Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 13

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 13


menanti Lie It karena kita duga mungkin dia sudah pulang lebih dulu ".
Sebenarnja Hoe Poet Gie berkuatir melajani terus pada Pek Yoe disebabkan pertama
kali ia sudah digempur tenaga dalamnja oleh pendeta jang liehay itu. Lie It
tidak kedapatan, orang mendjadi berkuatir, lebih2 Hian Song. Pwee Siok Touw
memperhatikan nona itu, melihat kedukaan si nona, ia masgul. "Lootjianpwee ",
kemudian Siok Touw bertanja, "lootjianpwee kesohor ilmu pedangmu Thay Tjeng
Kiam-hoat, kenapa lootjianpwee melepaskan dan tidak mau menggunakan lagi ?".
Poet Gie menjeringai. "Apakah gurumu belum pernah memberi keterangan kepada
kau?", ia balik menanja, ia tertawa berduka. "Gurumu itu masih hidup, mana
berani aku menggunai pedang?". Pada tiga puluh tahun dulu, ber-sama2 Oet-tie
Tjiong, Kok Sin Ong dan Tiangsoen Koen Liang, Hoe Poet Gie terkenal sebagai
ahli2 silat pedang. Kaum Rimba Persilatan menjebut mereka sebagai Empat Ahli.
Diantaranja, Hoe Poet Gie jang nomor satu. Kemudian Oet-tie Tjiong hidup
menjendiri di Thian-san Utara dan Hoe Poet Gie di Thian-san Selatan. Pada suatu
hari Oet-tie Tjiong mengundjungi Hoe Poet Gie, untuk mentjoba beberapa djurus
ilmu pedang jang ia baru dapat tjiptakan. Dalam pertjobaan itu, Hoe Poet Gie
menang selintasan. Oet-tie Tjiong dapat melihat, meskipun Poet Gie menang, ilmu
pedangnja belum sempurna. Maka ia mendjandjikan lagi sepuluh tahun mereka akan
men-tjoba2 pula. Tidak di-sangka2, belum sepuluh tahun, Oet-tie Tjiong sudah
meninggal dunia. Ketika Hoe Poet Gie berbelasungkawa, ia bertemu Yoe Tan Sinnie. Pendeta wanita ini ketahui Oet-tie Tjiong berat pada kekalahannja itu, maka
itu untuk membikin arwah sahabat itu lega, ia menantang Poet Gie untuk mengadu
pedang setjara persahabatan. Kesudahannja, Yoe Tan jang menang. Atas itu Hoe
Poet Gie melemparkan pedangnja dan sambil menghela napas, berdjandji untuk tidak
menggunai pedang lagi, sebagaimana didjaman dahulu kala Poet Gie bersumpah tidak
akan menabuh khim pula. Mendengar keterangan itu, Kok Sin Ong menggelengkan
kepala. Ia tertawa. "Lao Hoe, kau terlalu berkukuh!", katanja. "Kau berdjandji
untuk tidak menggunai pedang karena kedukaan pribadi. Tapi sekarang lain. Guna
menolongi muridnja Oet-tie Tjiong, tidak dapatkah kau mengubah sikapmu, untuk
kau menggunai pula pedangmu " Apakah halangannja " Laginja sekarang ini Yoe Tan
Sin-nie pun sudah berpulang ke Tanah Barat ". "Aku merasa ilmu pedangku belum
sempurna ", sahut Poet Gie, "aku malu menggunai pedang pula. Taruhkata aku
menggunai pedang, belum tentu aku dapat mengalahkan Pek Yoe Siangdjin ". "Dimasa
hidupnja guru, ketika ia merundingkan ilmu silat pedang, kaulah jang paling
dibuat kagum, lootjianpwee ", berkata Pwee Siok Touw. "Ketika ia dapat
kemenangan itu, ia kata itulah kebetulan, ia merasa sangat beruntung ".
"Benarkah gurumu mengatakan demikian ?", tanja Poet Gie, alisnja dikerutkan.
"Gurumu itu memberi muka sadja padaku. Sebenarnja ia telah menggunai
kepandaiannja memenangkan aku. Mana bisa djadi itulah disebabkan kebetulan?".
Dimulut Poet Gie berkata begitu, dihati ia terhibur. "Pula guruku masih ada
pesannja jang terachir ", Pwee Siok Touw berkata pula. "Guruku telah mewariskan
ilmu pedang Boe Siang Kiam-hoat, setelah itu ia memesan, dimana jang aku tidak
mengerti, aku mesti minta petundjukmu, lootjianpwee. Tidak lama setelah berhasil
mentjiptakan ilmu pedangnja itu, soehoe meninggal dunia. Ilmu pedang itu sulit
sekali, sudah banjak tahun aku mejakinkannja, masih aku tak menjelami semuanja.
Lootjianpwee, meskipim lootjianpwee tidak mau menggunai pedang lagi, untuk
memberi petundjuk padaku toh boleh, bukan ?". Ketarik hatinja Poet Gie. Ia
memang satu ahli pedang dan sangat ketarik dengan itu. Lantaran djandji, ia
tidak menggunainja lagi. Tapi sekarang ia tak dapat menahan hati lagi. Ia kata :
"ilmu pedang gurumu sangat liehay, aku tak tahu kau mengerti itu atau tidak.
Tjoba kau djelaskan bagian2 jang kau kurang mengerti itu, mari kita mejakinkan
bersama ". Siok Touw menjuruh Hian Song mengeluarkan kitab ilmu pedang guru
mereka, Boe Siang Kiam Hoat, ia membolak-balik lembaran, terus ia berkata : "Ini
dia bagian jang aku tak dapat mengartikan. Ini jalah ilmu pedang berlatih berdua
bersama ". Hoe Poet Gie membatja bagian jang ditundjuk itu, tanpa merasa, ia
memudji. "Lao Kok, mari, kau pun melihat !", ia memanggil kawannja. "Djikalau
ilmu ini dapat dilatih, aku pertjaja, ahli pedang nomor satu djuga tidak akan
dapat memetjahkannja!". Kok Sin Ong menghampirkan, untuk turut membatja.
Mengenai ilmu pedang itu, Hian Song djuga tidak mengerti. Itulah ilmu jang
ditjiptakan Yoe Tan Sin-nie, untuk dia berlatih dan bekerdja sama Oet-tie
Tjiong. Pokoknja itu diambil dari Ngo-bie Kiam-hoat dari Oet-tie Tjiong,
digabung dengan Boe Siang Kiam hoat pendapatnja sendiri, sajang sebelum mereka
berhasil bergabung, mereka telah menutup mata. Mengenai ini, Hian Song pernah
minta pendjelasannja Siok Touw. Maka ia heran mengapa sekarang soeheng itu
mengaku tidak mengerti dan minta petundjuknja Hoe Poet Gie. Ia tanja, dalam
hatinja : "Soeheng mengerti, kenapa dia minta bantuannja Hoe Poet Gie " Baru
setelah mendengar suaranja Poet Gie itu, dapat ia menerka maksud kakak
seperguruan itu. Pikirnja pula : "Tidak salah lagi! Tentu soeheng ingin Hoe Poet
Gie mempeladjarkan itu untuk menempur Pek Yoe Siangdjin!". Hoe Poet Gie ahli
pedang kenamaan, djikalau dia tidak diminta petundjuknja, mana dia berani
mempeladjari ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie". Maka itu, tjerdik Siok Touw, jang
mendapat akalnja itu. "Siok Touw ", kata Poet Gie kemudian, "ilmu pedang ini
katjau sekali, pantas kau kurang mengerti. Untuk melatih ini dibutuhkan
sedikitnja tiga hari waktu. Lao Kok, ilmu ini ada untuk dua orang berlatih bersama2, dari itu, mari kau menemani aku ". Mendengar keterangan itu, Hian Song
masgul. Waktu tiga hari jang dibutuhkan itu berarti kelambatan. Mana dapat ia
menanti sampai lewat tiga hari untuk pergi menolongi Tiangsoen Pek dan Lie It"
Ia sendiri bersama Pwee Siok Touw, karena kurang mahir tenaga-dalamnja, tidak
dapat melatih sempurna ilmu pedang bersatu padu itu, Hoe Poet Gie dan Kok Sin
Ong barulah tepat. Malam itu Nona Boe tidak dapat tidur. Ia bergulang-guling
sadja. Keras ia memikirkan Lie It dan tjaranja untuk menolonginja. Hoe Poet Gie
bersama Kok Sin Ong sebaliknja. Mereka membatja kitab ilmu pedang itu, mereka
mejakinkan bersama, mereka berlatih bersama djuga. Sampai djauh malam, setelah
mengerti, baru mereka masuk tidur. Besok paginja, waktu orang mendusin, Hian
Song tidak kedapatan. Heehouw Kian terkedjut, ia lantas periksa kantung obatnja.
Lantas ia mengeluh, tetapi mengeluh sambil tertawa: "Sungguh besar njalinja Hian
Song. Dia telah pergi dengan mentjuri obat Toan Hoen San ". "Apakah chasiatnja
obat bubuk itu ?", tanja Kok Sin Ong. Toan Hoen San berarti puder 'Memutuskan
Arwah'. "Siapa makan obat bubuk itu, dia lantas mati ", Heehouw Kian mendjawab.
"Tapi itu bukan berarti mati betul2. Didalam tudjuh hari, dia mesti makan obat
Toan Hoen san, dia bakal hidup pula. Kemarin aku membitjarakan tentang dua
matjam obatku itu kepada Hian Song, dia rupanja ingat itu dan sekarang dia tjuri
buat dibawa pergi menolongi Lie It ". Tabib ini merogo lebih djauh kantung
obatnja. Kali ini ia mendapatkan sehelai kertas, jang ada suratnja. Ketika ia
batja, itulah suratnja Hian Song. Njata nona itu, habis mentjuri obat, keluar
dari belakang guha dimana ada suatu lorong jang menudju keluar.
---oo0oo--KETIKA itu, Khan Turki girang sekali. Ia telah dapat menangkap Lie It dan
Tiangsoen Pek. Ia ingin mendapatkan Njonja Lie It itu. Untuk itu ia mau menjuruh
orang membudjuk dan melagui si njonja. Baru ia hendak memberikan titahnja, atau
seorang dajang datang padanja dengan lari ter-gesa2, romannja gelisah. "Ada
apa?", dia tanja. Dajang itu berlutut. "Per ..., permaisuri pulang ...!",
katanja. "Dia kata dia ingin menghadap Sri Baginda tetapi Kakdu mentjegah, ia
tidak berani lantjang memberi idjin masuk, dari itu ia mohon keputusan Sri
Baginda ". Dajang itu tjuma tahu selir buron tetapi tak ketahui halnja selir
palsu, maka itu, ia tetap menjebutnja permaisuri. Khan melengak. Ia heran
sekali. "Apa ...?", tanjanja. "Dia dia berani datang pula ?". "Ja .... Sekarang
permaisuri lagi menantikan panggilan Sri Baginda ". Khan mentjoba menenangkan
diri. "Lekas undang Guru Negara !", ia memberi perintah. Memang benar Hian Song
datang ke istana. Ia berdandan sebagai selir. Ia membawa kimpay. Tidak ada orang
jang berani mentjegahnja, ketjuali Kakdu si pemimpin pasukan pengawal. Dia ini
pun bersangsi, terpaksa dia menjuruh Hian Song menanti selagi dia menitahkan
dajang pergi melaporkan kepada djundjungannja. Tidak lama, Pek Yoe Siangdjin
datang. Setelah Khan mendapat keterangan Hian Song datang sendirian, ia
menitahkan dajangnja memberitahukan Kakdu agar "selir" itu diidjinkan masuk.
Selagi menunggu, radja ini berkata : "Wanita she Boe ini telah menjamar mendjadi
selir, dia membawa Lie It buron, selagi aku hendak menangkap dia, dia djusteru
kembali. Besar njalinja dia berani menjerahkan diri! Entah ada hubungan apa
diantara dia dan Lie It" Kalau benar dia utusan Boe Tjek Thian, kenapa sekarang
dia berani memperbahajakan pula dirinja untuk menolongi lagi kepada Lie It ?".
Turut keterangannja Thian Ok baru2 ini, perhubungan diantara dia dan Lie It
bukan perhubungan biasa sadja ", berkata Pek Yoe. "Baru2 ini, sebelum dia
menjamar djadi selir, murid wanita dari Thian Ok pernah menemui dia dirumahnja
Lie It diatas gunung Thian-san. Aku rasa, sekarang dia datang untuk menolongi
Lie It ". "Dia datang sendiri. Dia mau menolongi Lie It. Ha ...ha ...!", Khan
tertawa. "Bukankah itu berarti masuk sendiri kedalam perangkap?". "Sekarang Sri
Baginda menghendaki apa?", Pek Yoe tanja. Sri Baginda menginginkan ia jang mati
atau jang hidup?". "Biar dia pernah bersalah, aku masih menjajangi djiwanja ",
sahut Khan. "Dia tjantik sekali, apabila dia dapat ditakluki, alangkah baiknja!
Sekarang ini kita lihat dulu, dia datang dengan maksud apa, umpama benar dia
hendak membunuh aku, masih ada waktu untuk Guru turun tangan ". Khan tahu Pek
Yoe menang daripada Hian Song, maka itu ia memanggil guru negara ini untuk
melindungi padanja. Tak lama maka terlihatlah masuknja Hian Song diiring Kakdu.
"Sungguh njalimu besar?" Khan menjambut sambil tertawa. "Kau sudah buron, kenapa
sekarang kau datang pula" Apakah kau berat meninggalkan kemewahan istanaku ?".
Sepasang alis Nona Boe berdiri. "Terang kau ketahui maksud kedatanganku ini, apa
perlunja kau menanja pula ?", ia kata dingin. "Kau memikir untuk menolongi Lie
It?", Khan tanja, "Itulah tak dapat! Ketjuali kau sendiri berdiam disini!".
"Apakah benar perkataanmu ini ?". "Mana pernah aku bitjara main2 ?". "Baik! Aku
akan berdiam disini! Kau mesti merdekakan mereka berdua!". Khan heran. Inilah ia
tidak sangka. Ia sampai mengerutkan alisnja. Ia lantas berpikir. Setelah itu, ia
tertawa lebar. Sebagai seorang tjerdik, ia dapat menerka hatinja Hian Song.
Katanja dalam hatinja: "Kau pintar tetapi aku pun tidak tolol! Siapa pertjaja
kau sudi mendjadi selirku " tentulah kau hendak memperdajakan aku, supaja Lie It
dapat lolos! Atau mungkin, kau hendak menggunai ketika ini untuk membunuh aku ".
Memikir ini, hati Khan gentar. Bukankah Hian Song gagah" Sebagai selir, bukankah
Hian Song dapat terus mendampinginja" Kalau Hian Song mau, bukankah gampang
untuknja merampas djiwanja" Tapi ia berduka sedjenak sadja. Lantas ia dapat
akal. Maka ia tertawa puIa.
"Kau sangat tjantik, djarang ada orang setjantik kau !", katanja, riang, "maka
itu, djikalau kau benar suka melajani aku, djangan kata baru itu dua orang, biar
aku mesti meletaki tachta, aku rela. Mari ..., mari duduk disini didampingku.
Hari ini kita berkumpul pula, mesti kita berdjamu hingga puas! Mana orang" Lekas
menjuguhkan arak kepada permaisuri !". Didalam hatinja, ia kata: "Asal kau minum
arakku ini, dapat aku lakukan apa jang aku suka atas dirimu ". Khan mempunjai
obat mabuk jang bila ditjampur dalam arak tidak ada rasanja jang dapat membikin
orang bertjuriga, bila Hian Song sudah minum itu, ia mau minta Pek Yoe menotok
si nona, guna meludaskan ilmu silatnja, habis mana, nona itu pasti akan tunduk
terhadapnja. "Tunggu sampai mereka berdua sudah merdeka, baru aku minum arakmu
", kata Hian Song tawar. "Sekarang aku mau bertemu dulu dengan mereka dan
mengantarkan mereka sampai keluar dari istana ". Khan tertawa, "Kiranja kau
masih tidak pertjaja aku !", ia bilang. "Bukan aku tidak pertjaja ", berkata si
nona. "Aku mau melihat mereka keluar dari istana dengan masih hidup, baru hatiku
tenang ". "Bagus!". Khan tertawa pula. "Memang kamu bangsa Tionghoa mempunjai
kata2 jang berarti, lebih baik hilang kepertjajaan kepada dunia, djangan
terhadap wanita. Baik! Aku telah berdjandji, pasti aku tidak akan menghilangkan
kepertjajaanku. Aku suka terima baik permintaanmu ini. Jang mana kau ingin
menemui lebih dulu, sang suami atau sang isteri ?". Didalam hatinja, radja ini
pikir: "Aku merdekakan mereka sampai diluar istana. Berapa djauh mereka dapat
berlalu " Satu Guru Budi sadja sudah dapat melajani mereka !". Ia memang telah
mengatur untuk Guru Budi menjembunjikan diri diluar istana, kalau nanti Hian
Song mengantar Lie It dan Tiangsoen Pek keluar, mereka harus disusul, untuk
ditangkap pula. Hian Song sendiri mau diminta lekas kembali kedalam, umpama dia
melawan, Pek Yoe diminta menjerangnja sekalian menotok ludas ilmu silatnja.
Sebenarnja Khan tidak sudi menggunai kekerasan, ia kuatir si nona membunuh diri,
maka ia lebih suka memakai araknja itu, supaja dengan begitu "beras telah
mendjadi nasi". Ia mau menduga djuga, karena Lie It dan isterinja sudah
"merdeka", mungkin si nona mendjadi terpaku dan rela menjerahkan dirinja.
"Terima kasih, Baginda !", berkata Hian Song sambil ia mendjura, sepasang
alisnja terbangun. "Bukankah mereka itu ditahan disatu tempat?". Khan tertawa.
"Aku membuatnja mereka bertetangga ", sahutnja. "Mereka dapat mendengar satu
pada lain tetapi tidak bisa saling melihat ". "Kenapakah mereka disiksa sampai
begitu" Sekarang aku lebih dulu minta mereka dikasi bertemu satu dengan lain,
baru aku mau menemukan mereka ". Hian Song tahu baik Tiangsoen Pek tjemburu
padanja, kalau ia lebih dulu menemui njonja itu, tidak nanti Tiangsoen Pek
pertjaja ia dan suka mendjalankan akalnja, sebaliknja kalau ia menemui Lie It
lebih dulu, tjemburuannja Tiangsoen Pdk bisa merusak usahanja. Maka itu, ia
ingin menemui mereka selagi mereka itu berkumpul bersama. Khan berpikir, lantas
ia menjahuti : "Apa djuga kau bilang, suka aku turut ". Ia merasa pasti bahwa ia
telah mengatur perangkapnja sampurna, hingga tidak ada halangannja untuk
mempertemukan Lie It dan isterinja untuk sedikit waktu. Lantas perintah
dikeluarkan untuk membawa Lie It kedalam kamarnja Tiangsoen Pek, setelah mana
Pek Yoe ditugaskan mengantar Nona Boe menemui suami isteri itu. Tiangsoen Pek
sudah dikurung tiga hari. Selama itu ia lega hatinja berbareng menderita. Ia
lega hati karena Lie It ada didekatnja. Njata Lie It menjintainja dan suka
berkurban untuknja. Dengan begitu didalam dunia ini tidak ada orang lain jang
dapat merampas Lie It atau membikin mereka bertjerai-berai, tidak Siangkoan Wan
Djie atau Hian Song, tidak djuga Khan. Sekarang Lie It kepunjaannja benar2. Ia
menderita sebab Lie It ada disampingnja, tetapi mereka tjuma dapat saling
mendengar, tidak dapat saling melihat. Ia tjuma bisa mendengar suami itu
menghela napas sadja. Bagaimana ia ingin melihat suaminja itu!. Ia tidak
mengharap hidup pula, asal ia dapat mati didalam rangkulan sang suami. Tiangsoen
Pek lagi memikirkan suaminja ketika ia mendengar suara kuntji berkelotak diluar
pintu, disusul daun pintu kamar tahanannja itu terpentang, lalu satu orang
didorong masuk, hampir orang itu, jang ter-hujung2, menubruk padanja. Lantas ia
merasakan dirinja seperti lagi bermimpi. Ia seperti tidak mempertjajai matanja
sendiri. Orang jang didjoroki masuk itu bukan lain daripada Lie It, suaminja !.
Ketika njonja ini mendjatuhkan diri dalam rangkulan sang suami, ia mendengar
suara halus ditelinganja: "Adik Pek, inilah aku!. Kau kaget ja ...?". Ia girang
berbareng sedih, air mata nja lantas mengutjur deras. "Engko It, benar2-kah
kau?", ia masih tanja. "Oh, dengan kau ada ber-sama2, aku tidak takut sedikit
djuga! Ja ..., kenapakah mereka mengidjinkan kamu datang kemari". "Aku pun tidak
ketahui maksudnja Khan ", sahut suami itu. "Mungkin dia hendak membinasakan
kita, lalu sebelum kita mati, dia berbuat baik, dia mewpertemukan kita,
sekalipun untuk satu kali sadja ". "Djikalau itu benar, meski aku bentji dia,
untuk ini aku mau menghaturkan terima kasih terhadapnja ", kata sang isteri.
"Adik Pek, aku membuatnja kau sengsara ", kata Lie It kemudian. "Ajahmu
menjerahkan kau padaku, bukan sadja aku tidak sanggup melindungi kau, kau
djusteru mesti hilaug djiwa ...". Tiangsoen Pek menutup mulut suaminja. "Djangan
mengutjap begini, engko It ", ia kata, perlahan. "Aku dapat mati bersama kau,
aku puas. Aku tjuma merasa bersusah hati ". Lie It heran. "Apa ?", tanjanja. Ta
melepaskan rangkulan mereka, untuk menatap. "Aku ...! aku ...! aku sudah ... ",
tergeraagap si isteri, jang mukanja lantas mendjadi merah. Sedjenak kemudian,
Lie It dapat menduga. "Kau lagi berisi?", tanja dia, tertawa. Tiangsoen Pek
mengangguk. "Ja ..., kira2 sudah tiga bulan ", sahutnja. "Oh, aku mengharapi
anak perempuan ". Tiba2 suami-isteri itu kaget sendirinja. Mereka sadar bahwa
mereka lagi terantjam bahaja. Djiwa mereka bergantung pada sang waktu, hitung
detik, hingga anak mereka itu mungkin bakal tak dapat melihat matahari atau
langit. Tiangsoen Pek berdiam, ia tunduk. Ia merasa bahwa ia salah omong.
Pertjuma ia mengbarap wanita atau pria. Ia sangat berduka dan menjesal. "Djangan
terlalu berduka ", Lie It menghibur. "Kau tahu, anak Bin telah ketolongan.
Sakarang ini, selagi waktunja tinggal sedikit, baik kita bitjara dari hal2 jang
menggembirakan ". "Bagaimana djalannja si Bin ketolongan ?", Tiangsoen Pek
tanja. "Tjoba kau tuturkan biar terang, supaja aku girang mendengarnja ". Lie It
berdiam sedjenak, agaknja nja ia ragu2. "Dia telah ditolongi oleh orang jang
tentunja tidak dapat kau sangka2 ", sahutnja. Hati si isteri bertjekat. Ia
lantas dapat menduga. "Dialah Boe Hian Song ", Lie It mendjelaskan. "Dia
menempuh bahaja dengan menjaru djadi selir jang baru dari Khan. Dia melakukan
pertjobaan berbahaja itu tjuma untuk menolongi anak kita ". Sang isteri
mendengari dengan berdiam sadja, suaminja menuturkan djelas sepak-terdjangnja
Hian Song itu. Achirnja ia menghela napas. Ia kata: "Kalau begitu aku berbuat
salah terhadapnja, Engko It, pantas walaupun dialah musuhmu, kau memandang dia
sebagai sahabat. Sudah, Engko, djangan kau membantah, aku ketahui semua.
Sekarang kau harus lebih bersjukur terhadapnja !". "Si Bin jalah djiwa kita,
sudah tentu aku bersjukur terhadapnja ", kata Lie It. "Apakah kau tidak merasa
bersjukur ?". "Aku djuga bersjukur kepadanja, tetapi aku lebih bersjukur
kepadamu !", kata isteri itu. "Kau telah tidak men-sia2-kan aku. Terima kasih
kepada Thian. Didalam sini kita tjuma berdua, Hian Song sebaliknja berada diluar
Ah, aku djadi merasa kasihan terhadapnja ". Meski begitu, isteri ini tertawa.
Njata katjau pikirannja itu. Ia mengasihani Hian Song, ia mengasihani suaminja,
ia pun mengasihani dirinja sendiri. Ia bersusah hati, ia pun puas. la lantas
menatap mata suaminja, hatinja berdebaran. Lie It melihat tertawanja isteri itu,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa jang tak nanti ia dapat lupakan. Tiangsoen Pek bingung. Ia bersjukur
kepada Hian Song, ia mengasihaninja, tetapi, ia berkuatir. Ia takut Hian Song
nanti merampas hati suaminja. Njata ia tetap bertjemburu, kedjelusan menguasai
dirinja. Hanja sekedjab, lantas hatinja djadi lega pula. Bukankah sekarang sang
suami ada bersamanja " Sekarang ini, dengan tjara apa djuga, tidak nanti Hian
Song dapat merebutnja. Ketika itu Hian Song dengan diantar Pek Yoe Siangdjin
bertindak ke kamar tahanan Tiangsoen Pek. Ia pun gontjang keras hatinja. Ia
bergelisahan tak kalah dengan gelisahnja Tiangsoen Pek. Ia tjuma bukan dikuasai
tjemburu atau djelus. Dengan sekuat hatinja, ia tjoba mempertahankan diri. Ia
tidak mau memberi kentara sesuatu apa djuga didepan Pok Yoe Siangdjin, jang
senantiasa waspada terhadapnja. Selagi mendekati kamar tahanan, mendadak si
pendeta tanja: "Sungguh aku tidak mengerti, mengapa kau mengurbankan dirimu
untuk menolongi Lie It ?". ,,Oh, kau tidak tahu ?", Hian Song djawab. "Lie It
jalah muridnja Oet-tie Tjiong !". "Oh, begitu !", kata Pek Yoe heran. "Aku
mengerti sekarang." Pek Yoe dan Oet-tie Tjiong dan Yoe Tan Sin-nie ada orang2
dari satu tingkatan. Pek Yoe mengetahui lelakon asmara diantara Oet-tie Tjiong
dan Yoe Tan. Yoe Tan jalah tunangannja Oet-tie Tjiong. Ia pikir, "Untuk gurunja,
sekarang Hian Song hendak melindungi muridnja Oet-tie Tjiong. Yoe Tan demikian
menjintai Oet-tie Tjiong dan Hian Song begini setia kepada gurunja, dia harus
dihargai. Sajang aku tidak mempunjai murid seperti dia ". Hania Pek Yoe tidak
tahu Hian Song bekerdja bukan melulu untuk gurunja itu. "Aku mau bertemu sendiri
dengan mereka itu ", kata Hian Song sesampainja didepan kamar tahanan. Pek Yoe
tertawa dan berkata: "Sri Baginda sudah mendjandjikan kemerdekaan mereka, aku
pun tidak dapat mempersulit kau. Ini dia kuntji untuk membukai borgolan mereka,
kau dapat merdekakan sendiri pada mereka itu, untuk
kau sendiri djuga jang mengantarkan sampai diluar istana. Kau djangan kuatir ".
Hian Song menjambuti anak kuntji. Dengan perlahan ia menolak pintu, untuk masuk
kedalam, buat terus menutup pula pintu itu hingga Pek Yoe ditinggalkan diluar
kamar. Lie It berdjingkrak saking heran dan kedua matanja dipentang lebar,
ketika ia melihat siapa jang masuk kedalam kamarnja. Tiangsoen Pek pun
terkedjut, hanja hati dia ini mendjadi dingin. "Hian Song, kau ...!", katanja
tanpa merasa, tubuhnja terus menggigil, hingga rantai borgolannja beradu dan
berbunji. Sungguh diluar terkaannja, Hian Song memperbahajakan diri datang pada
mereka. Dia pun bingung, tidak dapat dia menjingkir dari ini nona siapa dia
ingin mendjauhkan diri untuk se-lama2-nja. Segera dia merasa bahwa Hian Song
kembali muntjul diantara dia dan Lie It. "Djangan berisik, aku datang untuk
menolongi kamu !", kata Hian Song perlahan, tangannja diulapkan. "Tidak ! aku
ingin mati disini !", kata Tiangsoen Pek, matanja menatap si nona. Katjau
pikirannja hingga ia seperti tidak tahu apa jang ia utjapkan itu. Hian Song
membukai borgolan mereka. Tiangsoen Pek lantas ingat anaknja itu. Ia tunduk.
"Tidak bisa!", kata Lie It setelah ia mentjoba menenteramkan hatinja. "Aku
berani masuk kemari, itu artinja aku mempunjai dajaku ", kata Hian Song. "Mana
dapat kau membilang tidak bisa ?". "Dapat aku menerka dalam. Bukankah kau
memperdajakan Khan" Bukankah kau mengatakan kau sudi mendjadi selir asal kami
berdua dimerdekakan " Lalu kemudian kau memikir djalan untuk membunuhnja " Tidak
bisa! Khan bukannja satu manusia dungu ! Dia dapat menerima sjaratmu dia tentu
telah memikir muslihat lain untuk menghadapi dajamu itu. Djangan kau anggap
urusan demikian enteng !". Lie It pandai berpikir, dia dapat membade akal Hian
Song seperti Khan membadenja. Hian Song bersenjum. Sekarang ini ia tidak dapat
main likat2 lagi. Ia dekati Lie It untuk berbisik di telinganja: "Aku tidak
sedemikian dungu. Dajaku ini memang tidak dapat mengabui Khan tetapi aku
mempunjai daja lainnja lagi. Dia boleh sangat pintar tetapi tidak nanti dia
dapat membadenja !". "Apakah itu ?", tanja Lie It, ragu2, "Kau bitjaralah !".
"Kau takut mati atau tidak?", si nona balik menanja. "Aku djusteru memikir untuk
tak hidup lebih lama pula !". "Bagus! Ini sebungkus obat bubuk, kau makan ini,
lantas kau mati !". Tiangsoen Pek kaget, dia mendjadi gusar. "Apa ?", bentaknja.
"Apa matjam akalmu ini ?". "Ssstt...!", kata Hian Song ditelinga njonja itu.
"Adik Pek, kau pertjaja aku. Dapatkah aku membunuh suamimu" Inilah obat aneh
dari Heehouw Kian ! Dengan makan ini, selama tudjuh hari orang dapat hidup
rudin. Djikalau Engko It sudah mati buat apakah Khan dengan majatnja" Maka itu
kau dapat bawa pergi djenasahnja ".
---tulisan tidak terbaca--Habis kau?", ia tanja. "Bagaimana kau nanti meloloskan dirimu?". "Aku mempunjai
dajaku sendiri. Tak lama lagi kau akan mengetahuinja ". "Djikalau aku bakal
membikin kau tjelaka, lebih baik aku tidak keluar dari sini ", kata Lie It.
"Djikalau kau tidak pergi, kau bakal membikin susah lebih banjak orang!", Hian
Song memberi ingat. "Kok Sin Ong beramai pasti bakal mentjoba manolongimu.
Didalam istana Khan ada banjak orang liehay, apa itu bukan berarti mereka
mengantarkan djiwa mereka" Kau djangan kuatir, aku bilang aku mempunjai daja,
pasti ada dajaku!". "Baik, ku pertjaja kau!", kata Lie It. Ia menjambuti obat,
lantas ia makan. Tiangsoen Pek memegangi tubuh suaminja, dengan per-lahan2 ia
merebahkannja. Ia sekarang beranggapan lain terhadap Hian Song. Maka ia kata :
"Kau berikan djuga sebungkus padaku". Hian Song tertawa. "Adik Pek, kau masih
harus mengurus perkabungan ", katanja, "Buatnja nanti kau gunai obat ini ...".
"Aku berada sendirian didalam istana ini, aku kuatir ", sahut Tiangsoen Pek.
"Entjie jang baik, kau bagilah aku sebungkus. Tidak ada halangannja untuk aku
menjimpannja, bukan?". Hian Song pikir benar djuga, maka ia memberikan satu
bungkus. Lama, mereka berdiam didalam kamar, Pek Yoe Siangdjin mendjadi tidak
sabaran. "Jang mulia, Sri Baginda menantikan kau !", ia berkata pada Hian Song.
"Lekasan kau antar mereka pergi! lnilah perpisahan hidup, bukannja pertjeraian
mati, buat apa kamu bitjara terlalu banjak?". "Silakan kau undang Sri Baginda
datang kemari, aku hendak bitjara dengannja !", Hian Song mendjawab, keras. Pek
Yoe mendjadi heran. "Buat apa kau menghendaki Sri Baginda datang kekamar
tahanan?", tanjanja. "Kalau ada bitjara, tidak dapatkah kau bitjara didalam
keraton ?". "Djangan kau banjak rewel!", Hian Song membentak. "Pergilah kau
persilakan Sri Baginda datang kemari! Buat apa kau tanja banjak2 ?". Pek Yoe
mendjadi guru negara, diperlakukan demikian kasar oleh Hian Song, ia djadi panas
hatinja. "Sang waktu bukannja siang lagi!", katanja, mendongkol. "Kenapa kau
main mengulur waktu " Baiklah, djikalau kau hendak bitjara dengan Sri Baginda,
mari aku wakilkan kau mengantarkan mereka berdua keluar dari istana ...".
Pendeta ini pikir baiklah ia menunaikan tugasnja, supaja sepasang suami-isteri
itu lekas berpisah dari si nona. Tapi baru ia habis berkata begitu, ia lantas
mendengar suaranja Hian Song, dingin : "ApAkah kau sangka Lie It dapat hidup
lebih lama pula " Djangan kau bermimpi ". Pek Yoe tertjengang. "Mungkinkah dia
telah dapat membade muslihatnja Sri Baginda?", pikirnja. Lantas ia mendjawab:
"Kenapa tidak" Sri Baginda toh sudah mengasikan kata2 nja" Apakah kau masih
tidak pertjaja djandji Sri Baginda", "Khan berdjandji, aku tidak !", kata si
nona. Ia tertawa dingin. Berbareng dengan tertawanja si nona, disana terdengar
tangisannja Tiangsoen Pak. Pek Yoe Siangdjia kaget sekali. Ia djadi sangat
heran. "Lekas undang Sri Baginda!", ia memberi perintah: Ia sendiri lantas
mendorong pintu pendjara, jang terbuat dari besi, untuk bertindak masuk. Kembali
ia mendjadi kaget. Ia dapatkan Lie It rebah dilantai, mukanja putjat, tak
miripnja orang jang masih hidup. Tiangsoen Pek memegangi tembok, dia menangis
sedu-sedan. Hian Song sebaliknja berdiri angkuh, dia tertawa dingin. "Hai, kau
main gila apa ini?", tanja Pek Yoe, heran dan bingung. Ia lantas membungkuk,
akan mengangkat tujuh Lie It, buat memeriksa nadinja. Tiba2 sadja ia mengeluh.
Lie It telah berhenti bernapas. Bukan main bingungnja pendeta itu. Lie It jalah
orang jang dibutuhkan Khan Turki. Dia benar membelar tetapi orang belum putus
asa membudjuknja. Khan pun masih belum ingin membinasakannja. Sekarang ". "Bagus
ja !, kau meratjuni dia!", achirnja Pek Yoe berseru. "Taruh-kata benar, habis
kau mau apa?", Hian Song tertawa menantang. "Dapatkah kau mentjampur-tahu
urusanku?". Matanja pendeta ini mendelik. Biar bagaimana, si nona pun ada orang
jang dikehendaki Khan, maka itu, tanpa titah dari Khan, apa ia bisa bikin" Ia
tidak berani mengambil sesuatu tindakan. Tjepat sekali, Khan tiba bersama Kakdu
dan Maitjan. Begitu ia masuk kedalam kamar tahanan, ia pun berdiri
mendjublak. ,,Bagaimana ini" Bagaimana ini?", tanjanja kemudian ber-ulang2. Boe
Hian Song tertawa berkakak. "Khan jang agung, kau telah melupakan satu hal!",
berkata ia, njaring. "Aku jalah keponakan dari Ratu Tiongkok!". Tetapi Tiangsoen
Pek mendamprat: "Kau siluman djahat! Kau meratjuni suamiku !". "Suamimu toh
telah bertuliskan mati?", kata Hian Song. "Daripada dia mati ditangan musuh,
lebih baik dia mati ditanganku! Buat apa kau memaki?". Khan bingung bukan main.
"Lekas panggil tabib!", ia memerintahkan, "Lekas tolongi dia !". "Djangan banjak
tjapai hati lagi!", kata Hian Song, jang masih sadja tertawa menghina. "Dia
sudah mati sekian lama! Tabib paling pandai dikolong dunia djuga tidak akan
mampu menghidupkan dia pula!".
---oo0oo--Pek Yoe Siangdjin masih memeluki tubuhnja Lie It. Ia berdiam sadja. "Bagaimana,
dia masih bernapas atau tidak?", Khan tanja Guru Negara itu. Pek Yoe menggeleng
kepala. Baru sekarang ia meletaki tubuh si pangeran. "Entah ratjun apa jang
digunai jang Mulia Permaisuri ", ia kata, "ratjun itu bekerdja tjepat luar
biasa. Dia ini sudah putus djiwa !", Khan membanting kaki. "Kau ..., kau ....",
katanja. "Jang Mulia Permaisuri jang menghendaki bitjara sendiri dengan Lie It
", berkata Pek Yoe lekas, "Sri Baginda telah menerima baik permintaannja, aku
tidak berani turut masuk ke dalam sini. Mana aku tahu dia mau menggunai
ratjun ?". Mata khan mendelik. "Aku maksudkan kau!", ia kata pada Hian Song,
"Kenapa kau menurunkan tangan djahat itu?". Nona Boe tertawa terbahak. "Apakah
kalian masih belum melihat djelas?", ia mendjawab. "Aku toh keponakannja Ratu
dari Tiongkok ! Lie It ini musuhnja Ratu jang mendjadi bibiku itu, dia terdjatuh
di dalam tangan kau, apakah itu bukan berarti bahaja jang mengeram didalam tubuh
" Mana dapat aku membiarkannja" Ha ...ha ... Ada ketika jang bigini baik, pasti
aku menggunainja, untuk menjingkirkan dia ". Khan gusar bukan main. la, jang
menganggap dirinja pintar, kena didjual seorang wanita. "Bagus ja !", bentaknja.
"Kau djuga djangan harap hidup pula ...". Ia lantas melirik pada Pek Yoe
Siangdjin, memberi isjarat untuk Guru Negara itu menotok habis ilmu silat si
nona. Ketika itu Hian Song tertawa bergelak pula dan berkata njaring: "Aku telah
melakukan tugasku, aku djuga tidak mau hidup lebih lama !". Tatkala Pek Yoe
mengangkat kakinja, bertindak, tubuh si nona terhujung, terus roboh! Hian Song
sudah menjiapkan obatnja selagi ia bitjara, habis itu ia menelannja, maka tak
dapat si pendeta berbuat apa2. Ini pula hal diluar dugaan. Maka Khan kembali
mendjublak. Ketika ia sadar, ia mem-banting2 kaki. "Ah, wanita she Boe ini
sungguh liehay ! ", ia kata, masjgul. Ia mengawasi tubuh si nona, ia merasa
menjesal. Tubuh Hian Song roboh disisi tubuh Lie It. Melihat itu, Tiangsoen Pek
kata dalam hatinja: "Ah, kiranja dia menggunai daja sematjam ini ". Ia mendjadi
bersangsi, hingga ia berpikir pula: "Entah perkataannja benar atau dusta belaka.
Ah, kalau dia tidak dapat hidup pula, dia dan engko Lie It benar-benar mendjadi
suami-isteri didunia baka ..." Diwaktu hidupnja dia tidak dapat merampas engko
It dari tanganku, maka itu, bukankah itu sebabnja maka sekarang dia menggunai
akal-muslihatnja ini, supaja mereka mati dan dikubur bersama dalam sebuah liang
kubur?". Selagi njonja ini bersangsi, matanja khan tergeser kepadanja. Radja itu
pun tengah was2. Tiangsoen Pek lantas mengambil keputusan. "Tidak perduli dia
bitjara benar atau dusta, baiklah aku mentjoba ...", katanja dalam hati. Maka
sembari menangis, ia kata kepada Khan: "Suamiku telah mati diratjuni dan si
tukang meratjuni telah membunuh diri, untuk itu aku tidak mau minta Sri Baginda
menolongi aku membalas sakit hati, tjukup asal Sri Baginda mengidjinkan aku
membawa pergi majat mereka ". "Kau hendak membawa pergi majat suamimu?", tanja
Khan tawar. "Benar", Tiangsoen Pek mengangguk. "Dia sudah mati, untukmu dia
sudah tidak ada gunanja lagi. Dialah pangeran Keradjaan Tong, aku hendak membawa
dia pulang untuk dikubur di Tiongkok. Aku harap Sri Baginda mau nerima baik
permintaanku ini, seumurku nanti aku ingat budi Sri Baginda ". Khan mengawasi.
Ia mengasi dengar suara perlahan. "Kau hendak membawa djuga djenazah dia ?", ia
tanja. Njonja Lie It terperandjat. Ia melihat mata Khan bersinar tadjam. Dengan
tangannja, radja itu menundjuk majatnja Hian Song. "Ja ...,", ia menjahut. Ia
ingat apa2. "Aku pun minta Sri Baginda mengidjinkan aku membawa majatnja pulang
". "Untuk apakah ?", Khan tanja, "Bukankah dia musuhmu?". "Benar, dialah musuhku
", sahut si njonja. "Tapi dialah keponakannja Boe Tjek Thian. Djikalau aku tjuma
membawa pulang djenazah suamiku, Boe Tjek Thian pasti akan mendapat tahu
duduknja hal. Dia mempunjai banjak kaki-tangan. Mana dia dapat membiarkan aku
mengubur baik2 djenazah suamiku ini " Dia kedjam, apa sadja dapat dia lakukan.
Aku sendiri tidak takut, tetapi kalau dia merusak djenazah suamiku, oh ...,
itulah hebat! Djikalau aku membawa pulang majat keponakannja, itu artinja aku
membawa pulang dua buah peti mati. Dia tidak bakal ketahui peti jang mana jang
muat majat Lie It dan mana jang muat Boe Hian Song. Adalah aturan di Tiongkok,
setelah orang mati dan dimasuki dalam peti serta petinja dipaku, peti itu tidak
dapat dibongkar lagi. Mengganggu majat dalam peti mati terpaku berarti
mengganggu arwahnja. Dengan membawa pulang dua buah peti mati, disana aku akan
menguburnja bersama, maka andaikata benar dia memerintahkan orang merusak peti
mati suamiku, pasti dia ragu2 untuk merusak jang mana ". Mendengar itu, khan
nampak kagum. "Aku tidak sangka kau dapat memikir begini terliti ", katanja.
"Kau wanita jang tjantik dan pintar!". Tiangsoen Pek mengawasi radja itu. Ia
mau melihat orang mengangguk atau tidak. Ia mengeluarkan peluh dingin. Inilah
saatnja, suaminja dan Hian Song bakal ketolongan atau tidak. Asal radja itu
mengangguk atau menjahut "ja". Karena ia mengawasi, ia melihat Khan pun
mengawasi ia tadjam. Mendadak radja itu tertawa. "Kenapa mesti banjak berabeh
begitu?", katanja. "Kalau orang sudah mati, bukankah sama sadja dimana djuga dia
dikuburnja" Nanti aku urus majat suamimu sebagai djenazahnja keluarga keradjaan,
nanti aku membuatnja dia kuburan jang besar dan agung, supaja kau dapat
menenteramkaa dirimu, supaja kau dapat berlega hati berdiam didalam istanaku,
dengan begitu tak usahlah kau pulang ke negerimu ". Bukan kepalang kagetnja
Tiangsoen Pek. "Ini .... ini ...", serunja. Khan mengibaskan tangan, dia
memotong: "Ada apa jang tidak bagus" Kau berdiam terus disini menemami aku,
untuk selamanja kau bakal mengitjipi kebesaran dan kebahagiaan! Bukankah ini
terlebih baik daripada kau pulang dengan menempuh bahaja" Kenapa kau mesti kasi
dirimu dipaksa Boe Tjek Thian" Sudah, djangan banjak omong, aku telah memikir
sempurna untuk kebaikan dirimu! Dajang, lekas kamu memimpin permaisuri jang baru
pergi ke keraton untuk mandi dan berdandan!". Kagetnja Tiangsoen Pek tidak
kepalang. Ia tidak sangka, setelah demikian banjak kesulitan, beginilah
hasilnja. Tentu sadja, ia tidak diberi kesempatan untuk banjak pikir lagi. Dua
orang dajang sudah bertindak menghampirkan padanja. Pek Yoe Siangdjin pun
memasang mata. Asal ia melawan, tentulah pendeta itu bakal turun tangan. Mana
bisa ia melakukan perlawanan" Maka ia lantas mengertak gigi. "Tunggu sebentar!",
katanja keren. "Aku hendak melihat muka suamiku lagi sekali!". Khan tertawa.
"Aku tidak menduga kau sangat menjintai suamimu!", katanja. "Baiklah, aku suka
membiarkan kau mendapati kepuasanmu. Kau boleh meminta diri dari suamimu itu!"
Selagi Khan ber-kata2, Tiangsoen Pek sudah membungkuk didepan tubuh suaminja,
selagi mengawasi mukanja Lie It, diam2, tetapi pun dengan sebat, ia makan obat
dari Hian Song, terus ia meratap: "Engko It, kau djalanlah per-lahan2, kau
tunggui aku!". Didalam hatinja, ia berkata: "Tidak perduli mati benar atau mati
bohong, aku toh mati dalam pelukanmu!". Lalu dalam keadaan samar2, ia memeluk
tubuh suaminja itu. Maka dengan hati puas, meramlah matanja, berhentilah
napasnja jang terachir. Kedua dajang terkedjut melihat si njonja roboh, mereka
menubruk untuk menahan, tetapi sudah kasip. Ketika mereka hendak mengangkat,
untuk memisahkan suami-isteri itu, keras sekali rangkulan si njonja, jang Khan
mengatakannja selirnja jang baru. Khan kaget, dia menghela napas. "Aku tidak
sangka sama sekali wanita Tionghoa demikian keras dan sutji hatinja!", ia kata.
"Seorang djuga aku tidak berhasil mendapatkannja. Mereka membikin aku putus
harapan dan djuga kagum. Lie It pun seorang gagah sedjati. Aku telah berdjandji,
aku mesti penuhkan djandjiku. Kamu rawatlah baik2 djenazah mereka ...". Dengan
masjgul, radja ini meninggalkan kamar tahanan itu.
---oo0oo--DI kaki gunung Tien-ko-er, di baratnja kotaradja, disebuah tanah belukar jang
luas, disana terdapat sebuah kuburan baru. Pada malam djam tiga, di rimba
lebat ,didekat situ, muntjul empat bajangan orang jang bergerak dengan gesit.
Mereka menghampirkan kuburan itu. Merekalah Heehouw Kian, Hoe Poet Gie, Pwee
Siok Touw dan Kok Sin Ong. Karena kuburan itu jalah kuburannja tiga orang, jang
semasa hidupnja membawa lelakon asmara segitiga. Itulah hari keenam dari
"matinja" Lie It bertiga makan ratjun istimewa. Hati Pwee Siok Touw tidak
tenang. Dia bergelisah seorang diri. Maka separuh berbisik dia tanja: "Benarkah
mereka bakal hidup pula?". "Djikalau kita terlambat lagi satu hari, mereka tidak
dapat didjamin pula ", sahut Heehouw Kian tertawa. "Sekarang kita datang
disaatnja jang tepat. Nah, marl kita bekerdja!". Dengan lantas empat buah sekop
dikasi bekerdja, untuk membongkar tanah jang bergunduk besar dan tinggi itu. Tak
usah menggunai terlalu banjak waktu, mereka telah menggali sebuah liang. Tatkala
Pwee Siok Touw membungkuk, untuk melihat tegas2, ia terkedjut. "Tjuma dua buah
petimatinja !", katanja. Heehouw Kian madju, untuk memeriksa, atau dirumpun
rumput tak djauh dari kuburan itn terdengar suara berkeresekan. Ia. tertawa.
"Kiranja disini ada ditaruh orang2 bersembunji!", katanja. "Njata kita terlalu
sembrono!". Hoe Poet Gie tidak menjahuti, ia hanja meraup batu2 hantjur, terus
tangannja diajun kearah rumput itu, dimana segera terdengar djeritan jang
disusuli suara robohnja beberapa tubuh. Demikianpun teguran: "Siapa jang
bernjali demikian besar berani membongkar kuburan permaisuri?". Menjusuli
teguran itu, dari arah selatan dan utara lantas terlihat muntjulnja belasan
bajangan, antaranja ada jang terus menjerang dengan sendjata2 rahasia. Hoe Poet
Gie dan Heehouw Kian segera bekerdja. Mereka menjerang dengan pukulan-pukulan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Khong Tjiang atau "Menjerang Udara Kosong", maka djuga semua sendjata
rahasia itu dapat dipukul djatuh sebelumnja ada jang sampai kepada mereka
berempat. "Djumlah mereka tiga belas orang ", berkata Hoe Poet Gie jang liehay.
"Diantaranja ada empat jang tenaga-dalamnja lebih tangguh daripada jang lain2nja. Lao Kok, Siok Touw, kamu berdua sudah tjukup untuk melajani mereka !". Kok
Sin Ong dan Pwee Siok Touw melepaskan sekop, untuk diganti dengan pedang mereka,
lantas mereka lari madju, guna menghadang musuh2 itu. Maka segera djuga
terdengar suara beradunja pelbagai matjam sendjata tadjam. Hoe Poet Gie bersama
Heehouw Kian bekerdja terus menggali kuburan, sampai Kok Sin Ong dan Pwee Siok
Touw, selang sekian lama, kembali pada mereka, dan Siok Touw kata: "Sajang, ada
tiga kuku garuda jang dapat lolos " "Tidak apa ", kata Hoe Poet Gie. "Kalau
sebentar datang bala-bantuan mereka, kita sudah bekerdja selesai ". "Tjuma
sajang ", kata Kok Sin Ong tertawa, "dengan begitu ilmu pedang bersatu padu jang
kita baru jakinkan tak dapat ketika untuk ditjoba terhadap Pek Yoe si tua bangka
kepala gundul !". Tatkala itu Hoe Poet Gie mengeluarkan dua helai rantai besi
jang pandjang, jang udjungnja ada gaetannja, bersama Kok Sin Ong ia menurunkan
rantai itu guna masing2 menggaet naik sebuah peti mati. Kok Sin Ong, jang
matanja djeli, tertawa dan berkata: "Siok Touw, kau boleh tenangkan hatimu. Dari
kedua peti ini, jang pertama lebih berat banjak daripada jang kedua, maka itu
pasti didalamnja ada dua majat!". "Kereta kita belum datang ", kata Siok Touw,
jang mengangguk kepada djago tua itu. "Mungkinkah tukang keretanja takut ?". Kok
Sin Ong dongak, melihat langit. Tjuatja akan mulai terang. "Belum sampai tempo
jang didjandjikan ", katanja tertawa. "Djikalau kau kurang sabar, baiklah buka
dulu kedua peti mati ini, untuk menjaksikan soemoay kau ada didalamnja atau
tidak ". "Eh, ada orang datang!", kata Poet Gie tiba2. "Ah, itulah bukannja
kereta, hanja orang2 jang menunggang kuda jang larinja pesat! Oh, mungkin mereka
Pek Yoe si tua-bangka kepala gundul !". Belum habis suaranja djago ini, satu
penunggang kuda sudah lantas sampai didepan mereka, di djarak belasan tombak,
lantas penunggang itu lompat dari atas kudanja, untuk berdiri dimuka kuburan.
Dengan segera dia tertawa berkakak. Dia memang Pek Yoe Siangdjin. Pendeta itu
menduga mesti ada kawannja Lie It jang akan membongkar kuburan, ia lantas
mengatur orang untuk mendjaga. Tentu sekali ada bertentangan sama deradjatnja
untuk ia sendiri jang setiap malam mendjaga, memasang mata dikuburan, dari itu
ia minta Khan menugaskan tiga belas pengawal, ia sendiri bersama jang lainnja
menanti disebuah pos pengawal jang terpisahnja dari kuburan tudjuh atau delapan
lie, supaja setiap waktu ia dapat pergi ke kuburan itu. Inilah sebabnja kenapa
ia dapat datang demikian tjepat, diluar dugaannja Hoe Poet Gie beramai. Hebat
Pek Yoe. Dia bergerak, terus tangannja mendjambak kearah Kok Sin Ong. Dengan
memperlihatkan kegesitannja, Sin Ong berkelit dari sambaran itu. Di lain pihak,
Hoe Poet Gie madju untuk menjerang. Ia sekarang menggunai pedang, jang pertama
kali, semendjak ia mengubah kebiasaannja. Pek Yoe tidak takut, dia tertawa. "Dua
kali sudah kita bertempur, belum ada keputusannja siapa menang dan siapa
kalah!", dia kata, "Maka itu malam ini marllah kita bertarung se-puas2-nja !".
Hoe Poet Gie jalah si terpandai diantara empat Ahli Pedang, hebat serangannja
itu, maka dengan Pek Yoe memandang enteng kepada mereka, pendeta ini mendjadi
kurban, tidak perduli dia sangat sebat, selagi berkelit, udjung djubahnja toh
kena tersontek udjung pedang !. Baru sekarang Pek Yoe terkedjut. Pula, sebelum
ia bisa berbuat apa2, ia mesti memutar tubuh dengan tjepat. Karena
dibelakangnja, Kok Sin Ong menikam kepunggungnja. Terpaksa ia lompat mentjelat,
untuk memisahkan diri tjukup djauh, sembari mengangkat tongkatnja, ia tertawa
dan berkata: "Peladjar rudin, ilmu pedangmu tidak ada ketjelaannja! Baiklah,
malam ini kau boleh beladjar kenal dengan ilmu tongkat Hok Mo Thung Hoat dari
aku si pendeta tua!". Pek Yoe tahu Poet Gie jang terliehay diantara empat orang
itu, maka ia menantang si orang she Hoe, akan tetapi ia mesti menangkis
pedangnja Kok Sin Ong. Ia menang tenaga-dalam, ia membuat orang she Kok itu
merasakan tangannja sakit, hingga hampir sadja sendjatanja itu terlepas. Karena
ini, Kok Sin Ong mendjadi waspada. "Sambut!", berseru Hoe Poet Gie. Ia tidak mau
main bokong, sengadja ia berseru, untuk memberi tanda. "Mari!", Pek Yoe
menjambut sambil tertawa. "Mari kita main2 dengan menggunai sendjata!". Pek Yoe
menjerang. Ia membikin Poet Gie seperti terkurung tongkatnja. Ia benar2
menggunai tipu2 dari Hok Mo Thung-hoat, ilmu silat tongkat 'Menakluki Harimau'.
Akan tetapi Hoe Poet Gie meloloskan diri dengan djurusnja 'Menuding kelangit
selatan', dengan berani dia menangkis. Bentrokan itu mendatangkan suara njaring
dan berisik. Ketika Poet Gie memeriksa pedangnja, pedang itu terusak di tiga
tempat. Itulah bukti kemahirannja tenaga dalam si pendeta. "Ha ...ha ...ha ...ha
...!", Pek Yoe tertawa. "Kau tunduk atau tidak" Djikalau tidak, mari madju
pula!". Tepat pendeta ini membuka mulut besar itu, tibalah kawan2-nja, jalah
Biat Touw Sin-koen bersama Maitjan dan Guru Budi. Melihat itu, Hoe Poet Gie
lantas berpikir, terus ia tertawa bergelak. "Kami berempat ", katanja gagah,
"kamu pun berempat! Bagus, dengan begitu dapat kita mengadu kepandaian kita
tanpa siapa pun mengandalkan djumlah jang terlebih banjak ...". "Hmmm !",
bersuara Pek Yoe, jang tetap memandang enteng. Bukankah barusan ia telah
mengadjar kenal tenaganja terhadap Kok Sin Ong dan orang she Hoe ini ".
"Sekarang dapat kau menundjuki aku, bagaimana kau hendak mengatur pertarungan
ini. Kita madju berbareng atau satu lawan satu" Djumlah kita sama banjaknja,
malam ini kita mesti mengambil keputusan, djangan seperti dua kali jang sudah2,
belum apa2-nja kamu sudah mengangkat langkah pandjang ". Poet Gie tertawa.
"Siangdjin, kata2-mu tjotjok dengan pikirankul", ia bilang. "Sesudah dua kali,
kita djangan melewatkan jang ketiga ini, maka malam ini pasti kita mesti
menetapkan, siapa menang dan siapa kalah! Kamu Hek Gwa Sam Hiong, kamu bertiga
merupakan sebagai satu tubuh, demikian aku dengan Lao Kok, kami ada sahabat2
bersatu djiwa! Baiklah, aku bersama Lao Kok, suka aku melajani kamu Hek Gwa Sam
Hiong. Sajang Thian Ok sudah mati, hingga Sam Hiong djadi harus disebut Siang
Hiong !". Pek Yoe gusar. Ia merasa terhina. Ia bertiga disebut Hek Gwa Sam
Hiong, 'Tiga Djago dari Perbatasan'. Sam Hiong jalah Tiga Djago. Tapi sekarang
Poet Gie mengedjeknja Siang Hiong, Dua Djago. Maka ia sengit sekali, sambil
mengangkat tongkatnja, ia kata pada kawannja: "Biat Touw Laotee, malam ini kita
membalas sakit hatinja Thian Ok!. Peladjar rudin, aku terima baik tjaramu ini,
maka madjulah kamu berdua!" Dipihak lain, Guru Budi telah menantang Heehouw
Kian, musuh lawasnja itu. Ia djeri untuk djarum emas dari si tabib, dari itu
dengan litjik ia mengusulkan untuk mengadu tenaga-dalam. Heehouw Kian mendjawab
dengan sabar: "Telah lama aku mendengar kabar kaulah orang gagah nomor satu dari
bangsa Turki, maka itu aku si tua, jang bertubuh lemah, ada bagaikan
tjengtjorang membentur kereta, tak nanti aku sanggup bertahan akan benturan itu.
Meski demikian, karena kau memerintahkan, tak dapat tidak, aku si tua bersedia
mengurbankan diriku menjambutnja. Silahkan kau menjebutkan tjaramu!". Guru Budi
girang jang usulnja diterima baik. Lantas ia menundjuk sebuah batu besar
didepannja. "Djanganlah kau terlalu merendah, Heehouw Sianseng", katanja. "Aku
telah mendengar hebatnja ilmu silat Tionghoa apapula bagian peladjaran tenagar
dalamnja, maka itu aku anggap inilah hari jang tepat untuk mentjobanja. Aku
pikir baiklah kita bertanding diatas batu besar itu, siapa jang djatuh dari
atasnja dialah jang kalah. Setudjukah ?". "Baik !" Heehouw Kian menerima tanpa
bersangsi, "Mari kita lantas mulai ". Keduanja lantas berlompat naik keatas batu
besar itu, diatas itu mereka duduk bersila berhadapan, kedua
tangan mereka ditempelkan satu dengan lain. Setjara demikian mereka mengadu
tenaga-dalam mereka. Dipihak sana tinggal Maitjan seorang, maka Siok Touw
menghadapi orang jang bakal mendjadi tandingannja itu. Ia lantas ketarik dengan
pedang ditangannja pahlawan Turki itu. Itulah pedangnja Lie It. Maitjan ini ahli
pedang bangsa Tujuhun, setelah 'matinja' Lie It, ia minta Khan menghadiahkan
pedangnja Lie It itu kepadanja. Dan khan memberikannja. Tentu sekali Siok Touw
ingin dapat merampas pulang pedang itu, untuk dikembalikan pada pemiliknja jang
sah. Maka tanpa banjak upatjara lagi, ia kata: "Kau membekal pedang, kau pasti
pandai ilmu menggunainja. Mari, mari, ingin aku beladjar kenal dengan ilmu
pedangmu!" Maitjan memang hendak mentjoba pedang mustika itu, ditantang setjara
demikian, ia girang menerimanja. Demikian empat pasang djago bertempur dalam
tiga rombongan. Pek Yoe Siangdjin memandang enteng kepada lawannja, mulai
bergerak, ia lantas menghadjar Hoe Poet Gie dengan tipu silatnja 'Sin liong
tjoet hay' atau 'Naga sakti keluar dari laut'. Hoe Poet Gie tertawa dan berkata:
"Lao Kok, hari ini ada ketikanja jang baik!". Suara itu disambut Kok Sin Ong,
maka mendadak sadja dua batang pedang berkelebat berbareng, menjambar kearah
tongkat si pendeta, untuk didjepit. Bukan main kagetnja Pek Yoe. Inilah ia tidak
pernah sangka. Dengan sebat ia menarik pulang tongkatnja, ia pun berkelit.
Kembali ia mendjadi kaget. Ia merasa hawa dingin lewat dikulit kepalanja.
Lantaran kedua pedang menjambar terus. Maka ia bersjukur jang ia berkelit dengan
sebat sekali. Djikalau tidak, batok kepalanja tentulah akan kena dipapas. Biat
Touw mentjoba menolongi kawannja itu tetapi tidak dapat berbuat banjak
disebabkan sebatnja bergeraknja kedua pedang lawan itu. Segera setelah itu,
keduanja bergerak pula. Saking liehaynja mereka, djurus2 dikasi lewat dengan
tjepat. Setelah mereka menjampaikan djumlah beberapa puluh djurus, si pendeta
mendjadi heran, tanpa merasa, hatinja mulai gentar. Pek Yoe tidak melihat mata
kepada musuh2-nja. Ia memang unggul dari Hoe Poet Gie. Benar Biat Touw rada
lemah, tetapi dengan dibantu ia, mesti ia menang. Atau sedikitnja, kedua pihak
berimbang. Siapa njana, ilmu pedang bergabung dari dua lawan itu liehay sekali.
Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong sama2 ahli silat pedang. Benar, mula2, kerdja sama
mereka kurang litjin, disebabkan perjakinan mereka terlalu pendek waktunja, akan
tetapi setelah bertempur banjak djurus, mereka lantas djadi biasa. Mereka pun
dapat melatih baik sekali Boe Siang Kiam-hoat dari kitab peninggalannja Yoe Tan
Sin-nie. Begitulah, sesudah dapat berkelahi dengan sempurna, Pek Yoe jang
berkepala besar itu mendjadi keteter, dari galak merangsak, dia mendjadi repot
menangkis, sampai tak ada ketikanja untuk dia menjerang pula. Mendapatkan ia
menang angin, Hoe Poet Gie girang bukan main. Ia bagaikan tambah tenaganja. Ia
bersjukur. Pikirnja: "Djikalau Pek Yoe Siangdjin menantang aku bertempur satu
lawan satu, tjelaka aku! ". Inilah sebab, ia tentu tidak dapat membiarkan Kok
Sin Ong membantuinja, andaikata ia terdesak, deradjatnja menentangnja.
Sekaranglah lain. Heehouw Kian dan Guru Budi bertempur dengan tidak bergerak,
dengan tidak berisik, tetapi. hebatnja mereka tak kalah dengan dahsjatnja
pertarungan Pek Yoe Siangdjin dan Biat Touw Sin-koen melawan Hoe Poet Gie dan
Kok Sin Ong itu. Setehh bertarung sekian lama, si tabib kosen mulai merasakan
seluruh tubuhnja panas. Tangannja lawan itu agaknja panas bagaikan api bara dan
tenaganja pun bertambah. Sebaliknja Guru Budi merasakan tangan lawannja lunak
sekali, tak perduli ia menjerang hebat, ia seperti menjerang kapas jang lembek,
ia tidak merasakan tenaga menentang. Dengan demikian, djadilah keras lawan
lemah. Lewat lagi sekian waktu, dari kepalanja Heehouw Kian terlihat keluarnja
uap putih, uap jang seperti dikeluarkan hawa panas sekali. Guru Budi pun
mengeluarkan peluh dari seluruh tubuhnja. Luar biasa kepandaiannja Guru Budi.
Dia dapat membikin hawa hangat ditubuhnja mendjadi panas dan tersalurkan,
kepihak lawan, djikalau pihak lawan gagal menentang, zat air dari tubuh lawan
dapat dibikin kering, hingga lawan itu bakal rusak dan ludaslah tenaga-dalamnja,
ia bakal djadi bertjatjad. Heehouw Kian mempunjai lalihan tenaga-dalam puluhan
tahun, karena ia dari pihak lunak, ia melajani kekerasan dengan kelunakannja.
Dengan begitu, kedua pitiak nampak sama unggulnja. Tapi tabib ini tidak terlalu
tenang hatinja. Ia memikirkan Hoe Poet Gie, si sahabat akrab. Karena ia ketahui
baik sekali, lawan sahabatnja itu, Pek Yoe Siangdjin, lawan jang kesohor sebagai
djago nomor satu. Pikirannja itu mendjadi terpetjah. Ia ketahui ini, ia
mentjegah se-bisa2-nja. Lewat lagi sekian saat, mendadak terdengar djeritannja
Biat Touw Sin-koen, disusul dengan tjatjiannja Pek Yoe Siangdjin, jang
mendongkol sekali. Rupa2-nja jang satu telah terluka dan jang lain mendapatkan
kerugian. Selagi ia bertahan untuk serangan hawa panas jang dahsjat itu, Heehouw
Kian bertjekat hati. Ia menduga dan dugaannja itu tepat. Pek Yoe dan Biat Touw
telah melajani Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong sampai tiga ratus djurus, mereka
repot bukan main. Ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie terdiri tjuma tiga puluh enam
djurus, disamping itu, banjak sekali perubahannja. Semua ini dapat dipahamkan
Poet Gie dan Sin Ong. Inilah jang membikin pendeta itu dan kawannja kewalahan.
Lantas datang saatnja udjung pedang Sin Ong menegur Biat Touw, hingga dia ini
kaget dan kesakitan. Sjukur luka itu tidak tembus ketulang, maka masih dapat
dipertahankan. Guru Budi dapat menduga Biat Touw telah terluka. Hal ini
membuatnja menjesal. Ia ingin melihatnja tetapi tidak dapat. Ia repot sama
usahanja sendiri untuk mendjatuhkan lawannja. Tak bisa ia melihat lukanja
sahabat itu. Karena ia memikirkan Biat Touw, pemusatannja djadi terganggu.
Heehouw Kian dapat merasa desakan lawan tak keras sebagai semula, ia lantas
menggantikan merangsak. Maka lekaslah, dari berimbang, ia djadi menang unggul.
Selagi Heehouw Kian dan Guru Budi ini berkutat itu, dipihak sana Pwee Siok Touw
dan Maitjan telah menjampaikan puntjaknja kehebatan. Maitjan jalah ahli pedang
sukubangsa Tuyuhun, ilmu pedangnja itu gabungan ilmu silat pedang pelbagai
partai di See Hek, Wilajah Barat. Sudah begitu, dia bertabiat keras. Dia
memandang enteng kepada Pwee Siok Touw, jang usianja ditaksir lebih-kurang baru
tiga puluh tahun, dari itu, begitu bergerak, dia lantas menjerang dengan bengis,
dia terus mendesak. Tentu sekali dia tidak pernah menerka, walaupun usianja
masih muda, Siok Touw sudah mewariskan ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie, guru pendeta
wanita jang liehay itu. Ketjuali mengenai tenaga-dalam dan pengalaman, dalam
ilmu pedang, Siok Touw tak ada dibawah Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong. Maka djuga,
tidak perduli ia didesak demikian hebat, Siok Touw dapat membela diri, dapat ia
memetjahkan setiap serangan dahsjat. Masih Maitjan menjerang terus. Ia telah
mengandalkan sangat pedang mustikanja itu. Ia menikam, ia menabas pergi pulang.
Ingin ia dapat membabat kutung sendjata lawannja. Tapi Siok Touw, jang memainkan
Boe Siang Kiam-hoat, terus berlaku tenang tetapi sebat, hingga dia dapat mundur
atau berkelit dengan lintjah. Achirnja Maitjan menjedot hawa dingin. Baru
sekarang ia tidak berani memandang enteng lagi kepada musuhnja ini. Selama itu,
seratus djurus telah dilewatkan. Siok Touw merasakan desakan lawan berkurang, ia
lantas menggunai ketikanja jang baik. Sambil bersiul pandjang dengan tiba2, ia
mulai dengan serangan pembalasannja. Saban2 ia main mengantjam. Setiap kali
pedangnja ditangkis dengan dibabat, ia mengelit itu. Untuk merangsak, ia
menggunai kegesitan-nja. Ia main berlompatan, kekiri dan kanan, atau kebelakang
lawannja itu. Kesudahannja, Maitjan seperti melihat musuh di delapan pendjuru.
Dia terkurung hingga dia mendjadi repot. Lantas tiba satu saat jang hebat.
Udjung pedang Siok Touw dapat menusuk lengan lawannja. Tapi Maitjan masih dapat
bertindak tjepat, meski kena ketusuk, pedangnja toh dapat memapas kutung pedang
lawan. Hanja tjelaka untuknja, saking sakit luka-nja itu, pedangnja tidak dapat
ditjekal terus, pedang itu terlepas djatuh. Sebaliknja Siok Touw, begitu melihat
pedang djatuh, dia berlompat sambil membuang pedang buntungnja, guna mendjemput
pedang mustika itu. Demikian, tjepat luar biasa, sekarang pedang berganti
tangan. Maitjan kaget, gusar dan berkuatir karena terampasnja pedangnja itu.
"Aku suka mengasi ampun djiwamu! Apakah kau masih tidak mau pergi?", Pwee Siok
Touw kata keras pada lawannja. Ia tidak melandjuti serangannja. Menuruti adat,
Maitjan masih hendak bertarung terus, akan tetapi disamping itu, ia merasakan
tangannja sakit sekali, tangannja lemas. Ia terluka di nadi kanan, ia mengerti
tangannja itu pasti bertjatjad. Tegurannja Siok Touw membuatnja sangat
mendongkol berbareng putus asa. Mana dapat ia melawan terus" Adakah muka
untuknja mentjuri hidup dengan bertjatjad" Maka achirnja ia djadi sangat
masjgul. Ia lompat kepada pedang buntung musuhnja, ia pungut itu. Dengan tiba2
sadja ia menikam dadanja sendiri! Menjaksikan kenekatan lawannja itu, Pwee Siok
Touw menghela napas. "Maitjan benar2 satu laki2 sedjati ", katanja dalam hati.
"Kalau tahu begini, tentu aku suka berbuat murah hati ...". Terpaksa ia
menghampirkan majat lawan itu, untuk melolos sarung pedang dari Pinggangnja,
untuk ia soren sendiri, pedangnja dikasi masuk kedalam sarung itu. Kemudian ia
menonton pertarungan di dua gelanggang lainnja. Pertempuran Pek Yoe melawan Poet
Gie sudah mendekati djurus jang kelima ratus. Pek Yoe mendjadi masgul dan
mendongkol. Ia jang djumawa, sekarang kena dibikin djatuh dibawah angin oleh
musuh2 jang ia mulanja pandang ringan. Beberapa kali ia mentjoba memetjahkan
kurungan, tapi senantiasa ia gagal. Diachirnja, hatinja mendjadi gentar. Maka
itu, ketika ia mengetahui robohnja Maitjan, hatinja itu mendapat gempuran hebat,
tanpa ia merasa, gerakan tongkatnja mendjadi
rada ajal. "Awas!", tiba2 Poet Gie berseru njaring. Seruan itu dibarengi dengan
serangan pedang jang bersinar seperti bianglala. Kelihatannja pedang menjerang
kepada si pendeta, tidak tahunja, sasarannja jalah Biat Touw Sin-koen. Pek Yoe
terkedjut, tjepat2 ia membela dirinja. Njatanja ia membela diri belaka, tak ada
serangan untuknja. Sebaliknja repotlah Biat Touw. Pedang Poet Gie bagaikan
pedang njasar untuknja. Tjelaka untuknja, ketika ia mentjoba menangkis pedang si
orang she Hoe, pedang Sin Ong menjambar padanja. Habislah dajanja. Tak bisa ia
berkelit, tak dapat ia menangkis. Maka tertabaslah ia dari dua arah, hingga
tubuhnja terbabat kutung mendjadi empat potong. Pek Yoe Siangdjin kaget bukan
alang-kepalang. Sungguh hebat kedjadian itu. Nekad dan gusar, dia berseru keras
sekali, bagaikan binatang liar, dia menjerang dengan sekuat tenaganja. Atas
kenekatan musuh, Poet Gie dan Sin Ong tidak melajani keras lawan keras,
sebaliknja, mereka bersikap lunak dan gesit. Mereka senantiasa mendjauhkan diri
dari udjung tongkat. Setiap ada lowongan, baru mereka membalas mengantjam.
Menonton tjara bertarung itu, Siok Touw bagaikan kabur matanja. Baru sekarang ia
menjaksikan tubuh orang demikian gesit. Tidak lama Pek Yoe mengamuk, lantas
terdengar bentrokan keras dari tiga sendjata. Suara itu menulikan telinga.
Menjusuli itu, ketiga orang jang mengadu djiwa itu pada memisahkan diri. Siok
Touw melihat dua potong pedang menggeletak ditanah. Sobaliknja Pek Yoe berdiri


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan djubahnja berlepotan darah. Itulah bukti si imam telah terlukakan tudjuh
lubang, tetapi dia masih menghadjar patah pedang lawannja. Siok Touw heran dan
kagum. Tapi ia kuatir pendeta itu mendjadi kalap dan akan mengamuk, lekas2 ia
menghunus pedang Lie It jang berada di pinggangnja, terus ia melemparkan itu
kepada Kok Sin Ong sambil ia berkata: "Kok Lootjianpwee, sambut! Silakan tukar
pedang ", Kok Sin Ong melihat dan mendengar, dengan lantas ia menjambuti pedang
itu, setelah itu ber-sama2 Hoe Poet Gie, ia memandang tadjam kepada Pek Yoe
Siangdjin, untuk bersiap-sedia andaikata pertarungan dilandjuti. Mereka waspada
untuk setiap gerak dari pendeta itu. Sebaliknja, untuk menjerang lebih dulu,
mereka sungkan. Sunji-senjap suasana di itu waktu. Melihat romannja si pendeta,
orang dapat perasaan menakutkan. "Sudah, sudah !", tiba2 terdengar keluhan Pek
Yoe. "Seumurku tak pernah aku bertemu lawan, maka itu, tak dapat orang lain
membunuhku !". Lantas ia melemparkan sian-thung, tongkat sutjinja itu. Hoe Poet
Gie lantas berkata njaring: "Kami berdua menggunai ilmu pedang warisannja Yoe
Tan Sin-nie! Kau bukannja kalah dari kami berdua!". Akan tetapi belum berhenti
kata2 itu, Pek Yoe sudah menepuk batok kepalanja sendiri, hingga batok kepala
itu petjah, lantaran mana tubuhnja roboh, djiwanja melajang pergi ke Dunia
Barat. Hebat pelemparan tongkat si pendeta, tongkatnja nantjap di lereng gunung.
Hoe Poet Gie dan Kok Sin Ong mengawasi sekian lama, lantas mereka saling
mengawasi dan mereka menghela napas. Mereka tidak menduga demikianlah achirnja
bhikku jang liehay itu. Guru Budi lagi melajani Heehouw Kian, hatinja sudah
mendjadi ketjil, maka itu, tatkala telinganja mendengar keluhan Pek Yoe
Siangdjin, jang suaranja keras, ia mendjadi sangat kaget. Djusteru itu, ia
merasakan desakan keras sekali dari pihak lawannja. Mendadak hatinja djadi
dingin, maka ia meramkan matanja untuk menantikan kematiannja Beda dari
pertarungan menggunai sendjata tadjam, pertarungan mengadu bathin tak ada
tandanja, maka itu, Guru Budi dan Heehouw Kian tidak pernah mengasi dengar suara
apa djuga. Mulut mereka bungkam, bentrokan sendjata tidak ada. Sebab mereka
bertangan kosong. Disaat ia menerima nasib itu, mendadak Guru Budi merasai
dirinja lega. Tak lagi ia terdesak. Ia lantas membuka kedua matanja. Maka ia
melihat Heehouw Kian telah menarik pulang tangannja seraja berkata dengan tawar:
"Kita tak usah bertanding terlebih djauh!". Baru sekarang ia insjaf bahwa
lawannja tak ingin mengambil djiwanja. Ia berhati lega tetapi ia malu
sendirinja. "Terima kasih, kiesoe!", ia ber kata perlahan, terus ia lompat turun
dari batu besar itu, untuk ngelojor pergi. Maka sunji benar2 sang malam
disekitar situ, tjuma sang puteri malam terus memperlihatkan sinarnja jang
permai. Ketika itu sudah djam empat. Heehouw Kian jang memetjahkan kesunjian, ia
bersiul pandjang. Hanja sedjenak, terlihatlah muntjulnja sebuah kereta, jang
dikandarkan bukan oleh orang lain daripada Tiangsoen Tay, kakaknja Tiangsoen
Pek, jang ditemani oleh seorang jang duduk mematung disisinja. Orang itu dandan
sebagai pemburu. "Heehouw Tjianpwee ", kata Tiangsoen Tay ketika ia menghentikan
keretanja, "kau lihat saudara ini. Dia kaget bukan main!". Tiangsoen Tay, ketika
itu malam ber-sama2 Pek Goan Hoa menempur Thia Tat Souw dipadang rumput, telah
kena ditangkap lawan, selekasnja Pek Goan Hoa dirobohkan dengan totokan, sjukur
untuk mereka, mereka dapat ditolong oleh Heehouw Kian. Mereka tiba di kotaradja
Khan sebelum sampainja Lie It, mereka berdiam menjembunjikan diri di rumahnja si
pemburu dikaki gunung Tien-ko-er. Baru kemarin dulunja mereka bertemu dengan
Heehouw Kian, untuk bekerdja sama. Heehouw Kian memesan kereta untuk malam itu.
Tiangsoen Tay jang mesti membawanja, sebab Pek Goan Hoa mesti berdiam dirumah
mendjagai Hie Bin. Pada djam tiga, Tiangsoen Tay berangkat bersama si pemburu.
Ketika mereka tiba, mereka menjaksikan pertarungan mati-hidup diantara Hoe Poet
Gie dan Kok Sin Ong melawan Pek Yoe Siangdjin dan Biat Tow Sin-koen. Mereka
lantas menunda kereta mereka,untuk menonton. Si pemburu seorang jang besar
njalinja, dia biasa menghadapi binatang2 liar, tetapi menjaksikan pertempuran
itu, hatinja guntjang, achirnja dia djadi ketakutan hingga dia duduk mendjublak
diatas keretanja. Heehouw Kian naik keataa kereta. "Tidak apa !", katanja
tertawa. Dengan saldju ia mengaduki obatnja, untuk ditjekoki pada si pemburu,
maka sebentar kemudian, sadarlah dia. "Sungguh menakutkan ", berkata si pemburu.
Ia masih lemah, maka pulangnja nanti, perlu ia ber istirahat beberapa hari dan
makan pula obatnja si tabib. Ketika itu, Hoe Poet Gie bersama Pwee Siok Touw
sudah menggotong naik kedua peti mati keatas kereta. Maka lekas djuga, kendaraan
itu dapat dikasi djalan pergi. Tiangsoen Tay dan Pwee Siok Touw berkuatir, hati
mereka tak tenang. Mereka berkuatir obatnja Heehouw Kian nanti tidak menolong.
Mendekati fadjar sampailah mereka dirumah si pemburu. Disana Pek Goan Hoa dan
Hie Bin sudah menantikan didepan pintu. Kata Goan Hoa : "Tadi malam si Bin tidak
dapat tidur. Dia tidak mau tidur, dia kata hendak menantikan ibunja ...". "Mana
ibuku !", anak itu lantas menanja. "Mana ajahku dan bibiku ?". Heehouw Kian
kuatir anak itu kaget melihat peti mati. "Ibu dan ajahmu lagi tidur njenjak !",
ia mendjawab sambil tertawa. "Kau djangan mengganggu. Bukankah ibumu pernah
membilangi kau, anak jang baik harus tidur siang2, tidak boleh berisik hingga
mengganggu tidurnja orang tua ". Maka sekarang pergilah kau tidur, kalau
sebentar kau mendusin, ibumu pasti akan berada didampingmu ". "Baik, aku turut
perkataan kong-kong ", kata botjah itu. "Bukankah ibu dan ajah telah bertempur
pula dengan pahlawan2 Khan ". Ah, tentulah mereka letih sekali ! Djangan,
djangan banguni ibu dan ajah !". Girang anak ini, maka itu ia menurut ketika Pek
Goan Hoa memondong dia, dibawa masuk kekamar tidur dimana dia direbahkan. Tidak
lama, pulaslah dia. Sebuah ruang telah dikosongkan. Didalam situ ada pembaringan
jang besar dikolong mana api dinjalakan, arangnja jalah arang batu. Seluruh
ruangan mendjadi hangat hawanja. Disitu pun ada dibakar kaju tjendana, membikin
orang bernapas lega karena baunja jang harum. Semua itu persiapannja Pek Goan
Hoa. Untuk menolongi Lie It, Tiangsoen Pek dan Boe Hian Song, kamar hangat
dibutuhkan. Sebab tak dapat peti mati mereka dibuka di tegalan dimana hawa udara
dingin. Dari tangan Kok Sin Ong, Heehouw Kian mengambil pedangnja Lie it.
"Pedang ini tepat !", katanja tertawa. Dengan sekali menggores, tutup peti dapat
dibelah, untuk dibuka. Dengan begitu tidak usah ada guntjangan andaikata peti
mati itu dibongkar dengan golok sembarangan atau kapak. Begitu lekas peti jang
satu dibuka, legalah hatinja Siok Touw. Disitu rebah tenang tubuhnja Hian Song,
kulit mukanja mirip kulit muka orang hidup jang tengah tidur njenjak. Heehouw
Kian pondong tubuh si nona, untuk diangkat dan diletaki diatas pembaringan.
Kemudian ia membuka peti mati jang kedua. Tiangsoen Tay menghela napas lega. Ia
melihat didalam peti itu tubuhnja Lie It dan adiknja, Tiangsoen Pek, hanja
Tiangsoen Pek merangkul keras tubuh Lie It, sampai sukar untuk dilepaskan. Semua
orang berduka dan kagum. Tubuh Lie It dan Tiangsoen Pek itu tak dipaksa
dipisahkan, dua2-nja diangkat, diletaki djuga diatas pembaringan. Setelah itu
Heehouw Kian mengawasi mereka, untuk melakukan pemeriksaan. Ia mendapatkan roman
Lie It tidak berubah, sebaliknja pada alis Tiangsoen Pek terlihat beberapa titik
hitam. "Ah !" terdengar suaranja, suara kaget. "Bagaimana ?", Tiangsoen Tay
lantas menanja. "Dapatkah ia ditolong ?". "Obat Hoan Hoen Tan dari aku pasti
akan menjembuhkannja selama waktu tudjuh hari ", sahut tabib itu, "ketjuali ada
sesuatu perubahan jang tidak di-sangka2, kalau itu sampai terdjadi terserahlah
kepada Thian ...". Kata2 ini membuat hati orang sedikit lega. Tidak antara lama,
hawa panas api itu telah meresap kedalam pembaringan, tersalur ke ketiga tubuh
jang terletak diatasnja. Dengan perlahan, tangan dan kaki mereka itu pun terasa
mulai hangat. Heehouw Kian menuang tiga tjawan arak, untuk dipakai sebagai air
minum untuk tiga butir obat, jang terus dimasuki kedalam mulut mereka itu.
Lantas orang semua berdiam, menantikan bekerdjanja obat itu, Hoan Hoen Tan, atau
pel 'Mengembalikan Arwah'. Pwee Siok Touw dan Tiangsoen Tay bergelisah
sendirinja, hati mereka tegang. Lewat kira2 sepasangan hio, tubuh Hian Song
bergerak, lehernja pun mengasi dengar suara, jang mana disusul sama teriakannja,
"Aduh !". "Bagus, bagus !", kata Heehouw Kian. "Nona Boe mendusin paling dulu !
Siok Touw, kau uruti dia, supaja djalan darahnja pulih, agar dia sadar
seluruhnja ". Pwee Siok Touw menurut. Belum lama, Lie It pun mendusin seperti
Hian Song itu, maka Heehouw Kian lantas memegangnja, untuk dengan perlahan2
meloloskan dia dari rangkulan Tiangsoen Pek, sedang Kok Sin Ong terus madju
untuk menguruti. Tiangsoen Tay menghampirkan, akan melihat adiknja dari dekat.
Adik itu masih berdiam sadja bagaikan majat. Ia mendjadi bingung. Bahkan Heehouw
Kian pun heran. Lewat sesaaat Hian Song dapat bitjara. "Mana adik Pek ?", ia
tanja. Itulah kata2-nja jang pertama. Ia membuatnja orang girang. Heehouw Kian
memegang pula tangannja Lie It. Bagaikan orang baru sadar dari tidurnja, Lie It
membuka matanja. "Oh, kau, Hian Song!", katanja, ketika pertama kali ia menampak
Nona Boe. Hian Song tertawa, romannja masgul. "Terima kasih, Heehouw Tjianpwee
", ia kata. "Kembali kita telah melewatkan kota kematian. Eh, adik Pek, kenapa
kau berdiam sadja " Ia lantas mengangkat tubuhnja, untuk berduduk. Sekarang ia
melihat Tiangsoen Pek rebah dengan kedua mata tertutup rapat. Ia heran. "Kiranja
dia pun makan obat itu ", kata Lie It. "Kita sudah mendusin, dia djuga bakal
sadar. Entjie Hian Song, djangan kuatir ". Sembari berkata begitu, suami ini
merabah tangan dan kaki isterinja. Tiba2 ia terkedjut. Tangan dan kaki itu
dingin. Heehouw Kian menarik Lie It kepinggiran. "Isterimu sedang hamil,
bukankah ?", ia tanja dengan suara perlahan. "Ja ... baru tiga bulan ". Lie It
mendjawab. "Aku alpa, aku mengetahuinja baru kemarin ini, waktu Khan
mengidjinkan kami bertemu dan adik Pek memberitahukannja ". Tidak lama dari itu,
datanglah Hian Song. "Tjianpwee, mengapa dia belum djuga mendusin " Apakah
hamilnja itu membuatnja sadar lebih ajal ?". Heehouw Kian tidak lantas
mendjawab. Sebaliknja mukanja mendjadi putjat. Menampak itu, Lie It kaget, ia
lantas bergelisah sendirinja. Obat Toan Hoen Tan dari Heehouw Kian dapat dimakan
oleh orang laki2 atau wanita, tanpa pandang umur, pantangnja tjuma wanita hamil.
Ketika itu hari ia membitjarakan itu dengan Hian Song, ia tidak menjangka si
nona bakal mengambil obatnja itu, ia tidak me-njebut2 tentang pantangan itu.
Maka itu, sekarang ia kaget sekali, hingga ia berdiam sadja.
---oo0oo--Lie It mengawasi. Ia mirip terdakwa jang lagi menanti keputusan hakim. Ruangan
itu djadi sunji, napas orang rasanja sesak. "Adikku dapat ditolong atau tidak,
paman Heehouw ?", tanja Tiangsoen Tay kemudian, suaranja menggetar. "Aku minta
sukalah paman omong terus-terang ". Sebenarnja Heehouw Kian tidak suka bitjara,
akan tetapi tidak dapat ia djalan untuk mendusta. Achirnja, ia menghela napas
dan katanja dengan perlahan: "Ia tengah hamil tiga bulan, itulah pantangan untuk
obatku, karena ia telah putus djiwa, tak dapat ia sembuh pula. Aku tidak berdaja
". Untuk sedjenak, orang tertjengang. Lantas kesunjian dipetjahkan Hian Song,
jang paling dulu nangis mendjerit. Ia jang hendak menolongi Tiangsoen Pek, siapa
tahu ialah jang menjebabkan orang mati. Hanjalah njonja itu mati tenang, sebab
ia mati merangkul suaminja. Untuk Hian Song tapinja itu hebat sekali. "Semua
salahku ! Akulah jang membuatnja mati !", serunja. "Didalam kedjadian ini, siapa
pun tidak dapat disalahkan !", kata Heehouw Kian, perlahan suaranja tetapi
tetap. "Jang dapat dipersalahkan tjuma Khan Turki !". Tiangsoen Tay memegang Lie
It. "Kau ..., kau menangislah !", katanja, suaranja parau. Tapi Lie It tidak
menangis, matanja mendelong. Tangisannja Hian Song, kata2-nja Tiangsoen Tay, ia
seperti tidak mendengarnja. Dimatanja tjuma ada Tiangsoen Pek jang lagi rebah
itu. Ia membajangi si njonja tengah rebah disisinja. Sudah delapan tahun
Tiangsoen Pek menjintainja dan merawatinja. Sudah delapan tahun djuga Tiangsoen
Pek senantiasa berkuatir, berkuatir orang nanti merampas suaminja dari
tangannja. Ia tahu benar kekuatiran isterinja. Sekarang isteri itu pergi.
Sekarang, setelah isteri itu menutup mata, baru ia merasai bahwa ia benar2
menjintai isterinja itu. Hanjalah sekarang, sudah kasip. Lie It berlutut ditepi
pembaringan, kedua tangannja ditaruh ditubuh isterinja. "Adik Pek !", ia
memanggil. Atau mendadak ia roboh. Pukulan itu terlalu hebat untuknja. Heehouw
Kian semua repot menolongi, untuk menjadarkannja. Tjuma Hian Song seorang, jang
dengan diam2 menjingkir dari ruangan itu. Ia merasakan dunia mendjadi sangat
sunji. Ketika itu saldju melapis bumi, suasana tenteram sekali. Tapi ia merasa
sunji disebabkan lain. Ia merasa hatinja dingin dan otaknja kosong. Ia berdjalan
tanpa mengetahui mesti pergi ke-mana. Ia melainkan tidak niat menemui Lie It
pula. Mendadak diatas tanah bersaldju terlihat satu bajangan ber-lari2. Bajangan
itu dapat menjandak si nona. Dialah Pwee Siok Touw. Hian Song djalan terus, ia
seperti tidak mengetahui datangnja soeheng itu. Si soeheng pun tidak membuka
mulut, dia mengintil sadja. Dia rupanja ketahui kedukaan si soemoay, maka tak
mau dia mengganggu. Tapi dia sendiri, dia pun sangat berduka. Semendjak Hian
Song datang ke Thian-san, dapatlah dia melihat sikap luar biasa dari si nona
terhadap Lie It. Dia djadi berkuatir, berkuatir soemoay ini nanti bernasib buruk
seperti bibinja, jang juga gurunja. Dia djuga berkuatir untuk dirinja sendiri,
sebab diam2, dia pun telah menjintai soemoay itu. Terus kedua orang itu
berdjaIan dengan membungkam. Saldju kembali turun, seperti bulu angsa
beterbangan menimpa tubuh mereka. "Ah, dingin ! ", kata si nona, jang berhenti
bertindak tiba2. "Soemoay, mari pulang !", Siok Touw mengadjak. Si nona
menggeleng kepala, ia menghela napas. "Djangan bersusah hati, soemoay ", sang
soeheng menghibur. "Itulah bukan kesalahan kau ...". Hian Song tidak menjahuti.
Ia berdjalan pula. Saldju turun semakin besar. "Soemoay, lebih baik kita pulang
ke Thian-san ", kata Siok Touw kemudian. Ia memberanikan diri. "Mengenai segala
peristiwa disini, kau boleh minta Tiangsoen Tay jang menjampaikannja kepada
Thian-houw. Kau tahu sendiri besar sekali harapan soehoe atas dirimu, supaja
kaulah jang mendjadi ahli warisnja. Dengan berdiam di Thian-san, dapat kita
sama2 mejakinkan ilmu pedang kita. Kau djuga akan sering2 menemui Lie It.
Mendengar nama Lie It, tubuh si nona menggigil. "Tidak, soeheng ", katanja,
berduka. "Aku tidak mau menemukan dia pula. Aku telah mengambil putusan untuk
kembali ke Tiang-an !". Siok Touw melengak. "Sekarang ?", dia tanja. "Benar !",
mendjawab si nona, pasti. "Aku tidak mau menanti besok ! Tolong kau sampaikan
maafku kepada semua tjianpwee ". Mendadak dia berdjalan tjepat, tanpa menoleh
pula. Siok Touw berdiri diam, ia mengawasi, sampai tubuh orang tak terlihat
pula. Ia tidak mau menjusul. Pertjuma ia susul nona itu, jang hatinja ada pada
Lie It. Tapi ia pun tidak lantas berlalu. Masih lama ia berdiri bagaikan terpaku
tanpa menghiraukan saldju. Achirnja, ketika Siok Touw kembali kerumahnja si
pemburu, waktu sudah tengah hari. Lie It sudah lama mendusin, hanja dia sangat
lesu. Dia telah mengetahui Hian Song sudah pergi, maka hatinja pun beku. Maka
itu, tanpa ditanja Siok Touw, tidak mau dia bitjara. "Barusan dalam tidurnja si
Bin me-manggil2 ibunja ", kata Tiangsoen Tay. "Baik, nanti aku budjuki dia ",
berkata Lie It. "Aku nanti bilangi dia bahwa ibunja telah pergi bersama bibinja.
Kau tolong kubur adik Pek ". "Kasihan anak itu ", mengeluh Tiangsoen Tay. "Tapi
begitupun baik. Tunggu sampai dua tahun lagi, baru dia dikasi tahu hal jang
sebenarnja ". Oleh karena peti mati tersedia, gampang sadja Tiangsoen Tay
mengurus djenazah adiknja, tjuma perasaannja sangat berat. Adik itu buruk
nasibnja. dia menderita sangat. Tak dapat ia bitjara dengan adiknja itu. Maka ia
menangis. Untuk mentjegah Hie Bin mendusin, ia tidak berani menangis keras, ia
bekerdja dengan diam2. ---oo0oo--Tiga hari kemudian maka digunung situ terlihat sebuah kuburan baru. Kuburan itu
tidak besar dan mentereng seperti kalau dibuat oleh Khan. Itulah kuburan
sederhana. Lie It jang merapikannja. Lie It pula jang membikin batu nisan dengan
bunjinja: "Kuburan Tiangsoen Pek, isteri jang tertjinta ". Maka itu, di alam
baka, tentulah Tiangsoen Pek puas. Kesehatannja Lie It sudah sembuh, tjuma
hatinja terluka. Tiga hari Tiangsoen Tay mengawasi iparnja itu, terpaksa ia
meninggalkannja. Ia mesti pulang ke Tiang-an, untuk menjampaikan laporannja
kepada ratu. Maka itu, didepan kuburan mereka berpisahan. "Orang jang telah
meninggal dunia tidak akan hidup pula ", berkata Tiangsoen Tay menghibur, "maka
itu seperginja aku, kau mesti mendjaga diri baik2, kau mesti meredakan
kedukaanmu ". Lie It tidak menjahuti. Kata pula Tiangsoen Tay : "Tak dapat aku
berbitjara dengan adik Pek, tetapi dari keterangannja Hie Bin, adikku itu tidak
pernah melupakan negaranja. Sering dia menuturkan Hie Bin pelbagai hal mengenai
negara kita. Dia telah mendjandjikan akan mengadjak anaknja ke Tiang-an ". "Aku
ketahui itu ", kata Lie It. "Kalau si Bin menangis, sering dia mendjustakan
dengan kata2-nja itu ". "Kau toh tidak menghendaki si Bin terus hidup di wilajah
asing ini ?". Lie It menarik napas. "Aku sendiri, tak sudi lagi aku pulang ", ia
mendjawab. "Mengenai si Bin, kalau nanti sudah dewasa dia mau pulang, aku tidak
akan meng-halang-inja ". Ia lantas menambahkan : "Aku bukannja tak tahu adik Pek
mengingat negaranja. Ah, selama delapan tahun dia tinggal digunung belukar,
sengsara hidupnja. Djikalau aku ingat itu, aku menjesal ". "Sekarang ini
bagaimana pandanganmu mengenai Thian-houw ?", Tiangsoen Tay mengalihkan
pemebitjaraan. "Dialah wanita jang berambekan dan berpengaruh. Dia telah memakai
tenaganja orang2 jang aku kagumi. Dia djuga membinasakan orang2 jang aku
hargakan. Tak tahu aku mesti membilang apa. Tentang djasanja, tentang
kedjahatannja, biarlah ahli2 sedjarah di djaman belakangan sadja jang
mengutarakannja ". "Sebenarnja aku mengagumi dia ", kata Tiangsoen Tay. "Dia
mengatur negara rapi sekali. Sedikitnja dia terlebih baik daripada kaisar2 jang
terdahulu. Hanja dia bukan tak ada tjatjadnja. Dua keponakan jang dia hargakan,
Boe Sin Soe dan Boe Sam Soe - bukannja machluk2 baik. Kau tidak mau pulang,
baik. Aku tidak mau memaksa kau. Tjuma disana ada beberapa orang jang kau
kagumi, jang meng-harap2 pulangmu ". "Siapakah mereka ?", Lie It tanja. Didalam
hatinja, ia lantas kata : "Siapa lagi ketjuali Siangkoan Wan Djie ?". "Tahukah
kau kalau Thio Kian Tjie mendjadi Perdana Menteri ?". "Kabarnja dia dipudjikan
Tek Djin Kiat ". "Benar. Sjukur ada dia serta Tek Djin Kiat, Poan Gan Hoan dan
lainnja jang djudjur dan setia, karenanja kedua saudara Boe tidak berani main
gila setjara terang2-an. Toh mereka harus dikuatirkan. Maka itu, Tek Djin Kiat
dan Thio Kian Tjie pun menghargai pulangmu ". "Apakah mereka mengharapi tenagaku
untuk menjingkirkan dua saudara Boe itu ?". "Ja ...! Sekarang ini sudah pasti


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-houw akan menjerahkan tachta kepada Louw Leng Ong, puteranja itu. Jang
dikuatirkan jalah huru-hara. Kalau kedua saudara Boe itu memperoleh pengaruh,
lenjaplah harapan kamu kaum she Lie. Kalau Louw Leng Ong sudah naik
disinggasana, dikuatirkan orang2-nja nanti menuntut balas. Apabila itu terdjadi,
tjelaka seluruh keluarga Boe, tak ada pilihan lagi batu pualam atau batu koral
biasa. Maka itu, dalam suasana mengantjam itu, perlu ada orang2 jang dapat
mengendalikan pemerintahan. Tegakah kau tak mentjampur-tahu urusan itu dan tak
memperdulikan lagi saudara atau orang jang terdekat dengan kau " Dapatkah kau
membiarkan Hian Song " Sukakah kau membiarkan negaramu bertjelaka ?". Mendengar
itu, hati Lie It tergerak. Tapi ia berdiam. Lewat sekian lama, ia tjuma menghela
napas. "Kau tahu aku sangat menjukai Wan Djie ", berkata pula Tiangsoen Tay.
"Buat guna Wan Djie maka djuga aku mengharap kau suka pulang buat satu kali
sadja ". Lie It mengasi dengar suaranja seperti mendumal: "Oh, Wan Djie, Wan
Djie ...". Wan Djie itu sahabat akrabnja semendjak masih ketjil, disaat ini
perasaannja mulai tawar, akan tetapi mendengar namanja Wan Djie disebut
Tiangsoen Tay, ia menggigil tanpa merasa. "Baru2 ini telah aku membilangi kau ",
kata lagi Tiangsoen Tay, "selama jang belakangan ini dia mendjadi semakin lesu.
Agaknja ada suatu urusan penting sekali jang ia ingin memutuskannja bersamamu ".
"Ja ... Hian Song pun membilang demikian, Wan Djie itu mirip dengan adikku. Aku
tahu kau pun sangat menjajangi dia. Aku tidak ingin dia meninggal dunia karena
memeras. Dia mempunjai kesulitan, dia menantikan kau untuk memutuskannja. Apakah
kau tega dan tetap tidak mau menemuinja ?". Lie It menghela napas, ia tetap
berdiam. "Ah, kau berkukuh tidak mau pulang ", kata Tiangsoen Tay pula, Baiklah,
aku tidak mau memaksa kau. Hanja aku minta, setelah kau sembuh nanti, sukalah
kau memikirkannja pula ". Tiangsoen Tay kuatir Lie It nanti mendjadi runtuh
semangatnja, maka itu ia membudjuki agar dia pulang, supaja dia berusaha.
Sebenarnja kalau Lie It pulang, ia mungkin nampak kerugian. Tapi ini ia tidak
hiraukan. Ia tahu Lie It menjintai Siangkoan Wan Djie. Ia tjuma menghendaki Wan
Djie senang hatinja. "Apa jang kau katakan ini dapat aku pikirkan ", kata Lie It
kemudian, perlahan. Tiangsoen Tay menggenggam erat tangan orang. "Bagus !",
katanja. "Sekarang aku mau pergi, aku harap kita nanti bertemu pula di Tiang-an
". Seberlalunja sahabat itu, Lie It merasa tak tenang. Ketika ia pulang, ia
lantas roboh karena sakit. Tapi tetap ia pikirkan perkataannja Tiangsoen Tay. Ia
bergelisah dan guntjang hatinja. Tjampur-aduk perasaannja : Urusan negara, sakit
hati pribadi, persahabatan, tjinta-asmara, kedukaan terhadap isterinja. Selama
itu didepan matanja berbajang tubuh dan raganja Tiangsoen Pek, Boe Hian Song dan
Siangkoan Wan Djie. Mereka itu muntjul bergantian. Selama sakitnja itu, Lie It
merasa anaknja sangat menahuinja. Ia ditunggui dan dilajani. Kadang2 sadja
anaknja menanja hal ibunja. Anak itu mengharap ajahnja lekas sembuh, supaja dia
nanti diadjak pergi ke Tiang-an mentjari ibu dan bibinja. Si bibi jalah Hian
Song. Anak itu polos sekali. Maka itu, memikirkan anak ini, pikiran Lie It
tambah ruwet. Kok Sin Ong ber-sama2 Hoe Poet Gie, Heehouw Kian dan Pwee Siok
Touw seharusnja sudah pulang ke Thian-san akan tetapi karena sakitnja Lie It,
keberangkatan mereka mendjadi tertunda. Selama itu Khan besar pernah mengirim
barisannja ke gunung mentjari mereka akan tetapi mereka dapat menjembunjikan
diri dengan baik. Dengan penjamaran jang sempurna, beberapa kali mereka lolos
dari pemeriksaan. Setengah bulan lamanja Lie It sakit, selama itu ia telah
pikirkan kata2-nja Tiangsoen Tay. Lalu pada suatu hari ia nampak segar sekali,
hingga orang heran ketjuali Heehouw Kian si tabib pandai. Sakitnja Lie It
disebabkan terutama sakit dihati, maka itu asal pikirannja terbuka, dapat
dilegakan, sakitnja akan berkurang atau sembuh sendirinja. Heehouw Kian lantas
memberikan obat untuk menguatkan tubuh, maka lekas djuga Lie It pulih
kesehatannja, maka pada suatu hari dia kata pada anaknja : "Anak Bin, bukankah
kau ingin pergi ke Tiang-an " Sekarang aku akan pergi kesana !". Hie Bin
bertepuk tangan saking girang. "Bagus !", serunja, "ibuku dan bibi ada di Tiangan ! Di Tiang-an itu ada banjak makanan jang lezat2 ! Ajah, aku mau turut !".
Lie It tjekal tangan anaknja, ia genggam erat2. "Anak Bin, usiamu masih terlalu
muda ", katanja, sabar, "maka itu tunggulah lagi dua tahun, akan aku adjak kau
kesana. Sekarang ini kau turut sadja Heehouw Kong-kong dan Pwee Pehpeh, dan kau
harus mendengar kata2 kong-kong dan pehpehmu itu ". Kelihatan Hie Bin putus asa,
hanja sebentar, ia djadi gembira pula. "Baik, ajah !", katanja. "Aku minta ajah
menjampaikan pengharapanku supaja ibu baik, supaja bibi pun baik ! Tolong
bilangi bahwa aku sangat kangen, supaja mereka lekas pulang mendjenguk aku ! Ibu
dengan bibi sekarang tentu sudah akur, kalau bibi memberikan aku buah, ibu tidak
akan menegur pula padaku, bukankah ?". Sakit hatinja Lie It mendengar itu,
hampir ia meneteskan air mata. "Memang ibu dan bibimu itu sangat menjajangi kau
", katanja. "Nanti aku sampaikan pesanmu ini kepada ibu dan bibimu itu ", Ketika
itu Hoe Poet Gie mengadjak Kok Sin Ong pergi ke Thian-san Utara untuk tinggal
hersama, dan Heehouw Kian pergi ke Thian-san Selatan untuk tinggal bersama Pwee
Siok Touw. Kuburannja Oet-tie Tjiong dan Yoe Tan Sin-nie ada digunung sebelah
selatan itu, maka itu Heehouw Kian suka menemani mereka itu. Lie It menjerahkan
anaknja pada Heehouw Kian. "Anak ini berotak terang sekali", kata Heehouw Kian.
"Siok Touw, kau mengadjari dia ilmu silat, nanti aku mengadjari ilmu surat. Eh,
anak, kalau nanti kau mendjadi besar, kau menjukai apa ?". "Aku ingin mendjadi
seperti ajahku, mendjadi seorang ahli pedang ", sahut botjah itu. "Aku djuga
ingin mendjadi seperti kong-kong, mendjadi tabib. Setelah beladjar ilmu pedang,
aku nanti bunuh orang2 djahat, dan setelah beladjar ilmu tabib, aku nanti
tolongi orang baik2 ! Kong-kong, bukankah itu bagus ?". Heehouw Kian menundjuki
djempolnja. "Bagus ! Bagus !", pudjinja. ,,Nanti kong-kongmu mewariskan semua
kepandaiannja kepadamu !". "Kenapa kau tidak mau lekas berlutut ?", kata Lie It
pada anaknja. Hie Bin tjerdik sekali, ia lantas berlutut dan meng-angguk2 pada
Heehouw Kian seraja berkata : "Kalau begitu, kong-kong, aku mesti memanggil
soehoe !". Tabib itu tertawa bergelak. "Lie It ", katanja, "aku bersahabat baik
dengan gurumu. Gurumu itu mempunjai murid djempol sebagai kau, aku girang
sekali, sekarang aku pun mempunjai murid djempol ini ! Aku berani omong besar,
murid jang aku adjar pastilah akan mendjadi murid jang terlebih baik daripada
murid gurumu !". Hoe Poet Gie turut tertawa. "Oet-tie Tjiong sudah menutup mata,
apakah kau masih hendak bersaing dengannja ?", dia tanja. Menurut aturan dalam
dunia Rimba Persilatan, Heehouw Kian lebih tua dua tingkat daripada Hie Bin, tjoba bukan
Heehouw Kian sendiri jang mengutarakannja, tidak nanti Lie It berani menjuruh
anaknja mengangkat guru kepadanja, maka sjukurlah Heehouw Kian bukan oaang jang
berkukuh terhadap aturan. Heehouw Kian tertawa, ia kata pada muridnja itu :
"Djikalau kau ingin beladjar pedang, kau djuga harus mengangkat satu guru ". Hie
Bin mengerti, ia lantas bertekuk lutut didepan Siok Touw. "Djangan ! Djangan !",
Siok Touw mentjegah, tangannja di-gojang2-kan. Akan tetapi Heehouw Kian menahan
tubuhnja, hingga dia menerima hormat muridnja. "Apanja jang tidak boleh ?", kata
Heehouw Kian tertawa. "Kita mengadjarkan masing2 ! Perduli apa segala aturan 1
Apakah kau kuatir deradjatmu tarun ?". "Bukan. Itu djusteru mengangkat
deradjatku ", kata Siok Touw. Memang djuga deradjat mereka berlainan. Hoe Poet
Gie dan Kok Sin Ong tertawa. Lie It girang sekali, Itu artinja puteranja itu
bakal terdidik sempurna. Demikian achirnja Lie It berpisahan dari anaknja serta
Heehouw Kian semua, seorang diri ia berangkat pulang ke Tiang-an. Ia bagaikan
bermimpi. Ia tetap menjamar sebagai seorang Uighur, supaja orang tidak
mengenalnja. Ia berdjalan dengan menunggang kuda. Lewat beberapa hari, selagi
berdjalan itu, ia melihat debu mengepul didepannja. Itulah satu pasukan tentera
jang lagi mendatangi. Ia pergi ketempat jang tinggi untuk mengawasi, hingga ia
mendapatkan itulah sebuah pasukan tidak terurus, bendera dan pakaiannja tidak
keruan, barisannja katjau. Djadi itulah sepasukan katjau-balau. Ia menduga
kepada pasukan jang kalah perang. Ia girang berbareng berduka. Girang sebab
tentara Tionggoan menang. Dan berduka, karena katjaunja barisan ini berarti
rakjat disepandjang djalan pastilah menderita dari gangguan mereka. Untuk
menjingkir dari mereka itu, Lie it mengambil lain arah, atau beberapa serdadu
Turki itu lantas menguber padanja sambil mem-bentak2 menjuruhnja berhenti.
Sebenarnja, kalau ia mau, dapat ia menjingkir terus, tetapi ia memperlahankan
kudanja. Ia ingin memperoleh keterangan dari mulut mereka itu. Segera djuga
datang serangan anak panah serabutan dari beberapa serdadu Turki itu. Dengan
menggunai kepandaiannja, lie It menjambuti semua anak panah, terus ia
melemparkannja pula, untuk dipakai membalas menjerang mereka itu, hingga empat
diantaranja terguling dari punggung kudanja, roboh berkoseran ditanah, terus tak
dapat merajap bangun lagi. Kemudian ternjata mata mereka tjelong, muka mereka
perok dan putjat. Merekalah tentera jang kelaparan, karena lukanja itu, habislah
tenaga mereka. Kuda mereka lantas lari kalang-kabutan. Mau atau tidak, terharu
hatinja Lie It. Ia melihat satu di antaranja seperti seorang perwira, romannja
pun tidak terlalu kutjal. Ia lompat turun dari kudanja, untuk menghampirkan dia
itu. Ia mengangkatnja bagun. "Tjongsoe, ampun !", memohon si perwira. Ia
memanggil 'tjongsoe', orang gagah. "Kita tidak bermusuh, mengapa kau memanah aku
?", tanja Lie It. "Aku tjuma mau minta sedikit barang makanan ", sahut perwira
itu. Tempat itu sepi, djarang sekali penduduknja, ada djuga beberapa pemburu,
maka itu barisan ini sangat kekurangan barang makanan. Mereka dapat menjembelih
kuda mereka tetapi ini mereka tidak lakukan, sebab kuda perlu untuk mereka
melarikan diri. Lie It membekal barang makanan, ia berkasihan terhadap mereka,
ia lantas membagi. Ia melihat bagaimana orang makan dengan lahapnja. Habis
minum, mereka itu menghaturkan terima kasih ber-ulang2. Perwira itu, jang
berpangkat pek-hoe-thio, agaknja malu ketika ia berkata: "Kami asal rakjat
melarat, djikalau tidak sangat terpaksa, tidak nanti kami membegal dan merampok
". Ia melihat Lie It sebagai bangsanja, ia tidak mengenali penjamaran orang.
"Kenapa kamu kalah perang setjara begini hebat ?", tanja Lie It. "Itulah sebab
pemimpin kami busuk !", sahut si perwira. "Kami dibilangi bahwa tentera Tiongkok
tidak bisa berkelahi, lalu kami diandjurkan merampas barang dan wanita Tionghoa.
Bulan jang lalu kami menerdjang kota Teng-tjioe dan ketjamatan Hoei-ho di Wietjioe. Disana pemimpin kami menitahkan kami melepas api membakar rumah rakjat,
orang laki2-nja ditangkap didjadikan budak. Kami mengira kami bakal berhasil
menjerbu terus ke Tiang-an, hanja belum lagi kami mengambil kedudukan teguh
tentera Tiongkok sudah melakukan penjerangan membalas. Katanja jang mendjadi
djenderal Tiongkok jalah putera mahkotanja. Pasukan Tiongkok itu dibantu pasukan
perang Turfan. Selama beberapa kali bertempur, kami terus kena dikalahkan.
Rakjat Teng-tjioe dan Wie-tjioe pun bangun, kami diserang dari sana-sini.
Rangsum kami kena dipegat dan dirampas. Demikian karena kami telah madju djauh,
tanpa rangsum dan bala-bantuan, kami kena dipukul rusak ". Gusar Lie It
mengetahui orang demikian djahat, ia mengangkat tjambuknja. "Kamu djahat, dan
kedjam pantas kamu musnah !", katanja bengis. "Pantas kamu mampus kelaparan !".
Perwira itu kaget, apapula ketika tjambuk mendjeter kearahnja Ia mendekam, untuk
berkelit. Ia takut bukan main. Tapi tjambuk lewat diatasan kepalanja. Lie It
menghela napas, ia kata :"Ja ..., semua ini dosanja Khan kamu !". Ia lompat naik
atas kudanja, meninggalkan mereka itu. Serdadu2 lainnja telah lari serabutan
tadi. Disepandjang djalan Lie It menemui rombongan2 tentara Turki jang tidak
keruan matjam itu, ia tidak mau usil mereka, ia selalu menghindarinja. Kemudian,
selang dua hari, habis sudah sisa tentara Turki, sekarang ia bertemu dengan
sedjumlah rakjat jang mengungsi. Menurut mereka, Khan Turki sudah mengadjukan
permohonan berdamai dengan kaisar puteri Tiongkok, hanja kebenarannja mereka
tidak tahu. Mereka pulang sehabis menjingkir dua puluh hari lebih. Lega djuga
hati Lie It. Ia meng-harap2 perdamaian berhasil. Lagi dua hari tibalah Lie It
dibatas medan perang. Ia tidak mau mengambil djalan besar, ia memilih djalanan
pegunungan walaupun sukar. Ia mau melintasi selat Seng-eng-kiap untuk tiba di
wilajah An-see. Ia keputusan rangsum tetapi ditengah djalan ia dapat menangkap
dua ekor kelintji, jang tjukup untuk menangsal perut dua hari. Hari itu selagi
lewat disebuah lembah pandjang, Lie It mendengar djeritan wanita bangsa Turki,
jang minta tolong. Ia menduga kepada perbuatan djahat serdadu buronan, maka ia
larikan kudanja untuk melihat. Ia mendapatkan sebuah gubuk dimana terdapat
majatnja seorang wanita serta dua orang botjah. Pembunuhnja pun masih ada jalah
dua orang Tionghoa. la, gusar, ia mengadjukan kudanja. Atau tiba2 ada batu
menjamber kearahnja, keras timpukan itu. Ia menduga, itulah timpukannja seorang
liehay. Ia menghunus pedangnja, untuk menangkis sambil berkelit. Satu batu
tersampok, batu jang lain lewat akan tetapi kudanja ngusruk. Sebab kepala kuda
itu kena tertimpuk petjah. Ia lantas berlompat turun, terus kearah dua orang
itu. Begitu kedua pihak sudah datang dekat, dua2-nja kaget hingga mereka sama2
berseru. Dua orang itu jalah Thia Tat Souw serta anaknja, Thia Kian Lam. Pakaian
mereka rombeng dan kotor. Muka mereka penuh debu. Keadaan mereka rudin sekali.
Lie It lantas mengenalinja. Hanja ia heran kenapa mereka bersengsara disini.
Turut dugaannja, dengan menakluk pada Khan Turki, mereka tentu sudah memperoleh
pangkat tinggi dan kedudukan mewah. Benarlah apa jang Lie It dengar perihal Khan
Turki meminta berdamai. Ketika Turki menjerang hingga peperangan mendjadi
berketjamuk, Boe Tjek Thian menggunai ketikanja mengangkat puteranja, pangeran
Louw Leng-ong, mendjadi thaytjoe atau putera mahkota serta ditugaskan mendjadi
djenderal perang jang pergi ke Hoopak untuk menumpas penjerang. Tek Djin Kiat
diangkat mendjadi pembantu djenderal itu. Maksudnja Boe Tjek Thian agar putera
itu berkuasa atas bala tentera dan mendjadi gampang nanti untuk naik di tachta.
Thaytjoe manusia biasa sadja tetapi dibantu Tek Djin Kiat dapat ia memimpin
angkatan perangnja, jang dipetjah mendjadi tiga djalan : Touwtok Thio Djin Tan
dari Yoe-tjioe dengan tiga puluh laksa serdadu madju di timur. Taytjiangkoen
Giam Keng Yong didjadikan kepala dibagian barat dengan tenteranja sedjumlah Iima
belas laksa djiwa. Pasukan tengah jang terdiri dari pasukan tjampuran, besarnja
sepuluh laksa djiwa, diserahkan kepada Seetok Tiong Gie, djenderal bangsa
Turfan. Angkatan perang ini dapat melabrak musuh, merampas pulang daerah2 jang
kena dirampas musuh itu, terus memasuki wilajah musuh sekali. Khan Turki tidak
sanggup melawan, dia meminta damai, dia mengutus wakilnja ke Tiang-an, antaranja
dia menjatakan suka menjerahkan puterinja untuk dinikahkan pada puteranja putera
mahkota. Dalam soal perdjodohan atau pernikahan antara negara Tiongkok dengan
negara asing, biasanja puteri Tiongkok dinikahkan pada putera atau radja asing,
tetapi kali ini puteri asing dinikahkan pada putera kaisar Tiongkok. Perdjodohan
itu achirnja gagal tetapi soalnja telah mendjadi buah pembitjaraan jang menarik
hati. Begitu lekas tersiar berita Khan Turki mengadjukan permohonan untuk
berdamai, rakjatnja tua dan muda mendjadi girang sekali. Akan tetapi disebelah
itu, ada beberapa orang jang sebaliknja mendjadi sangat berkuatir. Mereka ini,
jalah kawanan pengkhianat, jang datang dari Tiongkok, jang menghamba kepada
Khan, diantaranja jalah Thia Tat Souw dan anaknja. Mereka menguatirkan, djikalau
perdamaian didapat, Boe Tjek Thian nanti meminta mereka diserahkan kepada kaisar
wanita itu. Selama mereka masih berdiam di Tiongkok, ratu itu pun sudah ingin
sangat membekuknja. Maka itu, di harian perutusan Turki berangkat, mereka diam2
mengangkat kaki. Thia Tat Souw ketua Hek Houw Pang, anggauta2 perkumpulannja itu
terdapat ditapal batas, ingin ia menjeberangi perbatasan, untuk menjampurkan
diri dengan orang2-nja itu. Diluar dugaan, selagi mereka berada ditanah
pegunungan dan tengah merampas barang makanannja wanita Uighur pengungsi itu,
mereka bertemu dengan Lie It. Benar Lie It menjamar tetapi Tat Souw mengenali
pedangnja. Mengetahui jang dia tidak dapat menjingkir pula, Tat Souw
lantas menjerang sambil ia berteriak : "Djikalau bukan kau jang mampus tentulah
aku!". Ia menjerang dengan hoentjwee besinja, dengan tipu silat 'In Liong sam
hian' atau 'Naga didalam mega memperlihatkan diri tiga kali'. Dapatlah diduga
bahwa serangan itu hebat luar biasa. Lie It menangkis dengan pedangnja, dengan
begitu sendjata mereka bentrok keras, suaranja terdengar njaring sekali dan
lelatu api pun muntjrat berhamburan. Tubuh Tat Souw terhujung tiga tindak,
sedang tubuh si pangeran tjuma bergojang sadja. Kesudahan ini membuat Lie It
heran. Ia ketahui baik tenaga dalam dari Tat Souw menang daripadanja, toh kali
ini ia merasa, tenaga lawan itu tak sebesar dulu-hari. Ia tidak tahu, atau tidak
ingat, Tat Souw itu telah terkena djarum emasnja Heehouw Kian dan lukanja itu
belum sembuh, sedang sekarang ini sudah dua hari dia kelaparan, hingga tenaganja
mendjadi berkurang. Setelah itu, Lie It membalas menjerang. Karena ia menang
unggul, ia menjerang dengan bengis. Menampak ajahnja keteter, Thia Kian Lam
mendjadi berkuatir. Untuk membantui, ia mengeluarkan sendjatanja, sepasang poankoan-pit, alat peranti menotok djalan darah. Maka sedjenak kemudian, Lie It
sudah dikepung berdua, ajah dan anak itu. Walaupun Tat Souw telah kehilangan
tenaganja, ilmu totoknja tetap liehay, hoentjwee besinja tidak dapat dipandang
ringan. Pula harus dibuat sjukur oleh Lie It, lawannja ini telah kehabisan
tembakaunja, hoentjweenja itu tidak dapat disedot lagi, dengan begitu sendirinja
dia tidak dapat menggunai asap hoentjweenja jang berbahaja itu. Sebaliknja si
pangeran, jang mengandadalkan ilmu pedangnja, terutama pedangnja jang tadjam,
dapat melawan dengan baik. Maka meskipun ia dikepung berdua, mereka nampak
berimbang kekuatannja. Sesudah pertempuran berdjaIan seratus djurus, se-konjong2
Tat Souw merasakan iga kirinja sakit. Itulah bagian dja lan darah hoen-moei,
tempat bekas tusukan djarumnja Heehouw Kian. Tadi2-nja ia tidak merasakan,
sekarang, setelah mengeluarkan tenaga besar sekali, lukanja kumat. Ia terkedjut.
Ia mengerti, karena sakitnja itu, ia tidak akan dapat bertahan lama, Maka
bagaikan nekat, ia menjerang dengan djurus 'Melintangkan penglari emas', ia
mendjaga pedangnja lawan, setelah itu, dengan memutar diri, tiga kali ia
menjerang saling-susul, setiap kalinja terus ia mengarah djalan darah. Lie It
dapat membade orang telah mendjadi nekat, selagi lawan itu berlaku bengis, ia
bergerak dengan tidak kalah sebatnja, setelah menghalau bahaja, ia berseru
sambil membalas menjerang dengan sama hebatnja. Ia menggunai djurus 'Merantai
Memelintangkan Perahu', mengarah kepundak setelah terlebih dulu mengantjam
dengan tikaman. "Tjelaka !", Tat Souw berteriak didalam hatinja. Setjepat bisa,
ia berkelit dengan mendak. Tapi ia masih terlambat sedikit, udjung
pedangnja Lie It mengenakan djuga pundaknja itu. Sedikit dagingnja terpapas,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnja mengutjur. "Traangg ...!", terdengar satu suara njaring. itulah poankoan-pit Kian Lam, jang bentrok dengan pedang Lie It. Anak ini melihat ajahnja
terantjam bahaja, ia mau menolongi dengan menjerang musuhnja. Tapi Lie It djeli
matanja dan sebat gerakannja, dia sempat menangkis, maka sendjata mereka beradu.
Kesudahannja itu, poan-koan-pit kena dibabat kutung udjungnja. "Kian Lam, lekas
lari !", teriak Tat Souw, matanja merah, dan dengan nekat, ia menjerang. Ia
seperti binatang jang telah terluka, jang mendjadi mogok. Dengan hoentjweenja,
ia mendesak tanpa menghiraukan rasa njeri pada iga dan pundaknja jang bor2-an
darah itu. Kian Lam masih bersangsi ia tidak mau mengangkat kaki. Menampak keragu2-an sang anak. Tat Souw mendjadi mendongkol, maka dia berteriak : "Anak
tidak berbakti! Apakah kau hendak memutuskan turunan she Thia ?". Kian Lam
terkedjut. Untuk sedetik, dia berdiam, atau segera dia lari kabur sambil
menangis meng-gerung2. Lie It membentji kedjahatan ketua Hek Houw Pang itu, akan
tetapi menghadapi kedjadian didepan matanja ini, menjaksikan kelakuannja Kian
Lam itu, timbul rasa kasihannja. Meski begitu, ia tidak sempat berpikir, Tat
Souw terus mendesaknja, karena dia menggunai siasat desakannja itu agar pangeran
ini tidak sempat mentjegah larinja anaknja itu. Ia mendjadi mendongkol, ia
melawan sama hebatnja. Tepat ketika tangisannja Kian Lam lenjap, serangannja Tat
Souw mendjadi kendor, bahkan satu kali, tubuhnja merangsak demikian rupa hingga
pedangnja Lie It dapat menjamber dengkulnja. Dia terhujung, tetapi, bukan dia
mengeluh kesakitan, sebaliknja dia tertawa lebar dan berkata : "Aku si orang she
Thia sudah malang-melintang beberapa puluh tahun, kalau sekarang aku mati, aku
mati puas !". Lie It berhenti menjerang. Kembali timbul rasa kasihannja. "Thia
Pangtjoe ", katanja dengan rasa hormat, "kau serahkan hoe-leng dan buku
keanggautaan Hek Houw Pang, lantas kau musnahkan ilmu silatmu, nanti aku
idjinkan kau pulang untuk berkumpul bersama anakmu !". Ia berkasihan, karena ia
memikir : "Tat Souw sudah berumur hampir enam puluh tahun, biarlah ia hidup
dengan sisa usianja. Kalau dia menjerahkan hoe-leng dan bukunja, boleh itu aku
serahkan pada Tiangsoen Tay agar kemudian Hek Houw Pang tidak usah meradjalela
lagi mengganggu kesedjahteraan ". Tapi Thia Tat Souw berpikir lain. Ketua Hek
Houw Pang itu tertawa dan berkata: "Kau menghendaki aku menjerahkan hoe-leng dan
buku anggauta perkumpulanku serta aku pun merusak ilmu silatku sendiri " Ha ...!
Ha ...! Kau memandang terlalu enteng kepadaku si orang she Thia ! Satu laki2
boleh mati tetapi tidak dapat dia memohon belas-kasihan ! ". Belum habis
katakatanja itu, lalu tubuhnja roboh menggabruk, terkulai ditanah. Rupanja dia
sudah memutuskan nadinja sendiri. Lie It menghela napas. "Kembali satu Pek Yoe
Siangdjin ", katanja dalam hati. Untuk mengambil hoe-leng dan buku keanggautaan
Hek Houw Pang, pangeran ini lantas mendekati tubuh Tat Souw itu, terus ia
membungkuk, atau ia kaget karena dadanja kesemutan. Dengan tiba2, berbareng
dengan itu, tubuhnja Tat Souw bergerak, tangannja bergerak pula. Lalu,
terdengarlah satu suara njaring dari bunjinja hoentjwee mengenai batok kepala.
Bukan main kaget dan sakitnja Lie It, dengan wadjar sadja sebelah kakinja
melajang kearah tubuh ketua Hek Houw Pang itu, setelah mana, kepalanja mendjadi
pusing sekali, masih ia mendengar satu djeritan hebat jang samar2 tetapi ia
sendiri segera tidak sadarkan diri. Tak tahulah Lie It, berapa lama ia pingsan,
ketika ia mendusin, hari sudah maghrib, nampak sinar lajung dari sang surya. Ia
mendapatkan ia rebah tak djauh dari majatnja si wanita Uighur serta dua anaknja.
Hingga suasana disitu sangat mengetjilkan hati. Ia mau berbangkit tetapi tidak
bisa. Ia lantas ingat bahwa ia belum bebas dari totokan tadi oleh Tat Souw. Maka
ia berdiam, terus ia mengerahkan tenaga-dalamnja. Dengan begitu, tidak selang
lama, darahnja dapat mengalir pula, dari perlahan hingga mendjadi biasa, setelah
mana baru ia dapat menggeraki kaki-tangan dan tubuhnja, untuk bangun berduduk
dan berdiri. Didekatnja itu, ia tidak melihat Tat Souw. Ia bertindak ketempat
dimana tadi ia bertempur hebat dengan ketua Hek Houw Pang itu. Didekat situ ada
djurang. Ketika ia melongok kebawah, ia melihat satu tubuh rebah terkulai,
Amarah Pedang Bunga Iblis 5 Hardy Boys Misteri Jejak Zombie Sebuah Kota Banyak Cerita 6

Cari Blog Ini