Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 6

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 6


meluncur ke dalam warung dan menungkrup
salah satu pengunjung warung. Pisau-pisau
dalam kantong kulit segera bergerak menjepit
leher korbannya hingga putus, ketika rantai
kantong kulit itu ditarik kembali , batok kepala
korbannya sudah terbawa dalam kantong.
Sedang tubuh korbannya menggelepar sejenak
dalam warung sebelum terdiam selamalamanya.
Seisi warung jadi panik. Seorang pengunjung
tua berjantung lemah, karena kagetnya oleh
peristiwa ngeri di depan hidungnya, langsung
jatuh dan mati saat itu juga.
Pak Kiong Liong amat menyesal melihat
jatuhnya korban-korban tak berdosa itu, sedang
ia sadar yang diincar oleh pembunuh itu
sebenarnya adalah dirinya. Maka kemarahannya berkobar seketika, bercampuraduk dengan kekecewaan yang belum tersalur
sejak Pangeran In Te terperangkap secara
konyol di Pak-khia . 618 la melompat keluar, dan meliha sipelepas
Hiat-ti-cu berdlri di atas genteng rumah dl
seberang warung, Ketika orang itu menarik
kembaIi rantai kantong kulitnya dan melihat
bahwa yang berhasil di "petik" nya bukan batok
kepala Pok Kiong Liong, ia nampaik kecewa
sekali, Sementara Pok Kiong liong yang marah telah
menyambar sepotong kayu pikulan dari penjual
buah-buahan di tepi jalan, dan dilemparkannya
seperti melempar lembing, dengan segenap
kekuatannya. Kaya pikulan berdesing menyambar leher Hiat-ti-cu diatas genteng, dan
si algojo yang gemar memenggal leher itu kini
lehernya sendiri yang terpenggal. Kepalanya
terpental ke balik wuwungan atap, sementara
tubuhnya menggelantung jatuh ke jalan raya.
Suasana di jalan raya menjadi panik tak
keruan. Perempuan-perempuan menjerit-jerit,
para pedagang membawa lari dagangan
mereka, dan tidak sedikit orang jatuh terinjakinjak. Kepanikan menghebat ketika kantung
kulit kaum Hiat-ti-cu muncul dan melayang619
layang diatas orang-orang itu, Pak Kiong Liong
menghitungnya ada lima, namun ia yakin Kaisar
Yong Ceng tentu mengirimkan jumlah yang
lebih menyakinkan untuk membantainya.
Orang-orang yang lari simpang-siur Itu
membuat para Hiat-ti-cu sulit menemukan
sasaran mereka, Pak Kiong Liong. Mereka juga
marah karena terbunuh nya seorang teman
mereka, sehingga merekapun mulai membunuh
membabi-buta. Seorang pedagang yang tengah
membenahi dagangannya, tanpa ampun
kehilangan kepalanya tersambar kantong kulit
maut Itu, Hiat-ti-cu lainya menyambar kepala
seorang perempuan yang tengah berlari-lari
menuntun anaknya, sehingga tubuh perempuan
yang tak berkepala lagi itu pun roboh terinjakinjak orang banyak, sementara anaknya
menjerit-jerit tak ada yang mempedulikan.
Sebenarnya lebih aman bagi Pak Kiong Liong
kalau tempat bersembunyi, berperisaai orang
banyak, namun darah Jenderal tua itu mendldih
mellhat jatuhnya korban-korban tak bersalah.
Seperti seekor rajawali perkasa, ia melesat naik
620 ke atas genteng sambil berseru menggeledek,
"Pak Kiong Liong di sini! Hentikan kebiadaban
kalian atas orang-orang tak bersalah!"
Di atas atap-atap rumah yang berpencaran,
belasan lelaki berpakaian hitam ringkas dan
muka berkedok hitam, sudah siap menanti
munculnya Pak Kiong Liong. Merekalah algojo
algojo Hiat-ti cu yang ditugaskan membereskan
Pak Kiong Liong, jumlahnya deiapan belas
orang, cukup berat untuk dihadapi sendiri .
Begitu Pak Kiong Liong muncul, kantongkantong kulit yang dikendalikan rantai tipis
itupun beterbangan, seolah berebutan mana
yang akan lebih dulu mengambil batok kepala si
jenderal tua itu. Ketika Hiat-ti-cu pertama mengincar
kepalanya, Pak Kiong Liong berguling di atas
genteng. Namun si algojo kali ini lebih lihai
memainkan kantong mautnya daripada yang
pernah menyatroni rumah Pak Kiong Liong
dulu. Kantung kulitnya seperti benda hidup, dapat melayang rendah dan terus mengejar ke
kepala Pak Kiong Liong. 621 Pak Kiong Liong lalu melompat bangun
dengan gerak Le-hi-tah-teng (Ikan Gabus
Melejit) dan sekaligus berhasil menginjak rantai
tipis pengendali kantong kulit musuh, sia-sia
pemiliknya mencoba menariknya. Tetapi dua
kantong kulit lainnya menyambar datang, sehingga Pak Kiong Liong harus melepaskan
injakannya untuk melompat menghin dar.
Untuk sementara Pak Kiong Liong sibuk
menghindari saja, tanpa berpeluang membalas
menyerang, sebab musuh ada di segala penjuru.
Algojo-algojo itu dengan asyik memainkan
kantong-kantong terbang mereka seperti anakanak bermain layang-layang, mengandalkan
rantai pengendali yang cukup panjang, mereka
aman dari jangkauan tangan atau kaki Pak
Kiong Liong yang mematikan. untuk sementara
Pak Kiong Liong tak sanggup menjebol
kerjasama yang rapi dari pada Hiat-ti-cu terlatih
itu. Perkelahian unik di atas genteng itu kini
malah jadi tontonan menarik bagi orang-orang
di jalanan. 622 "Kasihan orang tua itu," desis seorang
penonton. "Apakah salahnya sehingga hendak
dibunuh orang-orang berbaju hitam yang
biadab itu?" "Kakek itu tentu orang baik hati. Buktinya,
ketika kantong-kantong siluman itu menyambar
sembarangan orang, si kakek malah sengaja
menunjukkan diri di atas genteng agar
perhatian para pembunuh itu terpusat
kepadanya saja. la rela menempuh bahaya demi
menghindari jatuhnya korban lebih banyak."
"Ya, padahal kalau dia mau tetap
bersembunyi , tentu dia akan aman. Tetapi
kantong-kantong maut itu tentu akan
mengganas mencabuti kepala kita. Mungkin kau
atau aku saat ini sudah tidak berkepala lagi."
Di antara kerumunan orang di bawah itu,
memang ada seseorang yang memperhatikan
jalannya pertempuran dengan seksama. la
seorang lelaki tegap berewokan, pakaiannya
dari kulit binatang berbulu, dan diam-diam
tengah membatin, "Hebat Pak Kiong Goan-swe,
dalam usia setua itu masih sanggup bergerak
623 tangkas menghadapi lawan tangguh sekian
banyak. Tetapi aku harus turun tangan, karena
Pak Kiong Goan-swe adalah sahabat Pang-cu
(Ketua)." Orang itu segera melepaskan mantel nya
sehingga terlihat baju dalamnya yang ringkas
membalut tubuhnya yang berotot kekar. Ikat
pinggang kulitnya lebarnya sejengkal lebih,
tempat menyelipkan kampak-kampak kecil
berjumlah belasan buah yang berderet
melingkari pinggangnya. Selain kampakkampak kecilnya, di kiri kanan pinggangnya
sepasang kampak besar namun bergagang pendek.
Saat itu mernang Pak Kiong Liong sendiri
merasa terjepit. Bagaimanapun lihai silatnya,
apa gunanya kalau lawan tak bisa didekati"
Namun jenderal tua itupun tidak tahu bahwa
para Hiat-ti-cu juga hampir kehabisan akal.
Biasanya mereka seorang diri saja dengan
gampang mencomot kepala korban mereka,
tetapi sekali ini mereka berdelapan belas orang
sudah mengerahkan tenaga sampai barkeringat,
624 hasilnya hanya bisa membuat Pak King Long
terkepung tapi belum terluka seujung
rambutpun. Ketika Itulah sesosok tubuh melompat ke
atas genteng pula, biarpun tubuhnya besar
namun gerakannya ringan seperti kucing, tidak
kaku. Seru orang ini, "Pak Kiong Goan-Swe, biar
aku bantu Goan-Swe mempercepat penyelesaian monyet-monyet ini!"
Lalu dua tangannya meraih ke pinggang dan
diayunkan ke depan. Dua kampak kecil melesat
ke depan, dua algojo Hiat-ti-cu yang tak
menduga serangan itu terjungkal roboh. Yang
satu kena punggungnya, yang lain tengkuknya
Barisan algojo Hiat-ti-cu jadi kacau dengan
munculnya musuh baru itu, perhatlan Jadi
terpecah, tidak lagi terpusat kepada Pak Kiong
Liong melulu. Kesempataan Itu digunakan oleh
Pak Kiong Liong untuk membungkuk dan
mengambil dua lembar genting yang diluncur
kan ke arah dua Hiat-ti-cu yang agak lengah.
Dua Hiat-ti-cu menjerit dan menggelundung ke
bawah genteng. Yang seorang kemasukan
625 perutnya, yang lain-nya kena di antara dua
matanya. Blarpun yang mengenai mereka hanya
genting namun rasanya seperti pisau tajam atau
batu gunung sebesar kambing bunting yang
Jidat nya kena Itu memang kepalanya tidak
sampai pecah, tetapi bagian dalam kepalanya
telah terguncang jungkir-balik sehingga tak bisa
dlharapkan hidup lebih lama lagi,
"Terima kasih, Ji Tong-cu (Kepala Regu Ji)!"
seru Pak Kiong Liong kepada orang berbaju
kulit binatang itu. Sementara kawanan Hiat-ti-cu menjadi
marah bukan main karena barisan mereka menj
adi berantakan. Mereka segera membagi diri
dengan sisa jumlah yang tinggal empatbelas
orang itu. DeIapan orang tetap mengerubuti Pak
Kiong Liong, enam orang menghadapi musuh
baru yang dlpanggil Ji Tong cu oleh Pak Kiong
Liong tadi Musuh baru itu bernamn Ji Han Lim anggota
Hwe-Iiong-pang yang berkedudukan sebagai
Ang-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Merah) , satu
dari kelompok-kelompok dalam Hwe-Liong626
pang. Julukannyn adalah Hui-po-sin (Malaikat
Kampak Terbang), baik kedudukannya sebagai
Tongcu maupun ilmu silatnya adalah warisan
dari ayahnya almarhum yang bernama Ji Tiat
dan berjulukan Siang-po-lai-san (Sepasang
Kampak Pendobrak Gunung) .
Ji Han Lim sadar, begitu enam algojo Hiat-ticu sempat menyusun kepungan, maka
kedudukannya akan sulit seperti Pak Kiong
Liong tadi. Maka ia tidak membiarkan musuh
menyusun diri. Ketika sebuah kantong kulit
hendak menyergap kepalanya, ia lemparkan
dua kampaknya sekaligus, ke tengah-tengah
kantong kulit itu dan ke dada pemegang nya .
Algojo Hiat-ti-cu yang diarahnya itu cukup
lihai. Kakinya melakukan gerak Pai-lian-ka
(Teratai Terhembus Angin), dengan gerak
menyapu melengkunq keatas, kampak kecil Ji
Han Lim yang meluncur ke dadanya dapat
disepak pergi. Tetapi kantong kulitnya rusak
dan tak bisa digunakan lagi karena kena
sambitan kampak Ji Han Lim yang satu lagi.
Dengan gemas Hiat-ti-cu itu membuang
627 senjatanya, lalu melolos senjata dari pinggangnya yang berujud Jit-ciat kun (Ruyung
Tujuh Ruas) yang langsung diputarnya kencangkencang, menunjukkan lihainya orang ini.
Melihat senjata itu, Ji Han Lim tertawa
mengejek, "Ha, kiranya Pa Lian Hou dari Butong-pai sekarang sudah menjadi anjing
pemburunya si Kaisar lalim!"
"Dan kau berteman dengan komplotan
pemberontak!" Pa Lian Hou balas memaki Ji
Han Lim. Sementara itu kantong-kantong kulit
pemangkas kepala lainnya telah bergantian


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar Ji Han Lim, tetapi Tong-cu Hweliong-pang itu tidak mau terkepung. Dengan
lincah ia terus bergerak, sambil menggunakan
setiap peluang untuk membalas dengan
lemparan kampak-kampak kecilnya, kadangkadang menyerang orangnya dan kadangkadang menyerang kantong kulitnya. Satu
persatu kantong-kantong itu runtuh dan rusak,
sampai habis, sehingga para Hiat-ti-cu kini
628 harus menggunakan senjata andalan dari
perguruan masing-masing .
Ji Han Lim dengan kampak-kampak kecllnya,
Pak Kiong Liong dengan genting-genting rumah
yang dicopotinya satu persatu, sehingga
kantong-kantong pembunuh itupun akhirnya
habis pula. Kini pertempuran di atas atap melulu
mengandalkan iImu silat, sehingga. nampaklah
kegarangan Pak Kiong Liong, meskipun hanya
bertangan kosong menghadapi delapan jagoan
tangguh bersenjata. Sepasang tangan Pak Kiong
Liong mendadak nampak berubah menjadi
berpuluh-puluh pasang tangan yang menggempur dengan hebatnya, ia seperti
sebuah prahara yang menggulung ke delapan
lawan-nya. Kedelapan pembunuh kiriman Kaisar Yong
Ceng itu semakin bingung dan putus asa
menghadapi lawan begitu perkasa. Mereka
seperti menghadapi segumpal asap yang tak
bisa dikenai dengan senjata mereka.
629 Kalau Pak Kiong Liong sudah mulai merintis
ke arah kemenangan, sebaliknya Ji Han Lim
yang menghadapi enam lawannya sudah mulai
kewaiahan. Sepasang kampaknya hanya dapat
digunakan untuk bertahan, semua musuhnya
tangguh. terutama murid Bu-tong-pai yang
bersenjata Ji-ciat-kun yang pipih dan tajam itu.
Ketika suatu kesempatan Ji Han Lim terbuka
pertahanya, Pa Lian Hou melecutkan ruyungnya
dari samping ke arah leher Ji Han Lim.
Ji Han Lim menunduk mengelakkan,
kampaknya terlalu pendek untuk dapat
membalas serangan tanpa melompat maju, dan
saat itu seorang musuh lain vang berseniata
sam-ciat-kun (Ruyung tiga Ruas) menyergap
dari belakang. kearah sambungan tututnya. Ji
Han Lim dapat mengelak lagi tetapi Pa Uan Hou
sudah mengubah gerak senjatanya dari atas ke
bawah. Biarpun Ji Han Lim berusaha mengelak
dengan mencondongkan tubuh ke belakang.
namun upayanya kurang sempurna, Ujung
tajam ruyung Pa Lian Hou menggores panjang
dari pundak sampai paha Ji Han Lim.
630 Pa Lian Hou tertawa dingin dan memberi
semangat Leman temannya. "Mari secepatnya
kita bereskan kunyuk Hwe-liong-pang ini,
supaya dapat segera membantu teman-teman
lain menyembelih. Pak Kiong Liong!"
Teman-temannya semakin bersemangat dan
mempergencar serangan. Ji Han Lim semakin
repot bertahan, tetapi tetap juga mendapat
beberapa luka. Pada saat itulah Pak Kiong Liong justru
berhasil mengurangi musuh, dua orang
sekaligus. Seorang algojo Hiat-ti-cu tertendang
rusuknya sehingga tulang-tulangnya remuk,
tubuhnya mencelat ke bawah genteng dalam
keadaan mampus. Seorang lagi kena tebasan
telapak tangan di tengkuknya sampai lehernya
tertekuk ke depan. Rupanya Pak Kionq Liong
melihat kesulitan yang dialami Ji Han Lim, dan
bermaksud secepatnya merampungkan lawanlawannya supaya bisa segera menolong Ang-ki
Tong-cu Hwe-liong-pang itu.
Make sambil menggeram hebat, Pak Kiong
Liong mulai mengeluarkan Hwe-liong-sin-kang,
631 langsung tingkat tujuh. Lawan-Iawannya
dengan kaget berlompatan menjauhinya, sebab
udara disekitar tubuh Pak Kiong Liong menjadi
amat panas, di luar daya tahan tubuh manusia
biasa. Namun Pak Kiong Liong melompat
menyergap lawan yang terdekat bagaikan
seekor naga terbang. Orang yang diserang bersenjata sepasang
Kang-pit, pena baja, senjata yang dirancang
khusus menyerang urat darah. la bekas bandit
di Ho-dak yang kepandaiannya cukup tanggi,
tetapi menghadapi kemarahan Pak Kion Liong.
maka pertahannya tidak lebih dari pagar kayu
rapuh yang sia-sia menahan longsoran sebuah
bukit. Sepasang kan-pit yanq disilangkannya
telah terpental kena sabetan tanqan Pak Kiong
Liong, kemudian tangan Pak kionq Liong
lainnya dengan jari-jari lurus menghunjam
keulu hatinya. Tubuh orang itupun ambruk
dengan kulit hangus layu. bahkan tak sempat
mengeluh sedikitpun. 632 Sepasang Kang-pit yang disilangkannya
Telah terpental kena sabetan tangan
Pak Kiong Liong 633 Kengerian melingkup hati para algojo
kiriman Kaisar Yong Ceng itu, karena merasa
ngerinya berada di ambang maut. Biasanya
merekalah yang tertawa-tawa mempermainkan
korban-korban mereka yang meratap ketakutan. Biarpun demikian, mereka tetap
tidak berani lari dari gelanggang sebelum ada
perintah. Pemimpin regu algojo itu adalah seorang
Manchu bernama Hap To yang amat fanatik
kepada Kaisar Yong Ceng. Biarpun melihat
anakbuahnya tertumpas satu demi satu, ia
belum juga mengeluarkan aba-aba untuk
mundur. Senjatanya ialah sebatang tombak
bermata dua yang dimainkannya dengan
tangkas sekali. la masih mengharap sebuah
kemenangan, yaitu kalau Ji Han Lim berhasil
dibereskan dulu maka semua tenaga bisa
dikerahkan untuk menundukkan Pak Kiong
Liong, sebab kelihatannya Ji Han Lim hampir
dapat diselesaikan . Keadaan Ji Han Lim memang gawat.
Tubuhnya sudah penuh luka yang kalau
634 dibiarkan saja akan menghabiskan darah.
Tetapi ia gigih sekali, ia mengamuk sambil sikap
bertahan amat ketat. sehingga musuhmusuhnya menjadi gemas sekali .
Teriak Pa Lian Hou sengit, "Kata-nya kau
jagoan Hwe-Iiong-pang, kenapa berkelahi
seperti perempuan macam itu" Ayo, balaslah
menyerang!" Sambil menangkis sebatang golok yang
menyambar lehernya, Ji Han Lim menjawab,
"Aku hanya menyesuaikan diri , sebab lawanlawankupun berkelahi seperti perempuanperempuan yang main keroyokan!"
la menutup kalimatnya dengan sebuah
desisan pedih, karena ujung sebatang pedang
musuh menggores lengannya.
Namun sementara itu dua orang lagi berhasil
dibereskan oleh Pak Kiong Liong. Kini jenderal
tua Itu tinggal menghadapi tiga orang lawan
yang perlawanannya semakin kocar-kacir
karena semangat tempur sudah mulai merosot.
Saat itulah Ji Han Lim mendadak melompat
keluar dari kepungan lawan-lawannya, kampak
635 di tangan kanan dipindahkan sekalian ke tangan
kiri. Semula lawan-lawannya mengira jagoan
Hwe-Liong-pang itu hendak menggunakan sisa
kampak-kampak kecil yang masih tergantung di
pinggangnya, sehingga Pa Lian Hou dan temantemannya bersiap-siap menghadapi kampakkampak kecil yang tadi sudah terbukti
kelihaiannya. Tetapi Ji Han Lim ternyata tidak
melemparkan kampak-kampaknya, melainkan
memasukkan dua jari kemulutnya, lalu
terdengarlah ia bersuit melengking.
Itu lebih mengejutkan para Hiat-ti-cu.
Mereka ingat bahwa saat itu mereka ada di
dekat wilayah Secuan, wilayah pengaruh Hweliong-pang yang sangat kuat. Kalau suitan Ji Han
Lim itu bermaksud memanggil teman-temannya
sesama Hwe-liong-pang, itu artinya kesulitan
besar bagi para Hiat-ti-cu. Satu Pak Kiong Liong
dan satu Ji Han Lim sudah membuat mereka
repot, bagaimana kalau muncul lagi seorang
jagoan yang setingkat dengan Ji Han Lim, atau
bahkan Ketua Hwe-liong-pang sendiri, Tong
636 Lam Hou, yang kepandaiannya setara dengan
Pak Kiong Liong" Betapapun fanatiknya Hap To kepada Kaisar
Yong Ceng, dia sadar tugasnya untuk
membunuh Pak Kiong Liong telah gagal kali itu,
kalau diteruskan secara nekad malah akan
menghancurkan pihaknya sendiri. Maka diapun
mengeluarkan aba-aba untuk mundur, lalu
kawanan Hiat-ti-cu itupun berhamburan lari,
meninggalkan teman-teman mereka yang
bergeletakan tak bernyawa.
Pak Kiong Liong yang masih men-dongkol,
berteriak dari kejauhan, "Sampaikan salamku
untuk Yong Ceng, keponakanku yang nakal itu.
Katakan kepada nya bahwa kelak Pamannya ini
akan datang kembali ke Pak-khia untuk menjewer kupingnya!"
Hap To, Pa Li an Hou dan lain-lain nya tidak
menggubris ejekan itu, mereka terus saja lari
seperti dikejar setan . Pak Kiong Liong kemudian mengalih kan
perhatian kepada Ji Han Lim yang terluka,
dilihatnya Tong-cu Hwe-liong-pang itu tengah
637 menaburkan bubuk obat ke luka-lukanya
sendiri . "Bagaimana keadaanmu, saudara Ji" tanya
Pak Kiong Liong. "Aku sangat berterima-kasih
atas pertolonganmu tadi. Kalau saudara tidak
muncul, barangkali yang sampai ke Tiau-imhong hanya arwah Pak Kiong Liong saja."
Ji Han Lim menjawab sambil tertawa,
"Jangan sungkan-sungkan, Goan-swe. Kalau
Goan-swe sampai berkelahi dengar orang lain,
tentunya dengan orang jahat, sebab kami sudah
tahu bagaimana watak Goan-swe."
"Wah, kau pintar membuatku besar kepala.
Eh, bagaimana dengan luka-luka mu?"
"Hanya luka-luka kulit yang tidak berbahaya.
Yang penting, kita harus segera pergi dari sini,
siapa tahu orang orang baju hitam tadi akan
datang kembali membawa teman-teman yang
lebih ba nyak dan lebih kuat?"
"Tapi bukankah tadi saudara sudah bersuit
memanggil bantuan" Buat apa taku t ?"
Ji Han Lim tersenyum, "Suitanku tadi hanya
gertak sambal, sebab sesungguhnya tak ada
638 orang Hwe-liong-pang di sekitar tempat ini. Dan
bangsat-bangsat tadi telah lari terbirit-birit. Ha
ha-ha......" Mau tak mau Pak Kiong Liong ikut tertawa
pula. Keduanya lalu melompat turun dari atas
genteng, orang-orang di bawah minggir
ketakutan, tetapi Pak Kiong Liong dengan
ramah dan sopan memanggil mereka untuk
menanyakan di mana rumah orang-orang yang
menjadi korban Hiat-ti-cu tadi. Lalu Pak Kiong
Liong menguras kantong uangnya sendiri,
dititipkan untuk korban-korban tak berdosa
tadi sambil menyatakan penyesalannya .
Lalu sambil menunggang kuda masingmasing, Pak Kiong Liong beserta Ji Han Lim
meninggalkan tempat berdarah itu, menuju
markas Hwe-liong-pong di Tiau-im-hong yang
tinggal sehari perjalanan lagi .
Ketika Ji Han Lim menanyakan kenapa Pak
Kiong Liong sampai bermusuhan dengan
kawanan Hiat-ti-cu, Pak Kionn Liong tanpa
tedeng aling-aling telah menceritakan semua
639 yang terjadi di Pak Khia. la sangat mempercayai
orang-orang Hwe-Liong-pang.
Orang orang Hwe-liong-pang yang berdiam
jauh dari Pak-khia memang terdengar juga
berita simpang-siur dari ibukota kerajaan,
katanya ada ketegangan politik semenjak
wafatnya Kaisar Khong Hi. Namun beritanya


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabur dan tidak jelas. Baru saat itu Ji Han Lim
mendengar sejelas-jelasnya dari mulut Pak
Kiong Liong, dan merasa diluar dugaan kalau
peristiwanya ternyata dermikian hebat. Huiliong-kun (Pasukan Naga Terbang) sudah
dipreteli sehingga lenyap kekuatannya, Panqeran In Te dan angkatan perangnya telah
dilumpuhkan, dan Pak Kiong Liong bukan lagi
orang terhormat di istana, melainkan seorang
buronan yang batok kepalanya sangat di ingini
oleh Kaisar Yong Ceng. Ji Han Lim termangu-mangu mendengarkan
cerita itu. Kejamnya Kaisar Yong Ceng
tergambar dari kejamnya para Hiat-ti-cu yang
sama sekali tidak menghargai nyawa rakyat,
seperii disaksikkan sendiri oleh Ji Han Lim tadi.
640 "Agaknya Hwe-liong-pang bakal mendapat
tugas berat lagi kata Ji Han Lim kemudian
dengan semangat bergelora . "Selama belasan
tahun terakhir ini kami bosan hanya
menghadapi kawanan pencoleng kecil atau
tukang menyambar jemuran."
Sejarah Hwe-Liong-pang memang tidak
sembarangan. Puluhan tahun yang silam, ketika
Joan-ong Li Cu-sing memberontak untuk
menumbangkan kebobrokan Kaisar Cong Ceng
dari dinasti Beng, Hwe-liong-pang punya andil
membantu kemenangan Joan Ong. Ketika dunia
persilatan gempar dan ketakutan karena
munculnya gerombolan jahat Hek-eng-po
(Benteng Elang Hitam) belasan tahun yang lalu,
Hwe-liong-pang juga berada di barisan depan
untuk menumpas gerombolan itu. Kini
mendengar tentang kesewenang-wenangan
Kaisar Yong Ceng yang membahayakan negara
dan rakyat, Ji Han Lim merasa bahwa Hweliong-pang agaknya akan mendapat "pekerjaan
rumah" lagi . Inilah yang membuat darah Ji Har
Lim menggelegak panas. 641 Propinsi Se-cuan sering dijuluki "gudang
beras" daratan Cina karena suburnya, julukan
yang membanggakan sekaligus juga mencelakakan. Mencelakakan, sebab setiap kali
terjadi perang besar maka masing-masing pihak
berusaha merebut Se-cuan lebih dulu, untuk
menjamin perbekalan dalam perang jangka panjang. Ketika Kerajaan Manchu mulai berkuasa ,
wilayah Se-cuan dan Hun-lam pernah
dihadiahkan kepada Bu Sain Kui, seorang bekas
Panglima Kerajaan Beng yang berjasa kepada
Manchu karena memberi kesempatan balatentara Manchu masuk ke daratan tengah
lewat gerbang San-hai-koan. Namun kemudian
Bu Sam Kui berba-lik menentang Manchu,
pemberontakannya sempat meluas, Bu Sam Kui
sendiri sempat mengangkat diri sebagai Kaisar
di kota Hing-ciu, tetapi akhirnya tertumpas
habis. Pegunungan Bu-san memenuhi hampir
seluruh Se-cuan, terbelah aliran Sungai Tiangkang di tengahnya, dan di lambung puncak
Tiau-im-hong, salah satu dari duabelas puncak
642 pegunungan Busan, itulah tempat markas Hweliong-pang yang terkenal.
Pak Kiong Liong dan Ji Han Lim berjalan
santai mendaki lereng Tiau-im-hong sambil
menikmati suasana pegunungan. Entah berapa
kali Pak Kiong Li ong sudah ke tempat itu untuk
mengunjungi sahabat sekaligus besannya,
puterinya, menantunya, cucu-cucunya dan
kenalan-kenalan baik dari Hwe-liong-pang
lainnya. tapi tiap kali kekagumannya akan
kehebatan tempat itu tidak juga berkurang.
Seandainya ia tidak sedang banyak urusan
politik yang memusingkan kepala, ingin rasanya
ia diam lama di tempat itu untuk
mengendapkan hati dan piki rannya .
Tak terasa ia bergumam sendiri, "Dalam sisa
umurku yang semakin sedikit ini, entah kapan
aku diperkenankan menghabiskan tiap tarikan
napasku ditempat tenteram damai macam ini?"
Mendengar ucapan itu, Ji Han Lim menyahut,
"Memang kelihatannya menyenangkan hidup
sepi dan tenang seperti dewa-dewa di
pertapaannya, tidak pusing urusan orang lain.
643 Tetapi aku ragu-ragu, benarkah Goan swe ingin
hidup seperti itu, atau hanya sekarang Goanswe sedang menghadapi urusan ruwet sehingga berkata seperti tadi?"
Pak Kiong Liong tersenyum, "Betul juga
ucapanmu, saudara Ji. Aku ini memang manusia
rewel. Kalau sedang menghadapi banyak
urusan, aku inginkan ketentraman. Namun
kalau terlalu lama hidup tenteram, akupun
mulai bosan, lalu usil mencari-cari urusan."
"Itulah gejolak jiwa yang hidup oleh gejolak
perjuangan, Goan-swe, mendambakan hidup ini
bermanfaat bagi orang lain. Orang yang bertapa
untuk ke tenteramannya sendiri, tidak peduli
urusan orang lain, apa manfaatnya dia hidup di
dunia" Memang mungkin ia akan bersih dari
noda-noda duniawi. tetapi hidupnya tidak
bermanfaat sedikitpun bagi sesama. Seperti
sebuah cangkul yang hanya disimpan saja, ia
tetap bersih dan baru, namun tidak berguna,
tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya kalau
cangkul itu dipakai di ladang, ia kena kotoran
dan mungkin cepat rusak, tetapi ia menjadi
644 berguna, menghasilkan buah-buah kehidupan
yang mani s "Jadi menurut saudara Ji, orang-orang yang
menyepi itu keliru semua-nya?"
"Ada yang benar, ada yang salah."
"Yang mana yang benar atau salah?"
"Yang salah ialah yang menyepi mencari
ketenteraman diri sendiri, sepenuhnya bebaskan diri dari dunia. Yang benar ialah yang
bersunyi diri untuk mencapai gagasan-gagasan
luhur, sebab lebih mudah mendapat gagasan itu
dalam kesunyian daripada di tengah suasana
hiruk-pikuk. Tetapi pikiran luhur yang
didapatkan itu hendaknya dibawa kembali ke
masyarakat untuk disumbang-kan kepada
orang banyak, jangan dijadikan bekaI rohani
buat diri sendiri saja. Berjuta-juta manusia
masih haus gagasan-gagasan luhur itu dan
banyak yang belum tahu kemana harus
mendapat kannya. Pangeran Sidharta setelah
menjadi Buddha dan mencapai Penerangan
Suci, juga tidak bersembunyi saja, melainkan
kembali ke masyarakat untuk menyebarkan
645 ajarannya. Begitu pula rasul rasul dari negeri
padang pasir dibarat sana, menyebarkan
Kebenaran yang mereka yakini sampai kadangkadang mengorbankan nyawa mereka."
"Bagus, saudara Ji. Tapi bagaimana saudara
tahu bahwa aku takkan betah hidup sebagai
pertapa seumur hidup?"
"Karena aku tahu watak Goan-swe tidak jauh
berbeda dengan watak Pangcu (Ketua) kami
"Tetapi toh Ketuamu hidup amat santai di
tempat ini, tidak bolehkah aku menggerutuinya?" "Kenapa Goan-swe harus menggerutuinya ?"
"Karena aku sering iri kepadanya. Di Pakkhia kepalaku hampir pecah memikirkan seribu
satu urusan, sedang Ketuamu enak-enak saja
hidup di Sini." Ji Han Lim tiba-tiba tertawa geli, "Goan-swe,
di waktu-waktu senggang aku sering berbicara
santai dengan Pangcu, tahukah Goan-swe apa
saja yang dikatakan oleh Pangcu?" "Apa?"
"Pang-cu juga sering menggerutui Goan-swe,
juga karena iri. la berkata Goan-swe sungguh
646 beruntung kerana tenaga dan pikirannya masih
terpakai untuk disumbangkan kepada orang
banyak, sedang Pang-cu merasa hari-harinya
dilalui dalam kekosongan. Kesibukannya hanya
menyiram bunga, memberi makan burung
dalam kurungan, kesibukan-kesibukan lain yang
menurut Pang-cu sepantasnya dilakukan orangorang jompo."
"Aneh," kata Pak Kiong Liong sambil tertawa.
"Jadi Tong Lam Hou iri karena aku punya
banyak kepusingan, kejengkelan dan kadangkadang bahaya yang mengancam nyawa tuaku?"
"Dan Goan-swe iri kepada perasaan sunyi
Pang-cu karena hari demi hari dilewatinya
tanpa berbuat apa-apa?" sahut Ji Han Lim.
"'Apakah Goan-swe dan Pang-cu perlu tukartempat saja"'
Pak Kiong Liong hanya tersenyum tanpa
menjawab, sementara Ji Han Lim melanjutkan
kata-katanya. "Tetapi aku berani taruhan
potonq telinga, begitu Goan-swe dan Pang-cu
bertukar tempat. tak lama kemudian pasti
Goan-swe merasa tidak betah. Sebaliknya Pang647
cu akan sangat betah di Pak-khia, sebab disana
ia pasti tidak sekedar menyiram bunga atau
memberi makan burung dan ikan?"
"Tetapi. bukankah pekerjaan seperti Ketua
Hwe-Liong-pang hanya menyirami bunga saja?"
"Semua urusan luar Sudan ditangani oleh
putera Pang-cu, atau oleh para tong-cu (pemimpin kelompok) dan Hiang "cu
(Hulubalang) sehingga Pang-cu sering menuduh
kami kejam, merampas semua kesibukan dan
menyuruh dia bertopang dagu saja di markas."
Senyum Pak Kiong Liong semakin melebar,
ketika ia ingat tujuannya hendak mengajak
Tong Lam Hou menggalang kekuatan
menentang kelaliman Kaisar Yong Ceng, maka
diapun berkata, "Baik lah, karena dia sudah
jemu menganggur, maka aku datang membawakan sebuah pekerjaan besar buatnya.
Tidak sekedar menyirami bunga atau
menaburkan makannan ikan ke kolam...."
(Bersambung Jilid XI ) 648 649 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilld XI Ji Han Lim yang tahu maksud kata-kata Pak
Kiong Liong, menjawab, "Aku yakin Pang-cu
akan menyambut gembira. Barangkali dunia
persilatan harus menyaksikan munculnya
kembali Naga Utara dan Harimau Selatan
seperti dulu..." "Ah, kami berdua sudah menjadi kakekkakek. Barangkali yang bakal muncul hanyalah
Naga Sempoyongan dan Harimau Ompong . . . ."
Berjalan sambil berbincang, tak terasa
mereka sudah sampai ke lambung gunung.
Waktu itulah mendadak dari balik lekuk gunung
terdengar suara anak-anak yang sedang
membentak-membentak. Pak Kiong Liong kenal
suara itu adalah suara cucu-cucunya, tapi
terdengar pula suara seorang anak perempuan.
650 "Tentu anak-anak nakal itu sedang latihan,"
kata Ji Han Lim. "Goan-swe, kau tidak ingin
melihat mereka?" "Baiklah kulihat mereka. Saudara Ji, kau jalan
lebih dulu, nanti aku menyusul ke markas."
"Baik, Goan-swe."
Dengan langkah ringan sambil merundukrunduk, Pak Kiong Liong diam-diam mendekati
suara anak-anak itu. la tidak langsung
memperIihatkan diri, melainkan bersembunyi
di balik sebatang pohon besar untuk
memperhatikan apa yang sedang terjadi.
Tempat itu adalah sebuah dataran kecil
berlapis rumput, udara segar mengalir sehingga
cocok untuk tempat latihan silat. Pak Kiong
Liong tersenyum sendiri melihat seorang bocah


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelaki berusia sebelas tahun tengah berlatih silat
melawan seorang anak perempuan berusia
kira-kira sembilan tahun. Bocah lelaki itu
bergerak tangkas dan lincah, serangannya
datang beruntun dalam serangkaian jurus dasar
yang dikuasainya dengan baik. Kemantapan
651 tenaganya pun nampak cukup berlebih untuk
anak-anak seusia dia. Tetapi bocah perempuan itu pun mencengangkan Pak Kiong Liong. Meskipun
kalah tenaga, ia sudah pandai memanfaatkan
kelincahannya. la tidak mau membentur tenaga
lawannya, tapi lebih suka mengelak dan
membalas menyerang se-lincah burung gereja
menyambar belalang. Serangannya lebih
banyak menggunakan ujung jari daripada
kepalanya, dengan sasaran bagian-bagian "
tubuh yang lemah, ia juga pandai menggunakan
tendangan berantai sambil menggeser tubuh,
sehingga memaksa si bocah lelaki harus ikut
berputar-putar. Pada suatu kesempatan, gadis cilik itu
menendang dada dengan tendangan miring. Si
bocah lelaki agak mendoyongkan tubuh ke
belakang sambil menepis dengan tangan kiri
sementara punggung tinju kanannya dihantamkan ke lutut lawannya. Dalam
pertarungan anak-anak kecil, semuanya itu
tidak lebih dari adu ketrampilan jurus, kalau ja652
goan lihai yang melakukannya, pukulan ke
tempurung lutut itu bisa meremukkan tulang.
Sebagian guru silat juga mengajarkan untuk
memukul pergelangan kaki musuh, dengan
akibat yang sama, dan biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang merasa lengannya pendek.
Terdengar si gadis cilik berseru, "A-hai, kau
ulangi lagi jurus kunomu itu?"
Si bocah A-hai menjaga kalau-kalau si gadis
cilik melanjutkan tendangan berantainya
dengan Sin-liong-pa-bwe (Naga mengibaskan
Ekor), tendangan kekepala. Ternyata dugaannya meleset, lawannya dengan tangkas
membungkuk sambil memutar tubuh, menyapu
ke arah kuda-kudanya. Kaki A-hai memang
kurang kokoh menempel tanah saat itu, karena
tubuhnya banyak doyong ke belakang, maka
tersapulah ia sehingga roboh.
Sapuan gadis cilik itu juga istimewa, bukan
sekedar menyapu tapi juga sedikit "mencongkel" sehingga robohnya lawan lebih
hebat daripada kalau disapu secara biasa.
653 Terngata dugaannya meleset,lawannya
dengan tangkas membungkuk sambil memutar
tubuh, menyapu ke arah kuda-kuda nya .
654 Di balik pohon, Pak Kiong Liong tersenyum
melihatnya. Pikirnya, "Nah, tahu rasa sekarang
si A-hai. Berulangkali ia sudah kuperingatkan
melatih kuda-kudanya agar lebih kokoh, tetapi
ia lebih suka latihan aneka ragam jurus anehaneh yang banyak melompatnya."
Sementara gaya tempur si gadis cilik
mengingatkan Pak Kiong Liong kepada seorang
pendekar wanita di masalampau, bibi Tong Lam
Hou yang bernama Tong Wi Lian, adik
perempuan Tong Wi Siang si pendiri Hwe-liongpang. Kalau tokoh itu belum meninggal dunia,
tentunya ya sudah tua sekali, sebab Tong Lam
Hou saja sudah kakek-kakek seusia Pak Kiong
Liong sendiri. Melihat gaya tendangan gadis
cilik itu, Pak Kiong iong bertanya dalam hati,
mungkinkah gadis itu pernah mendapat ajaran
pendekar wanita itu" Siapa pula gadis cilik ini,
yang dalam usia sembilan tahun telah
menunjukkan bakat dan dasar latihan yang
begitu mantap" Sementara itu si bocah A-hai sudah
melompat bangun kembali sambiI menepuk655
nepuk celananya yang menjadi kotor oleh tanah.
Katanya penasaran, "Kau curang, A-eng, kenapa
jurus Sin-liong-pa-bwe mendadak kau rubah
dengan menyapu kebawah" Tentu saja aku
tidak siap!" Si gadis cilik A-eng menggeleng-gelengkan
kepal sehingga sepasang kuncirnya bergoyanggoyang lucu, sahutnya, "Bukan karena aku
curang, tapi karena kau yang tolol! Kalau
seorang pendekar bertempur, ia boleh
menggunakan gerak tipu apapun untuk
memenangkan pertandingan.
Jurus yang kupakai tadi tidak harus Sin-liong-pa-bwe. tapi
juga boleh Boan-liong-jiau-po (Naga berputar
Langkah)!" Sesaat A-hai terbungkam, namun kemudian
masih belum mau menglah juga. "Baik, anggap
saja kali ini kau menang. Tetapi dalam tujuh kali
latihan aku menang enam kali dan kau baru
satu kali. Jadi secara keseiuruhan akulah yang
lebih lihai !" "Tidak bisa!" bantah A-eng, lagi-lagi
sepasang kuncirnya bergoyang-goyang. "Mana
656 bisa yang dulu-dulu dihitung semua" Hari ini ya
hhari ini. Kemarin kau masih lebih lihai
daripadaku, tapi sekarang akulah pemenangnya! Kaum pendekar pantang
menjilat ludahny!" A-hai menggaruk-garuk kepalanya yang
ditumbuhi rambut pendek kaku itu, dan
menggerutu, "Uh, jadi kemenanganku yang
kemarin-kemarin itu semuanya tidak dihitung
lagi ?" "Ya jelas tidak masuk hitungan, saat ini
kemenangan di tanganku, kalau kau ingin
menang, harus merebutnya dariku, bukan
dengan cara menghitung-hitung yang sudah
lewat !!" Pak Kiong Liong hampir tak dapat menahan
tertawanya melihat A-hai yang mati kutu
menghadadapi A-eng yang bukan Cuma lihai
tendangannya, tetapi juga lihai mulutnya.
Waktu itu dari atas gunung muncul lagi
seorang boch lelaki seusia A-hai, bahkan wajah
dan potongan tubuhnyapun kembar, sehingga
satu-satunya pembeda antara keduanya
657 hanyalah sikapnya yang kelihatan lebih tenang
dari A-hai yang keliatan usil itu.
"Kalian bertengkar lagi ?" Anak yang baru
datang itu langsung menegur dengan gaya
kakek-kakek memarahi cucu-cucunya. "Sejak Aeng datang kemari empat hari yang lalu,
kuhitung kalian sudah bertengkar tigapuluh
empat kali. Bahkan sampai soal kecil semacam
melemparkan makanan ikan kekolam pun
kalian jadikan bahan pertengkaran !"
"A-hai tidak mengakui kekalahannya." A-eng
mengadu "Benar begitu, A-hai ?"
"Memang aku kalah kali ini, tetapi mana bias
kemenanganku enam kali yang lalu hendak
dihapuskan begitu saja ?"
"Bagaimana kekalahanmu?"
"Dia menendang dengan Hau-bwe-tui,
harusnya dia lanjutkan dengan Sin-liong-pabwe seperti biasanya, eh tahu-tahu dia curang
merubahnya dengan Boan-Liong "jiau-po,
Tentu saja aku tertipu!"
658 Si bocah yang baru datang itu tertawa dan
berkata, "A-hai, watakmu yang mau menang
sendiri itu, menurut kata kakek, bias menutup
jalan kemajuanmu sendiri. Orang bertanding
silat tentu saja boleh menggunakan tipu, tidak
ngotot mempergunakan jurus yang sudah di
tebak lawannya. Jika dia ngotot, tandanya dia
sendiri yang tolol!"
"A-san, jadi kau malah membela setan kecil
itu?" A-eng kontan berang, "Siapa setan kecil" Kau
sendirilah setan kecil tidak tahu malu yang
tidak mau mengakui kekalahan !"
Saudara kembar A-hai yang bernama A-san
itu cepat menengahi, "Sudah, jangan bertengkar
lagi. Kakek menyuruh kalian latihan bersama
untuk kemajuan silat kalian, bukan mempertajam mulut dengan saling mencacimaki. A-hai, kau yang salah, ayo minta maaf
kepada A-eng!" Ketika A-hai melihat A-eng memberengut
marah, ia menjadi khawatir kalau "setan kecil"
itu benar-benar marah dan tidak mau diajak
659 latihan lagi Maka diapun akhirnya mengalah
dan berkata, "Baiklah. A-eng, aku mengaku
kalah. Kau jangan marah."
Waktu itulah Pak Kiong Liong muncul dari
persembunyiannya untuk menemui cucu
kembarnya yang bernama Tong San Hong dan
Tong Hai Long, katanya sambul bertepuk
tangan, "Bagus, seorang pendekar sejati berani
mengakui kesalahannya dan minta maaf secara
jantan. Sam wi Siau-eng-hong (Tiga Pendekar
Cilik), terimalah salam hormat Pak Kiong
Liong!" Melihat kakeknya muncul, kedua anak
kembar langsung berteriak gembira sambiI
berlarian menyerbu Pak Kiong Liong. Sesaat
kemudian, mereka sudah bergelayutan di pundak kanan dan kiri Pak Kiong L iong.
Si gadis cilik terlongong sejenak melihat
munculnya seorang kakek-kakek yang belum
dikenalnya. Melihat kakek itu begitu ramah,
mulut jahilnya pun berani mengejek. "Hah,
mana ada calon-calon pendekar begitu kolokan
minta digendong?" 660 Serempak Tong San Hong dan Jong Hai Long
melompat turun dari gendongan kakeknya
karena malu oleh sindiran itu. Tong Hai Long al
ias A-hai lalu balas mengejek, "Kau sendiri juga
sering digendong di punggung kakekmu!'
Tak peduli kata-kata A-hai, si gadis cilik
dengan berani langsung bertanya kepada Pak
Kiong Liong, "Eh, kakek, tentu kau sudah
melihat pertandingan tadi, coba kakek katakan
dengan jujur, siapa yang menang" Tapi jangan
berat sebelah, mentang-mentang cucunya
sendiri yang bertanding!"
Pak Kiong Liong tersenyum, "Kau yang
menang, A-eng. Tetapi jangan lengah berlatih,
supaya jangan sampai A-hai kelak membalas
mengalahkanmu!" "Jangan khawatir, kakekku terus melatih
aku!" sahut A-eng gagah. "Jangan harap A-hai
bisa menga lahkan aku lagi !"
Tong Hai Liong menjawab dengan hati yang
panas, "Huh, apa kebiasaan kakekmu selain
memelihara ular, kalajengking, kelabang, kodok
661 beracun dan binatang-binatang menjijikkan
lainnya?" "Setan gundul, kau belum tahu lihainya
kakekku. Biarpun kakekmu berdua digabung
menjadi satu juga belum tentu menang
melawan kakekku." Makian "setan gundul" untuk A-hai memang
cocok, karena rambutnya tercukur begitu
pendek sehingga nyaris gundul. Tetapi makian
itu menyerempat juga saudara kembarnya yang


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bersalah, sehingga tanpa sadar A-san juga
meraba-raba gundulnya. Selagi "perang mulut" nyaris berkobar lagi,
dari atas gunung terdengar suara tertawa
terbahak-bahak dan suara seorang tua, "A-eng,
jangan menyanjung kelebihan kakekmu yang
bobrok ini. Mana bisa kakek dibandingkan
dengan Panglima Pasukan Naga Terbang yang
terkenal sejak dulu?"
Dari atas gunung nampak dua orang kakekkakek berusia sebaya dengan Pak Kiong Liong
sedang berjalan turun. Kelihatannya mereka
masih jauh dan melangkah seenaknya, namun
662 tahu-tahu dalam waktu singkat mereka sudah
tiba di tempat itu . Yang satu adalah seorang kakek bertubuh
ramping tegap, memakai jubah kain kasar
dengan sebuah kantong tembakau tergantung di
pinggangnya dan tangan kirinya memegang
pipa tembakau yang sebentar-sebentar diisapnya. Dialah ketua Hwe-Liong "Pang. Tong
Lam Hou yang terkenal. Kakek satunya lagi
bertubuh gemuk, rambut putihnya dibiarkan
terurai tanpa dikuncir, wajahnya merah tua dan
selalu tertawa-tawa gembira.
A-eng lansung menubruk ke pelukan kakek
gendut itu dan merengek manja, "Kakek,
tunjukkan kelihaianmu agar setan gundul itu
tidak berani mengejek kakek lagi!"
Si kakek gendut tidak menggubris hasutan Aeng, tapi ia langsung membungkuk hormat
kepada Pak kiong Goan-swe yang sudah aku
kagumi sejak dulu. Di usia senja ini, aku merasa
beruntung masih sempat mendapat kehormatan
berhadapan muka dengan Goan-swe!"
663 Bersama gerakan si kakek gendut Pak Kiong
Ling tiba-tiba merasa ada tenaga tak berwujud
menindih sepasang pundaknya sedemikian
kuat, sehingga tubuhnya terhimpit. Padahal
jaraknya dengan kakek gendut itu masi lima
langkah. Mengertilah dia bahwa si kakek gendut
memiliki tenaga dalam yang hebat dan
bermaksud mengujinya. Saling menguji antar
jagoan di dunia persilatan memang hal biasa,
tak panda usia tua atau muda. Ada yang saling
gebrak langsung dengan cara kasar, ada juga
cara halus yang biasa antar sesame tokoh
berilmu tinggi. Cara kedua itulah yang kini
digunakan si kakek gendut untuk menguji Pak
Kiong Liong sambil menghormat itu.
Kagum juga Pak Kiong Liong, namun tidak
mau ia membiarkan dirinya dirobohkan begitu
saja. Ia juga melakukan gerakan menghormat
sambil berkata, "Tuan terlalu memuji?"
Dua gelombang tenaga tak berwujud segera
saling mendesak di tengah udara. Biarpun
keduanya tidak bersentuhan tubuh seujung
rambutpun, tetapi kekuatan yang terpancar dari
664 tubuh mereka agaknya cukup untuk melemparkan seekor kerbau sampai belasan
langkah. Beberapa detik kedua orang itu berwajah
tegang. Ternyata kemudian tenaga dalam Pak
Kiong Liong masih unggul setingkat. Namun ia
tidak ingin merobohkan dan membuat si kakek
gendut kehilangan muka. Maka ketika
tenaganya terasa hampir mendesak roboh
lawannya, dia justru perlahan-iahan mengurangi tekanannya. Si kakek gendut rupanya tahu diri kalau Pak
Kiong Liong sedikit mengalah kepadanya, maka
diapun mengendorkan tenaganya sambil
melompat mundur. Tanah bekas tempatnya
berpijak nampak amblas setengah jengkal,
padahal tempat itu tanahnya kering dan keras.
Tempat berpijak Pak Kiong Liong juga
amblas, tetapi tidak lebih. dari sejari. Itu bukti
kemenangannya bahwa ia tidak terlalu tertekan
dalam adu tenaga tadi . "Aku mengaku kalah!" si kakek gendut
tertawa lebar tanpa rasa penasaran. "Pak Kiong
665 Goan-swe, tidak percuma nama besarmu
menggetarkan daratan ini, kini mataku benarbenar telah terbuka dari kesombongan yang
selama ini menutupiku !"
Pak Kiong Liong yang berkesan baik atas
keterbukaan sikap si kakek gendut, menyahut,
"Tuan juga hebat. Tetapi aku ingin mengetahui
nama besar Tuan." Hwe-liong Pang-cu Lam Hou lah yang
kemudian memperkenalkan kakek gen dut itu ,
"A-liong, kau tentu pernah mendengar nama
Hong Thai Pa dari timur yang berjulukan Cuipoan-siang (Gajah Gemuk Pemabuk)."
Pak Kiong Liong seperti tersedar, "Jadi
tuankah ayah-angkat Se Bun Beng dari Lokyang, yang dulu ikut membasmi kelaliman
orang-orang Hek-eng-po?"
Si kakek gendut Hong Thai Pa agak nya suka
tertawa, sambil menjawab dia-pun tertawa,
"Goan-swe jangan terlalu memuji aku, dalam
pembasmian Hek-eng-po dulu anak angkatkulah yang lebih besar jasanya."
666 Si gadis cilik Se-Bun Hong-eng ketika
mendengar kakeknya mengaku kalah, keruan
saja menjadi penasaran, "Kakek, aku tahu kau
tidak kalah. Kau Cuma mengalah karena
sungkan kepada tuan rumah dan tamunya,
benar tidak?" "Hus! Tegur Hong Thai pa sambil melotot
kepada cucunya. "Kau membuat muka kakek
tidak bias disembunyikan kemanapun juga."
Pak Kiong Liong tertawa sambil mengelus
kepala Se-bun Hong-eng, "Betul, kami tadi
hanya berhasil sama kuat saja."
Penjelasan Pak Kiong Liong membuat sigadis
cilik agak puasa. Tetapi melihat Tong Hai Long
menyengirkan mulutnya agak mengejek,
dipungutnya sebutir batu dan dilemparkannya
kea rah "setan gundul" itu, untung tidak kena.,
Tong Lam Hou kemudian mengajak Pak
Kiong Long dan Hong Thai Pa kembali ke
markas. Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong adalah
dua tokoh yang bersahabat sejak muda, bahkan
kemudian berbesanan, dan sama-sama 667 mendapat nama besar pula. Orang persilatan
bilang, Jaman itu hanyalah Pun-bu Hwe-shio
dari Siau-lim-si yang bias menandingi
kehebatan kedua kakek itu. Namun Tong Thai
Pa juga bukan tokoh sembarangan, biarpun
kalah setingkat, dia jagoan dalam gwa-kang (
tenaga luar ) sehingga dia dijuluki Cui-poansiang. Namanya cukup disegani di wilayah
timur, sehingga iseng-iseng orang menyebutnya
"Gajah timur" untuk disejajarkan dengan si
Naga Utara Pak Kiong Liong dan Harimau
Selatan Tong Lam Hou. Adapun si gadis cilik Se-bun Hong eng bukan
benar-benar cucu Hong Thai Pa, sebab seumur
hidupnya Hong Thai pa tidak berkeluarga dan
tidak punya anak. Se-bun Hong-eng adalah
puterri Bun Beng, murid dan sekaligus anakangkat Hong Thai Pa, sehingga dianggap cucu
oleh Hong Thai Pa. Sambil berjalan ke markas, ketiga kakek
sakti itu bercakap-cakap.
"A-Liong," kata Tong lam Hou yang tetap
memanggil nama Pak Kiong Liong dengan
668 panggilannya semasa muda. "Kudengar ada
sedikit keributan di Pak-khia, tetapi tidak
kudengar jelas bagaimana peristiwa sebenarnya, benarkah begitu?"
"Tajam juga kupingmu. Aku bukan saja
terlibat, bahkan sekarang akulah kambing hitam
nomor satu dalam pandangan pihak yang
berkuasa," sahut Pak Kiong Liong. "Penguasa
sekarang, Kaisar Yong Ceng, yang jalan
pikirannya pun banyak dipengaruhi oleh Liong
Ke Toh, menganggap bahwa aku harus
ditumpas sebab merupakan pendukung utama
Pangeran In Te yang kini sudah lumpuh
kekuatannya." Tong Lam Hou menarik napas, sementara
Hong Thai Pa tidak ikut bicara, hanya
memasang kupingnya baik-baik.
Pak Kiong Liong lalu menceritakan secara
lengkap tetapi ringkas apa yang telah terjadi di
Pak-khia, Terhadap Hong Thai Pa yang ikut
mendengarkan. iapun tidak menyembunyikan
apa-apa. 669 Wajah Tong Lam Hou mulai berkerut sedih
dan geram ketika mendengar tentang
musnahnya Pasukan Naga Terbang. "Jadi....
mereka sudah tercerai-berai karena akal licik
Yong Ceng dan Ni Keng Giau?"
Pak Kiong Liong menganggukkan kepala.
Ikatan batin Tong Lam Hou dengan Pasukan
Naga Terbang tidak mudah dihapuskan, sebab
di masa mudanya ia pernah menjadi perwira
berpangkat Cona-peng dalam pasukan itu,
sebelum ia menjadi Ketua Hwe-liong-pang.
Banyak suka duka pernah dialaminya bersama
pasukan itu, Tong Lam Hou sama rasanya
seperti mendengar berita kematian sanak
keluarganya. la bicara sendiri, seolah-olah ditujukan
kepada angin pegunungan yang mengusap
lembut, "Di masa muda ayahku dulu, Hwe-liongpang bangkit melawan kelaliman pemerintah
Cong Ceng dari Dinasti Beng yang disetir oleh si
dorna Co Hua Sun, kini di hari tuaku, agaknya
Hwe-liong-pang harus terjun kembali ke arena
politik untuk melenyapkan Yong Ceng yang
670 bengis dan dipengaruhi Liong Ke Toh yang tidak
kalah busuknyu dengan Co Hua Sun dulu. Ah,
kenapa dorna-dorna penyengsara rakyat
macam i tu selalu ada di setiap jaman?"
Mendengar kata-kata Tong Lam Hon itu,
mekarlah hati Pak Kiong Liong. Kalau Hweliong-pang sudah mengambil sikap, bisa
diharapkan kekuatan dunia persllatan lain akan
mengikutinya, itu berarti ada harapan akan
tergalangnya sebuah kekuatan untuk menyelamatkan kekaisaran dari cengkeraman
Yong Ceng. Dia juga tahu, Tong Lam Hou
bersikap demikian bukan sekedar ingin ikut
"ramaii-ramai" karena sudah bosan menyirami
bunga atau menaburkan makanan ikan di
kolam, melainkan karena dipanggil menyeIamatkan negara dan rakyat.
Tanpa sadar Pak Kiong Liong menggenggam
tangan Tong Lam Hou sambil berkata terharu,
"Kau tetap seorang perajurit sejati, A-hou.
Bukan karena pakaianmu, tapi semangatmu . . ."
Saat itulah Hong Thai Pa yang diam sejak
tadi, tiba-tiba ikut bicara pula, "Aku bukan
671 seorang perajurit, tapi sebagai warga
kekaisaran rasanya wajib juga berbuat sesuatu
melawan kelaliman. Mudah-mudahan kalian
berdua tidak sampai hati meninggalkan aku
bertopang dagu kesepian di rumah."
"Maksudmu, Lou-hong (Hong tua)?" Tong
Lam Hou heran.

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Pak Kiong Goan-swe tidak keberatan,
aku ingin menyumbangkan tenagaku yang
sudah loyo ini supaya berarti juga dalam
perjuangan ini." Pak Kiong Liong tersenyum mendengar itu,
"Hong Sian-seng (tuan Hong), kau tidak sayang
mengorbankan hari tua mu yang tenteram
damai?" "Huh, tenteram kata Goan-swe" Di rumah
anakku di Lok-yang, aku merasa dipenjara. Aku
cuma disuruh duduk ongkang-ongkang,
sementara menantuku perempuan menyajikan
makanan yang enak-enak, dan aku dilarang
mengerjakan apa pun, katanya semua pekerjaan
sudah dikerjakan pelayan. Kalau mereka
merawat aku dengan cara demikian, rasanya
672 sama dengan menyurangi umurku perlahan-lahan."
Kedua kakek lainnya tertawa sementara
Tong Lam Hou berkata, Eh, Lou hong, jangan
tidak tahu berterima kasih separti itu . Anak dan
menantu berbuat demikian karena maksud
baik, tidak ingin melihat kau bergelandanga
sebagai pemabuk di dunia persilatan."
Hong Thai Pa menyeringai, "Kalau begitu,
kenapa kau sendiri sering menggerutu ketika
menyiram bunga" Orang-orang muda itu
melupakan kita masih punya kekuatan untuk
berbuat sesuatu. Dengan adanya peristiwa di
Pak-khia, kebetulan, ada alasan untuk
meninggalkan rumah dalam waktu agak lama."
"Kalau niat Hong Sian-seng begitu, aku tidak
berani menolaknya," kata Pak Kiong Liong
kemudian, "Mulai detik ini, Yong Ceng resmi
mendapat lawan tiga kakek-kakek ompong...."
"Mudah mudahan gigitan gusi ompong kita
masih terasa, bukan sekedar menimbulkan rasa
geli." Ketiga kakek itu tertawa berbareng.
673 Sementara itu, dari arah markas Hwe-Iiongpang muncul sekelompok orang menyongsong
mereka. Merekalah keluarga dan tokoh-tokoh
Hwe-Liong-pang yang ingin mengucapkan
selamat datang kepada Pak Kiong Liong, karena
mereka sudah mendengar berita dari Ji Han
Lim. Rombongan itu didahului sepasang lelaki
dan perempuan. Yang lelaki berusia sekitar
tigapuluh enam tahun, tegap dan tampan
biarpun beberapa helai uban mulai menghiasi
rambut bagian atas kupingnya. Yang perempuan beberapa tahun lebih muda,
tubuhnya ramping dan memakai pakaian serba
putih yang menjadi kegemarannya sejak muda.
Begitu melihat Pak Kiong Liong, wanita
berpakaian putih itu langsung menyongsong
mendahului dan memeluknya, sambiI berseru,
"Ayah!" Dialah puteri Pak Kiong Liong yang bernama
Pak Kiong Eng, yang di kalangan persilatan
pernah dijuluki pek-kiong Sian-li (Dewi Naya
Putih) dan juga Pek-ma Tok-hing
674 Begitu melihat Pak Kiong Liong, wanita berpakian
putih itu langsung menyongsong mandahului dan
memeluknya, sambil berseru, "Ayah!"
675 (Pengembara Tunggal Berkuda Putih) karena
tunggangngannya juga seekor kuda berbulu
putih yang dinamainya Hui-soat (si Salju
Terbang). Kemudian ia menikah dengan Tong
Gin yan, putera Ketua Hwe-liong-pang, lelaki
gagah yang berjalan di sampingnya tadi.
Pak Kiong Liong memeluk anaknya sambil
tertawa, "Eng-ji, kau sudah menjadi ibu dari dua
orang anak yang sebentar lagi menginjak usia
remaja, kenapa tingkah lakumu masih begini
kekanak-kanakan?" Pak Kiong Eng melepaskan diri dari pelukan
ayahnya, dan terlihatlah matanya agak basah
karena menangis, sehingga membuat ayahnya
heran, "Eh, kau malah menangis juga"Seingatku,
kedatanganku yang dulu tidak kau sambut
dengan airmata seperti ini "."
Sahut Pak Kiong Eng meluapkan perasaanya,
"Ayah, aku amat khawatir mendengar berita
simpang-siur dari Pak-Khia tentang pergulatan
kekuasaan kaisar dengan Pangeran In Te.
Hampir saja aku menyusul ke Pak-Khia."
676 Pak Kiong Liong menangguk-angguk paham
kenapa anak perempuannya menyam-butnya
dengan menangis seperti itu. Sementara itu Pak
Kiong Eng berkata lagi, "Aku semakin cemas
ketika di beberapa kota diiaporkan adanya
plakat-plakat besar di pintu-pintu gerbang kota,
berisi pengumuman istana yang menyediakan
hadiah besar buat siapapun yang dapat
menangkap ayah." Sang ayah hanya menyeringai kecut.
Sementara itu, Tong Gin Yang juga sudah
maju memberi hormat kepada mertuanya,
disusul oleh tokoh-tokoh Hwe-liong-pang
lainnya. Antara lain dua Hiang-cu (hulubalang),
masing-masing adalah Ko Seng Hwe-shio,
seorang pendeta yang mahir Liong-siang-kunhoat (Silat Naga dan Gajah), serta seorang lelaki
kurus kering berkulit hangus seperti orang
berpenyakit berat, matanya selalu kelihatan
mengantuk dan ia tak henti-hentinya mengisap
sebatang pipa tembakau berwarna hitam
mengkilat. Namanya Hu Se Hiong julukannya
tidak nu nyeramkan tapi malah menggelikan,
677 yaitu Ui-bin-peng-hou (Macan Penyakitan
Bermuka Kuning), namun ilmu menotok jalan
darahnya sangat lihai. Selain kedua Hiang-cu
itu, ada juga delapan Tong-cu (Kepala
kelompok) yang semuanya sudah dikenal Pak
Kiong Liong. Tinggal beberapa hari di Tiau-im-hong,
membuat Pak Kiong Liong hampir saja terlena
oleh ketenteraman tempat itu, tapi ia tidak bisa
lupa akan urusan utamanya untuk mencari
teman dalam menggulingkan Kaisar Yong Ceng
dan meniunjung Pangeran In Te. Maka pada
suatu malam, diapun berbicara dengan Tong
Lam Hou, Hong Thai Pa, Pak Kiong Eng, Tong
Gin Yan serta dua orang Hiang-cu, di sebuah
ruangan tertutup. "Aku tidak ingin melibatkan Hwe-Liong-pang
dalam perlawanan terbuka terhadap Kaisar,"
kata Pak Kiong Liong malam itu. "Akan terlalu
banyak korban jatuh. Nyawa setiap anggota
Hwe-liong-pang ada harganya, begitu juga
nyawa para perajurit yang mau tidak mau ber
ada di bawah perintah Yong Ceng. Karena itu,
678 sejauh-jauhnya harus kita hindari jatuhnya
korban." "Lalu apa gunanya kau datang kemari jauhjauh dari Pak-khia?" tanya Tong lam Hou sambiI
menghembuskan asap tembakau dari mulutnya,
sehingga ruang an itu nampak berkabut , karena
asap tembakau juga keluar dari mulut Ui-bin
peng-hou Hu Se-hiong. Sahut Pak Kiong Liong, "A-hou, aku hanya
minta bantuan secara pribadi, juga beberapa
orang saudara yang sanggup memikul tugas
berat." "Bantuan pribadi bagaimana?" Pak Kiong
Eng bertanya. "Aku dan beberapa orang dari kita akan
menyusup ke istana untuk membebas kan
Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai. Kalau
terlaksana dengan baik, ku harap Yong Ceng
bisa ditekan untuk menyerahkan tahtanya
kepada adindanya yang berhak. Jadi tidak perlu
dengan gerakan besar-besaran yang mengorban-kan banyak orang ."
679 "Sulit, ayah," kata Pak Kiong Eng. "Ayah
sendiri kenal bagaimana watak Yong Ceng. Ayah
menghindari pertentangan terbuka, sebaliknya
Yong Ceng akan siap mempertahankan
kedudukannya dengan keras, tidak peduli
berapapun banyak korbannya."
"Tidak, cara ini harus dicoba dulu. Kalau
Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai sudah
bebas dari cengkeraman Yong Ceng, pengaruhnya akan terasa di seluruh negeri,
sebab Pangeran In Te masih punya banyak
pendukung setia. Saat itulah Yong Ceng akan
kita seret ke meja perundingan untuk
menyerahkan kedudukannya dengan cara
damai." Sesaat ruangan itu sunyi, semua-nya
mengerutkan alis memikirkan pendapat Pak
Kiong Liong itu. Sampai kesunyian dipecahkan
oleh suara Tong Lam Hou, "Bagaimana kalau
kita ambil jalan langsung saja" Kita masuk
istana untuk membunuh Yong Ceng, lalu
Pangeran In te akan naik tahta tanpa kesulitan
lagi. Dengan demikian korbannya hanya Yong
680 Ceng saja. Mungkin dapat juga di-tambah Liong
Ke Toh dan Ni Keng Giau."
Ternyata Pak Kiong Liong menggelengkan
kepalanya, "Tidak kalau Yong Ceng mati lalu
otomatis Pangeran In Te mendapat haknya yang
sah. Saat ini Yong Ceng sudah mengangkat
puteranya yang masih remaja, Pangeran Hong
Lik, sebagai Putera Mahkota. Kalau ia mati,
pendukung-pendukungnya akan menjunjung
Hong Lik ke singgasana. Matinya Yong Ceng
secara tidak wajar bahkan akan menimbulkan
pertentangan terbuka antara pengikut-pengikut
Pangeran In Te dengan pendukung-pendukung
Hong Lik." Jenderal tua itu berhenti sejenak, menyapukan pandangan ke seluruh ruangan
untuk menangkap kesan-kesan dari wajahwajah tegang itu, lalu Melanjutkan, "...dan
jangan kaget, Yong Ceng naik tahta didukung
juga oleh sejumlah besar pendekar berpengaruh
di wilayah Kang-lam, bahkan juga Siau-lim pai ."
Seperti yang sudah diduga Pak Ki-ong Liong,
semua wajah kelihatan kaget mendengar
681 penjelasan itu. Sulit dipercaya. Siau-lim-pai"
Apa kuping mereka tidak salah dengar" Atau
Pak Kiong Liong saking bingungnya sudah bisa
melantur" Hong Thai Pa menghembuskan napas keraskeras, kemudian berkata, "Sulit dipercaya,
Goan-swe. Ratusan tahun Siau-lim pai memiliki nama harum sebagai sebuah
perguruan yang selalu berpihak kepada
kebenaran. Mungkinkah sekarang orang-orang
Siau-lim-pai mulai membelakangi ajaran leluhur
mereka, dan sudah terpikat kemuliaan duniawi
yang dijanjikan Yong Ceng?"
"Hong Sian-seng, masalahnya bukan karena
orang-orang Siau-lim-pai membelakangi ajaran
mereka, tapi karena mereka terlalu mempercayai dan mengharap terlalu banyak
kepada Yong Ceng. Bukan mengharap
kedudukan dan harta benda, tetapi maaf,
mengharap terwujudnya apa yang mereka
impikan sebagai persamaan derajat antara
orang Manchu dan Han."
682 Pak Kiong Liong menyelipkan permintaan


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maafnya, sebab sebagian besar pendengarnya
adalah orang Han. Namun ia juga percaya
bahwa para pendekar berdada lapang itu
takkan mengnmbil sikap berdasar rasa
kesukuan belaka, namun demi kemanfaatan
bersama seluruh negeri yang terdiri dari
berbagai suku itu. "Kenapa bisa begitu?" tanya Hu Se Hiong.
Sahut Pak Kiong Liong, "Ada riwayatnya,
saudara Hu. Dulu Yong Ceng adalah murid Siaulim-pai, juga Ni Keng Giau. la pernah berjanji,
kalau naik tahta dia akan menjunjung martabat
orang Han. Itulah yang membuat Siau-lim pai
sekarang memihak Yong Ceng, menjaga agar
kekuasaannya tidak diutik-utik, karena mengharap Yong Ceng akan memenuhi
janjinya." "Apakah kira-kira Yong Ceng akan
melaksanakan janjinya?" tanya Hu Se Hiong lagi.
Itu pertanyaan singkat tapi "berbahaya",
sebab masalah kesukuan masih cukup peka,
apalagi antara orang Han dan orang Manchu,
683 Karena itu, Pak Ki-ong Liong tidak menjawab
langsung, melainkan "putar-putar" dulu, "Aku
mohon saudara Hu mengingat-ingat. semasa
pemerintahan Sribaginda Khong Hi, ia pernah
menyakiti hati Bangsa Han atau tidak" Tentu
saja kecuali terhadap para pengacau, sebab
terhadap mereka tidak peduli apakah Han atau
Manchu atau Mongol atau Korea atau setan
belang, tentu harus ditindak tegas."
Hu Se Hiong terdiam sejenak, baru
menyahut, "Belum pernah rasanya. Kaisar
Khong Hi malah memajukan kebudayaan Han,
antara lain dengan menyusun buku Khong-hi-jitian (Kamus Besar Khong Hi) yang terkenal dan
amat mendorong terciptanya saling pengertian
antara orang Han dan Manchu. Dia juga pernah
membebaskan kota Yang-ciu dan Ke-teng tiga
tahun tidak membayar pajak, sebagai
penyesalan atas peristiwa berdarah dimasa
lalu." Pak Kiong Liong mengangguk-angguk
kernudian berkata, "Nah, sekarang silahkan
pikir lagi. Apakah garis pemisah Han dan
684 Manchu demikian tajam sehingga tidak
mungkin bersaudara" Ingat lah bahwa leluhur
kami juga pernah menjadi rakyat dari seorang
Kaisar Bangsa Han dari dinasti Tong. Karena itu
aku sedih mendengar segelintir orang Han
masih mengutik-utik rasa kesukuan untuk
mengacau di mana-mana. Mereka merasa
terhina karena karus menguncir rambut, tidak
ingat bahwa orang Manchu sama sekali tidak
tersinggung ketika harus meninggalkan dialek
Liao-tong dan berbahasa Han sehari-hari. Tidak
ingat juga bahwa Kaisar Khong Hi lahir dari
rahim Hau-kong Hong-hou, seorang perempuan
Bangsa Han, sehingga percampuran darah
sudah terjadi dalam keluarga istana yang
sekarang memerintah. Apakah orang Han masih
merasa dijajah orang Manchu" Bagaimana kalau
orang Manchu juga merasa dijajah orang Han
karena Kaisar Khong Hi berdarah campuran
Han" Persatuan adalah memberi dan menerima,
bukan satu pihak menginjak kepala pihak
lainnya... 685 Semuanya diam merenungkan kata-ka ta Pak
Kiong Liong itu. Setelah merasa "angin baik",
barulah Pak Kiong Liong menjawab pertanyaan
Hu Se Hiong tadi. "Saudara Hu, janji Yong Ceng itu omong
kosong, sebab hakekatnya sekarang ini Manchu
dan Han sudah sederajat dan menjadi
sekeluarga. Janji itu hanya untuk memanaskan
sementara pihak agar mau mendukungnya.
Tetapi menurut aku, tidak ada penindasan
orang Manchu kepada orang Han. Di beberapa
tempat memang ada beberapa pembesar
brengsek yang menindas rakyat, tetapi
bukankan di jaman Kerajaan Beng dulu juga ada
tindakan tercela macam itu, bahkan lebih
merajalela" Masalah ini bukan antara suku satu
dengan suku lain, melainkan antara yang
menindas dan yang tertindas. Kelaliman Yong
Ceng juga akan menyengsarakan orang Manchu,
bukan orang Han saja."
"Tentang dukungan Siau-lim-pai kepada
Yong Ceng?" 686 "Orang-orang Siau-lim-pai akan kecewa
kalau tahu mereka hanya diperalat untuk
mengamankan tahta Yong Ceng. kalau terhadap
orang tuanya sendiri pun Yong Ceng dapat
bertindak bengis, apa-lagi terhadap orang lain."
Setelah mengebulkan asap tembakaunya
beberapa kali, akhirnya Hu Se Hong
menunjukkan sikap. "Aku sependapat dengan
Goan-swe. Yang tertindas adalah, rakyat Han
dan Manchu, yang menindas, juga orang Han
dan Manchu, Ni Keng Giau dan Yong Ceng misal
nya." Disambung oleh Ko-seng Hwe-shio, "Garis
perjuangan Hwe-liong-pang sejak dulu terhadap
penguasa ialah menentu-kan sikap berdasar
apakah si penguasa mencintai atau menyengsarakan rakyat, bukan berdasar si
penguasa suku ini atau suku itu . . .."
Sikap kedua Hiang-cu itu agaknya mewakili
sikap semuanya. Maka rencana-pun disusun,
namun sesuai dengan permintaan Pak Kiong
Liong, rencana itu harus tetap menjadi rahasia
yang hanya diketahui orang-orang di ruangan
687 pertemuan itu. Sebab Hwe-liong-pang belum
ingin menantang Yong Ceng secara terbuka.
"Jadi, siapa saja yang akan kita tentukan
berangkat ke Pak-khia untuk membebaskan
Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai?" tanya
Tong Gin Yan kemudian. Dengan bersemangat, semuanya menyatakan ingin ikut, seolah-olah pergi ke Pakkhia bukan untuk menentang maut melainkan
untuk berpesiar. Tetapi Tiau im-hong tidak
dapat ditinggalkan kosong tanpa pemimpin,
maka akhirnya di-putuskan yang akan pergi
hanya Pak Kiong Liong, Tong Lam Hou dan
Hong Thai Pa saja. Sedang si gadis cilik Se-bun
Hong-eng untuk sementara akan dititip-kan di
Tiau-im-hong untuk menemani Tong San Hong
dan Tong Hai Long. "Tetapi jangan lupa mengirim kabar kepada
orangtua anak itu di Lok-yang, agar mereka
tidak gelisah memikirkan anak mereka yang
tidak pulang-pulang," pesan Hong Thai Pa
kepada Tong Gin Yan dan isterinya.
688 "Baik, Paman," sahut suami isteri itu. Mereka
memang sahabat baik Se-bun Beng dan Au Yang
Siau-hong di Lok-yang. Biarpun "regu penyelamat" Pangeran In Te
dan Ibu suri Tek Huai sudah ditetapkan, tapi
ketiga kakek itu tidak buru-buru berangkat ke
Pak-khia, Mereka masih di Tiau-im-hong
bberapa hari lagi untuk mematangkan rencana.
Dalam kesempatan sempit itu, Pak Kiong
Liong mencoba menambahkan ilmu silat kepada
kedua cucu kembarnya dan Se-bun Hong-eng
yang ikut belajar, meskipun tetap dengan
anggapan "kakekku nomor satu di dunia".
melihat bakat, kecerdasan dan semangat ketiga
bocah itu, Pak Kiong Liong jadi ingat Wan Lui, si
bocah dari keluarga pemburu yang tinggal jauh
di Tiang-pek-san Sana. Diam-diam Pak Kiong
Liong tersenyum sendiri, membayangkan
belasan tahun kemudian di dunia persilatan
akan muncul empat pendekar muda yang
semua-nya mahir Thian-liong-kiam-hoat ajaran
nya. Wan Lui bahkan bukan cuma menerima
Thian-liong-kiam-hoat, tapi juga ilmu-ilmu Pak
689 Kiong Liong lainnya seperti Thian-Iiong-kunhoat, Liong-jiau-kang yang dahsyat, meskipun
harus mempelajarinya hanya dari tulisan, tanpa
ditunggui Pak Kiong Liong sendiri. Tetapi, Pak
Kiong Liong yakin, dengan kecerdasan dan
keuletan Wan Lui, akan mengantar anak itu
mencapai tahap tinggi dalam pelajaran silatnya.
Lebih dari itu, Wan Lui menunjulkan watak
luhur. Ilmu silat tinggi di tangan seorang berwatak
luhur tidak akan menjadi malapetaka bagi
sesama, bahkan menjadi anugerah.
Melihat bakat Tong San Hong, Tong Hai Long
dan Se-bun Hong-eng, sekilas timbul juga niat
Pak Kiong Liong untuk mengajarkan semua
ilmunya, bukan cuma Thain-liong-kiam-hoat.
Tetapi niat itu akhirnya dibatalkan sendiri,
tidak baik anak-anak itu mempelajari ilmu yang
terlalu beraneka ragam. Si bocah kembar bukan
saja sudah dilatih ilmu-ilmu oleh Tong Lam Hou,
bahkan juga sudah mempelajari banyak ilmu
dari tokoh-tokoh Hwe-liong-pang. Jika Pak
Kiong Liong menambahnya lagi, ia khawatir bo690
cah-bocah itu tidak dapat menguasai sa lah satu
dengan matang. Semua bisa, tapi tidak matang,
itu percuma. Sedangkan Se-bun Hong-eng juga menguasai
macam-macam ilmu pula. Dari kakeknya, dari
ibunya yang beraliran Ki-Mon-pal, dan kalau
ketambahan Thain-liong-kim-hoat dari Pak
Kiong Hong Tiga bocah itu di satu pihak dan, Wan Lui
dlain pihak, kalau dibandingkan, masing-masing
akan memlliki kelebihan sendiri-sendiri. Tong
San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng
makin unggul dalam keaneka-ragaman ilmu, tetapi Wan Lui Jelas akan lebih mantap dan
matang. Wan Lul ketika ditemukan, Pak Kiong
Liong ibarat sebuah buku kosong yang bisa
ditulisi atau digambari apa saja. Sedang ketiga
bocah itu seperti buku yang hampir penuh,
sehingga Pak Kiong Liong cuma bisa "menulis"
sedikit di sela-sela yang masih kosong .
Pak Kiong Liong juga tidak lupa melatlh diri
sendiri. Hampir setahun latihannya agak
terbengkelai karena ia terlibat bermacam
691 urusan di Pak-khia. Dulu ia setingkat dengan
Tong Lam Hou, namuun saat itu agaknya Tong
Lam Hou sudah selangkah di depan.
Suatu pagi, ketika Tong Lam Hou, Pak Kiong
Liong dan Hong Thai Pa sedang bercakap-cakap
sambil menghirup teh hijau, di sebuah gardu
kecil ditengah-tengah kolam ikan yang lebar,
dibagian belakang markas Hwe-liong-pang,
tiba-tiba seorang anggota Hwe-liong-pang
datang menghadap membawa sikap gugup.
"Ada apa?" tanya Tong Lam Hou heran.
Sahut anggota Hwe-liong-pang itu "Pang-cu,
A-san, A-hai, dan A-eng ketika bermain-main di
lereng gunung yang agak jauh dari markas, telah
diculik oleh segerombolan orang berpakaian
hitam dan berkedok muka. Beberapa orang
rekan kami yang mencoba menyeIamatkan
mereka, tewas terkena sejenis senjata aneh....."
"Senjata aneh?"
"Ya. Kantong kulit terbang berantai yang bisa
mengambil batok kepala."
"Hiat-ti-cu!" seru Pak Kiong Liong kaget.
"Regu algojo Yong Ceng!"
692 Bukan hanya Tong Lam Hou dan Pak Kiong
Liong yang gelisah, tapi juga, Hong Thai Pa,
biarpun Se-bun Hong-eng bukan cucunya
benar-benar. namun sangat dicintainya seperti
cucunya sendiri "Kemana larinya penculik-penculik itu?"
"Kami cuma beihasil mengejar sampai ke
kaki gunung. Tetapi Siang-pang-cu Tong Gin Yan
dan Hu - jin sudah mengejar."
Dalam detik yang bersamaan, tiga kakek
yang kehilangan cucu itu telah bergerak cepat.
Tubuh mereka melompat langsung keluar gardu
di tengah kolam itu, menyeberangi kolam ikan
lewat udara dan langsung mengejar ke kaki


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung . Di kaki gunung mereka cuma menjumpai
mayat tiga anggota Hwe-liong-pang yang tak
berkepala lagi. Anehnya, leher mereka tidak
mengeluarkan banyak darah. Ketiga kakek itu
berhenti sejenak melihat mayat-mayat itu.
Tong Lam Hou heran melihat luka-luka di
leher mayat itu, "Senjata macam apa yang dapat
693 Di kaki gunung mereka Cuma menjumpai mayat
tiga anggota Hwe-liong-pang yang
tak berkepala lagi 694 memotong leher orang tanpa banyak keluar
darah seperti ini." "Mereka korban Hiat-ti-cu (Si Setetes darah)"
sahut Pak Kiong Liong. Di kaki gunung itu jalannya ada tiga jurusan,
dan mereka tidak tahu penculik-penculik itu
kabur ke a rah mana. Diam-diam Pak Kiong Liong sangat cemas,
bukan saja terhadap nasib ketiga bocah yang
diculik, tetapi juga anak-perempuannya dan
menantunya yang mengejar entah kearah mana.
Suami isteri itu belum melihat bagaimana lihai
nya cara kerja Hiat-ti-cu yang bisa membunuh
dari jarak jauh itu. Selain itu, Tong Gin Yan dan
Pak Kiong Eng pasti akan mengalami kesulitan
kalau bentrok dengan jagoan-jagoan utamanya
Yong Ceng semacam Biau Beng Lama, To Jiat
Hong, apalagi Kim Seng Pa. Ilmu Tong Gin Yan
dan Pak Kiong Eng belum memadai untuk
dihadapkan jago-jago tua itu.
"Bagaimana ini?" tanya Hong Thai Pa melihat
jalan tiga jurusan itu. 695 Pak Kiong Liong cepat mengatur siasat, "Kita
berpencar ke tiga arah. Kalau sampa isore
belum menemui penculik penculik itu, kita
berkumpul Iagi di sini. Kalau bertemu Yan-ji
dan Eng-ji, tenangkan mereka dan sekalian ajak
mereka pulang. Nyawa ketiga anak itu tidak
terancam, sebab tujuan musuh hanya unluk
menekan atau memancing aku."
Ketiga kakek itu kemudian bergerak ke tiga
jurusan. Gerak tubuh mereka amat cepat, sebab
masing-masing telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuh demi berhasilnya mengejar
para penculik. Demikianlah pengejaran dimulai dengan
berbekal sedikit harapan, tetapi sore harinya
mereka berkumpul kembali dengan wajah mu
rung dan tegang, semuanya bertangan kosong.
Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng juga kembali
bersama Hong Thai Pa. Anak perempuan Pak
Kiong Liong itu nampak merah matanya karena
menahan tangis, ia mengepalkan tinju dan
berkata penuh tekad, "Seujung rambut saja A696
san dan A-hai mengalami cidera aku bersumpah
akan memotong-motong tubuh Yong Ceng!"
Itulah geraman seekor macan betina yang
kehilangan anak-anaknya. Sedangkan Pak Kiong Liong berkata penuh
sesal, "Aku menyesali kelengahan ku,
seharusnya sudah kuperhitungkan bahwa Yong
Ceng tentu mengarahkan pandangannya
kemari, sebab tahu bahwa Tiau-im-hong adalah
rumahku yang kedua. Gara-gara aku, tiga bocah
tak bersalah itu harus menderita."
"Janqan menyalahkan diri sendiri, Goanswe," kata Tong Thai Pa yang tidak lagi tertawatawa seperti biasa-nya. "Kita semualah yang
tidak becus, sehingga musuh berani malangmelintang seenaknya di depan hidung kita!"
"Tenanglah kalian. Kita marah dan kecewa,
tetapi tidak perlu kehilangan akal sehat," kata
Tong Lam Hou. "Aku sependapat denganmu, Aliong, nyawa anak-anak tidak terancam, sebab
tujuan mereka hanyalah menggertak kita yang
tua-tua ini meskipun mereka akan sedikit
menderita. Sebaiknya kita pulang dulu ke
697 markas untuk merundingkan langkah-langkah
yang lebih terarah."
Lalu merekapun pulang ke markas. Dalam
perjalanan pulang, Tong Gin Yan selalu
berusaha menenangkan isterinya. Biarpun Pak
Kiong Eng seorang pendekar wanita yang
bahkan amat tabah menghadapi ancaman maut
terhadap nyawanya sendiri, tetapi sebagai
seorang ibu. ia jelas tidak tenteram memikirkan
kedua anaknya yang dibawa para penculik.
Meskipun para pencuiik itu disuruh oleh paman
dari anak-anak itu sendiri, Yong Ceng, tetapi
Paman yang jahat. Suasana markas juga diliputi suasana
berkabung atas gugurnya tiqa anggota Hweliong-pang, apalagi mayat-mayat itu tidak
berkepala semuanya. Namun suasana itu tidak berlarut-larut,
rencana segera ditetapkan. Seng Hwe-shio akan
tetap tinggal di Tiau-im-hong untuk memimpin
Hwe-liong-pang sementara Tong Lam Hou
pergi. Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng, bah Hu
se Hiong, Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng akan
698 mengejar ke Pak-khia lewat jalur utara, sekalian
melalui kiok-yang untuk mengabarkan berita
sedih itu kepada kedua orangtua Se-bun Hongeng. Sedangkan tiga kakek-kakek, Juga akan ke
Pak-khia namun lewat jalan lain.
Keesokan harinya, begitu fajar menyinsing,
dua kelompok yang menuju Pak Khia Itupun
berangkat dengan menunggang kuda. Di kakl
gunung, sebelum kedua rombongan itu
berpisah, mereka sempat saling berpesan untuk
tetap saling mengirim berita lewat pihak-pihak
bersahabat dengan mereka di dunia persilatan,
Tiga orang kakek berkuda tanpa tergesagesa, sebab mereka yakin tiga bocah " itu
takkan dibunuh, hanya digunakan sebagai
umpan untuk memancing Pak Kiong Ling
meninggalkan Tiau Im-hong. Apa yang tidak
diperhitungkan pihak penculik ialah Tong Lam
Hou dan Hong Thai pa ikut terpancing pula.
"Sedikit penderitaan buat ketiga bocah itu
ada juga baiknya," kata Tong Lam Hou. "Selama
ini mereka hidup terus dibawah perlindungan
yang aman, sehingga aku sering khawatir kalau
699 mereka kelak menjadi cengeng. Pengalaman
kali ini akan mendidik mereka."
Pak Kiong liong juga tersenyum dan
menjawab, "Akupun berpikir begitu, tapi tidak
berani mengucapkan di depan Yan-ji dan Eng-ji.
Khawatir kalau mereka menuduhku lebih
mementingkan urusan politik daripada keselamatan cucu-cucu ku sendiri".."
"Ah, kuharap mereka takkan berprasangka
sejauh itu." Beberapa hari kemudian, mereka masuk
kota seng-toh, kota besar dan ramai yang
menjadi ibukota propinsi Se-cuan. Dulu ketika
Peng-se-ong Bu Sam Kui memberontak kepada
kerajaan Manchu. Kota itu hancur oleh
peperangan, tetapi kini bekas-bekas kehancuran sudah tidak Nampak lagi. Suasana
kehidupan tak berbeda dengan suasana kotakota besar lainnya.
Ketika ketiga orang tua itu mulai merasa
perut mereka keroncongan. Mereka berbelok
masuk ke sebuah rumah makan di tepi jalan.
Dan sesaat kemudian merekapun sudah
700 menikmati hidangan-hi-dangan lezat. Hong Thai
Pa yang sudah dua hari ketagihan arak karena
kehabisan, kini memuaskan kegemarannya
sehingga wajahnya semakin merah.
Saat itulah muncul seorang hwe-shio berusia
muda yang langsung mendekati meja mereka,
dengan hormat Hwe-shio itu bertanya, "Apakah
aku sedang berhadapan dengan Hwe-liong
Pang-cu Tong Lam Hou dan Goan-swe Pak
Kiong Liong?" Hong Thai Pa tidak disapa, namun kakek
gendut itu tidak peduli dan meneruskan makan
minumnya yang lahap. Sementara Tong Lam Hou telah bertanya
kepada hwe-shio itu, "Benar, Siau suhu sendiri
siapa?" "'Namaku yang tiada artinya ini rasanya tidak
perlu tuan-tuan ketahui. Aku hanya menyampaikan undangan dari Su-pek (uwa
guru) untuk mengundang Pang-cu sekalian
pergi ke wihara Gong-sim-si, dekat pintu
gerbang selatan kota ini."
701 "Siapakah Toa-suhu yang mengundang
kami?" "Pun-khong Hwe-shio dari Siau-lim-si."
Nama si pengundang dan asal-usul
perguruannya membuat undangan itu terlalu
berbobot untuk diremehhkan begitu saja. Sahut
Tong Lam Hou kemudian, "kami merasa
mendapat kehormatan bahwa pendeta agung
Siau-lim-si mengundang kami. Kalau Siau-suhu
berkenan menunjukkan jalan, kami akan segera
meghadap beliau." Hwe-shio muda itu berkata lagi, "Tidak perlu
terburu-buru, tuan bertiga. Silahkan tuan-tuan
lebih dulu menyelesaikan santapan tuan-tuan."
Tong Lam Hou paham, kalau pun-khong
Hwe-shio mengundangnya tentu ada urusan
penting, bukan sekedar mengajak ngobrol.
Maka diapun ingin segera menemuinya, "Tidak
sopan membiarkan Pun-khong Hwe-shio
menunggu terlalu lama. Siau-suhu, kami bisa
berangkat sekarang juga."
"Kalau begitu, mari kutunjukkan jalannya."
702 Setelah membayar harga makan minum
mereka, Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong dan
Hong Thai Pa keluar mengikuti hwe-shio muda
itu. Karena si pengantar berjalan kaki, maka
Tong Lam Hou bertiga juga tidak menaiki kuda
mereka, hanya di tuntun saja.
Gong-sim si adalah sebuah wihara dibagian
selatan kota Seng-Toh, berukuran tidak besar
dan tidak juga kecil. Letaknya di bagian kota
yang tidak terlalu ramai, halamannya ditumbuhi
beberapa pohon rindang yang menimbulkan
kesan tentram dan juga meredam kebisingan
kota Seng-toh. Saat mereka datang, beberapa
hwe-sio muda tengah menyapu halaman untuk
membersihkan daun-daun kering.
Ketiga tamu diantarkan terus kebagian
dalam, setelah kuda meraka diserahkan kepada
hwesio muda di halaman depan. Dihalaman
tengah, mereka disambut seorang pendeta tua
yang berjubah kuning bersih dan berkalung
tasbih kayu coklat tua, diiringi dua pendeta tua
lainnya. Begitu melihat Tong Lam Hou, ia
703 langsung menyambutnya dengan sikap seorang
teman lama. Pun-Khong Hwe-Shio, pendeta tua itu
memperkenalkan kedua adik seperguruannya
yang bernama Pun Hoat dan Pun Seng Hweshio. Biarpun nama mereka tidak dikenal dunia
persilatan, tapi siapapun tahu bahwa tiap
pendekar Siau Lim-si tentu membakali diri
dengan ilmu silat yang tidak remeh. Siau-Lim-si
adalah "kandan naga dan gua harimau" bagi
dunia persilatan Tiong-Goan.
Ketika Tong Lam Hou memperkenalkan
kedua teman seperjalanannya, ketiga pendeta
tua itu menunjukkan sikap hangat kepada Tong
Thai Pa, sebaliknya bersikap dingin kepada Pak
Kiong Liong. Pak Kiong Liong bisa memaklumi sikap itu. Ia
adalah pendukung Pangeran In Te, sedang
orang-orang Siau-lim-pai adalah pendukung
Yong Ceng, biarpun tidak terlibat langsung.
Orang-orang Siau-lim-pai menganggap bahwa
mendukung Yong Ceng sama saja "Memperjuangkan martabat Bangsa Han",


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

704 karena mereka semua percaya janji-janji Yong
Ceng sebelum naik tahta dulu.
Kini pihak pengundang dan pihak tamu
sudah berhadap-hadapan di ruang tengah kuil
Gong-sim-si. Sesaat mereka masih saling
berbasa-basi, sementara seorang pendeta cilik
menyuguhkan teh, Ahirnya tiba juga saatnya Pun-khong Hweshio mengatakan maksud sebenarnya, "Pang-cu,
sebelumnya aku mohon maaf kalau kata-kataku
menyinggung Pang-cu. Belakangan ini aku
mendengerar berita yang agak mencemaskan
tentang perubahan sikap Hwe-Liong-Pang yang
Pang-cu pimpin." Ketika mengucapkan kata "perubahan sikap"
pandangan mata Pun-khong Hwe-shio hinggap
sejenak di wajah Pak Kiong Liong yang duduk
disamping kiri Tong lam Hou.
"Perubahan sikap yang bagaimana ToaSuhu?" Tong Lam Hou minta ketegasan.
Pun-Khong Hwe-Shio menjawab hati-hati.
"Aku memberanikan diri bicara amat terbuka
kepada Pang-cu, tak lain karena pihak Siau-lim705
pai menganggap Hwe-Lion-pang sebagai teman
yang dapat dipercaya. Teman seperjuangan
menghadapi kelaliman dimuka bumi dalam
menegakkan kesejahteraan rakyat."
Begitu panjang kalimatnya. Tapi maksud
sebenernya belum juga terungkap. Tong Lam
Hou mencoba mendengarkan dengan sabari,
sebab ia maklum Pun-Khong hwe-shio ingin
bicara dengan amat hati-hati. Sedang Pak Kiong
LIong mulai merasa kemana arah tujuan katakata si pendeta tua. Diteguknya tehnya untuk
mengurangi ketegangan hatinya.
Sesaat Pun-Khong Hwe-shio menatap wajah
tamu-tamunya sebelum melanjutkan, "Maaf,
Pang-cu, aku cemas Hwe-liong-pang akan terbujuk oleh sesuatu pihak yang haus
kekuasaan. Sehingga menyeleweng dari garis
perjuangan Hwe-lion-pang yangluhur. Sekali
lagi maafkan kata-kataku, Pang-cu"
Sebelum Tong lam Hou menyahut Pak Kiong
Liong yang tidak sabar lagi itupun telah
bertanya dengan tajam, "Pihakmana yang
706 membujuk Hwe-Lion-Pang agar menyeleweng,
Toa-suhu?" Pun-khong Hwe-shio mengalihkan pandangannya kepada Pak Kiong Liong, "Goanswe, harap Goan-swe tidak marah kalau
kuanjurkan kepadamu agar tidak menyeret
Hwe-liong-pang dalam pertikaian antar puteraputera Kaisar Khong Hi. Makin banyak yang ikut
campur, makin ruwet masalahnya. Bahkan
kuanjurkan agar Goan-swe sendiri juga menarik
diri saja. Sudah kudengar betapa besar jasa
Goan-swe dalam berjuang untuk kesejahteraan
negeri, karena itu amatlah bijaksana kalau
Goan-swe tidak merusak dengan tanganmu
sendiri atas apa yang sudah mapan di
kekaisaran ini." Pak Kiong Liong tidak kaget, sejak tadi
memang sudah menduga kesitulah arah bicara
Pun-khong Hwe-shio. Ta nyanya, "Toa-suhu,
jadi sekarang Toa-suhu sudah menjadi juru
bicara Yonq Ceng, murid perguruan Toa-suhu
itu?" 707 "Biarpun Yong Ceng murid Siau-lim-pai, aku
tidak bicara untuk kepentingan pribadinya, atau
untuk kepentingan Siau-lim-pai. Aku bicara atas
nama rakyat yang tertindas. Yong Ceng sudah
bertahta, berilah kesempatan baginya untuk
membuktikan kepemimpinannya yang baik.
Janganlah ia terus ditentang, sebab rakyatlah
yang akan terkena akibat nya
Semula Tong Lam Hou yang diajak bicara
oleh Pun-khong Hwe-shio, namun kini beralih
kepada Pak Kiong Liong. Tong Lam Hou
membiarkan saja, sebab ia tahu Pak Kiong Liong
lebih menguasai masalahnya, lebih paham
seluk-beluknya . "Toa-suhu," suara Pak Kiong Liong masih
bernada hormat, "Percayakah Toa-suhu bahwa
Yong Ceng akan menghadiahkan kesejahteraan
kepada rakyat" mengharap kebaikan dari orang
yang memalsukan Surat Wasiat ayahandanya
sendiri, merencanakan kematian ayahandanya
sendiri, memenjarakan saudara-saudaranya
sendiri, menyandera ibunya sendiri untuk
menekan Pangeran In Te, tidakkah itu sama
708 dengan mengharapkan keluarnya gading
berharga dari mulut seekor anjing" Toa-suhu
minta kami membiarkan iblis itu terus bertahta
agar berkesempatan menyebarkan malapetaka
ke atas jutaan rakyat?"
"Ucapan Goan-swe berat sebelah dan hanya
dari sudut kepentingan pihak yang Goan-swe
bela," bantah Pun-khong Hwe-shio. "Dalam
perebutan kekuasaan, memang wajar kalau
pihak yang kalah selalu menyebarkan berita
bohong untuk men jeIek-jelekkan si pemenang.
Mana buktinya Yong Ceng merencanakan
kematian ayahandanya dan merubah Surat
Wasiat" Tak ada bukti, tak ada saksi. Dia
memang memenjarakan Pangeran In Gi dan
Pangeran In Tong, tapi itu pantas buat kedua
Pangeran pembangkang itu . Dia menggunakan
siasat untuk mengalahkan Pangeran In Te yang
hendak merebut kekuasaan lewat pertumpahan
darah itupun pantas. Mana bisa dibilang licik?"
Darah Pak Kiong Liong mulai panas,
suaranyapun semakin tajam, "Memang Yong
Ceng berhasil melenyapkan bukti dan saksi,
709 sehingga dia kelihatan tetap bersih di mata Toasuhu. Tetapi aku bukan orang dungu yang
mempercayai begitu saja segala desas-desus.
aku sudah menyelidiknya sendlri.Aku sudah
mengenal watak liciknya sejak dia bocah!"
Kepala gundul Pun-Khong Hwe-Shio bergerak-gerak menjengkelkan Pak Kiong
Liong, apalagi kata-katanya, "Sulit dipercaya
Yong Ceng melakukan hal-hal seburukitu.
Semua cerita bohong itu pasti disiarkan
pengikut-pengikut Pangeran In Te yang kecewa
tersingkir dari persaingan. Pun-hoat Sute, coba
ceritakan kepada Pak Kiong
Goan-Swe bagaimana tingkah laku Yong Ceng selama
menjadi murid Siau-Lim-Pai."
Pun Hoat Hwe-Sho adalah seorang pendeta
kurus hingga mirip tengkorak hidup, katanya,
"Baik, suheng. Yong Ceng semasa muda dan
menyamar dengan nana Si Liong Cu, pernah
membunuh seorang pembesar jahat di kota
Teng-hong yang menindas penduduk tak peduli
pembesar itu berdarah seperti dirinya sendiri.
Ia juga membasmi banyak penjahat, 710 mengangkat saudara dengan banyak pendekar
aliran lurus di Kang-Lam. Masih banyak
perbuatan yang mulia, tak mungkin diceritakan
satu persatu." Lalu Pun-Khong Hwe-Shio menyambung
kata-kata adik seperguruannya. "semua
perbuatan mulia itu adalah perbuatan nyata,
bukan hanya kabar angin. Banyak saksi yang
masih bisa ditanyai. Sebaliknya kabar tentang
membunuh ayahnya dan memalsu Surat Wasiat
segala itu tidak ada saksinya. Kalau kita berpikir
adil, mana yang lebih patut dipercaya?"
(Bersambung Jilid XII ) 711 712 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XII Pak Kiong Liong merasa tersudut. Biarpun ia
yakin betul kejahatan Yong Ceng, apa gunanya
kalau tidak dapat mengajukan bukti dan saksi"
Sedang Pun-khong Hwe-shio berkata lagi,
kali ini kepada Tong Lam Hou, "Pang-cu,
segenap anggota Siau-lim-pai mengharap Pangcu dapat menimbang dengan adil mana yang
benar dan mana yang salah. Jangan menimbang
berat sebelah hanya karena mendengar dari
orang yang masih ada hubungan kekeluargaan."
Sahut si pemimpin Hwe-liong-pang, "Toasuhu, tolong jawab, orang yang tega menyuruh
anak buahnya untuk menculik tiga orang bocah
tak berdosa, masih dapat dihitung orang baik
atau tidak?" 713 Sepasang alis putih Pun-khong Hwe shio
berkerut, "Siapa yang berbuat demikian, Pangcu?"
"Dialah Yong Ceng yang baru saja dipuji-puji
setinggi langit oleh Toa, suhu bertiga. Saat ini
kami justru sedang mengejar penculik-penculik
itu ke Pak-khia." Pun-khong Hwe shio kontan bungkam,
sehingga Pun-seng Hwe-shio yang tinggi besar
dan berwajah hitam itulah yang menjawab,
"Pang-cu, tak dapat disangkal bahwa di antara
sekelompok domba barangkali terselip satu dua
ekor serigala berbulu domba. Kalau perbuatan
anakbuahnya itu diketahui oleh Yong Ceng
sendiri, anak buahnya itu pasti akan dihukum
berat, mengingat watak Yong Ceng yang
menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan."
Bicara bolak-balik, pendeta-pendeta itu tetap
bersikeras membela "keluhuran budi" Kaisar
Yong Ceng, membuat Tong Lam Hou dan Pak
Kiong Liong mengeluh dalam hati karena
kemungkinan akan menemui rintangan berat
dari pihak Siau-Iim-pai. Tetapi Tong Lam Hou
714 dan Pak Kiong Liong tidak mungkin membenci
pendeta-pendeta itu, bahkan kasihan karena
mereka dikelabuhi selama ini oleh Yong Ceng.
Pendeta-pendeta itu bukan orang bodoh, tetapi
Yong Ceng lah yang terlalu pintar bersandiwara
selama i i . "Toa-suhu, agaknya kita tidak sependapat,"
sahut Tong Lam Hou, "Tapi kita adalah temanteman lama, tak mungkin kita wujudkan
ketidak-sepakatan kita dalam baku-hantam
seperti anak kecil berebut layangan. Biarlah
sang waktu saja yang akan membuktikan baik
atau jahatnya Yong Ceng. Tetapi ada satu hal
yang tidak bisa kami tunda, yaiitu keselamatan
cucu-cucu kami yang dicuIik orang-orang Yong
Ceng." "Jadi Pang-cu bertiga tetap akan melanjutkan
perjalanan ke Pak-khia?"
"Benar, Toa suhu. Selain mengejar pencuIik,
aku juga ingin melihat sendiri segala
perkembangan di Pak-khia, tidak hanya
mendengarkan dari orang lain."
715 Pun-khong Hwe-shio menarik napas untuk
menekan kejengkelannya. "Jadi Pang-cu juga
belum mempercayai ucapan-ku tadi" Masih
perlu membukrikan sendiri ke Pak-khia?"
"Mana berani aku tidak mempercayai Toasuhu sebagai tokoh terhormat dunia persilatan"
Tetapi aku khawatir bahwa keyakinan Toa-suhu
itupun keyakinan semu, hasil akal licik Yong
Ceng untuk memperalat Siau-lim-pai . Lagi pula
memang aku harus tetap ke Pak-khia demi
cucu-cucuku." "Kami juga percaya bahwa Pang-cu akan
menilai keadaan di Pak-khia dengan adil,
namun kami khawatir pertimbangan adil
Pangcu akan menjadi berat sebelah karena
dipengaruhi bisikan seseorang yang Pang-cu
anggap sebagai sahabat baik."
Lagi-lagi Pun-khong Hwe-shio melirik ke
arah Pak Kiong Liong. Pembicaraan sekarang
bukan lagi saling membujuk, melainkan sudah
mulai saling menuduh."Lalu bagaimana nasib
cucu-cucuku" Akankah mereka dibiarkan saja
dalam cengkeraman algojo-algojo bengis itu?"
716 "Soal itu bisa Pang-cu percayakan kepada
kami. Pulanglah Pang-cu di Tiau im-hong untuk
hidup tenteram, nanti kami antarkan cucucucumu itu dalam keadaan selamat ke
tempatmu." Tong Lam Hou percaya pihak Siau-lim-pai


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menepati kesanggupannya, kalau dia
setuju, maka ia akan ongkang ongkang saja di
Tiau-im-hong dan tahu-tahu cucu-cucunya akan
kembaIi dengan selamat. Tidak usah susahsusah menempuh bahaya ke Pak-khia. Namun
dengan demikian dia akan membiarkan pihak
luar mengatur seenaknya gerak-geriknya ,
"Terima kasih atas tawaran Toa-suhu. Tapi aku
tidak berani merepotkan Toa-suhu, aku akan
tetap ke Pak-khia." Pun-khong Hwe shio mulai gelisah. la
khawatir Tong Lam Hou akan "tersesat"
mengambil sikap dalam kemelut politik itu,
maka ia bertekad biar bagai manapun harus
mencegah Tong Lam Hou pergi ke Pak-khi a.
"Jadi Pang-cu bersikeras melanjutkan
perjalanan?" 717 "Benar, Toa-suhu."
"Aku benar-benar minta maaf, Pang CU,
kalau kunyatakan bahwa pihak Siau-lim-pai
keberatan Pang-cu pergi ke Pak-khia, Tentang
keselamatan cucu-cucu Pang-cu, percayakan
kepada kami saja." "Toa-suhu, kalau pihakmu bersike--ras
mengatur tindakan-tindakan kami, tidakkah itu
berlebihan" Memangnya kami kaum Hwe-liongpang hanya sekumpulan kerbau yang dicucuk
hidungnya dan menurut dituntun kesana
kemari?" Rupanya Tong Lam Hou, Pak Kiong Liong
dan Tong Thai Pa mulai panas hatinya melihat
sikap pendeta-pendeta Siau-lim-pai itu. Masa
hendak menyelamat kan cucu sendiri saja harus
diatur oleh mereka" Sebaliknya pendeta-pendeta Siau-lim-pai
juga mulai jengkel menghadapi "kebandelan"
Ketua Hwe-liong-pang. Mereka curiga bahwa
alasan "mengejar peculik cucu-cucu" itu
hanyalah selubung dari maksud yang
sebenarnya, yaitu mengusik Yong Ceng. Maka
718 para pendeta itupun bertekad bahwa Hweliong-pang harus "diselamatkan dari pengaruh
hasutan jahat Pak Kiong Liong".
Nada suara Pun-khong Hwe-shio tidak .lagi
sesabar semula, "Kami tidak berani menganggap Hwe-liong-pang serendah itu. Tapi
demi rakyat yang sudah bosan pertentangan di
pusat pemerintahan, aku mohon Pang-cu
r.empert i mbangkan lagi si kap Pang-cu!"
"Sikapku sudah kupertimbangkan berulang
kali dan aku sudah mantap menjalaninya. Tak
mungkin kurubah lagi, Toa-suhu."
Pun-khong Hwe-shio cuma menarik napas,
sedangkan Pun-seng Hwe-shio telah berapi-api
mukanya karena marah. Apalagi ketika
mendengar Pak Kiong Liong berkata, "Justru
pihak Siau-lim-pai yang aku mohon dengan
hormat agar mempertimbangkan kembali
dukungan kalian yang membabi-buta terhadap
Yong Ceng. Selidiki dulu penguasa macam apa
yang hendak kalian dukung itu."
Pun-seng Hwe-shio yang lebih pemarah itu
telah menjawab keras mendahului Pun-khong
719 Hwe-shio, "Kami tidak mendukung membabibuta! Kami yakin Yong Ceng akan menjadi raja
yang baik, dan demi rakyat, kami akan
menentang siapapun yang mengusik kekuasaannya yang sudah mapan! Tong Pangcu, kutanya sekali lagi, Pang-cu bersedia membatalkan perjalanan ke Pak khia atau t idak."
"Maaf, Toa-suhu, biar aku lihat sendiri
keadaan Pak-khia." "Benar-benar sesat pikiran!" Pun-seng Hweshio menggebrak meja di sampingnya sehingga
hancur berantakan. "Tidak ada jalan lain,
terpaksa kami pendeta-pendeta lemah ini harus
berjuang menghalangi Pang-cu dan Goan-swe
berdua." "Bertiga!" Hong Thai Pa yang diam sejak tadi
kini berkata meralat ucapan Pun-seng Hwe-shio
itu. "Yong Ceng menyuruh orang-orang untuk
menculik cucuku juga, maka dia punya utang
yang harus aku tagih!"
Suasana menjadi tegang. Kedua pihak
berpegang teguh kepada keyakinan masingmasing yang anehnya sama-sama "demi
720 kepentingan rakyat", sementara yang namanya
"rakyat" itu tidak terwakili atau diminta
pendapatnya dalam pembicaraan itu. Seolah
rakyat hanyalah biji-biji catur yang harus
menurut digerakkan kesana kemari oleh
pemain-pemain yang bertanding. Yang satu berpendapat bahwa Yong Ceng harus ditumbangkan dan digantikan Pangeran In Te, yang
lain berpendapat Yong Ceng harus dipertahankan supaya dapat menjalankan
pemerintahan "dengan baik".
Seolah rakyat tidak berhak membicarakan
nasib mereka sendiri. Nasib mereka dipercayakan kepada orang-orang pintar yang
pandai bersilat lidah dan ngotot dengan
pendiriannya sendiri-sendiri .
Pun-khong Hwe-shio berkata penuh sesal,
"Sungguh kusesalkan bahwa kami harus
bertarung dengan seorang sahabat lama yang
kami hormati. Tapi rasanya tidak ada jalan lain."
Tong Lam Hou sendiri juga menyesali
pertarungan tak terhmdarkan, tetapl ia ingin
agar pertarungan tidak menimbulkan sakit-hati
721 di kemud.an hari maka diapun mengusulkan,
"Akupun menyesal, Toa-suhu. Tetapi bagaimana
kalau kita tidak mengorbankan persaha-batan
kita" Kita pi-bu (adu silat) saja secara adil
dengan taruhan" Tiga lawan tiga. Kalau kami
menang, Toa-suhu, jangan merintangi kami ke
Pak-khia untuk menimbang keadaan dengan
adil. Kalau kami kalah, aku berjanji akan balik
ke Tiau- im-hong, sedang tentang cu-cucuku
yang diculik terpaksa aka minta tolong pihak
Siau-lim-pai untuk menemukannya."
Adanya nada sungkan dan hormat dalam
ucapan Tong Lam Hou membuat Pun-khong
Hwe-shio tak bisa menolak usul itu. Diapun
akhirnya menyetujui. Untuk menentukan pasangan-pasangan yang
akan maju dalam tiap babak, adakan undian
dengan angka-angka. Hasilnya babak pertama
Pak Kiong Liong akan berhadapan dengan Punkhong Hwe-shio, babak kedua Hong Thai Pa
akan melawan si raksasa bermuka hitam Punseng Hwe-shio, dan babak ketiga Tong Lam Hou
bertanding dengan si rahib kurus kering Pun722
hoat Hwe-shio. Berdasar perhitungan di atas
kertas menurut kepandaian masing-masing,
kedua belah pihak punya peluang yang sama
besarnya untuk menang, sedikitnya menang
dua dari tiga babak. Namun semuanya masih ha
rus dibuktikan di arena. Mereka lalu berjalan menuju halaman
belakang wihara Gong-sim-si, tempat yang luas
dan teduh karena dinaungi banyak pohon. Para
hwe-shio penghuni Gong-sim-si segera berbondong-bondong datang untuk menonton,
seperti anak-anak hendak menonton adu
jangkrik saja. Tetapi kali ini "jangkrik-jangkrik"
nya adalah raksasa-raksasa dunia persiIatan .
"Silahkan. Goan-swe," kata Pun-khong Hweshio yang langsung melangkah ke tengah arena
setelah mencopot jubah panjangnya. la akan
melawan Pak Kiong Liong di babak pertama.
Setelah berhadapan dengan lawannya Punkhong Hwe-shio tertawa kecut sambil berkata,
"Rasanya ganjil juga. Nasib berjuta-juta rakyat
hanya tergantung ketrampilan kita bermain si
lat 723 Pak Kiong Liong juga tersenyum kecut.
Namun ia tidak menjawab, hanya bersiap-siap
sebab sadar menghadapi lawan berat, adik
seperguruan Pun-bu Hw shio yang terkenal itu .
* * * Agak lama kedua jago tua itu hanya berjalan
berputaran sambil saling menatap dengan
tajam. Lama-lama kelihatan langkah mereka
mulai berat, hingga bekas tapak kaki mereka
"tercetak" di permukaan tanah yang keras. itu
pertanda bahwa kekuatan masing-masing pihak
masih berhati-hati. Agak berbeda dengan
perkelahian antar pemabuk di warung arak
yang biasanya lansung saling jotos dengan
sengitnya. Udara tergetar oleh hentakan Pun-Khong
Hwe-Shio, jubahnya tiba-tiba melembung
seperti layar menampung angin. Kakinya
membentuk kuda-kuda Co-cian-ma (Sikap
Menunggang Kuda), serempak sepasang telapak
724 tangannya menghantam dengan Tiat-san-sik
(Pukulan Mendorong Gunung). Tenaga tak
berwujud menyeberangi jarak beberapa
langkah antara dirinya dan lawannya, dan
berusaha menggempur roboh kuda-kuda Pak
Kiong Liong. Pak Kiong Liong memutar sepasang telapak
tangannya dengan jurus Lo-cia-lo-hai (Dewa Locia Mengacau Laut), menimbulkan pusaran
angin kuat yang berhasil menyingkirkan
pukulan tak berwujud Pun-khong Hwe-shio.
Setelah itu, Pak Kiong Liong melangkah maju
untuk memperpendek jarak. Cengkeraman
kanannya mengancam pinggang si pendeta tua,
berbarengan dengan kaki kirinya terangkat
menendang pula. Rupanya si jenderal buronan ini menghendaki pertarungan jarak dekat yang
mengandalkan ketrampilan jurus, daripada
pertarungan jarak jauh yang menguras tenaga
dalam. Pak Kiong Liong menyadari keunggulan
tenaga dalam kaum Siau-lim-pai. Sedangkan
dalam pertempuran jarak dekat, ia percaya
725 bahwa Thian-liong-kun-hoat ( Pukulan Naga
Langit ) dan Liong-Jiau-kang (Pukulan Kuku
Naga) miliknya akan mampu menandingi jurus
Siau-lim pai yang manapun juga
Pun-Khong Hwe-Shio melangkah mundur
dengan kuda-kuda rendah dan tubuh miring,
sehingga cengkraman ke pinggangnya dapat
dihindari. Lalu sepasang tinjunya menggencet
kea rah pergelangan kaki Pak Kiong Liong yang
menendang, seperti sepasang martil yang
dibenturkan untuk meremukan sebuah sasaran,
begitulah pergelangan kaki Pak Kiong Liong
terancam remuk. Pak Kiong Liong segera mengembangkan
jurus-jurus Naga Langitnya yang lincah dalam
serangan-serangan lompatan itu. Kakinya yang
menendang ditarik, tubuhnya
tiba-tiba melambung melewati kepala si pendeta, kedua
tangan nya hendak mencengkram sepasang
pundak lawan dari arah belakang. Itulah jurus
In-Li-siang-liong ( sepasang Naga dalam awan )
Menghadapi kelincahan Thian-liong kunhoat, Pun "Khong Hwe Shio menggunakan Cap726
Tubuhnya tiba-tiba melambung melewati
kepala si pendeta, kedua tangannya hendak
mencengkram sepasang pundak lawan
dari arah belakang 727 pek-lo-han-kun (Pukulan Delapanbelas Arhat)
yang tangguh, tidak banyak bergerak namun
kokoh bagaikan batu karang. Tangannya
berubah-ubah antara mengepal, menebas,
mendorong, diselingi ujung jarinya yang
bagaikan pisau menyambar, bahkan sikut dan
ujung lengan jubah juga dapat diajak bekerja
sama dengan baiknya. Ternyata Cap-pek-lohan-kun si pendeta tua juga dilengkapi dengan


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiat-siu sin-kang (llmu Lengan Baju Besi). Ujung
lengan bajunya ternyata bisa dibuat sekeras
besi untuk menyabet urat-urat penting di tubuh
lawan. Keduanya bergerak semakin lama semakin
cepat dengan ilmu. andaIannya masing-masing.
Ada berpuIuh-puluh bayangan tubuh Pak Kiong
Liong di arena itu. kadang-kadang menerkam
seperti macan atau meluncur seperti ular, tetapi
yang paling banyak ialah melompat seperti naga
di atas mega. Namun Pak Ki-ong Liong belum
menggunakan ilmu Hwe-Iiong sin-kang, sebab il
mu itu hanya berguna menghadapi musuh yang
tenaga dalamnya kalah tinggi, bukan musuh
728 dengan tenagada lam setangguh Pun-khong
Hwe-shio. Menghadapi kegarangan Pak Kiong Liong,
Pun-khong Hwe-shio memainkan jurus-jurus
dengan tenang dan kokoh. Tubuhnya tidak
berkelebatan seperti lawannya, lebih banyak
diam, sekali-sekali bergeser selangkah dua
langkah. Sepasang tanganyalah yang bergerak
amat cepat sehingga seolah menjadi ribuan
pasang tangan yang bertahan dan menggempur
dengan dahsyatnya. Lengan jubahnya yang
berwarna kuning berkibaran kencang, sehingga
mirip gumpalan awan kuning yang menyelimuti
tubuhnya . Melihat pertarungan hebat itu, Tong Lam
Hou diam-diam memperhitungkan kalau kedua
pihak sama-sama tidak membuat kecerobohan,
keduanya bisa berakhir sama kuat, alias nilai
setengah untuk masing-masing pihak. Setelah
itu. sulit ditebak bagaimana hasil pertarungan
babak kedua Hong Thai Pa melawan Pun-seng
Hwe-shio. Kalau Pun-seng Hwe shio berkepandaian setingkat atau bahkan lebih
729 tinggi dari Pun-khong Hwe shio. maka Hong
Thai Pa kemungkinan besar akan kalah. la
menjadi gelisah sendiri. Hong Thai Pa yang duduk di sebelah Tong
Lam Hou agaknya memahami kegelisahan
sahabat karibnya, maka ia lalu membisikkinya"Lou-tong, kita harap-kan Goanswe setidak-tidaknya bermain seri. Setelah itu
aku akan bertahan habis-habisan melawan si
pendeta bermuka pantat kuali itu agar bisa seri
juga. aku tahu diri, tidak berani mengharap
kemenangan dari seorang tokoh tua Siau limpai, bisa seri saja sudah bagus. Nah, tugas
merebut kemenangan adalah tugasmu ketika
melawan si kurus itu."
Tong Lam Hou mengangguk-angguk paham.
la lega bahwa sahabatnya yang gendut itu tahu
diri namun tidak menjadi kecil hati, boleh
diharapkan siasatnya akan berhasi1.
Sementara itu, pertarungan di tengah arena
telah meningkat semakin hebat, seperti dua
buah prahara yang berbenturan di satu titik.
Pohon-pohon yang mengelilingi arena telah
730 terguncang ranting-rantingnya daun-daunnya
rontok beterbangan bercampur debu yang
terangkat ke atas, membuat arena itu seolah
ditutupi tirai tebal. Thian-Iiong-kun-hoat dan Liong-jiau-kang
yang garang itu ternyata tidak mampu
menembus Cap-Iek-lo-han kun dan Tiat-siu-sankang yang kokoh kuat. Sebaliknya Pun-khong
Hwe-shio juga tak sanggup merobohkan Pak
Kiong Li ong yang bergerak terlalu lincah. Kalau pertarungan mengandalkan siapa yang lebih
kuat bertahan lama, agaknya sehari semalam
pun belum tentu berhasil diketahui siapa
pemenangnya . Saat itulah kedua tokoh yang bertarung
secara bersamaan telah mengerahkan semangat
dan kekuatan mereka untuk merampungkan
pertarungan. Pak Kiong Liong menerjang
dengan Siang liong jip-hai (Sepasang Naga
Masuk Laut) berbarengan dengan Pun-khong
Hwe-shio yang menghantam dengan Kun-tunJut-kai-(Terciptanya Alam Semesta). Kedua
731 pihak sama-sama menyerang untuk berusaha
merebut kemenangan secara paksa.
Debu yang berhamburan membuat apa yang
terjadi di tengah arena tak tampak jelas. Hanya
kedengaran suara gemuruh dahsyat, suara Pak
Kiong Liong mau pun Pun-khong Hwe-shio
sama-sama membentak mantap. "Kena!"
Suara gemuruh dan deru angin mereda, debu
yang berhamburan mengendap kembali,
sehingga nampaklah di tengah arena itu Pak
Kiong Liong dan Pun-khong Hwe-shio samasama tergeletak di tanah, baju di bagian dada
mereka sama-sama dikotori darah yang
tersembur dari mulut mereka, keduanya samasan terluka.
Tong Lam Hou dan Hong Thai Pa cepat-cepat
mendekati tubuh Pak Kiong Liong dengan
cemas. Saat yang bersamaan Pun-seng Hweshio dan Pun-hoat Hwt shio juga telah
mendekati tubuh kakak seperguruannya untuk
memeriksanya . 732 Kedua belah pihak segera merasa lega
melihat Pak Kiong Liong dan Pun-khong Hweshio sama-sama tidak berat lukanya. Bahkan
keduanya kemudian mampu berdiri kembali,
meskipun dengan sedikit dibantu teman
masing-masing . "Pukulan Toa-suhu sungguh dahsyat," Pak
Kiong Liong memberi horrnat sambil merendah.
Pun-khong Hwe-shio membalas hormat,
"Goan-swe juga hebat. Untunglah pukulan Goanswe tadi tidak menggunakan Hwe-Iiong-sinkang yang dapat membuat tubuhku hangus
menjadi arang." "Akulah yang merasa beruntung bah wa Toasuhu tidak menggunakan Thai-lik kim-kongciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa),
sehingga tubuhku tidak rontok berkepingkeping."
Biarpun kedua pihak sama-sama memuji
lawan, tapi nilai pertempuran tetap harus
ditetapkan. Kedua pihak sepakat bahwa
bertarunqan berakhir sama kuat, karena samasama terpukul oieh lawan .
733 Begitu duduk di tempatnya kembali, Punkhong Hwe-shio tetap menunjukkan tekad
kerasnya untuk merampungkan persoalan itu
sampai tuntas. dengan suara lemah diselingi
batuk-batuk kecil, ia berkata, "Babak kedua
boleh segera d imulai ."
Pun-seng Hwe-shio yang bertubuh raksasa
dan bermuka hitam itupun menyahut, "Baik,
suheng," Lalu ia melangkah ke tengah arena dan
berseru garang. "Hong Sian-seng, sudah siapkah
kau?" Hong Thai Pa juga maju ke tengah arena,
biarpun mukanya tersenyum-senyum, namun
sebenarnya hatinya agak tegang juga. Nama
Pun-seng Hwe-shio memang belum pernah
terdengar di dunia persilatan, namun
mengingat dia adalah adik seperguruan Punkhong Hwe-shio yang sanggup melukai Pak
Kiong Liong. agaknya si pendeta raksasa
bermuka hitam ini pun bukan lawan enteng.
Untuk itu Hong Thai Pa memutuskan akan berusaha mencari angka seri saja, ia hanya akan
734 berusaha merebut kemenangan apabila benarbenar ada peluang emas.
Ternyata Pun-seng Hwe-shio tidak seramah
kakak seperguruannya. Setelah lawannya ada di
arena, ia tidak banyak bicara Iagi . la hanya
mengangguk hormat satu kali, setelah itu
langsung menjotos ulu hati Hong Thai Pa
dengan gerak Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam
Mencuri Hati) . Gerakannya menimbulkan suara gemeretak
di lengan dan pundaknya, menanda kan hweshio muka hitam ini seorang ahli gwa-kang
(tenaga luar), dan kebetulan lawannya juga
seorang ahli gwa-kang pula.
Hong Thai Pa mengelak ke samping sambiI
balas menyerang dua arah sekaligus. Ujung jari
tangan kanan menusuk ke jalan darah Koh-cinghiat di pun-dak, telapak tangan kirinya menebas
ke siku tangan Pun-seng Hwe-shio.
Namun Pun-seng Hwe-shio tidak mau
kedudukan menyerangnya ditukar dengan
kedudukan bertahan. Sambil menggeram ia
merendahkan kuda-kuda dan menurunkan
735 pundaknya, jotosannya berubah men-jadi
menyikut lambung. Ketika Hong Tha Thai Pa
mengibaskan serangannya, Pun-seng Hwe-shio
tanpa peduli apapun juga telah mendesak maju
dan menjotos lagi dengan tangan kiri.
Hong Thai Pa mendongkol melihat cara
berkelahi mirip kerbau kesurupan itu. Namun
harus diakui bahwa cara itu berbahaya, apalagi
karena dasarnya Pun-seng Hwe-shio juga
bertenaga besar. Hong Thai Pa mengelak, lawan menendang,
Hong Thai Pa mengelak lagi Tendangan Punseng Hwe-shio luput dan mengenai sebuah
pagoda batu hiasan halaman itu, hancurlah
pagoda kecil itu menjadi kerikil campur pasir.
Cepat-cepat Hong Thai Pa memanfaatkan
peluang itu untuk menerkam dari samping,
dengan dua tangan sekaligus memukul ke arah
tengkuk dan pinggang lawannya.
Namun dengan tangkas Pun-seng Hwe-shio
menggeser kaki ke samping sambil memutar
tubuh menghadapi lawan. Dua tangannya
menangkis dengan Ya-ma-hun cong (Kuda Liar
736 Memecah Bulu Suri) untuk menangkis ke atas
dan bawah, la membalas dengan serudukan
kepala gundulnya ke dada Hong Thai Pa. Lagilagi Hong Thai Pa dipaksa melompat mundur
karena serangan ini. "Benar-benar seperti kerbau gila" kakek
gendut itu memaki dalam hati. Karena ingin
tahu nama dari jurus-jurus aneh si pendeta
muka hitam. dia menyempatkan diri bertanya,
Toa-suhu jurus dari ilmu silat aliran manakah
ini?" "Hong-gu-kun-hoat (llmu Pukulan Kerbau
Gila)," sahut Pun-seng hwe-shio singkat. "Hong
Sian-seng, hati-hatilah!"
Keruan Hong Thai Pa tercengang campur geli
mendengarnya. Baru saja ia memaki dalam hati
tentang kerbau gila, ternyata iImu lawannya
memang diberi nama pukulan "Kerbau Gila".
Itu memang jurus-jurus ciptaan Pun-seng
Hwe-shio sendiri. la sudah mempelajari banyak
Bara Diatas Singgasana 16 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Fazahra Akmila 2

Cari Blog Ini