Enigma Karya Yudhi Herwibowo Bagian 2
tentang kasus korupsi dana APBD. Karena tulisan itulah keduanya
enigma " [ 75 ] ENIGMA final.indd 75 kemudian dianiaya oleh pihak-pihak yang tak suka. Rekan Hasha
itu bahkan sampai meninggal, dan Hasha sendiri nyaris bernasib
sama. Untunglah orang-orang masih menemukan tubuhnya yang
terluka di selokan dan cepat-cepat mengirimkannya ke rumah
sakit." Aku benar-benar tersentak. Sungguh, kata-kata dari bibir
Maninjar membuat jantungku seakan terhenti. Tiba-tiba saja tanganku bergetar, dan napasku terasa memburu.
"Isara?" Maninjar menatapku tak mengerti.
Dan aku tak menggubris pertanyaannya. "Kenapa tak ada seorang pun yang memberitahuku tentang ini?" aku tercekat dengan
mata yang tiba-tiba berkaca-kaca.
Maninjar merasa bersalah. Dengan lembut ia menggenggam
tanganku, "Maafkan aku Isara. Kupikir kau sudah mengetahuinya
sejak lama." Dan entah mengapa, tanpa bisa kuhindari, satu airmataku sudah lepas dari ujung mataku.
"Apakah itu... yang membuat dirinya meninggalkan Yogyakarta
dan mengganti nomor kontaknya hingga kita semua tak lagi bisa
menghubunginya?" tanyaku seakan pada diri sendiri.
Dan Maninjar hanya bisa menggeleng lemah. "Aku tak tahu,
Isara. Aku tak tahu."
Aku sudah menundukkan kepalaku dalam-dalam. Rasa bersalah tiba-tiba saja melingkupiku. Dua tahun bukanlah waktu yang
sebentar untuk tidak mengetahui kejadian seperti ini!
Maafkan aku, Hasha... maafkan aku sudah begitu terlambat
mendengar kabar tentang ini....
Bayang-bayang tentang Hasha pun tiba-tiba tak lagi terbendung muncul di anganku. Bergerak cepat dan terus berputarputar. Hingga membuatku harus menahan napas sejenak untuk
menenangkannya. [ 76 ] " enigma ENIGMA final.indd 76 Sungguh, kini tak lagi bisa kupungkiri bila bayang-bayang tentangnya memang tak pernah berhenti muncul pada diriku selama
ini, terlebih di akhir-akhir ini!
Goza Ponsel itu kembali berdering. Hanya sedetik telpon itu kuangkat, sebuah suara langsung terdengar, "Pergilah ke Yogyakarta
sekarang!" Lalu telepon terputus. Aku menghela napas panjang. Kenapa ke Yogyakarta" Belum
juga sebulan aku kembali, belum juga sebulan aku menetap di kontrakan baruku, sudah ada perintah yang membuatku harus meninggalkan Jakarta....
Dengan gerakan setengah malas, aku mulai mengeluarkan ransel kecilku. Mulai kukemasi barang-barangku di lemari, dan kutata
satu per satu dalam ransel itu. Gerakan-gerakan ini begitu lancar.
Seakan seperti sebuah d?j? vu.
Aku masih ingat perintah pertamaku. Kala itu aku adalah pe?
ngangguran. Tiba-tiba saja seseorang yang entah siapa dan entah
dari mana meneleponku. Suaranya jelas sekali memakai peredam,
sehingga terdengar tak jelas, sumbang, dan sedikit bergema.
"Tak penting bertanya kami mendapatkan nomormu dari mana.
Tapi bila kau ingin bekerja sama dengan kami, bekerja sama melakukan apa saja, kami akan memberimu uang yang tak sedikit."
"Melakukan apa saja?"
"Ya." "Seperti... apa?"
"Hmmm, mungkin memberi pelajaran bagi seseorang?"
Aku langsung mengiyakan dengan begitu mudah. Sungguh, seenigma " [ 77 ] ENIGMA final.indd 77 mua seperti dalam film-film detektif yang sering kutonton selama
ini. Ia memintaku membeli sebuah nomor khusus yang kudaftarkan dengan nama sembarangan.
Sejak itulah perintah pertama datang padaku dengan bungkusan setumpuk uang. Aku diperintah untuk memberi pelajaran bagi
seseorang, yang sama sekali tak kutahu siapa. Hanya butuh sehari
aku membuat orang itu masuk rumah sakit dengan tulang-tulang
patah. Sejak itu perintah demi perintah kudapatkan! Dari yang semula hanya bersifat melukai, pada akhirnya aku pun harus membunuh
seseorang! Di tengah kenangan masa lalu itulah, pintu kamarku tiba-tiba
diketuk seseorang. Aku segera melangkah pelan. Mbak Nana kulihat sudah ada di depan pintu. Ia menyelinap cepat ketika aku
membuka pintu. "Nggak enak kalau sampai ketahuan orang sini, Bang," ujarnya memberi alasan.
Aku tersenyum setuju. Baru sedetik ia berada di sini, kamarku
seketika berbau harum parfumnya.
Mbak Nana sendiri langsung melihat tasku yang tampak penuh baju-baju. "Abang mau pergi?"
"Ya, pergi sebentar. Tapi paling beberapa hari lagi sudah balik,"
ujarku berusaha santai. "Mau kuoleh-olehi apa?"
"Ke mana emang?"
"Jogja!" "Hmmm, batik aja, Bang, kalo gitu."
"Beres. Akan kubawakan batik yang banyak nanti untukmu."
Aku membawanya duduk di tepi pembaringanku. Hanya butuh
waktu tak lebih dari sepuluh menit aku sudah menciumnya. Dan
seperti yang sudah kukatakan, ciumanku adalah magnet, juga ta[ 78 ] " enigma ENIGMA final.indd 78 nganku. Maka sekali saja sentuhan lembut itu di dadanya, ia sudah
membiarkanku membuka pakaian bagian atasnya.
Dalam hati aku tersenyum. Namun sebelum aku melakukannya lebih jauh, ia menahanku sesaat.
"Aku... belum pernah, Bang!"
Aku menghentikan gerakanku. Bagi para bedebah, sebuah pantangan menggauli perawan. Masalah yang ditimbulkan bisa menjadi sangat besar. Tapi buatku, tentu saja berbeda. Aku sama sekali
tak peduli soal itu. Tanganku sudah bergerak membuka resleting celananya.
"Tenang saja, tak akan apa-apa," ujarku.
"Tapi Abang akan kembali ke sini, kan?" tanyanya menahan
gerakanku. "Tentu saja, bagaimana aku bisa pergi lama-lama, bila engkau
menunggu di sini?" Ia tersenyum. Dan melepaskan pegangan tangannya di tangan?
ku, hingga aku dapat kembali melanjutkan membuka resletingnya.
Dalam hati aku kembali tersenyum. Seks hanyalah masalah
kecil saja. Tak usah terlalu dipikirkan. Soekarno saja pernah berselingkuh dengan Inggit Ganarsih yang kala itu masih merupakan
istri orang. Ia juga berselingkuh dengan Fatmawati saat masih bersama Inggit. John F. Kenedy, Bill Clinton, semua berselingkuh. Tapi
semuanya tetap menjadi orang besar!
Seks cuma perkara kecil! Chang Tak perlu mencari cahaya, cahaya sudah ada
di dalam dirimu! enigma " [ 79 ] ENIGMA final.indd 79 Aku tiba di depan rumah itu. Rumah besar yang tertimpa cahaya lamur yang tersisa dari matahari melalui pohon-pohon waru
di sekelilingnya. Ada setapak batu menuju pintu utama. Pintu itu begitu mencolok, karena bentuknya besar dan terbuat dari kayu yang kokoh.
Demikian juga dengan jendela-jendela yang ada di beberapa sisinya.
Walau jelas rumah ini sudah sangat tua, namun saat kucoba untuk
mengetuk-ngetuk kayu pada pintu dan jendela-jendelanya, suara
padat masih terdengar jelas.
Di sekeliling rumah, selain pohon-pohon waru yang banyak
terlihat, beberapa pohon mangga dan rambutan juga terlihat di
depan halaman. Di salah satu dahannya, sebuah ayunan dari ban
bekas yang debunya telah menyatu dengan kotornya ban, terlihat
seperti kesepian. Sang pemilik rumah yang sedang menemaniku melihat-lihat
sekeliling rumah, ikut memandang ke arah yang kupandangi.
"Itu ayunan cucu saya," ujarnya, "Kalau Mas ndak suka, bisa
saya potong." Aku menggeleng cepat-cepat, "Ndak, Mbah. Biar di situ saja.
Saya suka ada ayunan itu di sana."
Sang pemilik rumah tersenyum.
Ia kemudian kembali mengajakku mengelilingi rumah. Masuk
ke dalam kamar-kamar yang berderet beberapa buah sekaligus.
"Begini kalau anaknya banyak, Mas. Kamar-kamarnya seperti
bangsal," pemilik rumah itu terkekeh.
Aku juga ikut tertawa. Hanya sekali aku berputar, tapi aku yakin rumah ini memang
sangat ideal bagi rumah kami yang baru. Apalagi tadi sudah kuperhatikan, rumah terdekat dari sini masih beberapa meter jaraknya,
dan itu pun jarang-jarang. Namun jalanan aspal masih bisa terlihat
[ 80 ] " enigma ENIGMA final.indd 80 dari depan rumah, berikut dengan pos ojek yang ada agak jauh di
ujung jalan. Namun ketika aku baru akan menyetujui kontrakan ini, tanpa
sengaja mataku melihat sesuatu di halaman belakang rumah. Cepat
aku melangkah ke sana. Pemilik rumah yang tampak terkejut, ha?
nya bisa mengikuti langkahku dari belakang.
Tak jauh dari pintu belakang rumah, di dekat sebuah pohon
yang aku tak tahu namanya, terlihat sebuah epitaf yang sedikit
tersembunyi di balik rumput-rumput liar yang menunduk lesu.
"Ini kuburan lama, Mas. Bekas Mbah Buyut kami," pemilik rumah menjelaskan dengan takut-takut.
Aku mengamatinya. Sempat kulihat pemilik rumah sedikit
salah tingkah. Tampaknya ia takut sekali aku membatalkan kontrakan ini.
Tapi aku memang tak berniat membatalkannya. Setelah me?
ngamatinya sekilas, aku tetap menganggukkan kepala. "Tak apaapa, Mbah," ujarku membuat sinar lega di wajahnya.
Ya, buatku epitaf ini memang bukanlah suatu masalah. Aku
tahu kenapa pemilik rumah tadi tampak sedikit menyembunyikannya. Di lingkungan orang Jawa dan orang Cina, memang tidak baik
bila ada kuburan di sekitar rumah.
Tapi tentu saja bagiku itu tidak penting. Terlebih aku pun tak
terlalu takut pada hal-hal di luar alam ini. Kematian pada akhirnya
merupakan bagian dari hidup semua orang.
Namun melihat epitaf itu, entah kenapa aku tiba-tiba saja teringat pada kejadian dulu kala aku masih kuliah di Yogyakarya.
Suatu kali seorang kawan paling jelita di jurusan kami, Isara,
mengajakku dan beberapa teman lainnya ke rumah milik keluarganya yang ada di daerah Kaliurang. Kalau tak salah, rumah yang
ada di kilometer 15. enigma " [ 81 ] ENIGMA final.indd 81 Aku masih ingat betapa dinginnya di sana. Hidungku saja tibatiba menjadi pabrik ingus. Awalnya, kami hanya ingin mencoba saja
ke sana. Sebagian dari kami masih menjadi mahasiswa baru, belum
pernah ada yang menginap di daerah Kaliurang. Maka itulah saat
Isara mengatakan memiliki sebuah rumah besar di sana, beberapa
dari kami langsung merengek-rengek meminta ke sana. Isara pun
tak menolak. Maka hampir 15 orang dari kami akhirnya datang juga
ke sana hanya dengan saling berboncengan dengan motor.
Tak ada kejadian istimewa di sana. Namun saat tengah malam
datang, saat sebagian dari kami telah tertidur, Isara mengajak kami
yang masih terjaga untuk menuju ke suatu tempat di belakang rumah. Aku tak terlalu ingat siapa saja yang masih tergugah saat itu.
Yang pasti Hasha dan Patta ada di sana.
Awalnya tak ada dari kami yang bertanya, namun saat kusadari perjalanan ternyata cukup jauh, aku bertanya juga, "Mau ke
mana kita?" "Aku hanya ingin menabur bunga," ujarnya.
Kami tentu saja sangat terkejut dengan jawabannya. Awalnya
kami berpikir bila Isara hanya ingin menguji keberanian kami.
Namun saat akhirnya kami berjalan, dan tak lagi melihat sekalipun
senyumnya, kami mulai menduga bila ini bukan sebuah lelucon.
Di bawah sinar rembulan yang lelah, kami menyusuri kerikilkerikil dingin, tangga-tangga lumut, dan berarak di antara bayangbayang pohon yang bergerak-gerak mengerikan.
Di bawah sebuah pohon besar, Isara berhenti. Namun wajahnya tampak pias ketika ia melihat sebuah tanah kosong yang tampak sedikit menggunung.
"Kau mencari apa, Is?" tanyaku tak mengerti.
"Epitaf itu seharusnya ada di sini, Chang."
"Epitaf siapa?"
Mata Isara berkaca, "Epitaf saudaraku," ujarnya pendek.
[ 82 ] " enigma ENIGMA final.indd 82 Dan kala itulah kami semua yakin, kalau Isara tak bercanda
kala itu. Seorang saudaranya memang pernah meninggal di sini.
Ayah dan ibunya kemudian menguburkan jenazahnya di belakang
rumah mereka yang luas ini.
Malam itulah, dalam keheningan, kami melihat Isara mena?
ngis. Perempuan paling jelita di angkatan kami menangis di bawah bulan yang tampak lelah. Kami hanya bisa terdiam mendengar
isaknya tanpa tahu harus melakukan apa.
Dan hanya Hasha yang kemudian berani mendekat padanya
dan menyentuh pundaknya. Kami tak mendengar apa yang dikatakannya. Tapi Isara terdiam kala itu. Ia menengadah membalas
tatapan Hasha hingga beberapa lama.
Hari itu, dari hanya melihat tatapan keduanya, aku yakin bila
kelak akan ada sesuatu di antara mereka.
Patta Perempuan dengan pakaian berdada rendah itu duduk di depanku dengan sikap santai. Sesekali kepalanya sedikit bergoyang
mengikuti musik jazz yang menjadi latar di kejauhan.
Diam-diam sambil tetap memegang daftar menu, aku mencoba menatapnya.
Tak kupungkiri bila ia cantik. Tak kalah dengan bintang-bintang
sinetron. Hanya saja aku merasa kecantikannya karena poles?an, tak
beda jauh dengan perempuan-perempuan metropolis yang kukenal.
Diam-diam aku tersenyum miris. Aku jadi ingat, sewaktu masih
bersama dengan istriku dulu, yang jarang sekali kulihat memakai
make up secara berlebihan, aku kerap mengkritik perempuan-pe?
rempuan seperti itu. Kubilang pastilah mereka sangat bersyukur
enigma " [ 83 ] ENIGMA final.indd 83 seorang telah menemukan make up. Bisa jadi seperti apa dunia
mereka tanpa make up"
"Apa yang ingin engkau pesan?" tanyaku.
"Apa yang enak di sini?"
"Apa saja enak, asal jangan western food-nya," ujarku.
Perempuan itu tersenyum. "Pesankan yang sama denganmu
saja." Aku tersenyum. Tak bisa kupungkiri sejak kujemput ia di rumahnya, dan selama perjalanan kemari, sikapnya sangat menye?
nangkan. Aku seharusnya berterima kasih pada Sanda. Ialah yang merancang pertemuan ini. Kala itu kami tak sengaja bertemu di koridor gedung. Ia begitu saja menyerahkan selembar kertas memo
padaku. "Jemput ia jam tujuh tepat, aku sudah katakan kau akan datang!"
Aku memandang kertas memo itu tak mengerti. Di sana hanya
ada tulisan. Ranjari 08572159876 Jl. Rambutan II/16B, Kebon Jeruk
"Kau mencoba menjodohkan aku?" tanyaku melotot.
Sanda hanya tersenyum, "Percayalah. Ia cantik. Satu-satunya temanku yang cantik dan masih single. Selama ini belum laku karena
seleranya tinggi. Tapi kupikir engkau masuk dalam hitungannya."
Aku menggeleng-geleng kepala sambil meremas kertas memo
itu. "Kau pikir aku ABG yang butuh dicomblangi?"
"Ayolah, Patta." Sanda menahan tanganku. "Apa engkau sama
sekali tak sadar kalau engkau semakin banyak diam akhir-akhir
[ 84 ] " enigma ENIGMA final.indd 84 ini" Sungguh, menyebalkan sekali keluar bersamamu, ha?nya melihat dirimu yang murung dan selalu menyudahi pembi?caraan!"
Aku terdiam dengan keterusterangannya. "Apa... aku sebegitu
menyebalkan?" Sanda mengangguk yakin. "Kalau kau seperti itu terus, aku tak
mau lagi menerima ajakanmu keluar. Lebih baik aku menunggu
suamiku di rumah." Aku terdiam.
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Come on, kau harus memulai hidupmu lagi," Sanda menatap
mataku lekat-lekat. "Kau laki-laki yang baik dan aku tak ingin melihatmu terus-terusan seperti ini."
Aku tertegun Baik" Laki-laki yang baik"
Ah, ia benar-benar belum mengenal aku rupanya!
Hasha Nomor yang tak kukenal membuatku takut!
Entahlah, setiap melihat nomor asing di layar ponsel aku selalu tertegun untuk sekian detik. Setiap nadanya seperti merayapi
benakku. Aku akan selalu terburu mengecilkan volumenya dan
menunggu hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.
Namun tindakan itu sama sekali tak membuat gema suara di
ujung telinga seperti hilang. Ia bahkan terus terdengar samar, se?
perti menggantung di telingaku....
Jangan menulis macam-macam! Atau kubunuh kau!
Kubunuh kau! Kubunuh! Dan itu selalu membuatku memejamkan mata kuat-kuat.
Keperihan kala itu seperti kembali terasa di tubuhku. Juga cahaya
enigma " [ 85 ] ENIGMA final.indd 85 terang yang sangat menyilaukan dengan tangan-tangan yang mencoba menggapaiku.
Ah, semua seakan telah berakhir malam itu. Bahkan lilin-lilin
pun tak lagi menjadi sahabat yang bisa menenangkanku. Mereka
terus diam tanpa bergerak.
Apa itu semua karena aku seorang... pengecut"
Mereka tetap diam, seakan angin telah mati!
Benar-benar pengecut"
Tetap tak ada reaksi. Dan aku merasa begitu terpuruk melihat kediamannya. Setelah
sekian lama berusaha melupakan kejadian itu, aku sebenarnya tak
pernah benar-benar bisa melupakannya.
Aku bahkan sempat tak memiliki ponsel untuk waktu yang
cukup lama. Tapi akan sampai kapan aku bertahan seperti itu" Apa
ada orang yang kini bisa mengelak dari kemajuan teknologi saat
semua orang di sekelilingmu memujanya begitu rupa"
Maka pada akhirnya aku kembali membeli sebuah ponsel.
Masih sama seperti ponselku yang dulu. Aku tak terlalu tahu
perkembangan ponsel yang begitu cepat dan tak mencoba peduli
pula. Aku hanya memakai ponsel untuk SMS dan menelepon. Itu
saja. Aku tak membutuhkan semua fasilitas lainnya!
Dan hari ini, sebuah nomor asing kembali muncul, seiring
gema samar yang terdengar....
Jangan menulis macam-macam! Atau kubunuh kau!
Kubunuh kau! Kubunuh! Ini sudah kesekian kalinya. Aku sedikit menyesali kenapa orang
ini tak mengirim SMS saja" Karena aku akan melakukan hal itu, bila
teleponku tak dijawab. Maka seakan tak memiliki pilihan lain, akhirnya kuangkat juga
panggilan itu dengan perasaan tak menentu.
[ 86 ] " enigma ENIGMA final.indd 86 "Hasha?" terdengar suara di seberang.
"Ya?" aku masih mengira-ngira suara siapa di seberang.
"Ah, susah sekali menghubungimu."
Otakku masih terus bekerja mengingat suara di seberang.
"Bagaimana kabarmu" Sudah merasa kaya ya" Tak pernah lagi
mengambil honormu yang menumpuk?"
Aku tiba-tiba bernapas lega. Langsung kukenali penelepon di
seberang: Mas Atmojo, salah satu redaktur di koran di mana dulu
aku bekerja. "Sengaja belum kami transfer honor-honormu. Kami semua
ingin bertemu denganmu. Sepertinya sudah begitu lama."
Aku terdiam. "Hasha?" "Iya Mas, aku akan secepatnya mampir ke sana," ujarku cepatcepat.
enigma " [ 87 ] ENIGMA final.indd 87 Kedua kakak beradik itu menemukan sebuah ruang persembunyian di bawah meja besar yang ada di ruang tengah.
Meja itu sangat besar, bahkan 2 tubuh mereka yang
kecil pun hanya mengisi salah satu sudutnya saja. Kain taplak
yang panjang dan menutup hingga kaki-kaki meja, masih
berada di tempatnya. Dan lubang-lubang di kain yang mulai
tampak lapuk itu, menjadi tempat mengintip yang sempurna.
Sang kakak menoleh pada adiknya, "Engkau bisa melihat
ke luar?" Sang adik mencoba mengitip dari salah satu lubang. Ia
bisa melihat pintu depan di mana mereka masuk tadi. Bahkan
pohon-pohon di luar pun masih bisa ia lihat dari sana. Maka
ia pun mengangguk sambil tersenyum.
"Ini akan jadi persembunyian kita," ujar kakaknya
dengan senang. "Nanti kalau kau tak menemukan aku, kau
harus mencarinya di sini!"
Maka di hari-hari berikutnya, kedua bocah itu berlarilari dari rumah mereka menuju rumah tua itu.
[ 88 ] " enigma ENIGMA final.indd 88 Ibu mereka akan selalu berteriak, "Jangan bermain
terlalu jauh!" Tapi dua bocah itu seakan tak mendengar. Keduanya
berlari ke sana sambil tertawa-tawa
"Marga, apakah kita boleh memberi tahu persembunyian
ini pada Ibu?" "Tentu saja tidak!" seru kakaknya cepat. "Bila sudah ada
yang tahu, tentu namanya bukan lagi tempat persembunyian.
Biarkan hanya aku dan engkau yang tahu."
Sang adik hanya mengangguk.
Chang Dia akan selalu datang di kesendirianmu....
Hari pertama aku tidur di rumah ini, aku bermimpi berada di
sebuah kapal besar tanpa penumpang. Kapal itu begitu besarnya,
bagai Kapal Nuh yang pernah kuimpikan sebelumnya, hingga aku
seperti tak bisa melihat bagian depannya, juga bagian belakangnya.
Aku hanya bisa melihat ombak-ombak setinggi gunung yang berkali-kali datang mencoba menghempaskan kapal ini ke karang-karang
raksasa. Tapi untunglah kapal ini begitu kuat. Ia hanya terombangambing tanpa mengalami kerusakan sama sekali.
Lalu aku mulai melihat orang-orang di antara karang-karang
itu. Ada yang berdiri seorang diri, berdua, bahkan bergerombol.
Beberapa dari mereka kemudian mencoba memberi tanda padaku,
agar aku menolong mereka.
Maka aku pun menolong mereka. Pertama yang kutolong
adalah sepasang suami istri yang tampak begitu lemah. Saat aku
enigma " [ 89 ] ENIGMA final.indd 89 berhasil menaikkannya ke dalam kapal, mereka terus berpelukan
tanpa saling melepas sekalipun.
Setelah itu satu per satu dari orang-orang yang meminta pertolongan itu semua kutolong. Hingga tanpa sadar kapal itu mulai
terisi dan terus terisi. Tapi aku tak pernah berpikir untuk mengisinya hingga penuh. Hanya kepada mereka yang meminta tolong
saja, aku menolong. Hingga aku mendapati beberapa kapal lain yang tak kalah besar
mulai terlihat di dekatku. Sebuah kapal yang jauh lebih besar dari kapalku, bergerak cepat mendekat, membuat ombak setinggi puluhan
meter tiba-tiba muncul dan siap menerpa dan menelan kami!
Saat itulah aku terbangun. Terbangun tanpa hentakan.
Sebuah celah yang membuat garis cahaya menjatuhi tubuhku.
Menyadarkanku. Saat itulah kusadari, keringat telah begitu membasahi pakaianku, bagai ombak yang muncul tadi dalam mimpiku
yang seakan-akan benar-benar menerpa dan menelanku.
Paginya aku memulai aktivitas. Dibantu beberapa orang tukang
dari penduduk sekitar, aku mulai membenahi rumah. Mengecat
kembali tembok rumah, mengganti beberapa genting yang sudah
pecah, membersihkan halaman, memasang pagar bambu, dan
semua pekerjaan yang membuat rumah ini menjadi lebih layak.
Aku bahkan menyuruh beberapa tukang untuk member?
sihkan setapak-setapak dari ujung desa ke rumah ini, juga setapak dari
jalan beraspal itu kemari.
Dalam kesibukan seperti ini, aku tiba-tiba teringat dengan
masa lalu. Itu terjadi saat aku memutuskan membuat meja untuk makan. Entahlah saat membuatnya aku seperti terlempar pada
masa itu.... [ 90 ] " enigma ENIGMA final.indd 90 Sebuah meja panjang, tempat kami berlima....
Aku merutuki diriku. Namun aku merasa terlalu lemah membantahnya. Aku tahu bagian tubuh kita tak hanya terdiri dari tulang-tulang dan daging, darah serta air. Ada juga yang mungkin tak
terdeteksi. Itu adalah: kenangan.
Aku ingat meja panjang itu. Awalnya selalu ada aku dan Hasha.
Isara dan Kurani, serta Patta dan Goza. Walau Kurani pada akhirnya
memutuskan pergi, pertemanan kami masih terbilang dekat.
Aku menyukai semuanya. Aku suka Hasha karena ia memang
sehabat terbaikku sejak dulu, sehingga tak perlu lagi kusebutkan
alasan mengapa aku suka padanya. Aku suka Isara, karena ia begitu baik dan jelita. Ia juga rajin dan tipe orang yang mau berkorban demi sahabat-sahabatnya. Aku juga suka Patta yang sistematik
dan selalu tampak serius. Ia tipikal mahasiswa kesayangan dosen.
Selalu belajar dan bertanya bila tak memahami materi. Kadang,
saat ia bertanya di saat-saat terakhir kuliah, teman-teman hanya
bisa mendengus jengkel. Namun kupikir aku bisa menerimanya.
Kubayangkan, bila tak ada mahasiswa seperti dirinya, angkatan
kami pastilah menjadi angkatan diam seribu bahasa.
Sementara Goza" Aku juga tentu suka padanya. Ia lucu dan tak
tertebak. Guyonannya selalu membuatku tertawa, walau memang
kadang jorok dan menjijikkan. Satu yang paling kuingat adalah
joke-nya tentang lomba besar-besaran upil ketika ia masih kecil.
Untuk mengalahkan kawan-kawannya ia sampai mengumpulkan
upilnya selama seminggu. Walau Isara sampai dan Kurani sampai
menutup telinganya mendengar joke menjijikkan ini, tapi yang lainnya tertawa keras. Jelas, di antara kami berlima, selain aku, ia yang
cukup bisa membuat suasana ramai.
Hanya saja, semakin waktu berjalan, aku mulai merasa je?ngah
dengannya. Entahlah, ia tetap baik dan lucu dengan lelucon-leluenigma " [ 91 ] ENIGMA final.indd 91 connya. Namum aku merasa ia menyembunyikan banyak hal. Satu
dua kali aku mendengar cerita orang-orang tentangnya, dan itu
adalah cerita-cerita yang buruk. Tapi di depan kami ia tak ber?ubah.
Masih seperti dulu saja. Hanya saja, di pertengahan masa kuliah, ia sepertinya sedikit
berubah. Beberapa kali kulihat dia menatap Isara dengan tatapan
yang tak biasa. Aku tahu perempuan selalu menarik untuk dilumat
oleh matanya. Namun tentu tidak dengan sahabat sendiri, bukan"
Inilah yang menjadi titik balik sikapku padanya. Dan... aku ter?nyata
tak sendiri. Kusadari juga Patta sepertinya sedikit bersitegang de?
ngannya. Aku tak tahu karena apa. Mereka kuperhatikan lebih
kerap berdiam-diaman. Patta bahkan kerap memandang tajam
padanya. Untunglah ada Isara di antara kami. Kehadirannya selalu
yang dapat mencairkan keadaan. Bila ada dia, sepertinya kami kembali menjadi 5 sahabat karib yang begitu akrab.
Aku menghela napas panjang. Kenangan-kenangan masa lalu
itu seperti terus berlomba-lomba bergerak di otakku. Semakin terasa mudah, saat aku mulai mencat meja dan kursi-kursi tersebut.
Ya, mencat memang pekerjaan penuh risiko, karena saat tengah
melakukan pekerjaan inilah begitu mudahnya pikiran berpergian
ke mana-mana. Bahkan walau aku sudah mencoba mengenyahkannya ber?kali-kali.
Di jeda yang lain, aku mengingat mimpiku semalam dengan
jelasnya. Sungguh, selama ini aku tak pernah mengingat mimpiku
sebelumnya. Aku adalah laki-laki yang tak memiliki memori cukup
untuk menyimpan mimpi-mimpiku. Aku hanya sadar bila aku telah
bermimpi, namun aku tak pernah bisa melukiskan kembali mimpi
itu secara detail. Namun tidak kali ini. Kapal raksasa itu masih dapat kubayangkan besarnya. Ombak-ombak yang menerpa. Karang-karang besar.
[ 92 ] " enigma ENIGMA final.indd 92 Juga wajah orang-orang orang-orang yang meminta pertolongan.
Semua terbayang begitu lekat. Sangat lekat.
Di saat termenung seperti itulah, tiba-tiba aku dikejutkan
dengan sebuah suara. Awalnya, aku tak menyangka itu suara dari
dalam kamar. Kupikir salah satu ponsel tukang-tukang yang ada
di dekatku yang berbunyi. Namun ketika suaranya tak berhentiberhenti, aku baru tersadar.
Cepat-cepat aku beranjak ke dalam kamar. Membuka tasku
dan mendapati cahaya pada layar ponsel yang ada di situ.
Ah, aku baru teringat, Dewi memang membawakanku sebuah
ponsel agar hubungan kami tak terputus selama aku di Yogyakarta.
Ponsel ini sejak dari awal di tas ini, hanya kumatikan saja. Baru
ketika aku pindah kemari aku menyalakannya.
Perlahan aku mulai mengangkat. Sebuah salam langsung terdengar dari ujung sana.
"Indiray?" "Ya, Dewi?" "Bagaimana di sana" Apakah semua lancar?"
"Ya, Dewi, semua lancar."
"Bagus," ada suara lega di sana. "Aku harap kau terus melaporkan perkembangan di sana. Sebulan lagi akan kukirim Turada dan
Ambari ke sana untuk membantumu."
"Terima kasih, Dewi."
Lalu telepon ditutup. Bersamaan dengan terdengarnya suara
pintu yang diketuk. Aku segera beranjak. Kudapati sepasang lelaki dan perempuan
paruh baya yang berdiri di depan pintu.
Aku tertegun. Sebelum sempat mereka berkata-kata, aku langsung teringat kembali pada mimpiku saat pertama kali menyelamatkan sepasang manusia di atas karang-karang itu. Sepasang
manusia yang seperti tak terpisahkan.
enigma " [ 93 ] ENIGMA final.indd 93 Sungguh, kedua wajah di hadapanku ini, dengan posisi yang
saling berpegangan tangan, benar-benar mirip dengan kedua sosok
itu! Patta Aku tahu sejak dulu ia memang bajingan!
Orang lain mungkin tak akan dapat melihat matanya yang kadang bersinar sangat tajam, tertutup dengan sikapnya yang ra-mah
dan menyenangkan. Tapi aku dapat melihatnya!
Ia Goza, laki-laki yang entah kenapa bisa begitu mudah menarik perhatian perempuan. Walau jujur saja, awalnya aku menyu?kai
kelebihannya itu. Ia memang supel dan menyenangkan. Itu mungkin yang membuatnya begitu mudah mendapat kenalan perempuan-perempuan cantik, sekaligus meminta nomor ponsel dan alamat mereka.
Aku ingat saat-saat pertama kali ia mulai dekat pada kami.
Semula ia memang punya teman-teman sendiri. Namun sewaktu ia
tahu kami kerap duduk di meja panjang di warung lotek di daerah
Kanisius itu, ia mulai kerap mendatangi kami.
Tentu saja ia begitu cepat kami terima. Bersama Chang, ia yang
kerap menjadi sumber lelucon di antara kami. Dan aku yang kemudian menjadi sosok paling dekat dengannya, karena letak kosnya yang
ada di daerah Pandega Mandala, begitu dekat dengan kosku. Namun
hanya butuh beberapa bulan saja aku menyadari bila ia bajingan!
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak hanya soal bagaimana ia memperlakukan perempuan, tapi
masalah-masalah kecil saja bisa membuatnya naik pitan. Sebuah
senggolan di sebuah rental yang padat, bisa membuat di?rinya menarik orang yang menyenggolnya dan menonjok orang itu hingga
babak belur. [ 94 ] " enigma ENIGMA final.indd 94 Ia juga yang selalu maju pertama kali, ketika ada perkelahian
antar jurusan. Aku tahu di tasnya yang butut, ia selalu menyimpan
sebuah ruyung ataupun samurai kecil. Reputasi itu kelak begitu
dikenal di universitas lain. Hingga pernah aku mendapati orangorang asing menyerahkan uang padanya, sebagai ucapan terima
kasih karena ia baru saja memberi pelajaran bagi musuh mereka.
Saat itu aku merasa ia begitu mengerikan. Namun aku sulit
melaporkan keadaan ini pada teman-teman yang lain. Sikapnya begitu menyenangkan saat bersama kami. Bahkan joke-jokenya kerap
membuat Isara dan Kurani, dua perempuan di antara kami, selalu
tertawa tanpa henti. Maka aku hanya bisa menyimpannya sendiri sekian lama, dan
berusaha tak peduli. Hingga semua mulai berubah saat aku menyadari bila ia kerap menatap Isara dengan berlebihan.
Aku tiba-tiba menjadi semakin takut.
Isara adalah perempuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Sejak pertemuan pertama kami saat pendaftaran ulang itu, aku
sudah mengamatinya sejak lama, dan diam-diam berdoa agar ia ada
dalam jurusan yang sama denganku.
Kini menyadari dirinya ada di antara pesona bajingan itu, membuat ketakutanku semakin hari semakin tak terbendung. Maka di
hari yang sudah kupikirkan sedemikian lama, aku datangi Goza
dengan sebuah pemintaan. "Aku sangat mencintainya, aku harap engkau tak berencana
mendekatinya." Dan ia tersenyum padaku. Senyum ramah yang menyelipkan
perasaan sinis di hatinya. "Kau takut bersaing denganku, Patta?"
tanyanya dengan ringan. "Kau bisa mendapatkan perempuan mana saja, tapi kumohon...
jangan Isara." Ia tertawa. Sambil menepuk pundakku berkali-kali ia berkata.
enigma " [ 95 ] ENIGMA final.indd 95 "Tentu kawan, tentu aku tak akan mendekatinya. Kau sudah banyak
membantuku selama ini. Memberiku pinjaman uang, membayariku
makan, meminjami beberapa bajumu, dan hal-hal lainnya yang tak
bisa kusebut. Tentu mengingat itu semua, aku tak akan mendeka?
tinya." Sungguh, walau kalimat ini diucapkan dengan nada begitu
ramah, aku tetap merasa ini ucapan kosong.
Aku benar-benar tak yakin ia berkata tulus. Perasaanku yang
lain bahkan mengatakan sebaliknya. Bisa jadi ia berkata; tentu saja
aku tak akan mendekatinya, tapi jangan salahkan aku bila ia yang
mendekatiku! Sungguh, ia memang benar-benar bajingan!
Hasha Aku menyadari, bila sebenarnya aku mungkin tengah bersembunyi atau disembunyikan"
Sejak kejadian mengerikan itu, pihak kantor seperti sengaja
menyuruhku pindah ke Solo. Mungkin tanpa kuketahui, mereka
berbincang dengan ayah dan ibuku perihal kejadian ini, dan du?
gaan-dugaan terburuk mereka. Karena setelah itu, kedua orang?
tuaku seperti lebih mengawasiku. Mereka mengontrakkanku sebuah rumah di Solo, yang sebenarnya cukup jauh dari keramaian.
Mereka bahkan memasang internet di rumah itu. Ini tentu
saja aneh. Ayah dan ibu kukenal begitu gagap terhadap teknologi.
Bahkan berhadapan dengan ponsel pun kerap merasa bingung.
Bagaimana mungkin bila tiba-tiba ayah berkata, "Sebaiknya engkau
menulis di rumah saja. Bukankah pihak kantor sudah berjanji tetap
akan memuat tulisan-tulisanmu yang kau kirim lewat email?"
"Apalagi kau bisa sambil membuat buku. Sejak dulu kau ingin
membuat buku, kan?" tambah Ibu.
[ 96 ] " enigma ENIGMA final.indd 96 Ini jelas kalimat-kalimat yang jelas bukan berasal dari pikiran
mereka. Pasti ada orang yang mengatakan ini sebelumnya. Dan
kuyakin pastilah orang-orang dari kantorku.
Tapi aku mengangguk saja menyetujuinya. Kupikir sekarang
ini aku memang tak memiliki pilihan lain. Aku sendiri merasa enggan untuk kembali ke sana. Bayangan tentang penyiksaan itu masih
terasa sakit ditubuhku, walau kini luka-lukannya telah hilang sama
sekali. Apalagi aku tahu sekali bila maksud ayah dan ibu tentu sangat
baik. Seperti yang selama ini sudah mereka lakukan untukku. Jadi
tak ada alasan bagiku untuk menolak upaya mereka kali ini.
Dan aku tentu tak lagi perlu mempertanyakan, apa aku tengah
sembunyi atau disembunyikan"!
Isara Rasanya baru kali inilah aku bersyukur pada internet.
Hampir sepanjang malam aku mencari berita tentang peng?
aniayaan dan pembunuhan wartawan yang terjadi 2 tahun yang
lalu. Hanya perlu membuka arsip-arsip lama koran-koran, aku
sudah bisa membaca puluhan tulisan-tulisan tentang itu. Aku
juga bahkan bisa mengikuti tulisan-tulisan tentang proses pe?
ngadilan orang-orang yang diduga terlibat sebagai otak kejadian
itu. Nama Hasha sendiri kutemui hanya diungkit di bagian-bagian
awal saja. Media-media lebih mengekspos tentang kematian rekannya, dan membahasnya berulang kali.
Namun entah mengapa, pikiranku terus tertuju padanya. Aku
benar-benar kembali mengingat dirinya, mengingat dirinya seutuhnya, seperti dulu aku melakukannya pada sosok pendiam itu!
enigma " [ 97 ] ENIGMA final.indd 97 Sejujurnya dulu, kediamannya itulah yang membuatku tertarik. Seperti senja yang hadir, aku selalu menyukainya bila itu terjadi
di antara keheningan. Ia selalu datang bersama sahabatnya, Chang. Namun ia akan
lebih banyak diam, dan hanya berujar sesekali saja di antara ucap?
an-ucapan Chang dan yang lainnya. Tapi aku tahu ia menyimak semuanya, bahkan terhadap sesuatu yang tak aku sadari sekalipun.
Sering, bila kami memiliki janji bertemu di meja panjang
warung lotek itu, ia yang akan datang pertama kali. Aku kerap
mengamatinya sibuk menulis di loosleaf-nya ketika menunggu. Dan
itu dilakukannya dengan sangat serius.
Sebelumnya, aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya ditulisnya. Dulu, seorang dari kami pernah bertanya, dan ia hanya menjawabnya dengan seulas senyumnya saja.
Sampai aku menemukan selembar tulisannya terjatuh di bawah meja. Aku sebenarnya bisa saja memanggilnya ketika itu, karena aku masih melihat dirinya di boncengan motor Chang, yang tak
jauh dari warung. Namun aku mengurungkan niat itu. Aku bahkan
menyembunyikannya cepat-cepat ketika Kurani menanyakan apa
yang sedang kupegang. Lembaran kertas itu berisi sajak. Dan aku merasa sangat bodoh
karena tak bisa menebaknya selama ini. Padahal semua tahu, bila
stereotipe seorang penyair adalah kediamannya, dan juga mungkin,
sedikit kemisteriusannya. Banyak film-film melukiskan itu. Dan...
itu semua ada pada Hasha.
Maka saat itulah untuk pertama kalinya aku membaca tulisannya. Kubaca semua baris-baris tulisan itu tanpa melepas bayangan
tentang dirinya. [ 98 ] " enigma ENIGMA final.indd 98 Kepada Perempuan Penyampai Sajak
kau tautkan carik kertas itu pada tepi rinai
karena kau tahu, aku lelaki yang menyatu dengan hujan
namun aku terlanjur lenyap sebelum sempat meraihnya
aku lupa bercerita padamu: tetes tangis pun sanggup
meluluhkan tubuhku! lalu kau tautkan carik kertas itu pada ujung badai
namun aku bahkan tak bisa menyuanya
walau dari kejauhan kau berteriak-teriak memberi tanda
aku tak mendengarnya! aku tuli!
hanya gerak bibir indahmu dapat kusemai dikejauhan
namun aku terlalu rentan untuk mengecupnya
lalu kau memahatnya pada 1001 batu, bagai pemahat
canggal sriwijaya: yang membuat ribuan pahatan untuk sang dapunta
tapi masa kemudian memorakkan semuanya
hingga satu yang tersisa: namun aku pun tetap tak mampu
membaca utuh Ah, tak tahukan engkau, aku adalah sang pembaca sajak!
kau hanya perlu merapat padaku dan menaburkan bulir-bulir
keringatmu tanpa perlu mengucapkan satu per satu kata padaku
dan aku akan merajahnya menjadi sajak yang tak lekang dari
bibirmu.... Aku tertegun membaca semua kata-kata itu. Ada perasaan aneh
yang tiba-tiba mengalir di segenap aliran darahku dan menyelinap
enigma " [ 99 ] ENIGMA final.indd 99 di dalam hati. Beberapa hari yang lalu, semua tahu bila aku baru
saja membeli buku terbaru Joko Pinurbo. Goza bahkan dengan gaya
yang norak, mencoba membacakan beberapa petikan salah satu
sajak di situ, membuat kami semua tertawa. Kala itu, tanpa ku?
sadari, aku berkata bila ingin sekali kelak dapat menulis sajak untuk seseorang. Dan ucapan itu disambut dengan tertawaan oleh
mereka semua, kecuali Hasha tentunya.
Sejak itulah, tak bisa kuelak dan kupungkiri lagi, bayangan
Hasha mulai kerap muncul di pikiranku. Aku tiba-tiba mulai kerap
melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah kulakukan. Aku
mulai kerap memandangnya di antara hiruk-pikuk suara-suara
teman-teman lainnya. Aku mulai menunggu langkah-langkahnya
memasuki ruang kuliah. Aku mulai selalu menyiapkan senyum?
an saat ia tanpa sengaja menatap ke arahku. Bahkan yang paling
konyol, aku kerap tanpa sadar menulisi namanya di loosleaf-ku
hingga berulang kali. Sungguh, aku seperti mulai menempatkan dirinya pada ruangruang kosong yang selama ini ada di pikiranku....
Maka beberapa hari semenjak aku menemukan sajaknya dan
selepas kami selesai di kuliah kami, aku mendekatinya saat tak ada
lagi teman-temanku di sekitar kami. Saat itu, kuangsurkan carik
kertas sajak itu di depannya.
"Kau menjatuhkannya beberapa hari lalu," ujarku.
Aku lihat matamu tampak terkejut. Gerakan tubuhnya tampak
sedikit salah tingkah. "Engkau... membacanya?"
Aku hanya mengangguk. "Maaf, aku... tak bisa menahan diri
untuk tak membacanya."
Ia mencoba memaksakan senyumnya. "Tak apa, Isara."
"Tapi aku suka sajak itu," tambahku cepat-cepat. "Selama ini,
engkau tak pernah bercerita kalau engkau menulis sajak."
[ 100 ] " enigma ENIGMA final.indd 100 "Ah, ini hanya coretan iseng," ia bergerak ingin meremasnya.
Namun sebelum ia benar-benar melakukannya, aku buru-buru menahannya.
"Kalau engkau ingin membuangnya, biar untukku saja!" ujarku
cepat-cepat. Dan ucapan itu benar-benar membuatnya tertegun menatapku.
"Engkau tak keberatan, kan?" ia sama sekali tak berucap apaapa, ketika aku mulai mengambil carik kertas itu.
Hanya menggeleng lemah. Sejak dulu, telah kutanamkan pada diriku, kalau aku adalah perempuan yang akan mengucapkan cinta pada laki-laki yang aku cintai.
Aku ingat dulu, bagaimana aku mendapatkan cinta pertamaku
kala masih duduk di bangku SMP. Ia adalah sahabat terbaikku di
sekolah, yang telah sekian lama membuatku selalu berpikir tentangnya. Ia yang sudah membuatku tak lagi bersepeda ke sekolah,
namun memilih menunggu ajakannya membonceng sepedanya. Ia
yang sudah membuatku selalu bersemangat mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Ia pula yang selalu membuatku merasa tak
tenang bila mendapati kursi tempat biasanya ia duduk di kelas,
kosong karena ketidakhadirannya.
Maka aku pun menguatkan hati dan mengumpulkan semua
keberanianku untuk dirinya. Aku tunggu dirinya sepulang sekolah,
dan setelah tinggal kami berdua saja yang ada, aku katakan pada?
nya kalau aku menyukainya.
Sejak kisah itu, aku sepertinya tak lagi pernah merasa begitu
menyukai seseorang. Hingga bertahun-tahun. Sampai kehadiran
enigma " [ 101 ] ENIGMA final.indd 101 Hasha kemudian membuatku kembali mengingat tentang kisah
itu. Aku tak habis-habisnya membaca sajaknya. Hingga tanpa
kusadari aku telah menghafal setiap kata yang ditulisnya, bahkan
sampai menciptakan irama dalam setiap kalimatnya. Walau dalam
hati, aku tak henti bertanya-tanya, untuk siapa sajak ini dibuat"
Apakah untukku" Atau Kurani" Karena aku tahu sekali, kalau hanya
kami berdua teman perempuan terdekatnya.
Dan aku tak mau tersiksa hanya memikirkan pertanyaan ini
saja! Maka, di taman kampus selesai kuliah terakhir, aku memutuskan menunggunya.
Aku masih ingat bagaimana perasaanku kala itu. Angin yang
berembus lembut seakan mencoba menenangkan. Daun-daun kering
yang berjatuhan di pundak seakan berbisik kalau semua akan baikbaik saja. Dan, sinar matahari yang sebentar lagi tertelan bangun?
an-bangunan tinggi seakan menyelimuti untuk menguatkanku.
Hasha datang mendekatiku, seiring debar jantungku yang semakin kurasakan.
"Engkau belum pulang Isara?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan, "Engkau sedang menunggu seseorang?"
Aku tak menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan malah balik
berkata padanya. "Hasha, bisakah aku bicara denganmu?"
Kulihat keningnya sedikit berkerut. Namun ia mengangguk.
Tak lagi mengurusi buku-buku yang dipegangnya dan langsung menatap ke arahku.
Aku seperti terpaku menerima tatapan itu. Tiba-tiba semua
yang sudah kusiapkan untuk kuucapkan padanya, tak lagi teringat
olehku. Kedua kakiku terasa gamang, jantungku begitu berdegup,
dan aku hanya bisa berkali-kali menelan ludah untuk menenangkan diri, tanpa bisa berucap sepatah kata pun.
[ 102 ] " enigma ENIGMA final.indd 102 Sungguh, di antara angin yang berembus lembut, di antara
daun-daun kering yang berjatuhan, di antara matahari yang separuhnya telah hilang, dan di antara sinar matanya yang berkelindan
menuju sinar mataku, baru kusadari kalau aku sebenarnya begitu
lemah di hadapannya. Benar-benar teramat lemah.
Goza Buah yang jatuh tak akan terlalu jauh dari pohonnya!
Itu tentu saja kuyakini 100%.
Ayahku adalah setan! Ibuku iblis! Maka wajar saja bila kini aku menjadi bedebah.
Aku merasa nyaris tak punya kenangan apa-apa terhadap orang
yang disebut orang tua. Kalaupun ada, itu pastilah sangat sedikit,
dan aku akan sesegera mungkin membuangnya ke tong sampah.
Jadi, jangan salahkan aku bila sejak dulu aku begitu muak melihat orang-orang yang menangis karena orang tua mereka. Bocahbocah kecil yang mengucapkan sayang yang dibuat-buat pada ibu
mereka. Atau bocah-bocah yang memaksa mengajak ayah mereka
bermain bola. Kupikir itu bullshit semua. Jadi jangan salahkan aku
bila aku pernah melempar televisiku dengan botol minuman garagara mereka menayangkan sebuah acara pencarian orang tua terhadap anak mereka yang hilang belasan tahun. Acara itu benar-benar busuk. Penuh tangisan. Sungguh, 1000 kali lebih baik menonton
bokep Thailand tahun 70-an. Walau kaku dan sedikit tak fokus, tapi
setidaknya tak membuatku ingin muntah!
enigma " [ 103 ] ENIGMA final.indd 103 Mungkin aku iri karena tak mengalami itu semua. Tapi... hey,
aku ini bedebah" Siapa pun tentu tak berharap aku melakukan halhal baik, kan"
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan karena aku seorang bedebah, tentu semua harus maklum dengan apa yang kulakukan. Sejak dulu aku membiayai sendiri
hidupku. Tentu itu tak akan cukup hanya dengan jalan menjadi
pekerja part time sebuah rental VCD" Atau membuka kursus privat untuk anak SD" Harus ada pekerjaan yang membuat seseorang
mau memberimu uang banyak.
Dan aku bersyukur bisa melakukan itu hingga sekarang.
Aku tahu, aku adalah laki-laki yang hidup karena jalan yang
kupilih sendiri. Laki-laki yang bertahan karena upaya kerasku sen?
diri. Itu saja. [ 104 ] " enigma ENIGMA final.indd 104 Dan hari-hari kedua bocah itu semakin seru. Keduanya
menemukan ruangan baru di lantai 2, di mana dari sana
seluruh bukit bisa terlihat dengan begitu jelas, termasuk rumah
mereka di kejauhan. Sang kakak juga menemukan sebuah kain panjang yang
dapat ditautkan pada kayu yang ada di langit-langit rumah.
Dari situlah ia kemudian dapat bergelantungan dari lantai 2
ke lantai 1. "Lihat, aku benar-benar seperti tarzan."
"Aku ingin mencoba," ujar adiknya dari bawah.
"Ya, nanti kau pasti dapat mencobanya. Aku sedang
mengukur ikatannya agar kau tak jatuh terlalu jauh dari
lantai," namun belum sempat ia menyelesaikan ucapannya,
kayu di mana kain itu ditautkan, ternyata patah karena
lapuk. Tubuh sang kakak pun tanpa bisa dihindari lagi langsung
jatuh hingga mengeluarkan suara gedebug yang keras.
enigma " [ 105 ] ENIGMA final.indd 105 Sang adik begitu terkejut. Tanpa mempedulikan debu
yang seketika menghambur ke matanya, ia berlari sambil
berteriak, "Margaaaaa!"
Tapi sang kakak tak lagi bergerak. Dari belakang
kepalanya mengucur darah yang langsung mengotori lantai.
Sang adik langsung menangis histeris. Dipeluknya tubuh
sang kakak erat-erat, hingga rambutnya yang panjang tergerai
mengenai genangan darah....
Goza Ketika sampai di Yogyakarta, berita pertama yang kubaca di
sebuah Koran adalah: Pantat dan Kaki J-Lo terindah di dunia.
Aku setuju dengan yang pertama. Pantat memang pen?ting.
Tapi bagaimana penilaiannya bila kau tak benar-benar dapat melihatnya. Pantat yang indah menurutku adalah pantat yang pas
dalam genggaman kita, bila kita sedang mencoba bercinta dengan
gaya berdiri. Selain faktor itu, pantat sepertinya menjadi tak pen?
ting! Tapi aku tak setuju soal kaki. Untuk apa sepasang kaki dinilai" Apalagi yang terpilih cenderung kaki yang panjang. Kupikir ini
sedikit berlebihan. Kaki tak punya cukup kepentingan selain untuk
berjalan, dan mungkin, menendang. Toh saat bercinta pun posisi?
nya hanya ditekuk, bagai sesuatu yang mengganggu.
Sambil membawa tabloid tak penting itu, aku langsung menuju
hotel di daerah utara. Tidak sampai yang melewati ring road, cukup
di daerah kampus UGM saja. Aku senang di antara keramaian mahasiswa di sana. Lagi pula hotel-hotel di sekitar situ, terutama yang
masuk ke dalam gang, cukup murah dan tersembunyi.
[ 106 ] " enigma ENIGMA final.indd 106 Saat check-in, aku hampir mengenalkan diriku sebagai Afgan,
gara-gara aku merasa sakit perut dengan lagunya yang begitu kerap
diputar selama perjalanan. Namun untunglah aku segera teringat
kalau aku tak memiliki KTP dengan nama itu.
Lokasi hotelku kali ini, mau tak mau, membuatku teringat
pada Hasha dan Chang, dua teman masa laluku, yang pernah memiliki kontrakan di sekitar sini.
Sebenarnya itu tak penting. Karena walau dulu sering bersama,
tapi entah mengapa, aku selalu merasa tak pernah bisa akrab de?
ngan keduanya. Terlebih Hasha, laki-laki yang sepertinya hanya bisa
diam dan mencoret-coret bukunya. Walau Patta dan Chang pernah
bilang, kalau ia adalah seorang penulis, namun aku belum pernah
sekalipun membaca tulisannya!
Kupikir ia laki-laki yang lemah. Nyaris seperti banci. Aku
ingat dulu, saat jurusan kami bersitegang dengan jurusan teknik,
dia lebih memilih tak ikut-ikutan saat kami berencana menyerang.
Itu adalah ciri khas seorang penakut!
Sungguh, ini membuatku muak. Apalagi aku pernah merasa
bila dirinya membenciku. Aku pernah melihatnya memandangku
begitu tajam, entah karena apa.
Pernah kuceritakan hal ini pada Patta, tapi ia malah memandangku heran.
"Bagaimana bisa kau menilai seperti itu?" ia yang malah memandangku heran. "Ia kawan yang baik. Apa kau tak pernah merasa
kebaikan-kebaikannya selama ini?"
Dan, aku jadi terpaksa mengingat-ingat kala itu. Ya, ia memang
tipe orang yang ringan tangan. Tipe laki-laki yang akan menepikan
motornya untuk menolong pengemis tua menyeberang. Tipe lakilaki yang akan menyisakan minuman botolnya untuk kawannya.
Tapi tentu saja hal-hal seperti itu, bukan hal yang dapat membuatku kemudian merasa dekat dengannya, kan"
enigma " [ 107 ] ENIGMA final.indd 107 Kupikir kebersamaan kami selama ini hanyalah karena ada
sosok Isara bersama kami. Bila tidak, aku pasti telah minggir dari
kumpulan orang-orang tak penting itu!
Sungguh, mengingat itu semua, membuatku tiba-tiba saja
meminta sopir taksi untuk mengantarkanku pada warung lotek di
dekat Kanisius, tempat dulu kami biasa berkumpul.
Walau aku merasa ini berlebihan, namun ketika akan memba?
talkannya, taksi ternyata sudah terlanjur sampai lebih dahulu.
Aku pun turun dengan perasaan malas. Masih kulihat tempat
itu tak berbeda jauh dari sebelumnya. Setahun yang lalu ketika memutuskan beristirahat, aku juga sempat ke sini. Kuingat-ingat dari
terakhir kali yang kulihat sepertinya tak banyak yang berubah.
Aku memesan sepiring lotek. Sebenarnya aku tak begitu suka
dengan makanan ini. Dulu mungkin aku menyukainya, karena itulah yang pas dengan kantongku. Tapi tentu sekarang berbeda.
Beberapa pembeli perempuan kulihat sedang mengantri. Satu
kemudian kudapati tengah memandangiku.
Aku tersenyum. Tuhan ternyata memang Maha Pengasih. Baru
saja aku berencana mencari seorang perempuan di kota ini, tibatiba saja satu dari mereka sudah datang sendiri padaku.
Satu yang menarik dari Yogyakarta memang kau bisa mendapatkan perempuan-perempuan dengan status mahasiswa dengan
lebih mudah. Di setiap sudut hanya ada mahasiswi berkeliaran.
Bukan lagi pembantu ataupun anak pemilik warung!
Tengah berpikir seperti itu, perempuan yang memandangku
itu tiba-tiba bangkit, dan mendekat padaku. Aku tentu saja sudah
siap menyambutnya dengan senyuman mautku.
"Aku mengenalmu," ujar perempuan itu begitu saja. "Kau Goza,
kan?" Aku terkejut. Senyuman mautku lenyap begitu saja.
Dan perempuan itu sudah menyambung kalimatnya, "Ah, kenapa semua berkumpul di sini. Baru 2 hari lalu aku bertemu de?
[ 108 ] " enigma ENIGMA final.indd 108 ngan Isara di sini. Kini kau yang datang. Tempat ini pastilah punya
kenangan yang benar-benar kuat di antara kalian!"
Hasha Selalu ada perasaan tak enak untuk kembali ke Yogyakarta.
Entah karena keengganan atau" ketakutan"
Aku tersenyum pahit. Dulu, kota ini begitu kusukai. Sama seperti orang-orang lainnya,
udaranya memang ngangeni. Aku bahkan pernah berencana untuk
menetap di sana selepas lulus kuliah. Maka itulah aku mendaftar
kerja di salah satu koran terbesar di kota ini.
Dan, aku diterima. Aku ingat di hari pertamaku masuk, seorang
wartawan senior berkepala botak, membimbingku mengitari kantor.
Ia mengenalkan beberapa reporter dan fotografer yang kebetulan
ada di tempat. Juga mengenalkan beberapa layouter dan beberapa
redaktur senior, serta beberapa pegawai di bagian periklanan.
Pada akhirnya setelah tour singkat ini, ia mengajakku menuju
ke sebuah ruangan yang agak di belakang.
"Mejamu di situ," ia menunjukkan sebuah meja kecil dengan
kursi plastik berwarna hijau menyolok di sudut ruangan.
"Kau akan dibimbing oleh seorang reporter senior," ujarnya.
"Siapa?" tanyaku mencoba mengingat-ingat beberapa reporter
yang dikenalkan tadi. "Ia belum datang. Kau tunggulah saja!" Wartawan itu kemudian meninggalkanku sendiri.
Hari itulah aku berkenalan dengan Rafudin. Orang-orang di
kantor kerap memanggilnya Mas Fudin!
enigma " [ 109 ] ENIGMA final.indd 109 Di pertemuanku pertama dengannya, tanpa perkenalan, dia langsung mengajakku ke ruangan yang letaknya bersebe?lahan de?ngan
gudang. Saat dibuka, bau apek langsung menusuk hidungku.
"Kau lihat tumpukan koran itu?" tanyanya menunjuk beberapa tumbukan koran di sudut ruangan.
"Ya, Mas." "Itu tumpukan 30 koran lebih. Semua koran yang pernah kau
dengar ada di situ. Kompas, Koran Tempo, Republika, Suara Pembaruan,
Republika, Jurnas, Suara Merdeka, Lampung Post, Bali Post, Sriwijaya
Post, Kupang Post, Solopos, dan lain-lainnya. Coba kau lihat saja
sendiri semuanya!" Aku mendekat ke tumpukan koran-koran itu. Namun sebelum aku melakukan apa-apa, Mas Fudin sudah kembali bersuara,
"Untuk pemanasan di hari pertama kau di sini, coba kamu buat
report tentang koran-koran ini! Ok?"
Aku menelan ludah. "Report... seperti apa, Mas?"
Ia mengerutkan kening mendengar pertanyaanku. "Tentu saja,
apa yang kau dapat dari membaca mereka!" ia kemudian segera
meninggalkan ruangan ini, tanpa memberikan kesempatan bertanya lagi.
Maka petualanganku sebagai reporter junior dimulai. Membaca
ratusan judul berita, hanyalah masalah kecil. Hanya dalam beberapa hari ke depan, banyak sekali hal yang semula tak dibayangkannya terjadi.
Meliput beberapa peristiwa di beberapa tempat yang berbeda
dalam waktu yang singkat merupakan tugas yang kerap diberikan
Mas Fudin kepadaku. Ini kerap membuatku keteteran. Gilanya lagi,
Mas Fudin malah mengambil kunci motorku beserta dompetku.
Hanya disisakan beberapa lembar ribuan saja di saku celanaku.
"Cukup untuk makan siang dan ongkos bus!" ujarnya santai.
[ 110 ] " enigma ENIGMA final.indd 110 Aku ingin sekali memprotes. Tapi Mas Fudin seakan tak pe?
duli. "Kalau ndak kuat, keluar saja," ujarnya tanpa beban.
Dan aku hanya bisa mengerutu dalam hati. Sebenarnya aku
akan mengikuti semua tugas-tugas ini tanpa mengeluh. Namun
yang membuatku sebal, reporter-reporter junior yang lain tak
menerima perlakuan seperti yang kuterima. Inilah yang membuatku mengeluh.
"Mas Fudin memang terkenal begitu," bisik salah satu reporter
lama. "Tapi semua mengakui kok kalau ia wartawan yang handal."
Aku tak lagi bisa berkomentar apa-apa. Aku tak tahu dan tak
pernah menyadari kalau pengalamanku bersama Mas Fudin akan
menjadi lebih mengerikan daripada semua ini!
Satu malam sepulang membuat tulisan untuk esok, Mas Fuddin
mengajaku ke salah satu warung koboi di daerah Gejayan. Warung
koboi atau angkringan ini adalah sejenis warung tenda yang biasa?
nya ditutup dengan terpal berwarna biru sebagai atapnya, de?
ngan makanan nasi bungkus dan rupa-rupa gorengan dan sate. Di
Solo, warung seperti ini disebut hik, dan selalu buka hingga larut
malam. Selama beberapa hari ini, sebenarnya merupakan hari-hari
yang menegangkan bagi kami. Mas Fudin sudah tak lagi mengerjaiku untuk melakukan hal-hal aneh. Ia sudah mengajakku be?kerja
sama menulis beberapa berita, salah satunya adalah investigasi
tentang sebuah kasus korupsi dana APBN yang dilakukan seorang
pejabat penting di Yogyakarta. Berita itu sudah dirilis beberapa hari
lalu dan rencananya akan dibuat berseri karena penyelidikan kami
yang cukup detail. enigma " [ 111 ] ENIGMA final.indd 111 Selama ini koran kami telah kerap menulis berita tentang korupsi, namun berita kali ini terasa cukup luar biasa, karena langsung melibatkan orang penting di pemerintahan Yogyakarta yang
selama ini jarang sekali terlibat kasus korupsi. Tulisan Mas Fudin
yang cukup berani ternyata membuat beberapa orang gerah. Tak
heran, sejak pemuatan di hari pertama, Mas Fudin sudah menerima
telepon gelap dari orang-orang tersebut.
Aku semula tak menyangka bila tulisan itu cukup berdampak.
Posisiku sebagai penulis kedua hanya ditulis setelah nama Mas
Fudin, dengan ukuran font yang lebih kecil. Namun di hari kedua
sebuah telepon tetap datang pada ponselku. Tanpa sempat aku
bertanya apa-apa, suara di seberang langsung terdengar di ujung
sana! "Jangan menulis macam-macam! Atau kubunuh kau!"
Perasaanku mendadak tak tenang. Sebagai reporter baru di
sini, nomor ponselku seharusnya belum cukup tersebar. Bagaimana
bisa orang itu mendapatkannya" Namun saat kuceritakan hal itu
pada Mas Fudin, ia hanya menanggapinya dengan ringan. Barulah
kutahu sejak dulu Mas Fudin telah kerap menerima telepon-telepon semacam itu. Bahkan sejak kemarin sudah ada lebih dari 10 kali
telepon ancaman untuknya.
"Jangan terlalu kau pikirkan. Seperti kucing, saat kau injak
ekornya, ia pasti mengeong keras!"
Maka aku mencoba bersikap biasa. Sehingga ajakan Mas Fudin
di malam itu kuiyakan seperti biasanya. Walau sebenarnya aku
ingin sekali langsung pulang karena merasa tubuhku lebih lelah
dari hari-hari kemarin. Tapi aku tak enak menolaknya, walau
sebenarnya aku pun sedang lupa membawa laptop.
Selama ini, kami memang sering berdiskusi setelah penulisan
berita. Biasanya tak sekadar berdua, tapi bersama beberapa teman
[ 112 ] " enigma ENIGMA final.indd 112 lainnya. Dan aku yang selalu mencoba mencatat apa yang kami
bicarakan di laptopku. "Kau tahu, seharusnya ada warung koboi yang enak di dekat
kantor," ujar Mas Fudin sambil memilih duduk di atas tikar di belakang tenda utama.
Aku setuju. Teman-teman wartawan memang kerap nong?
krong di dekat-dekat kantor, namun tak ada satu pun tempat yang
makanannya cukup enak. "Bagaimana hubunganmu dengan Tiwa?" tanyanya sambil
menyeruput kopi jahenya. Tiwa adalah salah satu pegawai di
bagian periklanan. "Ah, Mas ini. Tak ada hubungan apa-apa kok."
Ia tertawa, "Kau ini. Ia itu cukup manis loh. Kalau aku masih
single sudah kudekati dia."
Aku tak menanggapi. Mas Fudin memang kerap menjodohjodohkanku dengan siapa saja. Tak hanya dari orang-orang di lingkungan kantor, tapi juga pada narasumber-narasumber kami.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, kami pun
berniat pulang. Keadaan warung dan jalanan mulai tampak sepi.
Penjual warung coboy sudah tampak terkantuk-kantuk. Hanya satu
dua motor saya yang masih terlihat melintasi malam. Namun saat
baru saja kami akan mengeluarkan motor, beberapa orang berpe?
rawakan besar, yang entah muncul dari mana, sudah menghadang
kami. Mereka tanpa basa-basi langsung menyeret kami ke gang
yang ada di sebelah warung.
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kejadiannya begitu cepat. Tanpa babibu lagi, orang-orang itu
sudah menghajar Mas Fudin dan aku. Beberapa dari mereka menggunakan tongkat panjang, hingga membuat kami tak berdaya
dan langsung jatuh terpuruk. Kami sama sekali tak bisa melawan.
Teriakan kami meminta tolong, langsung tertelan dengan suara
gaduh pukulan dan tendangan mereka.
enigma " [ 113 ] ENIGMA final.indd 113 Aku terkapar tak jauh dari tubuh Mas Fudin. Hanya 3 orang
yang mengeroyokku, sedangkan 5 orang yang lain, mengeroyok
Mas Fudin. Dari mataku yang mulai tertutup darah yang mengucur dari
pelipis, masih kulihat orang-orang itu menendangi Mas Fudin yang
terkapar tak berdaya. Seorang bahkan kulihat mengeluarkan pisau
dan menusuknya beberapa kali.
Aku sendiri tak lagi bisa bertahan. Sebelum tak sadarkan diri,
seorang dari mereka membungkuk di dekatku, "Kalau kau masih
berani menulis macam-macam, kami akan lebih dari ini! Ngerti?"
Tanpa menunggu jawaban, orang itu meludahiku dan menendangku ke dalam selokan, sebelum berlalu di keremangan malam.
Chang Kau akan dituntun tanpa engkau memintanya!
Saat pertama kali mereka datang, suami istri itu duduk di depanku, tanpa melepaskan pegangan tangannya.
"Kami senang Bapak Indiray datang kemari," ujar sang suami.
"Kami memiliki beberapa saudara yang sudah menjadi anggota di
Jakarta. Maka itu ketika kami tahu, Dewi membuka pondok pertobatan di sini, kami datang kemari dan ingin menyerahkan diri."
Masih saling berpegangan tangan, keduanya bertatapan.
"Syukurlah," aku tersenyum senang. "Apakah kalian dari sekitar sini?"
"Kami berdua dari Boyolali."
Aku sedikit terkejut. Baru berapa hari aku di sini, sudah ada
juga yang datang kemari. Bahkan dari tempat yang cukup jauh dari
sini. [ 114 ] " enigma ENIGMA final.indd 114 "Kami berharap dapat menyucikan diri kami yang selama
ini hanya berada dalam padang tandus," ucap sang istri menambahkan.
Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya. Kuulurkan
kedua tanganku ke arah mereka, dan mereka langsung menyambutnya dengan menggenggamnya erat-erat.
"Kita bersama akan keluar dari padang tandus ini," ujarku pelan.
Maka mulai hari ini, mereka menjadi jemaat pertamaku.
Seperti membangun sebuah rumah, aku harus mendirikan pondasi-pondasi yang kuat terlebih dahulu. Aku tak akan terburu-buru
mendirikan tembok-temboknya, atau memasang atap-atapnya, sebelum merasa pondasi yang kudirikan menyanggah dengan kokoh.
Namun kadang, semua yang engkau rencanakan, akan terwujud lebih baik dari yang kau bayangkan. Suami istri, jemaat pertamaku, ternyata membantuku melebihi apa yang aku harapkan.
Hanya seminggu berselang saja, mereka sudah membawa seorang lagi yang berniat bergabung bersama kami. Dan satu minggu
kemudian seorang lagi yang mereka bawa. Juga minggu berikutnya.
Pekerjaan membenahi rumah menjadi lebih mudah. Tak perlu
lagi memanggil tukang bangunan. Kini kami dapat mengerjakan
semuanya sendiri. Aku bahkan mulai bisa membuat ruang doa dan
ruang pertobatan yang desain interiornya hampir sama dengan
yang ada di Jakarta. Aku benar-benar berterima kasih pada keduanya.
Maka selepas Malam Doa, malam di mana kami bersama-sama berkumpul di sebuah ruangan dan memanjatkan doa dengan
enigma " [ 115 ] ENIGMA final.indd 115 me?nyalakan dupa di beberapa sudut ruangan, aku memanggil ke?
duanya menghadapku. Aku haturkan terima kasih pada mereka
sekaligus mendoakan mereka berdua.
Keduanya tanpa melepaskan genggaman tangan tampak terharu
menerima doa yang kuhaturkan. Berulang kali mereka me?ngucapkan
terima kasih, dengan tetap tanpa henti saling berpandangan dengan
sinar mata, yang tak bisa kupungkiri, penuh dengan cinta.
Dan aku hanya bisa terdiam melihatnya. Tak bisa lagi kuelak,
meski berkali-kali aku mencoba menepisnya, aku selalu mengingat
tatapan itu. Sama seperti tatapan Hasha dan Isara malam itu!
Isara Aku terus berpikir tentang sebuah hari yang bagai selembar
kertas pada sebuah buku. Satu-satu akan terbuka maju selesai terbaca. Tanpa pernah terbuka kembali ke halaman sebelumnya, walau
pada kenyataannya, kadang kita melakukan itu. Entah karena lupa,
atau karena kita memang sedang ingin kembali mengulang bagianbagian yang berkesan sebelumnya, atau karena... sesuatu yang memaksa kita berbalik ke sana! Aku mungkin satu dari orang yang
ingin berbalik ke halaman lalu!
Maka aku datangi kantor surat kabar terbesar itu. Melapor
pada resepsionis dan mengatakan tujuanku kemari: mencari informasi tentang Hasha.
Tentu saja semula ia menolak. Memberi data pada orang asing
memang tak diperkenankan. Maka aku berusaha meyakinkan dia
dengan mengatakan bila aku adalah salah satu sahabat lamanya
sejak kuliah. Aku bahkan menunjukkan undangan pernikahannya
yang sengaja kubawa dari Jakarta.
[ 116 ] " enigma ENIGMA final.indd 116 "Tapi kami memang tak diizinkan memberikan data ataupun
nomor kontak pegawai-pegawai kami maupun bekas pegawaipegawai di sini, kecuali setelah mereka memberi izin. Tapi itu pun
butuh sehari dua hari, Mbak."
Aku terdiam. Hanya sehari-dua hari" Tentu saja aku bisa menunggunya. Itu
waktu yang sangat pendek untuk mendapat kabar darinya.
"Kalau begitu, saya akan datang lagi besok."
Tapi keesokan harinya pun, saat aku kembali datang, resepsionis ini tak juga memberikan nomor kontak yang kuminta.
"Maaf, Mbak, tapi data tentang orang yang Mbak cari, tidak
ada," ujarnya memberi alasan.
"Tak ada bagaimana?" aku menggeleng kepala, tak mengerti.
"Saya juga tak mengerti, Mbak. Bahkan namanya pun tak bisa
dicari di database kami."
Aku mencoba berpikir sembari menunggu, aku terus melanjutkan pencarian terhadap kasus penganiayaan ini di internet. Dan
aku mendapatkan banyak sekali berita tentang itu. Aku bahkan
mendapatkan arsip tulisan-tulisan wartawan itu, termasuk satu
tulisan yang menyebabkan penganiayaan itu, yang ditulisnya bersama Hasha.
Media memang lebih mengekspos tentang wartawan itu,
Rafudin, karena di malam penganiayaan itu, ia meninggal dunia.
Jenazahnya kemudian di buang di Laut Selatan dan ditemukan
warga beberapa hari kemudian dalam kondisi yang sangat menge?
naskan. Aku ingat, dulu aku pun sempat mengikuti kasus itu. Tapi
sama sekali tak membayangkan bila Hasha turut terlibat di sini.
Tak ada yang menyebut-nyebut Hasha selama kasus itu. Ia seperti
menghilang begitu saja. enigma " [ 117 ] ENIGMA final.indd 117 "Apa perlu saya hubungkan dengan salah satu redaktur, Mbak?"
tanya resepsionis itu. Tanpa punya pilihan, aku mengangguk.
Tak lama kemudian seorang redaktur berkepala botak, datang
mendekatiku. "Saya Atmojo," ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
"Saya mencari nomor kontak teman saya, Hasha. Dulu ia pernah bekerja di sini. Tapi Mbak resepsionis ini, mengatakan kalau
datanya tak ada." "Hasha?" "Ya, ia keluar sejak... kasus penganiayaan itu."
Redaktur itu terdiam sejenak, "Kalau boleh tahu, Mbak... siapa?"
"Saya sahabatnya," cepat-cepat saya mengeluarkan kembali
undangan pernikahan milik Hasha dan Kurani. "Saya menerima ini.
Namun ketika ingin menghubunginya, nomor kontak keduanya tak
lagi bisa saya hubungi."
Redaktur botak itu mengamati sekilas. "Apakah begitu pen?ting
bertemu dengannya, Mbak?" pertanyaannya terdengar sambil lalu.
"Tentu saja, Mas," jawab saya cepat. "Saya datang dari Jakarta,
tentu bukan untuk main-main."
Wartawan itu terdiam sesaat. Ia memandangku dan undangan
itu secara bergantian. Tampak sekali ia berpikir keras.
"Maaf, Mbak, bila kami seperti mempersulitnya. Tapi sejak kejadian dua tahun yang lalu itu, Hasha memang mundur dari koran
ini. Mbak pasti tahu apa yang sudah terjadi pada Hasha. Maka itu
untuk berjaga-jaga dari hal yang tak diinginkan, kami tak mau sembrono memberikan informasi tentangnya."
"Saya ingin sekali bertemu dengannya, Mas," suaraku terden[ 118 ] " enigma ENIGMA final.indd 118 gar lemah. "Saya begitu terlambat mengetahui apa yang terjadi
padanya dan ini terus membuat saya merasa bersalah."
Redaktur itu menatap mataku lekat-lekat. Ia mungkin melihat
genangan air yang tiba-tiba muncul di situ. Hingga ia kemudian
mengembuskan napas panjangnya. Lalu, setelah melirik ke kiri dan
ke kanan sekali, ia berujar, "Sebenarnya, tanpa orang lain tahu, ia
masih menulis di koran ini dengan nama lain. Dan saya, bersama
beberapa rekan yang paling bisa kami percaya, memiliki nomor
pribadinya, Mbak." Ia masih menatapku beberapa saat, seperti tak henti menyelami apa yang ada dalam pikiranku.
"Saya pikir," ujarnya kemudian dengan nada pelan, "Saya bisa
memberikan nomor itu pada, Mbak."
Dengan tangan yang kurasakan sedikit gemetar, aku mulai menekan
tombol dial di nomor yang kutulis dengan nama Hasha.
Tapi sampai lama, tak ada yang mengangkatnya. Aku mencoba
lagi. Tapi tetap tak ada yang mengangkat. Maka setelah sejenak
terdiam, aku menulis sebuah SMS untuknya.
Hasha" Ini aku, Isara.
Setelah menunggu beberapa saat, aku kembali meneleponnya.
Kali ini telepon diangkat dengan gerakan lambat.
Jantungku yang mulai terasa normal, mendadak berdetak kencang, "Hasha?"
"Ya?" seperti ada jeda yang dibuatnya.
"Ini aku, Isara."
"Isara?" "Ya, ini aku," aku bernapas lega. "Lama kita tak bertemu."
enigma " [ 119 ] ENIGMA final.indd 119 Kurasakan sejenak kediaman di seberang.
"Ini... benar-benar mengejutkan Isara."
"Aku menerima undanganmu," ujarku cepat-cepat. "Tapi aku...
tak bisa menghubungimu. Maka tadi, aku datang ke kantormu, untuk meminta nomormu."
"Engkau di JogJa?"
"Ya, aku di JogJa," ujarku. "Dan aku... aku ingin sekali bertemu
denganmu. Bisakah engkau datang kemari" Atau... biar aku yang ke
Solo?" Kembali diam di seberang.
"Hasha...." "Biar aku yang menemuimu, Isara," suara di sana terdengar
berjarak. "Esok aku akan datang ke sana."
Telepon kemudian berakhir.
Aku menarik napas lega. Baru kusadari ada air mata yang
membekas di pipiku. Ah, kenapa aku bisa menangis seperti ini" Dengan gerakan lambat, aku menghapusnya dengan punggung tanganku. Kenapa kini,
hanya mengingatnya saja dapat membuat air mata menggenang di
ujung mata" Dan hanya mendengar suaranya saja, kata demi kata,
dapat meluruhkan air mata-air mata itu tanpa dapat kubendung
sedikit pun" Patta "Hari ini terasa menyebalkan, Bu. Seharusnya aku yang mendapatkan proyek itu...," aku setengah mengeluh.
Di seberang suara ibu terdengar, "Kalau belum rezekinya memang nggak akan bisa didapat, Nak...."
[ 120 ] " enigma ENIGMA final.indd 120 "Iya sih, Bu," aku hanya mengiyakan saja. Sejak tadi, aku memang baru menceritakan soal beberapa proyek-proyek yang sedang kuurusi di sini. Beberapa hari sekali, agar tak membuat ayah
dan ibu resah, aku memang selalu menelepon mereka. Sekadar bi?
cara singkat saja sebenarnya. Tentu dengan nada seperti biasanya,
bahkan dipenuhi tawa. "Rezeki, mati dan... hmmm, jodoh memang di tangan Tuhan,"
lanjut Ibu lagi. "Sama seperti perceraianmu...."
Diam-diam aku memegang keningku. Entahlah, walau tema
cerita selalu kumulai dari mana saja, pada akhirnya selalu kalimatkalimat seperti ini yang diucapkan ibu.
Ah, apa mereka bisa membaca apa yang ada di hatiku" Apa
upaya kerasku bersikap biasa sama sekali tak dirasakan biasa oleh
mereka" Bila sudah begini, aku hanya akan lebih banyak diam dan
mulai mengambil ancang-ancang mengakhiri percakapan.
Ini langsung membuat hariku terasa buruk. Sampai kemudian
ponsel di mejaku berbunyi....
daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini....
biar tak mengapa, rela, rela, rela aku relakan....
Tentu saja aku kaget setengah mati mendengar ringtone-nya
yang berganti sedemikian rupa. Terlebih setelah layar ponsel memperlihatkan foto Sanda dalam gaya jeleknya.
Ah, kapan anak iseng itu menggantinya" Aku mulai meng?ingatingat. Pasti malam kemarin ketika ia meminta SMS karena pulsanya
habis. Sungguh, sama sekali tak disangka. Aku benar-benar tertipu
dengan aktingnya! Aku buru-buru mengangkatnya.
"Jelek sekali selera lagumu, San," aku langsung bicara.
enigma " [ 121 ] ENIGMA final.indd 121 Dan tawa Sanda langsung kudengar sejeda kemudian, "Teganya
kau menuduh gadis tak berdosa ini?"
Aku mendengus, "Ini tebakan yang mudah."
Ia tertawa panjang. "Tapi kalo soal tebakan," ujarnya setelah
reda. "Aku jadi ingat tentang penyanyi yang ada di ringtone-mu
tadi!" "Tebakan" Ah, seperti anak kecil saja!"
"Aku kan memang masih ABG," dapat kubayangkan di seberang
sana, ia pasti memeletkan lidahnya. "Kalau kau pintar, siapa kakak
Meggy Z?" "Ya, Meggi X" Gampang sekali. Itu tebakan lama," jawabku cepat, tanpa menyadari kalau aku terpancing.
"Itu emang gampang. Nah kalo adiknya Meggy Z namanya
sapa" Nah looh... hahahaha...."
Sanda hanya tertawa melihat responsku yang diam. Tawanya
makin keras, jelas sekali ia menikmati keisengannya ini.
"Hmmm, kau sendirian saja malam ini, Patta?" tanyanya kemudian.
"Ya, mau bersama siapa lagi?"
"Ah, kau ini memang payah. Bagaimana Ranjari?"
Aku menjawabnya dengan tertawa.
"Kau ini. Ia sudah 2 kali menanyakanmu padaku. Itu respons
yang bagus." "Ah, aku yakin kau pasti melebih-lebihkan. Tak ada yang isti?
mewa malam itu." "Itu bagimu. Bagi dia tentu saja tidak." Sanda terus mengejar.
"Banyak sekali pujian Ranjari untukmu. Mulai yang engkau baiklah, dasimu baguslah, kemejamu matching-lah. Bayangkan pujianpujian yang sangat berlebihan. Seperti rayuan betmen. Kalau bukan
temanku, sudah kubawa ke rumah sakit jiwa karena terlalu berhalusinasi berlebihan."
[ 122 ] " enigma ENIGMA final.indd 122 Aku hanya menggeleng kepala mendengar keceriwisannya.
"Ayolah, Patta, lanjutkan lagi pertemuan kalian. Besok ya, di
Den Hag Cafe" Aku pesankan tempat untuk kalian?"
"Tidak sekalian engkau yang membayar bill-nya" Lalu menjemput kami dengan limousine?"
Sanda tertawa. "Aku tentu saja bisa membayar bill untuk ka?
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lian, tapi aku hanya bisa menjemput dengan truk sampah, bagai?
mana?" Aku tertawa. "Ok" "Please, San. Tapi aku tak tertarik. Sungguh pekerjaanku ba?
nyak sekali. Kau tahu sendiri, kan" Aku benar-benar tak ingin berpikir dulu tentang perempuan."
Dengusan Sanda terdengar di seberang. "Ah kau ini, bener-bener payah. Sebal aku."
Klik! Telepon terputus. enigma " [ 123 ] ENIGMA final.indd 123 Ia kini sendirian. Berdiri di depan rumah tua itu, sambil menatap takuttakut. Kini, pintu rumah tua itu tak lagi tertutup, sehingga
dari luar, ia bisa melihat meja persembunyiannya dulu bersama
kakaknya. Itulah yang kemudian membuatnya memaksa langkahnya
perlahan. Namun hanya sampai di ambang pintu.
Suara ayah ibunya masih terngiang di telinganya sejak
tadi. Suara yang penuh bisik-bisik.
"Kita tak bisa membuatnya terus bersedih. Engkau tahu
sedekat apa ia dengan kakaknya?"
"Ya, aku tahu. Maka itulah aku sudah berpikir untuk
membuatkan sebuah nisan di belakang rumah, agar ia merasa
kakaknya masih di sini."
Walau ia masih begitu kecil, tapi ia tahu kalau kakaknya
sudah tak lagi ada. Ia juga tahu di mana tubuh kakaknya berada.
Tapi ia seperti tak peduli itu semua. Ia tetap menganggap
kakaknya ada di sana. Entah mengapa, perasaannya seperti
[ 124 ] " enigma ENIGMA final.indd 124 mengatakan demikian. Terutama bila ia mengingat ucapan
kakaknya dulu". Bila engkau tak menemukan aku, datanglah ke sini....
Maka itulah, ia memberanikan diri melangkah ke dalam
rumah tua itu. Namun baru satu langkah saja, embusan
angin sudah membuat debu-debu beterbangan menerpanya,
membuat matanya terasa perih.
Tapi ia mencoba terus melangkah hingga langkah yang
ketujuh. Di langkah itulah, kakinya terasa kaku. Angin semakin
keras menerpa dan perasaan takutnya kini sudah mengalahkan
keberanian yang ditumpuknya sejak tadi.
Marga engkau masih di sini, bukan"
Ia membatin dalam ketakutannya. Namun hanya deru
angin yang menjawabnya. Ini yang kemudian membuatnya air
menggenang di matanya. Marga, aku takut... Dan... ia tak lagi bisa menahan menangis. Ia terisak
dengan tubuh ketakutan. Namun seiring semakin deras
tangisnya, tiba-tiba saja angin seperti berhenti menerpa. Ia
masih mendengar suara derunya, tapi tak ada lagi debu-debu
yang beterbangan memerihkan matanya.
Ia menghentikan tangisnya dengan tak percaya.
Saat itulah ia seperti merasakan ada sesuatu atau
seseorang, yang berdiri begitu dekat dengannya. Menghalangi
dirinya dari terpaan angin, membuat tubuhnya terasa menjadi
lebih hangat.... Tak hanya itu, air mata yang jatuh dari sudut matanya
pun, seperti tak pernah benar-benar jatuh membelah pipinya,
seakan ada sesuatu atau seseorang, yang terus mencoba
menghapusnya berkali-kali.
Dan ia benar-benar tak tahu mengapa. Ia sama sekali
enigma " [ 125 ] ENIGMA final.indd 125 tak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dekatnya.
Tak ada apa-apa di sekelilingnya selain ruang kosong berdebu
yang temaram ini. Tak ada apa-apa.
Hanya saja walau ia sadar tak ada apa-apa di
sekelilingnya, bibirnya tetap bergerak pelan."
Marga... engkaukah itu"
Goza Aku masih ingat pertama kali aku membunuh seseorang!
Laki-laki itu kakak kelasku, yang selalu menganggu kami,
murid baru. Aku tak ingat namanya, tapi aku masih ingat sen?
yum sinisnya. Saat Ospek sudah berakhir, ia masih saja bertingkah
menyebalkan. Sekali ia merampas uang saku di dompetku di depan
teman-teman lainnya. Maka saat pulang sekolah, aku tunggu di?
rinya di luar tempat parkir sekolah. Saat ia muncul, langsung aku
tabrakkan motorku pada motornya. Posisinya yang tak siap, membuat tubuhnya terpelanting ke jalan besar, di mana sebuah truk
besar sedang melintas kencang.
Ia mati saat itu juga. Aku mendapat hukuman wajib lapor
karena dianggap melakukan tindakan yang tidak sengaja. Aku juga
terpaksa pindah sekolah karena tuntutan keluarga korban.
Ayahku menyerah tak lagi bisa megurusku dan mengirimku
pada ibu yang ada di Lampung. Ia hanya memberikan uang beberapa ribu saja untuk ongkos busku dari Jambi. Sejak itu aku tak
lagi pernah bertemu dengan lelaki pemabuk itu.
Tapi hidup bersama ayah dan ibu, tak jauh berbeda. Mereka
sebenarnya adalah pasangan yang serasi. Sama-sama pemabuk dan
berperangai iblis. Aku tak habis pikir mengapa dulu mereka bisa
sampai bercerai. [ 126 ] " enigma ENIGMA final.indd 126 Aku pergi meninggalkannya setelah lulus SMA. Waktu itu aku
sengaja memilih Yogyakarta, kota yang begitu jauh dari Lampung.
Agar aku tak lagi perlu berhubungan dengan kedua orangtuaku.
Saat itulah, aku sudah berpikir, tak akan kembali lagi.
Aku tetap berkuliah seperti lulusan SMA pada umumnya.
Namun sebenarnya sejak itulah pekerjaanku kumulai, melayani
orang-orang pengecut yang ingin membalas dendam. Awalnya
tentu saja hanya sekadar melukai, tanpa membunuh. Ini tentu
saja sangat mudah bagiku. Dari uang-uang terima kasih itulah aku
membiayai hidupku. Namun kisah profesionalku, kalau boleh kukatakan begitu,
dimulai setahun setelah aku lulus. Tiba-tiba saja seorang mene?
leponku. Aku sama sekali tak mengenalnya, dan tak ingin pula me?
ngenalnya. Namun aku masih ingat kata-katanya kala itu;
"Kau mau melakukan apa pun demi uang?"
Dan tentu saja aku mau. Sejak itulah aku seperti menjadi anak
buahnya. Perintah mulai berdatangan secara teratur setiap beberapa bulan sekali. Sama seperti yang kulakukan sebelumnya. Sekadar
memberi pelajaran pada seseorang ataupun membunuh. Tak jadi
soal bagiku. Dua pekerjaan itu punya harga masing-masing.
Selama ini, aku tak pernah gagal melakukan semua perintah
itu. Ah, tidak! Tidak! Sebenarnya sulit untuk mengakuinya, tapi
dari puluhan perintah itu aku memang pernah gagal sekali!
Ya sekali saja! Itu pun di perintah yang seharusnya sangat mudah, dan sudah beberapa kali kulakukan sebelumnya.
Sungguh, bila mengingat itu, aku benar-benar merasa muak
dengan diriku sendiri. Perintah itu begitu sederhananya. Nyaris tak
melakukan apa-apa. Tidak memberi pelajaran pada seseorang, apa?
lagi membunuh seseorang. Aku hanya disuruh mengawasi saja.
enigma " [ 127 ] ENIGMA final.indd 127 Di sebuah kota di mana mendung selalu menggantung, demontrasi tengah terjadi tak henti-hentinya. Orang-orang kurang
kerjaan, para munafik yang selalu menganggap diri mereka benar,
tengah menuntut penyelidikan penyelewengan atas dana APBN di
kota itu. Dan perintah bagiku hanya sederhana saja sebenarnya:
memperhatikan keadaan di situ.
Lihat, begitu sederhananya. Aku hanya diminta memperhatikan, dan bila terjadi keadaan yang semakin menjadi, aku diminta
untuk menekan para provokator di situ. Intinya aku harus membuat demonstrasi itu tampak tak bermakna. Tanpa terjadi sesuatu
apa pun! Tapi belum lama aku menyatu dengan keramaian kala itu, beberapa orang sudah mendekatiku.
"Bisa kau ikut dengan kami?" ujar seorang yang berbadan pa?
ling besar. Dan sebelum aku menjawab, orang itu sudah kembali berujar,
"Jangan coba-coba lari ataupun melawan, Kawan," dan ia menunjukkan sesuatu benda keras di balik pinggangnya.
Maka tanpa bicara apa-apa lagi, mereka langsung menyeretku
ke sebuah tempat sepi. Kali ini, aku berusaha melawan. Namun
jumlah mereka yang 4 orang membuatku tak berkutik. Seorang
yang berbadan besar, yang tampak memiliki gerakan Taek Kwon Do,
memitingku hingga aku tak lagi bisa apa-apa.
Dibawanya aku ke sebuah rumah kosong yang tak jauh dari
tempat demonstrasi. Di sebuah kursi, tubuhku diikat de?ngan tali.
"Kau bekerja untuk siapa?" seseorang yang berkumis lebat,
yang sejak tadi hanya diam, kini mendekatiku.
"Aku hanya ikut demonstrasi!"
"Goblok kau! Kami kenal semua para pendemo itu, kecuali
kau!" Sebuah tamparan sudah mendarat di wajahku.
[ 128 ] " enigma ENIGMA final.indd 128 "Sekali lagi kutanya, kau bekerja untuk siapa" Untuk bajingan
koruptor di sini atau koruptor-koruptor Senayan, heh?"
"Sungguh, aku hanya ingin berdemo saja karena prihatin!"
"Dasar keras kepala!" si kumis kembali memberi gamparan.
"Sebaiknya kita bikin dia kapok!" seorang temannya yang bertubuh kurus maju ke depan.
Tanpa permisi, ia sudah melayangkan tinjunya ke wajahku.
Mulutku kali ini langsung berdarah.
Diam-diam aku masih mencoba menghafal wajahnya. Kelak,
bila ada kesempatanku lepas, orang ini yang kelak akan kuhabisi
pertama kali! Saat ia akan kembali melayangkan pukulannya, si kumis menahannya. Ia memberi tanda agar kawannya itu mundur. Bersama
dua orang yang lain ia sejenak berbincang-bincang. Si kumis kemudian kembali mendekatiku dengan senyumnya yang tak pernah
lepas. Didekatkan wajahnya ke wajahku, "Namamu Goza Wibowo"
Sempat menetap di Yogyakarta, dan kini tak jelas di mana tempat
tinggalmu" Tapi yang pasti kau selalu terlihat di antara demonstrasi-demonstrasi tentang penyelewengan APBN!" ia berhenti sejenak.
"Siapa sebenenarnya kau?"
"Sudah kukatakan aku?"
"Sungguh, kalau kau masih menyangkal, aku tak segan berbuat kasar padamu. Sejak kau datang ke kota ini, kami sudah
me?ngawasi. Kau datang dengan Prapanca dan menginap di hotel
Wisnu sejak 3 hari lalu." Ia tersenyum sinis. "Kau juga sempat bersenang-senang dengan... hmmm, beberapa perempuan di sini" Ah,
sepertinya hidupmu begitu nikmat!"
Aku tak menyahut, rahangku dicengkeramnya begitu kuat.
"Apa kau suruhan orang-orang di Senayan itu, heh?"
enigma " [ 129 ] ENIGMA final.indd 129 Aku menelan ludah. Namun belum selesai ludah itu tertelan di
kerongkonganku, lelaki itu sudah mendorongku ke belakang. Lalu
dengan sekali gerak, ia sudah mengangkat kakinya untuk menginjak dengan keras tepat di selangkanganku!
AAAAACH! Aku berteriak panjang. Rasa perih langsung menyebar di seluruh tubuhku. Napasku mendadak sesak. Urat-urat leherku menebal
seperti akan pecah. Tenagaku mendadak hilang tak lagi bisa melin?
dungi diri dan ini membuat si kumis semakin bersema?ngat menginjak selangkanganku, lagi dan lagi.
Aku terpuruk bersama kursi yang mengikat tubuhku. Di ujung
kesadarkanku, entah mengapa, wajah ibu muncul di sana. Bukan
dalam sosok malaikat yang menenangkan dan akan menolongku,
tapi dalam sosok iblis yang menakutkan.
Ingatan yang paling ingin kukubur semalaman ini, kemudian
muncul kembali, menyeruak ruang-ruang sempit ingatanku....
Itu kala aku masih begitu kanak dan ibu menarikku ke belakang rumah, sambil berkali-kali memukuli kepalaku. Sama sekali
tak dihiraukannya tangisanku yang meminta ampun.
"Dasar anak sundal! Ia lalu menurunkan celanaku dan mencengkeram kemaluanku dengan keras. "Kalau kau masih menangis
dan bertingkah seperti itu, kupotong kau! KUPOTOOOOONG!!!"
Setelah itu dunia gelap. Aku tak lagi ingat apa-apa.
Patta Kami berhenti di sebuah taman kota. Jam sudah menunjukkan
pukul 24.00 WIB, dan suasana di Kebayoran terasa sangat sepi.
"Sebaiknya kita langsung pulang," Sanda tampak enggan.
[ 130 ] " enigma ENIGMA final.indd 130 "Ah, sebentar saja, San," aku sudah mematikan mesin mobil.
"Biar alkohol ini hilang sedikit."
"Kita bisa ketiduran di situ!" Sanda masih tak beranjak.
Aku sudah keluar. Berjalan sedikit sempoyongan sambil
menggeleng-gelengkan kepala, mencoba menghilangkan pengaruh
alkohol. Entahlah, biasanya aku tak pernah begini. Aku minum, tapi tak
pernah sampai sebodoh ini membiarkan diri mabuk. Tapi suasana
kafe tadi memang benar-benar nyaman, ditambah suasana diriku
pun sedang sangat kacau. Sanda yang biasanya selalu memba?tasi minumannya dan minumanku, ternyata terbawa juga dengan kondisi
ini. Aku tahu ia juga sedikit galau. Suaminya yang rencananya akan
pulang seminggu ini, mundur hingga waktu yang tak ditentukan.
Aku merebahkan diriku di atas rumput. Kulihat Sanda akhirnya
keluar dari mobil. Sepatunya tak lagi dikenakan. Dibiarkan kakinya
langsung menginjak rerumputan.
Tatapanku beralih menuju langit lepas, melihat bintang-bintang di atas sana berkedip-kedip.
"Lihatlah, San, banyak sekali bintang malam ini!" ujarku
Sanda duduk di sebelahku. "Ada bintang Leo?"
Aku tertawa. "Mungkin yang ada bintang sinetron, hahaha"."
Sanda ikut merebahkan tubuhnya di atas rumput, berdam?pingan
dengan tubuhku. Dari posisi itu, kami berdua memandangi langit.
"San...." "Ya?" "Boleh aku bertanya?"
"Selama ini kau selalu bertanya, kan" Kenapa sekarang pakai
meminta izin?" Sanda menoleh. "Apa kau ingin menanyakan hal-hal
pribadi dariku" Berat badanku" Lebar pinggul" Nomor bra?"
Aku tertawa lagi. "Kau ini, seperti aku panitia Miss Indonesia
saja!" enigma " [ 131 ] ENIGMA final.indd 131 "Lalu" Ingin bertanya apa?"
"Hmmm, kenapa engkau baik sekali padaku?"
"Aaah, pertanyaan begitu," senyum nakal Sanda sempat kulihat. "Seperti abege saja kau. Apa harus kejelaskan sih, kalau aku ini
memang terlahir baik hati?"
"Aku serius," ujarku. "Kau tahu kan di pekerjaan kita ini, sulit
sekali mencari kawan. Semua seperti punya kepentingan sendiri.
Tapi bersama engkau, aku bisa berteman selama ini. Itulah me?
ngapa aku bertanya padamu seperti tadi."
Sanda terdiam sesaat. Melepaskan pandangannya kembali
pada bintang-bintang di langit.
"Kalau kau bertanya begitu, aku sulit menjawabnya," ia mendesah pelan. "Tapi kau tahu, suamiku yang pelaut itu kerap pergi
begitu lama. Selama ini, sebelum engkau datang, aku berteman
dengan banyak laki-laki. Namun semuanya pada akhirnya, selalu
bertujuan ke situ." "Ke situ?" "Jangan belagak pilon, Patta."
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tersenyum. Sanda melanjutkan, "Kau tahu, aku memang perempuan
yang selalu kesepian, tapi" bukan berarti aku mau dengan mudah
bercinta dengan laki-laki lain, kan?"
Sanda mengangkat tubuhnya, hingga duduk di sebelahku.
"Tapi ketika engkau datang, aku merasa lain. Entahlah, bersamamu sepertinya sangat berbeda. Kau" terlalu mencintai istrimu.
Dan aku merasa kau tak tertarik lagi pada perempuan lain."
"Kau mendramatisir keadaan."
Sanda menggeleng. "Kau mungkin tak tahu, tapi kadang aku
memakai baju-baju berdada rendah ke kantor. Dan ini selalu membuat laki-laki diam-diam mencoba melirik-liriknya. Bahkan Pak
[ 132 ] " enigma ENIGMA final.indd 132 Amir, yang selalu berpikir sambil menundukkan kepala, kurasakan
lebih lama berpikir ketika menjawab pertanyaanku."
Aku tertawa. "Tapi... kau berbeda, Patta. Kau tak pernah melakukan itu.
Bahkan sekarang pun, saat istrimu sudah jelas-jelas meninggalkanmu, kau tak tampak berubah."
Sanda menarik napas panjang. "Kadang aku berpikir sebagai
laki-laki kau terlalu baik Patta, tapi kadang aku kerap berpikir kau"
sangat payah." "Kau lebih sering mengatakan aku payah daripada baik."
Sanda tertawa kecil. "Hmm, tapi soal pakaianmu yang berdada rendah tadi," ujarku
dengan nada serius. "Kenapa aku luput mengetahuinya ya" Ada
baiknya lain kali kau harus menato namaku di situ, jadi aku pasti
akan memperhatikan baik-baik."
Sanda langsung mencabut rumput-rumput dan melemparkan padaku. Aku menghindarinya dengan mengangkat tubuh dan
duduk di sampingnya. Sambil menyelesaikan tawa kecil kami, kami duduk dalam
diam. Suasana masih hening, dengan bintang-bintang yang belum selesai berkedip-kedip. Sanda kemudian sudah menyenderkan
kepalanya pada pundakku dan aku membiarkan saja keadaan ini
sampai lama. "Kita ini, sepertinya benar-benar salah mencintai seseorang
ya?" suara Sanda terdengar pelan. "Andai cinta boleh memilih, aku
mungkin... tak ingin mencintainya. Kadang... aku merasa sangat
lelah menunggunya...."
Aku tak menyahut. Dalam hati, aku sedikit tertegun mende?
ngar ucapan yang nyaris tak terdengar itu. Sungguh, selama aku
mengenal perempuan ini, tak pernah sekalipun aku mendengar ke?
luhan dari bibirnya tentang suaminya, ataupun tentang pernikah?
enigma " [ 133 ] ENIGMA final.indd 133 annya. Dan kini ia berucap padaku, bagai berucap pada angin, sambil menjatuhkan satu-dua tetes airmatanya di bahuku.
Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Yang bisa aku
lakukan hanya menyentuh kepalanya lembut sambil berujar,
"Kadang tanpa kita inginkan, kita memang membiarkan diri kita
terperangkap...." Sesudah itu, kembali hening yang terasa. Perasaan kami
bergerak sendiri-sendiri, tanpa lagi menyisakan kata-kata. Sampai
kemudian tanpa terasa kami lihat bintang-bintang mulai bergerak,
dari tempat sebelumya kami lihat.
"Ah, sudahlah, apa kita akan sampai pagi di sini?" Sanda buruburu bangkit sambil tersenyum seperti biasanya. Sambil menepuki
celananya yang penuh dengan rumput-rumput dan tanah dengan
satu tangannya, tangannya yang lain terulur padaku.
Tapi aku tak langsung meraihnya. Aku malah berujar pelan
padanya. "Semakin lama, aku merasa begitu dekat denganmu. Tapi
sungguh, engkau" janganlah terlalu percaya padaku."
Kening Sanda berkerut, "Kenapa?"
"Engkau... hanya mengenalku sebagian saja."
"Tentu saja aku tak mungkin mengenalmu seutuhnya, Patta,"
ujar Sanda cepat. "Tapi bukan berarti itu membuatku tak boleh
percaya padamu, kan?"
Aku tertegun. Entah mengapa ucapannya yang terdengar
begitu ringan ini, sanggup menembus ke dalam relung hatiku.
Membuatku tertegun memandangnya. Namun sebelum ia berkomentar apa-apa, aku cepat menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini,
memang berlidah belut, sulit sekali bicara denganmu."
Lalu sambil menuju mobil, kami berdua tertawa.
[ 134 ] " enigma ENIGMA final.indd 134 Isara Dalam jarak sebuah meja kecil bernomor 7, kami duduk diam
beberapa saat. Membiarkan sebuah tembang lama milih Lionel
Richie mengalun pelan, bersamaan aroma capucino yang mulai
meruapi ruangan. Aku memperhatikan dirinya dengan kedua mataku yang ku?
rasakan semakin rentan dengan air mata. Ia masih tak jauh berbeda dari yang terakhir terekam dalam ingatanku. Ada beberapa
perubah? an memang. Ia tampak lebih kurus dan potongan rambutnya terlihat lebih rapi. Pakaiannya pun tak lagi memakai kaus
oblong biasa, namun memakai kemeja yang digulung sesiku. Satu
yang tetap terasa sama seperti dulu adalah tatapan matanya yang
masih seteduh dulu. Dan itu yang membuatku selalu merasa menjadi gadis kecil yang sulit berkata-kata di bawah tatapannya.
"Aku senang engkau mau datang, Hasha," ujarku. "Engkau
masih seperti dulu."
"Aku juga sedang bertemu denganmu lagi, Isara."
"Maafkan aku terlambat mengetahui apa yang terjadi padamu
dua tahun lalu," suaraku memelan.
"Sudahlah, Isara, itu masa lalu," ujarnya. "Aku sendiri" ingin
sekali melupakannya."
Aku mengangguk, mencoba mengerti keadaannya. Kasus pe?
nganiayaan itu memang tak pernah selesai sampai di situ. Komnas
HAM dan beberapa elemen yang mendukung diusutnya kasus pembunuhan Fudin ini memang berhasil membawa pejabat yang diungkap ke meja hijau, namun ia divonis bebas karena kurangnya bukti.
Sampai sekarang pihak berwenang masih mencoba terus menemukan bukti-bukti baru.
"Aku sebenarnya ingin sekali bertemu denganmu di kontrakanmu dulu," ujarku lagi.
enigma " [ 135 ] ENIGMA final.indd 135 Hasha tersenyum. "Tentu saja, aku sudah tak lagi di sana."
"Aku tahu. Tapi aku suka tempat itu. Kemarin, aku bahkan
sempat melewatinya."
Hasha memandangku tak percaya.
"Aku masih sering teringat bila dulu aku sering merepotkan
kalian." "Engkau tak merepotkan kami."
Aku tersenyum. "Itu karena engkau terlalu baik, Hasha. Tapi
Chang, lebih sering pergi kan setiap aku datang?"
"Itu karena?" Hasha terdiam tiba-tiba, seakan tersadar akan
menjawab sesuatu yang salah. Cepat-cepat ia berujar kembali,
"Chang saat itu memang sedang begitu sibuk, Isara. Kau tahu kan
ia bekerja sambilan di warnet?"
Aku mengangguk. "Lalu, bagaimana dengan... Kurani?" tanyaku setelah beberapa
saat diam. "Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya. Tapi aku
masih mengingatnya dengan jelas kebaikan-kebaikannya."
Hasha mengangguk. "Ya, ia memang sangat baik."
"Engkau... beruntung ia memilihmu Hasha." Aku mencoba
tersenyum. Namun, entah mengapa, bibirku terasa kaku. Senyum
tadi seakan menjadi senyum yang tak benar-benar kuselesaikan.
Dan Hasha berucap pelan, "Ya, aku memang beruntung,
Isara." Setelah itu keheningan cukup lama ada di antara kami. Aku
hanya memandangi buih-buih putih dalam capucino-ku, dan Hasha
melakukan hal yang sama. Namun ia tampaknya cepat menyadari
kediaman yang berlebihan ini.
"Apa rencanamu di sini?" tanyanya kemudian.
Sejenak aku terdiam. "Aku berencana ke Kaliurang."
"Ke rumah Pakde dan Budemu yang dulu pernah kita da?
tangi?" [ 136 ] " enigma ENIGMA final.indd 136 Aku mengangguk. "Sekaligus ke rumah orangtuaku."
"Sekarang?" Aku mengangguk lagi. "Sudah hampir sore, kau akan sampai di sana malam hari. Apa
perlu aku menemanimu?"
Aku tersenyum. "Ya, tentu saja. Dari tadi aku ingin memintamu."
Malam itu juga, kami sudah berjalan di setapak di belakang rumah besar itu. Karena sudah bukan lagi milik keluarga Isara, kami
terpaksa harus sedikit mengambil jalan memutar untuk sampai di
halaman belakangnya. Sepanjang perjalanan embusan angin dingin
terasa menusuk, membuat kami hanya diam tanpa bicara, sama
seperti diamnya bulan yang tampak retak di samping kiri kami.
Walau sinarnya begitu redup, hingga kami kadang bagai 2
orang buta yang mencari pijakan, namun setidaknya ia tetap bisa
mengantar langkah kami ke bawah sebuah pohon di mana ada
sedikit gundukan di depannya.
Di situ aku berjongkok dan mulai mencabuti rumput-rumput
liar yang ada. Hasha yang ikut berjongkok di sampingku, juga
melakukan hal yang sama. Sebenarnya ini sedikit berlebihan. Sekarang sudah cukup
malam, dan kami malah membersihkan sebuah gundukan kosong,
yang jelas tak ada siapa-siapa di dalamnya. Tapi tetap saja aku
melakukannya, tanpa merasa melakukan sesuatu pun yang salah.
"Aku... merindukannya," ujarku pelan. "Kau tahu, sudah begitu
lama aku tak ke sini."
"Ia pasti sudah berada di tempat yang terbaik, Isara."
"Semoga saja, Hasha, semoga saja."
Aku terdiam sejenak. enigma " [ 137 ] ENIGMA final.indd 137 "Hmm, kau ingat saat dulu kita pernah ke sini?" Kembali, aku
menoleh pada Hasha. Hasha hanya mengangguk. Aku kemudian duduk di atas sebuah batu di dekat gundukan
itu. "Aku masih ingat, dulu aku berkata pada kalian bila ingin menabur bunga di sini. Namun ternyata epitaf itu sudah tak ada lagi.
Aku belum menyadari bila Pakde dan Bude akhirnya mencabut epitaf itu, kala rumah ayah dan ibu akan dijual. Waktu itu aku menangis tak mengerti, dan engkau yang kemudian menghampiriku
dan menghiburku. Kala itu aku begitu takut bila teman-teman kita
berpikir yang tidak-tidak tentangku. Mereka pastilah mulai tak
mempercayai ucapanku. Tapi engkau malah berkata, kalau kau percaya pada semua ucapanku."
Hasha tersenyum. "Kau masih mengingatnya begitu detail,
Isara." Aku terdiam. Dalam hati sebenarnya aku ingin berkata; tentu
saja aku masih mengingat semuanya. Kala itu aku begitu bingung
dan tatapannya yang begitu dekat pada wajahku, entah mengapa
begitu saja menenangkan aku. Tapi tentu saja aku tak lagi punya
keberanian untuk mengucapkan itu.
"Sebenarnya, aku sudah tahu bila epitaf ini seharusnya memang tak ada di sini. Dulu kakakku meninggal tak jauh dari sini.
Dan aku begitu dekat dengannya. Maka agar aku tak terlalu bersedih, ayah dan ibu membuatkan sebuah epitaf di sini agar aku dapat
terus merasa dekat bersama kakak. Tapi tentu aku sebenarnya telah
tahu bila kakak memang tak dikubur di sini. Tapi dengan kehadiran
epitaf di sini, aku menjadi lebih tenang. Aku tak lagi menangis, dan
yang pasti, aku tak lagi merasa sendirian...."
Aku terdiam sejenak. "Namun sebelum aku bisa menerima
keadaan ini, ayah dan ibu terlanjur pergi meninggalkanku. Sejak itu?
lah aku kemudian pindah mengikuti pakde dan bude yang rumah[ 138 ] " enigma ENIGMA final.indd 138 nya pun tak jauh dari sini. Itu yang membuatku tetap ke sini. Aku
tahu sekali kakak sudah dikuburkan di tempat yang semestinya, namun entah mengapa setiap aku ke sana, aku selalu merasa kosong.
Tak ada yang kurasakan. Berbeda bila aku di sini. Aku seperti bisa
merasakan kehadirannya. Aku berpikir tubuh kakak mungkin tak di
sini, namun perasaanku selalu menganggap kakak masih di sini...."
Aku menarik napas panjang. "Ah, apa aku terlalu banyak bercerita
padamu?" Baru kusadari aku membuat Hasha terdiam begitu lama.
Namun Hasha menggeleng. "Dulu kau tak pernah bercerita
tentang ini, hingga kami semua tak tahu...."
Aku mengangguk membenarkan. Aku sadar bila saat itu, aku
memang tak banyak menceritakan tentang kisah ini. Kupikir karena aku tak mau mengumbar kesedihanku. Kami kemudian memutuskan untuk mulai menuruni setapak.
"Engkau masih menulis, Hasha?" tanyaku mencoba membuka
keheningan. "Ya, aku menulis beberapa artikel."
"Masih menulis... sajak?"
Hasha terdiam. "Sepertinya... aku sudah tak pernah lagi menulis sajak, Isara."
"Aku masih ingat sajakmu dulu," ujarku. "Sajak yang terjatuh
di meja panjang itu. Kepada Perempuan Penyampai Sajak."
Hasha tersenyum. "Ah, itu. Sepertinya sudah lama sekali."
"Aku masih hafal kalimat-kalimatnya."
Hasha menatapku tak percaya.
Dan aku tiba-tiba saja sudah mengambil satu langkah lebar di
depannya, sedikit membuat jarak, dan mulai berucap perlahan, "Ah,
tak tahukan engkau, aku adalah sang pembaca sajak, kau hanya perlu
merapat padaku dan menaburkan bulir-bulir keringatmu, tanpa perlu
mengucapkan satu per satu kata padaku, dan aku akan merajahnya
menjadi sajak yang tak lekang dari bibirmu...."
enigma " [ 139 ] ENIGMA final.indd 139 Hasha tertawa. "Ah, engkau membuatku malu, Isara. Aku
bahkan nyaris tak lagi mengingatnya."
Aku hanya tersenyum. Tanpa ia tahu, aku sebenarnya pun me?
rasa malu. Tak menyangka bisa seberani ini di depan dirinya.
"Hmmm, tapi dulu." Aku kembali bersuara, "Setiap aku selesai
membacanya, aku selalu bertanya-tanya, untuk siapa sebenarnya
engkau menulis sajak ini?"
Hasha terdiam. Aku cepat-cepat tersenyum mencoba mengembalikan suasana.
"Kalau engkau tak mau menjawabnya, tak apa-apa kok."
"Engkau... tahu untuk siapa sajak itu, Isara," suara Hasha terdengar pelan.
Aku menggeleng dengan gerakan tak yakin. "Bila tak langsung kudengar dari mulutmu, tentu selamanya aku tak akan pernah yakin."
Hasha menatapku sejenak sebelum berpaling ke arah kege?
lapan di depan kami. Aku rasakan sekali ia mencoba menenangkan
dirinya dengan menatap di kejauhan, sebelum akhirnya kembali
melabuhkan kedua matanya padaku.
"Dulu," suaranya terdengar lebih parau. "Aku menulisnya... untukmu, Isara."
Hasha Goodnight.... Sweetdream.... SMS itu kukirimkan pada Kurani menjelang tengah malam, selepas
aku mengantar Isara ke hotelnya. Setelah itu aku kembali melanjutkan perjalanan menuju Solo.
[ 140 ] " enigma ENIGMA final.indd 140 Sedikit aku merasa bersalah pada Kurani, sudah menemui pe?
rempuan lain menjelang pernikahan kami yang tinggal beberapa
hari lagi. Namun kuyakinkan diriku kalau aku tak melakukan se?
suatu yang berlebihan. Isara adalah sahabat lama kami. Aku yakin
ia pasti akan setuju. Namun entah mengapa, sepanjang perjalanan, di atas 4 roda
yang terus berputar kencang, aku tak lagi bisa mengelak rasa bersalah itu. Semua anganku tiba-tiba saja tak lagi bisa kukendalikan.
Dan semuanya hanya memunculkan satu sosok saja: Isara.
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hmmm, tapi dulu, setiap aku selesai membacanya, aku selalu bertanya-tanya, untuk siapa sebenarnya engkau menulis sajak ini"
Kalau engkau tak mau menjawabnya, tak apa-apa kok....
Aku tentu tak mau memungkiri dengan menganggap dirinya
bukan siapa-siapa bagiku. Ialah yang sanggup membuatku kembali menginjakkan kaki di Yogyakarta seorang diri, setelah sekian
lama nyaris melupakannya. Ya nyaris kulupakan. Hingga dulu, saat
lamar? an keluargaku pada keluarga Kurani di pinggiran kotanya
pun, aku hanya menginjaknya begitu singkat saja.
... Engkau... tahu untuk siapa sajak itu, Isara....
... Dulu, aku menulisnya... untukmu, Isara....
... Sungguh, aku benar-benar tak lagi bisa mengelak kalau dulu
aku pernah mencintai dirinya teramat dalam!
enigma " [ 141 ] ENIGMA final.indd 141 Masih begitu lekat dalam ingatanku, malam itu, dari kaca kamarku,
titik-titik gerimis mulai melukis dirinya. Aku seakan terperangkap
di dalam kaca. Terpantul dan mencoba menyatu dengan titik-titik
air yang terlukis di sana.
Saat itulah suara-suara tapak di teras rumah mulai kudengar
mendekat. Suaranya bagai degupan jantungku, satu-dua, satu-dua.
Membuatku segera beranjak ke ruang tengah dan memandang ke
arah pintu. Dari situ kulihat bayangan di bawah celah pintu diam
sejenak, maka sebelum pintu itu terketuk, aku telah melangkah
membukanya. Dan Isara telah berdiri di situ, dengan tangan kanan yang
menggantung untuk mengetuk pintu.
Ia tampak begitu basah, begitu pucat, dan begitu menggigil.
Namun ia tak henti menatap diriku tanpa berkata-kata.
Aku tahu sekali bila ia tak dapat berlama-lama dengan tetesan
air hujan yang dingin. Walau dirinya mencoba kuat, tapi tubuhnya
tak bisa mengelak. Hanya beberapa detik kami berdiam di ambang
pintu, sudah cukup membuat bibirnya membiru dan gemetar.
Aku segera menggeser tubuhku ke samping, memberinya jalan
untuknya masuk. Ia segera melangkah dengan gamang, setelah melepas sepatunya yang basah di ambang pintu. Ia langsung berjalan
menuju ruang tengah dan duduk di sofa panjang usang kami yang
ada di depan televisi. Ia menggerai rambutnya, membiarkan titik-titik air yang tersisa di sana jatuh di sofa. Sementara matanya dibiarkan langsung
terpaku pada layar televisi, seakan-akan ia sudah menontonnya sejak tadi.
Sebenarnya belasan pertanyaan menggantung di ujung bibirku,
namun melihat kondisinya yang tampak rapuh, aku memilih menahannya. Baru beberapa saat kemudian, ia menoleh padaku dan
bekata pelan, "Maaf, aku datang begitu malam...."
[ 142 ] " enigma ENIGMA final.indd 142 Dan aku hanya tersenyum untuk menyahut, "Tak apa, Isara."
Aku duduk di sofa yang ada di depannya. Dari situ masih dapat
kulihat jendela yang berlukis titik-titik air di kamarku, juga jendela
yang penuh titik-titik hujan di belakang Isara.
Ini memang bukan kedatangan Isara yang pertama. Ia sudah
berkali-kali datang kemari. Dulu ia selalu datang bersama Kurani
untuk tugas-tugas kuliah. Dan saat Kurani pergi, ia datang sen?diri.
Kadang menemuiku, kadang menemui Chang, kadang menemui
kami berdua. Namun selama ini, tak pernah sekalipun ia datang
selarut ini, dalam kondisi yang seperti ini pula!
Itu mungkin karena Isara tahu, kalau aku tak akan menolak
kedatangannya. Rumah ini, di setiap sudutnya, telah menjadi bagian
darinya. Bekas jejak-jejaknya, selembar-dua lembar rambutnya yang
lepas, dan aroma ruangan bekas embusan napasnya, semuanya telah mengenalinya dengan baik.
Namun di kedatangannya kali itu, kami lebih banyak terha?
nyut dalam keheningan. Seakan-akan mencoba ikut terbawa dalam
tayangan televisi, tanpa aku mengerti apa cerita dari tayangan itu.
Isara akan berkali-kali berpaling padaku. Hingga akhirnya ber?
ucap, "Tidak bisakah... engkau duduk lebih dekat padaku, Hasha" Di
sini, dingin sekali."
Dan aku hanya bisa mengangguk, sambil membawa diriku
pindah ke sofa di mana dirinya duduk. Membuat jarak kami jadi
begitu dekat, hingga aku bisa mencium aroma basah yang tersisa
di rambutnya. Sejenak kami membiarkan diri kembali hanyut dalam kehe?
ningan. Entah kemudian dalam jeda yang ke berapa, dalam putaran waktu yang ke berapa, Isara perlahan menggeser tubuhnya ke
belakang, dan mulai menyenderkan kepalanya di bahuku. Ia juga
membenarkan posisi tanganku yang tertekuk, dan meletakkannya
di belakang pinggangnya. enigma " [ 143 ] ENIGMA final.indd 143 Aku hanya diam membiarkan. Tapi sungguh, aku menikmati
setiap detik gerakannya. Bagai sebuah sebuah adegan yang ingin
terus kuulangi dan kuulangi lagi.
Sampai lama kami terdiam dalam posisi seperti itu. Tanpa kata-kata, tanpa gerakan-gerakan berlebih. Aku bahkan sempat merasakan ia tertidur saat mendengar suara napasnya yang teratur.
Hingga suatu saat, Isara membetulkan posisinya dengan
menarik tubuhnya sedikit ke depan, di situlah aku lihat setitik air
bergerak di pipinya. Semula aku mengira itu adalah sisa air hujan di
rambutnya. Namun ternyata bukan. Rambutnya telah cukup kering
sejak tadi, hingga kuduga itu adalah titik keringat yang muncul
karena cuaca yang mulai berubah tak lagi dingin.
Dan gerakan titik keringat yang bagai titik embun di sehelai
daun, membuatku tertegun. Bergerak begitu perlahan, menuju
ujung bibir Isara. Seperti tengah menunjukkan sesuatu.
Jantungku terasa berhenti. Tak bisa kupungkiri sekian lama
kedua mataku telah memilih kedua matanya, sekian lama sekatsekat pikiranku memilih bayangannya untuk hadir, sekian lama apa
pun yang ada pada dirinya menjadi setiap kata dalam sajak-sajakku.
Maka, entah dari mana datangnya keberanian itu, tiba-tiba saja aku
sudah menguatkan pelukanku di pinggangnya, dan menarik tubuhnya lebih mendekat padaku, hingga. Lalu, dengan gerakan perlahan,
aku sudah mendekatkan bibirnya....
Waktu seakan terhenti. Bibirku terasa bergetar. Tanganku bergetar. Juga tubuhku.
Kuhirup udara yang tiba-tiba terasa terbatas. Baru kusadari Isara
memejamkan matanya sejak tadi. Dan tanpa membuka matanya
lebih dulu, ia sudah menjatuhkan kepalanya di leherku.
Kurasakan tangannya semakin erat memegang tanganku.
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut kami. Hanya
keheningan dan dua napas dari hidung kami.
[ 144 ] " enigma ENIGMA final.indd 144 Sejenak aku berpikir telah melakukan suatu kesalahan.
Terlebih saat mengingat keadaannya ketika datang, yang tampak
begitu rapuh. Maka dengan perlahan, masih dalam posisi memeluk
dirinya, aku mengendurkan pelukanku di pinggangnya, membuat
dirinya pun kemudian mengendurkan sentuhan pada tanganku,
Ia mengangkat kepalanya sekilas padaku. Menatap sejenak
untuk meninggalkan sebuah puzzle atas arti tatapannya. Sebelum
kembali menyandarkan kepalanya pada bahuku.
Dan sampai lama aku hanya bisa membiarkan dirinya di situ.
Hingga aku mendengar suara napasnya yang teratur. Saat itulah
aku bangkit dan merebahkan dirinya di sofa serta menyelimuti tubuhnya. Kupandangi wajahnya sekali lagi, sebelum aku masuk ke
dalam kamarku. Namun keesokan paginya, aku tak lagi menemui Isara di atas sofa
usang kami. Yang kutemui malah Chang, yang duduk diam, dan tak
henti memandangiku. "Chang?" aku bertanya heran.
"Ia sudah pulang menjelang dini hari tadi," Chang seakan tahu
apa yang kutanyakan. Aku hanya mengangguk lemah. "Semalam ia kehujanan dan
tertidur di sini." "Aku tahu," ujar Chang dengan nada biasa. "Aku ada di luar
sejak tengah malam tadi."
Aku terkejut. "Kau seharusnya masuk saja. Tak ada apa pun
yang terjadi." "Aku tahu...." Chang bangkit mendekatiku. Sejenak ia tampak
berpikir, mencari kata-kata yang tepat.
enigma " [ 145 ] ENIGMA final.indd 145 "Hasha," ujarnya kemudian, "Aku sudah melakukan semua
yang bisa aku lakukan untukmu. Selama ini, mungkin tanpa kau
sadari, aku selalu memberimu waktu berdua saja dengannya. Selalu
menyimpan dalam hati saja apa yang diam-diam kau lakukan untuknya, juga apa yang diam-diam ia lakukan untukmu. Tapi aku
tak bisa terus-terusan seperti ini. Malam ini, ia datang lagi padamu.
Kau tentu tak berpikir bila ia hanya sekadar ingin berteduh di sini
saja, bukan?" Aku diam. "Sudahlah, aku tahu kau menyukainya," ujar Chang lagi. "Dan
sekarang kupikir waktumu untuk mengucapkan itu."
Aku tetap terdiam. Chang menyerahkan kunci motor tuanya padaku. "Pakai motorku. Susul dia dan ucapkan sekarang juga!"
Sejenak, aku menatap Cahang dan kunci motornya bergantian.
Lalu, dengan gerakan tak yakin, aku menerima kunci motor itu.
Chang langsung meninggalkanku begitu saja. Namun aku memanggilnya ketika ia hendak memasuki kamarnya.
"Thanks," ujarku tak tahu lagi harus berkata apa.
Chang hanya tersenyum, "Cepatlah!"
Maka aku segera pergi dengan menaiki motor Chang menuju
Gejayan. Perjalanan terasa cukup lama dengan motor tua itu, apa?
lagi rumah kontrakan kami memang cukup jauh letaknya, karena
hanya di tempat yang jauhlah kami bisa mendapatkan kontrakan
dengan harga murah. Dan aku tiba di kos Isara hampir setengah jam kemudian.
Namun dari salah satu temannya, aku tahu bila Isara baru saja
pergi beberapa detik yang lalu.
Maka aku mencoba mengejarnya. Ekor mataku masih melihat
bayangan dirinya di atas motor bebeknya, berbelok ke arah utara.
Dengan gas yang maksimal, aku terus mengikuti dari belakang.
[ 146 ] " enigma ENIGMA final.indd 146 Aku lihat motor Isara bergerak menuju ke daerah Ciptowiloho.
Terus ke arah utara. Hingga sampai di sebuah perempatan besar,
kulihat ia masuk ke dalam pelataran sebuah losmen.
Tentu saja ini membuatku tertegun. Terlebih saat kulihat seorang lelaki dengan helm tertutup rapat tampak tengah menunggunya di atas motor.
Aku menghentikan motorku di seberang losmen itu.
Motor laki-laki itu begitu kukenali. Juga orang yang kemudian
membuka helm cakilnya....
Goza! Chang Ada kalanya engkau tak ingin melihat
Ada kalanya engkau tak ingin mendengar
Ada kalanya engkau tak ingin berkata apa-apa
...kau hanya ingin diam bersamanya!
Bersama dirinya dalam keheningan adalah keinginanku satu-satu?
nya di akhir-akhir ini. Aku tak tahu kenapa keinginan itu begitu
melandaku. Aku hanya ingin diam dalam ruang doa, menghirup
bau dupa tanpa henti, dan menghantarkan doa-doa tiada henti untuknya. Hanya itu....
Aku sadar terlalu banyak tugasku di sini. Namun kehadiran
5 orang di rumah ini, sedikit banyak sudah sangat membantuku.
Sepasang suami istri, jemaat pertamaku di sini, mungkin sudah
mengambil alih 50% tugasku. Keduanya cekatan, penuh inisiatif
dan tetap selalu tampak penuh cinta.
Hal terakhir itulah, yang membuatku berpikir tentang sesuatu
enigma " [ 147 ] ENIGMA final.indd 147 yang sebenarnya tak penting. Sungguh, melihat tatapan keduanya,
selalu membuatku selalu kembali teringat pada Isara dan Hasha.
Sejak dulu, aku selalu berpikir mereka pada akhirnya akan
menikah. Aku ingat malam itu, saat gerimis datang, dan aku baru
saja tiba di kontrakan, aku melihat sepasang sandal perempuan
yang tampak basah tergeletak di depan pintu. Aku tahu sekali itu
sandal milik Isara. Kucoba melongokkan kepalaku ke jendela. Tirai yang tak sepenuhnya tertutup membuatku dapat melihat Hasha dan Isara duduk
di sofa yang ada di depan televisi.
Aku kedinginan kala itu. Namun aku tahu pintu sialan ini,
terlalu tua untuk diam bila kubuka. Bisa kubayangkan kekagetan
keduanya bila aku memaksa masuk.
Maka aku pun memutuskan menunggu saja di luar. Duduk
menempel pada tembok, agar tempiasan gerimis yang makin lama
menjadi hujan, tak mengenai diriku. Kelelahan yang kemudian
membuatku tertidur di situ.
Dan ternyata derit pintu itu juga yang kemudian membuatku
terbangun. Saat itu, keadaan jelas masih malam, dan aku begitu
terkejut ketika melihat sosok Isara telah berdiri di ambang pintu.
Ia tampak pias melihatku. Ada air mata yang dicoba dihapusnya cepat-cepat.
"Chang" Engkau tidur di sini?"
"Aku... lupa membawa kunci," jawabku sekenanya.
"Tapi, pintu ini tak dikunci?"
Aku berpura-pura menepuk kepalaku. "Ah betapa bodohnya
aku. Tak mengeceknya lebih dulu. Tapi sekarang... mau ke mana
engkau?" "Aku ingin pulang."
"Tapi sudah lewat tengah malam?"
Isara mengeluarkan kunci kontaknya. "Aku berani, Chang."
[ 148 ] " enigma ENIGMA final.indd 148 Aku menjajarinya hingga menuju motornya di halaman.
Saat Isara mulai menaiki motornya, kulihat ia menatapku de?
ngan ragu. Sikapnya benar-benar tidak tenang. Sekali, bahkan kulihat tangannya menghapus airmatanya yang menggenang.
"Engkau tak apa-apa, kan?" aku merasa khawatir. "Apa aku
perlu mengantarmu?" Ia menggeleng. "Tak perlu, Chang," ujarnya sambil mulai memasukkan kunci kontaknya. "Tapi kalau boleh aku menitip pesan, katakan pada
Hasha, untuk berhati-hati. Sangat berhati-hati!" Selepas mengucapkan kalimat itu, aku lihat airmatanya luruh di pipinya, mengawali
dini hari yang sebentar lagi rekah.
enigma " [ 149 ] ENIGMA final.indd 149 Dan ibu memandangi anaknya dengan tatapan khawatir,
"Sayang, engkau tak boleh bermain sendirian di sana!"
Tapi sang anak, gadis kecil dengan rambut panjang
itu, malah menatap ibunya dengan sinar mata takut-takut.
"Tapi" aku tidak sendirian, Bu."
Ibunya terdiam dengan mata berkaca. Ia kembali
memeluk anaknya untuk kesekian kalinya, sambil tak henti
membelai rambutnya dengan lembut. Lalu, sambil memegang
dua tangan anaknya ia berkata, "Engkau harus merelakannya,
Sayang." Dan gadis kecil itu hanya bisa terdiam tak menyahut. Ia
memejamkan matanya dalam diam, tanpa mencoba mengeluh.
Saat itulah dalam kediamannya dan dalam keterpejaman
matanya, ia mulai melihat bayang-bayang berkelebatan di
angannya. Bergerak cepat tanpa bisa ia kendalikan".
Enigma Karya Yudhi Herwibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebuah epitaf, rumah tua, wajah dirinya, sebuah
minimarket, mobil-mobil yang berseliweran, pembatas kereta api, sebuah truk, wajah ibunya, bintang-bintang yang
[ 150 ] " enigma ENIGMA final.indd 150 bersinar, wajah ayahnya, lampu sirine, orang-orang hirukpikuk, sebuah kecelakaan....
Tubuh gadis kecil itu tiba-tiba menggigil. Ia seperti ingin
berteriak, tapi kerongkongannya seperti tercekat. Seiring
hatinya bertanya tak mengerti.
Apa ini, Marga" Dan angin kemudian seperti menggelitik telinganya.
Bayang-bayang yang semula bergerak cepat di angannya dan
terus berulang-ulang itu, perlahan-lahan mulai menampilkan
bayangan yang berulang....
Sebuah kecelakaan! Goza Ini sudah rokok terakhir yang kuhabiskan untuk menunggu
di sini. Tapi selama itu, aku tetap tak tahu apa sebenarnya tujuanku
kemari. Rasanya begitu aneh. Bertemu seorang teman lama, tentu
tak masuk dalam kamus hidupku! Itu terlalu sentimentil. Apalagi
sekian tahun kami tak lagi bertemu. Sejak di wisuda, ia seperti
pergi dari hidupku. Ah, tidak, tidak, aku yang pergi dari hidupnya.
Walau aku masih mendengar kabar pernikahannya dengan banci
itu, aku memang tak pernah lagi bertemu dengannya.
Jadi sebenarnya untuk apa aku ke sini" Hanya karena pertemuan tak sengaja dengan seorang teman yang masih mengenaliku, aku tiba-tiba mengingat masa lalu tak penting ini"! Terutama
tentang Isara, perempuan yang sebenarnya menjadi alasanku bertahan selama itu berkumpul dengan teman-teman lainnya!
Tapi aku merasa layak untuk mengingatnya. Mungkin bisa
jadi dulu aku jatuh cinta padanya. Karena ia memang cantik dan
enigma " [ 151 ] ENIGMA final.indd 151 berbeda dari perempuan lainnya. Tentu tak ada alasan untuk tak
mencintai perempuan seperti itu, bukan"
Apalagi sewaktu aku tahu kalau ia telah bercerai dengan
banci itu, kupikir tak ada salahnya aku bertemu dengannya! Aku
membuang puntung rokok setelah isapan panjang yang terakhir.
Mungkin, kali ini, aku bisa menidurinya, setelah sekian tahun yang
lalu aku pernah gagal melakukannya!
Aku tersenyum melihat kemungkinan itu. Kini aku sudah menjadi laki-laki yang berbeda dibanding dulu. Seorang bedebah paling
tampan. Dan ia perempuan yang baru bercerai. Ini adalah kombinasi yang mudah untuk bercinta!
Aku yakin, tak akan butuh lama menaklukkannya!
Sambil terus berniat menunggu, aku beranjak ke tepi jalan untuk mencari toko rokok. Namun saat baru akan menyeberang, kulihat sebuah mobil memasuki pelataran parkir hotel. Aku menunggu
sebentar, sampai seorang perempuan turun dari dalamnya.
Isara! Isara mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Ia bilang, "Ada sofa di
kamarku, kita bisa mengobrol di sana."
Tentu saja aku setuju. Maka untuk sejenak aku menunggu di sofa itu sambil membiarkan dirinya membersihkan wajah.
"Jogja itu seperti kunang-kunang," ujarnya sambil membawakan 2 botol minuman ringan. "Semua bocah-bocah selalu berebutan datang padanya!"
Aku hanya tersenyum padanya. Aku tak bisa berkomentar apaapa atas ucapannya. Mataku terlalu sibuk memandangnya, dari
[ 152 ] " enigma ENIGMA final.indd 152 ujung rambutnya, hingga jari-jari kakinya. Dan penilaianku, ia sama
sekali tak jauh berbeda dari yang dulu kerap kulihat.
Kini, ia sudah menghapus make up tipisnya. Ia juga sudah
mengganti pakaiannya tadi, dengan kaus longgar. Ini membuatku
teringat, bila dulu ia adalah perempuan di angkatanku yang paling
sering kulihat memakai kaus, tentu juga perempuan yang tak pa?
ling banyak berdandan. Kupikir itu yang membuatnya menarik.
Walau jujur saja, soal pakaiannya yang longgar-longgar seperti
itu, kerap membuatku senewen. Aku jadi tak bisa membayangkan
sebesar apa dadanya. Di zaman tank top seperti ini, aku selalu bisa
menebak ukuran dada para perempuan itu hanya dengan sekali
melirik. Tapi pada Isara, aku tak bisa. Sekian tahun, dadanya seperti
terus menjadi misteri bagiku yang tak terpecahkan.
"Bagaimana kau bisa menemuiku di sini, Goza?" Ia duduk di
sebelahku. "Aku tak sengaja bertemu dengan Maninjar di warung lotek
tempat kita dulu selalu berkumpul."
"Ah, tempat itu juga bagai kunang-kunang bagi kita," Isara
tersenyum lagi. Aku hanya bisa mengangguk setuju.
"Ah, sudah lama sekali kita tak bertemu. Aku sampai lupa kapan terakhir kali kita bertemu," ujarnya.
"Ya, memang sudah lama sekali. Mungkin sejak wisuda itu, kita
tak lagi bertemu. Aku sebenarnya ingin datang di pernikahanmu
dengan Patta. Tapi kau tahu, skripsiku yang paling keteter diban?
ding kalian semua!" "Karena kau terlalu sibuk mengejar perempuan-perempuan,
Goza!!!" Isara tertawa.
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Bagaimana ia bisa
menyimpulkan begitu" Kupikir dulu aku tak banyak terlibat de?
enigma " [ 153 ] ENIGMA final.indd 153 ngan perempuan dalam jangka waktu lama" Aku hanya melakukan
sekali-dua kali kencan yang tak penting. Dan kuyakin tak ada dari
keempat temanku itu yang mengetahuinya.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli 11 Golok Sakti Karya Chin Yung Darah Olympus 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama