gruno menangkap leher baju anak yang berteriak itu. Dicengkeramnya kuat-kuat. Diseretnya anak itu ke depan Pulung.
"Ayo! Hantam Chen Lung itu! Hantam! Genjot Kepalanya! Bikin mati dia! Kalau kamu kalah, baru akan turun tangan! Hayo, sikat dia!" seru Gruno seraya mendorong-dorong anak itu.
"Ya, Gruno payah!" anak yang tadi menabrak sepeda berseru.
"Aku payah" Kau tidak payah"" sengat Gruno marah.
Anak itu diam saja. Gruno menarik tangannya. Lalu didorongnya anak itu ke depan Pulung juga.
"Ayo, kalau kau tidak payah! Keroyok dia! Berdua! Ayo, lawan Chen Lung itu! Lawan! Jangan cuma bisa, ngomong!"
Tak ada yang berani. Anak-anak diam. Ada juga yang menggerutu. Gruno menoleh ke arah suara gerutu. Tidak terdengar lagi suara itu. Gruno kembali menghadapi Pulung.
"Aku ada perlu Lung!" katanya.
"Aku juga!" "Ayo!" "Ke mana""
"Kau mau ke mana" Ke rumahku, kan""
"Ya." "Ayo!",
Gruno membalik. Pulung menoleh ke arah adiknya.
"Bawa sepeda itu," perintahnya.
Polan mengangkat sepedanya. Takut juga. Pulung dan Gruno sudah melangkah pergi. Polan sendirian di sana. Kalau ada yang memukul kepalanya, bisa celaka dia. Untung tidak. Hanya suara-suara ribut menyumpah. Biar sakit di hati, tak apalah. Dia tidak jago sungguhan seperti Mas Pulung. Dimaki sedikit mengalah saja. Biar aman. Lalu buru-buru menyusul Pulung yang melangkah bersisian dengan Gruno.
"Itu siapa, sih"" seseorang berbisik.
"Si Pulung, tuh! Temannya Gruno!"
"Kok Gruno nggak berani sama dia""
Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan nggak berani! Mereka kawan!"
"Kalau tadi kita jadi ribut, Gruno bisa marah, ya""
"Nggak tahu! Gruno payah! Suka aneh. Kadang mau membela anak kampungnya. Kadang tidak. Brengsek, ya""
"Ayo deh, main lagi!"
"Ayo!" Pulung yang berjalan bersisian dengan Gruno sampai di halaman rumah tua. Banyak bagian temboknya yang sudah mengelupas.
"Masuk, Lung. Lagi nggak punya apa-apa, nih! Minum air putih saja, ya""
"Apa, air putih"" Pulung melotot. "Jagoan dikasih air putih""
"Habis apa""
"Kelapa muda, dong!"
"Sebentar! Aku nggak punya. Biar kusuruh cari siapa saja, deh. Nanti kucari dulu anaknya."
Gruno memasukkan jari-jarinya ke mulut. Lalu bersuit. Anak-anak yang main sepak bola menoleh. Gruno melambaikan tangan. Anak-anak berpandangan. Terutama yang tadi berbisik-bisik. Salah seorangnya maju. Tadi anak itu tidak ikut ribut-ribut. Pulung dan Polan sudah mengenalnya. Anak itu mendekat. Ketika dia melintas di samping Polan, dia berbisik "Sori, ya! Anak-anak suka brengsek! Tid
ak bisa kutahan kalau mereka marah!"
Polan menyepak kaki anak itu.
"Kau juga brengsek! Kenapa tidak dipisahin
tadi"" Anak itu tertawa. Lalu berkata pada Gruno, "Panggil anak-anak, ya""
"Ya! Suruh sini semuanya!"
Gruno berseru sambil membalik ke arah rumahnya.
"Jangan lupa, siapa deh suruh bawa kelapa muda! Ini jagoan kita kehausan!"
Anak itu, Tarmin namanya, membalik
pergi. Mulutnya menggerutu, sengaja keras-keras, "Jagoan kere!"
Rumah tua itu berdiri di atas tiga tangga
semen. Berdinding tebal sekali. Pintunya berat. Berderit kalau dibuka. Sepi sekali rumah itu.
"Kebetulan ayah dan emakku sedang pergi. Sore nanti aku mau ke kampungmu sama anak-anak. Kebetulan kau ke sini," kata Gruno begitu dia masuk dan duduk di kursi kayu. Pulung menyusul duduk.
"Mau pinjam lapangan, Lung!"
"Memang aku punya lapangan""
"Desa kamu yang punya! Kau belum tahu, ya" Aku sudah bikin klub sepak bola! Tapi susah! Desaku nggak punya lapangan!"
"Kau mau pinjam sama aku""
"Sama Pak Lurah! Tapi kan lewat kau. Lewat bapakmu juga bisa, kan""
"Langsung saja pada Pak Lurah. Kau kenal Tumbing, kan" Ajak dia saja. Dia kan anak Pak
Lurah!" "Aku nggak begitu kenal sama dia. Kau saja, Lung. Tolong kau ngomong dulu sama Pak Lurahmu itu. Nanti aku menghadap membawa suratnya. Kata Pak Lurah di sini, begitu caranya. Tapi aku perlu kau."
"Ya, nanti kuantar."
"Bukan itu saja, Lung. He, kau! Si Pol! Nama kamu masih si Pol, kan"" Polan mendengus.
"Duduk, dong! Jangan berdiri saja. Pantatmu kan nggak korengan""
Polan duduk. Haus juga. Masih kesal juga sedikit.
"Aku juga butuh kau, Lung. Biar sudah ada ijin dari Pak Lurahmu, anak-anak desamu suka mengganggu! Daripada ribut di lapangan, kau
kasih tahu dulu mereka. Biar jangan mengganggu kami. Ya, kau mau, ya"" "Enak saja kau, No!"
"Nggak mau""
"Kau nyuruh, apa maksa""
"Minta tolong!"
"Kelapanya mana""
Gruno tertawa. Dia berdiri di pintu. Melongok ke depan. Tarmin sudah datang bersama Cundik.
"Kelapanya tunggu dulu, No! Tuh, Darto lagi naik!" seru Tarmin seraya melangkah masuk. Cundik menyalami tangan Pulung dan Polan.
"Kalian habis ribut, ya""
"Rakyat kalian brengsek!" seru Pulung. "Main bola di jalan! Dia yang nabrak, dia yang ribut! Orang kampung sini memang suka ribut,
ya"" "Orang kampung kamu biangnya tukang ribut!" seru Cundik.
"Tapi nggak brengsek kayak rakyat kalian itu, yang main bola di jalan!"
"Makanya pinjami lapangan dulu! Biar tertib! Kamu kasih, ya""
"Enak saja! Sudah ngajak ribut, pinjam maksa lagil"
Cundik tertawa. Dia duduk di dekat Pulung. Darto datang membawa dua buah kelapa muda. Sudah dipotong ujungnya. Tinggal dicongkel untuk diminum airnya.
"Orang kampung kamu miskin, ya Lung"" seru Darto. "Kelapa saja nggak punya!"
"Miskin sih tidak. Biar kalian tahu diri,
dong. Mau pinjam lapangan kan harus baik-baik dulu pada yang punya!"
Anak-anak tertawa. Polan mati kutu. Tidak bisa omong dia. Selalu begitu. Kalau ada Pulung, dia tidak diorangkan. Dianggap patung saja. Enak nyikat kelapa muda. Dia minta sebuah kelapa. Darto meladeninya. Enak juga diladeni begitu. Seperti majikan. Tinggal minum air kelapa. Pekerjanya menunggu sambil memegangi parang. Sudah minum kenyang, berikan saja kelapa itu pada pekerja. Lalu pekerja membuang sisa air kelapa ke tanah. Pekerja memecahkan kelapa itu pula. Bahkan membuatkan sendok kelapa muda dengan sayatan kulitnya yang dibuat menjadi irisan pipih. Pekerja itu bernama Darto. Majikannya Polan. Sedaaaap!
"Sebenarnya aku ke sini mau nggebuki kamu, No!" seru Pulung tiba-tiba, sambil meletakkan kelapa yang sudah diminum airnya. "Tidak, aku tidak minta kelapanya. Cukup airnya saja," lanjut Pulung ketika Darto sigap hendak memecahkan kelapa itu dengan parang di tangannya. Darto tak jadi membawa kelapa itu ke halaman untuk dipecahkan. Tarmin masuk ke dapur rumah Gruno. Mengambil gelas. Darto menuangkan sisa air kelapa Pulung ke dalam gelas. Hebat. Tamu terhormat.
"Bisanya mau nggebuki aku"" Gruno tertawa. "Berani kau musuhan sama macan di kandangnya""
"Kalau nggak berani, aku nggak ke sini!"
Biar tadi enak makan kelapa muda, sekarang tidak enak lagi. Polan tegang. Mas
Pulung itu seenaknya saja bicara dengan Gruno. Mungkin dia bercanda. Tapi gaya bercanda begitu bisa menimbulkan bahaya. Polan menghentikan makannya. Kalau terjadi apa-apa, siap bertindak. Nekat saja. Daripada konyol.
"Kenapa mau nggebuki aku""
"Malam Senin kemarin kau lewat di desaku,
kan"" "Lewat saja nggak boleh" Eh, tidak. Malam kemarin aku tidak lewat sana. Aku... "
"Di mana kau malam Senin kemarin""
"Mancing!" "Mancing apa""
"Mancing ikan, dong!"
"Sama siapa""
"Sama anak-anak sini. Tuh, yang lagi pada main bola."
"Dapat ikan apa""
"Ikan... anu... ikan bandeng!"
Pulung diam sesaat. Dia suka mancing, suka menemani si Man memancing. Dia tahu ikan apa saja yang lazim dipancing.
"Kau nggak usah nipu, No!" seru Pulung mendadak. "Ikan bandeng makannya binatang-binatang kecil dalam lumpur. Tidak bisa dipancing! Bohong kau, ya!"
Gruno gugup. Ia tertawa, tapi lucu kelihatannya Tangannya meraba betisnya yang luka. Mulai, mengoreng.
"Aku... aku nonton orkes," katanya.
Teman-temannya tertawa. "Pulangnya lewat kampungku, kan""
"Ya..." "Kau nyolong jambu punya Mak Mansyur!" Gruno kaget.
"Tidak. Aku tidak nyolong. Mak Mansyur kan bibiku sendiri! Masa aku nyolong""
''Tapi kaumakan jambunya banyak sekali!"
"Habis apa suruh gedor-gedor rumahnya untuk minta ijin dulu" Kan sudah malam" Ngaco, kau!"
"Kau tahu, No, gara-gara kau, malam nanti rumah bibimu akan diserang anak-anak desaku! Kaukenal Tugi" Dia yang mimpin anak-anak menyerbu ke sana!"
"Heh! Tidak bisa! Aku lawan! Tidak bisa!"
"Berani lawan Tugi""
"Berani!" "Betul""
"Betul! Mau lihat""
"Kalau begitu, tunggu habis isya di lapangan! Ingin tahu siapa yang menang. Kau apa Tugi!"
"Lung" Apa-apaan, kau"" seru Cundik.
"Adu jago. Gruno kan jagonya anak sini" Tugi juga lagonya anak kampungku. Kita adu saja. Siapa yang menang, baru kita anggap jago sungguhan!"
"Kau tidak main-main, Lung"" tanya Gruno.
"Tidak!" "Kalau aku menang, kau tidak marah"" "Bagus kalau kau menang. Biar Tugi tahu rasa. Dia kan belum pernah dipukul orang."
"Kalau aku kalah""
"Bagus juga. Biar jangan sok jago!" "Kau membela siapa, Lung"" "Aku wasit."
Gruno mengelus-elus kakinya.
"Kau jatuh dari pohon jambu, kan"" tanya Pulung. "Luka itu bisa mengoreng. Syukur! Maling jatuh pohon! Masih untung tidak mati!"
Gruno mencoba tertawa. "Brengsek kau, Lung!"
"Berani, tidak""
Gruno menoleh ke arah Cundik.
"Aku nggak ikut-ikutan! Waktu aku dikasih jambu aku tidak tahu itu barang curian! Kau ngasih jambu juga biar boleh nginep di rumahku! Kau kan tidak dapat pintu di rumahmu sendiri"" seru Cundik.
"Aku nggak ajak kau ikut! Aku mau tanya, kau setuju nggak dengan rencana sinting
Pulung!" "Oke saja!"
Polan tersenyum. 'Oke'-nya dipakai Cundik. Sudah beberapa hari ini dia tidak pakai 'oke'. Sekarang 'oke' itu ngelayap ke mana-mana, sampai ke mulut Cundik juga.
"Oke!" tiba-tiba Polan bilang 'oke', Si Pol merasa lebih cocok beroke-okean.
"Oke apa"" tanya Gruno.
"Aku... aku mau nonton!" Polan gugup juga ditanya. Tak sadar tadi dia bilang oke.
"Jadi!" seru Gruno. "Tapi harus kaujamin rumah bibiku tidak di rusak, Lung!"
"Ya! Satu syarat lagi!" "Apa""
"Kaubilang sama bibimu, kau malingnya! Biar dia jangan mencibir kalau lihat aku!"
"Bibi cerewet, ya" Jangan diladeni, Lung! Dia memang begitu!"
"Kau harus ke sana!"
"Ya." Polan menjamah lagi kelapa mudanya. Kalau tahu akhirnya akan begini enak, kenapa tegang sejak tadi"
Dari dulu Mas Pulung memang hebat. Senang juga jadi adiknya. Daripada jadi adik Tugi" Setiap hari bisa kena jitak!
BULAN hanya separuh. Tapi lumayan juga. Tanah lapang itu agak remang. Kepala-kepala tersembul dengan tinggi yang tidak rata. Yang paling tinggi itu pasti kepala Tugi. Yang tingginya agak naik sesenti lagi karena rambutnya berdiri, itu kepala Gruno. Mereka berhadapan. Dikelilingi anak-anak dua desa. Pulung berdiri di antara Tugi dan Gruno.
"Perhatian!" serunya lantang.
Suara gumam berhenti. Pulung mengacungkan tangannya.
"Kita tonton pertandingan dua jago ini! Tapi ingat! Jangan ada seorangpun yang ikut campur! Kalian tetap berdiri di tempat masing-masing! Tidak boleh maju lagi! Cundik! Kau bertugas menjaga anak-anak desamu! K
au, Polan!" Polan bergoyang. Kaget dia dipanggil wasit. "Aku"" gugup jawabnya. "Tugasmu menjaga anak-anak desamu." "Kalau... kalau ada yang membangkang""
"Pukul saja!" "Ha"" "Berani"" "Be... be... berani!"
Anak-anak tertawa. Mengejek Polan. Polan berteriak keras sekali "Hei, jangan menghina panitia! Kalau mau coba membangkang, tahu rasa!"
Anak-anak desanya tertawa. Gogor sampai menungging-nungging karena serunya tertawa. Polan bisa berani-beranian begitu" Seperti tidak kenal dia saja!
Tapi Polan gila juga. Dia berani menendang kaki Gogor! Menendang sungguhan. Kena di tulang keringnya. Gogor mengaduh dan memegangi tulang kering kanannya. Dia tidak tahu, bahwa Polan juga pincang umpama dia berjalan. Tapi Polan tidak berjalan.
"Oke, Lan! Aku hormat pada panitia!" seru Gogor seraya meringis kesakitan.
Polan mendengar lagi 'oke'-nya ada yang mencuri. Tapi tak apa, asal Gogor tidak membalas. Terang saja tidak membalas, Gogor kan takut pada Pulung. Bahkan bukan hanya takut saja. Hormat juga. Kagum juga. Berterima kasih juga. Kalau tidak, apa susahnya nonjok kepala Polan" Biar tubuhnya hampir setinggi Pulung, Polan kan anak kemarin!
"Prit! Prit!" ada suara seperti peluit. Tapi yang berbunyi mulut Tumbing. Bukan peluit sungguhan.
"Harap tenang!" serunya seraya mengangkat kedua tangannya. "Bapak Wasit! Mau tanya, nih!"
"Apa"" "Peraturan duelnya bagaimana""
"Ya! Peraturannya bagaimana!" seruan Tumbing itu bersambut riuh.
"Perhatian!" Pulung berseru mengatasi kegaduhan."Berantemnya tidak boleh nonjok kepala! Tidak boleh nonjok bagian yang berbahaya, misalnya ulu hati, atau itu tuh, sejengkal di bawah kolor!"
Anak-anak tertawa riuh. "Tidak boleh menjambak, mencolok mata, menggigit, dan menggelitik!"
"Nggak seru! Berantem apa itu""
"Siapa yang ngomong""
Pulung menoleh. Anak-anak celingukan. Itu pasti sura Gono. Tapi Pulung pura-pura tidak mengenalinya. Ia berseru, "Kalau ada yang keberatan, maju! Kasih contoh bagaimana berantem yang seru! Aku lawannya!"
Tidak ada yang berani menyambut tantangan itu. Gila apa, mau lawan Pulung! Anak-anak desa Gruno pun tidak berani. Tadi saja mereka lihat Gruno tidak musuhan dengan Pulung. Berani ribut dengan Pulung, Gruno bisa turun!
"Ayo mulai!" seru Pulung.
Tugi curang. Sejak tadi dia menunggu aba-aba itu.
Begitu Pulung membuka mulut, Tugi sudah mengirim pukulan langsung ke perut Gruno. Diserang mendadak begitu, Gruno tak berdaya. Ia membungkuk. Mual sekali perutnya. Belum lagi berhasil membalas, kakinya sudah kena sepak. Korengnya sakit. Dia berjingkat. Tugi menyerang lagi. Gruno jatuh terguling.
"Ayo, Gruno! payah, kamu! Maju! Hantam
saja!" "Ayo! Gilas!" "Sikat, No!"
"Gruno jagoan!"
"Hidup Gruno!" "Habisi saja musuh kamu!"
Teriakan-teriakan membahana. Heran, tak satu teriakan pun yang membela Tugi. Tak seorang pun yang memberi semangat jagoan itu. Tugi marah setengah mati. Ia melirik ke wajah-wajah temannya. Dia lengah. Jagoan sejati tidak akan lengah begitu. Kaki Tugi kena sambar kaki Gruno. Tugi limbung. Gruno menjegal lagi. Tubuh Tugi berdebam ke rumput. Gruno bangkit dan menubruknya. Dua-duanya memang tukang berkelahi. Tapi hanya bermodal kekuatan dan keberanian saja. Sama sekali tidak punya teknik berkelahi. Tenaga mereka habis terkuras. Serangan tak bermutu. Pulung melihat benar kelemahan-kelemahan serangan itu. Makin yakin dia, kedua anak tukang berantem itu sebenarnya bukan apa-apa. Kalau Polan berani, pasti bisa mengalahkan Tugi. Sayang Polan tidak berani. Biar tidak kuat, Polan sedikit banyak tahu bagaimana cara memukul. Tahu juga bagaimana cara menjegal kaki yang benar. Bahkan juga pernah diajari Pulung bagaimana melepaskan jepitan tangan di leher. Tidak seperti Tugi. Ketika tangan Gruno memiting lehernya, Tugi tak berdaya. Tangan-tangannya berserabutan. Tapi ngawur saja. Mencari-cari. Dia menangkap leher Gruno. Dicekiknya kuat-kuat leher itu.
"Berhenti! Berhenti! Dilarang mencekik!"
seru Pulung. "Biar! Biar seru!"
"He! Cundik! Suruh mundur kawanmu! Polan! Kerja yang benar! Itu, kaki siapa yang maju itu! Sikat, Pol!" Pulung berseru mengatasi keributan.
Anak-anak makin ribut. Polan sibuk
. Tumbing maju membantu Polan. Tapi Polan salah paham. Dia memukul wajah Tumbing.
"He! Kaupukul aku!"
"Kamu maju!" "Aku mau bantu panitia!" "Tidak perlu! Hayo mundur! Atau kusikat lagi, kau!"
"Gila!" Tumbing mundur. "Bisa kesetanan kayak begitu kau, Lan!"
"Aku panitia! Aku kuasa!"
"Jangan ladeni, Bing," bisik Gogor. "Bisa salah paham, nanti. Mundur saja."
"He, anak-anak!" seru Tumbing. Gayanya seperti bapaknya, Pak Lurah itu. Tangannya mengacung, kepalanya tegak. "Mundur! Hayo mundur! Kita harus punya kesadaran!"
Anak-anak mundur. Mereka berseru, "Munduuuuuuur! Pak Lurah suruh kita munduuuuur... " Bangga juga Tumbing. Anak pejabat. Boleh dong, gaya sedikit!
Pulung menunduk. Ia memasukkan ibu jari tangan kanannya ke ketiak Gruno yang menduduki tubuh Tugi. Ibu jari tangan kirinya menusuk ketiak Tugi. Ditekannya kuat secara bersamaan. Tugi dan Gruno berjingkat karena kesakitan.
"Hah! Kamu bela dia"" seru Tugi.
"Berhenti dulu! Berhenti!" seru Pulung. Gruno melompat dan bersiaga di sisi Pulung.
"Kenapa suruh berhenti, Lung"" tanyanya. "Tidak boleh mencekik!" Tugi melompat bangun.
"Dia yang mencekik!" tudingnya ke wajah Gruno.
"Kamu curang, Lung! Masa membela
Gruno!" "Aku wasit!" "Berat sebelah!"
"Kalau kubiarkan, kau bisa mati tercekik,
Gi!" "Aku yang nyekik dia! Dia yang bisa mati" "Ngaku mencekik dia"" "Ya! Hampir koit dia!"
"Itu juga dilarang! Kau melakukan pelanggaran peraturan!"
"Kau tidak bilang dilarang mencekik!"
"Leher itu bagian yang berbahaya! Aku bilang dilarang menyerang bagian yang berbahaya!"
"Kamu curang!" Pulung menggerakkan kaki kiri setengah langkah. Dengan begitu dia memunggungi Gruno dan menghadapi Tugi.
"Siapa yang curang"" tanyanya tandas.
"Kau!" "Kau menyerang Gruno sebelum aba-aba selesai. Itu tidak curang""
"Ya, curang! Curang!" seru anak-anak desa Gruno.
"Curang! Tugi curang!" seru Gono. Suaranya paling merdu.
"Tugi memang curang! Kepalanya orang curang!" seru anak-anak desa Gruno.
Tugi menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor. Mulutnya nyinyir sekali. Pandai memburaikan makian kotor. Seperti bukan anak sekolah saja. Dia benci Mak Mansyur yang mulut kotor, mulutnya sendiri lebih kotor.
"Mau diteruskan, Gi"" tanya Pulung.
"Kamu curang!" "Terus, tidak" Jangan bicara curang-curang
saja" "Kalau-kamu tidak curang..." "Terus" Atau nyerah""
"Aku belum kalah!" "Ayo lagi!"
Terpaksa Tugi harus berkelahi lagi. Dia berusaha habis-habisan. Kakinya ribut menyepak. Tapi hanya angin yang ditendangnya. Tangannya menyerbu. Tak peduli lagi larangan menyerang bagian berbahaya. Pokoknya asal kena. Gruno jadi marah juga. Setelah wajahnya kena hajar tangan Tugi, dia pun lupa pada peraturan. Dia menyerang lebih ganas lagi. Kalau kalah, malu di depan anak-anak desanya. Dia harus menang. Dia merunduk. Tugi menyergap. Di mengelak ke samping. Tubuh Tugi lewat di sisinya. Dihantamnya tengkuk Tugi. Keras sekali. Tugi jatuh tengkurap. Pulung melihat kecurangan itu. Tapi dia juga melihat, sebelum itu beberapa kali Tugi menyerang kepala dan ulu hati Gruno. Pulung membiarkan saja. Ia menekuk kakinya untuk mengintip. Di atas rumput Tugi menggeliat. Ia akan bangun. Tapi kepalanya
seperti telah membengkak sebesar kerbau. Berat sekali. Dia jatuh lagi. Gruno berjaga.
Kalau Gruno yang jatuh seperti Tugi, pasti Tugi masih menyerang juga. Terbukti biar nakal, Gruno masih lebih baik dari Tugi. Dia tidak curang seperti Tugi. Dia hanya bersiap. Tidak menyerang musuh yang tak berdaya.
Anak-anak bersorak. Pulung
membangunkan Tugi. Dijaganya agar bisa berdiri. Kepala Tugi bergoyang-goyang. Dari mulutnya terdengar keluhan panjang.
"Dia... dia curang lagi... dia pukul kepalaku... "
"Sudah, Gi! Jangan ribut curang-curang saja! Kalau masih berani, hajar dia!" bisik Pulung.
"Aduh... kepalaku... "
"Ayo! Maju lagi! Nanti kubela!"
"Ha" Kau... kau mau membelaku""
Pulung tersenyum. Makin tahu dia, semangat Tugi itu cuma sebesar kerikil saja
"Kalau kubela, kau berani"" Pulung pura-pura akan membela Tugi.
"Tapi kepalaku... "
"Mau nyerah""
"Tidak... tidak... aku belum kalah.'"
"Kalau belum, maju lagi!"
Pulung melepaskan tubuh Tugi. Anak itu terhuyung dan terj
ungkal. Pulung membalikkan badan Tugi. Memeriksanya.
"Siapa bawa lampu senter"" serunya.
"Aku!" salah seorang teman Gruno melangkah ke dekat Pulung dan memberikan lampu senter.
Tugi diam. Pura-pura pingsan. Daripada disuruh berantem lagi, enak pura-pura semaput. Biar pada bingung. Nanti kan digotong pulang. Kalau ayahnya melihat Tugi digotong, bisa ramai. Tahu rasa semuanya. Biar dikemplang Bapak!
Pulung menyorotkan lampu senter ke wajah Tugi. Kelopak mata Tugi yang memejam kelihatan bergerak-gerak karena silau. Pulung membuka kelopak mata Tugi. Bergerak-gerak lagi. Bola matanya juga bergerak. Pulung bangkit dengan lega. Kelopak mata orang yang pingsan tidak akan bergerak. Apalagi biji matanya. Itu kan pelajaran PPPK dalam kepramukaan!
"Wah! Bahaya itu!"
"Pingsan dia!" "Mati!" Teriakan ramai. Anak-anak mengerumuni Tugi, Gruno menghampiri Pulung dengan tegang. Sinar bulan setengah lingkaran tidak menerangi dengan jelas wajah Gruno. Pulung tidak melihat betapa pucat wajah anak itu.
"Gimana dia, Lung"" tanya Gruno cemas.
Pulung menarik tangan Gruno. Diajaknya keluar dari kerumunan. "Suruh pulang kawan-kawan kamu! Tenang saja. Jangan ribut! Bisik-bisik ngomongnya!"
"Tapi dia... " "Tidak apa-apa! Hanya pura-pura semaput!"
"Tidak berbahaya""
"Tidak! Cepat! Suruh mereka pulang! Tapi jangan ribut!"
Gruno menurut. Pulung sendiri mencari adiknya dan membisiki telinga anak itu. Polan berbisik ke telinga Gogor. Begitu seterusnya. Saling berbisik. Lalu berjingkat seorang demi seorang meninggalkan Tugi yang telentang di atas rerumputan. Setelah agak jauh, mereka lari dengan terus berjingkat.
Malam dingin. Rumput-rumput kering tak berembun. Tapi angin dingin terasa menusuk kulit. Keringat yang bersimbah di tubuh membuat angin itu terasa makin dingin. Tugi membuka matanya. Sekelilingnya telah sepi. Ia duduk. Menoleh ke kanan ke kiri. Tak satu pun lagi bayangan anak tertinggal. Hanya dia seorang. Serentak Tugi bangun. Ia lari kencang sekali.
"Toloooooong!" teriakannya melengking.
Berada di tengah lapangan sendirian di malam hari, alangkah menakutkan. Tak malu Tugi lari dan melolong.
GARDU penjagaan dekat balai desa agak jauh jaraknya dari rumah Pulung. Tapi dentang kentongannya terdengar jelas. Dua kali. Pulung masih terjaga juga. Dia berkeresekan. Sebentar bangun, sebentar duduk. Pukul dua dini hari, belum juga bisa memicingkan mata.
Polan menggeliat. Ia membuka mata. Lalu duduk.
"Antar ke belakang, ya"" pintanya.
"Mau apa""
"Buang air!" Pulung bangun. Polan sering sekali buang air di malam hari. Kalau dia habis berlari-lari, malamnya pasti sering terjaga untuk buang air. Tadi dia lari di lapangan sepak bola. Bahkan dia bisa juga menendang dan memukul. Meskipun gerakannya masih ngawur, tidak seperti yang diajarkan Pulung.
Mereka di dekat sumur. Pulung menyandarkan pantatnya ke dinding beton melingkar di sumur. Memandang bulan setengah lingkaran. Wajah bulat yang tak lengkap. Tapi tetap cantik. Berwarna perak. Ada gurat-gurat tak nyata di wajah bulan. Dan di sana seperti terlihat wajah Nansy!
Ah, dia semakin heran saja. Wajah Nansy ada di bulan setengah lingkaran! Biasanya tidak. Dia kangen pada Nansy, tak pernah dilihatnya wajah gadis kecil itu nyantol di bulan. Ada apa gerangan.
"Ayo!" Polan mengajak.
Pulung mendesah. Ia menatap bulan lagi. Nansy! Di bulan setengah lingkaran, kulihat wajahmu! Seperti dalam kesedihan, atau kesepian. Seperti memanggil. Ah! Sekarang Nansy sombong. Penggugup dan tak ramah lagi. Tak akrab lagi. Tapi kenapa dia ada di bulan sana"
"Mas!" "Eh! Sudah""
"Sudah dari tadi!"
Pulung berjalan masuk dan menutup pintu belakang. Dia diam saja sampai ke kamarnya kembali. Berbaring dengan mata terbuka. Polan cepat pulas di sisinya. Terlalu letih dia. Baru
Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerja keras sejak pukul dua siang tadi.
Lama sepi merambat. Pulung bisa lelap juga ketika kentongan berbunyi tiga kali. Dia bermimpi. Bertemu Nansy. Nansy yang dulu. Masih kecil dan lincah. Tapi Pulung seperti sudah besar, sebesar sekarang. Nansy sekecil tiga tahun lalu. Berpakaian indah sekali. Berlari gembira. Entah di mana itu. Kelihatannya di tempat yang asing sekali
. Pulung jauh. Nansy semakin jauh. Tangannya melambai.
Dan tangan Polan menimpa wajah Pulung.
Serentak Pulung bangun. Mimpinya sirna. Dia menggoyangkan tubuh adiknya.
"Bangun! Bangun!"
Polan menggeliat. Lalu tiba-tiba dia bangun serentak. Masih ingat pengalaman di lapangan malam tadi. Dia mengucak matanya.
"Ada apa" Sudah subuh, ya""
"Belum! Kau tidur ribut sekali. Tanganmu ke mana-mana"
"Badan pada pegal."
"Kurang latihan."
Polan tertawa. "Sekarang kau sudah ngomong latihan. Sekarang banyak juga anak bilang 'oke'. Aku tidak kebagian lagi."
"He! Kau masih mengigau!"
"Tidak! Aku sadar, kok!" "Aku mimpi, Pol!" "Mimpi apa""
Pulung malu. Polan suka mengejek. Bisa diejek kalau Pulung bercerita mimpi bertemu Nansy kecil.
"Pol! Kau sudah mulai bisa jadi anak cerdik
yang bisa berpikir."
"Ya! Tapi ngomongnya jangan dekat-dekat! Mulutmu bau!"
Pulung bergeser agak menjauh. Polan juga bergeser. Mereka duduk di atas kasur kempes di tempat tidur kayu tanpa kelambu. Punggung mereka bersandar di dinding papan.
"Dua malam ini aku sukar tidur. Malam kemarin aku mikir maling jambu. Sekarang ada lagi. Kau ingat dulu Nansy seperti apa, Pol""
"Tidak begitu ingat."
"Mau kuajak mikir sedikit""
"Ayo" "Aku curiga pada Nansy, Po!!"
"Ha" Curiga bagaimana""
"Dia serba aneh. Tingkahnya, tahi lalatnya, matanya, rambut nya, semuanya aneh. Aku ragu apa dia benar-benar Nansy yang dulu"
Polan tertawa meledak. "St! Jangan keras-keras! Nanti Bapak terbangun'"
Polan menutup mulutnya sendiri.
"Kayak polisi sungguhan saja! Curiga! Jangan sok, ah"
"Hus! Ini serius, Pol!"
Polan tertawa lagi mendengar 'serius' diucapkan oleh kakaknya. Biasanya kakaknya tidak pernah bilang 'serius" segala. Polan tak mau kalah, dia ingat akan ucapan kebiasaannya. Diucapkannya segera, "Oke! Aku juga oke!"
Pulung menceritakan secara singkat keanehan-keanehan itu. Termasuk permintaan Oom Yan untuk tidak datang lagi ke rumah
Oma. Juga tentang uang lima ribuan yang ditawarkan Oom Yan. Polan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
"Kalau kau kenal Nansy seperti aku mengenalnya, pasti kau merasakan keanehan
itu" "Aku juga kenal!"
"Tapi tidak akrab seperti aku," Pulung mendekat. Tak peduli mulutnya bau. "Siapa tahu saat ini Nansy disandera oleh penjahat""
"Ah! Kayak di film tivi saja!"
"Dengar dulu!" Pulung melotot. "Kawanan bandit menyandera Nansy, lalu menyuruh Oom Yan mengajak Nansy palsu menemui Oma."
"Untuk apa menemui Oma""
"Oma kan kaya" Bandit itu menghendaki warisan Oma. Siapa tahu, Pol""
"Tapi Oom Yan kok tidak lapor polisi""
"Dia takut Nansy dicelakai bandit! Kan Nansy disandera""
"Kok Oom Yan melarangmu ke sana""
"Biar aku tidak tahu yang diajaknya itu Nansy palsu! Ngerti! Masa Oom Yan melarang aku ketemu Nansy kalau yang diajak itu benar-benar Nansy""
"Masa Oma tidak mengenali cucunya""
"Oma sudah pikun! Matanya rabun, telinganya rusak! Dengan penglihatan dan pendengaran yang payah begitu, dia mudah ditipu! Apalagi, sudah tiga tahun dia tidak jumpa cucunya. Masuk akal, kan""
"Tapi...hm..." "Kau ragu-ragu""
"Bagaimana cara kita membongkar
kejahatan itu""
"Kita laporkan pada si Man!"
"Ya, betul! Si Man kan polisi! Besok kita ke sana!"
"Tunggu dulu! Kita cari bukti yang kuat dulu. Si Man marah kalau kita bertindak gegabah. Bukti harus kuat, kata si Man. Aku ingat, Pol. Nansy dulu punya kebiasaan berjalan-jalan kalau tidur. Dia sering membuka pintu kamarnya dan berjalan-jalan di rumah, lalu kembali ke kamar, mengunci pintu, dan tidur lagi! Kalau ditanyakan hal itu pada pagi harinya, dia tidak ingat! Kita intip saja dia jalan-jalan tidak waktu tidur!"
"Wah! Bahaya! Rumah Oma banyak yang
jaga!" Pulung berpikir keras. Bibirnya sampai saling meremas. Kadang bibir bawah digilas bibir atasnya. Kadang bergantian. Lalu sesekali kedua bibir itu mencuat ke depan. Kadang juga tenggelam bersama ke dalam mulut. Mata kirinya yang sipit berkejut-kejut.
"Kita tanyakan saja soal itu pada Oma. Dan... ya, aku ingat! Kita jebak Nansy palsu itu! Nansy yang dulu kan buta warna" Dulu dia selalu ditertawakan dalam pelajaran memberi warna di kelas satu. Pada waktu kelas dua, dia juga sering ditertawakan k
alau menggambar pakai pinsil warna. Dia menggambar, laut berwarna merah, gunung jingga, langit abu-abu. Pokoknya gambar warnanya pasti kacau sekali! Dia tidak mengenali warna. Dia hanya kenal warna hitam, abu-abu dan putih! Yang lain sama saja. Tante Yan pernah membawa
Nansy ke rumah sakit. Tapi dulu belum sembuh!"
"Aku ikut, Mas! Siapa tahu aku bisa membantu. Kan aku bisa berpikir seperti jalan pikiranmu! Itu, jambu bekas gigitan itu... "
"Ya! Besok kita kerja!"
Terdengar suara batuk Bapak. Entah sengaja entah pura-pura, suara batuk dari kamar Bapak membuat kedua anak itu diam. Mereka berbaring dan pura-pura tidur.
Sampai akhirnya benar-benar terlelap.
6 DIMANA NANSY EVANGELINE"
LEWAT halaman samping gedong lawang satus, Pulung dan Polan sampai di kolam renang. Nansy ada di sana. Mengenakan celana pendek warna kuning tua. Kaos oblongnya berwarna kuning gading. Pulung melihat leher dan dada Nansy. Tak ada kalung salib itu. Nansy melihat Pulung.
"Halo, Nansy!" seru Pulung. Begitu selalu kalau dia main ke rumah Nansy.
"Ha... lo!" Nansy menyambut. Tapi agak kaku pengucapannya.
"Selamat siang, Oma!"
Oma di kursi roda menelengkan kepalanya. Rambut peraknya bergoyang. Ketika dia menelengkan wajah, sinar matahari menerpa rambut itu. Berkilat seperti air kolam yang kebiru-biruan. Bunga-bunga berjajar di tepian kolam dan di teras deretan kamar yang menghadap ke kolam itu. Pulung melangkah mendekati Oma. Polan mengikuti.
"Oma... Oma sehat-sehat saja, kan"" tanya Pulung seraya menjamah tangan Oma.
Oma tersenyum. Tak satu pun giginya yang masih tinggal. Tangannya yang penuh keriput menyeka rambut putih sepundak yang agak berombak itu. Pulung mendorong kursi roda Oma ke teras deretan kamar. Agar Oma tidak kepanasan. Nansy melihat saja. Dulu tidak begitu. Nansy akan mengejek kalau Pulung mendorong kursi roda Oma. Ngambil hati, tuh! Kata Nansy dulu sambil mencibir.
Ya, biar dikasih sirop! Kata Pulung dulu, membalas mencibir.
Tapi tak begitu Nansy yang ini. Yang hitam matanya, coklat jelek rambut pirangnya. Ingin Pulung mengambil rambut Nansy itu. Akan ditelitinya di rumah. Itu rambut pirang asli atau semiran saja. Kelihatannya kok tidak indah seperti rambut pirang asli. Tapi sulit juga mengambil rambut Nansy. Kecuali kalau Nansy mau main jambak-jambakan. Kalau Nansy dulu pasti mau. Tapi dulu apa gunanya meneliti rambut Nansy"
"Sejak Nansy datang Oma jadi sehat benar, Lung" kata Oma. "Sayang, tiga hari lagi dia pulang... "
"Oma ikut saja ke Medan!"
Oma tertawa dengan kekehnya yang lirih.
"Kau saja ke sana, Lung! Kalau liburan ke sana, ya""
"Nggak punya duit, Oma!"
"Minta Oom Yan." "Malu!"
"Dulu waktu mau piknik ke Borobudur, kok kau tidak malu minta duit sama Oom Yan""
"Dulu lain, Oma! Kan dulu Nansy minta ditemani." Pulung menoleh ke arah Nansy dan berseru, "Ya, Nansy!" Dulu kau kan penakut!
Iya, kan"" "Ah... eh... ya, ya. Awak ini anak perempuan!"
Pulung melirik adiknya. Polan mengerjap.
Tadi sudah berdamai dulu. Polan harus mencatat di otaknya apa saja keanehan Nansy. Kegugupan Nansy kalau berbicara dengan Pulung juga harus diingat Polan.
"Ingat, nggak" Waktu di Borobudur kau takut lihat arca yang matanya melotot!"
"Oh... ya, ya... "
"Kau ngotot arca itu menghadap ke barat. Aku ngotot arca itu menghadap ke timur!
Ingat"" "Aku... ya, ingat!"
"Yang benar mana, Nan" Ingat""
"Ah... itu sudah lama. Aku lupa."
Pulung melirik adiknya lagi. Polan kembali
mengerjap. Tentu saja dia berlagak matanya sakit. Mengerjap-ngerjap. Kalau kebetulan Nansy melihat Polan, anak itu juga mengerjap. Seperti sedang belekan. Payah juga jadi anak buah. Harus menurut perintah komandan. Disuruh berperan jadi anak sakit mata harus mau juga. Daripada Nansy curiga kalau Pola main mata dengan kakaknya, lebih baik pura-pura belekan. Diejek, biarin!
"Nansy! Bikin minuman, dong! Biasa... sirup mocca!"
"Oh... " "Kau harus bisa! Dulu kau suka bikin! Awas kalau kemanisan, ya!"
Nansy menatap Oma. Gelisah.
"Biar pelayan yang bikin, Lung" kata Oma.
"Tidak mau! Harus Nansy!"
"Ya, ya, aku bikinlah!" seru Nansy seraya berlalu ke dapur.
Kembali kakak beradik itu main mata. Pola
n mengerjap-ngerjap. "Oma," Pulung memegangi tangan kiri Oma. "Nansy masih suka jalan-jalan kalau tidur, ya""
"O, tidak lagi begitu. Tidak. Sudah sembuh."
"Kok bisa sembuh, Oma" Apa diobati""
"Tidak. Kebiasaan itu hanya dilakukan pada masa kecilnya saja. Sekarang sudah besar, tidak begitu lagi."
"Dilatih, ya Oma" Dulu Tante pasang kunci rahasia yang tidak diketahui Nansy. Waktu Nansy mau lalan-jalan dalam tidurnya, dia tidak bisa membuka pintu itu."
"Oma tidak tahu. Tapi Nansy tidak suka
jalan-jalan begitu lagi."
Nansy datang membawa baki dengan dua gelas sirop. Pulung mengambil dua-duanya.
"Terima kasih, Nansy! Kau tambah cakep kalau baik hati begitu!"
Nansy tersipu. Ia lari membawa baki. Pelayan wanita menyongsongnya untuk meminta baki itu. Nansy kembali ke dekat Oma dan berdiri di sana. Sebelum Nansy kembali, Pulung telah main mata lagi.
Sambil memberikan segelas sirop pada adiknya, Pulung berbisik, "Sirop ini dibuat dengan air termos! Nansy tidak pernah melakukannya. Dia pakai air dingin untuk siropku!"
Polan mengerjap lagi. "Siropnya panas, Nan!" seru Pulung.
"Tidak ada kulkas!"
"Iya! Di sini mana ada kulkas" Listrik saja jauh di kota!"
Nansy tertawa. Sudah agak tidak kikuk lagi. Pulung menghirup sirop dan tersenyum pada Nansy.
"Bajumu bagus, Nan! Warnanya serasi sekali. Warna apa itu""
"Krem." Polan mengerjap. Padahal Pulung tidak meliriknya.
"Bajuku juga bagus, ya Nan""
Nansy menahan senyum. Ia melihat baju yang dipakai Pulung. Itu baju Gogor. Warnanya hijau. Aslinya putih. Karena bertotol-totol hitam bekas hujan, Kakek Sakeh mencelupnya dalam wenter hijau. Sedang celana Pulung coklat tua,
celana pramuka. Itu celana milik sendiri. Bukan pinjaman. Lucu tadi waktu pinjam baju. Gogor menyangka Pak Bayan marah lagi. Dikiranya baju Pulung disembunyikan. Kakek Sakeh siap melompat pagar sambil menggulung celana komprangnya, biar jangan tercantol pagar kayu petai cina. Lalu Polan ribut, tidak mau mengenakan baju itu. Terpaksa Pulung mengalah. Dia yang pakai, dan Polan harus mengerjap.
"Kau salah bikin kombinasi!" kata Nansy. Nah, Nansy bisa bilang kombinasi. "Warna hijau jangan didekatkan dengan coklat tua."
Polan mengerjap. Pulung tidak melirik lagi.
"Harusnya, Nan""
"Hijau begitu akan bagus dengan kuning muda. Tapi itu warna untuk anak perempuan. Anak laki jadi luculah!"
"Aku lucu, ya Nan"" "Iyalah!"
Oom Yan berdiri di pintu yang menghubungkan bagian itu dengan ruang dalam rumah. Berpakaian tidur. Matanya sayu. Rambutnya kusut. Tidurnya pasti terganggu.
"Maaf, Oom. Kami ribut di sini, ya Oom""
Oom Yan diam. Dia tersenyum. Tapi kaku sekali senyumnya. Pulung menghirup sirop. Panas sekali.
"Oma, aku pulang dulu, ya""
"Kok sebentaran, Lung" Ajak Nansy main
dulu!" "Lain kali, Oma. Aku mau disuruh Bapak!" Pulung bergegas keluar lewat pintu masuknya tadi.
"Daaah, Nansy!" serunya sambil melambaikan tangan dan melangkah.
"Daaah!" Di samping gedong lawang satus itu Polan berlari kecil mengikuti kakaknya. Ternyata Oom Yan mencegat di depan serambi.
"Pulung!" Terpaksa Pulung berhenti. Oom Yan mau bicara lagi. Tapi Pulung mendahuluinya, agar dia tidak kalah wibawa, "Oom Yan! Nansy mana""
Benar saja. Oom Yan terkejut mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sejenak ia gugup.
"Nansy... Nansy... tadi kau sudah ketemu di belakang... "
"Dia bukan Nansy!"
"Oh... siapa bilang" Dia Nansy sahabatmu!" "Saya tanyakan Nansy Evangeline!"
"Itu Nansy!" Pulung mendekat. Polan mendekat pula. Ke arah Oom Yan yang berdiri di depan serambi.
"Oom Yan! Jangan anggap kami anak kecil yang bisa dibohongi!" Pulung mendesak lagi. Kalau Oom Yan keburu bisa menguasai keadaan, Pulung pasti akan kalah. Kata Oom Wi, serang dulu musuh, jangan biarkan dia melawan. Itu teori pendadakan, kata Oom Wi. Teori untuk menang.
Pulung menyerbu lagi dengan ucapannya yang tegas, "Oom! Apa Oom Yan dipaksa sama
bandit"" "Ha" Bandit" Bandit apa itu""
"Oom Yan jangan bohong! Yang di belakang itu bukan Nansy! Oom Yan juga nipu Oma!"
"Oh! Jangan katakan begitu! Jangan katakan sama Oma!" Oom Yan melangkah bergegas ke arah Pulung. Tetapi Pulung mundur dan lari. Polan mendahului dengan lar
i sekencang-kencangnya. Oom memanggil. Tapi dua orang anak itu tak mau kembali.
Lari terus sampai ke depan rumah. Nafas memburu. Pulung berhenti sambil menarik nafas panjang-panjang. Agar nafas itu tidak susul-menyusul lagi.
"Percaya sekarang, Pol"" tanya Pulung setelah nafasnya agak reda.
"Ya! Kembalikan dulu baju itu!"
Pulung membuka baju dan berjalan ke arah rumah Kakek Sakeh.
"Kita hampir berhasil, Po!!"
"Kita maju terus! Sampai menang! Kita minta bantuan si Man!"
"Mulai sekarang, jangan panggil dia si Man! Oom Wi! Kita jadikan dia komandan kita! Kita harus hormat padanya"
"Oke!" "Aku juga komandanmu! Masa oke""
Polan tegak dalam sikap siap sempurna seperti dalam upacara militer yang diajarkan Pak Damsik bagi gugus depan pramuka di sekolah.
"Siap, Komandan!" seru Polan dengan menghentakkan nada suaranya.
Pulung tersenyum dan melemparkan baju pinjaman warna hijau itu ke kepala adiknya.
"Bawa baju Komandan ke sini!"
"Apaan! Mentang-mentang komandan, main suruh!"
"Nggak mau""
Polan mengerjapkan mata. Keterusan. Sejak tadi dia sering mengerjap-ngerjap.
Sekarang harus menghubungi komandan tertinggi di kota. Tidak usah ditunda lagi. Teori pendadakan menyebutkan, gerak cepat harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Setiap bagian rencana harus dilaksanakan serentak. Karena anggota penyelidik hanya dua orang, maka bagian demi bagian dilaksanakan bergantian. Sekarang juga!
Tetapi siapa suara perempuan di rumah itu" Sambil mengenakan bajunya, Pulung melangkah masuk ke rumah. Polan di belakangnya. Matanya masih mengerjapngerjap.
"Nah, itu dia Nak Pulung!" seru perempuan yang asyik mengobrol dengan Ibu. Panggilan 'Nak Pulung', seumur hidup baru sekali itu didengar telinga Pulung. Rasanya aneh. Lebih aneh karena yang memanggil adalah Mak Mansyur!
"Aduh, Nak Pulung! Dari mana" Mak Mansyur sudah dari tadi lho, nunggu Nak
Pulung!" "Nunggu... " "Iya! Ini,ni, lihat! Mak Mansyur bawakan buah jambu yang besar-besar dan masak. Lihat! Manis, lho ini! Jambu istimewa! Tidak ada jambu lebih istimewa lagi dari ini. Coba! Ayo dicicipi dulu!"
Sebuah jambu besar disodorkan Mak Mansyur. Ia mengambilnya dari keranjang. Banyak sekali jambu itu.
"Tidak. Terima kasih. Saya... " "Ini manis, lho! Coba! Coba dulu!" Pulung memegangi kepalanya. Dipijit-pijitnya keningnya.
"Kepalamu kenapa, Nak Pulung" Kenapa""
"Pusing!" "Ooo... pusing" Habis main melulu!"
"Kurang tidur," kata Ibu seraya bangkit. "Kalau malam kasak-kusuk saja sama adiknya!"
Pulung melangkah ke kamarnya. Otomatis, Polan ke kamar itu pula. Matanya mengerjap dua kali. Ibu menyusul membawa sebungkus obat pusing yang selalu disediakannya di lemari makan, dalam kotak triplek yang dicantelkan di dinding lemari bambu itu. Obat di lemari makan. Itu tidak sehat sebenarnya. Bisa lembab kena uap makanan.
"Ini diminum dulu," kata Ibu. "Ambil airnya, Lan."
Ibu apa jabatannya" Komandan nomor berapa dia" Polan melaksanakan perintah itu. Biar Ibu bukan komandan, perintahnya harus dilaksanakan. Apalagi oleh Polan, yang pangkatnya paling rendah!
Ibu kembali sibuk dengan suara Mak Mansyur yang sember. Bicara seperti kicau merbah. Tak putus-putusnya.
Pulung tidak mau minum obat. Nanti saja, katanya. Ia tengkurap di atas tempat tidur.
"Pijiti, Pol!" "Apanya" Kepalanya""
"Kaki!" "Yang sakit kepalanya, kok yang dipijit kakinya""
"Jangan bantah! Kupecat jadi anak buah,
nanti!" Polan memukul kaki abangnya. Lalu memijitinya. Seperti Bapak saja, minta dipijit kakinya. Terpaksa maulah, daripada dipecat.
Mak Mansyur pulang. Syukurlah. Tiba-tiba Pulung melompat bangun.
"Lho! Tidak jadi sakit""
"Penyakitnya sudah hilang! Tuh! Suaranya jauh dari sini!"
Ibu muncul di pintu kamar. Ia tersenyum manis sekali.
"Nakal kau, ya!" katanya menyesali.,"Ibu sampai bingung. Ibu kira sakit beneran!"
Pulung tertawa. Polan mengerjap.
"Kalau dia masih di sini, sakitnya masih
juga, Bu!" "Eee... tidak boleh begitu! Sama orang tua kok begitu kau, Lung" Bu Mansyur itu bukan teman sebayamu, Iho!"
"Tidak boleh brengsek sama dia, Bu""
"Tidak boleh kurang ajar juga."
"Dia kurang ajar sama Ibu!"
"Sudah! Sudah! Dia kan sudah minta maaf! Tuh
, jambunya dimakan. Manis, kok. Tadi Ibu sudah mencicipi."
"Tidak sudi!" Ibu terkejut. Mulutnya sampai ternganga. Heran dia, Pulung menyebut, 'tidak sudi' begitu tandasnya. Pulung sendiri kaget mengapa mulutnya bisa lancar menyebut ucapan itu. Sangat tabu, kata Bapak. 'Tidak sudi' hanya bisa diucapkan oleh orang yang sombong.
"Maaf, Bu." Pulung tersenyum pada Ibu.
Dia bangkit dan mencium tangan Ibu. Gayanya main-main. Tidak sungguhan. "Sori, Mam! Sori beneran, deh!"
Dan ia kaget melihat belang putih di punggung tangan Ibu! Oh, dosaku, jerit hatinya. Tangan yang mulus itu berbelang putih oleh ledakan telur yang menumpahkan nasi encer dalam panci! Pulung mencium punggung tangan Ibu lagi. Kali ini tidak main-main. Mencium sangat lama. Karena perasaan salah dan menyesal melihat tangan belang putih.
Ibu mengelus kepala Pulung. Pasti Ibu tidak tahu mengapa Pulung begitu lama mencium tangan itu. Ibu hanya menyangka Pulung minta maaf karena terlanjur mengucapkan 'tidak sudi'. Ibu tersenyum lagi.
"Kedengarannya lucu kalau kaupanggil Ibu seperti tadi," kata Ibu. Pulung diam. Tenggorokannya terasa terganjal. Kalau dia bersuara, bisa keluar titik air matanya. Terharu pada Ibu. Pada tangan dan kelembutannya.
"Panggil apa, Bu"" Polan ingin berperan, maka dia bertanya.
"Mam. Seperti... itu ya, seperti sandiwara di tivi, ya""
"Ibu kampungan! Dipanggil Mam saja
ribut!" "Ibu orang kampung, kok." Ibu berlalu. Polan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kita lapor komandan tertinggi sekarang""
Pulung mengangguk. Masih ada sisa rasa terharu. Polan berlari keluar kamar untuk mengeluarkarkan sepeda. Ibu mengikuti sepeda
itu. Tapi tidak bertanya Polan mau ke mana.
"Ke rumah si Man, Bu!" Polan bilang sendiri.
"Kok tidak pamit Bapak""
"Buru-buru, nih! Habis... habis sudah janji. Mau... mau mancing, Bu!"
"Tidak bilang dari kemarin" Ibu tidak sempat bikin apa-apa buat Tante Rus."
"Sudahlah! Ibu ribut saja kalau ada orang mau pergi!"
Polan buru-buru membawa sepeda menjauh agar Ibu tidak bicara lagi. Bisa gagal lapor komandan di kota kalau Ibu macam-macam. Pulung menyusul. Tanpa bersepatu, seperti adiknya. Tanpa sandal juga seperti biasanya kalau pergi ke mana-mana. Biar sepatu dan sandalnya awet. Tak soal diejek anak kota dengan kaki nyeker begitu. Diejek kan tidak sakit. Tak usah membalas. Kalau dijitak, baru balas menjitak. Tapi pernah juga Pulung tidak membalas ketika dijitak anak kopral tetangga Oom Wi. Soalnya anak kolong suka main keroyok. Pulung diam saja. Bagus, kata Tante Rus. Kalau Pulung bikin ribut di asrama, anak-anak kolong itu bisa benci Oom Wi dan Tante Rus. Anggap saja menitipkan Oom dan Tante di sana. Mengalah sedikit. Biar hati gondok, kepala harus dingin.
"Aku yang di depan, ya"" tanya Polan, mengharap jawabannya 'jangan'.
Tapi Pulung mengangguk! Polan mengerjap-ngerjapkan lagi matanya.
"Sudah! Jangan main mata lagi!"
"Keterusan!" "Kalau polisi kayak kamu, lekas mati, Pol!"
"Masa"" "Oom Wi pernah cerita tentang temannya yang menyamar dan masuk ke sarang bandit. Polisi itu punya kebiasaan menggerak-gerakkan ujung hidungnya tanpa sadar. Seperti kau mengerjap begitu. Penyamarannya gagal. Banditnya mengenal kebiasaan itu sebagai kebiasaan salah seorang anggota polisi."
"Banditnya ditangkap""
"Ya." "Polisinya naik pangkat"" "Masuk Taman Makam Pahlawan!" Polan takut mengerjap lagi. Tapi memang susah.
OOM WI terbahak-bahak sampai beberapa kali terbatuk. Meskipun Tante Rus tidak terbahak begitu, senyumannya juga sama dengan bahak suaminnya. Siapa mau percaya khayalan seorang anak kecil macam Pulung" Nansy diculik dan disandera kawanan bandit, bukankah lucu" Oom Yan dipaksa membawa Nansy palsu ke rumah Oma Angklik bukankah tidak masuk akal"
Bidadari Untuk Ikhwan 1 Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa Sampul Maut 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama