Ceritasilat Novel Online

Pulung Mencari Nansy 1

Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas Bagian 1


Pulung Mencari Nansy Bung Smas Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
DAFTAR ISI 1. Ayam Jantan Tugi 2. Si Cemeng 3. Setitik Air Mata Buat Ibu
4. Cucu Oma Angklik 5. Bukan Jagoan 6. Di Mana Nansy Evangeline"
7. Komandan Berkhianat 8. Jemput Aku di Polonia 9. Bu Guru Cantik Sekali 1 AYAM JANTAN TUGI MATAHARI sudah rendah sekali di langit barat. Tetapi sinarnya masih terasa menyengat. Musim kemarau, sepanjang hari terasa panas saja. Pohon-pohon turi di tepi jalan desa pun meranggas. Bunga-bunga putihnya rontok. Lucu bentuknya. Seperti burung kecil dengan tubuh pipih. Sayapnya pendek.
Bila bunga-bunga itu tidak layu, Polan akan mengumpulkannya. Ibu senang sekali memasak bunga turi menjadi ulam. Sayang bunga turi di musim kemarau tidak segar lagi. Dengan sedih Polan melangkah di jalan desa berdebu. Tak beraspal. Hanya batu-batu berserak di tengahnya. Bila musim hujan tiba, jalan ini becek sekali. Tetapi ada kabar gembira yang disambut orang desa itu dengan perasaan suka cita. Kata Pak Lurah, tak lama lagi jalan berdebu itu akan diaspal! Wah seperti apa ya, naik sepeda di jalan beraspal" Laju sekali. Mungkin seperti naik sepeda-sepedaan di Taman Ria. Ya, Polan dulu pernah ke Taman Ria di Jakarta. Dari desa itu, Jakarta jauh sekali. Bisa sebulan baru sampai kalau naik sepeda ke sana.
Polan tertawa sendirian. Naik sepeda ke Jakarta! Gila apa" Sedang mencoba mengayuh sepeda tua ke kota saja payah bukan main. Kapan ya, Polan naik sepeda ke kota" Oh ya. Sebulan yang lalu. Untuk latihan, katanya pada Pulung, abangnya. Latihan apa"
"Dua tahun lagi aku sekolah di SMP, kan"" jawab Polan ketika itu.
"Ya, harus ke kota kalau mau melanjutkan sekolah. Aku juga. Tahun depan harus kuat bersepeda enam kilometer pulang-pergi."
"Pergi-pulang! Masa pulang dulu baru pergi""
"Heh! Kamu kalau tidak membantah, tidak senang, ya""
Polan tertawa ketika itu. Senang dia punya abang Pulung. Bagaimana tidak senang" Di desa itu siapa sih yang punya kakak sehebat Mas Pulung" Bagaimana tidak hebat, coba" Dia pintar sekali naik pohon turi. Ada peristiwa lucu di pohon turi yang berjajar itu dulu. Mula-mula Ibu mengeluh tidak punya lauk untuk makan siang. Bapak belum gajian. Ah, Bapak mana pernah gajian" Kerjanya saja sebagai kebayan desa. Kebayan itu perangkat (pegawai) kantor Kelurahan. Tidak punya gaji. Tetapi punya sawah pemberian desa. Bapak mendapatkannya sejak dia menjabat sebagai kebayan desa. Orang memanggil dia Pak Bayan.
"Mana bisa Pak Bayan gajian, Bu"" tanya Mas Pulung dulu.
Mas Pulung itu brengsek apa tidak, ya" Dia tidak senang Polan suka membantah. Tetapi dia sendiri tukang membantah. Rajanya tukang membantah! Polan kan belum raja. Baru patihnya.
"Bapak selalu mendapat uang sebulan sekali dari kantor," kata Ibu.
"Itu bukan gaji! Kata Bapak. Itu uang pinjaman dari kantor Kelurahan. Bapak membayarnya kalau sawah kita panen."
"Itu bukan sawah kita!" Polan membantah juga. Patih tukang membantah, membantah ucapan raja-nya tukang membantah. Patih membantah raja.
Raja itu melotot matanya. "Wah, raja suka
galak, ya"" "Ngomong apa, kau"" serunya. Matanya masih melotot.
Polan tertawa melihat mata raja yang melotot itu. Pikir sang raja, melotot begitu wajahnya bisa menakutkan. Padahal malah
lucu. Matanya kan kecil sebelah. Yang kiri lebih sipit. Itu gara-gara pohon turi juga. Dia pernah jatuh dari pohon itu ketika mengakali layang-layang putus yang menyangkut di sana. Cabang kering pohon turi menyobek kelopak mata kirinya. Pernah menjadi koreng yang hampir sebulan lamanya tidak sembuh. Hampir tidak dibawa ke rumah sakit. Hanya diobati dengan getah pisang batu saja. Setelah sembuh, matanya sipit sebelah. Lucu kan. Kalau dia melotot" Lihat saja, tuh!
"He! Malah tertawa, kamu"" raja marah yang melotot itu membentak adiknya.
"Ngaku salah, nggak"" seru adiknya, patih yang bernama Polan itu.
"Salah apa""
"Kau bilang tadi, sawah kita!" "Benar, kan""
"Sawah desa kita! Bukan sawah kita! Itu yang benar. Sawah itu memang punya desa kita. Bapak boleh menggarapnya dan memungut hasilnya selama Bapak menjadi Pak Bayan. Kalau Bapak berhenti kerja, sawahny
a akan diminta kembali" Nah, itu bukan sawah kita namanya. Bukan sawah Bapak. Bisa ngomong apa tidak sih" Kalau ini rumah kita, baru benar. Rumah Bapak, Ibu, Mas Pulung,
Mas Polan... " "Cacing tanah tuh, yang mau panggil kamu
Mas Polan!" Polan tertawa. Ibu tertawa juga. Tapi Ibu ini aneh. Kalau tertawa, biasanya terus pura-pura membentak. Coba saja dengar suaranya!
"Sudah! Pergi sana! Adiknya brengsek,
kakaknya lebih brengsek! Mau makan, tidak""
"Mau!" Polan menyahut cepat. Ingat pernah dihukum Bapak seharian tidak boleh makan. Tersiksa benar rasanya. Perut seperti lengket ke punggung, lho!
"Pergi cari lauk!"
Mereka pergi mencari bunga turi. Di sanalah cerita lucu terjadi. Pohon turi itu yang menanam orang desa dalam kerja bakti yang dipimpin Pak Lurah. Berjajar di kanan kiri jalan desa berdebu. Pohon-pohon itu harus dirawat, tidak boleh rusak. Mengambil bunga turi untuk ulam, boleh saja. Asal jangan memanjat pohonnya. Bila dipanjat, dahan dan ranting pohon itu bisa patah. Kalau mau mengambil bunganya, goyangkan saja pohonnya. Bunga-bunga turi akan rontok. Tinggal memungut saja. Tetapi Pulung tidak suka bunga yang telah rontok. Itu bunga yang tua. Dibuat ulam tidak enak. Agak pahit rasanya. Yang muda lebih empuk dan tidak pahit. Pulung mau mengambil bunga yang muda. Maka dia memanjat pohon itu.
Di bawah, Polan mengumpulkan bunga-bunga yang dirontokkan kakaknya. Sedang asyik berdua di sana. Pak Lurah lewat di jalan berdebu. Polan bersiul memberi tanda agar Pulung segera turun. Tapi Pulung kadang-kadang bodoh juga. Dia tidak tahu isyarat itu. Dia malah ikut bersiul-siul. Memanggil angin, katanya. Kalau angin bertiup, pohon turi akan meliuk. Berada di atas sana bisa bergoyang-goyang seperti main ayunan.
Polan lari bersembunyi ke belukar di
tengah kebun kosong. Sedang Pulung masih asyik bersiul. Siulannya berhenti ketika di bawah pohon yang dinaikinya terdengar suara batuk. Yang batuk itu Pak Lurah. Pura-pura terbatuk saja. Kan bunyi batuk penyakit dengan batuk pura-pura itu lain.
Pulung melihat ke bawah. Pak Lurah berjalan santai, pura-pura tidak melihat pencuri bunga turi di atasnya. Pulung ketakutan. Celananya basah! Pak Lurah berteriak-teriak dan lari. Kopiahnya kena gerimis dari atas pohon turi. Bukan itu saja. Pulung melorot ke bawah karena ketakutan. Celananya sobek. Dengan begitu, dia pulang harus lewat kebun kosong dan bersembunyi di semak kalau ada orang lewat. Kan lucu itu"
Mengingat kembali yang lucu itu, Polan tertawa sendirian. Matahari masih panas. Dia melintas tepat di sisi pohon turi yang membuat kakaknya celaka itu. Pohon yang rantingnya menyobek celana Pulung. Mungkin pohon itu jahat. Dia juga pernah menyobek kelopak mata kiri rajanya tukang membantah!
"He, anak gila!" ada suara anak laki-laki berseru dari arah kebun kosong. "Tertawa-tawa sendirian!"
Polan berhenti melangkah. Dari kebun kosong keluar Tugi. Tinggi besar tubuhnya. Ujung kepala Polan hanya sedagu Tugi. Kalau berhadapan, Polan selalu mendongakkan kepalanya. Seperti sekarang.
"Eh, Tugi... " "Sudah lama kutunggu kau di sini!" seru Tugi sengit.
"Ada apa""
"Ada apa" Nggak tahu kesalahanmu""
Tak sadar Polan melangkah mundur setindak. Seram dia melihat wajah Tugi. Bayangkan saja. Pipinya tebal. Hidungnya besar. Dahinya menonjol ke depan. Matanya bundar. Mulutnya juga tak kalah seram. Bibirnya itu kukuh sekali. Seperti bibir arca batu di halaman kantor Kabupaten. Arca Gupolo, namanya. Raksasa perut buncit yang memegang gada!
Dan sekarang Tugi juga memegang gada. Oh, bukan. Itu hanya kayu, sepotong dahan pohon waru. Ringan sekali kelihatannya. Tetapi biar ringan, namanya saja kayu. Kalau diketuk-ketukkan di kepala, rasanya sakit juga. Bahkan menimbulkan pusing. Tetapi Tugi mana tahu" Dahan waru yang diketuk-ketukkan di kepala Polan itu disangkanya seempuk singkong bakar, barangkali.
"Aduh!" Polan mengaduh pada ketukan yang kelima kalinya. Padahal rasa sakit itu sudah menimpa kepala sejak ketuk pertama. Ah, Polan bukan anak cengeng" Baru sekali dipukul sudah mengaduh, itu cengeng namanya.
"Sakit, ya"" Tugi mengejek.
"Kaupikir tidak sakit, apa""
"Meloto t, lagi!" "Habis seenaknya kaupukul kepalaku!" "Ini pembalasan setimpal!" "Pembalasan apa"" "Tidak ngaku, juga"" "Bilang apa salahku!"
"Kau tahu aku punya ayam jago yang besar dan bulunya kemerah-merahan, kan""
"Ya." "Itu jago keturunan ayam bangkok."
"Iya, tapi jangan pukul lagi kepalaku!"
"Ayam jagoku bisa berkokok keras sekali. Di sini apa ada ayam yang kokoknya seperti ayamku""
"Tidak ada! Tetapi kepalaku bisa bonyok dipukul begini!"
"Aku tidak memukul. Hanya menggoyang-goyangkan kayu di atas kepalamu!"
"Aduh! Goyangnya terlalu keras!"
Tugi menyeringai puas. Anak nakal dia. Siapa tak kenal Tugi" Siapa tak kenal kenakalannya"
Pak Lurah itu orang linglung. Nama anak-anaknya sendiri saja tidak hafal. Anaknya kan ada lima orang. Kalau memanggil salah seorang, dia suka memanggil semuanya. Itu kan linglung namanya" Anak sendiri tidak hafal, siapa yang bernama Joned, siapa Sarwen, siapa Tumbing. Tetapi kalau ditanya siapa anak desa yang paling nakal, Pak Lurah hafal sekali. Yang disebutnya pasti nama Tugi. Bahkan kalau dia memanggil pegawainya dengan terburu-buru yang dipanggilnya nama Tugi! Padahal di kantornya tidak ada yang bernama Tugi. Kalau Gitu memang ada. Tidak bohong, lho. Nama orang desa itu memang aneh-aneh, kok. Ada yang bernama Saya. Kan aneh" Ada lagi yang bernama Kaca. Tidak tahu Kaca siapa. Gatutkaca, barangkali!
"Tidak ada si Pulung, kau bisa apa, Lan""
dia mengejek, si anak nakal yang jahat itu. Tetapi sepotong dahan warunya sudah diturunkan. Dia melambai-lambaikannya dengan aksi sekali.
"Sebenarnya kau mau apa, sih"" Polan bertanya kesal sekali.
Terus terang, melawan Tugi lebih sulit daripada berantem dengan kerbau gila. Percaya" Dulu pernah ada kerbau gila mengamuk. Polan di jalan desa itu juga. Kerbau menyeruduknya dengan bengis. Polan melompat ke samping. Dia memanjat pohon turi. Kerbau gila tidak melihatnya. Itu kan mudah" Tapi melawan Tugi bagaimana" Kalau naik pohon turi, Tugi bisa menarik kakinya.
"Ayam jagoku mati!"
"Mati"" "Kamu yang ngracun dia!"
"Tidak!" "Kamu kan pernah melemparinya""
"Soalnya ayam jagomu merusak persemaian tomat Mas Pulung. Tapi kan dia tidak mati waktu kulempar" Kena juga tidak!"
"Tapi sekarang dia mati!"
"Masa bodo!" "He! Kau nggak ngaku, ya""
"Bagaimana aku mengaku" Aku tidak pernah membunuh ayammu! Kau percaya" Membunuh tikus juga aku tidak tega! Kalau kepinding, tuh! Baru aku bisa!"
"Kupukul kalau kau nggak ngaku!"
Polan mundur selangkah. Tugi maju. Kayunya diayun-ayunkan lagi. Tetapi dia memukul bukan dengan kayu itu. Tinjunya saja
keras. Tinju kiri lebih besar dari tinju kanan. Soalnya dia kidal. Tinju kiri itu yang mendarat di pipi kanan Polan. Tepat di bawah matanya. Kontan jadi biru bengap pipi itu.
"Aduh!" Polan mengaduh. Biar baru dipukul sekali dia terpaksa mengaduh. Sakitnya minta ampun!
"Ayo, ngaku, nggak""
"Kau main pukul saja! Awas, kau!"
"Apa" Kau ngancam""
Polan mundur lagi dua langkah. Mundur lagi. Lalu tiba-tiba ia lari. Kencang sekali. Tugi menyorakinya. Senang sekali dia, Polan bisa dipukulnya tanpa melawan. Ah, dia memang senang memukul orang, kok. Seperti jagoan. Padahal otaknya kosong. Sekolahnya bodoh benar. Orang suka berantem, kata Bapak memang bodoh. Makanya Bapak melarang anak-anaknya berantem. Kalau Bapak melihat biru bengap di pipi kanan Polan, bisa marah dia.
Dengan gugup Polan memasuki rumahnya. Ia berpapasan dengan Ibu di dapur. "Dari mana""
"Main, Bu." Polan bergegas keluar lewat pintu dapur. Kalau Ibu melihat biru bengap itu, pasti akan ribut. Lumayan kalau tidak mengadu pada Bapak. Kalau sampai mengadu, wah! Bisa kena tendang pantat Polan. Bapak benci pada anak yang suka berkelahi. Bapak sendiri tidak pernah berkelahi. Bapak hanya mau berdebat. Dengan berbicara, orang bisa membela diri, kata Bapak. Itu memang benar. Ketika Bapak
ribut dengan petani yang menggeser batas sawah Bapak, petani itu sampai mengayunkan cangkulnya ke atas kepala Bapak. Tetapi Bapak diam saja, tidak melawan. Petani itu tidak benar-benar mencelakai Bapak. Lalu Bapak berbicara. Panjang sekali. Tahu-tahu petani itu minta maaf. Bahkan dia sendiri mengakui kesalahannya
telah menggeser patok batas sawah.
Halaman belakang rumah itu luas sekali. Merupakan kebun pisang dan ketela. Di sudutnya ada kebun tomat. Itu hasil kerja Pulung. Sesore ini dia juga di sana. Sedang menyirami tanaman tomatnya yang mulai berbuah. Bulatan-bulatan seperti bola kecil berwarna hijau merata di ranting-ranting perdu tomat yang subur.
"He! Dari mana saja, kau"" sambut Pulung begitu melihat adiknya.
Polan mendekat. Karena dekat, nampak tingginya tidak berbeda jauh dengan Pulung. Hanya satu sentimeter saja. Padahal usia mereka berbeda hampir tiga tahun. Pulung memang kontet. Orang sering keliru menyangka dia Polan. Wajah keduanya memang mirip. Mata mereka kecil. Hidung mereka tinggi seperti hidung Ibu. Bibir mereka juga tipis kemerah-merahan seperti bibir Ibu. Kata orang desa Ibu itu cantik sekali. Yang bisa menandingi kecantikan Ibu hanya Bu Lurah. Kedua anak Ibu pasti tampan karena banyak persamaan dengan Ibu. Sayang sekali, telinga mereka agak telalu lebar. Sering diejek anak desa. Kayak telinga gajah, kata mereka. Seperti sudah
pernah melihat gajah saja. Tapi mereka pasti tak berani mengejek telinga Pak Bayan seperti telinga itu. Kata Bapak, hanya orang-orang pintar yang telinganya lebar. Wah, senang sekali kalau begitu. Kalau lebih lebar pasti lebih pintar, begitu Polan sering menghibur diri. Biar diejek telinga gajah, kalau pintar kan senang"
"Pol!" Pulung berseru lagi, karena adiknya diam. Dia memanggil Polan dengan 'Pol', tidak 'Lan'. Biar mirip nama anak luar negeri. Di televisi depan balai desa, ada film seri yang jagoannya bernama Pol. Menulisnya "Paul". Sejak melihat film seri itu, Pulung memanggil adiknya Pol.
"Minta dibantuin, ya"" seru Polan, berusaha menyembunyikan biru bengap di
pipinya. Tetapi kakaknya sudah melihat warna biru dan pipi melembung itu.
"Habis main film, ya"" ejek Pulung.
"Iya," jawab adiknya. Polan tahu gaya Pulung mengejek.
"Film apa""
"Pembunuhan Ayam Jantan."
"Wah! Seru, ya""
"Seru. Tapi tidak ada yang nonton. Mainnya juga cuma sebentar, koq."
"Bintang filmnya berapa orang""
"Dua." "Si Pol sama siapa""
"Tugi." Pulung tertawa. Polan gemas ditertawakan begitu. Orang sakit ditertawakan! Awas, nanti kalau sakit sendiri, tahu rasa! Tapi tidak. Mas
Pulung tidak pernah sakit kena pukul. Dia kan pintar berkelahi. Sudah dibilang, mana ada kakak sehebat Mas Pulung di desa itu" Diam-diam dia berguru silat pada Wak Solikun. Sebenarnya Wak Solikun itu guru mengaji. Tetapi anak-anak desa tidak senang mengaji padanya. Mengajarnya galak. Suka memukul dengan lidi pohon aren. Untuk memikat anak-anak desa biar mengaji padanya, Wak Solikun mengajarkan silat di halaman langgarnya. Sejak saat itu mulai banyak yang mengaji padanya. Kalau sudah pintar mengaji satu juz, Wak Solikun mengajarkan satu jurus. Mas Pulung ini murid Wak Solikun yang paling pintar. Mengajinya maupun bersilatnya. Tetapi makin pintar dia jadi makin tidak senang berkelahi. Dia sering diejek Tugi. Tapi heran dia tidak pernah melawan. Rupanya ketularan Bapak juga. Tidak suka berantem.
"Coba ceritakan bagaimana jalan ceritanya." Kata Pulung sambil menunggingkan alat penyiram. Air selokan mengguyur perdu tomat. Berkerlip-kerlip bagai butiran mutiara yang memantulkan cahaya matahari sore. Di langit barat sana, matahari semakin rendah. Hampir menyentuh atap rumah Pak Lurah. Kalau dilihat dari halaman rumah Tugi, matahari itu seperti menyelip di antar daun dan ranting pohon turi yang jahat. Pohon yang menyobek kelopak mata dan celana Pulung. Pohon yang senang menyaksikan film 'Pembunuh Ayam Jantan.'
"Tugi menuduhku membunuh ayam jantannya."
"Kau tidak membunuhnya, kan"" "Masa adikmu jahat begitu, Mas"" 'Ya sudah. Didiamkan saja." "Masa tidak dibela" Kau tega benar sama adikmu""
"Enak saja dibela! Aku kalau berantem juga tidak ada yang membela. Mana pernah Bapak membela" Malah bisa kena sepak pantatku kalau Bapak tahu aku habis berantem!"
"Jangan bilang Bapak, ya""
"Tapi pipimu yang bengap itu apa tidak mencurigakan""
"Bilang saja habis latihan!"
Pulung tertawa pendek. "Kau senang amat bilang latihan!" serunya. "Latihan apa lagi""
"Latih an silat! Bilang kau habis mengajariku silat!"
"Kalau Bapak nyoba, bagaimana" Bapak kan tidak bisa dibohongi" Kalau Bapak memukulmu dan kau tidak bisa mengelak, ketahuan kau bohong! Bisa dua kali kena tendang pantatmu!"
Polan kebingungan. Matanya yang kecil berkedip-kedip.
"Habis bagaimana, dong"" tanyanya, "Masa kau tega, Mas""
"Aku juga sedang mikir bagaimana kalau Bapak tanya. Mikir juga bagaimana membebaskanmu dari tuduhan Tugi. Tidak enak kan, difitnah orang""
"Iya, bagaimana""
"Orang mikir harus tenang. Aku sedang kerja keras begini mana bisa mikir""
"Sini kubantu!"
"Nah, begitu dong!" Pulung tertawa bisa mengakali adiknya.
Alat penyiram tomat itu sekarang di tangan Polan. Pulung santai saja duduk di atas tanah. Punggungnya menyandar di batang pisang. Matanya redup. Mata kecil yang meredup. Bentuknya seperti bulan sabit. Ha! Bulan sabit itu sudah hampir dua minggu yang lalu ada di langit. Berarti malam nanti purnama penuh. Malam Jumat. Malam libur, tidak mengaji. Enak malam bulan purnama duduk di halaman rumah sambil mengobrol. Enak lagi kalau sambil makan sawo. Itu dia! Seminggu yang lalu pohon sawo di halaman belakang itu kan diambil buahnya"
Pulung bangkit dari duduknya. Ia menyeka rambutnya. Gayanya seperti Pak Damsik, guru kelas enam yang rambutnya berombak bagus. Padahal rambut Pulung itu sama sekali tidak berombak. Persis rambut Polan. Kaku. Di etalase toko mainan di kota sana, Pulung pernah keki melihat boneka karet yang rambutnya kaku seperti ijuk. Dia ingin memborong semua boneka seperti itu. Akan dibawanya ke desa dan dibakarnya habis. Soalnya boneka itu seperti mengejek saja. Rambutnya yang kaku itu kan persis rambut Pulung!
"Hei! Mau ke mana, tu!" seru Polan dari perdu tomat.
"Terus kerja saja! Aku sedang mikir!" Polan mulai kesal. Tahu dia sedang diakali kakaknya. Tapi biarlah. Kalau kebun tomatnya
panen kan Polan kebagian uang juga. Lumayan. Kalau diberikan rujak di belakang sekolah, bisa dapat satu keranjang penuh. Mulas, nggak tuh!
Di dekat pohon sawo itu ada kubangan tanah seperti sampah. Seminggu yang lalu Pulung membuatnya dengan kerja keras. Di sanalah dia menimbun buah sawo. Biar masak. Orang desa senang menimbun sawo dengan memanasinya dengan tangkai padi yang dibakar. Tetapi Pulung tidak suka cara itu. Mengasapi sawo dengan tangkai padi membuat buah sawo itu bau asap. Dengan karbit bisa membusuk. Pulung punya cara yang istimewa. Buah sawo ditumpukkan di antara daun-daun pohon anggrung. Di desa banyak sekali pohon anggrung. Pohonnya besar, tapi daunnya kecil. Tumpukan daun anggrung menimbulkan kehangatan. Dalam seminggu sawo mentah pun bisa masak. Jangan lagi yang sudah tua.
Dengan tangannya dia membongkar lapisan tanah yang menutupi timbunan. Ia merogoh tangan itu di antara tumpukan daun anggrung. Diambilnya sebuah sawo. Dia mencicipinya. Manis sekali. Kalau dua hari lagi tidak diambil, bisa busuk sawo itu.
Bergegas Pulung mengambil cangkul dan membongkar timbunan sawonya. Lima puluh buah lebih. Separuhnya bisa dijual ke pasar besok. Lumayan, Ibu pasti mau menjualnya. Hasilnya bisa buat membeli bumbu dapur. Malah bisa juga membeli sebatang pinsil. Pulung perlu sebatang pinsil yang lunak. Pinsilnya keras semua. Kalau dipakai menggambar sering merusak kertas.
"Enak saja! Sini kerja, situ makan!" seru Polan yang tahu-tahu berada di belakang punggung Pulung. Ia membanting alat penyiram yang bentuknya pipih dan bermoncong seperti paruh burung. Air akan mengalir bagai hujan karena ujung moncong alat itu diberi lubang-lubang kecil. Dengan menunggingkan alat itu, hujan kecil pun bisa dibikin.
"Jangan marah dulu! Kau juga boleh makan, kok!"
Pulung menyambar sebuah sawo.
"Mikirnya sudah""
"Sudah." "Bagaimana hasilnya""
"Beres." "Beres bagaimana""
"Malam nanti ajak teman-teman main ke sini, ya""
"Buat apa"" "Mau, tidak""
"Iya buat apa dulu!"
"Kalau tidak mau, ya sudah. Nanti Bapak menyepak pantatmu. Lumayan kalau cuma
sekali." Pulung tak acuh saja. Ia membawa buah-buah sawo itu dengan keranjang untuk disimpannya di dapur.
Adiknya berdiri saja. Mana dia tahu rencana di benak Pulung"
SEMUA anak juga tida k tahu. Pulung kan suka berteka-teki. Misterius, kata anak-anak.
Dia asyik mengobrol dengan teman-teman itu di atas selembar tikar anyaman pandan di halaman rumah. Di atas kepala mereka, bulan purnama penuh sedang tersenyum. Ah, tersenyum apa tertawa dia" Wajahnya bundar sekali. Di sekelilingnya ada lingkaran putih di langit biru bersih. Bintang ada berapa jumlahnya" Di sekitar bulan itu saja lebih dari seratus. Ada yang kemerah-merahan, ada juga yang kebiru-biruan. Kelihatannya hanya putih saja. Tetapi sebenarnya kan tidak putih sungguhan. Tidak percaya" Lihat deh! Pakai saja pesawat Columbia ke sana, ke bintang itu. Biar tahu bintang tidak putih warnanya.
Hanya berfikir tentang bintang saja si Polan itu. Duduk dekat-dekat Pulung agak risih kalau kakaknya sedang bersama teman-temannya. Teman-teman Pulung memang teman-teman Polan juga. Tetapi di tengah mereka kurang enak kalau ada Pulung. Soalnya bukan apa-apa. Pulung suka menyuruh itu menyuruh ini pada adiknya. Kan tidak enak disuruh-suruh di depan orang banyak" Ketahuan pangkatnya lebih rendah. Ketahuan dia cuma patih, dan Pulung rajanya. Raja tukang membantah.
"Kamu sudah tahu, adikmu dipukul Tugi"" terdengar suara salah seorang anak yang duduk di tikar. Polan mendengarnya. Dia sendiri duduk di bangku kayu, di bawah pohon kedondong yang ada di tepi halaman rumahnya. Pohon itu adalah batas tanah ayahnya dengan tanah milik orang sebelah. Orang sebelah itu bernama Kakek Sakeh. Halaman rumahnya lebih luas. Tetapi tanah di kiri-kanan rumahnya
lebih sempit. Yang bertanya itu cucu Kakek Sakeh. Namanya Gogor. Nama yang aneh. Gogor kan anak harimau" Anak macan! Padahal tubuh Gogor kerempeng. Wajahnya lucu, tidak mirip sama sekali dengan macan. Macan anak atau macan bapak. Kakek Sakeh pun tidak mirip macan kakek.
"Iya, Lung!" seru anak yang lain, anak yang paling cakep. Namanya Gono. Wajahnya mirip anak perempuan. Kulitnya halus. Dia juga bertingkah seperti anak perempuan. Gerakannya lembut sekali. Kalau dia perempuan, namanya bukan Gono. Mungkin Goni. Ha! Goni kan karung beras" Karung beras itu gendut. Gono mana gendut" Tangannya saja panjang begitu. Kakinya panjang seperti burung kuntul. Lehernya panjang. Serba panjang. Lebih panjang lagi bayang-bayang tubuhnya. Lihat tu! Lampu petromak yang menyorot dari pintu rumah, membuat bayang-bayang Gono paling panjang. Tidak hitam benar, karena bulan sedang bersinar.
"Tugi memang jagoan, ya"" kata Pulung.
"Tapi beraninya sama anak kecil!" yang menyahut Tumbing, anak Pak Lurah. Badannya tegap seperti ayahnya.
"Dia juga berani sama kamu! Badanmu kan besar juga""
Tumbing malu rupanya. Dia diam. Tangannya mencomot sebuah lagi sawo masak di atas tikar. Dia mengunyahnya enak sekali. Karena sawonya memang manis, dan karena sawo itu dipakai untuk pura-pura tidak mendengar ucapan Pulung. Kan malu, ingat
kepalanya pernah benjol ditonjok Tugi.
"Ayam Tugi itu brengsek!" kata Gono yang mirip anak perempuan.
Heran, anak-anak yang lain seperti tidak punya suara saja. Mereka diam. Asyik mengunyah sawo. Ada tiga orang yang diam. Diam tapi rahangnya tidak diam. Sibuk bergerak terus mengunyah sawo manis.
"Brengsek bagaimana"" tanya Pulung.
"Jam delapan malam sudah berkokok! Kan brengsek itu" Ayam penyakitan!"
"Kata ibuku, kalau ada ayam berkokok jam delapan malam begitu, bakal ada penyakit menular!" sambut Tumbing.
"Tidak. Kata ayahku, yang sakit ayamnya! Ayam sehat hanya akan berkokok sejak dini hari!" kata salah seorang yang diam itu.
"Kau juga banyak ayam, Gon!" sahut Pulung. "Ayammu juga berkokok pada jam delapan malam!"
"Itu gara-gara ayam Tugi! Ayamku kan nurut saja. Semua ayam kalau mendengar temannya berkokok, kan jadi ikut. Kalau tidak ikut, tidak setia kawan, dong!"
"Ramai, ya Gon""
"Brengsek! Ayam jagoku ada lima ekor. Semua ikut berkokok. Aku tidak bisa belajar. Aku kan hanya bisa belajar pada jam delapan malam" Sepanjang hari aku sibuk membantu Ibu di warung."
"Apa kamu punya Ibu, Gon""
"Ngaco! Nggak punya Ibu memang lahir dari pohon!"
"Kau tidak punya Ibu. Kau hanya punya
emak." Gono tertawa. Anak-anak ikut tertawa. Pulung memang rajanya t
ukang membantah. "Suara ayam jago yang ribut itu mengganggu belajarmu, ya""
"Iya! Tapi sekarang kan tidak. Syukur, ayam si Tugi sudah mati. Kan ayam-ayamku jadi nggak ribut lagi!"
Polan kesal sekali. Mau apa sih sebenarnya Pulung itu" Hanya duduk mengobrol saja. Dengan menggerutu Polan duduk saja di bangkunya. Sampai anak-anak pulang. Sambil melipat tikar, Pulung mencolek tangan Gono yang pulang paling akhir.
"Kau yang membunuh ayam jantan Tugi, kan"" bisik Pulung. Bisikannya terlalu keras, hingga Polan mendengarnya.
Gono tegak. Ia berdiri gelisah. Nyata kaki-kakinya bergerak tak menentu. Ditekuk, diluruskan, ditekuk lagi...
"Ngaku saja!" desak Pulung. "Adikku yang kena tuduh, tu! Pipinya biru kena tonjok Tugi!"
"Tapi... tapi..."
"Kau apakan sampai ayam itu mati" Kau racun, ya""
Polan menghampiri Gono dengan gemas. Ia memukul pipi kanannya. Gono mengaduh dan berlindung di belakang tubuh Pulung.
Polan memukul lagi. Tangan Pulung menangkap pergelangan tangan Polan. Polan memberontak. Tetapi Pulung memuntir tangan adiknya.
"Aduh... lepaskan.. aduh.. bisa patah tanganku... " Polan merintih.
"Sakit, ya"" Pulung mengejek.
"Aduh! Kenapa aku yang disakiti" Dia yang brengsek!"
"Apa kau tidak brengsek""
"Apaan" Gara-gara dia yang bunuh ayam itu aku yang dipukul Tugi!"
"Enak dipukul, ya""
"Dipukul, enak!"
"Sakit, kan" Gono juga sakit!"
"Tapi dia yang bikin gara-gara!"
Polan berontak lagi. Gono mencengkram pundak Pulung dari belakang.
"Jangan lepaskan, Lung... oh.. jangan!" dia ketakutan.
"Tidak. Biar sampai besok tidak akan kulepaskan."
"Aduh, Mas Pulung! Aduh... "
"Kalau mau jadi jagoan, jangan cengeng,
dong!" Polan mengerti kesalahannya. Ia main pukul saja. Apa bedanya dia dan Tugi, kalau main pukul begitu. Akhirnya Pulung melepaskan tangannya. Polan memijit-mijit bahunya yang sakit. Ia memandang marah ke arah Gono yang bersembunyi di belakang punggung Pulung.
"Awas, kau!" ancamnya.
"Mau lagi, Pol"" Pulung juga mengancam.
"Tolong, Lung... Tolong... " Gono merintih ketakutan.
"Pulang, Gon. Jangan lupa, jumpai Tugi dan akui kesalahanmu." "Tapi... Aku takut..."
"Waktu kaubunuh ayam itu, apa tidak
takut"" "Habis.. aku kesal... "
"Pulanglah. Berikan ayam jantanmu yang paling bagus untuk gantinya." "Kalau Tugi marah... "
"Tidak. Asal ada gantinya yang lebih bagus kan dia tidak marah. Bilang ayamnya yang mati itu ayam penyakitan!"
Gono lari kencang sekali. Polan tidak marah lagi. Bahkan merasa iba. Gono seperti anak perempuan saja. Bisanya lari dan menangis.
"Puas, kamu"" seru Pulung marah.
"Aku... " "Mau ditendang Bapak" Kubilang kau habis main film sama Tugi!"
Pulung beranjak ke rumah, pura-pura mau menjumpai ayahnya. Polan mengejar dan menangkap tangan kakaknya. Dipegangnya kuat-kuat.
"Jangan ngadu, dong!"
"Takut, ya" Takut kena tendang""
"Kan sakit""
"Kalau begitu kau belum jagoan, ya" Jangan sok, dong!"
Polan diam saja. Malu juga. Sok jago kan bukan jagoan sungguhan. Sedang yang jagoan kayak Mas Pulung, malah tidak sok jago.
2 SI CEMENG ADA suara tangis. Dekat pohon kedondong. Siapa dia" Polan menunduk. Ada bayangan di bawah pohon kedondong. Di tanah, tidak di bangku kayu yang ada di sana. Malam gelap. Purnama telah lewat. Menjelang pagi nanti bulan baru muncul. Itu pun bentuknya hanya segaris lengkung saja. Seperti sabut, bukan sabit. Kan tidak ada gagangnya. Hanya lengkungan saja seperti sabut kelapa.
"Siapa"" Polan menyapa. Takut sedikit. Siapa tahu anak hantu yang menangis" Polan kan penakut. Gara-gara Ibu sering menakut-nakutinya kalau menangis.
"Hu... hu... hu... "
Polan melangkah mundur. "Kalau kamu orang, nyahut dong! Kalau hantu terus bunyi hu... hu... hu... "
Bayangan itu berbunyi lagi, "Hu... hu...
hu... " Kontan Polan lari jumpalitan! Ia bertabrakan dengan Pulung yang sedang melangkah ke luar. Malam Minggu di rumah saja tidak seru. Enak berjalan-jalan. Ke mana saja. Kan masih sore. Baru pukul delapan. Ya, keluar dari langgar Wak Solikun tadi habis sholat isya.


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa, sih" Lari nggak pakai mata!" gerutu Pulung.
"Lari pakai kaki! Melihat, baru pakai mata!" bantah adiknya seraya melompat masuk ke rumah.
"Iya, tapi mat amu tidak dipakai!" "Yang dipakai baju, bukan mata!"
Pulung kesal dibantah terus kata-katanya. Ia melangkah ke luar. Mendengar suara tangis hu... hu... hu... di bawah pohon kedondong. Ia menghampirinya. Takut juga sedikit. Tapi kata Bapak, anak hantu tidak suka menangis, yang bunyinya hu... hu... hu... itu pasti tangis anak orang.
"He! Siapa yang nangis"" seru Pulung. "Ak... ak... ak..."
"Ak-ak-ak" Nggak ada nama itu di desa ini! Ayo sebut namamu! Kalau tidak, kulempar kau pakai batu!"
"Jangan! Aku... Gogor..."
Pulung mendekat ke bawah pohon kedondong. Ia membungkuk. Anak yang menangis hu... hu... hu... dan ak... ak... ak itu masih duduk di tanah.
"Anak laki-laki kok nangis!"
"Hu... hu... hu... "
"Nama kamu Gogor. Gogor kan anak macan! Anak macan tidak cengeng!"
Mungkin malu diejek bukan anak macan, tangis itu berhenti. Pulung menarik tangan Gogor. Anak itu berdiri bersandar di pohon kedondong.
"Kenapa nangis""
"Dipukul Kakek, Hu... "
"Hu-nya berhenti, dong!"
Hu-nya Gogor berhenti, Pulung tertawa. Di
pintu rumahnya, Polan berdiri. Malu dia. Gogor disangkanya anak hantu yang sedang menangis. Habis ketika disapa, dia bersuara hu... hu... hu...
"Ceritakan kenapa kakekmu marah," bisik Pulung. Hatinya iba sekali pada Gogor. Dia itu anak yatim-piatu. Sejak kecil ikut kakeknya. Kakek itu pun hidup hanya seorang diri di rumahnya. Berdua dengan cucunya yang yatim-piatu. Sayang Kakek Sakeh galak. Sering memukul cucunya. Kalau Tugi tua nanti mungkin seperti Kakek Sakeh juga. Suka memukul. Pulung dulu pernah juga kena pukul Kakek Sakeh. Memang yang salah Pulung. Suatu hari dia melihat Kakek Sakeh berdua Oma Angklik. Rumah Oma Angklik indah sekali. Satu-satunya rumah yang besar, indah dan mewah di desa itu. Oma Angklik memang kaya raya. Dia seperti Kakek Sakeh, tinggal seorang diri. Bedanya Oma Angklik punya pembantu banyak sekali. Namanya sebenarnya Angelique. Nama aneh. Semua orang desa memanggil dia Oma Angklik. Susah menyebut namanya yang benar. Dia marah kalau dipanggil Nenek Angklik. Padahal 'oma' itu artinya ya nenek juga. Nah, ketika Pulung melihat Kakek Sakeh berbicara dengan Oma Angklik, Pulung berseru, "Hei, Kakek Sakeh pacaran!"
Terang saja Kakek Sakeh marah. Dia mengejar Pulung. Mestinya Pulung bisa lolos. Sayang dia kepergok Bapak yang pulang dari kantor. Dia berhenti. Berpapasan dengan Bapak tidak berhenti bisa kena marah juga. Tidak sopan itu, Pulung harus sopan. Tapi jadi anak
sopan berat juga. Karena sopan dan berhenti, Kakek Sakeh bisa menangkap dan memukulnya.
"Aku disuruh Kakek ke kota," kata Gogor setelah hu-nya berhenti.
"Kau takut malam-malam ke sana""
"Ya." "Ayo, kuantar!"
"Tapi tak ada gunanya."
"Kok begitu""
"Aku disuruh nagih hutang Pak Sabu di kota. Aku tidak tahu rumahnya. Semalam aku ke sana, aku tidak menemukannya. Tadi aku kena pukul karena tidak mau lagi ke kota."
"Wah! Itu repot juga. Bagaimana cara aku mencari Pak Sabu kalau kau tidak tahu rumahnya""
"Pak Sabu berangkat kerja pada jam sembilan malam. Aku harus menunggu dekat bioskop. Dia akan lewat dengan sepedanya. Kata Kakek, pakaian kerja Pak Sabu celana monyet warna merah tua. Aku tidak lihat orang pakai celana monyet merah tua begitu di sana. Aku menunggu sampai jam sepuluh. Aku malah tidak berani pulang. Semalaman aku tidur di emper bioskop. Untung tidak ada yang mencuri sepedaku. Kalau sepedaku hilang... "
Perasaan iba makin mengiris hati Pulung. Kasihan benar si yatim-piatu ini. Punya kakek seorang saja, kejamnya minta ampun.
"Sekarang aku tidak boleh masuk ke rumah kalau aku tidak mengantar surat tagihan itu
lagi... " Pulung menepuk pundak Gogor.
"Yuk, kuantar! Kita cari sampai ketemu Pak Sabu itu! Kalau perlu, kita datangi tempat kerjanya."
"Aku tidak tahu dia bekerja di mana. Kakek Sakeh juga tidak tahu."
"Wah! Repot juga, ya" Tapi ayolah! Aku kan punya paman di kota" Dia jadi polisi. Ingat""
"Ya." "Kalau susah mencari Pak Sabu, kita minta tolong saja Paman! Polisi kan banyak akalnya! Ayo! Ini sudah jam delapan lewat. Kita harus ngebut ke sana."
Gogor ragu. Tetapi ia melangkah juga ke rumahnya. Polan mendekati Pulung.
"He, Pol!" "Mau per gi, ya"" "Jangan bilang Bapak sama Ibu, ya""
"Pergi kok nggak bilang""
"Pasti nggak boleh! Ini gawat, Pol. Kalau Bapak tanya, bilang saja aku ke rumah Wak Solikun. Mau latihan jurus tiga belas."
"Kalau Bapak menyusul ke sana""
"Ah, gampang! Wak Solikun bisa bohong sama Bapak, kan""
"Guru ngaji kok bohong""
"Bohongnya kan tidak jahat" Kalau dia tidak bohong, itu baru jahat namanya! Bapak bisa marah. Kena tendang pantatku! Kau saja selamat dari tendangan Bapak karena aku bohong sama Bapak. Waktu Bapak tanya kenapa pipimu biru, kubilang kau kuajari jurus! Sama-sama dong!"
"Oke!" Pulung tertawa lirih. Mentang-mentang
dipanggil Pol, Polan suka beroke-okean. Gayanya seperti Paul di film seri Minggu siang.
Dari pintu rumah Kakek Sakeh, terlihat bayangan Gogor menuntun sepeda. Tinggi sekali sepeda itu. Ukurannya tiga Puluh. Sepeda paling tinggi di dunia barangkali.
"Cemeng! Mau ke mana, kau"" terdengar suara Kakek Sakeh dari dalam rumah.
Gogor berlari sambil menuntun sepedanya.
"Meng! Cemeng!" seru Kakek Sakeh seraya keluar rumah.
"Panggil siapa, Kek"" tanya Pulung.
"Itu si Cemeng!"
"Cemeng siapa""
"Itu, kawanmu yang cengeng itu sekarang namanya Cemeng!"
"Gogor, Kek!" "Gogor, harusnya tidak cengeng. Karena dia cengeng, namanya kuganti Cemeng saja. Kau tahu cemeng itu apa""
"Anak kucing, Kek."
"Ya! Dia anak kucing! Bisanya merengek minta makan!"
Pulung menggeleng-gelengkan kepalanya. Terlalu sekali kakek tua yang punggungnya melengkung itu. Memanggil cucunya sendiri seenaknya saja.
"Dia anak kucing, Kek"" seru Pulung.
"Ya! Anak kucing kan cengeng""
"Kalau begitu Kakek bukan orang, ya""
"Kurang ajar!" Kakek Sakeh melompat hendak menyergap Pulung.
"Kabur!" seru Pulung.
Gogor melompat ke atas sepedanya. Pulung
mendorong sepeda itu dari boncengannya. Sepeda melaju kencang. Lampunya menyala. Lampu itu tidak terang. Tetapi pada kegelapan malam begitu cukuplah memadai. Pulung segera meloncat ke boncengan begitu kendaraan roda dua itu mulai laju. Gogor mengayuh dengan payah sekali. Dia tidak naik di sadel sepeda. Pantatnya hanya didudukkan di pipa yang membujur dari stang ke pangkal sadel. Sakit sekali pantatnya. Apalagi kakinya tidak sampai ke pedal kalau pedal itu berada di bawah. Padahal jarak ke bioskop di kota tiga kilometer.
"Ayo, cepat lagi! Kita tidak punya waktu!" seru Pulung memberi semangat Gogor.
"Berat! Mana dinamo lampunya rusak. Kita matikan saja lampunya, ya" Dinamo itu bikin roda depan tidak lancar berputarnya!"
"Jangan! Nanti nabrak! Ayo, kayuh lebih kuat lagi! Nanti gantian!"
Memang berat mengayuh sepeda itu. Mana poros-poros rodanya kurang minyak pelumas. Mana poros pedalnya sudah rusak. Mana poros pedalnya sudah pecah. Jadi dikayuh berat sekali. Tambah lagi roda depan harus digencet roda dinamo lampu. Makin berat saja. Pantat pun sakitnya bukan main. Payah jadi orang miskin. Kalau naik motor bebek kan enak. Di kota banyak anak kecil naik motor bebek. Sepeda motor yang bentuknya seperti bebek. Bebek! Kakek Sakeh punya itik banyak sekali. Itik itu ya bebek. Pulung ingat juga, suatu ketika dia menemukan telur itik Kakek Sakeh. Dia membalut telur itu dengan lumpur. Lalu
membakarnya di tungku. Ditimbun bara. Celakanya, telur meledak karena terlalu panas. Ledakan itu hebat sekali. Kebetulan Ibu sedang menanak nasi. Kasihan Ibu. Nasi yang masih encer itu tumpah. Menyiram tangan kanan Ibu. Sampai melepuh dan mengoreng. Sekarang meninggalkan belang agak keputih-putihan di punggung tangan Ibu. Sejak saat itu, Ibu dinyatakan kalah cantik dengan Bu Lurah. Soalnya tangan Bu Lurah tidak belang seperti tangan Ibu. Pulung selalu sedih mengenangkannya sampai kini.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit, mereka sampai di depan bioskop kota. Hebat juga tenaga si Cemeng itu. Biar cengeng, kakinya kukuh sekali. Kuat mengayuh sepeda seberat itu.
Keduanya berdiri di trotoar jalan. Mengawasi setiap orang yang bersepeda. Entah ke barat entah ke timur. Pokoknya yang bersepeda, diawasi. Bahkan yang tidak pakai celana monyet, ikut diawasi. Tegang juga. Gogor bolak-balik mengeluarkan kertas berlipat dari saku celana pendeknya. Itu surat untuk Pak S
abu. Kota sibuk sekali. Hilir-mudik kendaraan bukan main padatnya. Lampu kuning menyala di sepanjang trotoar. Lampu natrium. Konon sinar kuning itu bisa mengusir nyamuk. Padahal tidak enak dipandang mata. Seperti tidak terang saja. Enakan lampu neon putih.
Tiba-tiba ada keributan. Ah, cuma anak-anak kota yang iseng. Mereka mengganggu seorang lelaki tua yang gila. Lucu pakaian orang
gila itu. Bajunya seperti baju tentara. Tapi warnanya biru tua. Penuh tanda pangkat dan bintang jasa dari tutup botol. Dia pakai topi dari kertas koran yang dibuat runcing seperti topi harian tentara.
"Tuk, wak, tuk, wak!" orang gila itu berjalan ke seberang dengan langkah tegap.
"Pak Sersan! Jangan ke situ! Sini saja!" seru anak-anak yang mengiringinya.
Pak Sersan berhenti di tengah jalan. Tak peduli lalu lintas jadi kacau karenanya. Orang-orang menggerutu. Dia meniup peluit. Lalu memberi hormat entah pada siapa. Dia berjalan lagi mondar-mandir. Akhirnya menepi ke dekat Pulung.
"Mana rokoknya"" dia menyapa Pulung.
Pulung bingung. Pak Sersan itu menanyakan rokok. Karena bingung dan takut kalau orang gila yang dipanggil Pak Sersan marah, Pulung menunjuk ke arah penjual rokok di tepi jalan. Seorang perempuan setengah baya. Pulung menyesal. Perempuan penjual rokok itu kelihatan ketakutan sekali. Tangannya gemetar ketika menyodorkan sebatang rokok kretek pada Pak Sersan. Pak Sersan menerimanya dengan lahap dan menyalakan rokok itu dengan mendekatkan ujungnya ke lampu petromak penjual rokok. Nyala petromak menyinari bintang jasa di dadanya. Gemerlap sekali. Mungkin itu hiasan pada pakaian kuda. Bajunya yang di bawah lampu kuning kelihatan biru tua, ternyata berwarna hijau. Baju tentara sungguhan. Entah dia dapat dari mana.
"Tuk, wak, tuk, wak!"
Dia pergi diiringi anak-anak di belakangnya. Langkahnya tegap.
Pulung kembali memandangi pengendara sepeda yang lewat. Ia gugup. Jangan-jangan orang yang dicari sudah lewat sejak tadi" Tetapi tidak. Itu ada orang pakai celana monyet naik sepeda. Kok warna celana monyetnya tidak merah tua"
"Itu bukan, Meng"" Pulung berseru.
"Kaupanggil aku Cemeng!"
"Jangan ribut dulu! Itu bukan" Itu, tu! Ayo kita kejar!"
"Tapi warna pakaiannya... warna apa itu, jelek begitu""
"Abu-abu lusuh! Siapa tahu dia""
Pulung melompat ke atas sepeda. Ia mengayuhnya.
"E... tunggu, tunggu!" seru Gogor seraya mengejar.
Pulung mengayuh semakin cepat. Ada suara orang memaki dan mengutuk. Persetan! Mereka boleh mengutuk sesuka hati. Pulung memotong jalan begitu saja selagi tak ada mobil yang lewat. Gogor berhasil melompat ke boncengan. Pulung mengayuh sehabis daya. Seperti Gogor, dia juga duduk di pipa sepeda itu. Tetapi kakinya sampai ke pedal bila pedal itu berada di bawah.
Dengan payah ia bisa menjejeri orang yang pakai celana monyet warna abu-abu lusuh itu.
"Itu bukan" Lihat!" serunya.
Gogor mengawasi orang itu. Tinggi besar dengan berewok dari pelipis sampai dekat
dagunya. "Pak Sabu!" serunya setengah menjerit. Orang itu menoleh. Ia kaget melihat Gogor. "He! Kau... hm... cucu Pak Sakeh, kan"" "Ya, Pak. Saya mau ketemu Bapak!"
"Sebentar!" Orang berpakaian celana monyet abu-abu lusuh itu meminggirkan sepedanya. Ia berhenti. Kakinya menumpu di trotoar. Santai sekali. Duduk di sadel bisa enak begitu. Memang enak jadi orang tinggi. Seperti Kakek Sakeh itu, tingginya bukan main.
Pulung mencoba meniru gaya Pak Sabu. Duduk di pipa sepeda sambil menapakkan kaki kiri di trotoar. Tapi brengsek, pusat pantatnya sakit sekali. Rasanya seperti sobek. Ia menggeser pantatnya. Lipatan lututnya menggantung di pipa itu. Agak santai sedikit. Tapi kok tidak sopan ya, bicara dengan orang tua kakinya nangkring sebelah begitu" Ia menurunkannya. Sudahlah, tidak usah bergaya. Bapak saja bisa menjitak kepala Pulung kalau dia tidak sopan begitu. Bapak kan hobi menjitak. Juga hobi menyepak. Bekas pemain sepak bola, sih. Penjaga gawang, lagi. Suka menyepak dan menonjok bola. Pantat dan kepala anaknya dikira bola, barangkali!
Barangkali! Barang yang ada di kali! Di sana ada kali, di tepi jalan. Baunya menusuk sekali. Kali mampat. Hitam airnya. Hitam lumpurnya. Orang ko
ta jorok. Buang sampah sembarangan. Kali jadi mampat dan menebarkan bau yang merusak paru-paru. Dan barang di kali itu banyak sekali. Barang yang
mengambang berwarna kuning kemerah-merahan.
Gogor sih tidak mikir barang di kali. Ia mengeluarkan surat dari sakunya. Tanpa sampul. Itu juga kertasnya dari sobekan buku Gogor. Kakek Sakeh ngawur. Menyobek asal brebet saja. Kan catatan PMP-nya jadi rusak. Bisa gagal jadi orang Pancasilais, dong.
"Kok kamu nyegat di jalan" Nggak ke rumah"" seru Pak Sabu setelah dia selesai membaca surat itu. Tulisan ceker ayam. Sulit dibaca sekali. Mungkin Pak Sabu tidak benar-benar membaca. Pokoknya ada surat dari Kakek Sakeh, isinya pasti menagih uang penjualan bebek Kakek Sakeh. Sisanya tinggal dua ribu rupiah. Pak Sabu mencari yang dua ribu itu dari kantongnya.
"Saya tidak tahu rumah Pak Sabu."
"Lho, Kakek Sakeh kan pernah ke sana""
"Dia lupa ancar-ancarnya."
Uang dua ribu perak itu di tangan Gogor sekarang. Senang lebih-lebih dari makan ketupat lebaran. Tidak makan ketupat kan tidak dihantam Kakek Sakeh. Tidak menerima uang dua ribu ini, bisa diganyang lagi.
"Sebenarnya aku sudah mau ke sana kok. Tapi waktunya, sih. Ini, malam Minggu begini, aku juga kena giliran kerja."
"Bapak kerja di mana, Pak""
"Pabrik tekstil."
Gogor melihat ke dada kanan baju monyet Pak Sabu. Ada tulisan nama pabrik tekstil yang setahun lalu diresmikan Presiden.
"Terima kasih, Pak."
"Salam buat Kakek Sakeh, ya"" Pak Sabu
tersenyum. "Oh, hampir lupa. Bilang sama dia, ya" Seminggu lagi ke sana ambil anak itik pesanan itu!"
"Hm... pesannya ditulis saja, Pak!"
"Ya, betul," Pak Sabu mengambil bolpoin dari saku bajunya. "Coba kamu membungkuk. Pinjam punggungmu buat meja tulis!"
Gogor membungkuk. Geli sekali ketika ujung bolpoin Pak Sabu menari-nari di balik kertas surat Kakek Sakeh. Untuk tidak panjang suratnya. Pak Sabu membacakannya keras-keras, "Ini dengar isinya Kek, minggu besok jangan lupa siapkan sepuluh ekor anak itik jantan dan sepuluh itik betina yang besar. Nah, kasihkan sama kakekmu, ya. Ada yang pesan anak itik jantan, nih. Kakekmu punya, kan""
"Ya, Pak. Baru menetas kemarin."
"Yah. Pulanglah. Nanti kakekmu nunggu."
Pak Sabu melambaikan tangan dan mengayuh sepedanya. Pulung siap membonceng. Gogor tertawa senang.
"Heran! Kata kakek dia pakai baju merah tua" Apa mata Kakek rabun, ya""
"Naik dulu!" Gogor naik ke pipa sepeda. Pulung santai di boncengan.
"Mata Kakek Sakeh memang rabun sekali. Tapi baju Pak Sabu memang merah, kok."
"Itu abu-abu jelek begitu! Aduh! Berat amat, sih!"
"Kayuh cepat! Sudah dapat uang kan semangat!"
"He, Lung! Bagaimana kau tahu dia Pak
Sabu"" "Namaku kan Pulung."
"Iya Pulung!" "Tahu apa artinya Pulung""
Gogor mengayuh payah. Ia berseru, "Pulung semacam wahyu! Waktu kau lahir, kata bapakmu ada bintang pindah alamat. Orang desa menyangka itu wahyu yang turun. Kan di desa seberang dulu katanya ada pemilihan lurah. Bintang yang jatuh itu kata orang wahyu atau pulung yang turun di rumah calon lurah yang bakal dipilih. Na, namamu jadi Pulung, deh! Kalau yang jatuh nangka busuk namamu
jadi apa, ya"" "Yang bener nyetirnya! Banyak mobil. Nggak enak mati di jalan, Gor!"
"Ini bener! Namamu siapa kalau yang jatuh nangka busuk""
"Gorsuk!" "Apa Gorsuk" Gogor Busuk""
"Gori Busuk! Gori kan nangka!"
Gogor tertawa. Stang sepedanya agak melenceng ke tengah. Ia membetulkannya. Hampir kepalanya dicium kuda delman yang berpapasan dengannya.
"Pulung itu singkatan, Gor!"
"Singkatan apa"" "Polisi ulung!" "Wah! Sombongnya!"
"Betul! Kaupikir berapa kali sih aku bisa membongkar kejahatan" Itu, yang membunuh ayam jago Tugi, kan aku juga yang tahu" Ini kalau aku tidak turun tangan, apa kau tidak kena gebuk kakekmu lagi""
"Iya, deh! Tapi abu-abu lusuh kaubilang merah, itu yang aku nggak tahu! Jangan-jangan kau buta seperti itu, siapa cucunya Oma Angklik yang ke Medan itu" Siapa namanya" Bekas teman sekolah kita dulu!"
"Nansy!" "Ya, Nansy! Kau buta warna kayak dia!" "Kau yang buta warna! Merah tua kaubilang abu-abu lusuh!" "Memang abu-abu!"
"Lihat kulit tanganmu! Kayak kulit kerbau,
kan"" Gogor melihat kulit tangannya se
ndiri. Iya, seperti kulit kerbau saja. Padahal biar hitam, dia hitam manis, lho! Kerbau hitam apa namanya"
"Lho, kok begini!" serunya cemas. Kalau kulitnya benar-benar jadi seperti kulit kerbau, mending kena kemplang Kakek Sakeh, deh!
"Tadi tuh, baju Pak Sersan yang gila itu juga biru tua. Waktu mendekati petromak, ternyata hijau. Itu kan gara-gara lampu kuning
itu!" Dengan bimbang Gogor melihat lagi kulit tangannya. Jelek sekali. Ia lupa sedang naik sepeda. Stang sepeda itu melenceng ke tengah. Sebuah delman melintas dari arah depan. Di belakang delman ada mobil sedan. Sopirnya pasti orang brengsek. Di tengah kota ia menyalakan lampu jauh seperti di luar kota. Mata Gogor silau. Ia melihat kuda delman seperti bayangann hantu. Ia menjerit. Pulung meraih stang itu. Hanya kena yang sebelah kiri saja. Sepeda jadi menoleh ke kiri. Karena terlalu
laju, roda depannya naik ke trotoar. Naik terus. Sepeda bandel, seperti Kakek Sakeh saja. Bagaimana tidak bandel dia, di trotoar itu dia terus laju saja. Tidak mau berhenti. Hanya mau berhenti ketika dia, sepeda itu, sudah jatuh. Kalau jatuhnya di trotoar lumayan, paling lecet. Lha kalau jatuhnya di sungai mampat yang banyak 'barang kali'-nya"
Celaka itu. Betul-betul celaka. Sebab memang sepeda bandel telah terbenam di lumpur hitam. Membawa sopir dan penumpangnya. Malam-malam mandi lumpur hitam! Keduanya merayap bangun. Untung tidak sampai meminum airnya. Mereka sudah
lihai bagaima menghadapi kecelakaan dalam air. Tahan nafas mulut rapat, kaki harus mendarat lebih dulu. Itu karena mereka sudah biasa mandi di sungai. Tetapi mandi lumpur bau bacin begitu memang baru pertama kalinya.
"Gara-gara kau ngajak ngobrol!" Gogor mengerutu.
"Jangan berantem! Kau bisa mati berani lawan di sini! Kalau kepalamu kutelikung, lalu kumasukan ke lumpur itu, bagaimana""
"Memangnya ikan lele, bernafas dalam lumpur!", Gogor tertawa. Dia seperti Kakek Sakeh saja. Tidak mau mengaku kesalahan sendiri. Paling menyalahkan orang lain dulu. Yang mengajak ngobrol kan dia sendiri" Karena dia ingat itu, maka dia tertawa. Bukan karena takut dibenamkan dalam lumpur sungguhan. Pulung itu biar jagoan kan tidak brengsek. Tidak pernah sembarangan mencelakai orang. Jagoan apa kalau kerjanya mencelakai orang"
Dengan payah keduanya menarik sepeda ke atas. Orang-orang yang lewat tertawa-tawa. Hanya seorang yang mau menolong. Yang lain asyik menonton dan bergumam-gumam. Brengsek orang-orang itu. Kalau di desa Pulung, ada orang jatuh tersandung saja, bisa keluar semua orang dari rumah untuk menolong. Jangan lagi jatuh ke sungai kotor (dan di desa sana tak ada sungai kotor), bisa-bisa Pak Lurah memukul kentongan! Itu tanda bahaya. Orang bisa berkumpul di balai desa, mendengar bunyi kentongan itu. Seperti ketika bebek Kakek Sakeh dicuri orang. Yang kecurian
rumah Kakek Sakeh, yang dipukul kentongan di balai desa. Orang berkumpul semua di sana. Jadi Bapak Maling enak benar membawa dua puluh ekor bebek Kakek Sakeh.
"Celaka, Lung! Duitnya basah!"
Pulung tertawa. Gogor tidak memikirkan tubuh dan pakaiannya yang hitam bacin itu. Dia hanya, mempersoalkan uang.
"Kita semua celaka. Tidak hanya uang itu. Ayo kita pulang!"
"Dengan keadaan begini" Tidak mandi
dulu"" "Di mana" Oh, ya! Ke rumah pamanku
saja!" Mereka ke rumah paman Pulung di asrama polisi. Sepanjang jalan jadi tontonan orang. Jadi tertawaan. Mungkin juga ada yang menyumpah-nyumpah karena bau bacin tak kepalang. Biarlah semuanya. Orang kampung kan biasa ditertawakan! Apalagi dengan wujud seperti hantu sawah begitu. Kalau orang tidak tertawa, itu tidak waras. Seperti Pak Sersan. Dia masih ber-tuk-wak-tuk-wakan di jalan. Pulung dan Gogor yang melintas di dekatnya tidak diacuhkan.
Di depan asrama polisi ada bangunan rumah kecil dari papan. Namanya kandang monyet. Tapi yang berdiri dengan senjata panjang bersangkur ujungnya itu manusia. Entah siapa yang menamakan bangunan penjaga itu kandang monyet. Polisi kok tidak marah ya, dimonyet-monyetin"
"Jangan lewat depan, Gor! Aku tahu jalan kecil belakang sana. Ayo ke belakang! Kita bisa
disangka tuyul sama penjaga itu!"
Pulung menuntun s epeda itu lewat jalan kecil yang gelap. Lalu memutar sampai di bagian samping asrama itu. Ada pagar kawat yang terkuak. Mula-mula oleh kenakalan anak-anak kolong yang pergi main lewat jalan kecil di samping asrama. Lama-lama jalan itu dipakai penghuni asrama lainnya. Tidak ditutup... Jadi penjaga di kandang monyet itu untuk apa" Kalau ada orang mau membakar asrama polisi ini bisa enak lewat pagar kawat yang terkuak. Di kuakan itu Pulung menuntun sepeda. Rumah pamannya persis berada dekat pagar kawat menguak. Dia menyandarkan sepeda di dinding, lalu bergegas melompat ke teras rumah. Ia memencet bel. Kalau kelihatan penghuni asrama lainnya, bisa malu dengan wujud tuyul begitu.
Yang membuka pintu Tante Rus, isteri Paman Kopral. Dan Tante Rus menjerit kaget sekali melihat dua anak tuyul di depan pintu rumahnya. Paman Kopral yang duduk menonton acara musik malam Minggu di televisi melompat sigap. Palisi kan biasa melompat sigap, Kalau tidak sigap tidak jadi polisi. Namanya akan tetap saja Paman Wikan. Bukan Paman Kopral. Pangkatnya sekarang kopral satu.
"Ada apa!" seru Paman Kopral sambil menarik tangan Tante Rus, hingga tante yang manis itu berada di belakang punggungnya. Wah, hebat Paman Kopral. Seperti Pulung melindungi Gono saja. Begitu dong, jagoan harus bisa melindungi yang lemah. Bukan
sebaliknya menginjak yang lemah.
"Siapa"" dia menghardik. Bukan bertanya. Biar pakai tanda tanya, mengucapkannya dengan sentakan kuat. Jadi menghardik namanya. Polisi memang suka menghardik,
kok. "Aku, Man!" jawab Pulung. Enak, Ya"
Seperti sama temannya yang bernama Siman
saja. Rupanya, Paman Kopral tidak senang dipanggil Man saja. Walaupun 'Man' itu singkatan dari 'paman'. Kepalanya tegak lurus-Iurus. Kepalanya kopral satu itu plontos, rambutnya tipis. Tahulah Pulung akan kesalahannya. Sejak jadi polisi, Paman Wikan tidak mau dipanggil Man saja seperti dulu. Pulung harus memanggilnya Oom Wi. Sombong, ya" Padahal 'wikan' itu di kampung Pulung artinya 'tidak tahu'.
Paman Tidak Tahu, maunya dipanggil Oom Wi. Wah! Kalau dipanggil Paman Kopral, marah
nggak, ya" "Apa-apaan kau ini"" melotot mata Oom Wi, alias Paman Kopral itu.
"Apa saja deh, Ma... eh... Oom. Mau numpang mandi, nih!"
Tuyul bernama Pulung itu terus menyelonong saja ke dalam. Memanggil Oom rasanya masih kaku. Soalnya dari dia kecil dulu sudah biasa memanggil Man. Dulu si Man itu kan ikut Bapak di desa. Yang menyekolahkannya juga Bapak. Biar si Man itu adik Bapak, dia seperti anak Bapak saja. Soalnya umur Bapak beda jauh dengan
umurnya. Si Man anak bungsu Nenek dan Kakek. Kalau tuyul bernama Pulung disuruh panggil isteri si Man itu Tante Rus, dia tidak keberatan. Sejak kenal tante manis itu, dia memang sudah memanggil begitu.
"Ya, ampun!" seru tante yang manis. "Kukira anak setan, tadi! Kamu nakut-nakuti
Tante!" "Ini kecelakaan, Tante! Mana berani saya nakut-nakuti isteri polisi" Bisa masuk sel,
dong!" Tante Rus menggeleng-gelengkan
kepalanya. Kenal benar dia gaya kemenakan suaminya itu. Dengan pamannya akrab sekali, seperti dengan teman saja. Sekarang tuyul Pulung sudah menghilang di kamar mandi. Tinggal tuyul satunya lagi yang masih berdiri di depan pintu. Si Man menunduk untuk meneliti wajah tuyul yang hitam bau bacin itu.
"Kamu siapa, sih""
"Cucu Kakek Sakeh, Oom!" begitu biasanya jawaban Gogor kalau ditanya orang. Bangga dia menyebutkan nama kakeknya. Bangga menjadi cucu Kakek Sakeh. Memang, siapa tidak kenal kakek galak itu di desa"
"Wah! Sampai pangling, aku!" seru si Man. "Lihat nih, Mam! Ini kan Gogor! Itu, yang di sebelah rumah, Mas Bayan itu!"
Tante Rus yang dipanggil 'Mam' oleh si Man tertawa meledak.
"Minta ampun, deh! Anak-anak pada brengsek begitu!" serunya. "Ayo masuk! Masuk sini! Apa-apaan sih main setan-setanan begitu""
"Orang kota brengsek, Tante!" seru Gogor
seraya melangkah masuk. Agak canggung dia bertemu dengan Tante Rus dan si Man di rumahnya. Padahal kalau bertemu di desa biasa saja. Malah Gogor suka minta duit pada Tante Rus. Tante Rus itu kan jijik melihat bebek. Selama di rumah Pak Bayan, dia minta pada Gogor untuk tidak melepaskan bebek dari kandangny
a. Gogor sih mau saja. Asal ada uang sogoknya kan beres" Lumayan! Seratus perak sehari, mana bisa diterimanya dari kakek galak yang pelit"
"Brengsek bagaimana" Ngomong
sembarangan!" gerutu si Man. Pasti dia pura-pura marah saja. Itu kan gaya dia.
"Jorok semua!" "Joroknya" Kamu yang jorok, orang kampung! Piara bebek dalam rumah! Itu kan boss-nya orang jorok""
"Di desa tidak ada kali mampat. Orang kota bego, Ya Oom""
"Begonya bagaimana""
"Tidak bisa membedakan mana kali mana tong sampah! Buang sampah di kali! Jadinya kalinya mampat. Bau begini, lagi!"
"Sudah! Sana mandi! Bisa mati semua nyamuk kena bau badan kamu!"
Gogor tertawa-tawa. Agak hilang sedikit perasaan risi-nya. Dia menyusul Pulung ke kamar mandi.
Tante Rus menyiapkan minuman dan mengambil kaos T-shirt dua potong. Itu, yang seperti kaos oblong tapi bahannya agak bagusan dan lebih tebal. Di mencari celana kolor suaminya. Dua potong juga.
Tuyul-tuyul itu sekarang tidak jadi tuyul lagi. Sudah jadi anak orang beneran. Basah semua. Pulung berteriak dari dalam kamar mandi. Memanggil Tante Rus.
"Ada apa"" seru Tante Rus.
Pembantu Tante Rus terbangun mendengar teriakan itu.
"Siapa itu"" dia bertanya seraya keluar kamarnya di dekat dapur.
"Tolong ambil handuk! Aku lupa!"
Tuyul-tuyul yang sudah tidak jadi tuyul di kamar mandi itu ribut tertawa-tawa. Mandi bersama dan mencuci baju kotor sekalian di sana. Pembantu Tante Rus mengambilkan handuk. Dia juga orang sekampung. Namanya Mbok Sum. Dia mengenali suara Pulung dan Gogor.
"Pulung, Pulung!" dia menggerutu. "Kalau dateng mesti bikin ribut! Dateng-dateng kok mandi, sih""
"He, Mbok!" seru Pulung dari kamar mandi. "Keluarga Mbok Sum ada yang almarhum! Sudah dengar""
"Ya, Allah! Siapa"" Mbok Sum gugup.
"Kucing yang burik itu, lho! Dia mati terlindas sepeda motor!"
"Oh... kukira... aduh kamu, Lung! Senengnya kok bikin kaget orang tua saja!"
"Lha dulu kan waktu kucing Mbok Sum kutendang, Mbok Sum marah" Bilangnya sama kucing sudah seperti sama keluarga sendiri! Apa salah ngomong aku" Kan tidak""
"Iya, iya, iya! Ini handuknya, ini bajunya, ini celananya. Rasain, nanti! Kedodoran kayak
orang-orangan di sawah Pak Bayan!"
Bekas tuyul-tuyul di kamar mandi ribut. Tante Rus menyiapkan makanan. Seadanya. Nasi pun tinggal sedikit. Lauk-pauk hanya sisa.
Lalu dia tertawa melihat wujud anak-anak itu. Rambutnya basah. Kaos dan kolornya kedodoran tak kepalang.
"Tidak usah makan, Tante!" kata Pulung. "Mau terus pulang, nih!"
"Apa-apaan pulang" Ini sudah malam!"
"Kalau nginap apa tidak diamuk Boss""
"Bilang saja dari sini."
"Kalau Boss marah apa sempat bilang""
"Besok Tante antar ke sana. Kalau ada Tante, bapakmu kan tidak galak""
"Iya! Kalau Tante sudah pulang, dia kumat
lagi!" Baju-baju basah dibungkus dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Pulung tertawa-tawa pada Paman Kopral.
"Kapan ke kampung, Ma... eh... Oom""


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa sih di kampung""
"Banyak yang nyari Oom Kopral, Iho!"
"Siapa"" "Itu, ikan-ikan di kali! Mereka kangen sama
Oom Kopral!". "Omongmu!" Oom Kopral mendorong dahi Pulung dengan gemas.
Oom memang jago memancing. Pulung senang mengajak Oom memancing. Selalu dapat ikan banyak. Kata Ibu, Oom memang berbakat. Di ubun-ubunnya ada uyeng-uyeng (pusaran rambut). Namanya cunduk ubun-ubun. Itu tanda orang berbakat jadi tukang
pikat ikan. Kalau memancing pasti dapat banyak. Ikan seperti tersihir. Entah benar entah tidak, nyatanya di ubun-ubun Oom Kopral memang ada uyeng-uyeng dan dia memang jagonya orang memancing. Sedang Pulung seumur hidupnya belum pernah bisa memancing. Memancing sih bisa, dapatnya yang tidak.
"Dengan pakaian begitu macam kau mau pulang, Lung"" suara Tante Rus menyelinap.
"Memang aneh""
"Ya, daripada jadi anak setan kayak tadi, mending itu. Tapi apa tidak malu""
Ya, memang malu. Bayangkan saja. Ujung celana kolor itu sampai ke lutut. T-shirt Tante Rus seperti rok anak perempuan saja. Ditertawakan orang sepanjang jalan pun jadilah. Daripada jadi tuyul hitam!
MATANYA memicing. Dia memunggungi matahari sore. Mengamati anak-anak itiknya. Mencari yang jantan dan betina. Tapi susah sekali kelihatannya.
"Taruhan! Kakek pasti
tidak bisa cari yang jantan, kan"" seru Pulung. Tahu-tahu anaknya sudah berjongkok dekat Kakek Sakeh.
"Eh! Kakek... Kakek.. ah, biasanya Pak Sabu tidak rewel begini. Dia mau saja yang jantan apa yang betina!"
"Iya! Kakek kan tidak bisa memilih yang jantan""
"Aku... aku belum lama memelihara itik.
Aku memang belum ahli."
"Gampang, Kek. Aku mahir mencari yang jantan, kok."
"Heh! Apa iya""
"Ada upahnya, tu!" "Apa" Kau mau telur""
Pulung menggeleng. Ia memandang ke dapur rumah Kakek Sakeh. Di sana Gogor berdiri. Pulung menggoyangkan kepalanya tanda menyuruh Gogor pergi saja.
"Ada permintaanku, Kek. Tapi Kakek janji dulu mau mengabulkannya."
"Apaan itu" Nanti kamu minta kapal mabur1, bagaimana""
Pulung tertawa. Kemudian dengan sungguh-sungguh dia berbicara, "Aku tidak minta apa-apa, kok. Ada satu saja. Kakek pasti bisa mengabulkannya. Aku kan bukan tukang peras, Kek!"
"Ya, ya! Ayo, pilihkan dulu yang jantan"
Itu pekerjaan mudah buat Pulung. Wak Solikun kan punya itik juga. Pulung sering membantu mengurusnya setelah selesai latihan silat. Soal itik, sudah kenal betul dia. Memilih yang jantan dari anak itik yang baru berumur beberapa hari, apa susahnya buat dia" Tinggal melihat dubur itik-itik itu saja. Bila ditekan terlihat ada benjolan kecil yang runcing! itu pasti jantan. Memilih sepuluh ekor tidak repot.
"Ini pasti jantan"" tanya Kakek Sakeh dengan ragu setelah Pulung mengumpulkan sepuluh ekor anak itik itu.
Kapal terbang "Pasti!" "Wah!" "Bawa saja ke kota, Kek. Periksakan ke Dinas Peternakan. Kalau aku salah pilih, berani berhenti jadi 'pulung'!"
"Sombong, kamu! Berhenti jadi Pulung, mau jadi apa kau""
"Jadi Pulung juga. Pulung anak Pak Bayan. Tapi bukan lagi 'pulung' polisi ulung! Ha... ha...
ha...!" Kakek Sakeh ikut terkekeh. Dia senang benar pada Pulung. Anak lelaki yang gesit, cerdik, dan bisa berkelahi. Kakek Sakeh ingin sekali cucunya seperti Pulung. Tidak cengeng. Anak lelaki harus gagah. Anak lelaki yang gagah, itulah Pulung!
"Sebutkan apa permintaanmu!"
Pulung menatap Kakek Sakeh. Mata kakek tua itu dalam sekali. Mata yang kecil dan nampak menyipit karena keriput-keriput di kelopaknya.
"Hanya satu, Kek."
"Apa"" "Jangan panggil Gogor dengan nama Cemeng lagi. Kasihan dia, Kek."
"Ah! Dia memang cengeng kayak anak kucing!"
"Kalau begitu Kakek tidak menepati janji!"
Kakek Sakeh tertawa. Ia tahu maksud Pulung sebenarnya. Pulung ingin Kakek Sakeh tidak galak lagi pada cucunya.
"Kakek ingin Gogor itu gagah seperti kau, Lung. Tidak cuma bisa nangis seperti anak kucing!" katanya sungguh-sungguh.
"Apa waktu muda dulu Kakek gagah"" "Jelas! Di desa ini siapa tidak kenal
Kakek"" "Semua kenal. Karena Kakek orang yang paling tua disini. Semua orang juga kenal Oma Angklik, karena Oma juga paling tua di sini."
"He, kau akan bilang Kakek pacaran sama Oma Angklik lagi" Awas, kau!"
"Aku tidak main-main, Kek."
"Ya! Kakek juga sungguhan, nih. Bapakmu senang ya, punya anak seperti kau" Kalau bapakmu punya anak macam Gogor itu, pasti juga tidak senang!"
"Gogor pintar masak, ya Kek""
"Itu Kakek yang mengajarinya!"
"Gogor bisa mencuci dan menyeterika halus
sekali." "Itu juga Kakek yang mengajarinya!"
"Kakek hebat, ya" Bisa memasak, mencuci, dan menyeterika!"
"Iya! Kakek memang serba bisa!"
Pulung berjongkok lebih rapat lagi dengan Kakek Sakeh. Ada perasaan iba melihat jalur-jalur otot di tubuh telanjang dada Kakek Sakeh. Keriput sekali. Di mata Pulung, Kakek Sakeh itu juga kakeknya sendiri. Ia tidak punya kakek lagi. Entah kakeknya dulu mirip atau tidak dengan Kakek Sakeh. Tetapi melihat kakek yang galak ini, seolah dia melihat kakeknya sendiri saja. Ia pun sebenarnya tidak sampai hati akan mengakali Kakek Sakeh. Tetapi biarlah. Ia ingin Kakek Sakeh tidak galak lagi pada cucunya yang telah yatim-piatu.
"Gogor juga hebat, Kek. Dia bisa memasak,
mencuci dan menyeterika. Anak sebesar itu, siapa lagi sih yang bisa masak" Aku juga tidak. Bajuku juga Ibu yang mencuci dan menyeterikanya. Aku hanya bisa berantem, tidak bisa bekerja membantu Ibu. Gogor lebih hebat, Kek. Kalau dia tidak bisa masak, bagaimana Kakek bisa makan enak setiap
hari"" "Itu Kakek yang mengajarkan semuanya!" "Kakek ingin dia bisa berkelahi, Kek" Bisa gagah dan tidak cengeng""
"Iya!" "Kakek tidak mengajarinya bersilat. Kalau dia dilatih, pasti dia juga bisa!"
"Heh! Kaupikir aku tidak bisa bersilat, apa" Lihat!"
Kakek Sakeh bangkit dari jongkoknya. Ia bergaya seperti pendekar silat. Tangannya berserabutan. Kakinya ribut.
"Nih! Lihat! Apa yang begini bukan pandai pencak silat namanya" Pencak sama silat itu lain, Lung! Kamu tahu, kan""
"Ya, Kek. Pencak itu kebudayaan kita. Silat itu teknik berkelahi di sembarang tempat, di air, di darat, dan di mana saja. Itu berasal dari negara Cina. Pencak hanya teknik berkelahi di darat saja. Kakek punya dua-duanya, ya" Pencak dan silat""
"Ini apa namanya, pencak apa silat" Apa pencak silat""
"Bukan dua-duanya, Kek."
"He! Kamu bodoh amat" Yang begini bukan pencak bukan silat" Kaupikir ini tarian ronggeng, apa"" mata Kakek Sakeh melotot
ketika mengatakannya. Sebenarnya Pulung tidak sembarangan mencela. Lihat saja gaya Kakek Sakeh itu. Maksudnya mungkin pasang kuda-kuda. Kaki kanan ke depan, ditekuk agak rendah, kaki kiri lurus di belakang. Tubuhnya agak condong ke depan. Ah, kuda-kuda seperti itu mudah sekali ditumbangkan. Disepak dengan teknik tertentu, dia bisa jungkir-balik. Apalagi tangannya yang terjulur ke depan. Bentuk telapak tangannya seperti paruh bebek. Kalau kakek itu benar-benar bisa bersilat, tak akan begitu panjang dia menjulurkan tangan kanannya. Bisa ditangkap lawan dan bisa juga dipatahkah dengan mudah. Sedang tangan kirinya, menekuk di sisi dada. Menekuk begitu saja, tidak punya kegunaan untuk melindungi dada dan ulu hati. Tidak juga siap untuk menangkis dan menyerang. Gaya silat atau pencak dari mana itu"
"Coba kauserang kalau bisa! Ayo! Ayo maju!" tantang Kakek Sakeh. Pulung ragu. Ia tidak ingin mempermalukan Kakek Sakeh. Tapi kakek bandel itu memang harus diberi pelajaran. Biar jangan sok jago lagi. Biar jangan galak pada cucunya. Dia ingin cucunya bisa gagah, dia Sendiri tidak pernah mengajari bagaimana cara menjadi anak gagah. Apa tidak brengsek kakek ini"
"Kalau Kakek kalah, marah tidak""
"Tidak! Pendekar sejati tidak boleh marah kalah dalam pertandingan!" seru Kakek Sakeh dengan dada kembang-kempis.
Belum apa-apa sudah payah dia. Soalnya dia terlalu tegang. Dengan kuda-kuda tidak
sempurna begitu, banyak tenaga terbuang percuma. Padahal kedudukannya lemah sekali.
"Kalau Kakek kalah, Kakek tidak akan galak lagi""
"Terserah kau! Ayo serang! Hati-hati kau, nanti tanganmu bisa jadi angka delapan!"
Pulung terpaksa menyerang. Dia mengayunkan kaki kanan. Kakek Sakeh pasti menyangka kaki Pulung akan menyepak kaki kanannya. Maka Kakek Sakeh mengangkat kaki kanan itu.
"He, tidak kena!" ejeknya sambil tertawa.
Tetapi dia keliru menduga. Gerakan kaki Pulung itu hanya pancingan saja. Ketika kaki kanan Kakek Sakeh diangkat, berarti seluruh berat badannya hanya bertumpu pada kaki kirinya. Pulung mengayunkan kaki yang pertama tadi dengan gerakan rnenyepak bola. Jadi kakinya sekarang berada di sebelah kanan tubuh Kakek Sakeh. Itu gerak pancingan. Gerak serangan yang sebenarnya adalah kaki itu dihentakkan ke samping kanan dengan cepat. Tumitnya menghajar betis kiri Kakek Sakeh. Kakek Sakeh mengaduh kesakitan.
Kaki kiri itu adalah tiang bagi seluruh tubuhnya, karena kaki kanann ya terangkat. Tak ayal lagi, dia limbung dan jatuh terjengkang. Pantatnya terasa ngilu dan basah. Kotoran bebek digencet pantat itu. Dan anak-anak bebek berserabutan ke mana-mana dengan suara ribut. Juga bebek-bebek tua yang suaranya serak dan sember itu. Berlomba dengan jerit kesakitan Kakek Sakeh.
"Maaf, Kek! Maaf!" seru Pulung, seraya
menghampiri Kakek Sakeh yang duduk di tanah penuh kotor bebek. Ia akan mengangkat tubuh Kakek itu.
Tetapi Kakek Sakeh curang. Dia mengayunkan kakinya dengan gerakan seperti gunting menjepit. Gerakan itu tidak cepat, tidak juga tepat. Kakek Sakeh memang bukan jago benar-benar. Pulung bisa membaca gerakan yang lamban itu. Ia melompat. Serangan Kakek Sakeh bisa dihindarinya. Agaknya Kakek Sakeh marah. Ia bangkit dan meraih sepotong kayu.
"Awas, kau! Rasakan ini!" serunya seraya mengayunkan kayu.
Pulung lari sekencang-kencangnya. Kakek Sakeh menyumpah-nyumpah ribut.
Melemparkan potongan kayu itu. Tidak kena sasaran. Pulung sudah bersembunyi entah di mana. Kakek Sakeh merasakan nafasnya memburu. Ia megap-megap. Lalu duduk merasakan sakit di pantatnya. Ia terbatuk-batuk. Baru disadarinya kebenaran kata-kata Pulung.
Kakek Sakeh ingin cucunya tidak cengeng. Sebab dulu di masa kecilnya, sebenarnya Kakek Sakeh tak beda dengan cucunya. Sering dihina dan diejek karena penakut dan cengeng. Kakek Sakeh jadi malu sendiri. Kalau dia gagah dari dulunya, pasti dia punya cucu yang gagah juga. Kalau dia tidak cengeng dari dulunya, pasti cucunya pun tidak cengeng seperti itu. Ah, apa ada harimau beranak ayam" Cucu macan, pastilah gogor. Kalau Kakek Sakeh sudah jadi macan sejak dulunya, pasti Gogor itu benar-benar gogor, bukan cemeng!
Diam-diam Kakek Sakeh menyesal. Dia telah terlalu galak mendidik cucunya. Padahal kalau Gogor tidak cengeng, bukan cucunya, dong!
Dia bangkit dan menggeliat. Kepalanya menoleh kesana kemari mencari cucunya.
"Untung Gogor tidak lihat aku dibanting Pulung," gumamnya.
Dia tidak tahu, Gogor mengintip dari balik dinding dapur. Dia mendekap mulutnya agar tidak tertawa. Untunglah. Kalau tahu, Kakek Sakeh bisa malu.
3 SETITIK AIR MATA BUAT IBU
ULANGAN Ilmu Bumi pada jam pertama, aduh Mak. Hafalan-hafalan seperti menguap di kepala. Hilang tak tentu rimbanya, tak tentu desa dan kotanya, tak tentu, entah ke mana. Padahal semalam Tugi sudah hafal betul nama-nama kota di India. Itu, soal di papan tulis yang nomor tujuh itu, apa jawabannya" Soalnya sih mudah saja: Kota Naghpur di India menghasilkan apa"
Wah soalnya juga salah, sih. Pak Damsik belum pintar berbahasa Indonesia. Harusnya soalnya berbunyi: Kota Naghpur terkenal apanya" Lha kan soalnya kota Naghpur menghasilkan apa, jawabnya bisa apa saja. Bisa sapi, roti, martabak (ye, di India nggak ada martabak!).
Tapi soalnya benar atau tidak, jawabannya hanya satu. Yang satu itulah yang sulit. Kayaknya yang itu tidak ada di kepala Tugi. Makanya dia keringatan. Hidungnya basah. Dahinya basah. Pasti ketiaknya basah juga. Matanya yang bundar o... , tidak. Tidak basah. Mata itu berputar-putar mencari jawaban. Lalu tatapan mata bundar itu berhenti di wajah Pulung tepat di sebelah kanannya.
Pulung tahu apa arti tatapan Tugi. Dia pasti tidak tahu jawaban soal itu. Pulung melirik ke kiri. Dia melihat kertas ulangan Tugi. Nomor tujuh masih kosong.
"Lung...," lirih bisik Tugi.
Nah, tu! Anak bandel yang doyan berantem, bodo, kan" Menjawab soal encer begitu tidak bisa dia. Kalau memukul kepala Polan, baru
lihai! Pulung melempar pandang. Berhubung Pak Damsik sedang menatapnya, Pulung tidak bisa berkutik. Dia hanya memberi kode saja, "Enak numpak sepur..."
Harusnya Tugi tahu. Kalimat Pulung itu bahasa Indonesianya adalah 'enak naik kereta api'. Diucapkan oleh Pulung 'enak numpak sepur. Kalau disingkat jadi 'nakpuf. Mirip 'Naghpur', kan" Maksud kalimat kode Pulung adalah 'kereta api'. Ya, di kota itu memang ada pabrik lokomotif.
Tapi Tugi mana tahu kalimat kode itu" Matanya masih melotot ke arah Pulung. Melotot itu juga kode, barangkali. Dia minta benar-benar jawaban dari Pulung. Karena kasihan, Pulung menyobek kertas dan siap menulis jawaban untuk dilemparkan ke Tugi. Tapi celaka! Pak Damsik melihat gerakan Pulung!
"Ada apa"" tanya Pak Damsik.
Waduh! Gawat! Orang mau menolong juga bisa celaka. Soalnya menolong orang di ulangan begitu kan namanya kesalahan. Pulung gemetar juga. Pak Damsik suka nyetrap. Kena setrap kan malu! Sakit sih bisa diobati. Malu apa sih obatnya"
Sekarang Pak Damsik melangkah mendekat.
Pulung tak berani menatap wajahnya.
Padahal wajah Pak Damsik itu cakep. Tapi kalau melangkah begitu pada saat dia akan menangkap basah perbuatan Pulung, rasanya serem juga. Pulung hanya berani menatap kakinya. Ha! Sepatu Pak Damsik itu...
Cepat-cepat Pulung menulis sebuah kalimat di sobekan kertas.
"Berikan kertasmu!" seru Pak Damsik.
Anak-anak terkejut. Mereka ikut tegang. Kasihan Pulung kalau sampai tertangkap basah. Dan sek
arang kertas sesobek itu telah berada di tangan Pak Damsik. Guru itu membaca kalimat di sobekan kertas. Bunyinya,
'Sepatu Bapak hitam sebelah'.
Pak Damsik menunduk untuk melihat sepatunya. Benar saja. Yang kiri hitam, yang kanan coklat tua.
"Lho! Jadi saya ini pakai sepatu keliru, ya"" serunya malu.
Anak-anak melongok ke sepatu Pak Damsik. Mereka tertawa.
"Waduh! Tadi saya buru-buru. Bangun kesiangan!" seru Pak Damsik lagi.
Pulung tersenyum. Dia juga bangun kesiangan. Pol itu brengsek juga. Kalau Pulung terbangun kesiangan, dia malah senang. Dia pergi saja sekolah sendirian. Makan pagi pun sendirian. Pulung yang terlambat bangun tidak sempat lagi makan pagi. Bisa kelaparan dia. Padahal tidak biasa membawa uang jajan.
Karena kecelakaan Pak Damsik itu, selamatlah Pulung dari ancaman setrap. Tapi perut lapar sih tidak ampun juga. Lapar sekali, sampai jam istirahat Pulung duduk saja di belakang sekolah. Melihat tingkah anak-anak beruang - anak orang yang punya uang - asyik makan rujak atau pecel lontong. Duh, makin lapar saja perut rasanya. Si Pol ke mana, dia tidak tahu. Terang saja si Pol tidak berani muncul. Bisa kena marah jagoan nanti!
Tugi menghampiri Pulung. Menghadapi anak yang suka berantem, biasanya Pulung berdiri. Siaga, kalau sewaktu-waktu harus bertempur. Tapi dengan perut lapar begitu, berdiri bisa pusing kepala. Dia duduk saja, di akar pohon nangka yang mencuat ke atas tanah. Tugi berdiri, dekat sekali. Kalau kakinya
menyepak, Pulung bisa terguling.
"Lung...," dia memanggil. Kakinya tidak menyepak kok.
"Apa"" Pulung menengadahkan kepalanya.
"Terima kasih, ya!"
"Apa"" "Contekannya." "Tadi aku gagal. Habis Pak Damsik awas
sekali!" "Waktu dia menunduk melihat sepatunya, aku sempat lihat jawaban soal nomor tujuh punyamu."
"Ha" Berhasil""
"Ya. Malah nomor delapan aku tahu." "Ah. Kau tukang nyontek, ya"" "Habis yang dihafal tidak keluar." Pulung diam. Perih sekali perutnya.
"Lung." "Apa lagi""
"Maaf, ya. Aku pernah memukul adikmu."
"Semua anak sudah pernah kaupukul, kan" Apa kau sudah minta maaf pada anak yang pernah kaupukul""
"Polan bilang dia mau memaafkan aku asal aku sudah minta maaf padamu."
"Anak lain yang pernah kaupukul" Sudah minta maaf pada mereka""
Tugi diam saja. "Kau hanya minta maaf pada si Pol karena kau takut padaku. Aku kan jagoan, Gi!"
"Ya." "Jadi kauminta maaf karena rasa takut. Tidak tulus. Aku tidak bisa memaafkanmu!" "Jadi... jadi kau masih dendam""
"Dendam sih tidak. Kalau kau berani pukul lagi Polan, tahu rasa! Melawan anak kayak kamu itu apa susahnya, Gi" Kamu sebenarnya bukan jagoan. Kamu kan menang badan besar saja" Tenagamu kuat. Tapi badan besar dan tenaga kuat belum tentu menang lawan yang kecil tapi gesit. Mau coba""
"Tidak, Lung." "Coba saja, kalau berani!"
"Tidak." "Badanku kan kalah besar sama kamu!" "Tapi kau jago silat."
"Aku jago, ya"" "Jago."
"Aku juga jago lho, di kelas."
"Ya, kau memang serba jago."
"Kau tidak ingin jadi jago seperti aku""
"Ingin." "Belajar dong yang benar. Jangan keburu sok jago dulu. Soal nomor tujuh yang begitu gampangnya saja kau tidak tahu. Malah sudah kuberi kode 'enak numpak sepur' kau masih belum tahu juga. Apa ada sih orang yang lebih bodoh lagi dari kamu, Gi" Percaya" Si Pol itu biar belum kelas enam, tahu juga jawaban soal nomor tujuh. Tanya saja padanya!"
Tugi menunduk. Benar, dia memang bodoh. Badannya besar, kepalanya besar, tapi otaknya tidak besar. Malu dia. Malu sekali. Kalau ingat Gono datang membawa seekor ayam jantan untuk mengganti ayamnya yang diracun pun malu. Gono mengaku dia yang membunuh ayam itu. Karena ayam penyakitan punya Tugi suka berkokok pada pukul delapan malam.
Ayam-ayam di kandang Gono jadi ikut berkokok. Gono tidak bisa belajar. Ah! Padahal Tugi yakin pasti Polan penjahatnya. Dia pernah melihat Polan melemparkan batu ke arah ayam jantan yang konon keturunan ayam Bangkok itu. Menuduh sembarangan. Kalau bukan anak bodoh, apa namanya"
Bel berbunyi. Pulung bangkit dengan kaki goyah. Dia berjalan meninggalkan Tugi yang masih merasa malu karena dirinya bodoh sekali.
KALAU pada jam istirahat saja perut sudah perih apalagi pada ja
m pulang sekolah. Minta ampun benar. Kaki rasanya lemas sekali. Pulung mengambil jalan pintas menerobos kebun orang. Biar cepat sampai rumah. Tak peduli si Pol itu ke mana dan lewat jalan mana.
Masak apa Ibu hari ini" Tanggal tua. Bapak belum dapat pinjaman dari kantor. Pinjaman atau istilah Ibu sih 'gaji'. Pasti masakan pun seadanya. Paling sayur asam dan tempe goreng berlapis terigu. Lumayan. Perut begini lapar, bisa habis dua piring. Mengingat dua piring nasi putih panas dengan sayur asam segar, Pulung makin ingin cepat sampai saja. Ia lari dengan sisa tenaganya. Ia tahu bagaimana, cara lari supaya cepat dan hemat tenaga. Itu kan pelajaran pencak silat juga. Badannya membungkuk. Dengan berat condong ke depan, maka bila lari seperti didorong saja. Sebab berat badan berada di depan. Lari dengan ujung kaki.
Sepatu karetnya enteng sekali. Bagus. Dia bisa lari seperti jago silat di film kung fu yang ditontonnya bersama si Man yang kini namanya jadi Oom Wi alias Oom Kopral.
Sampai di rumah, dia melompat ke pintu. Tidak dikunci. Ibu biasa tidak mengunci pintu rumah papan kayu jati itu pada siang hari. Pulung melemparkan tas ke kursi depan, lalu melompat ke ruang tengah yang ada meja makannya. Hah! Di meja makan itu tidak ada apa-apa! Dia berjingkat ke lemari di sudut. Lemari makan namanya. Tapi bukan lemari dari kayu. Itu barang antik. Kalau dijual di toko barang antik, harganya bisa mahal. Hasil karya Bapak. Terbuat dari bilah bambu kuning yang tebal tetapi disayat kecil. Bilah-bilah bambu dijajarkan dan dipaku ujungnya. Tiang-tiangnya dari kayu persegi empat. Engselnya pun hanya dari karet bekas ban sepeda. Engsel itu berada di dalam, jadi tidak kelihatan dari luar. Pokoknya lemari bambu begitu bisa mahal kalau divernis sampai mengkilap.
Dan sekarang lemari bambu terbuka. Tak ada makanan apa pun di sana! Heran, apa Ibu sakit" Pulung lari ke kamar Ibu. Tak ada juga yang namanya Ibu.
"Buuuuuuuuu!" dia berteriak panjang.
Ibu tetap tidak muncul. Yang muncul si Pol di pintu depan.
"Ada apa teriak-teriak!" seru Pol seraya melangkah masuk dari pintu depan. Ia menyimpan tasnya di kamar. Tenang saja. Kan perutnya tidak selapar perut Pulung.
"Ibu tidak ada!"
"Biar tidak ada asal makanannya ada, kan beres""
"Makanan juga tidak ada!"
"Ha"" "Ini tanggal tua."
"Tapi kita belum pernah tidak makan pada tanggal, tua, kan""
"Sekali ini kita tidak makan!"
Polan ikut mencari makanan. Benar-benar tidak ada. Dia lari ke dapur. Tak ada tanda-tanda Ibu memasak. Ibunya sendiri ke mana, juga tidak tahu.
"Mas!" "Apa""
"Jangan-jangan... "
"Apa"" "Ibu diculik!" "Hus! Kayak di film saja!"
"Siapa tahu""
"Di sini mana ada culik-culikan""
Tetapi biar Ibu tidak diculik, aneh juga kalau dia tidak ada sesiang ini. Pulung menyeret kakinya dalam langkah-langkah gontai. Ia sampai di belakang rumah. Kebun tomatnya sudah panen. Kalau masih ada buah-buahnya yang masak, lumayan buat mengganjal perut. Makan lima buah saja bisa kenyang. Di balik pagar pekarangan rumah itu, Kakek Sakeh sedang sibuk di kebun. Ada Gogor di sana. Sedang makan sambil menunggui kakeknya. Aneh sekali. Biasanya Gogor tidak pernah makan selagi kakeknya bekerja.
"Hei, sini kau!" seru Kakek Sakeh begitu melihat Pulung.
Kalau Kakek Sakeh melompat ke pagar dan akan menangkap Pulung, anak itu tak berdaya dalam kelaparan begitu. Tetapi wajah Kakek Sakeh kelihatan ramah sekali. Ia tersenyum-senyum.
"Sudah makan""
Pulung menggeleng. "Kasihan ibumu... "
"Kenapa" Kenapa Ibu, Kek""
Kakek Sakeh menghela nafas panjang. Gogor masih duduk di atas sepotong kayu sambil menikmati makanannya. Ia tak acuh
saja. "Tadi isteri Pak Mansyur ke sini. Marah-marah sama ibumu."
"Ha" Kenapa""
"Minta ganti rugi pada ibumu. Uang belanja hari ini diberikan semua pada Mak Mansyur."
"Ganti rugi apa" Apa salah Ibu padanya""
"Kemarin waktu kau akan kupukul pakai kayu, sembunyi di mana""
"Di kebun Pak Mansyurl"
"Itu soalnya." "Kenapa"" "Tadi pagi Mak Mansyur ribut melihat buah jambunya habis dimakan orang. Dia menuduhmu."
"Tidak! Aku tidak mencuri jambunya!"
"Tapi dia mana percaya" Mak Mansyur ke sini dan ribut sekali dia. Ibumu
malu, pasti. Dia memberi ganti rugi. Kasihan, Lung. Ibumu jadi tontonan orang. Apa kata orang sekarang" Anak Pak Bayan jadi pencuri!"
"Aku tidak mencuri jambunya!"
"Tapi kemarin kau sembunyi di sana. Pak Mansyur lihat kau disana. Isterinya juga lihat kau disana. Siapa tidak menuduhmu kalau paginya buah-buah jambu itu hilang" Kata Mak Mansyur semalam kau mencuri jambu itu. Sorenya kaulihat-lihat dulu!"
"Fitnah!" "Tapi semua orang percaya kau yang curi. Ibumu pasti malu sekali anaknya jadi pencuri."
"Kek! Jadi Kakek percaya juga aku bisa jadi pencuri""
"Kata orang begitu."
"Kalau aku jadi pencuri, buat apa cuma buah jambu yang kucolong" Apa bebek Kakek itu tidak bisa kucuri" Gampang, Kek!"
"Jangan marah padaku, Lung. Tadi aku tidak membela ibumu. Soalnya kau kemarin sore di sana. Aku takut salah, kalau kubela ibumu."
"Lung!" Gogor memanggil. "Kalau belum makan, kamu makan sini saja!"
Pulung tidak menyahut. Ia berjalan ke rumah Iewat pintu belakang. Rasa lapar seolah hilang karena kemarahan yang menggelegak di dadanya. Juga rasa iba pada Ibu. Seperti apa malunya Ibu ketika Mansyur datang dan ribut" Di desa ini semua orang menaruh hormat pada Ibu, seperti hormat mereka pada Bapak. Seperti hormat mereka pada Bu Lurah. Dan sekarang Ibu malu karena anaknya dituduh mencuri buah jambu!
Setiap saat bila ia melihat tangan Ibu yang belang oleh kecelakaan telur meledak saja perasaan berdosa masih terasa. Apalagi
sekarang Ibu dipermalukan orang! Tidak bisa. Tidak bisa!
Pulung bergegas setelah melepas sepatunya. Polan melihatnya.
"Mau ke mana""
"Cari Ibu," Pulung bohong. "Kalau lapar, makan sama Kakek, tuh!"
"Boleh"" "Makanlah. Gogor juga sedang makan di belakang."
"Gitu, dong!" Polan tertawa gembira. "Biasa kalau minta kan dilarang!"
Pulung tidak mempedulikan adiknya yang kegirangan. Ia berjalan bergegas ke rumah Pak Mansyur, agak jauh di sebelah selatan. Dekat dengan rumah Tugi, di jalan desa berdebu yang banyak pohon turinya.
Di depan rumahnya, Tugi melihat Pulung. Ia memanggil dan bergegas menghampiri.
"Ke mana, Lung""
"Kangen sama Pak Mansyur."
"Kangen apa" Pak Mansyur kayak gitu saja! Aku tahu, Lung! Emakku bilang ibumu ribut sama Mak Mansyur! Kita balas saja, yuk!"
Pulung tak mempedulikan Tugi. Ia memasuki halaman rumah Pak Mansyur. Tugi mengekornya.
"Nah! Tuh! Malingnya tuh, Pak!" suara Mak Mansyur dari pekarangan samping rumah itu.
Perempuan brengsek. Mulutnya paling nyinyir di dunia. Suaminya juga brengsek. Dia bisu, barangkali. Jarang berbicara, seolah semua kata-katanya telah diberikan pada isterinya. Perempuan cerewet bersuami laki-laki
bisu! "Mak.... " "Apa" Mau nyolong lagi kamu, ya!" sahut perempuan nyinyir itu sebelum Pulung berkata-kata.
"Mak Mansyur menuduh sembarangan."
"Sembarangan apa!" sambut perempuan itu. Dia bertolak pantat (maksudnya bertolak pinggang, tapi kedua telapak tangannya bertumpu di pantatnya, di bawah pinggang). Dia membungkuk dan mendelik persis di atas kepala Pulung. "Aku tidak nuduh sembarangan! Kemarin kamu di situ, kan" Kamu lihat-lihat ke atas, kan" Kamu menghitung berapa buah jambuku yang matang, kan" Ngaku saja! Kalau
tidak... " "Apa" Kalau tidak ngaku Mak Mansyur mau apa"" jerit Pulung kesal. Biasanya dia tidak akan menjerit begitu kalau berbicara dengan orang yang lebih tua, apalagi sebaya ibunya. Tapi menghadapi perempuan ini, rasa hormatnya hilang lenyap.
"He, kamu nantang" Iya, kamu nantang" Mentang-mentang anaknya Pak Bayan" He! Bapakmu jadi kebayan desa kalau bukan orang kampung yang milih, siapa" He, pikirmu bapakmu jadi kebayan desa kalau aku tidak ikut milih apa bisa""
"Ini bukan urusan Bapak! Ini urusan saya! Jangan bawa-bawa Bapak!"
"Iya! Kamu mau nantang" Kamu pikir tidak ada yang berani sama anak Pak Bayan" Kamu pikir... "
"Mak Mansyur nuduh orang sembarangan!
Kalau tidak lihat sendiri, jangan nuduh sembarangan!"
"Aku lihat sendiri kamu duduk di situ! Hayo, ngga ngaku, kukemplang kepalamu!"
Tugi marah bukan main melihat Pulung disemprot habis-habisan begitu. Apalagi dia sendiri tidak senang pada Mak Mansyur. Pernah Tugi naik pohon jambu Mak Mansyur untuk mengambil sarang burun
g. Perempuan itu ribut kalang-kabut dan melemparinya dengan batu. Buah jambu memang banyak sekali di pekarangan Pak Mansyur yang luas. Ada pula jeruk dan kedondong.
"Kalau Mak Mansyur yakin aku malingnya, kenapa tidak lapor Pak Lurah saja"" seru Pulung. "Semua maling yang tertangkap dibawa ke balai desa!"
"Kamu pinter, ya! Maling pinter! Di balai desa ada bapak kamu! Mau minta dibela bapakmu, ya!"
Tugi memandang marah pada perempuan itu. Marah juga pada Pak Mansyur yang hanya diam memegangi tangkai cangkulnya.


Pulung Mencari Nansy Karya Bung Smas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah, Lung! Hantam saja!" seru Tugi.
"Apa kamu" Mak Mansyur memandang dengan bertolak pantat ke arah Tugi. "Kamu ikut maling, ya! Kamu ikut nyolong jambuku!"
"Apa"" Tugi melotot. "Bilang maling lagi, kulempar pakai batu!" Tugi benar-benar memungut sebongkah batu. Hampir sebesar kepala Pulung batu itu. Dipeganginya dengan dua tangan.
"Hantam saja, Lung! Jangan kasih ampun! Kalau suaminya mau bela, biar kuhajar pakai
batu ini!" "E, kamu nantang suami saya! Pak! Pak!
Ini, Pak!" Pak Mansyur menghampiri isterinya. Tugi siap melemparkan batu. Pulung bergeser dan memegangi tangan Tugi. Tapi matanya tidak memandang Tugi. Dia siaga menghadapi Mak Mansyur dan suaminya. Kalau bahaya, dia akan siap lari dengan menyeret tangan Tugi. Biar Pulung pernah menjatuhkan Kakek Sakeh, dia kan anak kecil juga. Mustahil berani melawan orang tua. Dia berani menyepak Kakek Sakeh karena itu main-main saja. Tidak berkelahi sungguhan. Itu saja sesudahnya dia lari bersembunyi. Gara-gara itu, celaka dia. Berani lawan orang tua, bisa kuwalat!
"Lepaskan, Lung! Suaminya itu bagianku! Kau yang perempuan saja!" bisik Tugi. Benar-benar nekat dia. Tidak pikir akibatnya. Pokoknya kalau berani, lawan sampai habis! Urusan belakangan. Itu pendapat Tugi. Kan dia masih merasa jadi jagoan juga. Tidak ingat bahwa Pulung yang dibelanya itu lebih jago dari dia. Mestinya Pulung yang membela dia kalau dia dicelakai orang. Bukan sebaliknya. Tugi juga lupa, dia menyuruh Pulung menghadapi lawan perempuan. Lawan laki-laki dia yang tanggung. Ah, Tugi!
"Sudah! Sudah, Mak!" seru Pak Mansyur seraya memegangi tangan isterinya yang siap menjitak kepala Pulung.
"Anak kurang ajar begini, dibiarkan saja""
"Sudah! Sudah! Tidak usah ribut! Kan jambunya sudah diganti Bu Bayan!"
"Tapi dia kurang ajar!"
"Sudah! Sudah!"
Pak Mansyur ini, bicaranya dari tadi kok sudah sudah saja! Dia memang pendiam. Tidak banyak mengenal kalimat untuk ucapan-ucapannya. Itu pun sudah bagus. Biasanya dia malah tidak bicara apa-apa.
"Lung," panggil Pak Mansyur. "Maafkan emakmu, ya""
Pulung terharu juga mendengar ketulusan hati Pak Mansyur. Ucapan itu dikatakannya dengan sungguh-sungguh. Dengan suara yang lembut sekali. Bahkan dia menyebut isterinya 'emakmu' pada Pulung. Ah, sebutan itu menimbulkan kesan yang akrab sekali.
"Apa" Enak saja! Sudah menuduh, minta maaf!" sengat Tugi. Tangannya masih menggenggam batu.
"He, kamu!" Mak Mansyur menyalak lagi.
"Sudah, Mak! Sudah! Dibilang sudah, kok tidak sudah juga!"
Mak Galak itu diam. Suaminya tidak pernah membentak. Sekaranglah suaminya itu membentak. Agak takut juga dia. Maka diam saja. Orang pendiam seperti Pak Mansyur kalau sudah membentak, kan bahaya"
Pak Mansyur menghampiri Pulung. Ia meraba pundak anak itu dengan lembutnya.
"Jangan dengar omongan emakmu, ya"" suaranya masih lembut seperti tadi. Ia berjalan ke arah depan rumahnya. Pulung membalik dan berjalan bersisian dengan Pak Mansyur. "Kami ini orang miskin, Lung. Hanya dari kebun tak seberapa luas itu penghasilan Kami. Kalau ada
yang mencuri, emakmu bisa kalap begitu. Maklumlah. Tanpa buah-buah jambu itu kami makan apa" Mengerti, Lung""
"Ya, Pak," serak jawaban Pulung. Terharu
juga dia. Tetapi Tugi tidak. Ia berjalan mundur sambil mengawasi Mak Mansyur. Batu sebongkah itu masih berada di kedua tangannya. Siap dilemparkan kalau Mak Mansyur menyerangnya.
Ketika melintas di dekat pohon jambu yang buahnya dicuri itu, Pulung berhenti. Pencurinya memang kurang ajar. Kelihatannya tidak hanya seorang saja. Banyak jambu berserakan di bawah pohonnya. Bekas gigitan. Rupanya bila dimakan tidak manis, buah jamb
u itu dibuang begitu saja. Pulung memungut salah sebuah jambu bekas gigitan.
"Kalau kau mau, ambil saja yang masak, Lung."
"Tidak, Pak. Ini saja."
"Buat apa, Lung"" seru Tugi. "Kita sudah dihina habis-habisan!"
Pulung diam saja. Ia mengamati bekas gigitan di buah jambu itu. Ada jalur seperti pematang sawah di bekas gigitan. Beberapa jalur. Berarti penggigitnya punya gigi jarang. Siapa si gigi jarang di desa itu"
Pak Mansyur mengantar Pulung sampai ke batas halaman rumahnya. Pulung melangkah di antara pohon turi yang berjajar di kanan kiri jalan. Tugi membuang batunya. Ia menjejeri langkah Pulung.
"Kau tidak melawan, Lung! Kenapa""
"Aku hanya ingin menangkap pencurinya."
"Siapa"" "Itu yang sulit. Menuduh sembarangan bisa celaka. Tidak enak Gi, dituduh jadi pencuri!"
"Iya! Tapi... eh, kau nyindir, ya""
"Tidak. Kaudengar sendiri, aku dituduh mencuri."
"Ya... soal Polan itu sudah selesai kan, Lung" Kau mau damai, kan""
"Aku sedang bicara soalku sendiri. Dari tadi aku, bicara soal itu. Dituduh mencuri, Gi! Sakit rasanya hati ini. Apalagi Ibu jadi korban. Kalau aku saja, mungkin tidak begini sakit hatiku. Coba kaubayangkan kalau emakmu ribut seperti yang dialami ibuku. Seperti apa sakit hatimu" Seperti apa malunya emakmu""
"Dulu emakku melawan! Kalau tidak dipisah Ayah, bisa berantem dia dengan Mak Mansyur!"
"Masih lumayan kalau emakmu melawan. Sedang Ibu" Kau tahu ibuku tidak pernah ribut dengan orang, kan""
"Ya. Bu Bayan memang begitu. Pasti Bu Bayan diam saja ketika Mak Mansyur mengata-ngatainya seenak perut sendiri! Tadi saja tuh, apa tidak kurang ajar dia" Hampir kulempar batu kalau tidak kaupegangi tanganku!"
" Yang dituduh aku, bukan kau!"
"Tapi aku tahu kau tidak nyolong!"
"Gi, pulanglah. Aku juga mau pulang."
"Tidak main ke rumahku dulu, Lung" Kita berunding bagaimana menangkap pencuri itu! Kalau tertangkap, kita hajar saja!"
"Kau memang suka menghajar orang, ya
Gi"" "Habis" Pencuri itu bikin kau celaka, Lung!" "Kau belum pernah dihajar orang, Gi. Kalau kau pernah, kau tahu dihajar itu sakit sekali."
"Habis... " Pulung melangkah bergegas. Kalimat Tugi putus begitu saja. Sambil memandangi punggung Pulung, diam-diam Tugi mulai mengagumi anak Pak Bayan itu. Dia, anak Pak Bayan itu, sebenarnya jago berantem. Kata teman-teman mengajinya di langgar Wak Solikun, tidak ada murid guru ngaji itu yang lebih jago dari Pulung. Mengajinya pun hebat. Karena mengajinya hebat, dengan sendirinya silatnya hebat juga. Setiap satu juz upahnya satu jurus. Pulung sudah sampai surat apa mengajinya" Kata teman-teman mengajinya, Pulung bahkan pernah bisa menjatuhkan Wak Solikun dalam latihan silat di halaman langgar.
Cerita itu kemudian meluas di antara anak-anak desa. Cerita kecil yang menjadi semakin hebat karena ditambah-tambahi. Bahkan Pulung sendiri malu ketika tak sengaja mendengar cerita itu. Bagaimana tidak malu" Sebenarnya Wak Solikun pura-pura jatuh saja, Untuk memberi contoh cara jatuh! Tentu saja anak-anak yang mengagumi Pulung tidak tahu hal yang sebenarnya.
Siang terik sekali. Keringat pun meleleh di dahi dan pelipisnya. Kaki terasa lemas lagi. Perut semakin perih. Bagai ada sembilu yang masuk ke sana, lalu berbelok-belok dan menari. Menyayat seluruh bangunan bagian dalam perut. Uh! Kalau puasa tak akan begini perih
rasanya. Puasa sudah pakai niat yang kuat. Juga makan sahur lebih dulu. Laparnya tak begini menyiksa.
Dibantingnya buah jambu bekas gigitan yang sejak tadi dibawanya. Lalu melangkah masuk ke rumah. Ia melihat Bapak sedang duduk merokok di kursi ruang depan.
"Eh... Pak!" ia berseru terkejut. Bapak sudah pulang makan. Ah, Bapak apa bisa makan"
Dia melihat si Pol. Gila anak itu. Tadi sudah makan di rumah Kakek Sakeh. Sekarang makan lagi dengan lahapnya. Nasi bungkus daun pisang, pasti dari warung nasi jauh di sebelah utara sana. Masih ada sebungkus lagi. Ibu duduk di salah satu kursi. Berkebaya lurik. Ibu memang selalu berkebaya. Siang dan malam. Tak pernah pakai rok. Dia memang tidak punya rok. Pernah dibelikan rok oleh Tante Rus. Ibu tak pernah mau memakainya. Hanya mau pakai kebaya dan kain batik. Rambutnya yang panja
ng pun selalu digelung. Kalau dia akan pergi, gulungan itu rapi sekali. Ada tusuk kondenya dari tanduk sapi buatan Yogya. Kalau di rumah saja, gelungan itu tanpa tusuk konde dan jaring benang warna hitam yang namanya harnet. Hanya gelung biasa. Tapi Ibu tetap saja cantik. Hanya tangan kanannya, uh! Perasaan berdosa terasa menikam hati Pulung. Karena dia membakar telur curian, maka kecelakan itu terjadi. Telur curian!
Pencuri! Pulung merasa sedih. Dia pernah mencuri. Tak ada yang tahu, jadi Kakek Sakeh pun tidak menuduhnya. Mencuri" Apa
mengambil telur di pekarangan rumah sendiri mencuri juga namanya" Iya! Telur itu dari bebek Kakek Sakeh. Bukan bebek milik Pulung. Walaupun telur itu berada di pekarangan rumah sendiri, mestinya Pulung tak berhak membakarnya. Kalau dia tidak membakarnya, Ibu tidak celaka. Ibu tetap jadi orang paling cantik di desa.
"Dari mana"" tanya Ibu. Aduh, suaranya! Ibu ini kalau jadi penyanyi, bisa hebat sekali. Suaranya lirih tetapi lekat sekali di telinga. Seperti bisikan. Ah, ya! Suara Ibu ini seperti nyanyian Kak lin Parlina! Betul itu!
Betul sekali. Kak lin menyanyi, seperti Ibu berkata biasa. Hebat, ya. Hebat sekali. Sayang Ibu hanya orang desa. Sekolahnya pun cuma lulus SR saja. SR itu sekolah rakyat. Sekarang SD namanya. Kalau Ibu bisa sekolah tinggi, dia bisa jadi dokter. Kerjanya mengobati orang. Pasiennya pasti banyak. Sebab suara Bu Dokter merdu sekali. Mendengar dia bertanya sakit apa, seperti mendengar suara nyanyian merdu. Bisa jadi, orang waras pun ingin berobat.
"Lung... kau dari mana"" suara Ibu lagi.
Pulung terperanjat. Sejak tadi dia diam tak menjawab pertanyaan Ibu.
"Dari... hm... dari rumah Tugi, Bu..."
Ah, Pulung bohong pada Ibu. Tapi tidak. Kan benar dia dari rumah Tugi" Tepatnya, dari sebelah rumah Tugi.
"Kau ke rumah Mak Mansyur""
"I... ya, Bu." "Mau apa"" "Ah... tidak... "
Pol sinting! Dia tenang saja menyuap nasi! Perutnya terbuat dari karet pasti. Diisi nasi bungkus sebanyak itu muat saja. Padahal dia sudah nyikat makanaan jatah Kakek Sakeh. Ah! Siapa bilang Kakek Sakeh jahat" Siapa bilang" Orang jahat mana rela memberikan sepiring nasi yang seharusnya untuk dirinya" Orang jahat mana rela tak makan siang untuk anak tetangganya yang kelaparan" Lagi, perasaan bersalah dan dosa menusuk hati Pulung. Dia tidak suka orang jahat. Ternyata dia sendiri juga jahat. Bagaimana tidak jahat" Dia pernah mencuri. Pernah mencelakakan Ibu. Bahkan sering kali. Seperti yang baru terjadi itu. Karena dia dituduh mencuri, Ibu jadi malu dilabrak Mak Mansyur si mulut seribu. Duh, Ibu! Adakah maaf untuk anakmu"
"Makan dulu... "
Pulung duduk di kursi meja makan. Meja dari bilah bambu juga. Hasil karya Bapak. Pintar sekali Bapak itu. Bekerja apa saja kok bisa saja. Bahkan pernah mencetak batu bata sendiri. Kata Bapak, nantinya batu bata itu untuk membangun rumah papan ini. Setiap hari Minggu Bapak membuat seratus buah batu bata. Sayang, ketika sawah tidak panen, bata mentah itu dijual semua. Rumah papan pun tetap papan juga. Makin rapuh dimakan rayap. Makin tua. Mulai condong juga. Bila angin ribut datang, mungkin ambruk ke utara. Syukur kalau ke utara. Bila selatan, rumah Kakek Sakeh bisa tertimpa. Di sebelah utara ada tanah kosong. Ambruk ke sana tidak mencelakakan orang lain.
Ibu menatap Pulung. Diam saja. Pulung pun tak segera menjamah bungkusan nasi itu. Ia menatap Ibu.
"Kau lapar sekali, ya""
Pulung tak menjawab. Mata Ibu indah sekali. Bulu-bulunya lentik. Matanya lonjong. Bening putihnya. Hitamnya, seperti pantat kuali. Hitaaaaaam sekali. Dan Pulung merasa mata kirinya yang sipit itu panas sesaat. Lalu dingin. Itu setitik air mata yang menggenang di sudut mata sipit. Selalu dari yang kiri air mata menetes lebih dulu. Yang kanan belakangan. Tapi sekali ini hanya setitik saja. Untuk Ibu.
Pulung menunduk. Tak ingin Ibu tahu dia menangis.
"Makanlah," kata Ibu. Pasti Ibu telah keburu tahu air mata setitik di mata kiri Pulung. "Anak laki-laki jangan menangis karena lapar."
Oh, Ibu salah sangka. Ibu mengira Pulung menangis karena lapar perutnya. Ingin Pulung menjelaskan, tapi mulutnya tak mampu berk
ata-kata. Rasanya ada ganjalan di tenggorokan. Kalau dia berkata sepatah saja, pasti tangisnya akan meledak Pasti air matanya tak hanya setitik. Malu, sangat malu. Anak lelaki menangis, itu sungguh memalukan.
Polan selesai makan. Dia meremas daun pembungkus nasi dan berdiri. Melirik kakaknya sesaat, lalu berbisik pada Ibu, "Habis berantem sama Pak Mansyur! Dia kalah, makanya nangis!"
Kadang Polan menjengkelkan juga. Seperti saat itu. Menjengkelkan sekali. Seenaknya saja bicara. Padahal Pulung sudah malu sekali menangis di dekat Polan. Dia saja mengejek kalau Polan menangis. Sekarang dia yang menangis sendiri. Apa pun juga sebabnya, menangis itu bikin malu!
Untung Pol brengsek itu pergi. Membuang daun pembungkus nasi dan duduk di belakang rumah. Duduk seperti Bapak di kursi depan. Bapak masih merokok. Hari ini Bapak jadi pendiam. Pulung tahu, jika Bapak jadi pendiam seperti Pak Mansyur, tandanya dia sedang marah sekali.
"Makan dulu. Jangan pikirkan apa-apa.
Perutmu kosong sejak pagi tadi. Nanti masuk angin."
Pulung membuka bungkusan nasi itu. Meski lapar sekali, nasi tak enak dimakan. Padahal lauknya sayur lodeh nangka dan sekerat daging serundeng kering. Itu makanan luar biasa enaknya. Namun pada saat perasaannya sedih tak menentu, tak bisa dia makan lahap. Apalagi Ibu duduk menunggui.
"Ibu tidak sempat masak," kata Ibu ketika Pulung menyuap dengan tangannya. "Habis tadi Ibu sibuk sekali."
"Sibuk"" Pulung bertanya dengan mulut penuh dan suara serak. ''Tidak usah bohong, Bu. Aku tahu semuanya."
"Tahu" Siapa yang bilang""
"Semua orang desa tahu Ibu ribut dengan Mak Mansyur!"
"Ah, semua orang pernah ribut dengan Mak Mansyur. Bu Lurah sendiri pernah dilabrak juga. Ingat" Gara-gara Tumbing menyepak bola di jalan. Bola itu mengenai kaki Mak Mansyur."
"Ibu jadi malu."
"Kenapa malu""
"Anak Ibu dituduh mencuri!"
"Dituduh sajakan tidak apa-apa. Asal jangan mencuri sungguhan."
"Ibu berikan uang belanja buat ganti rugi"
"Kasihan Mak Mansyur. Kita sudah miskin begini, dia lebih dari kita."
"Kalau dia datang waktu aku di rumah, Ibu tidak usah memberi ganti rugi!"
"Itu bukan ganti rugi. Ibu memberikannya dengan ikhlas."
"Kita, tidak makan siang karena uang itu dirampas Mak Mansyur!"
"Kau sedang makan. Masih bisa bilang tidak makan siang" Kau kurang menghargai rejeki kalau begitu. Tuhan marah nanti. Kau kan pinter mengaji" Masa begitu omongan anak pinter ngaji" Syukuri rejeki dari Tuhan. Biar sedikit, hargai karunia itu."
Pulung diam lagi. Ibu ini, susah benar dimengerti hatinya. Selalu saja mengalah. Hanya mengalah. Alangkah beda jauh Ibu dengan Bapak. Bisa jadi kebalikannya. Bapak garang sekali. Suka menyepak. Kalau Ibu, jangankan menyepak. Bicara keras sedikit saja belum pernah. Kalau marah (dan hanya sekali Pulung pernah lihat Ibu marah), ia hanya diam. Diam saja. Tidak bicara apa-apa. Tetapi matanya basah. Setitik dua air matanya akan mengalir di pipi. Lalu Ibu menyekanya buru-buru. Mulutnya pun terus diam. Hanya sekali itu Pulung tahu bagaimana kalau Ibu marah. Itu juga gara-gara dia. Pulung menempeleng adiknya keras sekali. Terlalu keras, sampai Polan berputar-putar dan jatuh terduduk. Polan tidak menangis. Tapi dia kesakitan sampai hampir pingsan. Soalnya sepele saja. Mereka selalu berpakaian sama. Ukuran celana dan baju pun sama. Suatu sore mereka berebut celana. Polan yang salah. Dia mau mengaku celana Pulung yang masih lebih bagus karena hati-hati memakainya. Polan ribut dan ngotot. Pulung sampai kesal. Lebih kesal lagi karena Polan mengata-ngatainya dengan ucapan kotor. Pulung khilaf. Ditempelengnya kepala adiknya
itu. Untuk yang pertama kali dia memukul adiknya. Juga hanya sekali itu. Dalam hati Pulung bersumpah tidak akan memukul adiknya lagi. Dua hari sesudah peristiwa itu, Ibu berkata pada Pulung, "Ibu sedih sekali kalau kalian berkelahi. Selagi Ibu dan Bapak masih hidup, kalian tidak bisa rukun. Bagaimana nanti kalau kami telah tiada" Apa kalian tidak akan berkelahi setiap hari" Dengan saudara sendiri kau bisa tega. Bagaimana dengan orang lain" Hanya untuk itukah kau belajar silat" Untuk menyakiti adikmu, menyakiti oran
Pahlawan Yang Hilang 7 Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan Lentera Maut 12

Cari Blog Ini