Soccer Love Karya Ida Farida Bagian 1
?"Soccer Love Karya : Ida Farida Bab 1 Be Strong, Cadie! "Dasar kurang kerjaan!" Cadie mengucap gemas mendapati lokerbya penuh coretan pilox. Bermacam-macam bunyinya. Ada yang berseru senang, 'Poor Cadie, ha.. ha.. ha..!!!'. Ada juga yang berseru sedih, 'Malangnya! Hiks.. hiks.. hiks..', sok sedih tepatnya.
"Kenapa" Hari pertama masuk sekolah udah langsung dapat sambutan?" Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar dari kejauhan. Tanpa memalingkan wajahnya pun, Cadie sudah bisa menebak suara siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Lily. Musuh besarnya sejak beberapa tahun terakhir. Seseorang yang pastinya tertawa senang melihat kehancurannya.
"Apa kabar, Ca" Hissashiburi desu ne (lama ya, nggak ketemu)?" kata Nena, satu dari dua teman setia Lily yang selalu mengikuti kemana pun Lily pergi. Dia sempat jadi temen les Cadie di Japan Foundation setahun yang lalu. Nena berhenti les karena terlalu sibuk ngurusin asmanya. "Minggir!" Cadie menutup loker dan berniat pergi ke kelasnya.
"Hei, apa Cadie yang pintar jadi bodoh setelah terlalu lama mendekam di dalam rumah" Sampai-sampai kata untuk menyapa pun lupa."
Cadie hanya diam. "Eh, Ca, apa elo..."
"Minggir aku bilang! Aku nggak punya urusan sama kalian!"
"Oh ya" Tapi sayangnya kita mau tuh cari urusan sama elo," tambah Sheila, teman Lily yang satunya lagi, yang punya postur tubuh mirip pohon kelapa, jangkung dan kurusnya minta ampun. Pokoknya, kurus-sekurusnya manusia deh. Oh ya, ada tambahan. Dia juga rada item. Berkulit coklat tepatnya. Meski memang dia juga nggak kalah cantik dari Lily dan Nena. Ya iyalah.. merrka bertiga anak Cheers. Dan memang seperti itulah biasanya gambaran anak populer yang ikut Cheerleader, cantik. Well, tapi secantik-cantiknya Lily and the gank, tetap saja yang lebih cantik di mata cowok-cowok adalah Canadian Kautsar. Lepas dari arogansi dan sifat dinginnya, cewek yang satu ini punya nilai lebih yang bahkan tiga Lily dan teman-temannya pun tidak bisa menyamai. Dia pintar. Asli pintar. Dia adalah juara umum berturut-turut dari kelas satu sampai kelas dua, penerima tetap beasiswa Guardian berkat prestasinya sejak SD, jago main piano, menguasai tiga bahasa : Jepang, Inggris, dan Korea. Berarti empat kalo ditambah sama bahasa Indonesia.
"Ca, kamu tau nggak kalo selama hampir dua minggu ini kita.." Lily tidak melanjutkan kalimatnya. Kata-katanya tiba-tiba saja terhenti kala pandangan matanya bertautan dengan pandangan seseorang. Seseorang yang seolah tegas-tegas meminta dia dan dua temannya untuk menjauhi Cadie.
"Kali ini elo selamat, tapi lain kali.." Sheila, yang tampaknya juga melihat orang itu, setali tiga uang dengan Lily. Nggak bermaksud memperpanjang urusan sama Cadie. "Cadie, tunggu!" Cowok misterius itu berlari mengejar Cadie, yang spontan membalikkan badan saat melihatnya. Mau tahu siapa tuh cowok" Kita saksikan di episode berikutnya. Lho?" Bercanda! Hehe..
Cowok itu adalah Denny. Satu dari sekian banyak orang yang turut memperpanjang goresan luka di hati Cadie. Dia adalah ketua OSIS di SMA Guardian. Cowok super cakep n pintar ini jadi incaran cewek-cewek se-Guardian, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Tampangnya itu ya.. ya cakep lah pokoknya. Bayangin aja muka orang-orang cakep sedunia. Denny ya kayak gitu. "Ca, Ca, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Denny sambil memegang bahu Cadie. "Lepas!"
"Cadie.." "Kalo kamu pikir aku akan berterima kasih atas apa yang kamu lakukan tadi, kamu salah!" Cadie berucap dingin seraya menyingkirkan tangan Denny dari tangannya. "Ca.." Denny berlari lagi mengejar Cadie yang mulai berjalan cepat. "Ca, kamu harus kasih aku kesempatan buat ngomong. Kasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya," pintanya. "Apa" Kamu ngomong seolah kamu nggak punya salah sama aku." "Ca, aku tahu. Aku tahu aku salah. Aku.."
Cadie mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi, seolah memberi tanda pada Denny agar berhenti bicara. "Buat aku semua udah jelas, dan aku nggak butuh tambahan lagi dari kamu untuk memperjelas semuanya. Aku hargai keputusan kamu. Jadi, sekarang tinggal kamunya yang harus hargai keputusan aku. Aku.. aku nggak mau berurusan lagi sama kamu!" tegas Cadie, membuat sekujur tubuh Denny membeku seketika.
"Aku sayang kamu, Ca. Lepas dari semua yang terjadi, aku cuma tahu kalo aku sayang sama kamu." Denny mengucap lirih, nggak lama setelah Cadie beranjak cukup jauh darinya. Sekuat tenaga Cadie menahan badannya agar tidak berbalik. Sekuat tenaga dia mengajak kakinya untuk melangkah. Masih terekam jelas di kepalanya kejadian malam itu. Ketika Mamanya Denny datang dan memintanya untuk segera mengakhiri hubungan dengan anaknya. Hatinya sakit sekali.
*** "Assalamualaikum.."
"Waalaikumsalam. Kamu udah pulang, Ca," kata seseorang dari dalam rumah, nggak lama setelah Cadie sampai depan pintu.
"Kakak.." Cadie tersenyum sumringah mendapati sang Kakak menyambutnya. Dialah Andrew Kautsar atau biasa disapa Andy. Kakaknya tersayang yang sepintas mirip artis Taiwan blasteran Jepang. Takeshi Kenishiro. "Kakak kok udah pulang?"
"Kakak kangen sama kamu, makanya milih pulang cepet."
"Kakak kan baru aja seminggu kerja di sana. Mana mungkin bisa pulang cepet cuma dengan alasan kangen sama Adiknya yang manis. Kakak dipecat ya?" selidik Cadie cemas. "Kamu..! Kakak cuma kebetulan aja lagi ada waktu, makanya pulang sebentar. Kan mau makan siang sama kamu. Untung kamu pulangnya cepet."
"Hari ini kebetulan ada rapat guru, makanya pulang cepat." "Syukurlah. Kakak pikir kamu sengaja kabur dari sekolah."
"Maunya sih gitu." Cadie menjatuhkan badannya di sofa. "Hari ini bener-bener nyebelin. Semua orang di sekolah juga nyebelin. Kakak tau nggak" Mereka ngetawain Cadie sepanjang perjalanan mulai dari gerbang sampai kelas, mereka juga nyoret-nyoret loker Cadie, naroin meja Cadie kecoa madagaskar, dan banyak lagi. Pokoknya bener-bener kurang kerjaan! Rese! Tingkah anak-anak di sekolah hari ini tuh.. bla-bla-bla.." Cadie nyerocos kayak kereta Pakuan, nyeritain kejengkelannya pada teman sekolahnya. Sementara Andy diam membisu dengan raut wajah penuh sesal dan sedih.
"Ca, kamu.." "Ha.. ha.. ha.. Kakak kenapa" Kenapa pasang muka bloon gitu?" "Apa"!"
"Emangnya Kakak kira yang tadi Cadie omongan serius ya" Ya nggaklah. Kakak ini.. apa Kakak kira kalo Cadie diperlakukan seperti itu Cadie akan tinggal diam" Yang ada Cadie udah ninjuin mereka satu per satu, gimana sih?"
"Jadi, tadi itu.."
"Joodang wayo (bercanda)! Bercanda kali." Cadie terkekeh. "Kamu tuh ya..!"
"Aduuh!" Cadie mengaduh saat sang Kakak mendaratkan jitakan di kepala untuknya. "Jangan norak deh! Bikin jantungan aja."
"Kakak sih terlalu parno. Biasa aja donk. Pokoknya Kakak nggak usah khawatirin Cadie. Cadie pasti akan baik-baik aja. Semua ini mungkin emang nggak mudah, tapi bukan berarti Cadie nggak mampu melaluinya. Kan ada Kakak. Asalkan ada Kakak, nggak peduli dunia akan jadi seperti apa, Cadie pasti akan tetap menjalaninya. Gitu kan Papa selalu bilang" Kita sebagai saudara harus tetap bersama, baru semua jadi ringan, iya kan?"
Andy tertegun mendengar penuturan sang Adik. Selama beberapa saat hanya kebisuan yang ada, disertai dengan mata yang berkaca-kaca.
"Cadie sayaaang banget sama Kakak. Cadie janji, Cadie nggak akan buat Kakak sedih lagi. Nggak akan buat Kakak takut lagi," Cadie mengucap seraya memeluk sang Kakak. "Kakak juga sayang kamu. Sayaaang banget." Andy membalas pelukan itu. Bisa dirasakan olehnya, airmata yang tadi menggenang mulai berjatuhan.
"Maafin Cadie, Kak. Cadie nggak bermaksud bohong sama Kakak. Cadie juga nggak bermaksud menjauhkan Kakak dari kesedihan Cadie. Cadie cuma nggak mau buat Kakak sedih lagi. Nggak mau buat Kakak cemas dan berpikir banyak tentang Cadie. Karena Kakak sudah terlalu banyak berpikir dan banyak menderita karena Cadie," batin Cadie. Sedih banget dia kalo ingat kejadian demi kejadian di sekolahnya tadi. Kalo ingat Denny.
*** Seminggu berlalu sejak Cadie kembali ke sekolah. Sejak kehidupan barunya sebagai seorang anak manusia yang nggak luput dari masalah dimulai. It means, tiga minggu pasca kejadian menyesakkan dada itu. Andy semakin mantap menjalani profesi barunya sebagai wartawan freelance di sebuah majalah yang target marketi-nya adalah usahawan. Majalah bisnis gitu deh. Nggak sia-sia ilmu ekonomi yang didapatnya dari Universitas Tokyo, Jepang. Sementara Cadie, dia masih disibukkan dengan sekolah seperti biasanya, dan juga ulah iseng teman-teman sekelasnya. Yang tidak biasa adalah bahwa dia sudah mulai menikmati nauk kendaraan umum, meski cuma sekali-sekali. Dia masih tetap lebih nyaman naik taksi daripada bus kota atau sodaranya (ya kopaja, metromini, dll).
Selanjutnya, tanpa sepengetahuan Kakaknya juga, Cadie mulai iseng-iseng mencari pekerjaan. Bukan agar dia mendapat uang atau semacamnya, tetapi lebih agar bisa membantunya melupakan setiap kesedihan yang dia rasakan. Dia harus mencari kesibukan. Itu yang dia tahu. "Ca, kenapa Kakak ngerasa akhir-akhir ini kamu sibuk banget ya" Sebenernya kamu ada kegiatan apa sih di sekolah?" tanya Andy.
"Oh.. itu." Cadie mengibaskan sebelah tangannya. Sebisa mungkin menghilangkan rasa gugupnya karena takut ketahuan. Bisa gawat kalau Andy sampai tahu dia pulang malam lantaran kerja. "Apa maksudnya Cadie kelihatan sibuk akhir-akhir ini" Biasa aja kok. Ya.. cuma sedikit pelajaran tambahan di sekolah. Biasa lah, Kak," lanjutnya.
"Pelajaran tambahan?"
Cadie mengangguk seraya mencaplok rotinya.
"Sampe malam begitu" Dalam rangka apa?" selidik Kakaknya lagi.
"Dalam rangka.. ya ampun,Kak!!!" Cadie menepuk keningnya. "Cadie lupa kalo hari ini ada ulangan," lanjutnya mengalihkan pembicaraan.
"Hah"!" "Ayo cepet! Bisa gawat kalo sampe telat!"
"Sekarang kan baru jam setengah tujuh kurang." Andy melihat ke arah jarum jamnya. "Eh, emangnya nggak belajar" Kenapa bisa lupa gitu sih?" Andy terheran-heran. "Ya.. namanya juga lupa, ya nggak inget lah." Cadie beralasan sambil berlari menuju mobil. Tinggal Andy yang kebingungan. Sepanjang sejarah dia kenal Adiknya, kayaknya baru hari ini ada adegan Cadie kaget lantaran ada ulangan. Padahal sih, sebelum-sebelumnya selalu santai. Toh setiap hari dia memang selalu belajar. Cadie Kautsar gitu loh! Se-antero jagad Guardian juga tahu kalau dia yang terpintar di generasinya.
"Pasti ada yang nggak beres. Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan, Ca?" batin sang Kakak sebelum akhirnya menyusul Cadie ke mobil.
*** "Cadie Kautsar, dari seorang putri menjadi upik abu!" seru Lily di hadapan banyak orang, nggak lama setelah Cadie memasuki gedung sekolah.
"Kamu lagi. Mau apa"!" tanya Cadie. Seperti biasa, dia berkaa dengan lantangnya. Tidak menyiratkan rasa takut sama sekali. Cadie memang seperti itu. Dia selalu jadi cewek yang tangguh. Nggak ada tuh ceritanya dia akan ngebiarin orang-orang puas menghinanya, baik dulu, sekarang, atau pun nanti. Dia boleh saja kehilangan segalanya, dia boleh saja jatuh miskin. Tapi dia nggak akan ngebiarin orang merendahkannya. Nggak akan pernah.
"Udah miskin masih belagu!" kata Sheila jutek.
Cadie tersenyum. Senyum mengacuhkan tepatnya.
"Heh! Kenapa elo pake senyum segala"!" sambung Nena nggak kalah nyinyir. "Aduuh.. udah deh. Aku nggak punya urusan sama kalian, paham"! Jadi, sebaiknya kalian cepat minggir!" tegas Cadie.
Sheila menggigit bibirnya keras-keras. Dahinya mengerut. Dia benar-benar emosi sepertinya. "Aku nggak tahu kalo kamu begitu menderita. Apa kamu udah bener-bener kehabisan uang, sampe-sampe harus kerja jadi kasir di pasar swalayan segala?" lanjut Lily dengan culasnya. Dia kini berdiri tepat di samping Cadie.
"Sebenernya apa maumu?"
"Nggak ada. Aku, sama seperti yang lainnya, cuma mau ngeliat sejauhb mana kamu bisa bertahan dengan semua ini. Melihat gimana seorang Cadie yang terbiasa hidup mewah, yang selalu terpenuhi apapun kebutuhannya, yang biasa naik mobil mewah dan memakai pakaian bermerek, harus bekerja banting tulang cuma untuk mendapatkan uang yang jumlahnya.. nggak banyak." Lily menyeringai. "Hei! Jangan-jangan kamu akan bunuh diri karena nggak tahan, iya?" lanjutnya lagi.
Cadie tertawa kecil. "Denger, kalaupun aku harus mati, aku nggak akan mati karena alasan itu. Cuma orang-orang kayak kamu yang bisa mikir seperti itu!"
"Orang-orang kayak aku?"
"Iya! Orang yang bahkan volume otaknya nggak lebih besar dari Pithecantropus Erectus! Ngerti?" Cadie mendorong Lily ke samping.
Saat itu, siapa pun bisa melihat jelas kemarahan Lily. Kalo nggak dihentikan Nena dan Sheila, mungkin dia udab teriak histeris saking kesalnya.
"Kamu..! Cadie Kautsar, AKU AKAN MEMBALASMU!" teriak Lily berapi-api. ***
"Assalamualaikum." Suara Cadie terdengar dari luar rumah.
"Waalaikumsalam!" jawab seseorang dari dalam rumah, ketus. Cadje spontan dibuat kaget karenanya.
Pelan dia memasuki rumah. Matanya tak henti menoleh ke arah Bi Nah, yang berdiri tak jauh dari pintu yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah. Senyumnya mengembang, meski jelas terlihat sangat dipaksakan.
"Duduk!" suryh Kakaknya lagi, masih dengan sikap seperti tadi.
Seolah ada orang yang menariknya, Cadie pun langsung duduk di sofa. Otaknya sibuk berputarputar, menerka-nerka, ada apa gerangan dengan Kakaknya"
"Apa.. apa ada masalah, Kak" Ada apa?" tanya Cadie takut-takut.
Andy diam sejenak. Matanya menatap tajam ke arah Cadie. Membuat Cadie, lagi-lagi, seperti tersengat listrik saking takutnya. Ini sama sekali tidak seperti Kakaknya, pikirnya. "Kamu darimana?"
"Cadie.. dari sekolah lah, kan Kakak juga tahu," jawabnya.
"Kamu darimana?"
"Cadie.. dari sekolah lah, kan Kakak juga tahu," jawabnya.
"Dari sekolah lah," balas Andy setengah meledek, membuat Cadie nyaris tertawa. Dia tahu betul Kakaknya itu selalu serius. Jadi, kalaupun mau ngelucu, sama sekali nggak ada pantaspantasnya.
"Jangan ketawa!"
"Nggak.. nggak ketawa kok." Cadie menundukkan kepala. Sebisa mungkin menyembunyikan tawanya.
Perlahan Andy bangkit dari duduk. Dia mulai berjalan mendekati Cadie. Cadie bergidik saking ngerinya. "Kamu kerja dimana?" tanya Andy pada akhirnya.
Mendengar pertanyaan barusan, kontan saja Cadie terkejut. Dia tidak tahu bagaimana Andy bisa tahu kalau dia bekerja. Dan lebih dari itu, dia tidak tahu harus menjawab apa, memberi penjelasan yang bagaimana.
"Cadie.. siapa yang kerja" Siapa bilang Cadie kerja" Kan udah dibilang kalo di sekilah ada pelajaran tambahan. Kakak tau kan" Banyak nilai yang harus diperbaiki. Apalagi sebentar lagi ujian semester," ujar Cadie.
"Oh ya?" Andy membelalakkan mata. "Sejak kapan siswa terbaik harus memperbaiki nilainya" Emangnya kamu au bikin semua nilai di raport kamu 10 semua"! Dan satu hal lagi, kamu bahkan baru sebulan naik ke kelas dua. Dari mana ceritanya sebentar lagi ujian semester"! Kamu kira Kakak nggak tahu satu semester itu berapa bulan?" sambungnya geram. KWAW KWAW! Bad reason, pikir Cadie. Dia lagi-lagi menundukkan kepalanya. Tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Kenapa diam" Ayo ngomong!" "Cadie.."
"Kenapa.." Bingung mau cari alasan apa lagi?" "Bu.. bukan begitu.."
"Ca, emang Kakak nggak pernah bilang ya" Alis mata kamu tuh naik kalau bohong. Jadi, jangan coba-coba bohongin Kakak!" semprot Andy lagi.
Cadie semakin bingung harus menjawab apa. "Bener ya, Bi, alis mata Cadie naik kalo bo'ong?" Cadie melirik Bi Nah.
"Cadie!" "Iya." Andy memelototinya. Ini untuk pertama kalinya kakaknya itu memarahinya. Dia ingat, dulu Papanya selalu berbuat seperti itu setiap kali dia berbuat kesalahan. Memelototinya dan kemudian membelai rambutnya. Sementara Andy, dia lebih bersikap sebagai pengacara Cadie. Dia selalu membela Cadie setiap kali Cadie dimarahi Papanya.
"Bagaimana bisa dia ini bukan Kakak kandungku" Bagaimana mungkin dia hanya anak angkat Papa-Mama" Dia benar-benar seperti Papa!" batin Cadie. Air matanya hampir saja terjatuh. Dia menyekanya sebelum Kakaknya sempat melihat.
"Maafin Cadie, Kak," Cadie berkata pelan. "Sebenernya untuk apa, Ca" Apa selama ini Kakak.."
"Nggak," Cadie spontan memotong kalimat Kakaknya. "Nggak, bukan begitu. Cadie bukannya sengaja mau boongin Kakak. Cadie juga bukannya nggak percaya sama Kakak. Cadie yakin kok, Kakak pasti akan ngebiayain semua kebutuhhan Cadie. Kakak juga akan bertanggung jawab terhadap Cadie. Tapi Kak, Cadie cuma ngerasa, sekarang ini Cadie harus lebih bertanggung jawab atas diri sendiri. Cadie kerja bukan supaya Cadie bisa dapat uang banyak dan bisa hidup mewah seperti dulu lagi. Cadie cuma mau ngisu waktu, karena hanya dengan begini Cadie baru bisa ngatasin semuanya. Semakin banyak waktu yang tetpakai, semakin Cadie nggak punya waktu untuk mengeluh. Semakin Cadie nggak punya waktu untuk benci sma orang, juga mikirin apa kata orang tentang Cadie. Kakak ngerti maksud Cadie,kan?" jelas Cadie panjang-lebar. Wajahnya saat itu terlihat serius, seperti waktu lagi ulangan kimia, pelajaran kesukaannya.
"Ca.." "Cadie nggak apa-apa. Cadie emang suka agak sedikit sedih tiap kali temen-temen di sekolah ngatain Cadie. Tapi Cadie tahu kok, Cadie pasti akan baik-baik aja, bener!" ungkapnya. Andy mengusap kepala Cadie. "Maafin Kakak ya" Seharusnya Kakak tahu kalo semua ini nggak mudah buat kamu," katanya pelan.
"Kakak jangan khawatir. Selama ada Kakak, Cadie pasti bisa melaluinya. Cadie nggak akan ngelakuin hal bodoh lagi, janji!" Cadie mengacungkan dua jarinya.
Andy tersenyum lembut ke arah Adik tersayangnya. "Dan soal pekerjaan, kalo Kakak mau, Cadie bisa berhenti kok."
"Nggak kok. Kamu boleh ngelakuin apa aja yang kamu inginkan." Andy memeluk Adiknya eraterat. Dari balik badan Cadie, Bi Nah bisa melihat bahwa Andy yang sejak kecil dikenalnya tidak pernah menangis ini mengeluarkan air mata. "Asal kamu seneng, Kakak juga seneng." "Kakak.."
"Oh iya, ngomong-ngomong kamu kerja dimana?" Dengan sigap Andy menghilangkan jejak air matanya, sesaat sebelum melepas pelukan. "Kamu kan belum punya ijazah dan bahkan belum lulus sekolah, perusahaan mana yang mau nerima kamu?" tanyanya.
"Mm.., Cadie kerja di pasar swalayan."
"Pasar swalayan"!"
Cadie mengangguk pelan. "Jadi kasir."
"Kamu pasti capek ya?" tanya Andy, jelas raut wajah cemas tampak di wajahnya, bukan ekspresi kaget seperti yang dibayangkan Cadie.
"Ya.. sedikit." Cadie merapatkan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Namanya juga kerja, meski capek, harus tetap dijalani. Begitu kan Papa selalu bilang?"
*** Keesokan harinya di ruang manajer-pasar swalayan
"Bapak mau Cadie berhenti"! Tapi kenapa" Apa Cadie membuat kesalahan?" tanya Cadie heran.
"Bukan tentang itu. Bukan karena itu." Pak Yudha, tak ubahnya Cadie, terheran-heran. Dia sendiri sejujurnya masih bingung atas dasar apa Cadie harus dipecat. "Lalu?"
"Entahlah, Cadie.. Bapak sendiri nggak tahu harus bilang apa. Ini.. ini perintah langsung dari atas," ucap manajer Cadie itu.
"Maksud Bapak"!"
Ucapan Cadie terhenti sejenak, nggak lama setelah dia melihat foto yang tertempel di dinding ruangan. Dari beberapa orang yang ada di foto itu, salah satunya lumayan familier di matanya. Tanpa perlu terlalu dalam memutar otak, dia sudah bisa menebak siapa orang di balik ini. "Ada apa?"
"Cadie ngerti kok, Pak," lanjutnya. Pandangannya masih tertuju pada foto itu. Begitu pun Pak Yudha. "Terima kasih karena Bapak sudah bersikap baik ke Cadie selama ini. Cadie.. benerbener seneng bisa dapat kesempatan kerja di sini. Bisa ketemu Bapak dan yang lain." "Cadie!"
"Iya, Pak." "Apa Bapak boleh nanya sesuatu sama kamu?" "Tanya apa, Pak?"
"Sebelumnya jangan salah paham ya. Bapak bukannya bermaksud ikut campur urusan kamu atau semacamnya. Bapak cuma mau tanya, apa kamu punya masalah dengan pemilik tempat ini" Soalnya sejak tadi kamu.."
"Sama pemiliknya sih nggak, Pak, tapi sama salah seorang yang dekat dengan pemilik tempat ini, iya," jawab Cadie pelan. Sebisa mungkin dia menampakkan senyum di wajahnya. "Apa..?" Pak Yudha menunjuk ke arah foto yang tertempel tadi. Foto yang sejak awal diamati Cadie.
"Iya." "Jadi begitu ya"! Bapak kok berasa jadi lagi nonton film."
Cadie tertawa kecil. "Bapak bisa aja. Nggak apa-apa kok, Pak. Ini kan bukan satu-satunya tempat yang bisa kasih Cadie kerjaan. Cadie bisa terima. Ya.. meski mungkin bakalan terusterusan kesel sama orang ini," lanjutny optimis.
"Kalau begitu kamu yang semangat ya! Jangan mudah menyerah," pesan Pak Yudha. "Iya. Terima kasih, Pak." Cadie pun beranjak meninggalkan ruangan.
"Gimana ini" Gimana kalau Kakak sampai tahu aku dipecat" Dia pasti sedih. Kakak nggak boleh tahu. Aku harus.. apa aku harus bohong lagi" Tapi kalau aku bohong, bukannya Kakak malah akan bertambah sedih?" tanya Cadie pada dirinya sendiri. Bingung!
*** "Jadi, begitu ya?"
Cadie manggut-manggut menanggapi perkataan sang Kakak yang tampaknya nggak kalah terkejut dari dia sore tadi.
"Tadinya Cadie nggak mau bilang sama Kakak. Tapi.. Kak, Cadie dulu pasti jahat banget ya" Makanya dapet karma kayak gini. Terus-terusan disebelin orang," Cadie mengucap bingung. "Kamu ngomong apaan sih" Karma apa" Kakak kasih tau, semua ini tuh namanya cobaan. Kamu bilang kamumau jadi orang baik, kan" Jadi orang baik ya begitu itu, harus tahan banting. Harus sabar, nggak masalah seberat apapun cobaan itu. Semakin sering kita dicoba, itu artinya Allah semakin sayang sama kita, ngerti nggak?"
"Kalo gitu boleh minta nggak sama Allah supaya nggak sesayang ini?"' "Heh kamu!"
"Iya, iya. Cadie bercanda kok. Ya Allah, Cadie cuma bercanda," Cadie mendongakkan kepalanya, mengucap sungguh-sungguh.
"Ya udah, sekarang kamu nggak usah terlalu musingin soal kerjaan. Kamu masih bisa lebih konsentrasi ke pelajaran kamu juga lebih baik, kan" Dan nanti kalo saatnya tiba, kamu juga pasti bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik. Bukannya dalam setiap kejadian selalu ada hikmahnya?" urai Andy lagi.
"Iya. Cadie ngerti, Kak."
"Anak pintar!" Andy mengacak-acak rambut Adiknya. ***
Bab 2 Show Time! Saatnya Pembuktian DICARI SEORANG PEKERJA KERAS YANG MAMPU BEKERJA SAMA DALAM TIM DAN TAHU BANYAK MENGENAI SEPAK BOLA. BAGI YANG BERMINAT DAPAT LANGSUNG MENGHUBUNGI PAK GUNTUR (PELATIH TIM SEPAK BOLA)
Mata Cadie terbelalak membaca iklan itu. Ternyata benar kata Kakaknya, selalu ada hikmah di balik segalanya. Itulah yang dialami Cadie saat ini. Meski telah mengisi waktu luangnya dengan menjadi tutor bahasa Jepang, dia masih belum juga bisa melupakan masalahnya. Saat tidak tahu lagi harus bagaimana, tiba-tiba saja dia mendapati dirinya berdiri di depan mading, di depan sebuah iklan lowongan pekerjaan yang dibuat oleh salah satu unit kegiatan siswa. Tanpa basa-basi lagi dan tanpa memikirkan lebih jauh akan keterbatasan pengetahuannya mengenai sepak bola, dia pun segera meluncur ke tempat yang dimaksud. Ruangan Pak Guntur. Pelatih tim sepak bola Guardian. Orang yang bahkan tidak dikenalnya.
*** "Sebelum kita lanjut ke sesi wawancara, Bapak hanya ingin memastikan, kamu.. sebenarnya tahu tidak untuk posisi apa pekerjaan ini?" tanya Pak Gun hati-hati. Jujur, dia masih kaget setengah mati mendapati seorang Canadiam Kautsar, yang notabene tergolong cewek populer di sekolah, menemuinya untuk melamar sebagai asistennya.
"Iya. Asisten pelatih," jawab Cadie.
"Begitu?" "Apa ada masalah, Pak?"
"Oh nggak. Nggak ada masalah. Baiklah. Kalau begitu.. bisa kamu ceritakan apa saja yang kamu ketahui tentang sepak bola?" tanya Pak Guntur lagi.
"Saya.. sejujurnya tidak tahu banyak soal sepak bola. Mungkin karena saya kurang suka sama olahraga ini. Tapi saya tahu kok kalo sepak bola dimainkan dalam waktu 2x45 menit, saya juga tahu ada yang namanya striker, midfielder, bek, juga kiper. Ya.. meski teknisnya saya kurang paham," ujar Cadie.
Pak Guntur berusaha menerima jawaban itu, tapi lebih banyak bingungnya. "Gimana, Pak" Saya boleh kan melamar jadi asisten Bapak?" "Boleh, tentu boleh." Pak Guntur menjawab agak ragu. Lebih banyak nggak enaknya. "Sebenernya nggak bisa kan, Pak?"
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Saya bisa melihat itu dari ekspresi wajah Bapak. Bapak sebenernya mau nolak saya, tapi Bapak nggak enak, kan" Nggak tahu harus bilang apa."
"Sebenernya bukan begitu. Bapak hanya.."
"Tolong kasih saya kesempatan," potong Cadie sebelum Pak Gun menyelesaikan omongannya. "Saat ini saya mungkin belum tahu banyak soal sepak bola, tapi nanti, saya yakin saya pasti bisa. Bapak hanya perlu kasih saya kesempatan, bagaimana?"
Pak Gun lagi-lagi dibuat bingung dengan sikap Cadie yang tiba-tiba mulai memelas. "Memangnya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Pak Gun akhirnya. "Say akan belajar," jawab Cadie semangat.
"Belajar" Tentu. Bapak yakin kamu pasti bisa dengan cepat mempelajarinya. Tapi.. saat ini Bapak tidak ada waktu untuk itu. Bapak minta maaf," Pak Gun beralasan. "Bapak jangan khawatir, saya tidak akan membuang waktu Bapak. Saya akan belajar sendiri. Bapak hanya perlu memberi saya waktu. Saya janji, asal diberi kesempatan untuk belajar, dalam waktu beberapa minggu, saya pasti akan menguasai banyak hal tentang sepak bola," jelas Cadie lagi.
"Bapak hargai niat baikmu. Tapi maaf, kompetisi antar sekolah akan digelar sebentar lagi. Yang dibutuhkan di sini adalah orang yang paham betul soal sepak bola, tidak hanya secara teknis, tapi juga non teknisnya. Dan yang terpenting, bisa menggantikan kedudukan Bapak saat dibutuhkan."
"Begitu ya" Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau beberapa hari" Kalau dalam hitungan minggu menurut Bapak terlalu lama, gimana kalau Bapak kasih saya waktu beberapa hari" Lima atau bahkan tiga hari, untuk membuktikan kalau saya mampu. Setelah itu, saya akan menerima apa pun keputusan Bapak. Bagaimana?" kata Cadie lagi, setengah memaksa. "Kamu tidak terbiasa menerima penolakan ya?" Pak Guntur berkata sambil mengusap kepalanya.
Cadie menggelengkan kepalanya, tapi segurat senyum jelas tampak di wajahnya. "Dulu memang tidak. Tapi sekarang, saya rasa saya akan mulai terbiasa dengan itu." "Baiklah. Tiga hari lagi kamu datang ke sini. Kita lihat sejauh mana 'perkembangan' pengetahuanmu mengenai sepak bola," tambah Pak Guntur.
"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan Bapak," ucap Cadie semangat. Pak gun manggut-manggut meski agak heran.
Rasanya, pasca kejadian beberapa minggu yang lalu itu, ini adalah untuk pertama kalinya Cadie terliht begitu antusias dan bersemangat. Dia sendiri nggak tahu kenapa. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia begitu menginginkan pekerjaan ini. Benar-benar menginginkannya. Saat ini, dia hanya butuh dipercaya orang. Dia bisa merasakan betapa kepercayaan itu sangat mahal harganya, apalagi setelah semua yang dialaminya. Semua cibiran, makian, dan perkataan jelek orang terhadapnya. Semua itu hanya bisa diatasi dengan tetap berdiri tegak. Nggak ada waktu buat nangis. Ini adalah waktunya PEMBUKTIAN!
*** "Kamu bilang apa"!!!"
"Asisten pelatih sepak bola," jawab Cadie pelan, kedua tangannya masih ditempelkan di daun telinga. Tampaknya pekikan Andy barusan benar-benar membuat nyaris tuli. "Cadie, kamu baik-baik aja kan?"
"Maksudnya"!"
"Ya.. gimana Kakak nggak.."
"Nggak apa" Kenapa Kakak jadi berlebihan gitu" Kakak bersikap seolah Cadie tuh habis ngerampok bank atau semacamnya," Cadie berkomentar.
"Bukan gitu, tapi kan.."
"Kenapa" Apa jadi asisten pelatih tim sepak bola menurut Kakak nggak bagus" Nggak baik" Iya?"
"Bukan. Itu bagus, baik. Tapi.. tapi apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakuin" Kalo Bi Nah sih Kakak masih bisa ngerti, nah kamu.." Kamu bahkan nggak pernah suka sama sepak bola. Gimana mungkin mau jadi asisten pelatih tim sepak bola!?"
"Ya.. karena itu Cadie bilang sama Kakak. Apa gunanya punya Kakak yang setiap hari menyantap sepak bola," jawab Cadie spontan.
"Iya bener," sambung Bi Nah, yang sejak tadi hanya mematung mengamati debat dua kakakberadik itu.
"Aduh! Aduh! Kakak jadi pusing nih!" Andy ngedumel sambil memegangi kepalanya. "Kakak, please..! Bantu Cadie. Ajarin Cadie banyak hal mengenai sepak bola. Apa aja. Peraturannya kek, cara mainnya kek, pokoknya semua. Ya.." Ya..?" bujuk Cadie. "Nggak usah masang muka melas gitu deh!" seru Andy saat menyadari Adiknya mulai menampakkan wajah memelas. Ekspresi wahah yang paling tidak disukainya. Karena saat Cadie berbuat seperti itu, dia tahu dia tidak akan tega menolaknya. "Kamu tahu nggak apa resikonya" Badanmu akan pegel-pegel, pegel sampai kamu ngerasa semua terasa akan copot. Setelah itu memar, tentu saja, karena kamu harus nendang-nendang benda bulat yang dulu kamu anggap menyebalkan itu setiap hari, dan entah apa lagi. Apa kamu siap dengan itu?" "Itu.. apa benar separah itu" Tapi bisa hilang kan" Nggak akan ninggalin bekas, kan" Bibi, benar kan bisa hilang" Apa.. bla-bla-bla.."
*** Satu hal yang harus digarisbawahi dari seorang Cadie, dia tidak pernah main-main. Kalau dia bilang dia akan belajar, dia pasti akan melakukannya. Dia juga nggak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Dalam waktu tiga hari, sesuai kesepakatannya dengan Pak Guntur, dia melahap habis segala hal yang berbau sepak bola. Mulai dari sejarah bola, peraturan, sampai strategi serta taktik dalam olahraga yang dianggap olahraga sejuta umat itu. Dia juga menonton kembali rekaman-rekaman video pertandingan sepak bola milik Kakaknya. Kebetulan Andy, yang seoramg Juventini sejati ini, sering mengabadikan pertandingan tim kesayangannya itu ke dalam rekaman video. Tidak hanya itu, Cadie-pun turun tangan langsung berkenalan dengan olahraga ini.
*** "Aduh!" Cadie mengusap kepalanya yang tertimpa bola. "Kakak, pelan-pelan donk! Gimana sih, yang ada Cadie udah bonyok duluan sebelum kerja," omelnya.
Andy ketawa ngakak. "Kalo sama bola aja takut, gimana mau jadi asisten pelatih tim sepak bola?"
"Cadie bukannya takut, Cadie cuma.. ya.. Kakak kan bisa nggak usah keras-keras nendangnya. Emangnya lagi tanding sama Del Piero apa?"
"Iya cerewet! Ya udah sekarang gini aja, kamu ke sini, biar Kakak yang gantian jaga gawang," Andy berkata seraya berjaan mendekati mulut gawang.
"Oh.." "Tendang dengan sekuat tenaga ya!" teriak Andy dari bawah mistar dan diangguki Cadie. "Ayo, Non Cadie. Non pasti bisa!" Setengah teriak, Bi Nah menyemangati dari pinggir lapangan. "Ca, cepetan deh! Nggak usah kebanyakan gaya!" teriak Andy lagi saat dilihatnya Cadie sibuk cari posisi buat nendang. Sampai beberapa kali ganti pose segala.
"Cerewet!" Cadie pun memasang ancang-ancang. Dia bersiap untuk berlari dan kemudian menendang si kulit bundar itu dengan sekuat tenaga. And one, and two, and three.. SYUUUT! Bola itu ditendang hingga melesat cepat, dan.. home run. Kok home run" Ternyata, Cadie menendang bola itu ke angkasa dan bukannya ke gawang yang dijaga Andy.
"Waaaah! Cakep-cakep kuli!" seru Andy setelah sadar bola itu kini telah berada di luar lapangan. Cadie kesal bukan main mendengar itu.
"Sekali lagi! Kali ini pasti masuk," teriaknya.
Ya, right ini udah tendangan yang ke-21, dan nggak satu pun dari tendangan Cadie yang.. jangankan masuk, mengenai sasaran aja nggak.
"Heran! Masa sih segitu susahnya cuma mau masukin bola ke dalam gawang," gerutu Cadie sambil terus mencari posisi tembak yang pas. Sebenta minggir ke kiri, sebentar lagi minggir ke kanan.
"Non Cadie, semangat!" Lagi-lagi Bi Nah memberi suntikan semangat.
Cadie tersenyum. Meski agak dipaksakan. Sepertinya dia mulai gerah dan BeTe ngeliat tingkah Kakaknya yang sekarang malah asyik-asyikan duduk di bawah mistar gawang. "Kakak, jangan norak deh!"
"Siapa yang norak" Tendang aja dulu."
Apa maksudnya"! Mana ada penjaga gawang model begini. Enak-enakan deprok sementara algojo udah siap mau nendang. RESE! Ini namanya pelecehan, pikir Cadie. Sekali lagi, bukan Cadie namanya kalau langsung menyerah. Di tendangannya yang ke-30, dia berhasil memaksa Andy bangkit dari duduknya. SYUUUT! Bola itu melesat dan.. nggak masuk sih, karena Andy berhasil menghalaunya.
Cadie bersorak gembira. Bukan karena dia ngegolin, tapi karena dia berhasil melesatkan bola itu ke sasaran. Dan satu lagi, bola itu memiliki power.
"Yeah! Berhasil..! Berhasil..!" Andy berseru menirukan gaya Dora. Sebenernya sih menirukan gaya Cadie, yang kala itu entah tanpa disadarinya atau tidak, mengikuti gaya Dora. Dasar Cadie! Baru bisa nembak tepat sasaran aja udah segitu senengnya, gimana kalo sampai bener-bener masuk. Bisa-bisa dia bikin selametan. Nasi kuning ditambah ayam goreng, beserta telur dadar dan.. alaaah panjang!
*** "Sudah, sudah! Bapak rasa suah cukup, tidak perlu diteruskan lagi," pinta Pak Guntur pada Cadie, yang tanpa lelah sedikit pun menjabarkan secara gamblang dan meyakinkan tentang Sepak Bola mulai dari sejarahnya dulu sampai perkembangannya kini. Cadie diam. Segurat senyum mengembang di wajahnya.
"Nggak perlu terlalu detail seperti itu. Bapak kok ngerasa kamu jadi mirip buku berjalan," imbuh Pak Guntur lagi, tak habis pikir.
"Lalu.. bagaimana menurut Bapak" Apa sekarang saya sudah cukup memadai untuk jadi asisten Bapak?"
"Ya.." "Apa Bapak sudah menemukan orang yang tepat?" tanya Cadie melihat ekspresi wajah Pak Guntur yang sepertinya sedikit bingung.
"Sebenarnya.." "Nggak apa-apa kok, Pak. Kalau memang benar seperti itu, saya nggak keberatan. Hari ini saya datang, anggap saja untuk menepati janji. Saya kan sudah janji sama Bapak bahwa dalam waktu tiga hari akan belajar banyak tentang sepak bola, dan sepertinya saya sudah menepati. Benar kan" Kalau begitu saya permisi. Saya.."
"Kalau begitu datang lagi lusa." "Hah"!"
"Apa kurang jelas?"
"Jelas. Iya, jelas sekali." Cdie mengucap semangat.
"Kita latihan seminggu tiga kali. Setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mulai dari jam 15.30 sampe jam 17.30 untuk hari Selasa dan Kamis. Sementara hari Sabtu, biasanya baru selesai sekitar jam 18.00 atau setengah tujuh-an."
Cadie menganggukkan kepalanya. "Iya, ngerti, Pak." "Oh ya, satu hal lagi. Kamu kerja di sini, kamu tau kan apa artinya?"
"Iya. Saya harus membantu setiap pekerjaan Bapak, mulai dari a sampai z. Saya akan lebih sering bersentuhan dengan sepak bola, dan juga mungkin akan menerima sedikit hambatan dari anggota tim yang pastinya tidak menginginkan kehadiran cewek di sini. Apalagi cewek itu saya," beber Cadie yang sepertinya paham betul reputasinya di sekolah.
"Kamu memang pintar. Ya sudah. Kalau begitu ingat, lusa jam 15.30. Jangan sampai terlambat!" Pak Guntur mengingatkan sebelum Cadie meninggalkan ruangannya.
"Iya. Saya pasti datang,"
"Apa aku udah gila" Gimana mungkin aku bisa secara tiba-tiba menyukai olahraga ini, bisa begitu senang mendapat pekerjaan ini" Aku begitu membencinya, harus kuakui, dulu aku begitu membenci olahraga ini," ucap Cadie dalam hati, heran pada dirinya sendiri. Berlarian Cadie menyusuri lorong-lorong ruang olahraga. Denyit sepatu kets-nya membahana ke seluruh ruangan. Siapapun yang mendengarnya pasti bertanya-banya,"Bunyi apa gerangan?" Dan siapapun yang melihatnya pasti akan tercengang, lalu bertanya, "NGAPAIN DIA DI SINI"!" Tanpa Cadie ketahui, seseorang mengamatinya. Tatapan mata orang itu tajam menembus punggung Cadie. BEEESSSS!!! Bisa mati di tempat rasanya si Cadie ini, kalau mata tuh orang beneran bisa nusuk.
*** Bab 3 Del Piero Hijrah ke Persija!
Kira-kira se-menggemparkan itulah berita soal terpilihnya Cadie sebagai asisten pelatih sepak bola SMA Guardian. Nggak ada yang bisa percaya sama berita ini. Nggak seorang pun! Jangankan cuma orang, setan aja kalau dikasih tahu belum tentu percaya. Sementara pertanyaan muncul dimana-mana. Di kubu tim sepak bola, nggak ada yang lain selain perdebatan. Mereka-mereka inilah yang menunjukkan reaksi paling keras soal keputusan Pak Gun mempekerjakan Cadie. Nggak jelas juga apa alasannya. Karena mereka ngerasa Cadie kurang kompeten atau karena sebagian dari mereka memang masih dendam sama Cadie. Believe or not, di tim sepak bola ini ada beberapa cowok yang pernah masuk daftar rejectan-nya Cadie.
"Pak, apa nggak salah" Apa benar yang saya dengar, bahwa Bapak akan mempekerjakan dia sebagai asisten Bapak?" tanya Ilan pada Pak Guntur.
Ilan adalah kakak kelas Cadie, dia satu angkatan sama Denny. Dia juga, tak ubahnya Denny yang ngetop sebagai ketua OSIS yang tampan, dikenal lantaran tampang cool-nya dan predikatnya sebagai cowok yang paling susah ditaklukkan. Ilan adalah kapten di tim sepak bola. Posisinya striker, meski cenderung jadi playmaker.
Baik di dalam maupun di luar tim, tidak ada satu pun yang tidak mengakui kehebatannya. Pokoknya, dua jempol buat Ilan!
"Benar," jawab Pak Guntur singkat.
Ilan tertegun mendengar jawaban pelatihnya. "Bapak bercanda kan"! Itu pasti cuma.." Tok.. tok.. tok..
Ilan tidak melanjutkan kalimatnya ketika tiba-tiba saja dia mendengar suara pintu diketuk. "Selamat sore, Pak," kata orang dari balik pintu itu. Ternyata Cadie. Rambutnya yang panjang diikat satu. Dia terlihat sporty, meski tetap cantik seperti biasanya.
"Maaf. Saya akan kembali nanti," katanya lagi seraya menarik dengan sepelan-pelannya gagang pintu, bermaksud menutup, sampai Pak Guntur memanggilnya.
"Eh, nggak usah! Masuk aja nggak apa-apa," ucap Pak Guntur.
Cadie tersenyum. Pelan-pelan dia memasuki ruangan itu, selangkah demi selangkah hingga akhirnya berdiri tepat di samping Ilan. Bisa dirasakan kalau cowok yang berada di sampingnya itu tidak menyukai kehadirannya atau malah tidak menyukai dirinya.
"Ilan, kenalkan.. ini Cadie. Dia akan menjadi asisten Bapak mulai hari ini." Pak Guntur bangkit dari duduknya. "Cadie, ini Ilhan. Kamu panggil dia Ilan aja, kayak yang lain. Dia kapten tim di sini," kata Pak Guntur seraya memukul perut Ilan dengan majalah yang ada di tangannya. "What"! Hebat benar Pak Gun! Apa maksudnya nyuruh nih cewek manggil gue Ilan?" pikir cowok bernama lengkap Muhammad Ilhan Tanudirja ini.
Baik Cadie maupun Ilan hanya saling menganggukkan kepala saat itu. Keduanya tidak saling berjabat tangan. Ilan sepertinya terlalu enggan untuk menjabat tangan Cadie. Cadie apalagi, dia paling males jabatan tangan sama orang yang memang jelas-jrlas nggak mau salaman sama dia.
"Cadie sebagai tugas pertama, kamu pergi ke ruang ganti, minta anak-anak untuk kumpul di lapangan, secepatnya!"
"Baik, Pak." Cadie pun berangsur pergi menuju ruang ganti. Derap sepatu ketsnya terdengar melewati lorong demi lorong.
"Sepertinya kamu masih butuh penjelasan ya?" tanya Pak Guntur lagi pada Ilan. "Nggak cuma saya, Pak, yang lainnya juga. Maaf, Pak, kalo saya boleh tahu, sebenarnya apa alasan Bapak nerima dia sebagai asisten pelatih" Dan apa Bapak tahu siapa dia" Dia bahkan nggak tahu apa-apa soal sepak bola," terang Ilan.
Pak Guntur tertawa kecil menanggapi protes anak didiknya itu. ***
"Kalian sudah pasti kenal Cadie, kan?" tanya Pak Guntur kepada anak-anak tim sepak bola, tak lama setelah tiba di lapangan. Saat itu, Cadie baru saja datang dengan membawa bola-bola yang akan digunakan untuk latihan.
"Pak, sebenernya ngapain sih dia di sini"! Kayak nggak ada kerjaan aja," Ryan mengucap ketus. "Iya. Emangnya cowok-cowok atau.. apapun namanya, udah pada mati apa" Sampe-sampe Bapak harus mempekerjakan dia sebagai asisten." Ichal nggak kalah heran. "Kalau kalian mau jawabannya, sebaiknya tanyakan pada Ilan. Bapak sudah menjelaskan semua padanya dan tidak ingin mengulangnya."
Sinyo dan kawan-kawan serta-merta menjatuhkan pandangan pada Ilan. Ilan menjawabnya dengan anggukan. Agak malas, sama seperti biasanya.
"Oh iya, Cadie, kenalkan, itu Nico." Pak Guntur menunjuk ke arah cowok berambut cepak yang berperawakan tinggi. Dia agak-agak mirip Tora Sudiro. "Itu Sinyo," katanya lagi seraya menunjuk ke arah seaeorang yang berambut pendek. Mukanya bening banget. Nggak mirip seaeorang yang setiap hari lari-larian en main-main di panasan. Sinyo lebih mirip model iklan pembersih muka. "Yang itu Dino." Kali ini Pak Guntur menunjuk ke arah seseorang yang punya lesung pipit. Dia kelihatan lucu. Dia tersenyum pada Cadie. Tapi langsung mingslep ketika teman-temannya melotot. "Itu Ryan." Ryan mungkin satu-satunya yang selalu pasang tampang garang setiap bertemu Cadie. Tapi meskipun begitu, dia tetap kelihatan keren. Rambutnya agak panjang. Di Guardian, peraturan soal rambut memang agak longgar. Selama bentuknya masih rambut dan tidak membahayakan orang, fine-fine saja.
"Itu Igi," tunjuk Pak Gun pada cowok berambut jigrak. Persis orang yang baru kesengat listrik. Entah berapa banyak waktu yang dia butuhkan buat ngediriin rambutnya. Dia pasti langsung nyalon pas azan Subuh berkumandang. Makanya baru bisa segaya itu ke sekolah. "Kalo yang agak kucel itu,Yoko," kata Pak Gun lagi seraya menunjuk ke arah cowok yang sebagian rambutnya menutypi wajah. "Itu Ichal," lanjut Pak Gun seraya menunjuk seseorang yang sedang menimang-nimang bola dengan tangannya. Dia sangat tinggi, cocok banget jadi kiper. Rambutnya dibuat ala mohawk. "Nah, kalo yang itu Rio.." Pak Gun menghentikan omongannya saat sadar ekspresi wajah Cadie mendadak berubah menjadi bingung.
"Nggak usah bingung gitu, dia itu kembarannya Igi," lanjut Pak Gun. "Oooh!" Cadie manggut-manggut.
"Nggak usah bloon gitu deh. Namanya juga kembar, ya mirip lah," tukas Ryan sekenanya, membuat Cadie kesal bukan main. Beruntung saat itu ada Pak Guntur yang meredakan. "Itu Luca," lanjut Pak Gun lagi seraya memperkenalkan cowok berambut agak kecokelatan. Matanya berwarna hijau. Persis namanya, yang agak-agak berbau Italy, cowok tinggi bernama lengkap Gianluca Caraciollo Djunaedi itu emang blasteran Betawi-Italy. Dia, yang kalau dilihatlihat mirip Alberto Gilardino ini, sama halnya Ilan dan Sinyo, masuk dalam top ten cowok paling diincar di sekolah. Sayangnya, dia udah punya cewek. Anak sekolah ini juga. "Yang itu Mike," kata Pak Gun lagi. Kali ini menunjuk kepada seseorang yang memakai hand band di tangan. Dia nggak terlalu tinggi. "Itu Guly." Pak Gun menunjuk ke arah cowok berambut acak-acakan. Ya, mirip-mirip sama potongan rambutnya F4 gitu deh. "Nah, kalo yang itu, kamu udah kenal kan?"
Ya, right, pikir Cadie. Cowok dingin itu. Cowok yang nggak tahu sopan-santun yang barusan dilihatnya di ruangan Pak Gun. Dia memakai siku band alias bandana di siku. Matanya begitu dingin. Terkesan angkuh dan menakutkan. Sepintas wajahnya mirip Chad Michael Murray, si Austin Aimes di A Cinderella Story. Hoooh! Gimana bisa ada orang sok kayak gitu" komentar Cadie lagi perihal Ilan, dalam hati tentunya.
"Itu Gerry, Gilang, Aska, Aidil, dan Iyunk. Masih ada beberapa lagi, Alex, Tegar, sama Willy. Tapi sepertinya mereka nggak dateng," ujar Pak Gun menyelesaikan parade perkenalannya. Cadie mengangguk tanda mengerti.
"Gimana" Sudah ingat belum?" tanya Pak Gun lagi. Lebih mirip orang yang lagi nge-tes. Cadie terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengulang kembali satu demi satu nama yang disebutkan Pak Gun tadi secara mendetail. Tidak ada yang salah atau tertukar sedikit pun, bahkan untuk kasus Igi dan Rio. Si kembar yang satu ini dikenal sangat identik. Tidak hanya perawakan mereka yang sama, potongan rambutnya juga sama. Tapi, jangan sebut Cadie kalau hal sekecil ini saja tidak bisa membedakan.
"Kok elo bisa tau?" tanya Igi heran. Padahal, dia dan Rio sudah bertukar tempat tanpa sepengetahuan Cadie.
"Rio yang warna matanya agak kecoklatan, sementara kamu hitam," jawab Cadie singkat. "Hebat bener! Bokap gue aja masih sering ketuker," tukas Rio.
"Wah! Kalo gitu elo mesti nanya lagi. Jangan-jangan bukan Bokap lo," tambah Nico sekenanya, membuat Igi dan Rio kontan menganugerahinya sebuah pukulan di kepala."Anjrit!" "Gue serius, Man. Emang bener ya, nih cewek segitu pinternya"!" "Yang pasti dia lebih pinter dari elo!" jawab Sinyo santai.
"Lagian elo berdua, kenapa juga bisa mirip semua-muanya. Potong rambut kek elo,Yo, atau elo, Gi. Biar lebih gampang ngebedainnya!" Ichal memberi saran, diamini teman-temannya. Igi dan Rio saling memandang satu sama lain."Ah, pada berisik elo semua!" lontar keduanya kompak.
"Hei! Kalian sedang apa" Kalian kira kita lagi arisan. Cepat ke sini dan lari sepuluh putaran!" teriak Pak Guntur dari tengah lapangan. Suaranya naik dua oktaf saking nyaringnya. Ilan dan yang lain menganga mendengar itu. Semua kaget, tak terkecuali Cadie. "Apa maksudnya!" Lari sepuluh putaran" Mau bikin kita mati muda apa"!!!" ***
"Guys, gue heran deh sama Pak Gun, ngapain coba dia pake nerima tuh cewek jadi asisten pelatih"! Apa dia nggak tahu siapa tuh cewek" Cewek kayak dia, bahkan nggak tahu apa-apa soal sepak bola. Gue berani jamin, dia pasti bakal teriak, Aaaaw! kalo kena bola," kata Ryan tak lama setelah mereka memasuki ruang ganti.
"Seharusnya kita tes aja tadi. Kita senter dia pake bola. Apa benar reaksinya kayak yang elo bilang, 'Aaaaw!'" imbuh Nico menirukan gaya seorang cewek, membuat yang lain geli. "Eh, sebenernya elo tahu nggak kenapa Pak Guntur bersikeras nerima dia?" tanya Luca pada Sinyo, si empunya posisi gelandang tengah di tim ini.
"Kata Ilan sih.. ya karena emang cuma dia satu-satunya yang datang ngelamar. Satu-satunya yang mau digaji murah," jawab Sinyo.
"Hah"! Brengsek!" Ryan melempar sepatunya ke lantai. Membuat Ichal mencelat saking kagetnya. "Mau digaji berapa emangnya orang-orang" Apa mereka pikir ini serie A, yang sekali napas aja dihargain aatu juta!?" lanjutnya emosi.
"Berarti pemain bola yang asma cepat kaya donk kalo main di serie A?" celetuk Rio. "Cepet kaya" Yang ada cepet mati, bloon!" balas Nico.
"Kalo anak-anak yang lain aja mikir gajinya terlalu murah, terus.. kenapa juga dia mau?" tanya Dino kali ini, heran. Soalnya memang begitulah bentuk wajahnya saat ini. Menganga. "Ya, karena dia udah bangkrut!" jawab semuanya kompak. Bangkrut, memang itulah anggapan banyak orang soal kehidupan Cadie yang baru ini.
"Apa iya sebangkrut itu!" Bener-bener bangkrut gitu" Dia itu kan cantik, pintar, kayaknya masih banyak deh pekerjaan lain yang bisa dia dapat. Jadi model atau pemain sinetron misalnya, daripada jadi asisten pelatih tim sepak bola"! Nggak make sense banget!" "Bener juga." Ryan mengamini pendapat temannya.
"Heh, nggak semua orang cakep mau jadi model, lagi. Buktinya gue. See, gue lebih milih maen bola di sini daripada nerima tawaran agenai iklan." Nico menyombongkan diri, membuat yang lain ingin menendangnya.
"Situ oke"!" teriak yang lain bersamaan. "Males!" ***
"Gimana, Lan" Gimana pendapat kamu tentang Cadie?" tanya Pak Gun.
Sesaat Ilan diam. Alaaah, makin malas aja dia. Sejak awal dia sudah menduga bahwa Pak Gun memanggil dia untuk membahas perihal Cadie.
"Jujur, saya kurang suka. Bukan karena apa-apa, saya cuma nggak yakin aja kalo dia serius mau jadi asisten pelatih, kayaknya nggak masuk akal. Dan saya rasa yang lain juga nggak begitu suka dengan kehadirannya," papar Ilan.
"Bapak tahu. Itu terlihat jelas. Tapi apa iya kamu nggak mau kasih dia kesempatan?" "Saya" Di tim ini kan bukan cuma ada saya sendiri, Pak. Apa nggak terlalu berlebihan nanyain hal itu ke saya?"
Soccer Love Karya Ida Farida di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Justru itu Bapak nanya ke kamu!" "Maksudnya!?"
"Kamu tahu maksud Bapak. Teman-temanmu itu, mereka sangat patuh padamu kan" Jadi, asalkan kamu mau kasih Cadie kesempatan, Bapak rasa yang lain juga," kata Pak Guntur beralasan.
Memang benar kata Pak Guntur, Ilan di mata teman-temannya nyaris nggak punya cela. Dia tipe pemimpin sejati. Jadi, wajar aja kalo semuanya paling gampang dibilangin sama dia. "Apa maksudnya patuh sama saya?"
"Ya emang gitu kan kenyataannya. Kadang Bapak ngerasa mereka itu lebih takut sama kamu daripada Bapak."
Ilan diam sesaat. "Kalau memang menurut Bapak kami harus ngasih dia kesempatan, saya akan bilang sama yang lain. Meski saya juga nggak bisa janji kalau mereka nggak akan nyulitin nih cewek," tegas Ilan.
"Cadie, namanya Cadie."
Ilan manggut-manggut saat Pak Guntur meralat omongannya. Jelas terlihat kalau dia memang kurang menyukai cewek ini.
"Satu lagi, kalau Bapak boleh tahu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan Cadie?" tanya Pak Guntur mengagetkan Ilan.
"Emangnya kelihatan ada masalah antara saya sama dia, Pak?" "Kamu itu kalau ditanya nggak usah balik nanya!" "Nggak ada, Pak, saya cuma nggak suka aja."
"Oh ya" Bapak kenal kamu. Kamu selalu punya alasan untuk semua yang kamu lakukan. Termasuk kalo kamu nggak suka terhadap sesuatu." Pak Guntur menenggak kopi manis yang tadi dibuat Cadie untuknya. "Jangan-jangan kamu termasuk dalam kelompok cowok yang pernah di-reject dia ya?" tanya Pak Guntur iseng.
"Enak aja! Emang kue," Ilan membela diri. Antara percaya nggak percaya, Pak Guntur meledeknya seperti itu.Pak Gun tertawa kecil melihat kekesalan anak asuhnya itu. ***
"Aduh.. Bibi, jangan keras-keras.."
"Maaf, Non," sahut Bi Nah seraya terus memijat pundak Cadie.
"Baru satu hari udah kayak gitu. Gimana nanti?" Andy mengambil posisi duduk di samping Adiknya, lalu menyalakan TV.
Cadie masih seperti sebelumnya, mengaduh kesakitan.
"Ca, kamu tuh kalo nggak kuat nggak usah maksain diri. Kenapa nggak berhenti aja sih" Lagian, apa sih pentingnya jadi asisten pelatih sepak bola?" tukas Andy lagi tak lama setelah hampir ikut-ikutan pegal melihat Adiknya mengeluh kesakitan.
"Kakak non bener," tambah Bi Nah.
"Makasih, Bi." Cadie tersenyum pada Bi Nah. "Kenapa Kakak ngomong begitu" Cadie emang pernah bilang kalo kerjaan ini mungkin akan sangat melelahkan, tapi itu bukan berarti Cadie mau berhenti. Lagian, Cadie ngerasa pekerjaan ini nyenengin kok. Kakak tau nggak" Pelatih tim-nya baik banget sama Cadie. Ya.. meski anak-anaknya pada jutek-jutek gitu, tapi Cadie yakin, suatu saat mereka pasti akan nerima adanya cewek di tim mereka. Akan nerima Cadie," terang Cadie. "Kamu bener-bener yakin atau cuma mau ngeyakinin Kakak kalo semua akan baik-baik saja?" tanya Andy lagi melihat gelagat yang kurang baik dari Adiknya.
"Dua-duanya kali."
"Itu berarti kamu nggak yakin. Dengar, Ca, Kakak nggak mau kalo kamu sampe kenapa-napa. Kakak juga nggak rela kalo sampe ada orang yang bersikap nggak baik sama kamu. Kamu ngerti, kan?"
"Cadie tahu. Karena itu Cadie sayaaaang banget sama Kakak," kata Cadie seraya memeluk Kakaknya.
Andy tersenyum menyambut pelukan Adiknya. "Kamu..! Ya udah, mandi sana! Cewek cantik nggak boleh bau," katanya.
"MaksudNYA"!"
*** "Ck.. ck.. ck.. Apa nggak salah"! Aku denger sekarang kamu kerja jadi asisten pelatih tim sepak bola. Iya, Ca?" tanya Lily iseng, nggak lama setelah Cadie memasuki gedung sekolah. "Iya, terus kenapa" Mau bilang Ayah kamu lagi" Mau minta lagi sama dia supaya bikin aku berhenti dari kerjaanku yang sekarang, iya?" sahut Cadie ketus.
"Hebat! Sekarang kamu tau kan siapa aku" Jangan main-main denganku!" "Aku tau, aku juga pernah jadi seperti itu. Dan apa kamu tau juga" Aku benar-benar menyesal karenanya."
"Tentu saja. Itu karena sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kamu cuma mantan anak orang kaya. Kamu bangkrut dan miskin. Oleh karena itu kan, kamu sampe harus melakukan pekerjaan kasar. Ya ampun, Cadie, aku kasian deh sama kamu," ejek Lily.
Cadie terdiam. "Kenapa diam" Apa kamu mulai bosen ngadepin aku?"
"Nope! Aku cuma lagi mikir aja, kira-kira kata-kata macam apa ya yang paling pantes buat aku ucapin ke kamu saat ini."
"Kenapa" Otakmu lagi nggak bisa jalan cepat?" "Apa pernah ada yang bilang kalo otak bisa jalan?" "Kamu"!"
"Terima kasih!" kata Cadie cepat saat disadarinya Lily mulai naik darah. "What!?"
"Iya, terima kasih. Kayaknya itu deh kata-kata yang paling pas buat aku ucapin ke kamu saat ini."
"Terima kasih untuk apa"! Karena aku ngatain kamu di depan orang banyak!?" "Ya nggak lah. Tentu aja terima kasih sama Tuhan karena masih ngasih kamu perasaan buat bisa kasian sama orang. Itu berarti masih ada sebagian kecil, meskipun sangat kecil, kebaikan dalam diri kamu." Cadie menyeringai, lalu berjalan meninggalkan Lily dalam keadaan dongkol.. "Dia, dia tuh.. UGH!" Lily memeragakan orang jalan di tempat saking kesalnya. "Ini nggak bisa dibiarin, Ly. Kita harus ngebales dia," lanjut Sheila nggak kalah emosi. ***
Hoooh! Cadie menarik napas dalam-dalam. Kakinya perlahan menaiki satu demi satu anak tangga. Ada mungkin sekitar puluhan bahkan ratusan kali dia mengumpat dalam hati. Benerbener emosi dia, kalo ngebayangin muka culas Lily dan gank-nya. Rasanya pengen banget ngejambak rambut ikal Lily. Pengen banget matahin tubuh Sheila yang kayak pohon kelapa, dan ngebuang jauh-jauh alat bantu pernapasannya Nena biar dia langsung koit. Tapi NO, biar gimana juga dia udah janji sama dirinya sendiri buat jadi orang baik. Kalo emang salah satu caranya adalah dengan terus bersabar, ya.. harus tetep dijalanin.
"Ya Allah, pleaseee.. Bantu untuk lebih sabar lagi," gumamnya.
Kaki Cadie terus melangkah menjejaki satu demi satu lantai anak tangga. Terus dan terus dia melangkah, sampai sebuah pemandangan yang nggak biasa membuatnya spontan melengos. JRENG JENG!
Cadie melihat Alex. Dari sekian banyak anak ekskul bola, Alex mungkin satu-satunya yang lumayan familier di matanya. Masalahnya, Alex adalah pacarnya Sheila, salah satu musuh bebuyutannya. Saat itu, Cadie ngeliat Alex masuk ke toilet dengan tergesa-gesa. Ya.. sebenernya nggak ada yang aneh dengan cerita orang lari terbirit-birit ke toilet. Tapi untuk kasus yang satu ini, Cadie sama sekali nggak yakin kalo Alex cepet-cepet masuk ke toilet cuma untuk itu. Ya, tau donk maksudnya. Gelagat yang ditunjukin Alex sama sekali nggak menyiratkan gelagat orang yang mau nabung atau sebagainya. Tapi lebih dari itu. Dengan penasaran Cadie mendekati toilet itu. Selama beberapa menit dia diri di sana. Bisa dilihat beberapa orang yang keluar dari situ memandang heran ke arahnya.
"Apa"! Apa ada peraturan dilarang berdiri di depan toilet cowok"!" lontarnya sedikit kesal, saat sadar nggak cuma orang yang keluar dari toilet aja yang mulai memandang heran ke arahnya, tapi juga orang-orang yang melewati tempat itu.
"Sebenernya dia kenapa?" batin Cadie nggak lama setelah melihat Alex keluar dari toilet dalam keadaan yang benar-benar beda dari saat dia masuk tadi.
Belum sempat dia menetralisir keheranannya, tiba-tiba aja seseorang yang nggak bertanggung jawab menabraknya dari belakang. BRUUK! Membuatnya nyaris terjungkal. "Hei! Kalo jalan lihat-lihat donk!" serunya.
"Kenapa" Elo nggak suka" Emangnya kenapa kalo gue nabrak elo?" tanya orang itu tanpa rasa bersalah. "Elo kira gue takut ya" Elo tuh bukan siapa-siapa lagi sekarang. Dulu boleh aja elo bertingkah, bisa aja seenaknya marah-marah ke orang. Orang bisa aja takut sama elo, tapi sekarang.." Orang itu tertawa kecil seraya melihat tegas-tegas ke arah Cadie. "Sekarang bahkan nggak ada yang peduli sama elo," lanjutnya penuh ejekan.
"Kamu..!" Cadie kesal setengah mati mendengarnya. Lebih kesal lagi dia, ketika tiba-tiba orang itu, lagi-lagi tanpa rasa bersalah sedikit pun berangsur pergi. Cadie berjalan cepat menejar orang itu, lalu menarik badannya, hingga membuat mereka berhadapan dalam jarak dekat. "Hei! Emangnya kenapa kalo aku bukan siapa-siapa lagi" Kalo kamu pikir apa yang ku alami ini bisa membuatmu juga yang lainnya seenaknya mengejekku, kamu salah! Kalo kamu pikir ucapanmu yang tadi bisa membuatku takut, kamu juga salah! Denger baik-baik, aku, aku boleh kehilangan semuanya, tapi aku nggak akan ngebiarin kamu atau pun yang lainnya menghinaku. Ingat itu baik-baik!" lontarnya tajam.
*** Masih terngiang di telinga Cadie, ucapan salah seorang teman sekelasnya di depan toilet kemarin siang. Darahnya serasa mendidih bila mengingat itu. Pengen banget rasanya dia nendang cowok kurus yang lagaknya sejuta dan selalu mau kelihatan cool itu ke dalam gawang. Gawang, iya, benda itulah yang kini tengah diamatinya dalam-dalam. Baru tahu dia kalo ternyata gawang itu begitu luas. Pantas aja jadi kiper harus kerja ekstra keras.
Selama beberapa saat Cadie terdiam. Pandangannya lurus melihat ke kejauhan. Terus dan terus begitu, sampai..
"Aaaw!" Cadie memekik kaget. Sebuah bola mampir di kepalanya.
"Rasain!" Ryan berseru senang. "Apa"! Mau marah lo" Ke siniin bolanya!" lanjutnya lagi setengah menyuruh. Sama sekali tanpa rasa bersalah.
What"! Udah sembarangan ngenain kepala orang pake bola, udah ganggu acara bengong orang, nyuruh-nyuruh seenaknya, pake acara teriak lagi.
"Hei, kamu nggak bisa lebih sopan ya"Kalo minta seseorang untuk melakukan sesuatu itu harus pake kata tolong," kata Cadie tajam.
"Emangnya gue pikirin! Gue emang nggak sopan, trus kenapa" Lo kira gue lagi kursus kepribadian. Harus sopan-sopan segala?"
"Kalo gitu kamu emang harus ikut kursus kepribadian!"
"Heh! Jangan rese deh dan berhenti ngomong pake aku-akuan atau kamu-kamuan, males banget gue dengernya. Ini bukan tempat lo, tau nggak"!" lanjut Ryan seraya berjalan ke dalam lapangan.
Lagi-lagi Cadie dibuat kesal setengah mati karenanya. "Dasar nggak sopan!" Dilemparnya salah satu bola hingga mengenai punggung Ryan. BUUK!
Ryan membalikkan badannya. Dia sudah siap menelan Cadie ketika tiba-tiba saja mendengar suara itu..
"Ada apa ini?" tanya orang itu. Pak Guntur! Bergantian Pak Gun melihat ke arah Cadie dan Ryan. "Ada apa, Ca?"
"Oh.. Nggak. Nggak ada apa-apa kok, Pak," jawab Cadie akhirnya.
Ryan pun berjalan kembali menuju lapangan. Bisa dilihat beberapa anak menunggunya dengan cemas.
"Apa Ryan bilang sesuatu sama kamu?" tanya Pak Guntur lagi. Cadie menggeleng. "Cuma salah satu cara untuk membuat saya kesal." "Begitu.." Ini baru awal, nanti yang lain juga mungkin akan nyusahin kamu," kata Pak Guntur. "Cadie tau."
"Kalo gitu semoga berhasil." Pak Guntur menepuk pundak Cadie. "Makasih, Pak. Saya nggak akan ngecewain Bapak."
"Kamu nggak usah khawatir soal itu. Kamu udah mau bantu Bapak aja, Bapak udah seneng. Sekarang Bapak mau, kamu mulailah untuk mengenali mereka satu per satu. Bukan cuma namanya, tapi juga kekurangan dan kelebihan mereka sebagai pemain bola. Emang nggak gampang, tapi kamu bisa belajar, kan?"
Cadie mengangguk pelan. "Jangan jadi nggak pede gitu donk! Kamu tenang aja. Mereka itu.. di luarnya aja nyeremin, tapi aslinya mereka anak-anak yang baik kok."
"Begitu ya, Pak?"
Pak Gun manggut-manggut. "Ya sudah, sekarang mulailah bekerja. Buktikan pada mereka kalau kamu bisa, oke?" lanjut Pak Gun seraya berjalan mendekati Ilan dan yang lain, yang sepertinya menunggu instruksi untuk latihan selanjutnya.
*** "Guys, elo semua beneran nggak punya rencana apa-apa buat bikin tuh cewek keluar dari sini?" tanya Ryan pada teman-temannya, nggak lama setelah latihan usai. Tangannya sibuk memijatmijat kakinya.
"Rencana buat bikin dia keluar" Maksud lo"!" tanya Dino.
"Yee, dia nanya."
"Ya, kalo nggak ngerti bukannya emang harus nanya?"
"Tapi kan tadi gue nanya duluan. Kalo elo nanya lagi, terus siapa yang jawab"!" Sinyo dan yang lain geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. "Heh! Elo berdua ngapain sih" Begitu aja dibahas!" seru Ilan.
"Bener kata Pak Guntur kali, kita emang perlu ngasih dia kesempatan. Gimana, Man?" tambah Sinyo seraya melirik ke arah Ilan. Ilan hanya diam.
"Aduuh, gue tuh nggak kebayang, kalo suatu saat dia bakal ngegantiin Pak Guntur buat ngelatih kita. Mau jadi apaan nih tim?" kata Ryan lagi.
"Jadi tempat kursus kepribadian kali. Eh, elo semua liat nggak, dia kayaknya teratur banget, segala sesuatu sepertonya harus sempurna di matanya. Belum lagi dia juga selalu bilang itu nggak sopan atau ini nggak sopan, atau semacamnya," timbrung Nico.
"Ya wajar lah. Cewek kan emang harus begitu. Emangnya elo mau kalo punya cewek serampangan, seradak-seruduk, nggak pernah beres ngelakuin sesuatu, terus kayak preman?" Dino menjelaskan.
PLOOK! Tiba-tiba saja sebuah handuk mengenai kepalanya. Ngomong-ngomong soal preman, Luca, yang ceweknya dikenal tomboi abis di sekolah dan cenderung kayak preman, sedikit tersinggung rupanya.
"Maksud gue bukan dia," Dino membela diri.
"Heh! Elo kenapa jadi ngebelain dia sih, Din?" protes Ryan. "Siapa yang ngebela" Gue cuma kasih pendapat!"
"Whatever! Pokoknya gue nggak suka banget sama tuh cewek, titik. Dia lebih mirip penganggu daripada asisten."
Tok.. tok.. tok.. "See, sebelumnya nggak ada seorang pun yang ngetok-ngetok tuh pintu, masuk ya masuk," kata Ryan lagi saat mendengar pintu ruang ganti diketok. Seperti dugaannya, itu Cadie. "Sorry," ucap Cadie seraya pelan-pelan membuka pintu.
"Mau apa"! Mau ngeliat kita ganti baju?" kata Ryan ketus.
"No thanks," balas Cadie nggak kalah tajam. "Aku cuma mau tanya, apa aku masih dibutuhin di sini" Karena kalo nggak, aku akan pergi."
"Emangnya ngerasa kita butuh elo ya?"
Apa"! Rasanya Cadie ingin sekali menggaruk muka Ryan saat dia mengatakan itu. Kalau situasinya terus seperti ini, entah sampai kapan dia masih bisa bertahan. "Aku cuma nanya. Kalo iya, jawab iya. Kalo nggak, ya jawab nggak. Apa perlu balik nanya?" balas Cadie sedikit kesal. Dia bisa melihat pandangan Ilan dan yang lain tertuju padanya.
"Sekaranv kan baru jam 16.45, emangnya nggak dikasih tahu Pak Guntur kalo jam kerja lo baru abis setengah enam?" tanya Ilan. Wajahnya sama sekali tidak melihat ke arah Cadie. Dia sibuk memasukkan benda-benda keperluannya ke dalam tas.
"Aku tahu. Hanya saja, hari ini aku harus pulang lebih awal," jawab Cadie. "Aku juga udah bilang tentang ini ke Pak Gun."
"Kenapa" Apa elo udah ada janji sama orang" Nge-date mungkin?" tambah Nico setengah meledek.
"Ya nggak mungkin lah Co. Dia kan udah diputusin sama Denny tercayang," sambar Ryan nyeleneh.
Cadie mengernyitkan mata mendengar ledekan keduanya.
"Udah! Eh, mending elo keluar aja deh. Kita nggak butuh apa-apa," Ilan berusaha mencairkan suasana yang mulai panas.
"Permisi," pamit Cadie. "Oh ya, aku nggak tahu ada masalah apa antara aku sama kamu," Cadie melihat ke arah Ryan. "Tapi kalo boleh kasih saran, kau, juga kamu (melihat Nico), kalian berdua lebih baik ikut arisan aja. Cocok banget jadi bapak-bapak rumpi. Kurang kerjaan!" lanjutnya tanpa bisa menahan emosi, sesaat sebelum meninggalkan ruang ganti.
Ilan dan yang lain kontan saja dibuat kaget dengan sikapnya itu. Berani bener nih cewek" Nggak sadar apa dia ada dimana" Pikir anak-anak saat itu. Bergantian mereka menoleh ke arah Ryan dan Nico.
"Sialan! Kayaknya dia emang harus dikasih pelajaran nih," imbuh Ryan emosi. Tangannya sibuk meremas handuk. Giginya bergemeretak.
"Kenapa nggak lo kejar aja dia sekarang. Terus, elo makan deh." Sinyo memberi saran, membuat yang lain tertawa, kecuali Ryan tentunya.
"Gue heran deh sama tuh cewek. Dulu dia boleh aja sombong setengah mati. Itu karena dia punya semuanya. Tapi sekarang, dia bahkan nggak punya apa-apa. Tapi kenapa sikapnya nggak berubah ya" Maksud gue.. Elo semua liat donk, dia tetep dia yang biasanya," Ichal terheran-heran.
"Yang biasa nolak elo maksudnya?" sahut Nico santai. Ichal spontan melempar kaos kaki buteknya ke muka Niko. Membuat Nico megap-megap saking nggak tahan sama baunya. Bener emang kata Nico. Waktu pertama kali Cadie resmi jadi penghuni SMA Guardian, Ichal emang pernah nyoba pedekate, tapi.. NOPE. Dia ditolak mentah-mentah lantaran Cadie sudah menambatkan hatinya pada Denny.
"Napa"! Elo juga mau tahu gimana wanginya kaos kaki gue?" hardik Ichal. Kali ini pada Dino yang baru mau membuka mulutnya.
"Ge-er! Gue cuma mau bilang, itu namanya berkarakter dan berkelas. Dia adalah dia. Nggak peduli apa kata orang, nggak peduli banyak orang yang nyudutin dia. Teteeeep aja percaya diri," kata Dino.
Semua hanya diam. Antara percaya tidak percaya Dino bisa ngomong begitu. "Udah-udah! By the way, elo semua ada yang tahu nggak sih kemana Alex" Akhir-akhir ini kok gue jarang banget ngeliat dia ya?"
"Iya tuh, Lan. Gue juga nggak ngerti. Dia keseringan nggak masuknya. Terus, tuh anak juga kalo diajak ngobrol bawaannya mau pergi mulu. Kemaren sih dia emang masuk, tapi hari ini dia nggak masuk lagi," jawab Luca. Dia teman sekelas Alex di 3 IPS 1.
"Elo-nya kali yang salah. Jangan-jangan elo ngomong sama dia pake bahasa Italy, makanya dia nggak ngerti, terus pergi," kata Nico sekenanya.
"Atau malah pake bahasa Betawi lo yang kacau," tambah Igi.
Luca mengambil sepatu Ryan dari kakinya dan melemparnya ke arah dua temannya itu. Untung nggak kena. Kalo iya, bisa-bisa terjadi pertumpahan darah.
"Apa mungkin karena masalah bonyoknya?" Sinyo meredakan ketegangan. "Emang bonyoknya kenapa,Nyo?" tanya Dino.
"Denger-denger sih mau cerai."
"Emang elo hakimnya ya" Kok tau?" Ryan berkata dengan isengnya.
"Ca (Luca), elo bisa kan cari tahu sama wali kelas lo dia kenapa" Maksud gue, soal alasan kenapa dia jarang masuk."
"SIP!" Luca mengacungkan ibu jarinya pada si kapten.
"Terus, elo semua juga kalo ketemu dia kasih tahu gue ya" Atau paling nggak, tanya kek kenapa dia jarang masuk." Kali ini ucapan Ilan ditujukan pada semuanya.Matanya menyapu hampir ke segala penjuru ruangan.
*** "Non Cadie.. Non kenapa"!" Bi Nah terkejut, melihat beberapa tetes air mata yang membasahi pipi majikannya.
Cadie cepat-cepat menyeka air matanya. "Nggak apa-apa kok," jawabnya "Nggak apa-apa" Terus kenapa Non nangis?"
"Nggak, Bi, Cadie cuma.."
"Emangnya kerjaan jadi asisten bola berat ya, Non" Sampe-sampe bikin Non sedih kayak gini?" Cadie tersenyum di antara air matanya. "Asisten pelatih, Bibi.. Bukan asisten bola," katanya. "Iya. Iya itu maksud Bibi."
Selama beberapa detok suasana hening. "Bi, emangnya Cadie yang dulu jahat banget ya" Jahat sampe-sampe sekarang semua orang benci banget sama Cadie. Apa Cadie yang dulu juga sombong banget" Cadie pasti udah banyak nyakitin hati banyak orang, iya?" tanya Cadie tanpa bisa menyembunyikan kesedihannya. Suaranya parau.
"Kok Non ngomong kayak gitu?"
"Ya, karena sekarang Cadie ngerasain sendiri akibatnya. Semua orang benci sama Cadie, Bi. Bibi tau nggak" Sekarang ini, ngga ada seorang pun yang mau temenan sama Cadie. Mereka, Denny, dan semuanya, sekarang ninggalin Cadie. Cadie nggak tau lagi harus gimana. Cadie juga nggak tau bisa tahan sampe kapan. Semua orang, semua orang kayaknya pengen selalu nyudutin Cadie, Bi. Cadie.." Cadie nggak bisa menyelesaikan omongannya. Air matanya terlanjur membanjir.
"Non Cadie.." Si Bibi mengucap pelan tanpa bisa melakukan apa-apa untuk mengurangi kesedihan majikan kecilnya itu.
"Oh ya, Bibi jangan kasih tahu Kakak ya." Cadie menyeka air matanya. "Cadie nggak mau Kakak sampe tau soal ini. Cadie nggak apa-apa kok. Besok juga baik lagi,"lanjutnya seraya tersenyum tipis. Meski agak dipaksakan.
Bi Nah mengangguk pelan. Jari telunjuknya ditempelkan di bibir, sebagai tanda dia akan menjaga rahasia.
"Makasih ya, Bi, udah mau ngedengerin Cadie nangis."
Bi Nah tersenyum. Sesekali dia memegang matanya. Menxoba menghilangkan jejak air mata yang sepertinya juga sempat jatuh tadi. "Ya udah, kalo gitu sekarang Non tidur ya. Jangan nangis lagi. Besok pagi Bibi bikinin nasi goreng kesukaan Non."
Cadie mengangguk pelan. Senyumnya merekah.
"Oh ya, Non, yang Non bilang tadi sama sekali nggak betul. Non sama sekali bukan orang jahat. Non tau kenapa" Karena orang yang jahat nggak mungkin bisa sesayang itu sama Kakaknya. Orang yang ngomong kayak gitu, pasti nggak kenal sama Non. Mereka cuma orang-orang.. huh!" Bi Nah mengacungkan ibu jarinya ke bawah. Cadie sampai tertawa melihatnya. Bivi benar. Mulai sekarang, aku nggak mau lagi ngurusin apa kata orang. Aku nggak akan ngebiarin siapa pun membuatku jatuh. Tidak itu Lily, temen-temen sekolahku yang lain, atau pun mereka.., anggota tim sepak bola, batinnya. Aku boleh kehilangan semuanya, tapi aku nggak akan ngebiarin orang menjatuhkanku. NGGAK!!!
*** Bab 4 Cadie, SEMANGAT! Nggak terasa, dua minggu sudah berlalu. Dan selama itu juga Cadie sudah menjabat sebagai asisten pelatih tim sepak bola di sekolahnya. Seperti dugaannya, selama itu juga dia diperlakukan seenaknya oleh anggota tim sepak bola. Seenaknya di sini bukan dalam arti yang gimana-gimana, lebih pada ke sindiran demi sindiran, perintah nggak jelas juntrungannya, dan hal-hal jail lainnya. Semakin menjadi-jadi Ilan dan kawan-kawan karena dua kali latihan terakhir itu Pak Guntur nggak datang lantaran sakit.
"Aaaaw!" "Aduuuh!" "Hei!" "Jangan norak deh!" "Rese!" "Kalian!" "Kurang kerjaan!" "Awas ya!" Mungkin itulah beberapa ekspresi atau tepatnya pekikan yang kerap kali meluncur dari mulut Cadie, tiap kali Ilan dan kawan-kawan mengerjainya. Senteran bola, siraman air, sampai dikunci di ruang penyimpanan bola pernah dirasakan Cadie. Saat itu, ingin sekali dia mengadu. Membiarkan Kakaknya menghajar Ilan dan kawan-kawan. Tapi dia nggak bisa. Dia nggak bisa bukan karena nggak mau ngerepotin, tapi lebih karena dia nggak mau kalah dari cowok-cowok kurang kerjaan itu. Pokoknya dia nggak boleh berhenti. Karena memang itulah yang diharapkan Ilan and the gank
*** "Hei denger ya! Kalo kalian pikir aku akan nangis atau semacamnya, kalian salah! Mau ngunciin aku" Silahkan aja!" teriak Cadie dari balik ruang penyimpanan bola. Saat itu, Ryan cs untuk kesekian kali kembali menguncinya di sana.
"Gila juga nih cewek!" seru Nico heran, nggak lama setelah mengunci pintu. "Man, sampe kapan kita ngunci dia di sini?" tanya Ichal pada Ilan.
"Terserah!" Ilan menjawab singkat. Dia pun berjalan meninggalkan ruang penyimpanan bola dan pergi ke lapangan. Beberapa di antaranya mengikuti dia, beberapa lagi tetap bengong di depan ruang penyimpanan. Mereka adalah Nico, Dino, Ichal.
Selama beberapa detik, suara Cadie nggak kedengeran. "Co, jangan-jangan?"
"Ah, apaan sih lo"! Jangan bikin gue takut deh," Nico melirik Dino. "Co, gue serius," kata Dino lagi. Raut wajahnya bikin ngeri.
Nico yang saat itu baru aja berniat menyusul Ilan, mengurungkan niat. Dia berbalik mendekati pintu ruang penyimpanan bola. Telinganya ditempelkan di badan pintu.
"Heh cewek! Woi!" Nico mengetuk-ngetuk pintu. "Elo nggak apa-apa kan?" Sepi. Tetep nggak juga terdengar suara dari balik pintu.
Nico, Dino, juga Ichal saling berpandangan. Nico baru aja mengutus Dino untuk memberi tahu keanehan ini pada Ryan. Kebetulan emang dialah si pemegang kunci, sampai terdengar suara itu.
"Kenapa"! Kalian takut aku mati ya?" Suara teriakan terdengar dari dalam ruangan. Nico dan kedua temannya sampai kaget, tapi sekaligus lega.
"Jangan khawatir! Aku nggak akan mati sebelum ngebales kalian!" teriak Cadie lagi. Sura rusuh terdengar jelas ketika dia melempar sebuah bola ke badan pintu. GEDUBUK! GEDUBUK! Nico, Ichal, dan Dino lagi-lagi dibuat melompat saking kagetnya.
"Busyet deh nih cewek!"
"Heh! Kita mo latihan dulu, Elo di sin.."
"Jangan banyak omong!" Cadie kembali berteriak, membuat Nico nggak cuma kaget, tapi juga lupa apa yang mau diomongin barusan."Kalian nikmatin aja latihan kalian sekarang, dan tunggu PEMBALASANKU!" lanjut Cadie.
Nico, Ichal, dan Dino, saling berpandangan. Masih dengan mengelus dada. ***
"Ya elah, gimana sih" Udah jam tiga lewat kali," kata Ryan nggak habis pikir. Dia terus saja gerasak-gerusuk di rumput. Udah kayak orang lagi berjemur lagaknya. "Man, Pak Guntur beneran udah keluar dari rumah sakit kan?" tanya Nico. Matanya tertuju pada Ilan. "Iya nih, udah jam segini kenapa belum dateng juga" Tuh cewek juga nggak nongol-nongol," tambah Luca tak kalah heran.
"Lan, kenapa sih Pak Guntur nyuruh kita latihan hari Jumat" Perasaan besok kita udah latihan lagi deh?" tanya Igi kali ini.
"Mana gua tahu!" jawab Ilan seraya beranjak meninggalkan lapangan. "Elo mau kemana?"
"Pulang!" "Lho, bukannya Pak Guntur nyuruh kita nunggu"!"
Ilan tidak menjawab. Dia hanya mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi. Mengisyaratkan dia sama sekali nggak peduli dengan konsekwensi yang mungkin harus diterimanya nanti. "Gue juga mau balik deh. Ngantuk!" kata Sinyo.
"Heh! Bukannya pak Gun bilang akan ada hukuman lari 20 kiteran buat yang telat?" tanya Dino. Ryan, Nico, dan yang lain juga ikut-ikutan pergi.
"Peduli setan disuruh lari 20 puteran. Paling-paling juga masuk UGD," tambah Nico nyantai. "Iya kalo pake acara masuk UGD dulu. Kalo langsung masuk kuburan gimana?" gerutu Dino. ***
Cadie tengah berdiri di depan lokernya. Senyam-senyum sendirian. Haaaa! Baru tahu kalo ngerjain orang bisa terasa begitu menyenangkan. Pembalasab yang seimbang, batinnya.
Selama beberapa saat dia terus-terusan seperti itu. Melamunkan kejayaannya karena berhasil menghancurkan Ilan and the gank. Terus dan terus, sampai terdengar suara yang membuatnya bergidik. Suara dingin seseorang yang menjalar dari balik punggungnya.
"Lo kira hebat ya udah bisa ngerjain kami"!" kata suara itu.
Cadie terdiam sejenak. Sekuat tenaga mengatasi keterkejutannya. "Apa maksudnya" Kenapa dateng tiba-tiba" Ngagetin aja!" Dia menepuk dada.
"Jangan pake nanya! Dan jangan pura-pura nggak ngerti!" Orang tadi mendorong pintu loker Cadie hingga menutup. BRUUK! Untung aja Cadie udah narik kepalanya keluar. Coba kalau belum, bisa "tamat" kali. Kan, nggak seru banget kalo game over dengan cara begitu. Emangnya dia lagi ada di film horor.
"Lo kira gue nggak tahu siapa yang ngirim SMS itu"!" "Oh ya" Apa harus kasih selamat"!" Cadie menjawab enteng. "Nggak usah sok deh!"
"Am I?" Cowok itu diam sejenak. Tatapannya luris dan dingin, seolah menusuk ke mata Cadie. Tapi bukan Cadie namanya kalau diliatin begitu langsung ngeper. Bisa dibilang, scene-nya sedikit diubah di sini. Nggak ada lagi ceritanya dia takut sama nih orang. Dia pun menatap balik ke mata yang dingin itu. Mata Ilan.
Apa"! Emangnya cuma kamu yang bisa nakutin orang pake mata" Emang cuma kamu aja yang bisa melotot" Batin Cadie.
"Ok! Elo hebat, bisa tahan sampe dua minggu. Tapi itu nggak akan lama lagi. Kali ini kami akan bener-bener bikin elo berhenti jadi asisten pelatih," balas Ilan nggak kalah garang. "Dan ngingkarin janji kamu sama Pak Gun, yang katanya mau ngasih aku kesempatan?" Ilan terdiam.
"Sebenernya ada masalah apa"! Kenapa aku ngerasa saat ini kamu ngomong bukan atas nama temen-temen kamu" Kamu benci sama aku, kan" Ilan, apa aku pernah bikin salah sama kamu?" Cadie yang mulai merasakan adanya keanehan dalam sikap Ilan bertanya bertubi-tubi. "Mau tau" Pikir sendiri!" Ilan pun pergi begitu saja meninggalkan Cadie.
Orang ini! Kenapa aku ngerasa orang layak dia jauh lebih nyebelin daripada Ryan yang banyak omong, pikir Cadie lagi.
*** Belum tuntas Cadie memikirkan perkataan Ilan pagi tadi, tiba-tiba saja masalah baru kembali muncul. Sebenarnya, untuk yang satu ini, dibilang masalah ya bukan masalah, dibilang bukan masalah ya masalah, karena membuatnya sangat terganggu. Membuat kepalanya hampir pecah, membuat hatinya hancur bak telur yang dilindas mobil. Saat itu, di sudut ruangan, nggak jauh dari gudang yang di sebelahnya ada UKS, Cadie melihat Denny tengah memegang erat tangan seseorang, lalu memeluknya erat.
Seketika saja air matanya jatuh, hatinya terasa sakit, sakit seperti disayat-sayat. Tanpa disadari, lubang yang masih merah di hatinya itu kembali menganga. Hatinya bertambah sakit lagi saat melihat wajah cewek itu. Cewek cantik dengan rambut sebahu itu mengenakan sweater berwarna pink. Sweater yang benar-benar dikenalinya, karena memang dialah yang memilihkan sweater itu. Cewek berambut luris itu tak lain Abel, satu-satunya orang yang pernah dekat dengannya di sekolah di samping Denny.
Cadie masih ingat betul saat itu, saat dia dirawat di rumah sakit. Saat itu, Abel datang nggak hanya untuk menjenguk atau menyemangatinya, tapi juga untuk mengucapkan salam perpisahan. Yup, Abel bilang dia akan dikirim orang tuanya ke Paris untuk belajar bahasa Perancis. Tidak disangka, tiga bulan itu kini telah berlalu. Dan di sinilah Abel sekarang. Di hadapannya.
*** "Eh, kemana tuh cewek" Tumben amat, biasanya kan abis latihan dia dateng dan ngetok-ngetok tuh pintu," tanya Nico heran.
"Tepar kali," jawab Ryan.
"Eh, tapi kasian juga tau. Gue kok ngerasa, hari ini kayaknya dia memforsir diri banget ya. Padahal kan nggak harus gitu-gitu amat. Apalagi Pak Gun juga nggak ada," lanjut Rio. Dia dan kembarannya, Luigi, sama-sama gelandang di tim ini. Bedanya, Rio lebih ke pertahanan sementara Luigi lebih ke penyerangan.
"Bukannya itu bagus" Semakin dia memforsir diri, semakin dia kecapekan. Itu berarti, tinggal tunggu aja kapan dia berhenti, iya kan" Lagian peduli amat sama kondisinya. Dia mau jungkir balik kek, tengkurep kek, itu kan urusannya," Ryan berkata dengan santainya. "Iya kalo kecapekan terus dia berhenti, kalo mati gimana?" tukas Sinyo ringan. "Ah elo, Nyo, kalo ngomong jangan sekate-kate! Bikin ngerih aja," Luca bicara seraya menunjukkan kemajuannya berbahasa Betawi.
"Ngeri! nggak usah pake 'h'," protes Ryan.
"Ya nggak gitu juga maksud gue. Ini kan cuma pengandaian. Meski ya.. kenyataannya nggak sedikit juga kasus kematian yang disebabkan karena terlalu lelah kerja. Di Jepang paling sering tuh. Apa ya namanya..," Sinyo menjentik-jentikkan jarinya berulang kali. Mikir. "Karoushi." (Istilah untuk kasus kematian di Jepang, yang disebabkan karena terlalu lelah bekerja/bekerja berlebihan).
"Iya, Karoushi," Sinyo menyetujui Ilan.
Luca dan yang lain cuma diam. Bener-bener ngeri kayaknya. "Benerean gitu, Lan?" Dino mengucap takut-takut, mewakili yang lain.
"Ya itu kan di Jepang. Mana gua tau kalo di sini," jawab Ilan. "Lagian elo semua pada kenapa sih" Emang nggak bosen apa tiap hari ngebahas tuh cewek" Sekarang ini kayaknya masalah Alex lebih penting deh dari hanya sekedar cari cara buat bikin dia mundur," lanjut Ilan. "Iya, elo bener," sahut Luca, diamini yang lain.
"Terus.. menurut lo kira-kira dia ke mana?" tanya Ryan.
*** Ilan dan kawan-kawan masih sibuk berspekulasi soal keberadaan Alex saat itu. Ada yang bilang, mungkin aja Alex udah ada di rumah sekarang dan lagi ketawa-ketiwi nonton Bajaj Bajuri. Ada yang bilang, mungkin aja Alex lagi ada di Lembang, nenangin diri di rumah Neneknya, dan ada juga yang bilang, jangan-jangan Alex lagi mabok-mabokan di klub malam saking nggak tahunya mau ngapain. Gila! Terus dan terus saja mereka seperti itu, sebentar si ini ngajuin kemungkinan ini, sebentar lagi si itu ngajuin kemungkinan itu. Terus saja begitu, sampai terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara yang kontan membuat bulu kuduk Ilan cs merinding. "Eh, eh ada yang denger nggak"!" tanya Dino pada yang lainnya. Daun telinganya sampai berdiri tegak saking mau taunya itu bunyi apa.
"Iya, iya. Kayaknya dari ruang musik deh," lontar Sinyo.
"Siapa juga yang main piano malam-malam begini"!" sambung Ilan pelan seraya membalikkan badannya.
"Darimana elo tau kalo itu suara piano, Lan?"
"Apa elo pernah denger suara drum begitu bunyinya?" bentak Ryan seraya memukul kepala Dino.
"Eh, malem-malem begini. Apa itu.. Jangan-jangan.."
"Jangan-jangan apa"! SETAN"!" sahut Ryan lagi sebelum Igi menyelesaikan kalimatnya. "Gue kan cuma.."
"Woi! Berisik! Begitu aja digede-gedein!" Sinyo menghalau tanda-tanda akan terjadinya PD III. "Lan, elo kan kaptennya. Gimana kalo elo yang liat duluan?" lanjutnya.
"Setuju," imbuh Luca dan yang lain kompak.
Seperti biasa, meski kesal, Ilan tetap jalan juga. Perlahan dia berangsur menuju ruang musik. Sinyo dkk mengikuti di belakang. Dekat dan semakin dekat mereka pada pusat suara. And one, and two, and three..
DENG DENG! Saat itu, bukan cuma Ilan yang dibuat terkejut, tapi juga yang lainnya. Nggak disangka, ternyata si pemain piano itu adalah orang yang selama beberapa minggu ini habis-habisan mereka "siksa". Seseorang yang tetap terlihat elegan di balik piano meski hanya berbalut t-shirt dan jins. That's right! Siapa lagi kalau bukan Cadie.
"Bukannya dia seharusnya udah pulang"!" tanya Ilan.
"Well, kenyataannya dia masih di sini," jawab Ryan seraya mengambil tempat di samping Ilan. Dia masih memegangi kakinya yang tadi nggak cuma ditendang Dino, tapi juga Igi. "Eh, apa lo semua nggak denger" Lagu apa sih yang dia maenin?" tanya Ichal. "Yang pasti bukannya lagu dangdut," Nico menjawab singkat. "Maksud lo?"
"Elo berdua kenapa sih"! Berisil tau!" Lagi-lagi, Ryan emosi.
"Gila! Sedih amat," lontar Sinyo tiba-tiba, membuat Ryan dan yang lain terpana. Apa nggak salah" Sejak kapan dia jadi melow gitu, pikir mereka.
Mungkin benar apa yang dibilang Sinyo. Lagu itu memang sedih abis. Lagu Hana's Eyes-nya Maksim itu seolah menggambarkan kesedihan yang mendalam. Terasa getir dan memilukan. "Jangan-jangan kita terlalu nyiksa dia, ya?" ungkap Ryan saat sadar Cadie menitikkan air mata, membuat Sinyo dan yang lain serta-merta mengalihkan pandangan padanya. Jarang-jarang banget dia punya perasaan!
"Nah lho! Kenapa nangisnya tambah parah?" Luca buka suara kali ini. A" KI, S, CH, P-T,"
"C,", C-DLNN,.. I, CM- ***
"Terima kasih," ucap Cadie pada penjaga perpustakaan, tak lama setelah dia menyerahkan buku yang minggu lalu dipinjamnya.
"Hallo Cadie," tiba-tiba saja suara seseorang mengagetkannya. Orang itu lumayan familier di matanya. Setidaknya, telah beberapa kali dia berbicara dengan orang itu sebelum ini. "Hei," balasnya pelan. Beberapa kali dia berusaha memutar otaknya. Mencoba menerka-nerka siapa gerangan nama orang yang baru saja menyapanya itu. Dia tidak begitu ingat. Dia hanya tahu bahwa orang itu temannya Denny.
"Abis balikin buku?" tanya orang itu lagi. "Iya."
"Oh ya, Ca, gue denger elo udah beberapa minggu ini ya jadi asistennya Pak Guntur?" Cadie mengangguk. "Kenapa?" tanyanya.
"Nggak, mau mastiin aja. Apa Denny udah tau?" "Emangnya kenapa dia harus tau?"
"Ya, nggak tau juga sih. Emang menurut lo dia nggak perlu tau?"
Untuk beberapa saat Cadie diam. Dia sebenarnya agak bingung juga dengan pertanyaan barusan. "Sorry, kayaknya udah mau bel. Aku pergi dulu," katanya berusaha menutup percakapan.
Sejak dulu Cadie memang tidak terlalu suka sama Tommy. Iya, nama cowok itu Tommy. Dia baru ingat. Dia sendiri nggak tahu kenapa" Dia ngerasa, Tommy penuh kepura-puraan. Cadie paling males ngomong sama orang seperti itu. Dulu, saat masih pacaran sama Denny, dia juga hanya beberapa kali saja berbicara dengan Tommy.
"Hei, Ca, gue boleh tau nggak, elo..'dibayar' berapa?" tanya Tommy lagi setengah teriak. Dia memberi tekanan pada kata dibayar. Saat itu, Cadie yang sudah mulai menjauh membalikkan badannya.
"Maaf, maksudnya"!"
"Lo tau maksud gue." Tommy tersenyum licik. "Sorry, tapi aku beneran nggak ngerti."
"Please deh Ca, satu cewek, 20 cowok. Eh nggak deng, 21 sama Pak Guntur. Lo pikir anakanak di sini nggak pada bertanya-tanya" Pikir aja, gimana mungkin seorang Cadie yang dulu bahkan paling takut sama sinar matahari, mau-maunya jadi asisten pelatih tim sepak bola" Setiap hari lari-larian, setiap hari kena sinar matahari, keringatan, dan sebagainya. Lo pasti dibayar mahal banget ya sama mereka" Berapa" Apa gue boleh tau" Gue juga bisa kok bayar elo lebih mahal, gimana?" tukas Tommy panjang-lebar.
Cadie seperti tersambar petir mendengarnya. "Kamu.."
Cadie belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba seseorang datang dan mendorong Tommy ke sudut koridor. GRUBUUUK!
Cadie terperangah. "Elo bilang apa"! Apa lo nggak pernah diajarin sopan-santun sama ortu lo"!" lontar orang itu. Satu tangannya telah mencengkeram rahang Tommy. Tommy mengaduh dan berusaha melepaskan cengkeraman itu, tapi orang itu terlalu kuat.
"Lepasin gue!" "Elo mau bayar dia" Lo kira lo siapa!?" Orang itu menatap tajam ke arah Tommy. Nadanya tidak tinggi, tapi anehnya, tetap saja menakutkan. "Heh! Gue kasih tau ya, meski elo jual seisi dunia pun, elo nggak akan bisa gunain itu buat bayar dia, atau siapapun orang yang mau elo beli, ngerti!?" sambung orang itu lagi.
"Gue bercanda, Man."
"Bagus deh kalo gitu." Orang itu melepas cengkeramannya. Perlahan membereskan kerah baju Tommy. "Sekarang mendingan elo pergi! Dan kalo ada urusan, langsung aja dateng ke gue," lanjutnya santai.
Nggal lama setelah itu, Tommy pun lari berhamburan. Saking syoknya, dia sampai lupa sama tasnya yang terjatuh saat cowok itu mendorongnya tadi.
"Ilan..!!" Cadie yang masih nggak habis pikir bahwa orang yang tadi membelanya adalah Ilan, hanya berujar pelan. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok untuk memastikan kalau dia lagi nggak mimpi atau semacamnya dan orang yang berdiri di depannya saat ini memang benar-benar Ilan. Ilan yang selama ini selalu melihatnya dengan penuh kebencian. "Jangan salah paham! Gue cuma nggak suka aja kalo ada orang ngebangga-banggain duitnya di depan muka gue," Ilan berujar dingin, seolah memberi tahu kalo dia membela Cadie bukan karena peduli atau semacamnya.
"Aku tau. Tapi biar gimana juga, thanks," ucap Cadie.
Ilan cuma diam, lalu pergi begitu saja. Sedikit menyebalkan memang, tapi tetap saja Cadie merasa lega karenanya. Kalo nggak begitu, mungkin bukan Ilan namanya, pikir Cadie. ***
"Gimana, Ca" Apa selama Bapak nggak dateng mereka buat kamu susah?" tanya Pak Gun sesaat sebelum memulai latihan. Saat itu, di ruangan Pak Gun nggak cuma ada dia, tapi juga Ilan yang stay cool duduk tenang di sebelahnya.
"Hampir mau mati, Pak, tapi untung nggak jadi," jawab Cadie seraya menampakkan senyum manisnya. Dia sempat melirik Ilan yang masih juga bersikap sok cool.
"Kamu.. bisa aja. Lan, bukannya kamu udah janji sama Bapak nggak bakal buat dia susah?" pertanyaan Pak Gun ditujukan pada Ilan kali ini.
"Susah atau nggak tergantung orangnya, Pak. Nggak ada yang gampang kan di dunia ini" Apalagi kalo urusannya menyangkut kepercayaan dari orang lain," jawab Ilan diplomatis. "Bapak ngerti. Tapi sekali-sekali nggak bersikap keras sama orang juga bisa kan?" Ilan mengangguk, meski agak ogah-ogahan.
"Nggak apa-apa kok, Pak. Cadie juga udah mulai terbiasa. Tapi coba aja kalo lain kali berani ngerjain lagi. Cadie nggak cuma bakal bikin mereka nyesel pernah kenal Cadie, tapi juga nyesel udah pernah dilahirin ke dunia," tegas Cadie, yang langsung memancing tawa Pak Gun. Terus Ilan" Dia cuma mengeluarkan sedikit bunyi dari mulutnya. Kalo bisa dibaca, artinya ya kayak gini kali, 'Apa elo kata" Sok tau amat! Siapa elo"'
"Ya udah, ya udah. Kamu jangan bikin Bapak takut ah!" Pak Gun melihat Cadie. "Sekarang kalian jabatan tangan!"
"Hah"!" Cadie dan Ilan mengucap bersamaan.
"Cepetan! Bapak nggak mau lagi ya, liat ada ketegangan antara asisten sama anak didik Bapak. Ayo cepet!"
Ilan pun mengulurkan tangannya, disambut uluran tangan Cadie.Berbeda dengan saat itu, kali ini Ilan mengulurkan tangan layaknya seorang pria sejati yang mengulurkan tangan pada seorang wanita.
*** "Eh, Cadie, daripada elo duduk di situ, mendingan elo bantuin kita. Hari ini kan Ichal nggak dateng, gimana kalo elo aja yang gantiin dia jadi kiper?" tanya Nico iseng. Cengiran orang paling rese ditunjukkan oleh cowok yang antaa tampang dan kelakuan berbeda 180 derajat itu. Cadie yang bingung berulang kali melihat Pak Gun.
"Janan dengerin mereka," kata Pak Gun.
"Boleh nggak, Pak?" tanya Cadie tiba-tiba, membuat Pak Gun nyaris ngeluarin lagi air yang sudah ditelannya sampai tenggorokan.
"Selama ini saya kerjanya cuma duduk dan ngamatin mereka main. Sekaranv udah saatnya saya ikutan. Dengan begitu baru bisa rau rasanya ngelatih. Saya ini kan asisten Bapak, bener nggak?" tutur Cadie bersemangat.
Pak Gun menepuk dadanya yang masih terasa sakit akibat keselek."Kamu yakin?" Cadie mengangguk mantap.
Dan nggak lama setelah mendapat lampu hijau dari atasannya, Cadie pun berlari-lari kecil menuju lapangan. UCLUK.. UCLUK.. UCLUK..
Nico yang niatnya cuma bercanda mau nggak mau kaget juga. Begitupun yang lain. "Hei, kalo asisten Bapak sampe kenapa-napa, kalian akan tahu akibatnya!" teriak Pak Gun setengah mengancam.
"Nah lho?" Nico berucap agak ngeri. Siapa coba yang mau ngejamin si Cadie nggak bakalan kenapa-napa"
"Elo serius, Dee" Eh, nggak apa-apa kan gue manggil elo begitu" Manggil elo Cadie, jadi bikin gue berasa lagi maen golf," kata Dino, membuat nggak hanya Cadie, tapi juga Ilan dan yang lain heran. Apa maksudnya"!
Cadie tidak menjawab. Dia hanya menunjukkan sedikit senyumnya, sebelum akhirnya berlari menuju mistar gawang. Sarung tangan kiper yang besarnya menyerupai kapal Ferry itu sampai terlepas dari tangannya sesekali.
"Elo serius ya?" Sinyo memastikan, diangguki Cadie.
Dan nggak lama kemudian, jang keng pong! Gunting batu kertas! Hom pin pa alaihum gambreng!
And the lucky number one alias laki-laki nomor satu yang berkesempatan melesatkan tendangannya ke gawang yang dijaga Cadie adalah.. te de deng de deng, SINYO! Mampus deh! Dari kejauhan, Cadie mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda telah benar-benar siap. Sinyo jadi bingung sendiri. And one, and two, and three.. HYAAT! "Nggak tega!" ucapnya tibatiba. Dia langsung menukar posisinya dengan Ilan. Ilan kontan saka dibuat heran. Tapi ya sekali lagi, namanya juga Ilan. Meski sedang kesal atau bingung sekalipun, raut mukanya tetap tenang. "Kenapa" Takut nggak bisa masukin?" kata Cadie setengah meledek saat dilihatnya Ilan mulai mikir. Gayanya udah kayak kiper profesional. Dia sedikit membungkuk. Kakinya dilebarkan ke samping kiri dan kanan. Tangannya siaga.
Ilan yang mendengar tentu saja dibuat kesal, meski tetap tenang seperti biasanya. Tanpa basabasi lagi, dilesatkannya bola itu ke dalam gawang. SYUUUT! Masuk! Cadie yang berdiri di bawah mistar hanya bengong. Dia bahkan belum sempat bergerak. Matanya bahkan belum sempat berkedip. Tiba-tiba saja bola itu telah berada di hadapannya. Bola tadi melesat dengan sangat cepat hingga langsung keluar lagi setelah menyentuh jala.
"Kenapa bisa begitu?" kata Cadie pelan. Matanya melihat pasrah pada si kulit bundar yang masih juga bundar meski setiap hari ditendang-tendang.
Soccer Love Karya Ida Farida di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Woi Mbak! Jangan bengong!" seru Nico.
Setelah Ilan, bergantian Nico dan yang lainnya mulai menembak. Cadie dibuat pontang-panting. Lompat ke sana-kemari. Jatuh-bangun dia berusaha menghalau bola.
"Tunggu, tunggu!" teriak Cadie seraya merapikan rambutnya yang mulai acak-acakan. "Ya elah!" Nico berseru heran.
"Dasar miss perfect!" tambah semua bersamaan. Agak geli juga.
Dari sekian banyak tendangan, hanya tendangan Dino yang berhasil ditepis, itu juga karena Dino setengah hati menendangnya.Di antara segitu banyaknya cowok, mungkin emang cuma Dino kali yang punya perasaan. Yang lain mah.. pada kejam semua.
"Udah! (Dino melempar bola ke samping). Mana adil kalo begini?" katanya seraya berjalan menjauhi teman-temannya. "Dee, elo geser ke sana, biar sebelah sini gue yang jaga!" Dino mengatur posisi di kiri mistar. Semua bengong.
"Heh! Elo sinting ya"! Dari zaman kuda bekuncir yang namanya sepak bola kipernya cuma satu!" seru Ryan heran.
"Sekarang udah zaman elo bekuncir, makanya kipernya dua. Lagian mana ada kuda nggak dikuncir"!"
"Yee..!" Ryan yang hari itu memang menguncir rambutnya hingga menyerupai buntut kuda, kesal bukan main.
"Ayo, Dee, jangan sampe mereka bisa masukin," kata Dino lagi. Nggak peduli sama Ryan, yang menatap murka padanya.
Cadie tersenyum tipis mendengar itu. Dia bisa melihat Ilan dan yang lain dibuat bingung dengan ulah Dino. Meski nggak bisa dipungkiri juga, sedikit terhibur.
Selama beberapa saat suasana nggak jelas seperti itu terus berlangsung. Malah jadi tambah aneh lagi tatkala Sinyo dan Niko ikut-ikutan Dino membantu Cadie di bawah mistar. Bener-bener nggak normal deh keadaan saat itu.
"Alaah, bisa gila gue kalo lama-lama di sini!" ucap Ryan, diiringi derai tawa yang lain. ***
Cadie menghentikan larinya, dia tersenyum ke arah Sinyo. Dia baru saja mau membuka mulut ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam ruang ganti. Nyariiiiing banget! "Hari ini Ryan ulang tahun lho!" teriak semuanya.
Cadie sempet kaget juga, tapi sebisa mungkin menyembunyikannya. "Bener?" tanyanya pada Sinyo yang berdiri di depan pintu.
Sinyo mengangguk. "Ayo! Nggak usah takut, kita nggak gigit kok," lanjutnya. Mengikuti Sinyo, Cadie pun berjalan memasuki ruang ganti. Dia terlihat agak hati-hati. Gimana nggak, saat ini kalau bisa diibaratkan, dia seperti sedang memasuki sarang penyamun. Atau malah kandang singa. SUEREEM!
"Hei, Dee.." semua berkata kompak.
Cadie tersenyum. "Hei. Tadi mereka bilang kamu ulang tahun?"tanyanya pada Ryan. "Ya.. gitu deh. Gue juga kan dilahirin. Nggak yang tiba-tiba jatoh dari langit." "Kalo gitu selamat ulang tahun ya," Cadie berkata seraya mengulurkan tangan. "Thanks." Ryan balas menjabat tangan Cadie. "Eh, Dee, selama ini gue udah rese sama elo, sorry ya?"
"Kayaknya kita semua juga deh, Dee," imbuh Nico diikuti yang lainnya.
Cadie tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Nggak apa-apa kok," katanya. "Oh ya, sebelumnya sorry nih, aku harus cepet pergi." Cadie menunjuk ke arah luar dengan ibu jarinya. "Oh.. ya udah. Hati-hati deh kalo gitu. Jangan ngerampok! Kalo jatuh juga bangun sendiri,ya?" Ryan nyengir kuda.
Lagi-lagi senyum manis merekah di wajah Cadie. "Thanks. Oh.. ini.., aku cuma bisa kasih ini, nggak apa-apa ya?" ucapnya seraya mengeluarkan sebuah cokelat berbentuk kaki dari tas dan menyerahkannya pada Ryan.
Ryan bengong, begitu juga yang lain. "Ya udah, aku pergi dulu. Daah!"
"Kenapa dia baik banget" Dibakar deh gue di neraka," sambung Ryan pelan, nggak lama setelah Cadie hilang di balik pintu.
"Amin." "Sialan!" hardiknya seraya melempar handuk ke muka Nico. "Gue bercanda! Ya elah, ulang tahun emosi amat!" ***
Bab 5 Welcome to The Club, Dee!
HAPPY (Happi! Saking gembiranya, jadi dibaca begitu).
Itulah yang dirasakan anak-anak SMA Guardian hari ini karena saking gembiranya. Gimana nggak, hari ini tidak seperti biasanya, semua siswa dipulangkan lebih awal dari waktu yang sudah ditetapkan, yaitu pukul 15.00, kecuali hari Jumat. Alasannya nggak jelas. Tapi siapa peduli, yang penting pulang cepet. Begitu pikir semua siswa.
Selama ini SMA Guardian memang dikenal tidak hanya karena dihuni anak-anak kaya, tapi juga karena peraturannya yang sangat ketat. Salah satu peraturan di sini adalah yang berkaitan dengan jam sekolah. Jadi, kalo ketentuannya itu memang pulang pukul 15.00 ya berarti pulangnya emang harus jam segitu. Pokoknya, nggak peduli ada gempa atau bom meledak, kalo belum waktunya ya tetep nggak boleh keluar.
So, jangan aneh kalau sesaat setelah keputusan pulang cepat diturunkan oleh kepsek, seketika itu juga, anak-anak SMA Guardian berubah menjadi "brutal". Ada aja yang dikerjain, mulai dari lari-larian nggak jelas arahnya, yang teriak-teriak saking senangnya, yang nyanyi-nyanyi ala Bang Haji Rhoma, yang lompat ke sana-kemari kayak bola bekel, yang push up-push up nggak jelas juntrungannya, dan sebagainya. Tapi anehnya, ada juga yang cuma duduk-duduk di bangkunya sambil bengong. Mungkin agak syok dia.
Di antara sekian banyak orang yang nggak jelas itu, mungkin cuma Cadie yang agak waras. Kayaknya nih cewek satu percaya takdir, kalau dia baru pulang besok sekali pun, rumahnya nggak akan kemana-mana. Jadi, daripada buang-buang tenaga buat melakukan hal-hal yang nggak jelas, mendingan santai.
SANTAI! Awalnya memang begitu. Sampai dia melihat ke kejauhan. Di atas gedung sekolah berlantai 5 itu, dia melihat seseorang yang dikenalnya. Well, memang bukan dikenal secara akrab atau semacamnya, tapi paling nggak, dia pernah melihat orang itu beberapa kali sebelumnya. Seseorang yang sepertinya nggak cuma lagi cari udara segar atau semacamnya. Tapi lebih mirip orang yang mau.. BUNUH DIRI!
Secepat kilat, Cadie yang saat itu baru saja keluar dari perpustakaan, berlari ke gedung yang letaknya berhadapan dengan gedung perpustakaan itu. Tidak dipedulikannya gerimis yang membasahi pepohonan. Dia terus berlari memasuki gedung sebelah. Mata orang banyak tertuju padanya. Tambah sinting aja si Cadie! Mungkin begitu pikir mereka.
"Ini nggak mungkin! Aku pasti salah liat," ucapnya tanpa berhenti menaiki satu demi satu anak tangga. Sial benar Cadie karena lift di sekolah sudah tiga hari ini rusak. Dilupakannya segala aturan bahwa cewek harus tetap terlihat anggun, bahkan saat menaiki tangga. Kalau ditotal, kirakira ada sekitar 1000-an lebih anak tangga. Napasnya terengah-engah. Tangannya sibuk menekan-nekan tombol ponselnya. Dari tadi dia menekan, tapi tak satu pun terhubung pada orang yang dimaksud. Dia baru sadar, ternyata sejak tadi dia memang tidak jelas menekan nomor siapa pun. Dia justru menekan nomor telepon Kakaknya. Tentu saja, dia langsung mematikannya begitu sadar Andy sedang tidak berada di Jakarta, dan juga memang tidak ada hubungannya dengan ini.
Kenapa aku bisa nggak tahu satu pun nomor telepon mereka" Pikir Cadie. Napasnya sudah tinggal setengah perjalanan sepertinya. Terus, dan terus dia menaiki tangga yang sepertinya tak berujung. Pandanganna mulai kabur. Samar-samar dia melihat tulisan itu. Lantai 4, begitu kata tulisan di tembok. Great! Itu berarti tinggal satu lantai lagi. Tapi apa iya dia masih sempat" "Cadie!"
"Untung kalian datang," kata Cadie, nggak lama setelah Sinyo dkk tiba di atas gedung. Sama halnya dengan dia yang masih sibuk mengatur napas, Sinyo dan yang lain juga terlihat hampir kehabisan napas. Keringat mereka bercucuran.
"Lex, elo jangan gila!" seru Ryan dengan tangan masih memegang dada. Badannya agak membungkuk.
"Jangan deket-deket!" kata Alex setengah teriak. "Elo kenapa jadi begini"!" tukas Sinyo.
Alex hanya diam. Dia bergantian menatap ke arah teman-temannya, ke arah Sinyo, Ryan, Ichal, juga Igi, lalu ke bawah, ke arah sekumpulan siswa yang sepertinya mulai meneriakinta agar turun.
Selama beberapa saat suasana hening. Sepertinya Sinyo dan yang lain tidak ingi gegabah dalam bertindak. Mereka bisa merasakan Alex tidak dalam kondisi sadar sepenuhnya. Dia terliht kacau.
"Jangan gila lo!" Tiba-tiba sebuah suara yang datang dari arah belakabg memecah keheningan. Ternyata Ilan. Tak ubahnya Sinyo, Cadie, ataupun yang lain, dia juga terlihat sangat kelelahan. Matanya terliha menutup sesekali. Wajahnya juga agak pucat.
"Lex, kalo ada masalah, elo bisa cerita ke gue. Bukan begini caranya. Ini sana sekali nghak akan nyelesaiin masalah," tukas Ilan lagi, pelan dan terkesan hati-hati.
"Nggak, Lan. Elo atau yang lainnya nggak akan bisa ngebantu gue kali ini." "Nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaiin!"
Alex beberapa kali menggelengkan kepalanya. "Nggak, Lan. Gue udah hancur. Gue bikin kesalahan fatal dan nggak sanggup ngatasin ini! Gue capek!"
"Lex, elo nggak boleh ngomong begitu!"Sinyo sedikit teriak.
"Gue nggak sanggup!" Lagi-lagi Alex menggelengkan kepalanya. "Kalo nggak mati di sini, gue pasti mati karena kecanduan! Gue nggak kuat!"
Sinyo dan yang lain kontan terperanjat mendengar pengakuan Alex. Mereka saling berpandangan. Ternyata benar adanya desas-desus yang beredar dua hari terakhir ini. Desasdesus yang mengatakan bahwa ada lagi seorang siswa Guardian yang menjadi pemakai narkoba.
"Apa"!" Ilan jatuh berlutut. Sinyo dan yang lain sama terpukulnya dengan dia. "Nggak ada seorang pun yang bisa ngebantu gue nyelesaiin masalah ini." Suara Alex terdengar parau. Dia menundukkan kepalanya. Melihat ke arah bawah.
"Lex!" Ilan menguatkan kakinya untuk berdiri.
Alex mengulurkan tangannya, seolah berkata 'jangan', pada Ilan yang mencoba mendekatinya (lagi).
"Lex, gue serius. Elo turun nggak dari situ!" teriak Ilan lagi. "Jangan deket-deket, Lan! Gue nggak main-main." ancam Alex. "Elo kira gue main-main"!"
"Ilan!" Sinyo menepuk bahu Ilan.
Saat itu, Alex mulai naik ke tempat yang lebih tinggi. Dia kini telah melewati pembatas atap. Pokoknya, tinggal beberapa menit lagi transmigrasi ke alam baka deh.
"Gue serius, Lan! Elo tau kan gue nggak pernah main-main," lanjut Alex. Ilan tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Untuk pertama kalinya seorang Ilan dibuat mati kutu. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Semuanya lagi-lagi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali hening. Sampai terdengar suara itu.
"Loncat! Kalo mau loncat, loncat aja!" teriak orang itu lantang. Ilan dan yang lain spontan menoleh ke arah suara itu berasal. CADIE!
"Kenapa" Takut?" teriak Cadie lagi. "Apa menurutmu lima lantai nggak terlalu pendek" Apa kamu yakin setelah loncat kami akan langsung mati" Sebenarnya kamu benar-benar mau mati atau nggak?"
Mendengar itu, kontan saja Ilan dan yang lain tercengang. Apa maunya nih cewek" Pikir mereka.
"Apa kamu kira kematian bisa nyelesaiin segalanya?"
"Elo nggak tau apa-apa. Elo bahkan nggak tau apa yang gue rasain! Jadi, mendingan elo diem!" teriak Alex. Sepertinya dia mulai kesal.
"Iya, kamu bener. Aku emang nggak tau apa-apa. Aku nggak tau apa masalah kamu. Aku juga nggak tau kenapa kamu mau bunuh diri.Tapi apa kamu tau satu hal, aku.. aku lebih tau rasanya gimana nyaris mati!" lontar Cadie.
Semua, kali ini termasuk Alex, tercengang. "Apa maksud lo"!" Alex bertanya.
"Apa maksudku"! Ini..! Ini maksudku!" jawab Cadie seraya melepas jam tangannya. "Apa kamu tau" Luka sayatan ini.., luka sayatan ini hampir saja membunuhku! Jadi, jangan tanya gimana rasanya berada di posisimu. Aku juga pernah berada di posisimu. Aku juga pernah ngerasa putus asa kayak kamu!"
Alex diam. Matanya menatap lurus ke arah Cadie. Dia terlihat tidak percaya dengan ucapan Cadie barusan. Sebenarnya bukan cuma Alex. Ilan dan yang lain, yang berdiri di belakang Cadie pun menganga saking tidak percayanya. Please deh! Cadie gitu loh! Mungkin begitu pikir mereka.
"Apa kamu nggak mikir" Kamu itu beruntung. Setidaknya ada mereka," Cadie menunjuk ke arah Ilan dkk. "Ada mereka yang peduli sama kamu. Yang langsung lari ke sini setelah ngeliat kamu. Nggak kayak aku. Aku nggak punya siapa-siapa, selain Kakakku," lanjutnya. Suaranya lirih dan terdengar sayup-sayup. Gerimis hujan mulai membasahinya. Mulai membasahi Ilan, juga yang lainnya.
"Kamu nggak boleh egois. Kamu mau melakukan perbuatan bodoh ini untuk mengakhiri deritamu. Tapi apa kamu nggak mikir, akan ada orang lain yang menderita karenanya. Apa kamu yakin" Apa kamu bener-bener tega mau membuat mereka yang sayang sama kamu menderita?" Cadie menyeka matanya. Dia menangis. Dia menangis bukan karena benar-benar nggak rela Alex terjun bebas. Dia menangis karena ingat Andy. Dia teringat Kakaknya. Dia teringat kejadian hari itu. Saat dia melakukan hal bodoh itu. Saat dia, di dalam kamar menyayat pergelangan tangannya dengan silet. Masih bisa dirasakannya luka akibat sayatan itu. Masih bisa diingatnya juga kesedihan sang Kakak, yang timbul akibat perbuatan bodohnya itu. Mata Kakaknya merah, seolah sudah berhari-hari dia terus-terusan menangis. Kakak yang bahkan tidak mengeluarkan air mata di hari Ayahnya meninggal itu, dibuat menangis karena ulahnya.
"Don't do that! At least, bertahanlah untuk orang yang sayang sama kamu," lanjut Cadie. Dia jatuh berlutut.
Saat itulah, Ilan yang melihat peluang bagus menarik Alex dari tempatnya berdiri. Menariknya hingga jatuh tersungkur. BUUK! BUUK! Ilan memukul Alex. Membuatnya berulang kali. "Lan, udah Lan!" Sinyo sedikit berteriak.
Ryan berhamburan memegang Alex yang terlihat lemah. Sementara Ilan, dia melepaskan pegangan Sinyo dan berlari ke sudut ruangan. UEEK! Muntah..
Selama beberapa detik suasana di atap lagi-lagi sepi. Benar-benar sepi, sampai suara panik Ichal memegang seseorang terdengar. Dia memanggil Cadie. Cadie yang saat itu tiba-tiba ambruk. BRUUUK!
*** "Terima kasih ya Lan, Co. Om sama Tante nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kalian," Papanya Alex berkata tak lama setelah meninggalkan lamar anaknya. Saat itu, Alex baru saja diberi obat penenang oleh dokter. Dari wajahnya jelas tampak kecemasan. Dan juga penyesalan.
Ilan dan Nico mengangguk bersamaan.
"Om benar-benar nggak nyangka kalau akhirnya akan begini. Seharusnya baik Om maupun Tante tahu kalau ini nggak mudah buat Alex. Seharusnya kami tahu kalau kenyataan ini bisa sangat menyakitkan buat dia. Om benar-benar menyesal," papar Papanya Alex. Ilan dan Nico hanya diam. Saat ini, seperti tak ubahnya Mama dan Papanya Alex, mereka juga tidak dapat berkata banyak. Penyesalan terlalu menumpuk dan tidak bisa hilang hanya dengan kata-kata. Baik Ilan maupun Nico bisa memahami betapa terpukul dan kecewanya Alex saat itu. Saat akhirnya dia mengetahui akan sebuah rahasia yang bertahun-tahun telah disimpan rapatrapat baik oleh Papa maupun Mamanya. Sebuah kenyataan pahit yang membawanya menjauhi teman-temannya dan bercengkerama dengan obat-obatan terlarang.
"Oh ya, bagaimana dengan teman kalian yang masuk rumah sakit itu" Apa dia baik-baik saja?" Papanya Alex memecah keheningan.
Ilan mengangguk pelan. "Sepertinya agak kelelahan, Om."
"Tolong kalian sampaikan juga terima kasih Om sama Tante ke dia ya, Lan. Insya Allah kalau ada waktu, Tante ingin bertemu dengannya." Suara Mamanya Alex yang baru saja datang mengemuka.
Ilan menoleh seraya tersenyum. "Iya, Tante. Ya sudah, kalau begitu kami permisi dulu. Kami.." Saking kacaunya hari ini, Ilan bahkan sampai tidak tahu bagaimana cara berpamitan yang benar. "Oh.. ya sudah." Mama dan Papanya Alex berdiri. Seolah memberi sinyal pada Ilan dan Nico bahwa mereka boleh pulang.
Ilan dan Nico pun berangsur meninggalkan ruang tamu yang super besar itu. Meninggalkan rumah Alex. Meninggalkan Alex pada orang yang tepat.
"Sekali lagi terima kasih ya. Tolong sampaikan juga ke teman-teman kalian," imbuh Mamanya Alex sebelum Ilan dan Nico memasuki mobil.
Ilan dan Nico lagi-lagi mengangguk bersamaan. Setelah itu mereka pun pergi. Pergi dengan membawa sebuah cerita yang memilukan. Cerita tentang seorang anak yang kecewa mengetahui orang yang selama ini dianggap Ibunya, bukanlah ibu kandungnya. Ibu kandungnya mati bunuh diri saat dia masih balita. Dan cerita tentang seorang anak yang baru tahu kalau Ibu kandungnya bunuh diri karena orang yang selama ini diletahuinya sebagai Ibunya. Kasihan Alex! ***
"Oh ya, gimana keluarganya" Elo udah ngasih tahu mereka?" tanya Ilan seraya berjalan mendekati tempat tidur Cadie. Dia bisa meliha kalo cewek yang beberapa waktu laluu sempat dia dan teman-temannya kerjain itu, bener-bener kelihatan nggak berdaya. Dia terbaring lemah dengan infus di tangannya. Wajahnya pucat pasi.
"Nggak ada siapa-siapa di rumahnya, kecuali pembantunya. Kakaknya lagi tugas di luar kota. Tapi gue udah ngomong sama dia sih dan bilang kalo kita akan ngejaga adiknya sampe dia pulang," terang Sinyo.
"Ya udah. Kalo gitu beberapa dari kita nginep di sini aja, ngejagain dia," tambah Luca. Diangguki hampir semuanya. Dino paling semangat.
Ilan mengangguk, lalu berjalan mendekati sofa dan menjatuhkan badannya di sana. "Bener gitu dia pernah nyoba bunuh diri"!" Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar. Ternyata Dino. Dia berjalan mendekati Cadie. Melihat jelas-jelas ke arah lengan Cadie. "Pasti sakit banget deh. Siapa sangka kalo dia yang selalu kelihatan kuat dan nggak ada takutnya sama orang, bisa juga nggak tegar," lanjutnya. Saat itu, Dino seolah berbicara dengan dirinya sendiri. Dia nanya sendiri dan ngejawab sendiri.
Ilan dan yang lain cuma geleng-geleng kepala. Meski harus mereka akui, mereka juga sama herannya dengan Dino. Sama nggak habis pikirnya kenapa orang sepintar dan sekuat Cadie bisa melakukan hal bodoh seperti itu. Tapi apapun alasannya, yang dialaminya pastilah bukan hal mudah.
"Oh ya, Lan, Alex.. gimana?" Ryan memecah keheningan.
"Dia baik-baik aja kok," serobot Nico sebelum Ilan sempat membuka mulut. Ilan menyetujuinya. Sama halnya dengan Nico, dia juga nggak mau bikin temen-temennya tambah stres. "Om sama Tante Wira berencana masukin dia ke pusat rehabilitasi," kata Ilan. "Pusat rehabilitasi" Apa dia mau?" Ichal buka suara.
Ilan lagi-lagi mengangguk.
"Terus.. gimana sama pihak sekolah" Apa jadinya kalo masalah ini sampe dewan sekolah?" tanya Luca. Jelas kecemasan tampak dari suaranya.
"Mereka udah tau kok," Ilan menjawab singkat.
"Hah"!" Semua terhentak. Secepat itu"! Mungkin begitu pikir mereka. Bener-bener cepat mengingat kejadiannya baru berlangsung beberapa jam yang lalu.
Ilan membungkukkan badannya. "Guys, besok.. bukan cuma Om sama Tante Wira aja yang dipanggil ke sekolah, tapi kita semua dan Pak Gun juga."
"What"!!!" Lagi-lagi semua terkejut.
"Ngapain pake kaget begitu"! Nggak dipanggil juga kita emang mau ke sekolah, kan?" Dino berkata dengan polosnya. Yee nih orang. Sebenernya dia ngerti nggak sih apa yang lagi dibahas"
"Kemungkinan pihak sekolah akan minta masing-masing dari kita buat tes urine. Untuk mastiin kalo nggak ada Alex kedua di tim sepak bola. Jadi, kita semua harus siap," lanjut Ilan. Semua manggut-manggut.
"Ini sih namanya gawat. Berarti sekarang bukan cuma nasib Alex yang diujung tanduk, tapi juga tim sepak bola," kata Ryan.
"Nggak-nggak. Yan, masalah kita dipanggil atau mungkin kayak yang Ilan bilang, bahwa kita diminta tes urine, gue rasa itu bukan masalah besar. Kecuali kalo kita semua emang make. Tapi kalo gue inget-inget kasua sebelumnya, waktu Darren, senior kita dikeluarin karen ketauan sakau di kamar mandi, maka nasib Alex.. jauh lebih kritis," Luca berkata dengan seriusnya. "Bener juga,"
"Lan, terus kalo udah begitu kita harus gimana?"
"Ya nggak harus gimana-gimana," potong Sinyo cepat. Sinyo yang sejak tadi terlihat diam, akhirnya buka mulut juga. "Gini maksud gue, sekarang ini keputusan resmi belum keluar. Kayaknya kita nggak usah terlalu migrain dulu atau bingung harus gimana deh. Kasus Darren dan Alex emang sama, sama-sama pake narkoba. Tapi biar gimana juga Alex dan Darren tetep beda. Ya, elo semua tahu donk dulu Darren kayak apa. Dia bukan cuma sekali-dua kali aja ketahuan sakau di sekolah, dia juga punya catetan buruk di mata guru-guru. Sementara Alex.. dia.. apa elo semua pernah denger dia ngelakuin kesalahan di sekolah" Apa elo semua pernah liat dia jadi orang brengsek" Gue rasa pihak sekolah juga nggak akan gegabah ngeluarin keputusan. Paling nggak, mereka harus mempertimbangkan banyak hal. Mempertimbangkan kalo Alex juga pernah bawa nama sekolah dengan prestasinya. Bener nggak?" ungkap Sinyo panjang-lebar.
"Sinyo bener. Gue rasa untuk saat ini kita emang harus tenang dulu. Paling nggak kita harus nunggu dua atau tiga hari, sampe keputusan itu bener-bener turun. Setelah itu, baru kita pikirin langkah selanjutnya," tambah Ilan.
"Kalo emang dia bener-bener di DO?" tanya Ryan.
"Ya kita nggak akan tinggal diam," jawab Ilan mantap. Matanya bergantian melihat temantemannya.
"Setuju..," sambung Sinyo pasti, diamini yang lain.
"Hoooh! Sebenernya gue pengen banget nonjokin tuh anak, tapi mau gimana lagi" Biar gimana juga dia temen kita. Biar dia udah nggak bertanggung jawab sama dirinya dan juga kita, kita nggak boleh diem aja ngeliat dia kesusahan, right guys?" kata Ryan.
"Right!" dengan semangat Dino menyetujui ucapan Ryan. Ilan dan yang lain cuma senyamsenyum.
"Man, perasaan dari tadi kita udah lumayan berisik deh. Tapi kenapa dia nggak bangun-bangun juga ya?" kata Nico sekenanya. Pandangannya mengarah pada Cadie yang memang sejak tadi bisanya cuma tidur. Sama sekali nggak ngebantu mereka ngilangin cemas dan stres. "Elo, Co..!"
*** Pagi itu, cuaca terlihat sangat bersahabat. Langit begitu cerah. Angin pun berembus dengan tenangnya. Sama tenangnya dengan keadaan di SMA Guardian hari itu. Tiga hari setelah rencana terjun bebas Alex berhasil dikandaskan.
Api Di Bukit Menoreh 30 Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Pembunuh Bayaran 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama