Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 5
wanita sholehah, sa"
"Sebenarnya masih panjang kalau mau dibahas lagi. Sampai sini kamu udah paham belum?" Tanya Tsabit layaknya seorang guru privat.
Arsa mengulum senyum teduh. Sempat menatap Tsabit lama. "Iya paham kok. Gue paham sekarang kenapa lo mau pakai pakaian tertutup seperti ini. Gue paham
kenapa banyak orang yang mengagumi lo. Dan gue paham kenapa lo mau menikah sama gue. Terakhir, gue paham kenapa mutiara murni itu tidak mudah untuk didapatkan"
Walaupun pada kalimat terakhir Tsabit tidak paham maksudnya, ia tetap menyunggingkan senyum lega karena berhasil menebar sedikit ilmu kepada suaminya.
Setidaknya kepahaman Arsa bisa membawanya untuk mengamalkan ilmu tersebut.
"Kalo lo senyum gitu, artinya lo udah gak marah lagi kan sama gue" Gue sadar kok gue suka bikin lo jengkel. Itu juga karena lo suka nyebelin sih kadang
kadang " ungkap Arsa. Walaupun sudah mau minta maaf, tetap ujungnya tidak enak.
"Saya gak mungkin ngeselin kalo kamu gak mulai duluan, Kelana"
Mereka asyik berdebat ria di dalam kamar. Sesekali membicrarakan hal hal absurd berkepanjangan. Seiring waktu berputar hingga membawanya menuju sore hari,
mereka masih terjaga bersama kenyamanan yang perlahan memunculkan diri ditengah tengah mereka. Hingga rasa lelah mengiring keduanya lalu menempatkan mereka
pada posisi dimana Arsa terlelap tidur di ranjang, sedang Tsabit turut pulas terduduk di kursi dekat ranjang. Mereka tidak menyadari tangan keduanya saling
menyatu membentuk tautan yang sempurna.
Tidak ada yang tahu sedari tadi ada yang memerhatikan interaksi mereka dari celah pintu yang terbuka.
*** "Mama bakal tepatin janji mama kan?"
Abrar sudah duduk di sebelah mamanya yang sedang sibuk menata bunga. Kartika menoleh.
"Janji apa, brar?"
"Janji kalau mama bakal nyuruh Arsa buat segera menceraikan Tsabit kalau urusan mama telah selesai."
Kartika menegakan tubuhnya kaku. Matanya menatap lurus ke depan. Ia ingat obrolannya bersama Abrar waktu itu. Tentang kelangsungan pernikahan Arsa dan
Tsabit. Ia memang berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan segera mendesak Arsa dikemudian hari agar menceraikan Tsabit. "Mama gak lupa, kan?" Abrar memastikan.
"Apa harus?" "Mama kan sudah berjanji. Lagipula, mama bisa tega mendesak Abrar menceraikan Maudy waktu itu. Kenapa mama tidak juga mendesak Arsa agar menceraikan Tsabit?"
Ada rasa keberatan yang terdalam dalam diri Abrar setelah melihat dengan jelas kedekatan Arsa dengan Tsabit di kamar tadi. Meski ia tahu, Arsa tidak mungkin
menyimpan perasaan untuk Tsabit. Tapi soal hati tidak bisa diganggu gugat. Terkadang mulut tidak selamanya bersahabat dengan hati.
"Ini beda persoalan, Abrar"
"Beda apanya" Pernikahan aku dan Maudy pupus karena mama lebih percaya keyakinan publik dibanding kenyataan sebenarnya. Lalu pernikahan Tsabit dan Arsa
hanya demi menutupi asumsi publik tentang kenyataan sebenarnya." Sama aja, kan?"
"Mama tidak ingin ada perceraian lagi dikeluarga ini. Cukup perceraian kamu saja. Itu pun yang terakhir. Mama menyesal, Abrar" dari hati yang paling dalam
Kartika menyadari bahwa pernikahan Arsa dan Tsabit amat berarti baginya. Terutama sejak nama baiknya semakin bersih dan pandangan publik terhadapnya mulai
cemerlang. Itu semua berkat kehadiran Tsabit.
Abrar membuang nafas kasar lalu memalingkan wajah kecewa. "Itu artinya mama gak adil. Dan mama udah ngelangkar janji mama sendiri"
"Tolong mengerti keadaan ini, Abrar. Arsa masih terlalu muda untuk menjadi seorang duda" Kartika menghentikan aktifitasnya.
"Ya sudah, Abrar siap menunggu Arsa siap untuk bercerai dengan Tsabit. Asal mereka benar benar bercerai. Abrar tunggu itu"
"Kamu jangan egois"
"Mama yang egois" Abrar berdiri menatap jendela memandang luas taman yang sedang di potong rumputnya oleh tukang kebun. "Selama ini mama lebih mengagungkan
ketenaran dan jabatan serta kekayaan. Sampai mama sendiri melupakan kebahagiaan Abrar dan Arsa. Demi sebuah nama baik dihadapan manusia, yang hakikatnya
mereka juga sama seperti kita. Sama sama Hamba Allah. Sama sama bakal dikubur di tanah. Bukan emas"
Ada bendungan berkaca di kedua mata Kartika. Abrar belum menyadari itu.
"Dulu, Abrar dan Maudy saling menyayangi. Tapi mama memanfaatkan kasih sayang yang Abrar berikan ke mama untuk membuang begitu saja kebahagiaan Abrar sendiri.
Abrar seperti memberi mama senapan hanya untuk menembak mati Abrar. Miris, ma"
"Maafkan mama, Abrar. Mama sudah mendzalimi kamu" Abrar mendengar isak tangis disana. "Mama sudah jahat menghancurkan kebahagiaan kamu, Maudy, juga Diva"
Melihat itu, Abrar tidak sanggup berkata kata lagi. Rasa sayang Abrar terhadap Kartika memang tidak bisa terjeda amarah sedetik pun. Selalu ada penyesalan
setiap Abrar mengucapkan kalimat yang menyakiti sang mama. Abrar pun beringsut duduk berlutut dihadapan Kartika lalu menggenggam erat tangannya.
"Maafin Abrar sudah buat mama menangis. Maafin Abrar ya ma" pinta Abrar mengusap lembut air mata Kartika.
Abrar pun mencurahkan isi hatinya kepada Kartika. Kecuali satu, yakni perasaan yang ia miliki untuk Tsabit. Cukup hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
*** TBC... 15. Arsalovers Minggu pagi yang cerah rasanya kurang lengkap kalau tidak diisi dengan aktifitas pagi. Seperti melakukan jogging di taman, misalnya. Sang mega nampak menyapa
ramah suasana pagi ini. Matahari mengintip di sela sela awan yang berpencar. Pasti menyenangkan bila mencoba mengakrabkan diri dengan alam. Tsabit akhirnya
menerima ajakan Abrar untuk melakukan lari pagi bersama usai sholat subuh tadi.
Selagi Abrar menunggu di teras, Tsabit bersiap siap mandi dan berganti pakaian. Dengan memakai celana training lebar lalu sweater panjang berwarna hijau
tosca, nampak sederhana menemani jilbab segiempat yang dipakainya.
Di tempat tidur, Arsa membuka matanya perlahan seraya menggeliat kecil. Pantulan cahaya fajar dari jendela tak mampu menutup kembali matanya. Mau tidak
mau ia terbangun dan mendapati Tsabit sedang duduk di kursi rias memakai sepatu.
"Lo mau kemana?" Tanya Arsa dengan suara paraunya sambil mempertegas pandangan mengucek ngucek mata.
"Mau lari pagi. Sekalian ikut senam juga" jawab Tsabit, tangannya membuat simpul tali sepatu.
"Senam?" Arsa mengangkat separuh tubuhnya agar bisa tegak bersandar. Tsabit mengangguk sambil menipiskan bibirnya dalam kuluman senyum. "Kata Ka Abrar
tiap minggu pagi di lapangan Karang Taruna sana, suka diadakan senam pagi. Siapa aja boleh ikut. Tidak dipungut biaya apapun. Kalau mau ngasih ya seikhlasnya
aja" jelas Tsabit. Sebelum Tsabit menjelaskan sedetail itu juga Arsa sudah tahu. Bertahun tahun ia tinggal disini, tentu hafal betul rutinitas yang diadakan
di lingkungannya. Tapi, Arsa seperti melewatkan ucapan yang aneh barusan.
"Lo pergi berdua sama mas Abrar?" Arsa menarik alis seraya menegakan tubuh.
"Iya" Tidak ada tanggapan setelah itu. Dalam diam, Arsa memikirkan sesuatu. Bibir bawahnya tergigit setengah. Ia lihat Tsabit telah selesai menalikan sepatunya
lalu berdiri, menghadap dirinya hendak bertanya,
"Kamu mau,--" "Gue ikut!" Setelah lancang memotong kalimat Tsabit, ia bangkit dari tempat tidur dengan gerak cepat sampai sampai melempar selimutnya ke sembarang arah, menuju kamar
mandi. Tsabit terheran heran melihat tingkahnya. Sepertinya baru semalam Arsa meringis kesakitan seperti anak kecil karena merasakan sakit di dadanya.
Kenapa pagi ini ia bisa segesit tupai yang berlari di atas aspal panas" Tsabit dekati pintu kamar mandi. Terdengar gemericik air dari keran.
"Kamu beneran mau ikut?" Tanya Tsabit dari depan pintu kamar mandi.
"Iya. Tungguin!" Jawaban singkat menggema dari sana.
Tidak sampai 10 menit, sosok Arsa keluar dari kamar. Tsabit menunggunya di meja rias dibuat tertegun beberapa detik. Arsa hanya mengenakan kaos tanpa lengan
warna hitam dan selalu memakai celana basket andalannya. Sepertinya ia punya koleksi celana basket berlusin lusin. Atau bisa jadi ia punya sampingan berjualan
celana di pasar senin. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah ia bercermin membelakangi Tsabit. Dari balik tubuhnya, Tsabit seperti orang bodoh menatap
punggung indah suaminya. Sayangnya, selama ia menikah dengan pria itu, belum pernah merasakan pelukan dari sana. Pasti sangatlah hangat dan nyaman.
Aish! Tsabit menggeleng tidak karuan dibawah khayalannya sendiri. Arsa yang sedari tadi selesai bercermin melihatnya keheranan. "Lo kenapa?" Tsabit terkesiap.
"Gak kenapa napa. Udah?" Tsabit berdiri sekaligus menutupi kesalah tingkahannya.
"Lo gak liat gue udah ganteng gini?" Jawabnya sambil menyisir jambul pendeknya menggunakan jari menghadap cermin lagi. Tsabit mencebik belagak muntah.
"Lebih tepatnya sok ganteng" ia melengos saja pergi keluar kamar, disusul Arsa.
*** "Disini gak cuma buat lari pagi aja. Tapi selain buat senam, ada pasar kaget juga, bit. Jadi kamu bisa belanja atau wisata kuliner juga" sambil berlari
memutari lapangan, Abrar mendeskripsikan area lapangan olahraga Karang Taruna kepada Tsabit yang juga melakukan aktifitas yang sama.
"Oh gitu, ya ka. Wah aku bisa sering sering nih kesini" Tsabit sumringah.
"Buat olahraga?"
"Bukan, buat wisata kulinernya" lalu terkikik sambil memeletkan lidah. Abrar tertawa kecil menatap Tsabit. "Kamu tuh bisa aja"
Mereka sudah memutari 3 kali lapangan. Berbeda dengan Arsa yang turut bersama mereka, memilih berlari sendiri. Ia sudah menempuh 10 kali putaran. Wajarlah
ya, Arsa seorang yang separuh hidupnya bergantung pada olahraga. Hampir semua jenis olahraga dia kuasai. Dari basket, sepak bola, taekwondo, muai thai,
boxing dan masih banyak lagi. Jadi jangan heran kalau dia memiliki kesempurnaan pada posturnya. Semua itu mendukung ketampannya serta ketenerannya.
"Lo niat olahraga apa pacaran sih" Lelet banget" Arsa menyetarakan langkahnya beriringan dengan Tsabit dan Abrar. Entah datang darimana tahu tahu ia sudah
meneroboskan diri ditengah tengah antara istri dan kakaknya itu.
"Kamu nya aja yang getol. Lari tuh santai aja. Lari lari kecil aja" jawab Tsabit tidak kalah sewot.
"Bukan lari itu mah. Jalan cepet!" Celetuk Arsa mengusap peluh yang memenuhi keningnya menggunakan punggung tangan. Baru 10 putaran saja, rambutnya sudah
basah karena keringat. Tsabit yang melihatnya hanya bisa melongo samar. Sewaktu SMA, Tsabit pernah mengidolakan kakak kelasnya. Dia cowok favourite di
sekolah. Dia jago basket. Dan yang Tsabit suka sekali kalau cowok itu sedang bermain basket. Bukan karena hal lain, melainkan karena ia suka melihat pria
jika sedang berkeringat. Baginya, itu terlihat macho dan gagah. Dan pria idolanya itu persis sekali dengan pria yang kini berada disebelahnya. Arsa.
"Gimana mau sehat kalo larinya menye menye kayak gitu. Lari kayak gue nih" pamer Arsa bergaya sok olahragawan hebat. Padahal lawan 3 preman aja K.O, umpat
Tsabit. Tsabit hanya acuh terus berlari kecil. Malas meladeni kesombongan Arsa.
"Lo harus bisa. Biar badan lo sehat. Gak kurus kayak gitu" mata Arsa tertuju pada tubuh Tsabit. Buru buru Tsabit mendelik tajam tak terima.
"Maksud kamu, saya kurus?"
"Iya lah. Coba deh sini tangan lo" tanpa meminta izin Arsa langsung meraih pergelangan Tsabit. Ia tarik sedikit lengan jaket Tsabit hingga sedikit memperlihatkan
pergelangan tangan. Ia satukan telunjuk dan jempol melingkari pergelangan tangan tersebut. "Nih lo liat! Tangan lo gak ada setengahnya tangan gue masa.
mini banget gitu" Tsabit buru buru melepas kasar tangannya dari perlakuan Arsa. "Kamu ganteng ganteng jangan gesrek juga bisa ga" wajarlah. Kamu kan cowok. Gede tinggi pula.
Kalo tangan saya sebesar ukuran tangan kamu, yang ada saya dikira popeye tau gak"
Bibir Arsa berkedut. "Lagian, ini tuh postur ideal. Tinggi saya 160 centimeter. Begitu juga berat badan saya, 55. Itu termasuk standar ideal wanita Asia. Kamunya aja gak bisa
bedain" Tsabit mulai sewot sendiri. Kalau kebanyakan wanita sekarang begitu anti jika disebut gemuk atau gendut. Tapi Tsabit justru sebaliknya. Ia lebih
senang dikatakan gemuk ketimbang kurus. Karena tubuh gemuk menandakan jiwa yang kuat. Berbeda dengan gendut ya.
"Ukuran dada, ideal juga?"
Tsabit mengatupkan rahang sambil menyipit menatap Arsa. Arsa melihat Abrar berlari kecil mendahului dirinya dan Tsabit. Pasti dia jengah mendengar pertikaian
Tsabit dan Arsa. "Dada?" Ulang Tsabit mencium curiga.
"Iya. Ukuran dada" Arsa pun menghentikan larinya. Disusul Tsabit. Kemudian ia dekati alat bicaranya ke telinga gadis itu lalu berbisik, "Kalo gue perhatiin,
ukuran dada lo belum bisa dikatakan ideal. Bisa gak di besarin lagi?"
Usai kalimat itu berakhir. Arsa memanfaatkan langkah seribunya menjauh dari serangan Tsabit secepat mungkin. Jelas saja, setelah mendengar, wajah Tsabit
langsung memerah padam nafasnya berembus bak banteng mengamuk, menatap geram Arsa yang mulai menjauh dari pandangan.
"Arsa!!!! Berani kamu ya! Gak sopan! Jangan harap bisa hidup!" Teriak Tsabit menunjuk Arsa menimbulkan reaksi aneh orang sekitar yang melihatnya. Ia pun
berlari menyusul Arsa. "Kejar gue kalo bisa!" Usaha Arsa agar Tsabit berlari sekencang mungkin pun berhasil. Sekarang volume kecepatan Tsabit bertambah drastis bahkan melewati
Abrar yang sedang berlari santai disana. Ia tidak akan membiarkan Arsa kabur. Harga dirinya sudah diinjak injak oleh bocah ingusan itu. Tau apa dia soal
ukuran dada" Oh, jangan jangan diam diam ia masuk ke dalam organisasi pria mesum di internet.
"Bisa stres saya ngadepin kamu" umpatnya selagi berlari. Sejauh ia memutari lapangan, Tsabit belum berhasil menyamakan langkahnya dengan pria itu. Sungguh
kalau urusan olahraga, Arsa masuk kategori ahli. Tsabit hampir ngos ngosan dibuatnya. Nafasnya mulai tidak beraturan.
Hingga ia pun berhenti sejenak, mengatur nafas sambil mengambil posisi seperti ruku'. Ia mengusap Peluh peluh yang mulai membasahi jilbab. Deruan nafas
mencuat dari mulutnya. "Kok berhenti?" Arsa sengaja mundur untuk melihat keadaan Tsabit. Ia berdiri menunduk di depan gadis itu. "Capek?" Tanyanya.
"Auah!" Ketus Tsabit tak mempedulikan keadaan. Ia langsung saja duduk selonjoran meluruskan kaki di atas aspal. Memalingkan wajah ketika Arsa turut melakukan
hal yang sama. Pria itu menatapnya khawatir. "Dih, lo marah?"
"Engga" "Baru segitu doang aja marah. Cepet tua loh" Arsa menyikut genit gadis disampingnya dengan seringai jail.
"Emang udah tua"
"Oiya ya, lupa. Istriku udah tua ya. Tapi tetep cantik kok" Arsa menekuk lutut lalu memeluknya menghadap Tsabit. Sambil senyum senyum sendiri mengamati
ekspresi ngambek Tsabit yang cukup menghibur.
Tsabit belagak pengin muntah sekarang. "Gak usah sok muntah gitu. Gue tau dalam hati lo seneng kan bisa berdua sama gue" ujar Arsa enteng. Tujuannya hanya
untuk melihat raut tidak terima Tsabit yang memang lucu baginya. Dan benar. Tsabit bergidik jijik sambil mengernyit aneh.
"Ngomong nih, sama anduk basah!" Timpal Tsabit sambil menggoyang goyangkan handuk kecil miliknya dihadapan Arsa.
"Gue tau, dalam hati lo seneng kan bisa berdua sama gue?" Dan Arsa benar benar konyol hari ini. Ia malah mengulang ucapannya sambil menerima handuk Tsabit
lalu mengajaknya berbicara.
Yang tadinya wajah Tsabit penuh lipatan kerutan, kini ada cekungan manis yang tertarik dari bibirnya. Sambil memalingkan wajah lagi, ia berusaha mengeluarkan
tawa ringannya akibat ulah konyol Arsa.
"Gitu dong, ketawa" Arsa tersenyum puas. Untuk hari ini, matanya tak bosan memandang Tsabit. Ia nampak alami pagi ini. Keringat di dahinya menambah kesan
lain. Sayangnya, Fania tidak seperti Tsabit. Sejak mereka menjalin hubungan, Fania belum pernah sekali pun menemani Arsa melakukan olahraga bersama. Ia
terlalu takut berkeringat dan lepek. Padahal Arsa suka sekali dengan wanita yang aktif dan mengeluarkan auranya ketika sedang berkeringat. Tanpa sadar
ia membandingkan kedua gadis itu dalam hatinya.
"Besok besok kalo mau olahraga, jangan ajak mas Abrar. Sama gue aja. Gue kan suami lo. Lo mau jadi istri durhaka" Ntar kalo gue kutuk jadi batu, mau?"
Arsa merapatkan duduknya kepada Tsabit. Tsabit menoleh heran.
"Sejak kapan kamu mikirin saya pergi sama siapa" Kamu kan bukan mama saya"
"Surga lo kan sekarang ada sama gue. Kalo lo gak nurut. Nanti lo jadi Tsabit kundang. Mau?" Ancamnya dengan nada menakuti nakuti yang sangat berlebihan.
"Pokoknya lo gak boleh pergi sama mas Abrar" tegas Arsa.
"Cemburu?" Sontak saja Arsa menoleh. Wajahnya menegang, matanya menatap kanan kiri. Itu reaksi salah tingkah khas Arsa. "Gue" Cemburu" Sama mas Abrar" Ya engga lah"
ungkapnya enteng sambil mengibas tangan menepuk lutut. "Lo gak tau kan kalo wartawan zaman sekarang udah kayak Tuhan" Ada dimana mana. Gue gak mau aja,
nama baik gue tercoreng lagi kalo istri gue ketauan berdua sama cowok lain"
"Tapi dia kan kakak kamu"
"Gak usah batu, deh. Tinggal bilang 'iya' doang apa susahnya, sih?" Arsa mendengus sebal.
"Iya bawel" Tsabit melengos, lalu berdiri sambil mengusap celananya. Arsa mendongak. "Lo mau kemana?"
"Mau senam" "Gue ikut!" Ia turut berdiri sambil membenarkan gaya rambutnya.
Sok ganteng banget ni anak, umpat Tsabit dalam hati memerhatikan tingkah laku Arsa.
"Gue tau gue ganteng. Ngeliatinnya gak usah mupeng gitu" Tsabit melengos pergi berlalu meninggalkan Arsa sambil berkata,
"Terserah!" *** Rayyan duduk gelisah di dalam bus. Pada deret kursi baris kedua sebelah kanan, ia tatap jalanan yang semakin padat. Memerhatikan palang palang jalan yang
berdiri kokoh. Akan tetapi pikirannya sedang tidak menyertainya dalam keadaan tersebut.
Kalau bukan karena adanya seseorang yang menghubunginya lalu menceritakan suatu hal, Rayyan tidak mungkin nekat meninggalkan Taylornya hari ini, dan memutuskan
untuk pergi menemui orang tersebut. Masih dalam kegelisahan, ia tak henti mengabsen butir butir biji tasbih lewat iringin dzikir dalam hembusan nafas.
Sejak itu pikirannya menjadi tidak tenang. Dan lagi sesuatu itu menyangkut kselamatan orang yang ia sayangi.
"Pak, stop! Pak!"
Rayyan pun turun dari bus, mengeratkan tas punggung hitamnya menatap jalan. Ia berjalan menuju tempat dimana dirinya dan seseorang itu akan bertemu.
Sesampainya di salah satu Mall, Rayyan melangkah masuk menuju lantai tiga. Disanalah ia bertemu seseorang yang kini sedang duduk manis menikmati dim sum
hangat bersama segelas jus alpukat di meja. Tanpa menanyakan lagi, Rayyan sudah tahu penampakan seseorang itu. Ia pernah bertemunya sekali dalam suatu
acara. "Assalamualaikum. Dengan Fania?" Tanya Rayyan memastikan.
Gadis yang dimaksud mengangkat dagu untuk melihat. "Betul. Aku Fania" Fania mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Tapi buru buru ia menarik tangan,
ketika Rayyan hanya merespon dengan tangkupan tangan di dada sambil tersenyum. Ini pertama kalinya Rayyan bertemu langsung dengan gadis yang pernah ia
lihat di televisi digosipkan dengan Arsa. Entah darimana gadis itu mendapat kontak nomor teleponnya. Yang jelas, Rayyan cukup terkejut dengan pertemuan
ini. "Silakan duduk" Rayyan duduk di kursi depan Fania. "Silakan pesan makanan dulu. Aku yang bayar" lanjutnya sambil mencari cari sesuatu di tas.
"Maaf. Saya puasa"
Otomatis gerakan tangan di tasnya terhenti, lalu menatap heran pria itu. "Puasa" Ini bukannya hari minggu ya?"
"Puasa Yaumul bid'h"
Fania menyingkap rambut ke telinga. "Puasa apa tuh" Baru denger kayaknya"
"Puasa ayyamul bid'h adalah salah satu amalan puasa sunnah yang dikerjakan 3 hari setiap bulannya, yaitu pada hari tanggall ke-13, 14, dan 15 dari bulan
Hijriyah" papar Rayyan dalam sikap tenang. Fania meng-oh santai lalu mengangguk.
"Sebaiknya langsung saja. Ada apa kamu mengajak saya bertemu disini. Saya masih ada urusan yang harus dikerjakan"
"Kalau kamu sibuk, aku gak maksa buat ketemu. Kamu malah nekat"
"Kalau bukan menyangkut Tsabit. Saya pun memilih bekerja daripada menghabiskan waktu dengan kamu" Rayyan membuang nafas berat. "Jadi, tolong. Jelaskan
apa maksud kamu mengatakan bahwa pernikahan antara Arsa dan Tsabit hanya sebuah settingan semata"
Fania tertawa sinis namun samar. "Kamu cinta mati ya sama perempuan itu" Aku juga cinta mati sama Arsa. Kita sama"
"Tolong jawab pertanyaan saya" Rayyan tidak suka berbasa basi apalagi meladeni pernyataan Fania barusan.
"Baik" keadaan mulai tenang. Fania menaruh tangan di atas meja menatap Rayyan serius. "Itu benar. Pernikahan Arsa dan Tsabit terjadi hanya karena adanya
perjanjian. Tidak ada cinta, tidak ada mengenal satu sama lain, tidak ada keseriusan, tidak ada niat ibadah sekalipun. Yang ada hanya main main" Fania
melakukan gerak tanda kutip menggunakan kedua tangan. "Semua itu terjadi karena Tsabit ingin menolong Arsa membersihkan nama baik keluarganya dari media.
Kamu kenal Kartika, kan" Mertua Tsabit?"
Rayyan diam mengerti. "Dia sudah terlanjur mengajak Tsabit bersandiwara dengan mengakuinya sebagai pacar anaknya, Arsa. Singkat cerita, Tsabit memilih menikah ketimbang harus
berpura pura pacaran dengan Arsa"
Rayyan tidak habis pikir. Benarkah yang diucapkan Fania itu" Ia memang sudah menaruh curiga pada pernikahan Tsabit. Tsabit bukan gadis sembarangan yang
mau begitu saja menerima lamaran seorang pria. Meskipun umurnya memaksa untuk menikah sekalipun. Tsabit orang yang cerdas.
"Dan yang harus kamu tahu, diantara mereka tidak ada saling cinta. Kamu tahu apa akibat yang akan diterima perempuan itu nantinya" Selain status janda,
Tsabit akan menjadi buah bibir media lalu menjadi bahan olok olok publik"
"Lantas, apa tujuan kamu menceritakan ini kepada saya?"
Fania mengerucutkan bibir, memutar bola mata kemudian kembali menatap Rayyan. "Aku mau mengajak kamu kerja sama. Kerja sama yang menguntungkan pastinya"
"Kerja sama apa?"
"Sebenarnya melihat gaya agamis kamu yang seperti ini, aku udah pesimis duluan, sih. Tapi gak apalah. Gak ada salahnya dicoba. Siapa tahu, perasaan cinta
kamu ke Tsabit bisa mendobrak kereligiusan kamu"
"Daritadi saya perhatikan, kamu hobi sekali bertele tele ya. Kamu sadar, sudah membuang banyak waktu saya?" Ucap Rayyan dingin. Matanya tajam menatap gadis
berparas ayu itu. "Oke oke. Aku mau kita kerja sama misahin Arsa dan Tsabit. Aku yakin kamu pasti gak tega melihat Tsabit menderita sama pria yang tidak dicintainya, kan"
Begitu juga aku. Aku mau bebasin Arsa dari jerat mamanya. Dia hanya mencintai aku, pacarnya"
Rayyan menelisik gejolak yang hadir dari mata Fania. Ia masih diam membiarkan Fania berceloteh tentang niat busuknya.
"Kalau kamu mau, aku sudah menyiapkan rencana untuk misi kita. Kamu jangan khawatir. Aku bisa main aman. Aku jamin tidak ada yang curiga, bahkan Tsabit
sekalipun. Gimana?" Tanya Fania mengakhiri pemaparannya.
Rayyan masih sibuk dalam pikirannya sendiri. Ia tidak menduga Tsabit nekat mengambil jalan ini. Pernikahan bukanlah hal yang main main. Itu menyangkut
janji dan tanggung jawab terhadap Tuhan. Andai Rayyan tahu sejak awal masalah ini, tentu ia akan bersi keras melarang Tsabit untuk menikah.
"Helloow~ Rayyan" Fania memetikan jari tepat di wajah Rayyan. Pria itu terhentak sadar dari lamunan.
"Malah ngelamun. Gimana penawarannku barusan?" Rayyan belum menjawab. Sebagai orang yang mencintai Tsabit diam diam, tentu ia tidak ingin Tsabit tersiksa
karena menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Tapi ia tidak ingin menjadi perusak rumah tangga Arsa dan Tsabit. Melihat respon Rayyan seperti itu,
Fania memutar bola mata. "Kamu ragu sama kemampuanku" Kamu tenang aja. Rahasia dijamin aman. Perasaan kamu terhadap Tsabit bakal terbalas. Kalau kamu beranggapan cinta itu tidak
harus memiliki, itu bullshit, Rayyan! Omong kosong. Itu cuma quotes quotes alay gak berguna. Cinta itu harus saling memiliki. Dan dari saling memiliki
itulah, cinta akan semakin tumbuh berkembang" gaya bicara Fania sudah seperti Motivator hebat yang berpengalaman. Tapi sayangnya Rayyan belum menunjukan
ketertarikan sedikitpun. "Kalau kamu tidak tertarik dengan penawaran ini, setidaknya bantu aku mendapatkan seseorang yang seharusnya jadi milik aku, yan. Please!" Fania memasang
raut meyakinkan. Nampak sekali keinginan terbesarnya mendapatkan kembali sang cinta sejati. Terlihat ketika ia mengutarakan bagaimana ia mencintai Arsa.
Setelah terdiam cukup lama, Rayyan angkat suara.
"Kamu benar benar mencintai Arsa?" Dari sana Rayyan hampir goyah. Ia menerima anggukan mantap Fania. "Kamu juga kan mencintai Tsabit?"
Rayyan diam lagi. Matanya memandang sekilas keramaian lantai tiga yang dipenuhi kebanyakan anak muda dengan gaya pakaian kekinian. Bukan seperti dirinya.
Pria sederhana yang hobinya membawa tasbih kemana pun ia pergi.
"Kasih tahu saya apa saja rencana kamu"
Senyum lega Fania terukir jelas di sana. Senyum penuh makna yang terus ada selama mereka berbincang hingga seterusnya.
*** Selama senam berlangsung,Tsabit banyak melakukan kesalahan gerakan. Entah itu terlewat lah, atau tidak seirama dengan musik lah dan masih banyak lagi kekakuan
Tsabit. Bukan karena ia tidak terbiasa melakukan senam. Tapi karena perhatian gadis itu sedang tidak fokus pada sang instrukstur senam.
Alih alih memerhatikan ke depan dimana intrukstur senam memeragakan gerakan, Tsabit malah fokus pada sekumpulan gadis cantik yang sedari tadi mengerumuni
Arsa. Memang tidak seberapa sih, ada tiga gadis disana yang berani beraninya menarik perhatian Arsa.
"Perasaan, Arsa gak ganteng ganteng banget, deh. Kok cewek cewek itu mau maunya sih nempelin Arsa terus. Mana Arsanya sok kegantengan lagi" gerutu Tsabit
keki memandang dari jarak yang tidak jauh dari Arsa dan kerumunannya.
"Mereka gak tau aja, klo cowok yang mereka gilai itu, cowok cemen yang takut minum obat. Kalo tau juga langsung turun tuh pamornya" sesekali Tsabit fokus
pada instruktur senam walau nyatanya perhatiannya tidak bisa lepas dari aktifitas Arsa dengan fans fans centilnya itu.
Selagi senam, Tsabit terus menggerutu tidak jelas seraya komat kamit entah berbicara apa. Sekarang ia melihat Arsa tengah melayani fans fansnya itu berfoto
bersama. Tsabit langsung belagak muntah lalu mencebik tak senang. "Belum mandi tuh dia, mbak. Jangan mau. Ntar kebauan loh" cibirnya lagi tanpa ada yang
mendengar. Tsabit mengambil inisiatif mendekati mereka dengan menyamarkan langkahnya seolah olah sedang senam. Perlahan langkahnya mendekat ke arah kerumunan. Tidak
ada yang curiga, termasuk Arsa sekalipun. Pria sibuk dengan fans fansnya. Hingga akhirnya Tsabit bisa mendengar percakapan mereka. Ia berpura pura merentangkan
tangan lalu melompat lompat.
"Ka Arsa kapan kapan ajarin aku taekwondo ya. Aku seneng deh ngeliat kakak lagi taekwondo waktu di posting di ig itu" ungkap girang salah satu gadis berambut
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang ikal sebatas punggung dikepang, memakai kaos longgar dan celana leging.
"Siap. Rumah kamu dimana emang?" Jawab Arsa sok ramah sambil sibuk menerima beberapa bungkusan coklat. Rupanya ada beberapa fans yang memantau aktifitasnya
hari ini lewat akun instagramnya. Seorang yang terkenal macam Arsa, kurang afdhol kalau tidak memposting kegiatannya di media sosial.
"Di munjul ka. Gak jauh dari sini"
"Kak Arsa kapan main ke Bandung lagi" Anak anak pada kangen mau meet up sama lunch bareng tau"
Tsabit ternganga. "Ampe ngajak makan siang segala" Gila juga nih anak" gumam Tsabit menggerak gerakan tubuhnya tidak jelas. Ia kembali memasang telinga.
"Iya nanti ya kalo kakak gak sibuk. Kalian pada darimana?"
"Dari Bogor, ka. Sengaja kesini mau ngeliat kakak olahraga" sahut salah satu leader fanbase Arsa. Mereka kompak memakai kaos seragam hitam bertuliskan
'ArsaLovers'. "Kak, aku mau dong, jadi baju kakak. Biar bisa nempel terus sama kakak"
Khusus kalimat yang ia dengar barusan, Tsabit benar benar ingin muntah sekarang. Bisa bisanya mereka merayu rayu Arsa. Padahal umur mereka masih ABG. Dapat
kosakata darimana, sih" "Kalo gue sih jijik. Bau keringet" celetuk Tsabit asal, tanpa sadar terdengar oleh salah satu dari mereka.
"Yaelah, biasa aja kali. Sirik ya" celetuk salah satu fans Arsa yang mendengar itu. Gayanya serasa paling cantik sedunia. Tsabit melirik tak kalah sinis.
"Kamu punya masalah sama saya?" Tsabit menghentikan aktifitasnya. Menoleh pada gadis berusia sekitar 14 atau 15 tahun itu.
"Lo yang cari masalah. Ngapain pake nyindir nyindir gitu. Kalo gak kenal siapa Arsa, gak usah nyinyir gitu bisa kali" gadis itu memilin milin rambutnya
sok kecentilan. Tsabit takjub! Di zaman sekarang, anak muda seperti dia atau mungkin teman temannya sudah berani bersikap tidak sopan terhadap orang yang
lebih tua. Semoga saja orang orang seperti mereka hanya ada beberapa. Jangan ada lagi generasi seperti ini. Tsabit bertolak pinggang lalu menatap gadis
si Arsalovers itu secara intens.
"Saya yang gak kenal Arsa, atau memang kamu yang gak pernah nonton Tv" Harusnya kamu tahu dong seluk beluk Arsa serta kehidupan barunya. Oh! Atau status
barunya" "Elo yang sok tau. Lo pikir lo siapa" Emang lo tau kehidupan Arsa kayak apa?" Berani beraninya gadis ABG berbandana merah itu menunjuk nunjuk wajah Tsabit
dengan tampang sok. Tsabit menyingkirkan telunjuk itu dari wajahnya.
"Hei, anak kecil. Tolong dijaga ya mulut kamu. Orang tua kamu gak ngajarin sopan santun ya"
"Kalo gue gak mau jaga mulut gue kenapa" Masalah buat lo" Apa gue harus jungkir balik terus bilang 'wow' gitu?"
Fix! Fans nya Arsa anak alay semua.
Pertikaian kecil itu akhirnya menarik perhatian Arsa. Melihat Tsabit sedang adu mulut dengan salah satu fansnya, Arsa buru buru mengambil tindakan. Ia
menengahi keduanya dibantu beberapa fans yang lain. Fans yang lain menjauhkan gadis ABG itu, sedang Arsa mengambil alih Tsabit agar menjauh. Ia eratkan
kedua tangan di pundak Tsabit seraya menghadapnya. Beberapa oranh sekitar menatap heran.
"Kalo cemburu, yang elegant dikit. Masa cemburu sama bocah. Gak malu sama umur?" Ucap Arsa agak berbisik. Harusnya kan Arsa menenangkannya dengan kata
kata romantis. Malah menjatuhkannya seperti ini. Tsabit melepas kasar tangan Arsa dari tubuhnya.
"Siapa yang cemburu" fans alay kamu aja yang cari masalah. Daritadi saya anteng anteng aja tuh, dia yang mulai duluan" jawab Tsabit sewot memalingkan wajah
sambil melipat tangan. "Ah masa" Lo gak mepet mepet deket gue biar bisa denger obrolan gue sama Arsalovers, kan?" Arsa iseng menaik turunkan alis. Senyumnya mengandung kadar
gula berlebih. Tsabit harus kebal. "Atau lo mau daftar jadi Arsalovers, juga?"
Tsabit mengendik menaikan bahu jijik sambil mengangkat satu sudut bibit sebelah kanan. "Saya punya kegiatan lebih penting selain jadi Arsalovers kebanggaan
kamu itu" Arsa mengulum senyum sambil mengangguk sok paham. Ia akui, ini pertama kalinya Arsa merasakan titik kebahagiaan lain. Entah dari mana asalnya
kebahagiaan itu. Tapi ia tahu, perasaan bahagia itu muncul sejak ia senang melihat tingkah cemburu Tsabit. Walaupun gadis itu tidak mengaku, setidaknya
kesewotan yang Tsabit tunjukan tidak bisa dibohongi. Ia senyum lagi.
"Ngapain senyum senyun sendiri?"
"Lo masih mau disini?" Tanya Arsa mengubah rautnya menjadi datar. "Kalo masih mau disini, jangan cari masalah lagi. Gue mau nemuin fans fans gue lagi disana"
Wajah Tsabit sekarang persis seperti tumpukan pakaian kusut yang belum disetrika. Ia mendengus panjang. "Oh silakan. Saya tau diri kok. Saya yang akan
pergi" Tsabit pun berbalik lalu pergi meninggalkan Arsa yang menatap kepergiannya lama sampai sampai salah satu fansnya meneriakinya berulang ulang agar ia menyahut.
*** Usai menemui fans fans alaynya. Arsa langsung saja berlari mencari sosok Tsabit. Sejak perdebatan tadi, pikiran Arsa menjadi tidak tenang. Walaupun jiwanya
sibuk meladeni Arsalovers, tapi pikiran dan hatinya saling berpencar memikirkan keadaan gadis itu. Bahkan sesekali ia mengedarkan matanya menatap sekitar
barangkali Tsabit tidak jauh dari tempat ia berkumpul. Sayangnya, Tsabit benar benar menepati janjinya untuk pergi menjauh.
Untungnya Arsa hafal area lapangan ini. Jadi, ia bisa mengabsen tempat mana saja yang belum dijelajahinya. Dan satu satunya tempat yang belum ia cari adalah
taman bermain dan olahraga. Dugaannya pun benar. Dari kejauhan Arsa bisa melihat Tsabit sedang sibuk bergelantungan pada besi penyangga yang biasa dipakai
pengunjung taman untuk berolahraga. Arsa tidak langsung menghampirinya, melainkan memerhatikannya dari tempat ia berdiri.
Dilihatnya gadis itu sedang susah payah berpindah dari deretan bar satu yang bar lain dalam keadaan bergelantungan. Tangannya yang kecil, ia amati nampak
menegang kaku menggenggam bar bar itu dengan kuat. Belum lagi wajah kelelahan yang terpancar dari sana. Tsabit pun turun dari posisi. Ia mengatur nafas
sejenak lalu melakukan gerakan gerakan pemanasan.
Ia mengatur nafas sejenak lalu melakukan gerakan gerakan pemanasan
Arsa semakin nyaman menikmati pemandangan dihadapannya itu. Ia menyandarkan tubuh pada besi ayunan anak seraya melipat tangan di dada. Ada senyum tatkala
ia mendapati Tsabit sedang terjatuh dari besi penyangga itu. Bukan karena menertawakan kecerobohannya, melainkan mengagumi ketangguhan gadis itu. Arsa
bisa menyimpulkan bahwa Tsabit bukan gadis lemah yang cengeng. Ia gadis kuat dan pemberani. Lihat saja, sudah berkali kali ia terjatuh, tapi masih saja
terus berusaha melewati bar bar itu dengan sempurna.
Tsabit mencoba lagi bergelantungan pada alat bernama hanging knee rise itu. Setelah posisinya telah mantap bergelantunga pada ujung bar, Tsabit hendak
memindahkan tangan pada bar berikut. Sayangnya gerakan itu harus ia urungkan karena ada sesuatu yang memegangi kedua kakinya dari bawah. Sontak Tsabit
menatap ke bawah. "Kamu ngapain" Lepasin kaki saya" perintahnya melihat Arsa tengah memegangi kakinya, tepatnya pada betis.
"Kalo posisi kaki lo gak rapet, lo gak bakal bisa melewati bar ini dengan sempurna" Arsa menggenggam erat betis Tsabit. "Pertama tama yang harus lo lakuin
itu, lurusin kaki. Setelah itu bahu agak naik. Gunanya untuk menguatkan otot perut, paha, dan lengan"
Melupakan perdebatan yang terjadi tadi, Tsabit menuruti instruksi Arsa. "Sekarang tarik nafas dalam dalam. Tarik lewat hidung hembuskan lewat mulut" lantas
Tsabit melakukannya dengan baik.
"Oke bagus. Sekarang lo pindahin tangan lo ke bar pertama, jangan ragu. Harus mantap dan jangan takut" instruksi Arsa persis seperti guru olahraga yang
sedang melatih muridnya. "Nanti dipertengahan bar baru gue lepas"
Tsabit serius mempraktekan instruksi Arsa dengan sangat baik. Sambil terus maju memindahkan tubuh dari bar satu ke bar lain Tsabit lakukan dengan sekuat
tenaga. Tepat dipertengahan, Arsa benar benar melepas genggaman di kakinya.
"Ayo sedikit lagi. Pasti bisa" Arsa menyemangati serius.
Perlahan namun pasti, akhirnya Tsabit berhasil melewati lintasan bar pada hanging knee rise itu dengan sempurna. Ia pun bersorak kesenangan dalam posisi
yang sama. Saking kegirangan, ketika melompat turun, Tsabit tidak bisa menyeimbangkan tubuh hingga tanpa sengaja tubuhnya mendarat tepat di tubuh Arsa.
Posisi mereka tidak seintim seperti di sinetron di televisi. Posisi Tsabit tetap berdiri tapi gerak jatuhnya mendorong dada Arsa sampai ia mundur hampir
tersungkur ke belakang. Untungnya tenaga Arsa lebih kuat sehingga mampu menopang tubuh Tsabit.
Ada semburan panas memenuhi wajah Tsabit. Tapi itu tidak bertahan lama setelah ia menyadari konfliknya terhadap pria itu.
"Udah selesai jumpa fansnya?" Ucap Tsabit sembari membenarkan posisinya.
"Udah. Kenapa" Nyesel ya gak bisa ikut?"
Tsabit memutar bola mata lalu melengos duduk pada batu besar yang disediakan untuk duduk pengunjung. Arsa mengekor dan duduk disebelahnya.
"Lo marah?" Tsabit acuh sambil meminum air mineral.
"Marah mulu. Hobi ya" Bukannya berterimakasih"
"Terimakasih buat apa?"
"Lah, barusan gue bantuin lo naik hanging itu. Terus kalo gak ada gue, mungkin lo udah nyusruk tadi ke tanah. Kecil kecil badannya berat juga lo ye" ungkap
Arsa seenaknya. "Iya iya. Terimakasih ya kura kura ninja" jawab Tsabit singkat kemudian menyibukan diri meluruskan kaki sambil mencium lututnya.
"Kok lu demen banget sih manggil gue kura kura ninja. Emangnya gue kayak kura kura apa?" Protes Arsa tiba tiba sambil menggaruk kepala. Tsabit menyembunyikan
bibirnya rapat. Kalau ia mengatakan alasan sebenarnya memanggil kura kura ninja, pasti Arsa semakin besar kepala.
"Engga juga. Asal manggil aja"
"Aneh!" Mereka terdiam dalam kesibukan masing masing. Ditengah kesibukannya bermain ponsel, Arsa sedang berpikir keras nemikirkan sesuatu. Ada yang ingin ia tanyakan
mengenai satu hal yang mengganjal di hatinya. Tapi haruskah ia mengatakan hal itu sekarang" Sepertinya Tsabit sedang lelah. Belum lagi perkelahian yang
mereka alami tadi akan menambah beban Tsabit.
"Kamu kenapa ngeliatin saya kayak gitu?" Tanya Tsabit salah tingkah menjadi objek penglihatan Arsa sejak tadi. Tatapan yang diberikan itu aneh. Ia seperti
ditatap ribuan juri kontes menyanyi.
"Gue mau nanya sama lo. Tapi lo mau gak jawab dengan jujur?"
Pertanyaan Arsa kali ini, cukup membuat Tsabit penasaran. Selain penasaran, Tsabit mencium ketidak enakan dari sana. "Insya Allah. Mau nanya apa?"
"Kata orang, insya Allah itu 99,99% artinya iya. Berarti lo jawab jujur ya"
"Iya. Mau nanya apa emang?"
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Arsa menanyakan, "lo siap kalau kita bakal bercerai?"
Ada ribuan martil menghentam keras jantung serta kepala Tsabit hingga membuat dirinya sulit berpikir jernih.
*** TBC... 16. Lana dan bencana I Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah
sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barang siapa yang dimudahkan oleh Allah untuk meraihnya, maka sungguh
dia telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya. Allah berfirman: "Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang
yang merugi (dunia dan akhirat)"
QS Al A'raaf : 178 Dalam ayat lain, Dia juga berfirman, "Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat);
dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya"
QS Al kahf: 17 *** "Baru tiga hari masuk kerja, udah kesiangan aja penganten baru" sahut suara dari balik ponsel yang dikepit antara telinga dan bahu.
"Ya maaf, dzar. Tolong banget ya" jawab si penelepon sedang sibuk mengaduk nasi goreng pada wajan di atas kompor.
"Iya iya. Mau datang jam berapa sampai sini?"
Tsabit mengambil sesendok nasi untuk dicicipi, lidahnya mengecap ngecap. "Jam 9 atau jam 10 deh, kira kira"
"Yauda, aku catet ya. Lebih dari jam yang ditentukan, itungannya jadi Alfa, ngerti?"
"Ngerti, bos" ada senyum merekah mengakhiri pembicaraan mereka. Tsabit melanjutkan kegiatannya di dapur membuat nasi goreng.
Pagi ini ia sengaja menyandera Sari dan Bu yati lagi di kamar lalu menyewa dapur untuknya. Sejak tiga hari ia masuk kerja, Tsabit merutinkan membuat sarapan
pagi untuk keluarga. Ya, walaupun menunya tidak jauh dari nasi goreng, roti panggang sosis, dan nasi goreng lagi. Terlebih Arsa, untuk urusan makanan,
dia bukan orang yang pemilih. Selama makanan tersebut bersahabat dengan lidahnya, tentu ia tidak menolak.
Berbeda dengan Kartika. Wanita itu tidak sembarangan dalam memilih makanan. Untuk pertama kali memang ia menikmati nasi goreng buatan Tsabit, tapi untuk
seterusnya. Ia lebih memilih menkonsumsi oatmeal atau sereal sebagai menu sarapan paginya. Bukan karena tidak enak. Tapi Kartika menghindari sarapan berbahan
nasi. Pernah suatu hari, Kartika menemani bahkan membantu Tsabit memasak di dapur. Kejadian itu berlangsung sepulang Tsabit dan Arsa dari lapangan usai berolahraga.
Awalnya Tsabit berinisiatif membuatkan Arsa sup kacang merah. Kemudian Kartika datang tiba tiba melibatkan dirinya di dapur bersama gadis itu. Ia ingat
sekali banyak wejangan serta nasehat yang dilontarkan Kartika pada saat itu.
"Nanti, kalau Arsa sudah bekerja di kantor papanya, sepulang dia bekerja, kamu sambut dia. Perbanyak senyum, lalu suguhkan air putih. Buat suami betah
di rumah. Saya pernah mendengar istilah 'Rumahku surgaku'. Apa bahasa islaminya?" Tanya Kartika selagi mengaduk sup.
"Baiti Jannati, ma" jawab Tsabit menyempatkan menoleh sambil tersenyum.
Kartika mengangguk. "Jadikan rumah sebagai surga. Dan seorang istri adalah bidadari penghuni surga tersebut. Arsa orang yang gampang kok. Dia makan apa
aja mau. Makanya dia jarang sakit. Tapi sekalinya sakit, udah susah deh ngebujuk dia minum obat. Kamu ngerasain sendiri kan kemarin itu?"
Bahkan masih terekam jelas di otaknya bagaimana perjuangan Tsabit membujuk Arsa minum obat. Sebagai seorang istri, Tsabit selalu berdoa agar Arsa tidak
boleh sakit. Kalau Arsa sampai sakit, bencana besar untuknya.
"Kalau Arsa nya suka ngeselin" Aku harus gimana, ma?" Celetuk Tsabit tanpa sadar. Ia buru buru menutup mulut sambil menatap takut wajah Kartika yang sontak
saja menoleh. "Maksud aku, kadang kadang Arsa suka ngeselin gitu, ma" tawa kecil menahan malu menyertai.
Alih alih tersinggung, Kartika malah tersenyum hangat. Ada yang berbeda dari wanita itu. Sosok Kartika tidak lagi menjadi sosok yang dingin dan menyeramkan
bagi Tsabit. Malah, ia sudah seperti ibu keduanya setelah Liana. Semua interaksi yang menyatukan keduanya pun, berasal dari inisiatif Kartika sendiri.
Dia yang memulai duluan mendekati Tsabit, menemaninya memasak hari ini, bahkan ia pernah meminta Tsabit mengajarkannya mengaji. Terakhir, Kartika terbangun
tengah malam mengajak Tsabit Qiyamul lail di kamarnya. Tsabit menganggap bahwa Hidayah tidak harus ditunggu. Tapi dijemput.
"Dari kecil, Arsa dimanja sekali sama mama dan papanya. Semua apa yang dia inginkan pasti diturutin. Sekali gak diturutin, dia ngamuk. Jadi jangan heran
kalo sikapnya kayak gitu. Mama aja kadang suka gak kuat sama keras kepalanya dia. Yang penting kamu banyakin sabar aja" Kartika melirik Tsabit sekilas,
tangannya masih sibuk mengaduk. "Tapi, dia punya sisi berbeda. Dibalik itu semua, Arsa adalah anak yang baik. Peduli sama orang. Kalau orang yang belum
mengenal betul, pasti beranggapan Arsa itu kasar lah, sombong lah. Padahal dia kalau sudah sayang sama orang, apapun dia lakuin demi melindungi orang tersebut.
Bedanya, kalau kebanyakan orang bilang, bahagia adalah dengan melihat orang disayangi bahagia meski bersama orang lain, bukan begitu?"
Tsabit mengangguk. "Lantas Arsa?"
"Dia tidak seperti itu. Dia punya cara sendiri membahagiakan orang yang disayangi. Tidak peduli apa kata orang. Selama menurut dia baik, ia lakukan demi
orang tersebut bahagia. Kalau ada orang lain yang bisa membuat orang yang disayanginya itu bahagia, maka Arsa tidak mau kalah. Dia berusaha lebih keras
membuat lebih bahagia lagi. Sekalipun, mengorbankan keselamatannya sendiri. Kamu paham maksud saya?"
Yang terbayang di pikiran Tsabit saat itu malah kehadiran Fania di kehidupan Arsa. Kalau memang benar Arsa seperti itu, betapa beruntungnya Fania karena
telah menguasai penuh hati Arsa. Betapa Arsa akan memperlakukan Fania dengan istimewa bak ratu. Sedang dirinya" Tsabit tersenyum nanar. Hanya gadis payah
yang merelakan kebahagiaan serta impiannya pupus demi pria yang bahkan menganggapnya seperti jeda iklan di Youtube. Tidak penting dan di skip begitu saja.
Ketika nasi goreng sedang ditata di atas piring, seseorang datang lalu duduk di salah satu kursi meja makan. Tsabit menoleh ke belakang.
"Selamat pagi, kura kura. Tumben gak langsung tidur lagi" fokusnya kembali pada potongan tomat yang diiris tipis, lalu di taruh pada tepi piring.
"Gak bisa tidur lagi" Arsa mengambil segelas air putih lalu meminumnya. "Lo bikin sarapan apa?" Tanyanya, mendongakan kepala memerhatikan kegiatan Tsabit.
"Nasi goreng" jawab Tsabit seraya berbalik membawa sepiring nasi goreng hangat sambil tersenyum.
"Nasi goreng lagi?" Arsa menatap bosan sepiring nasi goreng dihadapannya sambil menopang kepala di atas meja dalam posisi miring.
"Kemarin kan roti panggang sama sosis, Sa. Dipadu bubur kacang hijau"
"Kemarinnya lagi?"
"Nasi goreng" "Nah! Itu artinya?"
Tsabit malah mendengus sebal mengerucutkan bibirnya. "Artinya kamu mau makan apa enggak" Kalau gak mau, yauda biar saya yang makan dua piring ini sekaligus"
"Eee.. eh.. jangan!" Arsa menahan tangan Tsabit yang hendak menggeser piring ke arahnya. "Iya iya gue makan. Jatah gue masa mau diambil juga. Ntar kalo
gue kelaperan trus sakit lagi, gimana?" Ujarnya sambil menikmati nasi goreng dalam kunyahan.
"Telan dulu makanan kamu" Tsabit turut menikmati sarapan.
"Tumben lo belum jalan ngantor. Mau cabut lo ya?" Tebak Arsa asal menunjuk curiga Tsabit dengan sendok.
"Gak usah menuduh sesuatu yang menjadi kebiasaan kamu sendiri"
"Dih, gue gak pernah cabut. Gue anak baik baik kali. Palingan pergi keluar pas jam belajar trus titip absen sama Tody"
Apa bedanya kalau gitu" Ini Tsabit yang bodoh atau Arsa yang kelewat pintar, sih"
"Terus lo berangkat jam berapa" Sendiri lagi?"
"Jam setengah sembilan. Nanti bareng kak Abrar" jawabnya singkat. Ia tidak tahu ekspresi Arsa setelah itu.
"Kok bisa?" "Ya bisa lah. Kebetulan dia izin kerja mau urus surat sekolah Diva. Yauda, sekalian bareng satu arah" jelas Tsabit.
"Biar gue aja yang anterin lo kerja. Jangan mas Abrar. Dia sibuk" Arsa menghabiskan satu suapan nasi goreng.
"Ka Abrar sendiri yang nawarin diri. Berarti dia gak keberatan" Tsabit menatap protes, Arsa berjalan menuju tempat cuci piring membawa piring kotor. Kemudian
ia pun berbalik menatap Tsabit tajam.
"Kalo gua yang keberatan, lo tetep mau jalan sama mas Abrar" Iya?" Otomatis Tsabit diam mengatupkan bibir. Pasti nasi goreng buatannya terlalu banyak michin,
sampai Arsa mendadak dingin seperti itu.
"Nanti gue yang bilang ke mas Abrar biar jalan duluan aja. Lo berangkat sama gue" ucap Arsa tengah mencuci piring bekasnya.
"Kamu bukannya kuliah hari ini?"
"Tinggal cabut, titip absen" sahut Arsa enteng meminum lagi segelas air putih sambil berdiri.
"Daripada kamu harus cabut dan tidak kuliah lagi, lebih baik saya berangkat sendiri aja"
"Lo nolak dianter suami lo sendiri?" Tsabit menoleh kebelakang dimana Arsa telah selesai mencuci piring, menatapnya bersendekap.
"Saya gak mau kuliah kamu terbengkalai. Istri yang baik haruslah mendorong suaminya agar menjadi laki laki yang sukses"
Arsa berjalan mendekat. Ia menunduk hendak mengatakan sesuatu. Tsabit merasakan hembusan hangat dari arah samping. Tepatnya di area telinga. "Dan suami
yang baik adalah sebaik baiknya pelindung istri dimana pun dia berada"
Tsabit terpengarah sepesekian detik. Cukup dengan menoleh beberapa derajat, mata sendu dan wajah innocent Arsa menyambutnya. Sukses menghentak samarkan
dirinya. Kini mata mereka bertemu dalam satu garis lurus.
"Ada Allah yang akan melindungi saya. Kamu gak perlu khawatir"
"Tapi sebelumnya, Allah meng-amanahkan gue untuk melindungi lo lebih dulu. Bisa gak, sekali ini aja gue nunjukin ke lo kalau gue bisa jadi suami yang hebat?"
Tsabit meyakinkan dirinya bahwa Arsa pasti sedang mengigau. Atau ada bagian dari saraf otaknya yang bergeser. Atau mungkin karena makan nasi goreng buatannya
sehingga mendadak membicarakan hal yang seharusnya asing didirinya sendiri.
"Gue tau, selama ini lo nganggep gue gak lebih dari seorang bocah yang hobinya cabut, maen ps, hangout, modusin cewek cewek, pacaran dan lain lain. Gue
emang gak kayak mas Abrar yang dewasa, alim, rajin sholat. Tapi gue bisa buktin kalo gue bisa jadi suami yang baik buat lo, Tsabit"
"Kamu sehat?" Tsabit mengernyit bingung, mendaratkan punggung tangannya ke kening Arsa. Arsa diam akan perlakuan itu.
"Iya gue sehat. Buktinya gue masih bisa berpikir gimana caranya menjadi suami baik. Meskipun sholat gue masih suka bolong, gue bakal berusaha kok. Karena
gue gak mau masuk neraka"
"Itu memang sudah jelas. Siapapun tidak akan mau masuk neraka. Termasuk saya"
"Dan lo tau satu hal?" Tatapan Arsa berubah serius dan penuh makna tersembunyi. Ia masih membiarkan Tsabit menempelkan punggung tangannya ke kening. "Kalau
pun gue masuk surga, gue gak mau sendirian disana. Allah bisa kasih gue istri buat nemenin di dunia. Tapi kayaknya Allah masih mikir dua kali buat ngasi
gue temen di surga. Salah gak, kalo gue pengen tinggal di surga sama lo?"
Jantung Tsabit mendadak ingin mengundurkan diri dari pekerjaan. Mungkin karena kelelahan memompa lebih cepat dari biasanya. Apa yang terlontar dari mulut
Arsa seperti sihir yang diwariskan queen Elsa dalam cerita Frozen padanya. Mampu membekukan apa saja yang ada. Tsabit yang tadinya sudah menyiapkan kata
kata untuk debatnya pagi ini, harus menelan mentah mentah ucapan Arsa bersama gelanyar aneh menyertainya. Ia pun menurunkan tangannya dari kening Arsa.
"Engga. Kamu gak salah" jawab Tsabit seadanya. Terdengar kaku karena kondisinya sedang tidak bersahabat karena ucapan Arsa barusan.
"Pernikahan ini pasti bukan pernikahan yang lo impiin dari dulu, kan" Dari awal gue udah ngancurin semua mimpi mimpi lo. Tapi gue gak mau lo semakin tersiksa
ngejalaninnya. Gue pengen bikin lo nyaman, bit. Nyaman sama gue. Bukan sama mas Abrar"
"Gue sadar kok. Gue bukan cowok sholeh yang lo banggain. Gue bukan hafiz qur'an idaman lo. Gue cuma anak kampus yang suka lupa, kalau gue punya seorang
istri yang gak cuma cantik di luar. Tapi juga di dalam"
Tsabit menggeleng setelah berhasil menormalkan diri dari jerat kata kata Arsa. "Kayaknya ada yang salah di diri kamu, Arsa. Udah ya aktingnya. Kamu emang
gak ngeluarin kata kata sok manis hari ini yang bikin saya mau muntah. Tapi kamu berhasil bikin saya mau terbang. Sayangnya, saya gak punya sayap untuk
itu" Tsabit beranjak dari kursi, mengambil tas hitamnya di atas meja makan. Arsa hanya menatap pergerakan Tsabit berjalan meninggalkannya.
"Saya tunggu di depan kalau memang mau mengantar saya"
*** "Kita naik ini?" Tsabit menerima helm hitam dari Arsa.
"Iya. Kenapa?" Jawab Arsa sedang memakai jaket disusul helm berlogo 93.
"Terus ka Abrar naik apa" Ini motor dia kan?"
"Enak aja. Ini motor gue. Mas Abrar gak punya motor. Punyanya mobil. Ayo naik!" Arsa mengarahkan kepala ke jok belakang. Tsabit menurut.
"Jadi, selama ini kalian tukeran kendaraan?"
"Mas Abrar yang pengen. Ngindarin macet katanya. Gue sih mau mau aja. Tapi untuk hari ini, gue suruh dia pake mobil. Karena motor ini mau gue pake buat
anter princess Lana" Arsa menoleh ke belakang hanya untuk memamerkan senyum mengembangnya disertai kedua alis yang menaik.
"Princess Lana" Siapa tuh?" Tsabit mengernyit polos.
"Ya elo lah" jawab Arsa senewen menutup kaca helm Tsabit yang terbuka.
"Nama saya Tsabit. Bukan Lana. Itu mah nama kamu"
"Dih, nama lo juga ada Lana nya, kan" Gue, Ke-la-na. Elo, I-la-na. Anjir... bisa samaan gitu ya?" Ungkap Arsa antusias melupakan tujuannya. Dan mereka
masih saja mengobrol di atas motor.
"Kamu tau maksain, gak" Itu tuh maksain banget tau" Tsabit melipat tangan, memalingkan wajah. "Jadi, kita beneran naik motor nih?"
"Iya lah. Mau gue gendong, emangnya?" Arsa kemasukan setan apa, sih hari ini" Kok nyenengin banget. Eh! Tsabit buru buru membuang kebaperan itu.
"Yauda. Trus kapan mau berangkat" Saya udah telat" Arsa sempat tertawa kecil namun samar setiap melihat wajah sewot Tsabit. Apalagi dalam keadaan memakai
helm seperti itu. Kepala serta wajahnya yang kecil, semakin terlihat mini. Belum lagi matanya yang bulat menambah kesan menggemaskan. Baginya, Tsabit terlihat
seperti anak alien berhijab.
Tepat di depan gedung Prams, Arsa memberhentikan motornya. Ada sentuhan rem mendadak yang ia ciptakan agar Tsabit semakin panik. Karena sejak ia melajukan
kecepatan motornya, Arsa mendengar Tsabit mengucapkan istighfar berkali kali lalu mengucap takbir. Meski samar, Arsa bisa mendengar dengan jelas. Tentu
saja, telinga Arsa sangat berdekatan dengan bibir Tsabit. Kalau bukan karena ancaman Arsa akan menuruninya di jalan, Tsabit pasti menolak posisi intim
seperti ini. Motor Arsa ini motor yang biasa dipakai orang pacaran. Apalagi didukung jok nya yang terjal menurun ke depan. Mau tidak mau jarak si penumpang
dengan pengendara sangat dekat. Bahkan sebelum berangkat, sempat sempatnya Arsa menggiring tangan Tsabit agar memeluknya dari belakang. Dengan dalih, "lo
belum pernah ngerasain sensasi diboncengin adeknya Marc Marquez, kan" Hari ini lo bakal tercengang ngeliat gue"
"Gak usah macem macem,Arsa. Saya masih pengen hidup"
"Makanya pegangan yang kenceng. Biar lo gak terbang kebawa angin"
Dan sensasi itu persis seperti Tsabit menaiki roller coaster di Dufan.
"Makasi ya kamu sukses bikin jantung saya hampir mau copot. Untung Allah masih sayang sama saya" ucap Tsabit kewalahan setelah turun dari motor.
"Biasa aja kali. Ampe kucel gitu dandanan lo. Tapi suka kan?" sekali lagi Arsa mengeluarkan senyum mautnya disertai tawa.
"Suka dari hongkong" ketus Tsabit tengah merapikan tepian pashmina yang berantakan di depan kaca spion motor. "Yang sebelah kanan tuh, masih keliatan anak
rambutnya" Arsa mengingatkan diam diam memperhatikan. Perlu diketahui. Sampai saat ini, Arsa belum melihat wujud rambut Tsabit seperti apa. Apakah luruskah"
Atau bergelombang, atau ikal. Karena sejak mereka menikah, Tsabit masih menjaga auratnya. Tsabit sadar diri, Arsa belum menginginkan itu. Jadi, untuk apa"
"Masa harus gue yang rapiin sih" tanpa disuruh, Arsa turut andil merapikan tepian pashmina Tsabit. Setelah ia menghadapkan wajah Tsabit tepat dihadapannya
lalu memerhatikan dengan seksama.
"Saya bisa sendiri. Malah tambah berantakan kalau sama kamu" Tsabit menarik wajahnya dari pegangan Arsa dan melanjutkan menata diri di kaca spion.
"Selesai" ungkapnya puas. "Terimakasih ya tumpangannya. Saya masuk kantor dulu. Assalamualaikum"
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alih alih menjawab, Arsa tetap di atas motor memalingkan muka tengilnya. "Gue gak bakal jawab"
"Terserah. Kamu yang dosa ini" Tsabit melengos saja pergi tidak peduli.
"Jadi gitu, kalau pamitan sama suami. Baru tahu gue" sontak saja Tsabit harus berhenti. Ia pun berbalik.
"Apa lagi sih, Arsa"! Hari ini kamu banyak banget mintanya. Bawel banget tau gak" geram Tsabit terpaksa menghampiri Arsa.
"Kan udah gue bilang, gue mau jadi suami yang baik buat lo"
"Ya teruss?"?" Tsabit mulai geregetan sendiri dibuatnya.
"Kalo pamit ya harus cium tangan lah. Nyokap gue aja selalu cium tangan bokap gue kalo mau pergi ke luar kota. Masa kita engga"
Tsabit mengambil nafas panjang, menghembuskannya ke atas dalam mulut mengembung. Ia meraih tangan Arsa lalu menciumnya dengan gerak cepat. Niatnya ia tidak
mau mencium tangan itu berlama lama, tapi Arsa malah sengaja menahan posisi itu.
"Udah kali" ucap Tsabit saat Arsa menahan tangannya. Tsabit tidak tahu apa yang akan Arsa lakukan terhadapnya. Tapi tak lama setelah itu, ia merasakan
sesuatu mendarat lembut di keningnya. Sesuatu itu tidak hanya lembut. Tapi juga hangat. Tsabit sulit untuk mendongak, tapi dengan melirik ke atas ia bisa
melihat Arsa tengah mencium keningnya dengan lembut. Matanya terpejam.
Tsabit tidak menyangka ia bisa mengalami saat saat ini juga. Ia pikir ia tidak bisa mendapatkan perlakuan layaknya seorang suami terhadap istri. Ia pikir
Arsa amatir melakukan hal yang biasa dilakukan seorang suami meski hanya sebuah kecupan singkat di kening. Baginya, itu adalah perlakuan yang indah. Dulu
setelah Aufa menikah, ia pernah bercerita. Saat saat yang paling mendebarkan ialah ketika kita mendapatkan perlakuan hangat dari suami. Berawal dari kecupan
di kening itu. Kini Tsabit bisa merasakan betapa ini adalah moment mendebarkan sepanjang hidupnya. Arsa mencium keningnya! Tegas Tsabit dalam hatinya.
"Nah kalau kayak gini kan diliat orang juga enak. Ah, coba ada wartawan. Mereka harus ngeliat tuh! Kalau diliput kan lumayan." Keluh Arsa setelah itu menyayangkan.
Yang tadinya Tsabit tersenyum merona, kini berubah asam.
"Tau gitu, saya tolak aja tadi" gumam Tsabit tak terdengar. "Udah kan" Yauda ya saya pamit. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam princess Lana"
Tsabit memutar bola mata membelakangi Arsa.
*** Siangnya Kartika ditelpon Dirga agar menuju perusahaan mereka disalah satu cabang di bilangan kota Wisata cibubur. Katanya banyak berkas perjanjian penting
yang belum sempat ia tanda tangani sehingga mengutus sang istri sebagai wakilnya.
Setibanya diruangan Dirga, Kartika menghubungi sekretaris kantor.
"Nana, ke ruangan bapak sekarang. Saya tunggu" perintahnya menduduki kursi besar empuk disana.
Tidak butuh waktu lama, pintu terketuk, Kartika menyilakan masuk dan sekretaris cantik bernama Nana masuk.
"Pak Dirga sudah pesan kan ke kamu?" Tanya Kartika setelah menyilakan gadis turunan Tionghoa itu duduk.
"Sudah, bu. Ini berkas berkas penting yang dipesan Pak Dirga. Silakan ibu Kartika baca dan pelajari terlebih dahulu, lalu tanda tangani"
Selagi membaca, Nana menunggu.
"Omset setiap bulannya hanya segini?" Tanya Kartika disela membacanya.
"Betul, bu" "Drastis sekali penurunannya. Bagaimana bisa?" Kartika menatap Nana, tangan kanannya memainkan pulpen di udara.
"Itu dikarenakan, beberapa pelanggan atau customer kita, membuat kerja sama ganda, bu. Jadi tidak hanya kepada perusahaan kita saja. Dan mereka menanamkam
saham mereka pada perusahaan yang baru dibangun beberapa bulan belakangan ini"
"Perusahaan apa itu?" Rasa ingin tahu Kartika begitu besar sehingga ia urungkan sejenak membaca berkas di meja.
"Perusahaan yang bergerak di bidang yang sama seperti kita bu. Dan yang saya dengar, pendirinya adalah sahabat ibu Kartika sendiri"
Kartika mengernyit anggun. "Sahabat saya?"
"Iya" Nana mengeluarkan ponsel dari saku hendak mencari info yang mereka bicarakan. "Namanya Tamara Wijayanto. Ibu kenal?"
"Tamara?" Kartika terperanjat di kursi besarnya. Matanya membelalak bulat sempurna. Nana otomatis mengangguk takut.
"Kenapa kamu bisa mengatakan Tamara itu sahabat saya?"
"Beberapa artikel menyebutkan, bahwa Tamara sendiri mengakui perusahaannya saat ini berkembang berkat turut andil ibu Kartika. Begitu katanya"
Kartika mengerjap cemooh. Seringai tipisnya samar menatap ke jendela. "Tidak semudah itu,Tamara" gumam Kartika mengambil rokok dari tas. Tapi ia tidak
jadi menghisap benda bertembakau itu. Kemudian memilih membuangnya ke keranjang sampah. Ia teringat nasehat Tsabit malam kemarin.
"Kenapa dibuang, bu?"
"Orang merokok pasti mati. Tidak merokok juga pasti mati. Lebih baik merokok sampai mati. Kamu pernah mendengar kalimat itu, Nana?"
Nana hanya bisa memberi anggukan.
"Daripada saya merokok sampai mati. Lebih baik saya melakukan sesuatu yang levelnya lebih tinggi daripada merokok. Bertaubat, misalnya" Saya yakin kematian
saya tidak akan sia sia kalau saya memilih itu" ada senyum menenangkan yang tercipta. Nana hanya bisa mengangguk selagi hatinya menaruh takjub serta kekaguman
terhadap boss besarnya. Lama tak datang mengunjungi perusahaan, Kartika mengalami banyak perubahan positif. Ia terlihat ramah terhadap para pegawainya.
"Kembali ke masalah perusahaan. Mau tidak mau, saya harus menemui Tamara untuk membicarakan ini. Dia itu rival saya, Nana" ya, sejak keluarga Tamara berada
di puncak kesuksesan lalu Arsa menjalin kasih dengan putri mereka, Fania. Tidak ada lagi kata persahabatan bagi keduanya. Keluarga Tamara Wijayanto lebih
pantas disebut benalu ketimbang sahabat.
"Baik. Kalau begitu saya akan mencari informasi yang bisa dihubungi untuk berbicara langsung dengan bu Tamara"
"Tidak perlu. Saya akan menghubungi Tamara langsung. Kamu atur saja schedule untuk pertemuan kita lalu kabari saya untuk mem-follow up"
"Baik, bu. Kalau begitu saya permisi"
*** "Welcome, brother!! Akhirnya penganten baru mampir juga kemari" sambut Tody merangkul sahabatnya, Arsa lalu saling memberi tinju ringan di dada mereka
sebagai salam persahabatan.
"Yoi. Kangen gua pengen ngebully lo lagi, Tod!"
"Kampret lu, Sa! Udah gue tinggi tinggiin malah ngejatohin" sungut Tody menjitak kepala Arsa. Mereka duduk di atas karpet merah kos-an Tody.
"Baper dah baper! Cewek lu!" Timpal Arsa. "Minum dong minum, haus nih gua. Ada tamu kasih apaan kek kacang kek atau kue, susu gitu"
"Najis, udah bangkotan minum susu! Malu ada jakun!" Dari arah dapur Arsa menerima timpukan bantal sofa dari Tody. Ia menepisnya.
"Bodo! Ada gak susu"!" Teriak Arsa.
"Gak ada! Aer keran, mao?"
"Buat elu itu mah. Yaudah apaan kek yang di kulkas keluarin semua"
"Iye iye" Selagi Arsa menunggu hidangan, dua orang pria datang dari kamar Tody. Mereka tersenyum ramah kepada Arsa. Lalu menyalami.
"Lo Arsa ya" Kenalin gue Marco. Dan ini Jimmy" dua pria itu nampak asing di mata Arsa. Gaya berpakaiannya tidak seperti seorang mahasiswa. Dan Arsa tidak
pernah melihat keberadaan mereka di kampus.
"Itu Marco sama Jimmy. Kenalan gue di Gym. Mereka kenal sama lo, sa" sahut Tody mengenalkan mereka. Di tempat Gym langganannya, Arsa sudah terkenal dikalangan
personal trainer. Karena kepopulerannya juga yang membawa Marco dan Jimmy kesini.
"Oh, member Gym langganan. Baru berapa bulan" Duduk sini, bro. Jauh jauhan gitu kayak beda agama ae" Arsa memberi ruang kosong disebelahnya.
"Belum ada sebulan. Kita dari lampung. Untuk beberapa hari ini nginep di kosan Tody. Maklum lah anak rantau"
"Jauh banget dari Lampung. Lo berdua kuliah" Apa gawe?"
"Gue kerja di perusahaan yang bergerak di bidang Sub-kontraktor" jawab Jimmy si pemilik brewok lebat. Tubuhnya kurus hanya memakai kaos tanpa lengan. "Kalo
Marco freelance. Lagi gak ada kerjaan sekarang"
"Gue denger denger lo, baru merried?" Timpal Marco perlahan mulai akrab.
"Yoi" jawab Arsa bangga. "Lo berdua nyusul dah. Biar gue ada temennya. Kalo Tody mah biarin aja ngejomblo abadi" cibir Arsa melirik aktifitas Tody di dapur.
"Kambing!" Umpat Tody
"Selamet ye. Gue turut bahagia ada yang mau melestarikan nikah muda" ucap Jimmy bersahabat.
"Bisa aja, lo sob! Thank you dah"
Lagi asyik asyiknya berbicang. Tiba tiba suara ketukan pintu memecah suasana. Menuruti perintah Tody, Arsa pun membukakan pintu. Bersamaan dengan itu Arsa
terkejut bukan kepalang. "Jangan bergerak! Diam ditempat!"
Empat orang polisi datang menyergap seisi kos-an Tody. Ada dua warga sekitar yang turut hadir. Kemungkinan itu Pak RT dan salah satu perwakilan warga setempat.
Sontak saja Arsa, Tody, Marco dan Jimmy diam ditempat sambil mengangkat tangan.
"Ada apaan nih, pak"!" Arsa yang tidak tahu apa apa protes lebih dulu. Kedua tangannya dilipat ke belakang oleh seorang polisi lain yang menahan tangan
tersebut. "Tempat ini sudah kami incar selama dua minggu. Diduga, disini tempat berkumpulnya para pengguna Narkoba" jelas salah satu polisi. Arsa jelas saja kaget
dan tidak percaya. Selama ia menginap disini bersama Tody, mereka tidak pernah mengkonsumsi barang haram itu.
"Tapi saya gak make, pak!" Timpal Arsa membela diri.
"Geledah!" Perintah tegas sang kepala kepada dua anak buahnya. Mereka menggeledah Tody, Marco, Jimmy termasuk Arsa. Ditengah situasi ini, Arsa hanya bisa
pasrahkan diri dan berdoa. Toh, ia tidak merasa salah. Ia tidak pernah sedikitpun mencicipi barang terlarang itu. Dia memang anak bandel. Tapi dia tidak
bodoh. Nihil. Polisi tidak menemukan benda mencurigakan ditubuh masing masing. Kemudian para polisi itu menggeledah seluruh ruangan dan tempat tempat tersembunyi.
Barangkali ada barang bukti yang tersimpan di tempat yang jarang terjamah. Selagi penggeledahan, Arsa menyempatkan diri bertanya pada Tody.
"Sejak kapan lo 'make'" Diem diem brengsek juga lo, tod!" Tuduh Arsa tak peduli jerat polisi yang menahan tangannya.
"Eh, lu jangan sembarangan nuduh. Demi Tuhan gua gak 'make'. Lu kenal gua berapa lama sih?"
"Kalian diam!" Bentak polisi lain.
Arsa diam dan menunduk. "Komandan kami menemukan ini. Ada di bawah kasur" suara polisi itu berasal dari kamar. Ia keluar membawa kotak kaleng yang sudah berkarat. Setelah dibuka,
isinya adalah alat hisap atau biasa disebut 'bong', alat suntik dan dua bungkus kecil serbuk putih yang di duga adalah sabu sabu. Saat itu juga Arsa hampir
tak sadarkan diri. Lututnya melemas. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. itu jelas bukan kepunyaannya. Dan sekarang malah ia juga harus terlibat.
"Astaghfirullah"
"Pak! Demi Allah saya gak make itu. Itu bukan punya saya, pak"
"Jangan bawa bawa Tuhan. Kita bicarakan di kantor saja" polisi polisi itu menggiring Arsa dan yang lainnya keluar.
"Eh, Tod! Ngomong itu bukan punya lu kan"! Bilang ke polisi!" Arsa ngotot menahan diri dari jerat polisi yang akan membawanya menuju kantor.
Alih alih bicara, Tody hanya pasrah menunduk membiarkan dirinya digiring polisi. Arsa yakin Tody tidak mungkin melakukan perbuatan terlarang itu. Dia kenal
Tody sangat lama. Justru Arsa menaruh curiga kepada Marco dan Jimmy. Hanya mereka yang diam tak berkutik seolah mengakui bahwa merekalah pemilik barang
haram itu. "Generasi muda seperti kamu sangat disayangkan mengkonsumsi obat obatan terlarang"
"Bapak jangan nuduh! Saya gak make barang haram itu, pak"
"Jangan ngelawan kamu!"
Arsa dan polisi terlibat adu mulut selama perjalanan menuju mobil. Ketika jerat polisi itu semakin kencang, Arsa tersadar sesuatu. Sesuatu hebat yang mampu
mengeluarkan titik air matanya. Tanpa sadar Arsa menangis. Bukan menangisi peristiwa ini, melainkan penyesalan lain bahwa musibah ini pasti lah karena
Allah sedang menghukumnya. Allah sudah membencinya. Ini adzab untuknya. Arsa terpuruk akan kalimat kalimat yang terngiang di kepala.
"Astaghfirullahaladzim.. ya Allah" hati Arsa bergetar kala untaian kalimat itu terlontar dari mulutnya.
"Tsabit.. maafin gue"
*** TBC... 17. Lana dan bencana II " Terdiam.. Hanya bisa diam.. Dingin menyerang disekujur tubuhku..
Layangkan mata menembus cahaya putih kilaunya.
Meneduhkan lamunan.. Ada band- Surga cinta *** Pria itu duduk memeluk lutut di atas dinginnya lantai sebuah ruangan yang sepi. Matanya kosong tak berpenghuni. Pikirannya sedang berlari entah kemana.
Bibir bawahnya tergigit sedari tadi. Tak lama ia menegakan tubuhnya lalu bangun dari posisi sebelumnya. Ia hampiri seorang petugas dari balik jeruji besi
yang mengurungnya untuk sementara sampai kebenaran menyelamatkannya dari fitnah yang tak terampuni ini.
"Pak. Boleh izin ke musholla" Saya mau sholat dzuhur"
Pria yang duduk berkutat pekerjaannya meng-iyakan lalu mengutus anak buahnya untuk mengantar Arsa ke musholla.
Usai berwudhu, Arsa mengamati isi musholla sambil melepas gulungan celananya. Hanya ada tiga orang disana. Mereka sedang duduk bersila menghadap kiblat.
Arsa mengambil posisi disebelah seorang bapak yang juga sedang duduk bersila disana. Ketika hendak takbiratulihram, bapak itu berkata, "Nak tunggu"
Perhatian Arsa tertuju pada bapak itu. "Iya, pak. Ada apa?"
"Kamu jadi imam ya"
"Bukankah bapak dan yang lainnya sudah sholat?"
Bapak itu menggeleng sambil tersenyum. "Daritadi kami menunggu seseorang yang mau menjadi imam sholat berjamaah. Kalau seandainya anak tidak hadir, mau
tidak mau saya yang memimpin sholat dalam keadaan seperti ini" bapak itu membiarkan Arsa menatap kondisinya. Memang yang Arsa lihat bapak itu selalu duduk
bersimpuh. Setelah ditegaskan lebih jelas melihat sisi dari bapak itu. Hati Arsa kembali bergetar. Kaki kanan bapak itu hanya sampai sebatas lutut. Sisanya
habis. Ditambah ia melihat sepasang alat bantu berjalan yang tergeletak di pojok musholla.
"Memangnya dua orang disana tidak bisa memimpin sholat, pak?" mata Arsa mengarah pada dua pria lain yang duduk di pinggir. Bapak itu menoleh ke mereka
lalu kembali. "Yang satu, waktu bapak minta menjadi imam dia menolak. Dan yang satunya karena ia tidak bisa bicara alias tunawicara"
Arsa tercengang. Satu yang ia pikirkan saat ini. Betapa Allah menunjukan bahwa kondisi dirinya saat ini belum seberapa ketimbang sang bapak itu. Bahkan
ketidak sempurnaan dia tidak menjadi suatu alasan untuk tidak melaksanakan sholat. Arsa tertunduk merasa malu. Ingin rasanya menangis dihadapanNya saat
ini. Namun ia merasakan sebuah tepukan di lengan.
"Ayo, nak. Kita mulai sholatnya"
Dan untuk pertama kalinya Arsa menjadi imam sholat. Sempat ada keraguan didalam dirinya, tapi keraguan itu seakan pergi berkat keberadaan seorang bapak
yang menyadarkannya bahwa hidup tidak pernah menyapa dua kali. Jika ingin menjadi sebaik baiknya manusia, maka jadilah manusia yang senantiasa mengingat
kematian. Usai melaksanakan kewajibannya sebagai imam, Arsa berbalik mengambil posisi duduk didekat bapak itu. Ketika hendak berkata, bapak itu lebih dulu mengatakan
sesuatu. "Terimakasih banyak ya, nak." Ucapnya sambil menyentuh lutut Arsa. Arsa tersenyum.
"Sama sama, pak. Tapi yang seharusnya berterimakasih itu saya. Sebab kalau bapak tidak meminta saya menjadi imam, saya tidak akan berani mencoba selamanya"
"Loh, kenapa bisa gitu?"
"Sejak kecil keluarga saya menomor sekiankan agama. Bagi mereka agama hanyalah pemanis hidup manusia. Bukan keutamaan. Sekolah saya mengajarkan sholat
dan ibadah lainnya. Tapi tidak pernah saya amalkan" bapak itu menatap Arsa prihatin.
"Sewaktu bapak meminta saya menjadi imam, yang saya rasakan pertama kali adalah malu. Saya malu terhadap bapak termasuk kepada Allah. Bahkan ketika kaki
saya berdiri di sana sebagai imam, saya merasa Allah sedang mengintimidasi saya"
"Apa yang menyebabkan kamu berada disini?"
"Saya tertuduh menkonsumsi narkoba. Saya tidak tahu tempat tinggal teman yang saya kunjungi sudah menjadi incaran polisi. Tapi demi Allah saya tidak melakukan
perbuatan itu,pak" Bapak itu malah tersenyum. "Bersyukurlah kamu. Allah mulai tertarik kepada kamu. Dia ingin menguji kamu dengan ujian ini. Kalau kamu sanggup, maka Dia
akan mengajak kamu bermain dilevel ujian berikutnya"
"Maaf pak saya kurang paham. Dan siapa nama bapak kalau boleh tahu?"
"Orang sini biasa manggil saya Engkong Rahmat" Arsa mengangguk. Kong Rahmat melanjutkan, "Apa kamu merasakan perbedaan sebelum dan sesudah kamu mengenal
Allah?" "Sangat pak. Dulu sewaktu hidup saya jauh dari agama, hidup saya tenang. Jauh dari masalah. Dan setelah saya mengenal Allah, cobaan ini datang. Saya difitnah"
"Itu artinya kamu berhasil menarik perhatian Allah. Berhati hatilah kalau kamu merasa hidup kamu baik baik saja tanpa adanya ujian yang datang. Karena
itu bisa jadi Allah sudah tidak peduli kepada kamu. Dan ketika Allah menurunkan ujian hidup, itu karena Allah masih menaruh kasih sayangnya kepada kamu,
nak. Maka bersyukurlah"
Arsa diam mencerna dalam hati. Ia tertunduk merenungi dosa dosanya yang selama ini menumpuk bahkan menggunung.
"Kalau boleh tahu, kamu sudah berkeluarga?"
Arsa mendongak. Mendengar pertanyaan itu, Arsa teringat seorang gadis yang mengambil peran penting dalam sejarah pengenalan dirinya kepada Allah.
"Sudah, pak. Saya mempunyai seorang istri. Dia gadis yang mengenalkan saya lebih dekat kepada Allah. Dia yang menyadarkan saya betapa banyak nikmat Allah
yang saya dustakan selama ini"
"Laki-laki ibarat layang-layang dan perempuan ibarat benang. Tanpa perempuan, laki-laki tak akan menjadi apa-apa. Di balik kesuksesan laki-laki, ada perempuan
dibaliknya. Nasehat untuk istrimu, jadilah benang yang berkualitas terbaik. Buatlah layang-layang kelak terbang setinggi-tingginya. Karena setinggi apapun
ia terbang, ia selalu terikat dan bergantung padamu. Jagalah dia agar tidak putus dan hilang arah. Ingatlah bahwa layang-layang selalu ingin terbang tinggi"
ujar Kong Rahmat menepuk pundak Arsa.
"Dan untuk kamu, nak. Setelah kamu temui dia. Minta maaf kepadanya. Maka dia senantiasa mendoakan kamu. Karena kesuksesan laki laki berada dalam doa istri
yang sholihah" "Setelah itu pasrahkan segalanya. Kebenaran tidak pernah hadir diawal."
Selagi berbincang seseorang berdiri di ambang pintu musholla. "Saudara Kelana, jika sudah selesai, segera kembali ke tempat"
Mereka pun mengakhiri obrolan singkat itu. Sebelum pergi, Arsa menyempatkan diri mengenalkan namanya kepada Kong Rahmat.
*** Ketiga orang disana nampak diam dalam versi masing masing. Kartika menampakan wajah gelisah sepanjang ia menunggu kehadiran Arsa. Tiap beberapa menit ia
melirik jam tangan menunjukan kekhawatiran tak berujung. Sementara Abrar diam dalam pergerakan tangan di ataa layar ponsel. Tangannya sibuk mengetik rangkaian
pesan kepada seseorang penting yang barangkali bisa menyelamatkan adiknya. Setelah sebelumnya ia menghubungi Dirga lebih dulu untuk mengabari berita buruk
yang menimpa Arsa. Sayangnya Dirga tidak bisa datang menemui Arsa. Tugasnya di Kalimantan tidak bisa ditinggal. Tapi Dirga sudah menyiapkan pengacara jika
suatu saat dibutuhkan. Dan Tsabit. Ia duduk tenang bersandar pada kursi besi stanlees. Tangan kanannya sibuk mengabsen ruas jari dalam lantunan tasbih yang tersamar. Bibirnya
bergerak kecil menciptakan suara menenangkan hati. Setidaknya itu cukup mengalihkan hatinya dari prasangka buruk tentang ujian yang menimpanya saat ini.
Tapi yang sulit lepas dari pikirannya adalah, bagaimana keadaan suaminya sekarang.
"Muka kamu pucet, bit. Kamu belum makan siang ya?"
Tsabit menggeleng. "Sebaiknya kita cari makan dulu. Sambil menunggu Arsa. Aku takut kamu pingsan" ujar Abrar peduli. Menatap Tsabit tak kalah khawatirnya. Tsabit menggeleng
lagi lalu menoleh. "Terimakasih ka. Tapi aku masih kenyang. Aku mau nunggu Arsa keluar"
Selang kemudian, kehadiran staff kepolisian datang bersama orang yang mereka tunggu. Kartika langsung menghamburkan dirinya memeluk Arsa. Dia menangis
dalam pelukan. Tangis yang pertama kali Tsabit dengar. Dibalik keangkuhannya yang berlebih, tersimpan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi sama kamu, sa" Mama gak percaya semua ini harus menimpa kamu" tangis Kartika memeluk erat putranya.
"Arsa harap mama percaya sama Arsa. Arsa gak berbuat macam macam. Arsa bersumpah, bukan Arsa pemilik barang haram itu" ucap Arsa meyakinkan. Dalam pelukan
sang mama, ia melihat Tsabit berdiri mematung menatapnya. Gadis itu diam penuh makna. Arsa cukup lama menatapnya.
"Siapa yang tega berbuat ini sama kamu, nak?"
Arsa menepuk hangat tubuh sang mama memberinya ketenangan. "Tidak ada, ma. Arsa yakin kebenaran akan selalu menang. Kalau polisi sudah melakukan pemeriksaan,
maka akan terbukti kalau Arsa tidak terlibat dalam kasus ini. Begitu juga Tody. Dia juga korban"
"Papa udah siapin pengacara kalau suatu saat proses pemeriksaan tidak bisa menunjukan hasil yang akurat" Abrar ambil suara usai Arsa melepas pelukan. Ia
merangkul adik satu satunya itu. "Mas yakin kamu tidak terlibat. Percaya."
Tsabit masih berdiri canggung diantara mereka. Kondisi ini membuatnya lupa harus berbuat apa untuk suaminya. Ia mendadak sulit berpikir. Terlebih ketika
Arsa sudah berjalan mendekat dihadapannya. Dekat sekali. Tsabit memberanikan diri mendongak, mempertemukan sepasang matanya.
"Allah bersama kita, Arsa. Jangan putus asa untuk berdoa. Hanya Dia sebaik baiknya penolong" serangkai kalimat singkat yang Tsabit berikan terdengar lirih
nan lembut. Seiring gejolak yang hadir diantara mereka. Mata coklat itu menatapnya begitu dalam.
Arsa tidak langsung menjawab, melainkan langsung memeluk gadis itu sehingga membawanya dalam dekapan hangat. Tsabit terkesiap akan perlakuan tersebut.
Gerakan itu terjadi begitu cepat hingga Tsabit tidak bisa berbuat apa apa selain pasrah membiarkan Arsa mengunci tubuhnya yang terlanjur kaku bak patung.
"Kenapa harus elo, bit. Kenapa harus elo yang hadir dipikiran gue disaat gue terpuruk kayak gini" Kenapa harus elo yang muncul diotak gue setiap gue mau
protes sama Allah" Kenapa bukan mama, papa atau Mas Abrar?"
Tsabit merasakan hangat ditelinganya. Setiap kata yang terlontar dari mulut Arsa menimbulkan reaksi kerjapan yang membingungkan.
"Lo bukan orang yang diutus Tuhan buat menyadarkan gue, kan bit" Lo cuma cewek biasa yang gue anggep primitif. Dan gue udah salah pernah bilang kayak gitu.
Salah besar." Arsa menjeda dengan menambah volume pelukannya. Tsabit tertegun. Ini pertama kalinya seseorang memeluknya dengan begitu erat. Belum lagi Abrar dan Kartika
berada diantara mereka seolah bertugas sebagai penonton bayaran yang menikmati drama. Tapi Tsabit yakinkan ini bukan drama. Ini nyata. Arsa memeluknya
dengan erat. "Lo harus tanggung jawab. Lo udah bikin hidup gue terus bergantung sama Allah. Dan juga elo." Arsa melepas tautannya. Menatap Tsabit memohon kekuatan agar
dirinya bisa setegar gadis yang juga menatapnya tanpa berkedip.
"Lo mau kan, doain gue biar Allah gak nyuekin gue lagi" Katanya, ujian ini adalah tanda bahwa Allah sayang sama gue. Bener itu, bit?"
Butuh waktu lama untuk Tsabit tersadar dari suasana haru ini. Bahkan menatap Arsa berlama lama terasa menenangkan meski dalam kondisi seperti ini.
"Benar. Allah tidak akan sembarangan memberi cobaan ini kalau bukan untuk hambaNya yang hebat. Kamu hebat, Arsa." Puji Tsabit menyempatkan untuk tersenyum
kecil. "Semua orang hebat di dunia ini adalah orang orang yang bisa menata hatinya, mengelola perasaannya, dan menyelesaikan urusannya. Saya tahu kamu
bagian dari mereka" "Kalau gitu, gue gak bakal terpuruk lagi. Gue bersyukur Allah kasih ujian ini. Katanya, kalo ujian ini sanggup gue lewatin, gue bisa naik ke level ujian
berikutnya, ya?" Tsabit tertawa kecil. "Iya. Kamu benar. Anggap saja seperti kamu bermain game. Semakin kamu mahir, semakin tinggi level yang harus dihadapi"
Tanpa sadar Kartika menyunggingkan senyum hangat. Tak ada yang lebih menyenangkan hatinya selain melihat pemandangan ini. Ia pikir hatinya sudah mati karena
terlalu lama hidup dalam keduniawian dan ketenaran yang sifatnya sementara. Untuk Abrar, dia hanya bisa menahan titik perih yang muncul. Tapi dia punya
cara lain untuk menutupinya.
"Kamu tenang ya, nak. Secepatnya mama akan urus masalah ini agar kamu terbebas"
"Arsa bakal baik baik aja, ma. Insya Allah. Selama ada Allah dan dia," mata Arsa melirik Tsabit. ",yang selalu ada buat Arsa"
Tsabit tersenyum lebar kemudian mengangkat ibu jari ke udara sebagai isyarat penyemangat Arsa.
*** Selagi Kartika dan Abrar menemui pihak kepolisian, Arsa diperbolehkan untuk menempati ruang jenguk khusus. Hanya ada dirinya dan Tsabit.
"Lo gak bawain gue makanan?" Tanya Arsa sibuk mengamati Tsabit. Barangkali ia membawa bungkusan makanan atau memacamnya.
"Boro boro bawain kamu makanan, abis ditelepon mama aja saya langsung ngibrit minta izin pulang cepat buat nemuin kamu. Sampe sampe saya lupa bawa tas
tau gak. Untung handphone selalu saya taro di kantong"
"Duh, segitu pentingnya gue buat lo ya?" Goda Arsa cengar cengir.
Tsabit mengendik aneh. "Gak juga sih. Karena saya pikir kamu bakal nangis ngejer karena ketakutan diborgol aja. Tapi setelah saya liat, kamu baik baik
Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aja tuh. Tau gitu saya gak perlu buru buru kesini"
"Emangnya gue bocah digituin aja nangis"
"Bisa aja, kan" Minum obat aja harus dicekokin dulu. Siapa tahu kamu alergi sama jeruji penjara"
"Itu mah beda persoalan, neng. Lagian selama gue gak salah, ngapain gue takut. Gue tuh takut cuma sama Allah. Dan,.."
Tsabit melirik ingin tahu. "Dan apa?"
"Gak usah kepo!" tangan Arsa mulai iseng merosotkan pashmina Tsabit hingga menutupi seluruh kening.
"Rese banget, sih! Masukin penjara lagi aja deh ni anak" sungut Tsabit sebal membenarkan posisi pashminanya.
"Lah, gitu. Orang gue gak salah" timpal Arsa. Tapi setelah itu ia tertawa sendiri. Senang rasanya tertawa di atas kekesalan Tsabit. Setidaknya hal itu
yang bisa menghiburnya dari keterpurukan ini.
"Terus hasil pemeriksaan kapan keluarnya?" Tanya Tsabit mulai serius.
"Sekitar 3 atau 4 hari lagi. Selama nunggu hasil, ya gue masih harus disini. Kenapa" Mau nemenin gue di penjara?"
"Terimakasih banyak loh tawarannya" Tsabit mendelik tak senang. "Tapi pekerjaan saya selama cuti sudah antri minta diselesaikan secepatnya"
"Terus gue gimana" Lo kan udah janji"
"Janji apa?" Kening Tsabit berkerut kusut.
"Ish! Gue lupa kalau punya istri tua. Pantesan pikun" umpat Arsa menggebrak meja tanpa suara. "Janji yang tadi. Kalo lo bakal selalu ada buat gue. Nemenin
gue. Dan ngedoain gue" lanjutnya dengan ekspresi geregetan.
Tsabit meng-oh panjang, mulutnya membulat sempurna. Sedang Arsa komat kamit tak jelas. "Dasar nenek Lana! Nyesel gue panggil princess. Princess kan gak
pikun." Tsabit cengar cengir tanpa dosa. "Insya Allah Arsa. Saya memang gak bisa nemenin kamu 24 jam disini. Tapi saya jamin, Allah selalu ada buat kamu"
Entah kenapa, sosok Tsabit bagi Arsa seperti sosok bidadari penenang jiwa. Kata kata yang diucap sangat sederhana. Siapapun bisa dengan mudah mengatakan
itu. Termasuk Fania sekalipun. Tapi kenapa dengan Tsabit berbeda ya" Dia seperti punya mantra ajaib yang seumpama bisa mengubah kata 'biasa' menjadi 'luar
biasa', mengubah 'standar' menjadi 'istimewa'. Begitulah kira kira.
"Ngomong ngomong, lo belum makan siang ya" Muka lo pucet gitu"
"Masih kenyang" jawab Tsabit dalam gelengan.
"Tumben" celetuk Arsa mencibir sang istri. "Biasanya ngunyah mulu, oiya gua lupa" tiba tiba Arsa menepuk jidat. "Gimana mau ngunyah orang tas lo aja ketinggalan
di kantor. Palingan isinya makanan semua tuh"
"Kalau gak tau, jangan sok tau"
Dan mereka terlalu asyik tenggelam dalam perbincangan yang menyenangkan. Hingga mengalirkan sebuah nama yang perlahan mampir untuk bersinggah. Sebut saja
itu Cinta. Cinta adalah Fitrah.
*** Fania baru saja keluar ruang kelas bersama dua orang temannya. Mereka berjalan menyusuri koridor sambil tertawa kecil bersenda gurau. Sepanjang perjalanan,
banyak pasang mata yang menatapnya kagum. Khususnya kaum pria. Ada yang sampai terbengong bengong. Ada juga yang melupakan keberadaan pacar mereka disampingnya
hingga mendapat tamparan dari para sang pacar.
Sosok Fania memang menjadi sosok gadis tercantik di Kampus. Survey pernah membuktikan bahwa dari kebanyakan pria di kampus, memilih Fania sebagai sosok
idola mereka. Bukan Selena gomez, Taylor Swift atau pun Emma Watson. Katanya, Fania memiliki kecantikan wanita Asia yang alami.
Selagi berbincang, Fania menerima sebuah pesan dari ponselnya. Tadinya ia akan membuka pesan itu nanti, tapi melihat nama si pengirim, Fania buru buru
membukanya. "Arsa masuk penjara"
Lutut Fania melemas. Tulang tulangnya mendadak melunak. Hampir saja ia ambruk. Ia tegaskan sekali lagi pesan tersebut sambil menduduki kursi dekat ruang
Tata Usaha. Dan benar. Ia tidak salah melihat. Otomatis tangannya tergerak menutup mulut. Ada bendungan yang tiba tiba muncul membentuk kaca dipermukaan
bola matanya yang indah. "Lantas, bagaimana dengan nasib aku dan,--" lirihnya tertahan kemudian ia melempar kasar tas dari pangkuan.
"Agh!!" Pekiknya tidak karuan.
Dan bayang bayang kenyataan itu semakin terlihat. Kini ada di depan mata.
*** Seorang pria nampak berkutat dengan tugas tugasnya. Berbekal kacamata half frame minus, ia edarkan ke setiap lembar demi lembar yang berhamburan.
ketika sedang sibuk menulis, gerakan tangannya terhenti dan tertahan begitu saja. Rautnya berubah mengingat sesuatu. Ia mendongak sejenak, lalu mengalihkan
pandangan pada benda tipis di atas meja.
Pada ponselnya, ia menekan beberapa angka disana. Lalu menekan logo video call. Setelah nada sambung terdengar, sosok gadis dari layar muncul dari ponsel.
"Assalamualaikum, pria besi. Tumben video call. Lagi banyak pulsa ya?" Sapa gadis itu. Suaranya renyah seperti kerupuk.
"Waalaikumsalam. Kamu gak kapok aku panggil gadis angin?"
Gadis itu mengerucut bibir sambil berpikir. "Engga kok. Aku malah seneng" lantas ia tertawa kecil.
"Yaudah kalau gitu aku panggil Zee lagi aja ya. Kamu kalo lagi seneng suka hiper" cibirnya seraya melepas kacamata.
"Ih.. kok gitu. Yauda aku juga panggil Syihab lagi aja kalau gitu. Eh, tunggu! Sejak kapan kamu minus?" Gadis bernama Zee mendekatkan wajah ke kamera sehingga
wajahnya nampak besar memenuhi layar ponsel Syihab.
"Muka kamu makan tempat banget, Zee. Kurang kurangin lah kayak gitu" otomatis Zee menarik wajahnya sambil cemberut.
"Kamu kapan ke Jakarta?" Tanyanya.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku sebelumnya, Hab"
"Oh itu. Dari sebulan yang lalu aku udah minus. Tapi aku jarang pakai kacamata aja"
"Terus itu kenapa dipake?"
"Lagi pengen aja" sekarang gantian Syihab yang mendekatkan wajahnya ke kamera. Zee menarik wajah karena kaget. Untung ganteng, pikirnya. "Terus kamu kapan
balik ke Jakarta?" "Muka kamu kalau dari deket bulet banget, Hab. Sumpah!" Zee malah tertawa terbahak bahak.
Syihab berdecak. "Aku matiin aja ya"
"Eeehh... kamu matiin, kita gak jadi nikah" ancam Zee sambil mengulurkan telunjuk di depan layar.
"Oh.. sekarang ngancemnya gitu. Oke"
"Sorry deh sorry. Kurang lebih sebulan lagi aku balik ke Jakarta. Kontrak ku cuma sampai akhir bulan depan, Hab"
Tiba tiba raut Syihab berubah melihat notif dari ponselnya. Tertera panggilan menunggu disana. "Siapa ya?" Gumamnya.
"Syihab" Kamu denger aku?"
"Zee, nanti aku hubungin lagi ya. Ada panggilan masuk. Takut penting. Jaga kesehatan. Assalamualaikum"
Tanpa menunggu jawaban Zee, panggilan berakhir begitu saja. Dan tak lama, ponsel Syihab berdering. Tertera nama Tsabita disana.
"Assalamualaikum, Tsabit. Ada apa?"
"Waalaikumsalam, dokter. Maaf mengganggu waktu anda. Saya ingin meminta bantuan dokter"
"Tidak apa. Bantuan apa?"
"Saya dengar, ayah anda seorang pengacara. Apa benar?"
"Ya. Benar" "Saya membutuhkan bantuan beliau untuk menangani kasus suami saya. Tapi untuk berjaga jaga saja. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Setidaknya saya
sudah mendapat persetujuan dari beliau" jelas Tsabit terdengar cemas.
"Kasus Kelana yang tertangkap basah mengkonsumsi narkoba itu?" Ah, Syihab kelepasan bicara. Mulut ini perlu disekolahin rupanya. Tapi nyatanya kabar itu
sudah merebak ke media. "Maaf, Tsabit"
"Tidak apa apa, dok. Tidak heran kalau media lebih gesit mengambil berita ini. Lalu bagaimana?"
"Saya akan hubungi papa terlebih dahulu. Nanti saya kabari secepatnya. Atau bagaimana kalau saya kirim kontak papa ke kamu?" Syihab mendadak panik sendiri
dibuatnya. "Boleh. Kirim lewat sms aja ya, dok. Saya tunggu secepatnya. Sekali lagi maaf mengganggu waktunya. Assalamualaikum"
Tsabit pun bisa bernafas lega juga akhirnya. Ia menoleh ke wanita yang bersamanya di kursi penumpang. "Bagaimana?" Tanya wanita itu.
"Sudah, ma. Insya Allah Pak Sandy bisa membantu kita. Mama tenang ya" Kartika tersenyum menerima usapan lembut dilengannya. Senyum sederhana Tsabit berhasil
membuang kekhawatirannya.
*** Malam semakin dingin. Menambah dingin jeruji jeruji besi yang mengurung Arsa beserta yang lain di dalam sana. Dua orang temannya sudah terlelap dalam mimpi.
Berbeda dengan Arsa. Ia memilih duduk bersila menghadap kiblat sambil melantunkan Dzikir. Ditemani Tody yang masih terjaga duduk bersandar menekuk lutut
memerhatikan perubahan drastis sahabatnya.
Berbekal tasbih pemberian Tsabit, Arsa memanfaatkan malam ini untuk terus mendekatkan jiwa dan hati kepada Sang pecipta. Kepada Sang pemilik hati dan nyawa
serta nafasnya. Ditatapnya sejenak butiran butiran hitam berangkai itu dalam genggaman
Ditatapnya sejenak butiran butiran hitam berangkai itu dalam genggaman. Tasbih itu sebagai tanda sekaligus penyemangat Arsa selama beberapa hari ditampat
menyiksa ini. Saat itu sebelum Tsabit pamit, ia memberanikan diri menggenggam tangan Arsa hanya untuk memberikan sesuatu.
"Pergunakan benda ini dengan baik selama kamu di dalam sana. Insya Allah tidak hanya Allah yang menjaga kamu. Tapi juga doa saya yang tak henti saya lantunkan
untuk kamu. Jangan tinggalkan sholat ya" pesan Tsabit setelahnya. Arsa membuka genggaman lalu terdapat tasbih hitam darinya.
"Kalau kamu berjalan menuju Allah, maka Allah akan berlari menghampiri kamu" itu pesan terakhir Tsabit sampai akhirnya petugas membawa Arsa menuju ruang
kurungan penjara. Arsa menoleh ke belakang memastikan Tsabit masih menatap kepergiannya.
Mengingat itu, lantas Arsa menitikan air mata yang menetes ke tasbih tersebut. Tapi buru buru ia mengusap wajahnya.
"Sorry ya, Sa. Gara gara gue lo jadi kayak gini." Tody berangsur duduk mendekati Arsa seraya menepuk bahunya.
"Ini namanya cobaan, Tod. Gue tau lo bukan orang yang kayak gitu. Ambil hikmahnya aja"
Tody takjub! Sosok Arsa yang dia kenal, sudah jauh berbeda. Terakhir mereka dihukum itu, hormat bendera sewaktu SMA karena ketahuan cabut. Saat itu Arsa
tidak terima. Ia pun nekat mengempeskan ban mobil guru BP nya. Lalu mengerjai wali kelasnya sendiri.
Tapi mungkin kalau untuk kasus ini, Arsa tidak mungkin nekat mengempeskan ban mobil anggota polisi. Yang ada kurungan penjara semakin menyanderanya lebih
lama. Sejauh Tody melihat, Arsa terlihat tenang. Seperti tidak ada beban dihatinya.
"Lo bisa berubah gini, gara gara istri lo ye?"
"Berubah gimana" Gue masih hobby ngebully lo kok. Gue masih doyan susu, doyan ngeGYM, futsal, basket, maen ps. Eh, tapi jangan pake taruhan, hehe. Itu
sama aja kayak judi, tod. Dan judi itu haram hukumnya"
"Nah! Itu! Nah itu dia" telunjuk Tody bergerak menunjuk Arsa. Arsa meninju paha Tody. "Kaget gue, bego!" Tegurnya.
"Itu tadi tuh. Sejak kapan lo tau tauan judi itu haram" Segala pake nyeramahin gue"
"Gue gak ceramah. Cuma ngingetin. Kalo lo terima ya syukur, gak terima ya bodo amat. Yang penting gue gak nilai lo buruk apalagi ngomongin lo dibelakang.
Tuh!" Gaya Arsa sok bener.
"Gaya lu, sa..sa.." Tody menoyor kepala Arsa. "Tapi gak masalah sih buat gue. Selama itu baik buat lo. Yang penting lo bahagia dah"
"Lo seneng kalo gue bahagia?"
"Iye" "Kalo gue masuk surga, lo mau ikut?"
"Ya iyalah kunyuk.. lo ke surga gak ngajak ngajak gue awas aje lo"
"Bener?" Tatapan Arsa curiga.
"Iyaaak! Bawel lu"
"Yauda ayo temenin gue dzikir sekarang. Tapi lo belum sholat isya, kan" Sholat dulu sono"
Tody mematung sambil menganga. "Malah kayak orang bego. Cepetan izin ambil wudhu, trus sholat. Katanya mau ikut gue masuk surga"
Dan mereka pun akhirnya berdzikir pada malamNya. Menemani sang malam dengan kekhusyuan yang membatin. Samar samar lantunan itu terdengar berirama mengisi
ruang berjeruji besi yang dinginnya menusuk.
*** TBC.. 18. Cahaya yang enggan menampakan diri
Kartika menatap buku buku yang berjejer rapi di rak. Matanya meng-explore judul judul yang muncul pada sisi belakang buku hanya dengan duduk di sofa suatu
ruangan. Kemudian ia edarkan lagi pandangannya ke setiap penjuru ruangan tersebut. Terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja. Banyak dekor dekor
berlebihan yang seharusnya tidak ada disana. Seperti 4 gucci yang berdiri rapi mengisi ruang kosong diantara pintu. Dalam hatinya ia menggumam, "Orang
kaya baru" Ia melirik jam tangan, menyandarkan diri pada sofa empuk. Rautnya menampakan kecemasan. Sudah satu jam ia berada disini, tapi sosok yang ia tunggu belum
menampakan batang hidungnya. Disaat Kartika hendak keluar dari sana, sebuah pintu yang terbuka mengurungkan niatnya.
"Sorry, kelamaan nunggu ya?" Sapa pemilik suara nampak berjalan menyusuri dua gucci menuju satu sofa tepat dihadapan Kartika.
"Kamu hampir saja membuat saya mati bosan di sini. Seharusnya setelah menjadi orang sukses, kamu bisa membedakan mana yang harus diprioritaskan terlebih
dahulu, mana yang bukan."
Wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Kartika, tersenyum seadanya. "Dan yang saya lakukan sudah benar. Apa kamu merasa istimewa untuk saya?"
Mata Kartika mendelik anggun.
"Prioritasku adalah perusahaan dan kekayaan ini. Bukan orang lain. Termasuk kamu." tambah wanita itu lagi.
"Setidaknya saya ingat siapa orang yang dulunya mengemis ngemis kepada saya, meminta belas kasihan" ucapan itu sukses membuat wanita yang ia sapa Tamara
itu kesulitan menelan ludah. Ia edarkan sejenak pandangannya ke arah guci guci kesayangan. Layaknya sebuah tamparan, Tamara merasakan sindiran halus menibannya.
"Waktu saya tidak banyak. Ada perlu apa kesini?" Alih Tamara kembali menghadap Kartika.
"Apa maksud kamu berbicara kepada media tentang keberadaan saya sebagai sahabat kamu yang berperan dalam bisnis mu ini?"
Tamara menarik sudut bibir kanannya. "Pertanyaan kamu ada hubungannya dengan sindiranmu tadi"
Kartika mengerut samar. "Justru karena saya tidak ingin menjadi sosok kacang lupa kulitnya. Maka saya mempublikasikan nama kamu sebagai sosok yang berpengaruh dalam kesuksesan
saya. Dengan bangga saya menyebut nama Kartika Saraswati sebagai seorang yang dulu saya mintai belas kasihan lalu mengemis kepadanya. Bukankah itu yang
kamu inginkan?" "Tenar dan terkenal. Namamu terpajang sebagai sosok yang berpengaruh. Menjadi pusat perhatian media." Nadanya melebih lebihkan. "Itu semua betul, kan Kartika"
Lantas, salah saya dimana?"
"Saya memang menyukai hal itu. Tapi bukan dari seorang benalu seperti kamu"
"Sampai kapan kamu terus egois menganggapku seperti itu" Hubunganmu dengan Dirga sudah jauh lebih baik. Begitu juga saya dan suami saya. Sampai kapan kamu
mengurung diri dalam masa lalu kita?"
"Masa lalu tetaplah masa lalu. Meski tidak akan terulang, tapi akan tetap terkenang. Saya menanamkan prinsip itu" balas Kartika.
"Itu artinya kamu egois" timpal Tamara. Tangannya gesit mengambil kotak silver berisi rokok. Ia masukan ke ujung bibir bersamaan tangan satunya memantik
api dalam korek gas. "Keegoisan kamu telah membunuh kebahagiaan anakmu sendiri, Arsa. Aku tahu seberapa cintanya dia terhadap Fania. Mereka harus mengorbankan
cintanya, hanya demi keegoisan kamu, Kartika" ada gumulan asap tipis mengudara di atas kepala Tamara berasal dari mulut.
"Tahu apa kamu soal Arsa" Saya ibunya. Saya yang merawatnya, saya yang membesarkannya. Saya tahu betul apa yang membuatnya bahagia. Hati hati dalam ber-statement."
Telunjuk Kartika mengajung ke arah wajah Tamara.
"Kamu yakin dia bahagia menikah dengan gadis berhijab itu?"
"Bahagia atau tidak, setahu saya kamu tidak berhak untuk tahu" Kartika merasa jengah dengan kondisi ini. Semua terasa sia sia. Nasi sudah menjadi bubur.
Media terlanjur tahu tentang hubungan persahabatan dirinya dengan Tamara. Saat ini yang harus ia lakukan hanya bersikap masa bodoh. Lagi lagi, beberapa
kalimat singkat yang pernah Tsabit katakan, melintas dalam otak. "Diam bukan berarti kalah. Hanya saja membiarkan sang waktu yang akan meninggikan kita
diatas cemooh mereka. Itu yang bagus"
"Sampai kapan pun, saya tetap tidak merestui hubungan Arsa dengan putri kamu. Gadis pilihan saya jauh lebih berharga"
Dan suara ketukan langkah stilleto hitam mengiringi kepergian Kartika. Tamara memandang lama hingga bayang bayang Kartika enyah dari peredaran mata. Ia
sandarkan diri pada kursi kebesarannya. Dengan melipat tangan didada, ia menarik seringai tipis.
*** Pria bertubuh besar duduk manis lalu menaikan kacamata presbiopinya. Terkadang matanya menyipit memandang lembaran berkas di meja. Lipatan lemak ditubuhnya
nampak terlihat dari balik kemeja bergaris lengan panjang. Jambang jambang halus berwarna putih terlihat dari pandangan Tsabit selagi memerhatikan aktivitas
pria paruh baya itu. "Berkas sudah lengkap. Pemeriksaan pun selesai. Kepolisian menyatakan bahwa saudara Kelana Arsalais dan Tody dewangga bersih dari tuduhan kasus ini. Besok
mereka sudah bisa pulang" jelas pria itu menoleh menghadap Tsabit.
Tsabit menarik dua sudut bibir disertai binaran mata indah.
Pendekar Sakti Suling Pualam 6 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bayangan Berdarah 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama