Ceritasilat Novel Online

Arus Balik 5

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 5


Ia memekik, tetapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangumangu. Apakah benar impin itu" Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa"
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas.
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari impian semalam.
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada tepian ambin dan terhisak-hisak: Dewa Batara! Impian apakah yang kau berikan padaku ini"
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. Mengapa kau jadi begini, Nak" Nyi Gede Kati menolongnya berdiri. Kau sakit"
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi ke tempat mandi.
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari itu ia nampak murung. Tetapi impian itu memburunya terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon, membaca mantera& .
Tiga hari kemudian, tengah malam, ia menghadap pada Hyang Widhi, memohon: Kalau impian itu benar, duh Gusti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini" Ambillah dia kembali, Gusti.
Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan kepadanya.
Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara tentang itu.
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk, dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai sentuhan jenggot, kumis dan cambang-bauknya.
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. Mengapa dalam alam impian tak dapat"
Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa daya.
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan pikiran itu saja sudah membikin ia bergidik, merasa diri tak ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada perlindungan Hyang Widhi.
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan kesyahbandaran dan pulang ke desa. Tetapi sang Adipati tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani mempersembahkan alasan.
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini: ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung. Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di ambin kayu berukir.
Kau pucat dan kurus, Idayu, Kamaratih Tuban. Ada apa gerangan, pujaan Tuban"
Ampun, Gusti sesembahan patik, justru itulah sebabnya patik datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun Gusti Adipati pada patik, karena patik berhalangan untuk menari dalam beberapa bulan ini.
Ah-ya, Idayu, agaknya kami mengerti. Barangkali kau mengandung.
Demikianlah adanya, Gusti sesembahan patik. Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam impian tidak punya kemampuan. Adakah lagi yang hendak kau persembahkan"
Ampun, Gusti, bila diperkenankan, patik memohon diperkenankan pulang ke desa Gusti.
Sang Adipati tertawa ramah dan tulus.
Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta pulang ke desa" Ia bangkit mendekati penari kenamaan itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala Idayu dan hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya kembali.
Jangan, larangnya setelah duduk kembali di ambin. Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan seseorang untuk membantu atau menemanimu di rumah& .
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk Idayu.
Dengar, Idayu, seluruh Tuban dan kami sendiri sangat menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan kawula Tuban dan kami selama ini. Kau sekarang mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah hiburan untukmu, majulah Idayu, dan terimalah. Idayu mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang Adipati.
Dan sejak hari ini. Idayu, kami berkenan mengangkat kau dengan gelar Nyi Gede, kemudian pada menteridalam, hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada sore hari ini juga, dan kembali pada Idayu, pulanglah kau, Nyi Gede, sejahtera untukmu!
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya.
Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh negeri di kemudian hari.
Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong mengerumuni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Paman Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan sumbangan kepada Idayu.
Sebaliknya Idayu semakin berkecil hati. Semakin hari ia semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari balik kulitnya.
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu kata.
Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakanteriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah kau yang berada di bawah jantungku ini" Anak Kang Galeng. Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia anak Kang Galeng.
Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba meyakinkan diri sendiri: Kau anak Kang Galeng, Nak, anak Kang Galeng, tidak bisa lain. Sambil membelai perutnya yang semakin besar juga. Tak ada gandarwa atau drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku" Kau anak Kang Galeng.
Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, Idayu! Tetap tak ada seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu tentangnya.
Nyi Gede Kati pernah menegumya: Banyak wanita tak bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau, Idayu, mengapa murung seperti tak rela mendapatkan karunia"
Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya Batara, dan berikan pada kami impian dulu dan selalu kami pohonkan dulu kepada-Mu.
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguhsungguh telah kehilangan keseraman dan kesungguhan. Dan: Ya, Batara, biarlah Kang Galeng tahu lebih dahulu anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi haknya, karena hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada gunanya..
0o-dw-o0 Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseruseru riang: Tuan Syahbandar-muda datang, Nyi Gede!
Idayu merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin. Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminyakinya dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan sendiri. Kemudian dengan terburu-buru menggosok gigi dengan tepung arang.
Kang Galeng datang, hatinya ia paksa menyanyi keras untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap kesempatan itu.
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya.
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya. Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul.
Benar, Nyi Gede, jawab Paman Marta. Sahaya sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di bandar.
Lelaki itu bergegas meninggalkan pelataran kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseriseri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta yang sedang merana itu. Tak lama kemudian ia muncul lagi dan berdiri menekur di hadapan Idayu; Orang bilang, Nyi Gede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.
Nyi Gede Kati datang dan menegurnya: Kau kelihatan berdarah, Idayu. Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu" Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu"
Bolehkah sahaya pergi, Nyi Gede" Paman Marta minta diri.
Idayu mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk meneruskan pekerjaannya.
Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi Gede. Sebaiknya kau kenakan, Nak.
Mengapa dia tak langsung pulang" Idayu bertanya dengan nada protes.
Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus menghadap dulu. Itu kewajibannya.
Idayu masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia yang telah diterimanya setelah kepergian suaminya. Suatu kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian tenunan sendiri.
Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu nampak memasuki pelataran depan. Idayu berdiri menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya telah merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan membisikkan katakata cumbu.
Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya buyar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni tangga kesyahbandaran dan memanggil suaminya yang sedang berjalan menuju padanya.
Galeng berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk pada Syahbandar, majikannya.
Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia tegakkan bongkok, melambai kemudian bertepuk-tepuk: Wira, Ah, Wira!
Dan Wiranggaleng mengiringkannya masuk ke gedung utama.
Semua orang memilikinya, kecuali aku, Idayu memprotes.
Mari ke gedung utama, Idayu, Nyi Gede Kati mengajak.
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau pulang, biarlah tak muncul lagi.
Cemburu kau, Idayu" Idayu tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya, tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia Nyi Gede Kati menghibumya.
Biar aku suruh pulang dia, katanya, kemudian melangkah cepat-cepat ke gedung utama. Idayu masuk ke dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal telah mengasari Nyi Gede Kati yang selama itu begitu baik terhadapnya. Tak lama kemudian diketahuinya suaminya masuk. Terdengar olehnya suaranya.
Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.
Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. Tetapi ia purapura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita tangis bahagia tanpa ukuran.
Kau kurus, Idayu, Kau terlalu banyak menari. Ah, kau, Kang Galeng, berapa bulan aku harus tunggu kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang sudah mengintip di bawah jantung ini.
Mengandung! Kau mengandung, Idayu" ia letakkan kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain Idayu. Ia ciumi anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya mendesis gugup: Aih, anakku! Anakku! Tiada aku sangka! ia kagumi istrinya. Mereka memuji-muji kau belaka, Idayu, mereka semua memohon untuk kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga. Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka bilang, kau sudah mendapat karunia gelar& .
Dan malam datang dengan cepatnya.
Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu.
Idayu tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang sedang tergolek juga.
Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang menembusi masa silam dan masa yang baru saja dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugastugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil pekerjaannya itu. Sang Patih telah membawanya menghadap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada Sang Patih untuk mengundurkan diri, kemudian sendiri berkata padanya: Tidak salah pilihanku, kau, Wiranggaleng, kau, anak desa& . cepat atau lambat kaulah orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan kebesaran masa silam untuk Tuban. Mungkin kau sendiri belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering menari di sini.
Ia berbesar hati karena semua pujian itu. Pujian dari Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk menyediakan waktu guna memahami di mana hasil pekerjaannya di Jepara dan Demak selama ini. Kau tak juga bercerita, Kang, tegur istrinya. Terlampau lama kutinggalkan kau, Idayu. Tak bisa lain.
Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum juga menceritakan sesuatu.
Aku rindu, Idayu. Kau rindu juga" dan Idayu tak menjawab. Mengapa kau diam saja" Marah" Aku selalu ketakutan, Kang.
Aku tahu apa yang kau takutkan, Wiranggaleng membayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban. Tetapi aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai melakukan itu.
Idayu merangkulnya. Suaranya gemetar: Di tanganku ada cundrik, Kang, ia menguatkan rangkulannya. Tangan ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. Karena, Kang, dia datang dalam impian.
Dan kata orang tua-tua, Wiranggaleng meneruskan, jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian Kau masih ingat itu, Idayu"
Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada cundrik di tanganku.
Kau sedang bercericau, Idayu! Bicaramu begini aneh, dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. Apa maksudmu"
Berceritalah Idayu tentang pengalaman mimpi yang berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari. Dan Wiranggaleng mendengarkan cermat-cermat sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari kekasihnya.
Penutup cerita adalah pertanyaan: Bagaimana, Kang, sekiranya impian itu benar"
Impian tinggallah impian.
Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan anakmu"
Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada. Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di samping bangkai ibunya. Kemudian kau akan lari, lari, lari entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam hati. Tetapi tak ada tempat di mana kau akan pernah sampai. karena ingatanmu selahi akan kembali pada kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri& .
Kau semakin aneh, Idayu. Diam, diamlah. Impian tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di ladang"
Idayu terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan.
Dan Wiranggaleng membiarkannya. Angan Syahbandarmuda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua dimulai dengan cipta, kata Rama during. Semua itu tak bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta" Guru-gurunya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaikbaiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja" Benar. Semua benar. Dan terpampang di hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau& . Semua akan terjadi karena jasa-nya, jasa Wiranggaleng. Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu!
Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia mengucapkan terimakasih pada mendiang Rama Cluring dan semua guru-pembicaraan yang pernah didengamya.
Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam hati suaminya, Idayu berbisik lembut: Nampaknya desa kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasarasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana. Sampai, bisik juara gulat itu.
Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu, Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya. Bisa.
Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.
Wiranggaleng tertawa dan ditariknya kuping is trinya: Makin tua kau makin cerewet.
Dan Idayu tetap memeluk suaminya, menekankan kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan deburan laut.
Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa batas.
Apa kata Rama Cluring" Aku bicara tidak tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya . Mengapa Idayu lebih suka bicara tentang kematian" Tidak betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya mencipta.
Pagi-pagi benar Idayu sudah memulai dengan katakatanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka Syahbandar Tuban.
Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu malam.
Diam, Idayu. Kau terganggu karena kandunganmu. Wiranggaleng dapat menangkap kilat pada mata Thotib Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan cerita istrinya bukan tidak punya dasar.
Namun ia tetap tidak menanggapi. 0o-dw-o0
11. Menyerang Malaka Duta Tuban yang menghadap Sultan Demak telah kembali dengan membawa serta Raden Kusnan, salah seorang putra Sang Adipati.
Beberapa minggu setelah itu pasukan laut Tuban naik ke atas kapal-kapal perang yang telah berlabuh berjajar pada dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima ratus prajurit laut akan berangkat meninggalkan Tuban. Dan genderang ramai bertalu ditingkah oleh bunyi kenong.
Prajurit-prajurit itu telah menjalani latihan ulangan selama tiga bulan.
Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan para prajurit yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari galangan. Dan memang tak pernah selama kekuasaan Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang. Tahun 1513 Masehi.
Gugusan pasukan laut Tuban akan dipimpin oleh Raden Kusnan. Wiranggaleng dengan resmi telah diangkat jadi pembantu-utamanya. Sang Adipati sendiri yang melantik beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: Jepara. Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, karena nampaknya Sang Adipati mengirimkan mereka tidak dengan tujuan merebut kembali bandar terbarat milik Tuban itu.
Sebelum layar-layar dikembangkan Sang Adipati menjatuhkan titah kepada putranya: Kau, Raden Kusnan, kami percayakan gugusan pasukan laut Tuban ini. Berangkat kau sampai ke Jepara. Jangan tidak, bergabung kau dengan armada Jepara. Kau sendiri lebih tahu tentang apa yang harus kau perbuat. Setelah bergabung kau berada di bawah perintah Gusti Adipati Unus Jepara, yang akan bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu dan anak-buahmu.
Layar-layar pun menggelembung dan lima buah kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan cetbang bikinan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju pelayaran tidak dipergunakan.
Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-umbul dan selendang dan tangan.
Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu berpisahan dengan alam dan manusia Tuban.
Para prajurit dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai membuka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu.
Pada hari pertama itu Wiranggaleng lebih ban yak berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus berjalan mondar-mandir begini ia harap akan mendapatkan daya-tahan yang mencukupi
Tetapi penghormatan yang berlebihan itu membikin ia menjadi kikuk. Ia merasa risi mendapat perhatian orang. Dan ia tahu ia lebih diperhatikan daripada Raden Kusnan. Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk Tuban lebih memperhatikan pejabat yang berasal dari orang kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang Adipati, bukanlah suatu keluarbiasaan bila menduduki jabatan pen ting. Tetapi anak desa, hanya karena keist ime waan saja bisa meningkat ke atas.
Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab pandang mata bawahannya dengan senyum ramah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak bicara mereka yang nampak termenung-menung mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat yang memperhatikan.
Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi Syahbandar-muda selalu saja orang menyuguhkan pandang kagum seperti itu. Dan sebagai Syahbandar-muda ia pun masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih banyak mondar-mandir daripada melakukan pengawasan. Apa pula yang harus ia awasi" Ia tak tahu sesuatu tentang pembikinan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa.
Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Duaduanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan waspada.
Ia mulai mendapat ketenteramannya waktu matari sudah tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layarlayar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondarmandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada Idayu, pada Gelar, si anak itu.
Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang prajurit yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar olehnya berkata pada temannya: Sekiranya Gusti Adipati tidak berputra, pastilah Syahbandarmuda Wiranggaleng yang memimpin gugusan kita ini.
Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu. Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjungsanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak. Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri: Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan kekecewaan dalam hati mereka" Mau-tak-mau ia terpaksa lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. Karena: pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah.
Pada malam pertama itu ia mendapat tugas melakukan pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah, di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai prajurit biasa.
Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya.
Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan dengan diam-diam.
Ingat kalian pada pesta perkawinannya dulu" Orang bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari tandunya! Mana pernah ada"
Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat, takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang membantu mereka. Wiranggaleng dan Idayu merangkak bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan prihatin ke arah Sela Baginda.
Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita Wiranggaleng. Siapa pun tahu di balik senyum dan keramahannya: batin yang teraniaya di bawah timbunan batu.
Betul, siapa pun tahu, yang lain meneruskan. Orang bilang tak mungkin Idayu mau dengan sukarela. Bahkan Sang Adipati pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana mungkin Idayu bisa menerima burung aneh dari Espanya itu"
Siapa tahu Guti Adipati sendiri yang memaksanya untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu"
Memang Syahbandar keparat itu terlalu dimanjakan oleh Sang Adipati, seorang lain menggarami. Manusia terkutuk!
Kalau Nyi Gede Idayu berani menantang maut menolak Gush Adipati, tak mungkin dia mau menerima Sayid Ulasawa, sekalipun atas paksaan Gusti Adipati. Dia akan tetap memilih maut. Lagi pula apa sesungguhnya kepentingan Gusti Adipati" Ia sendiri memberahikannya.
Lagi pula mengapa Gusti Adipati tak juga mangkat" Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis cantik kita.
Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan perasaannya masing-masing, iba pada Wiranggaleng dan istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap Syahbandar Tuban.
Kabamya Syahbandar-muda itu jarang pulang, seseorang memulai lagi.
Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang ituitu juga. Jelas-jelas seperti Sayid Ulasawa.
Mengapa tak dibunuhnya saja Syahbandar keparat itu" Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu. Celakanya dia dilindungi oleh Sang Adipati. Kalau tidak, sudah lama dia lumat di bawah pedang anak-anak Tuban. Orang semacam itu tidak patut terkena keris. Pedang pun mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur. Wiranggaleng sendiri yang sepatutnya melakukannya. Justru dia yang melarang anak-anak Tuban melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang, jangan . Anak-anak Tuban bertanya, mengapa jangan" itu bertentangan dengan adat Tuban . Aku sendiri ikut waktu itu, jadi tahu sesungguhnya duduk perkaranya. Ia bilang, Sang Adipati menitahkan, jiwa Syahbandar Tuban harus dijaga, dia dibutuhkan oleh Tuban .
Jadi cerita itu bukan omong kosong" Tidak, aku sendiri menyaksikan. Ah.
Coba, Kamaratih Tuban diperlakukan seperti itu. Siapa tidak meluap" Orang asing pula. Dengan cara yang kurangajar pula.
Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari kesyahbandaran. katanya berasal dari Nyi Gede Kati. Idayu tidak dipaksa oleh Gusti Adipati untuk melayani Say id Ulasa wa. Katanya Syahbandar keparat itu menggunakan obat bius setiap Idayu habis menari dari kadipaten.
Wiranggaleng berdiri dari duduknya, pergi menghindar bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru pelan: Celaka! Bukankah itu Wiranggaleng sendiri"
Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir cahaya menyemburat di sekitar lunas. Sekian ia teringat pada cerita Rama Cluring tentang lunas kapal-kapal Majapahit.
Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul. Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam" Tidak lebih dari setengah tahun yang lampau& .
0o-dw-o0 Ia rasakan betapa lama Idayu pergi tetirah ke Awis Krambil dengan Nyi Gede Kati. Sang Adipati telah meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa. Juga Sang Adipati sendiri yang menitahkan serombongan orang untuk menandu pujaan Tuban yang akan melahirkan itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari ulung ini titahnya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala si pelanggar.
Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan Tuban.
Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia sendiri tak mungkin berkunjung ke desa.
Kemudian datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang diri di dalam kamar. Ia lihat Idayu berjalan mengendapendap mendekati serambi. Perutnya telah kempes. Jelas ia sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-elukan.
Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada suami untuk dibunuh.
Idayu nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura tak melihat kalung melati itu.
Mengapa kau, Idayu" Kau begitu pucat!
Ia lihat Idayu memandangnya begitu sayu. Waktu ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya gigilan pada badan istrinya.
Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung melati itu dan ia lemparkan ke pelataran.
Kau sakit. Tidakl jawab Idayu tegas tetapi menggigil. Mana anakku"
Idayu menatap mata suaminya, tapi ia tak menjawab. Wiranggaleng merasa mau memekikkan tanya: matikah anakku" Ia digilakan oleh kekuatiran.
Anakmu belum lahir, Kang. Kau sudah melahirkan, Idayu. Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku, jawab Idayu dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih juga terdengar gigilan di dalamnya.
Jangan aneh-anah, dan ditolongnya istrinya masuk ke dalam kamar. Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat Mana anakmu"
Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang digendong Nyi Gede Kati.
Beristirahatlah kau, tidurlah, perintahnya dan siap lari untuk menjemput anaknya.
Idayu mencegah, memegangi tangan dan berkata terbatabata: Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu itu, tegahnya, dengarkan dulu kata-kataku.
Ia duduk dan dengan isyarat memaksa istrinya duduk pula.
Wajah Idayu yang pucat itu kelihatan memohon amat sangat dan bersungguh-sungguh.
Ingatkah kau dulu, Kang, waktu kuceritakan padamu tentang impianku& dan anganku, dan cundrikku yang tiada berdaya" Dalam impian. Dia datang dalam impian& Tuan Syahbandar Sayid Habibullah At masawa, Kang.
Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih juga terheran-heran.
Kau diam saja, Kang. Kepala anakku itu sama dengan kepala Tuan Syahbandar, tipis gepeng, hidung juga bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni aku, Kang, Kang, Kang
Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya. Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak nyata: Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia telah menerima seorang lelaki lain dalam impiannya. Dayu! pekik Wiranggaleng.
& hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu. Serahknn dia pada bapaknya, Tuan Sayid. Aku sudah bilang begitu juga pada Nyi Gede Kali. Sudah, Kang& ampunilah aku& istrimu yang tidak setia&
Mengapa kau ini, Dayu"
Tangan Idayu yang gemetar itu masih memegangi mata cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada suaminya.
Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang Galeng& . Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik waktu Idayu menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri. Ia lemparkan keris kecil itu dan dirangkulnya istrinya. Idayu, Idayu, adik si Kakang.
Apa guna kau tangguhkan, Kang" Kalau kau mengerti betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi, suara Idayu tak lagi menggigil. Telah kukumpulkan seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang" suaranya merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas. Tidur. Tidur. Kau lelah, Idayu.
Tidak! Betapa menderita kau karena impian itu, ia angkat istrinya dan ditidurkan di atas ambin. Tariklah nafas panjang-panjang sebagaimana diajarkan dulu di desa kalau hati sedang tidak tenang.
Kelibat bayang-bayang menyebabkan Wiranggaleng menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi Gede Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada tangannya tergendong bayi dalam bungkusan.
Itukah anaknya" Bawa masuk sini, Ibu. Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.
Mengapa mesti kubunuh" Masuklah, ia berjalan keluar.
Nyi Gede Kati nampak waspada.
Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang untuk mengantarkannya untuk melihat ibunya. Mengapa hanya melihat"
& melihat ibunya untuk penghabisan kali. Mengapa hanya untuk penghabisan kali" Barangkali susunya masih sempat diisapnya. 0o-dw-o0
Wiral seseorang berteriak.
Wiranggaleng terbangun dari kenangannya. Ia berjalan melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden Kusnan telah berdiri di hadapannya dengan bertolakpinggang.
Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita" Malaka, Gusti, jawabnya sambil menyembah. Bedebah! Dari mana mereka tahu"
Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, Gusti. Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu, Wira"
Patik, Gusti. Pernah kau berperang, Wira" Belum, Gusti.
Apalagi perang laut. Apalagi perang laut, Gusti.
Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan kau.
Dari kata-katanya itu Wiranggaleng tahu, Raden Kusnan pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang laut. Tetapi ia tak menanggapi.
Gugusan Tuban terus berlayar tanpa sesuatu halangan. Pada suatu senja sampailah gugusan itu di bandar Jepara. Semua prajurit berderet di atas geladak kapal masing-masing untuk melihat Jepara yang beberapa tahun belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi milik Tuban.
Tetapi pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali Wiso.
Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten Jepara. Di sana tak ada mereka jumpai Adipati Unus Jepara. Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki Aji Kalijaga.
Wiranggaleng melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata: Buyung! Mengapa Tuban lima hari terlambat datang"
Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab: Ampun, Kakanda Aji,
pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patik Tidak lain dari ayahanda sendiri Gusti Adipati Tuban. Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya. Itu tidak patut, katanya pelahan. Biarpun seorang ayah, seorang adipati, orang tak patut membikin malu anaknya.
Apakah yang patik harus perbuat sekarang, Kakanda" Susul Laksamana Adipati Unus Jepara. Ayahmu telah memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu kakandamu.
Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang masuk ke dalam kadipaten.
Raden Kusnan dan Wiranggaleng kembali bergegas ke kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi isyarat pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan mengembangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua dayung.
Wira! teriaknya memanggil pembantu-utamanya dengan nada berang.
Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat wajah Raden Kusnan telah kehilangan kepucatannya, kini merah-hitam dibakar oleh kemarahan.
Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu tentang keterlambatan Tuban yang disengaja ini. Lima hari! Terlambat lima hari!
Mereka semua sudah tahu, Gusti. Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu" Mereka tak melihat armada Jepara.
Mereka harus percaya, armada Jepara ada dekat di depan kita. Mengerti"
Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan kapal, Gusti.
Aku tak percaya mereka tahu.
Ya, Gusti, mengapa Gusti berkata demikian" Bukankah semua mereka kawula Gusti sendiri" Bukankah mereka bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa, Gusti, tapi kawula Gusti sendiri"
Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya dipukulkannya pada telapak tangan kirinya.
Memalukan, gumamnya. Di mana harus kusembunyikan mukaku ini"
Perang akan menghapuskannya, Gusti. Ya-ya, perang, ia berhenti berputar-putar.
Wiranggaleng pergi ke geladak dan mencoba beramahtamah dengan para prajurit dan awak kapal. Mereka semua bertanya mengapa Tuban terlambat. Dan mereka semua tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat berapa hari.
Ia hanya dapat menjawab: Hanya ada satu jalan dapat ditempuh. Laju, lebih laju.
Seseorang menyeletuk: Kita belum lagi membikin perhitungan dengan Jepara, Wira. Belum. Mestinya kita mendarat, dan.,..
Husy! Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah dan melihat pelaksanaan pendayungan. Prajurit-prajurit itu mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. Tetapi pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh seperti gila untuk mengejar ketinggalan.
Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri. Angin tetap terasa kurang, sangat kurang.
Dalam beberapa hari mengejar armada Jepara tak juga nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi sampai jauh-jauh di ufuk barat sana.
Gugusan Tuban terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu di bandar mana harus singgah. Bahan makanan dan air mulai susut, dan mereka tak tahu di bandar mana boleh mendapatkan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa singgah di sebuah bandar kecil temyata tak ada ditinggalkan petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang semakin tipis.
Dalam keadaan terpaksa gugusan Tuban memasuki bandar Banten. Seluruh prajurit dan awak kapal lelah dan cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi karena soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus dalam biliknya.
Syahbandar Banten, seorang Koja, membawa Raden Kusnan dan pembantu-utamanya pergi ke kesyahbandaran yang terbuat juga dari batu, tetapi tidak sebesar dan seindah kesyahbandaran Tuban. Mereka dijamu dan mendapat keterangan, Laksamana Adipati Unus Jepara telah meninggalkan pesan untuk gugusan Tuban. Dan pesan itu akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di Banten.
Syahbandar Banten menyilakan mereka beristirahat. Ia sendiri akan menjemput perwira armada Jepara. Dan tengah malam ia datang lagi beserta orang yang dicarinya. Anak sangat terlambat, tegur Aji Usup.
Sahaya telah kerahkan pendayung, Pamanda, jawab Raden Kusnan.
Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan pendayung.
Ampun, Pamanda, memang sahaya yang terlambat sejak semula.
Aji Usup memerintahkan pada Syahbandar Banten untuk memunggah perbekalan ke atas kapal-kapal Tuban. Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan.
Wiranggaleng duduk di suatu jarak mendengarkan dengan diamdiam.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan dari Jepara ke Banten dinilai oleh Aji Usup sebagai keliru, merugikan persiapan perang. Gugusan Tuban berlayar bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang menyebabkan gugusan harus berlabuh di Banten untuk beberapa hari: prajurit dan awak kapal harus memulihkan kekuatannya.
Sahaya memang tidak punya pengalaman laut, Pamanda, Raden Kusnan meminta maaf.
Barangkali kau pernah dengar pendayungan terusmenerus kapal-kapal Majapahit. Kau keliru. Kapal-kapal Majapahit ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya bukan prajurit atau awak kapal, tapi bajak laut yang menjalani hukuman sampai mati.
Kami dari gugusan Tuban akan semakin tertinggal tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di Banten& .
Kami mendapat titah dari Gusti Kanjeng Laksamana untuk menjadi tetua gugusan Tuban. Jangan hendaknya jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.
Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu. Wiranggaleng mendeham, tapi Aji Usup tak menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari dudukperkara: Sang Adipati Tuban telah dengan sengaja memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai perang di Malaka. Sebaliknya Jepara kini telah merampas gugusan Tuban, kapal dan anakbuahnya dan prajuritnya, termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan Tuban. 0o-dw-o0
Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal. Raden Kusnan dan Wiranggaleng untuk kedua kalinya harus menelan kemarahan Adipati Unus Jepara melalui mulut Aji Usup.
Insya Allah, kata Aji Usup kemudian, kita masih akan dapat menyusul Kanjeng Gusti Laksamana di Riau atau Tumasik.
Setelah itu ia menerangkan, armada Jepara telah dipecah jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra, memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara Malaka. Gugusan-I telah berangkat dan hanya singgah sehari di Banten. Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin sendiri oleh Laksamana Unus, bertugas menyusuri pantai sebelah timur Sumatra dan bergabung dengan gugusan pasukan laut Jambi-Riau.
Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu gugusan Tuban dan Banten yang terdiri atas pelarian dari Malaka yang menggunakan kapal-kapal dagang yang telah dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan pendaratan dan penyerangan dari selatan Malaka.
Aji Usup kemudian melakukan pemeriksaan di semua kapal Tuban. Para prajurit dan awak kapal nampak sudah sangat lelah. Banyak di antaranya telah jatuh sakit dan ditunmkan di Banten.
Pembicaraan yang kemudian diteruskan membuat Wiranggaleng mengerti, bahwa armada Jepara menunggu Tuban di Banten selama delapan hari. Tetapi semua itu tak menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa, Demak-Jepara dengan sengaja hendak menyedot kekuatan Tuban dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu kali Demak akan memukul dan menaldukkan Tuban. Tuban sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul Demak dengan jalan lain dan cara lain la pernah mendengar. Sang Adipati tidak menyukai perang Maka boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada Demak- Jepara hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya dalam penghamburan kekuatan di Jepara, dan dengan demikian takkan dapat menyaingi bandar Tuban sebagai bandar rempah-rempah. Bandar Jepara harus tetap pudar.
Dan waktu prajurit dan awak kapal bersorak-sorai menyambut pengumuman, bahwa Gugusan Tuban akan meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada Jepara, ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan Tuban itu tidak semestinya mengjakan saja perintah Aji Usup.
la catat semua yang dianggap kelicikan Demak-Jepara dan juga Tuban sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini
Gugusan Tuban berangkat ke baratlaut beberapa hari kemudian. Kapal-kapal dagang para pelarian Malaka yang dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari ukuran kecil. Ia mendapat keterangan, Gu-gusan-II akan menampung juga kapal-kapal kecil semacam ini, milik para pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi setelah Malaka jatuh.
Di Riau ternyata Gugusan-II telah berangkat lebih ke utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari Laksamana karena keterlambatannya. Raden Kusnan telah kehilangan semangat harus menelan
kemarahan tiga kali berturut. Aji Usup berusaha menghibumya, tetapi temyata semangatnya telah patah. Pimpinan gugusan Tuban diambilnya sama sekali, dan dengan sendirinya Wiranggaleng naik menggantikannya, juga atas perintah Aji Usup.
Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk melakukan tindakan yang memutuskan, bila Demak-Jepara bermaksud untuk merugikan Tuban. Ia akan lemparkan Aji Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan akan dilakukan atas Tuban. Dan ia akan melakukannya tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana Patragading telah naik ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh ayahnya.
Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak dipergunakan. Prajurit dan awak kapalnya harus tetap dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan.
Gugusan Tuban berlayar hanya dengan kekuatan angin. Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul gugusan pelarian Malaka di Banten.
Bukannya empat hari, tetapi lima setengah hari Adipati Unus telah menunggu gugusan Tuban di Riau sambil memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima penggabungan gugusan Aceh. Setelah ternyata Tuban tak juga nampak, dianggapnya sekutu itu telah melanggar janji dan ia hapus dari perhitungan perang.
Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya telah bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat sebagaimana diperhitungkan oleh Unus. Antara prajuritprajurit Jepara-Demak dan Aceh terdapat kelainan pakaian yang menyolok. Jepara-Demak menggunakan celana dan baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada pada kelainan ikat-pinggang. Prajurit-prajurit Aceh bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwiraperwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda: tombak, pedang, perisai. Karena mereka mengharapkan perang lapangan, mereka tidak menggunakan panah. Pada para perwira terdapat senjata-senjata jabatan.
Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran. Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tandatanda yang diberikan oleh Gugusan-I. Portugis takkan diberi kesempatan untuk meninggalkan Malaka dari laut. Mereka harus dibinasakan di darat sebagai hukuman, atau dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah timur.
Laksamana Adipati Unus telah memperhitungkan: waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat Malaka kosong dari armada Portugis. Maka bila musuh telah ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di Malaka. Setelah itu musuh boleh melakukan serangan balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus memutuskan kemenangan.
Bandar Malaka telah nampak sayup-sayup di hadapan Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal Portugis pun. Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan isyarat. Tapi tidak, peluru-peluru cetbang daripadanya mulai beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di sebelah utara sana tak ada nampak kapal Portugis. Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula: juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal Portugis.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan prajurit-prajurit Aceh-DemakJepara, hitam dan putih mulai mendarat, kemudian kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara Malaka dan membasminya dengan tembakan-tembakan cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh soraksorai Gugusan-II.
Serangan darat sudah dimulai. Prajurit-prajurit dari Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan tak lama kemudian mereka melihat api dan asap mulai membubung ke udara.
Tetapi Portugis bukanlah penakut. Dari pengalaman perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi, sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka semua, membendung, membubarkan dan menghancurkan. Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya menggunakan penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar menam serta penyergapan, dan melumpuhkan lawannya dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya di Asia Bawah mereka mendapatkan. temyata musuhnya lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut.
Dan meriam-meriam mereka mulai terdengar beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang setengah jam kemudian tembakan-tembakan musket mulai terdengar. Tetapi kebakaran di Malaka itu menjalar-jalar juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota. Gugusan-II makin menghampiri bandar.
Gugusan-I telah berhenti menghamburkan peluru cetbang dari kapal dan mulai menurunkan prajurit yang tersisa. Nampaknya tak ada seorang prajurit pun sudi ketinggalan menikmati kemenangan atas Portugis. Kapalkapal mereka tersauh kosong.
Laksamana Adipati Unus memerintah memberikan tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, tetapi tidak digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong tercancang pada jangkar masing-masing.
Gugusan-II makin mendekati Malaka. Cetbangcetbangnya mulai diarahkan ke bandar. Peluru-peluru api itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi di sebelah selatan kota Malaka. Angin dari selatan meniup api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi.
Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat meriammeriam Portugis mulai ramai diarahkan pada kapalkapalnya. Tetapi cetbang menyapu sarang-sarang mereka. Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balikbalik pepohonan yang masih utuh.
Sekarang peluru-peluru besi Portugis mulai beterbangan mencari sasaran. Tetapi hujan petir cetbang menghalangi mereka menembak dengan baik.
Makin dekat dengan bandar makin nyata terdengar sorak-sorai prajurit gabungan dari Gugusan-I, yang dengan kecepatan luar biasa mendesak ke selatan.
Karena kebingungan melayani serangan dari darat dan laut meriam-meriam Portugis mulai berjatuhan sepucuk demi sepucuk.
Sebuah peluru Portugis masih sempat melayang dengan garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal Jepara. Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding itu. Sebentar kemudian selembar papan baru telah nampak ditambalkan dari dalam.
Dan sorak-riuh mengikuti.
Sebutir peluru besi lainnya telah memagas mancung haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang bikinan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu.
Dengarkan! katanya sambil mengangkat tangan tinggitinggi. Tembakan mereka semakin tipis. Gencarkan tembakan kalian!
Perintah itu disampaikan melalui isyarat pada kapalkapal lain.
Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti! Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras telah pecah ambyar.
Unus meneruskan perintahnya: Hari ini si kafir harus angkat kaki dari bumi Malaka. Hari ini! Insya Allah. Kalau Peranggi telah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi milik kita bersama lagi.
Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di belakangnya: Lihat peluru Peranggi itu. Dipaprasnya mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh. Tapi insya Allah, mereka akan menerima
paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu, Peranggi! Habiskan! ia tertawa senang.
Tembakannya semakin berkurang juga, Gusti. Ya, dan kalau Peranggi tidak terusir pada kesempatan ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.
Tak ada nampak armada Peranggi, Gusti. Alhamdulillah.
Betapa indahnya hari ini, Gusti.
Syukur kepada Allah s.w.t. Kalau mereka tinggal berkuasa di Malaka, tidak lama lagi, dan pelabuhanpelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka. Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti"
Patik, Gusti. Seorang perwira yang agak jauh memujimuji: Perhitungan Kanjeng Gusti Adipati tepat. Malaka jatuh dalam sehari, ia mengunci kata-katanya dengan sembah.
Ada kalian dengar" Mereka sudah berhenti menembak. Malaka telah jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya Allah, ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana telah terjadi di selatan sini: Peranggi kalah. Biar begitu, lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak tertinggai kosong.
Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan. Tetapi Gugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan. Mendaratkah kita, Gusti"
Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I menyebabkan kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi Kantommana kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang juga.
Sebuah sampan diturunkan dan orang bercepat-cepat mengayuh ke arah bandar.
Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas, sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati kapal-kapal Gugusan-I. Waspada ke sebelah utara! Isyarat-isyarat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap kanan Gugusan-II mulai bergerak maju.
Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.
Patik, Gusti. Sebentar lagi magrib. Besok, insya Allah, akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.
Insya Allah, kelambatan dan keteledoran dalam sehari ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok: pendaratan, perkubuan, pemburuan terhadap Peranggi& . Malam pun jatuh.
Langit di atas Malaka merah-hitam oleh api dan asap. Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak prajuritprajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara mondar-mandir menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada tubuh kapal.
Sampan utusan tiba dan membawa surat dari perwira Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk besok hari. Sampan dikirimkan kembali, memerintahkan agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan kekuatan.
Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang magrib dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani dan dikhotibi oleh Adipati Unus sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang isya!
Sampan utusan datang kembali, membawa berita bahwa prajurit-prajurit yang melakukan pengejaran belum lagi dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan, dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan.
Surya memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga perairan Malaka. Gugusan-I tetap kosong dari penjagaan. Tembakan Portugis di daratan sudah tak terdengar lagi. Mereka telah terbenam dalam arus prajurit gabungan. Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat.
Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu prajurit gabungan akan berpesta di atas kekalahan Portugis, tanpa gugusan Tuban dan Banten.
Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera dan mempersembahkan pada Laksamana Unus, bahwa Malaka sudah siap untuk didarati.
Unus menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia mendapat keyakinan, Gugusan-I memang tidak mematuhi rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa jawaban.
Tepat pada waktu perahu itu sampai ke bandar, dari sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayupsayup iring-iringan armada Portugis. Layar-layarnya yang tinggi bergambar salib itu kembung sepenuhnya. Kapalkapal itu meluncur cepat ke selatan.
Peranggi! orang memekik dari atas tiang utama. Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya armada musuh.
Pada sayap kanan Gugusan-II yang telah ada di sebelah atas Malaka
Unus memerintahkan agar berlawan sambil mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan. Pada daratan diisyaratkan pada Gugusan-I yang lengah, bahwa Portugis sedang mendatangi, dan mendesak agar kapal-kapalnya diisi kembali.
Mengikuti tradisi Majapahit, cetbang hanya dipergunakan di atas laut dan sekali-sekali tidak diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam.
Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang menduduki tempatnya masing-masing menghadapi perang laut.
Armada Portugis ternyata lebih maju daripada yang diperkirakan. Baru saja prajurit-prajurit dari Gugusan-I turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masingmasing, guruh meriam Portugis sudah mulai kedengaran. Kemudian disusul oleh tembakan balasan dari cetbangcetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan- I. Armada Portugis itu maju terus sambil menembak lima buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal Portugis dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa tempat.
Pertempuran laut antara armada Portugis dengan sayap kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyambar. Dan kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada kehancuran yang mendatangi.
Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan Gugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal Portugis maju terus, terlalu yakin pada kekuatan meriamnya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan dan pada keperkasaan layarnya.
Sebuah kapal Portugis nampak terbakar layar-layamya terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan dindingnya terbongkar, kemudian dengan ragu-ragu menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan dayung menghindari derasnya hujan peluru. Tetapi peluru logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan, lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena terjang dadal tak dapat bertahan.
Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan tembok tembakan cetbang. Ia telah saksikan kehebatan meriam Portugis dengan mata kepala sendiri, dan mengakui keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri.
Dan Portugis maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas dirinya.
Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah, hilang ke dasar laut.
Portugis mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang kosong dari prajurit, kosong dari pengawalan. Sampansampan prajurit bubar tak berani meneruskan memasuki kapalnya. Gelegar meriam Portugis dan ledakan cetbang Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.
Dan armada Portugis terus saja maju. Sebuah kapalnya yang terbakar layamya tertinggal di belakang.
Unus memerintahkan semua dayung dipersiapkan. Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah melawan.
Dan armada Portugis semakin mendekat, semakin jelas dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung. Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru. Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar daripada kapal bendera Demak-Jepara.
Tak ada terdengar sorak. Hati orang telah menjadi kecil melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II.
Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api dan ledakan, tembok penghadang. Tetapi dalam pada itu setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal Portugis tetap tak dapat dicapai oleh cetbang.
Laksamana Adipati Unus sebentar menunduk, mengerti ia telah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari Blambangan. Sesal tiada berguna. Meriam-meriam Portugis tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama. Peluru-pelurunya tak mengindahkan tembok api dan ledakan cetbang.
Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan.
Ya Allah, bantulah ummat-Mu ini, Adipati Unus mengangkat tangan ke atas.
Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak hentihentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga telah menangguhkan pendaratan yang kemarin.
Perintah Gusti Kanjeng Adipati ditunggu, seorang perwira menyedarkannya.
Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat beberapa buah kapalnya telah pada mulai miring, hancur pada lambung, menungging karena pecah haluan.
Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai mereka& .
Ya Allah, bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan pada semua kapal untuk meninggalkan perairan Malaka! Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung. Cetbang tak mampu, Gusti.
Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang mereka, sudah melawan dan mendatangi.
Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga pendayung.
Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap meriam" Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu"
Warta-warta itu ternyata tidak bohong, Gusti. Senjata mereka lebih unggul.
Ya, persiapan kita kurang sempurna.
Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar haluan, armada Portugis semakin menggencarkan serangan karena mendapatkan titik tembak lebih besar. Beberapa kapal lagi telah buyar dindingnya dan miring kemudian tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada gudangsendawanya. Api menyemburat ke langit dan kapal itu sendiri ambyar berkeping-keping.
Armada Portugis semakin mendekat juga.
Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiangtiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah. Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan, dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan serpihan besi beterbangan.
Laksamana Adipati Unus menggeletak di geladak bermandi darah. Serpihan besi telah menghujani tubuhnya.
Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-Jambi- Riau-Demak-Jepara dengan kekuatan dua puluh ribu orang itu binasa dengan kekalahan& .
0o-dw-o0 Tumasik telah di depan mata.
Semenanjung! seseorang berteriak dari tiang utama. Aji Usup keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di belakangnya mengikuti Wiranggaleng. Semenanjung nampak semakin nyata.
Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak. Tumasik, bekas pangkalan Majapahit di masa-masa yang lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ. Tidak singgah, langsung ke Malaka. Gugusan Tuban-Banten berlayar dengan semua layar kembang.
Setelah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak lambat, dan hampir sepenuhnya menggunakan tenaga pendayung.
Wiranggaleng naik ke atas tiang utama, menghampiri juru-tinjau.
Barangkali kapal bendera Jepara, kata juru-tinjau. Wiranggaleng tak menanggapi. Memang kapal bendera Jepara. Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada Aji Usup.
Gustiku! Gustiku! sebut Aji Usup kesakitan. Ia lari ke haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit, dan kapal bendera yang somplak: Gustiku, Gustiku! Ya Allah, Gustiku! Hanya kau yang mengerti bagaimana mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir Peranggi. Gustiku! Gustiku!
Raden Kusnan berlutut di geladak dan menyembah ke jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba: Gustiku! hukumlah patik. Patiklah yang bersalah tak dapat memenuhi janji.
Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan adonan kapur dan minyak kelapa tujuh lapis itu dari jauh nampak seperti merpati compang-camping dalam keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan telah gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga. Bendera Jepara, putih dengan gambar kupu-tarung, tidak nampak telah terbabat oleh peluru Portugis.
Aji Usup memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk.
Semua prajurit Tuban dan Banten di atas kapal masingmasing berlutut dan menyembah kapal bendera. dan mereka semua menyaksikan Aji Usup, Raden Kusnan dan Wiranggaleng turun ke biduk menuju ke kapal bendera, naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang menghilang ke dalamnya.
Mereka memasuki kamar Laksamana.
Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang. Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang itu.
Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di sana-sini balut itu ditembusi darah.
Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang nampak.
Gusti, Gusti! ratap Aji Usup.
Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak lambat dan matanya tertuju pada Aji Usup: Masih juga terlambat kau, Aji Usup"
Inilah patik, Gusti, hukumlah patik! Terlambat, Aji Usup, semua sudah tanpa guna. Raden Kusnan dari gugusan Tuban datang menghadap, Gusti, sembah Raden Kusnan, hukumlah patik, bunuhlah patik, Gusti. Tak patut lagi patik mengabdi pada Gusti. Gusti! Gusti!
Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati janji.
Ampun, Gusti Kanjeng, Kusnan hendak bicara lagi, tetapi seseorang telah mendorongnya keluar.
Wiranggaleng mengantarkan Kusnan kembali ke biduk Aji Usup tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak hentihentinya menangis. Dan juara gulat itu telah memutuskan dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan Tuban ini jatuh ke tangan Demak-Jepara. Ia akan pertahankan kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.
Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi. Wiranggaleng memerintahkan pada seluruh gugusan untuk mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan upacara berkabung.
Sampaikan juga pada kapal-kapal Banten supaya kembali! penntahnya. Tak ada di antara mereka boleh meneruskan pelayaran.
Di Riau, kapal-kapal Riau-Jambi yang masih selamat memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat: selamat jalan pada armada yang pulang membawa kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal.
Di Banten baru iring-iringan itu singgah untuk memunggah perbekalan, kemudian meneruskan pelayaran ke Jepara. Kapal-kapal Banten yang kecil itu terus mengiringkan.
Wiranggaleng sempat melihat bagaimana orang berduyun-duyun di bandar Banten untuk melihat sisa armada yang somplak compang-camping itu. Semua mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang nampak oleh mereka bukan sisa armada, tetapi kegagahan Peranggi.
Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan Peranggi, juga tidak terkalahkan oleh Jepara. Ia mencoba mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di bandar Banten ia banyak mendengar percakapan dari perwiraperwira Demak-Jepara. Ada yang mengutuk pandai-pandai Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh punya maksud sendiri hendak menggagahi Malaka buat dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan Tuban yang jelasjelas telah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju Jepara ia kaji semua alasan yang didengarnya dan membenarkan semua. Tetapi juga membenarkan: Adipati Unus satu-satunya orang yang berani berusaha mempersatukan kekuatan pelawan Portugis, dan berani melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan kekalahan perang, tetapi kegagalan dalam mengatur kekuatan sendiri. Kemudian ia menyimpulkan: armada gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia menganggukangguk mengerti.
Bandar Jepara penuh sesak dengan orang-orang yang datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal bikinannya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap peluru Portugis. Panser dari adonan kapur dan minyak kelapa tidak mempunyai makna terhadap sukun besi, bahkan semakin memberati kapal.
Juga di sini kehebatan Portugis lebih terbayang daripada kekalahan sendiri.
Ibunda Sang Adipati Jepara, Ratu Aisah, permaisuri Sultan Demak, juga datang mengelu-elukan.
Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh Wiranggaleng turun ke biduk untuk menyertai Laksamana mendarat.
Dari kapal bendera yang somplak compang-camping diturunkan sebuah tandu dengan Sang Adipati Unus terikat di atasnya. Raden Kusnan dan Wiranggaleng mendekati tandu untuk mendapat kesempatan memikulnya sampai ke darat. Tapi mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.
Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah. Semua orang bersimpuh dan menyembah.
Pulang, kau, putraku, Adipati Unus" tanya Ratu. Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini menyembah dan mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.
Wanita tua itu menghampiri putranya dan menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari balik balutan.
Kau terluka, putraku, tapi tidak kalah. Kafir-kafir itu sekarang tahu.
Putraku kesayangan. Adipati Unus Jepara, telah pernah mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.
Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang bereampur dengan desau angin dan deburan laut: Perhatikan, semua kawula! Jepara sudah pernah mendatangi Peranggi di Malaka. Kapal-kapal Jepara sudah pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain berjatuhan satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! Jepara telah mendatangi dan menyerang mereka!
Perhatikan semua itu, seluruh kawula! Adipati Unus memperkuat dengan suara lemah. Kemudian keluar katakatanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: Adipati Unus Jepara terluka, pulang tidak membawa kemenangan, tapi tidak membawa kekalahan. Jepara sudah bertempur melawan lelananging jagad. Kapal bendera telah dilukai oleh meriam Peranggi. Pasang kapal ini di laut sana, tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh dunia tahu: dia telah pernah berhadapan dengan Peranggi dalam perang laut di perairan Malaka. Sauhkan di sana sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali kita akan datangi Malaka lagi. Lain kali!
Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan Wiranggaleng telah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul. Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa.
Tiga hari Wiranggaleng tinggal di Jepara sebagai Punggawa Tuban. Bekas teman-temannya sekerja dulu tak habis-habis mengaguminya. Hanya Hayatullah selalu menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri sambil bersungut-sungut: Kafir! Pengkhianat dari Tuban! Kafir!
Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil meludah jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di Jepara telah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung semua pengkhianatan itu sebagai wakil Tuban.
Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri. Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk mendapatkan penghinaan baru pula: Nyahlah semua tentang Tuban dan dari Tuban!
Hatinya terluka. Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten: Kau, Wiranggaleng dari Tuban, kembali kau pada Gusti Adipati Tuban dengan salam kami. Jangan kau patah hati. Kegagalan di Malaka bukan akhir, hanya suatu permulaan yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. Allah memberkahimu.
Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera memerintahkan mancal.
Jamal Konong, pemimpin gugusan Banten, menghadangnya di dermaga: Tuanku Wiranggaleng, kepala gugusan Tuban, katanya sambil menyembah dada, raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk mendarat di Banten untuk selama-lamanya. Kami hendak menyatakan bergabung dengan Jepara, tetapi tak ada punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami menggabung pada Tuanku.
Dua ratus anak buahmu, apakah masih lengkap" Utuh, Tuanku.
Baik. Mari mancal. 0o-dw-o0 Gugusan gabungan Tuban-Banten meninggalkan Jepara menuju ke Tuban.
Sang Adipati menyambut kedatangan pasukan lautnya di bandar, la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat semua dalam keadan utuh dan selamat.
Waktu Wiranggaleng mempersembahkan akan kapalkapal pelarian Malaka di Banten yang menggabung ia tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.
Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan. 0o-dw-o0
12. Timbulnya Kerincuhan Wiranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermainmain seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat dan kotor seperti bocah-bocah di desa.
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut tertawa.
Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya.
Mana emakmu" tanyanya walaupun tahu Idayu sedang di dapur.
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu& pasti ia tidak akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini. Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi Peranggi lebih penting daripada menghancurkan sisa kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi membutuhkan pangkalan!
Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.
Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia mendengus: Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku hanya seorang anak desa"
Sahaya, paduka Wira. Husy. tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.
Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang.
Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, Jepara kalah. Mau apa lagi"
Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira" Apa itu paduka"
Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira" Apa itu bendara" Ya, Peranggi memang hebat. Baru saja sahaya dengar, paduka Wira& . Husy. Apa yang kau dengar"
Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira" juru gulat itu mengangguk. Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi setelah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, Wira"
Kening Wiranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan masuk ke dalam gedungnya.
Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis.
Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira, katanya sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung. Wiranggaleng melompat masuk ke dalam.
Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira, sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di belakang meja tulis.
Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke tangan Peranggi setelah Jepara kalah"
Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: Rangmuda! Rangmuda! sebutnya. Berapa kali sudah kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh dunia. Lupa kau sudah" Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka menggunakannya. Kata-katanya membanjir seakan tak bakal berhenti. Sekali orang mengenal karunia ini dan dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.
Wiranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari Syahbandar membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan ikut serta melakukannya!
Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.
Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya Paman Marta telah menunggunya membawa Gelar yang meronta-ronta dalam gendongan.
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya sendiri.
Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan diletakkan si bocah di atas ambin.
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar Tuban itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. Kemudian ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.
Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali memasuki kamar ini&
0o-dw-o0 Nyi Gede Kati mengira Idayu telah mati di ujung cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu apa lagi, seperti tak sedarkan diri.
Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan dari Wiranggaleng.
Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, Wira, katanya.
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya.
Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu" Idayu sedang tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar aku gendong bayi itu.
Jangan! Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya nampak ia berjaga-jasa. Jangan bunuh dia, Wira. Idayu berpesan, Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang Galeng . Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin. Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: Idayu, pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka hidupmu, Nak.
Dia tidak celaka, dia berbahagia, juara gulat membetulkan.
Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk menghadapi hari ini, ratapan itu diteruskannya, untuk menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan dicintai.
Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya, bantah Galeng.
Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, seorang wanita utama, dikagumi semua orang. Idayu, ah, Idayu!
Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur, tegahnya. Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini, Idayu. Manakah darahmu, biar kucium sebagai penghormatan dari semua yang mencintaimu"
Tak ada darah keluar dari tubuhnya, sekali lagi ia membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede meneruskan ratapannya.
Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh Idayu, dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak padanya, menuduhnya dengan suara keras: Keji kau, Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi. Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia"
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan leher itu pun tidak cedera.
Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira" Mengapa aku mesti bunuh dia" Sediakan air hangat buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.
Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah membicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau percaya" Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan seorang bayi itu anaknya atau tidak"
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas. Mengapa yang menderita harus menerima hukuman" Mengapa bukan si penyebab penderitaan"
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombaktombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya.
Terkutuk! sumpahnya. Bedebah itu tak boleh aku punahkan.
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus membatalkan pelepasan dendam terhadap musuhpribadinyua" Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat menampung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah mematah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban. Tetapi kemudian melengking suara Rama Cluring yang mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan itu terpanggil tanpa restu seorang raja.
Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja Sayid Habibullah Almasawa" Siapakah yang bisa salahkan aku kalau aku patahkan batang lehernya" Atau aku keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati penghalang jalanan ini!
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan tangan telanjang menuju ke gedung utama.
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting telah memerlukan tenaganya& .
Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi diikuti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapalkapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua minggu Portugis menduduki Sabang, kemudian pergi lagi ke Malaka.
Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kemudian juga di perairan Jawa sendiri.
Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam hati para raja Nusantara. Tetapi pemboikotan sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja Nusantara memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di Malaka.
Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang populer.
Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan mereka.
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani meramalkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya adalah karena masih disibuki oleh perkara-perkara lain.
Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, menceraiberaikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan, membunuhi dan membinasakan pedagang-pedagang pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini memegang monopoli atas Maluku.
Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.
Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya Tuban membantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang sekarang ini.
Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh Nusantara. Nasi telah menjadi bubur.
Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai.
Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban.
Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayukayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat& . Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya.
Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.
Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.
Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapalkapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman: ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci, memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban.
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentanganpertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antargolongan.
Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemelukpemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di antara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak"
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewadewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru ini.
Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengang, kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi sepi.
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian dari Malaka. Mereka ditampung dalam asrama di luar kota. Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan dan minum.
Dan pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya hilang-lenyap tanpa bekas.
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar Tuban.
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa. Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk mendirikan perguruan untuk mengembangkan agama baru itu. Masih juga ia memohon tambahan desa.
Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah dikenal selama itu, yang menyebabkan penduduk desa bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya menjadi patuh padanya.
Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban.
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa itu mengibarkan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orangorang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelopori persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupatibupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah mengambil sikap memusuhinya.
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi& semua itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju pada dirinya.
Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan Rangga Iskak di desa Rajeg.
Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putraputranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan Wiranggaleng ke Demak karena bagaimana pun putra-putra itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu, biar apa pun kata orang tentang dirinya.
Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, bahwa orang-orang Tionghoa yang mendapat perlindungan di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara suatu permulaan, tetapi kekalahannya di Malaka juga menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman itu sudah setimpal dengan kejahatannya.
Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai kebencian terhadap perang dan perang merugikan.
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg adi ini: Bulan sedang menerangi alam. Tengah malam.
Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang. Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang berjalan seorang diri dalam kesepian.
Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi ini.
Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian ia berhenti.
Dan Wiranggaleng yang berjalan agak jauh di belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon asam.
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. Hilang-timbul di balik puncak ombak, kemudian terayun naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat. Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakannya dari kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana, sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal Portugis dengan layar-layar tergulung.
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut lagi, menuju ke kapal.
Wiranggaleng mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini Mengapa penjaga menara itu lalai" Dan mengapa pendaratpendarat itu segera balik lagi" Ada apakah semua ini" Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka" Dan adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada Sang Patih"
Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut itu terlalu keras.
Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik ke atas.
Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun.
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja Syahbandar.
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga. Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata dengan malas.
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak dengan mata belum sepenuhnya terbuka.
Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata Wiranggaleng yang tajam mengancam dan wajahnya terbuka.
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan memohon ampun.
Keparat kalian! sumpah Wiranggaleng berang dan menyorong kepala mereka dengan kakinya. Apakah kalian kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai begini siang"
Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, ampun.
Tak ada ampun lagi bagi kalian.
Mereka mencoba mencium kaki Wiranggaleng, tetapi Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki lemah.
Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur berbareng seperti ini"
Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok& .
Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini&
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga memberikan.
Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk penghabisan kali"


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira& . Kemarin sore, desak Syahbandar-muda. Betul. Masih ada di sini, Wira. Apa diperbuatnya di sini"
Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira. Bangun kalian! Itu saja ceritanya"
Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira. Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira"
Siapa yang tahu apa pualam itu" Mengapa tak kalian tanyakan padanya sendiri"
Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang senang bergigi-hitam.
Eldest 7 Wiro Sableng 028 Petaka Gundik Jelita Prahara Di Laut Selatan 2

Cari Blog Ini