Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 3

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 3


apa saja..... yang Paman....bi..... bicarakan dengan
Yo Sin-she. Pak Kiong Liong tersenyum. "Hamba tidak
dapat bicara dengannya, Tuanku. Sebab ketika
255 hamba tiba, Yo Sinshe sudah mati menggantung
diri di ruang tengah rumahnya......"
Sekali lagi Yong Ceng terjebak. Mendengar
keterangan itu, wajah yang tadinya gugup itu
mendadak menjadi tenang kembali , dan lagilagi tidak lepas dari pengamatan Pak Kiong
Liong. Liong Ke Toh yang mendengar dan
menyaksikan pembicaraan itu dengan cermat,
dan diam-diam mengeluh dalam hati.
Betapapun cerdik Yong Ceng, pengalamannya
masih kalah jauh dari Pak Kiong Liong yang
pintar melontarkan kalimat-kalimat pancingan
untuk menjajaki is i hat i Kaisar itu.
Para hadirin merasa lega ketika mendengar
Kaisar Yong Ceng kemudian mengumumkan
pembubaran sidang yang menegangkan urat
syaraf itu. Semuanya berlutut mengantarkan
Kaisar meninggalkan singgasananya .
Tetapi begitu sidang bubar, Liong Ke Toh
langsung menyusul Kaisar ke Gi-si-pong (kamar
belajar). 256 "Katakan keperluanmu menemui aku, Paman. tanya Kaisar. "Apakah tidak bisa aku
dibiarkan istirahat sebentar, setelah Pak Kiong
Liong baru saja membuat otakku hampir
meledak di persidangan tadi?"
Liong Ke Toh berlutut sambil men-=jawab,
"Ampuni hamba, Tuanku, namun yang hendak
hamba katakan ini cukup penting demi
kelanggengan singgasana di tangan Tuanku."
Dengan gerakan tangannya, Yong Ceng
menyuruh semua pelayan meninggalkan
ruangan itu, sehingga ia tinggal berdua saja
dengan Liong Ke Toh, "Kata kanlah, Paman."
"Tuanku, menurut pikiran hamba, semakin
lama Pak Kiong Liong dibiarkan hidup, semakin
berbahaya dia. Sikap bandel nya dan mulutnya
yang tajam bisa mempengaruhi para Menteri
Panglima yang setia kepada Tuanku."
"Menurut pengamatan Paman, dalam
pembicaraanku dengan Pak Kiong Liong tadi,
apakah aku membuat kesalahan ucapan atau
sikap" 257 "Hamba mohon ampun, Tuanku, sebenarnyalah tadi Tuanku beberapa, kali hampir
terperosok oleh ucapan-ucapan Pak Kiong
Liong yang berperangkap."
Yong Ceng berjalan hilir-mudik dalam
ruangan itu, seolah sedang mengukur luas
ruangan itu dengan langkah-nya. Ujung lengan
jubahnya nampak bergetar, menandakan
tangannya gemetar pula. Apabila rahasia
muslihatnya dalam merebut tahta sampai
terbongkar, habis lah riwayatnya. Pejabatpejabat yang masih setia kepada Kaisar Khong
Hi ten tu akan berbaris di belakang Pak Kiong
Liong untuk menentang dirinya. la akan
diberontak dan diturunkan dari tahta, bahkan
akan diadili sebagai pengkhianat terhadap
Kekaisaran dan Ayahanda-nya sendiri. Keringat
dingin membasahi punggungnya kalau ingat hal
itu. "Aku sependapat dengan Paman bahwa Pak
Kiong Liong harus segera dibungkam. Tapi
bagaimana caranya" la masih berpengaruh kuat
dalam pemerintahan karena jasa-jasanya yang
258 Yong Ceng berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu,
seolah sedang mengukur luas ruangan itu dengan
langkah-nya 259 dulu, juga harus kita perhitungkan Adinda In Te
yang masih memegang kekuasaan atas pasukan
besar yang sedang pulang dari Jing-hai. Kalau
Paman Pak Kiong Liong kita singkirkan begitu
saja, tentu akan timbul pergolakan dan
yang membahayakan ketidakpuasan kedudukanku yang belum kokoh ini."
"Hamba punya sebuah pikiran, Tuanku. . ."
"Coba Paman katakan."
"Ke Pen-po Ceng-tong (Kementerian Perang)
baru saja masuk laporan dari Panglima kita di
Liao-yang, bahwa pasukan Jepang sudah
mendaratkan regu-regu perintis mereka di
pantai timur laut sebagai persiapan untuk me
rebut kembali Tiau-sian (Korea) ke tangan
mereka. Nah, kita bisa melakukan siasat sekali
tepuk dua lalat mati Jaman Kerajaan Beng dulu, jazirah Tiau-sian
pernah direbut oleh Jepang yang tengah kuatkuatnya di bahwa pimpinan Toyotomi
Hideyoshi waktu itu. Ketika Manchu bangkit
menundukkan bekas wilayah Kerajaan Beng,
maka Tiau-sian berhasil direbut dari Jepang,
260 sehingga jazirah itu senantiasa menjadi sengketa antara Cina dan Jepang, silih berganti
perpindah tangan. "Bisakah Paman menjelaskan lebih baik?"
"Pertama, tugaskan Pak Kiong Liong dengan
kekuatan secukupnya saja, jangan lebih kuat
dari pasukan Jepang, tetapi cukup untuk
melelahkan pihak Jepang. Pasukan Jepang
terdiri kira-kira 100.000 samurai dan mungkin
beberapa regu dengan senjata api serta meriam.
Di belakang Pak Kiong Liong kirimkan Ni Keng
Giau dengan pasukan yang jauh lebih kuat,
namun harus datang terlambat agar pasukan
Pak Kiong Liong hancur lebih dulu. Setelah itu,
Ni Keng Giau tinggal menggulung sisa-sisa pasu
kan Jepang yang belum sempat menyusun diri
lagi setelah bertempur melawan Pak Kiong
Liong." Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk.
"Tetapi nyawa Pak Kiong Liong itu alot sekali,
tidak gampang mati meskipun dalam perangperang besar. ingat pertempuran besar di tepi
Sungai Ussuri ketika melawan tentara berkuda
261 Kazak Rusia" Berapa banyak panglima dan
prajurit kekaisaran kita berguguran, tetapi Pak
Kiong Liong tidak, malahan berhasil memukul
mundur musuh." "Tuanku, Ni Keng Giau perlu dibekali pesan
agar menamatkan riwayat Pak Kiong Liong
setiap ada peluang. Dalam pertempuran yang
kisruh, soal yang wajar kalau seseorang kena
panah atau peluru nyasar entah darimana
datangnya, siapa dapat menuduh kita" Lagi
pula, kalau kelak jenazah Pak Kiong Liong diba
wa pulang ke Pak-khia dan kita memakam
kannya dengan upacara kehormatan besar
besaran, tidak akan ada lagi yang mencurigai
kita." Kaisar Yong Ceng tertawa bergelak karena
gembiranya. "Ha-ha-ha.... Paman benar-benar
ahli siasat yang hebat!"
"Terima kasih atas pujian Tuanku."
Ni Keng Giau kemudian disuruh datang
untuk diberitahu rencana itu.
262 Dua hari kemudian, dihadapan Sidang istana,
Kaisar Yong Ceng mengumum kan bahwa
perang dengan Jepang telah berkobar lagi, entah
yang ke berapa puluh kalinya sejak berabadabad. Untuk itu, Ni Keng Giau dan Pak Kiong
Liong ditugaskan membawa pasukan ke timur
laut untuk menggusur balatentara Jepang dari
wilayah Kekaisaran Manchu.
Perintah itu tak bisa ditolak oleh Pak Kiong
Liong, karena itu bukan tugas dari Yong Ceng
pribadi, melainkan tugas Kekaisaran. Yang agak
janggal ialah bahwa Si Jenderal ingusan Ni Keng
Giau diangkat sebagai pemimpin seluruh
pasukan, dan Pak Kiong Liong yang lebih senior
serta jauh lebih berpengalaman, hanyalah
menjadi bawahan Ni Keng Giau. Tapi kalau
mengingat bahwa Ni Keng Giau adalah adik
seperguru-an Kaisar, maka keherananpun harus
disingkirkan jauh-jauh. Tanpa buang-buang waktu, Ni Keng Giau
segera menyusun pasukannya. Dengan alasan
bahwa pasukan musuh perlu lebih dulu
263 dikagetkan dan dikacaukan dengan pasukan
gerak cepat, maka Pak Kiong Liong dan 2.500
tentara berkuda Hui-Liong-kun disuruh
berangkat lebih dulu agar pasukan musuh lebih
dulu tegang, setelah itu barulah pasukan induk
Ni Keng Giau akan maju menggempur pasukan
jalan kak i . Keesokan harinya, berangkatlah Pak Kiong
Liong dengan tentara berkuda nya menuju
timur laut. la didampingi wakilnya, Tong Siau
Beng dan dua panglima bawahannya yang
tangguh, masing-masing Hai Lun To yang
berjulukan Thai lek-stau-him (Beruang Cilik
Bertenaga Raksasa), karena meski tubuhnya
pendek kecil, tapi tenaganya hebat. Satu lagi
adalah Ki Peng Lam yang berjulukan Tui hongkak (Kaki Pemburu Angin) karena kehebatan
ilmu meringankan tubuhnya.
Duaribu lima ratus prajurit perkasa berbaris
keluar dari pintu timur Pak-khia, dengan
kibaran bendera-bendera yang megah, derap
kuda-kuda yang menghentak-hentak jantung
264 dan gemerin-cing senjata-senjata yang dibawa .
Kelihatan megah sekali . Kaisar Yong Ceng melihat keberangkatan
pasukan itu dari atas tembok kota, dan
tersenyum dingin. Dalam pandangannya,
pasukan megah itu hanyalah calon-calon mayat
yang sedang berbaris menuju lubang kubur mas
ng-masing . "Mereka akan habis digasak pasukan
Hirosaki, Si Naga Laut Timur," kata Liong Ke
Toh yang berdiri di samping Kaisar. "Setelah itu,
ganti Hirosaki yang akan remuk digilas Ni Keng
Giau..." Dua hari kemudian, Pak Kiong Liong dan
pasukannya sudah keluar dari kota San-haikoan. Sebuah kota kecil namun amat bersejarah
dalam riwayat jatuhnya daratan Cina ke tangan
Dinasti Manchu. Lewat kota inilah Bu Sam-kui ,
hampir seratus tahun silam, takluk kepada
Manchu dan "menuntun" pasukan Man chu
untuk menguasai daratan tengah yang masih
porak-poranda karena perang saudara antara
Dinasti Beng melawan pemberontak Li Cu Seng.
265 Perjalanan kaki-kaki kuda mulai
lambat karena salju tebaI yang menutup dataran timur
laut, namun prajurit-prajurit gemblengan Pak
Kiong liong itu maju terus.
Kemudian pasukan itu beristirahat sehari di
kota Jiat-ho, bekas ibukota Kerajaan Manchu
ketika belum menyerbu masuk San-hai-koan ,
kemudian memindah-kan ibukota ke Pak-khia,
bekas ibukota Kerajaan Beng. Di kota ini tidak
terdengar percakapan Bahasa Han, hampir semua penduduk berbahasa Manchu, tetapi ada
juga orang-orang Han yang buka toko di kota
dingin itu. Pak Kiong Liong sendiri sebagai orang
Manchu malah merasa asing dengan suasana
Jiat-ho, sebab sejak kecil ia sudah berada di
daratan tengah, tumbuh dewasa dalam suasana
kebudayaan bangsa Han, sehingga ia sering lupa
bahwa dirinya adalah orang Manchu.
Suasana perang sudah terasa di kota itu,
sebab Jiat-ho tidak jauh dari Liao-yang, benteng
terdepan menghadapi serbuan pasukan lemitsu
Tokugawa, Shogun di Jepang yang berkuasa
266 melebihi Kaisar Jepang sendiri. Para pengungsi
memenuhi kota itu, menghindari keganasan
musuh, dan terpaksa harus meninggal kan
sawah ladang tercinta. Melihat suasana ketakutan dan kecemasan
itu, Pak Kiong Liong diam-dian menarik napas.
Itulah perang, Oleh para pencetus perang, boleh
saja penyerbuan itu diselubungi semboyan yang
bagus-bagus, namun akibatnya sama saja. Dulu
ketika pasukan Manchu menyerbu daratan
tengah, tentunya juga menimbulkan kengerian
bagi Bangsa Han. Begitu pula ketika Pangeran In
Te menyerbu Jing-hai, tentunya orang-orang
suku Hui di sana mengutuk orang Manchu sebagai penjajah-penjajah yang ganas. Tapi di Jiatho, semua pengungsi adalah orang Manchu yang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil meratap sedih mengutuk orang-orang
Jepang yang menyerbu kampung-kampung
mereka. Itulah manusia. Sulit diajak merasakan
penderitaan sesama kalau diri sendiri sedang
unggul. Kalau diri sendiri jatuh ke dalam
penderitaan pula, merekapun mengutuk orang
267 lain yang me-nyengsarakan mereka, lupa kalau
mereka pun pernah menyengsarakan orang
lain. Mengutuk dan menyalahkan orang lain itu
gampang, memeriksa kesalahan diri sendiri
itulah yang sukar. Sambil mengistirahatkan kuda dan tentaranya di Jiat-ho, memeriksa dan merawat
perlengkapan perang, Pak Kiong Liong juga
menyebar mata-matanya untuk mengintai
kekuatan musuh, dan di mana saja musuh
menempatkan pasukannya. Beberapa hari
kemudian, para mata-mata sudah kembali dan
melapor bahwa balatentara Jepang masih
mengambil posisi bertahan di sebelah timur
Sungai Hek-liong dalam bentuk perkemahanperkemahan tersebar di tempat-tempat
menguntungkan. Sementara pasukan induk
sendiri tetap menduduki kota An-tong-koan di
bawah pimpinan Sang Jenderal Hirosaki sendiri.
Kabarnya, kalau kapal kapal balabantuan tiba
dari Jepang, mereka akan segera menyeberang
Sungai Hek-Liong untuk menggernpur Liaoyang dan merebut seluruh Propinsi Liao-tong.
268 Pak Kiong Liong termangu-mangu mendengar itu. Selama ini kekaisaran cuma
tahu meluaskan daerahnya, menaklukkan Sehe,
Tibet, Turfan, Jing-hai, lalu membelok ke utara
sehingga bentrok dengan Kekaisaran Rusia
yang tengah mencaploki wilayah Asia Tengah.
Luasnya daerah membutuhkan pasukan yang
kuat pula untuk menjaganya, dan ternyata
Gubernur di Liao-tong tak kuasa membendung
pasukan Jepang sehingga harus minta tolong ke
pusat. Setelah berunding dengan panglima pangl
ima pembantunya, Pak Kiong Liong memutuskan untuk memberi kejutan dengan
memotong rantai pertahanan sepanjang tepi
timur Sungai Hek-liong. Memang bukan
serangan menentukan yang serta-merta
membuat Jepang kalah, tapi hanya sebagai
"pemanasan" saja. Pak Kiong Liong mengharap
ketangkasan mengendarai kuda dari ,prajuritprajurit-nya akan mampu mendukung "serang
dan lari" yang akan. dilakukan bertubi-tubi itu,
sambil menunggu datangnya pasukan darat Ni
269 Keng Giau. Di pihak Jepang mungkin ada juga
pasukan berkuda, namun pasti tidak banyak
jumlahnya, sebab tentara Jepang lebih terkenal
dengan "pasukan gunung"nya yang lebih me
rupakan kekuatan pemukul daripada pasukan
berkuda. Bentuk pertempuran akan sedikit
berbeda dengan ketika melawan orang-orang
Kazak Rusia yang memang Jagoan dalam
pertempuran berkuda. "Satu hal lagi harus diperhitungkan , Goanswe, musuh memiliki ratusan pucuk bedel dan
berpuluh-puluh pucuk meriam," si mata-mata
menambahkan laporannya kepada Pak Kiong
Liong. (Bersambung Jilid V) 270 271 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilid V "Laporan tentang bedil dan meriam itu agak
membimbangkan panglima-panglima HuiLiong-kun. Kata Tong Siau Beng, "Apakah kita
mampu melawan ratusan pucuk bedil dan
meriam mereka hanya dengan puluhan pucuk
bedil di pihak kita" Apa tidak perlu menunggu
pasukan induk Jenderal Ni yang pasti
mengangkut bedil dan meriam yang cukup
banyak pula?" Sahut Pak Kiong Liong. "Pasukan Ni Keng
Giau berjumlah besar dan berjalan kaki pula,
tentu terlalu lama menunggu mereka. Aku
khawatir Jepang akan sempat memperkuat
mata rantai pertahanan sepanjang Sungai Hekliong sehingga semakin kokoh kedudukan
mereka." 272 "Lalu kita akan bertindak bagaimana?" tanya
Hai Lun To. "Nanti tengah malam, kita tinggalkan Jiat-ho
dengan menyusur hutan cemara sepanjang
Pegunungan Tiang-pek-san agar tidak tertangkap pengintaian musuh. Selanjutnya kita
dekati Sungai Hek-liong dan kita akan
melakukan serangan malam hari, menggempur
perkemahan demi perkemahan mereka. Dalam
serangan malam hari, apalagi kalau mendadak,
bedil dan senapan mereka tak akan terlalu
banyak berguna, bisa salah tembak mengenai
teman sendiri." Panglima-panglima bawahan Pak Kiong
Liong mengangguk-angguk kepala mendengar
siasat itu. Sekali lagi Pak Kiong Liong
mengulanginya, dengan jari telunjuk menggores-gores peta yang digelar di atas meja.
Hari itu, seluruh perajurit dan kuda serta
perlengkapan dipersiapkan. Kemudian malam
harinya, selagi seisi kota Jiat-ho tidur lelap, Pak
Kiong Liong dan pasukannya justru menyelinap
keluar kota. 273 Beberapa hari berikutnya, Pak Kiong Liong
dan pasukannya menempuh perjalanan yang
berat, bukan lewat jalan besar yang rata,
melainkan lewat lereng- lereng Pegunungan Ti
ang-pek-san yang berselimut salju. Tidak jarang
para perajurit harus turun dari kuda dan
menuntun kudanya. Istirahat dilakukan
sekedarnya saja, sebab mereka ingin secepatnya
tiba di sasaran. Malam keempat, dari lereng Tiang-pek-san
mereka melihat sebuah garis perak melingkarlingkar di dataran rendah, memantulkan cahaya
bulan dan bintang. Itulah Sungai Hek-liong yang
permukaan airnya membeku menjadi es, begitu
tebal lapisan es itu sehingga pasukan
berkudapun dapat menyeberanginya dengan
gampang. Setelah menyuruh pasukannya beristirahat
dan bersembunyi di hutan cemara Tiang-peksan, Pak Kiong Liong sendirian memakai
pakaian serba putih ringkas agar tidak gampang
dilihat di dataran salju, mendekati cahaya
kelap-kelip di tempat yang diduganya menjadi
274 salah satu perkemahan musuh. Dilihatnya di
seberang sungai beku itu ada perkemahan
diterangi beberapa puluh perapian. Melihat
pakaian mereka, yakin-lah Pak Klong Liong
bahwa itulah pasukan Jepang, dan menghitung
pucuk kemah yang berderet-deret, Pak Kiong
Liong menduga jumlah musuh di situ kira-kira
seimbang dengan pasukannya. Dengan serangan mendadak, keseimbangan itu akan
tumbang. Dengan gerakan secepat rase atau rusa saiju,
Pak Kiong Liong kembali ke tempat pasukannya
dan jatuhlah perin-tahnya, "Aku beri waktu
sesulutan hio dupa ini untuk mengisi perut, bersiap-siap dan beristirahat sejenak, setelah itu
kita serbu mereka!" Para perajurit segera menjalankan perintah.
Makanan bekal mereka dimakan dingin-dingin
saja, sebab mereka tidak berani menyalakan api,
takut terlihat oleh musuh. Kemudian, ketika
sebatang dupa sudah habis terbakar, perajuritperajuritpun sudah siap dengan semangat
berkobar. 275 Pak Kiong Liong puas melihat kesigapan
perajurit-perajuritnya, hasil gembIengannya
sendiri selama bertahun tahun. Perintah
terakhirnya, "Kita akan berpacu secepatnya,
menyeberangi dataran sempit antara hutan
cemara dan Sungai Hek-liong, kemudian
langsung serbu. Mereka punya bedil, kita harus
berusaha jangan sampai menjadi sasaran bedil
mereka, karena itu kita harus meynebar dalam
serangan melebar. Paham?"
Perintah didengarkan oleh para Ji an-hu-thio
(Pemimpin Seribu Perajurit), para Jian-hu-thio
meneruskan kepada semua Pek-hu-thio
(Pemimpin Seratus Perajurit) bawahannya ,
kemudian Pek hu-thio kepada Sip-hu-thio
(Pemimpin Sepuluh Perajurit) dan para Sip-huthio kepada anggota regunya masing-masing.
Dengan demikian, tanpa berisik seluruh
perajurit sudah mendengar perintah dan siap
menjalankannya . Begitu Pak Kiong Liong memberi aba-aba
dengan lambaian tangannya, dua-ribu limaratus
kuda tegar dengan perajurit-perajurit 276 bersemangat baja segera berderap bagaikan
kilat ke arah perkemahan musuh. Suara derap
pasukan berkuda itu seperti gempa yang
melongsorkan salju dari pucuk-pucuk cemara.
Pasukan di perkemahan itu tidak menduga
datangnya serangan di malam dingin itu.
Sebagian dari mereka sedang berkerumun di
sekitar api unggun sambil menghangatkan diri
dengan sake, sebagian lagi meringkuk dalam
kemah masing-masing sambil membungkus
badan de ngan selimut. Begitu merasa bumi bergetar dan mendengar teriakan perang perajuritperajurit Manchu, mereka kaget, lalu sambil
berteriak-teriak berlompatan mencari senjata
mereka masing masing. Detik berikutnya, perajurit-perajurit Manchu
sudah menyerbu ke tengah-tengah perkemahan.
Puluhan peluru bedil pasukan Manchu
mendesing merobek udara dan merontokkan
beberapa musuh. Tapi bedil-bedil kemudian
harus disimpan di pelana kuda, karena tak
sempat mengisi bubuk bedil dan pelurunya lagi,
277 digantikan dengan tombak, pedang, kapak atau
senjata-senjata lainnya. Diatas kudanya, Pak Kiong Liong menerjang
paling depan dan menyebar maut bagaikan sang
dewa maut sendiri. Dari pihak pasukan Jepang juga melepaskan
tembakan yang membuat bebera-pa perajurit
Manchu terjungkal roboh dari kuda, namun
tembakan-tembakan itu kurang terarah. Ada
beberapa orang Eropa yang membantu pihak
Jepang, menembakkan pula bedil-bedil mereka,
namun setelah musuh di depan hidung, maka
merekapun harus membela diri dengan pedang
mereka. Maka di pinggir Sungai Hek-liong-kang
itupun berlangsung pertempuran sengit. Para
samurai Jepang dibantu sejumlah kecil orang
kulit putih, mencoba bertahan dengan gigih,
tetapi karena kalah persiapan merekapun
terdesak. Baik dalam pasukan Manchu maupun
pasukan Jepang ada perajurit-perajurit ber
darah Korea, namun berhadapan di medan
pertempuran itu mereka tidak sungkan278
sungkan lagi mengayunkan pedang atau tombak
untuk saling membantai. Satu keturunan ya satu
keturunan, tapi karena seragam berbeda, ya apa
boleh buat. Dalam pertempuran riuh tentu saja
tak ada waktu untuk saling memperkenalkan
diri seperti "aku teman saudara sepupu mu"
atau "aku asal satu desa denganmu" atau
"keponakan nenekmu adalah isteri pamanku"
dan sebagainya. Yang ada ialah "kamu musuh


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan aku harus menggorokmu!"
Beberapa perajurit Manchu sempat menyapukan pedang atau tombak ke arah api
unggun, sehingga kayu-kayu menyala bertebaran, yang jatuh di kemah-kemahpun
segera menyala membakar kemah, sehingga
timbul kebakaran yang membuat arena
pertempuran semakin terang-benderang. Sepotong kayu api jatuh di tenda penyimpanan
bubuk bedil dan menimbulkan ledakan hebat.
Ledakan yang "adil" sebab tidak memilih Jepang
atau Manchu atau Korea atau Han atau Eropa,
pokok-nya yang berada di dekatnya segera ter
lempar hangus. Kuda juga tidak ketinggalan
279 Para perajurit Jepang ternyata adalah
manusia-manusia tangguh yang tidak gampang
ditaklukkan. Begitu pula orang orang bule
Eropa yang berpihak kepada mereka.
Merekalah penakluk-penakluk samudera yang
tangguh, badai dan gelombang dahsyat di
samudera pernah mereka tantang, pertempuran
dahsyat di lautan maupun di berbagai benua
pernah mereka jalani, karena itu merekapun
manusia gemblengan yang tak gampang
menyerah. Meskipun mereka bertempur di
pihak Jepang bukan karena rasa kebangsaan,
melainkan hanya karena uang.
Perajurit-perajurit Jepang dengan tombak
atau pedang mereka kemudian mencoba
menyabet kuda-kuda tunggangan para perajurit
Manchu. Sebagian berhasil, sebagian lagi gagal.
Kemudian beberapa orang lagi dengan
keberanian luar biasa mencoba memeluk kaki
perajurit Manchu untuk diseret turun dari kuda,
Pak Kiong Liong malang-melintang di arena
pertempuran, membuat pasukan musuh moratmarit. Perajurit-perajurit Jepang tidak lagi
280 berani mendekatinya, melainkan hanya
menyerang dari kejauhan dengan lembing dan
panah. Bedil tak bisa digunakan lagi kecuali
sebagai tongkat pemukul, karena tak ada yang
sempat mengisinya setelah ditembakkan satu
kali, Betapapun gigihnya musuh, tapi pasukan
Manchu semakin lama semakin menguasai
arena, Pak Kiong Liong sempat mengamatamati jalannya pertempuran, dan tersenyum
sendiri melihat keunggulan pihaknya. la sempat
melihat bagaimana orang Jepang dan orang
Eropa di pihak mereka memperagakan dua jenis
iImu pedang yang berbeda. Orang Jepang meme
gang "katana" (pedang panjang) mereka dengan
dua tangan, memainkan gerak-gerak pedang
yang nyaris seluruhnya terdiri dari gerakan
menabas, hampir-hampir tak ada gerak
tusukannya, Sedang orang-orang Eropa dengan
pedang berbentuk sempit dan runcing, dengan
pelindung tangan berbentuk tempurung,
memainkan ilmu pedang yang hanya kenal menikam secepat patukan ular, nyaris tidak ada
281 gerak menabas, Dua jenis ilmu pedang yang
bertolak belakang gayanya dari dua benua,
namun sama-sama berbahaya karena digerakkan oleh tangan-tangan yang mahir.
Tengah Pak Kiong Liong mengamati
pertempuran, tiba-tiba dari sampingnya
menyambarlah seleret cahaya tajam dingin ke
lehernya, disertai bentakan geram. Cepat Pak
Kiong Liong menangkis dengan pedangnya, dan
terasa betapa kuatnya tangan-tangan yang
memegang tangkai pedang itu.
Penyerangnya adalah seorang Jepang
bertubuh kekar dan beralis tebal, memakai
kimono coklat seperti perajurit-perajurit
lainnya, namun di dada kirinya bersulam bunga
berkelopak lima yang agaknya merupakan
tanda pangkatnya. Menilik kecepatan dan
kekuatan ayunan pedangnya tadi, agaknya
orang ini tak bisa dipandang remeh. Selain pe
dang panjang di tangannya, dipinggang nya
masih terselip sebatang pedang pendek.
Orang itu menuding-nudingkan pedangnya
sambil mengucapkan kata-kata asing yang
282 nadanya seperti orang bertengkar. Tapi Pak
Kiong Liong paham bahwa orang it_u
menantangnya agar turun dari kuda dan
berduel dengannya. Sebelum Pak Kiong Liong meladeni
tantangan itu, dari samping tel ah ter-dengar
suara seseorang, "Serankan kepa daku , Goanswe !"
Yang berkata itu ada Hai Lun To ! orang
Mongol yang langsung melompat turun dari
kuda dan menghunus pedangnya yang
melengkung seperti bulan sabit, pedang khas
orang Mongol. Dengan bahasa isyarat, Hai Lun
To menyatakan sanggup meladeni tantangan
samurai itu. Orang Jepang itu adalah perwira bawahan
Hirosaki Takashima yang bernama Obata
Zukimoto, pemain Kenjitsu (seni pedang) paling
ulung dari Kyushu. Tanpa banyak bicara lagi,
pedangnya mendesing dengan kekuatan hebat
ke arah kepala Hai Lun To.
Biarpun tubuhnya lebih pendek dan kecil
dari lawannya, tapi Hai Lun To berjulukan Thai283
Tanpa kenal takut, goloknya dipalangkan
ke atas untuk menangkis secara kekerasan, lalu
kakinya meluncur menendang
lambung lawannya 284 lek-siau-him yang menggambarkan kekuatannya. Tanpa kenal takut, goloknya
dipalangkan ke atas untuk menangkis secara
kekerasan, lalu kakinya meluncur menendang
lambung lawannya. Tangkas sekali Obata melangkah berputar,
sambil sabetkan pedangnya mendatar. Hai Lun
To melompat tinggi dan balas membacok
kepala. Begitulah keduanya terlibat pertarungan
sengit, masing-masing agaknya mendapatkan
lawan seimbang. Tapi keseimbangan itu tidak mewakili
pertempuran antara kedua pasukan. Pasukan
Jepang terdesak semakin hebat, mereka
melawan terus sampai berguguran satu demi
satu meskipun diserukan untuk menyerah.
Beberapa perwira Hui-liong-kun yang sedikit
banyak paham bahasa Jepang dan selalu
meneriakkan "Menyerahlah", hasilnya bukan
seperti yang diharapkan, malah kepala perwira
itu nyaris terbabat pedang seorang perajurit
musuh yang kalap. 285 Pasukan Jepang ternyata bertempur sampai
orang yang penghabisan, sehingga tepian
Sungai Hek-liong itu penuh bertaburan ribuan
mayat. Maka pertempuranpun selesai, yang belum
selesai adalah duel Hai-Lun To dan Obata,
bahkan semakin sengit. Ribuan kali pedang
mereka berbenturan keras sampai memercikkan bunga api, tanpa penentuan siapa
bakal menang dan kalah. Tapi ketika Obata mengetahui pasukannya
sudah habis, timbullah kecemasannya. Bukan
cemas untuk mati, tapi justru cemas kalau tidak
bisa mati. Kalau sampai ia ditawan dan dilucuti,
alangkah memalukan kehormatannya sebagai
seorang samurai terhormat, sedang kalau mati
terhormat arwahnya akan segera menempati
Kuil Yasakuni, tempat terhormat bagi arwah
para perajurit yang mati terhormat pula.
Demikian kepercayaan kaum samurai yang
membuat mereka memandang kematian
seenaknya saja. 286 Ketika melihat Pak Kiong Liong dan
perajurit-perajurit Hui-liong-kun lainnya sudah
berdiri mengelilingi arena, Obata semakin
cemas. la meneriak-kan beberapa patah bahasa
Jepang. Perwira yang bisa berbahasa Jepang lalu men
terjermahkan untuk Pak Kiong Liong, "Goanswe, orang ini minta untuk diijinkan mati secara
terhormat, secara seorang Bushi Tenno
(samurai Kaisar), dan ia akan sangat berterima
kasih kepada kita . "
"Bagaimana kalau kita tangkap hidup-hidup
saja?" tanya Pak Kiong Liong .
Si penterjemah terdiam sejenak, lalu
menjawab, "itu bisa saja kita lakukan, tapi akan
merupakan hinaan seumur hidup baginya.
Mereka percaya, arwah mereka kelak tidak akan
menghuni Kuil Yasakuni dan tidak bisa lahir
kembali..." "Mati terhormat bagaimana yang dia
inginkan?" "Melakukan harakiri, merobek perut sendiri
dengan pedang pendeknya itu . "
287 "Baiknya kita kabulkan atau tidak?"
"Terserah Goan-swe."
"Bagaimana kalau dia kita bebas-kan, tidak
kita tangkap dan tidak kita hina?"
"la akan tetap melakukan harakiri di
hadapan Jenderalnya, karena merasa gagal
menjalankan tugasnya."
Pak Kiong Liong sendiri seorang ksatria
Manchu yang lebih suka gugur daripada terhina,
sehingga diapun bisa merasakan apa yang
dirasakan Obata. Meskipun bagi dirinya, cara
menebus malu dengan merobek perut itu
kelihatan rada tolol, tapi kalau yang akan melakukannya sendiri merasa bangga dan ter
hormat, apa mau dikata"
Akhirnya Pak Kiong Liong menyuruh Hai Lun
To mundur dari arena. Obata tidak
memburunya, tapi membungkuk hormat
kepada Pak Kiong Liong dan mengucapkan
beberapa patah kata lagi. Si Perwira
penterjemah segera menyalin kata-katanya ke
dalam bahasa Manchu, "Dia sangat berterima
288 kasih kepada Goan-swe, dan ingin mengetahui
nama dan keduduk-an Goan-swe."
Pak Kiong l long menyebutkannya.
Si penterjemah menyalin, Obata berkata-kata
lagi, dan si penterjemah berkata kepada Pak
Kiong Liong, "Din merasa terhormat dikalahkan
oleh Si Naga Utara (julukan Pak Kiong Liong)
yang dikenal sampai ke Jepang. Tapi ia akan
tetap melakukan harakiri demi tanggung-jawab
kepada Jenderal Hirosaki dan negerinya. Dia
juga akan berterima kasih sekali kalau Goanswe bersedia menjadi Kaishakunin baginya."
"Apa itu kai . . .. kai-sam.. apa itu?" tanya Pak
Kiong Liong. Si perwira menerangkan, "Di saat seorang
samurai melakukan harakiri, sering ia merasa
amat kesakitan namun tidak segera mati. Saat
itulah seorang Kaishakunin mengakhiri penderitaanya dengan jalan menebas lehernya."
Pak Kiong Liong mengerutkan alis
mendengar permintaan yang terasa aneh itu.
Katanya, "Katakan kepadanya, seorang ksatria
289 Kekaisaran Manchu yang agung tidak sudi
membunuh seorang Iawan yang tidak melawan.
Perwira Hui-Liong-kun itu menterjemahkannya untuk Obata, dan Obata nampak
kecewa sekali wajahnya. la berkata lagi, di salin


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh si perwira Hui-liong-kun, "Membantu
seorang samurai melakukan harakiri bukanlah
tindakan hina, tetapi membantu sesama ksatria
menuntaskan kewajiban alas tugasnya."
Kata-kata "sesama ksatria" mendapat
tekanan suara, sehingga mengesankan bahwa
Obata juga menghormati Pak Kiong Liong
sebagai ksatria, biarpun dengan adat yang
berbeda. Sinar mata Obata penuh permohonan
menatap Pak Kiong Liong. Akhirnya Pak Kiong menganggukkan
kepalanya. Obata membungkuk hormat untuk
menyatakan terima kasih, lalu upacara yang
mencekam itu dimulai. Pertempuran rupanya hampir berlangsung
semalam suntuk, sehingga saat itu fajar sudah
terbit di ufuk timur. Obata berlutut ke arah
matahari, Sang Amaterasu Omikami, juga ke
290 arah negeri dan kaisarnya. Pedang panjangnya
dimasukkan sarung dan dengan dua tangan di
letakkan dia tas salju di depanny, kemudian
dengan dua telapak tangan menekan tanah, ia
bersuduju sampai jidatnya mengenai salju.
Dibukanya baju bagian atasnya sehingga
tampak ototnya yang kokoh gempal, pedang
pendek dihunus dipegang tangkainya dengan
kedua belah tangan, lalu ditikamkan ke
perutnya sebelah kiri. Ia menggunakan cara
bunuh diri yang disebut "Ichimonji" yaitu dari
kiri perut pedangnya merobek lebar, darah
yang memancar langsung membeku disalju.
Seringa kesakitan mulai mewarnai wajahnya.
Saat itulah si pewira penterjemah membisiki
Pak Kion Liong, "Sekarang, Goan-Swe!"
Pak Kiong Liong melangkah maju dan
mengayun pedangnya. Kepala
Obata menggelundung cepat. Pak Kiong Liong sempat
melihat senyum kebanggaan mekar dibibir
Obata. Ia menyongsong maut dengan penuh
kebanggaan, tanpa rasa takut sedikitpun.
291 Pak Kiong Liong segera membawa
pasukannya meninggalkan bekas ajang pertempuran itu. Ia tahu, pasukan Jepang yang
mendarat di Liao-tong itu berjumlah amat
besar, perkemahan yang hancur itu sebagian
kecil dari musuh, kalau tidak segera
meninggalkan tempat itu maka akan terkepung
musuh yang bertebaran sepanjang tepian
sungai Hek-Liong. Alam untuk sementara memihak pasukan
Machu, sebab begitu mereka pergi, salju yang
lembut turun kebumi untuk menutupi jejak
arah perginya pasukan itu.
Pasukan Jepang yang kemudian datang
ketempat itu hanya menemui perkemahan yang
hancur, mayat teman-teman mereka bergelimpangan bercampur perajurit-perajurit
Manchu yang gugur. Sementara berpuluh-puluh
pucuk bedil telah dibawa pasukan Manchu
beserta peluru-peluru dan obat peledaknya
sekalian. Pak Kiong Liong dan pasukannya pun tiba
kembali di hutan cemara yang merupakan
292 persembunyian bagus itu. Setelah beristirahat
sehari, Pak Kiong Liong kemudian memimpin
pasukannya untuk menyusur ke arah selatan.
Angin yang dingin mengiris kulit merupakan
musuh tersendiri yang harus dilawan,
untunglah bahwa pohon-pohon cemara dapat
sedikit memberi perlindungan kepada perajurit-perajurit Manchu itu.
Kira-kira 100 li ke selatan, kembali nampak
perkemahan pasukan Jepang yang digelar di
sebuah dataran di lereng bukit. Masih di pinggir
Sungai Hek-liong. Merekalah sebagian kecil dari
ratusan ribu samurai yang dikerahkan ke garis
depan untuk memenuhi ambisi Shogun mereka
menguasai daratan Cina. Dalam memeriksa kekuatan musuh Pak
Kiong Liong melakukan sendiri dan tidak
menyuruh pengintainya. Diam-diam ia merambat bukit dari belakang perkemahan
musuh, dan meiihat keadaan di perkemahan itu.
Taksirannya, kekuatan musuh di perkemahan
itu lebih kuat dari yang telah dihancurkan lebih
duIu . 293 Bukan saja nampak perajurit-perajurit
bayaran berkulit putih yang hilir mudik, tapi
juga nampak beberapa buah meriam yang
menghadap ke berbagai arah di seputar
perkemahan itu. Nampak Pak Kiong Liong
membuat perhitungan sendiri dan merasa yakin
pasukannya masih mampu menghancurkan
perkemahan ini, asal dengan perhitungan yang
tepat . Setelah kembali kepada pasukannya, Pak
Kiong Liong mengumpulkan ketiga pangl
imanya dan berkata, "Meriam-meriam itu
memang berbahaya, tapi asal kita menyergap
pada arah yang tidak menghadap moncong
meriam, rasanya cukup aman. Meriam itu berat,
butuh tenaga dan waktu untuk memutar-mutar
arah-nya, sementara kita dengan kecepatan
kuda-kuda kita akan langsung menyerang ke
tengah-tengah mereka dan memaksa bertempur
jarak dekat." Ketiga panglimanya mengangguk-angguk
mengerti, sementara Pak Kiong Liong
meneruskan, "Pasukan kita akan kubagi dua.
294 Separuh aku pimpin sendiri untuk menerjang
dari lereng bukit, separuh lagi dipimpin Tong
Siau langsung menerjang menyeberangi sungai
yang beku itu . Tapi aku perintahkan Tong Siau
Beng agak menyerong ke selatan sedikit, supaya
tidak langsung menghadapi moncong meriammeriam di tebing sungai. Paham?"
Tong Siau Beng, Hai Lun To dan Ki Peng Lam
menyatakan paham semua. Seluruh pasukan
segera diberitahu agar bersiap-siap untuk
serangan malam nanti . Apa yang tidak diketahui Pak Kiong Liong
ialah bahwa Ki Peng Lam, panglima
kepercayaannya itu, adaiah seoranq musuh
dalam selimut. Sejak Kaisar Khong Hi wafat dan
Kaisar Yong Ceng menggantikannya, maka Ki
Peng Lam menganggap Pangeran In Te tidak
ada lagi gunanya didukung habis-habisan, peluangnya paling tidak sudah hilang separuh.
Saat itu Ki Peng Lam sudah mulai masuk jerat Ni
Keng Giau. Keikutsertaannya ke medan perang
Liao-tong kali inipun mengemban tugas rahasia
dari Ni Keng Giau agar menjerumuskan Pak
295 Kiong Liong ke dalam bencana, dengan
meminjam tangan orang-orang Jepang kalau
berhasil, Ni Keng Giau sudah berjanji akan
membujuk Kaisar agar angkat Ki Peng Lam
sebagai Panglima Hui-Liong-kun, menggantikan
Pak Kiong L i ong . Ketika hari mulai gelap dan seluruh pasukan
sedang beristirahat untuk mengumpulkan
tenaga untuk serangan malam nanti, Ki Peng
Lam justru sedang memutar otak bagaimana
membocorkan rencana itu ke pihak musuh agar
Pak Kiong Liong terjebak dan mampus. Diamdiam rencana Pak Kiong Liong itu ditulis terinci
di atas sehelai kertas, diberi denah pula arah
serangannya, lalu diam diam ditinggalkannya
pasukannya tanpa diketahui siapapun. la
berjulukan Tu-hong-kak, si Kaki Pemburu
Angin, menandakan keunggulan ilmu meringankan tubuhnya. Di bantu selubung
malam, tidak sulit ia menyeberangi sungai beku
dan mendekati perkemahan musuh dari arah
lereng bukit. Ketika melihat sekelompok
perajurit Jepang meronda di kaki bukit, cepat Ki
296 Peng Lam melemparkan gulungan kertas yang
sudah disiapkan-nya, kemudian ia sendiri kabur
dengan gerakan kilat ke atas bukit.
Para perajurit Jepang itu terkejut, sebagian
berusaha mengejar tapi kalah cepat, sebagian
lagi membuka gulungan kertas dan melihat
isinya. Ketika gulungan kertas itu kemudian
diserahkan kepada pemimpin perkemahan yang
bernama Onoshi, isi gulungan dengan mudah
dipahami, karena huruf Cina dan Jepang hampir
sepenuhnya sama kecuali pengucapannya
berbeda. Apalagi karena da lam "surat kaleng"
itu ada pula gambaran-gambaran kasar yang
mempermudah pemahaman. Tetapi Onoshi Yozen tidak menelan mentahmentah perkara itu demikian saja, disuruhnya
seorang pengawalnya untuk memanggil Sasuke
Kanamori, perwira pembantunya yang agak
paham sejarah dan kebudayaan Cina. Ketika
Sasuke sudah menghadap, keduanyapun
memperbincangkan surat gelap itu.
Sambil membeber kertas kiriman Ki Peng
Lam itu di atas tatami (tikar) dalam kemahnya,
297 Onoshi berkata, "Bagaimana pendapatmu
tentang ini" Peronda kita mendapatkannya
karena dilempar oleh seseorang yang
nampaknya adalah prajurit Cina, sebab ada
kuncir panjang di kepalanya."
Sasuke seorang yang bertubuh kurus
jangkung, bermata tajam dan pendiam. Kedua
tangannya nampak kokoh biarpun kurus,
karena ia adalah ahli dalam Kyujutsu (ilmu
memanah) serta Yarijit-su (ilmu tombak) yang
disegani di propinsi asalnya.
Dengan matanya yang seperti mata alap-alap
itu Sasuke memperhatikan coretan-coretan di
atas kertas, kemudian berkata dengan nada
datar dan dingin sesuai kebiasaannya, "Agaknya
dalam pasukan Cina sendiri ada seorang
pengkhianat. Ada baiknya kita bersiap-siap"
berdasar keterangan ini, supaya kita tidak
mengalami nasib seperti perkemahan Obata
tempo hari." "Bagaimana kalau .keterangan ini hanya
tipuan musuh agar kita salah langkah?"
298 "Aku pikir tidak. Kalau tidak ada keterangan
ini, bahkan kita belum tahu bahwa musuh sudah
ada di muka hidung kita. Jadi buat apa mereka
mengirim kertas ini untuk membuat kita bersiaga" Bukankah lebih menguntungkan bagi
mereka kalau menyerang mendadak" Tentu dal
am pasukan Cina itu ada seorang pengkhianat
yang mungkin menginginkan kehancuran
teman-temannya sendiri."
"Kira-kira untuk tujuan apa?"
Jawaban Sasuke mantap, seperti seorang
guru sejarah di depan murid-mu-ridnya.
"Karena persaingan antar suku. Dalam pasukan
Cina ada orang dari suku suku Manchu, Mongol,
Han, Sehe, Hui, Liao, Korea dan sebagainya.
Yang berkuasa di tahta sekarang adalah orang
Manchu, kemungkinan membuat iri orangorang suku lain dan si pengkhianat ini sengaja
merusak rencana penyerangan dengan membocorkannya kepada kita."
"Orang suku apa yang paling membenci
orang Manchu?" 299 "Orang Han. Mereka menganggap diri suku
paling berbudaya, paling cerdas, paling beradab
dan memandang rendah suku-suku lain. Tapi
pemerintahan justru dijalankan orang Manchu,
sehingga banyak orang Han menentang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemerintahan. Terang-terangan atau diamdiam. Pengirim kertas ini kemungkinan besar
seorang perajurit Cina dari suku Han yang tidak
senang kepada Pak Kiong Liong yang berdarah
Manchu." Onoshi menyeringai. "Seperti negeri kita, ya"
Sudah satu abad lebih Dinasti Tokugawa
memerintah, tapi sisa-sisa keturunan atau
pengikut Hideyoshi Toyotomi masih saja
bermimpi ingin membangun kejayaan mereka
di Osaka. Orang-orang Kyushu juga mulai
diragukan kepatuhannya kepada Shogun, garagara mereka telah memeluk agama baru itu ."
Sasuke tahu diri, sebagai sekedar seorang
perwira pelaksana perintah, lebih baik tidak
usah usil mulut membicarakan hal yang peka
itu. Maka ia diam saja. Sementara Onoshi
berkata, "Siapkan pasukan kita tapi dengan cara
300 tidak menyolok, supaya musuh mengira kita
tetap lengah. Geser meriam-meriam menghadap
lereng bukit dan tepi sungai. Ingat jangan
menyolok." "Baik." "Meriam-meriam biar ditangani setan-setan
bule itu. Mereka mahir menggunakannya,
bahkan dal am pertempuran di laut"
"Baik" sahut Sasuke sambil berlutut sampai
jidatnya mengenai tanah, kemudian melangkah
meninggalkan kemah itu. Tengah malam tiba, itulah saat penyerangan
yang direncanakan Pak Kiong Liong.
Sesuai dengan rencana, pasukan bagi dua.
Pak Kiong Liong yang rambutnya sudah putih
semua itu akan memimpin penyerangan dari
lereng bukit setelah memotong Sungai Hekliong agak keutara. Tong Siau Beng dengan
separuh pasukan lainnya akan langsung
menyergap menyeberangi sungai yang beku itu.
Begitu tangan Pak Kiong Liong melambaikan
isyarat, gemuruhlah derap kaki kuda dari
301 perajurit-perajurit Hui-Liong-kun yang bergerak meyerang musuh. Setelah menyeberangi sungai Hek-liong agak
ke utara, Pak Kiong Liong mebelokkan
pasukannya melintasi dan langsung menyerbu
ke perkemahan musuh. Pak Kiong Long
didampingi perajurit-perajuritnya yang bersenjata bedil berkuda pada lapisan depan.
Biarpun sudah ada bedil, panah dan lembing tetap disiapkan juga, meskipun kalah ampuh dari
bedil namun bisa dilontarkan berturut-turut.
Sedang bedil setiap kali ditembakkan sekali
akan makan waktu untuk mengisinya lagi.
Mengira pihak musuh belum siap, perajuritperajurit Hui-Liong-kun bersorak-sorai penuh
semangat, yakin akan mengulangi kemenangan
yang dulu. Namun kemudian sambutan dari perkemahan musuh ternyata amat mengejut-kan.
Terdengar gelegar hebat berturut-turut sebab
meriam-meriam mulai "bicara" pula. Lereng
bukit yang sedang dilintasi pasukan Manchu itu
tanahnya bagaikan berledakan karena dihantam
302 bola-bola besi dengan kecepatan dan kekuatan
tinggi. Tanah campur salju muncrat berhamburan, beberapa perajurit sekalian kuda
tunggangannya terlempar dan terbanting.
Robohnya kuda yang di depan membuat kuda di
belakangnya tersandung kakinya dan roboh
pula. Teriakan kaget dan kesakitan para
perajurit bercampur aduk dengan ringkik kudaku yang meronta-ronta sekarat.
Keadaan semakin kacau dan menghambat.
karena meriam-meriam musuh masih saja
berdentum dan menuntut korban lebih banyak
1agi. Di tengah keributan itu Pak Ki-ong Liong
dengan gemas terus memacu kudanya ke kaki
bukit sambiI berteriak. "Maju terus! Mundurpun
punggung kita akan digempur dari belakang,
lebih baik diajak musuh bertarung jarak dekat!"
Perajurit-perajurit Hui-Liong kun memang
terkenal bernyali besar semua, dalam
kekacauan seperti itu, barisan belakang terus
maju ke depan bersama Pak Kiong Liong. Yang
bersenjata bedil membalas menembak ke arah
303 musuh, lainnya melempar-lemparkan lembing
atau memanah, sambil tetap berkuda.
Ternyata pasukan Jepang tidak kocar-kacir
seperti di perkemahan Obata dulu, melainkan
menyambut serbuan pasukan Manchu dengan
persiapan yang matang. Ketika meriam-meriam
tak sempat diisi lagi, muncul sepasukan
perajurit Jepang bersenjata bedil, membidik
sambil berjongkok berderet. Dengan sebuah
aba-aba dari pemimpin regu, belasan bedil
meletus serempak dan belasan pasukan Manchu
yang paling depanpun terjungkal roboh.
Bagi Pak Kiong Liong yang berilmu tinggi,
peluru-peluru itu bisa ditangkis dengan
pedangnya yang diputar rapat. Namun
perajurit-perajuritnya tentu saja tak sanggup
menirukannya sehingga banyak yang menjadi
korban peluru. Meskipun bedil abad delapan belas itu cuma
dapat ditembakkan sekali dan harus segera diisi
kembali, namun ternyata pasukan Jepang punya
cara untuk menembak terus menerus. Perajurit
perajurit di deretan depan, sehabis menembak
304 segera mundur ke deretan belakang untuk
mengisi obat dan peluru. Tempat-nya
digantikan perajurit-perajurit deretan kedua,
yang setelah menembak digantikan deretan
ketiga, dan seterus-nya. Saat lapisan ketiga
selesai menembak dan mundur ke belakang,
lapisan yang pertama tadi sudah siap kembali
terisi. Demikian rapi kerjasama ini sehingga
tembakan dapat bersambung terus. Itulah cara
bertempur gaya Eropa yang dipelajari oleh
Jepang, selain cara bertempur ajaran leluhurnya
sendiri. Orang Jepang pertama kali mengenal bedil
tahun 1543, diperkenalkan oleh orang-orang
Portugis. Bedil waktu itu belum ada pelatuknya,
untuk menembakkannya harus menyulut
sumbu di pangkal larasnya sehingga tak
ubahnya meriam. Oleh kasta samurai
(perajurit), senjata itu dianggap merendahkan
derajat mereka, sehingga yang dipersenjatai
bedil hanyalah perajurit-perajuri keturunan
orang biasa, bukan keiluarga samurai yang
bersiteguh menggunakan pedang atau tombak.
305 Tahun 1575 meletus Perang Nagashino, dimana
Oda Nobunaga, Gubernur Owari, menaklukkan
gubernur-gubernur lain dan menyatukan
Jepang. Saat itu Oda Nobunaga mematahkan
anggapan bahwa orang samurai yang bersenjata bedil adalah hina, ia justru mewajibkan
semua samurainya berlatih menembak disamping main pedang atau tombak, sehingga
keluarlah Oda Nobunaga sebagai pemenang da
lam Perang Nagashiro. Sejak itu, bedil adalah
bagian- dari persenjataan perajurit Jepang,
disamping pedang atau tombak.
Belum sampai pasukan Manchu berhasil
menerjang perkemahan pasukan Jepang, korban
yang jatuh sudah banyak sekali. Semakin dekat
dengan perkemahan, perajurit-perajurit Jepang
lainnya juga mulai memanah dan melontarkan
lembing-lembing. Tapi sebagian dari pasukan Manchu berhasil
juga menerjang ke perkemahan dan dengan
garang menyambar-nyambarkan kuda mereka
sambil mengayun-ayunkan pedang. Perajuritperajurit Jepangpun harus meletakkan bedil306
bedil atau panah-panah mereka dan menghunus
pedang atau, tombak mereka untuk menyambut
musuh. Pertempuranpun berkobar di sisi perkemahan yang menghadap lereng bukit, perajuritperajurit Jepang melawan dengan teratur,
dibantu perajurit-perajurit bayaran berkulit
putih yang jumlahnya tak seberapa namun
merupakan ahli-ahli perang yang tangguh juga.
Sebenarnya perajurit-perajurit Jepang yang
berjalan kaki itu agak repot juga menghadapi
perajurit-perajurit Manchu yang tangkas dalam
pertempuran berkuda, untung bagi rnereka
bahwa jumlah perajurit Manchu sudah banyak
berkurang karena tersambar pe1uru-peluru
bedil tadi. Perajurit-perajurit Jepang tidak
jarang berhasil menyabet kaki kuda perajurit
Manchu dengan tombak mereka, sehingga
musuh jatuh berguling dan terpaksa bertempur
di atas tanah. Kini yang terdengar adalah gemerincing
pedang dan tombak yang beradu namun sekaIisekali masih terdengar letusan bedil juga.
Bercampur derap kuda dengan atau tanpa
307 penumpang yang meringkik-ringkik dengan
ribut, dan sumpah serapah ribuan manusia
peperangan yang saling bantai dengan
kalapnya. Makian "bangsat", "anjing" atau
"mampus" terdengar riuh rendah dalam
berbagai bahasa, sehingga arena itu mirip juga
dengan kontes mencaci-maki antar bangsa .
Pak Kiong Liong yang marah karena telah
kehilangan banyak anak buah, mengamuk
seperti malaikat maut yang sedang mencari
tambahan penduduk neraka. Tiap ia menerjangkan kudanya sambil mengayunkan
pedangnya kearah kerumunan perajurit musuh,
tentu beberapa musuh roboh atau menggel
inding kepalanya. Beberapa perajurit Jepang
mencoba menyabet kaki kuda si Jenderal tua
itu. namun bukan saja gagal, malahan nyawa me
rekapun "dimangsa" pedang Pak Kiong Liong .
Rambut, kumis dan jenggot Pak Kiong Liong
yang putih itu sudah terpercik beberapa titik
darah. Bukan darah nya sendiri, melainkan
darah korban korbannya. 308 Dari pihak pasukan Jepang muncul seorang
lelaki kurus jangkung bersenjata tombak
panjang. Dengan ganas orang ini mengamuk di
arena dengan jurus-jurus tombaknya yang
secepat kilat, setiap kali membuat perajurit
Manchu roboh dengan leher, dada, perut atau
punggung yang berlubang. Kadang kadang
tubuhnya melambung untuk menyerang
korbannya dari atas, dan jarang gagal . Itulah
Sasuke Kanamori, si ahli Varijitsu yang kini
menunjukkan kehebatan ilmunya. Sekejap saja
belasan perajurit Hui-Liong-kun sudah menjadi
korban tombaknya. Melihat itu, Hai Lun To yang bertubuh kecil
namun bertenaga raksasa itu segera melompat
turun dari kudanya, dengan memegang erat
golok lengkung bulan-sabitnya, ia langsung
menghadang Sasuke. Kedua orang itu saling berpandangan dengan
oleh tajam, masing-masing diperingatkan
naluri kependekaran mereka bahwa lawan
ampuh sudah di depan mata.
309 Sasuke membuka pertarungan dengan
patukan ujung tombak secepat ular. Ketika Hai
Lun To menghindar ke samping, ujung
tombakpun mengikutinya dengan ketat,
dimainkan dengan tangkas oleh sepasang
tangan yang kurus-kurus namun kokoh itu.
"Hebat!" desis Hai Lun To. Golok-nya yang
ukuran panjangnya cuma sepertiga tombak
lawan, dipukulkan ke batang tombak kemudian
berguling merapat untuk membabat sepasang
kaki Sasuke. Sasuke melompat tinggi sambil
mematukkan tombaknya ke bawah, Hai Lun To
menggeliat bangun dan melompat tinggi pula
untuk membabat jidat lawan.
Pertarungan kedua orang itupun semakin


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengit. Sasuke Kanamori tidak sekuat Hai Lun
To, namun langkah kakinya selincah kijang dan
patukan tombaknya segencar hujan gerimis.
Lawannya adalah Hai Lun To yang putaran
goloknya bagaikan perisai besi rapatnya dan sekali waktu menggulung ke depan bagaikan
gelombang samudera. Untuk sementa ra, sulit
diramalkan siapa yang bakalan unggul.
310 Sasuke membuka pertarungan dengan patukan ujung
tombak secepat ular. Ketika Hai Lun To menghindar ke
samping, ujung tombakpun mengikutinya dengan ketat,
dimainkan dengan tangkas oleh sepasang tangan yang
kurus-kurus namun kokoh itu.
311 Sementara itu, dari arah lain Tong Siau Beng
memimpin separuh pasukannya untuk menyerbu dengan menyeberangi Sungai HekLiong yang permukaannya membeku keras dan
tebal itu. Tetapi, baru saja ia dan pasukannya
sampai di tengah-tengah sungai, meriammeriam musuh sudah menggelegar. Tong Siau
Beng terkejut, sebab bukankah dalam
perhitungan semula, arah yang disebut-nya itu
tidak langsung menghadapi meriam" Apakah
musuh mengubah letak meriam-meriamnya"
Bola-bola besi dari mulut meriam itu tidak
ditembakkan langsung kearah pasukan Manchu,
melainkan ke permukaan Sungai Hek-Liong
yang berlapis es. Lapisan es itu sebenarnya
cukup tebal dan kuat biarpun dilalui sebuah
pasukan berkuda, namun setelah dihantam
bertubi-tubi dengan peluru meriam, timbullah
retakan di permukaannya. Ditambah beban
ratusan perajurit berkuda yang tengah
menyeberang, retakan es itu makin lebar dan
akhirnya amblong, puluhan prajurit berkuda
Manchu sekaligus terjerumus ke dalam sungai
312 bersama kuda-kuda*tunggangan mereka. Lapisan es beku yang tadinya menjadi "pembantu" pasukan Manchu untuk dapat menye-rang
musuh, kin" berubah menjadi "mu-suh'1 yang
dahsyat. Meskipun permukaan sungai membe-ku, tapi
di bawahnya tetap ada aliran air yang deras.
Para prajurit yang ter jeblos segera terseret
arus dan baru akan muncul kembal i di muara
Sungai Hek-liong di Laut Po-hai yang jaraknya
ratusan mil dari situ, sebab di musim dingin
Sungai Hek-liong seperti sebuah pipa raksasa
tanpa lubang sedikitpun di sepanjang "pipa".
Oan perajurit-perajurit yang terseret arus itu
ibarat lalat-lalat yang tak berdaya melawan
kekuatan a lam, betapapun mereka tergem bl
eng keras. Mereka pasti mati, sebab mana ada
manusia sanggup tidak berna-pas dalam air
sepanjang ratusan mil"
Sedang air sungai yang amat dingin itu pun
sudah merupakan pembunuh yang perkasa.
Perajurit-perajurit di belakang yang terperosok itu dengan kaget berhasil
313 menghentikan lari kuda mereka agar tidak ikut
terjeblos pula. Sebagian tetap nyemplung
menyusul teman-temannya, sebagian lagi
berhasil menghentikan kuda. Tapi yang dapat
berhenti itupun dilanda oleh barisan
belakangnya yang tidak menduga kalau temanteman didepan berhenti secara mendadak.
Kembali puluhan perajurit menyusul terjun ke
arus sungai sambil menjerit ngeri, karena
terjanjur terdorong dari belakang. Ringkik kuda
yang timbul tenggelam di arus sungai sebelum
menghilang terseret arus menambah girisnya
suasana. Beberapa perajurit bisa berenang
secara mati-matian sampai ke tepian dan ditarik
dibantu teman-teman mereka di darat. Wajah
mereka pucat dan tubuh menggigil bukan saja
karena kedinginan, tapi juga oleh kengerian
membayangkan kematian yang hampir menyambar mereka. Terseret arus di bawah lapisan es sepanjang
ratusan mil adalah kematian yang penasaran,
lebih ngeri dari mati dalam pertempuran.
Mereka bergidik mengingat ratusan teman314
teman mereka telah menga lami nasib seperti
itu. Melihat itu, Ki Peng Lam juga merasa
bergidik karena merasa bersalah bahwa
kematian perajurit-perajurit itu gara-gara
pengkhianatannya. Namun demi teringat akan
kedudukan Panglima Hui-Liong-kun yang
dijanjikan Ni Keng Gi-au apabila ia berhasil
menjerumuskan Pak Kiong Liong, maka
dihiburnya hati-nya sendiri, "Apa boleh buat,
anggap saja mereka mati karena nasib buruk.
Apabila di dalam peperangan tentu setiap orang
berpeluang mati dengan bermacam-macam
cara, termasuk juga aku."
Sementara itu Tong Siau Beng meneriakkan
perintah untuk sisa pasukan-nya, "Menyebar
lebar dan maju terus! Kita harus menolong Pak
Kiong Goan-swe dan teman-teman kita yang
sudah terlanjur terjebak di seberang!"
Perajurit-perajurit Hui-L iong-kun
yang tersisa dan sudah pulih kembali dari
kepanikan itupun mengatur diri sejenak,
kemudian dengan kemarahan meluap-Luap
315 menyeberangi lapisan-lapisan salju yang belum
retak oleh peluru meriam.
Meriam-meriam musuh masih berdentum
beberapa kali, tapi meriam yang cuma beberapa
pucuk itu tak berdaya menghentikan pasukan
berkuda Manchu yang menyerang menyebar
lebar itu. Ketika perajurit-perajurit Manchu tiba
di tepian seberang, penembak-penembak Jepang menyambut dengan cara seperti ketika
menyongsong pasukan Pak Kiong Liong tadi.
Kembali sebagian perajurit-perajurit Manchu
berpelantingan dari atas kuda karena diterpa
peluru. Tapi sebagian lainnya terus menyerbu
dipimpin Tong Siau Beng sendiri, malah sempat membalas menembak sehingga pasukan
Jepangpun kehilangan sebagian perajurit
mereka ditembus peluiu. Tetapi setelah gelombang tentara kedua
betah pihak berpapasan dekat, bedil-bedil
berubah menjadi alat pemukul atau penikam
dengan bayonet-bayonet di ujungnya. Yang
sempat menghunus pedang atau tombak segera
mengulangi cara bertempur abad silam.
316 Onoshi Yozen dengan pedang di tangan
memimpin sendiri pasukannya bertahan di
bibir sungai. Menyusup-nyusup diantara
gemuruh kuda tunggangan perajurit-perajurit
Manchu, Onoshi mengelebatkan pedangnya ke
kanan dan kiri, tiap kali berhasil merobohkan
musuh satu demi satu. Darah tertumpah ke salju
dan langsung membeku atau meresap mewarnai salju.
Begitulah, pasukan Manchu yang menyergap
dari lereng bukit maupun dari tebing sungai
sama-sama membentur perlawanan yang
tadinya tidak mereka du-ga . Jauh berbeda
dengan ketika menyer-bu perkemahan Jepang
sebelumnya, dima-na perajurit-perajurit Jepang
masih me ngantuk dan kebingungan saat itu.
Mula-mula garis pertempuran masih jelas,
tapi karena perajurit kedua pihak saling
menerjang dan menyusup, maka merekapun
menjadi campuraduk. Pertempuran segera
menyebar ke mana-mana. perajurit-perajurit
Manchu tak sepenuh nya berhasil mengandalkan keunggulan bertempur di atas
317 kuda, sebab banyak dari mereka yang terpaksa
bertempur di atas tanah karena kuda
tunggangannya roboh diserampang musuh.
Memperhatikan semuanya itu, Pak Kiong
Liong menarik napas. Siasat "gempur dan lari"
yang direncanakannya ternyata macet, pertempuran menyebar dan campur-aduk
seperti itu pasti akan berjalan lama dan berla
rut-larut. Kalau pihak musuh kedatangan bala
bantuan dari perkemahan-perkemahan lain,
tentu pasukannya sendirilah yang bakal terbantai habis di tepi Sungai Hek-liong itu.
Mendadak timbul semacam pikiran yang
menyedihkan Pak Kiong Liong, "Benarkah aku
memang sudah pikun karena usia tua" Dulu
pernah juga mengalami kegagalan sebagai
pemimpin pasukan, tapi tidak separah ini.
Mungkinkah kurang tahu diri dan sudah harus
meng-undurkan diri dari jabatanku sekarang?"
Tentu saja Pak Kiong Liong tidak tahu bahwa
kesulitan pasukannya saat itu bukan karena ia
sudah pikun, tapi karena ada seorang perwira
bawahannya sendiri yang berkhianat. Kalau
318 bisa di sebut "kesalahan" Pak Kiong Liong hanyalah karena ia terlalu mempercayai orang
lain. Karena selama ini Ki Peng Lam adalah
seorang perwira yang baik dan terpercaya.
Pak Kiong Liong pun mengamuk di antara
pasukan musuh, tapi ilmunya yang tinggi itu
kurang berperanan dalam menentukan kalah
menang dari dua pasukan dalam pertempuran
massal itu. Seperti sering dikatakan kepada
perwira-perwiranya sendiri, "Biarpun seorang
pemimpin pasukan berhasil membunuh
berpuluh-puluh tentara musuh, tapi kalau
pasukannya sendiri kocar-kacir, dialah pemimpin perang yang kalah...." Dan
keadaannya saat itu persis seperti yang sering
dikatakannya sendiri. Kesulitan yang diderita pasukan Manchu
rasanya akan semakin berat, ketika seorang
perajurit Jepang tiba-tiba melepaskan kembang
api warna merah, menggores langit yang kelam.
Memang itulah tanda-tanda kesulitan. Tidak
jauh dari arena itu. ada dua perkemahan
perajurit Jepang lain-nya yang berjarak sekitar
319 enam Li. Masing-masing perkemahan, termasuk
yang sedang diserang, adalah bagian dari mata
rantai pertahanan yang disusun Jenderal
Hirasaki untuk mengamankan wilayah-wilayah
yang berhasil direbutnya dari Manchu. Jika satu
perkemahan diserang, perkemahanperkemahan paling dekat harus segera
membantu kalau mendapat isyarat.
Onoshi Yozen memerintahkan perajuritnya
melepaskan isyarat itu bukan karena
pasukannya terdesak, melainkan karena ia tidak
ingin pertempuran berla-rut-larut, dan ia ingin
segera menyelesaikan dengan mengundang
rekan rekan nya dari perkemahan terdekat.
Tak lama kemudian dari arah utara dan
selatan serempak muncul dua barisan obor
seperti rombongan kunang-kunang. Lalu
semakin dekat terlihat pula bendera bergambar
matahari semakin jelas. Merekapun langsung
menerjunkan diri ke gelanggang pertempuran.
Suasana maut terasa semakin kental di pihak
pasukan Manchu. Pak Kiong Liong sendiri sadar
pasukannya tak akan sanggup mengalahkan
320 pasukan lawan yang berjumlah empat atau lima
kali lipat itu. Maka iapun berteriak dengan
bahasa sandi, "Mundur ke bukit!"
Perajurit-perajurit Manchu pun secara
beranting menyampaikan perintah itu kepada
teman-teman mereka, dengan bahasa sandi
pula. Itu untuk menjaga siapa tahu ada perajurit
jepang yang paham bahasa Cina, agar tetap


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tahu tujuan pasukan Manchu.
Perajurit-perajurit Manchu yang masih
berkuda maupun yang sudah kehilangan kuda
serempak mendesak ke arah bukit. Biarpun
mereka berpencar-pencar di seluruh arena, tapi
karena berbareng mendesak ke satu arah, maka
terasa juga akibatnya. Seperti beras ditampi yang perlahan-lahan
mengumpul di pinggir tampan, begitu pula
mereka yang bertempur tiba tiba makin padat
di kaki bukit, sementara di bagian lain justru
semakin longggar. Tong Siau Beng tak bisa ikut
mundur, sebab ia gugur oleh pedang Onoshi
Yozen, sementara duel antara Hai Lun To
dengan Sasuke Kanamori belum juga selesai.
321 Tapi Hai Lun To harus bergeser searah dengan
gerak pasukannya. Pak Kiong Liong sudah mandi darah korbankorbannya, sebab ia dengan gigih berjuang
mencarikan jalan bagi perajurit-perajuritnya,
nyaris tidak mempedulikan keselamatannya
serdiri. Tapi pasukan musuh berlapis-lapis
tebalnya. Sejauh mata memandang, yang
nampak hanya ujung-ujung katana yang
berjumlah ribuan, gelung-gelung rambut para
samurai yang bertempur kesetanan, obor-obor
dan bendera-bendera musuh. Bendera Kerajaan
Manchu yang bergambar naga itu sudah tak
kelihatan lagi, kemungkinan besar si pembawa
bendera sudah gugur dan benderanya sendiri
terinjak injak oleh mereka yang sedang bertempur.
Dalam keadaan seperti itu, Pak Kiong Liong
mengertak gigi dan bertekad dalam hatinya,
"Mungkin inilah pengabdian terakhirku kepada
Kekaisaran. Biarpun aku harus mampus, harus
kubunuh kaum penyerbu ini sebanyak-banyaknya,"
322 Dengan tekad macam itu, malah tenteramlah
hati Pak Kiong Liong. la segera melompat turun
dari kuda, karena medan pertempuran sudah
demikian padat dan tidak memungkinkan lagi
untuk pertempuran berkuda. la bertempur,
sama gigihnya dengan perajurit-perajurit
Manchu yang tidak kenal kata berhenti sebelum
tubuh ambruk ditinggalkan nyawa. Pak Kiong
Liong melihat seorang perajurit Hui-Liong-kun
sudah terbabat putus sepasang kakinya, tapi
masih menggulingkan tubuh sambi1 membabatkan pedangnya. Perlawanan baru
berakhir ketika sebatang tombak Jepang
menyatukan tubuhnya dengan tanah berlapis
sal ju. "Maju terus, perajurit-perajurit perkasa!"
teriak Pak Kiong Liong diluar kesadarannya.
"Tunjukkan bagaimana Hui-Liong-kun bertempur sampai titik darah terakhir!"
Tanpa teriakan itupun perajurit-perajurit
Hui-Liong-kun sudah berkelahi seperti kesurupan setan, apalagi setelah mendengar
323 teriakan Pak Kiong Li ong semangat merekapun
menyala kian hebat. Tetapi Hai Lun To serta beberapa perwira
yang pakaiannya sudah robek-robek dan
berlumuran darah, rupanya bermaksud lain. Hai
Lun To mendekati Pak Kiong Liong dan berkata,
"Goan-swe, kami boleh gugur di sini, tapi Goanswe tidak boleh!"
Pak Kiong Liong membelalakkan mata
mendengar ucapan i tu. "Kau bilang apa tadi "!
Aku kau suruh kabur seperti anjing kena gebuk,
meninggalkan perajurit-perajuritku menyabung
nyawa sendiriadisini?"
Hai Lun To menyahut, "Goan-swe, kalau
Goan-swe nekad gugur di tempat ini, mungkin
Goan-swe akan puas. Tapi dengan demikian
Goan-swe telah melupakan satu hal yang lebih
penting yang masih harus dikerjakan oleh orang
hidup, bukan oleh orang mati."
"Apa?" 'Mendampingi dan mendukung Pangeran In
Te merebut tahta yang kini di-kangkangi orang
tak berhak yang dikeliling dorna-dorna
324 penyebar fitnah. Pertimbangkanlah, Goan-swe.
Kalah menang dalam pertempuran ini hanya
setitik debu kecil dalam perjalanan panjang
sejarah kekaisaran kita, tapi kalah menangnya
Pangeran In Te dalam perebutan tahta akan
berpengaruh sangat penting bagi masa depan
kekaisaran. Goan-swe pilih yang mana?"
Ucapan Hai Lun To itu seperti seember air
salju yang digebyurkan ke kepala Pak Kiong
Liong yang tengah panas oleh api kemarahan.
Memang tepat apa yang dikatakan Hai Lun To.
Benar Pangeran In Te punya angkatan perang
yang besar, namun menghadapi Kaisar Yong
Ceng yang licin dan dibantu Liong Ke Toh yang
kepalanya merupakan gudang akal bulus itu,
maka Pangeran In Te pun membutuhkan
pendamping yang juga punya otak. Siapa lagi
kalau bukan dirinya sendiri" Tapi Pak Kiong
Liong masih ragu-ragu, tidak tega meninggalkan
perajurit-perajuritnya menyabung nyawa lanpa
pimpinannya. "Goan-swe, marilah kami kawal ke-luar dari
neraka ini," desak Hai Lun To. "Kita memang
325 sayangkan gugurnya perajurit-perajurit kita,
tapi mereka akan gugur dengan terhormat dan
penuh kebanggaan. Arwah mereka akan lebih
kecewa kalau kekaisaran runtuh di tangan
seorang Kaisar lalim."
Pak Kiong Liong mengangguk, meski pun
hatinya bagaikan disayat. la harus lari
meninggalkan gelanggang, sementara perajuritperajuritnya menyongsong maut. Suatu
tindakan yang baru sekali dilakukan dalam
hidupnya. Dikawal Hai Lun To dan sekelompok
perajurit yang benar-benar siap berkorban
nyawa demi Pak Kiong Liong, Pak Kiong Liong
menerobos keluar dari kepungan musuh yang
berlapis-Iapis, Para pengawalnya roboh satu
demi satu, namun sisanya terus bertarung
seperti serigala kelaparan.
Pak Kiong Liong sendiri telah mengeluarkan
llmu Hwe-liong Sin-kang yang disalurkan ke
batang pedangnya, sehingga pedang itu nampak
Setiap membara ke-merah-merahan. serangannya bukan hanya membuat lawan
326 roboh, tetapi juga hangus. Begitulah jenderal
tua itu membuat pasukan musuh jadi gempar.
Untuk coba-coba memadamkan "neraka
berjalan" itu, beberapa perajurit musuh dengan
pikiran gampang-gampangan melemparlemparkan gumpalan-gumpalan salju ke arah
Pak Kiong Liong. Tetapi tiga atau empat langkah
sebelum menyentuh kulit Pak Kiong Liong,
gumpaIan salju sudah berubah menjadi uap air.
Keruan para samurai dari negeri matahari terbit
itu terlongong kaget melihat pameran ilmu
semacam itu. Gabungan antara ketinggian ilmu Pak Kiong
Liong dan keadaan Hai Lun To serta
sekelompok perwira yang inigin menye1amatkan Pak Kiong Liong, membuat
rombongan kecil itu tiba juga di tebing sungai
setelah melangkahi ratusan mayat musuh, Pak
Kiong Liong sudah man di keringat, rambut dan
kumisnya yang putih sudah separuh merah
terpercik darah dan awut-awutan. Sedang
keadaan Hai Lun To lebih mengenaskan lagi, na327
mun matanya memancarkan semangat yang
menyala. "Selamatkan perjuangan Pangeran In Te,
Goan swe," kata Hai Lun To da-tar tanpa gejolak.
"Mudah-mudahan kita masih bisa bertemu lagi."
Pak Kiong Liong sadar takkan melihat Hai
Lun To dalam keadaan hidup lagi,
digenggamnya tangan perwira itu erat-erat
sambil berkata, "Aku mengharap kita bisa
bertemu lagi......" Biarpun bukan orang cengeng, toh detik itu
Pak Kiong Liong harus berusaha sekuat tenaga
untuk tidak meneteskan air mata . Cepat ia
rnemalingkan muka, lalu meIompat menyeberangi es beku dipermukaan Sungai
Hek-liong. Beberapa perajurit musuh mencoba
mengejar dan hanya menjadi makanan empuk
Pak Kiong liong. Beberapa penembak membidik
punggung Pak Kiong Liong, tetapi yang dibidik
bergerak cepat seperti burung, menghilang di
hutan cemara di seberang sungai dan membuat
peluru-peluru hanya menghantam batangbatang pohon.
328 Sebelum melangkah lebih jauh, Pak Kiong
Liong menyempatkan diri untuk menoleh dan
melihat Hai Lun To terhuyung huyung karena
dibacok seorang prajurit Jepang, menyusul
sebatang tombak menancap di punggungnya.
Namun sebelum roboh, Ha i Lun To sempat
melambaikan tangan kepada Pak Kiong Liong
sambil tertawa lebar. Seorang perajurit Jepang berkata kepada
temannya, "Tadinya aku kira Bushide
(semangat ksatria) hanya ada di kalangan kita,
namun di daratan inipun kita temui orangorang demikian."
Temannya mengangguk menyetujui sambil
menatap mayat Hai Lun To yang tertelungkup
dengan tangkai tombak masih tegak di
punggungnya, "Sementara di antara kita
sendiripun tidak semua samurai berwatak
bushido, ada yang hanya pantas menjadi
seorang eta (kasta paling rendah) meskipun
resminya ada-lah samurai..,
Sementara itu Pak Kiong Liong semakin jauh
dari gelanggang pertempuran biarpun 329 kupingnya sayup-sayup masih menangkap
suara riuhnya pertempuran di belakangnya.
Sekali-sekaIi terdengar sorak-sorai perajurit
Jepang yang khas, dan Pak Kiong Liong
membayangkan perajurit-perajuritnya tentu
sedang di bantai . Jenderal tua itu melangkah cepat sampai
matahari muncul di cakrawala timur. Betapa
tangguh ilmu silatnya, namun dalam usia yang
mendekati tujuh puluh tahun itu membuat
tenaganya habis. I.ebih-lebih ketegangan dan
kesedihan hampir semalam suntuk juga ikut
memper cepat habisnya daya tahannya.
Langkah nya mulai terhuyung-huyung, dan
akhir-nya jatuh pingsan di pegunungan salju
yang sunyi itu. Pak Kiong Liong tak tahu berapa lama ia
pingsan, hanya ketika matanya terbuka, iapun
heran. Dirinya tidak terkapar di pegunungan
dengan berselimut salju beku, tapi di atas
pembaring an dan di bawah sehelai selimut
hangat, biarpun selimut itu bertambal-tambaI
dan berbau agak apek karena tua nya. la berada
330 di lingkungan dinding-dinding dan atap yang
terbuat dari batang-batang pohon cemara yang
dikuliti, sebuah gubuk yang sederhana namun
kokoh dan memberi kehangatan.
Di salah satu bagian dinding, bergantungan
kuIit macam-macam binatang yang dikeringkan,
peralatan dalam gubuk menunjukkan itulah
kediaman seorang pemburu.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suasana gubuk itu melayangkan ingatan Pak
Kiong Liong ke masa mudanya, namun di
tempat yang berada di wilayah Hun-lam, ribuan
mil dari tempatnya sekarang. Di gubuk di Hunlam yang bercuaca panas lembab itulah la dulu
ber-temu dan bersahabat dengan Tong Lam
Hou yang kini bahkan menjadi besannya.
Akankah klni aku menemui "Tong Lam Hou
ke dua?" pikirnya. Mendadak dari luar gubuk
terdengar suara kaki-kaki menglnjak salju dan
juga percakapan beberapa orang. Suara-suara
dari lelaki dewasa, perempuan dan seorang
anak. Tentunya keluar ga penghuni gubuk itu.
Pintu gubuk didorong dari luar dan muncul
tiga orang sesuai dugaan Pak Kiong Liong.
331 Seorang lelaki tegap berusia empatpuluh tahun
yang tubuhnya terbungkus pakaian bulu
binatang tebal penahan dingin, begitu pula
kepalanya dengan topi bulu. Yang perempuan
juga berpakaian bulu tebal, tubuhnya agak
tegap dan kasar karena sudah biasa bekerja di
tengah alam yang kurang ramah, usianya sebaya
dengan yang lelaki. Sedanag dibelakangng
mereka ada seorang bocah lelaki berusia kirakira empatbelas tahun yang bermata lebar dan
nampak berani. Ketiganya berpakaian dan
bertampang orang suku Manchu asli, penduduk
di wilayah timur laut itu,
Melihat Pak Kiong Liong sudah siuman dan
setengah duduk di atas pernbaringannya, tiga
orang itu cepat-cepat berlutut memberi hormat,
sementara lelaki itu mewakili bicara pihaknya,
"Kami sekeluarga mohon maaf karena telah
lancang membawa tubuh Tai-jin (tuan
pembesar) ke gubuk kami yang tidak layak ini.
Hamba yang menemukan tubuh Tai-jin kemarin
petang......" 332 Bersambung Jilid VI 333 334 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilid VI "Pak Kiong Liong bisa maklum kenapa
orang-orang ini memanggilnya Tai-jin, sebab
dirinya masih memakai pakaian sebagai
Jenderal Manchu, biarpun sudah robek-robek.
Cepat Pak. Kiong Liong berkata, "Bangunlah.
Mana bisa aku menyalahkan kalian, sedangkan
kalian menyelamatkan aku yang hampir
membeku di salju" Aku justru amat berterima
kasih kepada kalian"
Keluarga kecil itu bangun dengan sikap lega
melihat sikap Pak Kiong Liong. Ketika Pak Kiong
Liong menanyakan nama mereka, si lelaki
dewasa menjawab ia bernama Wan Hong,
isterinya biasa dipanggil Lam Si dan bocah keci1
lelak itu bernama Wan Lui atau A-lui. Usia dan
gerak-gerik bocah itu agak mengingatkan Pak
Kiong Liong akan sepasang cucu kembarnya
335 yang tinggal di Tiau-im-hong bersama kakek
dalamnya, Ketua Hwe-Liong-pang Tong Lam
Hou. Hanya saja Wan Lui lebih tua dua tiga
tahun dari kedua cucu Pak Kiong Liong itu.
Ketika Lam Si kemudian sibuk dibelakang
menyiapkan hidangan, lalu mempersilakan Pak
Kiong Liong untuk bersantap, Pak Kiong Liong
tidak menolak-nya. Mula-mula keluarga itu
menolak di ajak makan semeja dengan Pak
Kiong Liong karena merasa kurang hormat,
namun karna Pak Kiong Liong terus membujuk,
akhirnya keempat orang itupun mengitari meja
makan dalam suasana kekeluargaan.
"Saudara Wan," kata Pak Kiong Liong
kemudian. "Jauhkah rumahmu ini dari Sungai
Hek-Liong?" "Tidak terlalu jauh, kira-kira limapuluh atau
enampuluh li. Biasanya hamba juga berburu
sampai ke Sana, Tapi sejak perang berkecamuk,
aku tidak berani lagi mendekati sungai itu. Di
seberang sungai sudah dikuasai pasukan asing
yang bersikap ganas terhadap rakyat seperti
kami ini...." 336 . Pak Kiong Liong bisa maklum kenapa orang-orang ini
memanggilnya Tai-jin, sebab dirinya masib
memakai pakaian sebagai Jenderal Manchu 337 "Apakah saudara mendengar kabar tentang
pertempuran di tepi Sungai Hek-Iiong?"
"Ya, ada juga kabar itu. Tadi hamba baru saja
datang ke desa terdekat, ada seorang pedagang
jin-som kenalan hamba yang membawa kabar
bahwa dua mlam yang lalu terjadi pertempuran
di pinggir Sungai Hek-liong. Sepasukan tentara
kita menyerbu pertahanan musuh, tetapi
kabarnya.... kabarnya..." Wan Hong ragu-ragu
untuk melanjutkan omongannya .
Sebenarnya Pak Kiong Liong sudah paham
bagaimana nasib pasukan yg ditinggalkannya
itu, namun wajahnya tegang juga mendengar
penuturan Wan Hong itu. "Bagaimana
kabarnya?" Dia mendesak.
Wan Hong menjawab sambil menunduk,
"Sungguh kabar buruk, Taijin. Pasukan kita
tertumpas habis tanpa sisa seorangpun,
kabarnya karena pasukan musuh kedatangan
bala bantuan berlimpah, dan pasukan kita tidak
sempat mundur ke tepi barat Sungai Hekliong...."
338 Tinju Pak Kiong Liong terkepal dan giginya
gemeretak menahan gelonbang hatinya yang
melonjak. Katanya gemetar, "Perajurit-perajurit
yang gagah berani, seiamat jalan....."
Hari itu dilewati oleh Pak Kiong Liong dalam
suasana duka. Diberiinya Wan Hong setahil
emas dan dimintanya tolong Wan Hong pergi ke
desa terdekat untuk membeli sesajian
sembahyang seperti buah-buahan, lilin, dupa
biting dan lain-lainnya. Setelah semuanya tersedia, di halaman
gubuk Wan Hong, Pak Kiong Liong mengatur
meja sembahyang menghadap timur, ke arah
Sungai Hek-liong dimana ribuan perajuritnya
habis dalam waktu semalam saja. Jenderal tua
itu dengan khidmat bersembahyang dan
bersujud ke arah itu, tak tertahan lagi air matanya mengalir deras selama upcara itu.
Wan Hong dan keluarganyapun ikut
bersembahyang sebagai penghonnatan terhadap arwah perajurit-perajurit kekaisaran yang
gugur membela negara. 339 "Terima kasih," kata Pak Kiong L ong kepada
Wan Hong sekeluarga seusai upacara. "Aku
memang sedih, tetapi kematian perajuritperajurit itu bukan-nya tanpa arti sama
sekali...." Sahut Wan Hong, "Benar. Setidak-tidaknya
pasukan musuh yang selama ini belum pernah
mendapat perlawanan berarti, sekarang harus
tahu bahwa kitapun memiliki perajuritperajurit yang tangguh. Hamba pun merasa
bangga...." Pak Kiong Liong cepat menukas omongan itu
"Saudara Wan, maukah kau hilangkan sebutan
'hamba' dan 'Taijin" di antara kita" Kau
mungkin sebaya dengan anakku , kau boleh
anggap aku sebagai pamanmu saja. Bagaimana?" Wan Hong menyahut tergagap-gagap,
"Hamba.... hamba tidak berani. Taijin adalah
keturunan keluarga Pak Kiong yang termasuk
kerabat istana sejak jaman Kim-thai-cong yang
agung...." 340 "Ai, kau ini orang kolot yang suka berteletele dengar. silsilah lapuk," gerutu Pak Kiong
liong. Lalu kepada Wan Lui dia bertanya, "A-lui,
apa kah kau juga akan bersikap bertele-tele
seperti ayahmu?" Mata lebar Wan Lui menatap Pak Kiong
Liong dengar. berani, lalu menyahut sambil
menyeringai, "Aku akan memanggilmu dengan
kakek saja boleh?" Sesaat Pak Kiong Liong melupakan
kesedihannya karena senanq melihat sikap Wan
Lui itu. Ditepuknya pundak anak itu sambil
tersenyum, "Bagus, anak yang berani. Apa citacitamu kelak?"
"Menjadi Jenderal seperti kakek, untuk
menggempur musuh yang berani mengacau
negeri kita!" Pak Kiong Liong tertawa semakin lebar,
ditariknya tangan Wan Lui. "Hebat, itu baru
anak laki-laki. Mari kakek ajarkan sesuatu
kepadamu." "Apa, kakek?" 341 "llmu silat. Masa seorang calon Jenderal tidak
bisa bermain silat?"
Wan Lui melonjak kegirangan, tapi tak lupa
memohon ijin kedua orang tua-nya, tidak
dengan kata-kata tetapi cukup dengan sorot
matanya, barulah Wan Lui berlari-lari
mengikuti Pak Kiong Liong ke belakang rumah.
Kurang dari sehari Pak Kiong Liong
mengenal Wan Lui, dia sudah menyayangi anak
itu seperti terhadap cucunya sendiri. Sinar mata
anak itu menyiratkan keberanian, kecerdasan
dan kejujuran, bentuk tubuhnya agak besar dan
tegap mendahului umurnya, agaknya karena
biasa membantu kedua orang tuanya bekerja
keras. Gerak-geriknya membayang tenaga hidup
yang berlebihan tersimpan di tubuhnya, dan
Pak Kiong Liong ingin mengajarkan bagaimana
menggunakan tenaga itu. Beberapa hari Pak Kiong Liong merasa betah
tinggal di tengah keluarga pemburu yang
menyenangkan itu. Sebenar nya Pak Kiong
Liong sengaja tinggal di situ agak lama agar
dapat mengamati suasana garis depan,
342 sekaligus ingin meIihat bagaimana cara Ni Keng
Giau hendak menghadapi pasukan Jepang yang
kuat dan terampil itu. Kadang-kadang Pak Kiong
Liong bersama Wan Hong mengunjungi desa
terdekat untuk mencari kabar-kabar peperangan. Banyak desa sudah kosong karena
ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tetapi
desa di kaki gunung itu masih berpenghuni, dan
sebuah titik lalu-lintas yang cukup ramai
sehingga bermacam-macam berita dapat
didengar dari orang lewat. Orang-orang yang
masih bertahan tinggal di desa itu umumnya
adalah orang-orang yang demikian miskin
sehingga merasa tak ada gunanya lari, toh tidak
ada yang cukup berharga milik mereka untuk
dirampok.. Pak Kiong Liong yang sudah berpengalaman
"bermain" di atas panggung kekuasaan, sadar
bahwa kelambatan datang nya pasukan Ni Keng
Giau itu disengaja, supaya ia dan pasukannya
hancur lebih dulu dihadapan pasukan Jepang. Ni
Keng Giau pun tentu bertindak demikian pasti
bukan karena kehendak sendiri. Pak Kiong
343 Liong sadar , dirinya dihadapan mata Kaisar
Yong Ceng adalah duri dalam daging yang harus
dilenyapkan . Hal lain yang membuat Pak Kiong Liong
betah di gubuk Wan Hong itu adalah si bocah
Wan Lui. Mungkin karena terdorong kerinduan
seorang kakek kepada cucu-cucunya yang jauh,
rasa sayang nya dilimpahkan kepada Wan Lui.
Dalam waktu yang terhitung singkat, ia menco
ba "mengisi" Wan Lui dengan dasar-dasar
Thian-Liong-kun-hoat (llmu Pukulan Naga
Langit). Baru dasar-dasarnya dan belum jurusjurusnya. Baru bentuk kuda kuda, pukulan dan
tendangan dasar, cara bernapas mengerahkan
tenaga, cara melangkah yang sebenarnya tidak
gampang. Tapi Wan Lui tidak mengecewakannya.
Seandainya Pak Kiong Liong bukan seorang
Jenderal yang senantiasa diburu urusan
penting, ingin rasanya tinggal lebih lama di
tempat tenang itu. Wan Lui telah mengikat


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya, ia ingin menurunkan seluruh ilmunya
kepada anak itu, tapi waktunya terlalu sempit.
344 Kemudian Pak Kiong Liong menemukan akal
untuk menurunkan ilmu tanpa harus tinggal
lama di tempat itu. la beli buku kosong, tinta
dan pena di desa terdekat. Setiap malam, kalau
keluarga Wan Hong sudah dipeluk mimpi, Pak
Kiong Liong masih berjaga di ruangan depan
dan ditemani pelita yang berkelap-kelip di meja
kasar kayu cemara. Huruf demi huruf di
goreskannya ke lembaran-iembaran buku
kosong itu, kadang kadang diIengkapinya
dengan gambar-gambar sederhana karena Pak
Kiong Liong bukan ahli melukis, namun cukup
jelas Di buku kosong itu yang dituliskannya
bukan saja Thian-Liong-kun-hoat, tapi juga
Thian-Liong-kiam-hoat dan bahkan ilmu
tertingginya, Hwe-Liong-sin-kang , meskipun
disertai pesan tegas bahwa Hwe-Liong-sin-kang
baru boleh dipelajari setelah usia enambelas
tahun, tidak boleh kurang dari itu. Juga setelah
ilmu pukulan, ilmu pedang dan ilmu
pernapasannya cukup kokoh terpupuk.
Lembar-lembar kosong yang tersisa ditulisinya dengan pengetahuan pelengkap
345 seperti tata pemerintahan, cara me ngatur
pasukan di medan perang yang dibumbui
dengan pengalaman Pak Kiong Li-ong sendiri,
dan budi pekerti yang luhur. Pak Kiong Liong
mengharap Wan Lui akan "melalap" buku itu
dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun
mengingat kecerdasannya. la berharap pula
sepuluh tahun mendatang akan lahir seorang
tokoh tangguh yang berguna bagi kemanusiaan
dan Kekaisaran. Beberapa hari kemudian. ketika Pak Kiong
Liong tengah melatih Wan Lui di belakang
rumah, Wan Hong yang baru pulang dari desa
untuk menukarkan kulit-kulit binatang buruan
dengan uang dan beberapa barang keperluan,
langsung menemui Pak Kiong Liong dan berka
ta dengan berkobar-kobar, "Taijin! Taijin!
Sekarang mampuslah musuh-musuh ke
kaisaran kita!" "Ada apa?" tanya Pak Kiong Liong.
"Pasukan besar kita sudah tiba , dipimpin
Jenceral Ni Keng Giau! Temanku yang baru
pulang dari Liao-yang be" cerita bahwa pasukan
346 itu demikian besarnya sehingga seperti iringan
semut keluar dari liangnya! Entah berapa ratus
perajurit yang dikerahkan oleh Jenderal Ni itu!"
Dalam urusan politik dalam negeri, Ni Keng
Giau adalah lawan Pak Kiong Liong. Tapi
menghadapi serbuan dari luar, Pak Kiong Liong
mengharapkan Ni Keng Giau berhasiI mengusir
Jenderal Hirasaki dari dataran Liau-tong.
Namun Pak Kiong Liong ragu-ragu, apakah
jumlah yang besar menjamin kemenangan" Dia
yakin dalam pasukan Ni Keng Giau tentu ada
penembak-penembak bedil, namun sanggupkah
menghadapi perajurit-perajurit Jepang yang
dalam menggunakan bedil bukan saja
mengandalkan jumlah, tapi juga sudah mahir
berperang gaya Eropa" Tiba-tiba Pak Kiong
Liong terdorong keinginan untuk "mengunjungi" garis dpan untuk melihat bagaimana
cara Ni Keng Giau menghadapi pasukan Jepang.
Tapi itu berarti perpisahan dengan keluarga
Wan Hong yang selama ini sudah seperti
keluarganya. Ketika ia menoleh kepada Wan
Lui, maka anak itu-pun dengan matanya yang
347 bulat tengah menatapnya. Bahkan anak itu
berkata, "Kakek tentu ingin pergi" Pergilah.
Kami tahu suatu hari kakek pasti akan
meninggalkan kami, karena kakek adalah
seorang jenderal yang memikul tugas mulia
demi kekaisaran..." Pak Kiong Liong memegang kepala anak itu
dan berkata, "Anak baik, kakek yakin kau tidak
akan menangis. Betul tidak?"
Wan Lui menggelengkan kepalanya keraskeras. "Seorang calon jenderai gagah perkasa
seperti kakek, tidak patut mencucurkan air
mata...." Biarpun mulutnya bilang begitu, toh
mata anak itu sudah berkaca-kaca dan
mulutnya mewek-mewek.....
Tak tertahan lagi Pak Kiong Liong meraih
kepala anak itu dan mendekapkan erat-erat ke
dadanya. Kemudian dilepaskannya sambiI
berkata, "Sepeninggal kakek, berlatihlah terus,
Jenderal keciIku. Kekaisaran ini menunggu
darma baktimu. Oh, ya, ada hadiah untukmu."
Pak Kiong Liong masuk ke gubuk di ikuti
Wan Hong dan Wan Lui. Dari bawah alas
348 pembaringannya, Pak Kiong Liong mengambil
buku hasil tulisannya selama beberapa malam
ini. Diserahkannya kepada Wan Lui sambil
berkata, "Pelajari' isi buku ini, A-lui. Kepergian
kakek tidak berarti pelajaranmu terhenti. Kau
bisa membaca, bukan?"
Wan Lui kembali mengusap matanya, lalu
menerima buku itu. "Kakek, pemberian ini
bukan berarti kita tak akan bertemu lagi,
bukankah begitu?" "Tentu. Bukankah kau cucuku dan sekaligus
pewaris ilmuku?" Malam itu, digubuk sederhana itu
berlangsung perjamuan perpisahan yang
sederhana namun hangat. Hidangan suguhan
Lam Si tentu saja jauh kalah dari hidangan
rumah makan-rumah makan di Pak-khia, tapi
kehangatan dan keakraban itu juga takkan
didapati di rumah makan terbaik sekalipun di
Pak-khia. Pak Kiong Liong dengan lahap
menghabiskan apa saja yang disuguhkan
kepadanya, membuat Lam Si sebagai jurumasak merasa bangga juga. Sehabis makan,
349 mereka bercakap-cakap sampai jauh malam,
dan kemudian menuju tempat tidur masingmasing.
Pak Kiong Liong yang tidur di bagian depan
gubuk, ketika malam larut tiba-tiba merasa
tubuhnya diraba seseorang. Sambil tetap
berpura-pura tidur, ia melirikkan matanya
tanpa kentara. Ternyata Wan Lui si bocah
dengan gerakan hati-hati menyelimutkan sehelai selimut ke tubuh Pak Kiong Liong, lalu
dengan langkah berjingkat-jingkat karena
mengira Pak Kiong Liong masih tidur, anak itu
kembaIi ke pembaringan nya sendiri di ruangan
belakang. Pak Kiong Liong tersenyum sendiri .
Berpuluh-puluh tahun yang silam, dalam
sebuah gubuk yang sama sederhana nya di
lereng gunung Tiam-jong-san di Propinsi Hunlam, dia juga meresapi kehangatan antar
manusia macam itu. Di sana ia menemukan satu
"bibi" dan satu "saudara", sedang di sini ia
dapatkan dua "keponakan" dan satu "cucu"
yang begitu baik. Kenapa hanya di gubuk-gubuk
350 reyot ini baru bisa ditemukan kemanusiaan
aseli" Kenapa tidak di istana-istana yang
gemerlapan milik para pemimpin yang konon
lebih "terdidik" dan "beradab?" Di tempattempat indah itu ternyata cuma ada kebusukan,
kedengkian dan saling menyikut antara
keluarga dan "kalau diperlukan" maka
membunuh-pun menjadi halal" Apa ini watak
umum manusia" Sesama hanya dibutuhkan
dalam kesulitan, tapi setelah di puncak kejayaan
maka orang lainpun dianggap saingan yang
mesti didepak" Apakah harta dan kedudukan
menjadi "dewa" yang lebih dipentingkan dari
sesama" Fajar menyingsing dan perpisahan tak
terhindari. Sebelum melangkah pergi, Pak Kiong
Liong berkata kepada Wan Lui , "A-lui, kalau
kelak kau bepergian dan bertemu dengan anak
laki-laki kembar yang kira-kira lebih muda dua
tahun daripadamu, bernama Tong San Hong
dan Tong Hai Long, kau boleh anggap mereka
sebagai saudara-saudaramu ."
"Tong San Hong dan Tong Hai Long?"
351 "BetuI. Mereka adalah cucu-cucu kakek,
sedang kaupun kuanggap cucuku juga, nah,
bukankah kalian bertiga jadi saudara?" kata Pak
Kiong Liong. "Kedua saudaramu itu, sesuai
dengan nama-nya masing-masing, yang satu San
Hong (puncak gunung) dan satunya Hai Long
(gelombang samudera), ternyata sifat merekapun cocok dengan namanya. San Hong
seorang anak yang tenang, diam, keras dan
mirip puncak gunung betul betul. Sedang
saudara kembarnya adalah seorang anak yang
senantiasa usil dan gemar bergerak, seperti
ombak samudera "Menyenangkan sekali punya saudarasaudara semacam mereka, kakek...."
"Dan kau sendiri bernama Lui (guntur)....."
Kemudian dengan saling melambaikan
tangan Kedua pihakpun berpisah.
Pak Kiong Liong tidak mengenakan seragam
panglimanya, melainkan berpakaian seperti
orang gunung, dengan caping lebar menudungi
kepala dan wajah-nya. Maka ia nampak seperti
seorang pengungsi tua sebatang kara, bedanya,
352 kalau pengungsi-pengungsi lain menjauhi
medan perang, "pengungsi" yang satu ini malah
mendekatinya. Kalau jalanan ramai, Pak Kiong
Liong berjalan terbungkuk-bungkuk dibantu
sebatang tongkat, berperan sebagai seorang
kakek yang loyo. Tapi kalau jalanan sepi , ia
melangkah bagaikan kilat menyaingi lari nya
seekor kuda. Karena itu, sehari kemudian
diapun sudah tiba di Liao-yang, pemusatan
pasukan Ni Keng Giau. Begitu masuk kota, segera dirasakannya
suasana perang di mana-mana, perajuritperajurit Manchu hilir mudik memenuhi kota
dengan senjata-senjata terpanggul. Penduduk
sipil terlihat jarang, sebagian besar sudah
mengungsi ke garis belakang di kota Jiat-ho atau
Thian-cin yang bentengnya lebih kuat.
Terasa perutnya lapar, Pak Kiong Liong
membelokkan langkah ke dalam sebuah warung
murahan di tepi jalan, yang dalamnya penuh
berdesakan dengan para perajurit yang sedang
menenggak arak, asap dari bagian dapur
353 bergulung masuk ruangan depan sehingga mata
terasa pedas. Masuknya Pak Kiong Liong yang be, pakaian
kumuh dan berjalan terbungkuk-bungkuk
dibantu tongkat itu kurang menarik perhatian.
Tapi setelah Pak Kiong Liong mengambil tempat
duduk, si pemilik warung mendekatinya juga
dan bertanya, "Hendak makan apa, kek?"
Sengaja Pak Kiong Liong menggetar kan
suaranya seperti umumnya suara orang tua
yang loyo, "Minta semangkuk bubur ayam
hangat dan sepoci teh hangat pula....."
Pesanan si "kakek pengungsi" yang
nampaknya sangat memelas itupun segera
diambilkan. Kemudian pemilik warung itu
sendiri agaknya sedekit lega untuk bercakapcakap sinqkat dengan Pak Kiong Liong. "Kau
darimana, kek?" Sambil perlahan-lahan mengunyah bubur
ayamnya, Pak Kiong Liong menyahut, "Dari
sebuah desa kira-kira tiga-puluh li dari sini. Aku
mengungsi Ke kota ini karena iebih aman."
354 "Wah, itu bukan jarak yang dekat untuk
orang seusia kakek. Kakek sendirian?"
"Berangkatnya bersama beberapa orang
sekampung, tetapi mereka hendak terus ke Jiatho, karena aku tidak kuat berjalan sejauh itu,
akupun memutus kan untuk berlindung di kota
ini saja. Toh rasanya tempat ini cukup aman
biar pun berdekatan dengan medan perang, ka
rena di sini ada pasukan besar yang baru datang
dari Pak-khia. Benarkah?"
"Benar. Besok pagi, pasukan kita akan mulai
menggempur musuh yang berderet-deret di
tebing timur Sungai Hek-liong ."
"Mudah-mudahan pasukan kita menang,


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga para pengungsi bisa kembali ke sawah
ladang mereka kembali dan bekerja seperti
biasanya." "Ya,mudah-mudahan, kek, biarpun kabarnya
pasukan musuhpun amat kuat" si pemilik
warung itu hampir saja mengoceh panjang
lebar, namun tiba-tiba berkata, "Eh, sebentar ya,
kek" Ada tamu yang harus kulayani.."
355 Beberapa perwira berjalan masuk ke warung
itu. Perajurit-perajurit rendahan yang lebih dulu
sudah ada di dalam warung segera bangkit
memberi hormat dan menyapa dengan
beberapa patah kata basa-basi.
Pertempuran belum benar-benar ber
langsung, namun lagak para perwira itu sudah
seperti pahlawan-pahlawan besar yang berhak
mendapat pelayanan sebaik-baiknya. Sebelah
kaki dinaikkan ke atas bangku, lalu berteriakteriak minta makanan dan minuman. Lalu
mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa
sesama mereka sehingga seluruh warung hanya
kedengaran suara mereka. Pak Kiong Liong menundukkan kepala
dalam-dalam sehingga wajahnya yang cukup
terkenal di Pak-khia itu tak gampang
diperhatikan, sementara kedua kupingnya
justru dibuka lebar-lebar untuk menangkap
percakapan perwi ra-perwi ra itu.
"Kesombongan Hui-Liong-kun sekarang
sudah runtuh!" kata seorang perwira berjenggot
pendek kaku seperti ijuk. Di Pak-khia lagak
356 mereka seolah tidak ada tandingannya, tetapi di
medan perang ini, huh, ternyata mereka seperti
nenek-nenek pikun yang tak berguna
sedikitpun!" "Benar.Dulu di Pak-khia mereka berkelakuan
seperti orang-oranq gila, berkeliling-keliling
kota menunggang kuda dan menembakkan
bedil-bedil keatas, melambai - lambaikan
pedang dan tombak. Seandainya saat itu tidak
ada perintah Jenderal Ni untuk tidak bertindak,
ingin rasanya aku menghajar mereka."
"Sekarang mereka kena batunya, ditumpas
oleh orang-orang Jepang dan menjadi makanan
ikan di dasar Sungai Hek-liong. Sedang
Panglima yang mereka bangga-banggakan, Pak
Kiong Liong, kabarnya lari terbirit-birit dari
medan perang seperti anjing kena gebuk. Haha-ha ......!"
Demikianlah mereka bercakap, tertawa,
memaki-maki dan menyumpal mulut dengan
makanan. Andaikata hal itu terjadi dulu ketika Pak
Kiong Liong masih muda dan berdarah panas,
357 perwira-perwira bawahan Ni Keng Giau itu
tentu sudah dihajarnya semua. Tapi dalam usia
mendekati tujuhpuluh tahun, Pak Kiong Liong
tidak gampang marah. la memanggil pemilik
warung mendekat untuk menanyakan harga
makanan dan minuman pesanannya, lalu
membayarnya. Namun ketika ia mengeluarkan kantong
uangnya, si perwira berkumis kaku kebetulan
melihatnya, bahkan langsung dapat menaksir
bahwa isi kantong itu cukup bernilai. Timbul
pikiran jahat-nya untuk merampas milik "kakek
pengungsi" itu, tetapi ia ingin turun-tangan
sendiri saja tanpa mengajak teman temannya,
supaya dapat dimiliki semuanya tanpa harus
membagi-bagi dengan teman-temannya.
Begitu melihat Pak Kiong Liong me
ninggalkan warung, perwira itupun meninggalkan warung setelah memberi suatu
alasan kepada teman-temannya. Ditinggalkannya uang untuk membayar makan
minumnya sendiri, lalu ia bergegas menyusul
Pak Kiong Liong. 358 Ketika melihat buruannya melanggkah
tertatih-tatih masuk sebuah lorong yang sepi, si
perwira brewok bersorak dalam hati. Sambi1
menggcsok-gosok tinjunya ia berpikir, "Bagus,
aku akan mendapat tambahan isi untuk kantong
uangku. Lalu kakek itu harus ku mampus-kan
agar tidak melaporkannya kepada atasanku.. . ."
Demi mendapat uang beberapa tail, ia takkan
segan-segan menyelesaikan nyawa seorang
yang seharusnya patut disegani. Ini tidak
mengherankan, sebab perwira itu bukan lain
adalah Ho Thian Ek yang berjulukan Tiat-jiohui-hou (Macan Terbang Bertombak Besi), si
bekas penjahat yang dulu hampir digantung di
kota Tay-tong dan kemudian diselamatkan oleh
Ni Keng Giau. Kini, biarpun ia berpakaian
perajurit, mentalnya tetap mental bandit yang
suka merugikan orang lain. Dalam memperkuat
ba-risan menghadapi Pangeran In Te, Kaisar
Yong Ceng tak segan-segan menambah tenaga
darimanapun asalnya. Para pendekar sejati
boleh, bandit juga tidak jadi soal, Ksatria dan
bajingan bercam-pur aduk dalam satu barisan.
359 Setelah cukup jauh dari jalanan, ramai, Ho Thian Ek mempercepat langkah nya untuk
menghadang si "kakek pengungsi" dan
membentak, "Orang tua, cepat serahkan
kantong uangmu. Kau takkan membutuhkan
uang di lubang kubur!"
Pak Kiong Liong mempertahankan peranannya sebagai seorang tua yang lemah.
Dengan tubuh menggigil ia berkata, "Tuan
perwira, bukankah tugas tuan justru melindungi
orang-orang lemah seperti aku ini" Bukan
malah merampas dan....."
"Tutup mulutmu! Cepat serahkan uangmu,
atau aku harus mematah-matahkan tulang
karatanmu?" Ho Thian Ek melangkah maju
sambil menggoyang-goyangkan tinjunya di
depan hidung Pak Kiong Liong.
Pak Kiong Liong mundur-mundur ketakutan
sambil berkata, "Jangan.......jangan. Kalau tuan
merampas uangku, aku akan melapor kepada
Jenderal Ni!" 360 "Orang tua, cepat serahkan kantong u-angmu.
Kau takkan membutuhkan uang di
lubang kubur!" 361 Memang Ho Thian Ek paling takut kalau
dilaporkan Ni Keng Giau yang menerapkan tata
tertib amat keras itu. Kalau benar laporan kelakukannya sampai
ke kuping Ni Keng Giau, rasanya batok
kepalanya susah dipertahankan lagi . Karena itu
semakin teballah niat-nya untuk membunuh si
"kakek pengung si" itu sekalian.
"Kau takkan dapat melapor kepada Jenderal
Ni , kakek malang, tapi laporkan saja kepada
Giam-lo-ong (Raja Akherat)."
Lalu tinjunya meluncur dengan segenap
tenaga ke dada si "kakek pengungsi" dengan
keyakinan sekali pukul saja korbannya akan
terkapar mampus dengan tulang-tulang
berantakan. Detik itulah si "kakek pengungsi" menegakkan tubuhnya, ternyata tubuhnya
tegap kekar dan bukannya bongkok lagi.
Dengan gerakan amat santai, tinju Ho Thian Ek
telah masuk ke telapak tangan nya dan terjepit
di antara jari-jari tangannya. Tenaga yang
dikerahkan Ho Thian Ek sia-sia belaka,
362 membuat si bekas bandit itu kabur
semangatnya. Dengan tangan yang sebelah lagi , Pak Kiong
Liong melepas capingnya dan berkata dingin,
"Anjing penggigit rakyat, coba lihat siapa aku!"
"Pak Kiong Goan-swe!" Ho Thian Ek
tergagap-gagap ketakutan. "Aku tidak tahu
kalau..,. kalau.... yang kuikuti adalah.... Goan-swe.
Ampun.... ampun." Pak Kiong Liong benar-benar gemas
terhadap tingkah Ho Thian Ek yang sewenangwenang terhadap rakyat yang tengah ditimpa
kemalangan. Tenaganya dikerahkan ke jarijarinya sampai timbul suara gemeretak
berbarengan dengan 1olongan kesakitan Ho
Thian Ek yang tulang pergelangan tangannya
teremas hancur. Si perwira bekas bandit itu
muka-nya memucat dan dahinya basah kuyup
dengan keringat dingin karena menahan sakit.
"Ampun.... ampun.... Goan-swe..."
Belakangan itu memang Pak Kiong Liong
berubah menjadi orang yang gampang marah
karena peristiwa-peristiwa pahit yang 363 dialaminya berturut-turut, sejak In Ceng naik
tahta sampai tertumpasnya pasukannya di tepi
Sungai Hek-liong. Rintihan Ho Thian Ek tak
digubrisnya. Pergelangan tangannya yang lain
serta dua pundaknyapun diremas hancur,
sehingga selanjutnya Ho Thian tidak bisa
bersilat lagi, paling-paling melakukannya
sebagai gerak badan ringan tanpa tenaga.
Berarti kedudukannyapun yang empuk sebagai
bawahan Ni Keng Giau ikut lenyap pula, mana
mungkin seorang yang tak mampu bertempur
lagi dipertahankan kedudukannya sebagai
perwira" Mengingat masa depannya yang hancur, Ho
Thian Ek bukan saja takut dan sakit, tapi juga
sedih. Airmatanya sampai bercucuran ketika ia
berkata, "Goan- swe, kejam benar kau
terhadapku. Pernah bersalah apa aku
terhadapmu?" Sahut Pak Kiong Liong dingin , "Dan pernah
bersalah apa kepadamu orang-orang lemah
yang kau rampas hartanya, bahkan riyawatnya"
Aku cukup murah hati tidak mencabut
364 nyawamu, hanya menghobiskan modalmu
untuk bertindak sewenany-wenang!"
Lalu Pak Kiong Liong melangkah meninggalkan Ho Thian Ek yang merintih-rintih
dan akhirnya pingsan karena tak tahan lagi rasa
sakit di tulang-tulang nya yang remuk. Ketika ia
diketemukan oleh teman-temannya dan
digotong ke markas, diapun kemudian bercerita
sambil menangis, katanya telah bertemu dengan
Pak Kiong Liong yang langsung menyiksanya,
padahal ia "tidak tahu apa salahnya" ....
Mendengar laporan bahwa Pak Kiong Liong
muncul di dalam kota, Ni Keng Giau segera
mengerahkan pasukannya untuk menggeledah
seluruh kota. Dengan alasan bahwa Pak Kiong
Liong adalah "pemimpin yang tidak bertanggung jawab" karena "meninggalkan
pasukannya di medan perang" maka Ni Keng
Giau memerintahkan regu-regu pencari agar begitu bertemu langsung dibereskan saja. Reguregu pencari dilengkapi bedil-bedil pula, sebab
semuanya maklum betapa lihai ilmu silat
Jenderal tua itu. 365 Sehari suntuk pencarian digiatkan dan hanya
menghasiIkan kekecewaan bela ka, sehingga Ni
Kenq Giau menganggap Pak Kiong Liong
mungkin sudah lari keIuar kota, maka
pencarianpun dihentikan. Kini Ni Keng Giau
lebih memusatkan pikirannya untuk menghadapi

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran yang bakal berlangsung menghadapi tentara Jepang.
Sebenarnya Pak Kiong Liong masih dalam
kota Liao-yang, hanya beristirahat di sebuah
puncak pagoda bertingkai delapan. Tentu saja
anakbuah Ni Keng Giau tak memperhitungkan
tempat itu. Bahkan seandainya mereka
mengetahuinya juga, barangkali tak bisa
berbuat apa-apa, sebab sulit mencapai tempat
itu. Andaikata dibedil atau dipanah dari bawah,
maka pinggiran atap pagoda yang melengkung
ke atas itu akan menjadi perlindungan yang
baik bagi Pak Kiong Liong. Bisa juga dengan
cara membakar pagoda supaya Pak Kiong Liong
turun, tapi pagoda itu dibangun oleh mendiang
Kaisar Sun Ti, kakek dari Kaisar Yong Ceng yang
366 bertahta, sehingga siapapun takkan berani
membakarnya. Ketika pencarian dihentikan, Pak Kiong
Liong merasa lega bercampur sedih. Inikah yang
diterimanya sebagai balas jasa pengabdiannya
terhadap kekaisaran selama berpuluh-puluh
tahun" Pengabdiannya memang tanpa mengharap balas jasa, tetapi perlakukan Kaisar
Yong Ceng terhadapnya sungguh keterlaluan.
Kaisar itu takkan tidur nyenyak sebelum ia
mampus, Ni Keng Giau juga takkan berani
bertindak demikian kalau tidak diperintah oleh
Yong Ceng. "In Ceng bocah keparat," kutuk Pak Kiong
Liong dalam hati. "Aku yakin kaulah pembunuh
ayahandamu sendiri. Kalau terhadap ayahnya
saja berani bertindak sekeji itu, apalagi hanya
terhadap aku yang hanya paman jauhnya ini,
atau terhadap Pangeran In Te sebagai
saudaranya...." Dengan ilmunya yang lihai, tidak sulit bagi
Pak Kiong Liong kalau malam itu ia datangi
markas Ni Keng Giau dan mengambil nyawa
367 Jenderal muda itu, sehingga Kaisar Yong Ceng
akan kehilangan salah satu penopang
kekuasaannya.Tapi Pak Kiong Liong masih
memikirkan, kepentingan negerinya. Kalau Ni
Keng Giau mati, pasukan besar itu kocar-kacir
tanpa pimpinan, dengan gampang akan digasak
habisoleh pasukannya Jendral Hirasaki.
Keesokan harinya, dari puncak pagoda Pak
Kiong Liong melihat sebuah pasukan yang
ditaksirnya berjumlah kira-kira tiga laksa,
berbaris meninggalkan kota Liao-Yang. Dibawah kibaran bendera kekaisaran yang
bergambar naga, pasukan ini berderap gagah ke
medan perang. Tampak pula regu yang
memanggul bedil, serta belasan meriam yang
ditarik sepasang kuda. Pemimpin pasukan
adalah Lu Kong Hwe, seorang berpangkat CongPeng (Brigadir Jendral) yang sudah dikenal Pak
Kion Lion di Pak-Khia. Konon dialah pembantu
Ni Keng Giau yang terbaik. Dan kali ini ia diutus
memimpin serangan pertama untuk menjajagi
kekuatan musuh. 368 Melihat Lu Kong Hwe berkuda di depan
pasukan dengan sikap pongah sambil
mengempit tombaknya, Pak Kion Liong diamdiam berpikir, "Anak ingusan ini agaknya terlalu
meremehkan musuh. Tapi biarlah kalah atau
menang dia akan mendapat pengalaman
berharga. Demi bendera Ngo-Jiau-Kim-Liong-ki
( Bendera Naga Bersisik Emas Berkuku Lima,
bendera kekaisaran Manchu) yang dikawalnya,
aku harapkan dia menang"."
Sementara itu, Ni Keng giau dan sebagian
besar pasukan tetap berada di Liao-Yang sambil
mengadakan latihan-latihan untukmenjaga
kesegaran tubuh dan semangat para prajurit.
Pak Kion Liong sendiri dengan amat hati-hati
berekliaran di kota untuk mendengar-denger
berita, sambil berusaha jangan sampai kepergok
orang-orang Ni Keng Giau. Mengenang
keadaanya sendiri, Pak Kion Liong menyeringai
kecut sendirianm "Tindak-tandukku sekarang
tak ubahnya seorang bandit dengan dosa tak
berampun, takut bertemu siapa saja."
369 Dua hari kemudian, Lu Kong Hwe dan
pasukanya kembali. Berangkatnya gagah perkasa, pulangnya
lesu. Perginya semua prajurit melangkah tegap
memanggul senjata, kembalinya tidak semua
prajurit bisa berjalan dengan betul. Ada yang
dinaikkan usungan, dipapah teman-temannya,
atau berjalan sempoyongan. Singkatnya,
pasukan itu nampaknya pulang sebai
pecundang".. Pasukan babak-belur itu masuk kota setelah
hari gelap, mungkin disengaja, supaya rakyat
Liao-yang maupun sesama perajurit, agar
keadaan yang mengenaskan itu tidak tampak
terlalu jelas. Setelah seluruh pasukan diistirahatkan di pinggir-pinggir jalan, Lu Kong Hwe
sendiri menghadpp Ni Keng Giau di gedung
markas untuk melaporkan dan terima
dampratan. Pak Kiong Liong tiba-tiba timbul ke
inginannya untuk mencuri dengar bagaimana
Lu Kong Hwe melaporkan hasil pertempurannya. Dengan ilmu meringankan
370 tubuhnya yang amat tinggi, hanya sedikit
kesulitan yang dijumpai Pak Kiong Liong untuk
mencapai genteng markas Ni Keng Giau, tepat di
atas ruang komando, lalu dengan hati-hati
digeser nya selembar genteng untuk mengintai
ke dalam. Yang berada di ruangan di bawah itu biarpun
rata-rata adalah jagoan-jagoan siasat perang,
namun dalam kepandaian silat hanyalah biasabiasa saja. Maka merekapun tidak sadar kalau
Pak Kiong Liong ada di atas kepala mereka dan
menguping semua pembicaraan.
Ni Keng Giau duduk di belakang meja besar
yang di atasnya penuh bendera bendera kecil
komando, rencana-rencana perintah, cap
kekuasaan, pedang emas anugerah Kaisar Yong
Ceng, serta selembar peta medan pertempuran
yang tergelar hampir memenuhi seluruh meja.
Wajahnya nampak gusar sekali .
Tiba-tiba ia memukul meja dan berkata
dengan keras, "Bagaimana kau bisa berbuat
setolol itu" Padahal kau mengaku sudah
371 memahami semua isi Kitab Militer Sun-cu
bukan?" Di atas genteng Pak Kiong Liong tersenyum
geli. Apa dipikirnya memahami Kitab Sun-cu
adalah jaminan pasti menang" Kitab itupun
sudah berabad-abad diterjemahkan ke dalam
bahasa jepang dan dipahami pula oleh JenderalJenderal Jepang"
Lu Kong Hwe berlutut di depan meja besar,
tanpa berangi mengankat kepalanya, namun
menjawab, "Aku memang gegabah, Goan-swe.
Dengan menghitung jumlah tenda di pihak
musuh, aku menaksir kekuatan mereka jauh
lebih keciI dairi pasukanku. Lalu aku pecah
pasukanku menjadi tiga untuk menggempur
dari tiga jurusan, tetapi.... tetapi mereka
bertempur dengan licik. Mereka menembakkan
meriam ke arah lapisan es di permukaan Sungai
Hek-liong shingga retak dan banyak perajuritku
hanyut dalam arus Sungai Hek-liong...."
Di atas genteng, timbul rasa simpati Pak
Kiong Liong. Lu Kong Hwe ternyata mengalami
nasib sama dengan nasibnya.
372 Tetapi Ni Keng Giau tidak mau mendengar
penjelasan itu. Teriaknya, "Pengawal ! Penggal
kepalanya!" Orang-orang yang sudah terbiasa di bawah
perintah Ni Keng Giau, tidak kaget mendengar
keputusan itu. Hukuman mati memang di-"obral
murah" oleh Ni Keng Giau demi memenuhi
ambisinya akan sebuah pasukan kuat yang
berdisipiin tinggi. Tetapi Pak Kiong Liong yang
menyaksikan semuanya itu diam-diam tidak
setuju. Pak Kiong dengan cara pendekatan
kekeluargaan terhadap pasukannya, toh
berhasil membentuk pasukan yang setangguh
Hui-Liong-kun, karena kehangatannya justru
lebih mengikat jiwa perajurit-perajuritnya
daripada sederetan peraturan yang angker dan
kaku. Dua orang penjaga segera masuk dan
menyeret Lu Kong Hwe keluar. Wajah perwira
muda itu memucat, namun ia tidak berteriak
minta ampun, sebab tahu pasti bahwa
permohonannya takkan digubris.
373 Saat itulah Pak Kiong Liong menginjak patah
kerangka atap dan meiuncur ke dalam ruangan
sambil berseru, "Tahan !"
Kemunculan Pak Kiong Liong dengan cara
yanq luar biasa itu mengejutkan perwiraperwira di ruangan itu. Karena Pak Kion Liong
secara resmi diumumkan sebagai "buronan
negara", maka kemunculannya disambut
dengan gemerincing senjata-senjata yang
dihunus dari sarungnya. Tapi di tengah-tengah suasana permusuhan
itu Pak Kiong Liong tenang-tenang saja. la
malah mengangguk hormat kepada Ni Keng
Giau sambil berkata. Selamat malam, Jenderal
Agung Ni , aku datang dengan maksud baik...."
"Hem, setelah mencacatkan seumur bidup
salah seorang perwira bawahanku, kau masih
mengaku punya itikad baik?" dengus Ni Keng
Giau. "Ni Toa Goan-swe, kudengar kau adalah
seorang pemimpin yang menerapkan disiplin
militer dengan keras. Betul?" Ni Keng Giau
tersenyum congkak dan menyahut,
374 Saat itulah Pak Kion Liong menginjak
patah kerangka atap dan meluncur ke dalam
ruangan sambil berseru, "Tahan!"
375 "Bagus kalau kau sudah tahu. Biarpun kau
adaiah saudara sepupu mendiang Baginda
Khong Hi , tapi dalam pasukan ini kau adaiah
bawahanku tidak luput dari penerapan disiplin,
sebab akulah yang diangkat sebagai Panglima
Tertinggi. Aku akan menghukummu, sebab
kudengar laporan kau meninggalkan medan
perang dengan cara pengecut, itu contoh buruk
untuk perajurit-perajurit lainnya!"
Alangkah panasnya hati Pak Kiong Liong
menyaksikan lagak Ni Keng Giau itu , namun ia
menahan kemarahannya. la datang bukan untuk
Prahara Mahkota Berdarah 1 Pengemis Binal 17 Misteri Pusaka Pedang Gaib Sarjana Misterius 3

Cari Blog Ini