Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan 6

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 6


sembuh...." Akhirnya Nyonya Giam "Apapun yang terjadi, hari
sembuh." hanya bersikap, ini anak-anakku Di keluarga Yao, Yao Kang-beng pagi-pagi benar
sudah menjumpai adiknya di kamarnya. Dengan
tatapan mata menyesal, ia mengamat-amati lebamlebam bekas pukulan dan tamparannya di wajah
adiknya. Yao Sin-lan sendiri masih tidur, ketika
diamat-amati oleh kakaknya.
Ketika Yao Sin-lan menggeliat dan membuka
mata, lalu melihat kakaknya ada di dekat tempat
tidurnya, dia kaget sekali dan dengan ketakutan
menggeser diri ke sisi tempat tidur yang lain,
menjauhi kakaknya, sementara mulutnya menyapa, "Kakak....."
"Ya, kenapa kau takut kepadaku?" tanya Yao
Kang-beng, namun lalu dijawab sendiri, "Ya, ya,
aku tahu yang menyebabkan kau takut. Aku
396 semalam merenungkan dan sadar bahwa sikapku
kepadamu belakangan ini memang keterlaluan.
Aku heran sendiri, entah pengaruh jahat dari mana
yang menguasaiku sehingga aku tega memukulimu
hanya untuk urusan sepele. Padahal sejak kecil
aku begitu menyayangimu."
Yao Sin-lan tetap bungkam, namun matanya
berkaca-kaca. Bahkan Si Kakak semalam merenung lalu mendapatkan kesadaran akan
tindakannya, itu sudah ajaib. Yao Sin-lan seolaholah menemukan kembali kakaknya yang dulu,
kakaknya yang belum bertabiat asing sejak ikutikutan "menegakkan jalan suci". Lebih ajaib lagi,
tanpa sengaja Yao Kang-beng menyebutkan uruan
"tarian suci" itu sebagai "urusan sepele", padahal
belakangan ini Si Kakak menganggap segala
urusan yang ada sangkut-pautnya dengan ajaran
Wong Lu-siok sebagai sesuatu yang amat penting,
bahkan suci dan keramat, dianggap menentukan
nasib kota Seng-tin apakah akan selamat atau
terkutuk oleh para penguasa langit.
"Adikku, aku minta maaf," kata Yao Kang-beng
sambil bangkit dan meninggalkan kamar itu.
Yao Sin-lan masih membeku di pembaringannya, membeku karena heran oleh
perubahan yang terjadi begitu mendadak.
Di rumah keluarga Ho, Ho Liong sedang
bermandi keringat membelah kayu bakar di
halaman rumahnya. Tubuhnya yang bertelanjang
baju nampak mengkilat oleh cahaya mentari pagi
yang menimpa tubuhnya. Di dapur, ibunya,
isterinya dan adik perempuannya sedang sibuk
397 memasak. Sementara ayahnya, Ho Kin, seperti
biasanya, hanya nongkrong di bangku depan
sambil menghisap pipa cangklongnya, bermalasmalasan. Tetapi Ho Liong berharap ayahnya akan
dapat meringankan kesedihannya dengan sikapnya
itu. Daripada terus-menerus memikirkan adik lakilaki Ho Liong, yaitu Ho Tong, yang gila. Dan
semalam di lapangan, Ho Tong memamerkan
puncak kegilaannya dengan atraksi lepas celana
segala, itu menyedihkan keluarga itu. Membuat
keluarga ini merasa makin jauh dari harapan
melihat sembuhnya Ho Tong.
Tiba-tiba diketuk. terdengar pintu halaman depan Dengan suara malas-malasan, Ho Kin berkata
kepada anak sulungnya yang sedang membelah
kayu, "A-liong, ada orang datang...."
"Ya, Ayah...." Ho Liong meletakkan kapak
pembelah kayunya dan melangkah ke pintu.
Begitu daun pintu terpentang, Ho Liong seolah
berubah menjadi patung. Di depannya berdiri adik
laki-lakinya, Ho Tong, yang hampir seluruh
kulitnya hitam karena daki, rambutnya melekat
bergumpal-gumpal, pakaiannya compang-camping
dan amat kotor. Celananya yang semalam dilepas
ditinggal di lapangan, entah di mana, tetapi bagian
bawah tubuhnya tertutup sehelai tikar yang
digulungkan begitu saja ke tubuhnya dan harus
selalu dipegangi agar tidak melorot.
Inilah Ho Tong yang berbulan-bulan ini
berkeliaran di Seng-tin sebagai orang gila.
Mengkorek-korek tempat sampah untuk mencari
398 makanan, menari dan menyanyi di jalanan,
mengejar anak-anak kecil yang mengganggunya.
Tampang dan dandanannya masih sama, tetapi
sorot matanya jernih dan sadar. Sorot mata
seorang waras. Yang membuat Ho Liong masih waswas ialah
karena dua hari yang lalu Ho Tong juga pulang ke
rumah, tetapi dengan mata merah liar dan
membawa sepotong tongkat kayu besar. Ia masuk
ke rumah, menyebut rumah itu sebagai 'gua
siluman yang mengurung anggota-anggota keluarganya", menyebut semua orang di rumah itu
sebagai "siluman hijau bertanduk" dan mengamuk
399 dengan dahsyat, menghancurkan banyak perabot
rumah, membahayakan orang-orang di rumah.
Seandainya tetangga-tetangga tidak berdatangan,
entah apa jadinya. Kini Ho Tong datang lagi, Ho Liong sudah
bingung. Jangan-jangan akan mengamuk lagi.
"Kakak Liong, ini aku, adikmu. Kakak lupa?"
tanya Ho Tong. "Iya... iya...." Ho Liong tergagap-gagap. "Kau Ho
Tong...." Ho Tong menarik napas lega, mengamat-amati
rumah itu dan berkata, "Akhirnya sampai juga aku
ke rumah, setelah sekian lama mengembara di
tempat asing dengan mahluk-mahluk aneh!"
Dari dalam terdengar Ho Kin berteriak serak, "Aliooong! Siapa yang datang?"
Sahut Ho Liong, "A-tong yang datang, Ayah!"
Ho Kin kaget sampai hampir terlompat dari
kursinya, dengan panik ia lari ke dapur untuk
memberi tahu anggota-anggota keluarga lain, "Atong datang! Cepat bersembunyi! Panggil tetanggatetangga!"
Seisi rumah jadi panik, isteri Ho Liong menarik
tangan kedua anaknya untuk mengungsi ke rumah
tetangga. Sementara itu, Ho Tong terheran-heran melihat
sikap kakaknya yang berdiri tegang di depan pintu,
seolah tak mengijinkannya masuk. "Kak, ada apa"
Aku boleh masuk atau tidak" Atau ada sesuatu di
400 rumah ini yang tidak boleh kuiihat" Seluruh
keluarga baik-baik saja, bukan?"
Ho Liong menarik napas. Sungguh sulit
menerima kenyataan bahwa Ho Tong telah waras
begitu saja, padahal semalam masih buka-buka
celana di depan umum, sungguh sulit diterima
akalnya. Hampir-hampir Ho Liong menyangka
dirinya yang gila atau sedang bermimpi. Tetapi
semuanya begitu nyata. Kini didesak pertanyaan bertubi-tubi oleh
adiknya, Ho Liong menjawab gera-gapan, "Ten... tu
kau boleh... masuk. Sungguh... baik-baik...."
Ho Tong melangkah masuk, sambil berkata,
"Selama mengembara di tempat asing yang malam
terus dan tidak pernah siang itu, aku sampai lupa
merawat diriku. Ketika entah bagaimana tahu-tahu
aku di kota ini, aku sampai kaget melihat betapa
kotornya diriku, dan celanaku hilang entah di
mana. Sekarang aku harus membersihkan
badanku dan mengganti pakaianku...."
Ketika ia melangkah masuk ke dalam rumah
untuk mengambil pakaian bersihnya, Ho Tong
amat heran melihat rumah begitu sepi, sehingga
dengan cemas ia tanyakan itu kepada kakaknya,
"Kak, Ayah Ibu dan lain-lainnya di mana" Mereka
benar-benar tidak apa-apa selama kutinggal pergi,
kan?" Rupanya Ho Tong merasa bahwa ia baru saja
"bepergian di tempat aneh yang malam terus"
sementara orang-orang menganggapnya gila, dan
setelah ingatannya pulih ia merasa berada di Seng401
tin lagi, padahal sehari-harinya ia juga berada di
Seng-tin, sebagai orang gila.
Jawab Ho Liong, "Mereka sedang di rumah
tetangga." Kemudian, ketika Ho Tong membawa pakaian
bersih dan masuk ke ruangan tempat membersihkan diri, Ho Liong diam-diam menyelinap ke rumah tetangga dan menceritakan
peristiwa yang dianggap tidak masuk akal itu.
Bukan saja keluarganya hampir tak percaya,
bahkan tetangga-tetangga menganggap Ho Liong
sedang mengigau. Biarpun setengah tidak percaya, namun orangorang kembali ke rumah. Bukan hanya keluarga
Ho Tong, tetapi juga tetangga-tetangga. Yang
melangkah paling cepat ialah nyonya tua Ho.
Wanita yang melahirkan Ho Tong inilah yang paling
tidak sabar melihat kembalinya anaknya yang
kabarnyai sudah waras itu, padahal dua hari yang
lalu kepala Nyonya tua Ho hampir dikepruk dengan
kayu oleh Ho Tong ketika Si Gila itu kembali ke
rumah. Ho Liong dan seorang tetangga yang mencemaskan keselamatan nyonya tua itu berjalan
mendampinginya di kiri kanan, membawa kayu
pemukul untuk berjaga-jaga.
Ketika nyonya tua Ho masuk ke dapurnya diamdiam dari pintu belakang, dilihatnya Ho Tong yang
sudah bersih dan berpakaian bersih pula, sedang
makan dengan lahap makanan setengah matang
yang tadi ditinggalkan tergesa-gesa. Melihat ibunya
402 masuk dapur, Ho Tong tersenyum dan menyambut,
"Ibu...." Inilah pertama kalinya Ho Tong dapat mengenali
ibunya, sejak beberapa bulan yang lalu ia kembali
ke Seng-tin dalam keadaan gila, kena tenung Beng
Hek-hou. Nyonya tua Ho terharu sekali dan
memeluknya. Dapur sempit itu segera berjejalan dengan
keluarga yang semakin yakin bahwa Ho Tong
sudah sembuh dari gila-nya. Orang-orang jadi ribut
dan berebutan bertanya ini itu. Keluarga Ho Tong
menghindari perkataan "sembuh dari gila" untuk
menjaga perasaan Ho Tong, tetapi para tetangga
lain, mereka tidak merasa sungkan dalam
bertanya. "Kemarin kau masih berkeliaran,
bagaimana tiba-tiba sembuh secepat ini?" tanya
seorang tetangga tanpa sempat dicegah oleh
keluarga Ho Tong. Ho Tong kaget. "Berkeliaran" Memangnya aku sakit?"
Sembuh" Tatapan Ho Liong tajam mengandung teguran ke
tetangga yang lancang mulut itu, namun si
tetangga bersikap seolah-olah tidak bersalah.
Kemudian Ho Lionglah yang berkata kepada
adiknya, "Menurut A-tiok, kenapa kau yang
berkeliaran... eh, mengembara sekian lama, tibatiba pulang ke rumah?"
Kali ini si lancang mulut A-tiok yang mengerti.
"Mengembara sekian lama" Mengembara sekian


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama ke mana saja?" 403 Ho Liong dengan gemas lalu mengusir tetanggatetangga itu, dengan alasan pihak keluarga ingin
mendapat kesempatan lebih banyak untuk
bersama-sama Ho Tong yang habis "mengembara
jauh" itu. Tetapi percakapan antara Ho Liong dan A-tiok
tadi sempat membuat Ho Tong curiga. Sebenarnya,
waktu Ho Tong mandi tadi, ia sudah heran melihat
daki yang begitu tebal di kulitnya, rambutnya yang
bergumpal gembel, pakaiannya yang amat buruk,
dan yang paling diherankan-nya ialah ketika
mendapati dirinya sendiri tidak bercelana, hingga
ia harus mencari penutup darurat untuk tubuh
bagian bawahnya. Ho Tong heran, seberat-beratnya
"pengembaraannya" apakah ia sampai separah itu
lalai mengurus diri sendiri" Dan kini pertanyaanpertanyaan yang belum terjawab tadi bertambah
hebat mendengar kata-kata A-tiok tentang
"kemarin masih berkeliaran" dan "sembuh secepat
ini" tadi, apa yang sudah terjadi"
Ketika Ho Tong menyatakan itu kepada
keluarganya, keluarganya menunjukkan sikap
serba salah hendak menjawab. Hingga Ho Tong
menjawab, "Baik, kalau kalian tidak mau memberi
tahu aku, aku akan cari tahu dari tetanggatetangga."
Lalu Ho Tong sudah bangkit dari duduknya
hendak berjalan keluar. "Tunggu, A-tong!" ibunya cepat-cepat mencegah.
Ho Tong pun duduk kembali. "Kalian mau
menjelaskan kepadaku?"
404 Para anggota keluarga berpandangan, lalu kata
Ho Kin sang ayah sambil menghembuskan asap
pipa cangklongnya, "Lebih baik ia mengetahuinya
dari kita, daripada dari orang lain."
Disambung kata-kata ibunya "Tetapi, A-tong,
setelah mendengarkan penjelasan kami, jangan
kau sedih atau malu. Sebab semuanya terjadi di
luar kekuasaan kita, bukan salahmu."
"Sedih dan malu untuk apa?"
Bukannya langsung menjawab, Ho Liong malah
menguatkan kata-kata ibunya tadi, "Seluruh Sengtin menghargai pengorbananmu, pengorbanan
yang lebih hebat dari kematian demi kemerdekaan
Seng-tin dari cengkeraman Beng Hek-hou. Banyak
orang berani mati, berani korban nyawa, namun
pengorbanan seperti kau sungguh hebat, pahlawan-pahlawan besar pun sulit menerimanya."
"Pengorbanan seperti apa?" Ho Tong menukas
tak sabar. Dengan amat hati-hati, mereka mulai menceritakan "pengorbanan yang tidak sembarang
orang bisa" itu diselang-seling, dengan kata-kata
yang mencoba membesarkan hati Ho Tong. Dan
adegan tadi malam ketika Ho Tong copot celana di
lapangan, sengaja dihindari.
Namun, sehati-hati apapun mereka bicara, tetap
saja wajah Ho Tong menjadi murung karena malu.
Rasanya lebih tidak malu kalau ia jadi mayat yang
diseret-seret anak buah Beng Hek-hou di jalanan,
mungkin untuk waktu lama ia akan dikenang
sebagai salah seorang pejuang Seng-tin. Tapi
405 sebagai orang hilang ingatan" Sungguh tak
terbayangkan malunya. Apa saja yang telah
dilakukannya di Seng-tin, selama ia menjadi orang
macam itu" Setelah ceritanya selesai, ruangan itu sepi.
Hanya terdengar helaan napas berat Ho Tong
berulang-ulang. "Tidak ada orang berhak menghinamu karena
musibah yang kaualami, A-tong..." hibur ibunya.
"Ada orang gila karena cintanya ditolak kekasihnya, ada yang cita-citanya gagal, ada yang
karena mempelajari ilmu tetapi tidak tahan, ada
yang karena ingin kaya. Tetapi kau tidak termasuk
golongan itu. Kaukorbankan diri untuk rakyat
Seng-tin. Kalau ada yang menghinamu, itu artinya
mereka tidak tahu berterima kasih."
"Ya, kami akan membelamu, Kak." dukung adik
perempuan Ho Tong yang bernama Ho Bing.
"Yah, memang nasib, tak terhindarkan...." desis
Ho Tong. "Malu rasanya kalau keluar rumah ini."
"Kalau kau berperasaan demikian, untuk
sementara jangan keluar rumah dulu. Asal jangan
murung terus-terusan. Perlahan-lahan kau pasti
akan pulih hubunganmu dengan orang-orang kota
ini, seperti dulu sebelum kau berniat pergi ke Yupin." kata ayahnya.
Kemudian Ho Liong bertanya, "A-tong, kauhilang bahwa kau habis 'mengembara lama
sekali" dan aku tertarik untuk mendengar
ceritamu." 406 "Ceritanya aneh, Kak. Kalau kuceritakan, bisabisa kalian menganggapku masih gila."
"Kami yakin kau sudah baik, A-tong. Lagipula,
kalau soal cerita-cerita tidak masuk akal, sekarang
di Seng-tin sedang berlimpah-limpah omongan
macam itu, toh mereka yang bicara tidak dianggap
gila. Misalnya si tukang keramik Ban Ke-liong yang
mengaku setiap berapa malam sekali mimpi
didatangi mahluk suci dari langit, lalu mimpinya
langsung diwujudkan dalam patung keramiknya,
dan orang berani membelinya mahal. Katanya
membawa rejeki, kalau dipuja di rumah. Juga
orang-orang lain yang sedikit-sedikit menyebutmenyebut tentara gaib, tarian suci, dan entah apa."
"Ssst, Kakak Liong, jangan bicara begitu, ah.
Kualat, lho!" "Lho, aku kan tidak menjelek-jelekkan sipenguasa gaib itu" Aku cuma memberi contoh
kepada A-tong, bahwa bicara hal gaib di Seng-tin
ini sudah biasa, tidak dianggap gila. Bukankah kau
sendiri menjadi korban ilmu gaib Beng Hek-hou"
Saat ini sih orang Seng-tin sudah tidak bisa
menyangkal lagi bahwa yang gaib itu ada."
Ho Tong mengangguk-angguk. "Rasanya, yang
kualami selama ini memang pengalaman gaib.
Kalau bukan pengalaman gaib, mana ada yang
seaneh itu?" "Coba ceritakan, Kak," kata Ho Bing.
"Awalnya, ketika aku dan Ibun Lai coba
menyelundup meninggalkan kota ini untuk
mencapai kota Yu-pin. Di tengah jalan kami
407 kepergok orang-orangnya Beng Hek-hou dan kami
mengundi diri untuk membagi tugas," sampai di
sini, suara Ho Tong jadi agak parau karena terharu
teringat sahabatnya itu. Lalu dilanjutkannya, "Ibun
Lai kejatuhan undi untuk melawan penjahatpenjahat itu, dan aku yang harus ke Yu-pin. Aku
berjalan terus sampai hampir fajar. Ketika hampir
fajar, kurasa sudah cukup jauh dari Seng tin dan
cukup aman bagiku untuk beristirahat sebentar.
Aku tidur di bawah sebuah pohon, dan kuharap
setelah aku bangun, hari sudah terang dan bisa
kulanjutkan perjalanan. Tetapi...."
Ho Tong berhenti bercerita beberapa saat, dan
tanpa diceritakan pun pendengar-pendengarnya
sudah tahu itulah saatnya kutukan jahat yang
dilepaskan Beng Hek-hou dari jarak jauh
menyergap Ho Tong dan merampas ingatan
warasnya. Lalu Ho Tong melanjutkan tanpa diminta,
"Ketika aku bangun, aku lihat langit masih gelap.
Kusangka aku keterusan tidur sampai sudah sore
kembali. Ternyata gelapnya langit itu tidak segera
berakhir. Gelap terus, tidak pernah ada siang,
tidak pernah ada matahari. Alamnya juga asing,
banyak bukit-bukit gersang, guha-guha mahlukmahluk aneh yang setengah hewan setengah
manusia. Ada juga beberapa manusia, tetapi
mereka dirantai, disiksa, dikerja-paksakan."
"Kakak bagaimana?"
"Kucoba agar aku tidak ditangkap mereka,
tetapi aku tetap tertangkap dan dipaksa
408 melakukan banyak hal yang tidak kusukai. Tetapi
aku tak berdaya." "Apakah Kakak tidak merasa bahwa sebenarnya
Kakak tetap berada di 5eng-tin?"
Ho Tong menggeleng. "Tidak kulihat ada rumah
sebuah pun. Yang kelihatan di mataku hanyalah
tebing-tebing, bukit-bukit, gua-gua, dan di
beberapa tempat ada sumur-sumur yang dalam
dan gelap, dari dalam sumur-sumur itu kudengar
terus ratap tangis para tawanan."
Tak terasa Ho Bing meraba kuduknya sendiri,
ngeri oleh cerita itu. Kemudian Ho Tong melanjutkan, "Yang merajai
tempat seram itu ialah seekor harimau hitam yang
bisa berbicara. Tetapi kemudian terjadi peralihan
kekuasaan. Tempat itu didatangi serombongan
mahluk-mahluk berujud manusia yang pakaiannya
indah-indah, seperti para bangsawan dan orang
berpangkat di jaman purba, pemimpinnya seorang
ratu berjubah merah keunguan. Ujud mereka lebih
indah dan mempesona dari siluman-siluman
bawahan Si Macan Hitam, namun ternyata
kejamnya dan kesaktiannya berlipat ganda. Si
Macan Hitam ditaklukkan dan menjadi suruhan
ratu berjubah merah keunguan itu."
Sampai di sini, kakaknya menukas, "Soal ratu
itu, memang paling aman kalau tidak disebutsebut di luar dinding rumah ini."
"Kenapa?" Ho Tong heran.
"Agar jangan menimbulkan salah paham dengan
masyarakat Seng-tin. Sebab sekarang ini rakyat
409 Seng-tin sedang memuja yang disebut 'ratu langit'
dan panglima-panglimanya. Aku kuatir, omongan
A-tong nanti akan dianggap menghujat tokoh
pujaan itu, padahal yang dimaksudkan A-tong
belum tentu sama dengan yang dipuja orang-orang
kota ini." Ho Tong dan Ho Bing sama-sama mengangguk
menyetujui kata-kata kakak sulung mereka. Begitu
pula isteri Ho Liong. "Kakak Tong, lalu bagaimana kau... terlepas dari
pengalaman gaib yang mengerikan itu dan kembali
ke dunia nyata ini?"
"Aku tidak paham benar-benar. Aku melihat
orang-orang berpakaian Panglima kuno itu panik
menyiapkan pasukan silumannya di sana-sini,
seolah-menghadapi serangan musuh yang hebat.
Mereka saling bicara dengan bahasa yang tak
dimengerti. Lalu tahu-tahu tadi ketika kubuka
mata, aku sudah berada di Seng-tin kembali."
"Padahal sudah berbulan-bulan kau di kota
ini...." kata Ho Liong, tetapi hanya berani dalam
hatinya. Begitu bangun pagi di rumah Pang Se-bun,
langsung saja Cu Tong-liang teringat niatnya yang
tertunda untuk menolong Siau Hiang-bwe. Beda
sedikit dengan Liu Yok dan Siau Hiang-bWe yang
membiasakan diri bangun pagi-pagi benar untuk
menikmati hubungan pribadi yang akrab dengan
Sang Pencipta, maka Cu Tong-liang ini begitu
melek langsung melakukan apa yang ingin
dilakukannya. 410 Ia cepat membersihkan diri, dan ketika Pang Sebun serta isterinya menawari sarapan pagi, ia pun
cepat-cepat memakan sarapannya agar bisa segera
menemui Wong Lu-siok. Tengah Pang Se-bun dan Cu Tong-liang duduk
bersama di ruangan makan, muncullah A-kun
dengan boneka porselennya. Rambut dan pakaiannya masih kusut, karena ia baru saja
bangun tidur. Katanya, "Ayah, A-hwe bilang bahwa sang ratu
langit semalam telah bermurah hati memberikan
anugerahnya, melepaskan beberapa orang Seng-tin
dari kesengsaraannya. Ayah akan mendengar
kabarnya hari ini dari orang-orang."
Semenjak puteri kecilnya itu punya kemampuan
gaib "dengan bantuan A-hwe" maka bisa dikatakan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seisi rumah, termasuk kedua orang tuanya, tidak
berani menyangkal atau membantah kata-kata Akun.
Begitu pula kali ini, Pang Se-bun cuma
mengangguk-angguk, sambil bertanya-tanya dalam
hati, siapa saja yang sudah "dibebaskan dari
penderitaan" itu"
A-kun tidak berkata banyak-banyak, setelah
mengatakan itu dia pun pergi. Kepada Cu Tongliang bahkan tidak menyapa atau melirik sedikit
pun, dan Pang Se-bun tidak berani menegur sikap
yang kurang sopan itu. Pang Se-bun cuma berani tertawa sungkan
kepada Cu Tong-liang sambil berkata, "Maafkan
kelakuan A-kun, Saudara Cu. Terus terang saja,
411 aku dan isteriku agak... kewalahan menghadapinya
belakangan ini." "Ah, anak-anak bisa saja mengalami saat-saat
seperti itu. Kelak juga berubah sendiri, seperti
anakku di Pak-khia."
"Saudara Cu, rencana hari ini apa?"
"Akan kucoba menemui Guru Wong sekali lagi,
untuk memohonkan pembebasan A-kui."
"Kuantarkan." "Saudara Pang, kau punya banyak tugas hari
ini, tidak perlu kau repot-repot mengantarkanku."
"Tidak. Aku pun punya keperluan menjumpai
Guru Wong. Semalam aku belum sempat
melaporkan tingkah-laku Lui Kong-sim kepada
Guru Wong." Demikianlah, selesai sarapan pagi, kedua
sahabat itu kembali menuju ke bekas rumah guru
silat Ciu Koan. Sepanjang jalan, mereka mendengarkan percakapan beberapa orang, dan mengetahui
bahwa Giam Lok sudah sembuh, yang lebih hebat
lagi, Ho Tong juga sudah sembuh! Macam-macam
komentar orang tentang peristiwa ajaib itu,
sementara Lui Kong-sim dan teman-temannya
menyebarkan pendapat bahwa sembuhnya Giam
Lok dan Ho Tong adalah karena Si Pengutuk sudah
ditangkap dan dikurung, maka kutukannya
otomatis dilenyapkan. Tentu saja Lui Kong-sim dan
teman-temannya tidak lupa menambahkan, bahwa
tertangkapnya "si pengutuk" adalah karena
412 prakarsa Lui Kong-sim dan teman-temannya, dan
warga Seng-tin layak berterima kasih kepadanya.
Sekali lagi Pang Se-bun menemukan bukti
ketepatan kata-kata A-kun, namun hatinya kurang
enak juga bahwa sembuhnya Giam Lok dan Ho
Tong itu dimanfaatkan oleh Lui Kong-sim dan
teman-temannya, ditunggangi untuk mendapatkan
popularitas. Sementara bagi Cu Tong-liang, tak ada
yang patut diperhatikannya saat itu kecuali
menolong Siau Hiang-bwe. Mereka tiba di bekas rumah almarhum Ciu
Koan yang di sekitarnya penuh bendera-bendera
bertulisan "huruf suci" itu, dan kali ini tidak usah
mengetuk pintu, karena dari pagi hingga sore
pintunya terbuka terus. Ruang bekas kediaman Ciu Koan itu dijadikan
tempat pemujaan, dipenuhi patung dan gambar
penguasa-penguasa gaib, orang hilir mudik keluar
masuk untuk membakar dupa dan bersujud dan
memohon macam-macam di situ. Beberapa orang
yang datang maupun meninggalkan tempat itu
menyapa Pang Se-bun dan Cu Tong-liang dengan
hormat. Yang satu adalah orang kepercayaan Guru
Wong, yang lain adalah pelatih peng-hoat (teori
militer) bagi pengawal-pengawal Seng-tin.
Pang Se-bun dan Cu Tong-liang tidak melalui
ruang depan yang penuh orang bersujud,
melainkan memutar lewat halaman samping.
Halaman yang luas itu mengingatkan Pang Se-bun
ketika ia masih berlatih di situ di bawah asuhan
guru silat Ciu Koan dulu.
413 Tetapi ketika ia hendak melangkah masuk ke
bangunan induk, kediaman Wong Lu-siok, mereka
dicegat oleh Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li yang
sama-sama berwajah murung.
Sebelum Pang Se-bun berdua mengatakan
apapun, Ek Yam-lam sudah mendahului, "Kakak
Pang, Saudara Cu, aku mohonkan maaf sebesarbesarnya, bahwa kali ini pun Guru Wong tidak bisa
ditemui." Di depan Cu Tong-liang yang termasuk "orang
luar" dalam ajaran keyakinan, tentu saja Ek Yamlam tidak menceritakan kalau saat itu Wong Lusiok sedang babak-belur tubuhnya dan tidak
mungkin dilihat orang. Bukan karena dihajar orang
lain, melainkan oleh penguasa gaib, menggunakan
tangan Wong Lu-siok sendiri.
"Aku ingin melihat keadaan temanku," kata Cu
Tong-liang. Ciu Bian-li mengerutkan alisnya, suaranya
dingin, "Tuan Cu, Si pengutuk durhaka yang
menghujat Ratu Langit itu kauanggap temanmu"
Tuan Cu, kata-katamu itu bisa menyulitkan dirimu
sendiri." Cu Tong-liang termangu-mangu. Memang reputasinya di mata orang-orang Seng-tin bisa
hancur lebur kalau sampai orang-orang tahu
bahwa "si pembawa kutukan" adalah temannya,
bahkan teman seperjuangan selama berbulanbulan dan teman sekeyakinan pula. Jangan-jangan
Cu Tong-liang sendiri akan dianggap juga sebagai
"pembawa kutukan?"
414 Meski niatnya menolong Siau Hiang-bwe tidak
berkurang sedikit pun, tetapi Cu Tong-liang tidak
berani terlalu mendesak, kuatir menimbulkan
kecurigaa orang. Namun diam-diam ia mengamatamati bagian belakang dari bangunan yang luas
itu. Ia melihat, merapat pada dinding belakang ada
deretan ruangan yang sempit-sempit dengan pintu
kayu yang tebal-tebal dan tertutup semuanya.
Ruang-ruang tanpa lubang sedikit pun, dan Cu
Tong-liang langsung memperkirakan bahwa di
salah satu ruangan itulah Siau Hiang-bwe
dikurung. Cu Tong-liang yang sedikit banyak sudah hapal
tempat-tempat di kota kecil itu, diam-diam
membatin, "Kalau tidak salah, di belakang dinding
itu adalah kebun kosong yang menyambung
dengan kandang ternaknya si tua Han. Dari situ,
nanti malam akan kupanjat dinding."
Setelah meninggalkan rumah itu, Cu Tong-liang
menyibukkan diri seharian penuh untuk menunggu hari menjadi gelap. Sayup-sayup di hati
kecilnya ada dorongan untuk menggunakan waktu
bersama Liu Yok, namun niat yang sayup-sayup
itu segera tertimbun padam oleh keengganannya
kepada Liu Yok. Ada anggapan, bahwa dalam
urusan ini Liu Yok tidak berarti apa-apa.
Ketika matahari condong ke barat, Cu Tongliang yang sudah menyiapkan diri itu pun
menyelinap ke kebun kosong di belakang rumah
almarhum Ciu Koan. Sengaja tidak mengajak
siapa-siapa, termasuk Pang Se-bun, sebab
bukankah tempat yang hendak digerayangi ini
415 merupakan tempat yang dihormati oleh Pang Sebun" Kini Cu Tong-liang menunggu sampai benarbenar sepi.
Ketika sudah gelap dan sepi, bagaikan seekor
kucing saja Cu Tong-liang melompat dan hinggap
di atas dinding belakang. Ia celingukan sebentar,
dan tidak melihat seorang pun di bagian dalam
dinding. Hanya bau dupa yang menyengat,
ditambah semilir angin malam dan suara benderabendera besar bertulisan "huruf suci" yang
digerakkan angin, yang menimbulkan perasaan
agak aneh pada Cu Tong-liang, namun Cu Tongliang tidak terlalu menggubris perasaannya itu.
Lompatan berikutnya, Cu Tong-liang berada di
atas genteng dari deretan bilik-bilik sempit yang
dijadikan sel-sel kurungan itu. Cu Tong-liang tidak
tahu Siau Hiang-bwe dikurung di sel yang mana,
maka ia putuskan untuk membongkar saja sel-sel
itu satu persatu, toh jumlahnya tidak lebih dari
sepuluh, hingga diperkirakan takkan makan
banyak waktu. Ternyata, begitu ia membongkar genteng dari
balik paling ujung, dan cahaya rembulan yang
redup masuk menyoroti ke dalam bilik, mata Cu
Tong-liang yang tajam langsung melihat sesosok
tubuh wanita meringkuk di pojok bilik, sedang
tidur. Cu Tong-liang melompat turun, membangunkan
orang itu, dan ketika orang itu mengangkat
wajahnya maka memang orang itu adalah Siau
Hiang-bwe, "Kakak Liang...." desis orang itu lirih.
416 "A-kui, ayo kita pergi...."
"Aku tidak bisa melompat setinggi itu....."
Cu Tong-liang menegakkan tubuh Siau Hiangbwe, lalu memegangi pinggangnya. Sesaat Cu
Tong-liang mengumpulkan tenaga, lalu melompat
ke atas sambil membawa Siau Hiang-bwe.
Keduanya mendarat di atas genteng. Cu Tong-liang
sangat lega meskipun agak heran juga bahwa
tubuh Siau Hiang-bwe begitu ringan.
"Apakah penderitaan yang baru-sehari semalam
ini menyusutkan berat badan Siau Hiang-bwe
sebanyak itu?" Namun Cu Tong-liang tidak sempat buangbuang waktu memikirkan itu. Kembali ia menarik
tangan Siau Hiang-bwe untuk melompat ke
dinding, lalu melompat turun ke luar dinding.
"Kita selamat...." desis Cu Tong-liang.
Sambil menggandeng Siau Hiang-bwe, Cu Tongliang mengendap-endap mencari jalan yang aman
sampai ke pinggiran kota yang berbatasan dengan
padang ilalang. "Kita akan menuju pondok Paman Kian untuk
mengambil barang-barangmu, sesudah itu kita
ajak Liu Yok pergi malam ini juga," kata Cu Tongliang. "Kau kuat berjalan, A-kui?"
Siau Hiang-bwe hanya mengangguk lemah,
sehingga Cu Tong-liang menambahkan, "Kalau kau
tidak kuat berjalan, aku dan Liu Yok akan
bergantian menggendongmu."
417 Waktu mengucapkan itu, sebenarnya hati Cu
Tong-liang merasa berat juga. Ia sudah punya
beberapa teman baik di Seng-tin, ia juga
menikmati penghormatan dan penghargaan, tetapi
semuanya itu harus ditinggalkannya secara diamdiam demi menyelamatkan Siau Hiang-bwe.
Ketika mereka mulai melangkah memasuki
padang ilalang, tiba-tiba di ujung jalan terdengar
derap beberapa orang yang berjalan sambil
mengobrol. "Para peronda kota...." desis Cu Tong-liang.
"Rundukkan kepalamu lebih rendah dari tinggi
ilalang." Beberapa malam yang lalu, kedatangan para
peronda itu melegakan Cu Tong-liang, ketika ia
kewalahan menghadapi Beng Hek-hou yang
berubah wujud jadi macan hitam. Sekarang
peronda-peronda itu mencemaskannya, Cu Tongliang tidak ingin kepergok mereka biarpun dialah
salah satu pelatih peronda-peronda itu.
Setelah peronda-peronda itu lewat, Cu Tongliang kembali meneruskan perjalanan menerobos
ilalang sambil menggandeng Siau Hiang-bwe. Cu
Tong-liang juga terus mengucapkan kata-kata yang
menguatkan semangat Siau-Hiang-bwe.
Ketika perjalanan sudah tiba di tengah-tengah
padang ilalang yang gelap dan sepi, baru terdengar
suara Siau Hiang-bwe yang lemah, "Kakak Liang,
aku berterima kasih untuk usaha yang Kakak
lakukan untukku, di dunia lain pun aku akan
tetap mengenang kebaikan Kakak. Tidak perlu
418 Kakak bersusah-payah untukku, sebab segala
derita sekarang ini sudah berlalu."
Cu Tong-liang merasa tidak enak mendengar
kata-kata Siau Hiang-bwe, apalagi ia merasa
tangan Siau Hiang-bwe yang dipegangnya itu
sedingin es. Buru-buru Cu Tong-liang melepaskannya lalu menatap Siau Hiang-bwe.
Dalam kegelapan, Cu Tong-liang memperhatikan
sosok Siau Hiang-bwe yang nampak cantik tetapi
419 pucat dan berwajah sedih. Rambutnya dan
pakaiannya berkibar-kibar terhembus angin malam. Ketika Cu Tong-liang memperhatikannya


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih cermat, dia pun merinding, sebab dilihatnya
meskipun Siau Hiang-bwe itu kelihatannya berdiri
biasa namun kesannya mengambang di udara.
"A-kui, kau...."
Dengan suara sedih, Siau Hiang-bwe berkata,
"Kakak Liang, saat ini aku sudah menjadi badan
halus, akibat penganiayaan kejam orang-orang
Seng-tin. Kita takkan bertemu lagi. Aku hanya bisa
titip salam dan ucapan terima kasih untuk Kakak
Yok dan Paman Kian juga. Kalau mungkin,
usahakanlah abu jenazahku bisa dikembalikan ke
rumahku di Lam-koan. Aku juga mohon Kakak
membalaskan sakit hatiku ini... Kakak Liang,
jagalah dirimu baik-baik...."
Sambil mengeluarkan kata-kata itu, sosok
tubuh itu makin kabur, seolah mencair dengan
udara. Lenyap. Cu Tong-liang membeku di tempatnya, perasaannya bercampur-aduk. Sepanjang umurnya, ia belum pernah melihat arwah,
meskipun ia pernah melihat mahluk jadi-jadian
macam Beng Hek-hou. Tetapi sekarang ia sudah
melihat sosok badan halus yang mengaku
arwahnya Siau Hiang-bwe itu. Ucapan-ucapan Si
Badan Halus tentang Liu Yok, Tabib Kian dan diri
Cu Tong-liang tadi begitu menyentuh hati, juga
pesan untuk membawa abu jenazahnya ke Lamkoan, sedangkan pesannya untuk membalas sakit
hati kepada orang-orang Seng-tin, membuat
420 perasaan Cu Tong-liang campur-aduk antara gusar
dan bingung. Gusar karena Siau Hiang-bwe yang
disayanginya seperti adik sendiri itu mengaku
dipelakukan kejam orang-orang Seng-tin, dan
bingung karena banyak orang Seng-tin sudah
menjadi kenalan baiknya, seperti Pang Se-bun.
Setelah kesedihannya pelan-pelan terkendali,
Cu Tong-liang pun berpikir, "Akan kumanfaatkan
hubungan baikku dengan Pang Se-bun dan
pengawal-pengawal kota yang terlatih, untuk
menangkap orang-orang yang menangkap dan
menganiaya A-kui, seperti Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng." Cu Tong-liang sadar, tidak mungkin menghukum seluruhnya yang terlibat karena
hampir seluruh Seng-tin terlibat.
Yang harus dibalas ya hanya penggerakpenggeraknya saja, macam Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng. Cu Tong-liang menengadah ke langit, dan seolah
bicara kepada Siau Hiang-bwee, "A-kui, tenanglah
di sana, aku akan mengurus rasa penasaranmu
sampai tuntas." Cu Tong-liang merasa kata-katanya "didengar Akui" sebab di tempat itu tiba-tiba tercium bau yang
khas, bau pupur kegemaran Siau Hiang-bwe.
Lalu ia pun mulai melangkah kembali ke arah
Seng-tin yang sedang terlelap, sambil kadangkadang merinding juga. "Pantas, tadi A-kui waktu
kugandeng terasa begitu ringan. Kiranya yang
kugandeng tadi adalah arwah...."
421 Baru beberapa langkah ia berjalan, di
belakangnya terdengar suara gemerisik ilalang
yang terinjak. Cu Tong-liang membalik tubuh
dengan cepat, kuatir ketemu Beng Hek-hou lagi. Ia
melihat sesosok tubuh laki-laki berjalan mendekatinya, dan meskipun malam gelap, namun
gaya berjalan orang itu dikenalinya baik-baik.
"Saudara Liu...." sapanya.
"Kakak Liang, menemuimu." syukurlan "Saudara Liu memang Malam-malam begini?"
ingin aku berhasil menemuiku" "Ya. Oleh dorongan hati kecil."
Cu Tong-liang tidak kaget mendengar alasan Liu
Yok yang "sepele" itu, sebab sudah biasa
mendengarnya, sudah ratusan kali mendengar.
Alasan itu bagi Liu Yok adalah jauh lebih kuat dari
alasan yang rumit-rumit dengan istilah-istilah
hebat-hebat sekalipun. Kata Cu Tong-liang kemudian, dengan sedih.
"Saudara Lui, aku tidak menyalah-kanmu,
melainkan ini adalah kesalahan kita berdua, yaitu
dulu tidak membela A-ku ketika hendak dibawa
orang-orang Seng-tin. Akibatnya... akibatnya...."
suara Cu Tong-liang jadi tersendat sedih.
Potong Liu Yok dengan kalem. "Justru itulah
yang mendorongku untuk bangun malam-malam
dan menyusulmu ke sini. Untuk menyelamatkan
Kakak Liang dari tipuan yang merobek jiwa
Kakak." 422 "Hah! Tipuan?" "Kakak pikir A-kui sudah mati lalu arwahnya
bicara kepada Kakak, begitu kan?"
Cu Tong-liang heran. Ia belum bercerita tentang
arwah segala, kok Liu Yok juga sudah tahu" Cu
Tong-liang cuma menggumam mengiakan.
Kata Liu Yok, "A-kui masih hidup. Ia menderita
aniaya jiwa dan aniaya raga. Ia dicambuk,
dilempari buah-buahan busuk dan telur busuk.
Dihina, dituduh tidak semestinya, rambutnya
digunting." "Ha, Saudara Liu tidak pernah meninggalkan
gubuk Paman Kian, kok tahu?"
"Hati kecilku pergi bersama A-kui dan tahu pasti
apa yang A-kui alami. Tetapi jangan sedih,
penderitaan itu membongkar semua sumbat yang
selama ini menghalang-halangi penyaluran sumber-sumber ilahi dalam dirinya. A-kui akan
menaklukkan segenap penguasa gaib di Seng-tin,
lihat saja.." "Tetapi arwah A-kui menjumpaiku. Itu benarbenar A-kui."
"Bukan. Itu suatu mahluk gaib yang menyamar
A-kui, itu biasa diperbuat oleh mahluk-mahluk
yang jahat itu, sehingga penyamaran yang amat
persis itu menyesatkan manusia yang masih hidup
dengan pesan-pesan palsu dari dunia sana, seolaholah dari pihak keluarga yang mati, padahal
bukan." "Padahal begitu persis."
423 "Di situlah bahayanya. Begitu persis."
"Jadi.. yang bersamaku tadi bukan... arwah Akui?"
Cu Tong-liang merinding ketika mengucapkannya. Jadi tadi ia tidak menghadapi
"A-kui yang sudah jadi badan halus" melainkan
hantu sungguhan. Jawab Liu Yok, "Kalau yang tadi itu A-kui, pasti
tidak takut menemui aku. Aku lebih akrab
kepadanya daripada Kakak Liang. Yang ganjil lagi,
A-kui takkan menyuruh Kakak untuk membalaskan sakit hatinya kepada orang Seng-tin
segala. A-kui pastilah justru akan memohon Kakak
memaafkan mereka." Cu Tong-liang menarik napas, "Jadi, aku sudah
tertipu." "Tidak usah penasaran, Kakak Liang. Penipumu
itu sudah kuhukum dengan hukuman paling
keras." Cu Tong-liang mengangguk-angguk, sambil
membatin, "Inilah Liu Yok. Mahluk-mahluk gaib
yang menakutkan bagi sebagian besar orang,
sampai harus diberi sajen agar tidak marah dan
menimbulkan bencana, oleh Liu Yok diperlakukan
'sewenang-wenang' saja. Aku heran, Liu Yok ini
tidak kualat-kualat juga dengan omongannya yang
ceplas-ceplos ini?" Dalam hati kecil Cu Tong-liang terdengar ada
yang bersuara, "Nah, aku yang selama ini
meremehkan Liu Yok, kalau begini, siapa yang
lebih berkuasa" Liu Yok yang memperlakukan
mahluk-mahluk gaib jahat seenaknya tanpa
424 kualat, atau Wong Lu-siok dan pengikutpengikutnya yang melakukan atraksi-atraksi hebat
dengan bantuan mahluk-mahluk gaib dan memberi
sajen agar mahluk-mahluk gaib tidak marah?"
Namun yang terucap lewat bibir Cu Tong-liang
ialah, "Saudara Liu, kenapa penglihatan kita bisa
tertipu oleh mahluk-mahluk dunia lain itu?"
"Latihlah menggunakan penglihatan sejatimu
yang tak bisa tertipu, Kakak Liang. Penglihatan
pengertian yang bersumber dari sabda-Nya.
Penglihatan sejati itu melihat segala sesuatu yang
sebenarnya, sedangkan penglihatan jasmaniah bisa
tertipu karena hanya bisa melihat segala yang
semu di alam kasar."
"Saudara Liu, aku merasa tidak enak kalau
teringat sikapku dalam beberapa hari ini
terhadapmu. Yang paling kasar ialah sikapku
kemarin, di pondok Tabib Kian, waktu A-kui
hendak ditangkap." "Jangan menyalahkan diri, Kakak Liang. Itu
bukan sikapmu, kok."
"Bukan sikapku?"
"Ya. Ada pribadi lain dalam jiwamu yang
mendorongmu untuk bersikap begitu kepadaku."
Dalam beberapa hari terakhir Cu Tong-liang
memang merasa aneh dengan tabiatnya sendiri.
Keanehan yang jika tidak direnungkan sungguhsungguh takkan terasakan. Ia merasa, dalam sifattabiat-nya seperti "ketambahan" beberapa unsur
yang dulu belum ada. Tanpa ujung pangkal, ia
tiba-tiba punya sikap meremehkan Liu Yok,
425 membanding-bandingkan dengan Wong Lu-siok
yang Cu Tong-liang anggap jauh lebih unggul,
bahkan sikap itu berubah jadi sikap membenci dan
ingin menentang Liu Yok. Selagi Cu Tong-liang
bingung dengan keanehan diri sendiri, tahu-tahu
sekarang didengarnya Liu Yok berkata bahwa "ada
yang mendorongnya dalam jiwanya".
"Apakah Saudara Liu ingin
bahwa... aku sudah... kemasukan...."
mengatakan "Nampaknya begitu, Kakak Liang."
"Mana bisa" Aku belum pernah menyangkal
iman yang Saudara Liu ajarkan kepadaku. Aku
masih tetap merasa sebagai ranting yang menyatu
dengan batangnya." "Kita dicipta Yang Maha Kuasa dengan diberi
kehendak bebas. Ini adalah anugerah terbesar-Nya
kepada mahluk ciptaan-Nya yang termulia. Dengan
kehendak bebas itu, kita leluasa memilih untuk
'bersujud kepada-Nya atau mengingkari-Nya.
Kehendak bebas itu juga memberi suatu resiko
kepada kita. Biarpun kita sudah menerima
anugerah-pemulihan-Nya, tetap kehendak bebas
kitalah yang menentukan apakah jiwa kita tetap
bersih atau kemasukan unsur-unsur yang kotor.
Kalau kita berkehendak memilih menjaga hati kita,
Dia menyediakan kekuatan-Nya, bukan dengan
kekuatan kita sendiri. Kalau kita berkehendak lain,
kekuatan-Nya tidak bekerja dengan mengabaikan
kehendak kita. Itu berarti, kita tidak kebal godaan,
melainkan tetap diberi kesempatan memilih. Kalau
kita ingin menolak godaan, kekuatan-Nya tersedia
buat kita. Kalau kita memilih menuruti godaan,
426 kekuatan-Nya tidak dengan paksa menyeret kita.
Karena tidak kebal godaan itulah maka jiwa kita
masih bisa dimasuki apa-apa yang tidak berkenan
kepada-Nya. Misalnya pikiran-pikiran jahat,

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan mahluk-mahluk gaib penghasil pikiran
jahat itu sendiri bisa mendiami pikiran kita.
Terjaganya jiwa kita adalah tanggung jawab kita."
"Saudara Liu, aku tidak pernah dengan sengaja
membukakan jiwaku buat pikiran-pikiran jahat,
apalagi mahluk-mahluk gaib yang jahat. Memangnya aku sudah gila, dan tidak kapok
setelah pengalaman pahitku di Lam-koan?"
"Aku percaya Kakak Liang belum pernah secara
sengaja mengundang masuknya mahluk-mahluk
gaib ke dalam dirimu. Tetapi bagaimana kalau
secara tidak sengaja?"
"Kalau secara kemasukan?" tidak sengaja, apakah bisa "Lho, yang namanya maling, kalau melihat pintu
terbuka ya langsung masuk dan mencuri. Tidak
peduli pintu-nya itu sengaja dibuka atau tidak
sengaja." Cu Tong-liang membungkam, takut mengakui
apa yang terjadi dalam dirinya sendiri.
Kata Liu Yok pula, "Kakak Liang, selama Kakak
beberapa hari ada di Seng tin, Kakak melihat
pengawal-pengawal kota memamerkan kehebatan
mereka dalam berjalan di atas api, makan beling,
kebal senjata, mempengaruhi, pikiran orang
dengan pandangan mata dan sebagainya. Kakak
kagum. Nah, kekaguman itulah sebuah celah
427 terbuka yang bisa diterobosi oleh musuh-musuh
sejati kita. Musuh abadi umat manusia."
"Astaga, baru kagum saja sudah berakibat
begitu?" "Karena kagum berarti memberi tempat di hati."
"Tetapi, Saudara Liu, bukankah kita sedang
membicarakan kekuatan-kekuatan gaib yang
jahat" Padahal kekuatan-kekuatan gaib yang
dipraktekkan orang-orang Seng-tin itu tidak jahat.
Itu kekuatan gaib putih."
"Di sini banyak orang terjebak. Belajar sesuatu
yang gaib itu berbahaya, bisa-bisa yang menuntunnya adalah mahluk-rnahluk jahat yang
berpura-pura baik, menyamar sebagai arwah orang
suci, arwah nenek moyang dan sebagainya. ini
memberi tempat kepada mahluk-rnahluk jahat
untuk pura-pura menuntun tetapi menjerumuskan." "Tetapi kenapa kekuatan gaib Wong Lu-siok
bertentangan dengan kekuatan gaib Beng Hekhouw"
Beng Hek-hou jahat, maka yang menentangnya pasti kekuatan yang baik."
"Kakak Liang, dunia ini dibawah pengaruh satu
penguasa gaib yang maha jahat, Si Malaikat
Durhaka yang dibuang dari sorga itu. Dia dibantu
bermiiyar-milyar mahluk-rnahluk gaib yang mengikuti kejahatannya. Untuk dapat menguasai
manusia, mereka harus menciptakan perasaan
butuh dalam diri manusia. Untuk menimbulkan
rasa membutuhkan itu, mahluk-mahluk itu yang
pertama-tama mengganggu manusia, menimbulkan
428 bencana, entah melalui alam atau manusia. Lalu
manusia merasa butuh penolong, mahluk-rnahluk
itu pun datang berlagak penolong, dipuja,
menguasai nasib pemuja-pemujanya. Tentu saja
mereka menyebut diri mereka sebagai penguasapenguasa gaib 'yang baik'."
"Tetapi orang-orang seperti Pang Se-bun, dan
adiknya yang bernama Pang Se-hiong, serta adik
ipar mereka yang bernama Un Lip-tong, adalah
orang-orang yang baik. Kulihat sikap mereka
begitu baik dan tidak dibuat-buat."
"Aku percaya, Kakak Liang. Bahkan, orang yang
bernama Wong Lu-siok itu pun hatinya amat
tulus." "Saudara Liu sudah menemuinya?"
"Dalam batin," sahut Liu Yok.
Jawab Liu Yok yang berkesan "seenaknya"
macam itu sudah terbiasa di kuping Cu Tong-liang,
namun tiap kali Cu Tong liang masih jengkel juga
mendengarnya. Kalau bukan Liu Yok yang bicara,
mungkin sudah dibantahnya, namun kalau Liu
Yok yang mengatakannya, lucunya apa yang
dikatakan itu benar-benar kenyataan. Misalnya Liu
Yok bilang pernah mengunjungi suatu tempat
"dalam batin" lalu menguraikan keadaan tempat
itu, dan suatu kali Cu Tong-liang melihat tempat
itu benar-benar seperti yang pernah "dilihat dalam
batin" oleh Liu Yok ini. Atau bahkan hanya dalam
mimpi. Kata Liu Yok, "Menurutku, Wong Lu-siok itu
orang jujur dan tulus. Ia mendambakan sebuah
429 dunia yang aman, damai, penduduknya bermoral.
Dan ia tergiur ketika tiba di Bukit Buaya Putih,
dan mengira dengan ajarannya itu maka dunia
seperti yang didambakannya itu. Dia tulus, dia
diperalat oleh mahluk-mahluk gaib yang bersembunyi di balik ajaran-ajarannya Pek-goksan."
"Jadi mahluk-mahluk gaib jahat itu juga bisa
menyiksa manusia dengan ajaran-ajaran rohani
yang nampaknya suci dan luhur, begitu?"
"Ya, dengan tuntutan-tuntutan dan hukumhukum agama yang tak bisa ditanggung oleh
manusia, maka orang itu tersiksa rasa bersalah,
bahkan ketakutan jangan-jangan sudah menimbulkan kemarahan Yang Maha Kuasa,
bahkan kesan kuat seakan-akan dirinya sudah
dikutuk. Ajaran-ajaran yang menghalang-halangi
pandangan batin manusia terhadap jalan anugerah
yang sudah tersedia. Menyimpangkan umat
manusia dari anugerah ke upaya sendiri. Saat ini
pun, Wong Lu-siok sedang teraniaya oleh yang
dipujanya sendiri." Hampir Cu Tong-liang bertanya dari mana Liu
Yok tahu, namun dibatalkannya karena mungkin
akan dijawab "dalam batin".
Mereka melangkah menuju ke pondok Tabib
Kian. Mereka berpapasan dengan sekelompok
serigala penghuni padang ilalang itu, namun
serigala-serigala itu mengacuhkan mereka, dan ini
membuat Cu Tong-liang keheranan.
430 "Saudara Liu, dapatkah hal-hal yang jahat
sudah terlanjur masuk jiwaku karena kelengahanku itu... dikeluarkan?"
"Bisa. Tetapi kalau Kakak tidak menutup
pintunya, percuma. Mereka bisa dikeluarkan tetapi
akan masuk kembali."
Bersambung jilid XI. *** Jilid 11 >o< KETIKA Ho Tong mendengar kabar bahwa Giam
Lok sakit keras kemudian sembuh kembali, Ho
Tong jadi merasa punya seseorang yang nasibnya
lebih kurang sama dengannya, dan ia ingin
mengunjungi Giam Lok. Tetapi sejak ia waras
kembali, Ho Tong belum pernah berani melangkah
keluar dari dinding-dinding rumahnya. Kenyataan
bahwa dia pernah menjadi orang gila yang
berkeliaran di Seng-tin membuatnya malu dilihat
orang. Maka kunjungannya kepada Giam Lok
dipilihnya malam hari, ketika jalanan sudah sepi,
agar sesedikit mungkin bertemu orang, bahkan
kalau mungkin tidak ketemu siapa-siapa. Ia
kenakan mantel panjang yang agak butut dengan
leher mantel dinaikkan tinggi-tinggi, lalu topi
rumput dipakai rendah-rendah dikepalanya.
431 "Mau ke mana malam-malam begini, A-tong?"
tanya Ho Kin yang belum tidur dan masih
mengisap pipa tembakau di kursi kesayangannya
dekat pintu. "Ke rumah Giam Lok, Ayah. Kalau ada yang
hendak mencariku, tolong jangan diberi tahu, ya?"
"Aku paham perasaanmu. Hati-hatilah."
"Hati-hati" Bukankah katanya gerombolan Beng
Hek-hou sudah pergi" Hati-hati terhadap apa?"
Si Ayah kebingungan menjawab, tadi waktu
memperingatkan Ho Tong agar hati-hati, ia bicara
begitu saja apa yang dikatakan hatinya. Tetapi
ketika ditanya anaknya, ia bingung menjelaskannya. "Ayah, apakah kota masih kurang
sehingga Ayah menyuruhku berhati-hati?"
aman, Ho Kin mengepulkan dulu asap tembakaunya,
dan menjawab kabur, "Apa salahnya berhati-hati"
Siapa tahu masih ada orang jahat berkeliaran di
pinggir kota?" "Baik, Ayah, aku akan berhati-hati."
Ho Tong keluar dari pintu depan dan mulai
menyusuri lorong-lorong Seng-tin yang gelap dan
berkabut tebal. Seperti yang diharapkannya, ia
tidak bertemu seorang pun.
Tiba-tiba dalam hati Ho Tong timbul keinginannya untuk tidak langsung menuju ke
rumah Giam Lok, melainkan hendak putar-putar
kota dulu. Ia ingin melihat-lihat Seng-tin sekarang.
Meskipun menurut cerita keluarganya ia berbulan432
bulan hilir-mudik di Seng-tin sebagai orang gila,
namun selama "jaman gila" itu yang dilihat Ho
Tong bukanlah Seng-tin, melainkan suatu tempat
asing yang menurut Ho Tong gelap terus, tak ada
matahari, suatu tempat yang penuh bukit-bukit
gersang dan gua-gua yang dihuni mahluk-mahluk
aneh atau mahluk-mahluk berdandan bangawanbangsawan jaman kuno, dalam gua-gua juga ada
manusia-manusia yang dirantai dan diperintah
semaunya oleh mahluk-mahluk itu.
Sambil melangkah sendirian di malam gelap itu,
Ho Tong menikmati suasana Seng-tian di malam
hari. Masih seperti dulu, bangunan-bangunannya
dan tempat-tempatnya tidak ada yang berubah
sedikit pun, namun Ho Tong merasakan
suasananya agak berubah. Terasa ada yang
menekan perasaannya, entah apa, Ho Tong tidak
bisa menterjemahkannya ke dalam kata-kata yang
masuk akal. Ho Tong juga melihat perbedaan lain, ia melihat
kota Seng-tin sekarang penuh bendera-bendera
berbagai ukuran dengan tulisan yang aneh-aneh.
"Mungkinkah di Seng-tin ini ditempatkan suatu
pasukan pemerintah untuk berjaga-jaga agar
jangan sampai diduduki gerombolan lagi" Tetapi
seluruh keluargaku dalam pembicaraannya tidak
sedikit pun menyingung tentang adanya pasukan
pemerintah di tempat ini. 3uga, kalau ada perajurit
pemerintah di sini, tidak perlu rasanya hampir
setiap rumah memasang bendera, tetapi kulihat


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak rumah memasang bendera aneh itu meski
dalam ukuran kecil."
433 "Besok akan kutanyakan kepada orang-orang di
rumah," pikir Ho Tong, "Ah, kenapa harus
menunggu besok" Barangkali Giam Lok juga tahu."
Setelah melalui beberapa lorong, Ho
kemudian melangkah ke rumah Giam Lok.
Tong Namun ketika pintu rumah Giam Lok sudah di
depan hidungnya, Ho Tong malahan jadi ragu-ragu
untuk mengetuk pintu, Soalnya, dari dalam rumah
Giam Lok terdengar pertengkaran. Suara yang
bertengkar itu ialah suara Giam Lok dan ibunya.
Terdengar suara Nyonya Giam yang melengking
tinggi, "Kau sungguh angkuh, A-liok. Kau sudah
sembuh, tetapi kau menganggap itu hanya hasil
dari semangatmu yang besar, bukan anugerah
para dewa, aku tidak menanggung kalau kau bakal
menanggung kemarahan yang lebih berat dari para
dewa." Suara Giam Lok pun bernada tinggi emosional,
"Kemarahan dewa siapa" Dewa Lui Kong-sim" Yang
begitu berkuasa menetapkan, orang bersalah dan
menghukumnya?" Ho Tong sebenarnya ingin mampir, namun
setelah mendengar itu lalu tidak jadi mampir.
Tetapi ketjka ia baru saja melangkah meninggalkan
pintu, didengarnya pintu terbuka dengan keras
dari dalam, dan suara Giam Lok, "Aku tidak betah
lagi di rumah ini! Rumah penuh tahyul dan omong
kosong!" Dan suara Nyonya Giam dari dalam rumah,
"Minggat dari rumah ini, anak keras kepala!
Kekeras-kepalaanmu yang tidak mau mengakui
434 para dewa itu bisa menyebabkan rumah ini kena
kutuk! Enyah dari sini! Itu lebih baik!"
Lalu Nyonya Giam melangkah ke pintu dan
memasang palang pintu di sebelah dalam pintu.
Giam Lok kini berada di luar pintu, di tengah
malam yang dingin dan berkabut. Dengan masygul
ditatapnya pintu rumahnya yang sudah tertutup
dari dalam itu. Sambil menghela napas berat, Giam Lok lalu
melangkah pergi sambil mendekapkan tangannya
menahan dingin, tetapi langkahnya tertegun ketika
melihat sesosok bayangan bermantel panjang dan
bertopi berdiri tidak jauh dari pintu rumahnya.
Giam Lok terkesiap. "Siapa kau" Mata-mata Lui
Kong-sim?" Ho Tong heran mendengar pertanyaan itu,
apakah kota Seng-tin yang dulunya orangorangnya begitu rukun dan akrab seperti keluarga
besar itu, sekarang terbiasa saling memata-matai"
Apalagi sesama murid guru silat Ciu Koan, dulu
ikatannya melebihi ikatan saudara sedarah, dan
baik Giam Lok maupun Lui Kong-sim sama-sama
murid dari guru silat itu.
"Kakak Lok, aku... Ho Tong...."
Giam Lok membeku beberapa saat mendengar
nama itu, tetapi dia pun sudah mendengar
sembuhnya Ho Tong, maka buru-buru dia
menyambut teman lama itu, "Saudara Ho! Aku
dengar kau sudah sembuh! Selamat!"
435 Kedua sahabat itu saling menyambut seolaholah berpisah dari tempat-tempat yang saling
berjauhan, padahal selama ini mereka sama-sama
di Seng-tin, tetapi komunikasi mereka terputus
sekian lama gara-gara Ho Tong gila.
Kata Ho Tong, "Kakak Lok, sebenarnya aku
berniat mengunjungimu, dan aku mohon maaf
sebesar-besarnya bahwa aku tanpa sengaja telah
menangkap pembicaraanmu dengan ibumu. Itu
kurang sopan. Aku baru hendak bermaksud
meninggalkan tempat ini untuk menunda kunjungan di lain kali saja, tetapi engkau sudah
keluar pintu." Dengan menunduk murung, Giam Lok melangkah menjauhi rumah itu, sambil berkata,
"Begitu keraskah suara pertengkaran kami,
sehingga kau mendengarnya, Saudara Ho?"
"Ya maklum, orang sedang emosi," jawab Ho
Tong tak langsung. Giam Lok menarik napas. "Sudahlah. Nanti
kalau akal sehat ibuku sudah kembali, aku bisa
bicara baik-baik kepadanya. Sekarang ini, ia
sedang dikuasai emosinya, dan juga macammacam cerita dongeng yang tidak masuk akal. Eh,
Saudara Ho, kenapa kau mengunjungiku malammalam begini?"
"Kakak Lok tahu, aku ini bekas orang ... tidak
waras. Kalau aku terlihat ada di jalanan oleh warga
kota lainnya, terutama anak-anak kecil bagaimana
perasaanku" Maka kupilih malam-malam seperti
ini untuk mengunjungi Kakak Lok?"
436 "Ada keperluan tertentu?"
"Tidak, cuma mau ngobrol saja. Sumpek
rasanya di rumah terus. Kakak Giam ada waktu?"
"Aku senang ada yang diajak mengobrol,
Saudara Ho. Tetapi kau lihat sendiri bahwa aku
baru saja diusir dari rumahku. Jadi, kita harus
cari tempat dulu." "Bagaimana kalau rumahku?"
"Tidak, Saudara Ho. Bukankah di rumahmu ada
ayah ibumu, kakakmu dan anak isterinya serta
adik perempuanmu" Aku ingin bicara lebih leluasa
hanya kepadamu, Saudara Ho."
"Jadi di mana?"
Giam Lok memperlambat langkahnya karena
sedang berpikir, lalu katanya, "Eh, bagaimana
kalau di bekas rumah Kakak Yam-lam?"
"Kenapa Kakak Lok menyebutnya 'bekas
rumah'" Memangnya Kakak Lam sendiri ke mana?"
"Kakak Lam sekarang menjadi orang kepercayaan Wong Lu-siok, dia tinggal di rumah
bekas perguruan silat kita dulu dan rumahnya
yang di pinggiran kota tidak ditempati lagi."
"Kambing-kambingnya?"
"Selama gerombolan Beng Hek-hou menguasai
kota ini, kambing-kambingnya habis dijadikan
bahan pesta pora gerombolan. Kabarnya pula,
untuk memperkuat ilmu sihir hitamnya, Beng Hekhou setiap hari harus memakan satu jerohan
kambing, mentah-mentah."
437 Ho Tong agak mual. "Kok seperti macan saja?"
"Ilmunya Beng Hek-hou ini namanya saja 'ilmu
macan hitam'." Entah kenapa, pikiran Ho Tong tiba-tiba
melayang ke pengalaman anehnya ketika ia
"mengembara di tempat asing yang gelap terus"
dan di tempat itu penguasanya adalah seekor
"macam hitam yang bisa berjalan dan bicara
seperti manusia", sebelum Si Macan Hitam itu
diambil-alih tempatnya oleh mahluk-mahluk langit
yang berdandan seperti para pangeran, puteri
bangsawan dan panglima-panglima jaman kuno
dan pasukan mahluk-mahluk anehnya. Tetapi Ho
Tong diam saia soal itu, sebab dianggapnya Giam
Lok belum tentu bisa menerima ceritanya itu.
Kalau didengar dari kata-katanya sejak dulu, Giam
Lok ini agaknya orang yang mendewakan akalnya,
otaknya, menuntut segala sesuatu harus bisa
dijelaskan dengan akalnya sebelum ia mau
mempercayainya. Mereka pun melangkah maju ke rumah kosong
bekas kediaman Ek Yam-lam.
Tetapi sebelum sampai ke tempat itu, ketika
mereka lewat persimpangan antara dua lorong,
tiba-tiba Giam Lok menarik tangan Ho Tong untuk
buru-buru diajak bersembunyi di semak-semak
belukar yang gelap di pinggir jalan. Ho Tong
hendak bicara, tetapi mulutnya lebih dulu dibekap
oleh telapak tangan Giam Lok yang sambil
membisikkan "ssst" ke kuping Ho Tong, menyuruh
Ho Tong diam. 438 Ho Tong tidak melawan, ia mendekam membisu
di balik semak-semak bersama Giam Lok.
Ternyata, yang membuat Giam Lok bersikap
macam itu tak lain adalah serombongan orang
yang melangkah dari ujung lorong lain, jumlahnya
ada kira-kira lima enam orang. Mereka bicara
sambil tertawa-tawa. Ho Tong mengenal salah satu
suara itu adalah suara Lui Kong-sim, juga bekas
murid Ciu Koan, alias teman seperguruan Ho Tong
dan Giam Lok. "Bukan siapa-siapa, itu suara Kakak Sim." bisik
Ho Tong kepada Giam-lok, lalu ia sudah hendak
berdiri keluar dari persembunyiannya, tetapi Giam
Lok menahan pundaknya sambil membisikinya,
"Jangan keluar. Nanti kujelaskan."
Ho Tong heran, tetapi menurut. Hanya dalam
hatinya membatin. "Kota ini belum berubah
bangunan-bangunannya, tetapi orang-orangnya
sudah berubah. Apa yang terjadi?"
Sementara Lui Kong-sim dan beberapa temannya itu makin dekat, dan terdengar suara
Lui Kong-sim sambil tertawa. "Lagaknya yang
garang itu hanya mempan digunakan untuk
memeras perempuan tua tak berdaya seperti Bibi
Yao. Masa, minta 'uang tutup mulut' kok hampir
setiap hari. Tetapi begitu berhadapan dengan kita,
dia pun menggigil seperti tikus ketemu kucing."
"Uang yang dikembalikannya itu apakah akan
kita kembalikan kepada Bibi Yao?"
Terdengar Lui Kong-sim menjawab, "Tentu.
Tetapi kurasa... Bibi Yao akan cukup rela kalau
439 hanya menerima separuhnya saja, dia tetap akan
berterima kasih kepada kita yang sudah
membebaskan dia dari pemerasan keterlaluan itu."
"Yang separuh buat kita?"
"Yah, masa jerih payah kita tidak dihargai?"
"Kalau begitu, mari kita ke rumahnya Paman
Ao, mudah-mudahan dia masih punya persediaan
arak yang cukup?" Mereka melewati tempat persembunyian Ho
Tong dan Giam Lok namun tidak memergokinya,
suara mereka makin jauh dan menghilang di ujung
lorong lain. Giam Lok dan Ho Tong keluar dari persembunyiannya, dan yang pertama ditanyakan
Ho Tong adalah, "Kakak Lok bermusuhan dengan
Kakak Sim?" Giam Lok menarik napas, "Tidak, tetapi memang
tidak baik kalau aku bertemu dengannya."
"Kenapa" Kakak Lok dan Kakak Sim dulu
berteman akrab." "Aku cuma kurang cocok dengan kelakuannya
belakangan hari ini. Ia menganggap dirinya begitu
berkuasa, tanpa ada warga kota yang mengangkatnya, dia mengangkat diri sendiri
sebagai penanggung-jawab keamanan kota ini. Ia
menghukum siapa saja yang dianggapnya melanggar ajaran suci."
"Ajaran suci" Ajaran apa itu?"
440 "Waktu kota ini dikuasai Beng Hek-hou dulu,
penduduk kota tidak berdaya mengusir Beng Hekhou yang jauh lebih kuat. Tetapi datanglah Wong
Lu-siok yang mengaku dirinya sebagai manusia


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pilihan yang diutus dari langit untuk memberitakan ajarannya di Seng-tin. Dia memang
berhasil mengusir Beng Hek-hou dan gerombolannya. Maka keranjinganlah orang-orang
Seng-tin mengikuti ajarannya, termasuk ibuku."
"Ooo, begitu?" "Ya. Sebagian orang Seng-tin memuja Wong Lusiok bagaikan dewa, tetapi pendapatku lain.
Menurutku, Wong Lu-siok ini hanya sekedar
mengambil-alih Seng-tin dari Beng Hek-hou. Jadi
Seng-tin sebenarnya tidak bebas. Cuma ganti
penguasa. Dulu Beng Hek-hou menguasai kota
dengan anak buahnya yang garang-garang,
sekarang Wong Lu-siok menguasai dengan ajaranajarannya yang membuat semua orang Seng-tin
tergila-gila mematuhinya. Wong Lu-siok tidak
memerlukan anak buah satu orang pun, sekarang
sebagian besar orang Seng-tin adalah pengikutnya,
dan mau saja diperintahkan untuk menindak
sesama warga yang dituduh 'melanggar ajaran
suci'. Coba, Saudara Ho, mana yang lebih jahat
antara penindasan Beng Hek-hou dengan penindasan Wong Lu-siok?"
Ho Tong ragu-ragu menjawab, sehingga Giam
Loklah yang menjawab pertanyaannya sendiri tadi.
"Dulu, ditindas oleh Beng Hek-hou, seluruh warga
bersikap sama menghadapi lawan yang sudah
jelas. Sekarang ditindas Wong Lu-siok, warga
441 saling mencurigai, lawan tidak jelas, bisa-bisa
adalah keluarga kita sendiri. Nah, Saudara Ho,
mana yang lebih buruk?"
"Sikap Kakak Lo sendiri bagaimana?"
"Aku akan memperjuangkan kebebasan Seng-tin
untuk kedua kalinya. Kali ini perjuangannya lebih
berat dan rumit, tidak cukup dengan otot dan
senjata, melainkan dengan ajakan agar warga kota
kembali menggunakan akal sehatnya. Saudara Ho,
kau sudah berkorban besar dalam perjuangan
membebaskan kota dari gerombolan Beng Hek-hou
dulu, maukah kau berjuang sekali lagi demi kota
ini, bersama aku?" Ho Tong belum pulih benar dari kenangan amat
buruknya, sekian bulan menjadi orang gila, dan
sekarang ia tidak buru-buru menyambut ajakan
Giam Lok itu. Malahan balik bertanya, "Siapa saja
sudah setuju untuk bergabung dengan Kakak
Lok?" Giam Lok menarik napas. "Terus terang saja,
baru aku sendirian. Tetapi kalau tidak ada yang
mau bergabung denganku, aku akan tetap
berjuang, biar sendirian. Aku rindukan Seng-tin
yang seperti dulu, Saudara Ho. Seng-tin yang
ramah, bersuasana kekeluargaan, tidak dibuatbuat. Bukan Seng-tin yang sekarang, saling
mencurigai, sok suci, penuh tahyul."
Baru saja Giam Lok bicara begitu, mereka tiba
di sebuah rumah berpagar kayu rendah, sehingga
orang lewat bisa melihat ke halaman rumah. Giam
Lok dan Ho Tong melihat di halaman samping
rumah itu ada seorang nyonya pendek gemuk
442 sedang duduk dalam sikap bersemedi di malam
gelap, hanya beralas tikar dan diterangi sebatang
lilin. "Lihat." Giam Lok berkata kepada Ho Tong
sambil menunjuk kepada Si Nyonya Pendek
Gemuk. "Dulu warga kota tidak ada yang anehaneh seperti itu, sekarang banyak. Malah, kalau
tidak aneh tidak normal."
Ho Tong menjawab "Aku kira, ini hanya
semacam keranjingan akan sesuatu yang sedang
jadi mode. Lama-lama juga akan surut sendiri."
"Yang kau sebut 'lama-lama' itu berapa lama,
Saudara Ho" Sebulan, dua bulan, setahun?"
Ho Tong tak menjawab, dan Giam Lok
meneruskan. "Yang terang, kalau kita tidak
bertindak, akan banyak korban jatuh. Contoh,
tahukah Saudara Ho bahwa ada pemuda kota ini
yang bernama Ciok Yan-bok, yang bunuh diri garagara tadinya ia dapat berjalan di api, lalu tidak
dapat lagi karena katanya 'tidak disertai lagi oleh
Hulubalang Api'?" Ho Tong kaget. "Hah" Ciok Yan-bok bunuh diri?"
"Dan tahukah Saudara Ho, bahwa di Seng-tin
ini sekarang banyak sesama anggota keluarga tega
saling menghajar, membunuh, memfitnah, hanya
gara-gara ajaran tak masuk akal itu" Korban akan
lebih banyak kalau kita tidak bertindak!"
"Apa andalan kekuatan Kakak
hendak menentang situasi ini?"
Lok hingga 443 "Semangat dan akal sehat manusia harus
dipulihkan. Semangat yang pantang menyerah
itulah yang menyembuhkan aku, dan menyembuhkanmu juga, Saudara Ho. Itulah yang
harus ditularkan kepada semua warga Seng-tin.
Berusaha dengan kekuatan sendiri, tidak bergantung kepada segala macam mahluk tak
terlihat." Ho Tong agak terpengaruh oleh semangat Giam
Lok itu. "Tindakan nyatanya apa, Kakak Lok?"
"Kumpulkan orang-orang
susun rencana." sepaham, berlatih, "Aku tertarik, tetapi apakah Kakak Lok mau
memberiku waktu untuk berpikir dulu?"
"Tentu!!" Di situ mereka berpisah. Giam Lok menuju ke
rumah kosong bekas rumah Ek Yam-lam,
sementara Ho Tong kembali ke rumahnya dengan
sedikit tambahan yang diketahui tentang kota
kelahirannya itu. Besoknya, Giam Lok memulai "kampanye"nya
tentang "akal sehat dan semangat manusia" itu
dengan muncul di tempat ramai, yaitu pasar.
Meskipun masih agak kurus, namun dengan sikap
ramah dia menyapa dan menyambut sapaan orangorang di pasar.
"Eh, kau sudah sembuh, A-liok!" tegur Si
Tukang Bakpao. "Benar, Paman."
444 "Ternyata tindakan kita menangkap Si Gadis
Pembawa Kutukan itu adalah tindakan tepat.
Buktinya, begitu gadis itu dikurung, penyakitmu
lenyap." "Gadis pembawa kutukan" Siapa?"
"Aku tidak tahu namanya, dia gadis asing yang
dalam beberapa hari ini berkeliaran di kota."
"Di mana dia sekarang?"
"Dikurung di kediaman Guru Wong."
"Seng-tin kota beradab, kota yang tahu aturan,
tidak boleh kita seenaknya saja menghukum orang
dengan alasan yang tidak masuk akal seperti
tuduhan 'pembawa kutukan' dan sebagainya."
"Seluruh kota yang memutuskan nasibnya. Kau
mau melawan seluruh kota?"
Giam Lok membungkam. Darahnya menggelegak, tetapi otaknya menahan untuk
bertindak atau berkata sembarangan. Jangan
sampai niatnya untuk "memperjuangkan kemenangan akal sehat" terbentur langkah
pertama hanya karena gara-gara salah bicara.
"Aku harus cari teman-teman sepaham dulu,
melebarkan pengaruh, baru bisa memperlihatkan
sikap." pikirnya. Di depan Si Tukang Bakpao itu pun Giam Lok
ganti haluan. "Kalau memang orang-orang Seng-tin
sudah mempertimbangkan matang-matang tindakannya, ya boleh-boleh saja. Eh, Paman, di
mana Si A-gun?" 445 Anak Si Tukang Bakpao itu memang teman
lama Giam Lok. Si Tukang Bakpao menjawab dengan bangga.
"A-gun terpilih sebagai salah seorang pengawal
kota kita ini. Hebat dia sekarang, aku pernah lihat
sendiri dia memanjat tangga yang anak tangganya
adalah golok-golok yang tajamnya menghadap ke
atas. Dia memanjatnya dengan kaki telanjang!
Coba, hebat tidak" Guru silat Ciu Koan mana bisa
mengajari sampai sehebat itu?"
Giam Lok kurang senang gurunya dibandingbandingkan. "Ah, Paman, orangnya sudah mati kok
masih dibicarakan. Mendiang Guru Ciu juga
pernah jadi orang berjasa di kota ini."
"Aku tidak meremehkan kok. Aku cuma ingin
kau tahu bahwa kota kita ini sekarang penuh
dengan pengawal-pengawal hebat-hebat. Tanpa
bermaksud meremehkan almarhum Guru Ciu."
"Sudahlah, sekarang akan kutemui temanteman lama dulu. Sudah lama tidak ketemu
mereka." "Kalau ketemu anakku A-gun, jangan kaget. Dia
agak lain dari dulu."
"Ya, aku tahu. Sekarang dia seorang pengawal
yang bisa memanjat tangga golok tanpa terluka,
begitukah?" Wajah Si Tukang Bakpao yang semula bangga
menceritakan anak laki-lakinya itu, kini berubah
jadi agak murung. "Maksudku... dia sekarang agak
pemarah, kadang-kadang orang tuanya pun tak
dapat mengetahui apa maunya."
446 "O, begitu?" Giam Lok menjawab ringan.
Tahap pertama dari rencananya itu, Giam Lok
belum terang-terangan mencari orang-orang sepaham. Ia sekedar "lihat-lihat dulu" sambil
memamerkan kesembuhannya kepada orang-orang
Seng-tin. Kesembuhan karena "akal sehat" dan
"semangat serta harapan yang tidak padam" tanpa
campur tangan sesuatu yang bersifat gaib.
Namun sebenarnya dalam hati Giam Lok mulai
ragu juga, ia meragukan sendiri keberhasilan
niatnya itu. Soalnya, bagaimana hendak meyakinkan orang-orang Seng-tin bahwa hidup ini
hanya butuh "akal sehat dan semangat" saja"
Sedang di Seng-tin orang-orang sudah terlanjur
melihat hal-hal yang tak masuk akal seperti orang
berjalan di api, memanjat tangga golok dan
sebagainya" Bagaimana menjelaskan itu "menurut
akal sehat?" Giam Lok pusing juga.
Namun setengah hari itu Giam Lok habiskan
untuk berkeliling Seng-tin. Sejak ia sembuh, ia
belum pernah keluar rumah.
Ketika lewat di warung barang keramik
kepunyaan Ban Ke-liong, Giam Lok melihat banyak
orang berjejal-jejal membeli sesuatu dari Ban Keliong. Ada yang beli barang jadi, ada yang
mengambil pesanan, ada yang baru memesan.
Giam Lok berdiri di belakang orang-orang itu dan
mendengarkan orang-orang itu.
"Juragan Ban, pesananku sudah jadi" Patung
Panglima Teratai Api di latar rumahku harus
segera ada pasangannya, Bidadari Api Bertangan
Seribu yang muncul di mimpiku," kata seorang
447 nyonya. "Kalau tidak segera dipasangkan, aku
kuatir keluargaku akan menanggung kemarahan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mahluk-mahluk suci itu."
Terdengar jawaban Ban Ke-liong dari tengah
kerumunan, "Jangan kuatir, Nyonya Wan,
pesananmu sudah tersedia. Aku sadar betapa
pentingnya patung ini bagi keselamatan keluargamu, maka kukerjakan cepat-cepat."
"Biarpun cepat-cepat, tetapi sesaji sesaji dan
persyaratan lain tidak dilupakan kan?"
"O, tentu saja tidak, Nyonya. Sesibuk apa pun,
aku menyadari pekerjaanku ini bukan pekerjaan
biasa lagi, melainkan sudah menjadi pekerjaan
yang suci, tugas dari langit, menyangkut kota ini
mendatangkan berkah atau malapetaka. Maka
pekerjaanku tidak main-main."
Nyonya Pemesan dengan sukacita menerima
pesanannya, membayar harganya lalu membawanya pulang dengan khidmat. Patung kecil
dari porselin dijunjung lebih tinggi di kepalanya.
Seorang gadis mendesak maju, kepalanya
mengenakan penutup untuk menutupi memarmemar bekas hajaran di wajahnya. Sambil
mengulurkan segenggam uang, ia berkata, "Paman
Ban, beri aku arca 'bidadari penari' untuk kupuja,
agar aku bisa menari sebaik teman-temanku."
"Sabar, Nona Yao, coba
kata Ban Ke-liong sambil dagangannya. "... beberapa
memang mendapat bisikan kucarikan sebentar."
mencari-cari di rak hari yang lalu aku gaib, bahwa hari ini 448 akan ada yang datang mencari 'bidadari penari'
...nah, ini dia, Nona Yao."
Yao Sin-lan membayar, dan dengan sukacita
membawa pulang patung "bidadari menari" itu.
Belum lama dia lega karena kakaknya tidak lagi
menghajarnya, tetapi setengah hari saja kakaknya
sudah berubah kembali. Yao Sin-lan dipaksa
kembali menari, dan ketika dalam tariannya ia
tidak kesurupan seperti lain-lainnya, kembali
kakaknya menuduhnya kurang bersungguhsungguh. Akhirnya Yao Sin-lan bertekad akan
memuja "bidadari menari" untuk mencapai tarian
seperti teman-temannya. Giam Lok beberapa saat agak kaget melihat Yao
Sin-lan, melihat wajahnya yang babak belur dan
dicobanya, hendak ditutupi dengan kerudung yang
jadi satu dengan mantelnya.
Giam Lok adalah teman seperguruan Yao Kangbeng, tentu saja dia juga kenal Yao Sin-lan. "Sinlan, kau kenapa?" tanyanya ketika gadis itu lewat
di depannya sambil memeluk patung "bidadari
menari"nya. "Kakak Lok, kudengar kau sakit?"
"Kau lihat, aku sudah sembuh sekarang. Maaf,
Sin-lan, kenapa dengan wajahmu?"
Mata Yao Sin-lan menyorotkan rasa sedih dan
putus harapan, tapi mulutnya tidak mengutarakan
perasaan hatinya. "Tidak apa-apa, Kakak Lok. Cuma terjatuh."
449 Gadis itu bukan pembohong ulung, maka Giam
Lok langsung tahu ia dibohongi. Diam-diam Giam
Lok heran, siapa tega menyiksa gadis secantik ini"
"Mau kuantar pulang?"
Sorot mata gadis itu menjawab "mau", namun ia
tampak takut untuk mengatakan dengan mulutnya. Dan akhirnya dia malahan menggeleng,
menolak. Giam Lok tak bisa memaksa, hanya merasa
kasihan dalam hati. Ia membuntuti Yao Sin-lan
dari jarak beberapa langkah.
450 Yao Sin-lan melangkah bergegas sambil
memeluk arca porselinnya, tetapi di suatu
persimpangan dengan lorong lain, tiba-tiba seorang
nenek-nenek bungkuk yang berjalan dibantu
tongkatnya, muncul secara tiba-tiba, menumbuk
Yao Sin-lan. Yao Sin-lan kaget, pegangannya atas
patung porselin itu lepas, dan hancur berkepinglah
patung itu terbanting di tanah.
Bersamaan dengan remuknya boneka porselin
itu, remuk pula harapan Yao Sin-lan. Dalam
pikirannya, tanpa bantuan "bidadari penari" ia
takkan bisa menari sebaik teman-temannya,
berarti juga akan "berlangganan" hajaran kakaknya. Sementara Si Nenek Bungkuk yang sebelumnya
belum pernah terlihat di Seng-tin itu menyeringai
memperlihatkan mulutnya yang ompong, katanya,
"Maafkan aku, Nona. Apakah Nona terluka?"
Mata Yao Sin-lan menerawang kosong membayangkan nasib buruk yang menghadangnya.
Ia membungkam tak menjawab, lalu pandangannya runtuh ke arah kepingan-kepingan
boneka porselin di tanah.
Si Nenek mengikuti pandangan Yao Sin-lan, lalu
katanya dengan perasaan bersalah, "Ooo, aku Si
Tua Bangka yang tak tahu diri ini telah
memecahkan mainan Nona...."
"Memang nasibku belum saatnya membaik."
desis Yao Sin-lan amat lirih.
Cukup mengherankan, bahwa desis lirih yang
hampir tak terdengar itu tertangkap oleh telinga Si
451 Nenek Bungkuk yang dalam usia itu umumnya
sudah kurang pendengarannya. "Nasib" Apa
hubungannya boneka yang hancur itu dengan
nasib Nona" Apakah itu boneka keberuntungan?"
"Tanpa boneka itu, aku tak bisa menari sampai
memuaskan kakakku. Dan itu berarti aku akan...."
tiba-tiba Yao Sin-lang tidak melanjutkan bicaranya,
ingat pesan keras, ibunya untuk tidak menyebarluaskan peristiwa kakak memukul adik itu.
Sorot mata Si Nenek menyorotkan belas kasihan
yang mendalam, menyentuh hati, katanya, "Ah,
sehebat itukah akibat yang diterima Nona akibat
pecahnya boneka ini" Kalau beli lagi, apa masih
ada yang jual" Aku masih punya sedikit uang kok."
Lalu nenek itu mengeluarkan kantong lusuh
yang terselip di ikat pinggangnya dan hendak
mengeluarkan beberapa keping uang tembaga yang
nilainya tidak seberapa. Yao Sin-lan memang sedang masygul dan
kecewa atas remuknya boneka porselin yang baru
saja dibeli itu, namun sikap Si Nenek yang begitu
memperhatikannya, bahkan rela kehilangan uangnya yang tinggal sedikit, menyentuh hati Yao
Sin-lan, sehingga dia memegangi telapak tangan Si
Nenek yang kurus itu, katanya "Tidak apa-apa,
Nek, tidak apa-kok. Uang Nenek disimpan saja."
"Tetapi tadi Nona bilang, pecahnya patung
porselen ini akan mempengaruhi nasib...."
"Tidak apa-apa, mengatasinya." tidak apa-apa. Aku bisa 452 "Kudoakan, mulai sekarang Nona tidak mengalami hal-hal buruk lagi." kata Nenek sambil
melangkah pergi. Dari jarak belasan langkah Giam
Lok melihat semuanya itu.
Giam Lok kemudian meneruskan langkahnya, ia
merasa nampaknya sulit menemukan teman
sepaham yang bisa diajak "membebaskan Seng-tin
dari pikiran tidak sehat", namun ia tidak berputus
asa. Di suatu jalan yang agak ramai, tiba-tiba ia
melihat ada sesuatu ribut-ribut di pinggir jalan.
Ketika Giam Lok mendekat, ternyata dia melihat Agun, teman lama Giam Lok, yang kini nampak
gagah dengan golok dipinggangnya dan ikat kepala
kuning bertuliskan "huruf-huruf suci" di kepalanya. Tetapi Giam Lok mengerutkan alis
melihat teman lamanya itu dengan galak sedang
mencaci-maki seorang nenek tua, yang bukan lain
adalah nenek tua yang menabrak Yao Sin-lan tadi.
Sebenarnya Giam Lok heran juga, nenek ini tadi
jalannya kelihatan tertatih-tatih dan maju ke arah
lain, kok tahu-tahu Si Nenek sudah ada di depan
Giam Lok dan bahkan sudah "bikin perkara"
dengan A-gun si anggota regu keamanan kota itu"
Padahal Giam Lok juga melangkah cepat dan lebar.
Tetapi, lepas dari keheranannya, Giam Lok
merasa wajib melerai pertengkaran itu. Cepat-cepat
ia mendekat, dan berkata kepada A-gun, "A-gun,
jangan kau marahi orang tua ini. Dia memang
sudah tua, penglihatannya barangkali sudah agak
kabur, tadi kulihat sendiri dia juga menabrak Yao
453 Sin-lan di gang yang ke arah rumahnya Paman
Ban Ke-liong. Jadi maafkan sajalah."
A-gun berkerut alisnya, sahutnya kepada Giam
Lok, "Saudara Giam, dia bukan saja menabrakku,
bahkan berani menjamah ikat kepala suciku. Ikat
kepala ini sudah disembahyangi dan tidak boleh
dipegang orang sembarangan."
"Kalau dipegang pengaruhnya?" sembarangan, apa jawab A-gun bangga, "Ikat kepala ini membuat
kekuatan dewa-dewa dari langit menghuni
tubuhku, sehingga aku mampu memikul tanggung
jawab suci untuk mengamankan kota ini. Kalau
dijamah tangan sembarang orang, para dewa bisa
merasa najis dan tidak mendiamiku lagi."
Giam Lok geleng-geleng kepala sambil berkata,
"A-gun, aku tidak peduli apa yang kau percayai,
tetapi maafkanlah nenek tua ini. Ia bukan orang
Seng-tin, dan dia belum tahu tentang pantanganpantangan di kota ini. Kita orang-orang Seng-tin
sudah turun-temurun terkenal sebagai orangorang yang ramah."
A-gun mendesah kesal, tetapi di depan banyak
warga Seng-tin yang menyaksikan peristiwa itu, dia
harus menjaga citra sebagai "prajurit dewa", maka
sahutnya, "Baiklah, kumaafkan kali ini. Meskipun
aku harus mencuci ikat kepala ini dan
menyembahyanginya lagi agar khasiatnya tidak
berkurang." 454 Lalu A-gun melangkah pergi, sementara Giam
Lok menanyai Si Nenek. "Nenek belum diapaapakan olehnya kan?"
Si Nenek yang wajahnya masih ketakutan itu
cuma geleng-geleng kepala.
"Nenek bukan orang sini?"
Si Nenek geleng-geleng kepala iagi.
"Nenek tidur di mana?"
Kembali Giam Lok memperoleh gelengan kepala.
Giam Lok jadi kasihan. "Kalau Nenek mau,
Nenek boleh tinggal di tempat saya. Daripada siang
kepanasan dan malam kedinginan."
Kali ini Si Nenek mengangguk-angguk, mimik
ketakutan di wajahnya pelan-pelan memudar.
"Ayolah, Nek...." Giam Lok

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian menggandeng nenek itu menuju ke bekas rumah
Ek Yam-lam yang sekarang kosong, yang ditempati
Giam Lok setelah Giam Lok diusir ibunya..
Tiba di suatu lorong yang sepi, Nenek itu tibatiba berkata, "Siapa namamu, anak baik?"
"Namaku Giam Lok, Nek."
"Kau anak baik, Giam Lok, dan niat hatimu
terhadap kota ini pun baik. Tetapi ketahuilah, kau
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang
bukan kekuatan alamiah, melainkan kekuatankekuatan di atas alamiah. Upaya-upaya baikmu
yang bersifat alamiah itu takkan memadai."
Giam Lok tercengang bahwa seorang nenek yang
baru saja menggigil ketakutan di depan A-gun,
455 tiba-tiba bisa berkata demikian. Lebih mencengangkan lagi, Si Nenek yang baru hari ini
ketemu seolah sudah tahu isi hati Giam Lok,
keprihatinan Giam Lok tentang Seng-tin.
"Nek, siapakah Nenek ini?"
"Kelak kau akan mengetahuinya, anak baik.
Aku datang kemari karena undangan seorang
sahabat." "Sahabatmu tinggal di Seng-tin?"
"Tidak. Hanya mampir di Seng-tin."
"Siapa?" "Kelak juga akan kuberitahu."
Tiba-tiba saja Giam Lok merasa bahwa nenek ini
bukan nenek-nenek "biasa". Entah apanya yang
"tidak biasa", Giam Lok belum tahu.
Tiba di rumah bekas Ek Yam-lam, Giam Lok
berkata, "Ini rumah temanku yang dikosongkan,
Nenek boleh tinggal di sini sampai kapan pun
Nenek mau. Anggap saja rumah sendiri, Nek."
Si Nenek melihat betapa berantakannya bagian
dalam rumah itu, ia lalu geleng-geleng kepala
sambil berkata, "Giam Lok, kau anak baik tapi
jorok. Masa kau betah diam di rumah
seberantakan ini?" Kata-katanya itu bernada menggerutui, namun
menimbulkan rasa hangat di hati Giam Lok, sebab
nadanya seperti seorang nenek menggerutui cucu
yang disayanginya. Giam Lok jadi merasa punya
nenek lagi, yang tidak dimilikinya sejak ia berusia
456 sepuluh tahun. Namun Giam Lok masygul juga,
teringat akan ibu kandungnya sendiri yang justru
sudah mengusirnya dari rumah.
Tanpa disuruh nenek itu menyelinap ke
belakang rumah, entah hendak mengerjakan apa.
Giam Lok membiarkannya saja, supaya nenek itu
betah. "Nek, aku beli makanan dulu, ya?"
Lalu Giam Lok keluar dari rumah itu, tetapi
setelah tiba di jalan, ia bingung sendiri, sebab ia
tidak mungkin membeli makanan di mana pun.
Soalnya di kantongnya tak ada uang sepeserpun.
Ketika ia pergi dari rumah, yang dibawanya
hanyalah pakaian yang menempel di badannya.
Selagi Giam Lok kebingungan, Si Nenek
menyusul keluar sambil berkata, "Hei, Giam Lok,
ini uang Nenek. Bawa...."
Giam Lok menggeleng. "Tidak, Nek. Nenek
membutuhkan uang itu."
"Gunanya uang untuk dibelanjakan. Terimalah."
Baru kenal kurang dua jam, antara Giam Lok
dan Nenek asing itu seolah sudah terjalin
komunikasi dari hati ke hati yang kuat dan aneh,
komunikasi yang tidak terlalu membutuhkan katakata panjang yang bertele-tele. Giam Lok menerima
uang itu, dan Si Nenek berkata, "Kalau aku boleh
usul, belikan saja hadiah yang menyenangkan
ibumu, agar hubunganmu dengan ibumu pulih.
Soal makanan, tidak ada masalah."
457 Giam Lok kaget, pikirnya. "Lho, dari mana dia
tahu aku ada masalah dengan ibu" Aku belum
bercerita...." Dengan rasa heran, Giam Lok pergi membawa
uang itu. Usul Si Nenek untuk membelanjakan
uang itu untuk membelikan hadiah bagi ibunya,
terus bergema di hatinya, tetapi tidak terasa sedikit
pun adanya unsur memaksa. Kehendak Giam Lok
tetap terasa bebas. *** Yao Sin-lan tiba di rumahnya dengan hati takut.
Tanpa boneka "bidadari penari" ia takkan bisa
menari dengan baik dan merasa pasti akan dihajar
kakaknya lagi... tetapi entah kenapa, jauh di dasar
hatinya tak ada rasa benci atau menyalahkan
sedikit pun kepada nenek itu.
Ketika tiba di rumahnya, Yao Sin-lan mengeluh
dalam hati melihat teman-temannya, para penari
sudah siap di rumahnya, karena memang itulah
waktunya latihan menari. Teman-temannya sudah
merias diri dan mengenakan pakaian tarian. Yang
menggentarkan Yao Sin-lan ialah kakaknya yang
duduk dengan angker dengan sepasang mata
seolah menyorotkan petir kemarahan menyongsong
kedatangan adik perempuannya. Begitu juga Si
Pelatih Tari, seorang perempuan setengah baya,
yang sekaligus menjadi "penghubung" dengan
dunia gaib dalam urusan menari. Si Pelatih Tari itu
sudah memasang bendera-bendera kecil berhuruf
aneh dan di sudut-sudut ruangan.
458 Yao Sin-lan sudah pasrah, mau ditempelengi
lagi ya tergantung nasib sajalah. Namun merasa
perlu untuk menjelaskan. "Kakak, aku dari tempat Ban Ke-liong membeli
arca 'bidadari menari' untuk kupuja agar aku
dapat menari sebaik keinginan Kakak, tetapi aku
ditabrak seseorang sehingga arca itu jatuh dan
remuk. Aku benar-benar tak tahu lagi harus
berbuat apa." Tiba-tiba dari halaman belalang terdengar suara
orang menyapu dengan sapu lidi. Lalu seorang
nenek-nenek melangkah tertatih, muncul di pintu
ruangan menari yang bersambungan dengan
halaman samping itu. Sebelum ada yang tanya,
nenek itu langsung berkata, "Tuan Muda, akulah
yang tadi menabrak adik Tuan Muda sehingga
memecahkan patung porselennya. Segala hukuman patut dijatuhkan kepadaku."
Yao Sin-lan tercengang. Tadi ia sudah
berpisahan dengan nenek itu, kenapa tahu-tahu
nenek itu muncul di halaman paling dalam dari
rumahnya" Apakah nenek ini bisa terbang"
Sementara Yao Kang-beng membentak, "Siapa
kau" Belum pernah kulihat kau di sini!"
Si Nenek menjawab, "Tadi kuikuti Nona itu
diam-diam, aku kuatir dia disalahkan karena
pecahnya patung keramik itu, padahal akulah yang
menyebabkannya jatuh. Tadi aku masuk begitu
saja, karena pintunya tidak ditutup. Tetapi aku
hanya bermaksud menjelaskan, tidak ingin
mencuri barang-barang atau apa."
459 Sebenarnya Yao Sin-lan sudah amat menguatirkan keselamatan nenek itu, mengingat
belakangan ini kakaknya sangat pemarah dan
begitu tega. Yao Sin-lan pernah melihat sendiri
kakaknya menendang sampai pingsan kepada
seorang pengemis tua di pasar. Jangan-jangan Si
Nenek ini pun akan ditendang"
Ternyata, Yao Kang-beng cuma bilang, "Kalau
begitu ya sudahlah. Kau boleh pergi, Nek."
Si Nenek mengangguk-angguk melangkah tertatih-tatih pergi.
sambil Menyusul keajaiban berikutnya, ketika Yao
Kang-beng berkata pula kepada adiknya, "Adik
Lan, kau sudah berusaha sekuatmu, tetapi
kejadian ini agaknya merupakan isyarat dari langit
bahwa kau tidak terpilih untuk menari bagi para
dewa. Kau boleh tidak usah ikut menari."
Inilah yang diharap-harapkan Yao Sin-lan sejak
dia sering dipukuli kakaknya. Dulu, terpilih
menjadi "penari suci" adalah impiannya, tetapi
setelah mengetahui deritanya, ia ingin keluar dari
kelompok tari itu namun tidak bisa. Tak terduga
hari ini begitu mudahnya ia keluar dan kelornpok
itu, hanya gara-gara patung porselennya pecah
tertabrak seorang nenek bungkuk yang entah dari
mana datangnya. Latihan menari kemudian dilanjutkan tanpa
kehadiran Yao Sin-lan. Para penari sudah menari hampir setengah hari
sampai mandi keringat, namun tidak seorang pun
di antara mereka yang berhasil "masuk ke dunia
460 lain". Biasanya, dalam waktu setengah jam saja
sudah mulai ada satu dua penari yang menari
amat indah tetapi dalam keadaan tak ingat diri.
Kalau si penari sudah usai, biasanya dia akan
bercerita bahwa dia baru saja menari di sebuah
istana yang indah di langit, dikelilingi mega, dan
penonton-penontonnya adalah orang-orang berpakaian bangsawan-bangsawan jaman kuno,
tetapi tampangnya serba istimewa. Ada yang
tangannya empat, ada yang matanya tiga, ada yang
mukanya seperti api menyala, tetapi tidak sedikit
pula yang bertampang normal seperti manusia di
bumi. Kemudian kalau tarian dilanjutkan sampai
satu dua jam, maka semua penari akan mengalami
hal yang sama kecuali Yao Sin-lan. Tetapi kali ini,
sampai penari-penarinya mandi keringat, tak satu
pun "menari di istana langit" sampai seorang gadis
pingsan kelelahan. Latihan tari akhirnya diakhiri dengan kekecewaan besar di antara para penari maupun
pelatihnya. "Apa yang terjadi?" Si Pelatih hampir memekik.
"Tak seorang pun dari kalian kemasukan 'penari
langit'!" Para penari berpandangan dengan bingung dan
takut, takutnya takut ganda. Takut dihajar Yao
Kang-beng, juga takut dimarahi para "penguasa
langit". "Kami sudah bersungguh-sungguh...." kata
seorang penari dengan ketakutan. "Kami tidak tahu
apa yang tidak beres sehingga sampai begini."
461 Yao Kang-beng meninggalkan ruangan itu
dengan wajah gelap, tidak mengucapkan sepatah
kata pun. Pada saat yang sama, Ho Tong sedang mandi
keringat di bawah matahari. Ia sedang membelah
kayu dengan kampaknya, sebanyak-banyaknya,
sehabis menimba sumur dan mengisi semua
persediaan air sepenuh-penuhnya. Ia bekerja gilagilaan seperti itu untuk menyingkirkan rasa
jemunya. Siang-siang seperti ini, orang-orang
muda lainnya sedang berada di luar rumah dan
melakukan kegiatan-kegiatan menarik, tetapi Ho
Tong tidak berani keluar rumah. Sebagai bekas
orang gila, ia kuatir kalau dilihat orang di jalan
akan banyak mentertawakannya dan membicarakannya, terutama anak-anak. Karena
itulah Ho Tong tidak berani keluar rumah di siang
hari. Dan itu membuatnya kesal, yang dilampiaskannya dengan kerja sekeras-kerasnya.
Rasa kesepiannya bertambah lagi, karena saat
itu seisi rumahnya sedang pergi semuanya. Ibunya,
kakak ipar perempuannya dan adik perempuannya
sedang pergi entah ke mana. Ayahnya mungkin


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang nongkrong di warung teh di ujung jalan,
mengobrol dengan orang tua-orang tua seusianya,
dan kakak laki-laki Ho Tong yang bekerja sebagai
buruh kasar itu pun sedang di luar rumah,
menawar-nawarkan tenaganya. Dua keponakan Ho
Tong, anak-anak kakaknya, juga tidak kelihatan
batang hidungnya semuanya, kedua orang anak itu
pasti sedang bermain-main dengan teman-teman
mereka. 462 Ho Tong benar-benar merasa hatinya tertekan,
sebelum kayu-kayunya selesai dibelah semua, tibatiba kekesalannya meledak dan kapak pembelah
kayu itu dilemparkan sekuatnya, melayang
melewati halaman samping dan runtuh ke tanah
setelah menabrak keras dinding halaman depan.
Dan dari pintu depan pun terdengar suara,
"Aduh!" Ho Tong kaget, mengira lemparan kapaknya itu
mengenai orang. Cepat ia lari ke halaman depan
dan melihat seorang nenek bungkuk yang belum
pernah dilihatnya sudah berdiri di halaman depan
rumahnya., "Nek, kau tidak apa-apa?"
Si Nenek menggeleng. "Aku hanya kaget. Kau
yang melempar kapak itu?"
"Ya, Nek." "Hati-hati, bisa mengenai orang lho!"
"Aku memang salah, Nek. Karena aku sedang
begitu kesal." "Apa yang membuatmu kesal, anak muda?"
"He, Nenek ini siapa sehingga menanyai aku
terus seperti itu?" "Oh, aku ini diminta oleh seorang teman baik
untuk menilik keadaan seorang sahabatnya yang
bernama... bernama Ho Tong, begitu. Eh, anak
muda, tahu rumah Ho Tong di mana?"
Ho Tong heran, siapa temannya yang menyuruh
nenek-nenek begini untuk menjumpainya. Toh
463 dalam hatinya muncul setitik kegembiraan, di saat
kekesalannya menumpuk tahu-tahu didatangi
seorang suruhan teman. "Nek, aku inilah Ho Tong. Siapa nama temanku
yang menyuruh Nenek menjumpaiku itu?"
"Seorang gadis, namanya
panggilannya A-kui."
Siau Hiang-bwe, Ho Tong mengerutkan alis. "Belum pernah
kukenal nama itu. Aku tidak punya teman wanita
bernama itu, bahkan di Seng-tin kurasa juga tidak
ada yang bernama demikian."
"Memang dia asalnya dari Lam-koan di tepi
Sungai Se-ho. Mungkin kau tidak kenal dia, tetapi
dia mengenalmu, pernah mengalami nasib sama
denganmu maka ketika tahu kau sembuh dia
menyuruhku untuk menemuimu."
Meski masih membingungkan, Ho Tong merasa
makin senang juga. Kekesalan yang selama ini
seolah menggumpal menyumbat ulu hatinya,
perlahan mencair dan akhirnya "menguap" pergi.
"Nenek ini disuruh untuk menemuiku untuk
apa?" "Untuk membawakan sebuah
tentang nasib gadis itu dulu."
cerita, kisah "Yang kata Nenek tadi, senasib denganku?"
"Benar." "Senasib bagaimana" Apa yang dialaminya?"
"Pada usia yang masih muda, kira-kira umur
dua belas tahun, dia tiba-tiba saja mulai
464 kehilangan pikiran warasnya. Kata orang, dia gila.
Penyebabnya, karena ayahnya yang tabib terkenal
di Lam-Koan itu ingin lebih hebat lagi ilmu
pengobatannya supaya lebih terkenal, dan ayahnya
mulai mendukung praktek pengobatannya dengan
ilmu gaib. Memang jadi lebih hebat, tetapi Siau
Hiang-bwe jadi korban. Hampir delapan tahun dia
tak ingat dirinya, tak ingat siapa-siapa, bahkan
sering bertelanjang di jalanan."
Ceritanya baru sampai di situ, Ho Tong sudah
merasa bahwa penderitaan Siau Hiang-bwe jauh
lebih berat dari dirinya. Pertama, Siau Hiang-bwe
adalah seorang gadis, perasaannya lebih halus dari
lelaki seperti Ho Tong. Entah bagaimana
perasaannya waktu dia sembuh dan menyadari apa
yang sudah dialaminya selama delapan tahun" Ke
dua, Ho-Tong menjadi gila karena penyebab yang
bagaimanapun patut dibanggakan, yaitu berkorban
dalam perjuangan membebaskan Seng-tin dari
cengkeraman Beng Hek-hou. Sedangkan penyebab
penderitaan Siau Hiang-bwe benar-benar memalukan dan menimbulkan rasa iba, yaitu
dikorbankan oleh ayahnya sendiri, dijadikan
tumbal, untuk menambah kejayaan Sang Ayah. Ke
tiga, Ho Tong menderita kegilaannya hanya dalam
beberapa bulan, sedangkan Siau Hiang-bwe
sampai delapan tahun. Tak terasa Ho Tong menundukkan kepala dan
menegur diri sendiri dalam hati. "Alangkah
cengengnya aku. Baru mengalami sedikit kesepian
saja aku sudah begitu kesal, sampai melempar
kapak dan hampir mencelakai orang, padahal
465 penderitaanku belum seberapa dibandingkan Siau
Hiang-bwe." "Lalu bagaimana, Nek?"
"Lebih kurang setahun yang lalu, Siau Hiangbwe sembuh karena belas kasihan Yang Maha
Kuasa, dan karena ada seorang yang rela dirinya
menjadi saluran belas kasihan surgawi itu."
"Syukur...." lega sekali Ho Tong mendengar itu,
padahal yang namanya Siau Hiang-bwe itu
bagaimana tampangnya pun Ho Tong belum tahu.
Si Nenek melanjutkan ceritanya. "Siau Hiangbwe jadi gadis yang waras kembali, tetapi dia tidak
murung dan tidak malu tentang masa lalunya,
bahkan dia memanfaatkan itu untuk membangkitkan semangat bagi orang-orang yang
pernah senasib dengannya. Hal itu tidak perlu
menjadikan mereka malu."
Sekarang Ho Tong mengerti maksud kunjungan
nenek itu, tak lain agar Ho Tong bersemangat
kembali. Kata Ho Tong, "Nek, terima kasihku untuk
Nona Siau. Tetapi dari mana dia mengenal aku"
Dia di Lam-koan dan aku di Seng-tin.?"
"Siau Hiang-bwe melakukan perjalanan dan
melewati Seng-tin ini, dia melihat keadaanmu
ketika masih buruk. Dialah saluran Yang Maha
Kuasa bagi kesembuhanmu."
Nenek itu menyodorkan kenyataan begitu saja,
tanpa sedikit pun disertai bukti-bukti, namun
kata-katanya serasa menyentuh bagian terdalam
dari hati Ho Tong. Langsung ia mempercayainya
begitu saja, dan menjadi terharu. "Kalau demikian,
466 aku berhutang budi kepada Nona Siau. Inilah
jawaban yang kuharapkan selama ini, menjawab
keherananku akan kesembuhanku. Di mana Nona
Siau sekarang?" "Saat ini dia belum dapat dijumpai, tetapi ada
saatnya dia akan menjumpaimu."
"Kenapa dia?" Si Nenek sudah hendak beranjak hendak pergi,
katanya, "Pokoknya, saat ini belum bisa. Nona Siau
pasti akan senang kalau mengetahui bahwa kau
467 tidak patah semangat, tidak menyesali yang sudah
terjadi." "Kalau Nenek bertemu dengannya, katakan
bahwa pesannya membuat aku bersemangat
kembali. Sekali lagi, ucapan terima kasihku
untuknya." "Baik, sekarang aku pergi dulu." Si Nenek
melangkah keluar pintu halaman.
Tiba-tiba Ho Tong teringat bahwa ia belum
menanyakan nama dan alamat Si Nenek, cepatcepat ia menyusul ke luar pintu. Selisihnya dengan
Si Nenek hanya tiga empat detik, namun ketika ia
tiba di luar maka yang dilihatnya adalah lorong di
depan rumahnya yang sepi sampai ke ujungujungnya, tidak ada seorang pun. Si Nenek tak
kelihatan bayangannya lagi.
"Apakah Nenek tadi seorang pendekar sakti
seperti yang pernah diceritakan almarhum guru
dulu?" Ho Tong bertanya-tanya dalam hati. "Atau...
mahluk gaib yang bukan sejenis manusia?"
Tiba-tiba salah satu pintu di lorong itu terbuka,
muncullah tetangga Ho Tong menggandeng seorang
anak kecil dan menggandeng anak lainnya yang
lebih besar, Ho Tong ingin menghindari pertemuan
dengan tetangganya itu, masih minder sebagai
bekas orang gila, tetapi tidak sempat lagi, sebab
perempuan tetangga itu sudah berkata, "Eh, Atong."
Ho Tong mau tidak mau membalas sapaan itu.
"Kakak Hong...."
468 Perempuan tetangga itu berkata di luar dugaan
Ho Tong, "A-tong, aku harus pergi ke pasar dan
nanti pulangnya akan membawa banyak barang
belanjaan, aku repot sekali kalau kedua anakku
ikut semua. Maukah kau kutitipi A-im, anakku
yang besar ini?" Ho Tong tercengang, tidakkah tetangganya ini
sadar bahwa dia menitipkan anaknya kepada
seorang yang baru sembuh dari gilanya" Tidakkah
ibunya kuatir Si Anak akan dicekik atau
dicemplungkan ke sumur" Karena keheranannya
itu, Ho Tong tidak menjawab beberapa saat
lamanya. Si perempuan tetangga salah paham, lalu
berkata, "Ah, maaf, agaknya akan merepotkanmu,
A-tong. Baiklah, tidak apa-apa."
Ketika itulah di kuping Ho Tong seakan ada
yang berbisik, suaranya suara Si Nenek tadi,
padahal di sekitar Ho Tong tidak ada siapa-siapa,
"Anak muda, inilah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kau sudah sembuh dan tidak
berbahaya lagi. Ibu itu mempercayakan anaknya
kepadamu karena menganggapmu sudah sembuh."
Ho Tong menuruti bisikan itu, lalu berkata,
"Kakak Hong, aku mau menemani A-im...."
Dulu sebelum Ho Tong menjadi gila, A-im anak
perempuan kecil berumur lima tahun itu memang
akrab dengan Ho Tong dan sering dibuatkan
mainan-mainan oleh Ho Tong. Kini, begitu
mendengar Ho Tong mau bermain dengannya, A-im
langsung gembira dan berlari menghambur ke arah
Ho Tong. 469 Ibunya tersenyum, lalu berangkat ke pasar.
Sebenarnya dalam hati Si Ibu heran juga kepada
diri sendiri, kok berani-beraninya memasrahkan
anaknya kepada bekas orang gila" Tetapi ada
bisikan lembut yang meyakinkannya bahwa
anaknya akan tidak apa-apa bersama Ho Tong.
*** Giam Lok sedang melangkah dengan uang Si
Nenek di kantongnya. Si Nenek berpesan agar
Giam Lok membelanjakan uang itu untuk dibelikan
oleh-oleh buat ibunya, untuk memperbaiki
hubungan dengan ibunya. Namun di tengah jalan,
ia menjumpai suatu peristiwa yang mengubah
keputusannya. Ketika ia melewati suatu rumah, ia mendengar
suara orang perempuan sedang bertengkar sengit.
"Buat apa aku mengutukmu?" lengking seorang
perempuan dengan sengit. "Kau ini dan seluruh
keluargamu, biarpun tidak kukutuk memang
sudah sial dan terkutuk tiga puluh enam
keturunan! Sekarang kau cari gara-gara kemari,
cari kambing hitam yang bisa kau persalahkan
untuk nasib keluargamu!"
Sebagai orang Seng-tin, Giam Lok kenal rumah
itu kepunyaan seorang tukang kayu, dan yang
sedang melengking tinggi tadi adalah isterinya.
Kemudian terdengar suara perempuan lain tak
kalah emosinya. "Ini buktinya! Burung inilah bukti
bahwa kau berniat jahat kepadaku! Pantas dalam
beberapa hati aku dan anak-anakku merasa tidak
enak dalam rumah, sering pusing-pusing, rupanya


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

470 kau si perempuan dengki ini berusaha mendatangkan bencana ke rumahku! Ini buktinya!
Untung Nona A-kun diutus langit untuk
memberitahu kami!" Dulu warga Seng-tin hidup rukun, Giam Lok
heran bahwa sekarang orang Seng-tin mudah
marah. Ia kenal suara perempuan kedua yang
menuduh itu adalah suara Bibi Joan, seorang
pembuat kue-kue, seorang janda yang punya anak
gadis bernama A-kiam dan anak gadisnya itu
bernasib malang karena diperkosa oleh gerombolan
Beng Hek-hou. Kebetulan A-kiam adalah pacar Lui
Kong-sim, namun Giam Lok tidak tahu bagaimana
kelanjutan hubungan mereka setelah pemerkosaan
itu. Giam Lok melangkah nlendekat, kalau bisa
ingin merukunkan kembali kedua orang itu. Begitu
tiba di halaman itu, ia melihat Bibi Joan dan Si
Nyonya Rumah sedang berhadapan dengan marah
dan saling mendamprat. Sebentar-sebentar Bibi
Joan menuding kepada sesuatu di tanah, yang
dikatakannya sebagai "benda yang mendatangkan
kutukan atas keluargaku" sambil menuduh Si
Nyonya Rumahlah yang menguburnya di halaman
rumah Bibi Joan. Ketika Giam Lok memperhatikan "benda
pembawa kutukan" itu ternyata adalah seekor
bangkai burung yang sudah setengah busuk,
sudah banyak semutnya. Burung itu berbulu
hitam, dan pada lehernya diikat seutas benang
merah. Kalau dilihat banyak tanah yang melekat di
tubuh burung itu, agaknya burung itu sudah
471 dikubur beberapa hari dalam
dikeluarkan lagi dari tanah.
tanah, lalu Kata Giam Lok, "Maukah kalian mendengarku?"
Kedua orang perempuan itu masih sama-sama
panas hatinya, tetapi mereka memberi perhatian
juga kepada Giam Lok. Kata Giam Lok, "Bibi berdua, kalian tidak perlu
bertengkar untuk memperdebatkan sesuatu yang
tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Apa itu
kutukan" Tidak ada. Yang penting adalah
semangat kita sendiri. Misalnya aku, aku baru saja
sakit berat, orang-orang bilang aku kena kutukan,
namun aku tak peduli. Aku menjaga agar
harapanku tidak padam, semangatku juga tetap
menyala, maka sekarang pun aku sembuh."
Kedua perempuan itu Baru saja bertengkar,
namun begitu mendengar pendapat Giam Lok itu,
aneh, keduanya serempak bersatu menentang
Giam Lok. Kata Bibi Kim si nyonya rumah, "A-liok, kau
sembuh bukan oleh semangatmu sendiri, melainkan karena orang yang menyebarkan
kutukan atasmu sudah ditangkap dan dikurung,
maka kutukannya lenyap dan kau sembuh. Jangan
kau coba-coba mengingkari pertolongan dari
kekuatan suci yang menjaga kota ini."
Sambung Bibi Joan, "Kukenal ibumu sebagai
orang yang sangat beribadah, A-lok, jangan kau
menyimpang dari cara hidupnya. Agar selamat."
Giam Lok tercengang, ia tak menyangka kalau
kedua perempuan itu "berdamai" begitu cepat.
472 Tetapi bukan "perdamaian" seperti itu yang
dikehendaki Giam Lok. Keinginan Giam Lok ialah
agar semua orang Seng-tin kembali ke akal sehat
mereka dan membuang segala kepercayaannya
tentang dunia gaib. "Bibi berdua, kepercayaan tentang kekuatankekuatan gaib itu tidak sehat, tidak benar,
bohong...." "Siapa bilang?" di pintu halaman terdengar
suara orang menyahut. Ketika semua menoleh, nampaklah Lui Kongsim dan beberapa temannya sudah berdiri di
ambang pintu, kemudian tanpa dipersilakan sudah
melangkah memasuki halaman.
Belakangan ini Lui Kong-sim semakin berpengaruh di Seng-tin, melebihi Pang Se-bun,
sejak ia memprakarsai penangkapan dan penghukuman "perempuan pembawa kutuk" Siau
Hiang-bwe. Kaki tangan Lui Kong-sim bahkan
menyebarluaskan pendapat bahwa Lui Kong-sim
adalah penyelamat Seng-tin "nomor dua" di bawah
Wong Lu-siok. Dan banyak orang Seng-tin
menerima pendapat yang disebar-luaskan kaki
tangan Lui Kong-sim itu. Sambil menatap Giam Lok, ia berkata, "Saudara
Giam, kau mengingkari kenyataan. Ingat ketika
kita berempat bersama Saudara Ek Yam-lam dan
Yao Kang-beng berada di suatu bukit di te-ngah
padang ilalang karena melarikan diri dari Beng
Hek-hou" Ternyata meski sudah jauh dari Sengtin, kita tetap terkejar oleh sihir Beng Hek-hou.
Kita didera kesakitan hebat sehingga kita berempat
473 menggeloser-geloser di tanah seperti empat ekor
cacing tanpa daya. Lalu masih ingatkah kau apa
yang terjadi?" Giam Lok membungkam. Tentu saja ia ingat,
tetapi mulutnya berat untuk mengucapkannya.
Lui Kong-sim mentertawakan sikap Giam Lok
itu. "Ayo jawab, saudara Giam. Atau kau enggan
mengakui kenyataan yang tidak sesuai dengan
seleramu". Biarpun tidak sesuai seleramu, tetapi
itu tetap kenyataan."
Demikianlah, di halaman rumah Bibi Kim itu
tadinya Giam Lok datang untuk melerai
pertengkaran, tak terduga malah sekarang Giam
Lok terjebak sendiri ke dalam pertengkaran dengan
Lui Kong-sim. Bersambung jilid XII. *** Jilid 12 >o< MELIHAT Giam Lok tetap bungkam, Lui Kongsim merasa di atas angin dan menyudutkan Giam
Lok. "Kau tidak mau mengakui, akulah yang akan
mengatakannya. Saat itulah Guru Wong datang
menolong kita, mengusir kekuatan gaib jahat yang
dikirim Beng Hek-hou. Lalu Guru Wong mengusir
Beng Hek-hou dari Seng-tin setelah melalui suatu
pertandingan ilmu gaib. Kau juga melihatnya
sendiri, Saudara Giam. Nah, masihkah kau berani
474 ingkar akan adanya kekuatan suci yang telah
membebaskan kota ini?"
Giam Lok terbungkam. Dalam hatinya secara
jujur dia mengakui bahwa sebenarnya ia bukan
menyangkal adanya kekuatan-kekuatan gaib,
melainkan tidak senang melihat orang-orang yang
sedang "dipakai" oleh kekuatan-kekuatan gaib itu
bertingkah laku tak sadar akan dirinya sendiri. Itu
yang tidak disenangi Giam Lok.
"Kau benar, Saudara Lui," aku Giam Lok terus
terang. "Aku hanya tidak suka melihat orang-orang
berkelakuan tidak dari tabiatnya sendiri ketika
dimasuki kekuatan-kekuatan itu. Aku tidak suka."
Lui Kong-sim menudingkan telunjuknya dengan
gusar. "Jaga mulutmu, Giam Lok. Kau ingin
dikutuk lagi?" "Aku tidak gentar kutukan-kutukan itu, sebab
aku sudah berhasil mengatasi sakitku dengan
semangatku dan kekuatan jiwaku sendiri!"
"Semangat yang hebat. Tetapi dengan semangatmu sendiri, bisakah kau menginjak api
dan tajam golok tanpa cidera" Bisakah kulitmu
kebal senjata?" Hati Giam Lok panas oleh tantangan itu, namun
ia tak mau menjawabnya. Ia mendengar bahwa
sekarang Seng-tin punya penjaga-penjaga keamanan yang kebal senjata, kebal api dan
sebagainya. Karena diajari Wong Lu-siok.
"Kenapa bungkam, Saudara Giam?" ejek Lui
Kong-sim. 475 "Aku percaya, kalau kita berlatih sungguhsungguh, tanpa kekuatan-kekuatan gaib itu pun
kita bisa hebat. Seng-tin tetap bisa memiliki
penjaga-penjaga keamanan yang hebat."
"Sehebat apa, Saudara Giam" Misalnya, sehebat
kau?" "Saudara Lui, kepercayaan tentang kekuatankekuatan gaib itu membuat warga kota yang kita
cintai ini jadi berkelakuan aneh-aneh, tidak seperti
dulu lagi. Contohnya di depan mata. Bibi Kim dan
Bibi Joan bertengkar hanya soal bangkai burung
hitam, yang dianggap membawa bencana oleh Bibi
Joan sambil merasa yakin bahwa Bibi Kimlah yang
menanamnya di dalam rumahnya. Tidakkah ini
Princess 2 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 3

Cari Blog Ini