Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan 5

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp Bagian 5


meskipun sejak itu ia memang tidak berlatih. Kini
menghadapi Beng Hek-hou, apa yang sudah
mendarah daging itu muncul kembali.
Ternyata, biarpun sudah berbulan-bulan tidak
berlatih, dalam urusan silat ini memang Cu Tongliang mengungguli Beng Hek-hou. Biarpun Beng
Hek-hou bertempur dengan ganas, namun mata
Cuj Tong-liang yang tajam dan terlatih makin
melihat adanya celah-celah pertahanan yang dapat
diterobos. Dan tidak lama kemudian, beberapa
serangan Cu Tong-liang benar-benar dapat
mendarat telak di tubuh Beng Hek-hou.
Suatu saat, ketika Beng Hek-hou menubruk
dengan sepasang cakar naik! turun hendak
mengincar muka dan dada Cu Tong-liang, Cu
Tong-liang melejit ke samping dan sebuah tonjokan
keras mengenai rusuk lawan.
317 Pukulan itu telak, membuat Beng Hek-hou
sempoyongan kesakitan. Sebelum Beng Hek-hou
memantapkan posisinya, tendangan Cu Tong-liang
sudah mengenai pinggangnya dan membuatnya
terlempar beberapa langkah.
Sambil membentak Cu Tong-liang memburu
lawannya. Tetapi saat itu terjadi suatu dalam diri Beng
Hek-hou. Ketika kemarahan menguasai jiwanya,
suatu pribadi lain yang "tidur" dalam relung jiwa
318 terdalam nya mulai terusik bangun. Suatu pribadi
yang tak bertubuh tetapi sudah lama "mondok" di
dalam pribadi Beng Hek-hou, pribadi dengan sifat
dan tabiat seekor harimau. Ketika pribadi ini
terusik bangun, ia langsung mengambil alih
pikiran, kehendak dan perasaan Beng Hek houw,
bahkan tubuh Beng Hek-hou dipaksa mengadakan
perubahan yang sesuai dengan sifat dan tabiat
pribadi ini. Pribadi ini sama sekali tidak
mengindahkan kehendak Beng Hek-hou tadi,
kehendak untuk melawan Cu Tong-liang dengan
ilmu silat. Demikianlah, ketika Cu Tong-liang mendekati
lawannya, lawannya tiba-tiba terlontar dari tanah
dan mengaum dahsyat sambil menerkam Cu Tongliang
Cu Tong-liang masih belum merasakan perubahan Beng Hek-hou, belum menyadari bahwa
meskipun yang dihadapinya masih raga yang
sama, tetapi sudah dikendalikan oleh jiwa yang
lain. Menghadapi terkaman raga Beng Hek-hou itu,
Cu Tong-liang merebahkan diri sambil menendangkan kedua kakinya ke langit, tubuh
Beng Hek-hou yang meluncur diatasnya. Dengan
punggung bertumpu tanah tendangan dua kaki Cu
Tong-liang berkekuatan luar biasa dan membuat
tubuh Beng Hek-hou melambung tinggi bagaikan
bola saja. Cu Tong-liang puas dengan serangan itu,
menyangka bahwa kali ini Beng Hek-hou pasti
knock-out dan tidak bakal bisa bangkit lagi. Sambil
melejit berdiri, dia berkata sambil tertawa, "Beng
319 Hek-hou, bukan ilmu gaibku saja yang ampuh
sehingga dapat mengalahkan penyihir-penyihir di
Lam-koan, tetapi ilmu silatku pun kau sudah
merasakannya sekarang."
Dilihatnya tubuh Beng Hek-hou terhempas ke
tengah-tengah ilalang beberapa langkah dari arena
pertempuran. Beberapa saat dari tempat itu tak terjadi apaapa, sampai tiba-tiba terdengar auman dahsyat
disertai suara kain pakaian yang terkoyak-koyak.
Yang jatuh ke tempat itu tadi masih berujud
manusia, yaitu Beng Hek-hou, sekarang yang
muncul dari situ ialah seekor harimau hitam yang
besar dan garang. Besarnya dua kali lipat harimauharimau biasa, dan dia keluar dari ilalang dengan
berjalan pada dua kaki belakangnya!
Cu Tong-liang kaget setengah mati menghadapi
mahluk jadi-jadian ini. Ia menelan ludahnya sambil
melangkah mundur, untunglah langit sudah gelap
sehingga muka Cu Tong-liang yang memucat tak
nampak. Tetapi suaranya yang gugup itu sudah
disembunyikan, "Kau sudah berjanji tidak akan
menggunakan ilmu gaib."
Kemudian Cu Tong-liang sadar bahwa katakatanya tadi hanya menunjukkan kelemahannya
sendiri. Maka ia ganti siasat. Ia berdiri dan dengan
mulut berkomat-kamit pura-pura membaca mantera dan jari menggores-gores langit. Gayanya
itu meniru-niru orang-orang Seng-tin kalau mereka
hendak berjalan di atas api atau memanjat tangga
golok. 320 Anak buah Beng Hek-hou yang melihat itu
sudah berdebar-debar melihat gaya Cu Tong-liang.
Tetapi setelah sekian lama Cu Tong-liang
"membaca mantera dan menggoreskan huruf suci"
itu tidak muncul apa-apa. Sementara harimau
hitam yang besar melangkah makin dekat. Aumnya
menggetarkan udara, dan setiap ia melangkah,
maka di sekitarnya seolah-olah ada angin prahara
yang mengguncangkan tempat itu.
Cu Tong-liang sudah kebingungan, untunguntungan dia menudingkan telunjuk sambil
membentak, "Kembali ke asalmu1"
Bukannya "kembali ke asal" malahan harimau
besar itu mulai menyerang dengan ganas. Cu Tongliang berlompatan menghindar beberapa kali, tetapi
ia merasakan tekanan yang makin berat. Sorot
mata kuning kehijauan dari sepasang mata
harimau jadi-jadian itu menimbulkan pusing berat
di kepala Cu Tong liang. Sedangkan aumnya punya
pengaruh tersendiri yang setiap saat menggedor
jantung Cu Tong-liang. Dengan gangguan seperti
itu, perlawanan Cu Tong-liang tambah kacau.
Cu Tong-liang merasa sebentar lagi hidupnya
akan berakhir, bahkan tubuhnya pun mungkin
takkan utuh. Akan hancur tercabik sampai ke
tulang-tulangnya oleh kuku-kuku dan gigi macan
jadi-jadian itu. Suatu kesempatan, Cu Tong-liang mencoba
melompat keluar dari arena, tetapi harimau hitam
itu melompat menghalang-halangi.
Cu Tong-liang makin panik, suatu kali ia
berdesis kesakitan ketika kuku-kuku macan itu
321 menyerempet pundaknya. Sementara kepalanya
makin sakit dan jantungnya makin terasa digedorgedor oleh aum si macan jadi-jadian.
Saat itulah dari arah kota Seng-tin tiba-tiba
terdengar seruan orang, "Saudara Cu, kaukah itu?"
Hati Cu Tong-liang seperti ditetesi air sejuk,
sebab ia mengenal suara itu sebagai suara Pang
Se-bun. Cu Tong-liang menjawabnya dari tengahtengah kesulitannya, "Ya! Ini aku!"
anak buah Beng Hek-hou pun bersiaga, lalu
menyongsong ke arah suara Pang Se-bun dan lainlainnya itu.
Muncullah orang-orang Seng-tin yang sudah
berlatih sebagai pengawal-pengawal kota. Jumlahnya ada hampir lima belas orang, dan
semuanya bersenjata. Anak buah Beng Hek-hou tidak berani
meremehkan mereka, teringat malam ketika
mereka terusir dari Seng-tin, dan kini para anak
buah Beng Hek-hou itu segera "membangunkan"
kekuatan-kekuatan pribadi lain yang bersembunyi
dalam jiwa mereka, yang mempengaruhi mereka
untuk bertingkah laku sesuai dengan mahlukmahluk itu.
Pang Se-bun dan teman-temannya pun langsung pula mengundang "kekuatan suci" agar
beraksi melalui tubuh dan senjata mereka. Para
pengawal kota itu mulai berseru macam-macam
mengundang kekuatan andalan mereka. Ada yang
mengundang "panglima dari barat" ada yang
mengundang "sang penunggang menjangan",
322 "penguasa angin", "penunggang lingkaran cahaya"
dan sebagainya, sesuai yang diajarkan Wong Lusiok tentang kerajaan langit dan penghunipenghuni perkasanya.
Bedanya antara anak buah Beng Hek-hou
dengan pengikut-pengikut Wong Lu-siok ialah,
pengikut-pengikut Beng Hek-houw setelah diambil
alih oleh mahluk-mahluk gaib dalam jiwa mereka,
maka mereka kelihatan berubah secara fisik. Ada
yang kukunya tumbuh seperti elang, ada yang
keluar taringnya dan memekik seperti monyet, ada
kulitnya berubah! warna atau keluar sisiknya, dan
sebagai-nya. Sedang orang-orang Seng-tin pengikut-pengikut Wong Lu-siok itu setelah tubuh
mereka dikuasai "penghuni-penghuni kerajaan
langit" tubuh mereka tidak mengalami perubahan
apa-apa, tetapi tingkah laku mereka yang berubah.
Mereka dalam keadaan memejam, tidak sadar,
mampu melakukan apa-apa yang sebelumnya
tidak dapat mereka lakukan. Ada yang tidak
pernah belajar main golok panjang sedikit pun,
tiba-tiba saja bermain golok panjang dengan amat
menakjubkan seolah sudah berlatih puluhan
tahun. Pertempuran di padang ilalang itu jadi amat
seru, karena yang mendalangi pertempuran adalah
mahluk-mahluk tak kelihatan yang menunggangi
anak-anak manusia. Pang Se-bun belum ikut bertempur, ia juga
belum kerasukan. Sambil memanggul tombaknya,
ia mendekati arena antara Beng Hek-hou dan Cu
Tong-liang, lalu berkata, "Saudara Cu, biar
323 kutangani yang ini. Inilah penjahat yang harus
bertanggung jawab kepada warga Seng-tin."
Cu Tong-liang ketika itu sudah mendapat
beberapa luka-luka, tapi untuk minggir begitu saja
dan menyerahkannya kepada Pang Se-bun, ia
merasa gengsi juga. Ia tahu bahwa dalam hal silat,
Pang Se-bun jauh di bawahnya, tentunya sekarang
Pang Se-bun ingin melawan macan jadi-jadian itu
dengan ajarannya Wong Lu-siok, bukan dengan
silat. Namun Cu Tong-liang akhirnya sadar, kalau
terlambat minggir, tubuhnya akan tercerai-berai
oleh Beng Hek-hou. Suatu kesempatan ia
bergulingan keluar dari gelanggang.
Beng Hek-hou dalam wujuh jadiannya itu
hendak mengejarnya, tetapi Pang Se-bun sudah
melompat maju, ujung tombaknya memaksa
macan hitam itu mundur. Pang Se-bun agaknya
sudah kesurupan juga, sebab matanya terpejam
dan dia bermain tombak dengan anggun. Cu Tongliang yang menyaksikannya di tepi arena melihat
bahwa permainan tombak Pang Se-bun kali ini
jauh lebih hebat dari biasanya kalau tidak
kesurupan. Cu Tong-liang sudah tidak heran lagi.
Sambil menyaksikan orang-orang Seng-tin
bertempur, Cu Tong-liang menimbang-nimbang
untung rugi dan baik buruk kalau ia memiliki ilmu
gaib "putih" seperti orang-orang Seng-tin ini. Ilmu
gaib yang "untuk kebaikan" dan untuk "membendung kejahatan".
Kini, selagi semua orang bertempur sedang
dirinya sendiri hanya menonton, Cu Tong-liang
324 merasa malu juga. Apalagi kedatangan orang-orang
tadi untuk Menolong pelatih peng-hoat (ilmu
kemiliteran) yang hampir saja dibunuh Beng Hekhou, betapa memalukan! Ke mana muka Si Pelatih
Peng-hoat ini akan ditaruh"
keparat Beng Hek-hou, janjinya hanya ilmu silat
dan tidak pakai ilmu gaib,
"Dasar mulut bandit susah dipercaya." geramnya dalam hati. "Padahal aku hampir


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menang tadi, dia sudah kena pukulan dan
tendanganku. Alangkah bangganya seandainya
kuringkus dia dan kugiring ke Seng-tin."
Ketika itu udara malam digetarkan deh suara
pekikan monyet yang melengking panjang, yaitu
waktu salah seorang anak buah Beng Hek-hou
tertusuk perutnya oleh seorang pengawal Seng-tin.
Disusul oleh suara hewan-hewan lain dari
mulut manusia-manusia anak buah Beng Hek-hou,
ketika mereka menjadi mangsa senjata orang-orang
Seng-tin. Ada satu anak buah Beng Hek-hou yang
suaranya tidak seperti binatang apa pun, tetapi
mirip geram seorang raksasa, mengiringi tubuhnya
yang tumbang ke tanah. Kekalahan mereka agaknya mempengaruhi Beng
Hek-hou pula. Apalagi kemudian orang-orang
Seng-tin yang mulai sadar dari kerasukannya itu
mendukung Pang Se-bun dengan nyanyiannyanyian ajaran Wong Lu-siok. Nyanyian yang
agaknya mempengaruhi mahluk gaib di dalam
Beng Hek-hou, mempengaruhi dan menjadikannya
makin lemah dan makin bingung.
325 Suatu kali, ujung tombak Pang Se-bun
mengenai lambung macan hitam jadi-jadian ini.
Agaknya Beng Hek-hou belum saatnya mati.
Setelah kelima anak buahnya terbunuh dan dirinya
sendiri terluka, Beng Hek-hou dalam wujud
jadiannya itu meraung dahsyat dan melompat
menghilang dalam kegelapan.
Di kejauhan terdengar lolong serigala mengalun
memanjang. Menurut kepercayaan, kalau serigala
atau anjing malam melolong seperti itu tandanya
ada mahluk-mahluk dari dunia lain sedang
keluyuran di bumi. Pelan-pelan Pang Se-bun sadar, lalu membuka
matanya dan menoleh ke sekelilingnya Ketika
melihat kelima mayat anak buah Beng Hek-hou
tapi tidak ada mayat Beng Hek-hou, ia bertanya,
"Kenapa tidak ada Beng Hek-hou?"
Seorang pengawal Seng-tin yang bersenjata
golok panjang dan tadi kerasukan "penjaga gunung
Thian-san", menjawab, "Tadi Kakak melukainya,
lalu dia lari." Sementara Cu Tong-liang dengan agak tersipusipu mengucapkan terima kasih kepada orangorang itu.
"Kalau tidak ada saudara-saudara, aku sudah
jadi daging cincang oleh kuku macan jadi-jadian
tadi." "Saudara Cu, malam-malam begini mau ke
mana?" "Hendak pulang ke rumah Tabib Kian."
326 "Saudara Cu, kau sudah disambut baik di Sengtin. Tidak perlu kau bolak-balik ke pondok Tabib
Kian. Kalau kemalaman setiap rumah di Seng-tin
akan menerimamu dengan tangan terbuka."
"Ah, kalian begitu baik. Tetapi niatku ke pondok
Tabib Kian itu bukan karena tidak mempercayai
keramahan kalian, melainkan karena aku ingin
memperbincangkan sesuatu dengan temanku."
"Liu Yok?" tanya Pang Se-bun.
Cu Tong-liang tercengang. "Kok tahu?"
"Nona Siau bercerita sedikit kepadaku tentang
Saudara Liu Yok. Tadi, ketika mengantar pulang Akun...."
Cu Tong-liang selama ini memang enggan
bercerita tentang Liu Yok sebab dianggapnya agak
memalukan. Ia anggap Liu Yok kalah jauh dalam
soal kebijaksanaan dan keanggunan sikap maupun
kemampuan gaib kalau dibandingkan Wong Lusiok. Tapi ternyata Siau Hiang-bwe sudah
menceritakannya kepada Pang Se-bun, apa boleh
buat, Cu Tong-liang mengakuinya.
"Ya, menjelang sore tadi, aku berbincang dengan
Guru Wong. Guru Wong menawariku sedikit ilmu
untuk berjaga-jaga terhadap niat jahat orang. Ini
yang ihgin kuperbincangkan dengan Saudara Liu
Yok sebelum kuterima tawaran Guru Wong."
Beberapa pengawal Seng-tin diam-diam menggerutu dalam hati. Menganggap Cu Tong-liang
ini kurang bersyukur menerima anugerah besar.
Anugerah besar ditawari ilmu Wong Lu-siok. Cu
Tong-liang masih jual mahal dengan hendak
327 membicarakan dulu dengan Liu Yok segala. Orang
macam apa Liu Yok itu" Apakah lebih hebat dari
Guru Wong" Akan tetapi sikap Pang Se-bun ternyata tetap
ramah. "Aku dengar dari Nona Siau, Liu Yok itu
juga mengajarkan jalan kebajikan kepada Saudara
Cu dan Nona Siau. Pastilah dia sejalan dengan
Guru Wong. Sama-sama mengajar kebajikan.
Pastilah dia tidak keberatan kalau Saudara Cu
mendapat ilmu dari Guru Wong, Ilmu untuk
berbuat kebajikan." Cu Tong-liang mengangguk-angguk, hatinya
sudah mulai condong ke pendapat Pang Se-bun
itu. "Bagaimana, Saudara Cu" Masih ingin menemui
temanmu yang bernama Liu Yok itu" Kalau masih
ingin, bukan kami tidak menghalangi, bahkan
kami akan mengantar ke sana. Bagi kami, bertemu
orang suci macam Liu Yok pastilah membawa
manfaat besar, sebagai-mana dulu kami bertemu
dengan Guru Wong." Cu Tong-liang menggeleng. "Rasanya aku tidak
perlu ke sana." "Malam ini, Saudara Cu kupersilakan menginap
di rumahku." Rombongan itu kemudian kembali menuju
Seng-tin. Sebelum jauh dari tempat itu, tiba-tiba
seorang berkata, "Guru muda Pang, bagaimana
dengan mayat-mayat para penjahat ini?"
Jawaban Pang Se-bun makin membuad kagum
Cu Tong-liang, "Mereka memang jahat, tetapi kita
328 harus menghormati martabat mereka sebagai
manusia. Jadi, bawa mayat mereka. Besok kita
makamkan baik-baik."
"Malam ini mayat-mayatnya mau diinapkan di
mana?" "Di rumah ibadah saja. Kukira Guru Wong
takkan keberatan." Yang dimaksud "rumah ibadah" ialah rumah
bekas kediaman guru silat Ciu Koan, yang kini
dipakai untuk beribadah oleh penganut-penganut
ajaran Wong Lu-siok. Ketika melewati rumah Ciok Yan-Si Tukang Peti
Mati, Pang Se-bun mengetuk pintu rumah itu. Ciok
Yan-Si membukakan pintu dan agak kaget melihat
sekian banyak orang berdiri di depan pintu
rumahnya, lebih tegang lagi ketika mengenali ada
Pang Se-bun ada Cu Tong-liang dan ada lima
mayat yang digotong oleh pengawal-pengawal kota.
"A... ada... apa... ini?" tanyanya gugup.
Sahut Pang Se-bun, "Saudara Ciok, sekarang
kau punya berapa biji peti mati untuk orang
dewasa?" "Yang sudah siap pakai ada empat, ada satu lagi
yang hampir selesai."
"Besok siang bisa kirim lima ke bekas rumah
guru silat Ciu Koan?"
Ciok Yan-lim melirik mayat-mayat anak buah
Beng Hek-hou yang dibawa dengan usung-usungan
darurat itu. Lalu menjawab girang, "Bisa... bisa...
329 Malam ini juga kurampungkan yang setengah jadi
itu dan besok kukirim ke sana."
"Bagaimana adikmu?"
"Masih murung, tetapi kami terus berusaha
membangkitkan kembali semangatnya."
"Bagus, jangan biarkan dia putus harapan.
Kami pergi dulu, Saudara Ciok kami masih harus
menaruh jenazah-jenazah ini."
"Maaf, Guru Muda Pang, mayat-mayat siapa?"
"Anak buah Beng Hek-hou yang kembali hendak
mengacau Seng-tin, tapi berhasil kami atasi."
"Syukurlah. Penguasa-penguasa di langit masih
tetap melindungi Seng-tin dar orang-orang jahat
itu." "Nah, selamat malam, Saudara Ciok."
Setelah Pang Se-bun dan lain-lainnya pergi,
Ciok Yan-lim hampir saja berteriak kegirangan.
Dengan bersemangat di katakannya kepada
isterinya, "Isteriku kata-kata Nona A-kun siang tadi
benar benar bertuah. Kita kebanjiran rejeki.
Bayangkan, siapa sangka malam-malam begini ada
pesanan lima peti mati. sekali itung saja berapa
uang yang kita dapat.... dan kalau tiap hari peti
terjual, berarti....."
"Berarti tiap hari lima nyawa melayang."
sambung isterinya sambil pergi ke dapur,
memberesi bekas-makan malam.
*** 330 Pagi itu janda Giam bingung, karena anak
lelakinya, Giam Lok, belum sedikit pun sakitnya,
tahu-tahu perempuannya, Giam Lik, jatuh pula.
Anehnya, ketika Janda Giam menyuruh
puterinya untuk membantunya dan putrinya
mengaku tidak sanggup bangun dari dipan, Janda
Giam menyangka puterinya enggan untuk membantunya. Janda Giam meraba badan
puterinya dan terasa tinggi suhunya.
"Ini yang kukuatirkan!" Janda Giam hampir
menjerit saking pepat batinnya. "Kemarin sore
waktu kauceritakan bahwa gadis asing yang
menginap di pondoknya Tabib Kian itu datang
kemari, hatinya sudah tidak enak. Gadis itu
pembawa bencana! Ia hendak menyimpangkan
keyakinan orang-orang kota ini dari ajaran suci
Guru Wong! Ia datang ke rumah ini, dan rumah ini
kena bencana!" Karena kini Janda Giam tinggal satu-satunya
orang sehat di rumah itu, sudah tentu ia tak dapat
mengerjakan segalanya sendirian. Ia minta
bantuan tetangga. Sambil menghubungi tetanggatetangga, sekaligus ia juga menyebarkan berita
tentang "gadis pembawa bencana" yang mulai
berkeliaran di Seng-tin. "Gadis itu menentang keyakinan suci kita.
Ketika kudorong-dorong A-lok anak ku untuk
mematuhi permintaan Guru Wong untuk menjadi
pembantunya, gadis itu malah menganjurkan A-lok
untuk bertahan. Jadinya A-lok tidak sembuhsembuh sampai sekarang. Sekarang malaha A-lik
ikut sakit." 331 "Kita harus waspada, kita sebar-luas-peringatan
kepada yang lain-lain jangan mengijinkan pembawa bencana masuk ke rumah kita."
"Ya, kedatangannya membawa siluman yang
jahat." "Kalau yang rumahnya sudah terlanjur dimasuki dia, bagaimana?" tanya isteri Ok Yan-lim
yang kini bergabung dengan para-nyonya yang
sedang bergosip itu. bertanya demikian, karena
kemarin "si pembawa bencana" itu mengunjunggi
rumahnya, bahkan juga kemarin lusa.
"Kau harus adakan upacara menolak pengaruh
jahat!" "Gadis itu sungguh-sungguh jahat, kemarin
kulihat dia menggandeng-gandeng A-kun. Padahal
A-kun bocah suci, penghubung antara kita di alam
kasar ini dengan penghuni-penghuni kerajaan
langit untuk menolong kita. Ingatkan Nyonya Pang
agar menjaga puterinya baik-baik, jangan sampai
siluman betina itu mempengaruhi A-kun."
"Lihat, baru dua hari siluman betina muncul di
kota kita, dan kota kita sudah mendapat bahaya.
Kalian sudah dengar bahwa kemarin sore Beng
Hek-hou dan beberapa anak buahnya mencoba
menerobos masuk kota kembali" Untunglah
tentara gaib dari kerajaan langit membentengi kita,
sehingga Beng Hek-hou kabur dan kelima anak
buahnya terbunuh." "Barangkali gadis yang bernama Siau Hiang-bwe
itu mata-mata Beng Hek-hou?"
332 "Bukan barangkali lagi, tetapi pasti! Buktinya,
begitu dia muncul maka Beng Hek-hou pun


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul kembali." "Bukti lain, dia mencoba menggoyahkan
keyakinan kita kepada ajaran Guru Wong.
Rupanya yang paling ditakuti Beng Hek-hou ialah
ajaran suci itu, maka ia berusaha memisahkan kita
dari ajaran itu, agar lebih mudah kita
dimangsanya." Seorang nyonya pendek gemuk menganggukangguk, berlagak paranormal. "Pantas... pantas...
semalam aku bermimpi melihat gadis itu
menunggangi seekor macan hitam yang bisa
terbang. Gadis itu berjubah hitam dan bertaring."
Biasanya tidak ada yang menggubris dari
nyonya sok paranormal tersebut, tapi kali ini
berhubung mimpinya dengan topik yang sedang
digosip-mimpinya langsung mendapat sambutan
dari pendengar-pendengarnya. Ketika nyonyanyonya itu bubar, gosipnya menyebar ke seluruh
kota dan bumbu-bumbu dahsyat pun ditambahkan, lagi karena di kota Seng-tin muncul
apa peristiwa yang bisa dikait-kait-dengan Siau
Hiang-bwe, meskipun kaitannya sekedar ngawur
atau ada-ada. Ciok Yan-lim dengan penuh sukacita antarkan
lima peti ke bekas rumah silat Ciu Koan, lalu
dengan sukacita pulang membawa uangnya. Tetapi
begitu tiba di rumahnya, sukanya berubah menjadi
dukacita karena mendapati adiknya kembali
minum racun, ini tak tertolong lagi. Adiknya hanya
meninggalkan sepucuk surat pendek 333 mengungkapkan kekecewaannya bahwa ia tidak
dapat menjadi pengawal yang baik, dan ia ingin
menghilangkan kekecewaannya dengan menenggak
racun. Tetangga-tetangga berdatangan membantu dan
menghibur, lalu entah siapa yang mulai, tuduhan
pun dialamatkan kepada Siau Hiang-bwe. Diperkuat "bukti" yang dibawa oleh Nyonya Ciok
dari hasil gosipnya dengan nyonya-nyonya lainnya.
Biasanya kalau Ciok Yan-lim mengerjakan peti
mati, ia mengerjakannya dengan gembira karena
membayangkan uang yang akan diperolehnya, tak
peduli siapa yang mati. Kali ini Ciok Yan-lim
mengerjakannya dengan sebentar-sebentar mengusap air matanya. "Pemesan" kali ini adalah
adiknya sendiri, saudara satu-satunya.
Ditambah lagi, A-koan anak sulungnya tiba-tiba
sakit panas, sering mengigau tak sadar, dalam
igauannya itu menyebut-nyebut tentang "sebuah
taman indah dengan mahluk-mahluk suci yang
elok dengan A-kun dan A-hwe di dalam taman".
Makin lama makin banyak yang berdatangan ke
rumah Ciok Yan-lim untuk menyatakan belasungkawa. Malam harinya, lolong tangis isteri Ciok Yan-lim
mengejutkan para tetangga, yaitu ketika ibu muda
itu mendapatkan A-koan sudah tidak bernapas
lagi. Kesedihan, di saat akal sehat buntu, dengan
mudah dibelokkan oleh beberapa ucapan tak
berdasar untuk berubah menjadi kemarahan dan
334 kebencian hebat yang dialamatkan ke arah Siau
Hiang-bwe, "Si Pembawa Bencana".
"Siluman betina itu jangan sampai terlihat
kembali di kota ini!" seru Lui Kong-sim yang sudah
hadir di rumah duka bersama "kelompok
keamanan"nya yang galak-galak. "Kalau ada di
antara kalian yang melihatnya berkeliaran di kota,
cepat laporkan aku! Aku tidak takut biarpun dia
punya ilmu siluman, aku punya ilmu dewa sebagai
penangkalnya!" Yang agak bingung menghadapi suasana Sengtin yang tiba-tiba diamuk wabah kebencian
terhadap Siau Hiang-bwe itu, adalah Cu Tongliang. Cu Tong-liang sudah menjadi tokoh
terhormat di Seng-tin, namun persahabatannya
dengan Siau Hiang-bwe membuatnya berkuatir
untuk nasib Siau Hiang-bwe bila berani muncul
lagi di Seng-tin. Jauh di dasar hati Cu Tong-liang juga percaya
bahwa Siau Hiang-bwe pasti bukan "pembawa
bencana" atau "siluman betina" atau "mata-mata
Beng Hek-hou" segala. Tapi Cu Tong-liang pun
sadar mulutnya yang hanya satu itu takkan bisa
melawan sekian banyak mulut orang-orang Sengtin.
Yang bisa dilakukan Cu Tong-liang ialah diamdiam menyelundup keluar Seng-tin, menuju ke
pondok Tabib Kian dan memberitahu Siau Hiangbwe agar tidak mengunjungi Seng-tin lagi. Habis
memberi tahu Siau Hiang-bwe, Cu Tong-liang
kembali diam-diam ke Seng-tin.
335 Pergi pulang melewati padang ilalang itu Cu
Tong-liang tidak lagi gentar seandainya kepergok
kawanan serigala maupun Beng Hek-hou sendiri.
Di kantongnya ia sudah diberi bekal oleh Wong Lusiok berupa sehelai ikat kepala yang bertulisan
"huruf suci" yang dapat menangkal semua
pengaruh jahat. Siau Hiang-bwe menjadi murung mukanya
setelah mendengar dari Cu Tong-liang tentang
peristiwa-peristiwa di Seng-tin. Bukan hanya Siau
Hiang-bwe, tetapi juga Tabib Kian yang mulai raguragu akan keampuhan jamu-jamunya.
Dalam suatu kesempatan, Siau Hiang-bwe
bertanya kepada Liu Yok di tengah-tengah kebun
obat Tabib Kian. "Kakak Yok, aku merasa gagal. Ajaran-ajaran
yang Kakak ajarkan kepadaku ternyata setelah
dipraktekkan, hasilnya tidak seperti yang kuharapkan. Aku berbuat baik, memberi semangat
dan harapan, hasilnya malah orang-orangnya
tambah menderita, bahkan ada yang mati.
Sekarang orang-orang Seng-tin membenciku semua." Liu Yok mendengarkan sambil menggemburkan
tanah kebun dengan cetoknya. Mendengar
pertanyaan Siau Hiang-bwe, Liu Yok tidak
menjawabnya langsung, malahan berkata, "Ada
suatu tempat yang berdekatan, tetapi punya dua
keadaan. Ada daratan berbelukar yang berdampingan letaknya dengan sebuah teluk yang
berhubungan dengan laut. Di kedua macam
tempat itu ada penguasanya masing-masing.
336 Daratan belukar dikuasai seekor singa yang
garang dan semua mahluk di situ tunduk
kepadanya. Sedangkan di teluk itu dihuni seekor
ikan hiu yang ganas, terkuat di antara sekalian
mahluk air. Nah, seandainya kedua hewan
berkuasa itu bertarung, siapa pemenangnya?"
Siau Hiang-bwe benar-benar kesal bahwa selagi
ia membutuhkan jawaban, malahan Liu Yok
memberinya teka-teki macam itu. Ia membungkam
dengan muka merenung sambil mencabuti
rumput-rumput di dekatnya.
Tetapi jauh di dalam hatinya tiba-tiba ia ingat
bahwa Liu Yok bukan jenis orang yang suka
menghamburkan kata-kata dengan sia-sia. Liu Yok
yakin benar bahwa setiap katanya tergores di
dalam batin dan akan terlihat hasilnya di alam
nyata. Ingat itu, Siau Hiang-bwe menjawab, "Kalau
perkelahian terjadi di darat, si ikan hiu akan jadi
mangsa si singa. Tidak usah dimangsa singa,
dibiarkan pun akan mati. Tetapi kalau perkelahiannya terjadi di dalam air, singa itulah
yang akan diganyang si hiu. Jadi, tergantung
tempatnya." "Itulah jawaban untuk masalah yang kauhadapi
di Seng-tin." Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya, menatap
tajam Liu Yok yang tidak berhenti dari kegiatan
berkebunnya. "Kakak Yok, tolong jelaskan."
"Sejak kau menyambut uluran anugerah Yang
Maha Kuasa, diubah menjadi ciptaaan yang baru,
337 maka pada dirimu ada dua keadaan. Keadaan
lama, yaitu keadaan alamiah yang kaubawa sejak
kelahiranmu dari orang tuamu. Lalu keadaan yang
baru, keadaan ilahiah yang kaudapatkan langsung
dari Maha Penciptamu sebagai anugerah yang
kausambut, bukan pahala yang kauperoleh dengan
usaha-usaha kebajikanmu."
Siau Hiang-bwe mendengarkan, tapi belum
terlalu bersungguh-sungguh, sebab yang didengarnya itu sudah berulang kali dikatakan
oleh Liu Yok. Tanpa menggubris sikap Siau Hiang-bwe, Liu
Yok melanjutkan, "Keadaan yang kauhadapi di
Seng-tin adalah keadaan yang berakar di alam
gaib, bukan dalam kenyataan-kenyataan alamiah
yang tertangkap panca indera. Kau tidak bisa
menyentuh sesuatu yang gaib dengan sesuatu yang
alamiah. Kau tidak bisa menolong orang Seng-tin
yang dikuasai penguasa-penguasa gaib itu dengan
keadaanmu sebagai manusia alamiah, meski
bagaimanapun baik dan mulianya yang alamiah
itu." "Maksud Kakak Yok?"
"Kau berbuat baik kepada Giam Lok, kepada
Yao Sin-lan, kepada Ciok... siapa itu, yang bunuh
diri?" "Ciok Yan-bok...."
"Ya, ya, kau berbuat baik kepada mereka. Tetap
perbuatan baikmu bersumber dari manusia
alamiahmu, maka meski pun baik tetapi sama
sekali tidak menyentuh akar masalah mereka. Di
338 mana akar masalah mereka" Di alam gaib. Maka
perbuatan-perbuatan alamiahmu itu sia-sia. Sekali
lagi, yang gaib tidak tersentuh oleh yang alamiah."
Sekarang Siau Hiang-bwe mulai lebih bersungguh-sungguh terlibat dalam pembicaraan.
"Jadi?" "Coba jawab, waktu kau berbuat baik kepada
orang-orang Seng-tin itu, kau lakukan dengan
pikiran siapa, perasaan siapa dan kehendak
siapa?" "Aku merasa kasihan kepada orang-orang itu,
lalu kupikir aku dapat berbuat sesuatu untuk
menghibur mereka dengan kata-kata dan perhatian, dan aku mau melakukannya."
"Kamu kasihan, kamu berpikir kamu dapat
berbuat sesuatu, kamu mau. Itulah masalahmu.
Kamu, kamu, kamu. Rasa kasihanmu menyumbat
rasa kasihan-Nya yang amat berkuasa menolong,
pikiranmu menghalangi pikiran-Nya, rasa mampumu

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghalangi kemampuan-Nya, kehendakmu menghalangi kehendak-Nya. Segala
yang berasal dari manusia alamiahmu, betapapun
bagusnya, menyumbat segala yang dari manusia
ilahiahmu. Semua yang dalam manusia ilahiahmu
berasal dari Yang Maha Kuasa. Maka dikatakan
bahwa manusia ilahiah itu tidak dapat berdosa.
Bukan tidak ingin berdosa, melainkan tidak dapat!
Seandainya manusia ilahiahmu yang beraksi di
Seng-tin, hasilnya pasti jauh berbeda."
"Jadi?" 339 "Pikiran, kehendak dan perasaanmu harus
amblas dan musnah dalam pikiran-Nya, kehendakNya dan perasaan-Nya. Kaupikir yang Dia pikirkan,
kaukehendaki yang Dia kehendaki, kaurasakan
yang Dia rasakan." "Wah, mana aku mampu?"
"Nah, kau bersikap alamiah lagi, kaupikir Yang
Maha Kuasa butuh kemampuanmu" Tidak. Dia
hanya butuh kemau-anmu. Kau bilang mau, Dia
bekerja dalam batinmu. Ini anugerah. Bukan upah
usaha." "Dia Yang Maha Kuasa, kenapa butuh
kemauanku" Bukankah dia dapat melewati begitu
saja?" "Karena Dia menghormatimu dan tidak main
terobos saja. Anugerah-Nya disalurkan kepada
siapa saja, tetapi yang tidak mau menerimanya ya
tidak dipaksa. Yang merasa mampu bisa
mendekati-Nya dengan usaha sendiri dengan
berusaha menjadi orang sebaik-baiknya, ya tidak
dipaksa menerima anugerah-Nya yang menyempurnakan." "Kakak Yok, aku ingin menolong orang-orang
Seng-tin, aku mau manusia ilahiahku beraksi
keluar, bagaimana caranya?"
"Sederhana. Penghalangnya dihancurkan. Penghalangnya adalah manusia alamiahmu, yang
selalu ingin bertindak sendiri tanpa mengajak
Sumber Kekuatannya."
Siau Hiang-bwe "Dihancurkan?" agar berdebar-debar. 340 "Ya, disangkal, dianggap tidak ada nilainya lagi.
Yang dijunjung tinggi oleh manusia-manusia
alamiah seperti harga diri, nama baik, takut
kehilangan muka dan sebagainya, akan disapu
habis!" Siau Hiang-bwe termenung-menung lama sekali,
lalu bangkit melangkah meninggalkan kebun
untuk menuju pondok Tabib Kian. Tetapi berjalan
baru beberapa langkah, ia berhenti dan bertanya,
"Kakak Yok, apa arti ceritamu tentang singa dan
ikan hiu tadi?" "Itu tentang lawan sejatimu dan kau. Kalau
pertarungan terjadi di kawasan alamiah, kau
pecundang. Sebab manusia alamiahmu adalah
keturunan seorang pelanggar yang telah menjual
seluruh keturunannya ke dalam kuasa si malaikat
durhaka. Kalau pertarungannya di kawasan
manusia ilahiahmu, kau pemenang, sebab kau
adalah wakil Yang Maha Kuasa di dua alam, alam
gaib dan alam kasar, kaulah pelaksana undangundang-Nya dan hukum-hukum-Nya."
Siau Hiang-bwe melangkah ke dalam pondok,
merenungkan kata-kata Liu Yok.
*** Hampir seluruh warga Seng-tin hadir di
kuburan untuk ikut menyatakan simpati, saat
jenazah Ciok Yan-bok dan keponakannya, A-koan,
diturunkan ke liang lahat. Jerit tangis isteri Giok
Yan-lim tak terbendung lagi, bahkan menular ke
beberapa ibu-ibu dan bahkan beberapa lelaki pun
tak tahan dan matanya ikut berkaca-kaca.
341 Setelah kuburan diuruk, dan para pelayat siapsiap bubaran, tiba-tiba Lui Kong-sim mengambil
kesempatan selagi orang banyak berkumpul, Lui
Kong-sim mengambil tempat di atas sebuah batu
besar lalu berseru, "Saudara-saudara, para warga
Seng-tin yang baik! Mumpung kita berkumpul
hampir semuanya, coba dengarkan aku!"
Sebagian besar orang-orang Seng-tin berhenti
dan memandang ke arah Lui Kong-sim. Ada juga
para pelayat yang tidak menggubris, dan tetap saja
mereka ngeloyor pergi. Mungkin karena sudah
tengah hari lebih dan mereka sudah lapar. Mereka
tidak sadar bahwa Lui Kong-sim diam-diam
menyuruh teman-temannya untuk mencatat siapasiapa
saja orang-orang yang tidak mau mendengarkannya itu. Setelah mendapat perhatian dari sebagian besar
pelayat, Lui Kong-sim membuka pidatonya,
"Saudara-saudaraku, kita belum lupa pedihnya
penindasan oleh gerombolan jahat. Oleh pertolongan dari langit yang mengutus utusan
sucinya, Guru Wong, kita bebas. Guru Wong
bukan saja diutus untuk membebaskan, tetapi
untuk membimbing kita ke jalan suci! Hanya
dengan mengikuti jalan suci itulah kita terlindung
dari kembalinya kekuatan-kekuatan jahat ke kota
ini. Benar tidak?" Di antara para pendengar memang banyak yang
sudah mengikuti ajaran Wong Lu-siok, dan mereka
pun berseru-seru membenarkan ucapan Lui Kongsim.
342 Lui Kong-sim amat puas dengan sambutan itu.
Lanjutnya, "Ternyata Beng Hek-hou si bangsat itu
belum rela melepaskan kota kita ini, meskipun ia
telah terusir. Ia berusaha kembali! Inginkah
Saudara-saudara kota ini kembali dikuasainya?"
"Tidak! Tidak!" seru orang banyak.
"Saudara-saudara! Beng Hek-hou tahu kita
punya benteng yang tak bisa dia tembus, yaitu
ajaran Guru Wong! Ajaran yang membuat
balatentara gaib dari kerajaan langit berkenan
membentengi kita! Ajaran yang membuat ilmu
jahatnya tak berdaya!"
343 Orang-orang berseru memuji Wong Lu-siok
maupun para penguasa-penguasa gaib yang
diperkenalkan oleh Wong Lui-siok kepada rakyat
Seng-tin. Lui Kong-sim sendiri seolah kemasukan suatu
pengaruh yang amat kuat, hingga ia berhasil
memiliki pengaruh yang mencengkeram atas
pendengar-pendengarnya. Ia seolah menyihir
pendengar-pendengarnya. "Sekarang Beng Hek-hou secara pengecut
hendak mempengaruhi kita meninggalkan ajaran
suci, meninggalkan pelindung kita! Dia tidak
berani muncul terang-terangan, tetapi memakai
seorang gadis cantik untuk melemahkan keyakinan
kita terhadap ajaran Guru Wong. Ya, seorang gadis
yang dengan bebas masuk-keluar rumah-rumah
kita sambil melepaskan sihir jahatnya! Dua korban
sudah jatuh! Apakah kita ingin melihat korbankorban berikutnya berjatuhan?"
"Tidak! Tidak!" bergemuruh. kembali orang banyak "Kalau begitu, hai warga Seng-tin yang gagah
perkasa, yang dilindungi para dewa, tunggu apa
lagi" Penyihir jahat itu sekarang masih bersembunyi di kediaman Tabib Kian! Demi para
penguasa langit, kita datangi dan kita tangkap dia!"
Orang-orang bersorak setuju, yang berteriak
paling keras ialah Ciok Yan-lim yang sangat
mendendam kepada Siau Hiang-bwe atas kematian
anaknya dan adiknya. Beberapa hari yang lalu ia
punya kesan baik terhadap Siau Hiang-bwe,
sekarang kesan baiknya itu sudah tersapu habis
344 oleh gosip, kebencian. prasangka, kemarahan, kedukaan, Begitulah, dipimpin Lui Kong-sim, orang-orang
yang marah bercampur ketakutan itu berbaris ke
pondok Tabib Kian, Di kediaman Tabib Kian, Liu Yok yang sedang
memperbaiki penyangga tanaman rambat di kebun,
dikejutkan oleh kedatangan Cu Tong-liang yang
berlari terengah-engah dari arah padang ilalang.
Bahkan ia tidak sempat membuka pintu pagar
kediaman Tabib Kian melainkan melompatinya
saja. Bersambung jilid IX. *** Jilid 9 >o< KEPADA Liu Yok dia berteriak, "Saudara Liu, Akui di sini?" Liu Yok melangkah mendekati Cu
Tong-liang dengan tangan dan pakaian masih
berlepotan tanah. "Ya, ada apa?"
"Orang-orang Seng-tin dalam kemarahan tak
terkendali sedang berbondong-bondong menuju
kemari, mereka menuduh A-kui sebagai pembawa
kutukan. Bantu aku membujuk A-kui pergi dari
sini... ia menurut kepadamu, Saudara Liu."
Liu Yok hanya sedikit mengerutkan alis
mendengar ini, ia tidak sepanik Cu Tong-liang,
sebab rasa-rasanya apa yang terjadi hari ini sudah
345 "terbaca" oleh ketajaman firasatnya sejak beberapa
hari yang lalu. Bersama Cu Tong-liang, ia
melangkah masuk ke dalam pondok.
Siauw Hiang-bwe sedang membenahi ruangan
tengah, sementara Tabib Kian ditempat biasanya
meracik obat. Dengan tergopoh-gopoh Cu Tong-liang berkata,
"A-kui, kemasi barangmu secepatnya, aku akan
mengantarmu ke tempat yang aman untuk
sementara!" "Kenapa?" "Hari ini warga Seng-tin menguburkan Ciok
Yan-bok dan Ciok Koan keponakannya, di
kuburan, Lui Kong-sim berhasil menghasut massa
pelayat untuk beramai-ramai kemari hendak
menangkapmu. A-kui! Tak seorang pun bisa
menghentikan mereka."
Wajah Siau Hiang-bwe memang menjadi tegang,
dan tangannya sedikit gemetar. Ia menoleh ke arah
Liu Yok, tatapan matanya bertanya kepada Liu
Yok. Liu Yok berkata kalem, "Inilah saat memilih.
Apakah kau rela manusia alamiahmu dianggap tak
berarti, atau kau hendak menyelamatkannya dan
membiarkannya tetap menjadi penyumbat bagi
manusia ilahiahmu. Mana pun yang kau pilih,
kehendak bebasmu tidak ditekan atau dipaksa.
Kalau kau hendak menyelamatkan diri, kau tetap
akan dilindungi. Kalau kau menyerahkan diri,
kaupun tetap tidak dilepaskan oleh tangan-Nya."
346 Siau Hiang-bwe yang ditawari pilihan belum
menjawab, malahan Cu Tong-liang yang sudah
mencak-mencak duluan. "Saudara Liu, bagaimana
kau ini" Punya otak atau tidak" Kalau A-kui
menyerah, dia akan dihina, dipermainkan, diarak
keliling kota, dan entah diapakan lagi. Kau rela Akui dibegitukan?"
"Aku tidak berkata begitu, aku menyodorkan dia
pilihan." "Jangan disodori menyelamatkan diri!"
pilihan! Paksa

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia Ketika itulah A-kui alias Siau Hiang-bwe justeru
menjawab tenang, "Aku sudah merenungrenungkan kata-kata Kakak Yok beberapa hari
yang lalu, dan aku sudah siap menyerahkan diri."
"A-kui, kau gila!" Cu Tong-liang tak dapat
menahan emosinya. "Kaupikir, kalau kau menyerah, lalu kau akan didengarkan lalu katakatamu ditimbang-timbang dengan kepala dingin,
lalu kau diputuskan tidak bersalah, begitu" Tidak!
Kau berhadapan dengan massa yang sedang
emosi. Setiap patah kata mereka akan dilaksanakan tanpa pikir panjang lagi!"
Namun Siau Hiang-bwe makin bulat tekadnya.
"Inilah kesempatan emas buatku untuk mengikuti
jejak-Nya." Cu Tong-liang tambah geregetan sampai
membanting-banting kaki," "A-kui, kau sudah
melakukan ajaran-ajaran-Nya, dan semua sudah
tahu kau seorang yang baik, baiiik, baiiiiik sekali.
Bahkan orang-orang Seng-tin pun seandainya
347 pikirannya jernih dan tidak dikeruhkan hasutan,
pasti akan menyadari bahwa kau seorang yang
amat baik, pribadi yang menyenangkan. Buat apa
kaulakukan tindakan tolol dengan menyerahkan
diri ke tangan orang-orang yang sedang dirasuk
kemarahan?" Selama A-kui dan Cu Tong-liang berbicara, Liu
Yok memilih diam. Ia tidak ingin mempengaruhi
pembicaraan. Tetapi mendengar bujukan manis Cu
Tong-liang yang terkahir itu, Liu Yok mengomentari
biarpun hanya dalam hati, "Kakak Liang bicara
seolah-olah tidak dari dirinya sendiri, melainkan
ada yang memakai mulutnya. Yang memakai
mulutnya itu pastilah pihak yang paling ketakutan
kalau manusia alamiah A-kui terbongkar lalu
manusia ilahiah A-kui tampil gemilang. Makanya,
pihak yang meminjam mulut Cu Tong-liang itu
berusaha menyokong manusia alamiah A-kui
dengan memuji-muji A-kui sebagai orang baik,
pribadi yang menyenangkan dan sebagainya, agar
A-kui kembali menyayangi manusia alamiahnya
dan tidak jadi terbongkar."
Liu Yok tahu, tetapi diam saja. Ia benar-benar
seperti seorang ibu yang membiarkan anaknya
ketika mulai belajar melangkah sendiri.
Sahut Siau Hiang-bwe, "Kakak Liang, Selama ini
aku memang sudah menjadi orang baik, oleh
karunia-Nya. Aku jadi orang menyenangkan, tapi
belum menghidupkan."
"Ah, bicara aneh-aneh apalagi kau ini, A-kui.
Sudahlah, waktu kita tidak banyak. Kemasi
barang-barangmu secepatnya!"
348 "Tidak, Kakak Liang. Aku harus mengikuti
setiap tahap dari jejak guru kita. Tahap ini pun
tidak akan kuhindari."
Cu Tong-liang menoleh ke Liu Yok. "Saudara
Liu, bagaimana ini" Kenapa kau diam saja?"
"A-kui sudah memilih."
"Dia belum membayangkan apa yang bisar
dialaminya!" "Aku tidak dapat mengubah pendiriannya."
Cu Tong-liang tak dapat menahan diri.
"Ajaranmu benar-benar aneh, Saudara Liu. Kenapa
tidak mengajar seperti Guru Wong saja, berbuat
baik sebanyak-banyaknya, menjauhi kejahatan
sebisa-bisanya, sambil menghormati mahlukmahluk suci yang lebih tinggi derajatnya dari
manusia dengan upacara-upacara tertentu" Kenapa ajaranmu pakai mengajarkan penderitaan
segala?" Liu Yok tidak ingin berbantah dengan Cu Tongliang. Hati kecilnya yakin bahwa Cu Tong-liang
tidak berbicara menurut kepribadiannya sendiri,
melainkan ada yang menungganginya. Ketika mata
Liu Yok menatap tajam ke mata Cu Tong-liang,
ternyata Cu Tong-liang tak sanggup menentang
tatapan Liu Yok. Ia membuang wajah.
Tabib Kian muncul dari ruang lain, tertarik
mendengar pembicaraan seru di ruangan itu.
Begitu Tabib Kian muncul, Cu Tong-liang pun
minta dukungan Tabib Kian untuk mengungsikan
Siau Hiang-bwe sambil membereskan situasinya.
349 Di mata batin Liu Yok, makin jelas niat "yang
menunggangi Cu Tong-liang" untuk menyelamatkan manusia alamiah Siau Hiang-bwe
agar manusia ilahiahnya tetap tersumbat. Liu Yok
jadi ingat ketika gurunya pun dihalang-halangi
memasuki tahap kesengsaraan-Nya oleh seorang
murid terkasih-Nya sendiri yang mulutnya
dipinjam suatu kekuatan dari dunia kegelapan.
Persis Cu Tong-liang. Pikir Liu Yok "Kadang musuh-musuh sejatiku di
angkasa tidak memakai orang-orang asing yang
belum kenal, orang-orang yang terang-terang
memusuhiku, melainkan menggunakan orangorang yang akrab denganku, dan kelihatannya
berniat menolong dan menyelamatkanku."
Kemudian Tabib Kian pun menganjurkan Siau
Hiang-bwe untak menyelamatkan diri. Tetapi Siau
Hiang-bwe sudah tidak bisa diubah lagi tekadnya.
"Aku sudah mengucapkan selamat tinggal kepada
diri sendiri yang lama, dan selamat datang pikiran,
kehendak dan perasaan ilahiah yang bakal
memimpin hidupku...."
Saat itulah di luar terdengar suara orang
banyak yang makin dekat. Itulah suara orangorang Seng-tin yang makin marah.
"He, siluman perempuan, keluar!"
"Kau akan menerima nasibmu, mata-mata Beng
Hek-hou!" "Arwah korban-korbanmu takkan tenteram
sebelum kau menerima hukuman setimpal!"
"Keluar, atau kami bakar tempat sembunyimu!"
350 Dalam beberapa hari ini Siau Hiang-bwe terusmenerus belajar menyangkal kodrat alamiahnya,
agar kodrat itu makin lemah hari demi hari, dan
pada saatnya nanti tidak menjadi penghalang yang
berarti lagi. Tetapi sekarang ketika kupingnya
menangkap betapa garang dan marahnya suara
orang-orang di luar, rasa gentar muncul juga.
Namun ia membulatkan tekad, lalu melangkah
keluar. Cu Tong-liang panik. Kepanikannya adalah
kepanikan rangkap dua. Kepanikan asli "milik" Cu
Tong-liang sendiri, disebabkan karena tidak paham
soal adanya tahap kesengsaraan dalam jalan yang
diajarkan Liu Yok. Dan ketidak-mengertian Cu
Tong-liang itu ditunggangi oleh kepanikan mahluk
gaib yang tanpa disadari sudah menyusup ke
dalam jiwa Cu Tong-liang. Mahluk-mahluk yang
panik karena sadar betapa hebat akibatnya kalau
sampai Siau Hiang-bwe lulus dari tahap
kesengsaraan dan penghancuran manusia alamiah
itu. Dengan mata berapi-api Cu Teng-liang berdiri di
depan Liu Yok dan menuding. "Saudara Liu, kalau
kaubiarkan Siau Hiang-bwe keluar dan menyerahkan diri kepada orang-orang itu, kau
benar-benar lelaki pengecut yang tak berguna! Tak
bisa melindungi teman yang menghadapi bahaya!"
Tabib Kian yang melihat itu sudah tegang,
bagaimana kalau Liu Yok dan Cu Tong-liang
berkelahi" Ternyata Liu Yok malah menghadapi sikap Cu
Tong-liang itu dengan tertawa lega. "Nah, kalian
351 akhirnya muncul juga ke permukaan, penghunipenghuni liar! Aku tahu niat kalian sejak tadi, dan
kalian memperalat temanku ini untuk menjadi juru
bicara kalian! Kalian...."
Kata-kata Liu Yok terputus oleh jeritan yang
keluar dari mulut Cu Tong-liang, ia menyilangkan
kedua lengannya di depan wajah, seperti orang
ketakutan, kemudian kabur secepatnya lewat
dapur. Tabib Kian geleng-geleng tak mengerti. Yang tak
dimengertinya ialah ketika Liu Yok menyebut Cu
Tong-liang dengan sebutan "kalian", padahal Cu
Tong-liang hanya satu. Lebih membingungkan lagi,
kenapa Cu Tong-liang lari seperti orang ketakutan"
Sementara itu, Siau Hiang-bwe sudah melangkah keluar. Orang-orang Sengtin yang
dipimpin Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng itu
tambah gemuruh dalam ungkapan kemarahan dan
kebencian terhadap "pembawa bencana" ini. Di
belakang Siau Hiang-bwe, menyusullah Liu Yok
dan Tabib Kian. Tabib Kian sudah punya rencana
untuk menggunakan sedikit pengaruhnya untuk
mempengaruhi orang-orang Seng-tin agar tidak
sewenang-wenang. Tetapi melihat orang-orang di
luar segarang itu, Tabib Kian sudah ciut nyalinya.
"Aku menyerahkan diri...." kata Siau Hiang-bwe.
Beberapa pasang tangan menarik dengan kasar,
ia lalu didorong-dorong dengan kasar menuju
Seng-tin. Rambutnya dijambak-jambak, bahkan
kadang ditendang dari belakang, namun Siau
Hiang-bwe menjalaninya dengan tabah.
352 Ketika rombongan itu sudah jauh, Liu Yok
menengadah ke langit, katanya pelan, "Di Lamkoan dulu, aku yang menghancurkan pekerjaan
kalian. Sekarang di Seng-tin, Siau Hiang-bwe yang
akan mematahkan lengan-lengan kalian."
Sementara itu, ketika rombongan yang menangkap Siau Hiang-bwe sudah tiba di Seng-tin,
matahari pun sudah sangat dekat dengan
cakrawala barat. Keadaan Siau Hiang-bwe sudah
berantakan, rambutnya kacau karena sering
dijambak, pakaiannya lebih tidak keruan lagi.
Jalannya pincang karena kakinya ditendangi.
Di Seng-tin, masyarakat yang tidak ikut
menciduk Siau Hiang-bwe sudah menunggu di tepi
jalan. Sekelompok ibu-ibu yang dimotori oleh
Nyonya Giam serta Nyonya Ciok sudah menyiapkan buah-buahan busuk dan telur-telur
busuk. Tetapi mereka juga tidak lupa membawa
benda-benda suci penangkal pengaruh jahat.
Ketika Siau Hiang-bwe diarak lewat di depan
mereka, serempak benda-benda suci penangkal
pengaruh jahat itu diangkat di depan mereka,
seolah untuk membentengi mereka dari "pengaruh
jahat yang terpancar dari diri siluman betina" itu
satu tangan mengacungkan benda suci yang
bermacam-macam ujudnya, ada bendera kecil, ada
patung kecil penguasa langit, ada kalung dan
sebagainya sementara tangan kirinya melemparlemparkan telur busuk dan sebagainya ke arah
Siau Hiang-bwe disertai kutukan sengit.
Nyonya Ciok yang hari itu harus menguburkan
anaknya, melempar dengan amat sengit sambil
353 mencaci-maki dan menghamburkan air matanya.
Ia menyalahkan Siau Hiang-bwe sepenuhnya atas
kematian A-koan. Banyak orang terpengaruh oleh
sikap Nyonya Ciok, dan ikut menumpahkan
kemarahan atas diri Siau Hiang-bwe yang wajah
dan tubuhnya sekarang sudah penuh telur busuk
dan buah-buahan busuk. Siau Hiang-bwe digiring ke tanah lapang dan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diikat pada sebuah patok yang biasanya untuk
mengikat kuda. Hampir seluruh warga Seng-tin
berkumpul di situ, kecuali beberapa orang yang
tidak tampak batang hidungnya. Yang tidak
terlihat antara lain adalah Pang Se-bun, tetapi Akun terlihat di situ dengan boneka porselennya,
bahkan di barisan depan. Lui Kong-sim amat bangga bahwa dialah
pemrakarsa sekaligus penyelenggara "acara besar"
itu, diawali ketika di kuburan tadi. Sekarang dia
berjalan mondar-mandir di bawah tatapan ribuan
pasang mata warga Seng-tin. Di tangan Lui Kongsim ada cambuk. Beberapa teman Lui Kong-sim
juga nampak petentengan di dekatnya.
"Tenang, saudara-saudara!" Lui Kong-sim mengangkat tangannya. Setelah orang-orang diam
dan suasana sunyi, Lui Kong-sim berkata, "Kita
akan tanyai mata-mata Beng Hek-hou ini, untuk
mengetahui apa yang direncanakan oleh kepala
bandit itu terhadap kita!"
Suasana tetap sunyi, lalu tanya Lui Kong-sim
kepada Siau Hiang-bwe, "Nah, bandit betina, apa
yang direncanakan gerombolan jahatmu terhadap
kota kami?" 354 Siau Hiang-bwe mengangkat wajahnya yang
berlepotan telur busuk dan buah busuk. "Maaf,
gerombolan apa" Aku tidak tahu-menahu soal
gerombolan." "Pembohong!" Lui Kong-sim menampar pipi Siau
Hiang-bwe, begitu keras sehingga kepala gadis itu
seperti tersentak ke samping. Pipi itu jadi merah
dan ujung bibirnya meneteskan darah.
"Jawab yang gerombolanmu?" benar! Apa rencana Siau Hiang-bwe tidak menjawab, kali
mendapat tamparan dari arah sebaliknya.
ini Para penonton berteriak mendukung, tomat
busuk dan telur busuk tetap beterbangan ke arah
Sang Pesakitan. Yang paling histeris adalah Nyonya
Ciok yang baru saja kehilangan anaknya,
seandainya tidak dicegah, ia pasti sudah
mencabik-cabik kulit Siau Hiang-bwe dengan jarijarinya.
"Paksa terus sampai mengaku! Paksa terus!"
orang-orang berteriak. "Lui Kong-sim, pakai cambukmu!"
Lui Kong-sim" gembira sekali bahwa penduduk
Seng-tin sekarang seolah melimpahkan kuasa
tanpa batas. Sambil menyeringai, ia mengurai
cambuk kulitnya. Beberapa saat ia memutarmutarnya di udara, kemudian cambuk itu menerpa
tubuh Siau Hiang-bwe beberapa kali.
Setiap kali kena cambuk, tubuh Siau Hiang-bwe
bergetar meregang menahan diri sambil berdesis
355 pedih. Sebab Lui Kong-sim mengayunkan cambuknya dengan sekuat tenaga. Dan tiap kali
cambuk mengenai kulit Siau Hiang-bwe, orangorang bersorak mendukung.
Ketika hari mulai gelap, obor-obor pun
dinyalakan di lapangan itu. Orang-orang belum
rela bubaran menyaksikan "tontonan" macam itu.
Setelah beberapa cambukan, pakaian Siau
Hiang-bwe sudah koyak-koyak. Beberapa bagian
tubuhnya jadi terlihat. Namun sudah tidak
menarik lagi karena gurat-gurat biru merah yang
menghiasi kulit itu sebagai akibat cambukan.
356 Namun Lui Kong-sim maupun orang-orang
lama-kelamaan merasa bosan juga karena
cambuknya itu tidak menghasilkan apa-apa. Lui
Kong-sim berseru kepada penonton, "Saudarasaudara, dia tidak mau bicara! Apa yang harus kita
lakukan?" Nyonya gemuk pendek yang sok jadi paranormal
itu maju ke depan dan berkata, "Tidak perlu dia
katakan, kita sudah aman. Para panglima dari
langit melindungi kota kita ini, kapan pun Beng
Hek-hou menyerang." "Bagaimana Nyonya bisa berkata begitu?"
"Melalui isyarat gaib yang kuterima lewat mimpi.
Dalam mimpi itu, kulihat gadis ini berjubah hitam,
bertaring, bertanduk, diiringi tengkorak-tengkorak,
terbang di atas rumah Nyonya Giam, Ciok Yanlim."
Tak ada yang menggubris bahwa kata-kata Si
Nyonya pendek gemuk itu kedengaran mengadaada, berlagak memakai "bahasa ramalan" tetapi
kejadiannya sudah lebih dulu terjadi. Saat itu
orang-orang hanya senang mendapat alasan untuk
menambahkan penderitaan pada Siau Hiang-bwe,
tak peduli alasan yang lemah sekalipun.
Mendengar kata-kata Si Nyonya pendek gemuk,
Nyonya Ciok menjerit menangis dan mengutuk
Siau Hiang-bwe habis-habisan. Lalu mendekati Lui
Kongsim, merebut cambuk dari tangan Lui Kongsim untuk mencambuki Siau Hiang-bwe. Tenaga
Nyonya Ciok sudah tentu kalah jauh dari Lui Kongsim, tetapi yang memedihkan hati Siau Hiang-bwe
ialah bahwa yang mencambukinya adalah ibu dari
357 seorang gadis cilik yang baru meninggal, dan
kesalahan ditimpakan kepadanya.
Nyonya Ciok mencambuki Siau Hiang-bwe
sampai kelelahan sendiri, bahkan sampai rubuh
kelelahan. Orang-orang jadi kaget dan menggotong
Nyonya Ciok pulang ke rumahnya.
Pingsannya isteri Ciok Yan-lim itu adalah
karena lelah dan sedih yang bertumpuk-tumpuk
selama beberapa hari. Namun Si Nyonya pendek
gemuk yang sedang mencari ketenaran sebagai
pelihat gaib, menggunakan kesempatan itu untuk
meyakinkan orang-orang akan "kemampuan"nya,
"Siluman betina itu membuat Nyonya Ciok pingsan
dengan sorot matanya yang berpengaruh jahat!
Memang tidak bisa dilihat dengan mata biasa,
tetapi 'mata ke tiga'ku dapat melihatnya! Dia tak
dapat mengelabuhi aku! Dia tidak bisa mengelabuhi orang yang dianugerahi dewa-dewa
dengan 'mata ke tiga'! Dia membuat pingsan
Nyonya Ciok dengan sihir jahat dari matanya!
Bersinar, aku lihat!"
Kali ini Nyonya Giam yang maju ke depan,
tangannya membawa "bendera suci" yang diacungacungkan beberapa kali ke arah Siau Hiang-bwe,
"Hai siluman yang menghuni gadis jahat ini, para
panglima langit di pihakku, dan aku tidak takut
kepadamu!" Lalu Nyonya Giam mengambil cambuk yang tadi
lepas dari tangan Nyonya Ciok, lalu sekarang ia
yang bertindak sebagai algojo, meluapkan perasaannya sepuas-puasnya atas Siau Hiang-bwe
dan orang-orang mendukungnya. Ia berkeringat
358 dan terengah-engah, tetapi tidak sampai pingsan
seperti Nyonya Ciok. Si Nyonya Pendek Gemuk kembali membeberkan "penglihatan gaib"nya. "Ya! Ya!
Kulihat ada sorot jahat dari mata siluman betina
ini, tetapi semuanya kandas oleh cahaya yang
keluar dari 'bendera suci'! Kulihat dengan 'mata ke
tiga'ku bahwa dari rambutnya keluar ular-ular
banyak sekali!" Entah dari mana Si Nyonya Pendek Gemuk
sampai dapat berkhayal seperti itu, tetapi sebagian
orang mulai terpengaruh, meski bukan semuanya.
Orang-orang yang terpengaruh itu melototkan
matanya lebar-lebar karena ingin melihat
"rambut ular" Siau Hiang-bwe. "Mana" Mana
rambut ularnya?" Si Nyonya Pendek Gemuk menyahut, "Sudah
tentu kalian tak bisa melihat! Hanya yang punya
'mata ke tiga' yang bisa melihat!"
"Ooo...." Sementara itu, Nyonya Giam lelah mencambuk,
sebab sikap Siau Hiang-bwe yang tetap tenang itu
amat menjengkelkannya. Inginnya, Siau Hiang-bwe
menangis, minta-minta ampun, itu baru mengasyikkan. Tetapi Siau Hiang-bwe tetap
tenang, meskipun orang mudah membayangkan
betapa kesakitannya dia. Lelah mencambuk, tiba-tiba mendengar Si
Nyonya Pendek Gemuk menyebut-nyebut soal
rambut, Nyonya Giam pun mendapatkan pikiran
baru untuk menyiksa Siau Hiang-bwe. Kali ini
359 bukan menyiksa tubuhnya, melainkan jiwanya,
dengan mempermalukannya. "Ambil gunting!" teriak Nyonya Giam kepada
orang di sekitarnya. Lui Kong-sim yang masih merasa dirinya
sebagai "ketua panitia" dalam acara itu, agak tidak
senang oleh tindakan Nyonya Giam yang
melancanginya. "Nyonya tanyanya. Giam, buat apa "Kita gunduli rambutnya!
mungkin ada kekuatan sihirnya!"
gunting Di segala?" rambutnya Lui Kong-sim hendak mencegah, bukan karena
kasihan kepada Siau Hiang-bwe, melainkan
sekedar untuk menunjukkan kekuasaannya atas
Nyonya Giam. Namun baru saja bibirnya hendak
bergerak membatalkan kata-kata Nyonya Giam,
didengarnya orang banyak sudah bersorak
mendukung gagasan Nyonya Giam. Lui Kong-sim
batal mengatakan apa-apa karena tidak berani
bertentangan dengan massa. Namun dalam
hatinya, Lui Kong-sim sudah mencatat Nyonya
Giam sebagai saingan yang kelak harus "disingkirkan".
Orang yang mengambil gunting sudah tiba, lalu
menyerahkan gunting ke tangan Nyonya Giam.
Dengan gunting di tangan, Nyonya Giam
melangkah mendekati Siau Hiang-bwe sambil
menyeringai mengancam, berharap Siau Hiang-bwe
ketakutan. 360 "Nah, gadis siluman, ilmu hitammu tidak
berdaya di kota yang penuh dengan kekuatan suci
dewa-dewa ini. Mau bilang apa kau sekarang?"
Muka Siau Hiang-bwe terangkat. Nyonya Giam
tercengang melihat wajah yang sudah babak-belur
dan sangat jelek itu tidak memancarkan dendam
sedikit pun. Bagaimana bisa begini"
Dan inilah yang dikatakan Siau Hiang-bwe,
desis dari sela-sela bibirnya yang bengkak dan
berdarah, "Yang ingin kukatakan kepadamu,
Nyonya Giam, kedua anakmu akan sembuh tidak
lama lagi...." Sama sekali bukan kutukan atau sumpah
serapah. Nyonya Giam sampai mematung beberapa saat,
jantungnya seakan dicekam pengaruh aneh.
Pengaruh yang amat asing.
Saat itulah Si Nyonya Pendek Gemuk berteriak,
"Nyonya Giam, kau hendak di-sihirnya! Awas!"
Nyonya Giam mengeraskan hatinya, lalu
guntingnya pun bekerja dengan ganas. Segumpal
demi

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segumpal rambut Siau Hiang-bwe dipotongnya, berhamburan di tanah. Pemotongan
rambut yang dilakukan dengan dorongan kemarahan dan kebencian, sudah tentu tak
menghiraukan soal indah buruknya potongan.
Nyonya Giam memotong sejelek-jeleknya, maka
kepala Siau Hiang-bwe yang berambut indah itu
pun jadi brondol dan amat jelek. Orang-orang
bersorak-sorak. 361 Habis memotong, Nyonya Giam tersenyum lebar,
ingin melihat Siau Hiang-bwe menampilkan mimik
derita batinnya. Namun Nyonya Giam kecewa,
sebab Siau Hiang-bwe tidak menunjukkan sikap
yang diharapkannya. "Keparat, kau ini punya perasaan atau tidak?"
"Tentu saja punya, Nyonya...." desis Siau Hiangbwe.
"Kenapa kau tidak malu, tidak menangis, tidak
mohon ampun mengalami semuanya ini?"
"Perasaanku tidak dikendalikan lagi oleh
sesuatu yang terjadi di luarku, tetapi milik Dia
yang di dalamku...."
Nyonya Giam geleng-geleng kepala. "Kau benarbenar mahluk aneh."
Nyonya Pendek Gemuk kembali beraksi. "Hatihati, Nyonya Giam. Penyihir-penyihir jahat
memang mahluk-mahluk aneh yang tidak seperti
orang normal. Termasuk perasaannya dan cara
berpikirnya juga lain."
Tetapi entah kenapa, Nyonya Giam Kehilangan
nafsunya yang tadi menggebu-gebu untuk
menyiksa dan mempermalukan Siau Hiang-bwe.
Dengan alasan bahwa ia harus menunggui kedua
anaknya yang sakit, dia mengeloyor pergi dari situ.
Bergantian orang-orang mengejek, mempermalukan, dan bertingkah macam-macam
kepada Siau Hiang-bwe. Namun orang-orang itu
lelah sendiri dan beberapa di antaranya pulang ke
rumah karena malam sudah larut.
362 Lui Kong-sim, si penyelenggara acara itu merasa
agak kecewa juga bahwa acaranya ternyata tidak
se"meriah" yang diharapkannya.
Tetapi ketika malam sudah makin dingin dan
beberapa obor sudah padam sendiri dan orangorang yang berkerumun di lapangan itu tinggal
separuh dari yang semula, tiba-tiba muncullah
"acara baru" untuk memeriahkan acara yang
nyaris membosankan itu. Salah seorang teman Lui Kong-sim sambil
tertawa-tawa menuntun si gila Ho Tong ke tempat
itu, Dibisikkannya sesuatu ke kuping Ho Tong, dan
ketika dibisiki, nampak Ho Tong cengar-cengir kegila-gilaan. Orang-orang jadi tegang menunggu apa
yang akan terjadi berikutnya"
Ho Tong si gila dengan kulitnya yang menghitam
oleh daki dan pakaiannya yang compang-camping
serta amat kotor, menyerbu, memeluk Siau Hiangbwe lalu menciumi muka, leher dan dada Siau
phang-bwe dengan bernafsu.
Orang-orang yang tadinya sudah agak mengantuk, sekarang kembali bersorak-sorak
meriah, menjadi "suporter" Ho Tong. Begitu
meriahnya acara itu, sampai beberapa orang yang
sudah meninggalkan lapangan itu berbalik kembali
ke lapangan untuk melihat ada apa.
Yang tidak tega untuk bersorak-sorak ialah
orang-orang yang ada hubungan keluarga dengan
Ho Tong. Di antara orang-orang yang tinggal di
lapangan itu ada ibu Ho Tong, juga pamannya dan
kakak laki-lakinya. Tadi mereka ikut mengolokolok Siau Hiang-bwe, ikut mencoreng-morengkan
363 zat pewarna ke wajah dan tubuh Siau Hiang-bwe,
namun sekarang ketika melihat Ho Tong beraksi
dalam kegilaannya, mereka bungkam.
Dalam hati ia memprotes Lui Kong-sim yang
tega memanfaatkan orang sakit ingatan untuk
tontonan, tetapi protes itu hanya disimpan di hati,
mana berani mereka menyatakannya terangterangan kepada Lui Kong-sim dan temantemannya yang galak-galak, apalagi sedang di atas
angin karena merasa didukung oleh warga Sengtin"
Dasar orang hilang ingatan, Ho Tong mula-mula
melakukan adegan itu karena disuruh oleh temanteman Lui Kong-sim, tetapi setelah tubuhnya
merapat dan bergesekan dengan tubuh Siau Hiangbwe, nafsu Ho Tong menyala. Lupa bahwa ia
sedang di depan mata orang banyak, mendadak Ho
Tong melorotkan celananya sendiri lalu melakukan
gerakan seperti orang sedang berhubungan badan
atas diri Siau Hiang-bwe, meskipun tidak terjadi
hubungan sungguh-sungguh karena Siau Hiangbwe masih berpakaian.
Orang-orang yang melihatnya bersorak, ada
yang tertawa geli sampai ter-bungkuk-bungkuk.
Beberapa wanita yang masih ada di situ, mukanya
jadi jengah dan sikapnya kikuk, tetapi sayang juga
meninggalkan "tontonan sebagus itu" yang belum
tentu terjadi lagi. Yang tak mampu ikut tertawa adalah ayah dan
kakak Ho Tong, mereka dengan malu dan murung
meninggalkan lapangan itu. Tak sanggup melihat
Ho Tong jadi seperti itu, tetapi juga tak sanggup
364 mencegahnya karena takut kepada Lui Kong-sim
dan kawan-kawannya, Yang paling malu tentu saja
adalah Hiang-bwe. Ini benar-benar adalah puncak
dia dipermalukan di depan umum. Bukan saja ia
hampir muntah karena bau tubuh dan napas Ho
Tong yang terengah-engah memeluknya, tetapi ia
juga merasakan penasaran dan harga dirinya
sekaligus bangkit teraduk-aduk jadi satu. Penasaran, bahwa dirinya yang tidak bersalah apaapa itu tiba-tiba saja diperlakukan seperti itu. Juga
harga dirinya sudah nekad hendak dikorbankan
itu, ternyata bangkit lagi. Dada Siau Hiang-bwe
terasa panas, lalu air mata iba diri sendirinya pun
mengalir keluar. Ho Tong yang masih "beraksi" itu ketika melihat
air mata Siau Hiang-bwe, malahan tertawa,
bisiknya parau di kuping Siau Hiang-bwe, "Kenapa
tadi tidak lari saja" Kaupikir bisa mengalahkan
kami yang sudah ribuan tahun menguasai
manusia" Sekarang kami hancurkan kau, baik
tubuhmu maupun martabatmu."
Air mata Siau Hiang-bwe makin deras. Tetapi
dalam hatinya tiba-tiba muncul sesuatu yang
hangat dan lembut, membuat hatinya teguh. Entah
dari mana itu. Lalu di pikiran Siau Hiang-bwe
bermunculan adegan-adegan dalam angan-angan.
Adegan tentang seorang lelaki yang dengan tabah
menjalani hukumannya, hukuman yang sebenarnya tidak pantas untuknya, namun
dijalaninya tanpa mengeluh dan tanpa rasa iba
diri. Sehingga ia disamakan dengan seekor domba
yang dibawa ke tempat penyembelihan tetapi tidak
mengembik sedikit pun. Lalu khayalan Siau-Hiang365
bwe beralih ke masa-masa gelap dalam hidupnya
sendiri, ketika dia menjadi seorang gila. Jiwanya
terkurung di suatu keadaan gaib yang asing
dengan penguasa-penguasa gaibnya yang kejam. Ia
akhirnya bebas dari masa pahit itu, dan itu
mendorongnya untuk menolong orang-orang Sengtin.
Kini, terhadap Ho Tong, tiba-tiba belas
kasihannya membludak dari bagian terdalam dari
hatinya, bagian wilayah manusia ilahiahnya.
Bukan belas-kasihan alamiah. Luapan dari bagian
terdalam batinnya itu pun terekpresi lewat tetesan
air matanya. Air mata yang keluar itu zatnya sama dengan air
mata yang tadi, kalau di jilat juga sama asinnya,
keluar dari Kanta yang sama, tetapi dorongan
hatinya I berbeda. Kalau yang pertama tadi ka-[
sihar kepada diri sendiri, kini belas kasihannya
tanpa batas kepada Ho Tong.
Dan akibatnya juga jauh berbeda atas Ho Tong.
Ketika air mata belas kasihan kepada Ho Tong
ini mengenai wajah Ho Tong, Ho Tong menjerit
keras lalu terkapar telentang, kedua tangannya
menutupi wajahnya seolah-olah wajah itu baru
saja disiram air mendidih. Orang-orang yang
mengerumuni tempat itu seketika bungkam...
suasana riuh-rendah tiba-tiba jadi amat sunyi
seperti di kuburan. Dalam suasana sunyi di mana jarum jatuh pun
akan terdengar, terdengar suara Siau Hiang-bwe,
"Dia akan sembuh. Benteng-benteng gaib yang
mengurungnya mulai runtuh...."
366 Ho Tong menggeloser-geloser di tanah dan
melolong panjang. Bagian bawah tubuhnya masih
telanjang, dan tiba-tiba dia melompat bangkit lalu
berlari sekencang-kencangnya meninggalkan, tempat itu. Di kejauhan terdengar lolong tangisnya
mengalun panjang membelah suasana malam.
Celananya tertinggal di tengah lapangan itu.
Beberapa saat orang-orang di lapangan itu
tercengkeram kesunyian, tak menduga terjadinya
peristiwa di luar dugaan itu. Namun Si Nyonya
Pendek Gemuk yang berlagak ahli dalam hal-hal
gaib itu kemudian memecah kesunyian dengan
suaranya yang melengking tinggi, "Siluman betina
ini coba mengelabuhi kita! Ia hendak berlagak
sebagai penolong, agar kita tidak menghukumnya
dengan berat. Tetapi kita takkan termakan oleh
siasatnya. Benar, Saudara-saudara?"
"Benar! Benar!" sahut orang-orang itu, tetapi
suara mereka tidak seserempak tadi. Mungkin
karena sudah mengantuk, atau karena mulai
merasa di hati kecil mereka bahwa perlakuan
terhadap Siau Hiang-bwe ini keterlaluan.
Lui Kong-sim agaknya tanggap terhadap
perasaan orang-orang, dan dia pun merasa sudah
saatnya acara itu diakhiri. Yang penting, hari itu
Lui Kong-sim merasa telah berhasil mengangkat
dirinya di mata orang-orang Seng-tin setelah
sekian lama merasa dilupakan. Lui Kong-sim
anggap apa yang dilakukannya hari itu adalah
sesuatu yang berarti, ia telah menangkap "matamata Beng Hek-hou" sekaligus "penyihir hitam
penyebar bencana", dan Lui Kong-sim bangga.
367 Karena itu, ia kemudian berkata kepada orangorang, "Saudara-saudara para warga kota, hari ini
kekuatan-kekuatan suci di kota kita telah memberi
kita menang besar! Sekarang, tawanan ini akan
kita kurung di belakang rumah ibadah. Hanya di
situlah dia bisa benar-benar terkurung secara
aman. Bukan saja aman secara fisik, tetapi juga
secara gaib, karena Guru Wong ada di situ!"
Yang dimaksud ialah rumah bekas kediaman
guru silat Ciu Koan. Di bagian belakang rumah
besar itu memang dibangun ruangan-ruangan yang
kuat untuk memenjarakan orang. Sejak dulu Sengtin tidak kenal adanya penjara, namun sejak Wong
Lu-siok di Seng-tin, rumah kurungan itu dibangun
untuk mendisiplinkan masyarakat dalam mentaati
"jalan suci". Ke dalam sebuah ruangan yang sempit dan
gelap bagaikan dalam kuburan itu Siau Hiang-bwe
dijebloskan. Entah berapa lama bakal menghuni
"kuburan" itu dan setelah itu apa yang bakal
dihadapinya, Siau Hiang-bwe tak peduli.
Tidak jauh di luar kota Seng-tin, di sebuah
bukit batu kecil yang tumbuh ilalangnya tak terlalu
banyak, Cu Tong-liang si bekas perwira istana itu
sedang duduk merenung. Lama sekali ia duduk merenung, sejak
menjelang matahari terbenam tadi, sampai kini
hampir tengah malam dan pakaiannya sudah agak
lembab oleh embun. Yang direnungkan Cu Tong-liang ialah dirinya
sendiri. Ia mulai bingung memandang kepribadiannya sendiri. Dulu ketika ia berjalan
368 bersama-sama Liu Yok, ia tidak sebingung ini. Ia
dapat melihat kepribadiannya sendiri dengan
jernih, kelebihan-kelebihan dan kekurangankekurangannya.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sekarang tiba-tiba ia merasa dalam
kepribadiannya ketambahan beberapa "unsur
asing" yang entah dari mana. Tiba-tiba saja Cu
Tong-liang heran sendiri bahwa ia bisa membenci
Liu Yok tanpa alasan, juga ada rasa takut yang
aneh untuk berdekatan dengan Liu Yok. Orang
macam Liu Yok, apanya yang harus ditakuti atau
dibenci" Lalu mengingat kejadian siang tadi ketika Siau
Hiang-bwe ditangkap orang-orang Seng-tin, kenapa
ia tidak membela" Ia menuduh Liu Yok pengecut
karena tidak membela Siau Hiang-bwe, tetapi
dirinya sendiri pun tidak membela Siau Hiang-bwe
karena takut kehilangan hormat dari orang-orang
Seng-tin yang selama ini sudah dinikmatinya dan
terlanjur membuatnya "ketagihan hormat".
"Entah apa yang dialami A-kui di tangan Lui
Kong-sim dan teman-temannya. Pang Se-bun tidak
dapat mengendalikan Lui Kong-sim dan temantemannya."
Tiba-tiba Cu Tong-liang bangkit. Ia merasa
sudah kehilangan sebagian kepribadiannya sendiri,
dan sekarang ia ingin mempertahankan yang
tersisa itu. Bukan hanya mempertahankan,
bahkan membuatnya utuh kembali. Sambil
melangkah turun dari bukit, ia bertekad. "Sekarang
harus kubereskan hubunganku dengan Liu Yok
dan A-kui...." 369 Tetapi sambil melangkah menuju ke pondok
Tabib Kian, pikirannya bergolak. "Kalau hendak
kutolong A-kui, berarti aku harus berhadapan
dengan orang-orang Seng-tin yang selama ini
ramah kepadaku. Selain tidak enak hati, aku harus
berhadapan dengan orang-orang yang tidak
mempan senjata, dapat menginjak api tanpa luka,
dapat berkelahi dalam keadaan tidak sadar dalam
kemampuan yang hebat, jauh melebihi kemampuan normalku. Sungguh berat bagiku...."
Langkah Cu Tong-liang jadi tersendat ragu. Ia
benar-benar dihadapkan pilihan sulit. Hubungannya dengan orang-orang Seng-tin telah
menjadi semacam belenggu kuat bagi, jiwanya,
begitu pula hubungan persahabatannya dengan
Siau Hiang-bwe, dan kini belenggu-belenggu jiwa
itu seakan ditarik ke kedua arah yang berlawanan
dan merobek jiwanya. Kekacauan dalam jiwanya bertambah ruwet lagi,
ketika makin dekat ke pondok Tabib Kian, maka
ketakutan yang tak beralaskan itu kembali
memenuhi jiwanya. Ketakutan kepada Liu Yok!
Tengah ia melangkah ragu di gelapnya malam,
tiba-tiba di suatu arah terdengar lolongan serigala.
Bisa dikira-kira bahwa tempat serigala itu tepat di
tengah-tengah antara tempat Cu Tong-liang saat
itu dengan tempat terletaknya pondok Tabib Kian.
Jadi serigala-serigala itu seolah menghalangi
jalannya. "Kalau kau tidak menemui Liu Yok, pasti Liu
Yok bisa memahaminya dan takkan marah. Ada
serigala...." sebuah bisikan muncul di hati Cu
370 Tong-liang mencegah suara halus agar tidak usah
menemui Liu Yok. Cu Tong-liang memang berhenti lama di situ,
ada dorongan kuat untuk kembali saja ke bukit
batu tadi dan menunggu sampai pagi saja. Tetapi
dorongan lain muncul, dorongan ingin bicara
terlebih dahulu dengan Liu Yok untuk mendapat
keteguhan hati. Begitu Cu Tong-liang seolah berdiri di antara
dua arus yang berlawanan.
"Tidak, aku tidak tahan lagi terombang-ambing
begini. Aku harus menemui Liu Yok, apapun yang
terjadi...." lalu kakinya pun melangkah terus.
"Kuharap dia punya jawabannya kenapa dia
biarkan A-kui dibawa Lui Kong-sim dan temantemannya, bukannya menyuruh A-kui kabur
menyelamatkan diri."
Tetapi ketika mendengar lolong serigala lagi,
langkahnya terhenti lagi, dan pertimbangan lain
muncul. "Kalau aku ke arah pondok Tabib Kian,
berarti kuserahkan diriku ke moncong serigalaserigala itu. Aku mati konyol. Lebih baik kucoba
menolong A-kui dulu, tidak dengan kekerasan,
melainkan dengan mencoba mendekati Pang Sebun dan Wong Lu-siok."
Langkahnya pun berubah arah, ke Seng-tin.
Sisa bubuk yang baunya dibenci serigala itu
ditaburkan. ke tubuhnya. Jauh dalam hatinya ada
tuduhan bahwa dia sebenarnya tidak takut kepada
serigala-serigala itu, melainkan takut kepada Liu
Yok. 371 Sudah lewat tengah malam, ketika ia tiba di
kota Seng-tin. Tetapi kota itu nampak tidak sesepi
biasanya. Di beberapa sudut jalan masih terlihat
ada orang-orang berbincang-bincang, dan di
lapangan masih ada obor yang menyala meskipun
sebagian besar padam. "Pasti keramaian yang disebabkan ditangkapnya A-kui," pikir Cu Tong-liang.
oleh Biasanya Cu Tong-liang tidak takut berjumpa
orang-orang Seng-tin karena ia teman Pang Sebun, kemudian ikut melatih pengawal-pengawal
kota. Tetapi kali ini Cu Tong-liang tidak ingin
bertemu siapa pun sebelum ketemu Pang Se-bun.
Ia sengaja menyelinap-nyelinap untuk menghindari
orang-orang, sampai tiba di rumah Pang Se-bun.
Rumah Pang Se-bun tentu saja sudah sepi,
semua penghuninya sudah tidur. Cu Tong-liang
tidak menggedor pintu depan, melainkan melompati tembok kemudian mendekati jendela
kamar tidur Pang Se-bun dari luar. Ia sudah kenal
tempat-tempatnya, sebagai hasil dari beberapa kali
kunjungannya ke situ. Tiba di luar jendela, Cu Tong-liang tidak
langsung mengetuk, melainkan mendengarkan
dulu. Ternyata di luar kamar masih terdengar
percakapan pelan antara Pang Se Bun dan
isterinya. Terdengar Nyonya Pang sedang mengeluh
tentang sifat puterinya, A-kun, yang makin susah
dimengerti. Makin sering bicara yang tidak
sebenarnya, menentang orang tuanya, dan yang
ditaati hanyalah "A-hwe". Suaminya menghibur,
katanya tingkah laku A-kun itu hanya ulah kanak372
kanak yang "kelak akan hilang sendiri kalau sudah
dewasa". Namun kata-kata hiburan Pang Se-bun
itu terdengar tidak yakin.
Diam-diam Cu Tong-liang membatin. "Aku
benar-benar tak menduga. Keluarga Pang ini bisa
dibilang merupakan keluarga yang bisa dicontoh
oleh semua keluarga di Seng-tin ini... beberapa
hari ini kulihat hubungan mesra antara suami
isteri dan orang tua anak. Ternyata A-kun menjadi
masalah bagi kedua orang tuanya, dan kalau tidak
mendengar sendiri malam ini pastilah sulit
dipercaya." Cu Tong-liang merasa kurang enak juga harus
menguping pembicaraan sepasang suami isteri
malam-malam dalam kamar, meskipun dulu waktu
masih menjadi agen rahasia kerajaan, urusan
menguping ini merupakan bagian dari tugasnya.
Maka ia sengaja mundur beberapa langkah
menjauhi jendela tanpa suara, kemudian dari situ
melangkah kembali mendekati jendela, tetapi
dengan sengaja memperberat langkahnya sehingga
yakin Pang Se-bun dapat mendengarnya.
Benar juga, sebagai seorang pesilat, kuping
Pang Se-bun tajam. Dalam kamarnya ia cepat
meraih tombak yang disandarkan di sudut, lalu
mendorong jendela sehingga terbuka dan membentak, "Siapa?"
Cu Tong-liang menampakkan diri di tempat
terbuka. "Aku, Saudara Pang. Mohon maaf telah
mengganggu kalian berdua malam-malam begini."
"Jangan sungkan, Saudara Cu. Ada apa?" tanya
Pang Se-bun meski sebenarnya ia sudah dapat
373 menebak apa yang ingin dibicarakan Cu Tongliang, pasti bersangkut-paut dengan Siau Hiangbwe.
"Apakah Pang?" aku... tidak merepotkan Saudara "Tidak, kita kan sahabat" Masuklah ke ruang
buku, akan kutemui Saudara di sana."
Beberapa saat kemudian, dua sahabat itu sudah
berada di ruang buku. Karena tidak ingin
pembicaraan berlarut-larut, Cu Tong-liang langsung saja ke sasaran. "Saudara Pang, temanku
Siau Hiang-bwe menjelang sore tadi ditangkap. Apa
salah Nona Siau?" Pang Se-bun menarik napas. "Ada segelintir
orang di Seng-tin yang percaya bahwa kehadiran
temanmu itu untuk menyebarkan kutukan sihir
yang jahat. Sakitnya beberapa orang, bahkan
matinya Ciok Yan-bok dan keponakan perempuan
dijadikan alasan." "Saudara Pang, kau percaya juga?"
Pang Se-bun menggeleng, lalu Cu Tong-liang
mendesaknya. "Kalau begitu, kaubiarkan A-kui
ditangkap" Kau ber-pangkutangan saja?"
"Saudara Cu, seandainya aku punya pengaruh
yang cukup, pasti tak akan kubiarkan Nona Siau
diperlakukan demikian. Tetapi... seluruh kota saat
ini seolah-olah berdiri di belakang Lui Kong-sim,
seolah tersihir oleh hasutan Lui Kong-sim, Mereka
takkan mendengarkan aku. Untuk mendengarku
kembali, harus ditunggu sampai emosi mereka
reda." 374 "Saat emosi reda, entah bagaimana nasib Akui?"
"Apa boleh buat, Saudara Cu. Ini benar-benar di
luar kekuasaanku." "Para pengawal yang biasanya mematuhi
Saudara Pang, juga terpengaruh Lui Kong-sim?"
"Ya." "Apa yang mereka lakukan atas A-kui?"
Pang Se-bun membungkam cukup lama,
sehingga membuat Cu Tong-liang berdebar-debar
membayangkan nasib temannya. Apa yang berat
untuk dikatakan oleh Pang Se-bun pastilah bukan
sesuatu yang menggembirakan.
"Saudara Pang...."
Pang Se-bun menarik napas sambil mengangkat
tangannya menyuruh Cu Tong-liang tidak bicara
lagi, lalu ialah yang bicara, "Aku tidak melihat
sendiri. Tetapi yang aku tahu, Nona Siau diarak,
diolok-olok, digunting rambutnya sampai gundul,
dan dijebloskan ke ruang kurungan di bagian
belakang rumah bekas guru silatku."
Sengaja Pang Se-bun tidak menyebutkan soal
Siau Hiang-bwe dicambuki, disakiti secara fisik,
agar tidak membingungkan Cu Tong-liang.
Cu Tong-liang mengepalkan tinjunya, giginya
gemeretak. Tetapi mau marah kepada siapa"
Kepada belasan ribu warga Seng-tin"
375 Beberapa saat kedua sahabat itu membisu, lalu
kata Cu Tong-liong, "Kalau kutemui Guru Wong
malam ini juga, bisa atau tidak, ya?"
"Kalau itu, mungkin bisa. Guru Wong sering
bangun malam-malam, mempelajari kitabkitabnya. Kalau Saudara Cu mau ke sana, tunggu
sebentar. Saudara akan kuantar."
"Wah, tentu aku berterima kasih sekali."
"Tidak usah begitu. Aku pun berprihatin untuk
nasib temanmu, sekaligus juga untuk membujuk
Guru Wong agar menertibkan Lui Kong-sim."


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang itu lalu berangkat, menuju bekas
rumah guru silat Ciu Koan. Jalannya sudah sepi.
Tetapi di kejauhan terdengar lolong tangis si gila
Ho Tong yang dari tadi tidak juga berhenti,
mendirikan bulu kuduk. Tiba di depan bangunan besar bekas perguruan
silat itu, Pang Se-bun menarik tali untuk
membunyikan lonceng di bagian dalam bangunan.
Beberapa saat kemudian mereka berduar menunggu di depan pintu. Di atas mereka,
bendera-bendera besar bertuliskan huruf-huruf
yang dipercaya punya kekuatan gaib berkibar-kibar
oleh angin malam. Bau dupa dan kembang terasa
menyengat hidung. Daun pintu yang tebal dan berat itu berkeriut
pelan ketika dibuka hanya sebelah. Yang muncul
adalah Ek Yam-lam, salah seorang dari empat
orang kepercayaan Guru Wong. Muka Ek Yam-lam
nampak kesal, tetapi begitu nampak yang datang
malam-malam adalah Pang Se-bun dan Cu Tong376
liang, maka Ek Yam-lam memaksakan diri bersikap
ramah. "Kakak Pang, Saudara Cu, kiranya kalian yang
datang." "Ya." Cu Tong-lianglah yang menjawab tidak
sabar. "Kami ingin menjumpai Guru Wong."
"Saudara Cu tahu, ini saat apa?"
"Aku tahu dan aku mohon maaf kunjunganku
begini larut. Tapi ini benar-benar penting. Aku
takkan pergi dan akan membunyikan lonceng terus
sebelum menjumpai Guru Wong."
Ek Yam-lam menggerutu dalam hati, "Beginilah
kalau orang tidak kenal ajaran yang suci. Tidak
bisa menghormati Guru Wong sebagai utusan dari
langit, mungkin dianggap Guru Wong sekedar guru
kerohanian biasa seperti temannya yang bernama
Liu Yok itu." "Untuk urusannya benar-benar penting, akan
kukatakan kepada Guru Wong. Tetapi tolong
katakan urusanmu dulu."
"Untuk menanyakan tentang temanku, Siau
Hiang-bwe." "Ooo, penyihir wanita itu?"
"Dia bukan tukang sihir. Dia hanya difitnah."
"Tunggu Wong." sebentar, akan kutanyakan Guru Lalu Ek Yam-lam menghilang ke dalam.
Kedudukan Pang Se-bun dan Ek Yam-lam sama,
tetapi urusan di bagian dalam rumah yang seolah
377 menjadi "pusat pemerintahan" di Seng-tin itu,
wewenang Pang Se-bun kalah. Ek Yam-lam
mengurus segala sesuatunya dalam rumah itu. Tak
bisa orang menghadap Wong Lu-siok tanpa melalui
Ek Yam-lam. Maka meskipun Ek Yam-lam jarang
nampak di luar dinding rumah besar itu, tetapi
pengaruhnya cukup besar di Seng-tin.
Ternyata Ek Yam-lam tidak lama di dalam, ia
muncul kembali dan berkata, "Guru Wong sedang
tidak bisa ditemui. Tapi kalau bicara soal gadis itu,
aku pun bisa memberi keterangan yang Saudara
Cu butuhkan. Gadis itu tidak apa-apa, sekarang
dikurung dan menunggu untuk diputuskan
nasibnya oleh Guru Wong."
"Ditentukan nasibnya" Ditentukan nasibnya
untuk apa" Dan siapakah yang berhak menentukan nasibnya" Memangnya dia itu hakim
atau pejabat kerajaan di bidang hukum?" suara Cu
Tong-liang meninggi karena kemarahannya bangkit. Mesti tidak menyebut nama, jelas bahwa
yang dimaksud "dia itu" adalah Guru Wong,
manusia pujaan orang-orang Seng-tin.
Kali ini Pang Se-bun yang bersahabat baik
dengan Cu Tong-liang pun agak tersinggung. Ia
menegur ringan kepada Cu Tong-liang, "Saudara
Cu, kumohon sedikit hormatlah kepada Guru
Wong. Seluruh Seng-tin berhutang budi kepadanya." Sedangkan Ek Yam-lam lebih keras katakatanya, "Guru Wong bukan hakim dan bukan
pejabat hukum di kerajaan dunia ini, tetapi jauh
lebih tinggi dari itu. Dia utusan dari langit, dari
378 negeri dewa-dewi dan mahluk-mahluk suci. Dia
pembawa ajaran suci! Dia berhak menentukan
nasib seluruh Seng-tin sebab seluruh Seng-tin
berhutang nyawa kepadanya!"
Cu Tong-liang yang pikirannya sedang gundah
dan hatinya panas, terpancing emosi pula, "Belum
pernah kudengar ada manusia yang diberi hak
menentukan nasib orang lain! Sang Pencipta pun
menghormati kehendak mahluk ciptaan termuliaNya, dan mereka diciptakan dengan kehendak
bebas, agar saat mematuhi-Nya maka manusia
mematuhi-Nya dengan bebas, bukan karena
diancam!" "Saudara Cu, kau mau menanyakan soal gadis
itu, atau mau berkotbah" Kami sudah punya
ajaran sendiri, agama yang akan menyatukan umat
manusia dan agama-agama yang sudah ada
sebelumnya, dan kami tidak butuh ajaranmu!"
Ek Yam-lam dan Cu Tong-liang jadi sama-sama
panas hati, sehingga Pang Se-bun buru-buru
menengahinya. "He, kalian berdua ini kenapa jadi
seperti anak kecil berebut kembang gula" Saudara
Cu, kau sudah tahu bahwa Nona Siau dikur... eh,
diamankan di sini dengan tak kurang suatu apa,
nah, urusanmu selesai, bukan?"
Cu Tong-liang coba meredakan emosinya
sendiri. "Belum selesai sampai A-kui diperlakukan
dengan adil. Ia tidak bersalah. Ia tidak pernah
menyihir siapa-siapa. Ia orang baik, bahkan lebih
baik dari aku." Pang Se-bun menepuk pundak Cu Tong-liang.
"Jangan cemas soal adik angkatmu, Saudara Cu.
379 Guru Wong akan memutuskan dengan adil, dan
kalau tidak bersalah tentu Nona Siau akan
dibebaskan. Guru Wong orang bijaksana, kujamin
dengan leherku sendiri."
Ek Yam-lam menambahkan, "Kalau Guru Wong
menghakimi, ia memutuskan seadil-adilnya, sebab
ia dapat melihat kenyataan yang terlihat mata
maupun kenyataan yang tak terlihat alias yang
gaib-gaib. Pejabat hukum biasa mana bisa
memutuskan begitu adil" Mereka cuma bisa
melihat bukti yang tampak, dan pikiran mereka
dikuasai ayat-ayat kitab hukum."
Demi menghindari perdebatan, Cu Tong-liang
tidak membantah kata-kata Ek Yam-lam itu. Yang
penting, sekarang cari jalan untuk menolong Siau
Hiang-bwe. Sementara Pang Se-bun berkata, "Saudara Ek,
sayang sekali bahwa Guru Wong tidak bisa ditemui
malam ini. Sebenarnya aku juga punya keperluan
dengan beliau. Keperluan yang berbeda dengan
keperluan Saudara Cu."
"Kalau boleh kuketahui, keperluan apa" Akan
kusampaikan begitu aku bisa menemuinya."
Pang Se-bun berpikir sejenak, lalu memutuskan
tidak ada salahnya memberitahukan keperluannya
kepada Ek Yam-lam, "Aku ingin membicarakan
tentang tingkah laku Lui Kong-sim dan temantemannya yang semakin tak terkendali."
"Akan kusampaikan."
Itulah pengusiran halus untuk Pang Se-bun dan
Cu Tong-liang. Kedua orang itu pun meninggalkan
380 rumah almarhum Ciu Koan itu. Kata Pang Se-bun
sambil medangkah, "Saudara Cu, kau menginap di
rumahku saja." Cu Tong-liang hanya mengangguk lesu.
*** Siau Hiang-bwe yang terkurung di tempat
sempit dan gelap dalam keadaan lapar, haus dan
sakit pada kulitnya yang dicambuki itu, berusaha
untuk tidak iba diri. Ia menetapkan pikiran dan
hatinya pada tujuan dari semua yang dijalaninya
itu. Ia tidak ingin menderita sia-sia tanpa hasil. Ia
ingin penyangkalan dirinya yang hebat itu
meniadakan "penyumbat-penyumbat" yang ada
pada dirinya untuk jadi seluruh kehidupan yang
baik bagi sesama manusia, bukan hanya orangorang Seng-tin tetapi juga bagi manusia-manusia
yang masih banyak akan ditemuinya. Ia selama ini
sudah menjadi bejana penampung yang baik,
tetapi belum jadi saluran, dan sekaranglah saatnya
ia "digarap" sebagai saluran.
Di dinding ruangan itu ada sebuah jendela kecil
berterali besi yang ditaruh tinggi tak terjangkau
tangan. Tetapi meski terjangkau pun kekuatan
Siau Hiang-bwe pastilah tak berdaya menghadapi
terali-terali besi yang kokoh kuat itu. Lewat lubang
persegi kecil berterali itu, Siau Hiang-bwe dapat
melihat waktu. Dan saat itu ia tahu malam sudah
larut. Embun pun dingin menyusup ke dalam bilik
kecil itu, padahal ia tidak punya selimut dan
pakaiannya pun robek-robek.
Kembali kodrat alamiah hendak membangkitkan
lagi si iba diri, harga diri, penasaran, keinginan
381 membalas dan sebagainya. Semuanya itu bangkit
begitu kuat dan Siau Hiang-bwe tidak memiliki
kekuatan jiwa untuk menekannya, namun Siau
Hang-bwe segera beralih ke Sumber Kekuatan
Sejatinya yang berlimpah-limpah. Menghadapi
udara amat dingin yang menyerbu ruangan, Siau
Hiang-bwe cukup dengan pakaian seadanya yang
sudah robek-robek itu mencoba menghangatkan
badannya. Badannya dilipat sekecil-kecilnya di
pojokan agar bisa tidur hangat.
Namun tiba-tiba pintu papan tebal itu terbuka,
di luar nampak ada seseorang membawa lampion
bertangkai berdiri di depan pintu. Silau oleh
cahaya lampion, Siau Hiang-bwe tidak dapat
mengenali orang yang memegang lampion.
382 Kemudian ia tahu bahwa orang itu seorang gadis
yang kira-kira seusia Siau Hang-bwe, ketika
mendengar suaranya yang dingin, "Nona Siau,
keluarlah. Sang Ratu ingin berbicara denganmu."
Alangkah dingin dan pahitnya suara itu. Suara
seorang yang kenyang penderitaan.
"Sang Ratu?" Siau Hiang-bwe heran juga. Di
kota terpencil ini mana ada ratu segala"
Tapi Siau Hiang-bwe indangkah keluar juga,
dan setelah matanya tidak silau lagi, ia melihat Si
Pembawa Lampion adalah seorang gadis cantik
seusia Siau Hiang-bwe, sayang dalam cantiknya itu
ia dingin dan menyimpan kedukaan mendalam,
juga nampak acuh tak acuh terhadap sekitarnya.
Ia memakai jubah panjang warna putih yang
sederhana sekali dan jubahnya disambung dengan
penutup kepala yang putih pula.
"Apakah Nona ini yang bernama Ciu Bian-li?"
Siau Hiang-bwe coba berkomunikasi dengan Si
Nona sedingin gunung es ini.
Gadis itu mengangguk. Ia memang Ciu Bian-li.
Sambil melangkah berdampingan menyeberangi
halaman belakang, Siau Hiang-bwe berkata, "Dari
Tabib Kian kudengar nasib dari ayahmu, aku
bersimpati untukmu, Nona Ciu."
"Nasibku atau nasib keluargaku yang lain
adalah urusan kami sendiri, tidak perlu kau ikut
campur." Siau Hiang-bwe menarik napas. "Aku peduli,
sebab umat manusia ini bukankah sebuah
383 keluarga besar memperhatikan?" yang wajibnya saling

Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak peduli!."
"Baiklah kalau Nona Ciu tidak ingin aku ikut
campur. Eh, omong-omong, aku harus menemui
Sang Ratu itu ratu dari negeri mana?"
"Nanti akan kaulihat sendiri."
"Ada baiknya Nona Ciu memberi tahu sedikit
kepadaku, supaya jangan aku nanti kurang hormat
kepadanya." "Sang Ratu bukan dari suatu kerajaan di bumi
ini, tetapi dari suatu negeri di langit. Ia sedang
turun ke bumi dan mengenakan tubuh kasar. Ia
adalah sumber ilham semua agama, pelindung
tempat-tempat ziarah, pengendali tanda-tanda
melalui benda-benda langit, pengawal seribu jalan
kebajikan yang ada di bumi."
Alis Siau Hiang-bwe berkerut mendengar
penjelasan itu. Ia agak merinding juga,, apakah
dirinya akan dipertemukan dengan sesosok
mahluk gaib" Habis Ciu Bian-li ini tadi omongnya,
ratu ini "bukan dari bumi tetapi dari langit".
Lalu tanpa diminta, Ciu Bian-li menambahkan,
"Jangan mencoba membohong terhadap setiap
pertanyaan, sebab Sang Ratu mengetahui isi hati
dan pikiran manusia. Ia bisa mengutukmu dan
membuat seumur hidupmu selalu bernasib
malang." Kata-kata yang ini tidak terlalu mempengaruhi
Siau Hiang-bwe. Ia pegang kata-kata Liu Yok,
384 bahwa hati terdalam manusia adalah suatu tempat
suci, tempat manusia menjumpai Penciptanya
untuk bercengkerama dan saling menikmati
kehadiran masing-masing. Dan tak ada mahluk
gaib sesakti apa pun yang bisa menerobos ke situ
tanpa diijinkan oleh manusianya sendiri. Tak
peduli mahluk gaib yang disebut Ratu Langit
dengan sederetan gelar yang hebat sekalipun.
Ternyata Ciu Bian-li tidak langsung membawa
Siau Hiang-bwe "menghadap Ratu Langit" melainkan lebih dulu membawa Siau Hiang-bwe ke
sebuah ruangan di mana di dalamnya ada seorang
perempuan setengah baya berjubah putih yang
sikapnya sama dinginnya dengan Ciu Bian-li.
Selain itu ada tong kayu besar yang biasa untuk
mandi, berisi air hangat, juga ada obat-obatan
untuk luka-luka Siau Hiang-bwe, dan ada pakaian
bersih. "Bersihkan dirimu, obati lukamu, ganti pakaianmu, supaya kau layak menghadap Sang
Ratu," kata Ciu Bian-li bernada memerintah.
Dibantu Si Perempuan setengah baya berwajah
dingin, Siau Hiang-bwe menurut ketika pakaiannya
yang robek-robek dilucuti, lalu ia dimandikan
dalam tong sehingga luka-lukanya pedih kena air,
luka-lukanya diboreh dengan obat cair, lalu
mengenakan pakaian yang kering. Sisa-sisa
rambut Siau Hiang-bwe yang tak keruan itu
"dirapikan" sedikit dengan gunting. .
Siau Hiang-bwe melihat, selama perempuan
setengah baya itu menolongnya mandi, berpakaian
dan sebagainya, bibir perempuan itu kelihatan
385 komat-kamit membaca jampi-jampi. Siau Hiangbwe langsung merasa bahwa ia "dikerjai" lewat air
mandi, obat luka, pakaian dan sebagainya tadi.
Siau Hiang-bwe tidak menunjukkan sikap melawan, tetapi dalam hatinya Siau Hiang-bwe
mohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa.
Lalu Siau Hiang-bwe diantar ke sebuah ruangan
dalam, ia sudah berdebar-debar membayangkan
"Sang Ratu" itu meskipun kata Ciu Bian-li tadi
"Sang Ratu sedang mengenakan tubuh kasar".
Setelah berhadapan, ternyata Siau Hiang-bwe
tidak berhadapan dengan mahluk halus yang
tubuhnya tembus pandang seperti kaca dan
kakinya tidak menginjak tanah, bukan, melainkan
ia yakin yang dihadapinya itu manusia biasa
seperti dirinya, meskipun berdandan seperti ratu
langit. Orang itu memakai topeng seorang perempuan
cantik, memakai kerudung kepala berwarna merah
tua dan bentuk mahkotanya seperti mahkota
negeri-negeri gurun pasir. Pakaiannya yang sampai
menutup kaki itu berlapis-lapis. Pakaiannya
didominasi warna merah dan ungu, dan mantel
terluarnya berwarna merah keunguan, dipenuhi
sulaman benang emas yang membentuk lambanglambang kepercayaan-kepercayaan yang ada di
seluruh dunia. Ia menunggu di sebuah ruangan
yang terang benderang oleh ratusan lilin, di
seputar ruangan dinding penuh digantungi topengtopeng
berbagai "panglima langit" atau "bangsawan-bangsawan langit" dan salah satu
gantungannya nampak kosong, karena topengnya
386 sedang dipakai. Topeng Ratu Langit. Orang
bertopeng itu sendiri duduk anggun di belakang
meja besar yang penuh hidangan mewah, dan di
seberang mejanya ada kursi berukir indah yang
belum diduduki siapa-siapa.
"Jadi inikah 'ratu langit yang sedang mengenakan tubuh kasar' itu?" kata Siau Hiangbwe dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani
menganggap dandanan orang itu sekedar gagahgagahan yang tidak ada apa-apanya. Sebagai puteri
Siau Hok-to, bekas ketua cabang Pek-lian-hwe di
Lam-koan, Siau Hiang-bwe tahu topeng-topeng dan
pakaian-pakaian itu bisa menimbulkan "kekuatan
ekstra" atau gaib bagi pemakainya.
Ketika Siau Hiang-bwe melangkah masuk
ruangan, "sang ratu" bangkit dari duduknya dan
nampak dia terlalu tinggi buat seorang wanita
normal, pundaknya juga kelewat tegap dan
pinggangnya kelewat besar. Ciu Bian-li bersujud
dengan muka menyentuh lantai.
Bersambung jilid X. *** Jilid 10 >o< "SANG RATU" melambaikan tangannnya sambil
menyuruh pergi Ciu Bian-li. Dengan sikap amat
hormat, Ciu Bian-li mundur dari ruangan itu.
387 Siau Hiang-bwe sudah siap mempertahankan
sikap agungnya, sadar sesadar-sadarnya kedudukannya sebagai manusia, mahluk tertinggi
ciptaan Tuhan, yang tidak diijinkan oleh Yang
Maha Kuasa untuk tunduk kepada mahluk yang
lain, yang gaib maupun yang tidak gaib, dan hanya
tunduk sukarela kepada Sang Maha Pencipta.
Ternyata dari balik topeng itu keluar suara
merdu yang ramah, "Silakan duduk, Nona Siau."
Siau Hiang-bwe duduk dengan sikap anggun,
sikap yang bukan untuk kebanggaannya sendiri,
melainkan sebagai wakil Tuhannya.
"Nona Siau, aku kagum akan ketahananmu
yang sudah kauperlihatkan tadi. Aku menyesal
bahwa itu terjadi atas dirimu."
Sahut Siau Hiang-bwe tenang, "Aku tidak
menyesal. Apapun yang menimpaku, tidak pernah
lepas dari rencana-Nya."
"Nona benar-benar luar biasa. Aku akan
gembira sekali, kalau Nona mau bersantap
bersama-sama aku." Siau Hiang-bwe memang lapar dan haus. Sejak
ia ditangkap di rumah Tabib Kian, lalu diarak dan
mengalami berbagai aniaya, tubuhnya terasa
lemah, dan alangkah menggiurkan hidanganhidangan yang tersaji di hadapannya. Tetapi dalam
tubuh yang lemah itu ada jiwa yang justeru
mengalami gemblengan, lebih tajam dan lebih peka
terhadap bahaya-bahaya gaib. Karena itu, sebelum
menyetujui, ia bertanya lebih dulu, "Siapa yang
mengundangku bersantap ini?"
388 "Aku. Siapa lagi?".
"Aku siapa" Ini harus jelas."
"Aku yang punya tujuan yang sama denganmu,
yaitu ingin menebar benih-benih kebajikan di
bumi." Siau Hiang-bwe menggeleng. "Belum cukup.
Seorang petani dan seekor kerbau yang menarik
bajaknya di sawah, menghasilkan yang sama, yaitu
hasil yang baik dari tanah itu. Tetapi meski
hasilnya sama, tetap harus dibedakan mahluknya,
yang satu manusia dan yang satu kerbau. Apalagi
kalau tujuan kita belum tentu sama, meski
kelihatannya sama." Tubuh "sang ratu" menggeletar. Sepasang mata
dari balik topeng itu memancarkan kemarahan dan
kebencian bagaikan halilintar. Namun ketika Siau
Hiang-bwe balas menatapnya, "sang ratu" membuang muka. Tanya Siau Hiang-bwe pula, "Yang mengajakku
makan ini manusia, mahluk yang sederajat
denganku, atau mahluk ciptaan lain yang lebih
rendah dari derajat manusia?"
"Apa maksudmu, Nona?" desis "sang ratu"
seperti suara seekor ular yang marah.
"Kau tak mau menjawabnya?"
"Akulah ratu yang disujudi jutaan orang di
seluruh bumi, meskipun mereka menggunakan
berbagai nama untuk menyembahku. Aku pemberi
ilham untuk ribuan guru kebatinan dari berbagai
bangsa selama ribuan tahun, aku menentukan
389 nasib jutaan orang melalui mulut para ahli nujum.
Aku penguasa balatentara gaib di langit yang tak
terhitung jumlahnya. Aku yang kini mengajakmu
bersantap bersama, Nona Siau!"
"Kalau begitu, aku menolak."
"Kenapa?" "Kalau ada seorang manusia hendak dijamu
oleh seekor anjing untuk makan muntahannya,
manusia itu mau atau tidak?"
Di atas kursinya "sang ratu" nampak
menggeliat-geliat dan geliatnya mirip benar dengan
geliat seekor ular. Juga desis di mulutnya.
Siau Hiang-bwe agak berdebar-debar
namun terus berusaha meneguhkan hati.
juga, Beberapa saat kemudian, "sang ratu" menjadi
tenang kembali, mimik wajahnya tak terlihat
karena terselubung topeng, namun suaranya
terdengar ramah kembali, "Baiklah, soal makan
minum bukanlah soal penting. Meskipun sebenarnya aku mencemaskan kesehatanmu."
"Aku takkan apa-apa. Cemaskan saja dirimu
sendiri." "Sikapmu tidak bersahabat, Siau Hiang-bwe.
Tapi biarlah aku mencoba mengulurkan tangan
persahabatan kepadamu. Siau Hiang-bwe, kau
sudah diperlakukan amat buruk hari ini,
kutawarkan kepadamu, bagaimana kalau kuhukum orang-orang itu?"
390 "Siapa yang hendak kau hukum" Manusiamanusia Lui Kong-sim, Nyonya Giam dan
sebagainya itu?" "Bahkan seluruh kota Seng-tin ini. Bagaimana"
Bukankah tawaranku ini luar biasa?"
"Mereka tidak menyadari yang mereka lakukan.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Harimau Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manusia yang tidak menyadari, masa harus
dihukum" Kalau mau dihukum, hukumlah
mahluk-mahluk gaib yang menguasai pikiran
mereka untuk melakukan hal-hal itu."
"Bukankah Lui Kong-sim itu mencambukimu,
Janda Giam menggunting rambatmu, Ho Tong
bahkan melakukan sesuatu yang amat memalukanmu?" "Sudah kukatakan, mereka tidak menyadarinya.
Mereka cuma boneka-boneka wayang yang
digerakkan oleh dalang-dalang tak terlihat. Dalangdalang itulah yang akan menerima hukuman, dan
aku adalah pelaksana hukuman Yang Maha
Kuasa." Kini "sang ratu' lah yang diserbu kegentaran
hebat, untung topeng itu menyembunyikan
perasaan hatinya. Bahkan ia kemudian tertawa,
"Kau benar-benar seorang pemaaf, Siau Hiang-bwe.
Itu bagus. Pertanyaanku tadi tidak bersungguhsungguh, hanya untuk mengujimu. Setelah
mendengar jawabanmu, aku senang. Terserah
kauanggap apa, aku benar-benar merasa bahwa
kita sebenarnya satu arah, yaitu memperbaiki
bumi ini, mengajarkan kebaikan untuk semua
orang." 391 "Tujuanmu bukan menyelamatkan orang, tetapi
mengalihkan perhatian orang-orang dari jalan yang
sudah diulurkan turun dari langit ke bumi.
Kauajari orang-orang membangun tangga sendiri
dari bumi ke langit," potong Siau Hiang-bwe sambil
berdiri dari tempat duduknya.
"Ratu langit" menepukkan tangannya, lalu Ciu
Bian-li dan perempuan setengah baya berwajah
dingin itu muncul. Lebih dulu mereka bersujud
kepada "ratu langit" lalu dengan kasar mereka
menyeret Siau Hiang-bwe di kiri kanannya untuk
dibawa kembali ke selnya.
"Manusia tak tahu diuntung, kau membuat
gusar 'ratu langit' dan akan segera merasakan
akibatnya...." desis Si Perempuan setengah baya
sambil terus menyeret tawanannya. "Aku bisa
merasakan kemarahannya, meskipun ia tidak
mengucapkannya." "Kau akan kami biarkan mati kelaparan dalam
sel." sambung Ciu Bian-li yang sama gusarnya.
Agaknya tadi Ciu Bian-li dan perempuan
setengah baya ini ikut mendengarkan dari luar
pintu, dan mereka mendengar setiap patah kata
yang Siau Hiang-bwe ucapkan.
Ketika tiba di depan sel Siau Hiang-bwe yang
pintunya masih terbuka, Siau Hiang-bwe berkata
kepada kedua penjaganya itu, "Kalian mahluk
ciptaan yang tertinggi, jangan tunduk kepada
mahluk yang lebih rendah, biarpun mengaku
penguasai dari langit."
392 "Keparat, kau memang patut dikutuk!" Si
Perempuan setengah baya berwajah dingin itu
menggereng dan mendorong punggung Siau Hianbwe keras-keras untuk memasukkannya ke sel.
Pintu yang berat itu ditutup kembali, dan Siau
Hiang-bwe kembali terjebak dalam kegelapan yang
amat pekat. Siau Hiang-bwe dalam keadaan tubuh sakit,
lapar, haus, kedinginan terutama di kepalanya
yang hampir gundul, meringkuk di pojokan.
Berusaha untuk tidur, dan berhasil.
Sementara itu, "ratu langit" duduk di ruangan
tadi, termenung sekian lama. Tiba-tiba dengan
gusar ia merenggut topengnya sendiri. Muka di
balik topeng itu ternyata digambari persis wajah
topeng itu. Lalu dengan sehelai lap, rias wajah itu
dihapus, dan terlihatlah wajah Wong Lu-siok.
Seorang lelaki, bukan perempuan.
Begitu juga tangan-tangan itu dengan kegusaran meluap-luap melepaskan dandanan
"ratu langit" yang berlapis-lapis itu. Yang agak
aneh adalah mimik muka Wong Lu-siok. Muka itu
terlihat begitu ketakutan, sementara tangantangannya bergerak dalam kemarahan. Wajah dan
tangan tidak cocok satu sama lain, seolah-olah
milik orang yang berbeda dan bertindak tidak
sama. Apalagi yang keluar dari mulutnya pun adalah
suara seorang perempuan, yang tadi bicara dengan
Siau Hiang-bwe, "Kau goblok, Wong Lu-siok! Kau
sangat goblok! Kau gagal merebut kota ini bagiku!
Kau harus dihajar!" 393 Lalu tubuh Wong Lu-siok tiba-tiba diguncangguncang, dihempas-hempaskan ke dinding dan
lantai, oleh sesuatu kekuatan tak terlihat. Ruangan
itu berantakan. Di luar ruangan, Ciu Bian-li bersama
perempuan setengah baya berwajah dingin itu
berdiri mematung dengan wajah ngeri. Mereka
mendengar suara-suara dalam kamar dan mereka
tahu apa yang terjadi. Wong Lu-siok sedang
menjalani hukuman, karena gagal menyenangkan
"sang ratu". Tak lama kemudian, Ek Yam-lam bergabung
hanya untuk gelisah bersama-sama tanpa tahu
jalan keluarnya. Sebagian besar warga Seng-tin agak bangun
kesiangan, karena semalam mereka berada di
lapangan untuk menonton "si pembawa bencana"
dihajar dan dipermalukan. "Acara" baru selesai
setelah melewati tengah malam, dan itu membuat
orang-orang Seng-tin mengantuk.
Nyonya Giam yang bangun kesiangan. Begitu
bangun, bergegas dia keluar dari kamarnya untuk
menuju ke dapur, menyiapkan hal-hal yang perlu
bagi keluarganya, sebab dialah sekarang satusatunya orang sehat di keluarga itu.
Tetapi ketika ia sampai ke dapur, ia tercengang
melihat anak perempuannya, Giam Lik, sudah
berada di dapur. Tungku tanah liat sudah
dinyalakan dan beberapa jenis masakan tinggal
menunggu matangnya saja. "A-lik, bukankah kau sakit?"
394 "Maaf, dalam dua hari ini aku sudah
merepotkan Ibu. Sebetulnya sakitku ringan. Cuma
pusing-pusing sedikit, dan sekarang rasanya sudah
sembuh." Nyonya Giam tercengang. Cuma pusing-pusing
sedikit" Kemarin panas tubuhnya begitu tinggi,
sampai Nyonya Giam sudah menyangka yang
buruk. Itu bukanlah "cuma pusing sedikit".
Nyonya Giam meraba jidat puterinya, dan ia
tidak menemukan sisa penyakit sedikit pun. Giam
Lik benar-benar sehat, meski agak kurus.
Belum habis herannya, di pintu kamar Giam
Lok tiba-tiba Giam Lok berdiri di ambang pintu,
meskipun sambil berpegangan ambang pintu tapi
sambil tersenyum. Katanya, "Aku lapar sekali, dan
ingin makan banyak-banyak."
Nyonya Giam tertegun, tubuh Giam Lok
memang sudah seperti tengkorak hidup karena
kurusnya, tetapi ia yakin bahwa yang berdiri di
ambang pintu itu bukannya arwah, melainkan
manusia utuh jiwa dan raga.
Giam Lok melangkah lemah ke meja makan di
dapur, dan Nyonya Giam buru-buru menuntunnya.
Setelah duduk di bangku kayu yang kasar,
Giam Lok berkata, "Semalam sudah kurasakan,
tetapi aku tidak mau membangunkan Ibu dan Alik."
"Kau rasakan apa?"
395 "Semangatku bangkit, lalu kekuatan-kekuatan
aneh yang mencengkeram dan melumpuhkan
tubuhku terbuang menjauh semuanya."
Hampir saja Nyonya Giam menanggapinya
dengan kata-kata, "Itu karena penyihirnya sudah
ditangkap dan dihukum. Penyihirnya ditangkap,
kutukan jahat pun berakhir."
Namun kata-kata itu tidak jadi keluar dari
mulut Nyonya Giam, tertahan oleh ketidak-yakinan
dalam hatinya sendiri. Malah tiba-tiba ia ingat
desisan Siau Hiang-bwe yang tulus di tengah
penderitaannya, "Kedua anak Nyonya akan
Han Bu Kong 7 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Jejak Di Balik Kabut 12

Cari Blog Ini