Everytime Karya Alboni Bagian 5
Gua terbangun saat jam menunjukkan pukul lima pagi. Setelah menghabiskan empat puluh lima menit untuk lari pagi disekitar komplek, gua kembali kerumah sambil menenteng plastik berisi bubur ayam. Gua tertegun saat melihat sosok wanita tengah duduk diatas motornya didepan pagar rumah, gua berjalan pelan menghampirinya. Wajahnya yang tertutup masker, sama sekali tidak membuat gua lupa padanya.
Apa kabar" Baik.. lo" Baik.. masuk Gua membuka pagar dan mempersilahkan Astrid masuk.
Sambil menikmati bubur gua duduk diberanda rumah mungil gua ditemani seorang wanita yang sudah hampir satu setengah tahun ini tidak bertemu. Mursan baru saja datang, dia memarkirkan sepeda sambil memandang tajam ke arah Astrid, gua tau.. sangat tau apa arti pandangan itu.
Tumben.. ada apa" Nggak.. tadi lewat, sekalian mampir.. Bohong..
Gua melirik jam tangan, saat ini baru jam enam pagi. Dan Astrid bilang kalau dia mampir sekalian lewat. Orang macam apa yang mampir jam enam pagi. Gua menebak kalau ada sesuatu dibalik kedatangannya. Dan tebakan gua sepertinya hampir benar, saat gua melihat dia mengeluarkan semacam kertas tebal berwarna kuning keemasan dihiasi pita berwarna merah dibagian depannya dan menyerahkannya ke gua.
Gua menerima undangan tersebut, tanpa membacanya,karena gua tau nama Astrid dan Calon suaminya yang terpampang disana, gua meletakkannya di atas meja yang berada diantara kursi kayu yang kami duduki. Gua menghabiskan suapan terakhir bubur ayam, meletakkan wadah sterefoam nya diatas meja, bersisian dengan undangan yang tadi diberikan Astrid ke gua. Well.. cukup cepat juga untuk ukuran move-on lho..
Gua bicara sambil menyeruput air mineral botol. Gue nggak bisa terus-terusan cinta mati sama lo kali cin..
Haha.. terus siapa cowo yang beruntung itu" Itu kan ada namanya di undangan..
Astrid bicara sambil menunjuk kartu undangan berwarna emas tadi.
Oh, kayaknya lebih enak kalo denger dari lu langsung..
... Astrid.." Gua menegurnya yang terlihat melamun. Dia baik kok, nggak gampang marah, ramah, sederhana dan ...
Wah kebalikan gua semua dong tuh... dan apa... Dan yang paling penting, dia mencintai gue.. Hahaha.. trus lu" Cinta sama dia juga nggak" Gua balik bertanya, kemudian mengambil piring bekas bubur dan masuk kedalam. Astrid mengikuti gua masuk, dia mendorong dan membalik tubuh gua. Tubuhnya didekatkan dengan tubuh gua, sangat dekat hingga dagu gua hampir bersentuhan dengan ujung kepalanya, dia mendongak.
Cium gue cin... sekali saja..
Astrid berkata sambil memegang kedua pipi gua dengan tangannya.
Gua hanya tersenyum, kemudian menyingkirkan kedua tangannya dari wajah dan berjalan ke belakang, membuang wadah sterefoam sisa bubur ayam ke tempat sampah. Astrid terlihat terduduk disofa sambil memegangi kedua kepalanya, gua duduk disebelahnya.
Suatu saat nanti lu bakal ngerti trid, kalo kita emang nggak bisa sama-sama.. cinta itu belum tentu bisa sama-sama, romeo dan juliet pun nggak bisa sama-sama, jack and sally dont stick together, love is not always like rose and butterfly trid.. nggak semua yang cinta itu bisa sama-sama.. Apa itu artinya lo cinta sama gue, tapi nggak bisa sama-sama gua"
Iya gua cinta sama lu, tapi bukan cinta yang sama seperti cinta nya romeo dan juliet, nggak seperti cintanya jack dengan sally..
Trus, cinta kayak apa"
Ya kayak gini.. kayak yang sekarang gua perbuat ke elu.. gua pengen lu lanjutkan hidup, dan terus melangkah..
Astrid memeluk gua sambil terisak. Gua membiarkan tangisnya terus meledak, membelai lembut rambutnya. Setelah gua pikir cukup, gua melepaskan pelukannya dan mengangkat dagunya, menatap matanya yang berlinang. Simpan dihati... semua tentang kita, jangan dilupakan tapi jangan juga terus diingat, simpan sebagai kenangan..
Astrid mengangguk mendengar perkataan gua. Dia mengambil ranselnya dan bergegas pergi. Sementara gua mengikuti langkahnya, pelan.
Astrid.. Gua menghampirinya. Siapa namanya" Gua bertanya ke Astrid. Hah"
Siapa naman calon suamu lu" Dias..
Oke, salam untuk Dias.. ...
Bilang ke Dias kalo dia sangat beruntung bisa memiliki elu..
Kemudian gua menyingkirkan helaian poni rambut dan mengecup dahinya. Astrid terdiam sesaat kemudian berpaling dan pergi. Goodbye trid.. sungguh elu emang sukses mempesona gua. Tapi gua punya cinta lain, cinta yang menggambarkan seisi dunia.
------- Bagian #45 Halo.. Terdengar suara Desita diujung telepon. Ya..
Lagi ngapain" Lagi di demangan.. Gua menjawab santai, merujuk ke sebuah ruangan yang tengah direnovasi, yang bakal menjadi tempat gua menjual produk clothingan. Ooh.. tadi pagi ada tamu"
Desita bertanya, singkat. Oo.. mm.. tamu"
Iya, tadi mursan SMS.. Oh.. Iya Astrid..
Ngapain" Nganter undangan.. dia mau merit..
Hah serius" Kamu patah hati dong, sol.. yaah aku turut berduka deh..
Desita bicara sambil seakan meledek gua.
Asem.. kalo gua patah hati beneran, ntar lu nangis-nangis..
Hahaha.. nggak-nggak, jangan doong.. Dasar..
Yaudah deh.. Udah gitu doang" Nelpon cuma nanya gitu aja" Iyah, cuma kroscek ajah.. udah ya, jangan lupa makan..
Iyaa.. kirain kangen"
Ya itumah nggak usah ditanya sol.. kangen sih udah pasti.. udah ya, aku lagi kerja nih.. Yaudah iya..
Tut tut tut. Desita mengakhiri panggilan. Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk, dari Desita. Aku kangen terus sama km, love u..
Gua tersenyum membaca pesan dari Desita, kemudian memasukkan ponsel kedalam saku celana.
Gua memandang sekeliling, sebuah tempat dua lantai yang terletak dipinggir jalan raya, yang kini sedang dalam tahap renovasi dan dekorasi, nggak seberapa lama lagi toko pertama gua akan berdiri dan saat itu terjadi, bokap harus sudah merestui hubungan gua dengan Desita. Gua menggutmanggut sendiri sambil membuat ceklist imajiner didalam pikiran.
Gua sudah cukup dengan kesombongan yang dulu gua punya lewat harta bokap. Kali ini, bisnis yang gua bangun benar-benar murni dari jerih payah dan kerja keras gua sendiri, ya walaupun masih banyak juga jalan terbuka mulus gegara keterlanjuran nama belakang bokap yang melekat di gua, dan memang nggak bisa dipungkiri power bokap dalam dunia bisnis memang luar biasa. Tapi, dalam urusan berkembangnya usaha gua ini, dengan bangga gua bisa menepuk dada berkat ide-ide dan kreatifitas yang mendampinginya. Okelah, memang dalam beberapa terobosan, banyak ide yang keluar dari Desita, seperti ide untuk menciptakan satu desain untuk satu item, jadi satu pelanggan membeli sebuah tees (T-shirt) dengan gambar A, maka itu adalah satu-satunya kaos yang dijual dan si pelanggan nggak bakal menemui ada orang lain yang memiliki tees dengan gambar A tersebut, kecuali desain gua dibajak. Ada juga beberapa Ide yang datang dari teman-teman sesama Desain grafis yang gua kenal, entah dari forum di internet atau teman kuliah dulu, mereka banyak memberi masukan mengenai item-item yang sedang in bahkan sampai input mengenai proses sablon yang mumpuni. Oke, kalau begitu gua ralat statement gua diawal kalau gua usaha ini murni jerih payah gua sendiri karena terlalu banyak ide yang malah muncul bukan dari gua, okedeh.
Membangun clothingan dengan menjual produk ekslusif (satu desain untuk satu item) sungguh sebenarnya bukan perkara mudah, coba bayangkan waktu yang dihabiskan untuk membuat satu desain kemudian kalikan dengan quota produksi yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, quota produksi gua adalah 40 lusin atau 500 item perbulan, item-item itu meliputi tees, topi, sweater dan jaket. Untuk urusan bottom atau bawahan, jelas nggak membutuhkan desain yang ekslusif. Dengan hitungan diatas, maka jelas dalam satu hari gua harus membuat minimal 15 desain dan sekaya-kayanya ide seseorang gua nggak yakin ada yang sanggup membuat desain dengan hitung-hitungan diatas. Dan lagi-lagi sebua ide malah muncul dari Desita;
Ya kamu hire orang aja untuk bikin desain, gitu aja ribet..
Tapi, jelas bukan perkara mudah untuk menemukan desainer yang mau dihire untuk membuat 15 desain perhari, sedangkan untuk meng-hire banyak orang sekaligus tentunya bukan perkara mudah untuk urusan kantong gua yang saat ini sedang tidak ada sinkronisasi dengan kantong bokap.
Yaudah kalo gitu, kamu bayar aja per desain.. desain yang udah ada di orang kamu beli... Kira-kira begitu bunyi saran dari Desita yang akhirnya sampai saat ini masih gua gunakan. Jika meminjam istilah ekonomi mungkin dibilang Pay for what you get, jadi berkembangnya sistem ini membuat gua membayar dua kali untuk sebuah desain; pembayaran pertama untuk Desain-nya itu sendiri dan pembayaran kedua jika desain yang sudah terpasang pada item laku terjual. Apakah bayaran per-desainnya besar" Oh tentu tergantung dengan tingkat kesulitan dan waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya dan sudah barang tentu gua adalah orang yang sangat menghargai sebuah karya, gua nggak mau membayar murah sebuah kreatifitas.
Dan berawal dar ide Desita itulah akhirnya clothingan gua perlahan mulai dikenal. Nggak hanya membuat sebuah brand dan memasarkannya, sejak enam bulan terakhir gua juga mulai memproduksi item untuk distro-distro lain mulai dari Jogja, Jakarta bahkan Malang. Dan tentunya gua nggak bisa menghandle itu semua sendirian, selain mursan yang bertanggung jawab dalam sisi operasional gua juga memiliki satu orang lagi yang bisa dijadikan penanggung jawab administratif, tentu saja gua memilih orang yang punya pengalaman dalam bidang administrasi, ya walaupun administrasi kasir minimart nggak bisa dibilang sebagai pengalaman penting tapi nilai kejujuran bisa menutupinya dan Taufik rasarasanya pantas gua datangkan dari Bogor untuk mengisi pos tersebut.
Berbekal dua orang itu lah, gua akhirnya saat ini berdiri disebuah tempat yang mudah-mudahan nantinya bisa disebut kantor.
Terjun langsung dalam usaha seperti ini sepertinya memang berhasil untuk sedikit mengobati kerinduan mendalam terhadap cinta yang terpisah jarak. Terkadang bekerja membuat gua sedikit banyak lupa akan cinta , lupa akan Desita walaupun tetap nggak bisa dipungkiri saat menggambar tengkorak sambil memendam rindu akan Desita, hasilnya si tengkorak malah jadi tengkorak yang lucu dan unyu-unyu
Banyak hal yang membuat gua berubah. Tadinya gua menolak percaya dengan anggapan kalau cinta itu bisa merubah seseorang, tapi sekarang gua mengerti kenapa ada anggapan seperti itu. Tentu saja, saat ini jarang sekali orang yang tau bagaimana perilaku gua dulu. Mungkin karena orang-orang yang ada disekitar gua saat ini merupakan orang-orang yang berbeda dengan yang gua kenali dulu. Sekarang gua bisa lebih mentolerir segala sesuatu, gua juga sudah tidak terlalu kolot mempertahankan semuanya dalam pola tertentu, gua sudah tidak lagi meminum kopi satu cangkir sehari dan mengenakan pakaian sesuai jadwal walaupun gua tetap selalu memakan kuning telur belakangan dan sepertinya untuk yang terakhir akan selalu begitu. Untuk urusan ego, dan mungkin ini yang paling terasa. Entah kenapa, Desita selalu berhasil mengendalikan ego yang terlalu besar dalam diri, saat mendengar suaranya, meresapi perkataannya dan memaknai nasihatnya, perlahan-lahan ego gua semakin luntur dan kini gua hanya menyisakan sedikit ego untuk berkeras melawan bokap.
Dan saat ini, ditempat gua berdiri, gua membulatkan tekad untuk menyongsong takdir, melakukan negosiasi dengan bokap. Minggu depan Desita akan menjalani sidang kelulusan, dan jika semua berjalan lancar (dan gua harap begitu) maka tiga bulan berikutnya gua akan membawa Desita ke Jakarta. Tidak peduli apapun hasilnya, gua akan tetap membawanya ke Jakarta. --Sehari berselang, saat gua tengah beristirahat sambil menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi diberanda teras rumah. Gua mengeluarkan ponsel dan berniat menghubungi Desita, sambil memutar-mutar posel gua menimbang-nimbang apakah harus mengatakan tentang rencana gua membawa Desita ke Jakarta untuk bertemu bokap sekarang, apakah ini waktu yang tepat" Gua cuma takut hal ini malah membuat Desita yang baru akan Sidang Skripsi terganggu konsentrasinya. Gua mengurungkan niat dan kembali memasukkan ponsel kedalam saku. Nggak lama berselang Mursan dan Taufik muncul dari dalam rumah, setelah sejak sore tadi mereka menghabiskan waktu bermain playstation. Fik,San,..
Ya mas Mursan menjawab. Gua kayaknya mau pergi sekitar mungkin dua mingguan.. gua tinggal kalian bisa kan" Mau kemana aa"
Taufik bertanya Ke bogor
Jemput Mbak Desi ya mas" Kali ini Mursan yang bertanya. Nggak, mau tau aja lu.. bisa kan"
Bisa, tenang aja.. emang mau jalan kapan mas" Kalo besok langsung dapet tiket, besok langsung berangkat..
Kok keto e kesusu tho mas, ene opo" Nggak ada apa-apa.. mursaan..
Gua bicara ke Mursan sambil berlalu masuk kedalam, berniat memesan tiket pesawat secara online.
--- Esok harinya, jam sudah menunjukkan pukul dua siang saat gua baru saja menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Cuaca panas langsung menyambut gua yang baru saja keluar dari terminal, sosok pria botak dengan janggut tebal berdiri menyambut gua sambil cengengesan. Apa kabar, bleh..
Bewok menggapai gua dan mengulurkan tangannya.
Baik.. elu gimana" Bengkel masih jalan" Gua menjabat tangannya dan kemudian bertanya tentang usaha bengkel mobil yang dimilikinya. Masih.. tumben banget minta jemput gua lu.. Haha.. kangen gua, sekalian nostalgia lah.. Udah hampir tiga taon ya kita nggak ketemu..lebih malah..
Bewok bicara sambil mengangkat koper kecil gua dan memasukkannya kedalam bagasi mobil sedan miliknya.
Iya..ya.. Gimana" Kabar pertapaan lu setelah lari dari kenyataan ditinggal cewe yang namanya Desita itu"
Hahaha.. ketinggalan cerita luh..
Gua bicara sambil tertawa mendengar pertanyaan si Bewok, kemudian masuk kedalam mobil. Sementara si Bewok terlihat penasaran. Maksudnya" Jangan-jangan udah kimpoi lu yak sama cewek jogja"
Nggak.. Trus.." Udah jalan, ntar gua certain dijalan..
Kemudian mobil sedan eropa Bewok mulai meluncur meninggalkan Bandara Soekarno Hatta, menembus panasnya aspal jalanan ibukota. Sepanjang perjalanan gua habiskan dengan menceritakan hampir seluruh kisah yang terjadi antara gua dan Desita, serta bagaimana Salsa juga ikut andil dalam perkara ini. Sedangkan perihal Astrid, nggak pernah gua tuturkan kepadanya. Si Bewok hanya manggut-manggut sambil tersenyum mendengar cerita gua, sesekali terdengar dia menggumam; Parah.. , Serius lu atau bahkan Anjing .
Jangan keluar disini, wok..
Gua menepuk lengan si Bewok yang hendak mengambil lajur paling kiri, berniat keluar di pintu keluar Tol Slipi. Respon si Bewok, mematikan lampu sein-nya dan kembali ke jalur tengah. Kenapa"
Lurus aja terus.. Kemana"
Ke Bogor.. Ah lu gila!!.. gua ntar malem mau ada acara.. Acara apaan sih" Pentingan mana sama nganter gua ke bogor" Gua kan sahabat lu wok.. Pentingan acara gua lah..
Alaaah paling juga lu mo main billiard sama cewek-cewek bispak di kemang..
Si Bewok menempeleng kepala gua dengan gulungan brosur yang ada di dashboard mobilnya. Geblek! Ntar malem gua mau lamaran.. Hah" Serius lu"
Serius lah.. Yaudah keluar deh dipintu tol depan.. anterin gua kerumah aja..
Maksud gua juga gitu dari tadi..
Kemudian sesaat suasana di dalam mobil hening seketika. Dan Si Bewok baru kembali membuka suaranya saat kami sudah hampir sampai komplek rumah gua.
Lu kok nggak ngabar-ngabarin gua wok, mau lamaran"
Ya ini gua kabarin.. Siapa cewek sial itu"
Kampret justru dia beruntung banget dapetin gua..
Siapa wok" Namanya Seila.. Wuih, kenal dimana" Di tempat karaoke Ah geblek
Lho emang kenapa bleh" Ada yang salah kenal cewek ditempat karaoke.. lu dulu juga sering nyari cewek-cewek bispak di tempat begituan.. Geblek.. tapi ya jangan buat dijadiin istri juga laki wook..
Ah gua udah cinta mati banget sama dia bleh.. asli dah.. kalau seandainya bokap gua ngelarang aja, gua bakal kimpoi lari..
Deg! Kalimat yang baru saja diucapkan Si Bewok, sesaat membuat hati gua terasa seperti tersayat. Eh Sorry, bukan maksud nyindir kasus lu sama Desita lho.. tapi gua saranin sih kalo emang restu bokap lu nggak kunjung terbuka, kimpoi lari aja..siapa tau abis lu kimpoi lari bokap lu malah pasrah dan akhirnya menerima kalian.. banyak bleh kasus yang begitu..
Sungguh, selaknat-laknatnya gua terhadap orangtua, belum pernah gua sekalipun berfikir untuk kimpoi-lari . Tapi, mungkin ada benarnya juga apa yang barusan dibilang Si Bewok kimpoi lari aja..siapa tau abis lu kimpoi lari bokap lu malah pasrah dan akhirnya menerima kalian . Gua manggut-manggut sebentar kemudian memasukkan kimpoi lari sebagai rencana cadangan.
Nggak lama, kami pun tiba didepan rumah gua. Si Bewok turun, mengeluarkan koper kecil gua dari dalam bagasinya. Gua meraih koper tersebut; Mampir dulu wok, ngopi..
Nggak deh, gua langsung aja..
Ntar malem acaranya jam berapa, gua ikut deh.. Boleh, tapi agak jauh lamarannya
Emang orang mana wok.. Orang purwokerto.. Ebuse.. balik lagi dong gua.. yaudah titip salam aja dah buat bokap-nyokap lu dan calon bini lu.. siapa namanya tadi"
Seila.. Oke deh.. Seila-mat sore kalo gitu.. Kampret..
Bewok, menutup kaca jendela mobilnya dan meluncur pergi. Gua menghela nafas sebentar sambil memandang rumah besar dihadapan gua. Rumah dimana gua tumbuh dewasa dan meremajakan diri. Rumah yang sudah beberapa tahun ini tidak pernah gua kunjungi lagi. Gua melangkahkan kaki masuk kedalam, dan langsung disambut senyuman khas Hisoka milik Bapak yang tengah menyiram rumput dan tanaman dihalaman depan.
Baru sampe kamu hin" Iya..
Gua berjalan menghampirinya dan mencium tangannya.
Kayaknya kamu kurusan kurang makan apa kurang kasih sayang"
Dua-duanya.. Gua berpaling kemudian masuk kedalam rumah. ------Bagian #46 Gua membuka pintu rumah yang hening. Ya memang sejauh yang gua kenal, dihari-hari weekday seperti sekarang ini dirumah memang selalu sepi, paling hanya ada asisten rumah tangga yang biasanya sibuk mondar-mandir memasak atau membersihkan rumah. Atau bokap yang entah malas, entah kurang mood atau entah dengan alasan lainnya enggan datang ke kantornya, jangan sekali-sekali kalian bertanya saat Bokap berada dirumah saat weekday, maka yang akan kau lihat hanyalah sebuah senyuman, senyuman penuh sinisme, senyum ala hisoka -nya Hunter x hunter, senyum yang seakan-akan berkata; Terserah lah, kantor-kantor gua . Gua memasuki rumah tanpa banyak bicara, menuju ke lantai atas dan masuk kedalam kamar. Suasana suram menggerayangi gua, betapa tidak, kamar yang berukuran 4 x 4 meter tersebut terlihat gelap dan Aroma khas dari sebuah ruangan yang tidak ditinggali penghuninya dalam waktu yang lama, mirip seperti aroma kayu basah yang terjemur matahari mulai menusuk hidung. Dibalik kegelapan tangan gua menelusur dinding dan menemukan saklar lampu kemudian menekannya. Sesaat lampu kamar berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyala, belum ada satu detik lampu kamar kembali padam. Gua menghela nafas. Kemudian melangkah pelan menuju ke atas tempat tidur dan berbaring diatasnya, temaram cahaya dari jendela luar yang ditutupi tirai menembus masuk kedalam, membuat seakan sore ini menjadi sore yang sendu dan kelabu. Gua mengangkat lengan, memposisikannya diatas dahi hampir kemata, kemudian mencoba tidur.
Potongan bait lagu Livin in the world without you -nya The Rasmus bergema pelan diseisi ruangan, gua terbangun saat melihat samar sosok bayangan duduk diseberang tempat tidur gua. Sa.."
Gua menebak, sekaligus mencoba memanggilnya, jika benar sosok itu adalah Salsa.
Oi.. Sosok itu menjawab, dari suaranya gua tau kalau dia adalah Salsa.
Ngapain lu" Kapan sampe lo bleh"
Salsa nggak menjawab pertanyaan gua, dia malah balik bertanya. Gua melirik ke arah jam tangan, jarumnya menunjuk ke angka tujuh malam. Gua buru-buru bangun, dalam hati mengutuki diri sendiri karena bisa sampai tertidur, padahal rencana-nya malam ini gua harus sudah berada di Bogor, mengobati rindu.
Tadi sore.. wah pengen ke Bogor, kemaleman nggak ya"
Ngapain" Nemuin Desita" Iya..
Ooh.. Salsa terlihat sedikit murung, gua menghampirinya dan memandang wajahnya dalam gelap.
Kenapa lu" Gua bertanya sambil mengernyitkan dahi. Cepet deh ke Bogor.. minggu depan ajak Desita kesini..
Hah, kenapa" Gapapa.. udah buruan, nggak usah banyak nanya, oiya Desita suruh ngurusun badan dikit.. Ada apaan sih, sa"
Udah ntar lo juga tau.. Yaudah sekarang sama ntar kan sama aja.. kasih tau sekarang aja..
Bawel deh lo bleh.. udah sana-sana.. Harusnya gua yang ngusir elu, ini kan kamar gua..
Gua berjalan pelan meninggalkan salsa yang masih duduk dibalik bayangan didalam kamar gua. Dibawah, gua disambut senyum sumringah Ibu yang mengadahkan tangannya bersiap memeluk gua. Gua hanya tersenyum kemudian membalas pelukan ibu.
Nginep kan bleh" Ibu bertanya sambil melepaskan pelukan dan memandang ke arah gua.
Nggak bu, mau ada urusan.. Yah.. nginep lah sehari kek.. Ya nanti kalo udah kelar urusan, ableh nginep disini kok, tenang..
Kemudian gua meninggalkan Ibu dan menuju ke garasi belakang. Sementara di meja makan, bapak tengan duduk sambil membaca Koran, dia melirik gua sebentar melalui kaca mata baca-nya. Mau kemana kamu hin"
Pergi sebentar.. Baru pulang udah mau pergi lagi.. Iya.. ada urusan..
Mobil kamu udah bapak benerin tuh Dashboardnya.. besok besok kalo mau ngamuk, ditabrakin aja tuh mobil sekalian ke tiang listrik.. Gua menghampiri bapak kemudian mencium tangannya dan kemudian bergegas pergi. --Satu jam berikutnya gua sudah berada di jalan Tol menuju ke bogor. Gua memandang dashboard mobil gua yang sudah diperbaiki, kali ini sudah tidak ada lagi stereo tape usang, berganti dengan sebuah layar kecil beukuran sekitar tujuh inch yang berfungsi sebagai main control untuk CD, VCD, DVD, TV, Radio bahkan GPS. Gua tersenyum simpul kemudian memasukkan sebuah kepingan DVD yang sepertinya tertinggal disana, DVD The Rasmus, pasti punya Salsa. Dan selama sisa perjalanan lagu-lagu The Rasmus dari Album Dead Letters pun menemani gua hingga tiba didepan rumah Desita.
Gua memandang kearah rumah mungil itu, dari dalam sepertinya sudah gelap. Maklum sudah hampir tengah malam. Gua mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Desita.
Haloo.. Suara Desita yang sepertinya baru terbangun dari tidur terdengar.
Lagi ngapain" Menurut kamu lagi ngapain" Pasti lagi tidur..
Iya!!.. ada apa sih" Kamu nggak lagi sakit kan.. Gapapa, cuma kangen aja..
Aaah.. aku ngantuk besok pagi aja telpon lagi..
Nggak ah.. Gua turun dari mobil, menyulut sebatang rokok sambil tetap memandang ke arah bagian depan Rumah Desita yang terlihat gelap.
Ih.. udah malem.. yaudah aku tutup ya Yaudah tutup aja..
Yaudah.. jangan tidur malem-malem.. bye.. Des.. des.. tunggu..
Apa lagi" Lu kangen nggak sama gua"
Kangen.. , tapi nggak harus nelpon tengah malem juga kali sol
Kalo seandainya gua saat ini ada didepan rumah lu, lu tetep bakal tidur juga"
Hah, serius" Gua tersenyum kecil mendengar kekagetan Desita, terlihat lampu ruang depan rumah Desita menyala, kemudian sosok wajah muncul, mengintip dari balik tirai, memandang ke arah gua. Kamu maaah..
Hehehe Gua tertawa sambil melambai ke Desita yang masih mengintip dari balik tirai, nggak seberapa lama pintu rumahnya terbuka dan Desita membaur keluar, masih tetap dengan ponsel-nya yang masih terhubung, dia berjalan cepat kemudian memeluk gua.
Ngapain sih malem-malem dateng nya" Iya, abis udah nggak tahan banget.. Gombal!, nggak ada apa-apa kan" Gua menggeleng sambil menatap lembut wajahnya.
Masuk.. Desita melepaskan pelukan dan mencoba menarik tangan gua.
Nggak deh, gua ke hotel aja nggak enak sama tetangga nanti..
Ih, tumben banget pikiran kamu bener sol.. Yaiyalah..
Ya trus ngapain pake bangunin aku kalo ujungujungnya nginep di hotel"
Gua kangen! Mendengar jawaban gua, Desita kembali kedalam pelukan dan mengusel manja. Sangat jaran sekali dia berlaku seperti ini, mungkin karena sudah terpisah terlalu sering dan terlalu lama membuat kami seakan tumpah dalam rindu yang tanpa batas.
Beneran kangen" Iya, sebenernya sih sekalian mau nemenin kamu siding skripsi..
Waah, bener" Iya, terus yang jaga store disana siapa" Ada Mursan sama Taufik..
Oh.. Lu kangen juga kan" Iya lah
Yaudah besok pagi kita ketemu lagi ya Yaah.. cepet pisan euy..
Katanya tadi ngantuk"
Gua bertanya sambil menyindir dan tersenyum kearahnya.
Iya, sekarang udah ilang ngantuknya, kan ada kamu..
Udah ah, besok kan masih ketemu lagi.. Yaudah..
Desita bicara sambil sedikit merajuk, dia melepaskan lengannya dari pinggang gua dan sedikit memundurkan posisi tubuhnya. Gua menghampirinya, mengecup keningnya dan kemudian masuk kedalam mobil.
Hotel mana" Desita bertanya ke gua melalui kaca jendela bagian penumpang yang sengaja gua biarkan terbuka. Belum tau nih, nyari dulu.. nanti kalo udah dapet, gua SMS..
Telpon, jangan SMS.. Iya bos..
Gua bicara kemudian menutup jendela dan bergegas pergi.
--- Esok paginya, tepatnya hanya berselang enam jam, gua sudah kembali berada di depan rumah Desita. Jam menunjukkan puluk enam lebih tigapuluh saat gua mulai membuka pagar kecil didepan rumah mungil yang pintu-nya sudah terbuka itu. Si Ibu Desita terlihat tengah menjemur pakaian, dia sepertinya sedikit kaget melihat kedatangan gua pagi itu.
Lho, dek Solichin.. kapan sampe" Baru semalem bu..
Desi-nya masih sarapan tuh, yuk masuk.. masuk, ikut sarapan heula..
Gua tersenyum kemudian mengikuti Si Ibu masuk kedalam.
Didalam terlihat Desita yang tengah asik dengan mie instan goreng sambil sesekali tertawa geli menyaksikan spongebob squarepants di televisi. Gua duduk di belakangnya, Desita menoleh sebentar, dengan potongan mie masih menggantung dibibirnya dia mengangguk sambil bilang; Tunggu ya.. mau sarapan sekalian" , Gua hanya menggeleng kemudian tersenyum. Dek solochin, dibikinin sarapan sekalian ya" Si Ibu bertanya ke gua dari dalam.
Wah makasih bu, tapi nggak usah bu, tadi saya sudah sarapan
Nggak apa-apa, cuma mie instan doang.. dibikinin ya..
Gua berkeras menolak, tapi Desita menyentuh lembut pipi gua sambil bicara pelan, sangat pelan; Udah gapapa, sarapan dulu, jarang-jarang dimasakin calon mertua . Gua kembali tersenyum, kemudian pasrah dalam menerima seporsi mie instan yang disajikan oleh Ibunya Desita. Padahal, seumur-umur dalam keluarga gua sangat tabu sekali yang namanya mengkonsumsi mie instan, apalagi buat sarapan, alasannya sih kata nyokap; Mie Instan itu melambangkan kemalasan , menurut nyokap, tubuh kita itu seperti mobil dan sarapan pagi sama hal dengan mengisi bensin pada mobil yang akan kita kendarai sepanjang hari, hanya saja mobil tersebut memiliki tangki bahan bakar yang kecil, sehingga harus diisi beberapa kali dalam sehari. Saat pagi hari, bahan bakar yang ada di dalam mobil hampir habis, sehingga harus diisi kembali sebelum mobil tersebut dipakai. Dan tentu saja mengisi perut dipagi hari haruslah dengan makanan yang penuh gizi dan protein bukan makanan abal-abal seperti mie instan.
Ah, tapi itu kan menurut nyokap gua. Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, pendapat nyokap gua yang memang punya rejeki berlebih sehingga nggak membutuhkan mie instan untuk sarapan jelas berbeda dengan gaya hidup Ibu Desita dan keluarganya yang notabene dulu sempat hidup diambang garis kemiskinan, dan gua paham akan hal itu. Lagipula sepertinya nggak ada salahnya mencoba makan mie instan saat sarapan. Gua hanya menggumam saat menerima mangkuk berisi mie instan yang diberikan Ibu Desita ke gua. Setelah menunggu gua selesai sarapan, Desita bergegeas mengenakan sepatu hak tinggi-nya dan berjalan keluar menuju ke mobil. Sementara gua pamit ke Ibu Desita dan menyusul Desita yang sudah lebih dulu menuju ke mobil.
Cepet ih.. Desita berkata sambil menlihat kearah jam tangannya.
Sabar.. kalo tdau tau buru-buru kenapa malah nyuruh sarapan dulu..
Gua menjawab, menggerutu sambil berjalan cepat masuk ke mobil.
Nggak seberapa lama, kami tiba ditempat kerja Desita, sebuah tempat yang sama dulu waktu gua pertama kali bertemu dengannya saat sempat terpisah selama tiga tahun. Gua memandang logo perusahaan yang terdiri dari dua huruf S asimetris yang terpampang dibagian atas gedung dan di pintu kaca bagian depan kantor, sebuah logo yang familiar, yang dulu sempat tidak gua kenali dan akhirnya sadar akan arti dari dua huruf S tersebut, bisa jadi; S dari Solichin Syafriel, Salsabila Syafriel, Sasmitrowidjojo Syafriel atau Sastroswidjojo Syafriel, entahlah. Yang pasti perusahan ini milik keluarga bokap.
Desita memasuki ruangan kantor dan gua menyusul dibelakangnya. Sempat terlihat beberapa karyawan menatap kami kemudian mengucapkan Selamat Pagi dengan penuh hormat, bahkan ada yang sampi sedikit membungkukan tubuhnya, tipe-tipe karyawan penjilat . Saat hendak menaiki tangga menuju ke atas, Desita berpaling ke gua;
Kamu mau ikut keatas" Dia bertanya sambil sedikit berbisik, sepertinya enggan mengganggu suasana kantor yang tenang.
Iya.. Gua menjawab, juga sambil setengah berbisik. Mau ngapain"
Nemenin elu.. Nggak usah, udah kamu kemana dulu kek.. ngopingopi, belanja di mall dulu kek
Emang kenapa sih" Ya nggak enak aja sol, masa aku lagi kerja diikutikutin, nggak enak sama temen yang lain Yaah, yaudah deh..
Gua akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menunggu Desita selesai bekerja. Gua berjalan kembali menyusur lorong menuju ke luar, saat hendak membuka pintu kaca kantor, ponsel gua berdering, gua melihat layarnya; dari Desita; Jangan jauh-jauh ya, ntar ilang Emang gua bocah..
Nanti pas makan siang jemput ya.. Iya..
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere..
------- Bagian #47 Jangan jauh-jauh ya, ntar ilang Emang gua bocah..
Nanti pas makan siang jemput ya.. Iya..
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere.
Hampir sekitar dua jam lamanya gua hanya berputar-putar disekitar jalan raya kota Bogor, sampai akhirnya gua kembali lagi ke pelataran parkir kantor Desita. Gua turun dari mobil, kemudian mulai melangkahkan kaki ke bagian samping komplek perkantoran itu. Disebelah kanan dari komplek perkantoran tempat Desita bekerja ada sebuah gang yang cukup besar dimana jika siang hari dipenuhi dengan beraneka ragam pedagang makanan dan minuman, biasanya dipadati dengan para karyawan yang makan siang. Gua melirik ke arah jam tangan, baru puku 10 pagi, suasana di sepanjang jalan tersebut pun masih terlihat sepi, walaupun sudah banyak pedagang-pedagang makanan yang mulai menggelar dan menata dagangannya. Gua berjalan pelan menyusuri gang tersebut sambil sesekali celingukan, entah mencari apa. Gua tenggelam dalam kebingungan, harus apa dan harus kemana, gua hanya berjalan terus sampai akhirnya kaki gua berhenti tepat didepan sebuah warung kopi beratap terpal berwarna biru, gua mendekat dan duduk disebuah bangku kayu panjang dimana sudah ada beberapa orang duduk diatasnya. Seorang pria tua dengan baju partai lusuhnya berdiri kemudian bertanya ke gua dengan menggunakan bahasa sunda, gua mengernyitkan mata, mencoba meresapi apa arti kalimat yang barusan dia bilang; yang gua tangkap hanya kata kopi , susu dan teh , gua mengangkat telunjuk jari tangan kanan, kemudian menjawab; Kopi
Nggak lama secangkir kopi dengan gelas kecil bermotif kembang-kembang, khas hadiah dari mungkin sabun colek atau detergen disajikan dihadapan gua. Gua mencium aromanya; Hmm.. aroma khas kopi sachet Indocafe. Gua menyulut sebatang rokok, dan hanya duduk dalam diam, sambil sesekali mencuri dengar obrolan-obrolan dua pria disebelah gua, yang dari obrolannya bisa dipastikan salah satu diantara mereka adalah orang Jakarta dan satunya lagi merupakan orang asli sini dan mereka berdua sepertinya satu profesi; Supir pribadi.
Gua agak sedikit tercengang saat salah satu diantara mereka bilang kalau bos-nya bekerja di tempat yang sama dengan Desita. Setelah sedikit banyak mencuri dengar akhirnya gua memberanikan diri bertanya, ke pria yang mengaku supir dari salah seorang bos di kantor Desita, yang sedari tadi gua tau dari obrolan mereka kalau dia adalah orang asli sini. Maaf pak
Gua menyentuh pelan bahunya, pria itu menghentikan obrolannya kemudian berpaling ke gua.
Naon, pak" Pria itu sedikit kaget dan bertanya.
Kalo boleh tau, bos bapak kerja di Sinar Surya" Iyah.. kenapa emang"
Nggak apa-apa, nama bos nya bapak siapa" Pak Yohannes.. kenapa sih"
Pria itu bertanya balik, sepertinya penasaran. Nggak apa-apa pak, saya cuma nanya, soalnya saya mau ngelamar disitu.. tapi mau nyari tau dulu..
Gua menjawab, bohong. Ooh.. coba aja atuh, ngelamar.. disitu mah enak, gaji nya gede..
Ah yang bener pak" Bener
Si Bapak supir itu menjawab sambil pasang serius. Pak Yohannes itu, direkturnya ya"
Bukan mas, ada lagi bos besarnya di Jakarta, ini kan cuma anak perusahaan aja, namanya kalo nggak salah Pak Sas..nah Pak Sa situ, katanya orangnya kayaaaa sekali lho makanya kerja disana gajinya pasti gede..
Si bapak supir bicara menggebu-gebu. Ooh gitu toh..
Gua cuma manggut-manggut sambil berlagak kagum.
Tapi, katanya sih saya denger-denger Pas Yohannes kan mau pensiun, dia mau berobat ke amerika..
Ooh.. terus bapak gimana"
Nggak tau nih, saya soalnya kan supir kantor, jadi ya nggak begitu masalah kayaknya..
Ooh bapak supir kantor, saya kira supir pribadi
Akhirnya gua menghabiskan pagi menjelang siang itu, ngobrol ngalor-ngidul dengan Si Bapak Supir yang bekerja di Sinar Surya Trading, tempat Desita bekerja, yang juga anak perusahaan milik bokap. Sebenarnya gua ingin bertanya tentang Desita kepada Si Bapak supir yang akhirnya gua kenali namanya sebagai Bapak Amat, tapi gua urungkan takutnya profil Desita bisa sampai ke tangan Bokap melalui Bapak Amat yang notabene supirnya Pak Yohannes, bawahan langsung bokap. Ponsel gua berdering saat jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Dari Desita; gua berdiri dari bangku panjang, membayar kopi-kopi yang sudah ditenggak habis oleh gua dan beberapa supir yang ada disana, kemudian melangkah pergi menuju ke pelataran parkir.
Halo.. Kamu dimana" Ini disebelah, yang banyak warung-warung tenda..
Ooh.. mau makan disitu.." Nggak deh, panas
Gua menjawab melalui telepon sambil terus melangkah, sementara dari arah sebaliknya banyak para karyawan tengah berjalan cepat, memasukki beberapa warung-warung tenda yang berjajar. Gang tersebut kemudian mendadak ramai dan riuh tak ubahnya seperti Jalan raya Bendungan Hilir saat-saat jam makan siang. rame lagi lu dimana"
Aku udah diluar, didepan mobil kamu, kirain kamu nunggu dimobil..
Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yaudah, bentar lagi sampe..
Gua mempercepat langkah menuju ke parkiran, nggak seberapa lama gua mulai memasuki pelataran parkir komplek perkantoran tempat Desita bekerja dan mendapati dia tengah berdiri di sebelah mobil gua sambil menutupi kepalanya dengan dompet dan tas kecilnya, mencoba menangkal panasnya sinar matahari.
Sorry ya sayang.. Gua tersenyum ke arah Desita sambil membuka pintu mobil. Dia hanya tersenyum kemudian menyusul masuk kedalam.
Mau makan dimana" Desita bertanya ke gua setelah kami masuk kedalam mobil.
Terserah, yang deket-deket aja, biar nggak macet baliknya..
Aku nggak balik lagi.. Hah, langsung pulang" Gokil kerja enak banget jam segini udah pulang..
Setengah hari lah, kan mau persiapan sidang.. Ooh.. gitu.. oke bos
Gua mengemudikan mobil mengikuti petunjuk arah dari Desita, kemudian tiba didepan sebuah rumah makan padang yang cukup besar. Aku lagi pengen makan nasi padang Dia berkata sambil melepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. Gua berjalan pelan menyusulnya masuk kedalam.
Des,.. Ya.. Nggak jadi deh.. Apa"
Nggak jadi deh, besok aja..
Yaah, solichin.. seneng banget bikin orang penasaran deh..
Nggak ada apa-apa bener..
Gua menjawab bohong, tadinya gua ingin bilang kalau setelah sidang nanti gua ingin mengajak dia ke Jakarta untuk bertemu dengan Bokap. Tapi, dia sebentar lagi Sidang, dan gua tau bagaimana rasanya saat menghadapi sidang skripsi, gugup. Maka dari itu gua enggan menambah beban pikiran Desita sementara ini. Mungkin gua baru akan mengatakannya nanti setelah sidang. Oiya, Salsa pesen.. lu suru ngurusin badan katanya..
Ohh, jadi menurut kamu aku gendut"" Desita bertanya sambil bertolak pinggang, matanya melotot.
Nggak bukan.. bukan gua.. Tapi salsa yang ngomong.
Iya tapi kamu sampaikan ke aku, itu artinya kamu setuju sama kak salsa kalo aku gendut.. iya kan"" Desita masih bicara keras, beberapa orang yang berada didalam ruangan rumah makan padang melirik ke arah kami berdua.
Ssttt.. malu woy.. jangan kenceng-kenceng.. gua nggak tau apa maksud salsa, dia cuma nitip pesen gitu..
Gua berusaha menjelaskan, dan sepertinya kemarahan sesaat Desita mulai reda, saat ini dia malah memasang tampang murung bak burung perkutut rusak pita suaranya.
Emang aku segini masih kegendut-an ya buat kamu sol..
Dia bertanya, masih memasang tampang sedikit memelas.
Nggak Des, lu gendut kek, kurus kek, gua tetep suka..
Bener.." Iya.. Gua mencolek hidungnya yang menggemaskan dengan tampang seperti dibuat marah itu. Lu Sidang kapan"
Besok.. What" Udah belajar" Belum..
Kenapa" Males.. Gila.. belajar dong.. Hehehe.. belajar lah.. biar cepet lulus, cepet nikah deh..
Gua tersenyum mendengar kata-katanya, dalam hati berkata iya des, sama gua juga .
Dan sore itu setelah lelah berkeliling kota bogor hanya untuk memuaskan hasrat gua untuk sedikit mengenali kota hujan ini, akhirnya kami kembali ke rumah Desita. Dirumah, disisa hari gua habiskan dengan menjadi partner tandem Desita dalam membahas materi skripsinya yang bakal disidangkan besok. Terkadang gua mencoba-nya memberikan beberapa soal untuk langsung dijawab dan kemudian gua berlagak sebagai dosen penguji-nya.
Udah ah sol, capek.. Ee.. sebentar lagi ayoo.. baru jam sembilan.. Aaah.. caapeek..
Yaudah, besok pagi dilanjutin lagi ya.. Iya..
Lu sidang jam berapa" Jam dua..
Nggak kerja dong" Nggak..
Bolos mulu.. Gapapa, kan yang punya kantor juga calon mertua..
Emang orang kantor pada tau lu pacar gua" Enggak.. hehehe.. tapi pada akhirnya toh juga pada tau kan
Gua manggut-manggut tanda setuju.
--- Esok harinya, tepat jam sembilan pagi gua sudah kembali berada di rumah Desita. Beberapa kali gua membujuknya untuk kembali membahas materi skripsi-nya tapi dia menolak dengan alasan capek . Desita punya opini, kalau otak terus menerus dipaksa untuk diperas maka saat benarbenar dibutuhkan dia nggak bakal bisa bekerja secara maksimal. Desita menganalogikan otak dan pikiran seperti tubuh manusia, saat tubuh terus menerus dipaksa untuk melakukan latihan fisik yang berat maka saat bertanding maka tubuh kehabisan tenaga dan tentu saja hasil pertandingan juga bakal nggak maksimal, coba tengok para pemain sepak bola; saat hendak bertanding mereka hanya melakukan pemanasan ringan, guna-nya tentu saja untuk melemaskan otot-otot agar terbiasa dengan kondisi dalam bertanding.
Aku udah pemanasan otak pagi ini..
Desita berkata sambil berbaring diatas lantai yang dilapisi karpet tebal dan memeluik guling. Sementara tangannya lincah memindahkan saluran tivi dengan remote.
Pemanasan ngapain" Mikirin kamu.. kan sama-sama mikir Yee.. beda
Sama, udah ah diem.. lagi seru nih george nya.. Desita mengangkat tangan, memberi tanda ke gua supaya diam. Dia tengah serius menyaksikan serial Curious George di salah satu stasiun tivi swasta. Gua hanya bisa menghela nafas sambil kemudian bertopang dagu memandanginya.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Gua duduk menunggu Desita yang tengah bersiap-siap sambil menonton tivi. Dan satu jam berikutnya gua sudah berada dikampus Desita, duduk mendampinginya di bangku tunggu panjang yang mirip dengan bangku yang biasa terdapat di ruang tunggu rumah sakit. Desita duduk sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dan menggoyang-goyangkan kakinya. Baru kali ini gua melihat Desita begitu gugup dan gua pikir dalam menghadapi kondisi seperti ini, siapa orang yang nggak bakal gugup. Bahkan mungkin, Gatot kaca pun pasti gugup saat menunggu panggilan sidang skripsi-nya.
Gua mengeluarkan ponsel dan headset dari saku, memutarkan sebuah lagu dan memberikan headsetnya ke dia.
Nih dengerin ini deh.. Lagu apa"
The Brand New Heavies You Are The Universe.. Desita mengambil headset dan memasangnya dikedua telinga. Kemudian dia larut dalam lantunan lagu lawas tersebut.
Enak sol lagunya.. Iya memang.. percaya deh, kalo dalam hidup ini lu adalah pengemudinya, bukan cuma penumpang.. jadi lu yang menentukan jalan hidup lu sendiri.. percaya sama diri sendiri, percaya kalo lu bisa..
Desita tersenyum kemudian merebahkan kepalanya diatas bahu gua.
You're a winner, so do what you came here for The secret weapon, isn't secret anymore You're a driver, never passenger in life And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe And there ain't nothin' you can't do If you conceive it, you can achieve it That's why, I believe in you, yes I do
Sol.. Ya.. Makasih ya udah mau nemenin aku, ngasih semangat aku..
Iya..apapun dah buat lu..
Baru selesai gua bicara, seorang perempuan mengenakan seragam batik keluar dari sebuah ruangan auditorium, melihat sebentar ke arah papan jalan yang dipegangnya kemudian memanggil nama Desita.
Desita berdiri, merapikan pakaiannya kemudian berjalan cepat menuju ke arah pintu dimana wanita berseragam batik itu menunggu. Gua berjalan pelan mengikutinya, sebelum masuk dia menoleh kearah gua sebentar kemudian berkata; Do a kan aku ya.. , gua tersenyum sambil mengangguk dan menatap pintu auditorium itu tertutup.
Gua duduk dibangku panjang sambil sesekali memandang ke arah jam tangan. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Desita memasuki ruangan sidang tadi. Saat ini gua mungkin sedikit paham bagaimana rasanya menjadi suami yang tengah menunggu proses persalinan istrinya, walaupun mungkin dalam hal ini analogi tersebut terlalu dilebih-lebihkan tapi paling tidak, gua rasa, kondisinya hampir mirip; Harap-harap cemas gimana gitu.
Sepuluh menit berikutnya, kenop pintu berwana cokelat terbuka, muncul sosok wanita berseragam batik yang kemudian disusul Desita yang melangkah keluar sambil memasang tampang sumringah. Gua berdiri dan menghampirinya; Gimana"
Apanya" Ya hasilnya lah" Yee emang kamu pikir apaan bisa langsung ketahuan hasilnya..
Lah terus kapan bisa tau hasilnya" Trus kok senyum-senyum gitu.."
Hasilnya sih nanti sore, senyum kan belum tentu harus ada artinya sol..
Ah nggak asik.. Aku senyum karena puas udah bisa menjawab semua pertanyaan dosen-dosen penguji dan yakin kalo hasilnya bakal bagus..
Harus bagus.. Yee.. Kemudian kami berdua kembali duduk dibangku panjang, Desita mulai bercerita tentang kronologi dan proses sidang yang barusan dia hadapi. Dari mulai dosen penguji yang jutek sampai kesalahan dosen saat mengambil skripsi milik mahasiswa lain. Gua hanya mendengarkan sambil menatap wajahnya; sebuah kepuasan tersendiri dapat melihatnya bercerita lepas dengan senyum tersungging di wajahnya. Saat Desita selesai bercerita, gua mulai berfikir giliran gua yang akan memberikan kabar, mudah-mudaha dia siap.
Des.. Apa" Minggu depan, Salsa minta kita kerumah.. Kerumah kamu"
Desita bertanya sambil menegakkan tubuhnya. Iya..
Yang di Jakarta" Iya..
Ada apa" Gua mengangkat bahu sementara Desita menggaruk-garuk kepalanya.
Sebenernya, walaupun Salsa nggak minta, gua bakal tetep ngajak lu kerumah, buat ketemu bokap..
Hhhh... Desita menghela nafas pelan.
Kayaknya emang harus deh sol, aku sebenernya udah tau kalo saat ini bakal dateng..
Iya.. Dan aku rasa, mungkin minggu depan waktu yang tepat...
Jadi lu mau" Gua bertanya kemudian disusul anggukan mantab Desita.
Tapi apa lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti.."
Gua bertanya kepadanya, Desita terlihat memandang kosong ke arah depan.
Des... ... Lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti.."
Ya siap nggak siap, mau nggak mau.. harus dihadapin..
Kalo seandainya.. seandainya nih.. jawaban yang kita dapet ternyata nggak sesuai dengan apa yang selama ini kita harapkan gimana"
Aku nggak bisa! Desita berdiri, kemudian mundur selangkah, masih menatap gua. Kedua mata indahnya mulai berlinang.
Pokoknya aku nggak bisa! Nggak mau mendengar jawaban lain.. Aku mau kamu! Yaudah sini duduk, nggak usah pake nangis.. Gua mencoba membujuknya untuk kembali duduk. Beberapa orang terlihat menoleh kearah kami. Walaupun gelagat Desita sedikit tersamar dengan tangisan beberapa mahasiswa yang mungkin gagal dalam menghadapi sidang, tetap teriakannya membuat beberapa mata memandang heran ke arah kami berdua. Desita kembali duduk dan muali terisak. Aku capek sol!.. capeek..
... Capek ngeliat kenapa orang-orang bisa bahagia, bisa dapet apa yang mereka mau.. sedangkan aku..
Gua memeluk Desita erat, terasa tetesan hangat air mata Desita mengalir di lengan gua. Des.. i ll stop this pain.. Gua janji! ------EPISODE 7 Bagian #48 Des.. i ll stop this pain.. Gua janji!
Gua bicara, mencoba memberinya semangat sambil tetap memeluk erat tubuhnya dan mengecup lembut ujung kepalanya. Desita mendongak, kemudian bertanya;
How" Nggak penting gimana caranya, apapun harga yang harus gua bayar.. gua bakal lakukan buat elu.. even jika harus menanggalkan nama belakang gua, maka akan gua lakukan buat lu..
Sol, jangan aku nggak mau kamu dianggap durhaka gara-gara aku..
Terus.." Gua bertanya ke Desita, kami berdua saling pandang, saling menatap mata yang penuh dengan pertanyaan, penuh dengan keputusasaan. Sambil berdiri gua menggandeng tangannya dan mengajaknya keluar.
Kami menunggu hasil sidang skripsi Desita sambil duduk disebuah kafe yang terletak nggak begitu jauh dari kampusnya. Dia duduk menyandarkan kepalanya dibahu sambil sesekali mendendangkan sebuah lagu yang tengah dimainkan diponsel gua melalui headset di kedua telinga-nya. Gua melepas salah satu headset tersebut ; Nanti sore, gua anter lu pulang, dan lu siap-siap ya..
Hah" Ke Jakarta-nya hari ini" Nggak, besok pagi aja..
Gua menjawab yakin, sambil memutar cangkir berisi kopi dihadapan gua.
Oh.. oke.. Desita menjawab tanpa semangat.
Des.. yang semangat doong.. biasanya lu paling semangat
Hehehe.. iya.. Semangat!!
Desita tersenyum sambil mengepalkan kedua tangannya.
That s my girl.. --- Drrt..Drrt..Drrt.. Ponsel Desita begerak menari-nari diatas meja kafe. Dia meraih kemudian menjawab panggilan masuk tersebut. Setelah berbicara, cepat dengan seseorang diujung sana, Desita mengakhiri panggilan kemudian menatap gua. Hasil sidangnya udah keluar..
Hah" Terus hasilnya gimana" Trus itu yang telpon siapa"
Temen aku.. yuk Desita membereskan buku dan ponsel, memasukkannya kedalam tas, serampangan. Tidak ada yang berubah dari perempuan ini, tetap slebor, tetap ugal-ugalan. Dia meraih lengan gua sambil menggerutu; Cepeet.. .
Kemudian kami berdua berjalan cepat, menyebrangi jalan raya yang sibuk kemudian melintasi pelataran parkir kampus dan akhirnya sampai disebuah halaman luas yang berada tepat dibagian tengah gedung kampus, halaman ini berlantai keramik putih yang bagian atasnya terbuka, dikelilingi oleh bangunan-bangunan kampus yang membentuk huruf U. Desita menyeret gua menuju ke sebuah papan besar dengan banyak tempelan kertas-kertas yang diatasnya tertera sebuah tulisan besar; Fak. Ekonomi. Dia melepas genggaman tangannya kemudian masuk membaur ke dalam kerumunan mahasiswa yang juga tengah mencoba mencari nama mereka diatas kertas yang ditempel tersebut. Gua hanya mampu berdiri, sambil memandang beberapa mahasiswa yang tampak berlarian, tertawa puas, mungkin tau kalau dirinya lulus, dilain sisi tak ketinggalan beberapa mahasiswa yang tertunduk lemas bahkan ada yang sampai pingsan dan menangis sesenggukan, nggak perlu ditebak; mungkin mereka masuk ke golongan yang nggak lulus.
Setelah menunggu beberapa lama, Desita muncul dari dalam kerumunan, berjalan pelan ke arah gua sambil menatap layar ponsel-nya. Wajahnya datar, sangat sulit buat gua untuk menebak apakah dia lulus atau tidak. Desita memberikan ponselnya ke gua, sementara dia tanpa berkata apa-apa tetap berjalan melewati gua. Gua melihat ke arah layar ponsel-nya yang tadi diserahkan; sebuah foto yang sudah melalui proses pembesaran beberapa kali; disitu tertera nama Desita Rahmawati dengan keterangan; Lulus. Gua tersenyum kemudian mengejarnya, memeluknya dari belakang kemudian berbisik di telinganya; Selamet ya sayang sedikit lagi jadi Desita Rahmawati, SE deh..
Dia memutar tubuhnya kemudian tersenyum; Makasih ya sol, udah mau semangatin aku.. Gua mengapit bahunya kemudian mengajaknya keluar dari kampus dan bergegas mengantarnya pulang. Besok, adalah hari yang penting buat gua, buat Desita, buat kami berdua.
--- Esok hari. Disebuah pagi yang baru, pagi yang penuh dengan harapan dan sebuah kisah yang menanti untuk dirajut. Gua berdiri disamping mobil sambil menunggu Desita, ponsel berdering beberapa kali, gua membuang puntung rokok kemudian mengambil ponsel dari dalam saku, dari layarnya terpampang foto dan nama Salsa. Gua menghela nafas panjang sebelum menjawab panggilan tersebut.
Ya apaan, sa" Lo masih di Bogor" Masih, tapi nih udah mau balik.. Sama Desita kan"
Iya.. Nanti langsung mampir ke Cinere bisa" Hah ngapain"
Udah jawab aja, bisa nggak" Bisa..
Nih gua SMS alamat lengkapnya.. Sa.. ngapain ke Cinere.. "
Family meeting.. Tut tut tut tut Salsa mengakhiri panggilan, beberapa detik berselang sebuah pesan masuk, gua membuka pesan dari Salsa tersebut yang isinya sebuah alamat didaerah Cinere. Gua memasukkan ponsel kedalam saku saat Desita datang menghampiri sambil menggendong tas ranselnya, gua meraih tas-nya kemudian meletakkannya di bangku penumpang bagian belakang.
Siapa" Desita bertanya, merujuk ke orang yang baru saja bertelponan dengan gua barusan.
Salsa.. Gua menjawab, Desita sedikit kaget mendengar jawaban gua.
Nggak ada apa-apa kan" Nggak.. nggak ada apa-apa..
Gua menjawab santai, mencoba mencairkan suasana. Setelah Desita masuk kedalam mobil, gua menghampiri Ibu Desita yang berdiri nggak jauh dari pagar rumahnya.
Bu, saya pamit ya.. Iya dek, titip Desi ya.. Iya bu..
Setelah pamit, gua bergegas masuk ke mobil, membuka jendela disisi penumpang dan membiarkan Desita tersenyum melambaikan tangan ke Ibunya. Mudah-mudahan saat kembali kesini nanti, Desita dan Ibunya bakal tetap tersenyum seperti sekarang.
Dan beberapa menit berikutnya, kami sudah berada di jalan tol menuju ke Jakarta. Selama diperjalanan Desita hanya terdiam, sesekali dia memutar lagu, kemudian mematikannya, nggak lama memutar lagu kembali dan mematikannya, terus berulang-ulang. Sambil menyetir, gua meraih kepalanya dan mengecup keningnya;
Kenapa sih gelisah banget" Nggak tau nih, gugup gimana gitu.. Santai aja
Gua berusaha menghiburnya, padahal mungkin bisa jadi perasaan gua saat ini lebih gugup daripada Desita, tapi paling nggak gua harus menunjukkan sikap yang sedikit positif agar kita berdua nggak sama-sama berasa cemen . Iya nih lagi nyoba santai..
Mau denger lagu" Lagu apa" Gua mulai mencari data lagu-lagu yang tersimpan di memori stereo-set baru yang berada di dashboard mobil. Kemudian gua menghentikan pencarian saat Desita menyerobot menekan tombol play , nggak lama sebuah nada berbunyi; Smell Like Teen Spirit -nya Nirvana berkumandang diseisi mobil.
With the lights out it's less dangerous Here we are now
Entertain us I feel stupid and contagious Here we are now
Entertain us A mulatto An albino A mosquito My Libido Yeah
Dan boleh dibilang sepanjang perjalan dari bogor menuju Jakarta mobil gua kemudian berubah menjadi seperti konser rock alternatif berjalan. Desita memutar lagu-lagu khas seattle sound -, seperti Alice In Chain, Pearl Jam, Soundgarden sampai Weezer. Sesekali dia bertanya tentang isi musik yang sedang diputar dan gua berusaha menjelaskan semampunya.
Kamu suka nggak sol, musik-musik grunge begini"
Suka.. Masa" Tampang kayak kamu kayaknya lebih cocok musik-musik old school macem Guns n Roses, Metallica, Black Sabbath atau Van Hallen deh..
Sial, tua banget kayaknya gua.. Hahaha.. nggak kok becanda sol..
Menurut lo emang kenapa nama gua Inisalnya SS"
SS" SS dari Seattle Sound maksud kamu" Janganjangan bapak kamu suka juga sama Grunge" Nggak lah, becanda itu mah..
Dan entah akhirnya berapa lama waktu yang kami habiskan dengan membahas Nirvana, Cobain, Dave Ghroll, Pearl Jam, Weezer dengan Rivers Cuomo-nya bahkan sampai merembet ke British Invasion ala Beatle sampai ke Oasis dan Coldplay. Oke, gua akui untuk selera dan pengetahuan musik, Desita bisa dibilang bukan perempuan biasa. Mungkin jika dapat dirangkum dalam sebuah kalimat pendek, Desita bakal punya deskripsi seperti ini; Cantik, Bermata Biru, Cerdas, Mudah Bergaul, Bijaksana dan Punya Selera Musik Bagus. Siapa yang tertarik silahkan angkat tangan dan berbaris didepan mobil gua.
------- Bagian #49 Dua jam berikutnya mobil yang gua kendarai sudah memasuki tol dalam kota Jakarta-TB Simatupang. Setelah berhenti beberapa kali untuk tanya alamat yang tadi diberikan Salsa, akhirnya kami berdua tiba disebuah komplek perumahan. Gua membuka kaca jendela mobil bagian depan dan mengeluarkan kepala sambil bertanya ke petugas keamanan yang berjaga didepan komplek; Maaf pak, Kalo blok D 25 sebelah mana ya" . Kemudian salah seorang petugas keamanan menunjukkan arah dengan ramah, setelah mengucapkan terima kasih, gua meluncur ke arah yang dimaksud.
Nggak sulit untuk mencari sebuah alamat rumah dalam komplek, karena nomor rumahnya urut dan terbagi dalam blok-blok. Hanya beberapa menit, akhirnya gua tiba ke alamat yang dimaksud Salsa. Sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar berwarna cokelat dan dinding tinggi yang terbuat dari batu alam. Didepannya terparkir sebuah mobil Innova yang gua kenali sebagai mobil Salsa dan sebuah Range Rover milik Ibu. Setelah memarkir mobil tepat dibelakang mobil Ibu, gua bersiap untuk turun, sementara Desita masih terduduk ditempatnya.
Lah ayok.. Aku rasanya pengen nangis deh..
Desita bicara sambil mengernyitkan dahi dan memajukan bagian mulutnya, seperti merajuk. Gua melangkah ke sisi mobil sebelah kiri kemudian membuka pintunya.
Udah santai aja, kan ada gua.. yuk..
Gua mengeluarkan tangan, bersiap menggandengnya turun. Desita tersenyum kemudian meraih tangan gua dan kemudian turun. Kami berdua melangkah masuk kedalam, melewati halaman rumah yang cukup luas dengan banyak tanaman hias yang begitu terawat. Didepan pintu utama besar, berbahan kayu jati lengkap dengan ukiran-ukiran khas Jepara yang terbuka lebar, dari dalam terdengar suara renyah Ibu yang sedang bicara dengan seseorang. Gua melangkah masuk kedalam sambil menggandeng Desita yang berjalan pelan dibelakang.
Eh bleh, udah sampe.. Ibu berdiri dari duduknya kemudian menyambut gua. Diahadapannya tengah duduk seorang pria yang sepertinya pernah gua lihat entah dimana. Pria yang sedikit kurus, dengan rambut dan kumis klimis berbadan kekar namun bertingkah seperti perempuan.
Kenalin Bleh, ini Om Keke..
Ibu mengenalkan gua ke pria setengah wanita itu. Gua hanya bisa melengos dalam hati; kok ada cowo keker begini, gerakannya ngondek dan namanya keke, Aneh!. Gua menjabat tangannya yang kekar kemudian turut mengenalkan Desita kepadanya.
Haii.. Wah cantiknya.. badannya bagus bangeet..
Om Keke menjabat tangan Desita ditambah sedikit cipika-cipiki kemudian memuji kecantikan dan bentuk tubuh Desita. Mungkin kalau bukan kenalan Ibu dan laki-laki normal, Om keke bakal berakhir di pinggir selokan depan rumah, gua injak-injak. Setelah selesai dengan Om Keke, Desita beralih ke ibu, mereka saling pandang sebentar kemudian Ibu memeluk Desita, ditambah cipika-cipiki sambil saling menanyakan kabar.
Salsa-nya mana" Gua bertanya ke Ibu. Itu lagi fitting baju
Ibu menjawab santai, sambil mempersilahkan Desita untuk duduk disebelahnya.
Hah, fitting baju buat apa" Gua bertanya heran.
Nanti aja biar Salsa yang jelasin sendiri.. Ibu menjawab, masih dengan nada santai. Lima menit berikutnya, Salsa keluar dengan menggunakan sebuah gaun mewah berwarna hijau daun. Seorang wanita berjalan dibelakangnya sambil memegangi ujung gaunnya yang melengser dibelakang.
Eh udah pada dateng... hai des, apa kabar" Salsa berjalan pelan menghampiri Desita, setelah saling bertukar kabar, mereka saling bicara berbisik. Gua menghampiri mereka.
Ada apaan sih sa.. gua kayak orang bego dah disini planga-plongo nggak tau apa-apa.. Gua bertanya bersungut-sungut ke Salsa.
Gue mau nikah!!.. Hah" Kok nggak cerita sama gua Gua bicara sambil setengah berteriak. Nggak penting..
Nggak penting" Pernikahan lu bilang nggak penting.. gila..
Gua kemudian berpaling dan duduk disebelah Ibu. Kok saya nggak dikabarin sih bu"
Kali ini gua bertanya ke Ibu. Ibu hanya tersenyum kemudian memegang pundak gua.
Yang penting kan sekarang kamu tau, bleh.. Trus sama siapa" Ah parah banget.. adek sendiri nggak dikabarin..
Gua benar-benar marah, merasa nggak dianggap, merasa termarjinalkan.
Sama Ubay.. Hah Ubay" Trus Arya"
Gua bertanya lagi ke Ibu perkara calon suami Salsa, karena setau gua Salsa memang berpacaran dengan Ubay; yang notabene pria pilihan bokap sedangkan Arya (yang dulu statusnya juga gua kurang tau pasti) adalah pilihan Salsa dan seperti biasa, bokap nggak setuju. Sampai saat ini, akhirnya gua paham perihal tampah murungnya Salsa waktu itu.
Arya nggak serius sama kakakmu..
Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah serius. Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, feeling sorry for her.
Ayo sekarang giliran Desita..
Om Keke berdiri sambil menepuk tangannya dengan kipas yang sedari tadi dipegangnya. Hah" Desita di fitting juga"
Gua bertanya heran ke Ibu. Iya.. Syarat dari Salsa.. Maksudnya"
Kalo jadi nikah, Salsa mau Desita ikut pake seragam yang sama dengan keluarga.. Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah lagi menjadi lebih santai. Gua sedikit tersenyum sambil menghela nafas. Kagum akan kebesaran hati Salsa dan sedikit berbesar hati karena tau jika Desita sudah selangkah lagi diterima dikeluarga ini.
Bapak mana" Tau nih, belum dateng.. Ibu menjawab sambil melirik ke arah jam tangannya.
Sementara gua memandang Desita yang masuk kedalam ruang ganti bersama dengan wanita yang sedari tadi memegangi ujung gaun Salsa. Gua berdiri menghampiri Salsa dan berbicara kepadanya;
Lu kok nggak cerita ke gua sih, sa..
Yaelah bleh.. gue cerita ke lo pun.. hasilnya bakal sama..
Seenggaknya kan mungkin gua bisa bantu.. Nggak papa, paling nggak salah satu dari dua anaknya dapet jodoh sesuai keinginan bokap ya kan..
Salsa bicara sambil menyunggingkan senyum. Makasih ya Sa..
Ah santai aja.. Gila lu ya.. ini perkara pernikahan sa.. kok bisabisanya lu santai begitu..
Hahaha.. Ubay juga ganteng kok, jadi nggak terlalu sakit hati lah gua..
Geblek.. cewek gila.. Gua mengutuki perempuan setengah gila yang sialnya dia adalah kakak perempuan gua yang begitu santainya menerima nasibnya dijodohkan oleh bokap. Seakan-akan pernikahan hanya sebuah mainan buatnya. Nggak seberapa lama, setelah berbincang dengan Salsa, gua duduk kembali disebelah ibu dan kemudian Desita keluar dari ruang ganti, menggunakan kebaya berwarna hijau, warna yang sama dengan gaun Salsa namun dengan nuansa lebih muda. Gua hanya bisa memandang nanar, sosok perempuan yang kini berdiri dihadapan gua, hanya sebuah lagu uang bisa menggambarkan suasana hati gua saat ini; Cantik-nya Kahitna.
Cantik... Ingin rasa hati berbisik Untuk melepas keresahan Dirimu
Cantik... Bukan ku ingin mengganggumu Tapi apa arti merindu
Selalu... Ooo... Walau mentari terbit di utara Hatiku hanya untukmu...
Ada hati yang termanis dan penuh cinta Tentu saja kan kubalas seisi jiwa Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu Belum selesai waktu gua untuk berterima kasih kepada Tuhan atas terciptanya sosok mahluk cantik bernama Desita, dan sepertinya nggak bakal cukup waktu untuk mengagumi kecantikannya, gua diapanggil oleh Om Keke untuk segera di fitting juga. Gua berjalan pelan sambil tetap memandang Desita yang tengah berdiri didepan cermin sambil bercengkrama dengan nenek sihir berhati batu bernama Salsa, memasuki ruang ganti.
Setelah semua selesai mendapat giliran fitting pakaian, kami bertiga duduk disebuah sofa diruang tamu, menunggu bokap yang belum kunjung tiba. Desita duduk disebelah gua sambil memilin-milin ujung kaosnya, terlihat gugup, mirip seperti seorang anak yang tengah duduk mengantri untuk dipanggil masuk kedalam ruang prakter dokter gigi. Gua meraih kepalanya dan mengecup rambutnya sambil berbisik; Santai ya sayang..
Dan nggak lama berselang, suara langkah kaki terdengar, Bokap muncul melewati pintu besar berukir dan berdiri dihadapan kami. Dia memandang wajah kami satu persatu kemudian terhenti saat menatap Desita. Desita balas menatap sebentar, mengangguk hormat kemudian kembali tertunduk.
Seperti sadar akan situasi yang mencekam, Om keke tanpa banyak bicara mempersilahkan Bokap untuk segera menuju ke ruang ganti dan melakukan fitting pakaian. Nggak samapi sepuluh menit, bokap sudah kembali menuju ke ruangan dimana kami semua menunggu. Gua berdiri menyambut bokap dan mulai angkat bicara; Pak, saya mau ngomong..
Bokap menatap gua cukup lama sampai akhirnya kemudian menjawab; Nggak disini.. kita pulang dulu, mau bicara serius"
Iya Gua menjawab penuh keyakinan, sambil sebelah tangan gua menggenggam erat tangan Desita yang masih tertunduk.
Kalau begitu bapak tunggu dirumah.. Bokap kemudain melirik jam tangannya, mengecup dahi Ibu kemudian melangkah pergi lagi.
-------- Bagian #50 Gua mengendarai mobil mengikuti mobil Ibu yang berjalan cepat didepan, sementara Salsa tetap tinggal di tempat fitting baju tadi untuk menunggu calon suaminya. Jarak antara rumah gua di Bintaro dengan rumah pria setengah wanita tadi di daerah Cinere tidaklah begitu jauh. Apalagi ditempuh saat sekarang ini, dimana sudah melewati waktu rush hour dan jam-jam berangkat-pulang kerja, waktu tempuhnya hanya sekitar 45 menit. Selama diperjalanan, saat ini Desita terlihat lebih tenang, dia sudah mulai menggumamkan beberapa nyanyian lewat bibirnya, sesekali bersiul dan menggoyang-goyangkan kepala.
Sol, lu tau nggak.. tadi tuh si Keke Eman.. Keke eman" Siapa"
Itu Lho yang tadi fitting baju.. Oh yang banci keker tadi"
Iya, dia kan langganan baju wedding artis-artis tau
Oh.. Kok cuma Oh aja responnya" Ya emang harus gimana" Koprol sambil tiger sprong"
Yee.. Desita mencubit lengan sebelah kiri gua, kemudian berpaling sambil bertopang dagu dan memandang ke arah luar melalui jendela mobil. Sol.. nanti kalo nikah aku mau deh pake baju buatan Om keke..
Ya.. bisa diatur.. Tadi aja baju kak Salsa lucu banget Lucu"
Iya.. terus baju yang aku pake.. tadi kamu liat kan.. Lucu bangeett..
Everytime Karya Alboni di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desita bicara sambil memasang tampang gemas. Gua menggeleng, bingung dengan para wanita. Wanita itu memang terkadang suka menjelma menjadi sosok yang bisa dibilang sedikit aneh atau mungkin kalian boleh menyebutnya luar biasa aneh . Tentu saja dengan mengesampingkan kredibilitas mereka sebagai Istri dan seorang ibu. Kenapa sosok perempuan harus disebut aneh ", Setiap pria (pada umumnya) hampir pasti berinteraksi dengan sosok yang namanya wanita, entah di lingkungan rumah, sekolah maupun lingkungan kerja. Dan gua yakin, sangat yakin jika kalian bertemu dengan wanita, apalagi yang usianya sekitar belasan sampai dua puluh tahunan pasti sering mendengar kalimat ini keluar dari mulut mereka; Lucu.. . Persis seperti yang barusan diucapkan Desita, ya.. Lucu
Menurut Definisi yang dijabarkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia diatas, lucu itu kurang lebih punya arti hal yang menggelikan hati dan menimbulkan tertawa atau jenaka (Silahkan Cek kalo nggak percaya). Sedangkan kata Lucu yang sering gua dengar dari mulut kebanyakan wanita malah melenceng dari makna asli-nya. Seakanakan mereka (wanita) membuat definisi sendiri perkara kata Lucu tersebut dan parahnya Definisi-nya bisa menggambarkan lebih dari satu kata sifat, sehingga kadang menimbulkan apa yang namanya ambiguitas buat yang mendengarnya.
Ada boneka Hello Kitty yang imut-imut, respon para wanita; Ih lucu banget , ada gaun nikah berwarna hijau daun dengan corak bunga kuning; Ih, gaunnya lucu banget , ngobrolin Cowok ganteng dan keren, respon mereka; Tau nggak sih lo, si dia tuh lucu banget.. , bahkan ada yang saat sarapan melihat lontong dibungkus daun pisang, respon mereka; ih, lucu banget sih nih lontong dibungkus begini.. .
Mungkin buat kalian sesama wanita, bakal mengerti ungkapan kata Lucu yang digunakan untuk mendefinisikan banyak hal, karena mungkin pikiran kalian sama dan sejalan. Tapi, buat kami para pria yang masih normal otak-nya kata tersebut malah terkesan ambigu dan disoriented. Nggak mendefinisikan apapun.
Atau jangan-jangan, kami para pria memang harus selalu dipaksa untuk mengerti apa yang (para wanita) pikirkan, tanpa kalian repot-repot menyebutkan istilah yang tepat untuk definisi yang tepat. Aneh.
Maksud lu, lucu kayak srimulat"
Iiih.. bukaaan, maksud aku tuh bagus.. keren.. Ya bilang aja bagus dan keren, kenapa mesti pake kata lucu "
Kamu mah nggak ngerti, males.. Dia menoleh dan membuang muka.
Beberapa saat kemudian, mobil gua sudah mulai memasuki komplek perumahan dimana gua tinggal. Dan setelah memarkirkan mobil, gua turun disusul oleh Desita yang kembali terlihat seperti orang bingung. Gua meraih tangan dan menariknya masuk, didalam ibu langsung menuju ke meja makan, membantu mpok Esih merapikan meja makan dan menyiapkan hidangan untuk makan siang. Desita, menatap ke arah gua, mata birunya seakan berkata; aku boleh bantuin nggak" , gua mengangguk sambil tersenyum, kemudian dia melangkah menuju ke meja makan dan mulai membantu Ibu dan mpok Esih. Eeh.. udah nggak usah Des, nanti capek.. Ibu berkata ke Desita, sementara tangannya tetap sibuk mengelap alat makan.
Nggak apa-apa bu.. Desita menjawab santai, sambil menerima sebuah piring keramik berisi lauk dari mpok esih untuk diletakkan diatas meja.
Gua berjalan pelan melewati mereka yang tengah sibuk di meja makan, menuju ke teras belakang rumah. Sebuah tempat yang sudah cukup lama tidak gua datangi. Gua duduk dilantai, menyulut sebatang rokok sambil memandang ikan-ikan koi yang gesit bermanuver didalam kolam. Cukup lama gua terdiam sambil memandang ikan-ikan tersebut, cukup lama juga gua terhanyut, mengenang masa-masa dulu waktu masih sering duduk sendiri disini, melamun.
Lagi apa" Desita bertanya sambil duduk disebelah, dia meletakkan secangkir kopi panas dihadapan gua. Buat gua"
Iya.. Siapa yang bikin" Gua bertanya penasaran. Aku..
Wow.. kok tau tempat kopi sama gulanya.. Nanya lah.. emang nggak punya mulut.. Oh.. oke..
Gua pun mulai menyeruput kopi hitam panas tersebut. Jujur entah kenapa hanya dengan secangkir kopi bisa membuat perasaan menjadi berbunga-bunga. Rasanya ini ah spesial sekali rasanya. Kemudian gua pun hanyut dalam aroma kopi dan bau parfum Desita, siang itu, sebelum makan siang, gua habiskan waktu bersama Desita di beranda belakang rumah sambil bercerita tentang betapa seringnya gua menghabiskan waktu disini hanya untuk memikirkannya. Prok..prok..
Ibu menepuk kedua tangan, memanggil gua dan Desita yang masih asik duduk sambil bercerita di teras belakang rumah. Sebuah tepukan yang mirip dengan fungsi bel disekolah, artinya; panggilan untuk makan siang. Gua berdiri dan menggandeng Desita berjalan menuju ke ruang makan, sementara dari kejauhan gua melihat kalau Salsa dan seorang pria sudah lebih dulu duduk di meja makan.
Gua menuntun Desita untuk duduk disisi sebelah kanan meja makan, sementara Salsa dan Ubay berada berseberangan dengan kami berdua. Desita memandang ke arah gua, kali ini wajahnya kembali terlihat gugup, gua menggenggam tangannya saat suara berdehem Bokap terdengar diujung ruangan, itulah kenapa Desita pasang tampang gugup. Bokap menghampiri meja dan duduk dikursi yang terletak paling ujung, sambil memasang senyum hisoka nya dia menyapa kami semua, memimpin do a kemudian mempersilahkan kami semua untuk mulai makan. Sebenarnya, keluarga gua ini sangat jarang sekali melakukan yang namanya ritual makan bersama apalagi secara formal di meja makan begini, namun memang ibu punya sebuah aturan dimana dalam satu minggu sekali kita semua, sekeluarga harus berkumpul disini, untuk makan bersama dalam satu meja. Dan ditambah saat ini, setelah proses fitting gaun pengantin Salsa dan rencana gua untuk bicara serius dengan bokap menjadi pemicu diadakannya makan bersama secara formal.
Kami semua duduk, dan menyantap hidangan makan siang dalam suasana hening dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara Mpok Esih menuangkan air digelas Ubay dan Desita atau suara renyah dari kerupuk kulit rambak yang digigit Ibu. Bokap selesai paling dulu, dia meletakkan sendok dan garpunya diatas piring yang kosong kemudian menggesernya kesamping, kedua tangannya diangkat dan diletakkan dipermukaan meja makan, dia berdehem sebentar.
Kamu mau ngomong apa, hin"
Bokap bertanya sambil tetap memasang senyum. Mendengar pertanyaan bokap, gua menghentikan makan, menyingkirkan piring kemudian meneguk habis air minum dalam gelas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan bokap.
Masalah Saya sama Desita.. saya mau ba Belum selesai gua berbicara, Bokap mengangkat tangannya, memberi isyarat ke gua untuk berhenti bicara sambil mengeluarkan desis seperti ; Ssstt..
Kalo masalah itu, nanti bicara diruang kerja bapak..
Bokap bicara, seakan menjawab semua tatapan heran yang memandang ke arahnya.
Ada yang mau bicara lagi" Jadi cuma Solichin aja yang mau bicara serius sama bapak" Kamu sa, ada yang mau disampaikan"
Bokap menambahkan sambil kemudian bertanya ke Salsa, Salsa hanya menggelengkan kepala. Nggak lama kemudian bokap berdiri, mengelap telapak tangannya dengan serbet dan berjalan pelan meninggalkan meja makan, sambil berlalu dia bilang; Solichin dan Salsabila Syafriel bapak tunggu diruang kerja
Gua dan Salsa saling pandang, kemudian kami seakan dikomando berdiri dan menghela nafas dalam waktu bersamaan.
Beberapa menit kemudia gua dan Salsa sudah berada dalam ruangan yang cukup besar dimana sisalah satu sudut ruangan berdiri sebuah rak berukuran besar yang dipenuhi oleh buku-buku. Salsa duduk didepan sebuah meja berukuran super besar sementara gua berdiri disalah satu sudut dinding yang terdapat jendela besar sambil menatap bokap yang duduk disebuah kursi besar dan mahal, semahal harga dirinya yang terduduk pongah bagai Raja diatas singgasana-nya. Kamu mau ngomong apa hin"
Bokap bertanya ke arah gua sambil duduk bersandar dan menyilangkan kedua kaki-nya. Perihal hubungan saya dengan Desita.. saya tau kalo bapak nggak setuju sama hubungan ini dan saya disini buat meyakinkan bapak kalau Desita itu orang yang tepat untuk saya, untuk anak bapak ini..
Oh gitu.. Kamu sa.. mau nambahin" Bokap berdiri kemudia bertanya ke Salsa. Nggak, nambahin apaan" Nambahin masalah.." Salsa sih dukung Ableh, dan menolak yang namanya jodoh-jodohan, apalagi memandang orang pake bibit, bobot dan bebet, udah nggak jaman..
Bokap manggut-manggut sambil memegangi dagu-nya.
Oke kalau begitu Dia menghela nafas sebentar kemudian mulai bicara lagi.
Bapak mau bicara banyak hari ini, dan satu hal yang perlu diingat.. bapak tidak suka disela saat berbicara, ngerti"
Gua dan Salsa mengangguk berbarengan. ------Bagian #51 Hal pertama, Bapak sudah cukup berumur, dan bapak sadar kalau perusahan-perusahaan bapak mau tidak mau, suka tidak suka, nantinya bakal berakhir dipundak kalian berdua. Pertanyaannya, apakah kalian sanggup"
Bapak bicara sambil kemudian menyandarkan kepalanya kesandaran kursi.
Salsa, yang cuma bisa dugem , gonta-ganti pacar, liburan ke luar negeri dan bercanda cengengesan.. apa dia cukup pantas memimpin perusahaan, hin"
Bokap bertanya ke gua, gua hanya bisa mengangkat bahu.
Solichin, yang strict , perfeksionis, nggak blended, suka gonta-ganti pacar dan yang paling berbahaya; Emosi-nya yang diluar kontrol.. lalu apa dia cukup pantas memimpin perusahaan sekaligus memimpin keluarga"
Kali ini Bokap, berpaling ke Salsa, bertanya kepadanya. Salsa hanya mengangkat bahu ...
... ... Diluar perilaku kamu yang masih suka dugem , gonta-ganti pacar, liburan ke luar negeri dan bercanda cengengesan, bapak pernah ngasih kamu tugas untuk mencari tau tentang pacar-nya Solichin; Desita.. lalu apa yang terjadi" Kamu malah bergerak seenak jidat sendiri.. itu baru tugas sederhana, bagaimana kalau bapak berikan tugas untuk meng-handle perusahaan, bisa-bisa kamu pecat-pecatin semua karyawan.. Sedangkan kamu Solichin, cuma kepisah dari cewek yang baru aja jadi pacar, kamu udah uring-uringan, tambah tato, kabur ke jogja, stress.. gimana kalau bapak serahin perusahaan, bisa-bisa saat ada masalah kamu malah kabur..
... ... ... Trus bapak harus milih siapa" Oge" Mpok Esih" C mon.. kasih bapak saran..
Bokap menegakkan tubuhnya sambil menggerakan tangan maju dan mundur seperti tengah menantang kami berdua.
Pak, kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat deh ngomongin perusahaan..
Gua angkat bicara. Bokap mengangguk kemudian berdiri.
Kalau bukan sekarang, kapan waktu yang tepat" Kalau bukan ngomongin masalah perusahaan, mau ngomongin masalah apa" Masalah kamu dengan Desita"
Bokap bertanya, disusul anggukan kepala gua. Kamu pikir Bapak nggak memikirkan hal itu hin" Bokap menambahkan, kali ini ditambah seringai diwajahnya. Ah seandainya ada pencari bakat disini, dan melihat ekspresi wajah bokap, dia pasti sudah diajak untuk ikut bermain sinetron. ... Karena kelakuan kalian berdua akhirnya bapak nggak bisa begitu saja bisa menyerahkan perusahan ketangan kalian.. karena itu juga bapak banyak melakukan pertimbangan..
... Salsa.. Bokap memanggil salsa dengan suara tegas namun tetap terdengar lembut.
Ya.. Salsa menjawab. Panggil Ibu-mu dan Desita..
Tanpa bertanya lagi, Salsa bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Beberpa saat kemudian dia kembali masuk keruangan disusul oleh Ibu dan Desita. Ibu duduk kursi besar tempat bokap tadi duduk, sementar bokap duduk diatas meja disebelah ibu.
Gua menunjuk kursi kosong disebelah Salsa, mengisyaratkan Desita agar duduk disana. Sedangkan gua tetap berdiri disudut ruangan, dipinggir jendela besar.
Solichin.. Desita Bokap menyebut nama gua dan Desita, dia kemudian berdiri dan melipat kedua tangannya didada.
Kalian mungkin tau apa yang menghalangi hubungan kalian..
Bokap bicara, nadanya seperti bertanya. Bobot, Bibit dan Bebet kita nggak sama.. Gua menjawab.
Des.. Bokap memanggil nama Desita. Desita mendongak.
Ya pak.. Bobot-mu apa des" Bokap bertanya ke Desita.
Sekarang dia Sarjana Ekonomi, paling nggak kalo disejajarkan sama saya, kita setara..
Gua mendahului Desita menjawab. Oke. Nice.. Lalu Bebet mu apa Des.. Bokap bertanya lagi ke Desita.
Paling nggak sekarang Desita sudah kerja, sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, membiayai kuliahnya...
Lagi lagi gua menyerobot jawaban dari Desita. Well.. Bobot dan Bebet seperti-nya saat ini Desita cukup memenuhi kriteria.. Bibit mu Des" Bokap mengajukan pertanyaan ke Desita, kali ini Bokap sambil membungkukkan badanya ke arah Desita. Sementara Desita hanya bisa menundukkan kepalanya, nggak mempunyai kekuatan untuk menjawab, sekalipun pertanyaan itu berhasil dijawab, gua yakin jawabannya nggak bakal memuaskan Bokap.
Bokap tersenyum, mengeluarkan seringai khas Hisoka -nya. Kemudian membuka laci pertama meja kerjanya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas, salah satunya gua kenali sebagai potongan majalah yang sudah mulai menguning dan usang.
Bokap kembali duduk diatas meja, tubuhnya dimiringkan sedemikian rupa hingga mampu menjangkau pandangan kami semua.
Dulu, puluhan tahun yang lalu.. bapak pernah membaca tentang kedigdayaan seorang pria, seorang pengusaha mebel yang sukses, saking suksesnya, mebel buatannya selalu mampu menembus pasar Amerika dan Eropa.. bahkan sampai ke semanjung arab..
Bokap mulai bercerita, gua mengambil kursi yang terletak disudut ruangan kemudian duduk diatasnya.
Bertahun-tahun menikah pria ini tak kunjung dikaruniai anak, namun mungkin berkat kekuatan doa dan kebaikan hati pasangan ini, akhirnya mereka melahirkan seorang putri.. tapi sayangnya..
... ...Sayangnya... saat lahir bayi mereka memiliki kelainan, si bayi terlahir tanpa memiliki iris mata dan kornea yang rusak..
Mendengar hal ini, jantung gua serasa bergerak semakin cepat. Gua mencoba menebak-nebak kearah mana cerita ini akan bermuara. Dan sejauh apapun gua berusaha menghalau, pikiran gua selalu berakhir ke sosok yang kini duduk disebelah gua; Desita.
.. saat itu bapak dan ibu-mu tengah berada di Jerman untuk menyelesaikan program master kami.. bapak menerima telepon dari salah seorang kerabat yang menceritakan tentang pria itu dan putrinya yang mengidap kelainan.. dia bertanya apakah bapak bisa membantu mencarikan dokter atau rumah sakit di jerman yang mampu melakukan operasi mata.. yaa pada jaman itu, negara seperti singapur dan malaysia belum punya cukup sumber daya untuk melakukan operasi mata.. dan jerman merupakan salah satu negara yang memilikinya..itulah kenapa bapak yang dihubungi
Kami semua yang berada diruangan itu terdiam, hening. Mendengarkan cerita bokap.
... awalnya bapak nggak mau terlibat terlalu jauh.. tapi, karena rasa kemanusiaan dan dorongan ibumu akhirnya bapak setuju untuk membantu dan mencarikan dokter yang mampu melakukan operasi mata. Akhirnya putri pria tersebut mendapatkan donor iris yang didapat dari iris orang jerman.. operasi transplantasi pun dilakukan..
... ... tapi harga yang harus dibayar cukup mahal, bahkan terlalu mahal untuk pria yang notabene seorang pengusaha sukses itu. Semua harta bendanya habis tak tersisa demi memulihkan pengelihatan putrinya, bahkan bukan hanya habis.. pria tersebut meninggalkan hutang dimana-mana.. dan nama pria itu
... Pambudi.. Bokap dan Desita bicara berbarengan. Gua menunduk sambil memegangi kepala, kepala yang terasa berat dan semakin berat saat mendengarkan sebuah cerita mengenai Desita, pacar gua yang mana malah bokap gua mengetahuinya lebih banyak dari gua sendiri. Kemudian bokap menyerahkan lembaran potongan-potongan majalah usang ke Desita. Gua meliriknya; sebuah potongan Artikel tentang betapa suksesnya pria bernama Pambudi itu. .. dan sejak saat itu bapak tak pernah lagi mendengar kabar dari pria tersebut.. sampai suatu hari anak bapak sendiri berhasil bertemu dengan putri dari Pambudi.. namanya Desita.. Gua berdiri dari duduk, sambil menggelenggelengkan kepala dan mencoba menahan tubuh gua agar tidak bergetar
Jadi bapak sebenernya bapak sudah lama tau mengenai Desita"
Oh no..no.no.. nggak nggak..
Bapak menggeleng sambil menggerak-gerakan tangannya.
... awalnya bapak nggak tau, sampai suatu hari bapak mencoba mencari tau lewat Salsa dan ternyata salsa sama sekali nggak memberikan informasi apa-apa, kemudian bapak mencari tau sendiri dan bapak yakin kalian tau kalau bapak punya power untuk mencari tau, but i m digger to deep.. bapak mencari tau terlalu banyak, hingga sampai ke informasi yang kalian dengar barusan.. Jadi, ibu juga tau tentang Desita"
Salsa membuka suara, bertanya ke Bokap. Ya jelas tau..
Mendengar jawaban Bokap, gua cukup terkejut, begitu pula dengan Salsa.
Apa kalian fikir, selama ini Bapak yang membatasi hubungan kalian dengan pacar-pacar kalian" Apa kalian fikir selama ini Bapak yang memutuskan si A cocok dengan Salsa, Si B tidak cocok dengan Solichin" Apa selama ini kalian fikir, bapak yang berada dibalik gagalnya hubungan Salsa dengan Andre dan Arya" Apa selama ini kalian berfikir kalau Bapak ada dibalik penolakan Desita dari Solichin"...
Bapak berbicara sambil menggelengkan kepalanya.
... kalian tau kalau apa dosa-nya jika durhaka terhadap seorang ibu"
Bapak bertanya lagi, gua dan salsa hanya terdiam, tak mampu menajwab.
.. justru selama ini Ibu kalian lah yang berada dibalik kegagalan hubungan kalian dengan pacarpacar kalian, Ibumu lah yang memutuskan si A cocok dengan Salsa, Si B tidak cocok dengan Solichin, Ibumu lah yang berada dibalik gagalnya hubungan Salsa dengan Andre dan Arya dan tentu saja atas instruksi Ibu kalian juga, bapak berusaha mencari tau tentang Desita..
Mendengar penjelasan bokap, mendadak gua seperti kehilangan kesaradan, seperti ada yang menyerap semua oksigen ditubuh ini. Gua menghembuskan nafas panjang berkali-kali sebelum kemudian bertanya ke Ibu;
Apa bener bu" Ibu hanya mengangguk sambil tersenyum. Jangan menyalahkan Ibumu, justru sebenarnya Ibumu ingin menyampaikan langsung kepada kalian berdua, tapi bapak yang berkeras melarangnya.. biar cukup bapak yang menjadi pusat kebencian kalian terhadap semua keputusan ibumu.. biar kalian nggak durhaka karena membenci ibu kalian atas keputusankeputusan yang dibuatnya..
Bokap menjelaskan, terdengar Salsa mulai terisak dan akhirnya menangis sejadi-jadinya. Gua hanya bisa (lagi-lagi) menghela nafas. Jadi selama ini semua keputusan yang keluar dari mulut bokap, semua penolakan-penolakan atas pacar-pacar Salsa justru di inisiasi oleh Ibu. Dan Bokap berusaha membuatnya terlihat seperti keputusannya.
Jadi, ibu juga yang nggak setuju sama Desita" Gua bertanya, bingung mengajukan pertanyaan ke siapa.
Iya! Justru Ibumu yang paling keras menolaknya.. justru selama ini ibumu yang punya idealisme Bibit, bebet dan bobot..
Bokap menjawab, lugas. Gua mengusap kepala dan menggaruk-garuk rambut. Pantaslah semua ini terjadi, gua mengingat garis keturunan ibu yang memang keturunan langsung dari kasunanan Surakarta, sedangkan bokap cuma turunan Abdi dalem. Jelas Ibu-lah yang seharusnya paling saklek perihal Bibit, bebet dan bobot dan gua nggak menyadari hal itu
Tapi, hin.. sa.. jangan pernah sekali-kali menyalahkan ibu kalian..
Bokap bicara sambil berdiri disebelah ibu yang duduk diatas kursi kebesaran bokap.
Coba kamu cari tau deh sa.. jadi apa Andre sekarang" Dia hilang, dicari-cari debt collector, hutangnya dimana-mana.. dan kamu tau Arya gimana" Apa kamu tau kalo Arya sudah punya istri"
Mendengar itu Salsa yang tangisnya mulai mereda kembali terisak.
.. banyak dari keputusan ibu yang tepat, bahkan hampir semuanya tepat.. kecuali satu.. dia salah mengenai Desita..
Hah" Gua terkaget. ... Ibumu berkeras kalau bibit, bebet dan bobot Desita jauh dari standar kita, dan justru bapak yang berusaha mati-matian membuktikan kalau Ibumu salah.. Tanpa Salsa sadari, Bapak berusaha menggiring nya agar mau membujuk Desita berkuliah untuk mendapatkan gelar Sarjana, memenuhi bobotnya, sedangkan untuk bibitnya, bapak rasa cerita tentang Pak Pambudi; ayahnya Desita sudah cukup menggambarkan kalau Desita berasal dari keluarga baik-baik.. Untuk bebetnya.. jelas Desita memiliki cukup kredibilitas dalam menjalankan sebuah perusahaan, bahkan dia sudah membuktikannya..
Hah maksudnya" Gua bertanya mengenai penjelasan dari kalimat terakhir yang diucapkan bokap.
..Setelah berhasil mencari tau tentang Desita sampai ke akarnya, bapak kemudian berusaha membimbing Desita melalui Yohannes.. dari report-report yang diberikan yohannes, bapak tau kalau Desita punya cukup kemampuan untuk menjalankan sebuah perusahaan, bahkan kemampuannya melebihi kalian berdua.. Enam bulan terakhir ini Desita sudah menduduki jabatan Direktur Finansial Sinar Surya Trading, dan setelah nanti Yohannes pensiun Desita lah yang bakal menggantikan posisinya..
Gua ternganga mendengar penjelasan bokap, lutut gua terasa lemas, bagian kepala gua terasa semakin berat dan seperti ditusuk-tusuk. Walau begitu, benak gua sempat berfikir dan mencoba mem-flashback kejadian beberapa hari yang lalu, saat gua mengantar Desita ke kantor. Saat itu kami berjalan bersisian saat memasuki kantor, beberapa karyawan mengucapkan salam dan memberi hormat berlebihan kepada gua.. bukan.. bukan.. karyawan disana bahkan tidak ada yang mengenal gua, mereka belumlah tau siapa gua.. dan mereka bukanlah memberi salam dan hormat ke gua.. melainkan ke ... Desita, si Direktur Finansial.
Tubuh gua terasa bergetar, bagian kepala belakang gua seperti tertusuk-tusuk. Kemudian semua menjadi gelap. Yang terdengar hanya samar teriakan suara Desita.
------- Bagian #52 (End) Gua terbangun dengan rasa sakit yang teramat sangat dibagian kepala belakang. Saat membuka mata Desita berada disisi sebelah kanan tempat gua berbaring, gua menatap nanar wajahnya yang basah oleh airmata. Gua mengangkat tangan dan membelai pipinya.
Gua nggak dibawa kerumah sakit" Desita menggeleng pelan.
Tadi dokter udah kesini..
Dia menjawab sambil menyeka air matanya. Trus apa kata dokter"
Nggak papa, vertigo kamu kambuh, kamu cuma disuruh bedrest aja..
Gua berusahan memejamkan mata sambil mengernyitkan dahi. Berharap rasa sakit dibagian kepala belakang gua akan berkurang. Suara pintu kamar gua berdecit terbuka, ibu muncul dari luar disusul Salsa yang kemudian duduk disisi kasur sebelah kiri gua.
Bu.. Ibu nggak bener-bener menolak Desita kan" Gua bertanya ke Ibu yang baru saja duduk. Ibu hanya tersenyum sambil membelai rambut gua. Bleh,.. ibu tuh sayang sama kamu, sayang sama Salsa, sayang sama semua anak-anak ibu.. ibu cuma pengen kalian berdua bisa mendapatkan jodoh yang sesuai.. nggak cuma sesuai menurut kalian, tapi juga serasi didunia dan diakhirat.. ...
... dulu ya, memang ibu berusaha keras menolak Desita, pun sangat berat buat ibu melihat kamu tersiksa, tapi ibu tetap berkeras.. tapi sekarang, justru nggak ada wanita lain yang layak untukmu selain Desita..
Tapi, apa ibu menerima Desita karena perubahannya" Karena Desita yang sekarang bukan Desita yang dulu"
Gua bertanya, ibu menggeleng.
Nggak bleh, justru dalam proses perubahan Desita menjadi seperti sekarang ibu banyak melihat hal positif dari Desita.. Apapun dia dulu dan bagaimanapun dia sekarang, Desita tetaplah Desita yang cerdas dan menyayangi kamu, dan ibu percaya Desita bisa menjaga kamu seperti layaknya ibu menjaga kamu..
Ibu menjelaskan sambil memandang ke arah Desita dan membelai lembut tangannya. --Tiga minggu berikutnya, gua sudah berada di Ballroom disalah satu Hotel berbintang di Jakarta. Disebelah gua berdiri Desita yang sudah sukses mempesona banyak tamu yang hadir diacara pernikahan Salsa. Beberapa kolega bokap, sempat menyalami gua dan bertanya tentang sosok disebelah gua;
Wah ini calonnya ya, hin"
sambil memasang senyum sumringah gua hanya menjawab; Iya Om..
Desita menyenggol lengan gua, dia turut menebar senyum ke beberapa tamu yang hadir sambil sesekali terdengar dia menggumam; Capek ya sol, nyengir mulu
Gua hanya tertawa geli mendengar ucapannya. Sol.. kalo seandainya.. seandainya ya.. kamu disuru milih antara aku atau Perempuan yang di Jogja itu; Astrid.. kamu bakal pilih siapa" Ngawur..
Gua menjawab sambil mendengus, nggak habis pikir dengan pertanyaan yang barusan dilontarkan Desita.
Ya kan seandainya, sol.. Yaudah nggak usah pake seandai-seandainya, lagian si Astrid-nya juga udah merit..
Maka dari itu, karena dia udah merit, aku berani nanya berandai-andai begini, kalo Astrid masih single.. waduh.. gawat
Desita mengajukan alasan, tetap keukueh pada pertanyaannya.
Gua menghela nafas, mencoba mencari jawaban yang terdengar bijaksana sembari menebar senyum ke beberapa tamu yang lalu lalang sambil mengangguk menyapa gua. Desita menyenggol lengan gua, sambil juga menerbar senyum yang sedikit aneh dia berbisik; Jawab.. Cepet Des
Gua menyebut nama-nya tanpa memandang kearahnya, tetap menatap kerumunan orang yang lalu lalang.
What should I choose for water over wine" Gua bertanya ke dia.
What!.. kamu nyamain aku sama Wine atau Water nya"
Desita balik bertanya sambil pasang tampang sedikit kesal.
Lu itu Wine-nya sedangkan Astrid itu Water.. Lho kok"
Gua berjalan pelan menuju ke sebuah meja bundar yang terletak didalam ruangan tertutup, dimana ruangan ini hanya diperuntukkan untuk pihak keluarga mempelai saja, Gua duduk disalah satu kursi disana disusul Desita yang duduk disebelah gua.
Astrid selalu menjadi Air, menyehatkan dan penting bagi kehidupan
Desita terlihat bingung dengan omongan gua. Tapi.. lu Des.. lu selalu jadi Anggur buat gua, yang sukses bikin gua mabuk.. dan kenapa gua harus memilih air biasa saat ada anggur dihadapan gua" Tapi anggur kan bikin mabuk, dosa
Ah, sekarang kalo gua ngapa-ngapain lu juga dosa..
Yaudah, jadikan agar aku halal untukmu sol.. Hahaha.. iya tunggu ya..
Gua meraih kepalanya yang bersanggul kemudian mengecup keningnya perlahan.
Dan berawal dari obrolan ringan di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dua hari berikutnya, gua berangkat ke Bogor bersama Bokap. Untuk apa" Jelas untuk melamar Desita buat gua.
--- Epilog (Catatan Penulis) Siang itu, Sabtu siang, panas terik matahari membiaskan cahaya yang menyilaukan mata melalui kaca depan mobil yang terparkir berjajar dihalaman salah satu gerai Restaurant cepat saji yang berada di kawasan Sektor Sembilan, Bintaro. Gua memicingkan mata sambil memandang keluar mencoba mencari-cari seseorang yang tadi pagi menghubungi gua untuk janji bertemu disini. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya orang yang gua tunggu datang. Gua mengangkat tangan sambil melambai memberikan petunjuk kehadiran gua disini, sosok pria kurus itu tersenyum kemudian berjalan cepat kearah gua.
Pernahkah kalian mengenal, bertemu atau bahkan memiliki teman, saudara yang cerdas " Tentu saja yang gua maksud dengan cerdas disini bukan melulu perihal prestasi akademik, melainkan kecerdasan yang hampir menyeluruh. Sejauh yang gua tau atau mungkin kalian juga sependapat, sosok paling cerdas untuk ukuran orang Indonesia adalah BJ Habibie, tapi tak usahlah terlalu jauh mencari sosok cerdas yang satu itu. Gua memiliki seorang teman yang (mungkin) memiliki gen yang nyaris mirip dengan gen BJ Habibie, gen kecerdasan yang seperti komputer namun dilengkapi dengan nalar manusia. Dan ijinkan gua mengulang pertanyaan gua diawal; Pernahkah kalian mengenal, bertemu atau bahkan memiliki teman, saudara yang cerdas "
Gua pernah! Namanya Aril, gua menyebutnya begitu, penggalan dari nama belakangnya, nama keluarga-nya; Syafriel. Aril memang tergolong pria yang cerdas, tapi nggak seperti cerdas yang gua ungkapkan diatas, sosok yang gua golongkan cerdas ini adalah seorang wanita, istrinya Aril, namanya; Desita. Dan saat ini, disabtu siang yang terik ini; Sosok perempuan itu berjalan keluar dari sedan hitam mewahnya yang diparkir dipelataran parkir restaurant cepat saji, disusul Aril yang berjalan cepat menyusulnya dan memasuki restaurant. Setelah selesai memandang sekeliling dan mendapati gua tengah melambai ke arahnya, Aril tersenyum kemudian berjalan menghampiri gua diikuti oleh Desita dibelakangnya.
Aril dan Desita duduk bersisian diseberang gua. Semenit berikutnya kami bertiga larut dalam obrolan-obrolan ngalor ngidul yang nggak jelas muaranya. Gua teringat akan pertemuan pertama kali gua dengan Desita, saat itu Aril mengajaknya untuk bertemu dengan gua. Sosok perempuan mengagumkan yang menurut gua sangat sulit untuk diajak ngobrol dan juga mungkin begitu hal yang dirasakan orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengannya. Gaya bicaranya saat berbincang seperti melompat-lompat, bicara dan daya tangkapnya cepat, dia seperti dapat membagi otak dan pikirannya kedalam beberapa bagian, hingga nggak terlihat kesulitan memahami topik ganda yang sedang diperbincangkan, saat tengah bicara mengenahi hal A, tiba-tiba dia langsung membahas hal C, yang notabene pada akhirnya perbincangan kami bakal sampai ke sana. Daya ingatnya luar biasa dan begitu akurat, kemampuan berhitungnya pun tak perlu disangsikan lagi. Dan hasilnya gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala lalu dibalas senyuman Aril yang seakan berkata; Istri gua gitu loh .
Saat Desita berdiri, beranjak dari duduknya untuk memesan makanan ke counter, gua iseng bertanya ke Aril;
Lu bisa ketemu dia gimana ceritanya tuh ril" Aril hanya tersenyum, sambil mengeluarkan bungkusan rokok filter dari saku celananya dan menyulutnya dia menjawab;
Cerita-nya panjang.. Oh..
Dan unik.. Unik" Unik gimana" Gua bertanya penasaran.
Sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya dia mulai bercerita.
--- Dan Akhirnya, Cerita Aril adalah cerita yang baru saja kalian baca.
Seperti biasa, gua akan menghilang selang beberapa bulan, lalu inshaAllah muncul kembali dengan cerita yang baru.
God Bless You, Assalamualaikum, _Alboni_
Darah Darah Laknat 2 Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Pendekar Kidal 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama