Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea Bagian 6
bicara. Masih merasa jengkel mengingat kejadian diatap rumah sakit tadi.
Bara tidak tahan melihat Irina terus - menerus melarikan diri. Ia berdiri dan mendekatinya. Ditariknya kursi beroda yang tengah diduduki oleh wanita 'keras
kepala' itu ke dekat sofa. Kedua wanita berusia 27 tahun itu tercengang melihat aksinya. Dia berlutut di depan Irina mengunci gerakannya dengan kedua lengan
panjangnya di dua sisi kursi.
" Kamu sangat keras kepala. Tidak bisa diajak bicara. Terlalu mengikuti perasaan tapi terlalu cepat juga mengambil kesimpulan. Aku sudah mengetahui semua
rencana dan sakit hatimu. Aku paham bagaimana perasaanmu. Jangan melakukannya dengan caramu. Tidak ada gunanya kamu menyakiti diri sendiri demi membalas
orang lain. Itu bodoh, Irina. Biarkan orang lain membantumu. Kami bertiga akan ikut mengungkapkan semuanya" Bastian dan Edel membiarkan Bara yang berbicara
dengan Irina. Mereka berharap konflik perasaan keduanya bisa sekalian diluruskan. Setidaknya di kondisi serba samar ini, ada satu persoalan yang tidak
lagi abu - abu. Kuncinya memang ada pada Irina. Namun dia terlalu keras kepala dan dibutakan oleh dendam untuk dapat melihat warna pelangi yang menjunjung
tinggi diatas kepalanya. Kalau diibaratkan dengan sebuah peribahasa. Semut diujung lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.
" Kamu sudah tahu dan paham katamu" Biar aku tanyakan dulu sekarang. Saat kamu mengetahuinya dulu, kenapa kamu membiarkan ayahmu berbuat seperti itu" Menutupi
kebusukan dengan kekuasaanya. Kamu bahkan mengatakan tindakanku ini bodoh?" Sekarang kamu berkata bahwa kamu paham dan akan membantuku?" Aku yang tidak
paham denganmu jadinya!" Bersamaan dengan meningginya suara dan emosinya, Irina berdiri dan mendongak. Menatapnya lurus. Menunjuk dada laki - laki jangkung
di hadapannya itu dengan penuh emosi.
" Maafkan aku. Aku memang pengecut yang tidak berani melawan ayahku. Ketakutan akan kesalahan yang dibayar dengan kematian tragis ibuku berhasil memukul
telak keberanianku saat itu, Irina. Sampai Bastian memberitahuku tentang malpraktek ayahmu, aku baru tahu dan tersadar. Betapa bodohnya aku 10 tahun yang
lalu. Diriku di masa itu tidak bisa dikatakan sebagai seorang dokter. Rasa bersalah terus menghantuiku selama 10 tahun ini. Aku memang si idiot yang hanya
bisa pasrah tanpa bisa melakukan perlawanan disaat ayah sudah menunjukkan kekuasaan dan power nya. Tapi sekarang. Bara yang sekarang tidak akan membiarkan
ayahku melakukannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk membuka kedua kasus yang ditenggelamkan olehnya kembali ke permukaan. Kamu tidak perlu mengorbankan
apapun untuk bisa menariknya keluar. Karena aku yang akan menarik jangkarnya. Jangkar emas yang sudah berkarat oleh darah dan airmata banyak orang. Termasuk
kamu. Yang aku harapkan untukmu. Kamu bisa hidup bahagia. Tersenyum bahagia seperti sebelum senyum polosmu terenggut oleh pisau bedah ayahku. Jangan hidup
menderita, Irina. Aku memohon permintaan maaf padamu atas nama ayah, rumah sakit dan si bodoh Bara 10 tahun lalu" Bara berlutut di depan kakinya. Kesengsaraan.
Penyesalan. Kesakitan. Nelangsa. Tergurat nyata di wajah tampannya. Topeng es yang selama ini terpasang kokoh di wajah itu, telah terlepas dengan sendirinya.
Memperlihatkan wujud asli dibalik kekakuan yang menjadi perisai penutup lukanya.
Irina terpaku di tempat menatap Bara yang berlutut memohon pengampunannya atas kesalahan sang ayah juga dirinya. Airmata meleleh jatuh di kedua pipi mulusnya.
Bukan Bara yang diharapkannya untuk bertekuk lutut memohon pengampunan padanya. Melihat pengorbanan dan betapa menderitanya Bara, semakin menyakitinya.
Rasa benci yang dirasakannya semakin menusuk. Bukan hanya pada Gerard dan rumah sakit Boulevard. Tapi mencuat rasa benci baru di hatinya. Dia benci pada
dirinya sendiri karena tidak bisa bahagia seperti apa kata Bara. Tidak bisa memilih pilihan sesuai hatinya. Tidak bisa membawa kebaikan apapun selain dendam
dan jadi sumber luka hati untuk pria yang dicintainya. Lihat apa yang bisa dia perbuat. Semua orang disekitarnya menderita. Terancam. Ikut berlumur lumpur
karena dirinya. Tidak berguna! Umpatnya dalam hati" Tangannya gemetar. Perasaannya berantakan.
" Bukan kamu. Bukan kamu yang harusnya bertekuk lutut memohon pengampunan dariku! Aku tidak suka kamu bersikap begini, Bara! Kamu seperti berusaha menggantikan
ayahmu. Usahamu ini membuatku semakin membenci dia! Di depanku bagai berdiri seorang hakim yang menunjukku tepat di depan hidung. Seakan - akan aku ini
si jahat yang telah menyengsarakan banyak orang! Aku merasa jadi pembawa sial untuk kalian semua! Jangan berkorban untukku! Kalian semua jangan ikut terjun
ke neraka bersamaku!" Ujarnya terisak - isak. Mencengkram jas putih di bahu Bara.
Melihat wanita di hadapannya mulai histeris, Bara menarik tangan mungil yang mencengkram kedua bahunya lalu berdiri. Dipeluknya wanita itu erat - erat.
Perasaan tercerai berai yang terus melukai. Hati yang hampir jadi compang camping oleh goresan luka. Rasa sakit bertalu - talu menyayat pilu jiwa. Dengan
saling mendukung satu sama lain, mereka berharap akan ada secercah harapan di tengah hutan belantara yang gelap. Berdoa akan turun hujan di tengah padang
pasir yang gersang untuk mengobati rasa dahaga keduanya. Dahaga akan cinta dan kebahagiaan. Malam panjang itu ditutup oleh airmata sepasang insan berjubah
dokter. Yang dibaliknha berselimut luka.
Rumah sakit Boulevard pukul 08:00. Bastian dan Edel tiba di halaman parkir khusus dokter divisi jantung. Menunggu kedatangan dua orang yang kondisinya
sedang mengkhawatirkan. Sambil menunggu di dalam mobil, Edel mengeluarkan sandwich tuna dan menyodorkannya ke mulut sang suami. Bastian yang tengah sibuk
membaca berkas pasien, membuka mulutnya secara otomatis. Tampak telah terbiasa dengan kebiasaan sang istri yang hobi menyuapinya. Dia sudah hapal bahwa
Edel sering gemas dengan dirinya yang sering kehabisan waktu makan. Saking sebalnya, ia bahkan pernah dikagetkan oleh rekaman suara yang terpasang pada
DVD dalam kantornya. Rekaman berisi peringatan sang istri untuk dirinya agar tidak lupa makan. Ditutupnya map berisi berkas pasien. Karena tidak ingin
menguji kesabaran wanita disebelahnya.
Tak lama moment bahagia itu berlangsung, 'pasangan bermasalah' yang sedang ditunggu pasangan Denfort pun tiba. Melihat keduanya tiba dengan mobil terpisah,
membuat Edel berdecak kesal." Mengapa mereka datang dengan mobil masing - masing" Semalam mereka sudah seperti Romeo dan Juliet. Pagi ini kenapa kembali
seperti kutub senama lagi" Apa sebenarnya yang menjadi masalah dua orang ini?" Keluhnya. Memangnya perlu seribu satu alasan untuk membuat mereka bersatu"
Pikirnya lagi. Edel belum bisa paham jalan pikiran dua orang bodoh yang sedang diamatinya.
Isi pikiran pria disebelah wanita yang sedang menggerutu itu, tidak jauh berbeda. Meski tidak sejujur istrinya, Bastian juga tidak bisa menampik bahwa
keluhan itu ada benarnya." Ayo kita hampiri mereka" ajaknya. Sepasang suami istri itu turun. Masing - masing menghampiri sahabatnya. Menyapa dengan ucapan
selamat pagi. Bara tidak terlihat ada masalah. Tapi Irina jelas sekali terlihat sangat bermasalah. " Kamu kenapa datang seorang diri" Kalian bisa datang bersama, kan?"
Edel berusaha memancing. Semoga bukan keributan yang terpancing datang.
" Aku bisa datang sendiri. Tidak perlu repot - repot menjemput atau mengantarku. Aku perlu mengecek ulang jadwal pasien. Aku permisi duluan" ujar Irina.
Dengan kepala sedikit menunduk berjalan meninggalkan ketiganya. Ia tergopoh - gopoh melewati Bara. Tidak berani menatap sepasang mata tajamnya.
" Irina!! Tunggu!!" Panggil Edel mengejarnya.
" Kalian kenapa lagi" Bertengkar?" Tanya Bastian. Bosan menyaksikan drama tarik ulur keduanya. Bak menonton operet di pagi - pagi buta.
" Entah. Aku juga sama bingungnya dengan kalian. Dari semalam telepon dan pesanku tidak ada yang dijawab atau dibalasnya. Pagi ini aku jemput ke rumahnya
tapi dia malah ngeloyor pergi membawa mobilnya sendiri. Aku ikuti saja dari belakang. Kami jadi seperti bermain kejar - kejaran di pagi hari. Lihat saja
saat berhadapan denganku dia seperti ketakutan. Memang ada yang salah dengan perlakuanku?" Nada suaranya menyiratkan keputusasaan. Dia bingung harus bagaimana
lagi menghadapi wanita yang satu itu. Jika bukan mengingat usianya yang sudah berkepala tiga, dia pasti sudah ikut merajuk seperti anak kecil. Kalau sudah
seperti itu apa bedanya dia dengan Vino"
" Kalian butuh bicara empat mata. Jangan dipaksa tapi perlu diperjelas juga. Hubungan kalian semakin tidak jelas. Dia sekarang juga tidak perlu lagi berada
di team Braga. Apa kamu akan menariknya kembali ke teammu?" Tanya Bastian yang penasaran dengan rencana Bara selanjutnya.
" Tadinya pagi ini aku mau mengajukan pengembalian formasi team seperti semula. Tapi melihat responnya seperti tadi, aku rasa sebaiknya ditunda dulu" jawab
Bara mendengus kesal. " Aku dukung apapun keputusanmu. Kalian pasangan yang membingungkan. Lebih membingungkan dari penjelasan profesor Ilyas saat mengajari kita teknik baru
dalam operasi CABG" sahutnya. Bara hanya tertawa ringan mendengar perumpamaannya. Profesor Ilyas adalah sosok guru yang sangat membosankan setiap kali
memberikan penjelasan. Hampir seluruh team bedah jantung bisa terkantuk - kantuk dibuatnya. Kedua pria bertinggi 180an itu berjalan masuk untuk memulai
aktifitas di hari itu. Divisi jantung pukul 8:00. Lantai 4 gedung khusus dokter divisi jantung. Renno berjalan tergesa - gesa dengan wajah kaku. Begitu tiba di depan tempat tujuannya,
dia masuk tanpa mengetuk pintu. Di dalam, dia melihat sahabatnya sedang tepekur di meja kerjanya.
" Braga. Apa yang kamu lamunkan?" Sahutnya sebagai kata pembuka untuk memecah lamunan Braga.
" Renno" Sejak kapan kamu disini?" ujarnya. Terkejut.
" Sejak jaman batu. Jaman dimana rumah sakit Boulevard masih dalam angan - angan. Dinosaurus masih berkeliaran seperti semut. Tentu saja beberapa menit
yang lalu, Braga. Kamu saja yang keasikan berangan - angan. Kamu melamunkan hal - hal tidak senonoh ya?" Goda Renno memicingkan matanya penuh curiga.
" Enak saja! Memangnya aku ini kamu?" Melamun jorok itu keahlianmu bukan aku. Lagipula aku benci melihat wanita pengumbar keseksian. Sangat tidak berkelas.
By the way. What's up" " sahutnya menampik tuduhan sahabat mata keranjangnya itu.
" Aku dapat ultimatum dari profesor Reiner karena sempat salah mengidentifikasi hasil EEG (Electro Encephalograph adalah alat tes gelombang otak untuk
mengetahui aktivitas pikiran pada otak seseorang). Jadi sekarang aku diberi mandat untuk mempelajari ulang masalah gelombang otak(*). So, aku mau minta
tolong padamu untuk jadi pasien uji cobaku" pinta Renno. Dengan bakat akting yang tidak perlu diragukan lagi.
(* Jaringan otak manusia hidup menghasilkan gelombang listrik yang berfluktuasi. Gelombang listrik inilah disebut brainwave atau gelombang otak. Dalam
satu waktu, otak manusia menghasilkan berbagai gelombang otak secara bersamaan. Gelombang otak menandakan aktifitas pikiran seseorang.
Secara umum gelombang otak dikategorikan menjadi 4 jenis;
Beta, frekuensi 12 - 25 Hz. Gelombang yang terlihat dominan pada saat dalam kondisi sadar, menjalani aktifitas sehari-hari yang menuntut logika atau analisa
tinggi. Misalnya mengerjakan soal hitung-hitungan, berargumentasi, olah raga, dan memikirkan hal-hal yang rumit. Dalam kondisi ini memungkinkan bahwa seseorang
memikirkan sampai 9 obyek secara bersamaan.
Alpha, frekuensi 8 - 12 Hz. Gelombang yang terlihat dominan pada saat tubuh dan pikiran rileks dan tetap waspada. Misalnya ketika kita sedang membaca,
menulis, berdoa dan ketika kita fokus pada suatu obyek. Gelombang ini berfungsi sebagai penghubung pikiran sadar dan bawah sadar. Alfa juga menandakan
bahwa seseorang dalam kondisi hipnotis yang ringan.
Theta, frekuensi 4 - 8 Hz. Gelombang yang dominan saat kita mengalami kondisi hipnotis yang dalam, meditasi dalam, hampir tertidur, atau tidur yang disertai
mimpi. Frekuensi ini menandakan aktivitas pikiran bawah sadar.
Delta, frekuensi 0,1 - 4 Hz. Gelombang yang terlihat dominan saat tidur lelap tanpa mimpi).
" Kamu kebiasaan sekali jika sudah kena hukum profesor Reiner, pasti aku yang jadi ikut repot. Untung kamu bukan dokter bedah. Tabiat teledormu memang sudah
sangat akut. Bisa - bisa pasien tutup usia semua kalau dibedah olehmu. Salah menganalisa hasil tes gelombang otak" Memangnya waktu kuliah dan jam terbangmu
masih cetek" Lagipula buat apa aku jadi pasienmu" Lebih baik kamu gunakan pasien yang memang bermasalah saja" keluh Braga yang capek menghadapi tingkah
polah Renno. Setiap satu kali sebulan, sahabatnya ini pasti kena skors profesor Reiner. Kebanyakan karena suka menghilang untuk berkencan dengan para wanita.
Sialnya, selalu dia yang diutus untuk menyeretnya pulang oleh kepala divisi syaraf. Sungguh sial, umpatnya.
" Ayolah, sob. Ini hanya formalitas saja supaya si tua itu percaya aku sudah mengikuti semua prosesi hukuman itu. Buat apa aku mempelajarinya ulang. Kemampuanku
sudah dibuktikan dengan semua pasienku yang sukses sembuh dari tangan dingin ini. Dia saja suka melebih - lebihkan. Come on. Don't be a chicken. This is
just a game. Anggap saja kita sedang bermain dokter - dokteran" dia mulai melancarkan rayuan maut sang playboy.
" Kamu mengajak dokter sungguhan bermain dokter - dokteran" Sepertinya kepalamu yang perlu diperiksa dengan EEG bukan aku. Mungkin saja gelombang otakmu
abnormal akibat syaraf malu atau syaraf kewarasanmu sudah putus. Ok. Akan aku bantu tapi jangan sekali - kali kamu membalasnya dengan membawakan wanita
- wanita spesialmu ke kantorku seperti tempo hari aku membantumu. Atthar sampai kabur terbirit - birit begitu masuk kesini. Mengira aku hendak melakukan
yang tidak - tidak" diperingatkannya Renno agar tidak usah repot - repot membalas. Cukup tidak menyusahkannya saja sudah sangat membantu.
" Oke. Ayo kita menuju ke ruang pengecekkan EEG" ajak Renno tidak sabaran. Sekelebat sinar misterius terpantul dimata kebiruannya.
Ruang pribadi Irina yang belum juga pindah ke lantai 4 sesuai aturan team baru. Edel menyusulnya masuk.
" Kamu ini kenapa sih, Rin" Sikapmu itu seperti anak kecil. Untuk apa kamu mengacuhkan Bara" Dari kejadian malam tadi, apalagi yang kamu butuhkan agar
bisa yakin padanya" Jangan egois, Irina! Bukan cuma kamu yang terluka sekarang. Kamu harus belajar memahami perasaan dan posisi orang lain. Tidak hanya
memandang semuanya dari tempatmu berdiri" rentetan kekesalan Edel melihat sikap sahabatnya yang tidak juga melunak.
" Aku tahu, Del. Saat ini akulah yang paling egois. Aku yang paling jahat mempermainkan dan membolak balikkan perasaan semua orang disini! Oleh karena
kesadaran itu yang membuatku ragu untuk memulai hubungan dengan Bara. Aku malu padanya. Merasa tidak berhak menerima cintanya setelah apa yang aku perbuat.
Kepura - puraan juga niat jahatku sudah ia ketahui. Ujung finish dari rencanaku adalah memporak-porandakan tempat ini. Itu berarti aku akan menjadi grim
reaper untuk ladang pencaharian kalian. Ujung tombak bisnis keluarga Witchlock. Apa pantas aku yang akan menjadi biang kerok kehancuran keluarganya, mempunyai
ikatan dengan dia?" tutur Irina menyampaikan keraguan hatinya. Pantas tidak pantas menjadi tolak ukur pemikirannya
" Ya ampun, Irina. Dengarkan aku. Para dokter yang ada di rumah sakit ini bukan kumpulan orang idiot berumur 25 tahun keatas yang bisa mati kelaparan hanya
karena kehilangan pekerjaan di rumah sakit ini. Kami semua independent. Hilang satu maka akan tumbuh seribu. Jangan berpikiran seakan - akan kamu jadi
Tuhan yang bisa merancang hidup semua orang, Rin. Tentukan sikap pada apa yang mau kamu lakukan. Sekarang ini kamu yang jadi terlihat terombang abing bukan
kami. Kamu bimbang akan hubungan percintaanmu. Ragu pada balas dendammu. Menyikapi Bara saja kamu bingung. Lantas, apa yang kamu inginkan sebenarnya" Kebahagiaan
itu bukan takdir. Itu pilihan, Irina. Pilihanmu yang akan menentukan kisah tragis ini akan berakhir happy end atau sad end! Dan untuk masalah Bara. Jawabanku,
Ya. Kamu harusnya jujur pada perasaanmu sendiri dan kembali ke sisinya. Jika kamu merasa menjadi pihak yang paling jahat disini, dengan melakukan itu maka
kamu menunjukkan bahwa dirimu masih punya hati!" Edel mengatakannya dalam sekali tarikan napas.
" Setelah menyambut cintanya, lalu aku meluluh lantakan pijakannya" Itu yang kamu sebut punya hati" Akan lebih kejam lagi jika aku melakukan itu" tampik
Irina. " Setidaknya kamu memberikannya pijakan baru agar dia tidak jatuh menuju kegelapan" sahut Edel, sengit.
" Pijakan apa" Aku hanya bisa memberikannya luka dan nestapa. Bukan kebahagiaan apalagi pijakan!" tambahnya.
" Cinta, Irina. Cinta lebih hebat dari yang kamu bisa bayangkan. Dia bisa menjadi udara untukmu bernapas. Bisa menjadi tanah tempatmu berpijak. Bisa menjadi
langit yang melindungimu. Bisa menjadi air untuk menghilangkan kehausanmu. Bisa menjadi api yang membakar semangatmu. Bisa menjadi obat mujarab untuk luka
sedalam apapun. Bagi Bara sekarang, dia hanya punya kamu dan cinta dihatinya sebagai secercah harapan menuju bahagia. Cahaya surga yang bisa dia tuju setelah
lama tersesat dalam kegelapan masa-masa kelam. Tidakkah kamu menangkap kilauan cahaya itu di kegelapanmu" Jika tidak. Mata hatimu sudah tertutup sempurna.
Selamat datang dalam neraka dunia. Dimana hidup seperti mati. Bukan nyawamu yang mati. Yang mati adalah rasamu, Irina" nasihat psikiater teratas rumah
sakit Boulevard itu berhasil memukul keras keangkuhan dalam hatinya. Hanya bisa terdiam. Irina merenung. Menilik setiap kata perkata yang dilontarkan oleh
Edel. Air mata meluncur bebas dari pelupuk matanya. Merasa hentakan yang diberikannya sudah cukup kuat, Edel pun memberikan waktu untuknya memproses.
" Maaf jika kata - kataku terlampau kasar atau keterlaluan. Aku ingin kamu sadar. Membalas dendam tidak mesti harus mengorbankan kebahagiaanmu juga. Di
dunia ini kebencian berbanding terbalik dengan cinta. Tapi dalam prosesnya, keduanya saling berdampingan. Berperan sebagai opsi untuk kita pilih. Hukum
probabilitas dan kepantasan yang kamu usung selama ini, tidak bisa dijadikan tolak ukur utama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Kamu berhak bahagia.
Bara juga berhak bahagia. Untuk itulah Tuhan menganugerahkan hati yang saling bertautan antara kalian berdua. Entah apa rencana Tuhan dengan menghadirkannya.
Tentu saja itu yang terbaik, bukan" Untuk semuanya" Dia menutup pembahasan. Tidak lama ia pun pamit untuk memulai prakteknya. Meninggalkan Irina untuk
menenangkan pikiran dan hatinya.
Usai mendengar dalih beraneka ragam Irina tentang alasan untuk menjauhi Bara, Edel memasuki ruang kerjanya di divisi kejiwaan. Harap - harap cemas bahwa
mukjizat akan meluluhkan hati baja sahabatnya. Edel terkejut begitu melihat tamu yang sedang menunggunya. Dan yang paling mengagetkan lagi adalah identitas
si tamu. Yang tak lain tak bukan yaitu profesor Ilyas.
" Profesor Ilyas?" Ujarnya. Terperanjat dengan kunjungan tidak terduga itu. Radar kedaruratan berfrekuensi tingginya langsung menangkap sinyal tanda waspada.
Dia tahu maksud dan tujuan sang kepala divisi jantung pasti berkaitan dengan Irina. Not good.
" Selamat pagi, dokter Edel. Maaf mengganggumu di waktu sepagi ini. Kamu tentunya sangat terkejut melihat kedatanganku sekarang" Jangan khawatir, aku tidak
sedang berusaha mengganggu atau mengusikmu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan. Bisakah kamu luangkan waktu sedikit untuk bicara?" Profesor Ilyas
sedikir berbasa basi sebelum mengajukan permintaan yang sebenarnya.
" Bisa. Mari kita bicarakan sekarang, profesor. Jangan sungkan. Saya sangat tersanjung bisa dikunjungi oleh profesor dari divisi jantung sekelas anda.
Apa yang sekiranya perlu ditanyakan dan bisa saya jawab itu, profesor?" Berlaku sesopan dan setenang mungkin, Edel pun duduk berseberangan dengan tamunya.
Menekan serangan rasa panik yang mencengkram jantungnya. Jika ada Bastian, dia pasti bisa langsung tahu bahwa denyut jantungnya sudah berada di atas normal.
" Aku ingin menanyakan masalah dokter Irina. Setahuku, kamu adalah teman dekatnya sejak SMA. Apa benar?" ujar profesor lulusan Harvard ini.
Nah, Terjadi juga apa yang dikhawatirkannya sejak tadi, rutuk Edel." Benar sekali, profesor. Saya dan Irina memang berteman dari SMA. Jadi point pertanyaan
anda?". " Kalau begitu, kamu juga pasti mengenal siapa orang tuanya, kan" Pertanyaanku. Apa benar orang tua dokter Irina sudah meninggal dunia" Jika iya, apa yang
menjadi penyebab kematiannya?" lanjut sang profesor. Menggiring arah pembicaraan menuju pokoknya.
" Tentu saja saya mengetahuinya. Ibunya meninggal karena sakit. Sedangkan ayahnya meninggal akibat kecelakaan" jawab Edel. Berusaha menutupi tapi tidak
mau berbohong mentah - mentah. Ia sangat berhati - hati dalam memilih setiap kalimat yang dilontarkannya. Karena bagi orang secerdas profesor Ilyas, setiap
patah kata bisa menjadi statement. Berbahaya. Dari sekedar obrolan ringan bisa jadi ajang debat terbuka.
" Kecelakaan apa tepatnya" Jangan takut, dokter Edel. Aku hanya sedang memastikan riwayat stafku agar suatu saat jika terjadi masalah, aku tidak salah
mengambil keputusan" tambahnya. Mengklarifikasi maksud pertanyaannya.
Edel menatap lawan bicaranya itu dalam - dalam. Menganalisa efek lanjutan dari jawabannya. Meski sempat ragu, namun menurutnya ini saat yang tepat untuk
melancarkan serangan. Langsung atau tidak langsung. Tepat atau tidak tepat. " Kecelakaan tabrak lari, profesor". Akhirnya ia bernyali juga memberikan umpan
besar pada pihak yang berkemungkinan lima puluh berbanding lima puluh tidak memihak pada kebenaran. Betapa besar taruhan yang dilakukannya. Terkadang hidup
memang harus mempertaruhkan sesuatu untuk mencapai tujuan. Prinsip ala Edelwiss Denfort.
" Hmm. . Tabrak lari" Sangat ironis, ya" Kapan waktu kejadian itu?" Mereka sampai pada persoalan inti.
" Sepuluh tahun yang lalu. Saat kami masih berusia 17 tahun" Umpan tambahan memasuki arena. Bermaksud melihat respon sang profesor setelah mendengar fakta
terhangat itu. Terkesiap pada pernyataan Edel yang terakhir. Matanya memicing. Dibalas oleh tatapan tajam wanita di seberangnya. Mereka berdua seperti beradu pandang.
Saling menantang. Jika diibaratkan, bagai pertandingan beladiri dimana masing - masing peserta memiliki gaya bertarung yang berbeda tapi misinya sama.
Yaitu menjatuhkan lawan. Merasa sudah mendapatkan apa yang dibutuhkannya, ia pun berdiri untuk berpamitan.
" Terima kasih, dokter Edel. Semua informasi ini lebih dari cukup. Jika berkenan, aku undur diri dulu" ujarnya bergegas melangkah meninggalkan ruang Edel.
" Tunggu sebentar, profesor! Biarkan saya menyampaikan satu hal pada anda" panggil Edel. Menahan kepergian laki - laki berdarah belanda itu. Profesor Ilyas
menoleh kembali. " Kebusukan dan kesalahan bukan untuk ditutupi. Sebagai orang terpelajar yang bekerja di bidang kemanusiaan seperti kita" Sudah sepantasnya lebih berjiwa
besar dalam masalah seperti ini. Bukan jadi besar logika tapi lemah hati. Saya sangat berharap, anda adalah orang yang cukup bijaksana. Bukan si picik
yang memprioritaskan hal - hal fana semisalnya kedudukan atau uang" celetuknya. Tidak ada rasa takut sama sekali. Dia hanya ingin menyampaikannya pendapat
pribadinya saja. Aura wajah profesor Ilyas berubah menggelap. Kemudian seulas senyuman merekah di wajah lembut itu. Memamerkan kerutan - kerutan di dekat mata dan bibirnya.
" Kamu benar, dokter Edel. Kita semua seharusnya berjiwa besar dan bijaksana. Berani mengakui kekhilafan dan meminta maaf atas segala kesalahan. Untuk
keberanianmu, aku akan memberinya hadiah. Bukan berupa barang. Tapi sebuah clue. Ada potongan puzzle yang belum berhasil kalian temukan. Potongan puzzle
yang hilang itu ada pada Braga".
Edel terperanjat. " Apa maksudnya anda dengan kuncinya ada pada Braga" Bukankah dia tidak tahu apa - apa?".
" Ketidaktahuan itu tidak mutlak. Bisa berubah secara fluktuatif. Sangkaan dan kenyataan berbanding terbalik. Sifatnya paradoks. Jawaban lengkapnya ada
pada teritorialmu dan profesor Reiner. Hanya segitu yang bisa aku sampaikan. Selamat pagi, dokter Edel" isyarat terakhir sang profesor menambah panjang
daftar teka teki yang perlu dipecahkan mereka. Deretan panjang daftar misteri malpraktek 10 tahun lalu, tampaknya belum akan selesai. Atau justru mulai
mendekati titik terang. Sekarang membawa nama profesor Reiner segala" Memusingkan, Rutuk Edel.
Ruang kerja kepala rumah sakit pukul 16:25. Bara hendak mengetuk pintunya. Tapi tiba - tiba. . .
" Bara!" Panggil Bastian dari ujung lorong. Menghampiri anak bungsu kepala rumah sakit itu dan menariknya menjauhi pintu.
" Apa yang mau kamu lakukan" Kita kan sudah sepakat, bahwa tidak boleh menyerang pak Gerard dulu secara langsung. Kemarin aku sudah mengarahkan Braga untuk
sedikit memberikannya shock terapy. Tapi jika sekarang kamu membuat keributan dengannya, tingkat kewaspadaan ayahmu bisa meningkat. Kita akan kesulitan
mendapatkan bukti - buktinya. Jangan terbawa emosimu!" Bastian memaparkan ulang resiko dan benefitnya.
" Iya, aku tahu. Maaf kalau tindakanku gegabah. Aku tidak tahan. Aku perlu tahu kondisi sebenarnya tentang Braga. Kamu juga melarangku menemuinya. Aku
bisa mati penasaran! Aku yakin, Bas. Ada yang aneh pada kakakku. Mustahil dia serba tidak tahu. Ayah pasti melakukan sesuatu padanya! Kamu sendiri bilang
waktu itu. Ada ruang kosong pada penjelasannya" tetap keras kepala dan ngotot ingin mencari tahu dugaan mereka terkait kondisi sang kakak, Bara menolak
perannya yang harus berpangku tangan.
" Oke, begini saja. Dibanding menyatakan perang tanpa senjata dengan Raja lebih baik menjatuhkan jenderalnya duluan" usul Bastian. Kembali membawa rencana
brilliant lainnya. " Profesor Ilyas" Sebelumnya beliau sudah aku ajak bicara. Apa dia tidak memasang keamanan ekstra begitu melihat wajahku untuk kedua kalinya?" Bara ragu
untuk menekan kembali sang profesor.
" Serangan psikologimu tampaknya cukup berefek padanya. Barusan Edel menelponku. Katanya dia diinterogasi oleh profesor Ilyas terkait masalah Irina. Dia
juga memberikan kisi - kisi penting. Memang ada kunci cadangan untuk membuka jalan pintas pada labirin konflik 10 tahun lalu ini. The Duplicate Key is
your big brother " tutur bapak beranak satu itu.
" How could" Apa maksudnya" Bagaimana caranya?" sahut si bungsu.
" Masalahnya, clue yang diberikan beliau perlu kita pecahkan terlebih dahulu. Its not simple. Ayo kita bicarakan lebih lanjut dengan Edel dan Irina" usulnya.
" Tunggu. Tunggu. Sebaiknya jangan libatkan Irina dulu. Aku rasa kita bertiga saja dulu yang menyelidikinya. Bagaimana?" Pinta Bara. Tidak setuju mengikutsertakan
Irina. " Kamu takut dia akan kembali mengejar - ngejar Braga setelah mengetahui bahwa kuncinya ada pada kakakmu" How childist you are" " ledek sahabatnya sambil
menyeringai jail. " Terserah apa katamu. Pokoknya aku tidak setuju dia dilibatkan disituasi abu - abu ini. Irina itu impulsif. Baru mendengar imbuhan di awal kata saja dia
bisa langsung bereaksi tanpa memikirkan imbuhan dibelakangnya. Berbahaya, kan?" Dia paham sekali bagaimana tabiat wanita keras kepala itu.
" As your wish " Bastian terkekeh geli dengan gerutu partner kerja terbaiknya.
Ruang medical check up khusus staf rumah sakit Boulevard pukul 17:15. Renno telah selesai melakukan pengecekkan gelombang otak Braga menggunakan alat EEG.
Dengan dalih hanya untuk formalitas, dokter spesialis syaraf berumur 32 tahun itu menyembunyikan hasil tes tersebut. Untungnya Braga bisa dikelabui dengan
bualan dari mulut manis seorang playboy kelas expert seperti Renno. Dia tidak curiga dan pergi meninggalkan divisi syaraf kembali ke teritorialnya. Situasi
terlihat aman dan terkendali, Renno melesat menuju ruang pribadinya sambil membawa hasil tes itu.
Gedung pribadi dokter divisi syaraf. Di ruang berlabel 'Dr.Renno Alexander Sp.S', si pemilik sedang asik membaca berkas hasil tes yang sudah dicetaknya.
Mata biru bak samudera atlantik Renno terbelalak. Mulutnya menganga saking terkejut. Beruntung laki - laki yang sedang tercengang itu memiliki garis wajah
blasteran yang tampan. Dengan panik membolak balikkan lembar demi lembar berkas medical check up bernama Braga Dereck Witchlock. Dibacanya berulang - ulang
kertas yang bertebaran diatas mejanya. Seakan berharap hasil tes yang tertera di situ dapat berubah seketika.
" Imposible! Is it a lie" Tidak mungkin ini salah. Aku sendiri yang melakukan pengecekkannya. Perlu aku konsultasikan pada bagian kejiwaan untuk memastikannya.
Tapi akan sangat mencurigakan saat membaca nama Braga ada pada hasil tesnya. Ah, masa bodo. Ini masalah serius. Alasan kenapa Braga bisa berada dalam kondisi
begini juga harus dipastikan. Sebaiknya aku tanyakan pada Edel. Hanya ahli kejiwaan sekaliber dia yang mampu mengidentifikasi dan mumpuni dalam menangani
masalah jiwa sekompleks ini" Renno bergumam sendiri sembari modar - mandir di tengah ruangan. Gelisah dan panik. Gelombang otaknya memberikan signal exspress
pada syaraf motorik. Tanpa tedeng aling - aling, dia menyambar map hitam berisi berkas hasil tes Braga dan berlari keluar menuju divisi kejiwaan.
Ruang praktek Edel di divisi kejiwaan. Terdengar suara ketukan pada pintunya. " Tok. Tok. Tok".
" Masuk" suara jawaban dari dalam. Dia pun memasuki ruang kerja bernuansa pastel yang merupakan warna khas divisi kejiwaan.
Melihat siapa pengunjungnya, Edel yang tengah membaca berkas pasien menghentikan aktifitasnya sejenak. Dengan alis terangat sebelah, psikiater berusia
27 tahun itu memandang penuh tanya si tamu.
" Selamat sore, dokter Edel. Sepertinya kamu sedang sangat sibuk. Apa kedatanganku mengganggu waktu kerjamu?" Renno berusaha berbasa - basi. Berharap mencairkan
suasana dan mood pembincangan garing itu.
" Tidak juga. Apa yang mengantarkanmu ke sini" Jika urusannya tidak penting, kamu bisa aku usir karena saat ini pekerjaanku memang sangat banyak" sahut
Edel. Suaranya mengancam tanpa basa - basi.
" Easy, Del. Easy. Aku hanya ingin meminta pertolonganmu untuk mengidetifikasi kondisi salah satu pasien spesialku. Bisa aku curi sedikit saja waktu super
sibukmu itu" Untuk kasus orang yang satu ini, kamu pasti tertarik. Aku jamin" melihat ekspresi Renno yang biasanya santai berubah serius, dia mau tidak
mau jadi ikut tertarik. " Baiklah. Sepertinya ini serius, ya" Bisa aku lihat hasil tes dan riwayatnya" mengulurkan tangannya dan meraih berkas yang disodorkan oleh Renno. Menangkap
nama tidak asing yang tertera di bagian atas halaman pertama, ia pun terkesiap. Menoleh ke arah si pemberi informasi, menuntut penjelasan via kontak mata.
Anggukan kepala sebagai balasan sudah cukup meyakinkannya bahwa data tersebut memang real. Melanjutkan membaca dan menganalisa isi datanya membuat lipatan
di dahi wanita ayu itu semakin bertambah. Sampai pada bagian hasil tes EEG gelombang otak Braga. Edel terperanjat bukan kepalang dengan mata terbelalak
lebar. Bagai terkena sambaran petir ditengah badai angin ribut.
" Ini" Sungguhan?" Ujarnya menatap Renno.
" Melihat rekasimu, analisaku berarti tidak salah. Jadi benar, kan" Ada yang abnormal pada gelombang otak Braga. Terdeteksi gelombang Tetha dan Alpha meski
tidak mendominasi. Ini salah satu metode dibidangmu, bukan?" Sahutnya.
" Ya. Kondisi ini biasanya muncul pada pasien Post Hypnotic Amnesia. Metode menidurkan sebagian ingatan menggunakan hipnotis sebagai medianya. Aku tidak
Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyangka ini bisa terjadi pada Braga" gumam Edel. Berita ini cukup.mengguncangnya. ini merupakan jawaban dari semua pertanyaan tentang Braga. Namun pertanyaan
baru yang muncul adalah siapa dan untuk apa hal ini dilakukan pada Braga" Dia butuh masukan dari Bastian dan Bara.
" Renno. Boleh aku simpan data - data ini?" Pintanya. Mengatur ekspresi dan ritme napasnya senormal mungkin.
" Boleh saja. Tapi untuk apa" Apa kamu akan melakukan penyelidikan diam - diam" Kalau iya, aku juga ingin ikut. Aku perlu mengetahui alasan orang itu melakukannya
pada Braga" Renno bersikeras ingin ikut serta. Khawatir pada kondisi sang sahabat.
" Aku minta maaf sebelumnya. Tapi masalah ini sifatnya pribadi. Aku tidak bisa menceritakannya padamu. Masalah keluarga Witchlock. Akan aku sampaikan semuanya
pada Bara. Sebagai adiknya dia lebih berhak dari kita. Aku harap kamu mau mengerti dan tidak buka mulut tentang masalah ini" Edel menjelaskan duduk persoalannya
secara general. Dengan tegas melarang bocornya masalah itu pada pihak lain yang tidak berkepentingan.
Meski sering tidak serius dan kerap bermain - main, Renno bukan pria bodoh yang gemar bertindak konyol. Dia paham batasan dalam mencampuri hidup orang
lain, yang terdekat sekalipun. Ingin menghormati keluarga rekan terdekatnya, ia setuju untuk bungkam. Firasatnya mengatakan, akan terjadi badai besar yang
lebih dahsyat dari tsunami dan tornado.
14. Pure Love and Little Piece Of Memory
Lantai 2 gedung pribadi khusus dokter divisi kejiwaan. Bastian dan Bara menunggu kedatangan Edel di ruang pribadinya. Mengira-ngira sendiri kabar mengejutkan
apa lagi yang akan mereka terima. Semoga bukan angin ribut yang akan kembali memporak-porandakan keadaan yang sudah sangat berantakan.
" Braaakkk!!" Suara hentakan pintu yang dibuka dengan kekuatan ala supermom berhasil menghenyakkan kedua pria bertubuh besar itu. Sekonyong-konyongnya
Edel muncul dengan raut wajah amat serius. Tatapannya seperti orang yang siap membunuh.
Ups, yang ini lebih mengerikan dari angin ribut. Untunglah dia bersama pawang wanita mengerikan yang satu ini, pikir Bara. Setidaknya dia tidak akan dikuliti
hidup-hidup jika salah bicara.
Tanpa perduli kejutan yang baru saja dilakukannya, ia duduk di sebelah sang suami dan menyodorkan map berisi berkas rekam medis Braga pada sang adik. Sebelum
Bara sempat membuka map tersebut, tangan Edel kembali menutupnya.
" Sebaiknya kamu baca ini dengan kepala dingin. Isinya mungkin akan sangat mengejutkanmu. Tapi ini merupakan kunci utama kita untuk menyelesaikan teka-teki
rumitmu dan Irina. Aku harap kamu tidak terbawa emosi setelah membacanya. Berjanjilah untuk tidak kehilangan akal sehatmu, Bara" ujar sang nyonya Denfort.
" I promise you. Ada kamu dan Bastian yang akan memastikan jika aku bertingkah like a moron " jawabnya.
Cukup puas dengan jawaban singkat itu, Edel melepaskan tangannya. Kemudian memberikan salinannya pada Bastian untuk ikut membaca data tersebut.
Bara membuka map berstempel Top Secret dan membaca seksama isinya. Ekspresi tak percaya, kaget dan marah silih berganti sepanjang proses reading. Usai
membaca keseluruhan isinya, Bara menatap Edel seakan meminta penjelasan rinci terkait kesimpulan serta hasilnya. Begitupun Bastian. Biar bagaimana pun
juga data tersebut merupakan bidang keahlian Edel bukan mereka.
" Kalian pasti bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Braga" Akan aku jelaskan. Dari hasil EEG otak Braga, terdeteksi gelombang aneh. Yang intinya
menyatakan bahwa saat ini, dia dalam keadaan amnesia sebagian. Beberapa ingatannya ditidurkan untuk suatu alasan. Menurut dugaanku, pada case Braga kemungkinan
prosedur yang digunakan adalah metode Post Hypnotic Amnesia. Dimana ingatan itu ditidurkan oleh hipnotis. Yang secara logika tentunya disengaja dengan
maksud tertentu" tutur singkat ibu beranak satu itu.
Sontak bertambah terkejutlah keduanya. Mereka menatap sang penerjemah dengan ekspresi terguncang. Kenapa jadi semakin dramatis" Bagai drama hiperbola yang
tragis saja. " Post Hypnotic Amnesia" Metode seperti apa itu?" tanya Bastian baru mendengar istilah tersebut.
" Metode yang dilakukan dengan media hipnotis untuk menidurkan sebagian ingatan atau bisa juga mengembalikan ingatan yang hilang. Biasanya cara ini digunakan
untuk pasien yang mengalami trauma berat pada suatu kejadian agar si pasien bisa hidup normal tanpa bayang-bayang rasa sakit masa lalunya. Memory tentang
kejadian itu disembunyikan" tutur sang istri atas pertanyaan suaminya.
" Kalau begitu metode ini memang ada unsur kesengajaan. Ada oknum yang melakukannya pada Braga untuk suatu tujuan. Jika ingatan yang ditidurkan adalah
yang terkait malpraktek 10 tahun lalu, maka bisa kita duga pasti siapa dalangnya" Bastian menarik kesimpulan cepat dari semua bukti yang mereka punya.
Menoleh ke arah Bara yang juga sedang berusaha menganalisa segala kemungkinan lainnya. Yah, meski hipotesa mereka mungkin tidak secanggih Sherlock Holmes.
" Ayah pastilah yang merencanakan ini. Tanpa ijinnya tidak akan ada yang berani mempermainkan ingatan Braga. Metode macam ini pasti butuh ijin tertulis
dari pihak keluarga. Secara otomatis, semua bukti sudah mengarah langsung pada ayahku. Pertanyaannya, Del. Apa bisa dikembalikan" Maksudku kalau hanya
ditidurkan berarti bisa dibangunkan kembali, kan?" Analisa cerdas Bara. Dia sangat terguncangbahwa sang ayah bisa melakukan tindakan sejauh itu pada Braga.
Sebijak apapun alasannya, menidurkan ingatan yang seharusnya berada pada tempatnya adalah kejahatan bagi Bara. Sesakit apapun sebuah memory akan lebih
sakit lagi jika hilang tanpa dikehendaki.
" Bisa saja. Jika ada hal terkait masa lalu yang dilupakannya dimunculkan maka ingatan yang tertidur dapat terpancing keluar. Namun pada kenyataannya saat
ini kita tidak tahu. Apakah ingatan Braga yang ditidurkan itu benar tentang malpraktek yang kita maksud?" Jawab Edel memaparkan opininya.
" Tadi katamu, metode ini bisa digunakan untuk mengembalikan ingatan juga. Apakah tidak bisa dilakukan sekali lagi untuk mengembalikannya?" Usul Bastian.
" Mungkin bisa juga. Tapi sebenarnya metode ini tidak boleh sembarangan dilakukan. Ada batasan-batasannya yang dilindungi hukum. Kami tidak diijinkan melakukannya
tanpa alasan jelas dan persetujuan pasien atau keluarga. Resikonya besar. Sebuah ingatan sangat penting dan unpredictable. Sama sukarnya saat memahami
kepribadian dan karakter seseorang yang beragam, berlainan satu sama lain. Tidak bisa disamaratakan. Saat prosesnya ada resiko besar yang fatal. Keseluruhan
ingatan justru bisa hilang total. Yang lebih berbahaya lagi jika yang melakukan memiliki niat jahat. Dia bisa saja menanamkan ingatan palsu sehingga si
korban memiliki ingatan lain yang sifatnya imitasi. False memory. Kasus lanjutan yang pernah terjadi sampai membuat pasien mengidap gangguan identitas
disosiatif(*) karena efek samping terapi hipnotis" Edel menjelaskan besaran resikonya.
(* gangguan identitas disosiatif atau lebih dikenal dengan sebutan kepribadian ganda merupakan gangguan kejiwaan yang penderitanya mengalami kondisi dimana
ia memiliki lebih dari satu kepribadian. Penyebab terjadinya kondisi ini biasanya akibat trauma tingkat ekstrem pada masa kanak-kanak atau menurut beberapa
ilmuwan kondisi ini merupakan rekayasa si psikiater atau terapis yang telah menanamkan ingatan serta persepsi yang salah pada pasiennya menggunakan metode
hipnosis. Masing-masing kepribadian bisa memiliki cerita, ingatan, dan karakter masing-masing. Yang terparah sampai memiliki nama untuk setiap kepribadian.
Semua kepribadian yang ada silih berganti mengambil alih tubuh si penderita sehingga ia akan mengalami distorsi waktu, amnesia, depersonalisasi, depresi
sampai keinginan menyakiti diri sendiri dan bunuh diri. Penderita juga mengalami tingkat kemampuan yang fluktuatif karena biasanya masing-masing kepribadian
bisa memiliki tingkat kecerdasan, pemahaman, pola pikir bahkan ability unik yang tidak dimiliki kepribadian lainnya. Untuk penyembuhannya bisa dengan psikoterapi
dan terapi hipnotis yang tepat dapat dipertanggung jawabkan).
(Untuk referensi kasus nyata yang telah terjadi dapat dibaca pada kasus Sybil Isabel Dorsett, Karen dan Billy. From; Feist, J. & Feist, G. J., (2009).
Theories of personality (7th ed) . New York: McGraw-Hill; Hall, C. S. & Lindzey, G., (1993). Psikologi kepribadian 2: teori-teori holistik (organismik
- fenomenologis). Penterjemah Drs. Yustinus, M. Sc. Editor Dr. A. Supratik. Yogyakarta: Kanisius; Wikipedia. (2014). Gangguan identitas disosiatif. http://id.wikipedia.org/wiki/Gangguan_identitas_disosiatif).
" Apa kamu bisa melakukannya, Del" Metode hipnotis itu?" Sahut Bara. Tampak tertarik untuk mencobanya.
" Apakah aku memiliki sertifikasi untuk melakukan terapi hipnotis" Jawabannya, iya. Tapi resikonya besar dan aturannya ketat, Bara. Tidak bisa dilakukan
tanpa persetujuan Braga. Kamu tidak sedang mengajukan request padaku untuk melakukannya pada kakakmu, kan?" jawabnya meyakinkan Bara bahwa mereka bukan
sedang bermain jigzaw puzzle. Jika terjadi salah pasang potongannya, bisa segera dicopot kembali lalu ditaruh ke tempat yang benar.
" Apa tidak ada jalan lain selain melakukan ulang hipnotisnya?" Potong Bastian memukul jauh-jauh bahaya bagi sang istri yang akan menanggung resiko besar
jika harus menjadi penghipnotis Braga.
" Ada. Kalau kita bisa meyakinkan Braga tentang kejadian yang sebenarnya. Mungkin itu bisa memancing ingatan yang tertidur itu untuk kembali. Dan harus
cukup vital untuk dapat membuat jiwanya terguncang. Masalahnya, kita tidak tahu ingatan tentang apa yang terkungkung dalam alam bawah sadarnya" jawab Edel.
" Profesor Ilyas pasti tahu. Kita harus bisa paksa beliau memberikan pengaitnya agar kunci ingatan Braga bisa kita dapatkan" ujar Bara. Dia tahu betul kemana
harus meminta. Divisi Jantung pukul 18:00. Area operasi. Braga baru selesai melakukan tindakan operasi, memberikan instruksi lanjutan pada asistennya, Irina dan Atthar.
Sedangkan pasien dibawa oleh suster Anjani dan Razo ke ruang pemulihan. Cecillia ikut mendengarkan instruksi Braga sebelum menyusul ke ruang pemulihan
bersama Atthar. Saat hendak beranjak kembali ke ruang pribadinya untuk beristirahat, kedua dokter team 3 itu berselisih jalan dengan seorang pasien wanita.
Pasien itu mengenakan seragam pasien yang berwarna biru langit. Rambutnya panjang dan kecokelatan. Terlihat ciri-ciri ras Kaukasoid pada tiap guratan wajah
cantiknya. Begitu mereka berdua bersilang jalan, muncul sekelebat sosok lain dalam bayangan Braga.
Wanita berambut panjang sepunggung warna kecokelatan. Mata sendu. Kulit putih bersih tapi pucat. Bibir tipis yang sedikit kering. Hidung mancung proposional.
Tubuh ramping setinggi 169 sampai 170 centi. Wajahnya tidak jelas.
Tanpa aba-aba, kakinya berhenti melangkah. Terpana dengan pemandangan yang dilihatnya tadi. Bagai flashbackatau dalam bahasa kerennya disebut deja vu.
Braga menoleh menatap wanita yang baru saja melewatinya. Merasa diperhatikan, wanita itu pun menoleh dan menatap bingung ke arahnya. Bersamaan dengan bertemu
pandang dua insan ini, bayangan samar wajah wanita bermata cokelat tadi muncul lagi. Kenapa sosok wanita tak dikenal itu seperti terus menghantuinya" Pikir
Braga. Setiap melihat pasien wanita yang ciri-cirinya serupa, sosok misterius itu pasti muncul di kedua matanya seperti roll film yangsedang diputar di
dalam kepalanya. Sosok yang terasa familiar tapi tidak dikenali. Hatinya selalu sakit saat berusaha mengingat siapa wanita itu. Apa dia mengenalnya" Tapi
kapan dan dimana" Siapa wanita itu" Braga tidak bisa mengingat identitas sosok misterius yang menghantui pikiran dan mimpinya dalam 2 hari ini.
" Braga" Apa kamu baik-baik saja?" Suara panggilan Irina memecah lamunannya.
" Hah" Oh, aku baik-baik saja Irina. Don't worry " ujar Braga sempat terkaget.
" Kenapa kamu memperhatikan pasien tadi sampai sebegitunya" Apa kamu mengenalnya?" Tanya Irina penuh selidik. Sedikit curiga dengan reaksi Braga.
" Aku tidak mengenalnya. Hanya tiba-tiba teringat sesuatu. Aku lelah ingin istirahat di ruanganku. Kalau ada apa-apa segera kabari saja. Jam setengah 8
nanti aku akan pulang. Sebelum pulang akan aku cek kembali kondisi pasien di ruang ICU. Jadi kalian bisa lekas pulang" Braga mengalihkan pembicaraan. Bukan
karena takut dicampuri. Memang dia sendiri pun tidak tahu mau menjawab apa. Perasaannya saat itu janggal dan aneh. Dia semakin tidak mengenal isi pikiran
dan hatinya sendiri. Baru kali ini dia merasakan yang namanya pikiran dan hati tidak sinkron. Ibarat berjalan tak tentu arah. Tersesat tidak mengenal jalan.
Baik untuk maju atau arah pulang.
" Oke. Are you alright, Braga" Kamu terlihat seperti orang linglung" ujar Irina khawatir sekaligus ingin tahu.
" I'm alright. Mungkin karena capek saja makanya terlihat seperti orang bingung. Kalau begitu aku duluan, ya. Sampaikan pada yang lain. Mereka sudah aku
ijinkan pulang. Hati-hati dijalan. Bye" pamitnya bergegas menuju ruang pribadinya. Sambil mengusap kening.
Irina menatap punggung lebar Braga menghilang dari pandangan dengan mata memicing. Dia berpikir keras. " Aneh. Braga tidak bersikap normal. Dia juga biasanya
tidak mudah terusik oleh kehadiran perempuan. Kali ini justru hal itu yang mengganggu pikirannya. Apa yang dia sembunyikan?" keluh Irina dalam hati.
" Apa Edel benar" Bahwa mendekati Braga yang tidak tahu apa - apa sama saja dengan menyiapkan perangkap untuk diri sendiri. Kehilangan banyak waktu. Menenggelamkan
semua kesempatan. Membuang segala peluang. Apa sebaiknya aku kembali ke team 1" Bara juga sudah tahu identitasku. Mungkin dia mau berbagi cerita dan informasi
yang dia tahu. Apa pikiranku tidak terlalu naif, ya" Ah, masa bodo! Pusing aku memikirkannya. Lebih baik pulang dan istirahat saja dulu. Besok pagi Edel
memintaku menemaninya dan Vino bermain. Hitung-hitung menyegarkan pikiran" gumam Irina dalam hati berjalan menuju ruangannya.
Di ruangan berdekorasi classic mediteran. Braga duduk di kursi kerjanya. Kepala bersandar pada punggung kursi. Mata terpejam. Menengadahkan wajahnya ke
samping kanan menatap bunga mawar putih yang tertata rapi dalam vas bunga warna gading di sudut ruangan. Bunga itu adalah favorit sang ibu. Mengingat senyum
hangat malaikat yang merawatnya sejak kecil adalah penentram hati yang tengah kacau balau. Timbul perasaan aneh yang berkecamuk saat berusaha mengingat
kembali kejadian 10 tahun lalu selama dua hari ini. Kenapa dia merasa ada yang hilang?" Sama persis seperti saat bertemu beberapa pasien wanita berwajah
blasteran. Ada rasa tidak nyaman seperti sedih, marah dan sakit. Dia tidak paham apa maksudnya dan apa penyebabnya. Oh, Tuhan. Kepalanya serasa ingin pecah!
Mungkin dia sudah mengalami gangguan kejiwaan, keluh Braga sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang besar dan berjari panjang.
" Mungkin aku perlu berkonsultasi dengan ahli kejiwaan. Siapa tahu aku memang sudah masuk episode gila stadium ringan atau mungkin menengah. Siapa wanita
itu" Mustahil aku memimpikan dan berkhayal tentang seorang wanita yang tidak pernah aku temui. Berulang-ulang selama 2 hari" Sudah pasti bukan kebetulan.
Kepalaku juga belakangan sering berdenyut-denyut saat berusaha mengingat siapa wanita itu. Mengapa juga aku tidak mengingat apapun tentang malpraktek Bara
dan ayah" Benar kata Bastian, sangat janggal jika aku termasuk pada pihak yang tidak tahu. Ada potongan-potongan yang kurang. Anehnya. Aku merasa menjadi
bagian dari yang hilang" dalam hati Braga berhipotesa. Ia frustasi. Merasa mengetahui sesuatu tapi tidak tahu apa yang diketahuinya. Ia didera perasaan
asing. Membentuk untaian asa yang berstatus incomplete.
Pukul 19.30 rumah sakit Boulevard. Gerard termangu di depan meja kerja. Kertas dan berkas berlogo top secret bertebaran di atas mejanya. Mata kecokelatan
menyiratkan kesedihan dan ketakutan. Kernyitan pada dahi pria berumur 60 tahunan itu semakin bertambah menampilkan kesan tua yang aneh. Sisa ketampanan
masih memancar khas kaum albino. Rambut putih mendominasi persebaran pada kepalanya dengan tatanan yang elegan. Kedua telapak tangan bertumpu diatas meja.
Memandang nanar kertas dihadapannya.
Lembar berisi medical check up dan rekam medis putera sulungnya, Braga. Bagian yang ditatapnya tanpa berkedip adalah kolom bertuliskan riwayat donor ginjal.
Dia sungguh takut membayangkan jika rahasia ini terbongkar. Bukan takut dirinya akan terpuruk. Kondisi si sulung yang menjadi perhatian utama. Kalau saja
ingatan itu kembali. Maka Braga akan sangat menderita. Bagaimana jika Bara juga mengetahui semuanya" Apakah ia mau mengerti" Atau justru menyalahkan Braga
atas meninggalnya sang ibu" Jangan sampai fakta ini menyebabkan pertengkaran kakak beradik ini. Gerard terus bertanya-tanya dalam hati. Tentang segala
kemungkinan dan solusi. Teringat pada kata-kata psikiater yang membantunya menghipnotis Braga.
" Anda harus ingat satu hal, pak. Ingatan itu tidak bisa dihapus sesuka hati. Ini hanya akan menidurkan saja. Sifatnya sementara. Dia bisa muncul kembali
saat ada yang mampu membangkitkannya. Ingatan tersakit yang bisa jadi pengingat. Dalam kasus putera anda. Memory paling vital adalah tentang wanita itu.
Sebagai sumber rasa sakit dan bersalah anak anda".
" Wanita itu benar-benar mengacaukan hidup Braga. Apakah kamu juga berpikiran sama denganku, Delilah sayang?" Ujarnya pada pigura di sudut meja. Dua bingkai
foto terpampang rapi. Di sebelah kanan, foto seorang wanita paruh baya berwajah cantik. Berkulit kuning langsat khas wanita indonesia. Matanya besar dan
rambut hitam legam. Tersenyum manis menatap ke arahnya. Di sebelah kiri adalah potret bahagia keluarga Witchlock. Dirinya, sang istri, Bara dan Braga yang
masih kanak-kanak. Perkebunan rumah mereka yang asri menjadi latar belakang foto berbingkai putih itu.
Dia ambil dua bukti nyata kebahagiaan hidupnya. Tatapan pedih sarat kesedihan terpancar di kedua mata kepala keluarga Witchlock. Berandai-andai penuh harap.
Ia rindu akan kebahagiaan mereka seperti dulu. Sebelum malpraktek itu terjadi. Sebelum wanita itu muncul di kehidupan Braga. Sebelum pengorbanan nyawa
Delilah. Sebelum kekacauan ini dibuatnya. Ia sadar ini salah. Tapi apakah salah jika ia melakukan penyelamatan untuk keluarganya" Semua ayah di dunia ini
pasti akan melakukan apapun demi anaknya, bukan" pikir Gerard.
Sekeras apapun dirinya menampik. Rasa bersalah. Penyesalan. Ketakutan. Terus merongrong hidupnya selama 10 tahun. Ini bukan pilihannya. Keadaanlah yang
membuatnya memilih. Sempat timbul pikiran untuk melepaskan semua rahasia. Terbuka. Biar Tuhan yang mengatur akan jadi seperti apa. Biarkan hukum alam yang
berbicara akan dibawa kemana nasib mereka nantinya. Namun ketakutan dan instingnya sebagai seorang ayah kembali bertahan. Tidak rela jika kedua puteranya
jatuh dan terluka. Adakah jalan keluar lain yang bisa ia pilih" Sekedar untuk melindungi dua hartanya yang tak ternilai. Tak ada jawabannya.
Di sisi lain. Irina berjalan menuju area parkir khusus dokter. Sebelum membuka pintu mobil, ia sempat melirik mobil Bara yang masih terparkir rapi dua
blok dari mobilnya. " Bara belum pulang. Sejak tadi aku tidak melihatnya. Kemana dia?" Gumamnya dalam hati. Tanpa sadar ia mulai merasa kehilangan sosok Bara.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sang pangeran muncul bersama pasangan Denfort. Terkejut dengan kedatangan Bara. Irina memalingkan wajahnya. Tergopoh-gopoh
ia berusaha membuka pintu. Karena panik, dirinya beberapa kali gagal memasukkan kunci ke lubangnya. Secepat kilat, Edel menyambar kunci mobil di tangan
Irina dan mengambil alihnya.
Dia terkejut dan menatap si pencuri dengan mata terbelalak. " Apa yang kamu lakukan, Del" Kebalikan kunci mobilku" ujarnya.
" Aku butuh ini untuk pulang" jawab Edel singkat.
" Apa?" Kamu bukannya pulang bersama suamimu?"" seru Irina yang bingung dengan jawaban barusan.
Suara mobil yang dinyalakan terdengar dari salah satu sudut area parkir. Disusul deru kendaraan yang dipacu meninggalkan peraduannya. Mobil Bastian melaju
meninggalkan area parkir. Irina tercengang. Bara mengumpat panjang. Tahu akan berakhir bagaimana.
Akibat dirinya yang terlalu terpana pada kepergian Bastian yang tidak terduga, ia tidak menyadari bahwa Edel sudah menaiki BMW merah maroon miliknya.
Irina terlonjak kaget oleh suara mesin kendaraan yang tak lain tak bukan adalah kepunyaannya.
" Edel!! Mau kamu bawa kemana mobilku?" Edel!!" Panggil Irina menggedor jendela mobil berusaha menghentikan aksi gila sahabatnya. Namun usaha itu sia-sia
saja. Mobil berplat B miliknya sudah melaju kencang. Sebelum menghilang dari pandangan, Edel sempat melambaikan tangan kanannya dari jendela. Sungguh sial
nasibnya, pikir Irina. Menyaksikan hiruk pikuk operet pencurian mobil di depan matanya, Bara hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu betul kedua orang tadi pasti sengaja
agar ia dan Irina bisa pulang satu mobil. Scene 1 sudah dilakukan, mau tidak mau dia pun harus melanjutkannya ke scene 2. " Cepat baik" ujar Bara membuka
pintu mobil. " A-aku mau naik taksi saja. Maaf. Terima kasih atas ajakannya. Permisi" Irina berputar hendak berjalan menuju arah pintu gerbang. Namun belum sempat melangkah
satu jengkal pun, sebuah tangan besar mencengkram bahu kirinya. Tangan itu merangkul habis bahu kecil Irina dan menggiring tubuhnya mendekati Range Rover
hitam berplat B 412 A. " Buat apa kamu naik taksi jika bisa pulang dengan gratis. Jangan bikin tingkah macam-macam. Kalau Edel tahu kamu tidak pulang denganku, bukan hanya mobilmu
yang akan dia curi. Mungkin saja dompetmu selanjutnya yang akan dia sita besok. Cepat naik" nasihat laki-laki jangkung disebelahnya.
Kata-kata Bara ada benarnya juga. Sahabat psikiaternya itu memang berbakat dalam melakukan hal-hal tak terduga. Sering kali dirinya dibuat mati kutu baik
dalam aksi atau perdebatan. Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi, pikir Irina. Sambil berdecak kesal, ia pun menurut. Bara tersenyum senang dengan sikap menyerah
Irina. Sebelum naik ia sempat melirik ke arah salah satu lajur kiri area parkir. Mobil Porsche warna hitam yang dikenalinya sebagai milik sang kakak masih bertengger
rapi dengan posisi sempurna."Braga masih ada di rumah sakit" Tumben sekali. Jadwal team 3 hari ini tidak terlalu padat. Irina saja sudah pulang. Apa yang
menahannya" Atau dia mulai menyadari sesuatu" Sesampainya di apartemen akan ku telepon dia" gumamnya dalam hati. Bara masuk dan memacu banteng besi miliknya
dengan kecepatan sedang meninggalkan halaman parkir rumah sakit Boulevard bersama Irina.
Tidak jauh dari pintu keluar rumah sakit, Edel dan Bastian ternyata masih menunggu dan mengamati. Saling tersenyum bahagia karena usahanya berhasil. "
Apa kataku" Berhasil, kan" Irina itu memang harus dipaksa. Dia terlalu gengsi dan keras pada perasaannya sendiri. Menyebalkannya, Bara bukan tipe pemaksa"
ujar Edel. " Bara tidak bisa memaksa perempuan. Memangnya seperti siapa yang kamu maksud tipe pemaksa?" Tanya suaminya heran.
" Dokter Renno. Dia tipe tukang paksa yang sangat keras kepala. Sulit diberi pengertian. Sesuka hati. Menyebalkan pokoknya. Tapi dalam case Irina, kalau
saja Bara bisa sedikit memaksa mungkin bisa membantu" seru Edel tanpa memikirkan kata-katanya. Dia lupa bahwa sang suami sangat tidak suka jika nama Renno
dibawa-bawa. Air muka Bastian seketika berubah kecut. " Oh. Sepertinya bukan hanya Irina yang cocok dengan tipe pemaksa. Kamu pun tampaknya tertarik. Khususnya yang
bernama Renno tadi, ya?".
Edel terperanjat. Baru sadar ucapannya memancing rasa cemburu sang suami. " Maksudku bukan itu, Bas. Aku hanya mengambil contoh terdekat saja. Jangan salah
tafsir. Kalau aku tertarik pada Renno, buat apa aku mengusirnya setiap kali dia menggangguku" Jangan marah, ya?" Bujuknya memeluk lengan kanan Bastian.
Mendongak dengan wajah memohon yang biasanya tidak bisa ditolak oleh sang suami. Bastian bukan tipe pemaksa dan bukan tipe pemarah. Ia pun luluh dan memaafkan
istrinya. " Jangan pasang wajah memohon seperti itu. Kesannya habis melakukan kesalahan besar saja. Aku tidak marah. Hanya tidak suka jika kamu sering
membawa-bawa nama Renno dalam pembicaraan kita. Sama seperti saat mantan tunanganku datang. Kamu ngambek habis-habisan hanya karena setelah itu aku sempat
keceplosan menyebut namanya".
" Kalau itu beda, dong. Dia pernah punya hubungan denganmu. Mantan calon istri kamu. Jelas aku cemburu. Apalagi dia datang membawakan makanan kesukaanmu
yang waktu itu aku tidak tahu. Kamu kok malah membahas dia?"" Protes Edel kesal saat membahas wanita masa lalu Bastian.
" Tuh. Lihat saja rekasimu. Lebih panjang dariku. Aku hanya bercanda. Sudah, jangan dibahas lagi. Nanti kamu badmood berkepanjangan. Ayo kita pulang. Vino
pasti sudah menunggu. Kamu duluan nanti aku mengikuti dari belakang. Hati-hati. Jangan ngebut" jawab Bastian menyudahi pembahasan sensitif itu sebelum
menjadi pembicaraan alot.
Masih cemberut, Edel naik dan membawa mobil Irina menuju rumahnya. Diikuti mobil Bastian.
Braga diam-diam menyusup ke kantor pribadi Gerard. Setelah memastikan semuanya aman dan kosong, dia mengendap-endap masuk. Melangkah tanpa suara menuju
meja kerja dan rak besar berisi dokumen penting. Lalu dibukanya laptop abu-abu diatas meja. Dengan membawa flashdisk berisi program hacking yang sudah
dipersiapkannya, dia bersiap membobol sistem keamanan laptop sang ayah. Untung saja ia mempunyai kawan lama yang berprofesi sebagai seorang programmer
canggih. Untuk misi penyelidikan sangat menguntungkan.
Braga cukup lihai dalam menggunakan komputer. Ia paham dan lumayan banyak menguasai piranti lunak. Sekedar mengaplikasi Software virus tentu bukan hal
yang sukar baginya. Hanya dalam waktu sekitar 10 menit, program 'penyusup' itu dapat bekerja. Akses menuju data rahasia Gerard telah berhasil dibuka paksa
olehnya. Tidak mau membuang-buang waktu lagi, ia segera menjelajahi file-file penting di dalamnya. Cukup sabar membuka satu persatu folder dan data. Semakin jauh
ditelusuri. Semakin mencengangkan pula fakta yang berhasil dibacanya. Demi keamanan, Braga mengcopy data penting tentang malpraktek 10 tahun lalu. Bukti
otentik itu akan ia gunakan untuk mengklarifikasi semua tanda tanyanya selama beberapa hari ini. Ternyata benar ada yang tidak beres pada dirinya. Namanya
tercantum dalam daftar formasi saat kejadian berlangsung. Bahkan teamnya yang melakukan tindakan pada pasien yang satu.
Aneh. Dia sama sekali tidak ingat pernah ikut serta. Namun merasa familiar dengan nama kedua pasiennya. Arya Wiguna. Dia ingat saat itu ia sedang menangani
pasien yang mengalami kecelakaan tabrak lari di UGD bersama dokter Hana.
Selang 2 minggu dari hari dimana mereka berdua menangani pasien tabrak lari di UGD, dokter Hana memang mengundurkan diri dari rumah sakit. Ia bahkan sempat
bertanya tentang alasannya. Dokter Hana berdalih karena suaminya yang berprofesi sebagai akuntan dipindah tugaskan ke luar negeri. Pasti bukan itu alasannya,
tebak Braga. Ini pasti hasil perbuatan sang ayah.
Usai membuat duplikat data, Braga merapikan kembali sistem security komputer sang ayah lalu menshut down nya. Masih penasaran dengan bukti lain, ia menggeledah
isi rak berisi berkas-berkas penting yang tepat berada di belakang meja. Karena tidak menemukan berkas yang cukup berarti, Braga beralih ke laci meja.
Laci itu terkunci. Tapi sungguh sial nasib Gerard, si sulung tahu rahasia unik dari kunci laci yang sengaja didesain atas permintaan khususnya. Pada kunci
serep yang tergantung dengan kunci asli, terdapat serep untuk laci pasangannya. Laci meja Gerard bisa dibuka dengan serep kunci laci milik Braga. Laci
meja Braga bisa dibuka dengan serep kunci laci Bara. Sedangkan laci Bara bisa dibuka oleh serep kunci laci Gerard. Ia pun mengetahuinya karena tidak sengaja
pernah melihat nomor kode pada kunci milik sang ayah. Aturan aneh yang akhirnya menjadi senjata makan tuan.
Di dalam laci, dia menemukan surat mutasi untuk dokter Hana ke rekanan rumah sakit Boulevard di Singapura. Tanggal yang tertera juga persis sama dengan
kepergian dokter Hana 10 tahun silam. Stupid!! Umpat Braga menepuk dahinya. Dia sudah sempat curiga sebenarnya tapi tidak berpikir untuk mengusutnya lebih
lanjut. Ternyata ada maksud terselubung dari kepergian dokter Hana.
" Mungkin ada bukti lainnya di dalam sini" gumam Braga. Meneruskan pencariannya.
Pada bagian paling dasar, terselip map bersampul biru gelap. Isinya dua carik kertas berupa form persetujuan. Pada form pertama tertulis nama pasien Arya
Wiguna. Kondisi tumor jantung stadium akhir. Jenis tindakan yang akan dilakukan adalah transplantasi jantung. Tanggalnya adalah 10 tahun lalu. Disetujui
oleh pihak keluarga bernama Ladya Sakila Wardhani.
Mata Braga terbelalak lebar. Terhenyak saat membaca detail pada lembar kedua. Disana tertera nama pasien yang sama yaitu Arya Wiguna. Bagian kronologi
kondisinya persis sama dengan pasien korban tabrak lari yang ia tangani 10 tahun lalu di UGD bersama dokter Hana. Tapi kenapa ia tidak ingat mengarahkan
pasien itu untuk dilakukan tindakan tranpslantasi jantung" Bingung sebingung-bingungnya.
Guratan unik tanda tangan di sudut kertas menyita perhatian Braga. Irina Haruna Yasmine. Tertulis pada kolom penyetuju yang biasanya dari pihak keluarga
pasien. Lidahnya sampai kelu saking terkejutnya membaca nama Irina ada pada kolom tanda tangan.
" Irina" Kenapa namanya bisa tercantum disini" Kolom ini hanya boleh ditanda tangani oleh keluarga atau wali pasien. Dengan kata lain, dia bisa jadi salah
satu kerabat. Atau justru keluarga terdekat seperti adik, kakak atau anak. Tapi kenapa nama tengahnya Haruna" Nama tengah Irina itu Aruna. Hanya beda satu
huruf memang. Data pribadi staff rumah sakit yang bisa menjawab pertanyaan ini. Profesor Ilyas yang memilikinya. Bagus sekali. Setelah ini tampaknya aku
masih harus menyusup ke kantor orang lain lagi. Sudah seperti Lupin si pencuri saja" pikir Braga.
" Iissh. . .!" Braga mengerang sambil memegangi dahi. Datang rasa sakit menusuk-nusuk kepalanya. Ada kabut tebal yang menghalangi pandangan. Sekelebat
ingatan tentang seorang gadis belia muncul. Dia sedang menangis tersedu-sedu di bangku tunggu di depan ruang operasi. Wajahnya tidak begitu jelas karena
tertutup oleh rambut dan poni. Kulitnya putih bersih.
Tidak tahan dengan serangan rasa sakit dan ingatan yang mulai muncul tidak beraturan, Braga bergegas meninggalkan ruangan sang ayah. Dibawanya dua lembar
kertas persetujuan bukti nyata keterikatan Irina dalam kasus malpraktek 10 tahun lalu beserta lembar mutasi dokter Hana.
Bara mengantar Irina sampai di depan rumahnya. Sepanjang perjalanan keduanya melancarkan aksi saling diam. Pikiran Bara terusik oleh banyak hal berkaitan
dengan sang kakak. Sedangkan Irina sibuk pada pikirannya sendiri tentang bagaimana bersikap di dekat Bara. Tepat di depan gerbang, mobil berwarna hitam
berpostur gagah itu berhenti. Si pengemudi menoleh dan menatap penumpang disebelahnya.
Mendapatkan perhatian penuh Bara membuat Irina jadi salah tingkah. Dengan gugup ia mendongak. Sepasang mata tajam beralis tebal menatapnya dengan sangat
intens. Dirinya serasa sedang di scan oleh sinar X. Perasaan dan pikirannya seperti sedang coba dibaca oleh Bara.
" Terima kasih sudah mengantarku. A-aku masuk dulu ya. Bye" ujarnya hendak cepat-cepat kabur dari suasana canggung antara mereka berdua. Dia lupa bahwa
sedang berada di wilayah kekuasaan siapa. Sistem lock mobil memiliki setting centrelock. Dengan kata lain pengemudi memiliki kendali penuh pada penguncian.
Bara cukup menyadari posisinya dan menggunakan kesempatan itu untuk menahan Irina agar tidak 'melarikan diri'. Mobil dibiarkannya dalam keadaan terkunci
dari dalam. Irina bertambah panik. Tangannya sampai berkeringat. Mencoba membuka kunci pintu secara manual tapi sia-sia. Dia pikir mobil semewah itu memiliki sistem
safety sekelas taksi yang berkeliaran seantero kota Jakarta" Come on, Irina. Jumlah angka nol pada harganya saja bisa beda 3 digit.
" Kenapa kamu sepanik itu" Aku tidak akan menelanmu hidup-hidup" ujar Bara. Memperhatikan tingkah konyol wanita panik disebelahnya.
Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Wanita mana yang tidak akan takut jika disandera di dalam mobil seperti ini oleh seorang pria" Buka kuncinya, Bara!" seru Irina berpaling menatap 'penyanderanya'
dengan tatapan ketus. " Kamu yang memaksaku untuk menggunakan cara paksa. Tidak usah panik. Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu. Ada yang ingin kubicarakan. Jadi tolong
tenang dan dengarkan baik-baik. Bisa, kan?" Gaya bicara khas Bara. Singkat. Padat. To the point . Tajam tepat sasaran.
Kalau sudah keluar nada seperti itu, mau tidak mau Irina terpaksa setuju. Kenapa laki-laki jenis ini harus tercipta di dunia" Laki-laki dengan otoritas
tinggi pada suaranya. Membuat sekelilingnya takhluk tanpa bisa protes. Sungguh menyebalkan, umpatnya dalam hati. " Ya sudah. Bicara saja".
" Jangan bereaksi dan membuat kesimpulan sebelum aku selesai bicara" tambah Bara. Dia sudah khatam kitab tabiat bernama Irina Aruna Yasmine. Memberikan
peringatan sebelum mendapat semburan maut dari mulut wanita berwatak bola beckel ini.
" Iya. Cepatlah!" Serunya.
" Aku tidak mengerti apa yang membuatmu menjauhiku setelah semua rahasiamu terbongkar. Kita sama-sama tahu rahasia masing-masing, sekarang. Aku berusaha
memahami posisimu. Sakit hatimu. Kebencianmu. Tapi aku masih belum bisa terima jika kamu melakukan aksi balas dendam dengan mendekati Braga. Jangan lupa,
Irina. Braga adalah kakakku. Saudara kandung yang sangat penting untukku. Sama pentingnya seperti mediang ayahmu untukmu. Meskipun itu kamu, aku tidak
akan terima jika Braga kamu perlakukan seperti boneka. Bukan cuma kamu yang menderita dengan keadaan ini. Aku juga, Irina. Seandainya pun kamu memang tidak
memiliki perasaan yang sama denganku. Tidak apa-apa. Tapi jangan bersikap berjarak seperti sekarang atau membolak-balikkan perasaan orang. Terimalah pertolongan
orang-orang disekitarmu. Sadar atau tidak sadar, kamu sudah mulai ragu-ragu melangkah. Kamu serba khawatir melanjutkan balas dendam ini. Disamping itu
perasaan bencimu belum bisa padam. Akan jadi seperti apa, Irina" Kamu seperti anak sekolahan yang sedang berdiri di lapangan upacara tanpa tahu mau melakukan
apa. Hanya berdiri di depan tiang bendera seperti orang dungu. Buka pikiran dan hati. Runtuhkan sedikit egomu. Dulu kamu yang mengatakan bahwa aku memiliki
ego selebar jagat. Lihat bagaimana kata-kata itu berbalik menyerangmu. Aku peduli padamu. Cintaku tidak apa kamu tolak. Tapi tolong jangan tolak pertolongan
dariku" tutur Bara dengan wajah super serius dan penuh arti.
Ceramah singkat itu berhasil memukulnya telak di kepala. Orang dungu yang hanya bisa berdiri menatap tiang bendera" Tepat. Sangat tepat sekali. Seperti
itulah kondisinya saat ini. Ia sebenarnya sudah lelah. Sempat terbersit keinginan besar untuk melarikan diri dan hidup tenang tanpa peduli pada masalah
dendam mendendam ini. Sudah kepalang basah. Bensin telah ditebar dimana-mana hanya tinggal membuat percikan api menciptakan si jago merah yang akan akan
melahap segalanya. Termasuk dia.
"Hidup bahagia penuh cinta. Siapa yang tidak mau" Andaikan kamu tahu. Perasaanku padamu sama besarnya dengan dendamku pada ayahmu. Mungkin sudah lebih
besar sekarang. Itulah yang membuatku takut, Bara. Aku takut dendamku akan melukai kamu"
Irina terdiam menatap Bara. Mata mereka saling beradu pandang. Tatapan sendu Irina bertemu dengan tatapan Bara yang dalam. Seakan bisa saling berbagi kesedihan,
keduanya bertahan pada posisi begitu selama beberapa saat. Bara memalingkan wajah. Tanpa berkata-kata, ia membuka kunci dan beranjak turun dari mobil.
Berputar untuk membukakan pintu agar Irina bisa turun. Dengan sedikit jontai, Irina menurut. Melangkah turun menuju gerbang rumahnya. Ia berbalik lagi
menatap Bara. " Anggap saja sekarang kita berada dalam satu perahu yang sama. Lupakan urusan cinta antara kita jika itu membuatmu tidak nyaman berada di dekatku. Bersikaplah
seperti sebelumnya. Selamat malam, Irina" ujar Bara berbalik pergi tanpa menunggu balasan.
Kalimat penutup tadi menghujam langsung ke dasar hatinya. Tubuhnya membeku ditempat. Menatap mobil Bara yang semakin menjauh dari pandangan. Ditemani semilir
angin malam yang terasa dingin membelai wajah dan rambutnya. Hatinya sakit bagai disayat sembilu. Tak terasa airmata telah membanjiri kedua pipinya.
Irina berjongkok di depan pagar. Menangis terisak-isak. Andai rembulan dan bintang bisa bicara. Mungkin mereka sudah mengumpat sejak tadi karena menyaksikan
kebodohan yang baru saja ia lakukan. Hanya perlu mengucapkan kalimat 'jangan pergi! Aku butuh kamu disisiku' saja susahnya setengah mati. Kesempatan tidak
akan datang dua kali. Penyesalanlah yang terakhir datang menemani.
Pagi pukul 10:15 di taman hiburan. Irina menunggu kedatangan Edel dan Vino. Ia sudah berjanji untuk menemani ibu dan anak itu berjalan-jalan disana karena
sang suami tidak bisa ikut lantaran ada operasi mendadak. Matanya sedikit bengkak akibat menangis semalam suntuk. Ditambah serangan insomnia (penyakit
sulit tidur) membuat wajahnya persis zombie di film-film barat.
Yang ditunggu datang juga. Edel muncul bersama Vino mengenakan busana dengan warna serasi. Penampilan lucu dan ceria balita laki-laki berambut kecokelatan
itu cukup merubah mood nya yang mendung. Anak-anak memang bisa menjadi pelipur lara.
" Sorry. Kita telat. Tadi Vino sempat rewel. Maaf ya, Rin" Edel meminta maaf atas keterlambatannya.
" Tidak apa. Aku juga belum lama sampai kok. Hai, Vino! Apa kabar" Masih ingat dengan tante Irina?" Ujar Irina mendekati Vino yang tersenyum lebar.
" Tante Rin. Miss you. Vino wanna play! " seru keceriaan balita blasteran itu menarik-narik tangan Irina.
" You wanna play" Ok. Lets play! " seru Irina menanggapi kegirangan Vino. Bergandengan tangan mengikuti ajakannya.
Dua orang berbeda generasi itu memasuki taman bermain. Edel menatap keduanya dari belakang. Mengirim pesan melalui telpon genggam. Setelah membaca balasannya,
senyum misterius tersungging di bibir mungil Edel. Berjalan masuk untuk melanjutkan misi rahasia.
Di tempat lain. Si penerima pesan satunya juga tengah dalam perjalanan menuju lokasi kejadian. Memasang poker face sehalus mungkin.
" Kita sebenarnya mau kemana, Bas" Tumben sekali di hari libur begini kamu justru memilih mengajakku pergi. Biasanya ini waktumu menjalankan peran sebagai
ayah dan suami yang baik. Ada apa?" Tanya Bara dengan ekspresi masih mengantuk.
" Aku ingin mempersiapkan surprise untuk ulang tahun Vino. Aku perlu survey tempatnya sebelum merencanakan lebih lanjut. Karena pagi tadi Vino rewel jadi
Edel terpaksa tinggal dirumah dan mengajaknya berjalan-jalan agar aku bisa keluar rumah" Bastian menjawab dengan alasan yang masuk akal dan sangat mulus.
Good job. " Hmm. Ulang tahun Vino tidak lama lagi, ya. Aku hampir lupa. Dimana tempatnya?" Bara mulai tertarik begitu membahas masalah Vino.
" Dufan. Vino benci dengan pesta. Terakhir ulang tahunnya dirayakan dengan pesta di rumah membuat suasana hatinya menjadi buruk. Wajahnya cemberut sepanjang
pesta. Edel dan aku juga sepakat tidak mau mengajari Vino untuk jadi penggila pesta dan hura-hura. Setelah melihat antusias Vino saat melihat pamflet taman
hiburan Dufan, aku mendapat ide untuk merayakannya disana. Sekalian bermain saja" jawaban cerdik Bastian.
" Good reason. I am agree with you. Anak-anak tidak seharusnya mengenal pesta. Lebih bagus membiarkan mereka bermain sesuka hati. Memberikan warna ceria
pada masa kanak-kanak. Kalau hanya bermain, apa yang perlu kamu survey?" Bara rupanya bukan target yang mudah dikelabui.
" Yang mau aku survey adalah wahana mana yang akan akan aku jadikan tempat utama kejutan untuknya. Vino gemar melihat benda bercahaya terang yang warna-warni.
Klasik kesukaan anak-anak. Aku berencana mau membuat hiasan lampu-lampu indah pada salah satu wahana yang view nya bagus" Bastian kembali melontarkan alasan
karangannya. " Ide yang cukup bagus. Aku lumayan suka. Baiklah, ayo kita lihat lokasi mana yang pas" ujar Bara mulai termakan siasat Bastian.
Bagai artis cilik yang sangat berbakat. Vino menjalankan perannya dengan sangat natural. Edel sangat bangga pada putera sematawayangnya itu. Mungkin Vino
bisa jadi artis, pikirnya. Dia tahu itu sebenarnya hanya naluri alamiah seorang anak kecil yang senang bermain bersama orang yang disukainya. Anak kecil
bisa merasakan mana orang yang menyenangkan dan yang tidak.
" Bagus sekali, Vino sayang. Kamu anak yang sangat cerdas. Mama very proud of you" Edel memuji dalam hati.
Dua orang wanita bersama seorang balita laki-laki itu mencoba wahana Turangga Rangga yang bisa dimainkan oleh anak seumuran Vino. Wahana berbentuk komidi
putar yang memiliki kursi berbentuk kuda untuk ditunggangi selama permainan berlangsung. Edel mendampingi Vino menunggangi salah satu kuda-kudaan. Disebelahnya
Irina mengiringi dan ikut menduduki kursi kuda lainnya. Sesekali menoleh pada Vino yang sangat girang memainkannya.
Tidak jauh dari sana, Bara dan Bastian mulai mendekat. Bara terlihat asik dengan kamera yang tergantung pada lehernya. Sesekali mengambil foto. Edel yang
sejak tadi sudah waspada mengawasi sekeliling, menangkap kehadiran kedua pria blasteran itu. Tidak sulit mencari sosok jangkung mereka yang tidak ordinary
diantara kerumunan pengunjung taman hiburan. Edel mencondongkan tubuh memeluk Vino. Lalu berbisik ke telinga kanan sang anak.
" Mama mau cari papa dulu. Nanti Vino bermain dengan Irina aunty dan Bara uncle dulu, ya" Don't fighting. Be a good boy. And remember what mama said. Ok
darling" " bisik Edel.
" Ok, Mama. No fight.Where handsome uncle?" " serunya berseri-seri saat mendengar nama paman favoritnya disebut sang ibunda. Untung suara musik dari permainan
kuda berputar itu cukup kencang sehingga Irina tidak mendengar percakapan keduanya.
Putarannya melambat. Saat lajunya berhenti, Edel bersama Vino dan Irina turun. " Rin, aku ke toilet dulu ya. Titip Vino sebentar" Edel undur diri ke toilet.
" Oke. Aku tunggu disini bersama Vino" jawab Irina tanpa tahu dirinya tengah dijebak. Ia sibuk mengamati keceriaan bocah laki-laki jenaka di sebelahnya.
Diantara kerumunan pengunjung yang berlalu-lalang, Bastian menangkap sosok sang istri yang mulai menjauh. Diberi kode via kontak mata, dia paham sudah
tiba waktunya untuk 'menghilang'. Ia menggiring Bara ke tempat dimana Vino bisa melihatnya. " Bar, tunggu disini sebentar. Aku mau ke toilet dulu" ujarnya
pamit ke toilet. " Oke" jawab Bara tidak curiga sedikitpun. Dengan santai dia mencoba mencari objek bagus untuk di foto.
Vino tersenyum lebar begitu mata bulat bola pingpongnya melihat kehadiran Bara. Bagai menemukan pahlawan superhero impiannya. Teringat pesan sang ibunda
bahwa Bara yang dikenalnya dengan sebutan si om tampan akan mengajaknya bermain. Vino melesat secepat kaki mungilnya bisa berlari menghampiri Bara. Tidak
siap dengan reaksi tiba-tiba itu, Irina terkesiap.
" Vino mau kemana?" Vino!! Jangan pergi, sayang!!" Jerit Irina mengejarnya menembus kerumunan orang.
" Uncle Handsome!! " panggil suara imut Vino.
Bara yang terperanjat saat mendengar panggilan spesial itu langsung menghentikan aktifitasnya. Menoleh ke arah sumber suara.
Bukan sosok mungil Vino yang dilihatnya pertama kali. Sosok mungil lain yang tertangkap penglihatannya duluan. Irina menyeruak dari kerumunan orang bersamaan
dengan putaran tubuh Bara saat menoleh.
Keduanya terkejut berbarengan. Mata mereka membelalak. Memandang tak percaya satu sama lain. Langkah pun ikut terhenti. Tubuh mereka sama-sama membeku.
Satu-satunya yang bergerak adalah Vino yang berada di tengah-tengah keduanya.
Tanpa kekurangan cahaya keceriaan sedikit pun, Vino menghambur memeluk kaki jenjang Bara. Tidak mendapat respon sesuai harapannya, Vino mendongak menatap
Bara yang masih terpaku beradu pandang dengan Irina. Ia pun menoleh. Tantenya juga sama diamnya seperti sang paman. Kesal merasa tidak diperhatikan, Vino
menarik tangan Bara. Meminta perhatian.
Bara terjaga dari lamunannya. Menoleh memandang Vino yang menggandeng tangan kirinya. Lalu tersenyum hangat. Dielusnya kepala si bocah super aktif. Vino
berpaling menatap Irina penuh harap. Namun bahasa tubuh penuh keengganannya tampak jelas dari jarak antara mereka.
Senyum polosnya memudar. Firasat anak-anaknya bekerja. Vino menatap Irina yang terdiam dengan ekspresi campuraduk. Kesedihan orang-orang sekitar bisa tertangkap
oleh radar murni seorang anak kecil. Menoleh kanan kiri secara bergantian. Entah dari mana asalnya, anak sekecil Vino bisa paham ada ketegangan pada dua
orang dewasa didekatnya. Dia tidak suka itu. No fight. Teringat pesan ibunya yang mengatakan jangan berkelahi. Ia mengambil inisiatif cute khas anak-anak.
Menghampiri Irina lalu menariknya mendekati Bara. Wanita berumur 27 tahun itu menurut.
Vino menggandeng tangan kiri Bara dengan tangan kanannya dan menggandeng Irina dengan tangan satunya. Tersenyum lebar menatap orang dewasa di kedua sisinya.
Mengisyaratkan bahwa ia suka jika mereka akur.
" No fight, uncle, aunty "ujar Vino.
Betapa kagetnya Bara dan Irina. Masalah mereka bisa diketahui seorang anak kecil. Ada perasaan malu juga karena dinasihati anak berumur 2 tahun. Kenapa
anak ini bisa memiliki insting setajam kedua orang tuanya" Mengerikan, pikir Irina dan Bara.
" Kami tidak bertengkar, Vino sayang" ujar Irina menenangkan si anak.
" Really?" Mama said, no fight means smile and holding hand. Like her and papa " jawaban polos khas anak kecil. Membuat keduanya saling bertukar pandang.
Paham bahwa kecanggungan mereka diartikan sebagai pertengkaran. Thats true. Memang kenyataannya mereka sedang tidak akur. Tapi berharap mereka bersikap
seperti ayah dan ibunya" Ya tidak mungkin.
Bara menghela napas panjang. Mulai paham situasi mereka memang hasil rekayasa orang tua Vino. Berjongkok dan menatap anak itu dengan hangat dan lembut.
" We are not fighting. Kami bergandengan". Bara mengulurkan tangan kanannya pada Irina.
Paham pada maksud Bara, Irina pun menyambut uluran tangan itu. Vino tersenyum senang keduanya akur. " See" Lets play together" ajak Bara.
Ketiganya berjalan bergandengan tangan seperti keluarga kecil yang bahagia. Vino sebagai penyatu keduanya. Edel dan Bastian menyaksikan dari jauh. Senyum
kemenangan terpampang jelas di wajah rupawan mereka. Rencananya berhasil sukses.
Bara dan Irina melupakan sejenak masalah yang ada antara mereka. Tidak mau memunculkan anggapan yang tidak baik di benak anak itu. Berkali-kali keduanya
mencoba menghubungi Edel dan Bastian tapi tidak diangkat. Mereka terpaksa melakoni peran sebagai orang tua sehari bagi Vino.
Vino anak yang sangat aktif dan penuh rasa ingin tahu. Berkali-kali dia meminta naik wahana yang berbahaya. Berkali-kali pula ia dilarang untuk naik lantaran
dirinya yang belum cukup umur. Bara dan Irina dituntut untuk bisa memberikan pengertian pada bocah itu. Sedikit kewalahan saat Vino sudah memasang wajah
cemberut. Pipinya dikembungkan. Memanyunkan bibirnya. Matanya mengernyit. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Sangat lucu, pikir Irina dan Bara.
Dasar anak kecil. Kemarahannya tidak berlangsung lama. Sepersekian detik mood nya berubah begitu digendong Bara menuju wahana Istana Boneka. Matanya berbinar
penuh minat saat menaiki perahu. Mulutnya menganga. Takjub menyaksikan semua pemandangan berisi boneka-boneka unik di kanan kiri. Saking girangnya, Vino
berdiri membuat perahu yang mereka tunggangi berguncang. Bara dan Irina reflek menarik Vino agar tidak jatuh. Irina ikut kehilangan keseimbangan. Perahu
miring ke arah kanan. Ditunjang tangannya yang panjang, Bara menarik tubuh mungil Irina ke dekapannya. Mendekap Vino sekaligus. Perahu mereka pun kembali
stabil oleh usaha yang dilakukan Bara.
Jantung Irina berdegup kencang. Terkejut karena hampir jatuh dan tak menyangka akan dipeluk oleh Bara. Siapapun yang melihat posisi itu pasti akan mengira
mereka adalah sepasang suami istri yang harmonis bersama seorang anak yang tampan. Wajah Irina memerah. Melepaskan genggaman tangan pada baju Bara dan
duduk sedikit menjauh. Ekpresi malu Irina tertangkap oleh Bara. Membuat laki-laki tampan itu tertawa geli.
Usai memainkan 3 wahana, Vino merasa lapar. " Hungry " rengeknya.
" Disitu ada tempat makan. Ayo kesana" ajak Irina menunjuk salah satu tempat makan.
Waktu makan, Irina menyuapi Vino. Bara memilah makanan yang bagus dan tidak bagus untuknya. Dia juga hapal daftar alergi anak itu. Seorang pelayan menghampiri.
" Mau tambah pesanan, Pak, Bu" Kami ada menu es krim spesial yang menjadi favorit disini. Ada rasa cokelat, strawberry, vanilla dan bisa di mix juga. Adik
kecil mungkin tertarik" tawar si pelayan menyodorkan menu tambahan berisi daftar es krim berserta gambarnya. Bara menyambutnya lebih dulu dari Irina.
Vino tertarik melihat aneka warna es krim disana. Menarik-narik ujung menu di tangan Bara.
" Vanilla ice creme! I wanna!! " serunya menunjuk gambar es krim vanilla yang berwarna putih salju.
" Apa nantinya dia tidak muntah jika diberi es krim setelah makan berat?" Tanya Irina ragu.
" Berikan yang porsi kecil saja. Setelah itu kita istirahat dulu beberapa saat baru mulai bermain. Sebentar lagi juga dia pasti mengantuk" Bara ternyata
tahu jam tidur siang Vino.
" Oh, oke. Tolong vanilla es krim ukuran small cup, mas. Jangan terlalu banyak topping permennya, ya. Terima kasih" Irina memesan sesuai arahan Bara.
Pesanan datang. Vino memakannya dengan lahap. Ditengah-tengah proses makan, keisengannya pun kumat. Disodorkannya sesendok kecil es krim pada Bara. " Aaaa.
. ." Serunya ingin menyuapi Bara.
Bara tersenyum hangat, menyambut suapan Vino lalu mengelus kepala mungilnya. Menyendok sekali lagi, anak bermata cokelat itu menyodorkan suapan kedua untuk
Irina. " Aaaa. . ." Irina terpana. Sendok itu tadi bekas Bara. Menurut kebanyakan orang, itu bisa disebut ciuman tidak langsung.
Dia bingung. Makan" Tidak" Makan" Tidak" Tatapan penuh harap Vino membuatnya tak sampai hati untuk menolak. Bara ikut menatapnya dengan seksama. Kenapa
juga dia harus memperhatikan seintens itu" Keluhnya bertambah malu.
" Bukankah kita sudah pernah berciuman" Kenapa kamu ragu?" Sahut Bara dengan nada mengejek.
" Bara!! Kita sedang bersama anak kecil. Jangan membicarakan masalah ciuman segala!" Sembur Irina. Semburat kemerahan muncul di pipi mulusnya.
" Kamu juga terlalu serius menanggapi tingkah anak kecil. Dia hanya ingin belajar berbagi. Tapi kamu mengartikan ke hal yang terlalu jauh. Aku hanya menyebutkan
apa yang ada dipikiranmu. Harusnya kamu tidak perlu ragu. Kata-kataku benar, kan" Kita memang pernah berciuman jadi tidak masalah kalau harus makan dengan
sendok yang sama. Tingkahmu seperti anak ABG saja" ujar Bara menyeringai jahil.
" Siapa yang bertingkah seperti anak ABG?" Aku tidak. . ." Belum selesai protes-.
" Tante Rin. Aaaa. . ." Tuntut Vino masih setia menyodorkan sendoknya.
Irina terpaksa menurut. Memakan suapan dari tangan Vino dan melemparkan senyuman semanis madunya pada sang anak. Bara tertawa geli. Irina mendelik kesal
padanya. Prediksi Bara sangat tepat. Tidak lama mereka keluar dari restoran. Mata Vino mulai sayup-sayup. Kepalanya bersandar pada bahu bidang Bara. Ia menguap
lebar. Lengan mungilnya mengalung di leher Bara. Kedua matanya pun terkatup rapat. Menyerah pada rasa kantuk yang menyerangnya.
" Dia tertidur juga" sahut Irina memperbaiki jaket biru langit yang dikenakan Vino.
" Ayo kita cari tempat duduk yang teduh agar dia tidak kepanasan" ajak Bara menggandeng tangan Irina.
Terpana dengan aksi frontal Bara, Irina menatap laki-laki tampan yang menggandengnya.
" Lebih baik kita mengikuti alurnya saja. Jika terkesan asing, nanti kita dikira penculik anak kecil" sahut Bara yang paham arah pikiran wanita stuborn
dalam gandengannya. Bicara mudah tapi prakteknya lain lagi. Sepanjang perjalanan, orang-orang yang berpapasan atau berseling jalan pasti melirik ke arah mereka. Ingin tahu
urusan orang lain saja, umpatnya dalam hati. Merasa jengah pada banyak mata yang memperhatikan.
Mereka berhenti dan duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Dengan hati-hati Bara membaringkan Vino dibangku dan menyandarkan kepalanya di pangkuan
Irina yang langsung merangkulnya. Bara duduk di sebelah Irina.
" Ini pasti sudah direncanakan mereka berdua" sahut Irina.
" Of course. Melibatkan Vino segala. Siapa lagi yang bisa melakukannya kecuali mereka" Untungnya Vino bukan anak yang rewel" ujar Bara.
" Iya, untung saja. Dia juga bukan anak yang bodoh. Coba saja lihat. Kita berdua bisa disetirnya seharian ini. Buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Tingkah Vino persis Edel tapi otak encernya persis Bastian. Mengerikan" tukas Irina.
" Setuju. Base on peribahasa yang kau sebut tadi, kemungkinan anakmu pasti akan sama keras kepalanya sepertimu. Lebih mengerikan lagi menurutku" sahutnya.
" Enak saja!! Anakmu pasti yang akan bertingkah sedingin es batu. Sama kayak kamu!" Protes Irina tidak mau kalah.
Tiba-tiba seorang wanita yang tengah hamil besar menghampiri mereka.
" Anak laki-laki kalian lucu dan tampan sekali. Anak yang sedang kukandung berjenis kelamin laki-laki juga. Aku sangat berharap wajahnya bisa seganteng
anak kalian. Boleh aku mengusap wajahnya?" Pinta si wanita hamil menatap suka Vino yang tengah tertidur pulas.
" Oh. Boleh saja, bu. Asal tidak membangunkannya saja" jawab Irina sedikit canggung mendengar si ibu menyangka Vino adalah anak mereka.
" Tampan sekali anak kalian. Siapa namanya?" Tanya wanita itu mengusap sayang pipi chubby Vino.
" Alvino. Panggilanya Vino" sahut Bara.
" Sangat wajar anak kalian secakep ini. Ayahnya tampan dan ibunya cantik. Ditambah gen campuran dari ayahnya. Perpaduan yang sempurna. Kalau kalian punya
anak perempuan pasti akan sangat cantik, ya" tambahnya lagi.
Irina dan Bara terperanjat mendengar pengandaian wanita hamil itu. Anak perempuan mereka" Bayangan yang terlalu jauh sepertinya. Wajah Irina jadi merah
padam. Kecanggungan hinggap di wajah Bara.
" Terima kasih sudah mengijinkanku mengusap anak kalian. Maaf mengganggu. Semoga kalian rukun, sehat dan bisa dikaruniai anak perempuan yang cantik sebagai
pelengkap kebahagiaan keluarga kecil kalian. Aku permisi" pamitnya meninggalkan dua orang yang hanya bisa terdiam saking malunya.
" Emm.. kira-kira apa yang harus kita lakukan, setelah ini" Maksudku, apa kita akan diam saja disini atau bagaimana?" Sahut Irina mencoba mencairkan suasana.
" Yang jelas kita tidak bisa naik wahana apapun. Tapi bisa berjalan-jalan melihat tempat lain. Kamu kesini membawa mobil sendiri atau bersama Edel tadi?"
Tanyanya. " Aku datang sendiri dengan mobilku" jawab Irina .
" Bagus kalau begitu. Aku datang bersama Bastian. Kita bisa berkeliling dengan mobilmu. Ke pantainya saja. Saat bangun Vino juga pasti suka bermain disana"
usulnya. Mereka keluar dari area taman bermain bergegas menuju parkiran untuk pergi ke arah pantai Ancol. Saat diperjalanan, Vino terbangun. Begitu tahu mereka
akan ke pantai, ia girang dan tidak sabar.
Di pantai mereka bermain pasir dan air laut. Hari yang sudah sore cukup menguntungkan. Cuaca sudah tidak sepanas saat siang hari. Angin sepoi-sepoi berhembus
menyegarkan. Waktu yang tepat untuk bermain di wilayah pantai.
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Edel dan Bastian merasa sudah cukup waktu yang diberikan mereka untuk mempererat kebersanaan Bara dan Irina. Saatnya
bicara lebih serius. Keduanya muncul dan menghampiri.
" Mamma!! Pappa!!" Jerit Vino girang saat melihat orang tuanya.
" Hai, sayang. Bagaimana mainnya" You like it ?" Tanya Edel menggendong dan mencium pipi anaknya.
" Yesss!! " sahut Vino mencium pipi ibundanya lalu merengek minta digendong oleh sang ayah.
Rengekan Vino disanggupi Bastian yang dengan mudah menggendong tubuh kecil anaknya.
" Miss you pappa. . ." Sahut si kecil mencium pipi sang ayah dan memeluk erat lehernya.
" Miss you too my little hero " jawab Bastian mencium kepala anaknya.
" Kalian kemana saja sih" Menghilang lalu muncul tiba-tiba begitu. Seperti makhluk gaib saja" protes Irina.
" Kalian pasti sengaja, kan?" Tuduh Bara.
" Memangnya kalian saja yang butuh waktu berduaan. Kami juga. Jadi anggap saja hari ini kami titip Vino pada kalian" jawab Edel tersenyum jahil.
" Tapi harusnya bilang dulu, kan?" Tuntut Irina lagi.
" Iya maaf. Sebagai permohonan maaf, kami traktir makan malam di tempat spesial. Ayo" ajak Bastian.
Keempat dokter Boulevard itu plus Vino pun pergi ke tempat makan mewah bernama Segarra yang berada di Ancol. Restoran berkonsep pinggir pantai nan eksotis
dengan menu seafood yang menggugah selera. Mereka memesan tempat duduk bertipe orbit dimana suasana makan disuguhi panorama langit dan laut malam yang
indah. Kisaran harga untuk dua orangnya sekitar tujuh ratus ribu rupiah.
" Pappa. Vino mau pee " pinta Vino. Bastian membawa sang anak menuju toilet.
Bara dan Irina tengah asik membaca menu. Edel memanfaatkan kelengahan keduanya. " Ah! Dompetku ketinggalan di mobil. Maaf, aku ke mobil dulu untuk mengambilnya".
Meluncur pergi meninggalkan pasangan itu di meja Orbit.
Tidak lama dari kepergian Edel. Makanan mulai berdatangan. Dua orang itu terpana seperti orang dungu. Merasa belum memesan apa-apa.
" Maaf mas. Kita belum order. Ini pesanan siapa?" Tanya Bara.
" Ini pesanan dari bapak Bastian dan ibu Edel untuk anda berdua. Ini ada titipan dari mereka. Maaf permisi, pak, bu" jawab si pelayan memberikan kartu
kecil pada Bara dan pamit undur diri.
Bara membuka dan membaca isinya bersama Irina.
" Dear Bara dan Irina. Semua pesanan sudah dibayar. Maaf seharian ini kami mengelabui kalian. Kami hanya ingin kalian bisa dekat kembali dan bicara dari
hati ke hati dengan jujur dan terbuka. Nikmati apa yang sudah ada. Kami pamit duluan. Salam hangat, Bastian Edel dan Vino" .
Keduanya terhenyak di kursi masing-masing. Rupanya mereka kena tipu lagi. Hopeless.
" Mereka benar-benar mak comblang kelas kakap. Ada saja rencananya. Benar-benar cerdik" keluh Irina.
" Edel itu psikiater. Bastian berIQ genius. Sudah pasti jadi duet maut yang sukses, kan" Ya sudah. Makanan terlanjur dipesan. Kita makan saja" ujar Bara
mulai makan. Irina mengikuti apa yang dilakukan Bara. Memang dia juga sudah lapar. Tidak butuh waktu lama sampai makanan di hadapan mereka ludes terlahap. Pelayan bermunculan
mengangkat piring-piring sisa makanan dan menggantinya dengan desert.
" So perfect. Sampai makanan penutup pun mereka tidak lupa pesan" sahut Irina menggelengkan kepalanya. Dia angkat topi pada dua ahli strategi bermarga
Denfort itu. Baru saja Irina akan memasukkan sesuap es krim ke dalam mulutnya-.
" Duarrr. . .Duarrr. .Duarrr. .!!"bunyi ledakan di langit memecah keheningan malam.
Kembang api aneka warna menghiasi langit malam yang hitam. Irina berdiri dan menghampiri balkon untuk menyaksikan pemandangan menakjubkan itu dari dekat.
Bara menyusul dan berdiri disebelahnya. Tersenyum melihat beragam bentuk kembang api yang membahana di angkasa.
Bara menoleh. Wajah Irina semakin bersinar diterpa pantulan cahaya warna warni kembang api. Kecantikkan memabukkan yang menyihir habis perhatiannya. Tangannya
bergerak menyentuh dagu Irina dan memalingkan wajah itu ke arahnya.
Irina menatap wajah tampan aristokrat di depan matanya. Cahaya kembang api memantul di bola mata tajam Bara menghasilkan kilatan yang menyilaukan. Angin
malam membelai rambut berantakan Bara. Kesan maskulin sangat kental melekat pada sosok jangkung pria berbobot proposional ini. Napasnya tercekat menatap
pemandangan rupawan bak pangeran dalam dongeng dihadapannya.
Sistem otaknya berhenti bekerja saat wajah Bara mulai mendekati wajahnya. Tubuhnya membeku tidak bisa bergerak. Atau hatinya yang memang tidak mengijinkan
untuk menolak" Bibir Bara menempel sempurna di bibirnya. Pagutan lembut saling bertautan penuh hasrat. Kedua tangan Bara merangkul pinggang Irina mendekat
dan memperdalam ciumannya. Kedua lengan Irina otomatis mengalung ke leher Bara.
Perasaan terpendam kedua insan yang sedang dimabuk cinta itu akhirnya terwujud tanpa ucapan. Berlatar langit malam penuh kembang api. Romantisme mereka
mungkin tidak seindah cerita-cerita roman. Tapi setidaknya, di akhir mereka mengakui apa yang ada dalam dasar hatinya. Cinta tidak perlu banyak ungkapan
romantis penuh sajak dan diksi bersastra tinggi atau lagu-lagu bersyair syahdu. Cinta cuma butuh aku, kamu dan kita.
Bara melepaskan ciumannya. Mengatur napas masing-masing tanpa sudi melepaskan pandangan mereka. Bara memeluk Irina dan berkata " Menyerahlah pada cinta
ini, Irina. Aku tidak memaksamu untuk menyudahi sakit hati itu. Aku hanya minta kamu menerima kebahagiaan yang aku tawarkan. Ayo kita hadapi sama-sama
dinding kokoh yang menjadi sumber luka hatimu. Apakah kamu mau kembali ke sisiku?".
Boulevard Revenge Karya Crimson Azzalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan lirih sarat makna Bara, meluluhkan kekerasan hati Irina. Merobohkan pertahanan yang selama ini dipasangnya untuk tidak larut dalam perasaan bernama
cinta. Kesabaran dan kekokohan cinta Bara telah berhasil mendobrak pintu hatinya yang terkunci rapat. Ia tak kuasa lagi menahan dan menyangkal luapan perasaan
sekuat itu. " Aku mau bersama dengan kamu. Jangan tinggalkan aku, Bara" meluncur mulus dari bibirnya. Detik itu juga kebekuan hati Irina sirnah. Bagai deburan ombak
yang mampu menghancurkan sang karang. Ia menyerah kalah. Jatuh ke pelukan cinta Bara Darren Witchlock.
Kediaman megah keluarga Witchlock. Braga tertidur dengan gelisah. Dahinya berpeluh. Ekspresinya seperti orang yang tersiksa. Kilas balik ingatan mulai
bermunculan seperti potongan-potongan nyata yang tak beraturan.
Braga's Dream. Seorang wanita muda bertubuh kurus, berkulit putih pucat, mengenakan seragam pasien rumah sakit Boulevard tengah duduk di ranjang pasien. Wajahnya tidak
jelas. Rambutnya panjang sepunggung berwarna kecokelatan sedikit berombak. Senyuman hangat tersungging di bibir tipis wanita itu. Terasa sangat akrab.
Kalung berliontin teratai putih menjuntai indah di leher cantiknya.
" Braga. . ." Suara teduh memanggil namanya.
" Kamu pasti sembuh. I promise you. . ." Mulutnya berucap.
" Jangan lakukan. . ." Suara yang sama melarangnya melakukan sesuatu.
Tanpa sadar, Braga menyebut sebuah nama dalam tidurnya malam itu. Nama yang terlupakan. Namun tetap terpatri di dasar hati yang terdalam " Joanna. . .".
15. Retrouvailles,White Lotus and Storm
Braga terhenyak bangun dari tidurnya. Mata membuka lebar. Napas tersengal-sengal. Dahi berkeringat. Apa itu tadi" Apa yang diucapkannya barusan" Ia berganti
posisi ke duduk. Disekanya peluh di dahi. Memijit-mijit kepala yang terasa berdengung mau pecah.
" Siapa wanita itu?" Sekeras apapun aku berusaha mengingat. Tetap tidak ada titik temu. Aku merasa sangat familiar dengan sosok misteriusnya. Dan kalung
teratai putih itu juga tidak asing. Aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana?" gumam Braga menutup wajah dengan frustasi. Tidak paham pada isi
kepalanya sendiri. Malam itu Braga tidak bisa lagi melanjutkan tidur. Pikirannya kacau. Ditemani kesunyian malam dan suara rintik hujan. Ia berdiri dan memandang butiran
air yang tumpah ruah dari langit. Berkah pemberian Tuhan tiada tara bagi kehidupan manusia. Seandainya air hujan dapat menghanyutkan kegundahan, mungkin
ia dengan senang hati berdiri diluar bermandikan air hujan.
Berdiri memandang keluar jendela kamar yang lebar, Braga memanjatkan doa dengan lirih dan hikmat." Tidak adakah jawaban untukku, wahai Tuhan" Tolong berikan
aku petunjuk di tengah jalan yang serba samar ini. Jangan biarkan aku tersesat dan hilang tertelan kegelapan yang aku sendiri tidak tahu penyebabnya. Aku
merasa kosong dan kehilangan."
Di kamar lain, sang ayah tidak pula mampu memejamkan mata. Firasat tidak enak terus menghantui belakangan ini. Braga sudah tahu tentang malpraktek itu.
Pasti ia akan mencaritahu lebih lanjut. Rahasia yang disimpannya rapat-rapat mulai terancam.
" Dari mana Braga bisa tahu" Apakah Bara secara tidak sengaja membicarakannya pada Braga" Kalau iya, poin apa yang memicu pembicaraan tentang hal tersebut
mencuat ke permukaan sekarang" Atau ada pihak lain yang mencoba menariknya dari dasar" Profesor Ilyas tidak mungkin membocorkannya, bukan" Yang tahu selain
dia adalah Bastian. Lebih baik besok aku tanyakan langsung pada anak itu" pikir Gerard. Ia mulai menaruh kecurigaan pada Bastian.
Gemuruh suara petir membelah langit. Perang panas antar dokter di rumah sakit Boulevard semakin meruncing. Mereka sudah memegang kartu As masing-masing.
Bisa untuk melumpuhkan. Bisa juga digunakan sebagai alat penghancur.
Rumah sakit Boulevard pukul 07:30. Pagi yang segar dengan udara sejuk bekas diguyur hujan tengah malam. Tanpa memandang berasal dari team mana dan mana.
Para dokter divisi jantung saling bertegur sapa satu sama lain.
Atthar, Dastan, Bumi, Takhrit, Azka dan Cecillia memasuki gedung divisi jantung bersama-sama. Di tengah suasana normal seperti biasa, dari arah parkiran
ada pemandangan baru yang tidak biasa. Dua orang dokter yang sangat mereka kenal, berjalan beriringan. Bahasa tubuh dan mimik wajahnya menyiratkan keintiman
yang istimewa. Keserasian chemistry mereka memancar. Senyuman dan binar mata bahagia sarat cinta menghiasi wajah rupawan keduanya. Ditambah lengan sang
Misteri Arca Singa 2 Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Dari Utara Terbang Harum Pedang Hujan 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama