Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 6
"Jangan. Jangan. Tuan," ia tersipu. "Dan kau, Mt..ke, apa saja kau ceritakan di luar sana tentang diriku ""
"Tak ada yang buruk, Mevrouw. Semua pujian semata." Melihat kebingungan Nyai buru-buru aku bilang: "Sekarang ini Mama belum lagi suka. Mungkin lain kali." "Lain kali juga tidak."
"Dia sahabatku, Mama." "Kalau begitu sahabatku juga."
Sekarang Jean Marais, yang-sejak semula memang berperasaan peka, mungkin karena cacadnya, kelihatan gelisah dan i-ngin segera pergi. Matanya gugup mencari anaknya, yang hanya kedengaran suaranya, menyanyi di kejauhan.
"Dia ada di dalam, Tuan," kata Nyai. "Mari masuk."
Kami masuk. Makin jelas nyanyi riang May bersama Annelies. Dan Nyai kelihatan gembira mendengarnya. Sejak aku di Wonokromo tak pernah ia terdengar nyanyi. Nampaknya ia kembali jadi kanak-kanak masa yang terlalu pendek baginya, direnggutkan oleh tanggungjawab dan kerja itu.
Jean termenung-menung tanpa kata.
"Tuan Marais," kata Mama setelah kami duduk di ruangde-pan tanpa ada yang bicara. "Anak Tuan ternyata membawa udara segar di rumah ini. Bagaimana kiranya kalau dia sering kemari seperti anjuran Dokter Martinet tadi ""
"Kalau anaknya suka, tentu tak ada halangan," suaranya murung seakan takut kehilangan.
"Minke, Nyo, undanglah Tuan Marais menginap." "Bagaimana Jean, kau suka ""
Untuk kesekian kalinya aku lihat betapa kikuk seniman pencipta keindahan ini. Ia tak dapat menjawab soal yang begitu sederhananya. Ia pandangi aku, putus akal. "Ya, Jean, sebaiknya kau menginap. Besok, pagi-pagi, aku antarkan kau agar bengkel tidak terlambat buka."
Ia mengangguk menyetujui, lupa mengucapkan terimakasih atas undangan yang ramah ku.
Pada malamhari sewaktu tidur seranjang denganku aku bertanya padanya, mencobacoba cara bicara Dokter Martinet:
"Jean, nampaknya kau selalu lesu. Apa masih juga meratapi masalalumu " Maafkan." "Itu pertanyaan seorang pengarang, Minke. Sungguh kau sudah pengarang seratus persen."
"Bukan begitu, Jean. Maafkan. Aku jauh, jauh lebih muda memang, juga jauh kurang pengalaman dan pengetahuan. Mau kau menjawab, Jean ""
"Itu sangat pribadi. Lagi pula akan kututup dengan selesainya lukisan dulu itu. Kau hendak menulis tentang aku ""
"Sungguh kau seorang pribadi yang menarik. Ya, kalau tidak gagal. Apa sesungguhnya kau inginkan, Jean ""
"Inginkan " Ah, kau! Kau seniman. Aku seniman. Setiap seniman menginginkan, mengimpikan puncak sukses. Sukses! Dan mengumpulkan tenaga, Minke, hanya untuk mempertahankan suksesnya sukses yang menganiaya itu." "Tapi suaramu begitu murung seakan kau tak percaya pada datangnya sukses itu." "Pertanyaan itu kau sudah seniman sesungguhnya. Aku harap pertanyaan itu lahir dari pergulatan batinmu sendiri, hasil kerjamu sendiri selama ini. Itu sungguh bukan pertanyaan orang seumur kau. Pertanyaan yang mengandung otoritas. Kau percaya itu pertanyaanmu sendiri ""
Aku tertegun. Bertanya seluwes mungkin: "Apa maksudmu dengan otoritas ""
"Secara pendek: orang yang mengerti benar pertanyaannya sendiri." Jelas ia belum mengantuk. Dan jelas usahaku gagal. Lebih lagi karena ia tak mau meneruskan.
Dan malam itu aku tenggelam dalam begitu banyak soal, membikin aku merasa harus mengucapkan selamat tinggal pada masa remajaku yang indah gilanggemilang penuh kemenangan. Ya, biar pun untuk orang lain mungkin tidak berarti. Semua yang telah kucatat yang memberi hak padaku untuk menamai kemenangan. Dan di antara kemenangan-kemenangan itu, yang terbesar, cinta Annelies. Sekali pun, ya, sekali pun ia tak lain daripada boneka rapuh.
Hanya bunyi pendule mengisi kesenyapan malam. Teringat olehku satu kalimat Dokter Martinet:
"Sapi-sapi perah Nyai dalam mempersiapkan diri jadi sapi perah; sapi penuh, sapi dewasa, membutuhkan waktu hanya tiga sampai empatbelas bulan. Bulan! Manusia membutuhkan belasan, malah puluhan tahun, untuk jadi dewasa, manusia dalam puncak nilai dan kemampuannya. Ada yang tidak pernah jadi dewasa memang, hidup hanya dari pemberian seseorang atau masyarakatnya: orang-orang gila dan kriminil*. Mantap-tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung pada besar-kecilnya dan ba-nyak-sedikitnya ujian. Yang selalu lari dari ujian, cobaan si kriminil dan si gila itu tidak pernah dewasa. Dan sapi hanya tiga atau empatbelas bulan persiapan tanpa cobaan, tanpa ujian....."
Ya Allah, sesungguhnya sudah terlalu besar cobaan dan ujian yang Kau berikan padaku, pada umurku yang semuda ini. Keadaan telah membikin aku terlalu cepat disarati soal-soal yang semestinya belum jadi perkaraku. Beri aku kekuatan pada setiap percobaan dan ujian yang Kau sendiri hadapkan padaku sebagaimana Kau lakukan terhadap orang-orang sebelum aku..... Aku bukan gila. Juga bukan kriminil. Dan tak bakal!
16. PAGI HARI ITU LANGIT TAK BERMENDUNG. MINGGU cerah. Hatiku sendiri yang tidak ikut cerah. Mega-mendung yang tiba-tiba muncul dan bergerak cepat melintasi antariksa dalam dada, memberitakan akan datangnya badai. Kemarin waktu berkuda (aku sudah pandai berkuda!) dengan Annelies sabtu sore tanpa diskusi-sekolah sekilas nampak olehku si Gendut. Sejak itu hatiku kembali jadi resah.
Ia nampak sedang berkendara kuda murahan kemudian meninggalkan kampung dalam wilayah perusahaan. Pada malam-hari waktu Darsam datang ke kamarku untuk belajar baca-tulis dan berhitung, aku menolak mengajar. Aku ceritakan padanya tentang adanya orang gendut yang mencurigakan, pernah mengikuti aku sejak kota B. (Ya, tiba-tiba aku jadi ingat: memang dia membeli karcis di loket stasiun B. tepat setelah aku. Juga teringat: dia datang lebih dulu, bersandaran pada tiang perron dan bicara dengan seseorang).
Apa dia sipit. Tuanmuda " Darsam bertanya. Agak... aku membenarkan.
Ya, memang sudah beberapa kali kelihatan di kampung. Darsam meneruskan dan mengira dia mindring biasa.
Kalau mindring tentu berkuncir. Dia tidak, kataku, mungkin suruhan Robert. Darsam tak menjawab.
Di mana Robert sekarang " Tak pernah dia nampak sejak aku dari B. Tak mungkin dia berani pulang. Masih ingat ceritaku dulu, Tuanmuda " Dia diperintahkan membunuh Tuanmuda " Dan aku bilang padanya : Majikanku Nyai dan Noni; orang yang mereka sukai aku sukai; kalau Sinyo menghendaki terbunuhnya Tuanmuda, sebaiknya Sinyo sendiri yang kutebang; kau bukan kau bukan majikanku; awas! aku cabut parang, dan dia lari......
Begitulah kemarin. Munculnya si Gendut menggelapi hati. Dan matari pagi tak kuasa mengusir mega-mendung yang bergumpalan dalam antariksa hati. Jadi kau sudah pernah lihat si Gendut " tanyaku pada Darsam semalam. Sekiranya kau bertemu lagi apa akan kau perbuat ",
Kalau benar tangan-tangan Sinyo Robert, dia akan berkalang tanah. Husy, jangan sembarangan, kataku menegah. Tak boleh. Kalau terjadi, semua akan mengalami celaka. Tidak boleh, Darsam, tidak boleh. Mengerti " Tidak boleh, Tuanmuda, baik, tidak boleh. Hanya akan kuhajar dia sampai patahpatah, biar tak bisa bikin apa-apa dalam sisa hidupnya.
Jangan, kita belum tahu benar duduk-perkaranya. Kalau sampai berurusan dengan polisi, siapa akan bantu Mama " Aku tak bisa. Tak sanggup.
Dan Darsam terdiam. Kemudian ia bicara pelahan dan ragu: Baik, akan kudengarkan Tuanmuda.
Betul, kataku, kau harus dengarkan. Aku tak mau jadi biangkeladi kecelakaan bagi keluarga ini. Dan.......tetap tak boleh ada yang tahu.
Dan pagi ini Darsam kulihat berjalan gelisah ke sana-sini. Ia memperlihatkan diri dengan sengaja agar setiap saat dapat aku panggil bila kuperlukan. Aku tahu: dia sedang menjaga nyawaku dari kemungkinan si Gendut.
Kami bertiga, Mama, Annelies dan aku, duduk-duduk di depan rumah mendengarkan tsardas. Nada-nada itu berlompatan seperti sekelompok udang kali waktu banjir. Hatiku tetap ber-mega-mendung. Ada sesuatu firasat memang: sesuatu akan terjadi.
Kuperhatikan Annelies dan Mama berganti-ganti. Sebaliknya Mama mencurigai gerak-gerik Darsam yang diluar kebiasaan.
"Mama nampak tak tenteram," kataku.
"Selamanya begitu. Kalau Darsam sudah mondar-mandir seperti tikus dapur begitu hati ini jadi gelisah. Ada saja yang akan terjadi. Memang sudah sejak semalam aku gelisah. Darsam!"
Dan Darsam datang, berdiri memberi tabik.
"Mengapa mondar-mandir begitu "" tanya Mama dalam Madura. "Kaki ini gatal saja mau bergerak sendiri, Nyai."
"Mengapa tak gatal kaki di belakang sana "" "Bagaimana, Nyai. maunya si kaki ini ke depan juga."
"Baik. Tapi tampang kelihatan begitu seram. Bengis. Matamu membelalak haus darah."
Darsam tertawa bahak dibuat-buat dan pergi setelah memberi tabik dengan mengangkat tangan. Kumisnya masih berayun-ayun seperti ia sedang mengucapkan japa-mantra. Matanya memang membelalak pagi ini seakan kupingnya sedang menangkap suara-suara gaib dari langit.
"Mengapa diam saja, Ann "" tanyaku.
"Tak apa-apa," ia bangkit berdiri dan berjalan ke phono-graf. mematikannya. "Mengapa dimatikan "" Mama bertanya.
"Tak tahulah. Ma, rasanya bising benar musik hari ini." "Barangkali Minke masih suka mendengarkan."
"Biarlah. Ma. Ann, kau masih ingat orang yang naik kuda Kemarin "" "Yang berpakaian piyama loreng-coklat "" Aku mengangguk. "Siapa V "Siapa naik kuda " Di mana "" tanya Mama gopoh.
"Di kampung, Ma," Annelies menerangkan.
"Selama ini tak pernah ada orang datang naik kuda di kampung. Kecuali anak Mbok Karyo, opas jaga pada B.P.M."
"Bukan dia, Ma. Lagi pula dia tak pernah berpiyama kalau pulang berkuda, menjenguk orangtua. Orang yang ini gendut, kulitnya langsat cerah, agak sipit memang."
"Darsam!" panggil Mama.
"Nah, Nyai, itu perlunya gatal kaki." Dan Mama tak menanggapi kelakarnya:
"Siapa si gendut yang kemarin naik kuda di kampung "" "Mindring biasa, Nyai."
"Omongkosong. Mana ada mindring naik kuda. Tingkahmu juga aneh hari ini. Biar bisa sewa, naik tidak bisa. Apa dia berkuncir ""
Darsam, lain dari biasa, untuk kedua kali tertawa bahak penutup sesuatu yang ada dalam hati. Kemudian:
"Mulai kapan Nyai tidak percaya sama Darsam "" ia seka kumisnya dengan punggung lengan.
"Darsam! Hari ini kau sungguh aneh."
Dan pendekar Madura itu tertawa lagi, memberi tabik dan pergi tanpa meninggalkan kata.
"Dia menyembunyikan sesuatu!" Mama berkomat-kamit. "Hati semakin jadi tak enak begini. Mari masuk saja."
Ia tak jadi membaca, berdiri, dan menuiu ke rumah. "Mas, Darsam, juga Mama sendiri, jadi begitu aneh. Mengapa " "Mana aku tahu " Mari masuk."
Annelies masuk. Aku masih juga berdiri, mencari-cari dengan mataku. Dan nampak olehku Darsam lari dengan parang telanjang di tangan kanan menuju ke pintu gerbang. Di sana sekilas nampak olehku si Gendut sedang berjalan ke jurusan Surabaya. Ia berpakaian setelan kuning gading, bertopi putih, bersepatu putih dan bertongkat, seperti seorang pelancong. Dugaanku dulu, dia dapat juga seorang punggawa Majoor der Chinee-zen, sudah lama tak berlaku lagi." Melihat Darsam dengan sendirinya aku terpekik:
"Jangan, Darsam! Jangannnnnn!" dan aku lari mengejarnya.
Dan Darsam tak dengarkan aku. Ia lari terus mengejar si Gendut. Tak bisa lain, aku pun lari terus mengejar Darsam untuk mencegahnya. Tak boleh terjadi sesuatu. Dan Darsam terus saja mengejar si Gendut. Dan aku pun lari terus mengejar pendekar itu sambil berseru-seru mencegah ~ sekuat tenagaku.
Dari belakang kudengar pekikan Annelies: "Mas! Mas!"
Aku menengok sekilas. Annelies lari mengejar aku.
Nampaknya si Gendut tahu sedang dikejar. Ia lari tunggang-langgang menyelamatkan dagingnya yang berlebihan itu dari parang sang pendekar. Antara sebentar ia menengok ke belakang.
"Ndut! Ndut! brenti kau!" pekiknya parau. Si Gendut membungkuk mempercepat larinya.
"Darsam! Pulang! Jangan teruskaaaaaan!" teriakku.
"Mas, Mas, jangan ikuuuuut," pekik Annelies dari belakangku, melengking kuat. Aku telah sampai di pintu gerbang. Gendut lari paling depan, lurus menuju ke Surabaya. Darsam semakin mendekati.
"Anneliesssss! Aaaaaan! Anneliesssss! Kembaliiiii!" terdengar pekik Nyai. Waktu menoleh sekilas kulihat Mama lari mengejar anaknya dengan kainnya diangkat tinggi-tinggi. Kondainya lepas terburai. Gendut lari menyelamatkan diri. Darsam lari mengejar Gendut. Aku lari mengejar Darsam. Annelies mengejar aku. Dan Nyai mengejar anaknya.
"Darsam! Dengarkan aku. Jangan!"
Dan ia tak peduli. Lari dan terus lari. Sebentar si Gendut pasti tersusul dan akan kehilangan kepalanya. Tidak! Itu tak boleh
"Mas! Mas! Jangan ikut-ikutan!" pekik Annelies. "Ann. Anneliessss. pulangggggg!" pekik Mama.
Dan sekiranya Gendut lari terus ke jurusan Surabaya ia pasti mati. Jalanan itu sunyi di hari Minggu, dan sawah, sawah belaka, rumah plesiran atau suhian Ah Tjong, dan sawah Nyai, sawah dan ladang, dan sawah, dan baru kemudian hutan. Rupanya ia mengenal" medan. Satu-satunya kemungkinan: membelok masuk ke pelataran Ah Tjong. Ia lakukan itu. Hilang dari pc-ngelihatanku.
"Jangan belok!" perintah Darsam pada calon kurbannya. "Darsam! Alaaa Darsam!" pekikku.
Kemudian pendekar itu pun membelok dan lenyap. "Jangan masuk ke situ!" teriak Nyai sayup. "Jangan masuk ke situ!" pekik Annelies meneruskan.
Dan sekarang aku juga membelok masuk ke pelataran Ah Tjong. Si Gendut tak kelihatan. Hanya Darsam yang nampak I berdiri ragu. tak tahu apa harus diperbuat. Pintu dan jendela depan rumah tertutup seperti biasa. Darsam yang kususul terengah-engah. Nafasku sendiri sengal-sengal.
"Bajingan itu menghilang entah ke mana, Tuanmuda." "Sudah, mari pulang. Jangan teruskan."
"Tidak bisa. Dia harus dikasih pelajaran."
Tak dapat dicegah. Ia berjalan melalui deretan jendela samping rumah. "Mas! Jangan masuki rumah itu!" pekik Annelies dari gerbang tetangganya. "Mama larang." Tapi ia sendiri sudah memasuki pelataran depan dengan sempoyongan. Darsam melihat kekiri-kanan. Kutarik-tarik dia agar kembali. Dan ia tak menggubris. Parang telanjang tak juga disarungkan. Akhirnya aku pun ikut bermata jalang. Ternyata gedung Babah Ah Tjong, tetangga itu. lebih besar dan panjang daripada yang nampak dari luar. Di belakang masih ada pavilyun panjang. Hampir seluruh tanah yang mengitari adalah taman dengan pepohonan buah dan bunga-bungaan. Semua terawat baik. Jalanan kecil berlapis batu kali belah meretas-retas seluruh taman. Di mana-mana kelihatan bangku kayu. tebal, dan nampak berat, dicat hitam. Sekilas kulihat sepasang orang. Mereka tak melihat kamiPemandangan demikian tak pernah nampak dari luar tertutup pagar hidup tinggi, tebal, bersap-sap. Darsam membelok ke kanan, melingkari belakang rumah utama. Tak ada nampak orang di dekat-dekat. Sebuah pintu be; lakang terbuka lebar. Di belakangku, Annelies sudah melewati
deretan jendela samping rumah. Sekarang seruan Nyai semakin terdengar jelas: "Jangan, jangan masuki rumah itu!"
Dan tanpa ragu Darsam masuk melalui pintu belakang, la berhenti, menengok ke kiri-kanan, dengan parang telanjang tetap di tangan.
Dan aku pun ikut masuk ke dalam.
Sebuah ruangan cukup luas, ruangmakan, terbentang di hadapanku, lengkap dengan perabot: meja-kursi. bupet dengan barang pecahbelah di dalam. Sebuah kalligrafi Tionghoa pada cermin bergelantungan menghiasi dinding. Beberapa pikar* kertas juga bergelantungan dengan lukisan aquarel udang, bambu dan kuda. Tiba-tiba Darsam terkejut, terpakukan pada lantai. Kedua belah lengannya terkembang mc/iahan aku agar tak maju lebih ke depan. Aku tetap mendekati. Apa " Sesosok tubuh seorang lelaki Eropa tergeletak di pojok ruangmakan. Badannya panjang dan besar, gemuk, gendut. Rambutnya yang pirang telah bersulam uban dan agak botak. Tangan-kanannya terangkat di atas kepala. Tangan kiri tergeletak di atas dada. Leher dan tengkuknya berkubang dalam muntahan kekuning-kuningan. Bau minuman keras memadati ruangan . Kemeja dan celananya kotor, seperti telah sebulan tak pernah dicuci.
"Tuan!" bisik Darsam. "Tuan Mellema ""
Mendengar nama itu disebut aku bergidik, dan bergidik lagi mendekati orang seperawakan dengannya, lebih tambun daripada yang pernah kulihat, tergeletak seperti topo di pojok. Tubuh itu mungkin dalam keadaan mabuk luarbiasa atau tertidur setelah muntah.
Darsam mendekat, berjongkok dan meraba-rabanya dengan tangan kiri. Pada tangan-kanannya parang telanjang itu masih tetap siaga. Tubuh itu tetap tak bergerak. Darsam menggoyang-kannya, kemudian merabai dadanya. Aku menghampiri. Memang Tuan Mellema.
"Mati!" desis pendekar itu. Baru ia menoleh padaku, mene-ruskan desisnya, "Mati. Tuan Mellema mati." Dan keseraman Pada wajahnya sekaligus hilang.
Annelies muncul di pintu, berseru parau, kehabisan suara, tersengal-sengal;
"Mas, jangan masuki rumah ini."
Aku keluar, turun, dan menariknya pada bahunya. Mama datang, juga megapmegap. Mukanya kemerahan dan rambutnya kacau teburai ke mana-mana, pada kuping, muka, leher dan punggung. Ia bermandi keringat .
"Ayoh pulang! Semua! Jangan masuki rumah terkutuk ini,* bisiknya megap-megap. "Tuanmuda!" panggil Darsam dari dalam.
"Jangan masuk!" sekarang aku yang melarang Annelies dan Mama. Dan aku masuk. Darsam sedang menggoncang-goncangkan tubuh Tuan Mellema. Parang telanjang itu masih juga pada tangan-kanannya.
"Memang sudah mati," katanya, "tak ada nafas. Darahnya sudah berhenti." Annelies dan Mama ternyata sudah ada di belakangku.
"Papa "" bisik Annelies.
"Ya, Ann, Papamu." "Tuan "" bisik Nyai.
"Mati, Nyai, Noni, Tuan Mellema mati."
Dua wanita itu melangkah lebih maju, kemudian berdiri termangu. "Bau minuman keras itu!" bisik Nyai.
"Ma "Ann. perhatikan bau minuman keras itu," bisik Nyai lagi tanpa maju lebih jauh. "masih teringat olehmu ""
"Seperti pada Robert, Ma ""
"Ya, waktu mulai jadi sinting juga," sambung Nyai, "juga seperti pertama kali Tuan jadi begitu. Jangan mendekat. Ann. jangan."
Mendadak semua mengangkat pandang mendengar suara langkah seorang wanita. Dan mereka melihat seorang perempuan berkimono kuning berkembang besar-besar merah dan hitam. Kulitnya lebih banyak putih daripada kuning: wanita Jepang. Langkahnya pendek-pendek dan cepat menuju ke arah kami. Kemudian ia bicara pada kami dalam Jepang dengan suara bening dan mengikat. Kami tiada mengerti. Sebagai jawaban aku menuding pada mayat yang menggeletak di pojok ruangmakan. Ia menggeleng dan bergidik, balik Kanan, lari dengan langkah pendek-pendek, lebih cepat, masuk dalam melalui korridor.
Kami mengikuti dengan pandang terheran-heran. Itulah untuk pertama kali aku melihat perempuan Jepang. Mukanya ) bundar, mata sipit, bibir bergincu merah dadu, bergigi mas sebuah, rasa-rasanya takkan bisa terlupakan seumur hidup. Tak lama kemudian dari korridor yang sama muncul sesosok tubuh lelaki jangkung, seorang Indo, kurus bermata cekung. "Mama," bisik Annelies, "Robert, Ma."
Baru aku mengenal kembali pemuda gagah itu kini telah berubah begitu mengagetkan. Memang Robert.
Mendengar nama Robert disebut Darsam terlonjak dari jongkoknya, lupa pada mayat Tuan Mellema.
"Nyo!" pekik Darsam.
Robert berhenti seketika. Matanya membelalak. Begitu mengenali Darsam dengan parang di tangan cepat ia berbalik dan lari. Darsam mengejar.
Annelies, Nyai dan aku terpakukan pada lantai. Terpukau. Sekilas dalam bayanganku nampak Robert tergeletak bermandi darah, mengangakan luka bacok. Tapi tidak! Darsam datang lagi, menyeka kumis dengan lengan. Wajahnya ganas. "Dia lari. Nyai. Masuk ke kamar, lompat keluar jendela. Entah ke mana." "Sudah, Darsam, sudah," baru Nyai bisa bicara. "Jangan teruskan gila-gilaan seperti itu. Dia anakku," suaranya gemetar. "Urus tuanmu itu."
"Baik, Nyai." Annelies memegangi lengan ibunya kukuh-kukuh.
"Begitu," desis Nyai menahan murka. "Tak ada yang beres jadinya. Kau pulang, Ann. Apa aku bilang " Jangan masuk ke sini, rumah maksiat terkutuk ini. Angkat bawa pulang tuanmu itu, Darsam."
"Pinjamkan kereta sini," perintahku pada Darsam.
Baru pendekar itu memasukkan parang ke dalam sarungnya dan pergi keluar. Kini Nyai nampak tegar memandangi mayat tuannya, sedang Annelies dengan sendirinya menyembunyikan muka pada dada ibunya.
"Diurus baik-baik tidak mau. Lebih suka diurus tetangga. Ah Tjong! Ah Tjong!" Nyai berseru. "Ah Tjong! Babah!" dan yang dipanggil tak kunjung muncul. Darsam masuk lagi. Menggerutu:
"Penjaga kurangajar itu tak mau pinjamkan tanpa ijin." "Di mana Babah ""
"Tak ada di sini, katanya."
"Ambilkan kereta sendiri." 4 "Biar aku yang pergi," kataku. "Tunggu kalian berdua di sini," kata Nyai. "Biar aku
yang pulang. Ayah pulang. Ann!" dan ditariknya anaknya.
Dua perempuan itu bergandengan tangan, pimpin-memim-pin. meninggalkan rumahplesiran Ah Tjong melalui pintu belakang. Mereka tak indahkan mayat Mellema yang terkapar menganga.
Pada waktu itu dapat kusaksikan betapa Nyai telah patah arang dengan tuannva.
Menjamah pun ia tak sudi, biar pun mayat itu adalah ayah anak-anaknya sendiri. Betapa dia tak dapat memaafkan.
"Dimulai dengan baik. Tuanmuda, ditutup dengan begini menjijikkan." gerutu Darsam. "Yang diburu luput, yang didapat keparat."
Baru kemudian terdengar keributan dalam kamar-kamar. Dan tak lama setelah itu terdengar perempuan-perempuan berlarian.
"Sundal-sundal Babah Ah Tjong," desis Darsam. "Lima tahun Tuan bersarang di sini. mati di sini juga. Mati di sarang sundal. Uh, Tuan. Tuan Mellema! Lima tahun Nyai menahan geram. Sampai matinya dia tak mau peduli. Manusia sampah!" Darsam meludah ke lantai.
"Dan Robert juga di sini."
"Di bawah satu atap, dengan sundal-sundal sama. Manusia keparat!" "Mama mesti biayai semua ini ""
"Setiap bulan rekening datang."
"Jangan ganggu mayat itu," tegahku, terlambat.
Sebuah kereta datang. Bukan Annelies, bukan Mama. pat orang agen polisi dan komendannya, seorang Indo. Mereka melakukan pemeriksaan. Seorang mencatat segala apa yang dikatakan komendannya.
"Sudah berubah letaknya ini "" tanya komendan dalam Melayu. "Sedikit. Tadi kugoyang," jawab Darsam dalam Madura. "Mana pemilik rumah ""
"Tak ada." "Siapa tinggal di sini "" ia mengeluarkan arloji saku, hatnya sebentar, kemudian memasukkan kembali.
Tak seorang pun di antara para penghuni menampakkan dii* "Siapa yang mula-mula lihat ""
Darsam mendeham sebagai jawaban.
"Bagaimana ceritanya maka seisi rumah Boerderij bisa 0 tang ke sini "" tanyanya dalam Madura.
Jantungku berdebaran kencang. Tak urung akhirnya jatU adi perkara kepolisian juga. Dan semua akan terlibat dalam kesulitan. . ' . uAku sedang cari si Gendut.
"Siapa si Gendut ""
"Orang yang mencurigakan. Dia lari, aku buru dan menghilang di sini," Darsam menerangkan.
"Kau memasuki rumah orang. Dengan ijin ""
"Tak ada orang waktu kami datang. Semua orang bisa juga masuk ke sini tanpa ijin.
Ini rumahplesiran." "Tapi kalian bukan untuk berplesir datang kemari."
"Tadi sudah dibilang," Darsam mulai tersinggung, "datang mengejar si Gendut. Barangkali orang plesiran sini."
Komendan itu tertawa mengejek. Dan agen-agen lain mengangkat mayat. Tak kuat. Darsam ikut membantu, hanya untuk menghindari pertanyaan.
"Baik. Siapa nama kalian ""
Juga Darsam, juga aku, diangkut bersama mayat dalam kereta Gubermen. Pengusutan lebih mendalam dilakukan atas diri kami. Dan......uh, akhirnya Ayahanda akan membaca juga nama putranya, anak terpandai dalam keluarga, anak kebanggaan, tersangkut dalam perkara, dan perkara kotor di rumah plesiran pula seperti sudah dirasakannya akan terjadi.
Pada hari itu juga didapatkan kepastian: Tuan Mellema mati karena keracunan. Muntahan dan kerusakan pada selaput lendir mulut dan tenggorokan menunjukkan adanya kenyatan itu. Menurut penyelidikan Dokter Martinet yang dipanggil untuk memberikan visum, peracunan telah terjadi lama dalam dosis rendah, sehingga kurban menjadi terbiasa karenanya. Pada hari kematiannya mendiang telah mendapat dosis kelewatan dua sampai tiga kali biasa.
Dan benar saja: berita mulai tersiar di harian-harian: matinya salah seorang hartawan terkaya Surabaya, pemilik Boerderij Buitenzorg, Tuan Mellma; mati di rumahplesiran Babah Ah Tjong di Wonokromo; mati dalam muntahan minuman keras beracun! Dan nama kami disebutkan berulang kali.
Juruwarta berdatangan ke tempat kami: Pribumi, Tionghoa, Indo dan Totok. Mama dan Annelies tak memberi jawaban, aku yang melarang mereka membuka mulut. Dan di jalanan sana orang pada menonton rumah kami. Ya, kami mulai jadi tontonan.
Tak ada di antara kami ditahan. Kesempatan itu kuperguna-kan untuk menulis lapuran yang lebih benar tentang kejadian tsb., diumumkan oleh S. N. v/d D. Di kemudianhari kuketahui: lapuran-lapuranku membikin tiras harian tersebut meningkat. Kota-kota lain minta juga koran Surabaya itu, karena dianggap sebagai sumber terpercaya. Matinya seorang hartawan tidak wajar selalu menimbulkan banyak duga-sangka.
Cuti seminggu dari sekolah kupergunakan untuk menulis, membantah berita-berita tak benar dan bersirat* namun muncul tulisan dan berita lain, yang katanya berasal dari pihak kepolisian: polisi mengadakan penjejakan dan pengejaran terhadap si Gendut dan Robert Mellema. sulung keluarga Mellema, diduga keras melakukan persekongkolan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri.
Siapa si Gendut " suatu kali harian Melayu-Tiongho mengumumkan. Di dalamnya disebut kemungkinan Sinkeh yang bani masuk ke Jawa secara gelap, boleh jadi anggota dari apa yang menamakan diri Angkatan Muda Tiongkok, bermaksud hendak merubuhkan kekaisaran. Salah satu ciri: tidak berkuncir! Sedang si Gendut memang tidak berkuncir. Boleh jadi dia datang ke Jawa karena di uber-uber polisi Inggris di Hongkong atau Singapura. Sekarang membikin onar Surabaya. Tindakan tegas seyogyanya di lakukan terhadap pendatang gelap, apalagi si tanpa kuncir, yang jelas punya maksud jahat.
Dugaan yang di dasarkan pada isapan jempol! jawabku terhadap koran Melayu- Tionghoa tersebut. Dia memang sipit, agak sipit ~ itu bukan ciri khas Tionghoa satusatunya. Dia tak berkuncir juga tak mesti dapat ditafsirkan sebagai Angkatan Muda Tiongkok.
Akibat tulisan itu: polisi mengusut S.N. v/d D. tentang si Gendut. Maarten Nijman menolak memberikan keterangan. Juga karena ia sendiri memang tak tahu duduk perkara. Untuk itulah ia masuk ke sekapan selama tiga harmal.
Miriam dan Sarah de la Croix menyatakan sympati keluarga mereka padaku, pada kami, dan yakin kami tidak bersalah. Di dalamnya tertompang salam Herbert de la Croix, dan harapan semoga kami dapat hadapi semua cobaan dengan tabah dan dapat melewati semua dengan selamat.
Surat Bunda yang mengibakan menyatakan berduka cita disamping menyampaikan murka Ayahanda yang sudah sedemikian bersirat. tendensing: bertendens. memuncak sampai keluar dari mulut: tak sudi mengakui sebagai anak, dan sendiri mengirimkan surat pada Tuan Direktur H.B.S. Surabaya menyatakan mengeluarkan aku.
Dalam surat susulan Bunda, juga tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa, disebutkan: aku belum tentu bersalah. Semoga malah bisa jadi orang yang akan menyelesaikan perkara, dan bahwa Tuan Assisten Residen B. datang pada Ayahanda untuk menyabarkannya dan menyampaikan kata-kata tsb., dan bahwa tinggalku di Boerderij Buitenzorg belum tentu punya persang-kutan dergan kemesuman; bahwa suatu perkara bisa jadi suatu akibat pe buatan sendiri, juga tak jarang suatu kecelakaan belaka, yang bisa menimpa setiap orang; tak ada orang dapat me-ngira-ngirakan kapan kecelakaan bakal tiba. Ayahanda tidak membantah. Pada putra-putrinya ia berkata: siapa saja di antara anak-anaknya berutusan perkara dengan polisi dia adalah menghinanya, maka tak patut ada di dekatnya lagi.
Semua surat itu kubalas. Terhadap ucapan Ayahanda kutulis: kalau itu yang dikehendaki Ayahanda, apa boleh buat, maka sekarang aku akan berbakti hanya pada seorang ibu.
Abangku menulis: Bunda bermandi airmata membaca surat balasanku, menangisi sikapku, mengapa menghadapi ayah sendiri yang sudah begitu murka dengan sikap begitu tidak berbakti, seakan seorang ayah tidak pernah mengharapkan sesuatu yang baik untuk putranya sendiri. Kau putranya, kau yang muda, kau yang harus mengalah.
Dan surat abangku tidak kubalas. Biarlah Ayahanda bebas dengan amarah dan sikapnya sendiri. Lagi pula aku tak begitu kenal ayahku. Sejak kecil aku ikut Nenenda, maka Ayahanda lebih banyak hanya tinggal sebutan. Dalam setiap penghadapanku ia lebih banyak menuntut diakui kewibawaannya sebagai ayah. Terserahlah padanya sendiri! Aku tak ada urusan dengan amarah dan sikapnya. Ada pun Ayahanda mengeluarkan aku dari H.B.S., itu memang haknya. Dan H.B.S. bagi Pribumi hanya mungkin kalau ada orang berpangkat menanggungnya. Hanya yang menanggung aku bukan Ayahanda, tapi almarhum Nenenda. Dan belum tentu Tuan Direktur dapat membenarkan. Ka-'au membenarkan pun apa boleh buat. Aku sudah merasa punya Perbekalan cukup untuk belajar sendiri, cukup kuat untuk memasuki dunia dengan kaki sendiri.
Empat hari setelah ditemukan mayat Tuan Mellema pengucuran dilakukan di pekuburan Eropa di Peneldh. Kami semua "M mengantarkan. Sebagian terbesar pengantar adalah pendu-" kampung-kampung perusahaan. Tujuh orang juruwarta itu pula menyaksikan. Juga Dokter Martinet, Jean Marais dan Telinga. Pelaksanaan penguburan dilakukan oleh Perusahaan pe. nguburan Verbrugge. ^M Dokter Martinet mengambil tugas sebagai wakil keluarga Mellema. Dalam upacara penguburan ia menyatakan sangat ber-dukacita melihat cobaan-cobaan berat yang menimpa keluarga Mellema, terutama Nyai Ontosoroh dan Annelies selama lima tahun belakangan. Hanya orang yang sungguh-sungguh kuat bisa bertahan. Dan orang itu adalah wanita Pribumi pula, yang dibantu hanya oleh anak perempuannya yang trampil dan tangkas. Cobaan itu belum lagi selesai, karena perkara masih akan menyusul di pengadilan.
Ucapan yang seluruhnya tercurahkan sebagai sympati itu kemudian mendapatkan gemanya dalam pers kolonial, Melayu dan Belanda. Dokter Martinet jadi sasaran para juruwarta, dikehendaki perincian dari pidatonya. Ia, yang mengerti, perincian itu akan diubah jadi cerita bersambung yang sama sensasionil, membisu dengan gigih. Maka koran-koran kolonial berbahasa Belanda dengan cara dan gayanya sendiri tidak membenarkan I sympati sang Dokter yang ditujukan hanya pada seorang wanita Pribumi, gundik pula, yang boleh jadi belum tentu bersih dari perkara. Sudah banyak terbukti nyai-nyai bersekongkol dengan orang luar untuk membunuh tuannya. Motif: kemesuman dan harta. Dalam abad sembilanbelas ini saja, kata sebuah koran, dapat dicatat paling tidak lima orang nyai telah naik ke tiang gantungan. Boleh jadi Nyai Dasima bisa melakukan kejahatan yang sama sekiranya Tuan Edward Williams bukan seorang arif bijaksana. Walhasil: penutupnya pembunuhan juga. Hanya bukan Edward Williams yang jadi kurban Dasima sendiri. Koran itu menutup dengan saran agar mengusut Nyai Ontosoroh lebih teliti. Sebuah Koran Betawi malah menampilkan si Minke ini sebagai oknum yang patut mendapat sorotan lebih cermat.
Dokter Martinet dan Maarten Nijman telah mengumpulkan begitu banyak koran terbitan berbagai kota dan menyerahkan pada kami.
Mengikuti komentar dan saran-saran itu pada suatu kali Nyai menyatakan: "Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak pfcnyfck terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih; jadi Pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai BI" bumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit" Minke, anakku!" (Itulah untuk pertama kali ia memanggil anak' ku, dan aku berkaca-kaca terharu mendengarnya). Apa akan lari dari kami, Nak "" "Tidak, Ma. Kita akan hadapi semua bersama-sama. Kita juga punya sahabat, Ma. Dan jangan anggap Minke ini kriminil, aku pinta."
"Mereka punya segala alat untuk mengkambinghitamkan kita. Tapi selama tak ada di antara kita ditahan apalagi Darsam pihak polisi nampaknya tidak terpengaruhi." Sebuah tulisan, jelas dari Robert Suurhof, telah menggugat keadaanku di tengahtengah keluarga Mellema sebagai benalu tak tahu malu, ikut menyedot harta orang lain dan menampilkan diri di depan umum sebagai burung-gereja-tanpa-dosa, orang tanpa nama keluarga, tanpa sesuatu, dengan satu-satunya modal keberanian: jadi buaya darat.
Koran itu memang bukan S. N. v/d D tapi harian yang sudah terkenal ketagihan skandal, sensasi di segala bidang, dengan pembantu-pembantu para maniak sensasi. Atau menurut Dokter Martinet: orang-orang sakit, semacam Titus di jaman Romawi. Ia memerlukan datang berkunjung untuk menyatakan sympati-nya: "Boven water houden, jangan tenggelam."
Biar apa pun macamnya hiburan, biar dengan cara apa saja hati hendak diparami, tulisan itu memang memukul. Nyerinya terasa sampai ke bulu rona. "Akan kuajukan pengaduan, Mama."
"Tidak!" tegah Nyai. "Kau tak bakal menang."
"Kalau Mama tidak membenarkan dia saja, aku sudah bisa menang." "Mama ada pada pihakmu," kata wanita itu. "Tapi di depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga."
Orang yang mengaku, mengenal diriku boleh jadi temanku sendiri; teman baik atau teman buruk, jawabku dalam tulisan. Mengapa Tuan tidak memunculkan muka dengan terang, mengapa lebih suka bersembunyi di balik topeng dan melemparkan najis sendiri " Muncullah, Tuan, dengan muka sendiri. Mengapa Tuan malu pada muka sendiri, nama sendiri, dan perbuatan sendiri "
Tulisan yang diumumkan Maarten Nijman itu kemudian diumumkan juga oleh sebuah koranlelang, yang karena adanya peristiwa kematian Herman Mellema berubah jadi harian umum, sekali pun adpertensinya masih tetap menempati sebagian besar ruangan. Di seluruh Surabaya terdapat enam buah perusahaan lelang. Masing-masing punya korannya sendiri. Hanya koranle-lang yang sebuah ini dapat meningkat jadi harian.
Berapa yang sudah kuambil dari Tuan Herman Mellema mendiang " Cobalah Tuan sebutkan. Kalau mungkin perinci sekali. Tuan dapat minta bantuan dari keluarga Mellema yang ditinggalkan: malah aku sendiri bersedia. Kalau perlu bisa disewa seorang akontan, tulisku.
Sungguh di luar dugaan. Serangan padaku menderu-deru. Betul Mama itu belum lagi kunaikkan jadi perkara pengadilan. Persoalan tidak tinggal memusat pada benar-tidaknya kedudukanku sebagai benalu penyedot harta mendiang Herbert Mellema. Titikbakar berpindah pada perbedaan kulit: Eropa kontra Pribumi. Koran kota-kota lain juga ikut menimbrung. Maka dalam satu bulan penuh tak ada kesempatan lagi padaku untuk melihat pelajaran sekolah. Kesibukan sehari-hari: melayani kejahilan orang. Dan semua serangan disampaikan Maartert Nij-man padaku untuk dijawab.
Juffrouw Magda Peters juga datang untuk menyampaikan sympati. Mengatakan: "Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpa-mer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal ~ juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu."
Kami dengarkan sympati, sekaligus umpatan itu, dengan diam-diam. Annelies sendiri kami usahakan agar tetap berada di luar persoalan. Nampaknya hasilnya cukup memadai. Dengan demikian antara Nyai dan diriku lahir persekutuan menghadapi dunia luar rumah.
"Kalau memang kau sudah sepakat menghadapi mereka di sampingku, Minke, Nak, Nyo, kau hadapi mereka sampai selesai. Kalau mereka nanti kewalahan hati-hati - mereka akan mengeroyok. Sudah beberapa kali itu terjadi. Berani kau "Sebagai persoalan memang harus terus dihadapi, Ma. Kira-kira Minke ini, Ma, kirakira memang bukan kriminil. Tidak akan lari."
"Baik. Kalau begitu kau memang tak perlu bersekolah dulu. Perkelahian ini lebih penting daripada sekolah. Di sekolah kau akan dikeroyok dan disakiti tubuh dan hatimu. Dengan menghadapi yang sekarang ini kau akan mempelajari ilmu beladiri dan menyerang di hadapan umum segala bangsa. Kau akan lulus dengan ijasah yang bernama kemashuran."
Tidak diduga dalam sebuah koran Melayu milik orang Eropa muncul tulisan yang membela diriku, ditulis oleh seorang yang mengaku bernama: Kommer. Kalau Minke alias Max Teilenaar jelas memang melanggar hukum, tulisnya, mengapa di antara para pendakwa tak ada yang mengajukan perkaranya, melalui tuntutan, ke Pengadilan " Apa mereka beranggapan hukum di Hindia Belanda belum mencukupi kebutuhan mereka ". Atau mereka sengaja hendak menghina hukum dan menelanjangi ketidakdayaan para pejabat yang terhormat di bidang hukum " Atau memang Tuan-Tuan yang belum tentu terhormat itu ingin menciptakan hukum baru dengan cara demikian "
Walhasil beberapa ahli hukum mulai bertikaian dan serangan-serangan terhadapku tersisihkan. Dan ijasah kemashuran itu, yang dijanjikan Nyai, tak jadi aku peroleh. Nyai Ontosoroh nampak tenang-tenang menghadapi segala kemungkinan. Dalam kesibukan luarbiasa Annelies semakin menekuni pekerjaannya. Urusan dengan dunia luar rumah ia percayakan pada kami berdua. Dan dengan mendadak saja aku terakui sebagai satu-satunya lelaki anggota keluarga. Yang tidak syah tentu. Sidang pengadilan tak dapat ditunda lebih lama. Robert Mellema dan si Gendut tetap tak dapat ditemukan. Maka Pengadilan akan menghadapkan Babah Ah Tjong sebagai terdakwa. Pengadilan Putih, Pengadilan Eropa! bukan karena Ah Tjong punya forum privilegiatum, tapi karena adanya connexi-teit* sebagaimana aku ketahui dudukperkaranya di kemudianha-n. Ia dituduh dengan sengaja dan direncanakan telah membunuh Herman Mellema baik secara pelahan-lahan maupun secara sekaligus. Mungkin ini sidang terbesar di Surabaya selama ini. Digalakkan oleh warta dan pertentangan dalam koran-koran, penduduk Surabaya dari segala bangsa memerlukan datang untuk menyaksikan. Dari kota-kota lain dikabarkan orang pada berdata-ngan. Juga abang Nyai dari Tulangan.
Orang bilang pengadilan ini juga paling mahal. Tidak kurang dari empat orang penterjemah tersumpah dipergunakan: Jawa, Madura, Tionghoa, Jepang, dan Melayu. Semua penterjemah adalah orang Eropa Totok.
Tuan Telinga, Jean Marais dan Kommer juga datang. Kom-mer malah menyatakan: sejak ia menjadi juruwarta tak pernah terjadi gedung yang sangat ditakuti itu kini mendapat kunjungan demikian meriah.
Seorang pemilik kantor dan koranlelang yang aku kenal juga hadir. Sekolah H.B.S. Surabaya untuk pertama kali dalam sejarahnya tutup: guru dan siswa memindahkan kiasnya di pelataran gedung pengadilan.
Dokter Martinet terpanggil untuk jadi saksi ahli di bidang kedokteran. Babah Ah Tjong menggunakan seorang pembela yang didatangkan dari Tiongkok, menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian penterjemah pun ditambah lagi dengan seorang.
Orang bilang: ini juga sidang pertama di mana seorang Tionghoa diajukan ke Pengadilan Putih.
Jalan persidangan pada mulanya berjalan cepat. Bahasa Belanda yang dipergunakan. Dari Babah Ah Tjong memang sulit diperoleh pengakuan tentang motif pembunuhan sekali pun pada akhirnya ia mengakui telah melakukan peracunan itu dengan ramuan Tionghoa yang tidak dikenal oleh dunia kedokteran. Ia tidak mau mengakui perincian ramuan, hanya, bahwa akibat daripadanya adalah: si peminum kehilangan keseimbangan, sebagaimana telah dicobakan pada sepuluh orang pesakitan pembunuh di penjara Kalisosok.
Mula-mula Ah Tjong membantah bahwa ramuan itu bisa membikin kerusakan. Gunanya hanlya untuk pengharum arak, katanya.
Seorang sinsei yang diajukan sebagai saksi ahli menolak keterangan itu dan terdakwa terdesak pada pertahanannya yang paling lemah, yang mengantarkannya pada pengakuan pembunuhan.
Apa motif pembunuhan "
Pada mulanya Ah Tjong mengatakan, ia sudah jemu dengan langganan yang tak juga mau pergi selama lima tahun itu. Tapi ia tak dapat menjawab pertanyaan, apa yang dijemukan selama langganan mendatangkan keuntungan " Dan mengapa pula Robert Mellema kemudian juga ditampung "
Tanya-jawab dengan Nyai Ontosoroh telah membikin perempuan yang jadi bintang Pengadilan itu menjadi merah-pa-dam. Ia tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Belanda. Ia diperintahkan menggunakan Jawa, menolak, dan menggunakan Melayu. Ia menerangkan, rekening almarhum Herman Mellema pada Ah Tjong adalah empat puluh lima gulden sebulan, yang selalu ditagih di kantornya oleh seorang pesuruh. Belakangan juga rekening Robert Mellema sebanyak enam puluh gulden sebulan. Mengapa Robert membayar lebih mahal "
Karena, jawab Ah Tjong, Sinyo Lobelll cuma mau Maiko saja yang tarifnya paling mahal, dan untuk dirinya sendiri.
Apa benar Maiko melayani Robert Mellema saja " Maiko membantah. Ia melayani siapa saja sesuai dengan perintah Babah Ah Tjong, termasuk Babah Ah Tjong sendiri. Apalagi karena Robert Mellema makin lama makin kehabisan kekuatan dan kemauan.
Untuk memuaskan para peminat Maiko mendapat pertanyaan, apa selama jadi pelacur tidak pernah mengidap penyakit kotor " Saksi ahli. Dokter Martinet. menerangkan benar Maiko mengidap sipilis.
Apa Maiko tidak menyesal telah menyebarkan penyakit di negeri orang " Ia menjawab, bukan menjadi kehendakku bila aku terkena penyakit. Penyakit bukan aku yang membikin. Tugasku sebagai pelacur hanya melayani keinginan langganan. Masih dalam rangka hendak memuaskan para peminat pertanyaan lain datang lagi: Siapa yang membikin penyakit itu " Dengan suara bening dan indah Maiko mengatakan tidak tahu. Bila langganan tertulari karena aku, bukanlah itu menjadi kesalahanku.
Apa Babah Ah Tjong pernah menyatakan kejengkelannya pada Nyai " Nyai menjawab tak pernah bertemu dengan tetangganya itu seumur hidup. Ia hanya bertemu dengan rekeningnya. Pertemuannya yang pertama kali adalah dalam sidang Pengadilan.
Akhirnya Pengadilan menubruk-nubruk pada banyak soal I yang tidak selesai sehingga sering menjengkelkan orang banyak. Tak hadirnya Robert Mellema dan si Gendut memang jadi penghalang yang tak dapat ditawar. Tapi dari sekian banyak ta* nya-jawab yang aku nilai sebagai menubruk-nubruk adalah tentang. hubunganku dengan Annelies, yang membikin banyak orang tertawa bahak dan cekikikan, dan pada gilirannya baik hakim mau pun jaksa tak melewatkan kesempatan untuk mentertawakan hubungan kami di depan umum. Juga hubunganku dengan Nyai ditampilkan dalam pertanyaan-pertanyaan bersirat, menjijikkan dan biadab. Aku sendiri menjadi heran betapa orang Eropa, guruku, pengadabku, bisa berbuat semacam itu.
Beruntung tanya-jawab itu tidak dibikin berlarut, sekali pun aku mengerti tujuannya adalah hendak membuktikan ada-tidak-nya hubungan kelamin antara kami atau tidak, dan hubungan kelamin sebagai jembatan keikutsertaan kami dalam tindak pembunuhan.
Ah Tjong meringankan kami dengan pernyataannya bahwa baik Nyai, aku, Annelies, Darsam dan orang-orang lain tidak mempunyai persangkutan dengan pembunuhan. Dan itulah kunri yang membebaskan kami dari perkara ini.
Dua minggu lamanya sidang berlangsung. Motif pembunuhan tetap tidak diperoleh dari Ah Tjong. Keputusan pengadilan ~ yang mengecewakan orang banyak: hukuman sepuluh tahun penjara dan kerjapaksa. Tuntutan hukuman mati, karena orang Timur Asing telah membunuh orang Eropa dengan direncanakan, ditolak. Di samping itu terdakwa masih harus membayar ongkos persidangan, biaya penguburan Tuan Mellema mendiang dan mengembalikan kelebihan rekening yang dibayarkan untuk Robert Mellema.
Ah Tjong menerima hukuman yang dijatuhkan dan segera masuk penjara. Pembantu-pembantunya dijatuhi hukuman antara tiga sampai lima tahun. Maiko diperintahkan masuk rumahsakit di bawah pengawasan dokter atas biaya Ah Tjong sebagai maji; kan sambil menunggu kemungkinan dibuka sidang lagi bila si Gendut dan Robert Mellema telah ditemukan.
17. PENGADILAN UNTUK SEMENTARA SELESAI. AKU masuk sekolah. Teman-teman sekolah sudah hadir di pelataran waktu bendiku berhenti di pintu gerbang. Mereka menunda kesibukan hanya untuk memperhatikan dan melihat aku lewat.
Belum lagi masuk kias seseorang telah menyampaikan perintah Tuan Direktur untukku. Dan menghadaplah aku. Inilah kata-katanya:
"Minke, juga aku sebagai pribadi dan wakil semua guru dan siswa, mengucapkan selamat atas kemenanganmu di Pengadilan. Secara pribadi aku ucapkan selamat atas kegigihanmu dalam membela diri terhadap serangan umum. Aku dan kami semua bangga punya siswa berbakat seperti kau. Sidang Pengadilan telah diikuti oleh para guru dan siswa. Tentu kau sudah tahu juga. Minke memang mendapat perhatian besar dari kami, karena memang siswa sekolah ini. Sekarang dengarkan keputusan Dewan Guru dalam pertemuan-pertemuannya dan perbincangan yang tidak mudah tentang dirimu seorang. Berdasarkan jawaban-jawabanmu di depan Pengadilan, maksudku dalam hubunganmu dengan Annelies Mellema, Dewan Guru memutuskan, sebagai siswa kau sudah terlalu dewasa untuk bergaul dengan temanteman sekolahmu, dan terutama sekali dianggap berbahaya bagi para siswi. Sidang Dewan Guru tak berani bertanggungjawab atas keselamatan para siswi pada orangtua atau wali mereka. Kau mengerti ""
"Lebih dari mengerti. Tuan Direktur."
"Sayang sekali, beberapa bulan lagi kau semestinya sudah akan lulus." "Apa boleh buat. Semua itu Tuan Direktur sendiri yang menentukan." Ia mengulurkan tangan padaku dan mengucapkan: "Gagal dalam sekolah. Minke, sukses dalam cinta dan kehidupan."
Waktu aku meninggalkan kantor, sekolah sudah mulai. Kuli. hat semua mata ditujukan padaku melalui jendela. Aku lambai-kan tangan dan mereka membalas. Balasan yang justru membikin hati tiba-tiba jadi murung harus berpisah dengan orang, orang yang ternyata masih mengindahkan si Pribumi ini.
Kusir bendi masih berjaga di tempat. Aku segera naik. Waktu bendi mulai bergerak kusir kuperintahkan berhenti. Seseorang berlari-larian memanggil. Juffrouw Magda Peters. Dan aku turun.
"Sayang, Minke. Aku tak mampu mempertahankan kau. Aku sudah berkelahi sekuat daya. Sidang Pengadilan itu sudah cukup kurangajar menanyakan soal-soal yang begitu pribadi sifatnya di depan umum."
"Terimakasih, Juffrouw."
Ia pergi. Aku naik dan bendi berjalan pelan-pelan atas permintaanku. Ya, Pengadilan itu memang cukup kurangajar. Jaksa dengan sengaja hendak mengobrak-abrik kehidupan kami di depan umum sebagai sambungan dari perasaan Robert Suurhof.
Seakan mengulangi pertanyaan Dokter Martinet, Jaksa bertanya, dalam Belanda yang dijawakan oleh penterjemah: Minke. di kamar mana kau tidur " Memang aku menolak menjawab pertanyaan bersirat jahat itu. Tapi secepat kilat pertanyaan beralih pada Annelies, langsung dalam Belanda tanpa diterjemahkan: Dengan siapa Juffrouw Annelies Mellema tidur " Dan Annelies tak ada kekuatan untuk menolak menjawab. Maka terdengar suara tawa kikik dan kakak yang menghinakan, demonstratif pula.
Pertanyaan yang menyusul menghembalang Nyai Ontosoroh: Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Herman Mellema, bagaimana bisa Nyai membiarkan perbuatan tidak patut antara Nyai punya tamu dengan Nyai punya anak "
Derai tawa semakin meriah, mengejek, lebih demonstratif-Juga jaksa, juga hakim tersenyum senang dapat melakukan siksaan batin atas diri wanita Pribumi yang banyak diiri oleh pc* rempuan-perempuan Totok dan Indo Eropa itu. Dengan suara lantang dalam Belanda tiada cela di bawan larangan hakim yang memaksanya menggunakan Jawa. serta ketukan palu laksana air bah lepas dari cengkeraman taufan bicara:
Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumahtanggaku...... (ketokan palu; diperingatkan agar menjawab langsung).
Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke di persoalkan " Hanya karena Tuan Minke Pribumi " Mengapa tidak disinggung hampir semtja orangtua golongan Indo " Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta-mencintai yang sama-sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus " Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus "
Sidang memang menjadi agak kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim. Nyai dipaksa mengakui bahwa Annelies bukan Pribumi, tapi Indo. Dan suara jaksa yang menggeledek murka itu: Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripada kau! Minke Pribumi, sekali pun punya forum privilegiatum*, artinya lebih tinggi dari Nyai. kau! Forum Minke setiap saat bisa dibatalkan. Tapi Juffrouw Annelies tetap lebih tinggi daripada Pribumi.
Annelies, anakku, Tuan, hanya seorang Indo, maka tidak boleh melakukan apa yang dilakukan bapaknya " Aku yang me-lahirknannya, membesarkan dan mendidik, tanpa bantuan satu senpun dari Tuan-Tuan yang terhormat. Atau bukan aku yang telah bertanggungjawab atasnya selama ini " Tuan-Tuan sama sekali tidak pernah bersusah-payah untuknya. Mengapa usil "
Nyai sudah tidak menggubris kewibaan sidang. Seorang agen diperintahkan mengeluarkannya dari ruangan. Dan ia ditarik dari tempatnya tanpa dapat melawan. Tetapi mulutnya terus juga melepaskan kata-kata, berisikan butiran-butiran dendamnya:
Siapa yang menjadikan aku gundik " Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai " Tuan-tuan bangsa Eropa, yang diperban. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan " dihinakan "
Apa Tuan-Tuan menghendaki anakku juga jadi gundik "
Suaranya bergaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas. Pada waktu itu wanita Pribumi itu telah menjadi jaksa tidak resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang mentertawakan perbuatan mereka sendiri.
la terus bicara sampai keluar dari ruangan sidang.....
Dan sekarang bendi berjalan pelan melalui jalan-jalan pagj. hari yang sudah mulai ramai. Sekarang di luar sidang. Dan pengadilan sekolah juga telah mengetokkan palu: aku sudah tidak sama dengan teman-teman sekolahku, berbahaya bagi para siswi, dipecat tanpa hormat dari sekolah. Sekiranya rahasia pribadi para guru boleh ditelanjangi di hadapan sidang pengadilan, dibelejeti tanpa ampun..... Siapa bisa jamin mereka tidak lebih
keropos daripada selebihnya " Kan setiap orang punya rahasia pribadi, dibawanya terus sampai mati " Dan jaksa, dan hakim yang tak kenal ampun itu, siapa tahu juga menggundik, terbuka atau gelap " Mungkin tanpa pengawasan umum dan hukum tingkahnya jauh lebih busuk daripada Herman Mellema terhadap Sanikem. Di atas bendi ini setiap orang yang terpandang olehku kura-sai sebagai menuding: itulah dia si Minke yang sudah sekamar dengan Annelies, wanita yang belum dinikahinya. Itulah si Minke yang sudah jadi lain daripada teman-temannya, lain dari semua orang kan keadaannya sudah dibongkar dalam sidang " sedang yang lain-lain tidak " dan jaksa dan hakim juga tidak menelanjangi diri sendiri" " Apa yang kurasakan sekarang ini, perasaan rendah begini, adalah yang nenekmoyangku menamai nelangsa perasaan sebatang kara di tengah sesamanya yang sudah menjadi lain daripada dirinya, di mana panas matahari ditanggung semua orang, tapi panas hati ditanggung seorang diri. Jalan yang terbuka hanya ke hati mereka yang senasib, senilai, seikatan, sepenanggungan: Nyai Ontosoroh, Annelies, Jean Marais, Darsam.
Jadi pergilah aku ke rumah Jean.
"Kau lesu, Minke. Dipecat dari sekolah " Tegakkan dagu!
Dan dia yang selalu menenggelamkan dagu sekarang pu" dapat bilang tegakkan dagu! Rasa-rasanya bahan keriangan p dah tumpas dari hatiku. "Sekolahmu itu sudah terlalu kecil untukmu, Minke. Kalau seorang Minke sudah patah begini, kan masih ada seorang Tollenaar ""
Dia pandang padaku ada jiwa cadangan. Dia tidak menyadari patahnya. Minke mempersulit usaha mencari order. Aku sampaikan padanya. Ia terdiam sebentar. Mendadak ia tertawa bahak. Dan aku agak tersinggung.
"Tahu kau, Minke, aku lihat ada kelucuan.'* "Tak ada yang lucu," kataku sebal.
"Ada. Tahu kau " Ada hanya satu obat buat kesulitanmu. Nikah, Minke. Kau harus kawini Annelies. Tunjukkan pada dunia kau tidak gentar menghadapi mata setan pun. Biar kau jadi seperti yang lain-lain. Tak banyak yang dipinta mereka, hanya kembali jadi bagian mereka orang-orang dungu tak berkebudayaan itu. Kawin, Minke, hanya kawin."
"Magda Peters menganggap sidang itu kurangajar terhadapjkami.' "Memang tidak berkebudayaan. Itu penilaian paling tepat. Ada juga koran Melayu- Belanda mengatakan begitu. Hanya tidak sekeras itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semestinya dilakukan dalam sidang tertutup."
"Ya. Tapi ada koran Belanda yang justru mengatakan Mama kurangajar telah mengacaukan sidang. Tapi kata-kata Mama malah tidak dimuat." "Baca tulisan Kommers. Dia marah seperti singa terluka. Dia ada pada pihakmu." "Ceritakan sajalah. Aku segan baca."
"Tulisnya, perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang berasal dari pergundikan dan per-nyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi bukan Pribumi. Tidak diakui, menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan anak gundik yang tidak diakui sang ayah. Ia juga mengecam pengungkapan perkara pribadi. Kommers menilai jaksa dan hakim itu tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari pengadilan Pribumi yang dilakukan Wiroguna atas diri Pronocitro barang dua ratus lima puluh tahunan yang lalu. Minke, siapa mereka. Aku tak tahu."
"Lain kali sajalah aku ceritakan."
Sampai di rumah'aku langsung masuk kantor, mengabarkan bencana baru itu, dan: "Ma, bagaimana pendapat Mama kalau kami kawin ""
"Tunggu. Apa hendak diburu ""
Aku ceritakan tentang kesulitan yang menimpa usahaku mencari order. Mungkin akan menimpa usaha Jean Marais juga.
Apa boleh buat, Nak, menyesal belum bisa meluluskan. Ha-n-hari persidangan telah banyak merugikan perusahaan. Keme-^lan harus disusul lebih dahulu. Karena, Nak, tanpa perusa-berjalan baik keluarga ini akan kehilangan kehormatannya, harap kau bisa mengerti."
Aku perhatikan bibir Nyai yang bicara dengan tenang itu. Ia benar-benar mengharapkan pengertianku.
"Minke, telah lama kurenungkan keanehan hidup ini. Kalau aku tak berhasil menyelamatkan perusahaan ini, aku akan merosot jadi nyai-nyai biasa yang boleh dihinakan semua orang, dipandang dengan sebelah mata. Annelies akan sangat menderita. Percuma aku nanti sebagai ibunya. Dia harus lebih terhormat daripada seorang Indo biasa. Dia harus jadi Pribumi terhormat di tengah-tengah bangsanya. Kehormatan itu bisa didapatnya hanya dari perusahaan ini. Memang aneh. Nak, begitulah maunya dunia ini."
Annelies sendiri sedang bekerja di belakang.
Duduk di kursi dalam kantor begini masalah Totok, Indo dan Pribumi membayang di hadapan mata batinku, menggusur kenelangsaan sendiri. Unsur-unsur itu membentuk jaring-jaring kehidupan laksana jaring laba-laba. Dan di tengahtengahnya adalah si laba-laba: gundik atau nyai-nyai. Dia bukan menampung semua kurban yang datang padanya. Sebaliknya, jaring-ja-ringnya menangkapi semua penghinaan untuk ditelannya seorang diri. Dia bukan majikan biar hidup sekamar dengan tuannya. Dia tidak termasuk golongan anak yang dilahirkannya sendiri. Dia bukan Totok, bukan Indo, dan dapat dikatakan bukan Pribumi lagi. Dia adalah gunung rahasia.
Dan tanganku mulai menulis lancar. Pikiran Kommer dapat dikatakan tulang punggung tulisan sekali ini. Dan matari sudah tenggelam. Dan tulisan itu mulai mendapatkan bentuknya.
Ya, Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang ummatMu sendiri. Kau jugalah yang perintahkan ummat untuk berbangsa-bangsa dan berbiak. Hubungan laki-perempuan yang terjadi karena perbedaan kemampuan sosial dan ekonomi bisa Kau ridlai. Mengapa hubungan sukarela tanpa perbedaan sosial ekonomi begini, didasari saling tanggungjawab begini tak Kau ridlai, hanya karena belum menurut aturanMu " Dan semua itu sudah Kau biarkan terjadi, melahirkan golongan Indo yang begitu berkuasa atas mereka yang lahir dengan keridlaan-Mu " Aku berpaling kepadaMu, karena orang-orang yang dekat denganMu pun tidak pernah menjawab. Kaulah yang menjawab sekarang. Aku hanya menulis tentang yang kuketahui dan yang kuanggap aku ketahui. Bukankah segala ilmu dan pengetahuan juga berasal tidak lain dari Kau sendiri "
Sepuluh hari setelah terbit tulisan Max Tollenaar tentang asalah Totok, Indo dan Pribumi, Magda Peters datang ke rumah pada jam pelajaran. Tuan Direktur memanggil. Dan aku menolak dengan alasan: tak punya sangkut-paut lagi dengan sekolahan.
Nyai juga berkeberatan bila aku pergi. Annelies melarikan diri ke kamar.
Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesuatu telah terjadi," kata tamu itu, "bagaimana pun kau harus datang!' Sebelum itu terimalah ucapan selamat untukmu. Tulisanmu yang terakhir betul-betul seruan pada kemanusiaan, menggerakkan nurani orang untuk menanggapi masalah ini secara lebih bijaksana. Dan kau yang semuda itu.....
Jadi aku berangkat juga. Sepanjang perjalanan Magda Peters berkicau tentang kebanggaannya punya seorang murid seperti aku. Dan aku sendiri merasa terhelai setelah pengalaman menggebu belakangan ini.
Tuan Direktur menerima aku dengan senyum ramah. Semua murid diperintahkan pulang. Semua guru dipanggil berkumpul. Pengadilan liar " Mengapa semua ini dilakukan hanya untukku seorang " Apa pentingnya seorang aku " Tuan Direktur membuka pertemuan, dan:
"Sudah menjadi tradisi Eropa menghargai prestasi budaya dan manusianya. Juga di atas sekeping tanah bernama Surabaya ini tradisi Eropa harus tetap dapat dipertahankan. Kita tidak akan bertanya: bagaimana manusia budaya itu " Tidak, karena itu -urusan pribadi. Dia dinilai dari prestasinya, dari apa yang dipersembahkannya, pada sesamanya."
Dan awalan itu mengantarkan pada tulisanku yang terakhir. "Mengharukan. Menyentuh nurani waras. Lebih dari itu: benar. Ternyata humanisme Eropa yang tidak dikenal dalam sejatah Pribumi Hindia sudah mulai tumbuh dalam diri Max Tol-lenaar murid para hadirin sendiri..... Minke." Aku tak tahu makna humanisme Eropa itu secara jelas."
"Sudah ada tujuh pucuk surat, dua sarjana, yang telah ada protes atas tindakan kita yang memecat Minke dari sekolah kita.
Sebelum menbatakan: orang ini harus dibantu, bukan dipecat, Bahkan harus ditempuh jalan khusus. Tuan Assisten Residen telah memerlukan datang menghadap Residen Surabaya Untuk membicarakan soal ini. Tuan Residen sendiri tak perlu menerima sualu pendapat, tetapi Tuan Assisten Residen bersedia menjadi perwalian atas Minke di H.BT.S. ini menghadap Tuan Direkktur Onderwijs, Nijverheid en Eeredierist bila usahanya tidak berhasil.
"Jadi untuk pertama kali kebijaksanaan kita mendapat ujian dan tantangan. Walau demikian bukan karena ujian dan tanta-ngan itu kita harus mengambil langkah peninjauan, tetapi karena nurani Eropa kita yang bernama humanisme, nenekmoyang dan sekaligus peradaban Eropa dewasa ini.
"Sekarang, inilah Minke, Max Tollenaar, di hadapan Sidang Dewan Guru yang terhormat. Sidang yang melakukan peninjauan kembali dan kebijaksaan baru yang harus diambil."
Seperti singa betina kehilangan anak Magda Peters mengaum, mencakar dan menerkam untuk kepentingan anaknya yang hilang. Totol kulitnya nampak semakin nyata. Matanya mengerdip lebih cepat. Akhirnya dengan suara rendah, lambat dan se-patah-patah ia menutup dengan:
"Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan. Kalau seorang murid di luar sekolah telah menjadi pribadi berkemanusiaan seperti Minke, sebagaimana dibuktikan dalam tulisan-tulisannya terakhir, kemanusiaan sebagai faham, sebagai sikap, semestinya kita berterimakasih dan bersyukur, sekali pun saham kita terlalu amat kecil dalam pembentukan itu. Pribadi luarbiasa memang dilahirkan oleh keadaan dan syarat-syarat luarbiasa seperti halnya pada Minke.
Maka usulku: hendaknya dia diterima kembali sebagai siswa untuk dapat memberikan) padanya dasar yang lebih kuat bagi perkembangannya di masa-masa mendatang."
Sidang itu, dengan aku sebagai terdakwa bisu yang tidak mengerti mengapa diharuskan menyaksikan semua ini, akhirnya menerima aku jadi siswanya kembali. Dengan ketentuan tentu, khusus: harus duduk di bangku terpisah dari yang lain-lain, dan selama di dalam dan di luar kias tidak boleh bicara dengan sesama siswa, baik karena menjawab atau bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Minke, setelah mendengar sendiri semua ini tanya Tuan Direktur yang nampak hendak bercuci tangan.
"Selama ada kemungkinan aku akan terus belajar sebagai; mana kukehendaki sejak semula. Kalau pintu dibuka kembali untukku, tentu akan kumasuki! Kalau ditutup bagiku, aku pun tiada berkeberatan tidak memasuki. Terimakasih atas semua susahpayah ini."
Pertemuan ini selesai. Dengan wajah angker, kecuali Magda Peters, semua guru mengulurkan tangan ucapan selamat. Guru sastra dan bahasa Belanda itu bukan main puasnya dan menganggap semua yang telah terjadi sebagai kemenangannya pribadi.
Sebagai upacara perpisahan Tuan Direktur menyerahkan padaku surat-surat dari Miriam dan Sarah de la Croix tanpa pranko.
Sekolahan sunyi. Gedung, pelataran, batu-batu kerikil H.B.S. itu telah menjadi sedemikian asing seakan baru pertama kali kulihat. Pandang para guru terasa olehku menggelitik pada punggungku. Aku berjalan langsung menuju ke bendi tanpa berpaling lagi.
"Jalan lambat-lambat," perintahku pada kusir Marjuki dalam Jawa. "Langsung ke kantor koran."
Di tengah jalan kusir itu berkata rikuh: "Sahaya lihat Ndoro begitu pucat dan kurus." "Ya."
"Mengapa tidak tetirah, Ndoro ""
"Ya, nanti, beberapa bulan lagi' kalau sudah tammat sekolah." "Tiga bulan lagi, Ndoro ""
"Ya. Masih harus bertahan tiga bulan lagi."
"Apa guna sekolah lagi, Ndoro, kalau semua sudah cukup r
"Ya, apa gunanya " Tapi kalau sekolah ini tak aku tammat-kan, Juki, rasanya aku takkan lulus dalam soal-soal lain."
"Ndoro sudah lulus dalam semua-mua." "Lulus bagaimana ""
Oh, itu kata orang, hanya kata orang. Noni..... kekayaan, kepandaian, kenalan orang-orang besar, orang Belanda, bukan sembarangan........." "Begitu kata orang ""
"Ya, Ndoro, dan begitu muda, ganteng, sebentar lagi jadi bupati...." "Lupakan, Juki, lupakan."
Di kantor 3.7V. v/d 'D. Maarten Nijman menawar aku bekerja sepenuhnya di sana kalau toh sekolah telah memecat. Pekerjaan itu akan sangat menarik, katanya, walau pun gajinya tidak banyak, hanya dua belas setengah gulden. Sebagai jawaban aku ceritakan keputusan sidang Dewan Guru sebentar tadi.
"Jadi Juffrouw Magda Peters membela Tuan dengan berkobar " Ah-ya, Magda Peters. Tuan dekat padanya ""
"Guru paling bijaksana, Tuan."
"Hmm. Aku kira ada baiknya Tuan agak menjauh sedikit." "Dia begitu baik."
"Baik " Itu memang senjata baginya untuk menjerumuskan orang, kiraku." "Menjerumuskan ""
"Tentu Tuan tak pernah dengar: menjerumuskan orang bisa juga dengan jalan kebaikan."
"Menjerumuskan bagaimana "" tanyaku heran.
"Dia orang liberal fanatik, berlebih-lebihan. Dia termasuk golongan yang sibuk' dengan Hindia untuk Hindia. Pernah dengar "" Aku menggeleng. "Dia menganggap Hindia sama dengan Nederland. Itu ciri orang liberal fanatik di Hindia ini. Dia dan golongannya tidak mau tahu tentang banyaknya pembatasan di Hindia. Celaka orang yang berani menentang apalagi melanggar pembatasan. Dan di antara begitu banyak pembatasan itu lebih banyak lagi yang tidak pernah ditulis. Memang di Nederland ada kebebasan yang utuh. Di sini sama sekali tak ada. Liberal saja tidak buruk selama orang menghormati pembatasan-pembatasan dan tidak bikin onar. Itu sesuatu yang patut Tuan i ketahui. Untung tak ada Pribumi yang jadi pengikutnya. Coba, sekiranya Tuan terlanjur jadi pengikut. Sekali orang liberal dikutuk Pemerintah tak peduli apa salahnya ~ kalau dia Totok, dia paling-paling diperintahkan meninggalkan Hindia. Kalau dia Indo, akibatnya lebih pahit, dia akan kehilangan pekerjaan. Kalau Pribumi, kiraku, dia akan kehilangan kebebasannya, disekap tanpa melalui pengadilan karena memang tak ada hukum khusus tentang itu. Nah, Tuan, hatihatilah, jangan sampai Tuan hanya kena getahnya. Negeri Tuan bukan Nederland, bukan Eropa, Hindia ini. Kalau Tuan mendapat getah itu, takkan ada seorang pun dari kelompok liberal itu dapat atau mau menolong Tuan."
"Dia guruku, Tuan Nijman, guruku sendiri."
"Lihat, Tuan Minke. Hindia Belanda ini berpedoman pada sassus. Dan sassus di kalangan atasan di Hindia ini selamanya dapat dipercaya kebenarannya. Memang sudah ada sassus tentang Juffrouw Magda Peters. Tuan sudah begitu banyak mendapat kesulitan belakangan ini. Jangan ditambah, Tuan." Ia bercerita panjang dan sopan tentang kegiatan kaum M*" ia* dengan nada menolak, menyalahkan. Pada suatu bagian malah menuduh: mereka hendak mengubah keadaan Hindia yang sudah mantap, sudah tertib, aman, sentausa, dengan rakyatnya mendapatkan perlindungan cukup dalam mencari makan seharihari.
"Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pernah mendapat keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum, karena memang tidak ada hukum. Kurang baik apa Pemerintah Hindia Belanda " Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang Hindia....." "Tapi mereka itu orang-orang Eropa juga," kataku.
Dalam perjalanan di atas bendi terbayang olehku betapa ruwetnya keadaan oleh banyaknya pertentangan. Sekarang tambah dengan Totok kontra Totok. Belum lagi dengan bangsa-bangsa Timur Asing lain. Sedang Maarten Nijman juga menghendaki kemanusiaan, tetapi ia menolak liberalisme. Ternyata semakin banyak bergaul semakin banyak pola persoalan, yang sebelumnya tak pernah kubayangkan ada, kini bermunculan seperti cendawan.
Nijman telah memperingatkan agar aku bersiap-siap di ma-sakini demi masadatang. Dan di masadatang itu, katanya, bisa jadi Magda Peters sudah harus meninggalkan Hindia. Kemungkinan bukan saja ada bahkan terlalu besar. Sassus yang telah san-tar yang jadi petunjuk. Sebelum peristiwa itu terjadi sebaiknya aku menjauhkan diri, katanya. "Magda Peters hanya diharuskan meninggalkan Hindia, tapi Tuan bisa mendapat tempat yang harus Tuan diami."
Nijman memang tidak mau menerangkan apa saja pembatasan itu. Baik. Akan kucoba bertanya pada siapa saja yang sanggup menjawab. Setidak-tidaknya semua ucapannya bisa mengandung kebenaran bila pembatasan-pembatasan itu memang ada dan nyata.
Di rumah keluarga T&linga telah menunggu surat Bunda, dan sebagaimana galibnya tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa.
"Gus, semua orang menjadi prihatin mengikuti halmu dari koran. Kau anakku yang jantan. Hanya itu yang membesarkan hatiku. Tentang halmu sendiri kaulah sendiri yang harus selesaikan. Jangan lupa pesan Bunda ini: jangan lari! selesaikan persoalanmu secara baik. Kan kau masih ingat " Kalau kau sampai mensia-sia sekolah dan pendidikanmu, karena hanya seorang kriminil saja anakku. Kau menyukai anak Nyai Ontosoroh. Teriah. Kataku: Jangan lari dari persoalanmu sendiri, karena itu adalah hakmu sebagai jantan. Rebut bunga kecantikan, karena telah disediakan untuk dia yang jantan. Juga jangan jadi kri-m,n" dalam percintaan - yang menaklukkan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat. Lelaki belakangan ini adalah juga kriminil, sedang perempuan yang tertaklukkan hanya pelacur.
"Aku dengar dari omongan orang yang membaca koran Belanda: kau sekarang sudah jadi pujangga. Aduh, Gus, mengapa kau menggubah dalam bahasa yang Bunda tak mengerti " Tulis-lah, Gus, kisah percintaanmu, dalam tembang nenek-moyangmu, pangkur, kinanti, durma, gambuh, megatruh, biar Bunda dan seluruh negeri menyanyikannya.
"Jangan risaukan Ayahandamu, beliau punya tembangnya sendiri...." Ah, Bunda tersayang. Betapa diri harus sayangi kau! Kau tak pernah menghukum aku, tak pernah mengadili putramu ini. Sejak kecil kau tak pernah sekali pun mencubit aku. Sekarang kau tak salahkan hubunganku dengan Annelies. Kau pinta aku menulis Jawa, bahasa yang bisa kau ucapkan dengan lidahmu. Betapa aku telah kecewakan kau, Bunda, karena aku tak punya kemampuan menulis dalam tembang Jawa. Irama hidupku membeludak begini, Bunda, tak tertampung dalam tembang nenek-moyang.
Hubunganku dengan Bunda dirusak oleh Mevrouw Telinga dengan rengekannya yang biasa:
"Bagaimana ini, Tuanmuda, bisa besok tak berbelanja..... dan itu berarti paling tidak harus dikeluarkan setalen dari kantong.
Di rumah Jean Marais kudapatkan May sedang tidur di kamarnya, di atas sebuah ambin yang kini sudah berkasur baru, hanya tidak bertilam. Jean sendiri sedang termenung. Bengkel di belakang rumah agak sunyi.
"Jean, mulai besok kau bisa melukis Mama. Sebaiknya dilakukan sewaktu ia mengerjakan surat-menyurat di kantor. Besok aku mulai masuk sekolah lagi. Sementara ini May bisa tinggal di sana selama kau melukis."
"Aku akan datang, Minke." suaranya masih terdengar sunyi-"Sebenarnya sekarang ini aku segan melukis."
"Kau sendiri yang dulu menghendaki."
"Dia begitu kuat, Minke. Pribadinya sangat kuat. Memang aku mengagumi dia juga, lebih-lebih dalam sidang Pengadilan itu. Seorang yang tabah dia itu, punya konsepsi. Aku bisa tenggelam di hadapannya."
Aku pandangi dia tenang-tenang. Apa dia bermaksud mengatakan: telah jatuh cinta pada Mama " hanya tidak ada sarana padanya untuk menyampaikan " Lelaki Prancis itu tak meneruskan kata-katanya.
"Kau pernah menderita karena cinta, Jean ""
Ia mengangkat kepala dan tersenyum. Membalas bertanya:
"Pernah kau dengar riwayat pelukis besar Prancis Toulouse-Lautrec " Lukisanlukisannya abadi menghiasi istana Louvre ""
"Tentu saja tidak."
"Sebenarnya dia telah mencapai segala dalam hidupnya." "Mengapa, Jean ""
Ia tersenyum ajaib dan tak mau meneruskan.
Dalam keadaan masih menguap-nguap May menggel"ndot di pangkuanku. "Mandi, May. Mari ke Wonokromo. Besok pagi berangkat ke sekolah denganku lagi." "Naik bendi dari Wonokromo "" tanyanya dengan mata menatap ayahnya. Jean Marais mengangguk membenarkan.
"Kau juga, Jean. Tak usah besok. Mari sekarang saja."
Kami bertiga berangkat. Bendi itu terlalu sesak. Marjuki sudah sejak semula menyatakan keberatannya. Hanya sekali ini saja, kataku menghibur. Dan di malam hari, di bawah kesaksian Jean Marais, diputuskan: Aku dan Annelies akan segera menikah setelah aku lulus ujian H.B.S.
Dunia dan hati damai bersalaman.
18. PESTA LULUSAN ITU ADALAH JUGA PESTA DALAM PESTA Tiga bulan lamanya aku hanya belajar dan belajar Tidak menulis Tidak bekerja" Belajar dan belajar, Sementara itu aku nilai kehidupanku telah pulih seperti sediakala
Pesta lulusan akan membikin aku tak lagi di kucilkan dan teman-teman. Diri akan kembali jadi bagian dan mereka sekali pun hanya untuk waktu pendek. Pendek ya, namun penting sebelum kami berpisahan memasuki kehidupan tanpa batas. Para orangtua dan wali murid telah duduk berbanjar, semua: Totok, Indo, beberapa orang Tionghoa, dan tak Pribumi barang seorang pun.
Mama menolak hadir, maka aku datang bersama Annelies.
Dan inilah untuk pertama kali dalam hidupnya ia keluar ruman untuk menghadiri pesta. .Ia bergaun beledu hitam kesayangan, berkalung mutiara tiga lingkar dengan medalion gemerlapan dengan berlian. Juga gelangnya. Aku tahu benar: ia telah menandingi Sri Ratu dalam kecantikandan permunculannya.
Aku sendiri, seperti para siswa lain yang akan menerima ijasah, berpakaian serba putih seperti pegawai negeri, hanya, tidak berbuahbaju kuningan bergambar huruf W.
Kami berdua memasuki aula pesta disambut oleh Magda Peters yang berpakaian resmi. Dan ia begitu bersemangat menyambut Annelies, dan:
"Primadonna! Kaulah ratu pesta ini." Di bawah kesaksian orang banyak Annelies tak menolak dibawanya menuju 'ke tempat duduk para hadirin. Para siswa laki dan perempuan memerlukan menoleh mengikut" sri ratuku. Tahulah mereka sekarang: dunia ini telah menjadi kerajaanku, kurebut bukan tanpa perang-tanding. Aku caricari Robert Suurhof untuk tak memberinya kesempatan menyembunyikan muka. Yang nampak justru Jan Dapperste yang melambaikan tangan. Aku balas dengan anggukan.
Duduk di kursi begini aku teringat pada Bunda. Betapa indah sekiranya semua ini ia saksikan: putra kebanggaan akan menerima ijasah lulus H.B.S. Wanita mulia itu tidak hadir. Dan aku rasai adanya kekosongan dalam kebesaran dan keriangan ini. Dengung seluruh ruangan padam. Wilhelmus menggema dalam kesertaan manusia dan kesaksian Triwarna, pita dan bendera. Kemudian Tuan Direktur bicara pendek mengucapkan selamat pada para pelulus, dan selamat jalan menempuh hidup gemilang di dalam masyarakat, mendoakan sukses yang sebesar-besarnya dalam pergaulan hidup mendatang. Kepada yang hendak meneruskan di Nederland untuk kelak mengikuti kuliah ia menyampaikan selamat belayar, berdoa agar menjadi sarjana yang baik dan berguna untuk Nederland dan Hindia dan Dunia. Tuan Inspektur Pengajaran Eropa tidak ikut bicara.
Sekarang acara memasuki pemanggilan para pelulus yang telah lolos dari ujian negara 1899. Para guru telah berbaris di belakang Tuan Direktur. Sunyi-senyap dan tegang.
"Pada penutup tahun pengajaran ini, mendekati tutup abad sembilan belas pula, di antara empat puluh lima orang siswa yang maju dalam ujian negara untuk seluruh Hindia, pelulus nomor satu jatuh pada H.B.S. Batavia. Di antara mereka sebelas orang dinyatakan tidak lulus dan diharapkan mengulang pada tahun depan. Pelulus kedua jatuh di Surabaya, yang berarti pelulus nomor satu untuk Surabaya." Hadirin bersorak menyambut.
Aku menduga setiap siswa berdebaran membayangkan diri sebagai yang nomor dua untuk seluruh Hindia dan nomor satu untuk Surabaya. Aku senciiri sudah lama mengimpikannya.
"Pelulus nomor dua untuk seluruh Hindia, nomor satu untuk Surabaya, siswa bernama ...... Minke."
Aku gemetar. Tak pernah aku duga. Dan memang tidak terpikirkan oleh seorang siswa Pribumi boleh berada di atas anak Eropa. Yang demikian tabu di Hindia Belanda mi.
"Minke!" panggil" Tuan Direktur. , .
Aku masih juga belum kuat berdiri. Dua orang siswa cn samping-menyampingku memaksakan diri menolong aku bangun.
"Minke!" panggil Magda Peters sambil melambai.
Berdiri juga aku den|an kaki goyah. Sudah pasti semua melihat keadaanku yang mengibakan itu. Tak ada kudengar orang bertepuk lagi sebagai pernyataan suka. Hanya karena vang terpanggil anak Pribumi. Para guru pun tidak. Ada tepukan tangan lemah. Mudah menebak: Juffrouw Magda Peters. Mungkin juga Annelies tidak bertepuk, karena memang tak pernah memasuki pergaulan semacam ini. Malah mungkin ia diam terlongok-longok di kursinya anak tak punya pergaulan itu seperti anak gunung. . .. , , .'.
Aku naik ke panggung dan menerima ijasah dan ucapan selamat. Tangan yang menerima masih gemetar kentara.
"Tenang, Minke," Tuan Direktur berbisik.
Lambat-lambat aku berjalan kembali ke tempat duduk semula, diiringi tepuk tangan lemah para guru, kemudian diikuti juga oleh beberapa siswa, kemudian juga oleh sebagian hadirin.
Lima nomor setelah aku adalah Robert Suurhof. Terakhir Jan Dapperste. Waktu yang belakangan ini kembali di tempatnya dari tempat duduk para hadirin Pendeta Dapperste, seorang Totok, menyambutnya dengan pelukan mesra. Juga istri pendeta itu. Kalau Annelies mengerti ia pun akan berbuat demikian. Ia tak melakukannya. Pesta lulusan dimulai. Siswa kias satu dan dua akan memainkan sandiwara yang diambil dari cerita Alkitab, berjudul Daud dan Bathseba, konon susunan seorang guru.
Hadirin dan lulusan kini duduk berbaur jadi satu. Annelies di sampingku. Sebelum sandiwara dimulai Tuan Direktur memerlukan menghampiri kami berdua untuk menyampaikan tilgram dari B.: ucapan selamat lulus ujian Negara sebagai nomor dua dari Miri-am, Sarah dan Herbert de la Croix. Ternyata mereka tahu lebih dahulu daripada aku sendiri, yang berkepentingan. Tuan Direktur dengan ramah menyalami Annelies. Biar begitu hatiku waswas jangan-jangan ia akan melancarkan penghinaan terang-terangan atau pun tersembunyi. Tapi tidak, ia tidak menghina. Nampaknya ia menyalami dengan tulus.
"Tuan Direktur, sudikah Tuan meluluskan bila kami berdua mengundang Tuan, para guru dan para siswa menghadiri pesta perkawinan kami pada Rebo mendatang " Pada jam tujuh sore
Begitu cepat "" sekali lagi ia menyalami kami. Annelies menyambut salam itu dengan sikap dingin. Dan dapat difahami sepenuhnya mengingat keterangan Dokter Martinet.
Jabatannya padaku diguncang-guncangkan karena sukacita, kemudian bertepuk riang, sehingga orang-orang menengok pada kami.
"Boleh sebentar nanti diumumkan ""
"Terimakasih, Tuan, tentu saja, sebagai undangan resmi se-cara lisan. "Mengapa tidak ada undangan tercetak ""
"Kuatir, Tuan, pengalaman yang sudah-sudah.....
Magda Peters yang duduk mendengarkan juga menyalami tanpa komentar. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Setidak-tidaknya kedipan matanya tidak cepat. Tuan Direktur pergi lagi. Dari panggung diumumkan akan dimulai babak pertama. Lambat-lambat layar dibuka. Terkirai pemandangan alam berbatu-batu tempat nanti (barangkali) Bathseba mandi dan nampak tubuhnya oleh Nabi Daud. Tapi Bathseba tak juga muncul sekali pun layar telah terbuka seluruhnya. Apalagi Nabi Daud. Orang mulai memanjangkan leher mencari-cari si cantik Bathseba. Yang muncul justru Tuan Direktur di tengah-tengah batu-batuan, tersenyum sambil melepas lorgnet. Seluruh ruangan pecah dalam tawa gelak. Tak bisa lain, Tuan Direktur juga ikut tertawa meringis. Maka 'Daud tanpa jubah tanpa destar tapi berlorgnet itu terpaksa minta" maaf pada para hadirin, karena ia harus melakukan sesuatu sekarang ini. Bila dilakukan pada akhir pertunjukan, tentu akan mengurangi nilainya. Kemudian ia meneruskan undangan kami.
Sorak sambutan ragu menyusul.
"Ada pun undangan yang bukan guru dan bukan siswa dan bukan lulusan, ternyata tidak ada."
Terdengar derai tawa. "Bagi mereka yang takkan sempat hadir, mungkin karena akan segera pulang ke negeri masing-masing, atau karena sudah punya acara, atas nama mereka semua sebagai direktur H.B.S. Surabaya aku ucapkan selamat pada mempelai mendatang dan mendoakan hidup berbahagia untuk selamanya. Terimakasih." Dan ia turun dari panggung, berpapasan dengan Bathseba yang sedang mengintip dari balik sebleng.....
*** Pesta perkawinan yang direncanakan akan sederhana diubah menjadi besar karena undangan mendadak dalam pesta lulusan. Nyai setuju. Ia gembira mendengarkan lapuran Annelies bagaimana undangan itu disampaikan.
"Pesta ini juga untuk merayakan kemenanganmu dalam an Nak. Dengan cobaan sebanyak itu, namun kau lulus dengan gemilang. Semua cobaan kau atasi." , Beberapa hari sebelum upacara pernikahan Bunda datang sebagai satu-satunya wakil keluargaku. Nyai menyambutnya dengan gembira seakan mereka berdua sudah lama kenal dan bersahabat. Segera ia jatuh sayang pada Annelies, calon menantunya Seakan ia tak dapat jauh lagi dari tempat calon pengantin itu dan tak bosan-bosan terlongok mengagumi kecantikannya.
"Ya, Dik," katanya pada Nyai, calon besan, "bocah koq begini ayu'seperti Nawangwulan. Barangkali lebih cantik dari Ba-nowati. Ya Allah, Dik, tidak kusangka tidak kunyana Adik mau mengambil anakku jadi menantu. Dunia-akhirat takkan kulupakan, Dik....,...."
"Ya, Mbakyu, mereka sudah sama-sama suka. Hanya ampuni sahaya, karena anak ini tidak berbangsa, berasal dari....."
"Ah, Dik, kalau gadis sudah begini cantik, segala sudah ada padanya." Di malam hari Bunda berbisik padaku:
"Gus, baik benar peruntunganmu, dapatkan istri secantik itu. Di jaman leluhurmu, perempuan seindah itu bisa terbitkan perang bharatayuddha."
"Apa Bunda kira sahaya tidak berperang untuk bisa mendapatkannya "" "Ya-ya-ya, kau benar, Gus, dan memang dengan kemenangan gemilang." .. Kami dinikahkan secara Islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan Annelies diwali oleh seorang wali hakim. Itu terjadi pada jam sembilan pagi tepat. Sesuai dengan kebiasaan, dan seiring dengan perasaan terimakasih, kami berdua melakukan sembah dan sujud pada Bunda dan Mama.
Mereka berdua menangis bercucuran menerima sembah dan sujud kami dan merestui kami berdua dengan ucapan terputus-putus. Juga Annelies menangis. Mungkin dirasainya kekurangan karena tiadanya seorang ayah yang semestinya ikut berbahagia pada hari kebesaran itu. Mungkin.
Bunda dan Mama saling meletakkan tangan di atas bahu, berpandangan dengan mata basah, berpelukan. Haruan, perasaan manusia yang murni, airmata. Juga haruan adalah kesakitan, nyeri pada pedalaman, karena orang bertemu dengan kelahirannya sendiri sebagai manusia, telanjang bulat dari segala kesea-kanan dan peradaban.
Kenduri kecil menyusul. Setelah itu pesta sesungguhnya.
Bagi penduduk kampung-kampung perusahaan perkawinan kami menjadi hari pesta besar Lapangan penjemuran padi dan palawija berubah jadi bedeng-bedeng besar. Semua mendapat liburan dengan upah penuh. Para pekerja ternak yang tidak boleh meninggalkan pekerjaannya mendapat upah tiga kali lipat. Lima ekor sapi jantan muda dipotong Tiga ratus ayam menemui ajalnya. Dua ribu dua puluh lima telur semua produksi sendiri ditumpahkan ke dapur. Seluruh kereta perusahaankah pun tak dipergunakan, dihias dengan aneka kertas berwarna
Belum pernah penduduk Wonokromo menyaksikan pesta perkawinan sebesar ini. Annelies pernah bercerita padaku: Mama akan keluarkan apa saja yang dipintanya untuk keperluan pesta ini. Dan katanya juga: ia ingin melihat sebanyak-banyak orang ada di sekeliling anaknya, dan ikut bergembira dengannya. Maka ia takkan menyesal seumur hidup.
Baik Annelies mau pun Mama tidak menghendaki sesuatu maskawin. Apa yang kami harapkan " kata Mama, Annelies telah mendapatkan segala dari calon suaminya. Kalau toh diharuskan ada maskawin, kata Annelies, ialah sesuatu yang belum kudapatkan dari dia : janji setia selama hidupku. Dan aku telah memberikannya pada akad nikah.
Pada jam lima sore pintu kamarku diketuk dari luar. Jan Dapperste masuk. Ia berpakaian bagus dan bersih sekali pun dengan potongan lama.
"Minke, maafkan, aku datang terlalu pagi. Sengaja lebih dulu untuk ikut membantubantu," ia terus duduk seakan tak pernah mengenal kursi selama lima belas tahun belakangan ini. Uengan nada keluh ia meneruskan, "Kau memang anak Mei, kau dapatkan segala yang kau kehendaki. Sukses kau dapatkan dan segala usahamu. Beberapa tahun lagi tentu kau akan iadi bupati."
"Bicaramu seperti anak sial meratapi peruntungan."
"Kau tidak keliru. Aku telah lari dari Papa dan Mama. Waktu kapal berangkat menuju ke Eropa, aku melompat, berenang ke darat."
"Bohong. Pakaianmu begitu bagus."
"Pinjaman dari teman luar sekolah." "Orang pada ingin ke Eropa. Hanya kau tidak."
"Ke Eropa hanya singgah, seterusnya ke Suriname. Minke, memang kelakuanku tidak patut. Anak pungut tak tahu di untung ini..,...."
"Barangkali sudah lebih tiga kali kudengar umpatan diri sepertl itu, "Maafkan terutama pada hari kebahagiaanmu ini. Sebenarnya tidak patut. Maafkan" Bantulah aku, Minke. Aku tak ingin keluar dari Jawa. Aku bukan Belanda, bukan Indo. "Sudah sering kudengar."
"Ya. Dan lebih dari itu tak pernah merasa senang bernama Dapperste*." Keluarga Pendeta Dapperste tak punya anak. Ia dipungut mereka sejak kecil, dibaptiskan dan ditambahkan nama kelua ga mereka Dapperste, pada namanya. Sejak itu ia bernama Jan Sanperste Nama sebelum itu ia tak tahu. Tuan Pendeta telah berusaha mengambilnya sebagai anak adopsi melalui Pengadilan. Usahanya"! akpernah berhasil, karena hukum perdata Belanda tidak mengenal adopsi. Maka namanya tinggal hanya nama yang diakui hanya oleh masyarkat, tidak oleh Hukum. "Sejak kecil aku anak penakut. Kau sendiri tahu. Nama Dapperste itu sungguh jadi siksaan terus-menerus."
Ya semua teman sekolah tahu itu. Bahkan orang mengubah Dapperste jadi Lafste" - Jan de Lafste. Dan kalau ceritanya benar hanya untuk membebaskan diri dari nama yang menyiksa ia telah berubah jadi pemberani: menceburkan diri ke laut dan melarikan diri dari orangtua pungut. Aku masih tetap kurang percaya. . "Jadi tinggal pada siapa kau sekarang g tanyaku. "Menginap di sana-sini. Dengan ijasah H.B.S. aku ingin bekerja di sini, di Surabaya. Hanya sialnya, Minke, pada ijasahku ada nama Dapperste^ Apa untuk seumur hidup harus kujunjung-junjung nama ini ""
"Kau bisa rubah namamu."
"Ya, aku tahu. Sudah setahun ini aku mencari-cari keterangan bagaimana caranya." "Bagaimana caranya ""
"Mengajukan surat, Minke, pada Residen. Dia akan meneruskan pada Gubernur Jendral." "Mengapa tak kau lakukan ""
Ia pandangi aku dengan mata bodoh, seperti bukan lulusan H.B.S. Ia berkecap dan berpaling muka.
"Tak bisa " Kan ada contoh-contoh surat resmi
"Meterainya Minke terlalu mahal, untuk bisa bebas dari nama ini. Surat Permohonan saja bermeterai satu setengah gulden. Untuk surat ketetapan yang aku butuhkan harus bermeterai satu setengah gulden lagi. Aku sudah pikir dan pikir timbang dan timbang.........
"Mengapa tak kau lakukan juga ""
"Masa kau tak mengerti, Minke " Dari mana uane tiga gulden " Belum lagi pranko "" "Mengapa tak bilang saja kau bingung tak ada biaya " Kan itu lebih mudah" "Maaf, sungguh memalukan bicara seperti ini pada hari kebahagiaanmu."- "Kan kau tak menyesali kebahagiaanku "" "Sama sekali tidak. Aku ikut bersyukur dengan setulus dan sejujur hatiku."
"Kalau begitu mari berbahagia bersama aku." "Itu sebabnya aku memperlukan datang."
"Dengar, Jan, setelah pesta ini Mama akan memperluas perusahaan, hendak mencoba di bidang rempah-rempah. Kau bisa belajar kerja di situ. Suka, kan " sambil menunggu datangnya surat ketetapan ""
"Terimakasih, Minke. Kau selamanya baik dan pemurah. Sayang surat ketetapan harus diawali dengan surat permohonan dulu itu pun belum lagi dibuat." "Perusahaan baru itu akan dipimpin oleh seorang Indo, van Doornenbosch. Nanti kuperkenalkan kau padanya. Nantilah semua aku urus sendiri." Ia pegang tanganku. Kepalanya menunduk dalam. Ia tak bicara.
"Jangan diam saja. Bicaralah selama aku masih ada waktu," "Terimakasih, Minke. Itu belum lagi semua Kau sendiri dapat mengikuti ceritaku. Penginapanku. Mmke, barang seminggu dan biaya mondar-mandir ke Surabaya selama itu. Bunda masuk untuk mempersiapkan riasku Wanita mulia itu telah berjuang untuk merebut tugas mi. Tak boleh orang lain merias putra kebanggaannya pada waktu marak jadi, pengantin .Pada tangan kanan ia membawa kopor kertas dan pada tangan kiri kranjang berisi bunga-bungaan, lepas dan untaian. Ia ragu melihat Jan Dapperste yang menatapnya dengan pandang melecehkan. , "Bundaku, Jan, kataku.
Baru teman itu tersenyum terpaksa dan membungkuk menghormat. "Bunda tak berbahasa Belanda," kataku memperingatkan.
Dan Jan Dapperste mulai bicara Jawa kromo dengan fasih. Aku tercengang juga melihat itu. Dan kuterangkan pada Bunda, ia teman selulusan, anak seorang pendeta. "Bekas anak pungut seorang pendeta," ia membetulkan. "Nak, ibu hendak merias anakku ini. Maafkan." "Mari, sahaya bantu, Ibu."
"Beribu terimakasih, Nak, jangan. Ini pekerjaan Ibu yang terakhir untuk anaknya. Harus sahaya lakukan sendiri. Sudi kiranya anak pindah ke tempat lain. Jan menatap aku dengan mata berteriak-teriak minta tolong.
Aku tahu ia mengantuk. Lebih dari itu: lapar. Aku sudah hafal kelakuannya. Kuambil secarik kertas dan kutulis surat perintah untuk Darsam supaya mengurusnya. "Carilah Darsam," ia terima surat itu dan pergi.
* Lampu gas kamarku sudah bisa kunyalakan, pertanda jam enam tepat. Sentral gas, yang diurus sendiri oleh Darsam, terletak di sebuah rumah batu kecil di belakang gedung, sudah dipompa. Kamar menjadi lebih terang.
Bunda menggosok muka, leher, dada, dan tanganku dengan cairan yang aku tak tahu namanya.
"Di jaman dulu," Bunda memulai seperti semasa aku kecil dulu, "negeri-negeri akan berperang habis-habisan untuk mendapatkan putri seperti menantuku, mbedah praja mboyong putri. Sekarang keadaan sudah begini aman, tidak seperti aku masih kecil dulu, apalagi semasa kecil nenekndamu. Orang bilang; semua takut pada Belanda maka keadaan jadi lebih aman. Memang Belanda ini tidak sama, berbeda dari nenek-moyangmu. Biar Belanda ini sangat, sangat berkuasa, mereka tidak pernah merampas istri atau putri orang seperti raja-raja nenek-moyangmu dulu. Ah, Nak, kalau kau hidup di jaman itu kau harus terus-menerus turun ke medan-perang untuk dapat tetap memiliki istrimu, bidadari itu. Boleh jadi lebih cantik, Gus. Pipinya, bibirnya, keningnya, hidungnya, malahan kupingnya, semua seperti lilin tuangan, dibentuk sesuai dengan impian manusia. Betapa bangga aku dapatkan menantu dia, Gus. Kau telah bikin aku berbahagia begini rupa." "Dia, Bunda, menantu Bunda itu, terlalu kurang jawanya." "Kan kau sudah senang padanya " Senang pada mulanya, Gus, setelah itu kau akan terus waspada, anak secantik itu, secantik itu..... para dewa pun takkan berdiam diri. Bunda masih terus mengurus badanku juga terus bicara dan bicara "Beruntung kau tak perlu berperang terus menerus seperti nenek-moyangmu." "Bunda."
"Aduh, kalau bisa aku boyong menantuku ke B, Gus, seluruh negeri akan keluar dari rumah untuk mengelu-elu, Bagaimana " Kalian ke B tidak nanti.
"Tidak, Bunda."
"Ya-ya, aku mengerti, Gus. Jadi Bunda selain mengalah berkunjung kemari untuk melihat kau, menantu dan cucu.
"Ayahanda yang akan berkeberatan, Bunda"
Stt, diam kau, Jadi kau larang istrimu dipangur " Kau tak jijik nanti melihat giginya ada yang runcing "
"Biar gigi istri sahaya tetap yang asli, Bunda." Seperti gigi Belanda, seperti gigi raksasi tidak dipangur
Mengapa Bunda gosok sahaya begini seperti sahaya tak pernah mandi "" "Husy. Pada hari perkawinanmu aku ingin lihat kau seperti anak dewa. Biar tak ada sesalan lagi untuk hidupmu dan hidupku selanjutnya."
"Apa guna seperti anak dewa ""
"Husy. Bukan untuk kau sendiri maka kau harus seperti anak dewa. Pada hari perkawinan seperti ini semua leluhurmu akan datang menyaksikan dan merestui. Juga Bunda ini kelak kalau anakmu kawin. Tak mungkin kulewatkan kesempatan melihat keturunanku. Coba. bagaimana akan rasa hatiku, bila nanti melihat cucuku naik ke atas puadai pengantin bukan seperti satria Jawa " Apa akan kataku nanti kalau sudah mati, melihat cucuku ternyata bukan Jawa, hanya karena kurang urus dari orangtuanya ""
"Apa leluhur orang Belanda juga datang menghadiri perkawinan keturunannya, Bunda ""
"Husy. Mengapa kau urusi orang Belanda " Kau belum lagi cukup Jawa, belum cukup patuhi leluhurmu sendiri. Coba, kata orang kau sudah jadi pujangga. Mana tembangtembangmu yang dapat kunyanyikan di malam-malam aku rindukan kau " "Sahaya tidak dapat menulis Jawa, Bunda."
"Nah kalau kau masih Jawa, kau akan selalu bisa menulis Jawa Kau menulis Belanda, Gus, karena kau sudah tak mau adi Jawa laS Kau menulis untuk orang Belanda Mengapa kau ndahkTn benar mereka " Mereka juga mmum dan makan dan bumi Jawa Kau sendiri tidak makan dan dan bumi Belanda. Coba, mengapa kau indahkan benar mereka "
"Sahaya, Bunda "Apa yang kau sahayakan " Nenek-moyangmu dulu raja-raja Jawa itu, semua menulis Jawa. Malu kiranya kau jadi orang Jawa " Malu kau tidak jadi Belanda " Dungulah aku bila menjawabi kata-kata Bunda yang diucapkan denian lemah-lembut namun
terimbangi itu. Ya-ya, semua menuntut dan diriku. Juga Bunda sekarang ini. Bunda tahu dan aku pun tahu, aku takkan menjawab. Ia lebih banyak bicara pada nenekmoyangnya unUikjsudi mengampuni aku, anak kesayangannya. Nenek-moyang tak boleh murka padaku. Ah, Bunda, Bundaku tercinta, ibu yang tak pernah memaksa aku, tak pernah menyiksa, biar satu cubitan kecil pun, tidak dengan kata, tidak pula dengan jari.
"Nah, kenakan kain batik ini. Sekarang. Telah Bunda batik-kan sendiri untukmu buat kesempatan ini. Bertahun lamanya aku simpan dalam peti khusus, setiap minggu ditaburi kembang melati, Gus. Setelah aku dengar cerita orang dari suratkabar tentang jalannya sidang itu, segera aku sucikan kain ini, Gus. Satu untuk kau, satu untuk menantuku. Coba periksa batikan Bunda ini, dan cium, harum melati bertahun itu." Jadi aku periksa kain batik itu dan kucium: "Indah, Bunda, luarbiasa. Harum. Dan wanginya meresap sampai ke dalam benang."
"Uah, tahu apa kau tentang batik," dan sengaja ia tidak melihat padaku, tahu aku sedang meringis kesakitan. "Aku nila dan aku soga dengan tangan sendiri, Gus. Juga nila dan soga buatan sendiri. Ciumlah lagi harumnya, wangi soga itu masih ada," dan kain itu Bunda sorong pada hidungku. "Sedap, Bunda "
"Uah, macammu! Aku juga sudah senang, Gus, dapat melihat kau sudah pandai berpura-pura untuk menyenangkan hati peremupuan tua ini," dan sekali lagi ia tak memandangi aku yang meringis kesakitan. "Aku sudah merasa, calon menantu dan besanku tidak bisa membatik. Jadi aku mesti kerjakan ini. Waktu aku masih kanakkanak. Gus, buruk benar perempuan tak bisa membatik."
"Batikan Bunda begini halus Satu bulan" ,
"Dua bulan, Gus, dua batikan khusus untuk ini. . Kalau setelah itu kalian buang, terserahlah"
"Akan sahaya simpan seumur hidup Bunda" "Betapa kau pandai menyenangkan hatiku. Itu ucapan anak yang berbakti..... Juga untaian-untaian bunga ini buatanku sendiri. Kens ini peninggalan Nenendamu, sudah berumur ratusan tahun sebelum ada Mataram, sebelum ada Pajang. Jaman Majapahit, Gus."
"Dari mana Bunda tahu ""
"Husy. Keterlaluan kau, Gus. Kan ada silsilah di rumah Nenendamu dulu " Kau tak pernah dengarkan beliau. Itu salahmu. Mungkin hanya Belanda saja kau anggap berharga bicaranya. Keris ini pernah dipergunakan oleh semua nenek-moyangmu kecuali ayahandamu. Keris ini disediakan Nenekdamu untuk kau, Gus. Ah, bagaimana harus bicara denganmu " Sungguh,
Bunda sudah tak tahu, Gus. Maafkan perempuan tua tak tahu apa-apa ini, Gus." "Bunda!"
"Tak ada orang Belanda bisa bikin keris, Gus. Tak mampu dan takkan mampu. Coba buka, akan kau lihat tapak-tapak ibu-jari empu linuhung yang membikinnya." Waktu itu aku sedang mengenakan kain batik, kataku: "Ampun, Bunda, coba Bunda tarikkan keris itu untuk sahaya, biar sahaya lihat."
"Husy. Kau memang sudah bukan Jawa. Apa kau samakan ini dengan pisau dapur "" Waktu aku lihat butir airmata pada wajahnya buru-buru aku ikat kain batik itu dan menyembahnya:
"Ampun, Bunda, bukan maksud sahaya hendak sakiti Bunda. Ampun, beribu ampun, ya, Bunda."
Bunda membuang muka dan menghapus airmata dengan pundaknya. "Jangan keterlaluan, Gus, juga jangan keterlaluan bukan-Ja-wa-mu. Mulai kapan perempuan boleh menarik keris dan sarungnya " Keris hanya untuk lelaki. Yang untuk perempuan bukan keris namanya. Jangan sembarangan. Kau pun takkan bisa bikin ini. Hormati orang yang lebih bisa daripada kau. Lihat N Pada cermin nanti. Kalau keris sudah kau selitkan pada pinggangmu, kau akan berubah. Kau akan lebih mirip dengan leluhurmu, lebih dekat pada asalmu." . .
Dan Bunda terus juga bicara dan bicara. Dan riasan itu akhirnya selesai juga. Nah sekarang kau duduklah dilantai. Tundukkan kepala-mu. Pada kesempatan seperti itu tahulah aku apa yang akan menyusul; wejangan sebelum pesta perkawinan. Tak bisa lain.
Nah wejangan itu akan dimulai. Kau keturunan darah para satria Jawa ... pendiri dan pemunah kerajaan-kerajaan ... Kau sendiri berdarah satria. Kau satria..... Apa syarat-syarat satria Jawa "
"Sahava tidak tahu. Bunda. .
"Husy Kau yang terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada pada satria Jawa: wisma, wanitaa, turangga, kukiia dan curiga. Bisa mengingat "Tentu saja, Bunda, bisa." "Kau tahu artinya "" "Tahu, Bunda."
"Dan kau tahu lambang-lambang apa itu "Tidak, Bunda." . . ..
"Anak tak tahu di asal, kau. Dengarkan, dan sampaikan kelak pada anak-anakmu....." "Sahaya, Bunda." .
"Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat. Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. Kau sudah bosan' "Sahaya mendengarkan." Ia tarik kupingku: "Kau yang tak pernah dengarkan orangtua........"
"Sahaya dengarkan. Bunda, sungguh." "Kedua, wanita. Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk, suami. Wanitasumbu pada mana semua, penghidupan dan kfehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus persiapka."
"Sahaya, Bunda."
"Orang Belanda tak tahu semua ini, Gus. Tapi kau harus tahu, karena kau Jawa." "Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan l trampilan, kebiasaan, keahlian, dan akhirnya kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu"
Aku mengangguk-angguk menyetujui, mengerti itu juga kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman berabad Hanya aku tak tahu siapa punya kebijaksanaan itu" Nenekmoyang atau Bunda pribadi.
"Keempat kukiia, burung itu, lambang keindahan kela ngenan , segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan hanya kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu Gus lam bang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan..... Nah, kau anak lulusan H.B.S., kan yang begitu tak pernah diajarkan gurumu " orang-orang Belanda itu " Nah sekarang kau sudah tahu semua itu sebagai satria. Kalau belum ada salah satu dari yang lima itu adakanlah. Jangan pungkiri yang lima itu. Setiap daripadanya adalah tanda-tandamu sendiri. Kau harus dengarkan leluhurmu. Kalau yang lain-lain tak dapat kau patuhi, yang lima itu sajalah genapi dengan baik. Kau dengar, Gus ""
"Sahaya, Bunda." ..
"Sekarang bersamadilah, memohon restu dan ampun pada leluhurmu, biar dijaga kau dari aniaya, fitnah dan dengki." Aku masih tetap duduk di lantai, menunduk.
"Bukan begitu. Bersila yang baik. Tangan tergantung lemas terletak di atas pangkuan. Jadilah Jawa yang baik, biar pun hanya untuk sebentar dan sekali ini saja. Menunduk lebih dalam, Gus."
Telah aku lakukan semua perintah dan keinginannya. Dan memang aku memohon ampun dari leluhur tak kukenal itu dan tak dapat kubayangkan. Sekali malah wajah si Gendut melintas.
Bunda duduk berlutut di hadapanku, mengalungkan untaian melati pada leherku, la tersedan-sedan. Kemudian ditaruhnya rangkaian kecil bunga-bungaan dalam genggaman dua belah tanganku. Dengan tangannya, tanpa bicara, ia gerakkan janjanKu untuk menggenggam Ia cium keningku di bawah lengkung blangkon, dan ia makin tersedan-sedan. Aku rasai airmatanya menjatuhi pipiku. Dan tiba-tiba aku pun menangis
Misteri Dewi Pembalasan 1 Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss Cincin Maut 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama