Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 1

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 1


PENDEKAR ANEH Judul lain : MEMBURU PUTERA RADJA
Karya : LIANG IE SHEN Penyadur : BOE BENG TJOE Penerbit : MEKAR DJAJA - DJAKARTA, 1960
Diterbitkan dalam 12 jilid, terdiri atas 632 Halaman, dengan penyajian perhalaman terdiri dari 2 kolom, dengan huruf berukuran 10. Pada tahun 1980, buku
ini dicetak ulang melalui Penerbit U.P. KRESNO " JAKARTA, dengan judul "MEMBURU
PUTERA RADJA" dan diedarkan terdiri atas 28 jilid. Dalam kedua edisi ini tidak
dicantumkan judul asli dalam bahasa Hokkian maupun Mandarin-nya, sehingga untuk
selanjut-nya penyajian yang akan saya sampaikan tidak mencantumkan judul asli
dimaksud (Hokkian/Mandarin).
Teks : Taukenio Kedai Arak
Edit : Mas Durokhim Soedartoputra
Catatan : Dari teks aslinya, huruf-huruf per-kata dan kalimat yang amburadul dan acakacakan.
Banyak huruf yang salah dan tidak terbaca sama sekali.
Maka kami usahakan melengkapi kata-kata dari huruf-huruf yang tidak terbaca itu
dengan perkiraan kami saja agar cocok dengan kalimatnya.
Ada dua sampai empat halaman yang hilang, mungkin dari buku aslinya yang
sobek/hilang, sehingga ceritanya jadi meloncat.
Beberapa kata dan kalimat juga kurang sinkron jadi sedapatnya kami
memperbaikinya agar lebih enak dibaca....
-----?""000?""----"KIAM-kok-kay-thian-hiam ! Awas pedang !". "Toan-pek-tjiap-tjeng-thian, sungguh
luar biasa !". "Hoei-niauw-hoei-lan-kwee, bagus ! Bagus tindakan itu !". "Teetauw-bong-san-kok ! Pek-in-kak-bee-hian ". "Ha-ha-ha ! Sambut pedangku !". "Hihi-hi ! Djagalah ...!".
Teriakan2 itu adalah teriakan dua orang kakak-beradik. Sang kakak lelaki bernama
Tiangsoen Thay, si-adik perempuan Tiangsoen Pek, Mereka sedang berlatih ilmu
silat pedang. Djika kamu berada disitu dan menjaksikan latihan mereka, anda
pasti akan ter-heran2 dan menahan napas. Mengapa " Karena mereka berlatih diatas
"Tjan-to" jang terkenal berbahaja diwilajah Siok (propinsi Soetjoan). Orang
kata: 'Siok-to-lan, Lan-ie-siang-tjeng-thian' (Djalanan di wilajah Siok sangat
sukar, sukarnja bagaikan naik ke langit). Dan "Tjan-to" di-Kiamkok adalah
djalanan jang paling sukar dan paling berbahaja. Apa itu "Tjan-to" " "Tjan-to"
adalah djalanan ketjil jang ber-liku2 seperti usus kambing, jang dibuat
disepandjang pinggiran gunung jang tjuram. Di-tempat2 dimana tak dapat dibuat
lagi djalanan biasa, orang lalu memahat batu2 karang jang terdjal dan memasang
pagar diatas tihang2 kaju untuk membuat sematjam djembatan jang tergantung
ditengah udara. Kadang2 djalanan itu merupakan tangga batu dengan ribuan
undakan. Itulah "Tjan-to", djalanan jang tersohor karena berbahajanja, didaerah
Soe-tjoan. Dulu, pada djaman perebutan kekuasaan antara negeri Tjouw dan negeri
Han, Lauw Pang (pendiri keradjaan Han) telah menggunakan tipunja Han Sin untuk
memperbaiki "Tjan-to" dan diam2 menjeberang Tintjhong, Tjouw-pa-ong, jang tidak
pertjaja, bahwa "Tjan-to" dapat diperbaiki oleh Lauw Pang, kena diselomot. la
sama-sekali tidak menduga, bahwa musuhnja sudah menjeberang dari Tintjhong. Pada
achirnja, Tjouw-pa-ong jang terkenal gagah-perkasa binasa dengan menggorok
lehernja sendiri di-Ouwkiang. Dan tjontoh ini dapat dilihat, bahwa "Tjan-to"
adalah djalanan jang benar2 berbahaja. Kedua saudara itu berlatih diatas "Tjanto" sambil bersenda gurau. Dengan kelintjahan kera, mereka melompat kian-kemari
sambil menjerang atau menangkis dengan sendjata mereka. Salah setindak sadja,
mereka pasti akan tergelintjir dan binasa di djurang jang sangat dalam. Latihan
pedang serupa itu sungguh djarang terlihat dalam Rimba Persilatan. Akan tetapi,
didekat mereka terdapat seorang gadis ketjil jang duduk diatas batu besar sambil
membatja sedjilid buku sjair. la membatja dengan penuh perhatian dan tak pernah
menengok ke arah pemuda-pemudi itu jang tengah mengadu pedang. Nona itu jang
baru berusia kira2 empat-belas atau lima-belas tahun, bertubuh langsing dan
berparas tjantik. la terus membatja sambil menunduk dan hanja kadang2, kapan
kedua kakak-beradik berteriak terlalu keras, barulah ia berhenti dan
mengawasinja. Sesudah bertanding kurang-lebih lima puluh djurus, sang kakak
perlahan berada diatas angin dan si-adik mulai repot melajaninja. "Wan Djie !",
teriak Tiangsoen Pek. "Mengapa kau tak mau membantu ?". "Awas !" seru Tiangsoen
Thay. Inilah Pek-hong-koan-djit (Bianglala putih menembus matahari). "Hati2 !
Kau bisa luka ". Dalam suatu gerakan indah, sambil mengegos si-nona menangkis
dengan pukulan Hoei-hong-boe-lioe (Angin meniup pohon lioe). "Wan Djie !"
teriaknja pula. "Kalau kau tidak membantu, hari ini aku roboh ditangan Koko
(kakak) ". Si-gadis tjilik hanja tersenjum, ia terus membatja. Tiangsoen Pek
tertawa njaring. "Setan ketjil ! Tak kena diakali ", katanja. Gadis ketjil itu
adalah seorang she Siangkoan bernama Wan Djie. Mendengar perkataan Tiangsoen
Pek, ia pun tertawa seraja berkata : "Tjietjie, aku sedang mempeladjari sjair.
Maaf, hari ini kutak bisa menemani kau ". Ia sudah dapat menebak, bahwa
Tiangsoen Pek sengadja berlagak kalah, supaja ia turun tangan. 'Hoei-hong-boelioe' jang barusan, digunakannja setjara begitu indah, merupakan bukti, bahwa
kepandaian Tiangsoen Pek tidak berada disebelah bawah kakaknja. Beberapa saat
kemudian, sambil tertawa kakak-beradik ini menghentikan latihan dan lalu
melompat turun dari atas "Tjan-to". "Moay-moay, kau sungguh radjin, setiap hari
tak henti2-nja mempeladjari sjair ", kata Tiangsoen Pek sambil tertawa.
"Beberapa tahun lagi. Ong, Yo, Louw, Lok, empat penjair besar, akan menunduk
dihadapanmu ". Jang dimaksudkan si-nona adalah 'Ong Poh, Yo Tjiong, Louw Tiauw
Lin dan Lok Pin On, jaitu empat penjair tersohor didjaman keradjaan Tong dan
mereka didjuluki sebagai "Soe-kiat" (Empat orang gagah). Wan Djie tersenjum.
"Menurut pendapatku, diantara Soe-kiat, hanja Ong Po seorang jang benar2 pandai.
Tiga jang lain tidak seberapa, apa lagi Lok Pin Ong jang sangat rewel. Aku lebih
menjukai tadjuk rentjananja daripada sjair atau sadjaknja." Tiangsoen Pek
tertawa njaring. "Aduh, sombongnja !" ia mengedjek. "Aku dengar kaisar wanita
jang sekarang duduk di tachta, akan mengadakan udjian untuk kaum wanita. Dilihat
gelagatnja, gelar Tjong-koan wanita pertama tak akan terlolos dari tanganmu ".
Siangkoan Wan Djie tak mendjawab, ia hanja tersenjum. "Pek-moay ", menjeletuk
Tiangsoen Thay. "Kau salah. Dengan berkata begitu, kau se-olah2 memandang rendah
Wan Djie ". Si nona kelihatan kaget dan dilain saat, ia kembali tertawa njaring.
"Benar ", katanja. "Dalam dunia ini, siapa jang mempunjai kepandaian tjukup
tinggi untuk mendjadi pengudji Wan Djie kita " Hm ....! jika benar diadakan
udjian untuk kaum wanita, paling sedikitnja Wan Djie harus duduk dikursi
pengudji ". "Benar !". "Mana boleh ia menundukkan kepala sebagai seorang jang
diudji ?". "Menurut pendengaranku, pada waktu Siangkoan Pehbo melahirkanmu, ia
mimpi bertemu dengan Thian-sin (Malaikat dari langit) jang menghadiahkannja
sebatang penggaris batu giok dan satu timbangan besar ", kata Tiangsoen Thay.
"Dengan demikian, tangan kirimu mentjekal penggaris dan tangan kanan memegang
timbangan. Lihatlah ! Bukankah langit sudah menetapkan, bahwa dikemudian hari,
kau bakal djadi pengudji dari para tjerdik pandai dalam dunia !". Paras si nona
ketjil lantas sadja berubah. "Sudahlah ! Kau djangan mengedjek ", bentaknja.
"Andai-kata aku mempunjai keinginan untuk mendjadi pengudji para tjerdik
pandai !, kutak kesudian mendjadi Ko-khoa (pembesar jang mengepalai udjian) dari
Boe Tjek Thian!". Tiangsoen Thay djadi djengah, "Benar ", katanja. "Hm.....! Boe
Tjek Thian mengaku sebagai Tjin-beng Thian-tjoe (Anak Tuhan, atau kaisar, jang
memerintah atas firman Tuhan), tapi sebenarnja, ada satu iblis perempuan jang
telah merampas tachta keradjaan. Baiklah. Kita djangan me-njebut2 lagi. Wan
Djie, bolehkah aku mendengar sjair jang paling belakang digubah olehmu ?". Si
nona lalu menaruh bungkusannja diatas batu dan menghafal sebuah sjair dengan
suara perlahan : "Di telaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, Kuingat ia jang terpisah
djauh berlaksa li, Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin. Bulan
dojong, dibelakang sekosol tiada bajangannja lagi.
Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membatja sjair Hopak utara. Kitab
sjair bebas dari maksud lain jang mendalam, Ku hanja bersedih karena sudah lama
berpisah ...". Ia menghafal sjair itu dengan suara terharu, karena sjair tersebut adalah sjair
pertjintaan jang diliputi kedukaan se-olah2 seseorang sedang memikiri kekasihnja
jang berada ditempat djauh. Tiangsoen Thay agak terkedjut. "Ketika datang, ia
baru berusia tudjuh tahun ", katanja didalam hati. "Tahu apa, anak tudjuh tahun"
Sekarang ia berusia empat belas tahun, tapi gadis empat belas tahun tak mungkin
mempunjai rahasia hati seperti jang barusan diutjapkannja ". "Bagus ... !
Sungguh bagus sjair itu ...!", memudji Tiangsoen Pek. "Tapi ada satu hal jang
kakakmu kurang begitu mengerti dan ingin meminta sedikit pendjelasan ". "Apa itu
?" tanja si nona. "Ditelaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia
jang terpisah djauh berlaksa li ", mengulangi Tiangsoen Pek. "Entah pemuda mana
jang sudah beruntung sehingga dibuat ingatan oleh adikku jang tjantik manis !".
Siangkoan Wan Djie tertawa ter-pingkal2. "Tjietjie, lidahmu sungguh tadjam !",
katanja sambil ber-djingkrak2. "Pandai sungguh kau mengedjek orang. Aku hanja
memetik riwajat Siangkoen Siang Hoedjin (njonja Siang) jang diliputi kedukaan
karena memikiri Kaisar Soen. Kaisar Soen adalah seorang Kaisar didjaman purba
(2255 -2207 sebelum Masehi) jang terkenal arif bidjaksana. Satu waktu ketika
membuat perdjalanan kedaerah selatan, ia wafat di Tjhong-go, sebuah gunung jang
terletak dalam propinsi Ouw-lam. Wafatnja itu mendukakan sangat seorang
selirnja, jaitu Siangkoen Siang Hoedjin jang telah menangis sehingga
mengeluarkan air mata darah dan air mata itu telah menodai pohon bambu, jang
kemudian diberi nama Siang-hoei-tiok (Bambu Siang-hoei, 'Hoei' berarti selir
kaisar). Sebagaimana telah dinjatakannja, Siangkoan Wan Djie menggubah sjairnja
berdasarkan sedjarah itu. Akan tetapi, Tiangsoen Thay masih djuga tidak merasa
puas. "Siapa jang dipikiri Wan Djie ?", tanjanja didalam hati ber-ulang2. Nona
Tiangsoen tertawa geli. "Ku tak njana sjairmu begitu berbelit, lebih berbelit
daripada kiam-hoat (ilmu silat pedang). Sudahlah ...! Otakku tumpul, ku tak
berani lagi omong2 tentang sjair denganmu. Mari ! Hari ini kau harus berlatih ".
Tiangsoen Thay heran mendengar sjair itu, tapi Siangkoan Wan Djie pun tak kurang
herannja karena selalu didesak untuk beladjar silat. "Mereka bukan tidak tahu,
bahwa aku senang dengan sastra dan tidak suka beladjar silat ", katanja didalam
hati. "Tapi mengapa mereka selalu mendesak supaja aku beladjar ilmu silat ?".
Dengan muntjulnja perasaan heran itu, ia lantas sadja ingat kedjadian selama
tudjuh tahun yang lampau dan rasa tjuriganja djadi semakin bertambah. Kakek dan
ajah Siangkoan Wan Djie pernah mendjabat pangkat tinggi dalam keradjaan Tong.
Pada suatu hari, waktu ia berusia tudjuh tahun, seorang budjang tua jang bernama
Ong An dan babu teteknja telah membawanja keluar kotaradja, kerumah keluarga
Tiangsoen. Setibanja disitu, baru mereka memberitahukan, bahwa kakek, ajah dan
ibu-nja sudah meninggal dunia dan bahwa mulai dari sekarang, ia harus berdiam
dirumah Tiangsoen Pehpeh (paman Tiangsoen). Semasa hidup, kakeknja, Siangkoan
Gie, mendjabat pangkat Thay-tjoe Thay-po (pembesar agung jang djadi penilik dari
putera mahkota), sedang ajahnja, Siangkoan Teng Tjie, seorang pembesar tinggi
dalam djawatan kesusastraan. Untuk menunaikan tugas, sang ajah sering menginap
didalam keraton dan djarang pulang kerumah. Karena apa mereka meninggal dunia,
si nona belum tahu terang. Tapi ia ingat, bahwa pada pagi hari itu, sebelum ia
dibawa menjingkir, ibunja masih segar-bugar dan ber-kemas2 untuk menengok
ajahnja di keraton. Mengapa, tanpa menunggu pulangnja sang ibu, Ong An sudah
membawanja ke lain tempat " Mengapa ibunja sendiri mendadak mati " Menurut
keterangan Ong An, pada waktu itu, di keraton berdjangkit penjakit menular jang
sangat hebat, sehingga kakek dan ajahnja mati sebab ketularan. Ibunja jang masuk
ke keraton djuga ketularan dan mati ber-sama2. Untuk menjelamatkannja dari
penjakit itu, maka ia sudah dibawa lari ke lain tempat. Demikian keterangan Ong
An, seorang budjang tua jang sangat setia dan sudah bekerdja pada keluarga
Siangkoan selama puluhan tahun. Waktu itu, karena masih sangat ketjil, ia
pertjaja sadja segala keterangan si tua. Tetapi sesudah ia bisa berpikir, dalam
hatinja lantas sadja timbul ketjurigaan jang semakin hari djadi semakin
bertambah. la ingat, waktu mau membawanja keluar kotaradja, Ong An dan si babu
tetek kelihatannja bingung sekali dan sudah berangkat dengan ter-gesa2 tanpa
membawa bekal jang semestinja. Andaikata benar berdjangkit penjakit menular,
perlu apa begitu ter-gesa2 dengan sikap jang begitu ketakutan ". Disamping itu,
mengapa selama tudjuh tahun, paman Tiangsoen, sahabat karib ajahnja, belum
pernah mem-permisikannja pulang kekampung sendiri untuk menengok kuburan kedua
orang tuanja " Banjak sekali pertanjaan muntjul dalam hatinja. Hanja sajang,
sekarang Ong An dan si babu tetek sudah meninggal dunia. Disamping Itu semua,
masih terdapat lain kedjadian jang memperhebat rasa tjuriganja. Paman Tiangsoen
jang bernama Koen Liang adalah seorang boen-boe-tjoan-tjay (mahir dalam ilmu
surat dan ilmu perang). Pada djaman Kaisar Lie Sie Bin, ia pernah memangku
djabatan Kian-tiam (penilik). Sesudah Kaisar Kho-tjong dan belakangan Boe Tjek
Thian menduduki tachta keradjaan, ia segera minta berhenti dan menjembunjikan
diri di Kiamkok. Semendjak Wan Djie menumpang dirumah keluarga Tiangsoen, sang
paman memperlakukannja dengan penuh tjinta kasih, sedikitpun tak berbeda seperti
orang tua sendiri. Ia bergaul dan beladjar ber-sama2 Tiangsoen Thay dan
Tiangsoen Pek. Diwaktu siang mereka beladjar ilmu silat, malamnja beladjar ilmu
surat. Apa jang agak aneh jalah sang paman luar biasa giat dan teliti dalam
mengadjar ilmu silat kepadanja, lebih giat dan lebih teliti daripada mengadjar
putera dan puterinja sendiri. Hanja sajang sedari ketjil Siangkoan Wan Djie
lebih suka beladjar ilmu surat daripada ilmu silat, sehingga sering2 sang paman
djadi djengkel dan memperlihatkan paras seperti orang putus harapan. Wan Djie
ingat, pada suatu malam, sesudah menggubah tiga buah sjair, ia memperlihatkannja
kepada Koen Liang. Sang paman menepuk medja dan ber-ulang2 memberi pudjian. Tapi
mendadak, selagi ter-girang2, paras mukanja berubah sedih dan ia menghela napas
pandjang. "Djika kau terus mempeladjari sastra, kau bisa mendjadi Tjay-lie
(wanita pintar) nomor satu dikolong Iangit ", katanja. "Hai ...! Tapi ..., tapi
aku sungguh lebih suka otakmu tidak setjerdas sekarang. Bahwa kau dapat
menggubah sjair jang begini indah, hatiku girang tertjampur duka ". Si nona
djadi bingung bukan main dan ia mengawasi wadjah sang paman dengan perasaan tak
mengerti. Berapa saat kemudian, barulah ia bisa berkata dengan suara djengah:
"Kakak Thay dan Pek mewarisi ilmu silat paman, sedang aku mewarisi ilmu suratmu.
Dengan demikian, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat, Pehpeh mempunjai ahli
waris jang dapat dilihat orang. Bukankah hal ini hal jang menggirangkan ?".
Tiangsoen Koen Liang termenung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara
perlahan : "Ketjerdasan otakmu, kepandadan dan peladjaranmu sekarang sudah
banjak lebih unggul dari pada aku sendiri. Apa jang kini dimiliki olehmu adalah
lebih tinggi daripada ahli warisku. Hanja sajang, bagimu sendiri, sjair dan ilmu
surat tak banjak gunanja. Dalam mempeladjari ilmu silat, orang sukar bisa
berhasil dalam tempo pendek. Mulai besok, kau djuga harus beladjar menggunakan
sendjata rahasia ". Sehabis berkata begitu, ia meninggalkan si nona sambil
menghela napas. Lapat2, Wan Djie ingat, bahwa selagi berdjalan pergi, air mata
sang Pehpeh ber-linang2 dikedua matanja. Beberapa tahun kembali lewat dan Wan
Djie masih djuga belum dapat memetjahkan teka-teki itu jang selalu mengganggu
pikirannja. Bahwa sang paman menghendaki supaja ia mendjadi seorang wanita jang
'boen-boe-song-tjoan', adalah suatu kehendak jang sangat mulia. Tapi perlu apa
ia begitu berduka " Untuk menjenangkan hati sang Pehpeh, setiap hari ia mengikut
Tiangsoen Thay dan Tiangsoen Pek berlatih silat. Akan tetapi, saban ada
kesempatan, ia selalu menjingkirkan diri untuk membatja kitab. Kakak dan adik
itu sering2 kewalahan, tapi se-bisa2 mereka berusaha untuk membangkitkan
kegembiraan si nona tjilik akan ilmu silat. Sesudah ia sendiri selesai berlatih,
Tiangsoen Pek segera mendesak si adik untuk mempeladjari serupa pukulan Kiamhoat jang dapat mem-binasakan musuh. Tapi Wan Djie meng-geleng2-kan kepalanja.
"Aku beladjar silat untuk memperkuat badan, bukan untuk djadi djagoan dan
membinasakan orang ", katanja sambil tertawa. Si nona tersenjum dan seraja mengusap2 rambut adiknja, ia berkata : "Moay-moay, kau rupanja lupa, bahwa hari ini
adalah hari udjian jang biasa dilakukan ajah setahun sekali. Mari ..., mari ...!
Paling sedikitnja kau harus mahir dalam ilmu Lian-tjoe Sam-kiam (tiga tikaman
berantai) untuk menikam djalan darah musuh ". Wan Djie terkesiap. la ingat bahwa
hari itu bukan sadja hari udjian, tapi djuga hari meninggalnja kedua orang
tuanja. Mengapa Tiangsoen Pehpeh telah memilih hari ini untuk mengadakan udjian"
Apakah dipilihnja hari ini mempunjai maksud jang lebih mendalam". Tiba2 dari
sebelah kedjauhan terbang mendatangi dua ekor elang jang lebar sajapnja hampir
setombak. Wan Djie mengawasi dan ternjata mereka sedang mengubar seekor
kelintji. "Bagus ! Sekarang aku memperoleh bulan2-an untuk melatih sendjata
rahasia dan menolong kelintji itu ", katanja sambil tertawa. "Timpuk mata
kirinja !", teriak Tiangsoen Thay. Sebilah pisau belati melesat dan seekor elang
terguling ke bumi. Tiangsoen Pek memburu dan mendjemput bangkai burung itu dan
benar sadja, pisau Wan Djie menantjap tepat dimata kirinja. "Sungguh mahir kau
menggunakan ilmu Pek-po Tjoan-yang (Menimpuk tepat dalam djarak seratus kaki) ",
memudji Tiangsoen Thay sambil me-nepuk2 tangan. "Sekarang hadjarlah mata kanan
dari elang jang satunja lagi ". Elang itu seperti djuga mengerti sedang
menghadapi musuh jang tangguh. la terbang rendah, hampir menempel dengan tanah,
dan melindungi diri diantara batu2 karang. ia menjambar dan menerkam kelintji
jang sedang di-uber2. Dilain saat, ia mengipas dengan kedua sajapnja untuk
terbang turun kedalam lembah. Melihat keganasan burung alas itu, Wan Djie djadi
mendongkol dan menimpuk pula dengan pisaunja. Se-konjong2, berbareng dengan
suara berkresek, satu bajangan hitam berkelebat dari batu karang dan menangkap
pisau si nona. Dengan menggunakan kesempatan itu, si elang lalu kabur kedalam
lembah. Wan Djie mengawasi dengan terkedjut dan orang jang berdiri didepannja
adalah seorang lelaki jang bertubuh tinggi besar dan berdjenggot tebal. Tjaranja
menjambut pisau sudah mengagumkan, tapi apa jang lebih mengherankan jalah
kepandaiannja melompat2 diatas "Tjan-to" sambil menggendong seorang tua jang
berpakaian indah. "Apa Tiangsoen Koen Liang bertempat tinggal disini ?", tanja


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu dengan suara njaring. Tiangsoen Thay madju setindak dan menanja dengan
suara gugup: "Apa ... apa ... jang digendong olehmu, adakah The Oen Pehpeh ?".
The Oen adalah seorang jang berpangkat Gie-soe Tayhoe dan kawan sedjabat kakek
Siangkoan Wan Djie. Wan Djie mengawasi muka orang tua itu jang putjat bagaikan
kertas. Lapat2 ia ingat, bahwa waktu ia masih ketjil, orang tua itu sering
datang berkundjung kerumahnja untuk ber-omong2 dengan kakeknja sendiri. la
segera ingat, bahwa kakek itu benar bernama The Oen. Baru habis Tiangsoen Thay
bitjara, dari sebelah kedjauhan se-konjong2 terdengar suara orang: "Apa " The
Toako datang berkundjung?". Orangnja belum kelihatan, suaranja sudah terdengar
tegas sekali. Si-djenggot buru2 menaruh orang tua itu diatas tanah dan dia
sendiri lalu menekuk kedua lututnja. "Thong-tjioe Lie Goan memberi hormat kepada
Tiangsoen Taydjin ", katanja. "Aku memohon Taydjin sudi menolong djiwa The
Taydjin ". Ia sebenarnja belum pernah bertemu dengan Tiangsoen Koen Liang, akan
tetapi begitu mendengar suara jang dikirim dengan ilmu 'Tjoan-im-djip-bit'
(Mengirim suara dari tempat djauh), jaitu serupa ilmu jang harus menggunakan
Lweekang jang sangat tinggi, ia sudah bisa menebak, bahwa orang jang bitjara
tentulah djuga Tiangsoen Koen Liang adanja. Dilain saat, berbareng dengan
berkelebatnja satu bajangan, Tiangsoen Koen Liang sudah berdiri dihadapan
mereka. Orang tua itu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan berdjenggot
putih, tapi gerakannja masih sangat gesit dan kedua matanja bersinar terang.
"Bangunlah, Lie-heng ", katanja. "The Taydjin adalah sahabatku selama beberapa
puluh tahun, mana bisa aku tidak menolongnja " Tjoba aku periksa lukanja ".
Mendadak paras muka Koen Liang berubah. la menjengkeram dada Lie Goan dan lalu
menggoresnja dengan dua djeridji. "Brettt ...!", badju Lie Goan lantas sadja
robek. Semua orang terkedjut, lebih2 Lie Goan sendiri. "Aku seorang piauwsoe
jang melindungi The Taydjin masuk kewilajah Siok ", katanja. "Kuharap
Loosianseng tidak salah mengerti ". Orang tua itu menghela napas. "Aku bukan
mentjurigaimu ", katanja dengan suara perlahan. "Aku menjurigai iblis itu ! The
Taydjin bekerdja sebagai pembesar negeri dan aku merasa pasti ia tak punja
permusuhan dengan iblis itu. Sungguh ku tak mengerti mengapa dia begitu
kedjam !". Sehabis berkata begitu, ia menjingkap rambut The Oen dan pada djalan
darah Tay-yang-hiat, di kiri-kanan kepala, terlihat luka sebesar djarum. "Tjoba
lihat dadamu ", katanja sambil berpaling kepada Lie Goan. Lie Goan segera
mengawasi dadanja dan ternjata, dibawah kedua teteknja terdapat tanda merah
sebesar uang emas. Paras mukanja lantas sadja berubah putjat dan ia roboh diatas
tanah. Tiangsoen Thay bersama adiknja dan Wan Djie lantas sadja mengerumuninja.
Sesaat kemudian, sambil mengawasi Koen Liang, ia berkata dengan suara gemetar:
"Apakah kami kena sendjata rahasia Tok-sian-lie (si-Dewi-beratjun) dan Ok-hengtjia (si-Pendeta-djahat), 'Touw-hiat-sin-tjiam' dan 'Swee-koet-tjhie-piauw' ?".
('Touw-hiat-sin-tjiam' berarti 'Djarum malaikat jang bisa menembus djalan
darah', sedang 'Swee-koet-tjhie-piauw' berarti 'Piauw uang emas jang bisa
menghantjurkan tulang'). Tiangsoen Koen Liang mengangguk dan mendjawab dengan
suara serak: "Karena sudah kedjadian begini, Loohoe (aku si tua) terpaksa
bitjara terus-terang. The Taydjin kena Touw-hiat-sin-tjiam, sedang Lie-heng
sendiri mendjadi korban Swee-koet-tjhie-piauw. Loohoe akan berdaja sedapat
mungkin tapi aku sendiri tak tahu, apa aku bisa menolong ". Se-konjong2 Lie Goan
melompat bangun dan tertawa getir: "Kutahu, ratjun sendjata rahasia kedua iblis
itu tak dapat dipunahkan dengan obat apapun djua. Loosianseng tak usah tjoba
menghibur hatiku. Aku hanja menjesal, bahwa dalam melindungi The Taydjin masuk
kedaerah Siok, aku belum menunaikan tugasku dan oleh karenanja, aku mati dengan
mata melek. Aku hanja mengharap agar Loosianseng sudi menjelesaikan urusan jang
belum selesai ". Sedari belasan tahun jang lalu, dalam dunia Kang-ouw muntjul
sepasang iblis lelaki dan perempuan. jang lelaki adalah seorang pendeta. Dia
pandai menggunakan Thian-kong To-hoat (ilmu golok Thian kong) dan sendjata
rahasia Swee-koet-tjhie-piauw. Diluarnja, sendjata rahasia itu tidak berbeda
dengan piauw uang emas biasa. Perbedaannja jalah, piauw tersebut lebih dulu
direndam didalam ratjun dan dilepaskan dengan menggunakan lweekang jang sangat
tinggi, sehingga siapa sadja jang kena, tulangnja akan hantjur. Jang paling luar
biasa, pada waktu baru kena, si korban sama-sekali tidak merasa apa2. Tapi
begitu lekas ratjun bekerdja, daging dan urat2 mendjadi "lodoh", sampai achirnja
tulang2 hantjur-luluh. Kalau sudah djadi begitu, biarpun obat dewa tak akan
dapat menolongnja. Si iblis perempuan lebih lihay lagi. Dia bukan sadja
mempunjai ilmu pedang jang sangat tinggi, tapi djuga bisa menimpuk djalan darah
orang dengan Bwee-hoa-tjiam (djarum jang menjerupai bunga bwee). Djarum itu pun
diolah didalam ratjun, sehingga siapa jang kena, begitu lekas ratjun sudah
menjerang djantung, tidak akan bisa ditolong lagi. Karena mereka kedjam luar
biasa, maka dalam kalangan Kang-ouw, orang mendjulukinja sebagai Ok-heng-tjia
dan Tok-sian-lie. Pada sepuluh tahun jang lalu, berbagai partai Rimba Persilatan
telah mengumpulkan beberapa puluh orang jang berkepandaian tinggi untuk
mengepung kedua iblis itu, jang achirnja dapat diusir sampai digurun pasir sebelah utara Tiongkok. Selama sepuluh tahun, mereka belum pernah muntjul didaerah
Tiong-goan. Diluar dugaan, sekarang mereka menerdjun pula ke dunia Kang-ouw dan
melukakan seorang pembesar tinggi serta seorang piauwsoe. Tiangsoen Koen Liang
adalah seorang jang pada sepuluh tahun berselang telah turut menghadjar kedua
iblis itu. la berdiam lama dengan perasaan heran. Sesudah memeriksa lagi luka
Lie Goan, ia berkata : "Lie-heng, lukamu lebih enteng dan mungkin masih dapat
ditolong. Kedjadian, ini agak mentjurigakan. Bagaimana kalian bisa bertemu
dengan kedua iblis itu ?". Djawab Lie Goan : "The Taydjin telah menerima
perintah untuk menengok Thaytjoe (putera mahkota) di Pa-tjioe ...". "Apa ...?",
memutus Koen Liang. "Thaytjoe di Pa-tjioe ?". "Tjiang Hoay Thaytjoe telah
dipetjat dan dihukum buang ke Pa-tjioe ", djawabnja, "Sudah hampir setengah
tahun ". "Perempuan tjelaka !", kata Koen Liang dengan suara gusar. "Thaytjoe
jang dulu mati makan ratjun, Thaytjoe sekarang dibuang ke Pa-tjioe. Orang kata :
'Harimau tak makan anaknja'. Tapi Boe Tjek Thian lebih buas daripada binatang
buas ". Harus diketahui, bahwa Thaytjoe almarhum, jang bernama Lie Hong, adalah
putera sulung Boe Tjek Thian. Pada suatu hari, ia mendadak meninggal dunia
dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping, mata dan lain2-nja. Kebinasaan itu
sangat mengenaskan. Dalam keraton lantas sadja tersiar desas-desus, bahwa putera
mahkota telah diratjuni oleh ibunja sendiri. Thaytjoe jang menggantikannja
bernama Lie Hian. Tapi ia segera dipetjat dari kedudukannja karena menentang
tjara pemerintahan Boe Tjek Thian dan pemetjatan ini sudah diumumkan diseluruh
negeri. Kedjadian itu tidak diketahui Koen Liang jang hidup terpentjil di
Kiamkok jang sepi. Siangkoan Wan Djie bergidik. "Tak salah djika Tiangsoen
Pehpeh menamakan Boe Tjek Thian sebagai radja iblis ", pikirnja. "Dia lebih
kedjam daripada Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie ". "Aku adalah seorang piauwsoe
jang membuka perusahaan piauw di Lok-yang ", menerangkan Lie Goan. Pada waktu
jang lampau, setiap kali mendapat tugas keliling, The Taydjin selalu minta
bantuanku untuk melindunginja. Oleh karena itu, kita mempunjai hubungan jang
sangat baik. Mendengar The Taydjin mendapat tugas untuk pergi ke Pa-tjioe guna
menjambangi Thaytjoe dan karena tahu, bahwa didaerah Siok telah muntjul beberapa
pendjahat besar, maka aku segera menawarkan diri untuk mengantarkannja.
Disepandjang djalan kami tidak bertemu dengan gangguan apapun djuga, sehingga
hati kami mendjadi lega. Kemarin kami tiba di daerah pegunungan jang terpisah
tiga puluh li lebih dari kota Kiam-boen-kwan. Sebab djalan ber-belit2 dan sangat
berbahaja, aku berdjalan lebih dulu. "Mendadak aku mendengar siulan diatas
gunung dan begitu menengok, aku melihat The Taydjin sudah roboh dari
tunggangannja. Aku kaget bukan main, buru2 memutar kuda untuk menolongnja. Pada
detik itu, tungganganku tiba2 berbunji keras dan berdjingkrak, sehingga badanku
terlempar. Hampir berbareng, dari dalam hutan menjambar dua piauw. Waktu itu
tubuhku sedang berada di udara dan keruan sadja, aku tidak bisa berkelit lagi.
Dengan mengandalkan ilmu Tiat-po-san (sematjam ilmu weduk), aku menerdjang
sendjata rahasia itu. Waktu memeriksa keadaan The Taydjin, ia ternjata sudah
pingsan. Kedua kuda kami djuga sudah rebah ditanah tanpa bisa bergerak lagi. Aku
tahu sedang menghadapi lawan berat dan mesti bertempur mati2-an. Tapi heran
sungguh, pendjahat tak muntjul dan aku hanja mendengar suara tertawa menjeramkan
jang semakin lama djadi semakin djauh. Tentu sadja aku tak berani
menguber. Keadaan The Taydjin sangat mengherankan, sebab badannja tidak
terluka, tapi waktu aku memegang nadinja, ketukan nadi mengundjuk tanda2 luka
berat. Aku djadi bingung. Kemana harus mentjari obat " Untung djuga, mendadak
aku ingat perkataan The Taydjin, bahwa Tiangsoen Taydjin bertempat di Kiamkok.
Karena tiada lain djalan, aku terpaksa datang kesini. Ah ! Siapa njana pendjahat
jang melukakan kami adalah Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Dan akupun tak pernah
menduga, bahwa aku sendiri terluka berat ". Tiangsoen Koen Liang mendengari
penuturan itu sambil mengerutkan alis, seperti sedang berpikir keras. Sesaat
kemudian, Lie Goan berkata pula : "Aku sendiri sudah tak mengharap hidup lagi.
Tapi The Taydjin mempunjai suatu tugas jang belum diselesaikan dan aku memohon
supaja Taydjin suka membantunja ". "Tugas apa ?", tanjanja. "Surat Thian-houw
(Permaisuri-langit, Boe Tjek Thian) untuk Thaytjoe jang dibawa The Taydjin belum
disampaikan ", djawabnja. "Menurut katanja The Taydjin, Thian-houw sangat
memikiri Thaytjoe jang sudah dipetjat dan bahwa pembuangannja ke Pa-tjioe adalah
satu tindakan jang sangat terpaksa. The Taydjin ingin sekali Thaytjoe bisa
membatja surat, itu setjepat mungkin, supaja ia terhibur ". "Hmmm ...!", Koen
Liang mengeluarkan suara dihidung. "Kutjing pura2 tangisi tikus ...! Kau tahu,
kalau bisa, Boe Tjek Thian kepingin sekali membasmi semua orang she Lie jang
masih tersangkut-paut dengan keluarga kaisar. Anak kandungnja sendiri tak
terluput ! Sedikitpun aku tidak pertjaja, bahwa didalam hatinja radja iblis itu
terdapat rasa tjinta terhadap puteranja ". Lie Goan mengangguk sedikit, ia tak
berani mendjawab. "Eh, sekarang aku ingin tanja ", katanja lagi tiba2. "Apa hal
menjambangi Thaytjoe keinginan Boe Tjek Thian sendiri, atau permintaan The
Taydjin jang kemudian diluluskan oleh radja iblis itu ?". "Tak tahu ", djawabnja
Lie Goan. "Menurut dugaanku, sepuluh-sembilan The Taydjin sendiri-lah jang
mengadjukan permohonan untuk menengok Thaytjoe ", kata Koen Liang. la berdiam
sedjenak dan mendadak berteriak : "Tak salah ...! Tak bisa salah ...! Dua memedi
itu tentu diperintah si radja iblis untuk membunuh The Taydjin !". Lie Goan, Wan
Djie dan putera-puterinja merasa heran akan dugaan jang luar biasa itu, tapi
mereka tak berani mengadjukan pertanjaan karena melihat paras muka orang tua itu
jang menjeramkan. Se-konjong2 muka Koen Liang berubah putjat dan ia berkata
dengan suara gemetar : "Thay-djie, Pek-djie, Wan Djie, lekas pulang ! Mungkin
kedua iblis itu akan segera menjatroni !". "Thia-thia (ajah), bagaimana kau tahu
?", tanja puteranja. Sang ajah melirik Lie Goan, seperti mau bitjara apa2, tapi
agak berat untuk mengatakannja. Lie Goan tertawa getir. "Biarlah aku jang
mewakili Loopeh ", katanja. "Kedua iblis itu mempunjai kepandaian jang sangat
tinggi dan djika mereka mau mengambil djiwa kami, djiwa The Taydjin dan djiwaku
sendiri, mereka dapat melakukannja dengan mudah sekali. Mengapa mereka sengadja
melepaskan kami ?". "Karena ... karena apa ?", tanja Tiangsoen Pek. "Karena
mereka ingin Lie Toako lari ke rumah kita ", Koen Liang menjambungi. "Benar...",
kata Lie Goan dengan suara menjesal dan djengah. "Hanja sajang, pada waktu
terluka, aku tidak memikir sampai disitu. Djika tidak, aku pasti tak akan datang
kesini dan me-njeret2 Loopeh. Sekarang baru kutahu, bahwa aku sebenarnja sudah
didjadikan sematjam penundjuk djalan ". "Lie-heng tak usah menjesal ", kata Koen
Liang sambil tersenjum. "Aku sendiri sudah lama ingin mendjadjal kepandaian
kedua iblis itu. Dilihat gedjalanja, hampir boleh dipastikan, mereka adalah
suruhan Boe Tjek Thian ". "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie. "Boe Tjek Thian
merampas tachta keradjaan, kedjadian itu, bahwa seorang perempuan mendjadi
kaisar, belum pernah terdjadi semendjak djaman purba ", katanja. "Keluarga
kaisar dan menteri2 kebanjakan merasa penasaran. Dia djuga tahu, bahwa golongan
kami diam2 menentangnja. Maka itu, per-lahan2, dengan menggunakan tjara2 apapun
djuga, dia menjingkirkan orang2 jang sekiranja menentang dia. Tjoba pikir,
sedangkan puteranja sendiri ia masih tak segan2 untuk membinasakannja, apa lagi
orang lain " Menurut dugaanku, The Taydjin-lah jang lebih dulu mengadjukan
permohonan untuk pergi ke Pa-tjioe guna menjambangi Thaytjoe. Dia mengerti,
bahwa The Taydjin adalah menteri setia kepada keluarga Lie. Maka itu, dengan
menggunakan kesempatan baik, dia turun tangan ". "Kalau dia benar2 mau djiwa The
Taydjin, perlu apa begitu berabe ?", tanja Wan Djie. "Inilah lihaynja si radja
iblis ", djawab sang paman. "Ia pura2 djadi orang mulia untuk menarik hati
menteri2-nja. Aku dulu mendjabat pangkat tinggi, tapi begitu lekas dia merampas
tachta, aku mengundurkan diri dan bersembunji ditempat ini. Dia tentu
membentjiku. Hmmm....! Itulah sebabnja, aku hampir berani memastikan, bahwa
kedua iblis itu adalah orang suruhannja ". Ia berhenti sedjenak dan sambil
mengawasi putera-puterinja, ia berkata pula: "Thay-djie, Pek-djie, djiwa ajahmu
mungkin tak sampai besok pagi. Aku sekarang sudah memberitahukanmu, siapa musuh
kita. Baiklah ! Sekarang kau orang pulang dan apapun jang terdjadi, kau orang
tak boleh keluar. Wan Djie, kau mengerti ilmu pengobatan. Angkutlah The Taydjin
kerumah kita, balut lukanja dengan obat pemunah ratjun dan berilah Giok-louw-wan
kepadanja. Lie-heng, kau ...". "Sesudah kena ratjun, aku tak bisa hidup lebih
dari tiga hari ", Lie Goan memutus perkataan orang tua itu. "Dari pada mati
tjuma2, biarlah aku berdiam disini untuk menemani Taydjin ". Sementara itu,
Tiangsoen Thay bersama adiknja dan Siangkoan Wan Djie, telah pulang dengan
membawa The Oen. Baru sadja The Oen diberi pel Giok-louw-wan, Tiangsoen Pek
sudah berseru : "Datang ...! Dua iblis itu sudah datang ...!". Siangkoan Wan
Djie terus mengintip dari tjelah djendela. Tiba2 disebelah kedjauhan terdengar
dua kali teriakan aneh jang njaring luar biasa, disusul dengan muntjulnja dua
orang di tandjakan gunung, satu lelaki dan satu perempuan, jang lelaki adalah
seorang tauw-too (pendeta) rambut pandjang, djembrosnja kaku, sedang mukanja
djelek seperti memedi dan jang perempuan memakai ikatan kepala, alisnja
pandjang, mukanja tjantik dan gerak-geriknja genit. Tak usah dikatakan lagi,
mereka adalah Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie. Begitu berhadapan dengan Tiangsoen
Koen Liang, Ok-heng-tjia membentak: "Bangsat tua ! Kau belum mampus " Kami
sengadja datang untuk menagih hutang belasan tahun ". Tok-sian-lie tidak sekasar
itu. "Tiangsoen Sianseng ", katanja dengan suara merdu. "Belasan tahun kita tak
bertemu, kau ternjata masih sehat seperti biasa. Untung sungguh kau masih hidup,
djika tidak, kami akan sangat berduka. Dulu, sebab dikerojok, aku masih helum
bisa meminta pengadjaran dari Ngo-bie Kiam-hoatmu. Aku merasa girang, hari ini
aku mendapat kesempatan jang seluas2-nja ". "Madjulah, djika kau mau ", kata
Koen Liang, "Tak perlu banjak rewel. Loohoe pun sudah menunggu belasan tahun ".
Tok-sian-lie tertawa geli. "Aha ...! Sekarang baru kutahu, kau bukan seorang
diri ", katanja. "Kukira siapa " Tak tahunja Lie Toa-piauwsoe ! Kau kena Sweekoet-tjhie-piauw dari Soehengku. Apa kau tahu " Djika kau beristirahat, usiamu
dapat diperpandjang sampai hari lusa. Rebahlah dirandjang dan kau akan mati
tanpa merasa sakit. Tapi djika kau bergusar dan menggunakan banjak tenaga, maka
tulang2-mu akan hantjur dan kau akan mampus dengan banjak penderitaan. lnilah
nasehatku jang keluar dari hati tulus ". "Iblis djahat ...!", bentak Lie Goan
bagaikan kalap. "The Taydjin salah apa " Mengapa kau begitu kedjam " Hari ini,
biar apapun jang akan terdjadi, aku akan mengadu djiwa denganmu ". Tok-sian-lie
tertawa njaring. "Gagah benar kau !", ia mengedjek. "Mengapa aku membunuh The
Taydjin " Karena kebaikan hati Thian-houw dan aku sendiri. Thian-houw
mengatakan, bahwa The Taydjin sudah tua dan ia tentu tak kuat menahan
kesengsaraan dalam perdjalanan ke daerah Siok. Maka itu, aku menghadiahkannja
dua batang Touw-hiat-sin-tjiam ". Mendengar pengakuan si iblis, Siangkoan Wan
Djie jang memasang kuping, kaget bukan main. Tapi di lain saat, dalam hatinja
timbul ketjurigaan. Apa benar kedua iblis itu diperintah oleh Boe Tjek Thian.
Soal membunuh menteri besar, adalah rahasia besar. Tapi mengapa Tok-sian-lie
seperti sengadja membuka rahasia itu ". Tiangsoen Koen Liang berdjingkrak karena
gusarnja. "Perempuan tjelaka....!", teriaknja. "Boe Tjek Thian iblis besar, kau
berdua iblis ketjil. Hari ini aku lebih dulu mengadu djiwa dengan iblis ketjil.
Madjulah ! Satu2 boleh, dua2 djuga tidak halangan !". Tok-sian-lie kembali
tertawa njaring. "Dulu aku dikerojok, tapi sekarang, melihat usiamu jang sudah
tua, biarlah Soehengku dulu jang main2 dengan kau ", katanja. Sambil membentak,
Ok-heng-tjia menerdjang dan membatjok dengan goloknja. Dengan gerakan Poanliong-yauw-po (Naga-bertindak), Tiangsoen Koen Liang mengegos sambil balas
menikam dengan pedangnja. Pukulan itu, jang membela diri dan menjerang dengan
berbareng, adalah salah satu pukulan jang paling lihay dari Tiangsoen Koen
Liang. Menurut perhitungan, Ok-heng-tjia mesti tertikam. Tapi diluar dugaan,
pada detik jang sangat berbahaja, lengan Si djahat berkerotokan dan mulur
beberapa dim pandjangnja, sehingga goloknja terus menjambar ke dada Koen Liang.
Itulah kedjadian diluar dugaan. Untung djuga, dalam bahaja Koen Liang tak djadi
bingung. Tjepat bagaikan kilat, pedangnja berubah arah dan menangkis golok
musuh. "Trang ...!", lelatu api berhamburan. Koen Liang merasa tangannja sakit,
sedangkan Ok-heng-tjia terhujung beberapa tindak. Begitu lekas memperbaiki
kedudukannja, si Pendeta-djahat mengaum bagaikan harimau terluka dan lalu
menjerang dengan 'Thian-kong To-hoat' dan dalam sekedjap, Koen Liang sudah
terkurung dalam sinar golok. Wan Djie jang mengintip dari tjelah pintu lantas
sadja mengeluarkan keringat dingin. Tiangsoen Thay dan adiknja djuga mengawasi
djalannja pertempuran dengan hati
ber-debar2, tapi mereka tidak djadi ketakutan seperti Wan Djie. "Ok-heng-tjia
belum tahu kelihayan ajah ", bisik Tiangsoen Pek. "Kiam-hoat Thia-thia bisa
merobohkan keganasan dengan ketenangan, membela diri untuk menunggu lelahnja
musuh ". Sementara itu, sambil ber-teriak2, Ok-heng-tjia menjerang semakin
hebat. Goloknja ber-kelebat2 dan men-deru2 bagaikan angin dan hudjan. Benar
sadja, Koen Liang tetap melajani dengan tenang dan dibawah sinar golok, ia
berdiri tegak bagaikan gunung. Tjeng-hong-kiam me-njambar2 se-akan2 seekor naga
jang ber-main2 ditengah lautan dan memunahkan setiap serangan musuh. Sesudah
pertempuran berlangsung kurang-lebih setengah djam, keadaan masih tetap belum
berubah. Se-konjong2 Tiangsoen Koen Liang tertawa njaring, disusul dengan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkredepnja sehelai sinar pedang jang menerobos keluar dari kurungan sinar
golok. Dilain saat, terdengar bentakan Ok-heng-tjia dan suara "tjring.....!".
Ternjata si djahat sudah menjerang dengan Swee-koet-tjhie-piauw. Bagaikan kilat
Koen Liang memutar badan dan dua batang piauw lewat dibawah ketiaknja. Hampir
berbareng, ia mengebas dengan pedangnja dan sebatang piauw lain, jang menjambar
kedjalan darah thay-yang-hiat, terpukul djatuh. Pada detik jang bersamaan, ia
mendjedjak kedua kakinja dan tubuhnja lantas sadja melesat keatas dalam gerakan
'it-ho-tjiong-thian' (Burung-ho-menembus-langit) jang sangat indah dan selagi
badannja berada ditengah udara, tiga batang Swee-koet-tjhie-piauw lewat dibawah
kakinja. "Tiangsoen Sianseng, kau sungguh lihay !", memudji Tok-sian-lie. Koen
Liang hanja mengeluarkan suara di hidung, kedua matanja tetap mengintjar lengan
Ok-heng-tjia. Benar sadja, sambil membentak keras, si djahat kembali melepaskan
tiga batang piauw. Ternjata, pudjian si wanita-beratjun hanja untuk
menjimpangkan perhatian, tapi untung djuga, Koen Liang tidak kena diselomoti.
Dengan sekali mengegos, ia menjelamatkan diri dari piauw pertama, sedang piauw
kedua dipukul djatuh dengan kebasan pedang. Mendadak terdengar suara
"tjring ...!", piauw ketiga jang dilepaskan belakangan, membentur piauw pertama.
Begitu terbentur, piauw itu berubah arah dan menjambar djalan darah Tiong-tjoehiat, dibelakang leher!. Dengan gerakan Hong-hong-tiauw-tauw (Burung-hongmanggut), Koen Liang manggutkan kepalanja dan hampir berbareng, ia merasakan
kesiuran angin dingin jang lewat diatasan kepalanja. Tiba2 Tok-sian-lie tertawa
mengedjek dan baru ia mendusin, bahwa sebagian rambutnja telah terpapas piauw.
Darahnja lantas sadja meluap. Sambil merogo kantong sendjata rahasia, ia
membentak : "Kundjungan harus dibalas dengan kundjungan !". Sekali mengajun
tangan kirinja, tiga pisau belati menjambar dan dengan berbareng, ia menikam
dengan pedangnja, sehingga melesatnja pisau dan menjambarnja pedang terdjadi
pada detik jang bersamaan. Ok-heng-tjia terkesiap, ia tak duga musuhnja bisa
bergerak begitu tjepat. Baru sadja ia memukul djatuh tiga batang pisau dengan
pukulan Pat-hong-hong-ie (Delapan-pendjuru-angin-dan-hudjan), udjung pedang
musuh sudah menjambar dadanja. "Trang ...!", golok Ok-heng-tjia terpukul miring
dan udjung pedang dengan beruntun menikam tiga djalan darah. Sambil bergulingan
diatas tanah, Ok-heng-tjia mengaum dan kemudian, dengan gerakan Lee-hie-tah-teng
(Ikan-gabus-meletik), ia melompat bangun seraja mengajun tangannja ber-ulang2
dan puluhan piauw beratjun segera me-njambar2 bagaikan hudjan gerimis. Harus
diketahui, bahwa Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie mempunjai serupa ilmu jang
dinamakan Ie-kiong-hoan-hiat (Memidahkan djalan darah), sehingga, biarpun djalan
darahnja terluka, luka itu hanja luka diluar dan tidak membinasakan. Melihat
sambaran puluhan sendjata rahasia, Koen Liang terkedjut. Masih untung, ia
memiliki lweekang, ginkang (ilmu mengentengkan badan) dan kiam-soet jang sangat
tinggi, sehingga dengan mengeluarkan se-anter2-nja. Per-lahan2 ia merasa lelah
dan napasnja mulai ter-sengal2. Pada saat itulah, mendadak Tok-sian-lie tertawa
tjekikikan. "Tiangsoen Sianseng ", katanja, "Kau sungguh lihay. Sekarang aku
ingin meminta pengadjaranmu. Touw-hiat-sin-tjiamku berlainan dengan Swee-koettjhie-piauw. Djarumku halus seperti bulu kerbau dan menjambarnja tidak
mengeluarkan suara, sehingga sukar sekali dapat ditangkis. Tiangsoen Sianseng,
kau harus sangat ber-hati2 !". Mendengar perkataan jang kedjam dan beratjun itu,
Siangkoan Wan Djie bangun bulu romanja. Hampir berbareng dengan perkataan, "berhati2", dengan gerakan Liong-lie-tjoan-tjiam (Liong Lie menusuk djarum), Toksian-lie sudah menikam djalan darah Kian-keng-hiat, dipundak Koen Liang.
Serangan itu, jang dikirim separuh membokong, adalah ilmu simpanan si dewiberatjun. Untung djuga, Koen Liang sudah mengenal kelitjikannja, sehingga ia
selalu berwaspada dan begitu melihat gerakan lengan musuh ia buru2 mengegos dan
pedang itu menikam tempat kosong, hanja kira2 tiga dim dari atasan pundaknja.
Dengan geregetan, ia mengirim serangan membalas, bagaikan kilat pedangnja
memapas kebawah dalam pukulan jang membinasakan. Tiangsoen Pek jang mengintip di
tjelah pintu, djadi girang bukan main. "Sekali ini, lengan iblis perempuan itu
mesti terbabat putus ", katanja didalam hati. Tapi Tok-sian-lie pun bukan
sembarang orang. Baru sadja si nona bergirang, ia sudah mentjelat kesamping dan
berhasil menjelamatkan diri dari babatan pedang jang berbahaja itu. Sesudah
lewat gebrakan pertama dengan masing2 mengeluarkan pukulan2 istimewa, untuk
sedjenak si beratjun berdiri tegak. sambil mentjekel pedangnja. Tok-sian-lie
kembali tertawa tjekikikan. "Tiangsoen Sianseng, sekarang ini benar2 kau harus
ber-hati2 ", katanja. Koen Liang tak menjahut, kedua matanja mengawasi perempuan
beratjun itu dengan sorot berapi. Tiba2, sambil membentak keras, ia melompat dan
mengirim dua serangan dengan beruntun, jaitu Kim-kee-tok-siak (Ajam-emasmematuk-gabah) dan Lo-tjia-loo-hay (Lo Tjia mengatjau dilautan), udjung pedang
lebih dulu menikam kedua mata musuh dan kemudian menjambar dada. Tok-sian-lie
mengegos dan memutar sendjatanja untuk menangkis dan balas menjerang. "Kena !",
bentaknja dan diantara sinar pedang, terlihat beberapa batang djarum Touw-hiatsin-tjiam. Koen Liang memang sudah menduga bakal diserang setjara begitu. Dua
serangannja jang barusan, biarpun hebat, mengandung unsur pembelaan. Sehabis
menikam, pedangnja membuat lingkaran bagaikan bianglala dan melindungi seluruh
tubuhnja. Beberapa suara "tring2", terdengar dan semua djarum kena terpukul
balik. "Hanja sebegitu sadja lihaynja Touw-hiat-sin-tjiam ?", mengedjek Koen
Liang sambil tertawa. Tok-sian-lie djadi gusar tak kepalang. "Manusia tak
mengenal budi !", bentaknja. "Sekarang aku tak mau sungkan2 lagi ...!", ia
segera memutar sendjatanja bagaikan titiran dan menjerang dengan dahsjat, sedang
diantara sinar pedang, saban2 terlihat menjambarnja djarum2 beratjun jang
dilepaskan dengan tangan kirinja. Sambil mengempos semangat dan memasang kuping
untuk mendengar sambaran2 sendjata rahasia, Koen Liang melawan dengan sepenuh
tenaga. Tapi karena Touw-hiat-sin-tjiam adalah sendjata rahasia jang sangat
ketjil dan menjambarnja sering2 tak kedengaran, semakin lama ia djadi semakin
bingung. Waktu bertempur melawan Ok-heng-tjia, ia sudah mulai merasa lelah.
Sekarang, untuk mendjaga sambaran Touw-hiat-sin-tjiam, djalan satu2-nja jalah
mengurung dirinja didalam sinar pedang dan pembelaan diri ini meminta banjak
tenaga lweekang. Disamping itu, Tok-sian-lie pun memiliki ilmu pedang jang
sangat tinggi dan ia terus mendesak dengan hebatnja. Maka itu, sesudah bertempur
kurang-lebih lima puluh djurus, per-lahan2 ia djatuh dibawah angin. la terpaksa
berkelahi sambil mundur setindak demi setindak, dengan terus didesak oleh
musuhnja. "Tua bangka ...!", mengedjek si beratjun, "Hari ini tibalah
adjalmu !". Sehabis mengedjek, ia tertawa njaring. Selagi mereka bertempur, Okheng-tjia duduk mengaso sambil mendjalankan pernapasannja dan mengobati lukanja.
Waktu Tok-sian-lie tertawa njaring, jang sebenarnja merupakan satu pertandaan ia
sudah siap-sedia untuk turun tangan lagi. Bagaikan kilat, ia melompat ke
belakang Koen Liang dan menimpuk dengan tiga batang Swee-koet-tjhie-piauw,
disusul dengan batjokan goloknja. Pada saat jang bersamaan, Tok-sian-lie
mengajun tangannja dan puluhan Touw-hiat-sin-tjiam menjambar dengan serentak !.
Diserang dari depan-belakang, biarpun Koen Liang mempunjai kepandaian jang lebih
tinggi lagi, ia tidak berdaja pula. Pada detik jang sangat berbahaja, mendadak
terdengar suara tertawa menjeramkan, disusul dengan berkelebatnja bajangan hitam
dan teriakan menjajatkan hati. Semua djarum beratjun jang tengah menjambar telah
menantjap di bajangan itu, jang dengan sekali menendang, sudah berhasil
merobohkan Ok-heng-tjia. Orang jang memberi pertolongan bukan lain daripada Lie
Goan. Melihat pengorbanan jang luar biasa itu, kedua iblis djadi kaget bukan
main dan paras mereka lantas sadja berubah putjat. Tiangsoen Thay dan adiknja
serta Siangkoan Wan Djie mentjelos hatinja. Tanpa menghiraukan lagi pesan sang
ajah, Tiangsoen Thay membuka pintu dan melompat keluar. Tapi musuh tidak
menjerang lagi. Seraja tertawa njaring, Tok-sian-lie mentjekel tangan Ok-hengtjia dan mereka lalu melompat naik keatas ,Tjanto' dan dalam sekedjap, mereka
tak kelihatan bajangannja lagi. Lie Goan sendiri terus rebah diatas tanah dengan
badan penuh djarum, sedang paras muka Koen Liang putjat bagaikan kertas. Koen
Liang menggapai dan tiga orang muda itu lantas sadja mendekati. "Kuburlah Giesoe ini ", katanja kepada dua anaknja. "Setiap tahun, pada hari ini, kau harus
kembali untuk bersembahjang dikuburannja ". Ia berpaling kepada Wan Djie dan
berkata pula: "Wan Djie, aku ingin bitjara denganmu dirumah ". Dari parasnja
jang menjeramkan, dapat diduga, bahwa urusan jang mau dibitjarakan adalah urusan
penting. Begitu masuk kedalam rumah, Koen Liang lebih dulu menengok The Oen jang
masih rebah dirandjang dan belum tersadar. "Sahabat,
aku tak dapat merawat kau lebih lama lagi ", katanja dengan suara duka dan lalu
menguntji pintu. "Wan Djie ", kata orang tua itu. "Sebenarnja aku ingin menunggu
dua tahun lagi, sesudah kau mendjadi dewasa, baru aku ingin memberitahukan
urusan ini kepadamu. Tapi sekarang kutak dapat menunggu lagi ". Djantung si nona
memukul keras. "Ada apa, pehpeh ...?", tanjanja dengan suara gemetar. "Aku sudah
kena dua batang Touw-hiat-sin-tjiam, sehingga, biarpun tak sampai mendjadi mati,
aku sekarang sudah djadi orang bertjatjad ", menerangkan sang paman. "Untuk
mendapat kembali ilmu silatku, paling sedikit aku harus menggunakan tempo
sepuluh tahun. Djika tidak ditolong oleh Gie-soe Lie Goan, djiwaku tentu sudah
melajang. Untuk menjingkirkan diri dari kedua iblis itu, besok aku akan pindah
ke lain tempat. Maka itu, hari ini adalah hari berkumpulnja kita jang paling
penghabisan ". Air mata Wan Djie lantas sadja mengalir dikedua pipinja. "Kemana
djuga Pehpeh pergi, aku mau mengikut ", katanja dengan suara parau. "Tidak ...,
tidak bisa. Bukan aku tidak mau mengadjak, tapi karena kau sendiri mempunjai
tugas jang lebih penting, jang harus diurus olehmu ", djawabnja. Djantung si
nona me-londjak2. la menduga, bahwa apa jang akan didjelaskan oleh sang paman,
adalah soal kematian kakek dan kedua orang tuanja jang sangat luar biasa. Dan
dugaan itu ternjata benar. "Wan Djie, apa kau tahu, sebab-apa kakek dan kedua
orang tuamu meninggal dunia ?", tanja Koen Liang. "Menurut katanja Ong An,
karena penjakit menular ", djawabnja. Sang paman menghela napas. "Benar ...,
benar penjakit menular ", katanja. "Dan Boe Tjek Thian adalah penjebar penjakit
itu. Penjahat itu telah membinasakan banjak anggauta keluarga kaisar,djuga
banjak menteri2 setia. Kakek dan kedua orang tuamu telah dibinasakan oleh Boe
Tjek Thian !". Kata2 itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong. Teka-teki
jang selalu menganggu pikiran si nona selama tudjuh tahun, sekarang sudah
mendjadi terang. la berdiri dengan mulut ternganga dan mata membelalak, tanpa
bisa mengeluarkan sepatah kata. Sambil meng-usap2 rambut si nona, Koen Liang
berkata pula: "Pada tudjuh tahun berselang, kakekmu mendjabat pangkat Sie-long,
sedang ajahmu mendjadi penasehat Thaytjoe (putera mahkota jang sedang
bersekolah). Melihat tjara2 Boe Tjek Thian jang sangat menghina Hoe-hongnja
(ajahanda kaisar) dan djuga karena kuatir Boe-houw (ibu permaisuri) itu merampas
tachta keradjaan, maka dengan tidak menghiraukan kemungkinan ditjap sebagai anak
tidak berbakti, Thaytjoe telah membudjuk ajahnja untuk memetjat sang ibu dari
kedudukan Boe-houw. Disamping itu, ia djuga telah mengadakan perdamaian dengan
sedjumlah menteri besar untuk menumpas kaki-tangan Boe-houw. Kaisar Kho-tjong
kena dibudjuk dan lalu memerintahkan kakekmu membuat rentjana firman pemetjatan
peimaisurinja. Tapi apa latjur, karena tidak ber-hati2, rahasia itu telah
diketahui Boe Tjek Thian. Ditengah malam buta, kaki-tangan iblis perempuan itu
telah menggeledah seluruh keraton dan dihadapan kaisar, mereka telah merampas
rentjana firman dari badan kakekmu. Pada keesokan harinja, kakek dan ajahmu
telah dibinasakan. Ibumu sendiri telah ditangkap dan dimasukkan kedalam keraton
sebagai budak. Kau sendiri pun sebenarnja mau dibekuk, tapi sudah keburu dibawa
lari oleh Ong An jang setia ..." (Menurut sedjarah keradjaan Tong, sesudah
Siangkoan Gie dan Siangkoan Teng Tjie dibinasakan, Siangkoan Wan Djie telah
didjadikan budak keraton. Waktu ia berusia empat belas tahun, setjara kebetulan
kepintarannja telah diketahui Boe Tjek Thian jang lalu mengangkatnja sebagai
sematjam sekretaris dan belakangan memberikannja tugas2 jang penting. Tapi
tjatatan sedjarah ini belakangan banjak disangsikan orang). Mendengar keterangan
itu, hati si nona seperti di-iris2. Tiba2 ia berlutut dihadapan Tiangsoen Koen
Liang dan berkata dengan suara serak: "Pehpeh, aku tahu, bahwa dalam penitisan
ini, tak dapat aku membalas budimu jang begitu besar. Aku hanja mengharap, bahwa
dengan tangan sendiri aku akan dapat membinasakan iblis perempuan jang telah
mentjelakakan begitu banjak manusia ", ia tak bisa meneruskan perkataannja dan
air mata mengalir deras dikedua pipinja jang putjat-pias. Sang paman tersenjum
duka dan sambil meng-usap2 pundak si nona, ia berkata dengan suara perlahan:
"Djika kau dapat mewudjudkan tjita2-mu itu, aku dan segenap menteri setia akan
merasa berterima kasih tak habis2-nja. Dengan demikian, tjapai-lelahku selama
beberapa tahun tidak terbuang dengan tjuma2 ". "Sekarang baru kumengerti maksud
Pehpeh jang sangat mulia ", kata si nona. "Hanja sungguh menjesal, aku sudah
tidak mendengar segala nasehatmu dan sungkan beladjar ilmu silat dengan sungguh2
". "Untuk mendjalankan tugas jang sangat berat itu, orang tak dapat hanja
mengandal kepada ilmu silat ", kata sang paman. "Jang paling penting jalah berhati2 dan kemampuan untuk bertindak dengan mengimbangi selatan. Kiamsoet Pekdjie dan Thay-djie banjak lebih unggul daripadamu. Akan tetapi, djika mereka
diserahkan pekerdjaan jang seberat itu, mereka pasti tak akan mampu
mengerdjakannja. Nah, Wan Djie ..., sekarang kau boleh berangkat dan aku berdoa
biarlah kau selalu dipajungi Tuhan Jang Maha Kuasa dan semoga tjita2-mu lekas
berhasil. Aku tak mempunjai apa2 untuk dihadiahkan kepadamu, tapi ambillah
pedang ini jang sudah mengikuti aku dalam tempo lama ". Sehabis berkata begitu,
ia meloloskan pedang, Tjeng-hong-kiam dari pinggangnja dan tIba2 seputjuk surat
djatuh dari sakunja. Surat itu adalah surat Boe Tjek Thian untuk Thaytjoe Lie
Hian jang dibawa oleh The Oen. Sesudah The Oen terluka, surat tersebut
diserahkan kepada Tiangsoen Koen Liang oleh piauwsoe Lie Goan. Dengan perasaan
mendongkol Koen Liang mendjemput surat itu dan tangannja bergerak untuk
merobeknja. "Pehpeh, tahan dulu !", kata si nona jang didorong oleh perasaan
kepingin tahu. "Aku rasa tak halangan djika kita tjoba membatjanja ". "Baiklah
", kata sang paman sesudah berpikir sedjenak. "Memang ada baiknja, djika kau
mengenali tulisan si iblis perempuan. Barangkali sadja ada gunanja dikemudian
hari ". Wan Djie segera membeset amplop dan membatja isinja :
"Dipersembahkan kepada anak Hian. Semendjak ketjil kau adalah seorang jang
sangat suka membatja buku dan kesukaan itu sebenarnja harus dipudji. Tapi
sajang, kau membatja buku2 kuno bukan untuk mendapatkan apa2 jang baru.
Sebaliknja dari itu, kau djadi kukuh kepada segala kekolotan. Kau harus
mengetahui, bahwa tjara2 Sian-hong (mendiang kaisar) didjaman lampau, belum
tentu tjotjok dengan djaman sekarang. Djika kau mendjadi kaisar, sudah pasti kau
akan memerintah setjara kolot dan ketjelakaan jang diderita oleh umat manusia
didalam dunia, bakal terlebih hebat daripada djika mereka diperintah oleh
seorang kaisar jang sama sekali tidak pernah membatja buku. Inilah suatu hal
jang aku ingin minta kau suka merenungkan dengan seksama ...".
Membatja sampai disitu, si nona mendjebi dalam hatinja jang sangat mendongkol.
"Dia sendiri jang menjelakakan manusia dan masih ada muka untuk menggunakan
kata2 itu guna menasehati anaknja ", katanja didalam hati. Tapi dilain saat,
serupa pikiran lain berkelebat dalam otaknja Wan Djie. "Tapi, djika mau
berterus-terang, apa jang ditulis olehnja, sebenarnja merupakan suatu pendapat
dari seorang jang berpemandangan luas pikirnja ". Ia membatja pula :
"Sedari baji, kau hidup didalam keraton dengan segala kemewahannja, sehingga kau
sama sekali tidak mengenal kesusahan dan penderitaan rakjat djelata. Semendjak
ketjil, kau selalu dikurung oleh manusia2 rendah jang mempunjai kebiasaan mendjilat2 dan dalam alam pikiranmu, kau hanja ingat kekuasaan dan kemewahan dunia.
Karena tak mempunjai banjak tempo, aku tak sempat menilik dan mengadjar kau.
Melihat laga lagumu jang sekarang, dengan sesungguhnja aku merasa sangat malu
dan berkuatir. Rakjat Pa-siok (propinsi Soetjoan) radjin dan sederhana.
Gunungnja indah dan airnja bening-djernih, sehingga apa jang terdapat di Pa-siok
sukar ditjari tandingannja didalam dunia. Maksud mengirim kau ke Pa-siok, jalah
supaja kau bisa merawat diri dan memperoleh pikiran sadar. Supaja kau mengenal
rakjat, supaja kau mentjutji sifat2-mu jang kolot. Dengan adanja gunung jang
indah dan air jang bening-bersih, kau bisa melapangkan dada dan memperluas
pemandanganmu jang sempit. Apa jang dikatakanku barusan, kau harus
merenungkannja ditengah malam jang sunji, supaja per-lahan2 kau bisa
tersadar ..." Membatja sampai disitu, Siangkoan Wan Djie terkedjut. "Djika apa jang ditulis
Boe Tjek Thian keluar dari hati jang, tulus, ia sungguh seorang kaisar jang
bidjaksana ", pikirnja. "Tidak ..., tidak..., dia seorang djahat jang tjoba
menutupi kedjahatannja dengan kata2 indah. Tak dapat aku melupakan sakit hati
kedua orang tuaku, dengan hanja membatja seputjuk surat ". Tapi, dilain saat, ia
ingat, bahwa waktu menulis itu, Boe Tjek Thian tak pernah mimpi, bahwa suratnja
bakal dibatja oleh orang lain. Perlu apa ia ber-pura2 terhadap anaknja jang
berada dalam pembuangan " Sebagai seorang ahli ilmu surat, ia pun dapat melihat,
bahwa setiap huruf ditulis dengan penuh perasaan. Wan Djie djadi bingung dan
sesudah berdiam sedjenak, ia lalu membatja landjutan surat itu :
"Aku sekarang sudah berusia landjut, sedang anak jang tertjinta berada ditempat
djauh. Bagaimana hatiku tak mendjadi duka " Tapi karena ingin kau mendjadi
orang, tak dapat tidak aku harus bertindak seperti apa jang diambil. Aku berdoa,
supaja kau tjepat2 tersadar dan mendjadi manusia jang mulia, supaja dihari
tuaku, aku mempunjai senderan jang boleh dibuat andalan. Seseorang jang
menikmati kebahagiaan jang diberikan Tuhan, barulah mendapat kebahagiaan
sedjati. Hian-djie, ingatlah nasehatku ini ! Bagaimana dengan matamu jang sering
sakit " Setiap hari kau tidak boleh lalai mentjutji mata. Huruf2 jang terlalu
ketjil tidak boleh dibatja olehmu. Ingatlah ! Ingatlah segala perkataan
ibumu ...". Siangkoan Wan Djie bengong. Ketjintaan antara ibu dan anak telah tertulis
setjara mengharukan hati diatas sehelai kertas itu. Djika ia tak pernah
mendengar, bahwa Boe Tjek Thian adalah manusia iblis jang telah meratjuni
anaknja sendiri, ia tentu akan memastikan, bahwa si-penulis surat itu adalah
seorang ibu jang bidjaksana dan mulia. Tapi, biarpun sudah mendengar itu, untuk
beberapa saat ia memegang surat itu seperti orang linglung.
---oo0oo--TIBA2 The Oen membalik badan dan mengeluarkan rintihan perlahan. Paras muka
Tiangsoen Koen Liang kelihatan berduka sangat, karena ia tahu, bahwa bergeraknja
orang tua itu adalah se-olah2 api lilin jang mendadak terang sebelum padam sama
sekali. Ia berpaling kepada Wan Djie dan memerintahkan si nona untuk
membangunkan orang tua itu. Buru2 Wan Djie memasukkan surat Boe Tjek Thian
kedalam sakunja dan melakukan apa jang diperintah. Per-lahan2 The Oen membuka
kedua matanja. "Thian-houw Piehee (panggilan untuk kaisar wanita), hambamu telah
me-njia2-kan kepertjajaan jang telah dilimpahkan kepadanja ", katanja dengan
suara berbisik. "Hmm ...! Tempat apa ini ?". "The-heng, aku berada disini, bersama2 kau ", kata Tiangsoen Koen Liang. The Oen membuka matanja terlebih lebar
dan untuk beberapa lama mengawasi tuan rumah. Tiba2, entah mendapat tenaga


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darimana, ia mentjekal tangan Koen Liang dan berseru dengan menggunakan sisa
tenaganja : "Tiangsoen-heng, kita berdua sama2 salah ". Koen Liang terkesiap.
"Salah apa ?", tanjanja. The Oen melepaskan tjekelannja dan dengan kedua
tangannja, ia menekan pinggiran randjang untuk memindjam tenaga. "Kita tak
pantas menentang Thian-houw !", katanja. "Sekarang baru aku tahu, bahwa tugas
memerintah negara jang sangat berat, hanja dapat dipikul oleh seorang sebagai
Thian-houw !". Koen Liang menatap wadjah sahabatnja dengan mata membelalak.
Hampir2 ia tak pertjaja kupingnja sendiri. "Tiangsoen-heng ...", kata pula The
Oen. "Aku tahu, bahwa adjalku sudah hampir tiba. Aku hanja ingin mengadjukan
satu permintaan kepadamu ". "The-heng, katakan sadja !", djawabnja. "Biarpun
mesti masuk kedalam lautan api, aku pasti tak akan menolak. Legakanlah hatimu ".
The Oen bersenjum, ia kalihatannja puas sekali. "Kalau begitu kau sudah
meluluskan, bukan ?", tanjanja. Koen Liang mengangguk dengan perasaan terharu.
"Permintaanku jalah supaja kau suka datang di kotaradja dan memberi bantuan
kepada Thian-houw Piehee ", kata The Oen. "Thian-houw tak pernah melupakan kau.
la mengatakan, bahwa kau adalah seorang pandai, hanja sajang pemandanganmu
terlalu sempit. Tapi tak apa. Djika kau sudi berdampingan dengannja, per-lahan2
kau akan tersadar ". Mendadak sadja, Tiangsoen Koen Liang merasa dadanja sesak.
Djika The Oen bukan sahabat lama dan kalau dia bukan seorang jang sudah
mendekati adjal-nja, ia tentu sudah mentjatji-maki. la mengawasi wadjah sahabat
itu jang penuh dengan sorot memohon. la menggigit bibir untuk menahan napsu dan
sesaat kemudian berkata dengan suara sabar : "Tadinja aku duga kau ingin minta
supaja membalas sakit hatimu. Apa kau tahu, siapa jang telah membunuh kau " Tak
lain daripada Thian-houw Pieheemu !". "Tidak ... ! tidak...! ", teriak The Oen
dengan menggunakan seluruh sisa tenaganja. "Walaupun kau membunuh aku, aku tak
pertjaja. Tiangsoen-heng, apa benar2 kau masih kukuh dan menolak permintaanku "
Aku ..., aku ... aku akan mati dengan mata melek...!". Napasnja memburu dan ia
melepaskan napasnja jang penghabisan dengan kedua mata terbuka lebar. Koen Liang
menghela napas. pandjang. "The-heng, kau betul2 mati penasaran !", katanja. "Kau
masih tak tahu, siapa sebenarnja musuhmu ! Pada saat mau berpulang ke alam baka,
kau djadi linglung ". Tapi Siangkoan Wan Djie berpendapat lain. la jakin, bahwa
pada saatnja jang terachir, otak orang tua itu masih bekerdja baik. Dan
sekarang, ia sendirilah jang djadi seperti orang linglung. Barusan sadja, tekateki jang mengeram dalam otaknja selama tudjuh tahun, telah didjawab, atau
sekarang muntjul pula lain teka-teki jang lebih sulit. Siapa Boe Tjek Thian "
Dia orang baik atau manusia djahat " Mengapa, waktu mau melepaskan napas jang
penghabisan, sebaliknja dari memikiri keluarganja sendiri, The Oen malah
memikiri kepentingan Boe Tjek Thian" Tjara bagaimana Boe Tjek Thian dapat
menaklukkannja sampai begitu rupa " Biar bagaimanapun djuga, seseorang jang
mendapat tjintanja seorang lain sampai begitu besar, mesti memiliki apa2 jang
bagus. Tapi, menurut pamannja, Boe Tjek Thian adalah memedi perempuan dan
terlebih hebat lagi, dia adalah manusia jang telah membunuh kakek dan ajahnja.
Djika Boe Tjek Thian seorang baik, apakah kakek dan ajahnja manusia2 djahat "
Tidak ...!. Ia ingat paras muka jang welas-asih dari kakek dan ajahnja. la ingat
pudjian2 jang pernah dilimpahkan kepada kedua orang tua itu. Mengenai paman
Tiangsoen, sesudah menumpang tudjuh tahun lamanja, ia jakin se-jakin2nja, bahwa
sang paman adalah seorang jang sangat mulia hatinja. Djika ada orang mengatakan,
bahwa Tiangsoen Koen Liang manusia djahat, sampai mati, ia tak akan pertjaja.
Demikianlah, matjam2 pikiran jang bertentangan satu sama lain ber-kelebat2 dalam
otak si nona. Sementara itu, sesudah menghela napas ber-ulang2, Tiangsoen Koen
Liang berkata dengan suara menjesal: "Memang, memang kalau negeri mau musnah,
lebih dulu muntjul segala siluman. Hai ...!. Sesudah bertempur di timur, di
barat, di selatan dan di utara, barulah Thaytjong Hongtee dapat membasmi delapan
belas radja muda dan mendirikan keradjaan Tong. Tak njanja, keradjaan jang telah
didirikan dengan begitu susah-pajah, telah dihantjurkan dengan begitu sadja
dalam tangan Boe Tjek Thian. Huh ...huh ...! Aku adalah menteri besar dari Siantee (mendiang kaisar), mana boleh aku menekuk lutut dihadapan perempuan
siluman " Aku sungguh menjesal ..., sungguh menjesal untuk sepak-terdjang
Thaytjong Hongtee. Diwaktu muda begitu arif bidjaksana, sudah tua dipengaruhi
Boe Tjek Thian !". "Pehpeh ...", kata Wan Djie. "Aku dengar, Boe Tjek Thian
pernah mendjadi selirnja Thay-tjong Hongtee. Apa benar ?". "Mengapa tak
benar ?", kata sang paman. "Waktu baru masuk ke keraton, ia diangkat sebagai
Thaydjin. Tak lama kemudian, Thaytjong Hongtee wafat, bersama sedjumlah selir
lainnja, ia dikirim ke kuil Kam-in-sie dan didjadikan Niekouw (pendeta wanita).
Entah bagaimana, Khotjong Hongtee telah melihatnja dan kemudian mengambilnja
dari kuil itu. Sekali lagi ia masuk di keraton dan diangkat sebagai Tjiauw-gie.
Khotjong adalah puteranja Thaytjong. Bahwa seorang putera mengambil bekas selir
ajahandanja, merupakan salah satu kedjadian busuk dalam keraton. Waktu itu aku
masih mendjabat pangkat dan kedjadian itulah jang sudah mendorong aku untuk
mengadjukan permintaan berhenti dan pulang kekampung halaman sendiri ". Ia
berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula : "Masih tak apa, djika Khotjong
Hongtee memperlakukannja sebagai seorang selir biasa. Tapi latjur sungguh,
kaisar telah menjerahkan kekuasaan besar kedalam tangan perempuan itu. Tjhiakiong Nio-nio (permaisuri kaisar) dipetjat dan dia diangkat sebagai gantinja.
Sekarang ini, negara kita se-olah2 sudah mendjadi miliknja orang she Boe ".
"Diwaktu ketjil, aku pernah mendengar penuturan thia-thia, bahwa Ong Honghouw
lah jang lebih dulu tjoba mentjelakakannja ", kata si nona. "Benar, sebab Ong
Honghouw sudah melihat, bahwa perempuan itu haus akan kekuasaan ", djawabnja.
"Honghouw berdaja untuk menjingkirkannja, tapi sajang, tjara jang digunakan
terlalu tolol. la pertjaja obrolan beberapa boesoe dan tjoba membinasakan
lawannja dengan menggunakan guna2. Ia membuat sebuah anak2-an kaju, jang
diandaikan sebagai Boe Tjek Thian dan jang kemudian ditempelkan surat djimat
serta dibatjakan mantera. Latjur bagi Honghouw, hal itu sudah diketahui Boe Tjek
Thian jang belakangan berhasil menangkapnja dengan segala bukti2. Sebagai
hasilnja, Khotjong dapat dibudjuk untuk memetjat permaisurinja ". Sesudah
berdiam beberapa saat, orang tua itu meneruskan penuturannja: "Kekedjaman Boe
Tjek Thian tak dapat dipersamakan dengan manusia biasa. Karena menentang dia,
dia tega untuk meratjuni anaknja sendiri. Thaytjoe jang mati lantaran ratjun,
adalah Lie Hong, puteranja jang sulung. Lie Hian, jang dipetjat dari kedudukan
Thaytjoe dan diasingkan di Pa-siok, adalah putera kedua. Putera ketiga, jaitu
Lie Tiat hanja beberapa hari mendjadi kaisar sebelum dipetjat dan dibuang ke
Louwtjioe sebagai radja muda Louw-leng-ong. Anak jang sekarang masih
berdampingan dengan dia, adalah Lie Tan, putera keempat. Menurut pendengaranku,
Lie Tan telah dianugerahi gelaran radja muda Ek-ong dan untuk bisa mendjadi ahli
waris tachta keradjaan, ia harus menukar she mendjadi she Boe. Sepak-terdjang
Boe Tjek Thian benar2 kurang adjar ! Semendjak dia memegang kekuasaan, dia telah
membunuh tiga puluh enam menteri besar. Saudara sepupuku, Tiangsoen Boe Kie,
kakek dan ajahmu semua dibunuh atas perintah iblis perempuan itu ". Sebagian
besar kedjadian2 itu sebenarnja sudah didengar oleh nona Siangkoan. Akan tetapi,
waktu pamannja menutur, ia mendengari, dengan hati ber-debar2. Berdasarkan
penuturan itu, tak dapat tidak, ia menarik kesimpulan, bahwa Boe Tjek Thian
manusia djahat. Bunji surat dan kata2 The Oen tidak tjukup kuat untuk melawan
kesimpulan itu. Maka itulah sambil mengawasi muka sang paman, ia lalu berkata
dengan suara tetap : "Sesudah mendengar keterangan Pahpeh, aku pasti akan
membalas sakit hati jang sangat besar itu, dengan tangan sendiri ". Sang paman
bersenjum seraja berkata dengan suara terharu: "Bagus ... Kau berangkatlah
sekarang !". Si nona lalu berlutut empat kali dihadapan orang tua itu dan
kemudian, dengan air mata bertjutjuran, ia keluar dari pintu belakang dan terus
turun gunung. Beberapa kali ia berhenti dan dengan hati seperti di-iris2, ia
memandang rumah pamannja, dimana ia pernah menumpang selama tudjuh tahun. Waktu
itu, Tiangsoen Thay bersama adiknja sedang menggali tanah untuk mengubur
djenazah Lie Goan. Menurut pantas, ia harus berpamitan dengan kedua saudara itu
jang telah membuang banjak budi kepadanja. Akan tetapi, ia mengambil keputusan
untuk tidak menemui mereka lagi, karena suatu pertemuan untuk berpisahan pasti
akan menimbulkan lebih banjak kesedihan. Dengan menahan rasa dukanja, ia lalu
mempertjepat tindakannja meninggalkan Kiamkok.
---oo0oo--WAKTU itu adalah Sha-gwee (bulan ketiga), kapan seluruh gunung ditutup dengan
warna hidjau jang sangat indah. Tudjuh tahun lamanja si nona hidup
menjembunjikan diri diatas gunung dan belum pernah ia melihat pemandangan alam
jang sedemikian permai. Dengan rasa kagum, ia memandang keadaan diseputarnja dan
hatinja jang pepat agak mendjadi lega. la melihat puntjak2 jang mendjulang ke
langit, selokan2 jang airnja bening bagaikan katja dan sawah jang ber-tingkat2.
Dari sana-sini terdengar suara njanjian nona2 pemetik daun teh. Di-sawah2 jang
sedang dikerdjakan, botjah2 nakal pada bermain lumpur, diantara petani jang
tengah mematjul atau meluku dengan kerbaunja. Pemandangan itu sungguh
memperlihatkan suasana jang tenang-tenteram. Sesudah berdjalan beberapa lama,
Wan Djie bertemu dengan sebuah warung teh. Karena haus, ia berhenti dan minta
semangkok teh. Si pendjual teh adalah seorang tua jang sudah berambut putih,
tapi masih sangat bersemangat. "Nona datang dari kampung apa ?", tanjanja seraja
bersenjum. "Dari Kay-goan ", djawabnja. "Aku ingin pergi ke-Pa-tjioe untuk
meneagok pamili ". "Tak heran aku tidak mengenal nona, tak tahunja orang dari
lain tempat ", kata pula si kakek. "Dalam dua tahun ini memang sangat aman.
Dulu, tak nanti ada seorang wanita jang berani keluar rumah seorang diri ". Hati
si nona tergerak. la turut bersenjum dan berkata : "Djika aku tidak salah
menafsirkan perkataan Loo-tiang, keadaan sekarang sudah banjak lebih baik
daripada dulu ". "Terlalu baik djuga tidak ", kata orang tua itu. "Tapi untuk
menangsal perut dengan nasi dingin atau menghilangkan dahaga dengan air teh
kasar, orang boleh tak usah kuatir lagi. Hm ...! Aku sudah tua, asal bisa makan
sehari dua kali, aku sudah merasa puas. Keadaan sekarang memang banjak lebih
baik daripada dulu ". Si nona tertawa. "Dengan mengatakan begitu, bukankah Lootiang maksudkan, bahwa kaisar wanita jang sekarang ada banjak lebih baik
daripada kaisar pria ?", tanjanja. Si kakek turut tertawa. "Bukankah memang
benar begitu ?", katanja. "Dikampung kami ada sedjumlah sastrawan jang
mentjatji-maki kaisar sekarang. Tapi para petani siang-malam berdoa supaja Tuhan
memperpandjang usia kaisar ". "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie. "Kami, rakjat
djelata, tak menghiraukan siapa jang mendjadi kaisar, lelaki boleh, perempuan
pun tak halangan ", menerangkan si tua. "Apa jang diharapkan rakjat adalah
penghidupan jang lebih baik. Kalau bisa makan lebih kenjang dan bisa berpakaian
lebih baik, rakjat sudah merasa puas ". Wan Djie mengangguk sebagai tanda
setudju terhadap pendapat kakek itu. "Dulu, untuk seratus kati gabah, orang
harus membajar tjukai sebanjak tiga gantang ", ia melandjutkan penuturannja.
"Tapi sekarang, hanja segantang setengah, jang mana berarti kurang separuh. Tapi
jang paling menggembirakan adalah didjalankannja peraturan jang melarang si kaja
berbuat se-wenang2. Di ini waktu, rakjat jang paling miskin masih bisa mendapat
pembagian sawah, sehingga seorang jang berani bekerdja, sudah pasti tak akan
kelaparan ". Waktu Tong Thaytjong baru naik diatas tachta, telah diadakan
peraturan pembagian sawah. Sebab pada djaman itu tanah sangat luas dan djumlah
manusia masih agak sedikit, maka setiap orang lelaki jang berusia diatas delapan
belas tahun, bisa mendapat seratus bauw sawah. Delapan puluh bauw merupakan
"milik sementara", sedang jang dua puluh bauw "milik tetap". Sesudah si pemilik
meninggal dunia, dua puluh bauw "milik tetap" turun kepada anak tjutjunja,
sedang jang delapan puluh diambil pulang oleh negara untuk dibagikan kepada jang
lain. Tapi sesudah lewat sekian tahun, peraturan itu tidak didjalankan
sebagaimana mestinja dan achirnja djadi menjeleweng. Belakangan, sebab sawah2
boleh didjual belikan setjara merdeka, maka sawah2 "milik tetap" dari para
petani miskin banjak sekali jang dibeli setjara paksa oleh kaum ber-uang dan
berkuasa. Begitu lekas memegang tampuk pimpinan negara, Boe Tjek Thian segera
bertindak dan melarang djual-beli sawah. Disamping peraturan lama, ia
menambahkan peraturan baru, jaitu setiap djanda bisa mendapat tiga puluh bauw
sawah "milik tetap". Maka itulah, dalam seluruh masa keradjaan Tong, djaman Boe
Tjek Thian adalah djaman paling makmur bagi kaum petani. Sementara itu,
mendengar penuturan si kakek, Wan Djie djadi kaget dan duduk bengong tanpa bisa
mengeluarkan sepatah kata. Si pendjual teh tertawa dan berkata pula : "Dengan
adanja kaisar wanita, nona2 sekarang boleh merasa girang ". "Mengapa begitu ?",
tanja Wan Djie. "Apakah karena seorang wanita duduk diatas tachta, seantero
orang perempuan turut mendapat keuntungan ?". "Memang, memang begitu ", kata si
tua. "Nona, apa kau belum tahu " Menurut katanja guru2 sekolah dikampung kami,
Thian-houw telah mengeluarkan firman, bahwa wanita jang berkepandaian djuga bisa
mendjadi pembesar negeri. Orang banjak mengatakan, tak lama lagi bakal diadakan
udjian untuk kaum wanita. Gadis2 dusun sekarang sudah pada ribut, ingin
bersekolah, supaja dihari kemudian bisa turut dalam udjian negeri. Kaum
sastrawan menghela napas pandjang-pendek dan meng-geleng2kan kepala. Dulu, nabi
dan pudjangga kita mengatakan, bahwa wanita jang mulia adalah wanita jang bodoh,
kata mereka. Tapi sesudah Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, langit dan bumi
terbalik. la malahan membalikkan udjar nabi dan pudjangga kita. Masih ada lagi.
Dulu, suami menggebuk isteri adalah kedjadian jang biasa sadja. Sekarang " Kaum
perempuan timbul sombongnja ! Mereka menganggap, bahwa karena wanita sudah bisa
mendjadi kaisar, kedudukan wanita sedikitnja sama tinggi dengan pria dan mereka
sungkan dihina lagi oleh kaum lelaki. Maka itu, selama dua tahun jang belakangan
ini, dikampungku djarang sekali terdjadi peristiwa suami menghadjar isteri ". Si
nona tertawa geli. "Kalau begitu, kaum terpeladjar dikampungmu merasa penasaran
sekali, bukan ?", tanjanja. "Tentu sadja ", djawabnja. "Bukan sadja kaum
sastrawan, orang2 jang tidak terpeladjar pun merasa tak puas ". "Dan bagaimana
dengan isterimu sendiri ?", tanja Wan Djie. Si kakek tertawa ter-bahak2. "Kawan
hidupku sudah tak ada lagi dalam dunia ", katanja. Sehabis berkata begitu, paras
mukanja bersorot duka. "Disamping itu, selama dia hidup, belum pernah aku
berkelahi dengannja ". Si nona mengirup teh dan sesaat kemudian, ia menanja
lagi: "Loo-tiang, apa ada lain hal jang dibuat bahan tjatjian oleh kaum
terpeladjar dikampungmu ?" "Banjak, banjak sekali", djawabnja. "Tapi jang
terhebat adalah dua rupa hal, jang pertama Boe Tjek Thian ditjatji sebagai
perempuan tjabul. Menurut istilah kaum terpeladjar, ia katanja "mengotorkan
keraton". Tapi menurut bahasa orang kampung, ia 'piara lelaki'. Jang kedua, dia
dikutuk sebagai manusia sangat kedjam, jang membunuh sesama manusia setjara
membabi-buta ". Paras muka Siangkoan Wan Djie lantas sadja berubah merah. Ia
mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata. "Apa Boe Tjek Thian piara lelaki
atau tidak, aku tak tahu ", kata pula si tua. "Tapi sekarang kaum petani
mempunjai lain bahan perundingan ". "Bahan perundingan apa ?", tanja si nona.
"Dulu, kaisar lelaki mempunjai Sam-kiong Liok-ih (Tjhia-kiong, Tong-kiong, Seekiong dan enam selir) dan sedjumlah besar dajang ", djawabnja. "Setiap tiga
tahun sekali, diadakan pemilihan Sioe-lie (Sioe-lie berarti wanita tjantik jang
harus dikirim ke keraton kaisar). Ha ! Setiap kali pemilihan Sioe-lie, tjelaka
orang kampung ! Para orang tua buru2 menikahkan puteri2-nja dan harus merogo
saku untuk menjuap pembesar2 rakus. Maka itu, menurut anggapan sebagian orang,
keadaan sekarang banjak mendingan daripada dulu. Biar bagaimanapun djuga, Boe
Tjek Thian belum pernah mengadakan pemilihan Sioe-lam (lelaki tampan) ".
Siangkoan Wan Djie terkedjut. Baru sekarang ia tahu, bahwa djalan pikiran rakjat
djelata berbeda djauh dengan djalan pikiran kaum terpeladjar, antaranja paman
Tiangsoen dan ia sendiri. "Mengenai kekedjamannja dalam membunuh manusia setjara
membabi-buta, aku dengar, orang2 jang dibinasakannja jalah anggauta2 keluarga
kaisar dan pembesar2 tinggi ", kata pula si kakek. "Kedjadian ditempat lain,
kutak tahu. Tapi ambillah tjontoh di kota kami. Selama beberapa tahun, di kota
ini belum pernah terdjadi perkara2 penasaran, dimana seorang rakjat baik2
dibunuh setjara se-wenang2. Hanja pada tiga tahun berselang, seorang pembesar
rakus Tjan Po Pie, si tukang beset kulit, telah dihukum mati oleh Thian-houw ".
Semakin mendengar tjerita si tua, Wan Djie djadi semakin bingung. Waktu ia
keluar dari kedai teh itu, otaknja pusing karena adanja suau pertanjaan jang
tidak terdjawab : "Apa Boe Tek Thian manusia baik atau manusia djahat ?". Akan
tetapi, begitu mengingat sakit-hati kedua orang-tuanja, darahnja lantas sadja
me-luap2 dan sambil mengertak gigi, ia meneruskan perdjalanannja.
---oo0oo--DEMIKIANLAH, diatas djalanan gunung jang menghubungkan Kiam-kok dan Pa-tjioe,
diantara pemandangan alam jang sangat indah, nona Siangkoan djalankan keledainja
per-lahan2 dengan kepala menunduk dan atjapkali menghela napas. Ia membeli
tunggangan itu disebuah kota ketjil dan selama tiga hari, perkataan2 si pendjual
teh selalu mengganggu pikirannja. Suatu kenjataan jang tak dapat dibantah lagi,
jalah, Boe Tjek Thian jang dianggap sebagai iblis djahat oleh Tiangsoen Pehpeh
dan rekan2-nja, dipandang sebagai seorang kaisar arif-bidjaksana oleh rakjat
djelata. Hari itu, ia berdjalan disepandjang tepi sungai Kee-leng dan dipinggir
djalan terdapat hutan jang mempunjai pemandangan indah. Selagi enak djalan,
tiba2 ia mendengar suara, kaki kuda dibelakangnja dan tak lama kemudian, dua
penunggang kuda sudah melombai dan melawatinja. Wan Djie melirik dan ternjata,
mereka adalah dua orang lelaki jang romannja kasar dan berdjenggot tebal. Ia
tidak menghiraukannja dan terus djalankan keledai per-lahan2. Belum djalan
berapa djauh, tiba2 kedua penunggang kuda itu kembali dari sebelah depan.
Djantung si nona memukul keras dan ia ingat keterangan Tiangsoen Koen Liang
mengenai tjaranja kalangan Kang-ouw. "Apakah mereka Tjay-phoa-tjoe dari kalangan
Liok-lim ?", tanjanja didalam hati. Menurut kebiasaan Liok-lim, atau Rimba
Hidjau, jang berarti kalangan pendjahat, setiap kali kawanan perampok ingin
"bekerdja", lebih dulu mereka mengirim mata2 untuk menjelidiki. Dalam dunia
Kang-ouw, mata2 itu dikenal sebagai Tjay-phoa-tjoe, atau si Tukang-indjakpiring. Sekali ini, Wan Djie lebih memperhatikan kedua orang itu. Selagi
berpapasan, se-konjong2 mereka dongak dan terawa ter-bahak2. Si nona mendongkol
dan sebenarnja ia mau lantas menegur. Tapi karena ingat, lebih baik djangan
tjari setori, se-bisa2 ia menahan sabar. Dilain saat, kedua penunggang kuda itu
sudah tak kelihatan bajangannja lagi. Sesudah djalan lagi beberapa lama, sekonjong2 disebelah depan kembali muntjul dua penunggang kuda jang mendatangi
dengan tjepat sekali. "Djika mereka benar mata2, maka jang mau bekerdja adalah


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua rombongan perampok ", kata si nona dalam hatinja. Waktu berpapasan, dan
melihat dipinggang kedua orang itu tergantung golok, busur bersama anak
panahnja. Tak lama kemudian, ia masuk ke djalanan gunung jang ber-belit2 dan
sesudah djalan setengah harian, belum djuga ia bertemu dengan manusia. Si nona
heran dan berkata dalam hatinja : "Dua penunggang kuda jang pertama kembali
dengan tjepat sekali. Djika mereka benar Tjay-phoa-tjoe, didjalanan ini pasti
terdapat saudagar hartawan. Tapi mengapa sampai sekarang aku belum djuga bertemu
dengan manusia ?". Tiba2 dari sebelah kedjauhah terdengar suara khim jang
mengalun dengan nada duka. Mendengar lagu itu, si nona jang memang sedang
bersedih, lantas sadja bertambah rasa dukanja. Indap2 ia mendekati dan mendengar
njanjian seperti berikut : "Didepan tak kelihatan kawan, Dibelakang tak muntjul
manusia, Memikiri langit dan bumi dengan kedukaan, Seorang diri ku mengutjurkan
air mata ". Hati si nona berdebar keras. "Ah ...! Disebelahnja aku, dalam dunia
ini ternjata terdapat djuga seorang lain jang sedang berduka ", katanja didalam
hati. Ia segera melompat turun dari tunggangannja dan per-lahan2 menudju kesuara
khim itu. Tak berapa djauh Ia melihat seorang pemuda peladjar, jang memakai topi
sastrawan dan mengenakan badju warna putih, sedang memetik khim sambil menghela
napas ber-ulang2. Didekatnja tertambat seekor kuda kurus dan diatas punggung
kuda ditaruh sebuah kerandjang rusak jang berisi beberapa djilid buku tua.
"Kalau benar kawanan perampok mau bekerdja, mereka tentu tak akan merampok
sastrawan miskin ini ", kata si nona dalam hatinja. Terang2 si peladjar melihat
kedatangan Wan Djie, tapi ia sedikitpun tidak menghiraukannja dan terus memetik
khim jang suaranja semakin lama djadi semakin menjajatkan hati. Karena
dipengaruhi dengan lagu jang sangat mendukakan itu, tanpa merasa Wan Djie
menjambut dengan dua baris sjair : "Musim semi sudah kembali, bunga laksana
sulaman, Tapi mengapa tuan masih sadja diliputi kedukaan ?". Tanpa mendjawab,
djari2-nja si peladjar mulai memetik lagi tali2 khim, di iringi dengan njanjian.
Kali ini ia memperdengarkan sebuah lagu riang-gembira dan suara tabuh2-an itu
bagaikan njanjian burung2 dimusim semi, laksana suara djatuhnja mutiara diatas
piring batu giok dan se-olah2 suara mengalirnja air kelembah jang rendah.
Siangkoan Wan Djie terkedjut bukan main, karena sjair jang dinjanjikannja adalah
sjair gubahan Siangkoan Gie, kakeknja sendiri. Sjair itu, jang dikenal sebagai
Kiong-sie, atau Sjair-keraton, mempunjai sebuah sedjarah pendek. Dulu, pada
waktu kaisar Tong Thaytjong masih hidup, pada suatu hari dimusim semi, ia telah
mendjamu menteri2 besarnja. Selagi makan-minum dengan gembira, kaisar itu telah
memerintahkan Siangkoan Gie menggubah sebuah sjair jang sesuai dengan perdjamuan
itu. Maka itu, sjair tersebut dinamakan sjair "Tjo-tjoen Koei-lim-thian Engtjiauw", atau "Sjair musim semi dikeraton Koei-lim-thian". Dalam sjair itu,
Siangkoan Gie melukiskan keindahan musim semi ditaman kaisar tersebut. Tong
thaytjong djadi sangat girang dan lalu menghadiahkannja serentjeng mutiara.
Demikian sedjarah sjair itu. Si nona djadi bimbang. "Aku memudji pemandangan
musim tjoen (semi) didalam hutan, tapi dia segera njanjikan lagu keindahan musim
semi dikeraton kaisar ", katanja didalam hati. "Disamping itu, sjair tersebut
adalah gubahan kakekku. Apa ia sudah tahu siapa adanja aku ?". Tapi dilain saat,
ia mendapat lain pikiran. Kakeknja adalah seorang penjair besar dan pada djaman
permulaan keradjaan Tong, gaja sjairnja banjak ditiru oleh kaum sastrawan,
sehingga sjair Siangkoan Gie dikenal sebagai "Siangkoan-tee". Maka itu, tidaklah
heran djika seorang pemuda peladjar setjara kebetulan menjanjikan sjair
kakeknja. Sesudah selesai, si peladjar menabuh tabuhannja diatas tanah dan lalu
bangun berdiri sambil tertawa ter-bahak2 dan dalam tertawa itu, terdapat nada
kedukaan. "Mengapa kau sebentar bersedih dan sebentar bergirang ?", tanja si
nona. "Djika Kouwnio ingin mendengar lagu gembira, aku tentu akan menurut
perintah ", kata pemuda itu. Si nona bersenjum. "Kalau begitu, sjair Siangkoantee sengadja diperdengarkan untuk kupingku ", katanja. "Tapi, maaf, untuk
kebaikanmu itu, aku terpaksa harus menegur kau ". "Mengapa ?", tanja si
peladjar. "Tadi, kau pertama memperdengarkan lagu Teng-yoe-tjioe-tay-ko (Lagu
Naik di pendopo Yoe-tjioe) gubahan Tan Tjoe Gang ", djawabnja. "Suara khim jang
menjajat hati sangat mengharukan orang jang mendengarnja. Aku mendapat
kenjataan, bahwa manusia dan tabuhan telah mendjadi satu dan dengan semangat
serta perasaan jang bersatu, barulah kau bisa mendengarkan lagu jang sangat
mendukakan itu. Tapi belakangan kau mendengarkan lagu gembira. Biarpun tak dapat
ditjela, tapi untuk berterus-terang, suara khim kedengarannja sangat tak wadjar
". Sastrawan itu mengangkat kepala dan menatap wadjah si nona dengan paras
kagum. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan :
"Maaf ...! maaf...! Aku tak tahu, bahwa nona adalah seorang jang mempunjai
pengetahuan tinggi dalam ilmu sjair dan memetik khim. Aku bukan seorang jang
beruntung. Memang ...! Mana kubisa memperdengarkan lagu jang riang gembira ".
Sesaat itu, dua pasang mata kebentrok dan djantung si nona memukul keras! Muka
pemuda itu seperti djuga tak asing lagi baginja. Tapi dimana ia pernah bertemu
dengannja " Ia tjoba meng-ingat2 semua kawan2 diwaktu masih ketjil, tapi tak
seorang pun jang menjerupai pemuda itu. Sementara itu, sambil mengangsurkan
khim-nja, si peladjar berkata dengan sikap menghormat: "Djika mungkin aku ingin
memohon nona memperdengarkan sebuah lagu ". Wan Djie menjambut dan karena dalam
hatinja penuh dengan niatan membalas sakit hati, tanpa merasa ia memetik sebuah
lagu perang. Paras muka si sastrawan lantas sadja berubah, dari lesu djadi
bersemangat. Lagu itu adalah Tjiong-koen-heng (Mars Mengikut tentara), gubahan
Yo Tjiong, seorang penjair kenamaan pada djaman itu. Suara khim jang bergelora
se-olah2 suara menerdjangnja ribuan tentara berkuda dan suara beradunja berbagai
matjam sendjata. Dengan semangat ber-kobar2 si nona lalu menjanjikan lagu itu
jang berachir dengan kata2 begini: "Lebih baik djadi Pek-hoe-thio (nama pangkat
militer), daripada djadi sastrawan ". Tiba2 si sastrawan dongak dan tertawa
berkakakan. "Benar ...! Benar ...!", teriaknja dengan njaring. "Lebih baik djadi
Pek-hoe-thio daripada djadi sastrawan. Pada djaman ini, seorang laki2 memang
djuga harus mengangkat sendjata dan dengan menunggang kuda, malang-melintang
dikolong langit. Perlu apa djadi peladjar jang tidak ada gunanja !". "Aku bukan
sengadja maksudkan kau ", kata Wan Djie dengan nada memohon maaf. Si pemuda
melirik dengan sorot mata bersangsi. Sambil menjambuti khim, ia berkata dengan
suara tawar: "Jang bitjara tidak sengadja bitjara, jang mendengar memang
sengadja mendengar. Aku mempunjai perasaanku sendiri, kau tak usah buat pikiran
". Sehabis berkata begitu, ia melompat keatas punggung kuda kurus dan segera
berlalu tanpa pamitan lagi. "Orang itu kelihatannja otak2an dan aneh sekali ",
pikir Wan Djie. "Apa dia seorang jang terluka hatinja ?". Memikir begitu, buru2
ia menunggang keledainja dan menguber. "Siangkong (tuan) !", teriaknja, "Mau
kemana kau ?". "Mau ke Pa-tjioe ", djawabnja. "Sungguh kebetulan! Aku pun mau ke
Pa-tjioe ", seru si nona dengan suara girang. Ia menduga, bahwa sastrawan itu
akan segera mengadjaknja berdjalan sama2. Tapi tidak dinjana, ia hanja berkata
dengan suara dingin: "Oh, begitu ... ?". Tanpa menengok, ia mentjambuk kudanja.
Wan Djie djadi mendongkol. "Kau tidak meladeni, tapi aku akan terus menguntitmu
", katanja didalam hati. Ia segera menepuk keledainja dan membuntuti dari
belakang. Pemuda itu berdjalan terus, se-olah2 tidak merasa dirinja sedang
dikuntit orang. Sesudah berdjalan kurang-lebih
setengah harian, sepatah pun merekak tak pernah bitjara. "Aneh ...! Mengapa
begitu lekas aku memetik lagu Tjiong-koen-heng, sikapnja lantas berubah ?",
tanja si nona dalam hatinja. "Menurut keterangan si kakek pendjual teh, Boe Tjek
Thian sangat pandai memakai orang, sehingga sampai gadis2 dusun pada ber-lomba2
beladjar surat. Mengapa dia mengatakan, bahwa seorang sastrawan tiada gunanja!
Aku memperdengarkan lagu itu, karena keinginanku untuk membalas sakit hati jang
sedang me-luap2. Apakah ia mempunjai dendam jang sama sepertiku ?". la terus
meagikuti dan semakin lama, ia semakin merasa, bahwa pemuda itu bukan sembarang
orang. Sesudah berdjalan lagi beberapa lama, tiba2 disebelah depan mendatangi
dua penunggang kuda, jaitu orang2 lelaki jang beroman kasar. "Apa mereka Tjayphoa-tjoe ?", tanja si-nona dalam hatinja. "Dengan jang tadi, sudah muntjul tiga
pasang manusia ". Sesaat itu, mereka tengah memasuki sebuah selat diantara dua
gunung. Djalanan diselat itu, jang ber-libat2 bagaikan usus kambing, hanja bisa
muat dua penunggang kuda jang djalan berendeng. Dilain saat, bagaikan angin
pujuh, kedua penunggang kuda itu mendatangi. Mendadak, salah seekor kuda
berbenger keras dan berdiri diatas kedua kakinja. Rupa2nja binatang itu
mengindjak batu dan terpeleset. "Binatang ...!", bentak penunggangnja. "Apa kau
mau tjari mampus ?". Sambil mentjatji, ia mentjambuk. Entah disengadja atau
tidak, se-konjong2 kuda itu melompat kedepan dan tjambuk menjambar badan si
sastrawan! Bagaikan kilat, Siangkoan Wan Djie djuga mentjambuk. Kedua tjambuk
itu melibat satu sama lain dan mereka lalu membetot dengan berbareng. Si nona
kaget, sebab ia merasa lelaki itu bertenaga sangat besar, sehingga hampir2
tjambuknja terlepas. Masih untung, Wan Djie sangat tjerdas. Buru2 ia menggunakan
siasat memindjam tenaga. la mengulur tangannja, tapi sebelum sempat membetot,
orang itu mendadak berubah sikap dan dengan paras ketakutan, menghaturkan maaf.
"Maaf ...! maaf ...!. Hampir2 aku mentjambuk nona ", katanja sambil menjodja.
Sehabis berkata begitu, bersama kawannja, ia berlalu se-tjepat2-nja. Si
sastrawan sendiri putjat mukanja. Sesudah kedua orang itu berlalu, barulah ia
bisa berkata : "Aduh ! Sungguh berbahaja ". "Tak ada bahaja lagi ", kata si nona
sambil tertawa. "Mari kita djalan terus ". "Benar ..,! benar ...! Tak ada bahaja
lagi. Mari djalan terus ", kata si pemuda seperti orang linglung seraja
mentjambuk kuda kurusnja jang lantas sadja lari tjongklang. Wan Djie djadi geli.
"Benar2 sastrawan tolol ", pikirnja. Tapi dilain saat, ia ingat suatu kenjataan
lain. "Terang2an orang itu memukul dia ", katanja didalam hati. "Apa dia membawa
barang berharga ?". la melirik dan selain beberapa djilid buku tua dan sebuah
khim, sastrawan itu tak punja lain harta-benda. Apa pendjahat itu mau merampok
khim " Tapi ia lantas sadja tertawa sendiri, sebab khim tua itu tidak tjukup
berharga untuk dirampok. ---oo0oo--WAKTU maghrib, mereka tiba disebuah kota. Dengan diikuti oleh Wan Djie, si
pemuda masuk disebuah penginapan jang paling besar dalam kota itu. "Apa kalian
datang ber-sama2 ?", tanja seorang pelajan. Muka si nona lantas sadja berubah
merah. "Bukan ", djawabnja. "Aku mina sebuah kamar lain, djika ada, jang
menghadap keselatan ". "Ada ..., ada ...,", djawab si pelajan. Ia rupanja
seorang jang suka bitjara, sebab, sesudah menjanggupi, ia berkata pula : "Untung
sekali kalian datang hari ini. Kalau kemarin, sampai istal kuda penuh semuanja
". "Mengapa begitu ?", tanja Wan Djie. "Kemarin Tjo-kim-gouw Khoe Tay tjiangkoen
(djenderal) lewat disini dan mereka semua menginap dalam penginapan kami ",
djawabnja. "Lihatlah ... Kotoran kuda belum disapu bersih ". Wan Djie menengok
dan dipekarangan depan terdapat beberapa orang jang sedang menjapu. "Apa Khoe
Tjiangkoen itu bernama Khoe Sin Soen ?", tanja si sastrawan. "Benar ", djawabnja
si pelajan. "Apa Siangkong kenal Khoe Tay tjiangkoen ?". "Seorang peladjar
miskin bagaimana bisa mengenal seorang djenderal ?", sahutnja. Wan Djie tertawa,
"Kau tak usah heran ", katanja kepada si pelajan. "Tjo-kim-gouw adalah pangkat
jang sangat tinggi. Dikolong langit, hanja ada satu Tjo-kim-gouw. Orang kata,
seorang sastrawan tidak keluar pintu, tapi ia tahu segala kedjadian di dunia,
Maka itu, djangan heran djika Siangkong ini tahu she dan nama Tjo-kim-gouw ".
Tapi biarpun mulutnja mengatakan begitu, si nona djadi semakin bertjuriga.
"Mengapa ia menjebut nama djenderal itu dengan suara dan sikapnja se-olah2 ia
berkedudukan lebih tinggi daripada sang djenderal ?", tanjanja didalam hati.
"Benar, benar ", kata si pelajan sambil mengangguk. "Memang orang terpeladjar
lebih banjak pengetahuannja daripada kita ". Ia berdiam sedjenak seperti ingin
membanggakan pengetahuannja, ia berkata : "Aku dengar Khoe Tay tjiangkoen
menerima perintah Thian-houw untuk pergi ke Pa-tjioe, guna menengok Thaytjoe ".
Si nona agak terkedjut. Boe Tjek Thian baru sadja memerintahkan The Oen pergi
menjambangi puteranja dan sekarang ia kembali memerintahkan Khoe Sin Soen.
Dilihat begitu, hubungan antara ibu dan anak kelihatannja tjukup erat. Tapi si
pemuda kelihatannja tidak merasa ketarik. "Oh, begitu ?", katanja sambil
bertindak masuk ke kamarnja untuk mengaso. Wan Djie pun segera pergi mengaso
dalam kamarnja. Berselang tak lama, selagi ia mau minta makanan, diluar tiba2
terdengar suara berbengernja kuda dan suara banjak orang bitjara. "Apa kawanan
perampok ?", tanja si nona didalam hati. Ia menjingkap tirai dan melihat
kedatangannja tiga penunggang kuda. Dua orang jang djalan belakangan adalah
opas, sedang jang djalan duluan seorang lelaki jang pakaiannja tjompangtjamping. Wan Djie djadi heran bukan main. Djika mau dikatakan, lelaki itu
seorang tangkapan, bukan sadja tangannja tidak terborgol, tapi kuda jang
ditunggangnja pun lebih besar dan lebih gagah daripada kuda kedua opas itu.
Setibanja didepan pintu hotel, mereka segera melompat turun. "Berikan kamar
kelas satu kepada Thao Toaya ", kata salah seorang opas. "Baik .., baik ...",
kata si pelajan jang dengan ter-sipu2 lalu masuk kedalam untuk membereskan
kamar. Sesudah si pelajan menjelesaikan tugasnja, Wan Djie lalu memanggilnja dan
bertanja dengan suara perlahan : "Siapa Thio Toaya itu ?". "Dia orang sekampung
denganku ", djawabnja sambil tertawa. "Ia seorang petani, tapi selama beberapa
hari ia dapat menikmati enaknja kedudukan Ngo-pin-khoa (pembesar negeri dari
tingkatan kelima) ". Wan Djie djadi semakin heran. "Bagaimana sebenarnja ?", dia
mendesak. "Apa nona tak tahu ?", kata si pelajan. "Thian-houw Piehee telah
mengeluarkan firman jang menetapkan, bahwa siapapun djuga jang ingin pergi ke
kotaradja untuk mengadjukan pengaduan atau melaporkan suatu rahasia,
disepandjang djalan harus mendapat perlakuan sebagal seorang Ngo-pin-khoa ".
"Pengaduan apa ?", tanja pula si nona. "Apapun boleh ", djawabnja. "Misalnja,
mengadukan pembesar rakus, perkara penasaran, persekutuan pemberontakan dan
sebagainja. Setiap rakjat mempunjai hak jang sama. Mengenai pengaduan jang ingin
disampaikan Thio Loo-sam, aku tahu djuga sedikit ". "Tjoba tjeritakan ", kata
Wan Djie sambil melemparkan sepotong perak diatas medja. Si pelajan djadi girang
bukan main dan dengan paras ber-seri2, ia berkata: "Baik ..., baik ... Tapi nona
djangan beritahukan kepada orang lain. Thio Loo-sam ingin mengadukan seorang okpa (seorang hartawan djahat jang sering berbuat se-wenang2 kepada rakjat). Paman
ok-pa itu pernah mendjabat pangkat tinggi, Thio Loo-sam mempunjai seorang tjalon
menantu perempuan, jang telah dirampas oleh si djahat. Belakangan, dengan
menggunakan pengaruh, dia memaksa ajah wanita itu membatalkan pernikahan. Dengan
membawa surat kawin, Thio Loo-sam meminta keadilan dari Tie-hoe, tapi ia
dikalahkan. la djadi nekat dan lalu mengadjukan permohonan untuk pergi ke
kotaradja guna melaporkan satu rahasia, katanja. Tapi se-benar2-nja ia ingin
mengadukan orang djahat itu ". "Tapi apa ok-pa itu bisa membiarkannja pergi ke
kotaradja ?", tanja pula Wan Djie. "Si djahat memang sudah tahu, bahwa Thio Loosam pergi keibu kota untuk mengadukan perbuatannja ", djawabnja. "Tapi Thianhouw telah menetapkan, bahwa siapapun djuga jang mau ke kotaradja untuk
melaporkan rahasia, harus dilindungi oleh petugas2 negara. Pembesar negeri tentu
sadja tak tahu, apa jang sebenarnja hendak dilaporkan olehnja. Mungkin djuga
rahasia jang mengenai keselamatan negara atau rahasia ketentaraan, bukan " Maka
itu, tak ada orang jang berani merintangi perdjalanan Thio Loo-sam. Tapi karena
ok-pa itu memegang surat kawin dari ajah si wanita, belum tentu Thio Loo-sam
bisa menang perkara. Dalam hal ini terserah kepada kebidjaksanaan Thian-houw ".
Wan Djie merasa ketjewa. Semula ia menduga bakal mendengar rahasia besar, tak
tahunja hanja satu kedjadian biasa. Tapi karena penuturan itu, ia melihat satu
kenjataan lain. "Dulu, seorang ok-pa merampas wanita adalah perbuatan lumrah dan
sama-sekali tidak perlu banjak berabe mentjari surat kawin ", katanja didalam
hati. "Dengan mempermisikan rakjat datang di kotaradja untuk melaporkan segala
rahasia, Boe Tjek Thian memang membuka kesempatan akan datangnja matjam2 fitnah
oleh orang nakal. Tapi biar bagaimanapun djuga, peraturan itu sangat
menguntungkan rakjat djelata ". Selama berdiam dirumah Tiangsoen Koen Liang, ia
selalu menganggap Boe Tjek Thian sebagai memedi perempuan. Diluar dugaan, dalam
perdjalanan itu ia lebih banjak mendengar perbuatan baik daripada perbuatan
djahat kaisar wanita itu. Selagi ter-menung2 dengan pikiran tertindih, tiba2 ia
mendengar hela napas si sastrawan jang berada dikamar sebelah. "Mengapa ia
menghela napas ?", tanjanja didalam hati. Sesudah ia selesai bersantap, pelajan
hotel lalu membereskan perabot makan. "Nona mengasolah ", katanja sambil menutup
pintu, "Djika ada kedjadian2 menarik, aku tentu segera memberitahukan ". Tapi
Wan Djie tak bisa pulas. Gerak-gerik si sastrawan jang aneh selalu mengganggu
pikirannja. Suara kentongan mengundjukan tengah malam, tapi kedua matanja masih
tetap segar. la djadi uring2-an dan sesudah mengenakan badju luar, ia segera
keluar djalan2 dalam pekarangan hotel. la melihat lampu masih menjala terang
dikamar sebelah dan dari tirai djendela, terlihat bajangan sastrawan itu.
Perlahan2 ia mendekati djendela dan lalu mengintip. Beberapa saat kemudian,
pemuda itu kembali menghela napas dan lalu bangun berdiri, sambil membuka
kantjing2 thungsanja, sebagai tanda ia mau lantas tidur. Wan Djie segera
bergerak untuk menjingkir, tapi mendadak, hatinja melondjak Pemuda itu telah
membuka topinja jang ditaruh telentang diatas medja. Apa jang mengedjutkan si
nona, jalah didalam topi melekat belasan butir Ya-beng-tjoe (mutiara jang
mementjarkan sinar terang ditempat gelap), jang sinarnja melebihi sinar lampu
minjak diatas medja. "Ah ...! Kalau begitu kawanan perampok memang mengintjar
dia ", katanja didalam hati.
---oo0oo--SE-KONJONG2 diluar tembok terdengar suara kresekan jang sangat perlahan. Hati
Wan Djie ber-debar2, Dengan sekali menotol tanah dengan udjung kakinja, tubuhnja
melesat keatas satu pohon gouw-tong jang tumbuh dalam pekarangan itu. Biarpun
ilmu silatnja tidak seberapa tinggi, tapi sebab semendjak ketjil ia biasa
berlatih diatas Tjan-to, ilmu mengentengkan badannja sudah madju djauh. Tapi si
sastrawan kelihatannja sama-sekali tidak merasa adanja bahaja. Lampu segera
dipadamkan dan sinar Ya-beng-tjoe djadi semakin terang. "Kau enak2 tidur, aku
jang djadi tjenteng ", pikir si nona. Tak lama kemudian, berbareng dengan suara
kesiuran angin, dua orang hinggap diatas tembok. Wan Djie mengawasi dan
mengenali, bahwa mereka itu adalah perampok dari rombongan pertama. Mereka
lantas sadja mendekam diatas tembok jang berhadapan dengan kamar si sastrawan.
Wan Djie mentjekel pisaunja erat2, siap-sedia untuk lantas menimpuk, djika
mereka menerdjang masuk kekamar. Tapi kedua orang itu tidak turun kebawah.
Mereka terus mendekam diatas tembok sambil bitjara bisik2. Sebagai seorang jang
lama berlatih untuk mendengar sambaran sendjata rahasia, si nona mempunjai


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuping jang lebih tadjam dari manusia biasa dan oleh karenanja, ia dapat
menangkap sebagian pembitjaraan kedua perampok itu. "Liong Ngo-ya perintah kita
menjambut orang, tapi apa mungkin orang jang mau di sambut adalah manusia
tolol2-an itu ?", tanja jang satu. "Roman orang itu agak luar biasa, tapi gerakgeriknja memang tolol2-an ", sahut jang lain. "Tapi biar bagaimanapun djuga,
kedatangan kita tidak tjuma2 ", kata pula jang pertama. "Aku dengar si orang
desa jang mau pergi ke kotaradja untuk melaporkan rahasia besar, malam ini djuga
menginap disini ". "Aku sudah menjelidiki, dia menjewa kamar ketiga disebelah
timur ", kata kawannja. "Urusan apa jang mau dilaporkannja ?". "Tak perduli ",
kata pula orang jang pertama. "Tak ada salahnja kalau kita kerdjakan dia ".
Mereka segera bergerak dan menudju ke kamar Thio-Loo-sam dengan merangkak. Wan
Djie djadi sangat bimbang. Semula ia menduga, bahwa kedua orang itu adalah
perampok jang ingin merampas harta benda si sastrawan, tapi ternjata taksirannja
tidak benar. Apa tak mungkin mereka dikirim oleh si ok-pa untuk membunuh Thio
Loo-sam ". Tapi didengar dari pembitjaraannja, mereka bukan orang suruhan ok-pa
itu. Ia sebenarnja sudah hendak melompat turun dari pohon dan kembali ke
kamarnja, tapi mendadak lain pikiran berkelebat kedalam otaknja. "Thio-Loo-sam
sudah banjak menderita ", pikirnja. "Sesudah kutahu urusan ini, mana bisa aku
berpeluk tangan ?". Memikir begitu, ia lantas sadja melompat ke atas tembok dan
membuntuti kedua orang itu. Tepat selagi kedua orang itu melompat turun, Wan
Djie menimpuk dengan dua bilah pisau. Sesudah berlatih beberapa tahun, si nona
memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu melempar hoei-to (pisau terbang), sehingga
djangankan manusia, sedangkan seekor elang masih tak bisa lolos dari
timpukannja. Maka itu, ia pertjaja, bahwa kedua pisaunja pasti akan dapat
merobohkan kedua pendjahat itu. la terkesiap, karena sedang badan kedua orang
itu masih berada ditengah udara, dengan sekali memutar badan, mereka berhasil
menangkap kedua hoei-to, se-olah2 punggung mereka mempunjai mata. Kedua
pendjahat itu djuga kaget. Seraja mengeluarkan seruan tertahan, mereka melompat
naik lagi keatas tembok dan mengawasi ke seputarnja. Sambil menahan napas, si
nona memperhatikan gerak-gerik mereka itu. Tiba2 tangan mereka terajun dan kedua
hoei-to menjambar ke pohon gouw-tong. Sesaat itu, Wan Djie sedang menjembunjikan
diri diantara dua tjabang jang bertjagak, sehingga ia tak bisa berkelit
kesamping atau kebelakang. Djalan satu2nja adalah menjambut pisau itu, tapi,
mendengar sambarannja jang disertai kesiuran angin dahsjat, ia tak berani
menjambutnja. Dilain detik, kedua pisau itu sudah tiba didepannja. "Tjelaka !",
ia mengeluh dengan hati mentjelos. Pada sesaat jang sangat berhahaja, tiba2
Sayap Bidadari 1 Fix You Karya Glitch Macan Tutul Di Salju 9

Cari Blog Ini