Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra Bagian 3
"Aku nggak gombal, sayang. Aku beneran kangen sama kamu. Kangeeeeen banget."
Mbak Widya jingkrak-jingkrak sendiri mendengar gombalan Arsyaf ke gue kemudian dia mengoyak tubuh gue dari samping sambil menahan teriakan, udah kayak
nahan pipis aja tuh demit satu.
"Kamu tuh ya! Bisa aja deh," sahut gue bertambah manja.
"Besok sabtu aku mau ke Surabaya pokoknya. Aku mau ketemu kamu soalnya aku kangen banget deh sama kamu."
"Tuh kan gombal lagi!"
"Ih beneran aku nggak gombal. Tapi aku gembel."
Gue terkekeh ringan mendengar lawakannya. Begitu pula Mbak Widya yang sedari tadi sudah menyimak percakapan kami. Entah mengapa Arsyaf selalu punya cara
untuk bisa buat gue tertawa.
"Ih Mas pacar mah sukanya bikin ketawa mulu. Jadi tambah sayang deh," papar gue manja.
"Iya dong, Mbak pacar."
Lagi, Mbak Widya jingkrak-jingkrak kegirangan mendengar romantisme antara gue dan Arsyaf. Dia menahan teriakannya untuk yang kesekian kalinya sambil mengoyak
lengan gue. "Mas pacar, telponnya udah dulu ya. Mbak pacar mau ngerjain tugas kuliah nih. Love you."
"Love you too, Mbak pacar."
Tiiit... gue pun memencet gambar telepon merah untuk mengakhiri panggilan dari Arsyaf. Dan Arrrrgghhh... gue langsung menutup sebelah telinga gue. Demit
satu" yang kini duduk di samping gue tiba-tiba menjerit senang.
"Gilak gilak gilak! Pacar lo romantis banget cuy." Lagi, tuh demit mengoyak lengan gue antusias. "Udah tajir, romantis pula!"
"Iya dong! Pacarku gitu lho," ucap gue sombong.
"Tapi, pasti pacar lo buluk. Iya kan?" tebak Mbak Widya begitu yakin.
"Enggak kok," elak gue spontan.
"Halah! Nggak usah mengelak deh. Gue itu sudah mendalami seluk beluk sistem percintaan di Indonesia."
Gue memutar mata malas. "Serah!" Gue kembali merebahkan diri di atas kasur.
"Biasanya, cowok tajir itu jelek, bulukan, item, cebol, terus idup lagi!" lanjut Mbak Widya ngotot.
Sebelah alis gue terangkat. "Kok Mbak Widya bisa nebak gitu sih?"
"Ya iyalah. Seumur hidup gue, gue sudah pacaran sebanyak dua puluh tujuh kali."
"Bushet!" ucap gue kaget.
"Tujuh belas di antaranya tajir banget. Tapi ya gitu. Semuanya pada buluk. Ada satu yang stress lagi."
"Emangnya, pacar Mbak Widya nggak ada yang cakep apa?"
"Mantan-mantan gue yang cakep ada lima. Rupawan-rupawan wajahnya."
"Bushet! Udah kayak lagu balonku aja tuh. Entar jangan-jangan meletus satu," tebak gue asal.
"Iya sih. Ada yang mati satu ketabrak ojek terus emaknya langsung ngadain tahlilan gitu."
Bukannya malah prihatin, gue malah tertawa. "Terus, kenapa Mbak Widya nggak pacaran sama cogan aja kalau ada stok?" tanya gue kembali ke pokok pembicaraan.
Dia menggeleng cepat, mukanya terlihat meringis ketakutan. "Gue mah ogah. Udah trauma."
"Emang kenapa?" Dahi gue berkerut, penasaran dengan alasan Mbak Widya trauma pacaran sama cogan.
"Cogan jaman sekarang kere kere coy. Tekor gua!" jelasnya ngotot.
Tawa gue pun membuncah keras. "Kok bisa?"
"Nggak tau. Pokoknya, gue ogah pacaran sama cogan kere. Daripada sama cogan kere, mendingan gue pacaran sama cowok bulukan deh."
Tawa gue lagi-lagi terasa renyah melesat ke seluruh ruangan. Mbak Widya berhasil membuat gue tertawa lepas, sejenak gue melupakan rasa lelah yang ada saat
ini. ***** ?"?"?"*****
Chapter 42 [Arsyaf pov] Setelah gue menutup pintu taksi, gue pun berbalik, menatap sejenak sebuah rumah kos bercat putih. Tak lama berdiri, tiba-tiba seorang cewek cantik super
montok berpakaian ketat keluar dari gerbang. Ia terhenti sambil senyum-senyum nggak jelas saat melihat gue. Apa dia idiot"
Cewek itu pun menghampiri gue sambil menyibakkan rambutnya ke belakang. Masih mending iklan sampo di TV, rambutnya pada hitam berkilau. Lha ini" Rambutnya
kayak kresek rombeng aja pakek acara disibakkan segala.
"Maaf, Mas. Masnya sedang cari kos ya" Maaf nih sebelumnya, tapi ini kos-kosan cewek. Kalau Mas mau cari kos-kosan cowok, saya bisa bantu nyari," cerocosnya.
Gue menggaruk kepala gue yang tak terasa gatal. "Enggak, saya nggak sedang cari kos-kosan," sahut gue santun.
"Terus Mas cari apa" Cari ma'mum biar Mas bisa jadi imam?" tanyanya sambil mengedipkan mata beberapa kali.
Mendengar ocehannya, gue langsung bergidik ngeri. "Saya cari Raya. Apa di kos ini ada yang namanya Raya?" tanya gue to the point. "Soraya Aldric," tambah
gue untuk memperjelas. Cewek itu langsung mendelik keget. "Iya. Di sini ada yang namanya Raya. Memangnya kalau boleh tau... Mas ini apanya Raya ya?" tanyanya kepo.
"Perlu dijawab?" tanya gue sinis, mencoba meniru gaya El saat menghadapi cewek-cewek gatel.
Cewek itu langsung meringis kecut dan seketika terdiam tanpa kata. Yaelah ternyata gaya sinis El ampuh juga buat menghadapi cewek gatel.
"Sayang?" ucap seorang cewek yang baru saja keluar dari pintu rumah kos lalu berlari-lari kecil menghampiri gue.
"Raya?" Cewek gatel tadi menoleh ke samping, melihat Raya yang berdiri di sebelahnya. "Jadi cowok ini pacar lo?"
Raya mengangguk kuat. "Iya. Kan aku sebelumnya udah bilang ke Mbak Widya kalau pacarku tuh ganteng, nggak buluk."
Cewek bernama Widya itu tiba-tiba memegang kepalanya yang tidak terasa pusing. Ia terlihat keliyengan.
"Mbak Widya" Mbak Widya nggak apa-apa?" tanya Raya cemas sambil memegangi kedua bahu Widya.
"Enggak, gue nggak apa-apa." Widya kemudian kembali berdiri tegak. "Em... BTW, kalian mau ke mana nih?"
Raya melirik gue sejenak. "Kita mau ke..."
Sebelum Raya menyelesaikan kalimatnya, gue buru-buru membungkam mulutnya rapat-rapat agar setan yang bernama Widya itu nggak tau kita mau kencan ke mana.
"Ke mana aja asalkan nggak ke neraka." Gue mengambil alih bagian Raya untuk menjawab.
Setelah itu, gue pun memberi kode mata pada Raya agar tidak memberi tau Widya di mana kita akan pergi. Untung cewek gue, cewek pinter. Dia langsung mengangguk
pelan setelah memahami kode mata gue.
"Eh, sayang. Aku mau keluarin motor dulu ya," ujar Raya lalu berjalan menuju garasi, mengeluarkan motornya, memarkirkannya di samping gue, lalu menyodorkan
sebuah helm berwarna hitam pada gue.
"Ya udah, sayang. Ayo kita pergi," ajak gue sembari menyambar helm yang disodorkan Raya.
"Eh eh." Widya dengan cepat memegangi tangan Raya hingga Raya yang tadinya bersiap duduk di jok belakang terhenti. "Gue ikut dong!" rengeknya.
Raya pun memutar mata malas. "Ya ampun! Mbak Widya mau jadi obat ngamuk?" tanyanya.
"OBAT NYAMUK!" tegur gue geram.
Raya meringis dengan cengiran khasnya. Gue pun merasa gemas dengan cengiran yang sudah lama hanya bisa gue saksikan dalam vidiocall. Langsung saja gue
cubit pipi halusnya sambil terkekeh kecil. Entah mengapa si Widya tiba-tiba cemberut manyun sambil menghentak-hentakkan kaki ke tanah.
"Ayo Mas pacar! Nggak usah dihiraukan nih demit satu," ujar Raya lalu menaiki motor di jok belakang, di balik punggung gue.
Kami pun melesat, melewati jalanan Surabaya yang rindang akan tanaman. Tak menghiraukan teriakan Widya yang merengek meminta ikut acara kencan kami.
Setelah melewati jalanan kota Surabaya, akhirnya kami pun tiba di KBS, Kebun Binatang Surabaya. Di sana kami bergandengan tangan sambil melihat-lihat berbagai
macam satwa yang ada. Ada unta, rusa, ular, buaya, dan masih banyak yang lainnya. Setelah puas mengelilingi KBS, kami pun memutuskan untuk duduk santai
di salah satu bangku panjang yang ada di sana.
"Eh, ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya Lea" Dia baik-baik saja kan, Yang?" tanya Raya setelah meneguk air yang mengandung ION, Ponari sweat merk-nya.
"Dia baik," jawab gue singkat.
Iya. Lea sekarang sekampus sama gue. Dia tidak diterima di Univetsitas Negeri yang ia inginkan dan akhirnya dia kuliah di Universitas Swasta bareng gue,
di jurusan yang sama pula!
"Aku dengar, dia satu kelas sama kamu," kata Raya sambil menyandarkan pipinya di bahu kanan gue. "Kamu kok nggak cerita sih?" tanyanya manja.
Gue tersenyum tipis. Nggak tau kenapa, gue suka banget kalau dia bersikap manja kayak gini, bikin aku makin gemas sama dia.
Alis gue terangkat. "Kenapa" Kamu cemburu?" goda gue.
"Ya enggak lah. Masa' aku cemburu sama sahabatku sendiri sih?" tukasnya tak terima.
"Terus kenapa cobak?"
"Ya... aku khawatir aja sama dia."
"Khawatir kenapa?"
"Aku khawatir kalau nanti dia nggak punya temen di sana. Jadi, aku harap kamu bisa jadi temannya."
Alis gue terangkat lalu menoleh ke samping, melihat puncak kepala Raya. Dia masih bersandar di bahu gue.
"Kamu nggak takut aku selingkuh apa" Lea itu jauh lebih cantik daripada kamu lho," ucap gue mencoba menakut-nakuti. Gue paling senang lihat dia cemburu.
Dia menggeleng pelan, matanya masih menatap lurus ke depan. "Enggak. Aku nggak takut. Soalnya, aku percaya sama kamu dan Lea. Kalian nggak bakalan khianati
aku," jelasnya gamblang.
Gue pun tersenyum lalu menyandarkan kepala gue di atas kepalanya. Gue benar-benar nggak menyangka kalau dia sangat mempercayai gue. Dan detik ini juga
gue bersumpah demi nama semua satwa yang ada di kebun binatang ini bahwa gue nggak akan pernah menghianati kepercayaan yang telah diberikan Raya. Gue bersumpah.
*****?"?"?"*****
Chapter 43 [Raya pov] Lama sekali gue bersandar di pundak Arsyaf, dia juga menyandarkan kepalanya di atas kepala gue. Lama-lama berat juga tuh pala! Gue pun langsung mencoba
menyingkirkan kepala Arsyaf. Berat cuy! Kalau kepala gue penyet gimana"
Dia pun beralih lalu melihat gue heran. "Kenapa, Mbak pacar" Pala aku kok dikacangin sih?"
"Berat! Entar pala aku gepeng kayak uang koin gimana?" sahut gue manja.
Arsyaf hanya mengangguk, mulutnya membentuk huruf O tanpa suara. Kemudian gue mengeluarkan HP dari dalam ransel lalu memutar vidio klip Black Pink Boombayah.
Sambil menikmati lagu tersebut, gue ikut bernyanyi pelan.
"Kamu nyanyi apaan sih, Mbak pacar?" tanya Arsyaf heran, dahinya mengernyit.
"Boombayah boombayah oppa! Yayayaya..." gue nggak mengihiraukan apa yang dikatakan Arsyaf dan terus menyanyi pelan.
"Apaan sih cewek gua. Masa' nyanyi lagu Korea cuma bisa ngikutin boombayah boombayah oppa-nya doang. Lirik yang lain cuma modal mangap-mangap kayak orang
stroke," gerutu Arsyaf sebal karena perkataannya tadi nggak gue dengarkan.
Gue langsung mematikan lagu Black pink boombayah yang gue putar. Kemudian menoleh ke samping, melotot ke arah Arsyaf. Jakunnya bergoyang. Ia tampak menelan
ludah takut. "Apa kamu bilang barusan?" tanya gue ketus.
"Enggak. Aku nggak bilang apa-apa kok, Mbak pacar." Dia menggeleng kuat.
"Beneran?" tambah gue curiga.
"Iya, bener, Mbak pacar," ucapnya sambil mengacak poni gue.
"Awas ya kalau kamu berani ngatain aku," ancam gue manja.
"Iya deh, Mbak pacar."
"Eh ngomong-ngomong, tiga minggu lagi kamu ulang tahun. Kamu mau minta kado apa?"
Bola mata Arsyaf naik ke atas. "Em..." ia tampak masih berpikir.
Gue tersenyum senang sambil menunggu. Sudah gue maklumi kalau otak pacar gua agak lemot, LOLA, Loading Lama.
"Kalau minta cium boleh nggak?" celetuknya setelah berpikir lama.
"Ha?" Gue terperanjat. "Kagak boleh! Ciumnya setelah nikah aja."
"Yah..." Dia menghela napas kecewa.
"Minta yang lain aja deh. Cium ciuman itu bahaya! Bahaya!"
Setelah berkata seperti itu, gue terdiam. Sepenggal pertanyaan tiba-tiba menyapa gue. Apa gue pantas berkata seperti itu" Padahal saat di pantai beberapa
bulan lalu, bibir gue hampir saja mendarat di bibir pria lain. Untung ada seekor keong yang mengganggu. Kalau tidak, prinsip gue no kiss no secret affair
bisa hancur semuanya. "Ya udah. Apa pun yang kamu kasih ke aku, pasti aku bakalan suka deh," kata Arsyaf.
Dahi gue mengernyit, mata gue memicing ke arahnya, menatapnya penuh curiga. Tidak biasanya dia mengalah. Biasanya, dia pasti merengek kalau bahas ciuman.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Arsyaf agak menjauhkan badannya dari gue. "Kamu napsu ya?" Dia tiba-tiba menutupi dadanya dengan kedua tangan.
"Enggak. Aku nggak napsu. Cuma aneh aja lihat tingkah laku kamu yang nggak seperti biasanya."
"Kenapa emang?"
"Ya biasanya kamu merengek minta cium. Sekarang kok enggak?"
Arsyaf terkekeh lalu mengacak puncak kepala gue gemas. "Ya karena aku tahu kalau kamu belum siap. Mulai sekarang, aku akan hargai keputusan Mbak pacar,"
paparnya. Pipi gue berdesir, mungkin mulai memerah karena panas. Penjelasan Arsyaf barusan membuat gue tersipu malu. Gombalannya kali ini berbeda dengan gombalan-gombalannya
yang sebelumnya. "Eh, jadi kamu minta kado apa nih, Mas pacar?" tanya gue mengalihkan pembicaraan, mencoba menutupi betapa senangnya gue karena digombalin kayak gitu.
"Apa aja terserah kamu."
"Apa aja?" Alis gue terangkat. "Yang bener?"
Arsyaf hanya mengangguk. "Ya udah. Nanti aku kasih kamu kado boxer pink polkadot," celetuk gue asal.
"Mbak pacar!" tegurnya marah.
Gue terkekeh puas setelah melihat pipinya memerah karena malu, mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat celananya kedodoran di tengah khalayak ramai.
"Ya udah. Ya udah. Kalau kamu nggak suka boxer pink polkadot nggak apa-apa. Nanti aku belikan yang warna ijo," kata gue sembari mengulum tawa.
"Kamu pikir aku kolor ijo apa?" Dia mendelik.
Sesaat setelah itu, kami pun tertawa bersama. Momen seperti ini mungkin jarang akan gue jumpai, nggak seperti pas jaman SMA dulu, canda dan tawa adalah
hal yang biasa. Tapi... saat kuliah, momen indah seperti hari ini bakalan menjadi sesuatu yang langka.
"Duuuuaaarr!!" teriak seorang cewek dari belakang. Bersamaan dengan teriakan itu, dia menepuk kuat punggung gue dan punggung Arsyaf.
Gue dan Arsyaf langsung terlonjak kaget dan membalik badan. Mata kami melotot spontan ketika melihat Mbak Widya cengengesan setelah tawanya kian membuncah,
membuat takut binatang-binatang lucu yang ada di KBS.
"Mbak Widya!" tegur gue marah sambil mengelus-elus dada, mencoba meredam jantung gue yang berdenyut tak karuan.
Mbak Widya meletakkan tangannya di pinggang lalu melotot. "Salah kalian sendiri nggak ngajak gue. Ya... gue ikutin kalian dari belakang lah!" omelnya seolah-olah
ia adalah orang paling benar sedunia.
Sebenarnya, gue heran dengan kehidupan gue. Nggak di kos, nggak di kampus, selalu aja ada orang-orang yang mengganggu kenyamanan hidup gue. Bagaimana tidak"
Di kos ada Mbak Widya yang selalu kepo. Sedangkan di kampus, kalian tau siapa yang ganggu" So. Bi. Rin. Haaaasshh... ya ya ya... Sobirin diterima di kampus
gue melalui jalur mandiri. Meskipun dia jelek, setidaknya dia mempunyai otak. Ya sudahlah. Nggak perlu dibahas. Lagipula nggak penting juga. Males juga
bahasnya. *****?"?"?"******
Chapter 44 [Author pov] Arsyaf berlari di sepanjang koridor. Sesekali ia melihat jam tangannya yang terus melaju mengubah waktu. Ia mendengus sebal, menyesal kenapa ia tadi bisa
ketiduran di kontrakan. "Arsyaf tunggu!" teriak seorang gadis cantik bernama Linsie, dengan napas ngos-ngosan, ia mencoba menyamai langkah panjang Arsyaf.
Arsyaf menoleh ke samping. "Linsie" Lo telat juga?" Alis Arsyaf terangkat.
Linsie mengangguk kuat. "Iya nih. Gue tadi ada rapat organisasi jadi lupa kalau jam kuliah Pak Kuncoro dimajukan," jawab gadis berbibir merah jambu dengan
rambut yang selalu diikat ke belakang itu.
"Gue malah lebih parah!" Arsyaf mulai menaiki dua anak tangga sekali langkah.
Linsie meniru, ia juga menaiki dua anak tangga sekali langkah. "Emang kenapa lo telat?" Dahinya mengerut, suaranya terengah-engah.
"Gue ketiduran, Lin. Parah kan?"
Linsie terkekeh. "Parah. Parah banget lo!"
Akhirnya Arsyaf sudah berada di lantai teratas. Sedangkan Linsie sudah tidak kuat lagi menaiki tangga. Ia kini berpegangan pada sisi tangga sambil melihat
Arsyaf yang berdiri di anak tangga paling atas.
"Ayo Linsie! Cepetan!" Arsyaf mengulurkan tangannya.
Linsie tak segan-segan meraih tangan tersebut lalu berlari bersama Arsyaf menuju ruang 303. Di sana Pak Kuncoro sudah berdiri di depan kelas sambil menjelaskan
materi perkuliahan. "Permisi, Pak," kata Arsyaf.
Pak Kuncoro tercekat, ia menurunkan kacamatanya lalu dengan mata memicing melihat Arsyaf dan Linsie yang berdiri di ambang pintu, masih setia menunggu
izinnya untuk masuk. "Maaf, Pak. Kami terlambat. Apa boleh kami mengikuti pelajaran Bapak?" tanya Linsie santun.
Pak Kuncoro melihat jam tangannya, lalu kembali melihat Arsyaf dan Linsie sejenak, kemudian menggeleng.
"Tapi Pak..." kalimat Arsyaf terpotong.
"Tidak ada tapi-tapian!" bentak Pak Kuncoro. "Kalian terlambat enambelas menit."
"Ayolah, Pak! Kita kan cuma kelewat satu menit," bujuk Linsie.
"Apa kalian tidak tau kontrak belajar saya?" Pak Kuncora memberi jeda untuk melanjutkan kalimatnya. "Mahasiswa yang terlambat lebih dari limabelas menit
tidak boleh mengikuti mata kuliah saya. Titik!"
"Tapi..." "Keluar!" perintah Pak Kuncoro sambil mengayunkan leher, pertanda menyuruh mereka agar segera keluar.
Lea menghela napas kecewa. Arsyaf, orang yang sangat dicintainya tidak bisa mengikuti kuliah Pak Kuncoro hari ini. Tiba-tiba saja Pak Kuncoro memajukan
jam kuliah dan Arsyaf sedari tadi tidak mengangkat telpon darinya.
Di luar ruangan, Arsyaf dan Linsie duduk di koridor. Mereka beristirahat sejenak setelah berlari dari tempat parkir menuju lantai tiga gedung fakultas.
Tenaga mereka rasanya terkuras habis. Mereka mencoba meredam napas yang masih terengah.
"Gilak tuh Bapak-bapak!" ujar Linsie geram. "Kita kan cuma telambat enambelas menit." Ia masih tak terima dengan keputusan Pak Kuncoro.
Arsyaf terkekeh. "Lo lucu juga ya!"
"Lucu" Lucu apanya?" Dahi Linsie mengernyit.
"Ya iya. Lo itu lucu." Enambelas menit itu lama tau nggak!" Arsyaf masih terkekeh. "Jadi wajar kalau Pak Kuncoro ngeluarin kita."
"Oh iya ding." Linsie meringis malu.
Dddrrrtt... Sebuah SMS masuk ke ponsel Arsyaf. Cowok itu pun bergegas membuka pesan yang masuk. Senyumnya langsung mengembang lebar ketika mendapati SMS itu dari Raya,
cewek yang begitu ia cintai.
Raya" ?" : Mas pacar...
Arayaf : ada apa Mbak pacar"
Raya" ?" : kyaknya mata minus aku bertmbah deh
Arsyaf" : ?" kok bisa"
Raya" ?" : iya. Ini gara2 spombob
Arsyaf : siapa spombob" #typo... yg bner spongebob
Raya" ?" : itu soborin. Lha masa' dia kejar2 aku terus.
Arsyaf" : terus apa hubungannya dg mata minus" ?"
Raya" ?" : tuh giginya suka memancarkan radiasi. Jd mata aku atit ?"
Tawa Arsyaf tiba-tiba membuncah, membuat kening Linsie berkerut heran. Ya. Inilah yang membuat Arsyaf semakin mencintai Raya. Ia selalu tersenyum dan tertawa
setiap kali cewek itu melawak. Arsyaf merasa sangat cocok dengan Raya. Selamanya, ia bersumpah tidak akan melepaskan Raya untuk siapa pun.
"Lo SMS-an sama siapa?" tanya Linsie kepo.
"Sama pacar," jawab Arsyaf singkat.
Linsie mengangguk dan mulutnya membentuk huruf O. "Ngomong-ngomong, pacar lo kuliah dimana?" tanyanya lagi.
"Dia kuliah di Surabaya."
"Kenapa dia nggak kuliah bareng lo aja?" Linsie menambah pertanyaannya.
"Dia diterima di kampus negeri bergengsi di sana. Mana mungkin dia mau kuliah di Universitas swasta hanya karena gue."
Lagi, Linsie mengangguk dan mulutnya membentuk huruf O. "Pasti pacar lo cantik banget. Iya kan?" tebaknya.
Kening Arsyaf berkerut. "Cantik sih enggak. Tapi dia manis."
"Boleh lihat foto pacar lo nggak" Kepo nih!"
Arsyaf pun menggeser layar ponselnya lalu membuka galeri foto yang ia beri judul "My Everything", kemudian ia memberikan ponsel tersebut pada Linsie.
Arsyaf lumayan dekat dengan sosok gadis yang bernama Linsie itu karena dia sering satu kelompok dengan Linsie. Tidak dapat dipungkiri kalau Linsie adalah
gadis yang sangat menarik. Selain cantik dan pintar, ia juga gadis yang ceria. Tak heran jika banyak cowok yang menyukainya di kelas.
"Iya. Cewek lo manis," kata Linsie sedikit tidak iklas. "Untung banget dia dapetin elo," celetuknya sambil terus melihat-lihat foto-foto Raya yang ada
di dalam ponsel Arsyaf. "Untung" Kok lo bisa ngomong gitu?"
"Ya iya. Gue akui dia manis. Tapi kalau dapetin elo... gue rasa kurang cocok aja gitu."
"Kenapa emang?"
"Arsyaf, lo itu terlalu cakep buat dia tau nggak?"
"Gue nggak peduli kalau gue terlalu cakep buat dia atau enggak. Yang penting, gue sayang banget sama dia."
"Lo itu udah cakep, tinggi, body lo kotak-kotak, tajir pula! Lo sadar nggak sih, kalau lo bisa dapetin cewek yang lebih WOW daripada cewek lo yang sekarang
ini." "Tapi bagi gue, nggak ada cewek yang lebih WOW daripada cewek gue," tukas Arsyaf kesal. "Udah ah. Gue nggak mau debat sama lo."
Setelah jam kuliah Pak Kuncoro selesai, Lea dan mahasiswa lainnya keluar dari ruang kuliah. Lea terhenti sejenak melihat Arsyaf dan Linsie dari kejauhan.
Mereka berdua tampak sangat akrab. Tiba-tiba hati Lea terasa begitu sakit melihat keakraban Arsyaf dan Linsie. Tangannya mengepal marah, tapi ia tidak
bisa melakukan apa pun. Entah ide dari mana... Lea tiba-tiba memiliki inisiatif untuk menghubungi Raya dan menceritakan kedekatan Arsyaf dengan Linsie. Ia pun bergegas menuju
toilet cewek dan menelpon Raya.
"Halo Raya?" sapa Lea setengah berbisik, berharap tidak ada orang yang mendengar percakapannya.
"Halo" Ada apa Lea?"
"Gimana kabar lo?" tanya Lea basa-basi.
"Baik. Lo sendiri?"
"Gue juga baik."
"BTW, tumben elo nelpon di jam segini."
"Iya. Gue cuma mau bilang ke elo kalau Arsyaf sekarang ada yang deketin."
"Ha" Siapa" Siapa namanya" Entar kalau gue mampir ke kampus elo... biar gue bisa langsung bejek-bejek tuh cewek."
"Namanya Linsie. Sepertinya lo harus hati-hati deh. Soalnya menurut gue, dia cewek paling cantik se-angkatan."
"Bushet!"
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Udah ya. Gue cuma mau ngomong gitu doang. Gue masih ada kuliah lagi nih. Daaahh..."
"Oke. Thanks ya Lea. Lo mau ngasih tau hal sepenting ini. Ya udah daaahh..."
Mempunyai pacar yang super tampan tidaklah mudah. Pasti banyak hambatan terutama masalah cewek. Tiap hari Raya pasti sedikit banyak memiliki rasa takut
ditinggal Arsyaf pergi. Separuh hatinya sudah hancur gara-gara El. Ia tidak ingin hatinya hancur untuk yang kedua kalinya. Untuk itu, ia harus menjaga
Arsyaf baik-baik. Ia tak akan membiarkan cewek lain merebut Arsyaf darinya.
*****?"?"?"*****
Chapter 45 [Author pov] Raya mengguratkan pensilnya di atas kertas A4. Sambil tersenyum, ia sesekali melihat wajah tampan Arsyaf di layar ponselnya. Setelah selesai menggambar,
rencananya dia akan menaruh karikatur yang ia gambar di dalam sebuah pigura hitam.
"Yes! Selesai!" Raya mengusap keringatnya yang hampir menetes.
Senyuman lebar mengembang indah di kedua sudut bibirnya saat melihat gambar karikatur yang telah ia buat. Di dalam gambar itu tampak Arsyaf memboncengnya
dengan sepeda ontel. Ya. Walaupun Raya sekarang menempuh studi di jurusan ekonomi, tapi tidak dapat dipungkiri kalau dia mempunyai bakat yang sangat luar
biasa dalam hal menggambar.
*** Zen, Teo, Renan, dan Arsyaf malam itu asyik memandang layar laptop. Sesekali mereka jingkrak-jingkrak sendiri, melihat beberapa adegan tidak senonoh yang
ditampilkan layar kotak bercahaya itu. Zen, Teo, dan Renan memang satu kampus dengan Arsyaf. Tapi mereka tidak satu jurusan. Arsyaf mengambil studi di
jurusan informatika, Zen dan Teo mengambil studi di jurusan kelautan, sedangkan Renan di jurusan teknik mesin. Mereka berempat tinggal dalam satu rumah
kontrakan yang tak jauh dari kampus mereka.
"Eh Zen, lo sudah ngelakuin yang model begono nggak?" dagu Teo menunjuk ke arah laptop.
"Ya udahlah!" sahut Zen bangga.
"Kalau elo, Ren?" tanya Teo, beralih melihat ke Renan.
"Rahasia dong!" jawab Renan membuat Teo semakin penasaran.
Bukannya Renan sok suci, tapi ia hanya tidak ingin teman-temannya tahu kalau masa lalunya terlalu kelam untuk diingat kembali. Ah, tidak! Bukan masa lalu.
Sampai sekarang pun Renan masih sering melakukan hal kotor itu dengan cewek-cewek yang ia kencani.
"Halah, Ren! Ngaku aja!" Teo menyesap sepuntung rokok lalu mengeluarkan kepulan asap beberapa saat kemudian. "Pasti elo sudah ngelakuin itu sama Tantri
dan Monica," tebaknya benar.
"Apaan sih lo, Yo" Najis bahasan elo!" Renan tak mengaku.
"Kalau elo, Syaf" Elo sudah nyoba model apa aja sama Raya?" tanya Zen seolah melakukan hal kotor itu adalah hal yang sudah biasa baginya.
"Udah ah. Dosa! Dosa! Lagian kalian ngelakuin hal itu sebelum nikah, apa kalian nggak takut dosa" Ingat, ada Tuhan men!" papar Arsyaf ngotot seolah ia
tidak pernah melakukan dosa. Padahal, sedari tadi ia menonton vidio porno dengan Zen dan lainnya.
"Halah ngaku aja lo!" tukas Teo. "Elo sama Raya kan udah pacaran lama. Pasti kalian sudah ngelakuin berbagai model. Iya kan?" tebaknya salah.
"Ya elah. Boro-boro ngelakuin yang model begono!" Arsyaf menunjuk layar laptop Zen dengan dagunya. "Ciuman aja nggak pernah!"
"BUSHET!!" ujar Renan, Zen, dan Teo serempak.
"Sumpeh lo?" Teo masih tak percaya dengan perkataan Arsyaf barusan.
"Terus, selama ini, elo ngapain aja sama Raya?" tanya Zen mengabaikan laptopnya yang masih menampilkan adegan panas. Ia menatap Arsyaf dengan raut muka
heran. "Paling mentok pelukan. Itu pun sejak kami mulai pacaran, nggak sampai lima kali," jelas Arsyaf. "Tiap kali gue minta cium, pasti dia mengelak. Dia cuma
mau dicium setelah nikah katanya."
"Terus kenapa lo bisa betah sama si Raya" Nggak ada fungsinya! Kok bisa ya ada cewek yang nggak mau digrepe-grepe sama cowok ganteng kayak elo," kata Zen
heran bukan main. "Ya itu yang bikin gue masih sayang sama dia. Itu tandanya dia cewek baik-baik." Arsyaf tersenyum bangga.
"Jadi, lo mau pacaran hambar kayak gitu terus" Kagak ada luapan emosi melalui grepe-grepe?" ujar Zen mulai memanas-manasi seperti setan. "Apa lo nggak
pengen pacaran seperti anak muda jaman sekarang?"
"Maksud lo, elo pengen gue pacaran seperti gaya berpacaran elo, gitu?" tanya Arsyaf setengah berpikir.
"Ya iya. Coba aja tiru gaya berpacaran kita kita," cerocos Teo sambil menaik turunkan alisnya. "Pasti, gue jamin elo bakal ketagihan. Sumpah deh gue!"
"Emangnya enak ya?" tanya Arsyaf mulai tertarik.
Sebelum Zen atau Teo berbicara, Renan mendahului. "Awas aja kalau elo berani grepe-grepe Raya! Gue pastikan elo bakalan mati di tangan gue. Cam kan itu!"
ancamnya serius. "Ya elah, Ren. Mana mungkin gue merusak orang yang gue sayang. Nggak mungkinlah!" tukas Arsyaf setelah menelan ludah.
"Ren, kok jadi elo yang sewot?" tanya Zen dengan nada agak meninggi.
"Ya iyalah gue sewot. Raya itu sahabat gue dari TK. Gue kenal banget siapa dia. Meskipun dia agak bandel, tapi dia cewek baik-baik. Gue nggak bakal iklas
cowok mana pun grepe-grepe dia."
Arsyaf menutup laptop Zen tanpa mengklik shut down. "Udah. Udah. Nggak usah bertengkar gara-gara masalah sepele."
Tangan Renan mengepal. Masalah sepele Arsyaf bilang" Zen dan Teo membahas hal yang tidak senonoh tentang Raya, dan Arsyaf hanya menganggap hal itu hanya
masalah sepele" Daripada tinjunya melayang ke wajah Arsyaf, ia memutuskan untuk mengambil jaket di atas kasur, memakainya cepat, lalu keluar dari ruangan.
"Ren! Elo mau ke mana, Ren?" teriak Arsyaf masih tak mengerti.
"Ren! Renan!" panggil Teo.
"Iya, Ren! Lo mau ke mana" Katanya lo mau ngopi bareng kita." Zen menambahkan.
Teriakan dan ajakan semua temannya tidak Renan hiraukan. Ia hanya ingin naik motor, ngebut di jalan untuk menghilangkan stress. Menurutnya, Arsyaf tidak
pantas untuk Raya. Dia bahkan tidak membela Raya di hadapan Zen dan Teo. Brengsek!
*****?"?"?"*****
10. Chapter 46-50 Chapter 46 [Author pov] Setelah tersambung, Raya bisa melihat Renan melalui layar laptopnya. Dia meringis senang mendapati sahabatnya itu segera menerima permintaan vidio call
darinya. "Ada apa pagi-pagi begini minta vidio call-an segala," ujar Renan ketus lalu menguap, pertanda ia masih mengantuk.
"Ya elah! Ini sudah jam sembilan woy! Emangnya lo nggak sholat subuh apa?" tanya Raya penuh curiga.
"Sholat nggak sholat itu urusan gue. Ngapain nanya-nanya?"
"Ya elah, Ren. Biar lo jadi bad boy, lo tetep kudu sholat tauk!" Raya cemberut manyun, mendapati sahabatnya itu tak mengindahkan perintah Tuhan.
"Ya udah. Entar gue sholat dzuhur deh." Cengiran khas Renan mengembang lepas di kedua sudut bibirnya.
Dahi Raya mengernyit. "Emang bisa sholat subuh diganti sholat dzuhur" Sontoloyo lo jadi orang! Dosa! Dosa! Masuk neraka baru tau rasa lo!"
"Udah udah. Lo lama-lama kayak emak gua tau nggak" Ngomel-ngomel kayak kaset rusak. Sekarang lo mau ngomong apa" Tumben minta vidio call-an segala."
"Em... gini, Ren. Beberapa hari lagi kan Arsyaf ulang tahun."
"Iye. Terus?" Renan mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya.
"Gue sebenarnya tau apa yang sangat diinginkan Arsyaf untuk kado ulang tahunnya."
"Emangnya apa yang dia pengen?" tanya Renan sambil menyesap sepuntung rokok tersebut lalu menghembuskan kepulan asapnya ke udara.
"Dia dari dulu pengen minta cium tapi nggak pernah gue kasih," curhat Raya enggan.
"Terus, lo mau cium dia di hari ulang tahunnya, gitu?" Intonasi Renan mulai terdengar serius dan tegas. Cengiran khasnya tak lagi mengembang.
Raya mengangguk pelan. "Enggak. Enggak boleh," kata Renan dengan alis yang saling bertaut. Ucapannya kini malah terdengar galak.
"Kenapa nggak boleh?"
"Ya ampun Raya! Lo barusan ngomelin gue gara-gara nggak sholat subuh. Ngingetin gue tentang dosa. Sekarang lo mau ciuman" Lo pikir ciuman nggak dosa apa?"
Kini gilian Renan yang mengomel.
Raya tertegun sejenak, ia masih berpikir. Benar kata Renan. Lagipula, dia sudah menyiapkan karikatur buatan sendiri yang ia buat selama berhari-hari. Apa
itu tidak cukup. "Ya udah deh, Pak. Makasih ye nasehatnye." Raya meringis senang. Nasehat sahabatnya itu telah membuatnya tidak bimbang lagi.
"Ingat, lo itu Batistuta!"
Raya mendelik. "Emangnya lo pikir gue pemain bola apa?" Tangannya bertengger di kedua pinggang.
"Batistuta, singkatan dari Bayi di atas Tiga Ratus Tahun." Tawa Renan seketika itu meledak.
Raya langsung mengerucutkan bibirnya. "Udah ah! Males ngomong sama lo. Bye!" Ia langsung mematikan sambungan internetnya. Sahabat terbaiknya itu membuat
mood-nya jadi rusak. *** Drrrtt... Di tengah pertemuan keluarga, HP Raya terus bergetar, Arsyaf menelponnya. Ia pun segera mengangkat panggilan itu dan bergegas keluar ruangan agar mama,
papa, kakak, serta keluarga calon suami kakaknya tidak terganggu.
"Halo, Mbak pacar, kamu sudah nyampek mana?"
"Aku sudah ada di Jakarta dari tadi, Mas pacar. Tapi kayaknya aku nggak bisa datang di kontrakan kamu lebih cepat deh," papar Raya setengah berbisik.
"Kenapa, sayang?"
"Soalnya aku sedang ada pertemuan keluarga nih."
"Oh ya udah kalau gitu."
"Eh, tapi kamu nggak ngundang cewek yang bernama Linsie ke acara ulang tahun kamu kan?" tanya Raya ketus, takut kalau Arsyaf akan meninggalkannya karena
ada cewek lain. "Lho" Kamu kok tau kalau aku punya temen cewek namanya Linsie?"
"Udah. Nggak usah banyak nanya! Kamu ngundang dia atau enggak?"
"Ya jelas aku undanglah. Dia kan temenku."
"Ya udah kalau kamu terlanjur ngundang dia. Tapi awas ya kalau kamu sampai belok!" ancam Raya takut.
LDR, singkatan dari Long Distance Relationship. Sudah menjadi rahasia umum jika banyak pasangan yang putus karena menjalani hubungan LDR, tak saling ketemu,
hanya sekedar menyapa melalui telepon, SMS, dan vidio call. Kebanyakan cinta akan memudar jika satu sama lain jarang bertemu.
Arsyaf tertawa kecil. Ia sangat senang mendengar ancaman Raya. Cemburu. Itu tandanya Raya sangat mencintainya.
"Ngapain kamu tertawa kayak gitu" Nggak ada yang lucu!" tukas Raya judes.
"Kamu tuh lucu banget kalau cemburu. Lagipula, nggak mungkinlah aku selingkuh. Toh aku kan udah punya kamu." Arsyaf menggombal.
"Ih gombal!" ujar Raya manja.
"Tapi kamu suka digombalin. Iya kan?"
"Ih apaan cobak?" Raya semakin manja.
"Love you, Mbak pacar."
"Love you too," kata Raya sambil terkekeh ringan. "Eh aku tutup telponnya ya. Daahh..."
Sebenarnya Raya ingin sekali datang lebih cepat ke kontrakan Arsyaf tapi mau bagaimana lagi" Ia harus mengikuti pertemuan keluarga ini sampai selesai.
Kakaknya akan segera menikah dengan seorang dokter muda bernama Doni, catet, Doni, bukan Dono.
Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi Raya. Pasalnya, di malam ini kedua keluarga akan membahas rencana pernikahan yang akan diadakan sekitar
tiga minggu lagi. Mulai dari tempat akad, tempat resepsi, gaun, sampai makanan pun akan dibahas malam ini.
Setelah menutup teleponnya, Raya kembali ke ruang pertemuan. Dengan wajah lesu, ia duduk di samping Icha. Icha menoleh sebentar melihat Raya yang tampak
sedih kemudian ia melirik sejenak sebuah pigura gambar karikatur dengan pita warna pink polkadot yang sengaja Raya sandarkan di kaki meja.
"Maaf, tante." Icha melihat ke calon ibu mertuanya sambil menunduk santun. "Maaf, Om." Kemudian ia melihat ke arah calon ayah mertuanya dan menunduk santun
lagi. "Iya, ada apa Icha?" tanya calon ibu mertua Icha.
"Sepertinya adik saya kurang enak badan. Apa boleh dia pulang terlebih dahulu?"
Mata Raya melebar, ia langsung menoleh ke samping, melihat kakaknya yang tengah berbohong demi dirinya.
"Tentu saja, Icha," jawab calon ibu mertua Icha. "Raya, kamu tidak apa-apa kan?" Wanita paruh baya itu tampak mencemaskan Raya.
"Em... aku nggak kenapa-napa kok, tante. Cuma sedikit pusing," sahut Raya berpura-pura lemas.
"Icha, sebaiknya kamu antar Raya pulang," perintah Nyonya Elly.
Icha mengangguk. "Nggak apa-apa, Ma. Raya bisa pulang naik taksi kok," elak Raya.
Setelah perdebatan kecil, akhirnya Raya bisa menghindari pertemuan keluarga yang sangat membosankan itu dengan bantuan Icha.
"Salam buat Arsyaf ya, Ray!" Icha melambaikan tangan pada adiknya yang kini sudah duduk di dalam taksi.
"Siiipp dah!" Raya mengacungkan jempolnya sambil meringis senang. "Makasih banyak ya kak!"
"Iya." "Dadah..." Raya melambaikan tangannya dengan semangat.
"Daah..." Icha membalas lambaian tangannya.
Chapter 47 [Author pov] Di dalam taksi, Raya tersenyum sendiri sambil mengelus pigura yang ada di sampingnya. Sudah tak sabar ia menemui Arsyaf. Ia berharap, Arsyaf menyukai kado
yang ia buat dengan susah payah. Betapa tidak" Di Surabaya, Raya adalah Mahasiswa yang super sibuk. Setelah kuliah, ia harus bekerja paruh waktu sebagai
guru les privat, kemudian ia juga harus mengerjakan tugas kuliah yang terus datang silih berganti. Raya bahkan hanya tidur empat jam sehari untuk meluangkan
waktu demi membuat karikatur tersebut.
Drrrtt... HP Raya bergetar kuat. Ia pun menghentikan senyumannya lalu menerima panggilan yang masuk.
"Halo, Lea?" sapa Raya setelah melihat nama Lea tertera di layar ponselnya.
"Raya, lo ada di mana" Gue sudah hampir nyampek kontrakan Arsyaf nih."
Raya melihat ke jendela taksi, melihat penunjuk jalan yang remang-remang ia lihat. "Aku juga udah deket kontrakan Arsyaf kok. Kita ketemuan di sana."
"Oke deh. Bye..."
"Bye..." Raya menghela napas, hatinya berdegup kencang. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan Arsyaf, cowok yang sangat dicintainya.
*** Linsie membuka kotak yang berisi kue tar coklat yang tampak begitu lezat. Ia bergegas memasang beberapa lilin kecil di atasnya lalu menyalakan korek.
"Eh eh. Lo mau ngapain?" cegah Arsyaf, matanya melebar kaget.
"Ya... mau nyalain lilinnya," jawab Linsie heran.
"Nggak boleh! Nggak boleh!" Arsyaf meniup korek yang dipegang Linsie.
"Kenapa nggak boleh?" Dahi Linsie berkernyit.
"Pokoknya, sebelum cewek gue datang, gue nggak bakal mulai acara ini," jelas Arsyaf agak marah.
Zen dan Teo sedari tadi sudah beberapa kali meneguk ludah melihat hidangan yang tersedia di atas meja makan. Perlahan, tangan mereka merambat mencoba mengambil
paha ayam. Mereka memang bukan Upin Ipin, tapi tidak dapat mereka pungkiri, ayam goreng adalah makanan yang lezat.
"Ngapain kalian"!" Arsyaf menyingkirkan tangan Teo lalu tangan Zen agar menjauh dari hidangan.
"Ya elah, Syaf. Kita udah laper tingkat tinggi nih. Dari tadi cuma nungguin Raya doang," kata Teo sambil mengerucutkan bibir seperti anak-anak TK.
"Dari pada nunggu Raya yang nggak nongol-nongol, mendingan nunggu Upin Ipin wisuda," tambah Zen kesal.
Renan menghela napas jengah. Entah mengapa ia merasa malas mengikuti percakapan Arsyaf, Zen, dan Teo. Ia pun mengambil jaket lalu berdiri.
"Mau ke mana lo, Ren?" Arsyaf mendongak, melihat Renan yang berdiri di hadapannya.
"Gue mau ke warung Mbok Pit, ngopi. Entar kalau Raya ke sini, kasih tau gue ya," kata Renan malas lalu beranjak pergi.
Tak terasa sudah sepuluh menit sejak Renan keluar dari kontrakan menuju warung Mbok Pit yang jaraknya tak begitu jauh. Raya masih saja belum datang. Arsyaf
bahkan sempat menelponnya, tapi tidak diangkat.
"Eh, Syaf. Gue keluar beli minuman dulu ya. Kayaknya minuman yang kita punya bakalan kurang deh." Linsie melirik sejenak tiga botol minuman bersoda yang
ada di hadapannya. "Oh iya. Tolong belikan susu coklat juga. Raya suka banget sama susu coklat," kata Arsyaf tak tahu perasaan Linsie padanya.
Linsie tersenyum kecut. "Oke."
Setelah itu, Linsie beranjak menuju pintu, memakai sepatunya, lalu bergegas pergi menuju mini market terdekat. Di dalam rumah kontrakan hanya tinggal Arsyaf,
Zen, dan Teo. Lagi, Teo menelan ludah ketika ia melihat sosis bakar dengan saos sambal di atasnya. Liurnya bahkan hampir tumpah ke kaosnya. Perlahan, tangannya merambat
menuju sosis tersebut. Plaaak Arsyaf langsung menangkis tangan Teo sebelum cowok bertubuh kurus itu mengambil sosis yang tampak begitu lezat.
"Ya elah. Pelit amat sih lo, Syaf!" Teo cemberut manyun.
Arsyaf mendelik. "Pokoknya nggak boleh! Lo hanya boleh memakan semua hidangan ini kalau Raya udah dateng."
Teo menggaruk kepalanya yanh tak terasa gatal lalu menghela napas kecewa. Begitu pula dengan Zen.
"Ya elah, Syaf. Segitu cintanya lo sama si Raya. Padahal tuh cewek ogah digrepe-grepe," celetuk Zen.
"Iya, Syaf. Cewek yang belom pernah elo sentuh aja, sampai segitunya elo belain," tambah Teo geram.
"Itu tandanya Raya sayang sama gue," bela Arsyaf berbangga diri.
"Justru itu tandanya dia nggak sayang sama lo, Syaf," tukas Zen ngotot.
"Iya. Itu tandanya Raya nggak sayang sama lo. Kalau Raya beneran sayang sama lo, beneran cinta, pasti dia mau dicium sama lo." Teo menambahi.
Alis Arsyaf terangkat. "Kok bisa gitu?"
"Ya iyalah. Secara ciuman itu tandanya sayang, Syaf. Dedek bayi aja tau akan hal itu," jelas Teo ngotot. Sementara Zen hanya mengangguk membenarkan.
Arsyaf tampak berpikir. Ia rupanya mulai tertarik dengan obrolan Zen dan Teo. "Berarti... Raya nggak sayang dong sama gue," pikirnya lugu.
"Yups betul banget itu," celetuk Zen. "Makanya, putusin aja si Raya. Kan masih ada Linsie yang nungguin elo."
"Tapi... gue sayang banget sama dia gengs!" kata Arsyaf masih tampak memikirkan perkataan kedua temannya itu.
"Gini aja. Sebentar lagi Raya datang ke kontrakan ini. Dan kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun elo. Gimana kalau lo minta cium si Raya sebagai kado
ulang tahun?" pendapat Teo sambil menaik turunkan alisnya.
"Emang ada kado semacam itu?" tanya Arsyaf dengan polosnya.
"Ya ada lah. Kalau dia nggak mau dicium, putusin aja! Pasti dia ngemis-ngemis ke elo minta balikan." Kali ini Zen yang beropini.
"Yakin lo" Entar kalau dia malah benci ke gue gimana" Terus, kalau entar dia nggak mau balikan, gimana?" Arsyaf masih menimbang-nimbang pendapat kedua
sahabatnya. Jujur saja, selama ini Arsyaf memang merasa kalau Raya tidak terlalu mencintainya. Entah mengapa Arsyaf merasa kalau hati Raya tidak sepenuhnya ia miliki.
Fakta itu ia dapatkan ketika Raya selalu menolak ia cium. Selain itu, Arsyaf juga merasa kalau perlakuan Raya ke dirinya sama rata dengan perlakuan Raya
ke El dan Renan. "Ya ampun, Syaf. Lo itu udah ganteng, tinggi, tajir lagi! Gue yakin semua cewek di dunia ini bakalan klepek-klepek sama lo termasuk Raya," kata Teo ngotot
setengah emosi melihat Arsyaf yang begitu mencintai Raya, gadis yang tak begitu cantik dan terlebih lagi tukang ngomel.
Arsyaf tertegun. Rasanya ia ingin mencoba apa yang disarankan oleh Zen dan Teo. Malam ini, ia ingin meminta sebuah hadiah ulang tahun yang bukan berupa
barang dari Raya, yaitu first kiss. Jika Raya mau, berarti Raya benar-benar mencintainya. Jika Raya tidak mau, berarti ia harus melakukan usaha lebih agar
hati Raya dapat ia miliki seutuhnya.
"Udah ah. Gue mau ke dapur dulu ambil minuman." Zen berdiri dari tempatnya lalu berjalan menuju dapur.
"Zen, ikut Zen! Gue juga haus nih," teriak Teo sambil mengikuti Zen dari belakang.
Sesampainya di dapur, Zen membuka kulkas, mengambil sebotol soda, membuka tutupnya, lalu meneguknya cepat. Kemudian ia memberikan botol tersebut ke Teo
yang sekarang berdiri di sampingnya.
"Yo, elo nggak ngerasa kasian sama Arsyaf?" tanya Zen tiba-tiba.
Teo melirik Zen sebentar lalu behenti minum. "Kasian kenapa?"
"Kayaknya si Arsyaf itu jablay deh."
"Iya juga sih. Gue juga ngerasa kasian sama dia."
"Gimana kalau kita buat Raya mau membelai Arsyaf?"
Mata Teo melebar kaget. "Maksud lo... Lo mau ngasih obat perangsang ke minuman Raya?"
Zen melihat sekilas sebotol susu coklat yang ada di lemari es yang belum sempat ia tutup. "Tuh! Ada susu coklat tinggal satu. Gimana kalau kita masukin
obat ke susu itu?" "Tapi... apa Raya mau minum tuh susu?"
Zen berdecak geram. "Lo nggak dengar apa kata Arsyaf tadi?" Ia mendorong kepala Teo. "Dia bilang, Raya suka sekali susu coklat."
"Boleh juga ide elo!" Teo terkekeh setuju.
*****?"?"?"*****
Chapter 48 [Author pov] Teo mengeluarkan sebungkus obat dari dalam saku celananya. Mata Zen mendelik kaget ketika mendapati Teo mengeluarkan obat semacam itu seolah sudah siap
siaga setiap saat. "Gila lo, Yo! Lo bawa obat kayak begono terus apa?" Zen menunjuk sebungkus obat yang dipegang Teo dengan dagunya.
"Iya dong. Secara cewek jaman sekarang pada gampangan semua. Di gombalin dikit aja udah mau," ujar Teo sembari membuka botol susu lalu menuangkannya ke
dalam gelas. "Sini, biar gue yang masukin obatnya!" Zen merebut obat itu dari tangan Teo lalu menuangkannya ke dalam gelas.
Mata Teo melotot. "Zen! Apa nggak kebanyakan?" tegurnya kaget ketika melihat Zen memasukkan setengah bungkus ke dalam gelas.
"Nggak apa-apa. Soalnya Raya itu masih lugu. Dia nggak tau yang kayak begituan."
Teo meringis senang. Ia kemudian mengambil segelas lagi dari rak lalu menuangkan soda ke dalam gelas tersebut, merebut obat yang diambil Zen, lalu membubuhkan
sisanya ke dalam gelas. "Buat apa, Yo?" tanya Zen keheranan.
"Buat Arsyaf. Dia kan juga belom berpengalaman. Jadi harus dikasih asupan gizi," jawab Teo santai.
"Gila lo! Entar kalau mereka nggak sekedar berciuman tapi malah berzina gimana?"
"Enggak. Enggak mungkin. Mereka berdua sama-sama lugu. Pasti mereka bakal betah nahan nafsu."
Zen hanya menggeleng melihat kelakuan Teo. "Eh, BTW kalau semisal El dan bukan Arsyaf, apa lo berani bantuin dia dengan cara seperti ini?" tanyanya tiba-tiba.
Teo terhenti, menoleh ke arah Zen lalu tersenyum malu. "Ya... Nggak berani lah! Emang lo berani apa?"
Zen cekikikan nggak jelas. "Sama. Gue juga nggak berani. Bisa-bisa bonyok muka kita."
"Iya. Secara El itu ketua geng dari enam sekolah. Dia mempunyai sabuk hitam dan sempat beberapa kali menjuarai lomba karate. Setor nyawa kalau kita berani
berurusan sama dia."
Arsyaf masih setia menunggu di ruang tengah. Ia masih belum menjamah sedikit pun makanan yang ada di hadapannya. Tak lama kemudian, Zen dan Teo datang
dengan membawa segelas susu coklat dan segelas soda dingin, lalu menaruhnya tepat di hadapan Arsyaf.
Dahi Arsyaf berkernyit. "Apa ini?" tanya Arsyaf heran.
"Buat Raya sama buat lo," jawab Zen.
"Thanks ya guys," kata Arsyaf sambil tersenyum.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"No problem," balas Zen.
"Eh Zen! Gimana kalau kita susul Renan ke warung Mbok Pit" Gue tiba-tiba pengen makan gorengan nih," ujar Teo sembari mengelus-elus perutnya yang keroncongan.
"Oke." Zen menaik turunkan alisnya sambil tersenyum nakal pertanda kalau ia siap melancarkan rencana konyolnya.
"Syaf, kita pergi dulu ya, entar kalau ada Raya, telpon kami," kata Teo sambil memegang pundak Arsyaf.
Arsyaf hanya mengangguk. Setelah itu, dia berada di dalam kontrakan seorang diri menunggui Raya.
*** Di tengah perjalanan menuju kontrakan Arsyaf, tiba-tiba suara ringtone lagu geboy mujair memecah keheningan malam. Bukan. Itu bukan suara HP Raya. Tapi
suara HP Pak sopir. "Halo?" sapa sopir setelah mengangkat telepon.
Dahi Raya berkernyit. Ia melihat Pak sopir melalui kaca spion.
"Apa" Istri saya sekarang ada di rumah sakit?" tanya Pak sopir kaget. "Iya iya. Saya akan segera ke sana."
Si sopir taksi itu pun segera menghentikan laju mobilnya. Kemudian ia menoleh ke belakang, melihat Raya.
"Ada apa, Pak?" tanya Raya.
"Maaf, Mbak. Kira-kira kontrakan yang Mbak tuju masih jauh tidak" Soalnya istri saya sekarang ada di rumah sakit mau melahirkan," jelas si sopir taksi.
Mata Raya terbelalak lebar. "Saya turun di sini aja, Pak. Mendingan Bapak sekarang buruan ke rumah sakit." Raya membuka pintu taksi lalu mengeluarkan piguranya.
"Tapi Mbak..." "Nggak usah tapi-tapian, Pak," potong Raya sembari mengeluarkan uang seratus ribu dari dalam tasnya. "Ini."
Si sopir taksi itu tampak enggan menerima uang dari Raya. Tapi Raya malah memberikan uang itu secara paksa.
"Mbak, tapi saya nggak punya kembalian," kata sopir itu.
"Aduuuh," ujar Raya geram. "Ambil saja kembaliannya. Sekarang, mendingan Bapak cepetan ke rumah sakit."
"Baik, Mbak. Makasih ya Mbak."
"Iya iya. Cepetan, Pak!" suruh Raya panik, takut si sopir tidak bisa menemani istrinya di rumah sakit saat melahirkan.
Si sopir itu mengangguk cepat lalu menutup kaca mobilnya dan bergegas pergi menuju rumah sakit. Kini tinggal Raya sendirian di jalanan kota Surabaya. Kontrakan
Arsyaf masih lumayan jauh, sekitar 1 Km dari tepat Raya berdiri saat ini. Sempat beberapa kali Raya mencoba menghubungi ojek online tapi sia-sia saja,
kuotanya habis, demikian pula dengan pulsanya. Ia tidak bisa menelpon Arsyaf atau Renan untuk menjemputnya. Terpaksa, dia harus jalan kaki menuju kontrakan
Arsyaf. "Gila apa ya tuh sopir taksi" Bininya mau ngeluarin bayi unyu, dia masih mikirin uang kembalian." Raya mengomel sendiri sedari tadi sambil mempercepat
langkah menuju kontrakan Arsyaf.
Sementara itu di tempat lain, Lea duduk nyaman di dalam taksi yang melaju ke kontrakan Arsyaf. Sedangkan Linsie sudah menstater motornya, bergegas kembali
ke kontrakan Arsyaf sambil membawa beberapa barang belanjaan dari mini market.
*** Arsyaf menghela napas jengah, ia menatap segelas soda dingin yang diberikan Zen dan Teo barusan. Tenggorokannya terasa kering setelah lama menunggu Raya
yang belum juga datang. Tak lama setelah itu, dia mendengus kesal lalu meneguk segelas soda dingin itu sampai habis.
Aneh, mata Arsyaf tiba-tiba berkunang-kunang, kepalanya agak pusing. Sedangkan suhu udara di sekitarnya entah mengapa terasa panas. Apa soda yang diminumnya
sudah kadaluarsa" Apa gue akan mati gara-gara keracunan" Sempat beberapa pertanyaan bodoh terselip di pikirannya yang mulai tidak waras.
Gerah. Arsyaf membuka sweaternya. Dan anehnya, ia masih merasa gerah. Tangannya perlahan merambat ke remote AC yang ada di sampingnya, lalu menyalakan
AC tersebut. Aneh, meskipun tubuh Arsyaf sudah merasa dingin, tapi dia masih merasa ada sesuatu yang salah dalam dirinya dan lucunya, dia tidak tahu apa.
"Raya..." panggilnya setengah sadar.
Saat itu tiba-tiba ia menginginkan Raya berada di sampingnya. Pikirannya mulai terpenuhi oleh hal-hal kotor. Ia mulai membayangkan hal-hal yang tidak wajar
bersama Raya. Ia ingin memeluk Raya, menciuminya, dan bahkan melakukan hal yang lebih dari itu. Arsyaf sudah kehilangan akal sehatnya.
"Raya..." panggilnya lagi.
Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Teo, diam-diam Zen mencampur minuman Arsyaf dengan sedikit alkohol. Ia tahu benar kalau Arsyaf tidak bisa minum alkohol.
Dengan seteguk alkohol saja, Arsyaf bisa mabuk.
Sudah Arsyaf putuskan. Jika Raya datang nanti, dia akan langsung mencium wanita yang ia cinta itu tanpa ampun. Entah Raya mau atau tidak, dia tetap akan
melakukan hal itu tak peduli apa pun. Yang jelas, saat ini dia hanya menginginkan bibir Raya. Tidak! Dia menginginkan hal yang bahkan lebih dari itu.
*****?"?"?"*****
Chapter 49 [Author pov] WARTEG! EH WARNING!! ANAK DIBAWAH 17 TAHUN DILARANG BACA YA ?"
Setelah Zen dan Teo sampai di warung Mbok Pit, mereka duduk di hadapan Renan sambil cekikikan senang. Dahi Renan berkernyit setelah menyeruput secangkir
kopi pekat tanpa gula. "Ngapain kalian senyum-senyum kayak gitu" Stress lo pada?" tanya Renan santai.
"Kita nggak stress kok, Ren," sahut Teo menyeringai.
"Kita itu cuma senang aja karena Arsyaf malam ini nggak bakal jablay lagi," jelas Zen.
"Maksud kalian apa?" Dahi Renan berkerut, ia masih tak memahami percakapan Zen dan Teo. Tapi ia bisa mencium ada sesuatu yang tak beres dari gelagat dua
temannya. "Lo tau nggak" Kita tadi sudah kasih obat perangsang ke minuman Raya," kata Teo dengan entengnya. "Dengan begitu, dia pasti mau membelai Arsyaf."
Sontak Renan terlonjak kaget. Spontan, ia langsung mencengkram kaos yang dikenakan Teo hingga pemuda kurus itu terangkat. "Apa lo bilang barusan?"
"Ren, tenang, Ren!" ujar Zen mencoba menenangkan Renan.
"Lo bilang tenang?" Kali ini Renan mendelik pada Zen. "Apa kalian tau kalau Raya itu masih perawan" Huh?" Ia meneriaki dua temannya emosi.
Seluruh pengunjung warung menoleh ke arah meja Renan. Melihat beberapa orang pemuda yang tengah bertengkar, tentu saja mau tidak mau menjadi suatu keharusan
untuk ditonton. Aneh, bahkan tidak ada di antara mereka yang berusaha mencegah.
"Ren, maaf, Ren," ucap Teo ketakutan.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Raya, gue bersumpah akan bunuh kalian satu per satu," ancam Renan kemudian sebuah tinju dahsyat mendarat sempurna ke
pipi Teo hingga pemuda berkaos hitam itu terjerembab ke atas lantai. Kursi yang ada di belakangnya bahkan ikut terguling.
Tak puas akan hal itu, Renan juga mencengkram baju Zen lalu mendaratkan sebuah tinju juga pada pemuda bertindik itu. Napas Renan menjadi tak beraturan
karena marah. Setelah itu, ia langsung berlari menuju kontrakan.
*** Lea keluar dari taksi yang dinaikinya setelah membayar. Dia menghela napas lega karena akhirnya ia bisa sampai juga ke tempat tujuan setelah terjebak macet.
Sebelum masuk ke kontrakan Arsyaf, Lea mengeluarkan sebuah cermin kecil dari dalam tasnya lalu melihat wajah cantiknya di cermin tersebut. Dia tertegun
sejenak, meneliti apa yang kurang dari dandanannya malam ini. Kemudian ia kembali merogoh tasnya untuk mengambil lipstik.
Ya. Memang tidak ada gunanya ia berdandan. Secantik apa pun ia merias wajahnya, Arsyaf tidak pernah tertarik padanya. Tapi tak apa. Setidaknya ia hanya
ingin terlihat lebih cantik untuk malam ulang tahun Arsyaf.
Guk guk guk guk Lea terlonjak kaget, ia perlahan memutar kepalanya ke belakang. Dan didapatinya seekor anjing yang cukup besar terus menggonggong padanya. Sebenarnya,
ia takut anjing. Saat masih kecil, ia pernah dikejar anjing lalu digigit. Sejak saat itu Lea selalu ketakutan melihat anjing apalagi ketika sedang menggonggong.
Aaarrrgghh Lea berteriak. Ia buru-buru membuka pintu kontrakan Arsyaf yang kebetulan tidak terkunci, melepas sepatu cepat, lalu menutup kembali pintu. Napasnya ngos-ngosan.
Ia menepuk-nepuk ringan dadanya.
"Arsyaf?" sapa Lea ketika ia mendapati ada yang aneh dengan suasana kontrakan. Sepi. Tidak ada siapa pun.
"Arsyaf?" Lea melangkahkan kakinya menuju ruang tengah.
"Lea?" Samar-samar Arsyaf melihat Lea menghampirinya lalu duduk di sampingnya.
"Ya ampun Arsyaf. Tetangga lo pada gila apa ya" Masa' melihara anjing gede banget," curhat Lea sambil mengelus-elus dadanya sendiri. "Gue kaget banget
sumpah." "Raya?" Arsyaf menggeprak kepalanya sendiri beberapa kali, mencoba fokus melihat siapakah wanita yang sekarang ada di sampingnya.
"Gue Lea, Syaf," kata Lea agak heran.
"Lea?" Arsyaf rupanya masih belum kehilangan semua akal sehatnya. Ia masih bisa mengenali Lea setelah beberapa kali matanya mengerjap.
"Aduh! Gue haus nih." Kali ini Lea mengelus dua kali tenggorokannya. "Boleh gue minum?" Lea mengambil segelas susu coklat di atas meja.
Arsyaf hanya mengangguk, ia memperhatikan Lea yang meneguk susu coklat itu dengan cepat. Lea cantik juga, pikirnya. Semakin lama ia menatap Lea, semakin
ia ingin mendaratkan bibirnya ke bibir Lea yang merah merona. Sangat menggairahkan, pikirnya lagi.
"Lea?" sapa Arsyaf.
"Hm?" sahut Lea singkat. Ia rupanya juga sudah mulai terpengaruh obat.
Mereka mulai berpandangan lama. Lalu...
*** [Raya pov] Sambil memeluk pigura, gue terus berjalan menyusuri kota Jakarta ini. Sekitar 15 menitan gue berjalan. Tidak bisa cepat karena gue memakai high heels.
Maklumlah! Tadi habis dari acara keluarga.
Mata gue melebar ketika melihat kontrakan Arsyaf yang sudah tak jauh lagi. Gue pun berlari-lari kecil menuju rumah kontrakan itu dengan riang. Damn! Sepatu
hak gue tiba-tiba patah dan gue pun terjatuh di atas aspal. Untung pigura yang gue peluk tidak pecah. Gue menghela napas lega.
"Aaakk..." Gue meringis kesakitan ketika gue mencoba berdiri. Sepertinya kaki gue keseleo deh.
Ah, tak masalah. Yang penting kado untuk Arsyaf nggak kenapa-napa. Dengan menahan sakit, gue berjalan pincang menuju kontrakan Arsyaf. Aneh, pintunya nggak
dikunci dari dalam. Perlahan, gue menjamah gagang pintu lalu membukanya. Dahi gue mengernyit ketika tak mendengar suara siapa pun. Kosong. Apa mungkin
mereka menyiapkan kejutan buat gue" Ah, pikiran alay! Kan yang ulang tahun Arsyaf bukan gue. Masa' ada pacarnya orang yang ulang tahun yang diberi kejutan"
Atau... Acara ulang tahun Arsyaf sudah selesai karena gue kelamaan datang"
Saat hendak melepas sepatu, tiba-tiba seorang cewek cantik melangkah menuju pintu keluar. Matanya tampak sembab. Ia terhenti ketika mendapati gue yang
berdiri di dekat pintu. Aha! Gue tahu cewek itu! Beberapa waktu lalu, Lea sempat mengirim foto cewek itu lewat WA. Linsie namanya. Cewek gatel yang mencoba
merebut Arsyaf dari gue. Mentang-mentang gue sama Arsyaf lagi LDR.
"Raya?" sapa cewek itu sambil mengusap air matanya.
Mata gue melebar sesaat mendapati kalau cewek cantik itu mengenali gue. Masa bodoh dengan Linsie! Yang jelas, gue sekarang tak sabar lagi bertemu Arsyaf.
"Jangan masuk!" Linsie memegang lengan gue cepat.
Gue terhenti setelah beberapa langkah menuju ruang tengah. Dahi gue mengernyit, heran dengan tingkah laku Linsie. Sekali lagi, masa bodoh! Gue cuma mau
bertemu Arsyaf. Titik!! Dengan kasar, gue menghempaskan cengkraman Linsie yang berusaha menghentikan gue, lalu bergegas melanjutkan langkah.
"Terserah lo mau masuk atau enggak! Yang penting gue sudah ngingetin elo," kata Linsie emosi lalu keluar dari kontrakan sambil membanting pintu.
Gue nggak peduli sama dia. Mau dia nangis, mau dia kecebur sumur, gue nggak peduli. Arsyaf mana Arsyaf" Gue kangen banget sama dia. Langkah gue terhenti
di ruang tengah. Di sana tidak ada siapa pun. Hanya ada hidangan yang dibiarkan begitu saja di atas meja. Sepi. Aneh sekali.
"Arsyaf?" Gue masih mencari.
Entah mengapa tiba-tiba dada gue merasa sesak, seolah ada perasaan yang tidak enak. Apa hanya perasaan gue aja"
"Arsyaf..." Terdengar suara seorang cewek dari dalam salah satu pintu kamar. Gue tahu benar siapa pemilik suara itu.
"Lea..." Kali ini gue bisa mendengar suara Arsyaf bersahutan dengan suara Lea, disela-sela panggilan itu, gue juga bisa mendengar desahan, lenguhan, bahkan
sesekali teriakan kesakitan.
Langkah gue terasa goyah, enggan membuka pintu kamar, tempat suara Arsyaf dan Lea berasal. Tak tahu kenapa tangan gue gemetaran. Tapi... Gue harus tahu
apa yang terjadi sebenarnya. Gue harus tahu!!
Pyaaaarrr Pigura yang gue bawa tadi terjatuh dan pecah. Pegangan gue meregang seketika saat melihat Arsyaf dan Lea...
Air mata gue menetes lancang. Lea tersenyum licik seolah menghina. Sementara Arsyaf hanya menoleh sesaat lalu kembali fokus ke Lea. Mereka seperti binatang
saat itu. Dengan langkah pincang, gue berjalan mundur. Dan lucunya, mereka bahkan tidak menghentikan aktivitas mereka padahal mereka tahu gue ada di sana.
Gue menggeleng tak percaya. Sesak. Dada gue terasa begitu sesak. Beberapa kali gue sempat mengetuk keras dada gue. Tapi tetap saja rasa sesak yang teramat
sangat itu tak mau hilang. Gue berlari keluar, menyusuri jalanan tanpa alas kaki sambil menangis seperti orang gila. Apa gue sudah gila" Ya! Mungkin! Bagaimana
tidak" Pacar dan sahabat gue melakukan hal yang sangat kotor di depan mata gue sendiri. Persetan dengan Arsyaf! Persetan dengan Lea! Arrrrgghh... Gue menjerit,
tak kuat dengan kenyataan ini.
Chapter 50 [Raya pov] Air mata masih tak berhenti mengalir walau seberapa banyak gue mengusapnya. Gue berjalan pincang menyusuri jalanan sepi. Saat ini gue benar-benar merasa
terpuruk. Pertama El ninggalin gue. Sekarang Arsyaf. Hati gue benar-benar hancur. Perih. Orang yang gue cinta satu per satu hilang dengan ssndirinya.
"Raya?" Renan berdiri di ujung jalan dengan mata terbelalak, kaget melihat keadaan gue yang tampak begitu kacau.
Dengan pandangan kosong, gue berjalan melaluinya, tak menghiraukan keberadaannya.
"Raya, lo kenapa?" Renan menghentikan langkah gue. Dia mengoyak kedua bahu gue, mencoba menyadarkan gue dari pikiran yang kosong.
"Renan?" Tangan gue merambat ke baju Renan lalu mencengkramnya kuat. "Lo nggak bakal pergi ninggalin gue sendirian kan?" ucap gue mengiba.
"Raya, lo kenapa Raya?" tanyanya panik.
"Jawab gue, Ren! Lo nggak bakal ninggalin gue kan?" Kali ini gue yang mengoyak lengan kekarnya sambil menangis seperti orang bodoh.
"Enggak." Renan menggeleng pelan. "Gue nggak akan ninggalin elo, Ray."
Tangan Renan merambat ke punggung gue lalu membawa tubuh gue ke pelukannya. Di sana gue menangis. Air mata gue bahkan membasahi baju yang ia kenakan.
Setelah puas menangis, Renan menatap mata gue lekat. Ia mengusap sisa-sisa air mata yang membuat pipi gue basah. Dia menghela napas ketika melihat kaki
gue lecet karena lupa memakai alas kaki.
"Dasar ceroboh!" Renan mengelus rambut gue. "Lihat noh kaki elo! Lecet-lecet."
Gue tertegun sebentar. "Ren, elo janji nggak bakal ninggalin gue kan?" tanya gue lagi, takut orang yang gue sayang hilang untuk yang kesekian kalinya.
Renan duduk berjongkok di depan kaki gue, ia mengamati luka-luka kecil di sekitar telapak kaki gue. "Enggak. Gue nggak bakal ninggalin elo," ulangnya sambil
memegang pergelangan kaki gue.
"Aaww." Gue mengerang kesakitan.
Renan membalikkan badannya lalu menyiapkan punggungnya buat gue. "Cepetan naik! Entar gue antar sampek rumah." Dia rupanya tahu kalau kaki gue keseleo
hingga sulit digunakan untuk berjalan.
Gue masih sesenggukan seusai menangis. Perlahan gue naik ke punggung Renan. Punggungnya terasa hangat. Gue jadi teringat masa kecil gue bersamanya.
"Ray?" sapanya.
"Hm?" sahut gue.
"Lo inget nggak" Dulu waktu kita masih kecil, lo sering banget terjatoh terus nangis."
"Oh ya?" Gue berpura-pura lupa.
"Terus, akhirnya gue selalu gendong lo pulang," lanjut Renan.
"Ren?" "Hm?" "Apa gue berat?" tanya gue malu-malu.
Renan menggeleng. "Enggak. Lo sama sekali nggak berat."
Mendengar jawaban itu, gue mengeratkan tangan gue ke leher Renan. Samar-samar gue bisa mencium aroma sampo dari rambut gondrongnya.
"Sejak lo kuliah di Surabaya... Lo terlihat semakin kurus, Ray," sambungnya prihatin.
"Oh ya?" tanya gue berpura-pura tenang.
Bagaimana mungkin gue tidak kurus" Aktivitas gue di Surabaya terlalu padat. Bahkan gue sering lupa makan dan lupa tidur. Selain untuk memenuhi biaya hidup,
gue juga harus bekerja untuk membayar uang kuliah. Belum lagi ada tugas! Ngeprint, jilid, fotokopi, semua memakai uang.
"Lo kudu jaga kesehatan, Ray," kata Renan.
Cowok itu menggendong gue sepanjang jalan sampai di jalan raya dan menghentikan sebuah taksi. Dia duduk di samping gue dan mengantarkan gue pulang sampai
rumah. Gue beruntung masih memiliki Renan. Ia bahkan mengerti perasaan gue dan tak menanyakan tentang apa yang terjadi karena dia tahu benar gue akan terluka
jika mengingat kejadian barusan.
*** [Arsyaf pov] Kepala gue terasa pusing sekali ketika gue membuka mata. Setelah beberapa saat mengedipkan mata, gue mulai bisa berpikir. Astaga! Apa yang terjadi sebenarnya"
Kenapa... Kenapa gue tidak memakai pakaian"
"Aaww!" Gue mengerang ketika kepala gue tiba-tiba terasa sakit.
Gue bergegas memakai pakaian gue yang berserakan di atas lantai. Sesekali gue masih memegang kepala gue saat rasa pening yang begitu dahsyat kembali. Setelah
berpakaian lengkap, gue berjalan ke arah pintu. Tapi eiiittss! Apa itu"
Gue berjongkok, dahi gue mengernyit ketika mendapati serpihan kaca pigura di lantai dekat pintu kamar. Di dalam pigura yang sudah pecah itu, gue menemukan
gambar karikatur dengan wajah gue dan Raya sebagai karakter di dalamnya. Lagi, kepala gue kembali pening. Gue mencoba mengingat kembali satu per satu kejadian
tadi malam. Tak lama setelah itu, mata gue melebar, menyadari hal bodoh yang telah gue lakukan tadi malam bersama Lea. Tanpa berpikir panjang, gue mengambil jaket,
bergegas menuju garasi untuk mengeluarkan motor, lalu menuju rumah Raya.
Tok tok tok Sesampainya di rumah Raya, gue mengetuk pintu berulang kali dengan sekuat tenaga. Ada hal penting yang perlu gue jelaskan padanya.
"Arsyaf?" kata Kak Icha ketika membuka pintu. "Mau apa lo ke sini?" tanyanya judes.
Ya. Mungkin Raya sudah menceritakan semuanya pada Kak Icha.
"Kak, apa Raya ada di dalam?" tanya gue panik.
"Kalau pun ada, gue nggak akan biarkan elo nemuin dia," sahutnya ketus.
"Kak, aku bisa jelasin semuanya. Tolong aku kali ini saja, Kak. Aku mau ketemu sama Raya."
"Enggak!" tukas Kak Icha sambil mendelik. "Gue nggak nyangka ya, Syaf. Elo sama Lea bisa khianati adek gue sampai segitunya."
"Kak, aku bisa jelasin semuanya, Kak. Semua ini nggak seperti yang Kakak pikirkan."
Kak Icha menggeleng tak percaya lalu tersenyum miring. "Lo pikir, gue akan percaya apa yang lo katakan" In your dream!" katanya sembari membanting pintu
di hadapan gue. Gue bertambah panik. Lagi, gue menggedor-gedor pintu rumah Raya. Tapi tak ada yang mau membukakan pintu tersebut. Bagaimana pun juga, gue harus bertemu
Raya dan menjelaskan semuanya.
"Kak, tolong bukain pintunya, Kak. Aku mohon." Berulanh kali gue memohon dan mengemis. Tapi pintu rumah Raya masih juga tak terbuka buat gue. Damn!
*** [Elbara pov] Gue meraih gagang pintu ruang kerja Papa lalu membuka pintu tersebut. Lelaki tua yang kini sering keluar masuk rumah sakit itu melirik gue sebentar lalu
kembali fokus ke setumpuk berkas-berkas yang harus ia tanda tangani.
Tanpa berkata, gue meletakkan beberapa lembar kertas di hadapannya. Dia terhenti, mendongak, melihat gue yang berdiri di depannya.
"Papa bilang jika aku bisa mendapatkan nilai sempurna... Papa akan mengabulkan satu permintaanku," jelas gue serius.
Papa tak berkata apa pun. Ia melihat berkas-berkas yang gue sodorkan padanya dengan teliti. Lalu mengangguk seolah membenarkan bahwa gue berhasil mendapatkan
nilai sempurna di setiap mata kuliah.
"Baiklah. Papa akan mengabulkan satu permintaanmu. Apa pun itu kecuali kau meminta untuk kembali pada gadis miskin itu," ucap lelaki yang sebagian rambutnya
sudah terpenuhi uban itu.
Sial! Sudah gue duga dia akan melarang gue buat balikan sama Raya. Tapi tak apa. Setidaknya... Gue bisa meminta hal yang lain.
"Beri aku waktu seminggu untuk menemuinya, Pa. Aku hanya ingin melihat wajahnya meskipun hanya dari kejauhan," ungkap gue.
"Baiklah. Asalkan kamu tidak menemuinya secara langsung... Bagi Papa tak masalah. Papa akan mengutus mata-mata untuk mengikutimu. Jadi... Jangan sampai
kalian bertemu secara langsung."
Gue mengangguk, mengiyakan syarat lelaki tua itu. Tak apa. Meskipun hanya dari kejauhan, setidaknya gue bisa melihatnya. Itu sudah cukup bagi gue. Melihatnya
sehat dan ceria, itu sudah membuat gue bahagia.
*****?"?"?"*****
11. Chapter 51-55 Chapter 51 [Lea pov] Orang bilang cinta itu buta. Dan gue rasa itu benar. Malam itu, sebenarnya gue masih bisa mengendalikan diri. Gue sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres
dengan susu yang gue minum. Tapi ya sudahlah. Karena Arsyaf yang meminta, akhirnya gue pun mau walaupun gue tahu perbuatan gue salah. Salah besar malah.
Sudah sejak lama gue iri dengan hubungan Raya dan Arsyaf. Mereka begitu romantis dan kocak. Sungguh pasangan serasi. Setiap hari, ah tidak! Setiap detik,
gue marah melihat kedekatan mereka. Awalnya gue mencoba iklas, tapi lama-kelamaan gue nggak bisa. Rasa cinta gue yang begitu besar pada Arsyaf menolak
untuk merelakan. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Kalau dibilang menyesal, gue sama sekali tidak menyesal walaupun malam itu gue tahu Arsyaf melakukannya tanpa cinta.
Dia berada di bawah pengaruh alkohol. Samar-samar gue bisa mencium bau alkohol dari mulutnya.
*** [Arsyaf pov] Setelah hampir setengah jam gue memencet bel, akhirnya Mbak Widya keluar juga dari kos. Dia mendelik sambil berkacak pinggang. Pasti Raya sudah menceritakan
semuanya pada Mbak Widya.
"Mbak, apa Raya ada di dalam?" tanya gue cemas. Sudah seminggu ini dia nggak mau ketemu sama gue. Nomornya bahkan sudah tidak aktif lagi.
"Kalau pun dia ada di sini, gue nggak bakal kasih tahu lo, Syaf! Dasar bajingan!" maki Mbak Widya marah.
"Mbak, aku harus ketemu sama dia, Mbak. Aku harus jelasin ke dia semua kesalah pahaman ini, Mbak."
"Kesalah pahaman lo bilang?" Alis Mbak Widya terangkat. "Orang selingkuh itu semuanya juga pada ngomong kek gitu."
"Aku nggak selingkuh, Mbak. Demi Tuhan, aku nggak selingkuh."
"Memang bener ya kata Raditya Dika, cowok itu kalau nggak brengsek ya homo."
"Ya ampun, Mbak. Sumpah demi Tuhan aku nggak brengsek apalagi homo."
"Persetan dengan ucapanmu! Sekarang pergi! Pergi nggak?" Mbak Widya mendorong gue sampai keluar gerbang.
"Mbak, dengerin aku, Mbak. Aku sayang banget sama Raya. Aku nggak bisa kehilangan dia, Mbak."
"Bodo!" Dia kembali masuk ke dalam kos lalu membanting pintu tanpa mengasihani gue.
Sudah dua hari gue lalu lalang di dekat kos Raya. Tapi tetap saja gue tidak melihat batang hidungnya. Apa dia pindah kos" Ah, tidak! Pasti dia marah banget
sama gue. Tapi meskipun demikian, gue harus gigih. Gue nggak akan menikah dengan siapa pun kecuali sama dia. Titik!
*** [Raya pov] Gue mengayun-ayunkan kaki gue sambil menatap danau ikan yang begitu luas, terhampar indah di depan mata gue. Sejak kejadian malam itu, gue jadi sering
melamun dan mimpi buruk. Gue takut satu per satu orang yang gue sayang meninggalkan gue, menghianati gue, dan pada akhirnya membuat gue terluka.
"Neng Raya?" sapa seseorang yang suaranya sangat gue kenal. Sobirin.
Gue menghela napas jengah lalu meliriknya sejenak kemudian kembali menatap danau indah dengan pepohonan rindang yamg tumbuh subur di sekelilingnya.
"Neng, Bang Birin perhatikan, Eneng Raya akhir-akhir ini cemberut melulu. Bukannya Neng Raya dapat IPK sempurna, empat koma nol nol" Ngapain sedih?" tanya
Sobirin prihatin. "Nggak apa-apa kok, Sob," jawab gue malas. Seperti biasa, gue masih bisa mencium bau yang tidak sedap dari mulutnya.
"BTW, Bang Birin kagum lho sama Neng Raya. Soalnya Neng Raya itu SMA nya dari jurusan IPA. Tapi bisa dapat IPK setinggi itu. Sempurna lagi!" pujinya riang.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gue hanya diam. Malas menimpali. Bayangkan saja! Orang gue diem aja dia nyerocos apalagi kalau gue timpali"
"Eh, Neng Raya mau beli ice cream nggak?" tanya Sobirin lagi.
"Nggak," jawab gue singkat.
"Kenapa enggak" Dulu waktu kita kecil, kita sering makan ice cream bareng kan?"
Gue lagi-lagi mengabaikan ucapannya, tak menimpali sedikit pun agar dia cepat berlalu pergi. Jujur, saat ini gue lagi bad mood banget. Rasanya pengen nonjok
orang. Apa gue tonjok aja ya muka si Sobirin" Hehe gue pun tersenyum jahat.
"Ya udah kalau Neng Raya nggak mau aku beliin ice cream. Biar ice cream nya aku makan sendiri," ucap Sobirin cemberut manja.
Kresek mana kresek" Ada kresek nggak" Rasanya gue mau muntah melihat gelagat manjanya itu.
"Lo suka makan ice cream" Sebaiknya lo jangan kebanyakan makan ice cream deh!" kata gue sambil mengulum tawa.
"Emangnya kenapa, Neng?" tanyanya sambil menggaruk bagian kepala yang tak terasa gatal.
"Entar gigi lo linu!" Tawa gue seketika pecah.
Dan seperti biasa, Sobirin bukannya marah malah ikut tertawa bersama gue. Tapi mood gue kembali hancur ketika setetes air liurnya muncrat ke pipi gue.
Bushet dah! Sudah pasti pipi gue besok tumbuh jerawat nih. Bagaimana tidak" Air liur Sobirin itu diduga mengandung senyawa kimia berbahaya. Hanya dengan
setetes saja, bisa membuat kulit terserang kuman yang bahkan belum ditemukan obatnya. Gue tidak asal fitnah lho. Waktu gue SMP, gue pernah kena muncratan
air liur Sobirin, terus besoknya gue langsung berjerawat, sorenya langsung ke rumah sakit, untung malemnya nggak langsung tahlilan.
"Ya udah, Neng. Bang Birin pergi dulu ya. Daah..." Sobirin melambaikan tangannya dengan penuh semangat.
"Pergi sana!" usir gue bete sambil mengusapi pipi gue dengan selembar tisu.
Setelah Sobirin pergi, seseorang yang bahkan tidak ingin gue lihat wajahnya tiba-tiba muncul, membuat luka yang teramat perih di hati gue kembali melebar.
"Raya, akhirnya ku menemukanmu," katanya.
Bushet! Udah kayak lagu aja tuh ucapannya. Gue langsung berdiri, menepuk-nepuk rok gue agar debunya hilang lalu bergegas pergi. Tapi dengan sigap dia meraih
lengan gue. Arsyaf. Dia masih belum jenuh juga mencari gue rupanya.
"Aku perlu ngomong sama kamu Raya. Gue bisa jelasin semuanya. Malam itu..." kalimat Arsyaf terhenti ketika gue langsung berteriak sambil memegangi kedua
telinga gue. Dia tampak kebingungan melihat tingkah gue.
"Cukup! Cukup! Gue nggak mau dengar apa pun! Hentikan!" kata gue ketakutan.
Ya. Setiap gue mengingat kejadian malam itu, gue ketakutan. Renan sudah menjelaskan sebelumnya ke gue kalau Arsyaf dan Lea dalam pengaruh obat. Tapi tetap
saja gue nggak bisa memaafkan mereka. Apa pengaruh obat bisa sampai membuat akal pikiran mereka hilang" Tidak! Itu hanya obat. Bukan alkohol.
"Raya, jangan diemin aku kayak gini, Raya. Aku sayang banget sama kamu," paparnya mengiba.
"Pergi! Pergi!" usir gue frustasi.
"Aku nggak akan pergi sebelum kamu maafin aku, Raya."
"Bagaimana bisa gue maafin elo, Syaf" Gue udah terlanjur sakit."
"Aku bahkan mau bersujud di hadapanmu sekarang agar kamu mau maafin aku, Raya."
"Bersujud?" Alis gue terangkat. "Sebaiknya elo bersujud ke Tuhan, bukan ke gue."
"Raya..." Tangan Arsyaf mulai merambat ke lengan gue. "Dengerin gue dulu, Raya."
"Lepasin!" Gue menghempaskan tangannya.
"Raya..." "Cukup, Syaf. Cukup! Mulai sekarang, gue mau kita putus."
Mata Arsyaf melebar. Kepalanya menggeleng pelan. "Enggak, Raya. Sampai kapan pun aku nggak mau putus sama kamu. Titik!"
"Maaf, tapi gue sudah nggak bisa jalanin ini semua."
"Raya, asal kamu tahu kalau malam itu gue dalam pengaruh obat. Semua ini gara-gara Zen dan Teo," papar Arsyaf ngotot.
"Apa pengaruh obat sehebat itu" Hingga membuat elo lupa dan kehilangan akal sehat" Itu hanya obat, Syaf. Itu bukan alkohol. Jika elo beneran sayang sama
gue, elo nggak bakal melakukan itu sama Lea."
"Terserah kamu mau ngomong apa. Tapi aku nggak mau kita putus."
"Persetan dengan semua ini. Pokoknya gue mau PUTUS!" Gue meneriakkan kata terakhir gue ke mukanya, memberikan penekanan bahwa gue benar-benar marah sama
dia. Gue sudah nggak bisa memaafkan kesalahannya. Hati gue terlanjur perih. Perih banget. Bahkan di setiap malam rasa perih itu menyiksa gue dalam ketakutan.
Air mata gue selalu lancang keluar dengan sendirinya saat gue mengingat kejadian malam itu, malam di mana Arsyaf dan Lea menghianati kepercayaan gue.
*****?"?"?"*****
Chapter 52 [Raya pov] Liburan semester. Arsyaf tidak lagi lalu lalang di depan mantan rumah kos gue. Tapi sekarang dia lebih sering berkeliaran di depan rumah gue. Dia tahu
kalau gue sudah balik ke Jakarta karena liburan semester selama sebulan lebih.
Gue menghela napas, dari balik kelambu, gue melihat Arsyaf masih setia nunggu di depan rumah gue. Sudah seminggu penuh dia di sana. Dia hanya akan pergi
ketika mencari makan, shalat, hujan, atau hari sudah terlampau gelap. Biasanya dia pergi ketika jam 11 malam lebih. Mungkin kalian pikir kehidupan gue
seperti sinetron murahan yang kerap mama gue tonton. Tapi percayalah! Arsyaf dan gue seolah menjadi tokoh di dalamnya sekarang.
Apa dia tidak kepanasan" Apa dia tidak kedinginan" Apa dia tidak kecapek'an" Gue selalu bertanya-tanya. Aneh, gue benci dia. Tapi nggak bisa dipungkiri
kalau gue sangat mencemaskannya saat ini. Apa gue masih mencintainya" Setelah hal kotor yang ia lakukan bersama Lea"
"RAYA!" teriak Arsyaf ketika ia menyadari kalau gue sedang memperhatikannya dari balik jendela.
Gue gelagapan menutup rapat kelambu, dengan napas ngos-ngosan, gue bisa mendengar suaranya yang terus merangkai kalimat.
"Raya! Aku tau kalau kamu masih peduli sama aku. Aku tau kamu berhak marah. Tapi please! Jangan jauhin aku kayak gini, Raya. Aku benar-benar tersiksa,
Raya," ocehnya. Hati gue kembali teriris. Perih terasa saat mendengarnya mengiba seperti itu. Tapi apa boleh buat" Gue ingin menemuinya, memeluknya, lalu memaafkannya.
Tapi setiap kali gue melihatnya, gue teringat kejadian malam itu, malam di mana hati gue hancur tak tersisa, pahit, perih, lara. Hanya itu yang gue rasakan
ketika mengingat hal yang seharusnya gue lupakan.
"Aku nggak akan berhenti mencintaimu, Raya. Tolong jangan hindari aku kayak gini, Raya," Arsyaf masih mengiba.
Lagi, hati gue semakin perih mendengar kalimat mengiba yang telantun dari mulutnya. Gue benci dia! Tapi kenapa...
"Di sini, Arsyaf juga korban, Raya. Asal lo tau itu," ucap seseorang dari belakang sambil memegang sebelah pundak gue.
Gue menoleh, mata gue sedikit melebar ketika melihat Kak Icha memandangi muka sembab gue dengan iba.
"Dia di bawah pengaruh obat perangsang, Raya. Renan sudah jelasin semua itu ke elo kan?" lanjut Kak Icha sembari mengajak gue untuk duduk bersamanya di
atas kasur. "Terus, Kakak mau Raya maafin Arsyaf. Gitu?" tanya gue, mencoba menafsirkan kalimat yang keluar dari mulut Kak Icha.
"Semua itu terserah elo, Ray. Gue tau kalau lo sakit hati banget sama Arsyaf dan Lea. Tapi bukankah mereka berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua?"
"Enggak," tukas gue menggeleng. "Mereka nggak berhak mendapatkan kesempatan kedua dari Raya, Kak."
"Kenapa?" "Itu hanya obat, Kak. Efeknya tidaklah sebesar itu sampai membuat penggunanya tidak mengenali orang di depannya. Bukan begitu?"
Kak Icha masih tampak berpikir, lalu ia mengangguk pelan. "Iya sih. Tapi..."
"Cukup, Kak. Aku nggak perlu nasihat dari Kakak." Gue berdiri, melangkah keluar mencoba pergi dari Kak Icha.
*** [Author pov] Sore itu, Nyonya Elly dan Tuan Bram mengendarai mobil menuju kantor pusat BR corp untuk bernegosiasi tentang investasi besar. Dengan riang kedua manusia
paruh baya itu tersenyum sepanjang perjalanan. Senyuman mereka terhenti ketika sebuah panggilan datang. Tuan Bram pun mengangkat teleponnya.
"Halo, iya. Dengan saya sendiri," kata Tuan Bram setelah menempelkan ponselnya beberapa saat ke telinganya.
"Siapa, Pa?" tanya Nyonya Elly setengah berbisik.
Mata Tuan Bram terbelalak. Ia tidak menghiraukan pertanyaan dari istrinya. "Apa" Bagaimana mungkin Bapak membatalkan investasi ke perusahaan saya?"
Mata Nyonya Elly ikut terbelalak. "Apa yang terjadi, Pa?" tanyanya panik.
"Mana bisa Bapak membatalkan investasi begitu saja! Pak... Pak... Tunggu, Pak!"
Tidak ada respon dari si penelepon. Rupanya si penelepon itu telah memutuskan panggilannya. Tangan Tuan Bram tiba-tiba melemas, ia menjatuhkan ponselnya
hingga tergeletak di bawah kakinya.
"Pa, ada apa, Pa?" tanya Nyonya Elly lagi.
"Nggak ada apa-apa, Ma," jawab Tuan Bram bohong.
Tak lama setelah itu, dada Tuan Bram terasa sesak, napasnya tiba-tiba tersengal. Tangannya mulai goyah di atas kemudi.
"Pa, Papa kenapa?" tanya Nyonya Elly bertambah panik.
Ya. Tuan Bram punya riwayat penyakit jantung. Akhir-akhir ini penyakitnya sering kambuh karena masalah perusahaan. Tapi untungnya dia selalu selamat. Sepertinya
penyakitnya itu kambuh lagi. Akankah dia selamat seperti hari-hari sebelumnya"
"Pa, Papa tidak apa-apa, kan?" Nyonya Elly memegang pundak suaminya.
Tuan Bram mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya. Dan dia pun kehilangan kendali karena tak sadarkan diri. Mobil yang dikendarainya melaju kencang
tak tentu arah. "PAPA AWAS!!" teriak Nyonya Elly sambil memutar cepat kemudi agar tak menabrak truk yang sedang melaju di dekat mobilnya.
Braaaakk... Mobil yang dikendarai Tuan Bram malah menabrak pohon besar di tepi jalan, membuat mobil tersebut terguling miring. Body mobil bahkan rusak parah, membuat
Nyonya Elly yang saat itu masih tersadar kesulitan untuk bergerak. Asap dari mesin langsung mengepul hebat.
Dengan napas terbatas, Nyonya Elly berusaha meraih ponsel yang ada di hadapannya. Tapi sial! Ia tidak bisa menggapai ponsel tersebut. Napasnya terengah-engah.
Ia sadar bahwa hidupnya tidak akan lama lagi ketika ia melihat begitu banyak darah di sekelilingnya.
"Asyhadu alla ilaha illallah. Wa ashadu anna muhammadar rasullullah." ucap Nyonya Elly sebelum ia benar-benar menghembuskan napas terakhirnya.
*** [Elbara pov] Gue tertegun di depan salah satu pintu rumah sakit yang sedikit terbuka. Di sana gue bisa melihat Raya yang duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong,
wajahnya tampak kacau, matanya basah, sedangkan tubuhnya terlihat sangat kurus. Sebenarnya, apa yang terjadi padanya" Kenapa dia jadi seperti itu"
"Jeng, kamu tau gadis yang sekamar dengan anakku?" tanya seorang Ibu-ibu bertubuh tambun.
"Oh, gadis yang manis itu?" Ibu-ibu bertubuh kurus menimpali.
"Iya. Gadis manis itu namanya Raya. Aku dengar dia mengalami depresi setelah kedua orang tuanya meninggal."
"Aduuuh kasihan sekali dia. Cantik-cantik tapi depresi," ucap si Ibu kurus prihatin.
"Iya. Kasihan sekali."
Apa" Orang tua Raya meninggal" Raya siapa yang mereka maksud" Soraya Aldric, kekasihku kah" Gue tercekat, sudah bisa dipastikan Raya yang mereka maksud
adalah Raya yang begitu kucintai ketika ibu-ibu bertubuh tambun itu memasuki kamar tempat Raya berada.
"Dik, Ibu bawa jeruk mandarin. Ayo dimakan," kata Ibu bertubuh tambun itu pada Raya.
Raya hanya menoleh sebentar, melirik malas kresek berisi beberapa jeruk berwarna orange yang tampak lezat. Ia hanya diam lalu kembali menatap tembok dengan
tatapan kosong. Hati gue tersiksa melihatnya seperti itu. Ingin sekali rasanya gue memeluknya, mengatakan padanya bahwa gue akan selalu ada di sisinya.
Tapi percuma. Gue nggak akan pernah bisa melakukan hal itu karena jika gue bertemu dengannya, maka Papa gue akan membuat hidup Raya semakin sengsara.
Saat gue tertegun di depan pintu, pandangan Raya beralih. Mata basahnya melebar ketika ia menyadari keberadaan gue. Tidak! Dia tidak boleh bertemu dengan
gue. Bisa-bisa Papa membuatnya semakin kesulitan. Gue pun langsung berlari menyusuri lorong rumah sakit dan menyembunyikan diri di balik pintu salah satu
ruangan kosong. Dari celah pintu, gue bisa melihat Raya celingukan mencari gue tanpa alas kaki. Air matanya mengalir kemudian ia menutupi kedua telinganya
dan menjerit histeris seperti orang gila.
Damn! Gue seperti orang bodoh di sini. Ada apa sebenarnya dengan Raya" Kenapa dia jadi seperti itu" Rasanya gue ingin keluar, memeluknya erat, lalu membelai
rambut indahnya. Tapi gue tahu, kalau hal itu malah akan membuat masalah semakin pelik saja.
"Raya, lo nggak apa-apa kan?" Seorang dokter cantik tiba-tiba berlari menghampiri Raya dan memeluk Raya erat. Dia Kak Icha.
Raya masih menjerit ketakutan. Kak Icha memeluknya erat sambil menepuk-nepuk lembut punggungnya. Setelah Raya sedikit tenang, perlahan Kak Icha memapahnya
berjalan menuju kembali ke kamarnya.
*****?"?"?"*****
Chapter 53 [Elbara pov] Hati gue terasa perih banget melihat keadaan Raya seperti itu. Setelah dokter memberinya obat penenang, dia pun tertidur lelap. Perlahan tanpa izin, gue
membuka pintu kamarnya, berjalan sepelan mungkin agar dia dan roommate-nya tak terbangun. Gue lantas mengambil kursi, mendekatkannya ke sisi ranjang Raya.
Gue menatap tangan Raya prihatin. Hanya tulang dan kulit yang tersisa di sana.
"Raya..." gue memanggilnya, meraih tangan keringnya lalu mengecup punggung tangannya. "Aku akan kembali sebentar lagi, Raya."
"Park Bo Gum?" tanya seorang gadis kecil berkepala botak.
Gue menoleh kaget ke arah gadis kecil gundul itu, roommate Raya. Dia bukan tuyul, sepertinya dia mengidap penyakit yang sangat parah sehingga mengharuskan
kepalanya tercukur habis.
"Aku?" gue menunjuk diri gue sendiri dengan alis terangkat. "Aku bukan Pak Bo Gum." gue menggeleng.
"Park Bo Gum. Bukan Pak Bo Gum!" omel gadis kecil itu.
"Iya iya terserah kamu," sahut gue setengah berbisik.
"Kalau kamu bukan Park Bo Gum, terus kamu siapa" Kwangsoo running man?" tanyanya lugu.
Bushet nih anak! Memang benar gue tidak pernah nonton drama korea. Tapi kalau Kwangsoo running man, gue tahu, soalnya Raya sering nonton running man saat
jam istirahat. Yang perlu digaris bawahi, apa gue mirip dengan manusia setengah jerapah itu"
"Adik kecil, kakak bukan Park Bo Gum apalagi Kwangsoo," gue membelai lembut pipi gadis kecil itu. "Kakak ini temennya Kak Raya."
Gadis kecil itu mengangguk, mulutnya membentuk huruf O. "Kakak bukan pacarnya Kak Raya kan?" tanyanya kepo.
"Kenapa emang?"
"Kalau kakak bukan pacarnya Kak Raya, kakak harus jadi pacarku!"
Gue terkekeh lama lalu membelai pipi gadis kecil itu lagi. "Masih kecil nggak boleh pacaran."
"Tapi aku mau pacaran sama Kakak!"
Gue kembali terkekeh. "Iya iya, pacarannya nanti setelah kamu lulus SMA ya," kata gue agar gadis kecil itu berhenti merajuk.
"El?" panggil Raya tiba-tiba.
Gue terlonjak kaget, menoleh ke arah Raya dengan mata terbelalak lebar. "Raya?"
"El" Kamu El kan?" tanya Raya lemas.
Gue tak menjawab. Semua kekata yang tadi gue pikirkan tercekat di tenggorokan. Gue mematung tak bernapas hingga akhirnya gue bisa bernapas lega ketika
Raya kembali tertidur pulas.
*** [Author pov] Sudah beberapa hari Raya di rumah sakit umum. Akhirnya ia dipindahkan ke rumah sakit jiwa dan menetap selama tiga minggu di sana untuk menjalani terapi
kejiwaan. Keadaan Raya semakin hari semakin membaik seiring berjalannya waktu. Setiap hari Icha dan Renan tak pernah lupa memberikan support pada Raya.
Dan berkat mereka, Raya berhasil sembuh dari depresi yang ia alami dan bisa kembali pulang.
"Raya, coba lihat ini!" Icha menyodorkan beberapa lembar kertas pada Raya.
Alis Raya terangkat. "Apa ini, Kak?" Raya kemudian membaca sekilas kertas-kertas yang diberikan Kakaknya.
"Itu berisi pengumuman tentang persyaratan beasiswa pemerintah Jepang, monbukagakusho," papar Icha sambil tersenyum manis.
"Untuk apa?" Dahi Raya mengernyit.
"Ya untuk mencapai cita-cita lo selama ini!"
"Maksud Kakak?" Dahi Raya kembali berkernyit.
"Bukannya lo pengen menjadi seorang arsitek?"
Mata Raya melebar mendengar ucapan kakaknya barusan. Iya, Raya sangat ingin menjadi seorang arsitek. Itu adalah cita-citanya sejak kecil, bahkan ia pernah
bermimpi membangun istana yang sangat besar untuk kedua orang tuanya. Tapi sebelum ia bisa mewujudkan mimpinya itu, kedua orang tuanya meninggal dunia
karena kecelakaan mobil. Icha memegang lembut kedua tangan Raya. "Sekarang perusahaan Papa sudah benar-benar bangkrut. Lo nggak perlu lagi kuliah di jurusan ekonomi. Mulai sekarang...
Lo harus lupain semuanya dan jadilah seorang arsitek seperti yang lo mau!"
"Tapi... Raya nggak terlalu bisa bahasa Jepang, Kak."
"Raya, saat lo SMA, nilai bahasa Jepang lo nggak pernah di bawah sembilan puluh kan?"
Raya mengangguk pelan. Ya, di SMA 5 Cendrawasih, ada mata pelajaran bahasa asing yang terdiri dari bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Di kedua mata pelajaran
itu, Raya terbilang sangat mahir dan mudah mengerti dengan IQ nya yang mencapai 148. Dalam mata pelajaran bahasa Jepang, Raya bahkan sampai sekarang masih
hafal huruf-huruf hiragana dan katakana walaupun ia tidak hafal huruf-huruf kanji karena memang kurang diajarkan saat SMA dulu.
"Setelah lo lulus seleksi, nanti pemerintah Jepang akan mengadakan kursus bahasa Jepang melalui pre overseas training atau intensif di pusat bahasa. Jadi,
lo nggak perlu khawatir," sambung Icha antusias.
"Tapi... Apa Raya bisa?"
"Lo nggak perlu khawatir! Lo pasti bisa!" Icha memberikan jeda pada kalimatnya sebelum ia merangkai kalimat baru. "Sekarang, lo harus belajar Matematika,
Fisika, Kimia, dan Bahasa Inggris." Icha berdiri lalu mengambil buku-buku yang berhubungan dengan mata pelajaran yang ia sebutkan tadi.
"Kak?" "Hm?" Icha menoleh lalu berjalan ke arah Raya sambil membawa setumpuk buku.
"Apa Raya benar-benar bisa menjadi seorang arsitek?" tanya Raya bimbang.
Icha mengangguk semangat lalu meletakkan setumpuk buku yang ia bawa ke pangkuan Raya. "Ya iyalah!" sahutnya ngotot.
Raya tersenyum. "Baiklah. Em... Sebelum Raya belajar, Raya harus tau Universitas mana yang akan Raya tuju."
"Lo akan Kakak daftarin ke Universitas Tokyo," kata Icha lalu tertawa bangga.
Mata Raya terbelalak lebar, sedangkan mulutnya menganga sempurna. "Ha" Universitas Tokyo" Apa Kakak sudah gila" Apa Kakak tau kalau Universitas Tokyo adalah
salah satu Universitas terbaik di Asia?"
"Iya, gue tau," sahut Icha santai.
"Raya mah ogah ke situ! Pasti di Universitas Tokyo yang diterima cuma manusia jenius doang!"
"Raya, lo lupa kalau lo itu jenius" IQ lo 148, baby!"
"Tapi..." "Nggak ada tapi-tapian!" potong Icha. "Kakak akan segera daftarin elo ke faculty of engineering di department of architecture!"
Tidak ada pilihan bagi Raya. Sekarang, Icha adalah walinya. Icha adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tidak ada yang bisa ia andalkan lagi kecuali
kakaknya itu. Setelah bercanda tawa dengan Raya, Icha segera bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam untuk Raya. Setelah berkutat beberapa jam
di dalam dapur yang tak begitu luas itu, akhirnya Icha pun menyelesaikan pekerjaannya.
"Arsyaf, ngapain lo di sini?" tanya Icha ketika hendak membuang sekantong sampah di belakang rumah agar besok petugas kebersihan mengambilnya.
"Kak, aku mohon sekaliii aja. Biarkan aku ketemu sama Raya, Kak," pinta Arsyaf.
"Maafin gue, Syaf. Gue bener-bener minta maaf. Tapi gue nggak bisa. Lo tau sendiri kan" Raya habis keluar dari rumah sakit jiwa" Gue takut kejiwaan Raya
akan terganggu lagi jika ketemu sama lo," papar Icha mencoba sopan.
"Tapi Kak. Aku sayang banget sama dia. Aku nggak bisa hidup tanpa dia, Kak."
"Syaf, jika lo beneran sayang sama dia, lo pasti nggak akan ganggu dia lagi, Syaf. Karena lo sudah tau salah satu penyebab terganggunya kejiwaan Raya adalah
karena lo." "Tapi..." "Nggak ada tapi-tapian, Syaf. Tolong lupakan Raya. Dia sudah cukup menderita gara-gara elo, Syaf."
"Tapi..." Sebelum Arsyaf merampungkan kalimatnya, Icha membanting pintu, membuat mata Arsyaf mengerjap kaget. Salah satu alasan Icha mengirim Raya ke Jepang adalah
agar Raya bisa melupakan trauma yang dialaminya. Dokter bilang, Raya hanya akan sembuh total bila dia bisa melupakan masa-masa kelam yang pernah ia alami
dengan cara tidak melihat tokoh atau suatu kejadian yang berkenaan dengan kejadian kelam tersebut. Itulah sebabnya Icha mencoba sebisa mungkin menjauhkan
Raya dari Arsyaf. Karena ia tahu benar kalau Raya akan berteriak ketakutan ketika melihat sosok Arsyaf atau pun Lea.
*** [Raya pov] Setelah belajar mati-matian, akhirnya gue bisa lolos seleksi di Tokyo Daigaku, atau yang lebih dikenal dengan Universitas Tokyo. Seperti impian gue, akhirnya
gue bisa kuliah di jurusan arsitektur. Gue benar-benar senang sekali. Mulai sekarang, nggak akan ada yang ganggu hidup gue lagi. Dan akan ada yang tiba-tiba
nongol di kampus gue. El sudah tidak ada. Arsyaf dan Lea juga sudah tidak ada. Mereka hanya akan gue anggap sebagai kenangan buruk yang tidak perlu untuk
diingat. Di negeri matahari terbit ini, gue akan memulai kehidupan yang baru, masa-masa perkuliahan di department of architecture akan gue jalani di awal
April ini. Gue berjalan sepanjang jalan, di sini, di negeri sakura ini, gue sepenuhnya berdialog menggunakan bahasa Jepang. Segar, udara bersih bisa gue hirup sesuka
hati di sepanjang jalan. Kelopak bunga sakura berguguran indah membuat sebagian aspal yang gue tapaki berwarna merah muda. Gue tersenyum melihat keindahannya.
Tanpa El, tanpa Arsyaf, gue akan memulai kehidupan yang baru tanpa cinta. Gue bersumpah tidak akan menjatuhkan hati gue pada siapa pun! Gue sudah tak percaya
dengan apa yang dinamakan cinta lagi. Bagi gue, cinta itu seperti tebu, hanya manis di awal dan lama-kelamaan sepah, lalu berakhir mengenaskan di tong
sampah. Ya... seperti itulah cinta.
*****?"?"?"*****
Chapter 54 [Raya pov] Di sepanjang jalan ini, gue menikmati kelopak bunga sakura yang berjatuhan di awal April, musim semi. Sungguh indah terasa. Entah mengapa tiba-tiba gue
ingin membagi pemandangan indah yang gue lihat saat ini. Tidak mungkin gue minta vidio call-an dengan Kak Icha. Dia sibuk bekerja mencari uang untuk menafkahi
gue. Yups! Meski gue tinggal di sini dengan beasiswa, tetap saja Kak Icha mengirim uang saku buat gue. Sudah terkenal kalau Tokyo adalah salah satu kota
termahal di dunia. Di sini semuanya serba mahal. Uang beasiswa saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan gue sehari-hari. So, cukup penjelasannya.
Sekarang, gue mau menghubungi Renan, sahabat gue yang sudah gue anggap seperti saudara kandung gue sendiri.
"Halo, Ren!" Gue melambaikan tangan pada seorang cowok yang di sudut bibirnya ada bekas air liurnya.
"Ngapain sih lo! Siang bolong begini ngajakin vidio call-an," omel cowok itu lalu menguap lebar tanpa menutup mulutnya.
"Ta da!" Gue mengalihkan sebentar ponsel gue ke arah rentetan pohon sakura yang mematung di sepanjang jalan. "Gimana" Indah kan?" tanya gue penuh semangat.
"Ya ya ya," jawabnya malas.
Gue berdecak kesal. "Renan! Ngapain lo loyo kayak gitu?" Gue mengerucutkan bibir marah.
"Ya loyo lah. Secara gue baru saja bangun tidur tauk."
"Ha?" Mulut gue spontan langsung menganga lebar. "Baru bangun tidur" Ini kan hari jum'at! Tadi lo nggak shalat jum'at apa?"
"Ah gue lagi males."
"Bushet nih anak." Gue melotot tajam.
"Habisnya, gue udah trauma ikut shalat jum'at."
"Trauma?" Dahi gue mengerut. "Trauma kenapa?"
"Minggu lalu gue coba ikut shalat jum'at tuh. Eh, pas mau pulang sendal gue ilang dicolong maling," jelas Renan dengan mulut manyun.
"Eh bushet! Lo trauma ikutan shalat jum'at hanya gara-gara sendal lo ilang dicolong maling?" Alis gue terangkat kaget.
"Asal lo tau ya, Ray. Tuh sendal bukan sendal biasa."
"Kenapa emangnya tuh sendal?" tanya gue sambil berlari kecil menuju kursi panjang yang tak jauh dari tempat gue berdiri. Kemudian gue duduk.
"Tuh sendal.... Sendal baru. MAHAL! MAHAL!" Renan sengaja menekan kata mahal agar gue mengerti betapa kecewanya dia saat kehilangan sendal barunya pas
shalat jum'at. Gue terkekeh geli melihat ekspresinya.
Cewek Cetar Dua Karya Zaeemaazzahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ngapain lo ketawa" Lo seneng lihat gue menderita?" tebaknya emosi.
"Eh kutu buluk! Hanya karena sendal aja, lo nggak shalat jum'at. Jadi kutu bakar di neraka baru nyesel lo entar!"
"Eh jomblo expired! Ya... Jangan salahin gue. Salahin orang yang nyolong sendal gue. Gara-gara tuh maling, gue jadi trauma ikutan shalat jum'at."
Gue tertawa lepas mendengar ucapannya. "Ya itu salah lo, Upil garing!"
"Kok salah gue?" Dahi Renan mengernyit heran.
"Lain kali, kalau ikutan shalat jum'at, pakai aja sendal jepit yang biasa elo pungut dari banjir kiriman." Tawa gue kembali terdengar renyah setelah puas
meledek Renan. "Oooh gitu ya" Jadi gue harus pakai sendal jepit nih?" tanya Renan meminta pendapat.
"Tapi ingat!" Telunjuk gue terangkat di udara. "Jangan pakai sendal jepit baru. Soalnya kadang-kadang suka ilang juga."
"Terus gue harus pakai apa dong?"
"Pakai aja sendal jepit yang tak berdaya, sendal jepit lusuh yang beda warna. Yang kanan biru dan yang kiri ijo." Dan lagi, tawa gue kembali pecah untuk
yang kesekian kalinya. Renan menatap gue jengah, memutar bola matanya malas. "Eh curut cupu! BTW, kenapa lo tau banget cara menghadapi maling sendal" Jangan-jangan elo malingnya,"
tebaknya asal. "Yakali gue maling sendal. Daripada gue maling sendal, mending gue jadi maling hatinya cogan-cogan di Jepang."
"Terus lo kok tau sih caranya agar sendal kita nggak ilang" Padahal lo itu cewek. Pasti nggak pernah ikutan shalat jum'at."
"Iya. Dulu gue pernah trauma ikut shalat idul fitri. Sendal baru gue ilang soalnya."
"Terus" Terus?"
"Terus, gue nangis guling-guling di trotoar jembatan, mau bunuh diri."
"Ah, nggak usah dilebay'in deh!" tukas Renan kesal. "Terusin cerita lo!" perintahnya.
"Terus, Kak Icha kasih gue tips and trick bagaimana cara agar sendal kita nggak ilang sewaktu ditinggal shalat."
Renan terkekeh. Gue juga ikut terkekeh renyah bersamanya. Persahabatan kita berdua sangat indah. Tidak akan pernah gue mencoba merubah itu. Dia adalah
salah satu anugerah dari Tuhan. Selamanya, dia akan tetap menjadi sahabat gue. Hubungan ini nggak akan pernah gue ubah menjadi cinta, seperti hubungan
antara gue, Arsyaf, dan El. Karena cinta hanya akan merusak persahabatan saja.
Setelah mengakhiri vidio call dengan Renan, gue berjalan cukup jauh menuju Universitas Tokyo. Di sana banyak sekali Mahasiswa yang menawarkan dan mempromosikan
club masing-masing. Kalau di Indonesia sih namanya UKM, Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada club volly, basket, tenis, dan masih banyak yang lainnya.
Gue" Gue sama sekali tidak tertarik ikut club mana pun. Bukannya gue malas, tapi gue sudah memutuskan akan bekerja paruh waktu setelah kuliah agar Kak
Icha tak terlalu berat menafkahi gue. Jika waktu gue terbuang hanya untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan atau semacamnya, gue akan semakin menyusahkan
Kak Icha saja. *** [Sam pov] Gue mengucek mata berkali-kali lalu mengerjap. Apa gue nggak salah lihat" Itu Raya kan" Ceweknya El. Kenapa dia ada di sini, di Universitas Tokyo" Bukannya
dia kuliah di salah satu Universitas negeri di Surabaya"
"Tunggu!" Spontan gue mencoba menghentikannya yang terus berjalan menuju gedung faculty of engineering.
Dia terhenti lalu menoleh heran. Sejak gue tahu El begitu mencintainya, jujur saja gue sedikit tertarik dengan kehidupan pribadi cewek itu.
"Lo orang Indonesia?" tanya gue.
Ekspresi cewek itu tampak kaget. Pasti ia tak menyangka kalau dia bisa menjumpai sesama orang Indonesia di Tokyo, Jepang.
"Em... Bagaimana senpai tau kalau aku orang Indonesia?" tanyanya lugu.
Senpai adalah panggilan untuk memanggil senior di kalangan civitas akademika di Jepang. Itu berarti, dapat dipastikan dia adalah Mahasiswa baru di sini.
Oh iya, untuk menjawab pertanyaan cewek itu tadi, gue nggak mungkin menjawab jujur. Karena nggak mungkin gue bilang ke dia kalau gue adalah orang yang
buat dia kecelakaan setahun yang lalu.
"Gue tau lo orang Indonesia, soalnya wajah lo oriental banget," jawab gue bohong.
Dia hanya mengangguk dan mulutnya membentuk huruf O.
"Oh iya, kenalin!" Gue mengulurkan tangan. "Gue Ozora Samitra Aldebaran."
"Ozora Samitra Aldebaran" Emangnya senpai apanya Tsubasa Ozora?" tanyanya lugu, ia tampak masih enggan menjabat tangan gue.
Gue terkekeh. "Gue cucunya," sahut gue asal.
Dia tertawa kecil. "Senpai lucu juga ya."
Setelah dia berhenti tertawa, gue memberikan isyarat mata agar dia buru-buru menjabat tangan gue yang mulai terasa pegal menunggu. Dia langsung mengerti
dan gelagapan menyahuti uluran tangan gue.
"Soraya Aldric. Panggil aja Raya," ucapnya sambil tersenyum manis.
"BTW, lo jurusan apa?"
"Aku di department of architecture, senpai," tuturnya bangga. "Kalau senpai sendiri?"
"Gue di department of information and communication engineering."
Mulut cewek itu lagi-lagi membentuk huruf O sambil mengangguk pelan. Pertemuan awal yang singkat memang. Tapi gue rasa... Pertemuan ini akan menjadi awal
dari kehidupan baru gue. Sudah sejak lama gue penasaran dengan cewek satu ini. Cewek biasa yang bisa membuat El, the king of bullying jatuh cinta.
*****?"?"?"*****
Chapter 55 [Raya pov] "Raya-chan, tolong antarkan pesanan ini ke meja nomor sebelas," ucap Matsumoto-san, seorang ibu-ibu paruh baya yang merupakan majikan gue di restoran ramen
ini. Dia memberi gue sebuah nampan lebar dengan dua mangkuk mie ramen di atasnya.
"Baiklah," sahut gue sambil menyambar nampan dari tangannya.
Oh iya, sehari-hari gue berinteraksi dengan bahasa Jepang. Gue menggunakan bahasa Indonesia jika berinteraksi dengan senpai ganteng yang minggu lalu menyapa
gue. Dia orang Indonesia juga. Aneh rasanya jika gue dan dia bercakap-cakap dengan bahasa Jepang padahal kita ini orang Indonesia.
Dengan berjalan agak cepat, gue menuju meja nomor sebelas lalu meletakkan dua mangkuk mie ramen di depan pelanggan tersebut.
"Elo?" Dahi pelanggan itu berkernyit, melihat gue dengan tatapan heran. "Elo kerja di sini?" intonasi suaranya terdengar setengah terkejut.
Mata gue melebar ketika mendapati senpai ganteng itu ternyata adalah salah satu pelanggan di kedai ramen ini.
"Senpai?" kata gue setengah kaget.
"Gue nggak nyangka, elo kerja di sini," ucapnya.
Gue tersenyum. "Kerja di mana saja bukan masalah. Yang penting halal kan?"
Dia mengangguk, membenarkan perkataan gue. "Setelah lo selesai kerja, boleh bicara sebentar?" tanya cowok berhidung mancung itu.
Gue menjawabnya dengan anggukan pelan lalu tersenyum tipis padanya.
"Raya-chan!" panggil Matsumoto-san dari dalam dapur.
"Iya?" sahut gue sambil menoleh ke arah dapur kemudian melihat kembali ke arah senpai. "Eh, aku balik ke dapur dulu ya," pamit gue.
Gue bergegas menuju dapur, memenuhi panggilan Matsumoto-san.
"Apa dia pacarmu?" tanya Matsumoto-san setengah berbisik.
Dahi gue langsung berkernyit. "Bukan. Dia bukan pacarku," jawab gue canggung dengan pertanyaan Matsumoto-san.
"Baguslah kalau begitu."
"Memangnya kenapa?" Dahi gue kembali berkerut heran.
Matsumoto-san mendekatkan wajahnya ke telinga gue lalu berbisik. "Itu karena Reiko-chan sudah menyukai pemuda itu sejak lama." Matsumoto-san menunjuk seorang
gadis dengan dagunya. Gue melirik sebentar gadis itu. Namanya Hashimoto Reiko, rekan kerja gue di kedai ramen ini. Memang sih, namanya mirip merk micin di Indonesia. Tapi wajahnya
benar-benar kawaii, alias imut bingits kayak anime dengan rambut harajuku yang selalu ia banggakan.
"Aku hanya ingin memberi tahumu agar kamu tidak menyukai laki-laki yang sama dengan Reiko-chan. Hati-hati ya." Matsumoto-san menepuk pundak gue dua kali
lalu kembali ke panci ramen dan kompornya.
Gue mengedikkan bahu setelah mendengar nasihat dari Matsumoto-san yang terdengar sedikit alay menurut gue. Mungkin karena dia belum tahu kalau gue sekarang
sudah tidak berburu cogan. Pacaran sama cogan hanya buat makan ati aja. Dua kali pacaran, dan dua kali juga gue disakitin. Mending jadi JOLAL, Jomblo sampai
Halal. "Raya-chan, tolong antarkan ke meja nomor tiga," kata Matsumoto-san sambil menyodorkan sebuah nampan lebar yang dia atasnya ada semangkuk ramen panas.
"Baik," sahut gue penuh semangat sambil meraih nampan tersebut lalu bergegas keluar menuju meja nomor tiga.
Setelah berjam-jam bolak-balik mengantarkan pesanan dari satu meja ke meja yang lain, akhirnya restoran ini tutup juga pada pukul sebelas malam. Dan itu
berarti gue harus membersihkan meja-meja kotor bekas pelanggan.
"Raya-chan, apa kau mengenal pemuda itu?" tanya Reiko-chan tiba-tiba dari belakang gue yang membuat gue sedikit terkejut.
Gue berhenti mengelap meja lalu berbalik dengan dahi mengernyit, kemudian melihat sejenak senpai yang masih duduk di meja nomor sebelas.
"Iya. Aku mengenalnya," jawab gue atas pertanyaan Reiko-chan.
"Bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Dia seniorku di Universitas Tokyo."
Mata Reiko-chan terbelalak lebar setelah mendengar jawaban gue. "Apa?" Mulutnya menganga lebar. "Jadi, dia kuliah di Universitas Tokyo?"
Gue mengangguk membenarkan. Sedangkan Reiko-chan menghela napas kecewa.
"Kenapa kau terlihat kecewa, Reiko-chan?" tanya gue heran.
"Sudah tidak ada lagi kesempatan bagiku," kata Reiko-chan lemas. "Mana mungkin Mahasiswa Universitas Tokyo menyukai pelayan restoran sepertiku yang hanya
lulusan SMA." Gue tersenyum miris mendengar curhatan Reiko-chan barusan. Tapi gue nggak bisa membantu apa-apa karena gue nggak mau ikut campur dengan urusan orang lain.
Kalau jodoh, biarlah mereka berjodoh. Kalau enggak ya bukan masalah bagi gue.
*** [Sam pov] Jujur, gue sangat kaget saat mendapati Raya bekerja sebagai pelayan di kedai ramen langganan gue. Sambil memperhatikan Raya mengantarkan pesanan ke beberapa
meja, gue menyantap dua mangkuk ramen porsi jumbo yang ada di depan gue.
Gue biasanya nggak pernah lama nongkrong sendirian di kedai ini. Tapi gue benar-benar ingin mengobrol dengan gadis berambut panjang yang selalu diikat
ke belakang itu. Rambutnya yang tak lagi berponi membuatnya terlihat lebih dewasa. Dia tampak lebih manis dari tahun lalu.
"Aku sudah selesai, senpai," kata gadis itu sembari membuka celemek yang dikenakannya. "Jadi, kita ngobrol di mana?"
"Kita ngobrol sambil jalan aja gimana" Gue akan anterin lo pulang," ucap gue lalu berdiri.
Dia mengangguk pelan lalu berjalan keluar mendahului gue, membuat gue mempercepat langkah untuk menyamainya. Kami pun berjalan beriringan.
"BTW, gimana kuliah lo" Ada kesulitan?" tanya gue.
Negara Kelima 5 Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Jurus Tanpa Bentuk 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama