Ceritasilat Novel Online

Tsabita Ilana 8

Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati Bagian 8


Mendengar hal itu yang tadinya Arsa enggan menghajar Tody, mau tidak mau ia nekat layangkan pukulan ke wajah Tody hingga pria itu tersungkur dalam posisi
terlentang. Bersama luapan emosi, Arsa duduk diatas tubuh Tody, menarik kasar kerah bajunya sedang tangan kanannya mengepal bersiap mendarat diwajah Tody
kapan pun ia mau. "Udah cukup lo jelasin kebrengsekan lo ke gue! Udah cukup lo ngejebak dan fitnah gue! Lo bisa fitnah gue, lo bunuh gue kalo perlu. Tapi gue bakal bunuh
lo lebih dulu kalo sampe Tsabit kenapa napa!"
"Terusin, Sa! Pukul gue! pukul gue lagi! Lakuin sesuka lo asal itu bisa ngebales semua kejahatan gue sama lo! Ayo, pukul, Sa!"
Bugh! Arsa tidak segan segan melayangkan beberapa pukulan ke wajah Tody berkali kali. Anggaplah itu luapan yang tertahan sejak tadi. Sejak penghianatan disertai
kebusukan yang dilakukan Tody kepadanya. Andai Tody mau terbuka menceritakan kedekatannya dengan Fania waktu itu, tentu Arsa tidak mungkin menaruh hati
kepada gadis itu. Baginya persahabatan adalah segalanya. Dari kebohongan yang mereka simpan menimbulkan kebohongan lainnya lalu menjadi perbuatan yang
tidak inginkan. Karena syeitan selalu berhasil menggoda hingga menyesatkan manusia tatkala mereka dalam keadaan berbuat tercela.
"Ini, yang terakhir." Kepalan Arsa melayang dan bertahan di udara bersiap mendarat selagi Arsa berbicara. "Buat semua persahabatan kita yang udah lo ancurin.
Gue tau disisi lain gue salah. Tapi kalo lo gak jujur dari awal, ini gak bakal terjadi. Gue kecewa sama lo, Tod!"
Pada kalimat terakhir terucap bersamaan pukulan terakhir Arsa padanya. Sekaligus menjadi pukulan penutup sebelum akhirnya Arsa menghempas kasar tubuh Tody
lalu bangkit dan berlari meninggalkan Tody dalam kesakitan diatap gedung.
* Arsa berlari tergesa gesa menyusuri tangga. Nafasnya terhembus sedikit sedikit bersama sisa tenaganya bergelut dengan Tody. Keadaannya sudah tidak karuan.
Jas mewah yang rencananya dipakai untuk akad ia buang entah kemana. Kemeja putih yang dikenakannya pun nampak kotor karena debu. Wajahnya kusut berkeringat
juga berdebu. Ada sedikit memar akibat perlawanan Tody kepadanya. Meski hanya satu pukulan, cukup meninggalkan rasa sakit dan bekas yang jelas. Tapi masa
bodoh dengan semua itu. Keselamatan Tsabit lah yang terpenting.
Tepat dilorong menuju gudang Arsa berpapasan dengan Fania. Rupanya Fania pun tengah sibuk mencari Arsa yang mendadak menghilang. Ada kelegaan di wajah
gadis itu seraya berlari mendekat.
"Arsa kamu kemana aja, sih. Daritadi aku cariin. Semua orang nungguin kita" keluh Fania refleks menggenggam tangan Arsa penuh rasa peduli. Sejenak ia perhatikan
kondisi Arsa. "Loh, jas kamu kemana" Kok muka kamu bonyok gini. Kamu kenapa, Sa?"" ucapnya tanpa tahu bahwa kebusukannya telah terbongkar. Alih alih menjawab,
Arsa berhenti. Menatap Fania lama lalu berseringai sinis.
"Udah sok polosnya?"
"Arsa?" Fania mengenyit tak mengerti.
"Lo ditungguin tuh, sama AYAH KANDUNG ANAK LO" Arsa sengaja menekan beberapa kata terakhir ucapannya. Tangannya melepas genggaman Fania kepadanya kemudian
menghempas kasar. Raut benci sudah mutlak hadir didalam diri Arsa terutama kepada Fania. "Gih sana temuin!"
"Ayah anak ini ya cuma kamu, Sa" Fania masih sok tidak mengerti. Padahal dalam hatinya, ia was was alih alih kebohongannya terbongkar.
"Yakin?" Bukannya Tody?""1
Cukup dengan meninggalkan ucapan sarkatis itu, Arsa langsung berpaling berlari kecil meninggalkan Fania begitu saja. Sedang gadis itu terpaku menatap kepergiaan
Arsa seraya menyadari bahwa semuanya telah habis terbongkar. Tak berlangsung lama, Fania menggeleng cepat kemudian berlari menyusul Arsa.
Tepat tak jauh dari toilet, akhirnya Arsa menemukan letak gudang dimana Tsabit disekap. Pintu gudang sengaja tidak dikunci. Arsa bisa dengan mudah menemui
Tsabit. Dan benar. Ada Tsabit disana. Sedang berdiri berusaha melepas diri dari cengkraman Rayyan. Wajahnya nampak pucat.
"Woi!!, lepasin istri gue!!" Teriak Arsa dari ambang pintu dengan wajah garang. Ia melihat Rayyan dan Tsabit terpaku menatapnya. Diam bergeming.
"Lo budek" Gue bilang lepasin ya lepasin!" Teriaknya lagi. Tiba tiba Fania datang langsung menyambar tangan Arsa kemudian menggenggamnya. Bagi Fania ini
kesempatan emas. Menurutnya, Arsa cemburu melihat Tsabit dan Rayyan berdua dalam gudang.
'Good job, Rayyan.' Batin Fania bahagia bukan main. Sayangnya itu hanya khayalan semu Fania saja.
Tsabit memanfaatkan cengkraman Rayyan yang perlahan melamah kemudian ia berlari mendekati Arsa buru-buru.
"Arsa?" Genggaman Fania semakin erat.
"Arsa kamu harus tahu sesuatu. Ternyata selama ini..."
Perlahan langkah dan ucapan Tsabit menghenti seiring jarak dirinya mendekat ke arah Arsa. Mata gadis itu berubah sendu tatkala ia melihat keberadaan Fania
disamping Arsa, menggenggam erat jemarinya seraya menatapnya penuh kemenangan. Bibirnya bergetar ragu bersama sisa tangis yang sepertinya akan kembali
hadir membasahi wajah. "Apa aku terlambat?"
"Tsabit..." Brugh!! Arsa bergerak cepat meraih tubuh Tsabit yang terkulai jatuh melemas sebelum melanjutkan kalimatnya yang tertunda itu. Arsa membopong istrinya kemudian
berlari membawa Tsabit ke kamar.
"Lepasin tangan gue, bisa?" pinta mutlak Arsa kepada Fania, dingin sedingin es. Fania menurut takut. Ia tidak pernah melihat Arsa bersikap sedingin ini
kepadanya. Sebelum pergi, Arsa berbalik sejenak untuk menatap Rayyan. "Makasi" lalu beralih lagi menatap Fania. "Gak ada lagi pernikahan. Lo berhasil bikin gue muak!"
Dan Arsa pun mantap pergi membawa Tsabit. Meninggalkan penyesalan seorang gadis bernama Fania malaika. Gadis itu terduduk lalu menangis. Rayyan terpaku
menatap jauh lalu menunduk. Dalam hatinya berucap, "Alhamdulillah"7
* "Ternyata kamu lebih jago jadi musuh dalam selimut ketimbang jadi pria alim ahli ibadah"
"Aku gak mau jadi siapa siapa. Orang tua ku mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang bisa membedakan mana baik mana buruk. Mana yang Allah perintahkan
mana yang Allah larang. Itu saja."
"Tapi nyatanya kamu sudah menjadi penghianat. Aku pikir kamu benar benar serius dengan tawaranku, taunya..." Fania menggeleng lemah tak menyangka.
Pria yang ia yakini mampu melancarkan rencana busuknya, malah balik menyerang menghancurkan semua rencana yang sudah tersusun rapi. Siapa yang sangka kalau
pria itu adalah Rayyan. "Kalau pun aku ikut andil, rencana kamu akan tetap tercium. Kamu pikir tante Kartika itu bodoh" Kebohongan kamu bakal terungkap dengan cara yang lebih
memalukan kalau dia tau lebih dulu. Kamu beruntung, Arsa menyembunyikan ini dari media."
Fania menarik senyum tipis.
"Sebegitu peduli-nyakah kamu sama aku" Aku sendiri gak memikirkan itu jauh jauh."
"Keburukan seseorang adalah aib baginya. Dibalik usahaku membongkar kejahatan kamu, aku tahu itu aib buruk yang tidak boleh orang lain tau. Itu sama saja
seperti aku mendahului kuasa Allah. Karena manusia dipandang baik bukan karena mereka baik. Tapi karena Allah menutupi aib mereka. Itu yang aku tahu"2
Fania bergeming. Menatap Rayyan sejenak. Selagi mereka menunggu kedatangan Tody di Rooftop. Satu satunya tempat teraman dari incaran media. Rayyan langsung
menggiring Fania ke atap gedung sana menemui Tody. Tapi Tody tidak ada disana. Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu.
"Kamu masih mencintai Tsabit?" Tanya Fania melipat tangan didada menatap luas jalanan yang masih ramai tamu undangan. Sisanya sudah pulang karena tidak
ada pernikahan hari ini. Rayyan mengangguk kecil seraya mengulum senyum.
"Masih" "Masih?" "Iya" "Mencintai istri orang?" Fania menegaskan berharap Rayyan tidak salah bicara.
"Cinta itu punya banyak makna, Fan. Aku cinta sama orangtuaku, saudaraku, teman temanku. Begitu juga Tsabit." Fania mengangguk paham.
"Naif juga ya kamu"
"Dari dulu. Baru tahu ya?"
Keduanya tersenyum. Hingga Tody datang dengan langkah berat. Ditangannya ada lembaran tissue yang ia tempelkan ke wajah. Sambil meringis ia mendekati Fania
dan Rayyan. "Arsa mau maafin gue. Tapi dia belum mau ketemu gue untuk beberapa waktu kedepan." Ucapnya pesimis. Selanjutnya ada tepukan ringan dipundak. Itu dari Rayyan.
"Seiring berjalannya waktu, Arsa pasti membuka hatinya buat kamu, Tod. Percayalah, ada Tsabit yang bisa mencairkan hatinya yang beku."
Tody membalas senyum hangat Rayyan. Lantas pandangannya beralih kepada Fania. Gadis itu masih asyik menikmati pemandangan sore yang indah. Membelakangi
dua pria disana. "Bagaimana dengan kandungan kamu?" Tody memberanikan diri mendekati Fania. Menatap rindu sang kekasih. Tak peduli terhadap apa yang ia perbuat kepadanya.
Memang benar kata orang, Cinta sama Bodoh itu beda tipis.
Fania menoleh sebentar. "dia selalu baik baik saja. Yang harus kamu tanyakan itu keadaan ibunya"
"Maksud aku dua duanya. Kalian kan satu raga."
"Aku shock. Kalian jahat." Jawab Fania datar. "Kalau kalian gak sekongkol, bayi ini pasti sudah mendapatkan ayah."1
Tody hampir ingin berteriak lalu berkata kasar. Tapi Rayyan segera menahan pergerakan Tody melalui tangannya yang ia tempelkan diperut Tody seraya memberi
isyarat agar menjaga emosi.
"Ayah bayi itu aku, Fania. Bukan Arsa."
"Arsa juga meniduriku malam itu."
"Kamu lupa" Kamu sendiri yang bilang kalau kamu cuma bikin Arsa tertidur lantas membuka bajunya seolah olah dia meniduri kamu, lalu setelah terbangun Arsa
lupa dengan apa yang terjadi. Dan kamu memanfaatkan itu untuk membuat Arsa tersudut dan mengaku."
Fania mencebik tak berdaya. Rayyan selalu saja. Harusnya ia tidak mengatakan itu didepan Tody. Pria itu tersenyum dalam kekehan. Begitu juga Tody. Mereka
cocok jadi dua kakak adik bersaudara.
Tody membawa Fania dalam pandangan lurusnya. Menatapnya dalam. "Sampai kapan pun, ayah anak itu tetap aku. Bahkan Tuhan aja gak merestui pernikahan kamu.
Karena tidak seharusnya pernikahan itu terjadi, Fania. Yang seharusnya menikah dengan kamu adalah aku. Si pemilik darah daging disini." Tangan Tody menyentuh
permukaan perut Fania. Rayyan yang melihatnya ingin sekali melerai sentuhan mereka, tapi keburu terlambat. Fania sudah lebih dulu menghamburkan tubuhnya
dalam pelukan Tody. Alhasil, Rayyan memilih memalingkan muka sambil menggaruk garuk kepala salah tingkah.5
tent frame get 3rd party ad content frame end
Nasib jomblo18 * Sudah ada satu jam Tsabit belum sadarkan diri. Ia masih terkulai lemas diatas ranjang kamar dalam keadaan pingsan. Berulang kali Arsa mencoba berbagai
cara menyadarkan istrinya. Tapi hasilnya nihil. Alhasil selama hampir satu jam, Arsa memilih menemani Tsabit dikamar mereka sampai Tsabit bangun.
Dalam keadaan tertidur, Arsa bisa leluasa mengabsen kecantikan istrinya dari jarak sangat dekat. Ya meskipun ia pernah melakukan lebih dari ini. Tapi tidak ada yang lebih menyenangkan hati seorang suami ketika memandang istrinya yang sedang terlelap.
Kalau saja, pernikahan Arsa dengan Fania sampai terjadi. Betapa tersiksanya Tsabit kelak. Tentu perasaan bersalah akan terus menyerang Arsa karena membiarkan
gadis yang dicintainya menderita. Terlebih setelah mengetahui bahwa anak yang dikandung Fania bukanlah darah dagingnya. Harusnya Arsa bisa lebih tegas
terhadap firasat buruknya itu. Dan lagi semua itu demi Tsabit. Ia rela membuang firasat tersebut hanya demi keputusan Tsabit yang menurutnya gegabah saat
itu. "Bit,.. sadar dong sayang..." ucap Arsa seorang diri memandang kondisi Tsabit yang masih tertidur. Tangannya mengusap ngusap lembut pipi kemerahan yang
kian hari semakin berisi itu. Sesekali ia mencubitnya karena gemas.
"Tsabita ilana istriku yang cantik tapi nyebelin... ayo bangun..." Arsa mencubit pipi sebelah kiri. Ia jadi terkekeh sendiri dibuatnya. Kalau tidak dalam
keadaan tertidur, mana mau Tsabit dicubit-cubit seperti ini. Perang dunia yang ada. Arsa mencubit pipinya sekali lagi.
"Aduuhh... sakit!"
Rintihan suara itu berhasil menghentikan aktifitas Arsa kemudian melihat keadaan Tsabit. Suara itu dari Tsabit. Tsabit akhirnya sadar. Arsa menunggu sepasang
mata gadisnya terbuka. "Bit..." panggil Arsa menggenggam erat tangan Tsabit.
"Iya apa. Saya denger kali." Jawab Tsabit dalam keadaan mata tertutup seraya mengusap pipi. "Kamu ngapain disini?"
"Lo udah sadar?"
"Udah daritadi. Kamu sih cubit cubit pipi saya. Sakit tau. Ganggu tidur aja." Keluh Tsabit cemberut. Sementara Arsa sibuk mengerucutkan bibirnya curiga.
"Jadi dari tadi gue cuma nemenin lo tidur doang?"
Tsabit bangkit dari tidurnya. Memposisikan dirinya duduk meluruskan kaki. Arsa beranjak lalu memposisikan dirinya sama seperti Tsabit.
"Iya" ia tersenyum polos sok manis. Tapi menurut Arsa lebih ke senyum manja. Ini beneran Tsabit nih" Paling dia belum sepenuhnya sadar.
"Ish, kok ngeselin sih" gumam Arsa sendiri. "Senyum senyum lagi"
"Jadi, kamu nyesel nemenin saya?" Tsabit cemberut.
"Ciee baper" goda Arsa mencolek dagu sang istri. "Ngambek nih yee" lanjutnya mencubit lagi pipi Tsabit.
"Apa sih cubit cubit" Tsabit membalikan tubuhnya membelakangi Arsa menunjukan gaya ngambek khas dirinya.
"Kamu beneran ngambek?"
Sepertinya ada yang lain dari ucapan Arsa barusan. Tsabit enggak salah dengar, kan" "Tadi kamu bilang apa?" Kepalanya tertoleh sedikit.
"Kamu beneran ngambek?" Ulangnya.
"Mana kosa kata elo-gue nya" Kok berubah?"2
Arsa menarik senyum tipis. Memainkan kedua alis.
"Kenapa" Romantis ya?"
Tsabit sok sok bergedik ngeri. "Engga juga"
"Masih ngambek nih ceritanya?"
"Iya" Arsa mengangguk ngangguk paham. Bibirnya mencebik. "Oh yaudah" Tsabit menengok ke belakang melihat Arsa hendak pergi meninggalkannya.
"Tungguuuuu..."
"Kenapa la...gi"
Semua terjadi begitu cepat. Arsa tidak tahu sejak kapan Tsabit sudah memeluknya dari belakang seperti ini. Tautan tangan itu begitu erat melingkar ditubuhnya.
Arsa terpaku mematung sejenak. Mencoba menyentuh lembut jerat sepasang tangan ditubuhnya.
"Jangan pergi. Saya takut"
Arsa menoleh kebelakang melihat keberadaan Tsabit yang masih memeluknya erat. Ia merasakan sesuatu dipunggungnya. Gadis itu menempelkan kepalanya menghadap
kesamping. "Sa..saya takut kehilangan kamu. Saya mohon tetap disini. Saya sadar, sikap saya selama ini sudah membuat kamu bingung...atau kesal. Saya sudah egois."
Tsabit menggigit bibirnya. Seolah kata demi kata yang ingin ia ucap menyulitkan fungsi lidahnya. Sambil memejamkan mata, ia berkata lagi,
"Seharusnya saya tidak gegabah ambil keputusan itu. Seharusnya saya percaya bahwa kamu tidak mungkin melakukan perbuatan itu. Saya menyesal, Arsa"
Arsa mulai menyadari satu hal. Sepertinya Tsabit belum mengetahui kalau pernikahannya dengan Fania batal. Ia keburu pingsan waktu itu. Lantas ia mengulum
senyum. Ini penyataan cinta yang indah dari seorang Tsabit. Kapan lagi, coba"
"Sekarang, kalau kamu ingin bersikap adil kepada saya dan Fania. Saya ingin kamu selalu memeluk saya setiap hari. Mengecup kening saya dan mengucapkan
kata kata romantis. Itu harus. Pokoknya harus." Permintaan itu lebih pantas disebut rengekan anak kecil yang minta dibelikan mainan.
"Fania tidak boleh tidur satu kamar dengan kita. Kamar dia harus terpisah. Kalau kamu ingin menemui Fania... kamu bisa menemuinya dikamar dia nanti. Tapi
nanti, jangan sekarang. Saya belum siap. Kamu harus tetap disini temenin saya ya"
Arsa tersenyum. Sebenarnya ia ingin sekali tertawa lebar sekarang juga. Tapi ada sesuatu yang ingin ia lakukan dan sayang jika dilewatkan begitu saja.
Tsabit diam mempertahankan posisinya. Dalam posisi tersebut, ia ingin Arsa mengatakan sesuatu yang menenangkam hatinya saat ini. Mengingat statusnya sekarang
ada istri pertama. Andai Tsabit tahu yang sebenarnya.
"Maaf aku gak bisa. Aku harus temuin Fania sekarang juga"
Kepala Tsabit terangkat sedikit lalu mendongak. Mulutnya terbuka tak percaya.
"Kamu sendiri yang menginginkan pernikahan ini kan" Sekarang aku harus membagi cinta aku kepada Fania. Itu kan mau kamu?"6
Jerat pelukan Tsabit yang sempat mengendur itu kembali erat. Tsabit memeluknya sangat erat, sambil mengatakan, "Tapi untuk sekali ini aja temenin saya
disini. Kamu bisa menemui Fania besok atau lusa. Untuk hari ini please Arsa. Saya belum siap kehilangan kamu..."
Selagi Tsabit ngoceh panjang lebar memohon dan meminta, Arsa sedang menahan tawa. Bibirnya senantiasa berkedut seraya bahu berguncang samar.
"...Saya mencintai kamu. Walau terkadang saya suka nyebelin tapi itu semua karena saya menyayangi kamu. Beneran. Kamu percaya kan, Arsa?"
"Percaya gak yaa?"4
"Saya serius" "Tapi gimana dong" Istri aku sekarang kan bukan kamu doang"1
Kenapa kenyataan ini menyedihkan sekali sih" Tsabit bodoh bodoh bodoh. Alih alih menjawab, Tsabit terdiam dalam keadaan bibir mengerucut. Sekarang ia harus
menerima kenyataan. Ia pun melepas pelukannya. Menunduk sambil mendengus sebal. Tahu istrinya sudah tidak memeluk, Arsa berbalik.
"Yaudah, kalau kamu mau pergi menemui Fania. Pergi sana. Saya gak apa apa sendirian disini. Saya udah lebih baik kok. Gih sana!" Tsabit membuang wajah.
Padahal dalam hatinya berteriak, 'selangkah pergi, nyawa melayang'
"Boleh nih?" Goda Arsa
"Udah sana pergi, keburu saya berubah pikiran buat kurung kamu disini selamanya. Cepat!"
"Yaudah kurung aja sekarang. Aku suka pilihan yang kedua."
"Saya serius, Arsa. Fania udah nunggu kamu."
Wajah wajah cemburu ini yang Arsa suka. Coba lihat, bibirnya yang manyun lima centi itu. Belum lagi matanya yang melirik lirik ke kanan kiri. Ia pasti
tidak berani menatap Arsa. Lalu jari jarinya yang bermain abstrak tidak jelas. Itu gaya khas Tsabit kalau sedang cemburu, toh.
"Ayo temuin Fania. Aku gak apa,--"
Arsa jahat. Belum sempat Tsabit menyelesaikan ucapannya. Ia keburu membekap mulut Tsabit dengan mulutnya. Tangannya bergerak aktif mengerat tubuh Tsabit
dalam pelukan seolah memaksanya agar tubuh mereka lebih dekat. Menghapus jarak diantara mereka. Bersama mata yang terpejam membawa mereka pada sebuah tautan
yang indah. Tautan cinta yang senantiasa semakin membesar berkat ujian ujian sang Kuasa. Keterkejutan Tsabit hanya bersifat sementara, selebihnya ciuman
ini sudah terlanjur membuatnya tak berdaya. Tanpa sadar jemari kecilnya berjalan perlahan menyusuri tubuh hingga mendarat mengalungkan sang pria melewati
leher. Perpaduan indah antara Tsabita dan Kelana. Aku menyebutnya Tsabita Kelana.
*** TBC.. 25. Penantian Berharga Ending.. * * * * Sambil duduk bertopang dagu menatap jalan seraya bibir mencebik sedari tadi, tak membuat kejenuhan Tsabit berkurang sedikit pun hari ini. Kepala gadis
menoleh ke kanan kiri hanya untuk melihat pemandangan yang sama. Hadiah dari langit berupa air yang berjatuhan sejak pagi tadi.
Tidak biasanya hujan turun lebih awal. Tepat pukul 6 pagi ini, Jakarta diguyur hujan deras. Sejak habis subuh tadi sampai sekarang cuaca sedang tidak bersahabat.
Hawa dingin pagi kian bertambah dengan kehadiran runtuhan air dari langit itu. Menambah jumlah embun yang menghiasi tanaman. Membasahi tanah tanah kering
dan menciptakan genangan dari permukaan jalan yang telah rusak.
Seharusnya hujan-hujan itu tidak turun sekarang. Harusnya mereka lebih pintar memilih waktu yang tepat untuk datang rombongan seperti ini. Kalau sudah
begini, semua rencana alamat dibatalkan.
Sekiranya itu yang Tsabit harapkan dari hari ini. Alih alih rencana bulan madunya bersama Arsa berjalan lancar, justru berawal buruk pagi ini.
"Ya sudah kalau begitu saya tunggu satu jam dari sekarang ya, pak. Terimakasih."
Tsabit menoleh kepada pria yang baru saja masuk ke dalam mobil menduduki kursi kemudi. Kaos putihnya terlihat agak basah.
"Waalaikumsalam" usai mengibas rambut lalu menaruh ponsel, Arsa berkata, "Kayaknya kita harus tetep disini sampe ujan berhenti. Mobil sewa datengnya satu
jam lagi." terangnya. Tsabit menghela nafas berat.
"Kamu gak marah, kan?"
"Kayaknya sih engga"
"Kok kayaknya?"
"Oke. Aku gak marah."
Tersungging senyum tipis dibibir Arsa "Senyumnya mana?" Goda Arsa setelah itu. Mengetahui kebosanan yang menimpa istrinya tersebut. Tsabit cukup menarik
senyum hambar sekedar memenuhi permintaan sang suami.
"Aku tahu kamu bete gara gara kita batal bulan madu. Iya, kan?" Arsa meraih tangan Tsabit menyalipkan jemari diselanya.1
"Batal" Kata kamu kita tinggal nunggu hujan berhenti, trus mobil yang udah kamu sewa bakal dateng. Mau dibatalin gitu aja" Ini udah setengah perjalanan
loh" Tsabit mengajukan protes setelah sekian jam bersungut-sungut sebal dikarenakan mobil yang dinaiki dirinya dan Arsa mengalami mogok diperjalanan, ditengah
derasnya hujan. Arsa malah terkekeh. Genggaman itu sudah berada diatas pahanya.
"Kok ketawa" Kamu serius mau batalin bulan madunya?"
"Kamu kepengin banget ya bulan madu sama aku" Sampe ngotot gitu protesnya" ucap Arsa sambil tertawa kecil.
"Gak usah pake bulan madu segala juga, kita kan udah,-"
"Haissshhhh..." Tsabit melepas kasar genggamannya ditangan Arsa sambil meringis. Arsa tersentak. "Dih, kamu kenapa lagi" Emang bener kan" pake malu ngakuin."
Balas Arsa kemudian. "Yang merawanin kamu aja aku. Masa masih malu sama suami sendiri." Tambahnya seenak jidat.
"Mulut kamu minta dilakban ya?"
"Gak ada pilihan lain?"
"Diplester" "Yang lain?" 3rd party ad content frame
Advertisement 3rd party ad content frame end
"Dijait. Mau?" Matanya mengerjap. Arsa membalas menatapnya berseringai.
"Maunya dicium" 1
Mata Tsabit menyalang bahaya. Kemudian mencubit keras hidung Arsa gemas. "Tadinya aku mau jait mulut kamu, berhubung hidung kamu gak bisa nyantai, jadi
kamu terima nih balesannya"
"Beraninya idung sih kamu mah. Aku kan mintanya bibir" ucap Arsa bersuara sengau akibat hidungnya dicubit.
"Bibirnya libur"
"Ah, payah! Ya udah lepasin dulu tangan kamu. Idung aku sakit, wey" Tsabit menurut. Selepas tangannya dari sana, Arsa nampak mengusap ngusap hidung gak
nyantainya itu. "Sakit tau" keluhnya.
Tsabit kembali duduk manis bersandar menatap jalanan basah dari jendela. Ada dedaunan yang jatuh karena hujan itu. Untungnya mobil mereka berhenti tepat
di pinggir jalanan kampung yang biasa dilalui warga sekitar. Masih banyak kebun dan pepohonan yang mengelilingi jalan.
Setelah memerlukan waktu khusus untuk menetapkan hati dua insan itu. Akhirnya Tsabit dan Arsa meng-ikrarkan kembali sekelibat perasaan absurd yang pernah
mengganggu mereka terdahulu.
Jika dulu Tsabit begitu egois terhadap cinta yang sengaja ia kubur jika seandainya poligami itu benar benar terjadi, kini dengan lantang berani ia ucapkan
sepenuh hati bahwa, "Aku mencintai kamu, Arsa. Perasaan ini sungguh benar keberadaannya. Bukan sekedar fatamorgana yang berdusta" ucap Tsabit tatkala mereka berada di dalam


Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar, usai peristiwa mencengangkan waktu itu dimana kenyataan baru yang dibawa Tody terungkap sempurna. Mata hazel coklat indah itu menatap Arsa sempurna.
Memberi keyakinan bahwa setiap nafas seiring kata yang terucap memang benar adanya.
Tsabit mengambil secarik kertas diatas meja bersama pulpen menyertai. Dalam waktu singkat, ia menulis beberapa baris kalimat. Arsa menunggu sambil memerhatikan
kegiatan gadisnya. "Aku mau buat puisi untuk kamu"
Arsa bergeming menyimak. Gadis itu nampak tekun dengan pulpen ditangan. Dengan mengalaskan kertas tersebut pada buku tulis yang ditaruh diatas pahanya
sambil ia duduk bersila. Kepalanya agak tergeleng seirama dengan gerakan menulis. Gaya menulisnya persis murid sekolah dasar. Begitu serius seakan tak
mau diganggu. "Udah belum?" "Sedikit lagi" Tidak memakan banyak waktu, Tsabit mengangkat kertas ke udara sambil menyeru bahagia.
"Tara! Udah selesai. Mau denger?"
"Kamu pikir aku sengaja nungguin buat apa?" Tsabit terkekeh polos.
"Oke oke. Dengerin ya..."
"Tunggu!" Tsabit kembali terkatup setelah sebelumnya bibirnya terbuka.
"Butuh gitar gak buat backsound" Biar lebih romantis" usul Arsa menaik turunkan alis bak semut beriringnya itu.
"Ini bukan puisi Bosannya AADC. Aku gak jago bikin puisi romantis kayak gitu. Kamu cukup nyimak dan pahami maknanya. Oke?"
Kecupan singkat dibibir dianggap sebagai jawaban Arsa meng-iyakan instruksi sang istri. Tsabit tercengang dalam beberapa detik hingga akhirnya keadaan
kembali normal. "Kamu hampir aja bikin aku mati menggelepar kayak ikan keabisan air, tau gak?" 1
"Butuh nafas buatan?"
Aish! Kapan mulainya kalau terus begini. "Bisa kita mulai" Aku mulai muak lama lama." Arsa tersenyum menahan tawa sambil mengangkat kedua tangan.
"Silakan, Tuan putri..."
" Siapa yang pernah menorehkan hitam penuh duka..
Yang pernah membalut luka dengan percikan cuka...
Yang pernah membungkus suka melalui air mata...
Yang pernah menggelayuti rasa penuh dosa...
Yang mengajak bermain cinta ditengah jurang dalam beracun...
Aku tahu siapa dia... Dia yang namanya duduk manis bersanding di lauful mahfudzNya...
Dia yang pernah berusaha bersembunyi lalu berlari dariNya...
Dia yang tak pernah luput dari kejaran dosa. Atau mungkin, khilaf"
Dia,... adalah sang kura-kura. Yang telah bebas dari jerat cangkang menyiksa...
Dia itu kura-kura ninja"1
Puisi pun berakhir seiring senyum menawan Tsabit sebagai penutup. Cukup lama ia mempertahankan senyum itu berharap ada tepuk tangan dari pria dihadapannya
yang malah memasang wajah datar bak papan. Mata Tsabit bergerak. Senyumnya tak lagi terlihat murni. Lebih ke maksain sekarang.
"Puisi ku aneh ya?" Ucap Tsabit dalam posisi bibir tertarik. Setelah menghadiahi Tsabit wajah datar, rupanya Arsa berusaha menahan tawa. Lihat saja sekarang
bibirnya berkedut samar sedang bahunya nampak bergetar.
Tsabit mencium bau bau kegagalan. Ia pun merendahkan bahu pesimis lalu membuang ekspresi bodohnya tadi. Sambil memalingkan wajah, ia berkata, "Kan udah
aku bilang, puisi ku gak romantis seperti yang kamu pikir. Jadinya jelek, kan. Kamu sih terlalu berharap banyak. Bayangin kalo tadi diiringi gitar. Pasti
kamu langsung ngakak" bibirnya berkerucut tajam. Tukang balon pun takut dekat dekat saking tajamnya.
Tawa Arsa masih ada. Tawanya renyah sekali seperti kerupuk baru digoreng. "Ketawa kamu gak enak banget, Sa. Bikin aku minder. Besok besok aku gak mau bikinin
puisi lagi deh buat kamu" Tsabit semakin down. Selucu apa sih menurutnya puisinya itu" Ini bukan pertunjukan Stand up comedy, kan"
Ditengah keadaan dimana Tsabit melipat tangan kemudian memalingkan wajah, Arsa menurunkan volume tawanya. Perlahan tawa itu hilang berganti hening.
"Udah ngambeknya?"
"Aku gak ngambek"
"Terus muka ditekuk gitu artinya apa?"
"Ekspresi ngambek sama pesimis itu bedanya jauh"
Arsa mengangguk tampan sambil tersenyum. Menyimak Tsabit itu seperti menahan hasrat untuk memeluknya erat. Pasti hangat.
"Emang kalo muka pesimis kayak gimana?"
"Kayak gini" Tsabit menoleh menghadap Arsa hanya untuk menunjukan wajah ditekuk dengan extra tambahan bibir cemberut. Arsa meng-oh sambil mengangguk.
"Kalo ngambek?"
"Kayak gini" Nampaknya ekspresi itu tidak jauh berbeda dari espresi sebelumnya. Bahkan terlihat sama. Benar, kan" Tsabit berhasil membuat Arsa tak kuasa ingin memeluknya
sekarang juga. Dan mereka pun terlibat dalam pelukan hangat yang tiba-tiba, namun menyenangkan.
"Puisi kamu jelek. Jelek banget. Makanya aku ketawa. Menurut aku gak ada puisi yang terindah selain kamu"
Tsabit menambah jumlah volume dekapan yang mengunci tubuhnya.
"Gombalan kamu juga jelek. Jelek banget. Sama kayak orangnya." Ada kekehan geli menyertai.
"Sembarangan. Kamu gak sadar, punya suami yang gantengnya ngalahin juki juki itu?"1
Alis Tsabit bertaut lalu menarik diri. Kepalanya sedikit miring. "Juki?"
"Kudet banget sih" Arsa menggaruk kepala lalu melanjutkan. "Itu loh pemeran tentara drama korea itu. Yang pacaran sama dokter. Itu kan Juki namanya" tukas
Arsa seolah dirinya adalah drakor lovers. Padahal dia tahu itu juga dari teman perempuannya yang menggilai segala sesuatu berunsur negeri ginseng itu.
Sontak yang tadinya Tsabit menahan tawa akhirnya memutuskan untuk tertawa lepas begitu saja.20
ent frame get 3rd party ad content frame end
"Malah ketawa. Gak pernah nonton drama Korea sih" Rasa percaya diri Arsa sudah melambung cukup jauh rupanya. Tsabit masih dalam keadaan tertawa lalu berkata,
"Joong Ki kaleeeee... dibacanya Jung ki. Nama lengkapnya Song Joong Ki"
"Sok tau" jawab Arsa menutupi prasangka ketidak tahuannya itu.
"Emang aku tau. Dia pemain DOTS, kan?"
"DOTS apaan lagi" dumalnya kali ini.
"Naahh kan... DOTS aja kamu gak tau" kemudian Tsabit menjelaskan kepanjangan DOTS tersebut. Yang merupakan kepanjangan dari Descendants of The Sun. Drama
korea yang marak digilai para K-drama lovers. Arsa mengelak terhadap pengetahuan Tsabit yang ternyata ia lebih khatam perihal drama tersebut.
"Tau deh, yang dulu Alay mah beda. Trus gantengan mana aku sama si Joo...ng... ki itu?" bibir Arsa keseleo kalau harus mengucapkan kalimat asing. Wajahnya
yang lucu saat mengucapkan membuat Tsabit ingin tertawa lagi.
"Ya gantengan Joong Ki kemana mana lah. Dia itu manis, sweet, gagah, maskulin, terus baby face..." pujian itu membuat Arsa ingin muntah mendengarnya. Gayanya
persis seperti yang dilakukan teman perempuannya kalau lagi ngomongin si Juki juki itu.
"Terus apa lagi" Segitu doang yang bisa kamu banggain dari Juki?" potong Arsa keki sendiri. Panggilan Juki lebih pantas disebut olehnya ketimbang Joong
Ki. Dari namanya saja, nama Arsa lebih menduduki juara satu ketimbang nama aktor itu. Bisa bisanya Tsabit lebih memilih dia.
"Masih banyak lagi. Ya kalo dibanding sama kamu gak ada apa-apanya" ejek Tsabit.
Arsa punya konsep baru menghadapi seorang Tsabit kalau lagi menyebalkan seperti ini. Ini pelecehan harga diri namanya. Suami sendiri dibanding bandingkan
sama kaum pria berwajah sipit itu. Padahal mata Arsa juga bisa dibilang sipit, sih. Tapi tetap saja berbeda.
"Kamu gak tau kan, ada kesempurnaan yang si Juki itu gak punya selain aku"
"Oh ya" Apa?" Balasan itu terdengar seperti ejekan berlebihan didukung ekspresi tercengang yang berlebihan pula. Arsa tidak langsung menjawab, melainkan
menangkup sepasang pipi Tsabit kemudian menatapnya dalam. Mau bikin meleleh lagi ceritanya"
Aktifitas saling tatap itu berlangsung lama. Arsa sibuk menelusuri kecantikan istrinya, sedang Tsabit sibuk menjadi peramal ulung menebak nebak pikiran
Arsa, mencari tahu apa yang ingin ia lakukan terhadapnya.
"Istriku cantik banget ya kalo diliat dari deket gini. Pengen deh lama lama mandangin kamu terus. Aku bisa disemutin kalo gini caranya" sambil senyum senyum
sendiri Arsa memuji muji Tsabit. Posisi mereka belum berubah.
"Itu jawabannya" Gak nyambung banget"
"Bukan" "Terus jawabannya?"
"Jawaban apaan deh?"
"Ish!" "Kok ish?" "Au ah gelap" "Mau gelap gelapan" Ayo"1
"Kamu apa banget sih, Arsa. Jadi nyambung kesana. Mana jawabannya. Kamu bilang kamu punya kesempurnaan yang Joong ki gak punya. Trus apa?"
Eksekusi berhasil. Tsabit geregetan sendiri, kan dibuatnya. Isengin Tsabit itu seperti lagi makan kwaci. Gak pengin berhenti. Maunya ngunyah terus. Arsa
tertawa kecil tanpa suara. Kedua tangannya masih betah disana.
"Jadi apa?" "Oh, nungguin, toh kamu"
Ngunyah Arsa hidup hidup enak engga, sih" Campur kecap enak engga" Kalau pake nasi bikin kenyang kali ya. Kenyang pengin ceburin Arsa ke jurang api agar
Negara api tidak lagi menyerang bumi.
Tsabit menggiring kedua tangan Arsa agar turun dari posisinya sekarang sambil berdengus sebal. "Aku tau kamu sengaja ngulur waktu karena kamu gak bisa
nyaingin ayang Joong Ki, kan?"
Whats" Ayang Joong Ki, katanya"
"Geli banget dengernya" dumal Arsa bergidik sinis. Sinis sinis cemburu. "Kamu mau tau apa yang membuat aku merasa lebih beruntung ketimbang si Juki"
Tsabit diam dalam rasa ingin tahu. Matanya menelisik indah pesona pria dihadapannya yang jika dilihat seperti ini melebihi kesempurnaan aktor Korea itu.
Dibalik kaos tipis berwarna putih, Tsabit menyimpan kagum suaminya. Tiba tiba ia rindu pelukan beberapa menit yang lalu.
"Joong Ki gak punya kesempurnaan seorang istri yang senantiasa menemaninya di Surga nanti"
"Aku yakin sesempurnanya Joong Ki, gak bakal bisa ngambil hati kamu selagi dia belum mengubah identitasnya menjadi seorang muslim. Ya kan?"
Arsa benar. Tapi... "Aku gak punya hasrat menikah dengan Joong Ki sekalipun dia muslim. Aku hanya mengaguminya. Itu saja" jawab Tsabit sederhana. Mampu meluluhkan benteng
kecemburuan Arsa yang berdiri kokoh.
"Kamu gak pernah kagum sama aku" Pengorbanan ku lebih nyata loh ketimbang dia yang berperang dibalik layar kaca itu"
Itu kode keras. Arsa menginginkan Tsabit menyebutkan satu saja alasan dia untuk mengagumi suaminya sendiri. Setidaknya Arsa tahu, satu alasan itu akan
menjadi sesuatu yang bisa ia pertahankan demi mahligai cinta yang sudah terjalin beberapa bulan ini.
"Ada satu" "Apa?" "Kamu mampu menetralkan kekacauan hati saat aku tak sanggup membalut luka yang terlanjur membesar. Kamu yang pertama, Arsa" ucapnya seiring senyum tulus
merekah indah bagai bunga Daisy yang siap bermekaran kala pagi menyambutnya dengan tetesan embun.
"Kamu ngomong gitu, aku jadi pengin bilang sesuatu ke kamu" jemari Arsa dibuat asyik memilin milin ujung pashmina putih gading Tsabit. "Aku cinta kamu"
"Gak ada kalimat lain" Aku udah sering denger kata kata itu disinetron. Bahkan disinetron yang pemainnya masih dibawah 17 tahun" bibir Tsabit mencebik
karena teringat salah satu sinetron diTV dimana para pemainnya hampir berusia dibawah 17 tahun tapi sudah disuruh beradegan layaknya muda mudi yang sedang
dimabuk cinta. "Kebiasaan kamu memotong pembicaraan kayaknya harus segera ditanggulangi deh. Aku belum selesai ngomong, sayang" usapan dipipi berhasil membawa Tsabit
pada kedamaian hati. Tangan Arsa itu tidak kasar seperti pria pada umumnya. Hanya saja pada ibu jarinya terasa kasar. Kata dia itu kapalan, karena Arsa
sering bermain gitar. Tsabit mengangguk sambil mengulum senyum menyilahkan.
"Aku cinta kamu... karena kamu berhasil membuat aku mabuk kepayang di atas ranjang"5
Tiba tiba terbesit ide gila dikepala Tsabit. Menjadi manusia kanibal lalu menelan Arsa hidup hidup enak kali ya.
* Rayyan dibuat sibuk hari ini. Dari pagi tadi beberapa langganan jahitnya berdatangan untuk minta dilayani. Ada juga yang menagih permakan yang seharusnya
sudah jadi hari ini. Semalaman Rayyan hanya tidur dua jam. Ia terbangun pukul 2. Usai melaksanakan sholat Tahajud, ia langsung berkutat dengan mesin jahit.
Ada dua orang yang duduk menunggu beberapa pakaian yang sedang dikerjakan Rayyan hari ini. Seorang ibu beranak satu dan wanita cantik yang baru Rayyan
sadari kehadirannya. Wanita itu Fania.
"Belakangnya dikasih kupnat ya bu, biar gak terlalu besar" Rayyan membolak balik gamis bermotif polkadot milik ibu beranak satu itu.
"Iya sedikit aja, mas Rayyan. Terlalu ngepas juga gak enak sayanya"
"Siap" Rayyan memberi kupnat pada bagian belakang gamis. Yaitu lipatan kecil yang kemudian dijait sehingga membuat pakaian menjadi lebih kecil terutama pada area
pinggang keatas. Dengan gesit Rayyan menyelesaikan itu semua dalam waktu singkat. Setelah mengecilkan celana panjang hitam, pakaian wanita beranak satu
itu pun usai dipermak. "Makasih banyak ya, Mas Rayyan. Ini buat infaq nya. Salam buat ibu ya"
Rayyan menerima selembar uang 10 ribu lusuh yang dilipat kecil lalu dimasukannya kedalam saku celana. "Saya yang harusnya makasi, Bu. Insya Allah nanti
saya sampaikan" Wanita itu pun pamit meninggalkan Rayyan dan juga Fania. Kedatangan Fania sebenarnya bukan karena tujuan tertentu. Tidak membawa pakaian yang ingin dipermak.
Sejak datang, Rayyan menyambutnya lalu menyilahkan duduk selagi pria itu menyelesaikan pekerjaan. Setelag kerjaan itu selesai, barulah ia berdiri memerhatikan
Fania yang sedang melihat lihat pakaian buatan Rayyan.
"Ini semua kamu yang buat?" Tanya Fania dengan kepala mendongak mengamati pakaian yang bergantung. Ada satu pakaian yang dipakaikan pada manekin. Semuanya
pakaian muslim. "Iya. Kalo lagi iseng, trus ada sisa bahan yang lumayan banyak" jawab Rayyan bersandar pada sebuah mesin obras.
"Kamu jual berapa ini semua?"
"Tergantung. Si pembeli maunya berapa"
Fania berbalik terheran. "Kok gitu?"
"Ya emang gitu" sambil tertawa kecil.
"Aku gak niat buat komersilin baju baju itu kok. Kalo ada yang mau, mereka boleh beli dengan harga seikhlasnya. Namanya juga iseng. Kalo berhadiah ya alhamdulillah."
"Kalo semua tukang jait kayak kamu, dalam waktu singkat bisa gulung tikar"
"Aku selalu menerapkan itu dalam pekerjaanku, Fan. Tapi nyatanya sampai sekarang, usahaku berjalan seperti biasa. Alhamdulillah lancar"
"Biar aku terusin" Fania ingin memotong. "Karena dari awal niat kamu membuka usaha ini bukan karena keuntungan atau kesuksesan. Melainkan keisengan dan
inisiatif kamu membantu pelanggan yang tidak punya cukup biaya untuk menunjang penampilan mereka. Betul gak?"
Rayyan menarik senyum tipis seiring hembusan samar.
"Lama lama kamu persis Tsabit juga ya. Suka banget motong pembicaraan" mendengar satu nama itu, Fania menarik nafas berat. "Aku tahu apa yang dirasakan
Tsabit saat ini. Pasti dia sedang berbahagia menikmati masa masa bersama Arsa. Arsa adalah spesies pria yang tingkat keromantisannya diatas rata rata.
Tidak hanya itu, Arsa juga setia. Jika hatinya sudah dihuni satu wanita, maka jangan harap Arsa membiarkannya pergi"
Rayyan mengerti arah perbincangan Fania. Seharusnya ia tidak menyebut nyebut nama Tsabit untuk sementara ini. Konflik antara Tsabit dan Fania juga Arsa
masih sangat hangat. Rayyan takut Fania masih menaruh dendam terhadap Tsabit. Ia pun membasahi bibirnya yang kering sambil mengelilingkan pandangan.
"Dari semua baju ini ada yang kamu suka?"
"Aku hargain usaha kamu yindir aku, Rayyan. Kamu gak liat penampilanku" Apa pantas seorang perempuan yang terbiasa memakai dress mini, legging, atau hotpants
dengan tiba tiba mengenakan gamis cantik disana itu" ini kesempatan Rayyan untuk menggugah hati Fania mengenai apa itu menutup aurat.
"Aku cuma nanya loh, bukan nawarin ke kamu" bibir Fania terkatup malu. "Tapi kamu akan lebih cantik kalau memakai itu. Aku yakin" tambah Rayyan lagi.
"Enggak mungkin, Yan" elak Fania mengibas tangan remeh.
"Udah pernah nyoba emang" Belum, kan?" Alis Rayyan tertarik satu keatas. Kali ini Fania bergeming menatap satu persatu baju yang tergantung disana. Bagi
Fania, pakaian disana terlalu suci untuk ia pakai. Seorang wanita sudah pernah merasakan zina tidak pantas mengenakan pakaian terhormat itu.
"Aku suka yang dimanekin itu"
Mata keduanya tertuju pada Abaya hitam berpadu warna gold yang menghiasi area dada dan tepi Abaya. Di bagian pinggangnya terdapat bordiran kecil dengan
warna serupa. Nampak anggun terpajang di sudut ruangan."Itu kamu juga kan yang buat?"
angguk kecil. Sebenarnya Abaya itu adalah Abaya yang ia buat semalaman suntuk untuk diberikan kepada Tsabit sebagai hadiah pernikahan. Tapi
sampai sekarang entah kenapa Abaya itu masih bertengger manis disana. Sewaktu ia akan membungkusnya untuk dibawa, sang ibu menyarankan.2
"Kalau pake warna hitam, Tsabit terlihat kurus, le. Dia itu bagusnya pakai warna softpink, peach, orange. Warna warna yang manis. Lebih baik ini kamu simpen
trus buat lagi pakai bahan yang ibu beli barusan di pasar Kramatjati, ya?"
Rayyan menurut. Ibunya memang memiliki selera yang sama dengan Tsabit. Akhirnya ia urungkan memberi Abaya itu kepada Tsabit. Mungkin lain kali, pikirnya.
"Bagus juga selera kamu. Aku gak nawarin kamu buat nyoba ya. Tapi kalau kamu mau memakainya sekarang, aku kasih gratis."
"Baju ini terlalu suci buat aku, Yan. Kamu tau aku,-"
"Gantian aku potong ucapan kamu" Rayyan duduk di sofa lusuh. Sedang Fania masih berdiri berhadapan dengan manekin. "Definisi suci menurut aku itu, hal
yang belum terjamah apa apa. Seorang pezina pun memiliki sesuatu yang suci. Kamu tau apa?"
Fania menggeleng "Masa depan. Kamu punya masa depan yang belum terjamah. Masih polos seperti kertas putih. Kamu gak mau mengisinya dengan hal hal yang baik" Sayang loh"
"Meski masa lalu ku sudah kotor sekalipun?"
"Asal kamu berniat memperbaiki semuanya, Allah akan ridho dan memaafkan masa lalu kamu. Insya Allah"
Fania kembali menemukan sosok Rayyan yang alim dan ahli ibadah itu. Mungkin itu julukan yang pas untuk Rayyan. Pria yang pernah berkhianat akan rencana
busuknya terdahulu kini kembali menunjukan pesonanya melalui kata kata mengagumkan. Fania pernah berpikir ingin seperti mereka. Yakni wanita wanita yang
senantiasa menutup auratnya. Bahkan ia pernah menyimpan kagum kepada Tsabit. Sosok gadis yang begitu dicintai Arsa. Apa semua kelebihan itu bersumber dari
hijab yang mereka kenakan" Apa hijab tersebut yang memancarkan aura positif ke dalam diri mereka" Bukan sosok munafik yang Fania temui, melainkan sosok
sosok berakhakul karimah. Dibalik beraneka ragam watak dan karakter, mereka semua memiliki satu akhlak yang bersumber dari satu pedoman, yakni kitab suci
Al quran. Sungguh apa pantas seorang Fania berada ditengah-tengah sosok bidadari surga tersebut.
Tanpa sadar Fania meraih bagian lengan Abaya itu, menatapnya lama sambil memilin milin.
"Aku beli baju ini. Aku mau pakai sekarang juga"
Rayyan tersenyum lega. Terpancar kemenangan dari lubuk hatinya. Semoga hidayah segera hadir menemui Fania.
* Tsabit nampak sibuk melipat lipat pakaian kemudian ditaruhnya di atas meja lusuh yang hampir habis digerogoti rayap. Ia sampirkan pashmina abu abu ke samping.
Ia menarik nafas dan menyelesaikan satu baju terakhir yang ia lipat.
Dia pun menatap sekeliling kamar asing yang ia tempati saat ini. Kamar yang ukurannya tidak ada satu petak itu hanya diisi satu ranjang untuk satu orang
dan meja lusuh yang ia gunakan tadi sebagai tempat menaruh pakaian. Tsabit mengerjap sekali. Seolah meyakinkan bahwa ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia berada
di dalam kamar seorang diri.
Kalau saja banjir besar barusan tidak terjadi, mungkin dirinya dan Arsa tidak terpisah seperti ini. Tapi Tsabit buru buru menepis perasaan tersebut. Harusnya
dia beruntung masih bisa selamat dari bencana. Masih untung ada ibu tua baik hati yang mau menawarkan bantuna meski hanya dua bilah kamar sempit.
Awalnya Tsabit dan Arsa sedang berdiam di dalam mobil menunggu hujan yang tak kunjung reda, juga mobil sewa yang katanya akan tiba satu jam kedepan. Tapi
nyatanya sudah satu jam lebih mobil tersebut tak kunjung tiba. Dan tak disangka, hujan yang semakin deras itu bergejolak mengisi kali sekitar sehingga
airnya meluap hebat. Terjadilah banjir besar menimpa mereka. Karena saat itu mobil mereka berada dikawasan kampung yang notabene persawahan serta jalanan
aspal berlubang. Belum lagi kali kali yang mengelilingi terhambat alirannya berkat sampah menggunung. Sehingga bisa dengan mudah air bah membanjiri sekitar.
Mau tidak mau Arsa dan Tsabit harus segera keluar dari mobil. Bisa bisa mobil mereka terbawa arus. Arsa pun menggiring Tsabit mencari jalan keluar. Dengan
sekuat tenaga menggendong tubuh Tsabit dibelakang lalu berjalan menjauh dari lokasi. Bayangkan, bagaimana Arsa berjuang susah payah melawan arus air yang
semakin nakal itu. Saat itu Tsabit ingin sekali turun dari gendongan sang suami, tapi dengan lantang Arsa menolak ditengah derasnya hujan dengan mengatakan,
"Kalau kamu turun, itu sama aja kayak berjuang masing-masing. Aku gendong kamu, biar kita berjuang bersama. Berdua ngelawan banjir. Ngerti?"1
"Tapi kalau posisi aku kayak gini, apa yang bisa aku perjuangin?" Balas Tsabit setengah berteriak.
"Pegangan yang kuat, abis itu doain aku. Aku cuma butuh itu"1
Singkat padat namun berarti besar bagi Tsabit. Sekilas senyum seiring air yang membasahi wajah terpatri indah pada gadis itu. Begitu juga Arsa dibalik
kesusahannya melawan derasnya air, ia menyempatkan diri untuk tersenyum lalu menoleh ke gadisnya.
Dalam keadaan duduk bersandar ditembok, Tsabit tersentak akan sesuatu yang menyita pikirannya. Ponselnya bergetar dari saku celana. Satu pesan dari Arsa.
Bit. Begitu isi pesannya. Tiga huruf singkat tidak ada romantis romantisnya. Tsabit membalas.
Ya. Aku kangen Aku juga Lagi apa" Duduk senderan ditembok mikirin kamu
Sama Aku gak nanya Dalam kamar terpisah, Arsa juga melakukan hal yang sama. Duduk bersandar pada tembok dimana kamar mereka bersebelahan. Tembok besar putih menjadi pemisah
mereka satu satunya. Kalau saja ibu Wariyem, wanita yang menawarkan bantuan itu memiliki satu kamar yang luas, tentu Arsa dan Tsabit tidak akan terpisah seperti ini. Ibu Wariyem
mempunyai dua kamar sempit. Tadinya itu adalah satu kamar, namun direnovasi menjadi dua kamar untuk dua cucunya yang sedang ke luar kota, katanya. Alhasil
sepasang kekasih halal itu seperti dua insan yang sedang dipingit.
Arsa sendiri hanya duduk berlutut menatap layar ponsel. Setelah berganti pakaian ia memilih duduk tanpa melakukan aktifitas apapun.
Aku mau video call sama kamu
Buat apa" Ya mau ngeliat kamu lah Sayang sayang pulsa. Mending kamu keluar lalu temui aku sekarang. Gampang.
Oke Aku tunggu Belum sempat ia mengunci layar ponsel, satu dering berbunyi lagi.
Engga Tanya dong, kenapa Tsabit terkekeh seraya menggeleng.
Kenapa emangnya" Karena mereka belum nemuin satu bidadarinya yang hilang dari khayangan. Bidadarinya itu yang lagi baca sms ku sekarang.1
Tsabit tertawa sendiri. Baru beberapa menit yang lalu ia menilai Arsa bukan cowok romantis. Sekarang dia dibuat senyum senyum tidak jelas usai membaca


Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sederet gombalan brondong itu.
Arsa... Arsa... Makanya tadi aku gendong kamu biar kamu gak pergi ke langit. Kamu kan udah janji gak akan ninggalin aku
Kapan mau kesini" Eh iya lupa. Ya udah wait ya sayang
* "Monggo dimakan. Maaf cuma seadanya"
Dua mangkuk mie instan rebus bersama potongan cabe rawit plus telur setengah matang tersuguh dihadapan Tsabit juga Arsa.
"Terimakasih ya, bu. Maaf ngerepotin. Niat mau liburan malah jadi numpang dirumah orang" ungkap Tsabit tidak enak hati. Bu Wariyem tersenyum hangat. "Liburannya
jadi dirumah ibu yang sempit ya" lantas ia tertawa disusul Arsa dan Tsabit.
"Tumben ya, bu Hujannya awet"
"Iya. Ini masih mending. Dua hari yang lalu rumah ibu penuh sama air. Banjirnya masya Allah. Untung cucu cucu lagi di rumah. Coba kalo ibu sendirian. Kebawa
aer bisa" Arsa yang sudah lebih dulu menyuap sesendok mie instan menyimak seraya mengangguk. Tsabit memerhatikan sekilas. Hanya ada dua mangkuk. Dan Bu Wariyem sendiri
belum makan. Tsabit tidak tega kalau dirinya makan enak sedang ada orang lain yang tidak makan.
"Emangnya anak ibu kemana?"
Raut Bu Wariyem nampak berubah. Apa Tsabit salah bicara"
"Pergi gak tau kemana. Bilangnya mau jadi TKI di Malaysia. Tapi udah 5 tahun gak ada kabar. Tetangga sini pada bilang nikah lagi sama orang sono. Ada yang
bilang udah lupa sama keluarga. Tapi ibu mah gak percaya. Ibu tau anak ibu orang yang tanggung jawab. Cucu cucu pada ngedoain biar Allah yang ijabah" curhat
Wanita bertubuh kurus itu.
Hujan ini malah menambah sedih suasana. Seharusnya Tsabit bisa menghangatkan. Malah kesedihan yang muncul berkat keingin tahuannya tentang Bu Wariyem.
Kalau sudah begini, Tsabit tidak ingin bertanya lebih banyak lagi. Ia pun beralih pada semangkuk mie instan yang belum tersentuh olehnya.
"Kayaknya mie yang ini buat ibu aja deh. Saya masih kenyang. Kita makan sama sama ya bu."
"Lah, ini buat eneng. Ibu mah gampang. Yang penting tamu dulu. Dateng dari jauh masa gak makan dah" Tsabit bingung. Gaya bicara Bu Wariyem terkadang seperti
Bu Yati yang kemayu khas jawa, kadang juga seperti orang asli Jakarta.
"Saya makan semangkuk berdua sama suami aja juga bisa kok, Bu. Ibu tenang aja. Biasanya dia suka gak abis kalau makan ini sendiri. Iya kan, sayang?"
Arsa menegakan tubuh ketika ada tangan melingkari pinggangnya dari samping. Ia menoleh, Tsabit mengedipkan satu mata kepadanya.
Oh. Kode. "Iya Bu. Ibu makan aja. Daripada nanti mubazir mie nya gak kemakan. Udah bu, santai aja" ujar Arsa turut membantu. Ia pun membalas tindakan Tsabit dengan
melingkarkan tangan kirinya ke bagian pinggang gadis itu. Keduanya spontan saling menoleh, tersenyum hambar penuh arti. Persis seperti adegan antara SpongeBob
dan Squidward di episode dimana mereka bersaing memperebutkan jabatan karyawan teladan. Keduanya tersenyun sambil berkata dalam hati.
Bu Wariyem pun meng-iyakan dan mereka menikmati makan bersama sama.
* "Kalau hujannya gak berhenti juga. Kita bisa nginep disini. Gimana menurut kamu?" Tanya Tsabit datang dari kamar mandi usai membersihkan diri dan berganti
pakaian. "Ya udah nginep aja. Tapi aku gak mau tidur sendiri di kamar sana. Kita harus tidur sama sama" jawab Arsa duduk bersandar di atas ranjang mengibas ngibas
kasar rambutnya yang masih basah. Kaosnya ia jemur pada tali yang memanjang di sudut kamar. Ia hanya memakai kaos putih tipis yang biasa ia pakai sebagai
kaos dalam. "Kalo ranjangnya muat sih gak apa apa. Ini ranjang ukuran single. Gak bisa buat berdua" timpal Tsabit duduk menyeratakan dirinya disamping Arsa, mengamati
aktifitas suaminya. "Kita bisa pelukan yang erat"
Tsabit mencebik. Dasar modus. "Aku gak mau"
"Dih, kenapa?" "Kamu kalo meluk gak pake hati. Gak sadar kalo badan kamu sebesar apa dan badan aku semungil apa. Terakhir aku dipeluk kamu, dadaku sesek tau" keluh Tsabit
sambil mendengus. "Masa sih" Kayaknya gak kenceng kenceng amat" gumam Arsa dengan tampang polos. "Ya udah deh maaf. Aku janji bakal lebih lembut"
"No way!" "Kok No, sih" Kamu seneng ya liat aku tidur sendirian dikamar sana. Nanti kalo tiba tiba Bu Wariyem dateng terus godain aku gimana" Kamu rela?"
Satu cubitan berhasil membuat Arsa meringis karena ucapannya yang semakin ngaco.
"Malah nyubit. Eh, siapa tau diem diem Bu Wariyem naksir sama aku terus godain aku pas tidur. Nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku kan masih
polos, sayang" usaha Arsa tentu saja gagal. Ya kali Bu Wariyem berbuat yang tidak tidak sama brondong macem Arsa.
"Arsa berhenti ngelantur" Tsabit memperingatkan dengan tegas. "Otak kamu kudu disapu bersih biar gak ngeres deh kayaknya. Bu Wariyem gak mungkin doyan
brondong. Apalagi kayak kamu"
"Terus yang doyan siapa" Kamu?" Goda Arsa menatap jail sang istri. Sebagian rambutnya yang basah hampir menutupi mata. Tapi Tsabit bisa merasakan tatapan
sihir pria itu. "Engga juga" kepalanya berusaha berpaling dari pandangan Arsa.
"Lah, kmu gak doyan sama aku?"
Gelengan Tsabit kuat. Bibirnya mengulum rapat.
"Kalo begini doyan gak?"
Entah kapan datangnya, Arsa sudah berhasil mengunci tubuh Tsabit yang katanya mungil itu. Tapi bagi Arsa, tubuh Tsabit tak lagi mungil. Sejak malam pertamanya
waktu itu, setiap bagian tubuhnya mengalami banyak perubahan. Tsabit tidak sadar kan, kalau lengannya mulai berisi. Lalu pinggulnya kian hari kian membesar
juga kencang. Mungkin itu yang disebut peningkatan hormon pada wanita setelah menikah.
"Engga" "Kalau begini?"
"Engga juga" Tidak jarak diantara mereka. Hanya hembusan nafas segar aroma mint cukup menjadi pembatas tipis keduanya. Arsa memiringkan kepala lalu ia hadapkan ke arah
telinga Tsabit. "Jawaban kamu meragukan. Kamu mau mancing aku ya"
Mendadak bulu bulu area tengkuk juga telinga menegak rata membentuk permukaan kasar kulit Tsabit tatkala bisikan menggoda itu terucap menghangatkannya.
"Aku cuma menunggu apa yang selanjutnya kamu lakukan sampai aku menjawab 'iya'. Itu saja" dalan satu hitungan, perlakuan Arsa berbalas. Tsabit sudah melingkari
lehernya. Mendekatkan hidung bangir mereka dalam jarak sedekat nadi.
Ini bukan Tsabit. Perlakuan yang ia lakukan seperti bukan keinginannya. Melainkan hasrat dan gejolak yang membawanya tenggelam bersana tautan asmara mereka.
Dulu mereka pernah sejauh matahari. Tapi Tuhan kini mendekatkannya sedekat nadi.
Siapa yang tidak menyangka. Penantian ketidaksengajaan keduanya menjadi penantian berharga yang sudah Allah tuliskan menjadi kisah menarik penuh kerikil
menyambut. Disaat mereka sedang berjuang kepadaNya. Maka Allah membalas dengan limpahan cinta serta kasih sayangnya tiada tara. Pernahkah kita mendengar,
kalau kamu melakukan segalanya karena Dia. Maka Dia akan memberinya segalanya kepada kamu. Sebutlah itu kebahagiaan dunia akhirat.
* "Ish! Handphone kamu ganggu aja"
"Aku angkat dulu ya"
"Gak usah aja deh"
"Dari mama Tika. Penting kayaknya"
"Sini, aku yang jawab." Arsa menerima ponsel milik Tsabit, membenarkan posisi duduknya. Merangkul sang istri dalam dekapan dada. "Iya, ma kenapa?"
"Kamu udah sampe" Kok gak kabarin mama" Kata Arsa disana ada banjir besar. Keadaan kalian gimana"
"Ini Arsa, ma. Kita baik baik aja. Terpaksa nginep di rumah warga. Mobil kita mogok."
"Terus honeymoonnya gimana?"
Arsa menjauhkan ponsel sejenak hanya untuk menatap Tsabit lama. Tsabit menatap bingung. Seringai tipis tercipta dari bibir Arsa. "Kamu kenapa?" Tanya Tsabit
terheran. "Telepon dari mama baru aja ganggu honeymoon Arsa. Katanya mau punya cucu"
Cubitan Tsabit bersamaan dengan merapatnya bibir Kartika disana. Seakan tahu diri, Kartika hendak mengakhiri pembicaraan.
"Ya sudah lanjutkan. Kasih mama cucu yang banyak ya"
* " THE END " 10 23. Extra Part "Kerudung kamu kemanain lagi?"
"Aku tinggal dikelas"
"Kok ditinggal dikelas, nak?"
"Tadi aku lepas, Bunda. AC dikelas Salsa mati. Bunda mau aku mimisan lagi nanti?"
Padahal enggak ada hubungannya AC mati sama mimisan.
Salsabila Alana. Panggil saja dia Salsa. Buah hati Arsa dan Tsabit ini, usianya baru menginjak 5 tahun. Tapi jangan pernah mengira dia memiliki pemikiran
layaknya anak seusianya. Seperti hari ini. Tsabit mendapati putri kecilnya itu pulang dalam keadaan berantakan. Rambutnya terurai. Pita rambutnya hilang entah kemana. Seragam muslimnya
kotor penuh coklat. Jangan tanyakan kondisi area wajah. Sebagian dipenuhi warna coklat. Ia berjalan santai sambil menyeret tas princess kesayangannya.
"Cantik. Besok dibawa lagi ya kerudungnya. Jangan ditinggal. Kalau kamu gerah dan takut mimisan, simpen aja kerudungnya di tas. Ngerti ya nak, ya?" Tsabit
menyisir dengan jari rambut Salsa lalu menguncirnya dengan karet jepang yang tergeletak di atas nakas.
"Udah aku taro tas, Bunda. Tapi tadi aku ribet ngeluarin buku tulis. Miss Zulfa mau dikte, nanti aku kelewat" Tsabit menarik bibir tipis seraya mengulum
senyum hangat. "Terus, kamu pulangnya sama siapa" Kok gak nungguin bunda jemput dulu?" Interogasinya kali ini berbalas wajah cemberut Salsa. "Kok ditekuk gitu muka anak
bunda?" "Aku nungguin bunda daritadi gak dateng dateng. Yaudah aku dianter sama uminya Ummar naik mobil" adunya.
"Ummarnya kemana sekarang?"
"Udah pulang" Tsabit harus menelepon Aufa setelah ini. Mengucapkan terimakasih atas inisiatifnya mengantar Salsa. Tapi yang Tsabit tidak habis pikir, ini baru jam 8.
Bukankah kelas berakhir pukul 10 pagi"
"Kamu pulang cepet ya, nak?"
Salsa menggeleng sambil sibuk menyendok ice cream cup coklat. Semua kekotoran itu berasal dari sana.
"Kok jam 8 udah pulang" gumamnya sendiri.
Tsabit melihat jam tangannya masih pukul 8. Ia pun beranjak menuju ruang tamu. Jam dinding disana menunjukan pukul 10:20. Dan Tsabit menepuk jidatnya seraya
menggeleng. "Pantesan"
"Bunda tau gak. Tadi aku berantem lagi sama Fakhry. Tapi keburu dipisahin sama Miss Zulfa"
Tsabit ingat. Fakhry teman satu meja Salsa. Anak laki-laki cengeng yang hobi sekali mengganggu Salsa. Pernah suatu hari Tsabit melihat secara langsung,
Fakhry menjahili putri cantiknya itu dengan sengaja menumpahkan susu ke roknya. Tsabit ingin membalas lalu memarahi bocah berwajah arab itu. Masa bodoh
dengan mamanya yang memerhatikannya dari jauh. Harusnya mamanya bertindak sesuatu atas ulah Fakhry. Bukan malah asyik bergerombol dengan ibu ibu muda lainnya.
Tsabit pun mengurungkan niat untuk membalas. Cukup membersihkan noda di rok anaknya sambil berkata, "Udah gak apa apa. Nanti bisa dibersihin kok tumpahannya.
Jangan nangis ya" ucapnya lembut. Dalam sedetik Tsabit melirik sinis mama Fakhry dari kejauhan. Jangan bilang mamanya yang ngajarin.
Dengan santai, Salsa menjawab, "Tenang aja, bun. Kata ayah, Salsa ini jagoan. Gak boleh cengeng. Salsa harus tangguh kayak bunda"
Tsabit tersenyum sekilas. Ia berjanji akan menambah jatah Arsa malam ini karena sudah membanggakan dirinya kepada Salsa. "Hebat. Kamu doain aja biar Fakhry
gak nakal dan gak jailin kamu lagi. Itu yang bagus"
Usai mengatakan itu, Tsabit dikejutkan dengan teriakan anak laki laki dari arah kelas. Sambil menangis, anak tersebut berlari menemui sang mama. Tak lama
dua orang guru menghampiri mereka. Tsabit nampak kebingungan. Matanya memandang serius interaksi antara dua guru dan Fakhry serta sang mama disana. Lalu
ada yang mencolek bahunya.
"Bun, aku yang naro kecoa di tasnya Fakhry barusan"
Bisik Salsa merubah raut bingung Tsabit menjadi terkesima takjub melongo tak percaya. Mulutnya terbuka mengucapkan "Kamu" namun tanpa suara karena Salsa
keburu menutup bibirnya dengan telunjuk.
Kali ini, apa yang Salsa dan Fakhry ributkan" Apa tragedi susu atau kecoa lagi"
"Berantemin apa lagi sekarang?" Tsabit beranjak berjalan menuju kamar disusul Salsa mengekor.
"Dia rusakin rumah stick ice cream aku, bun. Trus aku aduin ke Miss Zulfa eh, Fakhry malah nangis sendiri katanya aku yang rusakin rumah rumahan dia. Padahal
dia bohong. Aku cakar aja mukanya" adunya menggebu gebu. Mendengar laporan Salsa, Tsabit jadi teringat pertengkarannya dengan Arsa 5 tahun silam. Jiwa
hero Salsa menurun dari sang Bunda.
"Terus Fakhry nangis?"
"Nangis, bun. Udah di usap usap kepalanya sama Miss Zulfa gak berhenti berhenti nangisnya. Dia sih isengin aku terus" ice cream nya telah habis tanpa sisa.
Ia berganti pakaian yang sudah disiapkan diranjang.
"Terus kamu minta maaf gak" Kamu kan udah nyakar dia" Tsabit membuka tas Salsa lalu mengecheck buku buku didalamnya. Ia melirik Salsa yang mengangguk polos.
"Tapi Fakhry gak mau maafin aku. Katanya aku jahat"
Tsabit mengerti problematika anak seusianya. Ia harus menerapkan hal positif kedalam diri Salsa. Yakni menjadi pribadi yang tidak mudah menaruh dendam
dan mudah memaafkan. Anggap saja tragedi kecoa itu tidak pernah ada.
"Berarti kamu yang harus maafin Fakhry. Inget gak, pesan bunda semalam?"
Salsa mengembungkan pipinya yang kemerahan itu. Matanya menatap ke atas. Tangan mungilnya bergelayut indah melingkari tubuh Tsabit.
"Tidak perlu menjadi paling benar untuk memaafkan. Dan tidak perlu menjadi salah untuk meminta maaf"
Tsabit menghadiahkan Salsa pelukan hangat atas ingatan hebat putrinya. Salsa menerima pelukan itu dalam keadaan mengunyah sisa coklat yang ia temukan didalam
tas. Mungkin itu coklat kemarin.
"Coba dipake lagi jilbabnya. Bunda mau liat"
Salsa menurut. Salsa menurut * Tsabit baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Wajahnya kusut sejak tadi. Lebih tepatnya sejak dirinya mendapat surat panggilan dari pihak sekolah
mengenai ulah baru yang dilakukan Salsa menginjak sekolah dasar.
"Mulai besok, aku mau sita lego legonya Salsa." Termasuk komik Conan, sepatu roda, Tamiya, pesawat remot kontrol, dan..." bibirnya terkulum "...kecuali
sepeda dan bola basket. Itu pun dia boleh menggunakannya saat weekend. Titik."
Tsabit yang saat itu sedang emosi, langsung saja memasuki mobil dan ngomel tidak jelas. Datang datang membuat suaminya kebingungan melihatnya. Arsa yang
menunggunya di mobil, mengerutkan dahi.
"Kamu kenapa?" Dilihatnya sang istri sedang melipat tangan didada, tatapan matanya mengatakan bahwa ia sedang tidak baik baik saja. "Kok dateng dateng
manyun gitu" Diapain sama kepala sekolahnya Salsa?"
Tsabit mendelik cepat. "Harusnya bukan itu yang kamu tanyain ke aku. Harusnya kamu tanya, 'Salsa berulah apa lagi hari ini"' Begitu, Sa"
"Emang panggilan ke sekolah harus karena anak kita yang bikin ulah ya?"
"Kalo bukan itu apalagi, Sa" Kamu tau kali ini dia berulah apa lagi?"
Badan Arsa berbalik kesamping agar menghadap istrinya. "Apa?"
"Naro lem korea di kursi temannya. Sampe rok temannya itu robek. Kamu tau kan lem korea itu daya lengketnya kayak apa" Sebelum kasus ini, Salsa juga udah
makan 2 korban. Pertama, jejelin tikus ke teman sebangkunya. Kedua, dia masukin kadal ke tas wali kelasnya. Gimana" Hebat banget kan putri kamu itu?" Ucap
Tsabit bernada sarkatis tersenyum licik kepada Arsa.
"Gile! Anak aku dahsyat juga. Itu baru namanya anak perempuan. Antimainstream. Gak cengeng kayak yang lain. Good job, kamu nak!" Ujar Arsa justru berbangga
mengetahui aksi aksi gila putri semata wayangnya itu.
Tsabit menghela nafas berat. "Like Father like daughter. She's make me crazy, Sa. aku gak mau tahu. Kalo nanti ada panggilan ke sekolah lagi, aku pengin
kamu yang nemuin kepala sekolah. Aku malu"
Arsa tertawa kecil mendengar keluhan Tsabit perihal kenakalan Salsa yang sudah tingkat dewa itu. Ia rangkul bahu Tsabit sambil berkata,
"Harusnya kamu beruntung, sayang. Anak kita itu aslinya pinter. Dia jagoan. Kelak dia dewasa, dia bakal jadi gadis kuat seperti bundanya. Dan juga pintar
seperti ayahnya" senyum Arsa terlukis bangga seraya menaikan dagu. Tsabit menarik bibir atasnya tak senang.
"Nakal itu hal wajar. Anggaplah itu fase kehidupan manusia. Sebagian besar anak didunia ini ngalamin. Seperti dulu, kamu pernah alay, kan. Nah itu fase
kehidupan juga" "Kok bawa bawa alay, sih?"
"Contoh doang, sayang"
"Ya... mungkin juga seperti dulu kamu pernah khilaf pacaran sama Fania. Ya kan?"
Arsa mendengus "kok bawa bawa mantan, sih?"
"Contoh doang, sayang"
See" Impas ya sekarang.
"Kayaknya dulu waktu hamil Salsa, aku gak ngidam aneh aneh deh. Kok Salsa bisa over bandel gini ya. Semua nurun dari Ayahnya. Kecuali cerdas sama cantik
itu sudah jelas nurun dari Bundanya"
"Whats" Hellooo... aku gak salah denger" Dia cantik karena ayahnya ganteng. Liat dong mata dia sipitnya kayak siapa?" Kayak aku. Mata kamu kan belo, coklat.
Terus bibirnya tipis kayak siapa" Kayak aku ayahnya. Kalo bandelnya nurun dari kamu. Semoga aja dia gak nekat ngajak fighting sama mahasiswa kayak bundanya
dulu. Ntar jadi jodoh lagi" tukas Arsa tak terima berlanjut membahas kenangan pertamanya mengenal Tsabit.
"Kenapa bawa bawa masa lalu mulu sih daritadi" Jangan lupa ya, kulit Salsa putih, persis kayak aku. Kamu kan putih kekuning kuningan" timpal Tsabit.
"Ya itu sih emang iya. Tapi aku bangga anak ku bandel. Sebab itu artinya Salsa cenderung aktif. Kelak dia pandai menyesuaikan diri terhadap lingkungan
tapi tetap berpendirian teguh pada prinsipnya ditengah lingkungan yang kurang baik sekalipun. Seperti..." mata Arsa menatap lama Tsabit. menciptakan kehangatan
yang mencul. "...kamu, Bundanya"
Hari ini Tsabit tidak memakai blush on, tapi semburat memerah itu sudah ada menghiasi wajahnya tatkala rayuan Arsa melesat bebas.
"Kalo kamu hamil lagi, aku siap kok hadapin Kebandelan the next Salsa. Gimana" Mau?"
senyum Tsabit hambar lalu berkata, "Tunggu Salsa baligh, aku baru mau. Okey?"
"Sekarang cus, kita pulang"
* Flashback, 6 years ago "Arsa... Arsa..."
Yang dipanggil hanya menoleh santai.
"Coba deh liat apa yang baru aku beli tadi di pasar kaget"
Arsa melirik samar sesuatu yang dibawa Tsabit dalam kantong plastik hitam. Pertandingan motoGP" ini tidak boleh terlewat. Mendekati putaran terakhir, pembalap
jagoannya Marc Marquez akan mencapai garis finish dan sebentar lagi akan menjadi juara musim ini. Arsa tidak terlalu menggubris perhatian istrinya.
"Akhirnya dapet juga kasetnya. Nyari jauh jauh, eh adanya malah di pasar kaget. Kemaren kemaren mah kesana aja nyarinya" Tsabit berbicara sendiri sambil
melihat lihat koleksi DVD Drama Korea yang baru saja ia beli.
"Tadi yang Moonlovers mana ya" Perasaan tadi beli juga, deh" tangannya aktif membolak balik kaset kaset itu dengan wajah cemas. Setelah menemukan, ia tersenyum
girang. "Nah ini dia! Jadi bingung mau nonton yang mana dulu"
"Moonlovers, Lets fight ghost, Two World, apa She was pretty, ya?" Telunjuk Tsabit mendarat didagu lalu mengetuk ngetuk seraya berpikir. Matanya berkeliling
menatap satu persatu kaset kaset itu.
"Arsa. Menurut kamu, aku nonton yang mana dulu?" Tsabit beralih menatap suaminya yang sedang asyik menonton pertandingan. Arsa belum merespon.
"Yang ini, apa ini, apa ini, apa yang ini?" Tsabit mengabsen satu persatu kaset kaset itu mensejajarkannya disela sela jemari kemudian ditunjukannya kepada
Arsa. "Kasih saran dong"
Arsa masih serius menonton jagoannya beraksi di arena sirkuit. Sesekali tangannya menyomot popcorn lalu menyuapnya santai.
"Arsa, kamu denger aku gak sih?" Protes Tsabit.
"Apa sayang. Aku denger kok"
"Denger apa coba?"
"Kamu bingung kan mau nonton yang mana dulu" Terus kamu minta pendapat aku. Iya kan?"
Senyum lega terlukis jelas diwajah Tsabit. Ternyata Arsa pengertian juga ya. "Iya, sa. Terus menurut kamu aku nonton yang mana dulu?"
Arsa kembali diam tak menggubris. Kali ini Marquez berusaha menyusul Lorenzo merebut posisi pertama. Mata Arsa enggan berpindah dari layar datar dihadapannya.
Tsabit menekuk mukanya berlipat lipat. Mulutnya mengembung lebar. Tapi otaknya sedang berpikir keras.
"Aduh! Aduh! Sayang perut aku sakit. Jangan jangan kontraksi lagi" Tsabit merintih berlebihan sambil memegangi perutnya. Arsa yang terkejut pun sontak
menoleh cepat berangsur mendekati sang istri. Wajahnya cemas.
"Kenapa, bit" Sakit lagi perutnya" Mules mules gak" Kita langsung ke dokter ya?" Ucap Arsa bertubi tubi mencemaskan kondisi Tsabit yang sedang mengandung
buah hati mereka. "Engga. Aku gak mau ke dokter"
"Yaudah kita ke Bidan aja ya"
"Enggak mau juga"
"Oke, dukun beranak"
"Kok dukun beranak sih?"
"Ya terus apa" Yauda sini aku gendong ya. Rebahan di sofa. Masih sakit perutnya?" Arsa meraih tubuh Tsabit menuntunnya agar duduk bersandar di sofa.
"Masih kayaknya"
Arsa kebingungan sendiri. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Sudah tiga bulan terakhir ini, mereka memutuskan untuk tinggal memisah dari orang
tua. Setelah rumah yang dibangun itu selesai, Arsa dan Tsabit menempatinya berdua. Sebentar lagi bertiga. Menyambut kehadiran buah hati mereka yang sudah
menginjak usia kehamilan 7 bulan. Salah Arsa juga membiarkan Tsabit ke pasar kaget sendirian membawa motor. Tapi mau bagaimana lagi, Tsabit ngotot ingin
pergi sendiri. Arsa memijit mijit lengan sang istri sambil sesekali matanya melirik arah tv. Pertandingan motoGp musim ini tidak boleh terlewatkan. Sebab, musim kemarin
Arsa terpaksa menonton siaran ulangnya dikarenakan sibuk pindah rumah.
"Gimana" Udah mendingan?"
Tsabit mengangguk lalu tersenyum senyum sendiri melihat kesiagaan Arsa padanya.
"Yauda aku terusin nonton dulu ya" mata Tsabit mendelik tajam kemudian menarik lengan Arsa.
"Kamu nonton, perut aku kumat lagi ntar" ancam Tsabit memalingkan wajahnya.
"Dih, bisa gitu?" Arsa berjengit aneh lalu kembali duduk disebelah Tsabit.
"Iya bisa lah. Anak kita gak suka kalau ayahnya lebih mentingin motoGp ketimbang istrinya yang lagi hamil. Kalo anak kita ileran, gimana?"
"Ya jangan sampe lah. Lagian kamu percaya aja sih sama mitos mitos gituan. Gak ada hubungannya nonton Tv sama iler. Udah ada buktinya emang?" Kelit Arsa
terpaksa mematikan Televisi lalu beralih memperhatikan Tsabit.
"Mitos atau engganya, kalau yang ngomong orang hamil harus percaya. Batin anak sama ibu kan kuat banget. Iya kan, nak?" Tsabit mengelus ngelus perutnya


Tsabita Ilana Karya Suffynurcahyati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang besar itu. Arsa mendesah pasrah dan mengikhlaskan pertandingan itu terlewat begitu saja.
Arsa melihat sekelilingnya. Ada banyak kaset kaset berhamparan dikarpet. "Yampun! kaset sebanyak ini punya siapa, Bit?" Pekik Arsa membulatkan matanya
menatap satu persatu kepingan DVD didekatnya.
Tsabit mengendik mengerutkan dahinya. "Dih, kamu kok baru nyadar, sih?" Padahal tadi dengan sadar Arsa mengetahui istrinya membeli kaset drama Korea sebanyak
itu. Kenapa sekarang sok sok histeris begitu, sih"
"Ini kamu semua yang beli?"
"Iya" jawabnya polos.
"Buat apa sayang" Kamu sanggup nonton sebanyak ini" Satu drama aja udah berapa episode"
"Ya buat ditonton lah. Insya Allah sanggup. Apalagi yang ini" jari Tsabit mengambil kaset Drama yang berjudul Moonlovers. "Ini drama terbaru. Keren banget.
Yang main Kang ha neul sama Lee Jun Ki" ungkap Tsabit menggebu gebu bahagia.
Wajah Arsa datar sedatar datarnya papan. Alisnya naik satu, bibir atasnya condong tak suka melihat kehebohan Tsabit. Semenjak hamil, Tsabit mendadak addict
oleh drama drama Korea. Arsa pikir hanya sekali dua kali, itu pun yang Arsa tahu drama yang dimainkan si Juki itu. Tapi kian hari kegilaan Tsabit semakin
menjadi. Buktinya, belum ada seminggu yang lalu, Tsabit merengek rengek kepada Arsa minta dibelikan kaset DVD drama Korea yang entah judulnya apa, Arsa lupa. Sambil
mengancam anaknya bakal ileran lah, bakal tidak mirip ayahnya lah dan banyak lagi mitos mitos yang ia jadikan senjata.
"Tuh, sa liat deh! Kang Ha neul ganteng banget, kan?" Tunjuk Tsabit girang ke layar datar sewaktu menontom film Horror Korea yang berjudul The Girl Grave.
Arsa terpaksa menemaninya menonton, karena katanya Tsabit takut. "Kalau takut ya gak usah nonton" kata Arsa saat itu sewot sendiri.
"Tapi aku penasaran, Sa"
Sepertinya sudah kodratnya perempuan ya" Mereka bilang takut sama film horror. Takut sama setan. Tapi tetep aja ditonton. Alesannya penasaranlah. Pengen
liat endingnya lah kayak apa. Kan kesel, Umpat Arsa sewaktu waktu.
"Sa, kalau anak kita cowok terus mirip Kang Ha neul, kamu suka gak?"
"Ya engga lah. Ayahnya kan aku. Bukan dia"
"Tapi dia kan ganteng"
"Gantengan juga aku. Yang nanem benihnya aja aku. Masa miripnya orang lain, sayang" duh, kalau lagi tidak hamil, Arsa pengin cepet cepet ngurung Tsabit
dikamar diajaknya bercinta sampe kewalahan. Suka gemes sendiri kalau meladeni istri yang sedang hamil.
"Terus kalau perempuan, aku pengen dia mirip sama yang main drama DOTS itu, sa"
"Siapa" Juki juki itu" Emangnya dia cewek?"
"Ih bukan. Nama aslinya Song Hye Kyo. Dia cantik tau, Sa. Wajahnya awet muda. Padahal usinya udah kepala 3"
Arsa memejamkan mata sejenak lalu menatap lama istrinya. Ditangkupkan kedua belah telapak tangan ke sepasang pipi Tsabit. Mengabsen kecantikan yang seharusnya
dimiliki putrinya nanti, bukan aktris Korea itu.
"Tsabita ilana istriku, dengar ya" nadanya lembut selembut gumpalan kapas. Tatapannya sendu meneduhkan hati siapa saja. "Aku gak keberatan sama ngidam
kamu yang ini. Aku malah lebih suka kamu ngidam makanan yang aneh aneh. Aku siap 24jam melayani apapun yang istri ku mau. Selagi istriku bahagia, apapun
aku lakuin." Tsabit mengerjap sekali dalam dekapan lembut tangan Arsa menggenggam wajahnya.
"Apapun mitos mitos yang kamu yakini, aku tetap percaya takdir Tuhan. Aku yakin Tuhan sudah menciptakan buah hati kita sebaik baiknya rupa. Kalau dia perempuan
haruslah cantik seperti bundanya. Kalau dia laki laki haruslah tampan dan gagah seperti ayahnya. Bukan seperti Ha neul Ha neul itu. Atau Song song yang
kamu bilang itu" "Tapi ini semua bukan keinginanku, Sa. Tapi keinginan dia" raut Tsabit memelas kemudian menunduk menatap perutnya sambil mengelus ngelus.
"Aku rasa itu hanya sugesti kamu aja. Gak ada hubungannya nonton drama Korea sama anak kita bakal ileran kalo gak diturutin. Kalo tiba tiba kamu ngidam
mau ke Korea, gimana" Aku gak mau istriku kepincut sama cowok cowok sipit disono nanti" Arsa menyingkap rambut Tsabit ke belakang telinga. Arsa suka sekali
jambang panjangnya yang lurus itu.
"Lalu" Andaikan aku ngidam makanan yang aneh aneh, kamu mau nurutin?" Tsabit balik bertanya, menuntut ucapan Arsa yang belum lama ia ucapkan.
"Insya Allah mau. Kamu mau apa" Heum?" Ia mencubit gemas hidung Tsabit menggoyangkannya ke kanan ke kiri.
"Aku mau..." mata Tsabit berkeliling di langit langit. Bibirnya menipis seraya alisnya bergerak gerak. Biasanya ekspresi seperti ini patut dicurigai. Pasti
minta yang aneh aneh. "Aku mau Kimchi, Ramyeon, tteopokki, sama bulgogi" senyum Tsabit melebar sempurna.
"Makanan apaan tuh" Aneh banget namanya"
"Itu makanan Korea. Beliin, Sa. Bukan aku yang mau, tapi anak kita" rengek Tsabit menarik narik kaos Arsa.
Arsa mengacak ngacak rambutnya frustasi sambil berkata,
"Ya Allah... begitu berat cobaanMu. Memang ku cinta istriku, tapi tak begini" ucapnya memakai nada sebuah lagu yang dipopulerkan Anang Hermansyah.
"Kok gitu ngomongnya" Kamu gak suka" Katanya kalo aku ngidam makanan, kamu mau nurutin" Tsabit cemberut.
"Gak milih yang begitu juga kali, sayang. Semua gara gara si Juki nih!" Tuduh Arsa kepada aktor Korea itu.
"Yauda kalo gak mau, palingan ntar anak kita nendang nendang perut aku terus aku,-"
"Oke. Kasih tau aku dimana yang jual makanan itu" potong Arsa cepat menghindari sugesti aneh aneh lainnya. Ia bergegas mengambil kunci motor lalu cepat
cepat menuruti permintaan sang istri.
* Extra part, The End. Peri Angsa Putih 1 Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Rahasia Tombak Dewa 2

Cari Blog Ini