Everytime Karya Alboni Bagian 2
--- Gua duduk diranjang kamar gua, memandang kearah jendela kamar yang gua biarkan terbuka. Hujan baru saja reda, menyisakan bau khas tanah yang terkena air hujan, gua menghirup aroma khas tersebut dalam-dalam, namun yang tercium hanya parfum dengan aroma permen, bau parfum Desita.
Gua mengambil ponsel dan menekan tombol berlambang telepon berwarna hijau; Redial. Kali ini bukan hanya kumpulan angka-angka, nama Desita muncul di layar ponsel gua. Berkali-kali nada sambung terdengar tapi nggak ada jawaban dari Desita, gua mencobanya beberapa kali dan hasilnya tetap sama. Gua panik!,
Gua bergegas mengambil jaket, bersiap menyusul Desita. Tapi kemana" Rumahnya pun gua nggak tau.
Gua terduduk didepan pintu kamar sambil mendekap jaket dan masih menggenggam ponsel. Nggak berapa lama ponsel gua berdering, gua melihat layarnya. Nama Desita muncul disana, gua menarik nafas lega kemudian menjawab panggilan tersebut.
Halo..Sol.. gue udah dirumah... Kapan sampe-nya"
Tadi, abis mandi dulu... Emang nggak bisa ngasih kabar dulu!!!" ....
SMS kek kalo udah sampe daritadi.. gua kan panik...
Iya.. yaudah gue mau istirahat dulu.. Ya..
Eh.. sol...makasih ya udah traktir gue... Iya sama-sama...
Makasih juga udah mau repot-repot panik buat gue..
Ya.. Gua menggenggam ponsel dan meletakkannya didada, sambil tersenyum gua memandang ke luar melalui jendela kamar yang terbuka.
Lagu Benci untuk Mencinta-nya Naif mengudara dari pos satpam disebelah rumah, berbarengan dengan suara biji karambol yang saling berbenturan diselingi gelak tawa, pak harjo dan mang diman si hansip yang sedang memulai tugas jaganya.
Oh, betapa ku saat ini Ku cinta untuk membenci... membencimu...
Oh, betapa ku saat ini Ku benci untuk mencinta... Mencintaimu... Aku tak tau apa yang terjadi Antara aku dan kau Yang ku tau pasti... Ku benci untuk mencintaimu.
Bagian #11 Sudah hampir satu bulan ini gue menjalani masa probation di kantor baru. Dari segi pekerjaan boleh dibilang bidang yang gue tekuni sekarang hampir-hampir tanpa tantangan, apalagi nanti gue bakal ditempatkan dibagian Legal, dimana dibagian ini menurut gua sama sekali nggak membutuhkan skill teknis khusus. Semuanya dikerjakan hanya berdasarkan kontinuitas seharihari dan kemampuan negosiasi yang baik. Kalau di cermati memang nggak ada sekolah atau fakultas khusus dimana orang belajar untuk mengurus perijinan Domisili Perusahaan, Tanda Perseroan Terbatas, Surat Importir Terdaftar, Perijinan Reklame bahkan pengurusan perpanjangan pajak kendaraan bermotor. Semua dilakukan berdasarkan pengalaman sehari-hari dan yang seperti tadi gue bilang; kemampuan negosiasi yang baik.
Negosiasi yang baik tanpa link dan koneksi yang luas juga tidak ada artinya. Di Indonesia, apalagi di Jakarta, semua yang ada bau pemerintahan dan perijinan pasti erat kaitannya dengan birokrasi yang kompleks, dari birokrasi yang kompleks tersebut akan terkonversi menjadi uang, semakin banyak uang digenggaman, semakin cepat proses pengurusan ijinnya, sisanya; hanya jadi yang orang-orang sebut sebuah formalitas.
Dan mungkin karena proses yang mudah dan nggak butuh skill teknis khusus itu pula, gue jadi terdampar di bagian import selama masa probation bisa jadi juga karena korelasi antar departemen yang intens atau mungkin takdir yang membawa gue kesana, who knows.
Dari segi pekerjaan mungkin tidak ada kendala yang berarti. Tapi mungkin dunia sosial gue yang benar-benar mengalami masa probation yang sebenarnya. Senior gue, di bagian Import; Solichin, benar-benar menjadi sosok yang bisa dibilang untuk saat ini paling ingin gue hindari. Ya, walaupun gue nggak segan untuk bilang kalau dia memang tampan, necis dan terlihat smart walau sedikit kurus tapi dibalik itu semua, Solichin seperti punya kepribadian yang aneh, nyaris mirip seorang aristrokrat jaman Napoleon dulu, arogan, egois dan selalu ingin menang sendiri.
Sebulan ini, gua di-training sama dia. Dan nggak sekalipun dalam satu hari, dia bersikap normal layaknya orang-orang kebanyakan. Hampir semua yang gue lakukan (diluar content pekerjaan) selalu dianggap salah olehnya. Jangan makan sambil kerja, jangan letakkan pulpen tanpa ditutup terlebih dahulu, jangan meninggalkan kursi membelakangi meja, jangan menggunakan enter untuk pindah kolom, jangan ngupil sambil ngobrol dan ratusan jangan lainnya. Hidupnya seperti militer, stuck dalam berbagai macam aturan yang menurut gue malah membebani dirinya sendiri. Dan dia hampir nggak pernah bersikap ramah terhadap gue.
Suatu hari, Pak Swi, si manajer Eksport-Import yang terkenal killer datang menghampiri gue. Saat itu Solichin sedang tidak berada ditempatnya. Cari Solichin pak"
Gue bertanya, mencoba bersikap ramah. Oh, ndak.. justru cari kamu..
Saya pak" Iya, gimana.. udah ngerti" Udah pak, udah paham.
Ok, besok kamu ke BPOM ya.. urus dokumen pindah.. saya sudah bicara ke Manajer Legal.. Wah, tapi kalo urus-urus begitu saya belum begitu paham pak..
Ndak papa.. nanti minta temenin Solichin.. Dan beberapa saat kemudian Solichin sudah duduk disebelah gue sambil menuliskan catatan tentang dokumen-dokumen yang perlu disiapkan untuk dibawa besok ke kantor BPOM. Dia memberikan catatan itu ke gue, sebuah kertas notes yang disobek rapi. Gue mendengar penjelasan singkatnya sambil mata gue tertuju pada sebuah tulisan dengan tinta berwarna merah.
--- Entah apa yang ada dibenak cowok kurus dan ngeselin ini. Bisa-bisa nya dia ngerjain gue dengan membiarkan gua menggunakan helm sementara dia membawa mobil. Mungkin kalau nggak menimbang-nimbang tentang perlu-nya gue akan pekerjaan ini, gue pasti udah keluar dari sini, keluar dari situasi dimana gue terjebak dengan seorang cowok kurus ngeselin ini.
Ditengah perjalanan menuju kantor BPOM, didalam sebuah mobil CRV hitam, setelah lama kami berdua tenggelam dalam diam, Solichin mulai membuka pembicaraan, awalnya dia bertanya tentang latar pendidikan gue, yang mana gue nggak terlalu suka menjelaskannya ke banyak orang. Lama kelamaan pertanyaannya semakin nggak jelas , dia mulai bertanya tentang konsep hukum fisika lah, teori relativitas Einstein lah, konspirasi illuminati lah bahkan seakan mengetes gue, dia mengajukan soal-soal matematika ke gue. What s wrong with this guy"
Mungkin seandainya Solichin nggak punya kepribadian aneh dan nggak selalu bertindak menyebalkan, dia pasti bisa menjadi sosok ideal buat para cewek-cewek. Terkadang gue menangkap ada kebimbangan terpancar dari gelagatnya, apalagi seminggu belakangan ini, dia sering terlihat kikuk, bingung dan gundah, seperti orang yang nggak punya pegangan hidup, doyong , bergoyang kesana kemari.
Gue menyusul Solichin setelah mengambil tiket nomor antrian untuk konsultasi perpindahan alamat di salah satu ruangan di kantor BPOM. Solichin hanya duduk terdiam disebelah gue sambil memandangi kerumunan orang-orang yang hilir mudik di ruangan itu. Kemudian dia mengeluarkan ponsel canggihnya dan mulai hanyut dalam sebuah permainan didalamnya, ini yang gue kurang suka, saat lo harusnya bisa bersosialisasi dengan orang-orang yang ada didekat lo, elo malah hanyut dalam kesendirian dengan gadget. Gue meminjam ponselnya dengan alasan ingin mendengarkan musik. Dia menyerahkan ponsel dan earphone nya ke gue, sambil memutar lagu dan berlagak melihat playlist-playlist yang ada di ponselnya, gue memeriksa pesan-pesan yang ada disana. Hehehehe.. lo pikir, lo doang yang bisa iseng. --Mau dianter ke rumah" Hah"
Gue balik bertanya ke Solichin yang menwarkan mengantar gue kerumah sepulangnya dari kantor BPOM.
Mau dianter kerumah, nggak"
Eh, nggak.. nggak usah.. gue turun di palmerah aja.. eh lo lewat palmerah kan"
Iya lewat.. bener nih"
Bener..gue mau beli buah dulu.. Gua menjawab, bohong. Mencoba meyakinkan Solichin agar nggak perlu mengantar gue ke rumah. Seperti biasanya, gue nggak mau ada orang yang tau dimana gue tinggal. Gue nggak mau ada orang yang lihat betapa menyedihkannya tempat gue tinggal, sebuah gubuk dua petak dikawasan padat penduduk, dibelakang pasar yang biasa gue sebut rumah . Gue nggak mau ada orang yang tau, apalagi Solichin.
Dan yang gue nggak habis pikir, malam setelah perjalanan kerja kami ke kantor BPOM. Solichin menelpon gue, gue ulangi; Solichin menelpon gue, marah-marah kemudian ngajak gue jalan. Dan malam itu Solichin mengajak gue pergi, kemudian kami makan di sebuah warung tenda roti bakar di daerah Blok-M, sebenarnya hanya gue yang makan, jadi sepertinya kurang tepat jika menggunakan kata kami . Bisa dibayangkan betapa anehnya dia; Telpon ngajak jalan, ngajak makan tapi dia nggak makan. Dan seakan hal itu nggak cukup membuat gue shock , sepulangnya dari sana dia; Solichin nembak gue. What the hell...
Sejak bertemu, hampir sebulan, dia nggak pernah ada manis-manisnya ke gue, tiba-tiba telpon sambil marah-marah, ngajak makan tapi dia nggak makan dan akhirnya.. nembak gue. Mungkin untuk ukuran cowok normal, hal seperti itu bisa dibilang aneh, sangat aneh. Yang gue tau dan yang pasti kebanyakan orang tau, tahap sebelum nembak cewek itu PDKT (red; pendekatan), dalam proses PDKT itu sendiri biasanya, si cowok bakal bersikap manis semanis-manisnya, setelah ada proses penjajakan yang matang, barulah si cowok nembak si cewek. Sedangkan, perlakuan yang gue terima dari Solichin malah sebaliknya. Malam itu, sepulang dari makan roti di salah satu warung tenda di daerah Blok-M. Gua dan Solichin berteduh dari hujan yang tiba-tiba turun, di salah satu emperan ruko didaerah Melawai. Gue hanya terduduk, sambil berselimut jaket yang dipinjamkan Solichin ke gue, memandang tumpahnya air hujan yang menerpa aspal. Gue merenung, menatap percikan air hujan, mungkn percikan yang sama yang gue tatap tiga belas tahun yang lalu, saat ibu membisikkan kata ; Neng.. Bapak udah nggak ada.. ., Malam itu, malam tiga belas tahun yang lalu, malam dengan hujan yang sama seperti malam ini, saat gue terduduk dipelataran teras sebuah rumah sakit negeri didaerah Jakarta Pusat, saat gue memandangi bapak yang terkulai kaku dan membiru, setelah berhari-hari merasakan sakit yang luar biasa, setelah berhari-hari Ibu bersusah payah mengurus surat keringanan berobat, setelah puluhan kali ibu beradu argumen dengan bagian administrasi rumah sakit karena tidak mampu membeli obat, akhirnya Bapak menyerah. Gue hanya bisa menangis, mengiringi Bapak yang tengah didorong diatas kasur beroda menuju sebuah ambulan yang sudah siap menunggu. Sebuah ambulan dengan tulisan besar ; Melayani Tanpa Pamrih akhirnya mengantar Bapak ke peristirahatan terakhirnya.
Gua suka sama lu.. Sebuah kalimat yang diucapkan Solichin. Sebuah kata yang membuyarkan lamunan gue, sebuah kata yang membuat gue kaget, sangat kaget. Dan disisa malam itu, sebuah malam yang terasa panjang. Gue mendekap ponsel dipelukan, setelah Solichin baru saja selesai menelpon. Dia sepertinya khawatir terhadap gue dan nggak bisa dipungkiri kalau gue suka akan hal itu. Ah perempuan mana yang nggak senang diperhatikan. Sambil terus tersenyum-senyum sendiri, gue membayangkan sosok Solichin yang tengah berjalan memunggungi gue, entah kenapa gue nggak berani untuk membayangkan wajahnya, mungkin karena disatu sisi hati gue takut. Takut kalau semua ini hanya mimpi, takut kalau Solichin hanya bermain-main belaka dan kalaupun Solichin benarbenar serius, gue takut dia bakal pergi setelah tau kondisi hidup gue, tapi disisi hati gue yang lain seperti ada bunga yang kembali mekar. ------Bagian #12 Pagi ini, hampir sangat berbeda dari pagi-pagi yang pernah gua lalui sebelumnya. Gua sangat bersemangat berangkat ke kantor, penyebabnya tiada lain tiada bukan adalah; Desita.
Jam menunjukkan pukul sepuluh tepat, saat gua memandangi kursi kosong disebelah gua. Desita belum juga datang, berkali-kali gua mencoba menghubunginya tapi nggak diangkat, terakhir malah nomor ponselnya nggak bisa dihubungi sama sekali. Antara panik, khawatir, marah dan kesel, gua mengetuk-ketuk pena dimeja sambil menggoyang-goyangkan kaki. Berfikir apa dia nggak masuk karena sakit atau marah karena gua udah nembak dia tiba-tiba tempo hari. Atau.. amit-amit, terjadi apa-apa sama dia. Gua buru-buru menggeleng mencoba menghilangkan pikiran buruk dari otak gua dan menggantinya dengan yang lebih positif, ah mungkin dia sakit, tapi sakit bukanlah hal yang positif, ah mungkin dia marah sama gua.. biarlah.
--- Hari ketiga, gua duduk didepan meja kerja dan masih tanpa Desita disebelah gua. Kehilangan kesabaran, akhirnya gua beranjak dan pergi menuju ke departemen HRD yang berada dilantai atas.
Haloo.. Solichiin... makan siang bareng yuk.." Suara genit Fitri menyambut gua, saat gua baru saja masuk kedalam ruangan.
Bu Indra ada nggak" Gua nggak menjawab pertanyaan Fitri dan balik bertanya kepadanya sambil pasang tampang serius.
Eh.. ada.. ada.. Fitri menjawab sambil terbengong-bengong melihat raut muka serius gua, tanpa menggubris Fitri lagi gua langsung masuk kedalam ruangan Bu Indra.
Bu Indra tengah makan siang dimejanya saat gua mengetuk pintu ruangan dan langsung masuk ke dalam.
Eh kamu hin.., makan"
Bu Indra basa-basi menawarkan.
Bu, si Desita udah tiga hari nggak masuk.. ngasih kabar ke Ibu nggak"
Gua bertanya ke Bu Indra sambil tetap berdiri didepan pintu.
Ooh, Desita.. iya iya.. waktu hari senin dia telpon saya.. ijin katanya ibunya sakit..
Gua menarik nafas lega mendengar jawaban dari Bu Indra.
Saya boleh minta alamatnya Desita nggak bu" Alamat" Buat apa" Mau jenguk" Tumben.. Eee.. sebenrnya sekalian mau ngambil dokumen yang kebawa sama dia..
Gua menjawab, sedikit berbohong. Coba kamu minta sama Fitri deh... Oke bu, makasih ya..
Gua bergegas keluar dan menuju ke meja si Fitri. Fit, minta alamat Desita"
Gua bertanya ke Fitri yang tengah asik dalam pekerjaannya. Fitri mengernyitkan dahi, kemudian memandang ke arah gua.
Desita" Ada apa sih lo sama Desita" Waktu itu nanya no telp, sekarang nanya alamat.. Udah buruan, mana..
Bentar.. Fitri kemudian membuka Database karyawan yang seharusnya menjadi rahasia perusahaan dan mulai mencari nama Desita. Nggak lama Fitri mengambil selembar Post-it dan mulai menyalin alamat Desita yang tertera dilayar keatas kertas kemudian menyerahkannya ke gua tanpa sedikitpun menoleh. Gua buru-buru menyambarnya. Thank you...
--- Sore harinya sepulang bekerja, gua duduk diatas motor sambil menatap sebuah gang sempit yang sepertinya sesuai dengan alamat yang tertera di secarik kertas ditangan gua.
Mas.. mas.. Gua turun dari motor dan menghampiri seorang pemuda yang tengah berjalan melewati gua mnuju kearah gang tersebut.
Kalo alamat ini, bener disini.." Gua bertanya sambil menyodorkan kertas ditangan gua.
Iya bener.. masuk aja kedalem, sekitar seratus meteran lah..
Pemuda itu memberitahu sambil menunjuk kearah dalam gang.
Bawa motor ya" Motor sih bisa masuk, tapi parkirnya agak susah...
Pemuda itu menambahkan sambil menatap kearah sepeda motor gua
Oh gitu.. makasih deh mas..
Gua berlalu. Setelah memarkirkan sepeda motor di pelataran parkir sebuah indomart yang letaknya nggak begitu jauh dari muka gang sempit tersebut, gua mulai berjalan masuk kedalam gang sambil sesekali bertanya kepada orang-orang yang tengah duduk di beranda rumah mereka. Gang sempit ini dimana dikedua sisinya berjajar rumah-rumah penduduk yang saling berhimpitan satu sama lainnya dan rata-rata memiliki dua lantai, beberapa diantaranya bahkan hanya berdiri bertopang papan, gang yang hampir menyerupai sebuah terowongan karena sedikit sekali cahaya matahari bisa masuk terhalang puluhan jemuranjemuran yang menggantung dilantai atas rumahrumah ini terlihat riuh, hampir mustahil dapat berjalan kaki tanpa bersinggungan dengan pejalan kaki lainnya yang berlawanan arah. Gua sedikit mengernyit saat mencium aroma tak sedap dari selokan-selokan kecil yang berada persis didepan rumah-rumah tersebut, selokan yang menghitam karena airnya tidak mengalir. Ditambah karena posisinya yang bersebelahan dengan pasar sehingga menambah parah aroma yang ditimbulkannya. Dan gua mulai ragu kalau Desita tinggal didaerah seperti ini.
Gua menghampiri, beberapa ibu-ibu yang tengah berkumpul didepan sebuah warung yang menjajakan aneka macam lauk pauk.
Permisi bu.. mau numpang nanya.. kalau rumahnya Desita disebelah mana ya"
Mendengar pertanyaan dari gua, ibu-ibu tersebut saling pandang dan salah satu dari mereka menunjuk sebuah gang lagi yang berbelok ke kanan.
Setelah berbasa-basi dan mengucapkan terima kasih, gua berjalan menuju ke arah yang tadi ditunjukkan oleh ibu tersebut. Gua berdiri disebuah gang didalam gang, yang lebih sempit, mungkin lebarnya kurang dari satu meter. Pada awalnya gua sedikit ragu untuk masuk kedalam, keraguan yang sama yang muncul saat baru menginjakkan kaki disini tadi; apa benar Desita tinggal ditempat seperti ini. Namun keraguan gua tiba-tiba terjawab saat, sesosok perempuan tengah menenteng sebuah baskom terlihat diujung gang, sosok Desita yang tengah menatap gua, kemudian buru-buru masuk kedalam sebuah kamar.
Des.. des.. desita.. Gua berjalan cepat menghampiri sambil memanggil namanya.
Ngapain si lo pake kesini segala..
Desita keluar dari tempat yang tadi sempat gua pikir adalah sebuah kamar. Dia berdiri berkacak pinggang didepan pintunya. Gua mencoba mencuri pandang kedalam kamar tersebut, didalamnya terdapat sebuah foto seorang gadis kecil tengah menari lengkap dengan pakaian adat bali dan gua mengenali sosok gadis kecil itu; Desita.
I..ini rumah lu" Gua bertanya, Desita nggak menjawab. Dia hanya memandang ke arah lain, mencoba menghindari tatapan gua.
Des..." .... Desita.. gua boleh masuk..."
Desita nggak menjawab, dia hanya menurunkan bahunya dan mundur beberapa langkah kedalam seakan mempersilahkan gua masuk. Gua pun melepas sepatu pantofel gua dan meletakkannya disudut pintu kemudian masuk kedalam. Tempat yang tadi gua sebut kamar adalah sebuah rumah, rumah dengan lantai tertutup bahan semacam karpet plastik dimana hanya terdapat sebuah sofa kecil yang sudah terlihat usang berdampingan dengan meja kayu yang juga nggak kalah usang. Dari tempat gua berdiri samar terlihat ujung tempat tidur yang posisinya bersebelahan dengan ruangan tempat gua berada, sepertinya kamar tersebut hanya dipisahkan oleh sebuah lemari besar sehingga terlihat seperti ada dua ruangan.
Gua melihat kebawah, mengusap lantainya dengan tangan sebelum gua duduk.
Duduk diatas aja.. Desita menganjurkan gua untuk duduk di sofa usang disudut ruangan. Gua hanya tersenyum sambil berkata lirih; Gapapa disini aja.. Desita duduk disebelah gua, hari ini dia menggunakan kaos hijau bergambar Chip and Dale dan celana pendek selutut. Aroma parfum Candy-nya tak lagi tercium, tapi dari sin, dari tempat gua duduk aroma tubuhnya tetap kental terasa, dan seperti biasa aroma itu selalu berhasil membius gua. Ini rumah gue, sol.. jelek ya..."
Seperti mampu menebak apa yang ada dibenak gua, Desita berbicara sambil menuangkan air dari dalam teko kedalam gelas kecil bermotif kembang dan menyodorkannya ke gua.
Gua nggak menjawab, sambil memandangi dinding yang sebagian terbuat dari papan teriplek gua bertanya ke Desita;
Lu kenapa nggak masuk" Nyokap gue sakit..
Desita menjawab sambil menoleh ke arah ruangan yang disekat oleh sebuah lemari. Dari sana terdengar beberapa kali suara batuk dari seorang wanita. Nggak lama seorang wanita tua muncul setelah sepertinya susah payah bangkit dari tempat tidur, Desita buru-buru bangkit memapahnya.
Ada siapa neng" Wanita tua tersebut bertanya ke Desita. Temen Desi bu..
Gua berdiri berusaha menyambut tangan wanita tua yang berjalan menghampiri gua sedikit sempoyongan. Sambil menyalami gua wanita itu memandang gua dari atas sampai kebawah kemudian bertanya;
Temen kantornya Desi" Iya bu..
Gua menjawab pelan. Maap ya Desinya udah berapa hari nggak masuk, ibu udah nyuruh dia untuk masuk aja, dia nya nggak mau..
Ooh.. bukan bu.. saya kesini bukan perkara desita nggak masuk.. saya cuma.. cuma mau ... mmm.. mau maen...
Ooh maen.. tumben.. maklum ya dek, tempatnya sempit.. kita cuma berdua.. bapaknya Desita udah lama meninggal..
Si ibu berkata sambil berlinang air matanya. Desita menggeleng, gua melihat disutu matanya juag sudah mulai basah.
Udah bu, istirahat aja.. Si Ibu kemudian memandang Desita kemudian tersenyum, Desita menuntunnya kembali tempat tidur dan nggak lama dia kembali duduk disebelah gua. Hampir cukup lama kami berdua tenggelam dalam diam, sesekali gua memperhatikan Desita tengah memandang kosong ke dinding sambil berpangku tangan.
Lu kenapa nggak ngabarin gua" Ditelpon nggak diangkat..
Mmm.. anu, handphone gue anu.. rusak.. Ooh..
Minum sol.. Desita menyodorkan gelas berisi air putih yang dari tadi nggak gua sentuh sedikitpun.
Mau minum teh botol"
Nggak.. nggak usah.. Truss mau minum apa" Kopi"
Nggak.. nggak.. gua cuma sebentar kok, gua cuma pengen tau kabar lu aja, pengen tau kalao lu baik-baik aja..
Sekarang lo udah tau kan" Iya..
Sekarang lo juga udah tau kan kondisi gue kayak apa" Udah tau kan alesan gue nggak punya tipi".. Gua nggak menjawab, gua hanya bisa diam. Sol..
Ya.. Sekarang lo, masih mau nembak gue setelah tau kondisi gue kayak gini"
Gua tersenyum mendengar pertanyaan dari Desita dan memandang dia tajam. Kemudian gua berdiri dan bersiap untuk pulang.
Gua balik dulu ya.. udah sore.. Iya,..
Gua memakai sepatu dan berjalan pelan meninggalkan Desita yang masih berdiri didepan pintu. Nggak seberapa lama, saat gua sudah hampir sampai diujung gang dimana tadi terdengar suara langkah kaki bergerak cepat menyusul gua. Desita berdiri disamping gua, menggapai lengan kemeja gua sambil terengahengah.
Sol.. ... Makasih ya, udah mau main kesini..
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum memandangnya. Desita mencubit lengan gua. Ngapain sih lo daritadi cuma senyam-senyum nggak jelas...
Lu tau nggak Des.. kalo senyum gua barusan adalah senyuman terbaik gua, yang selalu gua pake untuk menaklukan cewek-cewek.. dan belum ada satu pun cewek yang nggak takluk menghadapi senyuman ini, kecuali elu... Najis...
Dan.. jangan lupa sms gua nanti.. Eh, handphone gue kan..."
Gua menepuk jidat, baru teringat kalau tadi Desita bilang ponselnya rusak. Gua mengeluarkan ponsel gua dari dalam saku celana, dan menyerahkannya ke Desita.
Nih.. pake dulu.. Kalo ada cewek yang telpon nggak usah diangkat.. nanti gua malam gua telpon kesini..
Gua mengambil charger dan earphone ponsel dari dalam saku ransel dan menyerahkannya ke genggaman Desita, dia cuma terbengongbengong. Belum sempat dia bicara gua buru-buru ngeloyor pergi.
------- Bagian #13 Gua duduk terdiam di teras belakang rumah gua sambil menghabiskan sebatang rokok dan memandang ke arah kolam yang berisi ikan koi. Gua nggak habis pikir dengan Desita, cewek yang begitu kuat menghadapi kerasnya hidup. Tinggal dipemukiman padat, dengan rumah yang mungkin nggak layak gua sebut rumah, merawat ibu yang sakit dan parahnya... Desita harus menghadapi orang yang menyebalkan seperti gua ditempat kerjanya. Gua menyesali diri sendiri, semakin teringat Desita, semakin menyesal gua dibuatnya. Gua berdiri dan berjalan menuju ke ruang keluarga, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan meja telepon dan mulai menekan tombol-tombol dipesawat telepon, menghubungi nomor ponsel gua.
Halo.. Halo, Des... Ya.. Udah makan.. Udah kok.. lo" Hehe udah juga..
Saat gua tengah asik bertelpon ria dengan Desita, Salsa dengan suara cemprengnya berteriak teriak. Cie yang lagi pacaran.... pake telepon rumah lagi..
Gua menghela nafas dan kembali menghadapi gagang telepon.
Suara siapa tuh sol.. kayak suara perempuan.. Iya, suara kakak gua..
Yaudah deh, gua tutup ya.. soalnya reseh kalo ada dia..
Oh yaudah.. Besok masuk kerja kan" Mmm.. masuk..
Oke, bye.. Bye.. eh sol.. makasih ya.. Iya..
Gua menutup gagang telepon kembali ditempatnya. Melepas sebelah sendal jepit yang gua pakai dan melemparkannya ke arah Salsa yang masih berteriak teriak nggak keruan.
--- Dikamar gua berbaring memandang langit-langit kamar sambil tak henti-hentinya memikirkan Desita. Membayangkan betapa besar beban hidup yang harus ditanggungnya, membayangkan kesulitan yang terus menghantuinya dan sekali lagi gua menyesali apa yang sudah gua pernah lakukan ke dia.
Selama hidup, gua jarang sekali menyesali sesuatu. Hal terakhir yang gua ingat adalah penyesalan gua perkara beberapa tato yang saat ini menghiasai punggung dan lengan atas sebelah kanan. Waktu itu ibu sampai nangis-nangis pas tau kalo anak laki satu-satunya ditato, tato yang gua buat sewaktu liburan bareng Salsa dan beberapa sepupu ke Amerika. Bapak yang biasanya nggak pernah marah, pas melihat tato dipunggung gua dia langsung bergegas mengambil setrikaan, berniat menempelkan setrikaan panas dipunggung gua, seingat gua Bapak bilang begini;
Pikir dulu kalo mau buat Tato.. itu dibawa sampe mati..
Ya tapi mau bagaimana lagi, tinta sudah meresap kedalam kulit menembus daging. Gua hanya bisa duduk merenung berhari-hari menyesali keteledoran dalam gejolak kawula muda gua saat itu.
Dan saat ini, penyesalan seperti itu datang kembali.
Penyesalan karena sudah tidak berlaku nice terhadap Desita dan ditambah sebuah penyesalan tentang perilaku gua yang suka nggak bijak saat mengeluarkan uang, padahal masih banyak orang diluar sana yang hidupnya serba terbatas. Seringkali gua memandang rendah Desita yang sehari-hari menikmati makan siang-nya dimeja kerja gua dengan bekal yang dibawa-nya dari rumah.
Menyesal, saat ingat gua dulu seringkali membolos sekolah hanya untuk bermain billiard, menghabiskan uang saku untuk mentraktir cewekcewek dan bahkan gua pernah menjual jam tangan hadiah ulang tahun dari Bapak hanya untuk membayar Villa di anyer untuk traktir temanteman.
--- Pagi itu gua tiba dikantor seperti biasa, gua berjalan semakin cepat saat melihat sosok Desita tengah duduk dikursinya menghadap ke layar monitor.
Hi There.. Gua menyapa Desita. Oh.. hai.. udah dateng...
Desita menjawab, tersenyum kemudian menyodorkan sebuah bungkusan korang yang sedikit berminyak kehadapan gua.
Apaan nih.." Buka aja.. Gua membuka bungkusan tersebut, didalamnya terdapat dua buah kue cokelat berbentuk lonjong yang berbalut gula merah.
Wah.. kemplong.. Bukaaan... bukan kemplong, tapi Gemblong.. Ooh.. Gemblong..
Gua celingak celinguk mencari tissue, kemudian secara sadar gua melupakan tissue dan mengambil Gemblong dengan tangan kosong dan mulai melahapnya. Ah.. belum pernah seumur hidup gua merasakan kue yang senikmat ini, sambil sesekali menatap kue yang gua makan, gua bertanya ke Desita;
Ini dibikin dari apa" Dari ketan ya" Dari singkong..
Hah.. singkong" Kok bisa seenak ini.. Yee.. norak..
Sesaat kemudian gua mulai larut lagi dalam aroma tubuh dan parfum-nya Desita. Seakan nggak ingin kehilangan aroma tersebut, gua menghirupnya dalam-dalam tanpa mau menghembuskannya lagi. Desita mengeluarkan ponsel gua dari dalam tasnya, lengkap dengan charger dan earphonenya.
Nih.. sol, makasih ya udah minjemin.. Laah, handphone lu emang udah bener" Desita menggeleng, kemudian tersenyum. Handphone gue nggak rusak kok, tapi gue jual... Lho kenapa dijual, nanti lu pake apa" Nggak papa, lagian sekarang gue belom butuhbutuh banget kok...
Ya elu nggak butuh, trus gua apa kabar.. gua kalo mau hubungin lu gimana"
Kan kita ketemu setiap hari disini, dikantor..emang masih kurang delapan jam ketemu gue"
Gua memajukan bibir, mengernyitkan dahi kemudian mengangguk sambil berkata lirih; Iya, kurang..
Kalo dijual, berarti simcard nya masih ada dong" Gua bertanya ke Desita. Dia cuma mengangguk kemudian mengeluarkan Sebuah kartu kecil dari dalam saku dompetnya dan meletakkannya diatas meja. Dengan cepat gua menyambar kartu simcard tersebut, membuka casing ponsel gua, melepas simcard milik gua dan menggantinya dengan milik Desita kemudian menyodorkan kembali kepadanya.
Nih.. lu pake aja dulu sementara...
Ah nggak ah.. gue nggak mau utang budi sama elo..
Desita menyodorkan kembali ponsel tersebut kearah gua. Gua bersikeras tapi Desita tetap menolak. Akhirnya setelah berfikir sejenak gua mendapatkan sebuah Ide brilian.
Yaudah, nih lu bayarin deh handphone gua.. kalo lu nggak mau cuma-cuma..
Idih.. mana kuat gue bayarin handphone kayak begini...
Des.. nggak semuanya harus dibayar pake duit kali..
Trus pake apa" Pake daon" Pake Cinta...
Idiih.. ogah.. masa cinta gue cuma dihargain sama handphone...
Hahaha.. nggak nggak becanda.. dibayar pake gemblong aja..
Hah" Serius.. Iya serius.. besok sabtu lu bikinin gua gemblong..
Nggak menunggu jawaban dari Desita gua buruburu memasukkan ponsel yang sudah gua berikan kedalam tas nya, beserta charger dan earphone nya.
Dan disisa hari itu, gua menghabiskan waktu kerja dengan semangat. Perlu diketahui, kalau gua nggak pernah sesemangat seperti hari ini selama gua bekerja disini. Semua karena seseorang dan orang itu bernama Desita.
------- Bagian #14 Wok.. berapa sih rata-rata kontrakan layak huni" Gua bertanya ke si Bewok yang tengah asik dengan ponselnya sambil bersandar pada dinding teras belakang rumah gua.
Sepertinya gua nggak perlu menjelaskan kenapa teman gua yang satu ini dipanggil dengan sebutan Bewok. Dia adalah teman SMA gua, satu-satunya teman yang gua punya; the one and only. Bewok adalah anak seorang pejabat, pejabat yang kalau kalian mau mencoba menghitung total uang yang dimiliki Bapak dan keluarganya, maka kalian harus mengajak orang satu kampung untuk membantu menghitungnya. Walaupun lahir dari keluarga yang kaya, tampilan Bewok benar-benar nggak mencerminkan betapa tajir nya dia. Sehari hari Bewok cuma wara-wiri dengan celana pendek dan kaos hitam, nggak ketinggalan sebuah handuk kecil yang selalu tergantung dilehernya. Pernah suatu ketika dia masuk kedalam sebuah toko, dengan kaos, celana pendek, handuk yang diikat dikepala ditambah sendal jepit swallow yang warna putihnya sudah berubah menjadi kuning gading, dan hasilnya; dia mendapatkan perlakuan sinis dan merendahkan dari para pegawai bahkan pemilik toko-nya. Seminggu berikutnya, toko tersebut sudah rata dengan tanah; The Power Of Money.
Hah".. tergantung... Maksudnya"
Tergantung lokasi sama fasilitasnya,coy.. Mention me..
Bewok menegakkan tubunya, meletakkan ponselnya dilantai, sambil menyulut sebatang rokok filter favoritnya dia bersila kemudian mulai menjelaskan.
Misalnya.. kontrakan tiga petak diarea komersial, dipinggir jalan raya atau disekitar kampus.. harganya pasti lebih mahal dibanding yang didaerah pemukiman biasa, walapun spesifikasinya sama.. lokasi berbanding lurus dengan prestasi...
.... Gua cuma mengangguk. Kalo didaerah sekitar Palmerah, Senayan, Kebayoran Lama.. gimana"
Waah.. daerah mahal semua itu mah.. kecuali mungkin kawasan perkampungannya mungkin masih murah..
Berapa kira-kira, wok"
Ngapain sih lu nanya-nanya gituan" Mau bikin kontrakan"
Nggak.. udah jawab aja...
Kalo yang ukuran petakan paling sekitar sejutaan.. biasanya udah ada listriknya 900-1300 watt
Gua kembali menganggukan kepala sambil mengusap-usap dagu. Gua mulai mengkalkulasi pendapatan dari Gaji bulanan Desita dan pengeluaran dalam sebulan untuk dua orang; Desita dan Ibu-nya. Angka-angka melayang di luar kepala gua, saling melakukan operasi hitungan dan secara otomatis muncul sebuah kesimpulan dengan tanda petik besari melayang-layang diatas kepala gua; Minus .
Seharusnya dengan kecerdasaan yang dimiliki Desita, dia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan dengan penghasilan yang lebih baik juga. Tapi, apa daya, di Indonesia rata-rata penghasilan karyawan itu berbanding lurus dengan jenjang pendidikan yang dimiliki. Makanya Bapak dulu pernah bilang; kalau nanti punya anak, jangan dibiasakan ditanya kalau sudah besar mau jadi apa" melainkan kalau sudah besar mau bikin apa" , jadi sejak dini sianak sudah dibiasakan memiliki mental wirausaha, bukan mental pegawai. Tapi, kedua anak bapak malah nggak ada yang jadi wirausahawan, semua jadi pergawai. Wok.. bengkel mobil lu lagi butuh karyawan nggak"
Hah" Siapa yang mau kerja" Ada temen gua, cewe.. pinter.. Cakep nggak"
Bewok melingsir kesebelah gua sambil memasang tampang serius.
Cakep.. banget.. tapi kalo lu apa-apain.. besoknya gua pastiin lu cebok pake kaki...
Eh..buse.. Ada nggak" Ada sih, tapi mendingan nggak usah deh.. bakal apaan ada cewek cantik tapi nggak bisa diapaapain..
Yee.. serius nih gua.. Mau nggak digaji dua juta sebulan.. kerjaannya cuma nginput-nginput data merangkap kasir doang....
Ah gila lu, paling nggak segini
Gua mengangkat empat jari tangan gua kehadapannya.
Anjrit.. nggak bisa gua ngasih segitu, karyawan yang laen bisa mencak-mencak ntar..
Ah payah lu.. Elu yang payah, kalo lu mau bantuin tuh cewek.. nikahin aja, abis perkara..
Gigilu... gua nembak dia aja belom diterima, apalagi ngajak nikah..
Whaaat... seorang Ableh.. ditolak cewek.. Et..et.. bukan ditolak tapi belom diterima .. tolong dibedakan ya..
Kok buat gua terdengar sama ya" Gembel lu wok, gua ngalor-ngidul ngomong sama lu, nggak dapet solusi berarti..
Au ah.. billiard yuk"
Nggak ah, gua mau pergi.. Hah, kemana"
Ke neraka!! Mau ngikut""
Gua berdiri kemudian beranjak masuk kedalam kamar, meninggalkan Bewok yang kembali sibuk dengan ponselnya.
--- Sabtu siang itu, gua duduk diatas sepeda motor yang sengaja gua parkir didepan Indomaret yang terletak nggak begitu jauh dari pasar Palmerah. Dari tempat gua duduk disini terlihat menjulang sebuah bangunan tinggi megah milik sebuah perusahaan penerbit paling digdaya di negara ini, Kompas Gramedia Grup, Bangunan raksasa itu terlihat begitu megah, begitu mengayomi lokasilokasi sekitarnya, tapi kenyataannya nggak seperti itu. Masih banyak rumah-rumah berdinding papan teriplek beralaskan koran, beratap mimpi dan berselimut dingin yang berdiri ringkih disekitarnya, sebuah ironi.
Woii.. Terdengar suara Desita dari kejauhan sambil berjalan mendekat, dia mengenakan sweater abuabu dengan hood menutupi kepalanya dan celana pendek kargo berwarna cokelat.
Udah lama" Lumayan.. Gua turun dari jok sepeda motor, memanggil seorang pria tua yang menjadi juru parkir di minimart tempat gua memarkir sepeda motor. Gua mengeluarkan sebungkus rokok putih dari saku jaket.
Titip motor ya pak Gua berkata seraya menyerahkan bungkusan rokok ke pria tua tersebut.
Siap bos.. tenang aja.. Pria tua itu tertawa, memperlihatkan giginya yang sudah terlihat jarang kemudian menutup jok motor gua dengan selembar kardus.
Kemudian gua berdua berjalan berdampingan dengan Desita di panasnya cuaca Sabtu siang itu. Ke pasar dulu ya, sol..
Ke pasar" Ngapain"
Beli bahan-bahan.. katanya mau dibikinin gemblong"
Oooh.. itu tadi nggak sekalian beli di Indomart aja"
Di Indomart nggak jual singkong, sool.. Gua manggut-manggut sambil memonyongkan bibir.
Beberapa saat kemudian kami sudah berada dilorong-lorong sempit, becek dan bau ditengah pasar Palmerah. Gua sedikit kesulitan berjalan mengikuti Desita yang bergerak meliak-liuk gesit menerobos kerumunan orang. Sesekali gua berjinjit sambil mengangkat celana denim gua saat melintasi genangan air ditengah pasar, sedangkan Desita hanya melirik ke arah sepatu Nike biru gua yang sudah terlanjur kotor bercampur lumpur kemudian tersenyum, gua membalas senyumnya sambil berbisik; Kayaknya gua salah kostum deh.. Desita masih tersenyum kemudian berkata; Welcome to my world..
Langkah Desita terhenti didepan seorang pria yang tengah duduk didepan barang daganganya, sebuah tumpukan benda berbentuk seperti kayu, berbalut tanah yang hanya dialasi selembar karung; Namanya Singkong.
Desita membungkukan tubuhnya dihadapan Singkong-singkong tersebut, sesekali menyentuh sambil membolak-baliknya dan kemudian gua terkesima, terkesima dengan kemampuan tawarmenawar yang dimiliki Desita. Setelah deal dengan harga yang disepakati, si Pria tukang singkong, mulai memasukkan beberapa potong singkong kedalam sebuah plastik merah tipis sementara Desita merogoh saku-nya bersiap membayar. Gua menggenggam tangannya.
Kenapa" Berapa" Gua mengambil dompet dan mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.
Udah nggak usah, gue aja yang bayar.. Gua menggeleng dan langsung memberikan uang tersebut ke pria tukang singkong, yang kemudian menyambutnya seraya menyerahkan plastik berisi singkong kepada Desita dan menyerahkan uang kembalian, gua menghitungnya dan sedikit terkejut.
Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hah, singkong sebanyak ini cuma sepuluh ribu" Iya, itu termasuk mahal.. biasanya kalo masih pagi bisa dapet tujuh ribu..
Desita menjawab pertanyaan penasaran gua kemudian menarik tangan gua, beranjak dari tempat itu.
Emang kalo dipasar, harga barang antara pagi sama siang beda"
Beda.. semakin sore semakin mahal.. kalo lo dateng jam dua pagi, lo malah bisa dapet harga grosir.. soalnya barang baru pada dateng dari pasar induk..
Ooh.. Emang lo nggak pernah ke pasar.." Pernah..
Pasar mana" Desita menghentikan langkahnya, sepertinya dia ragu mendengar jawaban dari gua.
Pasar Jumat.. hehehe... Hadeeuuh.. itu mah bukan pasar, tapi nama tempat kaliii..
Desita menjulurkan lidahnya ke gua kemudian melanjutkan berjalan lagi.
Nggak sampai setengah jam, ditangan gua sudah tergantung plastik besar berisi Singkong, Kelapa dan bahan-bahan lainnya untuk membuat Gemblong. Gua kembali kesulitan mengikuti Desita yang berjalan cepat menuju keluar pasar. Menyadari hal tersebut, Desita menoleh ke arah gua, mengapit tangan gua dan menggandeng gua menuju keluar pasar. Gua tersenyum, sambil menyelipkan sela-sela jari gua diantara jari-jarinya, gua menggenggam erat tangan mungil itu. -----Bagian #15 Gua memandangi Desita yang tengah mengupas kulit singkong yang kotor berbalut tanah ditempat yang disebut teras rumahnya. Kemudian mencucinya bersih dan meletakkannya diwadah plastik berukuran besar. Mata gua terus mengikuti gerakan-gerakan tangannya yang cekatan, semakin lama semakin kagum gua dibuatnya. Seorang wanita tua melangkah pelan melewati gang sempit dan menghampiri kami; Ibu Desita. Assalamualaikum...
Waalaikumsalam.. Gua dan Desita menjawab hampir bersamaan. Kemudian Desita bangkit, mengelap tangannya di sudut celananya dan mencium tangan ibu-nya. Sedangkan gua hanya mengangguk.
Des.. kok temennya nggak diajak masuk, malah duduk diluar..
Nggak tau tuh, bu.. disuruh nunggu didalem aja nggak mau..
Desita bicara sambil menoleh kearah gua, tangannya masih gesit membelah kelapa menjadi bagian-bagian kecil kemudian mencucinya. Ayo dek, masuk duduk di dalam...
Ibu Desita mempersilahkan gua untuk masuk dan menunggu didalam. Gua hanya mengangguk sambil berkata; Oh Iya bu, disini aja nggak apaapa..
Kemudian si Ibu melangkah masuk, dari dalam sesekali terdengar suara lirih batuk dan nafas yang sedikit terengah-engah. Gua menggeser posisi duduk mendekati Desita.
Des.. Ya.. Nyokap lu kayaknya masih sakit.. nggak dibawa kedokter"
Udah.. itu udah mendingan kok..
Lu kalo ada apa-apa, ngomong sama gua ya.. nggak usah malu..
Desita menghentikan aktivitasnya kemudian memandang kearah gua. Pandangan yang belum pernah gua lihat sebelumnya, sebuah pandangan yang penuh arti dan keyakinan.
Kenapa gue harus ngomong ke elo" Lo kan bukan siapa-siapa gue..
Gua hanya tertawa mendengar perkataan Desita. Hahaha.. sekarang sih gua emang belom jadi siapa-siapa elo, tapi nanti.. suatu saat nanti.. nggak ada lagi kata elu atau gua .. yang ada hanya kita ..
Udah jangan banyak berharap deh sol, sekarang kan lu udah tau kondisi gue gimana" Apa lu masih suka sama gue..
Masih! Gua buru-buru menjawab, sebuah jawaban yang keluar begitu cepat, sangat cepat bahkan sebelum Desita menutup bibirnya.
Wow.. oke.. let see.. sejauh mana lo bisa bertahan...
Oke.. siapa takut.. Kemudian Desita membenahi apa yang baru saja selesai dia kerjakan. Gua menyusulnya masuk kedalam.
Baru saja gua duduk dilantai rumah Desita, lantai yang beralas semacam karpet plastik dengan motif lingkaran vertikal. Desita sudah kembali sibuk dengan bahan-bahan yang tadi dicuci dan dibersihkan. Dihadapan gua saat ini terdapat singkong, kelapa dan gula merah. Semua sudah terlihat bersih dan diletakkan didalam wadah plastik.
Ada yang bisa gua banting"
Desita mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan gua.
Maksudnya ada yang bisa gua bantu.." Oh.. marut bisa"
Gua menggeleng pelan. Nggoreng bisa"
Gua menggeleng lagi. Bikin adonan bisa" Gua menggeleng lagi.
Ya berarti lo duduk manis aja...
Yaaah, emang nggak ada yang lebih gampang" Ada..
Apa" Nih pijetin kaki gue. Bisa kan kalo mijet..." Desita menjulurkan kaki kirinya ke gua sambil tersenyum. Gua membalas senyumnya kemudian mulai mengurut pelan kakinya. Sambil tetap mengurut kaki Desita, gua mendendangkan sebuah lagu, sebuah lagu yang dulu pernah populer di iklan rokok Longbeach dimana ada seorang pria tengah memijat wanita dipinggir pantai. Lagu lawas dari Dean Martin; Sway. When marimba rhythms start to play Dance with me, make me sway Like a lazy ocean hugs the shore Hold me close, sway me more
Desita hanya tersenyum melihat tingkah gua. Kemudian melanjutkan memarut singkong. Trus kalo udah diparut, singkongnya diapain" Gua bertanya penasaran ke Desita.
Singkong, kelapa sama garem diaduk sampe rata..
... Kalau udah jadi adonan, dibentuk lonjong.. kalo mau diisi kelapa juga bisa..
... Trus digoreng, diminyak panas.. Ooh.. udah"
Belom, abis itu dilapisin gula merah yang udah dimasak sama gula pasir dan pandan.. Ooh.. ternyata gampang..
Gampang" Coba nih bikin..
Desita menyodorkan singkong yang sudah selesai diparut kearah gua.
Hehehe.. lu aja deh, kan gua udah mijitin nih.. --Jam menunjukkan pukul empat sore saat Desita mulai menyuguhkan Gemblong yang baru saja matang dihadapan gua. Dia duduk disebelah gua sambil mengibas-kibaskan telapak tangannya menghadap wajah. Gua nggak begitu tertarik dengan kue gemblong-nya, pandangan gua malah nggak bisa lepas dari Desita yang tengah kegerahan setelah selesai membuat kue tersebut.
Desita menyadari hal itu, dia tersenyum kecil kemudian bertanya;
Ngapain liat-liat" Nggak papa, selain bikin kue gemblong, lu bisa bikin apa lagi"
Hmmm... apa ya.." Desita menatap langit-langit sambil mengetukkan telunjuknya ke bibir.
Ya standar lah, kalo kue-kue bolu sama masakmasakan rumah sih bisa..
Gua mengangguk sambil senyum senyum sendiri, kemudian mengambil sepotong kue gemblong yang masih hangat dan mulai memakannya. Hmm..
Enak nggak" Desita bertanya Enyak..
Gua menjawab sambil mengibaskan telapak tangan didepan mulut gua yang menganga. Gemblong-nya masih panas.
Sol.. itu kan gue bikinnya banyak, nanti lo bawa pulang ya.."
Hah.. bakal apaan" Ya siapa tau orang rumah lo doyan.. Tapi kan..."
Udah nggak pake tapi-tapi..
Desita kemudian beranjak masuk, saat keluar dia sudah membawa plastik yang dialasi koran bekas dan mulai memasukkan gemblong kedalamnya. Tapi kan.. gua nggak mau langsung pulang Des.. Emang mau kemana"
Mau kencan..ini kan malem minggu Kencan, sama siapa"
Sama elu.. Desita menoleh ke arah gua, memasang tampang aneh dan sambil membenahi letak poni rambutnya dengan telunjuk kanan, dia duduk disebelah gua. Emang, gue mau"
Pasti mau lah, selama ini belom ada dan nggak bakal pernah ada cewek yang nolak gua ajak ngedate..
Oyaaaaaa.... percaya diri bangeeet.. Hahahaha... mau kan lu"
Ogah!! Desita kemudian berdiri dan masuk kedalam. Sementara gua hanya duduk terdiam sambil menikmati gemblong ke-dua dan meratapi nasib tiba-tiba jadi Don Juan karbitan dihadapan Desita. Sekitar lima belas menit kemudian, saat tengah menikmati gemblong ke-empat, gua dibuat terkejut oleh Desita yang sudah berganti pakaian, kali ini dia menggunakan kaos micky mouse putih dibalut flanel merah hitam dan celana denim pendek selutut. Dia berdiri dihadapan gua yang kembali terbius dengan parfum aroma permennya.
Pake celana pendek nggak papa kan" ....
Woii.. ditanyain...bengong aja..
Gua hanya bengong memandangi Desita dari ujung kaki ke ujung kepala, sambil mengangguk gua berkata; Perfect
------- Bagian #16 Eh.. gemblong nya... Desita menepuk jidat, kemudian berlari menyusuri gang sempit kembali menuju kerumahnya. Saat dia baru saja teringat tentang kue gemblong yang niatnya bakal ditujukan ke keluarga gua dirumah. Dan gua hanya bisa menghela nafas sambil memandang punggungnya yang menghilang diantara kerumunan orang yang lalu lalang di gang sempit tersebut.
Beberapa saat berikutnya, Desita sudah terlihat kembali berjalan cepat menuju ke arah gua sambil menenteng kantung plastike berisi kue gemblong yang tadi sudah disiapkan.
Yuk.. Des,.. itu gemblong mau dibawa-bawa.. Iya, kan tadi lo udah setuju, mau dikasih orang rumah lo..
Tapi,, kan kita mau nge-date.. masa nentengnenteng gemblong..
Yaudah nanti aja pulangnya, sekalian lo bawa... Ribet.. kerumah gua dulu deh, ngasih gemblong trus baru kita jalan..
Hah.. kerumah lo... nggak..nggak, gue nggak enak, pake celana pendek gini..
Nggak apa-apa, santai aja.. Gue nggak enak sool.. Udah ah bawel deh.. Aaaah.. dia maah..
Sebentar doang.. lagian emang kenapa pake celana pendek"
Nggak enak aja.. Desita berkata sambil naik keatas jok motor dan mulai membelah jalanan Jakarta yang sibuk menjelang sore.
Sabtu sore itu, disudut kota Jakarta bagian paling selatan, langit terlihat mendung. Sesekali gua menatap keatas awan yang menghitam sambil mempercepat laju sepeda motor dan berdoa agar Tuhan menunda hujannya, ya paling tidak hingga gua dan Desita sampai dirumah. Tapi, sepertinya kekuatan doa gua kurang mujarab atau mungkin Tuhan lebih tau apa yang dibutuhkan hamba-nya.
Gua menambah kecepatan sepeda motor sambil menerjang rintik gerimis yang semakin lama semakin banyak jumlahnya, padahal jarak kerumah gua tinggal sedikit lagi.
Sol, neduh dulu deh.. Desita berkata sambil menepuk-nepuk bahua gua. Gua menepikan sepeda motor dipinggir sebuah bangunan kecil bercat putih, sebuah pos keamanan komplek. Kami berdua berlarian menghindari hujan dan berteduh di bawah atap pos tersebut. Kami berdua saling berhimpitan berusaha menghindari cipratan air hujan agar nggak membasahi kaki bagian bawah.
Rumah lo masih jauh"
Desita bertanya sambil memeluk kantung plastik berisi kue gemblong agar tidak basah.
Nggak kok, tinggal deket..
Oooh.. yaudah ujan-ujanan aja yuk.." Nggak ah,, ntar masuk angin... Payah..
Desita berkata sambil mendengus pelan. Gua menatap wajahnya dan semakin lama, semakin sering gua memandangnya, semakin gua jatuh hati kepadanya. Gua mengela nafas panjang sambil menatap air hujan yang menetes dari sudut atap pos keamanan.
Des.. Ya... Gua suka sama elu.. Desita nggak menjawab, dia hanya tertawa. Suara tawa yang terdengar merdu seakan mengalunkan sebuah orkestra yang diiringi melodi ciptaan Tuhan; suara hujan.
Kan lo udah pernah bilang.. ...
Dan gue belom mau ngasih jawaban sekarang.. ....
Kali ini gua balas tertawa, entah terdengar seperti apa tawa gua yang keras jika dipadukan dengan suara hujan.
Gua nggak butuh jawaban lu, Des.. karena itu bukan pertanyaan apalagi permintaan.. itu tadi adalah sebuah pernyataan...
Desita mengernyitkan dahi, bingung.
Gua menyatakan cinta ke elu, bukan bertanya apa lu mau jadi pacar gua.. dan pernyataan gua nggak butuh jawaban..
Trus.." Ya udah.. gua cuma pengen lu tau aja.. Udah gitu doang"
Iya.. tapi gua yakin sih.. Yakin apa"
Baru saja gua bersiap menjawab pertanyaan Desita, gerbang sebuah rumah yang terletak persis disebelah pos keamanan terbuka dan nggak seberapa lama sebuah mobil SUV Range Rover hitam berjalan pelan melintasi kami, bersiap masuk kedalam pintu gerbang yang sudah terbuka otomatis. Jendela depan bagian penumpang terbuka perlahan dan terlihat sosok wanita setengah baya;
Kamu ngapain ujan-ujan malah diluar, bleh" Lagi ngitungin aer ujan...
Wanita itu menggeleng, kemudian kembali menutup jendelanya.
Desita menyenggol lengan gua, Siapa sol" ...
Gua diam sambil tersenyum. Sol, itu siapa"
Hehehe.. nyokap gua.. Desita sedikit terkejut mengetahui kalau wanita dimobil tadi adalah nyokap gua.
Berarti... ini rumah lo dong" Hehehe.. iya..
Gila.. bisa nggak sih lo, nggak bertingkah nyebelin sekaliii aja... kita berdiri disini dari tadi, nunggu hujan reda, dan nggak taunya kita berteduh didepan rumah lo.. gilaaa...
Gua hanya tertawa, beberapa saat kemudian seorang pemuda tanggung menghampiri kami, dia membawa payung berukuran besar.
Mas.. ini disuruh masuk sama ibu..
Oge, nama pria tanggung itu. Dia berkata sambil menyerahkan payung tersebut. Gua meraih payung besar itu, membuka-nya, meraih tangan Desita dan mengajaknya masuk.
Desita terlihat gugup saat kami berjalan masuk melintasi halaman parkir rumah gua. Didalam garasi terlihat Mpok Esih tengah menurunkan plastik-plastik yang gua tebak adalah barang belanjaan, Sedangkan Ibu tengah duduk dikursi kayu yang berada tepat disebelah pintu masuk rumah gua.
Kamu ngapain sih bleh, ujan-ujan kok malah diri didepan pos"
Ibu bertanya tanpa memandang gua sambil memasang kaca mata baca dan mulai mengecek ponselnya.
Iya tadi baru sampe, eh ujan.. yaudah neduh dulu sambil ngitungin aer ujan..
Ibu sepertinya nggak menggubris jawaban gua, setelah mengecek ponsel dia memandang ke arah gua kemudian berpindah ke cewek disebelah gua. Dia menurunkan kaca mata-nya dan menatap heran ke arah tangan gua yang tengah menggenggam tangan Desita. Dan gua merasakan Desita berusaha melepaskan genggaman tangan itu saat mata Ibu terpaku disana, gua nggak mengacuhkannya, malah semakin erat gua menggenggamnya.
Ini Siapa" Kenalin bu..., Desita Gua melepaskan genggaman tangan gua. Desita bergerak maju kemudian dengan sedikit membungkuk dia meraih tangan Ibu dan menciumnya.
Pacar" Ibu bertanya penarasan. Belum.. tapi hampir pasti..
Gua menjawab dengan yakin sambil merasakan sakit yang teramat sangat diujung jempol kaki gua yang diinjak oleh Desita.
Yaudah diajak masuk dong.. Iya..
Gua kembali meraih tangan Desita dan mengajaknya masuk kedalam.
Desita terus mengikuti langkah gua masuk kedalam hingga sampai diteras belakang rumah, gua menunjuk kursi goyang dan memberikan isyarat agar Desita duduk disana, sementara gua menuju ke kamar untuk mengganti baju yang sedikit basah. Sekembalinya dari kamar, gua menyusul Desita ke teras belakang rumah, terlihat mpok Esih tengah menyuguhkan minuman kepadanya.
Mpok.. mpok.. Gua memanggil Mpok Esih, mengambil bungkusan plastik gemblong yang diletakan Desita dimeja sebelah kursi goyang dan menyerahkannya ke Mpok Esih.
Pindahin ke piring, Taro dimeja makan ya .. Iya mas..
Gua duduk dilantai disebelah Desita, dia turun dari kursi goyang dan duduk disebelah gua. Kami terdiam cukup lama sambil menatap air hujan yang membasahi kolam berisi ikan koi.
Yuk berangkat.. Gua berkata kepada Desita sambil memasang Jam tangan.
Desita berdiri dari tempatnya duduk, terlihat sepertinya dia nggak begitu senang gua ajak kerumah. Gua mengacak-ngacak rambutnya sambil berbisik; Jangan cemberut dong.. Desita tersenyum, walapun terlihat seperti terpaksa tapi membuat gua sedikit lebih lega. Kamu mau kemana, bleh"
Ibu bertanya ke gua sambil merebahkna diri disofa didepan tivi.
Mau malem mingguan laah.. --Satu jam berikutnya gua sudah berada di Mobil bersama Desita menembus hujan.
Nonton, mau kan Des.. Hah, nonton" Kayak orang pacaran aja.. Lah, kan kita emang lagi pacaran... Hah.. sok pede..
Mau nggak" Terserah deh...
Desita menjawab sambil membuang muka, menoleh ke arah jendela. Dari spion gua melihat kalau dia tengah tersenyum.
------- Bagian #17 Selama perjalanan Desita terlihat diam, sesekali dia memandang ke arah gua, begitu gua sadar kalau dia tengah memandang ke gua, dia membuang muka, memalingkan wajahnya menghadap ke jendela mobil. Satu hal yang membuat gua selalu penasaran tentang Desita adalah warna matanya yang biru. Dalam budaya orang timur, mungkin agak sedikit canggung jika kita harus bertanya tentang kondisi fisik seseorang, misalnya ; kenapa kok kulit lu item, kok gigi lu tonggos, kok mata lu juling, kok mata lu biru dan berdasarkan budaya itulah gua urung bertanya tentang matanya yang biru.
Tapi, semua orang pasti setuju jika kita bertanya mengenai fisik seseorang yang notabene adalah sebuah kelebihan, misalnya; Kulit lo putih deh, cakep. Dan akhirnya gua malah tenggelam dalam dilema rasa penasaran yang memuncak. Akhirnya setelah, sekian lama menimbangnimbang, gua memutuskan untuk nekad dan bertanya ke Desita.
Des.. Ya.. Gua boleh nanya kan" Boleh..
Kok mata lu biru sih" Lu indo* ya" *Indo : maksudnya keturunan Indonesia-bule. Hah.. bukan.. bukan..
Trus, kok bisa biru" Setau gua tipikal ras orang asia-melayu nggak ada yang matanya biru.. Hahaha.. ada noh di Aceh..
Mendengar perkataan Desita, gua jadi teringat tentang sebuah suku di Aceh dimana disana orangorangnya banyak yang memiliki mata biru yang Indah. Pernah suatu waktu gua membaca tentang asal-usul suku tersebut, biasa disebut suku Lamno. Ternyata menurut keterangan yang gua dapat dari sebuah buku; mereka adalah keturunan dari rombongan pelarian masyarakat Muslim Eropa yang terusir dari Andalusia (sekarang spanyol) ketika disana sedang terjadi invasi besar-besaran oleh pasukan Salib.
Oh iya gua tau itu yang di Aceh.. Tapi, lu bukan keturunan Aceh kan"
Bukaaan.. Gue sih sunda Aseli.. Desita berkata sambil menepuk dada-nya. Lah terus kenapa mata lu biru" Boleh nggak, gue nggak jawab" Boleh aja sih tapi..
Tapi apa" Penasaran" Banget..
Gua menjawab cepat Gua memandang Desita yang menghela nafas pelan kemudian menyandarkan kepalanya diantara jok dan jendela mobil. Entah, mungkin keputusan gua untuk menanyakan perihal warna matanya yang biru itu salah. Goblok!! Gua memaki diri sendiri, apa yang salah sih dengan warna mata seseorang, ngapain gua malah menanyakan hal yang kurang penting seperti ini.
Err.. mm.. Des.. Desita nggak menyahut, dia hanya terdiam sambil memandang keluar melalui jendela mobil.
Sorry ya, gua udah nanya macem-macem ke elu..
Gua meminta maaf ke Desita.
Nggak papa, sol.. santai aja.. justru gue nya yang nggak enak sama lu, karena nggak bisa ngasih jawaban yang memuaskan ke lo..
..jujur aja sol, lu satu-satunya orang yang pernah nanya itu secara langsung ke gua loh.. Hah.. masa sih" Emang orang-orang nggak ada yang penasaran"
Ada sih beberapa, tapi jaman sekarang orang banyak yang mikir kalo mata gua ini cuma softlens..
Tapi, itu asli kan" Ya asli lah.. kalo palsu gimana gue ngeliat, aneh deh pertanyaan lo..
Hahaha Justru gua lebih suka orang kayak lo yang langsung Tanya ke gue, walaupun gue nggak tau harus jawab apa.. daripada banyak orang yang bergunjing dibelakang gua, bilang kalo gua anak haram lah, dari hasil perkosaan nyokap sama bule.. sakit nggak tuh denger kayak gitu"
Hah"!! Serius, ada yang ngomong gitu" Ada.. tapi ya gitu.. mereka cuma nebak-nebak aja sambil nge-gosip.. nggak pernah gue ladenin.. Gua menggelengkan kepala mendengar penjelasan dari Desita, gua benar-benar tidak menyangka begitu berat beban hidup yang harus ditanggungnya. Ah, di titik ini gua sempat berfikir kalau Tuhan itu tidak adil, betapa gua hidup bergelimang harta, tanpa kurang apapun, bahkan tanpa bekerja keras pun gua bisa mendapatkan apa yang gua mau. Sedangkan dilain sisi, ada Desita dan mungkin ratusan bahkan ribuan orang yang kurang beruntung sepertinya yang hidup berselimut dingin, beratap mendung, bahkan untuk sekedar bermimpi pun mereka takut, takut tidak terpenuhi.
Mikir apa sol" Desita bicara membuyarkan lamunan gua. Ah nggak kok..
Haha.. santai aja sol, gue nggak papa, serius deh.. nggak usah mikirin gue..
Nggak bisa Des, gua pasti kepikiran.. kenapa Tuhan nggak adil"
Hush.. jangan ngomong gitu.. Desita menepuk pundak gua.
Tuhan itu maha Adil, sol.. tapi otak kita, otak manusia tuh nggak sebanding buat ngukur tingkat adil nya Tuhan dengan kita..
Iya sih.. Adil buat menurut lo aja bisa berbeda artian dengan adil menurut gua..
Masa" Iya.. adil itu bukan bagi rata , si anak SMA dapet jajan 15000 si anak SD dapet jajan 15000 apakah itu adil buat lo"
Adil.. sama-sama lima ribu.. Gua menjawab santai.
Tuhkan.. beda,.. buat gua jawabannya nggak adil, karena lima ribu buat si anak SD tentu saja terlalu banyak, nggak sesuai porsi dan mubazir.. Gua hanya bisa manggut-manggut mendengar jawaban Desita, sambil mengaggumi betapa bijaksana-nya dia. Pintar, bijaksana, jago masak, cantik, putih dan bermata biru. Ah, pria mana yang sanggup menolak wanita dengan kriteria seperti itu.
Oiya Satu lagi Des Apa"
Nama panjang lo siapa sih" Hahaha mau tau banget sih lo
Ya iyalah.. masa iya nama doang lu nggak mau ngasih tau..
Eh sol, udah pernah nonton film horror The Eye belum"
Desita balik bertanya, gua tau ini trik untuk mengalihkan pembicaraan, nggak mau terkecoh, gua mengabaikannya.
Yaudah kalo nggak mau ngasih tau..
Gua bicara, kemudian disusul keheningan yang merayapi kami berdua.
------- Bagian #18 Nggak terasa, kami sudah berada di sebuah mall dibilangan Pondok Indah, gua memarkirkan dan mematikan mesinnya. Nggak ada satupun diantara kami yang begegas keluar dari mobil, gua hanya memandangi Desita yang terlihat termenung menatap bayangan dirinya dijendela. Sol..
Desita membuka suaranya, dia bicara sementara wajahnya masih tetap terpaku memandang pantulan dirinya di kaca jendela.
Desita Rahmawati.. Hah.. Pada awalnya gua sempat kebingungan saat tibatiba Desita bicara seperti itu, tapi pada akhirnya gua sadar, kalau Desita menyebutkan nama lengkapnya.
Hmmm.. kita mau ngobrol-ngobrol aja disini apa mau nonton"
Gua bertanya sambil melepas sabuk pengaman dan bersiap keluar dari mobil, Desita pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian kami sudah berjalan di basement sebuah mall yang pengap dan berbau apek menuju ke lobi lift yang terlihat berpendar, bercahaya dilihat dari tempat kami berdiri.
Disaat kami tengah berada di eskalator menuju ke lantai atas, entah beberapa kali kami berpapasan dengan pasangan-pasangan tua, muda, yang tengah asik berpacaran ,berangkulan dan bergandengan tangan. Desita menatap gua, dia berdiri satu anak tangga diatas sehingga tatapan kami saat ini sama, saling beradu;
Lo nggak mau gandeng gue" Desita bertanya lirih.
Hah, emang boleh" Selama niat lo untuk melindungi gue, I think its fine..
Nggak menunggu lama gua buru-buru menyambar tangan mungilnya dan menggenggamnya erat, kemudian kami berjalan layaknya sepasang mudamudi yang tengah dimabuk asmara, Ok mungkin hanya gua yang dimabuk asmara entah bagaimana dengan Desita.
Jangan disalah artikan lho sol.. Apanya" Ini..
Desita mengangkat tangan kami yang saling bertautan, gua paham apa yang dimaksud Desita; Genggaman tangan ini mungkin nggak ada artinya buat dia. Tapi, buat gua ini adalah sebuah pengakuan , sebuah awal yang baik dan tinggal beberapa langkah kecil lagi Desita bakalan luluh. Pasti!
Gua menggandeng tangan mungil Desita melintasi pintu kaca memasuki sebuah ruangan besar dengan karpet beludru tebal berwarna merah. Dari kejauhan Nampak beberapa baris antrian didepan sebuah loket, gua memandang sekeliling, banyak terlihat poster-poster, x-banner dan berbagai media promosi lainnya terpampang dilobi bioskop ini, sepertinya disini tengah diadakan pemutaran perdana sebuah film, dari poster dan kaos-kaos yang banyak dipakai pengunjung sepertinya film bertajuk erotic-horor khas produser-produser dari India. Desita menarik bagian belakang kaos gua;
Sol.. balik aja yuk.. rame begini.. Gua hanya tersenyum mendengar permintaannya, masih menggandeng tangannya gua bergerak melewati kerumunan orang menuju ke salah satu lorong yang berada diujung ruangan. Tanpa permisi gua membuka sebuah pintu, sebuah pintu yang sedikit tersembunyi dari pandangan pengunjung. Didalamnya terdapat beberapa wanita berpakaian hitam-hitam lengkap dengan sanggul dan riasan yang tengah berbincangbincang sambil mungkin menunggu giliran jaga. Mereka adalah para karyawan bioskop yang biasa bertugas menjaga loket dan pintu masuk. Salah satu dari mereka, yang paling cantik diantaranya, berdiri, membetulkan sanggulnya sambil membelalakan matanya.
Eh ya ampun Ableh.. ngapain" Ada perlu sama lu, sebentar..
Wanita bersanggul tersebut berjalan cepat menuju ke pintu. Dia berdiri dihadapan gua, masih membenahi sanggulnya dan tersenyum. Senyumnya mulai memudar saat melihat Desita disebelah gua.
Ada apa, bleh.. Gua mau nonton, tapi ngantri parah Oh studio berapa"
The Prestige, studio tiga.. Buat berapa orang"
Wanita itu bertanya sambil menatap Desita, sinis. Dua..
Gua menjawab sambil mengacungkan dua jari gua. Mmm.. tunggu disini ya
Wanita bersanggul itu kemudian berjalan cepat pergi meninggalkan kami, menuju ke arah dari mana kami tadi datang. Nggak seberapa lama, dia sudah kembali dan menyerahkan dua tiket berwarna kuning-abu-abu ketangan gua, kemudian buru-buru ngeloyor pergi dan masuk kedalam ruangan tadi.
Gua hanya terdiam, mengangkat bahu kemudian menggandeng tangan Desita.
Siapa Sol" Haha.. biasa.. Siapa""..
One of my ummm.. apa ya disebutnya.. fans.. Mantan.. "
Oh.. bukan, bukan.. cuma dulu pernah jalan sekali
Oooh.. Desita melepaskan genggaman tangannya. Nanti kalo lo udah bosen jalan sama gue, apa nasib gue bakal sama kayak perempuan tadi" Desita bertanya sambil menatap gua tajam. Eh, nggak-nggak.. buka-bukan nggak begitu des.. yah.. salah dah..
Gua kembali meraih tangannya dan berusaha meyakinkan Desita, kalau gua nggak bakal pernah meninggalkan dia.
Des Gimana gue bisa percaya.. Suer deh..
Desita nggak menjawab, dia hanya berjalan pelan mengabaikan gua.
Des Apa"! Jangan putusin gua yaaa.. What.. kita jadian aja belom kok putus.. aneh..
Lo tuh cowo paling aneh yang pernah gue temuin, pernah nggak sih lo mikir gimana rasanya jadi cewek tadi" Cewek yang cuma lo manfaatin doang,
Mikir nggak lo sol" Iya gua salah.. tapi gua ngelakuin itu kan supaya bisa bikin lo bahagia Des..
Ya gue lebih baik nggak bahagia daripada ngorbanin perasaan orang laen kayak tadi..
Gue cuma mikir, gimana ya misalnya akhirnya gue berada diposisi cewek tadi.. yang cuma dimanfaatin sama lo buat nyari keuntungan sama pacar barunya
Desita bicara sambil menggeleng-geleng kan kepalanya. Sedangkan gua cuma bisa berdiri dalam diam sambil memandanginya.
Pokoknya sekarang gue nggak mau nonton gue mau pulang, kalo lo nggak mau nganterin gue, gue pulang sendiri..
Kemudian Desita mulai berjalan cepat meninggalkan gua. Sementara gua cuma bisa menendang udara kosong sambil menggeram; Bangke!! dan berlari kecil menyusulnya. Sambil berusaha mengejar Desita yang melesat cepat bagai kancil, gua menyerahkan dua potongan tiket ke petugas keamanan yang bertugas di pintu masuk bioskop. Petugas tersebut hanya melongo memandangi tiket yang kini berada ditangannya.
Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Des.. tunggu.. Gua masih berusaha mengejarnya, jarak antara gua dan Desita kini nggak terlalu jauh, hanya beberapa langkah.
Des.. iya gua anterin pulang.. tapi tunggu dulu dong..
Sejenak, Desita memperlambat langkahnya. Gua menyusul dan berjalan pelan disisinya.
Lu kenapa sih, Des.. kayak gitu aja ngambek" Gue udah jelasin tadi, kalo lo masih belom ngerti, ya lo pikir aja sendiri..
Trus, nasib kencan kita gimana, nih"
Terserah, lagian dari awal kan emang ini bukan kencan..
Sesampainya di basement, tempat dimana gua memarkirkan mobil. Gua mendahuluinya dan berjalan mundur sambil menghadapnya. Desita hanya menundukkan wajahnya dalam diam. Yaah Des.. cmoon..
Gue mau pulang aja sool..
Gua berhenti, sementara Desita tetap berjalan melewati gua yang terdiam mematung. Rasanya hampir habis kesabaran ini menghadapi dia, ingin rasanya gua berteriak, marah ke Desita. Setelah semua ini, setelah gua digantung , setelah gua menanggalkan atribut keegoisan gua, setelah semua yang sudah gua lakukan untuknya. Tapi, seperti ada sebuah dinding tebal yang menahannya, yang membuat gua merasa seperti dikendalikan, seperti sihir.
------- Bagian #19 Gua melajukan mobil, melintasi jalan raya arteri Pondok Indah, malam itu selepas maghrib gua dan Desita terduduk didalam mobil, terbias lampu rem mobil didepan kami yang berpendar merah, sambil mengutuki kemacetan lalu-lintas malam itu, kemacetan yang seakan melengkapi kencan gua yang tiba-tiba berantakan, gua mematikan radio yang sedari tadi menyala.
Lo mau diem aja, Des.." ...
Mobil gua melaju melintasi kemacetan yang mulai terurai, gua menepikan mobil disalah satu sudut jalan raya, turun sambil membanting pintu. Dan gua mulai menendangi pot kaleng besar yang terdapat disisi trotoar yang sepi. Seakan kurang puas, gua beralih ke bemper mobil dan puncaknya saat gua memukul keras spion sebelah kanan mobil hingga patah, menggelayut dan akhirnya jatuh. Gua mengambilnya dan membantingnya berkali-kali hingga hancur.
Terdengar suara pintu disisi penumpang terbuka, Desita keluar menghampiri gua. Dia mengambil paksa spion mobil yang sudah hancur, membuka pintu dan melemparkannya kejok belakang mobil gua. Dia memandang punggung tangan gua yang sedikit lecet dan berdarah kemudian membuka pintu penumpang dan kembali lagi dengan kotak p3k yang terletak di bagian belakang mobil. Desita meraih telapak tangan kanan gua dan mulai membersihkannya dengan alkohol. Gua hanya memandangi wajahnya yang teduh sambil menahan perih.
Udah" Udah puas marahnya" Udah puas mukulin mobil"
Gua nggak menjawab, hanya terus memandangi wajahnya. Perlahahan tangan kiri gua menyentuh wajahnya, membelai pipi-nya yang lembut. Des.. jadi pacar gua ya"
Hah" Kok bisa sih lo abis ngamuk-ngamuk nggak jelas trus tiba-tiba nembak gue"
Mau ya.. Nggak.. takut gue jadi pacar lo, ntar berantem dikit, properti orang lo ancur-ancurin.. Gua hanya tersenyum, sambil memperhatikan Desita yang tengah meniup bekas luka gua yang baru saja dioleskan obat merah.
Sakit nggak" Biasanya sih sakit, tapi kok pas lu yang ngobatin, jadi nggak sakit ya..
Gombal!! Desita kemudian menampar lembut pipi gua kemudian bergegas masuk kedalam mobil. Gua tersenyum sambil menatap luka di punggung tangan gua.
Tin Tin Desita membunyikan klakson mobil. Gua membuka pintu dan masuk kedalam. Dan beberapa saat kemudian gua dan Desita sudah duduk didalam warung tenda tengah menikmati pecel ayam ditepi jalan. Jujur, mungkin ini jadi kali pertama gua kencan sama perempuan dan makan malam ditempat yang biasa Desita sebut sebagai Amigos , Agak Minggir Got Sedikit. Entah apa yang berbeda, tapi saat bersama Desita gua merasa lebih hidup , nggak pernah gua se-bahagia ini saat keluar dari pola-pola dan semua aturanaturan yang gua buat sendiri.
Sol, lo tadi marah sama gue"
Gua menggeleng, sambil mencuci tangan disebuah tempat semacam baskom kecil yang sudah disediakan dan mengelapnya dengan tissue.
Gua kayaknya nggak bakal bisa marah deh sama elu..
Kenapa" Nggak tau..
Gua menjawab sambil mengangkat bahu. Kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
Oiya, lu masih utang nonton lho sama gua" Iya gampang, kapan-kapan..
Desita menjawab sambil menjilati jari-jarinya dari sisa-sisa sambal pecel yang menempel. Besok ya" Mau"
Nggak ah, hari ini gue udah ninggalin nyokap cukup lama, besok gue mau nemenin nyokap aja dirumah..
Yaaah.. kalo besok gua maen kerumah lu, nggak papa kan"
Emang lo nggak risih maen kerumah gue" Rumah gue kan kecil, kotor.. beda jauh sama rumah lo yang gede, nyaman, apa-apa udah ada yang nyiapin..
Nggak kok, biasa aja.. Gua menjawab, menutupi perasaan bergidik gua membayangkan gang sempit dengan selokan beraroma busuk disekitar rumah Desita. Tapi, entah kenapa perasaanitu mendadak hilang dan terobati saat gua bertemu dengannya. Ah, God Damnit, Desita, elu udah sukses banget membuat hidup gua jungkir-balik.
--- Gua memarkir mobil dipelataran Indomart tempat gua tadi siang memarkirkan sepeda motor. Kali ini, sosok pria tua situkang parkir sudah berganti dengan gerombolan anak-anak muda berkalung peluit. Gua mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dan menyerahkan ke salah satunya.
Nitip ya.. Wah.. siap bos.. Anak itu gesit menyambar uang yang gua berikan kemudian memperagakan gerakan hormat ala militer. Lagi lagi The Power Of Money, siapa yang punya uang, dia yang dihormati.
Niatnya, gua ingin mengantar Desita sampai ke depan pintu rumahnya. Tapi Desita menolak, katanya Udah sampe sini aja, ntar lo jauh jalannya.. . Saat hendak pergi, gua meraih tangannya, menariknya hingga tubunya berada sangat dekat dengan tubuh gua.
Maaf ya Des kalo tadi gua udah bikin lu bete.. Desita nggak menjawab, dia hanya mengangguk pelan kemudian menjatuhkan kepalanya ke dada gua.
Sabar ya Sol.. sabar ya ngadepin gue.. Perlahan, gua menunduk dan mengecup kepalanya. Desita mundur beberapa langkah sampai akhirnya berbalik dan melangkah pergi, hilang dalam kegelapan malam di gang sempit menuju rumahnya. Sementara gua masih berdiri, mencoba menghirup sisa-sisa aroma parfumnya yang semakin lama tercampur dengan aroma tak sedap dari selokan.
Gua mengeluarkan ponsel, mencari nama Desita dan menekan tombol panggil .
Halo.. Kenapa" Desita bertanya, dari nada suaranya sepertinya dia keheranan.
Nggak papa, belom ada lima menit, gua udah kangen sama elu..
Gombal!!, udah dimana"
Gua belom kemana-mana, masih berdiri disini..ditempat tadi..
Hah, ngapaiiiiin" Nggak, gua cuma mau mastiin lu udah sampe rumah, abis itu gua balik...
Ya ampun, sol... iya ini gue udah dirumah.. Yaudah gua balik ya..
Iya.... .... Sol... Ya.. Ati-ati ya.. Iya sayang..
Sayang-sayang, pala lo.. Gua mengakhiri panggilan kemudian tersenyum senyum sendiri memandang layar ponsel. --Sepanjang perjalanan pulang, nggak hentihentinya gua tersenyum sendiri. Baru kali ini gua pulang dari kencan dan merasa sangat bahagia, padahal Desita juga belum resmi jadi pacar gua. Dan sepanjang perjalanan pulang, Can't Stop Loving You-nya Van Halen menemani gua yang masih tersenyum.
I wanna hold you and say We can't throw this all away Tell me you won't go, you won't go Do you have to hear me say I can't stop lovin' you
Bagian #20 Ni dia orangnya, bu.. baru pulang..
Terdengar suara Salsa setengah berteriak saat gua baru saja memasuki rumah.
Bleh.. Ibu keluar dari kamarnya dan duduk disebelah Salsa kemudian memanggil gua, menepuk sofa disebelahnya, memberikan perintah gua untuk duduk.
Gua menjatukan diri disofa disebelah Ibu. Lho, tangan kamu kenapa"
Ibu melihat luka ditangan gua, menarik dan memperhatikannya.
Kamu abis berantem... Dia meletakkan tangan kanan gua dipangkuannya dan mulai memeriksa wajah gua.
Nggak.. Trus ini kenapa" Nggak papa, tadi ini kepleset.. Bohong..
Ada apaan sih" Ibu mau tanya, itu tadi siapa yang beli gemblong"
Desita.. kenapa" Desita yang tadi kamu ajak kesini" Iya..
Mendengar obrolan gua dan Ibu, Salsa yang tengah asik menonton tivi kemudian bangun dan buru-buru mendekat.
Hah, Cewek yang kemaren lo ceritain bleh" Kesini" Kapan"
Tadi.. Yaah gue nggak ketemu dong.. kira-kira kapan lo ajak kesini lagi bleh..
Ah bawel banget lu, sa.. udah sono-sono.. Gua mengusir Salsa yang mulai usil mengganggu obrolan gua dengan Ibu.
Emang kenapa bu" Nggak apa apa, tapi bapakmu suka sama gemblongnya..enak katanya..
Hah, bener" Ibu mengangguk sambil tersenyum. Ibu suka juga"
Ibu tadi nyobain sedikit, enak sih.. tapi ibu kan nggak boleh makan yang manis begitu.. Oiya..
Gua baru teringat kalau Ibu mengidap Diabetes. Dia nggak dibolehkan terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan minuman manis. Bapak menyusul keluar dari kamar, dia melepas kacamata bacanya dan meletakkan koran di meja dihadapan gua kemudian duduk disebelah Salsa yang masih sibuk menonton tivi.
Itu beli apa buat sendiri sih, hin"
Buat sendiri pak, tadi pagi ableh kepasar beli singkongnya..
Mendengar perkataan gua, semua yang mendengar langsung terbelalak; Ibu, Bapak, Salsa bahkan si Bruno, kucingnya Salsa.
Kamu giliran ibu yang nyuruh ke warung nggak mau.. giliran sama cewek aja mau..
Ibu berkata sambil mengusap-usap rambut gua.
Bleh, kok tumben lo mau-maunya ngikutin cewek kepasar.."
Salsa bertanya sambil merangsek diantara gua dan Ibu.
Trus, kok tumben banget lo nyari cewek yang mau kepasar"
Salsa bertanya lagi, tanpa jeda.
Gua menghela nafas panjang. Mungkin ini dulu yang dirasakan Desita waktu baru pertama kali bertemu gua. Salsa adalah sosok yang menyebalkan, dia adalah gua versi perempuan. Begini bu.. Desita, cewek yang tadi ableh ajak kesini.. dia itu tadinya temen kerja ableh.. Berarti sekarang udah bukan temen kerja dong" Salsa bertanya.
Masih.. Kalo masih kok lo pake kata tadinya " Salsa kembali bertanya, sementara gua mengepalkan tangan,gemes.
Sa.. kamu diem dulu deh... Ibu mulai membuka suara, Salsa perlahan-lahan mulai beringsut mundur.
Dia itu.. anak orang nggak punya.. Bapaknya udah meninggal dan sekarang Ibu nya sakitsakitan..
Gua menjelaskan, sementara Ibu cuma manggutmanggut mendengarkan.
Dia itu.. apa ya.. cerdas, pinter masak dan cantik.. ibu udah liat tadi, cantik kan"
Iya cantik.. trus kamu suka sama dia.." Gua mengangguk pelan.
Serius sama dia" Serius bu.. Bapak kemudian berdiri dari duduknya dan melangkah pelan menuju ke depan. Sambil lalu dia menyentuh bahu gua dan berkata;
Dulu kamu sama Eci juga bilangnya serius.. tapi apa...
Gua menggaruk-garuk kepala yang nggak gatal. Ya, yang ini beda pak..
Oke kalo kamu serius mah, gas terus.. Bapak sama Ibu mah cuma bisa doa-in aja, jodoh kan kamu yang pilih dan kamu harus bertanggung jawab atas pilihahan kamu itu...
Bapak berkata sambil menyalakan rokoknya dan melangkah keluar.
Tuh.. dengerin bapak.. Ibu menambahkan. Dan gua hanya bisa tersenyum mendengarnya. Nggak lama berselang, sebuah teriakan nyaring terdengar dari depan. Solichin Syafriel...... ini spion mobil kemana!!!! ------Episode 3 Bagian #20A Sudah hampir 3 bulan terakhir ini gue mengenal pria kurus yang awalnya nyebelin bernama Solichin. Entah nasib baik yang kali ini sangat akrab dengan gue atau memang takdir yang menuntun gue, saat pagi itu Bu Indra memanggil gue ke ruangannya dan menyerahkan sebuah surat. Sebuah surat yang isinya pengangkatan gue sebagai karyawan setelah melalui masa probation. Gue memasang tampang sumringah saat baru saja keluar dari ruangan Bu Indra, sambil menebar senyum ke seisi departemen HR gue berjalan menuju ke loby lift. Seperti biasa, Mbak Fitri selalu menatap sinis ke gue, seakan-akan ingin menerkam. Padahal gue juga nggak tau pernah punya salah sama dia, sebenarnya nggak cuma mbak Fitri aja yang berlaku seperti itu. Ada mbak Indah dari bagian Operation, Hesti dari Customer Service dan yang paling heboh menebar sinisme ke gua adalah mbak Janice dari bagian Finance. Sampai detik ini, gue tetap berusaha mengabaikan mereka, yang selalu bicara dan menggosip dibelakang gue tanpa tau apa sebabnya.
Gue melangkah keluar dari lift dan berjalan pelan menuju meja kerja gue. Meja kerja gue sendiri, sejak sebulan yang lalu gue resmi menghuni departemen Legal dan mengisi kekosongan salah satu karyawan yang mengundurkan diri, sejak saat itu pula gue jarang bertemu dan ngobrol dengan Solichin dikantor. Paling hanya saat makan siang dan saat dia mengantar pulang, terkadang saat dia datang lebih pagi, dia mampir ke lantai gue sambil membawa secangkir kopi, baru setelah itu dia bergegas naik ke tempatnya.
Dari hari kehari sejak perkenalan gue dengan Solichin, lambat laun perangai-nya semakin bergerak ke sudut yang positif, ya walaupun ada beberapa sifat yang sepertinya sudah terpatri mati pada dirinya. Sifat temperamental dan egoisnya terkadang masih sering mendominasi pola pikirnya yang kompleks. Pernah suatu ketika saat kami baru saja pulang dari menghadiri acara pernikahan salah satu rekan kerja dikantor, dia marah-marah cuma karena gue (katanya) berdandan terlalu menor , terlalu lebay (katanya), padahal menurut gue sih ya biasa-biasa aja, ya memang ada sedikit tambahan polesan dibeberapa bagian seperti tambahan blash-on pada pipi dan sedikit mascara yang memang notabene nggak pernah gue kenakan, make-up yang gue gunakan masih bisa dibilang standar, apalagi acara-nya di gedung, gue juga takut kalaukalau nggak tampil maksimal, takut ngecewain Solichin. Tapi, ternyata responnya berbeda dengan yang gue harapkan, setelah melihat gue dengan make-up (katanya) seperti mbok-mbok mau kuda lumping, Solichin sukses marah-marah sepanjang perjalanan dari Palmerah ke Halim dan gue hanya mengabaikannya saja sambil menggenggam ponsel dalam pelukan, takut kesamber dan kena banting. Akhirnya, setelah sampai diparkiran, gue terpaksa membasuh wajah dan membersihkan make-up dengan air daripada harus terus melalui hari dengan Pria kurus yang cemberut.
Walaupun begitu entah kenapa gue selalu nggak bisa jauh darinya, dari Solichin. Dia yang terkadang suka menelpon marah-marah kemudian ngajak nonton, dia yang terkadang tanpa tahu waktu bersikap romantis, dia yang suka mendetail akan segala sesuatu, dia yang terkadang suka berlaku menyebalkan, selalu sukses membuat gue rindu, membuat gue nggak bisa terlalu lama berpisah dengannya. Tapi, gue masih ragu, bukan karena gue nggak suka, bukan karena gue nggak cinta, tapi justru karena gue terlalu jatuh hati kepadanya membuat gue terkadang kehilangan akal sehat dan terlalu terbawa mengikuti perasaan, melupakan status gue, yang buka apa-apa dihadapan dia dan keluarganya. Bahkan Bapak dan Ibu nya pun dengan kakaknya sepertinya nggak terpengaruh dengan status sosial dan ekonomi gue, Keluarganya boleh dibilang sangat baik dalam memperlakukan gue dan justru hal itu yang membuat keraguan gue semakin tebal, hal ini terlalu mudah, kalau ini takdir.. maka takdir ini terlalu mudah untuk orang seperti gue yang selama hidupnya selalu melawan badai kehidupan. Itu yang membuat gue nggak pernah menggubris pernyataan cinta, permintaan jadi pacar dari Solichin. Sejak pertama bertemu sampai sekarang, memasuki bulan ke empat , total sudah hampir 24 kali Solichin nembak gue. Entah lewat sebuah pernyataan seperti ; Gua suka sama elu atau lewat sebuah pertanyaan; Jadi pacar gua ya, mau" . Selepas dari yang sudah gue jabarkan, hubungan gue dengan Solichin memang seperti orang yang berpacaran. Nggak munafik terkadang gue suka merasa hati diperas-peras dan panas saat kedapatan melihat Solichin bersiul saat melihat perempuan seksi lewat dihadapannya, ujungujungnya dia cuma mengelus-elus bibirnya yang kena jepret karet oleh gue. Begitu pula Solichin, dia pernah ngamuk-ngamuk membanting ponsel pas tau gue dapet sms dari cowok, padahal itu cowok adalah si yusuf, si OB kantor yang nanya via SMS ke gue; Mbak, des.. tau yang pegang kunci ruang mbak nggak saya kekunci nih di ruangan mbak .
Kata orang sih, cemburu itu bagian dari pacaran. Tapi kan gue sama Solichin nggak pacaran. Memang agak sedikit aneh, gue nggak pernah menggubris saat Solichin nembak gue, tapi gue juga nggak pernah protes atau complain saat dia memperkenalkan gue ke orang lain sebagai pacaranya. Mungkin kata orang, namanya HTS Hubungan Tanpa Status, tapi Solichin nggak setuju dengan sebutan itu, dia keukeuh kalau gue adalah pacarnya dan dia adalah Pacar gue, dan katanya nggak ada yang bisa merubah itu. Percaya diri sekali, ya memang.
Solichin punya banyak teman wanita, dan buat cewek yang jadi pacarnya pasti itu hal yang berat.
Dan gue merasakan hal itu (oke anggaplah gue pacarnya), nggak bisa disembunyikan kalau dia memang punya karisma yang diluar batas, selain itu tanpa mengesampingkan uang bapaknya yang nggak berseri, Solichin juga punya kecerdasan yang diatas rata-rata, dia baik saat menghitung bilangan, perbendaharaan kata nya luas, dan cepat memahami pengertian yang abstrak. Hal itulah yang bikin dia nggak henti-hentinya jadi target sasaran wanita-wanita. Saat sedang berdua, terkadang gue sering membuka ponselnya dan mendapati banyak pesan-pesan dari nomor tanpa nama dengan bahasa mulai dari yang sopan sampai yang terdengar binal dan tanpa lelah gue selalu memperlihatkan padanya sambil bertanya; Ini siapa" , Kalo ini" , Ini.." , Kenapa nggak langsung diapus" dan banyak pertanyaan model interogasi lainnya.
Dan satu wanita yang gue ketahui begitu intens mengirimi-nya pesan atau menelpon, bahkan lebih intens dari gue. Namanya, Tiara.
Hari itu, gue tengah bermain games yang berada di ponsel Solichin sambil bersandar pada kursi kayu yang terletak diberanda rumahnya. Saat itu terdengar suara klakson mobil dan disusul suara pintu gerbang kecil terbuka perlahan, kemudian sosok wanita, dengan jaket denim biru dan celana ketat berwarna hitam melangkah masuk kedalam. Dari gaya berjalannya yang anggun, bau parfum mahalnya yang mulai tercium dari jarak 10 meter dan berbagai aksesoris muahal yang menempel ditubuhnya bisa ditebak kalau dia nggak salah alamat, bisa ditebak pula kalau dia anak orang kaya. Solichin keluar dari dalam rumah sambil membawa gelas berisi teh hangat yang ditujukan untuk gue, setelah dia meletakkan gelas teh di meja sebelah gue, dia menghampiri wanita tersebut, cium pipi kira dan kanan dan mulai bicara, sementara gua menggenggam keras ponsel Solichin yang kebetulan berada ditangan gue.
Kok mau kesini nggak bilang-bilang.. Solichin bertanya ramah. Jelas aja banyak yang mengira dia available, gaya nya terhadap semua perempuan ramah dan genit.
Aku udah sms kamu kok.. Ah, masa..
Solichin bicara sambil cengengesan, sementara gue terkekeh sambil memandang ponsel Solichin dimana beberapa puluh menit yang lalu masuk sebuah pesan yang sepertinya dari wanita ini yang memberitahu kalau dia akan datang, tapi gue langsung menghapusnya.
Kenalin nih, pacar gua Solichin memperkenalkan gue sebagai pacarnya kepada wanita tadi yang kemudian menyebutkan namanya sebagai; Tiara.
Dan akhirnya, dikemudian hari wanita elegan bernama Tiara ini pula yang selalu hadir mengisi pertengkaran-pertengakaran diantara gue dan Solichin. Pertengkaran yang awalnya hanya percikan-percikan kecil yang perlahan membakar emosi kami berdua.
------- Bagian #20B Katanya Tiara nggak pernah SMS lo lagi, ni apa" Gue mengangkat ponsel kedepan wajah Solichin sambil menunjukkan sebuah pesan dengan status sudah terbaca yang isinya kurang lebih begini; Hi There.. lg apa" Udh makan blm"
Yee gua nggak tau, itu dari siapa" Kan gua nggak pernah save nomer nya.. bisa aja dari fans-fans gua yang laen..
Ngeles aja lo.. Lagian cek dulu sebelum protes, itu SMS tanggal berapa"
Gue menurunkan tangan dan kembali menatap layar ponsel Solichin kemudian melihat detail SMS dari Tiara yang ternyata itu adalah SMS sejak minggu kemarin. Ah, mungkin gue terlalu digelapkan oleh kecemburuan semata. Lu nggak pernah nge-respon pernyataan cinta gua, tapi giliran kejadian begini, lu cemburu trus mencak-mencak..
Ya.. tapi kan... Gue terdiam, lidah gue kelu, seperti tercekat. Udah lah.. tinggal mengakui aja kalo lu juga sayang sama gua, apa susahnya sih des.. Solichin berkata sambil manggut-manggut memandang kearah lain.
Kan gua udah bilang, suatu saat nanti, lu pasti bakal luluh..
Dia menyunggingkan senyum-nya, mungkin lebih tepat disebut seringai. Kemudian tertawa terkekeh. Gue berdiri dari sofa merah di lobi bioskop sambil menjatuhkan ponselnya kemudian melangkah pergi. Gue berjalan cepat menuju ke pintu keluar lobi bioskop meninggalkan cowok kurus yang sombong-nya setengah mati itu sambil berharap dia berlari mengejar gue. Tapi, yang terjadi malah diluar perkiraan, sesampainya gue diluar lobi bioskop nggak ada tanda-tanda Solichin berusaha untuk mengejar gue. Cowok benarbenar menyebalkan.
Gue berdiri sambil melipat kedua tangan disisi pintu keluar bioskop sambil memasang tampang cemberut, saat Solichin berjalan santai menghampiri gue.
Udah, marahnya" Dia bertanya sambil sekali lagi menyeringai. Kenapa sih lo nggak ngejar gue" Lha ini gua ngejar elu..
Ngejar kok santai banget..
Solichin hanya diam, dia menarik lembut lengan gue kemudian menggandengnya kembali masuk kedalam. Dia melepaskan genggaman tangannya kemudian memeluk pinggang gue lembut sambil berbisik;
I Love you more than every words can say.. Ah God.. kenapa harus gue. Kenapa harus ada yang namanya jadian kalau akhirnya harus ada putus , kenapa harus ada sebuah awal untuk akhir. Ingin sekali gue menjawab; Iya sol, gue mau jadi pacar lo.. . Tapi, gue takut.
Awalnya memang gue takut kalau Solichin hanya ingin bermain-main dengan perasan gue. Tapi, semakin lama perasaan tersebut berganti menjadi takut yang lain. Gue takut jika harus ada awal jadian maka akan berakhir dengan putus . Sedangkan, hubungan seperti yang kami jalani saat ini, hubungan tanpa status juga terdengar sedikit rancu, seperti tanpa legalitas, seperti hidup di Jakarta tanpa punya KTP, seperti mengendarai kendaraan tapi tidak memiliki SIM, seperti penumpang kereta api tanpa karcis, seperti gue dan Solichin.
Gue berdiri diam. Solichin ikut menghentikan langkahnya. Dia membelai rambut gue dan sekali lagi membisikan I Love you more than every words can say.. and you know that . Beberapa pasang mata dari pengunjung bioskop memandang ke arah kami, seakan tidak peduli Solichin mengecup lembut ujung kepala gue. Apa" Belom pernah liat orang pacaran"!! Terdengan suara Solichin setengah membentak seorang pria dan wanita yang berjalan melewati kami sambil memandangi tanpa berkedip. Gue mencubit pinggangnya, memberikan isyarat agar nggak perlu menggubris orang lain. Sol, mau nggak lo janji satu hal ke gue.. Janji apa, babe..
Norak ah, nggak usah pake babe segala.. Gue melepaskan pelukan dan memukul pelan dadanya.
Iya, janji apa.." Dia bertanya, sambil kembali merengkuh gue kedalam pelukannya yang hangat.
Janji kalo gue bakal jadi satu-satunya dan yang terakhir buat lo..
Iya gua janji.. Janji apa"
Gua Solichin Syafriel janji kalo elu; Desita Rahmawati bakal menjadi perempuan satusatunya dan yang terakhir buat gua..
Gue tersenyum kemudian mengambil tangan kanannya dan meletakkannya dipinggang gue. Emm.. gua boleh nanya sesuatu nggak ke elu des"
Boleh, apa" Sekarang, saat ini.. gua siapa lu" Pacar akuuuh...
Hahahaha... Kenapa" Kok tau-tau ketawa.. serem banget" Nggak apa-apa.. Pengalaman pertama, gua nembak cewek sampe 27 kali baru diterima.. Kemudian terdengar lirih, Solichin membisikan I Love You yang terdengar samar dengan suara monoton perempuan yang mengumumkan bahwa teater satu telah dibuka, dan para penonton dipersilahkan masuk.
--- Malam itu, mungkin manjadi malam paling indah yang pernah ada diantara ribuan malam lain yang pernah gue jalani. Dan nggak itu saja, lima bulan terakhir ini, sejak kenal dengan Solichin hidup gue menjadi terasan lebih ringan. Oke, ringan bukan karena Solichin terus-menerus memaksa gue menerima bantuan darinya. Tapi, hidup gue yang sebelumnya selalu dipenuhi beban-beban berat yang memenuhi pundak gue menjadi terasa lebih ringan saat gue berada disisinya, bahkan saat mengingatnya.
Gue melirik jam digital yang berpendar hijau di dashboard mobil Solichin. Angkanya menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Mobil CRV hitam Solichin melaju cepat melintasi jalan Jakarta yang sudah mulai lengang. Seperti biasa, Solichin memarkirkan mobilnya didepan Indomart dan mengantar gue sampai kedepan gang kemudian menunggu gue hingga tiba dirumah, barulah dia pulang setelah gue menelpon-nya. Tapi, kali ini sedikit berbeda, Solichin seperti enggan melepas gue, dari genggaman tangannya yang semakin erat saat langkah kami semakin mendekati muka gang.
Des..sekarang giliran lu yang janji sama gua.. Janji apa"
Yang sabar ya ngadepin gua.. jangan gampang nyerah..
Iya gue janji... Gua menjawab sambil membetulkan salah satu kancing kemeja-nya yang terlepas.
Kalo gue nggak sabar, mungkin lo udah gue tinggalin dari dulu kali..
Hehehe iya.. Sol.. Ya.. Gue juga sayang sama lo.. jangan tinggalin gue yaa..
Iya.. Solichin melepaskan genggamannya dan perlahan gue berjalan lambat meninggalkannya, sesekali gue menoleh dan mendapati dia masih berdiri ditempatnya sambil melambaikan tangan. Gue memberinya isyarat agar nggak perlu menunggu gue dan langsung pulang, dia tersenyum kemudian berpaling dan melangkah, pulang. Gue berjalan cepat sambil sesekali tersenyum. Senyuman gue kemudian pudar saat melihat ada kerumunan orang didepan pintu masuk rumah gue. Gue mempercepat langkah, menerobos kerumunan dan masuk kedalam. Terlihat beberapa ibu-ibu tengah duduk ditepi kasur dimana ibu berbaring. Lutut gue mulai bergetar, tubuh ini mulai lemas dan gue menjatuhkan diri di tepian kasur mencoba meraih tangan ibu yang mulai dingin.
------ Bagian #20C Terlihat beberapa ibu-ibu tengah duduk ditepi kasur dimana ibu berbaring. Lutut gue mulai bergetar, tubuh ini mulai lemas dan gue menjatuhkan diri di tepian kasur mencoba meraih tangan ibu yang mulai dingin.
Gue bertanya ke seorang perempuan tua yang tengah berdiri disisi tempat tidur; Mpok Imah. Kenapa mpok"
Tadi abis pulang bantu-bantu masak ditempat hajatan, ibu kamu tau-tau roboh, pingsan.. terus dibopong rame-rame kesini.. tadi sih bidan Dwi udah meriksa, katanya ngga apa-apa, cuma kecapean doang..
Makasih ya mpok... Gue berterima kasih kepada Mpok Imah sambil berlinang air mata menatap Ibu yang tengah berbaring lemah diatas tempat tidur.
--- Sejenak gue terduduk, disudut ruangan sambil memandangi Ibu saat para tetangga yang tadi menolong Ibu satu persatu pamit pulang dan akhirnya yang tersisa hanya udara pengap ruangan beserta ibu dan gue yang tenggelam dalam diam.
Dalam hati gue mengutuki diri sendiri yang malah asik-asikan pacaran sementara Ibu terbaring sakit dirumah.
Drrrttt..Drttt.. Ponsel gue bergetar. Dilayarnya tertera nama Solichin. Gue menekan tombol berlambang telepon berwarna merah, me-rejectnya.
--- Gue merasakan sentuhan lembut membelai rambut saat terbangun disisi tempat tidur. Gue menggapai tangan Ibu yang baru saja bangun dan berkali kali mengucapkan maaf kepadanya, karena nggak bisa berada disisinya saat dia memerlukan gue.
Ibu nggak apa-apa kok Des.. udah nggak usah nangis...
Maafin Desi ya bu... Kamu abis darimana" Pergi sama solichin" ...
Gue nggak menjawab hanya mengangguk pelan. Belakangan ini kayaknya kamu makin deket ya sama dia"
... ..kamu suka sama dia"... ...
.. hatihati lho des, bergaul sama orang kaya.. ...
...terkadang mereka nggak bener-bener membutuhkan kita..
Tapi, solichin beda bu.. Ya, kalau sama solichin sih ibu percaya, tapi keluarganya" Apa mereka bener-bener mau nerima kamu.."
... .. ibu sih ikut seneng kalau kamu seneng, tapi apa kamu udah pikir mateng-mateng" Apa kamu udah tau akibat-akibatnya kalo kamu terlalu deket sama dia"...
... ..kenapa kamu nggak nyari calon atau pacar yang sama dengan kita"
... ..kalo kamu nikah sama solichin dan dibawa untuk tinggal sama dia, siapa yang mau ngurus ibu"
Desita bu yang bakal ngurus ibu..
Bener" Bisa" Kamu baru deket sama dia aja, beberapa bulan belakangan ini ibu perhatiin kamu jarang dirumah, bahkan udah hampir nggak pernah bantu ibu bikin gorengan lagi.. Maafin Desita ya bu, Desi janji bakal bantu ibu.. Ibu cuma mau kamu nggak terjebak semakin jauh sama Solichin, des.. ibu takut..
Kali ini gue benar-benar nggak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ibu. Gue hanya mampu menutup mulut dengan telapak tangan berusaha menahan agar tangis gue nggak pecah. Sesuatu yang gue takutkan terjadi, sebuah tembok tinggi yang bernama strata sosial menjulang diantara gue dan Solichin. Ironisnya, halangan tersebut malah bukan datang dari orangtua Solichin melainkan dari Ibu gue sendiri.
Ibu yang sudah bersusah payah membesarkan, merawat dan menyekolahkan gue, Ibu yang begitu menyayangi gue, Ibu yang selalu rela mengorban segala dan sekarang, apa gue berani membantah ibu"
Gue merebahkan kepala ditepi kasur, sambil menangis sesenggukan dan mencoba untuk tidur dalam pelukan Ibu, berharap saat bangun nanti gue sadar kalau ini semua hanya mimpi. --Pagi itu, Solichin berdiri di pintu masuk ruangan gue sambil menebar senyum memandang gue seraya bersandar pada dinding. Tangan kanan-nya menggenggam cangkir sedangkan tangan kirinya dimasukkan kedalam saku celana-nya. Senyum itu, senyum yang membuat gue jatuh hati setiap hari. Dia melangkah pelan menghampiri dan berdiri dibelakang gue.
Selamat pagi.. Pagi Gue menjawab tanpa berpaling
Kemaren seharian ditelpon nggak diangkat kenapa"
Solichin bertanya, gue memandang wajahnya yang berubah serius dari pantulan layar monitor. Nggak apa-apa" Lagi sibuk bantuin ibu.. Oh.. kirain marah"
Nggak, kenapa harus marah"
Trus kenapa nggak mau mandang gua" Solichin mundur sedikit kemudian bersandar pada kaca jendela gedung sambil menyilangkan kakinya. Perlahan gue memutar kursi dan berhadapan dengannya, masih belum berani menatap kearahnya. Gue sadar, kalau gue harus menjaga jarak dengannya mulai saat ini. Walaupun gue harus mengorbankan perasaan, walaupun gue harus merelakan Solichin, walaupun ini nggak gampang. Walaupun gue harus menanggung sakit dan yang gue tau Solichin pun akan merasakan yang sama.
------ Bagian #20D Des.. Desita.. Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai.
--- Biasanya sepulang kerja, gua menghampiri Desita ke ruangannya. Tapi, sore itu meja kerja-nya telah kosong, gua bertanya ke salah satu rekan disebelahnya yang kemudian berkata kalau Desita baru saja turun. Buru-buru gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubunginya, nada-nya tersambung tapi tetap belum ada jawaban. Gua menekan tombol turun di diantara pintu lift berkali-kali, sambil tetap berusaha menghubunginya.
Entah ada apa dengan Desita, sejak terakhir gua berpisah di muka gang rumahnya dia sedikit berubah. Ada yang berbeda dengan air muka-nya, ada yang disembunyikan dibalik mata-nya yang biru. Dia seperti kembali ke Desita yang pertama gua kenal dulu.
Pintu lift terbuka, gua menghambur keluar bersama dengan karyawan-karyawan lain yang juga memburu matahari agar bisa sampai dirumah sebelum gelap, walaupun itu mungkin hanya tinggal impian saat gua melihat jam digital besar yang tergantung di lobi, angkanya menunjukkan pukul 17.30. Sambil tetap menempelkan ponsel ditelinga gua celingukan mencoba mencari Desita diantara kerumunan orang yang memenuhi lobi. Sesaat mata gua tertuju pada sosok seorang perempuan mungil yang berjalan gontai menuruni tangga, menuju ke luar.
Des.. Desita.. Gua berusaha berjalan cepat bahkan hampir berlari mengejarnya. Yang dikejar malah tidak bergeming sama sekali, hanya menatap lurus kedepan sambil berjalan gontai. Gua meraih tangan kirinya, dia menoleh sebentar kemudian menghentikan langkahnya.
Kenapa sih lu" Dari tadi pagi aneh banget.. Gua bertanya masih sambil menggenggam tangannya.
Ga papa.. Desita menjawab sambil membetulkan letak poni yang menutupi wajahnya.
Bo ong.. Lu pasti ngumpetin sesuatu dari gua.. Nggak kok..
Terus kenapa lu jadi beda" Beda apanya..
Beda aja.. kayak sekarang nih, lu maen kabur aja.. biasanya SMS..
Gue capek, sol.. pengen buru-buru pulang, pengen istirahat..
Yaudah tunggu didepan, gua ambil motor dulu.. gua anter..
Nggak usah deh, gue jalan aja..
Nggak..nggak.. pokoknya lu tunggu di depan, gua ngambil motor dulu dan lu jangan kemanakemana.. awas..
Gua berkata sambil berjalan mundur meninggalkan Desita yang masih berdiri dihadapan gua.
Menit berikutnya, Desita sudah duduk dibelakang jok motor sambil menggenggam jaket parasit yang gua kenakan. Saat hampir mendekati tujuan, gua memperlambat laju sepeda motor. Lu kenapa sih Des.. cerita dong..
Gue nggak apa-apa, sol.. ngerti nggak sih kalo dibilangin..
Gua tau lu bohong, des.. Ih stop-stop berenti..
Desita menepuk pundak gua, spontan gua menghentikan laju sepeda motor. Desita turun dari tumpangan, melepas helm dan menyerahkannya ke gua.
Nih, gue jalan aja.. udah lo nggak usah nyusul.. males gue..
Lah.. Des.. des.. Desita meninggalkan gua yang masih terduduk diatas sepeda motor sambil memegangi helm yang tadi dikenakannya.
Gua nggak bisa berkata-kata, hanya bisa terdiam sambil membuka lebar tabir imajiner dihadapan gua kemudian memutar ulangan kejadian-kejadian yang telah lalu dan mencari adakah part dimana ada kelakuan gua yang bikin dia marah. Gua menghabiskan sebatang rokok, sebelum akhirnya menutup tabir imajiner dihadapan gua, kemudian menyalakan mesin sepeda motor dan bergegas pulang.
--- Gua duduk diteras belakang rumah sambil memainkan ponsel antara bingung dan kesal dengan apa yang baru saja terjadi, tentang Desita. Gua memandang layar ponsel yang sedari tadi menampilkan contact name Desita, sedangkan ibu jari tangan kanan gua bersiap menekan tombol panggil.
1 detik 2 detik 5 detik 20 detik
Jari jari gua hanya bermain-main dengan ujung tombol panggil.
Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gua berdiri, kembali kekamar. Setelah berganti celana panjang, melengkapi diri dengan jaket dan helm, dengan mengendari sepeda motor gua malaju menuju ke Palmerah, ke rumah Desita.
Kurang dari empat puluh lima menit, gua sudah berdiri didepan pintu rumah Desita yang setengah terbuka. Dari sini dapat terdengar suara Desita yang tengah bercengkrama dan berbincang hangat dengan ibu-nya, hal yang jarang gua dan Ibu lakukan. Gua mengetuk pintunya pelan sambil mengucap salam, sontak suara perbincangan mereka terhenti disusul dengan suara Desita membalas salam.
Waalaikumsalam.. Sosok kepala muncul dari balik pintu, Desita mengernyitkan dahi sebentar kemudian berpaling dan menjatuhkan diri diatas sofa kecil disudut ruangan. Dari dalam si Ibu keluar dan membuka pintu lebar-lebar kemudian menatap gua dengan senyum.
Malem.. bu.. Malem dek.. ayo masuk-masuk.. Makasih bu..
Gua melangkah masuk kedalam dan kemudian duduk diatas lantai yang dingin ber-alas semacam karpet plastik berwarna cokelat. Desita kemudian bangun dari duduknya, dan melangkah keluar dari rumah, selang beberapa menit dia kembali sambil membawa teh botolan dan kantong plastik hitam. Dia duduk disebelah gua sambil menyodorkan minuman dan mengeluarkan kacang sukro dari dalam plastik hitam kecil tadi; jajanan favoritnya. Tumben nggak SMS dulu.."
Desita bertanya sambil memenuhi mulutnya dengan kacang sukro.
Takut nggak dibales.. malu gua kalo sampe SMS cewe nggak dibales..
Ooh.. kirain nggak punya pulsa..
Punya lah, pulsa gua mah kayak angin, nggak abis-abis..
Belagu.. Keluar yuk.. makan.. Nggak ah, nyokap sendirian..
Mendengar jawaban Desita gua hanya manggutmanggut sambil mengusap-usap dagu. Nggak seberapa lama, Ibu nya keluar dari dalam kamar dan duduk dihadapan kami, dia menyentuh lutut gua yang tengah duduk bersila sambil tersenyum kemudian berkata;
Dek, Solichin Ya bu"
Gua menjawab sambil sedikit menundukkan tubuh, mencoba mendengar suaranya yang terdengar lirih.
Belum sempat Ibu-nya berkata-kata lagi, Desita buru-buru menarik tangan gua dan menariknya keluar dari rumah. Gua sempat kebingungan sebelum akhirnya Desita bicara sambil tetap menarik lengan gua sepanjang gang;
Ada apaan sih Des" Ntar gue jelasin sambil makan" Katanya tadi ogah..
Iya sekarang gue mau Akhirnya kami berdua berjalan bersisian diatas trotoar sambil menuju ke warung tenda yang menjual pecel ayam diujung sudut jalan. Sekarang udah mau cerita, ada apa"
Ntar aja abis makan, sekarang belom bisa.. lemah lunglai tak ada tenaga..
Preett, tadi narik-narik gua kaya traktor.. Gua menggapai pundaknya dan menariknya lebih dekat kemudian mengecup ujung kepalanya. Desita mendongak ke arah gua dan memandang ke sekeliling.
Malu tau.. Biarin aja.. --Gua menyulut sebatang rokok setelah menghabiskan seporsi pecel ayam yang hampir beberapa bulan belakangan ini hampir menjadi menu utama gua kala bersama Desita. Sambil menghembuskan asap rokok ke dinginnya udara malam itu, gua menoleh ke arah Desita yang (masih, tetap dan sepertinya akan tetap begitu) menjilati sisa-sisa sambal dijarinya.
Mau cerita sekarang apa besok"
Desita bertanya sambil menyeka tangannya menggunakan tisu setelah membasuhnya di wadah plastik berisi air kobokan.
Sekarang lah.. tadi katanya abis makan.. Desita menggeser bangku plastik tempat dia duduk, kemudian memutar tubuhnya menghadap gua.
Jadi begini ceritanya.. Serius apa becanda nih"
Serius laah.. makanya dengerin dulu.. Ya..
Suatu hari pada saat Gua melempar punting rokok kebawah dan menginjaknya dengan kaki kanan gua sambil berdiri, mengeluarkan dompet dan membayar makanan yang telah kami makan. Kemudian bergegas keluar dari dalam warung tenda tersebut, gua melambaikan tangan, memanggil Desita yang masih dalam posisi siap bercerita. Ayo cepet.. gua anter pulang..
Lah, katanya mau diceritain.. belum juga mulai cerita-nya.."
Besok-besok aja, kalo lu udah serius.. sekarang mah males.. ngeliat dari tampang lu aja kayaknya ngeselin gitu..
Yaudah Gua mengapit tangannya dan menggandeng-nya lalu berjalan melewati trotoar jalan yang mulai sepi. Sesekali Desita melompat menggapai dedaunan di dahan pohon yang rendah dan menyodorkannya ke depan lubang hidung gua. Gua tau ada hal yang serius yang ingin diceritakan olehnya, gua juga tau kalau dia menyembunyikan sesuatu dibalik keceriaannya barusan. Gua hanya berusaha untuk tetap begini, biarkanlah. Gua ingin menikmati kesenangan ini lebih lama lagi, paling tidak sampai gua mati.
------- Episode 4 Bagian #21 Nama gua Astrid, saat baru berkenalan dengan seorang pria pemurung bertubuh tinggi dan kurus, usia gua saat itu baru menginjak 23 tahun. Malam itu gua mengarahkan sepeda motor matik gua menyusuri jalan Diponegoro menuju ke tempat salah satu rekan bisinis bapak yang terletak di daerah Demangan, Jogjakarta untuk mengantar sample T-Shirt.
Bapak adalah seorang pengusaha konveksi yang sudah lumayan ternama di Joga, rekan bisnis-nya pun tersebar hampir diseluruh Jogja. Dan sebagai anak tertua-nya, gua seperti dihibahkan tanggung jawab untuk meneruskan bisnis ini, ya walaupun nggak terpaut jauh dari kegemaran gua dalam dunia fashion tapi bapak nggak pernah mengijinkan gua untuk turun langsung dalam urusan produksi. Gua hanya berada di level manajemen dan marketing, seperti malam ini, Mengantarkan sample untuk calon partner bisnis bapak yang baru akan memulai bisnis di Jogja.
Setelah celingukan sebentar didepan sebuah rumah bernomor dua puluh tujuh, gua turun dari sepeda motor dan menekan bel nya.
Ting-tong Sekilas gua memandang kedalam rumah melalui celah-celah pagarnya yang lumayan tinggi. Rumah ini nggak terlalu besar, tapi mungkin konsepnya yang minimalis membuat rumah tersebut terlihat lega . Sesaat kemudian seorang pria kurus, tinggi membuka pintu, dia melongok sebentar kemudian berjalan santai menuju ke pintu gerbang. Dari sisi dalam pagar besi tanpa berjingkat dia menjulurkan kepalanya dan bertanya;
Cari siapa" Nada bicaranya terdengar santai namun datar, hampir tanpa emosi. Dari pandangan matanya juga terlihat kalau pria ini adalah tipe-tipe pria introvert, tipe pria penyendiri yang mungkin cuma menghabiskan seluruh waktunya dalam rumah, dikamar gelap sambil bermain games.
Pendekar Muka Buruk 22 Udah Belom Karya Laurentia Dermawan Cheng Hoa Kiam 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama