Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 6
"Betul."
"Syukurlah!" ucap gadis Miauw itu dan men dadak
memeluknya erat-erat. "Aku gembira sekali bertemu
denganmu. Cepatlah ajak aku pergi me nemui ayahmu!"
"Eh" Nona...." Wajah Tio Bun Yang langsung memerah
karena dipeluk. Namun sebaliknya monyet bulu putih itu
malah membelainya.
"Kenapa?" Gadis Miauw itu melepaskan pelukannya,
kemudian memandang Tio Bun Yan dengan mata berbinarbinar.
"Barusan engka membelaiku?"
"Bukan," Tio Bun Yang memberitahukan. "Yang
membelaimu barusan kauw heng."
"Kauw heng" Monyet bulu putih ini?" Gadis Miauw itu
menatap monyet bulu putih dengan mata terbelalak.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk dan tersenyum. "Dia
sayang kepadamu, maka membelaimu."
"Oooh!" Gadis Miauw itu tertawa geli. "Terimakasih, kauw
heng!" Monyet bulu putih itu bercuit dan manggut-manggut.
"Kenapa dia?" tanya gadis itu.
"Dia menerima ucapan terimakasihmu."
"Eh?" Gadis Miauw itu melongo. "Kauw heng mengerti
bahasa manusia?"
"Mengerti." Tio Bun Yang mengangguk dan
memberitahukan. "Usianya sudah tiga ratus tahun lebih lho!"
"Apa"!" Mulut gadis Miauw itu ternganga lebar. "Usianya
sudah tiga ratus lebih" Engkau tidak membohongiku?"
"Untuk apa aku membohongimu?" Tio Bun Yang
tersenyum. "Itu memang benar."
Monyet bulu putih itu segera bercuit, kemudian manggutmanggut.
"Dia bilang apa?"
"Dia bilang aku tidak bohong."
"Oooh!" Gadis Miauw itu tertawa geli. "Kalau begitu,
engkau pun mengerti bahasa monyet?"
"Kira-kira begitulah." Tio Bun Yang mengangguk. "Sebab
sejak aku lahir, dia pun bantu meng-urusiku."
"Bukan main!" Gadis Miauw itu tertawa lagi. "Sungguh luar
biasa!" "Oh ya, aku belum tahu namamu. Kenapa engkau tidak
memberitahukan?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Namaku Cing Cing," sahut gadis Miauw itu. "Engkau tidak
bertanya, bagaimana mungkin akui memberitahukan."
"Engkau telah memberitahukan namamu, maka aku pun
harus memberitahukan namaku."
"Oooh, begitu!" Cing Cing menatapnya. "Kata ibuku, orang
Tionggoan baik-baik. Kini aku baru percaya."
"Tidak semua orang Tionggoan baik, ada pula yang jahat,"
ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh "Di daerahmu juga tentu
ada orang jahat, bukan?"
"Betul. Maka ibu menyuruhku ke Tionggoar mencari Tio Cie
Hiong. Sudah hampir seminggj aku berada di Tionggoan, dan
sudah bertanya d sana-sini, namun tiada seorang pun yang
tahi tentang ayahmu."
"Engkau bertanya kepada siapa?"
"Pelayan kedai teh, pelayan toko dan pelayan rumah
penginapan."
"Tentu mereka tidak tahu, sebab mereka bukan kaum
rimba persilatan," ujar Tio Bun Yang. "Seharusnya engkau
bertanya kepada kaum rimba persilatan."
"Tadi aku bertemu orang-orang berpakaian hijau, dan aku
bertanya kepada mereka. Mereka bilang kenal Tio Cie Hiong,
tapi...." Cing Cing mengerutkan kening.
"Kenapa?"
"Mereka bersedia mengajakku menemui Tio Cie Hiong, tapi
aku harus memenuhi syarat mereka."
"Apa syarat mereka?"
"Aku harus menemani mereka tidur."
"Apa?" Tio Bun Yang tertegun. "Mereka sungguh jahat,
padahal belum tentu mereka kenal ayahku!"
"Aku bilang mereka harus mengajakku menemui Tio Cie
Hiong dulu, setelah itu...."
"Engkau mau menemani mereka tidur?"
"Cisss! Kebagusan mereka!" Wajah Cing Cing langsung
memerah. "Siapa sudi menemani mereka tidur" Kalau
menemanimu tidur, aku masih mau."
"Eeeh" Engkau...." Wajah Tio Bun Yang memerah. Ia sama
sekali tidak menyangka gadis Miauw itu akan mengatakan
begitu. Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit, seakan
tertawa "Engkau harus tahu, bahwa dulu ada satu aturan di daerah
kami." Cing Cing memberitahukan. "Apabila gadis Miauw
menyukai seseorang yang bukan suku Miauw, maka gadis
Miauw itu boleh menemani orang itu tidur!"
"Peraturan apa itu?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Tapi kemudian peraturan itu dihapus oleh kakekku atas
usul ibuku," Cing Cing memberi tahukan. "Itu dikarenakan
ibuku mendengar nasihat ayahmu, maka mengusul kepada
kakekku!" "Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut "Jadi peraturan
itu sudah tidak berlaku lagi?"
"Betul."
"Tapi tadi kenapa engkau masih mengatakal begitu?"
"Kalau cuma mengatakan, tidak apa-apa, kan"
"Memang tidak apa-apa, tapi aku yang merafl tidak enak,"
ujar Tio Bun Yang. "Oh ya, kenapa ibumu menyuruhmu ke
Tionggoan mencari ayal ku?"
"Sebab ibuku membutuhkan bantuan ayahmu," Cing Cing
memberitahukan. "Ayah dan ibu ditangkap orang, dan
dikurung di suatu tempat. Kata orang itu, apabila ada orang
lain mampu mengalahkannya, dia akan membebaskan ayah
dan ibuku."
"Siapa orang itu?"
"Sebetulnya dia teman ibuku, bahkan ia mencintai ibuku.
Tapi ibuku mencintai lelaki itu Oleh karena itu dia frustrasi
sehingga meninggalkan daerah Miauw." Cing Cing
memberitahukan. "Beberapa bulan yang lalu, mendadak dia
muncul. Ayah dan ibuku tak mampu melawannya, akhirnya
ayah dan ibuku ditangkap, dan dikurung di suatu tempat.
Karena itu, ibu menyuruhku ke Tionggoan mencari ayahmu."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, di mana
kakek dan nenekmu?"
"Sudah meninggal. Kini orang itu mengangkat dirinya
sebagai kepala suku di sana. Karena dia berkepandaian tinggi
sekali, maka tiada seorang pun yang berani menentangnya."
"Dia juga orang Miauw?"
"Ya, namanya Pahto," sahut Cing Cing dan mendesaknya.
"Ayoh, bawa aku pergi menemui ayahmu!"
"Tempat tinggal ayahku jauh sekali."
"Pokoknya engkau harus membawaku ke sana," desak Cing
Cing lagi. "Berapa jauh pun engkau harus membawaku ke
sana." "Karena ibumu kenal ayahku, maka aku bersedia menolong
ibumu," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Apa?" Cing Cing terbelalak. "Engkau yang akan pergi
menolong ibu dan ayahku?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Cing Cing mendadak
sambil menatapnya dalam-dalam.
"Tujuh belas."
"Hi hi hi!" Cing Cing tertawa geli.
"Kenapa engkau tertawa geli?" tanya Tio Bun Yang.
"Engkau masih sedemikian muda, bagaimana mungkin
dapat melawan Pahto yang berkepandaian tinggi itu"
Sudahlah! Cepat bawa aku pergi menemui ayahmu saja!"
"Engkau harus percaya, aku dapat melawan Pahto itu.
Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani ke sana menolong
ibumu?" "Itu...." Cing Cing berpikir lama sekali, kemudian
mengangguk dan berkata. "Baiklah. Tapi kalau engkau celaka,
jangan mempersalahkan aku, ya?"
"Aku pasti tidak akan mempersalahkanmu." Tio Bun Yang
tersenyum. "Wuah!" Cing Cing menatapnya. "Bukan main
senyumanmu!"
"Kenapa?" Tio Bun Yang tercengang.
"Sungguh mempesona, sehingga membuatku nyaris
memelukmu lagi," sahut Cing Cing sambil tertawa.
"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Ia sangat menyukai kepolosal gadis itu. "Oh ya, berapa
usiamu?" "Hampir enam belas," sahut Cing Cing. "Aku lebih kecil,
maka harus memanggilmu Kakak Bun Yang, dan engkau harus
memanggilku Adik Cini Cing, bukan?"
"Betul!" Tio Bun Yang mengangguk. "Kakak Bun Yang, mari
kita berangkat!" ajak Cing Cing.
"Daerah Miauw itu sangat jauh, lebih baik kita menunggang
kuda," usul Tio Bun Yang. "Bagaimana?"
"Baik." Cing Cing mengangguk. "Di depan sana ada penjual
kuda, mari kita ke sana!"
Tio Bun Yang tersenyum, dan mereka lalu ke tempat
penjual kuda itu. Tio Bun Yang membeli dua ekor kuda,
setelah itu berangkatlah mereka menuju ke daerah Miauw.
Dalam perjalanan tak henti-hentinya Cing Cing tertawa riang
gembira, sedangkan monyet bulu putih pun bercuit-cuit.
Belasan hari kemudian, mereka sudah memasuki daerah
Miauw. Mendadak muncul beberapa orang Miauw bersenjata
tombak menghadang mereka. Betapa gusarnya Cing Cing dan
langsung membentak-bentak dengan bahasa Miauw. Setelah
itu, ia pun memandang Tio Bun Yang.
"Ada apa?" tanya Tio Bun Yang.
"Ada perintah dari Pahto, siapa yang ingin menemuinya
harus melewati tiga rintangan," Cing Cing memberitahukan.
"Rintangan apa?" tanya Tio Bun Yang.
"Kesatu Barisan Ular, kedua Telaga Beracun dan ketiga
Lembah Beracun." Cing Cing memberitahukan dengan wajah
muram. "Ketiga rintangan itu tidak gampang dilewati, lebih
baik engkau pulang saja."
"Biar aku coba melewati ketiga rintangan itu," ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh.
"Jangan cari mati, sebab sudah banyak oranaL mati di situ,"
Cing Cing menggeleng-gclengkarl kepala. "Lebih baik engkau
pulang dan suruh ayahmu kemari!"
"Yakinlah!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku pasti bisa
melewati ketiga rintangan itu."
"Oh?" Cing Cing menatapnya seraya berkata "Baik, aku
percaya kepadamu. Kalau engkau mati di sana, aku pasti
berkabung lima tahun."
"Aku tidak akan mati di sana," Tio Bun Yang tersenyum
lagi. "Beritahukan, aku harus menuju ke mana?"
Cing Cing segera berbicara kepada orang orang Miauw itu.
Mereka kelihatan terkejut dai memandang Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang, ikutlah mereka!" ujari Cing Cing dan
menambahkan. "Engkau begil baik, kalau engkau mati, aku
pasti berkabung untukmu."
"Cing Cing!" Tio Bun Yang tertawa. "Percayalah! Aku tidak
akan mati di tempat itu."
"Kakak Bun Yang!" Cing Cing menatapnya dalam-dalam.
"Semoga engkau berhasil melewati ketiga rintangan itu!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti orang-orang
Miauw itu. Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah
sampai di sebuah rimba. Orang-orang Miauw itu menunjuk ke
arah rimba itu, Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kauw heng, kita akan memasuki rimba itu."
Monyet bulu putih itu bercuit sambil mengangkat dada,
pertanda ia tidak takut sama sekali.
"Bagus!" Tio Bun Yang tersenyum.
Mulailah ia melangkah memasuki rimba itu, jikan tetapi,
tiada keanehan apa pun di dalam rimba tersebut.
Berselang sesaat, mereka sudah sampai di sebidang tanah
kosong yang luas sekali, tapi tiada pohon atau rumput-rumput
sedikitpun. Mendadak terdengar suara suling yang bernada aneh, dan
tak lama kemudian terdengar pula luara mendesis-desis.
"Kauw heng, suara apa itu?"
Monyet bulu putih itu menggerakkan tangannya
memberitahukan, Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Ternyata suara desis ular...." Belum usai ucapannya,
sudah tampak ribuan ular berbisa merayap ke arahnya, yang
ternyata barisan ular.
Tio Bun Yang mengerutkan kening, lalu bersama monyet
putih membunuh ular-ular beracun itu. Namun sungguh
mengherankan! Begitu suara suling itu berubah, ribuan ular
berbisa itu segen berpencar mengurung Tio Bun Yang. Monyel
bulu putih itu bercuit-cuit, sedangkan Tio Bui Yang terus
mendengarkan nada suara suling itu dengan penuh perhatian.
Sementara ribuan ular beracun itu sudah sel makin
mendekat. Di saat itulah Tio Bun Yang tersenyum sambil
duduk bersila, kemudian mengeluarkan suling pualamnya,
sekaligus meniupnya!
Ternyata ia meniru nada suara suling itu Suara suling
pualamnya sangat nyaring, sehingga suara suling itu tertindih.
Ribuan ular berbisa itu tampak kebingungan Ular-ular itu
mendongakkan kepala, kemudial merayap pergi.
Setelah ribuan ular berbisa itu tak kelihatan barulah Tio Bun
Yang berhenti meniup sulinj pualamnya. Dalam waktu
bersamaan, muncullai seorang lelaki berusia lima puluhan
sambil tertav gelak.
"Sungguh hebat engkau, anak muda!" uji lelaki itu dengan
bahasa Han. "Aku tidak nr" nyangka engkau begitu mahir
meniup suling, ba kan mampu meniru nada suara sulingku. Ha
ha...!" "Paman bisa berbahasa Han?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Tentu." Lelaki itu tertawa lagi sambil menatapnya.
"Engkau siapa" Kenapa ingin menemui Pahto?"
"Namaku Tio Bun Yang, Paman," sahutnya jujur. "Aku ke
mari karena ingin menolong ibu dan ayah Cing Cing."
"Oh?" Wajah lelaki itu tampak berseri. "Kalau begitu,
engkau pasti putera Tio Cie Hiong."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul," Tio Bun Yang mengangguk. "Paman kenal
ayahku?" "Ha ha ha!" Lelaki itu tertawa gelak. "Tentu kenal, sebab
ayahmu pernah menyelamatkan ibu Cing Cing."
"Oh?" Giranglah Tio Bun Yang. "Paman, sekarang aku harus
menuju ke mana?"
"Lurus ke depan, lalu belok ke kiri." Lelaki liu
memberitahukan. "Di situ terdapat sebuah sungai beracun,
dan engkau harus menyeberanginya. Tapi harus berhati-hati,
sebab air telaga itu beracun. Kalau engkau kecipratan air
telaga itu, mati keracunan."
"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yang, lalu melangkah
pergi menuju tempat itu.
Tak seberapa lama kemudian, ia melihat sebuah telaga
yang airnya sangat bening. Namun di sisi telaga itu tampak
banyak tulang belulang binatang. Mungkin binatang-binatang
itu minum di telaga tersebut, akhirnya mati keracunan di situ.
Tio Bun Yang berdiri di pinggir telaga beracun itu, dan
monyet bulu putih tetap duduk di atas bahunya. Dari tempat
ia berdiri ke seberang sana, jaraknya kira-kira lima puluh depa
lebih. "Kauw heng! Cara bagaimana kita menyeberang ke sana?"
tanya Tio Bun Yang.
Monyet bulu putih itu bercuit-cuit sambil menggerakgerakkan
sepasang tangannya.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut sambil
tersenyum. "Jadi kita berjungkir ke depan sesuai dengan apa
yang pernah ayah ajarkan kepadaku?"
Monyet bulu putih itu mengangguk, kemudian menarik
nafas seakan memberi petunjuk kepada nya.
"Aku mengerti," ujar Tio Bun Yang. "Meloncat ke depan lalu
menarik nafas dalam-dalar agar badan melambung ke atas,
lalu melesat kedepan lagi. Begitu kan?"
Monyet itu mengangguk, kemudian bercuit cuit.
"Engkau akan menyeberang duluan memt petunjuk
kepadaku?"
Monyet bulu putih manggut-manggut. Mendadak ia melesat
ke depan belasan depa, setel itu menarik nafas dalam-dalam,
kemudian badannya melambung ke atas sekaligus berjungkir
kedepan. Dengan cara demikian monyet bulu putih itu berhasil
sampai di seberang.
Kini giliran Tio Bun Yang. Ia melesat ke depan dan
melakukan seperti yang dilakukan monyet bulu putih, akhirnya
ia pun sampai di seberang. Monyet bulu putih itu bertepuk
tangan, lalu meloncat ke atas bahunya.
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak. "Sungguh hebat
sekali! Aku tidak menyangka monyet ini dan engkau mampu
menyeberang ke mari. Itu pertanda ginkang kalian sudah
tinggi sekali."
Muncul seorang lelaki berusia lima puluhan, yang kemudian
berkata dengan bahasa Han sambil menatap Tio Bun Yang
dengan penuh perhatian.
"Anak muda, kenapa engkau ingin bertemu Pahto?"
"Paman," sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku ingin
menolong ibu dan ayah Cing Cing."
"Oooh!" Lelaki itu manggut-manggut. "Kalau begitu engkau
pasti mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong."
"Dia ayahku."
"Syukurlah!" Lelaki itu tertawa gembira. "Nah, sekarang
engkau harus melewati rintangan terakhir yaitu lembah
beracun." "Paman kenal ayahku?"
"Orang-orang Miauw di sini pasti kenal ayahmu, sebab
ayahmu pernah menyelamatkan nyawa ibu Cing Cing." Lelaki
itu memberitahukan. "Sekarang engkau harus melewati
lembah beracun itu, setelah itu engkau akan bertemu Pahto.
Hati-hati, kepandaiannya tinggi sekali!"
"Terimakasih atas petunjuk Paman! Oh ya, aku harus
menuju ke mana?"
"Lurus saja, nanti engkau akan melihat sebuah lembah.
Itulah lembah beracun."
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang, lalu beri jalan menuju
lembah beracun.
Tak seberapa lama kemudian, Tio Bun Yang telah sampai di
hadapan lembah beracun itu. Ia tersenyum, sebab ia memang
kebal terhadap racun apa pun. Tio Cie Hiong, ayahnya dua kali
makan buah ajaib Kiu Yap Ling Che, itu membuat ayahnya
kebal terhadap racun. Ia adalah anaknya, otomatis darahnya
juga mengandung sari buah ajaib Kiu Yap Ling Che, yang
membuatnya kebal pula terhadap berbagai macam racun.
Walau demikian, Tio Bun Yang tetap menelai sebutir pil anti
racun. Bagaimana monyet bulu putih itu" Ternyata monyet
bulu putih itu pun kebal terhadap racun apa pun.
Tio Bun Yang mulai melangkah memasuki lembah beracun
itu, sedangkan monyet bulu putih itu tetap duduk diam di
bahunya. Tio Bun Yang terus melangkah, berselang beberapa saat
kemudian, ia telah melewati tembat itu. Di saat bersamaan,
terdengarlah suara tawa gelak dan muncul seorang lelaki
gagah berusia empat puluhan. Lelaki itu terus menatap Tio
Bun Yang dengan penuh perhatian.
"Engkau masih muda, tentunya bukan Tio Cie Hiong," ujar
lelaki itu dengan bahasa Han. "Siapa engkau, anak muda?"
"Namaku Tio Bun Yang, putera Tio Cie Hiong."
"Ha ha ha!" Lelaki itu tertawa gelak lagi. "Pantas engkau
begitu hebat, ternyata putera Tio Cie Hiong yang sangat
dikagumi orang-orang Miauw!"
"Maaf! Bolehkah aku tahu siapa Paman?"
"Bukankah engkau ingin menemui aku?" sahut lelaki itu.
"Jadi Paman adalah Pahto?" Tio Bun Yang segera memberi
hormat. "Paman Pahto, aku telah melewati tiga rintangan itu."
"Aku tahu. Ha ha ha!" Pahto tertawa terbahak-bahak. "Aku
tidak menyangka engkau sopan sekali."
"Paman Pahto!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kenapa Paman mengurung ibu dan ayah Cing Cing?"
"Engkau perlu ketahui," sahut Pahto sambil menggelenggelengkan
kepala. "Aku sangat mencintai ibu Cing Cing, tapi
dia malah kawin dengan laki lain. Itu membuatku frustrasi dan
kecewa sekali."
"Apakah ibu Cing Cing juga mencintai Paman Pahto?" tanya
Tio Bun Yang mendadak.
"Aku pernah bertanya kepadanya, dia menjawab tidak,"
sahut Pahto jujur. "Itu membuatku sakit hati, akhirnya dia
menikah dengan lelaki itu. Maka aku lalu meninggalkan daerah
Miauw ini."
"Paman Pahto, semua itu telah berlalu. Kenapa Paman
kemari lagi dan menangkap mereka" Itu merupakan
perbuatan yang tak terpuji, Paman."
"Ha ha ha!" Pahto tertawa. "Aku harus melampiaskan rasa
sakit hatiku. Sudah bagus aku tidak membunuh mereka."
"Berarti Paman masih mempunyai rasa peri kemanusiaan.
Oleh karena itu, aku mohon Paman melepaskan mereka."
"Boleh." Pahto mengangguk. "Tapi engkau harus dapat
mengalahkan aku, barulah aku melepaskan mereka."
"Kenapa hati Paman begitu jahat?" Tio Bu Yang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku berhati jahat?" Patho tertawa. "Kali aku berhati jahat,
aku sudah membunuh Cing Cing. Buktinya dia bisa ke
Tionggoan dan mengajakmu ke mari."
"Paman Pahto!" Tio Bun Yang menghela nafas. "Cinta tidak
bisa dipaksa, lagi pula kini Cing Cing sudah besar. Jangan
memperbesar masalah jangan merusak rumah tangga orang,
itu tidak baik."
"Ha ha ha!" Pahto tertawa. "Engkau masih kecil tapi berani
menasihati aku?"
"Karena hati Paman telah tertutup oleh rasa kebencian dan
sakit hati itu, maka aku harus berusaha menyadarkan Paman."
"Aku akan sadar apabila engkau mampu mengalahkan aku.
Aku dengar Tio Cie Hiong berkepandaian tinggi sekali. Engkau
adalah anaknya, tentunya tidak akan mempermalukan orang
tuamu, kan?"
"Jadi Paman ingin bertanding denganku?"
"Itu kalau engkau menghendaki ibu dan ayah Cing Cing
bebas." "Kalau begitu...." Tio Bun Yang mengangguk. 'Baiklah.
Maafkan kelancanganku berani bertanding dengan Paman!"
"Ha ha ha!" Pahto tertawa gelak. "Engkau memang anak
baik, aku terkesan baik terhadapmu."
"Terimakasih Paman."
"Jadi kita bertanding secara praktis saja," ujar Pahto. "Aku
akan menyerangmu tiga jurus, engkau boleh balas dan
menangkis. Apabila engkau sanggup menahan tiga jurus
pukulanku, aku pasti membebaskan ibu dan ayah Cing Cing."
"Terimakasih Paman!"
"Nah, engkau harus berhati-hati." Pahto mengikutkannya.
"Sebab pukulanku lihay sekali."
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk, kemudian berkata kepada
monyet bulu putih. "Kauw heng, turunlah!"
Monyet bulu putih langsung meloncat turun. Tio Bun Yang
dan Pahto berdiri berhadapan.
Tio Bun Yang mulai menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin
Kang, sedangkan Pahto sudah menghimpun Iweekangnya.
"Jurus pertama!" seru Pahto sambil menyerangnya.
Tio Bun Yang segera berkelit menggunakan Kiu Kiong San
Tian Pou. Itu sungguh mengejutkan Pahto.
"Ha ha ha! Sungguh gesit engkau! Nah, ini jurus kedua!"
Pahto langsung menyerang ke belan kang. Ternyata lelaki itu
tahu Tio Bun Yang berdiri di belakangnya.
Tio Bun Yang berkelit lagi menggunakan Kiu Kiong San Tian
Pou. Akan tetapi, di saat itu pula Pahto menyerangnya lagi
secepat kilat dan dahsyai bukan main.
"Jurus ketiga!" serunya.
Tio Bun Yang tidak sempat berkelit. Karera itu ia terpaksa
mengerahkan empat bagian Iwee kang Kan Kun Taylo Sin
Kang untuk menangkis dan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo
Bu Piej (Alam Semesta Tiada Batas).
Daaaar! Terdengar seperti suara ledakan dahsyat.
Tio Bun Yang tetap berdiri tegak di tempat, sedangkan
Pahto terpental tiga langkah dengan wajah pucat. Setelah
berdiri diam, ia menatap Tio Bun Yang dengan mata
terbelalak. "Ha ha ha!" Pahto tertawa gelak. "Engkau sungguh hebat,
anak muda! Aku kagum dan mengaku kalah."
"Terimakasih atas kemurahan hati Paman yang lelah
mengalah kepadaku," ucap Tio Bun Yang. "Terimakasih!"
"Engkau memang hebat!" ujar Pahto sungguh-sungguh.
"Belasan tahun aku belajar ilmu silat kepada seorang pertapa
sakti di Gunung Hima-laya, namun masih kalah melawanmu.
Guruku pernah bilang, di atas gunung masih ada gunung.
Ternyata benar. Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi
membebaskan ibu dan ayah Cing Cing."
"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yang.
Pahto melesat pergi, dan Tio Bun Yang ber-diri termangumangu.
Ia juga tidak menyangka kalau Pahto berkepandaian
begitu tinggi. Berselang beberapa saat kemudian, Pahto sudah kembali
bersama ibu dan ayah Cing Cing.
"Anak muda, mereka adalah ibu dan ayah Cing Cing," ujar
Pahto memberitahukan. "Mereka berdua tidak kurang suatu
apa pun, kan?"
"Terimakasih, Paman!"
Pahto memandang kedua orang tua Cing Cing, kemudian
mereka bertiga berbicara dengan bahasa Miauw. Tio Bun Yang
sama sekali tidak mengerti, apa yang mereka katakan, maka
ia diam saja. "Anak muda!" Pahto menatapnya seraya bertanya.
"Bolehkah engkau memberitahukan pada ku, ilmu apa yang
engkau gunakan tadi?"
"Itu adalah ilmu Kan Kun Taylo Sin Kang." Tio Bun Yang
memberitahukan dengan jujur.
"Terimakasih, anak muda! Mudah-mudahar kita akan
berjumpa lagi kelak!" ujar Pahto dai melesat pergi.
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala sementara ibu
Cing Cing terus menatapnya dengan penuh perhatian.
"Engkau pasti putera Tio Cie Hiong," ujarnya kemudian.
"Engkau mirip dia, tapi... engkau lebih tampan."
"Bibi, Paman!" Tio Bun Yang segera memberi hormat. "Aku
memang putera Tio Cie Hiong!"
"Bagus, bagus!" Ibu Cing Cing tertawa gembira.
"Bibi, Paman Pahto bukan orang jahat," ujar Tio Bun Yang
dan menambahkan. "Hanya saja dia sakit hati terhadap Bibi."
"Benar." Ibu Cing Cing manggut-manggi "Karena aku
menikah dengan dia."
Ibu Cing Cing menunjuk suaminya. Ayah Cing Cing
manggut-manggut seraya berkata,
"Dia memang bukan orang jahat. Sesunggu nya dia teman
baikku. Setelah ayahmu meninggalkan daerah Miauw, kami
berdua sama-sama jatuh cinta kepada ibu Cing Cing. Ternyata
ibu Cing Cing mencintaiku. Itulah yang membuat teman
baikku itu jadi sakit hati, lalu meninggalkan daerah Miauw.
Beberapa bulan yang lalu, dia muncul...."
"Cing Cing telah menceritakan itu kepadaku," ujar Tio Bun
Yang. "Oh ya, kenapa ayahmu tidak ke mari?" tanya ibu Cing Cing
mendadak. "Ayahku tinggal di Pulau Hong Hoang To, sedangkan aku
mengembara di Tionggoan." Tio Hun Yang memberitahukan.
"Kebetulan aku bertemu Cing Cing...."
"Kalian memang berjodoh." Ibu Cing Cing tertawa gembira.
"Bisa bertemu begitu kebetulan."
"Bibi..." Wajah Tio Bun Yang memerah.
"Oh ya, kami belum tahu namamu," ujar ibu Cing Cing.
"Namaku Tio Bun Yang."
"Bun Yang, mari ke tempat tinggal kami!" njak ibu Cing
Cing. Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti ibu dan ayah
Cing Cing ke tempat tinggal mereka, berselang beberapa saat
kemudian, sampailah mereka di tempat tersebut. Para
pengawal di situ langsung bersorak-sorak penuh kegembiraan.
Pada saat bersamaan, tampak seorang gadis cantik berlarilari
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri mereka, yaitul Cing Cing.
"Ayah, Ibu!" serunya dengan wajah berseri-seri dan
langsung mendekap di dada ibunya.
"Nak...." Ibunya membelainya dengan penuh kasih sayang,
ayannya juga membelainya.
Setelah itu, Cing Cing segera mendekati Tio Bun Yang, dan
mendadak mengecup pipinya.
"Eeeh...?" Wajah Tio Bun Yang langsung memerah.
Monyet bulu putih bertepuk-tepuk tangan, kelihatannya
gembira sekali.
"Bun Yang," ujar ibu Cing Cing sambil tersenyum. "Kecupan
itu merupakan penghormatan istimewa, engkau jangan salah
paham!" "Ya, Bibi!" Tio Bun Yang mengangguk Ayoh, kita ke dalam!"
ajak ibu Cing Cing.
Mereka berjalan ke dalam rumah, lalu duduk di ruang
depan. Para pelayan segera menyuguhkan berbagai macam
makanan dan minuman.
"Bun Yang mari minum!" ujar ibu Cing Cing
Tio Bun Yang meneguk minumannya. Monyet bulu putih itu
juga tidak mau ketinggalan, langsung meneguk pula, yang
tentunya membuat ibu dan ayah Cing Cing tertawa geli.
"Kakak Bun Yang, aku tidak jadi berkabung untukmu," ujar
Cing Cing mendadak.
"Eh?" tegur ibu Cing Cing. "Jangan omong sembarangan!"
"Ibu, aku tidak omong sembarangan, melainkan omong
sesungguhnya. Apabila Kakak Bun Yang mati di tiga rintangan
itu atau mati di tangan Pahto, maka aku akan berkabung lima
tahun." "Nak, engkau...." Ibu Cing Cing menggeleng-gelengkan
kepala. "Kakak Bun Yang, aku tidak menyangka kepandaianmu
begitu tinggi. Bolehkah engkau ajarkan kepadaku?"
"Itu...." Tio Bun Yang tampak ragu.
"Bun Yang!" Ibu Cing Cing tersenyum. "Ajari-lah dia! Sebab
dia memang suka belajar ilmu silat."
"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk. "Terimakasih, Kakak
Bun Yang!" ucap Cing Cing sambil tersenyum manis.
Keesokan harinya, Tio Bun Yang mengajar Cing Cing caracara
berlatih Giok Li Sin Kang, juga mengajarnya ilmu pedang
Lui Tian Kiam Hoat. Setelah itu, barulah Tio Bun Yang
berpamit kembali ke Tionggoan.
-oo0dw0oo- Jilid 5 Bab-21 Berkenalan
Lu Hui San putri angkat Lu Thay Kam yang mulai berkelana
itu telah tiba di sebuah kota yang cukup besar, ramai dan
tampak gedung-gedung mewah. Ia terus berjalan perlahan
sambil menengok kesana ke mari menikmati keindahan kota
itu. Disaat itulah mendadak ia mendengar suara jeritan.
Segeralah ia menoleh, dilihatnya beberapa pengawal
pembesar sedang memukuli seorang tua.
"Kalau engkau tidak bayar pajak, kami pasti memukulmu
sampai mampus!" bentak kepala pengawal itu. "Ayoh, cepat
bayar pajak!"
"Tuan, jangan kata bayar pajak, buat makan pun susah,"
ujar orang tua itu sambil merintih-rintih. "Aduuuh!"
"Hmm!" dengus kepala pengawal itu. "Kami tidak mau tahu
ada untuk makan atau tidak, yang penting engkau harus bayar
pajak!" "Tuan...."
Plaaak! Plaaaak! Kepala pengawal itu menampar pipi Si
orang tua. "Aduuuh!" jerit orang tua itu dengan mulut mengeluarkan
darah. "Aduuuh!"
"Jangan siksa ayahku! Jangan siksa ayahku!" teriak seorang
gadis berusia dua puluhan. "Nanti akan kami bayar pajak itu!"
"Wuaah!" Para pengawal itu terbelalak memandang gadis
itu, karena gadis itu cukup cantik.
"Tak disangka orang tua jelek ini mempunyai anak gadis
begitu cantik!"
"Tuan," ujar gadis itu dengan air mata berderai. "Jangan
siksa ayahku...."
"Tapi dia harus membayar pajak!"
"Kami minta tempo beberapa hari."
"Tidak bisa! Pokoknya sekarang harus bayar, kalau
tidak...." Kepala pengawal itu tertawa dingin. "Ayahmu akan
kami tangkap, lalu kami masukkan ke penjara!"
"Tuan, tolonglah kami, berilah kami tempo beberapa hari!"
"Itu...." Kepala pengawal itu menatap gadis tersebut,
kemudian berbisik. "Kami bisa memberi tempo beberapa hari,
asal... engkau mau menemani kami."
"Tuan, itu tidak bisa." Gadis itu menggelengkan kepala.
"Aku...."
"Hmm!" dengus kepal? pengawal itu. "Kalau engkau tidak
bisa, maka ayahmu harus ditangkap!"
"Jangan, Tuan!" Gadis itu terus memohon. "Tuan, jangan
tangkap ayahku...!"
"Boleh, asal...." Kepala pengawal itu mendekati si gadis,
sekaligus menowel pipinya. "Asal engkau bersedia menemani
kami!" Di saat itulah Lu Hui San mendekati mereka dengan wajah
dingin. Beberapa pengawal sudah melihat akan kehadiran
gadis yang cantik.
"Wuaaah, gadis ini lebih cantik!"
"Jangan main-main! Dia membawa pedang, berarti dia
gadis rimba persilatan"
"Kalian semua pengawal pembesar mana?" tanya Lu Hui
San sambil menatap mereka dengan tajam.
Begitu mendengar suara yang merdu itu, kepala pengawal
langsung menoleh dan seketika juga matanya berbinar-binar.
"Wuaaah, Nona sungguh cantik!" ujarnya terbelalak.
"Engkau adalah kepala pengawal?" tanya Lu Hui San sambil
tersenyum. "Betul, betul!" Kepala pengawal itu mengangguk. "Aku
adalah kepala pengawal yang gagah."
"Gagah terhadap orang tua yang tak berdaya?" tanya Lu
Hui San. "Nona, kami menjalankan tugas," sahut kepala pengawal
itu. "Menjalankan tugas apa?" Lu Hui San mengerutkan kening.
"Menagih pajak para penduduk kota ini." Kepala pengawal
memberitahukan. "Kami adalah pengawal Ma Tayjin
(Pembesar Ma)!"
"Siapa itu Ma Tayjin?"
"Pembesar di kota ini. Beliau yang menugaskan kami
menagih pajak. Orang tua itu tidak mau bayar pajak...."
"Karena itu kalian memukulnya?"
"Kalau kami tidak memukulnya, dia pasti tidak mau bayar
pajak." "Oh?" Lu Hui San tertawa. "Orang tua itu sangat miskin,
mungkin untuk makan pun susah, kenapa kalian begitu tega
memukulnya?"
"Eh" Nona...." Kepala pengawal menatapnya. "Engkau
bukan penduduk sini, lebih baik jangan turut campur! Kami
berhak menangkapmu lho!"
"Tadi engkau menowel pipi gadis itu?"
"Tidak salah." Kepala pengawal itu tertawa. "Kalau ayahnya
tidak bayar pajak, dia pun harus menemani kami!"
"Apakah itu merupakan hukum yang berlaku di kota ini?"
"Betul." Kepala pengawal itu mengangguk. "Ma Tayjin
sudah berpesan kepada kami, apabila ada orang tidak mau
membayar pajak, kalau dia mempunyai anak gadis harus
ditangkap untuk dijadikan jaminan."
"Oh, ya?" Wajah Lu Hui San berubah dingin sekali. "Apakah
itu merupakan peraturan dari ibu kota?"
"Kami tidak tahu."
"Begini," ujar Lu Hui San. "Orang tua itu memang tidak
mampu membayar pajak, jadi kalian boleh menangkapku."
"Nona...." kepala pengawal itu tertegun. "Engkau bukan
penduduk sini, lagi pula tidak punya salah, bagaimana
mungkin kami menangkapmu?"
"Oh, begitu!" Lu Hui San tersenyum. "Baik, aku akan
membuat salah agar kalian menangkapku."
Mendadak Lu Hui San mengayunkan tangannya, dan
terdengarlah suara "Plak Plok" keras sekali.
"Aduh!" Jerit kepata pengawal itu sambil memegang
pipinya. Ternyata Lu Hui San menamparnya. Gadis itu
memandangnya sambil tersenyum-senyum.
"Tadi engkau berani memegang pipi gadis itu, maka aku
pun berani menamparmu."
"Kurang ajar!" bentak kepala pengawal itu dan sekaligus
menyera?gnya dengan sebuah pukulan.
Lu Hui San mengelak, kemudian mendadak mengayunkan
kakinya menendang kepala pengawal itu dan tepat mengenai
perutnya, sehingga tubuh kepala pengawal itu terpental lalu
jatuh. "Aduh!" jerit kepala pengawal itu, lalu memberi perintah
pada para anak buahnya "Cepat kalian serang dia!"
Beberapa pengawal langsung menyerang Lu Hui San
dengan tangan kosong. Gadis itu berkelit ke sana ke mari,
kemudian balas menyerang.
Plaak! Ploook! Plaaak! Ploook!
"Aduuuh!" Beberapa peng?wal itu sudah tertampar.
Para penduduk yang menyaksikan kejadian segera bersorak
sorai, mereka memang benci sekali kepada para pengawal itu.
"Nona! Hajar mereka, karena mereka selalu bertindak
sewenang-wenang dan sering mengganggu anak isteri orang!"
seru beberapa penduduk kota itu.
"Baik!" Lu Hui San mengangguk. "Aku akan menghajar
mereka lagi!"
Gadis itu mengayunkan kakinya menendang ke sana ke
mari. Para pengawal itu tertendang
hingga terpental jatuh, dan mereka merintih-rintih
kesakitan. "Horeee!" sorak para penduduk kota, termasuk orang tua
dan putrinya "Rasakan! Hari ini giliran kalian dihajar"
"Ampun Nona, ampun. . .!" Kepala pengawal itu memohonmohon.
"Kami cuma menjalankan tugas. Ampun...!"
"Aku ingin bertanya, kalian harus menjawab secara jujur!
Kalau tidak, kalian akan kuhajar lagi!"
"Ya, ya. Kami pasti menjawab secara jujur."
"Apakah pembesar kota ini selalu menaikkan pajak tanpa
persetujuan dan ibu kota?"
"Betul. Pembesar itu sering melakukan tindak korupsi,"
jawab para pengawal itu serentak.
"Betulkah dia sering menyuruh kalian menangkap kaum
gadis, yang orang tuanya tidak mampu membayar pajak?"
"Betul."
"Kalian juga ikut-ikutan berbuat begitu?"
"Kami...." Kepala pengawal itu menundukkan kepala.
"Pembesar kami boleh berbuat begitu, maka sudah barang
tentu kami pun mengikutinya."
"Jadi pembesar kalian dan kalian telah membuat sengsara
para penduduk kota ini, maka sekarang juga aku harus
menghukum kalian."
"Ampun ampun..!"
"Para penduduk kota ini!" seru Lu Hui San. "Siapa yang
ingin menghajar para pengawal itu, silakan!"
Para penduduk kota itu diam, namun kemudian muncul
beberapa lelaki menghampiri Lu Hui San.
"Kami mau menghajar mereka. Sebab mereka pernah
menyita ayam dagangan kami sehingga membuat kami
bangkrut," ujar beberapa lelaki itu.
"Betulkah kalian pernah menyita ayam dagangan mereka?"
tanya Lu Hui San kepada kepala pengawal itu.
"Nona, ampunilah kami!"
"Aku akan mengampuni kalian, tapi kalian semua harus
tengkurap. Karena beberapa lelaki itu ingin menghajar kalian!"
"Jangan, jangan.!" Kepala pengawal itu ketakutan. "Kami...
kami bersedia mengganti rugi."
"Baik. Cepatlah kalian ganti rugi!"
"Ya, ya...." Kepala pengawal itu dan beberapa anak
buahnya langsung mengeluarkan uang masing-masing, lalu
diserahkan pada lelaki itu.
Beberapa lelaki itu menghitung uang perak tersebut,
kemudian berkata pada Lu Hui San.
"Nona, uang ini lebih banyak!"
"Lebihnya diberikan pada paman tua itu!" Lu Hui San
menunjuk orang tua yang dipukul kepala pengawal itu.
"Ya!" Beberapa lelaki itu segera memberikan uang perak
pada orang tua tersebut.
"Terima kasih Nona! Terimakasih...." Ucap orang tua itu
terharu. Lu Hui San tersenyum, kemudian memandang kepala
pengawal itu dan berkata dengan nada dingin.
"Sekarang kalian harus mengantarku menemui pembesar
itu, aku akan menghajarnya."
"Haaah?" Kepala pengawal itu terbelalak.
"Nona. . . ."
"Kalian harus mengaku menangkapku, karena aku ingin
lihat bagaimana reaksi pembesar Itu."
"Ya...." Kepala pengawal itu mengangguk. "Mari ikut kami,
Nona!" Lu Hui San mengikuti mereka menuju kantor pembesar Ma.
Para penduduk kota itu pun tidak mau ketinggalan, mereka
juga ikut ke kantor itu.
Tak seberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di
kantor Ma Tayjin. Seperti biasa, kalau ada kasus, kepala
pengawal itu pasti memukul tambur yang di sudut ruang
kantor itu. Dung! Dung! Dung! Terdengar suara tambur itu.
Sesaat kemudian terdengar pula suara seruan dari dalam.
"Ma Tayjin akan memeriksa kasus! Ma Tayjin akan
memeriksa kasus..!"
"Ooooohhh!" Kepala pengawal dan para anak buahnya
langsung berseru. Tak lama muncullah beberapa petugas yang
lalu berbaris. Setelah itu, muncullah Ma Tayjin bersama
penasihatnya.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada kasus apa?" tanya Ma Tayjin setelah duduk.
"Tayjin, ada kasus gadis ini," sahut kepala pengawal sambil
menunjuk Lu Hui San yang berdiri ditengah-tengah ruang itu.
"Ayahnya tidak mau membayar pajak, maka kalian tangkap
dia?" tanya Ma Tayjin sambil menatap Lu Hui San dengan
terbelatak. "Wuah. Bukan main cantiknya!"
"Betul, Tayjin," bisik penasihat sambil tersenyum. "Belum
pernah aku melihat gadis secantik itu."
"Tapi gadis itu membawa pedang." Ma Tayjin mengerutkan
kening. "Apakah dia gadis rimba persilatan?"
"Tidak mungkin. Sebab gadis itu begitu halus, mungkin
pedang itu cuma pedang mainan," sahut penasihat itu.
"Ngmm!" Ma Tayjin manggut-manggut, kemudian
membentak Lu Hui San. "Cepatlah engkau berlutut!"
Akan tetapi, Lu Hui San tetap berdiri tegak sambil menatap
Ma Tayjin dengan dingin.
"Kurang ajar!" Ma Tayjin memukul meja. "Sungguh berani
engkau tidak berlutut" Pengawal! Cepat hajar dia!"
Akan tetapi, para pengawal diam saja dengan kepala
tertunduk. Itu membuat Ma Tayjin bertambah gusar.
"Kenapa kalian tidak menuruti perintahku?"
Disaat bersamaan, mendadak Lu Hui San tertawa dingin.
"Apakah engkau Ma Tayjin?"
"Betul! Cepatlah engkau berlutut!" bentak Ma Tayjin
dengan mata melotot. "Kalau engkau masih berdiri, kakimu
akan dipatahkan!"
"Oh?" Lu Hui San tertawa dingin lagi. "Begitukah sikap
seorang pembesar?"
"Kurang ajar engkau!" Ma Tayjin memukul meja lagi.
"Petugas, cepat hukum gadis liar itu!"
"Ya, Tayjin," sahut beberapa petugas, dan segera
mendekati Lu Hui San.
"Hukum dia dengan sepuluh kali pukulan!" Ma Tayjin
memberi perintah lagi.
"Ya." Petugas-petugas itu mengangguk.
Akan tetapi, di saat bersamaan mendadak Lu Hui San
mengayunkan tangannya, dan terdengarlah suara Plak Plok
Plak Plok! "Aduuuh!" jerit para petugas itu sambil memegang pipi.
"Haah?" Ma Tayjin terkejut bukan main, sehingga matanya
terbelalak lebar. "Gadis liar! Engkau berani menampar para
petugas?" "Hmmm!" dengus Lu Hui San dingin. "Hari ini aku harus
menghukummu, karena engkau telah berlaku sewenangwenang
terhadap para penduduk kota ini!"
"Apa"!" Ma Tayjin tertegun.
Sementara para penduduk yang berdiri di luar kantor sudah
mulai berteriak-teriak.
"Hukum Ma Tayjin! Dia telah membuat para penduduk kota
ini sengsara!"
"Pengawal, cepat usir orang-orang itu!" bentak Ma Tayjin.
Para pengawal diam saja. Maka sudah barang tentu Ma
Tayjin menjadi bertambah gusar, Sehingga wajahnya menjadi
merah padam. "Kenapa kalian diam saja" Apakah kalian juga mau
dihukum?" "Ma Tayjin!" sahut Lu Hui San dingin. "Mereka takut
kepadaku. Maka bagaimana mungkin mereka berani menuruti
perintahmu?"
"Engkau...." Ma Tayjin melotot.
"Ma Tayjin, hari ini aku harus menghukummu!" tegas Lu
Hui San sambil melangkah maju ke hadapan pembesar itu,
kemudian mengeluarkan sebuah medali pemberian Lu Thay
Kam. "Kenal benda ini?"
"Haaah...?" Ma Tayjin dan penasihatnya terbelalak, dan
sekujur badan mereka pun mulai menggigil ketakutan. "Maaf!
Maaf...." Ma Tayjin dan penasihatnya segera memberi hormat
kepada Lu Hui San, tetapi gadis itu hanya tersenyum dingin.
"Kini kalian berdua sebagai terdakwa, maka cepat berdiri di
sana!" bentak Lu Hui San.
"Ya, ya...." Ma Tayjin dan penasihatnya menurut, lalu
segera berdiri di tengah-tengah ruang itu dengan kaki
bergemetar. Ternyata mereka mengenali medali itu.
Sementara para pengawal, petugas dan penduduk kota
yang berdiri di luar terheran-heran menyaksikannya. Mereka
sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Lu HUi San duduk di kursi Ma Tayjin, kemudian mendadak
ia memukul meja, sehingga membuat jantung Ma Tayjin dan
penasihat itu nyaris copot.
"Kalian berdua masih belum berlutut?"
Ma Tayjin dan penasihat?ya segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Lu Hui San. Para pengawal dan para
petUgas tercengang melihatnya. Sedangkan para penduduk
kota yang ada diluar langsung bersorak-sorak.
"Ma Tayjin berlutut! Ha ha ha!"
"Ma Tayjin harus dihukum, karena dia pembesar korup!"
Betapa terkejutnya Ma Tayjin dan penasihat itu ketika
mendengar suara seruan. Wajah mereka langsung berubah
pucat pias "Nona, aku bukan pembesar korup!"
"B?hong!" Terdengar suara sahutan di luar.
"Dia sembarangan menaikkan pajak demi kantongnya
sendiri!" "Nona, itu. . . itu. . . "Tergagap Ma Tayjin.
"Maksudmu itu adalah peraturan dari ibu kota?" tanya Lu
Hui San. "Yaa!" Ma Tayjin mengangguk.
"Oh?" Lu Hui San menatap penasihat itu, kemudian
tanyanya dingin. "Betulkah itu peraturan dari ibu kota?"
Penasihat itu menundukkan kepala.
"Baik!" Lu Hui San tertawa dingin. "Kalau engkau tidak
mau menjawab dengan jujur, akan kupenggal kepalamu!"
"Ampun! Ampun...!" Penasihat itu segera membenturkan
kepalanya ke lantai. "Jangan penggal kepalaku!"
"Kalau begitu, engkau harus menjawab dengan jujur!"
bentak Lu Hui San.
"Sebetulnya, itu bukan peraturan dari ibu kota, me1ainkan.
. ." "Dia yang mengusulkan menaikkan pajak para penduduk
kota ini!" potong Ma Tayjin berkilah sambil menuding
penasihat itu. "Ma Tayjin bertanya padaku, karena isterinya lebih dan
sepuluh. Mereka harus hidup mewah. Karena itu, aku terpaksa
mengusulkan begitu," sahut penasihat itu.
"Isterinya juga banyak, lebih dan lima! Maka hasil kenaikan
pajak itu kami bagi dua." Ma Tayjin memberitahukan.
"Bagus! Bagus!" Lui Hui San tertawa dingin. "Kalian berdua
memang telah bekerja-sama, maka aku harus menghukum
kalian!" "Ampun! Ampun...!"
"Nona!" Terdengar suara seruan di luar. "Jangan memberi
ampun pada mereka!"
Lui Hui San manggut~manggUt, kemudian berseru.
"Petugas!"
"Ya!" Sahut para petugas itu sambil memberi hormat.
"Siapa di antara kalian yang bersedia melaksanakan tugas
untuk memukul pantat mereka berdua?" tanya Lui Hui San.
"Kami semua bersedia!" sahut para petugas. Mereka
memang merasa sakit hati terhadap Ma Tayjin dan
penasihatnya, lantaran sering dicaci-maki.
Ma Tayjin dan penasihat itu bersenang-senang dengan para
isterinya, sementara mereka harus menghadapi para
penduduk kota yang kadang-kadang mengamuk di kantor itu.
"Bagus!" Lu Hui San manggut-manggut lalu berseru.
"Pengawal!"
"Ya!" Sahut para pengawal sambil memberi hormat.
"Tengkurapkan Ma Tayjin dan penasihatnya!"
Para pengawal itu langsung menekan badan Ma Tayjin dan
penasihat itu sampai tengkurap dilantai.
"Ampun, Nona! Ampun... kami tidak akan bertindak
sewenang-wenang lagi!" ujar Ma Tayjin berjanji.
"Tapi sesuai dengan hukum kerajaan, kalian berdua harus
ditindak!" sahut Lui Hui San, lalu memberi perintah kepada
para petugas. "Pukul pantat mereka masing-masing dua puluh
lima kali!"
Para petugas segera mengambil alat pemukul.
"Ampun.!"
Tak lama kemudian terdengar suara pukulan.
"Aduuuh! Aduuuh!" jerit Ma Tayjin dan penasihat itu
kesakitan. "Aduuh. . . .!"
"Asyiiik!" seru para penduduk kota yang diluar. "Rasakan
sekarang, mereka berdua sering menyuruh para petugas
memukul kita, kini giliran mereka dipukul! Asyiiiik!"
Setelah memukul dua puluh lima kali, barulah para petugas
itu berhenti. Ma Tayjin dan penasihatnya merintih-rintih.
Pantat mereka membengkak dan memar.
"Nona!" ujar para petugas sambil memberi hormat. "Kami
ingin mengundurkan diri, tidak mau jadi petugas di sini lagi!"
"Baik!" Lui Hui San mengangguk.
"Kami juga tidak mau jadi pengawal di sini lagi!" ujar para
pengawal sambil memberi hormat.
"Tidak apa-apa!" Lu Hui San manggut-manggut, kemudian
menuding penasihat yang masih tengkurap di lantai. "Cepat
berikan mereka pesangon tiga bulan gaji, cepat!"
Penasihat itu segera bangkit berdiri, tapi terjatuh lagi.
Terpaksalah ia merangkak ke dalam.
"Horeee!" Seru para penduduk kota yang diluar. "Ada
anjing merangkak-rangkak!"
Tak seberapa lama kemudian, penasihat itu sudah kembali
ke ruang depan dengan tertatih-tatih. Ia lalu memberikan
uang pesangon kepada para petugas dan pengawal tersebut.
"Nona! Kami ucapkan banyak terimakasih. Sampai jumpa!"
Mereka segera meninggalkan ruang kantor itu sambil tertawatawa.
"Nah, dengar baik-baik! Mulai sekarang kalian tidak boleh
bertindak sewenang-wenang lagi! Kalau kalian masih berlaku
begitu...."
"Ya, ya!" Ma Tayjin berusaha bangkit berdiri. "Kami tidak
berani lagi!"
"Bagus, bagus!" Lu Hui San tertawa, lalu meninggalkan
ruang kantor itu sambil tersenyum-senyum. Para penduduk
kota bersorak sorai penuh kegembiraan.
"Terimakasih, Nona! Terimakasih...!"
Sementara Ma Tayjin dan penasihatnya berbisik-bisik.
Wajahnya masih tampak pucat pias.
"Tahukah engkau siapa gadis itu?"
"Tentunya dia utusan dan Lu Kong Kong," jawab penasihat
itu dengan suara rendah.
"Kalau tidak salah, gadis itu adalah putri kesayangan Lu
Kong Kong." Ma Tayjin memberitahukan.
"Haaah"!" Penasihat itu nyaris pingsan seketika, kemudian
meraba-raba kepalanya seraya berkata. "Untung kepalaku
tidak copot!"
-oo0dw0oo- Setelah meninggalkan kota itu, Lu Hui San melanjutkan
perjalanannya. Hatinya merasa geli teringat akan kejadian
yang lucu tadi. Hingga hari menjelang sore, Ia sampai di
sebuah tempat yang agak sepi. Mendadak Ia mendengar
suara dentangan senjata, seperti suara pertarungan. Cepat dia
melesat menuju tempat asalnya suara itu.
Setibanya di situ, ia melihat belasan orang berpakaian
merah tengah mengeroyok seorang pemuda dan seorang
gadis. Menyaksikan itu, timbullah niatnya untuk membantu.
"Sungguh tak tahu malu kalian, belasan orang mengeroyok
dua orang!" bentak Lu Hui San sambil mendekati mereka yang
sedang bertarung, membuat mereka berhenti seketika.
"Siapa engkau?" bentak salah seorang berpakaian merah.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Pokoknya aku harus
bantu mereka!" sahut Lu Hui San sambil menghunus
pedangnya. "Haaaa?" Terbelalak belasan orang berpakaian merah.
Mereka tampak terkejut. "Han Kong Kiam (Pedang Cahaya
Dingin)! Mari kita kabur!"
Belasan orang berpakaian merah langsung melarikan diri.
Melihat hal itu Lu Hui San tercengang. Kemudian ia
menyarung pedangnya kembali.
"Kenapa mereka begitu takut pada pedangku?" gumamnya
dengan kening berkerut.
"Nona!" Pemuda itu mendekati Lu Hui San sambil memberi
hormat "Terimakasih atas bantuanmu.
"Sama-sama," sahut Lu Hui San sambil tersenyum.
"Terimakasih Nona." Gadis itU pun memberi hormat.
"Namaku Lam Kiong Soat Lan, dan kawanku Toan Beng Kiat.
Bolehkah kami tahu namamu?"
"Namaku Lu Hui San!" jawabnya sambil balas memberi
hormat. "N?ma yang indah sekali..." ujar Toan Beng Kiat. Namun
ucapan itu ditahannya. Dan wajahnya tampak memerah.
"Terimakasih atas pujianmu," ucap Lu Hui San.
"Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan tertawa kecil. "Selain
indah namanya, orangnya pun cantik sekali," ujarnya bernada
menyindir. "Soat Lan..." Wajah Toan Beng Kiat bertambah merah.
Sementara Lu Hui San tersenyum-senyum lalu bertanya.
"Kalian berdua k?kak beradik?"
"Boleh dikatakan begitu," sahut Lam Kiong Soat Lan
menjelaskan. "Kar?na kami adalah famili dekat."
"Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut. "Oh ya, siapa
sebenarnya orang-orang berpakaian merah itu?"
"Mereka para anggota Hiat Ih Hwe," jawab Toan Beng Kiat.
"Kenapa kalian bertarung dengan mereka?" tanya Lui Hui
San lagi. "Mereka ingin membunuh kami, maka kami terpaksa
melawan," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Kalian punya dendam dengan mereka?"
"Sesungguhnya tidak."
"Kalau begitu, kenapa mereka ingin membunuh kalian?"
"Entahlah!" Toan Beng Kiat menggeleng kepala. "Ketika
kami sampai di sini, mendadak mereka muncul dan langsung
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang kami."
"Kalau begitu, mungkin ada salah paham?" tukas Lu Hui
San. "Kami sama sekali tidak mengerti," Lam Kiong Soat Lan
menggeleng~gelengkan kepala. "Oh ya! Kenapa mereka
begitu takut melihat pedangmu?"
"Aku sendiri justru tidak habis berpikir," ujar Lu Hui San.
"Memang membingungkan."
"Siapa yang menghadiahkan pedang itu padamu?" tanya
Toan Beng Kiat mendadak sambil memandangnya. Ia sangat
terkesan baik terhadap gadis itu.
"Ayahku!" Lu Hui San memberitahUkan.
"Kalau begitu...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Ayahmu pasti
sangat terkenal sekali. Orang-orang tadi m?ngenali pedang
milik ayahmu."
Lu Hui San hanya tersenyum.
"Siapa ayahmu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Ayahku bernama Lu Kam Thay," jawab Lu Hui San,
sengaja membalikkan kata "Thay Kam" jadi "Kam Thay".
"Lu Kam Thay..?" gumam Lam Kiong Soat Lan. "Maaf
bolehkah kami mengetahui julukan ayahmu?"
"Ayahku tidak punya julukan," sahut Lu Hui San sambil
tersenyum. "Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.
Tiba-tiba muncul beberapa orang yang segera memberi
hormat pada Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soan Lan, dan Lu Hui
San. "Maaf, kami mengganggu kalian!" ucap salah seorang itu
dan memberitahukan. "Kami adalah anggota Tiong Ngie
Pay...." "Tiong Ngie Pay?" tanya Toan Beng Kiat dengan wajah
berseri, karena pernah mendengar perkumpulan tersebut dari
kakeknya. "Ya!" Orang itu mengangguk dan memberi hormat lagi.
"Ketua kami mengunda?g kalian kemarkas!"
Toan Beng Kiat melirik Lam Kiong Soat Lan. Terdengar
suara menggumam dan mulutnya, Seperti ragu untuk
mengucapkan kata-kata. Namun Lam Kiong Soat Lan
mendahuluinya. "Baik!" Gadis itu mengangguk.
"Terimakasih!" ucap anggota Tiong Ngie Pay itu sambil
tertawa gembira "Mari ikut kami?"
Sementara Toan Beng Kiat memandang Lu Hui San,
kemudian berkata dengan penuh harap. "Nona Hui San, mari
ikut kami ke markas Tiong Ngie Pay!"
"Baik!" Lu Hui San mengangguk
"Terimakasih!" ucap Toan Beng Kiat tanpa sadar.
"Eh?" Lu Hui San tersenyum "Kenapa engkau mengucapkan
tenmakasih padaku" Itu tidak perlu!"
"Aku. . ." Toan Beng Kiat tergagap dengan wajah kemerahmerahan
"Karena girang, maka mengucapkan terimakasih padamu!"
sindir Lam Kiong Soat Lan sambil tertawa "Jadi, dia
mengucapkan terimakasih atas kesediaanmu ikut ke markas
Tiong Ngie Pay!"
"Oooh!" Lu Hui San tersenyum lagi.
Mereka bertiga mengikuti para anggota Tiong Ngie Pay
menuju markas mereka. Beberapa saat kemudian, sampailah
mereka di markas tersebut
Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
menyambut kedatangan mereka dengan penuh kegembiraan
dan kehangatan.
"Terimakasih atas kedatangan kalian!" ucap Yo Suan Hiang
"Silakan duduk!"
Mereka bertiga duduk, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan terus memandang Yo Suan Hiang
"Ka1au tidak salah, engkau pasti Bibi Suan Hiang, kan?"
"Betul" Yo Suan Hiang mengangguk. "Siapa yang
memberitahukan pada kalian?"
"Kakekku," jawab Toan Beng Kiat.
Yo Suan Hiang manggut-manggut sambil tersenyum.
"Kakekmu pasti Gouw Han Tiong, dan ayahmu tentunya Toan
Wie Kie, sedangkan ibumu bernama Gouw Sian Eng! Ya, kan?"
"Bagaimana Bibi bisa tahu?" tanya Toan Beng Kiat, merasa
heran. "Tentu tahu, sebab aku kenal kakek dan kedua orang
tuamu," ujar Yo Suan Hiang sambil memandang Lam Kiong
Soat Lan. "Engkau pasti putri kesayangan Lam Kiong Bie Liong
dan Toan Pit Lian. Begitu, bukan?"
Lam Kiong Soat Lan tercengang mendengar ucapan wanita
itu. "Karena aku kenal kedua orang tuamu, bahkan juga kenal
Lam Kiong hujin yang telah tiada itu!"
Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.
"Gadis ini..." Yo Suan Hiang menatap Lu Hui San, karena
tidak mengenalnya. "Siapa gadis ini?"
"Namanya Lu Hui San," jawab Toan Beng Kiat
memperkenalkan. "Kami baru berkenalan, dia membantu kami
mengusir para anggota Hiat Ih Hwe."
Yo Suan Hiang manggut-manggut sambil tersenyum.
"Terima kasih atas kedatanganmu, Nona!"
Lu Hui San juga tersenyum. "Bibi, panggil namaku saja!"
pintanya merendah.
"Baik." Yo Suan Hiang mengangguk. "Oh ya, Tio Bun Yang
telah ke mari, tapi sudah pergi."
"Sayang sekali!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan
kepala. "Padahal kami ingin sekali bertemu dia!"
"Oh ya!" Yo Suan Hiang memberitahukan. "Kam Hay Thian
juga sudah kemari"
"Kam Hay Thian" Siapa dia?" tanya Toan Beng Kiat.
"Dia putra Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien. Ayahnya sudah
meninggal" Yo Suan Hiang memberitahukan. "Ayah Tio Bun
Yang kenal mereka. Beberapa hari yang lalu, dia
meninggalkan markas ini!"
Sementara beberapa anggota sibuk menyuguhkan
minuman. Tak lama kemudian mereka bersulang bersama
sambil tertawa riang gembira.
"Oh ya," ujar Yo Suan Hiang. "Bagaimana jika kalian tinggal
di sini beberapa hari?"
"Maaf, Bibi!" jawab Toan Beng Kiat. "Kami masih ada
urusan lain, jadi tidak bisa tinggal disini!"
"Kalau begitu..." Yo Suan Hiang tersenyum. "Malam ini
kalian menginap di sini saja, besok baru pergi"
Toan Beng Kiat mengangguk. "Baiklah, Bibi."
Mereka menginap semalam di markas Tiong Ngie Pay.
Keesokan harinya barulah mereka meninggalkan markas itu.
-oo0dw0oo- Sementara itu, para anggota Hiat Ih Hwe telah sampai di
markas. Mereka langsung melapor pada Gak Cong Heng yang
baru diangkat menjadi wakil ketua, menggantikan Lie Man
Chiu yang sekian lama tak kembali ke markas.
"Wakil Ketua, ketika kami bertarung dengan seorang
pemuda dan seorang gadis, mendadak muncul gadis lain yang
menggunakan pedang Han Kong Kiam..."
"Apa"!" Bukan main terkejutnya Gak Cong Heng
mendengar laporan itu. "Kalian bertarung dengan gadis itu?"
"Tidak, Wakil Ketua. Kami langsung kabur!"
"Bagus!" Gak Cong Heng menghela nafas lega. "Untung
kalian tidak bertarung dengan gadis itu!"
"Wakil Ketua, bolehkah kami bertanya...."
"Aku tahu, kalian mau bertanya apa. Kenapa tidak boleh
mengganggu gadis pemilik pedang Han Kong Kiam, kan?"
"Betul."
"Aku akan memberitahukan pada kalian. Tapi kalian tidak
boleh membocorkan rahasia ini! Siapa yang berani
membocorkan, akan dihukum mati!"
Para anggota menganggukkan kepala.
"Kalian harus tahu, gadis itu adalah... putri kesayangan Lu
Kong Kong!"
"Haaah?" Wajah para anggota itu langsung berubah pucat.
"Untung kami tidak bertarung dengan gadis itu."
"Ingat, apabila kalian bertemu gadis itu, harus segera
melarikan diri. Pokoknya tidak boleh mengganggunya!"
Malam harinya, ketika Lu Thay Kam datang ke markas Hiat
Ih Hwe, segeralah Gak Cong Heng melapor tentang itu.
"Ngmmm!" Lu Thay Kam manggut-manggut dan
menegaskan. "Pokoknya para anggota tidak boleh
mengganggu putriku jika bertemu dia harus segera kabur!"
Gak Cong Heng mengangguk.
"Aku dengar, belum lama ini telah muncul Seng Hwee Kauw
dalam rimba persilatan Kalian, harus selidiki siapa ketua Seng
Hwee Kauw itu?"
"Baik, Lu Kong Kong." Gak Cong Heng mengangguk lagi.
"Alangkah baiknya kita bisa bekerjasama dengan Seng
Hwee Kauw. Jadi, perkumpulan kita pasti jadi kuat sekali."
"Aku akan coba melaksanakan itu," ujar Gak Cong Heng
berjanji. "Apabila Hiat Ih Hwe bisa bekerjasama dengan Seng
Hwee Kauw,kita pun boleh memanfaatkan mereka untuk
membunuh para menteri dan jenderal yang setia."
"Betul! Ha-ha-ha...!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Ha-haha...!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Bagian 22 Membunuh para Anggota Seng Hwee
Kauw Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San
melanjutkan perjalanan sambil tertawa riang gembira.
Hubungan mereka semakin akrab, bahkan Toan Beng Kiat
kelihatan telah jatuh hati padanya. Akan tetapi, sikap Lu Hui
San biasa-biasa saja. Itu membuat Toan Beng Kiat agak
kecewa tapi tetap penuh harapan. Semua itu tidak terlepas
dari mata Lam Kiong Soat Lan. Tampaknya ia berniat
membantu Toan Beng Kiat secara diam-diam.
Hari ini mereka bertiga sampai di sebuah rimba. Ketiganya
beristirahat di bawah sebuah pohon.
"Sungguh indah rimba ini!" ujar Toan Beng Kiat sambil
menoleh ke arah Lu Hui San yang duduk di sisi Lam Kiong
Soat Lan. "Sebetulnya rimba ini tidak indah," sahut Lam Kiong Soat
Lan sambil tersenyum. "Hanya karena keberadaan Hui San di
sini, membuat rimba ini berubah indah."
"Soat Lan!" Wajah Toan Beng Kiat agak kemerah-merahan
"AkU bicara sesungguhnya."
"Aku pun bicara sesungguhnya," sahut Lam Kiong Soat Lan
sambil melirik Lu Hui San "Ya, kan"
"Bagaimana mungkin diriku bisa menambah keindahan
rimba ini" tukas Lu Hui San menyelak pembicaraan itu.
Mulutnya tertawa geli.
"Itu menurut pandangan Beng Kiat" Lam Kiong Soat Lan
tertawa dan menambahkan "Hui San, Beng Kiat kelihatan
sangat tertarik padamu," bisiknya kepada Hui San.
"Oh?" Lu Hui San tersenyum. "Sesungguhnya kita semua
adalah teman...."
"Jadi engkau tidak tertarik pada Beng Kiat?" tanya Lam
Kiong Soat Lan mendadak sambil menatapnya. "Itu akan
mengecewakan Beng Kiat, lho!"
"Kita baru berkenalan, belum waktunya untuk
membicarakan tentang itu." sahut Lu Hui San, tersenyum.
"Kalau begitu..." Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.
"Masih perlu waktu."
"Soat Lan!" tegur Toan Beng Kiat. "Jangan membicarakan
ini, sebab Hui San akan tersinggung."
"Aku tidak akan tersinggung, kita sama-sama teman.
Bagaimana mungkin aku begitu gampang tersinggung?" ujar
Lu Hui San. "Bagus!" Lam Kiong Soat Lan tersenyum lebar. "H?i San,
engkau memang gadis yang baik!"
"Engkaupun begitu."
Mendadak mereka mendengar suara jeritan wanita minta
tolong. Mereka bertiga saling memandang, lalu segera beriari
menuju tempat asal suara itu.
Terlihat belasan orang berpakatan hijau berusaha
memperkosa seorang wanita. Mati-matian wanita itu meronta,
menendang, dan menggigit.
Plaaak! Salah seorang berpakaian hijau menamparnya.
"Aduuuh!"Wanita itu jatuh. Pakaiannya telah tersobek sanasini
tidak karuan. Betapa gusarnya Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan
Lu Hui San menyaksikan. Mereka bertiga serentak
membentak. "Berhenti!"
Belasan orang berpakaian hijau menoleh Ketika melihat
Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San, tertawalah mereka.
"Ha ha ha! Ada gadis cantik mengantarkan diri, kita akan
bersenang-senang dengan mereka!"
"Siapa kalian" Kenapa begitu kurang ajar?" tanya Toan
Beng Kiat sambil mengerutkan kening.
"Kami anggota Seng Hwee Kauw!"
"Oooh!" Toan Beng Kiat manggut-manggut. "Ternyata
kalian para anggota Seng Hwee Kauw. Katakan, siapa ketua
kalian!" "Ketua kami adalah Seng Hwee Sin Kun!" sahut salah
seorang angota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya. "Oooh,
kalian...."
"Memang kami!" Toan Beng Kiat manggut-manggut.
"Bukankah tempo hari kawan-kawan kalian yang ingin
membunuh kami?"
"Ha ha ha!" Anggota Seng Hwee Kauw tertawa gelak.
"Kami memang sedang cari kalian, tak disangka bertemu di
sini! Ha ha! Hari ini kalian harus mampus!"
"Oh?" Toan Beng Kiat mulai menghunus pedangnya, begitu
pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.
"Serang mereka!" seru anggota Seng Hwee Kauw yang
rupanya pimpinan gerombolan berpakaian hijau itu.
Belasan anggota Seng Hwee Kauw langsung menyerang
Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San dengan
berbagai macam senjata tajam.
Terjadilah pertarungan sengit, Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan menggunakan Thian Liong Kiam Hoat,
sedangkan Lu Hui San menggunakan Ie Hoa Ciap Bok Kam
Hoat. Pertarungan berjalan imbang, karena belasan anggota Seng
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwee Kauw berkepandaian cukup tinggi. Karena itu, Toan
Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San harus
mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Toan Beng Kiat berhasil melukai salah seorang anggota
Seng Hwee Kauw, setelah mengeluarkan jurus Thian Liong Jip
Hai (Naga Kahyangan Masuk Ke Laut).
Lam Kiong Soat Lan juga berhasil melukai seorang anggota
Seng Hwee Kauw. Ternyata ia mengeluarkan jurus Thian Liong
Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut Mutiara). Mereka berdua
masih belum menggunakan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga
Betas Jurus Pukulan Cahaya Emas), sebab mereka belum
dalam bahaya. Lu Hui San juga telah berhasil melukai lawannya, Ia
mengeluarkan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga Memekar
Daun Menghijau).
Tiga anggota Seng Hwee Kauw telah terluka, mereka roboh
dengan mulut merintih-rintih kesakitan, karena bahu mereka
terluka oleh pedang.
"Cepat serang mereka dengan senjata rahasia!" seru kepala
anggota Seng Hwee Kauw.
Seketika para anggota Seng Hwee Kauw menyerang
mereka bertiga dengan berbagai macam senjata rahasia
Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui
San segera berdiri ke arah tiga jurusan dengan punggung
saling bertemu punggung.
Begitu mendengar suara desiran senjata rahasia, mereka
pun langsung memutarkan pedang masing-masing
membentuk payung untuk menangkis serangan maut itu.
Ting! Tang! Tring! Semua senjata rahasia tertangkis dan
jatuh berpentalan.
Bersamaan dengan itu tampak sosok bayangan melayang
turun. Tanpa berbasa-basi lagi, orang itu langsung menyerang
para anggota Seng Hwee Kauw itu. Sosok bayangan yang
ternyata Kam Hay Thian menyerang mereka menggunakan
Pak Kek Kiam Hoat. Mengeluarkan jurus Keng Thian Tung Te
(Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi). Seketika terdengar
suara jeritan yang menyayat hati. Dua anggota Seng Hwee
Kauw terkapar berlumuran darah. Dada mereka berlubang
tertembus pedang Kam Hay Thian. Dua nyawa pun melayang
seketika. Kemunculan Kam Hay Thian membuat Toan Beng Kiat, Lam
Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San merasa memperoleh bantuan.
Mereka menyerang lebih cepat Hingga hanya beberapa jurus
mereka berhasil melukai iawan-lawannya.
Yang paling ganas adalah Kam Hay Thian. Dia sama sek?li
tidak memberi ampun pada para anggota Seng Hwee Kauw.
Hanya sebentar saja ia telah membunuh delapan anggota
Seng Hwee Kauw. Sisa enam orang telah dilukai Toan Beng
Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui Hui San.
Keenam anggota Seng Hwee Kauw itu merintih-rintih
kesakitan. Saat itu Kam Hay Thian mengayunkan pedangnya
ke arah mereka.
"Aaakh! Aaaakh....!" Terdengarlah suara yang menyayat
hati. Dada keenam anggota Seng Hwee Kauw tertembus
pedang Kam Hay Thian. Darah segar mengucur deras,
membasahi tubuh mereka yang seketika itu juga telah
berjatuhan tewas
Dengan tenang Kam Hay Thian menyarungkan pedangnya.
Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui Hui
San menatapnya terbelalak kaget Mereka tidak menyangka
pemuda itu begitu sadis.
"Terima kasih atas bantuan Anda." ucap Toan Beng Kiat
seraya mendekatinya. "Aku bernama Toan Beng Kiat, mereka
berdua bernama Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San."
"Oooh!" Kam Hay Thian balas memberi hormat. "Namaku
Kam Hay Thian, julukanku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar
Pembasmi Penjahat)!"
"Kam Hay Thian?" Terperangah Toan Beng Kiat. Begitu
pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.
"Kalian kenal aku?" Kam Hay Thian juga tertegun akan
sikap mereka, padahal ia tidak kenal mereka.
"Kami tahu tentang engkau," sahut Toan Beng Kiat sambil
tersenyum. "Bibi Suan Hiang yang memberitahukan."
"Kalau begitu, tentunya kalian sudah pergi kemarkas Tiong
Ngie Pay," tukas Kam Hay Thian sambil tersenyum.
"Betul." Kam Hay Thian mengangguk.
"Eeeeh?" Mendadak Lam Kiong Soat Lan meneng?k ke sana
ke mari. "Kemana wanita itu?"
"Sudah pergi," sahut Kam Hay Thian. "Aku melihat dia
kabur terbirit-birit ketakutan."
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut sambil
menatapnya. Kelihatannya gadis ini sangat tertarik pada
pemuda itu. "Julukanmu Chu Ok Hiap, pantas tidak memberi ampun
pada mereka," ujar Toan Beng Kiat.
"Kita jangan mengobrol di sini!" sela Lam Kiong Soat Lan.
"Tempat ini sudah berubah seram dengan adanya mayatmayat
itu. Mari kita cari tempat lain saja!"
Mereka meninggalkan tempat itu, menuju sebuah sungai
tak jauh dan tempat pertempuran.
"Mari kita duduk di pinggir sungai. Lihat, ?irnya jernih
sekali!" seru Lam Kiong Soat Lan girang.
"Baik!" Kam Hay Thian menyambut gembira.
Mereka segera menuju ke pinggir sungai, kemudian duduk
di sana dan mulai mengobrol.
Kam Hay Thian manggut-manggut sambil memandangi
Toan Beng Kiat.
"Saudara Kam, kepandaianmu sungguh tinggi sekali," puji
Toan Beng Kiat kagum. "Bolehkah kami tahu siapa gurumu?"
"Aku...." Tergagap Kam Hay Thian sambil menggelenggelengkan
kepala. "Aku tidak punya guru."
"Luar biasa!" sela Lam Kiong Soat Lan sambil tertawa kecil.
"Tidak punya guru kok bisa berkepandaian begitu tinggi?"
"Aku belajar sendiri di dalam sebuah goa...." jawab Kam
Hay Thian lalu menuturkan tentang itu.
"Oh" Toan Beng Kiat terbelalak "Guru kami pernah
menceritakan tentang kitab pusaka itu!"
"Siapa guru kalian?"
"Tayli Lo Ceng" sahut Toan Beng Kiat "Guru kami bilang,
kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim Sam Mo?"
Toan Beng Kiat menyapa sambil memandangi Kam Hay
Thian, "Saudara Kam, engkau sungguh beruntung
memperoleh kitab-kitab pusaka itu. Tapi harus hati-hati,
jangan sampai direbut orang!" ujar Toan Beng Kiat
"Kitab-kitab pusaka itu telah kubakar, aku khawatir akan
direbut penjahat."
"Hay Thian!" Lam Kiong Soat Lan memanggil namanya
"Kenapa engkau begitu sadis" Sama sekali tidak memberi
ampun pada para anggota Seng Hwee Kauw tadi"
"Nona Soat Lan," Kam Hay Thian menjelaskan. "Sesuai
dengan julukan, ?ku tidak memberi ampun pada para
penjahat" "Chu Ok Hiap?" Lam Kiong Soat Lan tertawa "Julukan itu
memang cocok untukmu!"
Kam Hay Thian manggut-manggut, sementara Lu Hui San
yang sejak tadi terdiam mulai membuka mulut.
"Kenapa engkau begitu membenci para penjahat?"
"Sebab ayahku dibunuh penjahat, maka aku harus
membasmi mereka!" sahut Kam Hay Thian.
"Oh ya, kenapa kalian juga bertarung dengan para
penjahat itu?"
"Mereka ingin memperkosa wanita yang kabur terbirit-birit
itu," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Kalian tahu siapa mereka itu?"
"Mereka para anggota Seng Hwee Kauw."
"Seng Hwee Kauw?" gumam Kam Hay Thian dengan wajah
berubah. "Eh?" Lam Kiong Soat Lan menatapnya "Kenapa engkau?"
"Kalian tahu siapa ketua mereka?" tanya Kam Hay Thian
dengan mata mulai membara.
"Seng Hwee Sin Kun."
"Pasti dia! Pasti dia!" seru Kam Hay Thian sambil meloncat
bangun "Aku harus bunuh dia! Aku harus bunuh dia!"
"Saudara Kam!" Toan Beng Kiat segera bangkit berdiri.
Dipegangnya bahu pemuda itu. "Tenang, duduklah!"
"Maaf!" ucap Kam Hay Thian sambil duduk kembali. "Aku
terlampau emosi!"
"Engkau kenal Seng Hwee Sin Kun itu?" tanya Lam Kiong
Soat Lan sambil menatapnya. "Ada dendam di antara kalian?"
"Mungkin Seng Hwee Sin Kun itulah pembunuh ayahku,"
jawab Kam Hay Thian penuh kegeraman. "Tanpa sengaja
ayahku menotong Seorang tua, sebelum orang tua itu
menghembuSkan nafas penghabisan, dia menyerahkan
sebuah kitab pada ayahku," Kam Hay Thian menghela nafas
dan melanjutkan, "Karena kitab itu, maka ayahku dibunuh
penjahat itu."
"Penjahat itu merebut kitab tersebut?" tanya Toan Beng
Kiat. "Ya!" Kam Hay Thian mengangguk.
"Kitab apa itu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kitab Seng Hwee Cin Keng," jawab Kam Hay Thian
memberitahukan "Kitab ilmu silat yang amat tinggi sekali.
"Seng Hwee Cin Keng "gumam Toan Beng Kiat. "Seng
Hwee.... tidak salah lagi, Seng Hwee Sin Kun adalah penjahat
yang membunuh ayahku, mungkin juga dialah pembunuh
kakek tuaku"
"Memang mungkin?" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut
"Penjahat itu juga pembunuh nenekku."
"Oh" Bagaimana cara kematian mereka " tanya Kam Hay
Thian. "Mati hangus." Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.
"Kalau begitu tidak salah lagi, pasti penjahat itu!" ujar Kam
Hay Thian. "Karena Seng Hwee Sin Kang mengandung
semacam hawa api yang dapat menghanguskan apapun!"
"Kita punya musuh yang sama!" ujar Lam Kiong Soat Lan.
"Bagaimana kalau kita menyerang ke markas mereka?"
"Kita tidak tahu di mana markas mereka" Kam Hay Thian
menggeleng-gelengkan kepala.
"Lain kali kalau kita bertemu anggota Seng Hwee Kauw
lagi, kita harus bertanya di mana markas mereka itu."
"Aku setuju," Kam Hay Thian manggut-manggut.
"Jangan berlaku ceroboh!" sela Toan Beng Kiat. "Lebih baik
memberitahukan dulu pada kakekku dan kakek Lim,
bagaimana menurut pendapat mereka!"
"Kalau begitu, lebih baik aku saja yang pergi menyerang
markas Seng Hwee Kauw itu," tandas Kam Hay Thian.
"Jangan gegabah!" ujar Lu Hui San memperingatkan.
"Kepandaian Seng Hwee Sin Kun itu sangat tinggi, dia pasti
telah berbasil mempelajari Seng Hwee Cin Keng itu. Kalau
tidak, bagaimana mungkin dia mendirikan Seng Hwee Kauw
dan menyebut dirinya Seng Hwee Sin Kun! Karena itu,
sebelum bertindak, lebih baik kita pikirkan secara matang
dulu!" "Betul!" sahut Toan Beng Kiat.
"Nona Hui San," ujar Kam Hay Thian dengan kening
berkerut. "Aku bukan sok jago, aku tak sabar ingin membalas
dendam." "Aku mengerti itu." Lu Hui San manggut-manggut. "Tapi,
alangkah baiknya kita terima saran Beng Kiat."
Kam Hay Thian berpikir lama sekali, sebelum akhirnya
mengangguk. "Baiklah, aku menuruti pendapat Saudara
Toan!" "Setelah kita tahu di mana markas Seng Hwee Kauw,
barulah kita pergi ke markas pusat Kay Pang," ujar Lam Kiong
Soat Lan. "Sekarang belum perlu. Kemudian, kalau ada apaapa,
lebih baik kita berunding dulu."
"Betul!" Lu Hui San manggut-manggut. "Kita semua sudah
saling berteman, jadi di antara kita mesti ada saling
pengertian. Jauhkan sikap keras kepala kita!"
"Nona Hui San!" Kam Hay Thian tersenyum. "Sebetulnya
aku tidak keras kepala, cuma... ingin lekas-lekas membalas
dendam saja!"
"Nah!" Lu Hui San tertawa kecil. "Engkau mengatakan
begitu, itu berarti telah mengaku dirimu keras kepala.
"Eeeh?" Kam Hay Thian tertegun. "Aku....?"
"Maaf!" ucap Lu Hui San sambil tersenyum. "Apabila
ucapanku tadi menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf."
"Aku tidak tersinggung, sungguh!" Kam Hay Thian
tersenyum. "Oh ya, kalian mestinya bisa bersikap adil pula."
"Memangnya kenapa?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kalian tahu orang tuaku, tapi aku belum tahu siapa orang
tua kalian, bukankah kurang adil?"
"Oooh, itu!" Lam Kiong Soat Lan tertawa. "Ayahku bernama
Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama Toan Pit Lian!"
"Ayahku bernama Toan Wie Kie, kakak kandungnya Toan
Pit Lian!" Toan Beng Kiat menimpali. "Ibuku bernama Gouw
Sian Eng, kakekku adalah wakil ketua Kay Pang!"
"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut, kemudian
bertanya pada Lu Hui San yang diam itu. "Siapa kedua orang
tuamu" "Ayahku bernama Lu Kam Thay. Ibuku... sudah lama
meninggal," ujar Lu Hui San.
"Nah!" ujar Toan Beng Kiat. "Kini kita berempat adalah
teman baik, maka kita harus bersatu melawan Seng Hwee
Kauw." Kam Hay Thian manggut-manggut.
"Tapi...." Mendadak Toan Beng Kiat memandang Lu Hui
San. "Hui San tidak punya dendam apa-apa dengan Seng
Hwee Sin Kun."
"Aku ingin membantu," potong Lu Hui San. "Boleh, kan?"
"Tentu bo!eh, namun akan membahayakan dirimu! Aku
pikir....," Toan Beng Kiat menatapnya.
"Tidak perlu dipikir lagi, sebab aku sudah mengambil
keputusan untuk membantu kalian!"
"Terima kasih!" ucap Toan Beng Kiat, Kam Hay Thian, Lam
Kiong Soat Lan serentak sambil tersenyum.
"Ayo!" ajak Lu Hui San sambil bangkit berdiri. "Sudah lama
kita duduk di sini, kita lanjutkan perjalanan!"
"Menuju ke mana?" tanya Kam Hay Thian.
"Kemana pun boleh," sahut Lu Hui San. "Ya, kan?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul!" Toan Beng Kiat manggut-manggut.
Mereka berempat meneruskan perjalanan.
"Mudah-mudahan pihak Seng Hwee Kauw akan muncul,
jadi kita bisa bertanya pada mereka berada di mana markas
itu," ujar Kam Hay Thian.
"Tapi ingat!" pesan Lam Kiong Soat Lan. "Jangan langsung
membunuh mereka, agar kita bisa bertanya pada mereka!"
"Cukup sisakan satu saja," sahut Kam Hay Thian. "Aku
adalah Chu Ok Hiap, tidak bisa mengampuni mereka!"
Lam Kiong Soat Lan menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalian harus tahu," ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.
"Betapa jahat?ya para anggota Seng Hwee Kauw, mereka
pasti sering memperkosa dan membunuh. Buktinya mereka
juga ingin membunuh kalian, maka apa salahnya aku
membasmi mereka?"
"Tapi...." Lu Hui San menghela nafas. "...terlampau sadis!"
"Mereka memperkosa dan membunuh, apakah itu tidak
sadis?" sahut Kam Hay Thian sambil menatapnya. "Kalau
hanya dilukai dengan senjata mereka akan kembali berlaku
jahat apabila sudah sembuh. Dan kejahatan mereka akan
semakin merajatela. Aku tak inginkan semua itu. Coba kau
pikir kalau tidak dibasmi habis para penjahat itu, entah berapa
banyak orang yang akan mati ditangan mereka!"
"Sudahlah!" sela Toan Beng Kiat sambil tertawa. "Kita tidak
perlu memperdebatkan itu, sebab pikiran orang berbeda. Yang
penting, kita jangan melakukan kejahatan."
"Aaah...." Lu Hui San menghela nafas panjang. "Kini aku
baru tahu, dalam rimba persilatan memang penuh kejahatan.
Pantas ayahku berpesan padaku harus berhati-hati hidup di
rimba persilatan.
"Ayahmu benar, maka engkau harus berhati-hati," ujar
Toan Beng Kiat lembut sambil memandangnya. "Aku pun akan
melindungimu."
"Terimakasih," ucap Lu Hui San dengan wajah agak
kemerah-merahan.
"Jadi engkau cuma melindunginya, lalu bagaimana aku?"
tanya Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum. "Ingat, aku
adikmu!" "Jangan cemas!" sahut Toan Beng Kiat sambil tertawa.
"Saudara Kam melindungimu!"
"Eh" Aku..." sahut Kam Hay Thian menggeragap "Aku pun
harus melindungi diriku sendiri."
"Dasar bodoh engkau!" Toan Beng Kiat melototinya "Tidak
mengerti sama sekali"
"Lho" Kenapa?" tanya Kam Hay Thian bingung. "Aku
berbicara sesungguhnya."
Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau
betul-betul bodoh!"
"Aku... aku mungkin memang bodoh." Hay Thian
menundukkan kepala, membuat Lam Kiong Soat Lan tertawa
geli. "Engkau tidak bodoh. Kau terlalu jujur dan polos, sobat.
Tapi itu sifat yang baik," ujar Lam Kiong Soat Lan. "Aku suka
denganmu!"
"Nah!" Toan Beng Kiat tertawa. "Engkau suka apa?"
"Suka sifatnya itu," sahut Lam Kiong Soat Lan dengan
wajah kemerah-merahan, "Memangnya kenapa?"
"Aku kira. . ." Toan Beng Kiat tersenyum-senyum.
"Kau kira apa, heh?" tanya Lam Kiong Soat Lan dengan
mata melotot. "Aku kira itu. . . " gumam Toan Beng Kiat sambil tertawa
"Ha-ha-ha. . . .!"
-oo0dw0oo- Bagian 23 Berangkat ke Tionggoan
Beberapa hari ini, Lie Ai Ling selalu marah-marah tidak
karuan Tentu saja ini sangat membingungkan kedua orang
tuanya Bahkan Tio Tay Seng, kakeknya, juga tidak habis pikir,
kenapa cucunya itu selalu marah-marah.
"Cie Hiong!" ujar Tio Tay Seng sambil menggelenggelengkan
kepala. "Kenapa beberapa hari ini Lie Ai Ling selalu
marah-marah?"
Tio Cie Hiong hanya tersenyum. "Itu karena kedua orang
tuanya belum memperbolehkannya ke Tionggoan," jawabnya
kemudian. "Oh, itu!" Tio Tay Seng manggut-manggut. "Cie Hiong,
bagaimana menurutmu?"
"Maksud Paman?"
"Bolehkah kita mengijinkan dia pergi ke Tionggoan?"
"Kini dia sudah cukup dewasa, memang tidak baik juga
terus mengekangnya. Ada baiknya kita mengijinkannya ke
Tionggoan. Lagipula ayahnya telah menjanjikan itu. Tidak baik
membohongi anak!"
"Kalau begitu, kita harus membicarakannya dengan kedua
orang tuanya," ujar Tio Tay Seng sungguh-sungguh.
"Benar!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Kakak Hiong.." ujar Lim Ceng Im. "Ada baiknya dia pergi
ke Tionggoan bersama Goat Nio."
"Tentu saja." Tio Cie Hiong manggut-manggut.
Kebetulan muncul Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Tio Tay
Seng segera mempersilakan mereka duduk.
"Ada apa, Ayah?" tanya Tio Hong Hoa.
"Tahukah kalian kenapa Ai Ling marah-marah?" Tio Tay
Seng balik bertanya sambil memandang mereka.
Tio Hong Hoa mengangguk. "ini karena kami belum
mengijinkannya ke Tionggoan!"
"Kenapa?" Tio Tay Seng mengerutkan kening.
"Dia masih kecil"
"Kini dia sudah dewasa, lagi pula Man chiu pernah
menjanjikannya. Jadi tidak baik mengulur-ulur janji."
"Ayah setuju dia ke Tionggoan?" tanya Tio Hong Hoa.
"Yaah." Tio Tay Seng menghela nafas panjang. "Dia sudah
cukup dewasa, ada baiknya juga dia menimba pengalaman di
Tionggoan. Lagipula dia akan berangkat bersama Goat Nio."
"Kalau Ayah setuju, kami pun tidak berkeberatan," ujar Tio
Hong Hoa. "Kami akan memberitahukan padanya."
Sementara itu muncul pula Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw
Suseng, dan Kou Hun Bijin.
"Hi-hi-hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Ada apa nih"
Kok berkumpul disini?"
"Kami sedang membicarakan Ai Ling," sahut Tio Tay Seng.
"Kenapa dia?" tanya Kim Siauw Suseng heran.
"Beberapa hari ini, dia selalu marah-marah. Apakah kalian
tidak tahu itu?" Tio Tay Seng balik bertanya.
"Tentu tahu!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Dia marahmarah
karena belum diijinkan ke Tionggoan!"
"Kini kami sudah setuju, tapi harus berangkat bersama
Goat Nio," ujar Tio Tay Seng.
"Tentu," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Goat
Nio memang harus pergi ke Tionggoan mencari Bun Yang."
"Kalau begitu, kita harus memberjtahukan padanya, agar
hatinya merasa gembira," ujar Lim Ceng Im.
"Siapa yang terus cemberut?" Mendadak muncul Lie Ai Ling
dan Siang Koan Goat Nio.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Engkau yang
cemberut! Namun sebentar lagi wajahmu pasti berseri."
"Hmm!" dengus Lie Ai Ling.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Ai Ling,
tahukah engkau kami sudah setuju?"
"Ah! Bohong!"
"Ai Ling!" Tio Hong Hoa tersenyum lembut. "Kami tidak
bohong, kami mengijinkan engkau ke Tionggoan lagi!"
"Oh?" Wajah Lie Ai Ling langsung berseri. "Ibu dan ayah
sudah setuju?"
"Kami semua sudah setuju," sahut Lie Man Chiu sambil
tersenyum. "Tapi harus berangkat bersama Goat Nio."
"Itu sudah pasti," Lie Ai Ling tertawa. "Sebab Goat Nio
harus bertemu Kakak Bun Yang."
"Mulai, ya!" Siang Koan Goat Nio menoleh dengan mata
melotot, merasa digoda Ai Ling.
"Mulai apa?" Lie Ai Ling tertawa.
Siang Koan Goat Nio diam saja, sedangkan Lie Ai Ling terus
tertawa gembira.
"Tidak lama lagi, Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu
akan muncul di Tionggoan!" ujarnya.
"Julukan-julukan itu memang tepat bagi kalian," ujar Kou
Hun Bijin sambil tertawa. "Putriku memang Kim Siauw Siancu,
dan engkau Hong Hoang Lihiap! Hi hi hi...!"
"Kapan kalian akan berangkat?" tanya Tio Tay Seng.
"Besok," sahut Lie Ai Ling.
"Baiklah," Tio Tay Seng manggut-manggut, kemudian
memberi nasihat dan lain sebagainya.
Lie Ai Ling mendengar dengan penuh perhatian, begitu pula
Siang Koan Goat Nio.
Keesokan harinya, berangkatlah mereka ke Tionggoan
dengan hati penuh rasa kegembiraan.
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Belasan hari kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
sudah tiba di Tionggoan. Mereka melanjutkan perjalanan
menuju ke markas pusat Kay Pang.
"Goat Nio!" ujar Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Kali ini kita
harus berhasil bertemu Kakak Bun Yang.
Siang Koan Goat Nio hanya tersenyum. "Engkau rindu
sekali padanya"
"Tentu" Lie Ai Ling mengangguk "Sudah hampir tiga tahun
aku tidak bertemu dia"
"Jangan-jangan. . ." Siang Koan Goat Nio menghentikan
ucapannya. Dipandangnya Ai Ling.
"Kenapa tidak dilanjutkan?" sergah Ai Ling.
"Maksudku, jangan-jangan engkau mencintainya," ujar
Siang Koan Goat Nio sambil tertawa kecil.
"Memang!" Lie Ai Ling mengangguk "Tempo hari sudah
kukatakan padamu, babwa aku mencintainya sebagai kakak,
bukan sebagai kekasih. Jadi, engkau harus paham, dia adalah
kakakku yang paling baik di dunia"
"Oh, ya?" Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Sungguh!" ujar Lie Ai Ling "Aku berharap engkau berjodoh
dengan dia, itu karena aku sangat cocok dengan engkau!"
"Aku tahu maksud baikmu, tapi Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala "Belum tentu dia akan tertarik
padaku" "Aku berani jamin!" Lie Ai Ling tertawa kecil "Kalau dia
bertemu engkau, pasti tertarik"
Sekonyong-konyong terdengar suara tawa, lalu muncul
belasan orang berpakaian hijau.
"Ha ha ha! Sungguh kebetulan, kita bertemu dua gadis
yang cantik sekali Sungguh beruntung kita hari ini!"
"Siapa kalian?" bentak Lie Ai Ling.
"Kami anggota-anggota Seng Hwee Kauw. Nona sungguh
cantik sekali, tentunya kalian tak menolak bersenang-senang
dengan kami," ujar orang berpakaian hijau yang merupakan
kepala anggota-anggota Seng Hwee Kauw itu.
"Ciss!" dengus Lie Ai Ling. "Apakah kalian tidak berkaca?"
"Kami tidak perlu mengaca, karena biar bagaimanapun
kalian berdua harus melayani kami bersenang-senang," ujar
kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa terkekehkekeh.
"Kami juga harus bersenang~senang dengan mereka!" seru
yang lain. "Jangan melupakan kami!"
"Jangan khawatir!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu
tertawa. "Kalian semua pasti mendapat giliran, tapi jangan
berebutan!"
Betapa gusarnya Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
mendengar percakapan kotor itu.
Siang Koan Goat Nio segera mengeluarkan suling emasnya,
sedangkan Lie Ai Ling menghunus pedang pusaka Hong
Hoang Kiam. Kelihatannya kegua gadis itu sudah siap
bertarung. "He-he-he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw t?rtawa.
"Kalian ingin bertarung dengan kami?"
"Ya!" Sahut Lie Ai Ling. "Kami tidak takut pada kalian!"
"Nona, Nona! Dari pada kita bertarung dengan senjata,
bukankah lebih baik kita bertarung yang enak dan penuh
kenikmatan" Pokoknya kalian berdua akan merasa puas."
Kegusaran Lie Ai Ling telah memuncak. Ia langsung
menyerang dengan menggunakan ilmu pedang Hong Hoang
Kiam Hoat. Begitu melihat Lie Ai Ling mulai menyerang, Siang Koan
Goat Nio juga menyusulnya. Gadis itu menggunakan Cap Pwee
Kim Siauw Ciat Hoat.
Seketika terjadilah pertarungan sengit, belasan jurus
kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling tampak mulai
terdesak. Sehingga ked?anya harus mengeluarkan jurus-jurus
andalan. Di saat itulah mendadak berkelebatan beberapa sosok
bayangan, langsung menyerang para anggota Seng Hwee
Kauw itu. Ternyata mereka Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat
Lan, Lu Hui San dan Kam Hay Thian.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya para anggota Seng
Hwee Kauw saat itu. Mereka bertarung sambil mundur siap
melarikan diri.
Akan tetapi, bagaimana mungkin Kam Hay Thian
membiarkan mereka melarikan diri. Pedangnya berkelebatan
ke sana ke mari laksana kilat. Dia mengeluarkan jurus Thian
Gwa Kiam In (Bayangan Pedang di Luar Langit). Terdengarlah
suara jeritan menyayat hati. Tiga anggota Seng Hwee Kauw
telah roboh berlumur darah. Dada mereka berlubang
tertembus pedang Kam Hay Thian.
"Hay Thian! Jangan bunuh mereka semua!" seru Toan
Beng Kiat mengingatkannya.
"Ya!" sahut Kam Hay Thian.
Sementara Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling juga telah
berhasil melukai lawannya. Begitu pula Toan Beng Kiat, Lam
Kiong Soat Lan dan Lu Hui San. Para anggota Seng Hwee
Kauw yang terluka itu bergelimpangan dan mengerang
kesakitan. Sedangkan Kam Hay Thian terus menyerang.
Terdengar lagi suara jeritan, tiga anggota Seng Hwee Kauw
roboh mandi darah lagi. Dada mereka pun berlubang
mengucurkan darah segar. Mayat-mayat bergelimpangan
berlumur darah.
Pertarungan itu berhenti. Tampak beberapa anggota Seng
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hwee Kauw yang terluka itu masih merintih-rintih.
Kam Hay Thian mendekati mereka dengan tatapan dingin,
kemudian mendadak menggerakkan pedangnya.
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Para anggota yang terluka itu
pun dibunuhnya tanpa ampun, hanya tersisa satu orang.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling menyaksikan itu
dengan mata terbeliak ngeri. Mereka berdua sama sekali tidak
menyangka pemuda itu begitu bengis.
"Engkau harus menjawab dengan jujur, mungkin aku akan
mengampuni nyawamu!" bentak Kam Hay Thian pada anggota
Seng Hwee Kauw itu.
"Ya! Ya...." jawab orang itu ketakutan.
"Berada di mana markas Seng Hwee Kauw?"
"Di. . .di. . .Lembah Kabut Hitam!"
"Terletak di mana Lembah Kabut Hitam itu?"
"Di... di kaki Hek Ciok San (Gunung Batu Hitam)!"
"Engkau pernah memasuki Lembah Kabut Hitam itu?"
"Tidak pernah! Sebab... sebab kami cuma merupakan
anggota biasa. Jadi tidak boleh masuk!"
"Di lembah itu terdapat jebakan?"
"Bagus!" Kam Hay Thian tertawa dingin, kelihatannya ia
sudah siap menghabiskan nyawa orang itu.
"Tahan, Saud?ra Kam!" teriak Toan Beng Kiat
memperingatkan. "Biar dia kembali ke sana untuk melapor!"
Kam Hay Thian mengangguk, lalu menatap orang itu.
"Cepat enyah dan sini!"
Dengan sempoyongan orang itu berlari meninggalkan
tempat pertempuran, Kam Hay Thian terus tertawa dingin.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mendekati mereka, lalu
memberi hormat. "Terimakasih atas bantuan kalian!"
"Sama-sama," sahut Lam Kiong Soat Lan sambil
memandang mereka. "Kita tidak pernah bertemu, tapi rasanya
sudah tahu."
Lie Ai Ling tertegun memandangi mereka.
"Kalau tidak salah.." ujar Lam Kiong Soat Lan sambil
tersenyum. "Kalian b?rdua pasti Siang Koan Goat Nio dan Lie
Ai Ling. "Dari mana kau tahu?" tanya Lie Ai Ling dengan mata
membeliak. Lam Kiong Soat Lan tersenyum, sementara Siang Koan
Goat Nio terus memandanginya.
"Kalau begitu, kalian pasti Lam Kiong Soat Lan dan Toan
Beng Kiat."
"Betul," Lam Kiong Soat Lan tertawa gembira, kemudian
menunjuk Lu Hui San dan Kam Hay Thian dan
memperkenalkan mereka. "Mereka adalah Lu Hui San dan
Kam Hay Thian."
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling segera memberi
hormat pada mereka, Lu Hui San dan Kam Hay Thian
langsung balas memberi hormat.
"Selamat berjumpa!" ucap Lu Hui San sambil tersenyum.
"Sama-sama," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa. "Bagus, kita
semua berkumpul disini."
"Aku Toan Beng Kiat," ujar pemuda itu memperkenalkan
diri, lalu tanyanya. "Kenapa kalian bertarung dengan para
anggota Seng Hwee Kauw itu?"
"Kami tidak paham sama sekali. Mereka muncul lalu
mencetuskan kata-kata kotor, membuat kami tersinggung dan
merasa diremehkan," tutur Ai Ling.
"Mereka memang jahat," ujar Kam Hay Thian, "Karena itu,
aku tidak memberi ampun pada mereka!"
"Engkau sungguh sadis!" ujar Lie Ai Ling menggelenggelengkan
kepala. "Yang sudah terluka pun engkau bunuh.
huh! Aku jadi seram dan takut."
"Terhadapku?" tanya Kam Hay Thian dengan kening
berkerut. "Ya!" Lie Ai Ling mengangguk. "Engkau sangat bengis."
"Jangan merasa seram maupun takut!" sela Toan Beng Kiat
sambil tersenyum dan melanjutkan. "Dia sadis cuma terhadap
penjahat, karena dia adalah ChU Ok Hiap!"
"Pendekar Pembasmi Penjahat?"
"Ya!"
"Pantas tidak memberi ampun pada para penjahat" Lie Ai
Ling manggut-manggut
"Apa julukan kalian?" tanya Lam Kiong Soat Lan ingin
mengetahuinya. "Bolehkan engkau memberitahukan pada
kami?" Lie Ai Ling tersenyum. "Julukanku Hong Hoang Lihiap,
julukan Goat Nio adalah Kim Siauw Siancu."
"Sungguh indah julukan-julukan itu!" Lam Kiong Soat Lan
tertawa kecil. "Aku belum punya julukan."
"Tidak apa-apa," ujar Lie Ai Ling. "Kelak engkau pasti
punya julukan. Lam Kiong Soat Lan tersenyum. Sementara Toan Beng Kiat
memandang mereka seraya bertanya. "Nona Ai Ling, kedua
orang tuamu adalah Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa?"
"Betul." Lie Ai Ling mengangguk. "Kedua orang tuamu pasti
Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng."
"Betul," Toan Beng Kiat manggut-manggut. "Orang tua kita
merupakan teman baik, kita pun harus jadi teman baik."
"Tentu." Lie Ai Ling tertawa.
"Oh ya." Lam Kiong Soat Lan menatap Siang Koan Goat
Nio. "Kedua orang tuamu pasti Kim Siauw Suseng dan Kou
Hun Bijin yang awet muda itu."
"Betul!" Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Aku pun tahu
kedua orang tuamu. Mereka adalah Lam Kiong Bie Liong dan
Toan Pit Lan."
"Tidak salah." Lam Kiong Soat Lan tersenyum, kemudian
memberitahukan. "Kedua orang tua Kam Hay Thian adalah
Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien, paman Cie Hiong kenal
mereka." "Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut, lalu memandang Lu
Hui San seraya bertanya. "Siapa kedua orang tuamu?"
"Ayahku adalali Lu Kam Thay, sedangkan ibuku sudah lama
meninggal," jawab Lu Hui San.
Sementara Kam Hay Thian terus memandang Siang Koan
Goat Nio. Dia kelihatan tertarik pada gadis itU.
"Ei! Engkau!" Mendadak Lie Ai Ling men?njuk Kam Hay
Thian. "Engkau begitu membenci para anggota Seng Hwee
Kauw, kelihatannya punya dendam dengan mereka."
"Betul." Kam Hay Thian mengangguk. "Ketua mereka
membunuh ayahku!"
Lie Ai Ling manggut-manggut. "Pantas kalau begitu,"
gumamnya. "Ketua Seng Hwee Kauw itu pun membunuh kakek tuaku."
Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Maksudmu Tui Hun Lojin?" tanya Lie Ai Ling.
"Ya!" Toan Beng Kiat mengangguk.
"Nenekku pun dibunuhnya." Lam Kiong Soat Lan
memberitahukan. "Maka kami semua ingin membunuh Seng
Hwee Sin Kun itu!"
"Seng Hwee Sin Kun?" Lie Ai Ling tertegun. "Siapa dia?"
"Ketua Seng Hwee Kauw," sahut Lam Kiong Soat Lan.
"Kalau begitu, kami harus membantu," ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh. "Goat Nio juga pasti mau membantu"
"Terima kasih," ucap Toan Beng Kiat.
"Kalau begitu, mari kita menyerbu ke markas Seng Hwee
Kauw!" ujar Kam Hay Thian mendadak. "Kita sudah tahu di
mana markas itu."
"Kita memang sudah tahu markas Seng Hwee Kauw, tapi
kita tidak boleh langsung menyerbu ke sana." ujar Toan Beng
Kiat. "Kenapa?" Kam Hay Thian mengerutkan kening.
"Bukankah tadi orang itu memberitahukan bahwa di sana
terdapat jebakan" Lagipula kita kurang pengalaman. Lebih
baik kita berunding dulu dengan kakekku dan kakek Lim," usul
Toan Beng Kiat dan menambahkan. "Kita tidak boleh bertindak
ceroboh!" Kening Kam Hay Thian terus berkerut, seperti hendak
berkata tapi diurungkan.
"Memang lebih baik berunding dulu dengan kedua kakek
itu. Sebab, mereka sangat berpengalaman," ujar Siang Koan
Goat Nio. "Kita tidak boleh bertindak semau kita, terlalu
berbahaya!"
Kam Hay Thian mengangguk sambil memandang Siang
Koan Goat Nio "Aku menuruti pendapatmu."
Lam Kiong Soat Lan dan Lui Hui San saling memandang,
sedangkan Toan Beng Kiat tampak melongo.
"Eeeh?" Terheran-heran Lie Ai Ling sambil memandang
mereka. "Kenapa kalian jadi begitu, persis seperti orang
bloon?" Toan Beng Kiat tersenyum. "Ucapan Hay Thian tadi...."
"Kenapa ucapannya?"
"Katanya dia menuruti pendapat Goat Nio!" Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Itu yang mengejutkan kami."
"Kenapa harus terkejut" Pendapat yang benar memang
harus dituruti, jadi tidak usah terkejut!" sahut Ai Ling
keheranan. Sementara wajah Kam Hay Thian telah kemerah-merahan,
tadi dia mengucapkan kata-kata tanpa disadari.
Sedangkan Siang Koan Goat Nio cuma bersikap biasa-biasa
saja. Semua percakapan Itu bagaikan angin lalu baginya.
"Ayoh!" ajak Lam Kiong Soat Lan mendadak. "Mari kita
berangkat ke markas pusat Kay Pang!"
Yang lain mengangguk, mereka lalu berangkat menuju ke
markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo- Di ruang tengah di dalam markas Seng Hwee Kauw,
tampak Seng Hwee Sin Kun, Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat
Pie Lo Koay, Tok Chiu Ong, dan Hek Sim Popo dengan wajah
serius. Kelihatannya mereka sedang merundingkan sesuatu.
"Kita semua telah menerima laporan itu, bahwa telah
muncul Chu Ok Hiap dan lainnya membunuh para anggota
kita. Maka aku ingin bertanya, bagaimana menurut kalian?"
Seng Hwee Sin Kun bertanya kepada mereka.
"Tentunya kita harus membunuh mereka," sahut Hek Sim
Popo. "Benar!" sambung Tok Chiu Ong. "Kita harus membunuh
mereka, sebab telah membunuh puluhan anggota kita."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut.
"Sebetulnya sasaranku adalah orang tua mereka."
"Kalau begitu," ujar Pat Pie Lo Koay mengemukakan
pendapatnya. "Kita tidak perlu membunuh mereka. Kita buat
mereka terluka agar orangtua mereka muncul! Bagaimana
menurut Kauwcu?"
"Aku setuju," sahut Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut,
kemudian memandang Pek Bin Kui. "Bagaimana menurutmu?"
"Apa yang dikatakan Pat Pie Lo Koay memang bisa
diterima," sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum. "Kita melukai
mereka dengan tujuan memancing orangtua mereka keluar.
Setelah itu kita membunuh orangtua mereka!"
"Benar!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Itu tujuan
utama kita."
"Tapi " ujar Pek Bin Kui untuk melukai mereka, tentunya
tidak bisa mengandalkan pada para anggota kita. Kepandaian
mereka masih terlalu rendah. Oleh karena itu, kita harus
memilih beberapa anggota berkepandaian cukup tinggi,
ditambah dua orang di antara kita, barulah bisa melukai
mereka!" "Ngmmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut "Kalau
begitu, siapa di antara kalian bersedia melakukan pekerjaan
ini?" "Aku!" sabut Pat Pie Lo Koay.
"Aku!." sahut Tok Chiu Ong kemudian "Kami berdua
bersedia!"
"Bagus! Kalau begitu, tugas kuserahkan pada kali?n
berdua," ujar Seng Hwee Sin Kun.
"Ya Kauwcu," sahut Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong.
"Pek Bin Kui!" Seng Hwee Sin Kun menatapnya "Engkau
masih punya rencana lain?"
"Ada, Kauwcu!" Pek Bin Kui mengangguk.
"Apa rencanamu?"
"Begini," sahut Pek Bin Kui. "Seng Hwee Kauw harus mulai
membuat kejutan dalam rimba persilatan. Maksudku Seng
Hwee Kauw harus mulai membunuh para anggota Kay Pang,
para murid Siauw Lim Pay dan Butong Pay!"
"Ngmrnm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Benar.
Sebab Kay Pang, Siauw Lim Pay dan Butong Pay sangat kuat
bagi rimba persilatan. Kalau Seng Hwee Kauw ingin
menguasai rimba persilatan, terlebih dahulu harus turun
tangan terhadap Kay Pang, Siauw Lim Pay, dan Butong Pay!"
"Kalau begitu..." ujar Leng Bin Hoatsu. "Kita harus pilih
anggota-anggota yang handal untuk membantai para anggota
Kay Pang, para murid Siauw Lim Pay, dan para murid Butong
Pay!" "Tugas tersebut kuserahkan padamu!" ujar Seng Hwee Sin
Kun. "Ya, Kauwcu?" Leng Bin Hoatsu mengangguk.
"Oh ya!" ujar Pek Bin Kui mendadak. "Hiat Ih Hwe cukup
kuat dalam rimba persilatan, kelihatannya Hiat Ih Hwe agak
sehaluan dengan kita. Alangkah baiknya kita bekerja sama
dengan mereka!"
"Gagasan bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Kalian tahu
siapa ketua Hiat Ih Hwe itu?"
"Tahu!" sahut Tok Chiu Ong. "Ketua Hiat Ih Hwe adalah Lu
Kong Kong."
"Apa?" Terbelalak mata Seng Hwee Sin Kun. "Betulkah Lu
Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?"
"Betul!" Tok Chiu Ong mengangguk.
"Kalau begitu, kita harus ajak Hiat Ih Hwe bekerjasama,"
ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. "Sebab keuangan
kita terbatas. Apabila bekerjasama dengan pihak Hiat Ih Hwe,
berarti Lu may Kam akan membantu kita dalam hal keuangan,
sementara kita akan membantunya membunuh para menteri
dan jenderal yang berani menentangnya."
"Betul!" Leng Bin Hoatsu manggut-manggut. "Kita harus
cari kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan pihak
Hiat Ih Hwe."
"Baik!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Tugas ini
kuserahkan padamu!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Kauwcu!" Leng Bin Hoatsu mengangguk. "Aku akan
mengatur semua itu."
"Hmm!" Mendadak Seng Hwee Sin Kun mendengus dingin.
"Bu Lim Sam Mo tidak berhasil membunuh Tio Cie Hiong,
namun aku harus berhasil membunuhnya. Bahkan juga harus
membunuh orang-orang yang punya hubungan dengan dia!
Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Bagian 24 Rimba Persilatan mulai dilanda banjir
darah Betapa gusarnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
ketika menerima laporan, bahwa banyak anggota Kay Pang
dibunuh oleh Seng Hwee Kauw. Karena itu, mereka segera
memanggil keempat pelindung untuk berunding.
"Kini Seng Hwee Kauw telah mulai membunuh para
anggota kita, bagaimana menurut kalian?" tanya Lim Peng
Hang. "Kita harus melawan!" usul salah seorang pelindung.
"Sudah berapa banyak anggota kita yang jadi korban?"
tanya Gouw Han Tiong.
"Sudah puluhan," jawab pelindung itu dan
memberitahukan. "Tapi pihak Seng Hwee Kauw juga banyak
yang mati. "Kalau begitu, perintahkan pada pemimpin cabang! Mereka
harus berhati-hati menghadapi Seng Hwee Kauw, kalau tidak
kuat melawan, harus segera ke mari!" ujar Lim Peng Hang.
"Ya, Pangcu!"
Mendadak Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Kini
aku mulai mencemaskan Beng Kiat dan Soat Lan.
"Kalau begitu, kita harus mengutus beberapa anggota kita
pergi cari mereka," ujar Lim Peng Hang. "Aku pun khawatir,
tentunya pihak Seng Hwee Kauw juga akan turun tangan
terhadap mereka. Walau kepandalan mereka sangat tinggi,
namun belum berpengalaman."
Gouw Han Tiong menghela nafas panjang lagi, disaat
bersamaan muncul seorang pengemis tua dan melapor.
"Pangcu! Ketua Siauw Lim dan Butong berkunjung ke mari."
"Cepat persilakan mereka masuk!" pinta Lim Peng Hang.
Pengemis tua itu segera pergi. Tak lama muncullah Hui
Khong Taysu dan It Hian Tojin dengan wajah muram.
"Selamat datang!" ucap Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, mereka bangkit berdiri sambil memberi hormat.
"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu. "Maaf, kedatangan
kami telah mengganggu Lim Pangcu dan Gouw Hu Pangcu!"
"Tidak apa-apa. Silakan duduk!" ujar Lim Peng Hang.
Hui Khong Taysu dan It Hian Tojin duduk, kemudian ketua
Siauw Lim Pay berkata. "Omitohud! Rimba persilatan mulai
dilanda banjir darah...."
"Taysu sudah tahu tentang itu?" tanya Lim Peng Hang.
"Justru karena itu, kami ke mari untuk berunding dengan
Lim Pangcu dan Gouw Hu Pangcu. Omitohud!"
"Bagaimana keadaan partai kalian?" tanya Gouw Han
Tiong. "Omitohud!" jawab Hui Khong Taysu. "Sudah banyak murid
kami yang mati, begitu pula para murid Butong!"
"Para anggota kami pun sudah banyak yang jadi korban."
Lim Peng Hang memberitahukan sambil menghela nafas
panjang. "Omitohud...." Hui Khong Taysu menggeleng-geleng
kepala. "Kita semua mengira rimba persilatan akan aman dan
tenang setelah Bu Lim Sam Mo mati. Namun nyatanya, kini
malah muncul Seng Hwe Kauw dan Hiat Ih Hwe."
"Hanya Tiong Ngie Pay yang berdiri di atas keadilan," ujar
It Hian Tojin. "Sebab ketua Tiong Ngie Pay adalah Yo Suan Hiang" Lim
Peng Hang menimpali.
"Pantas!" It Hian Tojin manggut-manggut dan melanjutkan.
"Tapi kini Tiong Ngie Pay juga dalam bahaya, karena Seng
Hwee Kauw pasti akan membunuh para anggota Tiong Ngie
Pay?" "Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Kalau begitu,
kemungkinan tujuh partai besar dan Kay Pang harus
bergabung lagi untuk melawan Seng Hwee Kauw."
"Ngmmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Lim Pangcu," ujar It Hian Tojin mengusulkan. "Tentang
kejadian itu, bukankah lebih baik diberitahukan pada pihak
Hong Hoang To?""
"Aku justru sedang memikirkannya. Kini... putra Toan Wie
Kie dan putri Lam Kiong Soat Lan sudah berada di Tionggoan"
Lim Peng Hang memberitahukan. "Mereka sedang melakukan
penyelidikan terhadap Seng Hwee Kauw."
"Apa?" Terbelalak mata It Hian Tojin. "Kalau begitu,
mereka berdua pasti dalam bahaya?"
"Karena itu, kami akan menyuruh beberapa anggota Kay
Pang pergi mencari mereka," ujar Lim Peng Hang.
It Hian Tojin manggut-manggut. "Lim Pangcu, kapan
engkau akan berangkat ke pulau Hong Hoang To?"
"Belum pasti!" Lim Peng Hang menggeleng kepala.
"Setahuku, pihak Hong Hoang To sudah tidak mau
mencampuri urusan rimba persilatan."
"Omitohud!" Hui Khong Taysu menghela nafas. "Kini rimba
persilatan dalam keadaan begitu gaw?t, bagaimana mungkin
mereka diam saja?"
"Mungkin Taysu dan Tojin belum tahu, dua tahun lalu Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin telah dibunuh orang."
"Omitohud...." Bukan main terkejutnya Hui Khong Taysu
dan It Hian Tojin. "Siapa yang membunuh mereka?"
"Kemungkinan besar Seng Hwee Kauw." Lim Peng Hang
memberitahukan. "Karena Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
mati dengan badanm hangus."
"Hangus?" It Hian Tojin tersentak "Mereka dibakar"!"
"Bukan." Lim Peng Hang menggeleng kepala. "Terkena
semacam pukulan yang mengandung api."
"Omitohud..." Hui Khong Taysu menghela nafas panjang.
"Sungguh mengenaskan kematian mereka! Omitohud."
"Kini muncul Seng Hwee Kauw, maka kami menduga
pembunuh mereka adalah ketua Seng Hwee Kauw itu," ujar
Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Karena itulah Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw
itu." "Aaaah!" It Hian Tojin menghela nafas panjang. "Rimba
persilatan tidak pernah aman dan tenang, kelihatannya Tio Cie
Hiong harus muncul lagi di rimba persilatan."
"Dia dan anakku telah bersumpah tidak akan mencampuri
urusan rimba persilatan lagi!" tukas Lim Peng Hang
memberitahukan. "Tapi Bun Yang cucuku telah mengembara
dalam rimba persilatan."
"Bagaimana kepandaiannya?" tanya It Hian Tojin.
"Mungkin sudah menyamai kepandaian ayahnya!" sahut
Lim Peng Hang. "Menurut aku, kemungkinan besar dia akan
mewakili ayahnya untuk menyelamatkan rimba persitatan."
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Mudah-mudahan!
Kalau tidak, kaum rimba persilatan golongan putih pasti celaka
semua." "Lalu apa langkah kita, Taysu7" tanya Lim Peng Hang.
"Omitohud! Alangkah baiknya Lim Pangcu pergi ke pulau
Hong Hoang To untuk memberitahukan tentang kejadian ini.
Mereka mau campur atau tidak, itu tergantung pada
kebijaksanaan mereka. Lagi pula Sam Gan Sin Kay harus
mengetahui tentang kejadian ini!"
Lim Peng Hang mengangguk "Tapi ayahku sudah tua, aku
menghendakinya hidup tenang di pulau itu!"
"Tapi ada Tio Cie Hiong yang masih muda. Seandainya dia
tidak mau mencampuri urusan ini, kita tidak bisa bilang apaapa,"
ujar It Hian Tojin. "Mungkin sudah menjadi nasib rimba
persilatan?"
"Belum tentu," sela Gouw Han Tiong. "Sebab anak Tio Cie
Hiong juga berkepandaian tinggi, tent?nya dia tidak akan
lepas tangan."
"Kalau begitu, harus segera cari anak Tio Cie Hiong itu,"
usul It Hian Tojin.
"Aku yakin diapUn sudah tahu, kemungkinan besar dia
akan ke mari," sahut Lim Peng Hang. "Dia pasti minta
petunjukku."
"Aaaakh...!" keluh It Hian Tojin. "Kita semua sudah tua,
tapi kapan akan bisa hidup tenang?"
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Mungkin sudah
merupakan takdir"
-oo0dw0oo- Sementara itu, Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Kam
Hay Thian, Lu Hui San, Siang Koan Goat Nio, dan Lie Ai Ling
terus melanjutkan perjalanan menuju ke markas pusat Kay
Pang. Hari ini mereka beristirahat di sebuah rimba. Siang Koan
Goat Nio duduk seorang diri di bawah pohon. Tak lama
muncul Kam Hay Thian mendekatinya, lalu duduk di sisinya.
"Maaf, aku duduk di sini," ucap Kam Hay Thian.
"Tidak apa-apa," sahut Siang Koan Goat Nio sambil
tersenyum. "Duduk saja!"
"Goat Nio!" Kam Hay Thian memandangnya. "Sejak kita
berkenalan, kenapa engkau tidak pernah bercakap-cakap
dengan aku?"
"Engkau harus tahu." Siang Koan Goat Nio tersenyum lagi.
"Sifatku agak pendiam, jadi jarang bercakap-cakap dengan
siapa pun."
"Aaah..." Kam Hay Thian menghela nafas. "Mungkinkah
karena menganggapku sangat sadis, maka tidak mau
bercakap-cakap deng?n aku?"
"Aku tidak beranggapan begitu terhadapmu," kilah Siang
Koan Goat Nio. "Kita semua teman baik. Jadi, alangkah
baiknya jangan ada kesalah-pahaman diantara kita."
"Goat Nio..." Kam Hay Thian ingin mengatakan sesuatu,
namun tersangkut di tenggorokan sehingga tak dapat
dikeluarkannya.
Sedangkan Siang Koan Goat Nio terdiam. Kelihatannya
gadis itu sudah tahu apa yang akan dikat?kan Kam Hay Thian.
Sementara Lam Kiong Soat Lan terus mencari Kam Hay
Thian. Begitu pula Lu Hui San. Akhirnya mereka melihat Kam
Hay Thian duduk di sisi Siang Koan Goat Nio. Kedua gadis itu
saling memandang, wajahnya tampak muram. Lalu melangkah
pergi. Kebetulan berpapasan dengan Toan Beng Kiat, begitu
melihat Lu Hui San, wajah pemuda itu langsung berseri.
"Hui San...!"
"Beng Kiat!" Lu Hui San berusaha senyum, sedangkan Lam
Kiong Soat Lan terus berjalan pergi dengan kepala tertu?duk.
"Eeeh?"gumam Toan Beng Kiat. "Kenapa dia" Kok
wajahnya tampak muram?"
"Dia melihat Kam Hay Thian duduk di sisi Siang Koan Goat
Nio," ujar Lu Hui San memberitahukan.
"Apakah dia jatuh hati pada Kam Hay Thian" tanya Toan
Beng Kiat. "Mungkin!" Lu Hui San mengangguk dan menghela nafas
panjang. "Lho" Kenapa engkau2 Kok mendadak menghela nafas
panjang?" "Aku khawatir...." cetus Lu Hui San sambil duduk. "... akan
terjadi bad?i asmara di antara kita."
"Badai asmara?"
"Ya!" Lu Hui San mengangguk. "Lam Kiong Soat Lan jatuh
hati pada Kam Hay Thian, sedangkan pemuda itu malah jatuh
hati pada Siang Koan Goat Nio."
"Bagaimana tanggapan Goat Nio?"" tanya Toan Beng Kiat
cepat. "Entahlah!" Lui Hui San menggeleng kepala. "Goat Nio
sama sekali tidak memperlihatkan tanggapan apapun, tetap
bersikap biasa dan tenang saja."
"Aduuuh! Bagaimana itu?" Toan Beng Kiat mengerutkan
kening. "Masih ada Lie Ai Ling, gadis itu entah jatuh hati pada
siapa?" tukas Lui Hui San. "Seandainya dia jatuh hati padamu,
itu tidak akan jadi masalah. Tapi kalau dia juga jatuh hati
pada Kam Hay Thian, bukankah akan menimbulkan masalah?"
"Tapi, aku tidak tertarik pada Ai Ling!" sahut Toan Beng
Kiat. "Aku... aku tertarik...."
"Aku tahu," potong Lu Hui San cepat. "Tapi aku belum
memikirkan itu, engkau harus maklum."
"Aku mengerti!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Yang penting
engkau sudah tahu perasaanku."
Gadis itu hanya tersenyum, lalu menggeleng-gelengkan
kepala. Sementara Lam Kiong Soat Lan terus berjalan dengan
kepala tertunduk, kemudian duduk di bawah sebuah pohon
sambil melamun dengan wajah muram sekali.
Di saat itulah muncul Lie Ai Ling mendekatinya, kemudian
memandangnya sambil duduk di sisinya.
"Soat Lan! Kenapa engkau duduk melamun di sini?"
"Aku...." Lam Kiong Soat Lan agak tergagap ditanya
demikian, "Aku tidak melamun."
"Tidak melamun" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan
Pendekar Bayangan Setan 13 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Misteri Bayangan Setan 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama