Ceritasilat Novel Online

Daun Jatuh Tak Penah 2

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye Bagian 2


nye?la dari samping, tertawa. Aku kali ini tidak melotot sebal
ke?pada adikku. Aku kan sedang terharu. *** Kami berhubungan lagi melalui chatting. Ada lebih banyak ma?
sa?lah yang aku laporkan. Dan meskipun cara berpikirku jauh
le?bih dewasa, masalah-masalah tersebut tak jauh-jauh juga dari
urusan remaja. Aku mengeluhkan satu cowok Singapura bertampang ChinaMela?yu yang selalu menggangguku. Namanya Jhony Chan. Tam?
pang?nya seperti artis Hongkong terkenal itu (namanya juga mi?
rip), tetapi kelakuannya jauh lebih jahat dibandingkan penjahat
ke?las berat mana pun. Maibelopah: Itu berarti dia suka kau.
Tania: Tapi aku kan nggak suka dia.
Maibelopah: Bukannya katamu cowok itu lumayan cakep" :-)
Tania: Kok Kakak belain dia sih"
Maibelopah: Aku nggak belain siapa-siapa. Memangnya ka?lian
sedang perang, jadi harus dibela"
88 Tania: Kakak harusnya belain Tania.
Maibelopah: Aku nggak belain siapa-siapa. :-)
Tania: Ah, sudahlah. Gimana kabar Dede"
Dia selalu begitu kalau aku mengadukan soal yang sama. Aku
se?ring bete. Meskipun sebenarnya chatting seperti itu membuatku
bisa "menyampaikan" banyak hal kepadanya. "Jauh cakepan
Kakak." Atau "Cowoknya kekanak-kanakan, nggak seperti Kakak."
Atau "Mereka tuh cuma suka sesaat. Harusnya suka itu kan me?
la?lui proses yang panjang."
Sayangnya dia tak pernah mengomentari lebih lanjut hal-hal
itu. Paling hanya seperti tadi. Bergurau. Dan jadi berantem (aku
sih yang telanjur kesal). Padahal sungguh, aku selalu mencaricari alas?an soal Jhony Chan ini. Alasan untuk sedikit-banyak
me?nying?gung perasaanku.
Meskipun demikian, setidaknya bentuk hubungan kami sudah
me?ningkat ke tingkatan tertentu. Pembicaraan kami bukan lagi
anta?ra anak kecil dan oomnya. Sekarang antara "adik" dan "ka?
kak". Isi chatting kami berubah banyak. Meskipun aku tak tahu
apakah itu berarti banyak baginya. Setidaknya bagiku itu se?buah
kemajuan penting. Sejauh ini nama Kak Ratna tidak pernah disebut-sebut. Dan
aku malas bertanya. Buat apa" Chatting kami hanya me?ling?kar
bertiga. Aku, dia, dan Dede. Aku banyak bercerita ten?tang masa
SMA yang berbeda. 89 Tania: Kemarin kami dipindah dari dorm. Di sini sekarang
se?muanya serbamandiri. Maibelopah: Miss G masih ikut"
Tania: Nggak. Sekarang semuanya diatur Tania sendiri.
Ma?kan. Biaya sekolah. Repot.
Maibelopah: Makannya masih di dorm dan sekolah, kan"
Tania: Masih. Tapi kita bisa milih untuk makan di luar.
Tania ka?dang bete dengan makanan di dorm,
itu-itu saja. Apa Tania ma?kan di luar saja, ya"
Maibelopah: Asal kau makan tepat waktu.
Tania: Tenang, Kakak tenang saja. Tania sudah pasang beker
di perut Tania. :-) Maibelopah: :-) Waktu berjalan lebih cepat daripada yang kubayangkan. Tanpa
terasa, karena kesibukan sekolah. Sebenarnya aku sudah jauh ter?
biasa dengan sistem sekolah Singapura yang supermandiri. Ke?
hidupan di asramaku berjalan lancar. Dia masih rajin mengi?rim?
kan uang bulanan. Karena beasiswa bulananku lebih dari cu?kup,
semua uang transfer itu tidak pernah kusentuh. Kuta?bung.
Chatting bersama dia dan Dede menjadi pengisi waktu luang
yang baik. Dede juga rajin mengirimkan buku terbaru karangan
dia. Sebagai balasannya aku mesti mengirimkan berkarung-ka?
rung Lego. Adikku juga bercerita tentang sekolahnya. Tahun
de?pan Dede masuk SMP. Aku menyarankan ASEAN
Scholarship. Dede tertawa dan berkata, "Halah, Kak Tania saja
90 sebenarnya nggak mau kan, ambil SMA di Singapura" Sekarang
malah nyu?ruh-nyuruh Dede."
Saat itu aku sungguh tidak menyadari kalimat adikku.
Dede tahu urusan perasaan itu.
Dede bisa menduga banyak hal, dan dia tidak keliru.
*** Setahun kemudian. Umurku tujuh belas tahun. Adikku dua be?
las tahun. Dia tiga puluh satu. Oh ya, aku lupa bilang, aku dan
dia lahir di bulan yang sama. Dia tanggal 1, aku tanggal 31.
Kata adikku sambil tertawa, "Oom Danar dan Kak Tania seperti
lagu pembuka dan penutup." Dan kejutan, mereka berdua memu?
tus?kan berlibur ke Singapura untuk merayakan ulang tahunku!
"Sweet seventeen ini, kata Oom Danar, kita akan merayakan
ulang tahun Kak Tania di Singapura saja. Minggu depan be?rang?kat. Eh, tapi acaranya di dorm saja. Oom Danar paling benci
ka?lau mesti pesta-pesta besar." Itu kalimat Dede minggu lalu
da?lam chatting. Aku sungguh tidak percaya dengan berita itu.
"Aduh, masa Dede bohong sih" Kak Tania tega banget nuduh
be?gitu. Mana pernah Dede bohong! Dede melanggar janji saja
nggak pernah! Oom Danar bilang semalam"," adikku protes
ber?kepanjangan saat aku bilang dia kalau bergurau jangan berle?
bih?an. "Kenapa Kak Danar nggak bilang langsung ke Tania?"
"Hehe, emang sengaja nggak bilang! Semalam Dede saja dipe?
91 san rahasia. Tapi Dede nggak tahan nggak cerita. Nggak sabar
mau ke Singapura. Jalan-jalan"." Aku dan adikku tertawa riang.
Se?mua ini benar-benar kejutan.
Hatiku meluap bahagia saat menyambut mereka di Bandara
Changi. Aku keliru, ternyata tak perlu tiga tahun untuk bertemu
lagi dengannya; hanya satu tahun dua bulan. Hanya selama itu?lah aku harus menunggu untuk melihat wajahnya.
Tinggiku sekarang 162 senti. Menurut buku yang kubaca, pa?
ling hanya bertambah 3-4 senti lagi beberapa tahun ke depan.
Teta?pi itu sudah ideal. Aku sudah sedagu dia (jauh lebih tinggi
dari?pada Kak Ratna. Ah, entahlah Kak Ratna sekarang ada di
mana! Tidak penting meski hanya untuk mengingatnya).
Adikku seperti biasa berceloteh, ramai. Bertanya banyak hal
se?pan?jang perjalanan dari Bandara Changi menuju hotel. "Meng?
gang?gu" pembicaraan kami berdua. Benar-benar mengganggu.
Dede masuk sekolah dekat rumah.
"Jadi, Kak Danar sekarang sendirian di rumah?"
Dia mengangguk. Tersenyum lebar. Mengangkat bahu. Mak?
sud?nya, bukan masalah besar, tetap bisa saling kontak.
"Kan setiap Minggu ramai. Kelas mendongeng Oom Danar
ham?pir lima puluhan anak sekarang. Bahkan Oom ngajak dua
ma?hasiswinya untuk bantu cerita di sana," Dede menjelaskan san?
tai dari kursi depan taksi (adikku tadi mengotot duduk di de?
pan; dan dia membiarkannya; aku sih senang, jadi aku dan dia
bisa duduk berdua di belakang).
Aku menelan ludah. Mahasiswi" Sejak kapan"
"Memangnya Kak Danar jadi ngajar lagi?"
92 "Jadi. Hanya di waktu senggang. Ngajarnya cuma sebulan dua
kali. Nggak terlalu sibuk," dia berkata datar, menjelaskan. Mem?
per?hatikan jalanan. "Mahasiswinya cantik-cantik lho, Kak." Dede menyengir (aku
baru menyadari bahwa adikku itu sudah remaja, lihatlah komen?
tar?nya barusan). Namun, aku lebih menyadari hal lain dari kalimat Dede ba?
rus?an. Mahasiswi" Cantik-cantik" Aku menelan ludah. Melirik
dia yang masih takjub menatap jalanan Singapura yang bersih
dan te?rawat. *** Kami tiba di hotel. Tadi Dede mengamuk. Aku dan dia turun
be?gitu saja dari taksi. "Lha, yang duduk di depan kan kamu. Jadi
yang bayarin kamu," dia berkata ringan (persis meniru cara bica?
ra Dede). Aku hanya tertawa senang. Rasain. Senang melihat adikku
yang panik dan mengkal. Saat itulah tiba-tiba aku ingat, bu?kan?
kah selama ini dia sedikit pun belum pernah jail menggoda?ku
seperti menggoda Dede" Entah apa pun alasannya.
Dede merajuk sepanjang sisa sore, "Kalo begitu percuma
Dede da?pat uang saku." Tetapi itu tidak lama, dia hanya
bercanda. Uang yang tadi dipakai adikku untuk membayar taksi
diganti se?luruhnya di kamar hotel.
Malamnya kami langsung ke dorm.
Anne, teman junior high school-ku yang lagi-lagi sekelas dengan?
93 ku di senior high school (aku sekarang kelas dua), sudah menyiap?
kan pesta sederhana di ruang tamu asrama. Beberapa temanku
juga datang, termasuk si Jhony Chan itu.
Mereka meniup terompet keras-keras saat kami masuk ruang?
an. Beruntung izin ribut malam ini sudah didapat dari pengawas
asra?ma yang galak. Lebih galak daripada Miss G. Lagi pula, ma?lam Minggu ini peraturan di dorm lebih longgar.
Menyanyikan lagu Happy Birthday!
Meniup lilin. Tibalah saat aku harus memotong kue ulang tahun kecil itu.
Anne tahu aku akan memberikan potongan pertama kue kepada?
nya. Anne tahu seluruh ceritanya. Aku memang dekat dengan?
nya. Anne satu-satunya sahabatku di Singapura. Sahabat yang
baik. Teman-teman yang lain dengan norak justru berteriak, "Jhony,
Jhony!" Dia hanya tersenyum, menggodaku ikut menyebutkan
nama itu bersama teman-teman dorm.
Dede hanya menatap kaku kerumunan aneh tersebut (dengan
tam?pang: kenapa mesti teriak-teriak segala coba" Hanya mau
menga?sih kue ulang tahun ini doang"). Masalahnya, adikku me?
mang terlihat paling kecil di antara yang lain.
Aku tentu saja tetap menyerahkan kue itu kepadanya. Dia
mene?rimanya sambil tersenyum. Mendekap bahuku. Mencium
ram?butku. Anne menyenggol lenganku, menatap penuh arti.
Jhony Chan menatap sebal di depan meja. Seluruh teman?ku
bertepuk tangan, tertawa melihat muka masam Jhony Chan.
Dede dengan santai tanpa banyak komentar mengiris sendiri kue
94 ba?giannya. Besar-besar. Hampir mengambil separuhnya. Tidak
pe?duli tatapan yang lain.
Pesta sweet seventeen-ku hanya seperti itu (meski bagiku itulah
pes??ta terbaik selama ini). Dia berkeliling berkenalan dengan te?
man-temanku. Maggie yang orangtuanya tinggal di Selangor men?
desis, "Wow, cute," saat bersalaman dengannya. Teman-teman?nya
ikut tertawa. Berbisik dengan genitnya. Lebih ramai. Dia jauh dari
cukup mampu untuk menangani kelakuan remaja se?per?ti kami.
Dia seperti biasa amat menyenangkan bagi orang yang baru
me?nge??nalnya. Bercanda. Bercerita banyak hal. Membuat ruang
tamu itu terkadang diam mendengarkan. Melanjutkan perbin?
cang?an lain, dan seterusnya. Dede juga ikut nyaman berinteraksi
da?lam rombongan yang lima tahun lebih tua. Dede tadi memba?
wa satu set Lego terumit yang pernah kuhadiahkan. Dan adikku
de?ngan "sinis" menertawakan Jhony Chan yang tak bisa menye?
lesai?kan?nya. Dengan bangga Dede bilang bisa menyelesaikannya dalam
hi?tungan detik (bohong sih!).
Sayang, waktu yang menyenangkan seperti itu selalu harus
ber?akhir. Tepat pukul 22.00 dia dan adikku harus kembali ke
ho?tel. Aku dan Anne membereskan meja dan kursi yang
berantak?an, sebelum kembali ke kamar dorm kami.
"Aku pikir dia tidak akan pernah tertarik dengan seumuran
kita-kita, Tania," Anne berbisik pelan (dalam bahasa Inggris ber?
aksen Singapura yang kental).
Aku menelan ludah. Anne benar. Lihatlah cara dia mengha?
dapi kelakuan Maggie dan geng ceweknya.
95 Ah, tapi itu akan berbeda dua-tiga tahun lagi. Bila aku sudah
men?jadi mahasiswi (yang cantik dan pintar).
*** Besoknya kami jalan-jalan.
Berkeliling dari satu shopping center ke shopping center lainnya.
Dede sudah menghabiskan uang sakunya bahkan sebelum keluar
dari toko pertama. Dia menolak mentah-mentah "permohonan
ban?tuan darurat" tambahan uang saku Dede sepanjang jalan ke
pu?sat perbelanjaan berikutnya.
"Nggak dapat uang saku satu bulan ke depan nggak pa-pa
deh. Please deh, Oom. Moratorium utang lama deh," Dede meme?
las, menyebutkan istilah ekonomi yang mungkin didengarnya
dari dia. Dede sekarang duduk di kursi taksi belakang bersama?
ku. Kapok mengingat kejadian kemarin.
Aku tahu dia lagi-lagi hanya bercanda. Buktinya, saat Dede
ingin membeli buku-buku di salah satu toko buku terbesar
Singa?pura, dia hanya mengangguk. Mengiyakan.
"Dari sini kita ternyata bisa lihat ke seluruh kota Singapura,
ya?" dia berkata pelan kepadaku. Toko buku itu memang terletak
di lantai sepuluh. Pemandangan yang baik. Laut terlihat indah
dari sini. Aku yang berdiri di sebelahnya mengangguk menyetujui.
"Tetapi jauh lebih asyik memandang dari lantai dua toko
buku di kota kita kok," aku berkata pelan.
96 "Kenapa?" dia bertanya, tersenyum.
Aku gelagapan. Tentu saja karena tempat itu spesial bagiku. Di sanalah aku
mendapatkan janji kehidupan yang lebih baik darinya. Di sana?
lah aku menatap masa depan yang lebih indah bersamanya. Dan
di sana jugalah harapan-harapan itu muncul tanpa bisa kume?
ngerti. Perasaan-perasaan itu.
"Lebih asyik aja," aku berusaha menjawab secuek mungkin.
Per?sis seperti gambar-gambar di komik Jepang itu lagi. Dia ha?
nya tersenyum datar. Merengkuh bahuku.
"Ini buku tulisan Oom, kan?" Dede mendekati kami yang ber?
di?ri di dekat tembok kaca tersebut. Dia dan aku menoleh. Dede
me?nunjukkan buku tebal dalam bahasa Inggris. Ada kata
"Maibelopah" di sana.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu buku itu. Sudah diterjemahkan enam bulan lalu
oleh penerbit sini. Terjemahan yang buruk. Aku bahkan mene?
mu?kan banyak kesalahan penerjemahannya, benar-benar semba?
ran?gan. Dia mengangguk. "Boleh Dede beli?" Adikku membuka-bukanya.
"Memangnya bahasa Inggris kamu sudah lancar?" aku meng?
go?da Dede. Adikku memasang wajah "tersinggung". Aku tertawa melihat?
nya. *** 97 Kami makan malam di China Town.
Menunya bebek, bebek, dan bebek. Dede menyela terus sepan?
jang menunggu makanan itu siap. ("Lihat pantatnya saja nafsu
ma?kan Dede sudah hilang. Kenapa pula kita mesti makan di
sini" Pindah saja deh, Oom. Kak Tania aneh nih milih tempat?
nya.") Tetapi adikku lupa omelannya, langsung lahap dan ter?
diam seketika saat pesanan porsi besarnya tiba.
Menyenangkan sekali makan malam itu. Duduk di sebelahnya.
Me?natap keramaian jalan, lampion-lampion bergantungan, ekorekor barongsai menjuntai di atap-atap melengkung. Orang-orang
de?ngan pakaian khas Mandarin berlalu-lalang di jalan, pedagang
kaki lima sibuk meneriakkan dagangannya. Semuanya terlihat
me?rah. Semerah hatiku. Kami membicarakan pekerjaannya. Dia sudah naik pangkat
lagi jadi GM Marketing. Semuda itu, sekeren itu" Dede tak ter?
tarik pembicaraan soal kantor. Adikku langsung banting setir
pem?bicaraan tentang rumah yang hampir jadi.
"Kamarnya... Kak Tania... sudah jadi!" Dede berlepotan bicara
sam?bil mengunyah. Itu tak pernah dikabarkan Dede dalam e-mail?
nya. Juga lewat chatting. "Tapi belum... dicat... nunggu Kak Tania...
maunya... warna apa?" Sebelum aku jawab, adikku sudah me??
nyebutkan warna, "Biru!"
Saat berbicara tentang sekolahku (sebenarnya sudah aku la?por?kan lewat e-mail dan chatting kepadanya), aku lebih banyak
meng?ulang yang sudah aku sampaikan.
"Oh ya, usaha kue-kue Ibu dulu sudah ada yang nerusin.
98 Sama siapa ya, Oom. Aduh, aku lupa"." Dede banting setir
pem??bi?caraan lagi semaunya. Sekarang bicaranya lebih lancar.
Bebek pe?kingnya tinggal buntutnya (dan dia jijik untuk meng?
habiskan?nya). Dia menyebutkan nama Miranti, yang dulu membantu Ibu
mem?besarkan usaha kue. Aku tersenyum senang. Ibu juga pasti
se?nang mendengar kabar ini di surga.
"Kamu masih bikin kue?" dia bertanya padaku.
Aku gelagapan lagi mendapat pertanyaan mendadak seperti
itu (sebenarnya tidak mendadak, akulah yang merasa semua per?
ta?nyaan darinya datang tiba-tiba).
Menggeleng. "Kenapa?" "Nggak kenapa-napa!" Lagi-lagi jawaban standar itu. Padahal
sebenarnya, bukankah dulu aku pernah bersumpah, aku akan
ha?nya membuat kue untuk dia" Itulah alasannya.
"Eh, Kak Tania pacaran ya sama cowok China kemarin ma?
lam itu?" adikku bertanya iseng.
Manuver Dede yang tak terduga.
Aku melotot. Hampir tersedak. Melempar sumpit. Dede ter?
ta?wa menangkapnya. "Yeee". kok marah" Orang cuma nanya kok!"
"Nggak. Kak Tania nggak pacaran sama siapa-siapa."
Dede menyeringai. "Iya sih, Kak Tania kan memang aneh."
Dia hanya tertawa melihat kelakuan kami.
Jadilah kami lima belas menit berikutnya terpaksa membahas
soal konyol itu. 99 "Seharusnya nggak harus seimpulsif itu, kan" Maksud Tania,
me?mangnya rasa suka bisa datang langsung pas first sight begitu"
Kan bisa pendekatan baik-baik". Memangnya di dunia sekarang
pertan?da-pertanda seperti itu masih laku?"
Sumpah, adikku waktu itu jadi lebih banyak bengongnya. Syu?
kurin. Dede kan meskipun pembawaannya sok gede, tetap saja
re?maja berumur dua belas tahun.
"Kamu benar-benar sudah dewasa, Tania. Seperti yang diha?
rap?kan Ibu dulu!" Dia hanya menutup pembicaraan itu dengan
ka?limat "menyebalkan" itu.
Enggan membahasnya lebih lanjut.
Aku mengeluh dalam hati. Aku hanya ingin mendengar pen?
da?patnya soal itu. Mengerti cara berpikirnya. Aku tak akan per?
nah tahu apa yang ada di benaknya jika pemahamannya soal itu
tak bisa kumengerti. Buku-buku yang ditulisnya tidak konsisten
membahas hal itu. Terkadang amat "serius", terkadang "bercanda"
sekali. Yang aku tahu, dia sama sekali tidak percaya cinta pada
pan?dangan pertama dalam setiap bukunya (makanya aku bilang
kata-kata itu tadi). Namun, dia tidak tertarik membicarakannya lebih lanjut.
*** Jadwal pesawat pulang dia dan adikku ke Jakarta pukul 16.00
be?sok sore. Jadi sepagian kami masih punya waktu. Aku meng?
ajak?nya jalan-jalan di Kampus National University of Singapore
(NUS). 100 100 "Mending ke mana gitu. Ngapain jalan-jalan ke kampus" Ka?
yak nggak pernah aja. Kak Tania dari semalam aneh mulu pilih?
an jalan-jalannya," Dede protes sepanjang jalan.
Aku cuek tidak memperhatikan Dede.
Kami berjalan dan duduk-duduk menghabiskan waktu di se?
pan?jang taman. Melihat serombongan mahasiswa bertampang
China-Melayu yang sedang bermain American football di lapang?
an. Tubuh mereka terlalu ringkih untuk saling bertabrakan.
Saat lewat lapangan basket, dia menyempatkan diri bergabung
ber?main bersama mahasiswa. Aku tak pernah tahu dia jago
main basket. Sekitar lima belas menit dia bergabung dengan
ma?hasiswa-mahasiswa itu. Menggulung baju lengan panjangnya.
Ikut mendribel bola, tangkas dan cepat. Melakukan tiga kali
shooting yang sempurna. Aku berteriak menyemangatinya.
Beberapa mahasiswi yang ikut menonton memakai seragam
cheerleaders juga genit berteriak. Dan tiba-tiba aku kehilangan
selera untuk bertepuk tangan lagi.
Dia keluar dari lapangan dengan pakaian berkeringat. Aku
me?nyo?dorkan saputanganku (kebiasaan yang aku contoh darinya,
se?lalu membawa saputangan; saputangan putih). Dia menatapku
lem?but dan bilang terima kasih. "Kayaknya kita bisa bikin la?pang?an basket di halaman samping rumah deh," Dede mencele?
tuk, melontarkan ide. Dia mengangguk. Jarang-jarang adikku
pu?nya ide yang bagus. Kami makan siang di kantin mahasiswa. Dan saat sibuk ma?
kan sambil berbincang, telepon genggamnya berbunyi. Dia me?
101 101 raih?nya dari saku celana. Melihat nama di layar sekilas. Lantas
ber?diri permisi beranjak menjauh.
"Sejak kapan Kak Danar menjauh dari kita kalau terima tele?
pon?" aku bertanya sambil menatap tajam adikku.
Dede hanya menggeleng tak peduli.
"Dari siapa?" aku bertanya penasaran kepada Dede. Menye?
lidik. Adikku pasti tahu semuanya.
"Paling dari pacar baru Oom Danar," Dede santai sekali
menga?takan itu sambil mengunyah daging sapinya.
Aku mendadak kehilangan selera makan.
*** Pukul 15.00 aku mengantar mereka ke Bandara Changi. Keja?
dian tele?pon saat makan siang tadi masih menggangguku. Aku
kehi?langan separuh keceriaan. Beruntung adikku banyak meng?
am?bil alih pembicaraan (sebenarnya dia memang selalu men?
dominasi pembicaraan; mulutnya persis seperti mitraliur).
Kami dari NUS pulang menuju ke hotel, check-out sebentar.
Lan?tas buru-buru menuju bandara. Tidak lama, langsung menu?
ju lobi keberangkatan. Aku memeluknya masih dengan sisa perasaan tak nyaman.
Adik?ku sudah lama tak mau kupeluk ("Emangnya Dede apaan"
Ma?las dipeluk-peluk Kak Tania.").
Sebelum beranjak pergi, dia mengambil sesuatu dari kantong
cela?nanya. Sebuah kotak kecil berwarna merah, terbuat dari kain
102 102 be?ludru (tentu bukan sepatu snickers; meski boleh jadi sebuah
"sepatu ukuran mini").
Isinya adalah liontin. Liontin.
Ada inisial namaku di sana: T. Aku terharu sekali. Perasaan
tak nyaman tadi langsung berguguran seketika.
Aku tak peduli. Bisa saja dia memberikan hadiah tersebut
semata-mata karena aku ulang tahun (waktu pesta di dorm se?
ma??lam dia belum memberikan hadiah). Atau semata-mata kare?
na dia menganggap aku sebagai "adik". Atau semata-mata entah?
lah lain?nya. Yang penting bagiku hadiah itu mengharukan.
Se?buah lion?tin. Aku menahan denting air di mataku.
"Nah, kalau dikasih beginian, Kak Tania mendingan nangis."
Adik?ku menyengir. Aku hanya tersenyum kecil.
"Terima kasih!"
Dan mereka beranjak menuju garbarata pesawat.
Hari itu aku bahagia sekali. Liontin itu pasti istimewa.
103 103 Pukul 20.37: Liontin Seribu Pertanyaan
Lantai dua toko buku terbesar kota ini. Sudah setengah jam
lebih aku tepekur berdiam diri di sini.
Mengenang semua kejadian itu. Mengenangnya.
Aku tersenyum. Tangan kiriku meraba leher. Liontin itu selalu
ku?kenakan sejak hari itu. Jemariku menyentuh inisal tersebut:
T. Bisa jadi Tersayang, Tercinta, Ter-apalah!
Anne berkali-kali menyelaku saat berusaha "mengartikan" pem?
be?rian itu. "T memang berarti banyak, kan" Bukan sekadar
Tania. Tetapi kalau secara sederhana menggunakan bahasa Indo?
nesia, bukankah itu hanya berarti Te... man?" Anne menyeringai.
Ke?sulitan menyebutkan kata "teman" barusan.
Aku melemparnya dengan guling.
Ah, mungkin Anne benar. Akulah yang berlebihan menang?
gapi hadiah itu. 104 104 Sepertinya fotokopian yang sedang ditunggu mahasiswa yang
du?duk di kursi putar tinggi seberang jalan sudah selesai. Mahasis?
wa itu berdiri me?rogoh saku, membayar. Menerima sebungkus
plas?tik besar. Ke?mudian beranjak berdiri. Tiba di depan gerai
foto?kopian, ber?di?ri termangu. Hujan lebat, bagaimana pula maha?
siswa itu hen?dak ke mana.
Tak kehabisan akal, mahasiswa itu berteriak memanggil ojek
pa?yung yang banyak berkeliaran. Lantas dengan payung besar
ter?se?but dia buru-buru melangkah menerobos derai air yang se?
ma?kin deras. Aku menghela napas. Sekarang pemandangan di
de?pan, di gerai fotokopian itu hanya menyisakan tiga pasangan
su?permesra dengan karyawan yang sibuk mengobrol.
"Maaf ya, Dik, kalau ingin cari buku lewat komputer, kompu?
ter?nya di mana?" seorang ibu menegurku. Tersenyum sedikit
cang?gung, banyak bingung.
Aku menoleh malas. Menyimak wajah ibu itu. Pelan mengang?
kat tangan. Menunjuk ke arah komputer itu berada. Mem?balas
senyumnya seadanya. Dia kan bisa bertanya ke karyawan toko
buku ini. Kenapa pula mesti bertanya padaku" Aku meng?he?la
napas sebal dalam hati. Ibu ini mengganggu kenyamananku me?
ngenang semua kejadian. *** "Wajahmu menyenangkan, Tania. Dan itu membuat banyak
orang nyaman untuk bertanya dan bersamamu"." Itu yang dia
105 105 je?laskan saat kami pernah membahasnya dalam chatting singkat
soal kenapa teman-teman sekelasku lebih banyak bertanya kepa?
da?ku dibandingkan dengan anak lain.
Aku kan sejauh ini hanya menduduki peringkat kedua, anak
Singa?pura yang dulu ranking satu di SMP lagi-lagi berada di
atas?ku. Penjelasan itu dulu amat membanggakanku. Itu berarti
aku mewarisi "wajah menyenangkan" miliknya. Orang-orang di
se?kitarnya juga selalu lebih banyak bertanya kepadanya. Bahkan
dulu pernah saat makan di salah satu warung tenda di sepanjang
ja?lan kota kami, pemilik warung tidak mau dibayar. Ibu pemilik
wa?rung itu tersenyum dan berkata, "Aku sudah amat senang
Mas Danar mau makan di sini."
Namun, sekarang pikiranku tidak tertuju ke soal itu. Ibu yang
mene?gurku tadi lebih mengingatkanku pada betapa penasarannya
aku soal "pacar baru" dia. Aku berpikir panjang kalimat Dede
soal telepon di kantin NUS waktu itu. Aku harus mencari tahu
ten?tang itu, entah dengan cara apa pun.
Esoknya, aku langsung terkoneksi dengan Dede.
Tania: Kamu kalo ganti profil bilang-bilang dong.
Bikin bingung X-( BebekPeking: Orang gantinya baru tadi pagi. Lagian di daftar te?man
Kak Tania nggak hilang, kan" Hanya ganti nama
doang. Tania: Kenapa diganti Bebek Peking"
BebekPeking: Iseng aja, emang gak boleh" :-p Daripada Dede ganti
buntut bebek" :-) 106 106 Aku tertawa. Kemudian berpikir beberapa saat. Memikirkan
pola per?tanyaan yang tidak akan menimbulkan kecurigaan di
kepa?la Dede. Pertanyaan soal pacar baru dia pasti amat sensitif.
Tania: Eh, pacarnya Kak Danar yang baru siapa ya"
Ternyata yang keluar pertanyaan standar-standar saja.
BebekPeking: Yeee, ngapain pula nanya-nanya pacar Oom Danar"
Benar kan, Dede langsung defensif.
Tania: Iseng. Pengin tahu aja. Aku mengutuk adikku dari seberang lautan. Jawab sajalah.
BebekPeking: Aku nggak tahu namanya, yang pasti lebih can?tik
daripada Kak Ratna.

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tania: Pernah datang ke rumah"
Aku menelan ludah, gemetar mengetikkan pertanyaan itu;
ce?mas menunggu jawaban. BebekPeking: Bukan pernah lagi. Setiap hari. Setiap detik.
Aku saja bete melihatnya.
Tania: Setiap hari?"" BebekPeking: Maksudnya begini, kakakku yang penasaran.
107 107 Itu cewek ngejar-ngejar Oom Danar. Banyak nanyananya Dede, lagi. Dede sampai sebal menjawab
pertanyaannya. Seperti Kak Tania sekarang.
Kenapa sih nanya-nanya" Jangan-jangan Kak Tania
sama dengan cewek itu ya"
Tania: Orang cuma nanya! Sama seperti kamu ganti
nama profil. Iseng. Emang nggak boleh" :-(
Aku menelan ludah. Buru-buru mengendalikan pembicaraan.
Ha?rusnya aku jauh lebih pandai memancing Dede menjelaskan,
ti?dak segamblang ini. Beruntung Dede tidak mengejekku lebih
lan?jut. Pembicaraan itu seperti biasa nyasar ke mana-mana. Dan
aku kehilangan selera untuk kembali ke topik semula.
*** Aku pikir masalahku dengan cowok-cowok di dorm dan sekolah
(ter?utama dengan Jhony Chan) akan selesai saat sweet seventeen.
Apa?lagi Anne mau berkomplot menyebar gosip tentang dia. Teta?
pi anak-anak tidak percaya, apalagi geng Maggie. Mereka malah
iseng minta alamat e-mail dia, mau bertanya. Duh, benar-benar
geng cewek ganjen. Si Jhony Chan itu juga semakin menyebalkan. Dia beberapa
kali terang-terangan mengajakku jalan bareng. Belum lagi kom?
plot?an wajah-wajah Melayu lain yang sok dewasa. Termasuk Adi
te?manku asal Jakarta (penerima ASEAN Scholarship juga) mulai
pen?dekatan. 108 108 Aku semakin jarang melaporkan kejadian itu. Lagi pula dia
pas?ti dengan rileks akan berkomentar hal yang sama. Banyak
ber?gurau. Tidak serius. Jadi daripada membuat sebal, lebih baik
aku tak banyak berbagi informasi (maksudku seharusnya dia
bisa mengerti arah pembicaraan kami, kan" Bukan sebaliknya).
Mung?kin baginya semua kejadian itu normal-normal saja untuk
ga?dis remaja sepertiku. Umurku sekarang delapan belas tahun. Enam bulan lagi aku
akan lulus dari senior high school. Adikku tiga belas tahun. Dia
tiga puluh dua tahun. Waktu benar-benar berlalu melesat bagai
de?singan peluru. Yang semakin sulit adalah perkembangan perasaanku padanya.
Lamban. Merangkak seperti kura-kura. Aku memang ti?dak
terlalu memikirkan lagi "soal pacar barunya". Lagi pula, kata
Dede belakangan lewat chatting, dia sedikit pun tak terlalu ber?
se?mangat menanggapi cewek itu (siapa pun nama dan asal-usul?
nya). Namun, itu tak menghentikan berbagai pertanyaan yang mun?
cul di otakku. Aku semakin tidak nyaman dengan perasaanku.
Dan siapa lagi yang menampung keluh kesah itu selain Anne.
Mendengar puluhan pertanyaan dan keluhanku di dorm, Anne
bi?lang aku mungkin sudah mulai terobsesi kepadanya, "Kamu
nggak mungkin berharap dari seseorang yang usianya jauh sekali
di atas kita, kan" Sudahlah, Tania! Dia nggak akan tertarik de?
ngan ce?wek seumuran kita-kita."
Aku hanya menatap Anne, teman sekamarku dengan sebal.
Me?mangnya kenapa" 109 109 "Maksudku, kamu jadi terlihat aneh dibandingkan teman-te?
man yang lain. Tania yang nggak pernah pergi dengan co?wok".
Tania yang dingin dan tak berperikemanusiaan terhadap cowokco?wok di dorm atau sekolah. Tania yang berharap dengan sese??
orang yang jauh lebih dewasa. Lihat, yang kamu pajang di atas
meja cuma foto kalian berdua di tengah jalan ini saja! Apa ba?
gus?nya coba, foto di atas partisi jalan ini?" Anne tertawa men?
jawil ku?ping?ku. Aku mendelikkan mata. Anne sama sekali tidak menyadari
bah?wa dia sebenarnya dua kali lebih jutek dibandingkan aku
da??lam urusan cowok. Dan foto-foto yang dipajang di dinding
ka??marnya lebih norak daripada foto siapa pun yang ada di asra?
ma (foto pe?main bola). Mending fotoku.
Foto dalam diagframa lamban itu. Foto dengan cahaya mem?be?ku di sekitarnya. Dan aku bersama dia tersenyum.
*** Sebulan kemudian berlalu.
Malam-malamku seperti biasa diisi chatting 10-15 menit de?
ngan Dede (di sela-sela kesibukan belajar, mengerjakan
assignment dan paper sekolah yang semakin banyak).
Aku menanyakan banyak kabar. Dia supersibuk. Setiap minggu
bo?lak-balik ke Tokyo. Kata Dede dia sedang menyiapkan pelun?
cur?an mobil SUV model baru keren. Jadi waktunya untuk online
de?nganku berkurang banyak. Sebulan ini saja aku sama sekali tak
melihat dia online (hanya kabar melalui e-mail setiap Kamis).
110 110 Tania: Kabar Kak Danar bagaimana"
d3d3: Sibuk. Pulang hanya numpang tidur. Hari Ming?gu
sekarang lembur. Btw, sekarang Dede yang jadi manajer di
kelas mendongeng. :-) Aku menyeringai. Satu untuk profilnya yang diganti lagi. Dua
untuk kabar manajer itu. Maksudnya apa" Adikku yang ber??cerita
di sana sekarang" Jangan-jangan anak-anak yang men?dengarkan
ceritanya tidak mengerti dia sedang bercerita apa. Dede selalu
suka mengomong sembarangan. Tidak menyam?bung.
Tania: Tapi dia sehat-sehat saja, kan"
d3d3: Emangnya Oom Danar pernah terlihat sakit"
Aku mengangguk setuju. Ya, dia tak pernah terlihat sakit,
apa?lagi mengeluh. Tania: Kamu ingatin Kak Danar untuk istirahat. Makan tepat wak?tu.
Tidur cukup. d3d3: Beeeuh, dia malah yang ngingatin Dede untuk istirahat dan
makan". Aku menyeringai. Beberapa menit kemudian aku berganti to???
pik membicarakan kesibukan Dede di sekolah.
d3d3: Eh, Dede lupa cerita ya".
Tania: Cerita apaan"
111 111 d3d3: Dua minggu lalu Oom Danar marah-marah ke Dede". Banyak
ngomel! Tania: Bukannya kamu memang sering diomelin" :-)
d3d3: Tapi dia marah besar".
Tania: Marah besar?" Kenapa"
d3d3: Sebenarnya masalahnya kecil, Dede hanya iseng buka
laptopnya. Aku menelan ludah; itu memang masalah besar.
Tania: Siapa saja pasti marah kalau begitu. Kamu ngapain buka-buka
laptopnya" d3d3: Cuma mau copy driver software. Lagian laptop?nya sudah
kebuka. Dede cuma mau copy doang. Nggak buka file apa pun
kok. Tania: Itu sama saja. Kalau aku yang jadi Kak Danar, kamu tuh sudah
kucekik, tahu! :-p Adikku tidak mengetikkan apa-apa lagi. Kehilangan selera.
Ka?rena aku justru menyalahkannya. Mungkin adikku sebal.
Meng?alihkan pembicaraan ke hal-hal lain. Tentang eskul basket?
nya ("Dede sekarang masuk tim cadangan sekolah." Aku nyengir,
me?mangnya masuk tim cadangan keren").
d3d3: Lumayan, tahu! Kak Tania kenapa sih sirik dari tadi"
Tania: :-p Siapa yang sirik"
112 112 d3d3: Padahal Dede mau cerita sesuatu soal Oom Danar.
Tania: Apa" Apaan"
d3d3: Haha! Tuh kan, kalau soal Oom Danar, Kak Tania pasti
semangat. Aku menyeringai mengkal, tetapi adikku tetap menceritakan
se?suatu itu. d3d3: Tahu nggak, waktu mau berangkat ke Singapura, Oom Danar
rusuh banget. Tania: Rusuh apanya" (Aku tidak sabar memotong.)
d3d3: Rusuh soal penampilannya, haha. Oom Danar jadi aneh.
Soal potong rambut saja dua kali minta pendapat Dede.
Jantungku berdetak lebih kencang. Sejak kapan dia memperha?
ti?kan penampilan" d3d3: Belum lagi soal keberangkatan. Oom Danar tegang se?ka?li.
Percaya nggak, waktu mau ketemu di lobi kedatangan,
Oom Danar sempat berdiri sebentar di lorong. Ngapain coba"
Haha, cuma mau ketemu Kak Tania doang".
Ya Tuhan, bundar perasaan di hatiku mengembang besar se?
ka?li. Tania: Kak Danar bilang sesuatu, nggak"
d3d3: Nggak! Dede nggak merhatiin. Ngapain sih"
113 113 Aku hendak mengutuk adikku. Kenapa Dede tidak bertanya
ke dia waktu itu" Coba kalau sesuatu yang tidak penting, pasti
adik?ku banyak bertanya. Yang sepenting ini malah tidak pedu?
li. d3d3: Ah ya, Oom Danar bilang sesuatu sih.
Tania: Apa" Kak Danar bilang apa"
Aku buncah dengan perasaan ingin tahu. Gemetar jemariku
me?nge?tik tuts laptop. d3d3: Pas pulang. Di atas pesawat Oom Danar bilang, Kak Tania
banyak berubah. Berubah jadi cantik dan dewasa. Dede sih
nyela, cantik apaan" Kak Tania jadi aneh begitu. Sok dewasa,
haha. Aku sekarang benar-benar mengutuk Dede.
d3d3: Oom Danar bilang, Ibu akan bangga sekali di sur?ga".
Dan sialnya, Dede mendadak mengalihkan topik pembicaraan
lagi. Bertanya soal Lego yang belum diterimanya. Bertanya soal
PR sekolahnya. Soal ulang tahunnya (adikku ulang tahun ming?
gu lalu). d3d3: Btw, soal ulang tahun. Ah iya, Dede lupa satu hal. Ma?sih ingat
dengan liontin waktu di Bandara Changi"
114 114 Dede menulis pesan berikutnya sebelum aku bertanya. Mem?
ba?ca kalimat itu seketika aku mengurungkan ketikanku. Senyum
ma?nyunku soal ulang tahun Dede hilang. Menunggu.
d3d3: Ternyata Oom Danar juga punya liontin yang mirip se?kali dengan
liontin Kak Tania. Di sana ada inisial DD.
Ya Tuhan, aku langsung tersengal. Apa pun itu maksudnya,
apa pun itu, dia punya liontin yang sama" Berarti liontin itu me?
mang sepasang (seperti yang kukatakan pada Anne)! Tanganku
ge?metar hendak mengetikkan sesuatu ("Kamu yakin?"), tetapi
je?mariku tak kuasa. Jantungku berdebar kencang. Perasaan itu
mengem?bang lebih besar. d3d3: Dede baru tahu minggu lalu, saat ulang tahun Dede. Eh iya,
trims buat paket ulang tahunnya. Sudah sampai, tapi kenapa
bu?kan Lego" Dede lagi malas baca buku.
Aduh, kenapa adikku malah balik lagi ke soal ulang tahunnya"
Liontin, itu lebih penting.
d3d3: Oom Danar memperlihatkan liontin itu waktu makan-ma?kan ulang
tahun Dede di warung tenda. Awas ya, Kak Tania ja?ngan
menertawakan lagi! Meskipun warung tenda, warung ten?da?nya
elit kok! Otakku sedang dipenuhi beribu larik harapan. Mana pula se?
115 115 ka?rang mau menertawakan adikku lagi" Ya Tuhan, liontin itu
me?mang dan akan selalu istimewa.
d3d3: Oom Danar memperlihatkannya lama sekali. Terse?nyum lebar.
Aku langsung tersedak, menunggu kelanjutan ketikan huruf
di layar laptop. d3d3: Dan Oom Danar memberikan satu liontin lainnya buat? Dede.
Ada inisial D. Satu liontin lagi buat Ibu, ada inisial WH. Dede
kuburkan di makam Ibu kemarin sore.
Demi membaca kalimat terakhir Dede, gelembung kebahagia?
an itu pecah seketika. Ternyata" Ternyata itu memang tidak spesial. Anne benar.
Aku megap-megap entah mengetikkan apa.
*** Seminggu kemudian kabar soal liontin yang ternyata tidak isti?
me?wa itu menguap. Meskipun sebenarnya dengan susah payah
aku membujuk hatiku berdamai dengan harapan. Dulu juga
Anne sudah bilang! T=teman. T=Tidak lebih tidak kurang.
Setidaknya tetap berkesan, bukan" Dia hanya membelinya un?
tuk empat orang. Buat dia, Ibu, aku, dan Dede. Aku jadi salah
satu pemilik liontin tersebut. Memangnya Kak Ratna pernah
dikasih" Nama "cewek artis" itu muncul lagi di benakku.
116 116 Aduh, kenapa pula aku teringat pada Kak Ratna"
Dan aku sama sekali tidak menyangka dua minggu kemudian
aku ternyata bertemu lagi dengan si pemilik nama itu di tempat
dan waktu yang benar-benar keliru. Kak Ratna kembali. Meng?
am?bil alih seluruh posisiku dengan sempurna.
Beberapa bulan sebelum lulus, kami harus mengerjakan lapor?
an akhir aktivitas sosial senior high school. Dan sebagai penerima
bea?siswa, kami diharuskan menulis laporan tentang permasalahan
ne?gara masing-masing. Aku diberikan tiket pulang-pergi ke Jakar?
ta, dan libur selama dua minggu untuk mendalami riset tersebut
di lapangan. Aku sengaja tidak memberitahu dia dan Dede. Agar jadi ke?
jutan. Maka hari itu dengan hati berbunga-bunga, aku berlarilari kecil melewati pelataran lobi kedatangan bandara.
Mencari taksi yang segera membawaku ke kota kami.
Minggu sore. Aku tahu mereka pasti sedang bersantai di ru?
mah. Hanya itu agenda acara dia dan Dede setelah kelas mendo?
ngeng. Aku tersenyum sendirian di dalam taksi. Ketika mobil
melaju kencang membelah jalan tol, aku merasa taksi itu justru
berjalan seperti siput. Saat mulai masuk jalanan yang pa?dat
kendaraan, aku merasa mobil itu seperti siput yang kaki?nya


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipotong keempat-empatnya (mana akau tahu siput ti?dak punya
kaki"). "Belanda masih jauh, Neng," sopir taksi yang sepertinya tahu
keti?daksabaranku menggoda. Aku tidak peduli, terus mengetuknge?tuk kursi di depan tak sabaran saat mobil menuruni jalan
ke?cil menuju rumah. 117 117 Buruan sedikit, keluhku dalam hati.
Aku tak sabar menurunkan koper. Halaman depan sepi.
Anak-anak kelas mendongeng pasti sudah pulang sejak tadi. Ada
sua?ra gedebak-gedebuk di halaman samping. Aku mengintip.
Ada adikku Dede yang sedang berlatih memasukkan bola ke
ring basket. Tiga kali lemparan, tiga kali tidak masuk-masuk.
Aku menyengir. Benar-benar tidak berbakat. Tak ada dia di
sana, jadi aku memutuskan menyapa adikku nanti-nanti saja.
Dia pasti sedang membaca di halaman belakang. Sambil me?
man?dang rumpun bunga bugenvil favoritnya (aku yang mena?nam?
nya saat pulang liburan SMP dulu; menurut e-mail terakhir,
sekarang sedang mekar berbunga).
Pertemuan yang akan mengasyikkan sekali, kan" Berlatar war?na merah bunga-bunga itu. Aku menarik napas senang.
Dan ya Tuhan, saat aku tiba di halaman belakang, bersiap
mem?berikan kejutan padanya, akulah yang justru terkejut bukan
kepalang. Dia, dia sedang bercengkerama duduk bersisian de?ngan
Kak Ratna. Orang yang sama sekali tidak ada dalam daf?tar
makhluk di atas bumi yang sekarang ingin kutemui.
Koper kecilku yang tak sengaja kutenteng-tenteng hingga ke
bela?kang terlepas dari tanganku. Berbunyi keras menimpa lantai.
Me?nimpa ujung jariku (aku tak merasa sakit sedikit pun; hatiku
seka?rang jauh lebih kebas). Mereka menoleh ke arahku.
"Tania"," hanya itu kata yang keluar dari mulutnya. Terkejut.
Ter?senyum riang. Berdiri, melangkah, mendekat, memelukku.
Dan aku seketika amat benci dengan pelukannya.
"Wah". surprise!" Kak Ratna ikut-ikutan berdiri.
118 118 Ikut-ikutan memelukku. Aku jauh lebih benci.
Padam sudah semua kerinduan dan rencana-rencana itu. Pa?
dam seketika seperti nyala lilin yang disiram segentong air besar.
Aku kaku memasang muka pura-pura bergembira atas sam?but?an
mereka. Hatiku tumpul untuk memerintahkan bibirku me?nyim?
pul senyum. Mataku kebas menahan tangis.
Dia sebaliknya biasa-biasa saja. Dia benar-benar senang dan
ter?kejut dengan kehadiranku yang super mendadak. Bertanya
ba?nyak hal. Dan aku hanya menjawabnya lemah. Dia mendekap
bahu?ku (tak sengaja tangannya menyentuh liontin itu). Dan aku
tiba-tiba merasa ingin merenggut dan melemparkan liontin ter?
se?but dari leherku. "Eh". ada taksi di depan yang nagih ongkos tuh, Oom"
Emang?nya siapa yang tadi ke sini nggak bayar taksi?" Dede tibatiba nongol sambil membawa bola basketnya. Belum melihatku
yang berdiri kaku di ruangan dalam.
Aku tersadarkan oleh sesuatu. Dan itu menyelamatkan betapa
mataku sudah berair. *** Dua minggu itu benar-benar menjadi siksaan bagiku. Masalah
riset itu sebenarnya basa-basi saja. Naskah laporanku jauh-jauh
hari sudah lebih dari sempurna. Hanya soal wawancara dengan
narasumber. Dan itu sudah kulakukan via e-mail.
Aku menggunakan fasilitas libur dua minggu semata-mata
ha?nya ingin pulang ke kota kami. Bertemu dengannya. Mengha?
119 119 bis?kan waktu seperti aku libur SMP dulu atau saat sweet
seventeen itu. Tetapi lihatlah sekarang. Apa yang kudapatkan"
Posisiku sempurna diambil alih Kak Ratna. Dan itu jauh le?
bih menyakitkan dibandingkan saat di Dunia Fantasi dulu (aku
kan belum tahu apa namanya perasaan saat itu).
"Kamu cantik sekali"," Kak Ratna memujiku.
Aku hanya mengangguk (demi sopan santun).
"Lihatlah. Tania lebih tinggi daripada aku lho." Kak Ratna
meno?leh ke arah dia. Dia tersenyum mengiyakan.
"Padahal dulu cuma segini." Kak Ratna sok akrab menunjuk?
kan batas seperutnya (aku sirik sekali, dulu aku jelas-jelas lebih
ting?gi dari itu). "Kita sudah lama nggak ketemu, ya" Hampir enam tahun ya,
Tania?" Sebenarnya kalau aku sedikit subjektif, Kak Ratna mela?
ku?kan dialog itu tulus dan bersahabat. Tetapi dengan hati dan
pi?kiran kotorku, semuanya terlihat buruk. Bahkan wajah Kak
Ratna terlihat seperti monster.
"Ya" sudah enam tahun." Hatiku mendengus: dan aku dulu
benar-benar berdoa agar tidak bertemu lagi dengan Kak Ratna
selama?nya. Hanya Dede yang cuek dan terus melanjutkan aktivitasnya.
Gedebak-gedebuk melempar bola basket. Sejak dulu Dede
memang malas berbincang dengan Tante Ratna.
*** Malamnya aku chatting dengan Anne dari kamar bercat dinding
120 120 warna biru. Sialnya, Anne malah menilai semua ini dengan cara
ber?pikir yang aneh sekali.
"Aku bilang juga apa. Dia hanya tertarik pada gadis-gadis se?
umurannya. Kamu tuh nggak lebih dari sekadar adik. Adik yang
pencemburu dan banyak maunya, Tania."
"Tetapi kenapa dia harus kembali ke kehidupannya?"
"Lho! Memangnya nggak boleh" Aduh, Tania, kamu jadi
nggak rasional. Ke mana ya grade nilaimu yang serba 100?"
Aku segera menutup laptop. Beranjak ke ruang tamu. Kulihat
Dede sedang membongkar Lego yang kubawa tadi siang. Serius
menatap kotak-kotak permainan ter?sebut. Dan malam itu (entah
kenapa) aku menantang adikku cepat-cepatan menyelesaikan
berbagai Lego itu. Lima Lego, aku ka?lah telak kelima-limanya.
Dede tertawa senang. Wajar saja aku kalah. Pertama, adikku jauh terlatih meng?atasi
permainan seperti itu (otaknya sudah seperti komputer yang
dipenuhi beribu-ribu jalan keluar; tangannya gesit seperti belalai
robot). Kedua, jelas-jelas aku sedang kesal, mana bisa mikir"
Aku sama sekali tidak bisa berpikir lurus. Dan sekarang aku
sema?kin kesal melihat tampang Dede yang penuh cahaya
kemenang?an. Tertawa lebar (menertawakanku, "Kak Tania mirip
si China itu dulu, haha". Tulalit! Telat mikir!").
"Kak Danar ke mana?" aku bertanya kepada Dede, memotong
tawa?nya yang semakin tidak sopan.
"Tahu. Paling ngantar Tante Ratna pulang." Dede mengangkat
bahu, tidak peduli. Aku mendengus dalam hati mendengar jawaban itu.
121 121 Kami berdiam diri lagi. Lama. Aku malas menghidupkan tele?
vi?si. Dede sibuk membereskan Lego-nya. Sejenak kemudian dia
men?dekatiku. Dengan ekspresi wajah ganjil.
"Dede boleh bertanya nggak?" Matanya lucu menyembunyikan
se?suatu. Aku melotot menyelidik. "Nanya apa?" "Tapi jangan ketawa ya!"
Aku justru sudah tertawa melihat wajahnya.
Dede langsung undur surut.
"Nggak" nggak. Kakak janji nggak ketawa." Aku menahan
tawa?ku. Dede menelan ludah. Maju lagi di sampingku. Lama
me?nimbang-nimbang. Berpikir-pikir. Aku jadi sebal.
"Apaan sih?" Adikku terdiam lagi. "Cewek itu sukanya apaan?"
Ternyata Dede bertanya tentang teman cewek sekelasnya. Aku
ter?tawa lama sambil memegangi perut. Dede marah ("Tuh kan,
kata?nya nggak bakal ketawa."). Tetapi itu hanya sebentar. Selama
satu jam ke depan kami membahas soal itu. Usia adikku tiga
be?las tahun. Umurku sekarang delapan belas tahun.
Lihatlah, dua tahun lebih tua dibandingkan saat aku merasa?
kan perasaan itu untuk pertama kalinya dulu.
Pembicaraan malam itu ternyata penting bagiku. Karena Dede
su?dah memulainya: berbagi tentang perasaannya. Maka nanti,
bulan-bulan berikutnya, aku jauh lebih nyaman untuk bercerita
122 122 pe?rasaanku kepadanya. Penting karena Dede tidak lagi terlampau
ba?nyak mengejekku seperti chatting waktu itu ("Jangan-jangan
Kak Tania suka ya."). Karena toh adikku sudah habis-habisan
aku cela sekarang, jadi mengerti betul betapa tidak enak diterta?
wa?kan soal beginian. Dede akan membantu banyak dalam urusan ini nanti. Mes?ki?pun itu sekadar menjadi pendengar yang baik. Setidaknya aku
pu?nya teman untuk berbagi selain Anne. Punya mata-mata yang
baik di rumah. Malam itu dia pulang amat larut.
*** Dua minggu itu benar-benar berjalan lambat. Lambat" Karena
ke mana-mana kami pergi, Kak Ratna selalu ikut. Aku protes
dalam hati saat Kak Ratna ternyata juga ikut ke pemakaman
Ibu. Kak Ratna sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ibu,
kan" Sia?panya coba" Kenapa pula ikut"
Aku lupa bahwa dulu Kak Ratna ikut menemani di rumah.
Mem?bawakan selimut dan baju ganti. Membimbingku saat pu?
lang dari pemakaman Ibu. Menemaniku di rumah kontrakan,
dan lain sebagainya. Otakku sedang benci, maka aku selalu ber?pi?kiran negatif sepanjang hari.
Ke toko buku terbesar di kota kami juga Kak Ratna ikut.
Hanya saja yang membuatku senang, Kak Ratna tidak tahu
tentang buku-buku yang ditulis dia (dan tidak akan pernah tahu).
123 123 Hanya aku dan adikku yang tahu rahasia besar itu. Yang kedua,
penjaga toko buku menegurku. Bukan menegur Kak Ratna.
"Aduh, Neng Tania semakin geulis, Mas Danar." Tuh kan, aku
jauh lebih cantik dibandingkan Kak Ratna (meski pen?jaga toko
tadi sedikit pun tidak membandingkanku dengan siapa-siapa).
"Untuk pria seumuran dia, wajah dan fisik itu tidak penting,
Tania." Anne mengirimkan pesan malam berikutnya sebelum
aku tidur. Dan aku menyengir tak peduli membaca kalimat
Anne. Anne selalu sok tahu.
"Kamu mungkin lebih cantik, lebih pintar daripada "cewek artis"
itu sekarang, Tania. Tetapi lebih cantik dan lebih pintar saja tak
cu?kup untuk menarik perhatian cowok sedewasa dia. Kamu tetap
re?maja tanggung baginya. Remaja yang menyebalkan."
Aku menyumpahi Anne tiga kali.
Malam itu kami juga melihat pemandangan dari lantai dua
toko buku. Dia mendekap bahuku (bukan mendekap Kak
Ratna). Kak Ratna berkeliling. Malas berdiri di situ.
"Kamu benar, Tania". Pemandangan di sini jauh lebih indah
di?ban?dingkan di Singapura," dia berbisik.
Dan aku menyeringai senang. Setidaknya jendela kaca ini ma?
sih milik kami. Tak ada yang bisa mengambil alihnya. Peman?
dangan ini spesial bagi aku dan dia.?
124 124 Pukul 20.45: Izinkan Aku Menangis demi Dia,
Ibu! Aku menyeka mataku yang mulai mengembun.
Tidak. Aku tak akan pernah menangis, Ibu. Walaupun dulu
sebelum pergi kau mengizinkan aku untuk menangis demi dia.
Ibu memang tahu segalanya. Bahkan sebelum kematiannya
da?tang menjemput, Ibu sempat mengatakan kalimat dan
senyuman gan?jil itu. Dulu aku tidak mengerti apa maksudnya.
Sekarang aku baru mengerti. Paham.
Berbagai kejadian menyakitkan siap menjemputku secara be?run?tun bulan-bulan berikutnya. Kejadian yang terkait dengan
kem?balinya Kak Ratna dalam kehidupan dia. Aku sekarang me?nger?ti mengapa Ibu mengizinkan aku menangis demi dia, tidak
un?tuk yang lain. Ah, Ibu tahu sejak awal. Aku menyukainya. Menyukai malai?
125 125 kat penolong kami. Bahkan sejak kami masih suka duduk di
de?pan rumah kardus menunggu dia datang. Menatap bulan se?
po?tong yang indah dari sela-sela pohon linden.
Aku menghela napas. Sudah lama sekali aku tepekur di lantai
dua toko buku terbesar kota ini.
Mengenang semuanya. Hujan semakin menggila di luar. Di sinilah aku dulu menatap
ke ? luar jendela bertiga dengannya. Sebelum esoknya kembali ke
Singapura. Di sinilah aku merasa setidaknya masih punya sepo?
tong tempat yang berharga, remah-remah dari Kak Ratna. Dan
itu cukup untuk membantuku menyelesaikan bulan-bulan akhir
senior high school-ku. Bulan-bulan yang berat.
Karena setiap saat, entah itu saat di kelas, entah saat di dorm,
saat mandi, saat hendak tidur, saat makan, saat apa saja, aku
sem?purna membayangkan dia.
Dia yang di belakangnya berdiri Kak Ratna.
*** Pernahkah kalian menonton film yang jagoannya baru datang
pada detik-detik terakhir" Ketika kekasihnya akan maju entah
mela?kukan atau menerima apa, pasangan yang ditunggu-tunggu
akhir?nya datang di detik-detik yang menentukan itu (dengan
cara spektakuler pula). Melalui sebuah adegan lambat yang me?
mesona, semua penonton terkesima. Bersorak menyambut keda?
tangan sang jagoan! Dan pasangannya sambil berdenting air
126 126 mata maju ke medan laga entah melanjutkan apa yang akan
diker?jakannya. Itulah yang terjadi padaku saat graduation day.
Setelah berjuang habis-habisan di ujian terakhir, akhirnya aku
ber?hasil melampui 0,1 digit si nomor satu selalu. Tipis sekali.
Aku mendapatkan predikat terbaik. Kepala Sekolah SMA-ku
menye?rah?kan penghargaan kristal pohon lime kepadaku. Dan
saat aku akan menerimanya, dia masuk terburu-buru ke dalam
ruangan au?ditorium. Berseru melambai. Mengesankan.
Jantungku berdetak kencang. Bahagia.
Kejutan! Benar-benar kejutan. Ternyata dia datang di hari
kelu?lusanku. Kenapa tidak bilang-bilang" Bukankah Dede dalam
e-mailnya terakhir malah menulis, Oom Danar sedang sibuk di
Jepang. Tapi sekarang dia ada di sini. Sendirian" Datang khusus
untuk?ku" Ya Tuhan! Tidak, lihatlah, di belakangnya ternyata ada Kak


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ratna yang mengiringi. Ikut bertepuk tangan bersama wisuda?
wan dan undangan lainnya. Semua bayangan hebat dalam filmfilm itu langsung runtuh seketika tak bersisa.
Dia memang kemudian menjelaskan jauh-jauh hari sudah ber?
janji akan datang saat wisudaku. Sesempit apa pun schedule-nya.
Te?tapi kenapa dia harus datang bersama Kak Ratna. Kenapa"
Pi?dato yang kusiapkan jadi kacau-balau. Aku setelah tertegun
be?be?rapa saat di atas podium hanya berkata pendek (membiar?
kan hatiku yang mengambil alih).
"Semalam aku telah menyusun kalimat yang panjang dan in?
dah. Sekarang semuanya hilang entah ke mana"." Tersendat.
127 127 Aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum lebar. Kak Ratna...
Kak Ratna memeluknya mesra.
"Terima kasih, Tuhan"." Aku menggigit bibir.
"Terima kasih, Ibu". Semoga Ibu melihatnya dari surga".
Semo?ga Ibu tersenyum dari sana"."
Aku tercekat. Betapa berbeda menyebut nama Ibu sekarang.
Kerongkonganku kering. Ada selarik cahaya yang keluar dari
hatiku, menghunjam seketika ke atas, membuat mataku berkacakaca. Ya, lihatlah aku sekarang, Ibu".
Lihatlah anakmu! Benar-benar berubah. Anak kumuh dan kotor itu sudah berubah. Anak yang berle?
pot?an jelaga asap mobil, debu jalanan, sekarang tumbuh men?jadi
gadis berambut hitam legam dengan tatapan mata yakin me?
mandang masa depan. Seperti mimpi Ibu dulu". Mataku berkaca-kaca.
Tidak. Aku pernah berjanji kepada Ibu. Tidak akan menangis
se?getir apa pun jalan hidup yang harus kulalui. Apalagi sekarang,
se?mua ini penuh kebahagiaan. Aku lulus SMA. Alih-alih jalan
hi?dup yang pahit dulu. "Terima kasih, Bapak". Adikku". Dan" dan"."
Ya Tuhan, berat sekali mengatakannya.
"Dan untuk seseorang"."
Ibu, aku tak akan pernah bisa menyebutkan namanya (dan
itu?lah sebabnya sepanjang mengenang seluruh kisah ini aku ha?nya bisa menyebutnya dengan kata: dia atau seseorang).
"Seseorang yang bagai malaikat hadir dalam kehidupan keluar?
128 128 ga kami". Seseorang yang membuatku rela menukar semua
kehidupan ini dengan dirinya. Seseorang...."
Aku gemetar, buru-buru turun dari podium itu. Sebelum kali?
mat?ku semakin kacau. Tidak peduli kalimat itu ganjil menggan?
tung. Beruntungnya, undangan tidak terlalu peduli, mereka ra?mai bertepuk tangan.
Kepala Sekolah SMA-ku, seorang ibu dengan wajah
menyenangkan me?melukku. "Pidato yang bagus, Tania". Well,
meskipun kami te?tap sedikit pun tidak punya ide siapa seseorang
itu. Siapa ya?" Ak?sen Inggris-nya sempurna. Menggodaku.
*** Ketika aku keluar dari ruangan auditorium, dia memelukku
erat-erat. Kak Ratna juga. Dia menggelengkan kepala amat se?
nang, tersenyum amat bangga.
"Lihatlah pengamen kecil yang kakinya dulu tertusuk paku
pa?yung. Gadis yang menangis karena kakinya berdarah! Lihatlah!
Dunia se?harusnya belajar banyak darinya." Tertawa kecil, dia
pura-pura me?ninju bahuku.
Aku hanya menunduk. Aku tidak bisa menjelaskan seperti
apa perasaan di hatiku sekarang. Tidak terkatakan. Semua ini
sung?guh membanggakan. Aku ingin sekali memeluknya saking
ba?hagia. Tetapi kan ada Kak Ratna di sana. Merusak suasana.
"Kau gadis yang luar biasa, Sayang!" Kak Ratna membantu
129 129 mem?bawakan piala tadi. "Tahukah kau. Danar tadi sempat ber?
kaca-kaca mendengar pidatomu."
Saat itu aku tidak peduli mendengarkan kalimat itu. Tetapi
bebe?rapa hari kemudian aku baru menyadarinya, kalimat itu
me?nimbulkan banyak pertanyaan. Bukankah dia selama ini tidak
per?nah menangis untuk siapa pun"
Kami bertiga berjalan beriringan menuju ruangan resepsi ma?
kan siang graduation day. Ada banyak kabar baik yang aku teri?
ma saat makan siang. Salah satunya adalah: NUS memberikan
satu kursi untukku di kelas terbaik mereka semester depan.
Kepala Sekolah SMA-ku dengan bangga menyerahkan surat
undangan itu. Apa pun pilihan jurusanku. Beasiswa hingga
lulus. Sayangnya semua kabar bahagia itu tertutup begitu saja bebe?
ra?pa saat kemudian oleh sebuah kabar yang bagai petir di siang
hari, datang amat mengejutkan. Meruntuhkan semua harapan.
Membuatku tergugu, berpikir tentang hari esokku yang tiba-tiba
sama sekali tidak menyisakan puing lagi. Puing-puing yang
mungkin bisa dibangun kembali.
Semuanya sudah berakhir. *** Saat makan malam di China Town ("Aku ingin membuktikan
kata-kata Dede. Dia kan sering banget bohongin "Tante"-nya." Itu
alas?an Kak Ratna kenapa kami makan di sana), dia menyampai?
kan "rencana hebat" tersebut.
130 130 Saat aku termenung sendiri menatap ekor barongsai.
"Kami akan menikah, Tania!" Dia tersenyum.
Kak Ratna mesra memegang tangannya. Ikut tersenyum. Me?
na?tap bahagia. Aku tersedak. Buru-buru mengambil gelas air putih di hadap?
an?ku. "Kamu kaget, Tania?" Kak Ratna membantu menyerahkan
tisu. Mukanya bercahaya oleh ketulusan dan persahabatan. Na?
mun, aku entah kenapa benci sekali melihatnya.
Aku buru-buru memperbaiki sikap (urusannya bisa runyam
kalau aku bertingkah seperti kanak-kanak). Mukaku memang
telanjur memerah. Semua ini mengejutkan.
"Ya". Tania kaget." Aku memasang ekspresi itu.
"Kami juga kaget saat memutuskan itu, Tania." Dia tertawa
pe?lan. Kak Ratna tersipu di sebelahnya.
"Kapan?" Suaraku antara terdengar dan tidak.
"Danar baru bilang oke seminggu yang lalu" di rumah." Kak
Ratna yang menjelaskan. Bukan itu yang kutanyakan, desisku dalam hati. Bukan kapan
yang itu (Lihatlah! Kak Ratna tidak nyambung. Kalau urusan
me?ngerti pembicaraan orang lain, otakku lima kali lebih cepat
diban?dingkan Kak Ratna. Bagaimana mungkin dia memilihnya"
Aku sirik mengeluh dalam hati. Lupa kata-kata Anne dulu).
"Maksudku, kapan menikahnya?" Aku berusaha keras mema?
sang wajah ingin tahu seorang "adik" yang sewajarnya senang
me?nerima kabar itu. "Tiga bulan lagi." Kak Ratna menyebutkan tanggal.
131 131 Dan aku langsung merasakan jalur jalan pecinan yang merah
me?nyala itu gelap seketika. Ekor barongsai itu seperti sedang
me?lilitku, membuatku susah bernapas.
Itu berarti tidak lama lagi.
*** Aku memutuskan untuk tidak pulang saat liburan sebelum se?
mester baru dimulai di NUS. Aku hanya bilang, bukankah sebu?lan
yang lalu sudah pulang. Lagi pula tiga bulan lagi aku juga p?u?lang
saat pernikahan mereka, buat apa membuang-buang uang.
Jadi, aku menghabiskan waktu sebulan setengah di Singapura
ha?nya dengan luntang-lantung. Itu jauh lebih baik dibandingkan
ka?lau aku harus pulang, bukan" Hanya membatu di rumah itu.
Me?lihat segalanya. Menjadi saksi persiapan acara pernikahan
me?reka. Tiga bulan lagi"
Satu setengah bulan itu benar-benar menjadi masa-masa tersu?
litku (dengan masalah yang berbeda dibandingkan tiga tahun
jadi anak jalanan dulu). "Kau tidak berhak untuk keberatan, honey." Anne menatapku
prihatin. Aku memutuskan berkunjung ke rumah Anne di Kuala
Lumpur. "Bukankah dia bukan siapa-siapamu" Mana ada malaikat yang
bisa menuruti kemauan orang biasa?" Anne menyengir me?nga?
takan kata angel itu. Anne sengaja mengungkit-ungkit kata-kata
dalam pidatoku dulu. Seseorang, malaikat kami.
"Aku juga sudah bilang berkali-kali, kau terlalu banyak berha?
132 132 rap. Baginya kau tak lebih dari anak kecil yang bandel. Atau
adik kecil yang pencemburu. Atau sejenis itulah."
Aku tetap tertunduk. "Tania?" Anne memegang lenganku.
"Tetapi aku ingin tahu perasaannya. Boleh, kan?" aku menja?
wab lemah, putus asa. "Buat apa" Sudah jelas kan, dia akan menikah dengan cewek
artis itu" Apa lagi yang hendak kautanyakan ke dia" Pera?sa?annya
sudah sejelas bintang di langit, Tania. Clear! Aduh, kamu kenapa
jadi kekanak-kanakan seperti ini sih?"
Aku mengeluh. "Setidaknya dia harus tahu apa perasaanku, kan?"
"Oh my goodness". Buat apa, Tania" Kau hanya merusak ba?
nyak hal. Merusak hubungan kalian sebagai adik-kakak, atau
en?tahlah selama ini. Bisakah kau membayangkan apa yang akan
ter?jadi kalau dia tahu apa perasaanmu" Satu, mungkin dia tidak
meng?acuhkanmu, tidak peduli. Dua, mungkin dia bisa menyi?
kapi?nya dengan baik dan dewasa, yang aku yakin inilah yang
akan dia lakukan kalau melihat betapa "cool-nya" dia saat meng?atasi geng Maggie.
"Tiga, dia bisa jadi justru menjauh. Kau membuatnya takut.
Kau adiknya sendiri membuatnya risi. Empat, dia jangan-ja?ngan
malah membencimu". Keberadaanmu bisa mengganggu hu?
bungannya dengan cewek artis itu". Please be rational, my friend!
Mereka akan menikah! Bukan barusan jadian, bukan baru say I
love you. Mereka akan menikah. Tiga bulan lagi."
133 133 Aku mengeluh. Anne tidak membantu apa pun. Percuma aku
jauh-jauh datang bertanya ke Kuala Lumpur.
"Tidak adakah kemungkinan yang kelima?" aku bertanya le?mah. Menatap kosong Anne.
Anne tertawa. "Maksudmu, dia tiba-tiba seratus delapan puluh derajat ber?
ubah pikiran" Membatalkan pernikahan. Lantas bilang, "Oh,
Tania. Aku juga cinta padamu." C"mon". Itu hanya satu banding
se?persejuta kemungkinan. Dan sayang, itu tidak ada dalam ka?mus kehidupan orang sedewasa, sematang, dan sekeren dia."
Anne menatapku putus asa.
"Tapi, aku ingin dia tahu apa yang aku pikirkan. Apa yang
aku rasakan. Aku kan berhak menyampaikan semua pera?sa?an
ini." "Kau memang berhak, Tania". Tetapi kau lupa dia juga ber?
hak untuk tidak mendengar apa yang akan kausampaikan. Dan
bicara soal hak, kau juga berkewajiban membuat rencana per?
nikahan itu berjalan lancar sebagaimana mestinya. Bukan ka?caubalau oleh perasaan kekagumanmu itu. Obsesi kekanak-ka?nak?
anmu. Lupakan, Tania. Semuanya."
Anne menutup pembicaraan. Aku tergugu.
*** Tiga minggu sebelum tanggal pernikahan.
Aku akhirnya memutuskan untuk membicarakan masalah itu
de?ngan Dede. Adikku memang baru empat belas tahun. Kelas
134 134 tiga SMP. Tetapi dia sama sepertiku, jauh lebih matang. Jauh
le?bih dewasa dibandingkan remaja seusianya (meskipun tetap
de?ngan gaya semaunya). Setidaknya adikku harus tahu apa yang
se?dang terjadi pada kakaknya.
Untuk menurunkan tensi perbincangan, aku menggunakan
ba?hasa Inggris saat chatting malam-malam itu.
Tania: Dede, I have confessions".
(Berikutnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia).
MiamiHeat: Hmm Apaan" Dosa besar apa"
Tania: Tapi kamu janji nggak bakal tertawa. Nggak bakal bi?lang
siapa-siapa. Termasuk waktu kamu suka ngomong sendirian,
ngadu di makam Ibu. Aku tahu kebiasaannya itu, dan membuka pembicaraan de?ngan menyebut makam Ibu akan membuat adikku jauh lebih
serius. MiamiHeat: Ya. Janji. Apaan"
Tiga menit berlalu begitu saja. Tanganku terlalu gemetar un?
tuk mengetikkan "pengakuan" itu.
MiamiHeat: Apaan seeeh" Ngomong aja napa!
135 135 Adikku mulai kesal menunggu; aku menghela napas.
Tania: Kamu ingat kan waktu aku suka nanya-nanya tentang dia.
Dan kamu banyak tertawa waktu itu.
MiamiHeat: Dia siapa"
Tania: Maksudku tentang Kak Danar. Tentang pacar barunya dulu.
MiamiHeat: Dede lupa tuh!
Aku meremas jari. Menyumpahi adikku. Bagaimana mungkin
Dede lupa" Bukankah otaknya punya photographic memory" De?
tail sekecil apa pun, adikku langsung ingat seketika. Itulah hasil
la?tihan Lego-nya selama bertahun-tahun. Apalagi pembicaraan
yang membuatnya tertawa-tawa dulu. Tidak mungkin lupa.
MiamiHeat: Ah iya. Yang waktu itu" Yang Kak Tania aneh?nya minta
ampun. Kenapa Kak Tania nanya-nanya lagi" Jangan-ja?ngan
Kak Tania... hehehe. Tania: KAMU SUDAH JANJI! MiamiHeat: Sorry. Maaf. Ya, Dede ingat! Ada apa sih sebenar?nya"
Tania: Aku sebenarnya.... Aku mengeluh, untuk mengatakan kepada adikku saja sudah
se?berat ini, bagaimana nanti aku harus mengatakan kepadanya"
Lama sekali kursor di laptop berkedip. Lamban. Selamban otak?
ku berpikir. 136 136 MiamiHeat: Kalo Kak Tania mau bilang Kak Tania suka sama Oom
Danar, Dede sudah lama tahu.
Ya Tuhan, kalimat itu, Dede mengambil alih permasalahan.
Tania:

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana kamu tahu"
Aku gugup mengetik. MiamiHeat: Harusnya Kak Tania ingat kalimat Don Carleone, "Jangan
remehkan tingkat intelektualitasku." Sorry becan?da! :-)
Bukankah sudah jelas sekali" Semuanya terlihat, kan"
Tania: Jelas apanya" MiamiHeat: Jelas banget, kakakku tercinta. Kak Tania yang se?lalu
bersungut-sungut kalau ada Kak Ratna. Kak Tania yang
selalu pasang tampang sebal setiap kali ada Kak Ratna.
Kak Tania yang memandang Oom Danar segitunya.
Kak Tania yang menangis setiap diberi hadiah.
Waktu di Bandara Changi, ingat" Makan malam di pecinan,
ingat" Aduh, Dede saja yang amatir?an bisa lihat itu kok".
Aku menelan ludah. Apakah seperti itu" Ya Tuhan, kalau adik?
ku saja mengerti semuanya, itu berarti dia juga mengerti" Otak?
ku dipenuhi berbagai rangkaian skenario. Berbagai kekhawatiran.
Dan satu kekhawatiran yang langsung menusuk hatiku seketika,
ka?lau begitu dia sebenarnya tahu persis seperti apa gumpal perasa?
an?ku kepadanya! 137 137 MiamiHeat: Terus, sekarang Kak Tania mau nanya apa"
Kursor itu berkedip lama. Oh, Ibu, sekarang aku mau berta?
nya apa kepada adikku" Aku tadi hanya ingin mengaku, berceri?ta. Dan adikku sudah tahu segalanya! Jangan-jangan dia juga
sudah tahu segalanya. Tania: Aku nggak tahu apa yang harus kutanyakan sekarang".
Hanya itu yang kutuliskan. Kami berdiam diri hampir lima
me?nit. Kursor itu hanya berkedip-kedip.
MiamiHeat: Dede juga nggak suka sama Tante Ratna. Me?nu?rut Dede
dia nggak cocok dengan Oom Danar. Kak Ratna nggak
akan pernah suka sama anak-anak. Lihat, emang pernah
Kak Ratna datang di kelas mendongeng" Kak Ratna juga
nggak suka ber?diri di lantai dua toko buku. Itu kan ritual
wajib Oom Danar. Pembicaraan tersebut terhenti di situ. Adikku tiba-tiba sign
out. Ternyata dia masuk ke kamar adikku saat itu (aku tahu
esok paginya saat Dede bilang).
Lagi pula, aku tak mau membicarakan orang lain. Kalimat
ter?akhir adikku mulai mengarah ke sana. "Kak Ratna memang
nggak pernah datang di kelas mendongeng kok!" sebelah hatiku
me?nyemangati. "Kak Ratna cuma suka dengan dia secara fisik,
bu?kan dengan kehidupannya! Harusnya kalau dia suka semua,
138 138 Kak Ratna suka juga dengan kelas mendongeng." Sebelah hatiku
itu semakin menyemangati untuk menjelek-jelekkan.
Aku menarik bantal. Menutupkannya di kepala. Mengusir
jauh-jauh pikiran itu. Berusaha tidur (sekarang aku menyewa
flat yang dekat dengan NUS, bersebelahan dengan Anne).
*** Mulai besok, adikku berbaik hati mengambil inisiatif pembica?raan sensitif itu. Bukan, bukan pembicaraan untuk memburukbu?rukkan seseorang. Aku berusaha menghindari membicarakan
Kak Ratna. Dede hanya melaporkan banyak hal. Sayang, laporan
itu semakin hari semakin menohok perasaan.
"Kak Tania, kemarin Oom Danar dan Tante Ratna pergi
mengu?kur gaun." Hatiku seketika mengukur kepedihan.
"Mereka sudah menentukan tempat pernikahan, Kak Tania!"
Aku mengeluh, di hatiku sama sekali tidak ada tempat untuk mera?
sakan bahagia lagi. "Kata Tante Ratna kemarin, mereka bakal berbulan madu dua
ming?gu!" Ya, dan aku berbulan-bulan akan menanggung pahitnya
kenya?taan ini. "Mereka memutuskan akan tinggal di rumah kita setelah
meni?kah." Ya Tuhan, bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup
di rumah itu walau sehari, saat pulang nanti melihat mereka ber?
dua bermesraan" "Anak-anak kelas mendongeng akan jadi "peri pengantin". Jadi,
ruang resepsi akan dipenuhi anak-anak yang mengenakan gaun
139 139 pu?tih bersayap memegang tongkat." Ya Tuhan, itu kan ide perni?
kah?anku yang sering kubicarakan dengan Anne.
"Katering sudah dipesan. Ada menu bebek pekingnya, kata
Tan??te Ratna itu spesial buat Dede. Kak Tania jangan marah ke
Dede, Dede sungguh tak ikut bicara saat mereka mendiskusikan
menu itu." Aku tertunduk menatap layar laptop, meratapi menu
spe?sial itu. "Undangan sudah dibuat. Mereka foto pre-wed di rumah. Yang
nge-shoot Oom Danar sendiri. Dede pura-pura sibuk di kamar
saat mereka foto, Dede malas disuruh-suruh." Berfoto mengguna?
kan self-timer camera" Itu sama seperti kami dulu berfoto bersama
di jalan depan toko buku.
"Kak Tania, Tante Ratna bertanya kapan Kak Tania pulang"
Kata Tante, Kak Tania bisa pulang seminggu sebelum pernikah?
an" Biar bisa bantu-bantu. Tante Ratne bilang, Kak Tania yang
ha?rus jadi pengiring pengantinnya."
Aku menggigit bibir. Menatap lamat-lamat ke luar jendela
kaca flat. Di luar hujan. Musim hujan di Singapura.
Pengiring pengantin perempuan" Itu sama saja dengan menan?
cap?kan sembilu di hadapan banyak orang.
*** Urusan pulang atau tidaknya aku menjadi masalah besar. Dua
ming?gu sebelum pernikahan, aku menabuh genderang perang:
aku tidak akan pulang. Dia dan Kak Ratna berkali-kali kirim
140 140 e-mail atau chatting bertanya, aku hanya menjawab pendek.
Tania sibuk. Maaf tak bisa pulang.
Berkali-kali bertanya. Berkali-kali jawaban pendek serupa.
Seminggu sebelum pernikahan itu terjadi, dia memutuskan
mene?lepon langsung ke Singapura. Bukan e-mail. Bukan chatting.
Tele?pon ke kamar flat yang kusewa.
"Kau benar-benar tidak bisa pulang?"
Aku terdiam. Tadi saat mendengar suaranya menyapa saja aku
su?dah tertekan sedemikian rupa. Kehilangan kata-kata. Apalagi
mendengar pertanyaan itu.
"Ada". ada... matrikulasi!"
Dia tertawa kecil. "Ayolah, jangan bohong kepadaku. Sejak kapan Tania yang
pin?tar membutuhkan matrikulasi sebelum kuliah" Kecuali kalau
Tania yang sebenarnya mengajar kelas matrikulasi itu."
"Aku... aku memang nggak bisa pulang. Maaf!"
Terdiam sejenak. "Tidak bisakah kau pulang hari itu saja" Nanti aku bayarin
ti?ketnya. Berangkat flight pagi, dan kalau kau memang buruburu, bisa pulang jadwal penerbangan sorenya. Bisa, kan?"
Tanganku meremas ujung saputangan, menggigit bibir.
"Halo, Tania. Kau masih mendengarkan, kan?"
"Iya". tetapi aku memang nggak bisa pulang." Kata-kata itu
meng?gantung di langit-langit kamar.
Anne yang sudah kembali ke Singapura dan kebetulan sedang
ber?tan?dang di flatku juga ikut terdiam di kursi pojok ruang?an.
Anne memang kesulitan berbicara bahasa Melayu, tetapi dia bisa
141 141 mengerti percakapan kami. Dan Anne tahu persis aku se?dang
berbicara dengan siapa, membicarakan apa.
Di seberang telepon, dia terdengar menarik napas dalamdalam. Amat panjang. Aku mengeluh mendengarnya. Tentu saja
aku telah membuatnya kecewa. Ya Tuhan, bukankah aku pernah
ber?sum?pah untuk selalu menuruti kata-katanya"
"Tania, datang tidaknya kau ke acara minggu depan jelas
mem?buat perbedaan besar."
Aku terdiam. Tertunduk dalam-dalam.
"Teramat besar. Bahkan kau tidak akan bisa membayangkan
apa yang bisa terjadi kalau kau tidak datang, Tania." Suara itu
terdengar serak. Sayangnya, aku sudah tidak mendengarkan lagi kalimat itu.
Te?lingaku telanjur kebas oleh hati yang buncah dengan perasaan
ka?lah. Oh, Ibu, izinkanlah aku menangis. Aku sekarang ingin
me?na?ngis demi dia". Izinkanlah aku menangis.
"Tetapi kalau kau memang tidak bisa datang..."
Terdiam. Dia menghela napas.
"Ah, sudahlah! Kita kan masih punya waktu seminggu lagi.
Kau mungkin masih bisa berubah pikiran."
Dia mengalihkan pembicaraan dengan lembut. Menanyakan
ka?barku (aku menjawab parau, baik). Menanyakan flatku (aku
men?jelaskan semakin parau, baik). Menyampaikan salam adikku
dan Kak Ratna (aku tak bisa menjawabnya lagi; bukan benci
men?dengar nama Kak Ratna, tetapi suaraku sudah bergetar sede?
mi?kian rupa; dia akan tahu aku menahan tangis).
Saat telepon itu ditutup, aku langsung terduduk di tempat
142 142 tidur. Menelungkupkan kepala di atas bantal. Menangis. Benarbenar menangis.
Umurku sembilan belas. Adikku empat belas tahun. Dan dia
tiga puluh tiga. Untuk pertama kalinya aku menangis sejak enam
ta?hun silam. Sejak Ibu meninggal. Sejak tiga tahun kehidupan
ter?sulit yang pernah kualami. Sejak kakiku tertusuk paku payung
dan dia mengikatnya dengan saputangan putih yang sekarang
aku pegang. Sejak Ibu memintaku berjanji untuk tidak menangis
se?sulit apa pun kehidupan yang kujalani.
Aku menangis demi dia". Dengan perasaan kalah.
*** "Tahukah kau, selama ini aku iri padamu, Tania. Setiap meli?hat
wajahmu yang menyenangkan, teman-teman di kelas juga terba?
wa ikut senang. Aku tak pernah membayangkan punya te?man
dengan kemampuan memengaruhi sebesar kau, Tania. Dan ta?
hukah kau, saat melihatmu sekarang menangis, hatiku juga se?
perti ikut tertusuk"." Anne mendekapku. Suaranya lemah. Dia
menarikku untuk duduk. Mengangkat kepalaku dari balik ban?
tal. Kami berdiam diri saling berpelukan.
"Apakah keputusanmu tidak pulang sudah final?" Anne berta?
nya saat sedanku mereda. Aku tidak menggeleng, tidak juga mengangguk.
"Apakah kau akan tetap memberitahukan perasaanmu, Tania?"
Anne bertanya lagi. 143 143 Aku menoleh menatapnya. Buat apa" Kalau adikku saja bisa
meng?artikan banyak hal, dia yang jauh lebih matang dan me?nger?
ti tentu bisa memahaminya dengan baik. Dan apa jawaban atas
pemahamannya itu" Dia memutuskan untuk menikah dengan
Kak Ratna. Perasaannya jelas sekali, bukan"
Namun, Anne mengatakan pendapat yang berbeda malam
itu. "Aku dulu mungkin keliru. Ya, aku dulu keliru. Kau yang be?
nar, Tania. Kau berhak mengatakan itu kepadanya. Dia tahu
atau tidak tahu, terima atau tidak terima, marah atau tidak, ben?
ci atau tidak benci, kau berhak mengatakannya, honey. Hakmu
jauh lebih besar dibandingkan hak dia, bahkan juga dibanding?
kan dengan kewajibanmu memastikan pernikahan itu berjalan
lan?car"." Anne mendekap bahuku. Berbisik lemah.
Aku menoleh kepada Anne tidak mengerti.
"Kau berhak mengatakannya, Tania."
Benarlah kata orang-orang, prinsip hidup itu teramat lentur.
Prin?sip itu akan selalu berubah berdasarkan situasi yang ada di
de?pan kita, disadari atau tidak. Dan Anne mengubah cara ber?
pikir?nya seketika saat melihat teman terbaiknya sedang sekarat
oleh perasaan. 144 144 Pukul 20.50: Hari-Hari Menyakitkan!
Pengumuman. Suara karyawan cewek dari meja informasi mengumumkan
se?suatu. Toko buku terbesar di kota ini akan tutup sepuluh me?
nit lagi. Berterima kasih atas kunjungan pembeli. Berharap me?re?ka akan datang besok lusa lagi.
Aku menghela napas, ini malam terakhir sebelum urusanku
ha?rus usai. Berarti besok aku tak akan ke sini. Tidak bisa meme?
nuhi permintaan pengumuman tersebut.
Apa pun yang terjadi malam ini, aku akan terus melanjutkan
kehi?dupanku. Dan mungkin saja untuk selamanya tidak akan per?
nah kembali lagi ke kota ini.
Di luar hujan akhirnya mereda. Hanya menyisakan rintik air
yang jatuh dari daun pepohonan sepanjang jalan. Menyisakan
titik air yang menggumpal di ujung payung yang masih terkem?bang namun enggan bergulir. Menyisakan titik air di sudut mata?
145 145 ku. Mataku tanpa kusadari basah. Ah, mengenang semua ini
sungguh membuncah seluruh perasaan.
Seseorang (dengan pasangannya) keluar dari gerai toko cucicetak foto di seberang depan. Membawa amplop cokelat besar.
Itu pasti foto ukuran A0, mungkin untuk dipajang di sepanjang
kar?pet merah. Pasangan yang wanitanya berkerudung beranjak melangkah
ke?luar dari gerai fotokopian. Masih saling mendekap hangat.
Me?reka memakai helm masing-masing (yang lelaki sempat mem?
ban?tu memasangkan ikatan dagu helm yang wanita). Jas hujan
dili?pat rapi. Dimasukkan dalam bagasi motor. Lantas motor itu
men?derum meninggalkan keramaian gerai fotokopian.
Sepasang kekasih lainnya yang turun dari angkot merah tadi
dan sepasang lagi dari mobil yang terparkir di seberang jalan
su?dah semenjak semenit yang lalu meninggalkan gerai fotokopian
itu. Yang tinggal hanyalah beberapa karyawan yang terlihat sibuk
be?rbenah-benah. Mereka bersiap pulang! Sama seperti karyawan
toko buku tempatku berdiri.
Pulang. *** Kata "pulang" benar-benar menjadi penting seminggu terakhir
se?be?lum pernikahan dia dan Kak Ratna. Bahkan yang sama
sekali tidak aku sadari bagi dia kata itu jauh lebih penting
daripada kata "per?nikahan" itu sendiri. Sayang, aku tahu fakta
146 146 ini dua minggu ter?akhir. Yang justru membuatku tepekur di
lantai dua toko buku terbesar kota ini. Mengenang semuanya.
Tahukah kalian, tiga hari sebelum hari H pernikahan, atau
em??pat hari setelah dia meneleponku, seseorang datang ke flat se?
wa??anku. Anne juga sedang di sana (Anne selalu menemaniku di
hari-hari buruk itu; dia memang teman yang bisa diandal?kan).
Seseorang itu adalah Kak Ratna.


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku terkesima saat membuka pintu flat. Kak Ratna terse?
nyum lebar. Aku terbata menyilakan dia masuk. Kak Ratna
meme?lukku hangat dan bersahabat layaknya teman akrab. Ah,
Kak Ratna memang sudah lama mengganggapku sebagai teman,
bu?kan adik kecil lagi. "Wow". Kamarmu cozy sekali, Tania." Kak Ratna meman?
dang tulus seluruh ruangan. Terpesona. Aku menyeringai tipis.
Aku mengenalkannya kepada Anne. Anne tersenyum. Meme?luk
nya. Anne memandangku. Maksudnya bertanya apakah dia ma??sih
diperlukan di sana. Tentu saja Anne harus tetap di sana (aku kan
sedikit pun tidak tahu Kak Ratna akan membicarakan apa).
Kami basa-basi sejenak membicarakan perjalanannya. Surprise,
ko?mentarku soal kedatangannya, sambil berusaha terdengar dan
me?masang wajah semenyenangkan mungkin.
"Ah, dulu kau juga bikin surprise waktu pulang!" Kak Ratna
ba?las tersenyum riang. Membicarakan kabar adikku. Membicarakan dia. Dan tibalah
ke pembicaraan mahapenting itu.
"Aku mohon. Bisakah kau pulang?" Kak Ratna menyentuh
ta?nganku. Tersenyum. 147 147 Aku terdiam". Sungguh tak mampu memandang tatapan
pe?nuh harapan itu. Menggeleng.
Kak Ratna menghela napas panjang. Tersenyum. (Anne tetap
diam di kursi pojok kamar).
"Kau tahu, Tania. Bagi Danar, kalian adalah satu-satunya ke?
luar?ga. Bagian terpenting dalam hidupnya enam tahun terakhir.
Kau tahu, Tania". Aku bahkan berjuang keras untuk bersaing
mendapatkan perhatiannya dari kalian. Sungguh." Kak Ratna
terse?nyum. Aku menyeringai kecil. Ikut tersenyum tipis.
Aku dan Dede tahu soal satu-satunya keluarga ini. Dia sejak
ke?cil memang tidak memiliki siapa-siapa lagi. Itulah yang menje?
las?kan mengapa dia selalu baik pada anak-anak. Itulah yang
men??jelaskan tampang menyenangkan yang dimilikinya. Tawa
gem??bira yang dimilikinya.
Dia yatim-piatu sejak bayi (siapa orangtuanya pun tak ada
yang tahu). Berjuang di jalanan untuk meneruskan hidup, sama
se?perti kami dulu; mungkin lebih menyakitkan karena tidak ada
yang berbaik hati membantunya. Setapak demi setapak menan?
cap?kan jejak kehidupan. Dan akhirnya tiba pada jalan baik terse?
but. Sendirian. Aku tahu betapa sulitnya dia harus bersekolah
sam?bil bekerja. Nanti jika hatiku sedang baik, mungkin aku
akan menceritakan bagian itu. Yang pasti, semua kenangan bu?
ruk??ku selama tiga tahun jadi anak jalanan sebenarnya ada dalam
ke?hidupannya. Dan yang menakjubkan, dia menjadikan semua pengalaman
pa?hit itu tecermin dalam raut mukanya yang menyenangkan.
148 148 Ta?wanya yang tulus, kebaikannya kepada anak-anak, dan kecin?
ta?annya untuk berbagi. Tak satu pun pengalaman buruk itu yang
me?nyisakan kepedihan. Ya, aku sungguh hanya mencontoh jejak
kaki yang pernah dia tapalkan. Hanya meniru.
"Tahukah kau, Tania"." Kak Ratna mendesah resah. "Tiga
hari terakhir Danar berubah banyak. Aku tak tahu mengapa. En?
tahlah. Dan aku pikir mungkin saja itu karena kau mengu?rung?kan
pulang, Tania. Aku takut tiba-tiba Danar mengambil kepu?tusan
yang ganjil! Misalnya seperti, ah, entahlah! Aku ta?kut."
Aku buru-buru menggeleng kencang. Tidak, itu bukan karena
aku tidak akan pulang. Bagaimana mungkin"
"Maukah kau pulang sejenak?" Kak Ratna bertanya lagi. Le?
bih lembut. Aku masih menggelengkan kepala.
"Aku memang tidak bisa pulang, Kak Ratna. Maafkan aku,"
aku ber?kata lirih. Kak Ratna diam sejenak. Tersenyum. Kecewa.
"Kalau kau tidak bisa pulang, bisakah kau membujuknya un?
tuk kembali bersemangat" Tolong kakakmu, Tania. Bantu aku
untuk meyakinkan kembali bahwa keputusan kami untuk me?
nikah itu baik. Aku tak ingin dia menyesali banyak hal. Kau
tahu, pria selalu punya masalah komitmen pada detik-detik ter?akhir sebelum pernikahan dilangsungkan. Aku takut...." Kak
Ratna tersenyum gelisah. Aku ikut tersenyum. Perih. Sama sekali tidak menduga kali?
mat itu: membantu Kak Ratna"
"Satu-satunya orang yang bisa membujuknya tentu saja hanya
kau, Tania. Kita tak akan menyerahkan urusan sepenting ini
149 149 ke?pada Dede, kan?" Kak Ratna tertawa kecil sekarang. Mende?
kap lenganku. Di matanya sedikit pun tidak ada sikap permusuhan. Kak
Ratna memelukku sekali lagi. Tidak ada wajah tidak suka pada?
ku. Kak Ratna melakukannya dengan tulus. Ya Tuhan, aku
meng?gigit bibir. Lantas kami membicarakan hal lain. Aku lebih
ba?nyak mendengar saat Kak Ratna membicarakan baju pengan?
tin mereka, menu bebek peking itu, foto-foto pre-wed mere?ka,
dan lain sebagainya. Kak Ratna makan siang bersama kami di kantin flat. Dan
men?jelang sore kembali ke Bandara Changi. Kak Ratna terse?
nyum lembut, menolak saat aku ingin mengantarnya ke banda?
ra. "Tak usah, Sayang. Aku sudah mengganggu harimu". Biar
aku pulang sendiri." Dia tersenyum memeluk.
"Oo". Liontinmu indah sekali." Tiba-tiba Kak Ratna menyen?
tuh liontinku (entah kenapa kalung itu keluar begitu saja dari
ba?lik kaus putihku). "T, T berarti Tania, ya" Ini, ini sama persis" sama persis se?
per?ti milik Danar". D!" Hanya itu yang dia katakan sebelum
beranjak naik taksi. Tetapi kalimat itu ganjil terdengar di an?tara
kalimat-kalimat bersahabat sebelumnya.
Aku hanya lemah melambaikan tangan. Buru-buru mema?
sukkan liontin itu ke balik baju.
*** 150 150 "Cewek artis itu sama sekali tak menganggapmu sebagai musuh.
Bah?kan dia meminta bantuanmu," Anne berkata datar di dalam
flat, beberapa menit setelah Kak Ratna pulang.
Aku hanya diam. Kak Ratna memang tak pernah menganggap
aku sebagai duri dalam daging hubungan mereka. Mungkin kare?na Kak Ratna belum tahu. Atau lebih tepatnya (yang aku tak
mau mengakui) mungkin Kak Ratna memang jauh lebih dewasa
diban?dingkan aku dalam urusan ini.
"Apa yang harus aku lakukan?" Aku menatap Anne.
Anne menyengir kecil. Mengangkat bahu. Menggeleng. Urusan
ini berubah jadi rumit sekali. Membantunya untuk bersemangat
lagi" "Tak mungkin kan aku menelepon dia dan bertanya mengapa
dia tiba-tiba berubah. Dia pasti akan bertanya "dari mana kau
tahu", dan aku tak mungkin menjelaskan dari Kak Ratna. Jelasjelas Kak Ratna ke sini tadi tanpa bilang-bilang ke dia, kan?"
Anne masih berpikir. Aku diam menatap wajah Anne.
"Atau begini, Tania. Mungkin kau bisa saja bilang bahwa kau
akhir?nya memutuskan untuk pulang. Meskipun sebenarnya kau
tidak akan pulang. Berbohong. Itu akan berarti banyak". Walau?
pun mereka akhirnya kecewa saat pernikahan selesai dan kau
ti?dak datang juga. Bukan masalah besar kan berbohong kecil?"
Anne menyeringai mengatakan itu.
Aku menelan ludah. Masalahnya bukan itu. Bukan soal ber?
bo?hong. Masalahnya teramat jelas, aku ingin mereka tahu aku
ti?dak menyukai pernikahan itu. Dengan mengatakan aku akan
pu?lang itu berarti sama saja bilang semuanya "oke".
151 151 Tetapi bagaimana dengan permintaan Kak Ratna tadi" Apa?kah hatiku sudah hitam sedemikian rupa sehingga berniat mem?
buat pernikahan itu bermasalah" Bukankah aku bukan siapa-sia?pa dia" Aku hanyalah anak kecil yang dipungut dari jalanan,
dibe?ri kehidupan yang indah, dijanjikan masa depan yang baik.
Dan sekarang, lihatlah balasan apa yang aku berikan" Mera?juk
tak mau pulang tanpa alasan yang jelas.
Membuat mereka berpikir yang tidak-tidak.
Membuat mereka mencemaskan banyak hal.
Tetapi aku berhak melakukannya, bukan" Separuh hatiku yang
lain muncul dengan gagahnya membela. Aku berhak melakukan?
nya. Kau lupa apa yang dikatakan Anne. Separuh hatiku yang lain
mun?cul membantah. Anne juga bilang aku memang berhak mela?
ku?kannya! Tidak, kau hanya akan menyakiti hatimu sendiri. Li?
hat?lah, pernikahan itu tak akan terhenti dengan tingkah laku ke?
kanak-kanakanmu. Kau hanya akan membuat hatimu semakin
ter?bebat oleh asumsi, perasaan-perasaan, keinginan-keinginan,
mimpi-mimpi, dan akhirnya kau sama sekali tak tahu lagi mana
sim?pul yang nyata, dan mana yang tidak. Kuat sekali separuh hati
lainnya membantah. Kalau kau memang merasa berhak mengatakannya, meng?apa
tidak kaukatakan sekarang juga" Kirimkan e-mail, chatting, tele?pon, dan lain sebagainya! Haha". kau takut meng?ha?dapi kenyata?
an itu kan, Tania" Takut mendengar jawabannya" Ta?kut. Itulah
hatimu yang sebenarnya, Tania.
Pengecut! Kau hanya berharap ada keajaiban dari langit. Semen?
152 152 tara keajaiban itu belum datang, kau mengacau ke sana ke?mari
dengan pongah kekanak-kanakanmu. Kau tidak pernah pan?tas
untuknya. Sedikit pun tidak! Kau tetap anak kecil yang suka
merajuk, pencemburu, dan banyak mau!
Tidak lebih tidak kurang.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis
ter?tahan, mendengar semua tuduhan separuh hatiku.
*** Dua hari berlalu. Status quo.
Tak ada perubahan berarti dalam hatiku. Karena waktu itu
aku belum memiliki semua perangai paradoks seperti sekarang,
itu berarti juga tak ada perubahan dalam sikap dan keputusan?
ku. Semua terasa lamban. Terasa menakutkan. Aku takut melihat
ka?lender. Aku takut melihat jam. Namun, pelan tapi pasti, wak?
tu terus bergerak. Tidak ada tangan yang bisa menghentikan?
nya. Ya Tuhan! Tanpa terasa, esok pagi tepat pukul 09.00, dia
akan mengucapkan ikrar pernikahan itu di depan Kak Ratna.
Esok pagi. Aku menghitung mundur menit demi menit dengan luka se?
ma?kin menganga. Countdown yang menyedihkan.
Anne tidak datang sesiang ini. Juga malamnya. Ibunya sakit
di Kuala Lumpur, Anne terpaksa pulang mendadak. Aku ingat
wak?tu Ibu sakit dulu. Semua kekhawatiran, semua perasaan ini
153 153 te?rasa lebih menyakitkan dibandingkan waktu itu. Kenapa galau
pera?saanku mirip seperti saat kematian Ibu, bersiap kehilangan
ber?ikutnya" Aku tak bisa tidur malamnya. Hanya duduk termangu di atas
atap bangunan flat. Langit Singapura cerah. Bulan terlihat besar
dari sana. Pucuk-pucuk gedung Raffles Avenue terlihat menyala.
Pur?nama. Bintang-gemintang memenuhi langit. Sama seperti
keti?ka malam pemakaman Ibu. Semua kesedihan ini.
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Tiba-tiba aku terisak. Menangis.
Maafkan aku, Ibu. Ini kali kedua aku menangis". Umurku
sem?bilan belas tahun. Seharusnya tumbuh seperti gadis-gadis
bia?sa lainnya. Bukan terjebak dalam semua perasaan yang me?
ngung?kung. Bukan justru sebaliknya, menangisi perasaan yang
se?dikit pun tidak pernah kuminta.
Aku bukan daun! Dan aku tak pernah mau menjadi daun!
Aku tak pernah menginginkan perasaan ini, kan" Dia datang
be?gitu saja. Menelusuk hatiku. Tumbuh pelan-pelan seperti ke?
cam?bah disiram hujan. Aku sungguh tidak pernah menginginkan
se?mua perasaan ini. Aku mencintainya. Itulah semua perasaanku.
Berdosakah aku mencintai malaikat kami" Salahkah kalau di
anta?ra perhatian dan sayangnya selama ini kepada Ibu, adikku,
dan aku sendiri, perasaan itu muncul mekar" Aku sama sekali
ti?dak impulsif. Perasaan itu muncul dengan alasan yang kuat.
Dari seorang kanak-kanak yang rambutnya masih dikepang dua.
Dari seorang gadis yang belum beranjak dewasa kepada sese?
154 154 orang yang begitu sempurna. Dari seorang gadis kecil yang
merin?dukan lelaki dewasa pengganti ayahnya. Dari gadis kecil
yang polos kepada seseorang yang memesona.
Dan dia jelas-jelas bukan angin.
Ibu, aku mencintainya. Amat mencintainya".
*** Jam lima subuh laptopku berkedip. Lima jam sebelum per?
nikahan dilangsungkan. dedetakmengerti: Kak Ratna baik-baik saja"
Aku menelan ludah. Melangkah lambat mendekati meja. Me?
nyen?tuh tuts laptop dengan tangan lemah.
Tania: Baik". dedetakmengerti: Di rumah sekarang ramai. Anak-anak kelas
men?dongeng sedang memakai gaun peri". Ribut
berlarian". Tania: (Tidak ada kata yang kutuliskan, hanya enter!)
dedetakmengerti: Apakah Kak Ratna baik-baik saja"
Tania: Aku baik-baik saja".
155 155 dedetakmengerti: Di sini tak menyenangkan".
Tania: (Tidak ada lagi kata yang kutuliskan.)
dedetakmengerti: Dede malas sekali berganti baju". Semua tera?sa
menyebalkan. Tania: (Tidak ada kata yang kutuliskan, hanya enter!)
dedetakmengerti: Apakah Kak
Tania: baik-baik saja" Aku baik-baik saja".


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dedetakmengerti: Tadi Oom Danar keluar dari kamarnya de?ngan wajah
entahlah". Ganjil sekali".
Tania: (Tidak ada lagi kata yang kutuliskan.)
dedetakmengerti: Apakah Kak
Tania: baik-baik saja" AKU BAIK-BAIK SAJA, DEDE!
dedetakmengerti: (Adikku sign-out) *** 156 156 Pukul 09.00 tepat! Aku mendesiskan luka di atas tempat tidur.
Membiarkan kamarku gelap tak tertembus cahaya matahari
pagi. Aku tak akan menangis lagi. Aku akan memilih menerus?
kan hidup. Sekarang mereka sedang mengucap ikrar. Dia mema?
sang cincin permata di jari manis Kak Ratna.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku mendesahkan nama
Ibu di setiap sela tarikan napas. Aku akan terbang seperti sehelai
daun. Meski hati terasa perih".
157 157 Pukul 21.00: Hidup Harus Terus Berlanjut, dalam
Bentuk Apa Pun Sudah waktunya aku beranjak pulang atau aku akan diusir oleh
sat?pam toko buku ini. Karyawan toko buku sudah sejak tadi
ber?ge?gas berberes-beres. Satu-dua lewat di sampingku.
Dengan malas aku mengambil sembarang buku: 8 Ciptaan
Tuhan yang Termegah! Aku tak mengenal siapa pengarangnya.
Aku bahkan tak tahu kapan akan membacanya.
Buku itu tiketku malam ini. Mereka sudah memberikan tem?pat untuk mengenang seluruh masa lalu menyakitkan itu. Maka
su?dah sepantasnya aku membayarnya dengan membeli satu-dua
buku. Aku melangkah kecil menuju kasir di dekat eskalator.
Beberapa gerai fotokopian sudah mematikan lampu sejak tadi.
Lima menit sebelum pukul sembilan malam. Hanya toko cucicetak foto yang masih menyisakan sedikit sinar lampu. Mungkin
ada yang kerja lembur. Entah mengerjakan apa. Hanya warung
158 158 ten?da yang masih ramai bercahaya. Warung itu buka hingga
larut malam. Satu-dua malah hingga dini hari. Jalanan masih
padat penuh cahaya, meski tak terlalu macet lagi.
Kasir itu tersenyum kepadaku. Menegur ramah (ia anak kar?ya?wan toko buku yang sudah pensiun tiga tahun silam; menge?
nal?ku dengan baik dari cerita ayahnya).
"Buku ini bagus banget lho, Kak Tania." Kasir itu tersenyum
ra?mah. Aku mengangguk (bodo amat, aku mungkin tidak akan per?
nah membacanya!). Aku menarik napas panjang. Malam ini,
semua cerita harus usai. Maka dengan kaki yang dipaksakan
mantap me?langkah, aku menuruni eskalator. Terus menuju
basement toko buku. Menuju mobil yang terparkir. Di kursi bela?
kang masih ber?serakan Lego ukuran raksasa milik Dede tadi
siang. Aku me?-lem?par buku yang kubeli.
Sekarang umurku dua puluh tiga tahun. Adikku delapan belas
ta?hun. Dan dia tiga puluh tujuh tahun.
Aku hanya butuh dua tahun setengah untuk menyelesaikan
bac?helor degree-ku di jurusan Commerce NUS. GPA (grade point
average)-ku tak kurang satu desimal pun dari nilai maksimal.
Sem?purna. Terbaik dalam catatan sejarah kampus tersebut.
Nama?ku dipahat di plakat depan halaman kampus. Pengamen
yang dekil, hitam, bau, rambut mengikal disiram teriknya jalanan
ber?debu telah mencatatkan namanya di sana.
Sayang dia tidak datang ketika aku diwisuda. Bagaimana dia
akan datang jika ternyata semenjak kejadian itu dia tak pernah
meng?hubungiku lagi secara langsung" Semenjak pernikahan itu.
159 159 Tidak pernah! Aku menghidupkan mobil (ini mobil dengan merek yang
sama sewaktu dia menjemputku pulang liburan SMP). Ah, aku
sela?lu mencontoh semua yang dia lakukan.
Sekarang aku sudah bekerja full-time di salah satu perusahaan
pia?lang Singapura. Perusahaan spekulan terbesar di Asia Pasifik.
Kami menggerakkan jumlah uang yang bahkan bisa membuat
de?mam perekonomian regional.
Semua itu kujalani dengan hati yang terluka.
Aku belajar banyak darinya. Membuat energi kesedihan itu
men?jadi sesuatu yang berguna. Tak penting apakah itu baik atau
bu?ruk. Tidak penting lagi. Bukankah baik-buruk itu relatif" Baik
bagi Kak Ratna, buruk bagiku, kan" Tak peduli kerut muka me?
nye?nangkan yang aku miliki meluntur empat tahun terakhir. Tak
pe?duli sikapku berubah jauh dari seorang Tania yang akan selalu
mem?banggakan Ibu. Yang selalu akan membanggakan dia.
Ah, itu semua hanya omong kosong.
Hidup harus terus berlanjut, dalam bentuk apa pun.
*** Apa yang terjadi pagi itu"
Pernikahan itu terjadi sebagaimana mestinya.
Omong kosong! Tak ada keajaiban seperti dongeng-dongeng kuno itu. Dan
aku terkapar tidak berdaya.
160 160 Pukul 21.02: Masa-Masa Berdamai!
Mobilku pelan memasuki ramainya jalanan. Satpam di depan
toko buku mengangkat tangannya. Melambai memberi salut.
Aku tersenyum tipis, membalas seadanya.
Karyawan cowok yang tadi menegurku di lantai dua berdiri
me?nunggu angkutan umum. Karyawan itu sedikit malu saat me?
li?hat aku lewat di depannya (kaca jendela mobilku terbuka).
Tidak. Aku dulu sedikit pun tidak malu memiliki perasaan
ke seseorang yang jauh sekali dari jangkauanku. Kanak-kanak
yang tak memiliki apa-apa. Jatuh cinta pada seorang malaikat.
Ah, aku tak peduli. Mobilku melaju cepat. Berbelok di putaran depan.
*** Mereka sesuai rencana pergi berbulan madu.
161 161 Aku berbulan-bulan membenahi diri.
Anne membantu banyak. Merawat luka itu. Dede juga mem?
ban?tu. Adikku amat cepat dewasa dalam urusan ini; masih ingat
soal buku puisinya yang disebut dia di pusara Ibu dulu" Adikku
me?nerbitkan buku kumpulan puisi tentang cinta itu sebulan
sete?lah pernikahan mereka: "Titip Rindu buat Ibu!"; dan aku
me?ngum?pat adikku, karena isinya jauh api dari panggang tentang
Ibu. Isinya tentang aku. Yang sama sekali tidak aku tahu, ada sepotong kejadian pen?ting pada malam sebelum pernikahan. Sepotong kejadian yang
mem??buat Dede subuh-subuh mengirimkan pesan lewat chatting
yang me?nyebalkan itu. Sayang, aku baru tahu itu sebulan yang
lalu, atau hampir tiga tahun setelah pernikahan mereka. Aku
baru tahu ketika potongan teka-teki ini lengkap. Ketika aku me?
mutus?kan untuk menyelesaikan semua urusan malam ini.
Sehari setelah pernikahan, saat mereka berangkat bulan madu,
aku memutuskan untuk melakukan banyak hal sepanjang sisa
ta?hun. Sepanjang kehidupanku di Singapura. Hidupku harus
pe?nuh dengan kesibukan. Setidaknya kesibukan-kesibukan itu
akan membuatku lelah berpikir. Dan jika aku sudah lelah berpi?
kir, pelan-pelan semuanya akan berlalu. Kalau aku sedikit ber?
untung, mungkin bisa melupakannya.
Urusan ini berbeda dibandingkan dengan kematian Ibu dulu.
Ber?beda" Karena tidak ada lagi jejak Ibu dalam kehidupan saat
Ibu pergi. Maka aku bisa melupakan Ibu relatif lebih cepat. Se?
dang?kan dia" Dia masih ada di mana-mana. Di dalam list
chatting-ku (aku tak mungkin men-delete-nya, akan ada banyak
162 162 perta?nyaan mengapa); di dalam e-mail address-ku, di dalam
phonebook-ku (yang ini sebenarnya bisa ku-delete).
Dan yang lebih penting lagi, dia masih ada di sana. Di kota
kami. Maka aku memutuskan untuk tidak pulang. Setidaknya
satu-dua tahun ke depan. Tidak ada yang harus kunapaktilasi.
Di sana hanya ada adikku, dan Dede selalu memberikan kabar
se?tiap hari lewat internet (itu sama saja dengan bertemu lang?
sung). Dede mengisi malam-malamku yang dipenuhi kerinduan
sua?sana masa lalu menyenangkan itu dengan chatting. Ketika
kami masih memiliki hubungan bersama yang baik. Ketika masih
me?miliki segala sesuatunya.
Aku tak pernah berusaha menghubunginya lagi. Sebe?nar?nya
bukan tak pernah, aku enggan menghubunginya. Dan entah
meng?apa dia juga tak pernah menghubungiku lagi seca?ra lang?
sung. Dia selalu menanyakan kabar lewat Dede. Menyam?paikan
pesan lewat adikku. Aneh sekali pola komunikasi kami selama dua tahun berikut.
Bukankah itu berarti ada yang salah"
Aku tak tahu dari empat skenario yang diberikan Anne dulu,
pola hubunganku dengannya sekarang masuk yang mana" Dia
me?mang menghindariku, tetapi dia masih bertanya rutin (tidak
ber?kurang frekuensinya saat sebelum pernikahan).
Hanya saja semuanya melalui adikku.
Dia membenciku" Entahlah. Tak mungkin orang membenci
tapi masih rajin bertanya. Atau memang ada varian benci baru
da?lam kehidupan" Benci yang bermetamorfosis. Benci yang hipo?
krit" 163 163 Aku memang tak pernah mampu mengirimkan e-mail penga?
kuan itu kepadanya pada menit-menit terakhir. Buat apa" Semua?
nya sudah jelas. Aku lelah berpikir yang tidak-tidak. Lelah
mem??buat asumsi. Dia pasti tahu persis bentuk rupa hatiku. Da?
lam bentuk detail sekalipun dia mungkin tahu. Pengakuan itu
ha?nya akan me?rusak suasana. Aku bukanlah adik pengganggu,
yang meng?aduk-aduk begitu saja pernikahan "kakaknya" (Anne
lagi-lagi benar soal ini; aku menurut, akhirnya menghapus e-mail
se?puluh paragraf itu). Belakangan, aku mulai membuat skenario penjelasan yang
jauh lebih baik atas pola hubungan baru kami. Skenario yang
bebas dari prasangka, bebas dari egoku yang teramat besar.
Satu: dia tahu aku mencintainya, tetapi dia memang sama
se?kali tak pernah mencintaiku. Dia selama ini menyayangiku,
na?mun itu sekadar sayang seorang kakak pada adiknya. Sekadar
cinta malaikat kepada anak kecil yang diselamatkannya. Dia akan
se?lalu membanggakan Tania yang bisa menjejaki kehidupan lebih
baik dibandingkan tapak kakinya.
Ketika aku menolak pulang saat pernikahan mereka, dia me?ra?
sa telah berbuat jahat kepadaku. Dia tak mampu men?je?laskan
kepadaku tentang bagaimana seharusnya aku mengubah pe?rasaan
cinta itu. Dia juga mungkin merasa bersalah dengan mem?biarkan
perasaan itu muncul di hatiku. Dia tidak ingin mem?buat
masalahnya semakin rumit, maka dia menghindari?ku.
Dua: dia tahu aku mencintainya, tetapi dia memang sama
se?kali tak pernah mencintaiku. Dia mengerti betul tak ada se?
orang pun di dunia yang bisa menghapus perasaan itu.
164 164 Dengan menghubungiku seperti biasa, itu memberikan kesem?
patan untuk mengganggu pernikahannya yang bahagia dengan
Kak Ratna. Harus ada jarak yang jelas di antara kami. Dengan
meng?hubungiku secara langsung, dia memberikan kesempatan
pada?ku untuk terus memupuk perasaan itu. Perasaan dosa! Jelas
le?bih baik membangun tembok penghalang hingga semuanya
sele?sai sendirinya dengan baik.
Tiga: dia tahu aku mencintainya, tetapi dia memang sama
se?kali tak pernah mencintaiku. Dia berpikir aku membutuhkan
wak?tu banyak untuk mengerti. Atau juga dia menilaiku masih
amat kekanak-kanakan, pencemburu, dan banyak mau. Menghu?
bungiku hanya akan menimbulkan berbagai situasi yang tidak
nya?man, dan itu bisa memperburuk hubungan "adik-kakak" kami
sela?ma ini. Bukankah hubungan kami"gara-gara aku memboikot perni?
kahan itu"sudah cukup buruk" Jadi tak usahlah ditambah de?ngan berbagai keburukan lainnya.
Empat: dia tahu aku mencintainya, tetapi dia memang sama
se?kali tak pernah mencintaiku.
Dan dia membenciku! Seseorang yang tidak bisa berterima
ka?sih! Membayar semua kebaikannya dengan menolak pulang
saat hari pentingnya. Dia memang masih bertanya lewat adikku,
te?tapi itu tak lebih karena dia memang selalu bertanggung jawab
pada seseorang. Dan jelas-jelas aku selama ini menjadi tang?gung
jawabnya. *** 165 165 Benar-benar tak ada lagi skenario: dia tahu aku mencintainya,
dan dia mencintaiku. Anne benar. Perasaannya sudah sejelas bin?
tang di langit. Asumsi apa lagi yang akan aku pakai untuk men?
du?kung pengharapan itu" Orang-orang yang sedang jatuh cinta
me?mang cenderung menghubungkan satu dan hal lainnya. Men?
cari-cari penjelasan yang membuat hatinya senang. Tetapi aku
su?dah memutuskan untuk memilah mana simpul yang nyata
serta mana simpul yang hanya berasal dari ego mimpiku.
Dan itu tidak sulit, sepanjang aku berpikir rasional.
Dia tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah.
*** Kehidupanku berjalan normal (setidak-tidaknya menurutku ber?
lang?sung normal). Aku memutuskan untuk mengajar di kelas
matri?kulasi. Mendaftarkan diri dalam program teaching assistant.
Mem?buka kelas mendongeng di flat. Menulis apa saja. Ikut
berba?gai ekstrakurikuler. Tenggelam dalam berbagai organisasi.
Bah?kan aku juga ikut kelas capoeira dan resital biola. Sebagian
be?sar aktivitas itu aku tiru darinya, tetapi jelas dia bukan orang
perta?ma yang menemukan berbagai kegiatan itu, kan" Anggap
saja aku meniru dari orang lain sebelum dia.
Aku juga mulai membuat kue-kue kering di flat. Aku berba?
kat soal ini. Ibuku dulu mengajarkan banyak hal. Kue-kue tradi?
sio?nal dengan beragam bentuk. Dengan rasa yang lezat. Dede
dulu hanya bergurau, jelas-jelas kue buatanku tidak kalah enak
di?bandingkan buatan Ibu.
166

Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

166 Pantry flat yang selama ini tak tersentuh oleh penghuni lain,
kare?na semuanya mahasiswi dan semuanya malas masak sendiri,
aku sulap menjadi dapur bakery. Anne berseru senang saat aku
ajari membuat berbagai kue kampung itu. Dan memasuki bulan
ke?dua aku menjadikan bakery itu bisnis serius. Tabunganku dari
enam tahun beasiswa plus uang kirimannya dulu jauh dari cu?
kup untuk menyewa toko kecil di salah satu sudut jalan dekat
flat. Toko kue itu kunamai "Mother".
Bodoh sekali janjiku dulu, hanya membuatkan kue untuknya.
Apa?kah dia juga berjanji hanya akan memakan kue buatanku"
Tidak, kan" Aku menyeringai tipis. Bahkan kekasih sejatimu pun
tidak bisa berjanji seperti itu.
Kuliahku lancar. Aku malah senang berbetah-betah di kam?
pus, di samping mengurus bisnis bakery-ku. Di kampus ada ba?
nyak hal yang bisa kukerjakan. Bertemu dengan banyak orang.
Berte?mu dengan banyak masalah.
Penampilanku juga berbeda. Aku memotong rambut. Super?pen?dek. Aku juga mengecat lima helai rambut dengan warna
biru. Membentuk siluet yang mengesankan. Aku sudah berubah.
Ter?masuk soal penilaianku dulu kepada cewek yang mengecat
ram?butnya. Peduli apa"
Namun, yang tidak kusadari, pelan-pelan banyak hal paradoks
da?lam kehidupanku. Bukan dalam terminologi yang serius, tetapi
aku sering kali merasa benar-benar berdiri di dua sisi berlawanan
da?lam waktu yang bersamaan.
Aku membuka kelas mendongeng, tetapi itu kulakukan tanpa
niat yang benar-benar tulus apalagi keinginan untuk berbagi.
167 167 Aku hanya ingin membukanya saja. Bahkan aku terkadang mem?
ben?ci kenapa aku harus berada bersama anak-anak bertampang
China itu. Aku tidak tulus menyukai mereka. Aku sungguh tak
me?ngerti mengapa dua perasaan bumi-langit itu muncul begitu
saja di hatiku secara bersamaan.
Aku ingin melupakannya, tetapi liontin itu masih kupakai
sela?lu. Aku ingin mengenyahkan semua bayangannya, tetapi sa?
pu?tangan itu masih kusimpan. Juga foto kami di atas pembatas
ja?lan dulu. Di kehidupan keseharian, paradoks itu berubah menjadi sesua?
tu yang mulai serius. Aku mulai berubah licin seperti belut.
Mu?lut dan hatiku mulai tak konsisten. Aku mulai menikmati
meng?gunakan kemampuan memengaruhi orang lain (kemampuan
yang dulu dipuji Anne), dan aku tersenyum puas melihat hasil?
nya. Menggunakan cara-cara yang selama ini aku pikir tidak
pada tempatnya. "Kau sadis, Tania." Itu yang dikatakan Anne, saat aku mem?
boi?kot paper yang diberikan salah seorang dosen sok tahu di
ke?las. Dan seluruh kelas mengikuti keputusanku. Mana ada ma?
ha?siswa yang menolak untuk tidak mengerjakan tugas"
"Dosen menyebalkan itu memang layak mendapatkannya."
Aku hanya tersenyum senang ke arah Anne.
Dosen itu bertekuk lutut saat berdebat denganku tadi. Paper
itu tidak berguna. Seharusnya dosen itulah yang memperbaiki
cara mengajarnya. Dan wanita bossy berumur empat puluh tahun
itu keluar ruangan dengan tampang terlipat. Itu untuk kesekian
kali?nya aku berdebat dengan dosen. Aku tidak takut nilai akhir?
168 168 ku akan dijelek-jelekkan. Ujian tertulisku selalu sempurna. Di
Singapura, urusan menilai seseorang dilakukan transparan dan
objek?tif. Satu tahun pertama berlalu penuh perubahan, entah itu baik
atau buruk. Hanya saat berhubungan dengan adikku, semuanya
berja?lan normal. Chatting dengannya malam-malam membuat
kete?ganganku seharian berkurang banyak. Setidaknya membuat?
ku nyaman lagi dengan kehidupan masa lalu. Aku masih punya
tem?pat untuk kembali. Sekarang umurku dua puluh tahun. Adikku lima belas, kelas
1 SMA. Umur dia" Aku tak peduli. Aku melupakannya.
Malam ini aku ulang tahun. Tak ada perayaan. Buat apa"
Hati?ku sudah kebas dengan romantisme murahan seperti itu.
Sia-sia. Hanya omong kosong.
jallaludinrumi: Selamat ulang tahun, kakakku tercinta. :-)
Tania: Makasih. jallaludinrumi: Sorry nggak bisa kirim paket. Bokek! :-p
Tania: Nggak masalah. jallaludinrumi: Ulang tahunnya dirayain, nggak"
Tania: Nggak. jallaludinrumi: Yee, kan Kakak punya toko kue, rayain saja di toko kue.
Tania: :-) (Diam sesaat, kursor di laptop berkedip.)
jallaludinrumi: Dede kangen Kakak. Sungguh! >:D<
169 169 Tania: Aku juga. jallaludinrumi: Tadi Dede ke pusara Ibu.
Tania: (Aku tak mengetikkan apa-apa, hanya enter.)
jallaludinrumi: Bilang Kak Tania ulang tahun hari ini ke Ibu. Berdoa,
semoga Ibu bahagia di surga.
Tania: (Aku tak mengetikkan apa-apa; hatiku tersentuh.)
jallaludinrumi: Tadi Ibu titip salam: Semoga Kak Tania pan?jang umur,
semoga Kak Tania bahagia selalu. Semoga Kak Tania
se?hat. Mataku berkaca-kaca. Inilah suasana menyenangkan dulu.
Sua?sa?na yang kurindukan. Mengingat masa-masa itu dengan
ba?ha?gia. Menjalani kehidupan dengan kepolosan. Aku benci de?ngan semua paradoks dalam hidupku sekarang. Seharusnya wa?
jah?ku tetap terlihat menyenangkan.
Tania: (Aku tak mengetikkan apa-apa.)
jallaludinrumi: Kak Tania sehat-sehat saja"
170 170 Tania: Ya. jallaludinrumi: Tidak bisakah Kak Tania pulang"
Tania: Tidak bisa. jallaludinrumi: Tidak bisakah Kak Tania menyisihkan waktu se?hari-dua
hari berlibur" Tania: Tidak bisa. jallaludinrumi: Di sini sepi sekali.
Tania: Sepi" jallaludinrumi: Oom Danar dan Tante Ratna sudah pindah rumah.
Aku menelan ludah. Kaget. Kenapa" Tidak ada yang bilang
kepa?da?ku" Tania: Sejak kapan" jallaludinrumi: Dua minggu lalu. Semuanya dibawa. Rumah ko?song
Sepi. Bisa nggak, pulang"
Aku berpikir sejenak. Pulang" Sepertinya tidak. Aku tidak
akan bisa pulang, meskipun di sana sudah tidak ada lagi mereka.
Ter?lalu banyak luka yang harus dibuka dengan kepulanganku.
Tania: Gimana kalau Dede saja yang ke Singapura" Kakak
be?liin tiketnya. Minggu depan kan ada tanggal merah
berun?tun. jallaludinrumi: MAU! Beneran ya"
Cepat adikku membalas. 171 171 Tania: Ya. jallaludinrumi: Tapi Dede harus bilang ke Oom Danar dulu, kan"
Aku tertegun. Buat apa bilang-bilang"
Tania: Nggak usah. Nggak usah bilang. Kamu langsung
be?rang?kat saja. Aku tak bermaksud apa-apa soal "nggak usah" bilang itu. Bu?
kan?kah adikku sudah besar" Dan urusan jalan-jalan ini bukanlah
ma?salah serius. Aku punya uang sendiri. Lagian, dengan pindah
ru?mah, sepertinya dia benar-benar ingin membuat jarak itu men?
jadi lebih jelas. Jadi, mungkin lebih baik jika dia tidak tahu
bahwa Dede akan ke Singapura. Itu saja alasannya.
Adikku sign out setelah mengirim emoticon peluk sepuluh
kali. *** Seminggu kemudian Dede datang ke Singapura.
Aku menjemputnya di bandara. Tingginya sekarang sepantar?
an?ku. Badannya tegap, dia rajin berolahraga: basket. Meskipun
ti?dak pernah jago, latihan basketnya membantu untuk me?net?
ralisir pola makannya (si pemakan segala).
"Wah, rambut Kak Tania meriah sekarang," adikku berkomen?
tar santai. Ransel yang dibawanya penuh, padahal cuma libur
dua hari ini. 172 172 "Emangnya kelihatan jelek?" Aku menatapnya. Melotot.
"Nggak. Keren sih!" Bohong. Aku paling tahu kalau adikku
ber?bohong; matanya mengerjap tiga kali.
"Tapi, maksud Dede, apa nggak salah Kak Tania bergaya ka?
yak teman-teman cewek Dede di sekolahan" Ngeliat mereka aja
Dede mau muntah. ABG. Aduh." Suaranya semakin pelan. Adik?
ku cengengesan. Aku semakin melotot.
"Ah iya, Dede bawa oleh-oleh kue dari Kak Miranti. Sebagai
gan?tinya, Kak Tania nanti harus kirim kue dari toko Kak Tania
di sini. Kata Kak Miranti, studi banding antarnegara." Adikku
ter?tawa kecil. Aku mengurungkan niat menjitak kepalanya. Ternyata ransel?
nya penuh kue. Miranti adalah kakak yang dulu menerus?kan
bisnis kue Ibu. Studi banding" Aku menyengir, Miranti pan?dai
mencari istilah itu. Aku dan Dede terus melangkah ke?luar lobi
kedatangan. Pembicaraan soal teman-teman cewek di sekolah Dede men?jadi
to?pik utama sepanjang perjalanan menuju flat. Aku mener?tawa?
kannya (membuatku sejenak lupa dengan banyak hal, terutama
ten?tang hal menyakitkan itu). Adikku hanya berkali-kali mena?tap?
ku "bengis". Tak bisa berbuat banyak. Lagian siapa suruh Dede
cerita-cerita, aku sudah lama tidak menggoda adikku. Sopir taksi
di depan yang 100% asli India manyun tidak menger?ti.
Hanya sepanjang pembicaraan itu aku banyak berpikir. Satu,
adik?ku benar, tidak sepantasnya aku bergaya norak seperti ini,
aku hampir lulus kuliah. Dua, adikku ternyata memiliki kehidup?
an yang normal. Maksudku tidak seperti aku dulu. Masa-masa
173 173 SMA-nya diisi dengan romantika cinta monyet yang serbatang?
gung. Seharusnya adikku tidak mesti malu dengan semua itu, kan"
Bu?kankah untuk level penulis puisi amatiran seperti Dede, urus?
an serbatanggung ini bisa menjadi inspirasi bagus. Ah, itulah
ma?sa?lahnya, dalam urusan perasaan, di mana-mana orang jauh
le?bih pandai "menulis" dan "bercerita" dibandingkan saat "praktik"
sen?diri di lapangan. Adikku lagi-lagi menyeringai marah saat tahu bangunan flat
isi?nya 100% cewek. Ruangan yang aku sewa sebenarnya punya
ka?mar tamu (adikku bisa tidur di situ), kamar tidur, dapur kecil,
dan ruang membaca. Tetapi adikku melotot saat mengatakan,
"Ba?gaimana mungkin Dede akan keluar-masuk gedung ini kalau
se?mua isinya cewek?" Dan Anne yang ikut menyambut di kamar?
ku hanya tertawa. "You"re really handsome, baby. So I think, all the girls wouldn"t
mind seeing you around the flat." Anne seperti mendapatkan san?
sak baru, menggoda adikku.
Dede bersungut-sungut menjauh, seperti orang yang takut
ter?kena flu burung. Tentu saja Anne hanya bercanda. Meskipun
fisik?nya terlihat lebih dewasa, Dede jelas-jelas masih remaja.
Masalahnya, apa yang dikatakan adikku benar. Dede lain sen?di?ri di sana. Jadi menarik perhatian gadis-gadis saat berlalu-la?
lang di lorong lantai atau di dalam lift. Aku hanya menyeringai
pen?dek memandang tatapan teman-teman wanita satu flat, terse?
nyum tipis, "Adikku. Kenalin!"
174 174 Dede mengumpat pelan, "Nga?pain pula Dede harus kenalan
dengan mereka?" *** Hari pertama hanya dihabiskan di toko kue. Dede sedikit pun ti?
dak percaya bahwa semua kue itu aku yang menyiapkan menu dan
resepnya (yang membantu membuatnya di dapur barulah lima
orang karyawan). Tidak beda dengan resep Ibu dulu, hanya ben?
tuknya yang berubah sesuai dengan kebutuhan di Singapu?ra.
"Enak, kan?" Aku menyengir menatap Dede.
"Lumayan. Tapi masih enakan bikinan Ibu."
Aku benar-benar menjitak kepala adikku. Kami terakhir ma?kan kue buatan Ibu paling tidak tujuh tahun lalu. Bagaimana
pula Dede masih bisa membandingkan cita rasanya" Adikku ha?
nya melotot, mulutnya penuh dengan juadah basah.
Studi banding itu cukup berguna. Aku menyimpan contohcon?toh kue Miranti di dapur toko. Besok lusa mungkin bisa di?
co?ba satu-dua (yang sesuai dengan selera sini; tetapi sepertinya
Miranti sudah memilihkan kue yang cocok).
Malamnya dihabiskan berburu Lego di salah satu shopping
center Orchard Road. Aku mesti berkali-kali mengingatkan Dede
bahwa uangku terbatas (memangnya seperti dia dulu yang bisa
mem?belikan kami apa saja; aku kan masih mahasiswi). Dede
ha?nya bilang, "Tenang, tenang, aku tahu diri kok." Dan dia pu?
lang mem?bawa dua kantong plastik besar Lego satu setengah
jam kemu?dian. Benar-benar adikku tercinta yang tahu diri.
175 175 Selama sehari itu pembicaraan kami ringan-ringan saja. Sedi?
kit pun tak membahas kabar dia dan Kak Ratna. Aku masih
meng?atur napas untuk bertanya (meskipun berkali-kali kalimat
itu sudah tiba di kerongkongan). Dan adikku tahu diri untuk


Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ti?dak memulainya. Kenapa pula dia harus merusak suasana libur?
an yang menyenangkan dengan berbincang soal sensitif itu.
*** Esok paginya saat hari Minggu, setengah hari dihabiskan di ke?las mendongeng. Kami (aku dan Anne) menggunakan salah satu
Rimba Dan Gunung Hijau 1 Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Dendam Asmara 8

Cari Blog Ini