Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 3

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 3


tinggi dan mempunjai tiga buah puntjak, jaitu Kim-teng, Tjian-hoed-teng dan Banhoed-teng, sedang diantara tiga puntjak itu, Kim-teng lah jang paling tersohor,
karena pemandangannja jang indah dan buminja jang agak rata. Pada puntjak itu
tumbuh banjak sekali pohon bambu kate dan tanahnja ditutup dengan rumput hidjau.
Maka itulah, Thian-lie-peng jang datar-rata merupakan sebuah tempat jang tjotjok
untuk mengadakan perhimpunan. Begitu tiba disitu, setjara kebetulan si nona
menemukan sebuah "rebung batu" (batu jang mendjulang keatas seperti rebung) jang
berlubang di-tengah2-nja dan lubang itu tjukup besar untuk menempatkan badannja.
Buru2 ia masuk kedalam lubang tersebut. Sementara itu, sesudah duduk diatas
rumput, kedua orang tadi segera menepuk tangan. Dari beberapa pendjuru segera
terdengar balasan tepuk tangan dan tak lama kemudian, tudjuh-delapan orang
dengan beruntun tiba disitu. "Goei Sam-ko ", kata seorang lelaki berdjenggot
kepada orang jang datang paling dulu. "Menurut rentjana Eng-hiong-tay-hwee
dimulai pada tengah malam. Mengapa Sam-ko minta kami datang setengah djam lebih
dulu ?". "Kudengar dalam perhimpunan ini bakal diangkat seorang Beng-tjoe (ketua
perserikatan) baru ", djawabnja. "Hal ini mungkin sudah diketahui kalian ".
"Menurut peraturan, seorang Beng-tjoe memangku djabatannja selama sepuluh tahun
", kata seorang jang suaranja menjeramkan. "Kok Sin Ong sudah tjukup sepuluh
tahun memangku djabatannja sehingga kita memang harus mengangkat Beng-tjoe baru.
Bukankah Goei Sam-ko ingin merundingkan soal pengangkatan itu " Huh ... ! Kurasa
soal itu boleh tak usah dirundingkan lagi ". "Mengapa ?", tanja si djenggot.
"Pada djaman ini, siapakah jang bisa menangkan Kok Sin Ong ?", orang itu balas
menanja. "Menurut pendapatku, biar dia sadja jang menduduki lagi kursi Beng-tjoe
". Goei Sam bersenjum. "Duduknja lagi Kok Sin Ong dalam kursi Beng-tjoe, sudah
pasti tidak akan ditentang oleh siapapun djua ", katanja. "Tapi sekarang telah
muntjul seorang pemuda gagah. Apakah kalian sudah pernah dengar namanja ?".
"Siapa ?", tanja seorang. "Lie It !", djawabnja. Tudjuh-delapan orang itu lantas
sadja ramai bitjara. "Siapa Lie It?". "Aku belum pernah dengar nama begitu ".
"Menurut katanja orang, dengan seorang diri ia pernah membereskan pertengkaran
antara Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee ". "Bagaimanakah kedjadiannja "
Tjobalah tjeritakan ". Seorang tua jang turut duduk diatas rumput bangun berdiri
dan lalu berkata : "Pada tahun jang lalu, bulan Go-gwee (Bulan Lima), Tjee-tjoe
(kepala sarang perampok) Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee telah merampas
sedjumlah piauw dan karena tak bisa mendapat ketjotjokan dalam pembagiannja,
mereka djadi bertjektjok dan siap-sedia untuk bertempur. Untung djuga Lie It
keburu datang dan sesudah merobohkan Tjioe Tjee-tjoe dari Giok-liong-san serta
Hoan Tjee-tjoe dari Hoei-houw-tjee, ia berhasil mendamaikan pertengkaran itu dan
membagi rata piauw rampasan tersebut ". Keterangan itu kelihatannja mengedjutkan
semua pendengar. Rupanja kedua Tjee-tjoe itu orang2 ternama dalam kalangan Lioklim (Rimba Hidjau -kalangan pendjahat). Tapi sesaat kemudian, seorang berkata :
"Ah ...! Dengan hanja sebuah tjontoh, belum tentu Kok Sin Ong dapat ditekan ".
Beberapa orang lantas sadja manggut2-kan kepalanja, sebagai tanda bahwa mereka
menjetudjui pendapat itu. Goei Sam tertawa seraja berkata : "Menekan memang
djuga tidak bisa. Tapi ada sesuatu jang belum diketahui kalian. Lie It adalah
orang jang dipenudjui oleh Kok Sin Ong sendiri dan Kok Sin Ong merasa rela untuk
membuntuti dari belakangnja ". "Apakah Kok Sin Ong memberitahukan sendiri
kepadamu ?", tanja seorang seraja tertawa dingin. Dalam Rimba Persilatan, Goei
Sam tak punja kedudukan tinggi. Paling banjak ia hanja menduduki tingkat kedua
atau ketiga. Maka itu, memang harus disangsikan, apa Kok Sin Ong, Beng-tjoe dari
perserikatan Rimba Persilatan, sudi bitjarakan dengannja soal jang penting itu.
Disamping itu, djuga tak mungkin Kok Sin Ong bisa menghargai begitu tinggi
seorang pemuda jang baru sadja muntjul dalam kalangan Kang-ouw. Dengan demikian,
sebagian besar orang2 itu tak pertjaja keterangan Goei Sam. "Tentu sadja ia
tidak bitjara sendiri denganku ", kata Goei Sam dengan suara perlahan. "Jang
diberitahukan olehnja adalah Liong Sam Sianseng, muridnja jang paling disajang.
Tak lama lagi, Liong Sam Sianseng akan tiba disini dan kalian boleh tanja
padanja ". Semua orang tahu, bahwa Goei Sam adalah orang sebawahan Liong Sam
Sianseng, sehingga perkataannja itu telah menambah kepertjajaan terhadap
dirinja. Selagi orang bersangsi, tiba2 ia berbisik : "Dalam urusan ini terdapat
satu rahasia besar ...!". Kata2 selandjutnja dibisiki dikuping orang2 itu.
Sesaat kemudian, paras muka semua orang ber-seri2 dan dengan serentak mereka menepuk2 tangan sambil bersorak kegirangan. "Sesudah kita tahu, tak usah banjak
bitjara lagi ", kata Yo Tjee-tjoe, si orang tua. "Sebentar kita ber-ramai2
memberi suara untuk Lie Kongtjoe ". "Sam-ko ", kata orang jang suaranja
menjeramkan. "Terima kasih untuk petundjukmu itu. Lie Kongtjoe bagus untungnja,
ia memang tjotjok mendjadi Beng-tjoe. Kita pun bernasib baik. Sudah ditakdirkan
kita mesti ha ha ! mesti naik kedudukan tinggi !". "Tentu sadja ", kata Goei
Sam. "Sesudah mempunjai Beng-tjoe seperti Lie Kongtjoe, kita boleh harapkan
badju sulaman !". Semua orang lantas sadja ber-omong2 sambil ter-tawa2 dengan
hati bungah dan harapan muluk. Sebagai orang yang tjerdik, Wan Djie tahu, bahwa
"rahasia" jang disebutkan Goei Sam adalah asal-usul Lie It sebagai sanaknja
kaisar. "Djika Lie It tahu, bahwa orang2 itu menjokong dirinja sebab
kedudukannja jang tinggi, belum tentu ia merasa senang ". Selang beberapa saat
datang pula serombongan orang jang dikepalai oleh seorang sastrawan setengah tua
jang mengenakan djubah pandjang dan mentjekal kipas dalam tangannja. Dari sikap
dan gerak-geriknja jang bebas, orang itu kelihatannja biasa hidup merdeka, tanpa
ikatan. Begitu melihat dia, semua orang segera bangun berdiri seraja berseru :
"Aha ... ! Liong Sam Sianseng !", Goei Sam sendiri lalu mendekati dan
mengutjapkan beberapa perkataan dengan perlahan. Sastrawan itu manggut2-kan
kepala sambil menjapu semua orang dengan kedua matanja. "Eh ..., eh ... Mana
Tjee Sam dan Lie Tjit ?", tanjanja. "Mengapa mereka belum datang ?". "Siang2 aku
sudah beritahukan mereka ", djawab Goei Sam. "Mungkin sekali ditengah djalan
muntjul halangan. Tapi djumlah orang jang berada disini sudah tjukup banjak,
sehingga tidak datangnja beberapa orang tak mendjadi soal ". Tak lama kemudian,
dengan ber-runtun2 tiba pula lain2 rombongan. Mereka itu rupanja bukan sekaum
dengan orang2 jang datang lebih dulu, karena mereka hanja manggutkan kepala
sedikit kepada Liong Sam Sianseng dan tidak memperlihatkan penghormatan luar
biasa. Mendjelang tengah malam, diatas tanah datar itu sudah
penuh orang dan sambil menunggu kedatangan Kok Sin Ong, mereka bitjara satu
sama lain dengan suara perlahan. Selang beberapa lama lagi, tibalah tengah malam
dan sang rembulan berada diatasan kepala. Tiba2 disebelah kedjauhan terdengar
siulan njaring dan semua orang berdiri serentak. Suara itu terdengar ditempat
jang djauhnja beberapa li, tapi dilain saat, berbareng dengan berhentinja suara
tersebut, diatas tanah lapang itu sudah berdiri dua orang lain, satu tua dan
satu muda. Jang tua Kok Sin Ong, sedang jang muda bukan lain daripada Lie It.
"Beng-tjoe Ban-swee !", seru para hadirin sambil membuka sebuah djalan. Bersama
Lie It, Kok Sin Ong lalu berdjalan ke tengah2 lapang. Wan Djie mengawasi dengan
hati ber-debar2. Sesudah mengangkat kedua tangannja untuk memberi hormat, Kok
Sin Ong berkata dengan suara njaring : "Terlebih dulu aku ingin meminta maaf
karena kalian harus menunggu lama sekali. Sekarang idjinkanlah aku
memperkenalkan seorang eng-hiong muda ". Lie It lantas sadja memberi hormat.
"Eng-hiong muda ini adalah murid Pat-pie Lo-tjia (Lo Tjia berlengan delapan)
Oet-tie Tjiong. Ia she Lie bernama It. Belum tjukup setahun ia berkelana dalam
dunia Kang-ouw, namanja sudah menggetarkan Rimba Persilatan. Loo-hoe sudah hidup
sekian puluh tahun, tapi belum pernah bertemu dengan orang gagah jang seperti
dia ". Perkataan Kok Sin Ong itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.
Wan Djie jang bermata djeli segera lihat, bahwa mereka jang bersorak-sorai
adalan kawan2 Liong Sam Siangseng. Diantara tepuk tangan dan sorakkan, terdapat
banjak orang jang bitjara dengan bisik2. Orang2 jang hadir dalam pertemuan itu
terdiri dari beberapa golongan. Ada djago2 Liok-lim, ada pentolan2 Rimba
Persilatan, pendekar2 berbagai partai persilatan, para perwira tentara keradjaan
Tong jang telah berhenti karena tidak menjetudjui duduknja Boe Tjek Thian
sebagai kaisar dan orang2 jang sengadja datang untuk merebut kedudukan Bengtjoe. Diantara mereka itu ada beherapa orang jang tahu, bahwa Kok Sin Ong adalah
saudara angkat Oet-tie Tjiong. Maka itulah, mereka menganggap, bahwa dengan
mendorong Lie It, Kok Sin Ong sengadja ingin mengangkat keponakan muridnja.
---oo0oo--SAMBIL mentjekel tangan Lie It, Kok Sin Ong mengawasi para hadirin dan sesudah
sorak-sorai mereda, ia berkata pula dengan suara perlahan : "Pada sepuluh tahun
jang lalu, saudara2 telah mengangkat aku sebagai Beng-tjoe. Aku merasa sangat
malu, bahwa selama sepuluh tahun ini, aku tidak mampu berbuat apa2 untuk
kebaikannja perserikatan kita. Sekarang, sesudah masa djabatanku berachir,
memang sepantasnja sadja, djika loo-hoe, seorang tua jang tak punja guna lagi,
menjerahkan kedudukan ini kepada orang jang lebih pandai. Pada masa ini,
dikolong langit sedang muntjul banjak sekali soal sulit, sehingga menurut
hematku, kursi Beng-tjoe , haruslah diduduki oleh seorang muda jang kuat dan
bidjaksana. Pada bulan kelima tahun jang lalu, saudara Lie It telah membereskan
pertengkaran antara Giok-liong-san dan Hoei-houw-tjee, sedang dalam bulan Tjhiagwee (Bulan Pertama) tahun ini, ia telah merubah dua djago dari istana kaisar
dan berhasil menolong Bok Tjee-tjoe dari Tjek-tjio-kong. Dua pekerdjaan besar
itu jang telah dilakukannja, mungkin sekali sudah didengar djuga oleh saudara2.
Disamping itu, saudara Lie djuga mempunjai pengetahuan tinggi dalam ilmu surat,
ia pernah memahami kitab2 ilmu perang dan didalam hatinja terdapat angan2 jang
sangat besar. Aku berpendapat bahwa ia adalah seorang jang paling tjotjok untuk
memimpin orang2 gagah dalam kalangan Kang-ouw guna melakukan sebuah pekerdjaan
besar jang akan menggetarkan seluruh dunia. Orang sering kata, Seorang pandai
tidak perlu berusia tua, seorang bodoh akan tetap tolol biarpun ia sudah
mentjapai usia seratus tahun. Lie Hian-tee adalah seorang pemuda Boen-boe-songtjoan (pandai ilmu surat dan ilmu perang), pintar, tjerdas, bidjaksana dan
mulia. Dengan memberanikan hati, loo-hoe ingin mengusulkan supaja la
menggantikan aku sebagai Beng-tjoe dalam perserikatan kita ini ". Keterangan Kok
Sin Ong itu mendapat matjam2 sambutan. Liong Sam Sianseng dan kawan2-nja tentu
sadja segera menjetudjui sambil bertepuk tangan, tapi hadirin lainnja lantas
sadja saling mengutarakan pendapat antara mereka sendiri, hanja untuk sementara,
dengan memandang muka Kok Sin Ong, belum ada orang jang menentang setjara
terang2-an. Dapat dimengerti, djika djago2 itu merasa tidak rela untuk dipimpin
oleh seorang muda jang baru sadja mentjeburkan diri kedalam Rimba Persilatan.
"Saudara2 sekalian boleh adjukan pendapat setjara bebas ", kata Kok Sin Ong.
Undangan itu disambut oleh Beng Tjioe Goan, seorang tjhung-tjoe dari kota Wieshia, dipropinsi Holam, jang lantas bangun berdiri dan berkata dengan suara
njaring : "Kedudukan Beng-tjoe adalah kedudukan jang sangat penting dan jang
harus dirundingkan dengan saksama. Saudara Lie belum dikenal oleh banjak orang,
antaranja loo-hoe sendiri. Maka itu, bolehkah loo-hoe minta supaja ia
memperlihatkan salah satu kepandaiannja supaja kita semua bisa menambah
pengetahuan ". Menurut kebiasaan, seseorang jang baru menghadiri Eng-hiong Tayhwee, ketjuali jang sudah punja nama besar dan disegani, memang sering didjadjal
dan dalam pertjobaan itu, siapapun boleh mengambil bagian. Bahwa Beng Tjioe Goan
hanja meminta Lie It mengeluarkan kepandaiannja, sudah merupakan bukti, bahwa ia
berlaku sungkan dan memandang muka Kok Sin Ong. Liong Sam Sianseng merasa sangat
mendongkol tapi ia tak dapat mengatakan apa2. "Lau-tee, tjobalah kau
memperlihatkan sedjurus dua djurus ", kata Kok Sin Ong. Lie It bersenjum seraja
berkata : "Aku adalah seorang jang tidak mempunjai kemampuan apa2, sehingga aku
merasa sangat djengah mendengar pudjian begitu tinggi dari Kok Loo-tjian-pwe.
Mengenai kedudukan Beng-tjoe, benar2 aku tidak bisa menerima. Dengan adanja
perintah dari orang jang lebih tua, aku tidak dapat menampik dan biarlah, dengan
menggunakan kesempatan ini, aku mempersembahkan kebodohanku dan meminta
peladjaran dari para Tjian-pwee serta saudara2. Hanja mungkin sekali, apa jang
diperlihatkan olehku tidak ada harganja untuk dilihat ". Sehabis berkata begitu,
ia membungkuk dan mentjabut setjekal rumput jang lalu digunting udjung
pangkalnja dengan menggunakan dua djari tangan, sehingga apa jang dipegangnja
jalah batang2 rumput jang pandjangnja kira2 lima dim. Para hadirin menjaksikan
tanpa memberi sambutan. Menggunting rumput dengan djari tangan memang merupakan
kekuatan lweekang jang tinggi, tapi tidak luar biasa. Lie It kembali tersenjum
dan mendongak mengawasi ketempat djauh. Beberapa orang turut mendongak untuk
mengetahui apa jang sedang dipandang oleh pemuda itu. "Apakah saudara ketjil itu
belum pernah melihat Hoed-teng ?", tanja seorang seraja tertawa. "Hoed-teng"
(Lampu Buddha) adalah sebuah pemandangan luar biasa digunung Ngo-bie-san. Dalam
gunung itu terdapat banjak sekali pospor jang mengeluarkan sinar terang diwaktu
malam dan biasa dinamakan "Kwie-hwee" (Api setan), dan dalam bahasa jang lebih
halus, dikenal sebagai "Hoed-teng". Waktu baru muntjul, Hoed-teng itu merupakan
binatang2 ketjil jang dengan berkelap-kelip, masuk kedalam lembah2 jang tertutup
kabut. Hoed-teng itu semakin lama djadi semakin banjak dan seluruh gunung seolah2 ditaburi dengan bintang2. Beberapa saat kemudian, beberapa puluh Hoed-teng
melajang mendatangi kearah tanah lapang dimana para orang gagah sedang
berkumpul. Api pospor itu mengandung ratjun dan biarpun tidak berbahaja, siapa
jang kena djadi berabe. Maka itulah, djika bertemu Hoed-teng, orang selalu
menjingkir djauh2 dan kebiasaan ini dinamakan "Keng Hoed" atau menghormati
Buddha. Melihat kedatangannja puluhan Hoed-teng, semua orang terkedjut. Meskipun
benar mereka bisa menjingkirkan diri, akan tetapi, karena pertemuan belum
berachir, dimana mereka bisa mentjari tempat jang begitu bagus ". Lie It
tersenjum seraja berkata : "Pemandangan itu memang sangat luar biasa, tapi lebih
baik kita mengantarkan mereka pulang ". Hampir berbareng dengan perkataannja, ia
mengajun tangan dan bagaikan anak panah jang terlepas dari busurnja, batang2
rumput menjambar Hoed-teng jang lantas sadja mendjadi hantjur dan bujar ditengah
udara. Sorak-sorai bergemuruh, kali ini bukan sadja Liong Sam Sianseng dan
kawan2-nja, tapi djuga orang2 dari lain golongan. Hoed-teng jang berterbangan
itu sadja sudah merupakan sasaran jang tidak mudah. Dengan menggunakaa batang2
rumput jang enteng-lemas, tapi sudah berhasil menghantjurkan api2 pospor itu,
dapatlah orang membajangkan betapa hebat lweekang jang digunakan Lie It.
"Bagus ...!", memudji Kok Sin Ong. "Sungguh indah pukulan Tjek-yap Hoei-hoa
itu !. Lie Hiantit, biarlah loo-hoe memberi sedikit bantuan kepadamu ". Seraja
berkata begitu, ia mengebas dengan tangan badjunja jang lantas sadja
mengeluarkan kesiuran angin dahsjat, sehingga sisa Hoed-teng jang masih
ketinggalan tertiup bujar sama-sekali. Kok Sin Ong mendapat nama besar dalam
Rimba Persilatan karena memiliki tiga rupa ilmu jang sangat lihay, jaitu ilmu
silat Thong-pie-koen, pukulan Kim kong-tjiang dan ilmu pedang Liap-in-kiam.
Kebiasannja jang barusan dilakukan dengan menggunakan tenaga Kim-kong-tjiang.
Sesudah mengebas, ia tertawa ter-bahak2 : "Saudara2, sesudah Lie Hiantit
memperlihatkan kepandaiannja, kurasa, usulku supaja dia menggantikan kedudukanku
sebagai Beng-tjoe tidak bisa dikatakan memilih kasih ", katanja dengan paras
muka ber-seri2 . "Kok Beng-tjoe, pendapatmu memang tepat sekali ", kata Beng
Tjioe Goan setjara laki2 . "Apa jang diperlihatkan oleh saudara Lie memang
sangat mengagumkan ". Kata2 orang tua itu kembali mendapat sambutan tepuk tangan
jang hangat. Pada waktu itu, sebagian besar dari orang2 jang hadir sudah
menjetudjui untuk mengangkat Lie It sebagai Beng-tjoe baru.
---oo0oo-TAPI diluar dugaan, baru sadja tepuk tangan mereda, seorang lelaki jang bertubuh
tinggi-besar tiba2 melompat bangun. "Ilmu melepaskan sendjata rahasia dari
Saudara Lie, memang tjukup tinggi ", katanja dengan suara njaring seperti genta.
"Tapi maaf, aku belum merasa takluk sebelum mendjadjal ilmu silatnja ". Orang
jang menantang adalah Tjee-tjoe dari Im-ma-tjoan, propinsi Shoa-tang jang
bernama Hong Kie Teng. Dengan tubuhnja jang tinggi-besar, ia berdiri di-tengah2
lapangan bagaikan satu pagoda besi. Mendadak terdengar suara tertawa jang
membangunkan bulu roma. "Benar ", kata orang itu. "Mendjadi Beng-tjoe memang
bukan gampang. Gembira djuga bila kita bisa menjaksikan sedikit keramaian pada
malam jang sunji ini ". Didengar dari nada suaranja, ia bukan sadja memandang
enteng kepada Hiong Kie Teng. tapi djuga tidak merasa takluk terhadap Lie It.
Kok Sin Ong terkedjut dan menjapu seluruh lapangan dengan matanja jang tadjam,
tapi ia tak bisa tjari orang jang mengutjapkan perkataan itu. Ia memaksakan diri
untuk tertawa seraja berkata : "Benar sekali perkataan sahabat itu. Dalam Enghiong Tay-hwee semua orang merdeka untuk mendjadjal kepandaian. Lie Hiantit,
tjobalah kau lajani Hiong Tjee-tjoe beberapa djurus. Hiong Tjee-tjoe bergelar
Say-goan-pa dan pentolan dalam ilmu silat Gwa-kee ". Dengan berkata begitu, ia
ingin memperingatkan supaja Lie It berlaku lebih hati2. Sementara itu, Hiong Kie
Teng sendiri sudah melompat keatas satu batu jang sangat besar. ,,Saudara Lie,
mari naik keatas batu ini," ia mengundang. "Baiklah ", djawabnja sambil
menggerakkan kedua kakinja. Gerakan kaki itu sangat luar biasa, karena, tanpa
melompat seperti jang lazimnja diperbuat oleh ahli2 silat, tahu2 ia sudah
berdiri diatas batu itu. Hanja ada beberapa orang jang mengerti, hahwa ia
"melompat" dengan menggunakan ilmu Leng-kong-po, sematjam ilmu mengentengkan
badan jang istimewa. Lie It bukan seorang kate, tapi djbandingkan dengan Hiong
Kie Teng, tingginja hanja sepundak raksasa itu. "Mari kita mendjadjal tenaga
diatas batu ini ", kata si raksasa sambil menundukkan kepalanja. "Siapa jang
djatuh kebawah, dialah jang kalah. Apa kau setudju ?". Lie It tertawa geli.
"Manusia tolol ini ada djuga pintarnja, katanja didalam hati. Lebarnja batu itu
hanja beberapa kaki persegi, sehingga biarpun Lie It memiliki ilmu silat dan
ilmu mengentengkan badan jang sangat tinggi, ia tak dapat mengeluarkan
kepandaiannja ditempat jang sempit itu, sehingga orang jang bertenaga besarlah
jang dapat mearik keuntungan. Melihat lawannja tidak lantas mendjawab, Hiong Kie
Teng tertawa terbahak-bahak. "Mengapa kau tak menjahut ?", tanjanja. "Djangan
takut. Aku mempunjai obat mustadjab untuk mengobati luka dan menjambung tulang
". Pemuda itu bersenjum. "Saling tumbuk setjara kasar-biadab ada apa
menariknja ?", tanjanja. "Kau salah ...!", teriak Hiong Kie Teng. "Tjaraku ini
barulah benar2 mengadu tenaga ". "Mengadu tenaga tak perlu saling pukul ", kata
pula Lie It. Paras muka raksasa itu djadi merah-padam, karena gusarnja. "Habis
apa jang kau mau " ", bentaknja. "Kau boleh pukul aku lebih dulu tiga kali dan
aku tidak akan membalas ", djawabnja. "Djika aku djatuh kebawah, akulah jang
kalah. Bukankah usulku ini banjak lebih sopan daripada usulmu ?". Hiong Kie Teng
tertawa besar. "Kalau begitu, kau djangan main2 dengan pindjam tiga, membajar
lima ", katanja. "Baiklah ...! Aku tak mau menarik keuntungan jang tidak adil.
Kau boleh memukul lebih dulu ". 'Pindjam tiga, membajar lima' berarti menerima


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga pukulan dan kemudian membajar dengan lima pukulan. Tapi pemuda itu kembali
tersenjum dan meng-geleng2-kan kepalanja. "Aku datang disini sebagai tamu dan
tamu tak boleh mendahului tuan rumah ", katanja. "Kau harus memukul lebih dulu
dan aku tak akan membalas !". Tantangan Lie It bukan sadja mengedjutkan lain2
orang, tapi malah mengagetkan Hiong Kie Teng sendiri. Ia merasa djengah dan
bersangsi untuk turun tangan. "Ajo ... pukullah !", Lie It menantang. "Bukankah
kau membawa obat2-an ?". Mendengar perkataan itu jang mempunjai dua arti, bisa
berarti obat untuk Lie It dan bisa berarti djuga obat untuk Hiong Kie Teng
sendiri. Si raksasa djadi gusar bukan main. Dengan mata melotot, ia membentak :
"Kalau dengan tiga tindju aku tak berhasil merobohkan kau, aku akan berlutut
dihadapanmu !". Berbareng dengan perkataannja, tindjunja menjambar dan
"bukkk ...!", pukulannja mampir dipundak Lie It. Mendadak si raksasa terkesiap,
karena ia seperti memukul daging keras jang dipoles minjak, sehingga tindjunja
terpeleset. Ia tentu sadja tak tahu, bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Ie-kin
Kang-hoe untuk memunahkan pukulan itu. Ia bengong dan berkata dengan suara
perlahan : "Keras sungguh dagingmu ". Biar pun begitu, hatinja masih penasaran.
Lie It tertawa. "Pukul lagi ", katanja. "Aku akan manda dipukul sampai tepat
kenanja ". Hampir berbareng dengan perkataannja, Hiong Kie Teng sudah menindju
dan "bukkk ...!", pukulannya tepat kena didada. Banjak orang mengeluarkan seruan
tertahan, karena mereka duga Lie It mendapat luka berat. Tapi, sebaliknja
daripada pemuda itu, adalah Hiong Kie Teng jang me-ringis2 sambil meng-usap2
tindju kanannja dengan tangan kiri. Barusan, sesudah menerima pukulan pertama,
Lie It merasa ungkulan untuk mengadu tenaga dengan raksasa itu. Waktu Hiong Kie
Teng mengirim tindju kedua, ia segera memusatkan lweekangnja didada, sehingga
beradunja tindju dan dada berarti beradunja kedua tenaga, semakin besar tenaga
memukul, semakin besar pula tenaga jang menolaknja. Tapi pemuda itu pun merasa
sakit pada dadanja. la terkedjut dan berkata dalam hatinja : "Tak salah
peringatan Kok Sin Ong, bahwa ia seorang ahli dalam ilmu silat Gwa-kee. Untung
djuga aku tidak dapat luka didalam badan ". Sesudah mendjalankan pernapasannja,
ia tertawa dan berkata : "Say-goan-pa, nama besarmu sungguh bukan nama kosong
dan siauw-tee merasa kagum sekali. Masih ada satu pukulan apakah kau mau memukui
lagi ?". Melihat tjara2 Hiong Kie Teng jang polos, Lie It merasa suka padanja
dan perkataannja itu bermaksud untuk memberi kesempatan supaja ia dapat
mengundurkan diri tanpa hilang muka. Tapl si raksasa sudah salah tampa dan
menganggap Lie It mengedjek dirinja. "Mengapa tidak ?", bentaknja dengan suara
gusar sambil menindju kempungan Lie it dengan sekuat tenaga. Hampir berbareng
dengan menjambarnja tindju, hati Hiong Kie Teng mentjelos karena ia seperti
djuga memukul kapas dan tindjunja "amblas" dikempungan pemuda itu. Dengan
djantung memukul keras, ia tjoba menarik pulang tangannja, tapi tidak berhasil,
sebab tindjunja jang sebesar mangkok disedot erat2 dengan sematjam tenaga.
"Hiong-heng, maaf ...", kata Lie It sambil melembungkan kempungannja dan tubuh
si raksasa terlempar djatuh kebawah. Diantara suara tepukan tangan dan soraksorai, si raksasa melompat bangun dan berlutut ditanah. Lie It buru2 melompat
turun dan membangunkannja. "Hiong-heng ", katanja. "Mengapa kau berlaku begitu
rupa " Kekalahanmu se-mata2 karena kau tidak ber-hati2 ". "Lie-heng ", kata si
raksasa. "Aku sudah berdjandji, bahwa djika dalam tiga kali memukul, aku tidak
bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapanmu. Sekarang, bukan sadja aku
tak mampu mendjatuhkan kau, malah aku sendiri jang kena dirobohkan ". Perkataan
jang djudjur polos itu disambut dengan gelak-tawa oleh orang2 jang mendengarnja.
Baru sadja suara tertawa mereda, tiba2 terdengar pula suara jang menjeramkan :
"Bagus ! Sungguh tinggi lweekang jang barusan diperlihatkan. Sekarang biarlah
aku jang main2 sedikit dengan Beng-tjoe baru ". Dilain saat, seorang lelaki
setengah tua jang dandanannja seperti sastrawan dan tangannja mentjekel kipas,
menghampiri Lie It. Melihat orang itu, bukan main kagetnja Kok Sin Ong. Ia
berpaling kepada Lie It seraja berkata : "Tuan ini adalah, adalah ...". "Aku
jang rendah adalah Tjeng-tjioe Tong Hong Pek ", ia memperkenalkan diri dengan
memotong perkataan Kok Sin Ong. "Aku sengadja datang kemari untuk meminta
peladjaran dari Beng-tjoe baru ". Suaranja jang menjeramkan dan mengedjek
kedengaraanja tak enak sekali. Tong Hong Pek adalah seorang djago kenamaan jang
bergelar Giam-ong-san atau Si Kipas Giam Loo Ong, Radja Langit jang memanggil
roh manusia dan mengadilinja. Kipas jang ditjekelnja, jang terbuat daripada
badja, adalah sendjatanja jang dipergunakan untuk menotok djalan darah musuh.
Dalam ilmu itu tak ada orang jang dapat menandinginja. Disamping itu ia dikenal
sebagai seorang jang banjak akalnja, sehingga dalam kalangan Kang- ouw ia sangat
disegani orang. Pada sepuluh tahun berselang, sesudah Kok Sin Ong merebut
kedudukan Beng-tjoe dengan menggunakan Thong-pie-koen, Liap-in-kiam dan kimkong-tjiang, ia menghilang dari Rimba Persilatan. Ada jang kata, pada waktu itu
ia sebenarnja niat merebut kursi Beng-tjoe, tapi karena merasa tak sanggup
melawan Kok Sin Ong, ia mengurungkan niatannja dan lalu menjembunjikan diri
untuk beladjar ilmu jang lebih tinggi guna turun kedalam gelanggang dihari
nanti. Lie It tentu sadja tak tahu asal-usulnja itu, tapi melihat lagaknja jang
menjebalkan, ia merasa mendongkol. "Kata2 Beng-tjoe baru aku tak bisa menerima
", katanja dengan suara adem. "Kedatanganku ketempat ini hanjalah untuk meminta
peladjaran dari orang2 gagah dikolong langit ". "Tuan djangan merendahkan diri
", kata Tong Hong Pek sambil tertawa. Kedudukan Beng-tjoe sudah pasti tak akan
terlolos dari tanganmu. Aku hanja ingin main2 sedikit dan aku mengharap kau
djangan turunkan tangan terlalu berat ". Mendengar perkataannja jang tjukup
sopan, biarpun mendongkol Lie It tak berani berlaku sembrono. Ia merangkap kedua
tangannja dan berkata sambil membungkuk : "Aku merasa bersjukur, bahwa kau sudi
memberi peladjaran. Ajohlah ...!". Kok Sin Ong kaget sebab djagonja tidak
menghunus pedang dan bersiap untuk melajani lawannja dengan tangan kosong. Ia
ingin sekali memberi peringatan tapi ia merasa malu, karena tindakan itu terlalu
menjolok mata. "Baiklah ", kata
Tong Hong Pek dan bagaikan kilat, kipasnja menjambar djalan darah Tjiang-boenhiat. "Bagus ...!", teriak Lie It dengan kaget sebab serangan itu menjambar luar
biasa tjepat, tapi pada detik terachir, dengan gerakan Poan-liong-djiauw-po
(Naga-bertindak), ia dapat djuga menjelamatkan dirinja. Tong Hong Pek mendesak
dan kipasnja tjoba menotok djalan darah Hoan-tiauw-hiat dilutut pemuda itu.
Sekarang Lie It sudah siap-sedia. Dengan menggunakan ilmu Siauw-kim-na-tjhioe,
ia mementang tiga djarinja dan menotok nadi Tong Hong Pek. Tapi diluar dugaan,
selagi djarinja menjambar, se-konjong2 Tong Hong Pek membuka kipasnja dan mata
pemuda itu agak berkunang karena melihat sinar badja jang berkilauan. Ternjata,
tulang2 kipas itu terbuat daripada badja tipis jang sangat tadjam, sehingga
djika membentur lembaran badja itu, djari2 Lie It pasti akan putus. Tapi pemuda
itu dapat mengubah gerakannja setjara luar biasa tjepat. Pada detik jang sangat
berbahaja, ia masih keburu menarik pulang tangannja dan melompat kesamping.
Dilain saat, ia sudah menjerang dengan pukulan2 Tjam-liong-tjhioe (Pukulantangan Membunuh-naga), dengan menggunakan telapak tangan jang naik-turun
bagaikan golok. Pada saat2 lowong, ia masih menggunakan djeridji tangan untuk
tjoba mengorek kedua mata lawan. Dengan tjepat Tong Hong Pek kelihatan terdesak.
Mendadak, ia membentak keras dan sambil melompat tinggi, ia mengempos semangat
dan menjerang seperti hudjan-angin hebatnja, sehingga dalam sekedjap, ia sudah
mengirim tiga belas totokan kipas jang setiap totokannja dapat membinasakan
djiwa. Lie It kaget dan ia pun lalu memusatkan tenaga dan pikiran untuk melawan
dengan bersemangat dan hati2. Beberapa puluh djurus lewat dan keadaan kedua
lawan itu masih tetap berimbang. Tapi biar bagaimanapun djua, Lie It jang tidak
bersendjata berada dipihak jang rugi. Kipas itu bukan sadja dapat menotok djalan
darah sebagai sendjata Poan-koan-pit, tapi djuga bisa menabas seperti pedang.
Untuk melajani serangan2 jang makin lama djadi makin hebat, ia segera
mengeluarkan ilmu pukulan Hok-mo-tjiang jang membela diri dengan menjerang. Kok
Sin Ong mengawasi djalan pertempuran dengan hati berkuatir, tapi sesudah
memperhatikan beberapa lama, hatinja mendjadi lega. Mengapa" Karena adanja
perubahan jang tidak dapat dilihat oleh orang2 seperti Liong Sam Sianseng dan
kawan2-nja. Orang jang paling dulu merasakan adanja perubahan itu, tentu sadja
Lie It sendiri. Ia mendapat kenjataan, bahwa beberapa kali Tong Hong Pek telah
mengirim totokan jang sangat hebat dengan kipasnja, tapi pada detik terachir, ia
tidak meneruskan serangan itu. Djika diteruskan, memang mungkin dia kena
pukulan, tapi dengan memiliki lweekang jang kuat, pukulan itu pasti tidak akan
membahajakan djiwa. Dilain pihak, djika diteruskannja serangan itu mungkin
sekali dapat merobohkan Lie It. Maka itulah, sesudah kedjadian tersebut terdjadi
beberapa kali, pemuda itu segera menarik kesimpulan, bahwa lawannja sengadja
berlaku murah hati. Tapi karena gerakan2 mereka tjepat luar biasa, maka,
ketjuali beberapa ahli seperti Kok Sin Ong, jang lainnja tidak dapat lihat
adanja perubahan itu. Sesudah lewat sekian djurus. Lie It mendadak membabatkan
telapak tangannja dengan pukulan Sin-liong-pay-bwee (Naga-sakti-menjabet-denganbuntutnja). Sambil berkelit, Tong Hong Pek menotok djalan darah Hoan-tiauw-hiat
dan Sin-hong-hiat, dilutut lawan. Sesudah memunahkan serangan itu, Lie It segera
balas menjerang, tangan kanannja menebas, sedang lima djari tangan kirinja
dipentang untuk menjengkeram pergelangan tangan lawan. Diserang setjara begitu,
djika Tong Hong Pek tidak menarik pulang tangannja, paling mudjur kipasnja kena
dirampasnja, atau kalau sial, tulang pergelangan tangannja bisa djadi patah.
Dalam mengirim serangan itu, maksud Lie It hanjalah supaja lawannja menarik
pulang tangannja. Tapi, diluar dugaan, begitu tangan kirinja menjambar, dengan
ketjepatan kilat, Tong Hong Pek mengangsurkan kipasnja, sehingga lima djarinja
menjengkeram kipas itu. Itulah kedjadian sangat luar biasa, sehingga, untuk
sedetik, ia tertegun. Tiba2 ia mendengar suara lawannja. "Aku bersedia untuk
mengabdi kepada Kongtjoe ". Suara itu diutjapkan dengan berbisik, sehingga hanja
dapat didengar oleh Lie It seorang. Sehabis berkata begitu, Tong Hong Pek
melompat mundur dan sambil merangkap kedua tangannja, ia berkata : "Lie Kongtjoe
benar2 lihay dan aku Tong Hong Pek merasa takluk ". Sebagian besar penonton
tentu sadja tak bisa lihat latar belakang kedjadian itu jang terdjadi luar biasa
tjepat. Tahu2 tangan kiri Lie It sudah mentjekal kipas lawannja dan dengan
serentak mereka menepuk tangan sambil bersorak-sorai. Sebenarnja, waktu baru
datang di Ngo-bie-san, Tong Hong Pek bertekad untuk merebut kedudukan Beng-tjoe.
Tapi belakangan, setjara kebetulan ia mengetahui asal-usul Lie It, sehingga ia
lantas sadja berubah pikiran dan madju kedalam gelanggang hanja untuk
memperlihatkan kepandaiannja kepada pangeran itu dan kemudian menjerah kalah.
Lie It jang sangat pintar tentu sadja mengerti maksud orang. Ia menjesal, bahwa
tadi ia tidak menggunakan pedang, sehingga sekarang ia harus menerima budi
orang. Tapi mengingat tudjuannja jang terutama adalah berusaha untuk merobohkan
Boe Tjek Thian, maka biarpun hati mendongkol, ia tidak memperlihatkan rasa
djengkelnja dan lalu mengembalikan kipas itu dengan sikap dan sorot mata
berterima kasih. ---oo0oo-BARU sadja Tong Hong Pek menjerah, dua orang Toosoe jang pada punggungnja
melintang pedang, berdjalan masuk kedalam gelanggang. "Aku dengar, Oet-tie
Sianseng memiliki ilmu pedang jang sangat tinggi, sehingga sebagai muridnja, Lie
Kongtjoe tentu djuga mahir dalam ilmu itu ", kata satu diantaranja dengan suara
njaring. "Sekarang pintoo ingin meminta peladjaran dari Lie Kongtjoe ". Mereka
berdua adalah saudara seperguruan, jang lebih tua Oei-ho, adalah kepala kuil
Pek-ma-koan, sedang jang mudaan bergelar Tjeng-siong. Mereka adalah orang2 jang
mempunjai adat aneh dan kalau bertemu dengan ahli silat jang paham ilmu pedang,
mereka belum merasa puas, kalau belum mendjadjal kepandaian. Turunnja mereka
kedalam gelanggang bukan untuk merebut kedudukan Beng-tjoe, tapi hanja untuk
men-tjoba2 kepandaian Lie It. Lie It buru2 merangkap kedua tangannja dan berkata
dengan suara merendah : "Boanpwee tidak berani, melajani Loo-tjiaa-pwee ".
"Kongtjoe, djangan kau terlalu merendahkan diri ", kata Oei-ho Toodjin. "Dalam
persilatan, tak ada jang tua atau muda. Siapa jang pandai, dialah jang
berkedudukan tinggi. Disamping itu, untuk memadjukan ilmu silat, orang harus
tidak merasa bosan untuk men-djadjal2 dan memperbaiki apa jang kurang sempurna.
Apakah hal ini belum pernah diadjar oleh gurumu;?"" "Sudah, soehoe memang pernah
mengatakan begitu ", djawabnja. "Nah ...! Kalau begitu, mengapa kau sangsi ?",
kata pula Oei-ho sambil tertawa. "Apa kau takut malu ?". "Tidak ", jawabnja.
"Kalau boanpwee roboh dalam tangan Koan-tjoe, djatuhnja boanpwee merupakan
kekalahan jang gilang-gemilang ...!". Oei-ho tertawa ter-bahak2, hatinja merasa
girang sekali. "Kongtjoe, kau pandai sekali memudji orang ", katanja. "Aku
sekarang mau bitjara terang2-an kepadamu. Kami berdua telah mempeladjari
sematjam ilmu pedang, jang memerlukan dua orang, satu menjerang dan satu
membela-diri, dan jang terdiri dari enam puluh empat pukulan. Kami, sebenarnja
ingin tjari gurumu untuk mentjoba ilmu pedang itu, tapi karena perdjalanan jang
sangat djauh, belum djuga kami bisa mewudjudkan keinginan itu. Kami merasa
beruntung, bahwa ditempat ini kami bisa bertemu dengan Kongtjoe ".
"Ajohlah ...!", Lie It lantas sadja menghunus sendjatanja dan sehelai sinar
berkilauan ber-kelebat2. "Sungguh bagus pedang itu ...!", memudji Tjeng-siong.
"Bahwa gurumu telah menjerahkan pedang mustika itu, merupakan bukti jang
Kongtjoe sudah memiliki intisari daripada ilmu pedangnja ". "Boanpwee belum
dapat memiliki seper-sepuluh dari kepandaian Soehoe ", kata Lie It sembari
membungkuk. "Harap Djiewie Tjian-pwee sudi berlaku murah hati dalam menurunkan
tangan ". Sehabis berkata begitu, ia lantas sadja memasang kuda2. Selagi mereka
bitjara, adalah Kok Sin Ong jang merasa mendongkol dan bingung, karena kuatir
rentjananja gagal sebab gara2 kedua toodjin itu jang turun ke gelanggang hanja
karena gatal tangan. Tapi tentu sadja ia tidak dapat mentjegah pertandingan2 itu
. Oei-ho Toodjin tidak berlaku sungkan lagi. "Sambutlah ...!", katanja sambil
menikam djalan darah Kian-keng-hiat dengan pedangnja. Lie It tidak lantas
bergerak, ia mengawasi sambaran pedang dengan matanja jang sangat tadjam. Waktu
udjung pedang hanja terpisah kira2 lima dim dari tubuhnja, mendadak, setjepat
arus kilat, dengan gerakan Kim-peng-tian-tjie (Garuda-emas-mementang-sajap), ia
membabat pergelangan tangan Oei-ho. Melihat gerakan jang tjepat dan indah itu,
beberapa ahli pedang manggut2-kan kepala dan memudji kepandaian pemuda itu.
Menurut pantasnja, dalam menghadapi serangan itu, Oei-ho harus menarik pulang
sendjatanja dan melompat mundur. Tapi, sebaliknja daripada mundur, imam itu
malah madju setindak dan pedangnja meluntjur ke pergelangan tangan Lie It.
Sesaat itu, terdengar suara "trang ...!", lelatu api muntjrat, dan pedang Lie It
ditangkis oleh Tjeng-siong. Semua orang terkesiap. Dalam keadaan begitu, kapan
pedangnja baru sadja ditangkis Tjeng-siong, pergelangan tangan pemuda itu pasti
tak akan bisa terlolos dari tabasan pedang Oei-ho. Tapi didetik jang sangat
berbahaja itu , Lie It ternjata masih keburu menolong diri. Dengan ketjepatan
jang tak mungkin dilukiskan, tangannja jang mentjekal gagang pedang, berpindah
kebadan pedang, jang didjepitnja dengan menggunakan djempol dan telundjuk, dan
dengan berbareng gagang pedang itu menangkis sendjata Oei-ho. Sekali lagi
terdengar suara "trangg ...!", mata pedang Oei-ho menghantam gagang itu dengan
hampir2 memapas kulit tangan Lie It, dan terpental balik. Itulah pembelaan-diri
jang sungguh2 luar biasa. Menurut pantasnja, dengan mendjepit badan pedang
dengan djempol dan telundjuk, pemuda itu sukar mengerahkan tenaga untuk
menangkis sambaran sendjata lawan. Tapi kenjataannja ia sudah berhasil. Hal ini
merupakan bukti, bahwa ia memiliki lweekang jang benar2 dahsjat. Kok Sin Ong
menarik napas lega. "Ilmu pedang Oet-tie Tjiong berada disebelah atas Lap-inkiam ", katanja didalam hati. Sesudah menjelamatkan diri, Lie It melompat mundur
setombak lebih dengan djantung memukul keras. "Sungguh berbahaja ...!",
pikirnja. "Aku benar2 tolol. Bukankah Oei-ho Toodjin sudah memberitahukan, bahwa
ilmu pedangnja berdasarkan satu orang menjerang dan satu orang membela " Mengapa
aku menjerang orang jang menjerang ?". "Kau sungguh lihay ...!", memudji Oei-ho.
"Ajo, madju lagi ...!", berbareng dengan perkataannja, ia mengirim dua serangan
beruntun, jaitu dengan pukulan Giok-lie-tauw-so (Dewi-menenun) dan Kim-kee-tosok (Ajam-emas-mematok-gabah). Dengan menggunakan kelintjahannja, Lie It
melompat dan mengegos kedua serangan jang sangat berbahaja itu. Se-konjong2,
sambil membentak keras, pedangnja menjambar tenggorokan Oei-ho. Imam itu kaget
tertjampur heran. "Bagaimana dia masih berani menjerang aku ?", tanjanja didalam
hati. Ia tahu, bahwa biar bagaimana hebatnjapun serangan pemuda itu, Soetee-nja
pasti akan dapat menangkisnja. Maka itu, tanpa menghiraukan serangan tersebut,
ia terus menikam dengan pukulan Lie-kong-sia-tjiok (Lie Kong memanah batu).
Diluar perhitungan, pedang Oei-ho menikam tempat kosong, karena, pada detik
terachir, Lie It menarik pulang sendjatanja dan mengubah gerakannja, dari
menjerang Oei-ho berubah menjerang Tjeng-siong. Diserang setjara begitu, Tjengsiong djadi repot bukan main. Ternjata, sesudah mengetahui pokok ilmu pedang
dari kedua imam itu, jalah Oei-ho menjerang dan Tjeng-siong membela, ia segera
mengubah siasat jaitu menjerang Tjeng-siong dan membela diri terhadap serangan
Oei-ho. Oei-ho Toodjin tertawa. "Botjah, kau pintar !", katanja sambil
mengeluarkan pukulan Hoen-in-toan-san (Awan-melintang-memutuskan-gunung) untuk
menolong Soetee-nja dari serangan Lie It. Sekarang peranan berubah, Tjeng-siong
menjerang, Oei-ho membeIa. Tapi, begitu lekas lawannja mengubah peranan, Lie It
pun mengubah tjara menjerang. Dengan demikian, kiam-hoat kedua toosoe itu lantas
mendjadi kalut. Mereka tidak dapat mengepung lagi pemuda itu dengan ilmu silat
jang sudah ditetapkan dan terpaksa berkelahi menurut tjara sendiri2. Semakin
lama mereka bertempur semakin hebat dan belakangan gerakan mereka adalah
sedemikian tjepat, sehingga orang sukar membedakan lagi jang mana Lie It, jang
mana Oei-ho atau Tjeng-siong. Tong Hong Pek jang baru sadja bertempur dengan
pemuda itu, merasa kagum bukan main. Kalau tadi dia menggunakan pedang, aku
benar2 bukan tandingannja ", pikirnja. Siangkoan Wan Djie jang bersembunji di
rebung batu, mengawasi djalan pertempuran itu dengan hati ber-debar2. Meskipun
ilmu silatnja masih tjetek, tapi gurunja, Tiangsoen Koen Liang, adalah seorang
ahli silat pedang kenamaan, sehingga ia pun mempunjai pengertian jang agak
mendalam mengenai kiam-hoat. Ia mengarti, bahwa biarpun Lie It masih bisa
mempertahankan diri, pemuda itu sudah berada dibawah angin. Kedudukannja jang
djelek untuk sementara waktu masih dapat diimbangi dengan pedang mustikanja dan
ketjerdasan otaknja. Dalam keseluruhannja, pihak jang lebih unggul adalah Oei-ho
dan Tjeng-siang. Selang beberapa lama lagi, sedang pertandingan itu mentjapai
puntjaknja kehebatan, mendadak terdengar suara "trangg ...!", jang sangat
njaring, disusul dengan melompatnja kedua toosoe itu keluar gelanggang. Oei-ho


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa ter-bahak2 seraja berkata : "Tak salah djika dikatakan orang, bahwa
gelombang jang disebelah belakang mendorong gelombang jang didepan. Dalam dunia
ini, jang baru menggantikan jang lama, jang muda mengambil tempatnja jang tua.
Kata2 itu sedikitpun tak salah. Lie Kongtjoe, enam puluh empat djalan dari kiamhoat kami sudah digunakan semua, tapi kau tetap tidak bergeming. Pintoo sungguh
merasa kagum dan kita tak usah bertanding lagi ". Lie It merangkap kedua
tangannja dan mendjawab sambil membungkuk : "Bahwa Djie-wie Lootjian-pwee sudah
sudi memberi peladjaran, boanpwee merasa berterima kasih dan bersjukur tak
habisnja ". ---oo0oo-KOK Sin Ong jang tadi berkuatir sangat, sekarang lega hatinja. Ia tertawa terbahak2 dan berdjalan ke-tengah2 lapangan. Sambil mentjekel tangan Lie It, ia
berkata dengan suara njaring "Saudara2, sesudah melihat ilmu silat Lie Kongtjoe,
jang malah telah mendapat pudjian dari tetua Pek-ma-koan, kurasa kalian tak akan
mengatakan, bahwa aku telah memberi pudjian kosong. Masih ada satu hal jang aku
ingin memberitahukan kepada kalian. Lie Kongtjoe adalah bujut Ko-tjouw Hongtee
(Lie Yan) dan tjutju dari Thay-tjong Hongtee (Lie Sie Bin). Dalam dunia jang
kalut ini, kita tidak boleh terus menerus menjembunjikan diri. Dengan mendapat
pimpinan dari seorang pandai dan turunan kaisar, kita bisa membuat usaha jang
besar ". Mendengar pengumuman itu, orang2 jang memang sudah tahu, lantas sadja
bersorak sorai, sedang mereka jang belum tahu, sebagian besar segera turut bertepuk2 tangan, sebagai tanda menjetudjui usul Kok Sin Ong untuk mengangkat Lie
It sebagai Beng-tjoe. Tapi pemuda itu sendiri merasa agak kurang senang. Ia
sebenarnja sudah mengadakan persetudjuan dengan Kok Sin Ong, bahwa sesudah ia
berhasil merebut kedudukan Beng-tjoe dengan kepandaiannja sendiri, barulah Kok
Sin Ong akan mengumumkan asal-usulnja. "Dengan demikian, bukankah mereka djadi
mengalah terhadapku dan aku berhasil merebut kursi Beng-tjoe hanja karena
kedudukanku sebagai turunan kaisar ?", tanjanja didalam hati. Memang djuga,
dengan pengumumannja, Kok Sin Ong mengandung maksud begitu. Ia tahu, bahwa
diantara para hadirin masih terdapat beberapa ahli silat jang kepandalannja
tidak berada disebelah bawah Tong Hong Pek, Oei-ho atau Tjeng-siong. Djika
mereka turun ke gelanggang, ia kuatir Lie It tak dapat melajaninja. Benar sadja,
sesudah pengumuman itu, tiada orang lagi jang madju untuk tjoba merebut kursi
Beng-tjoe. Tapi sementara itu beberapa orang mengadjukan pertanjaan mengenai
usaha besar jang mau dilakukan Lie It. Kok Sin Ong tertawa dan seraja meng-urut2
djenggotnja, Ia berkata : "Pertemuan kita pada hari ini dinamakan Eng-hiong Tayhwee (pertemuan para orang gagah). Saudara2 jang hadir semuanja terdiri dari
orang2 gagah jang tentu sadja sungkan menunduk dibawah kekuasaan orang
perempuan. Semendjak djaman purba, jang tampil kemuka sebagai djago2 adalah
orang2 lelaki. Sungguh tak dinjana, pada djaman ini, orang perempuanlah jang
memerintah dikolong langit. Bagaimana pendapat saudara2 " Aku, Kok Sin Ong,
merasa sangat penasaran. Menurut pikiranku, orang2 jang menganggap dirinja
sebagai orang gagah, haruslah membantu usaha Lie Kongtjoe untuk menggulingkan
kaisar wanita itu, guna melampiaskan kedongkolan kaum pria diseluruh negeri ".
Sebagai seorang jang mengenal baik watak djago2 Kang-ouw, Kok Sin Ong sudah
sengadja menggunakan kata2 jang tegas-polos dan benar sadja keterangannja itu
mendapat sambutan hangat. Tapi diantara suara2 setudju terdengar djuga suara
tidak setudju. "Aku biasa hidup bebas dan sudah merasa puas djika bisa makan
kenjang ", kata seorang. "Bagiku, siapa jang djadi kaisar tak djadi soal ".
Orang jang berkata begitu adalah Thay-ouw In-hiap Yang Keng Beng, seorang
pendekar jang menjembunjikan diri didaerah telaga Thay-ouw. "Menjesal aku tak
bisa turut ", kata seorang lain. "Loo-hoe sudah tua dan tak niat mendjadi
pembesar negeri ". Ia adalah Tjoe Koan Gouw dari Tjeng-shia-sap. Dengan berturut2, beberapa orang lain menjatakan tak ingin turut dalam usaha Lie It.
Mereka itu adalah orang2 ternama dalam Rimba Persilatan. Kok Sin Ong merasa
sangat tidak puas, tapi ia tak bisa memperlihatkan rasa dongkolnja. Ia tertawa
terpaksa dan berkata : ,,Setiap orang mempunjai pendirian sendiri2. Siapapun
bebas untuk tidak turut-serta dalam usaha ini. Saudara2 jang ingin mengikut
Beng-tjoe baru harap suka bangun berdiri ". "Aku tundjang Beng-tjoe baru dengan
segenap hati ...!", terriak Yo Tjee-tjoe dari Im-ma-tjoan di propinsi Shoa-tang.
"Semendjak radja iblis Boe Tjek Thian mendjadi kaisar, semakin lama kita djadi
semakin sukar mentjari hidup. Hmmm ...! Andaikata dia seorang lelaki, aku tetap
akan menentangnja !". Pernjataan Yo Tjee-tjoe tentang kesukaran jang dialami
oleh kaum Liok-Lim, memang benar adanja. Sesudah memegang tampuk pemerintahan,
Boe Tjek Thian mendjalankan tindakan "lembek" dan "keras" terhadap kawanan Lioklim. Mereka jang suka menakluk dan kembali kedalam masjarakat untuk mendjadi
rakjat baik, diberi pengampunan, sedang terhadap mereka2 jang membandal, ia
menggunakan tangan besi. Sebagian beser orang2 Liok-lim mendjadi pendjahat
karena sukarnja penghidupan. Sesudah Boe Tjek Thian mendjalankan tindakan
membagi sawah kepada rakjat, maka kawanan pendjahat jang kembali kedalam
masjarakat, bisa mentjari nafkah dengan mendjadi petani. Dengan demikian,
kekuatan dan pengaruh Liok-lim semakin lama djadi semakin berkurang dan mereka
jang tetap djadi pendjahat adalah orang2 jang tidak suka bekerdja berat sebagai
petani. Maka tentulah, perkataan Yo Tjee-tjoe telah disambut hangat oleh orang2
kalangan Hek-to (Djalanan hitam -kawanan perampok). Disamping kalangan Liok-lim,
Lie It pun mendapat dukungan dari orang2 jang ingin mendapat pangkat dan harta.
Begitu, ketjuali beberapa belas orang gagah jang mengundurkan diri, jang lainnja
semua bangun berdiri dengan serentak sebagai pernjataan menundjang pangeran itu.
---oo0oo-BARU sadja Lie It ingin membuka suara untuk menghaturkan terima kasih, sekonjong2 terdengar suara tertawa jang njaring bagaikan kelenengan perak. Semua
orang dongak mengawasi kearah suara itu. Mereka mendapat kenjataan, bahwa
diantara ratusan Hoed-teng, seorang wanita muda jang mengenakan pakaian warna
putih sedang melajang turun dari sebuah tandjakan. Selagi badannja melajang,
dengan sekali mengebas dengan kedua tangan badjunja, Hoed-teng itu bujar seperti
ditiup taufan. Semua orang terperandjat dan seluruh lapangan djadi sunji-senjap.
Siangkoan Wan Djie terkedjut, karena ia kenali, bahwa wanita itu bukan lain
daripada Boe Hian Song. Mengingat tjara2 nona Boe dalam menghukum enam pendjahat
dalam gedungnja, hatinja ber-debar2. Dengan sikap dan tindakan agung, Hian Song
masuk ke lapangan perhimpunan dan sambil berdjalan, ia tertawa tiga kali, jang
satu lebih njaring dari jang lain dan menusuk telinga para pendengar. Kok Sin
Ong kaget. "Bagaimana wanita jang masih begitu muda, sudah memiliki Lweekang
jang begitu tinggi ?", katanja didalam hati. Setelah nona Boe datang tjukup
dekat, Lie It mengangkat kedua tangannja seraja menanja; "Mengapa Siotjia
tertawa ?". "Aku tertawa karena segala kawanan burung berani mengadakan apa jang
dinamakan Enghiong Tay-hwee ", djawabnja dengan angkuh. Diantara djago2 itu
Hiong Kie Teng-lah jang beradat paling berangasan. "Botjah kurang adjar !",
bentaknja dengan gusar. "Kau berani tertawai para enghiong (orang gagah) !".
"Benarkah?", menegas Hian Song dengan suara mengedjek. "Kalau kamu semua dapat
dinamakan eng-hiong, djumlah enghiong dalam dunia ini tak dapat dihitung lagi ".
"Kurang adjar !", tjatji Hiong Kie Teng. "Kalau tak kasihan melihat badanmu jang
begitu ketjil-lemah, dengan sekali tondjok, kau hantjur-luluh. Pergi !". Nona
Boe tidak menghiraukan antjaman raksasa itu. Dengan tindakan tenang dan
perlahan, ia madju terus. Bukan main gusarnja Hiong Kie Teng. Sambil melompat
dan menggeram, ia mementang sepuluh djarinja dan tjoba menjengkeram si nona
dengan ilmu Toa-lek Eng-djiauw-kang (ilmu Tjengkeraman-kuku-garuda). "Hiong
Tjee-tjoe, djangan semberono !", seru Kok Sin Ong. Baru habis seruan itu, tubuh
Hiong Kie Teng jang tinggi-besar seperti pagoda sudah "terbang" keatas dan
djatuh ambruk di tanah, dengan melewati kepala beberapa orang. Ternjata, pada
sebelum djari2 si raksasa menjentuh tubuhnja, nona Boe sudah mendahului dengan
kebasan tangan badjunja. Lie It kaget tak kepalang, karena ia tahu, bahwa nona
itu telah merobohkan lawannja dengan Tjiam-ie Sip-pat-tiat, serupa ilmu jang
dapat mendjatuhkan musuh dengan mengebaskan tangan badju atau lain2 bagian
pakaian. Mendadak terdengar tertawa menjeramkan dari Tong Hong Pek, jang tahu2
sudah berada dibelakang Hian Song. "Kalau kami semua bukan eng-hiong, aku
sekarang ingin meminta peladjaran dari seorang eng-hiong wanita !", bentaknja
sambil mengangkat kipas jang bagaikan kilat, menjambar kedjalan darah Hong-iehiat, jang terletak kira2 tiga dim dibawah leher. Serangan itu diluar dugaan
semua orang. Bahwa Tong Hong Pek, seorang jang berkedudukan tjukup tinggi dalam
kalangan Kang-ouw, sudah membokong seorang wanita remadja merupakan perbuatan
jang memalukan. Maka itu, walaupun tidak mengambil pihak si nona, tanpa merasa
beberapa orang mengeluarkan seruan kaget dan beberapa orang pula berteriak,
sebagai isjarat supaja nona itu berwaspada. Tapi Boe Hian Song se-olah2 tidak
mendengar teriakan itu dan berdjalan terus. Untuk mengambil hati Lie It, Tong
Hong Pek, jang menduga pasti, bahwa nona itu mau mengatjau, sudah menjerang
dengan menggunakan seantero tenaganja. Pada detik kipas itu hampir menjentuh
Hong-ie-hiat, mendadak Hian Song menggelengkan kepala seraja berkata : "Sianseng
memudji aku terlalu tinggi !". Hampir berbareng terdengar suara "tjring ...!"
dan tulang kipas patah . Antara djago2 jang berada disitu, hanja Kok Sin Ong
jang lihat tjara si nona memunahkan serangan itu. Pada saat Hian Song
menggelengkan kepala, sebatang tusuk konde perak menjambar, bukan sadja telah
mematahkan tulang kipas itu, tapi djuga sudah menembuskan lengan Tong Hong Pek
jang seketika itu djuga tidak dapat digunakan lagi. Tak usah dikatakan lagi,
kedjadian itu sudah mengedjutkan sangat hati Kok Sin Ong. Sementara itu dengan
sikap atjuh tak atjuh, Boe Hian Song sudah berdjalan masuk ke-tengah2 lapangan.
"Nona, apakah kau datang untuk merebut kedudukan Beng-tjoe ?", tanja Kok Sin
Ong. "Sedari dulu, orang perempuan belum pernah turut-serta dalam Eng-hiong-tayhwee. Andai-kata nona berhasil merebut kedudukan Beng-tjoe, ha ... ha ...
ha ...! Kedjadian itu benar2 menggelikan !". Dengan berkata begitu, Kok Sin Ong
tjoba bikin panas hatinja djago2 dan benar sadja, beberapa orang segera melompat
keluar dan menantang Hian Song. Si nona tidak meladeni. Seraja mengebas
tangannja, ia berkata kepada Lie It dengan suara dingin : "Menurut pendapatku,
kursi Beng-tjoemu sesen pun tiada harganja. Kalau mau djadi Beng-tjoe, djadilah
Beng-tjoe jang ada harganja ". Kok Sin Ong djadi gusar sekali. "Nona ...!",
bentaknja. "Kau terlalu sombong ". "Loo-hoe sudah tua dan tidak ingin berebut
nama. Tapi orang2 jang hadir dalam pertemuan ini adalah pentolan2 dalam Rimba
Persilatan, diantaranja terdapat tjiangboedjin dari beberapa partai. Kau
mengatakan, kami semua bukannja eng-hiong. Bolehkah aku mendapat tahu, orang
bagaimana baru boleh disebut eng-hiong ?". Hian Song tertawa, tapi ia tetap
menghadapi Lie It. "Apakah seorang eng-hiong hanja mengandalkan ilmu silat ?",
tanjanja. "Kalau tidak mengandalkan ilmu silat, mengandalkan apa ?", teriak
seorang. "Seorang eng-hiong dihormati karena dia mempunjai djiwa kesatria ",
djawabnja. "Djika seseorang hanja mengandalkan kekuatannja, bukankah ia hanja
merupakan manusia kasar jang ganas ?". "Nona, kau sungguh berani mati ", kata
Kok Sin Ong. "Bagaimana kau berani menamakan kami sebagai orang2 kasar jang
ganas ?". "Apa dia Beng-tjoemu ?", tanja Hian Song sambil menuding Lie It.
"Sebagai Beng-tjoe Eng-hiong-hwee, maka dia merupakan enghiong terbesar jang dibajang2-kan dalam alam pikiranmu. Tapi eng-hiong apa dia " Sesudah mendjadi
Beng-tjoe, dia bermaksud menggiring kamu dalam usaha merebut negeri untuk
kepentingan pribadi dan dalam niatannja itu, ia sedikitpun tidak memikiri
penderitaan hebat jang bakal dialami rakjat. Apakah itu perbuatannja seorang
eng-hiong jang mempunjai djiwa kesatria ?". Lie It gusar bukan main. "Boe Tjek
Thian perempuan tjabul dan kedjam. Apa kau tahu, berapa banjak menteri2 setia
sudah dibinasakan olehnja ?", tanjanja. "Jang dibinasakan olehnja adalah
manusia2 jang menindas rakjat ", djawab si nona dengan suara tenang. "Dengan
menindas kedjahatan, barulah orang baik2 bisa hidup tenang. Terus-terang aku
ingin menjatakan, sebenarnja ia masih berlaku terlalu murah hati !". Perkataan
Hian Song mengenakan djitu hatinja banjak orang, karena sebagian besar hadirin
adalah kawanan Liok-lim. Maka itu, lantas sadja terdengar teriakan2 gusar dari
berbagai pendjuru. "Oho ...! Kalau begitu, perempuan kurang adjar ini kakitangan Boe Tjek Thian !", teriak Hiong Kie Teng. "Djangan ladeni dia ! Mampuskan
sadja !". Si nona dongak dan tertawa ter-bahak2 . "Bagus ...!", katanja. "Kamu
mau mengerubuti aku dengan djumlah jang besar. Baiklah ! Hajo madju ...! Aku
memang ingin men-djadjal2 kepandaian kamu ". "Saudara2 ...!", teriak Lie It.
"Kalian mundur dulu ! Biarlah aku jang lebih dulu meminta peladjarannja ".
"Baik. Tapi bagaimana tjaranja kita mendjadjal kepandaian ?", tanja si nona
sambil tertawa. "Nona seorang tamu, sedang aku tuan rumah, sehingga menurut
pantas, kaulah jang harus mengadjukan usul ", djawabnja. "Aku lihat kau mahir
dalam ilmu pedang dan kita boleh bertanding dengan menggunakan sendjata itu ",
kata si nona. "Djika kau kalah, aku minta kau segera membubarkan apa jang
dinamakan Eng-hiong-hwee ini ...". "Bagaimana andai-kata kalau aku jang
menang ?", tanja Lie It. Hian Song tertawa. "Djika dalam sepuluh djurus aku
masih belum bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapan enghiong2-mu !",
djawabnja. Dalam kegusarannja jang me-luap2, Lie It berbalik tertawa.
"Bagus ...! Bagus ...!", teriaknja. "Kalau kau bisa menangkan aku dalam sepuluh
djurus, aku pun akan berlutut tiga kali dihadapanmu !". "Aku tak kepingin
menerima hormatmu ", kata Hian Song sembari bersenjum. "Aku hanja ingin minta,
supaja djika kau kalah, Eng-hiong-hwee ini harus segera bubar dan enghiong2
besar jang hadir disini tak usah tongolkan kepalanja lagi dalam dunia Kang-ouw.
Apakah sebagai Beng-tjoe kau suka memberi djandjimu ?". Semua djago, antaranja
Kok Sin Ong sendiri, jang sudah menjaksikan kiam-hoat Lie It, sedikitpun tidak
pertjaja, bahwa Beng-tjoe mereka bisa dirobohkan dalam sepuluh djurus. Maka itu,
mendengar si nona, mereka gusar tak kepalang dan ber-teriak2. "Kalau Beng-tjoe
kami kalah, kamipun tak ada muka untuk berkelana lagi dalam dunia Kang-ouw ",
teriak mereka. ---oo0oo--MENDENGAR dukungan kawan2-nja, hati Lie It djadi semakin besar. "Srettt !", ia
menghunus pedang seraja berkata : "Tak usah banjak bitjara lagi. Hajolah !".
Tapi Hian Song tidak bergerak. "Kau boleh lebih dulu mengirim tiga serangan dan
aku tidak akan membalas ", katanja. "Apa ?", menegas Lie It. "Aku akan mengalah
dan menerima tiga seranganmu tanpa membalas ", mengulangi si nona. "Andai-kata
aku mati tertikam, sedikitpun aku tidak merasa menjesal. Hajolah ! Kau tak usah
malu2 ". Lie It adalah seorang sabar, tapi diedjek pulang-pergi, ia merasa
dadanja seperti mau meledak. "Djagalah ...!", ia membentak sambil menikam
pinggang si nona dengan pedangnja. Dengan gerakan Hong-yang-loh-hoa (Tiupanangin mendjatuhkan-bunga) jang sangat indah, Hian Song kelit tikaman itu seraja
berkata : "Masakah seorang Beng-tjoe hanja bisa mengeluarkan kiam-hoat ini ?".
Dalam serangan tadi, memang Lie It belum turunkan pukulan jang membinasakan.
Tapi sesudah serangannja dipunahkan setjara begitu mudah dengan disertai
edjekan, ia segera menjerang tanpa mengenal kasihan lagi. Dalam serangan kedua,
dengan pukulan Pek-hong-koan-djit (Bianglala-menembus-matahari), ia menikam
tenggorokan lawan. Tapi diluar dugaan, dengan hanja mengebas tangan badjunja, si
nona sudah dapat memunahkan serangan itu dan pedang Lie It terpental kesamping.
Pemuda itu lantas sadja mengempos semangat dan dalam serangan ketiga, ia
menggunakan pukulan Hoei-in-tjie-tian (Awan-mengeluarkan-kilat), serupa ilmu
pedang jang sangat djarang terlihat dalam Rimba Persilatan. Semua djago sudah
bersiap untuk bersorak-sorai. Tapi mendadak terdengar suara "tjring...!", dan
pedang Lie It terpental karena sentilan si nona dengan menggunakan dua djari
tangannja. Djago2 itu mengawasi dengan mata membelalak. Beberapa ahli jang
berkepandaian merasa heran bukan main, karena sentilan jang barusan adalah ilmu
Kim-kong-tjie dari Siauw-lim-sie. Mereka tidak mengerti, karena untuk memiliki
ilmu tersebut, paling sedikit seseorang harus berlatih belasan tahun, sedang
dilihat mukanja, nona itu tidak berusia lebih daripada dua puluh tahun. Selagi
orang ter-heran2, se-konjong2 terdengar suara tertawa si nona jang setjepat
kilat menghunus sebatang pedang pendek. "Beng-tjoe, djagalah sepuluh seranganku
", katanja dengan suara merdu. Berbareng dengan perkataannja, tanpa menggerakkan
kaki, ia menikam. Sambil memusatkan perhatian, Lie It mengawasi serangan lawan
dan tiba2 sadja ia terkesiap, karena luar biasanja serangan itu. Pedang itu
ternjata menjambar dengan udjung tergetar dan dalam satu tikaman itu, udjung
pedang sambar tudjuh djalan darahnja !. Buru2 Lie It mengeluarkan kiam-hoat nja
jang paling liehay untuk melindungi diri. Dengan pukulan Go-houw-tjong-liong
(Harimau-tidur-naga-menjembunjikan-diri), ia memutar pedangnja bagaikan titiran
untuk menutupi seluruh badannja. Dilain saat, dengan beruntun terdengar
bentrokan2 sendjata jang njaring, tapi jang gerakan2-nja tak bisa dilihat oleh
sebagian besar djago2 jang berada disitu. Apa jang lebih mengedjutkan lagi,
jalah, walaupun Lie It menggunakan pedang mustika dan sendjata Hian Song hanja
pedang biasa, tapi dalam tudjuh bentrokan itu, pedang sibnona masih tetap utuh.
Sebab musabab dari kenjataan itu adalah karena gerakan Hian Song jang luar biasa
tjepat, sehingga dalam setiap bentrokan, sebelum tenaga Lie It keburu digunakan
untuk memutuskannja, pedang si nona sudah menjingkirkan diri. Selagi Lie It
memikiri tjara untuk melawan serangan jang berikutnja, si nona kembali tertawa
njaring. "Pukulan kedua !", serunja. Pemuda itu tidak berani mendahului
menjerang, ia hanja mengempos semangat sambil menunggu serangan lawan. Dilain
detik, kedua pedang berbentrokan dan terus menempel tanpa mengeluarkan suara.
Mendadak Lie It merasakan dorongan tenaga jang sangat besar dari pedang lawan,
sehingga pedangnja sendiri, jang se-olah2 dihisap, pedangnya terputar beherapa
kali, hampir2 terlepas dari tangannja. Setjepat kilat, ia memusatkan seluruh
tenaganja dilengan kanan dan sesudah mendorong, ia menarik pulang sendjatanja.
Untung ia berhasil dan lalu melompat mundur dengan mengeluarkan keringat dingin.
"Bagus ! Lihay djuga kau ", katanja si nona. Tiba2 sambil membentak keras, ia
mengirim tiga serangan beruntun. Dengan melompat kian-kemari dan mengeluarkan
kiam-hoatnja jang paling lihay, barulah Lie It dapat menjelamatkan diri dari
tiga serangan itu. "Masih ada lima serangan, awaslah ...!", kata si nona.
Serangan keenam dikirim dengan gerakan perlahan, tapi dengan lweekang jang
sangat tinggi. Sambil menggigit gigi dan mengeluarkan seantero tenaga-dalamnja,
sehingga pakaiannja basah dengan peluh, pemuda iiu menolak serangan tersebut.
Dalam serangan ketudjuh, Hian Song kembali mengubah tjaranja. Kali ini ia
menjerang seperti arus listrik tjepatnja. Dengan gerakan Tjit-seng-po (Tindakantudjuh bintang), kaki kiri Lie It menjerosot kekanan dan sambil memutar badan,
ia balas menjerang dengan pukulan Hoei-po-lioe-hong (Air-tumpah-beterbanganbianglala-melengkung). Bahwa dalam keadaan jang sangat berbahaja, ia masih bisa
melindungi diri dengan balas menjerang, adalah kediadian jang luar biasa.
"Brettt !", tangan badjunja robek. Kalau terlambat sedikit sadja, pergelangan
tangannja tentu sudah putus. "Masih ada tiga serangan ", kata si nona. "Kau berhati2-lah. Kalau kau bisa menjambut tiga serangan lagi, aku akan berlutut
dihadapanmu. Kalau tidak, huh ...!". Sehabis berkata begitu, ia menebas dan Lie
It buru2 melintangkan pedangnja untuk menangkis. Hian Song tahu, bahwa pedang
lawan adalah sendjata mustika, tapi ia terus menebas, sehingga kedua sendjata


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbentrokan dengan keras. Sebelum Lie It keburu membalik mata pedang untuk
memapas sendjata si nona, pedang Hian Song sudah menindih badan pedangnja.
Sambil mengerahkan lweekang, ia tjoba meloloskan sendjatanja dari "tempelan"
pedang si nona, tapi ia terperandjat, karena pedangnja melekat terus dan tidak
bergeming. Ia mengerti, bahwa dalam keadaan jang sedemikian, djalan satu2-nja
adalah mengadu kekuatan lweekang. Dengan hati, ber-debar2, djago2 mengawasi adu
tenaga jang hebat itu. Sambil ter-senjum2, Hian Song mengempos semangatnja,
sedang Lie It mengerahkan seantero tenaga-dalamnja, sehingga keringatnja
mengutjur. Besarnja tenaga jang dikerahkan oleh kedua belah pihak, dapat
dibajangkan dengan melihat melesaknja tanah jang diindjak mereka. Pinggang Lie
It semakin lama djadi semakin membungkuk, sedang pedangnja pun semakin tertindih
kebawah. Seluruh lapangan sunji-senjap dan para eng-hiong berkuatir sangat akan
keselamatan pemimpin mereka jang sudah djatuh dibawah angin. Semua mata
ditudjukan ke gelanggang pertempuran tanpa berkesip. Mereka mengerti, bahwa
pertempuran itu bukan sadja bersangkut-paut dengan nama Lie It, tapi djuga
mengenakan langsung nasib mereka. Pada saat jang sangat genting, se-konjong2
Liong Sam Sianseng melompat kedalam gelanggang. "Saudara2 !", teriaknja.
"Perempuan siluman ini tak salah lagi kaki-tangan Boe Tjek Thian. Ada dia, tak
ada kita. Sekarang kita tak perlu lagi kukuhi lagi peraturan Kang-ouw ". Kawan2nja mengiakan dan dalam sekedjap, Hian Song sudah dikepung oleh belasan orang.
Kok Sin Ong djadi serbah salah. Kalau ia menahan orang2 itu, Lie It memang sudah
tidak dapat mempertahankan dirinja lagi dan djika pangeran itu roboh, semua
djago jang hadir disitu, antaranja ia sendiri, harus mengundurkan diri dari
dunia Kang-ouw. Tapi kalau ia tidak mentjegah pengerojokan itu, ia sungguh harus
merasa malu dengan kedudukannja sebagai Beng-tjoe. Dilain pihak, begitu lekas
belasan djago meluruk, sambil tertawa njaring, si nona menarik pulang pedangnja
dan melompat mundur. Lie It, jang sedang mempertahankan diri dengan mengerahkan
tenaga Tjian-kin-toei, djadi limbung dan hampir2 ia djatuh terguling. Sementara
itu, Hian Song sudah melompat tinggi. "Bagus ...! Hari ini aku mau mendjadjal
kepandaiannja para eng-hiong !", teriaknja sambil membabat kebawah. Dalam
sekedjap, di gelanggang pertempuran terdengar teriakan2 kesakitan. Pedang si
nona men-njambar2 bagaikan hudjan-angin dan dalam beberapa saat sadja, ia sudah
melukakan tudjuh perampok. Ia turunkan tangan tanpa sungkan2 lagi dan biarpun
lukanja tidak membahajakan djiwa, sesudah sembuh, ketudjuh pendjahat itu akan
djadi orang bertjatjad. "Saudara2 ...!", teriak Liong Sam Sianseng. "Berendeng
pundak ! Hadjar terus !". Semakin lama djumlah pengepung djadi semakin banjak.
Hian Song memutar pedangnja bagaikan titiran dan melompat kian-kemari bagaikan
seekor kera, tapi karena djumlah musuh terlalu banjak, maka meskipun ia telah
berhasil melukakan beberapa orang lagi, tak gampang2 ia bisa menoblos keluar
dari kepungan. Sesudah bertempur beberapa lama, tiba2 sebatang golok menjambar
dengan dahsjatnja dan Hian Song buru2 menangkis, tapi penjerang mempunjai tenaga
luar biasa besar dan pedangnja terpental kesamping. Orang itu adalah Sian Thian
Hiong, Pang-tjoe dari Hong-tjek-pang. Melihat kesempatan baik, Liong Sam
menghantam dengan gaetannja dan "brettt !", badju si nona, dibagian pundak
robek. Liong Sam Sianseng adalah murid Kok Sin Ong jang paling disajang. Dalam
pertempuran, ia selalu menggunakan dua sendjata, jaitu tangan kirinja
menggunakan Houw-tauw-kauw (gaetan kepala harimau), sedang tangan kanannja
sebatang tongkat besi. Dalam kalangan Kang-ouw, ia sangat disegani orang,
sebagian karena ilmu silatnja memang tjukup tinggi dan sebagian pula, karena
orang memandang muka Kok Sin Ong. Ia sebenarnja she Liong bcrnama Siauw Seng,
putera ketiga dari kedua orang tuanja. Sebagai tanda mengindahkan, orang2 Kangouw tidak pernah menjebut namanja dan memanggilnja sebagai Liong Sam Sianseng.
"Bagus ...! Kamu tjoba menarik keuntungan dengan mengerojok !", bentak si nona
dengan gusar. "Aku sekarang tak boleh main kasihan lagi ". Berbareng dengan
perkataannja, ia membabat dengan membuat sebuah lingkaran. Hebat sungguh babatan
itu ! Golok Sian Thian Hiong putus, sedang
gaetan Liong Sam pun terpapas putus dua giginja. Selagi dua lawannja melompat
mundur, Hian Song meraba pinggang dan dilain saat, ia sudah mentjekel sehelai
selendang sutera merah. Dengan beberapa kali berkelebat sadja tudjuh-delapan
sendjata sudah kena digulung, disentak dan dilemparkan ketanah. "Yo Tjeet-joe,
Kat Liok-ko, Teng Tjianpwee !", teriak Liong Sam Sianseng. "Hajolah bantu !".
Ketiga orang itu adalah pentolan2 jang berkepandaian tinggi dan sebegitu lama
mereka belum turun tangan, karena merasa malu dengan kedudukannja sendiri, djika
mesti turut mengerojok seorang wanita remadja. Sesudah diteriaki Liong Sam, mau
tak mau mereka terpaksa turun tangan djuga, sehingga Boe Hian Song lantas sadja
terkurung di-tengah2 gelanggang. Dengan sengit si nona mengamuk dan menerdjang
kesana-sini. Kadang2 terdengar djeritan kesakitan atau terlihat terbangnja
sendjata, tapi karena djumlah pengepung terlalu besar, maka biarpun ia dapat
merobohkan beberapa orang lagi, tidak mudah untuk ia meloloskan diri. Sesudah
perkelahian berdjalan beberapa lama lagi, tiba2 Hian Song bersiul njaring
beberapa kali, jang disambut dengan dua siulan dari dalam hutan, satu pandjang
dan satu pendek. "Hmmm ! Untuk membasmi kamu, aku terpaksa memanggil dua
pembantu !", kata si nona sembari tersenjum. Djago2 itu kaget. Nona itu sadja
mereka belum mampu robohkan. Apa lagi kalau dia dibantu oleh dua kawannja.
---oo0oo--BEGITU lekas siulan berhenti, dari sebelah kedjauhan mendatangi dua bajangan
manusia, jang, sesudah tiba dilapangan itu, ternjata adalah dua wanita muda
juga. "Perlu apa Siotjia memanggil kami ?", tanja satu antaranja. Siangkoan Wan
Djie jang menjembunjikan diri dalam "rebung batu" segera kenali, bahwa mereka
adalah budak2 nja Boe Hian Song. "Beng Tjoe, Djie Ie, tolong bereskan sendjata2
para eng-hiong itu ", kata si nona. Eng-hiong-hwee dihadiri oleh seratus orang
lebih dan diantara mereka, sebagian ketjil sudah mengepung Hian Song, sedang
bagian jang lebih besar menonton pertempuran itu. Mendengar perkataan si nona,
baru mereka tahu, bahwa kedua gadis remadja itu adalah budak2 jang diperintah
oleh madjikannja untuk merampas sendjata mereka. Mereka adalah djago2 jang
ditakuti rakjat dan djarang sekali menerima hinaan seperti itu. Dengan gusar
mereka segera menghunus sendjata sambil ber-teriak2 : "Mari ..,! mari ....!
Tjoba2 rampas sendjata kami ". Seperti madjikannja, kedua wanita muda itu lantas
sadja mengeluarkan selendang sutera jang lalu digunakan untuk menjabet dan
menggulung sendjata lawan. "Ilmu silat mereka tentu sadja belum dapat menandingi
kepandaian Hian Song, tapi karena lawannja hanjalah ahli2 silat tingkatan kedua
atau ketiga, sebab djago2 jang paling lihay sudah mengepung Hian Song sendiri,
maka baru sadja bertempur beberapa djurus, banjak sendjata sudah digulung dan
dilemparkan ketengah udara. Beberapa orang jang tidak keburu lari, sudah
tertimpa sendjata2 jang djatuh. Dalam sekedjap keadaan dilapangan itu berubah
kalut. Sambil tertawa njaring, Hian Song memperhebat serangannja dan pedangnja
mentjetjer beberapa orang jang lebih lemah, sehingga mereka terpaksa mundur
beberapa tindak. Dengan menggunakan kesempatan itu, ia melompat keluar dari
kepungan dan lalu mempersatukan diri dengan kedua budaknja. Dengan bekerdja
sama, ketiga gadis remadja itu sudah menghadjar kalang-kabut kawanan djago itu
dan matjam2 sendjata berserakan diatas tanah. Melihat perkembangan itu, beberapa
ahli silat kelas satu, seperti kepala kuil Pek-ma-koan Oei-ho Toodjin, Tjhungtjoe Kwie-in-tjhung Long Kee It dan lain2, jang tidak turut mengerubuti Hian
Song, saling mengawasi sambil menghela napas. "Hmmm ...! Eng-hiong Tay-hwee ini
benar2 mendjadi sebuah lelutjon ", kata Oei-ho. "Perlu apa kita berdiam disini
lama2 " Apa kita tidak merasa malu djika mesti bertempur dengan budak2-nja gadis
itu ?". Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu bersama soetee-nja dan
kemudian, beberapa orang lain pun meninggalkan lapangan dengan beruntun. Dengan
berlalunja djago2 kenamaan itu, keadaan djadi semakin kalut, karena sebagian
orang runtuh semangatnja dan pihak Lie It djadi semakin keteter. Liong Sam
Sianseng djadi kalap. Sambil berteriak keras, ia menerdjang setjara nekat, Houwtauw-kauw jang dipegang dengan tangan kirinja tjoba menggaet pergelangan tangan
Beng Tjoe, sedang tongkatnja disabetkan kepinggang Djie Ie. Kedua serangan2 itu
jang dikirim dengan seantero tenaganja, hebat bukan main dan menjambar bagaikan
kilat. Pada saat jang sangat berbahaja, Hian Song melontjat dan menjentak dengan
selendangnja. Kedua sendjata Liong Sam lantas sadja tergulung dan terpental
ketengah udara. Si nona tak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannja itu. Ia
mengangkat pedangnja dan "kresss !", tulang pundak Liong Sam putus. "Hmmm ...!
Dalam tiga puluh tahun kau tidak akan bisa berkelahi lagi ", kata Hian Song
dengan suara dingin. Melihat begitu, semua orang djadi tjiut njalinja. Kok Sin
Ong jang sedari tadi masih menonton pertempuran itu, rasakan dadanja seperti mau
meledak dan mendadak, dengan djenggot dan kumis bangun berdiri bahna gusarnja,
ia melompat ke-tengah2 gelanggang. "Aha ...! Loo-Beng-tjoe (Beng-tjoe tua)
achirnja turun tangan djuga !", kata Hian Song dengan suara mengedjek. "Aku
merasa beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu derngan seorang eng-hiong jang
namanja menggetarkan dunia ". ,,Semua mundur ..........!" teriak Kok Sin Ong
sambil mengawasi si nona dengan mata berapi. "Siapa gurumu " Siapa kedua orang
tuamu ?", tanjanja dengan suara dingin. Hian Song tertawa geli. "Aku bukan ingin
merebut kedudukan Beng-tjoe, perlu apa kau menanja begitu melit ?", katanja.
"Satu hal jang aku dapat beritahukan, jalah kedudukanku tidak seagung orang lain
?" Dengan "orang lain", si nona maksudkan Lie It. "Djika kau tak mau bertahukan,
aku djuga tak ingin memaksa ", kata Kok Sin Ong dengan suara menjeramkan. "Kita
sekarang bertempur sadja setjara adil. Djika kau menang, dalam dunia Kang-ouw
tidak akan terdapat lagi seorang jang bernama Kok Sin Ong. Tapi kalau kau jang
kalah, maaf nona, aku akan habiskan ilmu silatmu ". Sesudah menjaksikan
kepandaian Hian Song, Kok Sin Ong merasa heran karena ia tak djuga dapat menebak
asal-usul ilmu silat si nona. Maka itu, sebelum turun tangan, ia lebih dulu
tjoba mendapat keterangan. Nona Boe jang dapat menduga djalan pikiran orang tua
itu, lantas sadja bersenjum seraja berkata : "Bagus ! Aku pun memang ingin
sekali bisa beladjar kenal dengan Liap-in-kiam jang kesohor dikolong langit. Kau
boleh legakan hati dan keluarkanlah seantero kepandaianmu. Aku tanggung guruku
tak akan madju untuk membalas sakit hati. Hajo, hunus sendjatamu !". "Sesudah
kau menangkan kedua tanganku, baru aku gunakan pedang ", kata Kok Sin Ong.
"Kalau begitu, marilah!", kata si nona mengedut selendangnja jang lantas sadja
menjambar kearah orang tua itu, Kok Sin Ong mementang lima djarinja dan memapaki
selendang itu. ,,Brettt ...!", selendang itu robek tapi tangannja pun sakit dan
kesemutan. "Sungguh lihay ilmu Kim-kong-tjie itu!", memudji si nona. Tiba2,
sambil menarik pulang selendangnja dan melompat, si nona menikam djalan darah
Hong-hoe-hiat, dibelakang pundak Kok Sin Ong, dengan pukulan Giok-lie-tjoantjiam (Dewi-memasukkan-benang kelubang-djarum). Kedua lawan itu sebenarnja
berdiri berhadapan, tapi setjepat kilat Hian Song sudah berada dibelakang Kok
Sin Ong. Tapi orang tua itu pun memiliki ilmu Liap-in Po-hoat (Tindakanmengedjar lawan) jang tidak kurang lihaynja. Hampir berbareng dengan
berkelebatnja sinar pedang, ia sudah memutar badan dan mengirim tindjunja.
Dengan di iringi suara merotoknja tulang, tiba2 lengannja mulur kira2 setengah
kaki dan tindjunja menjambar dari satu arah jang tidak di-duga2. Tapi Hian Song
tak kalah tjepat, tjepat otaknja dan tjepat pula gerakannja. Begitu pedangnja
menikam tempat kosong, begitu ia mengubah gerakan dan pada detik jang sangat
berbahaja, kakinja menotol tanah dan, bagaikan walet menembus awan, badannja
melesat dan meloloskan diri dari samping kanan Kok Sin Ong. Selagi badannja
melesat, pedangnja sudah mengirim tiga tikaman dengan beruntun. Kok Sin Ong
kagum bukan main. Nona itu bukan sadja sudah bisa meloloskan diri dari serangan
Thong-pie-koen, tapi dalam kelitannja itu, ia masih bisa balas menjerang.
Pertempuran dilangsungkan terus dengan dashjatnja. "Beng Tjoe, Djie Ie !",
mendadak Hian Song berteriak. "Mengapa kau berhenti" Perlu apa kau berdiri
seperti patung?". Sesudah Kok Sin Ong turun tangan, pertempuran antara djago2
lainnja dan kedua budak itu lantas sadja berhenti, karena semua orang merasa
ketarik dengan pertempuran jang baru terdjadi. Mendengar seruan madjikannja,
Beng Tjoe dan Djie le lantas sadja memutar lagi selendang mereka dan dalam
beberapa saat, beberapa sendjata sudah terbang dan djatuh ditanah. Sedang
pertempuran berlangsung, seorang pemuda berdjalan keluar dari gelanggang sambil
menundukkan kepala. Orang itu bukan lain daripada Lie It. Ia datang dengan
semangat ber-kobar2 dan pergi dengan semangat runtuh. "Andaikata enghiong2 itu
dapat merobohkan ketiga wanita, kemenangan itu masih sangat memalukan ",
pikirnja. Ia tersadar dan ketjewa bukan main. Sekarang ia mengarti, bahwa orang2
jang hadir dalam Eng-hiong Tay-hwee, hampir semuanja adalah kawanan bebodoran
jang ingin memburu kekajaan, sedang orang2 jang benar2 mempunjai kepandaian
hanja beberapa gelintir sadja dan mereka itu sudah berlalu tanpa pamitan lagi.
Jang masih ketinggalan hanja Kok Sin Ong seorang jang dengan mati2-an masih
tjoba menolong mukanja. Dengan demikian, Eng-hiong Tay-hwee jang semula begitu
menggempar-kan, pada achirnja hanja merupakan sebuah lelutjon. Mengingat begitu,
hatinja dingin. Ia tahu, bahwa angan2-nja untuk menggulingkan Boe Tjek Thian
telah mendjadi gagal dan ia berlalu dengan putus harapan. Ketika itu pertempuran
sedang berlangsung dengan dahsjatnja, sehingga tak ada orang jang memperhatikannja. Ia mempunjai kepandaian jang banjak lebih tinggi dari kedua
budaknja Hian Song, tapi karena hatinja sudah dingin dan djuga sebab ia merasa
malu untuk bertempur dengan wanita2 tingkatan budak, maka, sambil berkelit
beberapa kali untuk meloloskan diri dari sambaran selendang, ia berdjalan terus.
---oo0oo--TIBA-tiba ia dengar bentakan Kok Sin Ong : "Baiklah memaksa loo-hoe menggunakan
pedang. Maaflah, sekarang aku tak akan berlaku sungkan2 lagi ". Ternjata,
sesudah serang-menjerang beberapa puluh djurus, biarpun lweekangnja lebih
tinggi, Kok Sin Ong jang sudah berusia landjut masih kalah tjepat dari Boe Hian
Song jang muda-belia. Sebagaimana diketahui, Kok Sin Ong memiliki tiga rupa ilmu
istimewa, yaitu pukulan Thong-pie-koen, Kim-kong-tjie dan Liap-in Kiam-hoat.
Selama belasan tahun, ia tak pernah menggunakan pedang, sebab, dengan tangan
kosong sadja, ia sudah tak bisa menemui tandingan. Tapi diluar dugaan, hari ini
ia bertemu dengan lawan berat. Ia mengerti, bahwa tak gampang2 ia bisa
mendjatuhkan nona itu, tapi karena sudah omong besar, ia merasa malu untuk
menghunus sendjata. Sesudah berkelahi beberapa lama, dengan gusar ia menjerang
dengan menggunakan dua rupa ilmu, tangan kirinja menindju dengan Thong-pie-koen,
sedang lima djari tangan kanannja menotok dengan Kim-kong-tjie. Melihat serangan
jang hebat itu, Hian Song kaget bukan main. Ia ingin melompat mundur, tapi sudah
tidak keburu lagi. Dalam keadaan terdesak, mau tak mau ia terpaksa menjambut
kekerasan dengan kekerasan. Sambil mengempos semangat, ia memapaki kedua tangan
lawan dengan pedang dan selendang. Hampir berbareng, selendang sutera menggulung
pergelangan tangan kiri Kok Sin Ong dan sinar pedang menjambar ketangan kanan.
Sambil membentak keras, orang tua itu menjentil badan pedang si nona jang lantas
sadja terbang ketengah udara dan dengan sekali mengetarkan lengan kirinja,
selendang sutera itu djadi hantjur ber-keping2. Hian Song tertawa njaring. Ia
melompat tinggi dan menjambut pedangnja jang sedang melajang turun. Sekarang
orang tua itu djadi kalap. Tanpa memperdulikan lagi nama dan kedudukannja lagi,
ia segera menghunus sendjata. Ia mengerti, bahwa tanpa menggunakan pedang, tak
nanti ia bisa merobohkan nona jang lihay itu. Sementara itu, melihat Kok Sin Ong
mengeluarkan sendjata, Lie It menghela napas dan berdjalan terus. Baru sadja ia
tiba dipinggir lapangan, matanja jang djeli mendadak melihat udjung ikatan
pinggang jang menongol dari sebuah batu besar. Ia terkedjut dan membentak :
"Siapa ?". Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnja Siangkoan Wan Djie.
"Lie It Koko, aku !", serunja. Lie It terkedjut, ia merasa seperti djuga berada
dalam mimpi. Semendjak berpisahan di Pa-tjioe, belum pernah sedetikpun ia tidak
memikiri keselamatan si nona. Pada malam itu, setelah tiba di Pa-tjioe, ia
dikundjungi Liong Sam Sianseng jang meminta supaja ia pergi kesatu tempat diluar
kota untuk bertemu dengan Kok Sin Ong, guna merundingkan pertemuan para orang
gagah dipuntjak Kim-teng. Karena tak mau membuka rahasia, maka sesudah si nona
tiba dipenginapan itu, ia hanja meninggalkan setjarik kertas dengan
pemberitahuan bahwa ia harus segera berangkat untuk suatu urusan penting dan
kemudian berlalu dengan ter-gesa2. Diluar dugaan, malam itu Lie Hian dibunuh
orang dan dalam peristiwa pembunuhan itu, muntjul djuga Ok-heng-tjia dan Toksian-lie. Begitu mendapat warta, ia djadi bingung bukan main, karena kuatir akan
keselamatan Wan Djie. Ia menjesalkan dirinja sendiri, jang, meskipun ada urusan
penting, dianggapnja sangat tak pantas meninggalkan si nona dengan begitu sadja.
Mimpipun ia tak pernah, bahwa ia bisa bertemu dengan nona Siangkoan ditempat
itu. Untuk sedjenak ia menatap wadjah si nona dengan mata membelalak dan mulut
ternganga. Sebelum ia dapat mengeluarkan sepatah kata, se-konjong2 menerdjang
seorang jang, begitu berhadapan, segera menghantam pinggang Wan Djie dengan
tindjunja jang sebesar mangkok. Orang itu adalah si sembrono Hiong Kie Teng. Ia
menjerang karena menduga, bahwa Wan Djie adalah kawan Boe Hian Song jang
sengadja bersembunji disitu untuk mentjegat Lie It. "Tahan !", bentak Lie It
dengan kaget. Tapi tindju jang sudah menjambar tak dapat ditarik kembali,
sehingga dengan hati mentjelos, Lie It menotol bumi dengan kakinja dan badannja
lantas sadja melesat kedepan. Pada detik itulah, tiba2 berkelebat sehelai sutera
merah, disusul dengan bentakan seorang wanita : "Siapa berani melukakan sahabat
Siotjiaku ?". Dengan sekali berkelebat, selendang sutera itu sudah menggulung
tubuh Hiong Kie Teng jang lantas sadja terbang beberapa tombak djauhnja. Tapi
Wan Djie sendiri tidak terluput dengan tindju si sembrono, sehingga badannja
ber-gojang2 dan kemudian roboh ditanah. Wanita jang melontarkan Hiong Kie Teng
adalah Djie Ie, jang sambil menengok kearah Lie It, membentak dengan suara gusar
: "Beng-tjoe tak punja malu ! Mengapa kau menghina seorang wanita jang tak
mengerti ilmu silat ?". Sehabis membentak, ia segera menjerang dengan
selendangnya, sehingga Lie It tak dapat memberi keterangan. Dilain saat,
sedjumlah orang gagah, jang melihat pemuda itu sedang bertempur, sudah memburu.
"Siapapun djua tak boleh mentjelakakan wanita jang rebah ditanah ...!", teriak
Lie It. "Terima kasih banjak atas ketjintaan kalian, tapi aku tak berharga untuk
mendjadi Beng-tjoe ". Hampir berbareng, ia mengendjot badan dan dengan melompati
kepala Djie Ie, ia kabur keatas gunung. Untuk sedjenak, semua orang tertegun,
karena mereka tak duga, pemuda itu benar2 kabur. Dilain saat, sambil memutar
selendangnja, Djie Ie menjerang djago2 itu jang sesudah bertempur beberapa lama,
terpaksa mundur karena tak tahan melawan budak Hian Song jang sangat lihay.
Sesudah kabur beberapa lama, Lie It menghentikan tindakannja dan mengawasi
kebawah, dimana Sin Ong dan Hian Song sedang bertempur dengan menggunakan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang. Dalam sekedjap Kok Sin Ong dan Boe Hian Song sudah bertempur lebih dari
seratus djurus. Dengan menggunakan tiga matjam kepandaiannja jang paling
istimewa, jaitu tindju, pedang dan totokan djari tangan, orang tua itu menjerang
bagaikan angin dan hudjan. Tapi si nona-pun tidak kurang lihaynja. Dengan
gerakan2 lintjah dan mantap, bagaikan naga ber-main2 ditengah lautan, ia memutar
pedang seperti titiran tjepatnja. Sebagai Beng-tjoe dari Rimba Persilatan,
selama sepuluh tahun Kok Sin Ong tak pernah menggunakan sendjata. Sesudah
mendjadi Beng-tjoe, hari ini adalah untuk pertama kali ia bertempur dengan
menggunakan pedang, dan jang lebih memalukan lagi, lawannja adalah seorang
wanita muda-belia. Maka itu, sesudah lewat lagi sekian djurus, dengan gusar
tiba2 ia menjerang dengan menggunakan seantero lweekangnja. Sambil mengempos
semangat, si nona menangkis. Bentrokan antara kedua sendjata itu mengeluarkan
suara njaring dan kedua lawan melompat mundur untuk memeriksa sendjata mereka.
Hian Song kaget karena pedangnja somplak. "Si tua benar2 lihay, lweekangnja
lebih kuat daripada aku ", katanja didalam hati. Sin Ong pun tidak kurang
kagetnja. Waktu menjerang, ia sudah menghitung masak2, bahwa pedang lawan pasti
akan terbang karena pukulan jang dahsjat itu. Ia tak njana, bahwa nona itu masih
dapat mempertahankan diri. Dilain saat, mereka sudah mulai bertempur pula
setjara lebih hebat daripada tadi. Selagi pertandingan berlangsung dengan
dahsjatnja, tiba2 terdengar teriakan luar biasa jang menjerupai aum harimau. Kok
Sin Ong terkesiap. Dilain saat terdengar suara tertawa berkakakan, disusul
dengan suara seorang : "Kok Laotee, sudah sepuluh tahun kita tidak pernah
bertemu muka. Bagaimana dengan Kiam-hoatmu " Aku datang untuk menengok kau ".
---oo0oo--BERBARENG dengan perkataan itu, ditengah lapangan berdiri seorang jang
mengenakan djubah pandjang warna hidjau dan mukanja-pun bersinar hidjau. Ia
berusia kira2 lima puluh tahun dan pada dagunja terdapat beberapa lembar
djenggot pandjang. Dilihat dari matjamnja, ia masih muda dari pada Kok Sin Ong,
tapi mengapa ia memanggil Beng-tjoe itu dengan panggilan "Laotee" (adik) ".
Semua mata mengawasi orang itu dan entah mengapa, muka si djubah pandjang
menimbulkan rasa tidak enak didalam hatinja semua djago itu. Sementara itu,
paras muka Kok Sin Ong segera berubah merah. Sesudah menonton beberapa saat,
orang itu berkata dengan suara njaring: "Kok Sin Ong selalu membanggakan ilmu
pedang Liap-in Kiam-hoat. Tapi aku kuatir, nama itu hanja nama kosong dan ia
akan ditertawai oleh segenap orang gagah dalam dunia Kang-ouw !". Mendengar
edjekan itu, muka Kok Beng-tjoe djadi semakin merah. Orang itu bernama Hoe Poet
Gie, seorang In-soe (orang jang mengundurkan diri dalam pergaulan) jang adatnja
aneh. Dulu, ia bersahabat dengan Kok Sin Ong, tapi karena pada suatu hari ia
mentjela ilmu pedang Beng-tjoe itu, maka persahabatan itu mendjadi renggang dan
selama sepuluh tahun mereka tak pernah bertemu muka. Setjara kebetulan, hari ini
mereka bertemu pada waktu Kok Sin Ong sedang bertempur mati2-an untuk
mempertahankan nama baiknja. Diedjek begitu rupa, Kok Sin Ong djadi gusar
tertjampur malu. Dalam pertempuran antara djago dan djago, pantangan paling
besar adalah terpetjahnja pemusatan pikiran dan semangat. Maka itu, begitu ia
bergusar, ilmu silat Kok Sin Ong lantas sadja mulai kalut. Sesudah lewat
beberapa djurus lagi, tiba2 pedang si nona menjambar kepala Kok Sin Ong bagaikan
kilat tjepatnja. Dengan hati mentjelos, buru2 si kakek menundukkan kepalanja
dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung-Hong-memanggutkan-kepala) dan pedang
lewat hanja dalam djarak setengah dim dari kulit kepala. Hoe Poet Gie tertawa
ter-bahak2. "Aduh ...! Hampir sadja kulit kepala si tua terpapas !", teriaknja.
"Sekarang dia sudah memberi hormat kepada Ngo-bie dengan menundukkan kepala ".
Hian Song tertawa geli. "Keangkeran Beng-tjoe musnah disapu air, sehingga
menggelikan hati Thian-san Hoe Poet Gie ". Mendengar perkataan si nona, semua
djago djadi kaget. Sudah lama mereka mendengar nama Hoe Poet Gie, tapi baru
sekarang mereka lihat wadjah pendekar aneh itu. Kok Sin Ong pun tidak kurang
kagetnja. "Tjelaka ...! Mereka berdua ternjata mengenal satu sama lain ", ia
mengeluh. "Sungguh besar njali botjah perempuan itu jang sudah berani memanggil
namanja ". Karena hatinja kalut, Kiam-hoatnja pun djadi semakin katjau dan ia
terpaksa berkeIahi, sembari mundur. Hoe Poet Gie kembali tertawa njaring. "Kok
Laotee, kau sudah kalah, perlu apa berkelahi terus ?", katanja dengan suara
mengedjek. "Paling baik kita minum arak ". Melihat beberapa pentolan Rimba
Persilatan sudah berlalu, bahkan Lie It sendiri sudah menjingkirkan diri,
semangat Kok Sin Ong lantas sadja runtuh dan hatinja tawar. Sesaat itu djuga,
sambil menangkis pedang si nona, ia melompat keluar dari gelanggang dan lalu
lari turun kebawah gunung. "Hei ! Tunggu ...!", teriak Hoe Poet Gie. "Ha ...!
Kau tak mau tunggui aku " Baiklah. Mari kita adu ilmu mengentengkan badan ".
Sambil tertawa ha ha-hi hi, ia segera melompat dan mengedjar Kok Sin Ong. Kedua
orang itu memiliki ilmu ringan badan jang sangat tinggi, sehingga dalam sekedjap
mata, mereka sudah tidak kelihatan bajangannja lagi. Sesudah Beng-tjoe lama dan
Beng-tjoe baru kabur, keadaan djadi kalut dan djago2 itu lantas sadja bergerak
untuk menjingkirkan diri. "Beng Tjoe, Djie Ie!", seru nona Boe. "Musnakan ilmu
silat enghiong2 besar itu !". "Baiklah !", kata kedua budak itu jang lantas
sadja melompat kesana-sini sambil memukul atau menotok djalan darah djago2 itu.
Sambil ber-teriak2, mereka lari lintang-pukang seperti diuber setan. Hian Song
tertawa geli dan beberapa saat kemudian, ia berteriak : "Sudahlah ! Biarkan
mereka pergi. Beng-Tjoe, tjoba kau tolong Siangkoan Moay-tjoe ". Dengan hati
duka, Lie It menjaksikan tjara bagaimana Enghiong Tay-hwee telah dihantjurkan
oleh Boe Hian Song. "Tak salah, dalam pertandingan ini aku kalah ", katanja
sambil menghela napas. "Aku bukan dikalahkan oleh wanita itu tapi oleh Boe Tjek
Thian ". Selagi melamun, se-konjong2 ia lihat Boe Hian Song mendaki gunung.
Karena hatinja sudah dingin dan tak punja kegembiraan untuk bertempur lagi,
buru2 ia turun dari lain bagian gunung itu.
---oo0oo--SEMENTARA itu sesudah diurut oleh Beng-Tjoe, per-lahan2 Wan Djie tersadar dari
pingsannja dan kemudian, karena lelah, ia pun jatuh tertidur pulas. Ia mendusin
pada besok harinja, kira2 tengah hari. Sesudah ingatannja pulih, ia membuka
kedua matanja dan ternyata, ia berada seorang diri di-tengah2 lapangan rumput
itu. Sambil mengawasi matjam2 sendjata jang terserak disekitar lapangan itu, ia
menghela napas dan berkata dalam hatinja : "Kemana perginja Boe Hian Song "
Mengapa sesudah menolong, ia tinggalkan aku seorang diri ditempat ini?".
Mendadak, setjara tidak disengadja, matanja lihat beberapa baris huruf jang
ditulis dengan udjung pedang diatas kulit pohon. Empat baris huruf itu jang
merupakan sadjak, berbunji seperti berikut :
"Benar dan salah sukar ada perbedaan, Tulen atau palsu achirnja akan ketahuan,
Sekarang untuk sementara kita berpisahan, Dilain hari, kumengharap suatu
persatuan." Wan Djie jang sangat tjerdas segera dapat menangkap maksud Boe Hian Song. Pada
djaman itu, rakjat Tiongkok terpetjah djadi dua golongan, jang satu menentang
dan jang lain mendukung Boe Tjek Thian. Wan Djie berada dalam golongan jang
pertama, sedang Hian Song dalam golongan kedua. Maka itu, karena tak dapat
memaksa Wan Djie untuk menukar pendirian dengan segera, maka Hian Song
mengatakan, bahwa biarlah mereka berpisahan untuk sementara waktu, sehingga
salah atau benar, tulen atau palsu mendjadi terang dan mereka dapat mentjapai
pendirian jang bersamaan. Sesudah membatja sadjak itu, pikiran Wan Djie semakin
kalut. "Andaikata Boe Tjek Thian bukan manusia djahat, ia djuga pasti bukan
manusia baik ", katanja didalam hati. "Apakah dia berbuat benar dengan membunuh
kakek dan ajahku " Orang lain boleh mendukung dia, tapi aku, jang mempunjai
sakit-hati sedalam lautan, tentu tidak dapat berbuat begitu. Ah ...! Sajang Lie
It sudah berlalu, sehingga aku tidak dapat berdamai dengannja ". Tapi baru sadja
ingat Lie It, ia tertawa sendiri. Ia jakin, bahwa perundingan dengan pemuda itu
tidak akan menghasilkan apapun djua, karena, biarpun mereka sama2 membentji Boe
Tjek Thian, sebab-musabab kebentjian itu adalah sangat berlainan. Ia me-raba2
pisau belati jang berada dalam kantong sendjata rahasia. Segera djuga, ia ingat
pesan Tiangsoen Koen Liang. "Ah, perlu apa aku me-narik2 tangan orang lain ?",
katanja didalam hati. "Aku harus berusaha dengan tenaga sendiri. Djika
dilindungi oleh Tuhan, dengan sekali menikam, aku dapat membalas sakit hati
orang tuaku ". Memikir begitu, dengan tekad jang lebih teguh, ia segera
meneruskan perdjalanan kekota Tiang-an.
---oo0oo--SESUDAH berdjalan kira2 dua puluh hari, pada suatu maghrib ia tiba dikota Tjoetong. Kota itu adalah sebuah kota pegunungan dan menurut kebiasaan, begitu
tjuatja gelap, didjalanan djarang terdapat manusia lagi. Tapi malam itu lain
daripada malam jang lain. Seluruh kota terang-benderang dan semua djalanan ramai
dengan manusia jang berlalu-lintas. Dengan heran si nona menanja seorang tua dan
djawaban si kakek menggirangkan sangat hatinja. Mengapa " Karena ia
diberitahukan, bahwa keramaian itu disebabkan oleh kundjungan Boe Tjek Thian ke
kota Tjoe-tong. "Pada bulan jang lalu, bekas Thay-tjoe Lie Hian telah dibunuh
orang djahat di Pa-tjioe dan Tjo-kim-gouw Tay tjiang-koen Khoe Sin Soen telah
meletakkan djabatannja ", menerangkan si-kakek. "Sampai sekarang, orang jang
berdosa masih belum dapat dibekuk. Sepandjang keterangan, kedatangan Thian-houw
ke Soetjoan pertama adalah untuk menjelidiki pembunuhan itu dan kedua jalah
untuk menindjau keadaan rakjat. Belum tjukup satu djam beliau tiba disini, sudah
ada banjak orang jang minta bertemu untuk mengadjukan pengaduan atau untuk
melihat mukanja Thian-houw ". Mengingat apa jang dilihatnja di Pa-tjioe, Wan
Djie berkata dalam hatinja : "Hm ...! Dia membinasakan puteranja sendiri dan
sekarang berlagak mau menangkap pembunuhnja untuk menutupi mata orang ". Sesudah
orang tua itu memberi keterangan, ia segera menanja : "Dimanakah adanja Thianhouw " akupun ingin bertemu dengan beliau ". "Thian-houw berdiam dalam sebuah
sekolahan didekat kantor Tiekoan ", djawabnja. "Aku si tua pernah hidup dibawah
pemerintahan beberapa orang kaisar, tapi belum pernah loo-hoe bertemu dengan
seorang kaisar jang begitu mendekati rakjat djelata. Maka itu, tidaklah heran
kalau banjak orang mentjatjinja, tapi lebih banjak lagi jang menakluk kepadanja
". Sesudah menghaturkan terima kasih dan berpamitan kepada orang tua itu, Wan
Djie segera tjari sebuah rumah penginapan untuknja mengaso.
p---oo0oo--KIRA-kira tengah malam, ia menukar pakaian djalan malam dan dengan membekal
pisau belati, ia pergi ke gedung sekolahan untuk tjoba membunuh Boe Tjek Thian.
Begitu tiba didepan gedung, si nona heran bukan main, karena pintu hanja didjaga
oleh seorang opas jang tidak bersendjata. "Njali Boe Tjek Thian sungguh besar ",
pikirnja. "Apa dia tidak takut dibunuh orang " Ha ...! Inilah kesempatan jang
diberikan Tuhan ". Tapi entah mengapa, waktu ia meraba pisau, djari2 tangannja
bergemetaran dan hatinja merasa sangat tidak enak. Sebagaimana diketahui,
Siangkoan Wan Djie memiliki ilmu mengentengkan badan jang tjukup tinggi,
sehingga dalam tempo tidak terlalu lama, ia sudah menjelidiki belasan kamar
dalam gedung itu, jang didjaga oleh beberapa belas Sie-wie, jang sama-sekali tak
menduga, bahwa gedung tersebut sedang disatroni oleh seorang tjalon pembunuh.
Sesudah selesai dengan penjelidikannja, ia lain pergi ke sebuah kamar jang
terletak di-tengah2, dimana terlihat sinar lampu dan bajangan beberapa orang.
Dengan menggaetkan kedua kakinja dipajon, badannja menggelantung kebawah dan
matanja mengintip kedalam kamar dari sebuah djendela. Benar sadja Boe Tjek Thian
berada dalam kamar itu. Ia duduk didepan sebuah medja jang penuh surat dan
kertas, dengan diapit thaykam tua, jang lain seorang dajang. Kaisar itu sedang
membatja beberapa surat dengan penuh perhatian. Melihat sinar mata Boe Tjek
Thian jang ber-kilat2, djantung Wan Djie memukul keras. Itulah sinar mata luar
biasa jang se-olah2 dapat menembus kedalam isi perut orang. Kaisar wanita itu
sebenarnja sudah berusia kira2 enam puluh tahun, tapi ia kelihatannja banjak
masih muda dan masih gagah sekali. Selang beberapa saat, Boe Tjek Thian
membolik-balik lembaran laporan dari sebuah perkara. "Ong Kong-kong, tjoba
panggil Koan-leng ", katanja. "Thian-how Piehee ", kata thaykam itu, "dalam
Dewan Keradjaan, Piehee telah bekerdja siang-malam dan sampai ditempat ini,
Piehee masih djuga tidak mau mengaso. Sebaiknja Piehee harus lebih mendjaga
kesehatan sendiri ". "Aku tak dapat me-njia2 kan harapan rakjat ", djawabnja.
"Ong Kong-kong, sudahlah kau djangan rewel. Panggillah Koan-leng ". Thaykam itu
menghela napas dan lalu berdjalan keluar. Sesaat itu, didalam kamar hanja
ketinggalan sang kaisar dan dajangnja. Wan Djie mentjekal pisau belatinja erat2.
Waktu itu, djiwa Boe Tjek Thian berada dalam tangannja. Dengan sekali menimpuk
sadja, ia dapat membalas sakit hatinja. Tapi perasaan kepingin tahu tjaranja
kaisar wanita itu memeriksa adalah sedemikian besar, sehingga, sesudah bersangsi
beberapa saat, ia menunda keinginannja untuk membinasakan Boe Tjek Thian. Selang
beberapa saat, Thaykam tua itu sudah kembali dengan mengadjak Tie-koan.
Ternjata, semua pembesar setempat mengetahui, bahwa dimana sadja kaisar itu
singgah, ia selalu memeriksa perkara2 jang belum putus, sehingga oleh karenanja,
sang Tiekoan tidak berani pulang dan terus menunggu ditempat persinggahan.
Tiekoan itu masuk dengan paras muka putjat-pias dan ia berlutut sambil
manggutkan kepalanja ber-ulang2. "Kau periksa lagi perkara ini !", bentak Boe
Tjek Thian sambil melemparkan segabung proses-verbal. "Hamba sangat tolol dan
mohon Thian-houw Piehee sudi memberi petundjuk dibagian mana jang kurang benar
", djawabnja dengan suara gemetaran. "Perkara apa itu ?", bentak pula sang
djungdjungan. Sambil memegang proses-verbal itu, Tiekoan membatja : "Pendeta
tjabul Biauw-giok tidak mendjaga kesutjiannja dan melakukan perbuatan jang
melanggar susila ". "Tak usah dibatja ...!", memotong Boe Tjek Thian.
"Tjeriterakan sadja duduknja perkara setjara ringkas ". "Perkara ini berdasarkan
pengaduan Ong Tjian Houw jang mengatakan, bahwa niekouw (pendeta wanita) kuil
Soei-goat-am jang bernama Biauw-giok telah memantjing puteranja Ong Tjian Houw
untuk berdjinah, sehingga niekouw itu mendjadi hamil ", menerangkan pembesar
itu. "Bagaimana kau memutuskannja ?", tanja Boe Tjek Thian. "Hamba memerintahkan
supaja kandungan itu digugurkan, mengusir Biauw-giok dari rumah berhala,
merangketnja lima puluh kali dan mendjatuhkan hukuman supaja dia didjadikan
budak negara ", djawabnja. "Tindakan apa kau ambil terhadap anaknja Ong Tjian
Houw ?", tanja pula sang kaisar. "Hamba memerintahkan supaja Ong Tjian How
menilik keras dan mengadjar anaknja ", djawabnja. Boe Tjek Thian mengeluarkan
suara dihidung dan menanja pula : "Dimana letak rumah Ong Tjian How ?". "Di
pintu kota sebelah barat ". "Niekouw itu ?". "Di kuil Soei-goat-am, pintu kota
sebelah timur ". "Berapa djauhnja djarak antara kedua itu ?". "Belasan li ...".
"Apa benar seorang niekouw muda berani pergi kerumah Ong Tjian How jang djauhnja
belasan li, untuk menggoda puteranja ?". "Perdjandjian itu terdjadi di Soe-goatam ". "Brak ...!", Boe Tjek Thian menggebrak medja. "Binatang !", bentaknja.
"Kalau begitu, tak boleh dikatakan, bahwa anak Ong Tjian How telah dipantjing
atau dipaksa berdjinah oleh niekouw itu ! Kau memutar-balikkan duduknja
perkara ! Adalah anak Ong Tjian How jang sudah menjatroni ke Soei-goat-am dan
mengganggu niekouw itu. Binatang ! Mengapa kau memutar duduknja perkara ?".
Tiekoan itu menggigil dan ia membenturkan kepalanja ber-ulang2 diatas lantai.
"Benar, benar ...", katanja. "Hamba sangat tolol. Hamba kurang menjelidiki
perkara itu ...". "Disamping itu kedosaan apa jang diperbuat oleh si baji,
sehingga kau memutuskan supaja kandungan itu digugurkan ?", tanja Boe Tjek Thian
dengan suara gusar. "Apa kandungan itu sudah digugurkan ?". ,,Belum ...
belum ...", djawabnja. Boe Tjek Thian tertawa dingin. "Hmmm ...! pembesar jang
seperti kau bagaimana bisa memegang peranan sebagai ajah dari rakjat djelata ?",
bentaknja. Si Tiekoan djadi makin ketakutan. Ia manggut2-kan kepala seperti ajam
mematok gabah dan berkata : "Hamba pantas mendapat hukuman mati. Hamba berdosa
besar ...!". "Pulangkan proses-verbal itu !", bentak pula sang djungdjungan.
Sambil merangkak, pembesar itu lalu mengembalikan apa jang diminta. Boe Tjek
Thian segera mengangkat pit dan menulis seperti berikut diatas proses-verbal itu
: "Ong Tjian How jang tidak mampu menguasai dan mendidik anaknja, harus
diperiksa dan dihukum menurut undang2 negara. Puteranja Ong Tjian Houw jang
memperkosa seorang niekouw mendapat hukuman pendjara tiga tahun dan seratus
rangketan. Biauw-giok harus mendjadi wanita biasa lagi dan tak seorangpun boleh
mengganggu bajinja jang masih berada dalam kandungan ". Sesudah meletakkan pitnja diatas medja, kaisar itu berkata dengan suara perlahan : "Mengenai kau, kau
harus segera mentjopot topi kebesaranmu dan menggapelok pipimu dua puluh kali.
Sesudah itu kau mesti menunggu dikantormu untuk mendapat hukuman jang lebih
tepat ". Semangat si Tiekoan terbang. Dengan tangan bergemetaran, ia mentjopot
topinja dan kemudian menggempur muka sendiri. Boe Tjek Thian memerintahkan
supaja ia menggaplok dua puluh kali. Tapi dalam ketakutannja ia menggampar
terus-menerus dan masih tidak berani berhenti, walaupun pipinja sudah bengkak
dan biru. Sesudah mengusir Tiekoan itu dengan suara bengis, Boe Tjek Thian
menghela napas pandjang. "Dari dulu sampai sekarang, orang lelaki memang selalu
menumplek segala kesalahan diatas kepala orang perempuan ", katanja. "Memetjat
pembesar djahat soal mudah, tapi menghilangkan kebiasaan itu bukannja soal
gampang ". Sesudah mengirup teh, ia berkata pula kepada si thaykam tua : "Kongkong, seorang petani dari Ban-goan-koan ingin mengadjukan pengaduan. Panggilah
dia masuk ". Beberapa saat kemudian, seorang lelaki masuk dengan sikap
ketakutan. Wan Djie segera mengenali, bahwa ia adalah Thio Loosam jang pernah
ditemuinja didjalanan ke Pa-tjioe. Mimpipun si tua belum pernah, bahwa ia bakal
dapat bertemu dengan seorang kaisar. Sesudah ia mendjalankan peradatan, Boe Tjek
Thian segera memerintahkan ia berduduk. "Berapa usiamu ?", tanjanja. "Lima puluh
delapan tahun ", djawabnja. "Lebih muda tiga tahun daripada kami ", kata sang
djungdjungan sambil bersenjum. "Bagaimana dengan hasil sawah tahun jang lalu ?".
"Lebih bagus daripada tahun berselang ", djawabnja. "Bagaimana tahun ini ?",
tanja pula Boe Tjek Thian. "Ketika hamba berangkat kemari, pohon2 padi sudah
menghidjau ", djawabnja: "Djika tidak kekeringan atau diganggu hama, pendapatan
tahun ini mungkin akan lebih besar daripada hasil tahun jang lalu ". "Bagus !
Apa kau dan keluargamu tjukup makan dan pakaian ?". "Dengan mengandalkan redjeki
Thian-houw Piehee, dalam sebulan hamba sekeluarga bisa makan nasi kira2 dua
puluh hari lebih. Hanja beberapa hari harus dibantu dengan makanan lain ".
"Kalau begitu, keadaanmu belum begitu baik ". "Biar bagaimanapun djua, keadaan
sekarang banjak lebih baik daripada dulu. Itu semua sudah terdjadi karena
kebidjaksanaan dan pertolongan Thian-houw Piehee kepada rakjat djelata ". Boe
Tjek Thian menghela napas. "Daerah Siok (propinsi Soetjoan) dikenal sebagai


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gudang negara ", katanja. "Bahwa rakjat tidak tjukup makan, adalah karena
dipungutnja tjukai jang terlalu besar. Sesudah keamanan pulih, negara boleh
tidak usah mempertahankan tentara jang terlalu besar djumlahnja dan tjukai serta
padjakpun dapat dikurangi lagi ". Mendengar pembitjaraan sang djungdjungan jang
ramah-tamah, ketakutan Thio Loosam berkurang banjak. Sambil membungkuk ia
berkata : "Kami, kaum petani, berdoa supaja Tuhan Jang Maha Kuasa memberkahi
Thian-houw dengan umur pandjang agar penghidupan kami makin lama mendjadi makin
baik ". "Apa benar ?", menegas sang djungdjungan sambil bersenjum. "Kalau
begitu, kami harus berterima kasih kepada kalian semua ". Sehabis berkata
begitu, ia membuka surat pengaduan jang berada dihadapannja dan berkata pula :
"Sekarang baiklah kita membitjarakan pengaduanmu. Kau mendakwa keluarga Ong
telah merampas tjalon menantumu, bukan " Setjara kebetulan, Tiehoe di Pa-tjioe
telah mengirim orang dengan membawa laporan, jang disertai dengan surat kawin
jang ditulis oleh ajah tjalon menantumu. Laporan Tiehoe adalah untuk melawan
dakwaanmu ". "Mata Thian-houw Piehee dapat menembus sampai laksaan li," kata
Thio Loosam. "Surat kawin itu ditulis oleh besanku karena dipaksa oleh keluarga
Ong ". "Apakah keluarga Ong berpengaruh besar ?". "Orang jang merampas menantu
Akar Asap Neraka 1 Goosebumps - Saat-saat Seram Jodoh Rajawali 3

Cari Blog Ini