Ceritasilat Novel Online

Cinta Di Ujung Batas 1

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng Bagian 1


Cinta di Ujung Batas Wahyu Henneng ? 2013, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Hak cipta dilindungi undang undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kompas - Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2013
ID: 998131825 ISBN: 978-602-02-2145-8 Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Pacaran" Haruskah"
1. Pacaran" Haruskah"
__Haekal__ ain aekal Cahaya Ramadhan, itu nama yang Papa
berikan untukku. Nama yang disematkan un?
tuk bayi lelakinya dengan harapan besar, kelak aku
bisa menjadi cahaya berharga bagi kedua orangtuaku
baik di dunia ini hingga sampai akhirat kelak.
Terkadang aku miris merenungi harapan orang?
tuaku, takut aku nggak bisa menjadi anak yang diha?
rapkannya. Tetapi begitu aku dihinggapi ketakut?
an itu, aku segera bangkit melawannya dan segera
berusaha menggapai harapan itu. Ternyata di situ
kekuatanku, aku melawan ketakutan itu dengan
kekuatan untuk memenuhi harapan Papa dari nama
yang diberikan padaku. "Terima kasih Pa, doakan aku bisa memenuhi
harapan Papa," aku berguman meneteskan air mata.
Kembali aku memutar kenangan bersama Papa.
Sejak kecil aku sangat dekat dengan Papa, Haekal
kecil yang sangat dimanja dan bahagia, Haekal remaja
yang sangat dibangga dan bahagia.
Yah " kini aku sudah menjadi Haekal dewasa
yang harus bisa membahagiakan keluarga, aku harus
Cinta di Ujung Batas bisa. Kini adalah saatku, kini adalah waktuku, kini
adalah kesempatanku, kini adalah tanggung jawabku.
Sepertinya Papa sudah mempersiapkanku, di da?
lam kemanjaan yang Papa limpahkan tak lupa di
dalamnya Papa juga memberikan tanggung jawab
yang harus aku lakukan. Dari usia dini Papa sudah menggendongku 15
menit sebelum azan subuh untuk dibawa shalat ber?
jemaah di masjid. Terkadang aku merasa berat karena
kantukku, tetapi rutinitas yang diterapkan papaku itu
tidak berani kutolak. Begitu juga untuk Shalat Isya.
Awalnya kebiasaan itu memang terasa sebagai be?
ban, tetapi seiring dengan perkembangan usiaku se?
mua itu berubah sebagai suatu kebutuhan yang harus
kupenuhi. Terasa penyesalan yang dalam apabila aku
melewatkannya. Kini kemanjaan yang diiringi tanggung jawab itu
semakin kurasakan manfaatnya. Pola asuhan orang?
tuaku, khususnya Papa terhadap anak-anaknya ku?
syukuri betul sebagai anugerah terindah dalam per?
jalanan hidupku. Papa memanjakanku tetapi juga menuntut tang?
gung jawabku. Papa menjadikanku sebagai lelaki
yang tumbuh penuh dengan keimanan, percaya diri
dan tanggung jawab. Memperkenalkan hak dan ba?
til, halal dan haram, baik dan buruk. Dari dini Papa
sudah memberikan "garis pembatas yang sangat tebal"
yang harus kami pahami dan jalani, baik di dalam
hubungan keluarga, maupun dalam pergaulan di luar.
Pacaran" Haruskah"
Apalagi dalam urusan ibadah sangat luar biasa kete?
gasan Papa. "Kal, kamu mau dicintai Allah kan" Makanya
kalau shalat jangan sekadar memenuhi tanggung ja?
wab, dua menit selesai, shalat itu saat terindah kita
berkomunikasi dengan Allah, biasakan cegat waktu
shalat, 10 menit sebelumnya gelar sajadah bersimpuh?
lah di situ. Nantikan panggilan Allah dengan penuh
kerinduan dengan berzikir sampai waktu shalat tiba.
Kal, kamu harus yakin Nak, kalau kamu selalu me?
rindukan Allah, Allah pun akan selalu merindukan?
mu." Terngiang selalu nasihat Papa, apabila aku mulai
menggelar sajadah Seperti nasihat Papa dulu, ketika aku mema?suki
usia balig, aku dibawa papa ke sebuah sekolah mene?
ngah di dekat kompleks rumahku.
"Pa, kenapa kita parkir di sini?" tanyaku saat
itu. Heran melihat papaku parkir di sebuah sekolah
menengah. Untuk apa"
"Haekal, kamu sekarang sudah balig, mulai seka?
rang kamu harus meluruskan niat kamu dalam per?
gaulan yang benar-benar hanya diridai Allah".
"Maksud Papa?" "Kal, kamu harus sudah membentengi dirimu
dengan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
di dalam pergaulan. Nah itu, lihat siswa siswi itu.
Mereka bergandengan tangan bercanda ria, bahkan
ada yang berangkulan, menurut kamu halal tidak?"
Cinta di Ujung Batas ain "Tidaklah Pa! Mereka kan bukan mahram, ber?
sentuhan dengan yang bukan mahram haram kan hu?
kumnya!" jawabku tegas.
"Alhamdulillah Nak, berarti kamu sudah paham.
Papa nggak mau mengulangi kesalahan Papa kepada
anak-anak Papa. Kalau dulu Papa nggak tahu semua?
nya ini. Papa dulu pacaran. Kamu tahu Kal, penyesalan
yang luar biasa dalam terasa hingga saat ini. Kenapa ya
dulu aku pacaran" Menghabiskan waktu, kadang be?
rantem nggak jelas masalahnya, kadang cemburu, ka?
dang berkurban luar biasa yang menguras waktu dan
pikiran. Toh ternyata dia bukan jodoh Papa. Buangbuang waktu, belum lagi dilihat dari segi agama beta?
pa besar dosanya. Coba dulu Papa nggak usah pacaran
ya. Toh bila saatnya tiba jodoh akan diberikan Allah
melalui jalan cerita yang diridai Allah. Sebenarnya
Islam itu sudah mengatur dengan sangat indah Kal,
kalau kita menjalani semua aturannya hasil akhirnya
pastilah sangat nikmat. Kamu paham Nak?"
"Iya Pa, insya Allah," jawabku kala itu sambil
memeluk Papa. Duh . . . kangennya aku dengan pe?
lukan itu. Alhamdulillah . . . Yaa Allah, Engkau memberikan
seorang Papa yang sangat mencintai-Mu, yang men?
didik kami semata karena-Mu.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Tak terasa
hampir tiga jam aku mengenang kenangan indah de?
ngan Papa. Setiap mengenangnya aku semakin ka?
ngen dengan kehadiran Papa.
Pacaran" Haruskah"
Ya Allah, aku terperanjat dari tempat dudukku.
Aku hampir lupa, besok kan awal bulan minggu per?
tama. Aku bersorak dalam hati, segera beranjak dari
kenanganku, dan bergegas mempersiapkan diri.
Seperti biasa kami sekeluarga selalu menghadiri
zikir akbar setiap awal minggu di setiap bulannya di
Sawangan Depok. Tak terasa sudah hampir tiga tahun rutinitasku
dan keluarga besarku selalu hadir di acara zikir akbar
tersebut. Kalau Mama Haekal bilang, seperti keta?
gihan, mau lagi dan mau lagi.
Malam ini seperti malam bulan yang lalu, Haekal
menyiapkan keperluan yang berhubungan dengan zi?
kir akbar tersebut. Ditelitinya satu per satu, sarung
putih, koko putih, peci putih disiapkannya di ujung
tempat tidurnya, sambil bersenandung lembut me?
ngalunkan zikir subhanallah " walhamdulillah "
walaaillaaha ilallah " wallahuakbar ".
"Yup, semuanya sudah lengkap," gumamnya.
Tersembul kerinduan yang teramat dalam untuk
segera menikmati zikir bersama. Menikmati hidangan
Allah kata Ustadz Arifin Ilham. Beliau adalah ustad
yang dikagumi dan dicintainya karena Allah. Melalui
eksistensi beliaulah zikir akbar itu setiap bulannya bisa
terlaksana dan yang pasti tak terlepas karena ridaNya.
Tak terasa setiap kali mau menghadiri zikir Haekal
selalu teringat papanya. Perasaan kangen selalu
menyesakkan dadanya. Papanyalah orang pertama
Cinta di Ujung Batas yang selalu getol mengajak Haekal untuk selalu ha?
dir di zikir akbar tersebut dan mengharuskan untuk
mengesampingkan kegiatan-kegiatan yang lain. Na?
mun sekarang sosok Papa yang selalu dirindukannya,
kini telah tiada, Ya Allah " sayangi almarhum papa di sisi-Mu,
doa Haekal dalam lamunannya.
Ya Allah, tak terasa Papa meninggal sudah ham?
pir dua tahun. Tak terasa waktu berjalan cepat, sejak
papanya meninggal. Di rumahnya yang mewah dan
besar Haekal hanya tinggal dengan mamanya Nadia,
adiknya Tyas dan empat orang yang membantu ke?
luarga tersebut. Mang Mamat yang bertugas sebagai
sopir, istri Mang Mamat, Bik Sumi yang mengurus
dapur dibantu dengan Bik Inah istri dari Mang Diran,
tukang kebun di rumah itu.
Alhamdulillah, di kaveling seberang jalan adalah
rumah Om Rasyid, yang kebetulan adik Mama, yang
sangat perhatian dan sayang dengan kami semua. Be?
gitu juga dengan Tante Ade dan kedua sepupu kem?
barku yang centil dan manja tapi baik hati.
"Duh, kenapa aku jadi kangen mereka" Baru se?
minggu tidak bertemu mereka yang sedang berlibur
ke Palembang, ke tempat Oma, orangtua Tante Ade."
Aku bergegas meraih ponsel di atas meja belajar,
kuhubungi Diah dan Diaz. Aku kangen sama mereka.
"Assalamualaikum Kak Haekal, pa kabar" Diah
kangen nih. Gimana kabar Kak Tyas, gimana kabar
Bude" Duh, kita semua kangen banget nih," cerocos
Pacaran" Haruskah"
sepupuku dengan gaya manja dan centilnya, begitu
menerima teleponku. "Wa `alaikumsalam, sepupuku yang cerewet.
Gi?mana Kak Haekal mau ngomong" Gantian dong
ngomongnya," jawabku mengomentari kecerewatan
sepupuku Diah "Hahaha " dunia sepi ya Kak tanpa Diah," ce?
loteh Diaz yang nimbrung melalui loudspeaker ponsel.
"Diah, Diaz ngapain aja nih di Palembang" Kakak
kangen. Gimana, semua warung pempek udah di?
cobain belum" Terus kapan mau pulang?" ledekku.
"Insya Allah lusa Kak, penerbangan pertama,
karena siangnya Diah ada kuliah dan si bontot Diaz
masih ada gawe yang harus dikerjain. Ditambah lagi
Papa ada rapat penting malamnya di Hilton. Dan
yang tak kalah penting urusan Mama Kak, arisan,
seminar dan seminar lagi. Hahaha ". Eh, ditambah
lagi mengunjungi pameran, pameran batiklah di
sana, pameran lukisanlah di sini, pokoknya sibuk deh
Mama," cerocos Diah terbahak mengomentari kesi?
bukan keluarganya. Memang Diah lebih agresif, lebih
terbuka dan lebih centil dibanding Diaz yang sedikit
kalem dan pemalu. Keluarga Om Rasyid ini keluarga yang menu?
rut penilaianku moderat, demokratis, sukses, tetapi
kurang meluangkan waktu untuk kegiatan keaga?
maan. Walaupun untuk ibadah wajib mereka juga
tekun. Cinta di Ujung Batas Beberapa kali Om sekeluarga aku tawari untuk
mengikuti zikir akbar di Sawangan, atau sekadar sha?
lat berjemaah di Masjid, pasti selalu menolak dengan
kelakar-kelakar lembut. Seperti duluan aja deh, salam
aja ya dan sebagainya. Tetapi, pada dasarnya mereka keluarga yang baik,
banyak memberi manfaat ke orang lain. Doa selalu
kupanjatkan semoga Allah segera mengetuk hati
mereka, untuk lebih mencintai-Nya dengan men?
jalankan apa yang diperintahkan-Nya, dan menela?
dani apa yang dicontohkan Rasulullah, dan yang pasti
lebih menyempurnakan kesuksesan hidup yang sebe?
narnya. "Hallo Kak! Kak Haekal dengerin Diah ngomong
atau ngelamun, kok nggak ada respons," teriakan
Diah membuyarkan lamunanku.
"I " iiya sorry Di, kakak mau bilang besok kita
sekeluarga mau zikir di Sawangan. Kalian mau nitip
didoain apa?" jawabku. Memang kebiasaanku selalu
mengabarkan kepada mereka setiap kali aku mau zi?
kir di Ustadz Arifin Ilham, dengan harapan mereka
tergerak untuk mengikutinya. Aku selalu yakin, entah
kapan suatu saat mereka pasti mendapat hidayah un?
tuk menyempurnakan ibadahnya.
"Hmm " apa ya Kak" Yang baik-baik aja deh,
yang pasti Kakak lebih tahulah. Dan jangan lupa Kak,
kalau ketemu orang ganteng kaya Kak Haekal, salam
ya." Pacaran" Haruskah"
ain "Astaghfirullah, ngawur kamu. Orang mau zikir
malah suruh nyariin cowok," sambarku.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yah memang Diah ini lebih agresif. Terkadang
aku khawatir melihat tingkahnya yang sering ganti
pasangan. Walaupun dia selalu jujur dan menurutnya
pacarannya masih sangat wajar. Paling hanya sekadar
makan malam, nggak lebih dari pukul 09.00 sudah
pulang, begitu jawabnya setiap aku tegur. Memang
Om Rasyid sendiri cara mendidiknya walaupun mo?
derat tetapi ketat. Menurut Om, masih wajar di?
izinkan pacaran tetapi disertai dengan aturan.
Ya Rabb, jaga sepupuku dari semua yang Engkau
murkai, doaku selalu kupanjatkan untuk mereka.
"Kak, gimana kabar Bude dan mbak Tyas" Aku
kangen juga nih. Dan satu lagi Kak, ada kabar apa
dari kak Haekal" Udah ada yang bisa dikenalin be?
lum" Aduh Kak " percuma dong ganteng, pintar,
masa depan cerah, tapi nggak ada yang kecantol. Ayo
dong Kak buktikan," ledek Diah di ujung teleponnya.
"Astaghfirullah, kalian ini apaan sih" Pacaran itu
dosa Non. Dalam agama kita gak ada pacaran. Bersen?
tuhan kulit dengan yang bukan mahram saja hukum?
nya haram. Lagian kamu udah tahu prinsip Kakak
kan" Jangan coba-coba mau dimanfaatin setan ya un?
tuk membujuk Kakak. Nanti setannya jadi pindah ke
?" dengan nada canda aku gantung ucapanku
"Iih " Kak Haekal jahat deh. Okelah aku nggak
terusin, susah deh ngomong sama Pak ustadz. Cuma
Cinta di Ujung Batas pesan Diah, jangan jadi kuper ya. Sayang kan, gan?
teng-ganteng kuper," ledeknya.
"Insya Allah nggak. Mempertahankan prinsip
sesuai dengan ajaran yang kita yakini dan agungkan,
sesuatu yang mulia Di. Insya Allah selain mulia di
mata manusia tentunya mulia di mata Allah, Toh kita
bisa tetap bergaul, bersahabat, berprestasi tanpa ha?
rus meninggalkan perintah Allah, ya nggak" Justru
kita harus bisa jadi magnet Di, untuk teman-teman
kita. Kamu tahu sendiri kan, Kakak selalu aktif ber?
organisasi baik waktu di sekolah dulu maupun orga?
nisasi di kampus sekarang. Berarti Kakak nggak kuper
kan" Justru kita bisa berdakwah kecil-kecilan melalui
perilaku kita, yang Islami tapi asyik. Buktinya temen
kakak banyak. Sampaikan kepada mereka kebaikankebaikan melalui perilaku kita walaupun sebiji sawi,
yang penting sasarannya sampai. Ya nggak?" jelasku
panjang lebar. "Eh " Iya Kak," jawab Diah pendek dan serius.
Aku bersyukur dalam hati. Semoga Diah terketuk
hatinya, Aku ingin sekali sepupuku ini menjadi mus?
limah yang taat. Tok! Tok! Tok! Bunyi ketukan di pintu kamarku. Terpaksa aku
menghentikan obrolan dengan kedua sepupuku.
"Eh sorry, udahan ya. Ada yang ketuk kamar Kak
Haekal, sampai ketemu lusa and jangan lupa pem?
peknya. Pilihkan yang paling uwenak. Oke" Salam
Pacaran" Haruskah"
ain kangen dan hormatku untuk Om dan Tante. Thanks
ya. Assalamualaikum."
"Oke Kak, insya Allah. Salam buat semuanya. Wa
`alaikum salam," sahut Diah mengakhiri pembicaraan
kami. Bergegas kubuka pintu kamarku.
"Mama" Ada apa Ma?"
"Mama cuma mau ingetin, apa semuanya udah
disiapin" Jangan tidur terlalu malam. Seperti biasa
kita Shalat Tahajud di Masdjid Al-Amru Bitaqwa Sa?
wangan ya," lembut pinta Mama
"Iya Ma, semuanya sudah beres. Haekal juga mau
tahajud di sana. Berangkat jam berapa Ma?"
"Insya Allah Mama bangunkan setengah dua ya.
Kita siap-siap, pukul 02.00 kita berangkat," jawab
Mama lembut sambil mengelus pundakku
"Oke Ma, " jawabku manja.
Ya Rabb, guratan kelelahan di wajah Mama lem?
but terlihat. Ya, semenjak papa meninggal, mamalah
yang menggantikan tugas papa di perusahaan. Alham?
dulillah Mama wanita yang cerdas, tegar, dan lembut.
Bangga dan pilu hati ini setiap memandang Mama.
Dalam kesepiannya ditinggal Papa, Mama memben?
tengi dirinya dengan meningkatkan ketakwaannya.
Kegiatan keagamaan baik di kantor maupun di ling?
kungan rumah selalu aktif diikutinya.
Ya Rabb, bahagiakan selalu mamaku, doaku dari
relung hatiku yang terdalam.
Cinta di Ujung Batas "Oh iya Ma, besok yang ikut giliran siapa?" ta?
nyaku, karena sudah menjadi kebiasaan keluarga kami
bertahun-tahun, kami selalu menggilir siapa yang
ikut berzikir. Mang Mamat dan Bik Sumi atau Mang
Diran dan Bik Inah. "Besok Mang Mamat dan Bik Sumi," jawab Mama
"Jadi kamu bisa tidur di mobil Kal, ada Mang
Mamat yang nyopir. Pulangnya bisa gantian, Mang
Mamat bisa tidur," Mama melanjutkan lagi
"Iya gampang Ma. Oke Ma, Mama juga harus
cepat istirahat biar nggak kesiangan," kukecup ke?
ning Mama dengan lembut. "Assalamualaikum Ma,"
bisikku. "Wa `alaikumsalam Nak," sahut Mama sambil
membalikkan badan menuju kamar Tyas. Pasti Mama
akan mengecek kesiapan adikku untuk zikir besok
pagi. Setelah Mama keluar, aku segera bergegas meng?
ambil air wudu, untuk shalat sunah dan kemudian
membaca Al-Qur"an, yang biasa aku lakukan men?
jelang tidur. Untuk Shalat Isya, dari kecil aku sudah
terbiasa mengikuti Papa untuk shalat berjemaah di
masjid, begitu juga untuk Shalat Subuh.
Setelah shalat sunah selesai, kuambil Al-Qur"an,
kudekap sebentar, merasakan kerinduanku pada fir?
man Allah. Lalu aku buka acak, dan surah Ar-Rah?
man terpilih malam ini untuk aku tadaburi, meng?
antar tidurku. Pacaran" Haruskah"
Ya Allah, wahai Dzat yang Maha Pemurah, sayangi
kami sekeluarga, dan suburkan cinta di hati kami
kepada-Mu ya Rabb. Rengekku lembut kepada Sang
Pencipta Kulipat sajadah, segera beranjak tidur, sebelumnya
aku pasang alarm ponselku untuk membangunkanku
dini hari nanti. Kurebahkan tubuh di ranjang empuk dan nya?
man. Kupandangi sekeliling kamarku. Alhamdulillah,
semua fasilitas tersedia lengkap, tersusun rapi dan ber?
sih di semua sudut kamarku.
Di dinding tembok terpampang kaligrafi syahadat
yang selalu aku tatap dan baca setiap masuk kamar. Di
atas meja sudut Mama meletakkan pigura meja yang
cukup besar berbingkai indah yang bertuliskan:
Tujuh sunah harian Rasulullah saw.
Qiyamul Lail/shalat malam
Tadabur Al-Qur"an Shalat berjemaah di Masjid
Shalat Duha Selalu Menjaga Wudu Bersedekah Beristigfar setiap saat ____Ust. Arifin Ilham____
"Kal, pigura ini Mama taruh di sini bukan ha?nya seka?
dar pajangan di kamar, tapi Mama berharap makna
Cinta di Ujung Batas dari ini semua bisa menjadi pajangan di dalam ha?
timu, dan bisa menambah perbaikan dan penyempur?
naan ibadah kamu Nak. Juga Mama dan Tyas, karena
di kamar Mama dan Tyas juga Mama letakkan tulisan
yang sama. Mama berharap kita semua bisa men?
jalankannya dengan istikamah."
"Insya Allah Ma, doain Haekal ya biar istikamah."
"Amin, Mama menyahut lembut."
Tersenyum bangga aku setiap mengingat nasihat
Mama dan ini selalu terngiang sebagai penghantar ti?
durku. Terima kasih Ustadz Arifin Ilham, engkau telah
berbagi ilmu dengan jemaahmu, semoga pahala melimpah untukmu.
Istikamah dalam menjalankan tujuh sunah harian
Rasullulah sangatlah indah untuk mendampingi iba?
dah fardu kita. Aku berharap sekali keluargaku bisa
menjalankan semuanya ini, maka di antara kami sudah
membiasakan diri untuk saling mengingatkan apabila
di antara kami sudah ada yang mulai kendor imannya.
Iman kita grafiknya memang turun naik, maka kita
perlu berkumpul dengan orang-orang saleh, biar bisa
saling mengingatkan menuju keselamatan. Bisa saling
me-recharge keimanan kita di saat melemah, dan bisa
saling nasihat menasihati dalam kebaikan.
Ya Allah, aku mohon pada-Mu berikan kekuatan
hati ini untuk selalu mengamalkan sunah Rasul-Mu
sampai akhir hayat. Ya Allah jangan bolak balikkan hati kami setelah
mendapat petunjuk. Amin. Pacaran" Haruskah"
Malam ini aku terlelap dalam angan kebahagiaan,
asa untuk kesyahduan zikir esok hari sungguh aku
rindukan. Himpun aku selalu ya Allah, dalam Maje?
lis-Mu. Himpun aku selalu ya Allah dengan hambahamba-Mu yang mencintai-Mu.
Majelis zikir, taman-taman surga Allah, malaikat
selalu menghampiri taman surga Allah dan meng?
aminkan doa hamba Allah yang berdoa di dalamnya.
Subhanallah. Zikir, satu kata yang teramat nikmat untuk diha?
yati dan dilaksanakan. Semoga lisan kita tak terlepas
dari basahnya lafaz zikir, dan setiap embusan napas
kita beraroma zikrullah sampai batas akhir napas yang
diberikan oleh Sang Pemilik napas yang sesungguh?
nya. Hmm " indah sekali. Haekal menarik napasnya
dalam-dalam dan perlahan melepas dengan senyum
mengembang. Cinta di Ujung Batas 2. Indahnya Zikir __Tyas__ yas bergegas menuju kamar kakaknya Haekal.
Diketuknya pintu kamar Haekal. "Kak, udah
siap belum" Udah hampir jam dua nih. Mama udah
siap di bawah," seru Tyas dari balik pintu kamar.
"Oke Nona cantik, duluan aja ke bawah. Kakak se?
bentar lagi nyusul," jawab Haekal dari dalam kamar?
nya. Semenjak papanya meninggal, Haekal memang
memberikan perhatian serta kasih sayang kepada
adiknya lebih dari sebelumnya. Tak jarang Haekal
memuji dan menyanjung adiknya dengan sebutan
Nona cantik, Permata, Putri salihah dan masih ba?
nyak lagi sebutan lain yang membuat mamanya ba?
hagia mendengarnya. "Ditunggu ya Kak, jangan lama-lama. Nanti kita
nggak dapat tempat lho."
"Oke." jawab Haekal pendek.
Tyas segera bergegas menuruni tangga, mengham?
piri mamanya yang sedang berada di ruang keluarga.
"Assalamualaikum Ma," tegur Tyas.
"Wa `alaikum salam, minum teh dulu Yas, biar pe?
rutnya anget. Mana kakakmu?" tanya mama.
Indahnya Zikir "Masih di atas Ma, bentar lagi juga turun," ja?
wab Tyas. "Oh itu dia Ma, Kak Haekal udah ke sini,"
jawab Tyas begitu melihat Haekal menuruni tangga
ruang tengah. "Assalamualaikum semuanya," salam Haekal ke?
pada Mama dan adiknya "Wa `alaikumsalam," jawab Mama dan Tyas se?
rempak. "Kak, parfum baru ya" Wanginya enak, segar," puji
Tyas kepada kakaknya. "Iya dong, laki-laki harus selalu wangi. Apalagi
mau ke masjid atau majelis taklim, malaikat suka,"
ujar Haekal yang direspons mamanya dengan senyum
"Iya deh, lagian nggak hanya malaikat kok yang
suka. Tyas juga suka kalau Kakak wangi," canda
Tyas. "Mau teh Kak?" Tyas menawarkan teh kepada
kakaknya "Boleh, masih panas nggak?" tanya Haekal
"Anget Kak," jawab Tyas sambil menyodorkan
cangkir ke arah Haekal. "Thanks ya Yas," jawab Haekal. Matanya me?
mandang ke arah belakang rumah. "Ma, Mang Ma?
mat udah siap belum" Udah hampir jam dua," tanya
Haekal khawatir. "Udah di depan nyiapin mobil. Tyas, Haekal mi?
numnya udah" Kita berangkat yuk!" ajak Mama sam?
bil beranjak keluar. Di depan rumah ternyata Mang Mamat sudah siap
dengan mobil dan Bik Sumi pun sudah siap dengan
bawaannya. Cinta di Ujung Batas "Ayo Bik, kita berangkat," ajak Mama sembari
menggandeng Tyas, dan bergegas memasuki mobil
kami yang telah disiapkan Mang Mamat.
Mang Diran dan Bik Inah sudah membukakan
pintu gerbang. Begitu melewati gerbang, kami mem?
buka kaca, memberi salam dan berpamitan. Seperti
biasa, Mama berpesan untuk berhati-hati menjaga


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah. Alhamdulillah, kami sekeluarga memang tidak
pernah membedakan status. Bagi kami, mereka semua
sudah seperti keluarga. Aku dan Tyas dari kecil sudah
dibiasakan untuk berlaku santun dan menghormati
mereka. Kata Mama, mereka itu bagaikan orangtua kedua
bagi kami. Apalagi Mang Diran dan Bik Inah, yang
sampai sekarang tidak diberikan keturunan, sangat
menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Begitu juga
dengan Mang Mamat dan Bik Sumi, walaupun mere?
ka memiliki Arman anak tunggalnya. Mereka tetap
menyayangi kami dan kami pun menyayangi Arman
seperti saudara sendiri. Kami tumbuh bersama dan orangtua kami yang
menyekolahkan Arman di sekolah yang sama. Usia
kami masing-masing terpaut satu tahun. Tyas kelas
satu, Arman kelas dua dan aku di kelas tiga. Alham?
dulillah kami bertiga adalah murid berprestasi di se?
kolah. Sejak SD sampai SMA kami selalu bersama-sa?
ma, dan kami pun mendapatkan fasilitas pendidikan
yang sama dari orangtua kami.
Indahnya Zikir Aku bersyukur sekali mempunyai orangtua yang
berhati mulia. Bagi kedua orangtua kami, Arman su?
dah seperti anak sendiri. Alhamdulillah, Arman bisa
membalas kebaikan kedua orangtua kami dengan
akhlak serta prestasinya.
Selepas SMA, Arman diterima di Fakultas Ke?
dokteran UGM, sekarang semester 6. Sedangkan aku
mahasiswa UI Fakultas Teknik semester 8. Tyas di
universitas yang sama denganku di Fakultas Psikologi
semester 4. "Kal, ajak ngobrol Mang Mamat, takut ngantuk,"
teguran Mama membuyarkan anganku.
"Enggak kok Bu, sambil zikir nih," sahut mang
Mamat lirih. "Kalau ngantuk minggir aja Mang, biar Haekal
yang bawa," aku menawarkan diri.
"Tenang aja Mas, aman kok. Mas Haekal kalau
mau tidur silakan." Akhirnya suasana di mobil hening
kembali. Tak terasa mobil kami telah keluar dari pintu tol
Depok, memasuki jalan Margonda yang terasa sunyi
dan sedikit gerimis. Kulirik jam tangan, menun?
jukkan pukul 02.25. Kutengok ke belakang, Mama
sedang bertasbih sambil memejamkan mata, begitu
juga Bik Sumi. Sedangkan Tyas tertidur menyandar?
kan kepalanya di bahu Bik Sumi. Tyas memang sangat
manja dengan Bik Sumi. Sejak kecil kalau mau tidur
Bik Sumi mesti menungguinya sampai pulas. Sifat
manjanya tak pernah berubah sampai sekarang.
Cinta di Ujung Batas Mobil kami melaju memasuki jalan raya Sa?
wangan yang turun naik dan berkelok-kelok. Tak te?
rasa kami hampir sampai, di pertigaan jalan masuk ke
perumahan Mampang Sawangan Depok, sudah ter?
jajar puluhan bus dari berbagai penjuru daerah yang
akan mengikuti zikir akbar tersebut.
"Alhamdulillah, kita sudah sampai," ucapku
membangunkan Tyas dari tidurnya begitu memasuki
gerbang, perumahan Sawangan.
"Udah sampai Kak" Kok cepat amat?" tanya Tyas,
tergagap kaget. "Iya, soalnya perjalanannya dibuai mimpi sih,"
candaku yang disambut Tyas dengan cubitan lembut
di lenganku. "Udah Mang, parkir di sini aja," aku menunjuk
parkiran sebelah kanan, "biar nanti gampang ke?
luarnya." "Enggak turun di depan masjid saja Mas" Nanti
biar saya yang parkir ke sini, kasihan jalannya jauh,"
tawar Mang Mamat kepada kami.
"Enggak usah Mang, di sini saja. Kita jalan samasama menuju masjid, masih cukup waktu. Lagian su?
dah nggak gerimis," perintah Mama yang segera di?
turuti Mang Mamat. "Baik Bu, terima kasih," jawab Mang Mamat pen?
dek. Kami berlima berjalan menuju Masjid Al-Amru bi
Taqwa. Dari jauh, ratusan jemaah berseragam putihputih sudah banyak yang mulai berdatangan.
Indahnya Zikir Sepanjang jalan perumahan menuju masjid, ber?
jajar pedagang makanan, suvenir, buah-buahan yang
mulai menjajakan dagangannya. Panitia masih terlihat
sibuk menggelar karpet untuk berzikir. Duh, berdebar
setiap aku memasuki perumahan ini. Riang rasanya
mendapatkan suasana seperti ini.
"Kita dapet tempat di dalam nggak ya Ma?" tanya
Tyas khawatir. "Mudah-mudahan ya, kalau di dalam masjid kita
shalatnya lebih khusyuk, makanya jalannya cepatan
yuk," ajak Mama sembari menggandeng tangan Tyas.
"Ma, Haekal dan Mang Mamat lewat depan ya."
Sesampai di jembatan depan masjid, aku dan Mang
Mamat berpamitan untuk pisah.
"Iya Kal, hati-hati. Nanti SMS-an aja ya janjian
pulangnya," perintah mama.
"Insya Allah Ma," jawabku
"Tyas jaga Mama dan Bik Sumi ya. Hati-hati, ka?
lau ada apa-apa SMS aja ya," pesanku untuk Tyas.
"Insya Allah Kak. Assalamualaikum."
"Wa `alaikumsalam," jawab kami hampir serem?
pak Aku berjalan di samping masjid untuk berwudu,
kemudian segera masuk masjid untuk halat tahiyat
masjid dua rekaat. Jam tanganku menunjukkan pukul
03.10. Aku lihat Ustadz Syukur memasuki masjid.
Panitia mengumumkan Shalat Tahajud akan segera
dilaksanakan, entah kenapa hatiku bergetar riang.
Cinta di Ujung Batas "Mas, imamnya Ustadz Syukur," Mang Mamat
memberitahuku sambil menunjuk ustadz yang sudah
bersiap siap berdiri di depan.
"Alhamdulillah, dari tadi aku berharap sekali
Mang. Khusyuk banget bacaannnya Ustadz Syukur
kalau menjadi imam," jawabku lirih.
Panitia segera mematikan lampu masjid. Berarti
shalat akan segera dimulai, dan hal ini tentunya me?
nambah suasana khusyuk yang akan kami jalani.
Ya Allah, jangan pernah Kau lepas kenikmatan ini
dariku, doaku dalam hati sembari aku berdiri bersiap
mengikuti Tahajud. Rakaat demi rakaat kami jalani, dan Ustadz Syu?
kur melantunkan ayat-ayat suci dengan khusyuk dan
syahdu, mengalir deras air mataku menghayati indah?
nya firman Allah. Hampir semua jemaah terhanyut dan tak sedikit
yang terisak menambah kekhusyukkan tajamnya te?
linga hati kami mendengarkan indahnya firman
Allah. Bergetar hati kami karena rindu, karena takut,
bercampur aduk menjadi satu. Ketakutan kepada
Yang Maha Dahsyat sebagai hamba Allah yang pe?
nuh dosa, dan kerinduan yang teramat dalam kepada
Sang Pencipta Yang Maha Pengasih. Inilah yang selalu
membuatku dan keluargaku kangen untuk beribadah,
dan selalu mencari momen-momen ibadah seperti ini
yang bisa menggali kekhusyukkan.
Dua rakaat salam selesai, kami semuanya beristig?
far, kemudian dilanjutkan rakaat demi rakaat berikut?
Indahnya Zikir nya hingga empat kali salam. Total delapan rakaat,
dilanjutkan dengan witir tiga rakaat, yang kami ikuti
dengan kekhusyukkan yang luar biasa.
Ustadz Syukur sangat khusyuk membacakan fir?
man-firman Allah yang membuat kami semakin ter?
hanyut dalam ketakutan dan kerinduan yang teramat
dalam kepada Allah Dzat yang Mahabesar.
Tahajud seperti ini sungguh luar biasa, merupakan
suplemen bagi rohani untuk semakin taat beribadah.
Semakin takut akan murka-Nya atas semua dosa yang
pernah dilakukan dan harapan luar biasa besar atas
pengampunan dosa. Semakin rindu untuk menda?
patkan rengkuhan kasih sayang-Nya.
Waktu Shalat Subuh masih lama, karena azan
subuh kali ini agak siang, pukul 04.30. Ustad Syukur
mengajak kami semua untuk melantunkan firman
Allah surah Ar-Rahman. "Saya persilakan Ustadz Iwan Zawawi, untuk
memimpin jemaah melantunkan firman Allah surah
Ar-Rahman," ujar Ustadz Syukur, yang diiyakan oleh
Ustadz Iwan Zawawi. Tak beda jauh dengan Ustadz Syukur, dengan pe?
nuh kekhusukan Ustadz Iwan membawa kami untuk
menikmati firman-firman Allah, yang mengalun de?
ngan lembut, indah, khusyuk dan penuh makna, sam?
pai akhir surah Ar-Rahman.
Selesai membaca surah Ar-Rahman, mikrofon
diberikan kembali kepada Ustadz Syukur.
"Yaa Rahmaan " Yaa Rahiim ".
Cinta di Ujung Batas Yaa Rahmaan " Yaa Rahiim "."
Ustadz syukur melantunkan pujian mengagung?
kan kebesaran Asma-Nya yang diikuti semua jemaah.
Mengalun indah dini hari di Masjid Al-Amru Bit
Taqwa, sambil sesekali ustadz memanjatkan doa un?
tuk kami semua yang menambah kekhusyukkan alun?
an zikir kami sampai waktu subuh tiba.
Ya Allah, tak terasa mataku sembab sekali. Aku
melirik ke arah Mang Mamat yang masih terisak sam?
bil khusyuk memohon dan menengadahkan kedua
tangannya. Ya Allah " khusyuk sekali Mang Mamat
berdoa. Kabulkan doanya ya Allah, pintaku dalam hati.
Muazin mengumandangkan azan subuh. Kami
semua khusyuk mendengarnya. Beberapa jemaah
pergi ke tempat wudu, mungkin untuk memperbarui
wudunya yang dikhawatirkan sudah batal atau tidak
sempurna lagi. Yah " ibadah fardu kita harus benar-benar di?
awali dengan bersuci yang sempurna untuk menda?
patkan terkabulnya doa kita. Diawali dengan istinjak
yang benar dan sempurna, wudu yang benar dan sem?
purna, insya Allah doa kita akan lebih cepat terka?
bul. Kemulian menjaga wudu benar-benar harus kita
pertahankan untuk mendapatkan kasih sayang-Nya,
karena suci lahir, suci batin adalah salah satu kiat un?
tuk mendekat kepada Allah Dzat Yang Mahasuci.
Setelah selesai azan, aku, Mang Mamat dan ba?
nyak jemaah yang lain yang bersegera untuk shalat
sunah rawatib qobliyah subuh dua rakaat.
Indahnya Zikir "Mas, yang jadi imam subuh yang bule itu, Mas,"
bisik Mang Mamat padaku. "Oh itu namanya Syekh Yusuf, Mang," jelasku ke?
pada Mang Mamat yang masih memandangi Syekh
Yusuf. "Ganteng ya Mas, tinggi", putih, kagum Mang
Mamat. Aku hanya tersenyum sambil bersiap-siap un?
tuk melakukan Shalat Subuh berjemaah.
Alhamdulillah Shalat Subuh berjemaah di masjid
telah selesai kami laksanakan. Banyak jemaah yang
masih berzikir di masjid untuk menanti waktu
duha. Banyak pula jemaah yang keluar masjid untuk
mencari posisi duduk di tempat yang telah digelar
panitia untuk mengikuti acara selanjutnya, yaitu zikir
akbar. Banyak pula jemaah yang keluar mencari sarapan
atau sekadar mencari minuman hangat ke jalan se?
panjang perumahan yang memang banyak sekali
orang berjualan aneka macam makanan. Tak jarang,
Ustadz Arifin Ilham beserta ustadz-ustadz Adz-Zikra
yang lain terlihat mengontrol dan berdialog kepada
para pedagang. Mungkin juga mendoakan, aku nggak
begitu jelas karena melihat dari kejauhan.
"Mang, kita sarapan dulu yuk," ajakku yang di?
iyakan Mang Mamat Seperti biasa, aku dan Mang Mamat memang se?
lalu sarapan sebelum zikir. Beda dengan Mama, Tyas
dan juga Bik Sumi. Selesai Shalat Subuh mereka segera
mencari posisi duduk untuk acara zikir. Selain karena
Cinta di Ujung Batas takut sakit perut, mereka juga takut nggak kebagian
tempat, karena memang jemaah wanita lebih banyak
"Sarapan apa ya Mang" Mau seperti biasa Mang"
Soto mi, mau enggak?" tanyaku pada Mang Mamat,
karena memang makanan di sini yang menghangatkan
perut menurutku salah satunya adalah soto mi.
"Terserah Mas Haekal saja, soto mi saya mau
Mas," jawab Mang Mamat yang kubalas dengan se?
nyuman. Segera aku dan Mang Mamat sarapan. Semakin
siang, jemaah semakin berjubel. Puluhan ribu jemaah
berdatangan. Ada rasa khawatir juga tidak menda?
patkan tempat di zikir akbar tersebut.
"Ayo Mang cepetan! Lihat semakin penuh, jemaah
mengalir terus. Dapat tempat enggak ya Mang?"
"Insya Allah Mas. Kita datang kan dari tengah
malam, Allah Maha Melihat," jawab Mang Mamat
menghibur diri. "Ayo Mang lurus aja! Sebelah masjid masih ada
yang kosong tuh," perintahku sambil menunjuk ba?


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

risan yang masih kosong. "Alhamdulillah, benar kan Mas Allah Maha Me?
lihat. Perjuangan kita kan dari tengah malam," canda
mang Mamat yang hanya kubalas dengan senyuman.
Terdengar panitia mulai bersiap. Seperti biasa
Ustadz Syukur yang membuka acara, dengan meng?
umumkan agenda dakwah dan jadwal zikir Ustadz
Arifin Ilham. Sementara jemaah semakin penuh,
mengalir dan mengalir terus.
Indahnya Zikir "Para jemaah, masih banyak saudara kita yang
berdatangan. Mereka mencari tempat. Maka, berla?
pang-lapanglah dalam majelis. Insya Allah, Allah akan
melapangkan kita," seru Ustadz Syukur di sela-sela
acara yang dibawakannya Memang semakin siang semakin mengalir jemaah
yang datang, subhanallah. Mereka sampai rela duduk
di pinggiran sungai demi mengikuti dan bergabung
di majelis zikir ini. Apa pun kondisinya, rasanya kita
tidak pernah mau terlepas dari taman surga majelis
kebanggan Allah " majelis zikir. Alhamdulillah.
Untuk zikir bulan depan, insya Allah akan dilak?
sanakan pada tanggal 6 Agustus di Masjid Moammar
Qadaffi, Bukit Sentul Az-Zikra, bertepatan dengan
peresmian peletakan kubah masjid.
Alhamdulillah, sorakku dalam hati. Aku kangen
sekali suasana zikir di sana. Beberapa bulan yang lalu
waktu diadakan zikir di Sentul, bertepatan dengan
peletakan batu pertama, kami sekeluarga juga hadir.
Khusyuk dan indah sekali zikir di sana. Suasananya
hening, kontur tanahnya indah berkelak kelok turun
naik. Suasana perbukitan yang sangat menawan dike?
lilingi gemericik air sungai.
Subhanallah indahnya ciptaan-Mu ya Rabb, seolah
aku mencicipi surga-Mu. Subhanallah, izinkan kami
bisa hadir kembali ya Rabb, gumanku.
"Mas, kalau zikir di Sentul itu suaranya bergema
ya Mas?" pertanyaan Mang Mamat membuyarkan
anganku. Cinta di Ujung Batas "Iya Mang, kalau di sana kan masih lahan kosong.
Kita berzikir dikelilingi perbukitan, dan mungkin
belum pernah didatangi orang, apalagi untuk zikir.
Ditambah lagi dalam jumlah yang besar, semua berzi?
kir, mengagungkan asma Allah. Terasa tumbuh-tum?
buhan yang di perbukitan itu ikut berzikir bersama
kita ya Mang. Bahkan gemericik air sungai terasa ikut
pula berzikir. Subhanallah, kangen banget saya Mang.
Maunya sih jangan bulan depan, minggu depan aja ya
Mang. Ha " ha " ha"."
"Jangan minggu depan Mas, besok aja kalau bisa,"
banyol Mang Mamat, "tapi bulan depan bukan giliran
saya yang ikut ya Mas dan pasti Diran dan Inah
nggak mau digantiin. Mereka juga sudah kangen ikut
zikir, padahal saya pengen sekali," keluh Mang Mamat
sedih. "Iya sih memang Mang. Ntar saya bicara sama
Mama, kalau bisa kita semua datang."
"Benar ya Mas?" sahut Mang Mamat girang.
"Iya Mang Mamat tenang saja, banyak berdoa
saja ya selama sebulan ini," gurauku sambil menunjuk
pembawa acara yang mengumumkan kedatangan
Ustadz Arifin Ilham. "Alhamdulillah, Al Ustadz Arifin Ilham telah ha?
dir di tengah-tengah kita untuk melaksanakan zikir
bersama dan akan memberikan tausiyah kepada kita
semua. Kepada Al Ustadz dipersilakan," suara Ustadz
Syukur lantang. Indahnya Zikir "Yah, sampailah pada saat yang kita tunggutunggu Mang," bisikku pada Mang Mamat.
"Iya Mas, kurusan ya Ustadz Arifin," komentar
Mang Mamat. "Namanya juga habis sakit Mang. Mungkin be?
lum pulih benar. Tetapi Alhamdulillah ya Mang, Us?
tadz bisa hadir lagi di tengah kita. Semoga Allah se?
lalu melimpahkan kesehatan padanya, dan bisa selalu
hadir dalam majelis zikir, sebagai motivator kita ber?
zikir di majelis kebanggaan Allah ini," harapku yang
di?sambut Mang Mamat dengan manggut-manggut.
Aku baru sadar, jangan-jangan ada yang nggak Mang
Mamat pahami dari omonganku. Aku tersenyum
setelah menyadarinya. Di dalam tausiyahnya, Ustadz Arifin menekankan
kepada jemaah untuk menyempurnakan ibadahnya
dengan tujuh sunah harian rasul, disempurnakan lagi
dengan puasa Senin Kamis.
Seperti biasa Al Ustadz selalu menyerukan para
jemaah untuk menjauhi rokok, dan bahkan meng?
haramkan rokok. Seperti biasa dengan gaya candaan?
nya, menyindir para jemaah zikir agar tidak ada yang
merokok, dan menyindir jemaah khususnya ibu-ibu
untuk tidak menggosip atau gibah.
Mengenai merokok, alhasil banyak sekali jemaah
yang berhenti merokok karena wasilah dari tausi?
yah Ustadz Arifin. Salah satunya Mang Diran yang
bertekad bulat berhenti merokok sejak hampir dua
tahun yang lalu. Cinta di Ujung Batas "Alhamdulillah ya Mas, Diran aja juga bisa ber?
henti merokok," bisik Mang Mamat yang ku iyakan
dengan anggukan, karena aku enggak mau terganggu
mendengarkan tausiyah Ustadz.
"Tibalah saatnya kita menikmati hidangan Allah.
Jangan terganggu dengan kamera manusia, karena
ada kamera Allah yang sedang menyaksikan kita, yang
ada di hadapan kita, dan tak sedikit pun bisa terlepas
dari kamera Allah. Segera luruskan niat karena Allah,
jangan hiraukan sekitar kita. Pepohonan ikut berzikir,
gemericik air sungai ikut berzikir, tangisan anak-anak
ikut berzikir. Mari kita bersiap berzikir di majelis ke?
banggaan Allah," sambil mengambil posisi duduk, Al
Ustadz segera memulai memimpin zikir.
Keagungan Asma Allah segera berkumandang
indah dengan khusyuk dan syahdu. Hampir selu?
ruh jemaah hanyut dalam kekhusyukan zikir. De?
rai air mata, isak tangis, silih berganti menambah
kekhusyukk?an zikir. Benar-benar momen terindah
untuk menggali kedekatan diri kepada Allah.
Ketakutan akan murka Allah atas dosa-dosa kita
menyeruak ke permukaan kesadaran kita. Kerinduan
akan ampunan serta kasih sayang-Nya menyesakkan
dada. Sungguh pengalaman batin yang terlukis indah
di dalam dada, dan hampir setiap jemaah yang pernah
mengikutinya akan kangen untuk mengikutinya kem?
bali. Benar-benar kenikmatan yang tidak bisa terlukis
dengan kata-kata. Indahnya Zikir Aku mengambil sapu tangan untuk menyeka air
mata yang semakin deras, menyesakkan napasku.
Kembali aku memohon. Ya Allah " sungguh luar biasa kenikmatan ini.
Kenikmatan ribuan hamba-hamba-Mu, serempak me?
ngagungkan Asma-Mu, serempak mengharapkan am?
punan-Mu, serempak mengharapkan cinta-Mu, se?rem?
pak mengharapkan pertolongan-Mu dan serempak mensyukuri semua limpahan rahmat-Mu.
Ya Allah " jangan pernah Engkau pisahkan aku
dari majelis kemuliaan-Mu ini. Dekatkan dan eratkanlah aku dengan majelis kebanggaan-Mu ini sematamata hanya karena-Mu ya Allah. Untuk selamanya "
Aamiin allahuma aamiin. Aku memohon khusyuk dalam hati, hingga Al
Ustad selesai memimpin doa dan menyerukan kita
untuk sujud syukur atas semua rahmat-Nya. Masih
terdengar tangis sesunggukan Mang Mamat, terde?
ngar mengiba mengiris kalbuku. Setelah selesai sujud
segera kupeluk Mang Mamat.
"Mang, maafin Haekal ya, dan terima kasih ba?
nyak Mamang sudah jagain Haekal selama ini." Mang
Mamat mengeratkan pelukanku, sambil manggutmanggut tanpa kuasa berkata.
"Sudah, sudah Mang. Ayo kita pulang. Cari
Mama yuk Mang," ajakku meredakan tangisan Mang
Mamat. Segera kunyalakan handphone-ku, kuhubungi
nomor handphone Mama Cinta di Ujung Batas "Assalamualaikum Ma, Mama di mana?" tanyaku.
"Wa`alaikum salam Kal, Mama di depan masjid.
Kamu ke sini ya," pinta Mama.
"Iya Ma, tunggu di situ ya," jawabku sambil berge?
gas mendatangi Mama, diikuti Mang Mamat.
"Itu dia Mang, mereka di sana." Aku menunjuk ke
arah Mama. Begitu mendekat segera kucium tangan
Mama dan kupeluk "Maafkan Haekal ya Ma."
"Sama-sama Nak, Mama juga minta maaf."
Aku lalu bermaafan dengan Tyas, dan Bik Sumi
yang telah mengantre di sebelah mama.
"Udah yuk. Kita sambil jalan pelan-pelan aja.
Jemaah masih berdesakan," ajak Mama.
"Kita nggak makan dulu Ma" Lihat saja tuh,
masih penuh, mobil juga belum bisa keluar Ma,"
rengek Tyas, yang sudah mulai kelaparan, karena me?
mang dari pagi mereka tidak sarapan.
Aku tersenyum melihat rengekan adikku yang ke?
laparan. "Makanya sarapan," kucubit pipinya yang
kemerahan karena kepanasan.
"Iiih laper tau Kak," jawabnya manja.
"Ya sudah kita cari makanan dulu. Makanan
yang ringan-ringan aja ya Yas. Kasihan, Bik Inah pasti
sudah nyiapin makan siang. Bik Inah masak rawon
kesukaanmu lho. Kita makan siang di rumah aja ya,"
pinta Mama yang tampak sudah kelelahan. Tyas pun
mengiyakan tanpa keberatan.
Setelah mencari makanan ringan, segera kami ikut
merapat bersama jemaah lain untuk menuju pintu ke?
Indahnya Zikir luar. Sungguh merupakan perjuangan panjang untuk
mencapai tempat parkir. Benar-benar berjejal!
"Alhamdulillah, sampai juga kita,"gumanku lega
setelah sampai di tempat parkir.
Subhanallah memang jemaah Ustadz Arifin Ilham
ini luar biasa. Semakin bulan semakin bertambah
banyak. Ya Allah beri kekuatan kepada Ustadz tercinta kami
agar semakin istikamah dalam meneruskan perjuangan
Rasul-Mu, berikan kekuatan kepada beliau untuk selalu
memotivasi kami agar lebih dan selalu mencintai-Mu,
doaku tulus melihat iring-iringan jemaah yang begitu
banyaknya. Subhanallah! Entah kenapa rintangan apa pun tak mengham?
bat kami untuk datang dan datang lagi ke majelis ini.
Kecintaan kami kepada Ustadz semata-mata karena
cinta kami kepada Allah. Rasanya impitan ribuan
orang dan panas terik tak menghambat serta meng?
halangi kami untuk datang ke sini dan ke sini lagi.
Inilah kenikmatan mencintai sesuatu karena Allah.
Apa pun tak akan menghalangi. Rasanya bahagia
sekali bisa bergabung di majelis ini. Kebahagiaan
tersendiri pula setiap datang ke sini, melihat Ustadz dan
keluarganya, bahagia " Ya Allah karuniakan kelak
aku rumah tangga yang bahagia seperti rumah tangga
kekasih-kekasih-Mu. Amin.
Cinta di Ujung Batas 3. Dua Sepupu Cantikku Kangen " __Diah dan Diaz__ iah dan Diaz memanggil-manggil kami dari
lantai bawah rumah. "Bude! Kak Haekal! Mbak Tyas! Assalamualai?
kum." "Pempek datang nih, masih anget loh " enak loh
"." Spontan aku tertawa mendengarnya, "Dasar!!!"
Segera kuhampiri mereka untuk melepaskan ka?
ngenku pada kedua sepupuku.
"Wa`alaikumsalam. Alhamdulillah akhirnya ke?
dua bidadari ini pulang juga. Udah capek nih jalanjalannya?" candaku kepada kedua sepupuku.
"Sebenarnya masih pengen di sana sih Kak, tapi
berhubung di Jakarta ada sang pangeran yang sedang
merindukan adindanya, ya udah " dipercepat deh
liburannya. Hahaha ?" canda Diaz meledak mera?
maikan, membuat Mama dan Tyas segera keluar dari
kamarnya untuk bergabung dengan kami di lantai ba?
wah. "Aduh-aduh ramai sekali, pantesan sepasang gadis
cantik udah kembali," sapa Mama sembari mengham?
Dua Sepupu Cantikku Kangen ...
piri kedua sepupuku, serta memeluk dan mencium?
nya. "Assalamu `alaikum Bude," salam Diah dan Diaz
sembari mencium tangan dan kening Mama.
"Wa`alaikumsalam, Bude kangen sekali loh," ja?
wab Mama sambil memeluk kedua sepupuku.
"Di, besek indah di tanganmu itu berisi pempek
kan Di" Aduh " Kakak sudah nggak sabar sama pem?
pek asli Palembang," todongku.
"Iya Kak, tapi mesti digoreng dulu nih. Diaz su?
ruh bik Inah ya, biar tambah lezat," kata Diaz sambil
berlalu ke dapur. Akhirnya kami menghabiskan waktu di meja
makan sambil menikmati pempek dan bergelegar
tawa ria kami semuanya. Memang sepasang sepupuku
ini pintar menghidupkan suasana. Ada saja ceritanya


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membuat kami semua tertawa ria. Kadang-ka?
dang orangtuanya sendiri dijadikan bahan candaan.
Makanya kalau enggak ketemu mereka, aku suka ka?
ngen. Diah dan Diaz menceritakan kebawelan Oma
Antya, orangtua tante Ade dengan mimik yang lucu.
Menurutnya omanya terlalu kolot berkomentar me?
ngenai penampilan dua cucu tersayangnya ini.
"Yah " wajarlah Di, kalo Oma Antya jantungan
melihat kamu," candaku meledek komentar Diaz.
"Iya " cocok deh kalo Oma itu sama Kak Haekal,
sama-sama kolot, terutama dalam pergaulan. Harus
beginilah, begitulah. Pokoknya kloplah sama Kakak,"
celoteh Diah meledekku. Cinta di Ujung Batas " Hahaha " makanya Non, Kak Haekal mau
minta Tante untuk menghijrahkan Oma ke Jakarta.
Biar kalian berdua ada tim pengawasnya ya. Hahaha
?" candaku, yang membuat kedua sepupuku ini ma?
rah. "Wuah ... bisa-bisa kita jadi gadis pingitan ya,
Diaz?" "Iya, bener banget. Awas ya kalau Kak Haekal bi?
lang sama Mama beneran! Kita nggak mau temenan
sama Kak Haekal lagi, ya Di," timpal Diaz. Kami se?
mua jadi terbahak di meja makan, menanggapi kedua
sepupuku yang cantik, lucu dan seru ini.
Diah dan Diaz ini semenjak SMA sampai kuliah
memang sering disebut sebagai bunga sekolah atau
bunga kampus. Dua gadis kembar yang cantik, pin?
tar dan pandai bergaul. Banyak sekali yang mencoba
mendekati mereka. Maka kadang aku was-was dengan
sepupuku ini. Secara fisik mereka benar-benar kembar identik.
Terkadang kami suka bingung membedakannya.
Tetapi begitu diamati, Diaz memiliki tahi lalat kecil
di sudut matanya. Itu saja yang membedakan mereka.
Semoga Engkau selalu melindunginya Ya Allah. Aku
ingin mereka bahagia dan mendapatkan pasangan yang
dapat membahagiakan dunia akhirat. Amin. Doaku
tulus untuk mereka. Dua Permata Om Maulana 4. Dua Permata Om Maulana __Nissa dan Lia__ nissa dan Amelia tampak kelelahan sepulang
kuliah. Mereka berdua bergegas masuk ru?
mah, begitu turun dari mobil. Tidak menyadari ada
Ayah dan mamanya yang sedang santai di gazebo, di
ujung taman rumahnya. Begitu menaiki tangga rumahnya, handphone Nis?
sa berdering. "Ayah menelepon" Bukannya tadi ada mobil
Ayah di garasi, ya Lia?" tanya Nissa sejenak sebelum
menerima telepon ayahnya.
"Assalamualaikum Yah, Ayah bukannya sudah di
rumah" Nissa lihat ada mobil Ayah di garasi," ujar
Nissa. "Iya justru itu " kalian pulang main selonong aja,
nggak lihat kiri kanan. Ayah dan Mama ada di gazebo
depan, baru minum teh sambil nyicipin kue Mama,
resep baru," jelas Pak Maulana sambil promosi.
"Oke Yah, kita turun lagi deh." Nissa segera mema?
tikan handphone-nya dan menuruni tangga kembali.
"Yuk Lia, kita ke depan," ajak Nissa kepada Lia.
Cinta di Ujung Batas "Ayah dan Mama ada di depan Kak" Kok kita
nggak lihat ya?" komentar Lia, sambil mengikuti Nis?
sa ke arah gazebo. "Assalamualaikum Yah, Mam," Nissa mencium
tangan kedua orangtuanya, hal serupa juga dilakukan
Lia. Sambil menuangkan teh, Mama menanyakan
kabar kuliah kedua putrinya hari ini.
"Alhamdulillah Mam, happy-happy aja," sahut
Nissa sambil menyomot kue yang sudah dihidangkan
Mama. "Yah, jam segini kok udah pulang?" tanya Lia sem?
bari mengambil kue bikinan mamanya.
"Lho kamu lupa ya ini hari apa?" tanya Pak Maula?
na yang disambut Lia dengan sedikit bengong.
"Oh iya Jumat. Ayah pulang setelah Shalat Jumat
ya?" sahut Lia sambil manggut-manggut.
Memang sejak di kantor ada Om Dimas, adik
Mama yang ikut bergabung di perusahaan, Ayah bisa
lebih awal pulang kantor. Menjelang waktu magrib
pasti sudah ada di rumah. Apalagi kalau hari Jumat,
setelah Shalat Jumat nggak pernah balik kantor lagi.
Alasannya Ayah nggak mau kehilangan waktu untuk
keluarga dan waktu untuk ibadah hanya karena kesi?
bukan kerjanya. Harus seimbang biar dapat semua?
nya, kata Ayah menjelaskan kepada kami.
Alhamdulillah, Nissa sangat bahagia memiliki ke?
luarga ini. Ayah seorang pekerja keras, perusahaannya
maju, kesejahteraan karyawan terpenuhi.
Dua Permata Om Maulana Beliau juga seorang muslim yang taat, tak pernah
dilepaskannya shalat berjemaah, apalagi untuk Shalat
Subuh dan Isya Ayah selalu berjemaah di masjid. Un?
tuk jam kantor, Ayah selalu berusaha berjemaah de?
ngan stafnya di musala perusahaan. Ayah juga seorang
suami dan Ayah yang lembut serta berwibawa di mata
kami. Tak jarang Lia, mengkhayal. "Kak nanti kalau Lia
punya suami, pengennya yang kaya seperti Ayah, ya
Kak." "Astaghfirullah, kamu Lia. Enggak boleh kekayaan
materi kamu utamakan," tegur Nissa suatu saat pada
Lia. "Belum selesai Kak ucapanku. Maksudku kaya
seperti Ayah itu, kaya akhlak yang terpuji, kaya kasih
sayang, kaya cinta kepada Allah, baru kaya harta
Kak," jelas Lia sambil terbahak. "Terus terang Kak,
aku suka kagum ngeliat Ayah yang begitu cintanya
sama Mama. Seusia mereka, romantisme di antara be?
liau itu loh Kak yang suka bikin Lia iri dan bermimpi
kelak punya rumah tangga seperti mereka," komentar
Lia kembali. "Oooh kalau itu, aamiin. Kakak doain deh," jawab
Nissa sambil mengelus rambut adiknya Lia.
Nissa sangat menyayangi Lia, begitu juga Ayah
dan Mama, walaupun dia bukan anak kandung. Nissa
putri tunggal. Menginjak usiaku tujuh tahun, Mama
membawa anak kecil yang usianya terpaut tiga tahun
lebih muda dari Nissa. Cinta di Ujung Batas "Nissa, Nissa mau adik nggak?" tanya Mama yang
didampingi Ayah waktu itu.
"Mau banget Mam," jawab Nissa.
"Adik kecil ini namanya Amelia Putri Arman, dan
sejak saat ini Lia akan tinggal bersama kita. Menjadi
adik angkatmu Nissa, menjadi putri angkat Ayah dan
Mama. Orangtua Amelia, almarhum Om Arman dan
almarhumah Tante Irma sudah diambil Allah terlebih
dahulu. Jadi kita berkewajiban jagain Lia. Kamu yang
sayang ya Nissa sama adikmu," pinta Mama dengan
penuh kelembutan. "Iya Mam," jawabku waktu itu sambil menangis
haru mendengar kisah Lia.
"Ya sudah. Alhamdulillah sekarang putri Ayah
dua, Anissa Maulana Putri dan Amelia Putri Arman,"
ujar Ayah waktu itu. Semenjak saat itu kami tumbuh bersama penuh
dengan kasih sayang. Kedua orangtua Nissa tidak per?
nah membeda-bedakan kami hingga saat ini. Nissa
sendiri sangat menyayangi Lia. Sejak kecil ia selalu
berbagi kebahagiaan dengan Lia, hampir tak pernah
ribut dengan Lia. Terkadang dalam pikirannya, sampai dewasa ia
ingin selalu melihat Lia gembira. Kalau Lia lagi mu?
rung Nissa selalu bergegas untuk menghiburnya, me?
nanyakan apa yang membuatnya murung.
Seperti hari ini. Menurut pengamatan Nissa, Lia
nggak seperti biasanya. Sedikit bicara dan nggak ce?
ria. Dua Permata Om Maulana Kenapa gerangan adikku ini, tanya Nissa dalam
hati. Mungkinkah ada sesuatu yang membuatnya ter?
ganggu" Ataukah mungkin dia ingat almarhum kedua
orangtuanya" Segera Nissa mendekatinya.
"Lia, kenapa kamu hari ini" Ada yang nggak bikin
happy?" "Iya Kak, Lia lagi kepikiran Kakak nih," jawab
Lia. "Lho" Mikirin Kakak" Kenapa dengan Kak Nissa,
Lia?" tanya Nissa heran.
"Kak Nissa kan udah semester akhir. Bentar lagi
skripsi. Udah gitu selesai. Jadi Lia berangkat kuliah
sendirian deh," rengek Lia manja.
"Ya Allah " itu yang kamu pikirin?" terbahak
Nissa mendengarnya. "Lia, ingat ya, Lia sekarang itu bukan gadis kecil
lagi. Lia sudah cukup usia untuk mandiri. Lia sudah
cukup usia untuk menentukan sikap dan yang pasti
sudah cukup usia untuk menjaga diri sendiri. Jadi
nggak perlu khawatir kalau jauh dari Kak Nissa.
Apalagi kalau Lia kuliah kan ada Mang Gino yang
antar, apa yang mesti ditakutin?" Nissa menguatkan
hati Lia. "Iya sih Kak. Tapi bentar lagi Kakak lulus, udah
gitu ntar Kakak Nikah. Lia sendirian deh," rengek Lia
sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Ah udah ah, nggak boleh cengeng. Lia harus jadi
gadis yang mandiri. Kita kan nggak punya saudara
laki-laki Lia. Jadi kita harus mandiri, nggak boleh
Cinta di Ujung Batas cengeng," nasihat Nissa sambil bergegas keluar dari
kamar Lia. "Oh ya Lia, kita besok subuh, mau ikut Ayah ke
Al Azhar nggak?" tanya Nissa dari ujung pintu keluar
kamar Lia. "Lia shalat di rumah aja Kak," jawab Lia.
"Ya udah, kalau gitu Kakak juga. Met tidur ya. Oh
ya, Lia udah shalat Isya belum?" tanya Nissa.
"Udah Kak," jawab Lia pendek.
"Oke deh Non. Met bobo ya. Jangan lupa alarm,
Qiyamul Lail jangan sampai terlewat," nasihat Nissa
yang dijawab dengan acungan dua jempol oleh Lia.
Ya Allah ". Aku sangat menyanyangi Lia. Jangan
pisahkan kami. Belai kami selalu dalam kasih sayangMu. Amin. Doa Nissa sambil memandangi wajah lem?
but Lia. Di relung hati kecil Nissa yang terdalam, Nissa
pun sebenarnya mempunyai kesedihan yang sama.
Semenjak kecil Nissa tumbuh bersama. Suatu saat
pastilah mereka akan saling meninggalkan pasti akan
memiliki kehidupan sendiri dengan keluarga kami
masing-masing kelak. Mungkinkan Nissa bisa berjauhan dengan Lia"
Entahlah. Rasanya Nissa ingin selalu menjaga serta
melindungi Lia. Baginya Lia adalah belahan jiwa. Ia
merasakan sedih bila Lia bersedih dan merasakan ba?
hagia bila Lia bahagia. Itu mungkin karena hanya Lia
saudara dekat yang Nissa miliki di dunia ini. Ayah
dan Mama sama-sama anak tunggal, jadi Nissa juga
Dua Permata Om Maulana nggak punya sepupu langsung. Inilah maka Nissa
sayang sekali pada Lia. Tebersit dalam hati keinginan, kelak apabila sudah
berumah tangga ingin memiliki rumah yang berde?
katan agar kami tidak terpisah jauh.
Duh, indah kali ya" Kelak anak-anak kami tum?
buh berdekatan. Pastinya ramai dan asyik. Nissa
mene?rawang dalam angan masa depan yang indah.
Semoga, amin, gumam Nissa dalam hati.
### Pak Maulana, selesai melaksanakan qiyamul lail se?
perti biasa, ia selalu mengecek kedua putri, pembantu
rumah dan sopirnya melalui ponselnya untuk mem?
bangunkan mereka Shalat Subuh. Tetapi hampir se?
mua penghuni rumah itu tidak ada yang terlepas dari
qiyamul lail. "Alhamdulillah, semuanya Engkau cintai ya Allah,"
guman Pak Maulana lega. "Pak Gino sama Pak Yatno, subuh di masjid sama
Bapak ya," ajak Pak Maulana setengah memerintah.
"Baik Pak. Alhamdulillah Bapak selalu meng?
ingatkan kami," jawab Pak Gino.
Seperti biasa, kalau Lia, Nisa dan mamanya tidak
ikut ke masjid, Pak Maulana dan kedua sopirnya se?
lalu berjalan kaki dan berangkat lebih awal ke masjid.
Cinta di Ujung Batas "Sambil olahraga," kata Pak Maulana.
Masjid yang terletak di ujung kompleks tempat
mereka tinggal, mereka tempuh dengan santai kurang
lebih lima belas menit dari rumah. Pak Maulana se?
lalu memberikan nasihat-nasihat ringan kepada kedua
sopirnya. Hampir setiap hari, masukan positif sedikit
demi sedikit disampaikannya.
"Pak Gino, Pak Yatno, mulai kapan kalian Subuh
berjemaah di Masjid?" tanya Pak Maulana.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lima tahun terakhir ini Pak, semenjak ikut
Bapak," jawab Pak Yatno.
"Trus, mau sampai kapan?" tanya Pak Maulana
kembali. "Insya Allah sekuatnya Pak," jawab Pak Gino.
"Sampai tua Pak," jawab Pak Yatno.
"Alhamdulillah, kalian harus ingat ya. Selama kita
masih bisa mendengar azan, sambil merangkak pun
harus kita datangin masjid untuk shalat berjemaah,
apalagi Shalat Subuh. Itu salah satu tanda orang ber?
iman, Pak," nasihat Pak Maulana.
"Insya Allah," jawab mereka serempak yang di?
sambut Pak Maulana dengan tersenyum.
"Ayo cepetan Pak, sudah azan tuh," ajak Pak
Maulana seraya mempercepat jalannya untuk segera
memasuki masjid. "Assalamu `alaikum Om Maulana," salam santun
dari ujung tempat wudu. "Wa `alaikumsalam. Eh... Nak Haekal. Shalat
Subuh di sini lagi?" tanya Pak Maulana sambil meng?
hampiri Haekal. Dua Permata Om Maulana "Iya Om, Haekal lagi suling nih, subuh keliling,"
canda Haekal seraya mencium tangan Pak Maulana
untuk memberi salam. "Alhamdulillah," balas Pak Maulana bangga.
Dari tempat wudu mereka segera memasuki mas?
jid untuk mengikuti Shalat Subuh berjemaah.
Begitulah, baik Haekal, maupun Pak Maulana
sama-sama sering berjemaah di masjid Al-Azhar, khu?
susnya Shalat Subuh. Mereka pun sering bertemu,
walaupun jarang sekali mengobrol. Masing-masing
setelah Shalat Subuh dan bersalam-salaman akan
bergegas dengan rutinitas pribadi. Tetapi tidak seperti
subuh sebelumnya, subuh di Sabtu pagi ini mereka
banyak mengobrol. "Nak Haekal tinggal di dekat sini juga?" tanya Pak
Maulana. "Saya di Kemang Om. Om tinggal di kompleks
ini?" tanya Haekal yang disambut dengan anggukan
Pak Maulana. "Iya, di Jalan Cendana Raya, jalan kaki 15 menit
lah dari sini. Mampir dong, biar tahu rumah Om,"
ajak Pak Maulana. "Terima kasih. Insya Allah, kapan-kapan Haekal
mampir Om," jawab Haekal.
"Masih kuliah Nak Haekal?"
"Alhamdulillah Om, semester akhir di Teknik Si?
pil UI," jawab Haekal menjelaskan.
"Oh ya" Sama dong dengan putri-putri Om, tapi
mereka ambil fakultas yang lain," jawab Pak Maulana,
Cinta di Ujung Batas yang hanya direspons Haekal dengan senyuman.
Haekal memang agak menjaga jarak kalau membica?
rakan masalah wanita. Haekal, Pak Maulana beserta kedua sopirnya,
bergegas meninggalkan masjid. Sampai di pelataran
masjid, Haekal menawarkan kepada Pak Maulana un?
tuk mengantar sampai ke rumah.
"Terima kasih Nak Haekal, nggak usah. Kami
sekalian olahraga nih," Pak Maulana menolak dengan
halus. Kemudian Haekal berpamitan untuk menuju
tempat parkir. ### Anissa dan Amelia, duduk di jok paling belakang.
Mereka diam, tak ada yang memulai pembicaraan.
"Pak Gino, tolong putarkan kaset Ustadz Arifin
ya," pinta Pak Maulana yang duduk berdampingan
dengan istrinya di jok tengah.
"Baik Pak, yang mana?"tanya Pak Gino sambil
mencari. "Mengapa Aku Menikah," jawabnya.
"Lho, Ayah kok nyetel yang itu?" celetuk Nissa ter?
heran dengan judul kaset yang dipilih ayahnya.
"Aduuh jangan curiga dulu ... kaset ini sengaja
Ayah putar biar Nissa sama Lia dengar," jawab Pak
Maulana yang disambut senyuman menggoda istri?
nya. Dua Permata Om Maulana Benar memang, kaset "Mengapa Aku Menikah"
Ustadz Arifin Ilham sangat cocok didengar oleh para
remaja sebagai bekal pergaulan. Di kaset itu dijelaskan
bagaimana kita menjaga diri, bergaul, dan menentu?
kan jodoh kita. Ringkasnya, kalau kita ingin menda?
patkan yang terbaik, tentulah kita juga harus menjadi
yang terbaik. "Bagaimana Nissa, Lia" Kamu paham dengan yang
disampaikan Ustad Arifin?" tanya Pak Maulana serius.
"Ayah berharap kalian kelak mendapat suami se?
orang laki-laki yang bagus akhlaknya, berilmu tentu?
nya ilmu yang bermanfaat, dan juga tampan. Harapan
Ayah, juga seorang suami yang kaya harta, sehingga
dengan kekayaannya bisa memberikan manfaat ke
orang banyak. Tentunya juga dari keturunan yang
baik," wejangan Pak Maulana yang di-amin-kan ke?
dua putrinya hampir serempak.
"Iya Nis, Lia, kita kan mau zikir bersama nanti.
Doa dong yang khusyuk, pasti Allah akan kasih apa
yang kalian mau," istri Pak Maulana ikut menim?
pali. "Insya Allah Mam," jawab Nissa dan Lia.
"Makanya, Mama dan Ayah juga doain dong nanti
buat Lia dan Kak Nissa," rajuk Lia manja.
"Ya pastilah sayang," jawab sang Mama.
Tak terasa sambil mendengarkan kaset Ustadz
Arifin Ilham, perjalanan terasa cepat, ditambah saling
mengobrol. Cinta di Ujung Batas "Alhamdulillah, lihat tuh masjidnya kelihatan
dari tol, sudah hampir selesai bangunannya ya," Pak
Maulana membuyarkan obrolan.
"Subhanallah, lapangkanlah rezeki orang yang
berjihad di jalan-Mu ya Allah. Itulah harta yang sebe?
narnya. Harta yang memberikan kehidupan dan man?
faat untuk orang banyak. Harta yang bermanfaat un?
tuk akhirat kita dan sudah tentu kehidupan dunia kita
pun tidak usah dikhawatirkan," kembali Pak Maulana
memberi wejangan. Begitu kami keluar dari tol Sentul Selatan, dan
memasuki perumahan Bukit Sentul-Az Zikra, jalan
berkelok turun naik sangat indah. Membuat kami
kagum akan ciptaan-Nya. Subhanallah.
"Parkir di atas aja Pak Gino," perintah Pak Maula?
na, "kebetulan memang kita masih bisa milih parkir,
karena masih agak sepi."
"Yah, bangunan di samping masjid itu untuk ru?
mah Ustadz ya, Yah?" tanya mama sambil menunjuk
bangunan setengah jadi di samping masjid.
"Iya, itu bangunan untuk rumah Ustadz Janji Allah
adalah benar, kalau kita kejar akhirat, dunia akan tun?
duk padanya. Inilah buktinya, keistikamahan Ustadz
Arifin berjuang membela agama Allah. Inilah salah
satu hadiah yang Allah berikan, kemuliaan di dunia
dan insya Allah di akhirat kelak," jawab Pak Maulana.
Ya, janji Allah adalah selalu benar. Allah tidak per?
nah ingkar janji. Tetapi kenapa terkadang sebagian
dari kita lebih memilih percaya, dan menghabiskan
Dua Permata Om Maulana waktunya untuk mengejar janji manusia yang sering
ingkar" Pak Maulana sangat bijak menyikapi sesuatu. Se?
tiap ada kejadian yang dilihatnya, beliau selalu me?
narik hikmah untuk kehidupan. Jujur memang setiap
melihat kehidupan Ustadz Arifin entah kenapa, aku
selalu terbayang, mungkin beginilah kehidupan rasul
dan para sahabat dulu. Selalu terlontar doa juga dariku, semoga kelak aku
mendapatkan jodoh yang mendekati dan mencontoh
Rasul dan para sahabat. Ya, untuk zaman sekarang
mungkin teraplikasi dalam sosok Ustadz Arifin, yang
selalu berjuang untuk keagungan agama Allah. Amin.
Cinta di Ujung Batas 5. Getaran Cinta di Antara
Napas-Napas Zikir di Sentul
__Haekal__ ebulan hampir berlalu, tak sengaja Haekal meli?
hat kalender meja. Eit" 6 Agustus, minggu ini
berarti zikir di Sentul dong. Haekal segera beranjak
menuju meja kerja mamanya, untuk mengingatkan
jadwal zikir Ustadz Arifin Ilham.
"Assalamualaikum Ma, Mama sibuk" Bisa ganggu
nggak Ma?" tanya Haekal seraya duduk di hadapan
mamanya. "Wa `alaikumsalam, enggak kok Kal. Mama cuma
cek email aja. Kenapa Kal?" jawab mamanya.
"Enggak Ma, mau ingetin aja. Minggu besok
tanggal 6 Agustus Ma. Kita zikir di Sentul kan?" tanya
Haekal dengan penuh semangat.
"Alhamdulillah, Mama ingat kok Kal. Kita be?
rangkat habis subuh saja ya. Kita subuh di masjid
Baiturahim aja yang deket. Habis dari masjid kita
langsung berangkat ke Sentul, biar nggak kesiangan.
Oh iya, bulan ini siapa yang ikut Kal?" tanya mama.
"Ya itu Ma yang mau Haekal sampaikan. Bulan
ini kan jatahnya Mang Diran dan Bi Inah, tapi ka?
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
sihan Ma, Mang Mamat pengen banget ikut zikir di
Sentul Ma. Gimana dong?" tanya Haekal teringat
akan janjinya dengan Mang Mamat. Mama tak segera
menjawab, sejenak berpikir.
"Gimana ya Kal" Apa semuanya ikut saja" Kita pa?
kai dua mobil, rumah dikosongin ajalah, nggak apaapa, demi ibadah." Pernyataan Mama melegakanku,
dan pasti Mang Mamat girang mendengar berita ini.
"Alhamdulillah, Mama bijaksana banget. Thanks
ya Ma," sambil kucium kening Mama, dan segera
keluar dari ruang kerja Mama untuk mencari Mang
Mamat. "Mang! Mang Mamat!" Aku menghampiri Mang
Mamat yang sedang membersihkan mobil.
"Iya Mas, ada apa?" tanya Mang Mamat santun
sekali. "Lusa hari Minggu tanggal 6 Agustus Mang. Ingat
nggak Mang?" "Ah, kalau itu diingat-ingat terus. Tapi ya terserah
mamanya Mas Haekal aja," jawab Mang Mamat datar.
"Alhamdulillah Mang, Haekal udah bilang kok
sama Mama, dan keputusannya semua ikut. Kita pa?
kai dua mobil aja," jelas Haekal
"Iya Mas" Alhamdulillah," Mang Mamat girang
sambil menengadahkan tangannya.
Minggu, 6 Agustus Pagi sekali suasana rumah sudah riuh. Ya memang,
kalau Bik Inah sudah beredar suasananya jadi ramai.
Cinta di Ujung Batas Kalau nggak nyanyi ya shalawatan, tapi kami senang
rumah jadi nggak sepi. Waktu menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Tera?
sa panjang malam ini kulalui. Semalam aku memang
bangun 30 menit lebih awal dari jadwal rutinku.
Pukul 02.00 aku sudah terbangun tanpa alarm, en?
tah kenapa. Tetapi aku bersyukur sekali, alarm handphone-ku belum berbunyi aku sudah terbangun.
Setelah qiyamul lail, aku tadaburi Al-qur"an.
Mungkin pagi ini mataku kelihatan sembab, sebab se?
malaman aku bermunajat kepada Allah. Lama sekali
aku menangis dalam sujudku. Entah perasaaan takut,
rindu, syukur silih berganti mengentak-entak hatiku.
Setelah selesai bermesraan dengan Allah, dengan
zikir, dan istigfar mengagungkan asma-Nya, aku
bergegas mempersiapkan diri untuk keperluan zikir
pagi ini. Pagi ini yang turun aku duluan. Kulihat Mama
dan Tyas belum turun. Memang dari semalam aku
nggak bisa tidur. Paling hanya tiga jam aku tidur. Ba?
ngun pukul 02.00 langsung qiyamul lail.
"Bik, sudah siap semua" Mama sama Tyas belum
turun ya?" tanya Haekal.
"Belum Mas, coba bibi ketok kamar Ibu sama
mbak Tyas ya," jawab Bi Inah.
"Nggak usah Bi. Tunggu sebentar lagi aja, kalau
udah siap paling juga turun," Haekal melarang karena
takut mamanya belum siap dan Haekal nggak mau
mamanya merasa terganggu.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
"Assalamulaikum Kak, udah siap?" sapa Tyas dari
anak tangga teratas ruang tengah
"Wa `alaikum salam. Mama mana Yas?"
"Alhamdulillah, ayo Mama udah siap nih," sahut
Mama dari belakang Tyas. "Aduh Mama!" Sumpah Tyas kaget lho. Tah-tahu
kok Mama sudah di belakang Tyas," sahut Tyas yang
terkejut melihat mamanya ada di belakangnya.
"Dasar nenek-nenek, begitu saja kaget," Haekal
tersenyum geli melihat tingkah adiknya.
"Ma, kita Shalat Subuh dulu ya, di Masjid Bai?
turahman saja. Selesai subuh kita baru meluncur ke
Sentul. Kalau di sana zikirnya kan agak siangan Ma,
lagian lebih dekat. Langsung tol, jadi nggak perlu bu?
ru-buru. Nggak seperti kalau kita ke Sawangan. Jauh."
"Lebih baik begitu Kal. Kamu sudah kasih tahu
Mang Mamat sama Mang Diran" Soalnya kan kita mo?


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilnya misah," tanya Mama untuk mengingatkanku.
"Belum Ma, nanti saja di luar. Ingatin ya Ma.
Mereka semua sudah siap di luar," jawab Haekal sam?
bil membantu membawakan tas mamanya.
"Ayo Yas kita berangkat. Kamu minum tehnya su?
dah selesai kan?" "Sudah Ma. Yuk Kak kita berangkat," ajak Tyas.
"Mang mobilnya sudah siap" Mang Mamat sama
mang Diran saja, biar Haekal bawa mobil sendiri.
Nanti sebelumnya kita mampir di Masjid Baiturah?
man ya untuk Shalat Subuh. Setelah selesai subuh
baru kita berangkat ke Sentul ya, Mang."
Cinta di Ujung Batas ain "Baik Mas, saya ngikuti saja dari belakang."
Pukul 04.45, kami sudah keluar dari masjid, dan
segera memasuki mobil untuk melanjutkan perjalanan
ke Bukit Az-Zikra Sentul.
"Kak, kaca mobilnya gelap kan ya" Nggak kelihat?
an dari luar kan?" tanya Tyas begitu memasuki mobil.
"Iya gelap kok. Memangnya kenapa Yas?" tanya
Haekal keheranan. "Enggak. Tadi Tyas keramas, ngeringinnya buruburu belum kering banget. Takut pusing, jadi Tyas
mau buka jilbabnya dulu. Ntar sampai sana dipakai
lagi, boleh ya Kak?" Tyas merengek manja kepada
kakaknya. "Boleh Sayang, tapi ntar ya, setelah pintu tol.
Takut ada yang ngeliat, aurat!" jawab Haekal sambil
mengelus lembut kepala adiknya.
"Yas, tadi kamu mandi pake air hangat kan?" tanya
Haekal mengkhawatirkan adiknya.
"Enggak Kak. Biasanya sih iya, tapi tadi nggak
dingin kok, seger. Tyas mandi pake air dingin," jawab
Tyas yang direspons senyuman oleh kakaknya.
Mamanya yang mendengar percakapan Tyas dan
Haekal yang menyimak dari jok belakang, bangga dan
bersyukur atas kerukunan dan kasih sayang yang ter?
tangkap jelas dari anak-anaknya.
Memasuki tol Sentul Selatan, Haekal dihantui
perasaan yang dia sendiri tidak bisa menafsirkannya.
Duh, kenapa aku ini" Dari semalam perasaanku nggak
enak, nggak karuan tapi nggak jelas apa yang ada di
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
benakku. Semakin mendekati tempat zikir, semakin
tambah nggak karuan. Kenapa aku ini" Ya Allah apa
yang terjadi padaku"
"Kenapa Kal" Kok kelihatannya kamu gelisah
banget, kelihatan nggak nyaman. Kenapa Kal?" tanya
mama. Mungkin karena insting seorang Ibu yang sa?
ngat tajam dengan apa yang terjadi pada anaknya.
"Nggak tahu ya Ma, dari semalam perasaan Haekal
nggak enak. Tapi Haekal sendiri nggak tahu apa yang
bikin Haekal begini. Kenapa ya Ma?"
"Ya sudah nggak apa-apa. Banyak-banyak istigfar
saja. Semoga Allah melindungi kita dari segala sesuatu
yang akan terjadi pada kita, karena hanya Allah-lah
Dzat yang Maha Mengetahui. Berserah diri saja Nak,
doa terus jangan sampai putus. Mohon perlindungan
sama Allah. Insya Allah akan baik-baik saja," nasihat
Mama sedikit menenangkan perasaanku.
Sepuluh menit kemudian kami sudah memasuki
kawasan Bukit Adz-Zikra Sentul. Segera aku memar?
kir mobil, yang diikuti rombongan Mang Mamat.
Kami parkir bersebelahan. Setelah keluar mobil, ma?
sing-masing memadangi keindahan alam yang terben?
tang. Luar biasa. ### Lokasi perbukitan yang sangat indah, di tengah?
nya mengalir sungai bening, dengan batu-batu besar
Cinta di Ujung Batas menyembul ke permukaan. Gemericik airnya sangat
jelas terdengar karena suasananya yang masih sangat
hening, dan dikelilingi dengan pepohanan hijau segar
yang terhampar seluas mata memandang.
Memandang ke atas, terlihat deretan mobil pe?
serta zikir berjejer rapi memenuhi area parkir yang
telah disiapkan. Dan subhanallah... di atas perbukitan
dibangun megah sebuah masjid Moammar Khadafi.
Di rumah Allah itulah kami akan berzikir bersama.
Allahu akbar, Allahu akbar! Himpun kami dalam
kasih sayang-Mu, ya Allah.
"Subhanallah ... Allahu akbar! Bagusnya Mas, baru
sekali nih saya ke sini," decak kagum kepolosan Mang
Diran yang kami sambut dengan tawa ringan.
"Ayo ah jalan! Keburu nggak dapat tempat nanti.
Oh ya, Tyas juga baru sekali ini kan ke Sentul. Nanti
Kak Haekal, Mang Mamat sama Mang Diran di de?
pan ya Yas. Tyas, Mama, Bibi di belakang pembatas
saja, biar gampang ketemuannya. Oke Non?" Tyas
hanya mengangguk mengiyakan.
Masjidnya memang belum selesai pembangunan?
nya, jadi kami berzikir di pelataran masjid, belum bisa
masuk ke dalam masjid. Antara jemaah laki-laki dan
perempuan hanya ada pembatas saja.
Jalanan naik berliku kami lalui dengan berjalan
santai, agar tidak terasa lelah, karena tempat parkirnya
agak jauh dari lokasi zikir. Aku gandeng tangan Mama
yang kelihatan lelah menaiki bebukitan. Duh...
Mama, betapa aku mencintaimu karena Allah. Betapa
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
aku ingin selalu mendapatkan ridamu agar Allah pun
selalu meridaiku. Kulirik wajah Mama yang mulai di?
hiasi guratan-guratan lembut di wajahnya.
Ya Allah bahagiakanlah mamaku.
"Alhamdulillah, sampai juga ..." Mama menghela
napas panjang. "Iya Ma, Alhamdulillah. Ma, jemaahnya masih
agak sepi, kita bisa duduk di depan Ma, dekat ke?luarga
Ustadz. Ayo Ma!" Tyas kegirangan karena masih dapat
posisi nyaman. "Ma, Haekal misah sekarang ya. Nanti kalau sudah
selesai biar Haekal yang nyamperin," pamit Haekal
sambil mencium tangan mamanya yang mengiyakan?
nya. Pagi ini jemaah yang hadir, belum terlalu banyak.
Segera aku, Mang Mamat, dan Mang Diran mencari
posisi yang paling nyaman. Tentunya posisi yang bisa
dengan jelas memandang Ustadz yang kami cintai
karena Allah. Ustadz yang bisa memotivasi kami un?
tuk semakin dekat dengan Allah. Ustadz yang me?
warisi perjuangan Rasulullah yang bisa membawa
umatnya selamat di jalan Allah.
Ya Allah limpahkanlah kasih sayang-Mu padanya,
sebagai pahala keikhlasannya membimbing kami. Amin
Allahuma Amin. "Mas, di sini posisinya pas nih, nyaman. Anginnya
juga silir, dan bisa ngeliat Ustadz dengan jelas. Sudah
nggak usah pindah ya Mas, kita langsung gelar saja?
dah saja," ajak Mang Diran yang langsung menggelar
Cinta di Ujung Batas sajadah tanpa menunggu persetujuanku dan Mang
Mamat. Tanpa keberatan aku dan Mang Mamat segera
menyusul menggelar sajadah, dan posisiku di antara
mereka. Biarlah kebetulan untuk menghindari mereka
mengobrol di waktu zikir, gumanku dalam hati.
"Mas, itu kan tasnya Ibu, kok dibawa," tegur Mang
Mamat yang mengagetkanku. Ya Allah, kok aku lupa
menyerahkan ke Mama ya"
"Astaghfirullah, iya Mang ini tas Mama. Lupa
Haekal kasih. Haekal harus antar nih, kasihan Mama.
Pasti ada yang diperlukan, lagian zikir masih sepe?
rempat jam lagi dimulai. Titip tempat duduk aja ya
Mang," pinta Haekal sambil beranjak dari tempat
duduknya. Haekal segera berjalan ke belakang, menghampiri
jemaah wanita. Dihubunginya Tyas melalui SMS
"Yas, posisi duduknya di mana" Tas Mama kebawa
Kakak, kakak berdiri di barisan depan nih." Haekal
mengirim pesannya. Sesaat kemudian, handphone Haekal bergetar.
"Kak tengok ke kanan, aku melambaikan tangan."
Spontan Haekal menengok, dan melambaikan
tangan. Haekal segera menghampiri barisan di mana ma?
manya duduk. Duh, bagaimana nih" Mama posisi
duduknya di tengah, selang lima orang dari pinggir.
Terpaksa deh aku mengganggu, meminta tolong sama
wanita yang duduk di posisi pinggir.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
"Assalamualaikum. Mohon maaf, bisa saya minta
tolong?" salamku setengah berbisik karena dia sedang
menunduk sambil berzikir.
"Wa `alaikumsalam, " jawab wanita yang duduk di
pinggir serempak dengan wanita di sebelahnya. Spon?
tan keduanya mengangkat wajahnya.
Subhanallah, allahu akbar! Rasanya jantungku ber?
henti berdetak melihat keelokan wajah kedua wanita
itu. Keduanya cantik rupawan, mempunyai daya ta?
rik yang sama-sama memukau. Aura muslimah yang
sangat santun terpancar indah dari wajah mereka.
Suara lembut yang mengalun serasa merayap sejuk
di dadaku. Sejenak aku tertegun dan segera tersadar.
Kutundukkan pandangan dan segera beristigfar dalam
hati. Ampuni aku ya Allah, yang telah lancang meman?
dang ciptaan-Mu yang belum halal bagiku. Sungguh
aku telah berzina dengan pandangan dan pikiranku.
Ampunilah aku ya Allah. "Emmm ... maaf Kak, Kakak mau minta tolong
apa?" tanya wanita itu dengan lembut, membuat jan?
tungku semakin bergetar. Kuhunjamkan istigfar ke dalam dadaku. Kuentakentakkan zikir ke dalam kalbuku, agar setan tidak
menguasai dan mengoyak keimananku. Ya Allah
baru sekali ini aku mengalami perasaan seperti ini.
Jadikanlah ini pertanda yang datangnya dari-Mu,
Cinta di Ujung Batas jauhkan aku dari bisikan setan yang terkutuk. Ya
Allah lindungi aku. Sejenak aku terdiam menata hati dan perasaanku
ini. Mengapa denganku" Mengapa dengan jantung
ini" Mengapa detaknya serasa tak beraturan mende?
ngar sapa lembutnya"
"Oh Iya maaf. Saya mau minta tolong, berikan tas
ini kepada Mama saya yang duduk selang lima dari
Anda," pintaku setelah gejolak hatiku reda. Spon?
tan wanita itu menengok ke arah Mama, dan Mama
memberi isyarat dengan lambaian.
"Baik Kak, sini saya sampaikan," ujarnya dengan
santun. "Baik minta tolong ya. Terima kasih. Assalamu
`alaikum." "Sama-sama. Wa `alaikum salam," sesaat kami ber?
adu pandang kembali. "Mas, sudah dikasihkan Ibu" Tadi mestinya biar
saya saja Mas yang antar ke Ibu," Mang Diran me?
nyampaikan penyesalan. Sementara, aku sangat ber?
syukur, aku sendiri yang mengantar tas Mama. Bagiku
ini adalah rahmat yang harus aku syukuri, karena aku
bisa bertemu dengan kedua wanita itu.
Ya, aku baru sadar aku mengagumi kedua wani?
ta tadi. Aku terpukau dengan wajah lembut kedua?
nya. Tetapi kenapa keduanya terus muncul dalam
benakku" Mengapa ini ya Allah" Mengapa yang
muncul selalu keduanya"
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Aku tidak mau berburuk sangka dengan rencana
Allah. Segera kutepis dengan zikir yang bertubi-tubi
kuhunjamkan dalam kalbuku, agar tidak ada celah
sedikit pun setan menghasutku akan rencana Allah.
Aku yakinkan diriku, apa pun rencana Allah yang
diskenariokan untukku, itu adalah yang terbaik dan
yang terindah untukku. Pokoknya hanya karena-Mu
ya Allah, hanya untuk-Mu, hanya kepada-Mu. Aku
tersenyum sendiri dengan pernyataan keimananku.
"Mas, kenapa kok senyum-senyum sendiri?" sapa
Mang Diran membuyarkan olah batinku.
"Ah, nggak apa-apa Mang. Kok Ustadz belum keli?
hatan juga ya Mang?" aku mengalihkan pembicaraan,
menutupi rasa maluku. "Alhamdulillah, itu Ustadznya datang, Mas," tim?
pal Mang Mamat dengan girang.
"Alhamdulillah, nggak salah Mang, milih tempat
duduk di sini. Dekat sekali kita dengan Ustadz," aku
bersyukur sekali, rasa kangenku terobati.
Alhamdulillah Kau pertemukan kami dengan
hamba-hamba-Mu yang saleh, yang insya Allah Eng?
kau cintai. Satukan kami dalam Naungan-Mu ya Allah.
Naungan kasih sayang-Mu Ya Rahman Ya Rahim, pin?
taku khusyuk kepada Rabb yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Aku jadi terbayang alangkah nikmatnya para sa?
habat dulu bisa berdampingan dengan Rasulullah
dalam suatu majelis ilmu atau majelis zikir. Rasa rindu
terhadap kekasih-Mu menyeruak dalam dadaku,
Cinta di Ujung Batas Senandung lembut shalawat nabi menari-nari dalam
relungku. Hampir dua jam kami mengikuti serangkaian


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

acara sampai selesai. Tausyiah dan zikir, yang kese?
muanya itu mengikis sifat kejahiliahan yang masih
bersemayam di hati kami, dan sebaliknya semakin
mengokohkan keimanan kami. Semoga, ya Allah
majelis kebanggaan-Mu ini semakin meluas di bumi
persinggahan kami yang sementara ini.
"Kak, Tyas laper banget nih. Kita makan di mana
ya?" rengek Tyas begitu kami dalam perjalanan pu?
lang. "Di mana ya Ma" Mama saja deh yang pilih,"
Haekal mempersilakan mamanya untuk menentukan
pilihan. "Kita ke Bogor saja yuk, nggak jauh dari sini kan,
Kal" Di sana banyak makanan khas Sunda yang enak.
Setuju nggak?" ajak Mama, yang memang paling suka
makanan Sunda. "Boleh juga Ma. Setuju kan Yas?"
"Ok, juga Kak, Tyas kasih tahu rombongan be?
lakang ya?" Aku mengiyakannya dengan anggukan.
Segera Tyas menghubungi rombongan Mang
Mamat, yang disambut Mang Diran kegirangan,
karena memang dia yang paling doyan makan di
antara kami. Santapan rumah makan sunda alhamdulillah, te?
lah mengenyangkan perut kami. Segera kami melun?
cur kembali untuk pulang.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Aku lihat Mama dan Tyas ketiduran, mungkin
karena kelelahan. Sementara aku mengendarai mo?
bil sambil terus beristigfar, untuk menenangkan pe?
rasaanku yang masih nggak karuan karena kejadian
tadi. Aku sama sekali tidak menceritakan hal ini pada
Mama dan Tyas, karena aku sendiri pun nggak nya?
man dengan perasaan seperti ini. Hanya Engkau yang
Maha Mengetahui Ya Allah apa arti semuanya ini.
Menjelang Shalat Asar, kami telah memasuki
kompleks perumahan, dan kami kembali singgah di
Masjid Baiturahman untuk menjalankan Shalat Asar
berjemaah. Pukul 16.00 kami sudah sampai di rumah. Mama
segera beristirahat di kamarnya, begitu juga dengan
yang lain termasuk Tyas. Sedangkan aku, masih ber?
perang dengan perasaanku. Tak sekejap pun aku bisa
memejamkan mata. Sepanjang sore ini aku me-review kembali apaapa yang telah terjadi pada diriku. Apakah ini jawab?
an dari kegalauan perasaanku dari semalam" Apa ini
tanda yang dikirim Allah untukku" Aku hanya ingin
mencintai seseorang hanya karena Allah. Aku niatkan
dalam diriku, mulai malam ini aku ingin mencari ja?
waban melalui istikharahku.
### Cinta di Ujung Batas Hari-hari berlalu, bulan demi bulan berlalu, dan
bahkan kini sudah menginjak tahun kedua dari per?
temuan itu. Hampir setiap malam, sosok dua wanita
itu menghampiri di setiap shalat malamku. Aku pun
tak lelah mohon petunjuk kepada Allah, siapa kedua
wanita itu" Apa artinya dalam kehidupanku" Aku se?
lalu mohon petunjuk kepada Dzat Yang Maha Me?
ngetahui. Pagi ini aku harus berangkat ke Surabaya untuk
mengurus perusahaan papa di sana. Kuliahku sudah
selesai, dan Mama sangat puas dengan hasil studiku.
Otomatis tugas baru sudah menantiku. Tugas perta?
ma dari Mama, Mama mengirimku ke Surabaya. Su?
dah hampir setahun ini, aku mondar-mandir JakartaSurabaya.
Pagi ini, sebelum berangkat ke Surabaya aku ingin
sekali subuh ini shalat di Al-Azhar. Hampir empat bu?
lan aku nggak shalat di sana. Entah kenapa, subuh ini
aku kangen sekali Shalat Subuh di sana. Aku ka?ngen
juga dengan jemaahnya, terutama Om Maulana.
Apa kabar ya Om Maulana" Ah, mudah-mudahan
aku bisa bertemu nanti di masjid. Kenapa ya aku
nggak pernah meminta nomor teleponnya" Jadi, di
mana pun aku, nggak akan putus komunikasi. Ku?
niatkan pagi ini aku ingin meminta nomor telepon
Om Maulana. Sepuluh menit sebelum azan, aku sudah sampai di
masjid. Setelah shalat sunah tahiyat masjid, aku berta?
fakur dengan zikir. Jemaah masjid masih lengang. Te?
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
rasa khusyuk sekali pagi ini. Mungkin memang karena
aku sudah kangen sekali dengan suasana di sini.
"Assalamualaikum. Nak Haekal ya?" sapa seorang
laki-laki sambil menepuk lembut punggungku.
Aku terperanjat, dan segera menengok ke arah
suara tadi. Alhamdulillah ... ternyata Om Maulana.
Aku beranjak dan berpelukan melepaskan rindu. En?
tah yang ke berapa kali aku berpelukan dengan Om
Maulana. Terasa pelukan itu milik Papa, makanya aku
selalu kangen dengan pelukan Om Maulana.
"Wa `alaikum salam Om. Aduh Haekal kangen
sekali nih," jawabku sambil mengeratkan pelukan.
Mungkinkah aku kangen dengan sosok Papa, yang se?
lama ini sedikit terisi setiap aku bertemu dengan Om
Maulana" "Ke mana saja Nak Haekal" Kok sudah lama sekali
nggak subuhan di sini?" tanya Om Maulana sambil
menarik tanganku untuk mengajak duduk kembali.
"Iya Om. Selepas kuliah, Mama memberi tugas
Haekal untuk mengurus perusahaan Papa yang di
Surabaya. Hampir setahun inilah Om, Haekal mon?
dar-mandir Jakarta-Surabaya. Hampir empat bulan
kali ya Om, Haekal nggak ke Al-Azhar," jelasku lirih,
karena takut mengganggu jemaah lain yang sudah
mulai memenuhi masjid. Masjid Al-Azhar ini memang masjid besar dan
nyaman. Alhamdulillah jemaahnya selalu penuh,
kegiatan-kegiatannya juga aktif. Aku pun biasanya
betah berlama-lama di sini, membaca Al-Qur"an,
Cinta di Ujung Batas mendengarkan kultum, bertemu orang-orang saleh.
Suasananya selalu membuat kangen.
Kami kembali terdiam, bertafakur untuk me?
nunggu azan subuh tiba. Alhamdulillah, muazin te?lah
menyerukan panggilan Allah. Panggilan yang kami
sambut dengan kebahagiaan. Subuh ini sangat indah
kami lalui dengan berjemaah yang khusyuk di masjid
yang penuh berkah. "Om sendirian?" tanyaku begitu keluar dari mas?
jid. Aku melihat kanan kiri, nggak ada Pak Gino dan
Pak Yatno, yang selalu menemani Om ke masjid.
"Iya, kebetulan Pak Gino besok mantu. Pak Yatno
sudah izin dari kemarin jadi panitia. Rencana, Om
sekeluarga siang nanti juga nyusul ke sana," jelas Om
Maulana. "Di mana Om?" tanyaku singkat sambil berjalan
mengiringi Om Maulana keluar masjid.
"Om, siang nanti ke Yogya. Di sana Pak Yatno su?
dah menjemput. Entahlah nama kampungnya Om
lupa. Pasrah sajalah mau di bawa ke mana," jawab Om
sambil tertawa. "Ah ... Om bisa saja. Oh iya Om, Haekal anterin
saja ya, biar Haekal juga tahu rumah Om. Suatu saat
kalau mau silaturahim Haekal kan sudah tahu rumah
Om," pintaku, karena biasanya Om Maulana akan
menolak. "Baiklah Nak Haekal. Terima kasih, tapi nggak
ngrepotin kan?" tanya Om Maulana sambil memeluk
pundakku. Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
"Enggaklah Om, malah Haekal senang," jawabku
sambil menuju tempat parkir. Kami segera meluncur
ke rumah Om Maulana. "Kita berhenti di depan, yang pagar putih itu ru?
mah Om. Mau mampir dulu Nak?"
Om Maulana menawarkan padaku untuk singgah,
begitu sampai di rumah megah bercat putih bersih
nan asri. Rumah yang menggambarkan pemiliknya
begitu mencintai kebersihan. Tanaman terlihat tertata
rapi. Memang aku melihat Om Maulana ini adalah
sosok yang berkarisma. Ketampanannya masih ter?
lihat jelas, badannya tegap, gagah, walaupun aku
perkirakan usianya sudah sekitar 50 tahun lebih. Aku
sering membayangkan, betapa gagahnya dulu Om
Maulana di kala mudanya. Aku tersenyum sendiri
dengan lamunanku "Terima kasih Om. Maaf lain kali saja ya Om,
karena Haekal mau bersiap ke Surabaya. Oh iya Om,
kalau boleh Haekal minta nomor teleponnya ya Om,
biar bisa tetap bersilaturahim, walaupun jauh."
Segera Om Maulana mengeluarkan dompet dan
memberiku selembar kartu nama yang kusambut
dengan riang. Aku pun memberikan kartu namaku
padanya. Segera kucium tangan Om Maulana dan
berpamitan untuk pulang. ### Cinta di Ujung Batas Suasana rumah pagi ini terasa sepi sekali. Aku menuju
ruang tengah. Melirik jam tangan dan singgah seben?
tar untuk membaca koran pagi. Ya, aku masih punya
cukup waktu untuk bersantai sebentar. Rencananya
pukul 10.00 aku baru mau berangkat ke bandara. Bik
Sumi menyodorkan aku secangkir teh panas.
"Tehnya Mas. Oh ya Mas, sarapannya sudah siap.
Kata Ibu, Mas Haekal diminta Ibu untuk sarapan du?
luan." "Makasih Bi, memang Mama sama Tyas ke mana
Bi?" "Ke rumah Pak Rasyid, katanya nengok Ibu Ade,"
jawab Bi Sumi. "Lho, memang Tante Ade sakit?"
Tanpa menunggu jawaban Bi Sumi, aku segera be?
ranjak ke rumah Tante Ade di kaveling seberang.
Begitu sampai, di rumah Tante Ade kulihat se?
muanya berkumpul di ruang makan, untuk sarapan
pagi. Ternyata Tante Ade nggak sakit. Ini cara Tante
untuk mengundang kami semua sarapan pagi di ru?
mahnya. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun
Om Rasyid. Selesai sarapan, kami segera pulang, dan aku pun
berkemas untuk berangkat ke Surabaya. Pagi ini
Mama dan Tyas tidak mengantarku ke bandara, kare?
na mereka ada undangan yang harus dihadiri. Mang
Mamat yang mengantarku. Sepanjang perjalanan aku memikirkan Tyas dan
Mama. Seharusnya aku tidak meninggalkan mereka.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Bukankah aku pengganti Papa yang seharusnya selalu
menjaga mereka" Menjadi pelindung mereka" Tetapi
kenapa aku justru meninggalkannya"
Terbayang sosok Papa yang selalu menasihatiku
untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab pe?
nuh terhadap keluarga sepeninggal Papa. Aku jadi
merasa bersalah telah meninggalkan mereka.
Semoga ada jalan keluar untuk semuanya ini, ya
Allah. Aku nggak mau jauh dengan keluargaku, tapi
aku juga nggak mau neninggalkan tanggung jawab di
perusahaan peninggalan Papa ini.
Sampai di Surabaya, aku nggak segera pulang ke
rumah. Aku mampir ke toko buku terlebih dulu, men?
cari beberapa buku yang akan menemani aku mengisi
hari-hariku di sini. Biasanya yang berhu?bungan de?
ngan pekerjaan dan buku-buku agama.
Setelah merasa cukup dengan pilihan buku, aku
segera pulang. Setelah istirahat sejenak, aku segera
membaca buku-buku yang kubeli. Memang itulah
hobiku, setiap waktu senggang, aku melahap semua
bacaan sampai habis. Bacaan apa saja aku suka selama
memberikan dampak positif untuk kehidupanku.
Buku yang pertama kupilih, buku agama yang ber?
judul Istigfar. Istigfar, satu kata yang penuh makna.
Sepintas sampulnya memang menarik. Penyajiannya
agak berbeda dengan buku-buku yang lain, karena di
setiap bab diselingi dengan kata-kata hikmah, dan re?
nungan dari penulis yang sangat menyentuh hati.
Cinta di Ujung Batas Sampai pada bab Durhaka Kepada Kedua Orang?
tua, aku resapi betul. Tak terasa aku meneteskan air?
mata teringat almarhum Papa. Harapan Papa padaku
dan penyesalanku belum bisa berbuat sesuatu yang
membahagiakan Papa sewaktu hidup. Ya Allah ... aku
menghela napas panjang merindukannya.
Sampai pada kalimat berikutnya yang semakin
menyentuh, aku semakin kangen pada Papa dan
Mama. Ya Allah, jadikan aku anak yang saleh, yang
bisa menjadi bekal kedua orangtuaku. Amin.
Tak terasa begitu panjang waktu yang kulalui un?
tuk membaca. Istirahat sebentar untuk shalat dan
kembali membaca buku lagi. Jam di tanganku me?
nunjukkan pukul 23.00. Aku sudah digelayuti rasa
kantuk yang sangat. Setelah selesai dengan semua ke?
wajibanku, aku segera beranjak ke kamar untuk me?
manjakan tubuhku di peraduan.
### Malam demi malam kulalui di Surabaya. Alhamduli?
llah, aku masih istikamah dengan ibadahku. Sepertiga
malamku tak pernah terlepas, dan entah keberapa
ratus kalinya bayangan kedua wanita itu muncul


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam setiap shalat malamku. Apalagi akhir-akhir ini
semakin sering dan semakin nyata menggelisahkan
hatiku. Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Kulipat sajadahku setelah shalat witir. Masih ada
waktu setengah jam lagi untuk menunggu azan su?
buh. Aku berniat untuk membaca buku lain yang be?
lum kubaca. Aku tertarik untuk membaca buku 10
Langkah Menuju Pertolongan Allah, yang pengarang?
nya sama dengan buku Istigfar. Tapi belum sempat
kuambil, telepon genggamku berdering. Siapa yang
meneleponku sepagi ini"
Sekali dering, langsung aku angkat, karena me?
mang tidak terlalu jauh dari tempat aku berdiri. Kuli?
hat di layar, ternyata Om Maulana. Duh, riangnya aku.
"Assalamualaikum Om. Senang banget nih dapat
telepon dari Om," sambutku riang.
"Wa `alaikum salam, Alhamdulillah Om juga
seneng telpon Nak Haekal. Lagi ngapain nih" Sudah
selesai qiyamul lail-nya?" ujar Om Maulana.
"Sudah Om. Ini lagi mau baca buku, sambil
nunggu subuh. Tapi Alhamdulillah nih Om, pagi ini
Haekal dapat hadiah bersilaturahim dengan Om," ja?
wabku santun. "Ah, bisa saja. Ngomong-ngomong di Surabaya
Nak Haekal sama siapa?"
"Sendiri Om. Paling ditemani sama yang ngurus
rumah ini. Kebetulan mereka suami istri, jadi Bibi
ngurus rumah, suaminya sopir," jawabku. Terkadang
ada kesedihan pula dalam diriku jauh dari keluarga,
jauh dari orang-orang yang kucintai.
"Nak, maaf ya. Ini hanya sekadar nasihat. Kalau
memang Nak Haekal sudah siap lahir batin, kenapa
Cinta di Ujung Batas nggak mencari pendamping" Kehidupan Nak Haekal
akan lebih mulia dan lebih berarti. Bukankah dengan
menikah, sudah menjalankan separuh agama?" nasi?
hat Om Maulana. Sama sekali tak kuduga, Om akan membicarakan
masalah ini denganku. "Terima kasih Om nasihatnya. Haekal sudah
ikhtiar sih melalui doa-doa Haekal selama dua tahun
belakangan ini, karena insya Allah Haekal nggak mau
melalui ikhtiar yang salah. Haekal berharap Allah
mengirimkan jodoh Haekal dengan skenarionya yang
indah. Entah melalui mana saja yang penting tidak
keluar dari ajaran Islam Om." jawabku.
"Alhamdulillah Nak, dalam Islam memang tidak
ada ikhtiar mencari jodoh dengan yang namanya pa?
caran. Banyak anak-anak sekarang yang salah melang?
kah. Alhamdulillah, Nak Haekal masih teguh men?
jalankan Islam dengan baik. Alhamdulillah," jawab
Om Maulana terdengar lega dan bangga.
"Iya Om, almarhum Papa yang menasihati hal ini
sejak Haekal memasuki usia balig," sahutku lirih.
"Oh maaf, pembicaraan Om ini membuat Nak
Haekal sedih ya. Om nggak tahu Papa Nak Haekal
sudah almarhum. Om turut bersimpati, semoga al?
marhum bahagia di sana mempunyai anak seperti
Nak Haekal. Apalagi anak laki-laki yang saleh adalah
harta orangtuanya dunia akhirat. Insya Allah." Rasa
simpati Om Maulana terucap dengan ikhlas.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
"Terima kasih Om. Amin. Haekal nggak apa-apa
kok. Oh iya Om, boleh Haekal meminta pertolongan
atau semacam nasihat dari Om?"
Secara spontan aku sampaikan. Baru sekali ini
uneg-uneg ini kusampaikan ke orang lain. Entah ke?
beranian apa yang mendorongku" Kepada Mama pun
aku nggak bercerita. "Boleh. Insya Allah Om bantu. Masalah apa?" ta?
nya Om Maulana penasaran.
"Begini Om. Kurang lebih dua setengah tahun
yang lalu, Haekal pernah bertemu dengan dua orang
wanita di suatu majelis zikir. Kami sempat beradu
pandang sesaat, dan kami segera menundukkan pan?
dangan begitu menyadari kekhilafan kami. Sampai
saat ini Om, kedua wanita itu selalu jelas terbayang se?
tiap Haekal selesai shalat malam. Entah sudah berapa
ratus kali dan semakin lama semakin jelas terbayang.
Apa tafsir semua ini Om" Tolong bantu Haekal,"
"Subhanallah, Allahu akbar. Alhamdulillah Nak,
semoga itu datangnya dari Allah. Jangan berhenti ber?
doa, semoga Allah kirimkan wanita itu untuk jodoh?
mu Nak," Om Maulana menasihatiku, membuatku
semakin gundah. "Tetapi selalu dua-duanya yang muncul Om. Hae?
kal bingung, mereka selalu muncul beriringan," ja?
wabku dengan nada bingung.
"Bersabarlah, hanya Allah Yang Maha Mengetahui,
apa yang akan terjadi. Skenario Allah, hanya Allah
yang tahu, dan kita harus yakini skenario Allah pasti
Cinta di Ujung Batas yang terbaik dan terindah untuk hidup kita. Yakin,
hadapi semuanya dengan sabar dan shalat. Yakin, ja?
waban terindah dari Allah pasti akan segera kamu da?
pat," panjang lebar Om Maulana menasihatiku.
Sangat menenangkan bagi jiwaku. Aku merasa
lega karena telah berbagi dengan Om Maulana.
"Ya sudah ya Nak, yang sabar. Lima menit lagi
azan subuh, kita ke masjid yuk. Sudah ya. Assalamu
`alaikum," Om Maulana mengakhiri pembicaraannya
yang kubalas dengan salam dan ucapan terima kasih.
Seusai berbincang dengan Om Maulana, aku se?
gera berangkat menuju masjid, yang tak begitu jauh
dari rumahku. Pagi ini aku seperti mendapat energi
baru, setelah aku berbagi cerita dengan Om Maula?
na. Nasihat demi nasihat Om Maulana bermunculan
kembali secara rinci di benakku. Ya Allah semoga, aku
menghela napas panjang. ### Udara pagi ini terasa sejuk, menari-nari membelai
langkahku menuju rumah Allah. Angin semilir terasa
memijit-mijit lembut tubuhku, meringankan lang?
kahku bertemu dengan hamba-hamba kesayanganMu.
Suara muazin terasa mengalun indah memang?
gilku untuk segera sampai. Rasanya aku berebut lang?
kah dengan jemaah yang lain untuk sampai duluan.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Duh, nikmatnya suasana hati ini. Alhamdulillah pagi
ini terasa indah dan nikmat. Terasa alam pagi me?
nyambutku dengan ramah. Hari ini kuawali dengan lebih semangat. Lima be?
las menit lebih awal aku datang ke kantor dari jadwal
biasanya. "Selamat Pagi Pak," Bu Lidya sekretarisku me?
nyambut dengan ramah. Bu Lidya sudah menjadi sekretaris di perusahaan
ini sejak Papa masih hidup. Sengaja dipertahankan
Mama untuk membimbingku menjalankan perusa?
haan ini. Oleh karena beliau termasuk orang keper?
cayaan almarhum Papa dan sangat paham seluk-beluk
perusahaan ini dari awal, dibanding aku yang masih
dalam tahap belajar. "Selamat pagi. Agenda hari ini apa Bu?" tanyaku
sambil menerima beberapa dokumen yang disodor?
kan padaku. "Ini ada faks, pengumuman pemenang tender
untuk proyek pembangunan pemipaan avtur di Jawa
Timur Pak. Alhamdulillah kita ditunjuk sebagai peme?
nangnya Pak, dan diharapkan konfirmasinya bisa kita
faks kembali siang ini," jelas Ibu Lidya gembira.
"Alhamdulillah, kita pemenangnya. Tolong setelah
makan siang diagendakan rapat untuk penunjukan
penanganan proyek ini, karena nilai proyek ini sa?
ngat besar. Tolong Bu Lidya hubungi Pak Marwandi,
untuk bisa hadir di rapat ini, karena sesuai struktur
organisasi yang kita lampirkan. Beliau Project Manager75
Cinta di Ujung Batas nya kan" Terus ada informasi apalagi Bu?" Aku ber?
tanya pada Ibu Lidya, sembari mengirimkan berita ke
Mama melalui SMS. "Ada undangan tender Pertamina untuk proyek
pemipaan dua tempat di Jawa timur, dan undangan
anwizing untuk pabrik kertas di Tuban Selasa depan,
Pak," jelas Bu Lidya, yang segera aku instruksikan un?
tuk ditindaklanjuti. Bu Lidya memberikan dokumen-dokumen yang
harus kuselesaikan, dan beberapa agenda yang harus
kulaksanakan. Dalam hati aku bersyukur, Mama
memberiku seorang sekretaris yang memang sudah
benar-benar matang untuk menangani semua perma?
salahan yang ada di perusahaan ini.
Bulan demi bulan aku lalui dengan jadwal kerja
yang sangat padat. Tak terasa hampir empat bulan aku
tidak pulang ke Jakarta. Pagi tadi Mama mengirim SMS, memintaku un?
tuk pulang hari Jumat ini. Kebetulan hari Minggunya
ada jadwal zikir Ustadz Arifin. Aku akan memenuhi
permintaan Mama, karena memang aku sudah ka?
ngen dengan keluargaku di Jakarta. Ditambah lagi
semua urusan kantor sudah berjalan, sehingga aku
nggak khawatir untuk meninggalkannya. Ada orangorang kepercayaan almarhum Papa yang sampai saat
ini loyalitas dan kualitasnya tidak perlu diragukan
lagi. Alhamdulillah, Allah mengirim orang-orang
yang insya Allah baik dan amanah di sekelilingku.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Sengaja hari Jumat ini aku tidak masuk kantor.
Kuhabiskan waktu untuk bersantai dan membaca
buku-buku agama sampai waktu Shalat Jumat tiba.
Sehabis Shalat Jumat aku berangkat ke Jakarta. Mama
serta Tyas rencananya akan menjemput karena sudah
kangen sekali. Kebetulan ada undangan makan malam
dari Diah dan Diaz yang hari ini berulang tahun.
### Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, aku me?
ngedarkan pandangan untuk mencari Mama dan
Tyas. Tyas melambaikan tangannya memberi isyarat.
Segera kuhampiri mereka. Kupeluk mereka untuk
melepas rasa kangen. "Assalamu `alaikum. Kangen sekali Haekal sama
Mama dan Tyas. Apa kabarnya Ma, baik-baik saja
kan?"salamku yang kulanjut dengan memeluk Tyas.
"Alhamdulillah, kami baik-baik semua di sini
Kak. Cuma ya itu Kak, nggak enak. Sepi nggak ada
Kakak," Tyas menggelayut di pundakku. Tebersit rasa
bersalah. Selama di Surabaya aku tidak bisa menjaga
mereka, padahal saat ini mereka adalah harta yang
paling berharga bagi hidupku. Kuusap kepala adikku
dengan lembut. Ya Allah ampuni kelalaianku ini.
Kami beriringan keluar dari bandara sambil me?
ngobrol melepas kangen. Di luar Mang Mamat sudah
Cinta di Ujung Batas menunggu kami. Kuucapkan salam padanya dan
terima kasihku karena selama aku di Surabaya, Mang
Mamat sudah menjaga Mama dan Tyas.
"Kal, pekerjaan di sana lancar semua" Bagaimana
team work-nya masih solid kan" Selama kamu di Ja?
karta, Om Irawan kan yang pegang kendali" Kamu
nggak usah khawatir semuanya insya Allah lancar
terkendali," Mama berusaha meyakinkanku agar
tenang meninggalkan perusahaan untuk sementara
waktu. "Kal, mama sudah pertimbangkan dan berkon?
sultasi dengan orang-orang kepercayaan Mama, baik
yang di pusat maupun yang di Surabaya. Mulai bulan
depan kamu menetap di kantor pusat. Surabaya biar
Om Irawan yang pegang. Mama ingin kalian dekat
dengan Mama, karena ternyata kebahagiaan itu tak
ternilai, sama sekali tidak bisa tergantikan dengan apa
pun. Sekali-sekali saja kamu kontrol ke sana.
Bagaimana, setuju Kal?" Permintaan mama disam?
paikan dengan nada sedih. Tertangkap jelas dari raut
wajah Mama. "Alhamdulillah banget Ma. Haekal juga merasakan
itu. Kebersamaan dengan Mama dan Tyas tak tergan?
tikan dengan apa pun. Toh Haekal juga bisa kerja dari
sini. Lagian di Surabaya sistemnya sudah jalan, SDMnya juga solid dan amanah. Insya Allah nggak ada
yang perlu dikhawatirkan." Aku memberikan penjela?
san ke Mama untuk lebih meyakinkan keputusannya
yang disambut riang oleh Tyas.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
"Ma, Minggu besok jadi kan zikir ke Ustadz Ari?
fin?" aku mengalihkan tema pembicaraan.
"Insya Allah jadi Kal. Nggak ada acara lain kan?"
"Apa pun acaranya, nomor satu zikir dululah Ma.
Kangen, udah lama Haekal nggak ikut," jawabku yang
direspons Mama dengan elusan di kepalaku.
"Ma, di Surabaya pulang kerja Haekal kan ba?
nyak waktu luang. Haekal banyak membaca buku
agama. Haekal ingin sekali lho Ma, hadir di penga?
jiannya Ustadz Yusuf Mansyur, untuk menambah
wawasan lagi Ma. Teman Haekal yang sudah sering
ikut mengatakan ada zikir munajah setiap Minggu
ketiga di Tanggerang. Di situ banyak anak yatimnya
Ma. Kita bermunajah bersama. Tertarik nggak Ma?"
ajak Haekal yang akhir-akhir ini sering mendapatkan
SMS dari teman-teman PPPA, asuhan Ustadz Yusuf
Mansyur.

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh juga kal. Menambah ilmu untuk meman?
tapkan iman kita kan bisa di mana saja, dari mana
saja. Selama menuju cinta Allah kenapa tidak Kal" Gi?
mana Yas, kamu mau ikut?" tanya Mama yang lang?
sung diiyakan oleh Tyas. Macan Tutul Di Salju 7 Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit Cangak Pengelana Rimba Persilatan 7

Cari Blog Ini