Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 9

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 9


arah itu, karena setujuan, aku siap memimpin
Hwe-liong-pang untuk mencapai tujuan mulia
itu...." Pangeran In Tong bukan pelawak namun
mampu menimbulkan senyum orang-orang
Hwe-liong-pang lewat peragaan ketebalan kulit
muka yang luar biasa itu, lewat kata-katanya itu.
Tidak pernah ikut mendirikan Hwe-liong-pang,
juga tidak pernah berjerih-payah bersama Hweliong-pang,
dan mendadak langsung menawarkan diri untuk memimpin.
Sedangkan Tong Lam Hou berkata, sambil
tersenyum, "Sungguh merupakan suatu
kehormatan besar, kalau Hwe-liong-pang
dipimpin seorang yang amat berbakat seperti
Pangeran...." Tiba-tiba wajah Pangeran In Tong menjadi
cerah dengan senyuman, sementara wajah
orang-orang Hwe-liong-pang kehilangan senyum dan digantikan kekagetan. Yang
979 tersenyum maupun yang cemberut punya
penyebab yang sama, mengira kedudukan Ketua
Hwe-liong-pang benar-benar akan diserahkan
kepada Pangeran In Tong. Apakah Tong Lam
Hou juga ikut-ikutan akan menjadi pelawak"
In Tong sudah membayangkan dirinya akan
memimpin sebuah serikat dunia persilatan yang
punya berpuluh-puluh ribu anggota yang gagah
berani dan mahir silat, suatu modal berharga
buat merintis ambisinya ke arah tahta. Namun
kata-kata Tong Lam Hou berikutnya membuatnya kecewa, "Tetapi Hwe-liong-pang
dibebankan kepundakku dan aku tidak berani
menyerahkannya kepada orang lain. Lagipula,
mana pantas seorang bangsawan agung seperti
Pangeran memimpin gerombolan orang-orang
kasar seperti kami?"
Orang-orang Hwe-liong-pang lega, sementara In Tong kecewa, tapi tidak bisa
memaksa. Biarpun ia seorang Pangeran, tapi
nyawanya hanyalah nyawa "saringan" belaka.
Bahkan kalau Kalsar masih juga menguber
nyawanya, tidak ada perlindungan lain kecuali
980 orang Hwe-liong-pang, berarti sisa-hidupnya
bergantung kepada belas kasihan orang-orang
Hwe-liong-pang. Sementara itu, seorang hwe-shio muda telah
melaporkan bahwa usungan untuk Hu Se Hiong
sudah selesai dibuat, dan Hiang-cu Hwe-liongpang itu juga sudah sadar dari pingsannya.
Tong Lam Hou dan lain-lainnya segera
menuju ke bilik belakang untuk menengok
keadaan Hu Se Hiong. "Bagaimana keadaanmu, saudara Hu?" tanya
Tong Lam Hou setelah berdiri di samping
pembaringan. Sahut Hu Se Hiong, "Aku tidak apa apa dan
sekarang sudah kuat kembali. Maaf bahwa
keadaanku membuat kalian menunda rencana
untuk segera meninggalkan kota. Tapi sekarang
aku sudah siap untuk berangkat."
"Memang kita akan segera berangkat, dan
sebuah usungan sudah disiapkan untukmu,
saudara. "Usungan itu tidak. perlu, sebab aku sudah
sanggup berjalan atau menunggang kuda,"
981 sahut Hu Se Hiong. "Aku tidak ingin diusung
seperti nenek-nenek penyakitan
"Kami tidak akan mengusung nenek-renek
penyakitan, tapi macan penyakitan," sahut Tong
Lam Hou yang disambut senyuman semua
orang. Julukan Hu Se Hiong memang Ui-binpeng-hou (Macan Penyakitan Bermuka Kuning).
Akhirnya Hu Se Hiong menurut juga untuk
naik usungan yang akan diangkut Ji Han Lim
dan Kiong Wan Peng. Namun masih juga ia
menggerutu. "Apakah aku tidak perlu diselimuti
dan pelipisku ditempeli koyok agar kelihatan
lebih memelas lagi?"
Tidak ada yang menyahut, kecuaii Hong Thai
Pa, "Nanti aku carikan koyok sampai mukamu
penuh tertutup koyok semua, termasuk mata
dan mulutmu..." Pendeta pemimpin Thai-hud segera membawa tamu-tamunya kebelakang, ke
sebuah kakus. Semua orang sudah siap sedia
untuk mencium bau busuk, namun ternyata
kakus itu tidak berbau sebab sama sekali tidak
perrah "diisi", hanya sekedar nenyamarkan
982 mulut terowongan rahasia yang akan sampai ke
luar kota Pak-khia. ketika lantai batu diangkat,
nampak sebuah tangga batu turun ke bawah.
"Inilah terowongan yang kukatakan tadi,
yang dulu digunakan kabur oleh para
bangsawan Kerajaan Beng ketika laskar
pemberontak Li Cu Seng menyerbu kota," kata
si pendeta pemimpin Thai-hud-si. "Selamat
jalan, Pak Kiong Goan swe sekalian...
Hwe-shio itu lalu menyerahkan obor di
tangannya ke tangan Pak Kiong Liong, dan
memberi hormat. Namun hormatnya bukan
dengan merangkap sepasang telapak tangan
seperti lazimnya pendeta, melainkan berlutut
dengan kaki ditekuk sebelah dan sebelah tangan
menekan tanah. Itulah hormat secara militer.
Pak Kiong Liong tersenyum, "Selamat tinggal,
Tio Cong-peng. Perjuangan kita tidak berhenti
hanya sampai di sini, sampai Pangeran In Te
mendapatkan haknya yang syah. Kuharap Congpeng tetap berjiwa perajurit, biarpun berpakaian pendeta."
983 "Inilah terowongan yang kukatakan tadi, yang
dulu digunakan kabur oleh para bangsawan Kerajaan
Beng ketika laskar pemberontak Li Cu Seng
menyerbu kota," 984 "Aku bersumpah untuk tetap setia kepada
cita-cita Pangeran In Te, Goan-swe."
Percakapan itu membuat In Tong merasa iri
kepada In Te. In Te punya pendukung setia yang
siap berkorban nyawa, sedang dia sendiri punya
apa" Ambisinya untuk merebut tahta agaknya
akan menempuh jalan yang amat panjang, tetapi
ambisi itu sendiri tidaklah padam......
Tiba-tiba muncul sebuah gagasan untuk
bergabung dengan Hwe-liong-pang. tidak apaapa sebagai anggota yang paling rendah, asal
kelak perlahan-lahan bisa merebut kedudukan
sebagai ketua Hwe-liong-pang untuk digerakkan mela-wan Kaisar Yong Ceng.
Dengan rencana yang tersusun dibenaknya
itulah In Tong kemudian melangkah bersama
rombongan itu, menyusuri terowongan bawah
tanah itu. Meski pun si pendeta Thai-hud-si
berkata bahwa jarak untuk sampai keluar kota
hanyalah "dekat". tetapi dekat untuk ukuran
kota sebesar Pak-khia memerlukan ribuan
langkah juga. 985 Terowongan itu kadang-kadang bersimpangan dengan parit-parit bawah tanah
yang mengalirkan air buangan yang kotor,
sehingga tidak jarang mereka harus menyeberangi air setinggi betis di mana di
atasnya terapung-apung kotoran manusia dari
berbagai ukuran, yang keras maupun yang
lembek. Selama perjalanan di lorong itulah In Tong
mencoba mengambil hati teman-teman barunya. Jika mereka harus melintasi genangan
air busuk, In Tong tidak segan-segan
menggendong anak-anak kecil seperti Tong San
Hong, Tong Hai Long atau Se Bun Hong-eng.
Melihat tindak-tanduk pangeran ke sembilan
itu, Tong Lam Hou agak tertarik juga hatinya.
Pikirnya diam-diam, pangeran ini biarpun
sering berbicara terlalu muluk dan agak kejam,
tapi masih ada segi-segi baiknya juga, dan
ilmunya juga cukup hebat. Kalau segi baiknya
bisa dikembangkan dan sifat buruknya
dilenyapkan, ia bisa menjadi seorang pendekar
yang bermanfaat bagi ke manusiaan."
986 Demikianlah pikiran Tong Lam Hou yang
selalu terarah ke kebaikan dan ke sejahteraan
sesama. Bahkan sering pikiran demikian
membuat ujung kakinya menyentuh perangkap
tanpa terasa. Beberapa hari kemudian, rombongan itu
sudah cukup jauh dari Pak-khia dan
keteganganpun semakin mengendor. Namun
perjalanan itu masih terhitung lambat, sebab
membawa seorang sakit seperti Hu Se Hiong
yang dinaikkan kereta, sedang lain-lainnya
menunggangi kuda. Sejak keluar dari Pak-khia, Hong Thai Pa, Se
Bun Beng, Au Yang Siau-hong serta Se Bun
Hong-eng memisahkan diri untuk langsung
pulang ke rumah mereka di Lok-Yang. Biarpun
mereka adalah pendekar-pendekar yang tak
segan bertempur demi kebenaran, tetapi dalam
urusan pertikaian Yong Ceng dengan In Te,
mereka anggap itu urusan politik yang harus
dijauhi. Dalam politik, kabur sekali batasnya
antara yang benar dan yang tidak. Semu pihak
merasa benar dan punya alasannya sendiri987
sendiri. Karena itulah Se Bun Beng dan seluruh
keluarganya merasa lebih baik tidak tercebur
urusan itu. Sementara itu, permohonan In Tong supaya
boleh ikut ke Tiau-Im-hong telah dikabulkan
oleh ketua Hwe-liong-pang. Tetapi atas saran
Pak Kiong Liong, supaya In Tong tidak
membikin susah Hwe-liong-pang, namanya
diganti dengan nama samara Ciu Tong In. In
Tong menerima saran itu, bagaimanapun juga ia
merasa lebih aman dibalik nama samara.
Hari berikutnya, Hu Se Hiong yang merasa
sudah sembuh itu "berontak" dan tidak mau lagi
disekap dalam kereta. Ia melanjutkan
perjalanan dengan berkuda seperti lain-lainnya.
"Setelah kau sembuh, Hiang-cu, jadi tidak
cocok dengan julukanmu lagi." Kata Ji Han Lim
berseloroh. Hu Se Hiong menjawab seloroh itu dengan
pura-pura menggerutu, "wah, kalau gara-gara
Julukanku aku harus berbaring terus dalam
tenda, lebih baik kubuang saja julukkan."
988 Sambil bercakap-cakap dan bersendagurau,
mereka melanjutkan perjalanan tanpa tergesagesa lagi. Hari itu mereka tiba ditepi sebuah
padang ilalang meliuk-liuk bergelombang
seperti ombak samudera. Dan kalau kepala
ditengadahkan, langit Nampak biru bersih
seperti kubah raksasa dari kaca yang jernih,
awan hanya mengali sepotong-sepotong seperti
buih dilautan. Mereka jadi merasa diri mereka
seperti cengkerik-cengkerik yang dikurung
dibawah gelas kaca, begitu kecil disbanding
kebesaran alam. Sayang, keheningan agung itu segera
terganggu oleh sura gemuruh dan bumi
bergetar bagaikan ada gempa kecil. Suaranya
dari arah timur, dan siapapun paham bahwa
itulah suara rombongan penunggang kuda yang
berderap kencang. Semuanya menoleh. Dari sebelah timur


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak titik-titik hitam yang bergerak
mengejar mereka, makin lama makin jelas,
sampai akhirnya kelihatan pakaian dari para
pengejar itu. Sebagian dari mereka berkepala
989 gundul dan memakai jubah merah, itulah para
pendeta Ang-ih-kau. Sebagian lagi berpakaian
jubah pendek satin ungu dan memakai topi
caping berhias benang-benang merah. jelas
merekalah jago-jago pengawal pribadi kaisar
Yong Ceng. Dan sisanya berpakaian hitam-hitam
ringkas, yaitu kaum Hiat-ti-cu yang merupakan
algojo-algojo ganas demi kepentingan Yong
Ceng. kelompok yang terkenal dengan "kantong
kulit-terbang" mereka .
melihat mereka, Ciu Tong In alias In Tong
telah menggosok-gosok tinjunya dengan geram,
"Bagus.... bagus.... makin banyak anjingnya Yong
Ceng yang datang, akan senakin puas aku
melampiaskan dendamku selama ini...."
Tetapi Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou
sebagai orang-orang tua yang banyak
pengalaman dan berkepala dingin, tanpa saling
mengutarakan mereka punya perhitungan yang
sama. Kalau Yong Ceng mengirim kelompok
jagoannya untuk mengejar, tentu semua
kekuatan di pihak Pak Kiong Liong sudah
diperhitungkan dan kelompok pengejar tentu le
990 bih kuat, supaya regu pengejar itu tidak sekedar
cari mampus. Maka Pak Kiong Liong dan Tong
lam Hou sama-sama berpendapat bahwa carsa
terbaik adalah menghindar, apalagi di antara
mereka ada dua anak-anak yang bagaimanapun
juga pasti membebani pikiran yang tua-tua.
Si anak kembar Tong Sam Hong dan Tong
Hai Long yang baru berusia duabelas tahun itu
sendiri malah tidak kelihatan takut. Mereka
sudah nenghunus pedang masing-mas ng, dan
wajah berseri-seri seolah hendak bermain
"perang-perangan" dengan teman-teman sebaya
mereka. Tetapi mereka kecewa ketika mendengar
Tong Lam Hou berkata dengan tegas, "Kita
hindari musuh. Jangan bertindak sebagai
pahlawan konyol" Maka kuda-kuda tunggangan mereka-pun
segera dipacu menjauhi kejaran musuh. Tong
San Hong dan Tong Hai Long ternyata juga
penunggang-penunggang kuda yang tangkas,
biarpun mereka kecewa karena batalnya
permainan "perang-perangan" setidaknya ada
991 permainan kejar-kejaran yang mengasyikkan
dipadang luas itu. Kedua orang tua merekalah
yang berkali-kali berteriak dengan cemas agar
mereka berhati-hati. Memang benar perkiraan Pak Kiong Liong
dan Tong Lam Hou, bahwa regu pengejar adalah
regu yang lebih kuat. Rombongan pendeta Angih-kau dipimpin sendiri oleh Biau Beng Lama
serta lima orang muridnya yang tangguh.
Kelompok jubah pendek satin ungu dipimpin
langsung oleh Kim Seng Pa dan membawa jagojago tangguh seperti Tiat-Jiau-hui-ho ( rase
terbang berkuku besi ) Sai Siau Kun yang
bertubuh kecil bungkuk, Toat Beng - beng-san
(Payung Pencabut Nyawa) Su-ma Hek-long,
serta Heng-san-sam-kiam (Tiga Pedang dari
Heng-san) yang terdiri dari Jian-ing-kiam
(Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, Lam-taihong (Prahara Selatan) Au Yang Kong dari Huki-am-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tong Jiu,
Sedang rombongan Hiat ti-cu berjumlah
tigapuluh orang, dipimpin lansung oleh
komandannya yang fanatik, Hap To, dan wakiI
992 komandannya, Pa lian Hou. Kaum Hiat -ticu ini
bukan saja mahir dengan kantong-kantong
terbang pemenggal kepala, tapi secara
perorangan mahir silat pula, yang lebih hebat
mereka membawa lima belas pucuk bedil.
Tuga mereka sudah dijelaskan dengan tegas
oleh Yong Ceng sendiri. Tumpas habis seluruh
rombongan musuh. Apalagi karena diantara
musuh terdapat Pak Kiong Liong dan Pangeran
In Tong yang senantiasa bisa membahayakan
kedudukan Kaisar. Yong Ceng tahu In Tong
tidak punya kekuatan pendukung sebesar In Te,
tapi hatinya tetap tidak tenteram kalau
membiarkan In Tong berkeliaran bebas di luar
istana, sebab kekuatan toh gampang dikumpulkan" Karena itu "macan harus
dibunuh sebelum tumbuh gigi dan kukunya".
Dengan demikian, kekuatan regu pengejar
itu memang tidak tanggung-tanggung. Lebih
baik kelebihan tenaga dari pada gagal.
Ketika melihat rombongan orang Hwe-liongpang berusaha lari, Kim Seng Pa sebagai
pimpinan tertinggi regu pengejar itu berseru
993 "Kejar! Siapkan bedil. Kita perpendek jarak
sampai pas dengan jangkauan peluru!"
Jago-jago istana itu segera menjepitkan kaki
mereka ke perut kuda, dan memacu kuda lebih
cepat Iagi. Maka terjadilah kejar-kejaran di
padang luas itu. Kim Seng Pa yang merasa
pihaknya lebih unggul, telah memerintahkan
rombongannya untuk maju dengan menyebar.
seperti busur raksasa. Dengan demikian ia
takkan membiarkan satu buruanpun lolos.
Batok kepala mereka semua harus bisa
dipersembahkan ke hadapan Kaisar Yong Ceng.
Ternyata kuda tunggangan para jagoan
istana itu rata-rata lebih baik dari kuda
tunggangan buruan mereka. Itulah kuda-kuda
yang berasal dari gurun Pasir, umumnya
bertubuh tegar dan berkaki panjang. Maka para
pengejar lebih dekat lagi dengan buruan
mereka, meskipun yang dikejar juga sudah berpacu habis-habisan.
Ketika jaraknya dirasa sudah cukup, Kim
Seng Pa mengkomando para pemegang bedil,
"Tembak!" 994 Suaranya berbarengan dengan seruan Pak
Kiong Liong untuk seluruh rombongannya,
"Membungkuk rapat dipunggung kuda dan
berpencar!" Perintah dilaksanakan hampir berbarengan
dengan letusan bedil-bedil itu. Tak seorang
kena, namun tiap orang sadar, kalau bedil-bedil
itu ter "bernyanyi" maka akan ada yang kena
juga, entah siapa. Pak Kiong Eng dengan nekad
menempatkan dirinya sebagai perisai kedua
anak kembarnya, kasih sayang seorang ibu yang
rela membahayakan diri demi darah dagingnya.
Untung peluru peluru gelombang pertama
hanya berdesing diatas kuping kuda. Rupanya
bagi para penembak agak sulit juga untuk
mengincar dengan tenang, selagi tubuh mereka
berada di atas kuda-kuda yang berlari kencang.
Namun penembak-penembak itu tidak
menembak sekaligus, melainkan terbagi tiga
regu, masing-masing regu terdiri dari lima
orang. Setelah regu pertama selesai menembak
dan mulai mengisi obat dan peluru, disusul
995 regu ketiga, bedil-bedil regu pertama sudah siap
ditembakkan lagi. "Gila!" geram Tong Lam Hou marah. Ia sadar
pihaknya terancam bahaya. Apa lagi musuh
semakin dekat, dan tentunya akan dapat
membidik lebih cermat. Dan entah berapa
banyak persediaan obat peledak dan peluru
mereka. Di saat genting itu, Tong Lam Hou ingat
keping-keping uang di kantongnya. Sambil
berpacu, ia mengambil dua keping dan
kemudian disambitkan ke belakang dengan
sekuat tenaga, karena pengerahan tenaga
dalamnya, maka keping uang kecil itu sanggup
melesat menyebrangi jarak puluhan langkah
dengan pengejar-pengejarnya, dan menancap di
jidat dua orang penembak terdepan. Keduanya
langsung roboh terbanting dari kuda.
"Bagus, Pang-cu!" desis Ji Han Lim yang
kagum melihat kepandaian ketuanya itu.
"Sayang kampak-kampak kecilku takkan dapat
mencapai jarak sejauhitu, harus menunggu
lebnih dekat lagi".."
996 Sedangkan Pak kiong liong sambil berpacu
diatas kuda masih juga sempat bercanda. "Ketua
Hwe-liong-pang sekarang menjadi dermawan
yang bagi-bagikan uangnya secara royal."
"Ya" sahut Tong Lam Hou. "Sejak dulu ketua
Hwe-liong-pang termasyhursebagai seorang
baik budi dan mura hati"
Sambil berbicara, kembali tangannya
terayun kebelakang untuk melemparkan dua
keping uang lagi Dua penembak lagi roboh dari
kuda, yang seorang sempat menekan pelatuk
bedilnya, tetapi ia hanya menembak langit.
"Bangsat gila!" Kim Seng Pa berteriak marah
melihat regu penembak yang dijadikannya
ujung tombak itu kena dipereteli oleh Tong Lam
Hou. "Tong Lam Hou, kalau kau memang lelaki
sejati, berhentilah dan bertarung seribu jurus
denganku!" Namun Tong Lam Hou sadar bukan waktu
dan tempatnya untuk sebuah duel pribadi
menentukan tinggi rendahnya ilmu, melainkan
saat-saat gawat untuk menyelamatkan seluruh
rombongannya. Maka dibiarkannya saja Kim
997 Seng Pa gembar-gembor, dan ia sendiri asyik
menjadi "dermawan" dengan uang-uang
logamnya. Namun peluru-peluru para jagoan istana
bukan tanpa hasii pula. Hu Se Hiong yang
lukanya baru saja sembuh, tahu-tahu
pundaknya terhunjam sebutir peluru panas,
sehingga tubuhnya tersentak dan hampir
mencelat dari kudanya, pundaknya pedih dan
matanya berkunang-kunang. Tapi sebelum
pingsan, ia masih ingat untuk memeluk leher
kudanya erat erat sehingga tidak jatuh.
Ji Han Lim juga roboh terbanting dari kuda.
Bukan karena kena peluru, namun karena
kudanyalah yang kena, tertembus pantatnya
sehingga meringkik-ringkik dan melonjaklonjak, membuat penunggangnya jungkir balik.
Kini Ji Han Lim dengan mata terbelalak ngeri
melihat puluhan kaki kuda musuh sedang
berderak kencang, siap melindas tubuhnya.
"Saudara Ji!" teriak Kiong Wan Peng cemas.
Tanpa ingat bahaya bagi dirinya sendiri, ia
memutar balik kudanya untuk coba menolong
998 rekannya itu. Tong Lam Hou juga memutar balik
kudanya, karena ia selalu memandang nyawa
setiap anak buahnya sama berharganya dengan
nyawa keluarganya sendiri. Biarpun harus
mempertaruhkan nyawa, ia tetap berusaha
menolongnya. Namun Tong Lam Hou dan Kiong Wan Peng
masih kalah cepei dari Kim Seng Pa. Waktu itu,
Ji Han Lim telah melompat bangun dan
menghunus sepasang kampak bertangkai
pendeknya, siap melawan mati-matian. Ketika
Kim Seng Pa tiba di hadapannya, tanpa takut ia
mulai menyerang dengan jurus Ngo-ting-kai-san
(Ngo Ting membuka Gunung) untuk membacok kaki dan pinggang lawannya yang duduk
diatas kuda. Memang Ji Han Lim termasuk salah satu jago
andalan Hwe-liong-pang, namun dihadapan Kim
Seng Pa dia tidak lebih dari seorang anak kecil
yang baru belajar melangkah. Selisih ilmunya
dengan kakek bermata merah itu terlalu jauh.
Maka ia kaget ketika sepasang pergelangan
tangannya tiba-tiba tercengkeram sepasang
999 tangan yang sekuat jepitan besi, tenaga
besarnya yang dibangga-banggakannya itupun
lenyap tak keruan kemana. Tubuhnya menjadi
seringan seekor anak ayam yang disambar
seekor elang. Secepat kilat, Kim Seng Pa menotok pinggang
Ji Han Lim sehingga "si malaikat Kampak
Terbang" itu lumpuh seketika. Tubuhnya lalu
dilemparkan ke arah para Hiat-ti-cu sambil
berteriak, "lkat erat-erat!"
Tong Lam Hou dan Kiong Wan Peng samasama beringas melihat Ji Han Lim tertangkap.
Tetapi Tong Lam Hou yang berusia lebih tua
juga dapat lebih mengendalikan hatinya,


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga ia meneriaki Kiong Wan Peng,
"Saudara Kiong, mundur dulu! Selama saudara
Ji masih hidup, masih akan ada banyak
kesempatan untuk menolongnya!"
Kiong Wan Peng membenarkan dalam hati
akan perintah ketuanya itu. Percuma berlaku
nekad-nekadan di hadapan musuh yang jauh
lebih kuat, malah akan menambah jumlah
1000 korban di pihak sendiri. Maka iapun balik
kembali ke dalam rombongan.
Dengan kuda-kuda tunggangan yang lebih
baik, jago-jago istana berhasil semakin dekat
dengan buruan mereka. Semakin dekat,
semakin cermat pula bidik an bedil mereka, dan
berarti akan semakin besar kemungkinannya
untuk mengenai lawan. Bukan saja semua anggota rombongan Hweliong-pang yang kebingungan, bahkan Pak
Kiong Liong yang dikenal sebagai "gudang
pengalaman dan siasat" itupun belum
menemukan akal untuk mengatasi kesulitan itu.
melawan mati-matian adalah tindakan tanpa
akal, yang hanya dilakukan kalau sudah tidak
ada jalan lain lagi . Pak Kiong Liong berharap agar menemukan
tempat seperti hutan atau bukit yang bisa
dijadikan tempat main kucing-kucingan dengan
musuh, biar ada sedikit harapan tapi padang
ilalang terlalu rata. Sejauh mata memandang
hanyalah kelihatan ilalang yang bergelombang
1001 lernbut, tak ada tempat sembunyi kecuali untuk
yan Keadaan jadi bertambah mencemaskan,
ketika dari arah depan tiba-tiba muncul pula
sepasukan orang berkuda yarg membawa
bendera. Nampaknya ada pasukan keraiaan
pula dari depan, sehingga pak Kiong Liong dan
seluruh rombongannya akan terjepit dari depan
dan belakang. Dalam keadaan seperti itu tertahan lagi pak
Kiong Eng berlinang-linang air matanya. Bukan
nasibnya sendiri yang dicemaskan, melainkan
nasib ayahnya, suaminya, anak-anaknya, mertuanya dan teman-tenan seperjalananya. Jauhjauh mereka meninggakan Tiau-im-hong hanya
untuk menbebaskan Tong San Hong dan Tong
Hai Long, tak terduga malah kini sekian banyak
nyawa tertumpas habis di tengah padang
ilaIang itu. Pasukan yang datang dari depan, berjumlah
kira-kira limapukuh orang. Mereka berteriakteriak gemuruh, dan nampaknya membawa
beberapa pucuk bedil juga.
1002 Sebenarnya Kim Seng Pa sendiri heran
melihat munculnya pasukan dari depan itu.
Apakah Kaisar selain memerintahkan kelompoknya juga memerintahkan kelompok
lain untuk menghadang rombongan Pak Kiong
Liong" Namun bagainanapun juga, ia merasa
kebetulan kalau ada yang membantunya
meringkus para buronan itu.
Sementara itu, setelah merasa jaraknya pas,
dua orang algojo Hiat-ti-cu mengeluarkan
kantong-kantong kulit mereka, dan sesaat
kemudian melayanglah benda-benda maut
"pemetik kepea" itu di angkasa. Kedua algojo itu
bena-benar kejam, sebab yang diancam. Dengan
senjata mereka adalah si anak kembar Tong San
Hong dan Tong Hai Long yang merupakan
sasaran-sasaran paling lemah.
Namun ulah kedua algojo Hiat-ti-cu itu
mencelakakan mereka sendiri. sebab tindakan
mereka menancing kemarahan kedua orang
kakek dari anak-anak yang terancam itu,
Tanpa peduli peluru yang berdesingan di
sekitarnya; tubuh Pak Kiong Liong tiba-tiba
1003 melambung tinggi, tangannya menyambar ke
arah rantai pengendali kantong-maut itu dan
disentakkannya sepenuh tenaga dan penuh
kemarahan. Akibatnya hebat. Si algojo yang
memegangi ujung rantai jadi tertarik "terbang"
dari meninggalkan punggung kudanya dan
melayang ke arah Pak Kiong Liong.
Bentak Pak Kiong Liong, "Binatang, terhadap
seorang anak kecilpun kau hendak bersikap
begitu keji"!" Tangan kiri tetap menarik rantai, tangan
kanan menyongsong dengan kekuatan Hweliong-sin-kang sepenuhnya. Cukup tersambar
angin pukulan panas dari jarak sepuluh langkah
lebih, tubuh si algojo kejam langsung berubah
menjadi segumpal daging hangus. Tapi masih
ada hukuman tambahan. Di tubuh agojo itu
rupanya menyimpan beberapa kantong obat
bedil, yang begitu kena panas pukulan Hweliong-sin-kang langsung meledak, membuat
tubuh si Hiat-ti-cu tercerai-berai. Kepalanya ke
barat, kaki nya ketimur, dan bagian-bagian
tubuh lainnya kearah yang berbeda-beda.
1004 Sementara itu, algojo kejam yang satu lagi
juga sudah menjadi korban kemarahan Tong
Lam Hou. Kantonng mautnya terpukul rusak
oleh Pek-Gong-ciang (Pukulan Udara Kosong),
lalu tubuh Tong Lam Hou melayang
meninggalkan kudanya sendiri untuk menerkam ke arah si algojo yang hendak
membunuh cucunya itu . Aigojo yang diincar tak
sanggup membela diri dari kemarahan dahsyat
Ketua Hwe-liong-pang itu. Sebuah pukulan
jarak jauh membuatnya mencelat terlempar
dari kudanya, dengan tulang-tulang remuk total
dan darah membeku di dalam saluransalurannya. Tong Lam Hou sendiri dengan
ringan hinggap di atas kuda bekas tunggangan
korbannya itu. "Kalian memang blis-iblis yang pantas
mampus!" geramnya sengit. Dengan tindakannya meninggal kan rombongannya
tadi, kini Tong Lam Hou sudah berada di
tengah-tengah Barisan musuh seorang diri.
Namun ia tetap mengamuk dengan garang.
Sepasang tangannya memukul berturut-turut,
1005 dan dua lagi algojo Hiat-ti-cu roboh kena angin
pukulannya, dengan tubuh membeku.
Dua orang Hiat-ti-cu lainnya diam diam
mengincar dengan bedil, dari sudut yang kurang
diawasi, dan mereka yakin akan kena sebab
sasarannya cukup dekat. Namun sebelum
pelatuk sempat di tekan mereka sendiri sudah
roboh tertembus peluru, dari pasukan yang
muncul dari depan itu. Ternyata pasukan yang muncul dari barat itu
bukan bala bantuan buat Kim Seng Pa,
melainkan sisa-sisa perajurit Hui-liong-kun
(Pasukan Naga Terbang) bawahannya Pak
Kiong Liong dulu. Kedatangan mereka
mengejutkan regu pengejar dari istana, apalagi
mereka membawa bedil juga biarpun hanya
beberapa pucuk. Waktu itu, antara yang mengejar dan dikejar
sudah bercampur aduk daiam sebuah
pertempuran yang sengit. Kalau sudah seperti
itu, tidak ada waktu lagi untuk mengisi bedil
atau menerbangkan kantong kulit Hiat-ti-cu,
melainkan masing-masing pihak akan lebih me1006
ngandalkan ketangkasan bersilat dan me
nunggang kuda masing-masing.
Biau Beng Lama sendiri telah memutar kuda
untuk menghadapi Tong Lam Hou Alangkah
besar pujian yang bakal diterimanya kalau ia
berhasil membawa batok kepala ketua Hweliong-pang itu ke hadapan Kaisar. Sebab Ketua
Hwe-liong-pang itu sudah mendapat cap pula
sebagai "pemberontak" karena berani bersekongkol dengan Pak Kiong Liong.
"Pang-cu, kebesaran namamu sudah kudengar sejak aku masih di Tibet, sekarang
aku mohon pengajaranmu ! " seru Biau Beng
Lama dengan congkak, sambil menggerakkan
sepasang tangannya untuk sebuah serangan
jarak jauh. Serangan itu sebenarnya agak curang, sebab
Tong Lam Hou tengah menghadap ke jurusan
lain setelah merampungkan dua musuh. Tapi
Ketua Hwe-liong-pang itu merasa datangnya
serangan dari samping dan sempat melompat
menghin dar meninggalkan punggung kudanya.
1007 Kuda tunggangannyalah yang menjadi
korban serangan Biau Beng Lama. Kepala kuda
itu seolah meledak sampai isi kepalanya
berhamburan, dan binatang itupun segera
roboh mampus. Siapapun yang ada di arena itu kagum
melihat kedahsyatan pukulan pendeta tua Angih-kau itu. Memang banyak jagoan dunia
persilatan yang dengan tangan kosong bisa
memecahkan kepala seekor kuda, bahkan
kerbau, tetapi memecahkan kepala kuda dari
jarak belasan langkah hanya dengan angin
pukulan, itulah hal yang luar biasa.
Tong Lam Hou sendiri tidak berani
memandang enteng. Ketika Biau Beng Lama dan
kudanya kembali menerjang ke arahnya, Ton
Lam Hou menyambutnya dengan gerak Henghun-liu-cui (Mega Meluncur dan Air Mengalir).
Gelombang hawa dingin yang menusuk tulang
segera menggulung ke arah Biau Beng Lama.
Kali ini gantian si tokoh Ang-ih-kau yang
harus buru-buru melompat meninggalkan kuda.
Kuda tunggangannya tersambar gelombang
1008 hawa dingin, dan langsung roboh membeku
dengan empat buah kaki menjulang ke langit.
Biau Beng Lama dan Tong Lam Hou kini sal
ing berhadapan, dan tanpa banyak bicara lagi
langsung saling gebrak. Mula-mula masih
kelihatan bagaimana mereka-berdua saling
memukul, menangkis, menendang, mengelak,
menyapu dan gerak-gerak silat lainnya, namun
makin lama gerakan mereka makin cepat
sehingga gerak mereka semakin nampak kabur.
Biau Beng Lama yang berjubah merah itu
menyambar kian kemari dengan cepatnya,
sehingga mirip segumpal cahaya merah yang
menyakitkan mata. Tetapi Tong Lam Hou
meladeninya dengan tangguh tanpa terdesak
sedikitpun, bahkan tidak jarang berhasil
memaksa lawannya surut ke belakang.
Sementara itu, para bekas perajurit Huiliong-kun, bekas anggota tentara berkuda
terbaik di seluruh kekaisaran, telah menyerbu
kearah rombongan jago-jago istana dengan
senjata-senjata mereka. Tak disangsikan lagi,
1009 gelom bang serbuan mereka mengejutkan para
jagoan istana. Pemimpin mereka ialah Tok Koh Lui bekas
bawahan Pak Kiong Liong yang berpangkat Jianhu-thio (komandan seribu orang), yang merasa
amat berhutang budi kepada Pak Kiong Liong
karena nyawanya pernah diselamatkan dalam
sebuah pertempuran. Ketika Pak Kiong Liong
diumumkan sebagai "pengkhianat" dan "buronan istana" oleh Kaisar Yong Ceng, Tok Koh
Lui menjadi sakit hati, lebih-lebih setelah
pasukan Hui-liong-kun hendak dipereteli dan
"dikebiri" oleh Yong Ceng dengan jalan dipecahpecah untuk digabungkan dengan pasukan-pasukan lain yang setia kepada Yong Ceng. Maka
Tok Koh Lui bersama sekitar dua ratus perajurit
setianya lari dari Pak-khia, membentuk sebuah
gerombolan di tempat tersembunyi, sambil
menunggu peluang untuk menghantam Kaisar
Yong Ceng. Ketika ia dikabari oleh seorang
pengintainya bahwa di padang ilalang sedang
terjadi "perburuan manusia", tanpa pikir
panjang Tok Koh Lui mengajak sebagian anak
1010 buahnya untuk melihat, dan alangkah
gembiranya ketika menemui Pak Kiong Liong,
sehingga diapun langsung terjun ke kancah
pertempuran. Pak Kiong Liong baginya bukan
sekedar seorang panglima atasannya, tapi hampir dianggap ayahnya sendiri.
Maka terguncanglah arena itu oleh


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketangkasan dan kegarangan bekas perajuritperajurit Hui-liong-kun. Tok Koh Lui sendiri
menyapa Pak Kiong Liong dengan semangat
meluap-luap campur rasa haru, "Goan-swe,
selamat bertemu lagi !"
Tadinya Pak Kiong Liong sudah putus
harapan, mengira pasukan Tok Koh Lui sebagai
musuh, tapi setelah tahu siapa yang datang,
diapun tidak kalah gembira dan terharunya.
Apalagi setelah melihat bendera Hui-liong-kun
yang berkibar-kibar dibawa salah seorang anak
buahnya Tok Koh Lui, sehelai bendera hitam
bersulam gambar naga putih berselimut mega.
Sahutnya, "Selamat, saudara Tok Koh,
berbahagia sekali aku boleh bertempur lagi di
bawah panji -panji kebanggaan kital"
1011 Tok Koh Lui bersenjata kampak bertangkai
panjang, segera menderapkan kudanya ke
tengah gelanggang. la memang seorang ahli
pertempuran berkuda, tenaganyapun besar,
sehingga biarpun tipu-tipu permainan senjatanya tergolong polos dan kasar, tetapi
amat berbahaya di medan yang cocok buat
kepandaiannya. Beberapa algojo Hiat-ti-cu telah
tersapu roboh oleh senjatanya.
Anak buah Tok Koh Lui juga menyerbu
gelanggang dengan tidak kalah semangatnya.
Kepandaian dalam pertempuran berkuda
mereka adalah hasil gemblengan Pak Kiong
Liong dulu. Dan kini, mereka seperti muridmurid yang ingin menunjukkan kepada guru
mereka, untuk membuktikan bahwa mereka
murid yang baik, yang tidak pernah melupakan
ajaran guru mereka, bahkan sudah meningkatkannya. Mereka masuk gelanggang
dengan menebar, kemudian memacu kuda
mereka membuat garis siIang-menyilang
melebar yang memperluas gelanggang pertempuran itu. 1012 Jago-jago istana, terutama kaum Hiat-ti-cu,
mencoba menandingi ketrampilan musuh
dengan mengeluarkan kantong-kantong kulit
pemenggal kepala. Kantong-kantong maut itupun beterbangan
di udara, mencari mangsa. Seorang bekas
perajurit Hui-liong-kun berhasil diserang
sehingga kehilangan kepalanya, namun sedetik
kemudian si penyerangpun kehilangan kepala
sebab leher-nya dibabat seorang bekas perajurit
lainnya, dari jurusan lain.
Sementara itu, karena kelewat bergairah,
Tok Koh Lui telah keliru memilih lawan. Ketika
ia melihat di dekatnya ada seorang kakek-kakek
bermata merah dan berpakaian seragam jubah
ungu, tanpa pikir panjang lagi Tok Koh Lui
memajukan kudanya dan mengayunkan kampak bertangkai panjangnya.
Kakek itu adalah Kim Seng Pa yang berilmu
amat tinggi. Baru saja senjata Tok Koh Lui
bergerik setengah jalan, tahu-tahu tangan Kim
Seng Pa meluncur lebih cepat dan berhasil
mencengkeram siku tangan Tok Koh Lui,
1013 membuat Tok Koh Lui kehilangan tenaga dan
tubuhnya hampir terseret turun dari kudanya.
Namun Tok Koh Lui cukup nekad, dengan
sebelah tangannya yang masih bebas, ia
mencabut belati dari pinggang-nya untuk
ditikamkan ke leher Kim Seng Pa.
Kim Seng Pa hanya terkekeh sambil
mengejek, "Kau mencari mati ....."kepala Kim
Seng Pa tiba-tiba mengibas lalu kuncir
rambutnya yang panjang dan putih keperakperakan itu mendadak seperti sehelai cambuk
berkekuatan raksasa yang melecut lengan Tok
Koh Lui yang memegang belati. Belati Tok Koh
Lui terpental, lengannya terasa pedih bukan
main dan lumpuh. Sedangkan lengannya yang
tercengkeram belum juga berhasil lepas, sampai
tangannya serasa hampir patah.
Dalam detik-detik berbahaya itulah Pak
Kiong Liong datang menolong dengan
melancarkan serangkaian pukulan kekepala dan
lambung Kim Seng Pa, Terpaksa Kim Seng Pa
harus melepaskan dulu calon korbannya, untuk
menangkis hantaman Pak Kiong Liong.
1014 kepala Kim Seng Pa tiba-tiba mengibas lalu kuncir
rambutnya yang panjang dan putih keperak-perakan
itu mendadak seperti sehelai cambuk berkekuatan
raksasa yang melecut lengan Tok Koh Lui yang
memegang belati. 1015 Dengan suara gemuruh bagaikan sepasang
petir yang bertabrakan di langit, pukulan P.ak
Kiong Liong dan Kim Seng Pa berbenturan
dahsyat. Akibat-nya kedua kakek maha perkasa
itu sama sama terpental dari punggung kuda
masing-masing . Kepada Tok Koh Lui Pak Kiong Liong masih
sempat berkata, "Hati-hati memilih lawan,
saudara Tok koh. Setan tua Ini bagianku..."
Sekarang Kim Seng Pa dan Pak Kiong Liong
telah berhadap-hadapan. Inilah kesempatan
kedua bagi Kim Seng Pa menghadapi Pak Kiong
Hong. Dalam kesempatan pertama duiu. Kim
Seng Pa ka-ah. Namun selama dua tahun Kim
Seng Pa telah bekerja keras menyempurnakan
ilmunya, rasa percaya dirinya juga meningkat,
sehingga kini tanpa rasa takut sedkitpun ia
menghadapi Pak Kiong Llong.
Tanpa banyak cakap lagi, Kim Seng Pa mulai
menyerang. Bahkan la tidak sabar untuk mulai
dengan gerak-gerak permulaan, tapi langsung
memainkan 36 jurus iImu andalannya yang
disebut Liok-hap-ciang-hoat (Telapak Tangan
1016 Enam Penjuru). Bersamaan dengan bentakanya
rumput ilalang di sekitar dirinya tiba tiba
menyibak bagaikan di lecut prahara debu
terangkat naik menutupi angkasa, dan Kim Seng
Pa seolah berubah menjadi sesosok mahluk
mengerikan dengan seribu pasang tangan yang
bergerak srempak. Siap melumatkan lawannya.
Pak Kiong Liong memang kaget, jelaslah
lawannya tidak bisa disamakan dengan dua
tahun yang silam. Cepat ia memasang kudakuda sambil mengerahkan Hwe-liong-sin-kang,
lalu iapun memainkan Thian-liong-kun-hoat
untuk menandingi Liok-hap-ciang-hoat yang
dahsyat. Bayangan sepasang tangan Pak Kiong
Liong bagaikan sepasang naga yang menari-nari
di angkasa, menerjang badai pukulan lawannya.
Maka terlibatlah keduanya dalam pertarungan silat tingkat tinggi yang
mengerikan. Gemuruh pukulan dari kedua
pihak membuat bulu kuduk berdiri. Dimana Pak
Kiong Liong bergerak, rumput ilalang di tempat
itu segera hangus seperti habis disembur api
dari mulut seekor naga raksasa. Namun Kim
1017 Seng Pa meladeni tak kalah hebatnya, tubuhnya
diselimuti taufan berkekuatan luar biasa yang
mampu melemparkan benda-benda di sekelilingnya. Ketika dua orang penunggang
kuda yang sedang bertempur tanpa sengaja
mendekatinya, maka kedua orang itu terlempar
bersama kuda-kuda mereka, seolah mereka
hanya helai-helai daun kering saja.
Agak jauh dari arena itu, Tong Lam Hou dan
Biau Beng Lama juga tengah asyik mengadu
kedahsyatan ilmu mereka, lupa keadaan
sekeliling mereka. Lengah sedikit saja, berarti
memberi peluang kepada lawan untuk meraih
kemenangan. Meskipun Biau Beng Lama dan Kim Seng Pa
sudah "mendapat kesibukan", namun tidak
berarti perlawanan jago-jago istana menjadi
lemah. Di antara mereka masih ada lima murid
Biau Beng Lama, Sat Siau Kun, Su-ma Hek-long,
tiga pen dekar Heng-san, Hap Toh dan Pa Lian
Hou yang tak bisa dipandang ringan.
Padang ilalang yang biasanya tenteram
itupun menjadi acak-acakan karena menjadi
1018 ajang kebencian dan dua kelompok yang
bermusuhan itu. Mayat kuda dan mayat
manusia bergeletakan, sementara yang masih
hidup masih saling menyambar dengan senjatasenjata yang terayun-ayun mencari mangsa.
Sorak kemenangan selalu dibarengi pekik
kematian. Kalau yang satu menang, berarti yang
lain harus mati . Tak ada ampun. Mereka tengah
memperebutkan benda tak berwujud yang
disebut "kekuasaan".
Tong San Hong dan Tong Hai Long tidak ikut
bertempur, mereka hanya duduk di punggung
kuda di tempat yang aman, didampingi kedua
orang tua mereka yang dengan tegang
mengawasi ke segala arah. Hu Se Hiong yang
pingsan di atas kuda itu juga sudah berhasil
diminggirkan oleh Tong Gin Yan.
Sepasang anak l.embar itu nampak
bersemangat sekali melihat bagaimana kedua
kakek mereka berkelahi dengan hebatnya,
seperti dewa-dewa dalam cerita dongeng saja.
Tangan mereka kadang-kadang ikut bergerakgerak karena terbawa ketegangan perasaan.
1019 "Ibu, kenapa kita tidak ikut bertempur dan
hanya enak-enak menonton di sini?" tiba-tiba
Tong San Hong berta-nya kepada Pak Kiong
Eng. "Benar, ibu, mari kita ikut bertempur supaya
musuh dapat cepat terusir" sambung Tong Hai
Long berangasan . Tetapi kedua anak-anak itu buru-buru
menunduk dengan takut ketika sang ibu
melotot ke arah mereka sambil berkata, "Anakanak bengal, kalian sudah Iupa bagaimana
penderitaan kalian dalam kerangkeng istana"
Kalau kalian terjun ke gelanggang, kalian hanya
akan memecahkan perhatian kakek kalian dan
paman-paman lainnya, dan bisa mengakibatkan
kekalahan kita. Kalian mau dituduh sebagai
biang keladi kekalahan?"
Biarpun masih sambil menunduk, Tong
Hai Long masih berani menggerutu, "Uh,
ibu kira kami belum pernah berlatih bertempur
sambil menunggang kuda" Di Tiau-im hong,
kami sering diajari oleh Paman Seng....."
1020 "Anak-anak, tunduklah kepada ibu kalian,"
akhirnya Tong Gin Yan ikut bicara.
Diam-diam hati Tong Gin Yan tersentuh juga
oleh ucapan anak-anaknya. Selagi orang lain
mengadu nyawa, kenapa ia malah enak-enak di
pinggiran melindungi anak-anaknya sendiri"
Padahal pertempuran itu terjadi karena melindungi anak-anaknya"
Karena itulah Tong Gin Yan kemudian
berkata kepada isterinya, "A-eng, kau jaga anakanak di sini. Rasanya kurang pantas selagi
teman-teman memeras keringat, aku malah
duduk enak-enak disini. Kalau ada bahaya,
panggil aku." "Baik, Yan-ko," sahut Pak Kiong Eng.
Setelah Tong Gin Yan memacu kuda-nya
memasuki pertempuran, Tong Hai Long berkata
lagi kepada ibunya, "Kenapa ayah boleh dan
kami tidak boleh, ibu?"
"Sepuluh tahun lagi, kalianpun boleh," sahut
ibunya. 1021 Dan Tong San Hong menggerutu, "Sepuluh
tahun lagi" Rasanya pertempuran kali ini tidak
akan berlangsung selama itu----"
Biarpun hatinya geli, Pak Kiong Eng
berusaha untuk tetap berwajah angker di depan
anak anaknya. Kalau ia tertawa, ia khawatir


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anaknya akan lebih susah diatur.
Begitu masuk arena, Tong Gin Yan langsung
bertarung dengan Ci Long Lama, murid Biau
Beng Lama yang berdarah India dan bersenjata
sebatang tongkat bambu yang sekeras baja itu.
Keduanya sebenarnya sama-sama kurang mahir
bertempur berkuda, tetapi keduanya juga samasama malu menunjukkan kekurang-mahiran
mereka, sehingga masing-masing memaksakan
diri untuk tetap bertempur berkuda. Maka
terjadilah pertarungan yang penuh dengan
gerakan serba canggung dan karena sama-sama
canggung, merekapun seimbang.
Setelah ditinggalkan suaminya, Pak Kiong
Eng menyiapkan pula panah-panah dan
busurnya. Yang harus dijaga bukan saja kedua
1022 anaknya, melainkan juga Hu Se Hiong yang
masih tertelungkup pingsan itu.
Tiga orang Hiat-ti-cu agaknya belum kenal
siapa Pak Kiong Eng. Ketika melihat seorang
perempuan muda yang cantik menunggu dua
bocah dan seorang tua terluka, mereka mengira
berhadapan dengan lawan yang gampang
ditundukkan. Mereka segera menbelokkan kuda
ke arah Pak Kiong Eng. Pak Kiong Eng tidak menunggu mereka
sampai dekat. Sekejap kemudian, sebatang
panahnya meluncur dan hinggap di dada salah
seorang dari tiga penyerang itu. Yang dua
lainnya kaget melihat robohnya seorang teman
mereka, namun mereka nekad menerjang terus
dengan berlindung di balik leher kuda.
Karena merasa sulit membidikkan panahnya,
Pak Kiong Eng menyimpan busur dan panahnya,
lalu menyiapkan pedangnya sambil memajukan
kudanya. Tetapi sebelum keduanya tiba di depan Pak
Kiong Eng, seorang penunggang kuda lainnya
memotong dari samping. Seorang yang tidak
1023 bersenjata sepotongpun, tapi dengan gerak luar
biasa telah berhasil menjambret tubuh salah
satu Hiat-ti-cu dengan ringan, lalu dilemparkan
ke atas, ketika tubuh itu meluncur turun
kembali, disambut-nya dengan jotosan keras ke
punggungnya. Tubuh yang malang itu langsung
tertekuk seperti sebatang dahan kering saja.
Seorang Hiat-ti-cu lainnya merasa ngeri
melihat kematian temannya.
Penunggang kuda yang datang itu bukan lain
adalah Pangeran In Tong yang amat bangga
dengan Jian-kin-kang-hoat (Kekuatan Seribu
Katinya). ia berharap, dengan bertindak
sekejam-kejamnya atas dua orang Hiat-ti-cu itu,
ia akan mendapat muka di hadapan Pak Kiong
Eng yang menggoncangkan imannya itu.
Sisa Hiat-ti-cu yang satu lagi buru-buru
memutar kudanya untuk kabur, namun In Tong
juga sudah memacu kuda-nya dan tahu-tahu
sudah sampai di belakangnya.
Dengan gugupnya si Hiat-ti-cu menebaskan
golok ke belakang secara untung-untungan.
Tapi In Tong berhasil menangkap lengan
1024 lawannya dan langsung disentakkan sekuat
tenaga. Si Hiat-ti-cu berteriak ngeri karena
lengannya tercabut mentah-mentah dari
pundaknya . In Tong tertawa terbahak-bahak sambil
melemparkan lengan yang masih memegang
golok itu. Berikutnya, sebuah pukulan keras
dilayangkan dan mematahkan tengkuk si Hiatti-cu, membuat algojo itu tersungkur di antara
batang-batang ilalang. Si algojo kejam telah
menemui nasibnya karena terbentur si maha
algojo maha kejam. (Berrsambung Jilid XVII) 1025 1026 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVII In Tong kemudian menoleh ke arah Pak
Kiong Eng dengan pandangan bangga. "Kunyukkunyuk
itu pantas mampus karena kekurangajaran mereka. A-eng, kau tidak
kurang suatu apa?" Meskipun dengan hati kurang senang
melihat kekejaman In Tong, tapi Pak Kiong Eng
menjawab juga, "Terima kasih atas pertolongan
Pangeran. Hamba tak kurang suatu apapun...."
Sementara itu, jago-jago istana yang hampir
merebut kemenangan, kini telah berbalik
menjadi pihak yang didesak, gara-gara
munculnya Tok Koh Lui dengan anak-buahnya
yang trampil dan berjumlah banyak.
Dan titik pertarungan paling hebat tetaplah
antara Tong Lam Hou melawan Biau Beng Lama
1027 dan Pak Kiong Liong melawan Kim Seng Pa.
Empat jago tua yang seolah ayik dengan
"permainan" mereka sendiri, tanpa peduli
sekitarnya. Yang terlihat dari luar arena o-rang-orang
sakti i tu hanyalah debu dan rontokan ilalang
yang bergulung-gulung naik, deru angin yang
saiing melibat dengan dahsyat, dan kadangkadang terdengar bentakan menggelegar.
Nampaknya masih seimbang saja, tapi bagi
keempat orang yang bertempur, sudah merasa
bahwa keseimbangan mulai miring.
Biau Beng Lama yang dipuja-puja oleh kaum
Ang-ih-kau itu haruslah mengakui bahwa ketua
Hje-liong-pang unggul selapis ilmunya. Hawa
panas yang dipancarkan oleh pukulan-pukulan
Biau Beng Lama, sedikit demi sedikit mulai
tertekan oleh hawa dingin menggigilkan dari
pihak Tong Lam Hou. Tiap kali terjadi benturan
tangan, Biau Beng Lama merasa pori-pori
kulitnya seperti disusupi jarum-jarum es yang
lembut. Tiap kali pula si pendeta berhasil
membebas kan diri dari pengaruh itu, namun
1028 hal itu memperlambat gerakan berikutnya.
Sedang serangan lawannya semakin tajam, rasa
dingin yang dirasakannya juga semakin
menjalar keatas. Pertama hanya lengannya yang
terasa dingin, lalu pundaknya mulai kaku, dan
isi dada-nya mulai terpengaruh juga. Namun
Lama itu dengan keras kepala nekad bertahan,
sampai kepala gundulnya mengepulkan uap
tipis. "Jangan memaksakan diri," kata Tong Lam
Hou di tengah-tengah gencarnya tukar-menukar
serangan. "Kau bisa jatuh sakit dan akan
memerosotkan tingkat tenaga dalammu....."
"Tutup mulutmu!" bentak Biau Beng Lama
sengit. Selama ini ia bersikap congkak di
lingkunqan istana, sehingga timbul persaLngan
dengan kelompok-kelompok istana lainnya. Kini
kekalahan sudah membayang di depan mata,
tak terbayangkan betapa ejekan yang akan
diterimanya dari saingan-saingannya kelak.
Bagi orang secongkak dia, ejekan lebih
menyakitkan dari tikaman pedang.
1029 Karena itulah pikirannya menjadi kacau, dan
ia semakin jatuh di bawah kendali lawannya.
Hawa ding in yang menghimpitnya membuat
otot-otot semakin kaku dan gerakannya
semakin lambat. Maka menyusuplah telapak
tangan Tong Lam Hou menerobos pertahannya
dan menghantam pundaknya. Pukulan yang
tidak mematikan, tetapi membuat Biau Beng
Lama menggigil keras seperti orang demam dan
mukanya amat pucat. Tong Lam Hou tahu bahwa kaum Hiat ti-cu
yang kejam adalah hasiI didikan kaum Ang-ihkau, sehingga kesannya kepada golongan ini
buruk sekali, maka cara bertindaknya pada Biau
Beng Lama juga tidak kenai ampun. Melihat
lawannya terhuyung sambll menggigil, Tong
Lam Hou terus mengejar dengan sebuah
pukulan. Kali ini Biau Beng Lama bukan cuma
terhuyung-huyung, tapi terpental dan terhempas di tanah. Hoat Kheng Lama yang bersenjata golok
lengkung, Kim Leng Lama yang bersenjata
lonceng emas serta Hwe-lun Lama yang
1030 bersenjata gelang-gelang tembaga, serempak
melompat maju untuk melindungi guru mereka.
Bukan saja dari serangan Tong Lam Hou lebih
lanjut, tapi juga dari injakan kaki-kaki kuda
lawan maupun kawan yang masih hilir mudik di
arena itu. Kalau Tong Lam Hou berhasil mengalahkan
lawannya, sebaliknya Pak Kiong Liong justru
mulai terdesak oleh Kim Seng Pa. Kiranya,
dalam dua tahun terakhir itu Pak Kiong Liong
terlalu sibuk mengurusi sengketa istana,
sehingga latihan silatnya agak terbengkalai.
Sebaliknya Kim Seng Pa berhasil meningkatkan
ilmunya sampai melebihi Pak Kiong Liong .
Seandainya Tong Lam Hou dan Pak Kiong
Liong bertukar lawan, mungkin kejadiannya
takkan seperti itu. Biau Beng Lama pasti takkan
bisa mengalahkan Pak Kiong Liong, begitu juga
Kim Seng Pa mustahil mengalahkan Ketua Hwe
liong-pang. Tapi itu hanya andaikata.
kenyataannya demikian dan akibat-akibatnya
tak dapat dihapus. 1031 Pak Kiong Liong sudah mengerahkan Hweliong-sin-kang sampai batas kemampuannya.
Rumput-rumput ilalang menjadi layu, binatangbinatang yang bersembunyi dalam tanah telah
mati karena hawa panas yang menyusup ke
liang mereka. Liong-jiau-kang dan ThIan-liongkun-hoat sudah dikuras keluar, sehingga Pak
Kiong Liong laksana seekor naga murka yang
mengamuk di langit. Tapi itu semua masih belum mampu
mengalahkan Kim Seng Pa. Kakek bermata
merah itu hanya berkeringat, tapi tenaga
dalamnya yang tinggi berhasil melindungi
badannya agar tidak hangus kena Hwe-liongsin-kang. Bahkan Liok-hap-ciang-hoat yang
dimainkannya itu semakin gencar, seolah-olah
ia punya berpuluh-puluh pasang tangan yang
setiap geraknya mengguncang udara.
Setapak demi setapak Pak Kiong Liong
terdesak, sulit lolos dari "ribuan" telapak tangan
Kim Seng Pa yang me ngepung dari segala arah,
Dalam gusarnya, Pak Kiong Liong tiba-tiba
mengeluarkan jurus Ban-liong keng-thian
1032 (Selaksa Naga Menggetar Angkasa), jurus hebat
yang mengajak lawan untuk gugur bersama. la
melompat tinggi, aliran udara panas bergulung
dan berbelit-belit hebat sekali, seolah benarbenar ada selaksa naga keluar dari sarangnya
dan serempak menyemburkan ap .
Tetapi Kim Seng Pa siap menyambut dengan
jurus terhebatnya yang disebut Kun-tun-jut-kai
(Terciptanya Alam Semesta). la berdiri kokoh
bagaikan gunung batu, sampai sepasang
kakinya amblas sedalam betis. Matanya bukan
terpentang memperhatikan gerak lawannya,
malahan terpejam rapat, uap putih mengepul
dari ubun-ubunnya, dan sepasang telapak
tangannya bergerak amat lambat. Namun
muncullah sebentuk kekuatan tak berwujud
yang menyelubungi tubuh-nya, dan "selaksa
naga" yang dilepaskan Pak Kiong Liong itu
tersapu minggir semuanya.
Kim Seng Pa tertawa terbahak-bahak.
Hatinya mengembang besar, sebab di hadapan
ratusan pasang mata di gelanggang itu, ia yakin
1033 Ia melompat tinggi, aliran udara panas bergulung
dan berbelit-belit hehat se-kali, seolah benar-benar
ada selaksa naga keluar dari sarangnya dan
serempak mengemburkan api.
1034 namanya akan terangkat sebab berhasil
mengalahkan Si Naga Utara yang terkenal.
Kini Kim Seng Pa akan mentuntaskan
pertarungannya. Kuda-kudanya di-bongkar
dengan langkah Su-siang-po, tangannya yang
tadi bergerak lambat, kini bergerak secepat
kilat dalam jurus Ban-lui-tian-siam (Selaksa


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petir Menyambar), bagian kedua dari rangkaian
Kun-tun-jut-kai tadi. Begitulah, "selaksa naga"
nya Pak Kiong Liong disong ong dengan
"selaksa petir" nya Kim Seng Pa. Dua jurus yang
sama hebatnya, tapi penentu kalah menang
adalah tingkat tenaga dalam masing-masing,
dan faktor ini dipegang oleh Kim Seng Pa.
Udara bagaikan meledak hebat oleh
bertubrukannya dua arus kekuatan dahsyat itu.
Kim Seng Pa tersentak mundur dan
sempoyongan hampir sepuluh langkah, wajahnya pucat dan kedua tangannya terkulai,
namun ia tetap tegak. Sedangkan Pak Kiong
Liong seperti sebuah layang-layang yang putus
talinya, tubuhnya terhempas dan 1035 menyemburkan segumpal darah dari mulutnya.
Luka dalam nya tidaklah ringan.
Seluruh gelanggang seakan membeku
sejenak menyaksikan akhir dari pertarungan
yang menggidikkan bulu roma itu, Seandainya
yang bertempur itu bukan orang-orang yang
berilmu tinggi tentu tubuh mereka sudah
tercerai-berai kena hantaman luar biasa itu .
Biarpun persendian tulang dan isi dadanya
terasa nyeri, namun Kim Seng Pa merasa
seluruh tubuhnya dialiri rasa hangat karena
kebanggaan yang meluap-luap. la telah
mengalahkan Pak Ki-ong Liong di hadapan
puluhan saksi itu bukan impian lagi, melainkan
kenyataan! Sepasang kakinya berdiri renggang
kokoh, sikap seorang pemenang, dan diapun
berkata, "Menyerahlah, para pemberontak.
Kalian tidak berarti lagi, sebab Pak Kiong Liong
yang kalian banggakan itu sudah runtuh di
tangan-ku!" Saat itu, karena tercengkam oleh suasana,
pertempuran sudah berhenti. Kedua pihak
sudah memisahkan diri dan berdiri di
1036 barisannya masing-masing, namun masih saling
melotot penuh kebencian. Kalau perlu, bisa
dimulai lagi. Sama dengan cinta, kebencian juga
tidak mengenal batas. Tubuh Pak Kiong Liong yang terkapar sudah
dikerumuni oleh Pak Kiong Eng, Tong Gin Yan,
kedua cucunya dan lainnya, sedangkan Tok Koh
Liu dan anak buahnya berbaris melindunginya.
Di pihak lawan, yang dikerumuni ialah Biau
Beng Lama yang tidak pingsan tetapi tak hentihentinya menggigil kedinginan. Sementara Tong
Lam Hou berjalan selangkah demi selangkah ke
hadapan Kim Seng Pa. Apakah si pemenang
akan berhadapan dengan pemenang lainnya"
Tong Lam Hou menatap tajam Kim Seng Pa,
dan berkata, "Jangan bermulut besar. Kau pikir
sisa kekuatan di pihakmu itu mampu memaksa
kami untuk menyerah?"
Jantung Kim Seng Pa bergetar. la tahu,
dirinya dan Tong Lam Hou sama-sama
kelelahan sehabis masing-masing mengalahkan
Pak Kiong Liong dan Biau Beng Lama, namun
agaknya "simpanan" tenaga Tong Lam Hou
1037 lebih banyak. Kalau bertarung, dirinyalah yang
bakal pecundang di tangan Ketua Hwe-liongpang itu.
Kim Seng Pa mendengus, "Hem, baiklah.
Anggap saja kalian lebih beruntung karena
munculnya perajurit-perajurit murtad Huiliong-kun itu. Kami lepaskan kalian kali ini, tapi
hati-hati lah lain waktu."
Maka mundurlah Kim Seng Pa dan orangorangnya, sambil membawa yang tewas dan
luka. Beberapa pucuk bedil yang mereka bawa
juga harus ditinggalkan, karena berhasil
dirampas lawan. Tong Lam Hou dan orang-orang di pihaknya
juga tidak mengejar, sebab kalau mereka
memaksakan sebuah pertempuran habishabisan, maka korban di kedua pihak akan
banyak sekali. Sebenar-nya hati Tong Lam Hou
pedih juga, sebab Ji Han Lim terbawa oleh
musuh sebagai tawanan. Tapi tidak selayaknya
kalau hanya ingin membebaskan satu Ji Han Lim
harus menukar dengan berpuluh-puluh nyawa
lainnya. Hancurnya Kim Seng Pa dan
1038 rombongannya hanya akan merupakan kerugian kecil bagi Yong Ceng, namun
hancurnya rombongan Hwe-liong-pang akan
menjadi keuntungan besar bagi Yong Ceng.
Dengan perhitungan macam itu, terpaksa Tong
Lam Hou membiarka Kim Seng Pa mundur
dengan membawa Ji Han Lim.
Sementara itu, Tok Koh Liu telah
mengundang semua orang untuk beristirahat di
markasnya. Tubuh Pak Kiong Li-ong dan Hu Se
Hiong diangkut dengan hati-hati, bersama
tubuh-tubuh anak buah Tok Koh Liu lainnya
yang tewas atau ter luka.
Markas Tok Koh Liu berada di sebu ah
lembah yang dikelilingi bukit-bukit batu dan
hutan lebat sebagai benteng alamiah. Hanya ada
satu jalan masuk ke dalam lembah, itupun
dilengkapi dengan alat-alat pertahanan, dijaga,
bahkan ada sebuah menara pengintaian yang
mencuat dari pucuk-pucuk pepohonan. Tok Koh
Liu mengatur tempat itu dengan naluri
perajuritnya. 1039 Bagian dalam lembah cukup luas, kalau
hanya didiami duaratus keluarga perajurit,
bahkan masih ada tanah yang ditanami bahanbahan makanan sebagai persediaan makan. Ada
juga lapangari untuk latihan para perajurit
setiap hari. Kedatangan kembali Tok Koh Lui dan
pasukannya, serta tamu-tamunya, di sambut
dengan berbagai perasaan oleh penghuni
lembah. Perasaan lega dari keluarga perajurit
yang pulang masih hidup, ratap tangis dari
keluarga yang gugur, dan harap-harap cemas
dari keluarga yang perajuritnya tidak gugur
namun luka-luka. Namun rata-rata penghuni lembah sudah
siap mental untuk menghadapi kesedihan
macam itu. Mereka telah rela menolak kenaikan
pangkat dan hidup mewah yang disodorkan
oleh Yong Ceng, meninggalkan Pak-khia yang
indah gemerlapan dan hidup prihatin di lembah
sunyi itu tidak lain karena tidak sudi
mengingkari pendirian mereka. Sebab mereka
1040 berpendapat bahwa mendukung Yong Ceng
sama saja dengan mendukung kelaliman.
Lembah terpencil itu segera sibuk dengan
pemakaman mereka yang gugur, pengobatan
yang luka, dan pembangunan barak-barak baru
untuk tamu-tamu mereka. Pohon-pohon
ditebang, digergaji, disusun, dan dengan cepat
berdirilah barak barak baru. Sederhana, tapi
kokoh, seperti barak-barak yang sudah ada
sebelumnya. Tentang diri Ji Han Lim yang tertawan
musuh, Tok Koh Lui dengan sukarela
menyediakan dua orang anak buahnya yang
mahir dalam tugas rahasia, untuk menyusul ke
Pak-khia dan mengamati bagaimana nasib Ji
Han Lim. Tong Lam Hou mengucapkan terima
kasih, sekaligus juga berpesan agar kedua matamata itu jangan sampai membahayakan nyawa
mereka sendiri. Tugas mereka hanya
mengamati, kemudian melaporkan. Kedua petugas itupun menyanggupi untuk memperhatikan pesan-pesan Ketua Hwe-liong-pang itu,
lalu berangkat meninggalkan lembah.
1041 Tetapi bukan berarti nasib Ji Han Lim
diabaikan sama sekali. Tong Lam Hou punya
rencana untuk membebaskan nya, tetapi
dengan kekuatan orang Hwe-liong-pang sendiri,
tidak meminjam kekuatan dari luar. Disuruhnya
Kiong Wan Peng pulang ke Tiau-Im-hong untuk
menyampalkan surat kepada Ko-seng Hwe-shio,
la akan memanggil enam Tong-cu lainnya dan
delapan Hu-tongcu, serta dua orang berilmu
silat terbaik dari tiap-tiap kelompok, agar
datang ke lembah itu. Dengan demikian, Tiauim-hong benar-benar akan "kosong" sebab
semua jago tangguh Hwe-liong-pang harus
keluar, kecuali Ko-seng Hwe-shio yang ditinggalkan sebagai "penjaga gawang".
Dengan demikian Tong Lam Hou menyadari
bahwa tindakannya itu sudah berarti
menantang kekuasaan Yong Ceng secara terangterangan. Tapi melihat bagalmana buruknya
kelakuan anak buah Yong Ceng, maka Tong Lam
Hou merasa bahwa Hwe-liong-pang tidak
mungkin berpeluk tangan saja. Kadang-kadang
ia heran Juga bagaimana seorang pendekar
1042 muda yang lembut dan sopan semacam Si Liong
Cu, tiba-tlba bisa berubah menjadi seorang
Kaisar Yong Ceng yang lalim" Perkembangan
jiwa namun ia memulai sebuah teka-teki yang
rumit. Keputusan Tong Lam Hou itu disambut
gembira oleh Pak Kiong Liong dan Tok Koh Lui.
Bahkan Tok Koh Lui menyatakan, la dan seluruh
anak buahnya bersedia bergabung dengan Hweliong-pang. Maka setelah melalui pembicaraan
yang masak, Tok Koh Lui. dan anak buahnya
menjadi kelompok kesembilan dalam Hwe
liong-pang, dan diberi nama Hui-liong-tong
(Kelompok Naga Terbang). Tok Koh Lui menjadi Tong-cu (kepala kelompok) yang
langsung di bawah perintah Tong Lam Hou.
Dalam lembah itu lalu diadakan perjamuan
sederhana untuk menyambut penggabungan
Tok Koh Lui itu. Dalam suasana itulah In Tong merasa
semakIn iri kepada In Te, adiknya. Sudah
setahun lebih In Te dilucuti dari kedudukannya
sebagai Panglima Tertinggi, namun masih
1043 begitu banyak orang yang mendukung dan
memperjuangkan haknya, bahkan termasuk
beberapa orang ilmu tinggi. Sedang In Tong
merasa dirinya hiduppun berkat belas kasihan
orang lain, dirinya sekedar hadir dilembah
tanpa peranan apa-apa, biarpun orang-orang
dengan hormat masih memanggilnya "Pangeran". la harus mempertegas kehadiran
dirinya agar bukan sekedar penambah hitungan
saja, tapi bagai mana caranya"
Akhirnya cara itu diketemukan juga.
Suatu siang, ketika Tong Lam Hou di
baraknya tengah asyik bermain catur dengan
Pak Kiong Liong yang badannya berangsurangsur mulai kuat, masuklah Pangeran In Tong
dengan sikap sopan. Kehadiran In Tong membuat kedua orang
tua itu hanya menoleh sebentar, namun mereka
terkejut ketika In Tong tiba-tiba berlutut di
hadapan Tong Lam Hou sambil berkata, "Pangcu, aku ada sebuah permohonan kepada Pangcu...."
1044 Buru-buru Tong Lam Hou bangkit dari
kursinya untuk membangunkan In Tong,
"Bangunlah, Pangeran, mana boleh Pangeran
berlutut kepada hamba."
Namun In Tong bertahan tidak mau bangkit,
katanya, "Pang-cu, selama ini aku merasa
hidupku tak berguna, hanya berambisi
mengejar tahta saja. Namun setelah melihat
keperkasaan dan kesetiakawanan Hwe-liongpang, aku merasa kosong hidupku kalau tidak
punya sahabat-sahabat sejati."
Itu memang kata-kata pembukaan yang tepat
dan dapat menggerakkan hati Tong Lam Hou.
"Apakah permohonan Pangeran?" tanyanya.
"Aku ingin masuk ke dalam Hwe-li-ong-pang
dan menjadi murid Pang-cu."
Tong Lam Hou tak bisa segera menjawab. Di
kalangan persilatan, upacara penerimaan murid
sama agungnya dengan kelahiran, pernikahan
atau kematian. Penerimaan murid berarti
lahirnya sebuah aliran persilatan baru. Selama
ini Hwe-liong-pang hanyalah sebuah serikat
dari orang-orang sepaham, namun bukan aliran
1045 silat, sebab tiap anggotanya punya sumber silat
sendiri-sendri. Kalau In Tong diterima sebagai


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid, berarti Tong Lam Hou membuka sebuah
perguruan baru, dan akan ada hak-hak dan
kewajiban -kewajiban tertentu di kemudian
hari. "Pangeran, biarlah hamba memikirkannya
masak-masak iebih dulu," akhir-nya Tong Lam
Hou menjawab, "Penerimaan murid bukanlah
urusan kecil." In Tong agak kecewa, tapi ia nekad bersujud
seperti murid terhadap gurunya, "Kalau Pangcu tidak bisa menerima aku, aku akan hidup
tanpa arti lagi. Aku hidup di udara bebas,
namun hidup sekedar hidup saja, tidak punya
arti apa-apa...." "Jangan berkata begitu, Pangeran. Memangnya hidup baruiah berarti setelah
menjadi anggota Hwe-liong-pang" Pangeran
memiliki ilmu yang tinggi, dan dengan ilmu itu
Pangeran dapat menyumbangkan banyak hal
yang berarti bagi kesejahteraan sesama
manusia yang mem-butuhkan pertolongan
1046 "Namun kalau aku sendirian, ilmuku ibarat
segenggam bubuk meriam yang tanpa arti. Jika
aku menjadi anggota Hwe-Iiong-pang dan
murid Pang-cu bubuk meriam itu ibaratnya
diisikan dalam meriam dan dapat diarahkan ke
Sasaran yang tepat dengan kekuatan yang
dahsyat, tidak terbuang percuma."
"Apakah yang Pangeran maksudkan dengan
sasaran yang tepat itu?"
"Menumbangkan kelaliman dan menegakkan
keadilan!" sahut In Tong keras dan
bersemangat. Seekor kucing kecil yang sedang
mengendus-endus sisa makanan di kolong meja,
terlonjak kaget dan kabur ketakutan lewat
jendela. Sementara itu, Pak Kiong Liong yang
mendengarkan dari samping diam-diam tetap
kurang mempercayai In Tong, sebab ia kenaI
bagaimana karakter pangeran itu. la khawatir In
Tong akan memperalat Hwe-liong-pang, seperti
dulu In Ceng memperalat Siau-lim-pai.
Mungkinkah sekarang In Tong akan meng1047
ulangi siasat yang pernah dilakukan oleh kakak
keempatnya dulu" "Menumbangkan kelaliman dan menegakkan
keadilan yang bagaimana, Pangeran
Jawaban memang sudah disiapkan dan
mengalir lancar dari mulut In Tong. "Munggusur
turun Kakanda In Ceng dari tahta yang bukan
menjadi haknya, dan mendukung Adinda In Te
sepenuhnya. Semuanya itu bukan demi Adinda
In Te pribadi, melainkan demi kesejahteraan
rak yat!" "Baik, permohonan Pangeran akan hamba
pertimbangkan. Tapi hamba belum dapat
menjawab sekarang juga."
In Tong tak bisa memaksa lagi. Namun ia
gembira, ketika ia bersujud sekali lagi, Tong
Lam Hou tidak lagi membangunkannya. Itu
boleh dianggap sebagai "lampu hijau" buatnya.
Dengan so-pan sekali, ia lalu mengundurkan
diri. Setelah pangeran itu pergi, Tong Lam Hou
bertanya kepada Pak Kiong Li-ong, "Bagaimana
dengan permintaannya tadi, A-liong" Bukankah
1048 kau adalah pamannya yang paham bagaimana
pribadinya?" Sahut Pak Kiong Liong terang-terangan,
"Dalam persaingan antar pangeran semasa
hidup Sribaginda Khong Si, dulu, In Tong
termasuk salah seorrang, amat berambisi,
meskipun kemudian tesimgkir karena kalah
kekuatan. Aku khawatir ambisinya sekarang
belum padam, dan ia hanya ingin memperalat
Hwe-li-ong-pang." "Aku hargai pertimbanganmu. Namun
mungkinkah setelah dua tahun "merenungi
nasib" di penjara bawah tanah, ia belum
mengalami perbaikan kepribadi an sedikitpun"
Rasanya, meskipun sekarang ia masih punya
sedikit sifat-sifat buruk, tapi kalau menjadi
muridku kelak, barangkali bisa dibimbing
kejalan yang benar, dan akan menjadi seorang
pendekar yang menguntungkan umat manusia."
Pak Kiong Liong menarik napas mendengar
pendapat Tong Lam Hou. Sahabat-nya itu bukan
orang tolol, tapi hampir seluruh hidupnya
hanya bergaul dengan orang-orang jujur dan
1049 sederhana, sehingga ia selalu menilai orang dari
segi baiknya saja. Berbeda dengan Pak Kion
Liong yang sejak kecil hidup didekat degan
pusat kekuasaan, dimana semua akal licik
dlhalalkan untuk mencapai tujuan, meskipun
Pak Kiong Liong sendiri membenci kelicikan.
Aka-akal licik orang-orang dipanggung kekuasaan itu barangkali takkan pernah terbayangkan oleh orang berhati lurus Tong Lam
Hou. Tetapi Pak Kiong Liong tidak bisa mengubah
pendirian Tong Lam Hou. Ketika kemudian
Tong Lam Hou memutuskan untuk mengabulkan permintaan Pangeran In Tong,
Pak Kiong Liong cuma memperingat kan agar
berhati-hati. Dan Tong Lam Hou sendiri
berterima kasih atas peringatan i tu.
"Aku masih punya harapan untuk merubah
wataknya ke arah kebaikan," kata Tong Lam
Hou penuh keyakinan. Lalu ditutup dengan
sebuah kalimat yang sudah berjuta-juta kali
diucapkan di hadapan orang lain, "Manus!a itu
pada dasarnya baik, bukan?"
1050 Terpaksa Pak Kiong Liong cuma mnnggutrnanggut tetapi dalam hatinya ia berjanji akan
ikut mengawasi tingkah-laku In Tong. Secara
kekeluargaan Tong Lam Hou dan In Tong
seimbang, Tong Lam Hou adalah besan dan
sekaligus sahabat karib sejak muda, sedang In
Tong adalah keponakan jauh Pak Kiong Liong.
Namun segala keputusan Pak Kiong Liong tidak
pernah mempertimbangkan jauh-dekatnya
hubungan keluarga, melainkan berdasar garis
tegas antara keadilan atau ketidak-adilan. Sikap
itu dipegangnya kuat-kuat sampai ia rela
meninggalkan kedudukan empuknya sebagai
Panglima Hui-liong-kun dan berubah menjadi
buronan yang senantiasa terancam nyawanya.
Keesokan harinya, upacara penerimaan
murid benar-benar dilangsungkan. Di hadapan
gurunya dan puluhan saksi, In Tong bersumpah
akan mentaati semua peraturan Hwe-liongpang. Apa susahnya bersumpah" Dan sejak itu,
In Tong menjadi adik seperguruan Tong Gin
yan, biarpun usianya beberapa tahun lebih t ua.
1051 Hari-hari berikutnya, kegiatan dilembah
terpencil itu berjalan seperti biasa. Pak Kiong
llong dan Hu Se Hiong sudah berangsur-angsur
sembuh. Si anak kembar Tong San Hong dan Tong Hai
Long dalam waktu singkat menjadi pusat
kekaguman penghuni. lembah. Mereka sering
ikut latihan perang-perangan berkuda, dan
sering dengan beraninya mereka menunjukkan
gerak-gerak berbahaya di atas kuda. yang
tengah berderap kencang. Sebagai upah
keberanian kelewat batas itu, mereka sering
mendapat jeweran telinga atau sabetan rotan di
pantat, oleh ibu mereka, Pak Kiong Eng.
Melihat keahlian pertempuran berkuda
anggota-anggota barunya itu, Tong Lam Hou
timbul gagasan untuk menjadikan mereka
semacam "pasukan gerak cepat" nya Hwe-liongpang. Jumlah mereka juga akan diperbesar, agar
seimbang dengan jumlah delapan kelompok
yang sudah ada lebih dulu. Anggota-anggota
kelompok lain yang mahir pertempuran ber
kuda akan ditarik masuk Hui-liong-tong
1052 (Kelompok Naga Terbang) dan ditingkatkan
kemahirannya. la tidak pilih kaslh terhadap
semua anak-buahnya, namun harus diakui
bahwa tiap kelompok memiliki kemahiran
sendiri-sendiri . Misalnya anggota anggota kelompok Ang-kitong (Kelompok Bendera Merah) pimpinan Ji
Han Lim adalah orang-orang yang mahir dalam
senjata-senjata lempar seperti hiu-piau, hui-to,
penah, lembing dan bahkan kampak-kampak
kecil seperti kepunyaan Ji Han Lim sendiri .
Anggota-anggota Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) pimpinan Kiong Wan Peng ratarata jagoan dalam perkelahian tangan kosong.
Anggota-anggota Ci-ki-tong (Kelompok Bendera
Ungu) pimpinan Lu Kan San yang berjuluk Huilo-sat (Malaikat Raksasa Terbang) memiliki ke
tahanan tubuh yang luar biasa, sebab Lu Kan
San selalu melatih anggota kelompoknya
dengan berlari-lari naik turun lereng gunung,
melempar-lemparkan batu-batu besar dan
sebagainya, sehingga jadilah mereka orangorang bertubuh baja. Mereka sanggup
1053 bertempur sehari suntuk tanpa kelelahan.
Kelompok lain ada yang ahli pertempuran di air,
ahli menyusup dan sebagainya, dan kini bertambah dengan Hui-liong-tong yang ahl;
bertempur berkuda. Dengan rencana-rencannya itu, disadari atau
tidak, Tong Lam Hou sudah bersiap-siap untuk
perang! "Ramalan" pendeta-pendeta tua Siaulim-si yang pernah mencoba mencegah
perjalannya di kota Seng-toh dulu, ternyata
benar. Tong Lam Hou meninggalkan Tiau-imhong mula-mula hanya untuk urusan pribadi,
menolong cucu-cucunya yang diculik. Namun
setelah melihat kelaliman Kaisar Yong Ceng,
urusan pribadipun berkembang menjadi
perlawanan Hwe-liong-pang terhadap Yong
Ceng. Selama menunggu datangnya jago-jago Hweliong-pang yang tengah dipanggil lewat Kiong
Wan Peng, Tong Lam Hou mengisi waktunya
dengan memberi latihan tambahan kepada anak
buah Tok Koh Lui. Mereka tidak dibiarkan
1054 hanya latihan pertempuran berkuda, namun
juga latihan pertarungan silat perorangan.
Maka kalau setiap pagi anak buah Tok Koh
Lui yang ratusan orang itu berramai-ramai
memukuli atau menendangi kantong-kantong
pasir, atau berlatih jurus-jurus silat, atau
berlari-lari dengan kaki dibebani kantong pasir,
bukan lagi pemandangan aneh. Tong Lam Hou
atau Pak Kiong Liong sendiri yang mengawasi
latihan mereka. Di sela-sela kesibukan itu, Tong Lam Hou
mulai menurunkan ilmunya kepada In Tong. In
Tong sendiri sudah punya ilmu yang tinggi, dan
bertambah tinggi setelah menerima ilmu-ilmu
Ketua Hwe-Iiong-pang itu. Di samping
mengajari silat, Tong Lam Hou juga memperhatikan bagaimana perkembangan kepribadian In Tong. Tong Lam Hou tidak mau
menurunkan ilmu yang tinggi kepada seorang
berwatak buruk, itu sama saja dengan
memberikan sebatang golok tajam kepada
seorang gila di tengah pasar, atau mencetak
"Yong Ceng baru". Namun karena melihat
1055 bahwa In Tong dapat membawa diri sebagai
murid yang "taat" dan "berbakti", Tong Lam
Hou semakin percaya kepadanya.
Beberapa hari kemudian, serombongan
orang memasuki lembah itu, dan di antara
mereka hanyalah Kiong Wan Peng yang sudah
dikenal oleh orang-orang di lembah itu. Namun
mudah diterka bahwa lain-lainnya adalah jagojago Hwe-liong-pang yang dipanggil oleh sang
Ketua. Para jagoan itu, satu persatu segera di
perkenalkan oleh Tong Lam Hou kepada Tok
Koh Lui sebagai rekan baru mereka.
Ui-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera
Kuning) adalah seorang lelaki berusia
empatpuluh tahun yang berpakaian seperti
sastrawan, bertampang lemah lembut dan tiga
jalur jenggot menghiasi wajahnya. Namanya
Siang Koan Long dan julukannya Sai-kim-ciamsu-seng (Sastrawan Penyebar Jarum Emas),
karena keahliannya dalam menyambitkan
jarum-jarum emas.

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jing-ki Tong-cu (Pemimpin KeIompok
Bendera Hijau) adalah seorang lelaki berkulit
1056 coklat kemerah-merahan bajunya kasar dan
pendek, celananya juga hanya sampai ke lutut,
bersepatu jerami menggendong caping bambu,
pinggang nya terikat tali rami, tangannya menjjnjing sebatang tongkat baja. Dialah Liong Su
Koan yang bergelar Bu-sia Hi-jin (Nelayan dari
Selat Bu-sia). Lam-ki Tong (Pemimpin Kelompok bendera
Biru) adalah seorang yang bertubuh gemuk
bundar, berkepala gundul, wajahnya selalu
berseri-seri. Meskipun ia memakai jubah
pendeta, namun ia p-tut dicurigai sebagai
pendeta gadung-n, sebab di punggungnya ia
menggendong sebuah buli-buli arak besar, dan
senjatanya ialah sehelai cambuk yang melilit
perutnya. Namanya Hui-hai Hwe-shio, berjuluk
Cui-sin (Malaikat Pemabuk). Semakin mabuk,
semakin lihai permainan cambuknya, sehingga
buli-buli arak itu boleh dianggap "perlengkapan
perang" nya yang kedua.
Jai-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera
coklat) berpakaian ringkas serba hitam,
wajahnya selalu murung seperti orang yang
1057 terlalu banyak berhutang, sebatang pedang
melintang di punggungnya. Namanya Suma
Hong, gelarnya Hui-hek-miao (Kucing Hitam
terbang). Hek-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok
Bendera Hitam) adalah seorang lelaki ramah
tamah yang berpakaian rapi. Tetapi ia cukup
disegani, sebab dialah Oh Kian Keng yang
(Seruling berjulukan Song-bun-siau Perkabungan). Setiap kali terdengar bunyi
seruling besinya yang menyayat hati, itulah
tanda bahwa musuhnya akan segera berkabung.
Ci-ki Tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera
Ungu) ialah Lu Kan San yang bergelar Hui-lo-sat
(Malaikat Raksasa Terbang), tampangnya
benar-benar mirip malaikat yang dipatungkan
di kuil-kuil pemujaan. Tubuhnya tinggi besar,
wajah nya merah tua, matanya lebar, jubah
panjangnya juga merah tua dan tangan-nya
membawa tombak panjang. Meskipun tubuhnya
nampak berat sekali, tetapi menilik nama
julukannya yang memakai huruf "hui"
1058 (terbang), orang itu agaknya lihai dalam ilmu
meringankan tubuh. Begitulah, enam orang ini kalau ditambah
Kiong Wan Peng dan Ji Han lim menjadi delapan
Tong-cu yang menjadi "sapu kawat" nya Hweliong-pang. Masih di tambah dengan delapan
Hutong-cu (wakil kepala kelompok) serta
enambelas jagoan dari semua kelompok,
menjadi sebuah pasukan kecil yang amat
tangguh. Namun kelak ketangguhan mereka masih
harus diuji di Pak-khia, sebab di sekitar Kaisar
Yong Ceng juga bertebaran jago-jago tangguh
yang tak terhitung banyaknya. Kaisar Yong Ceng
sendiri adalah seorang pesilat ulung, murid
Siau-lim-pai yang mahir Hok-mo-thung hoat
(llmu Toya Penakluk Iblis) dan Lo han-kun-hoat
(Pukulan Arhat) yang lihai .
Mereka semua menyambut gembira bergabungnya Tok Koh Lui serta Pangeran In
Tong dalam Hwe-liong-pang. Dengan demikian,
saat itu Hwe-liong-pang tidak hanya punya
delapan kelompok, tapi sembilan. Semuanya
1059 bersatu hati menentang kelaliman Yong Ceng,
tak peduli apapun ak ibatnya.
Beberapa hari kemudian, dua anak buah Tok
Koh Lui yang ditugaskan menyelidiki ke Pakkhia itu sudah kembali. Mereka kelihatan lelah
dan tegang Tetapi mereka langsung menghadap
Ketua Hwe-liong-pang di baraknya, dengan
diantarkan Tok Koh Lui . "Salam kepada Pang-cu," kedua orang itu
memberi hormat. "Silahkan duduk," sahut Tong Lam Hou.
Namun sebelum mendengarkan laporan
mereka, Tong Lam Hou lebih dulu menyuruh
memanggil para Tong-cu dan Hu-tong-cu Hweliong-pang, juga Pak Kiong Liong
Maka beberapa saat kemudian, ruangan itu
menjadi berjubel-jubel dengan
tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang siap mendengarkan
laporan kedua penyelidik itu tentang nasib Ji
Han Lim. "Saudara-saudara, laporkan lah sekarang,"
perintah Ketua Hwe-liong-pang kepada kedua
penyelidik itu. 1060 Penyelidik yang usianya lebih tua lah yang
berkata, "Pang-cu, maaf kalau berita yang kami
sampaikan ini agaknya akan kurang menyenangkan ..." Semua orang dalam ruangan itu terkejut,
namun tak seorangpun membuka mulut.
Semuanya dengan tegang menanti ke lanjutan
laporan itu. "Apakah saudara Ji Han-Lim di.... di...
dibunuh?" tanya Tong Lam Hou dengan suara
gemetar. "Tidak, Pang-cu.. "Apakah hanya dicacatkan badan-nya" Atau
dipenjara?" "Juga tidak, Pang-cu. Ji Tong-cu telah.... telah
menyerah kepada si lalim Yong Ceng dan kini ia
adalah salah satu dari pengawal-pengawal
berseragam jubah pendek satin ungu...."
Itulah berita yang menggemparkan. Kalau
seorang tokoh Hwe-liong-pang gugur karena
menentang kejahatan, itu sudah sering terjadi.
Namun seorang tokoh Hwe-liong-pang bertekuk
1061 lutut kepada seorang penguasa yang jahat, itu
baru terjadi sekali ini .
Suara-suara tidak percaya dan gumam
macam-macam segera berkumandang campuraduk dalam ruangan kecil itu, sampai Tong Lam
Hou mengangkat tanganya, menyuruh semuanya tetap tenang. "Apakah hasil penyelidikan kalian ini benarbenar sudah tidak keliru lagi?" Tong Lan Hou
menekankan suaranya, kepada kedua penyelldik itu. "Kami sudah yakin, kami menyelidikinya
dengan amat cermat."
Seorang lelaki berusia kira-kira tigapuluh
tiga tahun yang tampangnya mirip Ji Han Lim,
bahkan juqa memboawa sepasang kampak
bergagang pendek di pinggangnya, tiba-tiba
berdirl dari duduk-nya dan berkata keras,
"Kalau benar Lim-ko (kakak Lim) sudah tunduk
kepada Yong Ceng, berarti dia telah menodai,
Hwe-liong-pang. Biarpun dia kakak kandungku
scndir, aku bersumpah akan menghukum
dengan kedua tanganku sendiri !"
1062 Leleki itu, Ji Han Bok, adalah adik kandung
dan sekaligus wakil Tong-cu dari kakaknya
sendiri, la menguatkan kata-kata emosionalnya
dengan wajah merah padam, namun dibarengi
air mata yang mengalir. "Tenang, saudara Ji" Tong lam Hou
menenangkan. "Kita dengarkan dulu laporan
selengkapnya. Mungkin ada alasan kuat yang
mendorong kakak kandungmu bertindak
demikian" Susah-puyah Ji Han Bok menahan emosinya,
lalu duduk kembali dikursi-nya. Namun
wajahnya tetap merah padam, air matanya
tetap bercucuran dan berkali-kali ia mengepal
tinjunya. Kedua penyelidik Itu kemudian diberi
kesempatan untuk memerinci laporan mereka.
Ternyata, selama sepuluh hari di Pak-khia, Ji
Han Lim tidak disiksa, malahan diberi makananmakanan enak dan perempuan-perempuan
cantik, juga dibujuk oleh Kim Seng Pa, sehingga
takluklah ia, Bahkan langsung masuk dalam
barisan pengawal pribadi YongCeng.
1063 '"Menurut yang kami dengar demikian" si
penyelidik menutup laporannya. "Ji Tong-cu itu
merasa kecewa , sebab ia sudah bersusah-payah
berjuang untuk Hwe-liong-pang, namun ketika
dia tertawan oleh Kim Seng Pa, tidak ada orang
Hwe-liong-pang yang memperhatikan nasibnya
lagi . Kalanya ia merasa diacuhkan"
Terdengar suara berderak ketika Ji Han Bok
mematahkan pegangan kursi dengan pukulan
tangannya. Baginya, lebih baik mendengar
kakaknya terbunuh, itu akan menyedihkannya
tetapi tidak mengurangi rasa hormatnya. Tetapi
mendengar kakaknya tunduk kepada Yong
Ceng, hatinya amat terpukul.
Yang tidak kalah terpukulnya ialah Tong Lam
Hou, wajahnya nampak sedih sekali, dan ia
bicara sambil menghela napas, "Ini salahku,
kenapa ketika itu aku tidak berusaha matimatian merebutnya dari tangan Kim Seng Pa?"
Sementara itu Ji Han Bok berkata, "Aku akan
ke Pak-khia untuk menemui-nya , menanyainya,
dan kalau benar ia takluk kepada musuh, akan
kuputuskan hubungan persaudaraan kami!"
1064 "Kita semua akan ke Pak-khia, sambung
Tong Lam Hou. "Kalau dia penasaran kepadaku,
atau kecewa, aku rela dibacok olehnya. Namun
kalau dia benar benar berkhianat kepada garis
perjuang an kita, kita akan menghukumnya!"
Maka semua orangpun berkemas ke Pakkhia. Namun Hu Se Hiong yang baru saja
sembuh dari luka-luka, disuruh pulang ke Tiauim-hong, bersama dengan Tong Gin Yan, Pak
Kiong Eng dan dua anak kembarnya. In Tong
sebenarnya enggan ikut ke Pak-khia, takut
tertangkap kembali oleh orang orang Yong
Ceng. Na mun karena ia diajak, apa boleh buat, d
iapun harus ikut. Di bangsal yang menjadi tempat tinggal Kim
Seng Pa, masih termasuk lingkungan istana, Kim
Seng Pa sedang mengadakan sebuah perjamuan
untuk merayakan "sadarnya" Ji Han Lim yang
berbalik dari pihak "pemberontak" Hwe-liong
pang ke pihak Yong Ceng. Arena perjamuan berlangsung mewah,
namun tidak sepeserpun keluar dari kantong
Kim Seng Pa sendiri. la tinggal menghubungi
1065 bendahara istana dan seqalanya tersedia Yong
Ceng memang amat memanjakan pengawalpengawal pribadinya itu.
Ji Han Lim sendiri nampak gembira ria di
tengah-tengah pesta itu. Pakaian kulitnya yang
kasar sudah tidak dipakai, melainkan memakali
jubah satin ungu yang mewah, kepalanya
memakai topi caping berhias benang-benang
merah dan bulu burung. Berturut-turut dia
menerima cawan arak sebagai ucapan "selamat
bertobat" dari rekan-rekan barunya
Tidak lupa Ji Han Lim mengangkat secawan
arak untuk menyanjung Kim Seng Pa, "Congkoan, terimalah hormatku. Aku merasa amat
berhutang budi kepadamu, sebab Cong-koan
sudah menyadarkan sikapku yang keliru
dengan penuh kesabaran. Sehingga aku
akhirnya sadar, tidak ada gunanya mengikuti si
pemberontak Tong Lam Hou itu, sebab matimatian aku berjuang baginya dan keluarga-nya,
tapi ia mengabaikan nasibku ketika tertawan
oleh Kim Cong-koan. Kini aku sadar, bahwa Kim
1066 Tidak lupa Ji Han Lim mengangkat secawan arak
untuk menyanjung Kim Seng Pa. "Cong-koan,
terimalah hormatku" 1067 Cong-koan yang benarnya lebih berbelas
kasihan kepada ku!" Semua pengawal jubah ungu di ruangan itu


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut mengangkat cawan arak-nya pula.
Kim Seng Pa sudah segar kembali setelah
pertarungannya dengan Pak Ki-ong Liong. Ia
pun mengangkat cawan araknya sambil berkata,
"Selamat, saudara Ji. sejak semula memang aku
tahu bahwa saudara bukan seorang bebal yang
mengikuti Tong Lam Hou secara membabi-buta.
Apa untungnya mengikuti komplotan liar tanpa
masa depan itu" Tapi kalau saudara mengabdi
kepada Kaisar, saudara akan memiliki masa
depan yang cerah, bukan rustahil kelak saudara
Ji menjadi seorang jenderal atau gubernur."
Waktu itu Kim Seng Pa memang sedang
gembira hatinya. Bukan saja karena kelompoknya ketambahan seorang jago
setangguh Ji Han Lim, namun juga karena
namanya sedang menjadi buah bibir seluruh
Pak-khia karena keberhasilan-nya mengalahkan
Pak Kiong Liong dalam duel satu lawan satu.
Kaisar Yong Ceng sendiri juga semakin
1068 menunjukkan kepercayaannya kepada Kim
Seng Pa. Setelah arak ditenggak, Kim Seng Pa berkata
lagi, ''Saudara Ji, selanjutnya saudara harus
berhasil menyadarkan teman-temanmu yang
masih sesat mengi-kuti Hwe-liong-pang, agar
mereka jangan mau lagi tunduk kepada Tong
Lam Hou. Secara pribadi, aku kagum kepada
Tong Lam Hou, sayang bahwa dia gampang
terpengaruh oleh Pak Kiong Liong."
Ucapannya disambung oleh Toh Jiat Hong,
"Ucapan Cong-koan tidak salah. Pak Kiong Liong
membujuk Tong Lam Hou karena dirinya
sendiri sudah kehilangan sandaran sejak
Pangeran In Te tak berdaya lagi. la hanya ingin
menyeret teman sebanyak-banyaknya nenuju
jurang kehancurannya. Untungiah saudara Ji ma
sih punya akal sehat untuk menilai keadaan.
Aku juga yakin, masih banyak lagi orang-orang
Hwe-liong-pang yang sebenarnya tidak mau
ikut-ikutan tersesat, namun hanya karena tidak
berani menolak perintah Tong Lam Hou.
1069 Maka perjamuanpun dilanjutkan dengan
menonton tari-tarian, melihat tukang sulap
beraksi, sementara nampan-nampan berisi
makanan lezat masih terus mengaIir.
Namun tiba-tiba dari luar bangsal terjadi
keributan. Sepasukan perajurit berseragam
tempur, tanpa diundang, tiba-tiba berbaris
masuk bangsal itu dan langsung roenebar,
mengambil sikap mengurung semua pengawal
Jubah ungu yang tengah berpesta. Perajuritperajurit itu memakai tanda-tanda pasukan
Tiat-ki-kun, pasukan yang biasanya berada di
medan tempur, entah kenapa tiba-tiba muncul
di bagian dalam istana itu"
Keruan Kim Seng Pa dan pengawal-pengawal
jubah ungu lainnya terlongong keheranheranan.
"Ada apa ini?" tanya Kim Seng Pa.
Dari pintu masuk, melangkahlah seorang
Cong-peng berseragam Tiat-ki-kun, dan
langsung membentak dengan sikap garang,
"Atas perintah Jenderal Ni Keng Giau, pesta
harus dibubarkan! Tidak pantas kalian
1070 berpesta-pora seperti ini, sementara keadaan
negara belum aman, dan masih banyak perajurit
kerajaan yang dengan penuh keprihatinan
berjuang di pelosok-peIosok negeri!"
Kim Seng Pa kenal perwira itu, namanya Lu
Kong Hwe, bawahan Ni Keng Gi-au. Keruan Kim
seng Pa marah mendengar ancaman itu,
matanya yang merah itu jadi bertambah merah.
Katanya sambil menggebrak meja, "Kurang ajar
betul si bocah ingusan Ni Keng Giau itu! Apa dia
pikir kekuasaannya begitu besar, sehingga
dapat seenaknya saja menyuruh tentaranya
masuk istana ini" Apa dia juga tidak tahu bahwa
kami berada di bawah perintah Kaisar langsung,
bukan di bawah perintahnya?"
Namun sikap Lu Kong Hwe tetap dingin,
"Saat ini Goan-swe Ni Keng Giau sedang
menghadap Hong-siang sendiri dan berbicara
langsung. Tapi pesta di tempat ini harus
dihentikan, atau peluru-peluru kami yang akan
bicara!" Dan dengan sebuah isyarat tangan, para
perajurit Tiat-ki-kun memecah diri menjadi dua
1071 lapis lingkaran. Lingkaran depan berjongkok,
lingkaran belakang berdiri, dan semuanya
sudah menodongkan bedil sundut mereka ke
arah kaum jubah ungu. Sementara para gadis
penari sudah menggigil ketakutan, beberapa di
antaranya malah sudah pingsan.
Maksud Kim Seng Pa mengadakan pesta
adalah untuk menunjukkan kebesaran dirinya.
Tak terduga muncul peristiwa macam itu. Kalau
pesta sampai dibubarkan karena perintah Ni
Keng Giau, bukankah ia akan ditertawai orang
karena dikira takut kepada Ni Keng Giau" Pada
hal selama ini ia selalu menepuk dada sebagai
"tangan kanan" kaisar.
Tapi omong-omong soal "tangan kanan".
Biau Beng Lama juga merasa tangan kanan
Kaisar, Ni Keng Giau juga, Liong Ke Toh juga.
Sehingga Kaisar punya begi tu banyak "tangan
kanan" dan tak satupun "tangan kiri".
Biarpun Kim Seng Pa marah, tapi ia sadar
bahwa moncong bedil sebanyak itu tak bisa
diabaikannya. Sekali pelatuk ditarik, betapapun
tinggi ilmunya, ia dan seluruh anak-buahnya
1072 takkan ter hindar dari hujan peluru. Tubuhnya
gemetar menahan amarah. Selama ini menang
Ni Keng Giau sering menyindir kelompoknya
sebagai "kelompok pesta", namun tak disangka
kalau Ni Keng Giau berani bertindak sejauh itu.
Dengan wajah merah padam, Kim Seng Pa
menggeram. "Persetan dengan Ni Keng Giau! la
sudah membawa pasukannya untuk masuk
istana dengan cara yang tidak sopan, ia bisa
dihukum mati dengan tuduhan memberontak!"
Kalau orang lain yang dituduh memberontak,
pasti-dengkuI mereka sudah gemetar atau
jantungnya copot. Namun perwira bawahan Ni
Keng Giau itu tenang tenang saja. "Hendak
memberontak atau tidak, kelak kekuatan
senjatalah yang akan menentukan. Sekarang,
Cong-koan dan semua saudara-saudara di sini
kami persilahkan menghadap Hong-siang. Di
depan Hong-siang, nanti kalian boleh bebas
bicara, entah mengadu entah merengek manja...
Sehabis bicara, Lu Kong Hwe mengebaskan
sebelah tangannya. Duapuluh perajurit yang
sudah ditentukan, lalu mengangkat bedil dan
1073 menembak ke atas. Ruangan itu bergetar katena
letusan duapuluh pucuk bedil sekaligus, asap
tebal berbau mesiu memenuhi ruangan. Sebuah
papan besar bertulisan huruf e-mas yang
tergantung di atas bangsal, ambruk ke tanah
dalam keadaan berlubang-lubang. Inilah
gertakan Lu Kong Hwe. Kali Ini yang
ditembaknya hanya papan, tapi kalau Kim Seng
Pa masih membangkang, bukan mustahil
peluru-peluru itu akan diarahkan kepada Kim
Seng Pa dan orang-orangnya .
Tindakan Lu Kong Hwe itu memang
terhitung nekad, ia bisa dianggap menghina
Kaisar dan dihukum mati. Tapi si pelaku
nampaknya tenang-tenang saja, malah kelihatan
agak bangga. "Silahkan berjalan," kata Lu Kong Hwe
kemudian "Aku bukan tawanan, aku bisa berjalan
sendiri menghadap Hong-siang!" Kim Seng Pa
masih mempertahkan keangkuhannya. "Dan
tidak harus sekarang, tergantung kapan Hong1074
siang memanggil aku, atau kapan aku sendiri
ingin meng hadapnya!"
Lu Kong Hwe menyeringai dingin,
"Hemm, mana berani aku anggap Kim Cong
koan sebagai tawanan" Aku toh mempersilahkan kalian dengan hormat?"
Meskipun ia bicara "dengan hormat" tapi
dengan tangan kanannya sudah diangkat
perlahan-lahan, siap memberi perintah kepada
barisan penembaknya untuk menarik pelatuk
bedil. Akhirnya Kim Seng Pa memang mati kutu,
tak mungkin bersikap angkuh atau galak lagi.
Dengan menahan amarah, ia melangkah ke
pintu, dan satu persatu anak-buahnya
melangkah di belakangnya, termasuk Jin Han
Lim. Diam-diam Ji Han Lim heran. Dilihat dari
luar, kekuasaan Yong Ceng nampak demikian
kokoh tak tergoyahkan. Namun ternyata
kekuatan-kekuatan pendukungnya cakarcakaran begitu sengit sampai terjadi peristiwa
seperti itu. Tapi ia tetap bungkam saja dan ikut
1075 melangkah dibelakang Kim Seng Pa, untuk
melihat apa yang bakal terjadi di hadapan Hong
siang (Kaisar) nanti. Di luar bangsal, ternyata juga sudah penuh
perajurit-perajurit Tiat-ki-kun yang berseragam
tempur dan bersenjata lengkap. Para pengawal
istana kelihatan juga, namun mereka kelihatan
tak berdaya dan "tenggelam" di tengah-tengah
perajurit-perajurit Tiat-ki-kun, seolah-olah
telah terjadi kudeta di istana itu.
Mau tidak mau, kecut juga hati Kim Seng Pa.
Batinnya, "Si bangsat cilik Ni Keng Giau itu
agaknya terlalu bangga dengan kekuasaan yang
dimiliki-nya, sehingga berani berbuat seperti
ini. Ini terlalu kurang ajar, namun untuk
menundukkannyapun sulit."
Sejak menjadi Panglima Tertinggi, Ni Keng
Giau telah menetapkan tata tertib kemiliteran
yang amat kilat, tidak segan-segan menjatuhkan
hukuman mati kepada anak-buahnya yang
melakukan kesalahan sekecil apapun. Karena
itulah pasukannya menjadi kekuatan yang amat
menakutkan, ibaratnya dengan gerakan ujung
1076 jari saja Ni Keng Giau sanggup menyuruh
mereka menjalankan segala perintahnya.
Akhirnya Kim Seng Pa dan anak-buahnyapun
tiba di Yang-wan-kiong, bangsal kediaman
Kaisar. Begitu masuk, nampak Kaisar duduk di
atas kursi beralas kulit macan, namun tidak
sedang memakai jubah kebesarannya. Di
samping kursi, Ni Keng Giau berdiri dengan
sikap hormat, namun di sekeliling ruangan juga
penuh perajurit Tiat-ki-kun bersenjata bedil.
Jadi Kaisarpun seperti ikan dalam jaring.
Lu Kong Hwe, Kim Seng Pa dan lain
lainnyapun serempak berlutut kepada Kaisar
Yong Ceng. "Bangkitlah kalian," kata Yong Ceng.
"Terima kasih, Tuanku," sahut mereka
sambil bangkit. Setelah berada di hadapan Yong Ceng, Kim
Seng Pa jadi kebingungan sendiri, hendak mulai
bicara dari soal apa" Pesta di bangsalnya itu
sudah direstui Kaisar sendiri, bahkan Kim Seng
Pa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan
biaya dari kas istana, karena Yong Ceng begitu
1077 gembira ketika mendengar Kim Seng Pa dapat
mengalahkan Pak Kiong Liong .
Di saat Kim Seng Pa ragu ragu, Ni Keng Giau
telah mendahului berkata, "Tuanku, inilah
orangnya yang hamba laporkan .telah
menghambur-hamburkan uang negara hanya
untuk pesta-pora tak berguna."
Dengan amat terpaksa, Yong Ceng pura-pura
bertanya kepada Kim Seng Pa, "Apakah benar


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu, Kim Cong-koan?"
Hati Kim Seng Pa bergolak marah, itu artinya
Yong Ceng membebankan semua kewajiban
untuk menjawab ke atas pundaknya, Terpaksa
pula Kim Seng Pa berkata, "Tuanku, perjamuan
yang hamba selenggarakan adalah untuk
menyegarkan semangat anak-buah hamba yang
belum lama ini menyabung nyawa demi
kejayaan Tuanku. Tidak ada penghamburan
uang negara. Perjamuan sederhana kali inipun
untuk menyambut seorang Tong-cu Hwe-liongpang yang sudah insyaf dari jalannya yanq sesat
untuk bergabung dengan kita. Tidakkah ini
1078 pantas dirayakan dengan sebuah perjamuan
sederhana?" Kaisar mengangguk-angguk, lalu berkata
kepada Ni Keng Giau, "Sute (adik seperguruan),
kupikir apa yang dikatakan Kim Cong-koan itu
tidak keliru. Kedatangan tenaga baru yang
mengabdi buatku memang harus disambut
meri-h, agar teman-teman mereka yang masih
sesat dapat melihat bagaimana kita mem
periakukan siapapun yang mau insyaf dengan
baik." Ternyata Ni Keng Giau berani membantah,
"Hamba tidak sependapat, Tuan ku. Menyambut
teman baru boleh saja, tapi apakah mesti
dengan pemborosan" Sedang kita masih butuh
banyak biaya untuk meningkatkan kesejahteraan perajurit perajurit kita. Perajurit
kita yang menjaga perbatasan Jing-hai, Hun-lam
dan di tepi Sungai Amur sudah compangcamping pakaiannya, persediaan obat bedil
mereka juga menipis, namun bantuan terhadap
mereka belum juga dikirim. Kapan mereka akan
mendapatkan itu" Sementara di bangsal Kim
1079 Cong-koan, uang dan makanan dihamburhambur-kan seperti membuang pasir saja."
Yong Ceng tak menduga kalau jenderal
kepercayaannya sekaligus adik seperguruannya itu membantah seberani itu,
sesaat darahnya menghangat. Namun Ni Keng
Giau ibarat sebatang pohon yang dipupuk dan
disirami sendiri oleh Yong Ceng sehingga
menjadi pohon besar dan kokoh, tidak bisa
"ditebang" dengan satu pukulan saja.
Maka jawaban Yong Ceng bernada hati-hati,
"Aku sesalkan terlambatnya kiriman perbekalan
kepada pasukan-pasukan kita di perbatasan.
Aku akan segera memberi teguran keras kepada
Peng po Siang-si (Menteri Perang)".
"Dan bagaimana dengan pesta-pora memuakkan di istana ini?" desak Ni Keng Giau
semakin berani . Dalam keadaan biasa, mana sudi Yong Ceng
didesak-desak macam itu, namun saat itu ia
sadar harus memberi muka kepada Ni Keng
Giau sebelum jenderalnya itu mata gelap.
Sahutnya sambil tertawa, "Kim Cong-koan, aku
1080 tidak menyalahkanmu, namun lain kali
sederhana kanlah sedikit pesta-pestamu."
Kim Seng Pa menundukkan wajahnya untuk
menyembunyikan kedongkolannya. Kaisar
sendiri yang merestui pesta itu, dan sekarang
Kaisar pula yang cuci tangan dan malah ikut
menegurnya. Biar pun ia tahu Kaisar berbuat
demikian ka rena sedang "kalah angin" dari Ni
Keng Giau, toh ia penasaran juga.
Katanya, "Baiklah, Tuanku. Maaf-kan hamba
yang terlalu gembira setelah berhasil
mengalahkan Pak Kiong Liong. Biarpun dia
tidak tewas, setidak-tidak nya akan memukul
semangat pengikut-pengikutnya yang tadinya
memujanya bagaikan dewa tak terkalahkan.
Sekali lagi hamba mohon maaf, Tuanku."
Dengan berkata demikian, Kim Seng Pa
secara halus ingin menonjolkan jasa nya, agar
jangan terlalu dipandang enteng.
Tetapi sebelum Kaisar menjawab, Ni Keng
Giau sudah mendahului, "Alangkah hebat
jasamu, Kim Cong-koan. Namun dulu ketika aku
berhasil melucuti lima ratus ribu pasukan
1081 Pangeran In Te, membungkam enam ratus
pucuk meriamnya yang mengepung rapat kota
Pak-khia, aku tidak mengadakan pesta seperti
kau. Padahal seharusnya aku berpesta seratus
kali lebih meriah dari pestamu. Tahukah Congkoan kenapa aku tidak berpesta" Sebab aku
sudah terbiasa mereguk kemenangan, dan tidak
gampang mabuk kemenangan."
Wajah Kim Seng Pa kontan merah padam.
Tapi sebelum ia membantah, Kaisar Yong Ceng
telah berkata keras, "Jangan bertengkar lagi!
Kalian adalah sesama pembantuku, sudah
sepantasnya kalau saling mengingatkan, namun
tidak perlu ribut-ribut seperti ini! Ni Keng Giau,
pengaduanmu sudah kudengar dan aku akan
mempertimbangkan semuanya!"
Betapa besar nyali Ni Keng Giau dan betapa
bangga akan kedudukannya sebagai Panglima
Tertinggi, namun wibawa Kaisar masih juga
mampu menundukkan-nya. Mendengar suara
Kaisar mulai keras, ia tidak ingin mendebat lagi.
Cepat ia berlutut sambil berkata, "Terima kasih
atas perhatianmu Tuanku. Hamba berterima
1082 kasih atas nama perajurit-perajurit perbatasan
yang tiap malam menggigil kedinginan,
kelaparan dan menghadapi ancaman yang...."
"Tadi aku sudah mendengar, tidak usah kau
ulangi !" Yong Ceng mengibaskan tangannya. "...
dan sudah kubilang akan kupertimbangkan
baik-baik." "Maafkan hamba, Tuanku."
Melihat Ni Keng Giau masih bisa
ditundukkannya, lega juga hati Yong Ceng.
Namun dalam hatinya sudah timbul kesan
bahwa Ni Keng Giau merupakan "bahaya dalam
tubuh" yang tidak boleh dibiarkan makin
membesar. Tapi entah kapan bisa "dikecilkan"
kembali. "Ni Keng Giau, sekarang bagaimana dengan
pertanggung-jawabanmu perihal kerusakan
bangsal Bwe-hoa-kiong akibat ulah anakbuahmu" Kau pikir istana ini hanyalah sebuah
bangunan bobrok yang dapat diterobos keluar
masuk semaumu saja?"
"Hamba pasti akan menegur perwira yang
bertindak tidak sopan i tu , Tuanku."
1083 Jawaban yang sungguh tidak memuaskan
Yong Ceng, sebab Ni Keng Giau hanya akan
menegur bawahannya, padahal seharusnya
dipotong-potong tubuhnya karena kekurang
ajarannya. Namun ia masih belum berani terlaiu
mendesak Ni Keng Giau. "Baiklah, didiklah orang-orangmu baik-baik
agar tidak menjadi liar," suara Yong Ceng
melunak, meskipun kemarahan menggumpal di
ulu hatinya. Sudah ia jengkel, malah Ni Keng Giau
menambah kejengkelannya dengan ka =ta-kata
berikut, "Terima kasih, Tuan-ku. Harap
dimaklumi kalau anakbuah ham =ba bertlndak
kasar, sebab memang ada pihak yang bandel
dan perlu diperlakukan sedikit kasar. Selain
anakbuah hamba yang harus ditertibkan,
kelompok lain juga harus ditertibkan. Jangan
sampai yang satu tertib, sedang yang lain manja
dan berlagak seolah-olah mereka yang
berkuasa, dan...." "Cukup!" suara Yong Ceng menggelegar di
ruangan i tu. 1084 Kemudian kepada perajurit-perajurit Tiat-kikun yang maslh berdiri tegang di sekitar
ruangan itu, Yong Ceng membentak, "Mau apa
kalian berdiri di situ"! Keluar!!"
Namun perajurit-perajurit yang di perintah
itu tetap berdiri tegap di tempat, tak bergeser
sedikitpun juga. Keruan Yong Ceng semakin
marah, "He, kalian tidak mendengar perintahku!" Keluar! Keluar!"
Yong Ceng seolah berbicara kepada patungpatung saja. Para perajurit Ti-at-ki-kun tetap
berdiri tegap, pandangan mata lurus ke depan,
muka dingin, senjata digenggam erat. Hal itu
membuat Yong Ceng bergidik sendiri.
Suasana dalam ruangan itu segera sesak oleh
ketegangan, para pengawal Kaisar sudah siap
bertarung habis-habisan kalau para perajurit
Tlat-ki-kun masih juga membandel.
Ni Keng Giau puas melihai hasil didikannya
selama ini atas perajurit-perajuritnya. Senyumnya seolah mengata kan, "Lihat
perajurit-perajuritku yang berdisiplin baja!"
Tetapi ia masih tidak ingin pertumpahan darah,
1085 maka diapun berkata dengan tenang tanpa
berte-riak, "Kalian keluarlah...."
Ruangan itu seketika gemuruh dengan
jawaban ratusan perajurit Tiat-ki kun itu, "Siap,
Goan-swe!" Lalu dengan tertib mereka
melangkah keluar. Tidak lambat, juga tidak
terburu-buru, seo-lah mereka digerakkan hanya
oleh satu otak. Melihat betapa hebat disiplin pasukan Tiatki-kun, keringat dingin mengalir di tengkuk
Yong Ceng. Baru saat itu ia sadar, nyawanya
seolah baru saja lepas dari genggaman tangan
Ni Keng Giau. Coba tadi Ni Keng Giau suruh
mereka menembak, apa yang terjadi"
Sedangkan Ni Keng Giau telah berlutut dan
berkata, "Hamba mohon diri, Tuanku."
Lalu dengan membusungkan dada, Ni Keng
Giau berjalan keluar. Tetapi sebelum sampai di
pintu, Yong Ceng telah berseru, "Ni Keng Giau!"
Ni Keng Giau membalikkan tubuh dan
bertanya, "Apakah masih ada perintah Tuanku
untuk hamba?" 1086 Suara Yong Ceng dingin sekali, ''Tidak ada
apa-apa. Aku hanya ingin mengucapkan selamat
untuk kehebatan pas kanmu."
Jiwa Ni Keng Giau yang tengah berkobarkobar penuh rasa bangga itu tiba tiba seperti
tersiram air es, kata-kata Yong Ceng itu
membuatnya takut sendiri. Tadinya, ia
menyerbu istana karena terdorong rasa
kesalnya melihat kelakuan kelompok-kelompok
istana, tapi setelah menyadari apa yang
dilakukan-nya, ia jadi takut sendiri. Itulah tin
dakan yang pasti tidak disenangi Yong Ceng,
sebab telah membuatnya kehilangan muka di
hadapan banyak orang. la bergidik mengingat bagaimana Yong Ceng
menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya, karena dulu Ni Keng Giau adalah
algojo pelaksana-nya. Kini ia menyesal sendiri,
tetapi dibulatkannya tekad dalam hatinya, "Aku
sudah terlanjur melangkah dan tak bisa surut
lagi. Aku harus memperkuat genggangamku
atas Tiat-ki-kun agar Hong-siang tidak berani
1087 menyingkirkan aku. Tapi mudah-mudahan
Hong-siang cepat melupakan kejadian hari ini."
Seharusnya Ni Keng Giau yang sudah hapal
watak Yong Ceng menyadari, tak mungkin Yong
Ceng melupakannya begitu saja. Namun
manusia toh ada kalanya perlu menipu diri
sendiri untuk menenteramkan hati
(Berrsambung Jilid XVIII)
1088 1089 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVIII

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Tuanku," kata Ni Keng Giau.
Ketika ia mengangkat kembali wajahnya
nampak betul bedanya antara Ni Keng Giau
yang tadi dengan yang sekarang. Tadi angkuh,
garang, bangga. Kini agak pucat dan penuh
keprihatinan. Ketika melangkah keluar ruangan,
ia tidak setegap tadi, karena langkah-nya
dibebani penyesalan. "Goan-swe, kau kenapa?" Lu Kong Hwe
menyambutnya dengan pertanyaan di luar
pintu. "Hanya sedikit kurang enak badan," sahut
sang jenderal muda. Melihat wajah Lu Kong
Hwe, tiba-tiba Ni Keng Giau timbul gagasannya
untuk besok meredakan amarah Kaisar di
hadapan Sidang Kerajaan. Mudah-mudahan
1090 jalan keluar yang ditemukannya itu cukup man
jur Sambil berjalan pulang ke tangsi, sepanjangjalan Lu Kong Hwe memuji-muji Ni Keng Giau
sebagai jendera) yang berkuasa, sehingga
Kaisar pun takut kepadanya, dan sebagainya.
Namun Ni Keng Giau hanya berkata singkat,
"Lu Cong-peng, malam ini kau menginap di
rumahku saja, supaya besok pagi-pagi kita bisa
berangkat bersama-sama menghadiri Sidang
Kerajaan." Hati Lu Kong Hwe melonjak gembira.
Alangkah bangganya dia diperkenankan
mendampingi si jenderal muda perkasa yang
telah menggemparkan istana. Tentu saja ia
langsung menyanggupi permintaan Ni Keng
Giau. Di istana, sepeninggal Ni Keng Giau dan
seluruh pasukannya, Yong Ceng tak sanggup
mengekang amarahnya lagi. Ujung meja
dicengkeram sehingga hancur menjadi bubuk
kayu. 1091 "Ni Keng Giau---- Ni Keng Giau.." berulang
kali diucapkan nama itu dengan perasaan
geram. Sementara Kim Seng Pa masih berdiri di
hadapannya dengan hati berdebar-debar.
"Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa
tadi, Kim Cong-koan?" Yong Ceng tiba-tiba
bertanya. Naluri Kim Seng Pa yang tajam merasa itulah
detik-detik berharga untuk menunjukkan
bahwa dialah "anak manis", bukan "anak nakal"
seperti Ni Keng Giau. Sahutnya, "Tuanku,
sebelum hamba menjawab, apakah hamba
diperkenankan lebih dulu membubarkan anak
buah hamba?" Waktu itu memang para pengawal
berseragam ungu, termasuk Ji Han Lim, masih
berdiri dengan tertib dan hormat dipinggiran.
Sikap yang serba minta ijin dulu itu memang
merupakan "obat" bagi Yong Ceng yang harga
dirinya baru saja dilucuti habis-habisan oleh Ni
Keng Giau. "Silahkan, Cong-koan."
1092 Kim Seng Pa lalu memerintahkan anakbuahnya, "Kembali ke tempat kalian dengan
tertib. Jangan sampai peristiwa tadi tersiar dari
mulut kalian tanpa perkenan Hong-siang
sendiri." Para pengawaI jubah ungu ialu berlutut
kepada Yong Ceng, Ialu pergi meninggalkan
ruangan itu. Kim Seng Pa melirik ke wajah Kaisar, dan
lega ketika melihat kemarahan di wajah itu
mereda. Bahkan Kaisar memuji, "Anak-buahmu
tidak kalah tertibnya dengan anak-buah Ni Keng
Giau, Cong-koan." "Kami semua adalah hamba-hamba Tuanku
yang siap menyerahkan nyawa demi kejayaan
Tuanku." Setelah tinggal berdua saja dengan Kim Seng
Pa, Yong Ceng berkata, "Nah, apa katamu
tentang ulah Ni Keng Giau tadi?"
"Tuanku, sesungguhnya ucapan hamba ini
sama sekali tidak berdasarkan sakit hati pribadi
kedua terhadap Ni Keng Giau," Kim Seng Pa
1093 mulai dengan sebuah kebohongan. "Ini demi
kejayaan kekaisaran kita...
"Katakan saja, Cong-koan."
"Singkat saja, Tuanku. Hamba harap Tuanku
waspada, agar jangan sampai terjadi peristiwa
seperti Bu Sam-kui dulu..."
Yong Ceng terkesiap, ingat sejarah lama.
Jaman menjelang runtuhnya Kerajaan Beng
dulu, ada seorang Panglima Beng bernama Bu
Sam Kui yang menjaga kota San Hai-koan.
Ketika Kerajaan Beng diruntuhkan oleh
pemberontakan Li Cu Seng, Bu Sam Kui enggan
tunduk kepada Li Cu Seng hanya karena
masalah pribadi, karena perempuan yang
dicintainya direbut oleh Li Cu Seng. Dari pada
tunduk kepada Li Cu Seng, Bu Sam Kui malah
mengundang balatentara Kerajaan Manchu
untuk ke Tiong-goan, lewat San-hai-koan,
sehingga akhirnya orang Manchu berhasil
menguasai seluruh negeri. Bu Sam Kui diberi
balas jasa, dianugerahi wilayah Se-cuan dan
Hun-lam, dan menjadi gubernur dengan geiar
Peng-se-ong. Namun di masa mudanya Kaisar
1094 Khong Hi, ayah Yong Ceng, Bu Sam Kui
memberontak, bahkan sempat mendirikan
"negara dalam negara" yang beribu kota di
Heng-ciu dan mengangkat diri sendiri sebagai
Kaisar. Akhirnya pemberontakan itupun
tertumpas habis oleh pihak Manchu.
Kini Kim Seng Pa mengingatkan Yong Ceng,
jangan sampai Ni Keng Giau menjadi "Bu Sam
Kui kedua", karena betapapun Ni Keng Giau
berdarah Han. Jangan sampai diberi kekuasaan
terlalu besar, nanti susah dikendalikan.
Kim Seng Pa yang berdarah Manchu itu lebih
suka kalau kedudukan Panglima Tertinggi
dijabat oleh orang Manchu, syukur-syukur
dirinya sendiri. Namun ia tidak memperlihatkan
ambisinya, sebab tahu bahwa Yong Ceng selalu
merasa terancam oleh pembantunya yang
terlalu berambisi. Diam-diam Yong Ceng menyesal telah
memberi kekuasaan terlalu besar kepada Ni
Keng Giau, dan akibatnya sungguh mengerikan,
Pasukan Tiat-ki-kun tidak mau tunduk kepada
siapapun kecuali kepada Ni Keng Giau. Si
1095 harimau keciI yang dulu lucu dan menyenangkan, kini telah tumbuh taringnya
dan kuku-kukunya yang tajam.
"Aku paham kecemasanmu, Kim Cong-koan,
tetapi...Yong Ceng ragu-ragu melanjutkan
kalimatnya. Dapatkah Kim Seng Pa dipercaya
untuk mengetahui seluruh isi hatinya"
"Tetapi kenapa, Tuanku" Hamba akan
berbahagia sekali kalau Tuanku mau
mempercayai hamba, hamba akan menjunjung
tinggi kepercayaan yang Tuanku berikan . . ."
Namun Yong Ceng tetap menjawab secara
samar-samar, "Kemauan ada, tetapi jalannya
belum ditemukan." "Menjatuhkan Ni Keng Giau" Hamba tahu
jalannya, Tuanku...."
Tetapi Yong Ceng lebih dulu mengibaskan
tangannya dan berkata, "Sudahlah, sekarang
sudah larut malam. Besok pagi aku tidak boleh
kelihatan mengantuk dalam sidang istana."
"Baiklah, hamba mohon diri, Tuanku
"Silahkan, Cong-koan."
1096 Keesokan harinya, Ni Keng Giau mengajak Lu
Kong Hwe menghadiri Sidang Kerajaan. Tapi ia
tidak mengajak seluruh tubuh Lu Kong Hwe,
cukup batok kepalanya saja, yang dibawa di atas
sebuah nampan porselen. Batok kepala Lu Kong
Hwe kelihatan masih segar bola matanya
membelalak penasaran, membuat semua
hadirin di Sidang Kerajaan bergidik ngeri. Itulah
cara Ni Keng Giau meredakan kemarahan
Kaisar. Sambil berlutut, Ni Keng Giau mengangkat
tinggi-tinggi nampan itu, dan berkata, "Inilah
perwira hamba yang tadi malam menimbulkan
kerusakan di istana. Dia pantas dihukum mati,
Tuanku." Banyak Menteri dan Panglima di ruangan itu
yang bergidik oleh kekejaman Ni Keng Giau.
Mereka sudah mendengar bisik-bisik tentang
peristiwa kemarin malam. Kalau tidak
diperintahkan oleh Ni Keng Giau, mana berani
perwiranya bertindak terlalu jauh" Namun kini
Rajawali Hitam 2 Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Thousand Splendid Suns 4

Cari Blog Ini