Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 4
"Kau tidur saja, Ann," hibur Nyai. "Tidak."
Nyai rasai suhu Annelies mulai naik. Anak itu memang jatuh sakit. Dan ibunya sangat cemas.
"Taruh sofa di kantor, Darsam. Biar aku tunggui sambil bekerja. Jangan lupa selimut. Kemudian kau panggil Dokter Mar-tinet." Ia dudukkan anaknya .di kursi. "Sabar, Ann, sabar. Cinta benar kau padanya ""
"Mama, Mamaku seorang!" bisik Annelies.
"Kau jadi sakit begini, Ann. Tidak, Mama tidak melarang kau mencintai dia. Tidak, sayang. Kau boleh kawin dengannya, kapan pun kau suka dan dia mau. Sekarang ini, sabarlah."
"Mama," panggil Annelies dengan mata tertutup. "Mana pipimu, Ma, sini, Ma, biar aku cium," dan diciumnya pipi ibunya.
"Tapi kau jangan sakit. Siapa akan bantu aku " Tega kau melihat Mama bekerja sendirian seperti kuda "" "Mama, aku akan selalu bantu kau."
"Karena itu jangan kau sakit begini, sayang." *'Aku tidak mau sakit, Ma."
"Badanmu bertambah panas begini, Ann. Belajar bijaksana, Nak, dalam soal begini orang hanya bisa berusaha, dan hanya bisa bersabar menunggu hasilnya." Seorang diri Darsam memindahkan sofa ke dalam kantor.
Annelies menolak dipindahkan sebelum melihat Robert pergi dengan kudanya. Dan abangnya belum juga kelihatan.
"Susul Robert, Darsam!" pekik Mama.
Darsam lari ke belakang. Sepuluh menit kemudian nampak pemuda jangkung ganteng itu memacu kudanya tanpa menengok lagi, langsung menuju ke jalan besar. Dan seperempat jam kemudian Darsam pergi pula mengusiri bendi menjemput Dokter Martinet.
Baru Annelies mau dituntun masuk ke dalam kantor. Dan Nyai mengompresnya dengan cuka-bawangmerah.
"Maafkan, Ann, aku tak kuat menggendong kau. Tidurlah. Sebentar lagi Dokter datang, dan Robert akan pulang membawa keterangan."
Nyai pergi ke pojokan kantor, membuka kran, mencuci muka dan bersisir. Dari bawah selimutnya Annelies bertanya berbisik:
"Suka kau padanya, Ma ""
"Tentu, Ann, anak baik," jawab Nyai sambil masih bersisir. "Bagaimana Mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka " Orangtua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita siapa takkan bangga jadi istrinya nanti " istri syah " Mama pun bangga punya menantu dia."
"Mama, Mamaku sendiri!"
"Karena itu tak perlu kau kuatirkan sesuatu." "Suka dia padaku, Ma ""
"Pemuda siapa takkan tergila padamu " Totok, Indo, Pribumi. Semua. Mama mengerti, Ann. Takkan ada gadis secantik kau. Sudah, tidur. Jangan pikirkan apa- ^pa. Tutup matamu."
Sudah sejak tadi gadis itu menutup matanya. Bertanya: "Kalau orangtuanya melarang, Ma, bagaimana ""
"Jangan kau pikirkan apa-apa, kataku. Mama akan pengatur semua. Tidur. Diamdiam di situ. Biar aku ambilkan susu. Ingat, kau harus sehat. Apa kata Minke nanti kalau kau jadi kuyu tidak menarik " Gadis secantik apa pun takkan menarik kalau sakit."
Nyai berseru dari kantor memanggil orang dapur. Tak lama kemudian yang dipanggil masuk membawa susu panas.
"Nah, minum sekarang.. Mama akan mandi dulu. Kemudian cobalah tidur, Ann." Nyai pergi mandi. Waktu kembali ia membawa air hangat dan anduk dan mengurus anaknya.
Annelies sudah tak bicara sepatah pun.
Dokter Martinet batang, memeriksa sebentar, kemudian merawatnya. Ia berumur empatpuluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kelabu. Matanya yang sebelah kanan menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada lubang kancing baju sebelah atas. Darsam gopoh-gapah menyediakan sarapan untuk Tuan Dokter di kantor. Dan bersarapan tamu itu dengan Nyai.
"Nanti sore aku akan datang lagi, Nyai. Beri dia sarapan lunak sebelum tidur. Jangan sampai ada banyak bising. Pertahankan ketenangan. Hanya tidur saja obat dia. Pindahkan dia ke kamarnya sendiri. Jangan di kantor begini. Atau mari angkat sofa ini ke ruangtengah. Jendela dan pintu tutup saja."
Dan bagaimana dengan Robert Mellema " Menurut cerita orang-orang Boerderij, juga menurut saksi-saksi serta terdakwa di depan sidang pengadilan di kemudianhari kejadiannya adalah seperti yang kususun di bawah ini:
Setelah meninggalkan kandang ia memacu kudanya ke jalan besar. Kemudian berbelok kanan, ke arah Surabaya. Sesampai di jalan besar ia hentikan kendaraannya, menengok ke kiri dan ke kanan, dan dipelankannya kudanya sambil menikmati pemandangan pagihari. Boleh jadi ia merasa sebal. Buat kepentingan seorang petualang Minke ia harus bangun sepagi itu! ke Kantor Polisi pula. Buat apa " Biar saja Minke lenyap buat selamanya. Dunia tanpa dia pun takkan lebih miskin, takkan lebih sengsara, sebutir debu yang datang dibawa angin entah dari mana, dan mau bercokol dalam rumahnya entah untuk berapa lama.
Kuda itu melangkah tak senang hati karena memang belum makanpagi, belum lagi minum manis. Robert juga belum sarapan, dan sekarang sudah harus berangkat kerja.
Pagi itu lebih dari hanya sejuk. Grobak-grobak yang mengangkuti tong minyakbumi dari Wonokromo belum juga muncul seperti biasanya dalam iringan panjang seakan tiada kan putus-putusnya. Hanya para pedagang dari desa sudah mulai berbaris memikul hasilbuminya ke pasar-pasar Surabaya.
Dan kuda itu sudah dalam langkahnya yang lambat barang lima puluh meter. Pikirannya melayang ke mana-mana. Dari balik pagar hidup sebelah kanannya terdengar seseorang menyapa:
"Tabik, Sinyo Lobel."
Ia hentikan kuda, meninjau melalui puncak-puncak pagar ke sebaliknya. Dilihatnya seorang Tionghoa dalam piyama serba lorek sedang tersenyum manis padanya. Rambutnya begitu jarang sehingga kuncirnya pun begitu tipis. Waktu tersenyum pipinya terangkat naik. matanya semakin sipit. Kumisnya pun tipis, panjang, jatuh tak berdaya di samping-menyamping mulut. Jenggotnya sangat tipis pula, dan pada setotol tahilalat bagian jenggot itu merimbun dan agak lebih hitam. "Tabik, Nyo," ulangnya waktu melihat Robert nampak ragu untuk menjawab. "Tabik. Babah Ah Tjong!" jawab Robert sopan, mengangguk disertai senyum. "Tabik, tabik, Nyo. Bagaimana kabal Nyai ""
"Baik, Babah. Baru kali ini kulihat Babah. Di mana saja selama ini "" "Biasa, Nyo. banyak ulusan. Bagaimana kabal Tuan "" "Baik, Babah."
"Sudah lama tak kelihatan."
"Biasa. Bah, banyak urusan. Kelihatan pintu rumah Babah terbuka hari ini. Juga jendela. Ada apa hari ini. Bah '" Luarbia-sa barangkali T'
"Hali bagus, Nyo, hali plesil sekalang. *Ayoh, Nyo. mam-pil," senyum Ah Tjong pagi ini membikin tawar kesebalan Robert. juga kebenciannya pada yang serba Tionghoa. Tak pernah ia ingin berkenalan dengan orang Tionghoa. Ditegur pun ia takkan sudi menjawab pada kesempatan lain. Apalagi memasuki pekarangan dan rumahnya. Tapi sekarang ia sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui sesuatu. "Baik, Bah, aku mampir sebentar," dan Robert membelokkan kudanya masuk ke pelataran tetangganya.
Ia belum pernah mengenal Babah Ah Tjong, hanya mengira saja itulah orangnya. Belum lagi turun tetangganya telah berlarian menyambutnya. Ia lihat orang berkuncir itu bertepuk tangan. Seorang Sinkeh tukangkebun datang dan mengambil kuda dari tangannya, kemudian menuntun binatang itu ke belakang. Robert dan Ah Tjong berjalan sejajar, pelan, melalui jalanan batu cadas menuju ke gedung yang biasa terbuka pintu dan jendelanya itu. Mereka masuk. Semua jenjang tangga depan sekarang tertutup anyaman tali sabut kelapa. Dan ruang depan rumah tak berserambi itu sangat luas, diperaboti beberapa sitje jati berukir. Di sebuah pojokan terdapat sitje bambu betung be-lang-bonteng coklat. Dinding dihiasi cermin dari berbagai ukuran berisikan kalligrafi Tionghoa berwarna merah. Sebuah rana kayu berukir-tembus menutup mulut korridor yang terdapat di tengah-tengah gedung. Beberapa jambang besar dari tembikar menghiasi ruangan itu tanpa isi, berdiri di atas kaki dengan naga melingkar. Tak ada hiasan lantai. Juga tak ada potret Sri Ratu Wilhel-mina. Bunga-bungaan juga tak terdapat di mana pun di ruang-depan ini.
Ah Tjong membawanya ke sitje bambu yang terdiri atas tiga kursi dan sebuah bangku panjang yang menghadap ke pelataran depan. Tuanrumah duduk di situ dan Robert di tentangnya.
"A, Nyo, sudah lama beltetangga begini tidak pelnah datang belkunjung." "Bagaimana mungkin kalau pintu dan jendela terus-menerus tertutup T "Ah, Nyo, yang benal saja. Mana bisa lumah ini telus tel-tutup "" "Baru hari ini kulihat terbuka."
"Kalau buka sepelti ini, Nyo Lobellll, tentu 'aku ada di lumah." "Kalau tidak, di rumah mana ""
"Di lumah mana "" ia tertawa senang. "Minum apa, Nyo " Biasanya apa " Wiski, blandy, cognag, bolsh, ciu atau alak biasa " Sausing balangkali " Yang putih, Kuning, hangat, dingin saja. Atau malaga " Atau keling. ""
"Wah, Bah, sepagi ini."
"Apa salah " Dengan kacanggoleng bagaimana "" "Setuju, Bah, sangat setuju."
"Bagus, Nyo. Senang dapat tamu sepelti Sinyo: ganteng, gagah, tidak pemalu, muda....... semua ada pada Sinyo. Kaya....... wah," ia bertepuk tangan dengan gaya anggun, tanpa meneleng tanpa menoleh, seperti maharaja.
Dari belakang rana muncul seorang gadis Tionghoa bergaun panjang tanpa lengan. Samping bagian bawah gaun berbelah tinggi menampakkan sebagian dari tungkainya. Rambutnya dike-labang dua.
. Robert membelalak melihat gadis berkulit pualam itu. Matanya seperti tak dapat dipindahkan dari belahan gaun sampai gadis itu begitu dekat dengannya dan menaruh botol wiski, gelasgelas sloki dan kacanggoreng sangan di atas meja.
Ah Tjong bicara cepat dalam Tionghoa pada perempuan itu, yang kemudian segera berdiri tegak di hadapan Robert.
"Nah, Nyo, coba taksil sendili pelempuan ini."
Dan Robert malu tersipu. Ia tak dapat bicara. Mata dan muk"uya jatuh ke tempat lain seperti direnggutkan setan.
"Ini si Min Hwa. Tak suka Sinyo padanya "" ia mendeham. "Balu datang dali Hongkong."
Min Hwa membungkuk, meletakkan talam ke atas maja dan duduk di kursi dekat Robert.
"Sayang sekali, Nyo, Min Hwa tak bisa Melayu, Belanda tidak, Jawa juga tidak. Hanya Tionghoa saja. Apa boleh buat. Sinyo diam saja " Mengapa " Dia sudah ada di samping Sinyo. Ai-ai, Sinyo jangan pula-pula tidak belpengalaman begitu. Ayoh, Nyo, masa mesti malu sama Babah ""
Min Hwa menyodorkan gelas wiski pada bibir Robert yang menerimanya tanpa kemantapan.
Dan Ah Tjong sengaja tersenum manis memberanikan. Min Hwa tertawa genit melengking dengan kepala didongakkan, otot muka pada tertarik, mulut terbuka dan gigi mutiaranya dengan satu gingsul berparade dalam mulutnya. Kemudian perempuan itu bicara keras dan cepat memberi komentar, tanpa koma tanpa titik. Dan Robert tidak mengerti, malah semakin kehilangan kemantapan waktu perempuan itu mendekatkan kursi padanya.
Melihat Robert menjadi pucat dan gelas di tangannya hampir jatuh, Min Hwa mendorong sloki itu pada bibir pemuda jangkung itu. Dan Robert meneguknya tanpa ragu. Tiba-tiba ia terbatuk-batuk ia tak pernah minum minuman keras. Wiski menyemburi Ah Tjong dan Min Hwa. Mereka tak marah, tertawa-tawa senang. "Satu sloki lagi, Nyo," tuanrumah menyarankan.
Min Hwa menuangkan wiski lagi dan sekali lagi menyuruh tamu muda itu minum. Pemuda itu menolak dan menyeka mulut dengan setangan. Ia semakin malu. "Masa ya Sinyo pula-pula belum pelnah minum wiski T Dan mel6d6knya, "Tidak suka wiski tidak suka Min Hwa "" ia lambaikan tangan dan perempuan itu pergi, menghilang ke balik rana berukir-tembus. Ia bertepuk tangan lagi. Sekarang muncul gadis Tionghoa lain, berbaju dan bercelana panjang sutra bersulam aneka gambar dan warna. Ia berjalan bergeol-geol mendekati sitje bambu membawa talam bambu berisi penganan dan meletakkan di atas meja, di atas talam yang ditinggalkan Min Hwa.
Ia membungkuk pada Robert dan tersenyum memikat. Sebagaimana halnya dengan perempuan pertama ia juga bergincu. Belum lagi selesai menata penganan Min Hwa sudah datang lagi membawa air bening dalam gelas di atas talam kaca, meletakkannya di hadapan Robert. Kemudian duduk di tempatnya yang tadi. "Wah, Nyo, sekalang dua. Mana lebih menalik " Ayoh, jangan malu-malu. Yang ini Sie-sie."
Di depan rumah beberapa kereta mulai berdatangan. Tamu-tamu pada langsung masuk ke dalam. Sebagian berpakaian Tionghoa, sebagian lagi piyama. Semua lelaki dan berkuncir. Tanpa mengindahkan tuanrumah ada atau tidak mereka langsung duduk dan mulai ramai bercericau, berdahak; dan membuka permainan judi. "Tak ada yang disukai lupanya Sinyo ini," desau Ah Tjong dan menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi untuk melayani para tamu. "Juga Sie-sie Sinyo tak suka," ia berdiri dan memanggil Sie-sie.
Begitu wanita itu datang lagi Ah Tjong menariknya dan mendudukkannya di samping Robert.
"Siapa tahu Sinyo lebih suka ini."
Dan Robert nampak masih sangat malu, kacau antara mau dan takut. Babah meneruskan tawanya, asyik melihat pemuda* yang kebingungan itu. Dan tamu-tamu lain sama sekali tak mengindahkan mereka yang di pojokan.
Sekarang Sie-sie ribut bercericau dengan suara keras, cepat, kemudian mulai merayunya, memperbaiki letak kemeja dan sabuk, menjentik-jentik gombak kemeja. Babah mengawasi dan terus juga tertawa. Robert makin meriut. Kemudian dua orang Tionghoa itu bicara ribut. Dan Robert tetap tak mengerti barang sepatah. "Baik, Nyo, memang Sinyo tak suka dua-duanya."
Sie-sie bangkit dan menghilang di balik rana dan Ah Tjong bertepuk empat kali. Robert menyesal setengah mati barangkali. Ia menunduk.
Dari balik rana muncul seorang wanita Jepang dalam kimono berbunga-bunga besar. Wajahnya kemerahan. Ia melangkah pendek-pendek dan cepat. Mukanya bundar dan bibirnya tergin-cu dan selalu tersenyum. Rambutnya terkondai. Ia langsung duduk di samping tuanrumah. Waktu tertawa nampak salah sebuah gigi serinya dari mas.
"Lihat sini, Nyo, ini pelempuan lagi."
Barangkali karena tak mau menyesal untuk ke sekian kali Robert memberanikan diri memandangi wanita Jepang itu. "Nah, Nyo, ini Maiko. Baru dua bulan datang dali Jepang." Belum sampai habis bicara Maiko telah bicara cepat bernada tinggi dalam Jepang. Juga Robert tidak mengerti. Namun ia telah memberanikan diri menatapnya. Ah Tjong menutupkan tangannya pada mulut wanita itu dan berkata: "Ini kepunyaanku sendili. Boleh juga kalau Sinyo suka. Duduk saja sini, dekatnya." Seperti anjing diamangi tongkat majikan Robert berdiri, lambat-lambat bergerak pindah duduk di kursi panjang, mengapit Maiko.
"Jadi Sinyo setuju yang ini " Maiko " Baik," ia tertawa mengerti. "Kalau begitu aku pelgi saja. Telselah pada Sinyo."
Tamu itu mengikuti tuanrumah pergi dengan matanya.
Dan Ah Tjong mencampurkan diri dengan para tamu yang makin banyak juga, bermain kartu, karambol atau mahyong. Ia berjalan lambat meneliti meja demi meja, kemudian datang lagi ke sitje bambu, berdiri di hadapan dua sejoli yang tak dapat berhubungan kata satu dengan yang lain itu.
"Ya, memang susah, Nyo. Maiko tak mengelti Melayu. Apa lagi Belanda. Bagaimana bisa Sinyo tak pelnah belgaul dengan noni-noni Jepang " Tak pelnah ke Kembang Jepun baiangkali ""
"Lihat pun baru sekali ini. Bah," baru Robert memperdengarkan suaranya. "Lugi, Nyo. lugi jadi anak muda beduit. Di setiap lumah-plesilan Tionghoa sepelti ini hampil selalu ada noni Jepang. Lugi, Nyo, lugi. Tidak pelnah masuk lumah lampu melah di kota " Di Kembang Jepun " Di Betawi " Memang benal-benal lugi, Nyo Lobellll.,......... Noni Jepang melulu. Kasihan. Mali........" ia menyilakan dengan gaya kaisar.
Mereka bertiga berjalan. Babah di depan. Robert Mellema di belakang. Maiko terakhir. Kuncir Ah Tjong bergoyang sedikit pada setiap langkah karena tipisnya dan menyapui baju piyamanya. Mereka melewati rana berukir-tembus. Maiko terusmenerus bicara dengan suara memikat dan melangkah pendek-pendek cepat. Bau minyakwangi memenuhi udara.
Mereka memasuki korridor, yang diapit oleh kamar-kamar pada kiri dan kanannya, tanpa perabot kecuali hiasan dinding. Beberapa perempuan Tionghoa muda sedang bicara satu sama lain di sana-sini. Semua berdandan dan berhias rapi dan menyambut Ah Tjong dengari sangat hormat, kemudian juga pada Robert, dan tidak pada Maiko.
Robert memperhatikan setiap orang. Yang jangkung-pendek, kurus-gemuk, montokkrempeng semua berbibir merah, tersenyum atau tertawa.
"Pelempuan-pelempuan cantik begini hibulan hidup, Nyo. Sayang Sinyo tidak suka yang Tionghoa," ia tertawa menusuk. "Nah, semua kamal belhadap-hadapan. Sinyo boleh pakai yang mana saja, selama tidak telkunci."
Ia buka sebuah pintu dan menunjukkan pedalamannya. Baik perabot mau pun kebersihannya sebanding dengan kamarnya sendiri, hanya kurang luas, dengan peralatan lebih indah.
"Buat Sinyo ada kamal laja, kamal keholmatan, kalau Sinyo suka," ia berjalan lagi dan membuka pintu kamar lain. "Nah, ini kamal laja yang kumaksud. Hanya Tuan Majool boleh pakai ini. Kebetulan dia sedang pigi ke Hongkong." Perabot di dalamnya semua baru dan dengan gaya yang Robert tak tahu namanya, juga tak mengurusi. Di pintu Babah bertanya pada tamunya tentang pendapatnya. Dan Robert tak punya sesuatu pendapat kecuali merigiakan kebagusannya. Ah Tjong masuk. Robert dan Maiko mengikuti.
"Pelabot telbaik, Nyo. Balu selesai dibuat, gaya Plancis sejati. Memang Tuan Majool suka segala yang Plancis. Ini buatan tukang-tukang Plancis kenamaan. Pelabot paling mahal, Nyo, dalam gedung ini. Di pojokan sana ada lemali kecil, di atas kenap itu. Ada wiski dan sak", apa saja Sinyo suka. Sitje, lemali gantung, sofa, kulsi panjang," katanya sambil menunjuk perabot itu satu demi satu. "Lanjang belukil begini bikin tidul lebih tenang dan senang. Bukan, Maiko ""
Dan Maiko menjawab dengan bungkukan dan suara pela-han, cepat, genit, seperti murai.
"Nah, Nyo, senang belplesil!"
Robert dengan mata mengikuti Ah Tjong melangkah keluar, memperhatikan kuncirnya sampai ia hilang dari balik daun pintu.
10. JUGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU aku susun bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudianhari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri:
Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu. Beberapa minggu di tangannya terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada majikan lain, juga orang Tionghoa, dan dengan begitu aku dibawa bela-yar ke Singapura. Majikan ketiga ini kukenal hanya pada namanya Ming. Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku karena tubuhku dan layananku mendatangkan banyak keuntungan baginya. Majikanku yang ke empat seorang Jepang Singapura. Ia sangat bernafsu untuk memiliki diriku. Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya " dibelinya aku seharga tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk wanita-umum Jepang di Singapura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari wanita-umum dari Sunda, yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di Asia Tenggara.
Tetapi kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan. Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa seorang pelacur paling tersohor pun: sipilis. Yang menimpa diriku bukan sekedar sipilis biasa. Dalam dunia pelacuran yang terkutuk ini dinamai: sipilis "Birma". Aku tak tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak terobati, dan lelaki diru-sak dan dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. Perempuan bisa tak merasa sesuatu untuk waktu agak lama.
Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dol-lar pada majikan Tionghoa, majikan ke lima. Dibawanya aku ke Betawi. Sebelum jual-beli terjadi majikanku yang lama membawa aku masuk ke dalam kamar. Dipukulinya dadaku dan pinggangku sampai pingsan. Setelah siuman aku ditelanjanginya dan ditotoknya bagian-bagian: tubuh untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.
Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia tahu aku beipenyakit terkutuk itu tentu aku akan. kena aniaya lagi. Mungkin sampai mati. Bukan sesuatu yang iuarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya dan disembunyikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah tanpa pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang syahwatku. Padanya aku minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih. Namun aku tetap menolak dicoba oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.
Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya penyakit. Ia marah. Itu kuketahui hanya dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti Tionghoa. Langganan semakin berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan kiranya ia menganiaya diriku. Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan sim-pananku dirampasnya. Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan Nakatani, yang menunggu aku pulang membawa modal.
Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabu-nganku. Waktu aku pindah tangan pada Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar Singapura, ia beri aku persen setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam Jepang yang patah-patah:
"Sebenarnya aku suka mengambil kau jadi gundik."
Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada jadi pelacur dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang pemuda Jepang yang mengharapakan modal dari calon bininya. Apa boleh buat, penyakit terkutuk ini telah mendekam dalam diriku.
Babah.Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah berusaha menyangkalnya, takut pada datangnya bencana baru. Kalau sekali ini terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya tinggal senilai lima dollar, dan jadilah aku sampah jalanan di negeri orang. Jadi aku minta disewakan seorang sinsei ahli penotok. Sinsei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama sebulan dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berkeberatan dengan waktu yang selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali, totokan percobaan.
Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal majikanku. Aku dipergunakannya untuk dirinya sendiri semata sampai aku ditempatkan di rumahplesirannya di Wonokromo dan mendapat kamar terbaik. Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar lain, yang empat belas banyaknya.
Babah nampaknya tak tertulari penyakitku. Maka aku merasa tenang dan senang. Memang ada sejenis lelaki yang kalis dari penyakit dunia plesiran. Boleh jadi memang karena totokan yang sekali itu penyakitku kehilangan keganasannya, maka tidak menular. Siapa tahu " Dan harga tubuhku boleh jadi akan naik lagi " Ya, siapa tahu " Kalau Babah menggundik diriku aku akan bersyukur dan akan mengabdi padanya sebaik-baik seorang gundik. Kalau tidak, sebelas bulan lagi cukuplah waktuku jadi pelacur, dan aku akan pulang. Setidak-tidaknya aku sudah terlalu mampu untuk menebus diriku dari majikan terakhir.
Bulan itu pun habis. Babah ternyata terkena sipilis "Birma" juga. Ia tak tahu, tak kenai penyakit aneh itu. Ia tak langsung menuduh aku karena ada banyak wanita lain dalam kehidupan plesirannya. Lagi pula kami berdua tak bisa bicara satu pada yang lain.
Bahwa ia mengidap penyakit kuketahui waktu pada suatu hari empatbelas orang pelacurnya dari berbagai bangsa dibaris-kannya telanjang bulat di hadapannya dan ditanyai seorang demi seorang tentang penyakit mereka. Pada tangan-kanannya ia membawa cambuk tali kulit dan tangan kiri mengukur suhu yang mencurigakan yang keluar dari kelamin para wanita celaka itu.
Aku sebagai perempuan Jepang satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di atas bumi ini pelacur Jepang selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit. Maka aku tak diperiksa. Tiga orang disingkirkan dari barisan. Ah Tjong memerintahkan pada para perempuan sisanya, kecuali aku, untuk mengikat mereka dengan tali. Mulut mereka disumbat. Ah Tjong sendiri
yang menghajar tubuh mereka dengan cambuk kulit, tanpa mengeluarkan suara dari mulut mereka yang tersumbat dengan selendang. Mereka adalah korbanku. Dan aku diam saja.
Memang susah jadi pelacur. Bila terkena sakit kotor harus segera melapor dan majikan segera menganiaya. Sebaiknya orang membisu sampai dia mengetahui melalui jalan yang tersedia. Tapi penganiayaan juga yang bakal datang. Setelah tiga wanita itu sembuh dari penganiayaan mereka dijual pada seorang tengkulak Singapura untuk di bawa ke Medan. Aku tetap tidak tergugat di rumahplesiran Ah Tjong. Sampai sejauh itu hanya dia seorang saja yang kulayani, maka aku tak terlalu lelah. Kesehatan dan kesegaranku rasa-rasanya hendak pulih. Juga kecantikanku.
Hampir setiap orang Tionghoa kayaraya mempunyai suhian, rumahplesirnya sendiri. Di Hongkong, Singapura, Betawi mau pun Surabaya sama saja adat mereka, yaitu menggilirkan rumahplesirnya masing-masing di antara mereka. Begitulah maka pada suatu hari rumahplesiran Babah Ah Tjong mendapat giliran........
Pagi-pagi tepukan tangan Babah telah memanggil aku keluar. Keluarlah aku. Memang ada rencana untuk berjudi pagi. Sore dan malamhari baru untuk plesiran. Beberapa orang tamu sudah berdatangan di ruangdepan, bermain kartu, mahyong dan karambol.
Sebenarnya aku sudah gelisah. Giliran pada rumahplesiran ini jangan-jangan membikin mejikanku melepas aku pada tamu-tamunya. Siapa pun tahu, perempuan Jepang sangat disukai mereka. Berapa orang harus kulayani bila Babah sampaihati melepas aku "
Ternyata memang ia perintahkan aku melayani tamunya: seorang anak muda jangkung bertubuh besar, kuat dan ganteng, sehat dan menarik seorang keturunan Eropa. Namanya: Robe-ru. Sebenarnya iba hatiku melihat kemudianharinya. Sepintas kelihatan ia seorang plonco yang belum banyak pengalaman. Siapa tidak kasihan melihat anak semuda itu harus terkena penyakit celaka, sebentar nanti, kalau dia menghendaki tubuhku, menanggung seumur hidup, mungkin juga cacad atau mati muda karenanya "
Aku perhatikan airmuka majikanku, ia main-main atau sungguh-sungguh. Nampaknya ia tak menyesal melepas diriku untuk Roberu. Sekaligus aku mulai mengerti: dia telah tahu juga aku yang menularinya dengan penyakit itu. Sebentar lagi ia akan jual aku pada orang lain, atau ia akan paksa aku menebus diriku sendiri dengan entah berapa puluh dollar. Aku merasa sangat, sangat sedih pada pagi itu.
Setelah Babah membawa Roberu dan aku ke dalam kamar dan menguncinya dari luar, tahulah aku, aku harus bekerja, dan bekerja sebaik-baiknya. Aku harus buang segala kesedihan dan waswasku.
Roberu duduk di kursi panjang. Segera aku berlutut di hadapannya dan mencabut larsa dari kakinya. Sepagi itu! Kauska-kinya kotor dan nampak tak terawat sebagaimana mestinya. Dari lemari kuambilkan sepasang sandal. Tak ada yang cocok ukurannya. Kaki itu sangat besar. Apa boleh buat. Baru kemudian aku tarik kaus dari kakinya yang kokoh dan kuat itu. Sandal hanya kuletakkan di depannya, tidak kupasangkan. Sandal jerami itu akan hancur kemasukan kakinya. Ia tidak mengenakannya. Nampaknya ia seorang yang banyak bertimbang-timbang. Roberu tidak bicara apa-apa, hanya memandangi aku dan segala tingkah-lakuku dengan mata terheran-heran.
Kulepas kemejanya yang bersaku dua. Ia diam saja. Kuketahui dua-dua kantong itu kosong. Kupersilakan ia berdiri dan kulepas celana-kudanya. Aku lipat dan kugantung di dalam lemari, sekali pun aku tidak rela karena kotor dan baunya. Pakaian-dalamnya nampak telah lebih seminggu tidak diganti. Terlalu kotor. Ia kelihatan agak malu.
Itulah pemuda Roberu, tidak mempunyai sesuatu kecuali kemudaan dan kesehatan, kegantengan dan nafsu-berahinya sendiri. Aku mulai berpikir lagi: apa sebab Babah melepas aku pada pemuda tak punya sesuatu apa ini " Pasti ia takkan menjual diriku, juga takkan memaksa aku menebus diriku karena penyakit terkutuk ini. Nampaknya ia tetap belum tahu tentang pe-nyakitku. Aku agak senang dan tenang dengan pesangon pikiran itu.
Dari dalam lemari lain kuambilkan untuknya selembar kimono Tuan Majooru. Aku lepas pakaian-dalamnya dan aku ki-monoi dia. Ia masih duduk diam-diam. Kuambilkan untuknya cawan anggur penguat, biar takkan terlalu menyesal ia di kemu-dianhari terkena penyakit yang ajcan bersarang abadi dalam tubuhnya. Biar ia mendapat kenang-kenangan indah dari penderitaan tanpa batas kelak, suatu keindahan dan kenikmatan yang telah jadi haknya.
Diteguknya anggur penguat itu dengan masih tetap mengawasi aku dengan mata terheran-heran. Dalam pada itu aku terus juga bicara lunak tanpa henti agar tak merusak suasana hatinya.
Memang itu merupakan bagian dari pekerjaanku yang majemuk sebagai pelacur.
Tentu saja ia tidak mengerti barang sepatah pun. Walau begitu tak ada kata-kata buruk kuucapkan. Dan lelaki mana tidak suka mendengarkan perempuan Jepang bicara dan mengucapkan kata-katanya" dan melihat cara dan gaya jalannya " dan menikmati pelayanan didalam dan* di luar kamar "
Jam setengah sembilan pagi kami naik ke atas ranjang. Roberu menolak makansiang. Tubuhnya sangat kuat. Tubuhnya yang bermandi keringat membikin Ja seperti terbuat dari tembaga tuangan. Tak pernah ia melepaskan aku. Tingkahnya gelisah dari seorang pemuda yang belum banyak pengalaman. Kalau bukan karena, anggur penguat itu ia telah melepas darah dan takkan mampu turun sendiri. Biarlah. Sebentar lagi tubuhnya yang hebat itu akan rusak-binasa. Segala yang ada padanya akan musnah: kemudaan, kegantengan, kekuatan ah-ah-ah, karunia yang tidak datang pada setiap orang itu. Karena itu aku totok ia pada bagian-bagian tubuhnya sebagaimana pernah dilakukan oleh sinsei Tionghoa atas diriku. Ia tak tahu maksudku namun manda saja seperti bocah kecil dungu, dan aku lakukan ini dalam pelukannya yang perkasa.
Pada jam empat sore ia baru lepaskan aku dan turun dari ranjang. Aku pun turun dan menyeka badannya yang bermandi keringat dengan anduk basah beberapa kali dengan air mawar. Lima lembar anduk! Ia telah kehabisan tenaga. Lenyap kekuatan dan kegagahannya, seperti selembar pakaian tua menglem-puruk di kursi. Ia minta pakaiannya. Aku ambilkan dan kukenakan padanya selembar demi selembar, juga kauskaki dekil-bau itu dan larsanya yang berat dari kulit talenta. Setelah itu aku gosok rambutnya dan aku pijiti kepalanya biar tidak pening, aku sisiri sampai rapi, baru kemudian aku sendiri berpakaian setelah lebih dahulu menggosok tubuh dengan anduk basah pula.
Nampaknya ia sangat puas. Ia masih menyempatkan diri menyambar lenganku dan memangku aku dan bicara dengan suara dalam dan lambat. Aku tak mengerti artinya, namun senang mendengar kedalaman suaranya. Dan aku meronta menolak, kuatir nafsunya akan bangkit kembali. Aku sendiri belum lagi sarapan atau pun makansiang. Aku pun akan rusak bila melayaninya. Mungkin ia sendiri pun kosongperutnya.
Ia sudah begitu pucat seperti baru bangun sakit. Tak sam-paihati melihatnya. Kuambilkan lagi anggur penguat untuknya biar mukanya agak berdarah. Kemudian ia kuantarkan keluar dari kamar.
Ia ragu dan berhenti di tengah-tangah pintu. Tiba-tiba ia balik lagi masuk ke dalam, memeluk dan mencium bernafsu. Dengan hormat dan sopan ia kudorong keluar dan pintu terkunci dari dalam. Aku sangat lelah .........
Di bawah ini jawaban-jawaban Babah Ah Tjong di depan Pengadilan, diucapkan dalam Melayu, dibelandakan oleh penter-jemah tersumpah, dan setelah kususun sendiri menjadi begini:
Pada waktu itu aku sedang berada di kantor rumahplesiran-ku. Kira-kira jam empat sore lonceng dari kamar raja berdenting minta dibukakan pintunya dari luar. Aku sendiri yang keluar dari kantor untuk melayani. Sinyo Lobel sesungguhnya tamuku yang istimewa. Aneh sekali kalau ditanyakan mengapa. Dia anak tetanggaku sendiri dan sudah menjadi adat kami untuk selalu bertetangga baik. Apalagi Sinyo Lobel pada suatu kali akan jadi tetanggaku sepenuhnya, bukan hanya sekedar anak tetangga.
Dia keluar. Mukanya pucat. Segala yang menarik padanya sudah lebur. Hampirhampir tak mampu mengangkat kepala sendiri. Nampak benar dia seorang pemuda yang tak kenal batas, seorang yang kelak akan menyerahkan seluruh jiwa dan raganya pada sang nafsu. Biar begitu ia kelihatan puas. Itu nampak jelas dari bibirnya yang berbunga senyum rela. Tentu saja aku senang melihat itu. "Nyo," tegurku, "Kita beltetangga baik mulai hali ini dan untuk setelusnya. Bukan "" Mendadak ia pandangi aku dengan mata membelalak curiga. Ia meriut-kecut. Orang berpengalaman seperti aku tentu tahu: ia menjadi sadar harus mengeluarkan banyak uang untuk menebus kesenangannya sebentar tadi.
"Biar aicu tandatangani bonnya," katanya ragu.
"Ai, Nyo, kita betetangga baik. Sinyo tak pellii kelualkan apa-apa. Jangan kuatil. Siapa tahu kelak kita bisa jadi 6ng-ko* " Pendeknya setiap saat boleh datang kemali. Boleh pakai kamal mana saja selama tidak telkunci, tanpa batas waktu, siang atau malam. Boleh pilih olang mana saja. Kalau pintu dan jendela depan telkunci Sinyo masuk saja dali pintu belakang. Tu-kangkebun dan penjaga nanti kuhilangi." Keraguannya hilang. Kontan ia menjawab:
"Terimakasih banyak, Babah. Tidak sangka Babah sebaik ini." "Memang sudah lama Sinyo mestinya datang. Balu seka-lang." "Tentu aku akan kembali lagi."
"Tentu saja!" Sebagai tetangga baik tentu tak mungkin aku menolak kedatangannya. Apalagi ia seorang muda yang sedang pada puncak pertumbuhan. Jadi bukan saja harus kucadangkan pikiran untuk memberinya kesempatan untuk melepaskan berahi, juga terpaksa menyerahkan Maiko untuknya sampai ia merasa puas dan bosan. Ia minta diri untuk pulang.
"Hari sudah sore," katanya.
Dan aku tak menghalang-halanginya. Sebelum pergi aku bawa ia ke kantorku. Sampai di sini matanya menjadi liar melihat wanita-wanita lain. Ia sudah berubah, bukan lagi pemuda pemalu sepagi. Aku pura-pura tak lihat. Kalau aku layani bisa rusak semua aturan. Maka aku panggil seorang wanita pemangkas dan kuperintahkan memangkasnya sesuai dengan contoh yang kuberikan. Sinyo tak menolak dipangkas. Ia dipangkas dengan gaya Spanyol bersibak tengah. Rambutnya diberi minyakrambut khusus yang termahal. Setelah itu ia kusuruh minum arak khusus pula, >sfmpanan pribadi.
'dengan begini Sinyo kelihatan segal lagi," kataku.
Bukan itu saja. Aku berikan padanya seringgit. Seringgit tulen putih seperti matari, tanpa cacad. Ia menerimanya dengan malu, mengangguk berterimakasih, tanpa bunyi, hanya:
"Babah memang tetangga paling baik." .
Kuantarkan ia keluar melalui para tamu yang semakin banyak juga. Beberapa orang di antara mereka menahan kami untuk meminta Maiko. Sinyo memberengut dan aku tolak mereka semua. Aku iringkan ia keluar pelataran. Waktu kudanya telah memasuki jalan raya dan membelok ke kiri, baru aku masuk lagi dan terus pergi mendapatkan Maiko.
Setelah itu tak tahu aku apa yang kemudian terjadi dengan Sinyo. ***
Dan di bawah ini cerita yang kususun dari cerita Nyai dan Annelies tentang Robert Mellema:
Pada jam dua sore Annelies bangun dari tidur. Panas badannya telah turun. Segera ia menanyakan apakah Robert sudah pulang.
"Belum, Ann. Tak tahulah aku ke mana saja ia pergi."
Nyai sudah sedemikian jengkel dan marah pada sulungnya. Ia perintahkan Darsam untuk tidak meninggalkan tempat. Pengantaran susu, keju dan mentega ke kota diserahkan pada ku-sir-kusir lain. Bahkan pengawasan kerja di belakang diserahkan pada orang yang belum lA'gi layak menjadi mandor.
"Biar dia kutunggu di depan, Ma," ujar Annelies. i
"Tidak. Kau tunggu di sini atau di luar sana sama saja. Di ruangdepan sana lebih baik, sambil menemani Mama."
Nyai memapah Annelies, dan mereka duduk berjajar di kursi.
Dan Robert belum juga datang. Bunyi pendule itu mengganggu suasana menunggu. Antara sebentar Nyai, meninjau pelataran. Dan sulung itu belum juga muncul. "Bagaimana bisa jadi, Ann, kau, baru beberapa hari bertemu sudah jatuh tergila-gila begini " Semestinya dia yang tergila-gila padamu."
Annelies tak menjawab. Nampaknya ia tersinggung. "Aku ambilkan makan, ya ""
"Tak usah, Ma," tapi Nyai pergi juga ke belakang mengambil dua piring nasi ramas, sendok-garpu dan minum.
Nyai makan sambil menyuapi Annelies dengan paksa. "Kalau malas mengunyah, telan saja," perintahnya.
Dan Annelies benar-benar tidak mengunyah, hanya menelan. Dan Robert belum juga datang.
Dua kali Nyai memanggil Darsam untuk melayani langganan. Dan Annelies duduk diam-diam dengan memandang jauh jauh sekali.
Dua jam lagi telah lewat.
"Nah, anak gila itu datang juga!" sebut Nyai. Baru Annelies memusatkan pandang ke jalan' raya.
"Darsam!" seru Nyai dari tempatnya. Waktu yang dipanggil datang ia meneruskan, "Kunci pintu kantor. Kau berdiri di sini," ia menunjuk pada pintu yang menghubungkan kantor dengan ruangdepan.
Robert mengendarai kudanya, tenang tak tergesa. Ia berhenti pada tangga rumah, melepas kuda tanpa mengikatnya dan naik, berdiri di hadapan Nyai dan Annelies. Nyai mengernyit melihat sulungnya telah berpangkas dan bersibak tengah. Ia lihat muka dan badan Robert tidak berkeringat, juga tidak berdebu. Cambuk kuda tak ada di tangannya. Juga ia tak mengenakan topi. Entah di mana semua itu ketinggalan. "Sibak rambut itu," bisik Nyai, "kepucatan itu.....," ia tutup mukanya dengan tangan. "Lihat, Ann, lihat macam abangmu. Seperti itu juga papamu waktu pulang dari pengembaraannya dan sudah jadi begitu. Bau minyakwangi itu..... Sama juga. Kalau dia bicara, mungkin bau araknya juga sama dengan lima tahun lewat itu....." Dan Nyai tak menegur JRobert.
Annelies memandangi abangnya dengan mata mengimpi. Darsam berdiri diamdiam. Melihat tak ada seorang pun memulai pendekar Madura itu mendeham. Dan seperti mendapat perintah Robert mengangkat pandang pada Darsam, kemudian dipindahkan pandang itu pada ibunya:
"Polisi tak tahu-menahu ke mana Minke dibawa. Mereka tak mengenal nama itu." Nyai berdiri dan meradang. Mukanya merah-padam. Telunjuknya menuding sulungnya, mendesau:
"Penipu!" "Aku sudah berkeliling ke mana-mana mencari keterangan." "Sudah. Tak perlu bicara. Bau mulutmu, bau minyakwangi itu, sibak rambut itu..... sama dengan papamu lima tahun yang
lalu dan seterusnya. Lihat baik-baik, Ann, begitulah permulaan papamu tak kenal mata-angin lagi. Menyingkir pergi, kau, penipu! Tak ada anakku seorang penipu." Di depan pintu penghubung kantor Darsam mendeham lagi.
"Jangan. lupakan hari ini, Ann. Begitu macamnya papamu dulu datang, dan harus kuanggap lenyap dari kehidupanku. Begitu juga abangmu pada hari ini. Dia sedang mengikuti jejak Tuan. Biar."
Annelies tak menanggapi. "Karena itu, Ann, kau harus kuat. Kalau tidak, orang akan sangat mudah jadi permainan, dan terus dipermainkan oleh orang-orang semacam dia itu. Berhenti kau menangis. Apa kau juga mau ikuti abangmu dan ayahmu ""
"Mama, aku ikut kau, Mama."
"Karena itu jangan manja, kuatkan hatimu."
Annelies terdiam melihat Nyai sudah sampai pada puncak kekecewaannya. Kuda di depan rumah itu meringkik. Robert keluar lagi dari kamarnya dalam pakaian lain, necis dan gagah. Ia berjalan cepat meninggalkan rumah tanpa mengindahkan ibu, adik dan DarsamJuga kuda ditinggalkannya lepas.
Sejak hari itu sulung itu hampir-hampir tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah keluarga.....
11. AKU BANGUN PADA JAM SEMBILAN PAGI DENGAN kepala pusing. Ada sesuatu yang mendenyut-denyut di atas mataku. Sebuah biji palakia tanpa setahuku telah merembesi kulit, sekarang sedang menumbuhkan akar pada otakku untuk mengubah diri jadi pohon dalam kepalaku.
Teringat aku pada berita-berita koran yang memashurkan obat pelenyap pening paling mujarab dalam sejarah ummat manusia. Katanya Jerman yang menemukan, dinamai: Aspirin. Tapi obat itu baru berupa berit". Di Hindia belum lagi kelihatan, atau aku yang tidak tahu. Uh, Hindia, negeri yang hanya dapat menunggu-nunggu hasil kerja Eropa!
Mevrouw Telinga telah beberapa kali mengompres kepalaku dengan cukabawangmerah. Seluruh kamar berbau cuka.
"Ada surat untukku barangkali, Mevrouw ""
"Ha, sekarang Tuanmuda baru menanyakan surat. Biasanya membaca pun segan. Sungguh sudah berubah. Barangkali juga ada. Tadi orangnya masih menunggu. Aku bilang kau masih tidur. Tak tahu aku siapa namanya. Mungkin juga sudah pergi. Aku bilang padanya: kan Tuanmuda Minke tinggal di Wonokro-mo " Rupanya dia tak memperhatikan, malah minta ijin sebentar untuk pergi ke rumah sebelah, rumah Tuan Marais."
Rumah pemondokan itu lengang. Teman-teman lain sudah berangkat ke sekolah. Dan perempuan baikhati itu menarik mejamakan dan mendekatkan pada tempat tidurku, kemudian meletakkan susucoklat serta kue di atasnya. Yang kumaksud dengan kue adalah : cucur.
Tuanmuda mau makan apa hari ini "" "Mevrouw ada uang belanja "'"
"Kalau tak ada toh minta pada Tuanmuda ""
"Barangkali pernah datang polisi kemari menanyakan aku ""
"Ada. Bukan polisi. Orang muda sebaya Tuanmuda. Aku kira teman Tuanmuda, jadi kuceritakan saja apa adany&."
"Indo " Totok atau Pribumi "" "Pribumi."
Aku tak tanya lebih lanjut. Kira-kira dia tak lain dari agen polisi itu juga. "Jadi makan apa Tuanmuda hari ini ""
"Sup makaroni, Mevrouw."
"Baik. Baru sekali ingin sup makaroni. Tahu berapa harganya satu bungkus " Lima sen, Tuanmuda. Jadi....."
"Dua bungkus tentunya cukup."
Ia tertawa lega menerima uang belanja limabelas sen, kemudian gopoh-gapah pergi ke kerajaannya: dapur.
Pagi ini memang lengang. Kadang saja terdengar lonceng dokar. Hanya dalam kepalaku terjadi kesibukan: para pembunuh dan calon pembunuh berbaris panjang dengan berbagai muka, bermacam resam, malahan Magda Peters ikut tampil membawa belati telanjang teramang. Magda Peters guru kesayanganku! Hampir gila rasanya, hanya karena ketakutan pada berita. Berita saja! Masa aku patut begini ketakutan pada sesuatu yang tidak menentu kebenaran dan duduk perkaranya^ " Aku, seorang terpelajar " Sekiranya berita itu benar, patutkah ketakutan terkutuk ini dibenarkan "
Kau akan merugi dua kali, Minke, kalau berita itu benar. Pertama: kau sudah ketakutan. Kedua: kau toh terbunuh. Satu kerugian pun sudah cukup, Minke. Ambillah salah satu. Bangun. Mengapa mesti kau ambil dua-duanya sekaligus " Goblok kau sebagai terpelajar.
Pikiran itu membikin aku tertawa sendirian. Jadi bangunlah aku dari ranjang, berdiri sempoyongan dan mencoba pergi berjalan ke belakang. Pengelihatanku berayunayun. Kuraih punggung kursi. Kumantapkan lagi pengelihatanku dan keluar dari kamar. Tak jadi ke belakang aku duduk di ruangdepan dan mulai mencoba membaca koran. Peningku memang berkurang, tapi bau cuka-bawangmerah betul-betul jadi gangguan.
Badan manja, kataku dalam hati.
Akhirnya aku pergi juga ke belakang dan mandi dengan air hangat di bawah protes Mevrouw Telinga yang keliwat bawel itu. Betapa sayang dia padaku, wanita mandul itu. Ia seorang Indo Eropa yang lebih Pribumi daripada Eropa, tak ada sisa kecantikan, gemuk seperti bantal. Biar Belandanya sangat buruk justru itulah bahasanya sehari-hari, juga bahasa-keluarga. Ia tak pernah menginjakkan kaki di halaman sekolah: butahuruf. Anak-angkatnya seekor anjing gladak jantan, pandai mencuri ikan dari pasar, dua-tiga kali dalam sehari, diserahkan pada ibu-angkatnya untuk dipanggangkan. Setelah memakannya ia tidur di tengah-tengah pintu, untuk kemudian bangun dan berangkat mencuri lagi. Anak-angkat ini tidak menggonggongi orang tak dikenal yang datang, sebaliknya ia pandangi tamu dengan mata kelap-kelip mengawasi seperti menunggu digonggong lebih dulu. Setelah berpakaian dan bersisir aku pergi ke rumah Jean Marais. Gambar ibu May dalam adegan perkelahian itu belum juga selesai. Nampaknya ia sedang berusaha mengerjakan sebaik mungkin. Dengan lukisan itu ia hendak membikin karyatamanya.
May duduk di pangkuanku dengan manjanya. Ia rindu tak bertemu denganku dalam beberapa hari belakangan ini. Biasanya kubawakan ia gula-gula. Sekarang tak ada sesuatu dalam kantongku.
"Kita tak jalan-jalan, Oom "" "Sedang tak enak badan, May."
"Kau pucat, Minke," Jean Marais menegur dalam Prancis.
"Tak kuperhatikan," kata May dalam Prancis pula, kemudian bangkit dari pangkuan dan memandangi aku. "Benar, Oom, pucat."
"Kurang tidur," jawabku.
"Sejak punya hubungan dengan Wonokromo ada-ada saja yang menimpa dirimu, Minke," tegur Jean. "Dan kau tak lagi cari order baru selama ini." "Kalau kau tahu pengalamanku selama ini, Jean, kau takkan sampaihati bicara seperti itu. Sungguh."
"Kau dalam kesulitan lagi," tuduhnya. "Matamu tidak tenang begitu.Tidak seperti biasanya."
"Masa mengetahui orang dari matanya "" "May, coba belikan rokok."
Dan gadis cilik itu keluar.
"Nah, Minke, ceritakan apa kesulitanmu."
Tentu saja kuceritakan kecurigaanku tentang si Gendut. Bahwa aku merasa ada seseorang yang sedang mencari kesempatan untuk membunuh diriku yang sebatang ini. Bahwa aku merasa, di mana-mana ada orang sedang memata-matai, siap hendak mengayunkan parangnya pada tubuhku.
"Tepat seperti kuduga. Memang itu risiko orang yang tinggal di rumah nyai-nyai. Dulu kau ikut dengan pendapat, umum yang mengutuk nilai dan tingkat susila nyainyai. Apa kataku
dulu " Jangan ikut-ikut jadi hakim tentang sesuatu yang kau tak ketahui dengan pasti. Kuanjurkan dua-tiga kali datang lagi ke sana, saksikan sendiri sebagai terpelajar."
"Aku masih ingat, Jean."
"Nah, kau datang ke sana memang. Bukan hanya datang, malah tinggal." "Betul."
"Kau tinggal di sana, tidak untuk menyelidiki pendapat umum dan kenyataannya, kau justru melaksanakan pendapat umum itu terseret ke tingkat dan nilai susila rendah, tidak terpuji. Kemudian kau mendapat ancaman entah dari siapa. Barang tentu dari pihak yang paling berkepentingan yang kau rugikan. Sekarang kau merasa diburu-buru orang, Minke. Kau lebih banyak diburu perasaan-bersalahmu sendiri."
"Apa lagi, Jean "" "Apa aku keliru ""
"Mungkin sekali kau yang benar." "Mengapa mungkin ""
"Ialah kalau benar telah kulakukan perbuatan tidak terpuji itu."
"Jadi kau tak lakukan itu "" "Sama sekali."
"Setidak-tidaknya aku senang mendengar itu, Minke, sahabatku." "Lagipula ternyata Nyai bukan wanita sembarangan. Dia terpelajar, Jean. Aku kira wanita Pribumi terpelajar pertama-tama yang pernah kutemui dalam hidupku. Mengagumkan, Jean. Lain kali akan kubawa kau ke sana, berkenalan. Kita akan bawa May. Dia akan senang di sana. Sungguh."
"Jadi dari mana datangnya perasaan akan dibunuh orang kalau bukan dari perbuatan buruk " Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati. Kau pun termasuk terpelajar Pribumi pertama-tama. Perbuatan baik dituntut dari kau. Kalau tidak, terpelajar Pribumi sesudahmu akan tumbuh lebih busuk dari kau sendiri." "Diam, Jean. Jangan bicara kosong. Aku benar-benar dalam kesulitan." "Hanya bayangan sendiri."
May datang membawa seikat rokok daun jagung dan Jean segera merokok. "Kau terlalu banyak merokok."
Ia hanya tertawa. Pada hari itu orang Prancis ini sungguh tak menyenangkan.
Ia tidak benar. Dan diusiknya aku dengan dugaan tidak berdasar. Juga Ayah sudah pada awal pertemuan mendakwa. Bunda meragukan diri ini dengan caranya sendiri. Sekarang Jean Marais nampak tak yakin pada kebenaranku: ia menggunakan ukuran umum juga akhirnya, menganggap aku telah dikalahkan, terseret oleh yang tak terpuji. Rasanya sudah tak ada guna meneruskan pembicaraan. May aku tuntun kubawa pulang. Dan kami duduk di bangku panjang serambi. "Mengapa kau tak bersekolah, May ""
"Papa menyuruh aku menungguinya melukis." "Lantas apa saja kau kerjakan ""
"Melihat Papa melukis, melihat saja." "Tidak bicara apa-apa padamu ""
"Ada tentu. Katanya: semestinya di bawah rumpun bambu itu udara sejuk karena angin terus-menerus bertiup. Hanya kasihan orang yang diinjak Kompeni itu, Oom." Dia tidak tahu, yang diinjak itu ibunya sendiri.
"Nyanyi, May!" dan anak itu langsung menyanyikan lagu kesayangannya. "Nyanyi Prancis saja, May. Yang Belanda aku sudah tahu semua."
"Prancis "" ia mengingat-ingat. Kemudian: "Ran, ran pata plan! Ran, plan, plan," dari J oli Tambour. "Tak dengarkan sih, Oom ini."
Mataku mengawasi seorang gendut berkalung sarung sedang duduk di bawah pohon asam di seberang jalan sana, di samping penjual rujak. Ia berpici, tak bersandal apalagi bersepatu, berbaju blacu dan bercelana kombor hitam, berikat pinggang lebar dari kulit dengan barisan kantong tebal. Bajunya tak dikancingkan. Resam dan kulit dan sipitnya tak dapat menipu aku. Mungkin dia calon pembunuhku. Si Gendut! tangan-tangan Ro-bert karena tak berhasil menggunakan Darsam. Antara sebentar, sambil makan rujak, ia melihat ke arah kami berdua. "Panggil Papa, May."
Gadis cilik itu lari. Dan Jean muncul dengan tubuhnya yang jangkung kurus, berpincang-pincang pada tongkat-ketiak menghampiri, duduk di sampingku. "Kira-kira aku tak salah, Jean, itu dia orangnya. Dia ikuti aku sejak dari B. Memang sekarang lain lagi pakaiannya."
"Stt. Hanya bayanganmu sendiri, Minke," ia justru memarahi aku. Tepat pada waktu itu Tuan T61inga datang entah dari mana. Pada tangan satu ia menjinjing kranjang entah apa isinya. Pada tangan lain ia membawa satu meter pipa besi, entah habis dipungutnya dari mana. "Daag, Jean, Minke, tumb&n pada duduk-duduk berdua sepagi ini," sapa Tuan Telinga dalam Melayu.
"Begini," -Jean Marais memulai dan bercerita ia tentang ketakutanku. Kemudian dengan dagu ia menuding ke arah orang yang aku duga si Gendut. Pendatang baru itu menaruh kranjang di atas tanah, dan ternyata berisi kedondong muda. Pipa besi tetap dipegangnya. Matanya liar terarah ke seberang jalan sana. "Biar aku lihat dari dekat. Ayoh, Minke, kau yang tahu orangnya'. Barangkali memang dia. Biar aku kemplang kepalanya kalau perlu."
Berjalanlah aku di belakangnya dan Jean Marais berpincang-pincang mengikuti. Semakin dekat semakin jelas memang si Gendut. Sekarang pun pasti dia sedang memata-matai aku. Dan ia pura-pura tidak tahu kami semakin mendekat juga. Ia terus menikmati rujaknya, namun jelas matanya melirik-lirik waspada. Pakaian samaran itu memperkuat dugaanku.
"Memang dia," kataku tanpa ragu.
Telinga mendekatinya dengan sikap mengancam. Dan dengan pipa besi tetap di tangan. Aku sendiri kehilangan sikap. Jean Marais masih berpincang-pincang di belakang kami.
"Hai, Man," gertaknya dalam Jawa, "kau memata-matai rumahku "" Orang itu pura-pura tak -dengar dan meneruskan makannya.
"Kau pura-pura tak dengar, ya "" gertak pensiunan Kompeni itu, sekarang dalam Melayu. Ia rebut pincuk rujak dan melemparkannya ke tanah.
Nampaknya si Gendut tidak gentar pada orang Indo. Ia berdiri, menyeka tangan yang masih berlumuran sambal pada kulit batang asam, menelan sisa rujak, membungkuk mencuci tangan dalam ember si penjual, baru kemudian bicara, tenang, dalam Jawa Kromo:
"Sahaya tidak memata-matai apa pun dan siapa pun," ia mencoba melirik' padaku dan tersenyum.
Kurangajar memang! Dia tersenyum padaku. Calon pembunuhku itu! Dia tersenyum. "Pergi dari sini!" bentak Telinga.
Penjual rujak, wanita tua itu, menyingkir ketakutan. Dari kejauhan orang-orang mulai menonton, ingin tahu tentu: ada
Pribumi berani hadapi Indo Eropa.
"Sahaya membeli rujak di sini hampir setiap hari, Ndoro Tuwan." "Tak pernah aku lihat kau. Pergi! Kalau tidak.....ia
ayunkan pipanya. Dan ternyata si Gendut tidak takut. Ia tidak mengangkat kepala dan hanya tunduk dengan mata waspada:
"Belum pernah ada larangan makan rujak di sini, Ndoro Tuwan," bantahnya. "Membantah " Tak tahu kau aku Belanda bekas Kompeni ""
Tentu si Gendut ini pendekar. Ia tak takut pada Belanda bekas Kompeni. Mungkin jago silat, atau kuntow.
"Biar begitu tidak ada larangan polisi. Pengumuman larangan juga tidak ada, Ndoro Tuwan. Biarkan sahaya duduk-duduk di sini makan rujak. Belanja sahaya pun belum sahaya bayar," dan ia bersiap hendak duduk lagi.
Termasuk aku menjadi curiga mendengar orang itu menyebut larangan. Jelas dia tahu peraturan. Semestinya Telinga berbuat lebih hati-hati. Tetapi bekas serdadu yang hanya dapat berpikir dengan kekerasan itu telah melayangkan tangan, menempeleng. Dan si Gendut menangkis, dan tidak balas menyerang. "Sudah, sudah," Jean Marais mencoba menengahi.
"Jangan teruskan, Ndoro Tuwan," pinta si Gendut.
Telinga naik pitam ada orang berani menantang diri dan perintahnya. Ia sudah tak hiraukan lagi duduk-perkara. Gensinya sebagai Indo bekas serdadu terluka. Dengan tangan-kanannya ia ayunkan pukulan maut pada kepala si Gendut. Dan pembangkang itu mengelak tenang. Tlhnga terhuyung ke depan oleh ayunan sendiri yang luput. Sebenarnya Gendut dapat memasukkan tinju pada iga-iga lawannya, tapi ia tak lakukan. Elakan demi elakan membikin Telinga semakin kalap dan terus menerjang. Si Gendut mundur-mundur kemudian lari. Tllinga mengejar. Gendut menghilang ke dalam gang sempit yang menjadi tempat penimbunan sampah. "Telinga gila!" gerutu Jean Marais, "lagaknya sepeiti masih Kompeni." Yang digerutui masih terus memburu, juga hilang ke dalam gang. "Buat apa semua mi " Mari pulang, Minke. Kaulah biang-keladi," ia menyalahkan aku.
Ia menolak aku papah. May dan Mevrouw Telinga gopoh-gapah menyambut dan menanyakan apa sedang terjadi. Tak ada
yang menerangkan. Kami pun duduk menunggu kedatangan si berangsang. Dengan gelisah tentu.
Sepuluh menit kemudian Tuan Tllinga muncul, bermandi keringat, muka kemerahan dan nafas sengal-sengal. Ia rubuhkan diri di kursi malas dari kain tenda. "Jan," tegur istrinya, "bagaimana kau ini " Lupa kau kalau invalid " Cari-cari musuh. Apa kau kira kau masih muda "" ia dekati suaminya, merampas pipa besi dari tangannya, dan membawanya ke dalam.
Tuan Telinga tak bicara. Dan seakan sudah terjadi persetujuan rahasia antara kami. Tak ada yang lebih menyesal dari diriku. Dalam hati aku bersyukur tidak terjadi sesuatu drama. Juga merasa beruntung tak pernah menyampaikan cerita Darsam. Benar-benar aku bisa jadi biangkeladi.
"Tuanmuda masih sakit," seru Mevrouw dari dalam, "jangan duduk berangin-angin. Tidur lebih baik. Sebentar lagi makan siap."
"Pulang saja kau, May," perintah Jean, dan May pulang.
Kami bertiga duduk diam-diam sampai Telinga mendapatkan nafasnya kembali. "Lupakan saja peristiwa tadi," aku mengusulkan. Uh, kalau sampai jatuh ke tangan polisi, dan berlarut. Uh, benar-benar aku biangkeladi memalukan. "Kepalaku pening lagi, Jean. Maafkan Tuan Telinga, Jean.........."
Di dalam kamar aku semakin yakin: memang si Gendut sedang memata-matai aku. Jelas dia tangan-tangan Robert. Cerita Darsam harus kuterima bukan sebagai omongkosong. Hati-hati kau, diri!
Sebagai terpelajar kenyataan ini harus kuterima: ada seseorang menginginkan nyawaku, dan melapor pada Polisi tidak mungkin. Tidak bijaksana menyulitkan Nyai, Annelies, Ayah yang baru diangkat jadi bupati, dan terutama Bunda. Semua harus dihadapi dengan diam-diam, tapi waspada.
Untuk pertama kali pintu kukunci dari dalam pada sianghari begini. Juga jendela. Sebatang tongkat kayu keras bekas tangkai pel lantai kusediakan di pojok. Setiap waktu akan dapat kuraih. Setidak-tidaknya, sekali pun masih tingkat kias kambing, aku pun pernah belajar beladiri di T. dulu.
Empat hari lamanya peningku belum juga hilang. Memang kurang tidur. Dan setiap pagi susu kiriman terus juga datang.
Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetap tak ada berita dari Darsam..........
Rasanya sudah terlalu lama aku tak masuk kias. Dokter memberi sertifikat untuk tiga minggu. Buah palakia dalam kepala tumbuh jadi pohon tanpa seijin diriku sebagai pemilik tunggal dan syah. Betul kau, pohon palakia dalam kepala, memang aku harus lupakan Nyai dan Annelies. Hubungan harus putus! Tak ada guna. Hanya kesulitan saja buahnya. Tanpa mengenal keluarga seram dan aneh itu pun hidupku tidak merugi, tidak kena kusta. Aku harus sembuh. Cari order seperti sediakala. Menulis . untuk koran. Menamatkan sekolah sebagai diharapkan banyak orang. Bagaimana pun aku masih suka bersekolah. Bergaul.secao " ra terbuka dengan semua teman. Bebas. Menerima ilmu baru yang tiada kan habisnya. Dan: menampung segala dari bumi manusia ini, dulu, sekarang dan yang akan datang. Pada akhir bulan mendatang Juffrouw Magda Peters akan membuka diskusi, menyuluhi bumi manusia-dari segala seginya yang mungkin. Dan aku sakit begini. Liburan darurat sia-sia. Segumpal waktu yang padat dengan ketegangan. Kadang terpikir: sudah perlukah diri semuda ini di-buntingi ketegangan intensif macam ini "
Kadang aku jawab sendiri: belum perlu. Juffrouw Magda pernah bercerita tentang pengarang Multatuli dan sahabatnya, penyair-wartawan Roorda van Eysinga*: mereka hidup dalam ketegangan intensif karena kepercayaan dan perjuangan intensif, dan pribadi, untuk meringankan nasib bangsa-bangsa Hindia. Penindasan serba-Eropa dan serba-Pribumi sekaligus! Dalam pembuangan, untuk bangsa-bangsa Hindia yang tidak mengenal seseuatu tentang dunia, Minke, tanpa sahabat datang menengok, tanpa tangan terulur
memberikan bantuan....... Baca syair Roorda van Eysinga,
menggunakan nama Sentot, Hari Terakhir Ollanda di Jawa** itu. Setiap katanya padat dengan ketegangan dari satu individu yang berseru-seru memperingatkan. Multatuli dan van Eysinga mengalami ketegangan intensif karena perbuatan besar. Dan ketegangan yang menyiksa aku sekarang " Hanya salah-tingkah seorang philogynik. Aku harus lepaskan Annelies. Harus dan harus bisa. Dan hati ini tak juga mau diyakinkan. Dara secantik itu! Dan Nyai pribadi mengagumkan dan mengesankan itu seorang ratu pemilik dayasihir. Ya-ya: suka tak kurang puji, benci tak kurang cela.
Lambat-lambat tapi pasti aku mulai mengerti: segala ketegangan ini hanya akibat keogahan membayar karcis untuk memasuki dunia kesenangan, dunia di mana impian jadi kenyataan. Multatuli dan van Eysinga hanya membayar karcis. Mereka tak menghendaki sesuatu untuk diri sendiri. Apa arti tulisanku dibandingkan dengan karya mereka " Dan aku mengharapkan dan bernafsu mendapatkan segala untuk diri sendiri. Memalukan.
Ya, harus kulepaskan Annelies. Adieu, ma belle! Selamat berpisah, impian, untuk takkan bertemu kembali, kapan dan di mana pun. Ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya kecantikan seorang dara dan kewibawaan seorang nyai. Tak ada guna mati tanpa arti. Dan nyawaku, dan tubuhku, modal utama dan satu-satunya. Keputusan itu memerosotkan sang pening. Biar pun tidak sekaligus. Memang begitu .hukum penyakit: datang mendadak, pergi bermalas. Buah palakia itu berhenti menjalarkan akar dan semian. Kemudian pun menjadi mati hanya karena datangnya sepucuk surat: dari Miriam de la Croix. Tulisannya lembut dan kecil-kecil, rapi. Tulilsnya:
Sahabat, Tentu kau sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Kunantikan beritamu tapi tak juga kunjung tiba. Jadi aku yang mengalah.
Jangan kau heran, Papa mempunyai perhatian besar terhadapmu. Sampai dua kali ia bertanya, ada atau belum surat dari kau. Papa ingin sekali mengetahui kemajuanmu. Sungguh ia terkesan oleh sikapmu. Kau, katanya, orang Jawa dari jenis lain, terbuat dari bahan lain, seorang pemula dan pembaru sekaligus.
Dengan senanghati aku tulis surat ini, malah merasa mendapat kehormatan dapat menyampaikan pendapat Papa. Mir, Sarah, katanya lagi pada kami, begitu kiranya wajah Jawa nanti yang terasuki peradaban kita, tidak lagi melata seperti cacing kena matari. Maaf, Minke, kalau Papa menggunakan perbandingan sekasar itu. Ia tidak bermaksud menghina. Kau tak marah, bukan " Jangan, jangan marah, sahabat. Tak ada pikiran jahat pada Papa mau pun kami berdua terhadap Pribumi apalagi terhadap pribadimu.
Papa merasa iba melihat bangsa Jawa yang sudah sedemikian dalam kejatuhannya. Dengarkan kata Papa lagi, sekali pun tetap menggunakan perbandingan kasar tsb.: Tahu kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini " Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derjad mereka kembali., Kau dapat mengikuti 'aku, sahabat. Jangani terburu gusar sebelum memahami pintaku.
Tidak semua orang Eropa peserta dan penyebab kejatuhan bangsamu. Papa, misalnya, sekali pun seorang assisten residen, tidak termasuk golongan itu. Memang ia tidak bisa berbuat apa-apa sebagaimana halnya aku atau pun Sarah, sekali pun, ya, sekali pun ingin sekali kami mengulurkan tangan. Kami hanya menduga tahu apa mesti kami lakukan. Kau sendiri suka pada Multatuli, bukan " Nah, pengarang yang diagungkan oleh kaum liberal itu memang sudah sangat berjasa pada bangsamu. Ya, Multatuli, di samping Domine Baron von Hoevel itu, dan seorang lagi, yang barangkali saja gurumu lupa menyampaikan, yakni Roorda van Eysinga. Hanya saja mereka tidak pernah bicara pada bangsamu, cuma pada sebangsanya sendiri, yakni Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan bangsamu secara patut.
Sahabat, Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudbh termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan watak dan jiwanya. Pahlawanpahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempetaruhkan jiwa-raga dan harta-benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri. Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada -yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami jangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat* yang masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-ke-sah bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan " Kami dapat mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja meninggalkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami. Tapi sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya Minke marah, Sarah melaporkan, Doktor Snouck Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku.
Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak ada keberanian lagi. Aku setuju dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung wayang-orang mulai terdengar suara gamelan. Sudah lebih dua tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian jnemang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi. Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begi"u dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari sarjana besar Snouck Hurgronje. Maka kami bangga punya ayah seperti dia. Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Eropa, karena kau dilahirkan dan dibesarkan dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini " Kaulah itu bakalnya " Gung yang agung itu " Bolehka kami berdoa untukmu "
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada pribadi. Itu tanggapan dari seorang Eropa, sahabat. Satu orang Jawa pun takkan punya tanggapan demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua puluh tahun mendatang " Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke Nederland. aku akan bergerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Nederland belum membenarkan seorang wanita jadi anggota Tweede Kamer*. Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu. Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kudengarkan kembali gamelanmu, gamelan yang indah dalam kesatuan bunyi tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi gung, atau memang tiada seorang Jawa pun akan muncul, hanya akan tenggelam terus dalam curahan nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau, khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga cukup panjang biar pun dilihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku Minke, inilah surat pertama yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpengharapan baik:
Miriam de la Croix. Waktu aku lipat surat itu kuketahui airmataku telah meninggalkan becak biru di sana-sini, melelehkan tinta. Mengapa aku menangis membaca surat seorang gadis yang baru dua kali kutemui dalam hidupku " bukan sanak bukan saudara, bahkan bukan sebangsa " Dia berpengharapan atas diriku. Dan diri ini --justru sedang kacau karena salah-tingkah sendiri. Dia menghendaki aku berharga bagi bangsaku sendiri, bukan bangsanya. Benarkah ada Multatuli dan van Eysinga gaya baru " Bagaimana harus menjawab surat seindah ini sedang aku sudah merasa diri, seorang pengarang pula " telah dipuji Tuan Maarten Nijmanr Kepala Redaksi S.N.v/d D. " Aku merasa kecil untuk dapat mengimbangi pikiran Miriam. Namun kupaksa juga menulis jawaban. Terimakasih, dan tak lebih dari terima-kasih dalam curahan kata begitu banyak, barangkali juga seperti curahan nada-nada Jawa yang rancak menuju dan menunggu gung. Di dalamnya kunyatakan keherananku, betapa Multatuli dan van Eysinga yang baru saja kukenang-kenang ternyata disebut dalam suratnya. Mungkin, tulisku, karena kita hidup dalam arus jaman liberal yang sama, arus jaman yang sama, dan surat itu kuakhiri dengan:
Miriam yang baik, beruntung aku mendapatkan seorang sahabat pada dirimu. Aku tak tahu apa akan terjadi pada dua puluh tahun mendatang. Aku sendiri tak pernah punya perasaan akan menjadi gung. Menjadi gendang pun tak pernah terimpikan, tak pernah terpikirkan, mungkin takkan terpikirkan sekiranya tak datang suratmu yang indah mengharukan itu. Lebih-lebih lagi karena datangnya bukan dari sebangsaku sendiri. Damai dan sejahtera untukmu, Miriamku yang tulus. Semoga jadilah kelak, seorang Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer. Kutelungkupkan muka pada meja. Surat Miriam kuresap-kan, mencoba untuk takkan melupakan seumur hidup. Persahabatan ternyata indah. Dan peningku merosot dan merosot, kemudian lenyap sama sekali, erftah ke mana. Miriam,-kau bukan sekedar mengirimkan surat." Lebih dari itu: ajimat pelenyap tegang. Kalau saja kau tahu: mendadak kini aku merasa berani, dan dunia jadi lebih terang dan gemilang. Jadilah gung! terdengar bergaung-gaung.
"Tuanmuda!" Kuangkat kepala. Melihat orang di depanku sekaligus pala-kia dalam kepala kembali 'menjalankan akar dan semian. Lebih t bersemangat. Dia: Darsam! "Maaf, Tuanmuda. Nampaknya sangat terkejut, sampai begitu pucat." Aku mencoba 'tersenyum, mata melirik pada parang dan tangannya. Ia sendiri tertawa ramah sambil membelai kumis.
"Tuanmuda curiga padaku," katanya, "padahal Darsam ini sahabat Tuanmuda." "Jadi ada apa "" tanyaku pura-pura tak tahu sesuatu.
"Surat dari Nyai. Noni sakit keras."
Aku terbeliak. Ia masih juga berdiri di seberang meja. Diulurkannya surat itu. Kubaca sambil antara sebentar melirik pada parang dan tangannya. Benar, Annelies sakit keras dalam perawatan Dokter Martinet. Nyai telah menceritakan asal-muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar menganjurkan seperti dulu, agar aku segera datang sesuai dengan nasihat dokter. Kata Dokter Martinet, tanpa kehadiranku Anne-Kes tak punya harapan sembuh, boleh jadi akan semakin melarut. "Mari, Tuanmuda, ke Wonokromo,-sekarang juga."
Kepalaku mendenyut seperti hendak pecah. Tegakku meliuk. Segera kuraih ujung meja. Kutatap pendekar itu dengan pandang goyang. Darsam menangkap bahuku. "Jangan kuatir. Sinyo Robert tidak bakal bisa ganggu. Darsam masih tegak berdiri. Mari."
Miriam de la Croix lenyap, meruap, hilang dari peredaran. Kekuatan sihir dari Wonokromo menguasai segala. Dalam papahan Darsam kaki ini membawa diriku ke bendi yang telah menunggu. "Tidak minta diri dari orang rumah ""
Langkahku terhenti. Kupanggil-panggil Mevrouw Telinga, pamit hendak pergi. Ia berdiri di pintu dan nampak tak berse-nanghati.
"Jangan lama-lama, Tuanmuda," pesannya. "Kesehatanmu." "Tuanmuda akan segera baik di Wonokromo," jawab Darsam.
Takut pada permunculannya yang seram Mevrouw tak menambahi kata-katanya. * "Mana barang-barangnya, Tuanmuda ""
Aku tak menjawab. Dan tak tahulah aku apa dalam perjalanan di atas bendi itu aku pingsan atau tidak. Yang kuketahui: hanya karena ajakan Robert Suurhof semua ini terjadi, melibatkan banyak orang dan menegangkan hidupku yang semuda ini. Sedang yang kudengar hanya satu suara, satu kalimat, keluar dari mulut pendekar Madura itu: "Bendi dan kuda ini milik Tuanmuda sejak sekarang."
12. BEGITU DARSAM MEMIMPIN AKU MENAIKI TANGGA nampak Nyai Ontosoroh datang gopoh-gapah menyambut:
"Keterlaluan kau, Nyo, ditunggu-tunggu begitu lama. Anne-lies sakit keras merindukan kau!"
"Tuanmuda juga sakit, Nyai, kuangkat juga kemari."
"Tak apa. Kalau dua-duanya sudah bertemu dan kumpul, semua akan beres. Penyakit akan hilang."
Memalukan kata-kata itu, namun terasa sebagai antitoksin yang mulai mencabarkan si palakia dalam kepala. Nyai menangkap bahuku, berbisik lunak pada kupingku sambil tersenyum.
"Suhumu memang agak naik. Tidak apa. Mari ke atas, Nak. Adikmu sudah terlalu lama menunggu. Kau mengirimkan kabar pun tidak."
Suaranya begitu lembut, langsung masuk ke dalam hati, seakan ia ibuku sendiri, Bundaku tersayang, dan aku tak lain bocah kecil dalam bimbingannya. Namun tak"urung mataku jalang ke sana-sini. Robert setiap waktu bisa meloncat dari kegelapan dan menerkam aku dengan otot-ototnya yang perkasa. "Di mana Robert, Ma "" tanyaku waktu mendaki tangga. "Stt. Tak perlu k&u tanyakan. Dia anak bapaknya."
Mengapa aku jadi begini lunak di tangan wanita* seorang i-ni " Seakan segumpal lempung yang bisa dibentuknya sesuka hatinya " Mengapa tak ada perlawanan dalam diriku " Bzflikan kehendak untuk bertahan pun tiada " Seakan ia tahu dan dapat menguasai .pedalaman diriku, dan memimpinku ke arah yang aku sendiri kehendaki "
Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai korridor digelari permadani. Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bekas. Jendela-jendela yang terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas nun jauh di sana. Sawah dan ladang dan hutan membentang sambungmenyambung. Serombongan kecil orang sedang menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang menunggu penghujung akhir musim kemarau.
Memang koran-koran mengabarkan panen besar tahun ini berlimpahan. Tak perlu mendatangkan beras bermutu rendah dari Siam, sekali pun sawah-sawah tersubur di Jawa Timur dan Tengah praktis hanya menghasilkan gula. Pertanda, kata salah seorang jurutinjau: Ratu Wilhelmina direstui Tuhan sebagai ratu termuda, pada usia sangat muda sebagai ratu.
Kami berdiri di depan ranjang. Nyai memperbaiki letak selimut Annelies. Buah dada dara itu nampak menjulang dari bawahnya. Dan Nyai mengalihkan tangan anaknya pada tanganku.
"Annelies sayang."
Dengan beratnya gadis itu membuka mata. Tak menoleh. Juga tak melihat. Mata, pandang berat itu disapukannya pada langit-langit,, kemudian tertutup lagi. "Minke, Nyo, Nak, jagalah buahhatiku ini," bisik Nyai. "Kalau kau sendiri sakit, sembuhlah sekarang juga. Bawa anakku sembuh bersamamu," suaranya terdengar seperti doa.
Ia pandangi aku dengan mata memohon dengan amat sangat. "Terserah padamu, Nak. Asal anakku bisa sembuh..... Kau
terpelajar. "Kau mengerti maksudku," ia menunduk seperti malu melihat padaku. Kedua belah tangannya memegangi lenganku. Mendadak ia berbalik, pergi keluar kamar.
Kugagapi tangan Annelies di bawah selimut. Dingin. Kudekatkan mulutku pada kupingnya dan kupanggil-panggil namanya, pelan. Ia tersenyum, tapi matanya tetap tertutup. Suhu badannya 46k terlalu tinggi. Dan kuketahui pada kala itu: buah palakia dalam kepalaku telah terpental keluar, tercerabut bersama akar dan semian, jatuh terpelanting entah di mana.
Begini dekat dara ini. Dengan cepatnya jantungku berdebar-an memompa darah panas ke seluruh badan dan mulai berkeringat.
"Kan kau tunggu-tunggu kedatangan Minke ""
Entah karena bayanganku, entah sesungguhnya demikian, aku lihat ia mengangguk lemah. Matanya tetap tertutup. Juga mulutnya.
"Rindu kau padanya, Ann " Tentu, kau rindu. Juga dia rindu padamu. Sungguh. Kalau saja kau tahu betapa dia ingin selalu ada didekatmu, Ann, menyuntingkan kau dalam hidupnya, seluruh dunia ini akan terasa jadi miliknya, karena kebahagiaan ini adalah kau sendiri. Buka matamu, Ann, karena Minke sudah ada di dekatmu." Terdengar keluhan Annelies. Matanya tetap tertutup. Juga bibirnya. ' " " Adakah gadis ini sudah tak mengenal suaraku lagi " Jadi kubelai wajahnya, pipinya, rambutnya. Ia menelengkan kepala dan mengeluh lagi. Akan matikah anak ini " Dara secantik ini " Aku peluk tubuhnya dan aku kecup bibirnya. Degiipan jantung dalam dadanya kudengar terlalu lambat. Jari-jarinya bergerak pelan, hampir tidak. "Ann, Annelies!" akhirnya aku berseru pada kupingnya. "Bangun, kau, Ann," dan aku guncang-guncangkan bahunya.
la membuka mata. Pasang bola yang memandang jauh itu tak melihat dan tak sampai pada mukaku.
"Tak kenal lagi kau padaku, Ann " Aku " Minke "" Ia tersenyum. Pandang matanya tetap melewati mukaku.
"Ann, Ann, jangan begini kau. Tak suka kau kalau Minke datang " Aku sudah datang. Atau aku harus pergi lagi meninggalkan kau " Ann, Annelies, Anneliesku!" Jangan-jangan gadis ini nanti mati dalam pelukanku. Berdiri aku sekarang di depan ranjang. Menyeka keringat dari dahi yang basah.
"Teruskan, Nyo," Nyai memberanikan dari pintu. "Ajak dia bicara terus. Memang itu yang dianjurkan Dokter Martinet."
Aku menoleh. Nyai sedang menutup pintu dari luar. Hatiku lega karena anjuran itu. Jelas Annelies tidak sedang menghadapi ajalnya. Ia hanya belum sadar akan dirinya. Sekarang aku duduk pada tepi ranjang. Ia masih juga membuka mata tanpa melihat. "Tidak bisa begini terus, Ann," kataku meyakinkan diri sendiri. Aku sisihkan selimutnya. Aku tarik kedua belah tangannya. Aku paksa ia duduk. Tapi badan itu begitu lemasnya, dan ia terjatuh ke atas bantal waktu kulepas. Aku lakukan berulang. Ia tak juga dapat duduk.
Apa harus kulakukan lagi "
Sekali lagi kukecup bibirnya. Tangannya mulai bergerak tak kentara, namun lebih banyak. Aku pindahkan lehernya pada lengan kiriku. Mulai lagi aku ajak bicara: "Kalau kau sakit begini, Ann, siapa bantu Mama " Tak ada. Jadi kau jangan sakit. Kau harus sehat. Biar bisa bekerja dan jalan-jalan denganku. Naik kuda, Ann, keliling kota Surabaya."
Aku perhatikan matanya yang memandang jauh dan dapat
kulihat mukaku sendiri kekelaman bola matanya. Tapi ia tetap tidak melihat aku. Aku kira tadinya bayangan mukaku tak ada pada mata itu.
Nyai Ontosoroh datang lagi membawa susu hangat dua gelas. Segelas diletakkannya di atas meja. Yang lain dibawanya padaku dan disugukannya pada bibirku agar segera kuminum.
"Habiskan, Nyo, Nak, Minke," aku minum sampai habis tandas. "Biar kau menjadi sehat dan kuat. Tak ada guna bagi siapa pun orang sakit dan lemah." Kemudian pada Annelies, "Bangun, Ann, Minke sudah ada di dekatmu. Siapa lagi kau tunggu "" Tanpa mengindahkan ada-tidaknya reaksi ia pergi lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula Dokter Martinet datang diantarkan Nyai. Kuletakkan kepala Annelies ke bantal untuk menyambutnya.
"Ini Minke, Tuan Dokter, yang menjaga Annelies hari ini," dan kami bersalaman.
Mata Nyai mengawasi kami sebentar kemudian meneruskan, "Maafkan, aku mesti turun."
"Jadi Tuan Minke ini, siswa H.B.S. " Bagus. Berbahagia seorang pemuda mendapatkan cinta mendalam dari dara secantik ini," katanya dalam Belanda yang terkulum.
"Baru kira-kira sejam lalu di sini, Tuan Dokter. Seperti ini juga keadaan Annelies waktu aku datang. Aku kuatir, Tuan....."
Lelaki berumur empatpuluhan itu tertawa lepas, bergeleng dan mengguncangkan bahuku.
"Tuan suka pada gadis ini " Jawab terus-terang." "Suka, Tuan Dokter."
"Tidak punya maksud mempermainkan, kan "" ia menetak-kan pandang padaku. "Mengapa mesti mempermainkan ""
"Mengapa " Karena siswa H.B.S. biasanya jadi pujaan para gadis. Selamanya begitu sejak sekolah itu berdiri. Juga di Betawi, juga di Semarang. Aku ulangi, Tuan Minke, Tuan tidak bermaksud mempermainkannya "" Melihat aku diam ia meneruskan, "Hanya satu yang dibutuhkan gadis ini: Tuan sendiri. Dia mempunyai semuanya, kecuali Tuan."
Aku menunduk. Kekacauan berkecamuk dalam dada. Memang tak ada maksudku mempermainkan Annelies. Juga tak pernah terniat untuk bersungguh-sungguh dengan seorang gadis. Sekarang Annelies menghendaki diriku seutuhnya untuk dirinya. Sungguh: aku sedang diuji oleh perbuatan sendiri. Dan pertimbangan batin yang memaksa aku mengiakan apa yang belum lagi kuyakini.
"Kan Tuan suka kalau dia sadarkan diri lagi "" "Tentu saja, Tuan, suka sekali, dan terimakasih banyak." "Dia akan sadar kembali. Memang terus-menerus kubius sampai Tuan datang. Jadi Tuan sebenarnya yang menyebabkan dia terlalu lama dibius. Tanpa ada Tuan dalam keadaan sadar dia akan menanggung kerusakan. Tanpa Tuan dengan biusan terlalu lama bisa rusak jantungnya. Semua kembali pada Tuan Tuan yang menyebabkan." "Maafkan."
"Memang Tuan yang dipilihnya untuk menerima risiko." Aku tak menyambut. Dan ia bicara terus. Kemudian: "Sebentar lagi dia akan sadar. Seperempat jam lagi kira-kira. Kalau sudah mulai agak sadar, mulailah Tuan bicara pada-v nya, yang manis-manis saja. Jangan ada kata keras atau kasar. \ Semua tergantung pada Tuan. Jangan kecewakan dia. Jangan |g dibikin hatinya jadi kecil." "Baik, Tuan Dokter." "Tuan naik dalam tahun pelajaran baru ini "" "Naik, Tuan."
"Selamat. Tuan tunggu terus dia sampai bebas dari pengaruh bius. Siapa nama keluarga Tuan kalau aku boleh bertanya ""
"Tak ada, Tuan."
Ia mendeham tanpa menelannya. Pandangnya menyeka wajahku. Sekilas saja. Kemudian ia pergi ke jendela, meiihat perladangan dan taman di samping rumah. "Mari Tuan kemari," undangnya tanpa menoleh. Dan' aku berdiri di sampingnya di belakang jendela. "Mengapa Tuan sembunyikan nama keluarga Tuan "" . "Memang tak punya." "Apa nama Kristen Tuan "" "Tak punya, Tuan."
"Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen" Kan Tuan tidak bermaksud mengatakan Pribumi "" " "Memang Pribumi, Tuan." Ia menoleh padaku. Suaranya menyelidik: "Bukan begitu adat Pribumi sekali pun jsudah di H.B.S. Tuan menyembunyikan sesuatu." "Tidak." " "
Agak lama ia berdiam diri. Barangkali sedang memantapkan hati sendiri. "-Satu pertanyaan lagi kalau Tuan tak ada keberatan. Sang-| gup kiranya Tuan tetap ramah dan tulus pada Annelies "r
"Tentu saja." "Untuk selama-lamanya "" "Mengapa, Tuan ""
"Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang yang mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa pelindung; tak tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan." Tentu dia berlebih-lebihan. Maka:
"Dia ada ibu yang memimpin, mendidik, menyayang."
"Hatikecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat ia menunggu datangnya ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya." "Hmm."
"Mama wanita bijaksana, Tuan."
"Tak ada yang dapat pungkiri. Tapi hatikecil Annelies tidak yakin. Boleh jadi dengan diam-diam ia menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini pembicaraan khusus antara Tuan dan aku saja. Yang lain tak perlu tahu. Tuan mengerti."
Agak lama ia berdiam diri. Mendadak: "Jadi Tuan mengerti."
"Kira-kira mengerti."
"Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. Dia mencintai Tuan. Terutama ini kukatakan karena pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kuketahui, kudengar, juga kubaca. Tuan telah mempelajari adab Eropa selama ini, tentu Tuan tahu perbedaan antara sikap pria Eropa dan pria Pribumi terhadap wanita. Kalau Tuan sama dengan pria Jawa pada umumnya, anak ini takkan berumur panjang. Terus-terang saja, Tuan, setidak-tidaknya dia bisa mati dalam keadaan hidup. Sekiranya, sekiranya, kataku, Tuan peristri dia, akan Tuan madu dia bakalnya ""
"Memperistrinya ""
"Ya, setidak-tidaknya, demikian impian gadis ini. Kan Tuan akan memperistrinya " Tuan sekarang di kias terakhir, kan ""
"Belum lagi terniat untuk melamar, Tuan."
"Kalau diperlukan aku sendiri yang akan bertindak sebagai pelamar Tuan demi keselamatan gadis ini."
Aku tak dapat bicara sesuatu.
"Jadi Tuan akan memperistri dia. Dan Tuan takkan memadunya," ia ulurkan tangan padaku untuk mengambil kepastian janji dari mulutku.
Aku jabat tangannya. Memang tak pernah terniat olehku untuk kelak beristri lebih dari seorang. Terngiang suara perempuan tua itu, Nenenda: setiap lelaki yang beristri lebih dari seorang pasti seorang penipu, dan menjadi penipu tanpa semau sendiri.
"Hati gadis ini terlalu lunak, terlalu lembut, tidak mampu menahan singgungan, harus selalu diemong, dijaga, dibelai, dilindungi. Kepribadiannya nampaknya telah terambil dari dirinya."
"Terambil ""
"Oleh orang yang terdekat dengannya." "Siapa itu, Tuan ""
"Tak tahulah aku. Tuan akan tahu sendiri. Paling tidak oleh keadaan sekelilingnya. Hatinya penuh dengan persoalan terpendam, gadis semuda ini, tak pernah dinyatakan. Maka dia hidup sebagai yatim-piatu. Dan merasa selalu tergantung. Merasa tidak pernah kukuh di tengah lingkungan sendiri. Dia membutuhkan seorang penunjang. Sebagai gadis yang tumbuh di tengah kekayaan dia tak menginsafi kekuatan kekayaan. Baginya kekayaan bukan apa-apa. Itu yang dapat kufahami dari keadaan anak ini. Tuan mendengar, kan ""
Dokter Martinet menarik monokel dari saku atas dan memasang pada matakanannya. Setelah melihat arloji ia tatap aku.
"Terimakasih atas kesungguhan Tuan. Lihat pemandangan yang tenang dan damai itu. Beruntung gadis ini hidup di tengah kemewahan dan kedamaian. Sekiranya duaduanya tak ada tak tahu aku apa akan jadinya."
Biji palakia dalam kepalaku diganti oleh biji lain lagi: duga-sangka tentang makna sesungguhnya dari ucapan dokter itu.
"Maaf. Aku bukan ahlijiwa. Sudah kucoba banyak bicara dengan ibunya wanita luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai wanita pun sudah suatu keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: sukses dalam segala usahanya yang membikin dia jadi seorang pribadi yang kuat, dan berani. Tetapi dia pun satu kegagalan besar dalam satu hal tertentu. Bisa dimengerti: setiap otodidak punya m kegagalan menyolok." Dokter Martinet tak meneruskan. Ia mengharap aku mencari sendiri makna ucapannya.
bumi manusia "Dia sudah mulai akan sadar, Annelies itu," katanya tiba-tiba. Ia menengok, meninggalkan aku dan mendekati pasiennya. Diperiksa desakan darah pada pergelangan, kemudian melambai padaku. "Ya, Tuan. Beberapa menit lagi dia akan menjadi Annelies sebagaimana Tuan kenal. Semoga dia akan sehat tak kurang suatu apa dengan kehadiran Tuan. Sejak detik ini, Tuan, gadis ini bukan pasienku, tapi pasien Tuan. Semua sudah kusampaikan pada Tuan secara pribadi. Selamat siang." Ia tinggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya dan hilang dari pemandangan. Sekarang datang kesempatan untuk merasa iba pada diri sendiri. Betapa! Pengalaman mengguncangkan yang silih-berganti menimpa diri pada hari-hari belakangan ini. Belum lagi yang masih harus kuhadapi: Annelies! Seniman besar, Minke, kata Jean Marais dulu, entah dia pelukis, entah apa, entah pemimpin, entah panglima perang, adalah karena hidupnya disarati dan dilandasi pengalaman-pe-ngalaman besar, intensif: perasaan, batin atau badan. Itu dikatakannya sehabis kuceritakan padanya riwayat hidup penyair Belanda Vondel dan Kloos. Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali semata; kebesarannya dibuat karena tiupan orang-orang mataduitan.
Jean Marais sendiri belum pernah tahu, tulisan-tulisanku sudah mulai diumumkan. Kalau kata-katanya benar, barangkali saja kelak aku bisa jadi pengarang besar. Seperti Hugo sebagaimana diharapkan Nyai. Atau pemimpin, atau penganjur bangsa seperti diharapkan keluarga de la Croix. Atau justru hanya jadi daging busuk seperti dikehendaki Robert Mellema (Kalau benar cerita Darsam), dan si Gendut. Kudengar Annelies mengeluh dan menggerakkan jari. Dia akan baik, takkan mati di bawah mataku. Aku menjauh dan duduk di kursi mengawasinya. Memang cantik gemilang biar pun dalam keadaan sakit: kulitnya lembut, hidung, alis, bibir, gigi, kuping, rambut..... semua. Dan aku menjadi ragu pada keterangan Dokter Martinet tentang pedalaman gadis secantik ini. Apa mungkin pedalamannya serapuh itu dalam selaputan tubuh secantik ini " Dan aku seorang luaran, seorang kenalan sahaja kini harus ikut bertanggungjawab hanya karena kecantikannya semata. Kecantikan kreol. Betapa membelit begini perjalanan hidupku. Akibat tingkah philogynikku sendiri.
"Mama!" sebut Annelies. Sekarang kakinya /nulai bergerak. "Ann!"
Ia membuka mata. Dan mata itu "masih juga memandang jauh. Dia pasienku sejak saat ini, kata Dokter Martinet. Kutahan tawa, mengerti bahwa maksudnya sekarang akulah dokter yang harus menyembuhkannya.
Kuambil susu dari meja. Kuangkat lehernya dengan lenganku dan kuminumkan sedikit pada mulutnya. Ia mulai mencicip dan berkecap. Betul, dia mulai akan sadar diri. Lebih banyak lagi kuminumkan. Ia mulai meneguk.
"Ann, Anneliesku, minum sampai habis," kataku dan kuminumkan lebih banyak. Ia meneguk dan meneguk.
Nyai masuk membawa makansiang untuk dua orang. "Mengapa mesti kerjakan sendiri, Ma ""
"Bukan begitu. Tak ada orang lain boleh masuk atau naik kemari. Jadi betul kata dokter dia sudah harus akan bangun sekarang."
"Hampir, Ma." "Ya, Minke, kata Tuan Dokter hanya kau yang harus merawatnya. Terserahlah padamu," ia keluar lagi.
Annelies membuka mata lagi dan mulai melihat padaku. "Apamu yang sakit, Ann ""
Ia tak menjawab, hanya memandang padaku jua. Kuletakkan kembali kepalanya ke bantal. Bentuk hidungnya yang indah itu menarik tanganku untuk membelainya. Ujung-ujung rambutnya berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan. Dan bulu matanya yang lengkung panjang membikin matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.
Kecantikan kreol yang sempurna, dalam keserasian bentuk seperti yang aku hadapi sekarang ini, di mana dapat ditemukan lagi di tempat lain di atas bumi manusia ini " Tuhan mencipta-kannya hanya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja. Aku takkan lepaskan kau, Ann, bagaimana pun keadaan pedalamanmu. Aku akan bersedia hadapi apa dan siapa pun.
"Pada hari ini, Ann," kataku padanya, "udara sangat indah. Memang lebih panas dari biasa, tapi nyaman, tak terlalu lembab."
Dara itu masih juga memandangi aku. Titik pusat pandangnya adalah puncak hidungku. Dia tetap belum juga bicara. Kedipan matanya begitu lambat. Namun kecantikannya tetap agung, lebih agung daripada segala perbuatan yang pernah dilakukan orang, lebih kaya daripada semua dan seluruh makna yang terkandung dalam perbendaharaan bahasa. Ia adalah karunia Allah tiada duanya, satu-satunya. Dan dia hanya untukku.
"Bangun dan sadar, kau. Puspita Surabaya! Apa kau tak tahu 1 Iskandar Zulkornain " Napoleon, pun akan berlutut memohon kasihmu " Bahwa untuk dapat menyentuh kulitmu mereka akan bersedia mengurbankan seluruh bangsa dan negerinya " Bangun, Puspitaku, karena kehidupan ini merugi tanpa kesaksianmu," dan tanpa setahuku telah kukecup bibirnya dalam keadaan sepenuh sadarku. Nafas panjang yang dihembuskannya memuputi mukaku. Kembali kupandangi dia. Bibirnya tersenyum. Juga matanya. Hanya belum bisa bicara. Maka aku terus juga mengobral kata, seperti Soleman dalam puji-pujiannya pada para perawan Israil: dagu, buahdada, pipi, betis, pandang mata, mata itu sendiri, leher, rambut, semua dan segala. Baru aku berhenti waktu terdengar:
"Mas!" "Ann, Anneliesku!" seruku memutuskan, "kau baik sekarang. Mari bangun. Mari berjalan. Mari, Dewi."
Ia mulai bergerak. Tangannya melambai. Dan aku sambut tangan itu. "Mari kugendong," dan aku gendong dia. Aku gendong. Ya, aku gendong. Dan aku tidak kuat. Badan apa ini, tak kuat menggendong dara! Ku t urunkan. Kakinya melangkah gemetar, badannya terhuyung. Aku papah. Persetan dengan kursi, meja, ranjang. Aku bawa dia ke jendela, tempat sebentar tadi aku berdiri di samping Dokter Martinet dan mengangkat aku jadi dokter. Pemandangan perladangngan yang luas terbentang di depan mata. Dan matari sudah mulai miring. "Lihat sana, Ann, sayup hutan itu membatasi pemandangan kita. Dan gununggemunung, dan langit, dan bumi. Kau lihat, Ann " Lihat betul "" Ia mengangguk. Angin keras meniup, menerjang dari alam luas, seperti dicorongi memasuki lubang jendela. Annelies menggigil"Dingin, Ann "" "Tidak."
"Lebih baik kau tidur lagi."
"Aku ingin di dekatmu begini. Lama sekali, dan kau tak juga datang." "Aku sudah datang, Ann."
"Jangan kendorkan peganganmu. Mas." "Kau kedinginan begini."
"Cukup hangat sekarang. Hutan di kejauhan sana nampak lain dari biasanya. Juga angin. Juga gunung-gunung itu. Juga burung-burung." '-Kau sudah sembuh, Ann. Kau sudah mulai sehat."
"Aku tak mau sakit. Aku tidak sakit. Hanya menunggu kedatanganmu." Sakitku sendiri juga hilang, Ann, kalau kau ingin tahu. Sesuatu menarik kepalaku untuk berpaling. Dan kulihat sekilas Nyai dan Dokter Martinet pada kiraian daun pintu. Mereka tak jadi masuk dan menutupnya kembali...........
13. TUAN DIREKTUR SEKOLAH MEMAAFKAN KETIDAK-hadiranku yang telah melewati batas sertifikat dokter. Salam dari Tuan Herbert de la Croix membikin lunak sikapnya. Dalam beberapa hari aku kejar ketinggalanku. Tak ada sesuatu kesulitan. Nenenda telah menanamkan kepercayaan pada diri: kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.
Aku ikuti nasihatnya, dan aku percaya pada kebenaran wejangannya. Tak pernah aku tertinggal dibandingkan dengan yang lain-lain, walau pun sesungguhnya aku tak banyak belajar seperti yang lain. Tapi sekarang ini memang aku belajar sungguh, mengejar ketinggalan.
Bendi dan kusirnya sekaligus telah dikhususkan oleh Mama untuk kepentinganku. Tak peduli siang atau malam. Dan dengan kendaraan itu setiap berangkat sekolah aku ambil May Marais, kuturunkan di sekolahnya di Simpang.
Semua sudah berubah. Terutama diriku sendiri. Sekarang aku merasa lebih berharga di tengah lalulintas Surabaya di atas bendiku yang mewah. Teman-teman sekolahku kelihatan juga berubah. Artinya: agak dan mungkin memang menjauhi aku. Aku anggap saja itu sebagai tanda penghormatan pada seorang yang telah merebut peningkatan nilai. Mungkin aku keliru menaksir diriku, maka harus kuanggap sebagai penilaian sementara. Nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan diriku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat. Ini pun dugaan sementara.
Aku rasai diriku bukan Minke yang dulu. Badan tetap, isi dan pengelihatan lain. Tak lagi aku suka bercanda. Merasa diri
lebih berbobot, lebih banyak bertimbang, sebaliknya teman-teman sekolah tetap kekanak-kanakan. Diri ini sekarang segan mengapung pada permukaan. Maunya terus juga tenggelam pada dasar persoalan dalam setiap percakapan dan perbincangan.
Lihat saja. Robert Suurhof tetap tak mau mendekati aku. la selalu menyingkir bila berpapasan. Dan gadis-gadis teman sekolah juga menvingkiri. seperti aku sumber sampar.
Beberapa kali Tuan Direktur Sekolah memanggil aku untuk mendapatkan penegasan adakah benar aku belum kawin, karena seorang murid yang telah kawin harus meninggalkan sekolah. Aku menduga tak lain dari Suurhof yang telah mengadu. Tak bisa lain. Hanya dia yang tahu asal-muasal perkara ini. Lama-kelamaan kuketahui juga. dugaanku tidak meleset. Ia telah menyebarkan omong-kosong, menghasut teman-teman sekolah dengan maksud agar menjauhi aku. (Jadi penilaianku tentang diri sendiri ternyata keliru!) Maka: pandang yang terarah padaku menjadi pandang orang-orang yang belum kukenal rasanya.
Semua berubah. Kini kelilingku di sekolah bukan lagi kecerahan. Sebaliknya: kesunyian yang memanggil-manggil renungan.
Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap Juffrouw Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda. Ia tetap masih tidak bersuami. Pada seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-totol coklat. Matanya yang coklatbening selalu kelap-kelip. Pada mula mengenal permunculannya ia dapat menimbulkan tawa. Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Kesan monyet putih betina hilang. Totol kulitnya lenyap. Perasaan hormat menggantikan. Dan inilah kata-katanya waktu untuk pertama kali turun dari Nederland memasuki ruangan kias:
"Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya. Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda. Acungkan tangan barangsiapa tidak suka pada sastra."
Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan antipati.
"Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa H.B.S., paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa " Ya, sungguh hebat."
Tak ada yang tertawa dan mentertawakan. Sunyi-senyap. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat Nederland. Aku dilahirkan dan dibesarkan disana. Jadi aku tahu, setiap orang Belanda mencintai dan membacai karyasastra Belanda. Orang mencintai dan menghormati karyatulis van Gogh, Rembrandt, para pelukis besar kita dan dunia. Mereka yang tidak mencintai dan menghormati dan tidak belajar mencintai dan menghormati dianggap sebagai Belanda yang kurang adab. Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Siapa tidak mengerti mengacung."
Untuk tidak dianggap sebagai Belanda kurang adab sejak itu orang merasa harus memperhatikan setiap ucapannya. Dia telah menggenggam para murid itu dalam tangannya.
Dan sikap Juffrouw Magda Peters tidak berubah terhadap diriku. Pasti ia telah menangkap juga sassus Robert Suurhof.
Lembah Nirmala 21 Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Naga Sakti Sungai Kuning 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama