You Are My Dream World Karya Angchimo Bagian 3
Gue mencoba memejamkan mata, mengingat wajah Alya. Apakah Alya dan Fira emang sebenernya memilki wajah yang sama sampai gue ga bisa membedakan keduanya" Tapi gue ga berhasil. Dan lagipula, setiap kali gue bersama Alya, ga pernah sekalipun kami membahas seorang bernama Fira, bahkan ga ada dalam keinginan gue buat mencari tau tentang Fira di dunia Alya.
Gue memutuskan untuk ke kantor Fira, menempuh jarak yang lumayan jauh dan macet. Baru sekitar jam 3 sore gue sampai di kantornya. Gue memarkirkan mobil diseberang jalan yang tidak jauh dari gerbang kantor di sebuah kawasan industri ini, tempat Fira bekerja. Gue keluar dari mobil dan menyulut sebatang rokok sambil berjalan menuju sebuah warung kopi kecil, kemudian duduk di kursi kayu panjang menikmati kopi hitam yang masih mengebul asapnya.
Gue menunggu sampai dua jam disana, sampai saat satu per satu karyawan kantor keluar. Gue membayar kopi dan berdiri, memperhatikan setiap wajah yang lewat, sampai akhirnya gue melihat Fira diseberang jalan berdiri tepat didepan gerbang kantornya sambil menunduk dan sibuk dengan handphone nya. Gue pun langsung mengeluarkan handphone dan menghubunginya. Tapi lagi-lagi panggilan gue di reject.
Sial gumam gue dalam hati sambil memasukkan handphone ke saku jeans dan mencoba menyeberang jalan.
Belum sampai gue ke seberang jalan, sebuah motor merapat tepat didepan Fira. Seorang lelaki yang mengendarai motor hijau seperti jenis motor balap yang banyak dipakai anak muda itu memberikan helm ke Fira, kemudian Fira duduk diboncengannya. Gue hanya terpaku menatapnya, seolah ga percaya dengan apa yang gue liat.
Ada rasa sakit dibagian dada yang membuat gue sesikit sesak untuk bernapas ketika melihat semua ini. Semudah itukah buat Fira mencari pengganti gue" Gue berdiri kaku dengan kepala tertunduk dan memejamkan mata gue, untuk menahan butiran air yang memaksa untuk keluar.
T uhan, jika ini memang hanya mimpi, kenapa sebegini menyakitkannya" K enapa ras a sakit ini teras a begitu nyata" K enapa"!
Gue kembali ke mobil setelah berhasil menguasai diri. Lama gue hanya terduduk dan menenggelamkan kepala gue di balik kemudi. Sulit rasanya melihat Fira bersama orang lain. Gue tau semua ini salah gue. Tapi, apa ga bisa Fira menunggu sampai gue benarbenar memahami semua ini" Sampai gue menemukan sebuah kunci yang mampu membuka tabir yang membatasi mimpi dan realita gue"
Dunia gue rasanya menjadi gelap, sangat gelap. Bukan karna senja yang semakin bergeser tergantikan malam. Tapi karna rasa benci gue. Rasa benci atas diri gue dan kebodohan gue sendiri. Rasa benci atas keanehan yang gue biasakan sejak kecil untuk bermain dengan dunia mimpi. Serta rasa benci yang entah darimana datangnya tiba-tiba muncul setiap kali gue membayangkan wajah Fira.
J ika memang s elama hampir 4 tahun ini dia menemani gue, apakah s ulit baginya untuk mengerti dengan kondis i gue yang s eperti ini"
Gue melajukan mobil perlahan menuju pulang. Pikiran gue kosong, tapi gue tetap mencoba berhati-hati dalam berkendara. Meskipun semua ini cuma mimpi, gue ga mau malah kecelakaan dan mati di dunia mimpi, karna gue pernah mengalaminya waktu kecil. Waktu gue keasikan main wahana di sebuah pulau yang gue ciptakan penuh dengan arena bermain, kemudian gue terjatuh. Akibatnya" Gue ga sadarkan diri berhari-hari dan masuk rumah sakit di dunia nyata gue.
R umah s akit" Gue tiba-tiba teringat saat gue pertama kali terbangun di rumah sakit dan bertemu Fira. Gue yakin itu di dunia yang sama dengan yang saat ini lagi gue jalanin.
Gue emang ga bisa mengingat kejadian sebelum gue dibawa ke rumah sakit, tapi yang pasti saat itu gue berada di sebuah dunia dimana ada sekelompok orang yang mengejar gue dengan benda tajam, berusaha membunuh gue.
Gue menambah kecepatan berkendara supaya bisa dengan segera sampe di rumah, agar gue bisa berkonsentrasi mengingat kembali kronologis sebenernya yang terjadi. Kali ini, gue mulai yakin, gue akan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan gue selama ini.
Sampai dirumah, gue menepikan mobil didepan rumah dan segera masuk. Gue langsung menuju kamar gue buat mencari dokumen-dokumen dari rumah sakit yang pernah disimpan oleh Fira. Gue membukanya dan membaca setiap lembar dokumen itu satu per satu, ada hasil segala macam tes yang pernah gue jalani selama dirumah sakit sebelum dokter mengizinkan gue pulang.
Dari sebuah dokumen, gue menemukan sebuah catatan lengkap tanggal gue masuk rumah sakit dan tanggal gue pulang, dengan ditanda tangan dan tertulis nama lengkap Shafira Maharani Putri. Gue mengingat kembali kejadian saat pertama kali gue terbangun diatas kasur rumah sakit, dan mencari Alya.
Saat itu, gue ingat kejadian terakhir gue yang ditebas sebuah samurai atau pedang panjang tepat di kepala gue, kemudian gue melihat warna hitam gelap dan sesak napas. Hal yang sama pernah gue alami saat gue jatuh dari wahana saat kecil di dunia mimpi, dan gue terbangun di rumah sakit dengan ditemani nyokap gue yang ga berhenti menangis dengan wajah putus asa.
Gue mengerti, seandainya gue mati di dunia mimpi, gue akan tumbang dan jatuh sakit ga sadarkan diri di dunia nyata gue. Seketika air mata gue meleleh dengan mudahnya. Gue sadar, Fira pasti merasakan keputusasaan yang sama dengan nyokap gue dulu saat menjaga gue yang ga sadarkan diri untuk waktu yang lama.
Dengan langkah lemas gue berjalan ke dapur. Gue menempelkan sebuah pisau tepat di leher gue.
Jika ini semua mimpi, gue akan terbangun diatas kasur rumah sakit. Dan gue percaya, disana Alya udah setengah putus asa menunggu gue yang ga sadarkan diri berhari-hari.
Gue menekankan pisau, menyayat dan mengalirkan beberapa tetes darah membahasi kerah baju gue. Rasa perihnya terkalahkan oleh rasa lelah gue yang terus menerus terjebak dalam dunia seperti ini.
Fira.. maafin aku. Aku harus kembali ke Alya. Dan jika semua ini nyata, biar aku yang akan menunggumu disana'..
Part 31: Life Goes On Kamu masih berpikir semua ini cuma mimpi, ndra"
Sebuah suara menahan pisau di tangan gue yang sudah menggoreskan sayatan kecil di leher gue. Posisi gue yang membelakangi ruang depan memang ga bisa melihat siapa wanita itu, tapi dari cara bicaranya gue bisa mengira wanita itu adalah Fira.
Perlahan gue membalik badan dan menurunkan pisau dari leher gue, meletakkannya dan menatap kearah seorang wanita yang kini berdiri tepat didepan pintu masuk rumah gue, Fira.
Cukup ndra kamu hancurin s emuanya. H ancurin hubungan kita, rencana kita. T api jangan jadi pecundang yang malah s ia-siain hidup kamu. Lanjut Fira dengan wajah yang basah.
Gue berdiri kaku menatapnya. Wajah itu, tatapan mata itu, rambut cokelat kemerahan yang terurai hingga sedikit melewati pundak, serta bibir tipisnya, membawa gue pada suatu ingatan dimana dia berdiri disana, didepan pintu, sambil mengucapkan; Aku bisa buktiin. Ga semua orang datang ke hidup kamu cuma buat pergi di kemudian hari dengan lantang dan yakinnya. Tapi kini justru yang terjadi malah sebaliknya.
"Mengumpulkan keyakinan buat ninggalin s emua ini bukan hal yang mudah buat aku ndra. Ada harapan dalam hati aku yang aku biarkan hancur. Ada kenangan yang aku abaikan s aat terputar dalam kepalaku." Ucap Fira sambil berusaha menahan tangisnya.
Tapi, liat kamu yang semakin hari semakin mundur dari hubungan kita, sama sekali ga membuat aku yakin mas ih ada s is a harapan yang mas ih bis a di perjuangin. Aku nyerah ndra, aku ga bis a terus membangunkan orang yang hanya mau terlelap dalam mimpinya. Lanjut Fira.
Gue masih terdiam, ga mampu mengucapkan apapun. Banyak kata didalam kepala gue, tapi ga satupun bisa terucapkan. Hanya terperangkap dalam ruang gelap yang pengap, lalu mengendap dan hilang begitu saja.
Maaf ndra.. ucap Fira lagi sambil menyeka sisa air di mata nya.
Fira membalik badannya keluar dari rumah gue, berjalan melewati pagar yang tadi gue biarkan terbuka, lalu menghilang di sudut jalan yang ga lagi tergapai oleh pandangan gue. Sementara gue masih terdiam kaku, tanpa tau apa yang harus gue lakukan.
Gue berjalan pelan menuju pintu depan, memperhatikan jalanan luar sambil berharap masih ada Fira disana. Kemudian menutup pintu dan berjalan ke kamar, membating tubuh gue diatas kasur.
Irama napas gue ga teratur, rasa perih dari goresan luka di leher gue terasa mencekik. Gue sadar, ini bukan mimpi. Rasa sakitnya begitu nyata. Perih di dada gue membungkam mulut yang sampai saat ini bahkan ga mampu mengucapkan sebuah kata. Gue ga menginginkan apapun saat ini, kecuali Fira.
Sejak saat itu, gue kembali menghabiskan waktu dengan sia-dia di rumah. Gue sudah menemukan apa yang selama ini gue ragukan, batas realita yang terasa sangat tipis memisahkannya dengan dunia mimpi gue. Bahwa apa yang selama ini gue kagumi dari Alya, adalah bentuk kenangan yang gue putar kembali dalam dunia mimpi, dan menikmatinya hingga gue larut dalam kenyamanan.
Fira, satu-satunya wanita yang mengisi hari-hari gue, menggantikan kelam menjadi dunia penuh warna dengan tingkah dan senyumnya. Dialah dunia gue sepenuhnya. Harapan, impian, serta semua rencana yang gue berusaha capai dalam waktu hampir empat tahun ini. Yang kepergiannya kini hanya membuat gue terkapar dalam penyelasan, dan menghabiskan hasil kerja keras gue selama ini hanya untuk bertahan hidup.
Ga pernah ada Alya atau sosok wanita lain dalam hidup gue selain Fira yang menemani gue selama ini. Yang menyambut gue dengan segelas cokelat panas setiap pulang kerja. Yang menceramahi gue dengan harapan-harapan untuk menikah muda. Yang menggerutui kebiasaan gue bermalas-malasan di akhir pekan. Dan entah bagaimana caranya, dia bisa dengan mudahnya menggantikan gue dengan seorang laki-laki lain yang mungkin kini tengah menikmati segala keindahan yang dimiliki Fira, yang tersia-siakan oleh kebodohan gue.
Gue tau, gue ga bisa kaya gini terus. Hampir sebulan gue meratapi diri dalam penyesalan, membohongi perasaan dengan menonton tayangan-tayangan komedi dan menanggapinya dengan tawa palsu, hingga membuat gue benar-benar mati rasa. Gue harus bangun, bangkit dan menyusun ulang dunia nyata yang udah gue hancurkan.
Gue kembali menyiapkan beberapa lamaran, mencoba mencari pekerjaan. Bagaimanapun, hidup terus berjalan, dengan atau tanpa Fira. Gue mencoba untuk menyingkirkan sisa perih yang masih bergelayut dalam hati setiap melihat foto Fira yang terpajang di meja kecil di kamar gue. Gue berusaha menerima semua ini, dimulai dari bagian yang paling sulit, yaitu memaafkan diri gue sendiri.
Hari demi hari gue lewati dengan mendatangi beberapa panggilan interview kerja yang coba gue lamar. Hal ini entah dari mana bisa sampai ke Mba Tiara. Dia menelpon gue saat tau gue mencoba melamar beberapa pekerjaan lain.
Lo kenapa ga balik lagi sih ndra kesini" Malah ngelamar ditempat laen. Ucap Mba Tiara dengan nada kesal dari ujung telepon.
Iya Mba, ntar deh. Gue mau coba usaha nyari-nyari sendiri dulu.
Terus kalo udah mentok baru lo kesini" Setelah buang-buang waktu lagi buat cari kerjaan laen dengan mengabaikan kesempatan yang ada disini"
Ya ga gitu Mba. K ok lo marah-marah gini sih"
Ya lo sih abisnya malah kaya gini. Udah deh, nanti sore gue tunggu di kantor ya. Ga usah pake bawa s urat lamaran. L angs ung kes ini aja, ters erah kapan lo mau mulai kerja nya tapi sore ini lo harus kesini dulu.
Gue mengiyakan perintah Mba Tiara yang tanpa mengenal kata penolakan. Menjelang sore, gue berkendara menuju kantor lama gue pake mobil Fira, niatnya nanti sepulang dari kantor akan gue balikin mobil ini kerumah Fira. Bagaimanapun, gue membelinya emang buat dia dan udah dibuat atas nama dia. Gue ga mungkin dengan pantasnya memakai mobil ini.
Sampe di kantor, seperti biasa gue meminta Sheila memberitahukan Mba Tiara bahwa gue udah dateng. Tapi ternyata Mba Tiara malah ada meeting di luar kantor. Terpaksa gue menunggu sambil mengobrol dengan Sheila di meja receptionist.
Ga kerasa obrolan gue sama Sheila udah lumayan lama, bahkan sampe jam kantor selesai. Mba Tiara beberapa kali mengirim pesan whatsapp ke gue meminta maaf dan meminta gue menunggu. Tapi gue bakal mati bosen kalo nunggu dia, apalagi Sheila juga udah mau pulang. Ngapain gue nunggu Mba Tiara sendirian disini.
Eh Cell, rumah lo emang dimana" Gue anter aja yuk. Sekalian gue balik. Tawar gue ke Sheila saat dia sedang merapihkan tas kerjanya.
Rumah gue ga jauh kok B ang s ama rumah K ak F ira. Ah, paling lo mau s ekalian ngapel ya" Yaudah boleh deh gue nebeng sama Lo. Ledek Sheila menjawab tawaran gue.
Kami turun ke basement parkiran kemudian langsung berkendara diantara kemacetan jalan. Satu hal yang gue baru sadari, Sheila ternyata orang yang sama rusuhnya kaya gue. Emang sih anak ini temen ceng-cengan di kantor, tapi itu juga cuma sekedarnya saat ketemu berpapasan atau saat gue sengaja mampir ke meja receptionist sehabis jam makan siang. Selebihnya, kami ga pernah mengobrol sedekat ini.
Gue akhirnya mengatakan ke Sheila bahwa gue dan Fira udah ga berhubungan lagi. Sheila yang awalnya ga percaya karna dia tau gue dan Fira sudah bertunangan jadi malah mengolok-olok gue. Walaupun candaannya juga turut membuat gue tertawa lepas, tawa yang udah lama banget ga gue luapkan dalam hari-hari gue.
Gue bilang sama Sheila bahwa akan mengantar mobil ini ke rumah Fira. Jadi gue memutuskan untuk mengantar dia pulang dulu baru gue langsung ke rumah Fira. Tapi dia menolak. Dia meminta gue mengembalikan mobil ini dulu baru kemudian mengantar dia pulang, karna rumah Sheila memang ga jauh dari rumah Fira, hanya beda komplek aja. Jadilah akhirnya gue menurunkan Sheila dulu di depan komplek dan gue sendirian ke rumah Fira, mengembalikan mobil sambil berniat pamit sama orang tua Fira. Tapi sayang dirumah Fira hanya ada Dimas, adiknya. Jadi gue hanya menitip kunci dan berpesan salam kepada Dimas.
Setelah dari rumah Fira, gue mendatangi Sheila di depan komplek dan berjalan kaki mengantar dia pulang, tapi sempat mampir dulu di sebuah tempat makan pinggir jalan. Tempat makan yang sering juga gue datangi dengan Fira, membuat gue tersenyum pahit mengingat betapa banyak kenangan yang gue lewati bersama Fira.
Gue dan Sheila ga berlama-lama di tempat makan. Dengan segera gue mengajaknya langsung pulang karna terasa semakin perih jika gue semakin lama disana. Bahkan Bapak penjual makanannya pun sampai masih kenal dengan gue dan tentu saja menanyakan kabar Fira.
Diperjalanan menuju rumah Sheila yang kami tempuh dengan berjalan kaki, Sheila tetep aja masih membully gue. Apalagi karna pertanyaan Bapak penjual makanan tadi, makin habis gue diledek Sheila. Gue hanya menimpali nya dengan candaan juga.
Yaa, yaudah lah Bang. Mau gimana lagi. Leave the past in the past. Ucap Sheila saat kami hampir sampai rumahnya.
Iya Cell. Berat sih. Cuma mau gimana lagi. She's not my world anymore. Jawab gue dengan senyum yang gue paksakan.
But, you ll always be my world, even just a dream world.. Ucap Sheila pelan tanpa menatap gue dan mempercepat langkahnya.
Part 32: Tak Pernah Ternilai
Gue mulai kembali kerja di kantor lama gue. Selain karna desakan Mba Tiara, juga karna sejujurnya gue ga dapet kerjaan lain. Daripada gue terus meratapi diri dalam penyesalan, gue memilih memulai lagi semuanya dari awal.
Gue kembali mencoba membangun ulang dunia gue dari sisa reruntuhan yang selama ini gue abaikan. Tapi bukan berarti gue ga berusaha buat memperbaiki hubungan gue dengan Fira. Gue selalu berusaha untuk membuka komunikasi dengannya, tapi ga pernah ada satupun tanggapan dari dia.
Percaya deh, membuat orang yang lo sayangi terluka dengan sikap lo emang akan benerbener menyayat hati lo. Tapi, diabaikan jauh lebih menyakitkan.
Fira bisa dengan begitu mudahnya mengabaikan gue. Dengan begitu angkuhnya dia menelan kembali semua yang pernah dia ucapkan. Gue tau gue salah, dan mungkin dia udah terlanjur merasa gue sia-siakan. Tapi seandainya dia mau coba sedikit menyingkirkan ego nya dan memberikan gue sisa waktunya buat mendengarkan langsung penyesalan gue, gue rela melakukan apapun untuk memperbaiki semuanya.
Gue bukan tipe cowok pecinta', yang rela mengemis atau memohon pada seorang perempuan. Tapi gue tetep selalu berusaha menyingkirkan yang namanya harga diri, dengan selalu berusaha menghubungi dan menemui Fira, meski gue tau akan selalu dapat perlakuan yang sama, diabaikan.
Hari demi hari gue lewati dengan terus mencoba membuka komunikasi dengan Fira, beriringan dengan kesibukan pekerjaan yang kembali menyita waktu gue. Hampir di setiap weekend, gue selalu ke rumah Fira. Seringnya dia ga ada di rumah. Tapi sekalipun dia ada, dia sama sekali ga mau nemuin gue dan mengunci diri di kamarnya seharian sampe akhirnya orang tua Fira meminta gue mengalah dan pulang supaya Fira mau keluar kamar dan makan.
A', Menurut Adek, Teteh sebenernya masih sayang sama Aa'. Makanya Aa' yang sabar ya, terus aja kaya gini sampe Teteh luluh. Ucap Dimas, adiknya Fira, saat mengantar gue keluar pagar rumahnya.
Gue bakal lakuin apapun Dek buat Fira. Tapi, manusia punya titik cukup'. Saat gue merasa cukup lelah diabaikan, mungkin gue akan mundur.
Yah, jangan gitu dong A'. gimanapun juga kan yang namanya cinta harus rela berjuang dan berusaha.
Gue menatap Dimas. Dia bukan lagi anak remaja saat pertama kali gue bertemu
dengannya. Seiring berjalannya waktu, dia tumbuh menjadi seorang lelaki yang semakin dewasa. Gue ngerti, dia sama sekali ga bermaksud mengajarkan apa yang harus gue lakukan. Tapi dia juga harus tau, gue mungkin ga sekuat yang dia pikirkan untuk terus berusaha dan bertahan menghadapi sikap Fira.
Dek, Minggu depan gue kesini lagi. Gue minta tolong sama lo. Sebelom sampe sini gue bakal nelpon lo buat pas tiin F ira ga lagi di kama rnya. Nah, s aat itu lo kunci s emua kamar di rumah, termasuk kamar Fira. Selebihnya biar gue yang selesain. Bisa ga"
Dimas terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Bagaimanapun, Dimas adalah seorang adik yang sangat penurut. Dia mungkin takut kalo membantu permintaan gue malah nanti akan jadi ribut antara dia sama Fira.
Tapi kalo lo ga bisa ya gapapa Dek. Gue juga ga mau nanti lo jadi berantem sama Fira. Bisa A'. Aa' kabarin aja kalo udah mau sampe sini.
Lo yakin" Yakin. Udah Aa' tenang aja. Jawab Dimas dengan anggukan antusias.
Gue berencana akan kembali memberikan cincin yang pernah gue kasih sebelumnya. Dan mungkin, ini adalah kesempatan terakhir kali buat gue.
Minggu depannya, sesuai omongan gue sama Dimas, sore hari gue udah berada didepan komplek rumah Fira. Gue menelpon Dimas namun dia bilang Fira belum keluar kamar dari tadi siang, mungkin tidur. Gue terpaksa menunggu cukup lama di sebuah taman kecil di area komplek perumahan. Sampai sekitar satu jam kemudian Dimas bilang bahwa Fira lagi nonton tv sambil nyemil di ruang tamu dan meminta gue bergegas datang sementara dia mengunci semua kamar. Orang tua Fira juga ternyata lagi ga ada, diluar harapan gue yang sebenernya pengen sekalian menunjukkan keseriusan gue lagi ke mereka. Tapi gapapa, yang penting Fira nya ada.
Gue membuka pintu pagar rumah Fira dengan sangat hati-hati supaya ga kedengeran dari dalem. Gue langsung masuk tanpa mengucapkan salam, dan mendapati Fira di ruang tamu memangku sebuah toples sambil menatap gue dengan ekspresi kosong namun mulutnya masih mengunyah sisa makanan.
Gue berjalan mendekat berniat duduk disamping Fira. Dan seperti yang gue duga, dia langsung ambil langkah seribu lari ke kamar nya. Gue tetep duduk di sofa ruang tamu yang membelakangi kamar Fira. Gue Cuma mendengar dia berusaha membuka pintu berkali-kali tapi sia-sia karna udah terkunci. Gue sempet senyum sendiri mendengarnya. Fira pun lari ke kamar orang tuanya tapi lagi-lagi udah dikunci.
Adek! Kamu jangan kurang ajar ya! Teriak Fira di depan tangga yang menuju lantai atas tempat kamarnya Dimas.
Adek! Sini turun kamu. Buka pintu kamar Teteh! teriak Fira lagi dengan nada yang makin tinggi.
Fira menaiki anak tangga dan kemudian gue mendengar dia menggedor-gedor pintu kamar Dimas. Semakin lama dia menggedor semakin keras dan berteriak memarahi adiknya. Gue ga bisa tinggal diem langsung lari mendatangi Fira dan menahan tangannya yang masih menggedor pintu kamar.
Fira berusaha melepaskan tangannya dari genggaman gue sementara gue semakin menggenggam erat kedua tangan Fira yang terus-terusan berontak. Gue berusaha memeluknya namun dia mendorong gue, lumayan keras sampe gue mundur beberapa langkah.
Jangan macem-macem. D an jangan deket-deket. ucap Fira sambil menodongkan telunjuknya kearah gue.
Gue Cuma menatap Fira yang berdiri beberapa langkah dari gue. Terlihat dia sedang berusaha mengatur napasnya sambil tetap memandang gue dengan tatapan sinis.
Ngapain sih kamu masih kesini" Ga cukup aku udah cuekin" Udah sama sekali ga aku tanggepin. Udah dipaks a pulang s ama Ayah B unda. Ga cukup" bentak Fira dengan nada tinggi.
Ribuan hari pun kamu cuekin aku, ribuan kali pun kamu usir aku, aku bakal tetep terus dateng kesini.
Buat apa"! Fira masih menggunakan nada tinggi, hampir seperti orang menjerit.
Gue mencoba menguasai diri dari emosi yang semakin menjalar hingga ke kepala gue. Gue ga suka cara dia bicara ke gue saat ini, seperti orang memaki.
Buat apa kamu dateng setelah kamu bilang aku ga pernah ada dan cuma proyeksi dari mimpi kamu"!
Fir. Kamu ga usah pake nada& . B uat apa kamu dateng s etelah s ebulan lebih kamu anggap aku dan hubungan kita ini cuma mimpi yang sama sekali ga ada artinya"! potong Fira masih dengan memaki.
Gue menarik napas dalam dan menundukkan kepala. Gue gatau harus menjawab apa. Gue bener-bener merasa sedang dihakimi saat ini.
Buat apa kamu sok-s ok nunjukkin kamu mas ih perduli, mas ih s ayang, dan mas ih berpikir bisa perbaikin dunia yang udah kamu hacurkan"!
Buat menagih ucapan kamu yang bilang akan buktiin ke aku bahwa ga semua orang datang ke hidup aku cuma buat pergi di kemudian hari. Jawab gue dengan sedikit menaikkan nada gue.
Fira terdiam mendengar jawaban gue. Tapi sepertinya juga karna nada bicara gue yang balik meninggi membuatnya kaget. Gue ga pernah sekesel ini menghadapi Fira. Kami emang sering ribut-ribut kecil atau memperdebatkan sesuatu. Tapi gue hampir ga pernah menggunakan nada tinggi saat bicara dengan Fira. Bahkan sampai sesayang itu lah gue memperlakukan dia.
Fira. Aku tau aku salah. Aku ga mau bilang bahwa semua ini bukan s epenuhnya s alah aku. Tapi kamu juga harus tau, kamu ga sepenuhnya bener. Ucap gue dengan menurunkan kembali nada bicara gue.
Fira hanya menatap gue dengan mata yang berkaca dan bibir tipis nya yang bergetar.
Aku juga tersiksa, Fira. Aku tersiksa dengan kekurangan aku yang s elalu terbawa dalam kehidupan di dunia mimpi. J auh s ebelum ketemu kamu, aku emang udah kaya gitu. T api s ejak kamu mas uk kedalam hidup aku, aku ga lagi membangun dunia mimpi. K arna aku menemukan s es uatu yang lebih indah di dunia nyata, yaitu kamu.
& .. Sampe akhirnya mimpi-mimpi itu kembali mengganggu aku dan membuat aku jatuh s akit, s ampe akhirnya aku dirawat dan ga s adarkan diri berminggu-minggu. D an bikin aku terbangun dalam kondis i yang ga bis a membedakan mimpi dengan realita . K arna s aat aku ga s adarkan diri, aku memutar ulang s emua kenangan kita dalam dunia mimpi, tapi dalam mimpi aku yang hadir bukan kamu, malah sosok perempuan yang bernama Alya.
& . Fira menyandarkan dirinya ke tembok dengan lemah dan tetap menatap gue, membiarkan gue menjelaskan semuanya.
Aku tau aku salah, Aku minta maaf. Aku bener-bener menyes al, tanpa aku s adari ternyata s ikap aku udah bikin kamu ngeras a s ia-s ia. T api, s eandainya aku pernah berbuat kebaikan untuk kamu, aku rela kamu lupain s emua kebaikan aku demi mendapat kata maaf dari kamu, dan satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Fira menundukkan kepalanya dan menahan air mata dengan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Gue ga sanggup melihat dia menangis. Gue mendekat dan memeluknya. Kali ini dia ga berusaha melawan. Dia menenggelamkan tangisnya dalam pelukan gue. Yang juga membuat gue ga mampu menahan air mata. Perih rasanya melihat dia menangis sehancur ini.
Lama kami saling membiarkan air mata membasahi kaos kami dan membiarkan beberapa tetesnya menghujam lantai. Gue merasa udah menjelaskan semuanya. Gue yakin Fira mengerti. Dan semoga ini akan jadi terakhir kalinya kami menangis menahan sakit karna luka dari keegoisan kami.
Gue melepas pelukan saat Fira sudah berhasil menguasai diri. Gue mengangkat wajahnya, menghapus jejak air mata yang membasahi wajahnya sepenuhnya, serta merapihkan beberapa helai rambut yang menempel di pipinya. Sehancur apapun tangisnya, Fira akan selalu terlihat cantik. Bukan karna rasa cinta gue, tapi memang raut wajah dan pipinya yang menggemaskan membuat dia akan selalu terlihat cantik.
Fira. Kamu mau maafin aku kan" Kita sama-s ama bangun ulang s emuanya ya. Aku janji kali ini akan berusaha lebih keras lagi. Ucap gue setengah berbisik tepat didepan wajahnya.
Fira menatap gue. Mata bulatnya benar-benar indah meski masih ada beberapa genangan air disana. Bibirnya bergetar seperti mengucapkan kata tanpa mampu bersuara. Namun itu yang membuatnya indah di mata gue.
Aku udah jalanin hubungan serius sama cowok lain ndra. D an keluarga dia udah ketemu Ayah dan Bunda, menyatakan bahwa tahun ini kami akan nikah. Ucap Fira pelan, sepelan hembusan nafasnya, yang perlahan menghunus gue dengan tajamnya kata. Membunuh gue dalam sisa-sisa harapan yang telah gue coba perjuangkan.
Part 33: Life Goes On #2 Kalian pernah merasa sangat ingin memperjuangkan sesuatu namun terlalu lemah untuk melakukannya" Itu yang gue rasakan saat mendengar ucapan Fira bahwa dia sudah menjalani hubungan dengan orang lain.
Lidah gue rasanya kelu dan tenggorokan gue tercekat. Ga ada yang mampu gue ucapkan setelah mendengar jawaban Fira. Gue bahkan cukup tau diri dengan langsung pulang tanpa mampu mengucapkan pamit, bahkan belum sempat berterima kasih atas bantuan Dimas hari ini yang udah mendukung rencana gue.
Gue menepikan motor di pinggir jalan. Sejenak gue terdiam tanpa tau apa atau kemana arah tujuan gue. Kemudian gue memutuskan mengarahkan motor gue ke ancol.
Bukan buat menikmati senja yang udah jauh lewat, tapi untuk sekedar mengingat bahwa ditempat ini gue meminta Fira menjadi pacar gue. Gue duduk disalah satu bangku yang terbuat dari semen, dan menunduk dalam diam.
Cukup lama gue biarkan diri gue terbawa oleh suasana sepi yang mengharu. Mengantarkan rasa perih bercampur penyesalan. Meski seringkali hati gue berbisik bahwa gue udah berusaha, tapi gagal mendapatkan kesempatan memperbaiki semuanya bukanlah hal yang mudah di ikhlaskan begitu saja.
Gue mengeluarkan kotak cincin yang tadinya gue persiapkan buat memberikannya kembali ke Fira. Sejenak gue membuka kotak itu dan menatap nanar ke sebuah cincin berhiaskan tiga permata kecil disisinya.
Gue menghela napas, kemudian melemparkan kotak itu sejauh-jauhnya ke hamparan laut.
Berat. Terlalu berat buat gue menyimpan cincin itu atau memberikannya ke wanita lain. Cuma Fira dan hanya selalu Fira yang pantas menggunakannya di sela jarinya.
Dan kali ini, gue benar-benar merasakan pahitnya melihat dunia gue hancur perlahan karna kebodohan gue lagi. Butuh waktu yang sangat lama buat gue bangkit dari keterpurukan ketika kehilangan nyokap gue. Sekarang, mungkin akan butuh waktu selamanya buat gue bangkit dan merelakan Fira dimiliki orang lain.
Gue baru sampe dirumah sekitar jam 2 pagi. Itupun terlalu sulit buat gue tertidur. Rasa sesak ditenggorokan gue membuat gue bahkan menutup mata pun rasanya mustahil. Tertidur dalam damai dan terlepas dari siksaan kenyataan menjadi sesuatu yang begitu sulit gue lakukan saat ini.
Bagaimana mungkin hidup gue berjalan begitu berwarna hanya karna ada seorang wanita masuk kedalamnya, kemudian kini saat dia memutuskan buat pergi, hidup gue kembali menghitam, luruh dalam kelam.
Hari demi hari gue jalani dengan mencoba meyakinkan diri bahwa ini cuma bagian dari skenario hidup yang udah ditulis Sang Maha Sutradara. Gue ga bisa banyak menuntut karna tugas gue hanya menjalankan peran. Lagipula, kali ini sepertinya gue mesti belajar arti kata bersyukur, sebelum semakin banyak yang Allah udah kasih ke gue akan diambil kembali satu per satu.
Kinerja gue di kantor makin menurun. Tentu saja Mba Tiara ga bisa berpura-pura tutup mata saat melihat betapa banyak pendingan pekerjaan yang gue buat. Dan sedekat apapun gue sama Mba Tiara, seperti yang gue sebut di awal, dia tetep bawel sama yang namanya kerjaan. Ga ragu dia menegur gue bahkan didepan karyawan lain sekalipun.
Gue yang jadi agak bete sama Mba Tiara memutuskan buat ga lagi sering makan siang bareng dia. Gue lebih sering makan siang sendiri, atau sama staff baru lain, atau bahkan sama anak-anak magang. Dan gue ga bisa bohong, tiap kali gue liat anak magang, gue kaya ngeliat diri gue sendiri beberapa tahun yang lalu. Melihat semangat mereka, senyum atau tawa mereka, bahkan keluhan mereka, membuat gue merasa rindu dengan jalan setapak yang pernah gue lalui. Ga jarang gue mencoba meyakinkan mereka bahwa setiap tetes keringat mereka akan terbayar lunas dari kasih sayang Tuhan. Ga percaya" Gue saksi nyata nya. Gue menyaksikan betapa karir gue begitu mudahnya gue lalui dan keringat gue menjadi bukti bahwa gue dulu juga pernah se-menderita mereka.
Suatu sore di jam pulang kerja, gue memutuskan mau langsung pulang dan menyerahkan lemburan ke team gue yang lain. Sheila yang masih beres-beres tas kerjanya memanggil gue saat gue melintas di meja receptionist.
Bang. Lo mau pulang ya" tanya Sheila Enggak, mau berangkat kerja.
Yee bete amat jawabnya. Kok ga lembur"
Lagi males. Gue duluan ya Cell. Ucap gue sambil meneruskan berjalan menuju lift. Eh bareng dong Bang. Saut Sheila sambil setengah berlari menyusul gue.
Ah males Cell. Gue pengen langsung balik. Kalo nganter lo kan kena muter beda arah pulang gue jadinya. Jawab gue saat berdiri menunggu pintu lift terbuka.
Lah" Bareng turun ke bawah maksudnya. Siapa juga yang mau minta anter. Ledek Sheila sambil menjulurkan lidahnya.
Kami masuk lift dan berdiri berjejer dengan para pengguna lift lain. Sheila sempat pamit saat turun di lobby lantai satu sementara gue tetep turun dua lantai dibawahnya lagi untuk menuju ke basement. Setelah mengambil motor, gue langsung tancap gas keluar gedung kantor dan bersiap baku hantam ditengah kemacetan jalan.
Saat baru melintas keluar gedung, gue melihat Sheila masih berdiri dipinggir jalan, seperti menunggu angkutan umum atau mungkin jemputan dari pacarnya. Gue jadi iseng dan menghentikan motor tepat didepannya.
Ojek neng" ledek gue sambil masih menggukan helm dan masker menutupi wajah gue.
Sheila melihat gue dengan wajah bingung sambil mencoba mengenali. Kemudian tertawa dan menepuk pundak gue saat dia akhirnya tau bahwa gue sedang menggodanya seakan jadi tukang ojek.
Sialan lo Bang. Kirain ojek beneran ucap Sheila sambil meredam tawanya. Yee, yakali udah ganteng gini masih disangka tukang ojek. Jawab gue menggerutu. Yaudah sana pulang Bang. Ati-ati, ga us ah kaya Valentino Rossi bawa motornya.
Gue ikut tersenyum mendengar ucapan Sheila. Ah, emang aja dasar jomblo, ga boleh diucapin ati-ati' sama cewek langsung kebawa perasaan.
Lo dijemput atau nunggu bis Cell"
Nunggu bis lah. Siapa yang mau jemput. Yaudah kalo gitu gue anter aja deh. Ah ga mau. Nanti disuruh bayar ojek
Yang bener nih" Jangan sok jual mahal deh. Ayok cepet naik. Ucap gue sambil memberikan helm ke Sheila.
Sheila cengengesan sambil naik ke motor gue dan menggunakan helm, gue menunggu dia siap sejenak kemudian melajukan motor perlahan menembus kemacetan menuju rumahnya.
Gue gagal menahan perih ketika melintas melewati depan komplek rumah Fira. Tanpa sadar gue sedikit mengurangi kecepatan dan menoleh sesaat ke dalam jalanan komplek. Ciyee.. masih belom move on ya" Ledek Sheila sambil mendekatkan kepalanya dari belakang gue. Gue hanya tersenyum kecut menanggapinya.
Gue menepikan motor tepat didepan pagar rumah Sheila. Dia turun perlahan sambil gue bantu pegang tasnya biar lebih memudahkan langkahnya.
Mampir dulu laah Bang. Ucap Sheila.
Ga usah lah. Lo langsung istirahat aja sana.
Lah, yaudah besok-besok gue ga mau dianter lagi lah. Mending naek ojek kalo gitu.
Gue hanya cengengesan melihat Sheila memasang tampang manyun yang dibuat-buat. Tanpa direncanakan gue malah mencubit gemas pipinya.
Yaudah gue mampir deh. Tapi dibikinin minum ya.
Sheila mengangguk antusias sambil berjalan cepat membukakan pagar agar gue bisa memasukkan motor. Gue memarkir motor gue tepat didepan garasi yang terpakir sebuah mobil sedan klasik didalamnya, kemudian membuntuti Sheila masuk kedalam rumahnya.
Assalamualaikum. Pah, kenalin ini temen aku ucap Sheila kepada seorang lelaki yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Gue mendatangi bokapnya dan mencium tangannya.
Temen kerjanya Sheila" tanya Bokapnya dengan suara serak namun tegas. Iya om. Nama saya Hendra.
Sheila menyuruh gue duduk disamping Bokapnya, tapi karna gue sungkan, gue meminta izin sama Bokapnya buat duduk di teras aja.
Gue menyulut sebatang rokok saat Sheila datang membawakan secangkir teh panas dan meletakkannya dimeja kecil kemudian duduk disamping gue.
Nyokap lo mana Cell" tanya gue dengan niat basa basi.
Nyokap gue ga tinggal disini Bang. Dia tinggal sama Kakak gue di B ogor. Nyokap B okap gue kan udah pisah. Jawab Sheila tanpa menatap gue.
Eh, sorry Cell. Gue ga bermaksud..
Udah gapapa, santai aja Bang. Tapi jangan jadi sungkan ya sama gue. Ucapnya lagi sambil kini menatap gue dengan senyumnya.
Jujur saja, senyumnya Sheila mampu membuat gue sejenak terpana. Membuat gue kembali merasakan kehangatan dari tatapan matanya. Namun, entah kenapa gue kembali merasa ragu dengan batas realita. Kehadiran Fira yang sekian lama ada dalam hidup gue membuat gue terlalu asing dengan wanita lain selain dirinya, hingga ketika gue mencoba dekat dengan wanita lain rasanya hanya sebuah mimpi.
Bang, lo sama Kak Fira beneran putus" Emang ga bisa diperjuangin lagi" tanya Sheila memecah lamunan gue.
Udah Cell, gue udah coba perjuangin. G ue udah coba minta maaf dan minta kes empatan buat perbaikin. Tapi emang udah ga bisa
Sebesar apa sih kesalahan lo ke dia" Lo ga pernah cerita sih jadi gue ga tau apa masalah kalian.
Gue lagi ga pengen ngebahas Cell. Udahlah. Jawab gue sambil menyandarkan tubuh gue dan menghembuskan asap rokok jauh-jauh.
Gue menatap kosong ke arah pagar rumah Sheila. Ga tau kenapa gue merasa kaku deket sama Sheila. Ga bohong, gue emang tertarik sama kepribadiannya. Dan gue juga mengenal Sheila udah lama sejak pertama bekerja di kantor. Bahkan gue sempet terpaku menatapnya saat pertama kali datang buat bertemu Bang Iwan saat mau melamar magang. Gue masih ingat jelas saat dia masih sibuk berdandan dibalik meja receptionist. Bang. Gue mau nanya deh sama lo. Ucap Sheila yang lagi-lagi memecah lamun gue. Gue hanya menatap dan mengangkat kedua alis tanpa menjawab.
Lo percaya sama dunia mimpi ga Bang" tanya Sheila sambil menatap gue dengan ekspresi ragu namun penuh harap.
Part 34: My Lady Of Dreams
Lo percaya sama dunia mimpi ga Bang" tanya Sheila sambil menatap gue dengan ekspresi ragu namun penuh harap.
Dunia mimpi" Gue balik bertanya ke Sheila.
Bukan karna gue ga ngerti arti dunia mimpi, atau ga percaya sama dunia mimpi. Tapi karna gue kaget dengan pertanyaan Sheila, dan mencoba menebak kearah mana pembicaraan selanjutnya.
Iya, Dunia mimpi. Dalam arti sebenernya.
Gue terpaku mendengar ucapan Sheila, dan seketika merasa De Javu dengan kata-kata tersebut.
Gue boleh cerita ga Bang" Tapi jangan diketawain ya" D an gue ga pernah cerita ini sebelumnya selain ke Mba Tiara dan Kakak gue. Ucap Sheila lagi dengan wajah memelas.
Gue memilih menganggukkan kepala menjawab perkataan Sheila sebagai tanda mempersilahkan dia bercerita.
Dari kecil, gue punya kebias aan aneh B ang. G ue bis a mengatur mimpi gue. B ahkan, gue bisa menciptakan dunia gue sendiri di dalam mimpi.
.... gue semakin kaget tapi masih memilih diam dan memdengarkan.
Suatu hari, Bokap sama Nyokap gue berantem hebat. Gue masih SMA waktu itu, menjelang Ujian Nasional. Gue ga sanggup denger keributan mereka, dan memilih kabur' ke dunia mimpi. D imana keluarga gue s elalu bahagia, ga pernah ada mas alah, dan penuh dengan kedamaian dari dunia yang gue ciptakan.
..... Mungkin buat lo kedengar aneh B ang, tapi gue s eneng melakukan itu. K arna itu juga lah yang bikin gue s elalu termotivas i dan s emangat menjalani dunia nyata gue. T api pada akhirnya, nyokap s ama bokap memutus kan cerai. Nyokap maks a mau bawa gue dan kakak buat ikut dia. T api gue ga mau, gue memilih tinggal dis ini s ama B okap gue. D an s ejak s aat itu, dunia nyata gue jadi berantakan. Bahkan gue gagal nerusin kuliah.
.... gue mulai sedikit memahami ucapan Mba Tiara yang pernah bilang bahwa Sheila masih baru mulai kuliah saat ini karna kuliah dia yang dulu ga dia terusin.
Dan sejujurnya. Dunia mimpi gue selalu tetep gue isi dengan kebahagiaan keluarga gue Bang. Sampe akhirnya...
Sheila menahan ucapannya dan menatap gue dengan pandangan yang ga bisa gue terjemahkan.
Akhirnya apa" tanya gue meminta dia melanjutkan ceritanya. Jangan marah ya Bang... Ucap Sheila dengan kembali menahan bicaranya.
Gue hanya menatapnya dengan wajah bingung dan berharap dia mau melanjutkan ceritanya.
Akhirnya gue nyoba masuk ke dunia mimpi lo. ucap Sheila dengan suara pelan dan menundukkan pandangannya.
Gue.. pertama kali ngobrol bercanda sama lo, gue tertarik sama karakter lo Bang. Tapi, gue ga berani terlalu deket s ama lo. G ue cukup s adar diri, yang ga ada apa-apanya kalo dibandingin s ama K ak F ira. Makanya gue cuma berani menikmati waktu s ama lo di dunia mimpi. Lanjut Sheila masih dengan menundukkan pandangannya.
Maksudnya, lo jadi sering mimpiin gue" tanya gue dengan berlagak bodoh.
Enggak. Gue mengatur mimpi. Gue pacaran sama lo. Lo s ayang banget s ama gue, dan perjuangin s egalanya buat hubungan kita. D an.. dan s emua itu gue ambil dari kenangan lo s ama K ak F ira, has il ceritanya K ak F ira s aat gue nemenin dia di rumah s akit pas lo di rawat.
Gue reflek menegakkan posisi duduk gue karna merasa kaget dengan cerita Sheila. Sheila pun jadi menatap gue dan sepertinya dia takut dengan reaksi kaget gue. Gue jadi mencoba buat memasang ekspresi bingung agar dia mau melanjutkan ceritanya.
Kok lo malah mimpiin pacaran sama gue dengan jalan cerita kenangan gue s ama F ira" Kenapa lo ga buat cerita sendiri yang lebih seru atau lebih indah" tanya gue lagi dengan masih berlagak bodoh.
Karna.. Karna kalo membangun dunia mimpi dari kenangan atau memori, itu akan terasa lebih nyata. Dan..
Sheila masih menahan-nahan ceritanya, seperti ragu untuk sepenuhnya jujur ke gue. Dan gue yang semakin ga tahan dengan penjelasan ceritanya yang menggantung akhirnya memilih mengeluarkan isi kepala gue.
Dan akan dianggap sebagai realita sama orang yang lo bawa ke dalem mimpi itu" tanya gue dengan memotong cerita Sheila.
Sheila pun menatap gue dengan mata berkaca. Perlahan dia mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan gue.
Terus, kenapa lo hadir di mimpi itu sebagai Alya" tanya gue lagi ke Sheila.
Sheila sedikit mengangkat tubuhnya karna kaget dengan pertanyaan gue, dan beberapa tetes air matanya mulai berjatuhan membasahi pipinya.
Kenapa Cell" Gue perlu tau kenapa dan dari mana nama Alya bisa lo gunakan" Kenapa lo memaks a gue memutar ulang s etiap kenangan gue s ama F ira tapi dengan wanita lain di mimpi, yang gue ga kenal s ama s ekali. K enapa"" tanya gue lagi.
Sheila malah menundukkan kepalanya dan mulai sesugukkan dengan tangisnya yang berusaha dia tahan. Pada akhirnya gue malah merasa bersalah. Dan iya, ternyata gue terlalu lemah dengan air mata perempuan.
Gue menggenggam tangan Sheila diatas meja kecil diantara kami. Perlahan gue mengusap punggung tangannya mencoba untuk menenangkan dirinya.
Alya itu nama Kakak gue Bang. Gue sengaja pake nama dia. K arna s ebenernya, dengan membawa lo ke dunia mimpi yang gue bangun dari kenangan lo s endiri, gue khawatir mimpi itu akan tertanam dalam diri lo, dan gue takut s aat lo bangun dari mimpi itu jadi nyari tau tentang orang di dalam mimpi lo itu, makanya gue ga berani pake nama dan karakter gue sendiri.. Jelas Sheila sambil berusaha menguasai dirinya.
Gue hanya bisa tertunduk mendengar penjelasannya. Gue cukup naif berpikir bahwa gue satu-satunya orang yang bisa bermain di dunia mimpi. Gue sengaja menyimpan keanehan gue karna gue yakin menceritakan ke orang pun ga akan membuat orang mengerti akan bahaya nya terbiasa dengan dunia mimpi. Bahkan ga sedikit gue baca artikel tentang mengendalikan mimpi yang justru ingin dipelajari banyak orang.
Mereka menyebut keanehan gue dengan tehnik Lucid Dream. Mereka yang sama sekali ga punya keanehan kaya gue merasa bahwa bisa mengendalikan mimpi dengan sadar adalah hal yang menyenangkan. Gue dengan tegas dan yakin berpendapat bahwa hal itu akan berbahaya jika jadi sebuah kebiasaan. Gue lah buktinya. Gue gagal dan selalu gagal membedakan mana dunia mimpi dan mana realita. Ditambah lagi, gue dengan campur tangan Sheila membangun dunia mimpi dengan dasar kenangan dunia nyata, membuat gue merasa samar dengan batas realita, dan hanyut terombang ambing dalam keraguan gue.
Gue minta maaf ya Bang. Gue ga pernah menyangka akibatnya malah membuat lo ga bisa membedakan realita dengan mimpi. G ue tau res ikonya s eparah itu, tapi gue juga ga bis a menahan rasa dalam hati gue yang s elalu mengagumi lo. Lanjut Sheila sambil menatap gue dengan sisa genangan air di matanya dan menggenggam balik tangan gue.
Gue menatap Sheila, jauh ke dalam bola matanya yang berkaca. Dengan jelas gue dapat melihat pantulan diri gue disana. Sheila mungkin memang ga secantik atau sebaik Fira yang mungkin akan selalu gue banding-bandingkan jika akhirnya gue nenjalani hubungan dengan Sheila. Tapi dia lah representasi Alya , dia lah Fira dalam dunia mimpi gue, dan dialah Sheila dalam dunia nyata gue, yang selalu menginginkan gue.
Sejak pertama kali gue mulai membangun dunia mimpi gue sama lo. Sejak itu juga gue jadi lebih s emangat ngejalanin hidup gue. S etiap hari gue s elalu dateng lebih awal ke kantor buat s uguhin kopi di meja lo, biar lo juga s emangat ngejalanin hari-hari di kantor. G ue ga bis a melakukan hal yang lebih dari itu di dunia nyata, tapi gue s elalu berharap lo tau, ada orang lain selain Kak Fira yang memperhatikan lo. ucap Sheila.
Jadi, kopi itu bikinan lo Cell" Gara-gara kopi itu gue s ama F ira s empet ribut-ribut karna dia ga s uka gue minum kopi itu dengan maks ud menghargai s i pembuatnya."
Iya. Gue tau kok. Dan gue sadar, Kak Fira yang saat itu memiliki lo di dunia nyata. Dan buat gue, You are my dream world', but now, you'll be my reality ever. jawab Sheila dengan senyum manis mengembang di pipinya.
Penutup Dan sejak malam itu, sejak Sheila menceritakan semuanya, gue memutuskan percaya pada mimpi-mimpi gue, percaya pada kata hati gue, dan percaya pada sebuah ungkapan bahwa Hidup berawal dari mimpi'.
Fira adalah wanita pertama yang membuat gue membukakan pintu kehidupan gue, membiarkannya masuk dan berbuat banyak didalamnya. Namun pada akhirnya, dia menyerah. Dia menyerah karna semua kebodohan gue yang selalu saja membuat dia merasa sia-sia. Dia memutuskan untuk menyerah sebelum gue mampu menemukan batas realita yang selalu gue ragukan.
Gue ga akan pernah bilang bahwa apa yang gue perjuangkan untuk Fira adalah sudah maksimal. Enggak, gue bermaksud bilang itu. Tapi Fira juga musti tau, gue udah mencoba melakukan yang terbaik.
Benar bahwa dia yang selama ini menghapus air mata gue, menggenggam tangan gue, mengusir dan melawan semua hal yang menakutkan gue, serta memeluk gue dengan lembut ketika gue menjerit memaki ketidakadilan hidup. Tapi gue sempat berharap, seandainya Fira memberikan gue waktu sedikit aja buat menjelaskan betapa menyesalnya gue kehilangan dia, sebelum dia memutuskan menerima lelaki lain, mungkin semua ga akan semenyakitkan ini.
Fira dan seorang teman dekatnya pernah bilang melalui pesan chat ke gue: Seorang lelaki yang hebat tidak akan hancur ketika kehilangan cinta s eorang wanita. K arna cinta yang s ejati hanya untuk Allah. J ika lelaki itu hancur hanya karna kehilangan s eorang wanita, maka itu bukanlah lelaki yang tepat untuk wanita yang baik.
All i can say now is: T H AT 'S F UC K IN B UL S H IT !
Lo ga bisa menyamaratakan penilaian terhadap orang lain cuma dari sudut pandang lo. Seperti halnya gue yang ga bisa dengan mudahnya menilai lo yang ternyata segampang itu mencari pengganti gue, menelan kembali kata-kata lo, dan berbisik dalam hati bahwa mengikhlaskan adalah jalan terbaik. Karna mungkin hanya Tuhan yang tau seberapa rusaknya hati yang ditinggalkan, seberapa hancurnya harapan yang pupus dan disiasiakan.
Puisi yang gue taruh di prolog awal adalah puisi yang gue temukan di diary Sheila. Sebuah puisi keputus asaan Sheila yang merasa gagal memenuhi harapan dan impiannya untuk bersama gue. Tapi kini, puisi itu ga layak Sheila berikan ke gue, karna dialah wanita dalam dunia mimpi gue yang telah bertransformasi menjadi dunia nyata. Puisi itu akan jauh lebih tepat buat Fira. Gue bukan menyerah, tapi gue ga mungkin selalu memaksakan keadaan harus sesuai dengan keinginan gue.
Pergi lah Fira, pergi. Temukan bahagiamu. Jadikan sikapku yang mensia-siakanmu sebagai alasan bahwa kau layak bahagia. Jadikan kebodohanku sebagai landasan keikhlasan dalam hatimu. Jadikan penyelasanku sebagai pondasi yang menguatkan hatimu untuk tak akan pernah mencoba kembali. Apapun itu, aku akan mencoba untuk turut berbahagia untukmu.
Dan Sheila, Kamu lah harapan baruku. Kamu lah impian-impian yang akan selalu aku perjuangkan. Kamu lah ketidakmungkinan yang senantiasa aku semogakan. Kamu lah seseorang yang membahagiakanku di dunia mimpi dan mendoakanku di dunia nyata. Kamu lah dunia mimpiku, kamu lah realitaku.
Selesai... Side Story Gue mengakui betapa berat kenyataan yang masih terus gue ratapi. Sisa-sisa harapan yang udah gue coba perjuangkan berbalas kenyataan pahit yang gue terima dari Fira. Setiap kata yang dia ungkapkan bahwa dia kini telah menjalin hubungan serius dengan lelaki lain masih berputar dalam benak gue.
Hati gue terus menjeritkan ketidakadilan ini. Gue ga menapik kesalahan yang udah gue lakukan ke Fira, tapi apa iya dia sudah benar-benar melupakan semua kenangan yang dia lewati bersama gue" Kenapa secepat ini dia mampu memulai hubungan dengan laki-laki lain"
Bagaimanapun, gue masih sering mencoba mencari tau tentang Fira. Dari sosial media nya, maupun dari setiap akun chat yang dia gunakan. Ga jarang gue membuka profil whatsappnya hanya untuk melihat apakah dia sedang online atau tidak, atau malah melihat update status yang dia tulis di sosial medianya. Seringkali gue mengutuk diri dengan apa yang gue lakukan, namun hanya dengan hal ini gue terbiasa melewati hari.
G us , gue udah lakuin yang lo bilang. G ue udah lakuin s atu langkah terakhir yang perlu gue lakuin, tapi has ilnya nihil.
Pesan whatsapp gue kirimkan ke temen gue, Bagus. Mengingat dia pernah menyarankan gue buat melakukan sesuatu sebagai titik balik gue, apapun jawabannya.
S o" K aya yang gue bilang, apapun jawabannya ya terima dengan kepala tegak. B alas B agus .
G ue cuma ga abis pikir, s emudah itu buat dia jalanin hubungan baru" G ue s ama dia hampir 4 taun lho G us . D an dia bis a memulai hubungan baru kurang dari 2 bulan s etelah s eles ai s ama gue.
Y ailah ndra. G ue pernah pacaran 7 taun, pas putus dulu mantan langs ung pacaran s ama cowok lain ga s ampe s ebulan kayanya. T erus kita bis a apa" K ita mau ga terima" B ukan ga terima. C uma heran kenapa s ecepet itu"
Menurut gue gini. K alo mantan kita cepet cari pengganti kita, artinya dia emang ga pernah s ayang s ama kita, minimal ya ga s es ayang yang kita kira. T api kalo dia dapet penggantinya terlalu lama, artinya ternyata kita udah s ia-s iain dia, s ampe dia butuh waktu buat berdiri lagi.
Gue terpaku menatap layar handphone membaca jawaban whatsapp Bagus. Perlahan gue memahami arti setiap kata yang dia kirimkan, namun malah muncul pertanyaan baru. Apa iya Fira ga sesayang itu ke gue"
T api itu menurut gue ya ndra. G atau menurut lo atau orang lain kaya gimana. T api buat gue, gue ga mau mulai pacaran lebih dulu dari mantan gue. B alas B agus lagi. K enapa emang"
G apapa, gue ga mau aja. Y audah s ana lo cari pengganti F ira. H arus ya G us" G ue ga mau yang lain, gue cuma mau F ira.
Bagus ga membalas lagi pesan whatsapp gue. Mungkin dia sibuk, atau mungkin dia bosen denger keluhan gue. Memang mungkin sehancur ini lah yang orang lihat dari gue. Gue pun bukan tipe orang yang bisa memalsukan senyum ketika perih terasa di hati gue. Gue ga bisa pura-pura tertawa ketika tenggorokan gue tersumbat oleh rasa kecewa.
Gue menatap langit-langit kamar gue yang nampak seperti awan kelabu, dengan layar handphone yang tergeletak disamping gue dalam keadaan masih menyala dan menunjukkan latar profil whatsapp Fira, dengan foto dirinya yang tersenyum lebar namun memberikan perih buat gue.
Lamunan gue terbuyarkan oleh beberapa pesan masuk yang berbunyi berkali-kali dari handphone gue. Gue sempat menebak ini balasan dari Bagus, gue mengambil handphone untuk memastikan, ternyata dari Sheila.
B ang. S ibuk kah" B es ok mas uk kan"
S iangnya temenin gue makan di P laza xxxx yuk B ang.
Gue hanya membacanya dan merasa malas untuk membalas pesan tersebut. Gue malas meladeni perempuan lain, rasanya hati gue udah mati rasa.
Terserah lo dah ndra. Pokoknya, gue ga mau bilang masih banyak ikan di laut atau perpisahan emang bagian dari pertemuan'. Tapi lo perlu tau, ini bukan akhir dunia. Mungkin mas ih ada yang lain yang mas ih layak diperjuangkan.
Balasan pesan dari Bagus yang sebenarnya sederhana namun dengan mudahnya membuat gue tergugah untuk membalas pesan dari Sheila.
B oleh C ell, s ekalian udah lama kita ga makan diluar kantor. B es ok s etengah dua belas gue kedepan yaa.
O kay B ang. Will be waiting for you tomorrow.
Sejak itulah, entah kenapa gue menjadi semakin dekat dengan Sheila. Walaupun gue tetep moody, kadang semangat tapi kadang malas menanggapinya. Sheila memang bukan wanita dewasa seperti Fira. Dia juga bukan tipe teman bicara yang seru. Tapi sebaliknya, dengan kekanak-anakkan nya dia mampu membuat gue gemas atas sikap manjanya. Dengan ketenangannya dia mampu menjadi seorang pendengar dan pemberi saran yang baik.
Sampai saat dia menceritakan semua tentang dirinya, termasuk tentang kecurangan' yang dia lakukan saat membawa gue kedalam dunia mimpi yang membuat gue ragu dengan batas realita. Dengan mudahnya dia mengucapkan sebaris kalimat yang kembali membuat gue membuka pintu hati yang sempat gue tutup rapat.
..... Dan buat gue, You are my dream world', but now, you'll be my reality ever. jawab Sheila dengan senyum manis mengembang di pipinya.
Gue menatap bola matanya yang hitam namun bercahaya. Caranya menatap gue, caranya menyebarkan senyum, dan caranya menggenggam tangan gue, membuat gue percaya bahwa memang masih ada cinta yang lain, yang layak gue perjuangkan.
Dan cinta itu adalah mimpi yang kini menuntut untuk jadi nyata. Cinta itu adalah harapan yang hampir pupus terabaikan. Cinta itu adalah Sheila, wanita yang akan selalu gue perjuangkan dalam sisa-sisa reruntuhan dunia yang sedang gue bangun ulang untuk menikmati realita bersama dengannya.
Shiela, Kita pernah membangun dunia mimpi kita dengan kenangan orang lain. Sekarang, apa kamu mau membangun dunia nyata kita berdua dengan membuat jejak kenangan dari semua hal yang akan kita lakukan" tanya gue ke Sheila setelah dia selesai berbicara. Sampe kapan" tanya Sheila masih sambil tersenyum.
Sampe ga ada satupun orang yang bisa menghancurkan dunia kita, s ampe Allah mengizinkan kita bersatu, menua bersama hingga kembali membumi. Jawab sambil membalas senyumnya dengan senyum terbaik gue.
You Are My Dream World Karya Angchimo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Side Story (Bagus PoV) Gue mau nyelipin curhatan gue sama Fira di side story ini ya. Cerita gue sama Fira yang sama sekali ga Hendra tau sebelumya.
Juni 2016, gue sama Fira janjian buka puasa bareng. Sebenernya gue sempet ga mau, karna emang sekarang gue ga suka buka puasa diluar. Tahun ini gue berencana sebisa mungkin buat ga lagi buka puasa dijalanan atau diluar sama temen-temen. Dengan secepetnya, selesai kerjaan diluar gue pasti buru-buru pulang kerumah tiap mau buka puasa, walaupun dirumah pun cuma buka puasa sendirian.
Akhirnya setelah nego alot sama Fira yang kukuh ngajak buka puasa bareng diluar, gue mengiyakan dengan catatan dia yang menentukan tempatnya. Fira pun akhirnya memutuskan buat ga cari tempat, dia minta gue jemput dirumahnya saat weekend kemudian kami jalan tanpa tujuan dan menepi saat magrib tiba.
Waktu itu gue dan Fira masuk daerah Bogor bertepatan waktu berbuka. Gue mengajak Fira menepi sejenak sekedar beli minum kemudian lanjut jalan sampe dapet salah satu tempat makan yang ga terlalu rame, dengan suasana makan lesehan. Gue yang awalnya ga sadar dengan tempat makan ini akhirnya teringat bahwa ini tempat makan terakhir gue sama Lisa sebelum dia berangkat ke Bali, ada di cerita gue sebelumnya. Dan, jadilah gue di bully Fira dengan dianggap sebagai makhluk gagal move on.
Tapi Gus, lo kenapa ga berusaha dapetin Lisa lagi aja" Kalo menurut gue, dia s ebenernya sayang banget sama lo, dan mau juga kan ikut' sama lo. Cuma lo ga pernah menunjukkan s ikap perjuangin hubungan kalian, makanya dia mutus in buat pergi dan cari yang lain. Ucap Fira ditengah obrolan setelah selesai makan.
Gue ga langsung menanggapi pertanyaan Fira. Gue meneguk sisa minuman kemudian memesan dua gelas kopi mocca buat gue dan Fira ke penyaji tempat makan.
Lo bukan satu-satunya yang pernah bilang gitu. T api s ayangnya, gue emang ga pernah mikirin itu. G ue ngeras anya udah lakuin s emuanya buat dia, tapi dibales dengan kaya gitu. Ya buat apa gue pertahanin lagi. Jawab gue sambil menerima gelas kopi yang gue pesen.
Bukan gitu. Lo ga pernah nunjukkin sikap yakin lo ke dia, bahwa lo yakin sama hubungan kalian, s ama tujuan kedepannya. Fira menimpali ngotot.
Yaa gimana mau nunjukkin gue yakin sama dia, nyatanya emang gue ga pernah yakin sama dia atau sama hubungan gue dengan dia.
Terus kenapa dijalanin" Dari awal aja ga usah dijalanin. Buang-buang waktu aja.
Iya, itu salah gue. D ulu itu gue s elalu ngerasa takut s endirian F ir. S ekarang malah gue takut ditemenin sama orang yang salah lagi.
Fira terdiam menatap gue. Entah apa yang dia pikirkan, gue pun malas melanjutkan omongan.
Gus, apa sih yang bikin cowok yakin sama s eorang cewek" Apa yang bikin cowok benerbener yakin bahwa cewek itu orang yang tepat. Tanya Fira lagi sambil memangku dagu dengan kedua tangannya.
Gatau deh, kalo gue sih, gue yakin saat pertama ngeliat matanya.
Ngeliat matanya" Sepik banget lo. Cowok kan bias anya s uka dan mau jalanin hubungan sama cewek karna liat mukanya. Cibir Fira.
Ya lo jangan buat penilaian general ke semua orang lah. Lagipula ini kan ngebahas mas alah yakin, bukan s ekedar s uka. K alo s ekedar s uka mah as al itu cewek s mart dan as ik gue pasti suka, tapi belom tentu gue yakin buat jalanin hubungan sama dia. Terus apa yang lo liat dari mata cewek buat bikin lo yakin"
Fira tersenyum menatap gue, dengan senyuman yang sama sekali ga mampu membuat gue rela mengalihkan pandangan dari mata cokelatnya yang bercahaya. Ada sebuah rasa yang entah darimana datangnya membuat gue tiba-tiba merasakan rindu dengan sosok seorang wanita yang pernah ada dalam hidup gue.
Apa yang lo liat dari mata cewek, Gus" Atau apa yang mungkin cowok liat dari mata gue" tanya Fira lagi masih dengan senyumnya.
Gue harus ngeliat diri gue sendiri di matanya Gue menjawab singkat
Yee sialan. Ya emang pasti lo liat pantulan bayangan lo di mata orang yang lagi liatin lo, kan wajar.
Bukan itu maksud gue. Saat gue liat ada diri gue sendiri didalam seorang cewek, gue akan yakin bahwa dia cewek yang tepat. Mes kipun cuma pernah ada s atu cewek yang pernah gue pacarin yang bener-bener ada diri gue didalamnya.
Fira menatap gue dengan wajah bingung.
Makanya lo harus tau Fir, saat Hendra nyoba perjuangin lo, minta kesempatan dari lo, itu bukan cuma s oal mengumpulkan keberanian, bukan s ekedar menyingkirkan gengs i atau harga diri, tapi juga s etelah berulang kali meyakini diri bahwa lo yang terbaik buat dia. Biarpun udah lo abaikan, dia menilai lo tetep layak diperjuangin. Lanjut gue.
Fira terdiam, tapi kini matanya berkaca. Gue ga bermaksud menghakiminya, sama sekali enggak. Gue yakin dia punya alasan kenapa dia memilih pergi daripada memperbaiki, meski sampai detik ini dia ga pernah mengungkapkan apa alasannya.
Kok gue cemburu ya Gus saat tau Hendra udah pacaran sama Sheila" Tanya Fira dengan nada dan raut wajah memelas.
Gue tersenyum menatapnya tanpa tau harus menjawab apa.
Gue cemburu Gus, gue iri, gue.. Fira gagal menahan genangan air yang akhirnya menetes membasahi pipinya
Gue belum ikhlas Gus... lanjut Fira.
Gue menghela napas dalam, dan memilih menyimpan tanya dalam hati gue kenapa Fira sampe harus merasa cemburu. Yang gue ga abis pikir, kenapa dia bisa memulai dengan orang lain ketika Hendra masih berusaha untuk mendapatkan kesempatannya.
Gue berulang kali bilang ke diri gue sendiri bahwa Hendra udah pergi, sejak dia mencari Alya. G ue berus aha meyakinkan diri bahwa dengan mengakhiri s emuanya s ama H endra mungkin akan membawa diri gue melangkah menuju kepas tian dalam hidup gue, mes kipun bukan sama H endra. T api, gue ga pernah bis a bener-bener hapus dia dari pikiran gue. S elalu ada ras a kangen, khawatir, atau s ekedar pengen tau dia lagi ngapain. Ucap Fira dengan terbata-bata sambil berusaha menahan sesak di dada nya.
Gue kangen Gus, kangen ngomelin dia yang lebih sering ngopi sama ngerokok ketimbang makan, kangen ngocehin dia yang s elalu as ik tidur s aat weekend, kangen mukul dia s aat tingkahnya ngeselin. Gue kangen semuanya tentang dia..
Terus kenapa lo nolak dia kemaren" potong gue.
Udah terlambat Gus. Cowok gue udah bawa keluarganya ketemu Nyokap Bokap gue, bahkan udah nentuin kapan kita akan nikah. Abis lebaran dia akan ngelamar gue, dan Oktober gue nikah. Jawab Fira dengan wajah layaknya orang yang pasrah.
Sejauh ini gue memahami, ada banyak hal yang mungkin kita inginkan di dunia ini. Tapi pada akhirnya, Sang Maha Sutradara yang mengatur peran kita, menentukan jalan cerita hidup kita, dan menguji kita dengan perihnya penyesalan untuk menelan kata ikhlas.
Gue ga pernah bertemu dengan orang-orang yang kuat yang ga memiliki masa lalu yang menyakitkan. Gue ngerti, kadang kita harus jatuh berulang kali buat kemudian menjadi seorang yang lebih kuat di masa mendatang.
Hendra, orang yang sebenernya memiliki segalanya dalam hidup, menjalani nya dengan hal-hal yang sia-sia hingga satu per satu diambil darinya. Berulang kali dia mengirim surat protes' ke Tuhan akan ketidakadilan jalan hidup yang dia tempuh, hingga akhirnya Tuhan berbelas kasihan padanya dan menuntunnya untuk mendaki bukit kehidupan yang dia jalani hingga kembali merasa mendapatkan segalanya. Tapi kemudian, dia terjatuh kembali dalam penyesalan ketika satu per satu semuanya pergi, hingga dia baru memulai lagi membangun segalanya dari sisa reruntuhan hidup yang hancur. Buat gue, Hendra beruntung mendapatkan kembali kesempatan itu, meski bukan dengan Fira. Tapi gue percaya Sheila orang yang tepat buat dia.
Fira, seorang gadis remaja yang terbiasa mengisi hari-harinya dengan bekerja keras. Dia melewati 3 tahun masa sekolah sambil menabung, untuk memupuk mimpi berkuliah dan mendapatkan kesempatan hidup lebih baik. Dia mengisi hari dengan seorang lelaki yang dia anggap memiliki cahaya' hidup yang menerangi jalannya. Seorang lelaki yang rela mempertaruhkan semua yang dia punya demi hidup bahagia bersamanya dikemudian hari. Hingga akhirnya lelaki itu malah melangkah mundur, menjauh dan berjalan tanpa arah. Fira merasa telah melakukan segalanya untuk mengembalikan Hendra kembali ke jalan yang mereka rencanakan. Tapi Hendra tidak terlihat menunjukkan tanda-tanda kembali, hingga Fira memutuskan untuk pergi.
Gue sadar Gus, apa yang gue putuskan mungkin terlalu terburu-buru. Ucap Fira lagi setelah kembali dari lamunannya.
Seandainya ya Gus, seandainya& lanjut Fira tapi kembali menahan bicaranya. Iya, seandainya Fir. jawab gue sambil berusaha tersenyum agar Fira ga lagi bersedih.
Terlalu sulit Fir buat ngomong seandainya'. Seandainya itu kata yang bisa dengan mudahnya membuat kita kembali berharap pada s es uatu, yang mungkin udah ga akan bis a lagi kita dapatkan. Lanjut gue.
Sesuatu yang senilai Hendra bagi gue, dan senilai Liana bagi lo kan Gus" saut Fira dengan wajah meledek dan cukup untuk membuat gue tersedak saat sedang menguyup kopi mocca yang mulai dingin.
Side Story Gue bingung mau ngisi apa di Side Story ini. Gue isi sekedar obrolan gue sama Fira beberapa minggu yang lalu aja ya, dan gue sajikan disini mungkin bisa untuk membuat kita memahami sudut pandang atau pola pikir dia, dengan beberapa perbaikan dan tambahan. Lo pernah ga Gus ngeliat hubungan orang dan merasa iri sama hubungan itu"
Pertanyaan itu pernah Fira sampaikan ke gue. Gue ga begitu ngerti dengan arti pertanyaan Fira. Gue sempet menebak bahwa iri yang dia maksud adalah cemburu. Tapi harusnya ada perbedaan yang jelas antara E nvy (iri) dengan J ealous ly (cemburu).
Gue iri melihat sebuah hubungan bukan karna si cowok ganteng atau s i cewek cantik. B ukan s oal dimana mereka menghabis kan waktu bers ama, atau kemana mereka pergi di akhir pekan, bukan. T api gue iri s ama s uatu hubungan dimana s i cowok dan s i cewek bener-bener meras a bangga pada pasangan mereka dan bahagia dengan apa yang mereka miliki. Ucap Fira.
Gue memang melihat Sheila adalah seorang perempuan yang tepat buat Hendra. Dan Hendra mengagumi Sheila meski masih ga mengerti bagaimana mungkin Sheila dengan mudahnya membuat Hendra bangkit dari keterpurukan setelah kepergian Fira, yang Hendra pikir akan butuh waktu selamanya buat dia merelakan Fira dimiliki lelaki lain.
Hendra dan Sheila bahkan ga pernah mempublikasikan' kebahagiaan mereka. Gue ga pernah melihat Hendra maupun Sheila memposting foto mereka berdua. Nyaris ga ada yang berubah dari aktifitas sosial media mereka berdua. Sheila masih hobby memfoto makanan yang dia makan, Hendra masih seneng memposting kelucuan-kelucuan team kerja nya.
Hal yang berbanding terbalik justru terjadi di Fira, yang hampir setiap hari ada aja foto terbaru dia sama cowoknya. Sampe gue enek sendiri liatnya dan memutuskan buat mengunfriend dia. Bukan karna cemburu ya, tapi karna terlalu berlebihan buat gue. Emang sih, sosial media dibuat dengan tujuan memfasilitasi orang-orang yang doyan pamer, tapi kayanya itu ga pantes aja dilakuin Fira yang masih sering ngeluh menyesal mengambil keputusan.
Itu bukan gue Gus yang posting, cowok gue yang postingin foto-foto itu. G ue kan lo tau sendiri, mana aktif sih di sosmed. Ucap Fira membela diri.
Gue mengerti alasannya karna pernah ada di posisi dia, dan itu ga enak banget. Bertahuntahun terlewati dengan banyak temen-temen baru yang masuk ke sosmed kita dan terbiasa melihat postingan kita selalu berdua pasangan. Kemudian tiba-tiba berubah jadi normal'. Kembali normal menjadi kita yang jarang aktif di sosmed atau cuma memposting sesuatu buat lucu-lucuan. Tapi buat orang-orang yang udah terbiasa liat kita posting foto sama pasangan, akan menilai postingan normal' kita sebagai reaksi galau karna kehilangan. Dan itu bener-bener ngeselin.
Gue ngerti posisi Fira karna pernah melalui tahapan itu, tapi tetep gue memilih menghapus namanya dari daftar pertemanan di sosial media gue. Selain karna ga suka sama cowoknya (iyalah masa gue suka sama cowok!), juga mungkin karna ga tega liat dia berubah jadi orang lain. Halah.
Gue pernah denger sebuah ungkapan, Happines is meant to be shared , tapi kebahagiaan yang di publish secara berlebihan justru menurut gue malah menunjukkan bahwa lo cuma pura-pura bahagia, buat bikin orang iri. Padahal mah orang juga ga merhatiin lo kok.
Itulah mungkin yang membuat Fira iri dengan hubungan Hendra dan Sheila. Iri dengan kebahagiaan mereka yang tersembunyi', iri dengan mereka yang merasa cukup saling memiliki tanpa perlu sebuah pengakuan.
Udah move on nih ceritanya" Ga pernah bahas Fira lagi ke gue kayanya. Ledek gue ke Hendra suatu hari.
Kalo move on artinya udah sepenuhnya lupain dia, ga lagi sayang sama dia, atau s epenuhnya ikhlas dia s ama orang lain, gue belom move on la h Gus. Hendra menjawab dengan tanpa ekspresi.
Tapi kalo move on artinya ga lagi mengharapkan dia, sejak dia menolak kembali, itu gue berusaha move on. D an s ejak gue minta S heila jadi cewek gue, itu gue mulai mengubur s is a-s is a harapan gue ke F ira. S heila adalah point of no return' gue ke Fira. Titik dimana gue ga akan kembali, bahkan ga akan mencobanya. Lanjut Hendra.
Kadang gue ga ngerti, kenapa Tuhan mempertemukan dua manusia dalam satu jalan, kemudian memisahkan keduanya dengan sejuta kenangan. Yang lebih menyakitkan, kenapa saat Hendra sepenuhnya mengharapkan kesempatan dari Fira, semuanya udah terlambat. Tapi kenapa saat Hendra udah menjalani jalan baru nya, Fira meratapi keputusannya yang terlalu terburu-buru.
Gue sepakat dengan ungkapan Hendra bahwa Sheila adalah point of no return' nya dia. Kadang emang menghadirkan orang lain sebagai pengganti dari kegagalan hubungan kita yang sebelumnya bukanlah selalu menjadi solusi terbaik. Tapi dalam hal ini, Hendra menghadirkan Sheila bukan sebagai pelarian. Hendra bahkan ga pernah mengharapkan kehadiran Sheila. Tapi Sheila masuk ke dalam hidupnya dan tanpa Hendra sadari justru Sheila menjadi sebuah harapan baru buat dia. Dan hasilnya, kebahagian mereka yang tersembunyi namun tetap bangga saling memiliki itulah yang membuat orang lain merasa iri, membuat Fira merasa iri, cemburu, dan terperangkap dalam lingkaran penyesalan.
Lucunya, Fira pun ga bisa berbuat apa-apa. Pernah gue bilang ke dia bahwa kalo dia masih mengharapkan Hendra, coba aja minta Hendra kembali. Tapi Fira bilang, keputusan udah terlanjur dia buat saat menerima komitmen cowok lain yang akan menikahinya beberapa bulan kedepan. Dan gue juga berharap Fira nenyadari bahwa komitmen dia sama cowoknya itu adalah point of no return' dia. Sebuah titik dimana dia bener-bener ga akan pernah kembali. Hingga pada akhirnya dia harus menandatangani' sebuah ungkapan bahwa Cinta tak harus saling memiliki sebagai tanda dia menyetujui ungkapan tersebut. Aahh, Cinta.
Cinta pernah membuat gue terjaga semalaman sampai sang mentari menyapa. Cinta pernah membuat gue terluka oleh penyesalan.
Cinta pernah membuat gue tertawa tanpa beban.
Cinta pernah menjadi alasan kenapa gue bahagia sekaligus menderita, takut sekaligus terlindungi, serta meratapi masa lalu sekaligus menginjakkan kaki menuju masa depan.
Kita ga akan pernah tau kemana hidup akan membawa kita. Seperti halnya Hendra yang udah menyusun jalannya dengan Fira namun ternyata musti terpisah di persimpangan. Tapi jangan pernah berhenti percaya bahwa, Tuhan ga selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi pasti Dia memberikan apa yang kita butuhkan. Mungkin Sheila adalah wujud nyata dari pemberian Tuhan atas apa yang Hendra berikan. Dan mungkin Cowoknya Fira yang sekarang juga apa yang Fira butuhkan didalam rencana Tuhan.
Dan menurut gue, orang bisa datang dan pergi, kita hanya perlu terus berjalan. Tanpa ragu, meski tidak ada kepastian. Tanpa takut, meski akan selalu ada penyesalan.
D an kamu, Iya kamu. P ercayalah bahwa mentari es ok pagi akan nenyampaikan s alamku untukmu dari s ini. D ari s ebuah pelabuhan, diatas kapal berkarat yang s emakin us ang, yang akan mengantarku ketempat yang jauh. B ukan untuk menghindarimu, tapi untuk meyakinkan kembali diriku.
Epilog Gue mau ngisi bagian terakhir ini bukan dengan side story, udah ga dapet feel nulis side
storynya. Gue sebenernya juga masih capek banget hari ini, tapi gue tetep ngetik ini sekaligus gue mau cerita sedikit boleh yaa" Hehehe
Beberapa tahun belakangan ini, gue punya kebiasaan jadi suka jalan sendirian tanpa tujuan. Salah satu pengalaman jalan sendiri itu gue mau cerita disini, karna ga sempet gue tulis di cerita sebelumnya.
Pernah suatu hari, saat gue lagi muak sama rutinitas gue, gue izin cuti dari kantor dan jalan sendiri, (pastinya harus debat sama Lisa yang selalu pengen ikut waktu itu), tanpa persiapan macem-macem, dan tanpa rencana aneh-aneh. Waktu itu gue mutusin jalan kearah Bandung naik Bis.
Gue berangkat dengan berbekal tas berisi tenda, nesting, serta makanan instan yang akan gue masak, dan beberapa lembar baju ganti. Waktu sampe Bandung ternyata ujan deres sejadi-jadinya. Lama gue neduh di terminal sampe hampir magrib karna selain ga bawa raincoat, juga gatau mau kearah mana lagi.
Gue browsing beberapa tempat yang kira-kira seru buat gue datengin, akhirnya gue mutusin ke suatu tempat yang masih daerah Jawa Barat, gue ga mau nyebut spesifik lokasinya. Ada sebuah pantai yang katanya ada spot bagus disana. Jadilah gue nanyananya di terminal buat menuju kesana.
Karna gue bener-bener minim persiapan dan minim info, gue dikerjain' sama seorang pemilik angkutan yang menuju ke tempat yang gue maksud, mulai dari bayar ongkos sampe 2x lipat, sampe pas gue disana dituruninnya jauuuuhh banget dari tujuan gue.
Sempet kesel sih awalnya, tapi gue ga terlalu mikirin. Gue coba bawa asik aja. Gue sampe sana sekitar jam 10 malem, dan masih harus berjalan kaki sangat jauh menuju pantai yang gue maksud. Gue bertanya ke beberapa orang yang kebetulan melintas di jalanan gelap dan sepi yang gue lewatin. Bener-bener gelap dalam arti sebenernya, ga ada lampu jalan satupun. Cuma bias cahaya dari beberapa rumah disekitar atau terpaan cahaya sejenak dari kendaraan yang melintas. Sampe akhirnya saat ga jauh dari lokasi tujuan gue, ada sekumpulan anak muda yang kira-kira seumuran gue mendekat dan berbicara dengan bahasa sunda yang gue sama sekali ga ngerti.
Gue ga bermaksud SARA atau apapun, tapi kayanya mereka tersinggung saat gue bilang gue ga ngerti omongan mereka. Gue sempet denger kata-kata dari salah satu diantara mereka yang bilang Dari jakarta nih pasti, ga sopan, hajar aja. Itu gue ngerti karna mereka ngomong pake bahasa Indonesia tapi tetep dengan logat khas mereka. Dan denger kaya gitu gue langsung mundur beberapa langkah. Iya lah, mereka lebih dari sepuluh orang, sedangkan gue sendirian, cuma modal sok berani aja.
Tanpa sempet kabur, mereka udah duluan keroyok gue. Ah gue ga bisa jelasin gimana keselnya gue saat itu. Mau ngelawan pun cuma bisa mukul sekena nya. Tambah lagi gue ga bawa alat apapun buat melindungi diri, cuma ada pisau kecil yang itupun ada di dasar tas. Jadilah gue babak belur dan beberapa barang gue diambil, termasuk kamera sport kecil yang dengan tololnya gue gantung di leher dan juga dompet, kecuali handphone dan kotak kartu ATM serta KTP dan kartu-kartu lain yang emang gue pisah dari dompet, dan emang sejak di terminal Bandung gue simpen di tas.
Beruntungnya Allah masih kasihan sama gue, bisa aja anak-anak muda jagoan itu matiin gue karna saat mereka ngeroyok juga gue tetep bela diri sambil nyoba mukul balik. Dan syukurnya muka gue ga ancur-ancur amat dibuat sama mereka, cuma ada beberapa bekas luka di pelipis dan kepala gue dan sakit sekujur badan sampe kepala karna diinjek-injek sama mereka saat gue berhasil dipukul jatoh. Setelah puas mukulin gue, mereka cabut gitu aja. Gue pun ga mungkin mengejar, bahkan buat nerusin jalan ke tujuan aja gue perlu waktu lebih lama karna badan gue remuk.
Serius waktu itu pengen banget nangis gue. Bukan karna cengeng, bukan karna ngerasa kalah berantem, bukan karna nahan sakit disekujur badan gue, bukan karna barang-barang yang ilang. Tapi, kok ada ya sesama orang Indonesia, sesama anak muda, bawa-bawa nama daerah dan agak apatis sama orang daerah laen sampe segitu bangganya ngeroyok gue" Gue ga dendam, demi apapun gue ikhlas. Cuma masih ga ngerti apa yang mereka cari dengan bersikap kaya gitu. Sebelum-sebelumnya tiap gue jalan sendirian, gue selalu ketemu sama keramahan penduduk lokal, bahkan ada yang sampe masak-masak makanan enak dan nyediain tempat buat gue tidur dirumahnya.
Oke, lanjut ya. Gue ga inget saat sampe di pantai tujuan gue udah jam berapa. Yang pasti gue sempet bikin laporan kehilangan di pos polisi kecil ga jauh dari pantai. Entah itu polisi air atau polisi apa, itupun masih diminta sumbangan administrasi' dari sisa duit gue yang ga keambil anak-anak jagoan tadi.
Malam itu niatnya gue diriin tenda dipinggir pantai, tapi karna badan gue remuk jadinya gue memilih numpang tidur di mushola yang ada dideket situ. Haha, gembel banget yak gue"
Gue sempet mengabari Lisa mengenai lokasi gue, dan meminta dia menelpon Dwi, salah satu temen kecil gue, buat menyuruh Dwi menyusul gue, kemudian gue tertidur sampe adzan subuh.
Setelah subuh gue mengecek handphone gue udah mati. Hebatnya lagi, ga ada colokan kosong di mushola itu. Gue pasrah. Mau pulang pun duit udah ga ada. Kartu ATM gue emang masih ada, tapi ditempat terpencil kaya gini sama sekali ga ada ATM yang gue temui sepanjang jalan semalem. Akhirnya gue menghabiskan waktu duduk dipinggir pantai sendirian sambil bilang dalem hati; Ga usah nyesel, kan ini yang lo cari. Jalan sendiri tanpa tujuan dan pers iapan. Nikmatin aja. K emaren-kemaren juga bis a tetep nikmatin jalan sendirian.
Gue ga merubah posisi duduk sama sekali dari abis subuh sampe sore. Gue ngerasa.. apa ya.. kaya nunggu sesuatu, nunggu sebuah kereta yang ga akan pernah dateng. Nunggu sebuah kapal yang udah terlanjur karam ditengah lautan. Nunggu seorang wanita yang mungkin lagi menikmati hari-hari indahnya disana. Dan saat matahari udah mulai menyajikan senja, barulah gue pindah tempat buat cari spot nenda sekaligus menikmati sisa senja sendirian. Dan pantai ini emang punya senja yang keren, beneran keren. Tapi sayangnya ga bisa gue abadikan karna kamera gue dipinjem' anak-anak yang kemaren, dan handphone masih mati. Lain kali mungkin gue akan kesana lagi, dengan persiapan lebih lengkap tentunya.
Gue bukan traveler, atau orang yang suka jalan-jalan. Bukan. Gue cuma anak kecil yang suka nikmatin silent momment saat langit menyajikan senja. Ga harus ditempat yang jauh atau tempat asing sebenernya. Tapi saat jalan kaya gini, gue ga bakal rela ngelewatin senja tanpa menikmati suasananya.
Sekitar jam 7 malem, gue mulai mengeluarkan perbekalan gue di dalem tenda. Pantai ini sepi, bener-bener sepi. Walaupun ga jauh dari pantai ada pos polisi, beberapa tempat makan kecil, mushola, dan beberapa penginapan kecil. Tapi spot nenda gue lumayan jauh dari itu semua, gue jalan masuk ke tempat yang banyak pohonnya dan bener-bener dipinggir pantai banget. Gue berniat menikmati kesunyian meski sejujurnya gue ketakutan. Bukan takut sama setan, tapi.. gatau deh takut sama apa, yang pasti gue takut banget waktu itu.
Selesai masak perbekalan dan makan, gue menikmati secangkir kopi dan sisa rokok yang gue punya. Gue berniat jalan pulang besok. Meskipun harus jalan kaki jauh dan nyari minimart kecil kecil sepanjang jalan buat tarik tunai ambil duit buat ongkos pulang. Selain karna rasa rakut yang semakin menjadi, juga karna gue khawatir kalo sampe mati ditempat ini mungkin baru seminggu kemudian mayat gue ditemukan orang. Itu juga kalo kebetulan ada yang lewat.
Sekitar jam 10 malem, gue masuk tenda berniat tidur. Membiarkan api unggun didepan tenda dengan kayu yang gue tumpuk banyak supaya tetep nyala sampe pagi.
Baru aja gue ngerasa pules tidur, gue denger suara manggil-manggil nama gue. Awalnya gue pikir mimpi, sampe gue bangun dan duduk buat mastiin suara itu. Ternyata suaranya beneran ada dari luar tenda. Tenang aja, ini bukan trit gaib atau tentang setan. itu suara Dwi dan temennya. Gue berulang kali mengucap syukur dan buru-buru keluar tenda menemui mereka.
Gue melihat Dwi tersenyum lega menatap gue dengan headlamp menyala menyinari muka gue, kemudian dia mengenalkan temennya, panggil aja Japroy. Mereka bawa beberapa amunisi', termasuk makanan, puluhan kaleng bir, dan tentu saja perlengkapan P3K. Dwi orang yang jauh lebih prepared dibanding gue. Gue langsung mengobati sisa luka gue yang masih belum kering.
Gue gatau mesti seneng atau tengsin saat Dwi ngasih beberapa lembar uang seratus ribuan ke gue yang katanya dititipin dari Lisa. Iya, Lisa udah menebak gue ga bakal bisa ambil duit ke ATM ditempat ini, padahal gue sama sekali ga cerita kejadian sebenernya bahwa gue lagi keabisan duit karna abis nyumbang' disini. Lisa cuma bermodal info dari Dwi dan google tentang lokasi gue yang sangat terpencil. Dan itupun Dwi juga dibekalin' ongkos sama Lisa supaya bisa secepetnya samper gue kesini, padahal ujung-ujungnya bekal ongkos dari Lisa dipake buat beli amunisi yang juga buat gue dinikmati barengbareng. Duh jahat amat ya gue.
Akhirnya Gue, Dwi, dan Japroy menghabiskan waktu dua hari disana, kemudian lanjut jalan ketempat lain sampe sekitar total semingguan. Baru lah saat pulang gue di maki-maki sama Lisa yang udah bener-bener khawatir karna gue sama sekali ga mencharge handphone, baru saat gue dan temen-temen sampe di Bandung gue sempet charge sebentar buat sekedar nyalahin handphone.
Nah, kebiasaan jalan sendirian itu masih tetep gue lakuin sampe sekarang. Bukannya ga kenal kapok, tapi percaya deh, jalan dan nyasar sendirian itu akan bikin lo semakin mengenal diri lo sendiri. Mengetahui apa yang lo suka, apa yang lo takuti, apa yang bisa bikin lo tersenyum, dan yang pasti akan membuat lo semakin bersukur atas apa yang lo punya, bersyukur dengan orang-orang yang ternyata ada disekitar lo dan peduli sama lo.
Mungkin lo bisa bangga dengan banyaknya pengalaman lo traveling bareng temen atau pasangan lo, serta mengaplod banyak foto atau video dari hasil jalan-jalan lo itu. Tapi lo akan lebih bangga saat semua kenangan itu terekam cukup dikepala lo, jalan sendirian ketemu orang-orang baru, berbagi dengan orang-orang sekitar, menikmati kekayaan alam dan keramahan budaya lokal, tanpa perlu jeprat jepret selfie sana sini. Lo bisa cukup senyum saat ngeliat orang lain aplod foto dan video liburan mereka bareng temen atau pasangan mereka dan lo bisa bilang dalam hati; Gue udah pernah kesana dan nikmatin semuanya sendirian.
Sampe suatu hari, makhluk gagal move on berencana ngajak gue jalan saat hari lahir gue yang kebetulan jatuh di weekend. Iya, Fira. Dengan ribetnya dia memaksa gue buat jalanjalan. Dia ga nuntut mau kemana, tapi maksa ngajak jalan sampe akhirnya gue ribut sama dia.
Gue ga mau. Gue emang mau jalan, tapi sendiri. Ucap gue dengan nada kesel ke Fira lewat telepon.
Mau kemana" Gue ikut pokoknya. Enak banget lo jalan sendiri ga ngajak-ngajak. Fira ga kalah nyolotnya.
Kemana kek semau gue. Dan gue pengen sendirian. Lo mau ngapain sih ikut-ikut" S ana lah mending jalan sama tunangan lo, biar makin banyak foto di sosmed lo. Bawel. Ga usah nyindir. Pokoknya Gue ikut sama lo. Titik.
Lah" Lo siapa sampe maksa buat ikut" Kita baru-baru ini aja kali deket lagi s etelah lo s ama H endra bermas alah. kemarin-kemarin s aat kalian baik-baik aja mana pernah kita ketemu. Sekarang jangan sok berlagak jadi kaya temen deket atau sahabat gue deh.
Oke gue salah. Gue bener-bener salah ngomong kaya gitu. Fira pun ga mampu ngejawab omongan gue dan memilih diam sampe akhirnya gue mematikan telepon.
Padahal awal obrolan di telpon kita bercanda, gue malah yang curhat ke dia, tentang kabar orang yang juga batal tunangannya, yang mungkin emang bener-bener makhluk dari bintang yang sama dari tempat gue berasal. Kalo baca cerita sebelumnya, pasti tau siapa yang gue maksud tapi ga akan gue bahas disini, biar itu jadi... ah jadi apa lah nanti pokoknya.
Tapi ending obrolan gue sama Fira malah jadi ribut. Gue tau harusnya ga perlu sampe ngomong kaya gitu. Meskipun Fira orangnya serampangan, suka ngomong sembarangan, doyan becanda sampe ileranya berhamburan, tapi tetep aja dia perempuan. Pasti dia sakit hati denger kata-kata gue. Gue masih terlalu bego buat mengendalikan emosi. Gue masih terlalu mudah meluapkan emosi kemudian menyesalinya. Dan ga semua orang bisa menerima kebodohan gue itu. Bahkan ga sedikit yang memilih menjauh saat muak dengan kebodohan gue itu.
Akhirnya gue tetep memutuskan jalan. Gue melewati hari lahir gue sesuai rencana; nenda di salah satu pulau yang udah dari jauh-jauh hari gue rencanain. Gue emang berencana melewati hari jadi gue sendirian, karna setelah lebih dari sepuluh tahun gue selalu melewatinya dengan orang lain' yang mengisi hari-hari gue. Gue bukan mau menikmati kebebasan. Gue cuma mau melewatinya dengan menyendiri dan menentukan serta meyakinkan diri atas titik balik untuk hidup gue.
Sebuah titik dimana gue harus melakukan sesuatu, memperjuangkan apa yang gue mau.
Dan jika semua sesuai dengan rencana dan harapan gue, maka gue akan berusaha lebih keras untuk berjuang kedepannya. Dan jika Tuhan menentukan skenario lain, maka gue akan berbalik berputar arah, melepaskan harapan dan melanjutkan membangun tujuan baru yang akan gue perjuangkan sampai mati.
Sejak komunikasi terakhir gue sama Fira tempo hari, dia ga lagi menghubungi gue. Gue sempet mengirim pesan whatsapp meminta maaf, tapi kayanya nomer gue di block sama dia, atau mungkin sama cowoknya, karna gue terlalu sering whatsapp ke Fira mungkin. Atau mungkin udah jadi sifat dasar Fira, atau kebanyakan cewek pada umumnya, yang saat dia ngerasa kecewa, ga mau lagi kenal sama orang yang udah mengecewakannya, ga peduli ada hal baik yang pernah orang itu lakuin buat dia, pokoknya ga akan ada kesempatan buat memperbaiki kesalahan itu.
Haahhh.. Dan ini adalah update terakhir yang gue tulis. Sekaligus sebagai permintaan maaf gue ke Fira, Hendra, Sheila, dan semua pihak yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak langsung selama gue menulis cerita ini.
Terima kasih buat semua kaskuser atas segala apresiasinya. Semoga tulisan-tulisan gue tetep bisa bermanfaat buat semuanya, tetep bisa jadi pelajaran buat kita semua, buat ga ada lagi yang merasa ditinggalkan, meninggalkan, disakiti, atau menyakiti. seperti kata-kata Ryan yang tiba-tiba barusan banget dateng kerumah gue dan bilang; "G ue lebih milih dis akitin deh G us , daripada harus ninggalin orang yang gue s ayang kaya gini."
Lagu penutup, lagu yang selalu gue repeat saat jalan sendirian. Coba deh kalian dengerin saat kalian lagi jalan, atau malah lagi menepi sendirian ditengah aktifitas kalian. Berulang kali setiap gue coba bangkit dari keterpurukan, saat gue mulai menemukan keseimbangan dalam hidup gue tapi kemudian gue merasa gatau buat apa gue berdiri, gue selalu dengerin lagu ini. Dan ngucapin selama tinggal buat semuanya. Meskipun sakit, tapi gue harus tetep berjalan melanjutkan hidup gue.
So. Farewell, I'll miss you..
Salam hangat dari kota kecil di pinggiran Jakarta
nevverend Gw sempet kaget lo malah nulis yang kita ke bandung di cerita ini lewat pov lo, gue pikir lo lupa. Karna gak lo tulis sebagai side story di cerita sebelumnya. Itu kan kita lumayan banyak ngebahas si& . Uuppsss
Terus, gw harus manggil lo BAGUS yah disini" Dan nyebut dia HENDRA" Gitu"! OKAY!
Gw fira. Dengan curangnya lo nulis nama gue dengan asli dan lengkap. Cerita ini harusnya sih udah hampir selesai yah gus" Tapi gw belum bisa nebak dimana endingnya. Dan part terakhir update gw males bacanya. Tapi gw juga belum bisa kasih sudut pandang gw karena nanti malah membuka alur cerita yang masih disimpen.
Gw tau kok mungkin readers ngeliatnya gw tega yah sama hendra. Bagus juga pernah ngomong gitu ke gw. Tapi mungkin kalian gak akan ngerti gimana rasanya bertahan selama bertahun tahun sama semua sikapnya kemudian dengan gampangnya dia bilang gue gak pernah ada!
Gw mungkin akan coba ngerti kalau seandainya gw tau hendra cuma terpengaruh sama dunia mimpinya. Tapi apa gw pernah tau sebelumnya" Enggak! Hendra gak pernah cerita apapun tentang kelebihan dia yang bisa masuk dan bermain di dunia mimpi. Baru setelah gw capek sama semua sikapnya dan mutusin buat nyerah, dia baru mau cerita dan jelasin.
Eh btw backsound lagu my immortal itu pilihan siapa gus" Itu TEPAT banget kayak yang gw rasain. Khususnya di bagian reff. Gw yang selama ini nemenin dia. ngapus air matanya. Ngelawan semua yang dia takutin. Genggam tangan dia saat dia ragu. Tapi saat sadar dari koma, nama cewe lain yang disebut! Dan tololnya dia gak tau diri saat itu dengan bilang hubungan kita cuma mimpi. ( kan gw jadi kebawa kesel )
Oh ya, soal di part tentang kopi yang selalu dibuatin sama orang itu lo cuma bahas sekilas ya gus. Lo ga jelasin gimana gw ngamuk saat tau ada orang lain yang segitu perhatiannya ke dia. Mungkin buat dia itu sepele lah ya. Tapi enggak buat gw. Gw udah larang dia buat minum kopi itu biar orang yang buatin jadi ngerasa gak dihargain. Tapi emang ya cowo dimana mana gak sadar kalau udah kelewatan ngasih harapan ke orang lain. Hendra tetep dengan yakinnya ngebantah argumen gw dan tetep minum kopi itu. Dari situ gw curiga bakal ada gangguan dalam hubungan gw. Dan lo juga ga menceritakan lebih lanjut perihal gangguan itu gus. Atau masih di simpen buat part selanjutnya" Bakal bolak balik lagi dong alur ceritanya"
Ngomongin soal alur cerita, gw suka cara bagus mengemas ceritanya. Gw baru baca cerita ini saat udah ditulis belasan part, dan dari situ gw coba memposisikan diri sebagai orang lain yang gak tau cerita ini. Tebakan gw bener, gw yakin cerita ini gak akan serame cerita lo sebelumnya. Karna alur ceritanya yang lompat lompatan, gak kayak alur cerita lo sebelumnya yang jelas jalan dari hari per hari. Walaupun emang makin kesini makin jelas inti ceritanya. Ngejawab bagian yang bahkan gw sendiri gak nyangka ternyata semua yang gw beneran jalanin sama hendra itu beneran dia rewind di mimpi. Itu gw suka. Walaupun sempet agak bt saat baca part memuja senja tapi nama si cewe di cerita itu malah nama orang. Aargh gw jadi kesel kan& .
Eh iyaaa, gw penasaran deh, lo ngegambarin karakter gw sebaik itu atas permintaan hendra atau murni pengembangan karakter dari lo sendiri" Gw kok jadi curiga yah kalo lo sebenernya malah suka sama gw
Segini udah banyak kan yah gus. Ini gw ngorbanin jam tidur gw tau buat ngetiknya. Oiya perlu gw sebut tentang cewe yang mungkin bakal ada di cerita baru lo nanti gak" HAHAHA Serius deh gw bingung nyebut nama lo berdua. Nextnya gw panggil gan aja deh biar lebih
normal Jodoh Rajawali 23 Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati Pedang Penakluk Cinta 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama