Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna Bagian 1
Dyah Ratna Setannya Kok Beneran"
Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
PEMBUKA Perkenalkan: Sang Penakluk
Malam gelap gulita menyelimuti muka bumi.
Jemarinya yang kelam merangkul semua yang
ada tanpa kecuali, tak menyisakan sedikit pun
cahaya. Begitu pula di sebuah rumah tua yang
megah dan bergaya arsitektur kuno.
Di rumah itu, malam juga hadir dengan
kegelapan yang sama, seolah menjadi saksi
dan menemani bangunan megah yang dimak
an usia itu. Beberapa bagian dinding luarnya
sudah rusak dan terkelupas akibat pergantian
cuaca yang tak bersahabat. Di sana-sini, lumut
dan jamur tampak hidup subur di permukaan
dindingyang sudah tak berwama.
Halaman depan rumah itu luas dan ditum
buhi tanaman yang tidak dirawat. Rumput
rumput tumbuh tinggi dan dedaunan menjalar
ke segala arah, mencoba mencari ujung kehidu
pan. Pada' masanya dulu, halaman itu pemah
menjadi sebuah taman yang indah meskipun
sekarang sisa-sisa keindahan itu sudah tidak
tampak sedikit pun. Semua hilang digantikan dengan peman
dangan yang dapat meremangkan bulu roma
siapa pun yang melihatnya. Gelap dan suram.
Bayang-bayang rerumputan menggerakkan
imajinasi siapa saja untuk membayangkan hal
yang paling menakutkan. "Hiyaaaaaaaaaaattt...!!!"
Tiba-tiba, di tengah pekarangan rumah
kuno itu terlihat sesosok tubuh berpakaian hi
tam. Sosok itu bergerak ke sana-kemari, seo
lah-olah tengah berlaga dengan sesuatu yang
tak tampak dengan mata biasa. Di kepalanya,
tampak sesuatu terikat menyerupai ikat kepala,
bentuknya tak terlalu jelas karena gelap. Sosok
itu terus bergerak ke sana kemari seolah berta
rung di dalam sebuah medan berkekuatan gaib
dan mencoba menghalau kekuatan yang meng
halanginya. Di tangan kirinya, terdapat sebuah
kendi kecil yang digenggamnya erat-erat.
"Ciaat...!" Tiba-tiba, datang bergabung
dua sosok lain yang juga berpakaian gelap.
Mereka tampaknya berusaha membantu sosok yang pertama untuk menguasai apa yang
dihadapi itu. Mereka langsung ikut bergerak
ke sana-kemari, tampaknya mereka menguasai
jurus-jurus bela diri yang lihai. Sesekali, mere
ka melompat ke kiri, ke kanan, ke depan, ke
belakang dengan lincahnya, sambil mengerah
kan tenaga dalam. Urat di leher mereka jelas
terlihat saat mereka menyatukan seluruh te
naga dan memusatkan seluruh energi untuk
membantu sosok pertama, si tubuh kekar, yang
temyata adalah pemimpin mereka.
Tiba-tiba saja, sang pemimpin itu melom
pat. Kendi di tangan kirinya bergetar, seolah
tak mampu menerima energi yang akan dipom
pakan ke dalamnya. Sang pemimpin membuat
gerakan memasukkan sesuatu ke dalam kendi
dengan mengeluarkan seluruh tenaga' yang
ada. Sejurus kemudian, ia menekan bagian atas
kendi, seakan-akan menutup kendi itu untuk
selama-lamanya. Apa pun itu, sesuatu yang dimasukkan ke
dalam kendi itu kini sudah berada di dalam
kendi yang tersegel. Suasana hening dan mencekam. Detik-de
tik mendebarkan sudah berlalu. Namun, tibatiba.... "Pemirsa ... baru saja kita menyaksikan
bagaimana Ki Ferdi dibantu oleh Ki Andi dan
Ki Yatno. Mereka sudah berhasil mengurung
sosok penunggu gaib ke dalam kendi...."
Kamera dan sinar lampu memecah kegelap
an malam. Sinar itu menyoroti seorang gadis
pembawa acara yang juga berpakaian gelap.
Di tangannya tergenggam sebuah microphone
dengan tulisan SANG PENAKLUK. Dengan
ekspresi yang menyorotkan raut wajah priha
tin, tetapi tampak tegar, gadis itu melanjutkan
laporannya. "....Apakah dengan tertangkapnya sosok
gaib tersebut, rumah ini sudah dapat dikatakan
aman" " Hening sejenak. Dengan wajah serius,
Ririn, si gadis pembawa acara itu mendekati
Ki Ferdi yang rupanya pemimpin kelompok
SANG PENAKLUK. "Ki Ferdi... bagaimana kondisi rumah ini
setelah dilakukan pengusiran""
Ki Ferdi yang tampan dan bertubuh kekar
berdeham sejenak. Mata elangnya menyorot
tajam ke arah kamera. Kedua alisnya bertaut di
tengah, hitam menghiasi kulit wajahnya yang
putih cemerlang. Ada rasa aman di hati jika
menatap wajahnya. Tak salah jika sebagian be
sar penontonnya perempuan.
Tubuh Ki Ferdi yang berotot menggambarkan betapa keras latihan bela diri yang di
kuasainya. Busan a hitam-hitam yang dikena
kan tampak serasi dengan kulit putihnya yang
bersinar dibawah sorot lampu kamera. Suaran
ya terdengar dalam dan tenang saat menjawab
pertanyaan Ririn. "Begini Mbak Ririn...." Dia menghela
napas sebelum melanjutkan, " ... Saya masih
merasakan ada kekuatan gaib yang mencoba
masuk kembali ke dalam rumah ini.... Tapi,
tenang .... Ki Yatno akan mengunci semua
kekuatan jahat di luar rumah agar tidak bisa
masuk kembali." Suara Ki Ferdi yang dalam menenangkan
jiwa siapa pun yang mendengamya. Hal itu
membuat Ririn tidak lagi. dihinggapi rasa ta
kut saat mengikuti apa yang akan dilakukan
Ki Yatno, rekan Ki Ferdi. Kini, Ki Yatno akan
beraksi seperti apa yang sudah diperintahkan
oleh Ki Ferdi. Perlahan, Ki Yalno berjalan mendekati
pintu di teras depan rumah kuno tersebut. ia
tampak begitu terlatih dan siap menghadapi
kemungkinan apa pun yang akan ditemuinya
di rumah itu. Sesampainya di teras, ia mengeluarkan
selendang bertulisan Jawa kuno. Sesaat, ia
memejamkan mata, mulutnya komat-kamit
membacakan doa dengan khusyuk. Selendang
di tangannya digenggam erat .seolah ia ingin
mengalirkan energi ke dalam selendang itu.
Setelah selesai, Ki Yatno lalu bergerak mengi
katkan selendang itu ke pintu depan rumah.
Dengan khidmat, Ki Yatno kemudian me
langkah berbalik arah. Sekarang, dia membe
lakangi rumah. Tatapannya beredar ke sekeli
ling dan tiba-tiba saja ia mendadak sontak
mundur ketakutan. Ki Yatno melihat sebuah
wajah mengerikan di jendela rumah! "
"Huuaaaaaa... huaaaaaaaaaa... setaan... !"
Ki Yatno segera berbalik mengambil lang
kah seribu. Siapa yang berani menghadapi selan beneran"
BAGIAN SATU Keluarga Pak Chandra "Besok siang aja nagihnya, Ma...., kan, ini
sudah malam...." Pak Chandra bersungut-su
ngut. Ia berusaha bergeming dan mencoba
menahan tubuhnya yang didorong keluar oleh
istrinya. Malam gelap gulita tengah menyelimuti
desa itu. Hanya sesekali terdengar suara jang
krik dan anjing yang melolong di kejauhan.
Di sepanjang jalan, kabut menghalangi pan
dangan. Udara dingin menyusup sampai ke
sumsum tulang siapa pun yang berani keluar
rumah. "Nggak! Nggak.... nggak ada besok-besok
lagi. Pokoknya, malam ini harus ditagih. Titik!
Kan, kemaren, Papa sendiri yang bilang kalau
Sari mau bayar hari ini...."
Wajah Pak Chandra menyiratkan kera
guan. Kombinasi akan takut berjalan di kege
lapan malam dan takut pada istrinya. Matanya
berputar-putar mencari alasan.
"Tapi... ini, kan, sudah malam, Ma ...
mungkin Sari malah lupa mengambil uang di
Bank...." Mata Bu Chandra berkilat marah. Ada rasa
curiga di sana. "Ooo.... Jadi, Papa membela dia"" Perem
puan itu memandang menyelidik ke arah sua
minya yang separuh baya." Jangan-jangan,
Papa ada main sama Sari" Ayo, ngaku aja...."
Pak Chandra menelan ludah. Bisa bahaya
kalau istrinya marah-marah begini. Bisa-bisa
tujuh hari tujuh malam ia tidur di ruang tamu
kalau tidak dituruti apa maunya. Terakhir Pak
Chandra membuat kesalahan di bulan Maret
yang lalu, ia lupa hari ulang tahun istrinya.
Dan sang istri pun tak henti-hentinya men
gomel. Selusin gelas pun jadi sasaran: hancur
berkeping-keping dilempar ke sana-kemari.
Belum lagi satu hal itu yang paling gawat un
tuk Pak Chandra. Ia dilarang tidur di kamar.
Terpaksa berteman nyamuk di ruang tengah
dengan selembar kain sarung.
Sejak itu Pak Chandra kapok berbuat yang
aneh-aneh. Semua hal yang berhubungan de
ngan pribadi istrinya dihapalnya luar kepala.
Jadi maklumlah jika saat ini ia agak gem
etar melihat wajah istrinya yang mulai mem
erah menahan amarah. "Ngaku apa, sih, Ma" Papa, kan, hanya ka
sihan saja...." Bu Chandra tambah melotot. Matanya
yang Qulat seolah mau keluar dari tempatnya.
Suaranya pun makin meninggi.
"Oooh ... begitu"! Jadi, Papa lebih kasih
an sama dia"! Nggak meni.ikirkan anak istri
Papa"" Waduh. Menyadari situasi yang sama sekali
tidak menguntungkan baginya itu, Pak Chan
dra segera tergopoh keluar dari dalam rumah.
"Iya... iya... Papa langsung ke sana.... "
Tanpa peduli udara dingin dan suara an
jing melolong di kejauhan, Pak Chandra mene
robos gelap malam. Suara pintu dibanting ter
dengar di belakangnya, mengiringi langkah Pak Chandra menuju ke jalan setapak desa
yang senyap. Dengan bersungut-sungut, di sepanjang
jalan, laki-laki setengah baya itu tak berhenti
menirukan omelan istrinya. Seolah-olah, de
ngan meniru omelan istrinya diam-diam sep
erti itu, hatinya yang kesal akan terobati. Me
mang susah punya istri yang bawel setengah
mati, batinnya berujar. Tetapi, dulu, istrinya
itu seorang kembang desa yang populer di desa
mi. Saat itu, Pak Chandra merasakan anugerah
yang luar biasa karena mampu mendapatkan
seorang kembang desa yang cantik dan belia.
Kebanggaan itu membuatnya selalu bersedia
dan siap memenuhi apa saja yang diminta sang
istri. Dia menyediakan semua harta benda,
emas, dan permata sekalipun. Bu Chandra
tampaknya menyadari perasaan suaminya. Dia
pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia
langsung mengambil alih dan mengelola selu
ruh keuangan suaminya, termasuk beberapa
rumah kontrakan. Rumah-rumah kontrakan
itu menghasilkan dana yang mencukupi untuk
kehidupan mereka sekeluarga.
Setelah Pak Chandra pergi, Bu Chandra
mendapati Novi, putri semata wayangnya
yang tengah beranjak dewasa sedang menik
mati acara di televisi di ruang tengah.
"Lagi nonton apa, Nov""
Novi diam saja, tak menyahuti pertanyaan
ibunya. Layar televisi tengah menayangkan
sebuah video clip dari grup musik remaja yang
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah tenar. Bu Chandra mengambil remote
dan menghempaskan tubuhnya di sisi Novi. Ia
mengarahkan remote ke televisi untuk meng
ganti saluran. "Jangan, Ma... lagi nanggung, nih...." Novi
pun berteriak memprotes. "Acara begitu, kan, bisa diputar berulang
ulang... sekarang Mama mau nonton Sang
Penahluh. Sudah waktunya, nih
Novi melihat mamanya dengan tatapan
kesal. "Idiiih... memangnya acara dukun-dukun
an begitu masih tayang" Itu, kan, acara jadul
banget.... "Nggak apa-apa... biar jadul juga... Mama
tetep mau ngeliat acara ini. Lihat, tuh, ini, kan,
real, Novi. Ini nyata! Nggak dibuat-buat...."
Novi mengerutkan keningnya. Dia sama
sekali tak percaya dengan apa yang dikatakan
mamanya. Dengan malas, matanya meman
dang layar televisi. Di sana, tampak tiga tokoh
Sang Penakluk yang berpakaian hitam-hitam
sedang berkelahi dengan sesuatu yang tidak
tampak di sebuah rumah kuno yang megah.
Mereka semua menggunakan ikat kepala ber
wama hitam juga yang menyebabkan penampi
lan mereka misterius dan agak menyeramkan.
Dilatarbelakangi oleh musik khas pengiring
acara khusus Sang Penakluk, dengan lihainya
mereka melompat ringan ke kiri dan ke kanan.
Si pemimpin maju selangkah ke muka, me
mamerkan wajah tampannya yang dipasang
serius. Pepohonan di belakangnya bergoyang ke
ras, entah karena angin yang bertiup atau ada
kekuatan yang mengamuk melihat aksi mere
ka bertiga. Musik membahana lagi, menyu
sul judul acara Sang Penakluk yang terlihat di
monitor televisi. Sekilas pemimpin kelompok
itu tersenyum, mendamaikan hati siapa saja
yang melihatnya. Bu Chandra memekik kecil melihat pe
mimpin kelompok Sang Penakluk itu terse
nyum di monitor televisi.
"Apalagi... lihat itu, Nov... pemimpinnya!
Hmm... , semuanya ganteng-ganteng, ya. Si
Brad Pitt, idola kamu itu, sih, lewaaat ....
Novi memandang mamanya dengan takjub. Ia tak mengira mamanya akan berpikir se
jauh itu. Bukan sekadar tayangannya saja, ma
manya temyata juga menikmati ketampanan
pemimpin Sang Penakluk dan kedua anggota
nya itu. Novi bangkit dari kursi dan berjalan
dengan malas menuju kamamya.
"Eh... mau ke mana" Kamu rugi kalau
nggak nonton ini, Nov. Brownies nih... bron
dong manis...," kata Bu Chandra sambil ter
kekeh geli. Mendengar ucapan mamamnya, Novi ter
tegun bercampur geli dalam hatinya. Dia tidak
menyangka mendengar istilah itu keluar dari
bibir mamanya. ia menatap mamanya tanpa
ekspresi. Selama ini, mamanya memang selalu
bergaya remaja, seolah tak mengingat usianya
yang nyaris separuh baya. Wajah mamanya
cukup cantik badannya langsing dan bagus.
Yah, mungkin karena itulah terkadang orang
menyangka mereka kakak beradik.
Novi menghela napas. Ya sudah, pikimya
dalam hati. Biar sajalah mamanya bergaya
muda seperti itu, toh, tidak masalah buatnya.
Dan, biarkan saja dia mengkhayalkan
Sang Penakluk seperti dirinya dulu mengkhayalkan
Superman sewaktu ia kecil.
DI RUMAH SARI Rumah kontrakan yang ditempati Sari agak
besar. meski tampak sederhana. Dindingnya
dicat warna putih dengan teras sempit berhias
kan beberapa pot bunga. Ada ruang untuk me
nerima tamu yang terpisah dari ruang tengah
yang tidak begitu besar. Di ruang tengah itu
terletak kamar Sari. Rumah itu terletak di te
ngah kebun yang tak diurus sehingga membuat
rumah tersebut tampak menyendiri. Di sam
ping rumah, ada beberapa rumpun bambu yang
tinggi dan setiap tertup angin, rumpun-rum
pun bambu itu mengeluarkan suara gemerisik.
Apalagi di malam hari yang dingin dan sunyi
seperti ini. Suara gemerisik daun-daun bambu
yang tertiup angin menimbulkan kesan mistis
yang mendirikan bulu roma siapa pun yang
mendengamya. Ditambah lagi, suara lolongan
anjing yang terdengar di kejauhan, seolah-olah
menyayat hati. Dengan terengah-engah, Pak Chandra
sampai di depan rumah kontrakan Sari. Tadi,
di sepanjang perjalanan, dia hampir saja sesak
napas karena menahan emosi yang tidak ter
salurkan pada istrinya. Rumah Sari sunyi dan sepi, seperti rumah
tak berpenghuni. Pak Chandra menajamkan
matanya, berusaha mengamati situasi sekitar
rumah yang remang-remang. Lampu di teras
depan tiba-tiba menyala sebentar, tetapi lan
tas mati kembali, nyala lagi, mati lagi, begitu
berkali-kali, membuat pandangan Pak Chan
dra jadi tak begitu jelas. Di samping rumah,
ada sebuah lampu neon. Tetapi, itu pun hanya
menyala remang-remang' saja, seolah hidup
enggan mati pun tak sudi.
Toh. Toh. Toh. Pak Chandra mengetuk pintu depan.
"Sari... Sari..."" panggilnya berkali-kali.
".... Apa sudah tidur, ya"" Dia bergumam sendiri.
Sambil menahan kuapan kantuknya, Pak
Chandra mengulangi ketukan di pintu rumah
kontrakan itu. Kali ini, ketukannya lebih keras.
Dia setengah berharap Sari lekas keluar dan
menemuinya di teras. Malam terasa semakin
dingin dan Pak Chandra ingin segera pulang
ke rumahnya yang hangat. Dia tak tak ingin
berlama-Iama di teras depan rumah kontrakan
Sari yang suasananya sungguh tidak nyaman.
Namun, tetap saja tak ada jawaban dari
Sari. Hanya hening yang menyiksa.
Pak Chandra menguap lagi, kali ini kuap
annya lebih lebar dari yang pertama. ia kemu
dian meluruskan badannya, menyenderkan tu
buh ke daun pintu. Tiba-tiba, pintu terdorong
ke dalam, terkuak lebar, seolah membuka raha
sia kesunyian di dalam rumah kontrakan itu.
Pak Chandra tertegun sejenak.
Apa mungkin Sari sengaja tak mengunci
pintu rumahnya" Tapi, mengapa" tanyanya
dalam hati. Kemudian, laki-Iaki separuh baya itu terse
nyum penuh arti. Wajahnya merona di kegelap
an malam. Mungkin Sari sengaja membukakan pintu
ini untuknya.... batinnya lagi.
Dia segera membayangkan wajah Sari
yang cantik dan lebih muda. Lalu, dia mem
bandingkannya dengan istrinya yang cerewet
di rumah. Mungkinkah" Pak Chandra terus ber
harap dalam hati. Memang, sih, menurut kabar
orang desa, Sari memang perempuan genit yang ke
rap mengganggu lelaki meski mereka sudah berkelu
arga. Maklumlah, perempuan yang suaminya entah
eli mana itu memang cantik dan seksi.
Pak Chandra berjalan mengendap ke dalam
rumah setelah memastikan tak ada orang lain
di luar rumah yang memerhatikannya. Siapa
yang mau malam-malam dingin begini berkeliaran
di jalanan kalau bukan dirinya yang beristrikan
seorang perempuan bawel itu"
Sari.... Gelap. Pak Chandra melangkah hati-hati
sambil terus memanggil nama Sari dengan
perlahan. Ia tak menyalakan lampu di dalam,
hanya bergerak mendekati kamar utama yang
menurutnya pastilah kamar Sari.
Di kejauhan, terdengar suara anjing yang
menyalak, membuat hati Pak Chandra men
ciut. Tak biasanya anjing di desa itu menya
lak tengah malam begini. Biasanya, hanya ada
lolongan panjang yang menyedihkan. Itu pun
hanya terdengar jika ada seorang warga desa
yang meninggal dunia. Pak Chandra menoleh ke sekeliling. Dia
berada di ruangan tengah rumah kontrakan
itu. Saat matanya menoleh ke dinding, seke
tika ia terperanjat. Napasnya berhenti dan
matanya melotot mengamati sosok yang dili
hatnya di dinding ruangan itu. Ia bergerak ke
kiri dan melihat sosok itu pun bergerak ke arah
yang sama. Saat ia bergerak ke kanan, ia pun
melihat gerakan yang sama lagi. Pak Chandra
mengamati dengan saksama sosok di dinding
itu. Temyata, di dinding itu terdapat sebuah
cermin. Dan, sosok yang sempat menakutkan
nya tadi hanyalah bayangannya sendiri.
"Huu... kirain setan...," gerutunya sambil
mengamati cermin yang tadi membuatnya ta
kut. Kemudian, Pak Chandra melangkah se
makin perlahan, mendekati kamar Sari. Sesam
painya di depan pintu kamar, dia mencoba
mengetuknya . Pikirannya dipenuhi oleh ber
macam-macam khayalan dan keinginan yang
tidak lagi beralasan. Tangannya yang sudah
mulai berkerut dimakan usia terjulur ke arah
gagang pintu kamar. Krieettt.... Pintu kamar terkuak. Di dalam kamar,
yang terlihat hanya kegelapan. Pak Chandra
mengerjapkan matanya, mencoba membia
sakan diri melihat dalam gelap. Sinar lampu
di teras samping menerobos remang-remang
ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka.
Sinar itu berkedip-kedip membuat suasana ka
mar yang sunyi semakin mencekam.
"Sar.... " Mendadak, lidah Pak Chandra kelu bukan
main. Matanya melotot melihat apa yang ber
ada di depannya. Bibir tuanya gemetar, tak
menyelesaikan panggilan nama Sari yang
semula diucapkan berkali-kali. Pak Chandra
memegang daun pintu erat-erat, takut jatuh
dan pingsan di sana. Di hadapannya, sesosok tubuh perempuan
mengenakan baju tidur tergantung di langit
langit kamar. Wajahnya pucat pasi dengan
mata melotot nyaris keluar dari rongga mata
nya. Leher yang tertekan tali membuat lidah
nya terjulur keluar. Cairan tubuh membasahi
lantai di bawahnya. Beberapa ekor anjing terdengar menyalak di kejauhan.
Pak Chandra menelan ludahnya. Ia ter
gagap dan detik berikutnya buru-buru berbalik
ke luar rumah untuk berteriak minta pertolong
an warga desa. "Aaaahhhh!" teriaknya sambil berlari tak
tentu arah. Saking gugupnya, ia tersandung sesuatu
dan terjatuh di ruang tengah.
Pak Chandra berusaha untuk melupakan
usianya yang sudah separuh baya dan bangkit
sekuat tenaga untuk menghambur keluar.
Tetapi, sekali lagi laki-Iaki itu menemui kesu
litan. Sesampainya di pintu depan yang tertu
tup, entah mengapa pintu itu tiba-tiba jadi sulit
dibuka. Pak Chandra panik dan menggunakan
seluruh kekuatan untuk membukanya.
"Toloooooong.... ! Toolooong....!" Akhir
nya, pintu itu pun berhasil dibuka. Pak Chan
dra langsung berteriak dan mengambil langkah
seribu menjauhi rumah kontrakan milik Sari.
Jeritannya mengalahkan salakan anjing di
kejauhan, mengisi udara malam yang dingin
dap sunyi di desa yang semula nyaman dan
tenteram itu. Entah apa yang akan terjadi di
kemudian hari, Pak Chandra tak mau berpikir
lagi. HEBOH Malam itu, Pak RT dan Jaja bertemu untuk
mendiskusikan rencana kerja yang baru di
desa. Jaja senang sekali bisa datang ke rumah
Pak RT karena kalau rapat di rumah Pak RT
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti selalu disediakan makanan kecil peng
ganjal perut. Meski Jaja agak malu mengakui
kebiasaan makannya yang overdosis, ia tak me
nampik tawaran Pak RT untuk berdiskusi di
rumahnya. Dan, jika ada makanan kecil, pasti ada
juga secangkir kopi yang nikmat di malam
yang dingin seperti ini. Untuk semua itu, Jaja
merasa siap berdiskusi sampai pagi di rumah
Pak RT. "Dimakan, Ja, jangan dilihatin doang...,"
ujar Pak RT. ia mengambil cangkir kopinya
dari atas meja. Jaja tersenyum malu. Pak RT pasti sudah
mendengar keriuhan dalam perutnya tadi.
"Iya, Pak RT...."
Tangan Jaja terjulur ke arah piring yang
berisikan pisang goreng panas yang harumnya
membuat air liur siapa saja menetes keluar.
Belum sempat tangannya menyentuh piring, tiba-tiba.... "Tolooooooooong..!! Toooloooong....!"
Pak RT terperanjat. Air kopi di mulutnya
tersembur keluar, mengenai wajah Jaja yang
memang mendekat untuk mengambil pisang
goreng. Jaja mengerjapkan matanya.
Buruan Ja, lihatin sana!"
Jaja menarik napas panjang. Siapa juga
yang berteriak minta tolong malam-malam
begini" makinya dalam hati. Hilang sudah
kesempatan menghadirkan pisang goreng pa
nas yang nikmat itu ke dalam perutnya yang
keroncongan. Jaja mengelap wajahnya sekenanya. Aro
ma kopi yang bercampur dengan liur Pak RT
membuatJaja m eringis pasrah. Mimpi apa aku
semalam" batinnya lagi.
Sementara itu, di tempat lain, sekelompok
pemuda sedang main kartu di pos ronda, dekat
satu-satunya perempatan yang ada di desa itu,
Di sana, ada Rudi,Jimmy, dan Fikri.
"Toooolooooong...!"
Suara Pak Chandra membuat Rudi bangkit
dari duduknya. Sudah sangat lama ia dan war
ga di desa ini tidak mendengar teriakan minta
tolong. Teriakan seperti itu terdengar terakhir
beberapa tahun yang lalu, sewaktu tetangga
Pak RT kemalingan. Tetapi, sejak Siskamling
digiatkan kembali, nyaris tak pemah ada ke
jahatan di desa ini. Desa ini menjadi nyaman
dan tenteram. "Siapa, tuh" Teriak malam-malam begini""
"Ada yang kemalingan kali...," sahut Jimmy
sambil meletakkan kartunya buru-buru.
Mereka bertiga pun bergegas menghambur
ke arah asal suara. Pak Chandra, yang menjadi asal suara,
sedang berlari tunggang langgang menuju
rumahnya. Tak henti-hentinya ia berteriak
minta pertolongan dari warga desa. Saat tiba di
halaman rumahnya, ia sudah kehabisan tenaga,
jatuh terkapar dengan napas tersengal.
"Kenapa lagi, sih, si Papa"" Terdengar su
ara Bu Chandra dari dalam rumah diikuti su
ara langkah kakinya. Di belakangnya, tampak
Novi yang ikut tergesa-gesa keluar.
"Ada apa, Pa" Ada apa"" tanya Bu Chan
dra dengan panik karena melihat kondisi sua
minya yang terduduk di tanah. Beberapa warga
desa mulai berdatangan menghampiri mereka.
Ada Pak RT, Jaja, Rudi, Fikri, dan beberapa
pemuda desa lainnya yang datang dengan raut
wajah heran dan bertanya-tanya.
"Sari, Ma... Sar... Sari...," kata Pak Chan
dra dengan napas tersengal.
"Kenapa Sari"" tukas Pak RT cepat-cepat,
dia seolah tak sabar mendengar berita tentang
Sari. "Gan... gantung... Sari gantung... diri.... "
Hening. Semua orang yang ada di sana
terperanjat dan menatap Pak Chandra tak per
caya. Sari" Perempuan kemhang desa kita itu" Tak
munghin! Munghin Sari yang lain" Mereka ber
tanya-tanya dalam hati masing-masing.
"Yang bener, Pak" Jangan main-main, Pak
Chandra," tukas Pak RT lagi.
"Kalau nggak percaya, lihat... aja sen
diri...," jawab Pak Chandra sambil mengatur
napasnya. Novi menelan ludahnya. Bagaimana mung
kin" batinnya masih tak percaya mendengar
berita dari ayahnya itu. Bu Chandra tak mampu berkata-kata. Ha
rusnya ia membayar rumah kontrakan dulu se
belum ia.... rutuk hatinya menyesali.
Segera setelah mendengar penjelasan Pak
Chandra, Pak RT dan beberapa warga pun
bergerak menuju rumah kontrakan Sari. Di be
lakang mereka, Pak Chandra dan Bu Chandra
mengikuti meski segan dan takut.
BAGIAN DUA Putus Di sebuah ruangan ber-AC dalam suatu kom
pleks perkantoran, tampak seorang lelaki ber
dasi sedang menerima telepon. Beberapa foto
ukuran besar berpigura tergantung di dinding.
Tampaknya mereka artis dan aktor yang se
dang populer saat ini. Hiasan-hiasan bemapaskan Jepang di ru
angan itu menggambarkan si pemilik ruangan
yang menyukai budaya negeri matahari terbit
itu. "Tapi... Bu, Sang Penakluk, kan, sudah
lama tayangnya... tiga tahun, Iho, Bu. Iya...
iya... tapi masa kita nggak dikasih kesempatan
untuk memperbaiki" Tolong, Bu, jangan dipu
tus begitulah ... apa saja masukan dari pihak
Ibu" Kita akan coba perbaiki, deh"
Suasana ruangan di sebuah kantor produc
tion house itu memang panas meskipun angka
yang tertera di AC unit di dinding memperli
hatkan angka 17 derajat Celsius. Keringat tetap
saja bergulir dari kening lelaki yang sedang
menerima telepon itu. Ia berjalan mondar-mandir di dalam
ruangan dengan langkahnya yang lebar-lebar,
seolah-olah sedang tergesa memburu sesuatu.
Napasnya dipenuhi emosi yang terpendam dan
berusaha dikendalikan sekuat tenaganya.
Perlahan, pintu ruangan terbuka. Lelaki
itu menoleh sekilas. Tatapan matanya yang ta
jam menyapu tiga sosok yang masuk ke dalam
ruangan. Ferdi, Yatno, dan Andi.
Ferdi memandang sekeliling ruangan yang
bergaya modem dengan sentuhan budaya J e
pang di sana sini. Bos di production house tempat
mereka bekerja ini memang perfeksionis dan
disiplin habis-habisan. Tubuhnya yang tinggi
besar ditambah suaranya yang menggelegar
membuat hati siapa saja menjadi ciut seketika.
Sekilas, Ferdi teringat per
cakapan mereka bertiga tadi, sebelum masuk ke dalam ruangan
ini. "Oke, gue yang ngomong..., tapi elo berdua
ikut ngomong juga... soalnya gue tahu banget
gimana adat si Bos...," begitu kata Ferdi pada
kedua rekannya. Yatno dan Andi menganggukkan kepala
mereka dengan bersemangat. Tentu saja ber
semangat, alasan mereka akan menghadap Bos
adalah untuk memohon kenaikan honor. Andi
yang berasal dari Jawa Barat malah mengang
kat jempolnya. "He eh, A' Ferdi... ntar, saya juga ikutan
ngomonglah... enteu nanaonlah(1)...."
Namun, sekarang, saat sudah berada di
dalam ruangan, Ferdi jadi tak mampu berkata
apa-apa. Dia menelan ludah melihat keringat
Bos yang bergulir di keningnya.
"Ya ... ya... baiklah...," suara Bos terdengar
menggelegar memenuhi ruangan. Lelaki bertubuh besar itu menarik napas menahan amarah.
Ponsel yang ada di tangannya dibanting keras
ke atas meji kaca. PRAAKKK...!!!
"Setan...!" makinya keras.
Ferdi terlonjak kaget. Senyum yang semu
la tersungging di bibimya mendadak lenyap.
Dia merasa berada di ruangan ini pada waktu
yang salah. Ferdi membalikkan badan perla
han, berharap sang Bos tidak menyadari keha
dirannya. 1. nggak apa-apa, deh ...
Tetapi, saat ia berbalik, Ferdi hanya meli
hat daun pintu yang tertutup di depan hidung
nya. Entah kapan, Yatno dan Andi sudah tak
lagi berada dalam ruangan.
"Ada apa, Fer" Masuk...." kata Bos me
manggilnya. Suara sang Bos yang keras memaksa Ferdi
berbalik kembali. Ia menelan ludah sambil me
maksakan diri tersenyum. Mimpi apa gue se
malam" sesalnya dalam hati.
"Anu... Bos.... Ada yang ingin saya tanya ....
Cuma kalau Bos sibuk, bisa besok saja, kok...,"
katanya terbata-bata. Suara Bos yang tegas lagi-Iagi membuat
nya kaget. "Masuk saja. Duduk!" perintah Bos-nya
lagi. Tiba-tiba, Ferdi ikut-ikutan berkeringat. Ia
duduk di hadapan Bos yang tinggi besar, seolah
siap menelannya bulat-bulat jika ia salah ber
kata-kata. "Soal apa, Fer""
Mata Bos terlihat menyelidik. Ferdi men
coba mengalihkan pandangannya ke arah lukis
an kaligrafi Jepang di dinding sambil otaknya
sibuk mencari-cari alasan. Telapak tangannya
yang basah oleh keringat memilin-milin ujung
kemejanya. "Anu... Bos...."
"Langsung saja," tukas Bos tak sabar.
Ferdi menelan ludah lagi.
"Begini, Bos.... Kita, kan, sudah jalan tiga
tahun, nih...." ia berhenti sebentar, mengamati perubah
an air muka laki-laki di depannya. Dia melihat
wajah si Bos tanpa ekspresi tengah menatap
dirinya. Ferdi melanjutkan dengan suara yang
semakin lirih. Kami boleh... boleh... boleh minta naik
honor, nggak..." "APA"" tanya Bos memotong ucapan Ferdi
sambil mendekatkan wajahnya ke arah Ferdi.
Ferdi menunduk dan menjawab dengan
lirih sekali. "... minta naik honor""
BRAAAKKK!!! Bos menggebrak meja di depannya hingga
kaki meja patah sebagian. Sambil gemetar, Fer
di sempat menangkap sebuah foto berpigura
yang hampir jatuh ke lantai. Foto itu tadinya
terpajang di atas meja. Foto yang memperli
hatkan si Bos dengan pakaian karate scibuk
hitam sedang mematahkan balok es di sebuah
acara. Kenapa juga gue nggak inget kalau si Bos
adalah karateka yang ibarat kata sekali sabet
nyawa kita melayang" sesal Ferdi dalam hati.
Ferdi mengalihkan pandangannya ke arah
Bos yang berdiri bagai beruang di hadapannya.
Ia menelan ludah. Entah berapa liter sudah ia
menelan ludahnya sendiri hari ini.
"You tahu... barusan, Bu Lila telepon ka
lau Sang Penakluk DIPUTUS minggu depan"!
You sekarang malah minta NAIK HONOR"!
YANG BENER AJA!" suaranya menggelegar
bagai petir di siang hari.
Ferdi merasa tubuhnya mengecil menjadi
debu di hadapan Bos. Sambil gemetaran, ia
mencoba meletakkan kembali foto berpigura
tadi di atas meja yang miring. Namun, hasil
nya, pigura itu meluncur sempuma ke lantai
dan hancur berkeping-keping.
Ruangan mendadak senyap. Ferdi mengamati Bos yang melihat tanpa
ekspresi sisa-sisa pigura di lantai.
"Ma... maaf... Bos.... Maaf...," kata Ferdi
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbata-bata. Suaranya bagai gumaman lebah di
kebun bunga. Perlahan, suara itu menghilang,
seiring langkahnya mundur menuju pintu.
PEMAKAMAN SARI Sore itu, rumah kontrakan mendiang Sari
penuh diisi warga desa. Rumah yang
tak sebera pa besaritu penuh sesak oleh warga-warga yang
berdatangan. Sebagian memang datang untuk
mempersiapkan jenazah Sari yang akan di
makamkan. Tetapi, sebagian yang lain datang
karena hanya ingin melihat dari dekat sosok
jenazah perempuan yang meninggal gantung
diri itu. Perempuan yang semula dijauhi pen
duduk desa karena dikabarkan menjadi peng
ganggu rumah tangga orang lain.
Jenazah Sari terbujur di ruang tengah,
lengkap dengan kain kafannya. Suara orang
membacakan Surat Yassin terdengar di setiap
pojok rumah. Fikri, Rudi, dan Jimmy meng
amati jenazah Sari dari sudut yang agak jauh.
"Sana, Rud... elu temenin, deh, tuh, si Sari.
Kan, elu demen sama dia."
Rudi merinding. "Hii... ogah. Elu aja sana."
Ia mendekati Pak Chandra yang sedang
berbicara dengan Pak RT. "Pak Chandra, udah mau Maghrib, nih. Ke
luarganya mana, ya, Pak""
Pak Chandra menghela napas.
"Itu dia masalahnya, saya nggak tahu ala
mat keluarganya," jawabnya sambi! menoleh
ke arah Novi." Nov, suaminya udah bisa
ditelepon"" Novi menggeleng. "Nggak bisa, Pa. Nggak ada sinyal. Tapi,
tadi Novi sudah kirim SMS."
"Wah, gimana, nih. Sebentar lagi gelap,
lho, Pak Chandra." Pak RT mengingatkan.
Pak Chandra memandang ke luar jendela,
menatap langit yang semakin lama semakin
berwama kelam. Sebentar lagi, waktu maghrib
akan datang. Seharusnya, setelah shalat dzuhur
tadi, jenazah Sari dimakamkan. Tetapi, karena
Pak Chandra berkeras menunggu suami Sari,
maka pemakaman diundur hingga sore hari.
Dan, kini, tampaknya hal itu tak lagi dapat di
tunda. "Ya, sudah, kita makamkan sekarang aja,
Pak RT," ujar Pak Chandra.
Pak RT mengangguk-angguk. Sejenak ke
mudian, ia menoleh ke arah warga yang ber
kumpul di rumah itu. "Yuk, kita bawa jenazahnya...."
Pak RT dan beberapa warga segera meng
angkat jenazah Sari dan membawanya keluar
dari dalam rumah. Pak Chandra dan Bu Chan
dra mengiringi dari belakang. Tiba-tiba, Bu
Chandra menangis tersedu-sedu.
"Sudahlah, Ma.... Ikhlaskan saja.... Jangan
sedih, jangan ditangisi...," bujuk Pak Chandra
sambil merangkul bahu istrinya yang cantik.
Novi pun ikut memeluk mamanya meski
dalam hatinya ia bertanya-tanya. Sejak kapan
mamanya mudah tersentuh seperti ini"
"Mama, sih, ikhlas, Pa. Cuma. Mama
sedih...." Ia terisak sebentar, "Dia, kan, belum
bayar uang kontrakan kita...."
Pak Chandra tertegun. "Mama rugi, dong...."
Pak RT dan beberapa warga di depan
terhenti sejenak dan melihat Bu Chandra de
ngan wajah bingung. Mereka kembali berjalan
.setelah Pak RT mengingatkan supaya bergegas
agar tidak kemalaman di pemakaman.
Di pemakaman, sudah ada lubang yang di
gali sejak tadi pagi. Lubang itu, lalu dipersiap
kan. Saat itu, warga yang hadir tidak banyak,
hanya Pak Chandra, Bu Chandra, Novi, Pak
RT, Jimmy, Rudi, dan Fikri. Kemudian, ada
tiga orang warga lain yang membantu meng
angkat jenazah. "Sudah, Pak RT," lapor Rudi setelah
menuntaskan persiapannya.
"Ya, kalau sudah, dimasukin saja jenazah
nya " Pak RT memberi perintah.
Jimmy, Rudi, dan Fikri berdiri tak berge
rak di pinggir liang lahat.
"Kok, diam saja" Ayo angkat...."
Fikri menggeleng. "Ta... takut, Pak...."
Pak RT menghela napas dan menggeleng
gelengkan kepalanya. "Giliran begini aja, semua takut... kemaren
berebut kepingin dekat-dekat...."
"Kemaren, kan, masih hidup...," sahut
Fikri dengan suara pelan.
Tiba-tiba, Jimmy melompat ke dalam lu
bang liang lahat. Fikri dan Rudi saling pandang dengan
tatapan heran. "Naah... begitu, dong, seperti Jimmy. Pu
nya nyali," Pak RT memuji, lalu menoleh pada
Fikri dan Rudi. "Bantuin sana," perintahnya
pada kedua pemuda itu. Akhimya, Fikri dan Rudi terpaksa melom
pat ke dalam lubang. Mereka pun membantu
mengangkat jenazah masuk ke dalam lubang.
"Carmuk aja lu, ya...." Fikri mengomentari
Jimmy. Ia kesal karena harus terpaksa terlibat
di pemakaman Sari. Kata orang-orang desa,
orang yang meninggal bunuh diri akan men
jadi hantu gentayangan. Siapa yang mau mema
kamkan jenazah yang nantinya pasti menjadi
hantu gentayangan" rutuknya dalam hati.
"Siapa yang carmuk" Malah gue mau ta
nya, siapa di antara kalian berdua yang ngedo
rong gue tadi""
Fikri dan Rudi saling m emandang penuh arti. Saat menjelang maghrib, prosesi pemaka
man baru berakhir. Satu per satu mereka me
ninggalkan lokasi. Pemakaman kembali hening.
Di sana, bertambah satu nisan baru yang ber
tuliskan: AMBARSAR Lahir: Solo, 23 Oktober 1983
Wafat: Jonggol, 13 April 2008
Seiring dengan jatuhnya malam, dingin
pun mulai menusuk ke dalam tulang.
POCONG Malam itu, jalan utama desa sangat sepi.
Seperti biasa, udara terasa dingin menusuk.
Di kiri kanan jalan, yang tidak memiliki pene
rangan itu, terlihat pepohonan singkong yang
berjajar rapat dan luas seolah tanpa tepi. daundaun singkong itu bergoyang perlahan mem
bentuk bayangan-bayangan di kegelapan.
Di ujung jalan, dua sosok lelaki berjalan
tergopoh hendak melintasi jalan pedesaan itu.
Sosok pertama adalah Hansip Udin dijuluki
Saifudin Budek karena mempunyai masalah
dengan telinganya. Malam itu, ia tampak tam
pil rapi dan klimis. Baju hansipnya yang licin
dan wangi dikancing hingga ke lehemya. Gaya
jalannya santai dan mengayun seperti riak di
laut. Sementara rekannya adalah Hansip Ah
mad yang dijuluki Ahmad Jul ing. Dia memakai
kacamata hitam dan berpakaian seadanya. Sehe
lai sarung yang tampaknya sudah lama tak
disentuh air sabun tergantung di pundaknya.
' Beberapa kali, Ahmad Juling tersandung
bebatuan di jalan itu. Setiap kali kakinya tersan
dung batu, ia segera membetulkan letak kaca
mata hitamnya. Hansip Udin Budek mendorong bahu re
kannya dengan gerakan gemulai.
"Aih... ngapain, sih, elu malam-malam
pakai kacamata hitam" Kayak yang bisa nge
hat aja elu, ya.... Ahmad Juling mengangkat dagunya. Me
nerka-nerka posisi Udin Budek dari suaranya
tadi meski tetap saja salah arah.
"Secara... ngiri, tuh...," ujamya sombong.
Udin Budek mencibir. "Ngiri" Sama elu" liih... males banget,
dehh.... Ahmad Juling membetulkan letak kaca
matanya. Pandangannya masih mengarah ke
posisi yang salah, sebab Udin Budek tidak ber
ada di depannya. "Kacamata begini bikin gue gaya, tauu...."
Sambil tersenyum-senyum sombong, Ah
mad Juling berjalan ke depan dengan man
tapnya. Dadanya dibusungkan ke muka, pung
gungnya tegap laksana peragawan berjalan di
catwalk. Namun, detik berikutnya.. . DUKK...!
ia menabrak sebatang pohon di pinggir jalan.
Ahmad pun terjengkang, duduk mendarat di
atas tanah. Udin Budek terkekeh geli.
"Tuh, rasain... apa gue bilang... sok gaya,
sih, lu...." ia berjalan ke arah temannya, lalu mem
bungkuk memungut kacamata hitam temannya
itu. Dengan gerakan gemulai, dia membuang
kacamata hitam itu ke tengah kebun singkong.
"Udah! Nggak usah, deh, pake kacamata
hitam segala...." Ahmad J uling bangkit dari tanah. Matanya
yang memang juling melihat ke arah Udin.
"Yaahh... elu, Din.... Gue baru beli tadi pagi."
Udin memutarkan matanya sambil meng
ekspresikan, Ya elaaaaaaaah.... Meskipun ia
tahu rekannya itu tak dapat melihatnya den
gan jelas. Sekilas, matanya berputar melihat
ke arah kebun singkong tempat ia membuang
kacamata barusan. Di sana, ia melihat ada ger
akan di dedaunan singkong, seolah ada yang
baru saja lewat. "A... ap... apa... apaan itu Mad...," ujar Udin
Budek gugup sambil memegang bahu rekan
nya erat-erat. "Pohon... pohon... singkongnya,
kok, ... tuh... tuh ... gerak sendiri, Mad... itu...
itu...," sambungnya dengan ekspresi ketakutan
setengah mati. Ahmad Juling mencoba mnegarahkan pan
dangan ke arah pohon singkong yang dimak
sud oleh Udin Budek. Dia berusaha untuk me
lihat dari arah dekat, sayangnya arahnya tidak
sesuai dengan yang ditunjukkan Udin.
Ahmad Juling lantas mencolek bahu Udin
Budek yang sedang menutupi wajahnya de
ngan kedua belah tangannya yang halus.
"Mana"" Udin Budek mengintip dari balik jemari
nya. "Yang sono ... bukan yang itu...."
"Secara ini gue lihat yang elu tunjuk,
kok ... huu... Dodol!"
Udin yang kesal mendorong tubuh Ah
mad. "Secara-secara... basi tau nggak, sih, ... sini
senternya!" Demi memuaskan rasa penasarannya, ia
memberanikan diri mengarahkan senter ke se
gala arah di kebun singkong. Lampu senter pun
menyoroti kebun singkong. Namun, tidak ada
apa pun di sana, mereka hanya melihat peman
dangan pohon singkong di mana-mana.
Seett... set t.... Tiba-tiba, terdengar suara langkah yang
diseret. Tubuh Ahmad Juling menegang.
"Eh, Din, elu denger nggak"" tanyanya
pada Udin Budek yang masih sibuk menyoroti
kebun singkong. "Ya'elah, segala senter dipake ditanyain
lagi... iiiihhhh...," jawab Udin sekenanya.
Ahmad mendekatkan mulutnya ke telinga
Udin. Memang tidak salah warga desa men
juluki rekannya itu Udin Budek karena pende
ngarannya memang benar-benar terganggu.
"DIN, SECARA GUE TANYA, ELU
DENGER, KAGAK"!"
Tiba-tiba, Udin yang sedang menatap ke
arah lain melotot kaget setengah mati. Kini,
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di hadapannya, muncul sesosok pocong putih
yang menatap lurus ke arahnya. Bibir Udin
gemetar ingin berteriak, tetapi tak ada suara
yang keluar dari tenggorokannya. Ia melorot ke
atas tanah. Pingsan. Ahmad Juling sama sekali tak dapat meli
hat kehadiran sang pocong. Ia tertegun melihat
rekannya jatuh pingsan tepat di atas kakinya.
"Dia pingsan... gue kekencengan kali,
ya...." Ahmad berlutut dan menggoyang
goyangkan tubuh Udin. "Din ... Bangun, Din...
Din ... Hoi... Din.... Jangan becanda, Din...
Din...!!" ia mulai merasakan keheningan malam
yang mencekam di belakangnya. diusapnya
lehemya yang mulai merasakan keanehan.
Bulu romanya berdiri. Ahmad Juling melihat
ke sekeliling jalan desa itu. Sunyi.
"ini jauh banget, ya... minta tolong sama
Siapa, ya" " Semakin lama, hati Ahmad Juling sema
kin tidak tenang. Bulu romanya makin berdiri
tinggi. Seketika, ia mulai merasakan ada so
sok lain di belakangnya. Perlahan, ia menoleh
dan... ia menemukan wajah Sari yang pucat
pasi terbungkus kain kafan tepat berdiri di de
pannya. Ahmad Juling gemetar dan tanpa berpikir
dua kali langsung mengambil langkah seribu.
"Tolooong...!" ia menjerit sekuat tenaga.
Suaranya menggema di kebun singkong yang
luas dan seakan tak bertepi itu. Langkahnya
kacau dan larinya tak terarah karena matanya
yang tak dapat melihat secara jelas. ia pontang
panting ke kiri ke kanan jalan dan beberapa kali
menabrak pepohonan. di pohon ketiga, Ahmad Juling menabrak
dengan keras. Ia jatuh terlentang, seketika
dedaunan melayang jatuh ke atas tubuhnya. ia
pun tak sadarkan diri. KONFIRMASI POCONG Esok paginya, warga desa langsung heboh
dengan isu penampakan Sari di kebun sing
kong yang dilihat oleh Ahmad Juling dan
Udin Budek. Semua memberi respons serupa.
Mereka tak percaya sebelum terbukti bahwa
benar jasad Sari tak lagi ada di makamnya.
Kehebohan itu kian hari kian memuncak dan
mengusik ketenangan kehidupan di desa yang
selama ini tenteram dan aman.
Oleh karena alasan itulah, pada suatu
siang, Pak RT dan segenap warga desa berbon
dong-bondong menuju pemakaman dengan
satu tujuan. Mereka ingin memastikan apakah
jenazah Sari masih berada di dalam makamnya
sendiri. Siang itu, suasana makam terasa panas
karena matahari sedang menyorot dengan
teriknya. Seluruh warga, tak terkecuali Han
sip Udin Budek, Hansip Ahmad Juling dan
Pak RT, bermandikan peluh. Mereka berjalan
dengan mantap menuju satu lokasi. Makam
Sari. Sesampainya di makam Sari, semua yang
ada langsung terkesiap. Makam itu sudah tidak lagi sama dengan
saat terakhir mereka tinggalkan. Batu nisan
terserak di tanah. Liang lahat tempat jenazah
Sari bersemayam terbuka lebar. Dan, dalam
nya kosong. Tanah merah terbongkar beran
takan di sisi-sisi makam.
Warga dan Pak RT berpandangan. Kemu
dian, mereka bersamaan memandang Hansip
Udin dan Hansip Ahmad. "Kalian yakin malam itu melihat pocong
nya Sari"" tanya Pak RT.
Hansip Udin Budek menepis dengan gerak
an yang gemulai. "Malam itu, yang saya lihat pocong, bukan
bencong, tauuu... iiih, Pak RT gimana, sihh...,"
katanya. Pak RT memandang Hansip Udin dengan
wajah kesal. "Tadi, gue juga ngomongnya pocong, Dii
innn... ITU POCONG SARI, BUKAN"!" Ka
Ii ini, Pak RT mengulangi pertanyaannya de
ngan berteriak di telinga Hansip Udin.
Udin tersenyum kecut bercampur malu. Ia
mengangguk perlahan. "Ooooh... Sari.... Iya, Pak... iya, yakin ba
nget.... Pak RT terdiam. Ia tampak memikirkan
sesuatu. Sementara itu, bisik-bisik dan ribut
ribut mulai terdengar di antara kerumunan
warga desa yang ikut ke pemakaman.
"Jim, yang lepasin tali pocongny
a... elu, kan, ya"" tanya Fikri sambil memandang Jim
my. Suaranya perlahan dan terdengar penuh
keraguan. Jimmy yang ditanya malah mengerutkan
keningnya heran. "Lah, bukannya elu...""
Fikri menggeleng buru-buru.
Bukan! Bukan gue.... "Wah, kalau nggak dilepasin talinya...
ya, jadinya begini... bangun dan gentayangan,
deh...." Rudi menimpali.
Pak RT pun menukas,"Sudah
usah komentar, sekarang yang jadi, masalah
adalah... pocongnya ada di mana""
"Feb...! Ayo, ambil bolanya sana!" Abel
meneriaki Febri temannya bermain bola. Mere
ka sedang asyik bermain bola di jalan yang le
taknya tak jauh dari bekas rumah kontrakan
Sari. Tak dinyana, bola melesat jatuh ke teras
rumah kontrakan itu, menjatuhkan pot bunga
yang disusun di pinggir teras hingga pecah
berkeping-keping. Sejenak, bola milik Abel itu
memantul-mantul di lantai teras yang kotor
dan berdebu. Febri yang disuruh oleh Abel menggeleng.
Wajahnya menyiratkan ketakutan.
"Temenin, dong, Bel.... Gue takut...."
Abel mencibir. "Aha... takut sama siapa, sih" Orang nggak
ada siapa-siapa. Itu, kan, rumah kosong."
Gelengan Febri makin keras.
"Nggak... kamu temenin makanya...."
Kemudian, Abel melangkah mendekati
Febri. Dengan sekuat tenaga, dia mendorong
tubuh temannya itu hingga bergerak ke arah
rumah Sari. "Chicken lu.... Ambil sana! Gue tunggu di
sini. Dengan langkah gemetar, Febri terpaksa
mendekati rumah Sari yang sunyi dan senyap.
Jantungnya terasa berdegup lebih kencang.
Matanya yang bulat menatap sekeliling teras
dengan tergesa-gesa, berusaha menangkap ba
yangan benda berbetuk bola. Tetapi, tampak
nya bola itu tak lagi berada di teras.
Kriieet.... Pintu depan rumah terbuka perlahan. Febri
melihat bola yang dicarinya memantul-man
tul menuju ke dalam rumah. Bola itu berhenti
di sudut ruangan di ruang tengah. Akhimya,
setelah semula ragu-ragu, Febri memberanikan
diri untuk melangkah ke dalam rumah.
Febri melangkah dengan perlahan dan hati
hati. Napasnya semakin memburu. Saat kaki
nya mulai melangkah memasuki ruang tengah
rumah kontrakan itu, ia merasakan sebentuk
keanehan. Setiap kali ia melangkah masuk,
bulu romanya semakin meremang. Saat tiba
di ujung ruangan, dilebarkannya langkah dan
dengan satu hentakan, dia menyambar bola
yang berada di atas lantai. Secepat kilat, Febri
melangkah berbalik menuju pintu.
Tepat, saat itulah, ia melihat sosok yang
ada di hadapannya. Dia pun terbelalak tak
mampu mengeluarkan suara. Bola di tangan
nya lepas, jatuh bergulir di lantai. Lututnya
bergetar hebat, terasa lunglai. Sementara wa
jahnya sudah pi as seolah tak ada darah yang
mengalir ke sana. Febri merasa jiwanya me
layang, terpisah dari tubuhnya, pergi entah ke
mana. Namun, sedetik kemudian, anak itu tersa
dar kembali. Otaknya memerintahkan kaki
kurusnya untuk segera berlari sekuat tenaga
keluar dari rumah. "Mamaaaaaaaaaa... !" jeritnya sekuat tena
ga. Ia melesat keluar, pontang-panting tak
berarah. Dia tak peduli saat tubuhnya mena
brak Abel dengan kencang. Abel yang sedang
berdiri mematung di halaman, langsung jatuh
tersungkur di tanah. Sambil bangkit, ia mena
tap pintu rumah. Rasa takutnya dikalahkan
oleh rasa ingin tahu yang besar.
BLARR...! Daun pintu rumah di hadapannya terban
ting tiba-tiba. Abel yang tertegun terlonjak
kaget dan tanpa pikir panjang segera mengam
bil langkah seribu menyusul temannya. dia
berlari menjauhi rumah Sari secepat-cepatnya.
Akhirnya, Pak RT merasa mengetahui jawab
an atas pertanyaannya selama ini. Berdasarkan
laporan warga, sosok pocong Sari terlihat di
rumah kontrakannya. Sosok itu terlihat oleh
anak-anak yang sedang bermain bola tak jauh
dari sana. Pak RT pun mengumpulkan kembali Han
sip Udin Budek dan Hansip Ahmad Juling.
Dia mengajak mereka untuk ikut serta mem
bawa jenazah Sari kembali ke makam tempat
nya semula. Kali ini, Kepala Hansip Pak Dar
mun pun diajak ikut serta agar menyaksikan
upacara yang selama ini tak pemah terjadi di
desanya. di perjalanan, warga desa yang ikut sema
kin lama semakin banyak. Mereka memben
tuk beberapa kelompok yang ribut membahas
penampakan Sari di desa itu.
"Anak-anak, kan, suka begitu, mengkha
yalnya kelewatan...," ka
ta seorang lelaki yang suaranya terdengar dari seluruh gumaman dan
bisikan yang ada. "Iya. Masa kemaren katanya ada ultraman
di bawah kasur...." Di kelompok ibu-ibu juga terjadi perde
batan. "Pasti salah lihat, ya..., kain korden
kali...." , "Masa, sih, sore-sore ada pocong... jangan
jangan anak-anak itu bohong...."
"Enak aja. Anak saya itu nggak pemah bo
hong, Bu.... " Semntara itu, di kelompok remaja..
"Ini beneran setan pocong" Setan bener
anr "Ya, iyalaaaaaah... setan beneran kale!"
"Sumpe lu, Mak.. ada pocong" Iiih..., akyu
takyuuut...." "Lah" Ngapain ikut kalau takut""
Tak berapa lama, warga pun akhimya
sampai di depan rumah kontrakan Sari. Keba
nyakan dari mereka tidak ingin berada dekat
dekat dengan pintu rumah. Namun, raut wajah
mereka menyiratkan rasa ingin tahu yang besar
untuk melihat apa yang akan terjadi di sana.
Pak Darmun, kepala hansip yang bertubuh
ta'mbun, tiba-tiba maju ke depan dan berusaha
membuka pintu rumah Sari. Oleh karena pin
tu itu terkunci, ia pun menendangnya sekuat
tenaga. BLARRR..! Pintu itu terbuka. Melihat pintu yang menjadi rusak, Bu
Chandra yang berdiri di barisan depan lang
sung menyela. "Aduh... aduh.... Kok, pakai ditendang"
Nanti, siapa yang akan ganti" Padahal, saya
bawa kuncinya.... " Tanpa memedulikan Bu Chandra, Pak Dar
mun menatap ke arah warga dan berbicara
dengan suaranya yang tegas,
"Saya tegaskan sekali lagi.... Tidak ada po
cong.... Tidak ada setan pocong di desa ini....
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari ini, kita akan buktikan bahwa itu cuma
gosip.... " Setelah dia bicara, langsung terdengar su
ara bisik-bisik di antara kerumunan warga. Se
bagian dari mereka tidak setuju dengan penje
lasan Pak Darmun. Pak Darmun menoleh pada dua bawahan
nya, Hansip Ahmad Juling dan Udin Budek.
"Ayo, masuk!" perintahnya.
Tetapi, keduanya menggeleng lemah.
"Hu! Mental tempe kalian! Baru segini aja,
udah takut...." bentaknya pada kedua hansip
itu. Dengan langkah tegap, Pak Darmun me
langkah ke dalam rumah. Setelah beberapa
langkah, ia menoleh. Dia melotot kepada ke
dua hansip yang masih berada di luar.
"Hayo masuuk...!" bentaknya.
Mau tak mau, kedua hansip itu akhimya
mengikuti Pak Darmun di belakang. Dengan
langkah hati-hati, mereka melangkah masuk ke
dalam rumah. Seketika, bau anyir menerjang
penciuman mereka. Pak Darmun mengernyitkan hidungnya. Ia mulai ragu dengan apa yang
dikatakannya barusan di depan warga.
Tiba-tiba.... Byar! Lampu di dalam rumah menyala terang.
Pak Darmun menoleh seketika dan men
dapatkan Udin menyeringai setelah menekan
tombol lampu. "Setan! Bikin jantungan aja kamu...!"
Dan, mendadak saja bau anyir yang berasal
dari depan kamar Sari menghilang digantikan
bau mayat yang sudah membusuk. Pak Dar
mun dan kedua anak buahnya terpaksa menu
tup hidung dengan jemari mereka.
Pak Darmun mendorong Ahmad Juling
supaya masuk ke dalam kamar.
"Mad..., lihat sana!" perintahnya.
Ahmad memandang Udin dengan wajah
memelas, minta pertolongan. Tetapi, Udin
segera berpura-pura melihat ke arah lain. Pak
Darmun mendorong dengan lebih keras, Ah
mad pun terdorong ke arah ambang pintu ka
mar. "Ada, nggak"" Pak Darmun bertanya pada
Ahmad. Ahmad Juling berusaha melihat ke dalam
ruangan dengan saksama. Namun, ia sama se
kali tak dapat melihat pemandangan yang ada
di depannya. Padahal, tepat di depannya ada
sesosok jenazah berkain kafan membujur di
tempat tidur. "He! Ada, nggak"" Pak Darmun bertanya
lagi, kali ini, dengan nada tidak sabar.
"Nggak... nggak ada, Komandan...."
Pak Darmun menoleh ke arah Udin Budek.
Dia memberi isyarat dengan gerakan kepa
lanya, memerintahkan anak buahnya itu untuk
ikut masuk ke dalam kamar juga.
"Jangan... jangan saya, Pak...." Udin mun
dur dengan raut wajah ketakutan. "Saya...
udah... pemah... lihat... kok
Mendengar jawaban Udin Budeg, Pak Dar
mun jadi tidak sabar. Tangannya yang kekar
mencengkeram bahu Udin dan langsung men
dorongnya masuk ke kamar. Sementara, ia
sendiri menunggu di luar.
Udin, yang terdorong ke dalam, langsung
melihat sosok pocong yang terbujur kaku. ia
terlonjak kaget dan berlari keluar kamar.
"Aaaddaaaaaaaaaa...."
Ahmad Juling menatapnya dengan heran.
Udin yang dit atap seperti itu balas mendelik.
"Emang lu nggak lihat"" tanyanya kesal.
Rekannya menggeleng buru-buru.
Pak Darmun pun berdehem. "Kalau begitu katanya dengan suara
yang penuh wibawa, "kalian berdua bereskan
masalah itu. Saya tunggu di luar."
Ia melangkah menuju pintu keluar. Tetapi,
mendadak ia menoleh dan mendapati dua anak
buahnya tengah mengekor di belakangnya.
"Ayo, cepat dibereskan! Kalau tidak nurut,
besok, kalian saya pecat dari kesatuan! Dan,
saya pastikan tidak akan ada pensiun!"
Mereka berdua terlonjak kaget mendengar
kata "pecat". Ahmad Juling langsung meng
angguk-angguk tegas. "Siap, Komandan! Kita akan bereskan."
Ia pun menarik rekannya menuju ke arah
kamar. "Apa-apaan, sih"! Elu enak nggak lihat ada
pocong di situ." Kemudian, mereka berdua berbalik dan
berjalan mengendap-endap. Saat kembali sam
pai di pintu kamar yang terbuka, keduanya
melongok ke dalam. Mereka melihat sesosok
jenazah berkafan masih ada di tempatnya.
Mereka berpandangan. Lalu, tanpa diperintah,
mereka berbalik arah dan berlari sekencang
kencangnya keluar rumah, melewati Pak Dar
mun yang masih berdiri termangu-mangu.
"Aaaaaaah.... pocooong.. . !"
Pak Darmun, yang sampai saat ini, belum
pemah melihat apa yang ada di dalam kamar,
menjadi ingin tahu. Ia melangkah menuju ka
mar dengan tegap meski jantungnya berdebar
kencang. Dia melongok melalui pintu yang
terbuka dan melihat sosok yang dilihat kedua
anak buahnya. Lidahnya mendadak kelu. Selama berkari
er di dunia perhansipan, baru kali ini Pak Dar
mun melihat dengan mata kepala sendiri po
cong yang terbujur kaku di luar makamnya
sendiri. Kepala Hansip yang tegas itu memaksa
kakinya untuk melangkah mundur ke arah
pintu depan. Sesampainya di teras, ia berbalik
dan tanpa peduli tatapan seluruh warga yang
menatapnya dengan penuh tanda tanya, ia ber
lari kencang menjauhi rumah Sari.
"Pocoooong...!" jeritnya sekencang-ken
cangnya. Seluruh warga pun berlarian menjauhi
rumah kontrakan yang kini tampak kotor dan
berdebu itu. Tidak ada seorang pun yang ter
tinggal. Suasana hiruk pikuk dengan jeritan
ibu-ibu dan anak-anak. Siapa yang mau melihat
pocong beneran" DUKUN JAMBRONG Sore itu, suasana di rumah Pak Chandra tam
pak muram. Bu Chandra dan suaminya duduk
termangu-mangu. Wajah mereka terlihat bi
ngung dan cemas. Di dekat mereka, duduk juga
Pak RT, dengan raut wajah yang serupa.
Novi, anak Pak Chandra satu-satunya, me
langkah masuk ke ruang tengah dan mengerut
kan kening melihat ketiganya duduk dengan
wajah bingung. "Dia nggak boleh ada di situ lama-lama...,"
ujar Bu Chandra dengan nada datar seperti
orang yang baru saja syok melihat hantu.
"Iya...," kata Pak RT menimpali dengan
nada yang sama datamya. "Kita harus usir dia...." Pak Chandra ikut
bersuara. "Iya...," jawab Pak RT lagi.
Novi pun mendekat mendengar percakapan yang aneh ini. ia baru saja pulang dari be
pergian seharian dengan teman-teman seko
lahnya sehingga tidak mengikuti kejadian di
desa itu siang tadi. "Sebentar... diusir" Ada apa, Pa" Siapa
yang diusir"" Tiba-tiba, Bu Chandra bangkit dari kursi
nya tanpa memedulikan pertanyaan Novi.
"Mas Haryo... ! Ya, Mas Haryo! Ya, betul.
Kita harus panggil dia...." katanya penuh se
mangat seolah-olah baru saja menemukan ide
yang cemerlang. "Mas Haryo" Siapa dia, Ma" Ada apa,
sih"" Bu Chandra tersenyum puas dengan ide
nya. "Dia dukun sakti.... "
Pak Chandra tertegun. "Dukun" Jangan... jangan... Papa nggak
setuju kalau dukun...."
Bu Chandra mendelik ke arah suaminya.
"Terpaksa, Pa! Cara normal, kan, sudah
dilakukan, tapi nggak berhasil! Kini, saatnya
dukun bertindak!" Malam itu, suasana di depan rumah kon
trakan Sari mendadak ramai. Ada Pak RT,
Pak Chandra dan Bu Chandra, Hansip Udin
Budek, Hansip Ahmad Juling dan beberapa
warga berkumpul memenuhi halaman rumah
kontrakan itu. Mereka ingin menyaksikan aksi
Dukun Jambrong mengusir setan.
Tak lama kemudian, muncullah dukun
yang mereka tunggu-tunggu. Dukun Jambrong
mengenakan baju tanpa lengan memperlihat
kan otot lengannya yang kekar. di pergelangan
tangannya, terdapat beberapa gelang, semen
tara jemarinya mengenakan beberapa cincin.
Tampak pula k alung menghiasi lehemya. Jenggotnya panjang, nyaris menyentuh dada.
Rambutnya, yang panjang dan acak-acakan, di
gelung ke atas menambah seram penampilan
nya. Ia mengangguk ke arah warga desa. Kemu
dian, dia berjalan perlahan menuju teras rumah
Sari. di teras,telah tersedia nampan kecil tem
pat kemenyan dan sesajen yang berisi kembang
tujuh rupa. di depan pintu rumah, Oukun Jambrong
membacakan mantra. Belum selesai mantra di
bacanya, tiba-tiba saja pintu depan rumah Sari
terbuka sendiri. di belakangnya, suara gumam
warga terdengar penuh kekaguman. Oengan
hati-hati, sang dukun pun masuk ke dalam
rumah. Matanya bergerak waspada.
Pintu kamar Sari terbuka. Sang Oukun da
pat melihat dengan jelas sesosok pocong yang
terbujur di tempat tidur.
OukunJambrong tersenyum. Oengan man
tap dan yakin, ia duduk bersila di depan pintu
dan meletakkan sesaji di hadapannya. Ia pun
lantas membacakan mantra-mantra yang su
dah disiapkan sejak siang hari tadi. Dukun itu
menggerak-gerakkan lengannya ke sana ke
mari sesuai dengan yang diajarkan leluhumya
zaman dahulu kala. Bunyi gemerincing gelang
terdengar memecah kesunyian ruangan di da
lam rumah Sari. Tak berapa lama, Dukun Jambrong meng
hentikan gerakannya tiba-tiba.
Dengan satu gerakan cepat, ia menarik se
bilah keris dan langsung mengasapinya dengan
asap kemenyan. Ia membaca mantra-mantra lagi.
Lalu, ia bergerak seolah sedang melawan
kekuatan gaib yang ingin merebut kerisnya.
Terjadi tarik menarik yang kuat antara Dukun
dan kekuatan gaib itu. Namun, temyata kekuat
an gaib itu lebih besar dari kekuatan si Dukun.
Keris akhimya melesat sendiri ke arah tempat
tidur dan mendarat di ujung tempat tidur.
Dukun Jambrong mulai takut. Ia menya
dari bahwa kali ini setan yang dihadapinya
tidak main-main. Sebelum terlambat, sang du
kun segera mengambil ancang-ancang untuk
berbalik arah hendak keluar rumah. Ia tak in
gin nyawanya melayang di dalam rumah ini.
Namun, tiba-tiba saja, keris yang tergele
tak itu bangkit dan mengejar DukunJambrong
dari belakang. Sang dukun yang panik segera
saja menghambur tunggang langgang keluar
rumah. Di luar, warga menunggunya dengan
harap-harap cemas. Saat mereka melihat Du
kun Jambrong keluar dari pintu, mereka ber
sorak sorai seolah semua hantu yang meng
ganggu desa kini sudah lenyap. Tak akan ada
lagi cerita pocong Sari yang berkeliaran di desa
menakut-nakuti warga.
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tooo ... loong teriak sang dukun sam
bil berjalan tertatih-tatih menuju warga yang
berkumpul. Warga pun terdiam. Mereka menatap se
bilah keris yang menancap di bagian belakang
Dukun Jambrong. Satu per satu warga pun mundur teratur.
Mereka pulang ke rumah dengan ketakutan.
Mereka pulang dengan kecewa, temyata Du
kun Jambrong tak sehebat yang mereka bra.
SATU-SATUNYA JALAN "Pa, pocong itu harus diusir secepatnya! Ka
lau nggak, bisa-bisa nggak ada yang mau nye
wa rumah itu lagi!" Bu Chandra berjalan mondar-mandir di
dalam rumah. Wajahnya bingung dan kesal.
Sementara itu, kan istrinya yang terus menggerutu dan meng
omel. Televisi di hadapan mereka menyala be
gitu saja tanpa ada yang menonton.
Bu Chandra, yang melihat suaminya ha
nya diam menatapnya saja, menjadi kesal.
"Papa, gimana, sih" Bantu Mama mikir,
dong! Malah diam saja!"
Pak Chandra mengalihkan pandangannya
ke arah lain. "Habis, mau gimana lagi, Ma" Dukun
kamu saja sudah kalah... mau pakai cara apa
1 agi"" Bu Chandra mencibir. "Papa nggak pemah punya ide. Selalu
Mama yang harus mikir!"
Tiba-tiba, langkah Bu Chandra terhenti.
Dari televisi, didengamya musik khas aca
ra kesayangannya. Sang Penakluk. .Seketika, ia
menoleh ke arah televisi. Di sana, tampak Ki
Ferdi, Ki Andi, dan Ki Yatno sedang beraksi
menghadapi hantu dan setan yang menggang
gu dengan jurus-jurus silat mereka. Suara nara
tor terdengar tegas dan mantap.
Mereka datang untuk mengusir kekuatan alam
lain yang tidak diinginkan....
Mereka memherikan rasa aman....
PET. Ternyata, Pak Chandra mematikan televisi.
"Lho" Kok, dimatiin"" tanya Bu Chandra
dengan meninggikan suaranya.
Pak Chandra kaget melihat reaksi istrinya.
Dia pun segera menyalakan televisi kembali.
Suara narator kembali bergema
. Jika ada kekuatan gaib yang mengganggu
Anda.... Hanya mereka yang bisa menaklukkannya....
Saksikan aksi mereka.... Sang PENAKLUK di NA TV setiap pukul
sepuluh malam.... "Ada apa, sih"" tanya Pak Chandra saat
menyaksikan istrinya tersenyum-senyum
sendiri. Wajah istrinya itu tampak bersinar
sinar. "Itu dia, Pa! Mereka yang bisa menye
lamatkan kita!" BAGIAN TIGA Penakluk Masuk Desa Di sudut ruang produksi di sebuah production
house, terlihat empat orang pemuda sedang ber
diskusi. Tiga orang di antaranya adalah ang
gota Sang Penakluk yang dikenal dengan Ki
Ferdi, Ki Yatno, dan Ki Andi. Sementara itu,
seorang lagi adalah Doni, yang dapat dikatakan
berfungsi sebagai manajer mereka bertiga.
"Ngana(2) jangan talalu serius...." Doni dengan
dialek Manado-nya berkata dengan gaya som
bong, " ... sambil manunggu ngana shooting tho...
2. kamu samalam torang(3) da babicara lewat telepon tho....
ini orang kaya di kampung bikin ada acara.. .
jumpa Fans Sang Penakluk tho... adodo'e... man
tap pastinyaa...." Andi dan Yatno langsung menoleh berse
mangat ke arah Doni. "Maneh (eh kudu bener, Don...," kata Andi
dengan logat Sunda yang kental.
"Walah. Ora sia-sia sampeyan kita gaji dadi
ketua Fans Sang Penakluk, top-lah sampeyan... ka
pan" Kapan acaranya"" Yatno yang berasal dari
Jawa Tengah bertanya dengan mimik serius.
"Ya, hari ini! Ngana semua ditunggu di
sana...." Ferdi yang sedari tadi membisu mengge
lengkan kepalanya. "Wah... mepet banget, Don...."
Doni bangkit dari duduknya. Menepuk
bahu Ferdi, mencoba meyakinkan rekannya.
Ia tahu Ferdi adalah pemimpin Sang Penakluk.
Jika Ferdi setuju, dua rekannya yang lain pasti
otomatis setuju juga. "Jo... jangan tolak rezeki... tak baik.. torang
su bilang Sang Penakluk akan datang hari ini...
full team!" Yatno mendekat dan berbisik.
"Ono duite tho""
3. kami Sambil tertawa, Doni menepuk-nepuk
bahu Yatno. "Ododo'e.... Ya, adalah.... Tapi, tak hasar...
lumayanlah.... Cuma, katamu fans tho.... "
Mendengar itu, Yatno dan Andi langsung
menoleh ke arah Ferdi. Mereka melempar
kan senyum dan pandangan setuju. Ferdi pun
akhimya mengangguk. Apa susahnya jumpa
fans" Ada duitnya pula....
Mobil yang mereka berempat tumpangi
melaju perlahan membelah jalan desa. Mobil
itu melewati kebun singkong yang berjajar di
sepanjang kiri dan kanan jalan. Sore itu, udara
yang mulai terasa dingin masuk ke dalam mo
bil karena Doni membuka jendela kaca.
Yatno dan Andi memandang ke luar jen
dela, menerka-nerka apa yang ada di ujung ja
Ian itu. Beberapa motor milik warga desa ber
papasan dengan mobil mereka. Motor-motor
itu melaju dengan kecepatan tinggi karena hari
hampir gelap. Mungkin, ingin segera pulang
dan meninggalkan desa tujuan mereka itu.
Dari dalam mobil, Yatno dan Andi meli
hat mobil mereka sedang melewati arela tanah
pemakaman desa. Latar belakang matahari ter
benam dan cahaya remang-remang, membuat
bayangan pohon-pohon kamboja di pemakam
an itu tampak menyeramkan. Pemakaman tua
itu tidak terawat dihiasi beberapa siluet batu
nisan yang terpancang di tanah. Batu-batu itu
ada yang miring ke kiri dan ada yang ke ka
nan. Mereka berpandangan dengan raut wajah
takut. "Eta kuburan meuni serem pisan(4)... hiii...."
Andi bergidik ketakutan. Tubuhnya yang ku
rus meringkuk di jok mobil.
"Don..., opo sampeyan yakin kita nggak
pake nyasar lagi""
"Iya. Anu di peta aya enteu nya, gambar ku
buranana(5)"" Doni menepis dengan tangannya. Gerak
annya meremehkan. "Ah ngana badua talalu banyak tanya... baru
kasi liat kuburan aja udah mau mati katakutan
ngana... kayak ngana nggak pemah syuting di
kuburan aja " Mobil pun terus melaju. Kali ini, mobil itu
tengah melalui jalanan yang bergelombang se
hingga mereka terpaksa berpegangan erat-erat
pada handle di atas pintu. Maklumlah, Doni
mengemudikan mobil dengan gayanya di jalan
TOL. 4.Itu kuburannya serem banget...
5.Yang di peta ada nggak gambar kuburannya"
"Masih jauh, Don"" Ferdi mulai gelisah
melihat matahari sudah hilang dari pandang
an. Gelap mulai menyebar di luar.
"Ododo'e. .. nyanda, Mas... sabentar lagi,'
tho..." Tak berapa lama, mereka melihat. keru
munan warga di ujung jalan masuk ke desa. Kerumunan warga itu sedang melihat ke arah
mereka datang. Ferdi yang duduk di depan pa
ling ujung, langsung memberitahukan yang
lain. Ferdi mengenakan busana kebesaran Sang
Penakluk. Saat mobil sampai di kerumuan war
ga itu, terdengar sorak sorai warga menyam
but kedatangan mereka. Warga lalu mengikuti
jalannya mobil masuk ke desa.
Ferdi menoleh ke kursi belakang. Dua
rekannya tertidur pulas. "Hoi, bangun! Udah sampai kita...."
Yatno dan Andi yang baru tersadar men
jadi kaget dan terkejut melihat mobil mereka
sudah dikerumuni banyak warga desa. Mereka
buru-buru mengenakan busana Sang Penakluk
yang sudah disiapkan, lengkap dengan ikat ke
palanya. Tak lama kemudian, mereka sudah bergan
ti penampilan. Kini, mereka siap menemui
para fans. Biasanya, banyak yang minta tanda
tangan atau bahkan berfoto bersama. Memang
rekor paling banyak dikerumuni fans selalu di
pegang Ferdi. Tetapi, Yatno dan Andi tidak
pemah sepi dari para fans yang menggemari
mereka. Selesai acara, mereka pasti merasa pe
gal-pegal karena ditarik ke sana kemari oleh
fans yang mengajak berfoto. Yatno dan Andi
membayangkan hal itu sambil tersenyum-se
nyum sendiri. Semoga saja nanti ada kembang
desa yang mengajak berfoto.... Hmm... lumayan...
begitu batin mereka berharap.
"Lho" Papa, kok, nggak siap-siap, sih"" ta
nya Bu Chandra pada suaminya. Dia baru saja
keluar kamar setelah selesai berdandan habis
habisan. Di ruang tengah, suaminya duduk
santai membaca koran sambil menghirup kopi
hangat buatan istrinya. "Ngapain Papa ikut" Papa nggak percaya
sama apa itu namanya. Sang Penakluk" Itu,
kan, tipuan semua. Pake trik, Ma....
Bu Chandra menghela napas kesal. Novi
yang sudah rapi di sebelahnya hanya mem
bisu. "Tipuan gimana" Itu, kan, bukan film atau
sinetron, Pa. Itu reality show namanya. Itu be
neran! Tapi, terserah Papa-lah mau gimana.
Menurut Mama, ini jalan terakhir kita!"
Bu Chandra menggamit lengan Novi dan
menyeretnya keluar. Putrinya itu menurut tan
pa banyak melawan. Ia sudah mengerti tabiat
mamanya. Mungkin, maksud mamanya baik,
ingin mengusir hantu Sari dari rumah kon
trakan itu. Tetapi, Novi sendiri sebetulnya juga
kurang yakin dengan kelihaian Sang Penakluk
untuk mengusir hantu yang mengganggu. Me
mang, di televisi mereka bergaya seperti sung
guhan. Tetapi, siapa yang bisa menjamin"
Sepeninggal Bu Chandra, Pak Chandra
bangkit dari kursinya. Sambil menuju ke dalam
kamar, ia menggerutu sendiri.
"Dibilangin, kok, nggak mau percaya... li
hat saja buktinya nanti ....
SURPRISE! Hampir seluruh warga desa menunggu de
ngan harap-harap cemas di tempat yang disiap
kan untuk kedatangan Sang Penahluk. Di situ,
sudah terpasang panggung mini untuk tempat
pemberian sambutan-sambutan. Tulisan dari
kertas emas terpampang di papan yang sengaja
dipasang di depan panggung. Bunyinya: SE
LAMAT DATANG SANG PENAKLUK. Be
berapa balon tergantung di udara. Dekorasinya
persis seperti acara penyambutan pejabat yang
akan menilik kondisi desa itu.
Pak RT berkali-kali melihat jam tangan
nya. Dia berharap semoga Sang Penakluk segera
tiba. Tadi didengamya kabar dari warga di
ujung jalan desa, bahwa Sang Penakluk sedang
menuju kemari. Ki Ferdi duduk di depan se
mentara Ki Yatno dan Ki Andi duduk di be
lakang. Ada satu lagi yang menyetir mobil.
Pak RT menebak itu adalah Doni, orang yang
diteleponnya tadi pagi.
Setannya Kok Beneran Karya Dyah Ratna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhimya, mobil yang ditunggu-tunggu
mulai muncul dari ujung jalan, diikuti oleh
beberapa orang warga dan anak-anak. Warga
yang duduk menunggu langsung bangkit dan
bersorak sorai menyambut. Apalagi, saat mere
ka melihat melihat wajah Ferdi yang duduk di
depan. Beberapa gadis terbelalak saat melihat
secara langsung ketampanan pemimpin Sang
Penakluk itu. Mereka meneriakkan nama Ki
Ferdi dengan agak histeris.
"Wah, akhimya datang juga Sang Penak
luk.... " "Aku kirain mereka nggak mau datang.... "
"Dijamin langsung game, deh, tuh, po
cong " "Iya... iya... kayak di tivi semalam, kan,
langsung dimasukin ke kendi aja!"
Pak Darmun, Hansip Udin Budek, dan
Hansip Ahmad Juling membuat pagar betis
yang membatasi warga dengan Sang Pena
kluk yang baru saja turun dari mo
bil. Mereka terdiam sambil menyaksikan dengan penuh
kekaguman tiga sosok berpakaian hitam-hitam
yang turun melompat dari dalam mobil, leng
kap dengan ikat kepalanya.
Tayangan di televisi yang semula jauh dari
jangkauan mereka saat ini terasa nyata. Sang
Penakluk tengah hadir di desa mereka!
Tiga jagoan itu berjalan melewati pagar
betis ke arah panggung kecil yang berada di
depan. Di sana, Pak RT menyambut mereka
dengan seringainya yang lebar. la mengangguk
penuh hormat pada ketiganya.
"Selamat datang! Silakan... silakan...," kata
nya dengan penuh semangat.
Dalam hati, Pak RT memuji habis-habisan
penampilan Sang Penakluk yang gagah-gagah
dan terlihat penuh wibawa. Dia berharap, dana
yang dikeluarkan warga untuk mengundang
Sang Penakluk dapat memuaskan ketiga jago
an ini untuk melakukan tugas sucinya dengan
tuntas. Ferdi, Yatno, dan Andi melihat ke sekeli
ling dengan sapuan mata mereka. Mereka me
lihat warga yang antusias balik menatap mere
ka dengan pandangan ingin tahu. Namun,
di antara mereka terlihat Novi yang tampak
sama sekali tidak peduli pada mereka bertiga.
Dia berdiri acuh tak acuh. Kulitnya yang putih
sangat menonjol di antara warga yang lain.
Hati Ferdi mendadak bergetar.
Tiba-tiba, tanpa disadarinya, ia menye
nandungkan lagu Sempuma. "Huadduuh... uuayyuuu tenaan(6)... Mas!"
Ferdi, yang berdiri paling depan, membu
ka kacamata hitamnya. Ia menatap Novi dari
kejauhan dan melemparkan senyumnya yang
lerindah. Novi yang ditatap berusaha melihat
ke arah lain. Di sebelahnya, Bu Chandra terse
nyum-senyum sendiri. Dia menyangka Ferdi
mengirimkan senyum itu unt.uknya.
Yatno dan Andi, yang melihat kejadian
itu, saling berpandangan. Lalu, mereka men
gangkat bahu bersamaan. Ferdi pun menoleh ke belakang.
"Awas, ya... kalau gue lihat elu deketin
dia.... Nihh!" kata Ferdi sambil memamerkan
genggaman tangannya yang besar.
Yatno dan Andi mengangguk buru-buru.
Mereka melihat ke arah Novi sekali lagi, tetapi
yang ada hanya Bu Chandra yang melambai
kan tangannya penuh semangat. Yatno dan
Ardi bergegas menyusul Ferdi yang sudah me
langkah lebih dulu. "Mama bener-bener, deh... mentang-men
tang dukunnya ganteng. Semangat betul, sih.
Ma"" bisik Novi pada mamanya di barisan
warga. 6.cuantik buanget Bu Chandra hanya tersenyum-senyum
saja. Ia tetap berusaha terlihat dari panggung
kecil di depan. Tiba-tiba, dari kerumunan warga, Pak
Chandra menyeruak maju ke depan. Tangan
nya dipinggang. "Palsu... Tipu...," ujamya sambil bergerak
maju. Ferdi dan teman-temannya saling meman
dang. Siapa itu yang tahu mereka hanya pura
pura" Pak Chandra berdiri menghadap warga
desa. "Kalian semua sudah tertipu... ! Mereka ini
dukun palsu. Pak RT langsung menoleh ke arah Sang Pe
nakluk. "Maaf, Ki... Maaf...." katanya meminta
maaf pada mereka. Dia lalu menoleh pada Pak
Chandra yang kini berdiri di depan panggung,
"Pak Chandra, tolong Pak.... Ini, kan, demi ke
pentingan Pak Chandra juga.... Tolonglah...."
Bocah Sakti 6 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Mbah Pete 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama