Ceritasilat Novel Online

Strawberry Shortcake 2

Strawberry Shortcake Karya Ifa Avianty Bagian 2


"Ya, udah. Tolong dipikirkan, ya, Phie" Saya langsung pulang, ya" Mau ke Gramedia dulu."
"Ya, udah. Tapi, saya nggak janji juga, lho."
"Maksudnya""
"Ya, suka-suka saya, dong. Sok yakin banget,sih, Saudara Bayu ini kalau bakal diterima""
Kang Bayu cemberut. Tapi, ia segera tersenyum lagi saat aku bilang kepadanya, "Ya, sudahlah. Saya, kan, juga punya perasaan. Dah, gih, buruan minggat sana!"
* * * Perasaanku mengental seperti krim pembuat strawberry shortcake saat data itu akhirnya kuterima. Aku tak pernah ragu, La, bahwa perasaanku ternyata belum berubah kepadanya. Tapi, mau apa aku dengan perasaan"
Pertawa, sesungguhnya aku masih merasa jauh dari siap.
Kedua, sering terpikir bahwa niatku seringkah masih belum lurus.
Adakah aku hijrah ini juga sebenarnya masih menyisakan harapan untuk suatu saat berjodoh dengannya" Jadi, hatiku masih kotor. Apakah benar, aku menikah dengannya karena aku lebih mencintai Allah daripada mencintainya" Apakah justru bukan karena aku terlalu mencintainya"
Sungguh, aku takut mengakui bahwa aku ternyata belum bisa berpaling darinya untuk melapangkan jalanku menuju cinta-Nya. Aku takut, ini justru akan mengotori jalan kami, jalan dakwah, sebab kami menikah karena tali kasih telah terentang lebih dahulu. Lalu, apa bedanya kami dengan pasangan yang berpacaran" Adakah tersisa waktu bagiku untuk terlebih dulu membersihkan hati agar saat kami menikah nanti, aku dalam keadaan zero base"
Malam-malamku jadi penuh dengan doa dan kebingungan saat itu.
Ya Allah, adakah keputusan-Mu bagiku dalam masalah ini yang bisa kuma
knai dengan indah" Apakah ini ujian cintaku kepada-Mu"
(Heran, duluuu ... sekali, aku suka membayangkan akan tersanjung saat dia melamarku. Tapi pada kenyataannya, aku malah limbung ....)
TIGA SENDOK MAKAN UNSALTED BUTTER BEKU
(dipotong kecil-kecil sekali)
Mengapakah jadi tawar rasa"
Suasana kantin kampus pagi itu agak lengang, maklum musim ujian.
Aku sendiri sebetulnya tidak ada ujian mata kuliah apa pun. Tetapi, aku sengaja datang ke kampus. Aku dan kamu, La, telah berjanji akan bertemu pagi ini, khusus untuk membicarakan masalah lamaran Kang Bayu.
"Rasanya happy banget dong, ya, Phie"" tanyamu sambil mengibas-ngibaskan tangan.
Kantin memang panas pagi itu, maklum atapnya yang dari asbes tak mampu menahan udara terik akibat pancaran sinar matahari pukul sembilan pagi.
"Nggak tahu, La. Aku malah nyaris nggak merasakan apa yang disebut bahagia itu." Kutahu mataku menerawang. Jelas ini membuatmu heran.
"Masa, sih" Tapi, kamu masih mencintainya seperti dulu, kan, Phie""
Tidak ada yang pernah berubah, La, even sedikit saja.
"Sophie kamu kok, jadi aneh, sih""
"Ya, nggak ada yang berubah, La. Kamu, kan, tahu."
"Dianya" Ah, kayaknya juga nggak mungkin, deh, Phie. Cowok kayak dia, kan, tipenya setia. Kacamata yang dipakai juga paling-paling kacamata kuda, mandangnya lurus banget!"
Aku nyengir. Masa gitu, sih, La" Kamu sok tahu, ah!
"Ya, so, terus kenapa kamu malah kayaknya ragu""
"Pertama, aku kayaknya ragu ... apakah aku sudah siap sebenarnya atau jangan-jangan, aku nerima dia hanya karena perasaanku atau akunya lagi kena euforia dilamar dia""
"Inh kamu kok, nggak girl power banget,sih" Masa ada, sih, euforia dilamar dia" Memang-nya, dia artis apa gitu" Ntar kalau dia denger, ge-er lagi. Kan, gawat!"
"Hahaha ..." aku mencoba tertawa. "Yaaa ....Katanya, bakal banyak cewek yang patah hati kalau dia jadi married sama aku" Kan, katanya dia masih tetep jadi idola di mana pun"!"
"Ahhh .... segitunya!"
"Lagian, La, itu tadi, akunya merasa belum siap."
"Belum siap gimana" Kamu, kan udah lumayan bisa masak" Kamu juga asisten lab, dia juga. Tambahan, dia ngajar privat juga. Jangan takut miskin pas habis nikah dong, Phie. Lagian, orang-tua kalian masa, sih, nggak mau bantuin barang sepeserpun""
"Aku takut masih egois, La. Lagian, aku juga nggak yakin-yakin amat kalau aku nggak lagi sangat jatuh hati padanya. Aku ...jangan potong omonganku dulu, La!" kataku saat melihatmu sudah siap membuka mulut lagi.
"Aku sebenarnya ingin sekali menikah dalam keadaan zero base, La.
Dalam keadaan aku tidak sedang jatuh hati pada siapa pun. Soalnya, aku punya prinsip, setelah aku hijrah ini, kalau bisa, jangan memutuskan menikah dalam keadaan sangat jatuh hati atau sangat tertekan, misalnya karena deadline dari orangtua. Aku ingin menikah dengan hati yang bersih agar kelak setelah menikah, kami akan terbiasa dengan risiko-risiko seperti yang dihadapi oleh ikhwan-akhwat yang telah menikah dan aktif di dakwah."
Aku tahu, kamu menatapku bingung, La. kentara dari matamu yang mendadak kosong.
"Aku nggak ngerti pikiranmu, Phie. Apa itu karena aku nggak masuk ke komunitas kalian, jadi aku nggak ngerti, ya, Phie" Bagiku, itu ribet banget. Apakah salah, jika kalian kebetulan telah saling menanam rasa sebelumnya" Toh, setelah kalian hijrah, kalian juga sangat membatasi pertemuan""
"Aku sendiri nggak bisa jawab, La. Yang aku tahu, kami masih punya banyak peluang melakukan zina hati dan jangan-jangan, itulah yang kami lakukan selama ini. Itu sebabnya, aku nggak pernah berani mengisi kajian dengan materi menjaga hati dari zina. Aku nggak berani, La, karena aku nggak yakin sama hatiku sendiri. Kalau dia, sih ... tahu tuh, berani-berani aja."
"Tapi, kan, kalian menikah juga salah satunya katanya dari apa yang aku baca selama ini adalah juga untuk membersihkan hati kalian" Daripada nanti kalian nikah sama yang lain, malah nggak bisa mencintai pasangan kalian, gimana""
"Aku nggak tahu, La. Sungguh!"
"Aduuuh Sophie! Tahu kamu jadi ikutan ribet kayak Kang Bayu, mendingan aku nggak usah nongol jadi konsultan pernikahan kalian! Mana aku pakai bela-belain bolos kuliah pula
! Gimana, sih, kalian, eh kamu ini""
tukasmu tampak gemas. Sepiring siomay yang baru datang sudah nyaris ludes kau sikat.
Tetapi, aku memang masih ragu, La.
Bagaimana bisa aku katakan kepadamu bahwa aku belakangan, malah dihantui firasat-firasat tak enak, setelah aku mencoba mempertimbangkan lamaran itu" Jangan-jangan, kamu nanti menuduhku percaya pada mistik dan nggak logis lagi" Lalu, apa gunanya hijrahku, La"
Aku terlalu pusing, La. Jadinya, aku hanya bengong dan jelas itu bikin kamu kesal. Maafkan aku, La ....
* * * Bagaimana harus kuceritakan kepadamu, La, tentang mimpi-mimpiku"
Semuanya senada. Mereka datang dalam serpihan-serpihan kecil layaknya puzzle, setiap malam, meskipun sudah kubiasakan berdoa dan bangun malam untuk shalat dan tilawah.
Semuanya menggambarkan perpisahan yang menyedihkan. Saat aku menangis tersedu dan Kang Bayu juga. Tapi, kami tetap berpisah dalam mimpi-mimpi itu.
Hasilnya" Setiap bangun tidur, aku selalu sukses menangis. Sedemikian sedihnya. Sedemikian mengerikannya. Hingga seminggu terakhir ini, aku malah takut untuk tidur. Takut bermimpi!
Bisa sakit jiwa aku kalau begini caranya! That's why aku jadi tawar rasa. Sungguh, bukan karena perasaanku telah bergeser.
Ya Allah, tolong aku, beri aku keputusan terbaik, dan ajari kami ridha atas apa pun yang terjadi.
* * * # Malam ini, aku sengaja tidak tidur. Kerjaku hanya shalat dan tilawah.
Pagi hari, aku keluar kamar dengan kantung mata di bawah kelopak mataku. Haduuuh ... ingin rasanya aku tidur sejenak sehabis shalat Subuh.
Kebetulan, hari iniMinggu.
Tapi, aku takut mimpi aneh lagi. Tapi, ngantuk banget.... Huaaahhheeemmm
* * * SATU SENDOK MAKAN BUTTER (Untuk Lembaran Cookies)
Apakah masih ada gunanya menunggu"
Allah-lah Sang Pembolak-balik Hati. Aku sangat yakin itu, La.
Sehingga, ketika kemantapan itu mengalir pelan, aku hanya bisa mengamininya sebagai salah satu rahasia-Nya. Adakah aku mulai percaya pada hatiku sendiri" Aku pun enggan menjawabnya karena aku telah mengambil hasil shalatku sebagai panglima, sementara hatiku telah cukup lama tak kutengok terlalu dalam.
Aku perlahan merasa sangat aman dan demikian nyaman menitipkan hatiku pada hasil apapun yang kuperoleh. Aku mencoba memaknainya bahwa Allah telah membimbingku untuk menata hati.
Namun, manusia memang sangat terlarang untuk sombong.
Bagaimana bisa aku mengklaim bahwa hatiku telah demikian bersih"
Oho! Lihatlah justru setan menjadi amat gemar berpesta pora! Uring-uringan aku dibuatnya saat hatiku ribut berkata, Aku masih terlalu mencintai Kang Bayu. Aku justru mengambil keputusan ini sebab aku terlalu takut kehilangan sosoknya, yang belum tentu bisa jadi suamiku kelak. Mentah-mentah dibujuknya aku agar mau, setidaknya, membuka kembali pintu komunikasi yang semakin tersendat.
Dan, aku semakin sering bersimpuh di kaki malam.
Tuhan, bantu aku untuk meredakan semua debar saat menunggu segalanya menjadi final, Namun, ternyata aku tak perlu menunggu semua menjadi final.
Suatu hari, habis pulang kuliah, Mbak Euis memintaku menemuinya di musala konsultan pendidikan tempatnya mengajar. Sibuklah kuredakan derum tambur hati yang serasa mengajakku marching out sejak pertama kuterima telepon dari pembimbing pengajianku itu.
"Afwan, nih, Dik Sophia, saya juga nggak tahu kenapa begini jadinya Wajah Mbak Euis yang semula penuh senyum, tiba-tiba seperti tersaput mendung saat kami mulai mengarahkan pembicaraan.
Hatiku bergemuruh. Mungkinkah ..."
"Tadi pagi, Akh Hamzah-pembina pengaji-an Akh Bayu-meminta balik data Akh Bayu. Kata-nya katanya tabah ya, Dik""
Aku menunduk menekun karpet hijau tipis milik musala.
"Katanya Akh Bayu meng-cancel semua proses ini Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un .... Bibirku kelu. Hatiku beku. Kurasakan air mata siap tumpah. Ya Latif, inikah buah kemantapanku"
Kemantapan yang seperti apa" Lalu, kemantapan macam apapula yang kuharapkan darinya" Kemantapan meng-cancel proses"
Aku tergugu saat Mbak Euis menggenggam tanganku penuh hangat.
"Ada alasan beliau, Mbak"" Mbak Euis, yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri menarik napas berat sekali. Aku mencoba menatap manik
matanya, mencari jawaban itu. Sia-sia sebab tak kutemui. Yang ada hanyalah sinar permohonan agar aku tak runtuh.
Aku hanya bengong tatkala beliau menggeleng lemah.
"Akh Hamzah hanya bilang, Akh Bayu tidak bisa melanjutkan proses ini sebab alasan yang baru kemudian ia dapati dan sangat pribadi sifatnya."
"Apa kira-kira, ya, Mbak""
"Itulah. Saya sendiri juga tidak berhasil memancing Akh Hamzah untuk bicara. Lagi pula, Akh Hamzah sendiri kelihatannya juga nggak tahu apa-apa."
Sunyi kembali melingkupi hatiku.
Aku bahkan tak bisa menangis saat Mbak Euis memelukku erat. Hatiku terbang bersama Kang Bayu. Jauh. Bahkan, aku sendiri tak mampu meraihnya lagi. Selamanya ....
Ya, hatiku ternyata masih menggetarkan namanya. Mungkin, itu sebabnya aku diuji dengan hal ini.
* * * Jalan-jalan sepanjang Jakarta dan Bogor menjadi saksi festival hujan dan air mataku. Yang kularung bersama Toyota DX yang setia mengantarku entah ke mana. Kulibas semua kenangan lama kami dengan roda-rodanya meskipun tetap gagal.
Aku juga tak bicara pada siapa pun tentang hal ini, termasuk juga kepadamu, La. Aku perlu ruang dan waktu untuk menenangkan diri.
Aku pun tak mampu mengorek alasan sesungguhnya dari Kang Bayu, saat ia memintaku menemuinya di Masjid UI suatu senja.
"Maafkan saya, Phie ..."
"Tapi, ada apa, Kang" Mungkin bisa kita bicarakan""
"Nggak ada, Phie. Keputusan itu muncul sebagai lapisan terakhir perenungan diri saya." "Ada kesalahan saya di sini, Kang""
"Nggak ada, Phie. Itu sebabnya, saya mohon maaf kepadamu. Maukah kamu, Phie""
Kilat, kubongkar hati dan jiwaku untuk menemukan alasan untuk marah kepadanya. Namun, tak kutemukan. Baru belakangan kusadari, mungkin aku terlalu sayang kepadanya.
"Kamu Muslimah yang baik, kuat, dan amat tulus. Saya percaya, kamu bisa melewati ini semua dengan baik .... Lagi pula, saya bukan payung yang baik untuk kamu. Ya, kan, Phie""
Aku membeku. "Kalau sudah tiba waktunya, menikahlah dengan seseorang yang datang kepadamu, yang terbaik bagimu, Phie. Saya ridha. Jangan tunggu saya, Ukhti!"
Aku mengangguk. Tanpa kata.
"Ada lagi, Kang""
Ia menggeleng. Kubaca kabut di wajahnya. Ia tampak demikian nervous. Kacamatanya berulangkah ia gosok, sementara sebelah tangannya ia masukkan ke saku celana. Tanda ia demikian gugup. Aku segera menunduk.
"Kalau begitu, saya permisi, Kang. Maaf juga kalau selama ini saya terlalu banyak salah sama Kang Bayu dan keluarga."
"Apalagi saya, Sophie ..."
Tangisku berlomba keluar akhirnya. Suaraku serak mengucap salam. Kuharap ia tidak tahu. Dimobil, aku kembali mengurai semuanya lewat tangis.
Magrib, aku shalat di rumahmu, La. Kucoba ceritakan semua kepadamu. Kamu malah ngamuk-ngamuk dan pakai nekat mau telepon Kang Bayu segala. Beruntung, aku berhasil mencegah dan mengancammu.
"Please, La, atas nama harga diri sebagai perempuan, aku mohon jangan"
"Apa, sih, hubungannya sama harga diri" Justru ini untuk menegakkan harga dirimu yang seenaknya dia buang dengan penolakannya itu!"
"Justru, dengan kamu telepon dia, dia pasti akan mikir kalau aku masih mengharapkannya. Udahlah, Lila, aku bilang nggak perlu!"
Akhirnya, kamu menyerah, La. Menyerah dengan sejuta tanda tanya di mata dan benakmu. Tapi, aku tak peduli. Sebab, lukaku memang terlalusakit untuk kubagi pada siapa pun, termasuk kepadamu.
* * * Aku tak berubah. Tetap ada di mana-mana, di kampus dan tempat lainnya. Tetap dengan senyum innocent-ku (seperti katamu, La) atau tawa berderaiku, bahkan saat dengan ekor mataku kulihat sosoknya ada di sekitarku. Tapi, aku sunyi, La. Sangat sunyi. Aku kembali menjadi seorang loner yang demikian menikmati untuk meniti jalan kesunyian. Aku tak lagi menikmati keramaian. Tak bisa larut barang sedikit pun di dalamnya.
Aku memperingati setiap hariku dengan pengibaran bendera dukacita di lapangan hatiku. Aku mengupacarai sunyi dengan segenap rasa yang tersayat-sayat.
Aku membiarkan luka itu semakin dalam setiap kali kami harus bertemu untuk urusan dakwah kampus, SMA, dan SMP kami. Perasaanku telah ia rampas seluruhnya dan seutuh-utuhnya tanpa ia tahu, La.
Sementara (hebat-nya!), aku tak juga berhasil menemuka
n alasan apapun agar aku membencinya. Aku terbunuh dalam sepi, La. Aku mati pelan-pelan oleh tembok yang kubangun sendiri.
Aku hanya mampu tersenyum tipis saat tahun demi tahun berlalu, banyak adik tingkatku yang bertanya kepadaku tentang dia. Dia memang masih jaka favorit rupanya. That untouchable man....
Semua masih tetap sama bagiku. Dia lulus setahun sebelum aku. Lalu, jadi peneliti di kampus. Aku jadi dosen di kampus sebuah universitas swasta tetangga. Tampaknya, kami sama-sama terlalu cinta kampus, ya, La" Bukan seperti katamu, yang menduga itu disebabkan karena kami masih ingin cari celah untuk ketemu. Tidak demikian halnya, La!
* * * * Kang Bayu mendapat beasiswa ke Inggris dua tahun setelah lulus. Aku menyusul setahun kemudian ke Kanada. Kami nyaris tak ada kontak, kecuali lewat mailing list yang sama-sama kami ikuti. Sungguh, tak pernah ada komunikasi personal. Keluargaku juga sepertinya sudah mulai bosan bertanya tentang Kang Bayu yang seperti hilang ditelan bumi. Biarlah ....
Hanya sering kubisikkan dalam hatiku bahwa aku bahagia karena kami masih ada dijalan yang sama.
* * * * Saat angin reformasi bergulir di bumi jamrud Khatulistiwa ini, empat tahun setelah ia pulang dari Inggris dan tiga tahun setelah aku pulang dari Kanada ...
Aku masih ada dijalan ini ternyata. Alhamdulillah ... meskipun lukaku tak jua mengering. Namun, semata tentu bukan salah jalan ini. Ini salahku sendiri.
Saat demo-demo marak di Jakarta, aku ada didalamnya. Aku, bahkan tahu posisi Kang Bayu sebagai salah satu tim belakang layar. Tapi, aku memilih pura-pura tak tahu. Meskipun, sering kami harus bertemu dengan kondisi yang "menyedihkan".
Coba bayangkan cerita ini:
Bayu Prihartanto yang ganteng, tinggi menjulang dan "sempurna" itu sedang memberikan taklimat pada segerombolan adik-adik binaan yang akan pergi demo. Sementara tanpa disadari, seorang akhwat Mushmah dengan jilbab lebar, jaket gunung menutupi gamisnya, tas ransel besar dan TOA, mondar-mandir menginspeksi barisan akhwat bersama beberapa korlap lainnya. Keringat menetes bukan hanya dari hidung si akhwat, tapi sudah membasahi seluruh tubuhnya sebab terbakar oleh panas matahari.
Sama sekali jauh dari cantik, apalagi kesan "akhwat sempurna".
Hahaha .... Mungkin itu sebabnya Tuhan tidak menjodohkan mereka!
Si akhwat nyengir kucing saat si ikhwan melewatinya, berbalik, dan tersenyum tipis.
"Ikut turun, Phie""
"Ehhh ... iyalah, Kang. Kesempatan emas buat syahid, nih!"
Asal jangan si ikhwan berpikir, Ohhh ... ini mau syahid apa mau bunuh diri"
Huaaa...!!! "Hati-hati ya, Phie."
"Insya Allah, Kang," tegas si akhwat berbalik. Kemudian, ia kembali menginspeksi barisan. Si ikhwan hanya geleng-geleng kepala dari kejauhan.
Pemandangan yang sama sekali jauh dari kesan romantisme reformasi, kan"
Saat demo pulalah, aku sempat-sempatnya berkenalan dengan Karina, mahasiswa S1 Trisakti yang cantik jelita, wangi, dan cerdas. Yang ternyata, masih saudara jauh Kang Bayu. What a coincidence"
Namun, coba bayangkan apa yang akan kau rasakan dengan cerita ini.
"Mbak Sophie, tahu nggak"" tanya Intan, adik binaanku yang memperkenalkanku pada Karin.
"Apa, In"" tanyaku balik sambil meminum segelas air mineral.
"Si Karin itu calon istri Mas Bayu yang ikhwan seleb itu, lho, Mbak!"
Sejenak aku geli. Ikhwan seleb" Idih!
Tapi.... "Karin" Oh, ya""
Sekuat tenaga kutekan rasaku.
Masih sakit, ya Rabbi... "Alhamdulillah Karin kan cantik, cerdas, masih saudarajauh Kang Bayu pula."
"Iya, sih, Mbak. Tapi, kayaknya Karinnya bingung, tuh, Mbak."
"Kenapa"" "Soalnya, Karin masih mau kerja dulu. Sementara, kedua keluarga katanya sudah nggak sabar. Mas Bayunya juga sudah siap, kok. Katanya, mereka dijodohkan sejak lama, sejak masih kecil gitu ..."
Hmmmm .... ada peluru nyasar nggak, sih"
Husss! Istighfar, Sophie!
Namun, coba kamu dengarkan omongan Intan yang ternyata sahabat Karin sejak SMP!
"Kalau aku jadi Karin wah sudah dari dulu mau kali, ya, Mbak""
"Husss, centil kamu, ya""
Aduuuh hatiku. Ke mana kau pergi, Sayang"
Hebatnya lagi, aku menjadi sangat baik terhadap Karin. Meskipun di sisi lain, luka-lukaku sudah menjadi bo
rok tampaknya! Huaaa.... Tambahan lagi, saat-saat itu, aku jadi sering sekali menemukan diriku. Kang Bayu, dan Karin dalam satu ruang. Katamu, "Matilah kamu, Phie!" Aku belum mau mati, La. Seharusnya aku tetap hidup .... Sejenak aku berpikir, masih layakkah aku menunggu" Aku terlalu sakit, La, bahkan untuk menjawabnya.
* * * Tepat saat Soeharto lengser, hatiku ikutan mau lengser pula.
Di salah satu sudut Gedung MPR/DPR, tatkala aku, Intan, Karin, dan beberapa akhwat lain baru saja selesai shalat, tiba-tiba Intan berseru, "Eh, itu ada Mas Bayu, Rin!"
Refleks, kami menoleh. Ya, sosok itu yang pernah begitu lekat denganku dan pernah menawarkan sesuatu yang terindah itu mendekat kepada kami. Subhanallah ... Buru-buru, aku memutar tubuh, membelakanginya. Dia datang bukan untukmu, Sophie Sayang...
Dengarlah, mereka beruluk salam.
Mataku mengerjap menahan tangis.
"Mas, kata ibu, Mas Bayu disuruh datang nanti malam. Soalnya, ada yang mau ditanya soal persiapan ..." "Ya. Insya Allah." Duh Gusti, suara itu.
Oh, c'mon, mengapa tak ada lagi peluru hari ini"
"Jangan lupa, sekalian ibu minta daftar buat seserahan yang diinginkan keluarga Mas Bayu."
Aduuuh ... kenapa kupingku tidak tuli sebentar saja saat ini"
"Ya." "Mbak Sophia, ini Mas Bayu." Oh... my God!
Aku berbalik dengan enggan. Kututup Hpku yang tadinya hanya sekadarku otak-atik tak keruan.
Aku yakin, Kang Bayu sedari tadi sudah tahu keberadaanku. Maka, kuangkat wajah dengan segala ketabahan yang tersisa.
Please, Tuhanku, jangan aku menangis di sini.
"Insya Allah, kami akan segera menikah, Mbak. Nanti kami undang, deh. Insya Allah ....
Aduh, ini akhwat ngaji nggak, sih" Aduh, hatiku, please....
"Selamat ya, Kang, Dik Karin .... Insya Allah, saya datang ..." Serak suaraku sungguh. Oh, Tuhan, ayo, mana peluru nyasar untukku" Diakah yang dulu jadi penyebab cancelling-nya proses kami" Hatiku ribut menyerukan istighfar. Kang Bayu terlihat membeku.
"Mari, Kang, Dik Karin, In, saya kayaknya mau ketemu Mbak Yanti dulu. Ada janji, saya lupa. Maaf..." Terburu, aku undur diri. Sekilas, kubaca mata Kang Bayu menahanku. Namun, aku harus pergi. Kugigit bibir pelan. Aku segera berbalik setelah mengucap salam.
Kularikan kakiku menjauh. Aku mati sekarang. Air mataku tumpah lebih deras lagi dibandingkan dengan saat proses itu berakhir sekian tahun lalu. Aku berhujan tangis saat seluruh negeri bersujud syukur.
* * * Aku tak hiraukan saat HP-ku berbunyi. Dari Kang Bayu! Betapa diam-diam, aku masih menyimpan nomor telepon rumahnya. Dia nggak punya HP. Bergeming aku saat ia menelepon kerumah. Aku menolaknya saat orang rumah menyampaikan pesannya untukku.
Kuhapus email-email-nya yang berbunyi singkat.
Tidak ada orang lain, Phie. Tidak, akan ada.
Tidak ada "! Buktinya, Karin"
Aku tersenyum pahit. Juga, saat ia datang ke kantorku, ke ruang dosen. "Maafkan saya, Phie."
"Nggak ada yang harus dimaafkan, Kang. Saya nggak apa-apa, kok. Lagian, nggak ada gunanya juga ..." "Tapi, saya..."
"Nggak apa-apa, Kang. Sungguh. Saya malah nggak ngerti kenapa Kang Bayu mesti minta maaf sama saya. Semuanya sudah lama selesai, kan""
Ia terdiam. Tuhan, hatiku amankah saat ini"
"Kamu percaya sama saya, Phie""
"Ini nggak ada kaitannya sama percaya nggak percaya, Kang. Sudahlah, nggak ada apa-apa ..."
And saved by the phone. Ada panggilan rapat untukku. Aku tersenyum pahit saat ia permisi pulang.
Hanya satu pintaku, Ya Allah, tolong jaga aku selamanya. Tolong bantu aku agar kutemukan jawaban masih layakkah aku menunggunya"
* * * HAMPIR SATU LITER STRAWBERRY
Asam manis kehidupan bak buah strawberry...
Bila kusebut dengan satu kata untuk menggambarkan perasaanmu, kukatakan kau setia, Phie. Gimana nggak setia" Kamu rela menanti untuk sesuatu yang nggak pernah jelas dari orang yang nggak jelas pula. Maaf, jika kukatakan Kang Bayu-mu itu manusia yang nggak jelas.
Lihatlah, bagaimana bentuk hubungan kalian selama ini" Disebut pacaran juga, kalian tidak seperti pasangan-pasangan lain yang memang sedang kasmaran. Terlebih, setelah kalian makin aktif di dakwah. Kalian putus, begitu katamu.
Tapi, kalau sudah putus, ngapain masih
saling berharap" Bukannya malah menambah perih di hati saja"
Aku bingung, Phie. Apalagi, aku juga bukan orang yang satu komunitas dengan kalian. Aku paham kalian ingin membersihkan hati. Aku mengerti kalian menganut prinsip berpacaran setelah menikah. Tapi, menurut logikaku yang awam ini, jika kalian sudah berpendapat demikian, ditambah lagi, kalian sudah putus, ya, seharusnya kalian bisa mengikhlaskan, dong, dengan siapa mantan pacar kalian itu kelak menikah!
Demikian juga sebaliknya.
"Ah, yaaa ... berat. Terasa berat sekali," katamu.
"Mungkin karena kalian sudah demikian lama dan terbiasa ada bagi sang kekasih!" tanyaku. "Yaaa ... bisa jadi," jawabmu dengan mata menerawang.
Setelah terdengar berita Kang Bayu akan menikah dengan gadis cantik bernama Karina, kamu masih juga berada di tempat yang sama. Masih tegar menyimpan sebentuk asa baginya.
"Buat apa"" tanyaku. " Bukankah sudah jelas dia akan menikah""
"Aku hanya butuh waktu untuk melupakannya," jawabmu sendu. Saat itu, kita lagi makan malam di Pizza Hut, Kelapa Gading Mall.
O ya, setelah kejadian Kang Bayu akan menikah itu, kulihat kamu menjadi pemurung. Hampir setiap malam, sepulang kerja, kamu memintaku menjemputmu, lalu kita menghabiskan malam dengan makan di luar. Saat itu, aku sudah bekerja di sebuah biro iklan asing (tentu dengan gaji yang alhamdulillah sehingga aku bisa menyicil sebuah sedan Timor), kamu bekerja sebagai dosen, dan Kang Bayu jadi peneliti.
"Sampai berapa lama, Phie" Sampai dia dan istrinya sudah beranak banyak dan rambutmu juga sudah memutih"" "Entahlah . Bantu aku dengan doa, ya, La"" "Kalau itu mah, jangan ditanya ..."
Tapi, aku juga punya agenda lain, Phie. Kamu harus segera menikah juga agar lupa terhadap manusia aneh itu.
So, aku jodohkan kamu dengan beberapa teman laki-lakiku. Dasarnya kamu juga supel, tentu tak susah bagimu menjalin pertemanan, bahkan persahabatan dengan mereka. Namun, ternyata hanya bersahabat, tak lebih!
* * * "Aku nggak, mau pacaran, La. Kamu, kan, ngerti," katamu suatu malam di sebuah warung makan di bilangan Pati Unus, Blok M.
"Hei, Neng, yang nyuruh kamu pacaran itu sapa" Sapi".'"
"Tapi, si Mulyadi mulai menyebalkan. Aku kan hanya ingin berteman, ehhh, nekat banget kemarin dia menjemputku ke kantor dan tiba-tiba nembak. Kayak anak SMA saja!"
Aku tahu, raut mukaku saat itu berubah. Ada rasa bersalah dalam diriku. Mulyadi, teman yang kukenal lewat pertemuan alumni Trisakti, memang rada nekat. Aduuuh .... kenapa aku malah mengenalkan mereka, sih" Lagian, Mulyadi gila juga, ya" Dia kan, sudah punya tunangan di Australia sana"
"Mul... nembak kamu, Phie""
"Iya, memangnya dia nggak lihat jilbabku apa, ya""
"Nembaknya di mana""
"Di parkiran kampus. Bikin malu saja!"
"Terus kamu gimana""
"Ya, aku dengan tegas bilang, nggak bisa! Sambil agak. bercanda juga, sih, khawatir menyinggung... "
Lalu, tamatlah riwayat pertemananmu dengan playboy kadal bernama Mulyadi itu. Sebab, Mul demikian marah dan menjauhi kita berdua. Ha ha ha ... asam banget, ya, hidup ini" Ditolak cintanya, malah ngambek!
* * * Tahun demi tahun berlalu, namun tak kudengar juga kabar pernikahan Kang Bayu dengan Karina. Kamu pun berulang kali terheran-heran dan bertanya kepadaku. Kata Intan, sih, pernikahan mereka batal. Batal kenapa"
Ini yang nggak jelas. Soalnya, Karin keburu berangkat S2 ke Yogya, MM
UGM setelah lulus S1 di Trisakti.
Namun, adakah hubungan Kang Bayu dan Karina berlanjut"
Ini juga nggak jelas. Sebab, Intan juga tak tahu lagi kabar beritanya.
Apalagi, setelah tak lama kemudian, Intan menikah dan diboyong suaminya ke Surabaya. Praktis, Intan tidak lagi mengaji denganmu. Praktis juga, kita makin susah saja mendapatkan akses berita tentang Kang Bayu.
Kamu pun masih belum menikah. Aku juga. Kalau aku, sih, masih belum kepengin, soalnya aku, kan, mesti membiayai keluargaku dulu. Adik-adikku banyak yang belum selesai sekolahnya. Tanggung jawab finansial ada di tanganku setelah aku lulus dan bekerja.
Tapi kamu, Phie" Berulang kali kamu menolak tawaran jodoh, baik yang datang dari pembinamu, keluargamu, maupun yang dengan tanpa malu-malu menembak
mu kayak si Mul itu. Kamu bergeming, Phie.
* * * "Kamu masih nunggu Kang Bayu, ya, Phie"" tembakku suatu hari. "Ah , kata siapa" Nggak, kok"
Sejenak, kutatap bola matamu yang bundar itu. Ada sesuatu yang mengabut di sana. Kamu berdusta, Phie. "Mungkin nggak, sih, kalian bukan jodoh""
"Mungkin .... Lagian, sungguhan, deh, aku juga nggak nungguin dia.
Nggak jelas, La, kayak layangan putus. Bikin rusak hati aja, nambah dosa."
"Nah, tuh tahu! Ya, sudah, melangkahlah kamu, Phie,"
"Nggak, semudah itu, Lila."
"Apa lagi yang kamu tunggu, sih""
"Yaaa menunggu hatiku mengatakan, ya."
"Kapan"" "Mana kutahu, La" Kamu ini nanya melulu. Bawel, ya""


Strawberry Shortcake Karya Ifa Avianty di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * Tahun 2000, aku berangkat ke Jepang, melanjutkan S2. Kita bertangisan dengan noraknya di airport saat aku akan boarding.
Kayak bakal nggak ketemu lagi, batinku geli. Aku hanya dua tahun di sana, Sophie.
Tiga bulan kemudian, kamu mengirim e-mail untukku. Isinya, kamu sedang proses dengan seorang ikhwan, pilihan keluargamu. Teman Kang Ceppy, katamu. Seorang aktivis dakwah, karyawan sebuah perusahaan Internet, dan nggak ganteng, katamu. Alih-alih bahagia, kamu malah meminta saran kepadaku, bagaimana cara menolaknya sebab Kang Ceppy dan keluargamu sudah mengancammu untuk menerimanya. Yaaa ... aku mengerti mereka, Phie. Kamu sudah tiga puluh, lho!
Kubalas e-mail-e-mail-mu dengan saran yang seobjektif mungkin. Bagaimanapun, aku tahu kamu, Phie. Kamu tidak suka dipaksa.
Aku sujud syukur saat akhirnya, dua bulan kemudian, kamu menikah juga dengan Pasya, laki-laki itu. Aku bahagia, Phie, sangat bahagia sebab akhirnya kamu memilih jalan melupakan Kang Bayu.
Dari Osaka, aku tetap mendoakanmu, Phie.
Begitupun saat setahun kemudian, kamu melahirkan sepasang anak kembar yang lucu. Bulan dan Bhumi. Lengkap sudah kebahagiaanmu.
Tapi aku salah, Phie. Batinku menjerit saat kau kirimkan foto terbarumu. Kurus kering, layu, dengan mata yang memar. Ada apa, Phie" Sebab, hanya foto itu yang kau kirim sebagai attachment e-mail mu. Tanpa berita.
Ada apa, Phie" SECANGKIR KRIM KENTAL Adakah aku salah, Phie"
Sophia sayang ( Oops, masihkah boleh aku memanggilmu demikian"), maafkan jika aku tak berani lagi membuka komunikasi apa pun dengamu.
Kesalahanku telah setinggi gunung kepadamu. Makanya, aku memilih menyingkir dengan sunyi, setiap kita secara kebetulan bertemu. Rasanya, aku tak punya muka lagi bertemu denganmu.
Pertama, aku adalah laki-laki pengecut yang telah mengingkari janjiku sendiri. Janjiku untuk suatu saat menikahimu.
Sungguh, Phie, bukan aku tak ingin. Terlalu inginnya aku hingga aku tak siap ketika kenyataan bicara lain bahwa aku tak mungkin menikahimu atau siapa pun perempuan di dunia ini.
Bagaimana aku harus menjelaskannya kepadamu, Phie" Aku saja sulit menerima kenyataan itu pada awalnya. Duniaku serasa runtuh, langit menimpaku telak. Namun, kau tahu aku, kan, Phie" Aku sulit sekali untuk membagikan semua deritaku kepada orang lain, hatta itu dirimu sendiri.
Kedua, sebab aku bisu dan kelu untuk menjelaskan ada apa sebenarnya dengan diriku. Akupun tak bisa mengelak dengan alasan yang tepat saat keluargaku datang memperkenalkan Karin kepadaku. Sungguh, aku tak pernah menanggapinya. Namun, gadis itu rupanya telah terlalu berharap. Namun, sayang, pemahamannya belum sampai pada bentuk hubungan yang seharusnya antara perempuan dan laki-laki meskipun dia sudah berjilbab. Aku jadi berpikir, jika masalah yang asasi saja dia belum paham, bagaimanalah lagi dia memahami keadaanku"
Dan, pernikahan itu tidak pernah terjadi, Phie. Aku tak tahu, apakah kabar itu sampai kepadamu atau tidak. Oya, sekarang Karin juga sudah menikah dan sedang hamil anak pertamanya. Baguslah, alhamduhllah.
Ketiga, untuk tidak hadir pada acara pesta syukuran pernikahanmu.
Bagaimana bisa, Phie, aku hadir menegakkan kepala di acara pernikahan perempuan paling kucintai di dunia setelah ibuku, sementara, sebelah sisi batinku berkata tidak rela"
Aku sengaja berumrah saat itu agar perihku terobati di tanah suci.
Sungguh, aku mendoakan untuk kebahagiaanmu, Phie. Apa pun yang terjadi! Perlahan kemudian, aku mulai yakin bahwa mungkin jika k
ita menikah, kamu tak akan hidup bahagia.
Maafkan aku jika salah. Alasan keempat mengapa aku tak kuasa menyambung komunikasi lagi adalah kenyataan bahwa aku salah menilai.
Kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu, kan, Phie"
Suatu siang yang lumayan panas di Carrefour MT Haryono ....
Aku sedang memarkir mobil di halaman Hypermarket itu tatkala aku mengenali seorang perempuan berkaus hitam lengan panjang dan bercelana jins gombrang. Dia Lila, sahabat karibmu. Manusia yang dulu paling galak kepadaku. Dalam hati, sempat kugelari dia bodyguard-mu. Hehehe ...Jahat, ya" Habis, kupikir apa juga alasannya, kok, kayaknya kurang suka melihat kita dekat"
"Assalamu 'alaikum. Kang Bayu, ya""
Tuh, kan, dari cempreng-cemprengnya, ini pasti betul si Lila" "Wa 'alaikumussalam. Lila, kan" Sahabatnya Sophie""
"Iya. Apa kabar, Kang" Karin gimana" Udah punya anak berapa""
"Baik, alhamduhllah. Tapi, saya nggak tahu kabar Karin. Kami nggak jadi menikah. Kamu tahu kabar Sophie, La""
Tiba-tiba, wajah Lila menjadi murung. Matanya seakan menyimpan sesuatu. Aku segera menunduk. Hatiku berdebar kencang.
"Ada apa, La""
"Mmm ... baik ... Sophie sudah punya sepasang anak kembar. Lucu-lucu dan pintar pula. Dia masih jadi dosen ..."
"Ada apa sebenarnya, La"" Lila mencari mataku. Aku berusaha menghindarinya. Ada apa, sih, ini"
"Bisakah Kang Bayu menerima cerita saya"" tanyanya ragu.
"Ya, insya Allah, bila itu bisa melegakanmu."
"Sophie ... Sophie tidak sebahagia yang kitabayangkan, Kang ..."
"Kenapa" Suaminya menganggur""
"Tidak, Kang, bukan itu. Suaminya kasar, sering main tangan ..." "Innalillahi..."
"Saya sering bertemu dengannya dalam keadaan memar-memar .." "Mengapa dia tidak bercerai" Atau, sekalian lapor polisi""
"Dia sedang mempertimbangkan untuk bercerai, Kang. Namun, mertuanya juga terlalu ikut campur. Pembiayaan keluarga hampir seluruhnya ditangung Sophie. Ia bekerja terlalu keras ..."
"Orangtua Sophie""
"Mereka jarang bisa bertemu anaknya sebab keluarga Pasya melarangnya."
Dalam benakku melintas-lintas bayangmu, Phie. Yang tegar, yang mandiri, dan yang keras hati. Mengapa kamu tidak, berontak, Sayang"
"Sophie tidak seperti itu, kan, harusnya""
"Dia berontak, Kang. Itu sebabnya, suaminya makin keras terhadapnya." "Dia harus cerai, La, katakan kepadanya, apapun yang terjadi."
"Ya, Kang, saya juga berpendapat begitu. Sebelum dia mati atau gila beneran. Tapi dia bilang, dia masih harus menyelesaikan beberapa tanggungjawab finansialnya atas keluarganya dan keluarga suaminya."
"Tidak perlu!" "Kang Bayu tahu Sophie, kan" Dia adalah makhluk paling bertanggung jawab yang pernah saya kenal..." "Lila ... bisa saya minta nomor HP Sophie""
Lila menatapku sekilas sebelum memberikan selembar kartu nama. "Hati-hati, Kang, kalau mau telepon atau e-mail dia." "Emangnya suaminya segitunya, ya, mengawasi Sophie""
"Ya, enggak juga, sih. Sophie kan trickyjuga. Tapi, yaaa khawatir aja ada apa-apa, kan kasihan Sophie-nya juga."
"Iyalah, saya juga, kan, orangnya hati-hati, nggak grasa-grusu."
"Oke, deh, Kang, saya mau belanja dulu, nih. Mau nitip salam, nggak""
"Buat siapa""
"Ya, buat Sophie, dong! Masa buat ibu mertuanya, sih""
Aku hanya mengangguk tipis. Salam sayang, boleh kan, Phie"
# # # Malam itu, aku tak bisa tidur. Mimpi-mimpi yang dulu selalu datang, kini datang kembali. Ada kamu yang sedang menunduk dengan jilbab hitam panjang dan gamis biru donker di perempatan sebuah jalan. Lalu, aku datang menghampirimu. Kukatakan kepadamu, "Hati-hati, Phie! Tapi sungguh, saya akan datang bakda isya nanti malam."
Kamu hanya mengangguk dan berlalu, tanpa berkata sepatah kata pun.
Hujan tiba-tiba turun dan disusul kilat yang saling menyambar.
Aku terbangun dengan keringat yang bercucuran, seperti habis mandi.
Padahal, AC di kamarku cukup dingin; 22 derajat!
Kamu tahu, Phie" Sejak proses kita batal, mimpi itu selalu datang pada waktu-waktu tertentu. Tadinya, kupikir itu hanya bisik-bisik dari setan saat aku kangen padamu. Hei, jawablah, Phie, apakah salah kalau seorang laki-laki sepertiku kangen pada perempuan sepertimu"
Tetapi, mimpi itu terus datang, bahkan saat aku tak se
dang mengingatmu. Apakah aku terobsesi denganmu" Kalau iya, memangnya apa, sih, yang bisa kulakukan dengan obsesiku itu" Apakah bukan menurutkan nafsu namanya"
Aku takut, Phie. Tetapi, malam itu aku lebih takut lagi. Kalut tepatnya. Firasatku bilang (sebelumnya aku tidak percaya firasat atau lintasan perasaan atau apalah sejenis itu), ada sesuatu yang terjadi padamu.
Dengan panik, kubongkar saku celana yang tadi siang kupakai, dompetku, hingga dashboard mobilku. Kucari kartu namamu pemberian Lila tadi siang. Inna lillahi, nihil! Ke mana lenyapnya kartunama itu" Jelas-jelas, tadi aku menerimanya, bahkan sempat kubaca pula.
Sialnya, aku tak hafal satu nomor pun yang tertulis di sana. E-mail-mu yang sekarang pun aku tak tahu sebab pernah kucoba mengirim e-mail ke address-mu yang lama, malah tertolak sebab overquota. Melengkapi kesedihan dan kepanikanku, aku juga ternyata tak punya nomor telepon Lila atau teman yang lain. Kau tahu aku loner sejati, bukan"
Sejenak, kukutuki diriku yang tak butuh teman ini. Betapa bodohnya aku!
Bodoh! Egois! Segera aku ke kamar mandi, berwudhu. Aku harus curhat kepada-Mu, ya Allah ...
DUA SENDOK MAKAN GULA HALUS
Sophia: Ketika mencoba menyebut ujian dengan kata "manis"...
Bagaimana rasa gula" Aha, aku jadi ingat sebuah lagu masa kanak-kanak. Kalau nggak salah, ciptaan Bu Soed atau Pak A.T. Mahmud, ya"
Maaf, jika salah. Bukan bermaksud tak menghargai jerih payah para pencipta lagu itu, tapi memang aku yang rada parah dalam mengingat nama orang. Masih ingat lagunya"
Siapa tahu apa rasa gula"
Manis manis manis Jadi, dari kecil, kita sudah sama sepakat menamai rasa gula sebagai manis. Kelak, setelah lebih paham, kita akan mengenal pula hal-hal lain yang bisa kita kategorikan sebagai sesuatu yang manis. Misalnya kenangan, wajah seseorang, atau apa pun juga yang menyenangkan.
Tetapi, bila kita menyebut ujian yang penuh derita, kepedihan, atau kemuraman sebagai manis" Sanggupkah kita"
Nah, itulah yang kemudian harus kuhadapi; bahwa hidup tidak selalu semanis gula; bahwa ada banyak ujian yang harus kita tempuh sebelum akhirnya kita bisa mengecap manisnya kehidupan itu sendiri.
Aku jadi ingat, semasa kecil, mama pernah berkata, "Lihatlah, Allah menciptakan semua untuk kita. Betapa manisnya hidup kita! Coba bayangkan, jika tidak ada Allah yang memberi kita ini dan itu atau tidak ada tangan-tangan Allah yang menolong kita" Gimana, coba" Nah, hidup itu manis, kan, sebab penuh dengan pemberian dan pertolongan Allah."
Aku dan abang-abangku saat itu hanya manggut-manggut. Terlebih, itu bagian dari dongeng pengantar tidur yang biasa mama kisahkan sebelum ia sibuk dengan kateringnya tahun-tahun berikutnya.
Semakin dewasa, semakin kusadari kebenaran kata-kata itu. Bahkan, hingga kini pun, saat Allah memberiku sekian ujian yang harus kulewati agar bisa mengecap manisnya kehidupan; aku tetap percaya penuh. Sebab itu, dengan segala cara kucoba menyebut ujian itu dengan kata manis.
Mmmm .... coba kita lihat betapa manisnya hidupku!
* * * Apa yang kau bayangkan saat kau baru saja menikah"
Sebuah bulan madu" Masa perkenalan dengan suami yang sebelumnya kita nggak kenal dan kita namai "masa pacaran setelah menikah"" Sekian banyak rencana untuk kehidupan di masa depan dengan someone yang teristimewa"
Bagiku, just forget it! Sebab, begitu selesai walimatul urusy alias resepsi pernikahan, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa mungkin saja aku menikah dengan laki-laki yang salah.
Pasya, nama suamiku. Aku baru mengenalnya sebulan lalu, saat salah satu abangku, Kang Ceppy, mengenalkannya sebagai salah satu ikhwan kampusnya. Kang Ceppy memang baru saja ikutan ngaji. Tiba-tiba saja, ia ketemu lagi dengan teman sekampus-nya itu saat ada acara pengajian umum. Tanpa proses yang berbelit dan disertai dengan sejumlah tekanan dari keluargaku yang rupanya sudah bosan melihat kejombloanku, aku menutup mata saat istikharah.
Aku tahu, Kang Bayu berkali-kali mendatangiku dalam mimpi. Aku mencoba menepisnya, selain karena aku bukan orang yang bisa begitu saja percaya pada isyarat mimpi, aku juga sudah harus mencoba menghapusnya dari bena
kku. Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa aku mulai meragukan, apakah perlu aku terus menunggunya, sementara ia sendiri nggak jelas"
Dengan kejam, kulibas semua perasaanku. Yang kutahu, aku hanya harus membuat keluargaku bangga sebab akhirnya anak gadisnya yang sudah tiga puluh tahun itu menikah juga. Aku rindu melihat binar kebanggaan di mata mama dan papa. Maka, dengan lagak seorang martir, kupersembahkan pernikahan ini untuk mereka.
Malam pertama, aku melihat sinar mata yang aneh di mata laki-laki suamiku itu. Ada sesuatu yang tak bisa kutangkap, apalagi kumaknai.
Jujur, aku takut dan teramat takut. Selanjutnya, aku secara otomatis membuat benteng. Sebab, aku merasa tidak nyaman dan tidak aman.
Firasatku terus memaksa untuk berhati-hati.
Tepat sebulan setelah pernikahan, kami pindah ke pondok mertua indah di daerah Kelapa Gading. Di sanalah, kehidupanku sebagai seorang istri dimulai. Aku harus terbiasa dengan suami yang pemarah, tidak mandiri, pelit, menganggap perempuan sebagai second class, dan... ringan tangan!
Aku juga harus menghadapi ibu mertua yang galak, bawel, suka ikut campur, dan terlalu menguasai anaknya, serta ayah mertua yang feodal, kaku, keras, sinis, dan suka menghina. What a real Cinderella, isn 'f" Dan, ini riil, aku alami.
Aku masih ingat; setiap kali bertengkar, suamiku main fisik. Ya memukul, meninju, menjambak, dan mendorong. Padahal, saat itu, aku juga sedang hamil. Aku hanya kosong sebulan. Mulanya, aku hanya diam. Tetapi, logika dan naluri keperempuananku bangkit. Aku manusia yang tidak bisa dihinakan begitu rupa. Maka, yang terjadi kemudian adalah setiap kali kami bertengkar, aku membalas.
Jelek-jelek gini, aku punya simpanan ilmu beladiri. Abang-abangku semua penggila bela diri mulai karate, judo, aikido, kempo, taekwon-do, kungfu, wushu, hingga pencak silat. Aku sering memerhatikan mereka berlatih dan kadang-kadang ikutan iseng jadi sparring partner mereka (Walaupun lebih sering nyerah kalah. Ya ... gimana, aku kan, nggak senang olahraga sebenarnya!).
Jadilah, yang ada kami saling memukul atau menendang dan menonjok. Lucunya, setiap kali aku berhasil menyerang Pasya, ia akan serta-merta berteriak, "Papii, Mamii.. , ini istriku kurang ajar, nih! Dasar istri gila!"
Aku yang juga sudah bonyok, malah menantangnya, "Mana, coba sini"
Mana jagoan papi" Kok, malah ngadu, sih" Ayooo, tonjok lagi, biar kalau istrinya mati, kamu masuk koran. Ayooo !"
Biasanya pula, tak lama kemudian, kedua orang-tuanya datang tergopoh-gopoh, ngebelain si anak tunggal. Papinya yang militer itu datang lengkap bercincin gede dengan batunya, yang kalau dipakai memukul atau menampar bisa bikin pingsan! Dan, aku pernah kena beberapa kali!
Hmmm manis banget! Sementara, sang mami yang bawel itu akan merepet sibuk menyalahkan aku, sang mantu yang durhaka. "Kamu kalau jadi istri itu nggak boleh melawan suami. Durhaka nanti!
Mau kamu masuk neraka"!"
Aku hanya terdiam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga esok dan esoknya lagi, saat Pasya datang merengek-rengek minta ampun kepadaku. Begitu terus hingga kehamilanku masuk bulan kesembilan.
Oya, aku masih jadi dosen, juga nyambi menerima pesanan kue dan jahitan. Siang-malam aku bekerja, semua demi rumah tanggaku sebab Pasya hampir tak pernah memberiku nafkah. Tak jarang, aku mengajar dengan muka bonyok yang kukatakan sebagai kejeduk, jatuh, ketabrak, atau apalah. Aku tak peduli, orang tak percaya lagi pada ceritaku. Aku hanya akan berbicara pada saat dan tempat yang tepat.
Hiburanku yang paling indah adalah saat aku membuat strawberry shortcake untuk kutitipkan pada cake shop dekat rumahku. Aku membuatnya dengan penuh cinta.
Mengapa" Sebab, kenangan strawberry shortcake itulah yang mampu membuatku bertahan. Aku selalu mengenang seseorang yang entah di mana kini, yang kerap mendatangiku lewat mimpi. Lewat ucapannya, aku mendapat suntikan semangat.
"Hati-hati, Phie! Tapi sungguh, saya akan datang bakda isya nanti malam."
Silakan, katakan aku gila. Tapi, apalah lagi yang bisa menghibur seorang istri yang bernasib sepertiku, selain doa, shalat, dan suntikan support"
Sementara it u, diam-diam aku juga mengumpulkan bukti. Aku selalu memfoto wajahku sehabis disiksa. Aku juga sempat beberapa kali, diam-diam merekam setiap pertengkaran kami dan pembelaan dari kedua orangtuanya. Aku juga diam-diam tetap kontak dengan Lila.
Sementara itu, aku tak mungkin kontak dengan orangtuaku untuk menceritakan masalah kami ini. Sebab, kedua orangtuaku berpendapat: Ketika seorang anak telah menikah, maka orang-tua tidak boleh ikut campur lagi!
So, aku hanya datang ke rumah orang tuaku jika tubuh atau wajahku sedang "beres". Begitu juga kedatangan orangtuaku, kuatur sedemikian rupa agar tidak melihat anaknya "hancur".
Sungguh, aku juga tak mau orangtuaku sedih.... Bagaimanapun, pernikahan ini kupersembahkan untuk mereka saja.
* * * Aku melahirkan si kembar, Bulan dan Bhumi lewat operasi. Saat itu, Pasya sedang tidak dirumah, katanya ada outbond bareng sekolah tempat dia mengajar (setelah dia dikeluarkan dari perusahaan Internet tempatnya bekerja sebelumnya). Aku pendarahan hebat. Saat si kembar akhirnya lahir dengan selamat, Pasya datang dengan gembira, seolah tak terjadi apa-apa.
Aku saat itu hanya meringis, ketika dia berlaku seolah suami yang amat bertanggung jawab. Tunggu saatnya tiba, Pasya, bisik hatiku.
* * * Namun, aku tampaknya harus terus menunggu. Sebab, tak lama setelah si kembar lahir, musibah lain datang susul-menyusul. Pasya dikeluarkan dari SDIT tempatnya mengajar sebab ketahuan memimpin demo minta kenaikan gaji guru. Ia menganggur sekitar dua tahun.
Sementara itu, kami masih punya tanggungan biaya melahirkan.
Aku bekerja sangat keras hingga nyaris lupa apa yang ada dalam rencanaku.
Selama menganggur, suamiku jadi sangat pendiam. Tampaknya, ia stres. Tapi, alhamduhllah, ia sudah jarang main fisik. Kata-katanya masih tetap kasar. Ia juga sudah lama sekali tidak aktif mengaji lagi. Sampai berkabut aku mengajaknya ngaji lagi, tapi ia selalu menolak dengan berbagai alasan.
Setelah Pasya kembali bekerja sebagai guru di SDIT yang lain, yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami, terjadi musibah lain lagi. Ayah mertuaku meninggal dunia. Pasya kembali shock berat. Kali ini, ia sampai depresi dan harus konsultasi dengan psikolog dan psikiater. Pasya memang terlalu dekat dengan ayahnya itu. Bahkan, ia juga mempersonifikasikan papi dalam dirinya. Lagi-lagi, Pasya dikeluarkan dari pekerjaannya.
Setelah Pasya mulai sembuh, aku mulai berpikir kembali tentang rencanaku. Namun, kesabaranku rupanya masih diuji. Kali ini, ibu mertuaku yang terserang stroke hebat hingga mengalami kelumpuhan. Sebelumnya ia sempat operasi jantung.
Sungguh, aku juga stres. Hanya, alhamdulillah, aku masih punya Allah, masih punya semangat, dan masih bisa mengenang strawberry shortcake dengan senyum dan air mata. Aku masih bisa berdiri meskipun sering juga goyah. Aku rasa, hidupku mulai membosankan.
Hampir tak ada ruang untukku sendiri. Semua yang kulakukan hanyalah untuk orang-orang disekelilingku; yang parahnya, kadang memperlakukanku semena-mena! Apakah salah jika aku juga punya dendam" Hei, jangan lupa, aku juga hanya manusia biasa, bukan malaikat!
* * * * Kini, di hampir lima tahun usia pernikahanku dengan Pasya, aku kembali berpikir.
Apakah aku masih kuat untuk melanjutkan semuanya" Atau, sudah tibakah waktuku untuk, berpikir tentang diriku sendiri"
Sementara, aku dan Pasya sudah seperti sepasang orang asing dalam sebuah rumah. Kami jarang saling menyapa, kecuali jika butuh sesuatu atau ada sesuatu yang ingin ditanyakan. Ia juga nyaris tak peduli pada anak-anak, istri, dan ibunya. Oya, ia kini menjadi guru privat untuk anak SD.
Sementara itu, ibu mertuaku juga sudah lebih bisa menerimaku. Ia, bahkan sering menasihatiku untuk mulai berpikir akan kehidupan pribadiku sendiri.
Suatu malam, saat aku sedang menjahit pesanan baju Muslim, ibu mertuaku tiba-tiba menyeret kursi rodanya ke dekatku.
"Sudah malam masih menjahit, Phie""
Di antara derit mesin jahit tuaku, aku menoleh dan memaksakan sebentuk senyum. Aku lelah sekali. Banyak pesanan jahitan dan kue akhir-akhir ini, dan harus kukebut.
"Mami belum tidur""
"Mami ndak ngantuk, Nak. Kau tamp
aknya sudah capek" Berhentilah. Nanti kau sakit."
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Aku rindu diperhatikan seperti ini, Mami.
"Masih banyak pesanan jahitan, Mami."
"Kau bekerja terlalu keras untuk kami, Phie."
Aku terdiam. Apakah benar mami yang bicara padaku"
"Maafkan kami, Nak. Mami sendiri baru menyadari, kamu terlalu baik untuk kami, juga untuk Pasya .." "Mami, tidurlah dulu. Nanti Mami sakit.... Kalau saya, kan, masih muda, masih kuat..." Sejenak, mami menatapku. Dalam. Ada secercah cahaya kasih di matanya yang tua.
"Ya ... ya, kau masih muda, Sophie. Kau pintar, baik, punya masa depan yang bagus, punya anak-anak yang membanggakan ..."
"Ya, saya bersyukur untuk semuanya, Mam." "Seharusnya kau mulai memikirkan dirimu sendiri, Phie." Aku seketika tercekat. Apa maksud mami" "Ma... maksud Mami""
"Kau sudah terlalu lama menderita bersama Pasya dan kami....
Mengapa kau tidak mulai memikirkan hidupmu dan anak-anakmu sendiri""
"Maaf, Mam, saya nggak paham ..."
"Agama kita mengajarkan jika seorang suami sudah sedemikian rupa menelantarkan istri dan anak-anaknya, bukankah istrinya boleh menggugat cerai""
Lintasan kilat menyala di antara kami berdua.
Aku ternganga. Apakah aku tidak salah dengar"
Yaaa ... duluuu ... sebelum anak-anak besar, aku memang pernah memasukkan rencana itu dalam hidupku. Kini, meskipun hidupku sudah begitu membosankan, aku malah tidak berani lagi memikirkannya. Sebab, aku takut traumanya pada jiwa anak-anakku.
Betapa egoisnya aku jika berpikir hal itu ....
"Mami serius, Nak. Sudah waktunya kau keluar dari cengkeraman suamimu. Kau sama seperti Mami ketika muda dulu. Mami bertahan sebab Mami bukan perempuan mandiri sepertimu . Mami tak tega melihatmu, Phie .."
"Lalu Mami""
"Mengapa pula kau pikirkan Mami, Nak" Mami tahu Pasya tidak akan merawat Mami sebaik dirimu. Tapi, Mami bisa pulang ke Payakumbuh. Masih banyak saudara tua Mami di sana."
Kugigit bibir sambil menggelengkan kepala kuat-kuat. Tiba-tiba, ada rasa sayang yang menyeruak di hatiku. "Saya nggak mau ninggalin Mami "Kau masih punya orangtua, Nak."
"Orangtua saya baik-baik saja. Mereka tidak akan marah jika saya menemani Mami di sini." "Mami sayang padamu, Sophia ..."
Tiba-tiba, mami menarikku dalam pelukannya. Kami bertangisan dalam hening malam. Dua hati perempuan berbeda zaman terpaut sudah lewat kesamaan nasib. Malam itu, untuk pertama kalinya, aku tersenyum dalam qiyamul lail-ku.
* * * Lalu, mimpi-mimpi itu terus mengejarku tanpa henti. Tentu saja, aku tak pernah bilang pada mami. Hanya, mami terus menyuruh aku berpikir tentang masa depanku dan kedua anakku.
And here I am, seorang perempuan, seorang istri sunyi, seorang ibu, dalam masa-masa penuh pertimbangan ... Kau lihat, kan" Apakah aku tak boleh menyebut ujian dengan kata manis"
SATU SENDOK TEH EKSTRAK VANILA
Ketika wangi menuai pahit...
Aakah kamu pernah mengalami perasaan yang demikian kuat"
Demikian luar biasanya menggoyangkan hatimu serta membuat hidupmu serasa ingin berlari menembus ruang dan waktu"
Aku pernah merasakannya dua kali.
Pertama, saat aku dilamar seorang laki-laki yang dari dalam hatiku pun aku pernah begitu yakin sangat mencintainya. Kemudian, Allah menegurku telak. Laki-laki itu bukan jodohku. Sebuah keyakinan yang seharusnya aku punya sejak awal hijrahku sehingga jalannya rasa tidak pernah mengotori langkahku.
Wangi melati yang sempat menguar dari lubuk hatiku menjadi rasa pahit yang asing, namun tetap harus kulumat, bagai meminum obat pencahar. Yang efek selanjutnya, aku terpusing-pusing dan nyaris pingsan saking pahitnya.
Kedua, saat aku mendapati bahwa kehidupan pernikahankupun, ternyata tak seindah pandangan mata. Memang, aku mencoba terus untuk looking at the bright side. Tetapi, kalau tak juga kutemukan mana dan apa bright side-nya, terus gimana"
Sumpah, aku takut sekali membayangkan kata perceraian. Meskipun jujur, sering terlintas kata itu dalam benakku setiap kali fisik dan mentalku tak lagi tahan didera. Kata teman-temanku, ngapain takut"
Aku masih muda, bekerja, dan punya penghasilan sendiri meskipun juga tak terlalu besar. Masih punya orangtua lengkap se
rta punya mertua yang justru mendukung dan berada di pihakku.
Namun, tetap saja, aku ngeri. Berapa banyak anak korban perceraian yang menjadi sulit ditangani akibat trauma berkepanjangan" Aku, tentu saja tak mau itu terjadi pada Bhumi dan Bulan.
Sebelah hatiku yang lain mencoba meyakinkanku agaknya bahwa aku bisa menjadi ibu sekaligus ayah bagi mereka. Tetapi, pada praktiknya, kulihat sulit sekali. Aku juga sangat khawatir anak-anak tahu bagaimana perlakuan ayah mereka terhadap ibunya. Entahlah, itulah yang kusebut sebagai kebingungan tak berujung ....
Hingga suatu malam, saat istikharahku sudah mengental dalam sebuah prakondisi, suamiku pulang setelah entah berapa lama ia tak tampak. Saat itu, pukul sebelas malam dan anak-anak sudah lama terlelap.
Oh, apakah tak ada rindu bagi kedua buah hatinya di hati ayah mereka"
Kukuatkan niat untuk bicara. Mami belum tidur dan sedang asyik berzikir di kamarnya. Ia bilang; jika ada apa-apa, ia minta tolong dipanggil sebab iapun sebenarnya sudah sangat jengkel pada perilaku anaknya itu.
Habis mandi, Pasya langsung bersiap tidur.
"Dan mana saja selama ini"" tanyaku dingin.
Laki-laki itu terkesiap. Tak biasanya, aku bertanya soal keberadaannya. "Tumben, tanya-tanya"" "Kita masih suami-istri, kan""
"Wajib, ya, kamu tahu aku ke mana dan ngapain saja" Toh, aku pulang juga dalam keadaan selamat, dan aku juga percaya, kamu bisa menangani semuanya dengan baik."
"Ooohhh ...jadi kamu pikir begitu, ya, rumah tangga yang Islami itu"
Kamu bebas datang dan pergi. Sementara, aku dan mami yang kelimpungan menjalankan roda rumah tangga ini" Kamu bisa enak saja menghilangkan jejak selama keluar. HP-mu saja nggak aktif setiap aku hubungi."
"Kenapa" Kangen""
"Nggak! Tentu bukan itu. Kangenku sudah lama kabur begitu tahu kamu modelnya kayak apa." "Kayak apa, maksudmu""
"Ya, kayak gini ini, laki-laki yang hanya menjadikan rumahnya sebagai hotel, tempat dia numpang istirahat sejenak untuk kemudian segera menghilang lagi dengan setumpuk pe-er yang tak pernah selesai."
"Jadi, maumu apa""
Aku menyeringai. Tumben, dia nanya mauku, apa!
"Mauku, kita duduk berdua, bicara banyak tentang akan ke mana rumah tangga ini mengarah"!" "Memangnya, kamu sudah nggak sanggup jadi istriku""
"Hei, kamu kenapa, sih"! Kok, kayaknya buru-buru banget menebak arah pembicaraan yang belum tentu juga benar"!" "Oke, Bu Dosen. Jadi maumu, apa""
"Gimana, sih" Kan, tadi sudah kubilang, mari kita duduk berdua untuk berbicara banyak. Ingat, Sya, sudah lama sekali kita tidak melakukannya."
"Bagus! Dan, kamu nggak peduli, betapa aku capek dan pengin tidur!
Tak bisakah kau menundanya sampai aku kembali segar" Istri macam apa kau ini"!"
"Memangnya, kamu nggak tidur selama sebulan ini menghilang" Kamu ngapain aja, sih" Kerja" Lalu, ada gitu hasilnya" Mana, coba aku mau lihat"
Aku nggak minta, sumpah! Aku hanya ingin lihat sedikit saja jejaknya! Nggak ada, kan""
"Hmmm ... makin berani saja kamu! Sudah sejak dulu, aku yakin kalau kamu bukan istri yang baik untukku."
"Oh, ya" Lalu, kenapa nggak dari dulu saja kamu menolak" Aku juga nggak bakalan mati gantung diri kalau kamu tolak" Lagian, aku juga nggak pernah minta dijodohkan denganmu, kan""
"Jangan kayak anak kecil, Sophia!"
"Kamu yang belum dewasa, Sya!"
"Begitu"!"
"Ya! Karenanya, aku minta ceraikan aku!"
"Apa"!" "Kamu nggak dengar" Kubilang, aku minta cerai!" "Kamu nggak lagi mimpi, kan""
"Oh, mimpimu untuk segera terbebas dan aku yang kau sebut istri gila akan segera terwujud, Pasya. Maka, kubilang, ceraikan aku!"
"Kamu emosi berlebihan, Phie!"
Aku merandek. Kutatap matanya dengan berani.
"Kamu yang menyulutnya, bukan" Tadi, sudah kuminta kau duduk bersamaku dan kita bisa bicara baik-baik. Jika mungkin, kita akan menemukan solusi yang jauh lebih baik ketimbang bercerai."
"Ada orang lain, Phie""
"Tidak." "Bohong! Istri macam apa kau" Istri tak setia!"
"Heh, maaf ya, Tuan Pasya. Meskipun, misalnya aku tidak mencintaimu lagi, bukan suatu alasan bagiku untuk berselingkuh! Atau kau yang sudah memulainya lebih dulu""
Sekilas sempat kutangkap perubahan rona wajahnya. Ia mulai tak tenang.
"Ada apa, Sya" Oke, jangan pandang aku sebagai istri yang akan menghakimimu. Pandang aku sebagai temanmu. Aku membacanya .."
"Kau menuduhku""
"Jangan memperlebar persoalan, Sya. Siapa yang lebih dulu bicara tentang selingkuh" Kamu, kan"" "Kau ... kau ..."
Aku mundur sejenak melihat tangannya yang sudah mulai melayang di udara.
"Apa" Kau mau menamparku" Oke silakan! Dan, tunggu sampai pengadilan melihat ini sebagai bukti!" "Kau ..."
"Ayo, tampar kataku! Sekalian, dorong aku! Atau apalah, yang bisa bikin kamu puas!" Dan ...plak! Plak!
Dua tamparan telak mengenai pipiku tanpa sempat aku mengelak.
Keras. Ngilu. Namun, perihnya telah lama kuakrabi sehingga membuatnya jadi pahit yang sangat. Ketika tangannya mulai mencengkeram bahuku, aku mulai refleks.
Kutangkis tangannya, lalu kupegang pergelangan tangannya dengan cekalan sekuat mungkin. "Ayo ..."
Kembali, ia mengayunkan tangannya, melepaskan diri dari cengkeramanku. Aku refleks mendorong tubuh besarnya menjauhiku.
"Kayaknya, kamu mau membunuhku, ya, Sya" Kau nggak takut masuk penjara" Kau nggak takut masuk neraka""
Matanya menyala menatapku, membakar jiwaku.
"Kamu maunya apa, sih""
"Kan, tadi sudah jelas. Aku minta cerai!"
"Dasar istri durhaka! Laknat!" Tepat pada saat itu, mami masuk. Ia sudah bersiap. "Pasya!"
"Mami! Mami mau ke mana malam-malam gini""
"Sophie, anak-anakmu sudah di mobil! Ayo,cepat!"
Aku tertegun sejenak. Masya Allah, mami sudah menjalankan action yang semula akan kami rencanakan dengan baik-baik
"Cepat, Phie! Waktu kita tak banyak, Nak!"
Sebelum Pasya menyadari apa yang terjadi, mami sudah menarikku dan menggenggamkan kunci Kijang Kristaku di tangan. Sementara, tanganku yang satunya refleks mengambil tape recorder yang kusembunyikan di bawah kerudung kausku di atas meja rias.
Alhamdulillah, kami sempat ke luar kamar.
Sempat terjadi kejar-kejaran antara aku, mami, dan Pasya. Laki-laki itu, berusaha menghalangi agar kami tak sampai ke pintu depan. Segala doa kurapal dalam hati. Ya Allah, tolong kawi, please ...
Ketika kami hampir mencapai pintu, tiba-tiba Pasya melompat dan menangkap tangan kurus mami. Aku kaget dan refleks pula menarik satu lagi tangan mami yang lain.
"Mami! Apa-apaan, sih, ini""
"Pasya, Mami bilang lepaskan! Sakit, Pasya!"
"Pasya, lepas! Kamu menyakiti ibu kandungmu sendiri! Kamu bisa durhaka!" aku ikut berteriak. Kulihat mami meringis kesakitan. Agaknya,Pasya sudah kesetanan.


Strawberry Shortcake Karya Ifa Avianty di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasya, lepas! Kamu bisa membunuh mami! Istighfar, Sya! Ayo, bunuh aku saja! Jangan mami,Sya!" Pasya mulai bimbang. Ditatapnya kami bergantian, ibu dan istrinya.
Matanya nyalang, mengerikan. Tak tersisa sama sekali bahwa dia pernah ikut mengaji meskipun sebentar.
Saat Pasya mulai lengah, kami bertindak cepat. Akhirnya, kami berhasil keluar juga. Lalu, berlari menuju mobil. Anak-anak tampak kaget melihat ibu dan neneknya dikejar ayahnya yang sedang ngamuk.
Bergegas kunyalakan mobil. Tak peduli aku pada Pasya yang berteriak-teriak di depan kaca mobil sambil mengetuk-ngetuk.
"Bapak kenapa, Bunda"" tanya Bhumi takut.
"Iya, Bun. Bulan takuuut..." putri kecilku mulai menangis. Neneknya segera memeluk kedua bocah itu erat-erat. Aku juga terus terang mulai ngeri. Pasya suka nekat.
Ayo, tenangkan hati, Phie! Keselamatan mami dan anak-anakmu harus kau utamakan. Bismillah, Phie Sayang Kulihat Pasya mulai kalap. Ia menghalang-halangi jalan mobilku. Bismillah ...bismilah...
Segera kubanting setirku ke kiri. Wah, pasti bakal baret-baret kena tembok, nih, pikirku. "Mami, tolong tekuk spionnya, Mi! Habis itu, pasang seat belt- nya!" Suara derum mobil digas dan decitan bannya terdengar mengerikan.
Namun, aku tak ingin surut. Mami segera memasukkan spion dengan paksa kedalam. Anak-anak tercekik-cekik di pelukan neneknya. Aku langsung mengambil gigi tiga. Pasya terpaksa mundur. Sebab kalau tidak, ia akan tertabrak. Masih sayang nyawa rupanya dia! Baguslah. Dengan begitu, aku tak perlu jadi pembunuh!
BRAK! Sisi kiri mobilku menabrak pagar yang belum sempurna terbuka. Aku tak peduli. Masih bisa jalan, kok.
Aku mengambil jalan memutar, melewati pos penjagaan satpam di kompleks, lalu mengambil j
alan agak menurun di pertigaan dekat tugu kompleks. Tebakanku tak lama lagi, Pasya akan mengejar kami dengan Sidekicknya.
"Dia membuntuti kita, Phie!" mami berteriak panik melihat mobil Pasya lewat spion dalam.
Aku diam saja sambil terus mengemudi.
Tiba-tiba, HP-ku berdering.
"Jangan angkat, Phie, itu Pasya!" mami mengomandoku sambil melihat HP-ku di dekat persneling.
Aku mengambil handsfree dengan tangan kiri.
"Pulang, Phie! Kamu gila, ya"" terdengar suara Pasya.
Aku diam. Di seberang sana, masih kudengar Pasya berteriak-teriak kalap. Ia memakiku dengan segala sumpah serapah, juga mengomeli mami. Aku bergeming. Hatiku telah beku dan bulat. Tak bisa kutawar lagi...
Maka, terjadilah apa yang kupikir hal paling nggak mungkin terjadi dalam sebuah rumah tangga. Istri dan suami kejar-kejaran pakai mobil. Aku menerobos keramaian jalan ibu kota di malam hari dengan kecepatan yang sama sekali tidak umum untuk jalan macet di sekitar terminal. Menyeruak, diantara padatnya arus malam Minggu ibu kota dengan klakson nyaring.
Tentu saja, aku akan banyak dikutuk para pengguna jalan. Apalagi, sesekali mobilku juga kupaksa naik ke trotoar jika memungkinkan dan tak terlalu tinggi untuk Kijangku yang kini sudah baret kiri-kanan. Tak jarang, aku memaksa masuk diantara dua mobil lain dengan jarak yang sebenarnya nggak mungkin. Tak urung, kedua mobil itu terpaksa memberi jalan atau kena baret juga.
Lampu depan kiriku pecah, lampu depan yang kanan kayaknya retak.
Spion luar kiri-kanan sudah dipaksa masuk. Pintu tengah kiri juga sudah penyok, mungkin saat tadi memaksa menyalip metromini.
Di belakang, Pasya berusaha terseok-seok mengejarku. Aku tahu, dia terlalu cinta pada mobilnya sehingga nggak mungkin dia nekat juga.
Belum hilang rasa tegangku sebab masih berkejaran dengan Pasya-tiba-tiba kulihat ada polisi didepanku, kira-kira tiga ratus meter. Mati aku!
Refleks, kuinjak pedal rem. Bunyi berdecit diiringi dengan suara benturan terdengar. Aku melongok dari spion dalam. Ada Taruna menabrakku dari belakang.
Aku celingukan. Mana si Pasya" Kenapa juga ada polisi iseng patroli malam Minggu gini dijalan, yang jelas-jelas bukan jalan protokol dan nggak, umum dipakai kebut-kebutan"
Keringat dingin mengaliri tubuhku, padahal AC dipasang full. Mami dan anak-anakku melukis ekspresi ngeri yang amat sangat. Aduuuh, maaf yaaa ..."
Sekali lagi, aku celingukan. Antrean mobil didepanku bergerak maju. Aduh, kena deh, nih!
Jalur berlawanan arah cukup sepi. Bisa memutar, tapi kalau mobil depan dan belakang nggak rapat. Bismillah aja, deh..
Kumundurkan mobil. BRAK! Aduh, maaf ya, Taruna biru!
Aku mengangguk lewat spion dalam pada pengemudi Taruna.
Maaf, deh, Pak! Darurat, lagi diuber penjahat, nih! batinku asal. Aduh, masih nggak cukup, nih. Mobil depan terlalu dekat dengan mobilku.
Kupaksa membanting setir ke kanan. Tepat, ketika bagian belakang mobilku sudah ikut membelok, tiba-tiba BRAK! Again! Kali ini, kena bagian belakang Innova hitam yang tadi ada didepanku. Ampun, deh! Kalau gini caranya, SIM-ku bisa dicabut, nih!
Dengan gigi lima, alias full speed, aku mengambil jalur berlawanan.
Saat kulewati Pasya, ia tampak dengan kesal memukuli setirnya. Aku tersenyum samar. Anak-anak spontan menjerit memilukan, "Bapaaak ...!"
Jujur, batinku menangis. Tapi, mau bagaimana lagi"
Aku mengambil jalan yang banyak jerawat dan kubangannya, jalan kampung, jalan tikus, dan segala jalan yang mungkin. Tetap dengan kecepatan tinggi yang hanya layak dipakai di Sentul. Tapi, aku harus pergi!
Pasya tak mampu mengejarku. Teriakan dan makiannya di HP tak kuhiraukan. Aku hanya ingin lepas darinya.
Pukul satu dini hari, kami akhirnya tiba dengan selamat (dan dengan mobil yang bengep-bengep) dirumah orangtuaku. Kami bertangisan seperti layaknya orang pulang perang.
Papa segera memimpin pertarungan babak berikutnya. Lewat pengadilan agama!
Anak-anak tertidur kelelahan di pangkuan kedua nenek mereka yang masih bertangisan. Aku sendiri terlalu lelah untuk menangis. Air mataku kering sudah...
Pukul dua dini hari, Pasya datang dan diminta menandatangani surat gugatan cerai atas namanya sen
diri yang sudah ditik Kang Ceppy yang begitu gusar. Hampir saja, Kang Ceppy (yang masih tinggal bareng mama dan papa) menghajar Pasya yang sudah loyo.
Menjelang subuh, Pasya pamit pulang.
Sebelum pulang, akan digenggamnya tanganku. Aku menolak. Ia bukan suamiku lagi. Tadi, ia sudah mengucap ikrar disaksikan papa, mama, mami, Kang Ceppy, dan Ceu Lina (istri Kang Ceppy).
"Maafkan aku, Sophie.... Sebenarnya, aku tak ingin bercerai."
"Sama-sama. Tolong ikhlaskan, Sya. Mungkin, kita memang bukan jodoh..."
"Aku percaya padamu, Phie, jaga anak-anak kita..."
Pertama kali dalam hidupku, aku melihat Pasya menangis. Juga, saat ia sungkem pada mami, papa, dan mama. Mami dan mama menangis sedih.
Aku juga sedih. Bagaimanapun, ia mantan suamiku, ayah anak-anakku.
Kembali terbayang saat pernikahan kami, saat awal pernikahan kami, saat semua belum seperti ini. Kupalingkan wajah, saat ia benar-benar pulang. Separuh jiwaku terbang. Aku melunglai. Kuning, hitam, abu-abu, putih .... Pahit....
Gelap sempurna ... dan hilang ....
* * * GULA HALUS SECUKUPNYA Sakit kadang terasa manis, bukan"
Saat tersadar, aku mendapati diriku terbaring di sebuah kamar VIP di RS Pondok Indah. Bau lantai rumah sakit tercium di hidungku. Aku tercekat.
Kenapa aku ini" Di sekelilingku tampak mama, papa, mami, kakak kakakku, dan para istrinya, serta ... kedua buah hatiku. Tak lama, kulihat juga engkau datang, La, tergopoh-gopoh sambil menyusut air mata.
Ada apa gerangan" "Jangan banyak bergerak, Phie!" mama dan mami menahanku. "Saya ... kenapa""
"Kamu terlalu lelah dan stres saja. Harus banyak istirahat." Mami membelai punggung lengan kananku lembut. Ada sisa tangis di matanya yang tua dan keriput.
"Mama" Papa" Kalian""
"Ya ... kamu hanya capek, Phie. Sudahlah ..."
Namun, aku merasakan sesuatu yang tertutup tirai. Rapat sekali.
Hingga aku merasa perlu khusus berdoa untuk bisa menyibaknya meskipun hanya sedikit. Akhirnya, doaku terjawab.
Kedua perempuan tercinta, mama dan mami yang suatu sore mengajakku bicara, sesaat sebelum aku pulang dari RS. "Kamu tahu, Pasya sudah mengurus semua surat cerai itu"" tanya mami hati-hati. Aku mengangkat wajah sedikit. "Ya. Lalu""
"Hak perwalian anak-anak jatuh kepadamu, ia sudah setuju." "Semudah itu" Memangnya, dia nggak sayang sama anak-anaknya"" Mama dan mami berpandangan. "Dia ... dia akan segera menikah lagi."
Oh, inikah kejutan itu" Mengapa aku begitu tawar" Hatiku kosong, hampa, senyap, dan dingin.
"Baguslah. Alhamdulillah. Moga-moga, ia bisa membahagiakan istrinya."
Aku sendiri merasakan bukan aku yang mengatakan hal itu. Entah siapa"
Mama membelai punggungku. Tangisnya mulai terdengar.
"Kamu kecewa, Nak" Marah""
Aku menggeleng lemah. "Buat apa, Ma" Semua sudah lewat. Andai saya bisa membalik waktu pun, keadaan belum tentu akan sama. Hidup selalu begitu, kan""
Kedua perempuan yang seusia itu memelukku erat.
Aku sendiri... dingin. Batinku ngilu, sungguh! Tapi, bukan untuk pernikahan Pasya, melainkan untuk anak-anakku, yang pastinya tak akan mampu lagi mereka bentuk puzzle yang utuh tentang bapaknya. Kasihan kau, Nak.
Apa mereka bisa memahami apa yang kurasakan sebagai ibu"
Aku tergugu. Piluku adalah luka anak-anakku.
Waktu mungkin akan mengubahnya menjadi makin kelabu dan dingin, sunyi dan senyap ....
"Sophie ...ngngng ... sebenarnya ada hal lain yang juga sama pentingnya ... yang akan kami katakan kepadamu, Nak," suara mama memecah heningku yang bisu.
Mami menatap mama penuh-penuh. Kedua ibu itu saling menggenggam tangan.
Sejenak, aku terkesiap. Hei, ada apa lagikah ini" Apakah telah terjadi sesuatu dengan anak-anakku"
Kurasakan debaran jantungku kini otomatis mengencang. Cepat katakan, Ma, Mi"!
"Ada apa, Ma" Mi""
Kembali detik menyergap kebisuan kami.
"Tabah, ya, Phie" Mami tahu kau perempuan yang amat tabah .." Aku ternganga.
"Mmm ... Dokter Vera yang memeriksamu semalam memanggil kami... ngngng ... kamu sering pendarahan di luar haid, Nak""
"Yyyaaa..." "Kamu sering keputihan"" "Ya ..."
"Kamu masih seperti ketika gadis dulu, haidmu selalu sakit, panjang waktunya, dan banyak"" "Ya ..."
"Nak, kau ... kau divonis ... kanker
rahim stadium tiga, Nak .."
Aku masih sempat melangitkan asma Allah dan segala tangisku bersamaan dengan kedua ibuku yang menangis memelukku, sebelum kembali aku lungkrah. Tuhan, mari kembalikan aku ke titik, nol agar aku bisa lebih dalam melihat diriku sendiri...
Saat ini, aku sedang di titik. Saat mulai merasakan hawa keperkasaanku sebagai seorang perempuan, aku seperti terlempar ke dasar bumi begitu mengetahui kanker ini....
Aku menangis menyebut-Mu hingga terkulai dalam pelukan mama dan mami....
Hari-hari makin kelabu, dingin, dan sunyi bagiku. Aku tanpa rasa, saat akhirnya kuterima juga surat cerai itu. Mataku dingin saat Pasya meminta maaf lagi dan lagi.
Sudahlah, Sya, simpan saja semua maafmu dalam hati. Aku sedang tak. ingin berurusan dengan segala basa-basi itu.
Aku juga bergeming kala kuterima undangan pernikahan Pasya dengan entah siapa namanya" Aku datang sendirian. Dingin. Tanpa kata.
Tanpa senyum. Tanpa warna. Bahkan, ku merasa tanpabentuk. Hampa.
Tanyakan kepadaku hanya tentang anak-anakku, mama dan mamiku, pekerjaanku, aktivitas dakwahku yang sempat terbengkalai dan kini coba kutata kembali. Maka, aku akan dengan semangat menjawabnya. Tapi, jangan tanyakan apa pun yang berkenaan dengan hati. Aku tak lagi ingin memberinya porsi pembicaraan. Biarlah hatiku menjadi milikku sendiri.
Kuncinya sudah kupegang erat dan tak ingin kuserahkan kepada orang lain. Adapun tentang penyakit itu ....
Lihatlah, aku sedang belajar menjadi lebih sabar, lebih pasrah, dan sekaligus lebih bersemangat untuk hidup!
Hanya itu yang bisa kukatakan. Maaf. Aku mau pergi berobat dulu ke Dokter Vera.
* * * Senja itu, aku habis pulang fisioterapi di RS. Aku masih agak lemas dan agak kliyengan, pusing. Ceu Lina sudah berjanji akan menjemputku sebentar lagi. Untuk mengingatkannya, aku mengiriminya SMS untuk menanyakan posisi mobilnya sekarang.
Tiba-tiba ... BRUK! Uhhh ... HP-ku terpental lumayan jauh. Segera aku bangkit. Aduuuh kepalaku makin nyeri pula! Sekilas, kulirik orang yang tadi menabrakku (atau kutabrak"). Laki-laki. Pasti melamun! Dasar! omel hatiku. Laki-laki itu juga tampak kaget.
Tapi, aku tak sempat memerhatikannya sebab HP-ku .... Oh, HP-ku ... nyaris saja terinjak seorang dokter... Mendadak, hatiku riuh bergumam ....
Ada apa, sih" Dalam hitungan sepersekian detik, aku menengok ke arah laki-laki penabrak tadi. Diakah .. diakah ...
Dia yang tak pernah mati di dalam hatiku, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian!
Mengapa dia di sini" Kang Bayu
Namun, laki-laki dengan kacamata minus itu telah telanjur berlalu .... Menjauh .... Meninggalkan aku yang terbengong-bengong. "Maaf, Mbak. Ini HP-nya. Nyaris saya injak." Hap! Aku kembali menapak bumi.
Di hadapanku kini, telah berdiri seorang dokter muda. Laki-laki berkacamata minus ( again!), kurus tinggi, kira-kira 55-170-kah" Oops ...
refleks, aku menunduk. "HP Mbak, kan""
"Iya, maaf, Dok, saya agak pusing" "Ya, nggak apa-apa. Ini, Mbak." "Terima kasih, Dok." "Wahyudi."
"Ya, terima kasih Dokter Wahyudi, selamat sore..."
Dan, senja itu berlalu lagi. Hatiku berdarah lagi mengingat cerita lama dengan Kang Bayu ....
* * * Aku masih setia fisio dengan Dokter Vera. Meskipun jerih kala mengingat di RS ini aku ketemu lagi dengan Kang Bayu, La. Yang katamu masih belum menikah juga, kan" Kamu, kan, yang bilang" Kok, bisa kamu balikin bahwa aku yang bilang" Gimana sih, kamu"
Hingga suatu hari, Dokter Vera bilang, ia akan mengikuti pendidikan fisioterapi di luar negeri selama setengah tahun. "Terus ... siapa nanti yang akan menangani saya, Dok"" Dokter manis berjilbab itu tersenyum lembut.
"Mbak Sophie pasti sudah sering dengar namanya. Dia dokter muda yang lagi naik daun karena prestasinya menangani pasien-pasien kanker.
Namanya Dokter Haris Wahyudi..."
"Laki-laki, ya, Dok" Risi, deh, kayaknya.."
"Ah, nggak, kok. Kan, yang melakukan fisionya tetap saja perawat. Dia hanya pegang medical record-nya Mbak Sophie "Tapi, ini kan, rahim gitu, lho, Dok." "Yaaa s0 what gitu, lho"" Kami tertawa berderai santai.
"Dokter Vera ... ini ada bahan untuk konferensi itu ." "Eh, Dokter Yudi. Terima kasih. Eh ..
kebetulan..." Aku terpana. Ini dokter yang kemarin itu, kan" Dokter itu juga tampak terpana sejenak, sebelum kami sama-sama menunduk.
Hmmm ... looks smart, La. Hus! Gimana, sih"
"Ini, lho, calon pasien kamu, Dok. Namanya Mbak Sophia Prastyani, dosen yang smart, tapi suka panikan..."
"Oh, Mbak Sophia yang waktu itu HP-nya hampir saya injak, kan""
Aduuuh ... itu sama saja mengingatkanku pada Kang Bayu..
Tapi, untuk menghormati sikapnya, aku mencoba tersenyum samar.
"Rusak HP-nya, Mbak""
"Nggak. HP saya bandel, kok, Dok."
Kini, Dokter Vera yang bengong.
"Lho" Sudah kenal, toh" Alhamdulillah, deh..."
* * * Let your life flows.. Aku terpana melihat apa yang kemudian terjadi. Hanya butuh sebulan bagi Dokter Wahyudi untuk mengenaliku. Ia mengorek semua tentang aku dan keluargaku. Ia mengirimiku SMS tentang banyak hal, kecuali tentang hati. Aku sendiri tak tahu banyak tentangnya, kecuali ia belum menikah di usianya yang sepuluh tahun lebih muda daripada aku, seorang aktivis kerohanian Islam di kampus-nya, serta pencinta serius buku dan musik orkestra dan klasik. That's all.
Perasaanku" Bukankah sudah berulang kali kukatakan padamu, aku tawar" Tak ada rasa berbunga. Hanya, kurasa hidup mulai manis kembali. Perlahan. Aku mulai menganggap sakit ini semanis buah strawberry. Bisakah ini kau namai sebagai kecondongan hatiku, La"
La, stop menduga kami pacaran! Tidak satu statement-pun darinya padaku tentang hati, apa-lagi cinta. Kami juga hanya bertemu saat konsul.
Lain tidak. Tapi, coba baca SMS-nya tadi pagi.
Mbak Sophia salehah, sy sdh istikharah. Sy mantap bertny: maukah Mbak Sophia mnjd pengantin sy sgr" Tlg pertimbangkn. Jk ya, sy akan sgr ktm ortu n pembina pengajian Mbak Sophia. Maaf jk mengganggu.
Siangnya dan malamnya, SMS yang sama kembali terkirim ke inbox-ku.
Aku hanya bisa menjawab: Tm ksh. Sy akan pertimbangkn. Tlg cari lagi data2 lgkp sy, jgn smp Dr.
Menyesal! Tak berjawab. Sementara, jadwal konsul masih tiga hari lagi. Jadi, apa yang harus kulakukan, La" Please
PRA EPILOG STILL THE PREBAKED CAKE Sophie: Sebab hidup bukanlah mimpi
Mengapa ada tanda-tanda yang datang berupa mimpi" Atau, apakah itu memang benar sebuah tanda" Apakah hanya sebuah bunga tidur atau lebih parah lagi, bisikan setan"
Akhirnya, aku harus bertegas hati: Aku tidak percaya mimpi!
Maka, saat aku kembali bertemu dengannya di Dailybread tadi, aku hanya mampu berusaha membuang semua yang ada di benakku tentang sebuah masa lalu dan serentetan mimpi. Toh, aku selama ini ternyata hanya punya mimpi.
Sulit sekali. Tapi, haruskah aku terus hidup dengan mimpi"
Lihatlah, aku kini seorang ibu dari dua bocah, single parent, seorang perempuan bekerja, seorang penderita kanker rahim stadium tiga, dan seorang akhwat yang seharusnya lebih bisa berdamai dengan hidup dan bukan dengan mimpi.
Kulangkahkan kaki ke luar resto itu seiring dengan alunan Something Stupid versi Frank Sinatradan Nancy Sinatra.
Biarkan aku pergi, Kang..
* * * Lila: Aduuh ada apa dengan kalian, sih"
"Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar service area.
"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi."
Gimana, sih, kalian ini" Aku coba kontak kalian, nggak ada yang nyambung!
Apa mungkin kalian sudah "berdamai"" Kalau iya, kok, kalian jahat banget, sih, nggak kasih info sama aku" Padahal, aku juga yang siang-malam berdoa buat kalian.
Tapi... aduh, Sophie, Kang Bayu, please deh, angkat HP kalian! Aku yakin, sebenarnya inilah saatnya kalian bisa bicara...
Huuuh ...!!! Dengan kesal, kubanting HP-ku ke kasur. Jengkel!
* * * Wahyudi: Mengapa tak. datang konsul, Sophia"
Gelisah, aku menanti jawaban dari SMS yang barusan kukirim.
Mbak Sophia salehah, knp gak dtg konsul" Sakit" Any problem" Atau marah sebab SMS saya terdahulu" Maaf. Tp bisakah sy mendpt jwbnya"
Dari tadi undelivered, lalu pending, lalu pending, dan terakhir pending lagi. Hingga kini, setelah satu jam berlalu ....
Ada apa, Sophia" * * * Bayu: Bagaimana bisa kukatakan kepadamu, sementara aku juga terlambat mengetahuinya" What a coincidence!
Lagi dan lagi. Kenapa selalu ada kebetulan itu, My Strawberry Shortcake"
Kej adian di RS itu, lalu barusan. Di sini, di Dailybread. Aku tahu, kau melihatku. Tapi, kau memilih menghindar. Aku tak marah sebab aku memang tak boleh marah kepadamu. Aku yang salah, Phie.
Andai kau tahu, Phie, bertahun aku menunggu saat untuk bicara denganmu. Tentang mengapa harus terjadi seperti ini" Sebutlah, itu sebagai takdir. Tapi, bukankah kita juga bisa berusaha memindahkannya ke arah takdir yang lebih baik" Bukankah, itu sama saja dengan mencari jalan pertolongan dari Allah terhadap diri kita"
Nah, inilah yang kusesali, Phie. Mengapa aku tak kuasa menyatakannya kepadamu" Phie, mari, berikan kepadaku nomor HP-mu.
Akan kukatakan terus terang, mengapa aku tak bisa menikahimu. Sebab, jika aku ngotot melakukannya, aku yakin kau tak akan berbahagia hidup denganku. Mari, Phie, misscalled-lah kepadaku. Akan kukirimi kau SMS.
Bunyinya hampir pasti akan seperti ini:
Sophie, maaf telah menyiksamu sekian lama. Aku hanya ingin bertanya, maukah kau menikah dengan seorang laki-laki yang (maaf) impoten"
Dari kaca pintu Dailybread yang terang, kulihat kau berlari menuju mobilmu yang terparkir tepat di seberang sana. Phie, bisakah kita bicara, please"
Sunyi. Hanya gema tanya di dadaku terpantul-pantul mencipta harmoni yang entah ....
Cinere, 21 Agustus-17 September 2005
Bagi loneliness dan percik pesona; Thanks for being here and there
Ifa Avianty adalah seorang penulis kelahiran Jakarta. Ia lulusan Teknik Metalurgi Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Ifa pernah menjadi staf redaksi majalah Annida, kontributor mahalah Ummi, Amanah, serta portal Moslemworld, juga pernah menjadi staf redaksi majalah Safina, redaktur buletin Hanif dan anggota FLP Pusat.
Tulisannya berupa cerpen, cerbung, esai, dan artikel tersebar pada majalah Annida, Ummi, Muslimah, Amanah, Sabili, Noor, Safina, Paras, Aisha, tabloid Fikri, buletin Hanif, Q-Zone, serta portal Moslem-world.
Ifa menulis beberapa cerpen yang termuat dalam antologi FLP dan tiga tulisannya termuat dalam antologi kisah nyata para pejuang keadilan bersama Helvy Tiana Rosa, dkk., serta sebuah novel interaktif Kembara Kasih (Pustaka Annida, 1999).
Selain sebagai ibu dari Akna Mumtaz Ilmi, Ifa juga dikenal sebagai penulis freelance yang menulis beberapa buku, di antaranya; Berbagi Bening Cinta (Syaamil, 2004), kumcer Langit Masih Biru (Almawardi Prima, 2005), kumcer Bingkai Retak{GIP, 2005), kumcer Agar Kujadi yang Terindah (Zikrul Hakim, 2005), kumcer Sebab Cinta Tak Bermata (Cakrawala Publishing, 2005), kumpulan esai poligami Madu-Madu dalam Pernikahan (Zikrul Hakim, 2005), kumpulan esai ringan untuk ibu-ibu muda Mommies Cafe (FBA Press, 2005), dan novel teenlit Islami Nyanyian Bintang (Syaamil, 2005).
Novel Islami Strawberry Shortcake (DAR! Mizan, 2006) ini adalah buku remaja keduanya yang diterbitkan DAR! Mizan di bawah Lini Remaja-setelah kumpulan cerita Islami Cinta Sudah Lewat (DAR! Mizan, 2006) terbit.
By the way, Ifa yang punya hobi membaca, belajar, menulis, memasak, dan main-main di multiply ini, sekarang "ketagihan" nulis novel, lho! Katanya, lebih eksplorasi! Kini, Ifa tengah mempersiapkan beberapa judul buku lainnya. Salah satu cita-cita-nya adalah belajar menulis artikel ilmiah sejenis jurnal dan melanjutkan pendidikannya di bidang creative writing serta back to basic: material science. Oke, buku-buku lainnya kita tunggu saja
tamat Seruling Sakti 1 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Kedele Maut 19

Cari Blog Ini