Ceritasilat Novel Online

Terminal Cinta Terakhir 3

Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar Bagian 3


Lantas, bagai diuber setan, Joki menuju rumah Wawan. Dari luar dia mendengar suara tawa lelaki itu. Ketawa-ketawa lu! Nanti baru tahu rasa!
Wawan berselonjor menonton teve. Film koboi. Di ruang tengah itu ada anak-anak kecil, kemenakan-kemenakan Wawan.
Alis Wawan terangkat manakala melihat keruhnya muka Joki. "Sebentar," kata Joki. "Ayo, ke kamarmu."
"Serius"" Joki cuma menggerundel. Wawan mengikuti langkahnya.
"Ada apa, Jok""
Joki duduk di pinggiran ranjang. Sesaat dia mengawasi Wawan. "Jangan pasang!" bentak Joki ketika Wawan mau menstel kaset. Wawan menyanghat bahu.
"Well"" katanya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Mei"" tanya Joki tajam.
"Biasa saja." "Biasa saja bagaimana""
"Lho, ada apa""
"Aku ingin tahu, sudah sejauh mana hubungan kalian. Apakah kalian benar saling mencintai""
"Kalau aku, jelas ya. Mei sendiri, menurut pengakuannya, juga ya. Tapi, bagaimana hatinya yang sesungguhnya, tentunya cuma dia yang tahu. Aku selamanya skeptis dalam bercinta."
"Kau sudah pernah mengutarakan cinta kau""
"Sudah." "Dia""
"Jawaban dia, dia juga mencintaiku." "Lantas, kenapa terjadi ini""
"Ini" Ini apa""
Lalu Joki menceritakan kehendak ibunya.
Muka Wawan memucat, lalu memerah. Dia mempergosok telapak tangannya.
"Gila!" rutuknya.
"Memang gila," tambah Joki.
Untuk beberapa saat keduanya diam. Wawan menyalakan rokok. Sembari menatap asap rokoknya, dia menggoyang-goyangkan ujung kakinya. Ini kebiasaan dia jika sedang gelisah.
"Dan, bagaimana sikap kau sendiri"" tanyanya kemudian.
"Jelas aku tidak bisa menyetujui itu! Cuma, yang kuherankan sikap Mei sendiri. Kenapa dia tidak menolak. Seharusnya dia membangkang. Atau kalau perlu lari kawin dengan kau."
Wawan menghela napas berat. Terdengar sekali desahnya.
Joki membuka sepatunya agar bisa menaikkan kaki ke divan.
"Kenapa bisa sekacau ini"" Joki melontarkan kalimat yang sejak tadi berputaran di benaknya.
Wawan menggaruk-garuk dagu. Abu rokoknya tercecer ke celana.
"Kenapa kau menolak, Jok""
"Aku" Bah, pertanyaan yang konyol!"
"Ya, kenapa kau tak mengawini Meinar""
"Karena kalian saling mencintai!"
"Itu saja" Bagaimana kalau ternyata Meinar tidak mencintaiku sepenuh hati""
"Bah! Toh aku tidak mencintainya. Bagaimana mungkin aku kawin dengan orang yang tidak kucintai""
"Dulu 'kan dia pernah kaupacari"" kata Wawan lambat-lambat.
"Ah!" Mata mereka beradu . Joki lebih dulu meruntuhkan pandang, dan katanya, "Aku tak pernah mencintainya."
Wawan tak bereaksi. "Kau harus membawanya lari, Wan. Dalam adat kami ada kebiasaan untuk melarikan anak gadis orang, kalau ada problem yang menghalangi perkawinan biasa."
Wawan tetap berdiam diri.
"Ambillah keputusan, Wan. Jangan ragu-ragu!"
Wawan mengangkat kepala dengan lesu.
"Bagaimana aku bisa mengambil keputusan" Sudah empat hari ini aku tak bisa bertemu dengan Mei. Dia tak pernah muncul di tempat kami biasa bertemu, dan juga tak pernah datang ke kampus."
"Bah!" Joki memukul kasur. "Sampai begitu takutkah dia pada papanya"" "Papanya memang keras. Foto-foto itu tak bisa menaklukkan si Tua itu." "Bangsat!" rutuk Joki tanpa tahu kepada siapa selayaknya ditujukan.
Wawan hanya mengalihkan pandang sekejap, kemudian kembali memperhatikan kepulan asap rokoknya. Gambar poster perempuan telanjang tersenyum kepada siapa saja yang memandang poster itu. Di dekat poster itu, melekat salib terbuat dari perak.
"Aku akan usahakan agar kau bisa bertemu dengan Mei." kata Joki.
"Lantas"" "Kau bicarakan kemungkinan untuk kawin dengan dia." Wawan mengeluh. Suaranya seperti orang terserang demam. "Aku tak berani kawin masa-masa sekarang ini," katanya.
"Bangsat!" Wawan menoleh ke arah Joki sepersekian detik. "Aku belum kerja," katanya kemudian. "Toh kau bisa mencari uang secara insidentil." "Itu dengan memanfaatkan nama oomku." "Apa bedanya""
"Kalau aku kawin dengan Mei, aku akan diusir oomku."
"Bah! Kenapa""
"Kupikir papa Meinar sudah menghasut oomku. Beberapa hari ini Oom sudah menanyai tentang hubungan-ku dengan Mei. Dari mana dia tahu kalau bukan dari papa Mei""
"Barangkali dia tahu dari tante kau""
"Ah, Tante tak pernah memusingkan siapa yang aku pacari. Tak akan terpikirkan olehnya untuk bercerita kepada suaminya."
Dan, keduanya terdiam. Lama.
Strategi orang tua itu memang brilian, pikir Joki, Dia tak bisa dikalahkan. Dengan menarik Mama di pihaknya, aku tak bisa memakai foto-foto itu untuk menekannya. Dan, Wawan takkan berkutik jika oomnya ikut campur tangan. Dia masih terlalu tergantung pada oomnya itu. Dia biasa hidup mewah. Dia takkan berani hidup terlunta-lunta di Jakarta ini. Padahal, oomnya kolega Tulang Sahala. Habislah sudah harapan. Habis" Ya!
Tetapi, Joki masih bisa berkata, "Kalau kau sungguh-sungguh mencintai Meinar____"
"Aku mencintainya!" sambar Wawan. "Tapi, apa arti cinta di Jakarta ini" Jakarta ini kejam, Joki. Kejam sekali. Aku tak berani bertarung sendirian tanpa fasilitas yang membantuku."
Joki menjengek. Dia menggigit ujung kreteknya dan meludahkan serpih tembakau yang menempel di lidah-nya.
"Kau boleh menghinaku. Aku memang lemah," kata Wawan pelahan. "Sia-sia darah Ambon mengalir dalam tubuhmu!" kata Joki sengit. Wawan menggeleng.
"Di sini bukan soal darah Ambon. Cuma, aku tak suka berjudi." "Fuih!" Joki meludahkan serpih tembakau lagi.
"Kau mendesakku agar aku mengawini Mei. Tapi, apakah kau yakin Mei benar-benar mencintaiku""
Joki terdiam. Burwan Wattimena berdiri dan berjalan mondar-mandir. Joki Tobing tetap duduk bagai patung.
"Kau mendesakku, sebenarnya agar kau bebas dari problem kau sendiri!" Suara Wawan sengit.
"Kau egois!" Joki menolehnya. "Toh kalian saling mencinta"" Suaranya pelan.
"Bukan itu soalnya! Kau mau melepaskan diri. Kau hanya mementingkan diri sendiri. Teman macam apa kau ini""
"Bah! Aku bermaksud baik untuk kau."
"Mungkin benar bermaksud baik. Tapi, hasilnya menyulitkan aku."
"Jadi, kau tidak sungguh-sungguh mencintai Mei" Lantas, bagaimana pertanggungjawaban kau selama hubungan kalian""
"Apa yang kulakukan pada dia tidak beda dengan yang telah kau lakukan padanya. Tak lebih. Aku belum pernah melakukan hal yang di luar batas. Aku tak berrani memperlakukannya seperti aku memperlakukan cewek-cewek yang pernah kugauli."
"Kau egois! Kau egois! Kau egois!" kata-kata Wawan ini berputaran terus di dalam kepala Joki selama di perjalanan. Dia ingin membayangkan wajah Meinar, tetapi yang melintas wajah Tulang Sahala. Juga wajah ibunya. Kedua orang tua itu menyusup-nyusup mengganggu ketenangan yang ingin diciptakanny
a. Kenapa aku menolak Meinar" Ya, kenapa" Apa kekurangan gadis itu" Barangkali aku memang pernah mencintainya. Barangkali. Tetapi, bisakah itu dibandingkan dengan perlakuan papanya terhadapku" Dua kali aku terusir dari rumah itu, bagaimana sikap Meinar" Nampakkah dia mencintaiku" Ah, dia lebih takut kepada papanya. Dia hanya menatap kepergianku, menatap dengan pandangan yang wajar saja ketika aku pergi dari rumah itu seperti anjing kurap yang dipukul. Tak terduga!
Lantas, bisakah aku kawin dengan perempuan se-macam itu"
*** Maka suatu pagi Joki datang ke rumah tulang-nya. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, kecuali Meinar. Dia langsung ke kamar Meinar. Pelayan mengatakan bahwa gadis itu sejak lama tinggal di paviliun.
Waiah gadis itu murung. Mendung yang menyaputi wajah itu tersibak ketika dia menyibak rambutnya yang terjurai ke dahi, setelah Joki berada di depannya.
Mereka duduk di teras paviliun itu. Bunga krisan sedang mekar di dekat jendela.
"Aku sudah ketemu Wawan," kata Joki.
Meinar diam. "Kenapa kau tidak mau menemuinya"" lanjut Joki. "Buat apa"" Bibir Meinar terkuak malas.
"Buat apa"" ulang Joki. "Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kalian lari saja!" Meinar mengedikkan bahu.
"Pengecut!" ujar Joki dengan bibir terkatup dingin.
"Ya, aku memang pengecut."
"Fuih!" "Tapi, Wawan, aku tahu tak kalah pengecutnya. Dia takkan berani membawaku lari." "Asal kau mau.... "
"Mungkinkah aku menyerahkan diri pada lelaki yang sangat tergantung pada papa dan oomnya""
Sesaat Joki terdiam. "Kalian saling mencintai, Mei"" Suara Joki melunak. "Barangkali ya. Tapi, apa itu cinta, Jok""
Joki terpana. Beginikah orang muda sekarang" Mereka tak lagi percaya pada kata 'cinta'. Bahkan mereka tak tahu apa sebenarnya cinta itu. Lantas, hubungan mereka selama ini, apa namanya" Agaknya cinta hanya menjadi permainan mulut saja sebelum bibir saling mengecup. Agaknya cinta hanya pengantar penghilang kecanggungan sebelum badan bergelut.
Wawan bertanya, "Apa cinta itu, Jok"" Dan, Meinar pun bertanya.
Dan, Joki ingat Widuri. Di mana dia sekarang" Apakah aku mencintainya" Maka Joki mengeluh tanpa suara.
"Kalian harus berani mencoba, Mei," kata Joki kemudian, pelahan. Seperti berkata unluk dirinya sendiri.
"Mencoba mempertaruhkan hidupku" Berspekulasi dengan lelaki yang tak punya kepercayaan pada dirinya sendiri"" Mata Meinar berbinar-binar.
Angin menggoyang bunga matahari. Beberapa helai rambut Meinar terjurai. "Kenapa kalian saling tidak percaya"" ucap Joki hampir tak terdengar. "Bisakah kepercayaan dipaksakan"" tukas Meinar. Joki mengusap dagu. Rambutnya yang gondrong terasa gatal.
"Tapi, kenapa kau tidak menolak dikawinkan dengan aku"" tanyanya kemudian, hati-hati.
Meinar mengangkat kepala. Sesaat mereka bertatapan. Lalu gadis itu membuang pandang ke halaman. Bunga dahlia yang ungu digeremeti kumbang. Dan, kata Meinar hampir tak terdengar, "Sebab.... aku.... mencintaimu."
Bah! Jantung Joki menggelepar membuat napasnya sesak.
"Aku tak merasa dipaksa walau Papa barangkali merasa berhasil memaksaku."
Bah! Gadis itu tak berani menatap Joki.
Joki berusaha meredakan debur-debur dadanya. Pelipisnya berdenyutan. Pusing mulai merambati kepala.
"Aku mengagumimu. Aku sangat takut pada Papa. Papa sangat keras. Tapi, kau lebih keras lagi. Kami, anak-anaknya, selamanya tertekan. Sejak lama aku mencintaimu. Tapi, aku tak berani menentang Papa. Sekarang, inisiatif itu darang dari Papa. Nah, kenapa aku harus menolak""
Joki terperangah. Gadis itu menggigit-gigit bibirnya. Pelupuk matanya agak merah. Puncak hidungnya mengkilat. Di bagian tulang pipi, wajah yang kuning itu kini memerah. Angin meniup-niup membuat beberapa helai rambut gadis itu melambai-lambai. Sebutir jerawat menghiasi dagu gadis itu. Dan, Joki menghela napas dalam-dalam.
"Aku bingung," desahnya.
Meinar hanya menolehnya sekilas, lalu menatap bunga-bunga di halaman. "Aku pulang. Pening," kata Joki separo berbisik.
Lalu dia meninggalkan tempat itu. Bunga-bunga di halaman ditimpa cahaya matahari yang mulai memanas.
*** Sepimu, Widuri Baru saja Widuri menghempaskan pintu mobil. Dia baru saja dari
Pulogadung. Bersama Dimas, manajer perencanaan itu, untuk urusan kantor, dia menyertai dalam rapat perusahaan. Akan dilaksanakan perluasan usaha dengan jalan menggabungkan beberapa unit usaha yang selama ini terpisah-pisah manajemennya.
Widuri melangkah ke dalam kantor.
Dimas berjalan sembari mengedarkan pandang ke sekitar halaman. Juga ke arah pohon di pinggir jalan. Tempat itu sepi. Dimas tersenyum kecil. Dia telah empat kali mengantarkan gadis itu pulang dari kantor. Cukup sampai di mulut gang. Dan, selamanya, sebelum pulang mereka singgah minum di kafe. Memang ada perkembangan. Tetapi, tidak berarti harus buru-buru. Harus pelan-pelan.
Maka Dimas tetap tersenyum ketika masuk ke ruang kerjanya. Di dekat pintu, dia menoleh ke arah Widuri, dan tersenyum lagi.
Widuri telah menempati mejanya. Dari pojok ruangan, Linda meliriknya berkali-kali. Ingin tahu dia, apa yang telah diperbuat Don Juan itu terhadap Widuri. Tetapi, dia melihat rambut Widuri yang bergelombang hingga bahu itu tetap rapi. Barangkali sudah disisir tadi, pikirnya. Tetapi, wajah Widuri tidak ada perubahan. Tak ada tanda-tanda keletihan. O, barangkali memang belum. Barangkali si Don Juan itu belum berhasil. Linda menarik napas dalam-dalam. Lalu dia memeriksa kertas-kertas di hadapannya.
Pintu ruangan bagian personalia berderit. Widuri mengangkat kepala. Di pintu itu tegak seorang lelaki. Rasanya tak asing lagi bagi Widuri. Dan, jantung Widuri ber-debar. Rasanya asing lagi. Dan, darah Widuri gemuruh. Yogya. Kampus Gadjah Mada. Yogya. Oh! Debaran di dada gadis itu membuat napasnya tersengal. Telapak tangannya berkeringat.
Lelaki itu masih berbicara sembari tertawa-tawa dengan manajer di kantor itu, manajer personalia. Masih seperti dulu juga, pikir Widuri. Tawanya itu, oh, masih seperti dulu. Tawa yang ramah dan ceria.
Berbaju kuning gading, dengan dasi lebar, dan di tangannya menggantung tas president. Alangkah rapi. Ya, hanya itu yang membedakannya dengan penampilannya yang dulu. Dulu dia selalu pakai jean biru dan pakai sandal. Menghadap rektor pun dia tak pernah rapi.
Widuri menatapnya nanap. Pembicaraan lelaki itu dengan manajer personalia berakhir. Lelaki itu melangkah diiringkan seseorang dari bagian personalia. Lelaki itu melintas di dekat meja Widuri. Bibir Widuri berdesah, "Anton""
Lelaki itu menoleh. Lalu suaranya meledak, "Wiwik! Widuri! Widuri!" Dan, tangannya menyemba bahu Widuri.
"Anton," desah Widuri. Matanya panas.
"Wiwik," kata Anton. Matanya pun panas.
"Eh, sudah kenal"" Suara manajer personalia itu mengejutkan mereka berdua.
"Oh, ya. Ya, sudah kenal. Kenal baik sekali!" kata Anton. Pandang matanya tak lepas dari sosok Widuri. "Teman sekampus dulu," lanjut Anton.
"Ooo, Pak Anton dari Gadjah Mada ya" Widuri, Drs. Anton Rorimpandey ini, kita minta tenaganya untuk mentes pegawai-pegawai baru dalam perluasan perusahaan kita."
"Aku jadi staf biro konsultasi di Jakarta ini sekarang, Wik," sambung Anton.
"Istrimu sudah di sini"" tanya Widuri.
"Ya." "Saya kepingin sekali ketemu. Saya kangen pada teman-teman."
"Datanglah ke rumah. Oh, lebih baik kami yang datang lebih dulu ke rumahmu. Tentunya lebih gampang jika kami yang datang. Ya, 'kan""
"Tapi, rumah saya masuk gang kampung."
"Ah, tak jadi soal."
Anton mencatat alamat Widuri.
Lama Anton telah meninggalkan kantor itu, tetapi Widuri masih dilibat masa lampau yang menghimpit. Anton, sekarang dia sarjana psikologi. Keceriaannya masih seperti dulu jua.
Maka kemunculan lelaki itu semakin menghimpit Widuri pada kenangan di Kampus Gadjah Mada. Anton adalah teman dekat seorang lelaki yang sangat berarti bagi Widuri. Tak ada rahasia lagi di antara mereka bertiga: Anton, Widuri, dan lelaki masa lampau itu. Anton selamanya menampung kemelut temannya itu, dan temannya itu sangat berarti bagi Widuri. Kini lelaki teman Anton itu telah tiada. Tetapi, kenangan terhadapnya tak mungkin musnah dari benak Widuri. Di Kampus Gadjah Mada mereka bertiga meniti hari demi hari. Cuma, prahara telah memporakporandakan segalanya. Segalanya, segalanya, segalanya telah terbang. Hanya Anton yang tetap berdiri tegar. Apa pun yang
terjadi, dia tetap ceria. Di sampingnya, ada seorang istri yang setia. Anton juga giat dalam studi. Apa yang kurang baginya"
Maka sesore itu Widuri ingin melamun. Tetapi, intercom di mejanya berdengung. Dimas memanggilnya.
"Aku baru saja mendapat panggilan dari Tuan Stephen," kata Dimas.
Tuan Stephen adalah salah seorang direksi yang mewakili modal asing yang ditanam dalam perusahaan mereka. Seorang bule Amerika, berusia kurang-lebih 45 tahun, ramah dan tampan. Para pegawai senang kepada-nya.
"Dia mau mempelajari blue-print yang kita bawa dalam rapat tadi," lanjut Dimas. "Siapkan. Dalam lima menit kita berangkat."
Linda mengikuti langkah Widuri.
"Mau pergi lagi"" tanyanya. Suaranya bernada was-was. Widuri hanya mengangguk. Dia merapikan file di mejanya.
Kemudian dia telah duduk di samping Dimas, dalam VW yang meluncur cepat meninggalkan halaman kantor. Ban mobil menjerit begitu tiba di jalan aspal.
"Eh, ke mana ini" Rumah Tuan Stephen 'kan di Menteng"" tanya Widuri ketika mobil itu membelok ke Bypass.
"Dia tidak di rumah. Dia di Cibogo," jawab Dimas.
Dada Widuri menyentak. Angin berdesau di dekat telinganya. Dia menekap file di dadanya. Menekankan benda itu kuat-kuat untuk meredakan kegelisahan yang menggeliat-geliat.
Mobil meluncur dalam kecepatan tinggi. Jarum spedometer melewati kulminasi. Ban menjerit-jerit pada setiap belokan. Pohon-pohon berlari dalam bentuk bayangan kabur.
Matahari telah berlindung di balik gunung. Sebentar lagi senja akan menyungkup daerah pegunungan itu. Dan, Widuri makin kuat menekankan file ke dadanya. Kaca jendela tertutup, tetapi tubuh Widuri masih juga dingin.
Jalanan berkelok-kelok. Widuri seketika ingat Kaliurang. Oh, telapak tangannya basah. Dia ingat Kaliurang. O, kepalanya pening. Di Kaliurang, di daerah yang dingin itu, dia pernah mengalami kegetiran yang paling hitam. Di Kaliurang, di sebuah bungalow, dia terhempas ke dalam pelukan nasib kelam.
Keringat dingin merembes lewat pori-pori gadis itu. Dia memejamkan mata. Maka dia tidak tahu bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan.
"Ayo, Widuri." Suara Dimas mengejutkannya.
Widuri gelagapan. Dia keluar dari mobil. Matanya waswas memperhatikan bungalow yang akan mereka masuki. Pintu rumah itu bercat merah.
Oh, jantung Widuri hampir copot akibat sentakannya yang tidak beraturan. Keringat dingin membanjiri tubuhnya walau udara tempat itu dingin. Di bungalow seindah inilah dia pernah mengalami kegetiran yang menyebabkannya tercampak ke dalam kehidupan pahit. Di bungalow semacam inilah dia pernah ditipu seorang gadis, lalu menjadi korban kebinatangan sekelompok orang muda. Ya, di bungalow seindah ini, dia diantri oleh sekelompok serigala.
Maka langkah Widuri lunglai mengikuti langkah Dimas memasuki bungalow itu. Tuan Stephen sudah menunggu. Matanya yang biru, kendati ramah dan jenaka, tetap tak mampu mengusir kemelut yang menerpa-nerpa Widuri.
Widuri duduk diam-diam memegang gelas kopinya sementara Dimas asyik membicarakan blueprint dengan Tuan Stephen. Pembicaraan itu lama sekali. Senja cepat sekali berakhir di gunung itu. Langit mulai remang-remang. Widuri tetap membisu. Begitu pula ketika Dimas meluncurkan mobilnya mengikuti jalan menurun. Tanpa starter, Dimas mencoba menghidupkan mesin. Persneling dua, lalu kopling dilepas, tetapi tubuh mobil hanya menyentak. Mesin tak mau menderum. Dimas mengulangi, tetapi tubuh mobil hanya menyentak tanpa disertai suara mesin.
Dimas menghentikan mobilnya, lalu membuka kap mesin. Widuri memeluk file. Matanya nanap memandang ke luar mobil. Ke pohon-pohon pinus, ke batu-batu gunung.
Dimas masuk ke mobil lagi. Mulai lagi men-start, tetapi starter hanya merengek-rengek. Dimas gelisah. Bagaimana mungkin Widuri tahu apa yang ada di balik kegelisahan lelaki itu"
Berkali-kali Dimas mencoba men-start mobilnya, tetapi mobil hanya mau merengek. Keresahan berlompat-an di dada Widuri. Bagaimana dia tahu bahwa sebenarnya Dimas sengaja tidak menghidupkan mesin mobil itu" Dimas memang sengaja tidak memasang kontak ketika mobil menuruni jalan tadi. Lalu, sebelum menggunakan starter, dia lebih dulu telah melepaskan kabel
koil. Apa sulitnya untuk tidak menghidupkan mesin mobil itu di depan seorang gadis yang tak pernah kenal mesin mobil.
Sementara itu, senja benar-benar telah temaram.
"Wah, sulit ini." keluh Dimas. Lalu dia meluncurkan mobilnya. Dan, sampailah mereka di sebuah bungalow. "Barangkali ada yang bisa memperbaiki mesin di sini," kata Dimas. Dia masuk ke bungalow itu. Tak lama ke-mudian muncul lagi. "Tak ada orang. Yang ada cuma pelayan."
Tubuh Widuri menggigil. Bukan cuma lantaran dingin, melainkan juga lantaran kegelisahan merambati se-luruh jaringan tubuhnya.
"Saya harus pulang," katanya terbata-bata.
"Tapi, mobil rusak," kata Dimas.
"Saya cari kendaraan lain saja."
"Kalau malam tak ada kendaraan. Apalagi sekarang bukan malam Senin. Kalau Minggu sore memang banyak kendaraan turun."
"Bagaimana saya harus pulang"" tanya Widuri getas, tetapi tersekap.
"Bagaimana bisa" Sudahlah, Widuri, kita menginap saja di sini. Saya sudah bilang sama penunggu bungalow ini."
"Tidak!" pekik Widuri. "Tidak, tidak, tidak!" sambungnya dalam desah. "Tak ada pilihan lain."
Widuri melangkah ke gerbang halaman, berharap ada kendaraan lewat.
"Besok pagi kita turun. Akan kuusahakan kendaraan." Dimas berusaha membujuknya.
"Tolonglah, usahakan sekarang. Sekarang saya ingin pulang. Saya ingin pulang," kata Widuri bercampur isak.
"Tak ada kendaraan kalau malam begini," kata Dimas.
Bibir gadis itu bergerak-gerak. Dan, keinginan Dimas untuk mengulum bibir itu semakin menjadi-jadi.
"Saya harus pulang," kata Widuri. Tubuhnya tambah menggigil. Udara bukan main dingin, dan dia tidak memakai jaket. Bahkan pakaiannya pun hanya cocok untuk ke kantor, bukan untuk daerah pegunungan yang sedingin itu.
Ada sinar lampu mobil datang dari atas. Widuri ber-lari ke pinggir jalan. Dua lampu itu semakin dekat. Ke-mudian terdengar derum mesin.
Widuri menstop. Mobil berhenti. Tetapi, badan Widuri tambah menggigil. Widuri membalik badan.
"Hai, Neng!" "Eh, cakep meck!"
"Rezeki nih!" Suara-suara orang muda dalam mobil itu terdengar bagai raung serigala di telinga Widuri. Dia kembali ke bungalow.
"Eh, kok lari"" "Ayo, kejar!"
"Ssst! Apa lu nggak lihat ada batangnya tuh" Jangan cari gara-gara lagi, ah!" "Eh, iya ya. Urusan yang di atas tadi saja hampir membuat kita kena tembak."
"Ayo, let's go!"
Orang-orang muda itu pergi. Ban mobil yang mereka tumpangi menjerit di belokan jalan.
Lampu di bungalow itu redup menimpa muka Widuri. Pipinya basah. Tubuhnya gemetaran. Giginya gemeletuk. Angin bertiup giris.
Dimas berpeluk tangan, dan katanya, "Jangan sembarangan menumpang mobil orang, Widuri. Bisa-bisa kau diperkosa. Banyak orang muda berandalan cari mangsa di sini."
Widuri mengeluh. "Saya harus pulang. Sekarang. Saya harus pulang," katanya.
"Ya, kita akan pulang kalau ada kendaraan. Kita tunggu saja. Tapi, di sini dingin sekali. Ayo, ke
dalam." "Tidak. Biar saya tunggu di sini."
"Dalam beberapa jam belum tentu ada kendaraan. Ayolah, ke dalam. Di dalam ada pemanas."
Jaringan di bawah kulit Widuri menggigil. Pelipisnya berdenyutan. Matanya perih. Dia bersedekap, tetapi dingin yang menusuk-nusuk tak bisa hilang.
Di dalam ada pemanas. Di dalam ada pemanas. Di sini dingin sekali. Tapi, ah! Widuri menoleh ke arah lelaki itu. Tubuhnya menggigil lagi. Bukan hanya dingin melainkan juga ngeri. Ngeri! Ngeri! Ngeri! Lelaki tampan itu bisa berubah menjadi srigala!
"Saya harus pulang."
"Apa yang diburu di rumah, Widuri" Di sini 'kan bisa istirahat. Kenapa kau takut" Takut padaku" Ah, itu menyinggung perasaan, Widuri."
Saya harus pulang, saya harus pulang, saya harus pulang! Keluhan Widuri berberaian di dada. Seraut wajah mungil dan lucu melintas di benaknya. Seraut wajah yang disayanginya. Anak kecil yang tak berdosa. Anak kecil yang manis. Seperti gambar Jesus ketika kanak-kanak, yang menggelendot dalam pelukan Maria. Terdengar deruman mesin dari bawah. Widuri berlari ke pinggir jalan. Dan, suara raungan mesin tambah kuat di jalan menanjak itu. Dua cercah sinar telah nam-pak oleh Widuri.
Tuhan Allah, jangan kirim serigala lagi padaku. Jangan kirim lagi binatang buas padaku yang sengsara ini. Aku mencin
taiMu, Tuhan. Jangan sengsarakan aku dengan serigala-serigala ciptaan-Mu. Aku mencintaiMu, Tu-han. Cintailah aku. Lindungilah aku. Aku hanya sendiri di dunia ini, Tuhan. Hanya Engkau yang mau melindungiku. Hanya Kau. Jika Kau masih juga mengirimkan serigala, oh!
Widuri menstop mobil yang datang dari arah depan. Mobil berhenti. Lalu terdengar suara lunak, "Ada apa, Nak"" Kepala seorang perempuan setengah baya men-jenguk lewat jendela depan.
"Siapa, Ma"" Suara anak kecil terdengar dari jok belakang.
"Saya.... saya mau menumpang," kata Widuri. Suaranya bercampur sedu. Sedu merambat dalam dadanya.
Perempuan setengah baya itu cepat-cepat membu-ka pintu mobil. "Masuk, masuk, masuk," katanya.
Widuri duduk di samping perempuan itu. Pintu terhempas, dan mobil bergerak. Dimas tertegak canggung di dekat mobilnya.
Di dalam mobil, terasa hangat. Lalu sedu yang merambat dalam dada Widuri pecah dan mengalir dalam ujud tangis. Dia menekap muka dan tersengal menahan gelombang isakan.
"Ada apa, Nak"" tanya perempuan di sampingnya.
"Tidak.... tidak apa-apa.... Maaf," ujar Widuri tersendat.
"Kau mau ke mana""
"Mau pulang." "Tinggal di Jakarta""
"Ya." "Siapa lelaki tadi""
"Teman sekantor."
"Ooo," angguk perempuan itu. Dia melirik suaminya yang memeyang stir. "Dia mengajakmu menginap""
"Ya." "Tapi, kau tak mau""
Widuri mengangguk kuat-kuat.
"Lantas, sekarang bagaimana" Kami besok sore baru turun."
"Kalau boleh, saya sampai di atas nanti, turun di bungalow majikan saya."
"Ooo, majikanmu ada di atas" Laki-laki""
"Ya." "Dengan istrinya""
"Tidak. Istrinya di Amerika."
"Ow, orang asing""
Widuri mengangguk. Dan, Widuri turun di halaman bungalow Tuan Stephen. Isaknya telah reda.
"Kenapa" Ada apa"" tanya Tuan Stephen kaget.
Tangis Widuri meledak lagi.
"Saya mau pulang," katanya berulang-ulang.
"Di mana Dimas""
"Mobilnya rusak."
"Ow. Kemudian""
"Dia mengajak menginap."
"Ow." Sesaat Tuan Stephen mengawasi Widuri, kemudian mengangguk maklum. "Kalau begitu, pulang bersama saya. Saya tidak jadi pulang besok pagi. Saya ganti pakaian. Duduklah. Silakan duduk. Jangan susah. Hmmm, Dimas memang masih muda ya"" Dan, Tuan Stephen masuk ke kamarnya.
Widuri mengedarkan pandang berkeliling. Ruangan ini hangat. Tidak sengeri tadi sore berada di ruangan ini. Malam ini, ruangan ini malah terasa nyaman. Di dinding ada lukisan Rusli dan Affandi.
Tuan Stephen mengantar hingga rumah Widuri. Mula-mula Widuri hanya ingin turun di mulut gang, tetapi Tuan Stephen mengatakan, "Sangat terlarang meng-antarkan wanita tidak sampai pintu rumah."
Mereka tiba di depan pintu. Ketika pintu terbuka, seraut wajah mungil dalam gendongan seorang perempuan tua menyambut, "Ma, Ma....!"
"Ah, Tody." Widuri mencium bibir anak kecil itu.
"Anak kecil siapa"" tanya Tuan Stephen.
"Ow, cantik." Tangan Tuan Stephen yang berbulu menyemba dagu anak kecil itu. Tetapi, Tody menyembunyikan wajahnya di dada pemomongnya. "Di mana ayah dia"" tanya Tuan Stephen.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah cerai." "Oh, I'm sorry."
Widuri mengusap kepala Tody.
"Berapa tua" Berapa umurnya""
"Tiga tahun," kata Widuri. Matanya menatap penuh kasih ke arah anak kecil itu. "All right. Saya pulang."
Ketika tubuh lelaki Amerika itu lenyap dalam kelam buru-buru Widuri menghempaskan diri ke pelukan kursi. Tubuhnya lunglai.
"Mama," kata anak kecil itu dengan tangan melambai-lambai.
"Sini, Tody," sambut Widuri. Anak kecil itu tertawa-tawa di pangkuan ibunya.
"Hari ini Tody tidak nakal, 'kan" Iya, Mbok" Tody tidak nakal hari ini"" tanya Widuri sembari mengelus-elus rambut anaknya.
Tody melonjak-lonjak. Widuri merasa dadanya sejuk ketika pipi Tody yang halus menyentuh-nyentuh hidungnya.
Aku membenci peristiwa yang menyebabkan kelahiran anak kecil ini. Kukutuk manusia yang menyebabkan kelahiran anak ini. Tetapi, anak ini tidak berdosa. Dia sesuci domba kudus. Dia terlempar ke dunia ini tanpa keinginannya sendiri. Jika dia boleh memilih, maka dia akan memilih cara kelahiran semacam itu. Dan, dia juga tidak akan memilih punya ibu selemah aku.
Nah, kalau bukan aku yang harus mencintainya, siapa lagi yang diharapkannya" Jika bukan dia yang kuharapkan untuk mencintai
ku, siapa lagi yang bisa kuharap" Kami menjadi korban nafsu-nafsu hewani. Kami berdua. Kami yang sengsara.
Maka Widuri mencium mulut anaknya dalam-dalam. Dan, Tody melonjak-lonjak.
*** Tempo-Tempo Tuan Stephen mengantarkan Widuri pulang dari kantor. Dan, sejak itulah Dimas tak berani lagi mengusik Widuri. Cuma, memang tidak setiap sore Tuan Stephen pulang tepat pada jam tutup kantor. Terkadang dia pulang lebih awal karena harus mengurus pekerjaan di tempat lain. Jika demikian yang terjadi, maka Widuri pulang naik taksi.
Bagi Widuri, Tuan Stephen sangat baik. Dia bagai seorang bapak dalam memberikan perhatian terhadap Widuri. Barangkali insting romantisme Barat yang menyebabkan Tuan Stephen dapat merasakan bahwa Widuri tidak serupa dengan gadis lain di perusahaannya.
Tetapi, tahukah Widuri bahwa para tetangga di kanan-kiri rumahnya mulai melontarkan pandangan berbisa kepadanya" Tahukah Widuri betapa sinis tatapan mata serta lekuk mulut tetangga yang kebetulan berpa-pasan dengannya di jalan atau di sepanjang gang" Tahukah Widuri bahwa namanya telah melekat di mulut perempuan-perempuan kampungnya yang selalu mengisi waktu luang dengan mencari kutu itu"
Tentu saja Widuri cepat dapat menangkap udara tak nyaman yang melingkupinya. Dia kelewat peka. Tata-pan mata orang yang paling pintar berpura-pura pun tak akan lolos dari perasaannya. Dia mempunyai kepekaan untuk menangkap apa yang tersirat. Dia seorang gadis Jawa yang paling murni. Dia sadar, betapa pahit kehidupan yang melingkunginya.
Cuma, mungkinkah dia menolak kedatangan seorang lelaki separo baya yang bersikap kebapakan itu" Mungkinkah dia menolak seorang lelaki yang teramat baik terhadap Tody" Mungkinkah dia menolak seorang lelaki dan sekaligus majikannya di kantor"
Widuri harus menanggung beban berkepanjangan. Dan, hanya Tody Kecil yang belum mengenal duka, menjadi penghiburnya setiap hari. Gelak-tawa anak kecil itu terasa membuat hari menjadi cerah. Apalagi jika bibirnya yang merah terkuak, matanya terpejam karena tawanya yang meriah, bukan main! Dengan bunga ma-nakah dia bisa dibandingkan keindahannya"
Dan, sore itu Widuri telah mengeringkan rambutnya. Tody mengembangkan lengannya ingin digendong.
"Sebentar, Sayang," kata Widuri. Dia menyisir rambutnya. Baru saja dia selesai mandi. Tody melangkah tertatih-tatih mendekat. Dia memeluk kaki ibunya.
Widuri tetap menggeraikan rambutnya dengan sisir. Tody menyelinap di celah kakinya. Widuri membiarkan-nya. Kepala anak kecil itu menggesek paha ibunya. Widuri merasakan rasa hangat menjalari dadanya. Ada jalaran halus datang dari kepala anak kecil itu. Dan, jalaran itu mengalir dari paha menuju ke tubuh bagian atas Widuri.
Anak kecil itu memeluk kaki ibunya. Tentu saja belum disertai kesadaran bahwa kaki itu bagai pualam ku-ning yang terpahat. Tody menarik-narik handuk yang melilit tubuh ibunya sebatas dada. Widuri merasakan pipi anaknya hangat menyentuh paha, dan.... sret, aih! Handuk terlepas dari tubuh Widuri. Dia menangkap bayangan tubuhnya yang polos di cermin. Bahunya
yang mulus, dadanya yang diganduli bukit kenyal, pinggang yang genting, dan pinggul yang menonjol, semuanya masih serba menantang.
Widuri menarik napas dalam-dalam.
"Mama," rengek Tody.
Aih, Widuri baru sadar akan keadaannya. Mata Tody yang bundar hitam menatapnya. Cepat-cepat Widuri memungut handuk dari lantai. Cepat-cepat pula dia membelitkan handuk itu kembali ke tubuhnya. Dan, buru-buru dia menyelesaikan sisirannya.
"Sebentar ya, Sayang, Mama pakaian dulu."
Tody mengikuti setiap langkah ibunya. Dia tahu ibunya mau pergi. Baru saja pulang, tetapi akan pergi lagi. Barangkali rasa sepi mulai belajar menggeliat dalam hati anak kecil itu. Lidahnya masih pelo untuk berkata-kata, tetapi matanya yang sedih mengikuti setiap gerak ibu-nya yang sibuk berdandan. Barangkali sepi mulai ber-arti dalam diri anak kecil itu.
Widuri telah rapi berdandan. Tak mungkin lagi dia menggendong Tody. Pakaiannya akan kusut jika untuk menggendong. Maka dia hanya membawa anaknya ke ruang depan. Dia sendiri duduk di kursi.
"Tody jangan nakal ya" Nanti Mama bawa oleh-oleh."
Apalah a rti oleh-oleh bagi seorang anak yang sedang membutuhkan belaian ibunya" Maka Tody hanya memandangi ibunya.
Terdengar suara Tuan Stephen di pintu. Lelaki itu hendak mengusap kepala Tody, tetapi anak itu menghindar dan lari kepada pemomongnya.
Rumah itu pun lantas sepi. Tody menggelendot di pelukan pemomongnya. Perempuan asal dari Jawa itu mengusap-usap ubun-ubun Tody. Nalurinya bisa merasakan kesedihan yang membelit anak itu. Hatinya ikut trenyuh. Tody tidak menangis. Matanya memandang nanap ke arah pintu. Dan, ini yang membuat hati perempuan tua itu seperti diremet-remet tangan kasar. Lebih trenyuh lagi.
Sementara itu, Widuri merasakan lengan berbulu lelaki tinggi besar itu melindunginya. Angin di gang kecil itu tak terasa dingin lagi.
Mereka pergi ke TIM. Di sana ada pertunjukan musik dari Amerika Serikat yang disponsori oleh perusahaan mereka. Musik jazz Amerika itu membuat sepatu mengetuk-ngetuk lantai. Hentakan-hentakan kaki pemain dan kilauan instrumen menghanyutkan semua perasaan penonton. Semua. Dan, di situ ada Widuri. Telapak tangannya dalam genggaman tangan Tuan Stephen.
Musik telah berakhir, dan musik yang lain akan mulai. "Kita minum dulu. Oke"" Widuri mengangguk.
Kesiur angin tajam menerpa wajah Widuri. Sembari mengemudi, Tuan Stephen menutup jendela di samping Widuri. Tangannya menekan tubuh Widuri. Dan, Widuri merasa kekenyalan dadanya menggeliat dalam tindihan tangan lelaki itu. Pipinya bergesekan sejenak dengan dagu lelaki itu. Darah Widuri mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Kita minum di rumah saja."
Widuri tak menjawab. Lampu-lampu di pinggir jalan berlari ke arah belakang. Selintasan Widuri melirik lelaki di sampingnya. Profil lelaki itu mengingatkannya pada bintang film Kirk Douglas.
Di bar kecil yang terletak di sudut ruangan, Tuan Stephen menuang minuman ke dalam dua buah gelas. Warna merah kecoklatan berkilatan ditimpa cahaya lampu yang remang-remang.
Widuri menerima gelas yang disodorkan Tuan Stephen. Tuan Stephen memilih plat lalu memasangnya. Lalu, samar-samar terdengar nyanyian Nat King Cole. Tuan Stephen mengangkat gelasnya. Widuri mengikutinya.
"Untuk kesehatan Widuri," kata Tuan Stephen lunak. "Pada hari ulang tahunnya, hari ini."
Widuri terpana. Dadanya gemuruh. Dia meneguk minumannya.
"Saya lihat catatan hari kelahiran Widuri di kantor," kata Tuan Stephen.
Dada Widuri gemuruh lagi. Dia meneguk minuman-nya lagi. Oh, dia sangat baik, pikirnya. Dia memperha-tikan hari lahirku yang aku sendiri melupakan. Widuri merasakan dadanya yang menghangat. Mata yang biru meratapnya lunak. Maka darah Widuri berdesiran.
Tuan Stephen meletakkan gelasnya di meja. Lalu dia mengeluarkan kotak kecil dari kantongnya.
"Saya ada hadiah kecil. Tidak ada harga. Untuk Widuri," katanya sembari mendekati Widuri.
Mata Widuri tak berkedip menatap lelaki itu. Matanya yang biru itu, tenang bagai danau yang sejuk.
Tuan Stephen membuka kotak kecil itu, dan menguraikan kalung bepermata hijau. Dia mengalungkan kalung itu ke leher Widuri.
Widuri memejamkan mata. Dadanya berombak dan matanya panas. Tak bisa dicegah, air matanya mengalir membasahi pipi.
Selintasan Tuan Stephen mencium pipi Widuri, lalu dia mundur. Widuri membuka matanya. Kilau air mata itu bagai embun pagi hari.
"Terima kasih," desah Widuri.
Lelaki itu hanya membalas dengan senyum. Dia menuangkan minuman lagi ke dalam gelasnya dan gelas Widuri.
"Silakan minum. Untuk kesehatan kita."
Widuri meneguk minumannya. Jalaran hangat se-makin menguasai dadanya. Minuman merah kecoklatan itu membuat pipi Widuri berona merah.
"Bisa dansa"" tanya Tuan Stephen.
Widuri menggeleng. "Musik bagus. Sayang kalau tidak dansa. Dansa itu perlu. Kita punya kantor, kapan bikin resepsi, semua dansa. Mari belajar." Tuan Stephen menarik gelas dari tangan Widuri, dan meletakkannya di meja. Kemudian dia memeyang tangan Widuri.
Suara Nat King Cole empuk mengisi keheningar ruangan itu. Tubuh Widuri tenggelam dalam pelukan Tuan Stephen. Lengannya yang semula memeluk, kini mengikuti ketatnya lengan lelaki itu. Nyanyian Nat King Cole menyusup-nyusup ke telinga Widuri.
Tuan Stephen memiringkan ke
pala sehingga pipi mereka bergesekan. Sejak tadi desiran dalam jaringan tubuh Widuri bersumber pada segumpal rasa hangat di dadanya. Semakin ketat dia memeluk lelaki itu, semakir merata kehangatan menyebar. Nyaman. Apalagi gesekan di pipi itu semakin sering.
"I love you, Widuri," desah lelaki itu di dekat telinga Widuri sehingga Widuri melenguh halus sembari membenamkan tubuhnya lebih dalam lagi ke pelukan lelaki itu.
Bibir lelaki itu menjalar di pinggir mulut Widuri. Terasa hangat oleh Widuri. Terasa manis. Berbau anggur berasa madu. Maka Widuri menerima bibir itu, mengulumnya, dan kemudian merintih halus.
Nat King Cole masih bernyanyi. Lampu di ruangar itu tiruan lampu gantung Arab klasik. Cahayanya temaram. Langkah mereka tidak lagi beraturan. Tubuh Widuri terpilin dalam pelukan lelaki itu. Ketika kemudian lelaki itu mendukungnya ke kamar tidur, Widuri hanya melenguh bagai sapi di padang, sambil menciumi mulut lelaki itu. Rambutnya berberaian menutupi sebagian wajahnya yang telah semerah tomat masak.
Maka, sejak malam itu, matahari dalam kehidupan Widuri lebih cerah. Dia merasa, rentangan hidup baru telah tersedia baginya. Maka ketika Anton dan istrinya datang mengunjunginya, Widuri terlompat dari duduknya dan menghambur ke pintu.
"Erika!" pekiknya. Dan, dia memeluk perempuan yang datang bersama Anton.
Anton hanya tersenyum kecil. Ada perubahan, pikirnya. Ini bukan Widuri yang biasanya. Bukan Widuri yang pemalu. Apakah Jakarta telah mengubahnya" Apa kiranya yang membuat Widuri jadi seekspresif ini"
"Kau tambah cantik," kata Widuri sembari mengundurkan kepalanya. Erika tersenyum-senyum. "Mana anakmu"" tanya Anton.
"Ooo, dibawa Mbok, pemomongnya, ke luar sebentar."
Erika memperhatikan pakaian Widuri. "Kau mau bepergian"" tanya Erika.
"Ah, nanti kok."
"Ow, ada kemajuan nih"" kata Anton.
Widuri tersipu. "Mau ke mana"" tanya Erika.
"Ah, enggak. Cuma menemani majikan saya."
"Menemani siapa"" tanya Anton. "Tuan Stephen."
"Hm," gumam Anton. "Aku pernah ketemu dia," lanjut Anton seraya memandang istrinya. "Seorang yang tampan kayak bintang film."
Widuri tersipu. Pipinya merona merah di bawah tatapan mata Anton. "Dia sering kemari"" tanya Erika.
"Ya. Eh, kok berdiri terus" Ayo, duduk." Pinggul Widuri bergoyang ketika dia mendahului berjalan menuju kursi.
Anton menelan ludah. Bukan Widuri yang dulu, kata hatinya.
Widuri merapikan rambutnya. Kepalanya mendengak hingga rambutnya yang mengkilat itu tergerai seluruhnya ke bahu.
"Mau nonton"" tanya Erika.
Widuri mengangguk. "Ow, kami kemari tadi juga berniat mengajak kau nonton. Ada film bagus. Erika ingat kau. Sekalian dia kepingin ke rumah kau," kata Anton.
"Kalau begitu, kita barengan saja," kata Widuri.
"Ah, apa nggak mengganggu acaramu"" kata Erika.
"Ah, tidak, tidak," ujar Widuri cepat.
Dan, di keremangan President Theatre, berkali-kali Anton menarik napas dalam-dalam. Desahnya didengar oleh istrinya. Maka Erika menggenggam jemari Anton dan bisiknya, "Ada
apa"" Anton menggeleng. Telapak tangan istrinya makin kuat menggenggam. Anton kembali menoleh ke tangan Tuan Stephen yang berbuat serupa dengan tangan Erika. Tentu saja terhadap Widuri.
Mereka berempat duduk berendengan. Ruangan itu sejuk. Kepala Widuri miring ke arah tuan Stephen hingga rambutnya mengelus-elus wajah lelaki itu.
Sean Connery menggeluti seorang wanita. Ranjang yang mereka tiduri telah kusut. Sehelai selimut terjuntai di lantai. Mata wanita itu terpejam menerima lumatan bibir Connery. Lalu, riiing! Pesawat telepon di dekat kepala mereka berdering. Sean dan wanita itu tak acuh. Telepon berdering lagi dan berdering lagi. Sean menatap semua orang. Ekspresi wajahnya menunjukkan kejengkelan. Dia menggerutu sebelum mengangkat han-del telepon, dan meletakkan begitu saja di atas meja. Ma-ka kamar itu sepi kembali. Dan, mereka melanjutkan ciuman yang tertunda. Wanita itu tergial-gial. Dan, fade out. Layar berangsur gelap.
Widuri menghela napas panjang. Barangkali sejak tadi dia menahan napas, sejak jari-jari Tuan Stephen mulai menyelusuri celah jarinya.
Pasti telah terjadi perkembangan dalam diri Widuri, pikir Anton. Dia
bukan Widuri sebagaimana yang kukenal di Yogya dulu. Apakah perkembangan baik atau buruk, itu belum jelas. Cuma, yang pasti, dia tak secanggung dulu dalam menghadapi lelaki.
Erika juga sependapat dengan Anton. Maka dia mendesak suaminya agar mengunjungi Widuri.
"Buat apa"" tanya Anton.
"Aku khawatir melihat perubahan dia."
"Ah, kenapa harus dipusingkan" Dia sudah dewasa. Dia bisa menjaga diri sendiri. Salah-salah dia malah tersinggung kalau kita terlalu mencampuri urusannya."
"Bukan begitu, Mas," kata Erika terus berdecak. "Dia terlalu baik, aku khawatir dia akan lebih menderita lagi."
"Okelah." Dan, mereka ke rumah Widuri. Sore itu hujan masih tersisa di gang menuju rumah Widuri. Sepatu Erika bertambah tinggi. Tanah liat menempel di hak sepatu itu. "Kalau kampong-verbetering-nya Gubernur Ali Sadikin terlaksana seluruhnya, tak ada lagi jalan becek se-perti ini," kata Anton sambil menuntun istrinya.
"Ya, asal rumah-rumah di sini tak kena gusur saja," jawab Erika.
"Penggusuran 'kan untuk kepentingan umum."
"Ah, kau bagaimana sih, Mas" Kepentingan umum itu 'kan bisa disalahgunakan. Tergantung interpretesi saja. Kalau yang kasih interpretesi pengusaha kayu, tentu saja dengan maksud membangun bangunan megah. Nah, kalau kau, bagaimana interpretesimu tentang kepenting-an umum yang sering disebut-sebut itu""
"Tentunya untuk kepentingan rakyat kecil. Itu yang perlu diperhatikan pemerintah. Kalau pengusaha kaya, dia bisa mengurus kepentingannya lebih gampang."
"Nah, begitu dong," ujar Erika sambil memijit tangan suaminya.
"Dan, kau sendiri" Papamu 'kan pengusaha""
"Tak jadi soal. Pokoknya, asal kita sadar apa sebenarnya kepentingan rakyat kecil itu." Anton makin erat memegang tangan istrinya.
"Haiii, masuk saja. Waaah, kayak mau masuk mas-jid, buka sepatu segala. Ayo, langsung saja. Maklum rumah di kampung," kata Widuri.
Dia tegak menggendong Tody.
"Ai, ini anakmu, Mbak Wik" Aduuuh, cakep-nya." Erika merenggut Tody dari pelukan Widuri, dan menciuminya. "Sudah sebesar ini," desah Erika.
Anton dan Widuri hanya saling menatap. Keduanya lalu tersenyum.
"Kalian, kapan lagi"" tanya Widuri.
Anton menggeleng, dan katanya, "Barangkali Ika mandul."
"Mas! Brengsek!"
"Kalian 'kan baru dua tahun kawin. Masih banyak waktu," kata Widuri.
"Siapa namanya, Mbak Wik"" tanya Erika.
"Tody. Faraitody," jawab Widuri lemah.
Enka mengangkat kepala dan menatap suaminya.
Anton menelan ludah. "Aduuuh, cakep-nya. Wah, dia tertawa. Dia tahu kalau dia cakep jika tertawa. Ah, Tody Sayang, Tody Sayang." Erika mencium anak kecil itu.
Anton duduk. Tenggorokannya masih seret.
Faraitody adalah seorang lelaki yang pernah mengisi hati Widuri hingga ke lekuk-lekuk yang paling dalam. Lelaki itu adalah dambaan yang tak kesampaian bagi Widuri. Sebab, keduanya hanya menyekap perasaan masing-masing.
Dan, sekarang anak kecil itu dinamakannya serupa dengan nama lelaki itu.
Tetapi, dia hanya terimbas oleh nama saja, nama seorang lelaki yang mati muda dalam puncak kemelut hidupnya. Dan, anak kecil itu berasal dari relung-relung nasib hitam Widuri.
Anton tahu betul bagaimana Widuri ditipu seorang gadis bernama Irawati, dibawa ke Kaliurang untuk dikorbankan ke hadapan sekelompok anak muda. Entah anak muda yang mana yang menjadi sumber langsung anak itu. Bukan hanya itu yang menjadikan kenyataan itu ter-amat getir bagai empedu. Widuri juga harus melihat perkawinan Faraitody dengan Irawati. Duri mana lagi yang lebih tajam" Widuri menjadi korban anak-anak muda liar dan harus mendengar kabar tentang perkawinan lelaki yang dicintainya diam-diam dengan gadis yang telah menghancurkan hidupnya.
Hari demi hari telah dilalui Widuri. Minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan semuanya bisa disebut sebagai masa kelam yang pahit. Orang-orang menistanya lantaran benih yang tumbuh di rahimnya. Ketika Faraitody sadar bahwa wanita yang mencintainya hidup sengsara, semuanya telah terlambat. Widuri telah kawin dengan lelaki di desanya yang sama sekali tidak dicintainya.
Anton tahu betul itu. Erika tahu betul. Karena itulah maka keduanya menelan ludah dan berkali-kali meredakan tenggorokan mereka yan
g tersekat. Widuri menutupi kemurungannya dengan ucapan, "Minum, Anton. Ika, minum dong. Maaf ya, saya tak bisa menyuguhi yang lain. Maklum, saya belum jadi borjuis. Tinggal saja di kampung yang becek begini."
"Tapi, pergaulanmu tingkat internasional sekarang," kata Anton. Widuri menoleh cepat, tetapi tetap tak berucap.
Erika mengawasi susunan perabot di ruangan itu. Rapi dan resik. Artistik. Menunjukkan bahwa penghuninya punya apresiasi estetis.
"Masih sering bepergian dengan Tuan Stephen"" tanya Anton. "Ya." Bibir Widuri mengelopak mawar dalam senyum. "Nampak-nampaknya serius."
"Ah, entahlah." "Kenapa, entahlah""
"Saya bingung, Anton." Widuri menatap mata lelaki itu. Dia menemukan mata yang serupa dengan tahun-tahun berselang. Mata seorang lelaki yang bersikap bersahabat. Seorang yang dipercaya bisa menampung rahasia-rahasia batinnya.
"Kenapa bingung, Wik"" Suara Anton lunak.
"Hubungan kami akrab sekali," kata Widuri. Pandang matanya berpindah-pindah dari Anton ke Erika.
"Lantas"" kata suami-istri itu serempak.
"Belum pernah saya berhubungan seintens itu dengan lelaki selain dia." "Maksudkau, kau mencintai dia"" tanya Anton.
"Cinta" Entahlah. Tapi, yang lebih jauh dari itu, barangkali aku bukan ibu yang baik. Juga bukan janda yang baik. Barangkali aku memang binal."
"Ah!" Erika mengeluh.
"Kalau kau tak yakin kau mencintainya, kenapa kau melakukan itu"" Anton bertanya seraya melirik istrinya.
"Dia sangat baik. Saya terharu pada kebaikannya. Ada dorongan yang sangat kuat dalam diri
saya sehingga saya tak kuasa menolaknya. Bahkan____bahkan____bahkan____barangkali saya
memang membutuhkan itu."
"Tapi, kau tidak mencintainya," kata Erika.
"Ah, apa itu cinta sebenarnya, Ika"" Widuri berkata murung.
Erika menatap suaminya, mencari pegangan.
"Saya pernah mencintai Tody beberapa tahun yang lalu. Tapi, perasaan serupa itu tidak saya alami dengan Stephen. Cuma saya merasa senang dan aman bersama dia. Karena itu saya siap menyerahkan diri saya sepenuh hati. Hal semacam itu tak pernah saya dapatkan ketika bersama Tody. Jika saja ketika bersama Tody dulu saya juga punya perasaan seperti perasaan saya bersama Stephen, barangkali itulah cinta sempurna yang dicari banyak orang."
Erika menyusut-nyusut rambut Tody Kecil yang duduk di pangkuannya. Anak kecil ini rupanya senang berada dalam rangkulan perempuan bermata indah itu. Apalagi ciumannya yang tak beda dengan ciuman ibunya, membuatnya menggelendot mesra.
"Stephen tidak keberatan mengawini saya," kata Widuri lambat-lambat.
Anton tersentak. Erika terpana.
"Dia mengajak kau kawin"" tanya Anton. "Bukan dia. Saya."
Anton terpana. Erika menoleh ke arah suaminya. Dan, dia menarik napas sepenuh dada.
"Bagaimana mungkin kau mengajak kawin orang yang kau sendiri tidak yakin mencintainya"" Suara An-ton terpatah-patah.
Widuri menatap lantai. "Saya merasa aman berada di dekat dia," ujarnya pelahan.
"Rasa aman saja belum jaminan, Wiwik. Keamanan hanyalah suasana yang sengaja diciptakan. Suasana itu ditimbulkan secara rasionil. Dengan pertimbangan. Malahan bukan mustahil dengan pretensi tertentu."
Widuri diam. Matanya menghitung jubin di lantai.
Erika menekapkan pipi Tody ke mukanya. Mulut anak kecil itu menggeser-geser hidung Erika.
"Berbeda dengan rasa aman yang bertolak dari cinta," lanjut Anton. "Itu irasionil sifatnya. Terciptanya pun bukan karena kesengajaan. Sedangkan rasa aman yang terjadi akibat pandainya seseorang menyentuh faktor-faktor yang mempengaruhi suasana keamanan itu, bisa lenyap begitu saja jika orang itu tidak lagi menyentuh faktor-faktor itu." Anton meneliti penerimaan Widuri, te-tapi Widuri menyembunyikan ekspresi matanya dengan menekuri lantai. Tangannya menggurat-gurat lengan kur-si. Lalu lanjut Anton, "Aku tidak ingin mempengaruhi, Wik. Aku hanya memberikan pandangan. Sebab, pada akhirnya, kau sendirilah yang paling tahu apa yang paling sesuai untukmu."
Widuri hanya mengangkat kepala sekejap.
"Ya," desahnya. Bibirnya berat bergerak.
"Kalau kau memang tak lagi percaya pada cinta, barangkali tak ada pilihan lain. Kawinlah dengan lelaki itu. Terimalah apa adanya. Tentu saja
setelah kau melihat ke seberang pintu yang terbuka oleh tanganmu sendiri."
Widuri tak berucap. "Tapi, kalau kau masih disentuh oleh pesona cinta, jangan kawin dengan lelaki itu. Lebih baik bercinta walau tidak kawin, katimbang kawin tanpa cinta. Bercinta tanpa kawin, sama halnya mengintai-ngintai ke dalam surga. Tapi, kawin tanpa cinta, itu serupa dengan hidup dalam neraka. Percayalah."
"Cuma," kata Widuri hampir dalam bisik, "bisakah cinta singgah lagi di hati saya"" Suaranya yang murung itu bagai datang dari dasar sumur yang teramat dalam. Jauh sekali. Pelupuk mata Erika panas, dan air hangat pelahan-lahan membasahi pipi Widuri. "Kenapa tidak, Wiwik" Kenapa tidak"" kata Anton bersemangat.
Widuri menggeleng. "Kau masih muda, sedangkan orang tua pun masih bisa disentuh oleh cinta. Nah, kenapa kau
tidak"" "Tapi, saya tak tahu perasaan macam apa yang saya alami agar saya yakin bahwa saya benar-benar jatuh cinta."
Kini Anton yang terdiam. Erika meliriknya.
"Pengalaman cinta setiap orang berbeda-beda, Wiwik," kata Anton kemudian. "Sangat subyektif sifatnya."
"Bagaimana perasaanmu ketika mencintai Mas Tody dulu, Mbak Wiwik"" Tiba-tiba Erika bertanya dengar hati-hati.
Widuri terperangah. Dadanya berombak. Oh, tak tahu. Tak tahu! Barangkali aku memang mengalami perasaan semacam itu beberapa minggu yang lalu. Tapi lelaki itu telah menghilang. Telah lenyap.
Maka pipi Widuri kembali basah. Genangan air mata membuat matanya berkilauan. "Mama," panggil Tody Kecil.
Widuri cepat-cepat mengusap air mata yang membasahi pipinya. Dia berusaha tersenyum, tetapi giris.
"Memang, beberapa minggu yang lalu saya mengalami perasaan semacam itu," katanya pelan-pelan.
"Oh, ya"" Serentak Anton dan Erika berkata.
"Tapi, rasanya saya tak berani melanjutkan perasaan itu," lanjut Widuri. Matanya menelusuri wajah Tody.
"Kenapa, Mbak Wik" Kenapa"" Erika terengah.
"Tak mungkin. Saya hanya seorang janda dengan masa lampau yang hitam. Sampai dia tak muncul-muncul lagi. Dia tidak tahu keadaan saya. Saya tak berani membukakan seluruh kehidupan saya sebab.... sebab____saya takut kehilangan dia."
"Ah!" Setumpuk keluh pecah di hati Erika.
Anton membisu. "Saya takut kehilangan dia kalau saya membuka selubung hidup saya. Tapi, nyatanya dia pergi karena dia menganggap saya tidak mempercayainya. Dia hilang karena saya menutupi keadaan saya."
Anton menyalakan rokok. "Dilemma yang pahit," katanya pelahan.
"Ya, buah simalakama," kata Erika.
"Tapi, apakah kau pasti bahwa dia akan meninggalkanmu jika dia tahu keadaanmu"" tanya Anton.
"Itu perasaan saya."
"Perasaan wanita sering mengada-ada."
Erika mendelik ke arah suaminya. Nyaris mulutnya mendebat sebagaimana kebiasaannya di rumah. Cuma, Erika cepat ingat kesedihan Widuri.
"Apalagi kalau perasaan sedang dilibat cinta. Sensitif sekali dan mudah sekali mereka-reka. Sewaktu jatuh cinta, orang bisa sangat optimis, tapi juga bisa sangat pe-simistis. Bisa sangat berani, tapi bisa juga minder. Ini ber-dasarkan psikologi, Wik."
"Di mana sekarang lelaki itu, Mbak Wik""
"Saya tak tahu," ucap Widuri lemah.
"Ceritakanlah kepada kami, Wik. Ceritakan semuanya. Itu akan melegakan beban pikiranmu," kata Anton lembut.
Sesaat Widuri menatap Anton, lalu pindah menatap Erika. Dia menemukan wajah Yogya yang dirindui-nya. Wajah masa lalu di Kampus Gadjah Mada. Maka dia pun menceritakan pertemuannya dengan Joki. Joki Tobing yang menatapnya takut-takut. Joki yang tertekan dalam kehidupan, tetapi tetap memberangsang lawan. Joki yang menyentuh tangannya di dalam oplet menuju kampung miskin di Cilincing. Joki yang menekap telapak tangannya di dalam sebuah kafe di Kebayoran. Joki yang menciumnya dalam kegelapan planetarium TIM. Joki yang diciumnya. Joki yang merupakan lelaki pertama yang dikulumnya dengan berani dan sepenuh hati.
Victor Jongki Lumban Tobing nama lengkapnya. Sekarang entah di mana.
Anton menarik napas panjang. Jakunnya naik-turun sebab dia memaksa tertelannya ludah yang menyekal tenggorokan.
Erika menekapkan muka Tody yang tertidur, ke pipinya.
Widuri menghitung-hitung ubin yang sebagian berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna c
oklat. Ruangan itu sepi. Langgar di mulut yang menyuarakan adzan Magh-rib lewat loudspeaker yang lantang. "Dia sudah lenyap," kata Anton kepada dirinya sendiri. "Barangkali suatu ketika akan bertemu lagi," hibur Erika.
"Hm, Joki Tobing"" ucap Anton kepada diri sendiri lagi. "Kayak-nya pernah aku dengar nama itu. Seorang wartawan yang dipecat dari kantornya. Hm, pernah aku dengar teman-teman cerita tentang dia. Coba kapan-kapan aku tanyakan. Aku punya kenalan yang jadi wartawan di Majalah TEMPO. Dulu dia dari Yogya."
"Ya, coba ditanyakan, Mas Anton. Tentunya Zulkifli tahu di mana dia sekarang. Biasanya wartawan 'kan punya solidaritas."
"Tak usah, tak usah, tak usah," kata Widuri terengah.
"Bah, kenapa"" Suara Anton tak senang.
"Saya tak ingin ketemu lagi. Biarlah dia lenyap. Saya tak ingin dia tahu kenyataan diri saya yang sesungguh-nya. Biariah jadi kenangan saja."
"Bah!" Anton melepaskan napas keras-keras. "Kenapa kau jadi rendah diri begitu""
"Saya tak berani menghadapi kenyataan nantinya kalau dia benar-benar meninggalkan saya karena keadaan saya ini."
"Tapi, sekarang dia meninggalkanmu."
"Ya. Tapi, dengan kenangan indah tertinggal buat saya."
"Lebih baik berlayar sampai tujuan. Kau akan lebih tahu dengan pasti lelaki macam mana dia. Jika dia meninggalkanmu hanya lantaran kehidupan pahit masa lalumu, itu lebih baik."
"Tidak. Saya tak berani. Dia boleh pergi, tapi tidak lenyap dari hati saya. Seperti tidak lenyapnya Mas To-dy dari hati saya."
Anton menggeleng-geleng, dan bahunya tertekuk.
"Baiklah. Kalau itu yang kauinginkan, itu adalah hak-mu. Aku dan Ika hanya punya kewajiban membantu-mu. Kau punya hak untuk menentukan kewajiban apa yang harus kami lakukan."
"Terima kasih, Anton. Terima kasih, Ika. Terima kasih," desah gadis itu. Matanya kembali meneteskan air bening bagai kaca.
Beberapa ketika mereka bertiga diam. Tody tersenyum-senyum dalam tidurnya di pelukan Erika.
"Dan, apakah kau masih berniat kawin dengan Stephen"" tanya Anton tiba-tiba.
Widuri tersentak. "Ah, entahlah," katanya.
"Cuma satu nasihatku. Sebelum mengambil keputusan, selidiki dulu dengan mendalam tentang diri Stephen. Dan, kalau kawin, usahakan agar mendapat pengesahan dari kedutaannya. Aku akan membantumu. Soalnya, kau perlu mengingat pengalaman-pengalaman kaum wanita di negara-negara berkembang lainnya. Banyak anak blasteran yang menjadi korban setelah para kontraktor asing pulang ke negara mereka."
Widuri terdiam. Lama dia terdiam walau Erika telah mengembalikan Tody ke pangkuannya. Lama dia terdiam, sedang malam telah turun sejak tadi.
*** Segenap Langit Kota Metropolitan
Di sini pencakar langit menjangkau angkasa. Dan, aku menjadi pengemis, kata hati Joki.
Joki baru saja keluar dari salah sebuah kantor di gedung pencakar langit itu, dari kantor biro advertensi tempat salah seorang temannya menjadi manajer. Seorang bekas wartawan yang cepat beralih ke bisnis, untuk meng-imbangi perkembangan perusahaan-perusahaan asing di Jakarta.
Aku masih menjadi penganggur, pikir Joki sambil merambahi celah mobil yang diparkir di pelataran pencakar langit itu. Dia meraba-raba sakunya yang berisi lembar-lembar uang. Syukur, teman-teman masih mengingatku.
Sebenarnya Joki masih berhak mengambil cicilan pesangon dari bekas kantornya, tetapi dia muak memijak kantor itu. Dia muak melihat tampang pegawai bagian keuangan yang rupanya menganggap uang yang harus dibayarkannya itu miliknya pribadi. Bangsat! Joki jengkel. Sebab, selain pesangon enam bulan gaji itu tidak sekaligus diterimanya, dia juga melihat sikap pegawai bagian administrasi itu menambah kebenciannya.
Beberapa hari yang lalu, Joki mendapat sepuluh ribu dari teman lain yang baru saja menjual novelnya pada perusahaan film. Seminggu lagi bahkan seseorang akan memberinya uang kalau skenario filmnya terjual. Kurang apa lagi!
Cuma, apakah aku akan terus-menerus begini" Apakah aku akan terus-menerus berjalan dari teman yang satu ke teman yang lain, dari kantor yang satu ke kantor yang lain" Memang aku tidak akan terlunta-lunta seperti gelandangan Kota Jakarta. Tapi, apa bedanya kehidupan kami" Kehidupan yang
sama-sama menadahkan tangan.
Maka Joki berdiri murung di dekat gerbang out pelataran gedung itu. Mobil-mobil antri keluar bagai siput yang beriringan. Maka Joki merasa dirinya kecil sekali. Seperti kodok. Apalagi dia melihat seorang gadis menyetir salah sebuah mobil. Joki merasa bagai ditindih sebongkah batu gunung. Dia merasa dirinya keciiil sekali. Merasa tak berarti berada di tengah-tengah kehidupan luks Kota Metropolitan ini.
Lantas dia menyusuri trotoar. Lalu naik ke jembatan dan menatap Jalan Thamrin yang sibuk. Lalu berjalan pelahan. Tangannya bersamplokan dengan tangan seorang pengemis, tetapi pengemis itu tidak menadahkan tangan ke arahnya. Barangkali karena melihat keruhnya muka Joki.
Joki turun di seberang jalan. Lalu menyusuri trotoar. Dia berusaha agar tidak bersenggolan dengan gadis-gadis yang berjalan bergerombol. Dia khawatir jika keringatnya mengotori pakaian mereka, pakaian bagus gadis-gadis itu.
Terus berjalan dengan tangan tersaku, dia ingat bah-wa kemarin dulu pernah membeli undian harapan. Siapa tahu bisa mendadak menjadi jutawan" Hm, tak usah yang enam puluh juta. Cukup lima belas juta saja. Itu sudah lumayan. Bisa beli rumah kecil, mobil, tapi.... mobil apa" Toyota! Ah, menguntungkan modal Jepang. Barangkali baik juga kalau beli Fiat. Tapi, ah, Mercy Sport saja. Ow, lima belas juta tak cukup. Beli mobil bekas saja. VW kek, Holden kek, atau apa saja deh. Pokoknya tidak terseok-seok berjalan kaki begini.
Dan, uf! Hampir saja Joki bertabrakan dengan tiang listrik yang diam. Lalu dia melupakan angan-angannya.
Dia tiba di depan Kartika Plaza. Dulu dia sering ke situ. Dia sering mengejar informasi dari tokoh-tokoh yang menginap di situ. Tetapi, sekarang, cukup memandang gedung itu dari jarak jauh saja.
Joki berdiri di balik terali pagar. Mobil-mobil mengkilap berjejer. Seperti pameran mobil.
Seorang lelaki Barat keluar dari gedung itu dengan seorang perempuan Timur. Mereka berjalan bergandengan menuju mobil. Inilah hasil politik "buka pintu" dalam hal modal asing, pikir Joki. Tapi, tunggu dulu! Jantung Joki menyentak. Itu Widuri. Jantung Joki menggelepar. Jaringan tubuhnya menggigil.
Alangkah gembira gadis itu. Alangkah ceria. Dalam gandengan lelaki Barat itu, alangkah gembira. Serasa terdengar dari sini kicau tawanya sebelum mereka masuk ke dalam mobil.
Mobil itu pergi. Sesuatu menghempas diri Joki sehingga dia merasa dirinya terbenam. Terbenam ditelan tanah. Cuma, dia masih tegak memegangi terali pagar. Tapi, lebih baik terbenam dalam tanah pasti sejuk. Dalam tanah yang sejuk, pastilah nyaman. Tidak seperti di bawah matahari begini: sengit dan pengap!


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Joki melangkah meninggalkan tempat itu. Ah, kenapa aku harus melalui tempat ini" Kenapa aku tadi berhenti di tempat ini sehingga harus melihat gadis itu lagi" Lebih-lebih melihatnya begitu mesra bergandengan tangan dengan seorang lelaki. Dan, lelaki itu berasal dari jauh pula. Jika lelaki itu seorang lelaki Indonesia, masih bisa kumengerti. Tapi, ini, ah!
Nasionalisme Joki seketika bangkit. Bangsat! Kenapa harus bermesraan dengan lelaki Barat" Apakah lelaki Indonesia tidak ada lagi di negeri ini" Bah! Apakah Indonesia ini bukan tempat bercinta lelaki Indonesia dengan gadis Indonesia" Apakah Indonesia tidak menyediakan peluang bagi lelaki dan gadisnya untuk saling mencinta" Kenapa harus disela lelaki Barat" Kenapa" Bah! Bagaimana bisa menjawab 'kenapa' itu!
Maka Joki melompat ke dalam bus. Tak peduli dia akan ke mana. Yang jelas bus ini pasti berhenti di terminal. Lalu nanti di terminal sambung bus lagi. Bus apa, tak jadi soal. Pokoknya tukar bus untuk menyelusuri lin lain. Pokoknya dari bus yang satu ke bus yang lain. Sampai sore nanti. Sampai tubuh letih dan mata mengantuk. Lalu pulang.
Dan, ibunya menunggu Joki di rumah itu. Joki terdesak bagai kijang letih yang terperangkap. Dia menatap ibunya bagai kijang mengawasi pemburu yang siap membunuhnya.
"Mama tunggu-tunggu, kau tak datang," kata ibunya.
"Hm," gumam Joki.
Monang membuka-buka majalah.
"Urusan perkawinanmu dengan Meinar sudah kami atur."
"Mama....!" Joki terengah. Napasnya sesak sebab dadanya b
agai tertindih seonggok besi.
"Dalam beberapa hari ini Papa akan datang." "Jawabanku tetap seperti dulu!" sergah Joki. Ibunya menghunjamkan pandangan.
"Tidak bisa begitu, Joki. Seluruh keluarga sudah diberi tahu. Persiapannya sudah hampir selesai."
"Aku tidak mau kawin. Mama dengar itu" Aku tidak mau kawin!" "Kau harus kawin dengan Meinar," kata ibunya dingin.
"Aku tidak mencintainya. Aku tidak mau kawin dengan dia. Apa pun yang terjadi, biar dunia ini runtuh, aku tetap menolak!"
"Dunia tidak akan runtuh." Ibunya tetap dingin. "Cuma, kalau kau membangkang, Mama dan Papa sepakat untuk tidak mengakui kau sebagai anak."
Joki terdiam. "Kau tahu resikonya" Kau tidak akan mendapat warisan. Sepeser pun tidak!" kata ibunya meneruskan.
Joki terloncat dari duduknya, bagai tersengat kala-jengking. Dia berdiri tegak dengan mata mengkilat dan bibir gemetar, lalu katanya, "Aku tidak butuh warisan! Aku tidak butuh warisan dari seorang koruptor! Mama dengar" Aku tidak butuh! Tidak butuh!" Suara Joki dalam teriakan. Napasnya terasa mau putus. Sebelum ibunya bereaksi, dia keluar dari ruangan itu.
Joki terus ke jalan, dan melompat ke dalam oplet.
Apakah hubungan anak dengan orang tua hanya karena warisan" Bah! Alangkah mudahnya. Itulah rupanya yang menjadi landasan pemikiran mereka selama ini.
Maka Joki mengepalkan tangan untuk menahan geram yang meronta-ronta dalam dadanya. Orang-orang berjejalan di dalam oplet.
Aku anak mereka, pikir Joki lagi. Karena itu aku memakai Marga Tobing. Begitu gampangkah mereka menghapus marga itu setelah aku lahir ke dunia ini" Aku lahir bukan atas kemauanku sendiri. Bukan kemauanku pula bahwa aku harus memakai Marga Tobing dan dilahirkan oleh Mama. Bukan kemauanku! Lantas, sekarang, apakah masih bisa ditolerir jika mereka memaksakan ke-hendak mereka pada diriku" Bah!
"Mama dan Papa sepakat untuk tidak mengakui kau sebagai anak." Bah! Risikonya" "Tidak mendapat warisan." Bah, bah, bah!
Apakah mereka pikir aku membutuhkan harta wa-risan itu" Bah! Apakah mereka pikir aku mau menggu-nakan harta hasil korupsi itu setelah aku sadar tentang nilai kehidupan yang sesungguhnya" Apakah mereka pi-kir aku mau menerima harta yang berasal dari cara-cara yang kotor itu" Fuih! Terlalu! Bahkan orang tua pun se-buruk itu sikapnya. Landasan pemikiran mereka sebe-jat penjahat yang paling busuk. Lantas, masih harus dipatuhikah orang tua semacam itu"
Joki menoleh lewat jendela oplet. Di depannya duduk seorang gadis. Sejak tadi gadis itu memperhatikan rahang Joki yang bergerak-gerak menahan geram. Gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandang matanya begitu pandang mata mereka bentrok.
Dan, Joki ingat Meinar. Gadis itu memang gadis yang baik. Dia hanya menjadi korban dari kekuasaan orang tuanya yang sewenang-wenang. Dia tak pernah berani membangkang. Akibatnya, sekarang dia harus mengalami hal yang paling pahit. Jika seluruh handai-keluarga tahu, padahal aku menghilang, bukankah itu menampar muka mereka sendiri"
Sakitnya memang tak seberapa. Tetapi, malunya itu! Siapa yang bisa menanggungnya" Seorang Batak siap menghadapi rasa sakit memang, tetapi rasa malu hanya bisa dicuci bersih dengan darah!
Ke mana arah oplet ini"
Sejak tadi Joki tak memperhatikan arah oplet yang ditumpanginya. Tetapi, karena dia melihat para penumpang seorang demi seorang turun, dia pun lantas turun di dekat rumah Wawan.
Wawan sedang tiduran. Dia tidak bangkit ketika Joki menyeruak masuk ke kamarnya. Cuma matanya yang bertanya-tanya.
"Tak ada acara"" tanya Joki.
Wawan menggeleng dengan kepala berbantalkan tangan.
"Aku bingung," kata Joki.
Alis Wawan terangkat. "Aku dipaksa lagi," lanjut Joki.
"Meinar, bagaimana""
"Aku tak pernah ketemu dia sejak hari yang kuceritakan dulu." "Aku juga tak pernah ketemu," kata Wawan.
"Kok jadi kacau begini," kata Joki sembari menggaruk-garuk kuduknya. Wawan mengeluh sambil bangun.
"Orang tuaku tidak mau mengakui aku sebagai anak kalau aku menolak kehendak mereka," kata Joki.
"Lantas"" "Persetanlah!" Joki menyibak rambutnya.
Wawan berdiri. Dia merentangkan tangan untuk mengejangkan tubuh. Dia menggeliat beberapa
kali. Joki menarik-n arik rambutnya. Matanya merah. "Mau minum"" tanya Wawan. Joki menggumam.
Wawan keluar mengambil Coca-cola. Dan, mereka minum langsung dari botol. "Cari lonte yuk"" kata Joki.
Wawan tersedak dan terbatuk-batuk. Minuman itu masuk ke saluran pernapasan. Dia menoleh ke pintu. Untung pintu sudah ditutup tadi.
"Gila kau!" katanya.
Joki menyeringai. "Berpakaianlah," katanya.
Wawan tak menjawab. Dia meletakkan botol minumannya di meja, lalu menyambar bajunya yang tergantung di kapstok.
Di dalam bus, Wawan bertanya, "Sampai saat ini aku belum jelas, apa sebenarnya yang menyebabkan kau tidak mau kawin dengan Meinar""
"Aku tak mencintainya," kata Joki dalam satu tarik-an napas.
"Ah, itu bukan alasan. Banyak perkawinan, apalagi kalau masih ada hubungan keluarga, tidak didasari cin-ta bisa bahagia."
"Ya, barangkali. Tapi, aku tidak berpikiran begitu."
"Toh Meinar cukup cantik. Malahan, dia punya pesona yang tidak dimiliki gadis lain. Ada semacam potensi tersembunyi dalam dirinya. Barangkali darah Batak yang menyebabkan. Dia menyimpan vitalitas yang kuat."
"Hm, mungkin." "Lalu, kenapa kau tidak berusaha mercintainya""
"Aku sudah pernah mencoba, dan ternyata aku tak bisa mencintainya."
"Ah, masak" Apa tak ada alasan lain"" ujar Wawan.
Joki menoleh. Kemudian berpikir-pikir.
"Mungkin karena aku tak menyukai orang tuaku dan orang tuanya," katanya pelahan. "Aku ingin menentang orang-orang tua itu."
"Wah!" Joki menatap bangunan-bangunan megah di luar bus. Mereka kemudian sampai di terminal. Lalu mereka ganti naik oplet ke jalan arah Bogor.
"Kasihan Meinar," kata Wawan.
"Dan, kasihan kita," kata Joki.
Wawan tertawa kecil. "Orang-orang muda yang malang," katanya. "Dan, orang-orang tua yang otoriter," kata Joki. "Bertemu dalam adat yang kokoh."
"Adat yang disalahgunakan."
"Lantas"" "Lantas, hidup bebas-lepas. Ingat kata Chairil: Pa-cu kuda yang paling liar, peluk-kecup perempuan, ting-galkan kalau merayu."
"Waaah!" Dan, keduanya tertawa mengakak di dalam oplet yang penuh penumpang itu. "Kalau tak begitu, kita bisa masuk rumah sakit jiwa ya"" kata Wawan. "Atau, kalau tidak, jadi pemadat."
"Jadi....""
"Daripada jadi orang gila atau pemadat, lebih baik kayak kita ini." "Cari perempuan yang cantik dan ramah""
"Di mana itu gampang dicari kalau bukan di tempat yang kita tuju sekarang ini"" Tawa mereka kembali meledak.
"Aku yang bayar makanan dan minuman nanti. Kau yang bayar itunya," kata Wawan. "Wow, berat kau. Aku mau minum sebanyak-banyaknya nanti." Dan, tertawa lagi mereka.
Di kompleks perumahan yang mereka masuki, mereka pun tertawa lagi. Tertawa. Tertawa. Tertawa!
Mereka tertawa, tetapi apa makna tertawa itu"
"Jadi, kau akan menikah juga dengan lelaki itu"" Widuri mengangguk. Anton menggaruk-garuk dagu. Erika membisu.
"Sudah kau pikirkan risikonya" Soalnya, aku tak berhasil mendapatkan pensahan dari Kedutaan Amerika. Stephen sudah punya anak-istri di negerinya. Jadi, kedutaan tak mau memberikan izin perkawinannya di sini."
Widuri diam. Erika memperhatikan kerut-kerut halus di pinggir mata perempuan itu.
"Apa yang kauharap dan perkawinan itu, Mbak Wik. sedangkan kau tahu kau tidak mencintainya"" Erika bertanya hati-hati.
"Saya butuh perlindungan, Ika."
Anton menggeleng-geleng. "Landasan perkawinan itu sangat tidak stabil," katanya.
"Saya selamanya merasa lemah dan kecil. Lebih-lebih di Jakarta ini," kata Widuri. Anton mengangkat bahu.
"Setiap orang merasa dirinya lemah dan kecil di Jakarta ini. Hanya dengan bertarung maka kita menjadi kuat dan besar," katanya kemudian.
Widuri menunduk. "Dia tidak selamanya di Indonesia ini," kata Erika.
"Suatu ketika, kalau kontraknya habis, tentu dia pulang ke negerinya."
"Ya, saya tahu."
"Dan, kau akan sendiri lagi."
"Tapi, saya sempat punya suami." Suara Widuri tersekap di tenggorokan. Erika melepaskan napas berat.
"Saya mengerti," katanya kemudian pelan-pelan. Lalu dia menatap suaminya.
"Ya, aku mengerti," kata Anton pula. "Ada kalanya orang merasa tidak tahan sendiri. Sepi itu seperti hantu yang mengerikan. Di saat seperti itu, kita memang mem-butuhkan ada yang mendampingi kita."
"Saya dikejar-kejar rasa b
ersalah selama masa belakangan ini. Saya tidur dengan lelaki yang bukan suami saya. Saya tidur dengan lelaki yang tidak diikat perkawinan dengan saya. Saya merasa diri saya tak ubahnya pelacur."
Erika menekap mulut. "Saya berbuat dosa beberapa waktu ini," lanjut Widuri lambat-lambat. "Apa yang bisa mengakhirinya kecuali perkawinan" Kalau tidak, saya akan tetap diburu dosa saya. Saya takut. Saya takut."
Anton menatap istrinya. Erika meremas-remas saputangannya.
"Saya menyesal. Saya sudah telanjur mengikuti dorongan nafsu. Jika anak saya tahu kenyataan ini, ah! Alangkah buruk ibunya!"
Suara Tody Kecii terdengar dari luar. Dia bermain-main dengan pemomongnya.
Tanah sepanjang yang telah kering. Matahari sesiang tadi memanggangnya. Cuma, debu gampang sekali be-terbangan.
"Kasihan Mbak Wiwik," keluh Erika, di dalam mobil.
Anton cuma bergumam. Matanya awas mengikuti kendaraan di depannya. Dia telah memakai persneling tiga. Mobil yang dikendarainya, semakin menjauh dari gang di depan rumah Widuri.
"Mas Anton," tegur Erika.
"Hm." Anton tak mengalihkan pandang dari arah depan. "Sebaiknya, Mas ke tempat Zul. Ajak dia mencari Joki."
"Lantas"" "Pertemukan dengan Mbak Wiwik."
"Hm." Anton bergumam sambil memikir-mikir.
"Entah kenapa, aku waswas kalau Mbak Wiwik kawin dengan lelaki Amerika itu. Aku khawatir Mbak Wiwik mengalami kepahitan lagi."
"Aku juga," kata Anton.
"Barangkali kalau ketemu dengan Joki, Mbak Wiwik akan mengurungkan niatnya." Nada suara Erika mengambang.
Anton menambah kecepatan mobilnya, mendahului mobil di depannya.
"Tapi, aku belum tahu manusia macam apa laki-laki bernama Joki itu. Aku khawatir kalau perkiraan Widuri benar-benar terjadi. Dia meninggalkan Widuri begitu dia tahu bahwa Widuri seorang janda. Itu lebih memukul perasaan Widuri yang rapuh."
"Ya," kata Erika. "Tapi, dari cerita Mbak Widuri, aku menarik kesimpulan bahwa Joki seorang yang baik. Mirip Faraitody. Tentunya dia tidak akan berbuat kasar pada Mbak Widuri. Laki-laki macam Faraitody adalah seorang yang halus perasaannya."
Anton melirik istrinya sekilas. Sinar lampu mobil dari depan menimpa wajahnya.
"Cuma, belum tentu dia mau menerima kenyataan Widuri nanti."
"Lho, kok kau malah ragu-ragu sekarang, Mas Anton""
"Yah." Anton mengangkat bahu.
"Jadi, kenapa sekarang ragu-ragu pula""
"Aku pikir, perkawinan Widuri itu ada benarnya. Tak banyak orang muda yang mau menerima janda. Kebanyakan hanya mau memanfaatkan kesepiannya saja."
"Kita belum tahu apakah Joki mau mempermainkan Mbak Widuri."
"Hm. Kemungkinan jadi dua. Dia meninggalkannya, atau dia mempermainkannya."
"Astaga! Kok pesimis begitu" Kemungkinannya ada tiga. Tambah lagi yang dua tadi. Kemungkinan dia akan tetap, atau bahkan tambah mencintai Mbak Widuri."
Anton menoleh istrinya, dan tersenyum.
"Sejak dulu kau optimistis," katanya.
"Karena itu jadi kawin dengan kau, Mas Anton." Anton tertawa diikuti Erika.
"Baiklah. Aku akan mencari lelaki bernama Joki itu, di Kota Metropolitan ini."
"Nah, gitu dong. Toh bukan kayak mencari sebuah kerikil di antara timbunan kerikil. Betul, 'kan""
Anton tak menjawab. Dia mengambil belokan tajam ke arah rumahnya.
Lantas, siang harinya Anton ke Jalan Senen Raya, ke kantor Majalah Tempo. Matahari mencorong di la-ngit, menimpa jalan lebar di depan kantor itu.
"Joki"" gumam Zul. "Ya, aku kenal. Aku tahu rumahnya."
"Antar aku ke sana," kata Anton.
"Hm, kau sudah kenal lama""
"Belum kenal sama sekali."
"Jadi, ngapain ke sana" Urusan obyekan""
"Aku tak pernah ngobyek."
"Oh, ya. Dia juga tak pernah. Jadi, urusan apa""
"Nanti saja kuceritakan di jalan. Ayolah. Aku bawa mobil."
"Ow, kaya kau sekarang."
"Ah, ini inventaris kantor."
Tetapi, Joki sedang tidak ada di rumahnya. Kata pemilik rumah, sudah empat atau lima hari tidak pulang. Ke mana" Tak tahu.
Zul mengangkat bahu. Anton mengeluh.
"Kita harus cari lagi"" tanya Zul.
"Ya. Di mana dia biasanya kalau siang begini""
"Sejak berhenti jadi wartawan, dia tak pernah lagi muncul di tempat-tempat biasa." "Ke mana harus dicari ya"" Mereka melaju lagi di jalan raya. "Ow, aku tahu!" kata Zul.
"Ya"" "Ada yang bilang, dia sering di TIM.
Barangkali dia mau jadi seniman."
"Barangkali seni memang lapangan yang cocok buat orang frustrasi."
Daun-daun pohon asam berluruhan ke pelataran. Sepatu Anton berdetak-detak. Di bawah pohon, beberapa orang muda tiduran. Semuanya santai. Rumput hijau membuat mereka dapat melupakan teriknya matahari yang menimpa Kota Jakarta. Dan, bisa pula melupakan pengapnya bus kota.
"Nah, itu dia," kata Zul. Lalu dia mempergegas lang-kahnya. "Joki!" tegurnya ke arah Joki.
Joki yang duduk melengut di bawah keteduhan pohon mengangkat kepala. Sejak tadi dia tak mempeduli-kan hingar suara anak-anak LPKJ di Warung Dewi Indah.
"Ini Anton. Dia mau bicara sama kau."
Joki cuma mengangkat alis, lalu mengangguk ke arah Anton.
Anton menemukan mata yang tak berani bertatapan lebih dari satu detik. Di mata itu, ah, mata yang dihimpit oleh kemelut. Anton menghela napas.
"Baiklah, aku tinggalkan kalian di sini. Aku ada kerja di kantor," kata Zul.
"Lho, mau naik apa kau"" Anton meraba kantong-nya.
"Ah, tak usah. Aku nompang Emanuel saja. Itu, dia. Oke" Ngomonglah sepuasnya."
Anton menggumam. Dia kembali menatap Joki. Lelaki itu menaksir-naksir, tetapi kemudian menatap rum-put di tanah.
"Saya teman Widuri," kata Anton.
Joki terpengaruh. Matanya mengkilat menatap Anton. Maka Anton merasa darahnya berdesir. Mata itu, tiba-tiba saja bagai mata harimau yang disakiti.
"Saya teman baiknya sejak di Yogya," ujar Anton lebih lunak.
Kelopak mata Joki tak bergerak. Rahangnya menggeletar. Sehelai daun lebar jatuh menimpa bahunya. Le-laki itu hanya bereaksi sedikit.
"Widuri sudah menceritakan seluruhnya," kata Anton. "Di antara kami, dia, saya, dan istri saya, boleh dikata tidak ada rahasia. Sejak lama, saya dan istri saya merasa bahwa dia adalah sebagian dari diri kami."
Sinar dingin di mata Joki agak meredup.
"Saya kepingin bicara panjang dengan Anda," kata Anton. "Di sini saja, atau sambil jalan-jalan"" Anton mengedarkan pandang keliling.
Joki tak menjawab. Dia hanya berdiri. Anton mengikutinya berdiri. Tinggi badan mereka berpadanan. Cuma, Joki lebih kurus. Bahunya agak tertekuk. Mukanya yang pucat agak kekuningan pucat. Tetapi, lebih hitam karena sapuan debu. Lusuh.
Kaki celana Joki yang lebar berdesah-desah ketika mereka mulai melangkah. Mereka berjalan menuju Gedung Utama TIM. Di bawah kerindangan pohon-pohon, Anton menceritakan keadaan Widuri sekarang.
Joki membisu, dan bibirnya bertaut dingin.
"Jadi, dia mau kawin dengan orang asing"" katanya kemudian. Suaranya mengambang, mengingatkan An-ton pada gaung di lembah sepi.
"Hm-hm." Anton hanya bergumam.
"Hm." Lebih dingin lagi tautan mulut Joki.
"Anda boleh membencinya jika dia memang melupakan Anda."
Joki menoleh. Matanya menghunjam tajam menembus lekuk hati Anton yang paling dalam.
"Kenapa Anda begitu mencampuri urusannya"" Tiba-tiba Joki berkata dan membuat dada Anton menyenak.
Begitu dingin suara itu menyeruak. Suara seorang yang tidak bersahabat. Seperti sikap harimau terluka yang terperangkap, menatap benci kepada manusia yang mau menolongnya.
"Saya sangat bersimpati pada jalan hidupnya. Dia telah mengalami kehidupan yang sangat pahit," kata Anton.
"Hm"" gumam Joki. Langkahnya tetap pelahan, berendengan dengan langkah Anton. "Belum pernah saya bertemu dengan gadis sebaik dia. Kecuali istri saya tentunya." Joki menatap sepatunya yang terbenam di dalam rumput.
Ya, dia memang gadis yang baik. Aku juga belum pernah ketemu dengan gadis yang memiliki pesona seperti dia. Ketika aku mengelus helai-helai rambutnya yang terjurai, di Pantai Cilincing yang anginnya keras, tubuhnya yang lunak bagai tubuh anak kelinci. Di ruangan gelap di planetarium, tubuh itu tersandar ragu pada tubuhku. Dan, tubuh itu gemetaran ketika kucium di balik ge-rumbulan bunga itu. Joki menoleh rimbunan bunga yang selangkah dilewatinya.
Ah! Joki menarik napas dalam-dalam.
"Saya tidak ingin menceritakan riwayatnya," kata Anton.
Tetapi, Joki sedang menatap langit yang cerah. Di sini memang cerah. Tetapi, di depan Kartika Plaza, bukan main teriknya. Di depan terali pagar, matahari menimpakan sinarnya ke tubuhku. Sengit panasnya. Lalu, dia kelu
ar dari hotel itu dengan seorang lelaki asing. Dan, mesra sekali.
"Tapi, biarlah saya berikan sedikit gambaran. Bagaimana sikap Anda jika ada seorang gadis pemalu mencintai seorang pemuda pemalu juga""
Joki gelagapan. Langkahnya terhenti.
"Ini terjadi beberapa tahun berselang. Dan, ada gadis lain yang karena iseng-iseng saja membawa gadis pemalu itu kepada kawan-kawannya. Di situ gadis itu dibius, dan diperkosa. Belakangan, pemuda yang dicinta gadis pemalu itu kawin dengan gadis yang menjerumuskannya tadi. Pada waktu itu, gadis pemalu tadi hamil akibat perkosaan teman-teman gadis yang kedua itu." Sesaat Anton membiarkan ucapannya melayang.
"Dia mengalami itu"" tanya Joki terbata-bata.
Anton cuma mengangguk. "Lantas"" Joki mendesak.
"Lantas, gadis pemalu itu kawin dengan orang di desanya. Dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Perkawinan itu hanya untuk menjaga nama baik. Tetapi, laki-laki itu kemudian merasa ditipu. Sebab, ternyata istrinya telah hamil lebih dulu."
"Lantas"" "Dia diceraikan suaminya ketika ayahnya meninggal." "Ah." Joki menelan keluhan berat.
"Kemudian dia pindah ke Jakarta ini, dan Anda pun mengenalnya di dalam bus ketika hujan turun."
Joki menelan ludah. Anton menyodorkan rokok. Joki menyulut sebatang.
"Bagaimana sikap Anda jika ditanya, 'Apakah Anda dapat dan mau mencintai seorang janda yang sudah punya anak'""
Jantung Joki terguncang. "Dia punya anak"" katanya nyaris dalam bisikan.
"Ya, dia punya seorang anak. Itu yang membuatnya takut Anda datang ke rumahnya."
Joki terdiam. Napasnya berat. Ada setumpuk batu menghimpit dadanya.
"Kebanyakan pemuda menolak perempuan yang tidak perawan lagi. Mereka menginginkan perempuan yang suci. Tapi, apakah kesucian itu identik dengan keperawanan saja" Apakah suci itu harus berarti tidak terjamah""
Joki membisu. Tusukan-tusukan tajam menyusup ke relung dadanya. Nyeri.
Aku sendiri bukan seorang yang suci, kata hatinya. Lalu di kepalanya berkelebat bayangan Euis dan beberapa wajah pelacur.
"Dia takut kehilangan Anda, jika Anda tahu bahwa dia seorang janda."
Joki merasa himpitan di dadanya bertambah berat.
"Dia merasa tidak layak berdampingan dengan diri Anda yang suci."
Joki tersedak. Asap rokok masuk ke paru-parunya. Dia terbatuk-batuk.
Apakah aku suci" Apakah aku suci" Apa yang sudah kukerjakan selama ini" Ah, ah, ah! Joki menghela napas berat.
"Walaupun kata suci itu sering disalah-artikan, tapi dia sungguh-sungguh merasa dirinya terlalu hina untuk Anda cintai. Jangankan jadi janda, sewaktu gadisnya pun dia tak berani berterang-terangan mencintai seseorang. Cuma dorongan gaib yang agaknya membuat dia menjadi akrab dengan Anda beberapa lama ini."
Joki menggaruk-garukkan ujung sepatunya ke rumput.
"Kata suci sering hanya diberlakukan bagi pihak perempuan. Laki-laki selamanya merasa dirinya bersih. Apa pun keliaran yang pernah dia lakukan, tapi kalau sudah dalam soal bercinta, dia selamanya menuntut sebagai orang pertama." Anton menoleh ke arah Joki. "Barangkali Anda termasuk laki-laki puritan. Laki-laki yang ingin hidup bersih. Barangkali Anda menolak perempuan yang tidak lagi gadis."
Joki menggigit bibir. Mukanya terasa panas.
Bersihkah hidupku" Lantas, bayangan seorang perempuan setengah baya, ibu kost-nya yang pernah mengajarinya beradegan ranjang, melintas dengan seringai ejekan. Lantas perempuan lain, perempuan simpanan ayahnya. Bah! Joki terperangah.
"Tapi, ketahuilah bahwa dia hanyalah seorang korban dari suatu keadaan yang sangat getir!" Anton menyentuh bahu Joki. "Sering sekali. soal suci atau tidak suci itu hanya dipersangkutkan dalam soal seks, Padahal, menurut hemat saya, bukan itu saja. Melainkan menyentuh hal yang lebih dalam lagi. Yaitu pada hati. Kesucian hati ini hanya bisa diukur dengan cinta. Hanya cinta! Hanya itu yang bisa membedakan suci atau tidak dalam kehidupan laki-laki dan perempuan."
Joki tetap membisu. Anton menariknya untuk kembali melangkah. Sekejap Joki gelagapan. Tetapi, kemudian dia
berkata, "Ya." "Walaupun sekarang sudah tahu dia seorang janda""
Joki menoleh. Beberapa ketika mata mereka bersabung. Resah berloncatan dari mata Joki,
Anton tak berkedip. Dia sudah biasa menghadapi mata semacam itu, mata orang-orang yang menjadi obyek ilmu psikologinya.
Dan, di bawah sinar mata Anton, keresahan Joki berangsur-angsur mereda. Seperti permukaan danau yang berguncang-guncang dan kemudian tenang dan damai.
"Saya sendiri bukan orang yang suci." Bibir Joki terkuak pelan-pelan. "Saya seorang yang kotor. Saya kira dia lebih suci dari saya."
Anton melepaskan napas yang sejak tadi tertahan.
"Lantas, maukah Anda bertemu dia""
Joki mengangguk kuat-kuat seperti samurai Jepang.
"Terima kasih," desah Anton. Dia merangkul Joki dengan mata basah. "Terima kasih, Joki.
Anda____ah, lebih baik aku 'berkau' saja. Kau telah menyelamatkan hidup seorang yang
sengsara." Anton mengusap mata. "Ah, kadang-kadang aku jadi sentimentil. Darah Manadoku memang gampang menghanyutkan emosiku," lanjut Anton seraya tertawa. "Laki-laki yang dicintai Widuri dulu adalah sahabatku. Aku ingin kau pun menjadi sahabatku."
"Aku akan datang ke rumahnya," kata Joki.
"Kau tahu rumahnya, 'kan""
"Gang rumahnya aku tahu. Aku akan mencarinya."
"Cari saja rumah yang bergordin hijau, dan paling bersih."
Aku akan datang. Aku akan datang. Dan, Joki melayangkan pandangannya ke botak planetarium yang mengkilap ditimpa sinar matahari. Lalu dia menatap gerumbul bunga di plaza. Hatinya berloncatan di sela bunga-bunga dan kendaraan yang terparkir di situ.
Matahari lebih cerah dari hari kemarin.
Dari kantornya, Anton menelepon Widuri, dan menceritakan jalannya missinya.
Di seberang, sesaat Widuri terpana. Telapak kakinya panas. Handel pesawat telepon yang dipegangnya menjadi licin oleh peluh. Telapak tangannya basah. Dia hanya bisa mendesahkan kata: ya, oh, ah, ya, oh, ya, pada setiap ujung kalimat Anton.
Andai saja Anton melihatnya, maka dia akan terharu. Sebab, Widuri tersandar di kursinya, dan samar-samar air matanya mengalir bening. Pipinya basah.
Dia akan datang. Kendati dia tahu keadaanku, dia akan datang. Tuhan, ternyata Kau tidak melupakan aku. Tuhan, ternyata hari-hari pahit yang Kau-berikan hanyalah permulaan buat hari cerah yang akan kuperoleh. Tuhan, kupercayai kekuasaan-Mu memberiku laki-laki yang baik di tengah-tengah kota yang kejam ini.
Maka Widuri inginkan sore hari cepat datang. Maka dia pamit pulang lebih awal dengan alasan sakit.
Akan halnya Joki" Dia memasuki gang di depan rumahnya dengan langkah pasti. Gang yang dalam beberapa hart ini tak pernah dipijaknya. Lama juga dia tak bersiul-siul. Maka siang itu dia ingin bernyanyi. Seorang anak kecil yang sedang bermain-main di mulut gang di-jentiknya dagunya. Hari pun bertambah cerah sebab anak kecil itu tertawa terkekeh-kekeh.
Tetapi, tawa yang semula menggeliat di dada Joki surut mendadak. Di ruang depan rumahnya ada tamu. Monang dan seorang lelaki yang selamanya membuat rasa tidak aman, telah menunggunya.
"Nah, akhirnya muncul juga," kata ayahnya.
"Well. Kapan Papa datang""
Lelaki tua itu menatap sirik.
"Hm, anak durhaka." gumamnya sengit.
Joki mengangkat bahu. Dia mengedikkan leher ke arah Monang. "Kau tidak ingin menengok mamamu di rumah sakit"" "Ha"" Joki menatap ayahnya. "Namboru sekarang di rumah sakit," kata Monang.
"Sejak pulang dari sini tempo hari, jantungnya kumat." "Lantas sekarang, apa mau kaubilang"" Suara ayah Joki tajam. "Apa yang mau aku bilang" Mudah-mudahan cepat sembuh."
"Bangsat!" Ayahnya meloncat hendak memukul, tetapi Joki sigap menjauhkan diri. Ayahnya mengejar, tetapi Monang cepat-cepat merangkulnya.
"Sabar, Amangboru, sabar. Kita bicarakan baik-baik," kata Monang.
Joki tak berani menatap ayahnya. Sementara itu, lelaki tua itu sedang berusaha menahan luapan dalam dadanya. Karena itulah matanya menyala dan dadanya berombak. Lelaki tinggi besar itu mengkeriut-keriutkan geraham. Rahangnya yang menonjol bergerak-gerak.


Terminal Cinta Terakhir Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak durhaka!" katanya kemudian dengan suara tersekap. Lalu dia pun duduk.
"Keadaan Namboru kritis sekali," kata Monang.
Joki membisu. Dia bersandar ke dinding. Perasaan ngeri masih menyelinap-nyelinap dalam dadanya. Khawatir kalau ayahnya tiba-tiba melompat lagi dan menempelengnya.
Inilah lambang kekuasaan oto
riter yang sewenang-wenang. Dia mengutukku sebagai anak durhaka lantaran Mama sakit. Tapi, pernahkah dia menilai dirinya sendiri" Dia bermain-main dengan perempuan lain, dan sekarang dia berlagak membela Mama. Fuih! Munafik!
Joki menyalakan rokoknya.
*** Selamat Pagi, Lia Kenapa Joki tak muncul" Widuri berkali-kali menatap keluar lewat pintu, tetapi cuma sepetak halaman sempit yang nampak. Sisa sabun mandi masih terasa se-gar di badan. Dan, harum parfum menyusup halus ke hidung. Kulitnya segar. Tetapi, apa arti semua ini" Wi-duri mengeluh tanpa terdengar.
Di mana Joki" Widuri menekap bimbang yang mengguit-guit hatinya. Betulkah yang dibilang Anton lewat te-lepon tadi siang" Benarkah Joki tidak akan mempersoal-kan keadaan diriku yang seperti ini" Widuri meneleng-kan kepala, mendengarkan suara Tody. Tetapi, anak ke-cil itu barangkali dibawa pemomongnya ke luar halaman.
Benarkah Joki mau datang"
Matahari semakin menggelincir di langit barat.
Benarkah dia mencintaiku apa pun adaku" Betulkah"
Sangsi kian berat menekan diri Widuri.
Dalam pada itu, Joki melangkah ragu-ragu di sepanjang gang Rumah Sakit St. Carolus. Bau formalin meng-ambang. Suasana sakit menekan perasaannya. Dia paling tidak senang menghadapi suasana sakit.
Langkah ayah Joki dan Monang berdetuk pelahan di kiri-kanan Joki. Mereka berpapasan dengan perawat berpakaian putih. Tetapi, wajah perawat yang teduh itu tak berhasil menenangkan galau yang berputaran di dada Joki.
Di pintu kamar, Joki bertemu pandang dengan ito-nya, adik perempuannya. Gadis remaja itu bersimbah air mata. Inilah adik yang sudah sekian tahun tak dilihat oleh Joki. Adik yang dulu masih berkepang dua, kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik. Ah, alangkah cepat waktu berlalu. Alangkah baik alam sekarang, menjadikan gadis-gadis lebih cantik dibandingkan gadis-gadis pada masa lalu.
"Bang Joki," sapa gadis itu.
"Lia," gumam Joki.
Dan, Lia menerkam Joki serta membenamkan tangisnya di dada lelaki itu. Maka, nyes, sejuk dada Joki dibuatnya. Haru itu mengusap-usap hati Joki hingga lekuk--lekuk yang paling tersembunyi selama ini. Inilah Lia yang selalu menghalangi ayah mereka menghajar Joki. Lia yang setia mengambilkan makanan ketika Joki tak mau masuk ke rumah dan makan bersama saudara yang lain. Inilah dia sekarang, seorang gadis cantik berambut ikal dan bermata seindah bintang.
Jangan menangis, Adikku, jangan menangis. Tetapi, Joki sendiri merasa matanya panas dan pipinya basah.
"Lia datang mau melihat perkawinan Abang. Tapi, ternyata Mama jatuh sakit. Ah!" Lia kembali membenam-kan tangisnya ke dada abangnya.
"Sudahlah," kata Joki mengusahakan nada suaranya segagah mungkin. Padahal, hatinya bagai diremas-remas oleh tangan berduri.
Joki mendorong kepala adiknya menjauh dari dadanya. Dia menatap wajah Lia yang dibasahi air mata. Matanya bagai sumber air sejuk, tetapi sumber itu sepi. Sangat sepi. Inilah gadis yang dibesarkan oleh tekanan kesewenang-wenangan orang tua. Inilah gadis yang terhimpit di antara dua orang tua yang keras. Inilah gadis yang mengetahui bahwa ayahnya bukan lelaki yang baik. Inilah gadis yang harus menahan gunjingan teman-temannya yang membicarakan kejelekan ayahnya. Ini-lah gadis yang tahu siksaan batin ibunya. Inilah gadis yang harus menerima sikap keras ibunya sebagai kompensasi atas tingkah suaminya. Inilah dia.
Maka Joki mencium kening adiknya. Dan, Lia menangis lagi.
Mereka masuk ke ruang paviliun perawatan ibu mereka. Dan, jantung Joki menggelepar. Napasnya seketika sesak. Hampir saja dia berlari keluar. Untunglah Lia menahannya dengan rangkulan. Maka dikuatkannya hati untuk melangkah.
Ibunya terbaring dengan masker zat asam. Mata perempuan tua itu melirik sekejap. Mata yang letih. Oh, murungnya pandangan mata itu. Ini bukan lagi mata seorang ibu yang pemarah. Ini mata ibu yang sakit. Oh, mata ibu yang telah melahirkan anak-anaknya dengan susah-payah.
Dalam rangkuman masker pada hidung dan mulut-nya, perempuan tua itu bernapas satu-satu. Udara pun lantas menjadi berharga sekali.
Tak ada lagi sinar kemarahan di mata itu. Yang ada hanya sinar keletihan. Mata itu telah lu
nglai akibat per-jalanan hidupnya yang pahit.
Oh, inikah seorang ibu yang setiap hari marah-marah kepada anak-anaknya itu" Inikah perempuan Batak yang tidak berani menghujat suaminya kendati mengetahui tingkah tidak senonoh suaminya itu" Ya, inilah perempuan yang dari hari ke hari menahan gunjingan para tetangga tentang polah suaminya. Oh!
Maka Joki berjongkok dan mencium tangan ibunya yang terkulai lemah. Jari-jari tangan perempuan itu menggeliat pelahan. Kemudian telapak tangan perem-puan itu mengusap muka Joki. Tangis Joki tersekap. Ketika terasa air mata membasahi tangannya, perempuan itu menggeliatkan tangannya lagi. Lia berjongkok di samping abangnya, dan menangis pula. Maka Joki terguguk mendengar tangis adiknya ini.
Matahari telah lenyap. Langit yang kelam terlapisi cahaya merah. Sepotong bulan mengintai di balik atap-atap rumah di gang itu.
Widuri mengusap matanya yang perih. Sejak tadi dia menatap ke ujung gang. Di situ ramai, tetapi sepi bagi gadis itu. Sepotong bulan tergantung diam-diam di langit.
Ternyata dia tak datang. Anton berdusta. Ah, An-ton tidak berdusta. Dia orang baik, tak mungkin dia berdusta. Cuma, barangkali Joki mengubah pikirannya. Atau, barangkali dia hanya berbasa-basi di depan Anton. Barangkali dia segan membantah anjuran Anton. Barangkali hanya berpura-pura sanggup datang. Barangkali, ah, setumpuk barangkali mendera-dera Widuri.
Maka gadis itu merasakan beliung tajam nenghunjam ke lekuk dadanya. Luka, tapi tak berdarah. Perih dan getir yang dirasakannya.
Di halaman rumah, seonggok bunga dalam pot membisu. Bunga itu ada yang kering, tetapi tidak gugur. Apa bedanya" Telah hilang keindahan bunga itu. Bunga ke-ring dalam pot, apa artinya"
Widuri membawa tubuhnya ke tempat tidur. Dia membenamkan mukanya ke bantal.
Bulan di langit mengikuti perjalanan Joki. Di dalam mobil itu, Lia rapat ke tubuh abangnya. Tangan gadis itu tak lekang dari pergelangan tangan Joki. Padahal, menurut adat Batak ulah seperti ini sangat terlarang. Sebagai ito tak boleh memperlihatkan kemesraan seperti itu. Kakak beradik yang berlainan jenis tak boleh terlalu akrab. Tetapi, apa peduli mereka sekarang"
Joki adalah abang yang sangat baik hati bagi Lia, dan Lia adalah adik yang sangat menyenangkan bagi Joki. Di antara saudara-saudaranya, hanya Lia yang dekat dengan Joki. Hanya Lia yang bisa membujuk Joki agar mengerjakan PR dari sekolah. Adapun saudara-saudara yang lain" Freik! Dengan abangnya, Joki selalu bakuhantam. Dengan adiknya yang lelaki, Joki selalu ingin menjitak kepalanya sebab adiknya ini berani lancang memakai barang-barang milik Joki. Lia adalah adik yang ma-nis. Manisnya berbeda dengan kakak perempuan yang juga baik hati. Ya, Joki hanya mempunyai dua orang ito, satu orang kakak yang mau membagi uang dan, sa-tu lagi adik yang menyayanginya.
"Lia kepingin cerita-cerita sama Abang," kata Lia memecah kesunyian.
Joki cuma bergumam. Rambut adiknya tercium harum olehnya. Mobil yang membawa mereka meluncur ke arah Menteng. Mereka telah melewati Bioskop Megaria. Angin bulan Juli melintas di Jakarta. Bulan diam-diam mengikuti setiap kendaraan. Joki dapat merasa-kan napas adiknya yang teratur setelah tadi puas me-nangis. Barangkali sejak beberapa hari ini dia memang
kepingin menangis. Baru tadi dia mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menuangkan tekanan batin.
Mereka di rumah Tulang Sahala. Joki masih tetap tak suka mengadu pandang dengan tulangnya. Lelaki tua itu pun berusaha untuk tidak bentrok pandang dengan bere-nya.
Meinar hanya sebentar menemani Joki dan Lia. Dia tahu bahwa kakak-beradik itu membutuhkan waktu untuk bicara berdua. Itulah kenapa dia buru-buru mening-galkan mereka berdua di teras.
"Nah, kelas berapa kau sekarang"" tanya Joki.
"Kelas tiga." "Wah, kok cepat sekali""
"Cepat" Lia baru kelas tiga SMP."
"Ooo." Joki menaksir-naksir adiknya. "Tapi, kau kelihatan sudah begini besar." Anak-anak zaman sekarang memang lebih cepat pertumbuhan badannya, pikir Joki. "Lia sedih sekali, Bang Joki. Mama sakit, dan kelihatannya parah." "Ah, Mama akan sembuh," hibur Joki.
"Tapi, belum pernah Mama mengalami begit
u. Sampai pakai bantuan pernapasan." Joki tak menjawab. Sebenarnya dia juga ngeri memikirkan keadaan ibunya. "Kenapa Abang tak mau kawin dengan Kak Mei"" Joki terperangah.
Lia menatapnya nanap. Lalu, pelan-pelan Joki menjawab, "Sebab, Abang mencintai perempuan
lain." "Tapi, Mama lantas jadi sakit. Lia takut kalau Mama sampai.... Ah, Lia takut. Lia takut____"
"Mama akan sembuh. Mama akan kembali sehat."
"Tidak. Kalau Abang masih tetap menyakiti hatinya.... "
"Abang tidak menyakiti hatinya."
"Tapi, hati Mama sakit. Itu yang menyebabkan Mama sakit. Begitu kata dokter pada Papa." Joki terdiam.
"Kalau Mama sampai... ah! Lia tidak tahu apa yang terjadi." Joki mengurut-urut tenggorokannya yang tersekat.
Lia memutar-mutar asbak di meja. Joki membuang abu rokoknya di lantai. Jari-jari tangannya gemetaran. Berkali-kali dia menyerpihkan abu rokoknya.
"Kalau Mama nggak ada, Papa pasti akan kawin lagi. Ah, Lia takut." "Mama akan sembuh!" Suara Joki menyentak. Kepala Lia terangkat. Matanya berkilauan.
"Ya, Mama akan sembuh," ucapnya kepada diri sendiri. Kemudian dia menghunjamkan tatapan kepada abangnya. "Tapi, kalau hatinya masih sakit, dia akan tetap sakit."
"Ah, Mama sakit jantung, bukan hati!" bentak Joki.
"Kalau hati Mama sakit, jantungnya juga akan sakit."
"Ah, tahu apa kau soal penyakit"" Suara Joki tambah keras.
Bentakan itu membuat Lia tersentak. Matanya menyorotkan sinar ketakutan. Seperti merpati yang sudah dalam cengkeraman dan siap disembelih.
Maka Joki mengurangi tekanan suaranya, "Percayalah, Lia, Mama akan sembuh kembali." Berangsur ketakutan gadis remaja itu lenyap. Lalu matanya kembali berkilauan bagai bintang. "Ya" Mama akan sembuh"" katanya. Joki mengangguk menguatkan.
Lia tersenyum bagai bunga mawar mengorak di pagi hari.
"Kalau begitu, Bang Joki jangan pulang nanti. Abang harus di sini. Menemani Lia menunggu Mama di rumah sakit."
"Kau menunggui Mama""
Lia mengangguk. "Setiap malam""
"Setiap hari, setiap malam." Lia tersenyum lagi.
Ah, jika ternyata gadis seremaja dia begitu memperhatikan Mama, lantas macam apa aku ini sebagai anak" Jika nyatanya gadis semuda ini memprihatinkan Mama, lantas lelaki macam apakah aku ini" Sebaris keluh berloncatan di dada Joki.
Keluh yang lain macamnya bergalauan di dada Widuri. Di depannya, tegak Tuan Stephen.
"Sakitmu parah, Widuri" Beberapa hari tidak masuk kantor," kata lelaki Amerika itu. Suaranya yang berat berirama lunak.
Tak ada yang sakit sebenarnya. Hanya saja, Widuri memang malas ke kantor.
Tuan Stephen meletakkan oleh-oleh yang dibawanya. Widuri hanya sekejap melirik bungkusan di meja itu.
"Sudah ke dokter"" tanya Tuan Stephen.
Widuri menggeleng. "Mengapa" Pergi ke dokter perusahaan." Widuri tak menjawab.
Dokter medis mana yang bisa memberikan diagnosa yang tepat bagi penyakit yang kuderita ini" Takkan seorang dokter pun bisa memberikan obat. Kerusakan bukan pada fisik, melainkan pada sudut-sudut perasaanku yang paling gelap. Ada jarum yang menggoret-goret di sana. Nyeri sekali. Barangkali hanya sayatan nadi pada leher yang bisa menandingi. Ah, alangkah nyaman jika darah menyembur dari leher. Segalanya akan berakhir. Segalanya. Ah, tapi tidak bagi Tody. Takkan berakhir buat Tody yang kecil dan lemah.
Demi Tody maka kehidupan ini harus kupertahan-kan. Cuma, kenapa aku harus mengalami kegetiran demi kegetiran" Apakah jalan nasibku memang berisi garis hitam belaka" Apakah kismetku tak pernah terang" Apakah bintang hidupku memang bintang yang pudar sinarnya"
Widuri menatap sekilas lelaki yang duduk di depannya. Tuan Stephen memandang lahap dengan pandangan mesra. Hangat. Tetapi, sungguhkah hangat" Dia mau mengawiniku. Tapi, itukah penyelesaian yang paling tepat" Perkawinankah penyelesai setiap kemelut" Anton dan Erika sudah berusaha mempertemukan aku dengan Joki. Anton bilang, Joki akan datang. Anton tak pernah mendustaiku. Biarpun nyatanya Joki tak muncul, toh Anton sudah berusaha mengatasi kemelutku. Akankah itu sia-sia adanya"
Tapi, ah, Stephen memang sangat baik. Senyumnya masih selunak dulu juga. Dia mau mengawiniku. Cuma, Anton dan Erika berusaha agar aku tidak dilibat
persoalan panjang nantinya. Walau usaha mereka tidak ber-hasil membebaskan aku dari persoalan yang paling dalam, bukankah mereka sudah menunjukkan diri seba-gai sababat"
Mata Tuan Stephen yang biru menatap nanap.
Dan, peperangan bergolak dalam dada Widuri.
Di rumah Tulang Sahala, terjadi gencatan senjata. Perdamaian antara Joki, ayah, dan tulangnya telah terjadi. Joki sibuk mondar-mandir dari Rumah Sakit St. Ca-rolus ke rumah Tulang Sahala. Kesehatan ibunya semakin pulih. Perdamaian rasanya sudah benar-benar menyungkup mereka. Lalu pembicaraan serius pun dimulai. Ibarat perang yang sudah berakhir, perundingan dilaksanakan untuk menyusun traktat.
Sementara orang-orang tua berunding untuk melaksanakan horja, yakni pesta adat besar-besaran, Joki termangu-mangu di teras dengan ditemani adiknya. Biarlah anak boru bersama-sama dengan dongan sabutuha beserta hula-hula merundingkan rencana horja[1]itu. Joki lebih senang menyelimuti dirinya dengan murung yang tak diketahui dari mana asalnya. Dia tidak lagi menolak perkawinannya dengan Meinar. Keputusan itu diambilnya setelah melihat ibunya merasa senang terhadapnya. Ada telusuran nyaman di hati melihat keramahan ibunya.
Sesekali memang masih melintas bayangan Widuri. Ah, biarlah dia menikah dengan lelaki asing itu. Barangkali dia memang menemukan kebahagiaan dengan lelaki itu. Jika aku tak datang padanya, tentunya dia akan meneruskan hubungannya dengan lelaki Barat itu.
Lantas, ingatan pada suatu siang di depan Kartika Plaza menyentuh perasaannya. Widuri bergandengan dengan lelaki Amerika itu. Takkan ada yang merasa kusakiti jika aku tak muncul di depan Widuri. Dia bisa meneruskan hubungannya yang akrab dengan lelaki berkulit putih itu. Barangkali dia memang mencintai lelaki itu. Biarlah. Aku sendiri pun tak tahu apa sebenarnya
makna cinta itu. Aku tak tahu apakah aku mencintainya, atau aku tidak mencintai Meinar. Semuanya sama saja sekarang. Tak perlu lagi cinta dibicarakan. Cinta cukup dalam imajinasi saja. Dalam kenyataan, lebih baik me-nerima apa yang terpampang dan memilih mana yang paling sedikit membawa persoalan. Tak perlu lagi men-jadi pejuang yang gigih menantang kehidupan. Tak perlu lagi. Lebih baik memilih kehidupan yang paling sedikit tantangannya. Lebih baik memilih kehidupan yang di-senangi orang tua walau mematikan keinginan pribadi. Biarlah berjalan kehidupan yang adem-ayem-tentrem. Kehidupan tanpa tantangan!
Golok Bulan Sabit 13 Wiro Sableng 166 Kupu Kupu Giok Ngarai Sianok Topeng Hantu 1

Cari Blog Ini